REVENGE Review

“Revenge is the single most satisfying feeling in the world”

 

 

Apa yang rasanya manis dan berwarna merah, tapi bukan apel? Balas dendam jawabannya.

Sebagian besar dari kita pasti pernah memikirkan skenario membalas budi jahat yang seseorang lakukan kepada kita – setidaknya untuk beberapa menit. Kita berfantasi gedein otot untuk memukul rata hidung mancung yang telah merebut cewek demenan. Kita membayangkan hidup sukses, kemudian membeli perusahaan dan memecat si bos sok galak, di depan seluruh karyawan. Kita mengarang cerita-cerita dahsyat seputar keinginan untuk menggetok orang-orang yang sudah memperlakukan kita salah. Dan kita puas karenanya. Balas dendam, bagi sebagian besar orang, dilampiaskan dalam bentuk cerita, karena kita lebih memilih untuk move on dengan kehidupan kita. Makanya, cerita-cerita tentang balas dendam selalu adalah cerita yang digemari, dari Hamlet ke Carrie, ke Gone Girl. Dan sekarang estafetnya berlanjut ke Revenge; thriller sadis buatan sutradara baru asal Perancis, Coralie Fargeat.

Revenge ini bagaikan hidangan dingin yang disajikan Fargeat demi menjawab isu kesetaraan wanita berkaitan dengan pelecehan dan berbagai tindak injustice terhadap cewek. Ceritanya tentang Jen (salut buat Matilda Lutz yang memainkan adegan-adegan intens nan fisikal) yang lagi menghabiskan waktu romantis bersama pacarnya yang kaya di rumah gede di tengah-tengah entah di mana. Kalian ingat kampanye baru-baru ini soal pemerkosaan bukan semata disebabkan oleh baju yang dipake oleh korban? Well, yea, yang jelas, baju adalah salah satu roda gigi dalam perkara yang terjadi pada Jen. Tidak mengharapkan bakal ada orang lain di sana, Jen tampaknya hanya ngepack baju-baju minim. Membuat dua orang teman cowoknya yang kebetulan berkunjung menelan ludah berkali-kali. Keramahan dan sikap playfulnya tentu saja ditangkap dengan makna berbeda lantaran Jen melakukannya dengan pakaian yang lebih banyak kebuka ketimbang tertutup. Tak ayal, Jen diperkosa. Pacarnya pun ternyata bukan pangeran berkuda putih. Khawatir akan ancaman Jen mengadu kepada sang istri, cowok Jen yang sudah berkeluarga ini malah berusaha mengenyahkan Jen selamanya. Usaha mereka gagal. Malang bagi mereka sih, karena Jen bukan termasuk dari sebagian orang yang suka berfantasi soal balas dendam. Jen adalah sebagian lagi yang tidak puas sebelum darah dibayar dengan darah.

gambaran telak bagaimana cewek masih dianggap disposable oleh cowok

 

 

Pertanyaan berikutnya:

Tau gak, perbedaan antara hukuman ama balas dendam alias main hakim sendiri?

 

Hukuman pada dasarnya diberikan sebagai ganjaran agar pelaku jera, supaya mereka bisa mengambil pelajaran dari apa yang sudah mereka lakukan. Pekerjaan menghukum ini adalah pekerjaan terhormat, diberikan kepada yang berwenang. Sedangkan, main hakim sendiri dalam rangka balas dendam enggak punya tujuan semulia itu. Balas dendam adalah supaya pelaku menderita sebesar-besarnya. Supaya mereka merasakan sakit dan perih dan terhina yang kita rasakan, bahkan lebih besar lagi. Inilah yang dicari oleh Jen. Ini jualah yang ingin direkam oleh kamera Fargeat. Menghasilkan sebuah film yang demikian sadis aku berulang kali menyipitkan mata tatkala menonton film ini. Enggak ada yang ditahan-tahan, semua kekerasan dan luka-luka yang terpikirkan oleh pembuat film diwujudkan ke ujung hidung kita. Layar yang seketika penuh warna warni, dengan setting rumah yang mulus bersih seketika menjadi padang tandus berbatu, bersimbah merah.

Transformasi Jen digambarkan dengan begitu drastis. Pada menit-menit awal cerita, film memperkenalkan kita kepada tokoh yang  holywood banget. Helikopter yang tadinya berupa titik, kemudian mendekat. Kemudian turunlah penumpangnya; pria macho kaya dan cewek pirang berkacamata hitam, sambil ngemut lollipop. Di titik ini, kita melihat Jen benar-benar sebagai cewek muda yang kerjaannya godain laki-laki. Biar kekinian, kita boleh menyebutnya pelakor. Kamera dengan lincahnya memposisikan mata kita pada pinggang Jen yang mengenakan rok pendek yang kian melambai seolah mengundang pria-pria asing yang tak dikenalnya mendekat. Tapi tak pernah diperlihatkan lebih daripada itu, kamera dan sudut pengambilannya dibuat seolah menantang kita untuk berpikir macem-macem padahal kita mengerti Jen tidak benar-benar berniat melakukan lebih jauh dari sekadar flirt canda-candaan.

Setelah mid-point, Jen benar-benar berubah. Bahkan warna rambutnya menjadi berbeda setelah semua debu, tanah, dan darah itu menempel. Film berusaha melambangkan perubahan Jen sebagaimana burung phoenix; lahir dari abu. Ada sekuen Jen di dalam gua, dengan penerangan api unggun, berusaha menyembuhkan diri sendiri. Literally ada gambar burung di kaleng yang ia gunakan untuk membakar luka parahnya; gambar yang kemudian menjadi tato sebagai semacam simbol mockingbird yang beneran terbuat dari darah dan daging. Kemampuan memancing perhatian cowok yang dimiliki Jen beralih fungsi menjadi kemampuan mereka keluar ke jangkauan bidikan senjata api rampasannya. Jen masih vulnerable di dalam dan luar, namun dia sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Dirinya tak lagi memandang diri sebagai pemuas, dia ingin memuaskan diri sendiri akan dahaga pembalasan.

predator yang diburu

 

Perspektiflah yang membuat ‘cerita lama’ ini tampil begitu fresh. Baik itu sudut pandang tokoh utamanya, maupun sudut pandang sang sutradara. Kamera akan seringkali mematri mata kita ke gambar-gambar yang bikin gak nyaman. Kita akan ‘dipaksa’ melihat mulut pria berdecap-decap mengunyah coklat bar, bagian putihnya yang lengket sengaja dijadikan fokus, supaya kita merasakan ke-uneasy-an, ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Jen. Shot-shot dekat semacam ini membuat film pantas untuk dipelototin. Favoritku adalah ketika mereka ngeclose up semut, kemudian tiba-tiba tetesan darah jatuh mengenainya, diiringi dengan suara yang bikin makin gak enak pula. Banyak imagery unsettling seperti demikian ditampilkan oleh film, yang membuatku penasaran sama karya-karya lain yang ditelorkan oleh Fargeat. Maksudku, jika fantasi rape-revenge yang brutal aja bisa dibuat olehnya sedemikian menarik dan menghibur, gimana hasilnya kalo dia garap film yang lebih serius, kan.

Meskipun survival kucing-kucingan ini diceritakan dengan sangat menghibur, toh seperti halnya balas dendam itu sendiri, akan ada sebagian orang yang gak bakal terpuaskan sama film ini. Bahkan mungkin sebagian orang gak bakal mau bertahan nonton ini sampai habis. Revenge, sesungguhnya, adalah sajian yang enak dinikmati jika kita mau ngesuspend our disbelief. Karena banyak adegan-adegan sadis di film ini yang amat sangat tak masuk di akal. Ada satu adegan di mana Jen seharusnya sudah mati, tapi film ini dia dibuat masih bisa hidup lagi. Masih kuat melaksanakan aksi dendamnya, pula. Cerita menggunakan drug sebagai jalan keluar, yang sebenarnya hanya tempelan, sehingga membuat kejadian di film ini sebenarnya dipermudah.  Tapi sejujurnya, film juga tidak pernah meminta kita untuk menganggap dirinya sebagai sesuatu yang masuk akal. Shot-shot di awal yang seolah perlambangan, kayak apel yang dibiarkan membusuk, sebenarnya turut berfungsi untuk melandaskan tone cerita di mana semuanya akan menjadi ‘membusuk’ as in kita bakal melihat orang yang isi perutnya nyaris tumpah tapi masih sanggup lari-larian.

 

Jadi, pertanyaan terakhirnya adalah:

Kenapa balas dendam itu begitu memuaskan?

Jawabannya adalah karena dengan berhasil balas dendam, kita merasa yang salah sudah dibenarkan. Kita melakukan sesuatu yang jelek, memang benar, tapi itu semua demi tujuan yang kita anggap mulia.

 

 

 

Dan pada gilirannya, kenapa nonton film yang begini tak masuk akal dan merendahkan moral bisa begitu memuaskan? Kupikir jawaban untuk yang satu ini akan lebih kompleks lagi. Sebab, film ini berhasil diceritakan dengan sudut pandang yang segar. Karakter-karakter dalam film ini dengan cepat bertukar peran, dan sama seperti kita, masuk akal atau tidak, kebetulan atau bukan, kita akan puas melihat perjuangan mengembalikan keadilan, tidak peduli seberapa brutalnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for REVENGE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DEADPOOL 2 Review

“Family is where the heart is”

 

 

Sekurang-kurang ajarnya Deadpool, Wade Wilson di balik topeng merah hitam itu masih punya hati. Hal ini sudah ditetapkan oleh film pertamanya yang sukses berat, breaking the ground dengan gaya liarnya sembari tetap ngegrounded kita kepada jalan cerita lewat penulisan tokoh yang pinter. Pertanyaan yang sekarang diajukan oleh sekuelnya ini adalah; Apakah hati sang anti-hero ini sudah pada tempatnya yang benar?

Di sela aktivitas sehari-harinya memisahkan anggota tubuh para penjahat di seluruh dunia dari badan mereka, Wade Wilson (serius deh, Ryan Reynolds  sudah begitu mendarah daging dengan perannya ini) sempat ngerem sebentar, melepas topengnya, demi merayakan hari jadian dengan Vanessa. Mereka sudah bulat tekad untuk membangun keluarga. Deadpool bahkan sudah punya nama untuk calon anak. Naas, darah daging Deadpool tak pernah sempat dibuat. ‘Pabrik’nya ketembak. Mengirim Deadpool ke jurang nestapa; ia ingin menyusul Vanessa ke alam baka tapi tak bisa. Tau sendiri kan, kekuatan super tokoh kita ini adalah ia enggak bisa mati. Bahkan setelah melakukan aksi bom bunuh diri (bukan di gereja loh, di apartemennya sendiri biar gak melukai orang tak berdosa; Deadpool masih punya hati, ingat?) dan badannya bercerai berai, Deadpool masih sehat wal afiat. Di pengalaman mati-not-really tersebutlah, Wade dinasehati Vanessa untuk meletakkan hati pada tempatnya, menyuruh Wade untuk melakukan hal yang benar. Jadi, Deadpool bergabung dengan X-Men. Sebagai anggota percobaan tentunya, mengingat sifatnya yang ogah ikut aturan.

Deadpool is the SHIT (Super Hero In Training)

 

Dalam salah satu misi bersama Colossus dan Negasonic – and her girlfriend – lah, Deadpool bertemu dengan mutant remaja superemosian yang lagi mengamuk ingin menghancurkan panti asuhan dan membunuh kepala sekolah yang selama ini sudah melakukan berbagai percobaan menyakitkan kepadanya. Deadpool quickly merelasikan anak tersebut dengan permintaan Vanessa, Deadpool ingin menjaga si Russel ini layaknya anak kandung sendiri. Persoalan menjadi rumit tatkala Cable (Josh Brolin sempet dipanggil Thanos oleh Deadpool hhihi), seorang mutant bersenjata lengkap datang dari masa depan dengan tujuan membunuh Russel, demi mencegah anak itu untuk tumbuh dewasa menjadi supervillain yang sudah membunuh keluarganya.

Cerita Deadpool 2 memang sedikit terlalu all-over-the-place, enggak seperti film pertama yang lebih fokus. Ada bagian Deadpool berusaha menyatu dengan cara-main X-Men, ada bagian Deadpool berusaha berkoneksi dengan Russel, juga ada kala ketika Deadpool balik bekerja sama dengan Cable. Pada satu titik cerita, kita lihat Deadpool mengadakan audisi untuk merekrut pasukan superhero dalam misi menyelamatkan Russel dari penjara, dan kocaknya dia menerima semua yang melamar – bahkan yang enggak bena-benar punya kekuatan super juga lolos audisi. Dari luar, ini adalah bagian ketika film seperti memarodikan film-film assemble superhero kayak Avengers, dan memang elemen cerita ini digarap dengan kocak – lagi brutal hihi.. Namun dari lapisan yang lebih dalam, elemen cerita ini sebenarnya ditujukan untuk memperlihatkan Deadpool belum mengerti apa yang ia cari. Setiap yang dijumpai oleh Deadpool sesungguhnya paralel dengan pembelajaran yang harus ia lewati. Seperti Cable misalnya, tokoh ini belakangan akan kita sadari ternyata punya persamaan mendasar dengan Deadpool.

Deadpool tampak ngeloyor keluar dari karakternya. Karena konteks cerita kali ini memang adalah tentang bagaimana Deadpool mengenali apa arti dari keluarga, karena di situlah letak hati kita semestinya. Hati kita berada bersama orang-orang yang beresonansi dengan kita. Film mengeksplorasi hal ini dengan sudut pandang khas Deadpool, dalam gaya bercerita yang hanya Deadpool yang bisa, dan inilah yang membuatnya super menyenangkan.

 

Bahkan sinopsis dua paragraf yang kutulis belum mampu untuk benar-benar mencerminkan betapa ramenya Deadpool 2. Masih ada banyak kejutan dan hiburan yang datang dari cameo-cameo yang bakal membuat bukan saja penggemar buku komik Marvel, melainkan juga penggemar film superhero secara umum. Banyak referensi berseliweran. Sedikit terlalu banyak sih. Deadpool 2 masih tajam dalam nyeletuk soal dunia film superhero, ketika dia membuat jokes yang berdiri sendiri penonton masih dibuat terbahak-bahak, namun untuk alasan tertentu, film ini lebih favor ke mengandalkan referensi fiilm lain ke dalam guyonan mereka. Masih kocak, tapi ketawa yang beda aja gitu. Referensi itu pun semakin liar. Sekarang Deadpool sudah berani nyentil superhero dari brand sebelah.  Menyebut istilah dari film-film yang lain. Salah satu celetukan original film ini yang paling menarik adalah gimana mereka menekankan bahwa ini adalah film keluarga, satir yang dialamatkan tentu saja kepada para orangtua clueless yang membawa anak mereka menyaksikan film penuh kekerasan dan sexual innuendo ini.

Sementara film dengan protagonist kurang ajar sampe sampe dijuluki Merc with a Mouth semakin lantang bersuara, porsi aksinya tampak agak terlalu biasa saja. Maksudku, Deadpool (2016) terutama bersenang-senang dengan kamera dan slow motion dan timing aksi berantem. Pada puncaknya, seolah film tersebut ikutan meledek pembuatan film aksi. Pada film kali ini, Deadpool masih menendang pantat, menumpahkan darah, dengan asyik dan suka ria, tapi tidak banyak kreasi yang ditawarkan. Sutradara David Leitch sebenarnya enggak kalah pengalaman dalam ngegarap film aksi, kita udah nikmatin Atomic Blonde (2017). Namanya juga literally nampang di kredit pembuka film ini sebagai “Salah satu orang yang membunuh anjing di John Wick”. Tapi apa yang ia lakukan di sini, meskipun sekuen aksinya digarap penuh skill dan gak bikin pusing yang nonton, pretty much lurus-lurus aja. Tidak ada yang salah, hanya saja aku mengharapkan aksi yang lebih imajinatif dan gak masuk akal kalo perlu – mengingat tone cerita film ini.

jadi penasaran, segila apa ya jadinya kalo Taika Waititi dikasih jatah ngegarap film Deadpool hhaha

 

Dari segi cerita sendiri, aku gak pernah total sreg sama elemen perjalanan waktu. Time travel atau pengulangan waktu bisa menyenangkan jika diolah dengan unik, atau menjadi stake dalam cerita. Tapi ketika dijadikan penyelesaian, aspek ini malah terasa seperti alat untuk memudahkan cerita. Sebenarnya aku bingung juga apa yang mau dikatakan lagi soal kritik lantaran komentar-komentar breaking the 4th wall dari Deadpool udah kayak sekalian ngereview filmnya sendiri. Aspek-aspek seperti time travel, juga ada superhero yang kekuatannya adalah keberuntungan, secara gamblang sudah disebutkan oleh kelakar Deadpool sebagai bentuk dari penulisan yang malas. Dan hal tersebut benar adanya; keberuntungan lebih sering dijadikan device untuk memfasilitasi kejadian A bisa sampai menjadi kejadian B. Sedankan time travelnya sendiri, aku nunggu-nunggu Deadpool ngeledek aspek ini, tapi dia tidak melakukannya. Satu hal yang luar biasa kocak terjadi karena aspek time travel di film ini sih, kusarankan kalian bertahan nonton sampai akhir kredit penutup untuk melihat adegan lucu tersebut.

 

 

Jokes, referensi, darah, potongan kepala, musik jadul, kumis, bahkan muntahan asam, digodok kemudian dilemparkan ke dinding dan menempel membentuk kata “F-U-N”. Begitulah gambaran yang tepat untuk film ini. Kita akan bersenang-senang menontonnya, tak peduli berantakan yang sudah ia ciptakan. Kalo mau dibandingkan, film ini sebenarnya tidak semengguncang film pertamanya ketika muncul di bioskop tahun 2016 lalu. Lebih liar, memang. Lebih brutal. Hanya saja, terlalu bersenang-senang dengan trope ini membuatnya tampak menjadi sedikit kurang kreatif dalam membangun cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for DEADPOOL 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SAJEN Review

“Suicide is a permanent solution to a temporary problem.”

 

 

Sekalinya nekad nitip absen satu mata kuliah, pasti deh, yang dibolosin itu ngadain kuis mendadak. Atau enggak, kuliahnya mendadak asik kata teman-teman yang masuk. Dan besoknya, dibelain-belain masuk, mata kuliah tersebut kembali sukses bikin kita ketiduran di tempat duduk. Film horor Indonesia keadaannya persis begini. Begitu aku sengaja ngelewatin satu film, santer terdengar bahwa ternyata film itu bagus, menarik, dan sebagainya lah yang bikin aku nyesel gak nonton. Kemudian aku coba nonton horor Indonesia berikutnya; kembali aku mengutuk-ngutuk setengah mati.  Nonton film horor Indonesia di bioskop belakangan ini pretty much seperti kita penasaran takut ketinggalan sesuatu yang penting, sedangkan di saat bersamaan kita males menontonnya karena kita sudah tahu harus mengharapkan apa.

Singkatnya, kita butuh ‘sesajen’ supaya kita sudi untuk nonton film horor Indonesia.

 

Sejujurnya, satu-satunya alasan aku nonton ini adalah karena diajak oleh Forum Film Bandung. I have no interests whatsoever, aku gak tahu pemain-pemainnya yang berfollower banyak, buatku Sajen adalah ‘kelas’ yang dengan senang hati aku bolosin. Tapi ternyata, film ini memang beda. Film ini unik banget…….buat penonton yang belum pernah menyaksikan film Thailand Bad Genius (2017), yang belum pernah dengar serial di Netflix 13 Reasons Why (2017), yang gak tau siapa Sadako, yang belum pernah baca dan nonton Carrie nya Stephen King. Dengan kata lain, penonton yang selama ini tinggal di dalam goa – come on, semua itu adalah pop-culture populer! Kalolah ini kelas, aku bilang, aku gak akan tertidur, aku malah sangat terhibur karena yang aku saksikan di depan kelas itu adalah badut dengan lelucon plesetan yang amat teramat sangat konyol.

Sajen punya lingkungan cerita yang menarik. Sebuah sekolah menengah atas swasta yang mentereng, muridnya kece-kece, tajir pula, seisi sekolahan ini mengkilap, ruang komputernya lengkap, ada perpustakaan, wc nya kayak wc di bioskop, bangku siswanya kursi empuk di kantoran – bisa muter, menyediakan sudut pandang 360 derajat yang sempurna untuk nyontek. Namun di tengah-tengah itu semua, ditemukan sesajen-sesajen tradisional di beberapa tempat. Tidak ada yang boleh bertanya tentang sesajen tersebut, apalagi memindahkan. Karena ternyata sekolah ini punya rahasia. Banyak murid yang meninggal bunuh diri sehingga arwah mereka tidak tenang.  Demi menjaga nama baik sekolah, pihak guru dan authorities sekolah enggan menyelidiki bunuh diri tersebut. Sampai akhirnya ada satu siswi bernama Alanda yang merekam apa yang dilihatnya di sekolah, video yang berisi aktivitas murid-murid di sekolah ini yang sudah lama membuatnya geram. Jadi, beda dong, Alanda Baker menggunakan rekaman video, sementara Hannah Manopo pake kaset tape. Perundungan merajalela. Anak-anak populer ngegencet anak-anak lain. Bahkan Alanda sendiri menjadi korban. Dia dikasari, dia dicekoki minuman keras, direkam saat mabok dan videonya disebarin. Alanda juga diperkosa. Namun setelah semua tragedi itu, malah ia yang dipersalahkan. Alanda dituduh mencemarkan nama baik sekolah. Karena tidak tahan menghadapi semua rundungan tersebut, Alanda bunuh diri. Kemudian barulah dia kembali sebagai hantu, ia membully balik orang-orang tersebut, dan mencoba membuat sekolah mereka tempat yang lebih baik dari alam sana. And I’m not even kidding.

Aku gak tahu gimana kalian bisa membaca sinopsis tersebut tanpa tertawa, karena aku sendiri saat mengetiknya sempat berhenti tiga kali lantaran jari-jariku terlalu gak stabil saat aku mulai ngakak berat mengenang apa yang baru saja aku tonton.

satu hal yang bisa kusukuri dari film ini adalah Grace Salsabila yang mirip banget ama Britt Robertson

 

Film ini parah, tapi bukan berarti aku tak terhibur – kita bisa sangat terhibur dengan menonton ini. Dan lagi film ini parah bukan karena aku sedari awal sudah tak tertarik nonton, ataupun bukan karena aku kebanyakan referensi. I mean, jikapun kalian belum pernah nonton Thirteen Reasons Why dan segala yang kutulis di atas, film ini tetap gagal karena penggodokan elemen-elemen cerita yang begitu ngasal dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah penceritaan film yang baik dan benar. Oleh karena film ini begitu nafsu untuk ngikutin materi-materi lain; serius deh, film ini akan bekerja baik jika kita melihatnya sebagai parodi konyol dari film yang lebih sukses, maka aku pun akan nulis ulasannya dengan plesetan. Jadi, inilah, TIGA-BELAS ALASAN KENAPA SAJEN MEMBUNUH DIRINYA SENDIRI SEBAGAI SEBUAH FILM:

  1. Babak pengenalan yang tidak jelas. Karena niruin banyak, film ini punya banyak perspektif untuk digali. Namun malah bingung sendiri mengambil fokus yang mana. Maksudku, jika ternyata sebagian besar cerita nantinya akan mengisahkan dampak bunuh diri cewek yang dirundung terhadap orang-orang sekitarnya, maka kenapa cerita malah memulai dengan memperlihatkan si tukang bully yang bahkan gak sempat punya arc di penghujung hidupnya.

 

  1. Film ini memasukkan elemen persaingan dua murid paling pinter di angkatan seperti film Bad Genius, hanya saja Sajen gak punya follow up yang menarik yang datang dari persaingan ini, selain menambah deretan orang yang menyakiti hati Alanda. Juga, Sajen gak bisa punya fenomena paling menarik yang diangkat Bad Genius; bahwa orang pintar itu yang ngebully. Sedangkan Sajen terasa sangat tradisional dengan anak pintar dirundung oleh anak yang populer

 

  1. Elemen 13 Reasons Why nya juga begitu, film ini melewatkan bagian terpenting kenapa serial tersebut begitu menyentuh. Basically, Sajen merangkum tiga belas episode menjadi empat-puluh-lima menit kurang, sehingga tokoh-tokoh di sini tidak berhasil hadir dalam lapisan, mereka semuanya masih satu-dimensi. Ada twist di akhir yang totally membelokkan satu tokoh, tapi itupun build upnya nyaris gak ada dan hanya bertumpu pada elemen kejutan. Sajen juga berani menampilkan adegan bunuh diri dengan gamblang di layar, masalahnya adalah justru adegan bunuh dirilah yang membuat 13 Reasons Why kontroversial. Maka bayangkan, jika serial yang sudah mengupas begitu seksama soal kejiwaan dan sisi emosi aktual dari sisi pelaku rundung, orangtua korban, dan si korban itu sendiri masih dinilai terlalu mengglorify bunuh diri dan mengajak remaja target penontonnya ke tindakan yang salah; gimana jadinya cerita tiruan yang merupakan rangkuman dari cerita kompleks tadi dalam menampilkan adegan bunuh diri – tak lain tak bukan hanya untuk sedih-sedihan dengan makna sesungguhnya sama sekali tak tercapai. Berubah menjadi hal yang menggelikan, malah

 

  1. Serius deh, cita rasa lokal yang ditambahkan membuat semuanya menjadi dangkal. Elemen hantu selain bikin cerita jadi konyol, juga bikin penyelesaian jadi ngambang. It really takes us away dari problematika yang sebenarnya. Pelaku perundungan jadi gak belajar banyak, fokusnya menjadi mereka takut sama hantu alih-alih menyesali dan reflecting ke diri sendiri, menyadari apa yang mereka perbuat itu salah. Mereka tidak peduli sama Alanda ataupun mikirin supaya jangan terjadi korban lain, mereka hanya khawatir soal hantu. Di satu poin, ada tokoh yang mengusulkan jalan keluar dengan membangun musholla di sekolah, tapi itu bukan demi kebaikan para murid – biar mereka sadar dan sering ibadah – melainkan lebih ke biar para hantu takut untuk datang mengganggu

 

  1. Hantu yang tampil di sini pun sama sekali tidak seram. Film tidak mampu mengarahkan ke sebenarnya horor karena terlalu sibuk nyontek film lain. Akibatnya untuk nampilin horor, mereka pakai banyak sekali jumpscare, baik yang palsu (tepukan orang dari belakang punggung) hingga ke kemunculan hantu yang entah kenapa di sini hantunya seperti harimau ataupun T-Rex yang selalu mengaum sebelum beraksi

 

  1. Sepertinya fokus ngeriset nontonin film lain, Sajen lupa melakukan riset bahwa bully sudah ada padanan kata dalam bahasa Indonesia.

 

Kita tidak bisa dan tidak seharusnya membuat bunuh diri sebagai tindakan mencegah perundungan. Seharusnya yang diajarin adalah bagaimana supaya membuat orang-orang menjadi less-violent terhadap sesama. Dengan teman sekolah, kita dirundung. Sekolah juga kerap ngebully kita dengan tuntunan nilai. Dunia kerja juga ntar begitu. Malah ada juga orangtua yang merundung anaknya dengan segala kewajiban membuat mereka bahagia. Film ini juga menggambarkan hantu aja kena dibully sama bacaan doa. Seluruh dunia adalah tukang bully. Kita ini bagai pendulum yang berayun dari posisi pelaku ke korban dengan begitu gampang. Mestinya menyingkapi inilah yang dijadikan fokus. Adalah perbuatan yang salah melakukan perundungan dalam bentuk apapun. Namun juga bukanlah hal yang benar untuk bunuh diri dengan harapan orang-orang akan menyesal atas perbuatan mereka ke kita. Apalagi kalo niat bunuh dirinya biar bisa jadi hantu dan balas dendam. Yang perlu diingat adalah; berkebalikan dengan yang ditunjukan oleh film Sajen, bunuh diri bukanlah bentuk pengorbanan, bunuh diri bukanlah tindakan noble ataupun kesatria. Jangan gebah orang untuk melakukan hal itu. Encourage people to speak up.

dan film ini pun membully penontonnya dengan jumpscare-jumpscare bego.

 

  1. Tokoh Rachel Amanda yang mestinya bisa berperan banyak, bahkan bisa dijadiin tokoh utama, malah dibuat tidak melakukan apa-apa. Perannya adalah librarian yang diam-diam bikin artikel tentang perundungan yang terjadi di sekolah. Tapi actually waktu tampilnya sangat sedikit, artikelnya enggak berujung ke mana-mana. Dan satu-satunya hal yang ia lakukan malah bagi-bagi tisu ke tokoh yang nangis. Bahkan filmnya sendiri beneran menyebutkan hal ini, seolah mereka sadar mereka sudah membuat tokoh ini tampak begitu gak ada gunanya.

 

  1. Tokoh ibu si Alanda yang setengah gila juga dibuat bego banget. Dia memegang bukti kuat perihal perundungan dan kejadian yang menimpa putrinya. Tapi gak dikasih-kasih ke yang berwajib. Padahal enggak ada yang menghalangi dia untuk menggunakan bukti tersebut. Plus dari segi wajah dia lebih cocok sebagai ibu si cewek tukang bully. Plus keluarga si cewek tukang bully tidak pernah dibahas karena siapa yang peduli soal karakter antagonis, kan, film horor Indonesia?

 

  1. Lagu tradisional Sunda “Cing Ciripit” yang diputer berkali-kali, padahal selain adegan pertama kemunculannya, momen lagu ini tidak pernah terasa emosional

 

  1. Satu lagi karakter yang enggak jelas, dan sok dibikin misterius, adalah si janitor yang dandanannya lebih mirip dukun. Aku ngerti dia di sana dipekerjakan karena sepertinya cuma dia yang tahu cara bikin sesajen. Namun, alasan dirinya di menjelang akhir membuang sajen-sajen itu pada malam prom sungguh tidak terpikir buatku

 

  1. Adegan prom itu salah satu yang bikin aku ngakak sejadi-jadinya. Hantu Alanda mengurungkan niatnya memporakporandakan seisi aula lantaran dia melihat video kejadian sebenarnya yang diputar impromptu oleh seorang pelaku rundungnya yang mendadak bulat tekat untuk insaf, dan Alanda jadinya hanya mengejar satu orang. Dan yang lain hanya nonton manis ngelihat Alanda nyekek tuh pelaku utama

 

  1. Alanda tampak seperti anak baik dengan tujuan yang lurus. Dia ingin menyetop perundungan yang terjadi di sekolahnya, dengan merekam tindakan itu sebagai bukti. Untuk apa? untuk disebarkan? Tapi tidakkah itu membuatnya jadi bully juga? Ini sama heroiknya dengan kejadian orang-orang yang memvideokan penyimpangan padahal mereka ada di sana dan bisa menghentikan secara langsung. Namun, generasi sekarang lebih suka mempostingnya dan menghujat perbuatan itu ramai-ramai di social media. Alanda juga berkata kita harus bisa memanfaatkan kesempatan, yea, dia membuktikan kata-katanya dengan lebih memilih bunuh diri supaya bisa dapat kesempatan jadi hantu.

 

  1. Karena ini cerita hantu, jadi tidak ada konsekuensi nyata yang tersampaikan kepada kita buat pelaku perundungan itu sendiri. Dalam film ini mereka antara mati dibunuh hantu, ataupun menjadi gila. Bagaimana film ini bisa menyampaikan pesan biar orang berhenti ngebully di dunia nyata? Toh tidak ada hantu di dunia nyata yang bisa menghukum? …eh, atau ada?? Jengjeng!!

 

 

 

 

Film ini adalah film yang berani……mengadopsi serial dan film populer secara tak resmi dan menyesuaikannya dengan keadaan yang relevan dengan cita rasa lokal namun totally missing the point dari pesan yang mau disampaikan. Membahas perundungan, pencitraan, mental ngejudge, serta popularitas dan kompetisi, yang merupakan perjuangan yang harus dihadapi oleh remaja-remaja SMA di dunia di mana hantu bisa menegakkan kebenaran.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for SAJEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WINCHESTER Review

Unresolved guilt is like having a snooze alarm in your head that won’t shut off

 

 

Tidur akan menjadi hal yang begitu susah untuk dilakukan jika nurani kita masih terganjal sama perbuatan salah yang pernah kita lakukan. Kalo kalian belum pernah kesulitan tidur gara-gara hal tersebut, wah salut deh. Aku pernah semalam suntuk melek mikirin mainan robot temenku yang tak sengaja kurusak dan malam itu, robot tersebut masih menelungkup di bawah sofa tempatnya kusembunyikan karena takut ketahuan. Sempat juga sih tertidur, tapi aku bermimpi robot itu datang menembak pantatku sambil teriak “perbaiki tanganku, perbaiki tanganku!” dan kemudian dia berubah menjadi kuntilanak.

Perasaan bersalah, perasaan yang menggantung, mengetahui kita sudah menyebabkan kesusahan bagi orang lain, sejatinya akan menghantui kita. Itulah yang ingin diceritakan oleh Spierig Bersaudara dalam film horor mereka yang diadaptasi dari tokoh dan lokasi nyata, Winchester.

 

Rumah gede Winchester itu dibangun oleh wanita eksentrik janda seorang pengusaha perusahaan yang memproduksi senapan dan senjata api lainnya. Hanya saja proyek pembangunan rumah itu dinilai begitu gila. Sarah Winchester mempekerjakan tukang bangunan dua-puluh-empat jam sehari, siang-malam rumah itu meriah oleh bunyi orang memaku dan memalu. Namun pekerjaan mereka tetap tak kunjung selesai. Kamar yang sudah jadi, kerap diminta si Nyonya Besar untuk direnovasi dan dibangun dengan model yang berbeda. Beberapa kamar malah dibangun hanya untuk dipaku rapat-rapat dengan tiga belas paku, tidak boleh lebih apalagi kurang. Oleh karena perilaku tak biasa itulah, tokoh utama kita, dokter Eric Price, dipanggil untuk menyelidiki kejiwaan Sarah Winchester. Dan tentu saja, dalam gaya horor yang biasa, begitu tiba di rumah yang udah kayak labirin fun-house tersebut, si Dokter malah merasa dirinya yang gila, sebab dia di malam-malamnya tinggal di rumah tersebut ia melihat banyak penampakan-penampakan, termasuk penampakan istrinya yang mati menembak diri sendiri beberapa tahun yang lalu.

Turns out, it was the guilt. Rumah Winchester dibangun sebagai perwujudan rasa bersalah yang dirasakan oleh Sarah Winchester yang mengemban beban perasaan mengetahui senjata-senjata buatan keluarga mereka digunakan sebagai senjata untuk membunuh banyak orang tak bersalah. Sarah enggak gila, dia hanya ingin membantu hantu-hantu tersebut mendapatkan kedamaian dengan membangun ruangan-ruangan yang dibuat persis sama dengan TKP kematian mereka masing-masing. Namun, meskipun memang Sarah masih waras, toh film ini tetap lebih mirip sebuah cerita ‘edan’ ketimbang nyeremin. Tentu, set rumah dengan segala pintu rahasia itu sangat menarik, film ini punya ‘panggung’ yang fresh dan enak dilihat, namun suasana seram itu terasa gelagapan dibangun. Menjadikan film ini malah seperti atraksi menyenangkan dalam sebuah rumah hantu. Pesan tersiratnya pun, yang relevan dengan keadaan Amerika saat ini; bahwasanya tidak ada hal baik yang dicapai jika menggunakan pistol sebagai senjata, hanya terasa sebagai parody dari pesan tersebut ketimbang actual pesannya sendiri.

Pistol bisa membunuhmu, dan mengubahmu menjadi hantu

 

Lantaran horor dalam film ini diolah dengan begitu basic.  Aku ingin menyukai film ini, aku suka film horor dan premise serta sejarah rumah itu sendiri sudah menjanjikan banyak hal yang mestinya sangat intriguing. Tapi tidak ada visi unik barang sedikitpun dari empunya film. Pada dasarnya, Winchester hanyalah sebuah horor kekinian yang klise dengan banyak mengandalkan jumpscare. Nyaris semua adegan seramnya mengandalkan suara-suara ngagetin atau sesuatu yang muncul mendadak di layar, atau keduanya sekaligus. Semua bagian sera mini sangat gampang ditebak. Misalnya ketika Price sedang becermin di kamarnya. Cermin tersebut kemudian akan bergoyang-goyang, meninggalkan kamera yang fokus ke tengah, dan setiap kali cermin bergerak kita diniatkan untuk menahan napas, “ada hantu enggak yaa?”, mengecewakan taktik kacangan semacam ini datang sekelas sutradara Spierig Bersaudara yang sudah memberikan keunikan tersendiri di Daybreakers (2014). Maksudku, ini adalah cerita tentang rumah yang dibangun dengan tak biasa, seharusnya taktik-taktik seramnya juga dibuat dengan sama inovatif dan kreatif, yang benar-benar integral dengan penceritaan – dengan tema besar cerita. Ada satu lagi adegan di mana jari keluar dari lubang alat komunikasi, adegan ini malah tampak lucu karena benar-benar tidak ada koneksinya sama sekali dengan segala hal yang diceritakan, and on top of that, scare di adegan ini hanya kita para penonton yang lihat, Pierce enggak tahu ada jari di sana. Jadi, gimana tuh coba? Sudut pandang film ini dari siapa, dari hantu? Sepertinya kita baru saja menyaksikan seorang hantu yang gagal menakuti manusia.

Di luar jumpscare dan klise horor yang melelahkan, sesungguhnya kita dapat penampilan akting yang lumayan ciamik dalam film ini. Khususnya, yang datang dari pemeran Sarah, Hellen Mirren. Aktor senior ini tak tampak sedikitpun menyepelekan perannya. Sarah Winchester pada awal-awal kemunculannya diniatkan sebagai karakter ‘red herring’, karakter yang dibuat seolah sesuatu namun tidak, dan dia dengan mulus menjalani transisi antara keduanya tanpa sekalipun tampil over-the-top. Kita digiring untuk percaya dia gila, atau malah dia hantunya, tapi ternyata dia punya motif yang… yah, bisa dianggap mulia. Mirren sama suksesnya tampil misterius dengan tampil begitu vulnerable ketika dia begitu overwhelmed oleh kekuatan-kekuatan tak terlihat yang berusaha ia selamatkan. Menyaksikan penampilannya di film ini benar-benar terasa seperti menemukan jarum emas dalam tumpukan jerami karena kemunculan tokohnya yang lumayan di tengah. Kita harus melewati banyak hal klise dan seram-seram yang medioker sebelum tokoh ini muncul layaknya colekan penghapus papan tulis pak guru ketika kita terkantuk-kantuk di dalam kelas.

Sarah Winchester punya karakter yang lebih menarik bahkan ketimbang tokoh utama. Beneran deh, Jason Clarke adalah aktor mumpuni, aku lancang kalo bilang aktingnya jelek. Hanya saja Eric Price yang ia perankan adalah seorang tokoh utama yang begitu hambar dan membosankan. Terutama sekali, sangat sukar untuk terkoneksi dengan karakter ini, walaupun dia memang diceritakan punya masa lalu yang traumatis, dan kita kerap dibawa melihat apa yang terjadi pada masa lalunya secara sekilas. Sesungguhnya ini adalah formula yang benar; tokoh utama dalam film horor haruslah punya sesuatu yang ia rahasiakan, yang paralel dengan horor yang temui, dan ultimately dia harus menghadapi – berkonfrontasi – dengan dua horor tersebut.  Akan tetapi, film menyimpan ‘rahasia’ Price begitu lama, malah lebih lama dari Sarah sehingga kita menjadi lebih peduli kepada Nyonya sinting ini daripada si tokoh utama. Sebenarnya, mengambil waktu yang panjang untuk menyibak tabir tokoh utama itu gak papa sih, malah ada banyak juga film-film lain yang makin nendang karena hal tersebut. Salahnya film Winchester ini adalah karena sedari awal, Price dibuat sebagai orang yang enggak mudah untuk diberikan empati. Tokoh ini diperkenalkan dalam sebuah adegan yang begitu unlikeable. Kita dengan segera melihatnya sebagai orang yang nyebelin dan sok jago dengan segala teori dan trik sulapnya itu.

sulapnya hebat, bisa menghilangkan simpati.

 

 

 

Kini, di kehidupan nyata, mansion Winchester itu dikenal sebagai salah satu destinasi tur horor yang paling banyak diminati. Jujur, membaca tentang tur-tur tersebut di internet, lebih menarik buatku ketimbang menyaksikan film ini sampai habis. Di luar penampilan akting dan desain produksi yang kece, aku suka sekali sama desain mansionnya, film ini tidak menawarkan apapun yang menggugah selera.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for WINCHESTER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DETROIT Review

“There is no justice, but it is the fight for justice that sustains you”

 

 

 

Ngelihat pak polisi di jalanan, biasanya bawaan kita negatif melulu. Kalo enggak takut, ya sebel. Kita putar balik  kalo tiba-tiba melihat ada razia. Kita mengutuk pas  jalanan macet, padahal ada polisi yang lagi ngatur lalu lintas. Anak kecil yang bandelnya kumat biasanya juga didiemin dengan anceman nanti ditangkap polisi. Pandangan sinis kita terhadap penegak hukum itu muncul karena enggak jarang kita mendengar berita tentang betapa polisi-polisi melakukan banyak hal yang dinilai ‘kejam’ terhadap orang-orang yang tak bersalah. Ketemu polisi itu berarti masalah, duitlah, apa-lah.  Dalam film Detroit, malah, pengalaman bertemu polisi itu digambarkan sebagai sebuah pengalaman yang ngalahin horornya ketemu hantu. Ada salah satu adegan yang menampilkan dua orang yang ingin keluar lewat pintu belakang, dan pada background kita melihat seorang polisi berjalan masuk lewat pintu belakang, dan kedua orang tadi seketika lari kembali ke tempat mereka datang. Film ini membuat polisi sebagai sebuah momok, adegan tersebut berhasil menguarkan perasaan mencekam, dan kita peduli kepada dua orang tadi. Bukan karena kita dituntut untuk membenci polisi. Hanya saja, lewat film ini, kita bisa melihat ada beberapa hal salah yang mestinya bisa diluruskan, tetapi semua orang bertindak begitu gegabah karena mereka diatur oleh sistem yang salah.

“salahkah bila diriku terlalu menggertakimu”

 

Tahun 1960 sudah tercatat di buku sejarah sebagai periode yang cukup kelam bagi kemanusiaan. Di Indonesia, masalah pemberontakan PKI mewarnai tanah di sejumlah daerah dengan darah. Di Amerika, kota Detroit yang menjadi medan pembantaian. Ketakutan merajalela di jalanan. Kerusuhan dan penjarahan tak pandang bulu. Dan sama seperti di Indonesia, orang-orang tak bersalah yang jadi korban; dipenjara, dipukuli. Dibunuh. Detroit benar-benar menggambarkan peristiwa kelam Amerika itu dengan intens dan kejam. Penggunaan kamera yang bergoyang-goyang menambah perasaan nyata itu berkali lipat, seoah kita mundur ke masa itu dan menyaksikan sendiri secara langsung. Film ini tidak terasa seperti film, if anything, dia hampir mirip seperti dokumenter. Kita akan ditaruh langsung ke tengah-tengah kota Detroit yang keamanannya sangat tak stabil, terutama pada malam hari.  Kita akan melihat pesta persembahan untuk tentara yang berjuang di Vietnam dengan cepat menjadi rusuh. Kita kemudian akan melihat seorang penyanyi teater yang harus mengcancel pertunjukannya karena suasana di luar mendadak menjadi begitu kacau. Kita juga akan kenalan dengan tokoh yang diperankan John Boyega yang malam itu kebagian shift jaga malam sebagai malam di toko. Tokoh-tokoh ini akan bertemu di Motel Algiers. Jika kalian ngikutin sejarah, kalian tahu apa yang terjadi di tempat itu. Basically, kejadian di Algiers ini jualah yang menjadi panggung utama film. Semua pengenalan karakter berujung pada sekuens panjang nan shocking di motel Algiers. Sejumlah remaja kulit hitam, termasuk penyanyi tadi, dan dua wanita kulit putih dijejerin menghadap dinding. Sejumlah polisi, aparat militer, dan pasukan gabungan lain mengepung mereka demi mencari sumber letusan senjata yang terdengar beberapa saat lalu. Polisi percaya salah satu dari merekalah yang membuat keonaran, tapi tidak ada satupun yang mengaku. Maka permainan ancam-ancaman maut itu pun dimulai. Berujung kepada tewasnya tiga orang yang tak jelas salahnya apa atau bahkan mereka tidak membahayakan siapapun.

Nonton film ini akan bikin kita geram, baik kepada polisi maupun kepada para rmeaja itu sendiri. Adegan yang ditampilkan bukanlah adegan yang gampang untuk kita lupakan. Dari awal hingga akhir, aku menonton dengan perasaan yang campur aduk. Marah, kalo boleh dibilang. Satu adegan di awal-awal cerita, di mana militer menyisir kota dan mereka menembak gitu aja salah satu jendela apartemen karena menyangka gerakan kecil yang mereka spot on adalah aktivitas sniper, padahal… yah, sedari permulaan, perasaan kesal ngelihat ketidakadilan itu sudah mulai menghinggapi kita. Film ini akan benar-benar menyedot kita masuk. Tentu saja elemen rasis turut menjadi poin vokal film ini. Di zaman itu, dalam keadaan chaos begitu, sebagian besar polisi-polisi di sana benar-benar digambarkan sebagai bajingan rasis yang melakukan tindakan-tindakan kurang berperikemanusiaan. Makanya, tokoh yang diperankan Boyega menjadi sangat menarik. Kita bisa melihat dia lumayan dihormati polisi lain hanya karena ia berseragam. Tapi sebenarnya, polisi itu tetap memandang rendah dirinya.  Mereka ‘membully’nya secara subtil, sementara tokoh Boyega itu menyaksikan banyak hal yang bikin ia geram, tapi perasaan tersebut harus ia sembunyikan rapat-rapat. Dan pada gilirannya, membuat kita berbalik kesal terhadapnya. Juga tehadap pihak-pihak lain yang tidak melakukan apa-apa padahal ketidakadilan dan kekerasan berlangsung di depan mata mereka. Geram aja gitu, demi ngelihat seharusnya ‘interogasi maut’ di motel itu bisa dihentikan dengan cepat, namun tidak ada yang mengambil tindakan hanya karena para polisi yang lain, polisi-polisi yang hatinya masih bener, tak bisa melanggar yurisdiksi dan sistem yang mengatur mereka, jadi mereka membutakan diri terhadap tindakan keji tersebut.

thus, membuat semua polisi di film ini jahat.

 

Salah satu aspek paling bikin miris adalah film ini bercerita dengan sesekali menyisipkan potongan footage berita kejadian yang asli, lengkap dengan foto-foto korban yang sebenarnya. Adegan filmnya memang dibuat sama persis, tokoh-tokoh yang jadi korban dibuat sedemikian rupa sehingga posisinya menyerupai tragisnya korban beneran, meskipun kejadiannya didramatisir. Malahan, tentu saja, kita tidak akan pernah tahu gimana kejadian yang sebenarnya. Kesaksian para saksi tak ayal berbeda dengan kesaksian para polisi yang menjadi pelaku, persis begitu juga yang diceritakan oleh film.

Film ini adalah tangisan keras bukan hanya buat korban dan kerabat peristiwa tersebut, melainkan juga bagi orang orang-orang di luar sana yang merasa tidak mendapat perlakuan yang adil dari aparat; dari sistem. Film ini berusaha memberikan keadilan tersebut bagi mereka yang sampai sekarang masih belum dapat tidur nyenyak supaya orang-orang tersebut bisa mendapat, jika bukan kejelasan, maka paling tidak mereka mendapat pandangan yang mampu menjawab gulana. Sebab apa yang mereka alami perlu untuk dilihat oleh banyak orang.

 

 

Dilema nonton film dari kejadian nyata seperti begini adalah aku pengen ngelihat kejadiannya sesuai mungkin sama kenyataan, tapi sekaligus melihatnya sebagai penceritaan yang ‘bener’ sesuai kaidah film. Dan mencapai keseimbangan antara kedua hal tersebut sungguh susah. Detroit ini misalnya, mereka berhasil menunjukkan banyak hal yang terjadi seputar peristiwa tersebut, namun tokoh-tokohnya enggak semua yang diberikan arc sinematis. Tokoh si John Boyega dibahas dengan paling menarik, tetapi penyelesaian arcnya sama sekali enggak kerasa ‘nendang’. Pembelaan yang bisa kita temukan untuk ini adalah di dunia nyata, kejadian-kejadian buruk menimpa manusia, dan bahwa terkadang keadilan itu memang tidak ada. Kita hanya bisa berusaha move on dari kejadian buruk tersebut, dan begitulah yang dialami oleh tokoh yang dimainkan Boyega.

Untuk kasus film Detroit, kejadian yang diceritakan tersebut memang tidak benar-benar dijelaskan, like, kita tidak akan tahu ke arah mana cerita bermuara jika kita tidak mengetahui peristiwa yang sebenarnya. Seperti yang kutulis di atas, kita langsung dilempar ke tengah-tengah peristiwa. Cerita sama sekali tidak membahas kenapa orang-orang kulit hitam tersebut begitu panas dan polisi harus menangani mereka dengan tangan besi, kecuali bagian opening film. Akan ada narasi yang menerangkan latar belakang kerusuhan, hanya saja diceritakan lewat montase animasi yang tampak begitu aneh dan enggak cocok sama tone cerita, sehingga aku curiga jangan-jangan bagian opening animasi ini ditambahkan begitu film sudah selesai digarap, karena banyak orang yang gak ngerti pada apa yang terjadi.

 

 

 

 

Para aktor bermain maksimal, enggak gampang memainkan peran yang begitu fisikal sekaligus subtil secara bersamaan. Film ini tidak membuat mereka seperti bintang, mereka benar-benar seperti peran yang mereka mainkan. Pun, ceritanya sukses untuk tidak tampil teatrikal. Sedikit kepanjangan sih, durasi ini terasa ketika kita serasa terlambat masuk ke bagian motel yang sesungguhnya jadi kejadian utama. Film terlalu asik bercerita tentang kerusuhan, memperkenalkan karakter, namun secara keseluruhan dia ingin memperlihatkan peristiwa ‘sebenarnya’ di motel demi keadilan, dan setelah ini pun film terasa ngedrag dengan adegan resolusi di pengadilan yang tidak benar-benar menutup arc dari tokoh-tokohnya. Ada banyak kekerasan, hal-hal rasis, dan sikap-sikap manusia yang bakal bikin kita geram sendiri saat menonton. Inilah yang membuat film terasa menyayat hati, dan pada puncaknya menjadi lebih seram daripada film horor.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of gold stars for DETROIT.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ARINI Review

“… you fall in love with love itself because it touches places that nothing else has before.”

 

 

Bayangkan ada dua buah kereta api yang berjalan barengan dari stasiun. Mereka melaju dengan rel yang saling paralel, saling sejajar. Ketika yang satu berbelok, maka yang lain juga ikut berbelok. Kau adalah penumpang yang pernah naik di salah satunya, dan sekarang kau memilih naik kereta yang lainnya. Tentu saja, apa yang kau alami di kereta yang sekarang akan mengingatkanmu ketika pertama kali naik kereta yang lain. Begitulah penceritaan film Arini. Editingnya yang precise membuat kita berpindah-pindah di antara dua kereta, tanpa sekalipun kita terlepas ketinggalan emosi. Dua kereta itu bernama Kereta Masa Lalu dan Kereta Masa Kini. Dan kau yang duduk tadi, kau adalah Arini. Cewek tiga-puluh-delapan tahun yang tak bisa menghindari masa lalunya ketika ia duduk menumpang kereta api yang jaraknya beribu kilo dari kereta api yang telah menghantarkannya dalam sebuah perjalanan traumatis dalam hidup.

Cerita terus terbangun, apa yang ditemui Arini dalam keretanya yang sekarang, membuatnya teringat akan masa lalu, dan semua itu diceritakan dengan paralel. Ketika Arini diajak kenalan sama berondong, dia membawa kita melihat masa ketika ia dijodohin sama mantan suaminya. Ketika si Berondong Nekat ngajak Arini jalan, Arini mengenang saat-saat dia berbulan madu. Dan editing seperti ini membuat sebuah pengalaman menonton yang mengcengkeram erat Kita tahu ada yang gak beres dengan masa lalu Arini, kita penasaran ingin tahu kenapa Arini yang kini bersikap begitu jutek. Film berhasil membenturkan dua versi Arini lewat bahasa visual yang bahkan tidak perlu menjelaskan mana yang terjadi di waktu sekarang, mana yang kejadian di ingatan.  Dari rambut Arini saja, aku suka treatment khusus yang dilakukan oleh film ini. Rambut diikat, sebagai kontras dari rambut yang tergerai itu saja sudah menambah kedalaman lapisan buat tokoh Arini. Gimana dia yang dulu mau membantu mengangkat koper orang, sedangkan Arini yang sekarang diminta bantuan ngetuk kaca jendela saja ogah luar biasa.

film ini akan ngasih tahu sebab kenapa kita seharusnya tidak sekalipun mengaktifkan speaker saat menelfon.

 

Perspektif Arini adalah poin menarik yang jadi fokus pada film ini. Konteksnya adalah Arini enggak siap ditabrak oleh kereta cinta yang baru. Oleh cerita, Arini dipertemukan dengan Nick, mahasiswa berusia dua-puluh-tiga tahun yang seketika jatuh cinta dan terus menempel Arini. Gol utama cerita adalah menjawab pertanyaan akankah Arini dapat mengenali atau menerima cinta lagi setelah kejadian horrible yang ia lalui di masa lalu. Masalah Arini ini berakar kepada kepercayaan; orang yang ia kenal dibentrokkan dengan orang yang sama sekali asing baginya. Arini tidak tahu siapa Nick. Dia anak mana, hidupnya bagaimana, seujug-ujug mereka kenalan (itu juga Nicknya maksa), dan sejak saat itu Nick selalu hadir di kehidupan Arini – diminta atau tidak. Dan karena cerita ini mengambil sudut pandang Arini, kita juga hanya tahu apa yang Arini tahu – kita tidak diberikan back story siapa Nick. Keasingan tokoh Nick adalah elemen penting buat cerita. Menyebabkan film ini sedari menit awal sudah terjun mengambil resiko. Karena, ya, kekurangan cerita latar – terlebih untuk kisah romansa dua insan manusia – itu bukan resep membuat film yang bagus.

Cinta adalah belajar mengenal orang asing dengan lebih dalam. Semua orang adalah asing bagi kita, sampai kita membuka diri untuk mengenal mereka. Buat sebagian orang, hal tersebut bisa menjadi pengalaman yang menakutkan. Makanya hal itu juga berlaku sebaliknya. Orang yang kita cintai dapat dengan cepat kembali menjadi orang asing jika kita sudah terluka dan menutup diri kepadanya.

 

 

Tentu saja, Nick adalah tokoh yang sangat gampang untuk disukai. Dia ceria, jenaka, penuh semangat hidup. Muda pula. Terlebih jika tokoh utama yang kita punya adalah cewek dewasa yang cembetut melulu, dia begitu pesimis dia menyebut dirinya nenek-nenek. Bentrokan antara sifat dan karakter mereka pun tak pelak menghasilkan tukar-menukar kata yang menarik, yang manis. Tengok saja usaha Nick untuk membuat Arini tersenyum. Penonton cewek pasti meleleh ke lantai dibuatnya. Mungkin juga ada yang geregetan. ‘Dinding’ yang dibuat oleh Arini memang kerasa, beberapa bisa saja menafsirkan ini sebagai kekurangan chemistry antara Aura Kasih dengan Morgan Oey, tapi buatku ini adalah hasil dari permainan emosi yang genuine dari dua pemeran. Aura Kasih di sini bermain meyakinkan sebagai orang yang sangat tertekan, dia juga begitu tertutup, kelihatan jelas dia rapuh tapi berusaha untuk kuat. Bukan hanya itu, actually Aura Kasih dituntut untuk menampilkan emosi yang berentang jauh – Arini yang ia perankan udah kayak dua orang yang berbeda sifat, dan bukan hanya tepat di dua-dua tone emosinya, Kasih juga sukses ngedeliver di momen-momen transisi karakter Arini. Nick, sebaliknya, keseluruhan film ini bisa berganti menjadi menyeramkan jika tuas karakter Nick salah senggol sedikit aja. Dan untuk itu, aku kagum juga banyak yang mengoverlook Nick sebagai karakter yang creepy, aku pikir kharisma Morgan Oey cukup berpengaruh di sini.

Ketika Dilan tahu nomor telepon dan alamat rumah Milea, kita dengan enggak banyak pikir, bisa langsung mengasumsikan dia mungkin bertanya kepada teman-teman sekelas yang lain. Dalam film Arini, walaupun Nick sudah mengakui dan menjelaskan darimana dia tahu tempat tinggal Arini, meskipun kita sudah tahu kepentingan Nick dibuat sebagai orang yang begitu asing, tetap saja terasa ada sesuatu yang off. Maksudku, gimana bisa kita mempercayai Nick? Darimana kita tahu kalo kejadian di pembuka film – yang dia minta tolong Arini kabur dari kondektur kereta – bukan bagian dari modusnya untuk kenalan sama Arini? Gimana kalo ternyata dia udah nguntit dan ngincer Arini dari sebelum film dimulai, coba? Sinopsis resmi film ini menyebutkan Nick jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Arini, namun cerita actual film tidak membuatnya tampak demikian. Melihat Arini yang begitu dingin terhadapnya, dugaan bahwa jangan-jangan Nick jadi jatuh cinta karena penasaran terus dicuekin  itu masih sering bersarang di kepala kita. I think, backstory bisa saja sengaja enggak dibeberkan, akan tetapi alasan kenapa Nick ngebet sama Arini tetap harus dijelaskan. Makanya, adegan Arini menampar Nick itu harusnya masih bisa terasa lebih kuat lagi; kita mengerti Arini, tapi kita enggak ngerti Nick.

“stop being so mean to me, or I swear to God I’m gonna fall in love with you”

 

Film sepertinya memang tidak malu-malu menunjukkan bahwa mungkin saja mereka hanya tergerak oleh nafsu. Bahkan ada indikasi tokoh film ini enggak benar-benar belajar; eventually, aku akan bahas ini di bawah. Right now, aku mau menyinggung salah satu elemen yang hilang sehubungan dengan tokoh Nick. Yakni tidak adanya konsekuensi. Inilah yang menyebabkan film ini terasa ‘salah’. Ada banyak tindakan Nick yang termaafkan begitu saja, yang lagi-lagi merugikan buat Nick. Alih-alih tokoh pasangan, Nick seperti lebih kepada sebuah tokoh yang jadi alat semata bagi perkembangan Arini. Arini butuh Nick untuk belajar bagaimana kembali membuka hati dan membiarkan cinta masuk ke dalam hidupnya. Arini butuh Nick untuk berani mengonfrontasi masa lalu. Kita dapat melihat gimana Arini ada rasa sama Nick. Believe me, I know. Nick basically ngancem nunggu di depan pintu apartemen dan gak kena ganjaran apa-apa. Aku pernah nekat juga nungguin di pintu depan apartemen orang, dan belum genap dua jam aku udah dipanggilin satpam.

Maka dari itu, sejatinya Arini bukanlah film romansa, setidaknya bukan antara cowok dan cewek. Melainkan adalah tentang cinta antara seorang wanita dengan cinta itu sendiri

 

 

Nick sempet kesel Arini selalu mengungkit masalah jarak umur mereka. Umur mereka terpaut literally satu orang Dilan. Dan untuk urusan umur ini, aku setuju sama Nick. Kenapa sih film membuat mereka berbeda umur begitu jauh? Tidak seperti keasingan Nick yang kita paham signifikannya terhadap cerita, perbedaan umur Arini dan Nick tidak tampak menambah banyak bagi perkembangan karakter Arini. Pun tidak terasa paralel dengan elemen Arini yang takut untuk jatuh cinta kembali. Selain digunakan untuk lucu-lucuan ‘tante dengan keponakan’, hanya ada satu adegan yang mengangkat masalah ini ke permukaan, yaitu saat adegan makan malam dengan keluarga Nick. Actually aku berpikir cukup keras perihal umur ini, masa iya sih umur mereka dibuat jauh cuma supaya Arini ada alasan nolak Nick. Apa sih yang ingin dicapai cerita dengan membuat mereka berbeda usia dengan jauh, meski 23 dengan 38 itu juga enggak ekstrim-ekstrim amat. The best that I can come up with adalah mungkin film ingin menegaskan bahwa Arini kehilangan cinta dan dirinya saat ia kehilangan anaknya. Maka ia menemukan kembali apa yang hilang dari dirinya saat ada anak yang menemukannya…? Emm… yah anggap saja begitu dah.

 

 

 

Cerita berjalan mantap sesuai pada rel konteksnya. Ada eksposisi di akhir yang menerangkan jawaban-jawaban pada plot seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, toh film ini akan tetap terasa menyenangkan karena formula tokoh dan hubungan mereka yang benar-benar likeable. Tapinya lagi, at the end of the track, tokoh utama film ini tidak belajar dari masa lalu. Dia tetap jatuh ke orang yang tak ia kenal sama sekali sebelumnya, tanpa ada usaha untuk mengenal orang tersebut. Di masa lalu, ia menikah dengan orang yang dijodohkan oleh sahabatnya. Di masa kini, ia jatuh cinta dengan stranger di kereta, malahan ada satu adegan ia pengen mangkir dari pertemuan dengan keluarga pacarnya. Film ini menyatukan masa lalu dan masa kini dengan mulus, hanya saja tidak berhasil melakukan hal yang serupa terhadap dua gerbong aspek ceritanya. Karena memang tricky untuk disatukan; di satu sisi ada romansa, satunya lagi ada kepentingan untuk membuat pasangannya dibiarkan tak banyak dibahas. Aku jadi penasaran sama materi asli cerita ini (novel dan film jadulnya), jangan-jangan di cerita aslinya Nick dan beda umur itu memang cuma device saja namun film adaptasi ini memutuskan unuk menjadikannya sebagai vocal point.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ARINI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ANNIHILATION Review

“The worst part of self destruction is that you are fully aware of it but there’s nothing you can do to stop it.“

 

 

Dunia yang damai akan selalu mengundang orang-orang bodoh untuk merusaknya. Kata-kata Goku di komik Dragon Ball tersebut masih suka nempel di kepalaku, karena memang ada benarnya. Contoh simpelnya pada diri sendiri, udah bagus sehat-sehat tapi kita cenderung suka makanan yang lezat ketimbang yang bergizi. Kita males olahraga. Garis finish hidup memang pada kematian, namun sepertinya kita diprogram untuk merusakkan diri. Sel tubuh kita diatur untuk bisa menua, dan kebiasaan hidup kita mempercepatnya. Kebanyakan kita masih menganggap bunuh diri adalah perbuatan tercela, namun toh beberapa dari kita masih ngerokok, minum-minum. Orang pacaran akan punya keinginan buat nambah pacar. Pasangan yang sudah bahagia menikah, tetep aja kadang memilih selingkuh, baik dengan manusia lain ataupun dengan pekerjaan. Sampai di kalimat inilah, Lena (Natalie Portman memerankan wanita yang berusaha menumpas kesalahannya dengan sangat baik) terhenyak.

Bukan semata karena ia seorang ahli biologi mantan tentara, maka Lena secara sukarela ikutan ekspedisi rahasia ini – meski memang keahliannya tersebut terbukti sangat dibutuhkan di lapangan. Suami Lena, seorang sersan adalah satu-satunya tentara yang berhasil keluar dari misi satu-tahunnya, itupun dalam keadaan setengah sehat. Jadi Lena memutuskan ia harus mencari tahu apa yang menyebabkan suaminya mengalami pendarahan hebat setelah minum air. Bersama empat cewek ilmuwan lain, Lena masuk ke zona unknown yang dibatasi oleh dinding tembus cahaya yang berpendar warna pelangi – bayangkan gelembung  di iklan sabun, kurang lebih begitu hanya lebih besar dan indah – yang mereka sebut “Shimmer”. Zona tersebut semakin hari semakin meluas, menjauh dari pusatnya; sebuah mercusuar di pinggir pantai yang ditabrak meteor. Tim Lena harus menyelediki sampai ke titik itu, guna mencari tahu apa sebenarnya Shimmer ini, apakah tembok alien ini berbahaya bagi lingkungan atau enggak, kenapa setiap pasukan yang dikirim ke sana selalu kayak Bang Toyib kecuali suami Lena yang pulang dalam keadaan parah.

Begitu kelima cewek ini (lima, biar gak disalahsangka ama tim Ghostbuster) menembus Shimmer dan mereka menemukan hal-hal baru di sana, film langsung memenuhi tugasnya sebagai film sci-fi dengan elemen yang menyenangkan. Sense of discovery dan debar survival yang mengakar kuat dari klasik seperti Alien dan The Thingnya John Carpenter akan menyambut kita. Akan tetapi, pada intinya, Annihilation adalah tipikal sci-fi yang lebih dalem. Film ini menggebah kita untuk berpikir dan menyimpulkan sendiri, dia punya ambiguitas pada ceritanya, punya maksud terselubung, ada implikasi dan ide. Di balik spesial efek yang sama luar biasa meyakinkannya dengan penampilan akting para aktor, di luar sinematografi dan pemandangan yang mencengangkan, film ini punya sesuatu yang ingin ia ceritakan, punya gagasan yang ingin disampaikan, jadi bukan sekadar unjuk kebolehan nyeni.

dan juga punya makhluk menyeramkan

 

Jaman sekarang, kebanyakan film menyangka penonton merasa perlu untuk punya pendapat yang sama tentang apa yang mereka tonton. Kalo tiga dari lima orang bilang filmnya bagus, maka konklusinya film itu beneran bagus. Tapi itu kan, cara yang statistik sekali untuk melihat sebuah film. Padahal film yang baik mestinya adalah film yang mampu mengundang perbincangan, yang memperlakukan penontonnya sebagai manusia yang punya pikiran, yang mendengarkan opini dan gagasan mereka sebagai feedback yang actually matter ketimbang menganggap mereka hanya sebagai angka yang dapat dihitung. Aku suka ketika film berani untuk memancing perbedaan pendapat. Film favoritku sepanjang waktu adalah Mulholland Drive (2001), aku nonton ini pertama kali di tahun 2010, dan sampe sekarang aku belum ketemu teman atau lawan diskusi yang punya pendapat sama denganku soal apa yang sebenarnya terjadi, maksud-maksud di balik film tersebut. Film kayak begini, dan untungnya Annihiliation termasuk di antaranya, akan membuat para nerd berkumpul bareng dan berdiskusi, dan inilah yang menggerakkan roda perfilman terus maju ke arah yang lebih baik. Film yang bagus mengajak penonton berpikir, namun kecenderungan kita untuk merusak hal-hal baik; munculnya penonton yang malas berpikir, turut andil menciptakan film-film sepele yang hanya mengincar jumlah penonton.

Sutradara Alex Garland memang terkenal hobi mengajak penontonnya ke dalam perjalanan pikiran. Pada Annihilation, kita akan dibawa menembus Shimmer ke sebuah alam yang secara metafora adalah cerminan dari sel kanker yang dijadikan tema berulang, yang paralel dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Kita bisa bilang zona di dalam Shimmer, yang semakin meluas itu adalah kanker – penyakit yang semakin menjalar. Di dalam sana, makhluk hidup termutasi, sel mereka membelah, menyebabkan mereka berubah. Dari kesimpulan Lena terhadap Shimmer, kita belajar bahwa sel dalam zona Shimmer tidak bersifat menghancurkan, dia hanya mengubah. Perjalanan Lena ke balik tabir Shimmer sejatinya adalah perjalanannya melihat ke perubahan yang sudah terjadi kepada dirinya sebagai manusia, sebagai seorang istri. Dan manusialah yang punya sifat menghancurkan, inilah yang menjadi landasan konflik personal buat Lena. Dia ingin menuju pusat Shimmer, karena dia tahu dia tidak bisa menghentikan perubahan yang sudah ia buat. Maka kita lihat dia akhirnya ‘berantem’ ama duplikat selnya karena, metaphorically, ia ingin menghancurkan dirinya yang sudah berubah sejak pernikahannya mengalami masalah.

Kecenderungan, atau dalam tingkatan yang ekstrim, dorongan manusia untuk meghancurkan apa yang sudah baik menjadi pusat dari semesta cerita Annihilation. Semua tokoh yang masuk Shimmer bersama Lena adalah orang-orang yang diri mereka sudah berubah menjadi lebih buruk. Orang yang punya ‘kanker’ dalam hidupnya. Apa yang terjadi sebenarnya kepada Lena adalah dia merasa bersalah telah secara sadar merusak jalinan pernikahannya, – ini adalah kanker bagi kehidupan Lena – dan dia hanya bisa melihat perubahan yang kanker itu sebabkan. Dalam tingkat ekologi, kita juga hanya bisa melihat dampak dari yang kita lakukan terhadap lingkungan. Dan ini membuat kita sampai pada kesimpulan mengerikan; apakah kita, manusia, adalah kanker bagi alam semesta?

 

Sehubungan dengan kehidupan Lena, dalam film ini kita akan melihat adegan antara dirinya dengan seorang prosefor dari universitas tempat dirinya mengajar. Ini adalah adegan yang dari segi kebutuhan, aku mengerti kenapa mesti ada. Ini diperlukan untuk menambah lapisan dan konflik buat karakter Lena. Hanya saja, adegan ini tampak tidak benar-benar penting, like, mereka bisa saja memotongnya dan kita tetap mengerti apa yang terjadi, ataupun mestinya bisa digarap dengan lebih integral sehingga film enggak butuh pake flashback terlalu banyak.

Masuk ke Shimmer bisa jadi X-Men gak ya?

 

Ketika membahas film seperti ini, memang sulit untuk menghindari spoiler, terlebih karena kita ingin melihat pendapat orang mengenai kejelasan pada ending cerita. Aku sendiri melihat ending Annihilation, tidak necessarily sebagai twist apakah Lena yang di luar ini Lena yang asli atau tidak. Yang penting buatku adalah Lena sudah berubah, dia tidak lagi pribadi yang sama dengan saat film dimulai. Perubahan ini ditegaskan oleh kilauan di matanya, yang menunjukkan dia sudah termutasi. It doesn’t matter apakah dia klone, karena toh sudah ditetapkan apa yang diciptakan di dalam Shimmer adalah duplikasi persis, dan tentu saja Shimmer sudah mengcopy apa yang dirasakan oleh Lena.  Aspek yang kusuka pada film ini sebenarnya adalah bagaimana mereka membuat Shimmer tampak netral. Monster-monster di dalamnya, mereka berbahaya, namun apakah itu menjadikan mereka jahat? Mereka hewan dan mereka butuh makan, walaupun mereka hewan mutasi. Kalopun Lena yang di luar ini adalah produk Shimmer, itu tidak menjadikan dia versi yang jahat, kan? Annilihation juga mampu membuat kita memikirkan kembali persepsi kita terhadap apa yang kita antagoniskan, membuat status ‘jahat’ itu tidak begitu gampang kita berikan kepada hal yang tampak berbahaya ataupun menakutkan bagi kita.

 

 

 

Pada permukaannya, film ini adalah thriller sci-fi yang menyenangkan, ada tembak-tembakan, ada hewan monster. However, film menggali jauh lebih dalam dari premis seorang istri yang memasuki dinding gelembung maut demi kesembuhan suami. Ceritanya begitu mengundang pemikiran oleh simbol-simbol dan pesan yang ingin pembuatnya sampaikan. It’s a cerebral movie. Sampai-sampai dinobatkan sebagai film yang terlalu pintar sehingga enggak jadi tayang di bioskop. Hihi, alasan yang lucu.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ANNIHILATION.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LOVE FOR SALE Review

“Everyone is in their own time zone.”

 

 

Ngeliat temen lulus kuliah duluan, kita mupeng. Ngeliat temen yang lulusnya belakangan dapet kerja lebih cepet, kadang kita suka minder, terus sirik. Ngeliat temen yang masih muda hidupnya udah mapan kemudian dia melayangkan undangan pernikahan, kita ngeri. Takut ditanya “kapan nyusul?” Takut disindir “Sendirian aje nih”. Kalo kalian sudah merasa merinding-merinding ngilu dengan membaca ilustrasi di atas, maka bayangkan gimana ‘serem’nya hidup buat Richard (Gading Marten memberikan penampilan akting yang sangat meyakinkan di antara perjalanan karirnya), pengusaha yang sudah menginjak 41 tahun namun masih bisa keliaran di rumah mengenakan pakaian dalam lantaran belum ada istri, apalagi anak, yang bakal bikin suasana awkward.

Tak heran, Richard galak banget sama pegawai-pegawai perusahaan percetakannya. Namun ketika udah ngumpul-ngumpul bareng temen-temen nobar sepakbola, giliran Richardlah yang di-bully. Semua orang meledek kejombloabadiannya. Sampe-sampe mereka bertaruh; di pesta pernikahan temen dua minggu lagi, Richard akan datang tanpa membawa pasangan. Tentu saja, apa yang bagi temen-temennya adalah taruhan duit; bagi Richard, adalah taruhan harga diri. Jadi dia mencoba segala cara, termasuk ikutan situs perjodohan online bernama Love Inc, di mana Richard bisa menyewa cewek untuk dibawa ke nikahan berpura-pura jadi pacarnya. Tetapi, oleh karena sedikit mixed up di ‘kontrak kerja’, Richard berakhir tinggal bersama dengan pacar sewaannya, Arini (si fearless Della Dartyan), sampai waktu yang diassign beres. Di saat benih-benih cinta genuine mulai tumbuh di dalam diri Richard, di saat itu pulalah kita semakin tersedot masuk dan peduli kepada Richard, film dengan perlahan membangun kita ke sebuah pertanyaan mengerikan “Saat jatuh tempo nanti, akankah Richard mampu untuk tidak hancur? Atau apakah ada kejutan untuknya?”

Orang-orang di sekitar kita ada yang tampak sudah jauh di depan, ada yang masih di belakang. Dan hal tersebut bukan masalah. Kita tidak harus meledek mereka. Pun kita tidak perlu untuk merasa minder karena ketinggalan. Karena setiap orang sesungguhnya bergerak pada zona waktu masing-masing. Seperti halnya Indonesia yang lebih dulu hingga lima-belas jam dari Amerika, tapi itu toh bukan berarti Amerika yang lambat dan terbelakang. Kita semua tepat waktu, manfaatkanlah sebaik mungkin. Hidup adalah soal bergerak dalam momen yang tepat.

 

Elemen cerita ‘pacar bo’ongan’ memang bukan hal baru dalam cerita film. Kita sudah cukup sering mendapat narasi seputar seseorang yang terlalu lama sendiri, kemudian memalsukan hubungan, dan terjerat menjadi benar-benar cinta. Love for Sale melakukan hal ini dengan sangat baik, karena kita benar-benar diperlihatkan betapa menyedihkan kehidupan Richard sebagai – ah, mengambil istilah yang dilontarkan oleh tetangganya – bujang lapuk. Film ini punya babak setup yang menarik, interaksi antara Richard dengan tokoh-tokoh lain tergambarkan dengan manusiawi. Komedi yang hadir darinya juga timbul tanpa cita rasa dibuat-buat. Apa yang kita lihat adalah truly kondisi yang satir mengenai seseorang yang ingin berada dalam relationship, namun secara mental ia tahu dirinya belum benar-benar siap, dan di sisi lain tuntutan sosial terus menggebahnya. Kita dapat dengan mudah ikut merasakan urgensi dari tekanan cerita.

Salah satu aspek yang aku suka dari karakter Richard adalah begitu banyak lapisan pada karakternya. Richard adalah salah satu tokoh utama dengan kedalaman paling jauh yang pernah kulihat  tahun ini. Lihat saja bagaimana ia melampiaskan semua ‘keluh kesahnya’ kepada waktu. Like, dia sungguh-sungguh menekankan betapa pentingnya bergerak tepat waktu – dalam beribadah, dalam bekerja. Kita melihat betapa strictnya Richard kepada anak buahnya yang dateng telat. Melanggar batas jam makan siang sedikit aja, siap-siap deh kena omelan. Actually, omelan sendiri juga jadi poin kuat tokoh ini, berkat comedic timing dan penyampaian Marten yang tepat luar biasa. Kedisiplinan ektranya terhadap waktu ini sebenarnya adalah cerminan dari keinginan tak sampainya untuk segera punya pendamping. Sebagaimana dinasihatkan oleh salah sahabatnya, bahwa jodoh juga kudu tepat waktu.

mau, gajinya dibayar telat?!

 

Masalah tempat turut dijadikan elemen yang menambah bobot buat karakter Richard. Dia diceritakan tidak pernah ke mana-mana. Jalan dari kantor ke Kemang aja dia nyasar. Dia mengeluhkan nobar di Jakarta Selatan yang ia anggap terlalu jauh jaraknya dengan rumah yang di Pusat. Richard membiarkan dirinya stuck di satu tempat saja. Dan ini dibuat paralel dengan kenapa ia sampai sekarang masih susah menjalin hubungan percintaan. Richard punya sesuatu di masa lalu, dan praktisnya dia belum move on dari sana.

Cinta itu urusan ruang dan waktu. Kita tidak bisa memaksakan kapan. Tak jarang, kita harus menempuh banyak sebelum mencapainya.

 

Ketika aku menyebut Love for Sale adalah film yang berani, aku tidak semata memaksudkan karena film ini berating dewasa dan akan ada adegan-adegan yang bikin risih  di dalam ceritanya. Love for Sale memiliki banyak persamaan dengan film Her (2013) buatan Spike Jonze. Strukturnya nyaris sama persis, kecuali tentu saja ini lebih seperti versi yang lebih grounded buat penonton Indonesia dan di bagian krusial yang dengan nekat diambil oleh sutradara Andy Bachtiar Jusuf. Ada banyak cara untuk membuat penyelesaian cerita ini, dan film memilih mengambil cara yang paling banyak memancing pertanyaan. Itulah yang namanya nyali. Film lain akan  memilih jalan yang paling terang sebagai babak akhir cerita, you know, Richard dan Arini kemungkinan besar akan dibuat berakhir hidup bersama entah itu Arini juga jadi beneran jatuh cinta atau Richard akan membebaskan Arini dari jerat ekonomi di mana mereka akan mengonfrontasi Love Inc. Tapi tidak demikian dengan Love for Sale. Ketika cerita membuat Arini tampak too good to be true untuk kemudian beneran ‘menipu’ Richard, film meniatkan agar Arini juga ‘menipu’ kita, para penonton. It was so believable Arini cinta, dia dibuat begitu loveable, hanya supaya kita juga merasa terenggut darinya.

Film ini menghasilkan sebuah hubungan percintaan yang digarap dengan sudut pandang yang matang. Everything is reasonable here. Bahkan adegan bersetubuh yang tergolong tabu dalam film ini memiliki kepentingan tersendiri. Sungguh pilihan yang bijak dari Andy Bachtiar untuk tidak mempersembahkan seks sebagai tujuan dari hubungan antara pria dengan wanita, yang mana bisa dibilang film ini masih menghormati budaya lokal. Tujuan Richard adalah memperistri Arini, dan ini membuktikan dia menghargai cinta di atas kepura-puraannya. Dan ultimately, Richard belajar bukan semata perasaan dicintai yang penting, yang ia cari – melainkan kemampuan untuk menyintai dengan tulus, dan ini dia buktikan kepada orang-orang di sekitarnya. Ending film ini sangat powerful, melihat Richard yang menyadari Arini adalah rebound yang ia butuhkan untuk menemukan kembali kemampuannya untuk move on dan mengenali cinta di manapun dia berada.

kata orang kalo cinta, lepaskan aja, cinta sejati selalu akan kembali menemukan jalan pulangnya

 

 

Di samping aku enggak begitu setuju dengan taktik film menggunakan layar media sosial sebagai pendukung penceritaan, sedikit kekurangan yang dipunya film ini adalah perihal Arini dan Love Inc yang dibuat terlalu misterius. Bukan di apa yang sebenarnya terjadi, karena adalah hal yang bagus untuk membiarkan penonton menebak dan menyimpulkan sendiri. Hanya saja menurutku, mestinya film menjelaskan atau membangun dunia Love Inc itu sendiri sebagai not necessarily bukan hal yang dijadikan pertanyaan. Simpelnya maksudku adalah kita berhak dikasih penjelasan apakah ada orang lain di dunia cerita tersebut yang memakai jasa Love Inc, karena kita lihat mereka mencetak dua ratus ribu eksemplar selebaran di percetakan milik Richard. Seharusnya kan paling enggak ada orang selain Richard yang juga menggunakan, yang jadi ‘korban’. Film ini kurang berhasil membangun seputar keberadaan program tersebut, dan ini membuatku bertanya-tanya, apa memang Richard ditargetkan sedari awal? Oleh siapa? Sebab rasanya long stretch sekali untuk mempercayai apa yang sudah dipersiapkan Arini buat dirinya.

 

 

 

Drama tentang kebutuhan manusia akan hubungan romansa yang diceritakan dengan berani. Bekerja efektif berkat arahan dan penampilan akting yang benar-benar hit home dari hampir semua tokoh. Film membuild ceritanya dengan perlahan, namun sangat seksama, sehingga membuat kita sulit terlepas dari apa yang sedang kita saksikan. Fresh bagi film Indonesia, namun tidak cukup unik. Tapi aku senang karena film ini adalah bagian dari langkah move on perfilman tanah air dari film-film mainstream , dengan benar-benar punya sesuatu untuk disampaikan. Langkah yang mungkin enggak cepat-cepat amat, kayak kura-kura si Richard, namun tak pelak sebuah langkah yang mantap.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LOVE FOR SALE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE BREADWINNER Review

“Remember all you saw and tell it back in the stories when the day is almost done.”

 

 

Wanita enggak bisa hidup tanpa lelaki. Dalam beberapa konteks kajian, hal itu benar. Karena manusia diciptakan berpasangan-pasangan – gender yang satu akan membutuhkan gender yang lain untuk banyak aspek dasar. Namun, buat Pasukan Taliban di kota kecil bernama Kabul, tempat di mana Parvana tinggal, kata ‘enggak bisa’ dalam kalimat wanita enggak bisa hidup tanpa lelaki diartikan sebagai kebenaran yang absolut. Bahwa menurut peraturan mereka; wanita literally tidak bisa hidup, tidak boleh ngapa-ngapain, tanpa ada lelaki yang menjaganya. Wanita tidak boleh keluar rumah kalo tidak bareng suami, atau ayah, atau sodara. Para cewek dilarang belanja sendirian ke pasar. Kerjaan sesimpel menimba air di sumur umum bisa menjadi sangat ribet, dan berbahaya, jika dilakukan seorang wanita tanpa ditemani wali. Sekalipun ada, bukan berarti kaum hawa bisa bebas melakukan apa yang mereka mau di luar sana. Pertama, mereka harus menutup aurat sepenuhnya dengan burqa. Mereka juga tidak boleh menarik perhatian publik. Di awal film, kita melihat Parvana yang masih sebelas tahun meninggikan suaranya sedikit saat mengusir anjing dari barang dagangannya, dan itu menimbulkan masalah yang cukup untuk membuat ayah Parvan dijebloskan ke dalam penjara.

Di Afghanistan sana memang ada anak-anak seperti Parvana. Yang berasal dari keluarga yang ‘kekurangan’ pria. Dan lingkungan yang penuh opresi, membuat semuanya sulit untuk keluarga seperti ini hidup. Ibu dan Kakak perempuan Parvana tidak bisa keluar rumah tanpa digebuki, atau kalo nasib mereka lagi jelek, diperkosa. Adik cowok Parvana masih terlalu kecil. Jadi Parvana dan anak-anak cewek lain berubah menjadi Bacha Posh; cewek yang menyamar menjadi laki-laki. Parvana memotong pendek rambutnya, memakai pakaian bekas abang tertuanya yang… ah, Parvana tidak tahu di mana abangnya sekarang. Dengan nama samaran, Parvana dan teman sekelasnya dulu (sebelum akhirnya mereka diberhentikan dari sekolah lantaran Taliban melarang anak cewek untuk jadi pinter) berkeliling kota, mencari pekerjaan, belanja makanan dan kehidupan sehari-hari. Dan khusus Parvana, dia punya misi ekstra: mencari tahu nasib ayahnya di penjara. Tapi tentu saja, menjadi cowok enggak lantas membuka setiap kesempatan emas bagi Parvana. Kota Kabul yang darurat perang masih adalah tempat berbahaya dan sangat membatasi untuk anak-anak sepertinya. Lagipula, bukankah penyamaran tidak lain tidak bukan hanyalah sebuah kungkungan bagi diri sendiri yang sejati?

Jadi, di mana dong tempat bagi Parvana untuk merasakan kebebasan?

Di sana, di dalam kepala sendiri, jawabannya.

 

Kisah yang diadaptasi dari novel ini akan menjadi sangat depressing jika dimainkan secara langsung oleh aktor-aktor. Jelas sekali, animasi adalah medium yang paling tepat – bukan untuk memanismaniskan cerita, melainkan untuk menampung konteks dan pesan dan komentar sosial yang coba disuarakan.  Akan ada begitu banyak adegan yang meremas hati kita. The Breadwinner memang bukan secara tepat adalah animasi untuk anak-anak. Film ini lebih ditujukan untuk orang dewasa, yang niscaya akan terhenyak, dan pada gilirannya akan membimbing anak, adek, atau kerabat yang masih kecilnya yang sudah cukup paham untuk menonton film dengan tema yang begitu penting dan relevan dengan keadaan sekarang ini. Style animasi yang tampak simpel untuk setengah bagian cerita tidak sekalipun mengecilkan kekuatan rentetan adegan yang kita saksikan. Tengok saja gimana film ini mengontruksi dua kejadian dalam satu adegan tatkala seorang Taliban memukuli ibu Parvana dengan tongkat ayah sementara Parvana yang ada di sana sedang mengejar potongan foto sang ayah yang beterbangan. Adegan itu tampak mengalir indah, sekaligus menghantui rasa manusiawi kita. The Breadwinner tampil unggul dengan adegan-adegan yang dibangun seperti demikian.

Menjaga dan mengekang sungguh tidak banyak bedanya. Ketika agama Islam mengajarkan untuk menjaga wanita sebaik-baiknya, pasukan Taliban menggunakan kesempatan itu untuk mengekang masyarakat supaya mereka terus tunduk. Wanita dikekang, diatur-atur.  Sementara para lelaki, menjadi semakin vulnerable karenanya. Kalo perlu, mereka juga dikekang – dengan dipenjara.

Dari keadaan tersebut, tokoh utama kita belajar bahwa apapun yang dijaga dengan sebaik-baiknya akan menjadi tak ternilai harganya. Dan salah satu hal tersebut adalah harapan. Karena pada akhirnya, opresi dan kebebasan bukanlah soal siapa yang menjadi korban. Ini soal tanggungjawab. Kita sendiri yang bertanggungjawab terhadap harapan masing-masing. Dari sanalah kekuatan kita berasal. Jika kita tidak bersedia menjaganya, jangan kira orang lain akan sukarela melakukannya untuk kita.

 

Makanya, sekeji-kejinya tokoh Taliban dan sebagian besar pria dalam film ini, Parvana tidak serta merta digaris untuk mengalahkan mereka. Proses pembelajaran dan discovery yang dialami tokoh protagonis kita datang dari dalam dirinya sendiri. Karena menjadi anak cowok, yang ultimately adalah cara kisah ini menyimbolkan kesetaraan yang kini banyak dicari, bukanlah jawaban eksak masalah seperti punya Parvana. Ketika aku menonton film ini, aku memang sempat bingung terhadap perspektif dan motivasi si tokoh. Like, apakah dia pengen membebaskan ayahnya, atau dia ingin menafkahi keluarga. Film sepertinya tidak tegas mengarahkan cerita dalam memilih di antara spektrum ini. Namun, ternyata aku salah. Spektrumnya ada tiga, dan pada cabang inilah film menitikberatkan gravitasi fokusnya.; Apakah Parvana akan sanggup menyelesaikan dongeng yang ia kisahkan untuk adiknya?

Aku jadi ingat waktu kecil dulu setiap hari diceritain macem-macem dongeng sama kakek.

 

 

Kekuatan yang didapat dari bercerita adalah penemuan paling kuat yang berhasil dicapai oleh Parvana. Tokoh ini berkembang dari yang tadinya bosan dengan kisah-kisah yang selalu diceritakan oleh ayahnya, menjadi seorang yang menemukan kebebasan mutlak ketika dia bercerita. Ironically enough, justru pada elemen ini jualah, The Breadwinner menemukan titik lemah dalam penceritaannya. Kita akan senantiasa dibawa dari kejadian di kehidupan nyata Parvana ke dongeng yang ia ceritakan tentang seorang pemuda yang pergi ke sarang monster demi mencari bibit pangan yang dicuri dari desanya. Diceritakan dengan gaya animasi yang sedikit berbeda, dongeng ini actually mirip stop-motion dua dimensi, fungsi lain dari elemen ini adalah untuk menceritakan nasib sebenarnya abang Parvana. Thus, antara dongeng dengan kejadian yang dialami Parvana; kedua cerita tersebut seringkali tidak terasa paralel. Seperti kita sedang menonton tv dan bolak-balik di antara dua channel. Pun begitu, setelah midpoint menjelang ke babak akhir yang mengharukan, film ini menjadi sedikit repetitif, kita basically ngeliat Parvana bekerja di siang hari dan mendengarkan dongengnya saat sudah malam melulu. Tonenya menjadi sedikit terlalu kontras, sehingga flow dari cerita yang utama menjadi sedikit enggak mulus.

 

 

 

 

Situasi yang sulit akan menempa pribadi yang tangguh. Tak pelak, Parvana adalah salah satu tokoh utama film animasi paling kuat di tahun 2017 lalu. Kita sungguh dibuat peduli sama akankah dia berhasil bergulat dari situasi yang mengekang, sebagai seorang pendongeng maupun sebagai seorang anak yang ingin meringankan beban keluarganya. Visual dan desain musik yang penuh jiwa tentunya akan mampu menarik minat banyak penonton berpikiran dewasa untuk singgah menikmati dongeng yang penting ini. Aku pikir, animasi ini punya kans besar di Oscar 2018 mendatang. Dalam dunia yang akan terus mengekang, kita sendiri yang membuat kebebasan. Pesan semenarik ini hanya sedikit dibebani oleh penceritaan selang-seling yang terkadang tidak paralel dan terlalu sering.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE BREADWINNER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

RED SPARROW Review

“Everything happens for a reason.”

 

 

Moralitas cuma sikap sentimental manusia. Sedangkan harga diri selalu adalah yang lebih dahulu jatuh. Jadi buat apa menunggu? Pemuda pemudi Rusia yang digembleng oleh agensi State School 4 mendapat doktrin seperti demikian demi mengobarkan semangat patriotisme mereka. Sebab dalam aksi membela negara, mereka semua harus rela mengorbankan apapun. Jiwa raga mereka milik negara  yang selama ini telah memberikan mereka tempat berlindung, tempat untuk tinggal. Dan sekarang adalah giliran mereka untuk berjuang atas nama negara, dengan menjadikan tubuh sebagai senjata utama.

Menjadi mata-mata tidak selamanya berarti menguasai alat-alat berteknologi canggih, enggak selalu bahaya yang mereka hadapi berupa merayap elegan di antara laser-laser dengan kostum hitam. Film Red Sparrow tidak memewah-mewahkan kehidupan sembunyi-sembunyi penuh rahasia itu. Ataupun membuat penontonnya ingin menjadi mata-mata kece. Sesungguhnya film ini diadaptasi dari buku novel karangan Jason Matthews; seorang mantan anggota CIA. Jadi at heart, cerita film ini tahu persis seperti apa ‘sisi buruk’ dari pekerjaan tersebut. Materi yang disambut dengan bijak oleh sutradara Francis Lawrence, ini lebih sebagai sebuah cerita thriller dibandingkan kisah aksi. Menonton Red Sparrow, kita akan merasakan betapa OTENTIKNYA GAMBARAN DARI KEHIDUPAN SEORANG MATA-MATA. Iya sih, menjadi mata-mata berarti hidup kita menjadi glamor seketika; bercinta dengan orang-orang penting, orang-orang kaya. Namun, melalui film ini kita akan melihat sebenarnya itu adalah sebuah hidup yang sangat mengerikan. Percaya deh, enggak akan ada yang mau berada dalam sepatu Dominika Egorova. Tokoh utama kita ini adalah seorang ballerina yang direkrut ke dalam barisan Sparrow yang kerjaannya secara sederhana adalah merayu orang untuk mendapatkan informasi. Sebuah pekerjaan yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Dan tentu saja, penuh resiko.

Di Rusia, supaya tenang setelah kejadian traumatis, orang-orangnya enggak minum air putih. Mereka merokok.

 

Kita tidak mau melihat Dominika menjadi mata-mata yang sukses, kita ingin melihat cewek ini berhenti menjadi mata-mata dan kabur saja keluar dari dunia yang ia geluti. Hidup yang ia jalani was just so horrible, namun walaupun cerita tidak pernah memuja keputusan yang diambilnya, membenarkan apa yang ia pilih, Red Sparrow masih berkodrat sebagai sebuah film. Cerita film ini disusun sedemikian rupa supaya menarik, jadi kita tetap mendapatkan trope-trope thriller Perang Dingin – Misi utama Dominika, pertanyaan pada lapisan terluar cerita film ini, berpusat pada apakah Dominika akan berhasil mengendus mata-mata yang ia cari? Juga ada kisah cinta antara dua mata-mata beda negara yang tentu saja menambah stake berupa apakah pihak yang lain itu bisa dipercaya, siapa yang bakal mengkhianati siapa. Kalian ngertilah, kita masih akan menjumpai sedikit dramatisasi pada cerita. In fact, salah satu sekuen yang paling efektif nunjukin sensasi thriller dalam film ini adalah sepuluh menit pertama ketika kita dibikin berpindah-pindah antara pertunjukan balet Dominika dengan pertemuan rahasia tokoh Joel Edgerton, sementara scoring yang sangat memikat mengalun di latar belakang. Di dalam film akan ada sekuen berantem yang lumayan sadis. Ada adegan pemukulan dan penyiksaan yang bukan konsumsi penonton yang perutnya lemah.

Selain itu, juga banyak adegan ‘buka baju’ yang bakal bikin kita risih menontonnya – yang membuat bioskop di sini mesti melakukan sensor dengan mengezoom pada adegan kurang senonoh sehingga kita hanya melihat kepala tokohnya saja. Dan untuk itu, aku sangat salut kepada Jennifer Lawrence yang sungguh bernyali. Setelah hal-hal gila yang aktris ini lakukan di Mother! (2017), di Red Sparrow dia menaikkan tingkat kenekatannya dengan melakukan berbagai adegan yang bikin kita meringis. Sepertinya tidak ada adegan menantang yang enggan dilakukan oleh JenLaw, semuanya dijabanin.  Perlu kutekankan sedikit, meskipun memang banyak adegan seksual yang awkward dan kasar – di kelas di ‘sekolah mata-matanya’, Dominika dan murid-murid yang lain kerap disuruh buka baju dan melakukan gituan di depan semua orang – perasaan disturbing yang kita rasakan ketika menonton film ini tidak terbatas berasal dari sana. Malahan, justru adegan tokohnya Mary-Louise Parker yang bikin penonton di studioku tadi barengan memekin tertahan, padahal adegannya bukan adegan seksual.

Aku bisa paham dan membayangkan kalo Red Sparrow bakal banyak diboikot, lantaran film ini juga menggambarkan iklim politik yang disturbingly relevan terutama buat penonton Amerika. Red Sparrow mengemukakan wacana soal kebudayaan Amerika yang berubah akibat sosial media dan teknologi dan bagaimana Rusia mencoba mengapitalisasi tensi di antara kedua negara. Dan kita tahu, semenjak election 2016 santer kabar ada campur tangan Rusia di dalamnya. Mungkin kata-kata mentor Dominika ada benarnya. Mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir.

 

Sebagai sebuah cerita, film ini punya sisi menarik. Kita ditaruh di tengah-tengah situasi politik di mana kita enggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun di atas itu, yang membuat film ini susah untuk ditonton adalah betapa protagonis kita luar biasa tak tertebak. Film ini dengan sengaja mengaburkan isi kepala Dominika kepada kita, membuat kita tidak pernah sepenuhnya memahami keputusan yang ia buat. Tidak seperti pada Molly’s Game (2018)  di mana kita bisa mengerti apa yang membuat tokoh Jessica Chastain berpindah dari atlit ski, memilih menjadi Bandar Poker, kita paham mindsetnya, pilihan-pilihan yang dia ambil, pada Red Sparrow kita tidak mengerti bagaimana cara kerja pikiran Dominika. Kita mengerti dia terjebak dalam situasi yang tidak ia sukai, tapi kita enggak tahu apa tepatnya yang menyebabkan dia ada di sana. Transisi dari dia yang balerina sukses menjadi, katakanlah, pion dalam permainan spionase maut terasa sangat abrupt. Keputusan-keputusan Dominika disimpan rapat di dalam kepalanya sendiri, dan kita hanya melihat tindaknya dari luar. Mmebuat kita sulit peduli dan mendukung tokohnya. Dan sejauh yang bisa aku usahakan untuk mengerti, keputusan agensi Sparrow merekrut Dominika adalah karena masalah pelik keluarga, semacam nepotisme, dan karena Dominika punya paras cantik yang merupakan aset berharga jika kau mencari kandidat sempurna untuk mata-mata.

you don’t want to be a volunteer for this kind of job

 

Tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi. Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua hal terjadi karena suatu alasan. Ini adalah pelajaran berharga yang dipelajari dengan cara yang sangat keras oleh Dominika. Semuanya itu bersangkutan dengan kebutuhan manusia, sebagai makhuk sosial. Pada gilirannya, Dominika menjadi sangat tangkas dalam menebak apa yang diinginkan oleh target operasinya, tak terkecuali orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuatnya begitu cakap sebagai seorang mata-mata. Sebegitu handalnya sehingga Dominika dapat membalikkan kebutuhan orang sebagai keuntungan yang memenuhi kebutuhannya.

 

Film ini banyak bicara tentang bagaimana setiap manusia mempunyai kebutuhan. Akan ada banyak percakapan yang menanyakan “apa yang kau mau?” kepada seorang tokoh. Kebutuhan manusia menjadi poin vokal dalam narasi, tapi kita dengan sengaja dibuat tidak mengetahui kebutuhan sejati dari tokoh utama. Kita paham dia ingin ibunya yang sakit terurus dengan baik, tetapi gambar besar dari tujuannya sengaja ditutupi. Film seolah membuat pagar pertahanan di sekeliling tokoh utama yang mencegah kita untuk masuk dan peduli dan mengerti, dan hanya di saat-saat terakhir pagar ini membuka. Film banyak memanjang-manjangkan adegan yang kelihatan seperti momen gede padahal enggak benar-benar mengangkat cerita, hanya untuk memperlihatkan kepada kita kemampuan dan arah moral yang dipegang oleh Dominika. Karena sebenarnya hanya ada satu adegan kecil yang perlu kita tahu di akhir, adegan yang akhirnya membuat kita melihat Dominika seutuhnya.

 

 

 

Manusia adalah teka-teki kebutuhan. Film memilih untuk menggambarkan itu dengan tepat kepada tokoh utama sehingga kita bisa menjadi begitu frustasi saat menontonnya. Ceritanya tidak membingungkan, elemen politiknya bisa dipahami dengan sedikit perjuangan, mendukung tokoh utamanyalah yang merupakan tugas yang sulit. Kita bisa suka kepada setengah bagian dari film ini, karena dia begitu bernyali, punya adegan-adegan dan desain musik dan suara yang memikat. Sementara yang setengahnya lagi, kita akan kebingungan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for RED SPARROW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017