MUMUN Review

 

“There is only one you. Stop devalue yourself by trying to be a copy of someone else”

 

 

Aku telah hidup cukup lama untuk menyaksikan tontonan masa kecilku, kartun ataupun sinetron, diremake, dimodernkan, dan dijadikan layang-layang. Eh salah, dijadikan film-panjang. Jadi Pocong adalah ‘korban’ berikutnya.  Oleh Rizal Mantovani, sinetron horor komedi ini dikemas ulang jadi tontonan utuh 100  menit. Dijadikan experience layar lebar, dengan tidak menghilangkan ruh sinetronnya. Sehingga bagi pemirsa sepertiku, film Mumun ini bakal jadi tontonan nostalgia. And that is the only power this movie had, selain komedi. Ruh sinetronnya dipegang terlalu kuat sehingga film ini malah kayak jadi rangkuman dari episode sinetron. Layer di balik situasi horornya tidak dikembangkan matang. Seperti Mimin yang disuruh mirip dengan kembarannya, Mumun. Film ini terpuruk karena ingin dibuat amat mirip dengan sinetronnya.

Kenapa terlalu mirip sinetronnya jadi hal yang buruk?

Well ya, film mirip sinetron memang bad, tapi untuk hal ini, adalah karena gimana pun juga mustahil merangkum episode-episode sebanyak itu ke dalam satu film. Cerita film Mumum ini diadaptasi dari season pertama sinetron Jadi Pocong. Mengisahkan Mumun dan sodari kembarnya Mimin, punya sifat yang bertolak belakang. Mumun tipikal anak kesayangan yang sudah sorted out hidupnya. Punya pasangan bernama Juned. Disukai warga. Dan bahkan punya penggemar rahasia, yakni preman di kampung (yang juga adalah debt collector pinjol) bernama Jefri. Sementara Mimin, memilih hidup di kota. Berpura-pura sukses kerja di kantor, hanya supaya ‘gak kalah’ disayang oleh orangtua. Saat Mumun tewas dalam situasi yang disimpulkan warga sebagai tabrak lari, Mimin ditarik pulang. Diharapkan mengisi kekosongan yang ditinggalkan Mumun. That’s the drama part. Bagian horornya adalah, Bang Husein si tukang gali kubur, lupa membuka tali pocong Mumun. Menyebabkan Mumun kembali dalam wujud mengerikan. Menghantui kampung, bukan saja orang-orang yang telah mencelakainya, tapi juga orang-orang yang masih terpukul oleh kepergiannya.

Telentang mikirin sayang amat karakter Kuncung si pocong maling ditiadakan

 

See, dikembangkan originally sebagai cerita serial, materi Mumun ini  sebenarnya punya layer drama persaudaraan, orangtua-anak, dan drama cinta di balik elemen superstition dan teror pocong di kampung yang disuarakan dengan nada komedi betawi. Yang dilakukan dengan berhasil oleh film ini adalah komedi betawi-nya. Interaksi karakter dengan celetukan-celetukan betawi bakal bikin kita ngikik. Reaksi para karakter ketika ketakutan melihat pocong juga sama kocaknya. Reaksi mereka nyaris seperti kartun. Seperti ketika rombongan karakter berlarian masuk ke wc sempit, hanya untuk keluar serabutan lagi karena pocongnya ada di dalem. Beberapa mungkin terasa cringe, karena terlalu on the nose, kayak ada karakter yang sompral gak takut, dan kita bisa menebak si karakter ini pasti akan diganggu pocong dan langsung ketakutan Tapi itu tidak jadi masalah karena film ini berhasil melandaskan di level mana komedi dunianya ini bermain. Urusan komedi dan reaksi kocak ini, Mandra paling bersinar.  He played off other characters dengan sangat baik. Ketika ketakutan, Mandra membuat karakternya, Husein, jadi bereaksi sok imut sebagai defense mechanism, dan ini selalu kocak kalo ada karakter lain yang menimpalinya. Selain karena memang seniman lawak yang udah malang melintang, also helps karena Mumun originally adalah cerita dari Mandra. Antara penampilannya di sinetron Jadi Pocong dua puluh tahun lalu dengan sekarang, he did not miss a beat. Walaupun secara penulisan, karakterisasi di film Mumun ini di bawah kualitas sinetronnya.

Dengan menjadikan plot film ini basically hanya menamatkan plot sinetronnya dengan lebih ringkas, Mumun tidak punya banyak ruang untuk menggali karakter. Yang berarti layer-layer pembangun drama yang kusebut di atas tadi, tidak ada yang berkembang dengan baik. Mereka semua masih ada, tapi terasa muncul dan hilang begitu saja. Hanya seperti poin-poin yang cepat hilang. Film lebih milih menggunakan waktu untuk membangun adegan jumpscare, dibandingkan ketakutan humanis dari dalam karakternya. Contoh simpelnya karakter Husein tadi. Dalam sinetron, kegelisahan dan rasa bersalah Husein begitu nyadar dia mungkin lupa membuka tali pocong Mumun dikembangkan dalam satu episode. Benar-benar diperlihatkan dia curhat dan minta usul kepada karakter lain. Dia cemas, dan malam itu datang untuk minta maaf (dan mungkin mencoba memastikan tali pocong udah lepas atau belum), tapi semua udah terlambat karena pocong Mumun sudah beneran muncul. Kali ini, di film, mood karakter Husein berpindah-pindah. Di satu adegan dia nipu geng Jefri, di adegan berikutnya dia teringat lupa buka tali, dan di adegan berikutnya udah mulai ke sekuen dia mau di-jumpscare Mumun. Perasaannya terhadap lupa dan kepikiran Mumun itu tidak digali. Padahal perasaan itu penting bagi Husein, karena itulah yang membuat dia paralel dengan karakter sentral film ini. Perasaan yang gak bisa lepas dari Mumun itulah yang actually merundung kampung dan membuat mereka diteror oleh pocong Mumun.

Mumun seharusnya menguatkan bagaimana kampung itu kini merasa diteror oleh pocong Mumun. Bagaimana orang-orang yang kenal Mumun terpengaruh oleh kehilangan dan berita dia menjadi pocong. Bagaimana ketika mereka actually hadap-hadapan dengan pocong mumun. Sinetron punya banyak ruang untuk menggali lingkup ini, sementara film yang berdurasi jauh lebih terbatas, tidak bisa. Kita hanya dapat satu adegan ketika warga gosipin pocong Mumun, melihat bagaimana pengaruh berita tersebut, also saat Mumun beneran meneror acara warga. Tapi makna di baliknya tidak benar-benar terasa. Di film hanya terasa seperti Mumun mau balas dendam. Yang membuat cerita ini mengalami pengurangan bobot.

Menontonnya sekarang, aku baru bisa melihat kepentingan membuat Mumun dan Mimin dalam cerita sebagai saudari kembar. Tapi jangan kasih aku kredit terlalu banyak, karena film ini sendiri yang mengejakan maksud/kepentingan kembarnya itu kepada kita. Alih-alih tersirat lewat perasaan karakter seperti pada sinetronnya, di film ini kita hanya tinggal mendengarkan karakter menyebutkannya saja. Mimin dalam dialog yang sangat expository merangkum apa yang sebenarnya terjadi. Mimin juga points out bahwa Juned belum mengikhlaskan Mumun. Jadi setelah capek mengisi waktu dengan adegan-adegan komedi, adegan-adegan horor, dan campuran keduanya, tibalah saatnya bagi film untuk membahas drama, dan film membuat Mimin dan Juned menyebutkannya saja. Kita tidak lihat bagaimana Juned terpuruk dan terus memikirkan Mumun seperti pada sinetron. Kita tidak lihat journey Mimin, bagaimana dia dealing with harus diminta bersikap seperti Mumun dengan detil, kita juga tidak lihat dia mengonfrontasi rasa bersalahnya. Melainkan hanya berupa dialog bahwa di akhir itu dia mulai sadar.

Kalo kita simak mendalam, cerita Mimin – dan Juned, dan bokap Mimin, dan bahkan Jefri, Husein, dan warga lain ini tragis.  Mimin yang mirip Mumun kini benar-benar harus jadi Mumun, saat sodara kembarnya yang secara lingkungan sosial dinilai lebih baik, meninggal dunia. Mengikuti permintaan bokapnya. Mengikuti permintaan Juned. Eksistensi Mimin sebagai dirinya sendiri ilang. Dia yang di awal udah curi jati diri Mumun untuk ngutang, devalue herself even more. Sikap Mimin ini diakibatkan orang sekitarnya masih belum melupakan Mumun. Secara simbolis, inilah sebabnya Mumun menghantui warga. Karena mereka sendiri masih melihat Mumun di dalam Mimin, tragisnya mereka yang menginginkan Mimin seperti Mumun. Maka, Mimin harus come clean dan belajar untuk menjadi dirinya sendiri. Juned dan yang lain, harus belajar untuk melihat Mimin tidak dalam bayang-bayang Mumun. Mengikhlaskan hanya akan ada satu Mumun, dan orangnya itu telah tiada. 

Sementara Jefri, well, sampai ketemu di sekuel!

 

Kalo kita tanya Acha Septriasa, film yang ditayangin pas hari ultahnya ini pastilah sangat fun baginya. Dia memerankan both Mumun dan Mimin yang punya sifat berbeda. Walaupun secara naskah, karakterisasi mereka terbatas – film berusaha mencuatkan perbedaan justru dari fisik kayak gaya berpakaian hingga tahi lalat – kita bisa melihat Acha benar-benar berusaha memberikan ‘napas’ yang berbeda untuk karakter ini, di luar perbedaan fisik tersebut. Sebagai Mumun juga berarti Acha bermain sebagai hantu (mungkin aku salah, tapi sepertinya ini peran hantu pertama baginya). Dan juga sama, meskipun film berusaha strong main fisik alias hantu pocongnya dibuat distinctive genjreng secara fisik – dengan make up dan efek yang lebih dahsyat – namun Acha berusaha tampil seram dan fun lewat dialog ikonik Mumun memanggil-manggil korbannya. “Bang, aye Mumun, Bang”

Soal horor, memang horor film ini tampak randomly jadi all over the place karena mendadak ada gore, pocongnya dibuat beneran menyerang, dan sebagainya tanpa ada landasan ke arah sana. Balas dendam Mumun yang menyerang secara psikologis, mendadak jadi main fisik. Bahkan sampai ada adegan Mumun mencekek Jefri segala. Campuran antara komedi dan horornya juga jadi tampak ngasal karena di awal film kuat nanemin komedi tapi di akhir malah jadi ada sadis-sadisnya. Padahal mestinya film bisa mengambil landasan sadis dari adegan mati Mumun yang memang cukup bikin meringis. Tapi adegan tersebut dimunculkan sebagai poin masuk ke babak dua. Jadi ya, tone film kurang tercampur dengan baik.

 




Di situlah aku merasa pembuat film kali ini tidak benar-benar tahu kekuatan yang dimiliki oleh materinya. Like, punya aktor sekaliber Acha memerankan hantu, tapi yang diandelin tetap jumpscare dan efek. Punya materi cerita hantu yang actually berlapis dan gak sekadar hantu-hantuan, dengan suara komedi yang khas, tapi film tidak mengolah ini dengan matang. Selain jadi komedi betawi yang menghibur, film ini tidak mencapai banyak. Melainkan hanya merangkum sinetron. Pilihan yang salah. Adaptasi atau film based on, toh, tidak harus plek ketiplek sama dengan originalnya. Film ini melewatkan kesempatan mengolah cerita yang bagus menjadi horor merakyat, dengan seperti Mimin, mengdevalue dirinya sendiri karena terlalu ngotot mirip dengan ‘kembarannya’
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MUMUN.

 

 




That’s all we have for now.

Semua berawal dari Mimin yang ‘kalah’ selalu dibandingkan dengan Mumun. Apakah permasalahan Mumun dan Mimin ini hanya dijumpai di anak kembar saja? Kenapa orangtua bisa sampai lebih favor ke satu anak dibandingkan anaknya yang lain?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MENCURI RADEN SALEH Review

 

“The wealthy and better-educated are more likely to shoplift. They are more likely to cheat at games of chance. They are often less empathetic.”

 

 

Mencuri sesuatu seharusnya adalah tentang sesuatu itu, bukan tentang mencurinya. Kalimat tersebut diucapkan oleh Rick, dalam episode serial kartun Rick and Morty yang didedikasikan untuk menyentil film-film bergenre heist yang semakin populer, semakin salah kaprah. Lebih mengutamakan aksi dan trik merampoknya ketimbang menggali kenapa protagonisnya harus merampok. You know, persoalan inner journey. Nah genre heist ini masih tergolong baru untuk film Indonesia, makanya aku pergi menonton karya terbaru Angga Dwimas Sasongko ini dengan perasaan was-was. Jangan bilang kalo nanti isinya cuma montase sok-sok asik ngumpulin anggota dan trik-trik merampok ala film heist barat doang. Dan ternyata, film ini tampil lebih baik daripada yang kukhawatirkan. Walau masih bisa dijumpai trope-trope usang genre heist yang disindir oleh Rick and Morty, tapi Mencuri Raden Saleh juga actually punya perhatian soal drama dan perjalanan karakter-karakternya. At least, mereka tidak merampok hanya karena lukisan Raden Saleh bernilai tinggi.

Untuk beresonansi dengan penonton, Mencuri Raden Saleh membahas soal persahabatan, persaudaraan, juga soal hubungan ayah dan putranya. Iqbaal Ramadhan dan Angga Yunanda memainkan duo mahasiswa yang bertindak sebagai semacam pemimpin dari komplotan, semua bermulai dari mereka. Iqbaal jadi Piko yang jago banget malsuin lukisan seniman, sementara Angga jadi si hacker Ucup yang bertugas dapetin job pemalsuan lukisan. Mereka dapat duit lumayan dari kerja rahasia ini. Tapi Piko butuh lebih banyak duit untuk membantu ayahnya yang di penjara. Mereka ngambil proyek berbayaran gede dari seorang mantan presiden (Tyo Pakusadewo). Mereka disuruh memalsukan dan menukar lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh yang terkenal itu. Proyek kali ini bukan saja lebih gede, tapi juga lebih berbahaya. Maka, mereka perlu ngumpulin kru dulu. Ada pacar Piko (Aghniny Haque) yang jago bela diri, dua kakak-beradik (Ari Irham dan Umay Shahab) yang pengen buka bengkel sendiri, serta cewek tajir (Rachel Amanda) yang hobi jadi bandar judi jalanan. Mereka menyusun rencana, play into their respective talents, dan segala macem, only to terjerat dalam sebuah pengkhianatan. Yang membuat mereka kini bukan saja gak jadi dapat duit, tapi malah punya lebih-sedikit dari sebelum mereka memulai heist. Para karakter yang berkomplot untuk mencuri itu memang awalnya bergerak karena uang, tapi karena cerita film ini enggak sekadar soal pencurian, maka masing-masing mereka diberikan layer yang membuat mereka akan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari uang itu sendiri. Bahwa ya, heist itu jadi lebih personal.

Mencuri juga ada filosofinya. Filosofi Piko!

 

Berdurasi dua jam setengah, film ini membagi porsi aksi heist dengan drama. Gaya penceritaan yang biasa dijumpai di genre heist yang karakternya banyak ini juga dilakukan oleh film. Ada kilasan balik saat satu karakter bercerita, memvisualkan informasi tersebut. Ada montase persiapan dan bikin alat-alat. Gaya yang dipakai supaya durasi panjang itu tidak membosankan. Editing film ini mumpuni untuk menyampaikan penceritaan tersebut. In fact, seperti halnya para karakter yang harus bekerja sama, aspek-aspek teknis film ini pun menampilkan kualitas kerja sama yang sama solidnya. Menghasilkan tontonan yang gak susah untuk kita ikuti. Para bintang muda yang main di sini juga tampak sangat fun. Enggak setiap hari mereka dapat kesempatan main film di luar drama remaja, film yang actually ngasih lapangan main yang berbeda. Yang punya tantangan berbeda. Mencuri Raden Saleh memberikan heist rasa Hollywood (film ini bahkan admit mereka pake referensi banyak film luar melalui gagasan karakternya) tapi dengan konflik ataupun drama yang grounded dan lokal punya. Kita bakal bisa merelatekan masalah mereka dengan kita.

Sebagai sutradara, Angga Sasongko menebar banyak komentar kepada negara, mumpung cerita filmnya masih gak jauh dari setting politik dan negara. Beberapa di antaranya membuatku terkikik karena dimainkan ke dalam apa yang mestinya jadi kelemahan cerita. Kayak, pas Ucup dengan gampangnya dapat data-data lukisan Raden Saleh tersebut; Yang sebenarnya bisa kita sebut sebagai sebuah convenience dalam naskah – kalo saja film enggak ‘ngeles’ itu karena database atau arsip digital negara kita bisa dibobol dengan segampang itu. Komentar yang tepat sasaran dan relevan mengingat situasi baru-baru ini. Angga memasukkan hal-hal seperti ini dengan smooth. Bahkan product placement aja bisa disebarnya tanpa terasa sekurang-ajar yang dilakukan oleh film Satria Dewa: Gatotkaca sebelum ini. I honestly lebih suka film ini sebagai drama dan lemparan komentar saja ketimbang sebuah aksi heist. Meski tak dipungkiri juga film berusaha menjadikan trope-trope itu sesuatu, atau mengikatnya dengan gagasan. Aku suka bagaimana lukisan Penangkapan Diponegoro itu dikaitkan dengan journey karakter lewat simbolisme pengkhianatan. Film ini rich ngomongin pengkhianatan tersebut, bukan hanya soal negara tapi juga di level yang lebih relate lagi yaitu antara sahabat, antara orangtua dengan anak, dan bahkan antara si kaya dan si miskin. Pengkhianatan itu sendiri sebenarnya salah satu trope andalan dalam genre heist, as in, selalu ada bagian ketika karakter genre ini disurprise oleh pengungkapan bahwa si anu yang di dalam grupnya ternyata jahat, atau something like that. Selalu ada karakter yang di-doublecross dalam cerita heist. Di film ini juga ada, tapi trope tersebut dimainkan lebih jauh ke dalam konteks cerita.

Satu lagi aspek yang relevan dengan kejadian baru-baru ini pada Mencuri Raden Saleh adalah soal orang kaya bukan lantas berarti gak mencuri. Bahwa mencuri bukan kerjaan orang kecil saja. Di film ini diperlihatkan orang kaya dan berprivilege seperti Fella dan si mantan presiden lebih lihai mencuri/berbuat curang dibandingkan dengan orang miskin tapi berkeahlian seperti Piko ataupun Tuktuk. Karena mencuri ternyata bukan soal gak punya duit. Melainkan soal gak punya empati.

 

Dari segi aksinya, aku cukup suka bagian mereka pertama kali beraksi. Ketika mereka mau menyabotase proses pengantaran lukisan di jalan raya. Yang menarik di situ buatku adalah gimana film tidak serta merta memperlihatkan mereka langsung jago. Terjadi sesuatu di luar perhitungan mereka. Piko dan teman-temannya panik. Ini benar-benar membuktikan kecemasan mereka saat ngambil job ini sedari awal. Bahwa mereka bukan pencuri. Ada dialog dari Piko yang membuatku merasa Angga Sasongko yang juga punya concern serius terhadap pembajakan film, pengen nyeletuk perihal itu juga. Jadi si Piko bilang bahwa dia bukan mencuri, dia forging lukisan hanya untuk nyari penghasilan tambahan. Untukku, itu terdengar seperti alasan yang bakal diucapin juga oleh pembajak film yang secara general bukanlah sindikat mafia, melainkan ya orang-orang seperti Piko. Anak muda yang pengen cari tambahan jajan tanpa menyadari perbuatan mereka termasuk pencurian besar. Sehingga kupikir film bakal lowkey membentuk journey Piko sebagai pembelajaran soal pencurian dan bagaimana sebenarnya bukan uang yang penting. Setelah aksi pertama yang membuat Piko dan kawan-kawan harus regroup, mereka terbentur dan normalnya bakal belajar banyak dari pengalaman ini, film mulai berjalan ke arah yang totally menggali grup pencuri paling lihai dengan sensasional.

“Harusnya ujungnya gak kayak gini!” Setuju, Om!

 

Warning, ini bakalan lumayan spoiler…!

Jadi setelah regroup, Piko dan teman-teman found out bahwa kegagalan mereka memang telah diharapkan dan kini lukisan palsu buatan Piko sedang ada di pameran Negara, sementara yang asli ada di tangan si mantan presiden. Orang itulah antagonisnya. Grup Piko cuma dijadikan bidak. Tidak ada milyar buat mereka. Nah, setelah itulah yang janggal buatku. Film  membuat Piko balik merampok lukisan asli dari si Ex-Presiden yang bikin acara ultah di rumah gedenya.  Jadilah kita dapat action set piece untuk final heist. Tapi yang gak klik bagiku di plot ini adalah, mengapa Piko pengen lukisan asli tersebut. Apa untungnya bagi mereka merampok lukisan itu? Mereka gak bakal dapat duit karena orang si Ex-Presidenlah yang actually ngasih mereka job. Kalo ketahuan, mereka yang udah dilepasin dari tuduhan polisi bakal jadi tersangka beneran, dan bagaimana itu membantu goal Piko sedari awal yakni membebaskan ayahnya yang terpenjara. Aksi terakhir itu udah keluar dari tujuan Piko di awal. Melainkan cuma sebuah aksi balas dendam yang kosong. Film actually berusaha membuat hal make sense dengan subplot ayah Piko ada sangkut pautnya dengan semua, tapi karena Piko sama sekali gak tahu sebelumnya, maka tetap saja pilihan yang ia ambil itu aneh. Piko just do something yang gak ada benefit langsung, yang gak membantu ayahnya, dari sudut pandang dirinya.

Kalo mau logis ya, lebih make sense kalo final heist itu adalah Piko and the genk ngerampok pameran. Mencuri lukisan palsu, dan menuduhkan kesalahan kepada Ex-Presiden yang mereka ketahui punya lukisan asli di rumah. Piko bakal dapat lukisan palsu karya yang memang miliknya (yang masih mungkin mereka jual di lelang nanti untuk bebasin ayah), serta si Ex-Presiden bakal ketangkep polisi – bentuk balas dendam mereka nyata, Either way, yang jelas, film harus ngasih alasan kenapa Piko harus merampok lagi. Sebenarnya, dari yang dilakukan film, bisa make sense asalkan Piko sudah berkomplot dengan penghianat dari dalam geng Ex-Presiden. Jadi Piko sudah dijamin punya cara untuk menguangkan lukisan asli yang ia curi. Tapi film bahkan tidak membuat yang seperti itu. Yang dibuat film sebagai ending adalah, tau-tau ada orang dalam si musuh yang menghubungi dan menawarkan duit lukisan kepada mereka. Ini seperti Piko mendapat solusi win yang ajaib dengan begitu saja di akhir cerita.

Jadi yah, plotwise, film ini menurutku harusnya bisa lebih baik lagi. Terutama di paruh akhir itu terlihat seperti ada pengembangan yang banting stir dari pembangunan di paruh awal. Sesuatu yang seperti baka berkembang menjadi A, tau-tau jadi B, atau malah dilupakan dan jadi sesuatu yang completely different. Misalnya kayak permasalahan Piko dengan pacarnya merasa di-left out. Pacar kayak cemburu ama bromance Piko dan Ucup. Piko pun tampak kurang gimana gitu ke si cewek. Dia malah kabur ninggalin si cewek pas diserbu polisi, mereka memang confront soal ini tapi belum memuaskan. Malah di pesta, si Sarah pacar Piko ini dikasih momen berantem bareng cowok asing, mereka kayak jadi ada koneksi. Tapi lantas persoalan itu gak pernah dibahas lagi. Lalu juga soal Ucup yang jati dirinya sudah diketahui polisi. Kupikir hal ini bakal jadi obstacle tambahan, tapi ternyata gak pernah jadi hambatan. Ucup masih bisa ikut rencana di pesta ultah. Hal-hal seperti itu mestinya bisa ditangani dengan lebih cakap lagi oleh naskah.

 




Ikut bergembira dan apresiasi buat eksistensi film ini. Memberi warna baru di perfilman kita dengan genre heist, Dari garapan genrenya sendiri masih Hollywood-sentris, yang di Hollywood itu sendiri genre ini sudah mulai jenuh karena banyak trope yang dianggap usang dan melenceng dari kekuatan genrenya yang sebenarnya. Akan tetapi, film ini juga berusaha memberikan value yang lebih. Dari sisi cerita, gagasan, dan karakter. Dan memang di sinilah kekuatan film ini. Permasalahan karakternya bisa kita dukung karena dekat alias grounded, karakternya pada loveable, dan komentar atau statement di balik journey mereka relevan. Akhir film ini sepertinya open untuk sekuel atau mungkin series, yang nyeritain petualangan Piko dan kawan-kawan lebih lanjut, dan ya karena film ini punya struktur yang menutup, aku jadi genuine tertarik kalo ada lanjutannya. Harapanku semoga next time penulisannya bisa lebih baik lagi supaya bisa benar-benar jadi national treasure di perfilman tanah air.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MENCURI RADEN SALEH.




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang orang kaya yang mengutil? Kenapa orang yang kaya masih mengutil, korupsi, nimbun barang, monopoli, dan sebagainya?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ORPHAN: FIRST KILL Review

 

“A person’s greatest emotional need is to feel appreciated”

 

 

Waktu tidak bisa lebih tepat lagi daripada sekarang, buat yang mau luncurin prekuel dari Orphan; psikologikal horor 2009 yang populer karena udah ngemindblown penonton lewat revealing identitas karakternya yang ikonik. Bahwa Esther si anak yatimpiatu itu sebenarnya bukanlah seorang ‘anak kecil’ melainkan psikopat dewasa yang punya kelainan hormon sehingga tubuhnya tetap seperti anak kecil. Kenapa kubilang sekarang adalah waktu yang tepat untuk bikin prekuelnya? Karena pemeran Esther alias Leena, yaitu si Isabelle Fuhrman, kini sudah mendekati usia karakter yang ia perankan tersebut. Let’s think about that for a moment. Di film original, Isabelle berusia sebelas tahun, dia yang masih kecil berakting jadi wanita dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil, dan saat menit-menit akhir revealing karakter, dia memakai make up supaya tampak dewasa. Nah kini, Isabelle yang sudah dewasa tentunya bisa dengan lebih natural memainkan si Leena – cerita bisa dengan bebas mengeksplorasi origin kenapa Leena bisa jadi psikopat dengan modus operandi nyamar jadi anak-anak. Tanpa harus pake efek riasan (kecuali mungkin efek tinggi badan). Tapi tentu saja origin dengan sesuatu yang completely new seperti itu pertaruhannya tinggi. Sebab yang bikin Orphan ikonik justru gimmick nyamar-jadi-anak-kecil. Produser pasti keberatan kalo gimmick itu dihilangkan. Sehingga jadilah Orphan: First Kill garapan William Brent Bell hadir sebagai prekuel yang mengulang pengalaman yang sudah kita dapatkan pada film originalnya. Tawaran barunya cuma twist bahwa ada yang lebih jahat daripada Leena. Dan dengan menjadi seperti demikian, film ini mengkhianati judulnya sendiri.

Orphan: First Kill actually bukan tentang pembunuhan pertama yang dilakukan Leena. Di cerita kali ini, Leena sudah terestablish sebagai pasien paling berbahaya di mental asylum di Estonia. Di tempat itu, Leena sudah dikenal sebagai pembunuh dengan taktik menyamar atau bersikap sebagai anak-anak. Keahlian taktiknya itu langsung dibuktikan Leena saat suatu malam dia kabur dari asylum. Rencana kabur selanjutnya dari Leena adalah mengubah penampilannya menjadi mirip seperti Esther, anak Amerika yang diberitakan hilang, yang ia lihat di internet. Leena kini sebagai Esther, found her way ke rumah keluarga asli si anak malang. Keluarga yang ternyata punya rahasia kelam tersendiri, sebagai ‘musuh’ yang harus dihadapi oleh Leena.

Bahkan pembunuh psikopat pun tidak bisa memilih keluarga idealnya sendiri

 

While it’s true yang paling diingat orang dari Orphan original adalah soal si Esther yang ternyata adalah orang dewasa bernama Leena,  film tersebut juga didukung oleh naskah yang kuat memuat bahasan ketakutan psikologis seorang ibu akan kehilangan anak, suami – keluarganya. Esther alias Leena di situ ada sebagai antagonis, perwujudan dari momok yang bakal merebut keluarga dari sang ibu. It was a dark, juga terasa personal dan grounded sebagai sebuah cerita. Film keduanya ini, dengan timeline sebelum kejadian pertama, menempatkan kita di perspektif Leena. Yang tentu saja punya potensi tak kalah menarik jika juga dikembangkan sebagai horor psikologis. Karena siapa sih yang gak tertarik menyelami kepala ‘orang gila’, Tapi William ternyata memilih filmnya ini untuk tampil lebih simpel. Dan dia seperti benar-benar menyajikan kembali rangkuman film pertama jadi film yang sekarang. Leena jadi Esther, masuk ke keluarga dengan saudara laki-laki yang gak suka padanya, dan ayah yang menyayanginya (Leena selalu jatuh cinta pada ‘ayah angkatnya’) ‘Lawan’ Leena tetap adalah ibu dari keluarga yang ia masuki. Hanya saja, karena ingin simpel, film tidak memberikan bahasan mendalam dari dua perempuan ini. Maka supaya gak sama-sama banget, film ngasih sesuatu yang cukup mengejutkan. Bikin si ibu ternyata lebih ‘parah’ dibandingkan Leena. Dinamikanya berubah menjadi keduanya adalah orang jahat yang terpaksa harus tampak akur, tapi diam-diam mencoba saling bunuh. Again, dinamika seperti ini bisa jadi menarik, jika memang ada sesuatu gagasan atau bahasan di baliknya. Namun ya itu, film hanya menempatkan sebagai kejutan, yang membedakan film ini dengan originalnya.

Beban menulis karakter jahat sebagai protagonis dalam ceritanya sendiri adalah bagaimana untuk tidak membuat dia malah tampak seperti karakter yang memohon simpati. Status dia sebagai villain harus tetap melekat, jangan sampai dia malah jadi hero dan menganulir semua kesalahannya. Kita cukup dibuat mengerti kenapa dia melakukannya, apa yang mendorong dia memilih untuk jadi jahat, untuk bisa melihat dia sebagai manusia bercela yang memilih ‘dark side’. Dia perlu diperlihatkan sebagai human, tapi jangan sampai membuat dia jadi panutan atau sesuatu yang dielukan. Banyak prekuel origin penjahat yang gagal karena membuat si karakter jadi ‘baik’ gitu aja. Contohnya Don’t Breathe 2 (2021). Yang mengubah si kakek buta pembunuh dan pemerkosa jadi pahlawan. Leena dalam Orphan: First Kill sayangnya jatuh di kesalahan yang nyaris sama.

Dengan menjadikan cerita lebih simpel, gak ada bahasan psikologis ataupun pendalaman perspektif, Leena jadi tampak dipaksa untuk terlihat simpatik. Sisi humanis yang bisa digali dari Leena sebenarnya ada, seperti soal dia pengen merasakan cinta. Tampak dari adegan Leena yang memilih untuk balik dan tetap tinggal di keluarga tersebut, walaupun dia bisa menyelinap keluar dan kabur dengan mudah. Momen-momen manusiawi Leena seharusnya bisa digali dari dia yang merasa disupport oleh ayah angkat, yang sama-sama suka melukis. Karena itu jugalah yang gak ada dibahas di film original yang bukan dari perspektif utama Leena. Persoalan Leena yang jatuh cinta sama suami di keluarga yang ia masuki. Film prekuel ini gagal melihat kebutuhan itu. Film ini masih memainkan itu sebagai rencana jahat Leena, sebagai intrik. Alih-alih genuine membuat kita merasakan sisi manusia dan vulnerable dari Leena (secukupnya untuk membuat dia cocok disebut protagonis dalam ceritanya sendiri), film malah mengoverpush simpati itu kepada karakternya.  Untuk membuat Leena ‘baik’, makanya film membuat kejutan si ibu adalah orang jahat. Membuat keluarga itu punya rahasia yang bisa dibilang sadis dan kelam. Keluarga yang manipulatif. Bahkan Leena di sini diberi teman berupa seekor tikus yang hidup di ventilasi udara di kamarnya.

Emangnya si Leena itu Cinderella yang dijahatin ibu tiri?

 

Jadi ya, buatku film ini terasa konyol. Statusnya sebagai prekuel hanya menjawab bagaimana Leena bisa sampai di Amerika dan  darimana Leena mendapat nama Esther, juga kenapa dia memakai nama itu seterusnya. Tidak benar-benar bicara tentang Leena itu sendiri. Kejadian yang kita simak pun kebanyakan masih pengulangan hal-hal yang sudah kita lihat di film original. To be honest, buatku, persoalan Esther ternyata orang dewasa itu ya sudah beres begitu rahasianya diungkap di babak ketiga film original. Apa lagi yang mau diperlihatkan dari menyamar sebagai anak kecil itu. Film ini hanya menempuh tantangan yang tidak perlu ketika membuat Isabelle Fuhrman harus kembali jadi orang dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil. Film ini beruntung,  secara akting, Isabelle masih konsisten. Dia memang sudah paham kegilaan sebagai Leena dan tantangan dan tipuan sebagai Esther. Tantangan itu datang dari fisik. Okelah, soal tinggi badan, bisa diakali dengan stunt double ataupun dengan trik kamera. Di shot dari belakang, sosok Leena/Esther tampak beneran kayak anak kecil. Namun begitu dari depan, man, perawakan dan raut Isabelle sudah susah untuk masuk ke ilusi ini adalah karakternya beberapa tahun sebelum film original. Mau pake make-up ataupun efek de-aging segimana pun, tetap visibly terlihat lebih gede. Lebih tua.

Sedari awal, karakter Leena atau Esther memang dibentuk sebagai seorang yang ingin dapat keluarga yang menerima dirinya. Bahkan Isabelle Fuhrman sempat menyebut dalam sebuah interview, bahwa Esther tidak membuat dirinya takut karena karakter itu punya keinginan yang sama dengan setiap manusia. Ingin dicintai. Ingin diapresiasi. Ingin menemukan keluarga yang bisa menerima dirinya. Ini jugalah alasan kenapa Esther di film kali ini memilih untuk balik lagi dan tetap tinggal di sana. Di balik cinta psikopatnya, dia merasakan penerimaan itu dari ayah yang genuinely merasa dia beneran anaknya yang bisa melukis, dan juga dari ibu walaupun cintanya palsu.

 

Kupikir itu juga sebabnya kenapa film ini membuat cerita yang tidak mengharuskan Leena banyak menyamar sebagai anak kecil. Membuat cerita yang karakter lain tahu si Leena bukan anak kecil beneran. Supaya tuanya yang tampak jelas itu enggak benar-benar mengganggu. Tapi kan ya, berarti gak benar-benar perlu dibuat seperti itu. Gak benar-benar perlu cerita dibuat masih seputar Leena menyamar jadi anak kecil. Dengan itu, maka buatku film ini memang tidak benar-benar punya sesuatu untuk diceritakan. Melainkan cuma mau milking the gimmick. Bukan untuk mengexpand semesta dan karakter dari film Orphan.

 




Menilai film sebagai objek for what it is, not for what it should be, film ini bagiku terasa sebagai pengulangan yang dangkal, hampir seperti rangkuman dari film originalnya. Secara tontonan horor, memang ini bisa berarti hiburan yang lebih seru, karena ringkas – penonton bakal lebih cepat mendapat adegan-adegan berdarah. Gimmick ikoniknya juga masih dipertahankan. Mati-matian, kalo boleh kubilang. Karena secara fisik, sudah semakin susah bagi ilusi tersebut untuk dipertahankan. Dan juga memang tidak perlu dipertahankan, kecuali dari sudut pandang untuk penjualan. Sebagai prekuel, film ini justru tidak terasa benar-benar ngasih banyak soal seperti apa sebelum kejadian originalnya.  Karena pengulangan itu tadi, simpelnya, film ini bahkan tidak tampil sesuai dengan judulnya. Tawaran barunya cuma situasi keluarga, itupun tidak dimainkan sebagai pembahasan yang actually say something, melainkan hanya kejutan belaka. Cerita dengan perspektif utama dari karakter jahat seharusnya  bisa jadi bahan galian yang menarik, tapi film hanya memasang si karakter jadi pengemis simpati.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ORPHAN: FIRST KILL

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian setiap karakter evil perlu untuk dibuatkan cerita prekuel atau originnya? Apa yang kalian harapkan ada dalam cerita-cerita dari sudut pandang karakter jahat seperti ini?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



NOPE Review

 

“You have been obsessed with entertainment for so long, that you have almost gone blind to the obvious signs of distress”

 

 

Kiprah Jordan Peele sebagai sutradara film ngasih kita fakta bahwa komedian ternyata bisa jadi basic yang kuat untuk menjadi pembuat film horor yang hebat. Mungkin karena komedi dan horor sama-sama bermain di analogi atau perumpamaan. Komedian terbiasa menulis materi candaan yang sebenarnya mengandung pesan entah itu personal ataupun sindiran. Mirip dengan cerita horor yang menjadikan monster sebagai perwujudan dari sesuatu. Baik komedi, maupun horor, adalah respon manusia terhadap tragedi. Dalam dua karya pertamanya, Peele udah ngasih kita lihat ketajaman yang ia miliki dalam mengolah horor berisi, tapi sekaligus menghibur. Dalam Get Out (2017) dia membahas soal rasisme. Dalam Us (2019) Peele menyentil perpecahan manusia, lagi-lagi karena ras. Peele jelas punya concern dan statement soal ini, yang kembali dia hadirkan dalam horor ketiganya. It also helps that Peele juga seorang penggemar film, mulai dari Spielberg hingga anime. Sehingga Nope, film ketiganya ini, bisa terbentuk lebih jauh sebagai sebuah spectacle – sebuah hiburan – dengan berbagai referensi untuk dinikmati, dengan makhluk alien sebagai pusat misteri dan keseruan, dengan statement di baliknya sehingga kita benar-benar punya sesuatu yang bergizi untuk dicerna saat menebak apa yang sedang terjadi.

Kecintaan Peele pada sinema, serta concern-nya terhadap bangsa, langsung kelihatan dari protagonis sentral cerita. Dua kakak beradik yang berusaha meneruskan bisnis keluarga mereka. Sebagai pelatih kuda-kuda untuk syuting film. OJ dan Emerald sebenarnya adalah yang disebut sebagai Hollywood Royalty, mereka adalah keturunan langsung dari orang dalam motion picture pertama di dunia. Ya, pemuda kulit hitam yang menunggang kuda dalam video pendek hitam-putih itu adalah buyut mereka. Tapi sekarang bahkan bisnis kuda-untuk-film mereka pun sedang struggle. Kuda mereka pernah dicancel, diganti jadi unta, Film sekarang merasa lebih praktis pakai CGI dan sebagainya. OJ sendiri sebenarnya not impressed dengan orang-orang film itu sedari awal. Karakter yang diperankan dengan lebih banyak diam oleh Daniel Kaluuya  itu gak nyaman dengan bagaimana kuda-kudanya diperlakukan di set. Beda dengan adiknya, Emerald (Keke Palmer jadi karakter yang jauh lebih ceria) yang all-in ke bisnis hiburan. Makanya OJ-lah yang pertama sadar kuda-kuda di ranch mereka malam itu bertingkah aneh. Seperti kabur dari sesuatu di atas sana. OJ jugalah yang pertama kali nyadar bahwa beneran ada sesuatu di atas sana. Di antara awan-awan itu. Sesuatu yang bukan dari planet ini. Sesuatu yang bertanggung jawab atas hujan koin dan benda-benda metal lain, yang actually menewaskan ayah mereka.

E.T. fist bumps!!

 

Secara eksistensi, film ini mirip sama Pengabdi Setan 2: Communion (2022). Horor yang sama-sama dibuat sebagai spectacle. Yang satu wahana rumah hantu, yang satu wahana alien/creature feature. Sama-sama banyak referensi. Sama-sama memancing penonton untuk berteori menebak yang terjadi. Sama-sama dibuat dengan memanfaatkan teknologi IMAX. Tapi apakah secara kualitas keduanya juga sama? NOPE. Nope punya sesuatu yang film Joko Anwar itu gak punya. Substansi. Actual things yang hendak dikatakan.

Like, sure, Nope ngasih pengalaman mendebarkan melihat UFO yang terasa real. Film ini juga memanfaatkan kegelapan dan sesuatu yang tidak-kita-ketahui sebagai sajian horor utama. Langit luas di atas peternakan kuda milik keluarga OJ itu dijadikan seolah lautan dalam film Jaws oleh Peele. Hanya saja bukan hiu, melainkan piring terbang misterius, yang mengintai karakter manusia dari balik awan-awan. Sensasi ada sesuatu yang besar di atas sana, mengawasi kita, tanpa kita mengetahui apa tujuan mereka di atas sana. Tanpa tahu kapan mereka bergerak selain tanda-tanda alam seperti listrik yang tiba-tiba stop , lampu yang tiba-tiba mati. Film berhasil menguarkan semua itu. Aku suka gimana film ini memberikan tanda-tanda itu, terutama lewat boneka-bonekaan (aku gak tau namanya, cuma karena nonton WWE, maka aku akan menyebutnya sebagai boneka Bayley) yang dijadikan alat menarik untuk petunjuk keberadaan si alien. Boneka-boneka Bayley itu menjadikan visual film ini tambah unik. Musik dan suara juga tak kalah mendukung didesain oleh film demi pengalaman kita dengan makhluk terbang tak dikenal tersebut. Antisipasi dan build up akan makhluk ini terbendung, kecemasan dan penasaran kita tercermin dari reaksi karakternya. OJ, Emerald, dan nanti ada beberapa karakter pendukung seperti Angel si nerd penggemar alien, Jupe si pengelola tempat hiburan semacam sirkus, dan seorang sinematografer handal yang disewa OJ untuk merekam penampakan alien. Dan ketika makhluk itu datang, karakter-karakter ini – beserta kita – akan mendapat berbagai kejutan horor seperti dikejar-kejar hingga dihujani darah.

Film memang tidak melupakan karakter manusianya. Film tidak meletakkan mereka untuk mode survival saja, tidak untuk jadi korban teriak-teriak saja. Motivasi mereka tetap jadi fondasi cerita. Kehidupan mereka tetap yang utama untuk kita simak. Banyak orang yang mengeluhkan betapa film ini lambat masuk ke bagian seru, tapi untukku, itu ‘hanyalah’ sebuah build up manis yang dilakukan film untuk membuat kita peduli dengan nasib karakter saat nanti mereka beneran diburu. Untuk membuat kita merasa pengen mereka berhasil selamat. Motivasi dan kehidupan mereka toh menarik. Nope bukan tentang orang-orang yang berusaha survive dan membunuh makhluk alien, seperti pada creature feature yang biasa. Motivasi mereka lebih manusiawi, karena flawed. Bercela. OJ yang tadinya cuek sama soal video dan spektakel, akhirnya memilih untuk memanfaatkan si makhluk untuk nyari duit. Mereka ingin merekam alien itu, dan menjual videonya, supaya peternakan kuda bisa diselamatkan. Kenapa motivasi ini bercela? Karena berkaitan langsung dengan gagasan yang coba diangkat film sebagai bahan diskusi. Yakni soal manusia sudah terlalu obses dengan yang namanya entertainment. Alias hiburan.

Hiburan memang adalah kebutuhan manusia yang mendasar.  Dan sudah sejak lama, hiburan manusia kadang aneh-aneh. Orang dulu suka melihat gladiator lawan binatang. Kita punya tinju sebagai olahraga, ada wrestling sebagai tontonan. Acara gosip, acara kriminal, bahkan kisah-kisah sedih pun kita santap sebagai menu hiburan favorit. Poinnya manusia suka menjadikan orang lain, makhluk lain, sebagai tontonan. Dan rela menempuh apapun untuk menangkap sesuatu untuk dijadikan tontonan. Film Nope ini melempar balik pertanyaan kepada kita sebagai manusia, apakah kita pernah berpikir lebih jauh soal ‘harga’ yang dibayar saat menjadikan sesuatu sebagai hiburan?

 

Kalo dibandingkan dengan dua film Peele sebelumnya, Nope terasa lebih straightforward. Penonton bisa hanya menikmatinya sebagai cerita makhluk alien yang menelan manusia. Tapi tetep, Peele memasukkan banyak ‘misteri’ untuk dibahas penonton dengan kepala masing-masing sepanjang durasi. Hal-hal kecil yang ternyata ada akibat dan penyebabnya belakangan di cerita nanti. Hal-hal yang bakal menambah rewatch value film ini. Nah, membahas dan memberi perhatian ke petunjuk-petunjuk itu actually jadi rewarding saat nonton film ini karena memang hal-hal tersebut menutup kepada sesuatu. Membentuk kepada kesimpulan karakter dan kejadian yang tuntas. Menambah kedalaman ke dalam cerita dan karakter film ini. Seperti soal flashback cerita simpanse yang jadi bintang tv lalu mengamuk, misalnya. Bagian ini memang sekilas tampak tidak nyambung, tapi berkaitan erat dengan gagasan film soal mempertontonkan makhluk lain sesungguhnya tidak etis dan malah berbahaya. Jordan Peele suka memasukkan binatang ke dalam cerita horornya, karena menurutnya hewan adalah simbol dari both keinnosenan serta sesuatu yang inhuman. Di film Nope ada simpanse, kuda, dan si alien itu sendiri. Ketiganya at some point, dijadikan tontonan. Karakter Jupe yang selamat dari insiden simpanse ngamuk di masa kecil, merasa dirinya bisa menjinakkan apapun, dan setelah dewasa bikin taman hiburan dan menjadikan kuda, dan bahkan alien sebagai tontonan turis. Akhirnya tontonan itu berdampak tragedi karena manusia kelewat batas dan tidak mempertimbangkan dengan baik hal lain di luar pemenuhan keinginan mereka saja. Karakter lain seperti reporter dan si sinematografer, menemui ajal karena ngotot ingin mendapat rekaman bagus. Bagaimana dengan OJ dan adiknya?

Don’t look up!

 

Perihal dua protagonisnya ini, film memberikan mereka journey yang menarik. Di akhir film memang tidak diberikan jawaban eksak, mereka ‘ada’ tapi sepenuhnya nasib mereka diserahkan kepada interpretasi penonton masing-masing. Buatku, well, tadinya aku merasa janggal karena tiba-tiba film seperti pindah dari OJ sebagai hero ke Emerald. Like, di akhir tiba-tiba Emerald yang jadi jagoan dan menyelesaikan semua. Sehingga untuk make sense buatku, maka aku harus menganggap OJ sebenarnya tewas dimakan si alien, dan dengan menganggap seperti itu semuanya jadi gak janggal lagi. Journey mereka jadi komplit. OJ akhirnya belajar untuk mengerti bahwa terkadang situasi memang membutuhkan dirinya untuk put on the show, dan itu oke selama dia tahu apa yang harus dibayar. Sementara Emerald, jadi mengerti concern abangnya selama ini. Film berakhir dengan membuat Emerald mendapatkan apa yang mereka mau, menyelesaikan goal mereka, tapi dia tidak sesenang yang ia sangka.

Mengaitkan kembali dengan Jordan Peele yang sudah punya ciri khas dengan statementnya, aku merasa ada satu ‘makhluk’ lagi yang ia posisikan sebagai korban eksploitasi ranah bisnis hiburan. Orang kulit hitam. Film ini bicara tentang manusia begitu rakus menelan apa saja sebagai hiburan, tanpa mau mempertimbangkan lebih lanjut apakah mereka benar-benar paham ataupun apakah harus banget menjadikan itu sebagai tontonan. Mungkin lewat film ini Peele ingin menyentil film atau tayangan hiburan yang sok-sok mengangkat permasalahan ras atau semacamnya tanpa benar-benar mendalami permasalahan tersebut. Yang hanya memanfaatkan isunya sebagai tragedi yang gampang untuk dijual sebab penonton haus akan kisah-kisah sedih dan kontroversi dan semacamnya sebagai hiburan. Lebih tegasnya lagi, Peele tampaknya pengen menghimbau agar kita semua jadi pencerita, tukang konten, ataupun konsumen yang bertanggungjawab.

 




Prestasi banget bisa nelurin tiga karya yang berturut-turut konsisten. Film Jordan Peele kali ini didesain lebih sebagai hiburan bertema sci-fi alien, tapi tetap punya gagasan dan statement di baliknya. Beberapa penonton bakal menganggap film ini lambat, tapi itu hanya karena film ini peduli sama set up karakter. Peduli sama kehidupan mereka, karena dari situlah bahasan film ini diangkat. Horornya sendiri begitu ciamik dengan visual dan build up makhluk yang gak terburu-buru dan murahan. Bagi yang suka menebak-nebak, dan ngaitin adegan-adegan sepanjang cerita, film ini ngasih puzzle seru untuk diungkap. Dan benar-benar rewarding karena ‘puzzle’ tersebut actually ngaruh dan memang jadi fondasi cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOPE

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian sinema memang mulai eksploitatif terhadap tragedi atau trauma masyarakat minor?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



[Reader’s Neatpick] – THE MAN FROM EARTH (2007) Review

 

“Ternyata segala sesuatu punya lebih dari satu sudut pandang.” – Fajarudin Ilmi, yang bisa disapa di akun sosmed @fajar_vin

 

 

Sutradara: Richard Schenkman
Penulis Naskah: Jerome Bixby
Durasi: 1jam 27menit

 

 

Teman-teman sesama dosen dan profesor di universitas pada heran. Kenapa Profesor John Oldman, yang brilian, baik hati, dan terutama masih muda itu mendadak mengajukan pensiun dan mau segera pindah dari kota. Maka di hari kepindahannya, mereka beramai-ramai ke rumah John. Membantu pindahan, ngucapin selamat tinggal, dan tentu saja menanyai langsung alasan semuanya. John sendiri memang tampak enggan menjawab, membuat kesan misterius semakin membesar. Para teman-teman terus mendesak. Dan John akhirnya memberikan jawaban, tapi bukan dalam bentuk pernyataan yang bisa dengan mudah diterima. Tidak ada satupun orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi di rumah yang kini nyaris kosong oleh perabot itu siap, ataupun ikhlas, mendengar cerita dari John yang melatarbelakangi kenapa dia harus pindah dari sana. Cerita yang menjungkirbalikkan berbagai keilmuan, mulai dari catatan sejarah bahkan hingga agama. Karena apparently, nama belakang John jadi literal karena pria ini mengaku sebagai manusia yang benar-benar sudah tua; dia sudah hidup selama 14 ribu tahun!! 

 

“Aku suka film ini karena unik. Memberikan pengalaman dan perspektif baru dalam berbagai hal khususnya sejarah dan agama.  “

“Unik banget, bener deh. Tadinya, ngeliat dari posternya, kupikir ini cerita sci-fi dengan alien-alien gitu. Ternyata satu-satunya yang ‘alien’ di film ini adalah bahwa dia begitu berbeda dari fantasi ilmiah lainnya. Filmnya minimalis banget. Gak ada aksi, nyaris ada plot. Vibe-nya pun gak mewah – gak ada polesan. Ini produksi 2007 tapi rasanya kayak show yang bahkan lebih jadul jadi. Gak ada nama-nama besar, yang kukenali paling cuma si Candyman, yang jadi salah satu profesor sahabat John. Adegan-adegan film ini hanya bersetting di satu ruangan kecil, hanya sekelompok orang yang berbincang-bincang. “

“Film ini bisa jadi motivasi atau acuan bagi yang mau berkarya dengan anggaran minimalis. Untuk bisa bikin film bagus nggak harus dengan budget fantastis! Nggak jarang aku ketemu film indie yang terasa orisinil atau feel-nya ngena dan berpikir “Kalo film ini digarap studio besar yang seringnya disusupi kepentingan-kepentingan tertentu khususnya selera pasar, apa mungkin filmnya masih sama?”

“Saat nonton, aku langsung teringat sama film 12 Angry Men, klasik dari tahun 1957, yang isinya juga cuma orang ngobrol dan berdebat. Tapi ngikutinnya terasa nikmat. Kalo ibarat menyantap makanan, nonton film-film kayak begini tuh rasanya bener-bener kenyang. Also, jadi bukti bahwa suatu film itu yang penting memang bahasannya. Like, film boleh punya fantasi setinggi langit, world-building keren, atau aksi-aksi laga ataupun horor yang dahsyat, but in the end yang bakal nyantol ke penonton adalah apa yang dipermasalahkan. Apa yang diperbincangkan. Film kayak The Man from Earth ini membawa kita langsung ke percakapan. Walaupun dengan konteks sains yang kuat, tapi karena dibentuknya sebagai percakapan antarteman, jadinya mengundang banget.” 

“Biar penonton nggak bosen nontonin orang ‘ngobrol doang’ menurutku tensi harus dijaga dan topiknya jangan sampai dibiarkan bercabang terlalu jauh dari bahasan awal. Juga harus ada karakter yang mewakili orang awam yang nggak terlalu paham sama topik atau istilah-istilah yang digunakan. Film ini, nggak sedetik pun aku sempet bosen. Biarpun kubilang karakter-karakternya dua-dimensi, tapi pertanyaan atau pernyataan yang mereka sampaikan hampir semuanya tepat. Seolah aku bisa ngomong ke mereka, “Eh, abis ini tanyain ini, dong.” dan benar aja mereka ngomonginnya itu. Misalnya pas obrolan sudah masuk ranah agama.

“Pengen rasanya ikut ngobrol bareng mereka ya hahaha.”

“Pastilah pengen. Yang paling mencengangkan ya sudah pasti tentang alkitab. Scene paling memorable adalah saat John mengklaim dirinya adalah Yesus (mungkin baiknya ‘Yesus’-nya disensor biar nggak spoiler :D) sampai-sampai Edith menangis. Alasan kenapa memorable; scene itu yang paling emosional. Seluruh emosi dibendung sepanjang durasi dan ditumpahkan di sana, diwakili oleh Edith.”

“Gak perlulah kayaknya disensor, itungannya udah klasik nih film, udah di luar aturan spoiler-spoileran. Lagipula, seperti yang kita bahas, yang paling mengundang di sini itu bukan apa yang mereka bahas. Tapi pembahasannya itu sendiri. Percakapan yang muncul benar-benar menggugah pikiran. Karakter teman-teman John kan sebenarnya dibentuk film cuma sebagai sanggahan-sanggahan ilmiah. Sebenarnya, secara karakter, mereka ini kurang ‘hidup’lah istilahnya, Mereka cuma perspektif lain dari keilmuan yang menambah serunya percakapan”

“Sayangnya, di sinilah kelemahan terbesar film ini. Karakter-karakternya terasa template. Sebagian besar ucapan dan tindakan mereka hanya untuk mewakili penonton. Tapi kalo harus milih, aku pilih Dan. Karena kalo aku di sana mungkin reaksiku bakalan mirip dia. Kok malah kontradiktif, ya? :D”

“Mungkin lebih tepatnya bukan template, tapi perspektif keilmuan yang kita tahu memang benar demikian adanya. Jadi percakapan mereka sebenarnya satu cerita tapi dibantah sama ilmu biologi, sejarah, psikologi, agama. Mereka bukan Dan, Edith, dan lain-lain. Tapi keilmuan. Bukan exactly karakter. Kekurangan film memang di sini, tapi pinter sih membuat situasinya seperti itu. Karena bahasan yang menyangkal sejarah dan agama seperti yang disebut John, kalo gak ditanggapi dengan kepala yang settingnya keilmuan juga, pasti bakal jadi menyinggung, kan. Coba bayangkan kalo John cerita tentang asal usul hidupnya, cerita tentang ‘belakang layar’ agama, kepada orang-orang di pasar. Udah babak belur dipukuli massa pasti dia.”

“Orang berpendidikan (bukan tingkat pendidikan tapi intelektualitas) akan mendahulukan logika daripada emosi. Karena banyak yang mereka pertaruhkan; nama baik, gelar, jabatan, persahabatan, dsb, bila mereka salah menanggapi suatu masalah berdasarkan emosi. Menurutku, secara film, pembahasannya juga nggak menyinggung, setidaknya masih dalam batas wajar. Apalagi ini konteksnya fiksi. Mungkin akan beda cerita kalo formatnya dokumenter. “

“Tapi kalo dibikin dengan format dokumenter mungkin juga filmnya gak bakal nyampe status cult kayak gini. Sebagai dokumenter, mungkin dia bukan hanya menyinggung tapi malah bisa-bisa jadi benar-benar boring. Ini terutama karena – sejalan juga dengan salah satu tema yang dibawa film – orang-orang cenderung untuk tidak langsung welcome sama ide yang berbeda dari yang telah dipercaya. Dalam hal ini adalah kebenaran. Film ini memberikan pandangan yang thoughtful dengan mengguncang reality kita. Kalo formatnya dokumenter, aku yakin orang akan menyangka ini beneran (saking powerfulnya) dan bakal dapat hate luar biasa. Tapi mungkin itu karena aku berpikir sebagai orang di jaman sekarang, jaman yang lebih baperan. Menurutku, film ini dibuat pada waktu yang tepat. Aku yakin di zaman sekarang, film ini akan susah untuk diloloskan untuk produksi. Pertama karena gak ada yang terkenal. Kedua karena bahasannya jadi terlalu sensitif di iklim sosial sekarang. Nah, bahkan dibuat di waktu yang kayaknya gak sesensitif sekarang, film ini tetap didesign dengan benar-benar memainkan emosi. Segala percakapan menarik, dengan reaksi yang mewakili walaupun karakternya ‘gak hidup’ itu sesungguhnya juga terbantu dari bagaimana film ini membungkusnya dengan konsep obrolan saat pindahan tersebut. Like, daya tarik yang bikin aku betah ngikutin film ini adalah dari cara film mengarahkan supaya penonton enggak langsung percaya atau enggak langsung gakpercaya sama omongan John. Ada build up, yang berbuah bukan saja perbincangan semakin dalam, tapi juga reaksi-reaksi terguncang para pendengar di ruangan itu yang terasa real dan mewakili”

“Film menurutku berusaha netral. Dengan enggak memaksa John memperlihatkan foto dirinya di Papua dan John nggak mau masuk laboratorium, film berusaha bilang “jangan langsung percaya aja sama John.” Tapi juga dengan membuat karakter John begitu simpatik, kita dibuat mikir juga “apa iya orang sebaik ini tukang bohong?”
Tapi aku pribadi sih percaya sama John. Aku ingin spesifik pada scene saat John bilang semua yang dia bilang itu bohong. Mereka marah karena sudah percaya sama John dan merasa dikhianati baik secara emosional maupun intelektual. Mereka menghargai dan mempercayai John yang merupakan teman baik mereka, sekalipun yang John katakan bertolak belakang dengan yang selama ini mereka pelajari dan ajarkan. Jadi, ibaratnya mereka sudah mengkhianati teman mereka (pengetahuan dan keyakinan) demi John, tau-taunya John mengkhianati mereka (dengan bilang itu semua cuma iseng).
Awalnya aku pengen bilang Edith yang paling terguncang. Tapi setelah dipikir lagi, pas John bilang itu semua cuma pura-pura, Edith malah sebenarnya lega. Menurutku Dan lah yang paling terguncang karena dia yang sedari awal paling berkepala dingin, menganggap serius dan mempercayai John.”

“Bener, itu juga menunjukkan dari perbincangan yang bersifat stoic, pada akhirnya film berhasil menyusupkan elemen personal. Karakter-karakter lain, seperti yang sudah disebut, akhirnya bisa juga kita merasa relate. Sisi personal ini terutama disematkan film kepada John dan salah satu karakter yang nanti berkaitan secara pribadi dengan dirinya. Ini jadi heart – jadi nyawa yang merayap di balik bahasan. Yang actually juga jadi pay off yang cukup menyentuh di akhir. Lebih gampang sebetulnya membuat film ini berakhir open ended, dengan misteri John tak terungkap, tapi film berani memilih dan dia membuat karakterisasi John jadi terwujud di akhir. Makanya John kita identifikasi sebagai karakter utama, meskipun bangunan atau struktur film ini gak persis sama dengan film biasanya. John menggerakkan cerita dan walau aneh, tapi seperti teman-temannya kita bisa terkoneksi juga dengannya. Film bahkan sempat membahas John sebagai parent kan. Film gak lupa menganggap dia sebagai manusia biasa yang bersosial. Dia memilih pindah-pindah itu aja udah relate”

“Sebenarnya pengecut sih. Tapi memang itu pilihan yang sulit dan pilihannya nggak banyak bagi John. Tapi dari sekian ratus istri dan anak John, masa nggak ada yang open minded dan bisa dia percayai rahasianya? Kenapa John cerita ke teman2nya, aku percaya yang dia katakan “Aku ingin mngucapkan selamat tinggal sebagai diriku yang sebenarnya, bukan sebagai diriku yang kalian kira.”.”

“Memang tampak sebagai pengecut tapi itu kevulnerablean yang manusiawi. Kita juga pasti pernah mangkir karena gak enak harus jelasin. Itulah, at least, kita tentu pernah berada di posisi seperti John, ingin mengatakan suatu fakta tapi gak benar-benar bisa membuktikan fakta tersebut. Juga di posisi sebaliknya, apa coba yang bisa kita anggap sebagai kebenaran? Apakah penting untuk membuktikan sejarah, atau bahkan ajaran agama, sebelum menganggapnya sebagai kebenaran? Ini kan jadi koneksi dramatis antara kita dengan film itu”

” I guess, semua orang pernah mengalami hal itu. Gimana ya, susah juga kalo nggak ada bukti. Mungkin bisa ya pakai sumpah, bisa pakai nama Tuhan atau orang yang kita hormati atau sayangi. Dan ya, menurutku penting mengetahui kebenaran tentang sesuatu sebelum mempercayainya. Setuju nggak, sejarah ditulis oleh pemenang dan oleh sebab itu detailnya seringkali bias?
Apalagi agama, kalo cuman warisan orang tua, ‘kesenggol’ dikit udah goyah, kan?”

“Nah, deep memang film ini. Di luar pokok-bahasan mereka, film ini menyuguhkan pilihan buat kita lewat gambaran kondisi John dan orang-orang sekitarnya. Mana yang lebih penting; menyampaikan kebenaran apa adanya meskipun sulit dipercaya, atau membuat orang percaya akan sesuatu sehingga membuat sesuatu itu jadi kebenaran yang disetujui bersama? Beres nonton, aku makan dan makananku gak kerasa karena ngunyahnya sambil mikirin pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang bermunculan”

“Wah, ini mirip ending The Dark Knight saat Komisaris Gordon harus ‘memfitnah’ Batman. Wkwkwk. Tapi aku berprinsip “Kebenaran yang pahit tetap lebih manis dari kebohongan yang manis.””

“Berarti lebih baik – dan mungkin bisa persoalan bisa lebih simpel – kalo kita menyampaikan apa adanya saja ya, meskipun itu menantang dan gak sejalan dengan kebenaran yang diyakini orang. See, yang paling manusiawi di film ini buatku adalah dengan kepintaran berpuluh ribu tahun pun John gak lantas jadi si paling bijak. Kalo aku hidup selama itu mungkin bakal banyakan stressnya. Aku bisa habis seribu tahun mikirin hidup abadi itu kutukan atau anugrah hahaha”

“Seperti kata Linda, “Bila dengan tubuh sehat, itu sebuah berkah. Kesempatan untuk terus belajar. “

“Kalimat yang bijak sekali. Jadi, ngasih skor berapa nih untuk The Man from Earth?”

“Sebelum ngasih skor, aku mau ngasih pro dan kontranya dulu. Biar ada alasannya gitu kalo dinilai orang lain skornya ketinggian atau terlalu rendah. Pro:  -Eksposisi dengan istilah-istilah ilmiah atau event-event sejarah mudah dimengerti. Film paham mana istilah yang penonton sudah tahu, mana yang perlu sedikit penjelasan, dan mana yang perlu lebih detail. – Tensi dijaga supaya penonton nggak bosen tapi emosinya nggak dibiarkan meledak terlalu awal untuk menghindari kesan anti klimaks. – Dengan tema ‘pinggir jurang’, aku sebagai penonton nggak merasa jadi bodoh atau merasa dibodohi atau merasa apa yang aku yakini jadi ternistakan. Malah aku merasa diajak untuk melihat ‘di luar kotak’. “Ternyata segala sesuatu punya lebih dari satu sudut pandang.” Kontra: -Pengkarakterannya terasa template dan terasa ada di sana hanya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan penonton dan menjawabnya. -Aku akan ngasih nilai lebih kalo Nabi Adam dan banjirnya Nabi Nuh dibahas, meski itu akan membuat pembahasan tentang agama jadi terlalu mendominasi. Pengen tau aja sudut pandang tentang ‘manusia perama’ dari orang yang sudah hidup ribuan tahun sebelumnya.  Juga tentang banjir besar. Apakah John ikut naik bahtera atau cuma pernah dengar berita tentang banjir di tempat lain atau bahkan nggak tau sama sekali. Mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki film, aku kasih skor 7.5 Aku nggak heran kalo skor kita beda dan penilaian kita malah bertolak belakang. Aku cuma seorang penikmat film yang ingin berbagi. “Ini lo, ada film yang unik dan beda, seru deh.”

“Penilaian yang detil! Iya ya, seru juga kalo John cerita soal nabi-nabian, gimana experience dia pas banjir bandang. Wah, kalo dia beneran ada pasti udah diculik, disekap, ditanya-tanyain terus tentang banyak hal hahaha… Skor kita agaknya gak beda. Pertama aku menemukan film ini cukup kaku dan aneh. Kemudian aku tersedot sama diskusi dan cerita mereka. Lalu tersadar bahwa aku ngikutin itu semua karena penceritaan dramatis yang merayap di balik bahasan dalem tersebut. Ini storytelling unik yang pada akhirnya worked out sebagai tayangan yang cukup emosional dan dramatis. Istilahnya tu, gak perlu jadi nerd atau geek dulu buat nikmati film ini. Yang jelas, harus open minded aja. Seperti John yang menantang realita dan keilmuan teman-temannya, film ini juga menantang realita dan sedikit ilmuku tentang apa itu film. Jadi, aku ngasihnya 7.5 dari 10 bintang emas juga!!”

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat mas Fajar udah merekomendasi dan berpartisipasi untuk mengulas film di sini. Film ini benar-benar pengalaman from earth yang terasa out of the world. Terima kasih udah meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan seabreg. 

 

Buat para Pembaca yang punya film yang ingin dibicarakan, yang ingin direview bareng – entah itu film terfavoritnya atau malah film yang paling tak disenangi – silahkan sampaikan saja di komen. Usulan film yang masuk nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

PENGABDI SETAN 2: COMMUNION Review

 

“Poverty is the mother of crime”

 

 

Hidup bermasyarakat memang seharusnya memudahkan. Tinggal beramai-ramai, sehingga bisa saling bantu kalo ada kesusahan. Namun bagaimana kalo sekelompok orang yang tinggal berjejelan di satu tempat itu semuanya sama-sama susah?  Semuanya sama-sama gak punya duit, sama-sama berjuang demi masih bisa melihat mentari hari esok. Bagaimana jika – jika negara adalah ibu – mereka sama-sama orang yang motherless, dalam artian gak mendapat perhatian negara.  Potret rumah susun yang dihadirkan Joko Anwar dalam sekuel remake Pengabdi Setan buatannya membuat kita tersentak akan hal tersebut. Tampaknya itu juga sebabnya kenapa latar situasi politik Indonesia zaman petrus 80an dijadikan warna yang menghiasi latar cerita. Pengabdi Setan 2: Communion adalah cara Joko Anwar menggambarkan horornya kehidupan yang harus dijalani orang-orang yang terpinggirkan.

Rini beserta Bapak dan dua adiknya kini tinggal di rumah susun di Jakarta Utara. Bukan exactly tempat tinggal yang ideal. Rumah susun itu sangat sederhana, liftnya aja macet-macet (keseringan disesaki penghuni), pembuangan sampahnya sering mampet, banyak preman, plus terletak di lokasi rawan banjir. Tapi, seperti yang dibilang Bapak,  tempat itu rame. Jadi Rini berusaha untuk tenang. Empat tahun mereka tinggal di sana, dengan adik-adik, Toni dan Bondi, yang sudah gede, Rini bermaksud pergi mengejar pendidikan. Sayangnya, masih ada satu lagi ke’angker’an rusun yang ternyata dulunya pekuburan tersebut. Di hari yang harusnya jadi hari terakhir Rini di sana sebelum pergi kuliah, terjadi freak accident di lift yang menewaskan sejumlah penghuni. Malamnya, setelah yasinan untuk beberapa penghuni di hunian masing-masing, hujan deras dan banjir membuat rusun mati lampu. Mengisolasi Rini dan beberapa penghuni ke dalam gelap gulita dan hal-hal misterius. Rusun itu praktisnya berubah menjadi rumah hantu 14 lantai!

Let’s play a drinking game untuk setiap kali karakter film ini nyebut kata ‘rusun’

 

Well yea, kalo mau memandang film ini sebagai wahana rumah hantu, Pengabdi Setan Communion memang rumah hantu yang lebih seru dan lebih epic dibandingkan film pertamanya. Film kali ini lebih memantapkan diri sebagai pengalaman horor di tempat yang menyeramkan. Joko enggak tanggung-tanggung menargetkan untuk ini, karena film sekuel pertamanya ini ia hadirkan dalam teknologi IMAX. Sebuah terobosan dalam perfilman Indonesia, karena film ini actually adalah film lokal pertama, bahkan se-Asia Tenggara yang dibuat dengan teknologi audio visual super gelegar. Maka sebagian besar durasi akan diisi oleh adegan-adegan seram yang didesain untuk menunjang experience tersebut. Bagaimana pak sutradara melakukannya?

Joko bermain dengan ketakutan paling basic manusia; takut akan kegelapan. Ia dengan teganya membuat visual yang gelap. Pengcahayaan saat sudah di bagian cerita yang hantu-hantuan akan sangat minim. Entah itu hanya dari senter, api korek, ataupun kilatan sesaat dari petir yang menyambar dari luar gedung. Ini menghasilkan suasana horor yang begitu imersif. Aku bahkan gak berani noleh ke kiri-kanan; karena juga menonton di suasana gelap, kumerasa jadi ikut berada di bangunan itu bersama para karakter. Yang jelas, kegelapan itu membuat batas penglihatan yang natural untuk meletakkan penampakan-penampakan, nonton ini emosi kita diaduk antara takut, kesel karena gelap, sekaligus agak seneng juga karena at least hantu-hantu seram itu gak kelihatan semua (dasar penakut hihihi). Untuk soal membuat shot dan adegan menjadi superhoror, Joko Anwar memang jagonya. Dengan jam terbang dan referensi sebanyak yang ia miliki, adegan-adegan seram yang lebih grounded seperti orang masuk ke ruangan yang ada mayat berkafan di lantai, ataupun simply berjalan dalam gelap, jadi suguhan horor yang segar dan fun. Sedangkan untuk adegan-adegan seram yang lebih ‘fantasi’ dalam artian ketika menyelami ketakutan personal para karakter, film ini melakukan dengan agak sedikit in the face. Misalnya pada adegan karakter yang diganggu saat shalat. Like, Joko kayak ngambil referensi dari horor lain, dan membuat versinya sendiri, kayak mau bilang ‘beginilah horor itu seharusnya dilakukan!’ Explorasi ‘rumah hantu’ yang dilakukan film ini memang sangat luas.

Film ini butuh ritme yang lebih baik untuk mengakomodir itu semua. These scares were great, tapi jor-joran terus akan bikin penonton ‘capek’ dan tidak lagi melihat semuanya sebagai perjalanan horor. Melainkan ya, sebagai wahana yang sudah diantisipasi. Mana lagi nih hantunya? Problem seperti ini kayak yang sering terjadi pada show wrestling, yang setiap matchnya selalu diisi oleh spot-spot spektakuler. Seru, memang, tapi membebalkan rasa. Membuat spot, atau dalam kasus film ini, membuat adegan horor tersebut jadi less-special dari yang seharusnya. Ritme dalam film, salah satunya bisa dicapai melalui karakter. Dan memang Pengabdi Setan Communion berusaha melakukan itu. Kali ini dihadirkan beberapa karakter baru, beberapa orang penghuni rusun yang akhirnya menjadi teman dari ‘tim inti’ Rini, Toni, dan Bondi. Para karakter baru diberikan latar cerita, seperti anak kecil yang tinggal bareng ibunya di rusun karena kabur dari ayahnya, lalu ada teman geng si Bondi yang beserta adiknya kerap dipukuli oleh ayahnya sendiri, atau perempuan muda yang digosipin bukan cewek baek-baek lantaran kerjaannya pergi malam-pulang pagi, dan ada juga cowok preman yang suka godain si perempuan tersebut. Selain menambah rame (interaksi karakter-karakter muda ini bahkan ngingetin aku sama geng protagonis di serial Netflix Stranger Things – sama-sama anak 80an pula!) karakter-karakter baru dengan horor personal mereka jadi penambah lapisan dan membuat ritme jadi agak sedikit enak. Karena actually bahasan mereka lebih menarik daripada tim inti yang masih berkutat di misteri Ibu – dan ayah – yang hanya melanjutkan misteri yang sengaja gak dibahas di film pertama. Dengan kata lain, sudah telat untuk membuat kita peduli kepada mereka, apalagi karena sekarang ada karakter-karakter baru yang lebih menarik.

Most of them characters adalah orang-orang yang motherless. Lantas, menyamakan dengan mindset orang-orang di tahun 80an itu, bahwa negara adalah ibu bagi rakyatnya. Maka jika ibu harusnya merawat anak, berarti negara juga harusnya mengurus kepentingan rakyatnya. Kejadian di film ini memperlihatkan kerusuhan terjadi di tempat orang-orang miskin yang dibiarkan begitu saja. Udah tahu mau kena banjir pun, gak ada tindakan untuk menolong. Tempat tak terawat yang orang-orangnya rebutan naik lift, bahkan rebutan uang receh. Horor di situ lahir dari kemiskinan, dan ibu dari itu semua, sumber dari itu semua adalah negara yang tak peduli.

 

Karakter perempuan yang dianggap ga-bener yang diperankan meyakinkan oleh Ratu Felisha adalah yang paling menarik. Yang actually paling diflesh out dengan cara yang gak gamblang. Yang subtil, sehingga kita enak untuk ngikutinya. Info mengenai personal karakter ini dihadirkan lewat sebuah horor psikologis yang melibatkan perbincangan radio. Dan kita dibuat menyimpulkan sendiri apa yang terjadi di hidupnya sebenarnya. Ini adalah contoh karakter dalam cerita horor yang bagus, konfliknya personal, bahasannya closed dan gak melebar ke mana-mana, flaw dan sisi lemah karakternya pun kelihatan. Lebih mudah peduli sama karakter ini dibandingkan sama karakter Rini yang jadi tokoh utama. Memang, peran Tara Basro di sini diberikan lebih banyak daging. Kali ini dia punya motivasi personal pengen kuliah, dia bikin pilihan untuk ninggalin keluarganya, tapi saat hell broke loose nanti Rini hanya bereaksi yang intinya cuma survive. Malah bisa dibilang status tokoh utama si Rini, dibagi dua dengan karakter Budiman, wartawan yang tahu rahasia rusun tersebut, yang actually jadi kunci keselamatan Rini dan kawan-kawan. Naskah anehnya membagi porsi, Budiman beraksi dari luar, sementara Rini ditempatkan di TKP, dan hanya bereaksi dari semua kegilaan di tempat itu.

Kocak juga sih bandingin Endy Arfian dan M. Iqbal Sulaiman di film ini dengan mereka pas di Ghost Writer 2

 

Jadi ritme lewat karakter tidak benar-benar tercapai, karena hanya beberapa yang actually menarik, dan itupun gak benar-benar inline dengan journey utama. Sedangkan journey utamanya sendiri tidak benar-benar baru, bahkan film melakukannya lewat formula yang masih mirip dengan film pertama. Ada stake waktu, horor bakal memuncak di jam dua belas malam, ada misteri anak setan atau bukan, dan bahkan ada porsi yang membahas agama. Sama seperti pada film pertama, film kedua ini juga ingin menunjukkan bahwa agama tidak lantas dapat menolong orang. Sebenarnya ada teguran real yang ingin diucapkan oleh film. Bahwa agama bukan lantas menyerahkan diri kepada Tuhan, alias lantas pasrah enggak usah usaha. Hanya saja, film melakukan sindiran ini dengan tone yang berbeda dengan keseluruhan film. Jika yang lain disinggung sebagai horor, atau sebagai karakter yang flawnya personal sehingga terasa real dan relate, karakter ustadz di sini digambarkan nyaris seperti komikal. Sehingga apa yang mestinya adalah teguran, malah tampak kayak ejekan, atau at least kayak suatu masalah yang dibiarkan seolah tak ada solusi. Seolah malah jadi pengen bilang agama gak sanggup menolong, padahal yang disiratkan sebenarnya adalah agama tidak menolong karena manusianyalah yang salah dalam beragama.

Ketika bicara horor, sebenarnya kuncinya adalah build up. Inilah yang akhirnya jadi penentu ritme film ini jatohnya mulus dan enak atau tidak. Communion punya build up yang aneh. Dari adegan prolog awal saja, yang kita melihat pemandangan barisan pocong bersujud duluan ketimbang gambaran/deskripsi orang yang melihat itu konon rambutnya memutih, build up film ini terasa ganjil, kalo gak mau dibilang kurang proper. Mestinya kan, kita digambarin dulu efek bagi yang melihat, biar kita membangun antisipasi seseram apa sesuatu di dalam ruangan itu. Keseluruhan film memang nanti majunya dengan build up aneh kayak gini (kecuali momen horornya). Misalnya ada bagian Toni kayak mau ribut dengan preman, tapi lantas menguap gitu aja, kecancel karena kejadian kecelakaan lift. Lalu yang paling parah adalah bagian ending. Setelah semua intensitas dan revealing horor itu, film berakhir kayak “Eh, waktunya udah habis nih, yuk hero muncul, kita bereskan ceritanya” Penyelesaian puncaknya datang gitu aja. Tau-tau ada penyelamat yang menolong mereka semua (tanpa susah payah pula) karena durasi sudah hampir habis! Ini fatal sih sebenarnya. Kebetulan masih bisa dimaklumi kalo digunakan untuk menempatkan karakter ke dalam masalah, tapi untuk mengeluarkan mereka dari masalah diharamkan untuk melakukannya dengan solusi yang kayak kebetulan. Haram!!

 

 

 

Melihatnya sebagai wahana rumah hantu, memang film ini lebih seru daripada film pertamanya. Scarenya lebih beragam, lebih efektif, lebih imersif. Tujuannya untuk dijual dengan teknologi IMAX membuat film ini kuat dari segi wahana horor. Tapi sebagai keseluruhan penceritaan, film masing tersandung masalah-masalah yang sama dengan film pertama, dan aku bahkan gak yakin overall ini lebih baik dari film pertama yang benar-benar fokus di masalah keluarga. Film kedua ini bahasannya lebih gede. Latarnya juga berusaha dikuatkan. Lore misterinya juga. Tapi masalah yang timbul dari ‘lebih gede’ itu juga lebih banyak. Karakter utamanya kalah menarik. ada yang lebih beraksi, ritme juga kurang mulus karena build up yang aneh. Puncak dosanya ya di ending; kali ini Joko Anwar cukup membuat cerita yang menutup sih, hanya saja penyelesaian datang gitu aja. Basically protagonisnya saved by the bell, alias oleh durasi yang mau habis. Ending film oleh karena itu jadi sangat lemah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PENGABDI SETAN 2: COMMUNION

 

 



That’s all we have for now.

Joko Anwar menggunakan anagram ke dalam salah satu karyanya, yang juga direferensikan di film ini. Apakah menurut kalian nama ibu yang diungkap di Pengabdi Setan 2 juga anagram? Kira-kira apa maknanya?

Share  teori kalian tentang film ini di comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 


NOT OKAY Review

 

“The sorry is not the solution for every problem”

 

 

“We all live in public now, we’re all on the Internet. How do you think people become famous any more? You don’t have to achieve anything. You just gotta have fucked up shit happen to you.” Tahun 2011, Jill dalam film Scream 4 meneriakkan kata-kata yang jadi motif kejahatannya kepada Sidney. Bahwa orang gak lagi harus punya prestasi untuk bisa terkenal, cukup jadi korban sesuatu aja. Fast forward ke tahun 2022 sekarang, ternyata keadaannya tidak semakin bertambah baik. Malah semakin menjadi-jadi. Mau itu disengaja atau tidak, semua orang kini berusaha ngegedein brand atau presence social media dengan menjual hal-hal negatif yang katanya terjadi pada diri mereka. Not Okay garapan sutradara Quinn Shephard sekilas seperti tontonan ringan, tapi sebenarnya hadir sebagai komedi yang khusus menyindir tentang hal tersebut. Menyoroti perbuatan influencer-influencer yang saling berlomba untuk eksis di dunia maya dengan menjadikan tragedi sebagai batu pijakan.

Baru mulai saja, film ini sudah langsung ngasih kita wanti-wanti. Bahwa protagonis cerita bukanlah orang yang likeable. Danni (walau cakep dimainkan oleh Zoey Deutch) adalah tipikal cewek yang tone-deaf dan sangat dangkal. Dia tidak benar-benar peduli soal tragedi atau kemanusiaan yang ia jadikan bahan tulisan. Danni kerja jadi content creator di media edgy, tapi hanya supaya bisa jadi influencer tenar. Supaya bisa deket ama influencer idolanya di kantor, Colin (karakter Dylan O’Bryen ini adalah gabungan dari hal-hal terburuk yang dimiliki Youtuber/Influencer di real world) Tadinya memang Danni cuma pengen terlihat asik di mata Colin. Cewek itu berbohong ikut tur penulis di Perancis. Danni menggunakan skill photoshopnya untuk bikin foto seolah dia beneran liburan ke sana. Kebetulan yang lucu (bagi kita!) pun lantas terjadi. Beberapa menit setelah Danni mengupload foto di depan Arc Perancis yang ikonik itu dari dalam kamarnya, tempat tersebut – di Perancis sono – diserang aksi teroris. Pengeboman dan segala macem.  Jadi berita internasional. Maka postingan Danni lantas mendapat begitu banyak perhatian; it’s a perfect victim narrative buat media. Dan Danni bak mendapat durian runtuh, tentu saja memilih untuk menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dia memparadekan kejadian tersebut seolah benar-benar terjadi kepadanya, kepada semua orang yang either beneran peduli, atau ada juga yang memanfaatkan tragedi yang menimpa Danni untuk entah itu konten yang happening, atau juga tempat beramal. Yang penting bagi Danni adalah dia sekarang jadi seleb dadakan dan mendapat semua yang ia inginkan!

Gak nyangka ternyata ada karakter yang lebih parah daripada Britta di Community

 

Benar-benar sebuah resiko gede mempersembahkan protagonis utama ceritamu sebagai seseorang yang gak-disukai. Yang bisa dibilang enggak punya kualitas yang bikin simpati. Kemungkinan terburuknya ya, si karakter jadi gak konek ama penonton, cerita dan segala permasalahannya juga jadi gak nyampe. Penonton hanya akan kesal, kalo di film horor, penonton justru mendambakan sang karakter cepet mati (dengan superduper mengenaskan). Film Not Okay paham bahwa itu kondisi yang not okay untuk sebuah tontonan dramatis. Film mendesain Danni seperti itu bukan tanpa sebab. Karakter utama diperkenalkan sepayah itu karena di sini si Danni diposisikan sebagai subjek satir.  Kita diberi tahu bahwa she’s not a decent human being justru karena yang Danni lakukan bisa jadi tampak normal di jaman sekarang, mengingat influencer-influencer di real life memang banyak dan mereka populer. Film ini mengenali bahwa bisa jadi society adalah bagian dari problem, maka mereka membuat – dan menyatakan dengan gamblang – bahwa karakter protagonisnya bukan orang yang baik untuk membuka mata penonton sekaligus menimbulkan dramatic irony. Karena sekarang, seiring melihat keputusan Danni, penonton tahu bahwa seseorang rela menggali lubang dan menjerat diri dalam jejaring kebohongan yang terus membesar hanya demi ketenaran. Bahwa isu-isu sosial mereka gunakan semata untuk keuntungan personal.

Jadi secara materi, memang Not Okay adalah komedi satir yang harus dikembangkan dengan hati-hati. Film ini akan jadi problematik kalo protagonisnya itu nanti dapat redemption. Ini akan jadi problematik hanya dengan menjadikan karakter seperti Danni sebagai tokoh utama, sedangkan isu-isu sosial yang lebih penting dan urgen untuk dibahas hanya dijadikan latar. Quinn Shephard memang mengetahui cerita ini luar-dalam. Sutradara kita paham karakter cewek kulit putih, kaya, cakep, penuh privilege, yang bahkan gak bersentuhan langsung dengan problem-problem seperti serangan teroris dan serangan humanity lainnya, melainkan hanya peduli sama like dan view di Instagram, tidak punya kepentingan yang mendesak. Ada beberapa kali film ini menjadi meta dengan menyebut lewat dialog bahwa ini bukanlah cerita redemption untuk Danni. Namun juga sebaliknya, Shephard paham untuk tidak lantas ngejudge dan hanya menjadikan Danni sebagai teladan yang buruk. Redemption karakter ini ia lakukan dengan cara yang lain. Pembelajaran ia berikan dalam bentuk yang secara bangunan naskah tidak mengurangi kepentingan karakter utama, dan juga secara pesan tidak mengurangi sense of reality dan hati di dalam cerita komedi ini.

Danni masih diberikan kesempatan untuk mengenali apa yang sebenarnya dia lakukan. Karakter Colin dihadirkan sebagai pembanding bagi Danni, Colin adalah contoh influencer yang gak benar-benar ngasih influence yang baik. Karena Colin hanya peduli sama isu dan tragedi sebagai jualan untuk brand sosmed. Hati cerita sebenarnya datang dari relasi Danni dengan satu karakter lagi, yaitu Rowan (Mia Isaac mencuri perhatian di sini), gadis remaja kulit-hitam penyintas penembakan di sekolah. Jadi supaya tulisan dia sebagai korban teroris believable, Danni menyusup ke grup konseling para penyintas tragedi. Danni pengen nyuri-nyuri perspektif-lah istilahnya. Di kelas konseling itulah dia bertemu Rowan, yang memanfaatkan tragedi yang ia alami untuk aktivitas sosial yang beneran raise awareness. Dengan kata lain, Rowan adalah influencer ‘beneran’ yang menggunakan posisinya untuk usaha mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Rowan ini membuka banyak sudut pandang baru bagi Danni, terutama soal berbuat baik. Danni akhirnya memang jadi sahabatan ama Rowan. Dan dengan dramatic irony yang telah dibangun baik sedari awal, kita tahu akhir persahabatan mereka akan pedih dan emosional saat kebohongan Danni terbongkar nantinya.

But before that, a wild Avril Lavigne’s song appear! Love this scene lol

 

Inilah yang kumaksud ketika tadi menyebut film bakal problematik kalo malah terus menjadikan Danni – outsider dari real problem – sebagai orang yang lebih baik ketika ada karakter yang lebih mewakili isu yang lebih aktual dan urgen untuk dibahas, yaitu Rowan. Not Okay menemukan jalan tengah, yang pada akhirnya membuat keseluruhan kisah ini jadi lebih dari sekadar oke. Karakter utama tidak dipinggirkan dan tetap diberikan kesempatan menjadi manusia (dengan pembelajaran) dan Rowan beserta isu yang lebih urgen tetap mencuat sebagai hal yang lebih urgen. Ending yang dilakukan film, menurutku adalah yang terbaik. Juga sangat relevan dengan yang kita lihat sehari-hari di sosial media. Nah, berhubung ini bahasannya adalah ending, maka paragraf yang menyusul di bawah ini akan SANGAT SPOILER. Bagi yang belum nonton, beware….

Ending film memperlihatkan Danni yang kini sudah jadi orang paling dicancel sedunia maya berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia berhenti nulis. Dia berhenti main sosmed, menghapus semua akunnya. Dia tidak meminta simpati karena dikucilin, melainkan berusaha kuat dan ikut kelas untuk orang-orang yang kena shaming dalam upaya jadi pribadi yang baru. Salah satu solusi yang kepikiran oleh Danni adalah memberanikan diri untuk minta maaf kepada Rowan. Maka datanglah dia ke teater tempat Rowan perform bermaksud minta maaf. Ini yang aku suka, tindakan Danni relevan banget. Lihat saja betapa banyaknya fenomena public figur ataupun influencer yang bikin konten minta maaf begitu bikin salah, seolah dengan maaf semua beres. Saking banyaknya, netijen sudah apal dan menyindir. Tinggal minta maaf. Tinggal keluarin materai. Malah sekarang dicurigai orang-orang sengaja bikin salah dulu, sengaja shitposting dulu, biar viral lalu minta maaf dan tinggal menikmati efek keviralan. Ada juga yang lantas diangkat jadi duta setelah ngelakuin salah dan openly minta maaf. Danni dalam Not Okay benar-benar memperlihatkan itu adalah hal yang buruk, karena film ini menjadikan itu sebagai false resolution untuk Danni. The real resolution yang diperlihatkan film adalah Danni, setelah mendengar puisi yang begitu menohok dan natural dari Rowan tentang yang telah Danni lakukan selama ini, memilih untuk pergi tanpa meminta maaf. Apa sebenarnya makna dari itu semua?

Bahwa maaf bukanlah solusi. Maaf tidak akan bikin segalanya lebih baik. Karena dalam konteks ini, meminta maaf itu hanyalah tindakan dari pelaku seperti Danni untuk merasa lebih baik. Minta maaf itu untuk diri sendiri, yang berarti Danni masih mikirin dirinya sendiri. Yang harusnya dilakukan adalah memahami kenapa yang ia lakukan itu salah, memahami apa yang dirasakan oleh orang yang sudah dibohongi, dikhianati, dijahati. Meminta maaf seharusnya adalah untuk ketentraman pihak yang satunya.

Journey Danni komplit dengan meninggalkan teater karena dia telah memahami apa yang telah ia lakukan kepada Rowan. Dia menumbuhkan respek yang baru terhadap Rowan. Dia sadar bahwa ini adalah ‘cerita’ Rowan. Dan dengan melakukan itu, Danni telah menjadi orang fiktif terbuang yang jadi lebih baik daripada influencer-influencer palsu di dunia asli kita.

 

 

 

 

Tadinya kupikir ini cuma film receh tentang perempuan yang berbohong supaya dirinya populer dan dapat sahabat dan cowok idaman. Ternyata, film ini memang adalah itu, dan lebih lagi. Lebih dalam, lebih real. Lebih bergizi. Dan juga lebih menyenangkan berkat penampilan akting yang meskipun karakternya didesain untuk gak simpatik tapi tetap dibawakan natural. Karakter-karakter mereka terasa real dan urgen, di balik fungsi sebagai parodi ataupun sindiran. Ada beberapa kali aku merasa gak sanggup untuk melanjutkan nonton. Bukan karena khawatir kebohongan karakter utamanya ketahuan, tapi karena menyangka si karakter itu akan mendapat redemption yang menganulir segala hal penting lain yang diangkat film. Tapi ternyata akhir film ini diikat dengan respek terhadap hal-hal tersebut, karakternya dapat konsekuensi, dan benar-benar menohok– I think ini salah satu ending terkuat tahun ini. Filmnya definitely masuk list favoritku tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOT OKAY

 

 



That’s all we have for now.

Kenapa orang gemar sekali menjual tragedi? Apakah menurut kalian secara moral itu benar? Bagaimana pikirmu para influencer palsu seperti Danni tidur di malam hari?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


WWE SummerSlam 2022 Review

 

 

SummerSlam adalah live premium event pertama yang tidak dikepalai oleh Vince McMahon, and it was such a blast! Hampir seperti ini adalah acara pesta merayakan kepergian pemilik WWE tersebut!

Hush gak boleh gitu hahaha… Kolot kolot (dan banyak kasus) begitu, Mr McMahon jasanya buat gedein bisnis ini toh gak bisa dibilang sedikit. Pro-wrestling bisa gede, WWE bisa bertahun-tahun jadi hiburan keluarga Amerika, pesaing-pesaing muncul dan menyemarakkan gulat hiburan juga kan karena ulahnya. Secara pribadi, I admire Vince dari bagaimana dia membentuk acara WWE show per show. Dalam pencapaian terbaiknya, WWE di tangan Vince terbangun sebagaimana struktur film yang dramatis, yang emosional. Aku harap yang baik-baik dari Vince bisa diteruskan oleh Triple H, sebagai pengganti kepala creative, yang memang di acara ini tampak pengen segera melakukan perubahan dengan gegap gempita!

Gak tau juga, mungkin karena bias dari denger berita Vince mundur (sesuatu yang sudah diharapkan banyak orang sedari dulu) dan diganti Triple H atau gimana, tapi SummerSlam vibenya terasa lebih meriah. Semua orang kayaknya datang ke acara di Kota Musik Nashville itu dengan optimis, dan aura positif tersebutlah yang tertranslasikan ke keseluruhan acara. Ibarat minum ramuan Felix Felicis, Triple H dengan SummerSlam terasa can’t do no wrong.

Padahal secara match aja nih, sebenarnya pas aku nonton, aku agak sering merasa gerakan-gerakan yang sloppy. Seperti pada Bianca Belair lawan Becky Lynch, buatku di awal-awal itu terasa agak rough, mereka tidak bermain se-tight biasa. Aku gak tau apa karena euforia itu terasa juga di para superstar atau apa, tapi itu gak menjelma jadi masalah besar. Karena match-match di acara ini tetap terasa spektakuler. Ada sense of edginess, bahkan dalam match yang gak-imbang kayak Lashley lawan Theory. Ada feel of urgency dalam pagelaran kali ini. Semua itu barulah benar-benar pecah dengan gemilang saat partai utama SummerSlam turun tanding. Brock Lesnar dan Roman Reigns bukan hanya menyuguhkan Last Man Standing pertama yang pernah diadakan di SummerSlam, mereka ultimately menghadirkan sesuatu yang sama sekali belum pernah kita lihat sebelumnya di dalam ring wrestling.

Bukan tangga, bukan mobil, bukan motor, tapi Lesnar datang bawa traktor!!!

 

Satu kata untuk menggambarkan match tersebut adalah edan! Tadinya aku apatis. Tadinya aku udah pasrah ngeliat Lesnar – Reigns untuk kesekian kalinya. Udah apal ‘rutinitas’ match mereka yang spam finisher dengan tempo cepat. Tapi begitu melihat Lesnar balik dan naik ke traktor itu, aku tahu ini bakalan spesial. Penonton heboh sepanjang match, mereka juga pengen tahu mau diapakan traktor tersebut dalam environment tidak-ada peraturan dan tidak-ada Vince McMahon ini. Dan match itu sendiri tahu aspek penarik yang mereka punya tersebut. Match ini aware dan tahu persis apa yang mereka jual. Pada akhirnya, match ini lebih daripada sekedar adu finisher. Lebih dari seru-seruan dengan senjata dan alat-alat. Match ini bergerak dengan build up yang seksama. Perhatikan deh gimana Lesnar membuild penggunaan traktor; dia gak langsung naik dan ngangkat ring, tapi ada beberapa kali bulak-balik sepanjang match. Membuild intensitas, sekaligus cerita bahwa bukan perkara mudah mengalahkan lawannya. Bagi Reigns juga sama, dia menjatuhkan Lesnar untuk 10 hitungan itu, ada build upnya. Dia gak lantas dibantu oleh Uso. Tapi melibatkan banyak orang, bahkan Paul Heyman dan Theory. Semuanya itu memuncak berbarengan, menghasilkan tontonan yang sukses bikin kita semua serak di Minggu siang. Aku hanya bisa membayangkan Triple H tersenyum puas seiring dengan Roman Reigns berlatar ring terjungkal, bergaya di atas puing-puing yang menimbun tubuh Brock Lesnar.

Karir championship Lesnar disimbolikkan berakhir (at least selama Reigns jadi juara). Kiprah Vince Mcmahon di kursi kreatif is also pretty much berakhir. Tapi karena hidup adalah sebuah keseimbangan, saat ada yang berakhir maka tentu ada yang baru lahir. Di SummerSlam 2022 kita turut menyaksikan ‘kelahiran’mulai dari proyek-proyek baru dari Triple H, hingga ke ‘kelahiran’ talent-talent baik itu yang baru maupun yang rejuvenated. Feud Rey Mysterio dengan Judgment Day sangat bisa mewakilkan kelahiran ini. Untuk sebelum SummerSlam memang kelihatannya Judgment Day mulai kehilangan arahan, tapi di match mereka kali ini potensi itu mulai terlihat kembali. Jika dilakukan dengan benar seteru yang melibatkan Edge ini bakal bisa ngasih nafas baru untuk semua yang terlibat. Veteran seperti Edge, Rey, dan Finn Balor bakal dapat kesempatan untuk mengeksplorasi sisi lain dari karakter mereka, sementara bagi anak-anak baru seperti Dominik, Damian Priest, dan Rhea Ripley (TERUTAMA Rhea Ripley yang looks very menacing) ini jelas bukan batu-loncatan biasa.

Aku suka surprise, terutama jika surprisenya melingkupi Dakota Kai dan Io Shirai (yang kayaknya bakal ganti nama jadi Iyo Skye). Makanya di Minggu pagi itu aku jungkir balik di ruang tivi. Siapa sangka Bayley muncul dan membawa dua superstar yang udah jarang muncul dan bahkan satunya udah gak dikontrak. Kabarnya memang stable trio ini sudah lama dipitch oleh Triple H, tapi selalu ditolak oleh Vince. Baru di SummerSlam inilah pitch tersebut bisa direalisasi, dijadikan sebuah surprise yang benar-benar worked greatly. Gak ada yang tahu loh itu, mereka bakal muncul di akhir match Bianca lawan Becky. Bahkan Bianca Belair kayak kaget beneran mendengar musik Dakota Kai tau-tau berkumandang. Selain sebagai surprise, kedatangan mereka juga ngasih api optimis baru buat skena divisi superstar cewek brand Raw. The roster never looked this good, melimpah oleh potensial. Di sisi brand Smackdown, however, WWE mulai mengeksplorasi juara baru perempuan mereka. Liv Morgan yang bulan lalu merebut sabuk dari Ronda Rousey via koper Money in the Bank, diposisikan sebagai semacam underdog dalam title defense pertamanya against Ronda si Lesnar versi cewek. Di match di sini, Liv harus membuktikan dirinya memang layak, dan sebaliknya Ronda bertindak sebagai antagonis, mematahkan hal tersebut. Di bawah kendali kreatif Triple H, match mereka tidak menjelma seperti match underdog kebanyakan. Ada yang berbeda, sehingga match ini walaupun yang paling lemah di antara yang lain, tapi tetap menarik. Aku gak begitu ngefans ama Liv, tapi berhasil dibuat untuk peduli. Ending match yang kontroversial pun tidak terasa lame, melainkan jadi penghantar bagus untuk kelanjutan kisah mereka

Kai en Sky, Bay Bay!!!

 

Street Profits (particularly Montez Ford) dan Theory juga semakin dieksplorasi. Dengan banyak rumor yang beredar, di titik ini masih belum jelas ke arah mana galian ini akan dikembangkan. Yang menarik adalah soal Theory, yang dinilai banyak orang bakal redup karena dia adalah proyek Vince McMahon, dan juga si Theory itu sendiri cukup gak disukai banyak orang (di luar perannya sebagai heel). Di SummerSlam ini kita lihat Theory kalah cukup cepat (also not really memorable) dari Lashley, dan cash in kopernya juga kandas. Untukku pribadi, Theory masih di bawah radar. Aku gak suka dan gak benci, he just there. Sehubungan dengan visi Triple H over McMahon, menurutku setidaknya Theory akan dipertahankan karena dia punya natural heat, dan kuyakin Triple H bakal memanfaatkan ini. Aku juga gak bakal nolak kalo Theory bakal dipertemukan lagi dengan bos lamanya di NXT, Johnny Gargano, yang juga dipantau banyak orang untuk balik ke WWE di bahwa kendali Triple H.

Bicara tentang ‘kelahiran’ karir, Pat McAfee dan Logan Paul sekali lagi nunjukin passion dan skill pro-wrestling yang mencengangkan meskipun mereka bukan pegulat pada awalnya. Skill di sini bukan terbatas pada in-ring action, tapi juga bagaimana ‘berakting’ di atas ring. Untuk masing-masing match mereka, public figure yang udah resmi jadi pemain smekdon ini nunjukin perkembangan yang signifikan. Mereka berusaha membalancekan basic yang jadi footing untuk karir mereka di WWE. Match McAfee dengan Happy Corbin memberikan mantan atlit football tersebut ruang untuk beraksi di dalam ring, untuk memainkan kharisma yang sudah ia bangun sebagai komentator ke dalam aksi-aksi fisik. Sebaliknya Logan Paul, Youtuber dan juga boxer, yang udah natural beraksi seolah dia sudah latihan gulat sejak lama dipasangkan untuk bertanding dengan The Miz untuk mempertajam psikologi di atas ring. Logan Paul impresif soal aksi, tapi dalam urusan character-work, kita bisa lihat dia belum semulus itu. Masih ada momen-momen ketika dia blank stare dan fokusnya hanya di spot ke spot berikutnya. Don’t get me wrong, Logan Paul bisa dibilang selebriti yang paling jago bergulat, dan dia bisa banget jadi gede di sini. Ruang untuk improvenya sudah kelihatan. Salut.

 

 

 

Tahun 2022 adalah tahun yang aneh untuk wrestling. Kita telah lihat Vince, Stone Cold, dan bahkan Ric Flair kembali bertanding di atas ring untuk terakhir kalinya. Kita telah melihat begitu banyak pegulat yang dipecat, pindah, atau yang dibungkam karena protes pada arahan karakternya. Sekarang kita melihat seorang bapak yang telah membesarkan industri olahraga hiburan ini undur diri dari jabatannya (terkait kasus pribadi) WWE sekarang seolah berada di hari setelah lebaran. It’s a clean state for them, untuk membangun sesuatu yang baru. Untuk kembali ke jalan yang benar. Dan SummerSlam adalah lebaran itu. Acara yang super fun dan spektakuler, yang terasa berbeda, dan boleh jadi membangkitkan kembali passion nonton gulat dari fans yang udah capek dengan formula yang itu-itu melulu. The Palace of Wisdom menobatkan Last Man Standing antara Roman Reigns yang mempertaruhkan 700 hari kejuaraannya melawan Brock Lesnar sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

 

Full Results:

1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair bertahan jadi juara atas Becky Lynch
2. SINGLE Logan Paul ngalahin The Miz yang ditemani oleh Maryse dan Ciampa
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Juara Bertahan Bobby Lashley ngalahin Theory
4. TAG TEAM NO-DQ The Mysterios mengalahkan The Judgment Day 
5. SINGLE Pat McAfee unggul dari Happy Corbin
6. UNDISPUTED TAG TEAM CHAMPIONSHIP DENGAN JEFF JARRETT SEBAGAI SPECIAL REFEREE The Usos masih juara ngalahin Street Profits
7. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Liv Morgan menang atas Ronda Rousey
8. UNDISPUTED WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP LAST MAN STANDING Roman Reigns masih memegang rekor juara terlama setelah ngalahin Brock Lesnar

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 


GHOST WRITER 2 Review

 

“People find meaning and redemption in the most unusual human connections”

 

 

“Kalo saya cuma dianggap dukun, buat apa saya nulis?” Aku suka banget kalimat yang diucapkan Tatjana Saphira dalam Ghost Writer 2. Karakter yang ia perankan, si Naya, sekarang tenar berkat novel yang ia tulis bersama hantu. Nah itulah masalahnya, tenarnya itu bukan oleh sebab yang ia harapkan. Orang-orang hanya melihat dirinya sebagai paranormal. Sebagai dukun. Sebagai orang yang bisa bicara dengan hantu. Bukan sebagai penulis yang mampu membuat cerita yang bagus. Di jaman branding dan popularitas seperti sekarang, enggak susah untuk menerka bahwa yang dialami Naya beresonansi kepada banyak orang. Sekarang mau bikin Youtube aja harus ada gimmicknya, dan kalo satu gimmick atau satu ciri khas kena, maka ya gak boleh pindah. Harus bikin sesuai dengan itu terus-terusan.  Like, beneran ada loh di kita penulis ataupun kreator yang ‘bertahan’ pake gimmick-gimmick cenayang karena memang lakunya harus seperti itu. Dalam perfilman, kita juga lihat gimana seringkali seorang aktor memainkan tipe peran yang sama melulu di setiap film yang ia mainkan.  Gatau apakah mereka menjerit juga dalam hati seperti Naya atau tidak. Makanya, pembahasan ini terasa lebih ‘rich’ lagi karena muncul dari film horor komedi, yang actually mempertahankan komika untuk terus bermain sebagai karakter lucu. Menarik untuk menyimak gagasan seperti apa yang disuarakan Muhadkly Acho, yang gantiin Bene Dion Rajagukguk sebagai sutradara. Karena Ghost Writer 2 ternyata bahkan lebih ‘rich’ lagi, dengan turut membahas drama hubungan keluarga antara anak dengan ibu!

Naya ceritanya memang mau nikah sama Vino, yang sekarang sudah merambah jadi bintang film. Bukan aktor FTV lagi. Hanya saja, ibunya Vino tampak ada kurang sreg sama relationship anaknya. Karena banyak masalah itulah, Vino jadi banyak pikiran, gak konsen saat take adegan action yang mengharuskannya melompati atap gedung. Vino kepleset, dan hidupnya game over. Naya langsung hancur, apalagi mereka abis berantem sebelum kejadian naas itu. Tapi sedihnya Naya gak lama, karena Vino balik dalam wujud hantu. Dan kini mereka mencari cara untuk menenangkan Vino supaya bisa terus dengan damai ke alam baka. Jadi mereka salin bantu. Selain bantuin Naya membereskan tulisan seriusnya, Vino percaya satu lagi caranya untuk ‘terus’ adalah dengan membantu satu sosok hantu mengerikan yang kerap meneror Naya dan adiknya!

Kolab dengan iblis

 

See, this is what I’m talking about. Horor bukan hanya soal penampakan genjreng-genjreng. Bukan hanya soal bunuh-bunuhan brutal. Harus ada journey paralel di dalam diri karakternya, sebagai bentuk menghadapi horor tersebut. Ghost Writer 2 boleh jadi bakal ‘dituduh’ sebagai gak-pure. Lebih sebagai drama yang ada hantunya. Tapi eksistensi film seperti ini membuktikan bahwa genre horor gak selamanya jadi kasta terendah yang laku bukan karena bagus, yang bahkan pembuatnya sendiri malu diasosiasikan sebagai pembuat horor seperti yang dirasakan Naya. Film ini ngasih lihat bahwa dalam horor pun karakterisasi dan journey  mereka (baca: NASKAH!) itu penting, dan itu udah jadi urusan dan tanggungjawab pembuat film untuk berkreasi semaksimal mungkin menjalin cerita seram, gimmick, dan gagasan sehingga bisa enak dan bergizi untuk ditonton. Naya, Vino, adik Naya, teman adiknya, sedari film pertama karakter-karakter ini sudah merebut perhatian kita karena mereka ditulis dengan kedalaman, mereka punya range, naskah mengeksplorasi ketakutan mereka lebih dari sekadar takut ngeliat setan (reaksi takut mereka actually diarahkan untuk komedi).

Aspek horor dimainkan dengan kreatif. Mulai dari aturan koneksi hantu dengan manusia, hingga ke kemampuan dan batasan hantu dimainkan dengan variasi yang membuat film semakin bikin penasaran untuk disimak. Sekaligus juga menjadikannya menghibur. Ini bukan cerita horor biasa yang ada hantu jahat, ada adegan-adegan menakutkan dari kemunculan hantu mengganggu manusia,  terus para karakter harus menguak misteri dan cari cara untuk membuatnya pergi. Aspek terkuat film ini justru adalah drama, dan wisely film menjadikan itu sebagai pondasi.  Adegan-adegan terbaik film ini datang bukan dari penampakan hantu yang ngagetin. Melainkan dari karakter yang menumpahkan isi hatinya dengan sangat emosional kepada karakter lain. Scene di akhir yang ,melibatkan Ibu Vino dan Naya (and later, Vino) totally bikin satu studio saat aku menonton terdiam. Kayaknya semua menghayati, semua merasa kena ledakan emosi yang merenyuhkan dari Widyawati yang aktingnya satu tingkat di atas yang lain. Selain adegan tersebut, aku juga suka sama montase yang dilakukan film di awal-awal saat memperlihatkan Naya ‘hancur’ karena kematian Vino, ada satu momen ketika Naya duduk di depan TV, enggak nonton apa-apa melainkan hanya layar yang penuh ‘semut’. Kemelut perasaannya terasa banget.

Aku suka karakter Naya di sini, karena lingkupnya benar-benar digali. Film memperlihatkan masalah di dunia profesionalnya, di kehidupan romantisnya, hingga ke kehidupan keluarga saat Naya harus dealing with adik yang justru pengen membuat konten-konten Youtube bergimmick horor. Belief Naya digali, tantangan untuknya terus dinaikkan. Karakter ini ‘sibuk’, sampai hampir seperti tak ada waktu baginya untuk ngurusin soal hantu, sampai Vino datang membuatnya jadi lebih personal bagi Naya. Vino bahkan ditulis lebih dalam lagi dibandingkan dengan karakternya di film pertama. Kita bakal melihat apa yang dilakukannya di masa lalu, hubungannya dengan ibu. Deva Mahenra di sini gak lagi mainin karakter yang hanya tampak awkward. Persona dari karakternya digali, bahkan aku merasa cerita kali ini lebih cocok sebagai cerita dirinya. Like, harusnya dia yang tokoh utama. Seiring durasi berjalan, film memang terasa kayak ‘pindah’ dari Naya ke Vino. Soal idealisme menulis jadi terpinggirkan, karena memang Naya harus berurusan dengan hantu, yang juga mendadak diungkap punya konflik yang lebih gede. Resolusi kisah Vino actually lebih terasa earned. Lebih kuat ketimbang persoalan menulis Naya, yang terasa kayak dikasih reward dengan cara yang dibikin kayak kebetulan. Also, sisi Naya membuat usaha-usaha yang mereka ambil jadi konyol. Misalnya, pas mereka sepakat membantu si hantu seram dengan bikin konten di Youtube, usaha yang mereka lakukan untuk mencari satu tempat tertentu cuma merefresh komen. Mungkin relevan dengan jaman sekarang, tapi merefresh kolom komen enggak tertranslasikan sebagai usaha yang greget dalam sebuah pengalaman sinema.

Yang kayak gini nih yang bikin aku merasa era kekinian kita enggak asik untuk dijadikan periode cerita film

 

In the end, keseluruhan permasalahan Vino yang seputar keluarga tampak lebih urgen, lebih paralel dengan sosok hantu mengerikan. Walaupun memang tanpa Naya, hantu-hantu itu gak bakal bisa menyelesaikan urusan mereka.

Untuk menjawab galau kreatifnya Naya, film menyediakan jawaban/gagasan yang dikaitkan dengan kebutuhan manusia untuk terkoneksi. Permasalahan koneksi ini ditonjolkan film lewat bagaimana para hantu seperti Vino bisa dilihat manusia yang memegang benda-benda yang punya makna bagi si hantu. Bahwa mereka masih terkoneksi dengan hidup, dengan manusia, dan mereka butuh untuk deal with that connection. Jadi seaneh apapun cara kita konek dengan orang, yang terpenting adalah bagaimana koneksi itu bisa ada karena itulah yang membuat keberadaan kita bermakna. Naya berdamai dengan tipe tulisan yang ia kerjakan karena dia belajar yang terpenting adalah dia bisa konek dengan pembaca.

 

Dari tiga kepaduan; drama, horor, dan komedi, memang jadinya aspek komedi film ini yang tampak paling lemah. Atau seenggaknya, yang mengganggu tempo cerita. Dari segi kreasi, memang juga kreatif. Komedi diangkat lewat beberapa cara. Ada yang dari sketsa yang difungsikan sebagai jembatan dari adegan satu ke adegan lain.  Ada yang berupa celetukan yang mengomentari posisi karakter di titik cerita sekarang (cara yang juga sudah dilakukan sejak film pertamanya), lalu komedi yang benar-benar nyatu ke cerita – entah itu dari reaksi karakter, ataupun dari opini dan sikap mereka yang kocak. Itu semuanya fine dan memang menghadirkan ciri khas tersendiri buat film ini. Tapi kalo itu dilakukan dengan ‘mengorbankan’ pengembangan yang lain, membuat tempo cerita jadi sedikit terhambat, maka certainly I will have problem with that.

Daripada ngasih waktu untuk sketsa, kan lebih mending dipakai untuk benar-benar liatin backstory Vino dengan ibunya. Linear, gak usah lagi pakai flashback seperti yang dilakukan film ini. Flashback yang kumaksud di sini adalah soal Vino dan ibunya, yang tidak dilakukan linear oleh film melainkan lewat ujug-ujug revealing. Kalo flashback soal backstory si ‘hantu jahat’ sih, mungkin memang tidak bisa tidak (problemku untuk ini cuma.. c’mon, tau-tau ada sindikat jual organ, kayak di luar dunia cerita banget – permasalahannya gede sendiri) Anyway, yang jelas, penceritaan bisa lebih rapi kalo enggak kebanyakan komedi yang sebenarnya gak benar-benar menambah untuk cerita. Lagipula sebenarnya komedi sudah cukup terwakili dari aksi dan reaksi karakter. Tokoh sentral kayak Naya dan Vino (apalagi adik Naya dan temannya) dapat porsi ngelawak yang sudah efektif masuk ke dalam cerita. Karenanya, komedi mereka lantas jadi natural. Deva Mahenra punya comedic timing dan delivery dan persona yang bikin ngakak tanpa harus jadi lebay. Yang klop tektokan dengan Naya-nya Tatjana yang harus put up with situation. Sehingga sebenarnya gak perlu lagi sering-sering balik ke sketsa-sketsa yang kepanjangan.

 

 

 

 

Pembahasan ceritanya banyak, genrenya aja ada tiga; drama horor komedi, certainly ini bukan film yang gak punya tantangan untuk dibuat. Makanya ini perlu banget kita apresiasi, lantaran sudah cukup berhasil memadupadankan semua menjadi satu petualangan misteri yang menghibur dengan gaya dan karakter-karakternya yang nyantol. Kali ini protagonis utama agak sedikit kalah urgen ketimbang pasangannya, tapi film berjuang untuk tetap membuat protagonis sebagai sentral. Overall aku lebih suka film keduanya ini dibandingkan yang pertama. Formulanya sebenarnya hampir sama, tapi di film kali ini karakter dan bahasannya lebih dalam dan personal. Satu lagi hal yang dipertahankan film, hanya kalo yang ini menurutku harusnya dikurangi sedikit, yaitu porsi komedi sketsa dan komedi celetukannya. Mengganggu tempo dan membuat film jadi harus pakai flashback untuk adegan yang mestinya bisa runut.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GHOST WRITER 2

 

 



That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang gimmick, seperti Naya yang nulis tapi harus nulis horor dan berlagak dukun terus? Apakah menurut kalian tidak mengapa seorang seniman (aktor atau penulis dsb) terus mengerjakan yang populer saja?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


MINI REVIEW VOLUME 4 (RANAH 3 WARNA, INCANTATION, DUAL, PERJALANAN PERTAMA, METAL LORDS, THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT, HUSTLE, CHIP ‘N DALE RESCUE RANGERS)

 

 

So, banyak yang nanya ‘Mini Review ini buat film-film yang kurang penting, ya?’ Nope, Enggak. Bukan. Wrong. Sama sekali tidak. If anything, justru buatku ini adalah tempat film-film yang lebih ‘susah’ untuk diulas. Karena seringnya, aku masukin film ke segmen ini karena aku gak bisa langsung merampungkan ulasan setelah nonton. Masih ada bagian yang harus dipertimbangkan. Masih ada bias yang masih harus diademkan. Atau masih merasa perlu untuk nonton filmnya lagi. Dan karena didiamkan dahulu itulah, filmnya jadi ‘tergilas’ film baru yang tayang berikutnya.  Jadi simpelnya, Mini Review ini gak ada hubungannya ama kelas kepentingan film, melainkan hanya soal aku telat menyelesaikan proses nulis atau nontonnya saja.

Buktinya? Nih lihat aja judul-judul yang terangkum di Volume 4 ini!

 

 

CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS Review

Sebagai anak 90an, mengatakan aku cukup akrab dengan Chip ‘N Dale sungguhlah basa-basi. Dua tupai ini muncul di setiap komik dan majalah Donal Bebek yang kubaca (di kita nama mereka ‘diterjemahkan’ jadi Koko dan Kiki). Dan game petualangan mereka di Nintendo, jadi favoritku waktu kecil. The game was like monopoly, bisa merusak persahabatan. Aku actually bertengkar dengan teman, karena di situ kita bisa salah angkat teman sendiri, dan ‘gak sengaja’ melempar mereka ke jurang. Yea, ‘gak sengaja’ hihihi

Anyway, aku berasa seperti anak kecil lagi saat nonton film ini. Demi ngeliat karakter-karakter kartun dari masa lalu tersebut. But also, conflicted, karena ya tahulah gimana film-film dari nostalgia masa kecil dimanfaatkan sebagai parade IP semata.  Chip ‘N Dale ini juga sebenarnya dibuat dengan niat seperti itu. Namun sutradara Akiva Schaffer mendorong konsep ‘hey, here are your favorite childhood characters‘ lebih jauh lagi. Yang menyenangkan dari film ini adalah mereka memang memperlihatkan perkembangan. Mereka semacam membangun dunia-cerita yang meta, dan mengeksplor cerita dari sana. Dale (disuarakan dengan pas oleh Andy Sandberg) capek jadi sidekick Chip di serial kartun mereka, sehingga memutuskan untuk nyari proyek solo, dan begitulah akhirnya duo ini pisah. Hingga sekarang. Dale operasi dirinya jadi animasi 3D untuk stay relevant dan Chip kerja di balik meja. Dengan setting yang menarik tersebut, film seperti berusaha ngasih lihat perkembangan animasi di balik nostalgia. Mencoba membayangkan gimana para tokoh kartun ini sebagai aktor beneran. Dan hasilnya memang lucu dan supermenarik. Banyak karakter dari berbagai kartun dihadirkan, dan permasalahan mereka disangkutkan dengan soal kartun-kartun bajakan.

Tapi ya itu tadi, film ini tidak pernah diniatkan untuk dibuat mendalam. Hey, ini ada masalah bootleg, ini ada issue soal trend animasi, mari kita bikin cerita yang actually memberikan gagasan tentang semua itu. Tidak. Chip ‘N Dale bukan great film karena memilih untuk membangun penceritaan berdasarkan surprise dan nostalgia value, sehingga banyak menomorduakan kaidah-kaidah film beneran. In the end, ini masih kayak kartun mereka dulu, tapi dengan setting berbeda. Kuharap film ini dibuatkan juga versi gamenya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS.

.

 

 

DUAL Review

Kita biasanya gak peduli sama apa yang kita punya, sampai sesuatu yang dipunya itu hendak direbut oleh orang lain. Kadang nilai sesuatu baru kita hargai, baru terasa, saat kita sudah kehilangan. Kupikir bahasan tentang hal tersebut bakal selalu jadi bahasan yang tragis. Tapi sutradara Riley Stearns somehow berhasil mengarahkannya ke dalam cerita dark comedy. Aku merasa bersalah juga, banyak ketawa miris melihat Karen Gillan yang di sini jadi Sarah yang hidupnya dicolong oleh kloningannya sendiri.

Sarah orangnya pendiam, gak asik, dia bosan ama hidupnya. Gak ada passion lagi ke pasangannya, juga selalu menghindar saat ditelpon ibunya. Momen pertama karakter ini kocak-tapi-sedih banget adalah ketika dia biasa aja saat dikasih tahu dokter hidupnya tinggal beberapa waktu lagi. Sarah justru kayak senang ketika dia sadar masalah hidupnya bakal jadi masalah kloningan. Ya. di dunia antah-berantah tempat tinggal Sarah, ada teknologi klone yang disediakan khusus untuk keluarga pasien yang hendak meninggal. Supaya gak sedih-sedih amat lah. Masalah baru muncul ketika Sarah gak jadi mati, jadi kloningannya sesuai hukum harus ‘dimatikan’ tapi si kloning menjalani hidupnya lebih baik daripada yang Sarah lakukan. Bahkan orang-orang terdekat Sarah lebih suka si kloningan ketimbang Sarah yang asli. Di titik cerita ini, aku benar-benar merasa gak enak udah ketawa.

Kupikir itulah kekuatan sekaligus juga kelemahan film Dual. Berhasil menemukan titik tengah tempat penonton bisa mengobservasi sekaligus berefleksi juga. Medan yang ditempuh film sebenarnya sulit. Sarah, misalnya, harus tampil ‘jauh’, terlepas dari penonton. Dan memang susah ngikutin karakter yang gak ada semangat sama sekali seperti ini. Tapi ketika waktunya tiba, Sarah harus bisa mendapat simpati, dan itu hanya bisa dilakukan dari seberapa kuatnya film menjalin kita lewat situasi metafora. Dual meminta banyak kepada kita.  Tapi memang ketika konek, film ini jadi seru. Paruh akhirnya buatku bisa jadi celah untuk film mulai menggali lebih dalam perihal hidup dan eksistensi. Sayangnya, film ini memilih untuk membungkus cerita dengan cara yang seperti mengelak dari bahasan tersebut. Dan itu membuat journey Sarah jadi mentah, karena ternyata film hanya menjadikan semuanya sebagai ‘hukuman’. Bukan pembelajaran baginya.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUAL

 

 

 

HUSTLE Review

Meskipun setting ceritanya memang di lingkungan basket, tapi sutradara Jeremiah Zagar tidak semata membuat film tentang olahraga basket, melainkan lebih sebagai drama tentang keluarga dan ambisi. Sehingga kita gak perlu untuk jadi penggemar basket dulu untuk menonton Hustle. Malah, dijamin, Hustle akan menyentuh setiap penonton yang menyaksikan ceritanya.

Adam Sandler sekali lagi membuktikan kematangan aktingnya. Dengan ini namanya tidak lagi disinonimkan dengan komedi-komedi receh. Sandler justru memperlihatkan taringnya sebagai aktor drama keluarga yang punya range natural sehingga karakter yang ia mainkan terasa hidup. Di sini dia adalah mantan pebasket yang kini jadi pencari talent karena cintanya dia terhadap olahraga ini. Dan memang penampilan akting Adam Sandler-lah yang membuat film ini menyenangkan untuk diikuti. Yang membuat naik turun dramanya  tidak seperti bola basket yang didrible keras. Melainkan melantun dengan emosional. Center film ini adalah hubungan antara Sandler dengan pria yang ia temukan jago bermain basket, tapi pria ini not yet ready. Jadi dia harus digembleng, dengan segala permasalahan seputar tim Sandler tidak percaya, dan Sandler melatih orang ini menggunakan biaya dari kantongnya sendiri.

See, Sandler sendiri di sini harus bekerja sebagai tim. Apalagi lawan mainnya kebanyakan adalah pemain basket beneran yang baru sekali ini berakting. Mungkin karena permainan Sandler tinggi di atas yang lain itulah, aku merasa agak kurang konek dengan aktor lain. Terutama lawan mainnya. Aku tidak benar-benar merasa si pria bernama Bo ini pengen banget jadi pemain basket. The reason he played juga gak ditonjolin kuat, hingga ke paruh akhir saat permasalahan baru personal bagi dirinya. Inilah yang membuatku agak sedikit kurang berada di belakang perjuangan mereka saat awal hingga pertengahan cerita. Untuk sebagian besar waktu aku merasa duduk di sana untuk melihat the magic of basketball cinema saja, karakternya kurang. Hanya Sandler yang menonjol.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HUSTLE

 

 

 

INCANTATION Review

Yup, there’s no doubt film ini menunggangi kepopuleran The Medium tahun lalu. Hadir dengan tema horor supernatural, kepercayaan dewa-dewa, dan bercerita dengan teknik found footage.

Dalam beberapa hal, sutradara Taiwan Kevin Ko sebenarnya melakukan lebih baik daripada The Medium. Dia bercerita dengan konsep found footage yang lebih solid ketimbang The Medium yang di awal malah tampak seperti mockumentary lalu lantas ngescrap konsep itu dan beralih jadi full cuplikan kamera. Karakter utamanya juga lebih kuat. Incantation ini adalah cerita tentang seorang perempuan yang di masa lalu pernah melanggar suatu ritual, dan sekarang dampak dari perbuatannya berhasil catching up, dan nyawa putri ciliknya jadi taruhan. Gak kayak Medium, perspektif tokoh utama film Incantation ini lebih fokus dan gak pindah-pindah. Dari aspek horor, selain gimmick pov langsung dari kamera, Incantation juga punya elemen body horror yang langsung menyerang fobia penonton. Diperkuat juga dengan bahasan soal persepsi; gimana kutukan dan berkah sebenarnya tergantung cara orang memandangnya.

Hanya saja film ini gak pede. Atau mungkin, film ini terlalu mengincar seru-seruan ketimbang bercerita dengan benar. Karena film ini actually ngebutcher kejadian atau runtutan peristiwanya. Lalu disusun dengan alur bolak-balik, yang seperti tanpa bendungan tensi. Kita akan bolak-balik antara rekaman video karakter di masa lalu dengan di masa sekarang, yang seringkali setiap perpindahan bikin kita lepas dari kejadian sebelumnya. Sehingga nonton ini jadi kerasa capeknya aja. Keseraman, apalagi journey karakternya, jadi nyaris tidak terasa karena sibuk pindah-pindah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INCANTATION.

 

 

 

METAL LORDS Review

Sebelum Eddie Munson yang bikin semua orang bersimpati, sebenarnya Netflix sudah punya kisah rocker baik hati. Metal Lords garapan sutradara Peter Sollett berkisah tentang dua remaja sekolahan misfit yang mencoba naik-kelas popularitas dengan membentuk grup metal supaya bisa menangin Battle of the Bands.

Selain sebagai cerita coming of age dan persahabatan dua remaja cowok (yang akan involving salah satunya deket ama cewek sehingag mereka jadi renggang), film ini punya ruh metal yang kental. Sehingga tampak seperti sebuah surat cinta terhadap genre musik tersebut. Film membahas tentang bagaimana genre ini di kalangan anak jaman sekarang. Yang lantas semakin berdampak kurang bagus bagi keinginan dua karakter sentralnya untuk populer. Pembahasannya sebenarnya cukup formulaik, alias gak banyak ngasih sesuatu yang baru. Tapi hubungan antarkarakter yang menghidupi ceritanya feels real. Seperti saat melihat Eddie di serial Stranger Things yang membuka mata bahwa, yah, rocker juga manusia, film ini juga memberikan kita insight di balik apa yang dianggap banyak orang sebagai stereotipe seorang anak penyuka musik keras.

Ngomong-ngomong soal keras, I do feel like film ini masih sedikit terlalu berhati-hati, like, masih terlalu ngincar feel good moment. Sedikit pull out punches. Tidak banyak adegan memorable terkait drama. Enggak menjadi sedalam Sing Street. Tapi untuk urusan musik metal, well, film ini memang cukup cadas.  Di adegan battle of the bands, kita akan dapat satu performance musikal yang keren. Bersama satu transformasi karakter yang sama kerennya!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for METAL LORDS.

 

 

 

PERJALANAN PERTAMA Review

Ini film paling baru yang masuk daftar Mini Review. Artikel ini kurampungkan Jumat, sedangkan Kamisnya aku baru saja menonton film ini. Aku sebenarnya punya waktu untuk nulis ini ke dalam review panjang. Namun pas nulis kemaren, aku merasa perlu lebih banyak waktu. Sebelum akhirnya aku sampai pada kesimpulan, bahwa karya Arief Malinmudo ini sebenarnya memang mengandung nilai-nilai baik. Bukan hanya kepada anak, ini bisa dijadikan pelajaran buat kita semua untuk tidak memandang sesuatu dengan mengedepankan kebencian. Tapi dalam penceritaannya, masih clunky. Cerita ini punya dua sudut pandang, dan film tidak mulus – tidak benar-benar paralel dalam membahas keduanya.

Jadi ini adalah kisah tentang anak kecil yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia tidak pernah tahu siapa kedua orangtuanya, kakeknya masih menyimpan rahasia. Sehingga si anak kesel. Ketika si Kakek pergi mengantarkan lukisan pesenan orang, si anak yang tadinya ogah-ogahan akhirnya mau ikut menemani. Di tengah perjalanan, lukisannya dicari orang, sehingga mereka harus menemukan. Tapi masalahnya, si anak gak tahu lukisan kakek seperti apa. Dan si kakek gak mau cerita. Film benar-benar ingin menyampaikan perasaan kesal si anak kepada kita sehingga di paruh awal cerita banyak sekali bagian-bagian narasi yang bikin kesel dan konyol. Ini adalah jenis film yang gets better di akhir, saat semuanya sudah diungkap. Tapi untuk film ini, bagian tersebut agak sedikit terlalu lambat datangnya. Membuat kita berlama-lama di bagian yang gajelas  di awal.

Dialog film ini sebenarnya cukup kaya oleh lapisan. Kayak kalimat ‘orangnya sudah ketemu’ di akhir film yang bermakna dua karena diucapkan oleh karakter yang di awal deny bahwa perempuan harus dicari, bukan mencari. Aku gede di Sumatera, jadi aku tahu Melayu dan Sumatera Barat yang jadi latar film ini memang sangat kuat dalam perumpamaan, dan nilai-nilai budi yang baik. Film ini berusaha menjadi sesuai latarnya itu, tapi tidak benar-benar mulus melakukan. Sehingga di awal-awal banyak muatan adegan-adegan yang seperti pesan-pesan random, kurang integral dengan permasalahan inner karakter. Beberapa malah konyol. Kayak ada adegan mereka ngejar bis, nganterin seorang penumpang anak kecil yang tertinggal. Dan lalu ada suara ibunya yang ngomen dari atas bus, lalu lantas si ibu ngajak anaknya selfie. Konyol sekali.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PERJALANAN PERTAMA.

 

 

 

RANAH 3 WARNA Review

Satu lagi cerita dari tanah Minang, yang juga menjunjung nilai-nilai kebaikan dan berakar kuat kepada adat. Bedanya, Ranah 3 Warna diadaptasi dari novel, dan merupakan cerita sekuel. Sehingga punya advantage dari sisi dunia-cerita dan karakter-karakter yang sudah lebih established. Tapi itu tidak lantas berarti lebih baik dalam penceritaan.

Ranah 3 Warna memang lebih imersif. Di sini karakternya akan berdialog minang dan hanya berbahasa Indonesia kepada karakter yang gak bisa bahasa daerah. Persoalan bahasa benar-benar dikuatkan, karena setting tempat benar-benar masuk ke dalam narasi. Sesuai judulnya, akan ada 3 daerah, banyak budaya, banyak bahasa yang jadi panggung dan mempengaruhi karakter sentral. Tapi ini juga lantas membuat film jadi episodik, karena Ranah 3 Warna diarahkan Guntur Soeharjanto lebih seperti novel, ketimbang seperti film. Dalam film biasanya, konflik karakter akan dibuild up, stake naik, dan solusi baru ketemu di babak akhir cerita, sehingga segala usaha dan pay offnya jadi terasa gede sebagai akhir perjalanan. Ranah 3 Warna ini, konflik itu hadir sebagai permasalahan yang sama dihadapi oleh karakter di setiap tempat yang berbeda. Mereka tidak mengembangkan untuk satu film, tapi satu tempat. Lalu mengulang permasalahan itu ketika karakter kita pindah ke tempat yang baru. Jadinya terasa sangat repetitif.

Apa permasalahannya? soal kesabaran. Jadi ketika di Bandung, karakter kita dihadapkan kepada situasi yang menguji kesabarannya, lalu dia belajar dari nasihat orang, dan lalu ketemu solusi. Adegan berikutnya, pindah tinggal di negara lain. Dan formula konfliknya berulang kembali, walaupun seharusnya karakter utama sudah belajar tentang kesabaran itu di problem sebelumnya. Penonton awam mungkin gak akan masalah, apalagi karena film ini dihidupi oleh karakter-karakter menyenangkan, dengan pesan-pesan yang baik. Film ini bakal menang award cerita berbudi luhur (kalo ada). Tapi sebagai film, ini masih berupa pesan yang disampaikan berulang kali. Nonton ini, aku yang merasa harus belajar sabar.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for RANAH 3 WARNA

 

 

 

THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT Review

Dibuka oleh film meta, ditutup oleh film meta. Yup, sama seperti Chip ‘N Dale yang mengangkat kisah petualangan beneran dari aktor film kartun, film Unbearable ini juga begitu. Mengangkat kisah aktor yang harus ngalamin petualangan beneran. Aktor yang dimaksud adalah Nicolas Cage, yang di sini memainkan versi aktor dari dirinya sendiri. Karakter Nick Cage yang ia perankan dibentuk dari meme, gosip, isu, dan perjalanan karir ikonik yang ditempuhnya dalam real life. So yea, ini adalah film yang sangat lucu, bermain-main dengan karir aktor pemerannya.

Sutradara Tom Gormican tidak lantas membuatnya sebagai perjalanan nostalgia. Melainkan benar-benar mengolah cerita dari sudut pandang aktor Nick Cage. Bagaimana jika persona tersebut dijadikan karakter. Dimainkan langsung oleh Nicolas Cage hanya menambah lapisan di dalam karakter ini. Jika film harus bisa memblurkan antara fiksi dan realita, maka film ini garis tersebut tidak bisa lebih blur lagi. Penceritaannya dibuat ringan, sehingga tidak lantas ujug-ujug jadi  Birdman versi real. Lucunya, film ini membuat hal menjadi lebih besar lagi dengan membenturkan yang namanya film character driven, dengan film action. Dua tone ini meluncur mulus, dan ini membuktikan betapa Nicolas Cage benar-benar fluid dan versatile, di atas punya selera humor yang juga juara.

Tentu saja film bukan hanya tentang satu orang, walaupun basically build around ‘myth’ tentang dirinya. Film juga punya karakter-karakter lain. Dan di sini, semua karakter berhasil mencuri perhatian. At heart, film ini juga adalah tentang persahabatan. Nick Cage akan berteman dengan seorang yang ternyata berkaitan dengan kelompok mafia. Dan persahabatan mereka, yang involving mereka menggarap naskah film bersama-sama menjadi highlight yang bikin ini semakin menyenangkan untuk diikuti.  Jika kalian snob film, film ini akan menghibur tanpa ‘memangsa’ sel otakmu. Jika kalian suka film action heboh, film ini akan membuatmu lebih dari sekadar puas. Jika kalian suka Nicolas Cage, kalian akan treasure this movie forever.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT.

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA