JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM Review

 

“Words and ideas can change the world”

 

 

Siapa sih yang gak mau kisah percintaannya seperti di film-film? Ketemuannya cute, jadiannya sweet, berjalan dengan naik turun penuh passion hingga happily ever after. Jika berakhir tragis pun, kisah cinta di film akan tetap romantis. Bahkan nerd seperti aku bakal get the girl! Padahal kehidupan nyata bukannya tidak romantis, loh. Kita semua mendambakan skenario jatuh cinta ala sinema karena film memang sekuat itu. Sebagai medium bercerita, film punya daya untuk mempengaruhi orang, punya kemampuan untuk memantik percikan perubahan pada seseorang dalam memandang hidup. Yandy Laurens jelas percaya ini.  Percaya kalo kehidupan nyata tidak kalah romantis, melainkan cuma butuh dorongan kecil dari sebuah film yang dirasakan lewat karakter-karakternya. Percaya bahwa efek film bisa sedahsyat itu, asalkan si film itu diberikan kesempatan untuk tetap personal dan menjadi dirinya sendiri. Jika pasangan dalam film biasanya mengatakan cinta lewat bunga, maka karakter yang diciptakan Yandy dalam drama komedi romantis dengan struktur ajaib ini bilang, say it with a movie,

Semua film, at one point, pasti personal bagi pembuatnya. Aku mengetahui ini waktu dulu masih sering ikut kelas penulisan skenario serabutan di mana-mana. Every aspiring screenwriters ingin memfilmkan secuil kisah hidup atau pengalaman mereka. Ingin mengatakan sesuatu di balik cerita yang mereka tulis. Ini bagus, hal-hal personal ini yang mestinya dipertahankan supaya film bisa relate dan genuine, sehingga bisa konek kepada penonton. Problem with personal stories adalah, kita pikir cerita kita itu bagus. Pengalaman atau kisah hidup atau pandangan kita itu layak untuk difilmkan karena orang-orang butuh cerita kita, karena cerita kita sedemikian penting sehingga bisa mengubah dunia ini.  Bagus, karakter utama, dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film juga punya ‘idealisme’ seperti begitu. Bagus yang seorang screenwriter, ingin membuat film romantis berdasarkan perasaannya terhadap Hana, teman semasa SMA dulu. Dia menulis film dari kisah pertemuannya dengan Hana yang masih berkabung atas kematian suami empat bulan yang lalu. Lewat naskah film yang ia tulis, Bagus ingin mengutarakan cinta sekaligus mencoba untuk membuka pintu hati Hana yang kini masih tertutup rapat untuk cinta yang baru. Jadi Bagus berjuang, pitching ceritanya di depan produser. Supaya beneran difilmkan dan Hana nonton. Naskah yang ia perjuangkan itu ultimately jadi membuka mata Bagus terhadap apa yang sebenarnya lebih perlu untuk ia lakukan.

The power of filmmaking; bukan cuma penontonnya, tapi juga bisa mengubah pembuatnya jadi pribadi yang lebih baik

 

Seperti yang sudah dikesankan oleh judulnya, film ini memang dibangun dengan struktur yang sangat meta. Film tentang karakter yang menulis cerita film, yang actually berdasarkan kisah hidupnya. Ada banyak layer; cerita di dalam cerita di dalam cerita. Konklusinya nunjukin meski dunia nyata si karakter mungkin gak seromantis di dalam cerita yang karakter bikin – karena di dalam cerita film, semuanya harus dilebih-lebihkan biar dramatis, toh dunia nyata dia itu film juga bagi kita. So mindblowing, makanya film ini ngasih pengalaman unik banget saat ditonton. Apalagi saat direview.

Serius deh. Ini actually salah satu film yang fun banget, bikin aku ber-“loh-loh” ria saat berusaha menelisik di balik layer-layernya satu persatu. Ada beberapa kali di babak awal aku ngerasa film ini jelek. Pretentious dengan gimmick hitam putih. Juga dengan penulisan yang sok asik dengan istilah-istilah film menurut ‘netijen’. Like, adegan yang nyebut penulis subtitle bahasa indonesia di film bajakan; adegan itu kayak maksain banget karena masa’ nonton film adaptasi dari sinetron Indonesia bisa pake ada subtitle segala. Ataupun masih terlalu ‘telling’ dengan dialog Hana bilang dirinya seolah ikut dikubur bersama suami, padahal cukup ditunjukin visual surealis Hana ikut berbaring di dalam peti mati yang memang ada later in the story. Di situlah aku nyadar. Bahwa yang jelek di depan itu, bukan film ini. Tapi film/naskah buatan si Bagus. Bahwa itu semua adalah bagian dari karakterisasi si Bagus sebagai tokoh utama. Gimana dia malah memposisikan karakter Hana sebagai yang harus punya development di dalam ceritanya, nunjukin bahwa Bagus belum melihat ‘false-believe’nya sendiri. Belum melihat bahwa dia itu egois, merasa benar, dan even gak sejago itu dalam nulis naskah film. Di babak selanjutnya, film akan mengacknowledge kekurangan-kekurangan Bagus, dan itu bakal dijadikan poin untuk pembelajaran bagi karakternya. Yang bikin makin seru, nanti juga ada adegan-adegan saat Bagus dipertanyakan oleh aktor dan kru yang terlibat di dalam pembuatan film dari ceritanya. Dan Bagus seringkali gak bisa jawab, karena dia realized they are right, Hana was right, and he is wrong.

Dan yang dibuat oleh Bagus itu belum lagi sebuah film. Melainkan ‘baru’ sebuah naskah. Tapi powernya sudah ada. Film hanya satu dari sekian banyak medium. Gagasan dan kata-katalah yang sebenarnya mengubah dunia. Kata-kata Hana yang ia jadikan dialog di naskah, membuka mata Bagus.  And in turn, gagasan Bagus dalam bentuk naskah, berhasil menyentuh Hana. Membantunya ‘terlahir kembali’ dari duka nestapa.

 

Makin ke belakang, bakal banyak momen-momen film ‘menjawab’ kejanggalan yang kita rasakan pada cerita buatan Bagus. Momen-momen itu juga bakal ngingetin kita kalo semua yang kita tonton adalah visualisasi dari naskah buatan Bagus. But it’s not that easy. Karena film ini juga punya selera humor. Selain mengiyakan pertanyaan kita, selain membimbing penonton melewati istilah-istilah penulisan skenario (hey free writing lessons!!) dan sedikit seluk beluk tentang gimana sebuah film bisa akhirnya dapat lampu hijau untuk produksi, serta proses syutingnya itu sendiri, konsep atau struktur meta film juga dibangun dengan meng-subvert ekspektasi kita sebagai penonton. Mana yang beneran terjadi di kehidupan Bagus dan Hana, mana yang cuma karangan Bagus. Garis itu jadi begitu abu-abu – hitam putih seperti yang ditampilkan film ini – sehingga nontonnya jadi seru, lucu, serta juga hangat oleh dinamika Bagus dan Hana, entah itu di mana Bagus dan Hana yang asli ‘dimulai’.

Sementara kita sort ulang mana yang actually dilakukan oleh film, dan mana yang dilakukan oleh film buatan si Bagus sebagai karakter yang harus punya perkembangan, yang tidak bisa kita deny kehebatannya adalah akting. Monolog Hana yang meledak di depan Bagus saat perempuan itu akhirnya tahu cerita apa yang sebenarnya ditulis oleh sahabat sekolahnya itu (selama ini Hana diberitahu Bagus menulis cerita tentang florist, padahal bukan) dan akhirnya tahu intensi Bagus di balik naskah itu, boleh jadi hanya ada di naskah karangan Bagus – bahwa itu kejadian yang tidak pernah terjadi di kehidupan nyata Bagus – tapi Nirina Zubir tetap nyata-nyata went out and totally slayed her lines like that. Itu adegan jadi momen bravo banget di bioskop. Penonton di studio ku pada diem takjub semua, setelah sebelumnya memang banyak yang terkikik-kikik oleh candaan terhadap perfilman yang tersebar di dialog-dialog film. Ringgo Agus Rahman juga tepat terus memposisikan dirinya yang memainkan berbagai ‘versi’ Bagus. Benang merah yang jadi inner journey karakternya tetap bisa dia pertahankan.

It’s meta funny film ini take jabs at bikin remake dari sinetron, while sutradara dan dua aktor sentralnya actually terlibat di film Keluarga Cemara

 

Jadi tampilan hitam putih yang sebagian besar mengisi film ini bukan sekadar gimmick, bukan cuma kode estetik Bagus yang pengen memahami duka Hana, dan mestinya bukan semata batas kejadian di naskah Bagus dengan kejadian di hidup asli Bagus. Melainkan didesain oleh film ini sebagai device untuk menampilkan journey karakter Bagus. Tampilan hitam putih jadi cara film untuk menyarukan kejadian nyata yang dialami Bagus, yang digodoknya dengan kejadian reka yang berarti gimana sudut pandang dan sikap Bagus memandang kejadian nyata yang dia alami. Dengan kata lain, mestinya bagian hitam putih di dalam film ini adalah visualisasi nurani Bagus dalam menilik gimana dia harus approach Hana dan duka perempuan tersebut. Mungkin aku salah, tapi I think konsep film ini kurang lebih diniatkan begitu.

Yang membuatku jadi menghubungkan film ini dengan Asteroid City (2023) buatan Wes Anderson. Sama-sama tentang dealing with grief, sama-sama lewat konsep hitam putih, Asteroid City di teater play, sedangkan film ini di penulisan/pembuatan film. Ketika Asteroid City gak takut untuk ‘membuka’ mana yang play mana yang dunia reka, dengan eventually membenturkan hitam-putih dan dunia warna demi memastikan karakter utama kita benar-benar terlihat mengalami development dan berbuat ‘kesalahan’, film tersebut berakhir dengan lebih tight, somehow lebih ‘misterius’, dan less gimmicky.  Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, however, rasanya tuh berpikir, masih takut untuk ketebak. Hitam putih dan warna, pada akhirnya jadi batas nyata dan reka. Karena begitu kita sampai ke momen warna/nyata, development yang kita lihat hanya pada Hana yang nyata. Penonton diniatkan untuk menyetujui bahwa development Bagus yang nyata telah terjadi di bagian hitam putih, tapi at the same time, film menegaskan batas nyata dan reka tadi. Kita gak melihat Bagus nyata struggle dengan pembelajaran, proses pemikiran dan penyadaran Bagus yang sebenarnya. Menurutku momen bentrokan dunia hitam putih dan warna seperti yang dilakukan Asteroid City bisa membantu film ini mencapai hal yang sama untuk karakter Bagus.

But still, struktur meta dan penulisan rom-com ini brilian. Eksistensi film ini, brilian. Like, kita bisa lihat sendiri di cerita ini betapa susahnya Bagus ‘menjual’ naskahnya ke produser. That’s really mirror real life. Itu nyaris seperti parodi dari gimana produser di industri film kita sekarang. Adegan-adegan Bagus dengan produser, poke fun begitu banyak fenomena industri kayak takut barengan tayang ama Marvel, ubah cerita jadi ada horornya, angker sama tampilan hitam putih karena jadi kayak film nyeni yang berat, udah kayak sketch Pitch Meeting di YouTubenya Screen Rant tapi lebih grounded dan relate karena keadaan yang disinggung sangat dekat. Kocaknya pun jadi lebih berasa. Aku ketawa like a sinefil snob di studio hahaha.. Makanya keberadaan cerita kayak gini, bisa-bisanya nangkring di bioskop, dengan jumlah penonton yang gak sedikit, jadi sebuah kebrilianan yang patut kita rayakan. Dan lestarikan.




Cerita yang personal akan selalu dapat tempat di hati penonton. Film ini punya itu, mengerti kekuatan itu dan gagah berani mengambil banyak risks. Film mengambil cara bercerita yang paling meta. Pembuatnya tentu saja sangat personal dengan urusan perjuangan gimana cerita asli bisa sampai mendapat lampu hijau untuk produksi.  Tapi dia tahu punya senjata kuat, yaitu bahasan topik cinta dan grief yang benar-benar mampu menggebah perasaan manusiawi. Sedikit extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

 

 




That’s all we have for now.

Hana sempat bilang bahwa romance hanya milik anak muda. Bagaimana pendapat kalian tentang itu?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



AUM! Review

“The seed of revolution is repression”

 

 

Bikin film tantangannya banyak. Konsep-konsep matang yang sudah disiapkan bisa sirna diterpa keadaan di lapangan. Cuaca yang tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kerusakan atau gangguan tak terduga pada alat-alat teknis maupun properti. Mood atau moral yang turun setelah sedikit adu argumen saat syuting. Semua yang menuntut filmmaker untuk mengubah rancangan, menyesuaikan dengan kondisi, bisa saja dan hampir selalu pasti terjadi saat sedang menggarap film. Itu dengan asumsi film tersebut sudah lolos dan dapat izin untuk dibuat. Karena memang pada kenyataannya, beberapa cerita boleh jadi tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk disyutingin sama sekali. Beberapa cerita dinilai terlalu ‘berbahaya’ untuk dibuat. Jadi adalah sepenuhnya tergantung usaha si empu cerita untuk menempuh apa saja supaya buah pikiran yang ia anggap penting tersebut bisa lahir dan ditonton semua orang. Aum! debut feature sutradara Bambang ‘Ipoenk’ K.M. menceritakan tentang film yang seperti demikian.

Lewat gaya mockumentary yang bernada humor-meta, Bambang menunjukkan kepada kita bagaimana sekiranya tantangan dan sukarnya membuat film yang menyuarakan reformasi, pada awal era reformasi. Kenapa aku bilang ‘sekiranya’? Well, karena walaupun kita sudah mendengar betapa opresifnya pemerintah di jaman tersebut. Beberapa dari kita ada yang mengalami langsung, aku yakin. Tapi yang disajikan oleh film ini, lewat gaya penyampaian yang dipilih, tidak pernah membuat alur cerita terasa realistis. 

aum-0_5f85ba8e-df8a-4a91-9627-54e47fd22e7d
Di IMDB malah katanya ini film biopik…

 

 

Ini tuh kayak sekumpulan orang kreatif berkumpul sehabis nonton One Cut of the Dead (2018), dan tercetuslah ide cerita versi mereka sendiri, dengan menggunakan konsep bercerita dari film komedi zombie asal Jepang tersebut. Hanya saja, mereka kurang mengenali apa yang membuat konsep itu berhasil. Alhasil, Aum! yang punya formula beat-to-beat sama dengan One Cut, tidak bekerja semaksimal itu. Aum! tidak bekerja seperti yang pembuatnya niatkan.

Dalam One Cut of the Dead, semuanya jelas. Film yang dibuat oleh para karakter kru dalam cerita, kualitasnya jelek. Amatir (makanya dilaporkan banyak penonton bioskop walk-out pada rentang setengah jam film ini) Kemudian, diungkaplah siapa yang berada di balik kamera. Kita diberikan penjelasan atas kondisi film yang mereka bikin. Tuntutan TV, gimmick yang harus dipenuhi, hingga ke konflik personal si sutradara dan para aktor. Sehingga kita tahu bahwa pentingnya film yang akan mereka bikin bagi mereka, lalu kita jadi peduli saat kenyataan di lapangan para kru menemui kesulitan sementara the show must go on. Pada akhirnya, dan mengerti kenapa hasil akhir film mereka bisa jelek seperti itu, dan kita jadi menumbuhkan rasa respek sama perjuangan kru.

Aum! yang dibuat dengan kualitas gambar dan kamera yang deliberately di bawah standar (untuk menguatkan kesan gerilya filmmaking) juga memiliki bangunan cerita yang sama. Dimulai dari kejadian yang ternyata bukan kejadian nyata. Melainkan film, yang bercerita tentang mahasiswa aktivitis yang dikejar-kejar aparat, kemudian dibantu oleh abangnya, kemudian dia rapat dengan teman-teman, dikejar lagi, rapat lagi menyuarakan ajakan untuk melakukan gerakan reformasi, lalu ada adegan yang memparodikan tindakan pemerintah terhadap gerakan mahasiswa. Lalu kita dibawa melihat proses belakang layar kejadian di awal tersebut; di sini narasi soal tekanan dan susahnya mereka menggarap film itu secara diam-diam seharusnya dikembangkan. Dan lalu, film pisah dari One Cut; Di babak akhir Aum! memasukkan twist. 

Yang membuat One Cut bekerja adalah kita sudah dilandaskan. Film buatan mereka jelek tapi memuaskan bagi mereka, tekanan untuk terus lanjut ada benar-benar kita lihat, urgensinya kuat karena ada batas waktu dan gimmick one-cut itu sendiri. Stakenya pun kerasa karena kita mengerti motivasi karakter pembuat film. Nah, itu semualah yang enggak ada, atau enggak jelas, pada Aum! Kita gak yakin film sub-par bergaya teatrikal yang para karakter film ini bikin tu, terconsidered gagal atau tidak oleh mereka, kita tidak tahu pesan mereka sampai atau tidak ke penonton di dunia mereka. Kita juga tidak melihat tekanan seperti yang terus diucapkan oleh karakter produser. Hanya ada beberapa bystander misterius yang bertanya saat syuting, selebihnya tidak ada yang menantang pembuatan film mereka, karena isi film tersebut. Padahal harusnya ini yang dikuatkan. Bagaimana mereka dapat izin, bagaimana mereka ngecoh supaya jadi syuting, misalnya. Supaya kita yang nonton bisa mengerti memang susah bagi mereka untuk bersuara. Bukan literally harus ngomong “Action!” pelan-pelan sampe gak kedengeran sama pemainnya. Hal yang kita lihat jadi hambatan paling besar dalam proses filming mereka justru adalah ketidakkompetenan kru dan sutradara – yang diniatkan jadi momen-momen komedi oleh Aum! Dan lagi, proses  bikin film mereka ini tidak pernah terasa urgen. Si Produser menyebut mereka harus bikin film diam-diam, tapi hanya ada satu adegan diperlihatkan yang mereka syuting di tempat umum. Selebihnya mereka syuting di ruang mereka sendiri. Di dalam mobil. Di gedung teater. Yang semuanya kalo gagal pun, bisa diulang syutingnya. 

Karakter-karakter Aum! tidak dikembangkan. Selain kerjaan yang jadi jobdesc mereka, kita tidak tahu lagi mereka ini siapa. Jefri Nichol jadi dua karakter (aktor dan peran yang ia mainkan), tapi karakternya tidak ada yang esensial untuk cerita dan reformasi itu sendiri. Dia hanya ada di sana, akting dua versi, for nothing. Lalu ada karakter bule yang megang kamera untuk dokumentasi. Karakter ini ujungnya pun tidak jadi apa-apa dalam cerita. Konflik yang meraung paling besar itu justru adalah soal debat filmmaking antara sutradara dengan produser di lapangan. Keduanya berselisih paham tentang visi dalam film. Hal yang bersifat internal, alih-alih eksternal seperti yang seharusnya jadi tantangan yang sebenarnya. Dan kemudian datanglah twist. Paling enggak, twistnya bener. Bener-bener mengubah cara pandang kita terhadap cerita ini dari awal. Sutradara ternyata tidak berada di pihak menyuarakan reformasi. Tidak berada di kapal yang sama dengan visi Produser. Sutradara, katakanlah, semacam menyabotase dari dalam. Berusaha supaya film yang mereka bikin menjadi sesuatu yang bukan diniatkan. Twistnya ini meskipun gak salah, gak ngada-ngada, dan ditanam dengan baik, tetep tidak mengangkat status. Kembali ke film mereka di awal. Yang kita tonton adalah film bersuara reformasi dengan gamblang seperti yang diinginkan produser, tapi teknisnya (dan suara nyanyian Jefrinya) ngaco. Jadi apakah itu berarti film mereka ini berhasil? Mereka akhirnya memang beneran digrebek. Tapi apakah itu pencekalan terhadap film mereka, atau karena posisi dan aktivitas mereka sebagai aktivis reformasi bocor oleh musuh dalam selimut tadi?

See, film ini tidak pernah clear, dan inilah yang salah satunya menghambat kita dari masuk ke dalam cerita.

aum-film-bioskop-online-2-31dc8b472b01810368e713bd7b9fc36b
Denger Chicco Jerikho teriak mulu ama-lama bunyinya berubah menjadi “Hoam!” aliasnya bunyi kita menguap

 

 

Tapi, debat Sutradara dan Produser itu sebenarnya menarik, sih. Mereka bicara soal apakah film harus subtil dan mengundang pilihan kepada penonton, atau harus stick memuat satu suara tertentu. Dengan konteks film sebagai seni, keadaannya jadi berbalik. Justru si Produser yang membela reformasilah yang jadi seperti opresor ketika dia pengen banget filmnya menyetir penonton ke arah reformasi. Meskipun pada saat itu, reformasi memang dibutuhkan. Itulah sebabnya film yang mereka hasilkan jadi konyol. Karena suara itu dipaksakan. Tapi tetap tidak diakui sebagai film yang jelek, karena pesan reformasinya adalah hal yang dibutuhkan.

Mungkin, keadaan inilah yang dimaksud oleh Woodrow Wilson ketika dia menyebut “benih sebuah revolusi adalah represi” Gerakan yang mendorong perubahan mau tak mau, sadar tak sadar akan menyebabkan satu atau lain hal merasa terbatasi. Seperti pada membuat film contohnya. Ketika pembuat memaksakan satu suara kepada penonton, tanpa memberi ruang dialog, film tersebut telah mengekang penonton dari gagasan lain.

 

Maka dari itulah, aku selalu menilai film tidak semata dari ada atau tidaknya pesan/isu. Melainkan dari bagaimana pesan/isu/gagasan tersebut disuarakan. Diceritakan. Aum! punya isu yang penting dan masih relevan, tapi film ini tidak memahami fungsi pada konsep bercerita yang mereka pakai (atau kalo boleh dibilang, mereka tiru).

Film meta seperti One Cut dan Aum! ini kuncinya ada pada ilusi. Kita membuat film di dalam film, yang begitu imersif, sehingga penonton bertanya mana yang nyata? One Cut berhasil membuat apa yang tadinya seperti kisah zombie menjadi cerminan dari perjuangan kru membuat sebuah tayangan. Perjuangan yang beneran relate sama orang-orang yang bekerja di belakang layar. Aum! mengambil konteks represi di era reformasi. Tapi dia terasa seperti meraba situasi, seperti kita. Oh dulu mahasiswa hilang diculik. Oh, dulu karya dibredel. Oh, ada militer nyamar. Kita tahu hal itu terjadi, tapi tidak bagaimana tepatnya. Fiksi dalam film harusnya diilusikan ke dalam fakta-fakta ini. Tapi dalam Aum! apa yang tadinya film fiksi bermuatan fakta, malah berlanjut terus menjadi seperti fiksi. Apalagi dengan twist ‘sutradara ternyata adalah’ tersebut. Tidak ada yang terasa real dalam film ini. Interaksi para kru juga terasa dibuat-buat, karena dijadikan komedi ‘atasan yang galak kepada bawahan’

 

 

 

Perbandingan dilakukan bukan semata untuk mengatakan film ini meniru. Melainkan untuk melihat bagaimana konsep seharusnya memenuhi satu fungsi. Film ini terasa menggunakan konsep hanya karena konsep itu keren dan bekerja pada film lain. Padahal saat kita menyaksikan, konsep pada film ini tidak banyak menolong cerita. Alurnya semakin kerasa ngada-ngada. Isinya dari akting teater yang kaku ke adegan orang debat dan marah-marah. Kita tidak peduli sama karakter-karakter karena tidak dikembangkan (melainkan disimpan untuk twist). Tujuan untuk memperlihat represi itu juga tidak tercapai, karena hambatan yang diperlihatkan film cuma hambatan dari internal. seperti ketidakcakapan kru dan sebagainya. Jadi saat menontonnya ya tidak konek, tidak peduli. Aku tidak menepis film ini punya isu penting. Tapi punya isu tidak lantas membuat sebuah film, bagus.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for AUM!

 

 

 

 


That’s all we have for now

Manakah yang lebih kalian setuju – film harus menggiring penonton ke opini tertentu atau membuka pilihan kepada penontonnya?

Share with us in the comments yaa

 


Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

MALCOLM & MARIE Review

“Don’t take people for granted”
 

 
Bertengkar itu penyebabnya bukan cuma persoalan gede. Lebih seringnya sih, kita mendengar pasangan berantem hanya gara-gara masalah sepele. Message yang cuma di-read, kaki injekan motor yang turun sebelah, atau kalo di sinetron-sinetron jadul; noda merah di sapu tangan papa. “Ini bekas lipstik siapa, Pah!?!” Di dunia percintaan itu gak ada yang namanya api kecil jadi teman api besar jadi lawan. Yang ada malah api-api kecil akan perlahan menjadi semakin besar. Malcolm dan Marie juga ribut awalnya karena hal kecil. Malam itu malam premier film karya Malcolm. Namun dalam speech-nya, Malcolm lupa menyematkan ucapan terima kasih kepada Marie, sang pacar. Di rumah, Marie menuntut penjelasan kenapa Malcolm bisa lupa. Dan ributlah mereka. Dari ucapan terima-kasih, bergulir membuka ke lapisan-lapisan permasalahan lain dalam kehidupan percintaan, profesional, dan personal mereka.
Ya, film ini isinya orang ribut. Aku pastilah sudah cabut dari rumah itu kalo ini adalah pertengkaran biasa, karena memang paling malesin dengerin orang asing berdebat. Tapi untuk Malcolm dan Marie aku rela tinggal. Aku ingin tinggal dan mendengar. Karena yang mereka bicarakan sembari bertengkar itu adalah persoalan seputar masalah kritik dalam perfilman

Bersiap-siap menikmati ketubiran.. Sluurrpp!

 
Aspek ‘berantem’nya sendiri memang annoying. Di sini Sam Levinson bekerja rangkap sebagai sutradara sekaligus penulis naskahnya. Dan dia memastikan cerita ini benar-benar terdeliver kemelutnya kepada kita. Berantem dengan pasangan is always be an unpleasant thing. Terutama ketika kita enggak tahu persis apa masalah si pasangan. Sebelum membuat kita mengenal mendalam kedua karakternya, Levinson membuat memperkenalkan kita lebih dahulu kepada seting dan suasananya. Sehingga supaya kita bisa merasa sama gak nyamannya, film ini dibuat oleh Levinson dengan sangat mengukung. Seluruh kejadian berada di dalam satu lokasi, yakni sebuah rumah (yang disediakan oleh PH untuk mereka, kata Malcolm dengan jumawa). Yang ceritanya berlangsung di sepertiga malam itu saja.
Sudah lewat tengah malam saat kedua karakter tiba dari acara premier. Malcolm excited mengenang sambutan yang ia dapat di sana. Dia lebih menggelinjang lagi saat memperkirakan nanti bakal dapat kritikan seperti apa dari para kritikus dan jurnalis. Sementara Marie menyiapkan pasta untuk makan malam. Sesekali perempuan muda itu berhenti untuk merokok sambil memandangi pacarnya tersebut uring-uringan sendiri membahas kritik yang bahkan belum terbit – kritik yang hanya ada di dalam kepala dan dugaannya sendiri. Kubilang, Levinson berhasil menciptakan set up film ini; dia berhasil menciptakan karakter dan permasalahan yang menarik bagi penonton (karena of course orang yang menonton film ini ‘peduli’ dengan persoalan film dan kritik itu sendiri). Di bagian awal ini, Levinson punya sesuatu yang spesial yang mengalihkan kita dari betapa canggung dan mengukungnya suasana; dari api kecil yang sudah ada di sana. Pertengkaran mereka yang pertama pun – ketika Marie mulai bertanya kenapa cuma ia seorang yang tidak disebut dalam rangkaian ucapan terima kasih Malcolm – diadegankan menarik. Mereka berdebat soal itu, Malcolm berusaha mengecilkan diri Marie, sambil makan pasta bikinan Marie!
Pertengkaran-pertengkaran yang menyusul sesudah ini, repetitif. Tidak ada lagi pengadeganan yang menarik. Levinson sudah fokus ke buah pikiran para karakter; ke sudut pandang mereka yang saling berkontras. Sehingga nonton ini mulai melelahkan. Adegannya selalu mereka mesra, lalu tiba-tiba Marie mengungkit sesuatu, dan Malcolm kembali masuk ke mode ngeles ala cowok brengsek tak-tahu terima kasih andalannya. Ketika Malcolm menjadi unbearable seperti demikian, Marie jadi terasa annoying karena tampak selalu cari-cari masalah. Di bagian tengah film inilah aku merasa menonton ini jadi pekerjaan atau tugas yang sangat menyiksa. Kurang lebih sama seperti ketika di dalam kelas sejarah matamu mengantuk tapi kau tidak bisa tidur karena yang diceritakan dengan suara keras dan nada monoton oleh gurumu adalah peristiwa yang menarik. Film ini harusnya punya adegan yang lebih variatif dan paralel dengan pertengkaran. Sehingga film ini enggak hanya punya ‘omongan’. Film yang di satu lokasi tentunya enggak mesti menonjolkan ‘tell’ ketimbang ‘show’. Meskipun performa Zendaya dan John David Washington dalam ‘tell’ itu memang meyakinkan. Meskipun inti pertengkaran mereka sungguh manusiawi dan relatable dan ngajari banyak tentang rasa terima kasih kita terhadap orang-orang di sekitar. We need something that visually engaging too.
Serius, jika bukan karena obrolan tentang kritik filmnya, aku pastilah sudah undur diri alias tidak melanjutkan nonton film ini. Untuk mencapai inti permasalah kedua karakter, film ini menyiapkan lapisan profesional yakni lapisan Malcolm sebagai sutradara. Dia membuat ‘black film’ dan dia kesel teramat sangat sama review-review yang menonjolkan isu warna kulit ketimbang fokus kepada art yang ia bikin. Levinson lewat Malcolm seperti menyerang media dan para pengulas yang memang selalu menonjolkan ‘agenda’ itu dalam film-film seperti yang dibuat Malcolm. Dan kupikir ini juga sebabnya kenapa film Malcolm & Marie ini sendiri mendapat cukup banyak rating dan ulasan yang negatif. People get offended oleh sikap dan perkataan Malcolm. Padahal jika kita lihat dari konteksnya, Levinson tidak mempersembahkan adegan tersebut sebagai sikapnya terhadap film dan kritik. Karena adegan itu adalah monolog sudut pandang Malcolm. Film ini memang banyak menggunakan monolog sebagai bentuk karakternya berdebat (bayangkan game RPG ketika kita bergantian menyerang dengan musuh, seperti saat kita ngeset magic dan skill untuk menyerang itulah fungsi bagian monolog dalam film ini) Dan di adegan ini Malcolm sedang berdebat dengan si pengkritik lewat tulisannya. Yang merupakan perpanjangan dari debat Malcolm dengan Marie, karena Marie di sini diparalelkan dengan kritikus film. Sebagai pihak yang menunjukkan cinta dan kepedulian dengan menegur dan mengkonfrontasikan siapa sebenarnya Malcolm menurut mereka.
Jadi adegan tersebut jelas bukan seperti yang sudah salah dicuplik oleh warga-warga Twitter, yang dengan bangga memperlihatkan screenshot Marie tersenyum beserta caption tulisan subtitle yang mengatakan bahwasanya sebuah film enggak harus punya pesan. Padahal kata-kata itu malah bukan kata-kata Marie, melainkan Malcolm. Marie di situ tersenyum ‘mencemooh’ pendapat Malcom. Karena pendapatnya itu bukanlah kebenaran mutlak, melainkan kepercayaan personal karakter Malcolm yang melihat itu sebagai serangan atas pribadinya, padahal kritik yang ia bahas itu sesungguhnya memuji filmnya. Dan ini berkaitan dengan pertanyaan besar Marie di awal. Berkaitan dengan gagasan film soal berterima kasih dan mengenali andil atau peran seseorang yang tidak bisa lepas dari kita sendiri.

Everything happens for a reason. Apa yang kita lakukan tidak bermakna sama bagi orang lain. Oleh karena itulah maka kita harus mengenali mereka satu persatu. Begitulah salah satu cara kita menunjukkan terima kasih. Dengan terbuka (bagi misteri, kalo kata Marie) menerima yang diberikan.

Adegan ini loh yang belakangan sering dicuplik tanpa membawa serta konteksnya

 
Menggunakan monolog panjang sebagai bentuk berdebat tampaknya telah menjadi pedang bermata dua bagi film ini. Di satu sisi monolog tersebut memberikan ruang kepada kedua aktor untuk bersinar. Washington dan Zendaya dapat kesempatan untuk nunjukin range dan permainan ekspresi; ketangguhan performa akting mereka. Namun di sisi lain juga ternyata membuat kita terlepas dari debat itu sendiri. Alih-alih benturan dua sudut pandang, kita malah melihatnya lebih sebagai bincang-bincang dari satu kepala. Buktinya, banyak dari kita yang salah mengutip seperti itu tadi.
Satu lagi yang seperti pedang bermata dua dilakukan oleh film ini adalah pilihannya menggunakan visual hitam-putih. Pilihan ini terlihat seperti jawaban film untuk pertanyaan bagaimana menghasilkan visual yang unik sehingga menarik dan bikin penonton betah. Tapi hasilnya gak benar-benar engaging. Malah seringkali tampak pretentious. Film tidak pernah berhasil mencuatkan alasan kuat kenapa film ini harus hitam putih. Pandangan karakter tokohnya toh jelas tidak hitam-putih. Periode ceritanya juga enggak jadul, malah film ini menggunakan referensi kekinian. Sehingga untuk menyasar kesan timeless atau periode antah-berantah, warna hitam-putih tersebut juga tidak tampak berfungsi. Namun kalo fungsinya supaya bikin film tampah angker untuk ditonton lagi, sih, aku bisa bilang cukup berhasil.
 
 
Hari Valentine sudah dekat, dan jika kalian dan pasangan cukup ‘tahan banting’, maka film ini bisa dijadikan pilihan. Karena in the end, film ini bisa ngajarin soal menghargai peran dan kehadiran pasangan di dalam hidup kita. Hanya saja film ini memang lebih enak untuk didengarkan, daripada untuk dilihat. Bukan karena visualnya jelek, melainkan karena enggak banyak bermain di visual. Adegannya repetitif, dan secara keseluruhan penceritaan film ini lebih kuat sebagai ‘telling’ ketimbang ‘showing’.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MALCOLM & MARIE.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film harus punya pesan? 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MANK Review

“Your job is to tell your story”
 

 
 
Diberikan kendali penuh atas semua keputusan kreatif cerita dalam sebuah pembuatan film sudah barang tentu merupakan mimpi basah setiap penulis naskah. Herman Mankiewicz, penulis naskah veteran di Hollywood tahun 40-an, kecipratan hak istimewa itu saat ditunjuk untuk berkolaborasi oleh produser muda Orson Welles. Di tengah-tengah Studio yang lagi struggling, Welles diberikan otonomi khusus untuk membuat film, dan Mank – panggilan Mankiewicz – yang terkenal karena talentanya, oleh Welles, diperbolehkan menulis apapun. Cerita apapun yang menarik. Dalam batasan waktu dua bulan. Asalkan, Mank setuju namanya tidak dicantumkan pada kredit. Sebagai seorang yang vokal terhadap kritik sosial, Mank setuju karena dia punya banyak observasi terhadap keadaan khususnya Hollywood saat itu. Namun keadaan memperlihatkan cerita yang sedang ditulis ternyata personal bagi Mank. Terlalu personal malah. Dan kejadian hasilnya, adalah sejarah dalam dunia perfilman.
Bagi penonton yang baru melek ke dunia, skenario cerita yang dimaksud oleh film ini adalah skenario Citizen Kane (1941). Film yang dipertimbangkan banyak kritikus dan penikmat sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat. Yang pernah ditulis. Film yang benar menggambarkan resesi setelah Great Depression yang melanda seantero Amerika. Mankiewicz dan Welles diganjar Oscar untuk film ini. Makanya film Mank yang dibuat oleh David Fincher ini enggak bisa lebih menarik lagi. Setidaknya sangat menarik bagi para penggemar dan pemerhati sinema. Karena Fincher menawarkan kita tempat duduk paling depan pada rangkaian peristiwa yang mendasari bagaimana film Citizen Kane itu bisa tercipta. Kita akan melihat insipirasi penciptaannya, langsung dari sudut pandang Herman Mankiewicz sendiri. Langsung, dari sosok yang terkenal bukan hanya lewat talenta tapi dari pemikiran dan aksinya yang kontroversial, bahkan untuk standar Hollywood itu sendiri.

Also it’s all very weird to me, karena selama ini ‘Meng’ buatku konotasinya adalah ‘pegulat dengan reputasi paling ditakuti bahkan oleh sejawatnya’

 
 
Tadinya kupikir, cerita film ini akan menarik karena berhubungan dengan batasan waktu. Dua bulan yang diberikan untuk Mankiewicz menulis, ditambah dengan kondisinya yang udah tua tapi tetep ngebut minum – dan rintangan tambahan berupa kaki Mankiewicz yang digips karena kecelakaan mobil, effectively membuat dia ‘terikat’ di tempat tidur, kukira akan dijadikan sebagai rintangan utama dalam proses kreatif menulisnya. Aku salah telah meragukan kehebatan sosok legenda Hollywood tersebut. Bagi Mankiewicz dalam film ini, itu semua bukan halangan untuk menulis. Namun lantas jika begitu, di mana letak konflik film Mank ini? Mankiewicz itu sendirilah yang membuat film ini jadi punya konflik yang menarik.
Mank juga bukan cerita tentang kejatuhan seorang penulis. Sedari awal film ini dimulai, kita sudah melihat karakter ini yang ‘bermasalah’. Toh dia sendiri sadar masa jayanya sudah hampir lewat. Kita bisa melihat meskipun orang-orang film di sekitar Mankiewicz menghormati dia karena ilmu dan kepandaiannya menulis, tapi orang-orang itu juga melihat Mankiewicz sebagai semacam bom waktu yang tau-tau bisa meledak. Dan tak ada yang sudi meledak bersamanya. ‘Penyakit’ candu alkohol dan lidah tajam Mankiewicz-lah yang jadi konflik dan hambatan dalam cerita ini. Citizen Kane yang ia bikin nantinya juga bukan tanpa kontroversi, sebab tokoh-tokoh di dalam film tersebut seperti tampak ditulis berdasarkan pada komentar atau pandangan Mankiewicz terhadap karakter-karakter yang berhubungan dengannya. Yang tidak semua dari mereka suka untuk terseret dalam pandangan Mankiewicz yang berani menyulut kontroversi.
Lewat naskah yang ditulis oleh mendiang ayahnya, David Fincher dengan berani memuat itu semua. Jika film-film biopik biasanya akan bersikeras untuk memperlihatkan sisi terbaik dari tokoh nyata yang sedang dibicarakan tersebut, maka Mank justru dengan bangga memperlihakan semua hal, termasuk saat-saat dia yang paling bobrok. Dalam film ini kita justru diminta untuk memahami seorang penulis tua yang seharian di tempat tidur, diam-diam minum alkohol, di lain waktu dia flirting dengan perempuan walaupun dia sudah menikah. Dia bahkan enggak sedewa itu dalam urusan perfilman; aku ngakak ketika dia menyumpahi The Wizard of Oz. And oh btw, dia menyebut istrinya dengan panggilan ‘Poor Sara’ haha bayangin. Fincher sepertinya ingin menubrukkan itu dengan latar Hollywood yang sebenarnya jadi komentar khusus. Bukan untuk memilih ‘the lesser devil’, melainkan karena justru si Mankiewicz yang dipandang sinis karena komentar dan tabiatnya itulah yang berani mengkritisi dan vokal terhadap arahan dunia kerjanya saat itu.
Film ini bertutur secara bolak-balik. Antara Mankiewicz di tempat tidur, yang dikejar deadline naskah, dengan Mankiewicz muda yang mengarungi studio-studio hitam putih Hollywood – berinteraksi dengan rekan kerja dan orang-orang film sekalian. Gips di kakinya itu yang bisa dijadikan pegangan jika kalian menemukan kesulitan untuk memahami mana Mankiewicz yang mana. Karena transisi yang dilakukan film ke dua periode tersebut sangat mulus. Konteks sebenarnya jelas. Mank bakal terflashback setiap kali akan menulis, karena dari pengalamannya itulah dia menarik cerita. Dan kita pun gak perlu menonton Citizen Kane terlebih dahulu sebelum bisa mengerti apa yang ia tulis. Sebab film benar-benar memanfaatkan sekuen-sekuen flashback itu untuk menghidupkan gambaran, memusatkan perhatian kita pada apa yang diperhatikan oleh Mankewicz. Sejarah dunia sinema terpapar gamblang di sini. Fincher bicara banyak soal politik di balik tembok-tembok studio. Bagaimana film dijadikan agenda kampanye. Dijadikan propaganda. Bagaimana studio-studio gede seperti MGM terpengaruh keuangannya oleh Great Depression. Ultimately, bagaimana itu semua membentuk iklim perfilman saat itu.

Mankiewicz punya concern terhadap itu semua. Seperti juga halnya dengan Fincher yang tampak punya peduli terhadap perfilman saat ini. Kini otonomi, atau kendali-kreatif itu sudah jadi bahkan lebih langka lagi bagi para pembuatnya. Karena studio atau PH sudah benar-benar ingin mengatur ‘produk’ yang mereka jual. Film sekarang dijaga ketat agendanya, tampilannya, bahkan jadwal penayangannya. Mank sendiri ‘terpaksa’ harus tayang di Netflix setelah cukup lama luntang-lantung mencari tempat yang mau menayangkan. Padahal setiap film mestinya adalah kisah personal. Dan pekerjaan film mestinya menceritakan kisah-kisah tersebut.

 
Menonton film ini mengingatkanku kepada dua film yang kutonton baru-baru ini; Black Bear (2020) karena sama-sama memperlihatkan proses kreatif menulis, dan Tenet (2020) karena kedua film ini sama-sama menakjubkan secara teknis. Hanya saja, sayangnya, Mank lebih mirip Tenet dalam pencapaian keseluruhan.

Magic film-film zaman sekarang adalah waktu beli tiket kayaknya penuh, tapi pas di dalam studio ternyata sepi

 
 
Penonton yang benar-benar awam, I mean, orang yang jarang banget nonton film – yang gak tau – apalagi yang gak apal aktor-aktor, niscaya akan percaya film ini adalah film jadul beneran. David Fincher paling berhasil di aspek ini. Tampilan Mank didesain selayaknya film 30an. Hitam-putih, tapi bukan hitam-putih tegas melainkan dengan kualitas yang jernih sehingga adegan-adegan flashback terkesan kayak dreamy, atau benar-benar dari ingatan. Visual hitam-putih itu dihadirkan lengkap dengan efek seperti retakan sekilas pada frame, dan ‘cigarette burns’ yang memang hanya ada pada film-film jadoel yang masih menggunakan film reel.
Pengadeganan pun dibuat sama persis dengan film-film 30an seperti misalnya komposisi; background film dibuat kontras dengan foreground (terlihat saat adegan naik mobil), atau juga shot-shot yang mengontraskan cahaya kepada karakter, sehingga menimbulkan garis siluet. Film modern yang warnanya udah full hd mana ada lagi yang menggunakan teknik itu. Fincher juga kerap membiarkan sebuah adegan terdiam dahulu untuk beberapa detik, memberi waktu kepada kita untuk mencerna dialog-dialog panjang yang mengisi adegan, untuk kemudian ngezoom ke karakter dan perlahan fade out. ‘Ilusi’ ke era jadul itupun turut diperkuat dengan artistik yang meyakinkan. Yang bahkan semakin diperkuat lagi dengan permainan peran dari para aktor seperti Gary Oldman (menyaru sempurna banget ke dalam sosok Mank), Lily Collins dan Amanda Seyfried (suka lihat tampang klasik merekaaa), Tom Burke dan Charles Dance dan masih banyak lagi yang interaksinya dan mannerismnya meyakinkan.
Semua aspek teknis film ini, seperti Tenet, sungguh mencengangkan. Gak heran nanti kalo ada unsur-unsur film Mank yang nyangkut di Oscar. Namun seperti masalah yang ada pada Tenet, film ini pun tetap saja terasa hampa. Padahal penokohannya ditulis dengan lebih baik. Aku juga bisa mengerti konteks ceritanya. Situasi dan settingnya adalah informasi yang menarik mengenai sejarah dalam dunia perfilman. Dan itulah masalahnya. Film ini terasa lebih kayak rangkaian informasi-informasi ketimbang sebuah perjalanan karakter. Dialog-dialognya memang menarik tapi kita tidak terasa tersedot masuk. Kita hanya menyaksikan saja. Kita tidak terinvest kepada karakter, karena stake waktu tadi basically dibilang enggak susah bagi karakternya, dan hanya itulah yang dipunya cerita ini untuk membuat kita terikat secara emosional kepada karakternya. Di sepertigaan akhir, ada usaha dari film menampilkan adegan yang bertujuan untuk membuat kita merasa semakin simpati – inilah bagian paling rendah dalam karir dan kehidupan profesional Mankiewicz – hanya saja dengan absennya sesuatu yang nyata yang bisa terenggut darinya, kita gak bisa bertambah simpati. Malah yang ada, adegan tersebut tampak cringe.
Simpelnya, film tidak membangun pertaruhan bagi Mankieweiz. Kalo dia gagal, dia tidak kehilangan apapun. Stake harga diri juga tidak terbangun. Karir Mank tidak pernah diperlihatkan terancam, karena sedari awal tokohnya sendiri sudah menepis dengan percaya masa emasnya sudah lewat. Jadi ini adalah karakter yang nothing to lose. Susah untuk terinvest ke karakter seperti ini. Bahkan saat debatnya minta masukin nama di kredit Citizen Kane pun kita tidak pernah benar-benar merasa mendukung tuntutannya tersebut. Adegan yang berfungsi selayaknya ‘final fight’ itupun tak jadi begitu dramatis.
 
 
 
Alih-alih surat cinta kepada perfilman jadul, film ini lebih mirip seperti cermin yang diberikan sutradara karena cinta dan pedulinya terhadap perfilman modern. Karena dari film ini kita bisa belajar banyak. Entah itu peristiwa dan situasi perfilman era 30-40an. Ataupun juga belajar dari gambaran proses produksi film pada era tersebut. Penonton yang cinta dan ingin belajar lebih banyak tentang perfilman, perlu untuk menonton film ini. Toh memang tidak digarap main-main. Aspek teknis dan unsur-unsurnya juara. Masalahnya cuma, film ini meskipun karakternya menarik dan kadang cukup lucu, tidak benar-benar terasa seperti perjalanan karakter. Film ini lebih seperti buku pelajaran, yang gak gampang untuk dibaca berulang-ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANK.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setelah menonton Mank, apa perbedaan dan persamaan antara perfilman sekarang dengan perfilman tahun 1930 menurut kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BLACK BEAR Review

“Writing is a process where you’re feelings flows as ink being shaped as words”
 

 
 
Bagian paling sulit dalam menulis itu adalah permulaannya. Saat-saat kita menatap kertas kosong. Semakin dipelototin, maka semakin bingunglah kita mau nulis apa. Semua orang yang pernah menulis pasti pernah merasakannya. Itu terjadi sebenarnya bukan karena kita bego atau semata karena lagi gak ada ide. Melainkan bisa jadi karena kita sebagai penulislah yang belum siap secara mental. Karena sesungguhnya menulis itu adalah proses bicara dengan diri sendiri – yang kita lakukan dengan membuka pintu-pintu di dalam diri. Masing-masing kita punya pintu tersendiri yang sulit dibuka. Dan hanya benar-benar akan terbuka jika kita sudah siap untuk meng-embrace apa yang ada di dalam sana. Mungkin sesuatu yang ingin kita lupakan, atau yang ingin kita ubah.
Aku bukannya mau ngajarin nulis. Wong aku nulis aja masih cupu kok. Masih salah-salah. Buktinya aku mana berani kalo disuruh nulis buku untuk pemerintah. Yang aku bicarakan ini tentu saja adalah soal film. Black Bear, karya Lawrence Michael Levine, menawarkan sudut pandang seorang penulis/sutradara yang lagi kena writer’s block. Bengong mau nulis apa. Akhirnya si penulis ini – namanya Allison (peran yang totally owned by Aubrey Plaza) – menuliskan sesuatu di atas kertas putih itu. Sesuatu yang terbaca sebagai tentang bertemu beruang di jalan. Kita langsung menyelami yang ia tuliskan. Dan itu adalah pengalaman yang membingungkan, sekaligus memilukan. Karena Allison – menguatkan diri sekuat-kuatnya – menulis dari pengalaman paling emosional yang terjadi di kehidupan percintaan dan karirnya.

Masih untung dia gak nulisinnya di kertas buku diari Tom Riddle

 
Ada alasan kenapa aku menceritakan paragraf sinopsis barusan dengan sangat samar. Karena aku ingin ngasih batasan spoiler; batasan untuk mana yang harus kalian ketahui sebelum menonton, dan mana yang untuk sesudah menonton film. Paragraf ini adalah batasan yang dimaksud. Jika kalian belum nonton, bacalah hanya paragraf ini dan dua paragraf di atas saja. Sekadar mengetahui tentang apa sebenarnya film ini. Kita enggak pantas untuk mengetahui dengan lengkap tanpa nonton, karena Black Bear ini adalah jenis film yang ketika kita ingin membicarakannya, itu berarti kita harus membicarakan ‘semuanya’. Ini adalah jenis film yang semua adegannya ada maksud dan tujuan. Dirancang sedemikian rupa sehingga urutan adegan tersebut diceritakan saja, punya makna.
Secara konsep dan bangunan cerita, Black Bear mirip dengan Mulholland Drive (2001), atau kalo mau yang lebih recent, mirip ama film Netflix I’m Thinking of Ending Things (2020). Ceritanya seperti terbagi jadi dua buah kisah. Meskipun pemainnya itu-itu juga, tapi antara cerita di awal dengan di akhir, mereka memainkan tokoh yang berbeda-beda. Cerita bagian pertama Black Bear mengisahkan Allison menyewa kamar di sebuah rumah di tengah hutan. Rumah tersebut milik Gabe dan pacarnya, Blair yang lagi hamil.. Berawal dari basa-basi kenalan, interaksi ketiga karakter ini menjadi intens saat Gabe dan Blair mulai berdebat sampai Allison terbawa-bawa. Cerita ini berakhir dengan peristiwa yang naas. Kemudian, setelah adegan transisi yang sama dengan adegan opening dan adegan penutup (Allison duduk di dermaga kayu, menatap danau dengan tampang sedih), kita berpindah ke cerita kedua. Rumah tengah hutan itu kini berpenghuni lebih banyak orang. Bukan lagi penginapan airbnb, melainkan sebuah tempat syuting. Allison adalah bintang film di sini. Dan syuting film yang ia mainkan nanti cerita mirip sekali sama adegan perdebatan yang kita lihat pada cerita bagian pertama. Hanya rolenya yang berbeda – Allison bertukar posisi dengan Blair, dan Gabe kini jadi sutradara. Cerita kedua ini seperti berakhir dengan emotionally mengenaskan bagi Allison, karena kali ini dia yang diselingkuhin, tapi ada sesuatu yang menguatkannya di sini.
Saat kredit penutup bergulir, giliran kita penonton yang akan bengong. Apa maksudnya itu tadi? Jadi Allison dan Gabe dan Blair itu sebenarnya gimana? Mana yang nyata mana yang tidak? Apa pula maksudnya ada beruang itu? Mencernanya bulat-bulat hanya akan membuat film ini tampak sebagai dua cerita yang berhubungan tapi gak saling nyambung; alias film ini jadi SANGAT MEMBINGUNGKAN. Tapi bingung film ini adalah bingung yang mengasyikkan. Bingung yang aku suka. Karena kita tahu kebingungan yang dihadirkan ini berkenaan dengan sisi personal seorang manusia. Berakar ke karakter. Ke perasaan yang ia pendam. Sesuatu yang bisa kita relasikan, yang bisa kita ‘pegang’. Sehingga kita bisa peduli. Bukan bingung karena aturan-aturan konsep sci-fi atau semacamnya yang gak ada weight apa-apa ke karakter, selain buat nunjukin kalo pembuatnya ‘cerdas’ (yea I’m talking about you, Tenet) Black Bear punya pondasi berupa tokoh utama yang karakternya benar-benar digali. Kita bisa merasakan fokusnya tetap pada apa yang dirasakan oleh Allison. Adalah dunia si cewek ini yang dijadikan keseluruhan film. Jika ini puzzle, maka kepingan yang kita susun itu akan membentuk gambar Allison. Kepingan-kepingan puzzle itu kita dapat dari dialog, dan terutama oleh detil visual yang dihadirkan oleh film.
Jadi Black Bear ini bangunan ceritanya berupa film di dalam film, dan dua lapisan itu dibungkus lagi oleh lapisan Allison yang lagi berjuang dengan proses kreatif menulis yang ia lakukan. Allison menggali ke dalam dirinya dan menjadikan suatu peristiwa dalam hidup sebagai materi untuk ceritanya. Adegan Allison di dermaga yang muncul tiga kali adalah kunci utama; adegan-adegan itu layaknya pinggiran pada puzzle film ini. Yang harus diperhatikan adalah danaunya. Pada opening – dan penutup – danau di adegan ini berkabut banget, tidak dapat terlihat apa yang ada di baliknya. Hal tersebut bisa kita artikan sebagai simbol dari state of mind Allison – dia belum tau pasti mau menulis apa. Dia hanya berusaha mengingat. Detil penentu pada dua adegan itu adalah closeup yang menunjukkan arah pandangan mata Allison. Dia selalu melirik ke kiri dan kiri bawah. Secara teori, gaze yang mengarah ke kiri menandakan seseorang sedang ‘bicara dengan dirinya sendiri’ alias sedang mengingat perasaan yang pernah dialami. Setelah adegan ini, kita melihat Allison duduk menulis dan masuklah kita ke cerita bagian pertama; Allison jadi tamu di penginapan Gabe dan Blair. Jadi bagian ini adalah cerita karangan Allison yang ia adaptasi dari peristiwa emosional tertentu yang masih ia rasakan hingga sekarang. Ketika adegan di dermaga itu muncul lagi pada pertengahan cerita, suasananya jauh berbeda. Danaunya jernih, mata Allison pun menatap ke depan; ke kamera kru yang mengambil gambarnya dari perahu. Ini menandakan bahwa adegan tersebut somewhat asli, alias paling tidak Allison sudah ‘pasti’ bagaimana kejadiannya akan berlangsung. Tapi tetep kita harus ingat bahwa ini adalah sudut pandang Allison, jadi bagian ini meskipun peristiwa kehidupan asli Allison, ini bukan kejadian asli alias bukan adegan flashback – kita tidak mundur ke waktu yang lalu. Melainkan kejadian lampau yang dimainkan ulang di benak Allison. Ingatan yang sudah ia tempa. Seperti ketika Slughorn di Harry Potter memodifikasi ingatan yang ia berikan kepada Potter, mengubahnya supaya tidak kelihatan dia-lah yang ngajarin Horcrux ke Tom Riddle.
Dalam cerita pertama, Allison memanifestasikan dirinya sebagai fun dan cool. Sutradara dan penulis cewek yang mandiri, yang datang untuk mencari ide. Sedangkan dalam cerita kedua, dalam peristiwa asli, Allison sedang stress karena suaminya, si sutradara film yang ia bintangi, lebih ramah kepada aktris muda, alias si Blair. Allison cemburu. Sehingga mempengaruhi penampilan aktingnya. Dia bertengkar dengan suami. Itulah kejadian yang sebenarnya; memori menyedihkan yang disimpan oleh Allison. Ia meninggalkan suami yang selingkuh dan sekarang ia berjuang sebagai sutradara karena gak lagi dipakai sebagai aktor. Nah, peristiwa itu diadaptasi oleh Allison. Dia membalikkan keadaan, dan menjadikan dirinya ‘jagoan’. Pada cerita yang pertama, yang bertengkar adalah Gabe dan Blair over conversations soal feminis. Blair lah yang stress, Blairlah yang diselingkuhi. Beberapa perkataan Allison pada cerita pertama, kita lihat buktinya di cerita kedua. Begitupun dengan hal-hal yang di-alter Allison di cerita pertama, kita lihat kebenarannya di cerita kedua. Seperti tentang Allison yang udah gak jadi artis karena attitudenya menyulitkan kru, dan tentang suami yang sebenarnya ada tapi ia anggap tak ada.
Nah di sinilah makna urutan bercerita itu ambil bagian. Jika film berjalan linear, dimulai dari syuting hingga ke berantem dan kini Allison mengarang cerita baru yang berusaha untuk lebih membahagiakan bagi dirinya maka feeling dan impact peristiwa itu gak akan tersampaikan kuat kepada kita. Untuk cerita seorang penulis yang harus dealing with her past, pergolakan maksimal memang harus dilakukan dengan melihat dulu seperti apa dia memandang masa lalunya itu. Dalam film ini kita melihat meskipun Allison sudah berani membuka pintu itu, berani untuk mengingatnya, tapi dia belum berani untuk menghadapi apa yang sebenarnya terjadi.
menatap ulasan yang panjang… BEAR WITH IT!!

 
Daaan, masuklah peran si beruang hitam. Hewan beruang dalam literasi melambangkan keberanian. Dalam film ini, beruang itu basically bertujuan sama. Ia sebagai simbol yang menghantarkan kepada keberanian. Beruang di sini tepatnya adalah kenyataan. Dalam cerita pertama, Allison menghindar sampai kecelakaan saat beruang itu muncul di jalan. Effectively menghentikan karangannya – menghentikan denial yang ia lakukan. Beruang di cerita pertama muncul seiring rasa bersalah timbul di karakter Allison yang ia tulis. Kenapa bersalah? Karena yang ia tuliskan adalah Allison menyebabkan Gabe dan Blair bertengkar. Implikasi ceritanya adalah Allison itu sengaja bersikap ‘hard to read’ demi menggali sesuatu yang bisa ia tulis dari hubungan dan toxicnya relasi Blair dan Gabe. Maka si beruang muncul, ngingetin that’s a lie. Bawah sadar Allison lalu terpaksa memainkan ulang peristiwa yang sebenarnya (cerita yang kedua). Tapi nyatanya peristiwa yang kita lihat itu masih difabrikasi oleh Allison. Ingat, konteksnya adalah semua ini sudut pandang Allison, sehingga tidak mungkin kita bisa melihat apa yang tidak Allison lihat langsung. Tidak mungkin Allison bisa tahu bahwa Gabe si sutradara dan Blair pura-pura mesra supaya akting Allison tampak natural. Ini hanya alasan yang Allison tampilkan kepada kita, karena di titik itu dia belum menerima bahwa dia diselingkuhin oleh suaminya. Dia make-believe itu semua; Dia hanya ditipu, maka di cerita ia bikin Allison yang ‘menipu’ – semua orang gak kompeten, maka di cerita ia bikin Allison adalah sutradara dan writer yang berkepribadian cemerlang. Di menjelang akhir, beruang itu lantas muncul lagi, ngingetin that’s a lie dengan hadir barengan suaminya selingkuh. Namun di titik itu, Allison sudah banyak belajar dari masa lalunya tadi. Hingga dia sekarang berani untuk menatap beruang, malah mendekatinya. Dan cerita kedua itu pun berakhir. Ditutup dengan adegan dermaga berkabut, yang langsung disambung Allison menulis dan matanya menatap kita. Menatap ke depan. Menandakan dia sudah siap menuliskan kisah romansa dan karirnya dengan sebenar-benarnya.

Seperti Mulholland Drive dan I’m Thinking of Ending Things, film Black Bear ini juga sesungguhnya adalah tentang orang yang mereka-reka ulang masa buruk dalam hidup mereka. Kedua film itu bisa dibilang berakhir tragis, tapi Black Bear ditutup dengan nada berani dan semangat yang menantang. Karena berbeda dengan tokoh di dua film itu, Allison di sini melakukan sebuah proses healing, yakni menulis. Dia menghadapi masa lalunya head on. Dan dia jadi pribadi yang lebih baik. Menulis, bisa membuat kita jadi manusia yang lebih baik, particularly dengan membuat kita jadi berani memahami diri sendiri.

 
 
 
Semoga panjangnya ulasan ini tidak membuat gentar kalian-kalian yang ngintip ke sini sebelum menonton. Karena memang film ini sungguh sayang untuk dilewatkan. Eksekusinya tidak pernah membosankan berkat permainan akting yang emosional dan sangat manusiawi dari para karakter. Dialog-dialog mereka juga membuka ruang diskusi dan menarik untuk disimak. Sehingga sekalipun kita belum bisa mencerna maksud filmnya, tapi setidaknya kejadian demi kejadian masih bisa diikuti dan bergizi ditonton sebagai drama antar-manusia. Enggak sekalipun film ini terasa cheesy maupun pretentious. Ia juga tidak tertarik untuk mengecoh dengan twist. Cerita bagian dua dapat juga menarik bagi yang pengen tahu proses syuting, karena ngasih kita gambaran tentang bagaimana sebuah adegan disyut, sekaligus kendala-kendala yang mungkin saja terjadi.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLACK BEAR.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya interpretasi berbeda terhadap film ini? Atau apakah kalian punya pengalaman healing sendiri berkaitan dengan proses menulis?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE GENTLEMEN Review

“A good name is better than riches”
 

 
 
Setelah Aladdin (2019) yang tampak begitu mengekang baginya, sutradara Guy Ritchie tampak amat lepas dan bebas ‘menembakkan’ kembali gaya khasnya, bertubi-tubi. Editing cepat, dialog dan humor yang sama bandelnya, plot tentang dunia kriminal yang nyerempet nonsensical. Itu semua layaknya taman bermain bagi Ritchie. Namanya gede berangkat dari genre dan cerita seperti demikian. Di The Gentlemen kali ini, dia kembali menjadi raja. Menapaki yang sudah ia kuasai. Namun bukan tanpa kreasi baru. Karena ia sungguh-sungguh menggunakan kuasa dan kebebasannya untuk bersenang-senang menciptakan film.
Bukan kebetulan juga, film The Gentlemen ini sendiri juga membahas para raja-raja. Raja kriminal jalanan, lebih tepatnya. Penguasa bisnis narkoba, kepala preman, ketua geng, orang-orang semacam itulah yang akan kita temui di film ini. Particularly, yang disorot adalah seorang Amerika yang sukses jadi pedagang ganja ilegal terbesar di London; Mickey Pearson. Dia ingin menjual aset berharganya ini. Tentu saja ia harus selektif karena memang banyak yang mengincar. Ketika salah satu geng berhasil melacak salah satu ‘perkebunan’ rahasia miliknya, tahulan Pearson bahwa ada orang yang mencoba menjatuhkan dirinya. Film memberikan sugesti kepada kita untuk menebak, dengan memperkenalkan beragam possible suspect. Mulai dari Ketua mafia Cina yang masih muda hingga ke mitra bisnisnya. Bahkan bisa jadi anak buah Pearson sendiri yang ingin menghancurkan bisnis dan keluarga Pearson.
Sampai di sini, besar kemungkinan kalian yang belum nonton bertanya-tanya di dalam hati – lah di mana kreasi barunya? Teruntuk kalian yang menanyakan itu aku sarankan untuk tarik napas dulu. Duduk rileks. Nyandar, tuangkan anggur kalo perlu, isep cerutu biar kayak bos gangster juga. Cuci tangan dulu pakai sabun, biar gak kena corona. Mandi sekalian, kalo perlu. Sudah? oke, let me tell you this then; keseluruhan cerita Mickey Pearson tadi diceritakan oleh film lewat tokoh nyeleneh – seseorang bernama Fletcher – yang memotret semua kejadian diam-diam dan dia menggunakan segala informasi yang ia tahu untuk nge-blackmail Ray, orang kepercayaan Pearson, sekaligus berdiskusi karena ia telah menyusun naskah film berdasarkan semua cekcok antargeng tersebut dan ia ingin menjualnya kepada studio untuk lebih banyak cuan.

“aku mempertaruhkan pantatku bikin film ini”

 
 
Berkat hal tersebut, film terasa begitu meta. Secara personal aku suka ama film-film yang memberikan insight ‘membuat film’ seperti begini. Dalam The Gentlemen, dengan nada yang lucu, kita akan melihat Fletcher ngepitch naskahnya ini kepada Ray, meminta pendapat Ray tentang suatu scene karena in real-life Ray mengalami langsung. Kadang naskah Fletcher memberikan informasi berguna kepada Ray yang ingin membantu bosnya mencari siapa tersangka yang mau mencuri bisnis mereka. Diskusi mereka inilah yang jadi tubuh film. Kita melihat adegan berupa penggambaran naskah yang ditulis Fletcher, tapi terkadang adegan itu ‘dilebaykan’ olehnya jadi kita balik lagi dan melihat adegan sebenarnya yang terjadi menurut Ray. Dengan unreliable-narrator begini, menonton The Gentlemen ini malah jadi lebih asik. Film tidak pernah memberi garis tegas mana yang karangan, mana yang ‘asli’. Kita hanya akan mengerti saat cerita dikoreksi oleh tokoh, tapi terkadang ada yang seperti dibiarkan saja karena kita merasa lucu dan berpikir ‘well, gak mungkin itu kejadian’. Humor film memang sebagian besar berpijak dari sini. Kreatif bercerita Ritchie mencuat dari sini. Kadang ia mengubah ratio layar, karena Fletcher membayangkan filmnya nanti punya ratio kayak film klasik, dengan visual yang grainy dan sebagainya. There’s a whole lot of fun yang datang dari konsep bercerita film ini.
Konsep yang juga digunakan untuk memainkan tensi. Film dimulai dengan hook gede yang mengisyaratkan bahwa Pearson tewas terbunuh. Dan kemudian kita dibawa mundur dan melihat satu persatu orang-orang di sekelilingnya – melalui naskah Fletcher – leading up ke peristiwa pada adegan pembuka tadi. Setiap adegan pada film ini jadi terasa sangat menghibur. Karena cerita diceritakan lewat naskah buatan tokoh, maka kadang dialognya pun terdengar ‘dikarang’, alias janggal karena sering berima tidak pada tempatnya. Dalam menampilkan adegan kekerasan, film ini juga bersenda gurau dengan kita. Ia meninggalkan banyak momen untuk imajinasi kita, sementara di layar kita hanya muncratan darah atau hanya disambut oleh mayat di dalam kulkas.
Semua pemain juga tampak bersenang-senang menghidupi peran mereka. Matthew McConaughey juga seperti kembali ke singgasananya, memerankan sosok kharismatik dan disegani kayak Pearson ini udah paling klop buatnya, dan dia benar-benar luar biasa meyakinkan di sini. Namun sesungguhnya ada dua tokoh yang mencuri perhatianku di sini, yakni Colin Farrell yang berperan sebagai Coach. Sebagai tokoh, Coach juga amat menarik. Dia semacam mentor dari geng anak muda di sebuah boxing gym. Jika film ini bercerita tentang raja (kalimat renungan Pearson di awal film adalah koentji), maka Coach ini adalah raja alias ‘pemimpin’ yang paling gentelmen di antara tokoh-tokoh ketua dalam ini. Hubungan Coach dengan anak-anak didiknya begitu menarik sehingga aku pikir mereka pantas mendapatkan satu film khusus. Absolutely aku bakal nonton! Sementara, satu tokoh lagi yang mencuri perhatianku tentu saja adalah Hugh Grant yang incredibly funny sebagai Fletcher. Dia benar-benar melebur ke dalam perannya, nyaris tidak dikenali. Jika Pearson adalah tokoh sentral, maka Fletcher ini bisa dibilang merupakan sudut pandang utama. Dialah yang bercerita, dan dia jualah yang mendapat pembelajaran di akhir cerita.
Fletcher pongah, dia merasa bisa mengatur semua sesuai dengan keinginannya. Dia ingin bikin film, tapi terutama dia ingin memeras. Pengen kaya. Dia ingin mempermainkan bos-bos gangster ini. Namun dia tidak pernah seorang pemimpin. Film memperlihatkan Pearson juga mengancam dan memeras. Bedanya adalah Pearson beneran raja, sedangkan Fletcher bertingkah seolah raja. Pearson punya sesuatu yang tidak dipunya oleh Fletcher. Yaitu nama. Nama-lah, yang membuat Pearson disegani dan berkuasa. Disegani oleh anak buah sekaligus musuhnya Bukan semata kekayaan dan aset. Nama ini didapat dari perjuangan. Dalam film ini kita diperlihatkan penguasa yang ‘baik’ seperti Pearson ataupun Coach, dan orang yang masih bau kencur untuk bisa diberikan kekuasaan seperti Fletcher dan Dry Eye sang bos gangster Cina.

Seorang raja alias penguasa disegani oleh musuh. Dihormati oleh bawahan. Dihargai oleh sesama penguasa. Itu semua bukan semata karena mereka punya uang. Melainkan karena kepercayaan, kesohoran nama sebagai akibat perjuangan dan tempaan. Semua ini lebih dari soal uang. 

 

oh I just can’t wait to be kiiiingg

 
 
Film ini bisa bekerja lebih baik dan solid dengan hanya dari sudut pandang Fletcher, atau dari Pearson. Salah satu dari dua itu. Namun tidak akan menghasilkan sesuatu yang unik. Jadi dimasukkanlah kedua-duanya. Didesain konsep atau format bercerita yang menyatukan keduanya sehingga terasa berbeda. Dan mungkin film memang ingin sedikit mengecoh kita. Membuat seolah ini murni tentang Pearson, tapi ternyata ini tentang orang yang berusaha mengambil keuntungan dengan menjadikan dia sebagai pusat cerita. Memang, film ini bisa jatoh sedikit njelimet. Terutama di paruh pertama, saat penonton belum sepenuhnya mengerti outline cerita. Ditambah pula dengan berjubelnya dialog, dan tokoh yang dihadirkan – semua lewat tempo cepat – sehingga aku bisa mengerti kalo di awal-awal kalian bilang susah untuk menangkap dan peduli sama apa yang diomongin oleh para tokoh. Namun setelah pertengahan, ketika semua sudah diperkenalkan dan kita paham apa yang ingin dicapai oleh film – kemunculan Coach yang tenang dan grounded juga cukup membantu mengademkan cerita – maka The Gentlemen ini akan lebih mudah dinikmati dan film tidak berhenti untuk terus menghibur dan mengejutkan kita.
 
 
 
Lucunya, buatku kayak ginilah mestinya film Dilan dan Milea bercerita. Dua film itu kan juga basically menceritakan satu tokoh lewat tulisan tokoh lain. Alih-alih membuat tokoh nongol di depan komputer dan barely ada penutup soal tersebut, mestinya biar asik ya dibikin kayak yang dilakukan oleh film ini. Bercerita lewat dua tokoh yang mendiskusikan naskah. Bercanda tidak sebatas lewat dialog dan pengadeganan, melainkan juga lewat konsep storytellingnya secara utuh. Prestasi film ini adalah berhasil mencapai level menghibur yang berkesan karena luar biasa unik. Pun dihidupi oleh karakter-karakter menarik, yang diperankan dengan mengagumkan. Hanya saja sedikit kekurangan berupa cerita/percakapan yang sulit untuk diikuti di paruh awal karena penonton masih berusaha memahami konsep itu.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE GENTLEMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Film ini cukup banyak dikritik perihal dirinya dianggap gak gentelman karena banyak mengandung kalimat-kalimat ejekan yang berbau rasis.
Menurut kalian apa sih sebenarnya makna dari menjadi seorang gentelman itu sendiri?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

DOLEMITE IS MY NAME Review

“Just do it”
 

 
 
Kalian yang pernah atau mungkin sering dikasih saran bikin film gak usah pake nunggu, kelarin naskahmu, kumpulkan teman-teman buat jadi kru, dan langsung rekam gambarmu; film Dolemite is My Name bisa dijadikan inspirasi untuk mewujudkan karyamu.
Film yang edar di Netflix ini adalah drama biografi komedian, penyanyi rap yang jadi sensasi di Amerika 70n karena ia dengan ‘seenak udel’ mengubah diri menjadi bintang dan produser film – yang semuanya ia kerjakan sendiri. Rudy Ray Moore bukan seniman, tapi ia bisa menjadi begitu banyak karena kemauan dan kegigihan untuk mewujudkan. Rudy mencoba semuanya. Di awal film kita melihat dia memohon kepada penyiar radio supaya album R&B yang ia rekam sendiri di ruang tamu tantenya diputarkan untuk didengar banyak orang. Permintannya ditolak. Kemudian kita melihat dia ngebanyol sebagai stand up komedi. Enggak ada yang ketawa. Ketika Rudy mendengar cerita tentang “little bad motherfucker called Dolemite” dari gelandangan yang sedang ia usir dari toko, seketika dia terinspirasi. Oleh cerita dan gaya bercerita si gelandangan. Jadi Rudy mengambil jas ngejreng, bergaya ala Goodfather WWE, dan hidup dalam persona Dolemite. Gaya Rudy cukup ampuh. Dari stand up, ia lantas menjual ribuan kopi album ngerap/bercerita. Rudy ingin menjadi bintang sebagai tanda bahwa ia eksis. Goal berikutnya adalah membuat film, tampil sebagai bintang film. Supaya lebih banyak lagi orang yang menonton dan terhibur olehnya. Selanjutnya adalah sejarah, film Dolemite yang ia buat sukses menjadi salah satu cult classic, fenomena dalam skena Blaxpoitation perfilman Amerika 70an.

His name is Dolemite, and selling is his game.

 
Sebagai kulit-hitam yang sebenarnya bukan gak punya talent, Rudy adalah jack-of-all-trades; dia bisa banyak hal tapi yang ia bisa itu gak ada yang menonjol. Dia seperti Anna di awal-awal Frozen yang sepanjang hidupnya melihat ‘pintu’ di depan wajahnya. Alias selalu ditolak. Jadi Rudy menciptaka… enggak, dia mendobrak sendiri pintu untuknya. Setelah terkenal sebagai Dolemite, Rudy masih menemui kesulitan mencari investor yang mau membiayai ceritanya. Setelah filmnya jadi pun, dia susah payah mencari bioskop yang mau memutarkan filmnya. Ini relatable banget. Aku paham dan merasakan sendiri sukarnya mewujudkan karya karena kita bukan siapa-siapa. Perjuangan Rudy memang terdengar cukup heroik. Namun ada komplikasi; film yang ia usahakan tersebut bukan film baek-baek. Karya-karya Rudy sebagai Dolemite bukanlah karya yang innocent, melainkan penuh kevulgaran, kata-kata kasar. Bentuk terendah dari sebuah hiburan. Oleh karena perjuangan dan yang diperjuangkan mentok banget inilah, film Dolemite is My Name terasa sangat menarik dan menghibur.
Proses Rudy dan teman-temannya mengerjakan film dengan profesionalisme yang terbatas jadi main-course buat komedi. Mereka mengubah hotel terbengkalai menjadi studio film, tempat suting, dan segalanya. Mereka bahkan gak punya listrik dan mencuri dari bangunan sebelah. Segala source mereka sangat terbatas, tapi Rudy ini nembaknya tinggi. Ada sekuen ngumpulin orang semacam sekuen yang biasa kita lihat dalam film-film heist. Banyak kelucuan datang dari dia berusaha meyakinkan artis beneran yang ia jumpai di klub untuk menjadi sutradara. Membawa anak muda pembuat film pendek untuk jadi DOP – karena gak ada satupun gengnya Rudy yang ngerti kamera, apalagi teknik-teknik mengambil gambar. Dia juga membujuk penulis teater untuk jadi penulis naskah; yang mengantarkan kita pada adegan brainstorming kocak. Film yang mereka kerjakan secara objektif memang sangat jelek, tapi Rudy paham pada menjual apa yang ingin ia jual. Sehingga tawa kita yang tadinya mengarah kepada Rudy dan para kru, perubahan berubah menjadi tertawa bersama mereka. Kita ikut merasa puas bareng mereka.

Jika mau sesuatu, ambil. Jika bisa sesuatu, lakukan. Jangan tunggu ‘waktu yang tepat’. Jangan tunggu persetujuan dari orang, selama itu tidak berkaitan dengan mereka. Jangan takut gagal, ditolak, dan diledek; karena tentu kita akan gagal, ditolak, dan diledek habis-habis. Tapi kita belajar dengan mencoba. Dengan melakukan apa yang ingin kita lakukan. Kita yang mengejar kesempatan, mencari jalan masuk. Jadi, ya, biarlah kayak iklan sepatu: just do it!

 
Nonton kisah Dolemite ini kayak nonton The Disaster Artist (2017). Bedanya, tokoh kita diberikan backstory yang lebih dalam. Dalam Disaster Artist, ‘kemistisan’ Tommy Wisaeu dipertahankan, kita tidak pasti dia dapat duit produksi darimana, kita enggak yakin siapa dia sebenarnya – bahkan umurnya saja misterius ada di kepala berapa. Itu jadi pesona pada film; sebagai bagian dari gimmick Wiseau sebagai seniman, sebagai brand yang dijual. Sedangkan dalam Dolemite is My Name, kita actually akan mengeksplorasi Rudy sebagai seorang manusia. Kita diberi ruang supaya mengerti cara berpikirnya, apa keinginannya. Hubungan Rudy dengan salah satu ‘artis’nya akan memperlihatkan kepada kita semua hal tersebut; ketakutan, passion, dan semangat Rudy. Jadi, film ini enggak sebatas pada tentang pembuatan film jelek-yang-jadi-ngehits. Melainkan juga lebih memfokuskan kepada manusia di baliknya.

Dolemite udah nyarutin orang sebelum Samuel L. Jackson

 
Makanya penggemar Eddy Murphy niscaya akan bersorak girang. Perannya sebagai Rudy si Dolemite yang bergaya crude namun tampak sedikit flamboyan ini enggak sembarang receh. Melainkan juga bisa dramatis dan penuh kemanusiaan. Sudah lama sekali Murphy gak meranin tokoh yang komplit sepertinya. Terakhir kali aku melihatnya bermain bagus di Mr. Church (2017), tapi di sana dia agak sangat serius. Murphy yang sudah lama ‘terjebak’ mainin komedi keluarga yang receh, akhirnya dapat pelampiasan dalam film ini. Rudy cheap, ego tinggi, ngomong jorok berirama (rapnya mirip kayak pantun), tapi memiliki makna dan kepentingan. Kita bisa merasakan passion Rudy bukan ke bersikap demikian, tapi ke pekerjaan menghibur orang. Di atas senyuman personanya, kita melihat mata yang penuh rasa lapar. Selain kesuksesan, Rudy seperti pengen menelan semua kesempatan yang bisa ia dapatkan. Ya, kita bisa bilang Rudy adalah loser, tak-bertalenta, yang oportunis. Namun dia punya modal tersembunyi; dia mengerti pada apa yang ia bisa dan apa yang tidak bisa ia lakukan. He works on both things, tanpa mengunyah lebih banyak dari yang ia bisa telan. And oh boy, how he has a ‘big mouth’

Pelajaran lanjutan yang bisa kita ambil dari Rudy Ray Moore adalah kendati kita bergerak demi passion dan mimpi, kita mengambil tindakan tanpa perlu dengar kata dan persetujuan orang lain, kita masih tetap perlu untuk mengisi diri untuk terus melakukan perbaikan jika ingin maju. Rudy membuat film hiburan untuk kaumnya, tapi dinilai rendah kritikus – he owns every words of them, dia bahkan senang melihat filmnya dikatain kasar dan receh. Rudy gak mau bikin film yang bagus, dia hanya bikin film yang menghibur teman-temannya.

 
Durasi panjang film ini pada beberapa bagian cukup terasa. Mainly karena sikap Rudy yang berfokus kepada mengembangkan apa yang bisa ia lakukan secara eksternal. Rudy kian terasa kayak pembuat film yang kita remehkan; yang mau lebih banyak ledakan, lebih vulgar, lebih banyak hal nonsense, sementara pengembangan dan innernya tidak banyak perubahan karena Rudy sudah paham betul kemampuannya. Ada satu dua adegan ia bimbang filmnya gak laku, tapi itu semua terlihat seperti cara film memancing drama saja. Tadinya kupikir film ini lewatin kesempatan gak bahas stake lebih banyak; soal Rudy ngambil ide dari gelandangan kurasa bisa jadi konflik yang pas untuk internal Rudy – mungkin dia bisa dibuat dituntut karena mencuri ide, atau malah dia mempekerjakan gelandangan supaya bisa mengambil lebih banyak ide komedi. Namun memang elemen itu jika dimasukkan hanya akan membuat  cerita semakin terlalu Hollywood. Dan aku yakin sutradara Craig Brewer mengarah pada tone yang lebih realistis karena bagaimanapun, sefantastis apapun perjalanan Rudy, ini adalah biografi. Dan di dunia nyata, memang gelandangan gak bisa gitu aja punya suara, ataupun gelandangan gak bisa gitu aja diajak kerja. Karena sekalipun mereka jago bercerita, belum tentu mereka bisa jadi kru atau penulis naskah. Emangnya Rey Palp,..Skywalker yang scavanger tapi ternyata bisa betulin Milennium Falcon – Han Solo yang punya pesawatnya aja gak bisa.
 
 
Jadi aku menghormati pilihan yang dilakukan oleh film ini. Walaupun di pertengahan film menjadi agak lambat. Stakenya kurang nendang, melainkan menjadi agak komikal karena Rudy-nya sendiri pengen begitu. In sense, film komedi ini sangat grounded – ia juga membahas manusianya dan tidak satupun mereka tampak eksentrik. Kita mengerti kebutuhan mereka terkait persona dan jualan. Meskipun begitu, fenomena film yang dibuat oleh para tokoh kurang terasa menguar buat kita terutama yang awam sama sejarah film Blaxploitation dan baru mendengar Dolemite untuk pertama kalinya di sini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DOLEMITE IS MY NAME.

ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD Review

“It’s better to burn out than to fade away”

 

 

Lewat cerita tentang seorang aktor serial televisi koboy yang berusaha untuk tetap dikenal sebagai aktor yang hebat dan pemeran pengganti yang sudah menjadi sahabatnya di Hollywood tahun 60an, Quentin Tarantino mengajak kita semua bercanda. Menggoda kita dengan mengubah sejarah kelam menjadi dongeng happy ending. Tarantino memasukkan dua tokoh fiksi ke dalam dunia nyata. Dengan tujuan untuk membuat kita berandai-andai seperti apa jadinya jika Hollywood tidak pernah berubah, tidak palsu, tidak ada yang meredup kemudian menghilang; jika Hollywood adalah tempat yang – seperti dalam cerita – tempat kebaikan selalu menang melawan kejahatan.

Menurutku memang begitulah cara terbaik menonton film ini. Menganggapnya sebagai dongeng. Judulnya saja udah kayak kalimat pembuka hikayat-hikayat zaman dulu; “Pada suatu hari di Hollywood” Buat penggemar film, Hollywood adalah istana impian. Tempat cerita-cerita diwujudkan ke gambar bergerak. Sekaligus juga, Hollywood sendirinya adalah tempat cerita-cerita baru lahir. Cerita orang-orang yang datang dan pergi dari dunia perfilman. Dalam dunia nyata, cerita-cerita tersebut seringnya merupakan tragedi. Karena para aktor-aktor punya masa kadaluarasa. Dalam roda industri yang terus bergulir, pemain muda akan menjadi tua dan cepat atau lambat bakal tergantikan oleh pemain muda yang baru. Rick Dalton, tokoh utama film ini, akan literally dibunuh karakternya. Dalam serial koboy baru yang ia perankan, Dalton bukan lagi bintang utama. Masanya sudah lewat. Kini dia ditawari peran antagonis. Untuk episode pertama, tokohnya akan dibunuh oleh protagonis yang diperankan oleh aktor muda berbakat sehingga studio bisa menaikkan rating dan melanjutkan musim serial tersebut. Begitulah peran Dalton yang dulu selalu jadi hero nomor satu di televisi. Di tahun 1969 itu, dia menyadari perannya sekarang hanyalah pemeran pembantu. Ini adalah akhir dari era Dalton, yang diparalelkan oleh Tarantino dengan akhir dari era kejayaan 60’an yang dibawa oleh tragedi pembunuhan oleh Charles Manson.

See, cerita campuran fiksi dan fakta seperti ini hanya bisa dikerjakan oleh orang yang benar-benar suka pada film. Yang betul-betul mengerti seluk beluk Hollywood beserta sejarah-sejarahnya. Tarantino sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Sejak Pulp Fiction (1994) dia sudah memperlihatkan gambaran pengganti zaman di genre action; bintang baru menggantikan bintang lama lewat adegan Bruce Willis menembak John Travolta. Yang ia sajikan kali ini adalah kumpulan momen-momen yang menunjukkan betapa cintanya dia terhadap film. Narasi tersaji ringan, dengan banyak dialog dan adegan yang bernada komedi. Namun juga perasaan sedih dan nestapa terasa membayangi. Karena ini adalah cerita tentang perjuangan seseorang untuk tetap relevan. Untuk menjadi immortal. Semua itu semakin menghantui sebab kita tahu apa yang terjadi di penghujung tahun itu. Bakal ada yang ‘dibunuh’. Tapi kita tidak lagi yakin siapa atau malah apa yang mati. Film dibangun seolah membendung antisipasi kita terhadap kejadian nyata yang menggemparkan. Sepanjang waktu aku duduk nonton ini aku merasa terhibur meskipun di dalam hati aku terus bertanya-tanya bagaimana film ini mempertemukan Dalton dan Booth yang tokoh fiksi dengan Sharon Tate, seperti apa posisi mereka dalam tragedi tersebut. Yang dilakukan oleh film ternyata benar-benar sebuah twist, yang seharusnya kita senang melihatnya tapi tetap kita merasa ambigu. Film berakhir dengan sangat kuat karena ikut ke dalam pikiran kita sampai ke rumah. Apakah Tarantino sedang menyarankan sebuah solusi. Apakah yang sebenarnya menjadi penyelamat di sana.

Di Indonesia kita mengenal pepatah “manusia mati meninggalkan nama”. Film kesembilan Quentin Tarantino ini membalikkan itu. Rick Dalton berjuang agar namanya tetap berkibar. ‘Turun’ dari tahta protagonis bukan berarti dia tidak lagi tampil prima. Karena actually yang lebih parah bagi manusia adalah nama mati duluan sebelum pemiliknya.

 

Meskipun namanya nongol di koran, Leonardo DiCaprio masih belum meninggal

 

 

Ini bukan pertama kalinya Tarantino menulis ulang sejarah. Menimpanya dengan fiksi. Kita sudah lihat cara dia menulis nasib Hitler di Inglourius Basterds (2009) Sejalan dengan ini juga bukan kali pertama Tarantino menyemplungkan dirinya ke dalam kontroversi. Fantasi Once Upon a Time… in Hollywood bisa jadi susah untuk ditelan buat beberapa penonton. Terlebih buat penonton yang berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh nyata yang disinggung alias digambarkan lewat visi Tarantino. Ya aku sekarang bisa melihat alasan putri Bruce Lee protes karena penggambaran yang dilakukan Tarantino terhadap almarhum ayahnya yang melegenda. Tapi sekaligus aku juga bisa melihat adegan-adegan seperti itu dibuat tak-lain-dan-tak-bukan sebagai subteks dari konteks cerita. Bruce Lee yang bertarung imbang dengan Cliff Booth si stuntman sesungguhnya ada dalam ingatan si Booth sendiri. Adegannya berupa flashback dari ingatan Booth sehubungan dengan fakta namanya di Hollywood sudah besar sebagai orang yang berbahaya.

Ya orang-orang juga bisa protes soal Charles Manson yang didepiksikan sebagai tokoh sakral, namun konsekuensi tindakannya tidak digambarkan sampai ke dia. Manson hanya muncul satu kali di film. Karena film memang bukan soal Manson, melainkan fiksi soal perjuangan manusia. Manson hanyalah katalis yang memungkinkan terjadinya kekerasan yang menjadi simbol perjuangan. Kita melihat salah satu Manson Girl bilang mereka membunuhi bintang film karena sudah mengajarkan kekerasan di televisi. Kejadian di sekuen akhir tersebut menunjukkan kekerasan melahirkan kekerasan, namun kekerasan itu diperlukan sebagai bentuk dari perjuangan bertahan hidup, yang paralel dengan tema stay relevan. Ini berhubungan dengan cara Tarantino memperlakukan wanita di dalam film ini. Actually wanita yang diperlakukan kasar udah menjadi kritikan rutin untuk karya Tarantino. Di film Once Upon ini kita bakal melihat Booth menghajar cewek hippie anggota cult Manson. Dalton bahkan membunuh salah satu cewek itu dengan cara yang memuaskan dan berhubungan dengan sesuatu yang ngelingkar dengan bagian awal karirnya. Semua itu merupakan bagian dari keambiguan yang sudah diniatkan untuk kita rasa. Kita memang disuruh untuk bingung; menyoraki sesuatu yang tampak seperti heroisme pria tetapi cewek-cewek itu pantas mendapat pembalasan atas peristiwa di dunia nyata.

Film ini juga bisa susah untuk ditonton jikalau kalian lebih menyukai cerita nyaris tiga jam yang banyak aksi-aksinya. Meski memang saat porsi aksi muncul film menampilkan kekerasan tanpa tedeng aling-aling, namun sebagian besar waktu kita hanya melihat orang duduk dan bercerita. Mereka mendongeng di dalam dongeng. Nonton film ini kayak mendengarkan orang tua bercerita. Kadang kita dibawa melihat visualisasi flashback dari seorang tokoh – yang seperti kasus Bruce Lee dan Cliff Booth tadi; flashback yang ‘kebenaran’ kejadiannya belum absah. Kadang kita melihat Dalton dan Booth hanya duduk mengomentari film-film lama yang mereka mainkan bersama. Buatku, adegan-adegan demikian sama menariknya dengan adegan aksi. Karena aku suka mendengar cerita. Aku suka melihat belakang layar dari pembuatan film difilmkan. Juga tak terhitung banyaknya insight yang diberikan film terhadap skena perfilman Hollywood. Seperti film-film Tarantino sebelumnya, film ini juga renyah oleh dialog-dialog yang dibawakan dengan menarik dan meyakinkan.

Penampilan Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt mengangkat film menjadi semakin menyenangkan. Menakjubkan cara naskah menempatkan mereka di kejadian-kejadian yang ‘aneh’, seperti ketika kita melihat Dalton lagi syuting dan DiCaprio harus memainkan tokoh yang saking pengennya untuk tampil gak-kalah dari bintang muda malah melupakan dialog yang mesti ia ucapkan. Atau ketika Brad Pitt harus menunjukkan reaksi saat masa lalu tokohnya diungkap – Booth dipercaya membunuh istrinya yang kebanyakan ngomel saat mereka liburan di kapal, naskah meminta Pitt untuk menunjukkan ambiguitas dari kebenaran ‘gosip’ tersebut, dan Booth oleh Pitt tampak seperti menikmati semua ini. Like, dia justru ingin orang percaya akan gosip tersebut karena mengangkat namanya sebagai seorang stuntman tangguh. Margot Robbie juga bermain menakjubkan. Naskah menampilkan Sharon Tate seperti tokoh dongeng yang tampak tak nyata. I mean, orang-orang biasa diperlihatkan tidak menyadari bahwa dia masih ada, bukan sekadar persona di bioskop. Dan bahkan dia juga mendapati namanya mulai meredup seperti Dalton. Aku pengen melihat penampilan Robbie lebih banyak, terutama soal kasus Manson tadi. Tapi Sharon Tate tampak seperti ditinggalkan, demi kepentingan twist yang diperlukan oleh visi cerita.

We’re watching the end of an era

 

Semua yang sepintas tampak seperti kekurangan di atas, sesungguhnya juga bertindak sebagai kekuatan yang dimiliki oleh film. Karena film memang mengincar perasaan yang mendua saat kita menontonnya. Tapi jika memang mau bicara kekurangan, aku menemukan dua yang masih belum aku lihat alasan Tarantino memilih untuk bercerita seperti itu. Pertama soal lompatan periode di babak ketiga yang menggunakan narasi untuk menjelaskan ke kita apa yang terjadi selama lompatan tersebut. Sembari film terus membangun narasi yang mengarahkan kita ke tragedi nyata, yang kemudian tidak dilakukan. Menurutku menggunakan periode dan narasi ini tampak seperti wujud bercerita yang malas dan menyingkat waktu dibandingkan dengan cara film menampilkan cerita tokoh sebelum sampai ke titik ini. Di awal dan tengah penceritaannya sangat kreatif. Selalu ada hal baru yang dilakukan untuk menggambarkan cerita tokoh yang sedang bergulir.

Kedua adalah soal kenyataan bahwa untuk konsep film ini bekerja, penonton perlu untuk mengetahui sejarah kasus sekte Manson, yang dijadikan twist oleh cerita. Keseluruhan punchline film hanya bekerja jika kita sudah tahu ini semua berdasar dari kisah nyata yang dibelokkan menjadi dongeng. Karena jika penonton tidak tahu, maka cerita film ini akan berakhir membingungkan. Tokoh Sharon Tate hanya akan tampak seperti tokoh ekstra yang seharusnya bisa dihilangkan. Soal kekerasan terhadap anggota sekte juga memang akan menjadi gambaran dominasi pria kulit putih terhadap wanita, pelampiasan kepada hippie, karena ada missing piece jika penonton tidak tahu sejarahnya. Aku nonton ini sama temanku yang hanya tahu film ini berdasarkan kasus Manson tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi pada kasus tersebut, dan saat film beres dia bingung. Punchline dan belokan sejarah yang dilakukan film tidak kena kepadanya. Jadi, film ini membatasi dirinya sendiri. Film mengasumsikan semua penontonnya tahu, dan memang kita diminta untuk riset-riset sedikit dahulu. Dan buatku ini adalah kelemahan karena film meski punya sesuatu yang mendalam tapi seharusnya bisa bekerja di level permukaan. Kita hanya bisa menikmati dongeng sejarah jika kita tahu batasan mana dalam cerita itu yang benar-benar terjadi.

 

 

 

Tarantino tampak sedikit terlalu asik bercanda di film ini. Komedinya twisted and dark. Ceritanya memang menyenangkan, dengan tokoh fiksi dan nyata digabung, tapi bekerja dalam level yang ambigu. Yang untuk mengerti keambiguan dan sasaran yang dituju, penonton harus tahu dulu sejarah yang benar-benar terjadi. Jika tidak, film ini akan terasa berat dan menyinggung sekali. Di situlah letak keunikan film ini. Dia tidak takut untuk menjadi seperti demikian. Jarang kita dibuat menikmati film sekaligus menyadari yang kita tonton adalah harapan yang sudah kadaluarsa. Yang untuk menjadi pembelajaran saja tampak terlalu fantastis. But if you love films, punya perhatian terhadap sejarahnya, you will love this movie.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD.

 

 

 

Road to EUROPE ON SCREEN 2019 Festival Film Uni-Eropa ke-19

 

Sinema bukan semata soal hiburan.  Tetapi juga merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan kesadaran. Terhadap kemanusiaan. Terhadap lingkungan. Terhadap budaya. Tahun 2019 ini, dua-puluh-tujuh negara Eropa kembali dikumpulkan film-film produksi terkini mereka. “Bukan masalah besar kecilnya negara. Melainkan soal cakupan representasi budaya”, ujar Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend di depan media saat press conference di Goethe-Institute Jakarta, Selasa 2 April 2019. Fakta menarik yang bisa dipungut dari bincang-bincang tersebut adalah ternyata setiap kali ada film Indonesia yang syuting di negara-negara Eropa, hampir bisa dipastikan kunjungan di negara tersebut bakal meningkat. Jadi, ya, Festival yang sudah delapan-belas kali diselenggarakan ini mengemban misi mulia untuk memupuk kerja sama antara perfilman dan industri kreatif Eropa dengan Indonesia, dalam semangat kebudayaan, sebagai sektor ekonomi yang meningkat pesat.

Melanjutkan tradisi, tahun ini Europe on Screen akan menjadi lebih besar dari yang sudah-sudah. Seratus-satu film berkualitas akan mengisi acara sepanjang tiga-belas hari. Tersebar dalam 277 layar di 19 venue di delapan kota seluruh berbeda. Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, dan dengan bangga Mr. Vincent menambahkan dua kota lagi yakni Bekasi dan Tangerang.

Satu kesamaan yang dipertahankan adalah, semua rangkaian acara di festival ini GRATIS dan TERBUKA UNTUK UMUM. Bahkan screeningnya ada yang diadain dengan ala-ala layar tancep loh. Jika itu belum cukup untuk membendung rasa penasaran kalian untuk hadir, Europe on Screen 2019 sesungguhnya punya enam hal istimewa yang akan bisa kita dapatkan.

 

 

 

1. SUB-KATEGORI #OURLAND

Europe on Screen dalam pengkurasian film-filmnya memang tidak membatasi dengan tema. Sehingga jangkauan film yang diikutsertakan bisa meluas. Secara garis besar, film di Europe on Screen dibagi menjadi dua; film cerita dan dokumenter. Nah, di kategori dokumenter yang diistilahkan dengan ‘Realities’ itu, tahun ini Europe on Screen memberikan fokus kepada pelestarian lingkungan hidup. Dihimpunlah dokumenter-dokumenter yang mengangkat isu mengenai tanah tempat tinggal kita; apakah itu sebagai tempat yang harus diperjuangkan, ataupun apakah itu sebagai daerah eksplorasi.

Makala, Welcome to Sodom, Giants and the Morning After, Untamed Romania, adalah empat dari tujuh dokumenter yang bakal diputar dalam sub #OurLand, yang akan membuat kita melihat tanah kita dalam perspektif baru dan menarik.

 

 

2. PROGRAM SPECIAL #BAUHAUS100

Merayakan seratus tahun gaya arsitektur Jerman Bauhaus dan mengenang sutradara ternama asal Italia, Bernardo Bertolucci.

Didirikan di kota Weimar pada tahun 1919, sekolah Bauhaus berdiri secara resmia hanya empat-belas tahun. Tetapi kreasi dan pemikiran yang diciptakan sekolah ini terus digunakan. Sekolah desain dan seni di Jerman ini terus memberikan pengaruh besar dalam kehidupan modern sampai saat ini.

Europe on Screen 2019 menghadirkan dua program spesial untuk merayakan #Bauhaus100. Pertama adalah pemutaran dokumenter Bauhaus Spirit yang khusus dibuat untuk perayaan ini. Dan kedua, adalah pameran instalasi video Bauhaus yang memutar klip dan film pendek arsip karya sekolah Bauhaus selama beberapa dekade.

 

 

 

3. PEMUTARAN FILM NOMINASI ACADEMY AWARDS 2019

Rangkaian festival Europe on Screen 2019 yang penuh oleh film-film berkualitas dari negara-negara Uni-Eropa akan dibuka oleh pemutaran The Guilty. Sebuah thriller dari Denmark tentang seorang penerima panggilan darurat yang berubah hidupnya saat menjawab telepon dari seorang wanita yang diculik. The Guilty ini merupakan film yang dikirimkan ke Oscar sebagai perwakilan negara Denmark dalam kategori Best Foreign Language Film.

Untuk penutup acara, bakal diputarkan secara ekslusif film yang tak kalah ‘seru’nya. What Have We Done to Deserve This?, sebuah komedi asal Austria yang menyabet nominasi Best Film di Focus Switzerland, Germany, Austria, Zurich Film Festival 2018 berkat keberaniannya mengangkat isu seorang feminis ateis yang seolah mendapat mimpi buruk ketika putri remajanya memilih masuk ke agama Islam.

Dan kami beruntung sekali di acara Press Conference diputarkan salah satunya yang paling bergengsi, yaitu dokumenter yang masuk nominasi Oscar; Of Fathers and Sons adalah cerita yang sangat menggetarkan hati tentang dua orang anak dalam keluarga radikal Suriah yang digembleng oleh sang ayah untuk menjadi pasukan Jihad.

Udah kebayang dong sekarang, film-film seperti apa yang bakal menghiasi Europe on Screen? Yea? Coba kalikan seratus-satu kali. Wuiihh!!

 

 

 

4. KESEMPATAN KEPADA FILM PENDEK

Tidak terbatas pada film-film panjang, Europe on Screen juga mengadakan penanyangan berbagai film pendek, animasi atau bukan, karya pembuat film pemula dari Eropa.

Untuk pembuat film Indonesia, malah lebih spesial lagi. Europe on Screen mengadakan program pendanaan proyek film pendek. ‘Short Film Pitching Project’ ini idenya adalah mengundang dan memberi kesempatan pada pemula untuk mewujudkan kreativitas film pendek mereka. Untuk tahun ini, EOS sudah memilih sembilan ide cerita – dari seratus pendaftar. Tahapan selanjutnya adalah kesembilan finalis akan mempresentasikan ide cerita mereka di hadapan para juri yang terdiri dari produser dan sutradara film. Proses penjurian ini akan diadakan secara terbuka sebagai bagian dari penutup Festival. Tiga ide cerita terpilih akan mendapatkan dana produksi.

Europe on Screen 2019 akan memutarkan dua film pendek terpilih tahun 2018 yang berjudul Bangkis dan Lasagna.

Pengen gak sih film pendek kita diwujudin dan diputer di festival bergengsi ini? Aku sih iyes.

 

 

 

5. SINEAS EROPA BAGI-BAGI ILMU

Dua film Indonesia yang diputar di Europe on Screen adalah Arini dan The Gift. Pemutaran film tersebut akan dibarengi oleh pembuat film masing-masing yang bakal berbagi pengalaman syuting film di Eropa.

Segmen diskusi ini adalah wujud dari bagaimana film dapat menginspirasi banyak orang. Makanya, Europe on Screen juga akan menghadirkan langsung beberapa pekerja film Eropa untuk, bukan hanya membimbing, namun juga bekerja sama dengan kita dan para penggerak film tanah air.

Di antaranya adalah Lina Flint, produser film The Guilty, yang akan mendiskusikan apa-apa saja yang dibutuhkan ketika kita pengen memproduksi film bergenre thriller. Karena thriller – yang lagi digandrungi oleh penonton di sini – sebenarnya salah satu genre yang cukup sulit dibuat. Enggak bisa sekadar bikin kaget atau terkejut, melainkan juga harus ada rasa gelisah, tegang, saat menontonnya. Penulisan naskah juga harus diperhatikan. Maka turut dihadirkanlah Emil Nygaard Albertsen yang naskah The Guilty garapannya baru saja memenangkan Best Screenplay di Robert Award. Emil akan membagi ilmu seputar menulis naskah thriller yang baik nan mencekam.

Tak ketinggalan, bakal ada pengetahuan tentang bagaimana cara mendesain poster yang efektif dari desainer ternama asal Belgia, Amira Daoudi. Ia mendesain poster film Cargo, In Blue, dan Zagros, yang tiga-tiganya turut ditayangkan pada festival tahun ini. Darinya kita bisa mendapat ilmu bahwa poster haruslah bisa bertindak sebagai alat marketing yang menarik perhatian calon penonton sekaligus sebagai karya seni yang menangkap esensi film dengan estetis.

 

 

 

6. ADA KUIS SURPRISE SCREENING!

Sudah jadi adatnya, setiap tahun Europe on Screen ngadain pemutaran misterius. Di mana judul film yang bakal diputar baru akan diberitahukan tepat sebelum pemutaran film tersebut. Tentu saja ini menghasilkan pengalaman menonton yang unik, seru, dan excited abis karena biasanya kita gak tau harus mengharapkan apa. Nonton tanpa ekspektasi adalah salah satu cara menonton yang paling asik.

Tahun ini, keseruan surprise screening akan semakin bertambah lantaran Europe on Screen mengadakan kuis tebak-tebakan judul film yang bakal diputar. Kita bisa ikutan kuis ini dengan melihat petunjuk yang akan dipos pada akun instagram @europeonscreen

 

 

 

Festival ini akan berlangsung mulai dari tanggal 18 April hingga 30 April 2019 (habis Pemilu, kita pesta lagi horee!) Jangan lewatkan tanggal-tanggal pemutaran di kota-kota kalian.

And I guess, I will see you there!

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Film mana yang paling ingin kalian tonton? Bagaimana pendapatmu tentang perfilman di Eropa.

Beritahu kita semua di komen

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WAY I LOVE YOU – Beragam Cinta dan Cara Menunjukkannya [Movie Preview]

 

Banyak cara menunjukkan rasa cinta kepada orang yang kita sayangi. Namun yang sering dilupakan adalah cinta itu sendiri sebenarnya bukan sebatas ama pacar. Antara cowok dan cewek. The Way I Love You, cerita asli tulisan Johanna Wattimena dan Gendis Hapsari, mengembangkan cinta yang biasa dikenal oleh kalangan remaja calon penontonnya. Dan ini buatku menarik karena meskipun film remaja Indonesia kebanyakan memang bergenre cinta alias drama romantis, namun yang benar-benar original bukan adaptasi novel dan semacamnya bisa kita hitung dengan jari.

“Film ini berbeda karena tidak seratus persen cinta-cintaan, enggak melulu seru-seruan. Ada harunya juga. Cerita TWILY melingkupi keluarga. Ada rasa persaudaraan. Ada persahabatan,” terang Rizky Nazar, yang bermain dalam film ini sebagai Bara, saat konferensi pers yang diadakan dengan asik di HARRIS Hotel & Conventions Festival Citylink, Bandung, siang 2 Februari 2019.

Bercerita tentang Senja yang dekat dengan sepupu ceweknya. Akrab banget udah kayak kakak-adik. Berbeda dengan sang sepupu, Senja ini anaknya pendiem. Pemikir. Pikiran-pikirannya biasanya ia tuangkan ke dalam tulisan. Blog-lah yang membawanya kenal dengan seorang cowok. kedekatan mereka membawa pengaruh terhadap hubungan Senja dengan sepupu, dengan cowok sepupunya, dan bahkan Senja sendiri merasa ada yang berbeda saat dia beneran ketemuan sama cowok teman blognya tersebut. Kisah keempat tokoh ini bahkan bakal dijanjikan semakin menarik karena Rizky Nazar juga menyebutkan ada twist di dalam plot ceritanya.

Bukan hanya Rizky Nazar seorang yang menempuh macet dari Jakarta untuk bincang-bincang dengan teman-teman media dan komunitas di Bandung. Aktor muda itu hadir bersama dua pemeran lain; Baskara Mahendra yang berperan sebagai Rasya, dan tentu saja tak ketinggalan (nyaris, karena datangnya belakangan hihi) Syifa Hadju yang menjadi Senja. Dengan ceria mereka berbagi cerita keseruan saat proses reading dan syuting. Syutingnya berlangsung selama dua-puluh hari, dan sebagian besar berlokasi di Jakarta. “Di Bogor kita cuma dua hari” tambah Rizky. Ketika ditanya mengenai tantangan saat syuting oleh salah satu media, ketiga aktor remaja yang lagi naik daun itu sepakat menjawab selain pendalaman karakter, mereka tidak menemukan kesulitan yang berarti. Kecuali ketika Rizky sedikit kesusahan mengendarai sepeda motor tahun 70-an. Malahan Baskara dan Rizky menyebutkan keseruan karena sutradara Rudy Aryanto memberikan mereka semua kebebasan. “Pak Rudy open terhadap masukan. Beliau selalu ngobrolin scene bareng pemain. Menerima sudut pandang dari kita-kita” tembah Rizky lagi.

para pemain banyak mendapat pelajaran dari karakter mereka masing-masing

 

Syifa Hadju yang tampil dengan rambut menggulung yang membuatnya tampak semakin cute punya cerita sendiri tentang mendalami karakter Senja. Ia menerangkan perannya itu justru sebenarnya lebih banyak berinteraksi dengan tokoh sepupu, Anya (diperankan oleh Tissa Biani). “Kalo Bara dan Rasya kan, bagi Senja mereka sama-sama ‘orang baru’. Sedangkan sama Anya ini udah deket banget. Padahal aku ama Tissa juga belum lama kenal. Kita jadi sering jalan bareng buat numbuhin chemistry dua sepupu yang akrab itu”, jelas Syifa. Para pemain memang dipertemukan lewat proses casting, dan inilah yang terutama membuat proses syuting mereka menjadi seru. Syifa lanjut membicarakan dia dan Tissa bahkan jadi sering memanggil masing-masing dengan nama tokoh yang mereka perankan supaya feel karakternya lebih dapat lagi.

Kepada keluarga, kepada teman dan sahabat, rasa cinta itu juga sama pentingnya untuk kita tunjukin. Kepada pekerjaan juga. Apa yang diceritakan tiga pemain The Way I Love You ini membuktikan kecintaan dan dedikasi terhadap apa yang mereka lakukan. Syifa, Rizky, dan Baskara dengan bangga menyebutkan aktor-aktor yang bukan sekedar favorit, melainkan juga inspirasi mereka dalam berakting. Rizky menyebut dia sangat mengidolakan Tio Pakusadewo dan Robert Downey Jr. Baskara dengan detil menyebut satu persatu kiprah almarhum Heath Ledger yang ia jadikan panutan. Dan Syifa… psst tau gak siapa aktor yang diidolakan oleh artis yang pernah bermain di Beauty and the Best (2016) dan Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) itu?

Siapa ya kira-kira?

Hmmm..

 

Yakin, mau tau?

“Rizky Nazar dan Baskara Mahendra!”, jawab Syifa mantap. “Aku kagum dan selalu ngikutin perjalanan karir film kakak-kakak ini” Waaaah, manis sekali yaaa

 

 

Film The Way I Love You bakal tayang ke hadapan seluruh Indonesia tanggal 7 Februari 2019, segera temukan jalan kalian ke bioskop yaa, jangan sampai lupa dan nyasar sehingga ketinggalan berbaper ria menyambut Valentine bersama film yang satu ini~

ceria-ceria amat ya sehabis makan siang hhihi

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.