TERRIFIER 2 Review

 

“Evil wants what it wants and won’t stop until it’s won or you kill it. And the only way to kill it is to be meaner than evil.”

 

 

Ini pertama kali aku kenal Art the Clown. Aku gak nonton film pertamanya. But, sekarang halloween, dan aku dengar sekuel dari film 2016 lalunya tayang, dan jadi hit box office di Amerika. Awalnya aku mutusin ikut nonton, mau bandingin aja horor laku di negara kita ama negara mereka sama-sama bego atau tidak. So, yea. Art the Clown ternyata badut yang lebih gila dari yang kusangka. Jahat. Sadis. Setan. Brutal. Jijik. Sinting. Edan. Busuk. And I like it!

Aku pun lantas tahu bahwa aku baru saja ‘berkenalan’ dengan ikon slasher modern yang sebenarnya. Art the Clown seperti didesain menjadi gabungan sekaligus berlawanan dengan ikon-ikon slasher dari 80-90an. Dia pendiam seperti Jason dan Michael Myers, tapi sekaligus usil dan berisik seperti Freddy Krueger. Bisa dibayangin tidak? Baiknya jangan deh, ntar mimpi buruk. Art juga dibikin gak bisa mati, dan seperti punya kekuatan mistis yang membuatnya bisa masih ‘aktif ya bun’ walau di kepalanya sendiri ada lubang menganga bekas peluru. Art juga bisa muncul di tempat-tempat yang mustahil, seolah bisa berteleport. Senjata pembunuhnya dibikin komikal, Art ke mana-mana membawa karung plastik berisi berbagai perkakas yang digunakannya untuk menyerang, mulai dari pisau berkarat hingga rantai.  Seperti badut-badut kebanyakan, Art memang hobi memainkan trik dan ketawa-ketawa, tapi ‘selera humor’ Art sungguh-sungguh menyakitkan bagi orang lain. Badut setan ini menganggap orang kesakitan itu lucu! Jadi, Art akan menyiksa korbannya, dan dia melakukannya seolah sedang bermain-main. Setelah mengelupasin batok kepala orang sehingga keliatan otak dalam salah satu adegan film ini, misalnya, Art akan ketawa dan tepuk tangan melihat korbannya itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Ketawanya si Art bukannya nyaring dan mengerikan menyumpah serapah kayak Freddy, melainkan ketawa tanpa suara. Namun film membuatnya seolah jeritan korban menjadi suara tawa Art. Di lain adegan, suara rekaman di rumah hantu dijadikan seolah suara Art menikmati ‘show berdarah’ buatannya sendiri. David Howard Thornton benar-benar great menghidupkan psikonya, jahatnya, badut ini lewat mime yang seringjuga kocak tapi dijamin selalu creepy. Pennywise jadi kayak anak pesantren jika dibandingkan dengan Art.Film ini actually ngasih eksplorasi soal siapa – atau lebih tepatnya – apa sebenarnya si Art ini, ada pengembangan lore yang dilakukan sekaligus dengan mengaitkannya dengan apa yang sepertinya sebuah gagasan yang dikandung oleh cerita di balik semua pembunuhan berdarah itu.

Michael Myers bisa istirahat dengan tenang, karena ini waktunya era badut!!

 

Oh boy, menyebut ‘pembunuhan berdarah’ sebenarnya sangat-sangat mengecilkan apa yang ditampilkan oleh film ini. Berita soal banyak penonton bioskop di Amerika yang muntah, hingga sampai pingsan, yah sekarang aku yakin itu bukan strategi marketing biar viral. Aksi kekerasan film ini sungguh-sungguh di level repulsive yang tinggi seperti demikian. Kayaknya sudah lama aku enggak panas-dingin nonton horor yang gore. Sutradara Damien Leone gak sungkan-sungkan! Dia menampilkan adegan potong kepala, full on-cam. Adegan ngelupas-ngelupasin kulit. Kepala meledak. Body horror dengan efek yang jijik. Kekerasan kepada anak – Art gak pandang bulu, cowok, cewek, anak kecil, orang dewasa, semuanya disayat-sayat dan dibikinnya bermandi darah. Leone tahu persis bikin horor – apalagi slasher ampe gore-gorean (istilah serem buat jor-joran, hihihi) – kudu bikin protagonisnya tersiksa luar dalam. Itulah yang ia pastikan. Protagonis cerita ini, si Sienna, dan adiknya, dan juga manusia-manusia lain yang ketemu dengan Art (baca: yang jadi korban) bener-bener dibikin berdarah-darah. Efek praktikal yang digunakan menambah pekatnya level sadis dan jijik film ini. Membuat semua ‘pembunuhan berdarah’ film ini terasa real, maka jadi makin menyeramkan. Satu adegan yang buatku benar-benar merasa gak nyaman adalah ketika Art muncul menyambut dan membagikan permen kepada anak-anak yang lagi trick or treat. Permennya ditarok di kepala korban dong! Kepala yang sudah dipenggal itu, dibuka batoknya, trus ditempat yang tadinya otak, diganti jadi buat naro permen-permen, dan si Art dengan gaya biasa aja bagiin permen seolah kepala itu adalah baskom yang sudah dihias kayak kepala. Salah satu anak yang ngambil permen dengan polosnya bilang “Ih, jijik lengket” karena di permennya masih ada darah beneran (atau malah sel otak, ewwww) dari orang yang baru saja diacak-acak isi kepalanya! Sick man!!

Bukan cuma darah, there’s literally shit in this movie. Aku yang udah antisipasi bakal ketemu adegan menjijikkan saja gak siap begitu si  Little Pale Girl, tahu-tahu menumpahkan limbah coklatnya ke lantai. Just “Proottt!!”. ‘Ya Allah lindungilah kami dari setan yang terkutuk’ moment banget!! Di film ini Art diberikan semacam sidekick yaitu badut anak kecil, yang interesting, bukan saja karena diperankan tak kalah meyakinkan oleh Amelie McLain (kok anak-anak barat bisa bagus sih kalo akting?) tapi juga karakternya yang dibentuk sebagai ambigu. Gak jelas apakah cewek cilik ini hantu atau sesuatu yang lebih simbolik dan lebih sinister. Kalo kalian pengen tahu, mungkin nanti malam bisa tanya langsung PAS DIA DAN ART DATANGKEKAMARMU!!!

Yang jelas kalo kalian bertanya kepadaku, jadi apakah ini film eksploitatif yang ‘murahan’ yang hanya gore-fest saja? Maka aku akan menjawab “Iya dan tidak”. Soal murah, memang film ini tipikal low-budget movie, namun dia berpesta pora dengan apa yang ia punya. Film ini menyuguhkan yang terbaik dari segi visual, kebrutalan, desain produksi dan estetiknya, hanya dengan budget yang tidak di level studio raksasa. Malah konon, film ini difund  sum-sum oleh para penggemar yang menginginkan sekuel dari cerita Art. Dari orang-orang sakit yang mendukung film ini jadi lebih sadislah kita mestinya berterima kasih. Serius. Jangan ngarep deh studio gede bikin yang penuh resiko dan melanggar batas kayak yang film ini lakukan. Makanya penggemar horor harusnya merayakan ini. Lalu, untuk soal ‘hanya gore-fest’, aku dengan bangga bilang tidak karena film ini actually berusaha menjadi lebih daripada itu. Terrifier 2 berusaha untuk menjadikan elemen mistisnya bukan sekadar cheap supernatural, melainkan jadi surealis yang ARTsy (alias banyak si Art-nya hihihi) Sureal film ini terutama datang dari si Little Pale Girl, ketika eksplorasi power Art, dan terutama ketika menggali koneksi antara Art dengan protagonis cerita. Film ini ada meggunakan menakuti lewat mimpi, yang adegannya cukup panjang. Biasanya aku gak suka adegan mimpi, tapi film ini melakukannya dengan benar karena mimpi tersebut tidak dibentuk untuk mengecoh ‘udah serem-serem taunya mimpi’, melainkan kita diingatkan ini mimpi. Adegannya seramnya diselingi shot si Sienna lagi tidur, dan tidurnya gelisah. Mimpi ini adalah bagian dari galian karakterisasi, karena inilah waktu film menyelami psikologis Sienna. Dia memimpikan Art, dan mimpinya itu crossover dengan dunia nyata. Adegan tersebut jadi mengsetup banyak elemen cerita, tanpa kita merasa terkecoh melainkan jadi berpikir. Film ini bukan tipe gore yang kita tinggal istirahatin otak untuk bisa menikmatinya.

 

Aku, ketika teror sudah usai, tapi ternyata ada mid credit scene dengan Chris Jericho!

 

Film slasher biasanya tak ngembangin karakter karena tahu penonton bakal lebih suka untuk peduli sama karakter pembunuh maniaknya. Terrifier 2 gak mau jadi fllm slasher yang biasa. Adegan mimpi yang panjang itu jadi bukti Terrifier 2 peduli sama karakter manusia, dan benar-benar punya plot dan pengembangan untuk protagonisnya. Jadi ceritanya, Sienna dan adik cowoknya, Jonathan, yang masih 12 tahun, masing-masing sedang dealing with kematian ayah mereka yang sepertinya seorang komikus. Apa yang terjadi pada ayahnya mereka ini penting, dan direveal bertahap oleh film. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Film masih menyisakan ruang untuk misteri dan kita berteori.  Yang jelas, si ayah meninggalkan buku yang berisi kasus-kasus si Art kepada Jonathan dan karakter superhero (wanita berarmor dan bersayap ala Valkyrie) kepada Sienna, yang actually membuat sendiri kostum sang superhero untuk halloween. Implikasinya adalah si ayah tahu tentang Art dan percaya Art bisa dibunuh dengan pedang si superhero. Koneksi ini, plus kedua kakak beradik ini juga bisa melihat The Little Pale Girl membuat Art menjadikan mereka sasaran utama. Sienna (Lauren LaVera tampak perfect di kostu, eh di perannya ini) kini harus berjuang untuk benar-benar bisa menjadi superhero bagi keluarganya, menyelamatkan mereka dari Art.

Ada drama keluarga yang legit membahas grief dan koneksi dari anggota keluarga yang ditinggalkan misteri di balik ini gore-fest yang memang jadi sajian utama. Drama dan konflik yang lebih personal yang dibuat oleh film tidak punya easy answer. Terrifier 2 tidak memberikan jawaban apa-apa. Melainkan membuat kita lebih berpikir lagi karena sekarang drama dan mistis dan lore dan koneksi ajaib para karakter, dan bahkan something dari film pertamanya, jadi satu. Jadi puzzle besar, yang setiap kepingannya begitu aneh, untuk kita susun. Film ini bijak tidak memberikan jawaban, melainkan memastikan ceritanya masuk ke dalam logika dunia yang mereka ciptakan. Inilah yang harusnya dilakukan oleh film-film horor. Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”). Melainkan memberi ruang bagi penonton untuk menyelami misteri tersebut. Untuk berteori, kemudian merasa ngeri sendiri. Terrifier 2 memberikan itu semua kepada kita. Momen untuk jerit-jerit. Momen untuk mual. Momen untuk bergidik. Momen untuk refleksi ke karakter. Momen untuk menebak dan berteori, tanpa harus tahu mana yang benar-mana yang salah.

Teoriku, alasan Sienna dan Jonathan bisa melihat The Little Pale Girl seperti Art, adalah karena selain sebagai sosok ‘hantu’ si badut cilik ini adalah simbol darkness dalam diri. Sienna dan Jonathan bisa melihat karena mereka punya sisi kelam akibat ditinggal ayah. Itulah kenapa Art menyasar mereka. Karena untuk membunuh setan, manusia harus melakukan hal yang lebih kejam daripada setan itu sendiri. Sienna dan Jonathan bisa melihat si cilik, jadi bukti bahwa mereka berpotensi jadi ‘bahaya’ bagi Art. Terutama si Sienna, yang punya jiwa pemberani yang belum ia sadari. Jiwa yang jadi pembeda dirinya dengan Art. Makanya juga si karakter dari film pertama dimunculkan, karena dia survivor Art, yang actually jadi sinting seperti Art. Dia tidak punya yang dimiliki Sienna. Sifat pemberani dan heroik, yang lebih lanjut disimbolkan oleh armor, sayap, dan pedang kostum Valkyrie yang Sienna kenakan.

Art the Clown yang tak bisa mati sejatinya diniatkan oleh film sebagai perwujudan dari evil itu sendiri. Dan yang namanya evil tidak bisa dibunuh. Kenapa? karena untuk membunuh evil, seseorang harus bertindak lebih setan daripada si evil itu sendiri. Sehingga jadi semacam kejahatan melahirkan kejahatan. Ya, melahirkan. Menurutku itulah makna yang disimbolkan film ketika memperlihatkan kepala Art terlahir dari survivor kebrutalan dirinya. Orang yang selamat dari dirinya yang evil, berarti sendirinya telah menjadi evil yang bahkan lebih brutal. Siklus kejahatan akan terus berulang, jika tidak banyak yang seperti Sienna.

 




Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan (kecuali kalian lagi bikin video challenge try not to vomit) Karena film ini memberikan semua yang diminta, yang diidam-idamkan oleh penggemar horor slasher berdarah, yakni gore brutal yang kelewat real. Badanku literally panas-dingin nonton ini. Tapi aku suka, karena inilah yang kurindukan dari horor sadis. Karakter yang konyol tapi super seram. Suasana yang mencekam tapi ada surelisnya juga. Film ini memberikan itu semua, and more! Karena di sini, karakterisasi, plot, benar-benar diberikan pengembangan. Kita tidak hanya menonton orang-orang mati dibunuh dalam cara yang semakin bikin meringis. Film ini memang ngasih itu, tapi juga ada cerita – drama yang mumpuni di baliknya. Aktingnya juga gak jelek dan cheap kayak film-film horor biasa yang menjual wahana. Malah aku bisa bilang film ini berhasil menciptakan karakter yang bakal ikonik di horor. Antagonis, maupun protagonisnya. Ini adalah kontender legit untuk horor terbaik 2022, asal kita sanggup menguatkan diri untuk bertahan hingga durasinya habis. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TERRIFIER 2

 

 




That’s all we have for now.

Apa yang membuat karakter horor bisa menjadi ikon? Apakah kalian punya kriteria tertentu?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



HALLOWEEN ENDS Review

 

“Be careful fighting someone else’s demons – it may awaken your own”

 

 

Oke, this is it! Empat-puluh tahun trauma. Setelah begitu banyak korban berjatuhan, setelah begitu banyak sekuel-sekuel yang diberangus.  Kita akhirnya melihat klimaks dari Laurie Strode, one time a babysitter, dan Michael Myers, sang babysitter killer. Pertemuan akhir dua ikon horor ini benar-benar punya big-match feel. Meskipun film-filmnya sendiri kurang memuaskan, tapi toh sutradara David Gordon Green berhasil juga membuild up babak akhir dari trilogi Halloween modern, dengan perspektif yang fresh. Dalam Halloween (2018) dia membuat Laurie jadi penyintas paranoid, yang hampir berbalik dari yang diburu menjadi pemburu. Dan dalam Halloween Kills (2021), Green memperlihatkan betapa kuat dan mengerikannya demon yang harus disingkirkan oleh Laurie. Monster yang telah berefek begitu besar bahkan hingga ke seluruh penduduk Haddonfield. Saking gede feelnya, ini bisa dengan gampang kubayangkan nongol jadi headline match WrestleMania; Laurie vs. Michael! Namun karena sering nonton gulat itulah, aku jadi sudah sedikit mengantisipasi bahwa build up dan hype kadang bisa tak diikuti oleh eksekusi yang sepadan. Untuk final battle Laurie dan Michael ini, bayangkan kalo match Stone Cold lawan The Rock di WrestleMania 17 tapi sebagian besarnya diisi oleh interferensi kisah romance dari dua pegulat lain yang nongol mengacau. Karena itulah yang literally terjadi pada film terakhir dari trilogi Halloween David Gordon Green ini.

Halloween Ends memang memenuhi janji judulnya untuk mengakhiri semua mimpi buruk yang muncul setiap kali halloween di Haddonfield, tapi juga tidak terasa seperti akhir dari sebuah trilogi. Setting waktu kisah ini adalah empat tahun sesudah Halloween Kills (yang mengambil kejadian hanya beberapa menit setelah ending film pertamanya), dan dari waktunya ini saja keurgenan cerita sudah seperti lepas. Ketika kita masuk ke film terakhir ini, mood atau suasananya udah beda. Laurie sudah menata kehidupan baru bersama cucunya, Allyson. Sang cucu kini jadi perawat, sementara Laurie berusaha mencari ketenangan personal dengan menuliskan buku tentang Michael Myers. Si pembunuh bertopeng ini memang sudah lama tak tampak, namun setiap halloween teror dan trauma yang ia bawa masih membekas. Penduduk masih dirundung takut, walau kini mereka mengekspresikan takut tersebut dengan cara yang mulai mengkhawatirkan. Termasuk si Laurie. Diceritakan, Allyson pacaran sama pemuda bernama Corey. Sebagian besar durasi dihabiskan Laurie menjadi seorang nenek yang mengkhawatirkan (sampai menguntit) kehidupan cinta cucunya. Laurie memang kembali jadi gak tentram, Karena Laurie merasa, Corey si pemuda yang juga sedang berusaha merajut hidup setelah trauma yang berhubungan dengan tragedi malam halloween,  punya mata yang sama dengan Michael Myers.

Tatap mata, Ojan!

 

Sebenarnya, film ini punya cerita yang lebih baik dibanding film Halloween Kills yang hampa dan praktisnya gak ada plot, melainkan cuma Michael bunuhin penduduk kota yang bersatu maju memburunya (hal yang dilakukan dengan lebih ‘boss’ oleh Laurie di film pertama) Halloween Ends, seenggaknya, punya bahasan seputar inner demons. Bagaimana ketika sekelompok manusia adalah penyintas harus berdamai dengan trauma bersama, berusaha saling suport, sembari tidak saling membangkitkan demon masing-masing, karena setiap manusia punya momok tersendiri dalam kehidupannya. Kisah Corey yang diperankan dengan duality atau ambigu yang tepat oleh Rohan Campbell sesungguhnya adalah penggalian yang cukup dalam tentang seberapa besar efek trauma bisa membentuk orang. Karena Corey yang dituduh membunuh anak kecil bukan saja harus menyembuhkan diri dari itu, tapi dia melakukannya sembari didera oleh orang-orang yang berusaha menyembuhkan trauma mereka dengan ‘melemparkan batu’ kepada dirinya. Kisah Corey ini adalah materi yang bisa banget berdiri sendiri. Yang menurutku pantas untuk mendapat babak tersendiri. Halloween Ends tampak seperti masih berusaha mengekspansi cerita, walau sudah di penghujung. Alhasil, kisah Corey tidak bisa maksimal. Film mengecilkannya seperti hanya jadi persoalan cinta ‘terlarang’. Yang juga membawa kita ke karakter Allyson yang jadi semakin annoying sebab di umur segitu permasalahan yang ia punya cuma gak senang neneknya gak setuju dia pacaran ama Corey. Kasian banget memang si Andi Matichak. Percuma muncul di trilogi, tapi dari film pertama hingga terakhir, karakternya tidak mendapat peran yang benar-benar berarti.

Semua orang cepat atau lambat bakal berhadapan dengan demon atau masalah menakutkan tertentu di dalam hidupnya. Mentality fight atau flight ketika berhadapan dengan itu yang bakal menentukan jadi seperti apa seseorang ke depannya. Laurie tahu untuk tidak kabur dari demonnya. Dia memilih bertempur. Halloween Ends pada hakikatnya menegaskan yang sudah dibuild pada film yang lalu, bahwa bukan hanya Laurie yang trauma. Melainkan seluruh kota. Setelah empat tahun, semua orang masih berjuang untuk healing. Masalah yang dihadapi Laurie sekarang terjadi ketika dia berusaha membantu orang lain menghadapi demon mereka. Secara simbolik film memperlihatkan ketika kita bertarung dengan demon orang lain, kita harus berhati-hati untuk tidak membangkitkan demon dari diri sendiri.

 

Laurie Strode, di pihak satunya, jadi tidak banyak yang dilakukan untuk awal-awal. Film hanya memperlihatkan dia berusaha menjalin kehidupan normal, sementara tetap menaruh curiga dan mengkhawatirkan cucunya. Jujur, untuk yang udah kehype film ini bakal jadi duel terakhir Laurie, aku gak expect melihat karakternya direset ke bentuk baru oleh film. Padahal yang kebayang ya melihat Laurie langsung jadi badass, apalagi setelah di film kedua dia gak ngapa-ngapain. Dan memang, ketika pada akhirnya dapat kesempatan beraksi, Jamie Lee Curtis menunjukkan dia tahu dan paham menunjukkan di taraf ruthless seperti apa karakter yang sudah ia perankan bertahun-tahun tersebut. Kita nonton ini pengen lihat aksi Laurie, dan Curtis benar-benar jadi heroine yang cadas. Dia bahkan melakukan lebih banyak aksi ketimbang Tara Basro di dua film Pengabdi Setan digabung jadi satu. Untuk urusan aksi dan bunuh-bunuhan, film ini memang masih nunjukin kreativitas dan sisi fun di tingkat hiburan yang tinggi. Walaupun masih bersandar pada referensi dan throwback, tapi adegan-adegan mati di film ini terasa segar dan bikin melek. Favoritku adalah kill yang berhubungan dengan piringan hitam.

This is how you do a heroine in horror movie

 

Final battle Laurie dan Michael terdeliver secara emosional. Apalagi buat kita yang sudah bolak-balik ngikutin kisah mereka dalam berbagai versi. Halloween Ends ngasih sesuatu yang benar-benar terasa seperti this is the end. Namun ada ‘tapinya’. Aku merasa Michael Myers sedikit terlalu banyak kehilangan ‘tuahnya’ di sini. Istilahnya, terasa lemah. Michael persis seperti yang dikatakan oleh Corey kepadanya saat merebut topeng. Michael yang sekarang hanyalah si tua dengan topengnya. Film ini mengulang kesalahan yang ada pada Halloween 2018. Suasana mencekam malam halloween itu tidak terasa. Padahal itu yang sebenarnya jadi ciri khas setiap installment Halloween. Dan film ini bukannya meniatkan memang gak ada. Lihat saja openingnya. Keren sebenarnya. Horor dan trauma itu masih menyelimuti. Malah ada satu sekuen montase singkat yang memperlihatkan tetap terjadi berbagai pembunuhan yang dibuat seolah dilakukan oleh Michael Myers. Nah, sebenarnya kalo film benar-benar fokus mengeksplorasi, suasana mencekam itu harusnya hadir sejalan dengan aspek warga masih merasa diteror. Bahwa dalam healing mereka, justru muncul ‘Michael-Michael’ lain. Sejalan dengan kisah Corey. Film tidak berhasil memvisualkan maksudnya tersebut. Suasana mencekamnya hanya berusaha dihadirkan lewat aksi Corey setelah bertransformasi, tapi itupun kurang nendang karena malah tampak lebih seperti korban bully yang mau balas dendam. Singkatnya, film ini butuh presence real Michael Myers lebih banyak lagi.

Mungkin sebenarnya film pengen membuat Michael juga berhadapan dengan demonnya (which is his humanity) sehingga sekarang dia vulnerable dan terlihat lemah dan tak bertuah. Tapi jika benar demikian, film tidak melakukannya dengan baik dan jelas. Film terburu-buru memuat ada karakter baru yang sepertinya bakal jadi pembunuh bertopeng William Shatner kedua, sehingga dua sentral utama tidak mendapat pengembangan ultimate yang maksimal. Malah, semuanya tidak ada yang benar-benar maksimal. Corey itu malah kayak, bayangkan kalo dalam trilogi sekuel Star Wars, Anakin baru muncul di film ketiga – dia dari baik ke jatuh ke dark side dalam satu film. Corey kayak si Anakin. Sehingga mestinya cerita dia bisa juga dibuild up dari film pertama. Trilogi seharusnya seperti demikian. Sementara yang kita lihat pada Halloween Ends ini, kayak sekuel biasa. Yang malah jadi membahas orang baru, serta orang lama dengan karakterisasi yang baru (karena loncat empat tahun) Jadinya malah kayak another reboot.

 




For now, film ini memang benar tampak memenuhi janjinya sebagai kisah akhir Laurie dan Michael. Film memberikan kita final battle yang emosional – puncak dari nostalgia seluruh franchise dan build up yang dilakukan sedari dua film sebelumnya. Hanya saja, untuk sampai ke momen tersebut, film melakukan ekspansi yang mengundang pertanyaan. Kenapa mereka baru melakukan semua itu di film terakhir. Kenapa tidak dibuild up juga dari sebelumnya. Film ini punya kisah yang oke, yang kalo diberikan waktu lebih banyak, dijadikan babak atau episode tersendiri, akan bisa jadi bahasan yang keren. Namun karena film ini adalah bagian akhir trilogi, kisah yang dipersembahkan di sini terasa seperti lompatan jauh yang tidak benar-benar terajut ke dalam sebelumnya. Melainkan lebih mirip seperti sekuel yang mereset kisahnya menjadi satu episode yang baru. Sehingga ya, aku tidak bisa bilang trilogi Halloween modern ini sebagai trilogi yang bagus. Tentu, trilogi ini berhasil ngasih penggalian baru, tapi tidak terasa benar-benar work sebagai kesinambungan. Melainkan kayak corat-coret ide saja. Like, soal Corey dan kota Haddonfield, itu menurutku ide bagus. Cuma karena di film ini keliatannya cuma seperti pengisi durasi saja (dan malah jadi romance dan kisah bully cheesy), maka ya jadinya kayak berantakan. Apakah ini beneran cerita Laurie? Kenapa film malah lebih banyak bahas Corey, lalu ujug-ujug final battle Laurie dan Michael? 
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for HALLOWEEN ENDS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya film ini bakal jadi film Halloween terakhir? Kenapa?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



PAMALI Review

 

“Sometimes superstitions can have a soothing effect, relieving anxiety about the unknown and giving people a sense of control over their lives.”

 

 

Pernah sekali aku main game Pamali. Nyaliku langsung ciut pas diketawain kuntilanak dari atas atap. Aku ambil kunci di dinding, dan membuat karakter game itu keluar dari pagar rumah secepat kilat.  Ya, prestasiku memang tidak membanggakan untuk urusan game dengan sudut-pandang first-person. Bawaannya takut kena jumpscare melulu. Makanya, begitu tahu game ini diadaptasi menjadi film layar lebar, aku girang. Karena akhirnya aku akan bisa mengexperience misteri cerita yang katanya diangkat dari mitos-mitos lokal atau takhayul khas Indonesia. Sutradara Bobby Prasetyo memang bekerja sedekat mungkin dengan materi aslinya, menghidupkan misi membersihkan rumah angker untuk dijual tersebut ke dalam sebuah cerita drama pilu, surrounding rumah yang jadi berhantu. Meski memang tidak berhasil menjadi sedalam ataupun senendang drama horor seri ‘Haunting of’ kayak yang di luar itu, namun yah, paling tidak film Pamali cukup bisa menjadi cerita pengantar mimpi buruk. At least, bisa jadi pilihan untuk membuka musim Halloween tahun ini.

Sama seperti pada chapter gamenya, kita akan ngikutin karakter bernama Jaka yang kembali ke rumah masa kecilnya yang sudah lama tidak dihuni. Rumah di pedesaan ini hendak dijual, sudah ada yang menawar, sehingga Jaka harus memastikan rumah tersebut cakep dan layak huni. Di sinilah letak masalahnya. Rumah Jaka keadaannya jauh dari layak-ditinggali. Bukan karena berantakan dan listriknya mati, melainkan karena rumah tersebut dibayangi oleh ruh kakak Jaka.  Tapi Jaka belum ingat ini. Karena dia sudah tidak tinggal di sana sejak umur enam tahun, maka cowok itu cuek aja ngajak istrinya yang tengah hamil turut serta nginap dan membersihkan rumah itu selama tiga hari. Pengalaman mereka selama di sanalah yang perlahan membawa ingatan buruk kembali ke Jaka.

The White Lady enjoys AEW’s National Scissoring Day

 

Keunikan yang jadi ciri khas yang membuat game Pamali populer, bahkan hingga di kalangan gamer horor luar negeri, adalah banyaknya skenario konsekuensi tindakan yang dilakukan para pemain selama tiga malam membersihkan dan mengungkap misteri di rumah tersebut. Pemain diberikan kebebasan penuh. Bisa beneran beresin rumah sambil memecahkan misteri lewat membaca beragam catatan yang ditemukan, atau mau kayak aku yang langsung cabut dan gak jadi jual rumah pun bisa. Game akan memberikan beragam ending tergantung pilihan tindakan pemain. Sebagian besar dari cabang ending itu berasal dari sikap pemain terhadap pamali itu sendiri. Kita bisa menyingkirkan sesajen, yang mengakibatkan hantunya bakal marah, misalnya. Kita bisa membuang gunting, yang nantinya bakal berujung roh jahat berdatangan. Atau sebaliknya, pemain bisa memilih untuk jadi orang paling percaya takhayul sedunia dengan patuh sama pamali-pamali dan mendapat good ending. Nah, ruh Pamali ada di sana. Ini bukan hanya cerita tentang tragedi keluarga salah satu karakternya, tapi juga memuat bagaimana pamali itu sendiri bisa menjadi bagian dari misteri.

Ketika tertranslasikan jadi film, pilihan-pilihan yang free dilakukan oleh pemain dibentuk ke dalam karakteristik karakter cerita. Film Pamali menambah karakter, bukan hanya Jaka, tapi jadi ada Rika istri Jaka, lalu ada Cecep yang bantu menjaga rumah. Merekalah yang nanti akan kita lihat melakukan hal-hal, entah itu melanggar pamali, atau menekankan kepentingan respek terhadap benda-benda atau kegiatan tertentu. Film cukup bijak untuk tidak membuat hal menjadi annoying, membuat karakter skeptis yang bertingkah sompral atau semacamnya. Sompral sendiri memang jadi ‘gaya humor’ dalam gamenya, tapi film ini, berusaha membuat duo karakter sentral sebagai karakter yang berpikir logis dahulu, sebelum kemudian akhirnya mulai ‘terganggu’ oleh pamali, Sebelum akhirnya mereka mulai memikirkan dan terkena dampak pamali-pamali. Dengan melakukan seperti ini, film masih menapak di ground yang balance. Tidak hadir dengan menyuruh penonton ikutan superstitious, dan juga tidak menampik itu keras-keras. Perhatian penonton malah lebih diarahkan kepada karakter-karakter dari backstory juga dihidupkan oleh film. Menjadi orang-orang yang kita tonton alih-alih hanya membaca tentang mereka. Pamali tidak sekadar ingin membuat penonton takut, tapi juga pilu. Tidak seperti film horor biasanya yang baru mereveal siapa sebenarnya hantu di babak akhir, Pamali membuat kita langsung dibuat mengikuti perjalanan sedih karakter hantunya. Sejalan dengan pengalaman mengerikan ataupun catatan yang dibaca oleh Jaka ataupun istrinya, kita akan langsung dibuat flashback ke kehidupan Nenden sebelum ia jadi hantu.

Teknik begini membuat Pamali jadi salah satu horor Indonesia dengan cerita yang paling ter-flesh out. Karena ada begitu banyak waktu yang diberikan untuk kita mengenal karakter-karakternya. Dari yang awalnya mungkin meragukan ‘kecerdasan’ Jaka membawa istrinya yang hamil nginap di antah berantah, kita jadi peduli sama kesusahan yang harus mereka lewati bersama. Kita terinvest sama keselamatan karakter yang diperankan Putri Ayudya. Kita pengen tahu lebih banyak kenapa Marthino Lio bisa gak ingat sama kejadian masa kecil, dan kita jadi pengen lihat terus. Kepada Nenden yang jadi hantu juga, maan, Taskya Namya sukses menghidupkan karakter tragis ini, baik pas jadi manusia ataupun hantu. Suara tawanya saja bisa menghasilkan kesan yang berbeda. Yang jelas, suara tokek itu kalah seram begitu suara kekeh khas sejak dari versi gamenya terdengar jadi backsound adegan.

Hidup memang terkadang mengerikan. Like, perempuan hamil seperti Rika saja masih harus ikut membersihkan rumah kosong, supaya mendapat perbaikan nasib. Karena hidup berurusan dengan resiko-resiko seperti itulah, aturan-aturan muncul di masyarakat. To protect their own. Aturan-aturan yang akhirnya jadi sebuah pamali, sesungguhnya hanyalah reaksi manusia untuk saling melindungi, khususnya ketika dalam hidup ada begitu banyak hal yang tidak bisa diatur oleh manusia. 

 

Resiko film hadir seperti ini adalah dapat terasa ‘berat’ di cerita. Untuk memperingan ini, biasanya pembuat film akan berusaha mencari cara menceritakan backstory dan kejadian seram di present day dengan intensitas yang semakin naik, jika tidak bisa semakin unik. Karena jika tidak, penonton akan bosan. Cerita akan cepat menjadi repetitif karena penonton pasti akan berusaha mengaitkan apa yang terjadi di masa lalu dengan kejadian sekarang, lebih cepat dari yang dilakukan film. Di sinilah kekurangan film Pamali. Tidak berbuat banyak untuk meningkatkan pace ataupun intensitas cerita. Sehingga tiga malam yang dilalui Jaka dan istrinya terasa sangat dragging. Film benar-benar membuatnya terasa seperti video game. Setelah setiap malam akan ada ruangan baru yang bisa dijelajahi untuk membuka informasi baru. Ruangan ultimate yang harus dibuka adalah kamar Nenden. Hanya saja, sebagai film, excitement dari eksplorasi tentu saja sudah berganti menjadi eksposisi. Jadi dalam film ini, ruangan-ruangan itu terbuka untuk sebuah eksposisi baru. Yang terbuka setelah sejumlah eksposisi kita cerna. Makanya nonton ini bisa jadi suntuk. Film kurang menghiasi diri dengan adegan-adegan seram. Instead, film berusaha menggunakan humor sebagai change of pace. Yang mungkin masih bisa berhasil, kalo film melakukannya dengan tidak setengah-setengah.

Jadi terngiang-ngiang lagu gula jawa

 

Sebenarnya film memberikan porsi komedi dengan natural, lewat karakter Cecep yang diperankan oleh Fajar Nugra. Karakter ini tampak kayak warga lokal yang pengen beramah tamah, Tapi kemudian menjadi ‘aneh’ tatkala film memberikannya tugas untuk menyembunyikan tentang Nenden. Tingkah lucunya yang berusaha mengelak dari pertanyaan kemudian menjadi annoying karena gak benar-benar ada alasan kenapa dia gak mau cerita. Film hanya melakukannya untuk ngelama-lamain durasi. Karena kalo dia cerita, urusan jadi beres, padahal mestinya Jaka dan istrinya harus tiga hari ada di rumah itu (supaya sama ama gamenya). Nah, aspek mengulur-ngulur gak jelas ini yang bikin film makin tersendat di pertengahan babak kedua.

Yang paling bikin aku gak abis pikir adalah demi mengulur itu, film sampai membuat si Cecep membawa tukang listrik dan tukang kunci di hari yang berbeda, padahal tukang listrik dan tukang kuncinya diperankan oleh aktor yang sama! (Iang Darmawan) Ini kan lantas jadi menimbulkan pertanyaan bagi kita yang nonton. Film memancing ‘keanehan’ gak jelas yang sebenarnya gak ada fungsi apa-apa bagi misteri cerita. Like, dengan satu orang jadi dua karakter yang beda, tentu kita akan mempertanyakan apakah ceritanya dia memang kembar, atau malah apa mereka pengen nipu, atau apa kan? Pada akhirnya keputusan mengulur plot poin ini bikin penonton terdistraksi, kepada hal-hal yang mungkin sebenarnya trivial. Film harusnya bisa mengisi durasi dengan lebih padat dan tak mengulur-ngulur. Bikin saja Jaka langsung berurusan dengan memori masa kecilnya, kembangkan sepanjang durasi, daripada hanya dimunculkan di malam terakhir. Terutama, gak semua elemen narasi film harus dibikin benar-benar sama dengan di game. Jaka dan istrinya tidak harus nunggu tiga malam, baru semuanya memuncak. Malahan, ketika kita bicara film, himpitan waktu justru adalah hal yang diincar untuk meningkatkan stake dan intensitas. Jika dibikin dalam satu malam saja, mungkin bakal bisa bikin horor di film ini jadi lebih urgen – sehingga jadi lebih seram. Kita gak harus berlama-lama ngikutin kisah yang malah jadi terasa boring dan repetitif.

 




Horor Indonesia memang membanggakan, setidaknya sudah sering direcognize oleh luar, baik itu film maupun video game. Film ini salah satu yang ada karena sukses video game. Ceritanya berhasil memuat ruh dan karakteristik versi gamenya dengan baik. Hanya saja, seperti halnya adaptasi-adaptasi yang lain, ‘terpaku harus sama dengan game’ pada akhirnya jadi batu sandungan film ini. Karena pengen sama banget, film ini jadi mengulur-ngulur bahasan. Sehingga apa yang tadinya adalah sebuah cerita tragedi keluarga yang pilu, dan terflesh out, malah terasa jadi kisah yang membosankan dan repetitif, Padahal film ini punya karakter hantu dan desain musik serta suara yang horor abis. Namun tidak banyak adegan-adegan horor yang fresh dan nendang sebagai pengisinya. Film ini harusnya bisa jadi memorable, terutama karena ini baru film adaptasi game horor kedua yang dipunya Indonesia, akan tetapi karena penceritaannya yang tidak banyak menaikkan intensitas, film ini malah jadi datar dan takutnya hanya akan jadi another horror movie yang nangkring di bioskop.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PAMALI

 




That’s all we have for now.

Apakah pamali dan takhayul itu perlu disingkapi dengan respek?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JAGAT ARWAH Review

 

The choices we make are ultimately our responsibility”

 

 

Dengan hitsnya horor dan superhero, hanya masalah waktu sampai ada yang menggabungkan keduanya. Bayangkan kalo para hantu lokal ‘kesayangan’ kita berkumpul membentuk tim pemberantas kejahatan. Well, ya itulah yang basically terjadi dalam Jagat Arwah, garapan sutradara Ruben Adrian. Konsep yang sangat menarik. Jagat Arwah tampak punya niat dan ambisi besar untuk menjadi sebuah cerita petualangan fantasi yang unik berdasarkan mitologi khas Indonesia.  Aku tertarik. Dan dari apa yang kutonton, film ini memang kayaknya sudah memilih untuk menjadikan ini sinematik universe yang gak kalah gede dari film-film superhero. Jagat Arwah bisa dengan mudah dikembangkan menjadi sekuel-sekuel. Namun seperti yang digagaskan oleh cerita filmnya, ketika sudah memilih berarti ada tanggungjawab untuk melakukan pilihan tersebut sebaik-baiknya. Tanggungjawab bercerita dengan baik inilah yang kulihat masih belum tampak betul adanya. Sebab film Jagat Arwah ini masih terasa seperti ledakan ide-ide keren semata.

Setelah menit-menit awal yang menampilkan seseorang bertindak bego terhadap alat guillotine, kita akan dapat eksposisi mitologi cerita film yang dilakukan sepenuhnya lewat animasi visual yang ciamik (untuk ukuran efek Indonesia). Penjelasan di eksposisi pembuka itu juga cukup encer dan mudah dicerna. Penjelasannya tentang pusaka Batu Jagat membantu mengeset tone fantasi. Dan kemudian, setelah the most unconvincing musical performance ever in movies, kita akhirnya bertemu dengan karakter utama. Raga, anak muda yang lebih suka ngeband bareng teman-temannya daripada ikut jualan obat bareng ayahnya. Raga belum tau saja bahwa ternyata ayahnya punya kekuatan, darah mereka adalah turunan penjaga Batu Jagat, dan bahwa dirinya sendiri telah ditakdirkan untuk menjadi Aditya Ketujuh yang punya kekuatan membuka portal ruang dan waktu. Informasi tersebut diketahui oleh Raga setelah tragedi menimpa sang ayah. Sekarang Raga harus digembleng dulu oleh Pak Le. Sebab pemuda ini diwarisi begitu banyak. Tugas, tanggungjawab, serta penjaga-penjaga ghoib yang ditugasi membantu keluarganya secara turun temurun.

Malah jadi kayak Kera Sakti; 3 siluman mengabdi kepada seorang annoying

 

Meskipun memang situasinya cukup kelam (anak yang mendadak harus dealing with kematian orangtua satu-satunya), tapi toh dunia dan mitologi cerita ini memang menarik. Mendadak punya pengawal Genderuwo yang suka cekakak-cekikik. Mendadak ada Kuntilanak yang practically bilang ‘I miss you‘ setelah selama ini diam-diam ngikutin terus kemana-mana. Mendadak belajar banyak hal di luar dunia manusia. Bertemu banyak hal tak kasat mata. Experience ini mestinya dieksplor oleh film. Kita harusnya menyelami ini bareng Raga. Tapi film membuat Raga sungguh-sungguh tak antusias. Antipati sama semua. Bayangkan kalo Harry Potter pas dikasih tahu dirinya penyihir cuma bilang ‘oh’ lalu ‘kalian semua penyihir pada di mana saat keluargaku dibunuh Voldemort, ha! HA!!!?’ Hagrid pasti mingkem dan nangis-nangis di pojokan. Begitulah Raga didesign oleh film ini. Dirinya tenggelam di antara sedih dan marah sehingga cuek bebek sama keadaan dirinya sekarang jadi jagoan dua dunia. Kenegatifan Raga membuat kita pun jadi tidak bisa menikmati konsep film sepenuhnya.

Sikap Raga sebenarnya bisa dimaklumi. Dia toh memang mendadak dibebani tanggungjawab yang berat. Apalagi selama ini dia juga lebih suka bermusik. Gagasan atau pesan film di balik kisah Raga ini sepertinya adalah soal tanggungjawab kita terletak pada hal yang kita pilih. Raga enggak mau semua jagat-jagatan itu, dia tidak mau punya pengawal genderuwo, dia tidak mau dan tidak akan bisa memenuhi takdirnya sebagai Aditya terkuat, sampai dirinya sendiri memilih untuk memikul semua itu in the first place. Sesungguhnya yang dirasakan Raga adalah hal yang relate untuk anak muda. Karena gak sedikit anak-anak muda yang terpaksa harus melanjutkan apa yang telah dicanangkan orangtua kepada mereka. Harus kuliah jurusan ini. Harus kerja di bidang itu. Film tampaknya ingin ngasih satu dua hal dalam menjembatani keinginan orangtua dan keinginan anak seperti demikian. Makanya dalam Jagat Arwah juga diperlihatkan solusi berupa Raga harus ‘ngomong’ langsung dulu dengan ayahnya. Relationship yang harus dijalin itulah yang jadi kunci, yang sudah terlambat untuk dilakukan Raga karena ayahnya tewas. Sehingga kini dia harus melakukan itu lewat hubungan-hubungannya dengan hantu-hantu pelindung warisan ayahnya.

Yang harus diingat adalah setiap orang hanya bertanggungjawab atas pilihan yang mereka buat sendiri. Raga enggan memikul takdir karena takdir tersebut sudah dibebankan kepadanya sedari lahir. Apapun yang ayah lakukan untuk mempersiapkan Raga tidak akan bisa membuatnya mau menyandang tanggungjawab, karena itu bukan pilihannya. Raga harus kenal dan memilih dulu. Pembelajaran soal tanggungjawab ini pada akhirnya tercermin pada diri Raga saat dia membebaskan para hantu pelindung dari tanggungjawab, dan menyuruh mereka memilih mau masing-masing apa.

 

Di atas kertas memang kayaknya enak. Film ini punya konsep dan gagasan yang tertulis menarik dan menantang. Hanya saja eksekusinya yang jauh dari kata bagus. Efek visual gak akan bisa mendorong film ini maju jauh jika tidak diimbangi dengan teknik bercerita lainnya. Contoh kekurangan film ini  salah satunya ada pada si Raga itu sendiri. Konflik Raga yang berontak gak dikasih kesempatan memilih sendiri hidupnya dilakukan oleh film segitu minimnya sehingga Raga malah kelihatan seperti anak cengeng yang manja. Ada adegan ketika dia disuruh jaga lapak obat, terus ternyata dia dikeroyok oleh anak muda di pasar karena that was a weird job, dan sampai di rumah Raga misuh-misuh bilang semua gara-gara ngikutin kerjaan ayah, padahal dia sukanya musik. Di sini Raga kesannya merengek dan manja karena film tidak membangun dulu seperti apa sikap ayah terhadap Raga dan main musik. Kita hanya melihat murungnya Raga, Ketika pindah ke ayah, kita diperlihatkan sosok orangtua yang baik, hangat, tidak menentang dengan keras soal musik. In fact, introduksi ayah dilakukan lebih baik oleh film ini. Kita diperlihatkan dia mengusir ruh jahat dari rumah penduduk, dan menolak dikasih imbalan. Bandingkan dengan cara film memperkenalkan Raga. Tidak memperlihatkan personality apa-apa. Begitu ada konflik, langsung merengek dan marah-marah aja. Gimana kita tidak ter-alienated  ke dia. Aku malah lebih simpati kepada ayahnya, meski aku yang waktu kuliah disuruh ngambil jurusan yang bukan keinginan sendiri harusnya lebih relate ke Raga.

Jangankan itu, aku malah merasa kok lebih enak si Genderuwo yang diperankan Ganindra Bimo sebagai tokoh utama. Personalitynya lebih menarik. Genderuwo agak usil, suka ledekin Raga yang menurutnya lemah. Genderuwo yang udah ikut ayah bertahun-tahun kini dipersalahkan oleh Raga (sekali lagi Raga terlihat kayak anak manja). Dituduh lalai melindungi ayahnya. Ini jadi retakan konflik di antara keduanya. Sampai akhirnya Raga mengusir Genderuwo. Dan nanti si Genderuwo harus dealing with all of this, dan bahkan melakukan sesuatu pengorbanan untuk melindungi Raga. Perasaan Genderuwo jiga tak kalah kompleks dari Raga. Malahan, mungkin yang paling terflesh out. Hantu-hantu lain kayak si hantu belanda Nonik Cinta Laura cuma jadi healer setia, dan si Kunti Sheila Dara cuma bucin. Yang lucunya dari interaksi Raga dengan mereka-mereka ini adalah si Raga kalo sama Genderuwo marah-marah nyalahin melulu, sementara sama hantu yang cewek dia baik. Dan karena si Raga ini baiknya cuma kalo pas ngobrol sama hantu cewek, dia jadi malah kayak ngeflirt ke hantu. Aku gak tau kenapa film memantik romansa antara Raga dengan Kunti, karena ini bahkan lebih aneh daripada Bella dan Edward. Dan lagi, yang bikin parah, relasi Raga dan Kunti menghancurkan pesan soal memilih tanggungjawab yang diusung naskah. Bahkan penonton di sebelahku aja nyeletuk ‘kacau’ kok. Karena pas di akhir itu, Raga memaksa Kunti untuk ikut meskipun Kunti sudah memilih untuk pergi karena tugasnya sudah berakhir.

Raga, si agen arwah 007

 

Kesan lemah dan manja itu muncul berkat akting Ari Irham yang memang sama sekali tidak bertenaga. Mungkin di Mencuri Raden Saleh (2022) dia masih tampak santai bilang “Nyet” dan akting kebut-kebutan. Karakternya gak banyak yang dilakukan secara emosi. Sayangnya bagi kita, perannya kali ini, Raga adalah karakter dengan gejolak perasaan sehingga banyak sekali adegan yang mengharuskan dia teriak emosi, marah, frustasi dan sebagainya. Ari Irham gak bisa lepas. Teriakannya kayak tertahan, sehingga jadi emotionless. Cuma gedein suara doang. Lihat saja pas bagian dia marah kepada ayahnya setelah dipukuli di pasar. Kelihatannya manja alih-alih luapan emosi seorang anak yang merasa gak bebas. Perkembangan karakter Raga yang memang kayak langsung lompat dari gak mau ke ‘ayuk kita latihan’ juga membuat akting Irham semakin kayak akting-di-momen-terpisah aja. Gak kayak kesinambungan progres karakter yang belajar dan memperbaiki dirinya. Dengan kata lain, Raga gak pernah tampak natural. Dari pemuda yang tertekan ke punya kekuatan, semuanya terjadi gitu aja. Yang konsisten cuma tampak lemahnya saja. Satu hal yang buatku dilewatkan oleh film ini adalah soal Raga dengan hobi musiknya. Harusnya bisa dibuat musik itu sebagai cara unik Raga menyalurkan kekuatan, karena musik selama ini adalah cara dia mengekspresikan diri. Raga gak harus jadi orang super yang generik (sama gayanya ama karakter ayah dan lainnya) karena dia toh punya musik. Kenapa film tidak lagi mengeksplor musik sebagai identitas Raga adalah hal yang buatku lebih misterius ketimbang scheme Pak Le Raga.

Yea I said it. It was supposed to be a spoiler, but I said it.  Pak Le yang diperankan oleh Oka Antara adalah surprise antagonis, dan aku harus menyebut ini karena ingin menyinggung soal betapa basic dan kadaluarsanya karakter ini dibentuk oleh film. C’mon, tahun berapa ini sekarang. Trope karakter yang ternyata-jahat lalu tiba-tiba sikapnya berubah jadi sok asik, ini sudah ketinggalan jaman banget. Gak semua karakter yang dari baik ternyata diungkap jahat harus mengalami perubahan sikap. Kenapa begitu jadi jahat orang harus berubah jadi bersikap sok asik. Sok gila.  Sok keren. Yang jadi masalah lagi adalah di film ini gak pernah dikasih lihat jelas apakah si Pak Le beneran jahat atau hanya pengaruh Hollow dari guillotine, mengingat ada karakter manusia satu lagi yang jadi jahat karena Hollow. Sehingga film inilah yang jadinya terasa sok asik.

 




Mistis dan horor adalah kesukaanku. Aku literally punya mainan kuntilanak karena aku suka apapun yang menyangkut mitologi hantu-hantuan. Film ini jadi mengecewakan buatku. Aku tertarik sama konsepnya yang menjadikan hantu jadi kayak superhero, memberantas kejahatan dalam petualangan fantasi. Aku suka sama desain karakternya, membuat hantu jadi stylish dan segala macem. Sayang, eksekusi bercerita film ini masih standar dan generik. Mau terlihat keren tapi melupakan banyak aspek dan detil penceritaan. Sehingga jadinya ya kayak Raga. Letoy. Pengembangannya karakternya kurang. Karakter utamanya jadi annoying karena malah terlihat manja ketimbang berkecamuk oleh konflik. Antagonisnya juga annoying karena sok asik. Hantu-hantu jagoannya malah underdevelop, dengan hanya si Genderuwo yang menarik, kayak Kera Sakti yang sering ribut ama biksu Tong Sam Chong.  Kalo benar ini mau dikembangkan jadi banyak petualangan lagi, aku mengharapkan perbaikan yang sebesar-besarnya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for JAGAT ARWAH

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana cara yang tepat untuk memberikan tanggungjawab kepada anak muda?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JAILANGKUNG: SANDEKALA Review

 

“Family means no one gets left behind”

 

 

Skor sejauh ini untuk franchise Jailangkung modern adalah 0-2. As in, dari dua film pertamanya (Jailangkung tahun 2017 dan Jailangkung 2 tahun 2018) belum ada satupun yang memenuhi standar ‘bagus’. Sekadar menghibur pun tidak. Bukan salah temanya. Tema berkomunikasi dengan arwah (lewat perantara boneka, ataupun medium lain) sesungguhnya memang beresonansi dan punya daya tarik tersendiri bagi kita manusia yang bakal hampir selalu berurusan dengan kehilangan. Sehingga masih banyak sudut untuk digali. Buktinya, di luar juga ada ‘permainan memanggil arwah’ yang seperti jailangkung, dan sering juga dijadikan film.  Franchise Jailangkung ini sendiri toh memang berusaha menggali dengan memasukkan mitos lokal lain sebagai balut dari kisah kehilangan dalam keluarga. Sebelum ini ada Mati Anak, legenda kapal SS Ourang Medan, dan kini mereka mengangkat Sandekala. Pamali anak kecil bermain di kala senja. Dan Kimo Stamboel – yang sebelum ini cukup mengangkat sedikit ‘derajat’ franchise Danur lewat spin off Ivanna – kali ini seperti diemban misi yang sama. Visi dan gayanya diharapkan bisa menyelamatkan franchise horor yang nyaris kandas, tapi belum mau mati ini.

Tantangan is up there bagi Kimo, karena Jailangkung: Sandekala memilih untuk tetap grounded dengan cerita keluarga. If I’m not wrong, film ini adalah kali pertama Kimo bermain horor di lingkup 13+ alih-alih 17+ yang biasa ia garap. So yea,  di film ini Kimo akan  punya lebih sedikit darah dan kebrutalan (meski tidak hilang sama sekali), dan harus lebih fokus mengangkat cerita dan drama dari situasi horor yang merundungi keluarga Sandra sebagai sentral narasi.

Kita bertemu keluarga Sandra saat mereka sedang family trip ke danau. Tapi ini bukan acara jalan-jalan liburan yang happy-happy. Melainkan dalam rangka meluruskan hal-hal kusut dalam keluarga mereka. Dari dialog-dialog, kita mendapat informasi bahwa Sandra yang tengah hamil, lagi ‘dimusuhi’ sama putri sulungnya, Niki. Film actually cukup decent dalam menampilkan potret keluarga ini layaknya keluarga beneran dengan segala masalah-masalah kecilnya, walaupun masih standar trope keluarga dalam film horor. Anak remaja yang mulai renggang dengan orangtua.  Adek yang overly curious sehingga bikin kakaknya lebih jengkel lagi. Ayah yang berusaha jadi penengah. Ibu yang semakin stres karena tidak mengerti tingkah anaknya. Ketakutan Sandra  akan kehilangan anaknya jadi terwujud dalam bentuk yang lebih mengerikan. Si putra bungsu, Kinan, yang mengeksplorasi hutan sekitar danau sore itu tiba-tiba menghilang. Polisi segera diberitahu, pencarian dilakukan tapi nihil. Daerah tersebut memang dikenal dengan kasus anak-hilang sehingga sekarang penyelidikian di luar yang dilakukan pihak berwenang harus dilakukan. Niki dan keluarganya dengan segera tahu mereka bukan berurusan dengan penculik dari kalangan manusia.

So glad mereka menyingkirkan mantra “Datang gendong, pulang bopong” dan kembali ke mantra Jailangkung yang biasa.

 

Detil kecil yang membuatku meluluskan interaksi mereka sebagai masalah keluarga yang felt real adalah Niki menunjukkan rasa marah dengan memanggil ibunya dengan nama. Like, in real life, aku pernah beberapa kali mendengar langsung anak-anak cewek yang sedang marah kepada ibu mereka, mengekspresikan emosi tersebut dengan tidak lagi memanggil ‘ibu’ melainkan langsung nyebut nama. Also, belum banyak film indonesia yang menampilkan ‘pertengkaran’ ibu dan anak lewat cara relate seperti ini. I’m not sure, but it might be the first. Sungguh terasa baru, dan tanpa tahu masalahnya pun kita bisa lantas mengerti ada ketegangan serius antara Niki dan Sandra.  Masalah Kinan, si bungsu, yang hilang diculik hantu di hutan seharusnya benar-benar bisa jadi cara ibu dan anak cewek ini meresolve masalah mereka. Mendekatkan apa yang renggang melalui kesulitan dan kengerian yang dilalui bersama. Tapi sayangnya tidak lanjut mengeksplor soal tersebut. Persoalan memanggil nama saja, misalnya, tidak ada tahapan resolvenya. Setelah sempat saling menyalahkan waktu malam Kinan menghilang, Sandra dan Niki jadi otomatis baikan. Niki sudah memanggil ibu kepada Sandra di hari esoknya. Film yang jeli melihat drama dan konflik karakter, pasti tidak akan segampang itu membuat Niki mau memanggil ibu lagi. Bahkan jika mereka di depan orang asing, dialog Niki akan dibuat tidak akan menyebut ibu dulu. Memanggil Sandra dengan ibu akan dijadikan titik balik penyadaran karakter yang dramatis, yang harusnya disimpan untuk momen akhir, dalam sebuah cerita yang dramatis.  Buatku, film bukan saja melewatkan kesempatan, melainkan benar-benar lupa total ada bahasan yang harus diselesaikan di antara karakter. Bahasan ibu dan anak cewek inilah yang padahal jadi ruh sebenarnya cerita.

Yang namanya orangtua pasti takut kehilangan anaknya, by any means. Film ini sebenarnya cukup kuat menekankan persoalan tersebut, dengan membuat kisah kehilangan menjadi horor, secara paralel dialami baik oleh protagonis maupun antagonisnya. Kontras dimainkan dengan membuat Niki, si anak yang mulai menjauhi keluarganya, lebih pantas menjadi sudut pandang utama. Kehilangan adik, dan resiko kehilangan seluruh keluarga oleh bahaya pada akhirnya jadi pelajaran utama yang tersampaikan kepada penonton. Bahwa apapun yang dirasakan sesaat, gak ada orang yang mau kehilangan keluarganya.

 

Usaha untuk menjadikan ini sebagai cerita yang lebih grounded sebenarnya terasa. Gak jauh-jauh, kita bisa bandingkan racikan horor Kimo di film ini dengan di Ivanna yang tayang berdekatan. Sandekala, meski eksplorasinya masih kurang, tapi fokusnya memang lebih kuat sebagai drama keluarga yang harus berurusan dengan kehilangan anak. Misteri hantunya juga ada,  dengan sekuen-sekuen penyelidikan sederhana dan segala macam, tapi di film ini kita bisa lihat misteri itu dihadirkan bareng untuk memuat mitologi sandekala dan jailangkung, serta untuk mendorong para karakter untuk semakin diteror kehilangan. Bukan hanya misteri yang diungkap lewat eksposisi, yang karakternya gak banyak ngapa-ngapain selain jerit-jeritan. Karakter dalam Jailangkung: Sandekala melewati perjalanan atau range emosi yang lebih kentara. Syifa Hadju sebagai Niki menempuh hal-hal yang memang biasa dialami oleh protagonis dalam horor yang decent. Walaupun skala yang dilakukan masih kecil alias sederhana, tapi tahapan protagonis dan perkembangan karakternya ada.  Sandra yang diperankan Titi Kamal didesain lebih sederhana lagi, tapi at least kevulnerable-an seorang ibu dari karakter ini dipush terus. Yang gak maksimal buatku pada Sandra adalah bahwa karakter ini diberikan ‘handicap’ yaitu dibuat hamil, tidak benar-benar menambah banyak untuk cerita. Hanya untuk membuatnya semakin vulnerable saja. Gak banyak dimainkan ke dalam perkembangan cerita ataupun obstacle horor yang harus ditempuhnya. Mungkin juga itu karena Kimo harus menahan diri di elemen horor. Like, cerita 13+ certainly gak bakal boleh ngasih lihat something gory/gross dengan kehamilan atau semacamnya. But he did ngasih Titi Kamal sekuen yang bikin penonton di sebelahku melonjak-lonjak histeris di kursinya.

Jika biasanya Kimo suka bermain horor di lingkungan tertutup, tapi brutal sebebasnya, maka film ini kayak kebalikannya. Kebrutalan dia batasi tidak terlalu gamblang dan emosional pada adegan mati yang sadis, tapi environment horornya sekarang luas. Satu wilayah; hutan, danau, beserta desanya. Aku suka usaha film menghidupkan lokasi. Bukan lagi menjadikan sebagai lokasi yang membatasi gerak. Tetapi harus hidup dengan pamali sandekala dan kasus-kasus misterius. Bahkan waktu senja juga berusaha dihidupkan. Film actually ngasih grading kuning yang gloom dan serem sebagai penanda ini waktu bagi hantu keluar. Momen-momen awal saat senja kuning di hutan lebat, dan Niki berusaha mengimbangi langkah adiknya yang jalan duluan excited oleh pemandangan, membuatku serasa mengexperience ulang game Fatal Frame 2 yang konteks adegan, lokasi, dan warnanya sama. It’s a compliment karena Fatal Frame 2 adalah salah satu game horor tersukses lewat atmosfer desa misterius dan mitologi adik kembar yang hilang. Yang berarti film ini, setidaknya, buatku menghasilan kesan yang serupa. Yang berarti atmosfer horornya dapet. Film juga ngasih lihat suasana senja di desa, saat anak-anak digiring masuk rumah masing-masing oleh orangtua mereka. Membuat horor dan desa itu sendiri jadi hidup. Semuanya juga melingkar dibuat oleh film. Portal, tempat bermain anak, yang kita lihat di awal, akan jadi sesuatu di akhir. Film juga memasukkan elemen red herring berupa ada karakter yang dituduh jadi pelaku penculikan anak oleh polisi.

Hampir jadi kayak Miracle in Cell No,7 versi horor, dong!

 

Memang, lagi-lagi momok dalam sinema horor Indonesia adalah naskah. Kayak takut gitu bikin naskah yang benar-benar mendalam. Seperti contoh masalah ibu dan anak cewek yang gak lanjut dibahas tadi, film ini naskahnya stop menggali at some point. Majunya narasi jadi mulai sekenanya aja. Sesederhana dialek dan bahasa karakternya pun, film ini gak mau konsisten menggali. Beberapa kali ada karakter yang mestinya desa dan sunda banget, malah jadi terdengar kayak orang kota biasa. Jelas ini membuat karakternya jadi less-believable. Mengembangkan soal Niki, juga begitu. Alih-alih benar-benar menunjukkan sisi Niki udah gak betah dekat ama keluarganya lama-lama dengan lebih natural, film membuat dia jadi kayak punya kebiasaan ‘bego’ ninggalin keluarga. Adiknya ditinggal pipis di pinggir danau. Ibunya ditinggal di rumah orang asing di tengah hutan, dengan alasan aneh dia ikut sama Faisal – ponakan polisi yang membantu mereka – ngambil mobil. Reasoning kenapa dia harus ikut Faisal itulah yang gak dipunya naskah. Jadinya ‘maksa’. Film harusnya benar-benar mematangkan segala tindakan karakter. Bagaimana menempatkan mereka di titik A dan B untuk majunya cerita harusnya bisa dipikirkan dengan lebih baik lagi.

