THOSE WHO WISH ME DEAD Review

“No time to grieve for roses when the forests are burning”

 

Membahas sebuah film memang tak bisa dilakukan tanpa sedikit-banyak menceritakan tentang alur film tersebut. Namun, menceritakan tentang Those Who Wish Me Dead ini terasa mirip sekali dengan memantik api yang bakal menjalar membakar habis hutan. ‘Api’ di sini adalah spoiler, dan hutannya adalah the entire review. Karena film ini memang terdiri dari kejadian-kejadian kecil, yang kemudian membesar, menjalar, saling berhubungan membentuk konflik besar film. Ada perempuan yang trauma oleh kegagalannya sendiri, ada anak kecil yang dikejar pembunuh. Ini adalah thriller kejar-kejaran, sekaligus juga merupakan kisah bencana alam. Film ini begitu all over the place. Tapi juga so little – setelah api itu padam, tidak ada banyak hal tersisa selain abu untuk kita bicarakan. Yang jelas, ya, akan ada api besar, jadi kalian yang suka nontonin kebakaran masih akan bisa terhibur olehnya.

Tapi aku akan tetap mencoba. Ngasih tahu gambaran besar kisah film yang diangkat dari novel ini, dengan sesedikit mungkin membeberkan detil-detil di dalamnya. Cerita ini dimulai dari ayah dan anak yang sedang dikejar oleh dua pembunuh yang gak segan-segan melenyapkan siapapun yang menghalangi mereka. Dalam pelarian, ayah dan anak itu mengalami nasib naas sehingga kini tinggal si anak yang jadi buronan. Si anak kabur ke belantara hutan Montana. Di sana, dia ditolong oleh seorang pemadam kebakaran. Mereka berdua harus berjuang keluar dari hutan – segera menuju tempat yang bisa melindungi sang anak. Dengan dikejar oleh dua pihak yang memburu berapi-api; tim pembunuh, dan api beneran yang tengah berkobar melalap hutan tempat mereka bersembunyi.

dead013325_1142x642_637534307234461060
Some people just wanna watch the world burn.

 

Aku suka sama naskah tulisan Taylor Sheridan, khususnya Sicario (2015) dan Hell or High Water (2016). Naskahnya selalu berhasil memuat studi karakter yang kompleks ke dalam thriller yang menegangkan. Sheridan sepertinya juga cukup beruntung dapat sutradara yang sevisi, yang mampu menggambarkan apa yang ia niatkan. Dalam Those Who Wish Me Dead ini, sebenarnya naskah Sheridan juga lumayan kompleks. Setidaknya, sesuai dengan zona nyaman dia selama ini. Perempuan pemadam kebakaran dalam cerita ini adalah Hannah yang suka ngelakuin hal nekat (dan bodoh ala jackass) karena nurani dan perasaannya terbebani oleh kesalahan yang ia lakukan dalam tugas beberapa waktu yang lalu. Hannah trauma tidak bisa menyelamatkan tiga cowok remaja dari kebakaran. Pasal ini dibentrokkan oleh Sheridan dengan Connor, si anak kecil yang dikejar-kejar pembunuh. Naskah Sheridan berhasil mencuatkan bahwa Connor adalah kesempatan bagi Hannah menebus diri, sekaligus juga bahwa ada kesamaan pada keduanya. Yakni dua pribadi yang sama-sama mengalami trauma. Naskah film ini akanlah bersinar jika benar-benar mendalam membahas hubungan antara karakter Connor dengan Hannah.

Kali ini memang sepertinya Sheridan kurang mendapat kebebasan kreatif, walaupun dia juga merangkap sebagai sutradara. Karena film ini diadaptasi dari novel, yang juga melibatkan penulis novel aslinya. Jadi ada kebutuhan untuk membuat semirip mungkin dengan cerita novelnya. Dan di sinilah kejatuhan dari film Those Who Wish Me Dead (dan juga kejatuhan dari banyak film adaptasi novel yang penulis novelnya juga mendapat kredit nulis naskah). Film ini masih enggan lepas dari bentuk novelnya. Sudut pandang cerita ini tidak fokus, melainkan sering berpindah-pindah. Juggling dari Hannah-Connor ke pasangan lain yang ada di dalam kisah. Ada pasangan polisi lokal dengan istrinya yang tengah mengandung. Dan tentu saja duo pembunuh yang mengejar Connor. Dua pasangan itu juga punya cerita sendiri, tapi karena porsi mereka dibagi-bagi bersama porsi Hannah dan Connor, tidak ada pasangan ataupun satu karakter yang benar-benar mencuat sebagai tokoh utama. Mereka semua sama-sama kurang tergali. Sama-sama satu dimensi.

Kita harusnya peduli sama Connor dan Hannah, karena merekalah yang sebenarnya diniatkan sebagai center piece. Merekalah yang paling bertragedi. Namun film ini tidak berhasil membangun center itu sendiri. Dan malangnya, baik Connor dan Hannah kalah menarik dibandingkan dengan polisi-dan-istri dan dua pembunuh itu. Polisi dan istrinya basically adalah cool couple, terutama sang istri yang ternyata jago survival (including naik kuda sambil menembak senapan). Mereka punya stake yang tak kalah berharga – yakni bayi di kandungan. Dinamika keduanya asyik untuk diikuti, mereka dengan gampang bisa jadi tokoh utama film ini karena punya petualangan pribadi yang lebih seru. Terus, kedua pembunuh; mereka boleh jadi penjahat yang ‘hanya jahat tanpa karakter’, tapi sudut pandang jahat mereka ini menarik. Salah satu dari mereka ada yang bilang gak mau menyakiti wanita hamil, tapi di adegan pembuka film kita melihat baju mereka bebercak darah sehabis masuk rumah yang ada penghuni perempuan dan suara anak balita (and yes, they blow up the house after that). Atau ketika salah satu mereka bilang benci sekali sama kota ini. Aku lebih penasaran sama kenapa sikap mereka begitu ketimbang harus melihat lagi Hannah terkenang kejadian kebakaran hutan yang naas, ataupun Connor yang berperilaku sedikit lebih dewasa ketimbang usianya.

Sepertinya itu karena memang kekuatan naskah Sheridan masih kentara di balik keputusan kreatif lainnya. Kesubtilan naskah itu masih dapat kita rasakan, terutama ya pada kedua penjahat itu. Pada pihak yang jadi judul film ini; “Mereka yang ingin aku mati”. Mereka itu siapa? Tentunya ada kelompok yang lebih besar di balik dua pembunuh suruhan tersebut. Nah, naskah bermain cantik dengan hanya memberi tahu kita secara tersirat. Menggoda kita. Film menampakkan sedikit siapa dalangnya (diperankan oleh cameo Tyler Perry), tapi dengan bijak meninggalkan lebih banyak di dalam bayang-bayang. Ada serangkaian orang-orang berkuasa yang gak senang dengan kerjaan ayah Connor, dan itulah yang menyebar jadi masalah seperti api membakar hutan.

Sepercik kecil api mampu menghanguskan berhektar hutan. Ayah Connor sebagai forensic auditor mungkin dianggap memantik api tersebut, mengungkap banyak kasus, mungkin seperti korupsi, oleh orang-orang besar. Tapi sebenarnya yang dilakukan ayah Connor justru menyibak, mengingatkan bahwa ‘hutan’ itu memang sedang terbakar. Bahwa sedang ada masalah besar yang harus dihadapi. Ayah Connor melawan api dengan api.

 

dead41454350-9445619-image-m-36_1617806590435
Oke, api dan kebakaran memang cool untuk ditonton!

 

Kesubtilan problem dalam dunia cerita ini diseimbangkan dengan menampilkan visual yang benar-benar red hot sebagai puncaknya. Itulah saat ketika percikan-percikan kejadian akhirnya terhubung. Sheridan benar-benar menaruh kita dan karakternya di tengah kobaran api. Di momen inilah film mencapai titik tertingginya. Kebakarannya tampak beneran mengukung dan terkesan berbahaya. Adegan-adegan aksi seperti berantem di situ atau berlari dikejar api berhasil bikin kita menggigit jari dengan tegang. Angelina Jolie sebagai Hannah tampak nyaman sekali kembali ke ranah aksi, malah penampilannya di sini yang kerap menyadarkanku bahwa film ini sejatinya juga adalah sebuah laga survival.

Bahkan spektakel itupun terlambat untuk benar-benar menyelamatkan film. Tidak benar-benar ada sesuatu yang berisi di baliknya. Anak kecil yang nyawanya terancam, itu stake yang gampang sekali untuk dramatisasi. Film ini tidak berbuat banyak dalam menggali itu. Kejar-kejarannya jadi datar karena selain soal keselamatan nyawa, dan hubungan yang jadi makin akrab, tidak banyak perkembangan karakter yang diperlihatkan. Tidak banyak pertumbuhan yang personal. Dan lagi karena kita tidak benar-benar difokuskan kepada harus peduli ke siapa. Aku tidak berniat terdengar kasar atau terlihat terlalu menghina, tapi ya, pemandangan hutan yang terbakar lebih punya kedalaman ketimbang film ini secara keseluruhan.

 

 

Film ini bukan burung phoenix yang makin cantik setelah apinya padam. Film ini justru paling bagus saat kebakaran hutan dan konflik-konflik dari tiga pasang karakter itu bertemu dan ‘terbakar’ bersama. Setelahnya, film jadi datar karena kita tidak berhasil dibuat untuk peduli. Sepanjang perjalanan, cerita sibuk menjuggling kita dari satu pasangan karakter ke pasangan lainnya. Tidak tersisa banyak ruang dan waktu untuk pengembangan dan penggalian masing-masing. Melainkan hanya episode kejar-kejaran yang terlalu gampang untuk dituliskan. Karakter yang seharusnya jadi pusat cerita juga justru jadi kalah menarik. Ini definitely bukan karya terbaik dari Taylor Sheridan. Terasa subpar, malah jika dibandingkan dengan Sicario ataupun Hell or High Water. Naskah dan struktur bercerita perlu lebih banyak ditempa lagi supaya bisa benar-benar membentuk cetakan sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THOSE WHO WISH ME DEAD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa sebenarnya yang sudah terusik oleh ayah Connor? Bagaimana sekiranya laporan Connor ke media dapat menghentikan kasus tersebut?

Share  with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE EAST Review

“A guilty conscience needs to confess.”

 

Dari dulu aku penasaran gimana sih peristiwa penjajahan negara kita, yang katanya berlangsung selama 350 tahun, di mata ‘pelakunya’ alias orang-orang Belanda sendiri kini. Tentunya, bagi orang Belanda, peristiwa tersebut menjadi catatan sejarah yang gelap juga. Film The East (aslinya diberi judul De Oost) sempat dirundung kontroversi, sama seperti ketika ada yang berusaha bercerita tentang PKI atau sejarah kelam lainnya di sini. Tapi segera mereda karena memang The East hadir dengan tujuan mulia. Film ini muncul bukan sebagai pengorek luka yang kemudian berusaha menyembuhkannya dengan berbagai pembelaan. Melainkan hadir hampir seperti sebuah permintaan maaf. Dan seperti yang ditunjukkan oleh pilihan protagonis pada ending nanti, film ini sesungguhnya adalah sebuah pelampiasan dari rasa bersalah berkepanjangan, pelampiasan yang diniatkan sebagai perwakilan dari yang dirasakan oleh orang-orang Belanda selama ini.

Cerita yang disuguhkan mengambil sudut pandang karakter fiksi bernama Johan de Vries (diperankan oleh Martijn Lakemeier dengan tantangan range emosi yang cukup lebar oleh developmentnya). Karakter inilah yang nanti mengarungi berbagai peristiwa yang beneran tercatat dalam buku sejarah, bertemu dengan tokoh-tokoh beneran. Johan jadi tentara relawan yang dikirim ke kamp di Semarang. Kondisi daerah koloni Belanda tersebut memang sedang tidak stabil selepas konflik dengan Jepang. Ada pemberontakan dari penduduk lokal yang sudah siap untuk menggaungkan kemerdekaan. Misi Johan adalah melindungi tanah properti Belanda tersebut dengan berpura-pura menjadi pelindung bagi penduduk. Namun yang dilihat dan dirasakan Johan di sana membuat nuraninya konflik dengan tugas yang diberikan. Terlebih ketika Johan terpilih sebagai salah satu orang kepercayaan Raymond Westerling (Marwan Kenzari tampak berkarisma, sekaligus bikin ciut), komandan yang tadinya dielukan sebagai Ratu Adil.

east32780_135829_st_sd-high
Supaya gak spoiler, coba buka lagi buku sejarahmu dan lihat hal mengerikan apa yang dilakukan oleh Westerling di Makassar

 

Sutradara Jim Taihuttu memang adalah orang yang tepat untuk mengangkat tragedi ini menjadi cerita dengan perspektif yang berimbang. Karena bukan saja dia berkebangsaan Belanda, dia juga memiliki darah Maluku. Jadi dia bertapak di antara dua kubu. Ini membuat film The East sendiri jadi punya weight atau bobot. Aku tahu aku sudah berkali-kali nulisin soal ini – bahkan mungkin ada pada setiap review film perang; Bahwa cerita perang tidak pernah merupakan soal hitam-putih. Selalu ada dilema. Selalu ada pertentangan moral yang hebat. Bayangkan seseorang yang mau mengakui kesalahan, tapi dia melakukannya jadi terkesan setengah hati karena terlalu mencoba untuk membela diri, memperlihatkan kebimbangan moral dan resiko dan keharusan yang terpaksa dia ambil. Film The East tidak pernah tampil seperti orang yang sedang berusaha membela diri. Dan itulah yang membuat film ini nyaman untuk ditonton. Terutama bagi kita, descendants dari pihak terjajah yang ada di dalam cerita.

Film ini tidak pernah tampil seperti membenarkan tindakan Belanda, tidak pernah tampil dengan sikap seorang savior. Dia mempersembahkan apa adanya. Penjajahan bagaimanapun juga tidaklah berperikemanusiaan. Kita tidak bisa jadi pahlawan dengan menjajah orang di negara mereka sendiri. Keberimbangan itu tercapai berkat lapisan yang diberikan cerita kepada pihak satunya. Film ini pun tidak ragu untuk memperlihatkan Indonesia sebagai kelompok teroris, paling enggak beberapa kelompok yang bertentangan. Gambaran kacaunya situasi politik yang memecah-belah persaudaraan sendiri ditampilkan oleh film sebagai salah satu pendorong plot.

Tak pelak, karakter Johan memang dirancang sebagai perwakilan dari serdadu-serdadu Belanda, bahkan mungkin jutaan orang Belanda yang merasa bersalah. Plot atau Journey karakter ini menggambarkan semua proses penyadaraan yang mungkin mereka alami. Kita melihat Johan awalnya sebagaimana anak-anak muda yang udah gak sabar untuk melakukan sesuatu untuk negaranya. Johan, menjalin persahabatan dengan teman-teman di kamp, bangga menjadi prajurit. Interaksi mereka mungkin klise, seperti yang selalu ada pada film-film perang, tapi konteks cerita membuat kita memakluminya. Karena untuk beberapa bulan tidak ada perang. Jadi mereka tidak ‘menceritakan kisah hidup lalu mati’ seperti yang sudah-sudah. Ada pertanyaan yang menghantui benak mereka, terutama Johan mengenai sebenarnya apa yang mereka lalukan di situ. Pertanyaan itu yang lantas berkembang menjadi developmental bagi karakter Johan. Steps dari seseorang yang bangga ke yang merasa perlu ada di sana ke merasa harus menjadi penyelamat ke rasa bersalah yang mengubah dengan cepat (dalam sense penceritaan) mood karakter menjadi depresi dan kelam; inilah yang jadi medan penceritaan, dan film berhasil melakukan dengan benar dan menyentuh. Mainly karena berimbang itu tadi.

Nurani yang dirundung rasa bersalah butuh melakukan sebuah pengakuan.  Albert Camus bilang, pengakuan itu bisa dilakukan dalam bentuk seni. Film ini adalah salah satu bentuk seni yang dimaksud. Karena film ini berhasil menggambarkan pengakuan rasa bersalah yang dilakukan oleh Johan dengan cara kelam tersendiri.

 

Kamera tak luput merekam, menunjukkan dengan tepat seperti apa rasanya berada di daerah yang rawan konflik. Kita lihat Johan dijamu minum kelapa oleh anak kecil, dan beberapa menit kemudian film memperlihatkan kepada kita imaji mengerikan kepala manusia tertancap pada pancang. Perhatian yang tajam pada detil dramatis, serta historis seperti demikian membuat film ini terasa benar-benar memeluk kita. Mengukung kita ke dalam cerita kemanusiaan, sehingga tak bisa berpaling dari horor yang datang ketika kemanusiaan tersebut berada pada konflik.

Supaya terasa semakin otentik, film benar-benar turun suting ke Indonesia. Menggunakan bahasa dan (berjuang dengan) dialeg Indonesia. Beberapa aktor Indonesia seperti Lukman Sardi, Yayu Unru, Putri Ayudya juga turut menyumbangkan permainan peran. Kalian bisa sedikit bersenang-senang menantikan penampilan mereka. Kolaborasi studio Belanda dan Indonesia demi mewujudkan film ini secara tak-langsung tentu saja menambah bobot kepada apa yang ingin disampaikan dalam cerita. Bagaimana mampu mengenali persahabatan di dalam perang bisa jadi adalah hal yang diperlukan untuk menghentikan perang tersebut.

eastin-productie-de-oost-2
Kenapa tentara Belanda begitu benci ama monyet?

 

Dengan cerita yang sudah detil dan karakter yang berlapis, yang harus dipikirkan oleh film ini kemudian tentu saja adalah cara menceritakannya. Unfortunately, film ini memilih menggunakan flashback. Jadi actually periode cerita terbagi ke dalam dua bagian, Johan masih serdadu di Semarang (ditampilkan lewat warna-warna yang lebih natural) dengan Johan yang sudah kembali ke negaranya – terbebani oleh rasa bersalah yang ia dapatkan sebagai oleh-oleh (ditampilkan lewat warna monokrom entah itu biru atau abu). Dua periode ini disebar saling berganti sepanjang durasi film. Perpindahan antara dua periode inilah yang seringkali membuat kita terlepas dari cengkeraman cerita. Film tidak berhasil menemukan, atau mungkin lebih tepatnya merancang, momen perpindahan yang benar-benar selaras. Periode Johan depresi sebenarnya penting karena membahas satu lapisan lagi dari karakternya, yakni soal hubungannya dengan ayah yang ex-nazi. Relasi ini adalah kunci yang membentuk sudut pandang Johan yang sebagian besar kita lihat.

Tapi dengan memperlihatkannya berpindah-pindah, film jadi kehilangan ritme cerita. Bobot ke ayahnya itu tidak terasa sekuat yang diincar. Belum lagi, karena adegan-adegan Johan di Semarang jelas lebih menarik daripada saat dia kembali ke Belanda. Sehingga secara natural kita yang nonton akan lebih peduli dengan adegan di daerah konflik, pingin cerita cepat-cepat balik ke sana lagi. Film jadinya kehilangan keseimbangan dari segi penceritaan. Tingkat dramatis yang diincarpun jadinya gagal tercapai. Terutama karena di babak ketiga, ketika setting pindah ke Makassar saat Johan sudah jadi pasukan Westerling, cerita jadi seperti melompat dan seperti ada pengembangan yang ketinggalan. Karakter yang berubah mendadak, tidak lagi terflesh-out perlahan seperti di awal.

Mestinya film diceritakan dengan linear saja. Dimulai dari dikirim ke Semarang, di kamp, terus jadi pasukan Westerling, dan kembali ke Belanda untuk penyelesaian. Resikonya paling cuma membuat film terasa seperti terbagi jadi dua episode. Tapi setidaknya emosi yang diincar akan bisa terhampar dengan lebih runut. I mean, Full Metal Jacket (1987) aja dibuat Kubrick dengan linear, menempuh resiko tersebut; filmnya terasa seperti episode pelatihan dan episode medan perang. Tapi kita tidak terlepas dari development dan emosi dan bobot cerita. The East ini punya potensi, paling tidak, bisa seperti saga seorang tentara yang disturbing. Formula dan bahan-bahannya sudah benar. Cetakannya saja yang perlu diperbaiki.

 

 

Tak berlindung di balik fiksi, film ini berani tampil membahas sudut pandang yang tak banyak mau dieksplorasi. Tentang Belanda di jaman kolonial Indonesia. Tentang pihak yang menjajah. Dan film ini menampilkannya dengan imbang. Tak ada agenda glorifikasi atau pembelaan diri. Film ini pure memperlihatkan sisi kemanusiaan yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat. Sebagai film perang, however, film ini mengikuti formula dengan baik. Kita bisa bilang klise, tapi masih unik berkat sudut pandang. Pada penceritaannya-lah film ini ‘kena tembak’. Alur flashback yang dipakai actually menghambat kita dalam mengikuti dan tidak banyak membantu untuk filmnya sendiri. Tapi yang perlu ditekankan sedikit lagi adalah, keberanian film ini mengangkat isu. Sehingga mungkin film ini break something new di perfilman Belanda; mungkin perbandingannya seperti kalo ada sineas sini yang berani bikin film tentang PKI.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE EAST.

 

 

That’s all we have for now.

Jika film ini dianggap sebagai surat permintaan maaf dan penyesalan dari Belanda, apakah menurut kalian yang dilakukan film ini untuk itu sudah cukup?

Share  with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE VIGIL Review

“Guilt can hold you back from growing”

 

Dalam agama Yahudi ada suatu praktek atau ritual kematian yang disebut dengan Shemira. Ketika seseorang meninggal dunia, mayatnya harus dijaga pada malam hari oleh keluarga ataupun orang terkasih si mendiang, hingga dimakamkan pada esok pagi. Jika tidak ada keluarga atau sanak terdekat, maka bisa digantikan oleh orang lain yang (berani!) disewa untuk duduk bersama mayat tersebut. Sang penjaga wajib untuk terus membaca kitab selama berjaga. Poin dari ritual ini adalah untuk membimbing arwah sang mayat ke jalan yang benar, sekaligus melindunginya dari roh dan setan-setan jahat. Nah, kali lain kalian mengutuk pekerjaan kalian yang melelahkan, berat, atau bayarannya kecil, ingatlah akan apa yang harus dilalui Yakov dalam The Vigil ini demi mendapatkan uang saku.

Yakov menerima tawaran jadi shomer untuk jenazah seorang pria tua. Kondisi istri pria tersebut sudah tidak memungkinkan untuk berjaga. Si ibu menderita dementia dan sering berceloteh soal hal-hal mengerikan seputar suaminya. Awalnya Yakov tak begitu ambil pusing, toh bukan pertama kali ini dia menjaga mayat. Namun ternyata memang ada sesuatu yang mengerikan pada kematian pria tersebut. Malam itu, Yakov mulai dihantui; mendengar suara, melihat hal-hal ganjil, hingga dia mengalami kembali peristiwa naas di masa lalunya. Semua itu adalah perbuatan dari setan bernama Mazzik, yang berpindah ke Yakov dari sang mendiang. Yakov pun harus berusaha membebaskan diri, meski itu berarti dia harus berkonfrontasi dengan duka dan sesal yang selama ini menghimpit jiwanya.

So yea, film garapan Keith Thomas ini mungkin terdengar sedikit mirip ama Jaga Pocong (2018), tapi ini jelas-jelas adalah cerita versi jewish yang lebih kental kultur dan yang dibuat dengan jauh lebih berbobot pula!

“Kalo udah gak kuat, saya harus melambaikan tangan ke arah mana?”

 

Tantangan menggarap horor dalam lingkungan sempit – cerita ini basically berlangsung di satu tempat, dalam satu kurun waktu yang juga sempit dan tertutup – adalah bagaimana mengembangkan kejadiannya dengan tampak natural. Enggak kayak dipanjang-panjangin, ataupun seperti episodik. Harus juga bisa tampil tidak monoton. Singkatnya, tantangannya adalah harus bisa mengembangkan suspens. Biasanya, film-film horor yang mengincar pasar mainstream akan main aman dengan mengisi cerita tersebut dengan berbagai jumpscare dan permainan kamera yang terus menerus membuat kita penontonnya berada dalam situasi kaget-bersiap-kaget.

Bagi The Vigil yang merupakan horor indie, tanpa backingan studio gede di belakangnya, restriksi bukan hanya terletak pada cerita. Bukan hanya terletak pada set lokasi dan waktu. Melainkan juga pada biaya. Budget film ini gak gede. Namun, Keith Thomas gak lantas menyerah dan ikut-ikutan mengandalkan kepada jumpscare. Thomas berusaha mengarahkan film ini bukan ke horor ala wahana rumah hantu, melainkan lebih ke horor yang benar-benar situasi dan psikologi. Untuk membuat situasi yang mencekam, Thomas menyuruh sinematografernya bermain-main dengan cahaya. Film ini mengandalkan bayangan untuk membuat kita merasakan merinding yang dialami oleh Yakov protagonisnya. Ada sesuatu di belakang sana, di dalam kegelapan, dan film tidak keburu napsu untuk membuat kita kaget dan melepaskan suspens dan tensi. Eksplorasi ruang-ruang rumah juga dilakukan dengan perlahan. Thomas memberikan ruang supaya terasa seperti progres yang natural. Di dalam setiap ruangan yang Yakov datangi, akan ada pelajaran atau development baru yang kita turut pelajari. Film memainkannya dengan cerdas sehingga tidak terasa seperti maksa. Penggunaan teknologi seperti percakapan telepon ataupun facetime internet merupakan bentuk geliat film ini untuk terus menggali elemen-elemen seram sekaligus karakter dan ceritanya. Film ini berhasil memperlihatkan ‘keharusan’ Yakov berada di rumah tersebut. Jadi saat nonton ini kita pun tidak sibuk emosi nyuruh karakternya kabur. Kita ikut merasakan setiap gerakan dan pilihan bersama karakternya.

Ketika harus menampilkan sosok Mazzik yang seram itu pun, film berkelit dengan trik penempatan dan distorsi-distorsi lensa. Sehingga kesan sureal berupa semua kejadian itu nyata-atau-di-dalam-kepala yang diincar oleh naskah dapat dengan konsisten hadir. Karena, ya, tidak seperti Jaga Pocong yang benar-benar literal dukun dan manusia yang menjaga mayat yang jadi hantu, film The Vigil ini menggali lapisan psikologis di balik elemen supranaturalnya. Ada sesuatu yang lebih dalam pada karakter Yakov yang harus menjaga mayat. Ada makna dan simbol pada makhluk demit bernama Mazzik itu.

Duka, sesal, dan rasa bersalah dapat melakukan dua hal kepada kita. Entah itu, membuat kita tidak bisa maju dan bertumbuh karena selalu melihat ke belakang, atau dapat menunjukkan kepada kita apa yang dibutuhkan untuk menjadi lebih baik. Yakov penuh akan tiga hal itu, makanya dia jadi sasaran Mazzik. Yang merupakan duka, sesal, dan rasa bersalah yang bercampur menjadi hantu, menempel kepada orang, dan greatly menghambat hidup mereka. Perjuangan Yakov dealing with Mazzik sesungguhnya adalah perjuangan personalnya dalam menerima dan merespon negatif di dalam hatinya. 

 

Penulisan Yakov menjadikannya karakter yang sangat menarik, terutama untuk cerita horor. Pertama, naskah mencipta konflik dari pekerjaannya sebagai shomer dengan keyakinan Yakov terhadap agamanya. Yakov, saat pertama kita jumpa dirinya, berada pada titik dia mulai meninggalkan agamanya. Dia Yahudi, tapi tak lagi berpenampilan seperti Yahudi ortodoks seperti kerabatnya. Jadi, instantly, karakter ini menarik minat kita. Membuat kita bertanya, kenapa dia seperti itu. Alasan kenapa dia mulai tak percaya agamanya itulah yang perlahan dibuka oleh film, menciptakan lapisan-lapisan baru karakter tersebut. Mungkin ada tema soal iman di sini. Mungkin Yakov diganggu karena dia mengerjakan tuntunan agama selagi dia mulai meninggalkan agama tersebut.

Kemunculan Mazzik meningkatkan volume keseraman film ini. Bukan hanya karena tampangnya nyeremin ataupun karena film ini sukses berat membangun adegan-adegan gelap yang seram, tapi juga karena Mazzik menjadi kunci apa yang dirasakan oleh Yakov. Semua itu berhubungan dengan jawaban atas pertanyaan kenapa Yakov meninggalkan agamanya tadi. Peristiwa naas yang menjadi sumber derita itulah yang mengerikan, bagaimana peristiwa tersebut membentuk Yakov. Mempersulit hidupnya. Film bijak sekali memperlihatkan bagaimana Yakov berusaha bergaul. Ada diperlihatkan Yakov ditaksir cewek, dan dia enggak bisa bertingkah layaknya cowok gugup yang normal. Ada sesuatu yang off dari dirinya. Sebagai Yakov, cerita ini sesungguhnya adalah one-man show untuk Dave Davis, dan dia berhasil nailed every range of Yakov’s emotions.

Kita tidak bisa tak-peduli sama orang yang krisis iman dan krisis kepercayaan diri sekaligus

 

Lawan main Davis memang tidak banyak diberikan ruang dalam durasi satu-setengah jam ini. Karakter-karakter pendukung itu ada yang cuma muncul di awal ama di akhir saja, atau hanya muncul di layar video atau lewat sambungan telepon. Padahal ada Lynn Cohen juga bermain di sini, sebagai istri dari mendiang yang dijaga Yakov. Perannya terbatas pada tampil creepy (kayak orang-orang tua pada film horor kebanyakan) sambil sesekali ngelempar eksposisi untuk membantu kita menyusun misteri. Tapinya lagi, kalo aktor senior seperti Cohen yang nyebutin, eksposisi itu tak pernah jadi flat out membosankan, begitupun juga dengan ke-creepy-an yang gak lantas jadi over-the-top. Dari segi penampilan, film ini masih enjoyable buat semua kalangan. Meskipun memang, secara horornya sendiri, film ini bisa jadi agak segmented.

Penonton yang mengharapkan ini bakal kayak horor mainstream, bakal menganggap film ini biasa aja atau malah cenderung membosankan. Karena itu tadi, minim jumpscare dan pengembangan yang lambat. Endingnya pun gak ada kelok-kelokan, tidak ada gantung-menggantung. Ini adalah jenis film yang ketika habis ya benar-benar habis. Hanya dengan sedikit pemancing pembicaraan kita di akhir. Karena kalo dilihat dari permukaan luar saja, film ini memang akan menghasilkan reaksi “cuma itu?”. Padahal film ini sesungguhnya mengajak kita menyelam ke apa yang dirasakan oleh karakternya, Bukan hanya menyelam lewat visual, tapi juga ke perasaan horor tersebut. Hanya ketika rasa itu konek ke kita, maka film ini baru bekerja. Baru bisa terasa amat menyeramkan.

 

 

Punya tawaran lebih banyak dan lebih dalam daripada sekadar horor tentang orang yang menjaga mayat. Dari identitas saja film ini sudah punya keunikan, karena membahas dari sudut pandang yang jarang dieksplorasi. Lalu, muatan ceritanya pun mengemas soal iman/agama, soal perilaku kebencian terhadap golongan tertentu, soal tanggungjawab kepada keluarga dalam sajian horor yang limited. Maksudnya, terbatas lokasi, waktu, dan budget. Keterbatasan tersebut menghasilkan geliat-geliat kreasi dan penceritaan yang pada akhirnya menjadi kekuatan utama horor ini. Permainan cahaya, build-up suspens, jalin cerita – punya sedikit resources tapi bisa menghasilkan sewah ini. Maka, gak heran kalo film ini bakal jadi salah satu inspirasi bagi filmmaker muda ke depannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE VIGIL.

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah di ending itu Yakov sudah benar-benar terbebas dari Mazzik?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE MITCHELLS VS. THE MACHINES Review

“A father must lead his children; but first he must learn to follow.”

 

Cita-cita setiap remaja di seluruh dunia sebenarnya sama; pengen orangtua mendukung cita-cita mereka. Entah itu mau jadi pemusik, atlet, seniman. Pembuat film. Konten Kreator. Atau bahkan Youtuber. Buat kalian yang menyipitkan mata mendengar konten kreator sebagai cita-cita? See, inilah yang exactly dibahas oleh film The Mitchells vs. The Machines. Orangtua, sebagian besar, tidak mengerti pentingnya ‘cita-cita’ tersebut bagi anak mereka. Atau bahkan gak ngerti gimana ‘cita-cita’ tersebut termasuk sebagai kerjaan-asli. Animasi keluarga garapan Michael Rianda dan Jeff Rowe ini mengeksplorasi langsung ke inti permasalahan tersebut, yakni generation gap. Jurang antara anak dengan orangtua, yang terbentuk salah satunya oleh perkembangan teknologi. Rianda dan Rowe menceritakan persoalan itu lewat potret keluarga Mitchell yang aneh dan kocak. Dengan efektif ngeset tone dan menciptakan desain (cerita dan visual) sehingga cerita yang mereka angkat ini tidak pernah terasa seperti nasehat yang menggurui, melainkan literally sebuah perjalanan yang fun, seru, dan penuh warna. Petualangan yang relate sekali dengan identitas, dan juga selera remaja kekinian, beserta keluarganya sekalian!

Katie Mitchell udah gak sabar masuk kuliah. Bukan saja karena dia bakal bisa terus mengasah kemampuan membuat-filmnya, tapi juga karena akhirnya dia bakal berada di lingkungan yang benar-benar mengapreasiasi bakat dan hobinya tersebut. Di rumah, yang mau nonton film-film konyol buatannya cuma adik dan ibu. Sementara ayahnya, cuek. Gak ngerti ama film Katie. Khawatir, malah, sama pilihan Katie. Padahal dulu Katie ama ayahnya deket banget. Kini mereka seperti ada jarak. Gak nyambung, apalagi kalo udah ngomongin film dan tetek bengek teknologi. Makanya, untuk menghabiskan waktu bersama-sama lagi, Ayah memutuskan untuk mengantar Katie ke kampus. Naik mobil sekeluarga. Namun, saat keluarga Mitchell itu lagi seru-serunya bonding on the road, dunia diambil alih oleh A.I. di smartphone yang dendam sama perlakuan manusia terhadap teknologi. A.I. itu memerintahkan pasukan robot untuk menangkapi semua orang. Sampai hanya keluarga Mitchell-lah yang tersisa untuk menyelamatkan dunia.

mitchellscon_cld110.1170_lm_v1-1280
Tanyalah ke hatimu yang paling dalam, maukah kalian mempercayakan dunia kepada mereka?

 

Memang sih, cerita tentang hubungan anak dan orangtua yang merenggang, kemudian mereka berusaha untuk saling dekat kembali ini udah sering kita temukan bersemayam dalam film-film, apalagi untuk keluarga. Yang bikin The Mitchells vs. the Machines adalah karakterisasi yang mencerminkan gaya komedinya itu sendiri. Film ini punya selera humor yang quirky abis. Dan itu tercermin ke dalam pembentukan karakter-karakternya.

Karakter-karakter cerita itulah yang ultimately menjadi kekuatan film ini. Membuat kita gak capek dan terus mau peduli sama rintangan-rintangan yang mereka hadapi. Entah itu rintangan dari dalam, ataupun dari robot-robot. Katie (Abbi Jacobson menghidupkan karakter remaja awkward ini dengan penuh konfiden sehingga gak klise) adalah remaja cewek yang sangat kreatif, hobinya bikin video – actually video seriesnya di Youtube sukses menjadi viral – menggunakan properti bikinan sendiri seperti sarung tangan dan boneka dan sebagainya. Katie menjadikan anjing keluarga mereka, si Monchi, sebagai bintang. Si Monchi itu sendiri gak kalah unik. Dia anjing jenis pug yang matanya kaga sinkron, penampilan konyolnya ini nanti jadi running gag dan malah jadi salah satu kunci keberhasilan mereka mengalahkan pasukan robot. Ayah Katie, Rick (Danny McBride berhasil menjadi seorang ayah yang seimbang antara kocak dengan menyentuh) bener-bener seseorang yang gaptek, tapi dia bukan tipe boomer yang sok bener. Melainkan seorang ayah yang baik, yang mau berjuang demi keluarga yang ia sayangi, meskipun seringkali dengan caranya sendiri. Rick adalah satu-satunya ayah yang kutahu menghadiahi obeng kepada semua anggota keluarganya haha…  Rick berjuang menggunakan komputer dan teknologi juga jadi running gag yang gak pernah bosenin. Ibu dan adik Katie jatohnya lebih seperti karakter pendukung yang lebih minor. Tapi mereka juga punya keunikan, dan masalah, tersendiri. Ibu Katie pengen keluarga mereka tampil perfecto seperti tetangga sebelah. Dan si adik punya ‘penyakit’ nerd akut sama yang namanya dinosaurus. Mereka berperan besar membuat cerita terus bergulir dengan cara fun dan di-luar-perkiraan.

Namun sebenarnya yang membuat film ini terasa sangat unik, seperti film spesial sendiri, adalah lapisan yang membungkus drama keluarga yang harus belajar saling mengerti tersebut. Lapisan soal bagaimana manusia sudah menjadi begitu bergantung kepada teknologi. Kepada handphone. Kepada internet. Adegan paling ngakak buatku adalah ketika A.I. smartphone yang jadi antagonis (bayangkan Siri atau Alexa yang jadi jahat dan bergerak sendiri) mematikan wi-fi dan seluruh dunia langsung geger. Reaksi para manusia yang tiba-tiba terdiskonek dari internet yang udah jadi gaya hidup sehari-hari digambarkan dengan sangat kocak. Para manusia itu dengan mudah ditangkapi karena terjebak oleh tanda ‘wifi gratis’ hihihi.

Hebatnya, film ini menampilkan elemen cerita tersebut dengan berimbang. Para robot dan teknologi tidak ditampilkan semena-mena jahat. Film ini tidak berniat untuk memaksakan bahwa teknologi itu jahat, telah memisahkan orangtua dan anak, dan betapa manusia akan hidup lebih baik tanpanya. Tidak. Melainkan, film memperlihatkan dari dua sisi. Hidup dengan teknologi juga dipersembahkan sebagai hal positif dan unggul. Bukan salah teknologinya. Salah kita yang kurang bijak memanfaatkannya. Permasalah gap yang bikin renggang Katie dan ayahnya kan juga ditulis paralel dengan ini. Ayah Katie tidak pernah sekalipun menyalahkan teknologi. Malahan dia berusaha untuk mengenali teknologi. Berusaha menonton apa yang Katie bikin, dan berusaha mengerti apa arti kreasi tersebut bagi hidup putrinya.

Menjadi ayah yang baik ternyata sama dengan menjadi pengguna teknologi yang baik, Harus mau dan bisa belajar mengikuti. Sembari paham bahwa dirinya lah yang memegang kendali. Kita tidak boleh membiarkan diri terlena dalam menggunakan teknologi. Begitu juga ayah kepada anak-anaknya. Anak-anak itu berkembang. Ayah harus bisa untuk mengikuti perkembangan tersebut, aware sama masa depan anaknya. Itulah sebabnya kenapa ayah juga harus kuat. Karena ia harus melakukan semua itu sambil terus mengingat masa kecil anak-anaknya.

 

mitchells-vs-the-machines-monchi-1618568457
Kalo lagi puasa memang anjing ini diliat-liat mirip roti sih haha

 

Karakter unik, elemen cerita berlapis, dua hal tersebut menjadikan film ini keren dan kocak banget. Tapi, bahkan di samping itu semua, ada satu lagi yang istimewa. Hal yang jadi kekuatan utama film ini. Fondasi yang menjadi nyawa bagi film ini. Visualnya. Serius, ketika kita bicara tentang film animasi, hal pertama yang menjadi perhatian kita; hal pertama yang membedakan film tersebut dengan film lain adalah tampilan. Gaya gambar. Desain dan kreasi. Film ini juara. The Mitchells vs. the Machine diproduksi oleh Phil Lord dan Christopher Mille, yang sebelum ini memproduksi animasi Spider-Man: Into the Spiderverse (2018), animasi yang memorable lewat gaya visualnya (menang Oscar animasi terbaik!!). Pengaruh kreatif film tersebut lantas diturunkan ke The Mitchells vs. the Machines ini. Kelembutan animasi komputer dipadukan dengan shade-shade kayak buatan tangan, membuatnya gambar-gambar itu bukan saja menjadi semakin mulus dan hidup, tapi juga sekaligus pop up di layar.

Jika pada film Spiderverse itu animasinya menggunakan gaya ala komik dan grafiti alias seni jalanan, maka di film kali ini visual yang digunakan, dibuat dengan referensi kultur internet. Filter sosial media, Youtube, dan sebagainya. Membuat film ini semakin dekat dengan remaja yang ingin mereka representasikan. Leluconnya diinkorporasikan ke dalam bentuk visual, ke dalam gaya yang membuat film ini seperti dibuat oleh remaja seperti Katie yang sedang main sosial media. Dan itu memang jadi nilai plus yang dilakukan oleh film ini. Memang ada dua jenis gaya animasi yang dilakukan. Pertama, animasi dunia-nyata Katie. Dan kedua, animasi ketika film harus menampilkan video atau film viral kreasi Katie. Kedua gaya ini punya pembeda masing-masing. Namun seiring berjalannya cerita, ada masa ketika keduanya bercampur, dan film berhasil menghandlenya dengan seimbang.

Gaya dan lelucon yang katakanlah ‘kekinian’ itu kadang memang bisa terasa sedikit terlalu berlebihan. Ada resiko bakal membuat film ini kehilangan bobotnya. Film Pixar, sebagai perbandingan, menangani cerita seperti begini biasanya dengan memasukkan momen-momen slow. Untuk membiarkan kita mengambil napas dan mengapresiasi pesan cerita dengan lebih khusyuk. The Mitchells vs. the Machines enggak punya momen seperti demikian. Pacingnya superkencang. Membawa kita melaju melihat drama, filter, dan lelucon-lelucon lain. Tapi juga, tidak sekalipun film ini terasa kehilangan bobot. Seluruh desain tersebut (pacing dan visual dan lelucon) dilakukan sesuai dengan konteks yang sudah diniatkan. Untuk menimbulkan kesan yang hingar bingar. Dan film ini perlu kesan tersebut mengingat elemen ceritanya saja suda sedemikian ‘tabrakan’; hubungan ayah-anak dan ketergantung teknologi itu udah kayak dua cerita berbeda, belum lagi elemen road-trip dan petualangan pertempuran. Film ini sudah punya bobot emosional di dalam cerita. Dia hanya butuh perekat. Dan gaya desainnya itulah yang merekatkan. Kekinian dan segala macam itu tak lagi jadi supaya relate saja (dan nanti akan kemakan usia), tapi sudah menajdi seperti karakter tersendiri.

 

Film ini sebenarnya bisa saja mencukupkan dirinya menjadi animasi hura-hura yang bermain dalam budaya internet kekinian. Umur film ini bisa saja jadi sangat singkat. Bakalan outdated seiring munculnya budaya/tren baru. Tapi cerita yang dikandungnya ternyata terlalu penting dan terlalu beresonansi. Baik untuk remaja sekarang, maupun remaja jaman dulu (alias yang udah jadi orangtua). Kalo ada jembatan yang menghubungkan antargenerasi, maka film ini adalah bagian dari jembatan tersebut. Kocak, pintar, self-aware, dan menyentuh emosi dalam gayanya yang quirky. Desainnya lah yang jadi kekuatan utama. Menjadikan film ini tidak hanya sekadar rentetan referensi demi referensi internet. Melainkan jadi karakter tersendiri. Ini adalah tontonan spesial, yang tentu saja layak disaksikan bersama orang-orang terspesial di hidup kita. Keluarga.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE MITCHELLS VS. THE MACHINES.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah benar teknologi membuat hubungan di dalam keluarga menjadi renggang?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

JAKOB’S WIFE Review

“It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages”

 

 

Menurut kalian horor yang bagus itu yang gimana sih? Jawaban yang kerap aku dengar setiap kali ngajuin pertanyaan itu adalah yang hantunya serem, atau yang pembunuhnya jahat, lagi sadis. Tentu saja, yang pasti, horor yang bagus itu adalah yang bisa bikin kita ngeri.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana membuat kita merasa ngeri tersebut. Tidak bisa dengan hanya menampilkan hantu atau zombie atau psycho-killer. Mereka sebenarnya cuma bikin kaget. Ngeri itu datang dari kedekatan drama yang menjadi situasi pada cerita. Ya, drama. Horor yang bagus seringkali adalah horor yang berhasil membumbui drama yang relate terhadap banyak penonton dengan elemen horor semacam hantu, monster, dan kawan-kawannya.

Sutradara Travis Stevens mencoba untuk membuat Jakob’s Wife sebagai horor yang bagus. Di sini, dia meletakkan elemen vampir penghisap darah  ke dalam permasalahan suami-istri yang telah menikah demikian lama tanpa pernah merasakan compassion dalam berumah tangga.

Jadi menurut kalian pernikahan yang bagus itu yang gimana sih? Yang langgeng? Yang suami-istrinya gak pernah berantem? Pasalnya, Anne sudah tiga-puluh tahun menikah dengan Jakob, seorang pendeta terkemuka di kota mereka. Mereka gak pernah ribut, tapi tetap saja Anne merasa hidupnya menyedihkan. Hampa. Dia hanya duduk di sana, setia mendampingi suaminya. ‘Istri Jakob’, itulah identitasnya selama ini. Sampai akhirnya peristiwa mengerikan itu menimpanya. Anne digigit vampir. Perempuan itu merasa ada sesuatu yang bangkit di dalam dirinya. Dia merasa lebih hidup seiring perubahan yang terjadi di dirinya dan korban-korban berjatuhan di sekililingnya. Dan sekarang, pernikahannya yang menjemukan mungkin bisa berubah menjadi lebih sehat.

Jakobs-Wife-Trailer
Sekarang dia bisa dikenal sebagai si Vampir Tikus

 

Jakob’s Wife ini baru proyek film panjang kedua bagi Stevens. Film pertamanya tayang tahun lalu, dan juga telah kureview, berjudul Girl on the Third Floor (2020). Horor juga, dan aku suka meskipun film tersebut agak ‘segmented’. Alias agak susah dicerna oleh selera pasar. Sedari film tersebut, Stevens sudah mulai ngebuild up kelincahannya bergelut dengan budget yang gak banyak-banyak amat. Girl on the Third Floor berisi banyak praktikal efek untuk menghidupkan rumah yang seperti tubuh-hidup sendiri, mengeluarkan banyak cairan dan hal-hal bikin gak enak lainnya. Majukan satu tahun ke depan, Stevens ternyata masih cakap dalam bermain efek-efek seperti demikian. Jakob’s Wife juga meriah oleh efek-efek (kali ini lebih ke arah gory ketimbang nasty) yang membuat horor ala kelas B ini menjadi semakin grounded seramnya. Kita akan melihat vampir dengan mata merah berdarah-darah, kita akan melihat vampir yang meminum darah langsung dari leher korban yang kepalanya terbelah. Kita akan melihat luka-luka seperti gigitan di leher yang masih berdenyut, mulut yang menghitam terbakar sinar ultraviolet. Penonton yang punya perut sedikit lebih tebal, akan mengapresiasi film ini dengan nilai lebih. Untuk penonton yang perutnya ‘normal’, film ini masih punya hal lain yang bisa diapresiasi. Khususnya di bagian kedalaman dan bobot cerita.

Dua dari dua film horor Travis Stevens ini sebenarnya punya agenda kekinian. Filmnya yang pertama tadi membahas masalah toxic masculinity dari sudut pandang seorang pria. Sementara, filmnya yang kedua ini menilik soal perempuan yang identitasnya ditentukan oleh pria yang menjadi pasangannya. Sebagai manusia, Anne hanyalah istri seorang Jakob. Sedangkan saat sudah jadi vampir pun, dirinya menjawab kepada Master yang mengendalikan. Tidak sekalipun pada kedua film tersebut, Stevens bersikap terlalu mengagungkan agenda-agenda tersebut. Dalam film Jakob’s Wife ini, ya Anne si perempuan terkukung dalam relasi yang gak sehat. Zona nyaman yang dituntutkan baginya adalah sebagai pendamping pasif sang suami. Suami yang bahkan enggak pernah mendengarkan opini dirinya sampai selesai. Anne selalu disela dan dikecilkan. Suami yang kata Anne bahkan tidak pernah berjuang untuk dirinya. Namun film ini menggali dengan seimbang. Kita juga diperlihatkan seperti apa bagi suami yang pendeta tersebut.

Jika biasanya cerita seperti ini akan berakhir dengan pihak yang ‘bersalah’ akan kalah dan dihilangkan. Diberi ganjaran. Solusi tergampangnya tentu saja adalah dengan menunjukkan perempuan tidak perlu lelaki. Maka tidak ada jalan gampang yang diberikan oleh film ini. Baik Anne maupun Jakob, mereka tampak mau berjuang demi pernikahan mereka. Kita dapat melihat bahwa mereka sebenarnya memang saling cinta. Dan mereka memang berusaha untuk memperbaiki apa yang salah. Pada hubungan Anne dan Jakob inilah film mencapai kedalaman yang membuat ceritanya worthy untuk kita saksikan dan kita pedulikan.

Kebebasan seorang perempuan diperlihatkan cukup dengan perubahan sikapnya terhadap transformasi yang terjadi. Melihat Anne mengubah penampilan (bukan untuk gaya-gayaan melainkan untuk menutupi luka gigitan dan sebagainya), memindahkan sofa dan perabotan berat di ruang tamu rumahnya sesuka hati, berusaha berkompromi dengan nafsu laparnya terhadap darah; Melihat Anne menyukai dirinya yang sekarang, lebih terasa ketimbang harus melihat dia menaklukan orang-orang yang selama ini mengecilkannya. Anne tidak pernah bersikap seperti korban. Dan sikapnya ini mendorong Jakob untuk ‘bertransformasi’ juga. Pria itu kini harus belajar untuk mempercayai perempuan, untuk menganggap sosoknya sebagai seorang yang sejajar. Tipe kompromi ini jelas lebih kuat daripada kompromi protagonis dengan antagonis di I Care a Lot (2021) yang terasa dipaksakan, karena tidak ada dasar kemanusiaan yang relate di sana. Anne dan Jakob punya cinta, sehingga kita bisa paham darimana konflik dan aksi mereka berasal.

Rumah tangga Anne dan Jakob adalah salah satu bentuk dari rumah tangga yang abusif. Meskipun tidak dengan kekerasan, tapi nyatanya it sucked the life outta them, terutama Anne. Sesungguhnya ini adalah komentar untuk rumah tangga serupa di luar sana. Film ini ingin mengingatkan bahwa penyebabnya bukan karena tidak ada cinta. Melainkan masing-masing perlu untuk merasakan kembali sebagai teman, bahkan mungkin bisa juga sebagai lawan.

 

Untuk menghidupkan relasi utama yang menjadi poros film ini, Stevens mempercayakan Anne dan Jakob kepada dua aktor ikon horor 80-90an; Larry Fessenden dan Barbara Crampton (Barbara juga merupakan salah satu produser film ini). Dua aktor yang sudah berpengalaman di genre ini, dikawinkan naskah yang subtil dan karakter yang tidak satu-dimensi; now that is the perfect marriage untuk sebuah sinema! Mereka beneran terlihat sebagai pasangan tua yang udah mulai gerah hingga ke ubun-ubun, dan mencoba hidup rutin sebiasa mungkin. Tapi efeknya terasa ketika kita melihat mereka dalam ruang pribadi masing-masing. Barbara menghapus lipstik yang baru saja dikenakan oleh Anne karakternya. Larry yang ngasih ceramah soal menyayangi istri tapi tidak sekalipun melirik ke istrinya di barisan depan. Dan ketika mereka actually berinteraksi, dalam ‘setting’ yang udah berbeda, maaan interaksi dan chemistry Barbara dan Larry ini adalah kunci. They played off each other so good.  Mereka bisa tampak vulnerable, bisa tampak intens (ngomongin masalah rumah tangga dan vampir tentu tak bisa tanpa melibatkan hubungan badan yang hot), dan malah juga bisa lucu.

jakobcm-punk-wwe-1000x600
CM Punk muncul sebagai surprise entra.. eh salah, surprise cast

 

Naskah film memang bermain di garis komedi selain di garis dramatis. Selera komedi film ini boleh dibilang cukup lucu juga. Demi membuild up nafsu, sekaligus transformasi Anne, misalnya. Film menggunakan banyak shot gigi. Entah itu karakter yang lagi gosok gigi, ataupun saat mengunyah makanan. Dialog-dialog lucu juga digunakan, seringnya untuk mengomentari persoalan perempuan  yang didominasi atau di bawah power laki-laki. Aku ngakak ketika mendengar Anne kesel telah dipersalahkan oleh Jakob. Anne jadi korban diubah jadi vampir, namun tetap dia juga yang dipersalahkan karena itu. Komentar-komentar dalam film ini menyerang seperti demikian. Tidak terasa annoying, melainkan sangat cerdas.

Meskipun memang, komedi-komedi itu membuat film menjadi kurang imbang, secara tone. Ada adegan yang kesannya seram sekali, yang kesannya sangat serius, namun kemudian momentum itu terasa seperti sirna dengan adegan yang ‘nyeletuk’ seperti komedi tadi. Konsekuensi yang datang menyusul beberapa tindakan karakter juga seperti lenyap begitu saja ketika film menjadikan penyambungnya berupa komedi. Film ini belum sepenuhnya berhasil membangun jembatan yang pas untuk menyatukan dua tone yang berbeda jauh tersebut. Horor dengan komedi sesungguhnya memang dua elemen yang sukar untuk dimainkan. Banyak horor yang lebih bijak sebelum ini yang tergagap juga ketika berpindah dari drama ke komedi. Film ini mencoba, dan memang masih belum mulus. Mungkin hasil akhirnya bisa lebih baik jika film ini langsung fokus jadi komedi aja, atau jadi drama aja sedari awal. Sehingga style-nya lebih mencuat dan kentara. But that’s okay, ini baru karya kedua. Masih punya banyak ruang untuk menjadi semakin bagus.

 

 

 

 

Horor yang digarap Travis Stevens kali ini lebih terjangkau untuk penonton, tidak lagi ‘segmented’ seperti film pertama. Karena yang dibahas di sini di balik elemen vampirnya adalah soal rumah tangga yang enggak sehat. Juga menyinggung soal peran perempuan bagi lelaki. Semua itu dimainkan dengan dramatis yang menyerempet komedi. Menghasilkan tontonan yang menghibur, walau terkadang terasa kurang balance. Film ini didukung pertama oleh permainan akting yang hebat dari dua ikon horor pada masanya. They hit a lot of range together. Aspek genre horornya sendiri, tak ketinggalan, juga dibuat dengan sama menghiburnya. Ada makhluk menjijikkan, ada misteri, ada darah dan potongan tubuh. Penggemar horor sejati jelas tidak akan melewatkan film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JAKOB’S WIFE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi setelah menonton ini, apakah kalian sudah punya gagasan perihal pernikahan yang bagus itu yang seperti gimana?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

NOBODY Review

“Obscurity can be liberating”

 

 

Menjadi bukan siapa-siapa ternyata merupakan sebuah impian – atau malah anugerah – bagi beberapa orang. Ketika normalnya kita berusaha, berjuang, bekerja sekeras mungkin untuk mendapat pengakuan sosial, untuk diterima dan kemudian dikenal mencuat lewat hal spesial yang ahli kita lakukan, ternyata ada sebagian orang yang ingin dan merindukan untuk dianggap biasa-biasa saja. Sebagian orang itu adalah mereka yang udah mencapai puncak. Udah sukses. Selebriti misalnya. Tak ada lebih mereka inginkan selain tidak jadi pusat perhatian dan dikerubutin saat mereka berada di tempat umum. Atau filmmaker sukses, yang hanya ingin bikin film murni untuk menceritakan isi hati tapi tidak bisa karena di atas situ karya buatannya akan selalu dibanding-bandingkan dan dioveranalyze. Atau juga karakter yang diperankan Bob Odenkirk dalam film Nobody.

Hutch nama pria tersebut. Dan yang ia inginkan adalah punya kehidupan berkeluarga yang biasa-biasa aja. Mengejar truk sampah di pagi hari. Membuat sarapan untuk anak dan istri. Berjalan kaki ke kantor. Pulang. Ketemu anak dan istri. Tidur. Hutch telah meninggalkan kehidupannya yang dulu. Kehidupan masa lalu Hutch yang disiratkan oleh film ini adalah kehidupan yang penuh bahaya. Hutch tidak ingin kembali ke sana, akan tetapi kehidupannya sebagai bukan siapa-siapa itu ternyata tidak berjalan seperti yang diidamkan olehnya. Dia malah merasa jadi semakin kecil, dan bahkan keamanan yang ia inginkan untuk keluarganya pun tidak pula terwujud. Karena rumah mereka malam itu kemalingan. Kejadian itu berbuntut panjang. Membuat Hutch harus bersinggungan dengan geng Rusia. Dan mau tak mau dia harus kembali ke siapa dirinya yang sebenarnya.

Nobody
Nobody is special. I am nobody. You do the math

 

Sepertinya memang dari permainan kata itulah sutradara Ilya Naishuller mengembangkan konsep karakter Hutch. Seorang yang mengaku nobody, tapi ternyata dia berkemampuan spesial. Memang, konsep film ini bukanlah konsep yang paling original seantero dunia sinema. Sudah banyak cerita yang menampilkan karakter yang sekilas kayak orang biasa padahal mempunyai kehebatan tersendiri. Malahan, film ini mirip sekali dengan John Wick (2014). Banyak aspek cerita Hutch yang membuatnya serupa-tapi-tak sama dengan John Wick, mulai dari dia adalah ‘pensiunan’ pembunuh, terus tak-sengaja terlibat masalah dengan sanak keluarga bos penjahat. Jika di John Wick pemicu utama kemarahan karakter adalah anjing peliharaan yang dibunuh, maka di Nobody ini Hutch mulai beraksi karena orang jahat yang menyatroni rumahnya telah mengambil gelang milik kucing peliharaan anaknya. Semua kemiripan tersebut tentu saja ditampilkan on-point karena memang penulis naskah dan produer kedua film ini merupakan orang yang sama. Yakni si Derek Kolstad. Sehingga kemiripannya tidak sampai di elemen karakter saja. Dalam soal koreografi aksi berantem pun, film Nobody ini tampil dengan gaya dan level kekerasan yang sama menghiburnya.

Perbedaan yang membuat Nobody distinctive dari John Wick terletak pada karakter Hutch dan cara sutradara membangun karakter tersebut. Cerita dan bangunan karakter Hutch sedikit lebih kompleks. Hutch ini adalah pria yang berusaha menyamankan dirinya sebagai bukan siapa-siapa, meskipun hidup normal yang ia jalani itu tidaklah menyenangkan. Dengan efektif Ilya menempatkan montase rutinitas kehidupan Hutch pada awal-awal durasi. Sehingga kita jadi tahu konflik yang melanda si Hutch ini secara pribadi. Life’s not great for him, keluarganya gak exactly suka padanya, tapi inilah kehidupan yang ia mau – yang ia pilih karena kehidupannya yang dulu jauh lebih berbahaya. Ketika dia memang harus kembali menapaki ‘jalan lamanya’, cerita pun tidak lantas membuat dia berubah. Ada keengganan yang ditampilkan. Ada keraguan dan kebimbangan dalam diri Hutch. Dia sempat urung membalas dendam kepada kedua perampok karena menemukan sesuatu di markas mereka yang membuat dirinya teringat akan nilai keluarga yang ia inginkan. Ilya membuat rangkaian kejadian yang melambangkan progres state of mind Hutch soal mau tidak mau dia harus kembali ke dirinya yang dulu. Dengan begitu, Ilya membuat kita mengerti apa yang harus rela dibuang oleh Hutch, kenapa dia harus kembali — persoalan personal inilah yang lantas jadi stake dalam cerita.

Menjadi bukan siapa-siapa memang kadang membuat frustasi dan bikin kita meragukan eksistensi diri sendiri. Tapi bukankah semua orang adalah bukan siapa-siapa bagi kebanyakan orang yang lain? Obscurity atau jadi bukan siapa-siapa itu hanyalah bagian dari journey kita dalam mencari apa yang ingin kita kerjakan. Jadikan itu sebagai kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan diri.

 

Bob Odenkirk menerjemahkan karakterisasi tersebut dengan menarik pula. Olehnya, Hutch tidak tampak boring. Melainkan sangat vulnerable. Dia mengundang simpati, tapi juga bisa jadi badass, dan juga kocak dalam menampilkan kebadass-annya. Permainan akting dan penampilan aksi-aksi berantem (yang sebagian besar dilakukannya sendiri tanpa stunman) Hutch juga mempelihatkan progres yang dialami oleh karakternya. Sekuen berantem di dalam bus dengan anak-anak muda berandalan adalah contoh yang bagus untuk membahas ini. Di adegan-adegan itulah Hutch untuk pertama kalinya memantapkan diri kembali menjadi pembunuh. Hutch enggak langsung jago. Dia toh babak belur juga. Dikeroyok, dikerjai, dan dilempar keluar jendela oleh lawan-lawannya. Dia vulnerable, tapi bukan lemah. Seiring berjalannya durasi kita akan melihat Hutch menemukan kembali kenyamanan dalam kembali pada aksi-aksinya. Sampai akhirnya dia telah menemukan kembali dirinya yang lama. Dan kita akan mendapat adegan final fight yang meskipun terlalu perfect dan over-the-top, tapi amat sangat menghibur.

Untuk itu salut pantas kita panjatkan buat Bob Odenkirk. Karena selama ini, dia adalah aktor yang terkenal bukan sebagai aktor laga. Dia lebih sebagai spesialis peran dramatik dan komedi. Perannya sebagai Hutch adalah pertama kali namanya tersematkan sebagai bintang film laga. Dan di sini tantangan peran baginya bukan sekadar bermain fisik, tapi juga ada tuntutan untuk menyampaikan karakter Hutch itu sendiri.

null
Bayangkan kalo ada cross-over John Wick dengan Nobody, pasti seru!!

 

Nobody sebenarnya bisa saja menjadi the next John Wick. Sayangnya, film ini tidak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang film tersebut. Pembuatnya seperti lupa bahwa cerita kali ini punya lebih banyak ruang untuk digali. Hutch punya keluarga, John Wick tidak. Tapi Nobody tetap dibuat ‘sama’ seperti John Wick, fokus di aksi seru nan menghibur. Mereka membiarkan keluarga itu tetap jadi lubang yang menanti untuk diisi. Hubungan Hutch dengan istri,  dengan anak laki-lakinya, dengan gadis ciliknya tak pernah digali dengan memadai oleh film ini. Keluarga Hutch hanya jadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Tidak pernah terasa seperti layaknya karakter cerita. Musuh utama Hutch juga karakterisasinya lemah sekali. Padahal dia sudah punya latar yang menarik. Boss gede tapi kerjaannya penampil karaoke. Dinamika protagonis dan antagonis dalam film ini diikat oleh keparalelan yang tipis sekali. Masalah di antara mereka berdua malah hanya tercipta oleh suatu rangkaian kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sekeren-kerennya Hutch berinteraksi dengan si bos, tetep tidak terasa ada kaitan atau bobot yang membuat pertemuan mereka benar-benar bisa kita pedulikan.

Yang membuat film ini akhirnya berada pada posisi di bawah John Wick adalah kesan bahwa film ini terlalu sibuk ngebuild untuk sekuel. John Wick punya dunia yang bikin penasaran sebagai latar, sementara kejadian seputar karakternya berlangsung dengan melingkar. Tidak banyak eksplorasi tapi juga tidak banyak menyisakan ruang yang sengaja dibiarkan kosong. Film itu straight-to-the-point, simpel, dan tuntas. Sekuelnya hadir dengan kesan natural, karena kita memang pengen melihat dunia John Wick dengan lebih luas. Sebaliknya, film Nobody lebih kompleks tapi justru meninggalkan banyak ruang tak-tereskplor. Berharap supaya kita tertarik untuk melihat lebih banyak partner dan ayah Hutch yang ternyata juga bukan ‘orang-biasa’. Memohon kepada kita untuk meminta ada sekuel yang membahas mereka. Malah ada adegan ekstra di kredit penutup untuk memancing ini. Padahal ini adalah cara yang salah. Karakter pendukung film ini – dengan minimnya bahasan – membuat mereka terlupakan oleh kita. Fokus kita tetap pada Hutch, yang setelah problemnya tuntas, setelah dia memilih untuk kembali ke siapa dirinya, ketertarikan dia kepadanya pun semakin berkurang. Karena walaupun dia berkemampuan khusus, karakternya sendiri tidaklah original ataupun spesial.

 

 

 

Buat yang suka aksi ala John Wick, film ini jelas sayang untuk dilewatkan. Ceritanya mirip. Laganya seru, dengan koreografi yang hard-hitting dan in-the-face dan bergaya sama dengan John Wick. Film ini pure seru dan menghibur. Apalagi ditambah dengan elemen-elemen tak biasa seperti karakter yang curhat sama radio, ataupun pemilihan musik yang beda dari musik-musik film laga biasanya. Salah satu daya tarik utama film ini adalah cast-nya. Bob Odenkirk kini merambah genre aksi, dan penampilan di sini bukanlah penampilan abal-abal. Melainkan sangat totalitas. Keren dan menghibur sekaligus. Film ini bisa menjadi lebih besar lagi, tapi terjebak dalam bayang-bayang John Wick. Potensi yang dipunya tidak direalisasikan semua, sehingga film ini dalam kondisi terbaiknya hanyalah berupa copy-paste beda varian dari film John Wick.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for NOBODY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian menjadi nobody itu memang lebih baik daripada menjadi somebody?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CHAOS WALKING Review

“Women are hard to read”

 

Planet itu bukan Bumi. Lingkungannya boleh saja mirip, tapi dengan satu perbedaan besar. Tidak ada perempuan yang kelihatan di sana. Kota kecil tempat Todd tinggal, semua penghuninya adalah lelaki. Dari cerita yang Todd dengar Pak Walikota, perempuan di kota mereka – termasuk ibu Todd – dibantai oleh penduduk asli planet ini. Itu karena para perempuan tidak memiliki Noise. Ya, inilah satu lagi perbedaan mencolok antara planet ini dengan Bumi; di planet ini, pikiran dan kata hati para lelaki bisa didengar oleh semua orang. Terwujud dalam gelembung suara, yang juga mirip kabut, di sekitar kepala masing-masing individu, yang disebut sebagai Noise. Todd dan masyarakat kota terbiasa hidup dengan Noise, kesatuan mereka terbentuk atas dasar saling percaya. Sampai kemudian, sebuah pesawat ruang angkasa jatuh ke hutan. Viola, anak perempuan seusia Todd jadi satu-satunya penyintas. Todd sekarang memegang kunci keselamatan bagi Viola, sebab gadis itu tentu saja diburu seketika. Dan dalam pelarian mereka itulah sejarah/rahasia kelam komunitas koloni ini sedikit demi sedikit menjadi terbuka.

Setting dunia yang seluruhnya dihuni laki-laki milik film ini memang mengingatkan kita pada Maze Runner. Heck, bahkan Wonder Woman aja sudah menggunakan setting closed world seperti demikian. So yea, setting yang dimilikinya memang boleh jadi tidak menambah banyak untuk identitas film ini. Which we must turn our head to the other ‘gimmick’. Konsep Noise.

Konsep itulah yang membuat film adaptasi novel Young Adult berjudul The Knife of Never Letting Go berbeda dari yang lain. Sutradara Doug Liman banyak melakukan eksplorasi di sini. Kita melihat bagaimana Noise menjadi bagian wajib dalam fondasi masyarakat dalam cerita. Tapi juga sekaligus jadi semacam restriksi bagi protagonis, yakni si Todd. Dibandingkan dengan karakter lain, memang Todd ini yang terasa paling ‘normal’. Dia gak nyaman pikiran dan kata hatinya didengar oleh semua orang, jadi dia menciptakan teknik pertahanan sendiri. Dia berusaha untuk menyembunyikan pikirannya dengan mengulang-ngulang kalimat dalam kepalanya sendiri. Liman membuat Noise ini bisa dikendalikan jika seseorang cukup kuat. Bisa disembunyikan, atau malah bisa juga diperkuat sehingga muncul dalam bentuk visual. Liman juga membuat Noise ini sebagai bagian dari komedi, dan integral dalam build up cinta-cintaan antara Todd dengan Viola. Kita akan melihat banyak adegan Todd dengan kikuk berusaha menutupi imajinasi-ngarep Viola naksir kepadanya.

Meskipun aneh juga cowok yang selama ini gak pernah lihat cewek bisa ngerti dan membayangkan pacaran itu ngapain aja.

 

Sayangnya, konsep yang dimiliki Chaos Walking ini hanya terasa asyik saat dibicarakan di atas kertas. Tampak seru ketika kita membacanya, kemudian membayangkan seperti apa kejadiannya secara nyata. Karena, saat kita menonton film ini, sesungguhnya hanya terasa setengah asik. Malahan, aku butuh waktu cukup lama untuk membiasakan diri sama adegan-adegan yang penuh oleh reaksi dan perlakuan karakter terhadap Noise-Noise di sekitarnya. Dan ketika sudah terbiasapun, cerita tak lantas jadi fun dan menarik simpati. Masih ada kekosongan yang menjemukan di tengah kebisingan Noise tersebut. Karakter-karakternya tidak pernah berhasil tampil semenarik konsepnya itu sendiri. Certainly, ini bukan permainan akting yang jelek. Ada Tom Holland di sini, sebagai Todd. Ada Daisy Ridley, sebagai Viola. Mereka berusaha menghidupkan karakternya. Mereka tampil baik jika sendiri-sendiri. Namun simply, tidak banyak chemistry di antara mereka berdua.

Masalah ini tentu saja datang dari penulisan. Relasi dua karakter ini, secara design, punya perkembangan. Yakni keduanya tadinya saling tidak percaya, tapi mereka harus bekerja sama, dan kemudian perlahan tumbuh cinta yang genuine di antara mereka berdua.  Perkembangan tersebut tidak pernah tersampaikan dengan benar kepada kita. Karena karakterisasi mereka dituliskan sedikit sekali. Todd dapat porsi lebih banyak, karena dia tokoh utama, tapi sebagian besar waktu (saat sebelum ketemu Viola) dihabiskannya untuk menutupi pikiran dari orang-orang sekitar. Kita tidak diperlihatkan apa motivasi personal dirinya. Di sisi lain, karakterisasi si Viola bahkan nyaris tidak ada. Karakter ini malah sebagian besar screen time-nya dihabiskan dengan tanpa-dialog; sesuai dengan gagasan yang diincar oleh film, yakni perempuan itu tidak bisa ditebak. Hasilnya adalah kita kayak melihat partner petualangan yang aneh. Gadis serbabisa dan mandiri, yang diantarkan menuju keselamatan oleh cowok yang berusaha untuk tidak mati; ada potensi di sini. Terutama karena Todd sebenarnya lebih suka cewek ini tetap tinggal bersamanya alih-alih diantarkan menuju tempat keselamatan. Hanya saja film tidak meluangkan banyak waktu untuk relasi. Melainkan terus berkutat pada aksi kejar-kejaran, seperti kesetanan mengejar durasi waktu.

Pikiran cowok gampang ketebak, sementara sangat susah untuk menerka apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan. Konsep Noise film ini, serta sejarah pertikaian kelompok penghuni planetnya, menyimbolkan hal tersebut. Ini sebenarnya menunjukkan pria yang takut tidak punya kendali atas perempuan yang bisa berpikir sendiri, jadi mereka memusuhinya. Memusnahkannya. Perjalanan Todd bisa kita paralelkan sebagai perjalanan seseorang untuk menerima dan mengakui keberadaan dan keberdayaan perempuan. Bisa dibilang, ini adalah perjalanan Todd menjadi seorang feminis.

 

Sama seperti kebanyakan novel Young Adult yang dikasih lampu ijo untuk diubah menjadi film, cerita Chaos Walking juga punya elemen kekinian yang lagi seksi untuk dibahas. Yaitu masalah ‘cowok melawan cewek’. Feminisme melawan maskulinitas-yang-toxic. Elemen tersebut dengan sangat gamblang tersurat. Kelompok pria yang memusuhi perempuan karena perempuan itu tak tertebak dan serba berahasia. Perempuan yang menjadi pemimpin yang lebih adil. Cowok yang dianggap sama kayak cewek ketika mereka berusaha menjaga privasi. Film ini gak punya masalah dalam memainkan elemen-elemen tersebut bahkan hingga ke settingan paling ‘over’. Menjadikan cerita film ini basic dan tidak ada tantangan. Aku malah lebih tertarik sama elemen subtil yang dihadirkan cerita, yaitu soal masalah antara manusia pendatang dari Bumi dengan penduduk asli planet ini. Di sini, elemen tersebut melingkupi apa yang sepertinya tampak sebagai penindasan, dan penyebaran hoax. Aku ingin melihat lebih banyak tentang apa yang terjadi sebenarnya. Namun bahkan penduduk asli itu hanya dimunculkan random dalam satu adegan.

Yang pikirannya ngeres melulu, dijamin gawat tinggal di planet ini

 

Chaos-nya penulisan dan arahan Chaos Walking ini datang sebagai dampak dari reshoot dan rewrite yang dilakukan. Secercah hal manis dan keseruan masih sesekali bisa kita temukan, tapi selebihnya film ini terasa sambung-menyambung menjadi cerita yang gak-jelas bangunan narasinya. Aksi dalam film ini semuanya hanya berupa kejar-kejaran. Yang gak seru karena stake-nya gak pernah bisa kita mengerti. Ini berhubungan dengan motivasi antagonis yang juga aneh. Kenapa begitu penting bagi karakter jahat itu untuk mencegah Viola memanggil pesawat lain. Film ini kelupaan membahas backstory kenapa mereka semua memilih tinggal di planet itu. Lebih tepat mungkin bukan ‘kelupaan’. Melainkan sengaja. Kok sengaja? Ya apalagi kalo bukan karena meniatkan untuk sekuel. Film ini sengaja gak membahas dalam mengenai dunia cerita, karena bakal ditempakan sebagai bahasan dalam cerita film kedua. Tapi sejujurnya, melihat performa terlalu minim yang diberikan oleh film ini, aku ragu ada penonton yang menginginkan sekuel ini. Kayaknya lebih pasti, para penonton meminta uang mereka kembali.

 

 

Ini adalah salah satu kekecewaan buatku karena film ini sebenarnya mengusung konsep menarik seputar pikiran manusia. Namun penulisannya terasa kacau, seperti melupakan apa yang sedang dibahas di tengah-tengah, dan terus mengganti menjadi bahasan baru. Kita tidak pernah tahu konteks besar dari narasi film. Sehingga akhirnya memang bagi kita, film ini hanya berupa rusuh yang tidak jelas, dengan karakter yang bland, yang tidak bisa kita pedulikan. Yang tidak terasa chemistrynya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for CHAOS WALKING.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah bagi kalian yang cewek, cowok memang semudah itu untuk dibaca? Dan apakah bagi kalian yang cowok, cewek memang susah untuk ditebak? Film ini mengatakan hal seperti itu tidaklah adil. Bagaimana pendapat kalian, apakah memang lebih baik untuk kita mengetahui semua hal yang dipikirkan oleh pasangan kita?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TERSANJUNG: THE MOVIE Review

“No man flatters the woman he truly loves”

Tersanjung: The Movie dan review-review positif yang dituainya – dengan asumsi review-review tersebut bukan dari golongan buzzer – adalah bukti bahwa sinetron masih akan terus laku di Indonesia. Karena, film Tersanjung ini adalah film paling nyinetron yang kutonton sejauh tahun ini berlalu. Kalimatku tadi itu bisa make sense dimaklumkan hanya karena Tersanjung: The Movie memanglah adaptasi bebas dari sinetron Tersanjung yang fenomenal di Indonesia tahun 90an. Maka, sutradara Hanung Bramantyo dan Pandu Adjisurya tentu saja berkewajiban untuk membuat film ini punya rasa yang menyerupai sinetron tersebut. And in that sense, mereka berhasil.

Elemen-elemen cerita dari ratusan episode sinetronnya yang dulu itu, dikutip, dikumpulkan, lalu disulap menjadi cerita yang lumayan baru. Generasi yang belum lahir saat sinetronnya booming masih akan bisa mengikuti film ini. Karena film ini seperti sudah disiapkan untuk menjadi cabang franchise Tersanjung yang baru. Film ini mengisahkan tentang Yura, perempuan muda yang sedang dalam proses perjodohan oleh keluarganya. Perjodohan Yura tersebut terjadi dalam rangka menyelamatkan karir bapaknya, Dalam artian, menyelamatkan ekonomi keluarga mereka. Tentu saja sebenarnya Yura-lah yang paling butuh untuk diselamatkan di sini. Terlebih ketika perjodohan tersebut hampir berubah menjadi suatu trauma mimpi buruk. Dua cowok sahabat Yura-lah yang datang membantu. Persahabatan Christian dan Oka menguatkan Yura. Bahkan secara finansial Yura pun mulai terbantu karena mereka bertiga kini membangun bisnis kuliner bersama. Tapi situasi pelik tampaknya belum reda bagi Yura, karena salah satu dari sahabatnya itu menyatakan cinta, membuka siapa dirinya sebenarnya, untuk kemudian menghilang selamanya.

See, sekarang mungkin kalian sudah mulai sedikit mengerti kenapa aku menyebut ini film ini me-nyinetron. Aku bahkan tidak bisa menuliskan sinopsis tanpa membeberkan hingga ke kejadian-kejadian di akhir film. Itu karena film ini tidak memberikan arc yang clear kepada karakter utamanya, yakni si Yura, melainkan memberikan arc singkat yang terus diulang sehingga seperti jadi episode-episode. Dia nemuin cinta, terus terluka, begitu terus sampai kemudian jadi happy karena durasi sudah terpenuhi. Tapi tetap di akhir itu tidak terasa seperti ending, melainkan lebih mirip berupa cliffhanger ala sinetron. Percaya deh, kita seakan nyaris bisa melihat ada tulisan “bersambung” pada shot terakhir film ini. Hanya seperti masalah yang udah kelar, lalu lantas disambung kembali oleh masalah baru.

“Ooooooo… kubersambung~

Secara kualitas design produksi sih, film ini jauh di atas film-film ala sinetron. The film certainly looks good. Cantik banget malah. Aku maklum sekali kalo pujian-pujian berdatangan dari sini. Banyak shot-shot cakep. Misalnya, shot dari langit adegan Yura nangis di pusara ibu kandungnya, memperlihatkan barisan kotak-kotak kuburan. Sepi. Hening. Benar-benar sesuai dengan perasaan yang sedang dialamatkan kepada kita. Sutradara Hanung memastikan adegan-adegan tetap hidup dengan depth. Setiap kali memungkinkan, dia akan memasukkan banyak kegiatan yang berlangsung di belakang kejadian utama pada setiap framenya. Seperti pada saat di perkampungan, Hanung membuat kampung itu hidup oleh suasana warga sekitar. Ngomong-ngomong soal suasana, cerita film ini mengambil tempat di tahun 90an. Dan nyaris setiap shot menguar banget suasana 90an tersebut. Kerasa banget suasananya. Bukan hanya pada kostum dan properti, tapi juga dari ‘napas’ yang dihembuskan oleh ceritanya. 90an akhir adalah masa-masa chaos di Indonesia, dan film ini menyangkutkan permasalahan kerusuhan tersebut ke dalam cerita. Topik-topik khas sinetron 90an seperti perjodohan dan ketimpangan kelas menghiasi film ini. Beberapa kelebayan khas sinetron tahun segitu juga ditampilkan, seperti ibu tiri yang ngeselin, ibu mertua yang jahat. Semua itu digunakan untuk nostalgia sekaligus identitas. Gaya sinetronnya kuat. Namun gaya visual yang dilakukan Hanung tadi-lah yang mengelevasi film ini. Seperti dibuat dan disyut tahun 90an, tapi dengan peralatan kekinian.

Bagi para pemain pun, Hanung memberikan pengadeganan, banyak ruang untuk melakukan lebih dari yang diminta naskah sehingga aktor-aktor muda seperti Clara Bernadeth, Giorgino Abraham, Kevin Ardillova, dan Marthino Lio enggak hanya ada di sana sebagai penambah cantik visual semata. Bahkan pemenang Gadis Sampul 2018 Allya Syakila yang jadi adik Yura juga diberikan porsi yang lumayan gede; ya kalian tahu dong, aku senang sekali kalo ada anak Gadsam yang dapat peran di film. Para cast utama diberikan lahan bermain salah satunya berupa dialog-dialog yang quoteable, dan mereka berhasil mendelivernya tanpa terdengar kikuk ataupun cheesy.  Ketika tidak sedang sibuk menjadikan adegannya terasa sinetron, Hanung mendaratkan film ini lewat celetukan-celetukan khasnya yang lumayan nyeleneh alias menantang. Misalnya, di film ini diperlihatkan orangtua suka menyebut anak mereka dengan panggilan sayang berupa ‘monyet’. Ataupun soal bagaimana orang Indonesia yang kebule-bulean ternyata kalah manusiawi daripada bule yang nge-indonesia. Aku pikir there must be deeper something in this, tapi untuk sekarang elemen-elemen demikianlah yang membuatku terhibur dan lupa sama panjangnya durasi ‘film-sinetron’ ini.

Jadi sebenarnya yang bagaimana lagi sih film yang menyerupai sinetron itu?

Tentu saja melihatnya dari cerita yang terlalu convenient. Alias cerita yang terlalu digampangkan. Sinetron kan biasanya penuh oleh elemen kebetulan, berpindah cepat antara satu konflik/drama ke konflik lain tanpa mengeksplorasi perjuangan atau struggle dalam cerita. Film Tersanjung ini persis seperti begitu. Ada beberapa kali ketika muncul bahasan yang sepertinya menarik jika diceritakan. Seperti bisnis kuliner yang dibangun Yura. Tadinya kupikir film ini bakal membahas struggle tiga sahabat yang diam-diam tumbuh cinta ini dalam membangun bisnis tersebut. Tapi ternyata tidak. Bisnis mereka berjalan dengan gampang. Tau-tau udah laku aja. Atau juga misalnya lagi, ketika cerita film ini sampai pada situasi seperti Crazy Rich Asians (2018).. Tadinya kupikir cerita benar-benar berubah haluan menjadi ke arah sana; ada sejumlah karakter baru yang muncul (dan di-mention) sehingga seolah bakal penting untuk ke depannya. Tapi ternyata juga enggak. Film glossed over this part. Either berfungsi sebagai penempatan kameo, atau memang ditahan untuk sekuel. Padahal kan bisa jadi cerita yang menarik.  Bayangkan kalian mengetahui sahabat kalian ternyata seorang sultan, dan dia mencintai kalian. I’m pretty sure that is a lot to take, tapi Yura kelihatan biasa-biasa saja. Dan bagaimana denagn Yura yang trauma nyaris diperkosa? Nope, tak ada waktu untuk membahas ini. Perihal Yura membantu orangtuanya juga gak problematis amat. Bakat nyanyi ayahnya ternyata nurun ke dia, Yura cakap bernyanyi, sehingga heran juga kenapa keluarga mereka masih bergantung kepada kontrak ayahnya in the first place. Seharusnya ada yang bisa digali di sini. Relasi ayah dan anak itu mestinya bisa dieskplorasi. Tapi, sekali lagi, tidak. Semuanya harus digampangkan, gak perlu repot-repot yang membahas yang seperti itu di sini.

Ketika pengen nembak tapi belum siap

Sinetron biasanya hobi banget pake soundtrack, ngulang-ngulang lagu sebagai cue adegan sedih, misalnya. Film ini, meskipun enggak separah itu, tapi tetep aja sangat bergantung kepada lagu soundtrack di latar untuk mengeja perasaan apa yang sedang disampaikan. Lucunya lagi, seringkali lagu latar tersebut enggak klop sama adegan yang sedang ditampilkan. Contohnya ketika berkumandang lirik “..kau penuhi janjimu itu…”, tapi adegan yang kita lihat sama sekali tidak ada orang yang sedang memenuhi janji. Adanya malah karakter yang disuruh berpura-pura menjadi suami Yura sedang dipaksa jadi partner senam hamil. Sejujurnya buatku bagian si karakter ini ‘dipaksa’ inilah yang membuat film ini jadi punya nilai minus. Ceritanya jadi sungguh canggung, dan juga sangat convenient. Inilah yang benar-benar memberikan cap film ini menjadi seperti sinetron. Aku gak bisa bilang banyak karena bakal spoiler berat. Aku paham yang diincar oleh film, yakni untuk menunjukkan bahwa feeling mereka memang mutual dan ada consent and everything. Hanya saja, film menunjukkannya dengan menyembunyikan di awal lalu kemudian melakukan pengungkapan kilas-balik. Ini menimbulkan banyak kekonyolan, seperti ibu tiri Yura jadi terlihat seperti mastermind dari semua hubungan tersebut. Cerita akan lebih bagus dan sama sekali tidak perlu flashback jika feeling karakter tersebut sudah diperlihatkan dan dibangun sedari awal. I mean, penonton toh sudah tahu (dari poster dan dari sinetronnya) bahwa Tersanjung adalah cinta segitiga, jadi kenapa masih pakai penceritaan dengan formula ‘ternyata’. 

Yura dua kali terkecewakan oleh pria yang menyanjungnya. Dengan harta. Dengan kesempatan. Dengan janji. Perempuan itu kemudian menyadari cinta sejati tidak perlu sanjung-menyanjung. Cinta sejati langsung membuktikan dengan perbuatan. Dan sekarang, kepadanyalah Yura berpaling.

Sebenarnya sedari awal, film telah melakukan hal yang gak klop. Narasi voice-over Yura yang membimbing kita melewati adegan demi adegan, di bagian pembuka mengatakan bahwa cinta itu berawal manis. Tapi yang kita lihat saat itu justru tensi yang menguar dari adegan perjodohan. Ketidakterimaan yang menguar dari ekspresi ayah Yura, dan keengganan yang terpancar dari Yura sendiri. Mungkin memang inilah yang sedang diset oleh film. Bahwa keenggak klop-an akan konsisten hingga di akhir. Karena tahu tidak, lagu 90an apa yang diputar sebagai latar di adegan menjelang terakhir yang ceria di pernikahan? “Saat bulan purnama bersinar…” Ska dong! Tone-nya jadi drastis banget. It’s not even a 90’s song!  

 

 

Apa lagi yang bisa kubilang? Film ini tahu persis dia mau jadi seperti apa. Mungkin memang ada tantangan tersendiri membuat film yang berasa sinetron. Siapa yang tahu? Yang jelas film ini berhasil menghidupkan kembali ruh sinetronnya. Dan tampil sangat cantik dalam melakukan itu semua. Konflik perasaan yang tak abis-abisnya. Penggambaran si kaya dan si miskin yang too good to be true. Dialog-dialog manis yang enak dipajang jadi caption instagram. Banyak hal dalam film ini yang bisa disukai oleh penonton kita. Tapi apakah ini termasuk film bagus? Aku pikir tidak. Cocoklah tayangnya di Netflix saja. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TERSANJUNG: THE MOVIE.

 

 

That’s all we have for now.

Berhubung filmnya kayak end-credit film superhero, sepertinya film ini pantas untuk diteori-teori-in, don’t you think? Nah, bagaimana, apakah kalian punya teori tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada Christian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GODZILLA VS. KONG Review

“Fight to protect”

 

Dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah. Tidak, aku tidak sedang ngajakin belajar peribahasa. I’m just saying peribahasa tersebut memberikanku gambaran gimana rusuhnya kalo ada dua makhluk besar kayak gajah bertengkar. Pelanduk di hutan yang kebelutan berada di sana sampai-sampai jadi korbannya. Sekarang coba bayangkan kalo dua gajah yang berantem itu dituker sama dua raksasa. Godzilla, si Raja Monster, yang bisa menembakkan sinar atomic dari mulutnya. King Kong, gorila-kelewat-subur yang bisa mencabut pohon hingga ke akarnya, seenteng nyabutin uban. Dua monster raksasa itu berkelahi. Dan memang, manusia – kita-kitalah – yang jadi pelanduknya. Tapi itu tidak berarti kita mati di tengah-tengah. Karena nyatanya, film Godzilla vs. Kong garapan Adam Wingard ini membuktikan kita justru happy sehappy-happy-nya berada tepat di tengah-tengah pertempuran kolosal tersebut. Menonton rangkaian aksi fantastis dengan decak kagum. This is pure entertainment. Seganas-ganasnya. Seliar-liarnya.

Adam Wingard paham betul bahwa orang-orang rela menghabiskan waktu dengan mendekam pake masker di bioskop demi melihat Kong dan Godzilla baku hantam. Apparently, bukan orang Indonesia saja yang doyan nonton keributan haha… Yang jelas, Wingard mengerti yang diinginkan oleh penonton. Maka dia membuat Godzilla vs. Kong sebagai sajian yang gak muluk-muluk dalam hal plot atau cerita. Simpel aja. Beberapa ilmuwan ingin mencari sumber energi baru. Jadi mereka memutuskan untuk mencari ke dunia tempat asal muasal para Raksasa. Mereka butuh Kong, untuk katakanlah, jadi guide ke Hollow Earth tersebut. Perjalanan panjang itu harus mereka lakukan dengan ‘diam-diam’ karena Kong dan Godzilla sudah turun temurun jadi bebuyutan. Apalagi Godzilla si penjaga bumi dari  monster-monster raksasa asing, sudah mulai aktif ya Bun.. eh maksudnya, sudah mulai aktif berpatroli kembali. Ada sesuatu yang mengganggu si Godzilla. Menyebabkan monster reptil raksasa itu jadi beringas. Para ilmuwan tentu saja tidak mau keberadaan Kong sampai diketahui oleh Godzilla. Tentu saja yang namanya malang, tak dapat ditolak. Tapi ternyata Godzilla memburu ke tempat yang salah. Bukan Kong yang harusnya diberangus oleh Godzilla. Melainkan maut yang secara rahasia dikembangkan oleh perusahaan Apex di tengah-tengah kota!

“Marthaaaa!!”

 

Aksi berantem para monster raksasa memang terdeliver dengan super seru. Seperti pada Godzilla: King of the Monsters tahun 2019 yang lalu, kita akan dibuat puas oleh adegan-adegan perkelahian antarmonster. Keunikan dan hal spesial dari masing-masing mereka, dicuatkan dalam pengadeganan dan koreografi aksi. Wingard pun sering bermain dengan kamera. Menaruhnya seakan di lengan Kong, misalnya. Membuat kita merasakan pov berantem itu secara langsung. Sutradara King Kong vs. Godzilla original (1954) versi Jepang, Ishiro Honda, pernah bilang bahwa kejadian ada King Kong melawan Godzilla itu kan sebenarnya konyol banget, tugas filmmaker di sini adalah bagaimana memanggungkannya. Bagaimana mendesain kejadian dan situasi sehingga perkelahian dua makhluk reka ini menjadi epik. Dalam film original tersebut, Honda membuat pertempuran Kong dengan Godzilla itu sebagai satir dari perang rating industri pertelevisian Jepang pada saat film itu dibuat. Dalam Godzilla vs. Kong terbaru ini, sutradara Wingard tidak mensatirkan macam-macam. It’s just a plain monster melawan monster, namun ternyata manusia adalah monster sebenarnya, dan kemudian balik lagi menjadi monster melawan monster. Kesimpelan itu dibikin impas oleh Wingard lewat visual yang luar biasa. Panggung yang dibicarakan oleh Honda, well, Wingard di film ini menciptakan bukan hanya satu, melainkan tiga panggung yang superinteraktif dalam perkelahian Kong dengan Godzilla. Pertempuran di tengah laut. Di dalam laut – dengan serpihan kapal dan pesawat bagai bintang-bintang di sekitar mereka. Pertempuran malam hari bermandikan lampu neon gedung-gedung di kota Hong Kong. Shot-shotnya keren semua. Pertempuran di kota normal, well, let’s make that a handicap – the more the merrier!! Wingard gak abis akal untuk mengisi separo dari durasi film ini dengan gempuran aksi. Semuanya benar-benar memanjakan imajinasi anak kecil yang tertidur di dalam diri kita. 

Actual improvement  yang dilakukan oleh Wingard terletak pada pengkarakteran. Dua film awal Monsterverse, Kong: Skull Island dan Godzilla: King of the Monsters punya dosa yang sama; yakni karakter manusianya gak ada development dan, terutama sangat boring. Nah, boring itu bukan sebuah masalah pada film ini. Wingard membumbui karakter-karakter yang ia punya, secukupnya. Kita akan lihat ada karakter seorang podcaster yang paranoid, dia percaya beberapa konspirasi. Karakter ini juga berfungsi sebagai comedic relief berkat reaksi-reaksinya. Millie Bobby Brown kembali melakoni perannya sebagai Madison Russell. Madison dalam cerita ini diberikan sidekick – yang diperankan dengan kocak oleh Jullian Denison, mereka eventually bakal team up dengan si podcaster. Petualangan kecil-kecilan mereka mengungkapkan rahasia perusahaan Apex sebenarnya cukup menghibur, hanya saja tidak banyak diberikan waktu. Porsi mereka harus mengalah kepada porsi tim ilmuwan yang melakukan perjalanan bersama Kong. Dalam tim tersebut karakter menariknya adalah seorang anak kecil perempuan bernama Jia (diperankan dengan adorable oleh aktor cilik tunarungu Kaylee Hottle) Anak ini punya hubungan khusus dengan Kong. Bayangkan film horor yang biasanya ada karakter anak kecil yang bisa berkomunikasi dengan hantu. Nah, Jia ini mirip seperti itu. Dia secretly bisa berkomunikasi dengan Kong pake bahasa isyarat. Malahan, hanya omongan Jia-lah yang mau didengar oleh Kong. Dinamika Jia dengan Kong memberikan hati kepada film ini. Cerita mereka cukup diflesh-out, kita diberitahu latar kenapa Jia bisa dekat dengan Kong, sehingga kita jadi peduli sama persahabatan keduanya.

Baik Godzilla maupun Kong, mereka sebenarnya berkelahi untuk melindungi. Untuk menjaga teritori. Untuk menjaga orang atau sesuatu yang dipedulikan. Dalam cerita ini, dan dalam kebanyakan hal, justru manusialah yang predator. Berkelahi untuk menguasai. Bertempur, dan menciptakan alat serta teknologi, untuk mendapatkan yang dimau.

 

Dan uniknya, bahkan karakter monster pun diberikan ‘warna’ lebih banyak oleh sutradara. Misalnya, si Kong. Actually malah kalo dipikir-pikir, Kong-lah yang jadi tokoh utama. Peran Kong di sini benar-benar integral ke dalam cerita. Dia punya arc, tidak lagi sekadar muncul sesekali untuk adegan aksi. Kita merasakan motivasi Kong untuk melindungi. Kong juga diberikan momen personal ketika dia kembali ke kampung halamannya (di situ kita juga disiratkan sedikit mengenai latar karakter Kong). Film melakukan langkah ekstra untuk meniupkan kepribadian ke dalam Kong. Salah satunya adalah dengan menggunakan lagu latar untuk beberapa adegan yang menunjukkan kegiatan ataupun apa yang dirasakan oleh Kong. Seperti pada adegan opening yang mengeset ada hubungan khusus antara Kong dengan si Jia, kita mendengar lagu tentang seseorang dengan gadis cilik. Karena tone keseluruhan dijaga untuk tetap ringan, maka pilihan lagu yang digunakan oleh film ini untuk Kong tersebut kadang-kadang bisa terdengar cheesy. Tapi sepertinya tidak akan mengganggu banget, karena kapan lagi kita melihat Kong diberikan karakter yang cukup banyak untuk bisa diperbincangkan. Sebaliknya, si Godzilla di film ini kurang banyak tampil. Godzilla di sini digambarkan agresif, sebagian besar waktu terlihat seperti dia-lah antagonisnya. Sehingga beberapa fansnya mungkin bakal kecewa, dan bisa jadi keberatan karena Godzilla sedikit keluar dari karakternya sebelum film ini. I know, karena walaupun aku bukan penggemar berat Godzilla, tapi melihat dia di-close up tersenyum jahat ala Bezita tetep saja terlihat aneh.

“King Kong phone home”

 

Memang harus diakui, film seperti ini akan selalu kebentur masalah dalam penyeimbangan antara aksi dengan karakterisasi. Dan eksposisi. Penonton boleh saja pengen melihat aksi seru, tapi yang sebenarnya akan diingat dan dinikmati oleh penonton tentu adalah ceritanya. Journey karakternya. Wingard berkutat dan akhirnya memilih formula yang sama. Nyaris 50 persen aksi, dan sebagiannya lagi adalah gabungan dari eksposisi dan karakter. Eksposisi tidak bisa dihilangkan karena bagaimana pun juga penjelasan terhadap apa yang terjadi, teknologi, mitos, serta konsep Hollow Earth itu sendiri perlu untuk diinformasikan.Wingard yang mau membuat film ini ringan dan total menghibur, tak punya pilihan lain selain mengorbankan development karakter. Sehingga Godzilla vs. Kong heboh di luar, tapi dalamnya tetap masih hampa. Aku tak mengerti kenapa formula ini terus dipakai. Kenapa memilih setting cerita yang butuh eksposisi, kenapa mereka tidak membuat pure dari sudut pandang monster raksasanya, misalnya. Di balik keseruan bag-big-bug, kita tidak terlalu perhatian lagi sama cerita. Malah mungkin, ada penonton yang gak peduli (dan gak ingat) ceritanya apaan. Kalo ada yang bilang film ini adalah “mindless destruction” maka itu benar. Dalam artian mindless yang betul-betul tidak mikirin apa-apa. Para Titan bertarung di kota, di antara gedung-gedung, yang hancur gitu aja seolah tempat itu kosong.

Ritme kejadiannya juga bisa lebih diperhatikan lagi. Karena film ini tuh kayak berjalan dengan aneh. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk memperlihatkan mengangkut Kong ke Hollow Earth, ketimbang petualangan di Hollow Earth itu sendiri. Menurutku durasinya terlalu singkat. Mungkin karena budget juga, maka Hollow Earth kurang dieksplor. Adegan Kong berantem ama Godzilla di sana aja gak ada. Padahal bisa seru kalo mereka berlaga di tengah medan yang gravitasinya berbeda. Film ini paling datar, ya memang di Hollow Earth itu. Aku bahkan gak ingat kalo Kong itu raksasa tinggi besar karena selama di sana sedikit sekali shot yang nampilin skala. Sedikit sekali yang menunjukkan betapa menakjubkannya ukuran dunia tersebut. Petualangan tim Millie Bobby Brown juga deserves more time. Dan kupikir lucu sekali, karakter Madison dan Jia sama sekali tidak pernah bertemu. Mereka tidak berkesempatan bertualang bersama. Tidak ada interaksi. Padahal bisa saja seru, soalnya Madison bisa dibilang kubu Godzilla sedangkan Jia sekutu dari Kong. Film seharusnya bisa menampilkan lebih banyak hal, sementara tetap ringan dan menghibur.

 

 

Kita ingin melihat dua monster raksasa yang ikonik berantem, dan persisnya itulah yang diberikan film ini kepada kita. Semua pertarungan diceritakan dengan memanjakan kehausan kita terhadap keributan skala epik. Dan yang membuatku tercengang adalah, film ini benar-benar ngasih kita pemenang pada duel maut ini! Karakter-karakter di dalam cerita dibuat tidak membosankan, mereka diberikan trait-trait yang unik. Pokoknya film ini seru dan menghibur. Dan di situlah film ini memberi garis batas. Karena dia gak pernah keluar dari garis tersebut. Tidak banyak development pada karakter-karakter menarik tadi. Alur ceritanya pun relatif simpel. Ini bisa jadi kelemahan atau sebaliknya jadi nilai lebih, tergantung darimana penonton menilai ‘hiburan’ bagi mereka sendiri. Bagiku, film ini oke, tapi memang mestinya bisa lebih seru lagi. Ritme dan petualangan, serta pertarungannya mestinya bisa lebih diperhatikan lagi. Karena ada beberapa bagian yang terasa seperti film ini melewatkan kesempatan besar.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GODZILLA VS. KONG

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Perusahaan jahat di film ini bernama Apex, yang diambil dari istilah ‘apex predator’. Mengisyaratkan bahwa manusia adalah predator puncak dari rantai makanan. Apakah menurut kalian predator memang lebih baik daripada makhluk lain di bawahnya? 

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE FATHER Review

“Why not try to enter their reality?”
 

 
Nominasi yang bakal bertanding memperebutkan Best Picture Academy Awards 2021 telah diumumkan. Dari delapan film tersebut, sebagian besarnya memang powerhouse, yang difavoritkan banyak penonton – kritikus atau bukan. Orang-orang akan menjagokan Nomadland dan Sound of Metal karena kemegahan teknis dan arahannya. Minari karena kehangatan dan karakternya. Promising Young Woman karena keberanian dan keedgyan gagasannya. Mank for the love of Cinema. The Trial of the Chicago 7 beserta Judas and the Black Messiah yang bicara seputar isu penting kemanusiaan. Tidak banyak yang sampai ke telingaku, berbicara soal The Father. Drama relasi ayah dan anak yang disadur oleh sutradara Florian Zeller dari naskah teater garapannya sendiri ini seperti sedikit terlupakan. Padahal, setelah kutonton, film ini ternyata memberikan kita pengalaman yang sekiranya sulit terlupakan. Dan ini ‘lucu’, mengingat filmnya sendiri bicara tentang orang yang perlahan (tapi pasti) kehilangan ingatannya.
To be honest, aku pun sendirinya berpikir ini bakal jadi tontonan yang cukup boring. Sudah kebayang film ini akan berisi percakapan antara ayah dan anaknya. Dan tentu saja, film ini memang berisi dialog demi dialog antara ayah yang berusaha memahami keadaan anaknya sekaligus juga tentang anak yang mencoba melanjutkan hidup sementara orangtuanya tersebut dalam keadaan yang tidak segampang itu untuk ditinggalkan. Kondisi ayahnya itulah yang membuat film ini tidak pernah menjadi semembosankan apa yang ku bayangkan. The Father adalah drama hubungan ayah dengan anak, sementara sang ayah ini mengidap Alzheimer. Dementia mulai menggerogotinya. Sehingga setiap kali percakapan mereka tampil di layar, selalu ada something interesting (dan mengkhawatirkan) yang terjadi di baliknya.

Mengalami langsung bingungnya dementia.

 
Banyak film yang membahas tentang dementia yang dialami oleh pengidap Alzheimer. Tahun lalu misalnya, ada Relic. Lalu belum lama ini, ada film horor Indonesia yang memejeng (iya memejeng doang!) karakter dementia yakni Affliction. kebanyakan film yang membahas tentang kengerian dementia memang membahas dari ketakutan dari menghadapi penderita dementia itu sendiri. Dealing with them dapat menjadi pengalaman yang mengerikan, terutama karena kita tahu penderita gak bakal bisa disembuhkan. Kenyataan bahwa mereka kian hari semakin melupakan kita itulah yang biasanya disimbolkan menjadi cerita horor atau jadi kaitan drama yang merenyuhkan hati. Di sinilah letak keunikan dari The Father. Film ini mengambil langkah yang ekstra dengan menempatkan kita langsung pada sudut pandang si penderita dementia.
Sebagian besar durasi, kita akan mengalami kebingungan itu bersama Anthony. Pria tua ini, diceritakan, menolak untuk dibantu. Setiap kali putrinya mendatangkan juru-rawat, Anthony selalu ngejutekin. Anthony gak suka dianggap tak berdaya. Terutama, dia curiga kalo mereka-mereka itu datang untuk mencuri jam tangannya. Padahal Anthony-lah yang selalu lupa menaruh jam tersebut di mana. Seiring film berjalan, semakin banyak hal yang membuat Anthony mengerutkan kening. Percakapan dia dengan putrinya, Anne, selalu berubah-ubah. Anthony yakin putrinya itu ingin ke Perancis, dan bahwa putrinya belum menikah. Tapi kenapa sering juga ada pria lain muncul di rumahnya. Mengaku sebagai suami Anne. Dan Anne bilang dia tidak pernah mau ke Perancis. DAN, ngomong-ngomong soal Anne, kenapa pula wajah putrinya ini berubah-ubah. Anthony tak abis pikir. Rumahnya ternyata bisa jadi bukan rumahnya. Pagi ternyata malam. Kenyataan mulai terpecah-pecah di dalam kepala Anthony, sampai dia sadar dia tidak mampu lagi menyatukan semuanya.

Yang paling mengerikan dari dementia adalah kenyataan bahwa penyakit itu tidak bisa dihentikan. Usaha menyembuhkan penderita dengan membawa mereka kembali mengingat realita adalah usaha yang sulit dan dibilang mustahil. Florian Zeller tampaknya mengerti akan hal tersebut. Makanya, film The Father ini dia susun sebagai pengalaman menonton yang menempatkan kita ke dalam benak atau realita yang dialami oleh si penderita. Itu dilakukan karena mungkin, itulah cara yang paling dekat dengan usaha menyembuhkan penderita dementia.

Nonton ini tuh kita seperti ikutan ‘sinting’. Untuk memberikan kesan confusing yang dialami oleh Anthony, sutradara benar-benar detil membangun set dan menggunakan latar. Kemudian menyempurnakannya dengan editing. Ngedip dikit, dan kita akan ikutan bengong melihat kenapa kantong plastik belanjaan itu berubah warna dari putih ke biru. Perubahan-perubahan kecil seperti demikian itu kerap terjadi di layar. Isi ruangan tempat tidur yang berpindah susunan. Keramik wastafel dapur yang berganti. Dan tentu saja, orang-orang yang muncul di sekitar Anthony. Semuanya kerap berubah. Anne yang di adegan sebelumnya, berwajah berbeda dengan Anne yang ternyata baru pulang dan muncul di pintu depan. Keganjilan-keganjilan ini semakin intens seiring durasi. Bagian favoritku adalah adegan makan malam yang percakapan mereka tampak ngeloop. Anthony datang, menguping Anne dengan suami mendebatkan soal mengirim dirinya ke institusi, kemudian mereka makan ayam, kemudian Anthony ke dapur ngambil ayam lagi, dan kemudian dia menguping Anne dan suaminya kembali. It’s weird, dan terutama menyeramkan karena kita juga berusaha merasionalkan yang terjadi – persis seperti yang dirasakan oleh Anthony.
Treatment begitu mengingatkan kita pada I’m Thinking of Ending Things (2020); thriller melankolis yang juga bermain dengan memori, yang terwujudkan oleh karakter dan objek yang berubah-ubah. Bedanya, The Father tidak menggunakan treatment tersebut untuk menghasilkan suasana sureal. Melainkan justru menguatkan feeling kebingungan yang grounded. Film ini berhasil membawa kita mengalami yang dirasakan Anthony. Mengalami bagaimana dementia itu bekerja, dengan mendekati asli. Karena memang, satu-satunya alasan kenapa film-film yang mengusung Alzheimer dan dementia lebih banyak mengeksplorasi dari sudut keluarga atau dari pengasuh terdampak, adalah sulit merepresentasikan dementia yang sebenar-benarnya itu seperti apa. Sulit untuk mendapatkan perspektif yang total akurat. Tentunya kita tidak bisa menanyakan kepada penderita. Sehingga, yang bisa dilakukan hanyalah dengan menginterpretasi. The Father really did a great job dalam interpretasi tersebut. Treatmentnya tadi sanggup mewakili perasaan bingung dan sensasi kehilangan sense of realita diri sendiri. Dan tentunya, treatment tersebut hanya bersifat sebagai pendukung. Apa yang didukung? tentu saja adalah karakter. Dan The Father punya karakter yang ditulis dengan sama detilnya.
Dari segi alur memang tidak banyak yang terjadi pada film ini. Percakapannya pun cenderung diulang-ulang, tapi tetap menarik karena situasi dan pelakon yang berubah-ubah. Kekuatan film ini ada pada bangunan karakter. Anthony dan Anne punya banyak lapisan masalah. Inilah yang terus digali dan dijabarkan dengan hati-hati oleh film. Lapisan permasalah itulah yang bakal mendorong kita untuk peduli kepada mereka. Hubungan mereka berdua diwarnai oleh masalah mulai dari Anthony yang tampaknya lebih sayang kepada adik Anne, dan lalu adik tersebut meninggal, yang kemudian jadi berkembang hingga ke rumah yang ditempati sekarang apakah punya Anthony atau punya Anne. Anthony sendiri bukan orang yang gampang untuk diajak berdialog, bahkan sepertinya sebelum dia dementia dia sudah ‘sulit’ berurusan ama orang seperti begitu. Dalam artian, Anthony adalah orang yang ‘punya caranya sendiri’. Begitu kata Anne yang berusaha memaklumi sifat ayahnya. Memainkan karakter sekompleks Anthony itulah saat bagi Anthony Hopkins menunjukkan kemampuan aktingnya (yang ternyata masih tajam!) Menjelang akhir, Anthony semakin tidak bisa menempatkan apa yang sedang terjadi. “I don’t know what’s happening anymore” katanya, tapi ia mengucapkannya tetap dengan nada menguatkan diri. Sudah bukan rahasia kalo Hopkins adalah aktor yang piawai, tapi tetap saja aku pribadi salut karena di sini tentulah perannya terasa really close to home for him. Kevulnerablean yang ditampilkannya di sini mungkin adalah cerminan dari bagaimana dia yang udah umur segitu disambangi langsung oleh dementia.

somehow di sini Anthony Hopkins gaya dan cara ngomongnya menurutku mirip sama Slamet Rahardjo

 
 
Olivia Colman sebagai Anne pun bermain sama vulnerable dan meyakinkannya. The Father tidak hanya menyajikan perspektif Anthony si penderita, tapi sesekali juga membawa kita menyelami kesulitan dan keresahan yang menimpa keluarga yang merawat penderita. Film melakukan ini supaya kita bisa lebih mengerti dampak mengerikan dari dementia yang ‘kejam’ tersebut. Semua itu untuk meng-enchance drama. Untuk menambah kedalaman lewat lapisan dari sudut pandang yang berbeda. Sekaligus diperlukan supaya film tidak melaju ke arah misteri, atau setidaknya supaya film tidak berbelok menjadi semakin mirip dengan apa yang dihasilkan oleh I’m Thinking of Ending Things. Karena jika hanya dari sudut pandang Anthony, besar kemungkinan kita bakal melihat Anne sebagai this impossible being, bahkan bisa jadi Anne tampak seperti antagonis.
Namun memasukkan sudut pandang Anne juga membawa sedikit minus bagi penceritaan, karena sudut pandangnya ini cukup messed up dengan treatment dan gaya bercerita yang sudah mantap pada Anthony. Misalnya, ada bagian ketika kita malah melihat hal dari dalam benak Anne. Film menjadi terlalu surealis dengan adegan ‘percobaan pembunuhan’, yang tentu saja berlawanan dengan niat di awal yakni untuk tidak menjadi terlalu surealis dan tidak menjadi slightly over-the-top. Jadi ya, menurutku memasukkan sudut pandang Anne di sini menjadi sesuatu yang dibutuhkan, meskipun memang membuat sudut pandang dan penceritaan menjadi sedikit terganggu. It is a risk, dan film berusaha sebaik mungkin dalam menampilkannya.
 
 
 
Berkat kebanalan dari sudut pandang penderita, film ini diakui banyak orang sebagai gambaran yang akurat, sekaligus dramatis, dari penyakit mengerikan yang bisa menimpa siapa saja di masa tua. Film ini membuat kita merasakan pengalaman dan keadaan jiwa yang bikin gak enak tersebut. Semua itu dilakukan dengan treatment dan editing yang cermat, dan terutama ditambah menjadi maksimal oleh permainan akting kelas legenda. I don’t know about you guys, tapi kupikir jika agenda dan ke-happening-an bisa disingkirkan sementara, maka film ini adalah kuda hitam dalam Oscar nanti. Film ini harusnya bisa dibicarakan lebih sering dan oleh lebih banyak orang lagi. Karena dia benar-benar menawarkan pengalaman menggugah, seperti yang dijanjikan oleh sinema.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE FATHER.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya pengalaman dengan keluarga yang direnggut oleh dementia?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA