DREADOUT: Menjawab Ketakutan Para Fans – [Movie Preview]

 

Film horor Indonesia pertama yang diangkat dari game!

um… wait, let me rephrase that..

Game Indonesia pertama yang begitu sukses secara internasional akhirnya diangkat menjadi film!!!

panjang, but I like the sound of that better.

 

Karena DreadOut buatku, dan aku yakin buat penggemar game survival-horror lainnya juga, adalah game yang fenomenal. Aku malah pertama kali tahu game ini dari channel youtuber luar. Padahal game PC ini terlahir di Bandung, lho! Melalui crowdfunding, developer Digital Happiness berhasil mewujudkan khasanah mitologi horor lokal, terinspirasi dari mekanik game Fatal Frame (2001) dari Jepang, menggabungkan dua elemen tersebut membentuk dunia dan atmosfer yang nyata-nyata fresh nyeremin, seketika membuat para gamer di seluruh dunia berlomba-lomba untuk berpetualang motoin hantu bersama tokohnya, Linda. Jadi, mengatakan ini film pertama yang berani mengadaptasi dari game (lewatlah sudah adaptasi novel dan personal literatur) terdengar agak sedikit ‘mengecilkan’ di telingaku, lantaran, enggak setiap hari kita melihat ada game buatan Indonesia yang menarik perhatian dunia seperti yang berhasil dilakukan oleh game Dreadout. It was more than deserved to have its own movie. Dan lagi, buatku yang penggemar film, sekaligus penggemar game, also, horor adalah genre favoritku untuk keduanya, Dreadout adalah kulminasi dari apa yang namanya ultimate entertainment.

Fans sudah lama bermain-main dengan kemungkinan misteri Linda dengan The Lady in Red diangkat ke layar lebar. Beruntung produser Wida Handoyo
(Petak Umpet Minako)
yang kebetulan juga penggemar horor, dan pengembang DreadOut Rachmad Imron, peka dan actually listen to the fans, and long story short, ini teaser film DreadOut garapan mereka:

 

 

Tapi…. kok agak lain ya?

Seperti lumrahnya film adaptasi video game di luar negeri, DreadOut ini cukup ‘mengerikan’ buat fans gamenya. Karena ada ekspektasi, ada standar yang sudah di-set. Apakah film ini nantinya akan sesuai dengan ekspektasi. Kita takut filmnya nanti enggak sama. Takut kalo nanti hanya berupa proyek cari duit yang gagal paham mengenai apa sih yang membuat gamenya dicintai in the first place. Aku punya segudang pertanyaan yang menumpuk setelah melihat teaser tadi, to be honest, sebagian besar berupa keraguan.

Beruntung, Minggu tanggal 11 November lalu, aku dapat kesempatan duduk semeja bareng cast dan pembuat film DreadOut. Di antaranya ada Caitlin Halderman, Irsyadillah, Wida Handoyo, dan Rachmad Imron. Kita cuap-cuap seru seputar film ini. Pertanyaan pertamaku literally apakah pocong naik motor bakal ada dalam film hahaha.. Jadi ini dia, lima hal yang dikhawatirkan oleh para fans, dijelaskan dengan penuh passion oleh tim DreadOut:

 

Ceritanya kok beda?

Game DreadOut menceritakan tentang Linda bersama teman-teman sekolah dan ibu Guru mereka yang ‘terdampar’ di sebuah kota mati. Linda menemukan dia bisa melihat makhluk gaib lewat smartphonenya. Sebagai pemain, kita memerankan Linda; menguak misteri di kota, di sekolah kosong, di bangunan-bangunan angker, motoin hantu-hantu yang muncul sebagai cara untuk survive. Ada tema reinkarnasi pada plot game. Dari teaser, set versi film memang cukup mirip, hantu-hantunya bisa kita kenali, tapi ada sedikit perbedaan dari rangkaian adegan. Menurut sinopsis, film ini bakal bercerita tentang Linda dan teman-teman sekolahnya yang berkunjung ke apartemen kosong, dalam usaha mereka mencari konten yang bisa viral. Mereka menemukan portal ke dunia lain, dan semua kengerian terlepas dari sana. Tokoh-tokohnya pun ada yang tidak kita tahu. Seperti Irsyadillah, salah satu cast yang hadir malam itu, yang memerankan Beni – tokoh yang tidak ada di game.

Mbak Wida dan mas Imron menjelaskan, naskah film yang dikembangkan dalam empat tahun ini (gamenya rilis 2013) dikawal ketat oleh pengembang game. Perbedaan yang kita rasakan di teaser dikarenakan film DreadOut mengambil timeline sebelum kejadian yang dialami Linda di dalam game. IT’S A PREQUEL STORY. Film basically membawa kita berkenalan dengan Linda lebih jauh lagi, siapa dirinya, darimana dia mendapat ‘kekuatan’ bisa melihat makhluk halus lewat media tertentu. Film ini membahas akar dari mitologi semesta DreadOut, termasuk menggali lebih dalam hubungan Linda dengan Lady in Red dan The Three Sisters yang jadi bos terakhir dalam versi game.

 

 

Kok Kimo Stamboel sih?

Jika memikirkan sutradara Kimo Stamboel dan video game dalam satu frame konteks, maka aku akan kepikiran Mortal Kombat. Rasanya lebih klop. Kimo yang rekam jejaknya menggarap horor dengan aksi brutal berdarah-darah tampak long stretch jika dikaitkan dengan DreadOut; game survival yang senjata utama protagonisnya (cewek pula) adalah kamera. Hanya ada sedikit porsi aksi dalam game yang mengutamakan menguak misteri ini. Yang aku ingat hanya ada satu adegan laga di mana kita harus kabur dari kejaran teman Linda yang berubah menjadi semacam zombie. Jadi, sebenarnya ke mana arahan film ini akan dibawa? Apakah Kimo adalah pilihan yang tepat jika mengincar horor untuk remaja?

“Awalnya, memang film ini rasa mas Kimo banget” Mas Imron mengenang kisah pertama kali proyek DreadOut mendapat lampu hijau, “Sedari bikin gamenya dulu, saya memang sudah berangan-angan kalo ntar dijadiin film, sutradaranya kalo bisa Kimo Stamboel” Harapan tersebut kewujud, karena Kimo-nya sendiri yang menawarkan diri ikut kerja sama. Ada alasannya kenapa butuh empat tahun untuk merampungkan naskah. Masing-masing kepala bekerja untuk mencari jalan tengah yang paling baik. “Semuanya terasa kekeluargaan,” kata mbak Wida. Banyaknya re-write, brainstorming ide-ide, semua saling mendengarkan dan mengisi.

Rest assured, film DreadOut akan tetap punya ciri khas Kimo sebagai sutradara, ciri yang sudah menjadi trademark dan yang digemari oleh fans – mbak Wida bilang film akan jatuh di rating 17 – dengan tidak mengenyahkan elemen-elemen yang membuat gamenya begitu diminati. Elemen seperti memotret hantu tetap dijadikan sebagai poin utama.

 

 

Lindanya gimana, gak salah casting tuh?

Aku sendiri tidak pernah begitu mempermasalahkan soal casting, malah sebagai tukang review film, aku selalu senang jika ada pemain yang berani mengambil tantangan; yakni peran di luar kebiasaan genre film yang biasa dimainkannya. Apalagi bintang muda seperti Caitlin Halderman, yang masih punya banyak untuk dibuktikan.

Sebenarnya perihal ini, mbak Wida sama mas Imron-lah yang curhat, bahwa mereka mendapat banyak komen dari fans seputar pemilihan pemain regarding penampilan fisik. “Seperti ketika banyak yang protes Lara Croft dimainkan oleh Alicia Vikander,” ujar mbak Wida. Saat mencari pemain, mbak Wida ngescout talent dengan nonton film remaja, dan dia melihat ‘sesuatu’ dari Caitlin. Dia percaya aktris remaja tersebut bisa memberikan sesuatu buat Linda. Untungnya, Caitlin enggak menolak ditawarin main horor.

“Aku gak main gamenya, karena… alasan utamanya sih takut,” gelak Caitlin, “Tapi horor adalah pertama buatku. Aku biasanya main di drama, it’s a big opportunity buatku bisa main di horor, apalagi sutradaranya mas Kimo” Caitlin lebih lanjut menceritakan gimana Kimo ngepush para cast untuk memberikan penampilan yang berbeda, yang enggak standar. “Misalnya meja gerak sendiri nih, kalo di horor lain, kan, biasanya tokohnya ketakutan tapi takutnya itu takut bengong. Nah, mas Kimo mendorong kami untuk memberikan ekspresi takut yang benar-benar mendalam dengan gestur-gestur yang ekspresif,” sambil cerita Caitlin actually memperagakan dengan kocak mana yang takut bengong, mana takut yang nyata.

tips survive di horor game ala Linda dan Beni: Ikutlah menjerit saat yang main gamenya menjerit hhihi

 

Menjalani banyak latihan fisik yang intens, Caitlin bangga bisa melakukan sendiri stun-stun ‘keras’ yang diberikan kepada tokoh yang ia perankan. “Dilempar-lempar. Ditarik-tarik pake sling. Sampe kena celurit. Prop sih, tapi luka juga hahaha” Dari pengkarakteran sendiri, banyak ruang bagi Caitlin untuk menghidupkan Linda. Dalam game, Linda kan hampir enggak ada dialog – dia tipe silent character. Jadi tugas Caitlin-lah untuk meniupkan ruh kepada tokoh ini. “Nanti setelah filmnya keluar, penonton akan melihat Linda dalam film ini dan berpikir, ya inilah Linda yang sebenarnya” kata mas Imron.

 

 

Hantunya muncul semua gak?

Sayangnya, memang tidak semua hantu yang muncul di game bisa dihadirkan di film karena cerita yang mengambil set sebagai prekuel. The Three Sisters akan banyak mendapat sorotan sehubungan cerita yang menggali latar Linda. Tapi jangan khawatir, hantu-hantu lain yang ikonik seperti pocong-pocong bersenjata akan tetap muncul. Bahkan, menurut mas Imron, secara detil Kimo memasukkan throwback elemen-elemen yang ada di dalam gamenya sebagai reference atau ajang seru-seruan yang pasti langsung bisa dikenal oleh penonton yang pernah memainkan gamenya.

Pertimbangan kemunculan hantu-hantu ini adalah mereka tidak mau mengumbar terlalu banyak, para pembuat ingin menyimpan misteri untuk kesempatan yang akan datang.

 

Jadi apakah bakal ada sekuel? What next in line dalam franchise DreadOut?

Mitologi DreadOut memang luas sekali. “Kami memang sudah membuat cabang-cabang cerita dan lore di dunia game tersebut” kata mas Imron. Gamenya sendiri sudah dalam pembuatan sekuel. Harapannya memang filmnya juga bakal ada sekuel lantaran cerita yang begitu kompleks dari semesta ini. Makanya, film DreadOut ingin tampil netral; maksudnya mereka ingin DreadOut tidak hanya membuat penasaran para gamer, namun juga para penonton yang tidak bermain game. Pasar internasional juga turut menjadi inceran mengingat gamenya sendiri memang lebih banyak menuai untung dari pasar luar. “Yang diincar terutama adalah branding productnya” sambung mbak Wida. Mereka percaya para gamer pasti akan menonton film ini, tantangannya adalah bagaimana menarik appeal dari penonton casual. Melihat dari jajaran cast yang sudah punya fans base kuat – mereka juga memasang Jefri Nichol, Marsha Aruan, Hannah Al Rashid, Ciccio Manaserro, Susan Sameh – sepertinya jumlah penonton enggak bakal menjadi masalah buat film ini.

“Kalo game sehits DreadOut yang udah terkenal di luar negeri dibikin filmnya, masa iya sih penggemar game di sini pada gak mau nonton?”

 

 

 

Jadi apakah film ini bakal terhindar dari kutukan-film adaptasi game?

Well, kita hanya bisa menjawab pertanyaan itu setelah film DreadOut tayang bulan Januari 2019 nanti.

thank you, we’ll see you soon

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pada pernah main DreadOut belum? share dong momen terWTF kalian, hantu favorit, kejadian lucu dan segala macem hihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PETUALANGAN MENANGKAP PETIR Review

“The object is not truth but persuasion.”

 

 

 

Bikin film itu gampang. Punya kamera, punya cerita, tinggal syut. Semua hal yang bisa dipikirin, yang bisa ditulisin, bisa dijadikan film. Menjual film pun nantinya bisa diakali. Kita harus tahu dibuat untuk siapa, gimmick-gimmick pemasarannya bisa disesuaikan dengan kemampuan. Yang susah itu adalah, minta ijin orangtua. Kita gak ijin, mereka gak restu, gak bakal bener deh yang kita usahakan – gak berkah. Kita bohong, ketahuan; filmnnya gak bakal jadi. Terus gimana dong. “Boleh gak kita ngejar mimpi, tapi dilarang orangtua?” pertanyaan Sterling tak pelak akan berdering di dalam setiap kita yang punya mimpi.

Sterling (Bima Azriel dalam peran utamanya yang pertama) punya mama yang banyak aturan banget. Dulunya mereka tinggal di Hongkong, Sterling diajarin bikin vlog supaya bisa punya banyak temen meskipun enggak keluar rumah. Main di luar rumah itu bahaya! Sterling nanti kotor, Sterling nanti jatoh dan terluka. Jadilah Sterling ini anak yang tidak banyak bisa apa-apa, naik sepeda aja dia gak bisa. Cuma kamera dan bikin video yang ia bisa. Cuma ‘follower’ yang ia punya. Ketika keluarga Sterling mampir ke rumah kakek di desa, Sterling dapat kesempatan untuk bikin film beneran. Untuk dapat teman beneran. Tetapi mengejar mimpi itu butuh pengorbanan. Menangkap petir adalah perbuatan yang berbahaya. Sterling harus menyadari, mamanya bukan antagonis di dalam cerita ini. Orangtua hanyalah salah satu dari rintangan yang harus ia hadapi demi menghadapi pertempuran besar yang sesungguhnya; Pembuktian diri.

daripada ngerjain LKS terus, mending sekali-kali main sepeda

 

 

Menyenangkan sekali melihat anak-anak bermain di luar, mengajak teman-temannya untuk berembuk bersama menyusun langkah, actually melakukan sesuatu. Sterling bagai ikan di luar kolam di desa itu. Dia kenalan dengan teman-teman baru, melihat langsung hal-hal yang sebelumnya hanya ia tahu dari internet. Sense of discovery membuat cerita ini hangat. Buatku, melihat Sterling dan Gianto (alias Giant) mencoba melakukan sesuatu yang gede melampui batas umur mereka, memang cukup bikin rindu. Juga malu. Rindu karena aku merasa masa-masa itu sudah lama kulewati. Malu, sama semangat mereka yang meskipun bikin film sembunyi-sembunyi, dengan alat yang seadanya – mereka pakai alat curling rambut sebagai papan sutradara – tetapi mereka tak ragu untuk bergerak. Berusaha mewujudkan mimpi. Sedangkan aku, belum mulai ngapa-ngapain, sudah pesimis duluan. Pikiran buruk sudah nyampe ke mana-mana; kebanyakan mikir dan takut gagal. Ya gimana mau maju kalo gerak aja takut? Sterling dan teman-temannya enggak gitu. Film ini pun enggak mangkir dari resiko yang harus dihadapi seorang yang punya karya; Dikata-katain.  Sterling dan teman-teman juga dihadapkan sama ketidakpedean, sama akting yang dinilai lebay, sama karya yang dianggap jelek. Dan anak-anak itu menghadapinya dengan lebih baik dari sebagian kita. Mereka enggak patah semangat.

Begitu positifnya film ini untuk anak kecil. Mengajarkan mereka untuk berani mencoba. Untuk tidak gentar dalam menghadapi rintangan. Untuk tidak takut gagal. Seperti naik sepeda, jika terjatuh, kita simply duduk lagi di atas sadel dan meneruskan mengayuh, membuat roda itu berputar. Memang terdengar cheesy, kita bisa berdalih itu semua hanya impian kanak-kanak yang tidak realistis. Tapi objeknya di sini terletak kepada usaha kita, seberapa besar kita mendorong diri untuk mewujudkan keinginan.

 

 

Sekarang, setiap orang punya kamera di handphonenya. Semua orang bisa membuat film, jika mereka percaya mereka bisa. Tingkat keindahan yang bisa film ini capai adalah jika mereka mampu membuat anak-anak kecil jaman sekarang pergi keluar, mencabut handphone mereka dari saku, dan merekam video sendiri, tertawa-tawa membuat film bersama. Oh, betapa aku berharap para orangtua yang membawa anak mereka menonton film ini, ikutan nyaksiin dengan serius. Supaya mereka bisa merefleksikan diri sendiri; apa benar kita ingin anak bahagia, atau hanya ingin anak nurut sama kita. Siapa sih sebenarnya egois di sini. Hubungan antara Sterling dan mamanya sangat relatable buat banyak orang. Terkadang orangtua bisa menjadi overprotektif, mereka lupa rasanya menjadi anak-anak.

Film ini akan sangat menyenangkan untuk keluarga. Permainan perannya mungkin tidak terlalu menonjol, kecuali satu anak, Fatih Unru pemeran Giant, yang mencuri pertunjukan dengan luwesnya akting yang dia lakukan. Giant actually adalah teman yang menggebah Sterling untuk membuat film, dia menjadi tokoh utama dalam film superhero yang mereka buat, jadi dia berada di tingkatan peran yang berbeda dari tokoh yang lain. Hubungan Sterling dengan Giant akan membuat kita tertawa.  Bagaimana Giant membautanya tergerak, membuka mata terhadap apa itu yang namanya film. Giant bisa menjadi sedikit meta dengan pengetahuannya tentang film-film lama. Tokoh ini pun punya lapisan yang cukup dalam, motivasinya pengen jadi terkenal adalah supaya ibunya yang enggak pulang-pulang bisa melihatnya di televisi. Ia mengisi hari-hari kosongnya tanpa ibu dengan menonton film, ini cukup sedih memang.

Giant seperti Nelson di The Simpsons, tapi kehilangan ibu alih-alih ayah

 

 

Saat kita membawa adik atau anak untuk nonton ini, mungkin akan timbul kekhawatiran. Film ini kinda membawa mixed message buat anak kecil sehubungan dengan berbohong. Giant berbohong nyaris setiap waktu, ia gunakan bohong untuk membujuk orang. Sterling berbohong kepada mamanya. Kadang kakek Sterling melarang ia berbohong, kadang beliau turut berpura-pura. Malahan, film dan akting itu sendiri adalah seni berbohong, tak ubahnya pertunjukan tukang obat yang Sterling lihat di jalanan. Anak kecil akan butuh bimbingan untuk memahami konteks berbohong yang ditampilkan oleh film ini. Karena, to be honest, film ini juga tidak pernah benar-benar gamblang dalam menjelaskan sikapnya dalam berbohong. Berbohong seperti apa yang diperbolehkan? Bolehkah gak sih, bikin video tetapi pake stuntman? Pembuat film itu, ditunjukkan sama dengan tukang obat; mereka berbohong atas nama pertunjukan. Tapi pembuat film pada film ini mendelik sewot dikatain tukang obat. Seharusnya ada adegan yang memperlihatkan kedua kubu kompak, ataupun paling enggak, berinteraksi, hanya untuk menunjukkan di mana sebenarnya film ini berdiri.

Membuat orang percaya terhadap suatu hal yang gak nyata, hal yang tidak benar-benar terjadi, ada seninya. Tujuannya adalah bukan untuk menipu; bukan untuk membuat orang lain tidak melihat kebenaran, melainkan untuk membujuk mereka untuk melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang bisa dipercaya dalam momen itu. Film adalah salah satu bentuk dari seni berbohong. Dan itu tak sejauh kedengarannya, sebab dalam hidup, kita bersandiwara setiap waktu. kIta merasa perlu untuk menutupi beberapa hal terhadap beberapa orang tertentu. Rahasia untuk tidak saling menyakiti adalah, kita tidak menciptakan sesuatu yang palsu – kita hanya mengatakan seperlunya dari satu kebenaran utuh.

 

I have a weak spot untuk film-film dengan adegan backstage atau pembuatan film. Petualangan Menangkap Petir ini, aku malah langsung tertarik untuk alasan itu.  Tapi aku pun tak bisa bohong, film ini punya banyak kelemahan. Naskahnya, for one. Konflik filmnya terasa tidak kuat, stakenya tidak benar-benar membuat semua menjadi memprihatinkan buat Sterling. Alasan mamanya melarang terasa mengada-ngada, I mean, kalo memang ngelarang main, kenapa gak dibawa aja anaknya ikut ke kota. Kenapa lantas ngelarang bikin film, kan bisa aja nyuruh bikin film tapi harus di dalam rumah. Elemen anak berusaha stand up dan membuktikan diri kepada orangtuanya tidak begitu terasa, karena kurasa film enggak ingin terlihat terlalu keras untuk konsumsi anak kecil. Lapisan-lapisan yang ada di cerita mestinya bisa digali lagi. Sterling akan meminta bantuan kepada dua orang dewasa yang terkenal di kampung sebagai pembuat film fenomenal, padahal mereka hanya bekerja sebagai tukang video kawinan. Seharusnya ada momen lebih banyak seputar Sterling belajar dari mereka, karakter si tukang video yang diperankan oleh Abimana Aryasatya mestinya dibuat saling mengisi dengan karakter Sterling – mereka saling belajar, hubungannya mestinya bisa lebih digali, seperti hubungan antara Bima dengan Chef Rama di Koki-Koki Cilik (2018). Karena dalam setiap cerita underdog (Sterling adalah underdog di mata mamanya, dia harus memenangkan pengakuan sang mama) selalu dibutuhkan sosok mentor yang dijadikan pembelajaran oleh tokoh utama. Petualangan Menangkap Petir kurang menggali elemen ini.

 

 

 

Aku harap film ini dapat kesempatan untuk merasakan kepuasan sudah membuat anak kecil penontonnya tergerak untuk membuat film. Seperti aku yang ketika membuat film pendek, meskipun hasilnya jelek, tapi aku merasa senang tak terkira demi melihat anak-anak kecil yang nonton syuting tau-tau bikin film sendiri dengan handphone mereka di sekitar lokasi. Cerita film ini hangat, akrab, tidak menampilkan anak kecil sebagai aksesoris dari orang dewasa. Mereka punya pikiran, punya keinginan, film ini membuat mereka bergerak layaknya anak-anak. I do feel bad mengritik film anak-anak seinspiratif ini, tapi ya film ini mestinya diceritakan dengan lebih mendekap lagi. Ada elemen-elemen cerita yang masih bisa digali, ada emosi-emosi yang mestinya bisa dikeluarkan lebih kena lagi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PETUALANGAN MENANGKAP PETIR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE DISASTER ARTIST Review

“First they ignore you, then they laugh at you…”

 

 

Tentu saja, kita akan menertawakan film yang buruk bersama-sama. Kita berpikir, film yang sudah menginsult kecerdasan kita, perlu untuk diinsult balik. Kita bikin review konyol, kita bully film habis-habisan, sebagai bentuk apresiasi terhadapnya. Keseimbangan yang wajar terjadi. Sebuah reaksi yang mudah terhadap sesuatu yang jelek. Film The Room (2003) buatan sutradara dan aktor nyentrik Tommy Wiseau bukan hanya film yang jelek, dia adalah film paling ngaco sepanjang masa. Saking jeleknya , banyak yang suka. Sampai sekarang, film ini rutin diputar oleh berbagai fans di luar sana. Markas My Dirt Sheet, kafe es krim Warung Darurat Bandung, juga pernah muterin sekali. Hasilnya, sendokku ilang delapan biji. James Franco punya ide untuk menyelebrasi film itu, dia kumpulkan kru dan mereka membuat cerita tentang apa yang terjadi di balik dialog-dialog absurd dan akting kaku tersebut.

Memang lebih mudah menetertawakan badut ketimbang mencoba mengerti kenapa mereka mengenakan riasan make-up

 

 

I gotta be honest, The Disaster Artist adalah cerita yang menyentuh buatku. Dalam lapisan yang paling dalam, ini adalah cerita tentang seorang pria yang berjuang mewujudkan mimpinya. Hambatan yang ia temui berasal dari dalam dirinya sendiri; dia tidak dapat melihat bahwasanya tidak semua orang bisa mengerti apa yang ia sampaikan. Maksudku, sebagian besar dari kita juga pasti pernah merasa diri kita spesial, ide cerita kita hebat dan orisinil. Ada banyak calon filmmaker di jalanan yang punya stok naskah yang menurut mereka adalah cerita paling fresh dan keren sedunia, aku tahu karena aku adalah salah satu di antaranya. Tapi apa yang terjadi ketika kita ngepitch cerita tersebut ke produser, ke investor? Ditolak, dicuekin, disuruh ubah. Kalo aku punya duit tak terbatas seperti Tommy Wiseau, pastilah aku udah bikin film sendiri juga. Mewujudkan impianku. Meski mungkin filmku bakal seratus kali lebih jelek dari The Room. Tapi inilah yang ingin disampaikan oleh James Franco dalam The Disaster Artist; Jangan menyerah, terkadang kita memang harus membuka peluang sendiri, dengan perlu mengingat bahwa ada banyak cara konek dengan orang lain bisa terjadi, mungkin saja bukan seperti yang kita harapkan. Dan koneksi itulah yang semestinya menjadi tujuan kita dalam berkarya.

jika dipandang sebaliknya, film ini juga berfungsi sebagai petunjuk “Bagaimana Cara untuk Membuat Film yang Buruk”

 

Yang kita dapat di sini sesungguhnya adalah sebuah cerita yang menginspirasi. James Franco tidak membuat Tommy Wiseau sebagai sebuah tokoh yang wajib untuk melulu kita ledek. Ada sesuatu di dalam dirinya yang akan menangkap hati para penonton. Kita akan mengikuti perjalanan Tommy dari ketika dia bertemu dengan Greg di sebuah audisi teater. Mereka kemudian berikrar untuk mengejar mimpi menjadi aktor, begelut di bidang film. Maka lantas mereka pindah ke L.A. Namun, hal bagi Tommy tidak berjalan semulus apa yang datang kepada Greg. Jadi, Tommy bikin film sendiri. Dia mengajak Greg untuk ikut berperan bersamanya di film tersebut. Sebagaimana kita semua tahu, film tersebut tidak berakhir dengan semestinya.

The Disaster Artist cukup bijak untuk tidak memfokuskan ini sebagai parodi, film tidak sekedar menertawakan “You’re tearing me apart, Lisa!” dan pilihan-pilihan aneh bin bego yang dilakukan oleh Tommy Wiseau ketika membuat film ini. Memang, momen-momen The Room yang fenomenal, gimana film ini ngereka adegannya hingga nyaris sama persis, adalah bagian yang menonjol pada penceritaan. Tapi sekaligus ini adalah drama yang cukup suram, banyak adegan yang diniatkan sebagai heartfelt moment. Sebagai karakter, Tommy Wiseau belajar banyak dari reaksi penonton yang tidak ia harapkan, dan dari bagaimana dia harus berurusan dengan orang-orang yang tidak melihat visinya.

Tommy Wiseau yang asli merupakan salah satu sosok paling misterius di industri perfilman. Seperti yang juga disebutkan oleh film, tidak ada yang tahu persis siapa dirinya, dari mana dia berasal. Tommy ini di samping eksentrik gilak, dia juga sangat tertutup. Jadi memang pesona film ini terletak di Tommy Wiseau, kita penasaran seperti apa orang ini, apa yang ada di balik kepalanya. James Franco luar biasa dalam berperan sebagai karakter ini, juga dalam bagaimana dia membangun film cerita yang menjadikan Tommy sebagai pusatnya. Sebagai sutradara dan pemain, Franco did a very excellent job. Adegan pembukanya efektif sekali memperkenalkan Tommy sebagai sebuah enigma. Dia mempertahankan pesona tersebut hingga akhir film. Menurutku apa yang dicapai Franco sebagai Tommy merupakan hal yang cukup sulit; ya dia sangat lucu di sepanjang film, namun bukan sekedar lucu oleh karena momen-momen konyol dia lupa skrip, atau dia mainin adegan-adegan ikonik The Room. Di sini kita melihat Tommy sebagai seorang yang enggak hebat-hebat amat dalam pekerjaannya, dan dia punya cara yang aneh untuk mendapatkan yang ia mau, tapi kita bisa menghormati apa yang ingin ia lakukan. Sebab ada sisi manusiawi yang diberikan. Ada semangat yang bisa dipungut dari sikapnya yang tidak menyerah meskipun orang-orang tidak menghargai sesuai yang ia harapkan.

jangan-jangan karakter Broken Matt Hardy terinspirasi dari Tommy Wiseau

 

Salah satu aspek yang menjeratku adalah tentang bagaimana ini sebuah pembuatan film. Aku punya soft side terhadap film-film yang memperlihatkan di balik layar bisnis gambar bergerak seperti ini.  Aspek ini membawa kita ke kekurangan yang dimiliki oleh The Disaster Artist. Film ini actually mematahkan Hukum Ekonomis Karakter cetusan Roger Ebert lantaran tokoh-tokoh lain dalam cerita, yang diperankan oleh aktor-aktor yang cukup terkenal kayak Alison Brie ataupun Zac Efron ataupun Josh Hutcherson, tidak benar-benar punya karakter. Mereka cuma ada di sana, memainkan dengan sangat kompeten peran yang ditugaskan – Seth Rogen juga sebenarnya cukup lucu di sini – dan tidak punya banyak untuk dilakukan. Padahal mestinya bisa lebih dalam lagi jika kita diperlihatkan lebih banyak lagi tentang mereka.

 

 

Film dark komedi ini precise sekali ketika dia mencoba membuat ulang adegan-adegan film The Room. Tepat hingga ke framing dan segala macam treatment aneh yang dilakukan oleh film tersebut. Namun, jika kalian belum pernah nonton The Room, atau bahkan belum pernah mendengar tentangnya, film ini tetap akan bekerja sama hebatnya, sebab ini bukan serta merta sebuah film komedi yang memarodikan salah satu film terburuk di industri sinema. Film ini punya hati yang besar, tokoh utamanya terasa dekat. Benar saja, kita memang harus dapat melihat film sebagai mana mestinya. Sebagai penonton kita bisa saja suka, namun tetap harus mengakui kejelekan film. Tapi ini bukan tentang penonton. Ini tentang orang yang punya mimpi, tentang pembuat film yang dihadapkan kepada situasi di mana ia diapresiasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. James Franco mungkin saja tidak kepikiran, filmnya tentang sebuah film begitu jelek sehingga menjadi cult, bisa jadi adalah film terbaik yang pernah ia buat.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 gold stars for THE DISASTER ARTIST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

SURAT CINTA UNTUK STARLA: Jawaban Surat Cinta itu Datang Juga – [Movie Preview]

CFD (Car Free Day) di jalan Ir. H Juanda, Dago, Bandung kedatangan tiga makhluk kece.

Tengoklah kocaknya Romeo yang sibuk nyari makanan. Sementara tak jauh, ada Bimo yang cool banget diam-diam mengatur strategi dari balik kacamata hitamnya yang berbingkai bulat. Strategi apa? Enggak tahu juga, Bimo kelewat misterius, sih. Dan tak ketinggalan, Starla, yang dengan riang pecicilan ke sana ke mari.

Tunggu. Bimo? Starla?? Kok namanya familiar???

Yea, Minggu pagi 10 Desember itu para pengunjung Car Free Day di Dago dikunjungi oleh beberapa pemain film Surat Cinta untuk Starla. Ada Ricky Cuaca, Kevin Royano, dan Caitlin Halderman.

On Sunday, we wear black

 

Panggung mereka yang terparkir di pelataran depan Blossom Family Outlet pun dalam sekejap dipadati fans. Yang lagi olahraga naik sepeda, langsung spontan mengerem, cekiiittt – untung gak nabrak tiang. Yang lagi gerak jalan, lehernya pada muter ngelirik. Badan mereka maju berjalan, namun lehernya tetap di tempat. Hehehe enggak ding, emangnya film horor. Yang lagi ngumpul bareng teman-teman satu geng, serentak mencabut hape dari kantong dan mengarahkannya ke panggung, pada gak jadi selfie.

Maklum, kehadiran film Surat Cinta untuk Starla memang sudah ditunggu-tunggu oleh para fans. Adalah video lirik dari Virgoun (bukan nama zodiak loh ya) yang begitu fenomenal yang bertanggungjawab atas semua kehebohan ini. Lagu single itu sudah ditonton lebih dari 160 juta kali. Maka dibuatlah mini serinya yang bahkan lebih pecah lagi. Tujuh chapter webseri Surat Cinta untuk Starla semakin membuat penonton dan para fans haus. Mereka ingin melihat lebih. Mereka pengen kenal lebih dekat sama Hema dan Starla. Mereka, para fans itu, pantas untuk dapat kejelasan soal hubungan dan nasib kedua tokoh utama tersebut.

 

meski sempat kecewa Jefri Nichol berhalangan hadir, antusiasme penggemar enggak berkurang sedikitpun

 

“Film ini akan menjawab rasa penasaran penonton yang telah menyaksikan web serinya” jelas Ricky Cuaca yang biasa dipanggil Ricu. Ya, film Surat Cinta untuk Starla adalah surat jawaban yang dibuat sebagai balasan dari surat-surat cinta dari para fans. Ricu, Kevin, dan Caitlin lanjut menerangkan bahwa film ini adalah adaptasi yang not really an adaptation, lebih tepatnya adalah adaptasi lanjutan karena akan ada banyak penambahan dan beberapa perubahan.

Inti ceritanya sih sama. Tentang Hema, seorang cowok ‘pecinta alam’. Namun alih-alih manjat-manjat gunung, Hema menunjukkan obsesi kecintaannya pada alam dengan membuat surat cinta. Surat bukan sembarang surat, dengan mesin ketik yang ia bawa kemana-mana, Hema membuat desain untuk cetakan mural sebagai perwujudan surat cintanya kepada semesta. Kehadiran Starla suatu ketika di hidupnya, membuat Hema kepikiran sesuatu hal yang bahkan lebih indah daripada surat-suratnya yang biasa. Dan drama cinta remaja ini bukan hadir tanpa twist, perubahan sikap Starla yang begitu mendadak bakal menjadi konflik utama yang tak pelak bikin penasaran.

seni corat coret dinding akan berperan besar dalam cerita film ini

 

Penambahan yang dilakukan oleh sutradara Rudy Aryanto dan penulis skenario Tisa TS tentu saja bukan tanpa alasan. Para penggemar pun tidak perlu khawatir film ini akan jadi berbeda dengan apa yang membuat mereka jatuh cinta in the first place. Justru hal itulah  yang menjadi kelebihan film. Ricu yang udah tiga kali ikut main di film keluaran Screenplay Films melanjutkan, “Menampilkan sesuatu yang baru, tapi pada hal yang sudah terkenal. Jelas ini memberi kemudahan untuk memulai promosi.”

Lain lagi dengan Caitlin yang menganggap ini sebagai tantangan. Meneruskan kembali perannya di web seri, aktris yang selayang mirip Ariana Grande ini mengatakan film adalah jawabannya soal bagaimana memenuhi ekspektasi dari penggemar serial Youtube Surat Cinta untuk Starla, “Jangan sampai kualitas cerita versi film malah menurun dari versi mini seri.” Karakter Starla yang ia perankan memang mendapat sedikit perubahan dari versi web seri. Starla di film ini dibuat jadi lebih manja, sekaligus juga lebih setrong dan dewasa. Perihal mengenai apakah film ini juga bisa dinikmati oleh penonton yang sama sekali belum pernah mendengar lagu ataupun belum pernah menonton web serinya, Caitlin memberikan jawaban dengan senyum paling menenangkan yang bisa ia layangkan “Di film akan ada beberapa adegan flashback, jadi semua akan bisa tetap mengerti jalan ceritanya.”

Dan mengenai Bimo sebagai salah seorang peran baru yang belum benar-benar dieksplorasi di web seri, Kevin Royano dengan semangat menjelaskan, “Saya suka nonton miniserinya. Makanya saya senang ketika ditawari ikut main. Sosok Bimo yang saya perankan ini akan menjadi orang di balik konflik Starla dan Hema.” Kevin membuka kacamata gayanya, untuk kemudian melanjutkan, “Film ini, ceritanya lebih dalam dengan twist yang banyak”. Wuih jadi semakin penasaran!!

 

Kita sudah begitu sering mendapat drama remaja dengan karakter yang begitu-begitu saja. Surat Cinta untuk Starla menawarkan banyak pada lead characters yang diberikan sesuatu yang unik untuk dilakukan. Ditambah dengan potensi twist ditambah wahana baper, kita punya cukup alasan untuk menunggu film kolaborasi Screenplay Films dan Legacy Pictures ini sampai di bioskop seluruh Indonesia tanggal 28 Desember 2017. Sebentar lagi kok hehehe

 

ketiga pemain keasyikan diminta My Dirt Sheet ngebayangin apa yang karakter mereka lakukan kalo lagi jalan-jalan di car free day

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER Review

“True identity is found when we start becoming who we were created to be.”

 

residentevilthefinalchapter-poster

 

Kita hidup di dunia di mana kita enggak bisa gitu aja bilang “Gue penggemar Resident Evil, loh”. Karena ada batasan jelas yang memisahkan antara “penggemar film-adaptasi-game terburuk” dengan “penggemar game-survival-horor-terbaik”. Sayang memang, I mean, kenapa mereka enggak lupakan saja soal franchise, just stop, dan ngulang lagi bikin film yang benar-benar mengerikan tentang zombie di rumah tua atau semacamnya?! One can hope film ini benar-benar akan menjadi babak terakhir. Babak final. Penghabisan. Mungkin film ini akan actually bisa menjelaskan lima-belas tahun continuity errors dari cerita yang sudah enggak make-sense lagi.

Ternyata, film ini hanyalah segerombongan adegan mindless action, seperti yang sudah kita kenal baik.

Perlakukan Resident Evil: The Final Chapter selayaknya zombie. Lari! Larilah dari dirinya, demi hidupmu, sejauh mungkin. For this one movie will eat your brain dead!

 

Oke, kalian tahu, aku paling males nulis film jelek karena aku enggak mau isi ulasanku kesannya negatif melulu. Aku selalu berusaha untuk mengangkat sisi baik dari semua film. Apalagi film-film kayak remake dari Poltergeist ataupun reboot dari Fantastic Four sebelum membanting mereka sebagaimana mestinya. I’ve done that in the past, and I’m gonna do it again today. Buat film Resident Evil; yang gamenya selalu aku mainkan dengan semangat meski baru dua seri yang bisa tamat tanpa pake cheat, film yang sengaja aku tunda-tunda menontonnya karena aku benci kalo nanti bakal membenci filmnya lagi, aku sungguh-sungguh mencoba, aku masuk dengan pikiran positif. Aku harap aku bisa ngesell film ini dengan enggak parah-parah amat.

Jika kalian enggak punya masalah sama lima film Resident Evil sebelum ini, jangan pedulikan apa kata kritik. Jangan dengarkan apa yang kutulis. Go watch it and have fun, karena film adalah pengalaman subjektif. Namun, buat sebagian besar penonton, ketahuilah bahwa ini adalah salah satu FILM YANG PALING ‘MENYIKSA’ yang bisa kita tonton di bioskop in a recent year.

Supposedly menyambung langsung cerita terdahulu, Alice mendapati dirinya terbangun sendirian di reruntuhan. Dia kemudian digreet oleh monster-monster bioweapon sebelum akhirnya disapa oleh Red Queen, si A.I. yang mengambil persona anak kecil. Mantan lawannya tersebut meminta Alice untuk kembali ke Raccoon City karena Alice adalah cewek perkasa badass abis yang enggak pernah mati meski ada banyak zombie, dan kali ini Umbrella Corporation ingin melenyapkan sisa-sisa manusia dengan T-Virus, so Alice harus menghentikan itu sambil harus nemuin anti dari T-Virus yang disimpan di markas Umbrella di Raccon City (alias lokasi film yang pertama). That’s the storyline, simpel, ala misi video game banget, namun membingungkan karena beberapa keadaan terlihat enggak begitu cocok dengan cerita-cerita sebelumnya.

Dazed and confused.
Dazed and confused.

 

Untuk membuat cerita lebih mudah dipahami, para pembuat film ini merakit penceritaan dengan FORMULA YANG SEDERHANA; eksposisi – big action – eksposisi – big action – eksposisi – big action – dan begitu seterusnya. Film dimulai dengan rangkuman apa yang sudah terjadi, just in case kita belum pernah nonton film-film sebelumnya. Kemudian ada adegan aksi di atas kendaraan. Setelah itu, karakter-karakter kita ngumpul berkeliling dan seseorang tells them a story. Disambung oleh adegan action lagi, tembak-tembakan. Wuih! That’s how the entire film plays out. Ada satu momen yang efektif; saat ada tiga zombie yang lagi tergantung, mendadak come to life dan menyambar ke arah truk yang sedang melaju. Pengambilan gambar yang really creepy.

Kalo ada yang lebih jelek daripada tampang para zombie, maka itu adalah sekuens aksi. Serius deh, adegan-adegan aksi film ini disyut dan choreographed horribly. Dalam film, ada yang dikenal dengan teknik Eye Tracing; di mana pergerakan kamera diperhitungkan sedemikian rupa sehingga aksinya membimbing fokus pandangan penonton. Dalam film ini, eye tracingnya parah sekali. Semuanya diedit dengan sangat cepat, kita tidak bisa melihat dan memahami apa yang sedang terjadi. Ada yang mati pun, kita enggak bisa langsung ngeh siapa yang jadi korban. Dalam adegan dengan kipas gede, misalnya, aku butuh beberapa scene bolak-balik untuk bisa recognized siapa yang isdet.

To make it worse, sutradara Paul W.S. Anderson menonton Mad Max Fury Road (2015) sebelum dia bikin storyboard film ini. Jadi, beliau dengan segala kehumbleannya sebagai seorang filmmaker mencoba ngerecreate keawesomean visual style yang sudah dibuat oleh George Miller. Dua-puluh-menit pertama jelas sekali Resident Evil ingin mengemulasikan gaya edit cepat, it is the biggest rip-off of Mad Max yang pernah kuliat, dan film ini come short – malah terlihat sebagai upaya amatir alih-alih membuat adegannya enak dan intense untuk ditonton. Resident Evil: The Final Chapter adalah film berbudget gede dengan EDITING TERBURUK yang pernah kutonton sejauh ini. Liat aja sendiri, medium shot lengthnya pastilah kurang dari satu detik. Satu contoh lagi yaitu pas di adegan Alice berhadapan dengan this huge bioweapon creature. Alice menembak monster itu dengan dua pistol as the monster berlari ke arahnya. Kamera ngecut bolak-balik dengan sangat cepat di momen ini sehingga aku bersyukur enggak punya migrain dan enggak nonton ini dalam format 3D.

Semua elemen dalam film ini dicut dan digabungkan dengan begitu manipulatif demi memancing keseruan. Supaya kita merasa sedang menonton sesuatu yang keren, untuk membuat kita berpikir sesuatu yang amazing baru saja terjadi. Bahkan musik dan sound-designnya bekerja keras untuk menipu kita. Sepanjang film kita akan dibombardir oleh jump scare yang datang susul menyusul. Alice berjalan di suatu tempat, suasana hening, dan beberapa zombie muncul lengkap dengan suara yang over-the-top. Film ini penuh oleh serangkaian momen yang berusaha untuk terkesan seram tapi nyatanya cuma annoyingly loud dan sangat absurd. Mencoba begitu keras untuk menekankan kesan urgensi dan finality, this film is FILLED WITH SO MANY TIRED MANIPULATIVE WAYS OF EDITING FILM TOGETHER.

Mengingat gimana ngasalnya cara mereka mengedit film ini menjadi satu kesatuan, sebenarnya adalah fakta yang sangat ofensif, that sekelompok orang datang menonton ini dan bilang filmnya bagus. Malahan film ini nomer satu di box office Indonesia! Dan lebih ofensif lagi mengingat gimana film ini bisa diluluskan sebagai sebuah film in the first place.

 

Ada sedikit cercah film ini membahas sesuatu yang lebih dalem, seperti apa yang sebenarnya ingin dikatakan dari Umbrella yang demen bikin clone. Harusnya ada talk yang mendalam soal Alice yang kini come in terms dengan identitasnya, bukan sebagai simbol – melainkan sebagai seorang individu. Aku suka mereka ngeemphasize “My name is Alice” di awal dan akhir film. Aku selalu membahas dan menekankan soal karakter setiap ngereview. Karena toh tidak akan ada film, tidak akan ada cerita jika tidak ada karakter. I love movies karena aku suka berpikir soal karakter manusia. Dan dalam film ini? HAH!!! Film ini lebih mengutamakan aksi ketimbang karakter.

Alice enggak ngapa-ngapain selain cuma wadah yang bisa nembak ribuan zombie. Alice doesn’t do anything untuk mendapatkan pengakuan sebagai badass action hero. Dia begitu ya karena ditulis begitu. Ada bagian cerita di mana Alice sampai di compound yang apparently dipimpin oleh orang lain, kemudian segerombol besar zombie muncul, dan Alice mengambil alih kepemimpinan gitu aja, no questions asked. Beginilah skrip film ini ditulis. Alice does things, dia nembak, dia ninju, dia akrobat, tapi tidak pernah dia ngelakuin sesuatu yang membuat orang ngeliat dia sebagai pemimpin. Dan aktingnya? Pffft tidak ada akting. Milla Jovovich did an easy job here, dia malah enggak perlu repot berakting kesakitan. Alice is such a worst character, sampai-sampai ada adegan di mana dia ngedetonate bom beberapa jengkal dari antivirus yang berusaha ia selametin, tanpa tedeng aling-aling, tanpa pikir-pikir dulu soal akibat dari tindakannya.

Alice got her “I’m your father” moment
Alice got her “I’m your father” moment

 

 

 

Jika ingin pengalaman yang luar biasa sehubungan dengan dunia zombie, atau mau nikmatin the feeling of survival horor, saranku; just play the game, seriously. Ada seri terbaru Resident Evil yang keluar buat PS4 and itu serem dan keren banget. Film ini fails to deliver apapun, not even the sense of finality. It doesn’t respect us as the general audience. Film ini bahkan gagal catering buat fans loyal mereka yang sudah lima-belas tahun ngikutin. Orang-orang yang udah sit through all of them. Karakter-karakter yang entah gimana. Twist terakhirnya sangat absurd dan pointless, completely dishonor tokoh utama cerita. Terutama memberikan dampak yang buruk buat film-film terdahulunya. Tidak ada yang make sense di sini. Endingnya, efeknya, editingnya, semuanya so awful. Turns out, film ini menghinaku lebih banyak ketimbang apa yang aku ucapkan dalam menilai jujur dirinya.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.