“Ibarat kucing disodorin ikan asin..”
Guru Agama di sekolahku dulu pernah ngajarin; cowok itu ibarat duren, sedangkan cewek itu pepaya. Kalo ada kecelakaan atau apapun yang menyebabkan dua buah itu beradu, maka yang rusak adalah pepaya. Ini nunjukin bahwa gimana pun juga, cewek adalah pihak yang akan paling dirugikan. Cewek yang harus mengendure semua perubahan menyakitkan, baik itu pada tubuh maupun mentalnya. Sehingga, kata Guru Agamaku itu, kita semua harus saling menjaga – diri maupun sesama. Jadi pepaya harus bisa menjaga diri dari duren, DAN durenpun kudu mawas diri untuk enggak gasrak gusruk menubruk pepaya-pepaya.
Aku jelas lebih suka analogi tersebut daripada analogi satu lagi yang mengibaratkan cowok dan cewek dengan kucing dan ikan asin. Karena analogi tersebut memberi kesan memaklumkan sikap kucing yang punya nafsu sama ikan asin. Kalo ada ikan asin yang termakan, berarti bukan salah kucingnya. Namun sialnya, analogi ini yang malah berkembang di masyarakat. Di luar sana, karena pada gak tau ikan asin, mereka simply menyebutnya ‘boys will be boys’. Jadilah kebiasaan menyalahkan korban sebagai sebuah kultur. Korban kekerasan seksual ‘males’ ngaku karena nanti mereka sendiri yang bakal balik ditanya duluan. Dicurigai mancing duluan, atau malah dicurigai berbohong. Udah jatuh, tertimpa tangga pula! Sedangkan bagi para cowok yang memang terbukti bersalah, ‘paling cuma’ dipenjarakan. Untuk membuktikannya bersalah itu yang luar biasa tak adil. Kultur gak sehat inilah yang ditilik – dengan komedi yang cukup gelap – oleh Emerald Fennell dalam debut film-panjangnya, Promising Young Woman.
Dalam film ini kita akan mengikuti Cassandra, atau disapa Cassie (she could very well be Carey Mulligan’s best performance to date) yang dengan sengaja menjadi ‘ikan asin’, padahal dia justru adalah seekor piranha! Ya, Cassie setiap malam keluar untuk berburu ‘kucing-kucing’. Modus operandi Cassie adalah dia akan berpura-pura mabok di bar, sampai seorang laki-laki yang mengaku cowok baek-baek datang dan membawanya pulang. Di ‘tempat aman’ itulah Cassie akan mengejutkan si cowok. Supaya mereka semua kapok. Cassie ingin menghukum mereka dengan caranya sendiri, karena sistem hukum dan sosial menolak memberi ganjaran kepada cowok. Cassie sudah melakukan perbuatan demikian lama sekali, sebagai bentuk perlawanannya terhadap trauma atas kehilangan sahabat ceweknya. Dan semakin ke sini, ‘perburuan’ yang dilakukan Cassie semakin kelam. Sampai akhirnya dia bertemu dengan cowok yang adalah teman lamanya di sekolah. Cassie sudah seperti menemukan jalan kembali untuk melanjutkan hidup dengan normal, tapi pertemuan tersebut juga membuka selembar rahasia gelap lagi. Yang membuat Cassie percaya tindakan yang benar-benar ekstrim harus segera ia lakukan.
Cassie di film ini sungguh karakter unik, yang punya tingkat kesulitan tinggi dalam eksplorasi emosinya. Karena, kalo ada satu kata yang menggambarkan emosi karakter ini, maka itu adalah ironi. Di titik kita berjumpa dengannya, Cassie telah berada pada titik yang benar-benar udah kehilangan simpati ama bukan hanya pria-pria, tapi juga pada perempuan. Yang betah hidup langgeng di dalam sistem yang menyalahkan korban. Cassie kita lihat sebagai pribadi yang cuek dan sinis. Dia gak ingat tanggal ultahnya sendiri, dia gak niat nyari pacar, dan gak sedetikpun dia menyesali berhenti dari kuliah kedokteran dan malah memilih kerja di kafe. Namun di balik itu, Cassie punya luka besar yang menganga. ‘Kecuekan’nya tadi bersumber dari luka tersebut. Cassie begitu tertohok oleh ketidakadilan yang terjadi pada sahabatnya, yang jadi korban kekerasan seksual. Kita gak tahu perjuangan Cassie menuntut keadilan bagi sahabatnya tersebut. Tapi dari sikapnya yang sekarang, kita tahu Cassie sudah menghadapi ribuan ‘boys will be boys’. Dia telah melalui begitu banyak derita dan trauma hanya untuk menuntut cowok pelaku ditindak adil. Ini adalah beban yang sangat berat ditanggung oleh seseorang. Dan beban tersebut dapat kita rasakan merayap, menguar, di balik sikap cuek dan dark Cassie yang sekarang. Emosi dan permainan peran yang sungguh tidak gampang. And Carey Mulligan nails this so perfectly. Di tangan aktor sembarangan, peran Cassie ini gak akan kena.
Selain karakternya, rentang di film ini juga kita jumpai pada visual dan tone secara keseluruhan. Film ditampilkan dalam warna-warna cerah. Kelihatannya persis kayak film komedi romantis. Isu-isu yang menantang lantas dilontarkan dengan lantang oleh Cassie, sehingga kini bukan hanya warna saja yang terasa mencuat keluar dari layar. Film ini begitu mengonfrontasi di balik keceriaan dan kemeriahan visualnya. Film juga enggak ragu untuk membentrokkan tone. Kita akan dibuat ikut menari bersama para karakternya — to a Paris Hilton song! Bayangkan!! Dan momen berikutnya kita akan dibuat merasakan karakternya menghadapi suatu kenyataan yang mengerikan. Arahan film ini berani seperti demikian, seberani Cassie itu sendiri. Film ini memang pantas menuai banyak apresiasi dari visinya ini.
Namun, dari segi materi atau penulisan secara keseluruhan, I gotta be honest; film ini masih terasa sepihak. Penggaliannya masih agenda-ish. Pemilihan endingnya sendiri akan membagi-dua penonton. Dan aku masuk golongan yang menganggap ending film ini sangat buruk. Kalo film ini aku tonton tepat waktu di 2020, maka aku pastilah akan bikin daftar ‘Worst Ending of the Year’, dan film ini akan jadi juaranya.
Analogi kucing dan ikan asin tadi; justru film ini sendiri yang dengan semangatnya melabelkan laki-laki sama dengan kucing. Karakter-karakter cowok di cerita ini semuanya digambarkan punya nafsu bejat. Modus operandi film adalah menampilkan mereka kelihatan seperti orang baik – dan si karakter sendiripun berulang kali menegaskan mereka adalah orang baik – dan pada akhirnya, setelah gak kuat iman melihat kesempatan berwujud Cassie, mereka akan ‘memperlihatkan’ perangai asli mereka. Cowok dalam film ini akan disuruh untuk mengakui mereka enggak sebaik yang mereka bilang ke orang-orang. Bahwa sebenarnya mereka semua ya memang kucing. Yang punya niat jahat, tapi nanti akan terlalu pengecut untuk mengakui telah salah atau gelap mata. Terlalu pengecut dan berlindung di balik ‘kucing disodorin ikan asin, ya makan-lah’. Bahkan love interest Cassie juga ditulis dengan karakter seperti begini. Si Cassie sendiri was having a hard time untuk percaya cowok yang ia taksir tersebut sudah berubah dari hati yang paling dalam. It’s actually really hard untuk melihat apa sebenarnya yang dikejar film ini. Apakah ingin menunjukkan kepada kita Cassie itu salah; karena selama ini Cassie membuang hidupnya dan tenggelam dalam dendam sehingga gak bisa melihat orang lain dalam cahaya yang baik. Atau simply karena memang film ingin nunjukin semua cowok itu, ya, kucing garong.
Yea, aku tahu realitanya memang pada sebagian besar kasus, cowoklah yang brengsek. Yang terlalu lemah untuk menahan diri dan bertanggungjawab, dan malah balik nyalahin. Tapi dari standpoint materi atau penulisan, film ini tuh bener-bener butuh untuk membuat semua cowok begitu supaya arc Cassie bisa bekerja. Sehingga film ini jadi banal. Ia meninggalkan kepentingan untuk menggali dari dua sisi, atau untuk memanusiakan kedua sisi.
Kita bisa mengerti dari endingnya. Dirancang untuk nunjukin bahwa cowok gak bisa dihukum karena perbuatan yang ia perbuat masa lalunya itu; cowok-cowok lolos dari sistem yang broken. Jadi, tindakan yang diberikan kepada karakter Cassie adalah Cassie harus membuat si pelaku bersalah atas perbuatan lain. Perbuatan itu pun haruslah yang genuinely melekat di diri cowok. Supaya si pelaku bisa dipastikan dihukum kali ini. Maka dari itulah, film ini membuat karakter cowok tanpa ada sisi baik. Dan juga supaya kita melihat tindakan Cassie di akhir itu sebagai pengorbanan terakhirnya. Cassie sudah membuang hidupnya selama ini tidak jadi ikut kita ‘salahkan’ hidupnya karena di akhir itu, dia membuat hidup yang sudah ia buang selama ini jadi berguna. Dengan akhirnya berhasil menjebloskan si pelaku ke penjara.
Kucing disodorin ikan asin pasti mau. Boys will be boys. Jangan buang hidupmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Boys will be boys. Cepat atau lambat, toh kesalahan yang sama akan berulang. Tangkap mereka saat itu. Tangkap dan pastikan mereka tak bisa lolos lagi. Begitulah, kurang lebih yang ingin disarankan oleh film ini.
Akan tetapi, tetap saja, dari cara film ini memperlihatkan adegan-adegannya, Cassie terasa seperti menjebak si cowok. Membuat si cowok kepepet. Seperti kesalahannya itu dicari-cari. Cassie tidak diperlihatkan apakah dia peduli jikalau si pelaku beneran udah insaf atau enggak. Dan yang paling menggelikan dari film ini adalah; Supaya dunia dan orang-orang yang ditinggalkan Cassie sadar akan kesalahan sistem yang mereka anut, supaya mereka sedih, dan Cassie mencuat triumphantly, film ini membuat ending yang konyol dengan elemen ‘pesan dari kubur’! Ha! Cassie bisa menebak kejadian bakal seperti apa, seseorang akan berada di mana, timing kejadian di ending itu begitu tepat ditebak dari jauh hari oleh Cassie. Ini over-the-top sekali. Sudah jauh dari kesan real yang menguar kuat di balik cerita di menit-menit sebelum bagian akhir film ini.
Sesungguhnya cerita Promising Young Woman ini punya kembaran serupa-tapi-tak sama, yakni film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017) Kalian pasti masih ingat, karena film itu diunnggulkan untuk Oscar. Film tersebut ceritanya tentang seorang ibu yang menghabiskan umurnya mengejar polisi, menuntut kasus perkosaan yang menyebabkan kematian putrinya diusut tuntas, dan pelakunya dicari – dijebloskan ke penjara. Saat nge-review film itu, aku nulis kayaknya aku bakal lebih suka kalo film tersebut memperlihatkan hasil akhir perjuangan si ibu – kalo nasib pelakunya dituntaskan. Namun, setelah menonton film Promising Young Woman ini, baru terasa bagiku. Baru terasa betapa jauh lebih powerful cerita Three Billboards tersebut dengan membuat protagonisnya mencari kedamaian bagi diri sendiri. Lebih terasa real sehingga lebih emosional dan important.
Sebagai film thriller, ini adalah debut yang cukup menjanjikan dari Emerald Fennel. Menunjukkan ia mampu bermain dengan tone dan karakter untuk menyampaikan sebuah gagasan dan mewujudkan visi yang penting. Tapi tentu saja memuat gagasan yang penting, tak lantas membuat film otomatis bagus. Semua itu bergantung kepada tulang punggung, yakni naskah. Materi film ini masih berupa satu pandangan, sehingga terpaksa dipilih ending yang kurang logis dan maksa secara over-the-top. Ending film ini, jika dilihat dari genrenya, masih mungkin untuk disukai sebagian penonton. Hanya, buatku, endingnya justru break this entire film apart. Mengurangi kepentingannya begitu drastis. Terlebih karena memang film ini punya pembanding yang jauh lebih real dan powerful.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROMISING YOUNG WOMAN.
Supaya pria pelaku kejahatan seksual bisa jera dan benar-benar adil bagi perempuan, Indonesia baru-baru ini mengumumkan soal hukum kebiri. Bagaimana pendapat kalian mengenai hukuman tersebut?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA