BIKE BOYZ Review

“Never underrate a street boy”
 

 
“Sama teman aja wajib tolong menolong. Apalagi sama saudara, iya gak?” Ditatapnya satu persatu wajah teman gengnya dan lanjut berkata “Kita kan semua bersaudara” Cuplikan dialog film Bike Boyz tersebut mengajak kita untuk melihat solidaritas yg begiti kuat di antara anak-anak geng Vespa. Sikap yang patut dicontoh. Bukan karena mental geng-gengannya, melainkan kesetiakawanan untuk saling membantu.
Starvision mengendarai kepopuleran Preman Pensiun (2019) yang, berkat solidaritas penggemar serial televisinya, sukses memperoleh satu juta lebih penonton. Menggaet sutradara yang sama – Aris Nugraha – dengan teknik editing yang sama, dengan tema yang sama, bahkan dengan tempat yang masih sama yakni di Bandung. Namun Starvision dengan Bike Boyz tidak lantas meniru. Banyak dari penonton yang mungkin bakal menganggap dua film ini sama saja, tapi sesungguhnya ada upgrade yang dilakukan oleh Starvision. Bike Boyz digarap dengan perhatian lebih kepada naskah. Plot cerita kali ini lebih berstruktur. Menjadikan ceritanya berdiri sendiri dan lebih asik untuk diikuti.
Bike Boyz mejeng sebagai komedi yang tak muluk-muluk. Ceritanya sederhana. Dekat dengan kehidupan di pinggir jalan. Terutama dengan pinggir jalan kota Bandung yang terkenal dengan geng motornya. Bandung dalam film ini digambarkan cukup gangster. Selain geng motor, juga ada kelompok perampok sepeda, bahkan komplotan teroris. Saking banyaknya kasus di jalanan, polisi jadi suka lupa membereskan. Belum selesai satu, sudah ada bentrokan lain. Oleh film, awalnya ini dijadikan celetukan buat kinerja polisi di dunia nyata, untuk kemudian sentilan itu membelok kepada kita. Bahwa tidak harus menunggu polisi; kita bisa membantu polisi. Paling tidak dengan saling menjaga dan menolong di lingkaran pertemanan. ‘Pembela kebenaran’ dalam cerita ini adalah geng vespa bernama Bike Boyz. Dengan vespa berwarna-warni bak seragam Power Rangers, anggota Bike Boyz adalah anak baik-baik yang di sela-sela kerjaan nongkrong dan kenalan sama cewek, mereka melakukan sesuatu yang nyata ketika ada ‘gangguan’ yang mengancam anggota komunitas mereka.

baek baek dek ama bike boy

 
Tokoh utama dalam Bike Boyz benar-benar melakukan tindakan, Agus dituntut untuk beraksi sepanjang waktu. Dia bermasalah dengan pencuri sepeda. Dia berusaha membantu teman ceweknya yang datang ke Bandung guna mencari suami yang sudah lama tak pulang. Sembari berusaha mencari orang yang membawa lari vespanya. Agus menyetir cerita sehingga banyaknya kejadian dalam dunia yang kita lihat itu bermuara kepada dirinya, serta geng Bike Boys. Kita dibuat tertarik untuk mengetahui bagaimana semua kejadian sampai kepada Agus.

Dalam realitas urban kontemporer, budaya-jalanan cenderung dipandang negatif. Mental geng-gengan yang seringkali berbau anarkis, budaya-jalanan bahkan punya aturan sendiri. Pengadilan jalanan inilah yang kemudian diangkat ke dalam cahaya yang lebih positif (dalam nada yang jauh lebih ringan) oleh Bike Boyz, tanpa mengubah banyak esensinya. Film menunjukkan bahwa terkadang tindak anak-anak geng diperlukan, dan mereka tidak selamanya selalu negatif. Tindakan mereka yang tampak di luar kendali sebenarnya merupakan tuntutan penyesuaian yang terus menerus terhadap keadaan ekonomi, pekerjaan, hukum, dan sebagainya. 

 
Pesona penceritaan film ini terletak kepada gaya khas Aris Nugraha. Ada dua ‘jurus pamungkas’ Nugraha untuk memancing tawa. Pertama lewat dialog komedi repetisi yang tepat guna dan tidak digunakan berlebihan. Dan jika pengulangan “Dedi di Cimindi, Heru di Cibiru” belum cukup untuk membuatmu tertawa, Aris punya cara kedua, yang tak pelak jurunya yang paling spesial. Yakni penggunaan smash cut visual yang dibarengi dengan match cut dialog-dialog. Maksudnya adalah film pada dasarnya memperlihatkan dua atau tiga adegan, misalnya percakapan, sekaligus dalam satu waktu yang sama. Kita mengikuti tiga percakapan tersebut bergantian secara kontinu. Dari percakapan Agus dengan Lilis, ke percakapan dua teman Agus di kafe, ke percakapan dua orang pencuri sepeda. Penyatuan itu tentu saja kadang tidak nyambung – yang bertanya siapa, yang menjawab malah percakapan orang yang lain – tapi justru di situlah ketepatan komedi film.
Namun karena sebenarnya yang ditampilkan itu seringkali banyak narasi sekaligus, durasi film yang hanya 95 menit terasa jauh lebih panjang. Menontonnya kita akan merasa lelah menjelang akhir. Terlebih karena sekuen romance yang masuk cukup terlambat. Film memang terasa seperti ngeloyor ke tempat yang bukan fokusnya ketika membahas masalah cinta terpendam. Candaannya masih tetap lucu, kejadian masih tetap menarik, hanya menyaksikannya yang terasa capek. Beberapa pencarian yang berulang, adegan-adegan aksi yang panjang, seharusnya bisa dipangkas sedikit supaya cerita bisa hadir lebih padat lagi.
Dengan segala kemiripannya dengan Preman Pensiun, bukan berarti tidak ada resiko yang diambil oleh Starvision. Bike Boyz menggunakan pemain-pemain yang semuanya tergolong aktor yang baru pertama kali main film. Pentolan Preman Pensiun, Epy Kusnandar, didaulat sebagai pelatih akting mereka. Dan memang hasilnya tidak mengecewakan. Aep Bancet yang menjadi Agus, kadang perawakannya membuat dia tampak seperti Epy, bermain cukup meyakinkan. Para pemain baru ini – dibantu dengan ketepatan editing – mampu menyesuaikan ritme dan timing komedi sehingga adegan-adegan yang diniatkan untuk lucu memang tampak lucu. Dan ketika tiba giliran untuk adegan-adegan yang lebih bersifat drama, tidak ada yang tertawa. Pemilihan pemain pada film ini bahkan lebih risky daripada pada Preman Pensiun yang setidaknya wajah pemain-pemainnya sudah dikenal lewat serial televisi. Jejeran pemain Bike Boyz tidak punya headstart seperti Preman Pensiun. Bahkan tidak juga ada cameo. Langka ada film yang berani melakukan casting seperti ini.

heh jangan belagu, motor lu lebih murah daripada sepeda!

 
Berusaha keep up dengan waktu, dan dunia pergaulan anak muda – dunia yang dijadikan target pasarnya, Bike Boyz hadir kekinian. Bahkan mungkin sedikit terlalu kekinian untuk kebaikannya sendiri. Istilah-istilah seperti share loc, grup WA, video live terkadang terasa sengaja disebutkan alih-alih tampil natural. Dan pada akhirnya turut menyesakkn narasi yang memang basically tumpang tindih. Film seharusnya mengapproach ini dengan lebih natural lagi. Menginkorporasikan elemen-elemen penunjuk waktu dengan lebih mulus masuk ke dalam cerita – atau membuatnya mempunyai pengaruh langsung terhadap cerita. Bike Boyz bisa menjadi lebih berbobot jika mereka membahas motivasi menjadi geng vespa atau semacamnya – lebih menyorot kehidupan pribadi tokoh.
 
Menyenangkan menonton film yang tampil tanpa pretensius dan yang bukan terlalu ambisius seperti Bike Boyz ini. Ia hanya menangkap satu fenomena, pada satu panggung lokal, dan bersenang-senang dengannya. Bike Boyz memang bukan film yang sempurna. Namun ia adalah sajian ringan tak-berbahaya yang bisa dipilih untuk menghabiskan waktu bersama teman satu gengmu tercinta.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIKE BOYZ

THE FAREWELL Review

“Sometimes you have to find the good in goodbye”
 

 
Bagaimana menyampaikan kepada orang yang kita sayangi bahwa kata dokter umur mereka hanya tinggal beberapa minggu lagi? Mengajak mereka bicara serius; terlalu menyedihkan. Membawa mereka liburan, bersenang-senang dahulu baru kemudian dikasih tahu; tetap saja menyedihkan. Cara terbaik memberitahunya – menurut film The Farewell yang ceritanya berdasarkan kisah nyata keluarga sang sutradara, Lulu Wang – adalah dengan… eng ing eng… tidak memberitahu sama sekali!
Billi (penampilan dalem Awkwafina jadi salah satu alasan kenapa film ini begitu indah dan menyentuh) juga protes begitu keluarga besarnya menyiapkan rencana yang menurutnya sangat ‘jahat’ buat Nai Nai alias neneknya. Billi memang seperti mendengar dua kabar buruk secara berturut. Pertama dia terhenyak mengetahui neneknya mengidap kanker paru-paru yang cukup parah sehingga divonis tutup usia dalam tiga bulan. Dan kedua, bahwa keluarga besar sepakat untuk bukannya memberitahu, tapi malah sekongkol berpura-pura ada pesta nikahan sebagai alasan pulang untuk bertemu dengan Nai Nai terakhir kalinya. Billi gak diajak, karena dia terlalu emosional dan dianggap tak mengerti cara-pikir orang Asia. Tapi Billi nekat pulang juga. Dia sayang neneknya. Dia sayang keluarga. Dia sayang negera asalnya. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal yang benar.

“Nek, mau aku spoiler-in sesuatu gak?”

 
Jika ini kuliah, maka sepertinya kita melanjutkan kembali kelas mengenai ‘perlunya kebohongan’ yang dibahas pada ulasan Lampor: Keranda Terbang (2019). Billi yang jadi tokoh utama The Farewell sedikit lebih kompleks daripada Netta di Lampor. Tidak ada hantu dalam The Farewell yang menjadi jarak antara kebohongan dan manusianya, jadi jika dilihat dalam nada yang serius film ini jauh lebih ‘nyeremin’ karena para tokoh dalam film ini harus berhadapan langsung dengan dilema moral kebohongan yang ia lihat dan ikuti. Bohong untuk melindungi orang yang disayang – bohong yang diyakini membuat hal menjadi tidak ribet dan less-painful – dalam The Farewell juga dikaitkan dengan budaya dan cara-berpikir bangsa Asia, khususnya Cina. Gagasan ini membuat film tampil sarat nilai budaya dan terasa sangat personal bagi pembuat dan para pemainnya. Namun tidak sekalipun cerita terasa tertutup. Malahan konflik emosional – tensi drama- yang hadir terasa begitu dekat dan akrab. Kejadian di film ini tidak lain hanya membuka mata terhadap perspektif kemanusiaan.
Perbedaan pandang antara budaya barat yang lebih individualis dengan budaya timur yang family-oriented dieksplorasi dengan seadil-adilnya. Membuat masing-masing dalam film ini tampak luar biasa kompleks. Billi yang tak-percaya bagaimana mungkin membohongi Nai Nai dibilang lebih baik, ternyata sendirinya menyimpan kebohongan perihal status studi kepada keluarga lantaran ia merasa tak ingin merepotkan. Ibu dan ayah dan keluarga lain yang berjuang keras mengadakan pesta pernikahan palsu pun tak seketika tampil ‘kejam’. Kita diberikan kesempatan untuk melihat hati mereka enggak dingin-dingin amat, dan diberi waktu untuk memahami alasan kenapa mereka pikir berbohong seperti demikian berdampak lebih baik untuk keluarga. Apalagi buat kita penonton Indonesia, persoalan keluarga Billi mungkin tidak asing karena di sini kita juga diajarkan untuk memilih yang baik-untuk-semua dibanding memilih yang benar. Bahkan Nai Nai sendiri tak tampil sebagai sosok yang harus dikasihani. Pada satu titik disebutkan, dulu Nai Nai melakukan hal yang sama kakek saat kakek divonis berpenyakit yang membuat umurnya tak lama lagi. Tapi tak semua emosi dalam film ini hadir lewat pengungkapan. The Farewell yang tokohnya memendam dan merefleksikan perasaan terdalam mereka dalam cara yang berbeda-beda ini lebih banyak bermain lewat pandangan mata dan gestur-gestur kecil. Inilah bahasa universal yang dipakai oleh film yang berbicara kepada kita semua.
Selagi Billi mempertimbangkan yang sebaiknya ia lakukan, kita yang nonton juga jadi terombang-ambing. Awalnya kita pikir setuju dengan protesnya Billi. Kemudian film membuka sudut pandang salah seorang keluarganya, dan kita perlahan menganggukkan kepala. Seiring berjalannya cerita, kita melihat beragam sudut, mengerti alasan masing-masing tokoh, kita juga tertarik masuk ke dalam dilema Billi. Mana hal benar yang harus dilakukan ketika semua aspek tampak sama-sama beralasan. Keterbukaan-pikiran adalah hal yang menjadi tujuan dari cerita ini, dan film benar-benar berhasil mencapai hal tersebut.
Film berjalan dengan elegan. Dia tidak jatuh ke dalam ranah cerita dramatis yang menye-menye. Juga tidak terpuruk menjadi komedi receh. Wang merajut elemen drama dan elemen komedi dengan tidak berlebihan. Melalui hubungan antara Billi dengan Nai Nai yang menjadi jantung cerita, film membuat kita merasa bersedih dengan situasi yang dihadapi, dan di saat bersamaan membuatnya tampak ringan dengan candaan dari pengamatan terhadap keadaan tersebut. Film menghamparkan sekuen panjang tokoh-tokoh yang duduk ngobrol di meja makan. Dari percakapan kangen-kangenan keluarga besar hingga perdebatan mengenai ‘maju’nya hidup di Amerika. Dan itu semua tidak pernah terasa membosankan. Percakapannya membuat kita merasa menjadi begitu kaya. Naskah selalu menemukan cara untuk menjadikan setiap momen sebagai sesuatu yang berharga dan menghibur. Beberapa hal yang terlihat lucu di awal, dapat menjadi mengharukan begitu muncul lagi di belakang, dan sebaliknya.
 enggak setiap hari kita bisa melihat kejujuran juga dianggap sebagai hal egois

 
Dalam tingkatan personal, jelas, film ini mampu membuat setiap penontonnya teringat nenek di kampung. Dan kemudian rentetan pertanyaan yang mengisi struktur naskah pun mengisi benak kita. Akankah kita melakukan hal yang sama ketika kejadian Nai Nai dan Billi terjadi kepada kita. Apakah hubungan kita cukup dekat dengan nenek sehingga kita merasa sedih ketika mungkin kita diharuskan untuk berbohong juga. Apakah kita sanggup mengucapkan selamat tinggal.
That’s the ultimate question! Yang jadi akar Billi enggak mau ikutan berbohong sebenarnya adalah dia ingin mengucapkan selamat tinggal, kali ini. Karena dulu dia tidak sempat mengucapkan, dia pindah dari sisi neneknya, dari Cina, saat masih balita. Dia belum mengerti. Dan sekarang, saat dia sudah dewasa, kesempatan mengucapkan selamat tinggal dengan benar itu dia dapatkan. Namun dia dilarang oleh ‘tradisi’ keluarga, sehingga ini menjadi konflik baginya. The Farewell merupakan perjalanan Billi berjuang bukan saja menguatkan diri untuk berpisah, melainkan juga berjuang menemukan cara terbaik untuk mengucapkan selamat tinggal, karena setiap orang ternyata mempunyai cara masing-masing. Dan seperti yang diperlihatkan pada akhir cerita, bagi Billi kata selamat tinggal itu bukan saja untuk neneknya, melainkan juga kepada negara asal – masa lalu kehidupannya.

Semua hal pantas untuk mendapatkan selamat tinggal yang layak. Karena setiap hal punya memori. Setiap hal punya salah. Dua kata ‘selamat tinggal’ punya kekuatan yang luar biasa. Bisa menguguhkan kenangan tadi. Bisa menyembuhkan kesalahan tadi. Makanya mengucapkan dua kata tersebut luar biasa susahnya.

 
 
Setiap menit film ini terasa begitu pesonal dan penting buat pembuatnya. Gagasan yang diangkat betul-betul membuat kita berpikir dan merasa. Pendekatan komedi dan drama yang seimbang menjadikan film tampil berbobot. Dan enak untuk ditonton meskipun banyak terdapat adegan percakapan panjang yang kadang bisa muncul sekenanya, tapi tidak pernah merusak tempo dan penceritaan. Karena setiap aspek di sini punya karakter tersendiri. Semua yang dibahas menambah kepada karakter-karakter tersebut. Sehingga cerita ini menjadi natural, dan that’s the best way to approach this kind of story. Ketika kita mengucapkan selamat tinggal kepada film ini, rasanya pun menggelora. Sedih. Lega. Cinta. Haru. Rindu.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE FAREWELL

RATU ILMU HITAM Review

“False accusations always lead to broken relationships and lost faith in humanity”
 

 

Ratu Ilmu Hitam seperti menyambung tema horor kontemporer yang diangkat Joko Anwar, yakni horor rakyat tertindas. Horor politik. Yakni seputar cerita yang selalu tentang sekelompok orang yang salah bergerak karena ‘tertipu’ oleh pihak yang dianggap pemimpin mereka. Kita melihat elemen ini pada Perempuan Tanah Jahanam (2019). Dan bahkan pada Gundala (2019). Persoalan ini bisa menjadi pembahasan yang menarik, apakah ini adalah kritikan keras Joko Anwar terhadap negara, atau bagaimana. Yang jelas, horor atau thriller dari Joko Anwar masih tetap layak dinanti. Walaupun kualitas penulisannya masih perlu banyak perbaikan. 

 
Ario Bayu dan Hannah Al-Rashid mengajak tiga anak mereka – Zara JKT48, Ari Irham, dan Muzakki Ramdhan, berkunjung ke panti asuhan tempat Ario Bayu dulu dibesarkan. Dalam rangka membesuk kepala panti yang sakit; bapak yang sudah menjadi figur ayah yang berjasa membesarkan Ario Bayu sehingga ‘hidup’ seperti sekarang ini. Di sana mereka akan bertemu dengan beberapa orang. Di antaranya Tanta Ginting dan Miller Khan (dengan pasangan mereka masing-masing, Imelda Therinne dan Salvita Decorte, respectively) yang dulu sama-sama dibesarkan di panti, juga Ade Firman Hakim dan Sheila Dara Aisha serta sepasang anak panti yang gak ikutan pergi berdarmawisata bersama anak-anak yang lain. Dalam perjalanan ke sana, mobil Ario Bayu menabrak sesuatu, dan karenanya pria ini pergi kembali ke lokasi saat malam tiba untuk memeriksa lebih lanjut apa yang tadi ia tabrak. Saat itulah dia menemukan sesuatu di balik ilalang yang menjadi awal bagi teror semalam suntuk yang bakal mereka rasakan di panti. Yang berkaitan dengan peristiwa bunuh diri dan kemungkinan pembunuhan pada masa lalu panti tersebut.

plat mobilnya BLS yang mungkin singkatan dari ‘Bullshit’

 
Dengan jejeran pemain yang bukan main-main, film ini bisa saja mengambil keuntungan dari mereka dengan menjadi cerita whodunit. Tapi ternyata, film memanfaatkan mereka lebih seperti tokoh-tokoh pada It. Masing-masing mereka akan merasai siksaan yang bersumber dari rasa takut mereka terhadap beragam hal khusus. Bahkan menjelang akhir kita akan menjumpai mereka berada di balik pintu di dalam ruang neraka-pribadi masing-masing. Pada level horornya inilah Ratu Ilmu Hitam bekerja dengan maksimal. Baik pada elemen hantu, maupun pada elemen body-horror, kengerian dalam film ini didesain dengan seksama dan tidak menyia-nyiakan antisipasi yang telah kita bangun lewat penggunaan elemen kaget-kagetan.
Tak akan kita jumpai jumpscare pada film ini. Ya, memang sering juga kamera menampilkan pemandangan mengerikan lumayan mendadak, tetapi tidak pernah diikuti dengan suara menggelegar pencabut jantung. Film dengan berani menampilkan kengerian begitu saja, memberi kita waktu untuk memandang lekat-lekat dan kemudian bergidik sendiri tanpa dikomandoi oleh musik. Aku senang dua-puluh menit masuk ke cerita, tapi belum menemukan adegan ngagetin. Adegan nonton video yang ternyata adalah siaran live juga berhasil lolos dari jebakan jumpscare, benar-benar bernyali pembuat film ini. Untuk elemen body-horror, Ratu Ilmu Hitam memanfaatkan efek praktikal yang digabung dengan efek komputer untuk menghasilkan adegan-adegan yang terlihat brutal dan mengerikan. Favoritku adalah bola mata yang meloncat keluar dari soketnya karena terdesak oleh sejumlah lipan; jijik, geli, NGERI! Resiko kreatif keren yang dilakukan oleh film ini adalah menampilkan imaji-imaji yang berpotensi mentrigger fobia sebagai ujung tombak horornya. Shot-shot seperti punggung seorang tokoh yang mendadak bolong-bolong kayak bika ambon membuat adegan horor di film ini menjadi lebih relatable karena berhubungan langsung dengan ketakutan-pribadi penonton. Namun sekaligus juga bisa menjadi turn-off karena too much buat pengidap fobia.
Sutradara Kimo Stamboel paham mengeksplorasi ‘keindahan’ body-horror. Bayangkan ketika kalian merasa ada sesuatu yang salah, tapi bukan di luar melainkan di dalam diri kalian sendiri. Sesuatu yang seharusnya tidak ada di dalam sana. Kalian ingin mengeluarkannya, tapi tidak bisa. Kalian ingin memperbaikinya, tapi tidak sanggup karena menyakitkan rasanya. Ketika tubuh kalian berbuat sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Kemudian mengubahmu menjadi sesuatu yang tidak lagi kalian kenal. Ratu Ilmu Hitam boleh jadi bersumber dari hal supernatural, tapi kengerian yang ditampilkan adalah kengerian semacam demikian. Ketakutan ketika tubuh kita bukan lagi siapa diri kita. Ada dua karakter dalam film ini yang merefleksikan body-horor, yakni tokoh yang gak mau gendut sehingga ogah makan, bahkan buah sekalipun, dan tokoh yang datang dengan masker dan sarung tangan karena dia enggak tahan kotor. Stamboel yang biasa bergulat di ranah gore dan violence mengerti bahwa gampang membuat penonton merasa jijik atau terdisturb. Tantangannya justru adalah membuat kekerasan dan adegan grotesque tersebut bermakna.

Implikasi menyeramkan dari cerita film ini adalah seseorang rela berubah menjadi hal yang selama ini dituduhkan kepadanya, demi mendapatkan keadilan. Tuduhan, baik secara langsung maupun tidak, memiliki dampak mengerikan karena yang dikobarkan adalah semangat kebencian

 
Sayangnya, naskah berada satu langkah di belakang pemahaman ini. Bercontoh pada skrip The Fly (1986) sebagai salah satu body-horror terbaik, cerita genre ini mestinya berfokus kepada membumikan karakter, kemudian merajut hubungan yang berkaitan dengan efek body-horor itu kepada karakter, dan baru terakhir menghilangkan kemanusiaan sepenuhnya. Ratu Ilmu Hitam tidak punya tokoh yang dibangun kuat sehingga bisa kita pedulikan. Karakterisasi dalam film ini hanya sebatas Zara sebagai remaja yang flirtatious, adeknya anak yang banyak nanya, ada si Tato berbadan gede yang ternyata penakut, dan Ari Irham bahkan gak ngapa-ngapain. Hannah yang kemudian mendadak tampil seolah tokoh utama saja (naskah film ini tak punya pendirian tokoh utamanya Ario Bayu atau Hannah) tidak punya karakter yang berarti, hanya ibu yang simpatik. Tokoh-tokoh pendukung, seperti tokohnya Sheila Dara dan dua yang sudah dicontohkan di atas, jauh lebih menarik karena masalah mereka cukup bisa kita relasikan kepada diri kita di dunia nyata. Bahkan si ratu ilmu hitam itu sebaiknya ditonjolkan sedari awal karena dialah yang punya motivasi dan perjalanan yang menarik.
Seharusnya film jor-joran ‘menyiksa’ pemain dengan menggunakan hewan asli untuk beberapa adegan, tapi ketidakkonsistenan efek masih bisa dimaafkan mengingat konteks cerita mereka berasal dari ilmu sihir. Dengan efek yang mengagumkan (kecuali efek api), sebenarnya horor dan elemen dramatis film terletak pada interaksi karakter, terutama ketika ada tokoh yang pasangannya ‘berubah bentuk’. Makanya momen ketika Miller Khan berteriak bingung atau ketika Hannah berteriak-teriak menyaksikan apa yang terjadi kepada anaknya di menjelang akhir terasa sangat mengerikan. Kesubtilan dari horor ingin menolong tapi tidak berdaya. Seharusnya film mengeksplorasi ini lebih banyak. Namun naskah sepertinya lebih tertarik untuk membahas horor dari luar.

di film ini kita akan melihat reaksi berlebihan seorang cowok terhadap tikus

 
Jika tidak sedang sibuk menjelaskan, dan mengobrol ringan, dialog film ini akan serta merta berkomentar soal apa saja yang bahkan tidak ditanamkan benar-benar untuk mendukung konteks cerita. Seperti persoalan kaya-miskin yang muncul dituduhkan begitu saja. Salah satu yang konsisten tampil dalam cerita adalah persoalan meninggalkan satu pihak, atau menjadi pihak yang ditinggalkan. Ada pembahasan yang cukup emosional datang dari tokoh Ario Bayu dan teman-teman yang mendapat orangtua adopsi yang dibandingkan dengan tokoh lain yang terus berada di panti karena dia tidak bisa pergi. Tapi kemudian di sini jualah logika naskah yang terlalu sibuk memikirkan kejadian heboh menunjukkan kekonyolan. Like, kenapa Ario Bayu berat untuk meninggalkan yang sekelompok anak yang sudah mati di jalan, tapi enggak mikir dua kali ketika meninggalkan tiga anaknya sendirian di dalam rumah tempat kuburan ratu ilmu hitam. Kelompok mereka juga tidak diberikan alasan yang kuat untuk enggak bisa meninggalkan rumah tersebut bareng-bareng, atau tetap bareng-bareng for that matter. Berpencar dan terpisah para tokoh mereka tak pernah tampak natural, melainkan hanya device dalam naskah, sebagai tanda belum ditulis maksimal.
 
 
Film yang menyadap brand salah satu horor cult klasik tanah air ini, sama seperti cerita-cerita horor mainstream Joko Anwar yang biasa; a no-plot with bunch of flashbacks and full of false explanations, tied in with sporadic smart sounded small-talks. Beneran deh, perubahan karakter di sini tidak terasa didapatkan, melainkan hanya karena mereka tahu suatu kenyataan. Tidak ada pembelajaran dan pengembangan. Tokoh jahat yang punya rencana needlessly ribet, cerita tampak terlalu berusaha tampil pintar. Tapi dengan arahan Kimo Stamboel, cerita ini toh sukses juga terwujud menjadi body-horror modern yang cukup seru untuk diikuti. Seperti ilmu dan hitam, kombinasi Anwar dan Stamboel menghasilkan sesuatu yang mengerikan, dan memang itu bukan selalu hal yang bagus.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for RATU ILMU HITAM

DOCTOR SLEEP Review

“It does not disappear if it is not validated”
 

 
Keberanian Mike Flanagan sebagai sutradara memang patut diacungi jempol. Pertama, dengan gagah beraninya dia mengambil proyek horor dari WWE Studio dan menolak membuat film tersebut menjadi bergaya found footage, dua tahun berikutnya dia menerima proyek sekuel dari horor papan permainan yang tidak dipedulikan orang; Dan nyatanya Oculus (2013) dan  Ouija: Origin of Evil (2015)  keduanya sukses menjadi horor yang benar-benar mengerikan sekaligus creepy. Flanagan lalu mengepalai serial Haunting of Hill House, ia nge-direct semua episodenya, menunjukkan keterampilan menyambung cerita dan editing horor yang luar biasa. Sutradara ini juga nekad mengadaptasi Gerald’s Game – novel Stephen King yang paling psikologikal dan penuh metafora sehingga paling susah untuk disadur ke bahasa gambar- menjadi film, untuk hasil yang menakjubkan.
Dan di tahun ini, Flanagan menerima kerjaan yang mungkin cuma dia yang berani ambil. Memfilmkan novel yang merupakan sekuel dari salah satu horor terseram Stephen King, bukan hanya itu, filmnya kali ini juga adalah sekuel dari film horor terikonik (kalo gak mau dibilang terhebat) garapan Stanley Kubrick. The Shining (1980) yang Flanagan bikin sekuelnya ini sungguh tantangan yang berat karena King sendiri tak suka dengan hasil adaptasi Kubrick yang membuat banyak perubahan. Jadi Flanagan otomatis berada pada posisi harus memuaskan dua pihak. Doctor Sleep harus up to par dengan rasa King, sekaligus juga harus mengimbangi standar sinematik Kubrick.
Hasilnya, kalian tanya?

Well, Flanagan jelas bukan Kubrick. Doctor Sleep tidak akan bisa selegendaris The Shining; paling tidak, tidak dalam waktu dekat ini, mengingat kedua film hadir pada dua era horor yang berbeda. Namun Flanagan tetap bisa memperlakukan karya King ini dengan hormat, dan memasukkan sendiri ciri khas dan kekuatannya sebagai sutradara horor paling crafty segenerasinya. 

Heeere’s Kenobi!

 
Akhir cerita The Shining membawa trauma mendalam kepada Dan Torrance. Bukan saja ia menyaksikan ayahnya perlahan menjadi gila, dia juga harus melanjutkan hidup dihantui oleh spirit-spirit dari Hotel The Overlook yang terpikat oleh ‘shine’ yang ia pancarkan. Doctor Sleep mengeksplorasi lebih jauh tentang kekuatan psychic yang dipunya oleh Torrance. Yang merupakan berkah sekaligus sumber masalah baginya. Torrance dewasa belajar menggunakan ‘shine’ untuk mengunci spirit-spirit jahat, dan kemudian ‘belajar’ menggunakan alkohol untuk meredam trauma dan kekuatannya tersebut. Tapi dunia terbuka lebar di film ini; kita serta merta tahu bukan Torrance seorang yang punya ‘shine’. Beberapa, seperti geng wanita bernama Rose the Hat, malah menggunakan kekuatan mereka untuk memburu yang lain; memakan ‘shine’ dari anak-anak supaya awet muda dan tetap kuat. Torrance pun harus kembali, membuka kekuatannya, untuk menolong seorang anak perempuan sahabat telepatinya yang bernama Abra, tatkala anak yang punya ‘shine’ begitu kuat ini terancam bahaya karena diincar oleh geng Rose yang punya kekuatan tak kalah mengerikan.
Membaca sinopsisnya sekilas, film ini memang tampak lebih mirip film superhero, atau seperti petualangan tokoh-tokoh berkekuatan istimewa. Terlebih dari judulnya yang seolah seperti tentang dokter yang kekuatannya adalah tidur haha.. Tapi nyatanya film ini masih tergolong cerita horor. And here’s the thing about horror movies; film tergolong genre horor itu bukan semata karena ada hantu atau makhluk gaibnya – meskipun mereka bisa dipakai sebagai penanda yang mudah, melainkan karena implikasi menyeramkan yang hadir merayap di balik ceritanya. Dan pada faktor inilah Doctor Sleep berhasil menjadi tontonan yang membuat kita bergidik.
Tentu, film ini bukan seperti horor kebanyakan yang biasa kita saksikan di bioskop hari-hari ini. Tidak ada wajah mengerikan yang muncul ngagetin di layar. Tidak ada twist membingungkan yang berhubungan dengan ritual-ritual, tidak ada kontrak perjanjian dengan setan. Dua puluh hingga tiga puluh menit awal, aku bahkan bisa paham kalo ada yang mengeluh bosan saat menontonnya. Selain beberapa penampakan, tidak benar-benar ada ‘kejadian’ pada babak awal cerita, karena film ingin memusatkan kita kepada setiap karakter penting yang ia punya. Kita akan melihat Dan Torrance dalam momen-momen kecil hidupnya yang berpindah-pindah. Yang diselang-selingi dengan development tokoh penjahat sehingga tensi dramatis itu perlahan terbangun. Kita mulai menduga-duga bagaimana kedua pihak ini bertemu, kemudian pihak ketiga yakni si Abra mulai diperkenalkan dan lantas cerita menjadi mengerikan karena sekarang ekuasinya bukan hanya tokoh utama dan tokoh jahat, melainkan ada tambahan anak kecil. Maka seketika film terasa menjadi begitu berbahaya. Ini cerita Stephen King banget; Rose dan teman-temannya juga menganggap ketakutan dan rasa sakit sebagai bumbu penyedap ‘uap’ anak yang mereka mangsa – sama seperti alasan Pennywise doyan menakuti mangsanya terlebih dahulu

‘Shine’ anak kecil dimangsa oleh orang dewasa supaya awet muda boleh jadi menyimbolkan keinosenan anak yang perlahan terkikis seiring usia, karena semakin banyak hal yang dilalui. Arguably, sebagai anak kecil, kita cenderung melihat lebih banyak – lebih terbuka daripada saat dewasa. Keterbukaan inilah yang menjadi salah satu penyembuh trauma; keterbukaan untuk menghadapinya. Gagasan menarik film ini adalah menilik apakah kita berurusan dengan trauma lebih baik saat kanak-kanak ketimbang saat dewasa. Eksplorasi bahasan ini terus digali dengan menampilkan pekerjaan Torrance yang mengharuskan dia belajar dari trauma bahwa hantu itu nyata supaya memberikan ketenangan bagi pasien sakaratul maut yang ia jaga di rumah sakit.

 
Ada adegan yang melibatkan salah satu aktor cilik muda berbakat, Jacob Tremblay, yang cukup disturbing buatku, dan aku sudah menonton banyak horor dan hal-hal mengerikan seumur-umur. Tahun ini kita mendapat lumayan sering adegan kekerasan terhadap anak, adegan di Doctor Sleep ini bisa dengan mudah menjadi juara paling sadisnya, dan itu bahkan adegannya tidak benar-benar diperlihatkan tepatnya apa yang actually terjadi. Horor pada Doctor Sleep bekerja seperti demikian. Kamera tidak pernah memperlihatkan secara langsung. Banyak yang tidak dimunculkan di layar, kita hanya disuguhkan sebagian, film membiarkan imajinasi kita terbang liar dengan gambar-gambar seperti sosok terbaring di lantai dengan pisau, atau ketika Torrance kecil masuk ke dalam kamar mandi dengan hantu di dalam bak, dan kemudian menutup pintunya.
Flanagan mencapai level kengerian yang unik berkat cara bercerita seperti demikian. Secara teknis, ia menggunakan trik yang sama dengan yang ia pakai pada Haunting of Hill House. Yakni menggunakan dominan warna biru dan shot-shot close up untuk memperkuat kesan seram. Ketika tiba saatnya menggunakan efek dan editing, Flanagan tak ragu untuk membuat kita puyeng dan takjub bersamaan. Ada beberapa adegan terbang bersama pikiran (atau jiwa?) seorang tokoh dengan pergerakan yang sungguh tak biasa, tapi tetap mengalir dengan indah.
Secara penampilan akting, film ini sesolid penokohan karakternya. Pemilihan Ewan McGregor sebagai Dan Torrance dewasa tampak sangat pas karena meyakinkan sebagai sosok individual yang memendam trauma dan kekuatan bermasalah yang berusaha menjadi lebih baik. Dia tidak terjebak untuk bertampang muram sepanjang waktu, meskipun naskah memang tidak memberinya banyak ruang untuk variasi. Tokoh paling flesh-out dalam film ini justru adalah si penjahat Rose the Hat. Dimainkan fantastis oleh Rebecca Ferguson, tokoh ini adalah poster untuk slogan ‘kecantikan yang mematikan’. Meskipun dia jahat, kita dibuat mengerti kenapa ia dan gengnya butuh untuk melakukan apa yang mereka lakukan, terlebih karena kita juga ditanamkan betul-betul seperti apa komunitas mereka bekerja. Tapi kalo mau dikasih piala mana akting yang paling keren di film ini, maka piala itu akan jatuh ke tangan Kyliegh Curran yang berperan sebagai Abra. Aktor cilik baru ini berhasil mengemban semua emosi yang diberikan kepada tokohnya. Abra adalah gadis kecil yang konfiden dengan kemampuan ‘shine’nya, tapi ia juga sangat ketakutan karena diincar. Dia juga memainkan banyak range karakter sebab ada adegan di mana dia menjadi medium bagi tokoh lain. Naskah tidak membuat Abra sekadar orang yang perlu diselamatkan, tokoh ini turut memberikan banyak andil dalam strategi perlawanan.

“shining bright like a diamond”

 
Namun ada kalanya Flanagan ‘terpaksa’ kembali mengikuti visi Kubrick, sebagai jembatan ke film terdahulu. Ada adegan yang dimirip-miripin sama adegan The Shining, ada banyak adegan throwback kepada film Kubrick tersebut, bahkan potongan klip dan tokoh lama ‘dimunculkan’ kembali, sehingga dengan gampang jatoh sebagai adegan fans-service. Orang akan mudah mengatakan film ini tidak akan bekerja sebaik itu jika penonton belum nonton The Shining. Mungkin hal tersebut memang benar, namun aku tidak setuju bahwa film ini mengandalkan The Shining. Doctor Sleep adalah sekuel, jadi wajar bila ada hal-hal di film pertama yang dimasukkan. Dan adegan-adegan tersebut justru bagian Flanagan seperti tidak melakukan apa-apa. Film justru bekerja terbaik, dalam levelnya sendiri, saat Flanagan bermain dengan trik-triknya sendiri. Seperti pada babak ketiga; saat seolah Flanagan merekonstruksi ulang kejadian The Shining, membetulkannya hingga sesuai dengan novel. Kalian tahu dong apa yang tak boleh dilewatkan dari film ini: pertemuan Dan Torrance dewasa dengan ayahnya!
 
 
The Shining termasuk dalam 100 film favoritku sepanjang waktu. I mean, kalo dikasih skor angka, film itu termasuk yang kukasih nilai 9 dari 10 bintang emas. Yang kita dapatkan pada film sekuelnya ini memang tidak sebagus The Shining. Namun punya gaya tersendiri yang membuatnya tetap mencuat dan berhasil menopang legacy film tersebut. Ini adalah cerita pertempuran baik melawan jahat dengan kekuatan supernatural dan horor merayap di baliknya. Ia membangun karakternya perlahan, dan boleh jadi terasa lambat dan membosankan, tapi begitu kita sudah terinvest di tengah, film akan menjadi jauh lebih menarik. Dengan implikasi mengerikan di balik ceritanya, kita adalah orang yang mati-imajinasi jika benar-benar sampai tertidur menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DOCTOR SLEEP.

 
 

LAMPOR: KERANDA TERBANG Review

“People lie to protect others”
 

 
Lampor dalam mitos daerah Jawa Tengah dipercaya sebagai penanda datangnya wabah penyakit. Namun dalam film garapan Guntur Soeharjanto ini, Lampor yang membunuhi dan menculik orang-orang ‘pendosa’ pada akhirnya akan mengajarkan kepada tokoh utamanya – dan lantas kepada kita – satu dua hal tentang menutup dan mengalihkan mata; tentang kebohongan yang kadang harus kita lakukan demi diri sendiri dan orang-orang tersayang.
Ada dua prinsip yang ditetapkan dalam film ini sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh para tokoh supaya tidak diambil oleh Lampor; “Pantang melihat” dan “Jangan terlihat”. Bersembunyi di dalam gelap agaknya adalah cara untuk selamat dari hantu hitam bermata merah bak malaikat pencabut nyawa yang melayang bersama keranda yang diusung oleh pasukan tak-terlihat Nyi Roro Kidul. Pokoknya, malam hari, begitu suara sorakan mereka mulai terdengar dari kejauhan entah-di mana, segera tutup pintu dan jendela rumah, matikan lampu, berjongkoklah di dalam kegelapan sampai suara gaduh mereka tak terdengar lagi.

Black Lampor is all about the white lie

 
Kegelapan dalam film ini menjalankan dua fungsi yang bertolak belakang. Ketika diwakili oleh sosok hantu Lampor yang hitam, melayang dengan juntaian jubah layaknya kelelawar yang menenggak stereoid – para penggemar Harry Potter mungkin seketika akan teringat dengan Dementor – maka kegelapan itu adalah bahaya yang teramat nyata. Malam hari adalah momok bagi warga desa karena di waktu gelap itulah Lampor turun dan melayang rendah di pemukiman mereka. Ironisnya, justru di dalam gelap jualah para warga bersembunyi. Dalam satu adegan diperlihatkan seorang warga menjadi korban Lampor karena tiang obor terjatuh tepat di depan wajahnya yang sedang meringkuk. Api obor membuatnya kaget, cahaya api membuat Lampor mengetahui keberadaannya, dan binasalah ia. Kegelapan juga bertindak sebagai juru selamat, sedangkan cahaya hanyalah penerangan buat si Lampor mengetahu posisi dirimu bersembunyi.
Dualitas fungsi gelap yang bertolak belakang ini bukanlah kelemahan atau ketidakkonsistenan narasi. Melainkan sebuah simbol yang paralel dengan gagasan yang diangkat oleh cerita yang naskahnya ditulis oleh Alim Sudio.

Bagaimana kita selamat dari kegelapan? dengan bersembunyi dalam gelap, berbaur. Bagaimana kita selamat dari kesalahan? dengan berbohong supaya semuanya aman.

 
Pertanyaan penting yang diangkat oleh drama keluarga berkedok horor mitos supranatural ini adalah “Bisakah kita berbohong untuk melindungi orang lain?” Gagasan tersebut diangkat lewat permasalahan tokoh utama kita yang diperankan oleh Adinia Wirasti. Netta, nama tokohnya, punya masa kecil yang mengerikan di Temanggung. Oleh sang ibu, Netta dibawa pergi ke Medan, jauh dari tragedi gaib di desa. Hingga dewasa, Netta tak pernah menceritakan masa lalunya kepada suami – apalagi kepada dua anaknya yang masih kecil. Kepada suaminya, kematian adik oleh Netta ditutupi sebagai penyakit, dan perihal ayahnya disederhanakan sebagai selingkuh saja. Konflik muncul ketika kondisi rumah tangga mengharuskan Netta kembali ke kampungnya. Keluarga yang selama ini ia lindungi, terpaksa ia bawa serta ke tempat berbahaya yang membenci dirinya. Segala yang mengancam Netta di Temanggung sekarang turut mengincar suami dan anak-anaknya.
Yang dipelajari Netta dalam kisahnya ini adalah bahwa berbohong demi kebaikan pada akhirnya bukanlah solusi yang permanen. Sama seperti warga desa yang hanya meringkuk dalam gelap menunggu Lampor lewat; mereka tidak akan pernah membereskan masalah hanya dengan berbohong. Ketenangan yang hadir hanya bersifat sementara, karena ketakutan akan terus datang menghantui. Tidaklah bijak untuk terus bersembunyi dan menganggap semuanya akan baik saja. Kebenaran harus dikonfrontasi, meskipun menyeramkan. Netta malah melihat orang-orang di kampung, mereka yang dahulu ia dan ibunya tinggalkan, tidak sejelek yang ia takutkan ketika cahaya kebenaran menyinari mereka. ‘Cahaya’ yang masuk berkat keberanian Netta untuk menyeruak kegelapan.
Dengan lapisan pada cerita, serta keberanian naskah untuk bercerita dengan runut – tanpa mengandalkan pada flashback dan pengecohan – tetap saja kita sama aja dengan berbohong jika mengatakan Lampor: Keranda Terbang adalah film yang bagus. Film ini kekurangan satu hal krusial. Arahan. Soeharjanto biasa menangani cerita drama; permasalahan keluarga Netta yang menjadi tubuh utama cerita tidak menjadi soal baginya. Cerita Netta mencuat dan memberi bobot sehingga film tidak terasa hampa. Namun, menggodoknya dengan horor; di sinilah arahan tampak tak-punya clue untuk harus bagaimana. Lampor: Keranda Terbang adalah proyek horor pertama bagi Soeharjanto. Dan fakta tersebut benar-benar tercermin dari film ini.
Soeharjanto tampaknya mengira horor itu harus selalu kelam dan murung dan sedih dan depressing. Tidak ada satu adegan pun yang memperlihatkan Netta menikmati hidup, bahkan meski ia berpura-pura senang sekalipun. Adinia Wirasti berakting suram sepanjang film. Entah itu ketika dia mendengar permasalahan suami, atau ketika mendapat sambutan dingin dari penduduk desa, atau ketika anaknya hilang, atau ketika ia mengetahui rahasia di balik sikap almarhum ayahnya – film biasanya punya turun-naik emosi yang dicerminkan oleh perasaan tokoh utama. Netta dalam Lampor: Keranda Terbang hanya punya ‘turun’, tak ada fase ‘naik’ pada tokoh ini. Adinia adalah aktor yang cukup mumpuni, tapi berkat arahan cerita, hanya bebetapa adegan emosional yang ia jalankan tanpa terlihat bosan dan seadanya aja. Ada adegan ketika suaminya terbangun histeris dari mimpi buruk, tapi alih-alih membuatnya sebagai adegan comfort yang menunjukkan cinta dan semangat, film membuat Netta pada dasarnya berkata “kamu percaya kan sekarang” dengan nada tanpa semangat yang hanya memperbesar energi negatif terus-terusan. Reaksi Netta ketika melihat anaknya ada kemungkinan ditangkap orang juga terlalu sendu. Dia malah fokus ke pengungkapan selingkuh yang membuatnya semakin terpuruk karena merasa dibohongi.

tbh Adinia tak tampak begitu peduli, tidak seperti Dion Wiyoko yang tampak terlalu bersemangat berusaha keras membuat tokohnya dipedulikan

 
Untuk melandaskan kengerian, film memanfaatkan setiap kesempatan. Momen satu keluarga di dalam mobil yang seharusnya dipakai untuk pengembangan karakter, menunjukkan interaksi normal mereka menjelang hal-hal buruk yang akan datang, malah dijadikan sebagai momen eksposisi yang menjelaskan apa itu Lampor; kepada anak kecil. Orang dewasa macam apa yang menjadikan itu sebagai topik perbincangan untuk anak kecil – yang bakal tinggal lama di kampungnya. Beberapa saat sebelum itu si anak dilarang untuk menyimak perbincangan tentang perselingkuhan, namun kemudian mereka oke-oke saja saat si anak diajak ngobrol soal hal gaib. Film menggunakan segala cara yang diketahui supaya tampak seperti cerita horor. Anak yang bisa bicara dengan hantu, cek. Hantu yang memberi petunjuk, cek. Orang kesurupan, cek. Anak diculik, cek.

Manusia berbohong karena mereka percaya konsekuensi kejujuran bisa menjadi lebih buruk. Ini menciptakan dilema, antara untuk melindungi tapi juga berpotensi melukai perasaan orang yang sedang dilindungi.

 
Dan ketika sudah saatnya memancing ketakutakn, film menggunakan trik paling usang di buku; jumpscare. Ada begitu banyak adegan yang bikin jantung copot, entah itu berasal dari hantu beneran atau cuma dari kedatangan orang yang mengagetkan satu tokoh. Oh iya, ada juga satu yang berasal dari satu kesenian lokal seperti reog yang mendekat ke layar untuk mengagetkan kita langsung wajah-ke-wajah yang tak pernah ada signifikansi adegannya terhadap keseluruhan cerita. Kemunculan Lampor selalu disertai dengan iringan suara sorakan gaib yang menyeramkan, yang entah bagaimana oleh film menjadi terdengar lucu. Kamera menangkap secara luas, dan kemudian kita melihat ada anak muncul berlari dari kiri layar dan tak seberapa jauh diikuti oleh keranda yang mengejar sambil bersorak-sorak; ini kayak adegan dalam film-film kartun. Dan jika itu belum cukup untuk membuat kalian tertawa, tunggu saja hingga menjelang akhir, kita akan melihat keranda hantu yang bersorak-sorak itu ditabrak jatuh oleh mobil.
 
Film ini bercerita dengan runut. Mengangkat urban lokal yang menambah kedekatan penonton dengan ceritanya. Punya drama keluarga yang manusiawi sebagai denyut jantungnya. Namun jika mau jujur, film tampak seperti berusaha keras untuk menjadi sebuah horor. Sehingga seringkali malah jatuhnya lucu, mengabaikan logika, dan membuat kita mengamini perkataan salah satu tokohnya; “Suka-sukanya Lampor aja!”
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LAMPOR: KERANDA TERBANG

LOVE FOR SALE 2 Review

“Happiness is when you realize your children have turned out to be good people”
 

 
Love Inc, yang diperkenalkan dalam Love for Sale (2018) sebagai perusahaan yang menyewakan jasa pacar bohongan untuk para jomblo sekalian, sudah seharusnya dipertahankan sebagai misteri. And so does Arini. Kemisteriusan Arini dan Love Inc membuat film garapan Andibachtiar Yusuf menarik. Diperbincangkan banyak penonton. Beberapa mengatakan Arini ‘jahat’, bahwa filmnya serupa film horor. Della Dartyan langsung melejit, dia bisa jadi poster girl untuk manic pixie yang membuat penasaran para cowok. Padahal kenyataannya bukan begitu; jatuh cinta pada karyawan yang menjajakan status pacar seperti Arini sama aja dengan jika kita baperan ketika disenyumin oleh mbak-mbak manis penjual karcis bioskop. But that’s okay, justru bagus, karena di situlah pesona yang berhasil dihadirkan oleh film tersebut – menjadikannya unik. Setahun kemudian, kita dapat sekuel dari cerita Arini dan Love Inc. Dan sukur Alhamdulillah Yusuf tidak gegabah membongkar tabir yang bakal menghilangkan keunikan tadi. Karena Love for Sale 2 enggak banyak berupa lanjutan kisah dari yang pertama, melainkan lebih banyak memperlihatkan ‘studi kasus’ yang baru terkait keberadaan Love Inc dan kiprah ‘karir’ Arini sendiri.
Love for Sale 2 menawarkan lingkungan yang lebih luas. Stake-nya juga menjadi lebih besar, karena bukan hanya satu orang yang bakal ‘jatuh cinta’ dibuat oleh Arini kali ini. Melainkan melibatkan satu keluarga. Tepatnya; keluarga asal Padang Ibu Rosmaida (Ratna Riantiarno yang asal Manado kewalahan disuruh berbahasa Minang) yang punya tiga anak lelaki. Salah satunya adalah Ican (beruntung tokohnya ini diceritakan besar di Jakarta sehingga Adipati Dolken tak perlu turut kewalahan berbahasa Minang), yang belum juga menikah dengan usia yang menginjak tiga-puluh-dua. Maka Ibu Ros terus merongrong Ican untuk segera mencari pasangan. Tapi bukan pasangan yang tak ia suka – seperti istri anak pertamanya, dan bukan pasangan yang karena zina – seperti istri anak ketiganya. Inilah yang membuat Love for Sale 2 menjadi cerita yang bahkan lebih unik daripada film pertamanya. Ini bukan lagi sekadar tentang orang yang kepengen punya pacar sehingga menyewa cewek idaman. Ican log in ke Love Inc dan memesan jasa Arini bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan – bertentangan dengan norma dan budaya daerah asalnya – demi sang ibu; supaya ibunya bisa bahagia melihat dirinya punya pasangan. Jadi bisa dibayangkan betapa terenyuhnya mereka nanti jika kontrak Arini selesai; itu pun jika Arini sanggup untuk meninggalkan segitu banyak orang yang merasakan cinta dan balik mencintainya.

film berkali-kali menyebut “Padang banget” seolah itu menunjukkan karakter yang enggak rasis

 
Film bekerja terbaik ketika cerita fokus kepada Ibu Ros. Ada sense of impending doom yang merayap di balik cerita seiring semakin akrab dan sayangnya Ros kepada Arini. Dan kupikir efeknya lebih kuat terasa karena kita sudah tahu cara kerja Love Inc. Jadi kita mengantisipasi, bersiap-siap dengan apa yang bisa dilakukan oleh Arini yakni pergi begitu saja saat kontrak habis. Pergi tanpa jejak sama sekali. Ini seperti perlakuan pada tokoh Ratih di Perempuan Tanah Jahanam (2019); supaya surprise karakter ini berhasil, maka film mengandalkan kepada keakraban kita dengan Asmara Abigail yang biasanya memerankan karakter jahat yang gila. Sedari materi-materi promo yang dikeluarkan dia sudah dibangun seolah karakter tersebut, untuk membangun antisipasi kita sehingga ‘twist’ tokoh ini menjadi lebih kerasa (no pun intended). Love for Sale 2 juga menggunakan cara serupa dengan pembangunan tokoh Arini. Ceritanya butuh kita untuk tahu Arini dan Love Inc sebagai pegangan, yang menuntun kita kepada Ibu Ros karena di film ini beliaulah yang mendapat pengaruh lebih banyak, dia yang bakalan berubah lebih signifikan di akhir cerita.
Tapi akan mudah sekali bagi kita untuk terdistract dari inti utama cerita, terutama jika kita belum menonton film pertamanya. Kita akan gampang terjebak menganggap ini sebagai cerita Ican mencari cinta, padahal bukan. Karena film sendiri yang justru mengaburkan kita dari inti tersebut. Dengan membuatnya sebagai sudut pandang Ican pada berbagai kesempatan. Film bergantung banyak kepada reputasi Arini sehingga film ini sendiri teralihkan dan merasa mereka masih perlu memasukkan romansa ke dalam cerita yang tadinya sudah mereka ubah menjadi ke persoalan keluarga; persoalan bentrokan keinginan orangtua dan keinginan anak-anaknya. Cinta di sini seharusnya lebih ke cinta manusia kepada orang-orang yang dianggap keluarga.

Orangtua harus belajar untuk memahami apa yang membuat anaknya bahagia. Alih-alih ‘memaksa’ untuk mengikuti kemauannya. Anak-anak tidak jahat ketika mereka berusaha bahagia demi diri mereka sendiri. Orangtua hanya akan menyandera anak-anaknya jika menggantungkan kebahagian mereka kepada anak-anak. Membuat anak-anak mereka menjadi bukan dirinya sendiri. Dan yang paling parah adalah, orangtua jadi tidak akan bisa melihat siapa anak mereka yang sebenarnya, seperti Ros dalam film ini yang awalnya menganggap anak-anaknya bukan orang yang baik – mereka selalu salah di matanya.

 
Seperti film pertama, kisah klien Arini berawal dari sebuah pesta pernikahan. Namun Love for Sale 2 ini banyak bereksperimen dengan kamera. Shot-shotnya tampak lebih dinamis ketimbang film pertama. Pada adegan pernikahan misalnya. Film merekam dengan continuous shot yang membuat kita merasa berada di tengah-tengah pesta, mengikuti Ican – ditempel oleh ibu – yang berkelit ke sana kemari dari kerabat yang menanyakan status relationshipnya. Ini merupakan bagian dari distraksi; film lebih banyak bermain ketika merekam Ican ketimbang merekam ibunya. Padahal jika melihat dari sudut pandang Ican, cerita memiliki banyak kelemahan. For instance; stake cerita jadi nyaris tidak ada. Karena seperti pada tokoh utama Pariban: Idola Tanah Jawa (alias film terburuk Andibachtiar Yusuf yang kutonton sejauh ini) Ican tidak ditulis punya alasan yang kuat, ia tidak tampak pengen punya pacar. Ataupun tidak tampak kesulitan mencari perempuan, saat dia mau. Ican hanya sedikit pemilih karena gaya hidup yang more-Barat dan less-Sumatra. Tidak seperti Richard pada film pertama yang benar-benar ditulis dengan banyak layer, yang dibangun karakternya; begitu penting bagi cerita perihal Richard yang tak pernah meninggalkan rumah. Ican tidak punya semua itu. Maka aneh jadinya ketika film ngotot untuk menonjolkan sudut pandang Ican, sementara cerita akan jauah lebih menarik jika menetapkan fokus kepada ibu. Ican menghubungi Love Inc seharusnya tidak dilihat sebagai plot poin pertama, melainkan sebagai inciting incident yang membuka kesempatan Ibu untuk berubah dengan kedatangan Arini.

coba ibu, apa bahasa minangnya “ditinggal lagi sayang-sayangnya?”

 
Sudut pandang bukan hanya melebar kepada Ican, melainkan juga kepada Arini. Cewek ini bukan antagonis. Dia profesional. Lihatlah dia seperti Mary Poppins untuk orang dewasa. Setelah meluruskan hidup orang dan membuat mereka bahagia, Arini pergi. Tapi kali ini film tidak sampai hati. Film sepertinya tidak mau lagi ada yang menganggap Arini ‘jahat’. Maka kini kita dibuat melihat Arini bimbang dan mulai baper sendiri sama keluarga Ibu Ros. Ia diberi waktu untuk menjelaskan sedikit tentang siapa dirinya. Ini seharusnya adalah cerita yang lain, untuk waktu yang lain. Arini pantas mendapat satu film tersendiri untuk itu semua. Tidak perlu dihadirkan nyelip di cerita orang. Menghadirkan ‘pembelaan’ untuk Arini di sini hanya mengganggu keutuhan cerita Ibu Ros yang tentang menemukan kebahagiaan dengan tidak memaksakan dirinya kepada anak-anak. It drags the story out. Membuat film menjadi semakin tidak fokus. Adegan pembuka dan penutup film ini seharusnya bisa dibuang sebab tidak menyumbang banyak selain sebagai teaser.
 
 
Adik Ican selalu memakai kaos band metal, tetapi lagu yang ia dendangkan dengan gitar malah lagu patah hati jadul dari D’Lloyd yang ngepop. Ini adalah salah satu selera humor film. Cerita memang menyenangkan berkat interaksi tokoh-tokoh yang kadang tampak ‘ajaib’ sebagai penyeimbang drama masalah dalam keluarga. Seringkali juga hadir lewat dialek yang memang dibuat beragam. Namun film yang lebih menitikberatkan pada visual ini membuatku kerap bingung juga dengan suara dialog yang gak sinkron dengan mulut tokoh yang terlihat sangat jelas dan sering terjadi itu apakah bagian dari selera humor pembuatnya atau bukan. Film ini toh memang senang membuat distraksi seperti demikian. Posternya aja seolah membuat Dolken sebagai tokoh utama, padahal bukan. Ini bahkan bukan total romansa seperti yang ‘dijual’ pada materi-materi promosinya. Padangnya juga gak benar-benar terasa, rendang aja absen kok di baralek. Soal cerita, film ini seharusnya bisa menjadi sekuel yang menempatkan cerita pada situasi yang baru. Dia tidak perlu kesusu untuk melanjutkan. Karena seperti yang sudah kita saksikan, film ini jadi tidak fokus karena seperti ingin menceritakan banyak sekaligus
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LOVE FOR SALE 2

THE NIGHTINGALE Review

“In tragedy, empathy still dependent of proximity”
 

 
Belum lama ini, peringatan kemerdekaan negara kita sempat tercoreng oleh peristiwa berwarna rasisme yang terjadi pada sekelompok mahasiswa asal Papua di Surabaya, yang berbuntut panjang. Aku bukannya bilang film The Nightingale menggambarkan peristiwa yang sama persis, tapi yang digambarkan oleh drama period piece yang berlokasi di Pulau Tasmania, Australia ini – yakni arogansi sosial yang berakar pada kolonisasi – kurang lebih mirip dengan yang kita temukan pada lingkungan modern. Jika pemuda Papua dihardik monyet oleh aparat, maka bangsa Aborigin dalam The Nightingale dipanggil “Boy!” Namun bukan dalam artian sebagai anak kecil, melainkan ‘boy’ yang berarti panggilan kepada binatang ternak/binatang peliharaan.
Clare, tokoh utama kita, berkulit putih – tapi ia tak bernasib lebih baik. Sedikit, karena dia adalah pendatang tawanan. Dan sebagian besar karena dia adalah wanita. Clare memang tidak dipanggil ‘Boy’, tapi bagi serdadu Inggris dia tak lebih dari sekadar burung penyanyi (nightingale adalah burung bulbul yang bersuara merdu). Clare adalah properti bagi Letnan Inggris yang membawanya ke Tasmania. Nasib Clare tak berbeda dari Billy, ‘orang hitam’ yang ia sewa untuk mencari jejak si Letnan Inggris yang menyisir hutan bersama orang-orangnya menuju ke kota, satu hari setelah menghancurkan keluarga Clare, dan membiarkan wanita itu mati.

oke sekarang aku pengen melihat Nightingale melawan Mockingjay

 
The Nightingale punya intensi seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) tapi dengan pengembangan seperti Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017). Bermula seperti sebuah cerita balas dendam perempuan, film ini lantas membuka dengan suara yang menarik. Nafsu membalas itu dapat kita rasakan perlahan sirna; segala kekerasan yang diwariskan di antara kelompok kulit putih penjajah, segala diskriminasi dan pelecehan, bahkan ketidakpedulian terhadap lingkungan, semua ‘kejahatan’ yang ingin dibetulkan oleh aksi Clare itu tampak tidak penting lagi. Bukan lantaran hal-hal tersebut perlahan membaik, ataupun karena Clare menjadi takut, melainkan sepanjang perjalanan yang ia lalui bersama Billy, ia menjadi punya sesuatu yang baru untuk dilihat – untuk dipertimbangkan. Gagasan yang ingin diangkat oleh sutradara Jennifer Kent tidak sesederhana kejahatan akan mendapat balasan. Tidak, karena kekerasan yang akan berbuntut pada kekerasan hanya akan membentuk lingkaran setan kehancuran manusia yang akan terus bergulir. Kent justru mengangkat pertanyaan ‘bagaimana jika cara lain di luar balas dendam’. Dan terutama, ‘masihkah kemanusiaan itu akan ada di dunia yang penuh dengan kekerasan’.

Sakit itu tentu masih terasa. Lukanya bahkan mungkin tidak akan pernah sembuh. Alih-alih saling membalas sehingga orang merasakan sakit yang kita derita, mungkin jawaban dari semua itu adalah mendekat untuk merasakan sakit yang orang derita. Saling berempati. Sehingga kita merasakan kesamaan dengan orang  di sekitar kita, tidak peduli warna kulit, dan agama mereka.

 
Meskipun cerita mengambil tempat pada tahun 1825, saat The Black War berkecamuk di Tasmania; menjadikan jalan-jalan di pedalaman Tasmania sangat berbahaya karena tensi yang begitu tinggi antara serdadu kolonial Inggris dengan penduduk lokal yang semakin tersingkir dan diperlakukan tidak manusiawi, The Nightingale terasa seperti berita yang kita temukan di internet tadi pagi. Segala yang kita rasakan saat menonton peristiwa naas demi peristiwa naas di film ini begitu relevan.  Menyaksikan setiap frame film ini seperti menyaksikan kejadian asli. The Nightingale baru film panjang kedua Jennifer Kent (sebelumnya adalah The Babadook yang super-seram tentang grief seorang ibu beranak satu itu), tapi sutradara yang satu ini sangat bernyali.
Film ini disajikan olehnya dengan begitu disturbing. Banyak adegan kekerasan, mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, hingga sesuatu yang keji yang dilakukan kepada anak keci, yang ditampilkan tanpa tedeng aling-aling. Supaya kita semua tahu betapa mengerikannya perilaku penjajah. Namun aspek tersebut tidak pernah dialamatkan sebagai gimmick semata. Kekerasannya tidak sebagai pengalih perhatian kita dari cerita yang hampa – ya, aku menyindirmu, wahai Perempuan Tanah Jahanam (2019) – ini tak pelak adalah salah satu film paling kompleks, paling menyakitkan untuk ditonton beberapa tahun terakhir. Bukan kekerasannya yang menarik perhatian kita. Melainkan setiap keputusan-sulit yang harus diambil oleh karakter, yang memaksa skenario untuk maju, yang membuat film semakin menarik untuk kita ikuti. Ada simbol-simbol menyejukkan yang digunakan oleh film sebagai counter dari elemen disturbing ini. Yang akan membuat kita terdistract dan berusaha memahami makna burung yang jelas-jelas dijadikan metafora, nyanyian, bahkan landscape dari belantara itu sendiri.

untung gak ada yang suka burung gagak, jadi kita selamat dari mendengar ‘entah apa yang merasukimu’

 
Mengingat betapa kerasnya film ini, kita hanya bisa membayangkan berat dan konflik moral yang harus dilewati oleh para aktornya. Tidak mungkin mereka enggak mendapat bimbingan atau konseling dari psikolog setelah memainkan beberapa adegan yang sangat brutal tersebut. Karena mereka memainkan peran dengan begitu… nyata. Tidak sedetik pun aku merasa melihat seseorang yang pura-pura jadi orang jahat atau orang teraniaya. Baykali Ganambarr yang main sebagai Billy, this is just his first feature, tapi tampak begitu natural. Kita tidak pernah melihatnya sebagai kaku dan dingin walaupun tokohnya memang diniatkan canggung dan ‘berjarak’ pada awalnya dengan tokoh utama. Peran yang cukup tricky lagi adalah sebagai antagonis – letnan Inggris – yang jahat dan nyebelin. Peran ini ditangani oleh Sam Claflin, truly like a pro. Meskipun tokohnya ini nyaris satu-dimensi tapi kita tetap mendengarkan semua gagasannya, kita pelototin semua perbuatannya, dan kita sungguh-sungguh benci padanya, seperti, kita sudah melakukan suatu hal yang tepat dengan membencinya sehingga kita justru tidak ingin dia melakukan hal yang mengkhianati ‘kejahatannya’. Claflin tidak terjebak ke dalam karakter over-the-top. Dia juga tidak tampak seperti sedang berakting. Dia memainkan adegan-adegan yang sangat ‘mengganggu’ dengan keotentikan seseorang yang harus bertindak jahat  demi menunjukkan powernya. Claflin sangat sukses memainkan tokoh antagonis yang sebegitu jahatnya kita suka untuk membencinya.
Sedangkan tokoh utama kita, Clare, diperankan oleh Aisling Franciosi yang memberikan salah satu permainan peran paling menyayat hati tahun ini. Karakternya benar-benar menempuh perjalanan yang ekstrim, secara emosional. Bayangkan grafik yang bergelombang naik dan turun, nah pada setiap titik terendah menuju ke atas dan setiap titik tertinggi menukik ke bawah; di situlah saat akting Franciosi terasa sangat fenomenal. Sehingga emosi Clare tak mencuat dibuat-buat, melainkan benar-benar bersumber dari kesakitan yang teramat kita pahami. Pretty much, setelah semua yang ia lalui di awal cerita, Clare PTSD, dan sentuhan yang diberikan oleh Franciosi benar-benar hormat kepada PTSD itu sendiri; yang tak tereksploitasi secara berlebihan.
Sayangnya, ada beberapa kali kita terlepas dari tokoh Clare. Tepatnya pada saat adegan-adegan mimpi. Inilah yang menurutku merupakan sedikit kelemahan dari The Nightingale. Aku bisa mengerti durasi dan temponya yang cukup lambat. Aku bisa paham kenapa babak ketiga seperti mengulur-ngulur waktu menuju peristiwa yang sudah kita nantikan dengan geram. Tapi penggunaan adegan mimpi dalam film ini; sebenarnya bisa dimengerti juga kepentingan adegan-adegan tersebut. Film ingin menunjukkan progres batin Clare, dari dia takut sebagai korban berubah menjadi gentar karena nun jauh di balik hatinya dia balik merasa dirinya bersalah.  Adegan film ini juga jadi ruang untuk mengembalikan sang sutradara ke habitat semula; ke ranah horor. Dalam film pertamanya, The Babadook, yang notabene film horor juga banyak menampilkan adegan mimpi. Dalam The Nightningale juga sama. Peristiwa-peristiwa yang tergambar dalam adegan mimpi tersebut semuanya mengerikan.  Banyak, katakanlah hantu, yang kadang muncul dengan wajah seram. Hanya saja yang jadi masalah adalah repetitifnya adegan-adegan mimpi itu terasa. Strukturnya selalu sama. Semuanya berakhir dengan kemunculan sosok yang paling seram, Clare yang tadi berjalan (atau berlari) terbelalak, dan kemudian dibangunkan. Adegan mimpi yang jumlahnya lumayan banyak ini jadi tak-kejutan lagi, jadi tertebak, sehingga malah seperti lebih kuat berfungsi sebagai transisi – atau bahkan; jeda iklan – ketimbang pandangan mendalam dari psikologis Clare.
 
 
 
 
Jennifer Kent membingkai kebrutalan penjajahan, menghidangkan kekerasan terhadap wanita, anak-anak, dan minoritas, tapi berhasil mengakhiri cerita tersebut dengan mengambil cara yang spesial. Ia memancing kita untuk melihat ke dalam. Tidak menjawab langsung, melainkan memberi kita jarak untuk mempertimbangkan. Ada masa ketika kita tidak sejalan dengan tokoh utamanya, yang tidak sepenuhnya kesalahan pada film. Melainkan ‘kesalahan’ kita yang telat untuk berubah, seperti tokohnya berubah. Film ini keras, susah untuk disaksikan karena kontennya yang no holds barred, namun merupakan salah satu film terpenting bagi siapapun yang ingin merasakan kemanusiaan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE NIGHTINGALE

 
 

KELAM Review

“All your kids want is you”
 

 
Mimpi tidak pernah sebatas bunga tidur di dalam film-film. Mimpi biasa digunakan sebagai alat untuk menggambarkan dilema tokoh, atau menunjukkan hasrat terdalam tokoh, atau bisa juga untuk sekadar curi-waktu menakuti dan mengecoh penonton. Kelam garapan Erwin Arnada menggunakan sekuen mimpi sebagai pembuka, kita melihat Aura Kasih mengikuti seorang anak perempuan, yang akhirnya tertabrak sebuah truk. Secara langsung kita akan bertanya, siapa anak itu, apa hubungan Aura Kasih dengan anak tersebut, siapa tokoh yang diperankan Aura Kasih. Dengan kata lain, Kelam memulai cerita dengan cukup misterius dan memancing keingintahuan kita.
Tentu saja kepentingan dan penjelasan sekuen mimpi itu akan dibeberkan menjelang akhir. Tapi setidaknya kita mengerti, bahwa ini adalah cerita yang berfokus kepada seorang wanita dengan anak kecil. Kelam, pada lapisan terdalamnya, berbicara tentang hubungan ibu dan anak. Yang berakar pada hubungan si ibu tadi dengan ibunya sendiri.

Setiap anak butuh ibunya. Bahkan jika si anak itu sendiri yang memisahkan diri dari ibunya.  Akan ada saling ketergantungan. Film ini, dengan tokoh hantunya yang longed for her mother, seolah menyugestikan bahwa apa yang terjadi kepada kita dengan anak nantinya boleh jadi merupakan cerminan dari apa yang pernah kita lakukan kepada orangtua dulunya.

 
Tokoh Aura Kasih bernama Nina. Dia dan putri kecilnya yang bernama Sasha dipanggil untuk kembali ke rumah keluarga lantaran ibu Nina mengalami stroke. Tangisan Nina bukan semata reaksi dari mendengar ibunya sakit, melainkan juga reaksi dari penyadaran bahwa dirinya sudah lama tidak pulang dan berkontak dengan sang ibu. Ada tragedi di masa lalu Nina, yang berhubungan dengan relasinya dengan ibu, yang bahkan tidak diketahui oleh adik kandung Nina sendiri. Keadaan semakin pelik ketika Sasha ikutan jatuh sakit. Setelah Sasha sakit itulah, teror hantu anak kecil yang membawa boneka kelinci mulai muncul di rumah keluarga Nina. Hantu yang membahayakan bukan saja nyawa ibu Nina, melainkan juga Sasha yang kerap dipaksanya bermain.

yang kelam di sini adalah alasan kenapa judulnya malah diganti menjadi Kelam

 
Anak kecil yang bisa melihat dan bicara dengan hantu adalah trope atau pakem yang sudah cukup usang dalam film-film horor. Kelam menggunakan trope ini sebagai salah satu faktor horor utama di dalam cerita. Sasha yang mendadak mengucapkan hal-hal mengerikan mengenai neneknya, Sasha yang ketika disuruh sarapan malah membuat sesajen, Sasha yang seringkali disebutkan berbicara sendiri. Mudah seharusnya untuk membuat kita merasakan rasa takut yang sama dengan Nina saat melihat anaknya yang polos menjadi misterius tak bisa ditebak. Hanya saja kita tidak merasakan itu. Film tampak sedikit berusaha meniupkan hembusan segar dengan dua misteri yang saling bersinggungan, namun pada akhirnya tetap gagal untuk membuat kita tertarik lebih jauh.
Terlalu banyak pembahasan yang diusung oleh Kelam yang hanya berdurasi 75 menit; Di luar kuasa naskah yang tampak begitu kesulitan merangkum semuanya. Hubungan antarkarakter kunci seperti Nina dengan ibunya ataupun Nina dengan Sasha tidak pernah tergali dengan baik. Mereka hanya sebatas eksposisi yang tak benar-benar menunjukkan karakter. Dialog film ini kedengaran lebih seperti poin-poin cerita yang dilalui ketimbang percakapan antara manusia. Kebanyakan hanya menjelaskan hal-hal yang sudah bisa kita simpulkan sendiri dari melihat adegannya di layar.
Para pemain tampak kaku dan berakting seperti dikomandoi alih-alih mengalir sebagai runtutan kejadian yang membentuk kesatuan cerita. Misalnya percakapan di kuburan antara Nina dengan orangtua anak kecil yang mendonorkan jantungnya untuk kesembuhan Sasha; hanya sebatas kalimat “saya turut berduka cita” – tidak ada comfort, tidak ada karakterisasi, tidak ada emosi murni yang ditampilkan. Adegan percakapan Nina dengan Sasha di tempat tidur saat pertama kali Nina merasakan perubahan sikap Sasha malah jatuh menggelikan karena perubahan karakternya terasa mendadak. Lantaran sebelum adegan tersebut tak pernah kita melihat mereka ngobrol layaknya ibu dan anak. Kita tidak dibuat menyelam masuk ke dalam karakter-karakter karena memang tidak ada karakter. Para tokoh tak ubahnya boneka yang dipegang oleh hantu – tak bisa bergerak dan tak punya motivasi personal.
Bicara soal si hantu dan bonekanya, berikut hal menarik yang dari film Kelam; Tokoh si hantu ditulis dengan lebih menarik daripada tokoh-tokoh manusianya. Pertama, tentu saja si hantu ini punya keuntungan dia tidak mendapat dialog-dialog hampa seperti Nina dan keluarga. Kedua, si hantu adalah yang paling banyak beraksi; aksinyalah yang sebenarnya menggerakkan narasi ala kadar yang dipunya oleh film ini. Si hantu secara tersirat diperlihatkan tidak menunggu Nina datang ke rumah itu, melainkan karena ulah dialah Nina musti kembali, karena dialah Sasha sakit, cerita pada dasarnya maju karena aksi dari tokoh ini yang dilandaskan pada satu motivasi. Meskipun demikian, film adalah sebuah perjalanan satu tokoh, dan Ninalah yang memang paling berubah dari awal hingga akhir film. Nina punya konflik dan dilema, hanya saja film tidak mengeksplorasi ini dengan cakap. Film hanya menonjolkan drama luar – siapa si hantu, kenapa bisa begini kenapa bisa begitu – tanpa menyelami hal yang paling manusiawi di dalam cerita.

Yang paling menyedihkan dari hantu di sini adalah dia menjadi begitu terattach sama boneka kelincinya, karena dia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi. Bagi anak kecil, boneka memiliki peran penting untuk menumbuhkan komunikasi dan imajinasi, tapi sungguh sesuatu yang menyedihkan jika boneka ia jadikan sebagai pengganti orang tua.

 
Jangankan suplot dan drama, memanfaatkan tokoh-tokohnya saja naskah sudah cukup kelimpungan. Tokoh-tokoh pria dalam film ini nyaris tidak kebagian tempat. Nina masih punya suami, dan beberapa kali keberadaannya dikonfirmasi, tapi shot yang beneran ada suaminya bisa dihitung dengan satu tangan. Aku tidak mengerti kenapa film tidak memasukkan saja adegan mereka sekeluarga dihantui, atau melibatkan tokoh ayah dengan lebih banyak. Masa iya film hanya mampu mengontrak aktornya untuk beberapa adegan?

mungkin menurut pembuatnya, inilah yang dimaksud dengan ‘narasi perempuan’

 
Tapi sejujurnya, film ini memang terasa seperti belum jadi seutuhnya. Antara adegan satu dengan adegan lain, emosinya terasa terputus. Kejadiannya tidak langsung berkontinu. Ada adegan adik Nina mengkhawatirkan ia melihat makanan dan minuman di meja makan berubah menjadi rambut dan darah, tapi kemudian Nina malah menjelaskan masa lalunya, dan dua tokoh ini berpelukan – tanpa ada penghubungan dengan soal makanan dan minuman tadi. Contoh satunya lagi adalah setelah adegan dihantui di kamar bersama anaknya yang bertindak berbeda dari biasanya, adegan yang kita lihat berikutnya adalah adegan Nina mandi. Seperti tidak urgen perubahan anaknya ataupun kejadian seram yang ia alami di kamar bagi Nina. Setiap adegan disambung-sambungkan seperti tanpa ada arahan dari sutradara. Editingnya antara lepas ataupun memang tidak sejalan dengan sutradara. Sekuen menjelang endingnya terasa tergopoh-gopoh, kita tidak merasa kaget, kasihan, atau malah apapun.
 
 
Tokoh-tokoh membosankan dan elemen-elemen horor yang standar jelas bukan isian yang tepat untuk sebuah cerita tentang ibu dan anaknya. Pertanyaan besar yang hadir di benakku saat menonton ini bukan lagi ‘siapa sebenarnya si hantu bagi Nina?’ melainkan ‘kenapa pembuatnya seperti tidak pada peduli terhadap film ini?’
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for KELAM

SUSI SUSANTI: LOVE ALL Review

“The battles that count aren’t the ones for gold medals.”
 

 
Ibarat pertandingan bulu tangkis, Susi Susanti: Love All dimulai dengan servis yang baik dan menghangatkan untuk kemudian meng-smash hati kita dengan momen-momen kecamuk yang menghantar kepada kebanggaan.
Film biografi biasanya mengangkat perjalanan hidup tokoh pahlawan, jadi kenapa tidak mengangkat cerita perjuangan atlet di medan pertandingan menghadapi ‘lawan’ demi tanah air. It’s about time. Indonesia lagi butuh-butuhnya cerita inspiratif yang mengusung kebanggaan tanah air di waktu yang penuh keraguan dan ketakutan seperti sekarang ini. Sebelumnya di tahun ini kita sudah dapat film 6,9 Detik tentang kisah hidup atlet panjat tebing yang dijululi Spider-Woman oleh negara luar. Sutradara Sim F melanjutkan estafet dengan menghadirkan kisah si Balerina Susi Susanti. Kejelian sang sutradara di debut film panjangnya ini adalah dia tidak hanya mempertontonkan kembali kekuatan wanita dalam sebuah kompetisi olahraga, melainkan juga menghidangkan kepada kita kekuatan wanita yang menyebut dirinya seorang Indonesia. Susi Susanti: Love All tidak menyempitkan diri sebagai biografi atlet olahraga, ia juga adalah drama kebangsaan di dalam denyut nadinya.
Kita akan diperlihatkan kehidupan remaja Susi di tahun 80an. Adegan pembuka film ini dengan sangat fantastis mengeset banyak hal penting sekaligus. Tentang latar keluarga Susi yang keturunan Cina (sekarang, disebut Tionghoa). Tentang ayah Susi yang mantan atlet bulu tangkis – yang menjadi akar kegemarannya terhadap olahraga raket ini. Tentang sifat Susi yang tidak suka kalah. Jika suka bermain bulu tangkis berarti Susi adalah wanita yang tomboi, maka film bahkan membangun sisi feminisme Susi dengan menunjukkan dia sebagai balerina; secara ‘rendah hati’ film membangun informasi kepada kita menuju split kemenangan Susi yang melegenda. Adegan pembuka itu ditutup dengan Susi yang berpakaian balerina memenangkan pertandingan bulu tangkis melawan juara; sungguh empowering!

The Badassminton Ballerina!

 
Menyaksikan lembar-lembar perjuangan Susi berlatih – dari zero menjadi hero – mengingatkan aku kepada film Fighting with My Family (2019) karena sama seperti tokoh Paige dalam film tersebut, Susi juga berasal dari keluarga pemain olahraga yang ia sukai (dalam kasus ini bulu tangkis) dan ia juga ‘melangkahi’ abangnya dalam proses menjadi atlet. Drama keluarga tidak dieksplorasi terlalu banyak di dalam Susi Susanti, tetapi formula perjalanan-dalam Susi terasa serupa. Bukan hanya dengan Fighting with My Family, melainkan juga dengan beberapa film olahraga lain. Dan ini bukanlah masalah. Tentu saja sah jika cerita mengikuti formula yang sudah terbukti bekerja efektif, dan Susi Susanti: Love All dalam kapasitasnya sebagai cerita olahraga, paham cara tampil sebagai drama olahraga yang dramatis. ia bukan sekadar mengikuti formula, ia menambahkan bumbu-bumbu manis yang membuat ceritanya unik.
Namun sebenarnya aspek paling hangat dan menarik pada film ini adalah hubungan antara Susi dengan ayahnya. Percakapan antara kedua tokoh ini patut diganjar medali emas. Film menunjukkan betapa ayahnya percaya kepada Susi dan betapa bagi Susi dukungan ayahnya begitu penting lewat dialog yang tidak menye-menye, melainkan lewat personifikasi beberapa sifat yang dimainkan dengan kontinu, dengan penambahan intensitas di setiap waktunya. Dari percakapan dengan ayahnya, Susi memahami makna filosofis ‘love all’ yang menjadi istilah skor kosong-kosong di dalam bulu tangkis. Semua itu akan sangat berarti bagi pertumbuhan karakter Susi yang tadinya merasa harus selalu memenangkan setiap pertandingan. Terlebih karena ada landasan rintangan bagi Susi. Orang hebat di sana bukan Susi seorang. Teman satu pelatihannya juga hebat-hebat. Mereka semua harus bermain baik demi mengharumkan nama bangsa, dan ini pada beberapa kesempatan menjadi beban bagi Susi. Pada awalnya Susi menganggap janji membawa medali adalah sebuah hutang, tetapi sepanjang durasi – setelah sekian banyak pertandingan dan lawan yang ia hadapi barulah akhirnya ia memahami maksud tagihan janji yang diminta ayahnya – yang semuanya kembali kepada makna ‘love all’.

Bukti kemenangan bukan hanya semata medali emas. Sesungguhnya ada yang lebih penting daripada berjuang demi mendapatkan piala ataupun penghargaan. Yakni berjuang dengan menunjukkan kebanggaan dan dedikasi. Karena yang terpenting bukanlah hal menangnya. Bukanlah soal sukses atau tidak mengalahkan musuh. Melainkan untuk siapa kita berjuang. Siapa yang berada bersama kita di akhir perjuangan – di akhir masa sulit

 
Film juga membahas hubungan antara Susi dengan Alan Budikusuma yang kita sudah tahu mereka bakal menjadi pasangan. Hubungan romansa ini sebagian besar difungsikan untuk menaikkan stake di paruh kedua (dan juga karena cerita butuh sekuens romansa) – prestasi mereka menurun. Namun tidak ada yang terasa istimewa pada bagian ini, selain mungkin fakta menarik bahwa sebelum ini Dion Wiyoko dan Laura Basuki pernah juga bermain sebagai pasangan di era kerusuhan pada Terbang: Menembus Langit (2018)

level rasisku adalah menganggap semua yang sipit pasti jago bermain bulu tangkis

 
Di bagian inilah naskah mulai kelihatan bingung menjalin dua elemen cerita. Kita sudah hampir di penghujung – ada pertandingan besar di Barcelona, dan cerita seolah membuatnya sebagai klimaks. Tapi ada yang kurang dari pertandingan tersebut. Tidak ada gunanya menunjukkan kepada kita pertandingan yang sudah kita tahu hasilnya, harus ada konflik personal yang tercermin dan diperlihatkan, lebih dari penggunaan narasi voice-over. Pertandingan bersejarah itu jadi terasa datar. Film tampaknya menyadari ini – atau mungkin kita yang baru tersadar – dan cerita pun masuk ke apa yang sepertinya adalah match point. Film butuh untuk mencetak angka emosi terakhir, dan ia menggunakan elemen cerita satu lagi yang tadi serasa sudah ditinggalkan.
Cerita perjuangan Susi Susanti dibayangi oleh situasi politik Indonesia sebelum era reformasi. Negara demokrasi yang masih trauma dengan insiden ‘PKI’, negara yang masih rawan bagi penduduk keturunan yang dianggap sebagai komunis. Warga keturunan harus punya surat untuk diakui sebagai warga Indonesia, masalahnya adalah mengurus surat tersebut ribetnya bukan main. Bahkan atlet yang berjuang membela negara, tetap susah untuk mendapat pengakuan. Film ini mengangkat masalah tersebut di dalam narasi, bahwa banyak warga Indonesia lebih memilih bersembunyi sebagai warga negara lain. Susi dan keluarga termasuk yang mendapat masalah ini. Kita melihat sikap film ini terhadap situasi tersebut ketika ada dialog yang menyebut Indonesia bukan komunis yang harus sama dengan latar adegan senam yang pesertanya mengenakan seragam. Kita juga akan melihat gagasan film ini terhadap keadaan tersebut. Film mengangkat masalah ini di awal cerita, untuk kemudian sempat absen di tengah ketika fokus pada elemen olahraga, dan barulah di akhir masalah ini diangkat kembali.
Struktur cerita seharusnya bisa diperbaiki lagi sehingga narasi tidak terasa seperti episode. Film tampaknya ingin runut sesuai timeline sejarah, padahal semestinya tidak berdosa amat jika – memakai istilah candaan Sarwendah kepada Susi; ‘dinakalin’ sedikit urutan kejadiannya. Masalah kewarganegaraan mestinya bisa ditambahkan di pertandingan besar Susi sehingga emosinya lebih terasa utuh. Elemen olahraga dan elemen kebangsaan dalam film ini seharusnya bisa lebih mulus dilebur ketimbang diceritakan bergantian.
 
 
Penampilan Laura Basuki benar-benar jago di sini. Gestur dan gaya main Susy Susanti ia mainkan dengan mirip. Dia tidak tampak canggung bermain bulu tangkis. Ada intensitas yang ia hadirkan ke dalam perannya. Terutama pada bagian-bagian yang lebih menuntutnya untuk bermain emosional. Lewat Basuki – lewat decit-decit sepatunya di lapangan, lewat keluhnya saat pergelangan cedera, lewat semu wajahnya ketika diajak jalan oleh Alan, film menunjukkan suka duka kehidupan seorang remaja yang menjadi atlet untuk negara yang bahkan belum memastikan posisi dirinya di sana. Susi Susanti: Love All adalah tontonan wajib di iklim negara saat ini untuk kalian yang mulai merasa bete, bosan, atau takut kepada negara.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SUSI SUSANTI: LOVE ALL

 

ZOMBIELAND: DOUBLE TAP Review

“Never get too attached”
 

 
Sepuluh tahun sejak Zombieland pertama. Dan di waktu antara film pertama dan kedua tersebut keempat bintang utama horor komedi ini bergantian mendapat nominasi Oscar; satu actually mendapat Oscar. Jesse Eisenberg, Woody Harrelson, Emma Stone, dan Abigail Breslin berkembang begitu hebat sampai-sampai serial TV Zombieland baru episode Pilotnya aja sudah dicerca orang lantaran tidak menampilkan mereka berempat sebagai tokoh utama. Untungnya Zombieland kedua ini menghadirkan mereka kembali. Namun tentu saja dalam sekuel seperti ini, bukan hanya para pemain saja yang berevolusi.
Para zombie yang hidup di semesta Zombieland, seperti yang dinarasikan oleh Colombus, telah berevolusi menjadi berbagai jenis. Ada yang bego (maka dinamakan Homer, karena “D’oh!”), ada yang pinter, ada yang cepat, dan ada yang menjadi begitu kuat sehingga susah dimusnahkan. Bahkan ditembak dua kali seperti kata peraturan Colombus – yang jadi judul film ini – saja tidak bisa. Itulah ancaman yang dihadapi para tokoh; yang sebaliknya, dua di antara mereka malah semakin terbiasa untuk hidup di rumah (Karena ini juga adalah komedi, maka mereka tinggal tinggal di Gedung Putih). Colombus pengen beneran berumah tangga dengan Wichita, sementara Tallahassee ngerasa dirinya ayah bagi Little Rock. In a funny callback to the first movie, dua kakak beradik cewek itu kabur ninggalin mereka. Dan tak butuh waktu lama bagi Wichita untuk kena batunya. Little Rock kabur dengan seorang pria hippie taik-bersenjata (hanya bergitar). Geng Zombieland kudu segera bersatu dan hits the road again, guna mencari Little Rock yang tak pelak berada di dalam bahaya berada di luar sana tanpa perlindungan.

zombienya berevolusi jadi pintar karena sering makan otak kali ya

 
Zombieland kedua ini memfokuskan kepada dunia zombienya, skala ceritanya semakin besar dan semakin luas walaupun masih tampak serupa dengan film pertama. Perbedaan yang langsung terasa adalah kita akan melihat banyak tokoh baru. Kita melihat cara setiap tokoh baru ini menghadapi zombie, cara mereka beradaptasi hidup selama itu di dunia yang penuh predator. Dengan ini otomatis Zombieland punya lahan komedi yang lebih besar. Tokohnya Zoey Deutch, misalnya. Cewek pirang yang nyaris annoying ini disebutkan tinggal di dalam ruang pendingin di dalam mall, walaupun kemudian secara berseloroh film menyebut dia bisa bertahan hidup lantaran enggak punya organ yang menjadi makanan zombie. Lelucon ini mengenai banyak aspek sekaligus. Salah satu yang menonjol dari Zombieland memang adalah penulisan komedinya. Prestasi tersebut dipertahankan dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam film kedua ini.
Ini adalah film zombie yang punya awareness terhadap film zombie itu sendiri. Kurang lebih sama seperti Scream pada genre horor slasher. Candaan dan humornya sangat meta; ngebecandain trope-trope zombie yang biasa kita lihat dalam genre ini. Sutradara Ruben Fleischer sudah banyak berlatih menggunakan candaan seperti demikian, ia juga dibantu oleh penulis Rhett Reese yang menggarap komedi fourth-wall di dua film Deadpool. Hasilnya bisa kita dengar sendiri saat cekikikan demi cekikikan bermunculan di sekitar kita saat menonton ini. Memang tidak serentak sampai terbahak, karena film ini akan lebih lucu jika kita banyak menonton film zombie atau setidaknya mengetahui referensi yang film ini pakai terkait genre zombie. Yang bisa dicontohkan tanpa spoiler berat (karena sudah ada di trailer) adalah bagian ketika Colombus dan Tallahasse bertemu dengan ‘kembaran’ mereka. Adegan ini merujuk pada adegan komedi zombie Inggris Shaun of the Dead (2004); pada film tersebut para tokoh berpapasan dengan orang-orang yang mirip sekali dengan mereka. Pada Zombieland 2 ini, adegan tersebut dimainkan dengan lebih konyol karena berbuntut pada salah satu adegan berantem paling seru sepanjang durasi.
Pembuat film merancang film ini bergerak di zona waktu yang sama dengan zona waktu kita. Jadi para tokoh hidup sepuluh tahun sejak film pertama, dengan tidak ada kemajuan di dunia mereka. Presiden mereka masih Obama, mereka tidak tahu hal-hal yang lumrah bagi kita. Aspek ini, oleh para pembuat film, dijadikan humor yang sangat segar. Misalnya inside jokes antara Wesley Snipes dengan Woody Harrelson. Ataupun – ini yang bikin aku paling ngakak – ketika ada satu tokoh yang ngepitch ide soal Uber atau katakanlah ojek online, yang diketawain bareng-bareng oleh tokoh lain. Para pembuat dan pemain tampak sangat bersenang-senang. Interaksi dan chemistry di antara mereka semakin kuat. Satu lagi yang sayang untuk dilewatkan adalah reaksi hilarious Harrelson sebagai bapak overprotektif nan overmaskulin saat diceritakan Little Rock pergi sama cowok pasifis.
Dari sikap para tokoh, ada benang merah soal cinta dan attachment yang bisa kita tarik sebagai gagasan film. Semua tokoh yang memakai nama mereka, alih-alih nama samaran berupa nama kota Amerika, bakal mati. Alasan tokoh tidak memakai nama asli diperlihatkan secara tersirat dari sikap Wichita dan Little Rock adalah karena akan susah dan berat dan sakit di hati nanti jika ada salah satu dari mereka yang digigit zombie. Nama samaran adalah bentuk dari menghindari terlalu dekat secara emosional kepada seseorang. Film ini menyugestikan kepada kita bahwa perasaan terlalu dekat kepada orang akan berujung bahaya. Lebih lanjut dibahas, bukan saja kepada orang. Tapi juga kepada apapun, terlebih di dunia materialistis seperti sekarang ini. Pada tempat (disimbolkan oleh film lewat Gedung Putih dan beberapa tempat singgah lain), para barang; Seperti mobil (salah satu running joke pada film ini adalah Tallahassee yang harus naik mobil keren tapi selalu berujung pada naik ‘mobil mamak-mamak’), senjata (para tokoh bergulat dengan aturan maskas hippie yang mengharuskan menyerahkan pistol mereka), dan bahkan tas (salah satu peraturan Colombus adalah untuk bepergian dengan sesedikit mungkin barang bawaan).

Attachment harap dibedakan dengan cinta. Karena attachment lebih berarti ketergantungan. Dan ketergantungan kita kepada orang akan membuat orang itu ketakutan. Attachment malah lebih mengerikan daripada zombie. Cinta adalah saling memberi; kebahagiaan dan terutama kebebasan. Bukan meminta dan mengukung.

 
Dunia Zombieland 2 ini begitu overwhelming sehingga gagasan tersebut kadang hanya tampak sekenanya. Juga tidak membantu ketika film mulai tampak rancu dalam menyampaikannya. Ini adalah film di mana membunuh zombie dijadikan sebagai eskapis. Membunuh zombie dengan cara apapun. Malahan, sering kita ditarik keluar dari narasi untuk melihat sketsa ‘Zombie Kill of the Week’ yang jadi gimmick alias seru-seruan khas film ini. Siapa yang bisa membunuh zombie paling keren? Aku bukannya mau membela zombie. Tetapi pada cerita yang menunjukkan membunuh zombie adalah keharusan dan hal normal, tidak-membawa senjata atau pistol menjadi hal yang ditertawakan. Pacar Little Rock yang pasifis dipandang lemah dan diledek, dan sebaliknya kekerasan ekstrim dan pistol jadi solusi cerita. Tokoh ini pada akhirnya bergantung kepada senjata api. Walaupun konteks narasinya adalah ‘jangan takut untuk meminta tolong’ (dan memangnya mau pakai apa lagi melawan zombie?), tetapi film tetap mengkonter sendiri gagasannya tentang attachment kepada barang ketika ia menunjukkan kehadiran pistol sebagai penyelamat. Dan mengingat soal kepemilikan pistol sendiri sudah jadi permasalahan di Amerika sana. Sepertinya film punya suara personal mengenai hal tersebut.

Jadi dunia adalah rumah atau dunia adalah wc?

 
Secara journey, sebenarnya tidak banyak perbedaan antara film ini dengan film pertama. Malah lumayan terasa muter-muter, karena persoalan ‘don’t get too attached’ ini sudah menghantam Colombus sejak pertama kali dia bertemu Tallahassee sepuluh tahun yang lalu. Seperti yang kutulis di awal, film ini hanya mengganti fokus tidak lagi terlalu lama kepada karakter, melainkan kepada tempat yang mengharuskan mereka memilih cara beradaptasi; bergantung pada sekitar atau cara yang lain. Naskahnya memang tidak sekuat yang pertama. Tokoh utamanya diselamatkan oleh orang lain, dalam dua kali kesempatan yang berbeda. Sendirinya terlalu bergantung kepada film sebelumnya yang tayang sepuluh tahun lalu. Sekali lagi film menunjukkan keawareness-an perihal dirinya sudah menjadi hits modern, sehingga ia tampak mengasumsikan semua calon penonton sudah menonton film pertamanya. Narasi voice-over Colombus kadang terlalu menginfokan apa yang sudah ada di layar; apa yang sudah bisa kita simpulkan sendiri. Pun aturan-aturan yang ia sebutkan terlalu sering sehingga dengan cepat menjadi membosankan.
 
 
 
Jika kalian menonton film yang pertama, film ini akan terasa cukup mixed lantaran candaannya akan lebih gampang masuk kepada kita (ketimbang buat penonton baru yang sama sekali awam dengan konsep penceritaan Zombieland) sehingga menontonnya lebih fun, tetapi sekaligus cukup membosankan karena tidak banyak perbedaan di dalam plot karakternya. Sebaliknya, penonton baru mungkin tidak akan tertawa terlalu sering, tapi lebih menikmati cerita dan petualangan dan tokoh-tokohnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ZOMBIELAND: DOUBLE TAP.