THE IRON CLAW Review

 

“What a heavy burden is a name that has become too famous”

 

 

Wrestling atau gulat pro, seperti halnya dunia hiburan yang lain, punya sisi gelap.  Bintang-bintang tersohornya bisa dengan mudah jatuh ke dalam perangkap obat-obatan, misalnya. After all, ini adalah bisnis dengan tuntutan fisik dan mental yang sama menderanya. Di antara cerita-cerita kelam di balik gempitanya pertunjukan di atas ring, kisah keluarga Von Erich adalah salah satu yang paling kelam. Bayangkan dulu The Beatles, atau mungkin Koes Plus-lah yang sama-sama bersaudara, nah di tahun 70-80an, kepopuleran keluarga abang-beradik Von Erich di dunia gulat sepadan dengan kepopuleran grup tersebut di kancah musik. Dan tragedi yang bakal menimpa mereka satu persatu, membuat mereka bahkan lebih populer lagi. Sutradara Sean Durkin membawa kisah mereka ke layar lebar dalam bentuk drama biografi olahraga. Iron Claw yang jadi judulnya, merujuk kepada nama dari jurus/gerakan pamungkas gulat yang dipopulerkan oleh ayah dari abang beradik Von Erich, tapi nama tersebut akan lantas ngasih simbolisme mengerikan karena mereka memang pada akhirnya seperti tak bisa lepas dari cengkeraman besi tangan-tangan kematian. Sampai sekarang banyak fans yang menyebut keluarga ini dikutuk. Dan menariknya, Sean Durkin mengarahkan cerita ini justru ke nada yang tidak sekelam kisah yang kita tonton di episode dokumenter keluarga Von Erich. Durkin membuka sudut baru soal bagaimana tragedi mereka ini mungkin sama sekali bukan soal kutukan.

Kevin Von Erich (transformasi fisik Zach Efron sungguh niat, ampe beneran belajar teknik gulat) kini jadi tertua di antara adik-adiknya. Abang sulung mereka meninggal sejak masih kecil. Kevin ini begitu cinta kepada pro-wrestling. Dia sangat pengen memenangkan sabuk juara, seperti yang ditekankan terus oleh Bapak kepada dirinya dan kepada saudara-saudaranya. See, abu-abu itu sudah mulai terlihat. Sebenarnya Kevin hanya ingin terus bersama saudara-saudaranya. Melakukan apapun, selama bareng brothers. Tapi rumor tentang kutukan keluarga mereka mulai bothers him. Karena sekeras apapun dirinya merasa mereka berusaha, mereka masih belum berhasil. Kesempatan memenangkan sabuk emas tertinggi di bisnis mereka, belum ia dapatkan. Adik-adiknya juga terjun ke dunia gulat, tapi itupun karena mereka gagal di usaha masing-masing. Kepopuleran yang mereka dapat, itupun harus dibayar mahal. Satu persatu dari mereka bakal gugur menyedihkan saat meniti karir bergulat.  Film ini did a great job at balancing soal kutukan dari nama keluarga yang Kevin dan saudara-saudaranya emban. Film ngasih kesempatan untuk terbukanya perbincangan. Perkara apakah kutukan yang Kevin takutkan itu mungkin datang dari keterpaksaan yang tak mereka akui dalam ngikutin kata atau maunya Bapak.

review The Iron Claw
Transformasi yang mengagumkan, kecuali rambutnya

 

Bapak memang tidak kontan digambarkan oleh film sebagai pure diktator. Tapi Fritz Von Erich memanglah sosok patriarki di dalam keluarganya. Sosok yang dengan halus memantik kompetisi pada anak-anaknya. Pria yang dulunya juga seorang pegulat dan kini jadi promotor (produser) pertunjukan gulat sendiri tersebut secara casual bilang di depan muka anak-anaknya kalo dia punya ranking anak favorit. Kerry ranking satu, Kevin nomor dua, disusul David di posisi tiga, dan terakhir ada Mike yang badannya belum kebentuk karena kebanyakan main gitar ketimbang latihan gulat. Fritz menantang anak-anaknya, ranking itu bisa berubah tergantung ‘prestasi’ mereka. Sehingga sibling rivalry itu sebenarnya ada di dalam hati Kevin dan yang lain. Mereka yang semuanya cowok itu ingin menjadi yang berhasil menjawab tantangan bapak. Dari sini jualah drama itu muncul. Protagonis utama kita berkonflik, antara permintaan bapak, menjadi yang teratas di dunia gulat, tapi dia tidak ingin ‘meninggalkan’ adik-adiknya di belakang. Adalah ‘jurus’ sang bapak yang mencengkeram mereka. Yang membuat mereka mengemban nama dan kompetisi tersebut. Yang akhirnya justru membuat Kevin-lah yang ditinggalkan oleh adik-adiknya. As in, Kevin-lah satu-satunya keluarga Von Erich yang masih hidup hingga saat ini. Kevin di dalam cerita film ini, percaya kutukan itu datang dari nama belakang mereka. Sehingga ketika dia punya anak sendiri, dia tidak meneruskan nama Von Erich kepada anaknya.

Hati kisah ini ada pada hubungan persaudaraan yang terjalin dari abang beradik yang masing-masingnya berjuang untuk mengemban nama besar ayah. Seketika itu juga nama Von Erich jadi kutukan buat mereka. Karena gak ada beban yang lebih berat bagi seorang anak, selain memikul keinginan tak-kesampaian dari orang tua mereka. Namun film membahas ini dengan tidak serta merta menuduhkan bahwa mereka terpaksa, bahwa ayah mereka jahat atau gimana. Yang ingin ditekankan film adalah perspektif Kevin dalam melihat ini. Tentang gimana nama besar itu sebenarnya tidak lantas harus jadi beban, jika mereka berani memilih

 

Aspek gulat yang kayaknya susah dimengerti oleh penonton casual tentu saja adalah soal pertunjukan gulat itu sendiri. Serunya di mana, kan berantemnya bohongan. Terus, kalo pemenangnya udah diatur, sabuk juara itu gak berarti apa-apa dong? Aspek pergulatan si pegulat dengan kehidupannya, dengan kerjaan yang dia lakukan itulah yang menurutku dilakukan dengan baik oleh film. Karena bahkan kalo aku bandingkan dengan Fighting with My Family (2019)my top movie 2019 – pun, finale film tersebut yang menampilkan kemenangan Paige alias keberhasilan Saraya jadi juara tidak terasa nendang bagi penonton casual karena mereka cuma tau wrestling itu sudah diatur, dan mereka gak dilandaskan makna menangnya itu apa.  The Iron Claw, on the other hand,  melandaskan makna sabuk juara tersebut terlebih dahulu. Kalo di Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) kita melihat dialog penulis skenario berusaha menjelaskan kepada pacarnya yang awam film makna perpisahan La La Land bagi karakter cerita, maka di The Iron Claw kita dapat adegan dialog Zach Efron menjelaskan kepada Lily James yang berperan sebagai pasangan Kevin soal makna sabuk kejuaraan. Sehingga penonton ikut mendengar dan mengerti makna kejuaraan tersebut, bahwa yang bisa ditunjuk jadi juara adalah pegulat yang bekerja paling gigih, yang dinilai paling layak dan paling menjual. Bahwa usaha untuk memenangkan sabuk itu adalah usaha yang real, effort yang sebenarnya perjuangan, meskipun katakanlah ‘prosesi serah terimanya’ lewat pertandingan yang gerakan-gerakannya sudah diatur sedemikian rupa sehingga jadi tontonan intens yang menghibur. Dan bagi Kevin sabuk itu juga punya makna lebih, karena benda itu juga simbol approval ayah baginya.

Dan bicara soal match, film ini juga did a great job menjadikannya bukan sekadar tontonan gulat yang lebih teatrikal. Penonton juga akan diperlihatkan bahwa sekalipun matchnya scripted – film ini tidak malu untuk menampilkan Kevin dan lawannya berunding dulu soal alur pertandingan mereka di backstage sebelum mulai – tapi aksi yang dilakukan benar-benar perjuangan fisik. Kevin sakit dan gak bisa bangun beneran ketika dibanting di luar ring. Adiknya, Mike, cidera beneran karena salah mendarat dengan tangan saat sedang bertanding. Adegan-adegan tersebut juga menambah bobot kepada drama karena kita tahu mereka berusaha keras demi ayah – dan mendorong diri sendiri melewati batas – tapi tetap gagal. Menurutku film ini punya nyali cukup gede, karena beberapa Von Erich yang kita tahu di sini tergambarkan kayak terpaksa dan terlalu kompetitif demi sang ayah. Sehingga pertanyaan berikutnya yang muncul di kepala kita adalah apakah aslinya memang begitu?

Aku beneran pengen tau apa pendapat yang sejujur-jujurnya dari Kevin Von Erich yang asli terhadap film ini

 

Aslinya Von Erich adalah enam bersaudara. Di film ini cuma ada lima. Memang, sebuah film punya kebebasan untuk menyesuaikan beberapa hal supaya lebih cocok dengan formula naskah film. Meski film itu biografi, karena biografi bukan exactly sebuah dokumenter.  Beberapa perubahan yang dilakukan oleh film ini dibandingkan kisah benerannya, aku bisa memahami. Kayak, anak-anak tertua Kevin dijadiin cowok (padahal aslinya cewek), dilakukan supaya film bisa punya ending yang membuat Kevin circled back ke soal persaudaraan dia dengan adek-adeknya yang cowok semua. Bahwa itu momen dia ikhlas dan tidak lagi menganggap yang terjadi pada kehidupan keluarganya sebagai kutukan. Melainkan melihat berkah di baliknya. Tapi tak sedikit juga perubahan yang dilakukan film, terasa agak aneh dan membuat cerita dari kisah nyata ini justru terasa dibuat-buat

Karena film tidak mau terlalu depressing, maka mereka menggabungkan kisah Chris dengan Mike, in result karakter Chris sebagai adik termuda dihilangkan sama sekali dari cerita. Mungkin yang diemban memang konsep rule of third, ada empat yang mati bakal repetitif, tapi menurutku tone dark dan depressing di cerita ini gak bisa dihindari. Justru film yang harus cari cara bagaimana membuat kekelaman itu bermuara kepada pencerahan yang dialami Kevin di akhir. Menghilangkan satu aspek, just seems kinda lazy. Cerita film ini jadi kurang mencengkeram kita dengan emosi. Perubahan aneh lagi yang dilakukan yaitu mengubah timeline kejadian. Kerry Von Erich – the most popular, satu-satunya Von Erich yang tembus main di tempatnya Vince McMahon (alias WWF yang kita kenal) mengalami kecelakaan yang mengakibatkan pergelangan kakinya diamputasi. Dan ini dilakukan film tepat setelah dia memenangkan sabuk juara dari Ric Flair. Kan aneh, kenapa setelah berhasil dia  malah motoran galau hingga kecelakaan. Aslinya, kecelakaan Kerry terjadi dua tahun setelah match epik itu, dan dia galau karena masalah keluarganya sendiri. Jadi dengan mengubah kejadian, film ini justru kehilangan ritme. Berlangsung gitu aja. Film yang ingin fokus ke brotherhood justru terasa gak natural karena yang punya hidup di luar ring kayak cuma si Kevin.

Also, aku juga merasa sebaiknya adegan Von Erich yang gugur bertemu di afterlife itu gak usah ada. Karena udah bukan lagi kayak gak mau dark, tapi film jadi kayak memanis-maniskan tragedi mereka. Dan ini ngaruhnya ke message keseluruhan. Soalnya perjuangan personal Kevin untuk meyakini yang terjadi kepada keluarga mereka bukanlah kutukan, jadi berkurang karena alih-alih memperlihatkan adegan dia menerima kegelapan itu dan mengubahnya sebagai hal yang lebih positif, kita malah malah dikasih lihat kematian para adik adalah hal yang membahagiakan karena mereka di afterlife bisa jadi diri sendiri, bebas dari cengkeraman kemauan ayah.

 




Dengan banyak penampilan kuat dari pemeran (Jeremy Allen White sebagai Kerry juga sangat meyakinkan), beragam cameo dari real wrestler kayak Chavo Guerrero dan MJF, film ini sebenarnya film dunia gulat yang solid dan serius. Akting yang kurang kayaknya cuma yang jadi Ric Flair haha.. Mengangkat salah satu kisah terkelam dari balik ring, tapi ternyata film ini tidak diarahkan untuk menjadi sekelam itu. Posisi yang diincar film ini seperti di tengah-tengah The Wrestler dan Fighting with My Family. Gak mau terlalu ringan, tapi gak mau terlalu kelam juga.  Hanya saja dengan mengincar itu film harus melakukan banyak penyesuaian yang berakhir jadi berbalik against mereka. Film yang dari kisah nyata ini justru jadi kayak drama yang terlalu dibuat-buat. It does try to open discussion soal tragedi mereka, berusaha respek sama karakter dan sama bisnis gulat itu sendiri, tapi porsi dramanya mestinya bisa ditonedown sedikit. Karena sebenarnya kan, biarlah kelam asal true, daripada berusaha mencari sesuatu tapi bukan dengan menggali lebih dalam melainkan mengatur posisinya sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE IRON CLAW.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah Fritz di film ini memang sebenarnya memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, memaksa mereka untuk terjun ke dunia gulat?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MY DAD IS A HEEL WRESTLER Review

Everyone’s work is equally important.
 

 
Disuruh menceritakan tentang ayah oleh ibu guru, Shota si bocah SD yang bertubuh kecil memberitahu seisi kelas bahwa ayahnya adalah orang yang sangat kuat. Namun ketika melanjutkan cerita soal pekerjaan, Shota diam. Dia tidak tahu apapun tentang pekerjaan ayahnya. Sedikit sekali yang ia tahu selain ayahnya berotot, suka minum protein, dan mengajaknya berpose garang yang sama ketika mereka di pemandian. Untuk membuktikan ayahnya bukan seorang mafia seperti yang diutarakan oleh salah seorang teman, Shota nekat menyelinap naik ke mobil untuk mengikuti sang ayah. Shota pun tiba di tempat yang penuh oleh orang-orang berbadan kekar. Ternyata Shota berada di gedung olahraga, di arena gulat. Ayah Shota adalah seorang pegulat. Tapi bukan seorang juara. Ayahnya bahkan bukan pegulat yang bertabiat baik. Shota malu kepada teman-teman sekelasnya. Alih-alih mengaku ayahnya adalah si Topeng Kecoa yang udah berbuat curang pun masih aja kalah, Shota malah bilang ke teman-teman bahwa ayahnya adalah Dragon George, pegulat muda berambut pirang; juara bertahan yang diidolakan banyak orang.
Jepang termasuk dalam negara yang menjadi kiblat gulat profesional – bersama Meksiko dan Amerika Serikat. Di sana gulat sudah lebih dari sekadar hiburan. Hampir seperti disakralkan. Para penggemar saling menjaga kayfabe – yakni fakta yang sebenarnya hanya nyata di skenario gulat. Kayak menjaga bahwa Sinterklas itu ada kepada anak-anak. My Dad is a Heel Wrestler garapan Kyohei Fujimura yang mendapat dukungan penuh dari organisasi gulat nomor satu di Jepang; New Japan Pro Wrestling, adalah film yang berusaha memanusiakan olahraga-hiburan yang sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang tersebut. Meskipun sejatinya ini adalah film drama anak-anak, tapi ceritanya tidak seketika menjadi simpel. Film tidak lantas ‘menipu’ anak-anak dengan mengatakan gulat itu beneran, melainkan ia memperlihatkan dengan benar perihal status ajaib pro-wrestling terkait mana yang benar, mana yang rekayasa. Yang ingin diperlihatkan film ini justru adalah kenyataan seorang penggemar gulat – cara terbaik untuk kita menikmati, dan menyingkapi, lalu lantas menghormati bisnis olahraga-hiburan dan semua orang yang terlibat di dalamnya.

film ini sebenarnya bisa beres lebih cepat kalo ada yang bilang ke Shota “Nak, kerja ayahmu itu kayak aktor”

 
Film ini akan membuat kita merasakan bagaimana rasanya menjadi penonton – tepatnya, penggemar – gulat di masa kini. Ada tiga sudut pandang yang bekerja di dalam film ini. Shota yang belum pernah menonton gulat sebelumnya dan mengetahui ayahnya ternyata menjadi tokoh jahat di dalam ring. Ayah Shota (diperankan oleh pegulat NJPW asli bernama Hiroshi Tanahashi), dulunya dia pegulat top tapi karena usia dan cedera, masanya sudah lewat sehingga sekarang dia giliran berperan sebagai penjahat – tokoh untuk dipermalukan. Dan seorang reporter cewek bernama Michiko yang tahu seluk beluk gulat dan ingin menulis artikel tentang perjalanan karir gulat ayah Shota. My Dad is a Heel Wrestler memang bukan film yang hebat – bahkan di antara film-film yang ada gulatnya di tahun 2019, film ini masih kalah bagus dari Fighting with My Family ataupun The Peanut Butter Falcon – tetapi ini adalah cerita yang unik karena tiga sudut pandang tadi. Benar-benar menerjunkan kita ke dalam drama seorang penggemar karena ketiganya dimainkan dengan mulus dan saling menambah untuk tetap mempertahankan ‘magisnya’ sebuah pertunjukan gulat.
Kita akan melihat kehidupan asli pegulat. Kita akan dibawa ke belakang panggung, bertemu dengan para pegulat. Kita akan belajar melihat mereka sebagai seorang manusia. Tapi real ‘belakang panggung’ bisnis ini tidak pernah diperlihatkan. Limitasi tersebutlah yang membuat film ini menarik lantaran menempatkan penonton yang tidak mengerti atau tahu atau peduli sebelumnya akan gulat pada posisi yang abu-abu. Seperti Shota. Seperti Shota kita ingin melihat ayahnya menang, seperti Michiko si jurnalis kita tahu pentingnya kemenangan bagi ayah Shota,  seperti ayah Shota kita ingin dia menang. Tapi setiap kali dia kalah, kita tidak melihatnya kecewa. Ini adalah perasaan para penggemar gulat saat menonton pertandingan di dunia nyata. Kita ingin jagoan kita menang, kita mungkin akan kesal ketika mereka kalah, tapi tidak pernah kecewa karena kita paham ada kayfabe dan ‘storyline’ yang dijaga. Namun bagi non-fans, atau orang yang tidak pernah menonton dan mengerti gulat – seperti Shota – hal ini akan ‘membingungkan’. Jadi film akan secara instan terasa relate.
Bukan hanya Shota, tokoh anak-anak dalam film ini tampak tidak tahu olahraga yang mereka tonton cuma bohongan. Hanya orang dewasa yang menggunakan istilah-istilah gulat seperti ‘heel’ ataupun ‘babyface’ – mengisyarakatkan gulat sama saja dengan bermain peran – sedangkan Shota dan kawan-kawannya selalu menyebutnya sebagai orang jahat dan orang baik. Inilah yang menciptakan tensi drama anak dan ayah yang menjadi hati dari film ini. Shota ingin ayahnya berhenti saja karena memalukan baginya punya ayah orang jahat. Bagi ayah Shota ini menyedihkan karena dia bukanlah orang jahat. Menjadi pegulat jahat adalah pekerjaannya sekarang. Shota membuatnya galau, karena setiap orangtua pasti ingin menjadi yang bisa dibanggakan oleh anaknya. Film menerjemahkan perjuangan ayah Shota menjadi ‘pahlawan’ seperti dulu yang dibanggakan oleh anaknya lewat bahasa gulat – lewat pertandingan. Fans wrestling seperti Michiko tahu ‘derita terdalam’ ayah Shota; pegulat itu jadi jobber sekarang. Jadi pecundang. Tugasnya sekarang bukan lagi untuk menang dan jadi poster boy untuk perusahaan gulat, melainkan adalah untuk kalah dan membuat lawannya tampak hebat.

Dan film ini menunjukkan tidak ada yang salah dengan pekerjaan ayah Shota. Bukanlah hal memalukan menjadi tokoh jahat. Setiap pekerjaan punya kepentingan masing-masing, terlebih jika dipilih berdasarkan passion dan hati. Menjadi tokoh jahat dalam gulat, dalam film, sama pentingnya dengan menjadi tokoh baik. Karena semua punya sistem. Film menunjukkan semua itu lewat derita dan kesenangan kita menonton perjuangan seorang tokoh jahat, tokoh badut, yang selalu kalah. Supaya kita bisa menghormati mereka.

 
Yang beneran jahat dalam film ini – here’s the twist – justru adalah teman-teman Shota yang membully-nya karena tidak mengerti cara kerja gulat sebagai hiburan, atau bahkan yang tidak menonton gulat sama sekali. Karena merekalah yang merendahkan orang-orang seperti Shota, seperti ayahnya, seperti Michiko yang berjuang untuk mempertahankan pekerjaan dan ilusi yang ‘mungkin’ menyertainya. Si pegulat jahat bukanlah orang jahat di kehidupan nyata. Film juga menghindari jebakan drama dengan tidak membuat si pegulat idola ternyata adalah orang jahat di balik panggung. Semua yang mengenal olahraga ini, dibuat oleh film sebagai orang-orang baik. Mereka hanya bekerja, melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya, dan menghormati pekerjaan tersebut. Jahat  menurut film ini adalah bersikap judgemental terhadap pekerjaan orang lain yang tidak kita ketahui dan tidak punya keinginan untuk mengetahuinya.

kalo semuanya orang baik, maka enggak akan seru

 
Makanya film ini akan sangat menyenangkan bagi penonton yang memang menggemari gulat. Ada banyak cameo dari pegulat Jepang, ada banyak referensi dari dunia gulat seperti Trent Baretta bermain sebagai tokoh bernama Joel Hardy yang punya style ala Hardy Boyz beneran, ataupun ada penampakan Naito dengan catchphrase “tranquilo” andalannya – ini semua gak bakal make sense buat non-fan tapi kehadirannya tidak pernah terasa mengganggu dan disebar dengan jumlah yang cukup untuk membuat seorang fan gulat menggelinjang secara konsisten. Secara teknis dan desain produksi, film ini memang tidak terlalu menonjol. Begitupun dari segi penampilan. Yang paling menarik buatku adalah karakter Michiko yang dari luar tampak seperti parodi dari seorang hardcore fan, tapi dia justru jadi orang yang paling manusiawi untuk protagonis kita. Shota bermain cukup bagus untuk tidak tampak annoying. Sementara ayahnya dan para pegulat tampak lebih prima bermain di dalam ring – karena memang di situlah zona nyaman mereka. Ketika akting dramatis beneran, masih terasa sedikit kaku sehingga nyaris tampak seperti stereotipe.
 
Jika kalian bertanya apakah film ini berusaha meng-convert seseorang untuk jadi suka sama prowrestling – kaitannya dengan promosi gulat jepang? I ‘d say yes. Film ini seperti dibuat oleh seorang penggemar untuk mengajak temannya ikutan suka gulat. Sudut pandang baik tokoh maupun kamera benar-benar on point. Karena drama match seperti yang direkam pada babak ketiga itulah yang penggemar lihat setiap kali mereka nonton wreslitng. Ada personal story. Bukan sekadar kalah menang, siapa yang juara, siapa yang jahat dan baik. Film ini menangkap esensi drama  dan memperkuatnya ke dalam pertandingan yang dikoreografi – persis seperti match wrestling beneran. Kita harus sama terbukanya dengan Shota jika ingin menikmati film ini, dan jika bagi kalian itu adalah kerjaan ekstra, maka mungkin kalian tidak akan menyukai film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MY DAD IS A HEEL WRESTLER.

 

THE PEANUT BUTTER FALCON Review

“No one has ever made himself great by showing how small someone else is” 
 
,
 
Pernahkah kalian mencurahkan keinginan kalian – membagi impian kalian – kepada orang, tapi lantas dipatahkan oleh mereka lewat saran yang jelas-jelas tidak mendukung atau malah menyepelekan? like, “Hei aku mau buka warung es kri-” “EMANGNYA JUALAN GAMPANG!?” Well, kisah dua orang ‘buronan’ yang saling bertemu dalam The Peanut Butter Falcon akan memberikan tiupan angin semangat yang manis kepada kalian yang pernah mendapat perlakuan seperti demikian. Atau mungkin kalian merasa bersalah karena pernah melepehin mimpi orang lain. Karena perjalanan dua ‘buron’ dalam film ini sarat oleh pesan untuk mengisi hidup sepenuhnya dengan mengejar mimpi.
Dua tokoh yang jadi representasi dalam cerita yang bertempat di desa kecil di pinggiran North Carolina ini adalah Tyler, seorang pemuda yang berubah menjadi pencuri kepiting tangkapan lantaran dia kehilangan pegangan sejak kematian sang abang. Tyler diburu oleh nelayan yang ia bakar peralatan pancingnya; Tyler benar-benar tak tahu harus berbuat apa dalam hidupnya. Sampai dia bertemu dengan tokoh satu lagi, yakni Zak. Berusia 22 tahun, Zak menghabiskan sebagian besar hidupnya tinggal dalam lingkungan panti jompo – menonton video kaset gulat jadul, karena di tempat seperti itulah orang-orang berpengidap Down Syndrome yang tak berkeluarga dipelihara oleh negara. Zak kabur dari panti, ia pengen ke sekolah gulat buatan pegulat idolanya mengajar. Merasa sama-sama buron dan kesepian, Tyler setuju untuk bukan saja menjadi teman seperjalanan buat Zak, tapi juga membimbing Zak. Mengajarkannya berenang, menikmati hidup alih-alih mengurungnya. Mereka berlayar bersama, menempuh bahaya bersama. Mereka saling menjaga dan mendukung masing-masing.

satu lagi film bagus yang berhubungan dengan wrestling di tahun 2019

 
Persahabatan antara Tyler dan Zak yang bertumbuh inilah yang terangkum dengan indah. Karena film ini sangat hormat kepada karakter-karakternya. Ada sedikit komentar tentang ‘orang baik’ dan ‘orang jahat’ yang dibahas oleh film ini, regarding tokoh Tyler sehingga kita tidak serta merta memasukkan tokoh ini ke dalam kotak. Penghormatan terlihat paling jelas pada perlakuan film ini kepada Zak. Aku rada males nonton film-film dengan tokoh disabled karena biasanya tokoh-tokoh tersebut diperankan oleh aktor yang tak-bercacat dan mereka hanya memainkan tokoh itu untuk easy-simpati. Bukannya bermaksud bilang mereka tidak bermain dengan baik ataupun tulus; beberapa kadang menyabet penghargaan karena peran sebagai disabled person. Hanya saja ada sesuatu yang kurang, ada pertanyaan yang mengganjal kenapa film tidak meng-cast an actual disabled person. Menyaksikan perlakuan film ini kepada Zak; ia diperankan oleh pengidap Down Syndrome beneran, Zack Gottsagen, benar-benar membuatku merasa hangat. Zak tidak ditampakkan sebagai makhluk yang perlu dikasihani. Perannya terasa begitu nyata karena Zak bukanlah sebuah simbol atau metafora atau bahkan berpura-pura. Oh dia berakting kok, disabled person bermain sebagai disabled person tidak lantas berarti dia bermain menjadi dirinya sendiri. Ada karakter dalam tokoh Zak. Dan pendekatan terhadap tokoh ini, penulisan maupun penampilan, tidak sekalipun terasa mengecilkan ataupun dibuat-buat.
Film dengan berani memperlihatkan orang-orang seperti Zak masih diperlakukan kasar oleh sebagian besar orang. Mereka dipanggil idiot. Bahkan jika tidak, orang-orang tetap memperlakukan mereka selayaknya seorang idiot. Inilah yang dihadapi oleh Zak-Zak di luar sana. Namun film juga tidak mengeksploitasi ini. Melainkan memperlihatkan sudut lain. Masih banyak juga orang-orang seperti Tyler; yang tidak mempedulikan kekurangan Zak. Melainkan menganggapnya sama rata sebagai manusia seutuhnya. Zak tidak mendapat perlakuan yang berbeda. Film ini menolak untuk membuatnya terlihat lemah. Zak punya mimpi yang perlu didukung, yang sama berharganya dengan keinginan orang-orang yang ‘normal’.

Jangan sekalipun meremehkan orang lain, apalagi meremehkan keinginan dan impian mereka. Setiap orang pasti punya mimpi dan tujuan, dan mereka bekerja keras untuk menggapai hal tersebut. Penting bagi kita untuk menghormati ini, untuk memahami perjuangan orang-orang di sekitar hidup kita. Tidak akan ada pencapaian di dalam hidup jika kita semua saling menganggap remeh perjuangan masing-masing.

 
Hal menakjubkan yang timbul dari pendekatan realis yang dipilih film untuk menghidupkan tokoh-tokohnya adalah reaksi para tokoh seringkali tak-terduga. Jawaban Tyler ketika menanggapi curhatan Zak soal dia tidak bisa jadi pahlawan karena ia mengidap Down Syndrome akan mengejutkan sekaligus menghangatkan hati kita semua. Karena merupakan jawaban yang tidak receh untuk menghibur Zak, melainkan pernyataan yang menantang kita dengan kebenaran. Sutradara sekaligus penulis naskah Tyler Nilson dan Michael Schwartz juga menggunakan struktur yang tidak biasa yang membuat film ini menjadi semakin stand out. Dalam film buddy-trip seperti ini biasanya kita menjelang akhir kita akan mendapat sekuen dua sahabat itu berantem atau paling tidak berpisah untuk kemudian bertemu kembali dan saling menyadari kesalahan masing-masing. Kita tidak melihat sekuen semacam ini pada The Peanut Butter Falcon. Naskah membagi kekompleksan ceritanya kepada tiga orang tokoh, alih-alih dua, sehingga perjalanannya terasa lebih besar, dengan penemuan yang lebih dramatis daripada momen berantem yang mungkin bisa dipaksakan.
Selain Tyler dan Zak, juga ada tokoh salah satu pengasuh Zak di panti bernama Eleanor yang ditugaskan mencari dan membawa pulang Zak – yang juga punya arc di dalam cerita. Jadi kita dapat tiga tokoh mayor. Jika biasanya tokoh utama, protagonis, dan hero sebuah film adalah satu orang yang sama, maka The Peanut Butter Falcon tampak mengadopsi DRAMATICA THEORY. Tokoh utama, protagonis, dan hero dalam cerita ini dibagi menjadi tiga tokoh yang berbeda. Tokoh utama dalam film ini adalah Tyler, karena dia lebih aktif menggerakkan plot. Tyler punya perspektif dan backstory yang lebih dominan. Dia juga membawa elemen intens dalam cerita karena stake yang ia bawa – Tyler diburu oleh nelayan preman yang hendak menyakitinya – terasa lebih berdampak. Aku gak pernah benar-benar suka sama akting Shia LaBeouf, tapi sebagai Tyler di sini aku merasa melihat penampilan terbaik yang pernah ia berikan. Kita melihat Tyler membuka dirinya dan pada akhir film ia tidak lagi sesempit saat di awal. Protagonist cerita ini adalah Eleanor yang diperankan dengan sangat manis dan humanis oleh Dakota Johnson. Disebut protagonist karena Eleanor bukan semata mendukung, melainkan adalah yang paling berubah seiring dengan perjalanan tokoh utama. Tadinya ia tidak mendukung dan berbeda pandang dengan Tyler soal impian Zak, tapi di sepanjang perjalanan ia menyaksikan hubungan mereka, sehingga ia menyadari dan belajar banyak, lalu ia mengubah pandangannya. Sedangkan Zak; dia adalah tokoh sentral. Dia kuat, vulnerable, lucu, supel, dia punya tujuan yang paling jelas di antara ketiga tokoh, dan kita ingin dia sukses mencapai tujuan tersebut. Dia adalah Hero dalam cerita ini. Dan ini sesuai dengan keinginan Zak di dalam cerita; dia mau jadi pegulat pahlawan semua orang.
Interaksi antatokoh ini tergambar dengan manis lewat sinematografi yang luar biasa menawan. Adegan Zak menari dengan Eleanor di atas rakit, adegan Zak menghibur Tyler, adegan Tyler menggoda Eleanor saat pertama kali mereka berjumpa, ini adalah sedikit dari contoh adegan yang loveable karena begitu manusiawi yang sayang untuk dilewatkan. Karakter minor dalam film ini juga tak kalah menarik. Untuk penggemar pro-wrestling, kita akan mendapat surprise oleh penampilan dua Hall of Famers WWE. Aku gak akan bilang siapa, kalian harus nonton sendiri.
Oke, aku tidak bisa menahan diri. It was Mick Foley. Dan Jake Roberts. Tapi aku tetep gak akan bilang mereka jadi peran apa, tonton sendiri aja haha

nonton film ini jadi pengen lihat lagi penampilan pemainnya di film-film mereka yang terkenal, termasuk Dakota Johnson di film ehm…

 
Kadang cerita film ini terlampau manis sehingga beberapa aspek terasa cheesy. Beberapa adegan bahkan tampak seperti tak mungkin terjadi di dunia nyata. Misalnya pada bagian wrestling menuju ke ending, yang buatku terasa terlalu cepat dan tidak lagi tampak real. Walaupun memang sejak kapan wrestling itu real (ha!), tapi pada beberapa bagian film ini memang lebih tampak seperti dongeng yang berisi interaksi nyata dengan karakter yang begitu well-realized. Sepertinya film berusaha menyeimbangkan fantasi dan realis. Usaha yang tidak selalu berhasil mulus. Namun kuyakinkan itu semua merupakan kekurangan minor yang tidak berpengaruh banyak kepada keasyikan menikmati perjalanan cerita film ini.

Adegan Zak kabur dari terali kamar pantinya juga tampak sangat cheesy dan tak mungkin terjadi di dunia nyata. Tapi hal ini justru terasa menyedihkan karena adegan itu hanya tampak cheesy karena kita sulit membayangkan di dunia nyata ada orang yang begitu menghormati mimpi seseorang seperti Zak, percaya kepadanya, dan membiarkan dia mengejar mimpinya. Menyedihkan hal tersebut tampak seperti fantasi di dunia kita sekarang.

 
 
Sebagian besar yang terlibat film ini; sutradara Nelson dan Schwartz, juga aktor Zack Gottsagen, benar-benar menghidupi paham yang diangkat oleh tokoh cerita film ini. Yakni mengejar mimpi dan mengisi hidup dengan hal yang ingin dilakukan. Hasilnya bisa kita nikmati sendiri; sebuah tontonan yang menghangatkan jiwa, yang menghibur tanpa melupakan hati. Pesan yang diangkat tereksplorasi dengan baik tanpa menyinggung siapa-siapa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PEANUT BUTTER FALCON.