Ngomong-ngomong soal titik-titik cerita, well, cerita anak hilang di hutan memang bukan cerita original. Tapi menurutku film ini sebenarnya punya kisah yang lumayan fresh karena balutan ibu yang bertengkar dengan anak perempuannya, juga mitos jailangkung dimainkan ke dalam mitos sandekala dari Sunda. Sayangnya, seperti naskah yang tidak jadi dikembangkan dengan dalam dan fresh, film ini juga tidak menjadikan adegan-adegannya sebagai kisah yang baru. Okelah soal sensasi mirip Fatal Frame 2, atau ada karakter yang ngingetin sama Miracle in Cell.  Namun untuk horornya juga ternyata film memilih untuk memainkan-ulang adegan-adegan atau poin-poin dari film atau media horor lain yang lebih banyak diketahui orang. Seperti misalnya adegan sesuatu yang menyeramkan menyeret orang dari lubang, dan nanti dia ngintip dari lubang sambil menyeringai. Siapapun yang nonton pasti langsung ngeh itu adegan It saat si badut menarik tangan bocah di opening. Paling blatant meniru adalah bagian ketika Niki masuk ke dunia lain. Dunia yang sebenarnya sama dengan dunia normal, hanya lebih mengerikan. Di situ dia akhirnya menemukan adiknya yang hilang dan  dia mendengar suara-suara ibunya dari dunia normal. Yes, benar, ini replika Upside Down-nya Stranger Things. Film ini niruin konsep serial Netflix populer tersebut hingga ke aturan dan segala macemnya. Bedanya cuma, boneka jailangkung adalah kunci untuk membuka portal masuk ke Upside Down hahaha

 

 




Set up dan ‘panggung’ sebenarnya lebih imersif, tapi ternyata cerita tidak mampu mengimbangi. Akhirnya, ya hanya menjadi horor generik. Padahal film ini punya potensi untuk menjadi drama horor keluarga yang deep dan berbobot. Tapi seolah hampir seperti ada batasan yang harus dipatuhi oleh pembuat film horor, yakni jangan sampai terlalu dalem. Batasan inilah yang mestinya dirubuhkan bareng-bareng. Oleh pembuat dan oleh penonton. Karena kita gak akan pernah dapat horor yang benar-benar bagus, kalo ceritanya sendiri takut menggali perasaan tergelap manusia lebih dalam. Tapi dibilang kecewapun, aku tidak sepenuhnya kecewa sama film ini. Aku lebih suka yang dilakukan Kimo di sini ketimbang di Ivanna. Dia mencoba ngasih kita lihat bahwa dia punya lebih daripada sekadar mati-mati yang sadis. Hell, jelas film ini lebih baik dibandingkan dua Jailangkung modern sebelumnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG: SANDEKALA

 

 




That’s all we have for now.

Mitologi lokal apalagi yang pengen kalian lihat dimash up dengan jailangkung untuk ke depannya?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



WHERE THE CRAWDADS SING Review

 

“Don’t ever mistake my silence for ignorance, my calmness for acceptance, and my kindness for weakness”

 

 

Where the Crawdads Sing ini jadi film kedua yang kutonton dalam seminggu ini yang seputar orang dituduh jadi tersangka kasus pembunuhan, disidang gak adil, mereka sudah dikecam pembunuh bahkan sebelum trial dimulai. Makanya, mau tak mau aku jadi membandingkan Where the Crawdads Sing dengan Miracle in Cell No.7 (2022) Secara bahasan, memang thriller drama garapan Olivia Newman ini fokusnya lebih ke soal abandonment, dinamika power yang lebih gender-related, dengan menonjolkan perihal alam dan lingkungan sebagai simbol. Tapi yah, karena ditontonnya berdekatan, dengan bentukan narasi yang mirip pula, aku merasa arahan film ini kebanting banget. Where the Crawdads Sing terasa flat, dengan drama dan bahkan misteri yang dikandung tak kunjung menjadi intens.

Diangkat dari novel yang cukup populer tahun 2018, Where the Crawdads Sing ini mengisahkan seorang perempuan yang hidup sebatang kara di rawa-rawa. Penduduk setempat menjulukinya Marsh Girl. Ketika pagi itu jasad pemuda yang cukup tersohor di daerah itu ditemukan di pinggiran rawa, si perempuan langsung menduduki peringkat kesatu sebagai tersangka utama. Karena yah, siapa lagi yang cukup aneh dan asing yang bisa dituduh? Jadi, narasi film ini terbingkai dalam adegan persidangan, saat sebagai pembelaan, pengacara mulai menceritakan kisah hidup si perempuan yang bernama Kya Clark. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sama seperti juri pengadilan yang diarahkan untuk mengenal siapa Kya terlebih dahulu supaya bisa menghakimi dengan lebih adil, kita pun lantas menyimak kehidupan protagonis kita itu mulai dari saat dirinya kecil; ditinggal oleh Ibu dan saudara yang lain karena ayah mereka sangat ‘ringan tangan’ hingga ke saat Kya mulai mengenal cinta dan berpacaran salah satunya dengan cowok yang ditemukan terbaring tak bernyawa di rawa-rawa tersebut.

Biar gak boring, aku sempet ngayal ini jadi kisah origin superhero Marsh Girl yang bersenjata buaya-buaya

 

Sebenarnya film ini lumayan segar. Setting di lingkungan rawa yang terbuka jelas gak setiap hari kita dapatin dalam film-film. Apalagi yang bukan horor dan ada makhluk seramnya. Di film ini, rawa dikuatkan sebagai identitas. Bukan hanya identitas karakter utamanya, yang literally dijuluki Gadis Rawa, tapi juga ciri khas yang memuat tema simbolik di dalam cerita. Meskipun memang makna rawa itu sudah disebutkan dengan gamblang sendiri oleh film lewat narasi voice over, tapi keasikan kita menyimak tidak demikian banyak berkurang, karena memang ini adalah sesuatu yang relatively unik. Kedekatan Kya dengan alam langsung jadi poin vokal, yang dikontraskan dengan betapa Kya menjadi sendirian tinggal di sana. Periode masa kecil Kya buatku adalah yang paling menarik. Backstory protagonis kita dilandaskan dengan mantap. Kita jadi mengerti bahwa Kya adalah anak yang dituntut harus mandiri, karena sedari kecil dia sudah dihadapkan pada hidup yang keras. Orangtua yang kasar. Orang tersayang yang memilih untuk pergi meninggalkannya. Jika ini adalah cerita keluarga, kita dengan lantas paham bahwa bagi Kya keluarga dan rumahnya adalah keseluruhan rawa, yang tak akan pernah meninggalkannya.

Arahan tenang dan gak banyak ngapa-ngapain dari Newman jadi advantage ketika dia memperlihatkan suasana dan atmosfer cerita. Momen-momen ketika Kya menyusur sungai dengan perahu, atau ketika dia berjalan di antara pepohonan mengamati dan mencatat yang ia lihat, mengoleksi bulu burung yang ditinggalkan oleh seseorang. Aku lebih suka ketika film gambarin hal-hal tersebut aja. Lebih suka ketika film ngajak kita ngikut kehidupan Kya, di luar masalah misteri dan cinta-cintaannya. Where the Crowdads Sings memang punya penampilan akting yang gak kalah kuat. Daisy Edgar-Jones sebagai Kya dewasa, dan aktor cilik Jojo Regina sebagai Kya kecil memberikan dua sisi penampilan yang benar-benar terasa utuh sebagai growth satu orang karakter yang harus hidup sendiri dan mengalami begitu banyak di balik cita-citanya menulis buku tentang alam. Kalo ini hanya diniatkan sebagai visual dari novel saja, mungkin gak masalah. Namun yang dibikin oleh Newman adalah sebuah film. Journey sinematik yang harus ada up-downs, dan konflik, dan segala macam. Sutradara harusnya melakukan sesuatu usaha ekstra untuk membentuk novel ini menjadi sebuah penceritaan film. Itulah yang kurang dilakukan. Arahan tenang dan gak banyak ngapa-ngapain sayangnya tetap dipertahankan walaupun cerita sudah harus ganti gigi dan tancap gas.

Dua jam lebih durasi film ini bakal kerasa banget. Suasana di ruang sidang saat pengacara dan penuntut mulai angot mempermasalahkan alibi Kya dan segala macamnya, disambut datar oleh film yang tampaknya lebih suka memperlihatkan soal cinta segitiga. Kya awalnya pacaran sama cowok – satu-satunya teman Kya yang mengajari dirinya membaca dan menulis – tapi kemudian cowok itu pergi dan melanggar janjinya untuk kembali, sehingga kini Kya dideketin sama cowok kaya yang sepertinya gak benar-benar menyayangi Kya, at least tidak setulus cinta cowok yang pertama. Setelah mereka dekat, si cowok pertama muncul kembali, dan yah, persoalan hati tersebut jadi complicated. Relasi mereka bertiga ini sebenarnya juga dijadikan bumbu untuk misteri pembunuhan si cowok kedua. Tapi bagian inilah yang paling dragging. It’s just dates after dates after dates. Aku mengerti bahwa film sebenarnya ingin menunjukkan dampak mental dari seseorang yang ditinggal oleh keluarga (by choices, not by death), pengen memperlihatkan sisi vulnerable dari gadis yang harus kuat, belum lagi dia dikucilkan – dialienkan oleh orang, jadi asmara bisa jadi solusi sekaligus ‘perangkap’ yang ia rasa ia butuhkan. Tapi aku tidak merasa film benar-benar menggali psikologis Kya dengan fokus demikian. Persoalan tersebut hanya tampak dibahas film untuk persiapan twist atau pengungkapan tak terduga di akhir. Supaya twist tersebut masuk akal. Because that twist really doesn’t make sense at all. Makanya film memperlakukan twist tersebut sebagai ambigu banget. Tidak menjelaskan plausibility dan segala macem. Malahan, kemungkinan apa yang diungkap oleh twist itu mungkin terjadi sebenarnya sudah ditepis oleh pembelaan yang dilakukan pengacara pas di persidangan. Tapi twist tersebut jadi penting dan harus ada, karena twist itulah yang merangkum gagasan keseluruhan.  See, itulah kenapa kubilang film ini boring dan bagian tengahnya itu dragging karena ceritanya sendiri tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang worthy untuk dibahas mendalam. Hanya ditampilkan untuk mengantarkan kepada twist.

Susah sih untuk menyebutkannya tanpa jadi spoiler berat. Tapi mungkin gambaran besar gagasan film ini cukup mewakili. Jadi film ini sebenarnya pengen bilang bahwa kita mudah dan cepat meng-alienated orang karena mereka berbeda. Seperti orang bisa dengan cepat menuduh Marsh Girl, ataupun Dodo Rozak sebagai pembunuh, karena keberadaan mereka tidak sama dengan normalnya yang lain. Padahal setiap orang harus dikenali terlebih dahulu baru bisa tahu mereka seperti apa. Karena orang yang diam bukan berarti pasrah, orang yang baik bukan berarti lemah, dan sebagainya. Kita harus hidup berdampingan dengan saling menghargai value dan cerita masing-masing. Jadi, film ini memperlihatkan dua tingkatan alienasi yang diberikan penduduk kepada Kya. Pertama diantagoniskan, kedua diremehkan.

Jangankan yang tak kenal, yang kenal dan dekat aja pada cabut ninggalin kok!

 

Film ini cuma peduli sama twist, sehingga bahkan adegan persidangannya pun datar. Sutradara tampak gak mau repot-repot, dan hanya bergerak berdasarkan ‘harus sama ama novel’. Padahal ada satu cara yang bisa diambil supaya adegan persidangan itu lebih berapi. Membuat Kya membela dirinya sendiri. Di adegan sebenarnya sudah ada dituliskan, pengacara meminta Kya untuk angkat bicara, tapi Kya menolak. Ini sebenarnya momen powerful. Alasan Kya menolak juga masuk akal dan menguatkan karakter. Tapi jadi tidak powerful karena tetap saja film memperlihatkan pembelaan Kya, dengan diwakilkan oleh orang lain. Coba kita bandingkan dengan bangunan dramatis di Miracle in Cell No.7. Ada alasannya kenapa Dodo diam saja saat di sidang, dan tidak membela diri (di luar keharusannya mengatakan hal yang di-coerce oleh pengacara). Lalu Dodo dihukum. Lalu in the future, barulah ada orang lain yang membela dirinya. Bangunannya dibuat seperti itu untuk memuat efek dramatis. Ketika kita tonton, jadi intens. Dan orang lain yang membela di kemudian hari itu dibentuk sebagai tokoh utama cerita, dialah yang beraksi. Di film Crowdads yang tadinya adalah novel ini, tidak ada usaha untuk membentuknya menjadi memantik dramatis seperti itu. Kya si tokoh utama tidak pernah bicara untuk dirinya sendiri. Yang beraksi mati-matian adalah karakter lain, tanpa ada moment kita percaya posisi Kya tidak menguntungkan. Stake kalopun dia dijatuhi hukuman juga tidak benar-benar kuat, tidak ada hukuman mati, bahkan tidak pula pembatalan kontrak buku. Dramatis film ini disimpan hanya untuk momen twist saja.




Makanya drama film ini gak jalan. Bentukannya masih kayak novel. Tidak ada arahan yang membuat ceritanya jadi terbentuk jadi narasi untuk sebuah tontonan sinematik. Kalo pun sekarang dia berhasil jadi sebuah film, maka ia adalah film yang hanya peduli pada twist (dan pada cinta-cintaan, karena itulah yang bikin film bisa laku). Karakternya – yang sebenarnya unik – tidak dapat pembahasan yang benar-benar mengulik. Growth nya ada cuma ya, hanya terhampar saja sebagai cerita novel. Misterinya juga tidak pernah berkembang jadi engaging, karena bumbunya ada pada cinta segitiga, yang sama juga; tidak benar-benar dikulik melainkan untuk menghantarkan ke twist. Padahal film ini punya bahasan yang bisa dalem. It just needs a better structure dan arahan yang lebih peka terhadap dramatisnya film seperti apa.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for WHERE THE CROWDADS SING

 

 

 




That’s all we have for now.

Kabarnya setelah novelnya rilis dengan twist tersebut, si pengarang buku jadi tersangka pembunuhan seorang pemburu liar. Kalo mau gosip sedikit, apakah menurut kalian twist soal Kya ternyata benar membunuh dan menyembunyikan clue perbuataannya ke dalam puisi adalah cerminan dari yang dilakukan oleh pengarangnya? Apakah kalian menyukai konklusi film terkait Kya ternyata benar-benar membunuh?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MUMUN Review

 

“There is only one you. Stop devalue yourself by trying to be a copy of someone else”

 

 

Aku telah hidup cukup lama untuk menyaksikan tontonan masa kecilku, kartun ataupun sinetron, diremake, dimodernkan, dan dijadikan layang-layang. Eh salah, dijadikan film-panjang. Jadi Pocong adalah ‘korban’ berikutnya.  Oleh Rizal Mantovani, sinetron horor komedi ini dikemas ulang jadi tontonan utuh 100  menit. Dijadikan experience layar lebar, dengan tidak menghilangkan ruh sinetronnya. Sehingga bagi pemirsa sepertiku, film Mumun ini bakal jadi tontonan nostalgia. And that is the only power this movie had, selain komedi. Ruh sinetronnya dipegang terlalu kuat sehingga film ini malah kayak jadi rangkuman dari episode sinetron. Layer di balik situasi horornya tidak dikembangkan matang. Seperti Mimin yang disuruh mirip dengan kembarannya, Mumun. Film ini terpuruk karena ingin dibuat amat mirip dengan sinetronnya.

Kenapa terlalu mirip sinetronnya jadi hal yang buruk?

Well ya, film mirip sinetron memang bad, tapi untuk hal ini, adalah karena gimana pun juga mustahil merangkum episode-episode sebanyak itu ke dalam satu film. Cerita film Mumum ini diadaptasi dari season pertama sinetron Jadi Pocong. Mengisahkan Mumun dan sodari kembarnya Mimin, punya sifat yang bertolak belakang. Mumun tipikal anak kesayangan yang sudah sorted out hidupnya. Punya pasangan bernama Juned. Disukai warga. Dan bahkan punya penggemar rahasia, yakni preman di kampung (yang juga adalah debt collector pinjol) bernama Jefri. Sementara Mimin, memilih hidup di kota. Berpura-pura sukses kerja di kantor, hanya supaya ‘gak kalah’ disayang oleh orangtua. Saat Mumun tewas dalam situasi yang disimpulkan warga sebagai tabrak lari, Mimin ditarik pulang. Diharapkan mengisi kekosongan yang ditinggalkan Mumun. That’s the drama part. Bagian horornya adalah, Bang Husein si tukang gali kubur, lupa membuka tali pocong Mumun. Menyebabkan Mumun kembali dalam wujud mengerikan. Menghantui kampung, bukan saja orang-orang yang telah mencelakainya, tapi juga orang-orang yang masih terpukul oleh kepergiannya.

Telentang mikirin sayang amat karakter Kuncung si pocong maling ditiadakan

 

See, dikembangkan originally sebagai cerita serial, materi Mumun ini  sebenarnya punya layer drama persaudaraan, orangtua-anak, dan drama cinta di balik elemen superstition dan teror pocong di kampung yang disuarakan dengan nada komedi betawi. Yang dilakukan dengan berhasil oleh film ini adalah komedi betawi-nya. Interaksi karakter dengan celetukan-celetukan betawi bakal bikin kita ngikik. Reaksi para karakter ketika ketakutan melihat pocong juga sama kocaknya. Reaksi mereka nyaris seperti kartun. Seperti ketika rombongan karakter berlarian masuk ke wc sempit, hanya untuk keluar serabutan lagi karena pocongnya ada di dalem. Beberapa mungkin terasa cringe, karena terlalu on the nose, kayak ada karakter yang sompral gak takut, dan kita bisa menebak si karakter ini pasti akan diganggu pocong dan langsung ketakutan Tapi itu tidak jadi masalah karena film ini berhasil melandaskan di level mana komedi dunianya ini bermain. Urusan komedi dan reaksi kocak ini, Mandra paling bersinar.  He played off other characters dengan sangat baik. Ketika ketakutan, Mandra membuat karakternya, Husein, jadi bereaksi sok imut sebagai defense mechanism, dan ini selalu kocak kalo ada karakter lain yang menimpalinya. Selain karena memang seniman lawak yang udah malang melintang, also helps karena Mumun originally adalah cerita dari Mandra. Antara penampilannya di sinetron Jadi Pocong dua puluh tahun lalu dengan sekarang, he did not miss a beat. Walaupun secara penulisan, karakterisasi di film Mumun ini di bawah kualitas sinetronnya.

Dengan menjadikan plot film ini basically hanya menamatkan plot sinetronnya dengan lebih ringkas, Mumun tidak punya banyak ruang untuk menggali karakter. Yang berarti layer-layer pembangun drama yang kusebut di atas tadi, tidak ada yang berkembang dengan baik. Mereka semua masih ada, tapi terasa muncul dan hilang begitu saja. Hanya seperti poin-poin yang cepat hilang. Film lebih milih menggunakan waktu untuk membangun adegan jumpscare, dibandingkan ketakutan humanis dari dalam karakternya. Contoh simpelnya karakter Husein tadi. Dalam sinetron, kegelisahan dan rasa bersalah Husein begitu nyadar dia mungkin lupa membuka tali pocong Mumun dikembangkan dalam satu episode. Benar-benar diperlihatkan dia curhat dan minta usul kepada karakter lain. Dia cemas, dan malam itu datang untuk minta maaf (dan mungkin mencoba memastikan tali pocong udah lepas atau belum), tapi semua udah terlambat karena pocong Mumun sudah beneran muncul. Kali ini, di film, mood karakter Husein berpindah-pindah. Di satu adegan dia nipu geng Jefri, di adegan berikutnya dia teringat lupa buka tali, dan di adegan berikutnya udah mulai ke sekuen dia mau di-jumpscare Mumun. Perasaannya terhadap lupa dan kepikiran Mumun itu tidak digali. Padahal perasaan itu penting bagi Husein, karena itulah yang membuat dia paralel dengan karakter sentral film ini. Perasaan yang gak bisa lepas dari Mumun itulah yang actually merundung kampung dan membuat mereka diteror oleh pocong Mumun.

Mumun seharusnya menguatkan bagaimana kampung itu kini merasa diteror oleh pocong Mumun. Bagaimana orang-orang yang kenal Mumun terpengaruh oleh kehilangan dan berita dia menjadi pocong. Bagaimana ketika mereka actually hadap-hadapan dengan pocong mumun. Sinetron punya banyak ruang untuk menggali lingkup ini, sementara film yang berdurasi jauh lebih terbatas, tidak bisa. Kita hanya dapat satu adegan ketika warga gosipin pocong Mumun, melihat bagaimana pengaruh berita tersebut, also saat Mumun beneran meneror acara warga. Tapi makna di baliknya tidak benar-benar terasa. Di film hanya terasa seperti Mumun mau balas dendam. Yang membuat cerita ini mengalami pengurangan bobot.

Menontonnya sekarang, aku baru bisa melihat kepentingan membuat Mumun dan Mimin dalam cerita sebagai saudari kembar. Tapi jangan kasih aku kredit terlalu banyak, karena film ini sendiri yang mengejakan maksud/kepentingan kembarnya itu kepada kita. Alih-alih tersirat lewat perasaan karakter seperti pada sinetronnya, di film ini kita hanya tinggal mendengarkan karakter menyebutkannya saja. Mimin dalam dialog yang sangat expository merangkum apa yang sebenarnya terjadi. Mimin juga points out bahwa Juned belum mengikhlaskan Mumun. Jadi setelah capek mengisi waktu dengan adegan-adegan komedi, adegan-adegan horor, dan campuran keduanya, tibalah saatnya bagi film untuk membahas drama, dan film membuat Mimin dan Juned menyebutkannya saja. Kita tidak lihat bagaimana Juned terpuruk dan terus memikirkan Mumun seperti pada sinetron. Kita tidak lihat journey Mimin, bagaimana dia dealing with harus diminta bersikap seperti Mumun dengan detil, kita juga tidak lihat dia mengonfrontasi rasa bersalahnya. Melainkan hanya berupa dialog bahwa di akhir itu dia mulai sadar.

Kalo kita simak mendalam, cerita Mimin – dan Juned, dan bokap Mimin, dan bahkan Jefri, Husein, dan warga lain ini tragis.  Mimin yang mirip Mumun kini benar-benar harus jadi Mumun, saat sodara kembarnya yang secara lingkungan sosial dinilai lebih baik, meninggal dunia. Mengikuti permintaan bokapnya. Mengikuti permintaan Juned. Eksistensi Mimin sebagai dirinya sendiri ilang. Dia yang di awal udah curi jati diri Mumun untuk ngutang, devalue herself even more. Sikap Mimin ini diakibatkan orang sekitarnya masih belum melupakan Mumun. Secara simbolis, inilah sebabnya Mumun menghantui warga. Karena mereka sendiri masih melihat Mumun di dalam Mimin, tragisnya mereka yang menginginkan Mimin seperti Mumun. Maka, Mimin harus come clean dan belajar untuk menjadi dirinya sendiri. Juned dan yang lain, harus belajar untuk melihat Mimin tidak dalam bayang-bayang Mumun. Mengikhlaskan hanya akan ada satu Mumun, dan orangnya itu telah tiada. 

Sementara Jefri, well, sampai ketemu di sekuel!

 

Kalo kita tanya Acha Septriasa, film yang ditayangin pas hari ultahnya ini pastilah sangat fun baginya. Dia memerankan both Mumun dan Mimin yang punya sifat berbeda. Walaupun secara naskah, karakterisasi mereka terbatas – film berusaha mencuatkan perbedaan justru dari fisik kayak gaya berpakaian hingga tahi lalat – kita bisa melihat Acha benar-benar berusaha memberikan ‘napas’ yang berbeda untuk karakter ini, di luar perbedaan fisik tersebut. Sebagai Mumun juga berarti Acha bermain sebagai hantu (mungkin aku salah, tapi sepertinya ini peran hantu pertama baginya). Dan juga sama, meskipun film berusaha strong main fisik alias hantu pocongnya dibuat distinctive genjreng secara fisik – dengan make up dan efek yang lebih dahsyat – namun Acha berusaha tampil seram dan fun lewat dialog ikonik Mumun memanggil-manggil korbannya. “Bang, aye Mumun, Bang”

Soal horor, memang horor film ini tampak randomly jadi all over the place karena mendadak ada gore, pocongnya dibuat beneran menyerang, dan sebagainya tanpa ada landasan ke arah sana. Balas dendam Mumun yang menyerang secara psikologis, mendadak jadi main fisik. Bahkan sampai ada adegan Mumun mencekek Jefri segala. Campuran antara komedi dan horornya juga jadi tampak ngasal karena di awal film kuat nanemin komedi tapi di akhir malah jadi ada sadis-sadisnya. Padahal mestinya film bisa mengambil landasan sadis dari adegan mati Mumun yang memang cukup bikin meringis. Tapi adegan tersebut dimunculkan sebagai poin masuk ke babak dua. Jadi ya, tone film kurang tercampur dengan baik.

 




Di situlah aku merasa pembuat film kali ini tidak benar-benar tahu kekuatan yang dimiliki oleh materinya. Like, punya aktor sekaliber Acha memerankan hantu, tapi yang diandelin tetap jumpscare dan efek. Punya materi cerita hantu yang actually berlapis dan gak sekadar hantu-hantuan, dengan suara komedi yang khas, tapi film tidak mengolah ini dengan matang. Selain jadi komedi betawi yang menghibur, film ini tidak mencapai banyak. Melainkan hanya merangkum sinetron. Pilihan yang salah. Adaptasi atau film based on, toh, tidak harus plek ketiplek sama dengan originalnya. Film ini melewatkan kesempatan mengolah cerita yang bagus menjadi horor merakyat, dengan seperti Mimin, mengdevalue dirinya sendiri karena terlalu ngotot mirip dengan ‘kembarannya’
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MUMUN.

 

 




That’s all we have for now.

Semua berawal dari Mimin yang ‘kalah’ selalu dibandingkan dengan Mumun. Apakah permasalahan Mumun dan Mimin ini hanya dijumpai di anak kembar saja? Kenapa orangtua bisa sampai lebih favor ke satu anak dibandingkan anaknya yang lain?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MENCURI RADEN SALEH Review

 

“The wealthy and better-educated are more likely to shoplift. They are more likely to cheat at games of chance. They are often less empathetic.”

 

 

Mencuri sesuatu seharusnya adalah tentang sesuatu itu, bukan tentang mencurinya. Kalimat tersebut diucapkan oleh Rick, dalam episode serial kartun Rick and Morty yang didedikasikan untuk menyentil film-film bergenre heist yang semakin populer, semakin salah kaprah. Lebih mengutamakan aksi dan trik merampoknya ketimbang menggali kenapa protagonisnya harus merampok. You know, persoalan inner journey. Nah genre heist ini masih tergolong baru untuk film Indonesia, makanya aku pergi menonton karya terbaru Angga Dwimas Sasongko ini dengan perasaan was-was. Jangan bilang kalo nanti isinya cuma montase sok-sok asik ngumpulin anggota dan trik-trik merampok ala film heist barat doang. Dan ternyata, film ini tampil lebih baik daripada yang kukhawatirkan. Walau masih bisa dijumpai trope-trope usang genre heist yang disindir oleh Rick and Morty, tapi Mencuri Raden Saleh juga actually punya perhatian soal drama dan perjalanan karakter-karakternya. At least, mereka tidak merampok hanya karena lukisan Raden Saleh bernilai tinggi.

Untuk beresonansi dengan penonton, Mencuri Raden Saleh membahas soal persahabatan, persaudaraan, juga soal hubungan ayah dan putranya. Iqbaal Ramadhan dan Angga Yunanda memainkan duo mahasiswa yang bertindak sebagai semacam pemimpin dari komplotan, semua bermulai dari mereka. Iqbaal jadi Piko yang jago banget malsuin lukisan seniman, sementara Angga jadi si hacker Ucup yang bertugas dapetin job pemalsuan lukisan. Mereka dapat duit lumayan dari kerja rahasia ini. Tapi Piko butuh lebih banyak duit untuk membantu ayahnya yang di penjara. Mereka ngambil proyek berbayaran gede dari seorang mantan presiden (Tyo Pakusadewo). Mereka disuruh memalsukan dan menukar lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh yang terkenal itu. Proyek kali ini bukan saja lebih gede, tapi juga lebih berbahaya. Maka, mereka perlu ngumpulin kru dulu. Ada pacar Piko (Aghniny Haque) yang jago bela diri, dua kakak-beradik (Ari Irham dan Umay Shahab) yang pengen buka bengkel sendiri, serta cewek tajir (Rachel Amanda) yang hobi jadi bandar judi jalanan. Mereka menyusun rencana, play into their respective talents, dan segala macem, only to terjerat dalam sebuah pengkhianatan. Yang membuat mereka kini bukan saja gak jadi dapat duit, tapi malah punya lebih-sedikit dari sebelum mereka memulai heist. Para karakter yang berkomplot untuk mencuri itu memang awalnya bergerak karena uang, tapi karena cerita film ini enggak sekadar soal pencurian, maka masing-masing mereka diberikan layer yang membuat mereka akan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari uang itu sendiri. Bahwa ya, heist itu jadi lebih personal.

Mencuri juga ada filosofinya. Filosofi Piko!

 

Berdurasi dua jam setengah, film ini membagi porsi aksi heist dengan drama. Gaya penceritaan yang biasa dijumpai di genre heist yang karakternya banyak ini juga dilakukan oleh film. Ada kilasan balik saat satu karakter bercerita, memvisualkan informasi tersebut. Ada montase persiapan dan bikin alat-alat. Gaya yang dipakai supaya durasi panjang itu tidak membosankan. Editing film ini mumpuni untuk menyampaikan penceritaan tersebut. In fact, seperti halnya para karakter yang harus bekerja sama, aspek-aspek teknis film ini pun menampilkan kualitas kerja sama yang sama solidnya. Menghasilkan tontonan yang gak susah untuk kita ikuti. Para bintang muda yang main di sini juga tampak sangat fun. Enggak setiap hari mereka dapat kesempatan main film di luar drama remaja, film yang actually ngasih lapangan main yang berbeda. Yang punya tantangan berbeda. Mencuri Raden Saleh memberikan heist rasa Hollywood (film ini bahkan admit mereka pake referensi banyak film luar melalui gagasan karakternya) tapi dengan konflik ataupun drama yang grounded dan lokal punya. Kita bakal bisa merelatekan masalah mereka dengan kita.

Sebagai sutradara, Angga Sasongko menebar banyak komentar kepada negara, mumpung cerita filmnya masih gak jauh dari setting politik dan negara. Beberapa di antaranya membuatku terkikik karena dimainkan ke dalam apa yang mestinya jadi kelemahan cerita. Kayak, pas Ucup dengan gampangnya dapat data-data lukisan Raden Saleh tersebut; Yang sebenarnya bisa kita sebut sebagai sebuah convenience dalam naskah – kalo saja film enggak ‘ngeles’ itu karena database atau arsip digital negara kita bisa dibobol dengan segampang itu. Komentar yang tepat sasaran dan relevan mengingat situasi baru-baru ini. Angga memasukkan hal-hal seperti ini dengan smooth. Bahkan product placement aja bisa disebarnya tanpa terasa sekurang-ajar yang dilakukan oleh film Satria Dewa: Gatotkaca sebelum ini. I honestly lebih suka film ini sebagai drama dan lemparan komentar saja ketimbang sebuah aksi heist. Meski tak dipungkiri juga film berusaha menjadikan trope-trope itu sesuatu, atau mengikatnya dengan gagasan. Aku suka bagaimana lukisan Penangkapan Diponegoro itu dikaitkan dengan journey karakter lewat simbolisme pengkhianatan. Film ini rich ngomongin pengkhianatan tersebut, bukan hanya soal negara tapi juga di level yang lebih relate lagi yaitu antara sahabat, antara orangtua dengan anak, dan bahkan antara si kaya dan si miskin. Pengkhianatan itu sendiri sebenarnya salah satu trope andalan dalam genre heist, as in, selalu ada bagian ketika karakter genre ini disurprise oleh pengungkapan bahwa si anu yang di dalam grupnya ternyata jahat, atau something like that. Selalu ada karakter yang di-doublecross dalam cerita heist. Di film ini juga ada, tapi trope tersebut dimainkan lebih jauh ke dalam konteks cerita.

Satu lagi aspek yang relevan dengan kejadian baru-baru ini pada Mencuri Raden Saleh adalah soal orang kaya bukan lantas berarti gak mencuri. Bahwa mencuri bukan kerjaan orang kecil saja. Di film ini diperlihatkan orang kaya dan berprivilege seperti Fella dan si mantan presiden lebih lihai mencuri/berbuat curang dibandingkan dengan orang miskin tapi berkeahlian seperti Piko ataupun Tuktuk. Karena mencuri ternyata bukan soal gak punya duit. Melainkan soal gak punya empati.

 

Dari segi aksinya, aku cukup suka bagian mereka pertama kali beraksi. Ketika mereka mau menyabotase proses pengantaran lukisan di jalan raya. Yang menarik di situ buatku adalah gimana film tidak serta merta memperlihatkan mereka langsung jago. Terjadi sesuatu di luar perhitungan mereka. Piko dan teman-temannya panik. Ini benar-benar membuktikan kecemasan mereka saat ngambil job ini sedari awal. Bahwa mereka bukan pencuri. Ada dialog dari Piko yang membuatku merasa Angga Sasongko yang juga punya concern serius terhadap pembajakan film, pengen nyeletuk perihal itu juga. Jadi si Piko bilang bahwa dia bukan mencuri, dia forging lukisan hanya untuk nyari penghasilan tambahan. Untukku, itu terdengar seperti alasan yang bakal diucapin juga oleh pembajak film yang secara general bukanlah sindikat mafia, melainkan ya orang-orang seperti Piko. Anak muda yang pengen cari tambahan jajan tanpa menyadari perbuatan mereka termasuk pencurian besar. Sehingga kupikir film bakal lowkey membentuk journey Piko sebagai pembelajaran soal pencurian dan bagaimana sebenarnya bukan uang yang penting. Setelah aksi pertama yang membuat Piko dan kawan-kawan harus regroup, mereka terbentur dan normalnya bakal belajar banyak dari pengalaman ini, film mulai berjalan ke arah yang totally menggali grup pencuri paling lihai dengan sensasional.

“Harusnya ujungnya gak kayak gini!” Setuju, Om!

 

Warning, ini bakalan lumayan spoiler…!

Jadi setelah regroup, Piko dan teman-teman found out bahwa kegagalan mereka memang telah diharapkan dan kini lukisan palsu buatan Piko sedang ada di pameran Negara, sementara yang asli ada di tangan si mantan presiden. Orang itulah antagonisnya. Grup Piko cuma dijadikan bidak. Tidak ada milyar buat mereka. Nah, setelah itulah yang janggal buatku. Film  membuat Piko balik merampok lukisan asli dari si Ex-Presiden yang bikin acara ultah di rumah gedenya.  Jadilah kita dapat action set piece untuk final heist. Tapi yang gak klik bagiku di plot ini adalah, mengapa Piko pengen lukisan asli tersebut. Apa untungnya bagi mereka merampok lukisan itu? Mereka gak bakal dapat duit karena orang si Ex-Presidenlah yang actually ngasih mereka job. Kalo ketahuan, mereka yang udah dilepasin dari tuduhan polisi bakal jadi tersangka beneran, dan bagaimana itu membantu goal Piko sedari awal yakni membebaskan ayahnya yang terpenjara. Aksi terakhir itu udah keluar dari tujuan Piko di awal. Melainkan cuma sebuah aksi balas dendam yang kosong. Film actually berusaha membuat hal make sense dengan subplot ayah Piko ada sangkut pautnya dengan semua, tapi karena Piko sama sekali gak tahu sebelumnya, maka tetap saja pilihan yang ia ambil itu aneh. Piko just do something yang gak ada benefit langsung, yang gak membantu ayahnya, dari sudut pandang dirinya.

Kalo mau logis ya, lebih make sense kalo final heist itu adalah Piko and the genk ngerampok pameran. Mencuri lukisan palsu, dan menuduhkan kesalahan kepada Ex-Presiden yang mereka ketahui punya lukisan asli di rumah. Piko bakal dapat lukisan palsu karya yang memang miliknya (yang masih mungkin mereka jual di lelang nanti untuk bebasin ayah), serta si Ex-Presiden bakal ketangkep polisi – bentuk balas dendam mereka nyata, Either way, yang jelas, film harus ngasih alasan kenapa Piko harus merampok lagi. Sebenarnya, dari yang dilakukan film, bisa make sense asalkan Piko sudah berkomplot dengan penghianat dari dalam geng Ex-Presiden. Jadi Piko sudah dijamin punya cara untuk menguangkan lukisan asli yang ia curi. Tapi film bahkan tidak membuat yang seperti itu. Yang dibuat film sebagai ending adalah, tau-tau ada orang dalam si musuh yang menghubungi dan menawarkan duit lukisan kepada mereka. Ini seperti Piko mendapat solusi win yang ajaib dengan begitu saja di akhir cerita.

Jadi yah, plotwise, film ini menurutku harusnya bisa lebih baik lagi. Terutama di paruh akhir itu terlihat seperti ada pengembangan yang banting stir dari pembangunan di paruh awal. Sesuatu yang seperti baka berkembang menjadi A, tau-tau jadi B, atau malah dilupakan dan jadi sesuatu yang completely different. Misalnya kayak permasalahan Piko dengan pacarnya merasa di-left out. Pacar kayak cemburu ama bromance Piko dan Ucup. Piko pun tampak kurang gimana gitu ke si cewek. Dia malah kabur ninggalin si cewek pas diserbu polisi, mereka memang confront soal ini tapi belum memuaskan. Malah di pesta, si Sarah pacar Piko ini dikasih momen berantem bareng cowok asing, mereka kayak jadi ada koneksi. Tapi lantas persoalan itu gak pernah dibahas lagi. Lalu juga soal Ucup yang jati dirinya sudah diketahui polisi. Kupikir hal ini bakal jadi obstacle tambahan, tapi ternyata gak pernah jadi hambatan. Ucup masih bisa ikut rencana di pesta ultah. Hal-hal seperti itu mestinya bisa ditangani dengan lebih cakap lagi oleh naskah.

 




Ikut bergembira dan apresiasi buat eksistensi film ini. Memberi warna baru di perfilman kita dengan genre heist, Dari garapan genrenya sendiri masih Hollywood-sentris, yang di Hollywood itu sendiri genre ini sudah mulai jenuh karena banyak trope yang dianggap usang dan melenceng dari kekuatan genrenya yang sebenarnya. Akan tetapi, film ini juga berusaha memberikan value yang lebih. Dari sisi cerita, gagasan, dan karakter. Dan memang di sinilah kekuatan film ini. Permasalahan karakternya bisa kita dukung karena dekat alias grounded, karakternya pada loveable, dan komentar atau statement di balik journey mereka relevan. Akhir film ini sepertinya open untuk sekuel atau mungkin series, yang nyeritain petualangan Piko dan kawan-kawan lebih lanjut, dan ya karena film ini punya struktur yang menutup, aku jadi genuine tertarik kalo ada lanjutannya. Harapanku semoga next time penulisannya bisa lebih baik lagi supaya bisa benar-benar jadi national treasure di perfilman tanah air.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MENCURI RADEN SALEH.




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang orang kaya yang mengutil? Kenapa orang yang kaya masih mengutil, korupsi, nimbun barang, monopoli, dan sebagainya?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ORPHAN: FIRST KILL Review

 

“A person’s greatest emotional need is to feel appreciated”

 

 

Waktu tidak bisa lebih tepat lagi daripada sekarang, buat yang mau luncurin prekuel dari Orphan; psikologikal horor 2009 yang populer karena udah ngemindblown penonton lewat revealing identitas karakternya yang ikonik. Bahwa Esther si anak yatimpiatu itu sebenarnya bukanlah seorang ‘anak kecil’ melainkan psikopat dewasa yang punya kelainan hormon sehingga tubuhnya tetap seperti anak kecil. Kenapa kubilang sekarang adalah waktu yang tepat untuk bikin prekuelnya? Karena pemeran Esther alias Leena, yaitu si Isabelle Fuhrman, kini sudah mendekati usia karakter yang ia perankan tersebut. Let’s think about that for a moment. Di film original, Isabelle berusia sebelas tahun, dia yang masih kecil berakting jadi wanita dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil, dan saat menit-menit akhir revealing karakter, dia memakai make up supaya tampak dewasa. Nah kini, Isabelle yang sudah dewasa tentunya bisa dengan lebih natural memainkan si Leena – cerita bisa dengan bebas mengeksplorasi origin kenapa Leena bisa jadi psikopat dengan modus operandi nyamar jadi anak-anak. Tanpa harus pake efek riasan (kecuali mungkin efek tinggi badan). Tapi tentu saja origin dengan sesuatu yang completely new seperti itu pertaruhannya tinggi. Sebab yang bikin Orphan ikonik justru gimmick nyamar-jadi-anak-kecil. Produser pasti keberatan kalo gimmick itu dihilangkan. Sehingga jadilah Orphan: First Kill garapan William Brent Bell hadir sebagai prekuel yang mengulang pengalaman yang sudah kita dapatkan pada film originalnya. Tawaran barunya cuma twist bahwa ada yang lebih jahat daripada Leena. Dan dengan menjadi seperti demikian, film ini mengkhianati judulnya sendiri.

Orphan: First Kill actually bukan tentang pembunuhan pertama yang dilakukan Leena. Di cerita kali ini, Leena sudah terestablish sebagai pasien paling berbahaya di mental asylum di Estonia. Di tempat itu, Leena sudah dikenal sebagai pembunuh dengan taktik menyamar atau bersikap sebagai anak-anak. Keahlian taktiknya itu langsung dibuktikan Leena saat suatu malam dia kabur dari asylum. Rencana kabur selanjutnya dari Leena adalah mengubah penampilannya menjadi mirip seperti Esther, anak Amerika yang diberitakan hilang, yang ia lihat di internet. Leena kini sebagai Esther, found her way ke rumah keluarga asli si anak malang. Keluarga yang ternyata punya rahasia kelam tersendiri, sebagai ‘musuh’ yang harus dihadapi oleh Leena.

Bahkan pembunuh psikopat pun tidak bisa memilih keluarga idealnya sendiri

 

While it’s true yang paling diingat orang dari Orphan original adalah soal si Esther yang ternyata adalah orang dewasa bernama Leena,  film tersebut juga didukung oleh naskah yang kuat memuat bahasan ketakutan psikologis seorang ibu akan kehilangan anak, suami – keluarganya. Esther alias Leena di situ ada sebagai antagonis, perwujudan dari momok yang bakal merebut keluarga dari sang ibu. It was a dark, juga terasa personal dan grounded sebagai sebuah cerita. Film keduanya ini, dengan timeline sebelum kejadian pertama, menempatkan kita di perspektif Leena. Yang tentu saja punya potensi tak kalah menarik jika juga dikembangkan sebagai horor psikologis. Karena siapa sih yang gak tertarik menyelami kepala ‘orang gila’, Tapi William ternyata memilih filmnya ini untuk tampil lebih simpel. Dan dia seperti benar-benar menyajikan kembali rangkuman film pertama jadi film yang sekarang. Leena jadi Esther, masuk ke keluarga dengan saudara laki-laki yang gak suka padanya, dan ayah yang menyayanginya (Leena selalu jatuh cinta pada ‘ayah angkatnya’) ‘Lawan’ Leena tetap adalah ibu dari keluarga yang ia masuki. Hanya saja, karena ingin simpel, film tidak memberikan bahasan mendalam dari dua perempuan ini. Maka supaya gak sama-sama banget, film ngasih sesuatu yang cukup mengejutkan. Bikin si ibu ternyata lebih ‘parah’ dibandingkan Leena. Dinamikanya berubah menjadi keduanya adalah orang jahat yang terpaksa harus tampak akur, tapi diam-diam mencoba saling bunuh. Again, dinamika seperti ini bisa jadi menarik, jika memang ada sesuatu gagasan atau bahasan di baliknya. Namun ya itu, film hanya menempatkan sebagai kejutan, yang membedakan film ini dengan originalnya.

Beban menulis karakter jahat sebagai protagonis dalam ceritanya sendiri adalah bagaimana untuk tidak membuat dia malah tampak seperti karakter yang memohon simpati. Status dia sebagai villain harus tetap melekat, jangan sampai dia malah jadi hero dan menganulir semua kesalahannya. Kita cukup dibuat mengerti kenapa dia melakukannya, apa yang mendorong dia memilih untuk jadi jahat, untuk bisa melihat dia sebagai manusia bercela yang memilih ‘dark side’. Dia perlu diperlihatkan sebagai human, tapi jangan sampai membuat dia jadi panutan atau sesuatu yang dielukan. Banyak prekuel origin penjahat yang gagal karena membuat si karakter jadi ‘baik’ gitu aja. Contohnya Don’t Breathe 2 (2021). Yang mengubah si kakek buta pembunuh dan pemerkosa jadi pahlawan. Leena dalam Orphan: First Kill sayangnya jatuh di kesalahan yang nyaris sama.

Dengan menjadikan cerita lebih simpel, gak ada bahasan psikologis ataupun pendalaman perspektif, Leena jadi tampak dipaksa untuk terlihat simpatik. Sisi humanis yang bisa digali dari Leena sebenarnya ada, seperti soal dia pengen merasakan cinta. Tampak dari adegan Leena yang memilih untuk balik dan tetap tinggal di keluarga tersebut, walaupun dia bisa menyelinap keluar dan kabur dengan mudah. Momen-momen manusiawi Leena seharusnya bisa digali dari dia yang merasa disupport oleh ayah angkat, yang sama-sama suka melukis. Karena itu jugalah yang gak ada dibahas di film original yang bukan dari perspektif utama Leena. Persoalan Leena yang jatuh cinta sama suami di keluarga yang ia masuki. Film prekuel ini gagal melihat kebutuhan itu. Film ini masih memainkan itu sebagai rencana jahat Leena, sebagai intrik. Alih-alih genuine membuat kita merasakan sisi manusia dan vulnerable dari Leena (secukupnya untuk membuat dia cocok disebut protagonis dalam ceritanya sendiri), film malah mengoverpush simpati itu kepada karakternya.  Untuk membuat Leena ‘baik’, makanya film membuat kejutan si ibu adalah orang jahat. Membuat keluarga itu punya rahasia yang bisa dibilang sadis dan kelam. Keluarga yang manipulatif. Bahkan Leena di sini diberi teman berupa seekor tikus yang hidup di ventilasi udara di kamarnya.

Emangnya si Leena itu Cinderella yang dijahatin ibu tiri?

 

Jadi ya, buatku film ini terasa konyol. Statusnya sebagai prekuel hanya menjawab bagaimana Leena bisa sampai di Amerika dan  darimana Leena mendapat nama Esther, juga kenapa dia memakai nama itu seterusnya. Tidak benar-benar bicara tentang Leena itu sendiri. Kejadian yang kita simak pun kebanyakan masih pengulangan hal-hal yang sudah kita lihat di film original. To be honest, buatku, persoalan Esther ternyata orang dewasa itu ya sudah beres begitu rahasianya diungkap di babak ketiga film original. Apa lagi yang mau diperlihatkan dari menyamar sebagai anak kecil itu. Film ini hanya menempuh tantangan yang tidak perlu ketika membuat Isabelle Fuhrman harus kembali jadi orang dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil. Film ini beruntung,  secara akting, Isabelle masih konsisten. Dia memang sudah paham kegilaan sebagai Leena dan tantangan dan tipuan sebagai Esther. Tantangan itu datang dari fisik. Okelah, soal tinggi badan, bisa diakali dengan stunt double ataupun dengan trik kamera. Di shot dari belakang, sosok Leena/Esther tampak beneran kayak anak kecil. Namun begitu dari depan, man, perawakan dan raut Isabelle sudah susah untuk masuk ke ilusi ini adalah karakternya beberapa tahun sebelum film original. Mau pake make-up ataupun efek de-aging segimana pun, tetap visibly terlihat lebih gede. Lebih tua.

Sedari awal, karakter Leena atau Esther memang dibentuk sebagai seorang yang ingin dapat keluarga yang menerima dirinya. Bahkan Isabelle Fuhrman sempat menyebut dalam sebuah interview, bahwa Esther tidak membuat dirinya takut karena karakter itu punya keinginan yang sama dengan setiap manusia. Ingin dicintai. Ingin diapresiasi. Ingin menemukan keluarga yang bisa menerima dirinya. Ini jugalah alasan kenapa Esther di film kali ini memilih untuk balik lagi dan tetap tinggal di sana. Di balik cinta psikopatnya, dia merasakan penerimaan itu dari ayah yang genuinely merasa dia beneran anaknya yang bisa melukis, dan juga dari ibu walaupun cintanya palsu.

 

Kupikir itu juga sebabnya kenapa film ini membuat cerita yang tidak mengharuskan Leena banyak menyamar sebagai anak kecil. Membuat cerita yang karakter lain tahu si Leena bukan anak kecil beneran. Supaya tuanya yang tampak jelas itu enggak benar-benar mengganggu. Tapi kan ya, berarti gak benar-benar perlu dibuat seperti itu. Gak benar-benar perlu cerita dibuat masih seputar Leena menyamar jadi anak kecil. Dengan itu, maka buatku film ini memang tidak benar-benar punya sesuatu untuk diceritakan. Melainkan cuma mau milking the gimmick. Bukan untuk mengexpand semesta dan karakter dari film Orphan.

 




Menilai film sebagai objek for what it is, not for what it should be, film ini bagiku terasa sebagai pengulangan yang dangkal, hampir seperti rangkuman dari film originalnya. Secara tontonan horor, memang ini bisa berarti hiburan yang lebih seru, karena ringkas – penonton bakal lebih cepat mendapat adegan-adegan berdarah. Gimmick ikoniknya juga masih dipertahankan. Mati-matian, kalo boleh kubilang. Karena secara fisik, sudah semakin susah bagi ilusi tersebut untuk dipertahankan. Dan juga memang tidak perlu dipertahankan, kecuali dari sudut pandang untuk penjualan. Sebagai prekuel, film ini justru tidak terasa benar-benar ngasih banyak soal seperti apa sebelum kejadian originalnya.  Karena pengulangan itu tadi, simpelnya, film ini bahkan tidak tampil sesuai dengan judulnya. Tawaran barunya cuma situasi keluarga, itupun tidak dimainkan sebagai pembahasan yang actually say something, melainkan hanya kejutan belaka. Cerita dengan perspektif utama dari karakter jahat seharusnya  bisa jadi bahan galian yang menarik, tapi film hanya memasang si karakter jadi pengemis simpati.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ORPHAN: FIRST KILL

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian setiap karakter evil perlu untuk dibuatkan cerita prekuel atau originnya? Apa yang kalian harapkan ada dalam cerita-cerita dari sudut pandang karakter jahat seperti ini?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



NOPE Review

 

“You have been obsessed with entertainment for so long, that you have almost gone blind to the obvious signs of distress”

 

 

Kiprah Jordan Peele sebagai sutradara film ngasih kita fakta bahwa komedian ternyata bisa jadi basic yang kuat untuk menjadi pembuat film horor yang hebat. Mungkin karena komedi dan horor sama-sama bermain di analogi atau perumpamaan. Komedian terbiasa menulis materi candaan yang sebenarnya mengandung pesan entah itu personal ataupun sindiran. Mirip dengan cerita horor yang menjadikan monster sebagai perwujudan dari sesuatu. Baik komedi, maupun horor, adalah respon manusia terhadap tragedi. Dalam dua karya pertamanya, Peele udah ngasih kita lihat ketajaman yang ia miliki dalam mengolah horor berisi, tapi sekaligus menghibur. Dalam Get Out (2017) dia membahas soal rasisme. Dalam Us (2019) Peele menyentil perpecahan manusia, lagi-lagi karena ras. Peele jelas punya concern dan statement soal ini, yang kembali dia hadirkan dalam horor ketiganya. It also helps that Peele juga seorang penggemar film, mulai dari Spielberg hingga anime. Sehingga Nope, film ketiganya ini, bisa terbentuk lebih jauh sebagai sebuah spectacle – sebuah hiburan – dengan berbagai referensi untuk dinikmati, dengan makhluk alien sebagai pusat misteri dan keseruan, dengan statement di baliknya sehingga kita benar-benar punya sesuatu yang bergizi untuk dicerna saat menebak apa yang sedang terjadi.

Kecintaan Peele pada sinema, serta concern-nya terhadap bangsa, langsung kelihatan dari protagonis sentral cerita. Dua kakak beradik yang berusaha meneruskan bisnis keluarga mereka. Sebagai pelatih kuda-kuda untuk syuting film. OJ dan Emerald sebenarnya adalah yang disebut sebagai Hollywood Royalty, mereka adalah keturunan langsung dari orang dalam motion picture pertama di dunia. Ya, pemuda kulit hitam yang menunggang kuda dalam video pendek hitam-putih itu adalah buyut mereka. Tapi sekarang bahkan bisnis kuda-untuk-film mereka pun sedang struggle. Kuda mereka pernah dicancel, diganti jadi unta, Film sekarang merasa lebih praktis pakai CGI dan sebagainya. OJ sendiri sebenarnya not impressed dengan orang-orang film itu sedari awal. Karakter yang diperankan dengan lebih banyak diam oleh Daniel Kaluuya  itu gak nyaman dengan bagaimana kuda-kudanya diperlakukan di set. Beda dengan adiknya, Emerald (Keke Palmer jadi karakter yang jauh lebih ceria) yang all-in ke bisnis hiburan. Makanya OJ-lah yang pertama sadar kuda-kuda di ranch mereka malam itu bertingkah aneh. Seperti kabur dari sesuatu di atas sana. OJ jugalah yang pertama kali nyadar bahwa beneran ada sesuatu di atas sana. Di antara awan-awan itu. Sesuatu yang bukan dari planet ini. Sesuatu yang bertanggung jawab atas hujan koin dan benda-benda metal lain, yang actually menewaskan ayah mereka.

E.T. fist bumps!!

 

Secara eksistensi, film ini mirip sama Pengabdi Setan 2: Communion (2022). Horor yang sama-sama dibuat sebagai spectacle. Yang satu wahana rumah hantu, yang satu wahana alien/creature feature. Sama-sama banyak referensi. Sama-sama memancing penonton untuk berteori menebak yang terjadi. Sama-sama dibuat dengan memanfaatkan teknologi IMAX. Tapi apakah secara kualitas keduanya juga sama? NOPE. Nope punya sesuatu yang film Joko Anwar itu gak punya. Substansi. Actual things yang hendak dikatakan.

Like, sure, Nope ngasih pengalaman mendebarkan melihat UFO yang terasa real. Film ini juga memanfaatkan kegelapan dan sesuatu yang tidak-kita-ketahui sebagai sajian horor utama. Langit luas di atas peternakan kuda milik keluarga OJ itu dijadikan seolah lautan dalam film Jaws oleh Peele. Hanya saja bukan hiu, melainkan piring terbang misterius, yang mengintai karakter manusia dari balik awan-awan. Sensasi ada sesuatu yang besar di atas sana, mengawasi kita, tanpa kita mengetahui apa tujuan mereka di atas sana. Tanpa tahu kapan mereka bergerak selain tanda-tanda alam seperti listrik yang tiba-tiba stop , lampu yang tiba-tiba mati. Film berhasil menguarkan semua itu. Aku suka gimana film ini memberikan tanda-tanda itu, terutama lewat boneka-bonekaan (aku gak tau namanya, cuma karena nonton WWE, maka aku akan menyebutnya sebagai boneka Bayley) yang dijadikan alat menarik untuk petunjuk keberadaan si alien. Boneka-boneka Bayley itu menjadikan visual film ini tambah unik. Musik dan suara juga tak kalah mendukung didesain oleh film demi pengalaman kita dengan makhluk terbang tak dikenal tersebut. Antisipasi dan build up akan makhluk ini terbendung, kecemasan dan penasaran kita tercermin dari reaksi karakternya. OJ, Emerald, dan nanti ada beberapa karakter pendukung seperti Angel si nerd penggemar alien, Jupe si pengelola tempat hiburan semacam sirkus, dan seorang sinematografer handal yang disewa OJ untuk merekam penampakan alien. Dan ketika makhluk itu datang, karakter-karakter ini – beserta kita – akan mendapat berbagai kejutan horor seperti dikejar-kejar hingga dihujani darah.

Film memang tidak melupakan karakter manusianya. Film tidak meletakkan mereka untuk mode survival saja, tidak untuk jadi korban teriak-teriak saja. Motivasi mereka tetap jadi fondasi cerita. Kehidupan mereka tetap yang utama untuk kita simak. Banyak orang yang mengeluhkan betapa film ini lambat masuk ke bagian seru, tapi untukku, itu ‘hanyalah’ sebuah build up manis yang dilakukan film untuk membuat kita peduli dengan nasib karakter saat nanti mereka beneran diburu. Untuk membuat kita merasa pengen mereka berhasil selamat. Motivasi dan kehidupan mereka toh menarik. Nope bukan tentang orang-orang yang berusaha survive dan membunuh makhluk alien, seperti pada creature feature yang biasa. Motivasi mereka lebih manusiawi, karena flawed. Bercela. OJ yang tadinya cuek sama soal video dan spektakel, akhirnya memilih untuk memanfaatkan si makhluk untuk nyari duit. Mereka ingin merekam alien itu, dan menjual videonya, supaya peternakan kuda bisa diselamatkan. Kenapa motivasi ini bercela? Karena berkaitan langsung dengan gagasan yang coba diangkat film sebagai bahan diskusi. Yakni soal manusia sudah terlalu obses dengan yang namanya entertainment. Alias hiburan.

Hiburan memang adalah kebutuhan manusia yang mendasar.  Dan sudah sejak lama, hiburan manusia kadang aneh-aneh. Orang dulu suka melihat gladiator lawan binatang. Kita punya tinju sebagai olahraga, ada wrestling sebagai tontonan. Acara gosip, acara kriminal, bahkan kisah-kisah sedih pun kita santap sebagai menu hiburan favorit. Poinnya manusia suka menjadikan orang lain, makhluk lain, sebagai tontonan. Dan rela menempuh apapun untuk menangkap sesuatu untuk dijadikan tontonan. Film Nope ini melempar balik pertanyaan kepada kita sebagai manusia, apakah kita pernah berpikir lebih jauh soal ‘harga’ yang dibayar saat menjadikan sesuatu sebagai hiburan?

 

Kalo dibandingkan dengan dua film Peele sebelumnya, Nope terasa lebih straightforward. Penonton bisa hanya menikmatinya sebagai cerita makhluk alien yang menelan manusia. Tapi tetep, Peele memasukkan banyak ‘misteri’ untuk dibahas penonton dengan kepala masing-masing sepanjang durasi. Hal-hal kecil yang ternyata ada akibat dan penyebabnya belakangan di cerita nanti. Hal-hal yang bakal menambah rewatch value film ini. Nah, membahas dan memberi perhatian ke petunjuk-petunjuk itu actually jadi rewarding saat nonton film ini karena memang hal-hal tersebut menutup kepada sesuatu. Membentuk kepada kesimpulan karakter dan kejadian yang tuntas. Menambah kedalaman ke dalam cerita dan karakter film ini. Seperti soal flashback cerita simpanse yang jadi bintang tv lalu mengamuk, misalnya. Bagian ini memang sekilas tampak tidak nyambung, tapi berkaitan erat dengan gagasan film soal mempertontonkan makhluk lain sesungguhnya tidak etis dan malah berbahaya. Jordan Peele suka memasukkan binatang ke dalam cerita horornya, karena menurutnya hewan adalah simbol dari both keinnosenan serta sesuatu yang inhuman. Di film Nope ada simpanse, kuda, dan si alien itu sendiri. Ketiganya at some point, dijadikan tontonan. Karakter Jupe yang selamat dari insiden simpanse ngamuk di masa kecil, merasa dirinya bisa menjinakkan apapun, dan setelah dewasa bikin taman hiburan dan menjadikan kuda, dan bahkan alien sebagai tontonan turis. Akhirnya tontonan itu berdampak tragedi karena manusia kelewat batas dan tidak mempertimbangkan dengan baik hal lain di luar pemenuhan keinginan mereka saja. Karakter lain seperti reporter dan si sinematografer, menemui ajal karena ngotot ingin mendapat rekaman bagus. Bagaimana dengan OJ dan adiknya?

Don’t look up!

 

Perihal dua protagonisnya ini, film memberikan mereka journey yang menarik. Di akhir film memang tidak diberikan jawaban eksak, mereka ‘ada’ tapi sepenuhnya nasib mereka diserahkan kepada interpretasi penonton masing-masing. Buatku, well, tadinya aku merasa janggal karena tiba-tiba film seperti pindah dari OJ sebagai hero ke Emerald. Like, di akhir tiba-tiba Emerald yang jadi jagoan dan menyelesaikan semua. Sehingga untuk make sense buatku, maka aku harus menganggap OJ sebenarnya tewas dimakan si alien, dan dengan menganggap seperti itu semuanya jadi gak janggal lagi. Journey mereka jadi komplit. OJ akhirnya belajar untuk mengerti bahwa terkadang situasi memang membutuhkan dirinya untuk put on the show, dan itu oke selama dia tahu apa yang harus dibayar. Sementara Emerald, jadi mengerti concern abangnya selama ini. Film berakhir dengan membuat Emerald mendapatkan apa yang mereka mau, menyelesaikan goal mereka, tapi dia tidak sesenang yang ia sangka.

Mengaitkan kembali dengan Jordan Peele yang sudah punya ciri khas dengan statementnya, aku merasa ada satu ‘makhluk’ lagi yang ia posisikan sebagai korban eksploitasi ranah bisnis hiburan. Orang kulit hitam. Film ini bicara tentang manusia begitu rakus menelan apa saja sebagai hiburan, tanpa mau mempertimbangkan lebih lanjut apakah mereka benar-benar paham ataupun apakah harus banget menjadikan itu sebagai tontonan. Mungkin lewat film ini Peele ingin menyentil film atau tayangan hiburan yang sok-sok mengangkat permasalahan ras atau semacamnya tanpa benar-benar mendalami permasalahan tersebut. Yang hanya memanfaatkan isunya sebagai tragedi yang gampang untuk dijual sebab penonton haus akan kisah-kisah sedih dan kontroversi dan semacamnya sebagai hiburan. Lebih tegasnya lagi, Peele tampaknya pengen menghimbau agar kita semua jadi pencerita, tukang konten, ataupun konsumen yang bertanggungjawab.

 




Prestasi banget bisa nelurin tiga karya yang berturut-turut konsisten. Film Jordan Peele kali ini didesain lebih sebagai hiburan bertema sci-fi alien, tapi tetap punya gagasan dan statement di baliknya. Beberapa penonton bakal menganggap film ini lambat, tapi itu hanya karena film ini peduli sama set up karakter. Peduli sama kehidupan mereka, karena dari situlah bahasan film ini diangkat. Horornya sendiri begitu ciamik dengan visual dan build up makhluk yang gak terburu-buru dan murahan. Bagi yang suka menebak-nebak, dan ngaitin adegan-adegan sepanjang cerita, film ini ngasih puzzle seru untuk diungkap. Dan benar-benar rewarding karena ‘puzzle’ tersebut actually ngaruh dan memang jadi fondasi cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOPE

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian sinema memang mulai eksploitatif terhadap tragedi atau trauma masyarakat minor?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA