THE DEAD DON’T DIE Review

“Know when your time is up”

 

 

Lihatlah betapa banyak nama-nama beken terpampang di poster. Mereka semua memainkan peran yang berbeda-beda, tapi sesungguhnya dalam The Dead Don’t Die ini mereka semua menjadi zombie. Now, mungkin kalian udah ngambek dan mengira aku membocorkan cerita. Tapi enggak. ‘Menjadi zombie’ yang kumaksud – meskipun ada beberapa yang beneran jadi zombie – tepatnya adalah para tokoh yang dimainkan oleh aktor-aktor tampak seperti zombie semua. Tak berjiwa. Dan lucunya, justru terkadang hal tersebut yang menjadi kekuatan horor komedi yang satir ini.

Para tokoh tinggal di kota kecil bernama Centerville. Suasananya kurang lebih mirip kota Twin Peaks dalam serial buatan David Lynch. Penduduknya saling mengenal satu sama lain. Mereka semua sudah hidup di sana sejak kecil. Setiap peran dengan tepat dipasangkan kepada ciri khas para aktor; Tilda Swinton memainkan pendatang aneh yang jago pedang, dia bekerja sebagai perias mayat. Steve Buscemi sebagai si kasar rasis yang kalo ngomong bisa gak berhenti. Yang paling cocok tentu saja adalah Bill Murray dan Adam Driver yang dipasangkan sebagai rekanan polisi; komedi deadpan mereka benar-benar memberi nyawa kepada film. Murray bisa sesederhana kayak membaca naskah, tapi yang ia ucapkan akan terdengar begitu kocak. Apalagi jika sudah ditimpali oleh Driver yang tokohnya di film ini seperti ngebreak the fourth wall but not really. Dunia film ini ramai oleh tokoh-tokoh yang unik. Tak ketinggalan ada ‘orang gila’ yang tinggal menyendiri di hutan untuk melengkapi maraknya tokoh. Mereka semua penting, karena film ini memang lebih tentang interaksi manusia ketimbang aksi. Bahkan ketika intensitas narasi mulai naik, film tetap lempeng memperlihatkan bincang-bincang para tokoh.

Jadi, di kota mereka itu ada fenomena aneh. Satu hari, siangnya lama sekali. Hari berikutnya, giliran malam yang kecepetan turun. Televisi dan radio memberitakan semua itu merupakan pengaruh pergeseran sumbu bumi atau apalah. Petaka yang menyertai kejadian itu adalah munculnya zombie. Atau tepatnya, ‘beberapa’ zombie. Yang bergentayangan di jalanan pada malam hari. Memangsa manusia. Para polisi jagoan utama kita harus berusaha mengamankan kota dari wabah zombie matrelialistis. Ya, zombienya pada matre, karena bukannya meraungkan “braaiiinnns!”, mereka malah meneriakkan benda-benda kesukaan semasa hidup.

“Kopii! Senjaaaa!!”

 

Sutradara Jim Jarmusch terkenal dengan film-film yang teramat subtil. Salah satunya adalah Paterson (2017), film tentang keseharian seorang pembuat puisi, yang juga dibintangi oleh Adam Driver. Paterson mungkin film yang paling sering kusebutin dalam review-review, karena filmnya begitu sederhana tapi mengandung makna yang kompleks. Kayak puisi beneran. Tidak semuanya perlu dikatakan. Makanya pas nonton The Dead Don’t Die ini aku kaget. Meskipun memang lebih banyak ngobrolnya, tapi kenapa film ini blak-blakan sekali. Tidak ada kesubtilan yang menjadi ciri khas pembuatnya.

Zombie-zombie matre itu; sudah bisa kita simpulkan melambangkan kita. Manusia sebenarnya sedang disindir karena hidup sudah seperti zombie. Begitu mengejar duniawi dan materi sehingga dibilang hidup kagak, dibilang mati juga enggak. Film terus mengulang lagu The Dead Don’t Die dari Sturgill Simpsons, yang liriknya mengumandangkan yang mati sebenarnya tidak lebih mati daripada orang yang masih hidup. Tokoh film menyebut para zombie meneriakkan hal yang mereka suka. Dan di akhir film malah ada narasi yang menerangkan simbolisme itu secara terbuka. Nonton film ini akan sangat pointless karena pesan seperti itu sudah sering di film-film zombie. Dan di film ini tokohnya gak ngapa-ngapain selain membuktikan kebenaran dari pesan tersebut. Maka lantas aku bertanya-tanya, apakah pesan yang obvious itu cuma decoy?

Untuk menjawab itu mungkin sebaiknya kita memulai dari sudut pandang cerita. The Dead Don’t Die dengan begitu banyak tokoh memang sering berpindah-pindah sudut pandang. Beberapa ada yang gak-jelas seperti tokohnya Swinton. Ada juga yang gak berbuntut kemana-mana, seperti tiga tokoh remaja di rumah sakit. Tiga tokoh ini tidak diperlihatkan lagi di akhir cerita padahal cukup banyak waktu diinvestasikan buat sudut mereka di awal-awal.  Grup remaja lain – yang dipimpin oleh Selena Gomez – juga tidak berbuah apa-apa selain candaan yang sepertinya bermaksud menyindir cinta-cintaan remaja, yang sayangnya enggak lucu. I mean, mereka membuat senyuman Gomez bersparkle kayak kartun ketika ada seorang cowok yang tampak naksir kepada dirinya. Cheesy sekali, malah. Film bekerja terbaik saat membuat kita tetap bersama pasangan tokoh utama; Murray dan Driver. Komedinya on-point, mereka juga banyak berkeliling sehingga perbincangan mereka akan sulit untuk menjadi membosankan. Salah satu hal kontras dari dua tokoh ini adalah Murray percaya semua akan baik saja, sementara Driver bersikukuh dengan pendapat semua akan berakhir dengan buruk. Dan alasan dia percaya itu karena, well, dia literally bilang dia membacanya di naskah. Dia juga menyebutkan lagu yang terus diputar setiap kali ada yang menghidupkan radio atau tape atau CD adalah lagu tema film ini. Dan tokohnya Murray terdiam, bingung untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan pertanyaan kenapa naskah bagian dia cuma memuat dialog antara mereka berdua saja.

Jadi film membawa kita melalui beragam rentang sudut pandang; dari yang benar-benar clueless hingga yang seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Jika ini adalah sebuah film ‘biasa’ dengan konsep break the 4th wall untuk komedi, dan para tokoh beneran para aktor yang sedang suting film, maka The Dead Don’t Die akan menjadi film yang buruk karena berjalan tak tentu arah. Namun, film ini berada di atas itu semua. Ia mengaburkan konsep tersebut. Murray bukan Murray, meski dia sadar sedang berada dalam sebuah film. Ternyata di sinilah letak gaya film ini. Rasanya memang aneh, tapi ini seperti sutradaranya sedang bereksperimen dengan genre, dengan gagasan, dengan konsep, dengan teori kemetaan itu sendiri, dan kita penontonnya ditarik untuk ikut serta.

manusia yang jadi ‘zombie’ lebih buruk daripada manusia yang beneran sudah mati

 

Film seperti ingin memancing kita untuk protes. Untuk tidak menikmati film ini dan melakukan sesuatu terhadapnya. Ia tampak seperti menguji gagasan yang diangkat bahwa manusia sekarang sudah seperti zombie. ‘Menghukum’ kita yang tergiur datang karena tertarik melihat nama-nama pemain yang dipajang. “Haa… Selena… Gomezzz”, “Tilda…. Swin..tooonn”. Toh kita bukan ‘zombie’ yang memburu dan melahap film semata karena pemainnya saja kan. Kita diminta untuk memikirkan yang kita tonton. Bukan untuk menjadikan film ini tugas yang berat. Melainkan supaya kita bersenang-senang dengannya.

“Khawatirlah. Bersiap. Ini akan berakhir dengan buruk”

Kalimat yang diucapkan oleh tokoh yang diperankan Adam Driver menjadi sakral. Sebab merupakan kunci yang diberikan oleh film. Durasi hanya 100-an menit, yang akan diakhiri dengan buruk, jadi apakah kita akan tetap menonton bulat-bulat dan merasa rugi sendiri. Kita harus bersenang-senang dengan waktu yang diberikan. Buatlah sesuatu dari yang kita tonton. Make fun of the characters on screen. Apapun. Kita lakukan apapun untuk mengisi waktu yang sedikit itu. Mungkin terbaca sedikit long reach, aku mengada-ada biar ada yang bisa ditulis, tapi bagiku memang itulah poin film ini. Mengisi waktu sebaik-baiknya. Dan ini paralel dengan tema ‘kiamat’ yang jadi lapisan terluar film.

Dalam cerita ditunjukkan hewan-hewan sudah terlebih dahulu kabur sebelum para zombie bangkit. Sama seperti di dunia nyata saat bencana alam hendak terjadi; burung-burung terbang bermigrasi, hewan-hewan keluar, just recently babi hutan di Sumatera diberitakan berenang nyebrang selat menuju Malaysia. Binatang selalu lebih dahulu sadar yang bakal terjadi. Sedangkan manusia, ya kita melihat tanda-tanda. Tapi berapa orang yang benar-benar bersiap. Yang memanfaatkan waktu yang tersisa. Kebanyakan kita tidak mampu mengenali waktu cuma sedikit, malah mungkin sudah hampir habis. Hanya berdiri ‘diam’. Parahnya berlagak seperti zombie mengejar sesuatu yang bahkan tak benar-benar diperlukan.

Film ini memang tentang manusia yang sudah menjadi zombie keduniaan. Tapi pesan tidak berhenti sampai di sana. Film melanjutkan bahwa yang terburuk dari menjadi zombie adalah ketika tidak menyadari diri kita sudah mati. Waktu telah habis untuk mengejar sesuatu yang fana. Kita semua bakal mati. Waktu kita hidup terbatas. Jadi isilah dengan hal yang berguna. Yang bisa dijadikan persiapan. Karena setelah mati, yang ada hanya keabadian.

 

 

 

Jarmusch sungguh bernyali gede dengan membuat film ini. Dia mengambil horor komedi yang sudah lumrah, dengan pesan yang sudah ‘pasaran’, dan menggarapnya dengan cara yang menantang kita untuk tidak menyukainya. Dia bahkan mencari cara baru untuk membaut yang subtil menjadi semakin subtil dengan menyebutkannya terang-terangan. Benar-benar pemikiran yang rumit untuk film yang tampak gak-jelas seperti ini. Komedinya bisa sangat lucu dan bisa juga jadi sangat cheesy, dan sepertinya itu semua sudah diniatkan. Aku sendiri sebenarnya belum yakin, suka atau tidak sama film ini. Kita tahu dia dibuat oleh ‘bahan-bahan’ berkualitas tinggi. Namun rasa yang dihadirkan tetap aneh. Kalo alien bikin kue, dan kita mencicipinya; mungkin seperti nonton film inilah rasanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DEAD DON’T DIE.

 

 

IT CHAPTER TWO Review

“Often it isn’t the initiating trauma that creates seemingly insurmountable pain, but the lack of support after”

 

 

Setelah dua-puluh-tujuh tahun, Si Badut Pennywise muncul kembali di kota Derry. Dia merindukan anak-anak yang dulu pernah hampir menjadi mangsanya. Tujuh anak yang pernah mengalahkan dirinya itu, ia pancing kembali untuk datang ke kota lewat serangkaian teror. Dan setelah dua-tahun dari film chapter pertamanya, kita datang untuk menagih janji cerita horor yang benar-benar berdaging.

Serius, ‘menagih janji’ itu adalah kalimat penutup reviewku untuk It (2017). Karena dua film It adalah adaptasi dari satu buku Stephen King, dengan ‘daging’ cerita sebenarnya terletak pada bagian saat para Losers’ Club yang sudah dewasa ditarik kembali ke Derry untuk menghadapi trauma masa kecil mereka. Sutradara Andy Muschietti nekat membagi menjadi dua film, dan actually did a great job pada chapter pertama. Kisah anak-anak menjelang remaja yang tadinya kelam, diubah cerita persahabatan yang uplifting. Mengajarkan kita akan pentingnya persahabatan untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahan. Pada Chapter Kedua, Muschietti menyambung gagasan King dengan horor yang dibuat lebih dewasa. Dengan pertanyaan yang lebih menantang untuk makna persahabatan itu sendiri.

Mudah untuk kita bersatu ketika sedang sama-sama susah. Penderitaan mendorong kita untuk menemukan dan berpegangan kepada kawan yang senasib. Namun ketika semua masalah sepertinya sudah terhindari, ketika hidup kita sudah berlanjut menjadi lebih baik, sudikah kita kembali untuk mengalami lagi semuanya. Ketika kita sudah hidup mapan sendiri-sendiri, maukah kita kembali untuk bersama-sama berkubang dalam masalah?

 

Sepindahnya mereka dari kota Derry, pentolan Losers’ Club memang sudah tergolong sukses. Bill Denbrough kini jadi penulis cerita misteri yang ngehits, dia tidak lagi tergagap, dan punya istri seorang bintang film. Ben Hanscom sudah gak gendut lagi, dia jadi arsitek kaya yang meeting online sama klien. Richie Torzier menggunakan mulutnya sebagai aset jadi komedian terkenal. Eddie Kaspbrak berkarir di bidang risk assesment real-estate yang cocok sama kebiasaannya yang selalu mencemaskan berbagai hal. Beverly Marsh jadi perancang busana. Dan Stan juga tampak cukup sukses di kediamannya. Mereka semua sudah lupa akan kejadian di film pertama, meskipun masih terus dibayangi oleh trauma masa kecil. Bill tak pernah lupa akan Georgie, Bev tetap tak lepas dari sosok pria yang kasar padanya. Dan saat Mike, satu-satunya dari geng mereka yang menetap di Derry, menelfon mereka, mengingatkan akan perjanjian berdarah yang mereka lakukan saat masih kecil; bahwa musuh mereka muncul kembali, semuanya seperti tersentak. Seperti bangun dari mimpi indah, masuk ke mimpi buruk. Bill malah jadi gagap lagi. Masing-masing mereka dipaksa untuk menjalani masa lalu yang mengerikan demi mengambil relik yang akan digunakan untuk ritual mengalahkan Pennywise untuk selama-lamanya.

untung yang nelfonin mereka ‘cuma’ Mike, bukan Bapak

 

Selain Bill, Mike dalam film ini diberikan porsi yang lebih besar. Dia tidak terbaring di kasur rumah sakit seperti pada novel saat teman-temannya turun ke sarang Pennywise. Dialah yang paling dekat dengan posisi tokoh utama karena dia punya arc yang melingkar di antara tokoh-tokoh yang lain. Mike adalah orang yang pertama kali tahu tentang kembalinya Pennywise. Dia yang memutuskan untuk tetap tinggal di Derry. Dia yang lebih dahulu siap untuk menerjang kembali trauma masa lalu. Atau mungkin, dia yang paling menolak untuk move on, dan ini menarik karena biasanya orang akan berlomba-lomba untuk bisa move on dari kenangan buruk. Film mencoba untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Mike dibandingkan dengan novel. Ketika semua orang punya masalah sendiri, berjuang melawan kembali apa yang sudah berusaha mereka lupakan dalam proses menjadi dewasa, Mike berada di sana seperti tak tersentuh oleh Pennywise. Kita tidak melihat dia sebanyak tokoh lain dikerjai oleh si Badut Pengubah Bentuk. Teror bagi Mike justru adalah ketika grup mereka mulai terpecah. Saat dia berjuang untuk mempersatukan mereka kembali, walaupun itu berarti dia harus berbohong. Dia seperti agen pemersatu yang berkontras dengan Pennywise si agen pemisah. Ini membuat Mike dan Pennywise adalah dua poros yang paling penting dalam narasi.

It Chapter Two memang melakukan lumayan banyak perubahan terhadap versi novel. Salah satunya lagi adalah soal ending – tapi dibuat masih menghormati dan sejalan dengan materi asli – sehingga para pembaca buku dapat tetap mendapat kejutan menyenangkan saat menonton. Soal ending buku malah dijadikan candaan yang terus berulang karena di film disebutkan bahwa Bill yang novelist selalu mendapat kritikan terhadap ending yang ia tulis. Akan ada banyak adegan ketika ada orang yang menyebut buku tulisannya bagus, tapi mereka enggak suka dengan endingnya. Bahkan Stephen King sendiri muncul sebagai cameo dan mengucapkan dialog seputar pilihan ending tersebut. Lewat running gag tersebut, film ingin mewanti-wanti kepada kita bahwa mereka juga sudah melakukan sesuatu kepada ending film, yang menurut mereka adalah perbaikan dari ending pada buku. And it’s kinda true. Ending film ini membawa rasa kepuasan dan kelegaan yang menghangatkan. Hanya saja perjalanan menuju endingnya yang luar biasa membinasakan.

Tentu, interaksi antar-tokoh tampak akrab dan menyenangkan. Aktor-aktor dewasa seperti Jessica Chastain, James McAvoy, Bill Hader, James Ransone memainkan peran mereka persis kayak aktor-aktor cilik memainkan mereka. Tokoh mereka terasa familiar bagi kita yang sudah mengikuti perjalanan mereka dari film pertama. Mereka beneran seperti bertumbuh dewasa. Permainan akting mereka semakin on-point berkat film yang kerap membawa kita berflashback ke masa kecil mereka dua-puluh-tujuh tahun yang lalu. Seolah film ingin menyombong kepada kita “lihat, ini beneran mereka sudah jadi orang gede” Seru melihat tokoh-tokoh berkembang, mereka melakukan gerakan dan bereaksi seperti yang sudah akrab dengan kita. Film sangat hebat memperlihatkan itu semua. Si Pennywise pun digambarkan sebagai tokoh yang punya sedikit kedalaman sekarang, aku senang dialog tokohnya diperbanyak, karena Bill Skarsgard memang memainkannya dengan penuh penghayatan dan tampak bersenang-senang. Makhluk-makhluk CGI hasil ilusi dan jelmaan dari Pennywise enggak benar-benar seram, melainkan seru abis lantaran begitu random dan di luar logika. Hampir seperti kartun. Mungkin visual monster-monster itu tampaknya sengaja dibuat kasar untuk menimbulkan kesan seram yang hilarious karena film ini menunjukkan mereka sanggup menampilkan CGI yang begitu mulus ketika menggunakannya untuk memudakan kembali tokoh anak-anak yang pemerannya sudah jauh mendewasa ketimbang peran mereka.

Hanya saja ketika menapaki trauma-trauma yang semestinya bernada lebih dewasa, film juga tetap memilih untuk tampil seperti teror wahana rumah hantu, seperti pada film pertama. Dan ini mengecilkan makna dan ‘daging’ yang ada pada cerita horor saat mereka dewasa ini. Teknik jumpscare dan permainan makhluk horor CGI dari Muschietti memang efektif, memberikan hiburan horor yang konstan, tetapi substansi harus diletakkan di depan karena terus-terusan hanya melihat jumpscare-jumpscare dengan makhluk-makhluk random akan membuat kita kehabisan energi. Terutama di film dengan durasi hampir tiga jam seperti ini.

membuat kita galau mestinya film ini durasinya dipangkas atau malah ditambah – dijadikan serial aja

 

 

Film tidak memperhitungkan pace dengan baik. Meninggalkan kita menjadi semakin tidak sabar saat flashback demi flashback, horor ngagetin demi horor ngagetin, terus berputar di layar. I mean, kita ngerti kok mereka punya trauma yang dibangkitkan lewat halusinasi oleh Pennywise yang suka untuk melemahkan mental mangsanya, film tidak harus melandaskan poin yang sama berulang kali. I mean, musti berapa kali lagi kita melihat mereka di masa kecil sebelum film benar-benar menyudahi ceritanya. Ada enam tokoh, ada tiga babak, dan di setiap babak kita diperlihatkan masing-masing berurusan dengan Pennywise dan trauma mereka. Di luar bagian Mike, kalo dikali, jumlahnya ada lima belas kali kita melihat teror Pennywise. Ini melelahkan. Mengganggu tempo cerita karena elemen horor tersebut tak bekerja banyak di luar untuk ajang kaget-kagetan. Adegan-adegan itu tak punya bobot urgensi karena kita tahu semua hanya ilusi dari Pennywise yang tak benar-benar berbahaya. Malah ada beberapa flashback yang menunjukkan mereka waktu masih kecil dikejar-kejar oleh berbagai wujud It. Flashback pengisi gap tahun yang pointless karena kita tahu para tokoh tidak dalam bahaya di adegan tersebut karena toh mereka sudah tumbuh jadi dewasa – mereka survive dari kejadian itu. Mereka tidak mati saat masih kecil itu. Menuju ke ending yang merupakan perbaikan dari ending novel, terasa ngedrag, film ini bahkan punya dua sekuen ‘false resolution’. Dua setengah jam itu benar-benar terasa.

Narasi yang melingkupi banyak tokoh seperti ini haruslah diikat oleh satu benang merah. Film ini, dengan kodratnya sebagai cerita lanjutan, memang sangat tergantung pada penonton untuk menyaksikan dulu film pertamanya. Atau membaca novelnya. Film tidak necessarily mengikuti buku tetap berjalan dengan arc Bill sebagai sumbu utama. Tapi film ini cukup berani memasukkan elemen penting pada buku yang bahkan tak disadur oleh It versi miniseri tv yang tayang tahun 1990an. Yakni seputar peristiwa kejahatan sadis yang dialami oleh seorang pemuda gay. Adegan ini actually jadi adegan pembuka dalam It Chapter Two, persis seperti chapter dua pada novelnya. Sempurna untuk melandaskan horor seperti apa yang bakal kita temukan, kengerian semacam apa. Salah satu Losers’ Club juga diindikasikan LGBT. Hanya saja, film tidak benar-benar komit. Baik itu terhadap elemen LGBT, maupun horor yang serius. Ketika cerita berjalan, tokoh-tokoh kita dibawa kembali ke lingkungan masa kecil mereka, film juga seperti revert back. Melupakaan kedewasaan dan hal-hal baru yang sepertinya akan mereka jalani. kehidupan masa kini yang ditinggalkan para tokoh tidak dibuat ikut mengejar mereka ke Derry. Tidak seperti pada buku. Sehingga stake kehidupan yang mereka tinggalkan tidak pernah terasa. Beverly tidak berkonfrontasi lagi dengan suami dan hubungan abusive yang selalu menimpanya. Kita hanya melihat istri Bill satu kali, bahkan persoalan pilihan ending novel yang ia tulis tidak disebutkan lagi di akhir.

Kekalahan Pennywise pun tidak menunjukkan kedewasaan atau keseriusan emosi yang seperti diisyarakatkan bakal ada oleh pembuka film. Yang ada malah terasa dikonyolkan. Mungkin film berbalik pengen bermain dengan ironi. Lantaran Pennywise yang pada film pertama seperti simbol dari kedewasaan yang merundung anak-anak, pada film ini malah berbalik menjadi yang dirundung oleh anak-anak yang sudah dewasa tersebut. Mereka seperti bertukar tempat. Pennywise yang sekarang menjadi seperti anak kecil. Alih-alih memisahkan mereka lewat memanfaatkan rasa takut, Pennywise pada akhir cerita berubah menjadi sosok insecure, sendirian, tak berteman, yang diejek hingga literally menciut. Pennywise sudah seperti Boggart yang dihajar oleh enam mantra Riddikulus hingga aku tak paham lagi keberanian seperti apa yang ingin diajarkan oleh film ini.

Lebih sering daripada tidak, yang paling mengerikan dari menghadapi trauma itu adalah ketika kita menyadari bahwa kita menghadapinya sendiri. Semua orang butuh support. Dari teman. Dari saudara. Dari orang lain. Tiliklah Losers’ Club, mereka kuat bukan karena sendirian. Mereka lemah menghadapi masalah sendiri. Tetapi mereka tak-terkalahkan saat mendukung masalah teman-temannya.

 

 

 

Sehingga tak tampak lebih berdaging, buatku film pertamanya masih lebih kuat dan lebih berisi padahal seharusnya cerita bagian kedua inilah yang lebih berbobot. Film yang kedua ini kurang berhasil membuat drama dan aspek emosional cerita menjadi vocal point yang konsisten. Sebab cerita film ini pada dasarnya bergantung pada film pertama yang merupakan backstory. Film jadi memuat terlalu banyak, antara aspek yang lebih dewasa, tuntutan buku sumber adaptasi, dan kebutuhan untuk mengingatkan penonton kepada film yang pertama. Hasilnya adalah film yang bekerja pada tingkatan film pertama, dengan materi yang sebenarnya sudah berada di atas level tersebut. Lain kata, film stuck pada gaya yang tidak mampu mengimbangi kematangan ceritanya yang sudah dewasa. Tetap memberikan horor yang menghibur, jumpscare-jumpscare yang efektif, tapi terasa melelahkan dan membuat tak-sabar. Karena poin yang sama diulang berkali-kali. Pengalaman terpisah para tokohnya terasa mengambang kayak balon-balon merah si Pennywise. Mereka perlu diikat menjadi satu narasi yang benar-benar koheren dan film perlu komit di sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IT CHAPTER TWO.

 

 

 

WEATHERING WITH YOU Review

“Always bring your own sunshine”

 

 

Ada banyak hal yang bisa dilalukan ketika cuaca cerah. Anak kecil dapat bermain di taman. Ibu-ibu bisa belanja ke pasar. Penjual dagangan bisa berjualan ke pasar. Beragam festival bisa digelar. Semua aktivitas kita berjalan dengan lancar. Makanya tak sedikit yang mengaitkan moodnya dengan cuaca. Terbangun saat mendung, kita bisa saja menggerutu seharian mengingat banyaknya rencana yang bakal batal, atau terlambat. Terutama jika kita sudah mencuci kendaraan haha.. Anime teranyar dari Makoto Shinkai mengeksplorasi soal hubungan manusia dengan lain. Pada mulanya, film ini akan mengamini bahwa hidup manusia sangat tergantung pada cuaca. Namun lewat perjalanan tokohnya, kepercayaan tersebut semakin ditantang. Dan pada akhirnya menyugestikan satu jawaban; bukan soal cuacanya, melainkan soal siapa yang ada di dekat kita ketika hujan itu mengguyur.

Ini adalah musim panas teraneh di Tokyo. Bulan Agustus di sana begitu basah karena hujan setiap hari. Jelas bukan waktu yang tepat untuk pelancong yang ingin menikmati matahari. Tapi Hodaka bukan pelancong. Cowok enam-belas tahun ini bermaksud menetap di kota. bagi Hodaka, tempat pelariannya itu menjadi semakin dingin saja. Kesusahan mencari kerja dengan uang saku yang semakin berkurang, Hodaka menemukan dirinya dalam tampungan editor majalah hiburan yang khusus meliput fenomena-fenomena spiritual. Dalam salah satu tugasnya, Hodaka disuruh untuk mencari keberadaan ‘Sunshine Girl’, cewek yang menurut kepercayaan Shinto dapat memanggil matahari. Relationship manis antara Hodaka dengan Hina – si cewek pawang hujan – inilah yang menjadi fokus utama cerita. Yang bakal membuat emosi kita turun naik. Karena kekuatan matahari Hina ternyata punya konsekuensi menyedihkan.

kemudian kita sadar di mata kita juga turun hujan yang amat deras

 

 

Sejak Your Name (2016), aku sudah jatuh cinta sama anime buatan Shinkai. Film itu pencapaiannya sungguh luar biasa, membahas kultur remaja Jepang modern dengan magisnya kepercayaan dan ritual tradisional dalam cara yang sangat tak-biasa, film tersebut nomor-satu di daftar Top Movies of 2016 ku. Salah satu dari sedikit sekali film yang mendapat 9 bintang-emas di blog ini. Jadi wajar saja aku sangat menggelinjang sekaligus waspada saat masuk ke bioskop untuk menonton Weathering with You. Standar yang udah diset terlalu tinggi. Malah Shinkai sendiri sempat dilaporkan merasa canggung oleh dahsyatnya pujian yang ia tuai untuk Your Name. Shinkai, lewat Weathering with You, ingin menunjukkan kepada kita bahwa masih banyak lagi kemagisan yang bisa dieksplorasi. Ia tidak akan berhenti dan puas di satu titik. Semua itu terefleksi dalam seratus-dua-belas menit film ini. Weathering with You disusun masih dengan elemen-elemen yang menjadi ciri khas Shinkai – yang membuat Your Name begitu menawan. Star-crossed lovers, mitos dan kepercayaan tradisional yang menjadi roda gigi utama narasi, komentar terhadap sosial kontemporer Jepang, animasi hand drawn (didukung oleh komputer) yang bikin melongo. Tapi kali ini, Shinkai mengusung cerita yang lebih straightforward, yang membuat filmnya terasa lebih ngepop.

Tapi yang sebenarnya membuat film ini kuat dan menyenangkan untuk disimak adalah karakter-karakternya. Mereka semua enggak mau kalah sama visual yang ditampilkan; sama-sama penuh warna. Interaksi mereka sangat natural, dan masing-masing punya pesona sendiri. Hina misalnya. Cewek yang mendapat kekuatan bisa meredakan hujan dengan memanggil matahari keluar dari balik awan, on top of that dia cantik dan baik. Sosok pasangan idaman. Yang benar-benar ditulis sebagai personifikasi dari apa-apa yang dibutuhkan oleh Hodaka. Huna cukup magis dan fantastis untuk bisa beneran ada di dunia nyata, tapi film berhasil untuk tidak membuat tokoh ini jatuh ke dalam trope manic pixie dream girl. Hina tidak berada di sana hanya untuk membuat Hodaka menjadi orang yang lebih baik. Dia tidak hadir sebagai jawaban dari fantasi tokoh cowok. Hina diberikan karakter dan background dan konflik yang membuatnya tampak seperti orang beneran. Bicara soal trope manic pixie, film actually berhasil dua kali menyiasati supaya tokohnya tidak tampak seperti ini. Ada satu sosok wanita ‘idaman’ lagi yang berperan penting dalam perjalanan Hodaka. Sosok kakak paling perfect sedunia. Tapi lagi-lagi, film punya perhatian dan pemahaman lebih, tokoh ini diberikan cerita latar yang mendongkrak fungsinya lebih dari sekedar device.

Yang membuatku terkejut adalah tiga karakter dalam film ini ditempatkan pada posisi yang mirip sama posisi dan hubungan antara tokoh Minke, Ontosoroh, dan Annelies dalam film adaptasi novel Pram; Bumi Manusia (2019). Sebelum kalian mencak-mencak protes dan teriak “Apaan!”, aku mau ingetin dulu bahwa dua film ini meski beda wujud, adalah sama-sama mengedepankan soal romansa. Jadi garis perbandingan yang kutarik enggak benar-benar long reach. Hina is absolutely Annelies, dari posisinya sebagai love interest dan pilihan yang ia buat. Konflik sebenarnya adalah tentang mereka, mereka yang membuat keputusan yang membuka kesempatan untuk tokoh utama beraksi. Padanan Nyai Ontosoroh dalam film ini adalah Tuan Suga, bos majalah yang menampung Hodaka; pribadi yang sudah mengarungi apa yang sedang tokoh utama lewati. Sosok yang menjadi semacam mentor yang dipedomani oleh tokoh utama. Yang membantu tokoh utama karena ia mengingatkan mereka akan mereka sendiri. Dan Hodako tidak lain tidak bukan adalah Minke. Mereka sama-sama pergi dari kehidupan mereka yang lama. Dan menemukan cinta, untuk kemudian harus bersiap karena yang mereka cintai punya konflik jadi mereka harus melakukan apapun untuk mencegah konflik itu terjadi. Perbedaan yang benar-benar menjauhkan dua film ini adalah cara film memperlakukan tokoh utamanya. Yang berkaitan dengan arahan. Weathering with You lebih bijaksana memberikan aksi kepada Hodaka, sehingga dia tetap terlihat dominan dan terus punya sesuatu untuk dilakukan. Hodaka beraksi dengan mengejar, dengan berusaha menyelamatkan Hina. Kita beneran diperlihatkan perjuangannya. Tidak seperti Bumi Manusia yang hanya sesekali menyematkan montase Minke duduk menulis sebagai bentuk aksi dari tokoh ini.

Hodaka, seperti Minke, acapkali terasa lebih seperti mekanisme untuk majunya plot ketimbang karakter utama. Tapi film terus menggenjot Hodaka supaya aksi yang ia lakukan benar-benar terlihat dan intens. Kita tidak pernah tahu pasti kenapa dia memilih ke Tokyo, tapi film berhasil membuat kita peduli lewat subteks anak remaja di dunia orang dewasa, di mana kita selalu melihat Hodaka susah untuk ngapa-ngapain bahkan untuk cari kerja. Saat Hodaka dibantu, film akan menemukan cara untuk tetap membuat tokoh ini aktif. Seperti saat dikejar polisi, dia dianterin pake skuter. Film ‘menyuruh’ air untuk membanjiri jalan sehingga Hodaka harus turun dan berlari dengan kakinya sendiri menuju tempat Hina – dan harus berpacu dengan waktu, pula. Film ini melakukan kerja yang sangat memuaskan untuk membuat karakter-karakternya penting dan mencuat keluar dari trope atau mitos yang mengurung.

mentari menyala di sini, di sini di dalam hatiku~

 

Dunia tempat mereka bernapas pun turut dibangun dengan mendekati kenyataan. Shinkai seperti mengajak penonton untuk berandai jika suatu saat bencana hujan dan banjir tersebut beneran terjadi di Tokyo. Karena beberapa tempat di film ini adalah tempat yang nyata, yang didesain mengikuti wujud aslinya. Film menampilkan toko-toko yang ada di dunia kita. Kita melihat ada McDonald’s, ada lagu versi asli dari yang pernah dinyanyikan oleh JKT48. Dan tentu saja, kita tidak bisa mangkir dari kenyataan bahwa di dunia kita pun superstition dan mitos masih dipercaya hingga sekarang. Tokyo dalam film ini sudah hadir seperti karakter sendiri. Pada akhir film kita melihat bukan hanya Hodaka dan teman-teman yang berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dengan pandangan dan sikap yang lebih bijaksana. Melainkan seluruh kota juga. Tokyo yang tadinya menganggap hujan di musim panas adalah fenomena aneh dan banjir adalah bencana, berubah menjadi kota yang lebih adaptable. Yang tetap menjalankan aktivitasnya tanpa mengeluh.

Melalui pengorbanan, film ini mengingatkan ketergantungan kita juga adalah pada orang yang kita cintai. Ketika kita hidup bersama mereka, kebahagian mereka adalah kebahagian kita, dan begitu juga sebaliknya. Makanya saat hujan, bukan berarti tidak ada matahari. Kita bisa menjadi matahari bagi orang-orang di sekitar kita. Mereka pun menjadi matahari bagi sekitar mereka. Tidak peduli usia, dari mana, dan siapa, kita semua semestinya menerangi dan menghangatkan bagi sesama. 

 

While Bumi Manusia hadir lebih berani dan menantang dengan memperlihatkan ‘kegagalan’, Weathering with You tampil lebih pop lagi dengan membuat ceritanya berakhir dengan happy. Dan eventually membuat keseluruhan presentasinya jadi kurang nendang. Terutama menuju ending; ada titik saat aku merasa filmnya sudah berakhir ternyata masih berlanjut. Tapi sepertinya itu memang disengaja sebagai epilog. Karena dilihat dari cara film ini bercerita, Weathering with You pada beberapa waktu sering ‘menutup layar’ dengan menampilkan blackscreen, untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan dialog, seolah menjadi bagian-bagian cerita yang sengaja dipisah. Cerita yang lebih lurus dan tidak serumit Your Name menyisakan cukup banyak aspek-aspek yang belum terjawab, seperti origin makhluk transparan yang muncul saat hujan ataupun soal pistol yang ‘kebetulan’ ada, tapi buatku itu semua hanya kekurangan minor yang bahkan mungkin sebenarnya adalah komentar pembuat mengenai keadaan lingkungan sosial di sudut kota Tokyo dan gambaran soal kepercayaan penduduk.

 

 

Siapa sangka cerita pawang hujan bisa teramat romantis? Tampil lebih ringan dan lebih crowd-pleasing, film ini meriah oleh karakter dan visual yang menawan. Dialog-dialog eksposisi tidak pernah memberatkan karena dituturkan dengan begitu mulus oleh tokoh-tokoh yang mengundang simpati. Musik yang digunakan, bahkan kemunculan cameo dari Your Name, membuat film menjadi semakin mengasyikkan terutama untuk yang mengikuti Shinkai dan pop-culture Jepang. Dan itu bukan masalah. Film tidak harus selalu berkiblat pada Hollywood. Malahan film ini kental budaya lokal. Memfantasikan bencana alam yang beneran bisa terjadi, sebagai bentuk peringatan. Film ini sarat muatan, meskipun bagi beberapa orang ke-straightforward-an ceritanya membuat film ini jadi terlihat simpel dan ‘menyederhanakan’. namun dirinya memang amat lovable buat semua kalangan penonton. Kalo mau nyebut kekurangan, sepertinya cuma ada satu; film ini masih belum bisa mengalahkan standar tinggi yang sudah diset oleh film Makoto Shinkai sebelumnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WEATHERING WITH YOU

 

 

 

 

 

DORA AND THE LOST CITY OF GOLD Review

“The greatest adventure is the search for wisdom”

 

 

Dora, si bolang yang suka nanya-nanya itu, kini sudah gede. Petualangan kartun warna-warni yang kita saksikan di televisi dulu itu, disugestikan oleh film live-action ini, adalah sebagai imajinasi Dora yang tinggal di rumah di hutan bersama ayah dan ibunya yang arkeolog dan sesama petualang. Sebab, Dora juga tinggal di dalam dunianya sendiri. Tempat monyet bisa ngomong. Tas, dan peta bisa bernyanyi. Dan rubah bisa mencuri. ‘keberadaan’ mereka itulah awal masalahnya. Keluarganya khawatir Dora butuh teman yang bukan monyet atau buaya atau ular boa. Dora pun dikirim ke kota untuk tinggal bersama keluarga sepupu karibnya, Diego. Dora yang anak-hutan kayak Tarzan dimasukkan ke sekolah supaya berinteraksi dengan remaja-remaja sebayanya. Dia lalu berteman dengan Regina George dan cewek-cewek ‘plastik’ yang sok kecakepan. Eh, maaf, itu sinopsis Mean Girls (2004) gak sengaja kecampur. Cerita Dora di sekolah sedikit lain. Dora jelas enggak perlu nunggu hari Rabu untuk pakai baju pink. Malahan dia enggak begitu peduli untuk menjadi orang yang bukan dirinya meskipun anak-anak di sekolah – bahkan Diego – menganggapnya aneh.

Aku sebenarnya masih empet sama yang namanya live-action dari animasi atau kartun berkat Lion King 2019 (“Katakan ‘tidak’! Katakan ‘tidak’!”) Live-action seharusnya enggak maksa seperti itu. Harus ada penyesuaian ketika kita memindahkan dari tampilan satu ke tampilan lain, sementara harus tetap mempertahankan elemen yang disukai dari versi aslinya. Dora mengubah cemberutku menjadi senyuman. Paling enggak untuk separuh awal.

Film garapan James Bobin ini memiliki babak pertama dengan banyak kejadian menarik. Bobin paham cara memperlakukan elemen-elemen yang menjadikan kartun Dora spesial ke medium yang lebih ‘nyata’. Untuk kemudian bermain-main dengannya. Momen-momen khas (dan annoying) seperti Dora yang suka break the fourth wall dengan nanya ke kita (padahal jawabannya ada di depan mata!) tidak dihilangkan ataupun disalin mentah-mentah. Film mengenali betapa surealisnya sikap dan kebiasaan Dora, berteman dengan hewan dan benda mati, serta ngobrol seolah ada orang yang melihatnya. Film juga menekankan bahwa Dora adalah petualang yang cerdas, tangkas, dan pemberani. Film menggabungkan, menyesuaikan – ngomong seolah-olah ditonton itu simply paralel dengan kegiatan ngestory/ngevlog, dua unsur tersebut sehingga karakter Dora dalam film ini menjelma menjadi salah satu karakter paling menarik dalam film anak-anak.

Dora adalah remaja yang percaya diri, yang tidak takut untuk menjadi dirinya sendiri. Namun dia juga adalah seorang yang kesepian. Yang ingin disampaikan oleh film lewat karakter Dora adalah betapapun pinternya, kita tetap tidak bisa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain. Petualangan Dora membuka pikirannya terhadap hal tersebut karena Dora terbantu oleh kemampuan ‘khusus’ yang dimiliki oleh teman-teman sekolahnya.

kebayang nonton sama anak-anak, terus mereka ngobrol sama Dora di layar bioskop kayak kita dulu ngobrol ama layar tv hihi

 

I got my eyes set on Isabela Moner sejak Instant Family (2019) awal tahun ini. Pendekatan natural Moner dalam men-tackle tokoh anak rebel yang sebenarnya stereotipe membuat tokoh itu menjadi luwes bergerak dalam range emosi yang jauh. Sebagai Dora, Moner mengemban tugas yang sekilas receh. Tapi ada unsur sureal, karena Dora menggunakan gelagat ceria dan quirky sebagai mekanisme pertahanan dari penolakan ataupun kemungkinan dikucilkan. Semua itu harus cewek ini sampaikan dalam nada komedi. Dan Moner punya penguasaan waktu-komedi yang tepat sehingga elemen-elemen kartun yang tokohnya sampaikan diterima oleh kita sebagai candaan yang menguatkan karakternya. Simak dengan selownya Moner mengucapkan dialog “Hutan bukan tempat berbahaya. Asalkan kita tidak menyentuh apapun. Dan tidak bernapas terlalu dalam”, atau adegan simpel ketika Dora menyapa semua manusia yang ia temui di bandara dan sekolah.

Dora and the Lost City of Gold bekerja terbaik ketika si Dora berada di kota beneran. Cerita fish-out-of-water yang disuguhkan tampak spesial oleh keunikan tokoh Dora. Dia menyebutnya ‘berinteraksi dengan orang lokal’. Aku ngakak ketika isi tas Dora dibongkar di gerbang sekolah, dan kita menemukan banyak benda-benda ‘survival di hutan’ di dalam sana. Film tampak ingin mengomentari bahwa kota tidak lebih baik daripada hutan. Dora mendapat momen ‘welcome to the jungle‘nya justru ketika dia berada di kota. Dia merasa lebih kesepian di sana ketimbang di antara pohon-pohon. Film akan berjalan di arah yang totally berbeda jika terus membahas Dora yang berusaha hidup di kota.

Sayangnya, naskah tidak mengizinkan hal itu terjadi. Naskah melakukan pilihan aneh yang membuat cerita seperti udah maju, terus balik lagi. Dora ditarik kembali ke hutan karena diculik. Dia harus menemukan ayah dan ibunya yang menghilang dalam ekspedisi pencarian Kota Emas Parapata di hutan. Sebelum mereka ditemukan lebih dulu oleh para penculik yang bermaksud menangguk emas dari pengetahuan mereka. Jadi naskah film ini cerita bermula di hutan, kemudian inciting incident menyebabkan Dora harus pindah ke kota, namun plot poin-satunya membawa Dora kembali lagi ke hutan. Cerita fish-out-of-water malah berbalik ke teman-teman Dora yang harus belajar survive di hutan. Melihat Dora beraksi di ranah yang sudah ia jago, kendati exciting dan kocak, tetap tidak sebanding dengan tawaran yang sudah di-tease ke kita tentang Dora berusaha hidup bersosialisasi di kota. Petualangan Dora bersama teman-teman di hutan cukup seru. Seperti Indiana Jones versi cewek. Versi lebih cilik daripada kelihatannya. Eksplorasi mereka melingkupi pemecahan teka-teki hingga aksi meloloskan diri dari jebakan. Porsi aksi ini sebenarnya lumayan punya suspens. Tapi film senantiasa menarik diri kembali, mengingatkan kepada kita bahwa yang kita tonton ini tak lebih dari kartun anak-anak. Misalnya ketika Dora hendak tergencet tembok yang menutup; cara keluar dari situasi ini sangat kartun – melibatkan Boots CGI melakukan tingkah ‘ajaib’. Ada banyak adegan-adegan seperti petualangan beneran yang kemudian didaratkan oleh elemen kartun, meredamkan sense-of-danger. Yang dilakukan supaya tetap senada ama kartunnya, atau juga mungkin dirasa terlalu ‘berat’ untuk konsumsi anak-anak.

Parapata mungkin ada di parampatan depan sono, dek

 

Buat anak kecil memang film ini mengandung pembelajaran. Mereka bisa belajar soal mencari ilmu pengetahuan adalah hal yang mengasyikkan. Harta yang paling berharga dalam film ini bukan hanya keluarga, melainkan teman-teman dan ilmu. Film berpesan untuk tetap mencari ilmu sekalipun kau tampak aneh, diejek ‘nerd’, atau ‘dork‘ seperti Dora karenanya. Anak-anak akan dapat cepat menangkap pesan tersebut karena cerita dan adegan film ini memang dirancang untuk kepentingan mereka.

Tapi juga, menurutku film ini sedikit krisis eksistensi diri. Film tergiur untuk menjadi tontonan nostalgia untuk anak-anak yang dulu menonton kartunnya. Film mengambil tokoh remaja untuk menimbulkan kesan Dora tumbuh bersama mereka. Tapi ceritanya yang masih untuk anak kecil membuat Dora lebih cocok untuk anak kecil jaman sekarang. I mean, film ingin menarik bagi remaja atau yang lebih tua, tapi sekaligus juga hadir sebagai tontonan anak kecil. Ini sedikit membingungkan. Maka kita mendapat adegan Dora menggali lubang untuk buang-air sambil berdendang. Menurutku, keinginan film untuk menggapai lebih banyak lapisan penonton membuat penceritaannya menjadi setengah-setengah. Sepertinya akan lebih bagus jika terarah, Doranya tetap anak kecil dan ceritanya bertualang begini, atau Dora remaja dengan cerita dia di kota. Tapi tentu saja, bukan lagi Dora namanya jika tidak bertualang di hutan.

 

 

 

Jadi film memilih untuk tidak menjadi lebih besar dari yang ia bisa. Film mengadaptasi banyak elemen unik dari kartun, dan mengolahnya untuk menghidupkan Dora-yang-sama tapi dalam lingkungan baru yang supposedly lebih real, untuk penonton anak-anak jaman kekinian. Buatku masalah film ini bukan pada pilihannya menjadi receh atau menjadi film anak-anak banget. Dora justru punya pesona di ranah itu. Tapi adaptasi kartun Nickelodeon ini terbingungkan oleh nostalgia, sehingga naskah jadi sedikit messy. Ini gak akan jadi masalah untuk anak-anak sih, mereka akan senang sekali diajak orangtua dan kakak mereka kenalan ama Dora dan Boots, bernyanyi dan bertualang bersama.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for DORA AND THE LOST CITY OF GOLD

 

SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK Review

“The only thing worse than being abandoned is knowing that you’re not even worth an explanation”

 

 

Cerita seram yang paling seram itu biasanya adalah cerita-cerita yang kita dengar langsung dari teman (“tau enggak, kakakku punya teman, nah temannya itu punya tetangga, yang punya kakak yang ngeliat hantu di kamar mandi sekolah saat dia ngaca sambil nyebut nama Mary tiga kali”) atau dari keluarga (yang ini biasanya semacam nasehat terselubung). Cerita-cerita semacam itu dapat dengan cepat mendarah daging sehingga munculah urban-urban legend atau mitos lokal. Yang meskipun ceritanya gak make-sense, tapi kita tetap ‘percaya’ karena ada kesan familiar. Cerita-cerita demikian banyak yang lantas dijadikan ide untuk media seperti video game, buku, ataupun film. Tapi tidak banyak media yang mampu untuk menimbulkan kesan seram yang sama dari cerita seram yang kita dengar langsung. Karena media, khususnya film, cenderung untuk membuat cerita seram yang sebenarnya simpel menjadi rumit. Ingat bagian ‘kakakku punya teman blablabla’? itu adalah backstory needlesly rumit yang tak bisa terhindarkan bahkan jika cerita seram diceritakan secara langsung. Dalam media film, bagian tersebut dapat berkembang menjadi lebih rumit lagi.

Novel klasik Scary Stories to Tell in the Dark adalah salah satu yang berhasil bercerita horor. Sebagai kumpulan cerita pendek seram untuk anak-anak dan remaja,  buku tersebut tidak menyediakan ruang untuk berlama-lama mengarang backstory. Cerita seramnya langsung dihamparkan sehingga tepat sasaran. Misalnya, salah satu cerita yang paling kuingat adalah tentang wanita yang lagi ngendarain mobil di malam hari, yang terus diikuti oleh mobil misterius yang mengedip-ngedipkan lampu depannya. Si wanita kontan menjadi parno tapi ternyata si mobil misterius sebenarnya berusaha memberi tahu bahwa ada seseorang berpisau yang lagi ngumpet di jok belakang mobil si wanita. Berkat cerita itu sampai sekarang aku selalu lebih memilih untuk duduk di kursi paling belakang setiap kali naik mobil, biar langsung ketahuan kalo ada yang ngumpet di sono. Banyak cerita dalam Scary Stories to Tell in the Dark yang bahkan tidak repot-repot memberi nama pada tokohnya. Kita tidak benar-benar butuh untuk tahu siapa nama tokoh dalam cerita seram, yang kita butuhkan adalah lingkungan atau situasi yang akrab dengan kita. Dan kebanyakan cerita seram yang efektif memang seperti demikian, seperti cerita orang-orang tua kita.

Keberadaan film adaptasi buku Scary Stories merupakan fenomena mengerikan tersendiri buatku. Karena aku tahu aku pasti bakal nonton, terlebih karena diproduseri – juga turut ditulis – oleh Guillermo del Toro. Nama tersebut sudah seperti jaminan kita bakal melihat banyak makhluk-makhluk seram yang benar-benar memanjakan fantasi horor kita. Tapinya lagi, aku juga ragu untuk nonton karena sangsi mereka bisa keluar dari batasan ‘horor untuk anak-anak’ pada film komersil. Horor untuk anak-anak cenderung ditranslasikan sebagai horor jinak yang berat oleh eksposisi, yang dihidupi oleh tokoh-tokoh kodian alias sebatas trope-trope tokoh cerita remaja. Ketakutanku tersebut terkabul menjadi nyata.

silakan berfantasi

 

Menunggangi ombak kesuksesan Stranger Things dan hype IT Chapter 2, Scary Stories to Tell in the Dark bermain kuat di unsur nostalgia. Ketika mereka menghidupkan cerita pendek demi cerita pendek ke layar lebar, fantasi kita akan cerita-cerita tersebut seperti terpanggil keluar. Terwujudkan oleh sosok-sosok yang bikin kita berkeringat dingin. Remaja dalam cerita film ini adalah geng yang bisa saja seperti geng kalian di sekolah, di lingkungan rumah. Mereka suka cerita seram. Mereka pengen ngerjain tukang bully. Menit-menit awal film ini tampak menarik. Lingkungannya terasa hidup. It was America in 1968, presiden mereka masih Nixon, perang Vietnam baru dimulai, lagi suasana halloween dan seperti yang dikumandangkan oleh soundtrack – it was a season of the witch.

Setting seharusnya memang tidak hanya berfungsi layaknya backdrop dalam sebuah pagelaran, namun juga mesti mampu menyediakan konteks budaya dan sejarah yang menambah pemahaman penonton terhadap karakter di dalam cerita. Dalam kata lain, film yang baik akan berusaha membuat setting waktu dan tempat menjadi karakter tersendiri, yang hidup dan berkembang seiring tokoh-tokoh cerita. Waktu dan tempat itu menyimbolkan keadaan emosional yang memotivasi bahkan menghantui para tokoh. Scary Stories to Tell in the Dark, meskipun diniatkan untuk penonton muda, tidak lantas melupakan kepentingan setting waktu dan tempat. Tentu, anak kecil atau remaja yang menonton sebagian besar akan melewatkan hal ini, tapi film tidak punya niat untuk merendah demi para penonton tersebut. Settingnya tetap dibuat kuat dan penting sebagai ‘pembentuk’ tokoh kita.

Ada narasi soal child-abandonment yang dihamparkan untuk semua penonton – tua ataupun muda – di balik cerita tentang sekelompok remaja yang nekat memasuki rumah angker dan membawa pulang buku yang setiap malam menuliskan kisah kematian yang dengan segera menjadi nyata. Karena tokoh utama kita, Stella (tokoh Zoe Margaret Colletti ini bisa menjadi role-model yang bagus untuk remaja yang bercita-cita menjadi penulis), ditinggalkan oleh ibu kandungnya semenjak kecil. Begitupun dengan sosok hantu utama – yang menulis semua kisah horor tersebut – disekap oleh keluarga besarnya. Dan di dunia nyata seperti yang dilatarkan oleh film, anak-anak muda ‘dibuang’ begitu saja oleh negara ke Vietnam untuk berperang entah demi apa.

Hal yang paling mengerikan dari diabaikan oleh orang, oleh keluarga, tempat kita menggantungkan diri, adalah engkau dianggap tidak ada. Tidak ada yang menceritakan dirimu. Tapi semua orang butuh untuk didengar. Semua orang punya cerita untuk diceritakan. Film ini menunjukkan betapa pentingnya peranan suatu cerita. Pentingnya suatu kejadian untuk dikabarkan dengan benar. Kita akan lebih rendah dari hantu jika tidak ada catatan, jejak keberadaan kita, yang diketahui oleh orang lain.

 

Tangan sutradara Andre Ovredal tentu saja enggak cukup untuk mengakomodasi semua kepentingan film ini. Dia harus memasukkan banyak cerita-cerita pendek, mengikatnya dengan gagasan sehingga elemen cerita berjalan paralel, sekaligus harus memikirkan target penonton. Ketika di awal-awal film berjalan menyenangkan, masuk ke babak kedua, film yang memilih buku dan hantu yang menulis sebagai device untuk memasukkan banyak cerita pendek klasik, mengempis menjadi sajian horor standar yang meskipun berani menampilkan konsekuensi kematian tapi tidak lagi terasa segar. Alih-alih menjadi antologi berbenang merah setting seperti Trick ‘r Treat (2007), Ovredal menyetir film menjadi ke arah Goosebumps (2015). Semua monster dan kejadian ikonik pada cerita-pendek dimunculkan bergantian untuk mengeliminasi para tokoh, membangun stake tokoh utama karena berikutnya bisa saja giliran dia. Akibatnya untuk cerita-cerita itu adalah mereka hanya jadi ada di sana untuk diperkenalkan kepada penonton muda. Padahal materi horor ini mengerikan karena di setiap cerita kita diberi kesempatan untuk menyelami apa yang terjadi kepada tokoh. Seperti ketika seorang tokoh yang memukuli orang-orangan sawah yang diberi nama Harold, lalu kemudian Haroldnya hidup dan menyerang si tokoh tadi. Kita terinvest sama kejadian horor yang pertama ini karena kita melihat alasan dan koneksi cerita dengan kita. Tapi di cerita-cerita berikutnya, film seperti tergopoh-gopoh untuk menakuti lewat visual semata. Cerita jempol di dalam sop menjadi kehilangan kedekatan karena kita tahu sopnya muncul begitu saja. Cerita Red Spot tidak lagi berbobot psikologi karena kita tahu itu bukanlah jerawat. Cerita Pale Lady bahkan tidak terbangun properly karena hanya sekilas disebutkan tokohnya mimpi

Menonton mereka tidak lagi seperti mendengar cerita seram secara langsung – yang merupakan pesona dari materi aslinya. Kita hanya jadi takut melihat makhluk-makhluk seram. Padahal toh sudah gamblang tertulis. Scary Stories. Cerita. Seram. Yang seram seharusnya adalah ceritanya. Meskipun bertempat di setting yang sesuai dengan sejarah nyata, film menjadi petualangan investigasi misteri yang terlalu fantastis untuk terasa dekat dengan siapa saja.

seperti kata orangtuaku saat aku nanya jawaban PR; semua ada di buku

 

 

 

 

Berusaha untuk setia dengan materi aslinya, tapi cerita-cerita pendek itu sesungguhnya tidak butuh untuk diceritakan ulang lewat narasi berlatar belakang yang kompleks. Karena pada akhirnya – lantaran diniatkan untuk penonton muda – film ini mengambil wujud horor yang pasaran, yang penuh oleh trope dan stereotype. Dia malah tampak seperti tiruan versi lebih nekat dari film tentang buku horor yang semua ceritanya menjadi nyata. Film berusaha memberi gambaran soal keadaan mengerikan yang bisa menimpa anak-anak dan yang berusia remaja – dia bisa saja berdiri sendiri membahas ini. Tapi ada tuntutan sebagai adaptasi untuk mengakomodir banyak cerita dari tiga buku. Film ini seperti menggigit lebih banyak dari yang bisa ia kunyah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Beberapa waktu lalu aku membaca majalah dari Lembaga Sensor Film soal horor bukan tontonan untuk anak-anak.

Apakah kalian setuju? Menurut kalian seperti apa sih sebaiknya film horor untuk anak-anak dibuat?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LION KING Review

“The worst form of inequality is to try to make unequal things equal.”

 

 

Dalam cerita The Lion King, Simba digebah oleh pamannya yang licik untuk meninggalkan Pride Lands. Scar, sang paman, membuat Simba percaya bahwa singa kecil yang enggak bisa mengaum tak pantas untuk menjadi raja. Apalagi – hasutan Scar semakin menjadi-jadi – Simba sudah membuat ayahnya celaka. Sehingga Simba kabur ketakutan. Dia kemudian akan melupakan dirinya sendiri, menjadikan filosofi “do nothing dan tak-perlu khawatir” sebagai eskapis.

Kita semua sudah tahu cerita ini kan, Lion King (1994) adalah salah satu animasi Disney paling ikonik. Versi live-action garapan Jon Favreau ini mengambil cerita yang persis sama. Scar adalah penjahat utama dalam cerita. Dia yang adik dari raja, menyusun rencana jahat menyingkirkan both raja dan putra mahkota sehingga dirinya bisa naik tahta. Tapi benarkah Scar jahat? Bukankah yang ia kampanyekan kepada kawanan hyena adalah seruan persamaan – semua binatang mendapat jaminan equality. Hyena tidak perlu lagi hidup di wilayah bayang-bayang; tidak seperti ketika era pemerintahan Mufasa di mana hanya singa yang mendapat wilayah berburu paling banyak. Tapinya lagi, jika Scar memang mengutamakan equality, kenapa pada masa pemerintahannya Pride Lands justru kering kerontang dan sumber makanan menipis? Apakah karena Scar-nya saja yang enggak kompeten, atau memang sebenarnya inequality itu diperlukan untuk mengatur keseimbangan?

See, ketika aku menonton Lion King animasi sewaktu kecil aku tidak memperhatikan kandungan ideologi politik yang mengapit kisah hidup Simba. Jadi ketika menonton film yang baru ini, aku juga mendapat pengalaman baru di atas nostalgia. Karena memang film ini hampir sama persis dengan versi orisinilnya. Mulai dari pengadeganan hingga gerakan kamera semuanya dibuat serupa. Jikapun ada yang berbeda, maka itu hanyalah pemendekan adegan, atau pemanjangan, dan beberapa penambahan  untuk membuat durasinya berbeda. Dan tentu saja, visualnya. Pencapaian teknis yang disuguhkan oleh film ini memang sungguh luar biasa. Semua yang ada di layar itu, terlihat seperti asli. Seperti foto. Padahal kita juga tahu, kita juga mungkin meledek, enggak cocok disebut live-action karena toh semua yang kita lihat itu masih tergolong animasi. Pohon-pohon, serangga, bulu singa, semuanya tampak meyakinkan. Film berusaha menampilkan hewan-hewan tersebut senatural mungkin. Ditambah dengan pesan politik yang sebenarnya masih dan cukup relevan dengan keadaan sekarang, aku bisa mengerti studio dan pembuat film ini benar-benar ingin membuat sesuatu yang epik dari Lion King yang sudah kita kenal dan cintai.

Dengan latar cerita yang kuat, bahkan pertarungan singa beneran ala channel satwa pun bisa tetep menarik untuk disaksikan

 

 

Sedari awal, cerita sudah berusaha memfokuskan perhatian kita kepada ideologi Mufasa dan Scar. Saat lagu pembuka Circle of Life kita melihat semua binatang tunduk kepada raja, semuanya hadir saat upacara pengenalan putra mahkota. Bahkan hewan-hewan yang di kemudian hari bakal menjadi santapan perburuan si bayi singa lucu itu. Hanya satu yang tidak ikut; Scar. Alih-alih, dia menyuarakan ketidaksetujuannya dengan paham Circle of Life lewat monolognya tentang dunia adalah tempat yang tidak adil. Film hanya akan sebagus tokoh antagonisnya, dan Scar tak pelak adalah salah satu antagonis film yang paling menarik. Karena dia percaya dia adalah raja yang lebih baik.  Dalam film ini, Scar lebih sedikit ‘galak’ daripada versi orisinilnya yang tampak agak pengecut. Scar yang baru ini, terlihat lebih dari sekadar iri sama Simba yang kelahirannya menendang Scar keluar dari jalur tahta. Scar tampak actually percaya bahwa dia bisa memimpin dengan lebih baik. Dengan ideologi yang lebih benar. Makanya dia ngamuk saat nama Mufasa disebut-sebut. Saat menjadi raja, Scar mengajak para hyena untuk hidup berdampingan dengan singa, dan dengan hal tersebut Scar menciptakan struktur sosial yang berpaham seperti komunis, di mana semua orang hidup sebagai ekual. Tapi dia juga berpikir seperti seorang fasis saat ia sebenarnya mengakui hyena adalah kelas-bawah, dan fakta bahwa sebenarnya dia menggunakan mereka sebagai tentara untuk menjamin keuntungan bagi dirinya sendiri.

Penyamarataan seperti demikian justru membuat keadaan menjadi semakin tidak berimbang. Mufasa dengan teorinya, sebagaimana terus diingatkan oleh film ini lewat pembelajaran tentang rantai-makanan, mengingatkan kepada kita bahwa setiap makhluk punya tugasnya di dunia. Ada yang perlu lebih dulu makan, ada yang nantinya bakal dimakan. Semuanya akan menunaikan tugas pada waktunya. Keseimbangan itulah yang seharusnya dijaga karena itulah yang melambangkan keadilan yang sesungguhnya. Keberagaman yang membentuk satu lingkaran kehidupan dengan tugas, kewajiban, dan hak masing-masing.

 

Bahkan cerita dalam film pun bergerak melingkar, tak terkecuali film ini. Kita melihat Simba yang sudah belajar mengingat kembali siapa dirinya, di mana posisinya di dalam Lingkaran tersebut, memahami apa purpose dirinya, akhirnya kembali pulang dan mengembalikan keseimbangan. Kita melihat Pride Lands subur kembali dan hewan-hewan kembali membungkukkan badan. Kali ini kepada anak Simba. Lingkaran itu terus berlanjut ketika semua orang berada pada posisinya masing-masing. Ada yang di atas, ada yang di bawah.

However, dalam industri film sendiri ada juga Lingkaran Kehidupan. Buat – Dapet duit – Buat lagi. Beberapa mengambil langkah ekstrim; terus membuat ulang film-film yang bagus. Seperti The Lion King ini. Ceritanya boleh senantiasa bagus dan masih relevan, tapi kita tidak bisa tidak melihat kepentingan duit adalah nomor satu di sini. Karena selain visual yang mind-blowing dan beberapa pendekatan berbeda yang dilakukan oleh pengisi suara terhadap karakter mereka – paling kuacungi jempol adalah Seth Rogen yang tawanya memberi nafas baru buat Pumbaa baru – film ini tampak tidak peduli banyak untuk berubah. Mereka bergantung pada nostalgia. Tentu, penonton bakal tetap nonton dan suka karena sudah kadung cinta sama originalnya. Tapi sebagai sebuah film, The Lion King melewatkan banyak kesempatan untuk menjadi lebih. Mereka bahkan tidak terlalu peduli ketika ada beberapa hal tidak bekerja dengan baik.

“Can you feel the love this afternoon~”

 

Pertama adalah soal Scar tadi. Film seperti hanya mengopi-paste versi animasi orisinil tanpa melakukan perubahan yang benar-benar dipikirkan. Untuk alasan yang gak jelas, mereka menambahkan subplot saingan cinta antara Scar dan Mufasa dalam mendapatkan Sarabi. Dibangun sedari awal, Scar punya ketertarikan sama Sarabi, dan dimainkan ke dalam elemen Scar berusaha membuktikan dia lebih baik dari Mufasa di mana Sarabi menjadi semacam bukti legalitasnya. Penambahan ini terasa seperti dimasukkan sekenanya, dan gak cocok untuk menambah pengaruh apa-apa. In restropect malah membuat film akan bisa semakin efektif jika adegan soal ini dibuang, yang mana bakal mengembalikan film seperti keadaan orisinal. Penambahan ala kadar seperti begini juga dilakukan pada Dumbo (2019) pada bagian aspek tokoh manusia dan juga pada Aladdin (2019) yakni bagian Jasmine dan lagu ‘Speechless’. Ini mengukuhkan kesan bahwa proyek remake live-action Disney sebenarnya mentok. Mereka gak benar-benar menambah banyak pikiran ke dalamnya. Mereka hanya menambahkan alih-alih menggali sesuatu yang baru.

Lalu, we circle back to the visual. Aku pikir mereka sendiri sebenarnya melupakan alasan kenapa Lion King dibuat sebagai animasi pada awalnya. Mustahil membuat binatang bergerak, bernyanyi, berekspresi seperti manusia. Jadi animasi adalah media yang tepat. Mereka bisa colorful, fun, dan mengundang simpati sembari berenergi. Keputusan menjadikannya seperti binatang asli membuat film menemui banyak kekurangan seputar ekspresi dan jiwa tokoh-tokohnya. Tak banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuat binatang bernyanyi terlihat realistis, toh. Banyak ekspresi wajah yang tak mampu tergambarkan, sementara filmnya bersikeras untuk meniru shot demi shot film animasi; shot animasi yang terang-terangan menunjukkan ekspresi manusia pada gambar hewan. Akibatnya ketika kita melihat hal emosional seperti Simba melihat ayahnya jatuh, maka yang tertranslasikan oleh film live-action ini hanyalah singa yang membuka mulutnya. Tidak ada rasa yang tersampaikan. Para pengisi suara pastilah kesusahan menghidupkan tokoh-tokoh film ini. Jadinya emosi mereka enggak nyampe. Ketika Nala kecil bilang Simba sungguh pemberani, kita enggak tahu dia bercanda, ngeledek, atau beneran tulus. Liciknya Scar juga tidak tampak, yang membuat dia tampak lebih jahat sekarang, dia tidak lagi terdengar bersenang-senang dengan rencananya.

 

 

Untuk penonton yang hanya mengincar nostalgia, pengen nonton yang udah cerita yang udah khatam awal hingga akhir – kali ini dengan visual level dewa, film ini masih akan enjoyable untuk disaksikan. Mendengarkan suara Mufasa yang menggetarkan hati, bernyanyi I Just Can’t Wait to be King, melihat tingkah kocak Timon dan Pumbaa. Semua hal tersebut masih dapat dijumpai, dan nyaris serupa dengan film aslinya. Tapi penonton yang ingin mendapatkan penggalian baru, ingin dikejutkan oleh elemen-elemen segar, yang mau menyimak gagasan dan visi yang berbeda, bakal mendapati sedikit kekecawaan. Aku pribadi jika kemudian hari dihadapkan pada pilihan di antara dua, pasti akan lebih memilih nonton animasi yang lama lagi saja karena lebih fun dan ceritanya lebih tight dibandingkan versi live-action ini yang lebih sok-serius dan cerita yang lebih meluas padahal tak banyak memberikan perubahan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LION KING.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal keluarga singa dalam film ini; jika satu kawanan singa terdiri dari satu alpha male dan selebihnya betina, apakah itu berarti Simba dan Nala bisa jadi adalah saudara sebapak? Atau mungkin mereka sepupuan?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ROCKETMAN Review

“Worry about loving yourself instead of loving the idea of other people loving you”

 

 

Tidak semua orang tahu nama asli Elton John adalah Reginal Kenneth Dwigth, karena musisi ini memang mengganti namanya secara legal karena kecintaannya terhadap musik blues. Biopic musikal Rocketman garapan Dexter Fletcher bahkan menjadikan soal nama tersebut sebagai poin vokal. Disebutkan dalam film ini, bahkan Elton John sendiri berusaha untuk ‘melupakan’ nama kecilnya. Karena, seperti yang ia ceritakan kepada kita dan lingkaran grup sharing  – film dimulai dengan sangat menarik kita melihat John datang sempoyongan lengkap dengan kostum setan dalam balutan gaya pop – bahwa hubungan dirinya sedari kecil tidak begitu baik dengan kedua orangtuanya. Terutama kepada ayah. Padahal bakat jenius dalam bermusik yang ia miliki merupakan turunan dari sang ayah. Dia seringkali dicuekin. Hingga dia tumbuh gede menjadi musisi sukses dan mengganti namanya. Orang-orang suka Elton John, yang ironisnya membuat dia sendiri semakin ‘benci’ dengan dirinya yang asli – si Reggie Dwight, anak kecil malang. Sungguh sebuah harga yang mahal untuk sebuah pengakuan!

Elton John is a larger than life persona. Tetapi Rocketman mendaratkan tokoh ini sehingga John kita rasakan tak ubahnya sama dengan kita semua. Tak-kalah menyedihkannya. Setiap hari kita melihat orang-orang di sekitar, dan juga kita sendiri, berusaha mengerjakan sesuatu supaya sukses dalam bidang masing-masing. Ada yang pepatah luar yang bilang “bekerja keraslah hingga suatu hari kau tidak perlu lagi memperkenalkan namamu kepada semua orang”. Film ini memperlihatkan kepada kita, melalui sudut pandang Elton John seorang musisi besar, sejauh mana seseorang mampu bertindak demi diakui oleh orang. John begitu putus asa pengen dilirik oleh ayahnya. John terkenal, tapi itu hanya ‘persona’nya. Dirinya yang di dalam, the real him, menjadi sangat tak-penting sampai-sampai John sendiri tak mau mengenali. Ketika dia membicarakan kemunduran dan masalah di pertemuan sharing pada adegan pembuka itu, barulah John memanggil kembali dirinya. Untuk melihat keindahan cerita film ini, aku sarankan kalian mendengarkan dengan seksama cara John menyebut dirinya dari awal cerita hingga akhir. Rasakan perubahan tone yang bergerak berlawanan dengan kejadian demi kejadian di mana dirinya semakin ‘hancur’ yang mengisyaratkan penyadaran yang perlahan terbit di dalam diri tokoh ini.

Jangan meroket ketinggian oleh puja-pujaan sementara kita lupa mencintai diri sendiri. Lupa sama diri sendiri. Jangan korbankan diri untuk mencari cinta dan pengakuan dari orang lain. Jadikanlah Elton John dalam Rocketman sebagai contoh kasus; kita akan berakhir tak bahagi dan semakin membenci diri sendiri. Lakukanlah apa yang membuatmu bahagia, demi dirimu sendiri.

 

Kita akan melihat dari kacamata Elton John, dan kalian semua tahu betapa fabulous-nya kacamata Elton John

 

Sehubungan dengan itu; penampilan Taron Egerton sangat memukau. Dia tidak sekadar menjadi Elton John. Quick fact: tidak akan ada seorang pun yang bisa menjadi Elton John like Elton John did. Egerton menyeruak ke dalam perannya ini dengan ‘keanggunan’ khusus ciptaannya sendiri. Seperti beginilah akting yang sebenarnya akting. Bukan masalah gigi palsu, atau wig, atau dandanan rambut yang disama-samain. Ketika kau memerankan karakter, kau menghidupi jiwa karakter tersebut dengan pendekatan personalmu sendiri. Seperti yang dilakukan Taron Egerton di sini. Egerton menyanyikan semua adegan musikal. Meskipun suaranya memang terdengar berbeda dari Elton John yang asli, tapi kita melihat dan mendengar jauh beyond semua itu. Kita tidak mendengar ada yang nyinyir mengatakan Taron Egerton merusak lagu legenda. Karena penampilan akting yang ia suguhkan membuat kita semua konek dengan jiwa tokohnya.

Dexter Fletcher sepertinya belajar dari kekurangan pada Bohemian Rhapsody (2018), sama-sama film tentang biografi musik legendaris, yang ia ambil alih setelah sutradara asli film tersebut keluar. Di Rocketman, dia tak lagi ragu untuk membahas hal-hal personal. Beserta isu-isu sosial yang menyertainya. Tak pernah film ini terasa terlalu mengkultuskan tokoh yang ia ceritakan. Elton John tergambarkan dengan lebih bebas ketimbang Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody. Ketika disorot dari cahaya ‘lampu yang buruk’, tidak ada usaha overprotektif terhadap tokohnya, cerita malahan dengan berani menerjunkan kita ke dalam kepala sang tokoh. Dan ini membuat kita secara natural semakin peduli dan tertarik kepadanya. Mereka tidak menirukan seorang tokoh, melainkan memfantasikan seluk beluk sang tokoh. Makanya film ini terasa benar-benar hidup.

Cara bercerita mengemas semua arahan dan penampilan sedemikian rupa sehingga membuat Rocketman amat sangat menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Visual yang dihadirkan benar-benar mengikat fantasi ke dalam realita. Atau, realita ke dalam fantasi? Aku gak tahu karena film benar-benar mengaburkan batas, membuatnya mengasyikkan untuk diikuti. Musik-musik yang diperdengarkan di sini benar-benar dimainkan, dinyanyikan, sebagai bagian dari sebuah penceritaan. Adegan bernyanyi bukan sekadar muncul ketika Elton John nampil di depan penggemar. Melainkan menyatu dengan kebutuhan emosional cerita. Seperti misalnya ketika John Kecil merasa sedih, kemudian dia lantas bernyanyi. Dan dia memandangi ayahnya. Kemudian kita mendengar ayahnya ikutan bernyanyi, menyuarakan apa yang ia rasakan. Semua orang di film ini bernyanyi. Menari dengan koreografi, sebagai bagian dari fantasi yang dirasakan jauh di dalam hati John. Membuat setiap poin-poin cerita film ini terasa segar, asik untuk disimak.

setelah nonton Rocketman, kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri: “Rami Malek who?”

 

Cerita seorang tokoh, dalam kasus ini musisi, memang perlu untuk mengambil langkah berbeda seperti yang dilakukan oleh film ini. Lantaran sebagian besar contoh film-film genre ini kita dapati selalu memilih untuk jadi biografi. Sehingga punya format yang sama. Format yang ‘membosankan’ kalo boleh kutambahkan. Film biopik seringkali akan dimulai sedari tokoh masih kecil, dan berlanjut remaja, dewasa, memasukkan semua fakta-fakta tentang si tokoh (apa-apa saja yang terkenal dari si tokoh). Yang pada kelanjutannya membuat ceritanya membosankan karena terlalu melebar sehingga terasa episodik, dan gak benar-benar kohesif dengan gagasan yang ingin disampaikan. Itu juga kalo gagasannya ada, sebab sering juga biografi atau cerita tentang seorang tokoh dipenuhi oleh kepentingan untuk pencitraan semata. Untuk kasus cerita tentang musisi, konflik yang ada pun sebenarnya kurang lebih sama. Mereka terkenal dan jauh dari orang yang dicintai. Mereka depresi. Party, mabok-mabokan. Terlibat narkoba. Penyimpangan seksual. Terjangkit penyakit mematikan. Semua itu adalah trope-trope biasa yang sering kita temukan pada biopik musisi apa saja. Pada Rocketman pun seperti demikian. Rentetan kejadiannya sangat seusai dengan formula tradisional. Akar masalah sedari kecil – montase sukses – terpuruk – sakit – bertengkar dengan orang yang paling dekat dengannya – kemudian menyesal dan berusaha bangkit sendiri.

 

 

Jika diceritakan dengan ‘lurus-lurus’ saja, film ini pastilah akan membosankan. Pacing ceritanya tak pelak memang bermasalah. Tapi film ini tetap hadir menyenangkan dan menarik lantaran dia diarahkan dengan cara yang berbeda. Biopik ini tidak bermaksud menjadikan dirinya sebatas meniru kejadian yang asli. Melainkan sebagai sebuah fantasi tentang sesuatu pada seseorang yang pernah terjadi. Inilah yang membuatnya hebat. Penampilan akting yang berkharisma dan penuh emosi. Adegan musikal yang menghipnotis. Tak ketinggalan pula gagasan, pesan yang berakar pada hubungan antaranggota keluarga. Semua hal tersebut sukses memopang sudut pandang seseorang tokoh yang begitu lain daripada yang lain. Sehingga semua orang bisa mudah terkonek dengannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROCKETMAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa ya banyak musisi terjatuh di lubang depresi yang sama?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

TOY STORY 4 Review

“It’s the broken toys that need the most love and attention”

 

 

Dalam semesta Toy Story, semua mainan bisa berbicara. Dapat bergerak sendiri, dan merasa sedih kalo tidak lagi diajak bermain oleh anak yang memiliki mereka. Karena itulah tujuan para mainan tersebut diciptakan. Dan mainan di sini ini bukan terbatas yang seperti Woody, Buzz Lightyear, Jesse, atau Rex, yang memang sebuah figur aksi, yang punya baterai, dan diprogram untuk dimainkan aja. Melainkan juga boneka porselen seperti Bo Peep yang sebenarnya hanya hiasan ruangan. Atau bahkan potongan-potongan bagian dari mainan pun bisa bergerak dan diam-diam pengen dimainkan oleh manusia.

Toy Story 4 memperkenalkan kita kepada ‘mainan’ baru. Bernama Forky, yang dibuat dari senpu (sendok-garpu) ditambah mata-mataan dan potongan ‘sampah’ lainnya. Woody menyaksikan sendiri gimana Bonnie, anak perempuan yang jadi ‘majikan’nya menciptakan Forky out of her insecurities di hari orientasi TK. Forky memang tercipta sebagai mainan hasil imajinasi anak-anak, tapi dia sendiri tidak tahu dirinya adalah mainan. Tapi bukan seperti Buzz pada film pertama yang gak sadar dirinya cuma mainan. Inilah yang membuat tokoh baru yang sebenarnya cukup annoying tersebut menarik. Karena Forky berbeda dari mainan-mainan yang sudah kita kenal. Untuk pertama kali, kita bertemu mainan yang tidak mengenali dirinya sebagai mainan. Alih-alih bermain bersama anak, insting natural Forky adalah kembali ke tempat sampah. Sikap Forky ini ‘mengganggu’ Woody. Penting bagi Woody – yang tadinya selalu berada dalam lemari karena tak-terpilih jadi teman bermain Bonnie yang lebih suka sheriff koboi cewek – untuk menjaga supaya Forky tetap berada di pelukan Bonnie. Karena ia tahu pentingnya mainan tersebut bagi Bonnie, dan juga inilah satu-satunya cara Woody bisa berguna bagi Bonnie. Jika Forky hilang kembali ke tempat sampah, itu berarti peran Woody selesai; yang berarti dia juga cepat atau lambat akan dibuang. Usaha Woody dalam mencegah semua itu terjadi membawa mereka ke sebuah petualangan yang tak-terduga. Pandangan Woody terbuka sebagaimana dia bertemu dengan berbagai mainan baru. Salah satunya adalah cengceman lamanya, si Bo Peep, yang justru tampak senang dan lebih oke sebagai mainan tanpa-pemilik.

sebelum jadi mainan aja eksistensinya udah membingungkan, sendok atau garpu

 

‘Mainan’ dalam Toy Story 4 mengandung makna yang luas. Mereka melambangkan semua hal yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk mendapat ketentraman emosional, apapun bentuknya. Hubungan saling ketergantungan yang dapat terjadi antara mainan dan manusia digambarkan film ini seperti hubungan orangtua dan anak. Ada banyak adegan yang menekankan pada persamaan ini, seperti ketika Woody bertemu Bo Peep di taman dan secara serempak mereka melihat ke balik-balik semak-semak, saling bertanya “yang mana anakmu?”. Setiap orangtua menjadi teman bagi anak-anak mereka, hingga nanti si anak dewasa dan meninggalkan rumah. However, bagi Woody, sebenarnya perasaan tersebut berkembang menjadi lebih jauh. Woody si boneka mainan jadul dalam film ini beneran terlihat seperti kakek-kakek. Setelah pisah dengan anak-originalnya, Woody begitu ingin mengusahakan yang terbaik untuk Bonnie – yang bisa dibilang sebagai cucunya. Woody tampak seperti kakek yang begitu ikut campur, bukan hanya kepada Bonnie secara langsung, melainkan juga kepada hubungan Bonnie dengan Forky.

Bobot emosional datang terus menerus dari perjalanan Woody, bermula dari dirinya yang tak bisa ‘bersaing’ dengan mainan yang lebih baru. Status Woody sebagai mainan yang sudah tua ini paralel dengan tokoh penjahat yang dihadirkan oleh naskah. Sebuah boneka ‘susan’ di toko antik yang pengen banget punya teman anak cewek. Si boneka, Gabby Gabby, mencoba terlihat menarik bagi anak kecil. Jadi dia mengecat kembali freckles di wajahnya. Kotak suaranya yang rusak, berusaha ia ganti dengan kepunyaan Woody; usaha yang menjadi sumber ‘horor’ utama di dalam cerita. Jika dalam Toy Story 3 (2010) yang lalu kita mendapat tokoh yang sekilas baik namun ternyata jadi antagonis utama, maka film debut Josh Cooley sebagai sutradara film panjang ini kita mendapati Gabby Gabby yang tampak mengancam dengan pasukan boneka ventriloquistnya yang menyeramkan ternyata tidak seperti yang kita kira.

Seberapa jauh kita mencintai seseorang. Seberapa jauh kita melangkah untuk melindungi seseorang. Orang seperti Woody – kakek atau nenek – punya begitu banyak cinta dan kepedulian untuk dibagikan. Film meminta kepada mereka untuk melihat ke dalam hati nurani, untuk mengenali ‘mainan rusak’ sebenarnya yang harus diperbaiki. Dengan kata lain, film ingin meng-encourage kita untuk tahu kapan harus berhenti dan memusatkan perhatian kepada yang lebih membutuhkan.

 

Selain menilik lebih dalam hubungan antara Woody dengan pemiliknya – pengembangan karakter Bonnie hampir-hampir diperlakukan serupa dengan karakter Riley di Inside Out (2015) – , memparalelkan hubungan Woody dengan mainan tua lain yang sama-sama punya keinginan untuk ‘mengabdi’ kepada satu anak, film juga memberikan satu hubungan emosional lain yang menjadi roda gigi penggerak narasi. Yakni hubungan Woody dengan Bo Peep. Antara Woody dengan seseorang yang punya pandangan berbeda dengannya, yang actually menantang Woody dengan satu kemungkinan lain yang tak berani ia pikirkan selama ini. Bo Peep adalah karakter yang mendapat upgrade paling besar, dia lebih dari sekadar menjadi cewek jagoan yang mandiri – perfect heroine dalam standar Disney. Salah satu kalimat berdampak gede yang ia ucapkan kepada Woody adalah “siapa yang butuh kamar anak-anak ketika kita punya semua ini?” dengan merujuk kepada dunia luar yang luas. Dunia memang merupakan elemen kunci yang ditonjolkan oleh cerita. Sebab dengan berada di sanalah, Woody actually menyadari betapa kecilnya dia yang sebenarnya. Like, dengan melihat keluar barulah kita bisa memahami apa yang sebenarnya kita butuhkan demi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar. Karena cerita dan para tokoh itu menantang kita untuk melihat dan mendengarkan hati nurani. Woody yang kadang menggunakan suara mainannya untuk mewakili kalimat yang ingin ia sebutkan, Buzz yang menekan tombol di dadanya untuk mendengarkan ‘nasehat’ apa yang harus ia lakukan, Gabby Gabby yang secara gamblang butuh ‘inner voice’ yang baru, semua elemen itu menggarisbawahi kepentingan elemen hati yang dibicarakan oleh film ini.

Dilihat dari tingkat keseramannya, Gabby Gabby lebih cocok bernama Annabelle

 

Begitu menakjubkan gimana dunia yang luas tersebut merangkul kita dengan begitu banyak emosi personal dari para tokohnya yang ditulis berlapis. Tentu saja semua itu tidak akan bekerja maksimal jika tidak ditunjang dengan pembangunan visual yang luar bisa menawan. Pixar sudah gak ada lawan dalam menyuguhkan gambar-gambar komputer yang tampak asli. Film ini tampak seperti foto asli, dengan gerakan-gerakan karakter yang mulus. Detil yang film ini tampilkan sangat mencengangkan. Lihat saja kilauan di kulit porselen Bo Peep, jahitan di kemeja Woody, bulu-bulu boneka dan kucing. Adegan pembuka menampilkan suasana hujan dengan air yang benar-benar tampak nyata.

Warna-warna segar juga turut datang dalam wujud tokoh-tokoh, baik itu yang baru maupun yang lama. Semua tokoh-tokoh itu punya peran yang dapat konek dengan berbagai tingkatan penonton. I mean, penonton cilik akan terhibur oleh keunikan desainnya. Humor film ini juga punya rentang yang cukup luas. Mungkin aku harus memberi peringatan bahwa humor film ini kadang cukup gelap. We do get some suicide attempts dari tokoh Forky yang pengen banget menetap di tempat sampah. Tapi digarap dengan halus dan innocent enough. Ini membuat Toy Story 4 jadi tontonan yang pas untuk semua anggota keluarga. Sementara memang lapisan emosionalnya mungkin bakal lebih terasa buat penonton dewasa yang sudah ngalamin pahitnya perpisahan. But that’s how good Pixar movies are. Mereka berani menjadi diri sendiri tanpa harus mematuhi kode-kode pasar dengan merecehkan atau terlalu mendramatisir cerita.

Banyaknya tokoh pada paruh awal cerita membuat kita merasa kurang pada beberapa penggalian seperti Woody dengan Buzz, ataupun dengan Jesse. Terkadang juga membuat cerita terasa seperti episode-episode yang sekedar bertualang bertemu orang-orang. Poin-poin adegan terasa agak ngawur, misalnya ketika Woody dan Forky sudah tinggal menyeberang jalan untuk ke trailer park tempat kendaraan keluarga Bonnie terparkir, tetapi Woody malah memilih masuk ke toko barang antik karena melihat lampu hias milik Bo Peep. Pada titik itu kita akan merasa bingung, apa pentingnya pilihan tersebut terhadap plot Woody secara keseluruhan. Bahkan hingga midpoint pun kita disuguhi backstory seorang tokoh baru yang baru kita lihat sehingga kita tidak yakin apa pengaruhnya. Tetapi semua itu, semua elemen cerita yang diperlihatkan oleh film ini, toh pada akhirnya terikat menjadi sesuatu yang memuaskan kita secara emosional. Episode-episode itu ternyata memang penting ketika kita sudah mengerti di paruh akhir ke mana arah cerita, walaupun tampak muncul random. Kalo mau bicara kekurangan, kupikir hanya soal tersebut yang bisa kupikirkan; Butuh waktu sedikit untuk mengikat semua elemennya. Selebihnya film ini seru dari awal hingga akhir.

 

 

 

Bagi yang sempat khawatir, entry keempat dari salah satu trilogi legendaris ini bisa kupastikan tidak mengecewakan. Film ini benar-benar masih punya sesuatu untuk diceritakan sebagai, katakanlah, ekstra dari film ketiga yang sungguh emosional. Ini bukan sekadar exist karena duit, ataupun karena filmnya sendiri tidak tahu kapan harus berhenti. Masih ada beberapa benang yang ingin diangkat, masih ada sudut pandang yang bisa dieksplorasi, dan film ini melakukannya dengan penuh penghormatan baik terhadap karakter-karakternya, maupun terhadap penonton yang sudah ikut tumbuh dan ‘bermain’ bersama ceritanya. Film ini sesungguhnya dapat saja berdiri sendiri, karena mereka melakukan kerja yang sangat efektif dalam melandaskan backstory terutama hubungan Woody dengan Bo Peep dan antara mainan dengan anak manusia di awal-awal cerita. Sehingga gak nonton triloginya pun bakal masih bisa menikmati dan terhanyut oleh cerita. Yang dapat menjadi dark dan lumayan emosional, tapi mungkin anak kecil tidak bakal terlalu memperhatikan ini karena visual yang menawan dan realistis (untuk standar dunia mainan).
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for TOY STORY 4

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa sebagian anak-anak susah move-on dari mainan masa kecil? Apakah itu akan mempengaruhi mereka saat sudah dewasa? Dan kenapa kakek-nenek kita begitu peduli, sehingga ada ungkapan yang bilang grandparent lebih sayang cucu ketimbang anak mereka sendiri?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

DARK PHOENIX Review

“The kids who need the most love will ask for it in the most unloving of ways.”

 

 

Dengan segala kesemrawutan X-Men Cinematic Universe, paling tidak ada dua hal yang kita ketahui tetap kontinu. Pertama; Jean Grey tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Dan kedua; masalah tersebut dapat membuat cewek ini menjadi jahat.

Hidup selama lebih dari sembilan-belas tahun, sebelas film X-Men dibuat secara estafet dari pembuat satu ke pembuat lain. Sayangnya, film-film ini tampaknya hanya dibangun oleh harapan masing-masing pembuat tersebut untuk menghapus ‘jejak’ yang terdahulu. Karena, apparently, membuang sesuatu toh memang lebih gampang daripada mengikatnya ke sesuatu yang baru. Makanya, cerita X-Men kemudian begitu bernapsu untuk membahas ‘kembali ke masa lalu’; mereka ingin me-reboot secara halus. Hasilnya tentu saja kita yang bingung dengan segala ketidakkonsistenan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak-terjawab oleh logika. Dark Phoenix actually mengeksplorasi ulang cerita Jean Grey yang sudah pernah diceritakan pada X-Men: The Last Stand (2006). Jean Grey punya kekuatan begitu besar, namun dia sendiri begitu insecure dengan kemampuan dan statusnya sebagai mutant, sehingga kombinasi dua hal tersebut menjadi luar biasa berbahaya. Mengancam keutuhan dunia beneran. Serta keutuhan dunia impian Profesor X, di mana manusia dan mutant hidup saling bekerja sama. Visi sutradara Simon Kinberg dalam debut film panjangnya ini adalah menjadikan Dark Phoenix sebagai penutup franchise yang benar-benar intriguing dan kelam.

Sayangnya, perwujudan dari visi tersebut sungguh datar dan tidak benar-benar menarik karena Dark Phoenix ternyata enggak jauh lebih dalem dari Last Stand dalam mengeksplorasi cerita ini. Narasi yang diucapkan oleh Jean Grey tentang evolusi yang membungkus cerita ini terdengar out-of-place dan gak benar-benar nyambung sama tema dan apa yang menjadi journey dari Grey. Seharusnya film ini mengangkat pertanyaan lebih kompleks dari keadaan Jean Grey. Apakah dia bisa tetap bersama dengan orang-orang yang ia cintai dengan kekuatan yang ia miliki jika ia memilih untuk menerima kekuatan tersebut. Film seharusnya menekankan kepada keadaan jiwa Grey sendiri yang bertanya kepada dirinya apakah dia masih bisa menganggap rekan-rekan sebagai keluarga setelah semua kenyataan yang ia ketahui. Opening film ini tampak seperti sudah akan mengambil jalan yang benar. Film membahas soal baik dan jahat sebenarnya cuma masalah pilihan, bukan masalah kemampuan yang kau punya. Kita bisa saja hanya punya pulpen, dan tetap melakukan hal keji seperti membunuh orang dengan pulpen tersebut jika kita memilih begitu. Yang film ini tawarkan kepada kita adalah tokoh utama yang harus memilih untuk berbuat baik atau berbuat jahat dengan ‘hadiah’ yang ia terima – ini ultimate choice banget, pilihan yang harus dibuat oleh Jean Grey personal dan dalem sekali. Tapi film memilih untuk lebih mengedepankan serangan alien. Tidak benar-benar banyak melakukan sesuatu yang baru dan berbobot dari kondisi psikologi Grey. Kita hanya melihat dia menangis meringkuk berhujan-hujan, kemudian curhat ke berbagai orang, dan meledak marah, menyebabkan kemalangan secara tak-sengaja, dan membuat marah lebih banyak orang – same old basic stuff.

Menonton ini aku memutuskan untuk tidak memikirkan kontinuitas, karena sesungguhnya justru kontinuitas itu yang paling mengancam dunia film ini – ketimbang alien, ataupun kekuatan Jean Grey. Aku bermaksud menikmati film ini sebagai cerita solo. Dan bahkan melihatnya seperti demikian pun, film ini lemah karena dangkalnya pengeksplorasian tersebut.

franchise X-Men tidak peduli soal kesinambungan, and so should you.

 

Momen-momen bersinar datang dari sekuen-sekuen aksi. Favoritku adalah bagian di awal ketika para anggota X-Men menggunakan masing-masing kemampuan mereka untuk bekerja sama menolong pesawat ulang-alik di luar angkasa. Mungkin film menyadari bahwa appeal X-Men terletak pada kemampuan khusus yang berbeda-beda pada setiap mutant. Sehingga film tidak benar-benar menjadikan sisi drama psikologis sebagai fokus utama. Mereka ingin mengakhiri semua ini dengan ledakan dan pertempuran di sana sini. Adegan pertarungan terakhir di kereta api yang seru itu kelihatan banget ditambah/direshoot – Grey dan tokohnya Chastain melakukan interaksi yang merupakan pengulangan dari adegan sebelumnya – karena film merasa masih kurang seru.

Dilihat dari jajaran penampil akting, film ini solid. Aku gak bisa bilang metode yang dilakukan James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, dan banyak nama beken lain pendukung film ini, untuk menghidupkan peran mereka jelek. Hanya saja naskah tidak banyak memberikan ruang gerak. Dialog mereka terlalu gamblang. Jessica Chastain memberikan kemampuan terprofesionalnya menghidupkan karakter alien kayu yang ingin memanfaatkan kekuatan Jean Grey, tapi tokoh ini begitu standar sehingga kita tidak punya niat untuk peduli lebih jauh terhadap dirinya.

Sophie Turner sebagai Jean Grey juga sebenarnya enggak jelek. Dia menunjukkan kemampuan berpindah rentang emosi yang cukup jauh dengan begitu singkat. Film menuntutnya sering melakukan hal tersebut, dan Turner beneran terlihat menyeramkan dengan CGI yang membuat uratnya tampak seperti kabel-kabel merah yang siap meledak. Akan tetapi naskahlah membuatnya tampak lebih seperti robot korslet ketimbang manusia yang sedang berkecamuk ya pikiran, ya kekuatannya. Jean Grey yang menyeberang ke sisi jahat harusnya adalah soal emosi yang powerful, yang relatable, kegalauan paripurna tentang keberadaaan dan fungsi diri sendiri. Dark Phoenix berkelit dari membahas itu. Instead, kejadian yang kita lihat bentuknya selalu Jean Grey memilih tindakan dan orang yang berinteraksi dengannya mengambil reaksi terhadap aksinya. Film kemudian fokus pada reaksi orang tersebut. Kejadian dalam film ini kumpulan dari aksi-reaksi tersebut. Kita hanya melihat sedikit pembahasan dari Jean Grey dan fokus ke dampaknya terhadap tokoh lain. Kita tidak melihat Grey memikirkan kembali apa yang baru saja ia lakukan. Tokoh lainlah yang harus mengusahakan penyelesaian, yang memberikan jawaban kepada Grey.

dark twist dari kata-kata motivasi “kau dapat melakukan apapun yang kau pikirkan”

 

Mungkin Jean Grey tepatnya bukan seperti robot ataupun bom waktu. Melainkan lebih seperti anak kecil. Bocah insecure yang memancing perhatian dengan berbuat nakal. Dalam adegan pembuka di mobil bersama kedua orangtuanya, kita melihat ibu dan ayah Grey agak ‘pelit’ menunjukkan kasih sayang kepadanya. Setelah dewasa pun, kenyataan menghantam dan kita tahu apa yang menimpa Grey jelas bukan termasuk ke dalam kategori ‘cinta kasih orangtua’. Jean Grey tampak seperti seorang anak yang kebanyakan dilarang dan diberikan aturan. Jadi dia berteriak, merengek. Ngamuk. Dia pengen dimengerti tapi gak tau bagaimana mempersembahkan dirinya. Tergantung kepada orang tua atau orang dewasalah memikirkan cara yang terbaik untuk mengajak anak seperti ini berbicara; untuk membujuknya. Makanya film ini segimanapun serunya adegan berantem (cuma film ini yang bisa membuat menyeberang jalan sebagai panggung tawuran mutant), penyelesaian masalahnya selalu adalah mengajak Jean bicara baek-baek. Makanya arc yang paling digali secara emosional justru adalah milik Profesor X.

Karena di balik semua itu, film ini bisa kita anggap sebagai tutorial mendiamkan anak kecil yang mengamuk. Ketika kita menginginkan semua aman untuk anak kita – dalam kasus Prof. X; dia mau dunia jadi lebih baik untuk mutant generasi muda – kadang kita melupakan si anak itu sendiri. Ada banyak cara untuk gagal sebagai orangtua, dan orang-orang di sekitar Jean Grey melambangkan beberapa. Pelajaran pertamanya; jangan berbohong kepada mereka

 

Kita lebih konek secara emosi kepada Prof. X, Mystique, dan bahkan Magneto dibandingkan kepada Jean Grey. Kita mencoba untuk menolerir keputusan dan langkah-langkah yang mereka ambil. Sedangkan bagi si tokoh utama sendiri, kita tidak merasakan apa-apa – selain mungkin sedikit geram. Kita tidak mendukung aksinya. Kita tidak merasa kasihan kepadanya. Kita tidak peduli di akhir cerita itu dia berevolusi menjadi apa. Seperti halnya dengan rengekan anak kecil, kita hanya ingin masalah Grey cepat terselesaikan dengan mengharap para tokoh lain segera ‘menekan tombol yang benar’. Demikian hampanya pengembangan tokoh utama kita.

 

 

 

Tidak seemosional yang seharusnya bisa mereka capai. Tidak se-dark yang judulnya cantumkan. Tidak sebegitu banyak berbeda dengan cerita yang pernah mereka sampaikan sebelumnya. Film terakhir dari franchise yang sudah berjalan nyaris dua-puluh tahun ini membuat kita terbakar oleh api kekecewaan. Karena biasa aja, gak kerasa kayak final. Penghiburan berupa jajaran cast dan adegan-adegan aksi boleh jadi membuat kita menyukai film ini, namun secara penceritaan terasa hampa. Pesan dan narasinya terasa dipaksakan. Sungguh pilihan yang aneh yang diambil oleh Kinberg untuk menutup franchise ini. Atau mungkin semua ini adalah siasat, “Kill it with fire!”, supaya para penonton menjadi apatis dan secepatnya melupakan universe ini pernah ada sehingga reboot X-Men yang baru, dari Disney, bisa lantas dibuat.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DARK PHOENIX.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian setuju dengan ‘parenting’ ala Profesor X? Menurut kalian apa maksud X dari X-Men? Menurut kalian apakah X-Men perlu untuk dibuat ulang? Bagaimana kalian akan menyelamatkan X-Men kali ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

GODZILLA: KING OF THE MONSTERS Review

“History shows again and again how nature points out the folly of man”

 

 

Bencana alam terjadi, dan orang-orang relijius akan menyebutnya sebagai peringatan Tuhan kepada umat manusia. Bahwa tsunami, gempa, gunung meletus adalah murka Yang Maha Kuasa atas perilaku manusia yang sudah menyimpang. Bahwa kita sudah mengecewakan alam semesta. Orang Jepang sependapat, meskipun kepercayaan mereka sedikit berbeda. Alih-alih ‘cuma’ God, di Tokyo sana yang murka adalah “Gojira”, monster besar yang menghancurkan kota, terbangun oleh ujicoba senjata nuklir. Bencana adalah tindakan Godzilla yang ingin mengembalikan lagi keseimbangan alam yang terganggu akibat ulah dan kerakusan manusia. Keseluruhan mitologi Godzilla, yang ditelurkan banyak film – baik itu animasi ataupun live-action, produksi Jepang maupun Amerika – selalu berpusat terhadap tema tersebut. Selalu menantang kita dengan pertanyaan mungkin saja manusialah monster yang sesungguhnya terhadap alam.

Godzilla: King of the Monsters (untuk selanjutnya akan aku sebut Godzilla 2 saja) garapan Michael Dougherty melanjutkan cerita dari entry pertama MonsterVerse tahun 2014 yang lalu; film-film MonsterVerse memberitahu kepada kita bahwa Godzilla bukan satu-satunya ‘senjata alam’ yang bersemayam tempat-tempat di dunia. Dan pada Godzilla 2 kita berkenalan dengan banyak lagi – sedikitnya ada 17 Titan yang siap turun tangan kalo-kalo manusia sudah sebegitu semena-menanya ngurusin alam. Dan yang namanya manusia – makhluk rakus, angkuh, namun bego – mana bisa menahan diri melihat segitu banyaknya hewan besar yang bisa mereka jadikan senjata nuklir berjalan. Dalam film ini kita akan melihat manusia terbagi menjadi dua golongan; satu yang ingin hidup bersisian dengan Godzilla dan rekan-rekan Titan, dan yang ingin mengendalikan para Titan untuk menghapus sebagian besar populasi demi memulai kembali hidup yang bersih. Dua golongan manusia ini rebutan alat yang memungkinkan mereka ‘berkomunikasi’ dengan Titan-Titan, tapi masalahnya adalah di antara Titan-Titan yang mereka usik dari tidurnya tersebut, ada satu yang bukan berasal dari planet ini. Ada satu yang bahkan tidak tunduk sama Godzilla. Bumi dalam Godzilla 2 tak pelak menjadi medan pertempuran para Titan tersebut. Manusia dengan segala kerakusannya, jadi pelanduk yang siap-siap mati di tengah-tengah mereka.

Sesungguhnya kebegoan dan kesombongan yang lagi dan lagi dilakukan oleh manusia, seperti yang disuggest oleh lagu Godzilla dan film Godzilla 2 ini, adalah manusia suka bermain sebagai Tuhan. Kita pikir kita bisa dan berhak untuk mengontrol alam. 

dan semua hiruk pikuk fim ini berakar dari seorang ibu yang kehilangan anaknya

 

Sejujurnya, aku setuju sama motivasi golongan jahat film ini; untuk membangunkan semua Titan yang tertidur di balik kerak bumi. I mean, duh, ini film monster maka kita butuh sebanyak-banyaknya adegan monster raksasa mengamuk di kota, adegan monster raksasa saling berantem. Film ini punya banyak monster-monster beken yang bakal bikin penggemar Godzilla meraung-raung senang. Di antaranya ada Mothra, Rodan, dan tentu saja si naga berkepala tiga Blue Eyes Ultimate Dragon.. eh salah, maksudnya Ghidorah! Para Titan ini dihidupkan dengan teramat sangar dan begitu menawan. Efek-efek mereka cukup keren, meskipun menurutku seharusnya film bisa memikirkan cara yang lebih kreatif, yang lebih impresif, untuk memainkan raksasa-raksasa ini. Tarok mereka di lingkungan yang lebih terang, mungkin. Karena bagian terbaik dari menyaksikan film ini adalah menyaksikan mereka bertarung. Atau malah setiap kali mereka muncul di layar. Ngeliat ujung capit monster aja rasanya udah puas banget mengingat sewaktu kecil kerjaanku kayak orang idiot menubruk-nubrukkan dua mainan monster. Dari membayangkan kelahi monster mainan yang kaku, dan sekarang melihat para monster beneran ‘hidup’ berkelahi tembak-tembakan sinar dan api dari mulut, film ini adalah impian jadi nyata untuk setiap anak kecil. Godzilla 2, dari segi penampilan monster, memang jauh lebih memuaskan dibandingkan Godzilla tahun 2014 yang irit banget nampilin Godzilla.

Sayangnya kelebihan yang dipunya tersebut langsung ketutupan oleh kekurangan raksasa pada aspek paling mendasar dalam sebuah film; cerita dan penokohan.

Cerita Godzilla 2 berpusat pada keluarga Millie Bobby Brown yang orangtuanya sudah bercerai semenjak kehilangan anak bungsu pada insiden Godzilla tahun 2014 silam. Ibu Millie, Vera Farmiga, berbeda pandangan dengan ayah. Ayah Millie, Kyle Chandler lebih memilih untuk membenci Godzilla seumur hidup, menjauh dari ibu yang terus melakukan eksperimen pengembangan alat-alat untuk berinteraksi dengan para Titan. As the story goes, tokohnya si Millie ini akan semakin terombang-ambing karena kedua orangtuanya literally jadi oposisi, mereka berada di pihak yang berbeda keyakinan. Konflik sentral keluarga ini tidak pernah dieksplorasi lebih dalam karena film hanya berfokus kepada perkelahian monster. Dan kalo boleh jujur, melihat apa yang film ini lakukan pada tokoh-tokoh manusia, aku meragukan penulis ceritanya bisa membuat percakapan dramatis yang bukan berupa raungan dan teriakan.

Aku bahkan gak yakin nama tokoh-tokoh sentral itu ada disebutin semua di dalam filmnya

 

Sungguh menyia-menyiakan sumber daya alam yakni deretan aktor-aktor yang kompeten yang berdedikasi untuk menyuguhkan penampilan yang terbaik. Tapi apalah artinya dedikasi jika dihadapkan pada naskah yang buruk? Tokoh-tokoh manusia dalam film ini membuka mulut untuk meneriakkan kata-kata ke layar monitor di depan mereka. Dan di sela-sela mereka cukup tenang, mereka akan melontarkan dialog-dialog eksposisi. Di mana lokasi para Titan. Apa nama Titannya. Bagaimana device Orca bekerja. Apa cerita legenda jaman dahulu kala. Yang mereka suarakan hanyalah baris demi baris informasi yang sungguh-sungguh membosankan. Tidak ada satu kalipun interaksi antarmanusia yang terasa genuine. Dikasih informasi-informasi tadi, tokoh film ini akan bereaksi dalam rentang tiga pilihan berikut ini; Sok dramatis, Sok ngelawak, atau juga Sok bijak. Makanya film ini terasa sangat membosankan begitu Godzilla dan rekan-rekan raksasanya absen di layar. Ketika ada tokoh manusia yang mati, kita tidak peduli, karena film tidak pernah memerintahkan tokoh-tokoh lain untuk mempedulikan hal tersebut. Mereka hanya dipersiapkan untuk eksposisi, teriak, nyeletuk, lagi dan lagi, tanpa ada sense.

Ini adalah ketidakmampuan film untuk menyeimbangkan antara tokoh manusia dengan tokoh monsternya. Jangankan kita yang nonton, yang nulisnya saja seperti tidak peduli sama tokohnya. Hampir seperti film ini ya tujuannya pengen nunjukin monster-monster kelahi saja. Bandingkan dengan original Jurassic Park (1993) yang punya tokoh seperti Grant, Malcolm, Hammond yang kita pahami pilihan, sudut pandang, dan motivasinya – sementara tetap bikin kita greget oleh penampilan T-Rex dan Raptor. Motivasi tokoh manusia pada Godzilla 2 seperti ditulis seadanya, padahal mereka punya lima tahun dari film pertama untuk mengembangkan cerita. Kenapa untuk menggapai hasil seperti Thanos mereka perlu banget untuk membangunkan seluruh monster yang ada? Kenapa orang yang kehilangan anak oleh monster malah jadi berbalik membenci manusia? Dan kenapa di tengah cerita si orang tersebut pikirannya mendadak jadi ‘bener’ lagi? Ini lebih parah dibandingkan John Wick di John Wick Chapter 3: Parabellum (2019) yang rela dipotong jadinya untuk ikut clause High Table, hanya untuk mengubah pandangannya gitu aja ketika sudah berada di Hotel, karena John Wick memberikan kita tiga film untuk peduli dan dia punya aksi yang badass. Sedangkan tokoh-tokoh Godzilla 2, mereka cuma punya dialog yang ditulis dengan sangat membosankan dan personality yang begitu dibuat-buat. They do nothing to earn our sympathy.

 

 

 

 

Walaupun dihiasi oleh banyak adegan-adegan spektakuler berupa aksi-aksi para monster raksasa, film ini jatohnya seperti film-film bencana alam atau monster yang generic. Karena tidak punya kepentingan cerita dan karakter yang menjulang. Monster-monster yang keseringan muncul toh pada akhirnya bakal menumpulkan excitement kita juga. Cerita yang kebanyakan eksposisi itu juga tentu tidak membantu film keluar dari lembah membosankan. MonsterVerse sejauh ini buatku tampak medioker; setelah entry pertama yang bikin penasaran (lantaran Godzilla ditampilkan terbatas), Kong: Skull Island (2017) dan film ini sangat mengecewakan karena sudah tiga film dan mereka masih belum bisa mendapatkan formula yang seimbang antara monster dengan manusia. Ada banyak pemain yang kompeten dalam jejeran cast film ini, namun mereka semua tersia-siakan karena tak satupun yang tampil seperti ‘manusia’. Film ini sama seperti dunia; hancur di tangan manusia-manusianya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for GODZILLA: KING OF THE MONSTERS. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan pernyataan bahwa manusia adalah perusak alam? Apakah kalian melihat bencana alam sebagai cobaan, teguran, atau malah anugerah?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.