INFINITE Review

“Life is about reinventing yourself”

 

Apakah ada hal di dunia ini yang bisa kalian kerjakan, tanpa kalian yakin kenapa kalian bisa melakukannya? Misalnya seperti kalian ternyata bisa mencetak gol walaupun selama ini kalian belum pernah memegang bola. Atau kalian bisa langsung jago ngendarai sepeda walaupun baru satu kali latihan. Well, film Infinite buatan Antoine Fuqua bilang itu bukan karena bakat. Melainkan karena itu adalah keahlian yang kita bawa dari kehidupan sebelumnya. Infinite memang bicara tentang reinkarnasi. Konsep dasar yang jadi tulang punggung ceritanya adalah bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang terus-menerus lahir-kembali ke dunia, dan mereka membawa bukan hanya kemampuan yang telah dipelajar di sepanjang garis kehidupan mereka, melainkan juga beban atas hidup yang basically tak-terputus.

Konsep yang sebenarnya menarik banget untuk dijadikan cerita action sci-fi yang manusiawi. Namun sayangnya, film ini sendiri ternyata tak lebih dari sekadar reinkarnasi puluhan film-film action sci-fi; tanpa punya kemampuan spesialnya tersendiri.

Aku gak tahu apakah novel source-materi film ini memang bahasannya simpel, tapi yang jelas – yang kita lihat di film ini – memang Fuqua sepertinya lebih tertarik mendesain action pieces ketimbang berkutat dengan persoalan reinkarnasi dan permasalahan manusiawi yang dibawa olehnya. Ketika kita bertemu dengan Mark Wahlberg yang jadi Evan si tokoh utama, film seperti telah mencukupkan dirinya dengan narasi voice-over berisi eksposisi (bahwa di dunia cerita ini ada dua golongan orang yang bereinkarnasi; golongan jahat yang mencoba mengakhiri dunia supaya reinkarnasi juga berakhir, dan golongan baik yang mencoba menyetop golongan jahat) Yang dijanjikan film ini kepada kita lewat adegan pembukanya adalah aksi-aksi laga yang mustahil tapi fun. 

infiniteTrailer-infinite-2
Kapan lagi ngeliat Marky Mark nusuk pesawat pake pedang, kan?

 

 

Sisi baiknya memang adalah bahwa film ini enggak inkar janji. Penonton yang suka dengan sekuen-sekuen aksi heboh – yang nyerempet garis antara impossible dan dumb – bakal terhibur habis-habisan dengan yang ditawarkan Fuqua pada film ini. Evan ternyata adalah reinkarnasi dari seorang jagoan yang punya kepandaian cukup banyak, salah satunya adalah keahlian membuat pedang. Malahan di kehidupan terakhir sebelum Evan, si jagoan sedang dalam tahap mengembangkan kekuatan super ala superhero. Jadi, film ini punya begitu banyak taman bermain, mulai dari kejar-kejaran mobil, tembak-tembakan, bertempur pake pedang – either di atas jembatan atau di dalam pesawat yang berputar-putar, and I haven’t reach the punchline yet; melawan musuh berpistol ajaib! Aku langsung teringat sama adegan Cloud berantem lawan tiga clone Sephiroth di Final Fantasy VII Advent Children. Karena memang aksi di Infinite ini seru seperti itu.

Tapi begitu mengingat cerita yang dikesampingkan oleh sekuen-sekuen aksi tersebut, ya rasanya nonton film ini jadi kecewa juga. Evan selama ini tumbuh dewasa dengan mengira dirinya schizophrenia. Dia melihat mimpi-mimpi dan halusinasi tentang kejadian dan orang-orang yang tak ia kenal. Dia discover dirinya bisa melakukan hal-hal yang tak pernah ia pelajari. Film ini menyederhanakan konflik pelik itu dengan jawaban bahwa semua itu adalah memori dari kehidupan terdahulunya. Sehingga Evan yang sekarang ini hanyalah empty shell tempat si karakter jagoan bersemayam. Kepribadian atau karakter yang ia punya sebelum dia sadar dirinya adalah Treadway si jagoan, seperti menyatu begitu saja dengan kepribadian Treadway yang kita lihat di beberapa flashback; kalo gak mau dibilang kepribadian Evan itu menghilang. Film tidak menyelami persoalan kepribadian dan reinkarnasi lebih lanjut. 

Walaupun mengambil referensi kepada ajaran agama, tapi konsep reinkarnasi yang ada di sini dibikin simpel-simpel aja. Evan, maupun rekan-rekannya yang berjiwa imortal, tak pernah terlahir kembali sebagai tubuh yang bukan mereka. I mean, Treadway tidak pernah terlahir jadi cewek, atau temen cewek Treadway tidak pernah terlahir sebagai cowok sehingga dia dan pasangannya selalu jadi couple hetero. Melihatnya dari sini saja sudah cukup kelihatan betapa boringnya cerita film ini. Penggaliannya yang mentok variasi itu pun sebenarnya masih bisa jadi cerita menarik kalo karakter-karakter itu benar-benar digali. Tapi ternyata juga tidak. Film menghabiskan waktunya dalam menyadarkan ingatan Treadway yang bersemayam sebagai Evan alih-alih menjalin hubungan antara karakter-karakter yang terus berjuang bersama tersebut.

Melihat karakter yang berusaha menyadari apa yang bisa jago dia lakukan (not really berusaha malah, melainkan lewat alat canggih) tentu saja terasa hampa dibandingkan jika melihat karakter yang berjuang memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Dan memang begitulah semestinya makna dari reinkarnasi. Hidup berkali-kali, berarti mati berkali-kali. Berarti karakter kita sudah melakukan banyak kesalahan berkali-kali. Mengalami kehidupan seperti itu harusnya jadi pembelajaran. Namun tidak ada hal tersebut kita lihat terjadi pada karakter-karakter film ini, yang terus saja dibuat mengalami nasib yang itu-itu melulu

 

Antagonis di cerita ini, misalnya, adalah mantan teman seperjuangan Treadway. Pandangannya terhadap kehidupan terus-menerus mereka menjadi berbeda karena somehow si antagonis tidak pernah mengalami fase ‘lupa’ saat dia terlahir. Dia langsung ingat akan semua masalah. Dan ini membuatnya sama manusia, dan sama kehidupan. Jika film ini menggali dan membawa kita menyelam bersama karakter ini – melihat bagaimana dia dan Treadway dan rekan-rekan lain feel tentang reinkarnasi untuk pertama kali, maka hubungan mereka akan lebih genuine. Tapi film malah tetap sibuk berkutat pada hal-hal gak make sense, supaya ceritanya tetap simpel. Alih-alih membahas kenapa si antagonis kemampuan reinkarnasinya berbeda, film malah memperlihatkan hal lain yang malah membuatnya jadi penjahat komikal. Kaya, punya banyak pasukan, dan segala macam. Motivasinya yang mestinya mendalam, dalam film ini malah terlihat seperti sesepele mencari ‘telur penghancur’.

infinitemark-wahlberg-infinite-01-700x400-1
He owns an awesome soul capturing weapon tho

 

Tentu saja aku bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus atau apa. Menilai film tentu saja tetap melihat dari jadi apa film tersebut pada akhirnya. Dan itulah yang sedang berusaha aku sampaikan. Bahwa dengan menjadikan film ini simpel, dengan tidak mengacknowledge – apalagi membahas – hal-hal rumit dan menarik yang sebenarnya ada menempel pada cerita, maka film ini pada akhirnya hanya menjadi laga sci-fi generik yang gak ada bedanya dengan film-film sejenis. Identitas film ini adalah soal reinkarnasi, tetapi dari yang kita tonton sepanjang seratus menit durasi, film ini terasa sama aja dengan cerita orang yang hidup lama tapi lupa sama kekuatannya. Yang udah lumrah banget. The Old Guard-nya Charlize Theron yang tayang belum lama ini juga mirip-mirip kayak ini; sekelompok orang yang hidup ratusan tahun berjuang di dunia modern. Evan dan kawan-kawan basically immortal seperti karakter Theron di film tersebut. Dan persis di ‘basically‘ itulah film Infinite ini menempatkan dirinya.

Jadi, flaw film ini terutama adalah pada kegagalan menguarkan identitasnya. Cerita Evan ini bahkan mirip ama cerita Cole di Mortal Kombat kemaren. Evan bisa dengan gampang ‘diganti’ sebagai keturunan dari si pembuat pedang di Jepang, atau si Treadway, dan dia harus berlatih menemukan panggilan originnya, melawan kenalan di masa lalu yang terus abadi memburunya. Infinite perlu banget untuk memperkuat soal reinkarnasi yang dia punya. Karena tanpa itu, filmnya jadi gak spesial.

Aksi-aksi sensasional hanyalah bumbu yang juga dipunya oleh film-film sejenis, yang malah memang fokus ke arah sana. I mean, kenapa kita mau nonton kejar-kejaran mobil di sini jika di bioskop sedang tayang film franchise yang namanya udah segede gaban, kan. Gak ada lagi excitement kita saat mengikuti Infinite ini. Apa lagi yang dipunya film ini? Nama-nama gede? Well, bahkan Mark Wahlberg aja di sini tidak tampak antusias. Dialog karakternya datar dan minim excitement. Evan baru saja mengalami halusinasi paling menyirap darah seumur hidupnya, tapi reaksinya cuma, “Wow, that felt real”

Aku bilang, “Wow, this feels like a waste of time!”

 

 

 

Maaan, Juni ini kita dapat film jelek melulu. Film ini terlalu generik bahkan jika tujuannya memang hanya untuk menghibur. Kesempatan menang film ini hanya ada pada sekuen-sekuen aksi, itupun juga lombanya adalah heboh-hebohan aksi. Di baliknya benar-benar tidak ada apa-apa. Karena film telah memilih untuk mengesampingkan identitas, demi membuat dirinya tampil simpel. Tampil tidak berat. Kemungkinan pembahasan film ini sebenarnya bisa cukup dalam, dan katakanlah – endless. Tapi ironisnya, justru film ini membatasi dirinya sendiri. Dan sebagai salt to our wound, bagian akhir film akan memperlihatkan sebuah representasi yang ngasal dan apa adanya hahaha..
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for INFINITE.

 

 

That’s all we have for now.

Jika bisa memilih, kalian pengen bereinkarnasi menjadi apa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PERSEPSI Review

“Change the way you look at things”

 

Di usiamu yang sekarang, mungkin kalian pernah sesekali ngerenungin soal hal sia-sia yang pernah kalian lakukan sepanjang hidup. Let’s do a quick recap about that! Mungkin… kalian ngerasa sia-sia udah milih jurusan A tapi lantas kerja di bidang B? Atau kalian udah begadang ngerjain tugas dan kemudian lupa ngesave? Nyuci mobil lalu saat berangkat hujan turun? Udah deketin bokap-nyokapnya, tapi sebulan kemudian putus? Well, semua hal tersebut sebenarnya gak sia-sia banget. Semua itu hanyalah persepsi kita. Jika kita melihatnya sebagai hal negatif, yang kita rasakan akan negatif pula. Padahal tentu saja ada hikmahnya kalolah kita memaknai peristiwa dalam hidup lewat sorotan cahaya yang positif. Tapinya lagi, ternyata dalam hidup ini memang ada hal yang totally sia-sia. Yang mau jungkir balik pun persepsi kita, hal tersebut tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang worthy of something. Apakah hal tersebut?

Nonton film Persepsi karya Renaldo Samsara.

Penggemar Arifin Putra siap-siap kecewa karena nongolnya sedikit dan itupun sebagian besar di belakang kamera

 

Cerita Persepsi ini adalah tentang seorang ilusionis bintang televisi terkenal bernama Rufus Black  – yang clearly film favoritnya adalah The Lion King karena catchphrasenya dicomot dari Mufasa’s “Semua yang disentuh cahaya adalah…” – yang menantang empat orang untuk tinggal selama lima hari di rumah mewahnya. Lingga, Michael, Risma, dan Laila (diperankan oleh Irwansyah dan kawan-kawan selebnya) tentu saja mau karena siapa yang sanggup bertahan hingga akhir akan memenangkan rumah tersebut beserta uang satu juta dolar. The catch is, rumah tersebut ternyata bekas TKP pembunuhan sadis yang melibatkan satu keluarga. Belum satu hari, dan kita melihat keempat peserta tersebut mulai diganggu oleh hal-hal ganjil dan kejadian-kejadian flashback berbahasa inggris.

Jadi ini ceritanya semacam acara Penghuni Terakhir, dengan horor ‘beneran’. Dan untuk membuatnya unik, Persepsi ini dijual sebagai horor-thriller pertama di Indonesia yang bercerita pake first-person point-of-view. Untuk sebuah horor-thriller, tentu saja ini adalah konsep yang cocok. Kita dibuat melihat dan merasakan pengalaman seram secara langsung, seolah kita sendirilah yang berada di sana. Makanya kan banyak video game horor yang pake konsep first-person. Nonton film ini memang jadi kayak main Resident Evil Village yang terbaru itu. Tentunya konsep pov ini jadi tambang emas buat jumpscare. Dan tampaknya memang pada konsep beginilah jumpscare paling bisa dimaklumi untuk dilakukan. Tahun 2015 lalu, ada film action-gory berjudul Hardcore Henry yang menggunakan pov orang-pertama seperti ini. Dan film itu pol-polan ngegas bermain di konsep sadis-sadisan tersebut sehingga kita benar-benar seperti sedang bertarung berdarah-darah. Persepsi, sebaliknya, adalah film yang lebih tenang. Tidak banyak aksi, melainkan lebih ke melalui cerita dan gerakan sehari-hari, yang dimainkannya untuk mencapai jumpscare maksimal.

I’m not gonna lie, there are some effective scares here. Karena tidak banyak ruang untuk build up, maka adegan-adegan seram di film ini bisa caught you off guard. Persepsi bermain dengan persepsi karakter untuk menghasilkan kejutan horor, mereka melihat hal yang mungkin tidak benar-benar terjadi, tapi bahaya yang menanti mereka tetap asli. Seperti adegan yang melibatkan makanan di dalam oven; film cukup mulus membuat ‘sulap’ kerja-kamera dan edit pada adegan-adegan yang dihasilkan dari persepsi tersebut.  

Konsep first-person ini memang juga diselaraskan dengan tajuk film, yakni tentang persepsi. Tentang bagaimana seorang individu memaknai yang ia pandang. Tapi, film ini push that even further, dengan tidak menempatkan kita pada satu karakter saja. Gak ada karakter utama yang bisa kita dukung pada cerita ini. Film akan sibuk berpindah-pindah dari satu karakter ke karakter lain. Dan ini membingungkan, karena tidak ada ritme atau pola yang jelas dalam berpindahan. Dalam satu hari pada cerita aja, kadang kita berpindah antara dua karakter. Perbedaan persepsi mereka juga gak jelas. Kita tidak pernah bisa langsung tahu melalui siapa kita melihat kejadian sekarang. Butuh untuk melihat siapa yang ada di sekitarnya dulu sebelum bisa ngeh “oh ini dari sudut si anu.” Dan ini ditambah pula dengan keseringan film membawa kita ber-flashback, yang juga first-person, dengan tidak banyak perbedaan treatment visual dengan keadaan di masa kini; Persepsi menjadi cerita yang malesin banget untuk diikuti.

Padahal dialog film ini not that bad. Setidaknya, tidak melulu pada teriak-teriak nyari orang ilang, teriak-teriak ketakutan, atau komedi garing. Dialognya masih berusaha untuk menguarkan drama. Seperti ada cerita yang diparalelkan antara kejadian masa lalu dan masa kini di rumah itu. Karakternya diberikan masalah yang mirip, mereka seorang ayah. They have to think things through about problems in their family. Yang permasalahannya mengarah ke mengubah persepsi memandang supaya tidak jadi negatif. Supaya tidak stress dan berubah menjadi ayah seperti pada The Shining.

Positif dan negatif, semuanya tergantung dari bagaimana kita memaknainya. Dan kita harus bertindak. Karena meski kadang terlihat seperti ilusi, persepsi adalah hal nyata yang kita ‘pilih’ untuk percaya.

 

But wait, konsep first-person langsung dari mata karakter (bukan found-footage atau kamera) yang dipakai ini tak pelak terasa janggal. Karena cerita mereka ini semestinya adalah acara untuk televisi; programnya si Rufus Black. Tapi kenapa tidak ada kamera di rumah itu. Tidakkah Rufus Black merekam semua itu untuk keperluan acaranya? Siapa pula yang sebenarnya melihat flashback-flashback itu? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin terlintas dalam benak kalian saat menonton, dan ini harusnya bisa jadi red flag. 

Durasi film ini aja sebenarnya udah red flag abis. Lima-puluh-dua menit. Bahkan lebih pendek daripada Host yang tayang tahun lalu. Kenapa red flag? Karena film-panjang itu biasanya dibangun dalam struktur tiga-babak, yang setiap babaknya adalah ruang untuk mengembangkan journey dari karakter. Banyak film melakukan itu dengan pembagian sekitar 30 menit untuk babak Satu dan Tiga, kemudian 60 menit babak Dua. Nah bayangkan cerita yang hanya punya 50 menit – yang kurang dari babak Dua cerita film-panjang pada umumnya. Bagaimana mereka memuat set up, pengembangan, dan konflik ke dalam ruang yang sesempit itu. Tapi aku ngasih film ini kesempatan. Irwansyah yang jadi produser juga kabarnya sangat memperjuangkan cerita ini untuk difilmkan. Budget film ini juga tampak gak banyak-banyak amat terlihat dari desain produksinya, tapi mereka tampak mencoba untuk memaksimalkan itu dengan konsep bercerita dan segala macam. There are efforts. Jadi kupikir, mereka memang punya sesuatu untuk diceritakan. Tapi ternyata tidak. This movie is all about gimmick. Film tidak ingin bercerita kepada kita, melainkan mereka ingin bilang “Kena, deh!” ke ujung hidung kita semua. Twist. Revealing tak-terduga. Dan inilah satu dari dua persepsi yang harus diubah oleh artis atau siapapun yang ingin membuat film

Habis nonton ini otak kita jadi setengah kosong, bukan setengah penuh

 

Film itu adalah journey. Kejadian-kejadian yang mengisi durasinya, dialog-dialog yang diucapkan oleh karakternya; semuanya penting dan berfungsi untuk menunjukkan jalannya journey tersebut. Everything should matters. Twist dalam cerita merupakan kelokan, yang membuat kita memikirkan ulang apa yang terjadi pada karakter dan journey mereka. Katakanlah, mengubah persepsi kita. Tapi bagi film ini, twist-nya itu adalah kecohan. Semua kejadian sebelum twist tersebut ternyata, storywise, tidak benar-benar terjadi. Melainkan hanya karangan tidak penting, dilakukan hanya untuk ngeswerve penonton. Sehingga, semua pujianku soal dialog yang cukup berbobot, jumpscare yang cukup efektif, juga jadi ternegasi. Karena basically tidak ada cerita. Ayah yang khawatir anaknya sakit tadi? Peristiwa oven maut tadi? Persepsi harusnya bukan ilusi. Tapi nyatanya tidak terjadi apa-apa dalam film ini, selain yang kita lihat di menit-menit terakhir. Film bukan soal seberapa hebat twistnya mengecoh penonton; malah bukan twits namanya kalo malah menihilkan semua kejadian sebelumnya. Malahan, film bukan soal twist, period. Film yang bagus bukanlah film yang ada twistnya. Just tell your story. Berikan penonton journey-karakter yang menarik untuk diikuti.

Kedua, ada sangkut paut dengan durasi tadi. Belum lama ini, Tarian Lengger Maut (2021) juga ternyata sengaja dipotong dari 90 menitan ke 70 menit. Aku gak tahu kenapa jadi seperti tren. Semoga saja bukan karena pengen supaya bisa rilis Director’s Cut di kemudian hari. Karena yang begitu itu jelas adalah persepsi yang salah. Sengaja memotong supaya bisa rilis ulang versi fullnya untuk genjot duit lagi, tidak lebih seperti scam. Director’s Cut atau versi extended atau apalah seharusnya dilakukan karena tidak puas dengan hasil yang pertama, seperti pada kasus Zack Snyder dan Justice League. Bukan untuk dijadikan sebagai siasat jualan yang sudah direncanakan. Lagian siapa yang tertarik minta nambah kalo filmnya jelek. Ada yang sengaja mempersingkat film dan menjadikannya jelek supaya orang makin penasaran, jelas aneh.

 

 

 

Dengan durasinya yang cuma lima puluhan menit, film ini barely sebuah film-panjang. Dengan naskah yang ternyata gak mentingin apa-apa selain cara mengakhiri film dengan wow, film ini barely bisa disebut sebagai sebuah film. Twistnya membuat keseluruhan film jadi pointless. Enggak ada pointnya kita ngikutin kejadian karakter, kalo ternyata karakter itu gak pernah ada sama sekali. Seperti memang, persepsi orang bikin karya film harus diubah. Film itu bukan gaya-gayaan, bukan seru-seruan aja. Kalo memang mau reuni sama teman-teman lama, mending bikin video Youtube aja. Viewernya bisa banyak. Kenapa mesti menodai perfilman Indonesia yang sedang tertatih-tatih berusaha bangkit?
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for PERSEPSI.

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa sih yang mempengaruhi persepsi kita terhadap suatu hal?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

AWAKE Review

“I believe it is by divine design that the role of motherhood emphasizes the nurturing and teaching of the next generation.”

 

Semakin dewasa, manusia akan semakin mengeluhkan bahwa dua-puluh-empat jam sehari itu ternyata tidak cukup. Waktu guru SMAku ceramah soal itu dulu, aku gak begitu ambil pusing. Aku gak relate kala itu. Tapi sekarang terbukti. Kini kepalaku sering pusing-pusing. Karena apa? Karena dua-puluh-empat jam sehari ternyata beneran gak cukup saat kerjaan kita sudah segitu banyaknya. Saat udah gede, dapat enam jam waktu tidur aja rasanya udah kayak menangin lotere. Apa itu tidur siang, melainkan hanyalah privilege yang dimiliki oleh anak kecil. Manusia jadi terlalu sibuk dan banyak kebutuhan hidup sehingga menggadaikan jam tidur. Padahal yang namanya manusia, kan, butuh istirahat. Recommendednya sekitar 7-8 jam sehari. Apa kalian tahu apa yang terjadi jika manusia kurang tidur?

Film terbaru Netflix, Awake garapan Mark Raso, memberikan gambaran yang mengerikan betapa perlunya tidur. Abis nonton ini kita akan sadar petuah paling powerful itu ternyata bukanlah petuah film Dono “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Melainkan seharusnya kata ‘tidur’lah yang menggantikan kata tertawa. Karena tanpa tidur, manusia akan kelelahan dan bisa mati. Namun ada yang lebih parah. Tidak tidur menyebabkan otak kacau. Disorientiasi. Ilusi. Kehilangan kemampuan berpikir kritis. Manusia akan berubah menjadi bar-bar dan bisa saling bunuh saking gilanya!!

awakesa
Tapi tenang, film ini justru akan jadi obat tidur yang ampuh.

 

Cerita Awake berkembang dari premis menarik bagaimana jika manusia tidak lagi bisa untuk tidur. Oh mereka mengantuk, capek, tapi tidak bisa masuk ke state of sleep. Mereka kehilangan kemampuan untuk tidur.  Itu karena, diceritakan, dunia terhantam solar flare or something. Seluruh alat elektronik mati. Termasuk jam internal manusia. Sehingga para manusia, termasuk tokoh utama cerita – Jill, hidup restless di tengah kegelapan. Suasana dengan cepat menjadi kacau begitu manusia-manusia yang mulai kelelahan dan kehilangan rasionalitas itu mengetahui bahwa ternyata ada satu orang yang masih bisa tertidur. Ingat ketika aku bilang tidur itu privilege anak kecil? Nah it was Matilda, putri Jill; satu-satunya orang yang somehow masih normal. Namun itu jugalah yang membuat Jill dan keluarganya berada dalam bahaya. Matilda menjadi rebutan. Kelompok relijius ingin mengorbankannya sebagai Sang Terpilih, sedangkan kelompok militer ingin menjadikannya eksperimen dalam usaha menemukan obat dari ‘pandemi’ tersebut. Jill memilih untuk kabur mencari keselamatan untuk putri dan seorang lagi putranya.

Saat memotret reaksi kelompok-kelompok manusia itulah film ini mencapai titik tertinggi. Awake memuat banyak hal subtil mengenai keadaan mental sosial dalam jangkauan variabel yang luas. Sebagian orang-orang dalam film ada yang berusaha berpikir jernih, ada yang kita lihat akhirnya menyerah karena mereka desperately butuh sesuatu yang membuat mereka merasa aman, dan bahkan ada juga orang-orang yang seperti memanfaatkan semua kekacauan yang terjadi. Kita mengerti film ini memuat potret yang berbobot saat kita sadar ceritanya cuma fantasi tapi kita percaya orang-orang di dunia nyata kurang-lebih akan benar-benar bertindak sesuai dengan yang tergambar di cerita. I mean, kayaknya gak perlu jauh-jauh kita membayangkan. Lihat sendiri saja gimana mentalitas sosial kita yang terbentuk oleh media (dalam keadaan pandemi atau tidak). 

Awake sepertinya memang ingin membuat kita terjaga dari seberapa dekat sebenarnya kita membuat generasi ini hancur hanya dalam beberapa waktu (bahkan jam?) saja. Persoalan gak bisa tidur itu ‘cuma’ lapisan pintar (untuk mengeset keadaan porak poranda lingkungan sosial) yang menyelubungi gagasan sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh film.  Yakni soal nurturing new generation. Kita akan bisa memahami lebih banyak tentang ini dengan melihat kepada Jill, protagonis cerita yang seorang single mother beranak dua. Mark Raso actually membuat Jill sebagai karakter yang padat. Dia punya backstory sebagai mantan tentara – seperti kebanyakan karakter tentara, Jill juga PTSD, dan inilah yang membuat Jill kecanduan obat yang telah merenggut suaminya. Kini Jill bekerja sebagai seorang satpam di rumah sakit, menghidup dua orang anak yang ia titipkan kepada ibunya, sebab karena kondisi ngobatnya dulu itu Jill dinilai tidak layak mengasuh anak. Backstory yang disebar sepanjang durasi ini membentuk saga Jill sebagai sebuah cerita tentang ibu yang kini harus merawat sendiri anak-anaknya, tidak lagi membiarkan mereka dirawat oleh orang lain.

Ini ditranslasikan oleh film sebagai kisah petualangan Jill memperjuangkan keselamatan kedua anaknya. Terutama Matilda yang diincar oleh banyak pihak. Film berusaha terus menggenjot perjuangan Jill dengan memberikannya rintangan termasuk serangan rasa kantuk, kelelahan, dan kesadaran yang terus memudar. Di tengah-tengah semua itu, Jill juga harus menjalin kembali hubungannya dengan Noah si putra pertama, dan mengajarkan survival kepada Matilda. Dengan efektif film ini memparalelkan perjuangan ibu mendidik anak dengan bagaimana generasi muda terbentuk dari sosial yang sekarang. Perjuangan yang tidak pernah tidur.

 

AWAKE_20190810_Unit_00312_R-2-750x400
Bengong ngeliat orang-orang halu merasa jadi titisan Titan

 

Dengan intensi baik seperti demikian, maka memang sayang sekali film ini jatuh ke tangan eksekusi yang buruk. Awake kenyataannya memang akan membuat kita tertidur pulas lebih cepat, sebab bertahan mengikuti petualangan Jill adalah tugas yang sangat menjemukan. Raso seperti terjebak dan kelimpungan sendiri pada tuntutan untuk membuat pengalaman nonton film ini sama-sama disorientating dan chaos. Raso jadi membuat film ini terasa sangat choppy. Terasa terputus-putus. 

Pada editingnya hal ini paling terasa. Ketika fenomena solar flare itu terjadi di awal-awal, sebenarnya cukup seru karena terjadi begitu mendadak. Mobil yang dikendarai Jill, bersama dua anaknya, tiba-tiba mati dan mereka jatuh ke danau. Setelah itulah, semua hal pada film ini mulai terasa disjointed. Anak yang beberapa detik lalu berenang di dekat Jill, tau-tau sudah ada di daratan, diselamatkan oleh polisi. Penduduk kota yang masih tampak kena mati lampu biasa, tau-tau besoknya langsung bikin sekte. Film ini butuh lebih banyak ruang supaya cerita itu berkembang. Raso tidak melakukan ini. Dia melanyau adegan-adegan di naskah tanpa benar-benar memperhatikan apa yang mestinya merekatkan kejadian-kejadian tersebut. Bahkan hal kecil seperti Jill dan anak-anaknya berhenti di hutan karena Matilda capek, dan lantas digendong oleh Jill. Di exactly adegan berikutnya? Mereka bertiga berlari dan tidak ada tanda-tanda capek dari Matilda.

Perlakuan editing yang tidak membuat adegan seperti berkesinambungan seperti ini pada akhirnya membuat adegan menjadi rancu ketika kesadaran Jill semakin berkurang. Dan ini bukan membuat adegan semakin surealis, melainkan semakin awkward. Contohnya adegan di perpustakaan. This feels very disjointed. Matilda yang tadinya masih tidur di mobil, ternyata ada di dalam librari. Jill lalu mengajarkannya menembak buku, pake pistol beneran. Matilda berlari ke luar. Muncul Noah dari dekat buku yang ditembak oleh Jill. Dan shot berikutnya, Matilda sedang tidur lagi di dalam mobil. Kelihatannya film meniatkan Matilda di librari tadi adalah halusinasi Jill, bahwa dia hampir menembak Noah karena lelah dan desperate. Tapi karena editing dan arahannya, adegan tersebut jadi membingungkan.

Dan tentunya juga membuat akting para pemain jadi sama anehnya. Mereka semua jadi terlihat kaku. Gina Rodriguez mencoba keraas untuk hit every notes pada karakter Jill yang punya range cukup luas. Secara garis besar cerita, dia oke. Transformasinya dari ibu pejuang ke orang yang benar-benar sudah lelah tampak meyakinkan. Tapi karena editing dan arahan, setiap scene baru yang melibatkan dia berkomunikasi dengan anak-anaknya, Gina jadi tampak kaku. Begitu pula dengan anak-anaknya. Aku tidak merasa mereka punya chemistry sebagai keluarga beneran. Aku tidak enjoy melihat mereka. Aku tidak merasakan apa-apa kepada mereka. Karakter yang paling enak ditonton justru adalah karakter minor, seorang napi yang kabur dan bergabung bersama keluarga Jill. Tapi bahkan karakter itu tidak mendapat justice karena juga ‘lenyap’ ditelan editing yang buruk. Pada adegan aksi di babak ketiga, antara cut dengan cut adegannya disambung dengan gak make sense dan tanpa arahan pandangan mata yang sesuai. Sehingga benar-benar tidak bisa kita nikmati. Malah membuat film terasa kaku dan, paling parah, terlihat fake.

Cerita film ini pun berakhir dengan tidak benar-benar memuaskan. You know, karena soal solar flare dan ‘gak bisa tidur’ hanya lapisan pemanis, maka film tidak menuntaskan soal itu hingga ke penyelesaian yang sebenarnya. Kita tidak diberikan jawaban kenapa fenomena itu terjadi. Kenapa hanya Matilda (dan satu wanita lagi) yang bisa tidur. Sebagai penyelesaian, film justru berusaha mengikatkannya lagi kepada gagasan soal generasi baru. Dan itu membuat film ini jadi punya ending yang…. kalian baiknya nonton sendiri karena buatku film ini gila banget hahaha.. Aku gak percaya film benar-benar membuat karakter anak-anak itu melakukan perbuatan itu kepada ibu mereka. Kalo yang diniatkan film adalah menyampaikan bahwa pada akhirnya justru generasi barulah yang kini harus ‘mengeset ulang’ generasi sebelum mereka, maan, film ini benar-benar punya selera humor yang gilak!

 

 

 

Ini nyatanya adalah satu lagi film yang punya potensi, yang punya premis dan gagasan menarik di baliknya, tapi eventually gagal dalam mengkomunikasikannya kepada kita para penonton. Dia jadi ribet sendiri sama gimmick lapisan ceritanya. Yang harus dibenahi oleh film ini ada banyak. Pertama dia harus benar-benar ngeset tone ke arah yang dark jika memang mau ceritanya berakhir dengan penyelesaian seperti yang mereka lakukan. Kedua, editing yang choppy mestinya bisa diperbaiki, karena yang mereka tampilkan di sini jadi tampak fake. Bahkan membuat akting pemainnya menjadi tampak kaku; sebagai keluarga pun mereka tampak tak nyaman.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AWAKE.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian akan menyelamatkan anak sendiri? Atau apakah kalian akan menyelamatkan dunia? And how’s that become more of a choice ketimbang bisa dilakukan beriringan?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW Review

“The police must obey the law while enforcing the law”

 

Franchise atau serial film Saw, dulu setia mengisi Oktober kita dengan horor penyiksaan yang sadis, tapi sering juga bisa membukakan mata. Karena setiap film Saw terkenal oleh dua hal. Jebakan-jebakan mautnya. Dan John Kramer; dalang – mastermind yang melakukan semua permainan mematikan tersebut dengan alasan moral yang kuat di baliknya. Walau Kramer telah mati sejak di film ketiga, tapi pengikut-pengikutnya (bahkan peniru dirinya) tetap selalu bermunculan dengan jebakan penuntut keadilan versi mereka. Legacy karakter tersebut seperti jadi perangkap atau jebakan sendiri bagi para pendukungnya, seperti halnya legacy franchise ini menjadi perangkap bagi pecinta filmnya.

Walau seri utamanya sudah usai bertahun-tahun yang lalu, ternyata masih banyak orang yang penasaran dan merasa perlu untuk membuat kembali film lanjutannya. Tahun 2017 yang lalu kita dapat, katakanlah, sekuel terbaru dari Saw. Film Jigsaw tersebut hadir dengan cerita karakter baru dan tampilan yang lebih ‘mahal’, namun masih terkesan sekadar ‘meniru’.  Kali ini, adalah aktor komedi Chris Rock yang bermaksud melanjutkan permainan maut tersebut. Rock yang jadi salah satu eksekutif produser di sini, menggaet Darren Lynn Bousman (sutradara Saw II, III, dan IV), untuk mewujudkan visinya menceritakan kisah Saw ke dalam dunia kepolisian yang sedang berpilin menurun seperti yang kita rasakan sekarang.

Dan tentu saja, sekali lagi aku dengan suka rela melangkah masuk ke ‘perangkap’ alias film terbaru dari dunia Saw ini!

Spiralcreen-Shot-2021-03-30-at-9.30.34-PM
Jadi ini adalah cerita tentang pembunuhan berencana, bukan tentang keluarga berencana

 

Dan, ya, sekali lagi aku merasakan penderitaan seperti sedang disiksa saat nonton film ini.

Saw adalah salah satu seri thriller favoritku. Film-film Saw malah salah satu yang membuat aku jadi tertarik sama yang namanya nonton film. Perjalanan nonton filmku dimulai dari genre horor dan thriller, dan Saw ada di sana mengawal experienceku. It is actually very painful untuk melihat sesuatu yang kita suka, yang kita pedulikan, yang kita merasa harus berterima kasih kepadanya, terus ada tapi tidak akan pernah bisa sebagus dirinya yang dulu.

Ide Chris Rock sebenarnya menjanjikan. Karena yang dia usulkan di sini adalah cerita yang relate dengan permasalahan yang masih hangat. Chris Rock menempatkan dirinya sebagai seorang detektif polisi. Ezekiel “Zeke” Banks. Anak dari mantan kepala polisi yang dihormati rekan-rekannya. Tapi Zeke sendiri, well, di bawah tekanan mental untuk menjadi sehebat ayahnya, Zeke malah semacam dijauhi oleh rekan-rekan polisi. Atau mungkin lebih tepatnya, dia yang menjauhi. Begini, Zeke orangnya intens banget. Dulu dia pernah memenjarakan rekan polisinya sendiri yang ia ketahui melanggar garis hukum. Sejak itulah, Zeke selalu beroperasi sendiri. Sampai kasus Spiral terjadi. Zeke dipasangkan dengan detektif muda, untuk mengusut pembunuhan berantai yang korban-korbannya actually adalah rekan-rekan polisi di precint Zeke, yang satu persatu menghilang saat melaksanakan tugas. Zeke pun lantas menemukan dirinya sebagai pusat dari permainan maut ala jigsaw.

See, cerita Chris Rock ini seperti mengambil halaman dari buku Saw dan meletakkan ke panggung yang lebih luas. Misteri kejadian apa di masa lalu, apa hubungannya dengan kasus sekarang; Ini jadi full-blown investigation story ketimbang cerita sekelompok orang terjebak seperti biasa. Film ini bahkan fokusnya bukan bener-bener pada perangkap atau jebakan mematikan lagi. Tentu, dalam selang tertentu kita akan melihat polisi yang tertangkap kemudian dipaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perangkap maut (potong lidah/potong jari-jarimu untuk bisa selamat!) Perangkapnya masih sanggup bikin ngilu yang nonton, dan bahkan direkam lengkap dengan ke-cheesy-an khas sekuel-sekuel Saw; cut-to-cut cepat dengan gerakan yang juga dipercepat, untuk menghasilkan kesan panik si orang yang kena perangkap. Tapi perangkap-perangkap di film ini tidak mencuat. Kalo ada yang bikin list ’10 Perangkap Termaut Dalam Film-Film Saw’, perangkap-perangkap dalam film ini pasti gak akan ada yang masuk. Karena memang dibikin biasa aja. Karena memang, film ini memfokuskan kepada siapanya. Siapa yang dijebak ituSpiral is more about characters study. At least, niatnya sih sepertinya begitu.

Yang kita lihat disiksa di sini bukanlah penjahat, melainkan polisi yang seharusnya menangkap penjahat. Dan itu karena polisi-polisi ini justru telah atau pernah berbuat jahat. Maka, film ini bicara kepada kita tentang kebobrokan polisi. Nerima suap, korupsi, ringan tangan (alias nembak/mukul dulu baru nanya) adalah ‘penyakit-penyakit oknum’ yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan menegakkan hukum. Apalagi melindungi rakyat. Melainkan justru memperkaya kriminalitas yang ada.

 

Seharusnya film membiarkan kita meresapi apa yang terjadi pada polisi-polisi tersebut. Apa yang telah mereka lakukan. Apakah mereka pantas mendapatkan ganjaran. Apakah sebenarnya justice itu. Seharusnya film memberikan waktu kepada Zeke untuk berefleksi, untuk berpikir. Jika film ini memang meniatkan untuk menjadi lebih seperti studi karakter ketimbang torture porn, maka film seharusnya memberikan ruang untuk eksplorasi karakter dan reaksi dan perkembangan mereka. Tapi nyatanya, Spiral sama sekali tidak memberikan itu. Tempo dan iramanya digenjot untuk intens terus. Hampir di semua adegan isinya orang-orang berteriak. Mau itu marah, panik, atau malah saat ngelontarin jokes aja karakter dalam film ini nadanya tinggi. Film yang baik itu seperti roller coaster, kita dibawa naik turun seiring karakter yang juga merasakan naik turun. Spiral ini, sedari perangkap di opening selalu menurun tajam. Yang kita dengar itu jadi seperti hanya suara-suara keras yang bising. 

spiral013360_966x543_637554024029131057
Tidak membantu pula Chris Rock yang suaranya khas banget sebagai suara komedi

 

Bintang komedi yang mencoba untuk keluar dari zona nyaman dengan bermain di peran yang lebih dramatis, atau lebih serius, atau sekadar lebih jauh berbeda dari perannya yang biasa. Tentu ini adalah hal yang bagus, yang harusnya berani dilakukan oleh lebih banyak penampil (atau studio). Baru-baru ini, misalnya, kita melihat Adam Sandler jadi gambling addict, Kevin James jadi bos kriminal, Bob Odenkirk jadi bintang laga! Dan sekarang, gilirannya Chris Rock. Spiral ini mestinya bisa jadi kendaraan yang mengukuhkan posisinya sebagai aktor luwes film panjang. Namun dari tone film ini yang didesain intens terus menerus, sepertinya mereka sendiri gak yakin Chris Rock bisa menangani peran yang lebih serius. Intensnya Zeke di sini itu translasinya pada layar adalah, Zeke teriak-teriak terus. Melotot-melotot. Tak ketinggalan, bibirnya dimonyong-monyongin. Seolah film try too hard untuk membuat Zeke tampil intens. Kamu ngomongnya harus keras biar kelihatan emosional. Padahal untuk menunjukkan emosi karakter, untuk membantu Chris Rock menemukan ‘suara’ dramatisnya, yang perlu dilakukan film ini cuma satu; Menggali hubungan karakter Zeke dengan ayahnya. Put it out front-and-center.

Padahal Samuel L. Jackson loh yang jadi ayah Zeke itu. Bayangin, Chris Rock dan Samuel Jackson jadi ayah-anak polisi, interaksi mereka seharusnya bisa endless. We could watch that all day! Tapi film ini justru membatasi interaksi mereka. Adegan mereka interaksi di film ini tuh gak lebih dari lima kali, kayaknya. Hubungan Zeke dengan ayahnya, yang clearly punya pengaruh besar dalam hidup dan karirnya, hanya diperlihatkan lewat flashback.

Flashback yang, by the way, dilakukan dengan enggak bener pula. Aneh perspektifnya. Karena, editing yang dilakukan film ini seperti membuat bahwa flashback yang kita lihat itu adalah memori atau pengalaman yang sedang diingat ulang oleh Zeke. Misalnya, kita melihat Zeke terduduk, dan kita masuk ke flashback – seolah masuk ke ingatannya. Nah, dengan begitu, seharusnya kita hanya melihat yang diingat oleh Zeke saja, karena itu adalah perspektif dirinya. Tetapi, adegan flashback itu terus berjalan, terus kita lihat, padahal Zeke udah gak ada pada adegan flashback tersebut. Bagaimana Zeke bisa mengingat kejadian yang tidak dia saksikan in the first place. Dengan perspektif gak jelas seperti itu, jelaslah sudah bahwa film ini  menggunakan flashback sebagai cara mudah untuk mengeksposisi kejadian. Film tidak concern sama development karakter sama sekali.

 

 

Pada tau iklan obat nyamuk Hit gak? Nah film ini persis kayak slogan iklan tersebut. Yang lebih mahal banyak. Karena memang film ini hanya menang lebih mahalnya saja dibanding film Saw yang pertama. Lebih mentereng dan terasa lebih luwes. Secara kualitas cerita dan penceritaan, film ini adalah penurunan. Tidak bisa memanfaatkan ide – dan aktor – yang bagus dengan maksimal. Perangkap-perangkapnya biasa aja, karena mau fokus di karakter. Tapi karakternya itu pun tidak berhasil digali. Film lebih memilih ngegas terus untuk menjadi intens, tapi kejadiannya tidak diberikan waktu untuk benar-benar berdampak pada cerita. namun pada akhirnya hanya berakhir sebagai kebisingan yang enggak terasa apa-apa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW

 

 

That’s all we have for now.

Amerika menggunakan kata ‘pigs’ sebagai konotasi negatif untuk polisi. Bagaimana pendapat kalian tentang polisi-polisi di Indonesia? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE CONJURING: THE DEVIL MADE ME DO IT Review

“Till death do us part”

 

Sekuel kedua dari The Conjuring (dan kedelapan dari Conjuring Universe) jelas tidak dibuat karena disuruh oleh setan. It is more like, the ‘duit’ made them do it. Begitulah adanya industri. Suka atau tidak, kita tidak bisa menutup mata bahwa membuat franchise atau movie universe segede itu jelas enggak bisa dibilang gampang. Paling enggak, ada dua cara melakukannya. Pertama, just give audiences whatever they want; kasih ‘wahana’ yang itu-itu terus dan duduk santai mengeruk cuan sambil menyaksikan kualitas kreasi yang semakin lama semakin menurun. Atau, mencoba untuk mengemulasikan sesuatu yang baru; mengambil resiko untuk dianggap sedikit berbeda, tapi sekaligus juga berjuang menjaga ‘hati’ kreasi tersebut tetap pada tempatnya.

The Conjuring Tiga (nyebutnya gini aja biar singkat) ini, berjalan di garis batas dua cara tersebut. Film memberi kita panggung baru dan cara main baru pada kisah relasi dan aksi Ed dan Lorraine yang sudah kita semua cintai sejak film pertama, tapinya juga film ini berpegang erat pada elemen-elemen ‘wahana horor’ yang sudah membuat universe ini begitu laku dan dijadikan patokan horor mainstream kekinian (alias jadi banyak yang niru). And that leaves me with a really mixed feeling about this whole movie.

Cerita film ini dibuka layaknya Conjuring ‘normal’. Ed dan Lorraine sedang membantu sebuah keluarga yang anak bungsunya kerasukan. Namun kejadian lantas ngegas menjadi bahkan lebih menakutkan lagi ketika iblis yang merasuki si anak, pindah ke abang-abang pacar kakaknya si anak. Mendadak, keadaan menjadi tenang. Aftermath dari kejadian tersebutlah yang ternyata jadi fokus konflik cerita. Ini bukan lagi cerita tentang keluarga dan rumah baru berhantu mereka seperti yang sudah-sudah. Sepulangnya dari TKP, si abang-abang yang bernama Arne Johnson itu merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Dia juga merasa diserang oleh setan. Padahal aslinya, dia just killed a man, put a bulle.. eh salah itu lirik lagu Queen…. Aslinya, Arne telah membunuh seseorang. Arne ditangkap polisi dan hendak dihukum mati. Sehingga Ed dan Lorraine berusaha membantunya. Cuma mereka yang percaya bahwa yang membunuh itu bukan keinginan Arne. Ed dan Lorraine harus mengungkap kasus kesurupan tersebut secepatnya. Kasus yang ternyata lebih gede daripada sekadar ‘kesurupan’. Dan semua itu dilakukan sambil berurusan dengan penyakit jantung yang diderita Ed. 

conjuringng-the-devil-made-me-do-it-100-748x499
Kali ini, pasangan demon buster kita mungkin akan terpisah selamanya…

 

Pada bagian awal itu – dan pada beberapa bagian nantinya – Michael Chaves yang menggantikan posisikan James Wan sebagai sutradara berhasil memvisualkan adegan-adegan horor yang sehati dan sejiwa dengan film-film pendahulunya. Chaves juga berhasil memenuhi ekspektasi studio dalam membuat adegan horor tersebut jadi komersil. Alias sesuai selera mainstream. Kita akan lihat adegan kesurupan yang bombastis. Kita juga nanti bakal melihat adegan-adegan yang scarenya dibuild up banget, misalnya adegan Ed dan Lorraine di kamar mayat. Adegan tersebut membuatku berhasil ketawa nervous, which is my defense mechanism kalo lagi takut banget. Building up tampaknya memang jadi kekuatan film ini. Chaves berhasil menjaga tempo, dengan presisi mengatur kamera, dan bahkan penempatan tulisan yang ngasih tahu kasus nyata Ed dan Lorraine mana yang kini dijadikan inspirasi cerita dilakukan pada momentum yang tepat. Sehingga saat nonton ini di awal itu rasanya langsung ke-hook banget. 

Aku suka gimana film ini berusaha memberikan kondisi yang berbeda kepada Ed dan Lorraine. Sedari opening tadi itu kita sudah diperlihatkan Ed sekarang punya kelemahan. Karena si iblis, Ed jadi punya kondisi yang membuat jantungnya lemah. Untuk berlari saja dia kepayahan. Salah-salah bisa masuk rumah sakit lagi. Ini menciptakan stake yang sangat berarti bagi mereka berdua. Mengganggu dinamika yang sudah terbangun sejak dua film sebelumnya. Lorraine harus beraksi sendiri. Sementara Ed, mencoba untuk sebisa mungkin berada di sana bersama Lorraine. Feeling saling terkoneksi dan harus bersama itu dijadikan kontras oleh ‘penjahat’ film ini yang melakukan koneksi tapi untuk memisahkan. Vera Farmiga dan Patrick Wilson menunjukkan chemistry yang semakin kuat, on top of permainan akting yang emosional. Mereka membuat gampang bagi kita untuk bersimpati kepada mereka.

Kisah Ed dan Lorraine ini benar-benar seperti menemukan oase di padang pasir. Di tengah-tengah cerita horor, kisah cinta mereka berdiri untuk kita jadikan panutan. Karena bahkan godaan dan tipuan iblis pun tak mampu untuk memisahkan mereka berdua.

 

Yang di ujung tanduk di sini bukan hanya soal keselamatan nyawa Ed, tapi juga keselamatan ‘relationship’ mereka. Karena film juga mengestablish cara-kerja kesurupan; kita diperlihatkan pov mereka-mereka yang kesurupan, kita melihat mereka gak tahu mana yang nyata, mana yang bukan. Yang mereka lihat adalah orang terkasih mereka diserang iblis, sedangkan pada realitanya iblis itu justru sang kekasih. Relasi Ed dan Lorraine sebagai pasangan sudah demikian kuat mengakar, kita sudah melihat mereka menempuh banyak rintangan bersama. Nah di film inilah, kebersamaan itu terasa benar-benar terancam. Sehingga jadi ketegangan sendiri bagi kita yang sudah peduli. Film juga memperlihatkan sedikit soal kejadian bagaimana kedua orang ini bertemu, dan adegan kecil nan-singkat itu menambah bobot yang lumayan untuk memperkuat simpati kita terhadap hubungan keduanya.

Pembangunan film ini bekerja dengan baik, tapi tidak untuk waktu yang lama. Belum sampai pertengahan durasi, aku merasakan ketertarikanku berkurang. Dan itu tepatnya adalah saat cerita yang sudah seperti membangun ke arah yang totally berbeda dari Conjuring terdahulu, tapi ternyata hanya menjadi ‘gak beda-beda amat’. Cerita film ini berdasarkan kasus peradilan pertama di Amerika, dalam hal ini pertama kalinya terdakwa menggunakan ‘setan yang nyuruh gue’ sebagai pembelaan resminya. Film seperti akan mengarah ke membahas hal yang menjadi judul tersebut. Hal yang jadi sensasi banget back then at 80s’s America. Ada adegan ketika Ed dan Lorraine berusaha meyakinkan pengacara untuk mau membantu Arnie mencari keringanan hukum, karena you know, the devil did tell him to do it. Ini kan sebenarnya juga bisa jadi konflik yang menarik. Bagaimana investigator alam goib seperti mereka harus ‘beradu’ dengan polisi dan pengadilan. Bagaimana fakta-fakta kasus bertemu dengan spiritual. Aku pikir, wow film berani banget banting stir kalo bahas ke arah ini. Tapi ternyata memang tidak berani. Build up untuk meyakinkan pengacara tadi ternyata penyelesaiannya sangat gampang – dan malah dibuat komedi sepintas oleh film ini. Mainlah ke rumah, nanti kami kenalin kamu sama Annabelle.

Setelahnya, Ed dan Lorraine tidak pernah dapat kesulitan lagi perihal meyakinkan polisi kalo yang mereka omongkan soal kasus itu adalah kebenaran. Orang-orang hukum itu percaya aja. Bahkan ada adegan ketika polisi beneran minta kerja sama menyelidiki TKP. Film ini tidak berniat mengeksplorasi ‘kejadian nyata’, melainkan tetap berada di penggalian investigasi fantasi yang bahkan gak benar-benar ngasih hal baru. Atau malah ngasih hal yang mengerikan. Ed dan Lorraine jadi semacam detektif menyelidiki kasus, hanya saja penyelidikan mereka gak actually meneliti petunjuk. Melainkan memegang benda dan melihat vision tentang kebenaran. Come on! Vision si Lorraine ini basically cuma ekposisi yang dilakukan dengan cara yang paling gampang. Ini gak ada bedanya ama flashback berisi eksposisi kejadian sebenarnya yang dilakukan oleh Perempuan Tanah Jahanam (2020). Malah di Conjuring ini lebih parah, karena bukan cuma dilakukan satu kali.

conjuring_210423112659-962
Polisi dan pengacaranya jadi percaya seperti kita yang kadang-kadang percaya banget ama ramalan zodiak

 

Enggan menjadi pembahasan kasus dan psikologis pria yang membunuh karena mengaku kesurupan, karena bakal menyimpang jauh dari franchisenya, film ini toh memang berubah juga. Dari horor rumah hantu ke penyelidikan whodunit dengan unsur cult atau ilmu sihir.  Musuh utama mereka kali ini mungkin saja adalah manusia. Untuk stay true dengan jati diri franchise/universenya, film ini mempertahankan apalagi kalo bukan jumpscarenya. Masalahnya adalah keabsenan James Wan memang tak bisa untuk tidak ternotice. Untuk beberapa kali memang Chaves berjuang keras untuk katakanlah meniru gaya Wan, membuat ‘good’ jumpscare dari build up tensi. Tapi tidak jarang juga dia seperti kembali ke jumpscare-jumpscare basic. Chaves akan sering mematikan lampu. Membuat apa yang ada di layar itu jadi susah untuk dilihat. Ini gak sama dengan bermain lewat bayangan. Karena yang dilakukan Chaves di sini adalah betul-betul menutupi pandangan kita, membuat kita susah untuk melihat apa yang sedang terjadi. Kalo kita sedang sial, kita akan menyipitkan mata berusaha mempertajam penglihatan. Dan datanglah jumpscare itu!

Film ini enggak seram. Dan pilihan film untuk membumbui beberapa adegan dengan komedi certainly enggak membantu film dalam kasus ini. Malah membuat kita jadi tertawa juga di adegan-adegan yang mestinya memang didesain untuk seram. Ada waktu saat nonton film ini ketika aku tidak lagi tertawa nervous, melainkan tertawa ya karena yang kulihat itu menurutku lucu. Dan aku gak yakin film ini sengaja melucu atau tidak. Misalnya seperti ketika botol sekecil itu tapi air di dalamnya ternyata bisa dipakai untuk menggambar lingkaran yang cukup besar untuk orang dewasa duduk bersila di dalamnya. Atau ketika melihat tampang smug si pastor penjara begitu kesurupan bombastis itu berhenti. Maan, si pastor pasti ngira dialah yang berhasil menghentikan itu padahal semuanya karena musuh mereka telah berhasil dikalahkan nun jauh di tempat lain. Dan ngomong-ngomong soal musuh, film benar-benar menuliskan karakter ini dengan sangat awkward. Motivasinya gak jelas. Kenapa orang-orang itu yang ia target juga gak jelas, dan kenapa ngalahin dia gampang banget. Kenapa dia begitu ‘kebetulannya’ gak ada di altar padahal bukankah dia sedang melakukan ritual untuk bikin Arne kesurupan?

Mari kembali lagi ke awal ulasan karena aku jadi gak yakin sekarang. Who made you wrote — WHO MADE THIS?!!

 

 

 

Clearly, terburuk di antara tiga film The Conjuring. Film Conjuring yang kedua berhasil mencapai nilai 8 bintang emas, sementara Conjuring yang pertama sukses nangkring di posisi ke-8 di Top Movies of 2013ku. Sedangkan film ketiga ini kayaknya bakal masuk daftar Kekecewaan Bioskopku di akhir tahun nanti. Aku sudah seneng dengan kasusnya. Aku juga suka banget sama Ed dan Lorraine, serta situasi yang harus mereka hadapi dalam cerita kali ini. Hanya saja, film ini mengambil perubahan, tapi tidak benar-benar berani. Sehingga bahasannya jadi dangkal. Dan gak klop. Film berusaha membuat whodunit jadi seram, tapi gagal. Film-film santet Indonesia bisa lebih seram daripada ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE CONJURING: THE DEVIL MADE ME DO IT.

 

 

That’s all we have for now.

Setelah menyaksikan film ini, apa yang bisa kalian simpulkan dari perbedaan witchraft di Amerika dengan santet atau perdukunan di Indonesia? Apakah di Indonesia pernah ada kasus santet yang dibawa ke peradilan? Bagaimana hukum santet di mata hukum di Indonesia?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CRUELLA Review

“The worst enemy to creativity is self-doubt.”

 

Antagonis/penjahat perempuan dalam film-film Disney kebanyakan adalah feminis. Mungkin inilah sebabnya kenapa Disney memutuskan untuk berbondong-bondong bikin live-action dari sudut pandang mereka. Karena, memang, di zaman sekarang para antagonis tersebut dinilai lebih real dan punya kualitas yang lebih merepresentasikan perempuan; mereka mandiri, kuat, berambisi, tau apa yang mereka mau – dan bekerja keras untuk itu. Dan gak takluk pada keseragaman standar kecantikan. Perempuan kekinian tidak lagi duduk dan ‘menunggu diselamatkan oleh pria’ seperti Princess-Princess cerita Disney. Perempuan masa sekarang gak ragu untuk memegang kendali kehidupan mereka, persis seperti Maleficent, Ursula, (to some extent) Elsa, Ibu Tiri Cinderella. Dan ya, Cruella de Vil.

Cruella de Vil adalah antagonis utama dalam franchise 101 Dalmatians. Karakter ini terkenal dengan penampilannya yang nyentrik, serta motivasinya yang benar-benar kejam; menculik anak-anak anjing dalmatian untuk dijadikan mantel bulu! Kelihatan hampir mustahil membuat karakter dengan motivasi seperti itu menjadi semacam pahlawan, kan? But hey, everybody is a hero in their own story. Maka Disney mengajak kita untuk melihat Cruella de Vil sebelum dia bahkan dipanggil dengan nama seserem (dan sekeren) itu.

Film Cruella garapan Craig Gillespie memang diposisikan sebagai prekuel. Nama aslinya ternyata adalah Estella. Dan film ini – mengutip dialog si Estella itu sendiri – adalah tentang “Gadis jenius berubah menjadi gadis bodoh yang membunuh ibunya sendiri, dan kemudian menjadi kesepian” Estella tumbuh di jalanan, yatim piatu, keluarganya hanya dua orang cowok Jasper dan Horace, beserta dua ekor anjing peliharaan. Bakat dan minat yang besar terhadap fashion design membawa Estella bekerja untuk Baroness, designer terkenal favoritnya. Ternyata bos dan idolanya itu orangnya kasar banget. Tapi sebagaimana rambutnya terlahir berwarna hitam-putih yang dianggap sebagian besar orang aneh itu, Estella juga punya dark side di dalam dirinya. Sifat buruk si Baroness dia jadikan panutan, untuk membangkitkan kembali sisi gelap tersebut. Estella – kini Cruella – muncul sebagai penantang bagi Baroness. Upstaging semua penampilan Baroness, dan bahkan sepertinya juga mengungguli perilaku kejamnya.

cruelladownload
Dressed to kill!!

 

Awal penciptaannya memang karakter Cruella de Vil diadaptasi oleh Disney ke dalam film animasi sebagai semacam karikatur dari feminis. Seorang businesswoman yang comically kejam, terutama sama binatang-binatang. Dia punya anak buah yang bego sebagai kontras. Film live-action yang kali ini berusaha memberikan kedalaman kepada karakter ini. Ada banyak aspek yang bisa kita relasikan dari Estella. Misalnya berupa bagaimana dia adalah karakter yang ditekan oleh bosnya sendiri. Atau bagaimana soal dia adalah orang yang berbakat, tapi tidak dimengerti oleh banyak orang – tidak banyak orang yang mengapresiasi talenta yang ia miliki. Atau terutama soal itu semua tadi karena dia tidak diberikan rasa nyaman untuk menjadi dirinya sendiri. Aspek paling menarik dari karakter Cruella di film ini adalah karakternya yang punya dua persona. Untuk jangka waktu yang lama sekali, dia percaya bahwa ‘Cruella’ tidak baik baginya. Dia harus jadi Estella yang baik. Tapi ternyata Estella yang baik itu justru bukan dirinya yang sebenarnya. Melihat Estella berusaha mengembrace sisi gelapnya, dan melihat hidupnya berubah seketika  – for better or worse – setelah dia melakukan itu, membawa beragam emosi kepada kita penontonnya. Dan film memang terus berusaha membuat kita bersimpati kepada Estella.

Monolog Emma Stone di depan air mancur menjelang babak ketiga ketika dia sudah enggak ragu-ragu lagi tentang Estella atau Cruella, adalah momen yang powerful. Karena itulah momen saat keraguan karakternya akan diri sendiri hilang. Dan ultimately itu jugalah yang membuat Cruella begitu berbahaya. Karena dia tahu siapa dirinya, apa yang ia mau, dan apa yang ia bisa untuk mendapatkan itu. Sebagaimanapun klisenya, tapi Cruella menunjukkan menjadi diri sendiri – gak peduli apakah itu baik atau buruk bagi orang lain – adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan kepada diri kita sendiri.

 

Estella alias Cruella diberikan masalah yang sangat personal. Rivalry-nya dengan Baroness tidak dibuat sekadar persaingan orang-jenius-gila untuk menguasai bisnis fashion, ataupun memperebutkan kalung berharga. Melainkan diberikan backstory yang berkaitan dengan persoalan keluarga. Estella menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang ibu, padahal sebenarnya semua itu adalah ulah Baroness. Saat Estella mengetahui hal tersebut, di situlah saat film ini mulai menggali lapisan emosional, yang mengangkat konflik cerita ini. Memberatkannya dengan bobot sehingga karakter cartoonish tersebut kini bisa kita lihat sebagai manusia yang mungkin enggak begitu berbeda dengan kita. We all love our moms, tapi apakah membuka pintu neraka demi melindungi pintu surga itu adalah langkah yang benar?

Dengan muatan demikian, film ini jadi lumayan dark untuk jadi tontonan konsumsi anak-anak. Kisah hubungan anak dengan ibu ini dihiasi intrik demi intrik, mulai dari yang bisa digolongkan crime kecil-kecilan hingga ke percobaan pembunuhan. Dan ya di sini memang ada pembunuhan yang dilakukan dengan tidak benar-benar tersurat. Karakter utama kita bergerak dengan motivasi dendam, yang jelas butuh banyak penjelasan oleh orangtua kalo anak mereka diajak nonton dan mempertanyakan soal ini. Selera humor film ini juga cukup gelap. Kita memang mendapatkan kekonyolan semacam kejadian chaos yang lucu dari tikus di dalam nampan makanan, tapi sebagian besar keseruan rivalry Cruella dan Baroness berupa vandalisme atau hal-hal yang jelas akan ‘gak lucu’ kalo dilakukan oleh anak-anak. Tapi buat orang dewaa, memang film ini bisa terasa fun banget. Aku peduli sama cerita film ini lebih dari yang aku duga, karena aku memang bukan penggemar 101 Dalmatians. Tadinya aku juga mikir film ini bakal agenda-ish, mengingat betapa ikon feminisnya si Cruella de Vil itu sendiri. Di menit-menit awal memang film kayak ngarah ke sana.. tapi kebelakangnya ternyata tidak. As i said, film ini ternyata cerita yang sangat personal bagi karakter Cruella.

Jadi kualitas baiknya, film ini punya cerita yang intriguing. Visualnya juga cakep, penuh oleh fashion-fashion yang unik (dan punya statement, as we see much style Cruella used inspired by punk; yakni style yang juga melawan conformity). Dan juga punya penampilan akting duo Emma yang jadi sentral, yang menyatu banget, memperkuat kostum dan karakter yang mereka perankan. Emma Stone tak pernah tergagap bermain sebagai Estella dan Cruella. Begitu juga dengan Emma Thompson yang benar-benar menunjukkan betapa Baroness itu gorgeus sekaligus vicious.

cruella10694172_052521-wls-hosea-cruella-4p-vid
Are you ready for Emmaverse??!!

 

Penampil dan look yang sangat bisa berbicara itu ternyata bagi film masih belum cukup. Film ini masih mengandalkan musik atau lagu latar untuk menyampaikan perasaan. Lagu-lagu populer tahun 70an itu akan terus dimainkan, bahkan untuk adegan yang gak perlu ada lagunya. Okelah kalo pada sekuen aksi, atau dimainkan saat montase sebagai pengikat mood. Namun ini, Estella masuk butik aja ada soundtracknya. Lagu yang too much ini jadi membuat film seperti tidak bisa menciptakan tone cerita sendiri.

Sebagai sebuah prekuel, film ini membiarkan kita mengikat sendiri untaian-untaian cerita yang mereka lepas. Membiarkan kita mencoba memasukakalkan Estella yang di sini menjadi Cruella dan kemudian menjadi Cruella de Vil yang sudah kita kenal dari dua film animasi dan satu live-action jadul. Dan sesungguhnya itu adalah pe-er yang berat untuk kita semua. Karena sesungguhnya antara membangun simpati untuk Estella dengan actual cruel things yang dilakukan Cruella pada kisah originalnya tersebut gak pernah benar-benar add up atau terikat dengan masuk akal. Misalnya seperti ketika film memperlihatkan kita alasan kenapa Cruella jadi suka membuat mantel bulu dari anjing dalmatian. Jawaban yang diberikan film ini tidak akan memuaskan karena yang diperlihatkan di sini adalah bahwa itu semuanya cuma ‘gimmick’. Cuma sesuatu yang dijual si karakter atas nama ‘brand’nya sebagai Cruella de Vil. Dan itu ganggu continuity ketika disambungkan dengan film originalnya.

Lagipula lucu sekali toh. Film ini sendiri dibuat karena orang-orang ingin tau kenapa Cruella di 101 Dalmatians bisa jadi begitu jahat sampai-sampai ingin membunuh anak anjing untuk diambil bulunya. Tapi jawabannya ternyata cuma “Don’t worry, itu cuma taktik marketing brand.” Dan lantas film lanjut dengan seolah melempar lagi pertanyaan “Or is it?”. Pada akhirnya memang tujuan film ini enggak jelas karena bangunan karakter Cruella-nya itu sendiri enggak jelas. Karakternya dibuat mengundang simpati, kita jadi ngerti kenapa dia harus begini kenapa dia harus begitu, sehingga bahkan nama ‘Cruella’ itu tidak sesuai lagi karena kita tidak melihatnya sebagai orang yang kejam (yang kejam malah si Baroness). Lalu film berusaha membuat dia tampak kejam lagi dengan benar-benar vague terhadap sikapnya terhadap identitas Cruella yang ia pakai. Tapi mungkin, memang itulah salah satu kerelevanan film ini. Bahwa semua hal memang cuma pencitraan. Pura-pura jahat untuk branding. Marketing yang jenius. 

Or is it?

 

 

 

Yang bener-bener cruel alias kejam di sini itu adalah si filmnya ini sendiri. Punya penampil luar biasa, punya looks yang gaya, tapi masih merasa belum cukup. Dan malah lebih mengandalkan lagu soundtrack yang dimainkan sebagai latar. Punya cerita menarik, tapi implikasinya benar-benar dark. Dia menjadi seru dan menghibur lewat ke-dark-annya tersebut. Sementara karakternya sendiri – yang adalah karakter antagonis yang namanya literally ada kata ‘kejam’ – tidak benar-benar dieksplorasi atau ditampakkan sebagai orang yang kejam. Melainkan sebagai karakter yang mengundang simpati karena dia sudah melalui begitu banyak, ditipu, nyaris dibunuh dan sebagainya. Mungkin menuliskan karakternya seperti itulah hal paling kejam yang dilakukan film ini kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CRUELLA

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian melihat Cruella sebagai orang baik, atau orang jahat di sini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

A QUIET PLACE PART II Review

“A person’s most useful assets are a heart full of love, an ear ready to listen, and a hand willing to help others. “

 

Monster yang memburu manusia lewat sekecil apapun suara yang mereka dengar, sehingga untuk bisa survive, manusia haruslah bergerak dalam diam. Konsep yang jenius sekali untuk sebuah cerita horor. Perjuangan untuk tidak bersuara sama sekali itu mampu menciptakan ketegangan yang genuine, yang easily menular kepada kita para penontonnya. Membuka banyak sekali ruang untuk pembangunan thriller yang seru. Bagi para aktor, konsep ini juga jadi tantangan yang menarik; karena mereka dituntut untuk berakting dengan hening, untuk berdialog lewat ekspresi dan bahasa tubuh atau malah bahasa isyarat sekalian. Visual storytelling haruslah sangat kuat di sini. Dan sutradara John Krasinski sukses berat mengeksekusi semua itu dengan baik. Semua pencapaian itu sudah diraih oleh Krasinski sejak film A Quiet Place pertama tahun 2018. Di film kedua ini, Krasinski memang berhasil mempertahankan prestasinya tersebut dengan gemilang. For once again, kita dibawanya pacu jantung di dunia senyap yang penuh monster.

Namun, supaya review ini juga gak berulang – biar gak sama dengan film pertamanya itu – pertanyaannya adalah, apa dong hal berbeda yang ditawarkan oleh Krasinski dalam film kedua kali ini?

quiteA-QUIET-PLACE-2-Trailer-2020-2-17-screenshot-1024x576
Kalo produsernya alay, film ini akan berjudul ‘2 Quiet Place’

 

Krasinski membuat film kedua ini lebih besar, lebih cepat, lebih chaos, dan tentu saja lebih keras!

Beberapa yang sudah baca mungkin masih ingat di review film A Quiet Place pertama aku menulis soal alasan film tersebut tidak dimulai dari saat musibah monster pertama kali muncul, melainkan dari hari ke-89, saat keluarga Abbott sudah mulai menerapkan sistem bertahan sendiri. Karena film pertama tersebut fokusnya pada karakter, pada keluarga yang harus menyelesaikan masalah mereka bersama-sama. Tidak perlu untuk memperlihatkan hiruk pikuk massa, karena film membatasi diri pada satu keluarga itu saja. Nah, di film kedua ini barulah Krasinski menggunakan opening kejadian Day 1 musibah monster bisa terjadi. Kita melihat adegan Keluarga Abbott bersama seisi penghuni kota yang tadinya aman-aman saja berubah seketika panik ketika ada sesuatu yang seperti meteor jatuh melintasi langit mereka. Adegan opening yang dieksekusi dengan menakjubkan tersebut, ternyata juga efektif sekali. Karena sesungguhnya punya beberapa fungsi. Salah satunya ya sebagai penanda bahwa cerita kali ini adalah kelanjutan dari Keluarga Abbott, tapi dengan skala yang lebih besar.

Bahwa kali ini juga adalah tentang dunia yang mereka tempati. Tentang kemanusiaan yang keluarga tersebut merupakan bagian darinya. Film kedua ini langsung melanjutkan cerita pada film pertama. Emily Blunt beserta anak-anaknya; Millicent Simmonds, Noah Jupe, dan seorang bayi, pergi dari rumah mereka yang sudah tak lagi aman. Mereka menyusur hutan dalam usaha mencari orang atau pertolongan, karena mereka telah melihat api unggun dari kejauhan. Berbekal alat survival dan senjata pamungkas untuk mengeksploitasi kelemahan monster yang mereka ‘temukan’ di film pertama, Keluarga Abbott ini akan segera mengetahui keadaan dunia mereka sesungguhnya. Bahwa mungkin masih ada kelompok-kelompok manusia yang bertahan. Dan ngerinya, beberapa dari kelompok itu bisa saja lebih berbahaya daripada monster-monster itu.

Jadi fokus cerita kali ini bukan semata pada keluarga Abbott, melainkan juga pada manusia secara keseluruhan. Ada perbincangan soal manusia yang tersisa di dunia mereka, sudah tidak tertolong. Atau lebih tepatnya, sudah tidak pantas lagi untuk ditolong. The audience will soon to see why, tapi film kemudian mengangkat pertanyaan yang menarik dari pilihan yang diambil oleh karakternya. Anak sulung keluarga Abbott yang diperankan dengan – I mean, like a pro! – oleh Millicent Simmonds telah memutuskan untuk mengambil resiko pergi ke pulau. Bukan hanya untuk mencari keselamatan, melainkan karena terutama dia yakin akan bisa mengalahkan monster-monster dan menyelamatkan semua orang. Walaupun itu berarti dia harus mengambil resiko mengorbankan alat bantu pendengarannya. Film ini secara keseluruhan memang terasa tampil lebih ringan (lebih mirip blockbuster biasa daripada film pertamanya) tapi elemen cerita yang diangkatnya tersebut membuatku cukup terharu. Aku tahu film ini sebenarnya direncanakan untuk tayang tahun lalu, sebelum pandemi. Tapi menontonnya sekarang, apa yang terjadi di cerita itu ternyata mirip dengan situasi yang kita hadapi.

Situasi covid yang terus bertahan hingga saat ini. Seperti monster-monster di film ini yang menuntut semua orang harus diam tak-bersuara supaya mau selamat, pandemi coronavirus juga merupakan situasi yang membuat kita harus tergantung sama orang untuk ikut patuh menjaga protokol kesehatan. Tapi kan semakin hari, orang-orang semakin acuh. Semakin banyak yang malas pakai masker. Semakin banyak yang gak-percaya. Ini menciptakan gap pada masyarakat. Yang satu mencela pihak lainnya. Film ini bisa berfungsi sebagai pengingat bahwa semua orang pantas untuk diselamatkan, bahkan orang yang paling covidiot sekalipun. Bahwa kita tidak akan bisa selamat dari wabah ini, jika kita tidak saling menyelamatkan. 

Diam itu emas. Tapi benar juga kata tagline poster film ini. Diam itu enggak cukup. Kita tidak bisa menyelamatkan siapapun hanya dengan berdiam. . Jika film pertamanya dulu membahas tentang pengorbanan demi menyelamatkan keluarga, maka film kedua ini adalah tentang menyelamatkan atau membantu orang lain, walau sekilas mereka seperti tak pantas untuk diselamatkan. Padahal bagaimanapun juga kemanusiaan itu masih perlu untuk diselamatkan. Dan itu ditunjukkannya dari karakter yang rela mengorbankan miliknya demi keselamatan orang lain.

 

Adegan opening film ini juga difungsikan untuk memperkenalkan karakter baru yang diperankan oleh Cillian Murphy. Karakternya sebagai teman dari keluarga Abbott saat dunia masih damai itu punya peran yang besar. Dialog dan relasinya dengan putri sulung Abbott jadi kunci dan actually adalah yang membawa narasi soal ‘manusia perlu/tidak perlu diselamatkan’ tadi. Karakter ini juga sepertinya dibangun sebagai pengganti sosok ayah bagi keluarga Abbott nantinya. Ada beberapa adegan yang mengarah ke sini, seperti saat karakter Emily Blunt meninggalkan cincinnya di kuburan suami, yang bisa ditafsirkan sebagai pertanda move-on. Ataupun ketika pertengahan film hingga akhir, karakter sentral film ini terpisah menjadi dua kelompok. Noah Jupe dan bayi dengan Emily, Simmonds dengan Murphy. Ini seperti mirroring adegan pembuka ketika keluarga tersebut sempat terpencar jadi dua kelompok yang sama, only, of course, Simmonds bersama ayahnya instead of Murphy.

quietmaxresdefault
Sayang, musuh bebuyutan keluarga ini, si paku biadab, enggak tampil lagi

 

‘Pemisahan kelompok’ tersebut bukan saja memastikan semua karakter mendapat porsi horor masing-masing (termasuk sang bayi!), tapi juga memang pada akhirnya membawa efek yang sangat amat positif bagi keseruan aksi kejar-kejaran melawan monster – seperti yang juga sudah ‘terinfokan’ oleh adegan pembuka. Film akan sering memparalelkan, ngematch cut kan, aksi dari kedua grup yang terpisah. Misalnya seperti ketika satu grup dikejar-kejar monster di stasiun radio, sementara grup satunya sedang terjebak di dalam brankas keselamatan, dengan monster menunggu sambil mencakar-cakar di pintu. Aksi-aksi terpisah ini didesain dengan kesamaan-kesamaan khusus, sehingga saat berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain, terasa semakin seru dan tidak ada beat aksi yang terlepas dari kita. Suspens dan ketegangan itu jadi bisa tetap terjaga. Sehingga tak heran jika nanti ada karakter yang menjerit, kita akan ikutan menjerit padahal di bioskop sama-sama gak boleh berisik hihihi

Jika ada satu lagi fungsi adegan opening film ini, maka mungkin itu adalah sebagai bridge yang menyamarkan pertumbuhan aktor. Film ini kan alurnya langsung menyambung film pertama, sedangkan jarak kedua film ini cukup jauh untuk membuat aktor-aktor cilik bertambah gede dengan cukup signifikan. Menampilkan adegan opening yang dishot dalam keadaan sekarang, membuat kita tidak membandingkan dua aktor cilik pada kedua film. Sehingga lebih mudah mempertahankan ‘ilusi’ bahwa film ini langsung dimulai beberapa waktu setelah film pertama berakhir.

Ngomong-ngomong soal berakhir, kayaknya memang hanya di adegan akhir alias ending saja aku merasa gak sreg sama film A Quiet Place Part II. Treatment akhirannya sebenarnya mirip juga ama film pertama; didesain kinda abrupt sehingga lowkey jadi cliffhanger untuk (siapa tau) sekuel. Tapi film pertama terasa lebih emosional, lebih terasa seperti penyelesaian. Mereka sudah menyelesaikan masalah di rumah, dengan kehilangan ayah, dan sekarang sudah saatnya babak baru. Film kedua ini, endingnya kurang mewakili perasaan seperti begitu. Hanya terasa seperti mereka kini sudah tahu pasti cara mengalahkan monster, sudah tahu ‘posisi’ mereka dalam perang melawan monster ini, dan dua pejuang sudah ter-establish. Journey mereka kurang terasa emosional. Malahan yang benar-benar punya inner journey di sini adalah karakter Cillian Murphy, yang mengubah cara pandangnya.

Sebagian besar keluarga Abbott di sini justru malah lebih dangkal. Mereka di sini ‘hanya’ dikejar, kaget, terluka, atau melakukan beberapa hal bego (yang untungnya tidak pernah bener-bener dieksploitasi melainkan sebatas kegugupan karakter). Tidak benar-benar ada eksplorasi, terutama pada karakter Emily Blunt dan Noah Jupe. The latter malah nyerempet annoying karena banyak ngelakuin wrong things. Kita juga tidak melihat hal baru dari para monster. Hanya ada sekilas perihal origin mereka. Tapi monster yang kita lihat di sini tidak banyak perbedaan penggalian dengan yang di film pertama. Film masih bermain aman dengan menempatkan mereka di tengah-tengah. Tidak sebagai karakter, dan tidak pula hanya sebagai sebuah spectacle. Mungkin karena mengincar sekuel lagilah maka film kali ini memutuskan untuk bungkam mengenai monster-monster tersebut.

 

 

 

Memang, bintang sebenarnya film ini adalah sutradaranya. John Krasinski berhasil menceritakan soal manusia yang harus tak-bersuara dikejar monster ini sebagai cerita yang simpel dan stay true sebagai dirinya sendiri, namun berskala luas. Konsep unik tersebut sekali lagi berhasil dia eksekusi menjadi horor yang efektif, yang terus-terusan membuat kita takut menarik napas. Adegan openingnya menjadi adegan paling penting, dan tak pelak merupakan salah satu opening horor terbaik sepanjang tahun ini. Film ini keren, tapi jika dibandingkan dengan film pertama, aku tidak berpikir ini jatohnya lebih baik. Buatku, lebih seperti, film pertama itu Krasinski bermain di horor yang lebih senyap dan lebih emosional, dan dia sukses. Dan kini, dia mencoba bermain di volume yang lebih keras dan lebih ke seru-seruan. Dan dia sama suksesnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A QUIET PLACE PART II

 

 

That’s all we have for now.

Apakah bagi kalian ada orang-orang tertentu di dunia ini yang tak pantas diselamatkan, atau mendapat pertolongan? Orang-orang seperti apa itu kira-kira?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE WOMAN IN THE WINDOW Review

“Trapped by reality, freed by imagination”

 

“Ada perempuan, ngintip di jendela
Anna sudah gila, gak tau realita”

Amy Adams bermain sebagai Anna Fox, seorang psikolog anak – yang sendirinya lagi butuh banget terapi dari psikolog. Karena protagonis The Woman in the Window ini sudah sepuluh bulan tidak keluar dari rumah rumah. Anna tidak bisa keluar rumah. Dia akan langsung diserang kepanikan luar biasa bahkan jika hanya berada di dekat pintu depan. Jadi Anna – dan cerita ini – menghabiskan waktunya di dalam rumah. Seorang diri (well, except pria yang tinggal di basement). Minum-minum sambil menonton film thriller klasik jadi hiburan sehari-harinya jika tidak sedang ngobrol sama anak dan suaminya lewat telefon. Oh, betapa Anna ini hobi nonton. Salah satu tontonan favoritnya, however, adalah pemandangan di luar jendela. Ketika apartemen di seberangnya terisi oleh keluarga Russell yang baru pindah, Anna dapat tontonan baru. Dia sudah kenalan ama mereka satu persatu. Dan malam itu, Anna menyaksikan kekerasan rumah tangga dari balik jendela mereka. Yang dengan cepat berubah menjadi misteri, karena Jane Russell yang kenalan dengannya berubah menjadi orang lain. Anna percaya ada sesuatu yang mengerikan terjadi di keluar itu, dan percaya bahwa Jane Russell yang asli sudah tewas dibunuh.

windowAmy_Adams_The_Window_In_The_Window_Netflix
“Lek jum – lek jum tralalalaaaaa, Anna sudah gilaa~”

 

Dulu waktu Rear Window (1954) – film yang menginspirasi novel materi film adaptasi ini – buatan Alfred Hitchcock baru tayang, sebagian penonton mungkin sebatas membayangkan ketidakberdayaan terkurung di dalam rumah. Sekarang, di era pandemi, kita semua sudah menghidupi horor tersebut. Harus berkurung di rumah yang membuat kita mencari sendiri sumber hiburan supaya gak bosan. Dan bahkan kita bisa dengan gampang relate sama perasaan takut untuk keluar rumah. The Woman in the Window garapan Joe Wright memang punya advantage dalam soal kerelevanan ini. Dengan kesuksesan novelnya, ditambah Rear Window sebagai inspirasi, Wright sudah punya lebih dari yang ia butuhkan untuk membuat thriller psikologis yang benar-benar merayap ke dalam kepala setiap penonton. Wright ‘hanya’ perlu menonjolkan craftnya.

And that he did well. Kamera diarahkan Wright untuk benar-benar menyajikan pengalaman yang klaustrofobik. Diberikannya sentuhan warna biru dan merah jambu yang sendu untuk menguatkan kesan kesendirian Anna. Wright juga bermain-main dengan shot-shot yang ngingetin kita sama gambar-gambar tipikal horor/thriller psikologi hitam-putih dulu. Gambar Anna yang lagi terlelap, digabungkan dengan cuplikan adegan film yang menyala di televisinya, misalnya. Atau shot Anna mengintip dengan tirai jendela jadi bingkai gambarnya. Shot-shot seperti itu ternyata efektif pula memperkuat kesan ‘bingung’ yang melanda mental Anna. Dan dengan didukung oleh permainan peran dari Amy Adams yang udah gak asing dalam peran-peran yang terluka oleh trauma, film ini bekerja terbaik saat memvisualkan keadaan psikologis karakter utamanya tersebut.

Lihat saja gimana eerie-nya effort dan suasana yang tertampilkan saat Anna berusaha menguatkan diri untuk melangkah keluar dari rumahnya. Kita jadi percaya bahwa hal sesimpel keluar rumah itu luar biasa sulit dan menekan bagi Anna. Kita jadi percaya bahwa limitation karakternya tersebut tidaklah dibuat-buat. Buat perbandingan simpel; coba bandingkan dengan film Indonesia baru-baru ini yang juga bahas karakter yang gak mampu keluar rumah karena trauma (judulnya ada nyebut jendela juga – dan piano di baliknya). Film tersebut hanya menampilkan lewat kata-kata, sedangkan film Wright ini benar-benar memperlihatkan kesulitan dan trauma tersebut bekerja.

Menariknya, Anna enggak berani keluar rumah itu sebenarnya bukan karena dia takut dengan yang ada di luar. Melainkan lebih karena dia takut kehilangan yang ia miliki di dalam rumah. Karena rumah itulah satu-satunya koneksi dia dengan suami dan anaknya. Dia berpegang teguh pada koneksi tersebut, kehilangan itu berarti dia akan benar-benar kehilangan suami dan anaknya. Jadi, berbeda dengan kasus ‘terjebak’ yang biasa, di film ini, Anna bukan terjebak oleh realita. Melainkan dia menggunakan ketakutannya menghadapi realita sebagai dinding keamanan. Dia menjebak dirinya sendiri ke dalam, supaya bisa terus menikmati imajinasi yang ia ciptakan sebagai gantinya. Persis seperti ketika dia menciptakan imajinasi saat mengintip lewat jendela.

 

Jendela dalam sinema biasanya memang identik sebagai simbol gaze atau cara tatapan. Karena jendela itu biasanya adalah media tempat karakter mengintip, memergoki, atau melihat diam-diam sesuatu yang cukup jauh. Bidang permukaan jendela yang luas, tapi dengan bingkai, membuatnya tampak seperti sebuah televisi, dengan kejadian nyata yang ditonton alih-alih ‘drama’. Alfred Hitchcock dengan Rear Window-nya telah mencontohkan betapa cerita seorang pria yang melihat tetangganya lewat jendela sebenarnya menguar oleh pemaknaan simbolis soal framing atau bagaimana cara pria menilai yang sedang ia pandang. Bagaimana ia melihat masalah yang ingin ia lihat. Film Hitchcock tersebut simpel, tapi sangat powerful karena berhasil mengantarkan tatapan tersebut kepada kita. Membuat kita memahami proses cara pandang karakter itu terbentuk. The Woman in the Window membalikkan gaze tersebut. Sekarang karakter perempuanlah yang mengintip. Ketika dia melihat keluarga tetangganya lewat jendela, yang ia simpulkan dari tontonan tersebut terbentuk dari bagaimana cara perempuan memandang sesuatu. Wright berusaha mengeksplor ini. Tatapan Anna adalah tatapan yang berdasarkan emosi, dan kecemasan yang berasal dari pengalamannya sendiri sebagai perempuan dan ibu. Ini sesungguhnya adalah konsep yang bagus. Setidaknya, jelas akan membuat film ini punya langkah menciptakan identitas sendiri dari film yang menjadi inspirasinya.

Sayangnya, persoalan gaze ini ditambah dengan elemen pendukung untuk menciptakan psikologis karakter yang trauma, membuat film jadi tersandung. Film malah membuat Anna menjadi protagonis yang tak-bisa dipercaya. Yang unreliable. Kita ikut membangun teori misteri bersama protagonis Rear Window. Sebaliknya, pada The Woman in the Window, kita perlahan jadi sama seperti karakter polisi di dalam cerita ini; kita jadi mempertanyakan karakter utama yang seharusnya kita dukung tersebut. 

windowTHE-WOMAN-IN-THE-WINDOW-NETFLIX-REVIEW
That’s never a good thing, in every movie, if we don’t believe in the main character.

 

Entah karena kurang cukup riset, atau karena proses rewrite yang berulang-ulang, naskah film ini jadi seperti belum siap untuk terjun membahas masalah Anna, yang sebenarnya memang lebih kompleks dibanding Rear Window. Pada film tersebut, rintangannya fisik. Kaki yang cedera. Sedangkan pada film ini adalah persoalan trauma itu tadi. Serta persoalan gaze. Semua masalah itu benar-benar abstrak di The Woman in the Window. Naskah keteteran di sini. Alih-alih menggali horor dan suspens dari bagaimana rasanya jadi orang yang tidak dipercaya oleh orang lain, film ini malah berpaling dan menggali dari sudut yang lain. Lucunya, salah satu tempat film ini mencari ketegangan adalah pada sudut jumpscare. Misteri pada psikologikal horor/thriller sama sekali tidak butuh elemen kaget-kagetan. Tapi film ini membawa kita turun ke basement, untuk kemudian menarik banyak teror dari orang yang tau-tau muncul. Seolah ini adalah film rumah hantu murahan.

Seiring semakin banyak pengungkapan yang terjadi (mulai dari tentang keluarga Anna, ke keluarga Russell, ke siapa yang Jane Russell sebenarnya, dan seterusnya) film semakin terperosok ke dalam lubang jebakan horor. Tone film udah kabur sama sekali. Enggak jelas lagi. Dia yang tadinya sudah dibangun sebagai drama misteri psikologikal yang serius, semakin akhir jadi malah semakin mirip sama film bunuh-bunuhan yang over-the-top. Dari cara film ini terbendung di menit-menit awal, aku sama sekali gak menyangka bakal dapat adegan pemecahan misteri lewat foto kucing, atau bahkan gak menyangka bakal ada adegan wajah tertembus garu kebun (emangnya senjata Pat Kai!). Ini mungkin masih bisa tergolong sebagai kejutan yang menyenangkan, tapi tetap saja bukanlah langkah yang benar, karena membuat film menyimpang dan mendua dari apa yang disajikan sedari awal.

 

 

Ini hampir seperti filmnya sendiri gak pede untuk tampil sebagai drama psikologikal yang serius. Takut penonton bosan atau apalah. Sehingga mereka menulis ulang banyak elemen, menambahkan elemen-elemen cerita horor yang lebih menjual, dan berusaha menerapkan dan mencampurnya ke dalam cerita. Hasilnya? It damages the tone greatly, dan tentu saja mengurangi banyak nilai film ini. Padahal cerita ini bekerja terbaik saat memvisualkan efek trauma. Saat memperlihatkan lapisan soal gaze itu juga film sebenarnya cukup baik. Tapi kemudian semua itu dihembus keluar jendela begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE WOMAN IN THE WINDOW.

 

 

That’s all we have for now.

Sebenarnya wajar sih kita merasa lebih aman di rumah sendiri. Tapi pernahkah kalian juga mengalami takut yang luar biasa untuk pergi ke luar, like you just want to spend your entire day at home? Bagaimana kalian mengatasi itu?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

.

ARMY OF THE DEAD Review

“What happens in Vegas, stays in Vegas”

 

Gak heran kalo Las Vegas disebut sebagai Sin City (Kota Dosa). Di tempat itu dari nyaris dari pintu ke pintu adalah kasino. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru mengunjungi tempat hiburan khusus dewasa tersebut, berpesta foya-foya dengan berjudi dan segala turunannya yang sah, mulai dari ngobat sampai prostitusi. Las Vegas dalam dunia sinema Zack Snyder ini, kedatangan satu ‘dosa’ lagi. Satu abomination, yang lantas merebak menjadi ribuan lainnya. Wabah zombie menggerayangi seisi kota! Beruntung Las Vegas punya slogan “Apa yang terjadi di Vegas, tetap tinggal di Vegas”. Zombie-zombie dikarantina di dalam kota yang ditutup rapat-rapat. Terputus dari dunia luar.

Ketika Scott Ward dan kelompoknya mendapat misi untuk mengambil dua ratus juta dolar uang yang tersimpan di dalam brankas salah satu kasino, mau tak mau mereka harus melintasi kota undead tersebut. Dan saat itulah geng orang-orang jalanan ini mengetahui bahwa musuh yang mereka hadapi di sana bukanlah sesepele mayat hidup tak-berotak. Yang tinggal di dalam sana ternyata bukanlah kawanan zombie biasa. Melainkan kelompok zombie-zombie pintar, yang dipimpin oleh raja dan ratu zombie yang bisa berpikir sendiri. Mereka menduduki kota. Las Vegas telah berubah menjadi kerajaan zombie!

Di Las Vegas semuanya kasino. Gak ada yang dono ataupun indro.

 

Para zombie itu memang jadi hal paling menarik yang ditawarkan oleh film. Basically ada tiga jenis zombie yang dimunculkan di sini. Ada zombie pelan dan dungu, seperti yang sudah umum kita lihat. Lalu ada zombie alpha; zombie yang gerakannya sangat cepat dan cukup cerdas untuk mengelak dari peluru. Dan terakhir, zombie pemimpin mereka, The Original, tak-kurang seperti makhluk berkecerdasan dan kekuatan super. Dia mengendalikan zombie-zombie yang lain seperti bos memerintah anak buah. Hierarki zombie ini menciptakan lapisan intensitas pada cerita. Karena selain difungsikan sebagai tantangan untuk para karakter manusia, zombie-zombie ini juga jadi sarana bagi sutradara Zack Snyder mencuatkan kreativitas khasnya. Tidak setiap hari kita melihat zombie berjubah dan berhelm menunggangi kuda zombie – niruin dewa Zeus, kan. Dan ya, zombie harimau membuat film ini berada dalam level kekerenan yang baru!

Snyder bener-bener pol-polan mengarahkan cerita untuk mengajak kita bersenang-senang dengan tembak-menembak zombie. Setiap headshot ke kepala berotak busuk tersebut dipastikannya terekam dengan penuh gaya. Kita bisa duduk santai menikmati setiap adegan laga yang disuguhkan. Pertemuan geng manusia dengan kawanan zombie dibuat berbeda setiap kalinya. Ada yang berupa mereka harus berjalan pelan-pelan supaya tidak membangunkan zombie yang sedang hibernasi. Di lain waktu, mereka benar-benar harus tunggang langgang sambil berlari menembaki zombie. Bahkan ada adegan ketika para manusia memanipulasi zombie untuk berjalan menyusuri jebakan tersembunyi. I love those kind of interactions. Rasanya nonton ini seperti kembali nonton film-film zombie jaman dulu yang pure seru-seruan, gak ada agenda. 

Jikapun kerajaan zombie itu dimaksudkan sebagai cerminan society masa kini, Snyder tidak pernah mencuatkan hal tersebut. Karena cerita film ini dibuat sangat sederhana sekali. Ceritanya malah cukup mirip dengan Peninsula (sekuel Train to Busan yang tayang 2020 lalu). Alih-alih tentang outbreak, film ini melompat dan mengambil masa ketika Las Vegas sudah jadi kota mati, dan sekelompok orang ditugaskan untuk mengambil ‘harta karun’ di dalam kota tersebut. This is lowkey a heist movie, with zombies. Zombie pintar di film ini adalah pengganti kelompok ala Mad Max di Peninsula. Protagonisnya juga mirip. Peninsula punya protagonis yang merasa bersalah telah membiarkan kerabatnya dimakan zombie, maka Army of the Dead ini punya protagonis yang dihantui oleh tindakannya yang terpaksa membunuh istri sendiri sebelum ibu dari putrinya tersebut berubah menjadi mayat haus darah.

What happens in Vegas stays in Vegas. What happens in the past stays in the past. Karena pada akhirnya, apapun yang telah terjadi, apapun yang telah dilakukan – entah itu keberhasilan atau kegagalan – tidak akan ada orang yang akan benar-benar mengerti kecuali diri sendiri. Kita sendirilah yang harus deal with it. Seberapa jauhpun kita lari, bagian diri kita yang ada di situ akan tetap di situ, sampai kita menyelesaikannya.

 

Personally, aku lebih suka cerita outbreak zombie ketimbang action heist yang zombienya seringkali hanya diposisikan sebagai obstacle. Film Army of the Dead ini menceritakan kejadian awal Las Vegas terkena wabah zombie lewat montase sebagai opening credit. And it was a blast! Montase tersebut melimpah ruah oleh gaya Snyder – aksi dan musik dan kamera work yang lain dari yang lain – dan benar-benar sukses memperlihatkan zombie outbreak mengerikan. Bahkan ada cerita-mini tentang ibu yang harus berjuang menyelamatkan anaknya tapi gagal dan mereka berdua mati bersama zombie-zombie di sela-sela memperkenalkan tiga tokoh sentral sebenarnya dari cerita film ini. Opening kreditnya itu bisa banget dijadiin satu episode film-panjang sendiri. And I must say, aku merasa jauh lebih peduli dan tertarik sama cerita ibu pejuang di situ dibandingkan dengan karakter-karakter yang ada pada kelompok Scott sebagai main story film ini.

Bukannya apa-apa, tapi karakter manusia di film ini tipis sekali. Yang paling mendingan memang si Scott. Dia bilang dia mau nerima misi karena duit, tapi sebenarnya dia juga pengen banget ketemu lagi sama putrinya yang jadi relawan di sekitar perbatasan kota Las Vegas. Dave Bautista menggunakan perannya di sini sebagai pintu kesempatan untuk memperluas range aktingnya. Kita bisa lihat dia berusaha untuk hit adegan-adegan percakapan yang emosional. Tapi dengan stake yang diberikan kepada karakternya ini, kita tidak benar-benar bisa merasa peduli kepadanya. Yang grounded dan emosional terletak pada hubungannya dengan putrinya, yang sayangnya Kate, putri semata wayangnya itu ditulis sebagai karakter annoying karena begitu keras kepala. Selebihnya, kelompok mereka terdiri dari orang-orang yang hanya mau duit juga. Ada youtuber yang diajak ikut karena video dirinya menembak jitu zombie-zombie viral. Ada pembuka brankas yang cupu, tapi dibikin sok melawak oleh naskah sehingga malah jadi creepy. Ada juga beberapa relationship yang tau-tau muncul, dan disetop begitu saja. Film sepertinya hanya menggali mereka sesaat sebelum mereka dibuat mati, as a cheap shot untuk memancing perasaan sedih kita. Padahal sebenarnya ya memang orang-orang ini ada di sana untuk jadi makanan zombie. The more the merrier.

Walaupun di tengah-tengah, film berusaha menaikkan suspens dengan mengeset batas waktu yang semakin ngepress bagi para karakter – jika mereka telat, mereka mati, hancur bersama Las Vegas – tetapi tetap saja susah bagi kita untuk merasakan simpati. Kita tentunya sukar untuk benar-benar ingin mereka sukses jika kegagalan mereka hanya berarti mereka gak dapat duit jutaan yang sebenarnya tidak mereka perlukan (they already have a job). Satu-satunya yang punya stake yang bisa kita pedulikan adalah seorang perempuan beranak dua yang disandera zombie. Namun, karakter teman putri Scott ini ya hanya sebagai sandera, kepentingan dirinya dan keluarganya tidak benar-benar dibangun.

Ditembak termometer jadi elemen horor yang relevan

 

Tentu, film zombie boleh saja hanya have fun dengan karakter yang tipis. Mereka bisa berbicara lewat aksi saja jika memang budget atau waktu yang dimiliki terbatas. Inilah yang disayangkan. Army of the Dead terlihat jelas punya dana yang enggak pas-pasan. Durasinya pun lebih panjang dari yang sebenarnya dibutuhkan oleh cerita. See, there lies the problem. Ketika Snyder merilis Justice League versi dirinya, kita bisa maklum durasi film tersebut mencapai empat jam. Karena kita paham ceritanya butuh ruang yang banyak supaya masing-masing karakter superhero dapat termuat dengan memadai. Kita malah sudah melihat bagaimana cerita tersebut tidak bisa bekerja jika hanya sekitar dua jam. Di film Army of the Dead ini kasusnya beda. Durasi nyaris dua setengah jam itu tidak terasa benar-benar diperlukan. Snyder toh tidak berniat mengembangkan karakter-karakter yang dimiliki. Begitupun soal aksi, yang ternyata tidak selalu terjadi di layar. Snyder di sini tampak memakai durasi bercerita yang panjang, bukan karena dia butuh, tapi hanya karena dia bisa.

Padahal kita bisa rasakan sendiri saat menonton, betapa tidak efektifnya tempo dan ritme adegan per adegan yang kita saksikan. Banyak bagian yang tampak tidak penting-penting, yang jika dibuang pun tidak mengganggu cerita. Misalnya soal teman salah satu anggota kelompok yang diajak tapi kemudian pulang lagi karena takut sama zombie. Apa pentingnya adegan tersebut sampai harus masuk, kan. Karakter yang pulang tadi itu bahkan tidak benar-benar dijumpai lagi hingga akhir cerita. Actually, sepanjang durasi film akan banyak melakukan hal seperti demikian. Seolah ngebuild up sesuatu dari interaksi karakter, tapi ternyata tidak ada pay off sama sekali. Semua berjalan sesuai dengan blueprint mengenai tipikal karakter manusia film zombie yang sudah kita hapal di luar kepala.

Hal terakhir yang juga menggangguku adalah soal treatment gambar yang dilakukan oleh kamera Snyder. Ini lebih ke soal selera sih kayaknya, karena mungkin diniatkan untuk estetik. Snyder merekam gambar yang dengan sengaja digeser dari fokusnya. I mean, hampir seluruh frame itu gambarnya hanya fokus di sekitar tengah layar, sementara sekitarannya buram. Menonton film ini aku sambil mengerjap-ngerjap. Kupikir minus mataku sudah nambah dan kacamataku sudah gak cocok lagi. Karena mirip seperti gambar film inilah penglihatanku kalo gak pake kacamata. I would squint my eyes so hard sehingga nanti bagian tengah yang sedang kupandang jadi jelas. Beberapa penonton enggak akan masalah sama ini, karena hey, it’s Snyder. Gaya-gaya seperti itu cocok dengan konteks siapa dirinya dan bagaimana ciri khas karya-karyanya. Lagipula mungkin memang benar kata Hideo Kojima bahwa Snyder sedang mengubah kepala kita menjadi zombie, dan itu dimulai Snyder dari penglihatan kita.

 

 

Enggak setiap hari kita dapat film zombie yang sangat stylish. Penuh aksi kejar-kejaran dan tembak-tembakan yang seru. Walaupun dari segi cerita film ini enggak menawarkan apa-apa (yang baru), tapi dari segi konsep dan world-building, film ini sukses bikin kita tertarik dengan experience baru yakni zombie yang superkuat dan bisa berpikir seperti manusia. Malahan memang film ini tampak sekalian ngebangun sekuel dan ngetease kita dengan dunia dan lore yang lebih luas lagi untuk ke depannya. Aku enjoy sekali nonton ini, terutama di kredit pembukanya. Dan aku tetap enjoy sampai akhir padahal ada banyak elemen yang dimiliki film yang membuatku enggak sreg. Semua yang terlalu standar di sini membuat kita teralihkan dari thrill yang ditawarkan film ini. Film ini sendirinya persis seperti kota Las Vegas. Penuh dosa, tapi aku enggak akan mikir dua kali untuk mengunjunginya kembali.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ARMY OF THE DEAD.

 

 

That’s all we have for now.

Kalian yang sudah sering nonton zombie pasti kenal sama tipe-tipe karakter yang sering muncul. Menurut kalian kenapa film-film zombie selalu berisi karakter-karakter tipikal semacam itu? Jika kalian ada di dunia film zombie, kira-kira kalian masuk tipe karakter yang mana?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

TARIAN LENGGER MAUT Review

“Calm the troubled heart”

 

Sejak merebaknya pandemi yang meng-cancel jadwal tayang film-film bioskop lepas Maret tahun lalu, antisipasi penonton Indonesia untuk sebuah cerita horor yang viral tentang sekelompok mahasiswa di desa mistis yang punya ritual menari memang lagi tinggi-tingginya. Dan enggak lantas surut. At least, setiap teman yang kutanyai, hingga sekarang masih pada penasaran dan setia menantikan film tersebut muncul kembali jadwal tayangnya di bioskop. Salut untuk mereka. Salut untuk PH film tersebut yang terus bertahan menunggu rilis di bioskop – tidak serta merta menyerah dan memindahkannya ke platform streamingan. Dan sebaliknya, kurasa kita juga harus salut juga sama PH Visinema yang menunjukkan dukungannya kepada bioskop secara nyata dengan masih berani merilis film ke bioskop walau sedang pandemi. Visinema membeli satu film horor buatan Aenigma Pictures (or as they’d like to call it ‘bekerjasama’), mengganti judulnya untuk bermain-main dengan antisipasi penonton terhadap horor penari, dan menayangkan pada momen lebaran.

Akankah Tarian Lengger Maut ini bisa sesukses dan viral seperti cerita yang film adaptasinya mereka dahului?

lenggerTarian-Lengger-Maut-2
Kenapa jadi kayak nama jurus silat “Hup.. Tarian Lengger Maut! Ciaatt!!!”

 

To be frank with you guys; jawabannya tidak. 

Film karya Yongki Ongestu ini, jikapun ramai dibicarakan, maka itu niscaya bukan karena filmnya bagus. People would more likely talking about bagaimana penggantian judul film ini jadi Tarian Lengger Maut jelas-jelas adalah usaha menyedihkan untuk memancing perhatian penonton. Dengan judul dan materi promonya yang sekarang, film ini seperti dijual seperti sebuah film hantu dengan unsur penari mistis. Padahal isinya sama sekali tidak seperti demikian. Bayangkan artikel dangkal dengan judul click-bait. Nah, begitulah persisnya film ini.

Tari Lengger sendiri memang diperkenalkan, tapi sama sekali tidak pernah dibahas ataupun dicuatkan sebagai elemen penting cerita. Apalagi soal tari lengger yang membawa maut. Cerita film ini justru mengambil perspektif utama seorang pria yang menjadi dokter di siang hari, dan menjadi pembunuh berantai pengoleksi jantung di malam hari. Si Dokter kemudian pindah ke desa kecil, buka praktek di sana. Di desa yang terkenal dengan tarian lenggernya tersebutlah, si Dokter bertemu dengan perempuan muda calon penari. Perempuan yang bakal mengacaukan denyut jantung – dan denyut kerjaan psikopatnya.

See, ‘Dokter Maut’ lebih cocok dijadikan tajuk, kalo memang mau diganti. But, in fact, film ini seharusnya dibiarkan saja dengan judul originalnya. ‘Detak’. Karena memang soal detak jantung itulah yang menjadi heart dari cerita film ini. Motivasi si dokter sebenarnya cukup intriguing. Heck, karakter seorang serial killer karena trauma kekerasan rumah tangga semasa kecil memanglah intriguing. Sayangnya film ini sendiri gak punya ide yang pasti soal bagaimana menceritakan, menggali, dan mengembangkan itu semua. Sepertinya inilah film pertama yang kutonton yang sukses membuat pembunuh berantai tampak membosankan. Bahkan menakutkan pun tidak. Karakternya begitu… datar dan gakjelas. Kita tahu dia mencabut jantung korban-korban, dan mengumpulkan jantung-jantung tersebut. Kita tahu dia merasa nyaman mendengar bunyi detak jantung yang teratur, dan kemudian nanti dia kalut sendiri saat jantungnya dag-dig-dug gak karuan karena melihat gadis penari yang cantik. Seharusnya ada sesuatu yang diceritakan di sini, tapi film tidak berhasil mencuatkan hal tersebut. Dan ini bukan karena film tergagap dalam menyampaikan topik yang berat, atau semacamnya. Melainkan karena film memang tidak membahas apa-apa sepanjang durasinya.

Anugerah dan kutukan tampaknya merupakan tema besar pada cerita. Kita lihat gadis yang punya talent menari tapi gak pede. Kita lihat pemuda yang punya trauma di masa kecil, kini menjadi dokter dan pembunuh yang sukses. Ini seperti menemukan ketenangan di antara chaos, dan sebaliknya. Dengan sedikit reaching, kita bisa mengaitkan ini dengan motivasi si dokter yang menginginkan ketenangan dan ngamuk ketika jantungnya sendiri berdetak kacau saat berada di sekitar gadis penari.

 

Penulisan dan arahannya begitu parah sehingga aku merasa film ini hampir seperti tidak tahu apa yang ingin mereka jual (selain satu-dua shot yang tampak cantik dan judul yang ‘click-bait’, so to speak). Mereka punya tokoh seorang pembunuh, tapi tidak pernah menyelami masuk pikirannya. Ketika memperlihatkan aksi pembunuhan sinting pun, film bermain aman – tidak pernah tampil sadis ataupun sekadar nunjukin darah. Adegan si dokter membelah dada pasiennya hidup-hidup pun, dilakukan dengan bersih. Tidak ada darah muncrat. Lupakan adegan Kano nyabut jantung Reptile di Mortal Kombat (2021). Di Tarian Lengger Maut ini semua yang ‘fun’ kayak gitu itu ditutupin.

Bagaimana dengan si gadis penari lengger? Gadis itu pemalu, dia kelihatan naksir sama si dokter baru, dia kelihatan gugup saat penampilan tari pertamanya ditonton warga (yang sebagian besar adalah cowok, lengkap dengan suit-suitan dan mata lapar mereka). Dan cuma segitu film sanggup menuliskan karakternya. Itupun tidak pernah ada development atau follow up yang benar-benar berarti. Dia merasa takut salah sebelum menari, dia gak konfiden, tapi saat nari tidak diperlihatkan ada masalah apa-apa. Dia ‘naik peringkat’ sampai jadi penari utama, dengan gampang dan tanpa rintangan. Ketika dia mewarisi pusaka yang diceritakan bakal melindunginya, satu-satunya perbedaan yang kita lihat dari karakter ini sebagai bukti dari perkembangan karakternya hanyalah sekilas ekspresi percaya diri yang diperlihatkan Della Dartyan. Selebihnya, gak ada lagi. Ngomongnya pun monoton, dilembut-lembutin. Terasa sekali dibuat-buat. Persis kayak Refal Hady yang juga keliatan banget dibuat-buat sok cool-nya. Bahkan orang desa yang ngomongnya medhok pun terdengar kayak medhok yang dibuat-buat.

lenggerTarian-Lengger-Maut-_-sumber-Visinema-Picturess-696x410
Pada suatu hari sebelum era nonton joget tiktok…

 

Tidak ada satupun yang berhasil dibangun oleh film. Suasana seram? Apaan. Musik sepanjang durasi monoton banget, persis karakter-karakternya. Suasana desa? Nihil. Tempat itu dengan konsisten kehilangan warga, tapi tidak ada kenaikan intensitas ataupun aksi yang tampak dilakukan. Film hanya memperlihatkan obrolan di warung, ada satu warga yang curiga. Itu saja. Tidak ada pencarian orang hilang skala besar atau semacamnya yang bisa membuat cerita film ini menjadi semakin menarik atau otentik. Bahkan untuk menyetir cerita ke arah yang lebih lumrah seperti romansa saja, film ini tidak mampu. Padahal ‘modal’nya sudah tersedia di sana. Dua karakter sentral yang tampak tertarik satu sama lain. Si Gadis Penari (serius aku gak ingat nama karakternya siapa – Bocah Ayu kah?) dan si Dokter Pembunuh (ini aku ingat namanya, tapi malas nyebutin karena bikin malu namaku sendiri) sebenarnya bisa saja diarahkan untuk menjadi sebuah hubungan gothic/dark romance; relationship mereka bisa jadi sangat menarik sebagai sentral cerita. Tapi film tidak pernah memposisikan keduanya selain lewat bantering dialog-dialog yang kosong. Percuma saja ada montase yang nyaris seperti nge-match cut tindakan operasi cabut jantung dengan persiapan menari lengger itu dilakukan.

Percuma juga film ini ngebuild up soal tusuk rambut atau apalah itu benda yang punya kekuatan yang akhirnya didapat oleh gadis penari saat dia berhasil jadi penari lengger utama. Sepanjang film, si gadis itu kerjaannya cuma antara nari atau megang-megang sesajen. Seolah bakal ada something big about mistis atau semacamnya. Terus ada dialog yang sangat eksposisi tentang gadis itu sekarang punya perlindungan. Tapi pay off-nya di akhir ternyata sangat minimalis. Film ini kayak gak tahu cara menulis penutup yang gede untuk sebuah cerita thriller. Malah, aku nunggu-nunggu. Kupikir film yang so far so boring ini mungkin nyimpan over-the-top di akhir sehingga setidaknya kita diantar pulang dengan seru. Aku udah bersumpah di dalam hati untuk gak akan ngeluh kalo film ini nanti akan berakhir dengan pertempuran antara dokter pembunuh dengan kekuatan gaib benda pusaka or whatever. Karena paling enggak bakal ada komentar soal klenik lawan sains, ataupun keseruan soal desa yang ternyata jadi pelanduk di antara serial killer dengan kekuatan gaib. Tapi mengharap ternyata adalah dosa. Film ini menghukum kita yang udah bertahan nonton dan berharap dapat hiburan, dengan ending/resolusi yang ditulis dan dieksekusi dengan sangat buruk.

Tidak ada konfrontasi leading up to that, tidak ada pemecahan misteri (melainkan tau-tau kesurupan dan melihat fakta), dan tidak ada – katakanlah – final battle. Ending film ini juga akan jadi hal yang dibicarakan oleh penonton, karena kebegoannya yang begitu paripurna. Saat menonton malah awalnya kukira si dokter bunuh diri. Kayak, mereka lupa ngasih efek di adegan terakhir tersebut, seharusnya ada sesuatu yang bisa dilihat penonton ketika dokter menyerang si gadis.

 

 

 

Jadi ya, untuk kalian yang masih belum tahu, film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita horor viral yang mungkin lagi kalian tunggu-tunggu. This is a completely different movie. Ini bukan horor mistis. Melainkan sebuah thriller dengan sedikit sentuhan mistis. Dan dengan banyak sekali arahan yang mengerikan, akting yang mengerikan, dan dialog yang mengerikan. Tapi ‘mengerikan’ di sini as in awful, loh ya. Which is really really bad. Ceritanya tanpa ritme dan irama. Penulisnya seperti benar-benar gak tahu harus nulis apa. Gak tau harus mengembangkan apanya. Padahal ada banyak potensi cerita seperti gothic/dark romance, atau malah cerita perseteruan. Sepanjang durasi terasa sangat menjemukan karena bahkan adegan pembunuhan psikopatnya pun tidak bisa mereka buat menarik. Kehancuran film ini semakin lengkap berkat kehadiran penutup yang eksekusinya sangat gakjelas. Jangan tergoda sama nama-nama pada poster. Karena aku yakin mereka sendiri juga gak tau mereka tuh sebenarnya ngapain di sini, saking gak jelasnya bangunan dan arahan film. Dan tentu saja, jangan tergoda sama judulnya.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TARIAN LENGGER MAUT.

 

 

That’s all we have for now.

Karena film ini sama sekali gak bicara tentang apa-apa, yuk kita bikin bahan obrolan sendiri. Apakah kalian punya fakta-fakta menarik tentang Tari Lengger?

Share  with us in the comments  yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA