NIKAH YUK! Review

“Do you know how you tell real love? It’s when someone else’s interest trumps your own.”
 

 
Nikah Yuk memang kedengarannya seperti kalimat yang kita gunakan untuk ‘get cute’ with strangers di twitter. Ekspresi yang enggak serius. Namun, di balik judulnya tersebut, film garapan Adhe Darmastriya ini punya cerita yang gak main-main seputar mengenali cinta, serta relasi anak pada keluarganya terkait tuntutan orangtua dan kesuksesan diri sendiri.
Nikah bukan perkara sembarangan. Persoalan membangun rumah tangga, menjalin masa depan bersama orang yang kita pilih mestinya bukan seperti ngajak orang “main yuk” atau “nonton yuk”. Namun jika kita mengoverthink it, masalah pernikahan akan membuat runyam. Seperti yang dialami oleh Arya, sang fotografer anak orang kaya. Meskipun kedua orangtuanya sanggup menyediakan mas kawin apapun untuk meminang putri raja sekalipun, Arya urung mau menikah. Dia ingin fokus dulu ke kerjaan, supaya bisa menikmati kesuksesan hasil keringat sendiri. Bukan kucuran dari orangtuanya. Dalam suatu proyek kerjaan, Arya bertemu dengan Lia, seorang penggambar manga/komik jepang. Ayah ibu Arya semakin semangat nyuruh nikah, sampai-sampai ibu jatuh sakit. Tergerak oleh ini, Arya lantas ngajak Lia menikah. Hanya saja, walau seluruh dunia seperti setuju mereka cocok, Arya dan Lia punya mimpi berbeda yang menjadi penghalang terbesar mereka sebab bagaimanapun juga Arya ingin membuktikan kepada seluruh manusia dia bisa sukses sendiri mewujudkan mimpinya.

Cuma di film ini komik Detektif Conan disebut lucu dan bisa menghapus kesedihan anak SD.

 
Oke, pertama dan yang terutama sekali; Nama tokoh ini Arya. Itu awalnya, aku masih biasa aja, like, pfft jangan baper banyak kok yang bernama sama denganku. Namun kemudian ternyata nama panjang tokoh yang diperankan oleh Marcell Darwin ini adalah Arya Pratama; I’m like, what.. Dan kemudian dia menyebut smekdon, dia bilang gak bisa bawa motor, lalu ada penggalan headline berita yang menulis dia mengakuisisi perusahaan di – coba tebak – Riau. WHAAAT? Nonton ini aku jadi merasa seperti tokoh dalam serial Beyond Belief episode kebetulan-kebetulan mencengangkan terjadi di sekitarku. Atau mungkin Arya di film ini adalah aku di multiverse yang lain, gak tau deh rasanya ganjil sekali.. Tapi meskipun banyak miripnya (skornya berapa, 4 dari 5 sih sepertinya), I would not pull out any punches dalam mengulas film yang menurutku punya potensi ini.
Yang bisa kita puji dari film ini adalah chemistry antara Marcell dengan Yuki Kato yang kebagian peran menjadi Lia. Mereka beneran kelihatan cute sebagai pasangan. Ini actually menambah banyak bagi film karena sebagian besar cerita akan berpusat kepada drama di antara mereka berdua, dan hubungan merekalah yang menjaga film untuk tetap menarik. Interaksi mereka genuinely berkembang dari awkward malu-malu hingga keakraban mereka ada pada level memparodikan adegan 500 Days of Summer. Film berhasil menemukan kegiatan demi kegiatan yang menarik sebagai ladang tumbuhnya benih cinta mereka. Yang paling kocak adalah Lia mengajak Arya bertamu ke acara kondangan orang yang gak mereka kenal, dan ketika hampir ketahuan Lia ‘menuduhkan’ Arya sebagai fotografer acara hihi. Sifat mereka yang kontras pun dipadukan dengan manis. Arya yang lebih berdeterminasi, agak sedikit lebih robot kalo meminjam istilah dari mantan pacarnya yang model. Dia punya banyak pikiran antara ibu yang sakit menuntut nikah dan karir/kesuksesan yang menuntut pembuktian segera. Lia lebih free-spirited. Cewek ini punya banyak mimpi; salah satunya adalah pengen ke Jepang (film ini akan banyak referensi negara Sakura), namun terutama dia pengen menjadi penulis komik. Hidup Lia lebih berwarna. Dalam hal memilih pakaian saja, Lia diperlihatkan jauh lebih bebas.
Mereka punya pandangan yang berbeda soal pernikahan. Arya percaya menikah itu seperti berbisnis. Kedua pihak harus sama-sama diuntungkan. Sedangkan Lia berkata sebaliknya, bahwa nikah bukan bisnis. Cinta bukan berarti sama-sama harus menangguk untung. Melainkan akan ada tiba saatnya harus ada satu pengorbanan, satu yang mengalah. Sebab cinta adalah menanggung bersama-sama. Di sini, aku merasa film punya daging yang seru untuk dikunyah. Arc karakter Arya sepertinya adalah dia yang tadinya ingin sukses baru menikah menjadi menikah dan sengaja menunda sukses demi orang yang ia sayangi. Menikahi Lia seperti clean slate bagi Arya yang mau memenuhi keinginan orangtua sekaligus memutus ketergantungannya dari mereka. Namun ternyata film menyimpan sesuatu yang lain, dan buatku, sesuatu itu kinda breaks the whole thing apart.

Kita tahu kita beneran cinta kepada seseorang kepentingan mereka menjadi sesuatu yang kita rasa harus kita lindungi, harus kita dahulukan bahkan dari kepentingan sendiri. Bagian terbaik dari Nikah Yuk! adalah ketika Arya berusaha untuk mengerti mimpi-mimpi Lia sehingga kemudian ia rela menunda agenda pembuktian suksesnya, dan pada saat itu terjadi Arya bahkan belum menyadari dia sudah demikian cinta kepada Lia.

 
Sebelum sampai ke mengapa pengungkapan di babak akhir film memelencengkan cerita dari gagasannya sebelumnya, aku perlu mengestablish dulu gaya bercerita film ini. Nikah Yuk! punya muatan komedi yang tinggi dan ia mempersembahkan diri sebagai kejadian yang cukup absurd, dalam artian kita diminta untuk memaklumi apa yang terjadi sepanjang durasi. Film ini tampil ftv-ish. Pertemuan Arya dan Lia sebenarnya dihiasi berbagai kebetulan. Mereka pertama kali jumpa di pameran foto karya Arya. Lalu bertemu gak sengaja di sebuah SD, yang kemudian mengingatkan mereka bahwa keduanya adalah teman masa kecil dan sama-sama bersekolah di SD tempat mereka bertemu. Film ini juga banyak memakai insert komedi pada ftv; komedi yang tampak irelevan. Seperti pengamen yang bertingkah konyol nyanyi dan nyuruh Arya dan Lia menari seperti pasangan saat mereka lagi pedekate. Dalam konteks awal film, segala adegan kebetulan dan komedi ala ftv terasa manis karena dunia seperti memang menginginkan mereka untuk bersatu. Ini masuk ke dalam karakter Lia yang memang mendambakan kejadian tak-terduga seperti pada komik-komik Jepang.

konsep yang menarik? how ’bout: drama dengan Yuki Kato jadi anak Asri Welas hihi..

 
Tapi cerita lantas ‘berbelok’ saat pengungkapan di babak tiga tiba. Film ternyata punya jawaban dan alasan untuk semua kebetulan yang sudah kita terima sebagai sweet tadi. Alasan yang mencakup begitu banyak elemen cerita sehingga keseluruhan narasi jadi gak masuk akal. Padahal pesan dan maksud di baliknya kita paham. Sajian utama Nikah Yuk! ternyata adalah drama Arya dengan keluarganya. Lia cuma bidak, begitupun Arya. Karena semua adalah ‘tipuan’ Arya. Tokoh utama kita pengen sukses, ia bekerja sebagai fotografer, sempat punya pacar model dan segala macem achievement lain. Tapi dia gak tau satu hal, yakni kesuksesannya palsu. Ingat Awan di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020) mendapatkan kembali pekerjaannya karena pengaruh sang ayah? Nah, Arya dalam Nikah Yuk! mirip seperti itu tapi ‘bantuan’ itu ada pada semua aspek hidupnya. Orangtua Arya sadar anak mereka akan kecewa karena si anak ini sudah bersumpah akan sukses dulu baru nikah, Arya mungkin tidak akan pernah menikah. Jadi orangtua Arya berusaha membuat cowok ini jatuh cinta sebenar-benarnya cinta. Dan itulah keseluruhan film yang kita tonton. Sebuah grand scheme.
Ini membuat Arc Arya menjadi melenceng. Bukan lagi soal dia mengesampingkan karirnya demi orang yang ia sayangi. Karena Arya ternyata gak punya apa-apa selain Lia dan mimpi-mimpi Lia. Sekilas plotnya masih nyambung; dari yang mau sukses dulu baru nikah menjadi belum sukses tapi mau nikah. Tapi kepentingan dan tone-nya jadi jauh berbeda. Film harusnya membahas lebih dalam betapa devastatingnya bagi Arya begitu mempelajari bahwa sebenarnya dia adalah nothing. Dia mungkin saja malah menutup diri karena malu dan marah. Film tidak memasak elemen drama yang ini. Melainkan hanya mempermudah cerita dengan membiarkan cinta begitu saja menjawab semua. Aku gak yakin apakah film sengaja memilih simpel atau durasi sembilan-puluh-empat menit itu kurang. Karena banyak elemen yang memang undercook. Penceritaan film melompat-lompat tapi kita enggak mendapat sense yang pasti seberapa jauh waktu cerita ini berlangsung. Peristiwa penting seperti pernikahan dilakukan dengan montase yang lebih mirip seperti khayalan tokoh Lia karena sebelumnya Lia bilang enggak mau nikah. Mereka harusnya memperdalam perspektif ini dulu. Cut dan penyatuan adegan film ini yang juga agak aneh turut memberi kesan gak pasti pada penceritaan.
 
 
 
Imagine having this conversation: “Selamat siang, silahkan mau nonton apa?”/ “Nikah Yuk! Mbak” / “… Maass, kan kita baru ketemuu”. Atau terus bayangin kalo mbaknya bilang mau dan mendadak orang-orang sebioskop tepuk tangan menyoraki dan kalian mendadak viral baru saat ijab kabul kamu bisa meratap “Aku cuma mau nontooooon”
Tadinya aku menyangka film ini butuh judul yang lebih baik, yang lebih berbobot. Namun ternyata film ini butuh lebih banyak lagi hal yang lebih baik. Durasi yang lebih memadai, penulisan yang lebih subtil, logat yang lebih jelas antara Makassar atau Jepang (serius aku bingung teman si Lia sebenarnya anak mana), sudut pandang yang lebih digali, editing yang lebih precise, dan terutama pengungkapan yang lebih masuk akal. Karena pesan yang film ini sebenarnya enggak sebercanda judulnya. Membahas dengan asik seputar cinta dan relasi anak pada keluarga. Fun sebenarnya cukup bersandar mantap pada Marcell dan Yuki. Namun film menjadikan pengungkapan sebagai senjata utama, dan sayangnya dibuat terlalu luas sehingga pesan yang logis jadi mengalah kepada cerita yang gak sukar dipercaya bisa terjadi dan membuat film ini menjauh dari daratan.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NIKAH YUK!

 
 
 
That’s all we have for now.
Jadi apakah kalian tim ‘sukses dulu baru nikah’ atau tim ‘nikah dulu dan susah-sukses bersama-sama’?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

UNCUT GEMS Review

“Pressure can make a diamond”
 

 
Uncut Gems benar-benar sesuai dengan judulnya, ia persis sama dengan permata yang belum dipotong, yang masih berupa bongkah batuan. Segar tapi kasar. Keras. Gak cakep, kecuali dilihat pakai lup atau di bawah mikroskop. Seni menakjubkan yang tercipta dari proses yang melibatkan suhu dan tekanan.
Cerita dengan karakter yang merusak diri sendiri, yang gegabah mengambil keputusan-keputusan salah sehingga justru memparah keadaan, dengan stake yang luar biasa berbahaya, sepertinya sudah jadi cap-dagang sutradara bersaudara Benny dan Josh Safdie. Dalam Uncut Gems mereka mengisahkan Howard Ratner, seorang bisnisman di New York. Dan ‘bisnisman’ di sini berarti dia adalah seorang pengusaha bisnis permata sekaligus pria yang gemar bertaruh.  Sebegitunya sehingga beberapa momen setelah ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Howard sedang berkubang dalam hutang kepada somekind of a mafia. Howard berusaha membayar hutangnya dengan bertaruh lagi, dengan resiko hutangnya nambah. Terus saja gali lubang tutup lubang. Di tangannya ada bongkahan mentah Black Opal, permata yang ia tahu bernilai tinggi karena kesukaran mendapatkannya. Opal itulah yang kini digunakan Howard untuk pertaruhan besar yang ia harap dapat membayar semua hutang-hutang berikut bunganya. Namun peruntungan Howard tak kunjung membaik. Kini bahaya semakin besar. Bukan saja bangkrut dan kehilangan Opalnya yang berharga, situasi hutang dan taruhan Howard juga mengancam keselamatan keluarga, gundik, dan dirinya sendiri.

Azab Penjual Batu Akik Tukang Judi

 
Safdie Bersaudara mempersembahkan studi karakter yang menghipnotis lewat paduan nyentrik antara kerja kamera, permainan visual dan lantunan musik. Sebegitu kuatnya sehingga mau tak mau kita tetap berpegang pada tokoh Howard yang sama sekali bukan teladan melainkan sangat self-destructive ini. Tentu saja kita tidak bisa memisahkan persoalan ini dari si pemeran Howard itu sendiri. Mr. Adam Sandler. Maaan, yea, aku jadi respek pada aktor yang biasanya ngereceh di film-film konyol ini sehingga merasa aku perlu ngasih titel ‘mister’ dalam penyebutan namanya. Dia masih insufferable karena karakter Howard ini begitu meledak-ledak, tapi karismanya membuat kita masih menyisakan ruang untuk simpati. Sandler memerankan Howard sebagai pribadi yang jarang mingkem, gak bisa diam, selalu bergerak ke sana kemari, selalu ngomong. Heck, sebenarnya Howard ini akan sering berteriak-teriak. Semua tokoh film akan teriak-teriak.
MEREKA AKAN BERARGUMEN DI TOKO! HOWARD MENAWARKAN PERMATA UNTUK DITUKAR TAMBAH! ADA TOKOH YANG MINTA SEWA OPAL! ADA PEGAWAI TOKO YANG KESUSAHAN MEMBUKA PINTU BERALARM BUZZER! PEGAWAI SATU LAGI NERIAKIN ADA MAFIA DI PINTU DEPAN!! MAFIANYA TERIAK NAGIH UTANG! HOWARD MENERIAKKAN PENANGGUHAN BAYARAN DAN MENJANJIKAN BUNGA LEBIH!!! Kalian yang merasa gak nyaman dengan capslock semua kayak gitu, niscaya akan sangat kesel ngikutin dialog film ini. Semuanya diletuskan keluar, semuanya pakai tanda seru!! Ribut, KACAU BELIAU!!
Aku awalnya enggak suka sama gaya film ini. Sure, di dunia nyata orang memang wajar bisa sepanik dan seheboh itu kalo ada masalah, bakal sengotot itu kalo berargumen, mengeraskan suara supaya didengar. Namun buatku yang introvert, itu terlalu berisik. Rasanya kacau sekali. Aku akan keluar ruangan kalo sekitarku mulai bising. Cabut ke tempat yang lebih tenang. Nonton film ini, aku juga pengen banget melengos. Mengasingkan diri ke game Duel Links or something. Terlebih, si Howard ini ‘penyakit’nya parah banget. Susah untuk peduli sama penjudi kayak dia. Yang udah dapat uang bukannya segera lunasin hutang malah berjudi lagi. Yang sampe rela nipu; ada adegan di pelelangan yang dia sengaja nyuruh temannya terus menaikkan harga Opal karena dia tahu ada pelanggan yang udah begitu tertarik sama Opalnya. Howard terus saja mengambil keputusan berbahaya yang membuat kita ingin meneriakinya bersama-sama. Dia yang seharusnya adalah seorang ayah malah mempertaruhkan keselamatan keluarganya. Namun diam-diam film berhasil menyokolkan kuku-kukunya kepada kita. Mencengkeram kuat-kuat. Ada perasaan ingin melihat Howard akhirnya berhasil setelah semua kegagalan dan things go wrong itu. Terutama di pertaruhan besar pada babak ketiga itu. Aku merasa kita exactly seperti tiga mafia yang dikurung oleh Howard; duduk di lantai memandangnya dengan kesal dan benci tapi di dalam hati mendukung dia untuk berhasil – menginginkan dia untuk, sekali ini saja, berhasil. Film begitu handalnya nge-skill perasaan kita sebab pada ending bakal ada suatu peristiwa yang akan membuat kita yang sudah merasa sepenuhnya di belakang Howard menjadi tertegun. Aku harap aku enggak merusak apapun buat pembaca ulasan yang belum nonton filmnya dengan mengatakan soal ending, soalnya Uncut Gems ini adalah tipe film yang harus ditonton sendiri tanpa tahu apa yang harus ditunggu saat menontonnya.
Segala hingar bingar berlangsung mengisi narasi yang juga berjalan dengan amat cepat. Ingin rasanya menghentikan layar sesaat buat menikmati visual, dan mengambil nafas. Namun film tidak meminta kita untuk beristirahat, kita harus menghormati permintannya. Sebab kekacauan, ke-frantic-an yang digambar oleh film sebenarnya demi memparalelkan – menunjukkan- bahwa Howard juga sedang ditempa oleh tekanan dan stress. Sama seperti batuan yang ia dewakan untuk dilelang. Adegan pembuka dan penutup yang artsy film ini literally menyamakan Howard dengan batu permata. Kita dibawa melihat menembus ke dalam batuan, melihat urat-urat permata secara mikroskopis, begitu dekat, kemudian beralih begitu saja ke isi dalam tubuh Howard. Yang disugestikan adalah dua benda ini telah ditempa dengan tekanan, melewati berbagai stress, ‘suhu yang panas’, sehingga meskipun dari luar tampak seperti bongkahan tak penting, tetapi ada yang berharga di dalamnya. Sebuah seni, kalo boleh dibilang. Howard memberikan hidupnya sebuah keindahan,
yang memang begitu personal sehingga hanya dia dan beberapa orang yang juga hidup penuh stress bisa mengerti.

 

Hidup ini keras. Setiap aksi selalu ada konsekuensi, dan dibayangi oleh resiko. Howard menikmati menempuh resiko-resiko. Ia bahkan seperti lebih menikmati resikonya ketimbang reward besar di balik resiko tersebut. Shot terakhir Howard memberitahu kita keindahan yang ia alami di dalam benaknya. He’s winning in life, big-time, dengan cara secantik permata Opal. Howard adalah gambaran miring seorang pencari nafkah yang percaya bahwa perjuangan dan resiko itu harusnya dinikmati. Ya, sampai mati.

 
Film ini bukanlah peringatan bahayanya judi, kau enggak boleh candu bertaruh karena itu merugikan bagimu. Uncut Gems meletakkan kita tepat di belakang Howard, supaya kita merasakan hidup ‘kacau’ orang ini. Kita, yang hidupnya biasa-biasa aja. Kita yang tentu saja lebih memilih secure secara finansial. Kita, yang mungkin merasa terlalu sial untuk mengadu nasib. Kita-kita ini disuruh oleh Uncut Gems, “hey coba deh jalani hari seperti Howard, lihat dulu, mungkin kalian suka”. Film enggak lupa untuk menetapkan kepada kita bahwa bahayanya memang sangat tinggi, hidup akan hancur jika gagal. Tapi rasa puasnya sungguh luar biasa. Film ingin kita mencicipi sedikit ini. Sukur-sukur kita enggak ikut kecanduan setelah merasakannya.
 
 
 
Lancang sekali memang film ini, membawa perasaan kita naik turun mencemaskan penjudi, bersorak bersamanya, sekaligus merasa kesal sama ulahnya. Bukan tokohnya yang mengalami perubahan, melainkan kita yang nonton. Howard tetap kecanduan judi dari awal hingga akhir. Reaksi kita terhadapnya yang berubah. Film ini memang sedikit menyentil persoalan kepercayaan kita terhadap suatu hal – hal spiritual dalam meyakini sesuatu, bahkan jika itu adalah kemenangan yang tak pasti -sebab di sini tokohnya disebutkan mulai dari Yahudi hingga menjadikan Opal sebagai jimat keberuntungan. Bicara soal kepercayaan, toh duo sutradara bersaudara film ini memang nekat mempercayakan peran-peran kepada yang enggak terbiasa dalam film. Adam Sandler didukung oleh pemain basket, komedian, musisi, dan pemain-pemain baru. Namun hasilnya benar-benar terbayar keren. Ini adalah film yang unik, endingnya devastating, dan ini adalah film yang really loud. jika kalian suka lihat orang ngobrol teriak-teriak kalian akan lebih menyukai film ini daripada aku.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for UNCUT GEMS.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian berjudi? Apa hal paling berharga yang pernah kalian pertaruhkan dalam hidup? Menurut kalian kenapa sih orang bisa sampai kecanduan berjudi – apakah memang menang besar begitu penting?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TEMEN KONDANGAN Review

“You don’t need to prove anything to anyone as far as you know yourself”
 

 
Film haruslah punya kepentingan. Kudu unik, punya originalitas dan kebaruan. Serta tentu saja harus relevan. Makanya Teman Kondangan ini, eh maaf salah… Makanya Temen Kondangan ini jadi puncak dari sinema komedi Indonesia. Digarap oleh Iip Sariful Hanan yang sebelumnya menelurkan berbagai karya klasik seperti… ..umm, sinetron-sinetron, film ini sangat merangkul dan mewakili gaya hidup kekinian. Hanan memotret fenomena besar dan penting-banget dalam kehidupan sosial kita saat ini yakni persoalan menghadiri pesta pernikahan gak boleh sendirian karena bakal dinyinyirin oleh netizen.
Temen Kondangan dibintangi oleh Prisia Nasution yang berperan sebagai Putri; seorang selegram dengan ribuan follower yang mendapat layangan undangan dari sang mantan ke pesta pernikahannya di Bandung. Putri lantas ditantang oleh sahabat-sahabat ceweknya untuk datang ke pesta tersebut sebagai bukti nyata dirinya sudah move on. Tentu saja Putri menyanggupi. Hanya saja, kini dia lagi jomblo, dan datang ke pernikahan sendirian jelas akan menurunkan citranya di mata para fans dan pengikutnya di dunia maya. That’s the number one rule di jagat pergaulan masa kini. Jadi Putri mencari cowok yang mau mendampinginya ke sana, berpura-pura menjadi pacar barunya. Pada hari H kondangan, Putri yang awalnya jumawa menggaet teman lamanya yang anak band, menjadi kalang kabut. Sebab ada dua lagi cowok yang datang memenuhi permintaannya. Putri harus segera meluruskan masalah sebab kini ia sudah kehilangan dua ribu follower di Instagram. Gawat gak sih follower ilang!? Hidup pasti bakal kacau!!

pirtirihin ciritinya bisir sikili yiii

 
Oke, jokes aside, film ini sebenarnya punya konsep komedi situasi yang menarik. Satu tempat, satu kejadian. Wanita yang harus berkonfrontasi dengan sirkel sosialnya, wanita yang selama ini hidup membangun singgasana di dunia maya kini berusaha menyelesaikan masalah yang dia undang sendiri ke pesta pernikahan mantannya. Set up film ini juga menarik. Kita melihat bagaimana ‘panik’nya Putri mencari pasangan yang bisa diajak ke kondangan. Narasi actually menyediakan tiga opsi baginya. Namun, ketiga cowok yang harusnya menjadi pendukung, yang harusnya melambangkan sesuatu yang bakal Putri ubah mengenai dirinya, dibuat oleh film punya agenda masing-masing. Yang lebih besar dan gak benar-benar menambah apa-apa terhadap journey tokoh Putri. Tiga cowok ini adalah bos Putri yang ternyata bekas pacar mempelai wanita dan bapak ini bucin alias belum move on parah, sepupu teman Putri yang memang menjadikan jasa temen kondangan sebagai profesi, dan teman SMA Putri yang anak band dan kebetulan ketemu di kafe, untuk pertama kalinya sejak mereka lulus sekolah, dan kebetulan dia naksir berat memendam cinta kepada Putri.
Ketika cerita sudah tiba di pesta pernikahan, semua masalah ini melebar. Tidak lagi sepenuhnya mengenai Putri. Malah justru Putri yang berusaha membantu masing-masing cowok. Ada subplot soal band yang mengkhianati personelnya, soal tokoh yang menjadikan lagu Ular Berbisa sebagai penenang. Putri tidak lagi pusat konflik. Karena dia bukannya gak bisa move on, atau ditinggalin sahabat. Putri hanya ingin ke kondangan bawa pasangan supaya orang-orang bisa lihat dia beneran move on. Need Putri dalam cerita ini adalah bahwa dia gak perlu buktiin apa-apa ke orang, dia gak perlu dengar kata-kata miring dari orang. Pembelajaran Putri tentang hal tersebut beres lewat teguran sang mantan. Semua yang di luar ini gak paralel dengan Putri, Kekacauan pernikahan bukan exactly her fault. Di akhir ada sekuens kejar-kejaran pakai perahu bebek-bebekan, dan itu gak ada hubungannya sama Putri. Makanya cerita film ini terasa sangat berantakan. Bahasan film menyerempet ke mana-mana. Film menyinggung nikahan gak mesti mewah-mewah selain persoalan baper, gak bisa move on, dan citra sosial media. Yang terasa diada-adakan karena film butuh untuk mengisi durasi. Dan karena ini komedi, maka kejadiannya dibuat seajaib mungkin. Seperti ibu salah satu mempelai yang melipir dari pelaminan begitu saja untuk mencari berondong. Film juga berdedikasi sekali untuk mengisi waktu dengan reference-reference ke produksi-produksi MNC lainnya, makanya kita dapat adegan Lukman Sardi nongol sebagai dirinya sendiri ngobrolin filmnya; Di Balik 98 (2015)

Tak habis pikir, film yang diniatkan salah satunya untuk menegur kita dari palsunya interaksi dunia maya, malah membuat adegan dunia nyata di dunianya sebagai kejadian yang dilebay-lebaykan.

 
Soal komedinya, biar aku gambarkan beberapa adegan supaya kalian dapat mengerti seperti apa tepatnya tipe film ini. Bos Putri masuk ke ruangan kerja Putri, langsung mengajak ngobrol sambil melihat sekeliling ruangan, di ruangan itu ada poster setengah badan Putri, dan saat mengobrol tangan si bos mendarat tanpa sengaja dan berhenti di bagian dada Putri pada poster tersebut. Adegan lain, ada yang menampilkan orang diuppercut sehingga terangkat tinggi kayak kartun dan pingsan. Begitulah tren komedi Indonesia masa kini. Puncak entertainmen layar lebar tanah air, karena ya kita tertawa. Orang-orang di studioku bersenang hati menontonnya. Dan oh ya, jangan lupakan tarian lagu Ular Berbisa yang membuat suasana pernikahan jadi kayak live show Inbox/Dahsyat.

mentang-mentang ada mantan host-nya maen

 
Setiap kali mengulas review film-film komedi yang ditujukan untuk anak-anak, aku mencoba realistis menyingkapi level humor/candaan dan dalamnya eksplorasi cerita, standar penilaian selalu mempertimbangkan fakta bahwa film itu bukan dibuat untuk aku. Jadi komedi-komedi receh enggak serta merta membuat film menjadi berkualitas rendah. TAAPIIIII, Temen Kondangan ini bukan film anak-anak. Ini ditujukan untuk milenial, generasi yang mulai menghadapi krisis mid-life seputar relationship, yang menggunakan sosial media sebagai interaksi sosial dan pekerjaan. Film ini gak punya urusan untuk menjadi sereceh-recehnya kayak film untuk anak balita. Mungkin di antara kalian ada yang beruntung menyaksikan Playing with Fire (2020) yang dibintangi John Cena di bioskop? Nah, Temen Kondangan ini berada di level yang sama dengan film tersebut. Demi komedi dan kerecehan, film menyia-menyiakan potensi dari konsep dan cerita yang dimilikinya.
Bukannya gak boleh receh. Film-filmnya Taika Waititi humornya receh dan absurd semua kok, lihat saja Thor: Ragnarok (2017) atau Jojo Rabbit (2019) yang masuk nominasi Oscar tahun ini. Tapi ya, seharusnya film memberikan bobot di balik kerecehan tersebut. Misalnya, alih-alih stake yang hanya ‘follower turun’, kembangkanlah kepentingan angka follower itu lebih jauh lagi terhadap hidup Putri. Bikin supaya kita peduli Putri kehilangan pengikut dan tekankan kepentingan sosial media. Atau mungkin memang aku yang kuper; mungkin dunia nyata memang sudah sebegitu berubahnya sehingga angka follower kini sudah urusan hidup-dan-mati? I don’t know, still, rasanya bego dan gak ada apa-apanya stake yang begini. Seperti penulisan dan pengembangan ide yang masih dangkal.
 
Karena kerecehan dan ke-weightless-an ini jualah film jadi tidak berhasil memenuhi misinya. Perjalanan Putri, dalam level yang lebih dalam, seperti contoh kepada kita untuk gak terlalu dengerin sosmed. Kita gak perlu buktikan sesuatu yang sudah kita lakukan kepada orang hanya demi gak dijulidin ama mereka. On a surface level, film menyugestikan tidaklah apa-apa datang ke pesta pernikahan tanpa pasangan. Hanya saja film tidak bisa menjawab kenapa. Kenapa enggak masalah datang kondangan sendirian. Kenapa baiknya kita gak usah bawa pacar palsu atau nyewa teman kondangan. Kejadian dalam film terlalu dibuat-buat sehingga gagal memberikan gambaran yang grounded. Situasinya terlalu kartun. Ditambah absennya bobot dan urgensi tokoh utama, film ini jadi kayak makan snack murah. Asik dikunyah tapi isinya ‘angin’ doang.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for TEMEN KONDANGAN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Jadi kalo ada yang datang ke kondangan mantan, itu artinya dia udah move on atau belum? Perlu gak sih datang ke nikahan mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

MANGKUJIWO Review

“Hate begets hate; violence begets violence”
 

 
Harta, tahta, wanita. Dan pusaka. Empat hal itulah yang – sebagaimana dibeberkan oleh film Mangkujiwo garapan Azhar Kinoi Lubis – merupakan resep asal usul hantu Kuntilanak yang penampakannya telah ada semenjak film Kuntilanak di tahun 2006. Mangkujiwo memang berusaha memangku segala lore dan menghubungkan semua misteri dari film-film terdahulu sebagai sebuah cerita origin. Dan oddly enough, film ini ternyata menjadi lebih cocok disebut sebagai thriller perebutan pusaka ketimbang horor.
Sekte Mangkoedjiwo itu bermula dari pria tua bernama Brotoseno. Dia menyelamatkan seorang perempuan hamil yang dipasung di suatu desa, karena perempuan itu dituduh gila. Brotoseno tahu lebih banyak daripada penduduk, dan daripada kita di titik permulaan cerita. Perempuan ini sebenarnya adalah ‘mainan’ kepunyaan teman sekaligus saingan beratnya; si Tjokro Kusumo. Brotoseno ingin balas dendam. Jadi perempuan yang bernama Kanti itu sebenarnya nasibnya bagai keluar dari mulut singa, masuk ke dalam lubang buaya. Brotoseno dan Tjokro dua-duanya adalah orang berilmu, pemilik pusaka cermin Pengilon Kembar, dan mereka telah berniat untuk gak mau damai saling bermusuhan. ‘Menyelamatkan’ dalam kamus Brotoseno adalah menempa Kanti yang toh juga ia pasung dengan berbagai ritual mengerikan. Lengkap dengan banyak makhluk menyeramkan dan sejumlah makanan menjijikkan. Brotoseno ingin Kanti melahirkan anak setan dan menggunakan anak tersebut nantinya sebagai senjata, karena Tjokro hanya bisa dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.

men and their power, right

 
Cerita film ini memang mengandung muatan yang sangat gelap. Secara esensi, ini adalah cerita seorang villain. Seorang yang jahat. Sebab tidak ada satupun tindakan Brotoseno sang tokoh utama tergolong heroik. Bahkan ketika nanti saat si bayi sudah tumbuh menjadi gadis dewasa bernama Uma dan Brotoseno berkata ia akan melindungi Uma dari segala marabahaya, kita tahu itu semua karena Brotoseno ada maunya. Uma tak lebih sebagai boneka. Sebagai alat. Tidak ada bedanya dengan cermin pusaka yang juga ia jaga dan rawat.
Karena ingin konsisten dengan tema pria menggunakan wanita sebagai objek itulah, maka film mengeksploitasi kekerasan terhadap wanita habis-habisan. Di sinilah letak horor film ini. Hantu kuntilanaknya sendiri belum jadi soal, proses menjadikan kuntilanak itulah yang menyeramkan. Edan sekali melihat sejauh apa Brotoseno, maupun tokoh-tokoh lain yang berilmu gaib melakukan tindakan mengerikan kepada orang yang tak-berdaya demi sebuah rencana untuk, what, mendapatkan kekuatan tunggal sebuah pusaka. Begitu getolnya orang bisa memupuk kejahatan, dan kemudian menggunakan muslihat untuk menyebarkan kejahatan tersebut kepada orang lain. Yang dijual oleh film ini sebagai horor adalah kekerasan pada tokoh perempuan yang dipasung, dicekoki makanan tak-lazim (kalo sekarang mah bisa kena virus corona!), dan digerayangi oleh beberapa makhluk halus. Set dan desain produksi film ini tampak meyakinkan. Ia menggunakan hewan-hewan dan praktikal efek untuk menghasilkan ketakutan repulsif yang natural. ‘Ketakukan repulsif’ di sini tentu saja maksudku adalah hal-hal yang menjijikkan. Untuk penonton yang perutnya lemah, mungkin waktu yang paling aman menonton film ini adalah beberapa jam sebelum dan sesudah makan. Lantaran akan ada banyak adegan yang bikin perut jumpalitan seperti muntah belatung, makan cicak, ataupun membedah tikus dan menggodok isi perutnya ke sepiring nasi.
Kekerasan tak berhenti sampai di sana. Tokoh perempuan muda dalam film ini bakal ditonjok – beneran pake tinju – hingga berdarah-darah. Ingat film Carrie yang tokohnya dibully hingga kekuatan supernaturalnya bangkit kemudian dia membalas dendam ke semua orang yang menyakitinya? Nah, Mangkujiwo sepertinya juga mengincar goal seperti, dengan efek yang bikin lebih meringis karena siksaan ke tokoh cewek di film ini sangat fisikal. Film meniatkan supaya dalam diri kita terbendung antisipasi balas-dendam, film ingin kita menunggu kebangkitan Kanti sebagai kuntilanak dan menyalurkan kekuatannya lewat Uma. Film ingin membuat kita geram kepada para preman. Tapi ketika waktu itu tiba, ketika kekerasan menyeimbangkan diri dengan mengganti target kepada para tokoh pria, perasaan dramatis seperti yang kita rasakan saat Carrie mengamuk tidak terasa pada film ini. Sebab secara garis besar kita tahu ini balas dendam itu bukan milik Uma ataupun Kanti. Melainkan milik tokoh utama, si patriarki, Brotoseno.

Penyatuan cermin dalam film ini digerakkan oleh tipu muslihat, kekerasan, dan kejahatan yang bahkan terlalu ‘setan’ untuk disebutkan. Bukan salah Uma kenapa dia jadi punya kekuatan setan, karena dia lahir dari benih-benih kebencian dan segala hal buruk yang ditanam oleh Brotoseno. Inilah yang membuat film ini susah untuk dinikmati; cinta absen di sini. Kebaikan gak hadir. Di antara tokoh-tokohnya tidak ada kasih sayang. Pria hanya menganggap wanita sebagai benda pemenuh kebutuhan. Wanita senantiasa mengabdikan diri. Semuanya dibesarkan oleh hal negatif. Maka film ini bisa dijadikan peringatan bagi kita semua; apakah kita yakin hidup di dunia yang seperti ini?

 
Beruntung Sujiwo Tejo yang membawakan Brotoseno dan merapal mantra-mantra ritual itu. Jika tidak, bisa-bisa film ini akan kehilangan aura mistisnya. Sebab, admit it, segala adegan tarian pemanggilan setan atau apalah dan semua komat-kamit eksposisi tentang pusaka maupun tentang lore/backstory dunia cerita film ini, sebenarnya hanya nonsens belaka. Begitu jauh dari dunia kita, I mean, apa pedulinya kita sama masalah kedua orang-pinter yang saling berselisih itu. Rasa kasian pada Kanti atau Uma pun hanya sebatas nurani otomatis karena melihat orang yang teraniaya. Film begitu sarat oleh eksposisi gaib sehingga seolah memasukkan begitu banyak percakapan tersebut untuk meyakinkan dirinya sendiri ketimbang meyakinkan kita. Ditambah lagi, ini adalah cerita penjahat. Film harusnya berusaha untuk membuat kita paling tidak ikut merasakan urgensi dari rencana dan perlakuan jahat Brotoseno. Seperti misalnya pada saat kita membaca review yang sangat berbeda dari penilaian kebanyakan; meskipun kita tidak setuju dengan reviewnya, namun jika reviewnya ditulis dengan baik, maka kita akan tetap bisa mengerti darimana si reviewer bisa menarik kesimpulan tersebut – kita bisa paham kenapa si reviewer merasakan apa yang ia rasakan. Film tentang penjahat seharusnya juga demikian. Ketika kita menonton Arthur Fleck pada Joker (2019), kita tahu dia jahat, kita tidak mendukung perbuatannya, namun kita mengerti motivasinya – kita bahkan bersimpati padanya karena kita paham situasi yang membuatnya seperti demikian. Mangkujiwo tidak punya semua ini. Brotoseno dituliskan sebagai karakter misterius yang kita ikuti dari awal hingga akhir cerita, tanpa kita benar-benar menyelami apa akar dari motivasinya.
Seharusnya film memberikan dia stake. Vulnerability. Memang, ada sekuen ritual yang mengharuskan Brotoseno menyakiti dirinya sendiri, tapi dia ditulis begitu sakti mandraguna sehingga shot luka-luka di punggungnya itu enggak menghasilkan rasa dan makna apa-apa. Kanti yang meninggal di luar perkiraannya pun gagal menghasilkan tensi karena diceritakan dengan serabutan – sebagai sisipan dari paparan flashback. Hubungan Brotoseno dengan Uma tidak pernah digali (tidak ada adegan emosional yang memperlihatkan Brotoseno benar-benar butuh Uma), begitu pula hubungannya dengan Tjokro yang notabene jadi musuhnya. Kita hanya mendengar hubungan Brotoseno – hanya dijelaskan lewat kata-kata, yang tak sepenuhnya bisa kita yakin perkataan itu benar karena satu hal yang berhasil ditetapkan oleh film ini mengenai tokoh utamanya itu adalah justru bahwa ia tidak dapat dipercaya.

kalo mau bolak-balik, kenapa gak mulai dari Brotoseno dan Uma sebelum Uma pergi dari rumah aja, supaya cerita bisa mendarat dahulu

 
Cerita dalam film ini berlangsung dalam rentang kurun waktu sembilan-belas tahun. Kinoi memilih bercerita dengan alur maju mundur yang berselingan, yang seringkali tidak disertai dengan time-image yang jelas dan editing yang efektif. Narasi berpindah antara satu periode ke periode lain tanpa ada keparalelan yang jelas. It gets better di pertengahan, tetapi di awal-awal akan sulit mengikuti apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih karena dialog yang enggak berarti apa-apa selain eksposisi. Mangkujiwo ini adalah kasus lain dari kecenderungan film Indonesia yang gak pede nampilin cerita linear karena mereka gak punya twist alami. Film ini termasuk yang percaya filmnya akan ‘aman’ jika ada yang disembunyikan, dan cara bolak-balik ini dipakai untuk merahasiakan banyak elemen karakter yang mestinya dilandaskan dari awal karena bakal ngaruh ke kita peduli dan mengerti plightnya atau tidak — hal esensial untuk menyampaikan cerita.
Alih-alih itu, kita malah dapat cerita yang melompat-lompat tanpa ritme yang jelas. Bertemu tokoh-tokoh yang sok misterius padahal annoying; tokohnya Djenar Maesa Ayu gak jelas banget motivasinya apa menginginkan cermin bersatu, membantu Broto – sementara separuh film ia habiskan dengan pasang tampang smug seolah ia bakal ‘menusuk’ Broto dari belakang. Tokoh si Bongkok-Ganjelan juga gak jelas, dan yang kumaksud bukan dialognya. Melainkan tindakan, seperti bisa nulis lirik Lingsir Wengi di pasir lengkap-lengkap tapi gak sekalian nulis perkenalan diri dan maksud. Persoalan cermin kembar itu juga tidak memuaskan karena bertentang dengan maksud film ini hadir sebagai asal-usul, cerita nyatanya hanya sedikit sekali menjelaskan hal dari titik-mula. Di akhir film kita masih bengong sebenarnya cermin ini kenapa bisa ada, dan dimiliki oleh dua orang yang bermusuhan.
 
 
Horor yang lebih seperti thriller dalam dunia di mana mistis adalah logis, cerita film ini sesungguhnya sangat gelap. Ketakutan yang dihadirkan pun berupa takut yang menjijikkan. Sudut pandang yang digali kali ini, sangat berbeda. Sayangnya film menempuh cara bertutur yang unnecessarily ribet. Set dan desain produksi jadi hanya sebatas visual karena penulisan dan arahannya terlalu off. Para karakter seperti tidak hidup, dengan hanya penampilan Sujiwo Tejo dan Asmara Abigail yang meyakinkan – itu pun tidak berarti banyak lantaran keduanya bermain di zona nyaman mereka. Alur bolak baliknya diniatkan untuk menyihir kita semakin masuk ke dalam narasi. Namuun tidak seperti mantra yang dilantunkan tokoh dalam cerita, film ini enggak punya ritme/pace. Melainkan hanya komat-kamit mengisahkan serangkaian cerita nonsens.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MANGKUJIWO.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bisakah kalian membayangkan hidup di dunia di mana semua bersatu hanya karena ketakutan, tipu muslihat, dan kebencian belaka? Ada gak sih dunia yang seperti demikian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

GIRL ON THE THIRD FLOOR Review

“Masculinity is not something given to you, something you’re born with, but something you gain”
 

 
 
Cabut dari WWE lantaran ego dan kreativitasnya dihajar sampai tumpul oleh perusahaan, Phil Brooks alias CM Punk beralih ke UFC. Di sana, meskipun digadang bakal jadi jagoan, Punk literally babak belur pada pertandingannya yang pertama. Sekarang – mengejutkan semua fans gulat, termasuk aku – Punk mengekor karir dua superstar yang ia sebut lebih dianakemaskan WWE ketimbang dirinya. Punk, seperti The Rock dan John Cena, kini bermain di film layar lebar. And guess what, di horor pertamanya ini CM Punk ‘diperkosa’ – diassault habis-habisan, oleh sebuah rumah.
Dan jokes sebaiknya dihentikan sekarang, karena film Girl on the Third Floor ini boleh jadi adalah the best thing yang bisa terjadi bagi karir keaktoran pria yang di dalam ring dijuluki The Best in the World tersebut.
Kerja direktorial film-panjang pertama Travis Stevens ini memang masih tampak sedikit canggung, namun mengandung gagasan dan keberanian eksplorasi yang layak untuk diapresiasi. CM Punk berperan sebagai Don Koch, seorang pria yang berniat merenovasi sendiri rumah yang baru saja ia beli. Istri Don tengah mengandung, dan ia berusaha berbuat yang terbaik demi jabang bayi dan wanita yang ia cintai. Masalahnya adalah rumah tiga lantai yang dibeli Don adalah bekas rumah bordil. Jadi kerjaan Don bakal banyak banget. Awalnya hanya noda-noda jijik, pipa-pipa mampet, namun kelamaan rumah itu terbukti aneh. Dari colokan-colokan listriknya mengalir likuid putih, dari lubang-lubang di temboknya mengalir cairan kayak darah. Beruntung, ada cewek cakep bernama Sarah yang menjadi pelepas lelah bagi Don. Tapi kejadian aneh di rumah itu tidak berhenti. Terlebih, Sarah yang misterius kini ikut-ikutan meneror Don yang enggak mau affair mereka diketahui oleh sang istri. Don semakin kehilangan akal, sampai suatu ketika ia melihat wanita tak berwajah – at least tak-bermata melainkan hanya torehan luka panjang yang bersatu dengan mulutnya – muncul dari balik tembok rumah.

dalam film ini banyak yang seperti Big Show; berpindah dari babyface ke heel atau sebaliknya, dalam sekejap

 
Rumah yang dibeli Don seolah hidup dan mengincar nyawanya. Apa yang tampak seperti premis dasar dalam sebuah horor standar tentang rumah berhantu tersebut, diberikan makna yang lebih mendalam oleh film ini. Sebab cerita hantu pada dasarnya tidak pernah semata tentang cerita yang ada hantunya. Melainkan lebih kepada kenapa seseorang dihantui. Cerita yang baik akan membahas personal si tokoh utama – kesalahan dan perjuangannya untuk menggapai hidup yang lebih. Dan itulah yang kita dapatkan pada Girl on the Third Floor. Film akan mengeksplorasi seperti apa sebenarnya pria yang jadi protagonis cerita. Perlahan film juga akan mengungkap makna rumah tersebut – rumah dan segala hantu yang menghuninya akan setelah pengungkapan mungkin bukanlah antagonis seperti yang kita kira – dan apa yang sesungguhnya mendasari konflik antara si rumah dengan Don.
Kekuatan film ini terletak pada ceritanya yang sesungguhnya adalah alegori dari sebuah maskulinitas. Yang toxic, jika ingin ditambahkan. Don, sepanjang film, akan memperlihatkan tabiat yang gak sehat; ia cenderung memaksa dirinya supaya terlihat jantan. Dia menolak meminta bantuan kepada ahli renovasi rumah, dia ngotot ingin melakukan semuanya sendiri. “Pria macam apa aku jika tidak bisa membangun atap untuk istriku,” begitulah pertanyaan retorika yang ia ucapkan – sebagai sebuah tantangan bagi dirinya sendiri. Tentu, cowok memang harus bertanggung jawab seperti demikian. Namun Don juga memperlihatkan banyak ‘gejala’ yang menunjukkan kengototannya tampil jantan sebagai sesuatu yang enggak sehat. Dia mencibir warna pink tembok rumah serta lekas mengira ibu-ibu tetangga yang bekerja di gereja sebagai biarawati tanpa banyak pertimbangan – mengindikasikan objektifitas dan pola pikir judgmental, dan di waktu privatnya Don nonton bokep kategori “I’am a good girl, daddy”. Ini adalah bukti bahwa karakter kita ini merupakan pria yang mendambakan selalu memegang kontrol, yang menganggap maskulin sebagai kunci kendali; wanita adalah objek yang ia punya kuasa. Kencannya dengan Sarah ia anggap sebagai hadiah  – or worse, hiburan – atas kerja kerasnya merenovasi rumah.
Malang bagi Don bukanlah karena ia membeli rumah bordil berhantu. Melainkan karena ia gagal melewati tes yang diberikan oleh rumah tersebut. Seorang tokoh utama yang menarik memang haruslah bukan tokoh tak-bercacat, karena yang kita nikmati adalah perjuangannya menjadi lebih baik. Don, however, ingin berubah dari ia yang sebenarnya, tapi ia tidak tampak benar-benar ingin berubah. Imannya begitu lemah, jika boleh dibilang. Rumah yang ia beli adalah tempat wanita-wanita ditekan oleh pria-pria yang datang melampiaskan nafsu mereka untuk memegang kendali. Semua trauma ngumpul di sana, itulah ‘wujud’ sebenarnya hantu-hant di sana. Don gagal, dan segimana pun kita mungkin sudah bersimpati pada karakter ini, pada akhirnya kita menyadari ketoxic-annyalah yang menghalangi ia dari keinginan dan niat baiknya.

Anggap film ini sebagai peringatan bagi cowok-cowok (terutama fukboi) yang menganggap mereka pria hanya karena punya alat kelamin jantan, yang menganggap kejantanan mereka dibuktikan dengan mengobjektifikasi atau juga memaksakan kendali/power atas wanita. 

 
Sensasi nonton film ini mirip kayak nonton horor-horor 80an. Film ini punya adegan gore berupa kekerasan dengan graphic darah yang jelas. Penggemar anjing bisa jadi sedikit terdisturb karena Don di rumah itu gak sendirian, dia bersama anjing peliharaannya, dan film cukup nekat memaksimalkan peran karakter-karakter yang dipunya. Film ini juga punya elemen body-horor, akan ada adegan saat seorang tokoh mendapati sesuatu menjalar di balik kulitnya, dan ia akan menggunakan pisau cutter untuk berusaha mengeluarkan benda tersebut – you know, good stuff. Aku sudha menyebut rumah dalam film ini udah kayak hidup, jadi kita bisa menganggapnya sebagai tubuh lain untuk alat horor. Ya, segala macam cairan kental – coklat, merah, putih akan nongol di mana-mana. Penggemar horor tradisional akan suka sama film ini, karena memang mengingatkan kita pada masa 80an. Masa di mana keberadaan CGI dan efek komputer begitu minimal, dan merupakan sebuah berkah bagi kita penggemar horor. Karena semuanya jadi terasa otentik. Efek praktikal menghasilkan sensasi yang lebih kuat, kita hampir bisa merasakan cairan itu nempel di tangan sendiri. Mengenai aspek horornya, film ini dideskripsikan dalam satu kata; Jijik.

Tapi jijik yang menakjubkan.

 
Girl on the Third Floor jelas terlihat enggak punya budget gede, ini lebih seperti film kelas B, tapi di sini kita akan melihat budget minimalis menjadikan pembuat lebih kreatif. Adegan penampakan hantu enggak bersandar pada jumpscare melulu, film ini enggak menggunakan kamera panning kanan kiri, ampe muter-muter segala untuk menghasilkan efek seram. Melainkan, film ini menggunakan cermin. Lingkungan rumah yang sedang proses renovasi; barang-barang masih terletak tidak pada tempatnya, cermin-cermin bersandar serabutan di dinding atau di lantai setiap ruangan. Ini dijadikan film sebagai alat ampuh untuk menampilkan hantu. Background menampilkan cermin dan pada pantulannya kita akan melihat hal-hal ganjil. Ini menghasilkan sensasi menyeramkan yang menyenangkan. Kita jadi berusaha melek dan aware. Kayak main Where’s Waldo hanya saja waldonya menyeramkan.
Ngomong-ngomong soal 80an; clearly film ini berkaca, banyak mendapat pengaruh, dari salah satu body-horror paling legendaris; Hellraiser (1987). Cerita dua film ini memang jauh berbeda, tapi ada elemen dasar Hellraiser yang bisa kita jumpai pada Girl on the Third Floor. Rumah yang juga tiga lantai (termasuk loteng rahasia tempat setan). Dan cerita yang punya pergantian sudut pandang. Aku suka Hellraiser, namun memberinya pengurangan nilai karena struktur bercerita yang seolah membagi dua narasi, dan itu jugalah penilaian yang kuberikan pada film Girl on the Third Floor ini. Perspektif terakhir yang menggantikan Don berfungsi lebih seperti penjelas, atau bisa juga penyeimbang karena sejauh itu film dari sudut pandang laki-laki, untuk mengikat cerita rumah tersebut. Dengan kata lain, make sense untuk dilakukan. Tapi juga gak urgen-urgen amat, karena cerita aslinya sudah berakhir – dan ini kurang lebih seperti epilog dalam buku.
 
 
 
Menurutku cukup ‘lucu’ CM Punk yang gak betah di WWE karena disuruh bacain naskah dari storywriter dan lebih memilih melakukan promo sendiri, malah bermain peran menghidupi naskah yang ditulis scripwriter. Tapi Punk cocok meranin Don karena sikap Don sesuai dengan persona dirinya; sedikit angkuh, berlaga macho, suka mengayunkan tinju alias fisikal, makanya buatku akting Punk di sini belum bisa sepenuhnya dinilai karena ini adalah karakter yang biasa ia lakukan. Horor film ini klasik, ceritanya mengandung gagasan menarik bahkan dengan struktur naskah yang gakbener. Bagian awal film meski gak bosan sampai membuat kita pengen ‘go-to-sleep’, tapi memang terasa lebih lambat daripada yang lain, dan itu sebagian besar karena Punk masih canggung memikul seantero naskah dan akting vulnerable. Namun aku tetap positif dan mengatakan, ini awal yang menarik – baik bagi Punk maupun bagi Travis Stevens.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for GIRL ON THE THIRD FLOOR.

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa hantu rumah memperlihatkan masa lalu rumah itu kepada istri Don, tapi tidak kepadanya? Bagaimana cara melawan toxic masculinity?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Royal Rumble 2020 Review


 
On this day, clearly… kalian semua sudah nonton Royal Rumble, atau paling enggak sudah membaca tentang kehebohan paripurna kembalinya salah satu pegulat yang paling gak disangka-sangka untuk kembali. Edge. Sembilan tahun yang lalu, si Rated R Superstar ini mengumumkan dia terpaksa gantung-sepatu lantaran komplikasi cedera leher. Penggemar gulat gak pernah lupa wajahnya saat itu. Dan di Royal Rumble 2020, sebagai peserta urutan ke 21, Edge kita lihat lagi dengan wajah siap tempur. Suasana pecah begitu Edge beraksi. Seantero stadiun baseball yang luas itu terkesima menyaksikan Edge melakukan gerakan-gerakan andalan, seolah dia tidak pernah pergi.

Seperti kita menghitung mundur entrance royal rumble berikutnya, Edge menghitung mundur waktu yang tersisa bagi karirnya. Dan keduanya adalah hitungan yang penuh optimis. Setiap hitungan melambangkan kekhawatiran, pertanyaan, dan harapan. Royal Rumble adalah cerita “bagaimana jika” dan Edge adalah tokoh utama yang pas untuk ini. Karena dia adalah pria yang menyangka dia tidak akan bisa lagi melakukan hal yang ia cintai. Pria yang sudah bekerja keras untuk sampai di atas, untuk kemudian begitu saja disuruh turun tidak boleh naik lagi. Pada akhir countdown tersebut, dia disambut dengan begitu hangat, wajahnya mengingatkan kepada kita bahwa mungkin cuma within sepuluh hitungan orang bisa dipisahkan dari mimpinya.

 

dan gambar inilah yang dianggap lebih penting oleh kamera WWE dibandingkan Spear pertama yang dilakukan Edge dalam pertandingan yang mengisyaratkan reborn karirnya.

 
Selain Edge, ada banyak lagi momen dan cerita keren yang berhasil dihimpun oleh pertandingan Royal Rumble. Makanya acara ini selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar. PPV Royal Rumble adalah show selain Wrestlemania yang hypenya selalu gede. Pengalamanku bikin acara nobar, Royal Rumble malah selalu yang paling ramai peserta nobarnya. Di tahun ini, dua pertandingan Royal Rumble yang kita dapatkan terasa sangat seru, terutama yang pertandingan cowok. Bahkan sebelum perhatian dan haru kita dicuri oleh Edge, Brock Lesnar membuat partai ini teramat menarik. Obviously gak semua kalian akan setuju denganku, karena Lesnar memang kebangetan. Lima belas superstar ia buang begitu saja kali ini; legends, juara, pendatang baru, jobber — semuanya dijadikan jobber oleh Lesnar. Aku gak kebayang gimana tim kreatif ngepitch ide ini ke para superstar “Ayo siapa yang mau jadi tumbal Lesnar, nanti dikasih bonus deh”.. Tapi ini menghasilkan pengalaman seru yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Berkat Lesnar dan kemampuannya; bergulat dan memancing (alias membelah) reaksi dan emosi penonton, match ini jadi berbeda sekali dari yang sudah-sudah. Belum pernah kita melihat satu ornag mendominasi dari awal, bahkan Reigns saat dalam cerita one-versus-all-nya dulu enggak sepecah ini. Meskipun mengerang dan protes melihat favorit-favoritku dikeluarkan olehnya, deep inside aku ingin melihat Lesnar beneran sampai ke akhir Rumble dengan membuang satu persatu yang datang.
Tapi kemudian Lesnar toh dikeluarkan juga, oleh Drew McIntyre – yang bakal memenangkan partai bergengsi ini dan maju ke partai utama di Wrestlemania. WWE told a perfect somekind-of-passing-a-torch story di sini. Rumble seolah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Lesnar mendominasi. Mengalahkan semua ‘hantu-hantu masa lalunya’ alias superstar-superstar yang pernah bertanding melawannya, yakni Rey Mysterio, Kofi Kingston, Braun Strowman, Ricochet, dan bahkan Shinsuke Nakamura. Lesnar begitu hebat membawa cerita di pertengahan pertama. Aku suka gimana Lesnar bereaksi terhadap NXT’s Keith Lee, yang aku yakin di bawah pengarahan Paul Heyman sehingga lawannya ini tampak beneran menggentarkan. Kita di-tease berbagai versi interaksi, berbagai usaha yang gagal, karena Lesnar beneran kuat. Sampai kemudian – mengambil julukannya dulu – the next big thing datang dalam wujud McIntyre. Kekuatan dan strategi sang juara melawan passion dan semangat penantang – ini cerita klasik yang sempurna, yang dieksekusi dengan menakjubkan. Separuh akhir beralih menjadi cerita McIntyre berjuang memenangkan seantero pertandingan, sebab membuang Lesnar belum cukup. Ia harus menang dan mengambil spot untuk benar-benar bisa mengalahkan Lesnar dan memenuhi ‘ramalan’ yang menjadi gimmicknya dulu – bahwa ia, Drew McIntyre, adalah Sang Terpilih.
PPV Royal Rumble selalu susah untuk direview karena hal-hal begini. The Rumble was so hype, udah kayak nonton film antologi, sehingga kita selalu hanya nunggu match rumble-nya saja. Apalagi sejak ada dua match rumble, cewek dan cowok. Padahal dalam PPV selalu ada match lain yang enggak kalah solidnya. Seperti kali ini ada very physical kontes antara Daniel Bryan yang memilih Strap Match untuk mengalahkan lawannya yang sepertinya urat sakitnya udah putus; The Fiend Bray Wyatt. Salah satu peningkatan yang dapat kita rasakan adalah WWE tidak lagi menggunakan lampu temaram untuk match The Fiend. Matchnya sendiri memang cukup brutal. Cambukan sabuk kulit itu berbekas nyata di kulit kedua superstar ini, mereka benar-benar saling menyakiti. Bray Wyatt beruntung ia mengenakan topeng, sebab aku yakin di balik itu ia juga pasti meringis kesakitan meski tokohnya ditulis untuk tidak ngejual damage untuk menghasilkan efek dramatis dan mengerikan. Asuka melawan Becky Lynch juga sebenarnya told a great story. Bukan saja aksinya solid, melainkan juga mengandung bobot yang penting dalam pembangunan salah satu karakter utama Wrestlemania nantinya.  Semua ini adalah soal Lynch yang harus mampu membuktikan dirinya bisa mengalahkan Asuka yang menyimbolkan ‘demon’ yang belum ia taklukkan. The Man lawan Demon, kalo boleh dibilang. Finishing match ini terbendung bagus, juga dari perspektif Asuka yang belakangan seperti jadi bergantung kepada jurus semburan mautnya.
Kedua match tersebut sayangnya kurang mendapat perhatian karena berada di antara dua partai rumble. Penonton masih terengah dari rumble cewek dan menyimpan tenaga untuk rumble cowok. Jika ditempatkan berbeda, niscaya reaksi kita yang nonton akan berbeda. Buktinya adalah match Roman Reigns melawan Baron Corbin yang sudah basi namun karena dijadikan pembuka acara, maka masih ramai oleh reaksi. Penonton cukup terhibur karena, dan padahal mereka basically hanya, berkeliling arena. Match yang beneran jelek adalah Bayley melawan Lacey Evans. Ceritanya cukup berbobot, tapi dimainkan dengan sangat datar. Lacey masih berjuang untuk konek kepada penonton dan memperkuat deliveri ekspresi dan memperketat timing, meskipun dia sudah diberikan patriotisme dan feminisme sebagai modal untuk karakter babyfacenya. Bayley juga masih belum menemukan kekhasan karakter heelnya, sebab tipuan pura-pura cedera yang ia lakukan masih terlihat akting dan gak ada yang percaya itu bukan trik jahatnya. Kedua superstar belum maksimal
Harusnya ada adegan Izzy nyerang anaknya Lacey aja sekalian biar seru

 
Dua match rumble kali ini sebenarnya punya struktur-gede alias formula yang sama. Satu orang dibuild kuat hingga separuh jalan, dan kemudian dioverthrow oleh new challenger. Lesnar diganti oleh Drew. Hanya saja di rumble cewek, formula ini kebalik. Yang gak really new-lah yang justru mengambil alih dari yang superstar yang baru. Dan ini membuat kesal banyak orang, termasuk aku. Kemenangan Charlotte terasa sangat getir bagi penonton. Terutama karena dia membuang begitu saja Bianca Belair yang masuk dari nomor dua, bertahan 33 menit, dan mengeliminasi delapan orang. Rumble cewek yang menarik di paruh awal; ada begitu banyak interaksi superstar seru seperti Mandy Rose diselamatkan oleh Otis dengan jurus kasur empuk, menjadi kering di paruh akhir. Karena setelah mengeliminasi Belair, tidak ada lagi selain Flair yang viable untuk benar-benar memenangkan pertandingan. Ring diisi oleh bintang tamu seperti Beth Phoenix, returning yang gak benar-benar relevan seperti Naomi, dan ya, surprise seperti Santina Marella. Mestinya SJW marah nih ngelihat WWE jadiin karakter cowok yang kecewekan sebagai komedi semata. Yang jelas, logika -gak-jalan itu adalah Naomi yang bertingkah seolah menyebrang dari meja ke dalam ring adalah lompatan yang sulit, padahal dia tinggal melompat-lompat dengan satu kaki saja karena rule eliminasi adalah menyentuh lantai dengan kedua kaki. Satu-satunya penantang yang mungkin menang selain Charlotte adalah Shayna Baszler. Yang juga mengeliminasi delapan lawannya, namun mesti kalah dengan datar oleh Charlotte.
Aku benar-benar gagal paham kenapa WWE terus ngepush Charlotte ke spotlight. Enggak ada yang mau lihat dia menang karena bakal jadi jalan yang boring menuju Wrestlemania. Siapa yang mau dia tantang? Bayley yang lebih membosankan atau Lynch untuk kesekian kalinya? WWE harus menyiapkan cerita atau kejutan yang out of the box untuk ngangkat Charlotte. Atau mending sekalian semua fourhorsewomen itu diadu saja di winner takes all nanti.
ultimate heel adalah ketika kamu tetap dikasih menang saat semua orang males lihat kamu menang

 
 
Sensasi euforia Royal Rumble enggak hanya mempengaruhi penonton. Tapi juga para superstar. Karena banyak sekali botch pada acara ini. Mulai dari yang simpel bergerak terlalu semangat kayak Lesnar yang kesandung tali saat mau ngejar Elias atau Lacey Evans yang nyaris jatuh saat menggunakan jurusnya, dan kemudian detik berikutnya hampir terpeselet saat springboard dari tali ring, ke yang lupa cue gerakan kayak Aleister Black yang harus dipanggil oleh Rollins karena lupa menendang Rollins dari belakang atau Natalya yang kelupaan berdiri di belakang Santina sehingga Santina harus dua kali bergaya di depan Beth Phonenix, hingga ke yang menyebabkan cedera. Beth Phoenix terlalu bersemangat ngejual pukulan sehingga lupa dirinya against pojokan ring. Alhasil belakang kepalanya berdarah dan sepanjang match rambut Phoenix antara kayak habis diombre atau ketumpahan saus spagheti. AJ Styles juga agak terlalu lincah ngesold Spear dari Edge sehingga bahu kirinya terhimpit dan dia harus keluar lebih cepat daripada rencana supaya cederanya tidak semakin parah.
 
 
WWE memulai tahun, seperti biasa, dengan sangat seru. Lesnar yang banyak dipotes sebenarnya bermain dengan keren. Dua match Royal Rumble begitu epik, walaupun yang cewek hasilnya pahit, sehingga match-match yang lain jadi tampak biasa saja. Aku kembali mengadakan nobar setelah vakum nyaris dua tahun, dan nobar kali ini adalah yang paling seru. Apalagi kita menontonnya di dalam bioskop mini. Experience yang cocok sekali lantaran ppv yang satu ini memang menjual spektakel, momen, dan kejutan lebih banyak daripada porsi gulat-benerannya. The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada partai Royal Rumble cowok yang punya cerita keren yang menjadi set up pertemuan gede antara Drew McIntyre dengan Brock Lesnar di Wrestlemania nanti, dan kemunculan Edge sebagai MOMENT OF THE NIGHT
 
 
Full Results:
1. FALLS COUNT ANYWHERE Roman Reigns mengalahkan King Baron Corbin
2. 30-WOMEN’S ROYAL RUMBLE Charlotte Flair menjadi last woman standing
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan atas Lacey Evans
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP STRAP MATCH The Fiend Bray Wyatt tetap juara mengalahkan Daniel Bryan 
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch akhirnya bisa mengungguli Asuka
6. 30-MEN’S ROYAL RUMBLE Drew McIntyre membuang mimpi 29 superstar lain menjadi main event Wrestlemania
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

AKHIR KISAH CINTA SI DOEL Review

“May your choices reflect your hopes, not your fears”
 

 
Zaenab yang diketahui hamil diberi nasehat oleh dokter enggak boleh stress dan enggak boleh banyak pikiran. And Zaenab be like; yea right aku akan santai-santai saja di film yang judulnya bukan lagi ‘The Movie + angka’ atau ‘Anak Sekolahan’ tapi melainkan ‘Akhir Kisah Cinta’! 
Aku sama sekali gak menyangka akan tiba masanya aku menyebut trilogi Star Wars kalah memuaskan dibandingkan trilogi Si Doel. Saat film pertamanya tayang, Doel memang tampak seperti usaha lain menguangkan nostalgia. Ceritanya berakhir, tapi masih menyisakan ruang untuk sekuel. Dan kemudian film keduanya tahun lalu tayang seolah menguatkan dugaan film ini hanya jualan semata, lantaran cerita yang gak kemana-mana. Yang muter di tempat, dengan si Doel yang tetap diam tidak membuat keputusan. If anything, film kedua tersebut seperti ingin memerah tangis lewat sudut pandang Zaenab yang diberi porsi lebih. Di film ketiganya ini, sungguh sebuah kejutan karena sekarang keputusan dari pilihan yang sulit itu benar-benar diambil. Dan Zaenab, yang kita kenal bahkan lebih pasif dan pasrah daripada si Doel, memegang kunci untuk menutup semua ini dengan memuaskan.

ini bisa jadi adalah kehamilan tersedih di sinema.. bahkan hamil kecelakaan saja enggak sedepresi ini

 
Penonton yang menuntut cerita benar-benar sebuah akhir akan seketika oleh Zaenab yang menuntut si Doel cepat membuat keputusan. Film ini dimulai dengan tekanan waktu yang jelas; Zaenab hamil enggak boleh stress, namun dia punya tiga masalah besar yang menggerogoti pikirannya. Kenapa Doel tidak memberitahu dirinya Sarah sudah meminta cerai. Kenapa Doel tidak segera mengurus perceraian. Dan yang paling memberatkan pikiran Zaenab adalah rasa bersalah kepada Sarah karena Zaenab merasa salah dirinya lah Doel tidak mengejar Sarah sehingga wanita itu harus membesarkan anak seorang diri selama empat-belas tahun, dan sekarang Sarah memilih mundur demi dirinya dan Doel. Ada api rage dalam diri Zaenab sekarang yang membuat film jadi menarik. Ia praktisnya tokoh utama di awal-awal film, membuat keputusan-keputusan mendesak. Ia memberanikan diri untuk mengkonfrontasi Doel, bicara kepada Mak Nyak, menatap mata Dul anak Sarah, dan mencari Sarah untuk mengutarakan pilihannya sebelum Sarah kembali ke Belanda.
Memutuskan sebuah pilihan itu bisa sangat berat. Itu pelajaran pertama yang bisa kita ambil dari kisah cinta si Doel. Setelah selama ini dia masih enggak bisa memutuskan pilihan. Karena ia gak mau menyakiti hati. Namun dari trilogi ini kita melihat sikap Doel ternyata melukai lebih banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Dalam film ini, beratnya mengambil keputusan akan sangat terasa. Kita bisa melihat pilihan yang benar-benar sulit, dari segala sisi. Bukan hanya dari si Doel sendiri, tetapi juga dari eksistensi film ini. Mau gak mau, kisah si Doel harus berakhir. Penonton gak bisa terus menerus digoda, meskipun kita tahu betapa berat bagi sebuah IP untuk mengakhiri jualan andalannya. Ditambah lagi si Doel – kita bicara induk langsung film ini yakni sinetronnya – sudah bergulir selama dua puluh tujuh tahun. Untuk mengakhiri sesuatu yang sudah berjalan semua itu, pastilah dihadapkan pada pilihan yang berat. Bagaimana mengakhiri dengan memuaskan. Bagaimana menghormati penonton. Bagaimana membuat cerita yang berakhir adil bagi semua tokoh-tokoh yang menghidupi semestanya. Untuk membuat sesuatu yang sefinal ini akan ada pilihan yang berat, ada yang gak bisa semuanya terpuaskan. Personally, aku pikir sikap kita juga turut andil dalam mengakhiri film ini dengan memuaskan. PH atau Studio mendengarkan suara kita lewat angka penonton, dan merosotnya jumlah penonton pada film kedua dibandingkan yang pertama bukan tidak mungkin jadi salah satu penentu bagi film ini untuk segera berakhir dan dibuat dengan menempuh resiko seperti yang kita dapatkan sekarang.
Film memperlakukan karakter-karakternya dengan lebih memuaskan kali. Lebih banyak interaksi antara Doel dengan Dul. Momen manis melihat Doel mengajak putranya – anak yang tak ia tahu keberadaannya hingga dua film yang lalu – berkeliling Jakarta narik oplet. Doel menjelaskan cara kerja dan ‘sejarah’ oplet, ini adalah adegan yang aku tunggu sedari film pertama. Meski sebagian besar memang kelihatan seperti eksposisi atau device nostalgia saja, tapi paling enggak sekarang film ini tahu bahwa adegan seperti demikian yang dibutuhkan oleh film ini. Dul juga berinteraksi lebih banyak dengan anak Atun, Atun, Zaenab, dan Mandra. Peralihan dari sinetron ke bioskop enggak begitu berarti bagi sutradara dan penulis Rano Karno, karena semua tokoh dan interaksi mereka punya rasa yang sama. Tokoh-tokoh lama tampak nyaman menjadi diri mereka, sekaligus berkembang sesuai zaman, tokoh-tokoh baru juga gak canggung mengisi di antara mereka.
Perlakuan film terhadap Mandra adalah hal favoritku di film ini. Mandra punya subplot sendiri soal ia berusaha menjadi tukang ojek. Walaupun persoalan kerja ini enggak benar-benar tuntas, dan dipanjang-panjangin dari film kedua, namun Mandra punya akhir cerita tersendiri yang bikin kita merasa senang demi dirinya. Ini adalah momen surprise gede yang dipunya oleh film, jadi aku gak akan bocorin di sini. It was a nice surprise I would never guess it. Namun yang perlu dijadikan catatan dan dibahas dalam ulasan ini adalah cerita Mandra sebenarnya lawan dari cerita Doel; yang terjadi kepada Mandra adalah pelajaran besar bagi si Doel. Mandra adalah happy ending sejati karena berbeda dengan Doel yang plin-plan, gak bisa mutusin apa yang ia suka, Mandra setia kepada cintanya. Sehingga meskipun kita menertawakan hidupnya – jika ditarik dari sinetron, Mandra ini cocok sekali jadi poster boy slogan ‘hidupku adalah tragedi komedi’ – paling enggak, Mandra tidak harus menderita, ia tidak pernah berada pada posisi seperti si Doel. Mandra adalah karakter yang meletakkan keputusannya pada harapan. Ini yang jadi poin atau gagasan pada film.
Hanya Mandra yang bisa ketuker bahasa Belanda dengan bahasa India

 
Dibandingkan dengan Mandra, memang film tampak seperti menghukum si Doel. Zaenab membuat pilihan, Sarah kekeuh pada keputusannya sedari awal. Doel menjelang akhir film seolah akan ditinggalkan sendirian. Dan aku, serta kuyakin setengah dari penonton lain, enggak akan masalah jika film berakhir seperti demikian. Because Doel deserves it. Wakunya sudah habis, wanita- wanita itu terlalu berharga untuk ia gantung. Dia terlalu penakut – pasif – untuk membuat keputusan. I mean, mungkin gak bakal ada trilogi bioskop Doel jika dia sedari sinetron sudah memilih dengan mantap hati. Namun film enggak tega. Sesaat aku hampir tatkala cerita seperti tereset lagi pada babak ketiga. Film ternyata memberikan Doel kesempatan untuk belajar dari semua yang udah dilewati – semua yang sudah setia kita ikuti. Bola sekali lagi berada di lapangannya; pertanyaan pamungkas itu muncul lagi; Siapa yang bakal Doel pilih?
Yang membuat film ini memuaskan bukan exactly jawaban ‘siapa’ tadi. Melainkan betapa keputusan yang dibuat oleh si Doel (akhirnya!) terasa masuk akal dan feel earned. Ini literally kesempatan kedua baginya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk mengejar dan menjemput yang pergi, bukannya mendiamkan. Untuk hadir dan membesarkan anak, bukannya baru ketemu lagi saat si anak dewasa. Juga masuk akal kenapa baru sekarang Doel membuat keputusan; karena baru sekarang ia berani. Mengambil resiko, menaruh harapan. Doel tak pernah orang yang bego, dia tukang insinyur; maka ia pastilah ia cukup pintar untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Gambaran besar film ini membentuk sebuah lingkaran yang masuk akal. Film pertama adalah tentang Doel dan Zaenab dan Sarah memilih hal yang mereka takuti demi kebaikan bersama; Doel memilih ke Belanda meskipun ia tahu ada Sarah dan keadaan akan runyam. Film kedua adalah jembatan bagi Doel untuk mengenali apa yang ia inginkan. Dan film ketiga barulah ia melihat harapan untuk semuanya lebih baik, maka barulah ia memilih.

Perbuatan Doel sebenarnya bijaksana, karena seperti kata Nelson Mandela; kekuatan yang mendorong kita melakukan sesuau, berkata, berpikir, seharusnya berlandaskan pada harapan dan optimisme daripada berdasarkan ketakutan atau paksaan.

 
 
Doel gives very nice send-off, bukan hanya kepada Sarah dan Zaenab, melainkan juga kepada kita yang udah ngikutin dari tv ke bioskop, bahkan ada yang selama dua-puluh tujuh tahun. Menurutku tidak ada cara lain yang lebih baik untuk mengakhiri ini semua. Film ini haru, menyayat, lalu menyuarakan harapan, dan memuaskan penonton sehormat mungkin yang ia bisa. Aku akan memberikan nilai lebih tinggi jika bukan karena film ini masih memperlakukan dirinya sendiri lebih sebagai sinetron ketimbang sebagai film. Ia tidak akan bisa berdiri sendiri, because it was never intended to be.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for AKHIR KISAH CINTA SI DOEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang pilihan Doel? Apakah kalian pernah mengikuti sinetronnya? Jika boleh berandai, adegan apa yang ingin kalian lihat di film?
Kalo aku, aku pengen sekali melihat si Doel ngobrol dinasehatin ama babeh-nya, you know, mungkin dalam mimpi atau apa, kayak Harry dan Dumbledore di King’s Cross. I mean, teknologi sepertinya sudah memadai, dana juga sepertinya mungkin bagi Falcon.. kalo Star Wars bisa, kenapa enggak bisa juga?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

LITTLE WOMEN Review

“Women now have choices”
 

 
Dulu waktu hidup masih simpel, judul Little Women terdengar seperti sesuatu yang cute, yang hangat. Ketika pengarang Lousia May Alcott menuliskan itu sebagai judul novel yang aslinya dibagi menjadi dua bagian, ia memaksudkan Little Women sebagai istilah untuk masa-masa di mana masalah dewasa mulai merayapi gadis-gadis yang beranjak dewasa. It was the 19th century, tepatnya tahun 1890an, dan ‘masalah dewasa’ tersebut berarti gadis-gadis harus mulai memikirkan pernikahan untuk menaikkan status mereka. Karena membahas masalah inilah, cerita ini menjadi klasik. Sudah berkali-kali ia diadaptasi ke medium film, mulai dari 1933 hingga yang terbaru sebelum ini di tahun 2018. Sebab romansa begitu universal dan timeless, cerita tentang empat kakak beradik cewek yang berubah menjadi wanita berdikari dan menemukan cinta masing-masing akan selalu nyantol di hati enggak peduli era berapa. Kini, ada satu hal yang berubah. Di masa SJW dan pergolakan feminisme sekarang ini, judul Little Women kemungkinan bisa dianggap merendahkan. Udahlah wanita, kecil pula. Jika memanglah benar judul ini menghighlight ketimpangan sosial wanita dan pria, maka Greta Gerwig berhasil mengadaptasi cerita ini menjadi sebuah film yang memiliki semangat pemberdayaan yang membuatnya semakin beresonansi lagi.
Sekali lagi kita mengunjungi Jo, Meg, Amy, Beth, sehingga aku merasa agak mubazir juga menuliskan kembali sinopsis cerita mereka. Empat gadis remaja yang seringkali harus saling mengurus diri lantaran ibu dan ayah masih punya urusan di dunia yang baru saja menyudahi perang. Jo pengen jadi penulis, Amy pengen jadi pelukis, Beth pengen jadi pianis, dan si sulung Meg play along with them. Mereka berteman akrab dengan tetangga mereka yang bangsawan kaya. Particularly kepada Theodore Laurence. Ada percikan cinta. Namun Jo belum siap menerimanya. Ini adalah cerita kekeluargaan, sisterhood, perjuangan wanita menggapai cita-cita sebelum siap menerima cintanya. Gerwig yang sukses berat dalam debut penyutradaan film panjangnya di Lady Bird (2017) tampaknya memang jago menguatkan cerita sehingga menjadi sangat personal. Secara literasi, Little Women originally sudah bisa dikategorikan sebagai otobiografi lantaran Alcott menulis cerita ini berdasarkan kejadian hidupnya dan keluarga, namun ia harus membuat beberapa penyesuaian demi penjualan. Di sinilah letak jasa Gerwig; ia mendedikasikan adaptasi versinya ini ini untuk pilihan hidup personal personal yang sudah dipilih oleh pengarang. Dalam sebuah penceritaan yang begitu manis,

memblurkan fiksi dan kayfabe (fakta-dalam-fiksi)

 
Gak gampang membuat cerita lama terasa berbeda. Setiap adaptasi Little Women menggunakan pendekatan berbeda, misalnya versi 2018 yang mengangkut cerita dasar dan meletakkannya di suasana modern kita sekarang ini; film itu bisa bagus jikasaja aktingnya enggak selevel sinetron atau FTV. Gerwig, however, tetap menempatkan Little Women versinya sebagai period piece. Beberapa elemen yang tak berani ditampilkan oleh film-film versi yang lebih lawas, seperti pembakaran naskah tulisan Jo oleh Amy ataupun Amy yang jatuh ke dalam kolam beku, ditampilkan tanpa masalah oleh Gerwig. Sebab ia ingin menonjolkan interaksi, keakraban dalam keluarga Jo March. Inovasi signifikan yang dilakukan Gerwig terhadap materi ini berawal dari penggunaan alur maju mundur sebagai cara bercerita. Literally mengoverlap masa remaja dengan masa dewasa, seperti yang dimaknakan oleh judul menurut sang pengarang bukunya.
Penonton film Indonesia bakal akrab dengan teknik bercerita begini mengingat sepanjang 2019 kemaren hingga ke 2020 ini kita menyaksikan banyak film lokal yang tersusun demikian. Bebas dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini misalnya. Film crime-drama Darah Daging juga, meski dengan penggarapan dan timing yang lebih buruk. Cerita akan dimulai dari Jo yang sudah dewasa, di kantor percetakan, bermaksud menjual dan menerbitkan cerita yang ia tulis. Seiring proses kreatif Jo saat ia merevisi tulisannya nanti, kita akan dibawa flashback ke masa remajanya karena memang Jo menuliskan masa-masa itu sebagai cerita (walau ia nyangkal dan bilang itu cerita temannya kepada pimred). Penggunaan dua timeline yang saling tindih ini dilakukan dengan cermat oleh Gerwig. Ia memastikan tidak ada emosi yang ketinggalan sebelum sempat terbangun saat mengontraskan antara masa dewasa yang tokoh-tokohnya bergulat dengan profesi dan pilihan hidup masing-masing dengan masa remaja saat mereka masih bersama-sama mengadakan pertujukan drama dan menghias pohon natal. Gerwig sangat precise mengatur waktu, menjahit dua timeline, tidak akan ada tokoh yang diizinkan pergi sebelum kita benar-benar sudah peduli kepadanya.
Kita tidak akan tersesat karena akan senantiasa dibimbing oleh time image, alias gambar-gambar yang menunjukkan waktu. Misalnya gaya rambut para tokoh. Atau yang paling obvious; tone warna. Cerita di masa lalu Jo akan dikuas warna-warna yang lebih hangat dan terang oleh film, menandakan perasaan para karakter pada saat itu. Sedangkan masa ‘kini’ cerita, warnanya lebih dominan biru sehingga terasa lebih ‘dingin’. Film tak perlu repot-repot meng-cast dua aktor untuk masing-masing tokoh. Mungkin kalian masih ingat kesalahan terbesar Little Women 1994 yang bagus itu? ya, menggunakan dua aktor untuk Amy; Samantha Mathis tidak bisa mengimbangi pesona Kirsten Dunst sebagai Amy remaja. Cast pilihan Gerwig terbukti luar biasa solid. Mereka mengarungi dua masa dengan tanpa cela, pertumbuhan mereka yang di babak awal terasa cukup menganga perlahan menutup dan terikat sempurna. Rentang yang harus mereka lakukan tidak membuat satu tokoh terasa seperti dua orang yang berbeda. Saoirse Ronan perfect sebagai Jo, sekali lagi dia menunjukkan permainan peran gak meledak-ledak tapi tetap ‘membakar’. Florence Pugh mencuri perhatian meniti karakter Amy dan tidak pernah terjatuh menjadikan tokoh ini annoying dan jahat meskipun Amy dan Jo paling sering bertengkar dan berbeda pendapat. Emma Watson sebagai Meg juga flawless mendukung Jo lewat keputusannya menikah bukan karena harta – yang menunjukkan menikah bukan tanda kelemahan wanita.
dan Timothy Chalamet sudah siap membuat penonton bersenandung dangdut “Chalamet malam duhai kekasih”

 

Little Women versi Gerwig ini punya agenda untuk menunjukkan bahwa kini wanita punya pilihan. Bahwa pernikahan bukan semata tujuan akhir kehidupan. Meskipun begitu memilih untuk menikah juga bukanlah sebuah pengakuan wanita butuh pria, melainkan pilihan untuk merayakan cinta.

Dalam film ini Gerwig menunjukkan mengakui cinta itu juga sama pentingnya dengan mengejar mimpi dan kemandirian. Film memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan pilihan yang diambil oleh pengarang cerita, dan menampilkan sebenar-benarnya dengan cara unik tersendiri. Alcott tidak menikah hingga akhir hayatnya. Dalam film, Jo menulis cerita yang endingnya tanpa pernikahan dan pimred memintanya untuk mengubah dan menjadikan tokohnya menikah. Romansa dan pernikahan itulah yang kita dapat dalam Little Women original dan adaptasi-adaptasi lainnya sebelum ini.
Gerwig mencoba menghormati Alcott, menghormati Jo March. Menghormati wanita-wanita modern. Akhir inovasi maju-mundur film ini menghantarkan kita – tanpa sadar – kepada satu inovasi lagi. Batas masa lalu dan masa kini film semakin tidak jelas, mereka berpindah dengan sangat cepat, dan tau-tau kita melihat Jo duduk kembali di kantor redaksi. Jo penuh konfiden sekarang, sedangkan kita enggak pasti dan mempertanyakan ulang kepada diri sendiri, apakah semua momen manis – malah sempat-sempatnya ada ‘bandara momen’ versi jadul – itu hanya cerita karangan Jo. Tone warna sudah tidak membantu lagi sekarang. Kita di akhir cerita diminta melihat dengan rasa.

Menyaksikan Jo memandang kelahiran buah karyanya seolah film mengajak kita untuk merasakan yang dialami oleh Alcott. Merasakan kebanggaan, sebuah happy ending yang terasa positif dan membawa semangat optimisme bahwa pilihan kita itulah kebahagiaan kita.

 
 
 
Persaingan antar-saudara, cinta yang tak dibalas, penyakit yang memisahkan, perjalanan yang meraih mimpi; semua formula sebuah cerita yang loveable ada dalam film ini. Semuanya itu memang diceritakan dengan manis. Adegan-adegan film ini bakal gampang banget ngena di hati. Castnya aja sudah lebih dari cukup untuk membuat kita jatuh cinta. Film ini punya gagasan yang sangat relevan, namun tidak terasa begitu urgen. I mean bukan untuk merendahkan kepentingan wanita. Hanya saja, dengan fakta film ini sudah adaptasi film panjang kelima dari materi yang sama, enggak semuanya jadi terasa kurang menantang. Penggunaan maju-mundur juga bukan exactly hal baru. Film ini memang beda, inovasinya berhasil membuat cerita jadi segar, dan tak lupa membuat kita merasakan sesuatu right there in the heart, hanya saja kemagisannya berkurang begitu kita ingat ini adalah reinkarnasi dan semua perbedaan tadi gampang diusahakan jika kita sudah punya empat sebagai ‘contoh’nya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LITTLE WOMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian akhir film ini, apakah Jo sebaiknya menikah atau tidak? Apa masih pada gemes dia gak jadi sama Laurence? ahahaha

Apa pendapat kalian tentang perempuan yang tidak menikah?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

JANIN Review

“Abortion is the ultimate exploitation of women”
 

 
Cara terbaik menikmati Janin (penggalan ini seriously terdengar lebih seram daripada seantero filmnya yang hanya jumpscare-fest) adalah dengan menganggapnya sebagai horor peringatan untuk tidak melakukan aborsi ataupun memaksakannya, meskipun persoalan aborsi itu sendiri – sama seperti para tokoh-tokohnya – hanya dipajang ala kadar tanpa benar-benar ada pendalaman.
Randu sudah menyiapkan kamar khusus dengan perabotan bayi demi menyambut kelahiran putri pertamanya. Lengkap mulai dari crib hingga stroller. Namun sang istri, Dinar, malah merasa takut di dalam rumah – terutama di ruangan tersebut. Telinga Dinar mendengar senandung di sana, matanya menangkap sekelebat bayangan di sana. Sebagai seorang pria yang seharian bekerja di kantor, Randu terang saja tak percaya ada hantu di rumah mereka. Ia lebih percaya ‘bahaya’ itu datang dari tetangga baru mereka, Bu Sukma, yang sikapnya aneh. Jelalatan menatap perut Dinar – yang kalo ngobrol tangannya terus megang perut Dinar. Maka Randu menyewa jasa suster untuk menemani dan mengurus Dinar di rumah. Hal-hal mengerikan toh tetap berlangsung walaupun si suster pendiam sudah mulai bekerja di rumah mereka. Dinar dan janin yang dikandungnya jelas menjadi target serangan si hantu. Misterinya – bagi Randu – adalah siapa yang mencoba mencelakai keluarganya; Bu Sukma yang jika namanya dipenggal literally jadi Bu-Suk, atau si suster yang namanya membuat Randu tertegun.

Susan ternyata gedenya jadi suster, bukan jadi dokter

 
Ketika kita bicara horor, dan ceritanya berpusat pada masalah keluarga, seharusnya ini seperti menemukan minyak di lapangan. Sebuah kesempatan untuk menggali begitu banyak, sedalam-dalamnya. Karena di mana lagi kita menemukan ketakutan yang genuine, yang paling mendasar – paling manusiawi selain misalnya pada ketakutan seorang ibu kehilangan anaknya. Atau ketakutan seorang ayah menanti kelahiran dan actually harus grow up dan menyongsong tanggungjawab – David Lynch membuat cerita yang begitu mengganggu mental dari tema ini pada tahun 1977 lewat film Eraserhead. Janin tampak membicarakan horor serupa, yakni seputar ketakutan menjadi orangtua lewat tokoh-tokoh yang dikarunai jabang bayi pertama mereka. Hanya saja, film ini memulai konflik drama yang menjadi dasar horor tersebut dengan sangat terlambat.
Padahal film mengangkat isu yang cukup marak di kehidupan sosial kita. Mengenai aborsi. Dan kita melihatnya dari sudut pandang pria. Di Indonesia, aborsi masih jadi pembahasan yang cukup tabu, karena masih dipandang secara sempit dalam landasan moral atau agama. Pelaku aborsi ilegal akan dihukum. Pengecualian untuk keadaan yang diatur oleh undang-undang, misalnya pada kasus perkosaan. Ketika melahirkan anak akan menimbulkan gangguan psikis dan efek yang lebih buruk untuk ibu dan bayi. Intinya adala aborsi seharusnya didasarkan kepada consent wanita yang mengandung. Film Janin menunjukkan kepada kita konsekuensi mengerikan saat aborsi diambil alih, dipaksakan consent-nya oleh pria. Praktek yang banyak terjadi. Wanita dipaksa untuk aborsi, kemudian terjerat hukum, sedangkan si pria lepas dari hukum karena hubungan mereka bukan perkosaan.

Film Janin seperti memberikan hard justice bagi wanita-wanita yang menjadi korban seperti demikian. Mereka dijadikan hantu yang membalas dendam. Tapi dengan menjadikan tokoh pria yang memaksakan aborsi sebagai tokoh utama, film juga menantang kita untuk memikirkan kembali sebesar apa hak dan tanggung jawab pria dalam keputusan menggugurkan atau melahirkan anak. Karena kehamilan sesungguhnya juga personal bagi pria.

 
Kita harus mati-matian menahan jemu (sambil menggenggam erat jantung biar enggak copot) sebelum akhirnya sampai ke pokok permasalahan, ke gagasan menarik yang dipunya cerita. Menit keenam; orang berdiri di belakang satu tokoh – jederr! Menit ke empat-belas; Randu mengagetkan istrinya yang membukakan pintu rumah – jegarrr!! Menit ke dua puluh-dua; Hantu teriak tepat di telinga Dinar – jedooorr!!! Jumpscare demi jumpscare susul menyusul – inilah makna horor bagi film Janin. Tidak ada pengembangan karakter. Selama hampir satu jam (perlu diingat film ini hanya berdurasi delapan puluh-lima menit) kita diperlihatkan adegan yang formulanya sama berulang kali. Ada kejadian ganjil, Dinar takut, kita kaget saat ada yang dari belakang menyelamatkan Dinar, Randu enggak percaya waktu Dinar curhat tentang kejadian barusan. Selalu begitu kejadiannya. Tidak ada build up emosi yang membuat kita peduli sama yang ditakut-takuti – kita enggak benar-benar tahu siapa mereka. Horornya pun tidak ada build up selain musik yang tiba-tiba mengerikan dan kamera yang berpanning ke kiri, ke kanan, kemudian BLAARRR!!
Penulisan dialognya pun sebagian besar sangat konyol. Simak contoh percakapan yang dua tokoh lakukan di awal film, yang tampak diniatkan untuk membangun misteri soal ada yang gak beres pada janinnya sekaligus menetapkan ini adalah kehamilan pertama: “Ada yang gerak-gerak di perutku.” / “Kamu kan hamil, ya wajarlah.” / “Tapi…… kenapa baru sekarang ya?” Betapa lucunya. Sebaru-barunya jadi ibu juga, susah untuk menerima ada wanita enggak tahu soal kehamilan. Enggak ada yang seram dari ibu hamil yang merasa ada yang gerak-gerak di perutnya, kecuali film membuat gerakannya dengan penggambaran yang, katakanlah, ekstrim. Tadinya kupikir ini mungkin karena film dibuat dengan dan dari sudut pandang laki-laki, sutradaranya adalah Ook Budiyono. Menurut IMDB, ini adalah film pertama Budiyono. Tapi ternyata penulis ceritanya seorang perempuan, jadi agak aneh juga kenapa pendalaman masalah kehamilan dan aborsi dalam film ini terasa kurang dan sangat tidak personal. Dari arahannya sendiri, film cukup berusaha meskipun sangat standar – seperti menggunakan twist, dan bahkan cenderung menggunakan banyak shot-shot panjang. Seperti tokoh berkeliling kamar, ataupun berjalan di lorong kantor. Walaupun shot-shot panjang tersebut tidak mengandung bobot. Jika pun ada tujuan, itu hanya untuk komedi seperti adegan berjalan di kantor yang ternyata ditutup dengan punchline tokoh berjalan menabrak kaca.

Seharusnya anak Dinar itu namanya Diner aja, karena she’s about to be the dinner of that vengeful ghost!

 
Makanya ketika penjelasan datang, semua terasa sudah terlambat. Padahal ada bagian yang menarik, yaitu ketika ada yang terbunuh di rumah Randu sehingga kini Randu dan istrinya berada dalam pengawasan polisi. Ini unik karena film menyebutkan konsekuensi yang menandakan dunia mereka masih berjalan dengan sistemnya. Namun semua itu hanya disebutkan selewat. Tidak ada waktu lagi untuk mengembangkannya. Kita tidak punya kesempatan lagi untuk terinvest sama kejadian backstory yang melandasi karakternya. Karena segala aspek penceritaannya sebelum ini, menghalangi kita masuk ke dalam cerita. Randu dan segala alasannya, pada akhirnya tak berkembang dan hanya terlihat sebagai bajingan yang pantas untuk mati. Kita bahkan enggak mendukung istrinya, melainkan justru hantunya. Rasa bahaya dari ibu hamil yang diganggu hantu lantas sirna.
Dalam film tentang janin yang menakut-nakuti manusia, seharusnya film langsung saja karena asumsi akan otomatis mengarah ke soal aborsi. Film harusnya lebih menggali ke persoalan mengapa Randu memilih Dinar. Konfrontasi Randu dengan efek praktek aborsi yang ia pilih seharusnya lebih dibahas, karena film punya tokoh pendukung yang berkaitan langsung dengan peristiwa ini. Salah satu penanda naskah film ini sangat lemah adalah banyak tokoh yang enggak berhasil dikenai peran atau fungsi yang meyakinkan. Tokoh Bu Sukma dan suster itu praktisnya sama saja gak ngapa-ngapain karena mereka hanya device. Dan ada satu tokoh lagi yang ujug-ujug dijadikan hero padahal dia enggak melakukan apa-apa sebelumnya. Malah ada adegan tokoh ini nangis, dan kita diharuskan bersedih bersamanya – yang gagal total karena hingga momen penghabisan itu kita hanya tau satu hal tentang dirinya
 
 
Dengan elemen horor yang prematur dan sebaliknya daging cerita yang terlalu lambat muncul, film ini sudah seperti buah suatu perkawinan yang tidak diinginkan dari naskah yang dangkal dan pengarahan yang clueless.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for JANIN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Seberapa besar menurut kalian peran seorang pria dalam kehamilan/aborsi seharusnya?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

JOJO RABBIT Review

When you know love then that is the time you forget hate”
 

 
Setiap film perang sebenarnya adalah film-film anti-perang yang menyamar. Buktinya ya kayak Jojo Rabbit ini. Kisah dalam film ini diadaptasi dari novel serius karangan Christine Leunens yang berjudul Caging Skies. Membahas tentang prejudis dan diskriminasi Yahudi oleh Nazi Jerman, sebagai pembuka mata bahwa perang yang mereka lakukan selama itu sesungguhnya sebuah kehilangan besar dari kemanusiaan yang satu. Oleh Taika Waititi pesannya tersebut disamarkan lebih dalam lagi. Jojo Rabbit dihadirkan dengan nada komedi, gagasannya difokuskan lagi olehnya menjadi sebuah pesan anti-kebencian. Yang membuat film ini menjadi lebih relevan lagi dengan keadaan dunia sekarang; dunia tempat di mana kebencian digunakan sebagai propaganda dan api untuk menakuti-nakuti dan mengontrol kepentingan politik beberapa pihak.
Tantangan pertama cerita ini adalah bagaimana cara membuat tokoh utamanya yang seorang kadet nazi yang udah benar-benar terpatri untuk membenci dan menghabisi setiap yahudi yang ia lihat menjadi simpatik. Sebagai film, tentu saja ini akan menjadi journey sangat menarik; perjalanan seorang yang penuh kebencian menjadi menyadari hal-hal indah yang membuat dia mengubah pandangannya. Dan menjadi berkali lipat menarik karena tokoh dalam Jojo Rabbit adalah anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun. Waititi sudah berpengalaman menangani cerita dalem yang bertokoh anak-anak (tonton juga Hunt for the Wilderpeople yang keluar 2018) sehingga ia mengerti menampilan ‘penuh kebencian’ ini dengan cara dan takarannya sendiri.

bukankah kita semua adalah anak kecil yang polos di hadapan doktrin-doktrin kebencian?

 
 
Jojo Rabbit dibuka dengan set up Jojo si calon tentara Nazi yang dilatih di kamp pelatihan. Pelatihan di kamp yang kita bayangkan bakal intens dan penuh disiplin dan jenderal galak ternyata tampil lucu. Waititi menekankan posisi dan sudut pandang anak kecil untuk menggambarkan dan mengomentari doktrin kebencian yang menjadi api perang ini dengan sarkas. Informasi yang diberikan film persis seperti kita mengingatkan kepada anak-anak, simpel. Pisau itu berbahaya. Granat apalagi. Semuanya dihampar lewat pengadeganan yang lucu, lewat tokoh-tokoh yang ‘ajaib’. Namun dunia Jojo adalah dunia yang mengharuskan perang. Jojo hidup dengan pemahaman bahwa semua hal ironi (berbahaya namun sia-sia), semua peperangan dan kebencian terhadap yahudi adalah hal yang patriotis.
Opening film ini ‘meledek’ salam Nazi dengan menampilkannya diiringi lagu I Wanna Hold You Hand-nya The Beatles yang dibahasa-jermankan. Ada adegan petinggi-tinggi Nazi yang saling menyapa “Heil, Hitler!” setiap kali bertemu dilakukan Waititi dengan adegan satu menit dan salam itu terdengar lebih dari dua puluh kali. Tokoh Nazi dalam film ini gak ada yang sadar yang mereka lakukan itu tak lebih dari kebencian dan perbuatan kosong. Mereka bahkan gak ngeh kalo dunia mereka vibrant dan begitu berwarna, kota itu seperti bukan tempat yang kita bayangkan jika mengimajinasikan kebencian. Salah satu elemen penting yang dipunya film ini adalah percakapan antara Jojo dengan Hitler yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Aku membaca banyak kritikus ataupun penonton luar yang gak suka dengan portayal Hitler dalam film ini. Mereka mengatakan menjadikannya parodi, seperti tokoh kartun, adalah langkah tidak-sensitif oleh film; mengecilkan dosa dan perbuatan laknat Hitler itu sendiri. Dan hal tersebut tidak lucu. Well, mengkartunkan Hitler bukan pertama kali terjadi di sini. Charlie Chaplin sudah lebih dahulu mempermalukan sang diktator di tahun 1940 lewat film The Great Dictator. Lagipula, yang dilakukan oleh Waititi bukan sekadar menghumorkan. Karena ketika kita teliti, Hitler yang di film ini bukan Hitler ‘asli’. Melainkan Hitler yang ada di kepala Jojo.
Tokoh ini penting karena dia adalah perwujudan dari doktrin yang bersarang di dalam kepala Jojo – yang sama sekali belum tau dunia dan pilihan lain di luar mindset swastika yang dipaksakan kepadanya. Bagi Jojo, Hitler asli adalah tokoh idola, pemimpin yang harus dihormati, ditakuti. Yang tak boleh dilawan kehendaknya. Relasi antara Jojo dengan Hitler imajinasi tersebut bukan menunjukkan bahwa si Jojo gila, ngomong sendirian. Melainkan untuk menunjukkan anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, — eh salah, itu lirik lagu, maksudku anak kecil juga – ralat lagi; AJA! – bisa berpikir, bisa bergumul dengan pikirannya, mempertimbangkan rasa. Ia tidak menutup pintu debat. Ia, tanpa ia sadari, berani mempertanyakan sifat-sifat bentukan doktrin yang bersarang di benaknya.

Musuh terburuk kemanusiaan yang sesungguhnya adalah doktrin yang didasarkan pada kebencian. Doktrin yang membuat kita menutup mulut, mata, telinga. Menjauhkan kita dari argumen karena menyangka doktrin tersebut tidak bisa diperdebatkan. Padahal dunia tidak pernah sesatu dimensi itu. 

 
Film di balik quirkiness-nya menunjukkan kepada kita bahwa doktrin kebencian sudah meraga ke pribadi Jojo, namun belum ke jiwanya. Jojo masih punya harapan. Malah, semua orang sesungguhnya masih punya harapan. Jojo payah dalam latihan perang, dia ngebom dirinya sendiri. Jojo gak tega membunuh kelinci, sehingga giliran dia yang diejek kelinci – makanya judul film ini Jojo Rabbit. Simbolisme bermain di sini; kelinci adalah hewan yang berani, cerdas, kuat, dan panjang akal. Jojo sesungguhnya benar seperti kelinci. Hanya saja, semua sifat itu belum terbentuk karena masih ada dilema pada moralnya. Dilema yang terbentuk oleh doktrin Nazi yang penuh kebencian tadi.
Enter Elsa. Bukan Ratu Salju dari Arendelle. Melainkan gadis Yahudi dari balik tembok di atap rumah Jojo. Awalnya tentu saja Jojo jauh dari Elsa, takut malah. Elsa (Thomasin McKenzie mencuri perhatian dengan begitu wonderful) juga enggak punya keinginan untuk berakrab-akrab. Mereka musuh, Nazi dan Yahudi. Jojo menyalurkan semua kebenciannya dengan menulis buku tentang Yahudi, hasil observasinya alias imajinasinya atas apa yang diceritakan Elsa – hanya supaya Jojo tetap takut dan tidak mengadukannya kepada tentara. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Jojo hanya mempraktekkan kebencian tanpa actually merasakan kebencian itu. As the story goes, dia merasakan sesuatu dan perlahan kebencian-buta itu memudar. Film menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita perbuat akan kalah sama apa yang kita rasakan di dalam hati. Inilah kunci dari semua kebencian tersebut. Hati yang dipupuk oleh cinta (bagi Jojo itu berarti dari ibunya dan perasaan genuine yang tumbuh dari interaksinya dengan Elsa) jauh lebih bermakna daripada benak yang ditempa oleh kebencian. Perasaan ini bukan hanya tumbuh pada Jojo. Film dengan nekat memperlihatkan satu tindakan pahlawan dari seorang panglima Nazi yang diperankan oleh Sam Rockwell.

Besar kemungkinan film ini bakal dihujat karena ingin menggambarkan Nazi sebagai sosok simpatik. Namun justru di sinilah poin yang ingin diutarakan oleh film. Bahwa nun jauh di hati kita semua sama. Bukan hanya yahudi yang harus dilihat manusia, bukan sebagai monster bertanduk. Tentara Nazi juga. Pandangan mereka terhalang oleh doktrin kebencian, dan begitu juga kita. Padahal seharusnya kita semuanya cukup dengan merasakan rasa. Tidak ada gunanya saling menebar kebencian. Lebih baik tumbuhkan cinta dan benci itu akan hilang dengan sendirinya.

 

karena ini film dengan anak-anak, maka: “Make friends, not war!”

 
 
Soal feel itulah yang dihamparkan dengan kuat. Meskipun filmnya bernada satir, tapi kita akan merasakan banyak hal sekaligus ketika menonton film ini. Kita bisa meraksakan bangganya Jojo sebagai Nazi. Malunya dia ketika dianggap pengecut. Marahnya dia ketika dia enggak mengerti apa yang ia banggakan sebagai Nazi. Takutnya dia ketika berada di tengah-tengah peperangan beneran. Uwiiih, kerasa benar bagi Jojo perang itu jauh seperti latihannya, jauh seperti yang ia bayangkan – dan ia gak siap. Ia menolak. Adegan perangnya terlihat mengerikan deh pokoknya. Waititi juara di sini menyatukan berbagai tone cerita, membawa kita mengarungi masing-masingnya dengan mulus. Ketika Jojo rindu dengan hangatnya cinta sang ibu, kita juga akan terhenyak.
Wajar dan pantes banget makanya jika si Roman Griffin Davis mendapatkan penghargaan di debutnya sebagai aktor cilik ini. Setiap emosi berhasil ia sampaikan lewat ekspresinya yang juga sama luwesnya. Davis mengimbangi penampilan Scarlett Johansson yang berperan sebagai ibunya. Kita akan melihat sisi lain dari Johansson karena di sini dia memainkan peran yang sedikit berbeda dari yang biasa ia tangani. Masih sok galak, dan pinter sih, tapi there are lot more to it. Ada satu adegan monolog darinya yang keren karena butuh  banyak range emosi dan ekspresi. Hubungan Jojo dengan ibunya jelas adalah yang paling penting, bahkan mungkin inti dari journey Jojo. Film memperlakukan hubungan ini juga dengan unik. Memanfaatkan sepatu sebagai simbol adegan. Gestur sesimpel mengingatkan tali sepatu dijadikan bentuk cinta yang luar biasa. Di luar iti, aku gak mau bilang banyak, tapi kujamin; it’s beautiful. Kalo menurut kalian enggak indah dan menyengat di hati, boleh jitak pala Hitler.
 
 
 
Karikatur komedi itu tidak lagi terlihat sedangkal yang kita bayangkan, di menjelang akhir babak kedua. Film ini punya niat yang begitu, menyebarkan semangat anti-kebencian, dan bermaksud memekarkan bunga-bunga cinta di hati kita. Dan semua ini dilakukan oleh film dengan melewati begitu banyak emosi. Horor dan humor bisa jadi datang bergantian, namun tak sekalipun kita merasakan film terbata menceritakannya. Waititi mengambil resiko dan upaya yang besar dalam membentuk ulang cerita adaptasi ini. Alhasil, semua yang mestinya jadi aneh malah tampak begitu indah. Satir itu punya makna yang mengena. Semua itu karena film ini berhasil menyentuh hati kita.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for JOJO RABBIT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa doktrin kebencian bisa begitu tertanam pada diri manusia? Apakah membenci sesuatu memang lebih mudah daripada mencinta?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.