ABRACADABRA Review

“Those who don’t believe in magic, will never find it.”
 

 
“Abracadabra!” adalah ‘mantra’ sihir untuk pesulap, yang diserukan pada momen penghujung trik yang sedang mereka mainkan. Kata ini turunan dari bahasa aram (Aramaic) yang memiliki arti ‘dibuat dari kata-kata saya’. Namun sendirinya, kata ini tidak bermakna apa-apa, melainkan hanya sugesti yang memberikan impresi ada suatu kekuatan sihir yang dipanggil saat memainkan pertunjukan tersebut. Sedikit banyaknya, mantra abracadabra merupakan bagian dari trik sulap itu sendiri. Hanya sebaris kata yang mencoba menghasilkan ilusi.

So in that sense, kita bisa bertanya apakah film Abracadabra garapan Faozan Rizal ini juga hanyalah trik dan barisan gibberish – omong kosong – belaka?

 
Film ini berbicara tentang Lukman (Reza Rahadian), seorang Grandmaster Sulap yang – untuk alasan yang tidak begitu dijelaskan – mulai kehilangan kepercayaan pada kemagisan pekerjaannya. Ia bermaksud mempensiunkan diri dengan cara yang lebih terhormat daripada yang dilakukan oleh sang ayah. Pesulap yang menghilang begitu saja. “Aku tidak akan bersembunyi”, lirih Lukman mantap sambil memandang foto dan memorabilia bekas pertunjukan milik ayahnya tersebut. Ada satu kotak kayu di antara barang-barang tersebut. Kotak persegi biasa. Meskipun di atasnya tercetak segitiga tulisan abracadabra, seperti yang dituliskan pada jimat-jimat kesehatan pada abad pertengahan, tapi kotak ini bentukannya seperti kotak biasa untuk nyimpan barang. Tidak ada kontrapsi untuk membuka lubang rahasia. Tidak ada tuas tersembunyi. Tidak ada apa-apa. Lukman bermaksud menggunakan kotak ‘biasa’ ini sebagai pertunjukan sulap terakhirnya. Ia ingin dianggap gagal oleh penonton sehingga bisa undur diri dengan tenang. Namun ternyata kotak itu bukan sulap, melainkan sihir! Seorang anak kecil beneran hilang saat dimasukkan Lukman ke sana. Lukman harus menarik dirinya kembali ke dalam dunia sihir dan muslihat, mencari tahu apa sebenarnya kotak itu supaya bisa mengembalikan orang-orang yang sudah ia hilangkan, mengarungi misteri dunia sang ayah, sembari melarikan diri dari polisi (Butet Kertarajasa) yang hendak menangkapnya dengan tuduhan penculikan.
Kunci dari penyeruan abracadabra oleh pesulap-pesulap terletak pada cara mengucapkannya. Tidak bisa dengan sekadar melambaikan tongkat sihir dan berseru sekenanya. Harus dramatis. Antisipasi penonton kudu dibangun terlebih dahulu sebelum kata pamungkas itu disebutkan. Film Abracadabra punya banyak trik dalam menyuarakan cerita dan gagasannya. Dan film ini pun punya cara bercerita tersendiri – cara penyampaian – yang benar-benar membuatnya berbeda (beneran, gak ada film Indonesia yang baru-baru ini main di luar sana yang tampil seperti film ini). Cara berceritanya inilah yang jadi penentu utama kita bisa menyukainya atau tidak. Karena film ini bisa sangat aneh, membingungkan, membosankan, atau malah konyol bagi masing-masing yang menyaksikan.

kenapa dia tidak bilang avada kedavra saja supaya semuanya bisa tuntas dengan cepat dan tanpa derita

 
Karakter-karakter dalam film ini ditulis dengan begitu unik, sampai-sampai menginjak batas surealis. Banyak tokoh Abracadabra yang bersikap aneh, yang berdialog creepy (film mengambil keuntungan dari aktor-aktor yang biasa bermain teater), seolah mereka dipinjam langsung dari dunia milik David Lynch. Keseluruhan dunia film ini enggak bekerja sebagaimana mestinya dunia kita bekerja. Ada satu adegan saat Lukman naik taksi ke Pantai Rahasia, dan untuk sampai ke sana, taksi itu harus berjalan mundur – mundur kayak gambar video yang di-play dengan tombol reverse. Gak masuk akal? Ya. Gak logis? Ember. Namun itulah yang menjadi daya tariknya. Film meletakkan komedi mereka pada karakter-karakter dan kejadian ganjil. Batas antara sulap dengan sihir itu tipis sekali di sini. Semuanya dimaksudkan paralel, sebagai pendukung perjalanan inner Lukman yang berusaha mencari rasa percayanya yang hilang terhadap keajaiban.

Bukan mantra yang sebenarnya mengandung keajaiban. Kita tidak bisa memanggil keajaiban hanya dari sekedar kata-kata. Kita juga harus mempercayai kita bisa melakukannya. Makanya Lukman tidak bisa menemukan yang ia cari karena dia tidak percaya pada apa yang ia cari. Dia bahkan tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Hanya saat ia percaya barulah semua jawaban itu muncul kepadanya.

 
Faozan Rizal yang berakar sebagai mata di balik lensa kamera punya visi sangat indah dalam menangkap gambar-gambar yang menjadi panggung pertunjukan film ini. Dia menggunakan palet warna yang mengingatkan kita pada film-film karya sutradara Wes Anderson. Ruangan dalam kantor polisi dalam Abracadabra disiram oleh warna merah muda yang kontras sekali dengan penghuninya yakni seorang komisaris dan dua anak buahnya. Ini menguarkan kesan konyol, persis seperti karakter para polisi yang dibuat menganggap sulap adalah kriminal dengan nada komikal. Sementara seringkali dunia akan disapu oleh gradasi warna orange tatkala Lukman fokus di layar, yang membuat kita secara tak sadar menghubungkan dirinya dengan harimau sumatera bernama Datuk yang bisa muncul di mana saja, yang mungkin adalah spirit-animalnya. Pemilihan komposisi warna dan posisi/blocking karakter merupakan bagian integral dari bangunan dunia cerita.
Ketika cerita butuh paparan, entah itu dari tokoh yang menceritakan langsung lewat flashback, film melakukannya lewat treatment khusus. Adegan eskposisi tersebut diceritakan dengan gaya film bisu. Kita melihatnya dalam reel klip film hitam putih. Sehingga kita juga seperti mundur bersama ke dalam kurun waktu, seolah berpindah dari tipikal film kontemporer ke zaman film klasik. Kita terbawa berjalan tanpa terbebani oleh informasi-informasi yang dihamparkan oleh film.
Selain waktu, tempat juga merupakan elemen yang penting, walaupun sangat subtil sekali. Tokoh kita akan bertualang dari panggung, ke bandara, ke pantai, ke bukit. Film memasukkan elemen mitologi ke dalam cerita; kotak kayu yang jadi sumber masalah disebutkan terbuat dari kayu Pohon Kehidupan Yggdrasil. Dalam mitologi Norwegia (Norse) Yggdrasil adalah pohon raksasa di pusat bumi yang akarnya menembus hingga tiga dunia. Dalam film ini, walaupun tidak pernah dijelaskan apa persisnya yang terjadi kepada orang-orang yang masuk dan menghilang ke dalam kotak, namun diberikan kesan bahwa keajaiban kotak Lukman ini berupa ia menjadi semacam portal. Yang masuk ke sana bisa muncul di mana saja atau muncul lagi dari dalam kotak namun di kurun waktu yang berbeda. Orang yang mengerti tentang kotak ini diperlihatkan mengincar kekuatannya; mereka sukarela masuk seolah ada tempat yang ingin mereka tuju, dan kotak itu adalah penghantarnya.

mungkin di dalam kotak itu ada dunia seperti tas koper Newt di Fantastic Beasts

 
Jika dipikir-pikir, film memang tak ubahnya seperti pertunjukan sulap. Ada akting. Ada sutradara yang punya job-desc mirip dengan pesulap; mengarahkan kru dan para pemain dalam sebuah pertunjukan make-believe, kalo gak mau dibilang menipu. Dan tentu saja, sama-sama punya trik. Untuk urusan trik, seperti yang sudah dijabarkan di atas, Abracadabra punya banyak. Film ini tampak memikat. Film ini terdengar berbeda. Tapi kadangkala trik itu sendiri dikerjakan dengan enggak mulus. Editing yang masih terlihat jelas potongannya – kita dapat menemukan dengan jelas mana adegan sulap yang dipotong dan kemudian disatukan kembali. Like, kamera ngesyut aktor masuk ke dalam kotak – kotaknya ditutup, si pesulap bilang abracadabra – cut – kamera stop rolling, si aktor keluar – kamera lalu ngesyut lagi kotak kosong dan si pesulap membuka kotak – tadaaa, hilang! Penyatuan adegan itu yang sangat kentara. Pesulap yang ‘membongkar’ triknya sendiri saat pertunjukan tentu bukan pesulap yang cakap, atau paling tidak dia belum fasih betul, belum gigih banget mengerjakan triknya tersebut.
Pun secara substansi, masih ada beberapa yang terasa belum sampai; belum kena. Narasi yang belum memuaskan lantaran masih banyak pertanyaan yang terangkat tapi tak-terbahas. Journey tokoh utama dapat terasa terlampau aneh. Lukman terlalu distant. Dia yang gak lagi percaya terasa kurang usaha saat di awal-awal dia penasaran dan mencari orang-orang yang sudah ia hilangkan. Dia hanya mengucapkan abracadabra berulang kali, seperti orang gila yang mengharapkan perubahan dengan mengulang-ulang perbuatan. Sehingga kadang kita merasa lebih relate dan tertarik sama ‘petualangan’ komisaris polisi konyol yang memburunya. Si komisaris bahkan punya latar belakang yang berkonflik lebih menarik; dia adalah murid sulap yang gagal menjadi pesulap. Revealing ini actually lebih memancing minat ketimbang pengungkapan bahwa Lukman sebenarnya adalah juga dulu muncul dari kotak.
 
 
Untuk menjawab pertanyaan di awal; Abracadabra enggak benar-benar sebuah gibberish karena tokohnya mengalami konflik dan perjalanan, masih ada narasi dan gagasan di baliknya. Kita bisa jatuh cinta sama film ini dari gaya dan visual dan keanehannya. Tapinya lagi, film ini memang terlalu mengandalkan gaya sehingga dunia yang diniatkan ambigu malah acakali terasa artifisial. Pembelajarannya jadi terasa minimal. Ini seperti menonton trik-trik yang sangat elaborate, yang bahkan belum semuanya fasih dilakukan, untuk pertunjukan sesimpel mengeluarkan kelinci dari dalam topi.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for ABRACADABRA.

 
 
 
That’s all we have for now.
Mantra sesungguhnya dalam film ini adalah “dari debu kembali menjadi debu”.. menurut kalian apakah makna dari kalimat tersebut? Apa kepentingannya terhadap perkembangan karakter Lukman?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MY DAD IS A HEEL WRESTLER Review

Everyone’s work is equally important.
 

 
Disuruh menceritakan tentang ayah oleh ibu guru, Shota si bocah SD yang bertubuh kecil memberitahu seisi kelas bahwa ayahnya adalah orang yang sangat kuat. Namun ketika melanjutkan cerita soal pekerjaan, Shota diam. Dia tidak tahu apapun tentang pekerjaan ayahnya. Sedikit sekali yang ia tahu selain ayahnya berotot, suka minum protein, dan mengajaknya berpose garang yang sama ketika mereka di pemandian. Untuk membuktikan ayahnya bukan seorang mafia seperti yang diutarakan oleh salah seorang teman, Shota nekat menyelinap naik ke mobil untuk mengikuti sang ayah. Shota pun tiba di tempat yang penuh oleh orang-orang berbadan kekar. Ternyata Shota berada di gedung olahraga, di arena gulat. Ayah Shota adalah seorang pegulat. Tapi bukan seorang juara. Ayahnya bahkan bukan pegulat yang bertabiat baik. Shota malu kepada teman-teman sekelasnya. Alih-alih mengaku ayahnya adalah si Topeng Kecoa yang udah berbuat curang pun masih aja kalah, Shota malah bilang ke teman-teman bahwa ayahnya adalah Dragon George, pegulat muda berambut pirang; juara bertahan yang diidolakan banyak orang.
Jepang termasuk dalam negara yang menjadi kiblat gulat profesional – bersama Meksiko dan Amerika Serikat. Di sana gulat sudah lebih dari sekadar hiburan. Hampir seperti disakralkan. Para penggemar saling menjaga kayfabe – yakni fakta yang sebenarnya hanya nyata di skenario gulat. Kayak menjaga bahwa Sinterklas itu ada kepada anak-anak. My Dad is a Heel Wrestler garapan Kyohei Fujimura yang mendapat dukungan penuh dari organisasi gulat nomor satu di Jepang; New Japan Pro Wrestling, adalah film yang berusaha memanusiakan olahraga-hiburan yang sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang tersebut. Meskipun sejatinya ini adalah film drama anak-anak, tapi ceritanya tidak seketika menjadi simpel. Film tidak lantas ‘menipu’ anak-anak dengan mengatakan gulat itu beneran, melainkan ia memperlihatkan dengan benar perihal status ajaib pro-wrestling terkait mana yang benar, mana yang rekayasa. Yang ingin diperlihatkan film ini justru adalah kenyataan seorang penggemar gulat – cara terbaik untuk kita menikmati, dan menyingkapi, lalu lantas menghormati bisnis olahraga-hiburan dan semua orang yang terlibat di dalamnya.

film ini sebenarnya bisa beres lebih cepat kalo ada yang bilang ke Shota “Nak, kerja ayahmu itu kayak aktor”

 
Film ini akan membuat kita merasakan bagaimana rasanya menjadi penonton – tepatnya, penggemar – gulat di masa kini. Ada tiga sudut pandang yang bekerja di dalam film ini. Shota yang belum pernah menonton gulat sebelumnya dan mengetahui ayahnya ternyata menjadi tokoh jahat di dalam ring. Ayah Shota (diperankan oleh pegulat NJPW asli bernama Hiroshi Tanahashi), dulunya dia pegulat top tapi karena usia dan cedera, masanya sudah lewat sehingga sekarang dia giliran berperan sebagai penjahat – tokoh untuk dipermalukan. Dan seorang reporter cewek bernama Michiko yang tahu seluk beluk gulat dan ingin menulis artikel tentang perjalanan karir gulat ayah Shota. My Dad is a Heel Wrestler memang bukan film yang hebat – bahkan di antara film-film yang ada gulatnya di tahun 2019, film ini masih kalah bagus dari Fighting with My Family ataupun The Peanut Butter Falcon – tetapi ini adalah cerita yang unik karena tiga sudut pandang tadi. Benar-benar menerjunkan kita ke dalam drama seorang penggemar karena ketiganya dimainkan dengan mulus dan saling menambah untuk tetap mempertahankan ‘magisnya’ sebuah pertunjukan gulat.
Kita akan melihat kehidupan asli pegulat. Kita akan dibawa ke belakang panggung, bertemu dengan para pegulat. Kita akan belajar melihat mereka sebagai seorang manusia. Tapi real ‘belakang panggung’ bisnis ini tidak pernah diperlihatkan. Limitasi tersebutlah yang membuat film ini menarik lantaran menempatkan penonton yang tidak mengerti atau tahu atau peduli sebelumnya akan gulat pada posisi yang abu-abu. Seperti Shota. Seperti Shota kita ingin melihat ayahnya menang, seperti Michiko si jurnalis kita tahu pentingnya kemenangan bagi ayah Shota,  seperti ayah Shota kita ingin dia menang. Tapi setiap kali dia kalah, kita tidak melihatnya kecewa. Ini adalah perasaan para penggemar gulat saat menonton pertandingan di dunia nyata. Kita ingin jagoan kita menang, kita mungkin akan kesal ketika mereka kalah, tapi tidak pernah kecewa karena kita paham ada kayfabe dan ‘storyline’ yang dijaga. Namun bagi non-fans, atau orang yang tidak pernah menonton dan mengerti gulat – seperti Shota – hal ini akan ‘membingungkan’. Jadi film akan secara instan terasa relate.
Bukan hanya Shota, tokoh anak-anak dalam film ini tampak tidak tahu olahraga yang mereka tonton cuma bohongan. Hanya orang dewasa yang menggunakan istilah-istilah gulat seperti ‘heel’ ataupun ‘babyface’ – mengisyarakatkan gulat sama saja dengan bermain peran – sedangkan Shota dan kawan-kawannya selalu menyebutnya sebagai orang jahat dan orang baik. Inilah yang menciptakan tensi drama anak dan ayah yang menjadi hati dari film ini. Shota ingin ayahnya berhenti saja karena memalukan baginya punya ayah orang jahat. Bagi ayah Shota ini menyedihkan karena dia bukanlah orang jahat. Menjadi pegulat jahat adalah pekerjaannya sekarang. Shota membuatnya galau, karena setiap orangtua pasti ingin menjadi yang bisa dibanggakan oleh anaknya. Film menerjemahkan perjuangan ayah Shota menjadi ‘pahlawan’ seperti dulu yang dibanggakan oleh anaknya lewat bahasa gulat – lewat pertandingan. Fans wrestling seperti Michiko tahu ‘derita terdalam’ ayah Shota; pegulat itu jadi jobber sekarang. Jadi pecundang. Tugasnya sekarang bukan lagi untuk menang dan jadi poster boy untuk perusahaan gulat, melainkan adalah untuk kalah dan membuat lawannya tampak hebat.

Dan film ini menunjukkan tidak ada yang salah dengan pekerjaan ayah Shota. Bukanlah hal memalukan menjadi tokoh jahat. Setiap pekerjaan punya kepentingan masing-masing, terlebih jika dipilih berdasarkan passion dan hati. Menjadi tokoh jahat dalam gulat, dalam film, sama pentingnya dengan menjadi tokoh baik. Karena semua punya sistem. Film menunjukkan semua itu lewat derita dan kesenangan kita menonton perjuangan seorang tokoh jahat, tokoh badut, yang selalu kalah. Supaya kita bisa menghormati mereka.

 
Yang beneran jahat dalam film ini – here’s the twist – justru adalah teman-teman Shota yang membully-nya karena tidak mengerti cara kerja gulat sebagai hiburan, atau bahkan yang tidak menonton gulat sama sekali. Karena merekalah yang merendahkan orang-orang seperti Shota, seperti ayahnya, seperti Michiko yang berjuang untuk mempertahankan pekerjaan dan ilusi yang ‘mungkin’ menyertainya. Si pegulat jahat bukanlah orang jahat di kehidupan nyata. Film juga menghindari jebakan drama dengan tidak membuat si pegulat idola ternyata adalah orang jahat di balik panggung. Semua yang mengenal olahraga ini, dibuat oleh film sebagai orang-orang baik. Mereka hanya bekerja, melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya, dan menghormati pekerjaan tersebut. Jahat  menurut film ini adalah bersikap judgemental terhadap pekerjaan orang lain yang tidak kita ketahui dan tidak punya keinginan untuk mengetahuinya.

kalo semuanya orang baik, maka enggak akan seru

 
Makanya film ini akan sangat menyenangkan bagi penonton yang memang menggemari gulat. Ada banyak cameo dari pegulat Jepang, ada banyak referensi dari dunia gulat seperti Trent Baretta bermain sebagai tokoh bernama Joel Hardy yang punya style ala Hardy Boyz beneran, ataupun ada penampakan Naito dengan catchphrase “tranquilo” andalannya – ini semua gak bakal make sense buat non-fan tapi kehadirannya tidak pernah terasa mengganggu dan disebar dengan jumlah yang cukup untuk membuat seorang fan gulat menggelinjang secara konsisten. Secara teknis dan desain produksi, film ini memang tidak terlalu menonjol. Begitupun dari segi penampilan. Yang paling menarik buatku adalah karakter Michiko yang dari luar tampak seperti parodi dari seorang hardcore fan, tapi dia justru jadi orang yang paling manusiawi untuk protagonis kita. Shota bermain cukup bagus untuk tidak tampak annoying. Sementara ayahnya dan para pegulat tampak lebih prima bermain di dalam ring – karena memang di situlah zona nyaman mereka. Ketika akting dramatis beneran, masih terasa sedikit kaku sehingga nyaris tampak seperti stereotipe.
 
Jika kalian bertanya apakah film ini berusaha meng-convert seseorang untuk jadi suka sama prowrestling – kaitannya dengan promosi gulat jepang? I ‘d say yes. Film ini seperti dibuat oleh seorang penggemar untuk mengajak temannya ikutan suka gulat. Sudut pandang baik tokoh maupun kamera benar-benar on point. Karena drama match seperti yang direkam pada babak ketiga itulah yang penggemar lihat setiap kali mereka nonton wreslitng. Ada personal story. Bukan sekadar kalah menang, siapa yang juara, siapa yang jahat dan baik. Film ini menangkap esensi drama  dan memperkuatnya ke dalam pertandingan yang dikoreografi – persis seperti match wrestling beneran. Kita harus sama terbukanya dengan Shota jika ingin menikmati film ini, dan jika bagi kalian itu adalah kerjaan ekstra, maka mungkin kalian tidak akan menyukai film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MY DAD IS A HEEL WRESTLER.

 

27 STEPS OF MAY Review

“It is not our fault but it is still our responsibility.”

 

 

Ketika ditinggal mati seseorang yang dicintai, kita bisa berpegang kepada prinsip lima-tahap dari Kubler-Ross untuk meniti kembali kestabilan emosional yang kita rasakan. Namun bagaimana jika yang mati itu adalah diri kita sendiri? Bagaimana jika suatu trauma mengerikan terjadi kepada diri kita, meninggalkan luka fisik dan luka jiwa sebegitu dalamnya, sehingga menewaskan siapa diri kita sebelumnya? Lima langkah, tujuh, atau malah dua-belas sekalipun tidak akan cukup untuk menuntun kita melewati proses penyembuhan. May dalam film 27 Steps of May, yang mengalami kekerasan seksual di usia belia, butuh waktu delapan tahun! Sutradara Ravi L. Bharwani mengerti bahwa bergulat dengan trauma personal adalah urusan alami yang sangat sulit bagi para korban. Sebuah bagian dari perjalanan kehidupan yang tidak bisa diburu-buru, tidak bisa dikemas menjadi tahapan-tahapan yang seolah menyederhanakan. Karena dealing with personal trauma, grief atas sesuatu peristiwa melecehkan yang terjadi kepada kita, tidak bisa dijadikan simpel. Melainkan sesuatu yang kompleks, yang sakitnya dapat menjalar hingga ke orang-orang terdekat.

Makanya, 27 Steps of May berjalan dengan deliberately slow. Film ini ingin kita menyelami apa yang dirasakan, terutama, oleh May. Cerita akan memposisikan kita ke dalam sepatu (berkaos kaki panjang) May. Bertahun-tahun setelah dia direnggut ke dalam gang, kehidupan May (jebolan Gadis Sampul Raihaanun Soeriaatmadja bakal jadi kontender kuat dalam penghargaan-penghargaan film tahun ini) tak pernah lagi semeriah pasar malam di adegan pembuka. Dia tak pernah keluar dari kamarnya. Tempat dia mengerjakan pembuatan boneka-boneka princess. Tempat dia melakukan bunyi ‘ceplok ceplok’ yang ternyata adalah berolahraga lompat tali. Dunia May sekarang adalah kamar putih yang nyaris berisi. Bahkan ayahnya sendiri hanya masuk ke sana saat mengantar meja untuk kerja May. Kamera akan membawa kita masuk ke dalam momen-momen paling rahasia dari wanita yang menutup dirinya ke dalam isolasi. Yang memilih ‘curhat’ dengan torehan pisau silet tatkala sekelebat trauma tertrigger lewat ke ingatannya. Film ingin membuat kita merasakan diskoneksi yang serupa dialami oleh May ketika dia duduk diam di meja makan bersama ayahnya. Itulah satu-satunya waktu ketika May mau meninggalkan kamarnya. Selebihnya dia mendekam, bahkan harus ditarik paksa keluar saat ada rumah tetangga yang kebakaran. Kemudian hal yang seperti datang dari dunia David Lynch terjadi kepada May. Dinding kamarnya berlubang dan wanita ini menemukan ada yang tinggal di balik dinding tersebut. Seorang pesulap. Laki-laki.

mungkin dia mau ngajarin rahasia sulap sebuah tongkat yang bisa membesar?

 

 

Honestly, begitu tokoh pria tukang sulap yang diperankan jenaka-tapi-misterius oleh Ario Bayu ini muncul, aku sempat khawatir. Aku enggak mau film malah meromantisasi posisi May sebagai korban dengan kehadiran si Pesulap, cerita akan kehilangan gagasannya jika membuat May diselamatkan oleh Pesulap. Untungnya 27 Steps of May sepertinya sudah punya langkah-langkah riset sendiri. Film ini sangat menghormati tokoh yang ia ceritakan. May sendirilah yang eventually memilih untuk memanjat masuk ke dalam lubang di dinding. Tak sekalipun dia menjadi pasif dan tampak membutuhkan pertolongan. Elemen sulap sendiri – sebagai peristiwa ajaib yang tak terduga – juga berperan dalam menambah bobot pembelajaran yang terjadi kepada May. Film ini tahu persis bahwa korban-korban kekerasan seperti May bukan saja berkembang menjadi orang yang penuh rasa takut, yang menutup diri, yang cenderung menyakiti diri sendiri, melainkan juga merasa kehilangkan kendali. Inilah akar dari proses trauma May, yang membuat dia menjadi seperti dirinya sekarang – yang menyetrika baju dengan hati-hati, yang memakan hanya makanan putih, yang disiplin terhadap waktu. Dia ingin mengembalikan kontrol, kendali atas dirinya sendiri. Itu juga makanya May tertarik mempelajari sulap; sebagai perwujudan dari ia ingin bisa mengendalikan peristiwa ajaib yang ia lihat.

Wanita, ataupun pria, yang jadi korban kekerasan seksual adalah mereka yang dipaksa untuk melakukan sesuatu di luar kemauan mereka. Mereka kehilangan kendali atas diri sendiri, dan perasaan tersebut akan terus berlanjut setelah kejadian. Jadi mereka berusaha untuk mengembalikan kendali yang hilang tersebut. Inilah yang terjadi kepada May, yang kegiatan hidupnya seketika menjadi rutin yang itu-itu melulu. Mengembalikan kontrol ini jadi salah satu tema berulang yang dapat kita lihat pada film.

 

Selain May, film ini juga tentang ayahnya. Ayah May (rasa-rasanya baru sekali ini aku melihat Lukman Sardi memainkan tokoh sedevastating ini) menafkahi mereka dengan bekerja sebagai petinju. Tapi setelah tragedi yang menimpa May, sang ayah bukan lagi bertinju secara profesional, melainkan untuk pelampiasan emosi semata. Jika May menyalurkan sakitnya dengan menyakiti diri sendiri, Ayah May resort ke menyakiti orang lain. Dia juga, pada dasarnya ingin mengembalikan kendali kepada keluarganya, karena dia tidak tahu harus apa. Kita melihat si ayah justru merasa aneh tatkala May melakukan sesuatu di luar kebiasaan pada pertengahan film. Kita merasakan kontras keheningan May dengan dentuman dan hantaman dan teriakan adegan-adegan bertinju sang ayah. Jika kalian ingin tahu apa yang terjadi kepada Iron-Man saat skip lima tahun di awal film Avengers: Endgame (2019); Ayah May ini bisa dijadikan pendekatan yang cocok. Karena si ayah memang persis seperti Tony Stark dalam kondisi kejiwaan yang terburuk. Kedua tokoh ini sama-sama bergerak dalam sistem untuk mengendalikan. Bedanya hanya ayah May tidak punya resolusi untuk balik ke masa lalu dalam upaya mengendalikan kembali ‘kekalahan’ keluarganya. Dan si ayah enggak bisa ngamuk gitu saja kepada May yang menutup diri darinya seperti Iron-Man ngamuk kepada rekan-rekan superheronya.

May dan ayahnya berusaha menyetir hidup mereka kembali seperti sedia kala. Namun tanpa ada yang berani mengungkapkan – tak ada sistem yang mensupport mereka berdua selain keheningan di antara mereka, tanpa mereka sadari mereka justru menyakiti orang lain dan diri mereka sendiri. Dan inilah yang sebenarnya berusaha dikomunikasikan oleh film. Bahwa sesungguhnya ini adalah perjuangan May untuk berkomunikasi dengan ayahnya, begitu juga sebaliknya. Mengingatkan kepada korban perlunya untuk membuka komunikasi, dan kepada keluarga korban untuk menjadi pendukung. Dua tokoh ini terisolasi oleh trauma. Ada adegan ketika May terbata hendak berteriak mengatakan sesuatu kepada ayahnya, tetapi dia belum sanggup. Hal ini membuat ayahnya semakin merasa bersalah dan merasa tak mampu melindungi anaknya. Sebaliknya, kesalahan sang ayah adalah belum menyadari bahwa anaknya butuh lebih dari sekedar presence. Tidak cukup hanya duduk diam di sana. Ayah May malah semakin salah ketika dia malah menyalurkan emosinya sendiri ke dalam ring, jauh dari May. Yang malah membuat May makin merasa sendirian, terbukti dengan seringnya kita diperlihatkan adegan May duduk menunggu kepulangan ayahnya di meja makan.

Kita tidak bisa mengendalikan semua baik-baik saja. Bukan salah kita jika semuanya berubah menjadi tidak baik-baik saja. Kita butuh saling support. Karena kita bertanggung jawab untuk hidup terus sambil menyembuhkan diri. Jangan lagi tambahkan luka yang tak-perlu.

 

“sakit berarti ada yang gak ngalir”, makanya biarkanlah semua mengalir kecuali diare

 

 

Melihat apa yang terjadi kepada May dan ayahnya akan membuat kita mengerti apa yang dirasakan oleh korban-korban kekerasan yang bikin trauma. Film benar-benar meluangkan waktu untuk menekankan perasaan tersebut. Beberapa adegan cukup disturbing, secara terang-terangan memperlihatkan May melukai dirinya sendiri. Sekelebat adegan perkosaan juga tampil intens. Ayah May juga sama menyayat hatinya ketika pria ini menerima begitu saja pukulan dari lawannya di dalam arena. Semua orang dalam film ini memberikan penampilan yang sungguh menyentuh. Film ini mampu berkata banyak tanpa perlu sering-sering membuka suara. Bahkan editingnya saja bisa memberikan jawaban sehingga seolah kita sedang berdialog langsung dengan film ini. Seperti saat kamera memperlihatkan luka di wajah ayah May, dan detik berikutnya kita diperlihatkan dia beraksi dalam ring tinju.

Tapi tentu saja tidak ada film yang sempurna. Walaupun sengaja tampil slow-burn dan banyak adegan yang seperti putus-putus antara May dengan ayahnya. Paruh pertama film ini  terasa lebih panjang daripada paruh keduanya. Aku pikir bisa saja ada beberapa adegan yang dihapus supaya menjadikan pace lebih terjaga. Tapi on second thought, tiap-tiap adegan film ini terasa seperti napas, sehingga jika dihilangkan satu denyut film ini bakal keskip satu beat, dan malah bisa saja semakin merusak temponya. Jadi, kupikir pace atau tempo di awal ini adalah resiko penceritaan. Dan satu lagi, aku juga akan lebih suka kalo si Pesulap itu dibuat lebih ambigu; mungkin angkat diskusi apakah dia ada di dalam kepala May saja atau tidak. Toh film sudah membuktikan lebih baik bagi para tokoh jika pria tersebut tidak ada di momen resolusi akhir May. Menjadikan dia beneran ada justru membuat tokoh ini terjebak dalam semacam trope ‘manic pixie dream boy’.

 

 

 

Aku setuju kalo ada yang bilang film ini adalah film Indonesia terpenting, terbaik, sejauh tahun 2019. Semua yang terpampang di layar itu tampak begitu sarat makna dan gagasan. Cerita dengan percaya diri menghembuskan setiap detik napas dan denyut nadinya dalam setiap langkahnya. Yang membuat kita turut merasakan diskoneksi, membuat kita membayangkan seperti apa trauma di dalam sana. Perasaan terkurung itu begitu kuat, entah itu dalam kamar putih bersih ataupun di dalam ring yang riuh dan kumuh. Dan memang itulah yang dilakukan oleh film-film terbaik; membuat kita merasakan suasana, atmosfer, perasaan, tanpa perlu berlebihan mengorkestrasinya. Film ini bakal jadi kekuatan, support-sistem tersendiri, bagi penonton yang mungkin pernah mengalami kekerasan seksual ataupun trauma personal lainnya.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for 27 STEPS OF MAY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya langkah-langkah sendiri dalam menghadapi trauma atau grief atau kesedihan yang mendalam? Menurut kalian kenapa dalam film ini pelaku kekerasan kepada May tidak pernah menjadi penting lagi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

 

KUCUMBU TUBUH INDAHKU Review

“True happiness can be realized when we harmonize the needs of our body and mind with our true self; the soul”

 

 

Ada rasa ngeri yang terasa ketika aku menyaksikan film terbaru garapan Garin Nugroho yang jadi Film Pilihan Tempo tahun 2018 yang lalu. Padahal Kucumbu Tubuh Indahku ini terhitung lebih ‘pro-selera rakyat’ dibanding film-film terakhir dari Garin. Dua filmnya yang kutonton baru-baru ini – Setan Jawa (2017) dan Nyai (2016) – terasa lebih berat dan lebih ‘semau Garin’. Toh, dengan tone yang tidak dibuat berat, Kucumbu Tubuh Indahku masih berhasil untuk menjadi meresahkan (in a good way) lantaran menguarkan elemen-elemen yang membuatnya masih satu garis yang sama dengan saudara-saudaranya tersebut. Persoalan manusia, budaya (dalam hal ini; Jawa), dan materi. Dan dalam film yang oleh khalayak internasional dikenal dengan nama Memories of My Body ini, tiga ‘Garin Trinity’ terwujud dalam sesuatu yang lebih dekat, yang lebih tidak-abstrak, yang – dalam bahasa film ini – lebih tegas garis jejaknya; Tubuh manusia, serta jiwa yang mengisinya.

Siapa sangka benda yang diciptakan dari tanah liat ini bisa begitu bikin rumit, ya? Padahal jenisnya cuma dua. Yang ada batangnya. Dan yang ada gunungnya. Tapi si empunya badan akan diharapkan untuk melakukan atau tidak-melakukan sesuatu berdasarkan dari onderdil tubuhnya. Segala sesuatu juga harus mengikuti aturan tubuh ini. Pakaian, misalnya. Bahkan nama.

Tapi apakah memang tubuh yang sebenarnya membuat pria itu pria, wanita itu wanita? Apakah yang bertinju itu jantan. Yang lembut itu bukan. Apakah ketika seseorang berkepala gundul lantas ia tidak diperbolehkan menari. Dan bagaimana sebenarnya ketika seseorang jatuh cinta – apa yang ia cintai. Tubuhkah?

 

Pertanyaan-pertanyaan seperti demikian yang bakal muncul ketika kita menonton Kucumbu Tubuh Indahku. Kita mengikuti perjalanan seorang Juno, as in Arjuna, yang sedari kecil mulai menunjukkan ketertarikan sama hal-hal kecewekan. Juno kecil suka mengintip rombongan penari lengger (tarian di mana penari laki-laki akan mengenakan riasan dan melenggok bak perempuan). Semakin beranjak dewasa, dorongan tersebut semakin kuat. Masalahnya adalah setiap kali Juno berusaha mengekspresikan diri kepada dunia luar yang serta merta meng-judge dirinya, kemalangan terjadi, yang membuat dirinya terlunta-lunta dari satu tempat ke tempat lain. Cerita film ini akan melingkupi dari fase Juno kecil, hingga dewasa. Pembagian fase tokoh cerita begini sedikit mengingatkanku kepada film Moonlight (2016) di mana kita juga melihat perjalanan tiga-fase tokoh dari anak-anak hingga dewasa yang berkaitan dengan eksplorasi seksual yang membuat ia dikecam oleh lingkungan sosialnya. Moonlight yang menang Oscar sangat kuat di kerja kamera yang benar-benar menempatkan kita dalam perspektif si tokoh. Sebaliknya, Garin, sutradara ini tidak pernah benar-benar unggul dalam permainan kamera, melainkan ia bekerja hebat dengan komposisi. Sebagai seorang yang berlatar dari teater, Garin mengimplementasikan sentuhan khas seni panggung tersebut ke dalam visual sinematis sehingga penceritaan film ini berhasil juga menjadi unik.

Ada poster David Bowie, ada poster Freddie Mercury, tapi uneasiness yang hadir dari dunia filmnya sendiri membuatku merasa lebih cocok kalo ada poster Goldust di sana

 

 

Perjalanan hidup Juno akan diceritakan ke dalam empat ‘episode’, di mana setiap episode tersebut diawali dengan Juno Dewasa yang bicara langsung kepada kita. Menghantarkan kita kepada konteks masalah dengan cara yang amat poetic dan dramatis. Kata-kata kiasan yang ia ucapkan akan menjadi pegangan untuk kita, sehingga kita bisa membedakan tiap-tiap episode yang bertindak sebagai kenangan dari Juno sendiri. Satu episode bisa saja lebih panjang dari yang lain. Ada yang lengkap dari awal, tengah, hingga akhir. Namun ada juga yang langsung berpindah ketika konfliknya lagi naik. Aku sendiri agak mixed soal itu. Garin menawarkan bukan jawaban, melainkan gambaran untuk kita perbincangkan. Aku suka dua episode pertama, tapi setelahnya cerita seperti mengulang permasalahan, hanya saja kali ini dengan intensitas yang dinaikkan. Baik itu intensitas kekerasan ataupun seting yang dibuat semakin edgy dan relevan dengan keadaan sekarang.

Kita tentu sadar, Juno dapat saja tumbuh menjadi the next Buffalo Bill seperti dalam film The Silence of the Lambs (1991), film Kucumbu ini bisa saja dengan gampang berubah menjadi thriller psikologikal atau malah slasher yang digemari lebih banyak penonton. Film ini lumayan berdarah kok. Tapi Garin – kendati terasa berusaha lebih pop dari biasanya – tetap dengan bijaksana menyetir cerita kembali ke arah yang lebih beresonansi terhadap manusia dan budaya. Makanya jadi lebih mengerikan. Setiap episode tadi itu bertindak sebagai lapisan. Ada lapisan romansa. Ada yang berbau politik, sebagai sentilan terhadap dunia kita. Gambaran besarnya terkait dengan gagasan film ini adalah soal keadaan sosial yang katanya berdemokrasi tapi tidak pernah benar-benar demokratis terhadap warganya. Namun journey pada narasinya sendiri tidak terasa baru karena apa yang dihadapi Juno sebenarnya itu-itu juga.

Empat episode tersebut adalah gambaran tentang empat makna tubuh yang digagas oleh cerita. Yang diselaraskan dengan pergerakan arc si Juno sendiri. Kita akan diberitahu bahwa “tubuh adalah rumah”, dan kita akan diperlihatkan ‘rumah’ tempat Juno dibesarkan. Right off the bat kita bisa melihat ada ketidakcocokan antara jiwa Juno dengan ‘rumah’ – dengan tubuhnya. Ini juga seketika melandaskan keinginan Juno untuk menjadi jantan, karena ia pikir jiwa feminisnya akan berubah maskulin jika ia terlihat jantan. Episode kedua cerita ini mengatakan bahwa “tubuh adalah hasrat.” Maka kita melihat Juno kecil pertama kali terbangkitkan hasrat lelakinya. Hanya saja ia belajar semua itu dengan konsekuensi yang keras. Jari-jarinya yang bisa merasakan kesuburan ayam harus dihukum. Sehingga cerita bergulir ke “tubuh adalah pengalaman.” Ini berkaitan dengan ‘muscle-memory’ yang pernah aku bahas pada review Alita: Battle Angel (2019) ; Hal-hal yang terjadi padanya semasa kecil, trauma-trauma baik di jiwa maupun literal membekas di badannya, hal itulah yang membentuk seperti apa Juno sekarang yang beranjak dewasa. Seorang asisten tukang jahit yang membuang hasrat maskulin dan sudah sepenuhnya berjiwa feminin. Hanya saja ia masih menahannya. Ini adalah point of no-return buat Juno sebagai tokoh cerita. Di sini kita dapat kontras adegan yang menyentuh sekali antara pemuda bertinju dengan Juno yang menghindar dengan tarian; yang perlu diperhatikan adalah Juno hanya mulai menari saat si pemuda sudah tertutup matanya oleh kain. Film Garin biasanya selalu soal gerakan, dan hal tersebut tercermin di sini. Actually, selain ini, ada banyak adegan yang ngelingker dari apa yang pernah dilakukan Juno kecil. Pengalamanlah yang mengendalikan tubuh Juno mengendalikan jiwanya. Tapi Juno belum bebas. Jiwanya masih berperang di dalam. Pergolakan tersebut tercermin pada tubuhnya, sebagaimana episode ke empat menyebut bahwa “tubuh adalah alam medan perang”. Aku gak akan menyebut seperti apa akhir film ini, tapi inner-journey Juno tertutup dengan baik dan ngelingker. Meskipun seperti yang sudah kutulis di atas, menuju akhir cerita akan bisa terasa ngedrag karena tidak muncul sesuatu yang baru melainkan hanya intensitas yang ditambah.

Bahkan Garin me-recycle elemen ‘ingin dipeluk’ yang pernah ia ceritakan di Cinta dalam Sepotong Roti (1991)

 

 

I’ve also mentioned Garin tidak selalu juara di kamera. Aku bicara begitu karena dari yang kuamati pada Setan Jawa dan Nyai, Garin seperti hanya melempar pemandangan ke kamera, dan perhatian kita tidak benar-benar ia arahkan, sehingga film-film Garin kebanyakan membingungkan. Namun sebenarnya di Kucumbu Tubuh Indahku, terutama di paruh awal kita melihat cukup banyak perlakuan pada kamera yang membuat film ini tidak membingungkan untuk ditonton. Ada editing yang precise, dan menimbulkan kelucuan yang lumayan satir seperti ketika Juno yang habis colok-colok pantat ayam kemudian berpindah ke dia lagi makan dengan jari yang sama. Kamera juga akan sering membawa kita seolah-olah mengintip, atau melihat dengan framing benda-benda. Ini sesungguhnya berkaitan dengan tema ‘mengintip’ yang jadi juga vocal-point cerita. Juno diajarkan bahwa manusia di dunia hanya numpang ngintip. Ada banyak lubang yang disebut oleh film ini, untuk mengingatkan kita dan juga Juno bahwa kita sebenarnya tak lebih dari tukang intip. Soal intip-intip dan lubang ini juga eventually pun bergaung lagi di makna adegan terakhir, karena kita tahu bahwa hal tersebut menyimbolkan keadaan Juno sebagai seorang closeted-person. Dan di titik terakhir itu, dia tak lagi mengintip.

 

 

 

 

Bertolak dari penari yang kudu bisa bergerak maskulin dan feminin, Garin Nugroho berhasil menyajikan sebuah tontonan berbudaya yang memancing pemikiran kita. Terselip komentar sosial dan politik. Sekaligus sebuah seni yang memanjakan indera. Semua aktornya bermain dahsyat. Namun begitu, ini adalah jenis film yang harus banget ditonton berkali-kali, sebab cuma seginilah yang pretty much bisa dijabarkan jika nontonnya baru satu kali. Bahkan menurutku film ini juga sebenarnya mau bilang bahwa tubuh indah yang penuh oleh borok-borok kehidupan itu adalah negara kita, sebuah rumah dengan hasrat, pengalaman, dan sebuah ‘medan perang’ hingga kini. Dan sudah begitu lama sepertinya tubuh dan jiwa itu tidak bergerak bersama. Film ini hadir sebagai celah supaya kita bisa mengintip hal tersebut, supaya kembali menyelaraskan gerakan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KUCUMBU TUBUH INDAHKU.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian pernah merasa terbatasi oleh gender kalian? Jika kalian diperbolehkan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh lawan-jenis kalian, hal apa itu yang kalian lakukan?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

AVE MARYAM Review

“Love is like God: both give themselves only to their bravest knights”

 

 

“Aaaaaaaaave Mariiiiiii~~aaa…aamm”

Loh kok Maryam, kan lirik lagunya Maria?

Maria dan Maryam, toh, sebenarnya adalah sosok orang yang sama. Cuma yang satu penyebutan di kitab Kristen, satunya lagi penyebutan umat muslim. Maka naturally aku tertarik nonton film ini; judulnya udah kayak sebuah collab banget. Tapi ternyata garapan Robby Ertanto ini enggak benar-benar memfokuskan kepada toleransi antarumat beragama seperti yang disugestikan oleh judulnya. Namun begitu, Ave Maryam dapat juga kita jadikan sebagai jendela mengintip toleransi kemanusiaan yang lain. Toleransi dalam cinta.

Tokoh utama cerita, Maryam (Maudy Kusnaedi – mungkin – dalam peran paling berani yang pernah diterimanya) adalah seorang biarawati yang bertugas mengurusi suster-suster sepuh di biara mereka di Semarang. Dengan nama berbau Islam, dan mengucapkan alhamdulillah, tokoh ini sekilas tampak dalam krisis kepercayaan. Namun sebenarnya poin film ini ialah untuk menunjukkan tidak ada perbedaan antara Katolik ataupun Islam secara manusia. Sehingga pesan yang ingin disampaikan tak-terbatas pada agama yang jadi latar ceritanya. Apa yang terjadi kepada Maryam, bisa saja terjadi kepada setiap maria, atau siapapun di luar sana. Tantangan beragama terhadap pemeluknya yang taat itu sama pada agama manapun. Pada satu poin dalam hidup, setiap kita mungkin akan mengalami ujian siapa yang lebih kita cintai; Tuhan atau sesama manusia. Seperti Maryam yang kemudian jatuh cinta. Enggak tanggung-tanggung, dia jatuh cinta kepada Romo Yosef (kalo pemuka agamanya sekeren Chicco Jerikho, Valak juga bakal jinak kali’). Kedua insan ini harus merenungkan kembali apa yang sebenarnya mereka cintai.

filmnya jadul tapi duitnya tampak kekinian

 

 

Untuk dapat melihat lebih jelas maksud dari gagasan yang berusaha diangkat oleh film yang lumayan berat ini, kita perlu mundur jauh dulu demi mendengar kata Sigmund Freud tentang hubungan atau kecintaan manusia terhadap tuhan. 

 

Freud mengemukakan teori bahwa tuhan hanya ada dalam pikiran para pengikutnya. Tercipta dari kebutuhan akan sosok ‘ayah’ yang melindungi. Hidup ini keras. Orang dewasa tentu gak bisa lagi bergantung kepada orangtua untuk keselamatan, jadi kita – kata Freud – mencari sosok ‘orangtua’ lain yang bisa memberikan perlindungan, ketentraman, menghadirkan keamanan, membimbing ke jalan yang benar. Bagi Freud, tuhan merupakan gambaran manusia akan sosok paling sempurna, paling ideal, dari seorang ayah yang harus diikuti dengan taat. Cewek-cewek akan rela menjadi biarawati, meninggalkan keinginan duniawi supaya selangkah lebih dekat dengan tuhan. Cowok-cowok memilih jadi pastur, meninggalkan privilege hidup bebas demi sabda-sabda dari sosok yang bahkan tidak bisa dilihat.

Hal tersebut adalah akar dari konflik cinta-terlarang yang menjadi fokus utama film Ave Maryam. Seorang biarawati tidak boleh jatuh cinta, apalagi kepada seorang romo. While Maryam sendiri pada awalnya berusaha mengelak; dia menghindar ketika diajak jalan oleh Yosef, dia ingin merahasiakan – memendam saja rasa tersebut – literally hanya melihat Yosef dari balik terali jendela, Yosef bertindak sedikit lebih frontal dalam mengekspresikan cintanya. Dia menitipkan surat untuk Maryam kepada suster lain. Yosef tidak mengerti – atau malah ia menentang ketentuan seorang romo dan biarawati tidak boleh jatuh cinta; di salah satu adegan menjelang akhir kita melihat Yosef mempertanyakan alasan kewajiban mematuhi sesuatu yang tidak bisa dilihat. At that point, aku berpikir film sekiranya akan dapat bekerja lebih dramatis, lebih maksimal jika kursi tokoh utama diberikan kepada Yosef alih-alih Maryam. Karena bahkan adegan pengakuan di bilik penebusan dosa pada menjelang ending yang benar-benar emosional itu tampak lebih menohok kepada Yosef. Paralel dengan amarah yang ia lontarkan sebelumnya. Realisasi baginya, bahwa tidak harus melihat sesuatu untuk mencintai, mematuhi, dan yakin kepadanya. Sepanjang narasi kita akan belajar siapa Yosef, kenapa dia yang free-spirited memilih untuk menjadi romo. Sedangkan Maryam, kita tidak banyak diberikan pengetahuan siapa dia, dari mana asalnya, kenapa dia memilih untuk jadi biarawati. Kamera membawa kita melihat seperti apa Maryam seolah dari pinggir ruangan; kita tidak pernah merasa ikut bersama Maryam, oleh kamera yang menangkap latar cantik itu kita hanya diposisikan sebagai observer. Kita melihat di awal dia fokus terhadap tugasnya, dan saat dia jatuh cinta kita menyaksikan tugas-tugas tersebut mulai gagal ia kerjakan. Kita paham bagaimana cinta tersebut mulai mempengaruhi cintanya terhadap tuhannya. Sebagai landasan motivasi, kita diperlihatkan adegan mimpi Maryam dengan jendela di pantai yang sepertinya menunjukkan Maryam ingin kebebasan. Tapi film tidak menggali lebih dalam perihal alasannya merasa gak-bebas, kenapa dia sendiri melanggar komitmen atas nama cinta yang bahkan rasa cintanya terhadap Yosef pun tidak tergambar semeyakinkan Yosef tampak mencintai dirinya.

Cinta itu sama seperti Tuhan. Tak bisa dilihat, tapi terasa. Tak bisa dipegang, tapi ada. Kita cuma harus berani meyakini keberadaannya.

 

Perjalanan tokoh Maryam ini terasa abrupt. Mendadak. Tentu, adegan paling manis dan menarik yang dipunya oleh film ini terkait dengan penggambaran jatuh cinta kedua tokohnya adalah adegan di restoran di mana Maryam dan Yosef ‘ngobrol’ melalui tayangan yang diputar oleh restoran tersebut. Penggunaan dialog yang sangat pintar dan unik. Tapi selain itu, rasa cinta yang disebut-sebut Maryam itu tak pernah terasa benar-benar ada. Dia hanya diajak ke toko roti, dikirimi surat yang isinya ngajak ketemuan, I mean, darimana cintanya kepada Yosef tumbuh? Adegan pengenalan Yosef pun tidak tampak spesial. Dia tiba di gereja mereka begitu saja. Kamera tidak memperlihatkan seperti apa istimewanya Yosef di mata Maryam. Dari yang kutonton malah terasa seperti Maryam tersugesti oleh anak kecil pengantar susu yang pertama kali menyebut Yosef “tampan”. Dari Maryam ‘cuek’ ke dia cinta, buatku seperti sebuah loncatan narasi. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Dan setelah cinta, tau-tau Maryam menangis, lalu dia menyesal, what’s happening here? Ada momen penyadaran Maryam yang completely terskip. Ada adegan kunci yang tidak film ini masukkan. Aku duduk di bioskop dari awal hingga akhir, tapi tetap saja rasanya entah ada sekuen yang terlangkau, atau Maryam baru saja mengalami mood-swing paling drastis yang bisa terjadi pada wanita. Apa yang terjadi di pantai di malam ulangtahun Maryam?

hampir kayak nonton Dilan dengan setting The Nun

 

Buat yang udah baca sinopsisnya sebelum menonton ke bioskop (untung aku bacanya sesudah menonton, sebelum nulis review ini), Ave Maryam at best adalah sebuah false advertising. Kita tidak melihat separuh yang diinfokan oleh sinopsis sepanjang hamparan durasi filmnya. Dan buatku sebuah kegagalan jika sinopsis malah bertindak sebagai komplementer ketimbang ringkasan singkat dari actual filmnya. Ave Maryam sepertinya tak-cukup berani. Maryam seperti mendambakan kebebasan tapi kita tidak melihat bentuk ‘kekangan’ selain larangan jatuh cinta itu. Film sepertinya khawatir akan membuat lingkungan gereja jatohnya antagonis, tapi mestinya mereka bisa mengambil pelajaran kepada Lady Bird (2017) yang berhasil membuat tokoh utamanya tampak terkekang walaupun asrama katolik yang penuh aturan tempatnya berada tidak sekalipun tampak ‘jahat’.

 

 

Aku bingung juga kenapa teman-teman banyak yang memuji dan memberi nilai tinggi kepada film ini. Hampir seperti aku dan mereka menonton film yang berbeda. You know, aku tidak bisa begitu saja meyakini film ini bagus hanya karena dia ikut festival, atau karena banyak yang muji, apalagi hanya karena ada Joko Anwar. Aku harus menonton sendiri, dan menilai berdasarkan apa yang aku lihat. Hanya apa yang aku lihat. Narasinya berjalan dengan lumayan mendadak. Pacingnya enggak lambat-lambat amat, cuma memang setiap shot kayak enggak benar-benar ada yang penting selain visual yang cantik. Kejadian-yang-berhubungan dengan tokohnya yang mendadak cepet. Menghindar, suka, tobat – diceritakan dengan abrupt, sebelum masing-masingnya sempat mekar sempurna. Seperti ada yang hilang – seperti ada yang tak kulihat. Hanya kepada tuhan kita bisa percaya tanpa harus benar-benar melihat sosoknya. Dan film ini, aku yakin sekali, bukan tuhan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AVE MARYAM.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kenapa sih masalah percintaan terkait aturan agama harus selalu rumit? Bukankah jika cinta kepada Tuhan, naturally orang juga mencintai sesama manusia? Menurut kalian kenapa kita bisa begitu ngotot cinta sama satu orang?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

Road to EUROPE ON SCREEN 2019 Festival Film Uni-Eropa ke-19

 

Sinema bukan semata soal hiburan.  Tetapi juga merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan kesadaran. Terhadap kemanusiaan. Terhadap lingkungan. Terhadap budaya. Tahun 2019 ini, dua-puluh-tujuh negara Eropa kembali dikumpulkan film-film produksi terkini mereka. “Bukan masalah besar kecilnya negara. Melainkan soal cakupan representasi budaya”, ujar Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend di depan media saat press conference di Goethe-Institute Jakarta, Selasa 2 April 2019. Fakta menarik yang bisa dipungut dari bincang-bincang tersebut adalah ternyata setiap kali ada film Indonesia yang syuting di negara-negara Eropa, hampir bisa dipastikan kunjungan di negara tersebut bakal meningkat. Jadi, ya, Festival yang sudah delapan-belas kali diselenggarakan ini mengemban misi mulia untuk memupuk kerja sama antara perfilman dan industri kreatif Eropa dengan Indonesia, dalam semangat kebudayaan, sebagai sektor ekonomi yang meningkat pesat.

Melanjutkan tradisi, tahun ini Europe on Screen akan menjadi lebih besar dari yang sudah-sudah. Seratus-satu film berkualitas akan mengisi acara sepanjang tiga-belas hari. Tersebar dalam 277 layar di 19 venue di delapan kota seluruh berbeda. Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, dan dengan bangga Mr. Vincent menambahkan dua kota lagi yakni Bekasi dan Tangerang.

Satu kesamaan yang dipertahankan adalah, semua rangkaian acara di festival ini GRATIS dan TERBUKA UNTUK UMUM. Bahkan screeningnya ada yang diadain dengan ala-ala layar tancep loh. Jika itu belum cukup untuk membendung rasa penasaran kalian untuk hadir, Europe on Screen 2019 sesungguhnya punya enam hal istimewa yang akan bisa kita dapatkan.

 

 

 

1. SUB-KATEGORI #OURLAND

Europe on Screen dalam pengkurasian film-filmnya memang tidak membatasi dengan tema. Sehingga jangkauan film yang diikutsertakan bisa meluas. Secara garis besar, film di Europe on Screen dibagi menjadi dua; film cerita dan dokumenter. Nah, di kategori dokumenter yang diistilahkan dengan ‘Realities’ itu, tahun ini Europe on Screen memberikan fokus kepada pelestarian lingkungan hidup. Dihimpunlah dokumenter-dokumenter yang mengangkat isu mengenai tanah tempat tinggal kita; apakah itu sebagai tempat yang harus diperjuangkan, ataupun apakah itu sebagai daerah eksplorasi.

Makala, Welcome to Sodom, Giants and the Morning After, Untamed Romania, adalah empat dari tujuh dokumenter yang bakal diputar dalam sub #OurLand, yang akan membuat kita melihat tanah kita dalam perspektif baru dan menarik.

 

 

2. PROGRAM SPECIAL #BAUHAUS100

Merayakan seratus tahun gaya arsitektur Jerman Bauhaus dan mengenang sutradara ternama asal Italia, Bernardo Bertolucci.

Didirikan di kota Weimar pada tahun 1919, sekolah Bauhaus berdiri secara resmia hanya empat-belas tahun. Tetapi kreasi dan pemikiran yang diciptakan sekolah ini terus digunakan. Sekolah desain dan seni di Jerman ini terus memberikan pengaruh besar dalam kehidupan modern sampai saat ini.

Europe on Screen 2019 menghadirkan dua program spesial untuk merayakan #Bauhaus100. Pertama adalah pemutaran dokumenter Bauhaus Spirit yang khusus dibuat untuk perayaan ini. Dan kedua, adalah pameran instalasi video Bauhaus yang memutar klip dan film pendek arsip karya sekolah Bauhaus selama beberapa dekade.

 

 

 

3. PEMUTARAN FILM NOMINASI ACADEMY AWARDS 2019

Rangkaian festival Europe on Screen 2019 yang penuh oleh film-film berkualitas dari negara-negara Uni-Eropa akan dibuka oleh pemutaran The Guilty. Sebuah thriller dari Denmark tentang seorang penerima panggilan darurat yang berubah hidupnya saat menjawab telepon dari seorang wanita yang diculik. The Guilty ini merupakan film yang dikirimkan ke Oscar sebagai perwakilan negara Denmark dalam kategori Best Foreign Language Film.

Untuk penutup acara, bakal diputarkan secara ekslusif film yang tak kalah ‘seru’nya. What Have We Done to Deserve This?, sebuah komedi asal Austria yang menyabet nominasi Best Film di Focus Switzerland, Germany, Austria, Zurich Film Festival 2018 berkat keberaniannya mengangkat isu seorang feminis ateis yang seolah mendapat mimpi buruk ketika putri remajanya memilih masuk ke agama Islam.

Dan kami beruntung sekali di acara Press Conference diputarkan salah satunya yang paling bergengsi, yaitu dokumenter yang masuk nominasi Oscar; Of Fathers and Sons adalah cerita yang sangat menggetarkan hati tentang dua orang anak dalam keluarga radikal Suriah yang digembleng oleh sang ayah untuk menjadi pasukan Jihad.

Udah kebayang dong sekarang, film-film seperti apa yang bakal menghiasi Europe on Screen? Yea? Coba kalikan seratus-satu kali. Wuiihh!!

 

 

 

4. KESEMPATAN KEPADA FILM PENDEK

Tidak terbatas pada film-film panjang, Europe on Screen juga mengadakan penanyangan berbagai film pendek, animasi atau bukan, karya pembuat film pemula dari Eropa.

Untuk pembuat film Indonesia, malah lebih spesial lagi. Europe on Screen mengadakan program pendanaan proyek film pendek. ‘Short Film Pitching Project’ ini idenya adalah mengundang dan memberi kesempatan pada pemula untuk mewujudkan kreativitas film pendek mereka. Untuk tahun ini, EOS sudah memilih sembilan ide cerita – dari seratus pendaftar. Tahapan selanjutnya adalah kesembilan finalis akan mempresentasikan ide cerita mereka di hadapan para juri yang terdiri dari produser dan sutradara film. Proses penjurian ini akan diadakan secara terbuka sebagai bagian dari penutup Festival. Tiga ide cerita terpilih akan mendapatkan dana produksi.

Europe on Screen 2019 akan memutarkan dua film pendek terpilih tahun 2018 yang berjudul Bangkis dan Lasagna.

Pengen gak sih film pendek kita diwujudin dan diputer di festival bergengsi ini? Aku sih iyes.

 

 

 

5. SINEAS EROPA BAGI-BAGI ILMU

Dua film Indonesia yang diputar di Europe on Screen adalah Arini dan The Gift. Pemutaran film tersebut akan dibarengi oleh pembuat film masing-masing yang bakal berbagi pengalaman syuting film di Eropa.

Segmen diskusi ini adalah wujud dari bagaimana film dapat menginspirasi banyak orang. Makanya, Europe on Screen juga akan menghadirkan langsung beberapa pekerja film Eropa untuk, bukan hanya membimbing, namun juga bekerja sama dengan kita dan para penggerak film tanah air.

Di antaranya adalah Lina Flint, produser film The Guilty, yang akan mendiskusikan apa-apa saja yang dibutuhkan ketika kita pengen memproduksi film bergenre thriller. Karena thriller – yang lagi digandrungi oleh penonton di sini – sebenarnya salah satu genre yang cukup sulit dibuat. Enggak bisa sekadar bikin kaget atau terkejut, melainkan juga harus ada rasa gelisah, tegang, saat menontonnya. Penulisan naskah juga harus diperhatikan. Maka turut dihadirkanlah Emil Nygaard Albertsen yang naskah The Guilty garapannya baru saja memenangkan Best Screenplay di Robert Award. Emil akan membagi ilmu seputar menulis naskah thriller yang baik nan mencekam.

Tak ketinggalan, bakal ada pengetahuan tentang bagaimana cara mendesain poster yang efektif dari desainer ternama asal Belgia, Amira Daoudi. Ia mendesain poster film Cargo, In Blue, dan Zagros, yang tiga-tiganya turut ditayangkan pada festival tahun ini. Darinya kita bisa mendapat ilmu bahwa poster haruslah bisa bertindak sebagai alat marketing yang menarik perhatian calon penonton sekaligus sebagai karya seni yang menangkap esensi film dengan estetis.

 

 

 

6. ADA KUIS SURPRISE SCREENING!

Sudah jadi adatnya, setiap tahun Europe on Screen ngadain pemutaran misterius. Di mana judul film yang bakal diputar baru akan diberitahukan tepat sebelum pemutaran film tersebut. Tentu saja ini menghasilkan pengalaman menonton yang unik, seru, dan excited abis karena biasanya kita gak tau harus mengharapkan apa. Nonton tanpa ekspektasi adalah salah satu cara menonton yang paling asik.

Tahun ini, keseruan surprise screening akan semakin bertambah lantaran Europe on Screen mengadakan kuis tebak-tebakan judul film yang bakal diputar. Kita bisa ikutan kuis ini dengan melihat petunjuk yang akan dipos pada akun instagram @europeonscreen

 

 

 

Festival ini akan berlangsung mulai dari tanggal 18 April hingga 30 April 2019 (habis Pemilu, kita pesta lagi horee!) Jangan lewatkan tanggal-tanggal pemutaran di kota-kota kalian.

And I guess, I will see you there!

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Film mana yang paling ingin kalian tonton? Bagaimana pendapatmu tentang perfilman di Eropa.

Beritahu kita semua di komen

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Pengumuman Nominasi Film & Narafilm Terpuji FFB 2018: Pengamatan dalam Empat Babak

 

Setelah perpanjangan waktu, Festival Film Bandung akhirnya mengumumkan film dan narafilm yang termasuk kategori “Paling Pantas Dipuji” untuk periode 1 Agustus 2017 hingga 31 Agustus 2018. Tambahan waktu satu bulan tersebut tentu saja bukan penambahan yang sedikit. Periode ke 31 ini bisa dibilang sangat ramai; dari pool yang tersedia, pengamat FFB sudah mengamati 67 serial televisi, 365 film televisi, 137 film nasional, dan setidaknya 200an judul film impor. Kompetisi pada setiap kategorinya sangat ketat. Untuk film bioskop sendiri, dua caturwulan 2018 ini saja sudah terasa begitu fresh; selain horor yang terus beranakpinak, genre lain mulai bersemi bermunculan. Membuat penonton tak bosan-bosan ke bioskop. Membuat pengamat mesti lebih giat, dan berkembang penilaiannya.

Mengambil tajuk “Memulai Kembali” FFB 2018 merupakan sebuah homecoming bagi Forum Film Bandung. Tigfa-puluh-satu tahun itu sudah cukup tua, maka mereka melakukan peremajaan. Dan sebagaimana film-film yang comes full circle dalam urusan genre, Forum Film Bandung pun seperti memulai dari nol. Ada lebih banyak pengamat muda serta kontributor-kontributor dari komunitas dan blog yang dilibatkan dalam mengamati film. Menurut Eddy D. Iskandar, Ketua Umum FFB pada sambutannya di acara pengumuman nominasi, setiap tiga bulan sekali judul demi judul disaring oleh rentang sudut pandang yang luas. Makanya, setelah tahap-tahap pengamatan yang kontinu tersebut, menarik sekali melihat apa yang FFB keluarkan dalam pengumuman nominasi kali ini.

 

 

KATEGORI SERIAL TELEVISI

PEMERAN PRIA TERPUJI SERIAL TELEVISI
1) Eza Gionino
“Aku Bukan Ustadz”
MNC Pictures
RCTI

2) Hamas Syahid
“Kun Fayakun”
Antv Pictures & Tobali Putra Production
ANTV

3) Randy Martin
“Best Friends Forever”
MD Entertainment
TRANS TV

4) Rionaldo Stokhorst
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

5) Rizky Nazar
“Sodrun Merayu Tuhan”
SinemArt
SCTV

 

PEMERAN WANITA TERPUJI SERIAL TELEVISI
1) Audi Marissa
“Semua Indah karena Cinta”
Multivision Plus
RCTI

2) Cut Syifa
“Jodoh yang Tertukar”
SinemArt
SCTV

3) Evi Masamba
“Warteg DKI”
Antv Pictures & Veronica Pictures
ANTV

4) Marshanda
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

5) Naysilla Mirdad
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

 

SUTRADARA TERPUJI SERIAL TELEVISI
1) Agus Elias
“Tak Ada Hari yang Tak Indah”
SinemArt
SCTV

2) Maruli Ara
“Orang Ketiga”
SinemArt
SCTV

3) Rully Manna
“Kun Anta”
MNC Pictures
MNC TV

4) Yogi Yose
“Aku Bukan Ustadz”
MNC Pictures
RCTI

5) Yoyok Dumpring
“Jejak Suara Adzan”
Netmediatama
NET TV

 

SERIAL TELEVISI TERPUJI 
1) Aku Bukan Ustadz
MNC Pictures
RCTI

2) Jejak Suara Adzan
Netmediatama
NET TV

3) Orang Ketiga
SinemArt
SCTV

4) The Power of Emak-Emak
Lemon Tree Production
TRANS 7

5) Ummi
Multivision Plus
ANTV

 

 

KATEGORI FILM TELEVISI

PEMERAN PRIA TERPUJI FILM TELEVISI
1) Alfie Alfandy
“Panggilan Tak Terjawab”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

2) Miqdad Addausy
“Lubang Tikus”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

3) Nikki Frazetta
“Insya Allah Jodoh”
Tobali Putra Production
RCTI

4) Rama Michael
“Pesan Terakhir Laila Majnun”
Millenium Visitama Film
TRANS 7

5) Ridho Illahi
“Suami yang Tak Dianggap”
Mega Kreasi Films
INDOSIAR

 

PEMERAN WANITA TERPUJI FILM TELEVISI
1) Amanda Manopo
“Pemuja Mantan”
MD Entertainment
TRANS TV

2) Denira Wiraguna
“Sebenarnya Cinta”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

3) Laudya Cynthia Bella
“Insya Allah Jodoh”
Tobali Putra Production
RCTI

4) Rachel Amanda
“Malaikat Pelantun Rindu”
Trans 7 & RK 23 Pictures
TRANS 7

5) Rianti Cartwright
“Pinjaman kepada Allah”
Max Pictures
RCTI

 

SUTRADARA TERPUJI FILM TELEVISI
1) Deni Pusung
“Hari-Hari Guru Jalil”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

2) Ginanti Rona
“Madu dari Surga”
Trans 7 & Unlimited Production
TRANS 7

3) Joe Sandjaya
“Pinjaman kepada Allah”
Max Pictures
RCTI

4) Kiky ZKR
“Lubang Tikus”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

5) Usman Jiro
“Kebaikan yang Dilupakan”
Mega Kreasi Films
INDOSIAR

 

PENULIS SKENARIO TERPUJI FILM TELEVISI
1) Daniel Tito & Cyntia S. Wardhana
“Primadona Pembawa Cinta”
Max Pictures
RCTI

2) Imam Salimy
“7 Langkah Terakhir”
Trans 7 & Unlimited Production
TRANS 7

3) M. Haris Suhud
“Mengejar Impian”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

4) Musfar Yasin
“Hari-Hari Guru Jalil”
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

5) Raditya & Alifia Kurniasih
“Arena untuk Arini”
Limelight Pictures
SCTV

 

FILM TELEVISI TERPUJI
1) Hari-Hari Guru Jalil
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

2) Insya Allah Jodoh
Tobali Putra Production
RCTI

3) Lubang Tikus
Surya Citra Televisi & Citra Sinema
SCTV

4) My Trip My Adventure the Movie: The Lost Paradise
Transinema Pictures
TRANS TV

5) Pesan Terakhir Laila Majnun
Millenium Visitama Film
TRANS 7

 

 

KATEGORI FILM BIOSKOP IMPOR

Lima puluh film impor yang berhasil masuk nominasi tahun ini, bahkan ada film yang kelewat loh ama mydirtsheet, salut buat pengamat FFB!

 

 

KATEGORI FILM BIOSKOP NASIONAL

PENATA EDITING TERPUJI FILM BIOSKOP

Anu, itu nomer limanya keedit jadi nomer empat 

 

PENATA KAMERA TERPUJI FILM BIOSKOP

Bahkan horor dan film anak-anak sekalipun kamera udah gak pake main-main!

 

 

PENATA ARTISTIK TERPUJI FILM BIOSKOP

“Hmm.. tidak mudah membuat dunia.. ya..ya” sambil galer-galer

 

 

PENATA MUSIK TERPUJI FILM BIOSKOP

Jangankan yang memang haunting, “anak betawi” pun bikin merinding

 

 

PEMERAN PEMBANTU PRIA TERPUJI FILM BIOSKOP

Pemeran Pembantu pun sah kok dikasih karakter yang ga kalah kompleks

 

 

PEMERAN PEMBANTU WANITA TERPUJI FILM BIOSKOP

Mainan emosinya juara semua nih

 

 

SUTRADARA TERPUJI FILM BIOSKOP

Sutradara punya suara!

 

 

PENULIS SKENARIO TERPUJI FILM BIOSKOP

“Skenario adalah tulang punggung dari sebuah film”

 

 

PEMERAN UTAMA PRIA TERPUJI FILM BIOSKOP

Akankah Gading Marten mengalahkan empat aktor yang ‘lebih senior’ darinya?

 

 

PEMERAN UTAMA WANITA TERPUJI FILM BIOSKOP

Ada tiga ‘pembunuh’ nih saingan di sini

 

 

FILM BIOSKOP TERPUJI

Nyaris semua lapisan terwakili ya di sini, keren!

 

 

Berikut review buat kelima nomine Film Bioskop Terpuji:

  1. Hujan Bulan Juni http://mydirtsheet.com/2017/11/02/hujan-bulan-juni-review/
  2. Koki-Koki Cilik http://mydirtsheet.com/2018/07/07/koki-koki-cilik-review/
  3. Love for Sale http://mydirtsheet.com/2018/03/15/love-for-sale-review/
  4. Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak http://mydirtsheet.com/2017/11/16/marlina-si-pembunuh-dalam-empat-babak-review/
  5. Sultan Agung http://mydirtsheet.com/2018/08/27/sultan-agung-tahta-perjuangan-cinta-review/

 

 

 

Dari anak-anak, remaja, mengenal cinta, dewasa, kemudian entah itu menikah ataupun masih menunggu waktu yang tepat; hidup adalah babak-babak dan nominasi FFB 2018 seolah menyimbolkan semua itu. Babak baru untuk FFB, langkah yang mantap buat perfilman Indonesia. Nantikan November untuk melihat siapa para Terpuji.

 

 

That’s all we have for now.

Siapa yang jadi jagoan kalian? What do you think about the nominations?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

PYEWACKET Review

“We are our own worst enemy.”

 

 

Beberapa helai rambut Ibu yang nempel di sisir sudah dikumpulkan. Simbol kegelapan sudah dipasang di pohon-pohon. Tanah untuk menanam rambut sudah digali. Mantra juga telah dihapal. Menyayat tangan sendiri sebagai darah persembahan pun sudah siap sedia untuk dilakukan oleh Leah. Salahnya sendiri, siapa suruh ibu begitu rese membawa mereka berdua pindah ke rumah di pinggiran kota, Leah yang masih lima-belas tahun jadi tidak bisa lagi ikutan kumpul-kumpul sama temannya sepulang sekolah. Dan lagi, apa salahnya Leah bergaul dengan mereka, berdandan seperti mereka; kenapa pula ibu mengatai mereka bodoh karena tertarik pada ilmu hitam. Mestinya ibu ngerti dong, Leah hanya mencari pelarian sebagai usaha untuk dealing dengan kematian ayah. Tapi ibu malah menganggap ekspresi dari depresi Leah sebagai hal yang mestinya ada di tempat sampah. Jadi, terserah. Leah hidup sendiri saja, sama Janice dan teman-teman yang sehati dan mengerti dirinya. Biarin sana Ibu ditangkap sama Pyewacket!

Kita semua pasti pernah seperti Leah. Bukan, bukan literally manggil setan untuk bunuh orang, kalo soal itu aku gak tahu. Mungkin memang ada dukun hitam beneran di antara kalian? Who knows, kan. Yang kumaksud adalah kita pernah seperti Leah yang marah besar sama Ibunya. Kita juga mesti pernah begitu marah sama keluarga, sama orang yang kita cintai, sampe-sampe kita ingin melakukan hal yang mengerikan terhadap mereka. Waktu kecil, aku pernah berantem sama adikku, sehingga waktu dia main di luar, aku masuk ke kamarnya dan menendang rumah bonekanya sampai jebol. Dan sama seperti Leah, sesegera mungkin setelah aksi ‘serangan’ mengerikan terlaksana, rasa penyesalan itu datang dengan teramat kuat. Dalam Pyewacket, kita melihat Leah sungguh menyesali setiap keputusan yang sudah ia bikin. Kerja karakter dalam film ini sangat kuat; momen ketika ibunya membersihkan luka di lengan Leah – luka yang dengan sengaja dibuat Leah untuk menyelesaikan ritual ilmu hitam dengan niat mencelakai ibunya beberapa menit yang lalu – terasa sangat menyayat hati. Film juga dengan mulus mentranslasikan penyesalan Leah menjadi rasa ketakutan ketika entitas tak terlihat mulai datang meneror mereka.

tokoh cewek jaman now suka nyayat diri sendiri yaa

 

Ketika bicara horor indie, biasanya kita akan bicarain horor-horor yang ‘menjijikkan’, yang efek prostetiknya bikin mual, banyak darah, potongan tubuh. Dan yea, film-film seperti itu memang fun – sebuah daya tarik yang efektif. Dari segi pembuatan, ini adalah langkah yang menunjukkan kemampuan si pembuat. Gimana mereka bisa bekerja memanfaatkan sebaik-baiknya dari apa yang bisa diusahakan oleh kantong duit yang enggak tebel. Alih-alih memakai banjir darah dan pake adegan tokoh cewek dengan busana minim dikejar-kejar monster, sutradara yang tadinya aktor,  Adam MacDonald, memilih untuk menggantungkan kekuatan filmnya pada momen-momen karakter. Jelas sama sekali enggak mahal memperkuat elemen horor dari sisi emosi dan karakter para tokoh – lagipula bukankah horor sejati memang berasal dari dalam para tokoh sendiri, ya gak?

Apa yang kita sangka kita butuhkan dalam hidup, kemudian kita berjuang keras untuk menggapainya, terkadang bisa saja menjadi titik balik kehancuran kita sendiri. Karena sesungguhnya musuh utama kita, monster yang semestinya kita takuti, seringkali adalah diri kita sendiri. Tak jarang kita kurang masak berpikir sebelum mengambil tindakan. Manusia adalah makhluk impulsif yang mengambil tindakan berdasarkan satu momen kemarahan, keputusasaan. Dan menurut film Pyewacket, hal tersebut sungguh sebuah hal yang berbahaya.

 

MacDonald paham bagaimana membangun karakter dan situasi yang mengantarkan kepada tensi, yang sebenarnya pun enggak necessarily benar-benar makhluk horor. Dalam Pyewacket, kengerian datang seringkali dari keputusan-keputusan yang diambil oleh Leah. Jika aspek setan misterius dan hal-hal goibnya kita tinggalkan sebentar, kita akan mendapatkan drama tentang hubungan ibu dan anak yang sama-sama dealing dengan tragedi; kehilangan ayah – kehilangan suami. Ketegangan film ini berakar pada hubungan Leah dengan ibunya yang semakin hari semakin runtuh, meski mereka berusaha untuk terus menatanya. Tetapi selalu ada miskomunikasi, selalu ada hati yang tersinggung. Itulah salah satu alasan kenapa film bekerja dengan efektif, sebagai horor dan sebagai drama ibu-anak. Karakter para tokohnya sangat ter-flesh out. Tentu saja semua hal tersebut menjadi mentah kalo film salah mengcasting pemeran. Leah dan ibunya adalah pusat dari film, dan kedua pemerannya pun bermain dengan gemilang. Nicole Munoz sebagai Leah berhasil mendeliver perasaan frustasi, yang kemudian berubah menjadi ketakutan, dan kengerian luar biasa, dengan sangat meyakinkan. Permainannya ini diimbangi oleh Laurie Holden sebagai ibu yang terasa jauh oleh Leah, ada sense misteri yang berhasil dikuarkan oleh Holden pada perannya di sini. Pada bagian akhir, interaksi mereka mengingatkanku kepada Tara Basro dan Christine Hakim di film Hoax (2018). Tokoh Leah dan ibunya diset up dengan cara yang menarik yang membuat kita menjadi benar-benar peduli saat cerita mulai berbelok ke ranah horor.

hampir seperti Lady Bird dengan rasa setan

 

Film ini menggunakan efek minimal untuk membangun kengerian dari desain suara, juga dari keterbatasan kamera. Kesan low-budget benar-benar terasa, dan oleh film dimanfaatkan sebagai penunjang penceritaan. Film-film horor kebanyakan akan menggunakan musik untuk menambah efek ngeri saat kamera menangkap hal ganjil di layar. MacDonald membiarkan pemandangan ganjil terpampang gitu aja, tanpa petunjuk suara yang mendadak membesar. Misalnya, menjelang babak kedua film ini, kita akan diberikan wide shot Leah di tengah hutan. Setelah lumayan lama mengerjap, barulah aku menyadari ada bayangan hitam di salah satu pohon di belakang Leah, dan buatku itu adalah detik yang bikin merinding. You know, discover things like that. Begitulah film ini menangani penampakannya. Kamera melakukan wide shot seolah bilang “cari ya, ada yang seram loh di sini” dan memang elemen paling seram di shot tersebut biasanya akan kita temukan di latar belakang. Kita harus benar-benar melotot nontonin film ini. Saking seringnya kamera menyembunyikan ‘sesuatu’, kita enggak bakal melihatnya terus-terusan.

Selain wide shot, MacDonald juga sering beralih ke kamera handheld untuk memperkuat atmosfer seram. Taktik kamera begini biasanya akan membuat film terlihat murahan, sih, namun Pyewacket justru terbantu lantaran kita jadi semakin terasa seperti mengobservasi para tokoh melewati suatu kejadian mengerikan secara langsung, dari mata setannya! Kita melayang di atas orang yang lagi tidur – yang sukses membuatku berdoa si tokoh enggak bangun supaya aku gak melihat pantulan di bola matanya. Beneran, film begitu saja berpindah sudut pandang sehingga rasanya unsettling sekali seolah kitalah setannya.

Penting untuk film horor mengerti kapan harus berhenti; sama kayak manusia, berhentilah saat di puncak ketinggian karir, supaya orang mengingatmu dalam keadaan terbaik. Film horor yang baik juga biasanya menghentikan cerita di saat drama lagi tinggi-tingginya, ketakutan lagi memuncak, momen gede itu dicut gitu aja. Contohnya The Blair Witch Project (1999) yang legendaris, kita bahkan belum lihat penyihirnya dan filmnya tamat. Namun toh film tersebut membuat kita memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Pyewacket juga begini. Tentu, endingnya terasa sedikit diburu-buruin, menurutku kita paling enggak butuh beberapa menit lagi melihat para tokoh untuk mencerna apa yang terjadi. Namun sebenarnya, film ini meminta kita untuk berpikir sendiri, menyusun puzzle yang kepingannya sudah selesai mereka bagikan. Itulah tugas film ini; sebagai pemberi kepingan puzzle yang kita butuhkan. Begitu semua sudah terhampar, film akan berakhir, dan giliran kita untuk memproses ceritanya yang memang ternyata mengikat dengan sempurna.

 

 

 

 

Buatku, ini adalah horor yang sangat efektif. Menghantarkan sisi emosional dengan baik, juga kengerian yang mampu bikin merinding. Sedikit yang membuat terlepas dari cerita adalah kenyataan bahwa film ini berbudget rendah; ada beberapa adegan mengandalkan spesial efek yang jika duitnya lebih banyak, niscaya akan lebih baik. Namun film dengan bijaksana menampilkan spesial efek ini dengan wide shot dari jauh. Juga ada satu adegan di sekitar pertengahan film saat dua tokoh berjalan di hutan malam-malam, yang menurutku sia-sia dan enggak perlu. Adegan tersebut sebenarnya punya nuansa seram yang kuat, hanya saja ternyata berakhir sebagai sebuah lelucon dari satu tokoh ke tokoh yang lain, like, ada tokoh yang pura-pura kesurupan. Mencelos banget rasanya melihat adegan ini, enggak klop sama keseluruhan film. Selain hal tersebut, film ini terasa sangat mencekat, salah satu contoh terbaik dari horor jalur indie.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PYEWACKET.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SEKALA NISKALA Review

“Reality of things is hidden in the realm of the unseen.”

 

 

Tuhan menciptakan setiap hal berpasangan-pasangan agar dunia seimbang. Sekilas, memang tampaknya berujung pada spektrum yang berbeda – pada kubu positif dan negatif; baik dan jahat, sehat dan sakit. Namun sejatinya dua hal yang berseberangan berfungsi bersama membentuk sebuah harmoni.  Sebab kedua sisi tersebut sejatinya ekual dan sama pentingnya. Ketika sisi yang satu tidak bisa ada tanpa sisi satunya. Seperti ada laki-laki, maka ada perempuan. Setelah siang, maka akan ada malam. Ada kenyataan dan juga ada impian ketika kita bangun dan, pada gilirannya, tertidur.

Bayangkan permainan jungkat-jungkit yang banyak dijumpai di sekolahan balita baru gede alias TK. Yea, of course, mungkin kalian punya pengalaman buruk naik ini saat teman kalian di ujung yang satunya mendadak pergi begitu kalian masih di atas, sehingga kalian jatuh turun berdebam keras. Poinku adalah, permainan tersebut tidak bisa dimainkan dengan aman jika kedua ujungnya tidak berisi orang. Demikianlah juga cara kerja dunia, keseimbangan tidak akan tercapai jika tidak ada yang di atas dan di bawah di saat bersamaan. Jika dualitas itu tidak tercapai, maka chaoslah yang akan terjadi

ada yang terlihat, dan ada yang John Cena

 

The whole concept of duality inilah yang diceritakan oleh Sekala Niskala dalam simbolisasi dan penggambaran yang sungguh-sungguh tidak biasa. Hampir bikin pipis di celana, malah. Lantaran begitu surreal dan creepynya pengadeganan dan cerita yang digunakan. Dan yang membuat menonton film ini menjadi sebuah pengalaman yang bikin merinding, di atas desain suara dan sinematografi yang mistis banget, adalah betapa tipisnya garis antara realita dengan hal-hal surealis itu ditampakkan. Film tidak pernah repot-repot menjelaskan perkara yang sedang terjadi, apakah yang sedang kita lihat itu hanya produk imajiner di dalam kepala tokohnya, ataukah memang ada unsur mistis di sana. Namun tidak sekalipun kita dibuat kebingungan. Kita akan merasa tidak yakin apa yang sedang terjadi, dan dari sinilah ketertarikan untuk menyaksikan datang tanpa ada akhirnya.

Berlatar tempat di sebuah daerah kecil di Bali, kita akan memanggil protagonis kepada seorang anak cewek yang usianya tak lebih dari sepuluh tahun. Mereprentasikan perbedaan-yang-merupakan-satu-keutuhan, Tantri ini punya saudara kembar. Cowok, namanya Tantra. Sepertinya bukan cuma di Gravity Falls aja kembar buncing (kembar beda kelamin) dianggap menarik hal gaib dan petaka. Tantra mendadak sakit keras. Dia tidak bisa merespon, seluruh inderanya sudah lupa bagaimana caranya bekerja. Tidak banyak harapan bagi Tantra selain menunggu kematian datang menjemput. Menginggalkan Tantri dalam nestapa, karena bukan saja dia kehilangan teman bermain, dia juga kehilangan sosok ‘yang’ yang melengkapi ‘yin’nya. Tidak ada konflik besar dalam cerita film ini. Delapan-puluh-lima-menitan  yang kita saksikan adalah momen-momen ketika Tantra harus berurusan dengan kegelisahan dan kecemasan yang coba ia tangkal. Di sinilah penceritaan film menunjukkan kemagisannya. Tantri berusaha untuk terus bersama dengan Tantra dalam berbagai adegan yang bikin merinding yang sengaja banget dibikin kabur entah itu mimpi atau perwujudan dari hubungan batin antara Tantri dan Tantra sebagai anak kembar.

Sutradara Kamila Andini punya keterampilan tak biasa dalam menghadirkan emosi lewat berbagai hal subtil dan perlambangan. Menyaksikan film ini akan seperti menonton film  bisu yang terkadang bisa menjadi pemandangan yang sungguh pilu karena keindahannya. Bulan tampak mengambil peran penting dalam cerita. Dimulai dengan Tantra yang mendongeng lewat media bayangan perihal bagaimana dirinya sama seperti rembulan yang perlahan menghilang sinarnya, hingga ke adegan paling cantik di film ini saat Tantri menari di bawah bulan purnama, yang sepertinya menyimbolkan Tantri sedang menari bersama Tantra. In fact, menurutku bulan bisa menjadi kunci untuk menebak apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

I do have a theory soal ini; kupikir film ingin melandaskan bahwa setiap kemunculan Tantra dan hal-hal ganjil yang terjadi di malam hari adalah benar kedua tokoh kita sedang berkomunikasi lewat hubungan khusus seperti telepati mereka sebagai anak kembar, you know, anak kembar dipercaya punya ikatan tak terjelaskan di mana yang satu akan bisa mengetahui apa yang dipikirkan oleh yang lain. Pertemuan kembali Tantri dengan Tantra pertama kali terjadi di malam hari. Barulah semakin cerita berjalan, kita mulai melihat Tantra ‘aktif’ di siang hari – mereka bermain ayam-ayaman dalam tarian lain yang sama creepynya – yang pada titik ini Tantra semakin mencemaskan potensi dia berpisah; jadi mungkin semua kejadian di siang hari yang melibatkan Tantra adalah hasil kreasi kepala Tantri belaka.

ohiya, aku lupa bilang bahwa mereka juga senantiasa ditemani oleh anak-anak kecil berpakaian putih yang mengepak-ngepak dan berguling-guling kayak janin

 

Selain bulan, telur juga menjadi relik kunci yang mengantarkan kita lebih jauh ke dalam ranah di mana fantasi dan psikologi beradu. Betapa halusnya film membuat adegan sebiasa dua anak yang makan telur mata sapi, dengan Tantri hanya memakan putihnya, dan memberikan bagian kuning telur untuk Tantra. Kemudian kamera lingering di depan kedua piring makan mereka, sedikit terlalu lama, untuk memastikan kita menangkap imaji dua entitas yang mestinya saling melengkapi. Kemudian telur ini mengantarkan kita ke satu lagi adegan surealis yang bakal lama terngiang di kepalaku; yakni saat Tantri makan telur rebus, dan dengan ajaibnya dia tidak menemukan bagian kuning telur. Momen Tantri mengubek-ngubek telur tersebut hingga menjadi berantakan, selain sangat powerful dan disturbing, sekaligus menjadi pertanda buat kita bahwa Tantri sudah kehilangan bagian dari dirinya, Tantra – kuning dari putih utuhnya telur eksistensi mereka.

Unsur kebudayaan Bali yang menganggap hal-hal surreal sebagai sebuah eksistensi menguar kuat lewat tari-tarian dan kostum yang dikenakan oleh para tokoh, yang tentu saja dianyam dengan benang-benang fantasi. Membuat film ini semakin tampak aneh namun sangat menghipnotis. Penampilan akting para pemain akan membuat kita teringat kepada pertunjukan teater panggung yang penuh dengan gestur-gestur dan dialog yang tidak tembak-langsung. Tokoh anak-anak dalam film ini, terutama pemeran Tantri – Ni Kadek Thaly Titi Kasih – yang sangat menggetarkan jiwa. Aku gak bisa pastikan apakah ini dari arahan atau memang insting natural dari Kadek karena aku gak berada di sana saat mereka syuting, tapi timing Tantri terasa sangat real dan sungguh precise. Pace film ini sengaja dibikin sangat lambat, adegan-adegan yang kita lihat kadang tampak tak banyak faedahnya seperti kita melihat Tantri dan ibunya berjalan masuk rumah sakit, dan kamera menyorot langkah perlahan mereka. Setiap kali kita dipantekkan ke sosok Tantri, entah itu dia turun dari mobil, dia menari, ataupun dia bertingkah kayak hewan yang ia tiru, Tantri bergerak di zonanya sendiri, lambatnya benar-benar tampak lebih dan actually memberi banyak bobot kepada penceritaan karakternya. Aku juga suka sama penampilan Ayu Laksmi sebagai Ibu dari si kembar. Aku pikir cukup menggelikan perannya sebagai tokoh hantu di Pengabdi Setan (2017) mendapat penghargaan. Di Sekala Niskala ini kita baru bisa melihat kepiawaiannya bermain peran dengan tokoh yang benar melakukan sesuatu;  Tokohnya punya cara ‘naas’ tersendiri dalam mengekspresikan kehilangan.

Senada dengan The Breadwinner (2017), film ini juga bicara tentang menemukan kedamaian dengan menyelam ke dalam kepala; dengan berusaha melihat hal-hal yang tak terlihat demi mencari realita yang kita sendiri diri harus diyakinkan kepadanya.

 

 

 

Interpretasi yang sangat haunting dari bagaimana benak anak kecil bekerja dalam menghadapi kehilangan. Dalam diamnya, film ini meriah oleh bahasa visual dan pemandangan ganjil nan subtil – yang bukan efek komputer! – dan memang benar dirinya bekerja terbaik saat melakukan itu. Desain produksi dan arahan membuat film ini luar biasa unik. Sebaliknya dalam dialog, kadang film ini masih cenderung untuk menjelaskan hal yang tak perlu dibeberkan. Pace yang sangat lambat juga tentunya jadi hambatan buat penonton kasual menikmati film ini, let alone berkontemplasi dengan kedalaman ceritanya. Sama seperti judulnya, film ini turut bermain dengan hal-hal yang tak terlihat, yang menjadikan penceritaannya begitu kuat. Tapi beberapa aspek yang terlihat oleh banyak orang, could actually memberatkan buat dirinya sendiri. Setelah mengatakan itu, aku tetap menyarankan untuk segera menonton ini jika kalian ingin menyaksikan sesuatu yang mungkin tidak bakal terlihat lagi yang serupa dengan ini dalam waktu dekat.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SEKALA NISKALA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

CALL ME BY YOUR NAME Review

“Without continuity, men would become like flies in summer”

 

 

FILM INI ENGGAK LURUS. Kalian tahu, sebuah film ditulis dengan mengacu kepada struktur penceritaan. Ada kaidah-kaidah dalam merangkai poin cerita. Ketika seseorang menulis naskah, maka traditionally, dia kudu ngikutin peraturan. Sepuluh menit pertama film harus bisa melandaskan apa motivasi tokoh utamanya, harus ada pengenalan antagonis, kemudian meit-menit berikutnya disambung dengan kejadian yang harus diatasi oleh tokoh utama – ada ‘inciting incident’ yang menjadi awal rintangan yang dialami oleh perjalanan tokoh utama. Call Me by Your Name tidak pernah straight ngikut aturan nulis screenplay itu. Ceritanya dengan sengaja ngelantur ke mana-mana. Terkadang terasa film ini bercerita dengan sangat malas. Tokoh-tokohnya berkeliaran gitu aja di sepanjang musim panas itu. Aku adalah orang yang bisa dibilang konservatif, aku suka jika semua runut sesuai format karena mengapa mengubah sesuatu yang tak rusak. Meskipun begitu, aku enggak necessarily menentang pembaharuan. Terutama jika hal-hal baru tersebut beralasan.

Pada film ini, semua pilihan menyimpang yang diambil – yang dilakukan – regarding to the storytelling, mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Film ini bahkan bukan sebuah perjalanan, ini adalah sebuah discovery. Dan film ini sangat romantis dalam melakukannya.

 

Elio disuruh mengantar Oliver ke kamar tamu yang bersebelahan dengan kamar tidurnya. Itu artinya Elio harus berbagi kamar mandi dengan pria Amerika asing tersebut. Oliver datang ke Itali sebagai asisten penelitian, dia bekerja di bawah ayah Elio, musim panas itu dia ditugasin buat bantu-bantu. Elio yang mendadak jadi kebagian tugas ‘memandu tamu’ menjadi dekat dengan Oliver. Mereka naik sepeda mengunjungi berbagai tempat. Oliver ketemu banyak orang. Elio pun mengamati, semua orang – kerabat, keluarga, sahabat – suka dengan pribadi Oliver. Semakin dekat dan akrabnya hubungan mereka, Elio merasakan sesuatu pada dirinya yang tak pernah ia tahu.

kemudian dia juga sadar, di rumahnya banyak lalat

 

 

Selagi kita melihat tokoh-tokoh itu mengeksplorasi banyak hal tentang hubungan mereka, film ini menjelma menjadi sesuatu yang terasa amat nyata. Timothee Chalamet dan Armie Hammer punya chemistry yang menggelora sebagai Elio dan Oliver. Arahan sutradara Luca Guadagnino membawa yang terbaik dari penampilan mereka. Adegan terakhir – tujuh menit shot kamera ke wajah Elio – benar-benar bercerita banyak, sebuah adegan yang tak bisa tercapai jika ditangani dan dimainkan dengan ngasal.

Menelaah kembali film ini, setiap momen random, Eliot hanya duduk di pinggir kolam menulis musik, mereka bercengkerama di pesta, mereka ngobrol di meja makan sarapan telur, perasaan lingkungan sekitar film ini kerasa seolah kita berada di sana. Menonton mereka enggak kayak menonton film, tokoh-tokoh ini begitu bebas – mereka tidak bergerak sesuai struktur – lokasinya gerah, dan semua itu tertangkap dengan sangat baik. Saat mereka duduk di kafe pinggir jalan, misalnya. sense of realism menguar kuat sebab film menggunakan desain suara yang apa adanya, Ellio harus membesarkan suaranya karena ada mobil yang lewat, dan suara mobil itu pun enggak dihilangkan, penonton dibiarkan mendengar seolah kita ikut duduk di dekat Ellio dan Oliver.

Cerita film ini tidak membuka seperti pada film kebanyakan. Malahan, film ini bisa menjadi membosankan oleh sebab pace cerita yang sengaja banget dilambat-lambatin. Kita melihat aktivitas mereka setiap hari, kadang mereka Cuma duduk saja melihat pemandangan, kemudian mereka berenang tanpa alasan, adegan-adegan itu tampak hadir begitu saja. Beberapa dari adegan tersebut tampak memiliki makna dan ada juga beberapa yang tampak pretentious, yang kita sama sekali gak bisa menebak ni sutradara ngeliatin visual doang apa gimana. Call Me by Your Name banyak memperlihatkan adegan yang gak perlu kita lihat, akan tetapi dalam konteks film ini tidak ada satu adegan yang less important dibanding adegan yang lain. Film ini ingin memperlihatkan apa yang para tokoh lakukan di jendela timeline cerita, dan memang itulah yang kita lihat. Para karakter tidak diberikan arc yang jelas, malahan kita tidak pernah benar-benar diberitahu siapa mereka pada awalnya. Khususnya si Oliver, film hanya memberikan informasi sebatas yang kita perlu tahu, dan betapa menurutku akan lebih baik jika kita diberikan sedikit lebih banyak backstory sehingga kita bisa lebih terattach kepada mereka, film tetap membuat mereka berjarak. Emosi itu sedikit demi sedikit terbangun, dan di babak ketiga, dampak kejadian-kejadian tersebut akan menyergap kita. Karena sesungguhnya ini adalah cerita yang kompleks, terutama karena film juga tidak memberikan jawaban yang mudah kepada karakter-karakternya taas situasi yang mereka rasakan.

Jadi pada akhirnya apa yang tadinya jauh dan terlihat menyebalkan, dengan pacing lambat, karakter yang asing, lokasi yang indah tapi panas, film ini berubah menjadi sesuatu yang susah untuk kita abaikan. Seperti lalat yang berdengung di telinga. Film ini akan berseliweran di kepala kita.

serius deh, “banyak lalat di kotamuuhuu, gara-gara ka-mu~”

 

Dengan arahan yang sangat detil, dengan dialog-dialog yang dirangkai precise sehingga membuat kita tertarik untuk terus mengikuti, sungguh aneh kenapa kita melihat banyak lalat di dalam nyaris setiap frame. Ada lalat di mana-mana. Di buku catatan Elio. Di pinggir kolam. Di piano.  Mungkin lokasi syuting mereka benar-benar tempat yang penuh lalat, dan mereka gak mau jatoh konyol dengan menghapusnya dengan CGI. Tadinya aku berpikir begitu. Bahwa lalat itu cuma kebetulan, atau malah hanya hiasan untuk menambah kesan nyata; film ini begitu nyatanya sehingga para penonton seolah seperti lalat yang ada di sana menyaksikan langsung segala peristiwa. Namun kemudian di adegan ending yang tujuh menit close up wajah Elio itu, kehadiran lalat di sini sangat on-point. Jadi, aku berpikir, pastilah ini si sutradara sengaja! Agak bego sih ngomongin lalat, tapi sepertinya film ini menggunakan METAFORA LALAT dalam membungkus ceritanya. Bahwa lalat datang dan pergi, seperti musim panas buat Elio dan Oliver. Kurun kecil namun berarti besar bagi mereka, di mana mereka menemukan sesuatu di dalam diri mereka. Waktu tersebut, apa yang mereka punya di momen itu, berakhir just like that.

Pemenang Best Picture Oscar tahun 2017, Moonlight, punya tema yang sama dengan Call Me by Your Name. Tentang anak muda yang ga yakin sama hal yang ia temukan ada pada dirinya, tentang lifestyle yang berkonflik dengan keadaan sekitarnya. Elio diceritakan punya pacar, seorang gadis yang sudah jadi teman baiknya sejak kecil, dan kita lihat bagaimana Elio actually ‘membandingkan’ antara cewek ini dengan Oliver. Ada konflik di sini atas apa yang ia rasakan dengan sekitarnya, namun tidak seperti pada Moonlight, tokoh-tokoh Call Me by Your Name tidak mendapat konfrontasi. Mereka tidak punya banyak hal untuk dkhawatirkan. Kesulitan yang sekiranya timbul dari pilihan hidup mereka tidak terasa kuat. Menurutku, film ini perlu suntikan drama sedikit lagi. Mestinya ada lebih banyak rintangan di luar kurun waktu kejadian dan situasi yang memisahkan mereka.

 

 

 

Jika cukup open-minded, kita akan bisa menghargai pilihan yang diambil oleh penceritaan sebagai sebuah film. Karena ia memang sengaja dibuat enggak lurus. Dan aku bahkan belum ngomongin orientasi tokohnya. Namun yang pelru diingat adalah lewat pengarahan dan penampilan akting yang benar-benar baik, film ini tidak meminta respek tersebut. Real, dikonstruksi dengan indah, film ini hanya memperlihatkan sesuatu aspek yang tidak lagi bisa kita abaikan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for CALL ME BY YOUR NAME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017