“It is not the mountain we conquer, but ourselves”
Sekawan Limo punya arti dua. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lima sekawan. Sedangkan dalam bahasa Jawa, basically artinya empat-tapi-lima. Judul tersebut memang klop membawa ruh cerita yang tentang persahabatan dari sekelompok anak muda yang naik gunung yang dibalut oleh elemen horor, karena salah satu di antara mereka adalah demit atau hantu. Bayu Skak dalam penyutradaraan horor pertamanya ini memang bermain-main dengan mitos ataupun anekdot-anekdot horor yang dikenal masyarakat, terutama orang Jawa Timur dan orang yang hobi naik gunung. Pun begitu, lewat pesannya, film ini juga punya implikasi yang menurutku cukup bikin sedih terkait orang-orang yang datang ke gunung, lalu hilang.
Pada cerita kali ini, Bayu juga kembali ikut main peran. Sebagai Bagas. Protagonis cerita, yang pergi naik Gunung Madyopuro bersama teman kampusnya, Lenni. Biasalah anak muda, pengen nembak demenannya di puncak. Pas sun set/rise. Tapi karena dua mahasiswa ini baru pertama kali naik gunung, mereka gak tau kalo di gunung banyak pohon cemara, eh salah, ada aturan-aturan. Gak boleh noleh ke belakang, harus naik berkelompok – dan gak boleh berjumlah ganjil. Maka Bagas dan Lenni bergabung bersama dua pendaki lain, Dicky yang ngakunya Mapala dan tahu jalan. Serta Juna yang – kasian banget – ditinggal oleh kelompoknya. Di perjalanan, mau tak mau mereka harus nambah anggota satu demi melihat pendaki bernama Andrew tergeletak kelelahan. Setelah itulah, satu persatu kelompok mereka mulai diganggu demit. Bagas, yang tak tahu, gebetan dan teman-teman seperjalanannya itu diam-diam punya beban masa lalu yang berat, mulai curiga ada demit di antara salah satu dari mereka; demit yang mengundang semua kejadian aneh itu kepada mereka semua.
Sebelum bahas Bagas dan kengkawan di hutan, aku mau point out dulu yang pertama menarik perhatianku. Yakni setting podcast yang membungkus cerita. Jadi petualangan Bagas di hutan itu ceritanya, diceritakan kembali oleh Bagas yang diundang sebagai bintang tamu di acara podcast. Film ini dibuka di studio podcast tersebut. Aku nontonnya, wuih ini udah kayak Late Night with the Devil (2024) nih, bedanya film itu settingnya acara live talk show televisi. Aku penasaran, mau dibawa ke mana nih setting ini oleh Sekawan Limo. Apakah nanti Bagas akan ada konflik dengan lawan bicara yang skeptis, atau bakal ada pertunjukan hantu ‘beneran’ kayak di horor karya sineas Australia tersebut, apa gimana. Dibandingkan demikian, Sekawan Limo ternyata memang tidak menggunakan setting studio podcast (live?) nya sebagai device horor atau drama seperti film tersebut. Melainkan difungsikan lebih untuk sarana penyampai komedi. Sesekali kita berpindah dari kejadian di hutan kembali ke studio saat dua host podcastnya memantik kelucuan dari reaksi dan komentar mereka terhadap cerita Bagas. Kadang terasa dua host ini seperti perpanjangan dari reaksi kita, kadang juga mereka seperti ikut memancing pandangan kita soal siapa yang hantu di antara kelompok Bagas, tapi sering juga mereka ya komedi aja. Sampai-sampai aku jadi gak yakin apakah karakter mereka yang host itu cuma pura-pura konyol supaya perbincangan terdengar menarik oleh pendengar, atau memang karakter mereka memang didesain sekonyol itu beneran.
Mungkin memang mereka sekadar lucu-lucuan, karena toh daging sebenarnya ada pada kelompok Bagas di hutan. Sungguh sebuah grup yang ‘colorful’ kalo boleh dibilang. Mereka mungkin gak semuanya likeable. Tapi mereka tetap menarik, karena sesungguhnya mereka baru kenal – kecuali Bagas dengan Lenni – tapi kita bisa merasakan perlahan mereka ya jadi kayak teman. Lengkap dengan saling ejek dan saling berdebat. Ini yang bikin mereka konek ke penonton. Dinamika mereka, interaksi mereka. Cowok yang hobi naik gunung pasti pernah punya modus ngajak cewek ke gunung kayak Bagas ke Lenni. Aku pun relate juga sama Lenni, yang walau gak bisa bahasa Jawa, tapi kalo diajak ngomong ngerti. Aku juga gitu kalo udah urusan bahasa Sunda ataupun bahasa Jawa itu sendiri, kalo ada circle teman-teman dari sana, ya aku angguk-angguk ngerti tapi kalo ikutan nyeletuk ya keluarnya bahasa Indonesia. Begitulah. urusan bahasa yang digunakan, sepertinya ini jadi icing on the cake dari gaya humor film ini. Bahasa dan gaya khas pergaulan Jawa Timur itu bukannya jadi penghalang, namun jadi pesona tersendiri, dan film ini paham bagaimana menempatkan ‘suara-suara’ ini. Dialog-dialog lucunya, misalnya. Film memang terbuild up ke tebak-tebak siapa yang hantu di antara mereka, dan untuk nyamarin ‘jawaban’ itu, film ini kinda bersandar kepada joke yang becandain fisik (borderline rasis maybe). Like, ada yang diledek karena jelek kayak hanoman, misalnya. Tapi di situ jugalah relatenya. Karena kita belum bisa dibilang temenan akrab sama orang, kalo belum bisa saling hina, saling becanda. Film ini nunjukin terjalinnya persahabatan dari sana, di samping juga dari adegan emotional yang bakal datang di babak tiga.
Yang sebenarnya agak aneh justru journey Bagas sebagai karakter. Aneh, dalam sense film ini punya langkah untuk berkelit around posisi aneh karakter utamanya tersebut. Bagas memang bakal menyadari satu pembelajaran (yang serunya diambil sebagai pemaknaan dari larangan mitos naik gunung), akan tetapi, teman-temannya-lah yang harus ngepush diri dan mental mereka untuk ikut menyadari dan mengambil aksi terhadap penyadaran tersebut. Sementara Bagas sudah berdamai dengan pembelajaran tersebut bahkan sejak cerita dimulai. Kayaknya jarang nemu film dengan naskah yang memperlakukan karakter utamanya di posisi begini. Dibilang lemah karena karakternya gak ada plot/gak berubah, ya enggak juga. Tapi dibilang dia yang ngalamin, ya enggak, teman-temannya yang harus menuntaskan masalah mereka masing-masing. Bagas ada di sana, untuk mengingatkan mereka saja. Film juga berusaha memainkan posisi Bagas ini sebagai hal yang membuat karakternya somewhat suspicious. Bagas yang gak diganggu hantu, jangan-jangan dialah hantu di grup mereka tersebut.
Justru sekarang, ruang berkelit kita-kita sebagai pengulas yang jadi sempit. Susah untuk enggak menyenggol spoiler, ketika justru revealing-nya itu tempat makna, gagasan utama, dan pesan cerita berada, dan film memutar diri untuk sepenuhnya bersandar kepada revealing tersebut sebagai momen dramatis. Makanya aku gak mau bahas banyak soal ‘jangan melihat ke belakang’ tersebut. Aku justru ingin fokus ke implikasi yang sama menyedihkannya. Yaitu di awal film, saat masih di pos depan, Bagas dan Lenni melihat banyak sekali foto-foto pengunjung/pendaki yang hilang di gunung. Mereka sendiri juga bakal ngerasain gimana seramnya tersesat di gunung dan bisa dibilang nyaris hilang juga. Tapi mereka resolved their problems. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh korban-korban yang hilang tersebut. Sedihnya tu di sini: Berarti banyak banget pendaki yang naik gunung dengan bawaan masa lalu yang berat banget seperti karakter film ini, dan bahkan mungkin sebagian dari orang yang hilang itu seperti Lenni, yang sengaja naik gunung buat mengakhiri capek dirinya.
Makanya gunung sering jadi simbol entah itu pencarian menemukan diri, ataupun ya tempat mengadu saat hati galau. Bukan hanya sebagai tempat romantis untuk nembak cewek. Gunung bisa jadi tempat entah itu kita berhasil menemukan kembali diri, atau jadi tempat terakhir. Yang kita lalukan saat mendaki gunung, bukanlah menaklukan gunung tersebut, melainkan menaklukkan diri kita sendiri. Berdamai dengan diri kita sendiri
At best, film ini dengan narasi ‘jangan menoleh ke belakang” tersebut bisa berfungsi sebagai semangat untuk tidak lari dari masala(h)lu. Bahkan mungkin bisa jadi cerita asli Indonesia yang anti-suicide (serta yang duluan muncul sebagai film anti-judi online!). Pesan film ini baik sekali. Meskipun, cara penyampaiannya masih bisa diperdebatkan lagi. Menurutku, film ini mengambil jalur yang repetitif dalam mencapai puncaknya tersebut. Bagas punya empat teman dengan masalah masing-masing, berarti ada empat kali ‘metoda’ yang sama kita lihat dilakukan oleh film dalam menceritakan penyadaran karakter-karakter tersebut. Alhasil film ini memang punya nada emosional positif yang tinggi menjelang akhir tersebut, tapi karena diceritakannya hanya bergantian, jadinya repetitif sehingga tempo agak drag mencapai ke penutup cerita – yang sekali lagi setting podcast dimunculkan, kali ini difungsikan sebagai sarana konklusi romantis yang manis, meski tetap lanjut dengan vibe horor komedinya.
Bahan-bahan racikan film ini sebenarnya bagus. Memadukan misteri, horor hantu-hantuan, dan komedi persahabatan dengan pamungkas emotional note yang tinggi. Belum lagi konsep naik gunung dengan segala mitosnya (termasuk mitos kedaerahan seperti penanggalan Jawa). Urusan bahasa, udah gak jadi soal. Penonton kita kayaknya gak peduli language barrier (gak kayak penonton Amrik sono yang baca subtitle aja males-malesan). Bahasa justru jadi identitas dan pesona tersindiri yang memperkaya perbendaharaan penonton. Cuma memang penceritaannya agak kikuk. Yang masih bisa dimaklumi terjadi ketika sebuah film mengusung banyak konsep, seperti di sini ada setting podcast juga, ada desain ke membuat penonton menebak-nebak, ada demit ‘beneran’ dan demit ‘masa lalu’. Dan ada empat orang – setidaknya – yang harus digali (bukan hanya pada akhir tapi juga basically sepanjang durasi), sementara ada satu protagonis utama yang juga harus dicuatkan. Film ini kebetulan mengambil jalur ‘aman’ yang repetitif, resulting ke tempo yang lebih draggy, alih-alih potong kompas alias lebih ‘garang’ di arahan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SEKAWAN LIMO
That’s all we have for now.
Kalian punya pengalaman naik gunung yang seru – dan kalo bisa horor – gak?
Silakan share di komen yaa
Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL