BAYI GAIB: BAYI TUMBAL BAYI MATI Review

“Do I not destroy my enemies when I make them my friends?”

 

 

Hidup Rafa tampaknya sudah hendak berbuah manis. Perusahaannya menang tender. Istrinya, Farah, yang cantik parah, akhirnya hamil. Saking girangnya, pasangan suami istri ini memutuskan untuk pindah rumah. Di rumah baru nan gede itulah, keluarga Rafa mendapat gangguan. Didatengi mimpi-mimpi buruk. Disatroni nenek-nenek serem. Bayi mereka pun akhirnya lahir di bawah kondisi semencekam itu. Namun Rafa dan Farah sepertinya tidak akan pernah mengetahui apakah Rangga kecil mereka akan tumbuh gede dan bertemu dengan Cinta. Lantaran bayi imut tersebut kadang justru tampak amit-amit. Rafa bingung, kejadian-kejadian aneh itu entah bersumber dari bayinya yang bayi setankah, atau rumahnya yang angkerkah, atau malah berasal dari masa lalu dirinya sendiri.

Tadinya, aku takut film ini akan menyontek Rosemary’s Baby (1968). I mean, lihat aja poster filmnya. Mirip. Tapi tentu saja kita tidak bisa menilai kualitas film dari posternya. Ataupun dari judulnya yang sempet gonta ganti, dan akhirnya ditumplek semua menjadi satu kalimat yang panjang. Jadi, aku lantas menonton. Dan di tengah-tengah film, aku justru berharap film ini mirip sama horor klasik karya Roman Polanski tersebut. Karena aku yakin film yang total rip-offan niscaya bakal lebih menarik dari apa yang actually kita saksikan selama 90 menitan.

Kita dilempar-lempar dari Ashraf Sinclair yang pengen hidup move on dari masa lalu namun gak percaya santet lantaran orang jaman dulu enggak melawan penjajah pake ilmu hitam ke Rianti Cartwright yang insecure dengan keselamatan bayinya. Dan kemudian mereka bertengkar, sebab di tahun 2018 ini penulis naskah masih nekat memakai trope horor “Si A ngelihat hantu namun orang terdekat tempat ia mengadu, tidak percaya”. Lalu Rianti bertingkah kayak orang kesurupan. Susah sekali untuk kita berpegang kepada cerita yang enggak punya sudut pandang yang terarah seperti begini. Menonton ini terasa seperti kita adalah sebuah batu yang dilempar meloncat-loncat di permukaan air. Kita hanya menyentuh permukaan setiap plot poin. Film ini tidak punya kedalaman pada ceritanya. Setiap kali kita beranjak dari plot poin satu ke plot poin berikutnya, kita tidak merasakan flow yang natural terhadap perkembangan para karakter. Membuat kita susah untuk peduli kepada yang mana, apalagi buat kepada mereka berdua.

peduli sama duit di dompet mestinya adalah pilihan yang bijak

 

Bukannya film ini tidak mampu memberikan karakter kepada tokoh-tokohnya. Hanya saja, penulisan itu dengan segera terlupakan begitu film memutuskan untuk mengganti sudut pandang dengan sering.  Di awal-awal cerita kita melihat Rafa ketakutan melihat kebiasaan Farah yang lagi ngidam. Aspek ini menurutku cukup menarik, aku pikir film akan mengambil sudut cerita tentang seorang calon ayah yang menghadapi ketakutannya terhadap proses kehamilan, yang seketika membuatku teringat sama satu-satunya film yang enggak berani aku tonton ulang; Eraserhead (1977) buatan Dayid Lynch. Sekali lagi, aku merasa aku akan berujung enggak keberatan kalolah Bayi Gaib meniru film itu lantaran akan menarik sekali melihat ketakutan psikologis itu ditranslasikan ke dalam budaya lokal. Namun kemudian film menggugurkan sudut pandang Rafa itu. Kita pindah ke Farah yang diganggu oleh penampakan dan janin yang bertingkah aneh-aneh menyeramkan. Pertanyaan mengenai apakah itu semua ada dalam kepala Farah atau enggak kembali diangkat, untuk kemudian dinegasi lagi oleh rentetan jumpscare dan musik ngagetin. Nyaris semua tokoh minor dalam cerita ini pun ikut-ikutan melihat setan. Bahkan sedari sepuluh menit pertama saja sebenarnya film sudah melandaskan dengan kuat bahwasanya kejadian miring pada film ini memang bekerja dalam kotak hal-hal mistis. Jadi, wajar jika kita enggak konek dan sulit peduli terhadap  konflik yang berusaha dipancing – dan ditinggalkan begitu saja – oleh film terhadap dua tokoh pusatnya.

Berdamai selalu lebih baik daripada bermusuhan. Namun, berdamai dengan musuh bisa diputar balik sebagai cara untuk menjatuhkan musuh dalam cara yang tak ia duga. Kita dapat menghancurkan musuh dengan menjadikannya sebagai teman. But ultimately, pilihan terbesar kita adalah memaafkan atau tidak. Sebab bagaimana mungkin kita masih menganggap seseorang sebagai musuh jika dia sudah berubah menjadi begitu perhatian kepada kita.

 

Apa yang digugurkan oleh film ini sebenarnya adalah aspek psikologis. Padahal justru aspek inilah yang membuat film horor bisa mencapai puncak kengerian maksimal. Kita perlu untuk merasakan ketakutan, lebih daripada untuk melihat penampakan buruk rupa. Film tidak memberi kita kesempatan untuk merasakan takut yang dialami oleh para tokoh. Ketika Farah ingin menusuk bayi seram di dalam kereta dorong itu dengan pisau, padahal itu adalah bayinya sendiri – perfectly human, kita tidak merasakan tegang. Film gagal membuat kita berteriak “jangan itu anakmu!!!”, malahan film gagal untuk memancing reaksi apapun karena efek psikologis itu tidak dibangun, dan itu disebabkan oleh film tidak pernah merasa benar-benar perlu untuk membangun psikologis.

Yang bisa saja berarti film ini tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan

 

Film horor tidak bisa bekerja dengan baik jika hanya mengandalkan kepada hantu seram dan twist saja. Bayi Gaib adalah satu lagi film horor yang gagal karena hanya mementingkan twist. Film ini tidak membangun apapun, melainkan hanya membendung ‘kejutan’ untuk twist di babak akhir cerita. Mereka cermat sekali di aspek ini. Memang sih, buat penonton yang jam terbang nontonnya udah gede, twist film ini dapat dengan gampang tertebak, but at least, Bayi Gaib benar-benar mematangkan kejutan yang ia punya sebagai satu-satunya resolusi yang mungkin dari cerita. The problem is, twist itu membuat motivasi salah satu tokoh, membuat semua effort yang ia lakukan menjadi percuma. Dalam sekuen pengungkapan, ‘dalang’ di balik semua keganjilan pada keluarga Rafa menampakkan diri, practically mengakui semua perbuatannya. Sebuah tindakan yang tentu saja mendapat sambutan berupa lemparan popcorn dan pertanyaan kenapa. Maksudku, kalo memang end goalnya adalah membunuh seluruh keluarga Rafa dengan santet, kenapa saat hampir berhasil dia malah buka rahasia? Kenapa malah nyamperin Farah, bukannya Rafa?

Timeline waktu nyantet dan perihal bayinya juga seketika menjadi gak make sense. Jika santet itu butuh ari-ari bayi, kenapa Farah  sudah diganggu hantu sejak si bayi masih di kandungan? Menjelang akhir babak pertama ada adegan Rafa mimpi, yang ditanggepi oleh Farah yang kesurupan sebagai pertanda ada orang terdekat Rafa yang meninggal. Film tidak pernah memperjelas puncak dan tujuan adegan ini, kita hanya bisa menebak apakah yang mati adalah si bayi, dan yang lahir memang bayi setan. Kalo benar begitu, berarti masalah Rafa dan Farah belum selesai sebab mereka tidak mengetahui bayi yang mereka lindungi sudah bukan manusia.

 

 

 

To sum it up, we could say that this movie is a total waste of time. Hantunya enggak seram karena film tidak pernah membuild up keseraman. Dia hanya memperlihatkan rangkaian adegan-adegan berbalut trope horor dengan harapan kita-kita menikmati dikagetin sebagai pengalaman menonton. Bikin film itu sepertinya sama dengan bikin anak; prosesnya menyenangkan, namun juga harus bertanggungjawab. Produk yang dihasilkan haruslah dinurture dengan cermat. Karenanya, orang-orang di belakang film ini adalah ‘orangtua’ yang buruk; anak mereka – film ini – tidak mereka besarkan dengan benar.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for BAY GAIB: BAYI TUMBAL BAYI MATI

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DOWNSIZING Review

“The real meaning of greedy is taking more than you give.”

 

 

Ketika para ilmuwan dalam drama komedi satir Downsizing berpikir mereka sudah mengatasi masalah lingkungan dan populasi di seluruh dunia dengan menyusutkan umat manusia, mereka tetap tidak bisa mengerdilkan pertanyaan besar yang digantungkan Tuhan di atas kita semua; kapan kiamat itu akan tiba. Dan dapatkah kita lari darinya.

 

Downsizing memulai ceritanya dengan sangat luas. Film ini menawarkan premis yang menarik saat kita melihat orang-orang berjas putih itu berhasil menemukan cara untuk memperkecil ukuran tubuh manusia. Sungguh sebuah prospek hidup yang sangat cerah. Karena dengan menjadi kecil, orang-orang akan butuh lebih sedikit makanan, minuman, dan bahkan perhiasan. Space tempat tinggal pun tentunya dapat ‘dihemat’. Lingkungan dapat lebih mudah dilestarikan. Paul Safranek melihatnya dari sisi ekonomi; dengan mengecil dia dan istrinya dapat tinggal di rumah mewah yang secara normal tidak bisa mereka beli. Cerita Downsizing pun menyusut saat kita mengikuti Paul yang akhirnya memutuskan untuk ikutan program LeisureLand; bersama sang istri dia akan pindah ke dunia Kecil. Dari masalah environment menjadi pandangan personal mengenai apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sebagai makhluk yang berkomunitas, Downsizing mencoba untuk menantang pikiran dan imajinasi kita semua, hanya untuk mengerdilkan sendiri ceritanya.

apapun yang besar tentunya akan semakin besar kalo kita mengecil, apalagi masalah

 

Aku bisa terus menggunakan istilah mengecil, mengerucut, dan semacamnya untuk mendeskripsikan bagaimana perasaanku ketika menonton film ini. Maksudku, aku benar-benar kecewa lantaran film ini sebenarnya punya begitu banyak potensi. This movie could be much BIGGER than this. Babak pertama film sungguh menggugah minat dan imajinasi. Film bahkan dengan seksama menuntut kita melihat proses penyusutan manusia itu berlangsung. Begitu detilnya sehingga semua langkah sci-fi itu terlihat realistis, even plausible buat penonton yang kurang suka ngayal. Menurutku, film bisa aja dimulai dengan adegan di rumah sakit itu, kita melihat orang-orang dicukur, gigi mereka diperiksa, kemudian dibius sebelum dimasukkan ke dalam kamar khusus, semuanya teratur dan sangat metodikal. Dengan begini fokus kita akan langsung ke tokoh Paul, di mana kita melihatnya tersadar dan mendapati menunggu kedatangan istrinya.

Seperti film-film sci fi yang bagus, Downsizing awalnya membahas banyak untuk kita pikirkan mengenai sistem dunia yang sudah diubah oleh narasinya. Kita mengerti bahwa ‘orang-orang kecil’ itu enggak bisa berfungsi tanpa orang-orang normal, thus membagi dua kelompok orang ini pun tentunya punya pertimbangan sendiri. Film membuat proses downsizing tersebut punya ‘kekurangan’; beresiko kematian, punya syarat khusus, serta digambarkan ada golongan yang enggak setuju sama penciptaan teknologi ini. Kita lihat ada seorang pria di bar yang mengonfrontasi Paul dan istrinya soal keputusan pindah hidup sebagai manusia kecil. Paul sendiri bahkan mengalami suatu hal sehubungan dengan pandangan mengenai downsizing, aku gak akan bocorin kejadian lengkapnya, yang jelas adegan tersebut memisahkan Paul dengan istrinya selamanya,  karena menurutku adegan yang jadi plot poin pertama tersebut benar-benar kejutan yang menambah banyak bobot drama.

Paul menyangka dengan menjadi kecil, dia bisa hidup senang, sekaligus menjadi pahlawan. Begitu jugalah film ini berpikir. Dengan menjadikan tokoh utamanya kecil, film menyangka mereka punya alasan untuk melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sempat mereka bahas di babak awal. Nyatanya, kita tidak pernah menoleh ke sana lagi lantaran cerita sudah berubah mengenai kehidupan Paul di kehidupan barunya. Jika bukan karena prop dan desain produksi yang unik, seperti mahkota bunga ukuran asli yang jadi hiasan jambangan ataupun duit dolar ukuran normal yang dipajang di dinding sebagai hiasan, kita bisa saja sekalian melupakan Paul sudah menjadi makhluk liliput yang enggak imut. Di sinilah Downsizing menyeberang menjadi film sci-fi yang enggak bagus; kita kembali ke masalah basic dengan melupakan perubahan gede yang dilakukan oleh universe ceritanya.

from hero to zero cm

 

Film terlihat bersusah payah mengakomodasi cerita dan pesan sosial yang berusaha ia sampaikan. Kalolah boleh menunjuk, sekiranya kelemahan itu ada pada tokoh utamanya. Aku belum pernah melihat Matt Damon sedatar dan seboring ini dalam film komedi. Dia benar-benar menghidupkan tokohnya – dia melakukan apa yang disuruh oleh narasi. Dia mematuhi saja, sama seperti yang dilakukan oleh Paul. Tokoh Paul memang diniatkan terdiskonek dari kehidupan sekitarnya, karena dia begitu terpukul secara mental, namun cerita menuliskan seolah pilihan orang ini adalah siapa yang paling baik untuk dia ikuti.

Tokoh-tokoh di sekitar Paul tak pelak punya karakter yang lebih menarik. Tetangga Paul, seorang yang kebanyakan berpesta tapi bukan orang yang brengsek, misalnya. Dia mengajak Paul menikmati hidup, dialah yang pertama kali diikuti oleh Paul. Kemudian ada wanita dari Vietnam yang beberapa tahun lalu ngetop karena kabur dari penjara dengan bersembunyi dalam kotak TV. Paul bertemu dengan tokoh yang instantly mencuri perhatian ini, dan kita lihat gimana ‘kelemahan’ Paul – dia kinda stuck dengan si wanita. Kemudian Paul diberikan pilihan untuk mengikuti penemu teknologi mengecil itu sendiri ke dunia utopia. Mau tahu bagaimana cerita membuat Paul memutuskan pilihan final ini? Dengan seolah Paul malas berjalan kaki sebelas jam ke Utopia. Jadi, dia balik dan membuat keputusan yang benar. Film ini mengontraskan Paul yang ingin hidup nyaman dengan orang-orang yang actually berjuang untuk hidup, akan tetapi ada begitu banyak hal menarik lain sehingga membuat kita enggak pernah benar-benar peduli sama Paul. Bahkan aku lebih peduli sama istrinya; aku berharap bakal melihat Kristen Wiig lagi, tapi tokoh ini dimunculin lagi hingga akhir hayat film.

Metafora lingkungan pada film ini menyampaikan dengan subtil satu pandangan yang teruji; bahwa manusia adalah makhluk yang boros dan rakus. Ketika sumber daya menipis, solusi yang tampak lebih menarik buat kita adalah dengan menjadi mengecil yang berarti kebutuhan kita ikut mengerucut sehingga kita bisa menikmati sumber daya lebih lama. Ini bukanlah soal penghematan, melainkan hanya sebuah langkah untuk terus memperpanjang kesempatan. Rakus sebenarnya rakus adalah ketika kita mengambil lebih banyak dari yang kita beri.

 

 

 

Ada banyak alasan untuk menyukai film ini. Actually aku berusaha banget untuk suka. Dialog yang diucapkan tokohnya penuh oleh kesadaran. Humornya cerdas, satirnya bikin kita miris. Dunia film ini dibangun dengan kreatif, sense bertualang ke tempat yang baru juga turut hadir. Namun film ini menjauhi apa yang membuatnya begitu unik dan cerdas. Dari apa yang tadinya adalah mengubah dunia, berubah menjadi transformasi hidup seorang manusia yang tidak benar-benar menarik. Ini seperti kita melihat pusaran yang dinamik, kemudian dipaksa untuk melihat sesuatu yang berdiri diam di antara dinamika tersebut. Film ini salah memilih fokus. Dari sekian banyak hal menarik di sana, dunia yang penuh dengan tokoh-tokoh yang intriguing – dengan penampilan singkat dari banyak aktor pendukung yang juga lebih menarik – film ini malah menjadi cerita tentang reaksi manusia mencari apa yang terpenting dalam hidupnya yang hampa.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for DOWNSIZING.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MOLLY’S GAME Review

“The most dangerous phrase in the English language is ‘be a man’”

 

 

Pernikahan adalah jebakan. Bermasyarakat adalah lelucon. Dan orang-orang? Molly Bloom enggak percaya sama orang. Tadinya Molly sendiri enggak mengerti, kenapa dia tumbuh sebagai seorang remaja yang begitu sinis. Sampai kejadian yang mengubah hidupnya jungkir balik itu terjadi. Molly tadinya sudah hampir menjuarai pertandingan ski. Sejak kecil dia sudah berlatih sehingga sukses mencapai kelas profesional. Molly bertanding untuk olimpiade, padahal dia punya masalah yang bukan main-main dengan tulang belakangnya. Eventually, Molly mengalami cedera serius. Molly selamat dari kematian, namun karirnya sebagai atlit ski profesional tamat sudah. Dia dapat kesempatan untuk memikirkan kembali seluruh hidupnya dan entah bagaimana, wanita ini jadi bekerja sebagai host permainan poker underground. Karena pekerjaannya tersebut, sekarang Molly dikenai tuduhan kriminal. Dan kemudian dia menulis buku yang isinya mengekpos dunia selebriti dan poker gelap yang ia geluti. Dan ini adalah kisah yang sangat aneh. Dan aku sengaja menyebut hal ini terakhir sebagai kejutan; kisah Molly Bloom ini adalah kisah nyata.

Mengepalai kisah hidup yang benar-benar aneh, penulis Aaron Sorkin membuktikan kebolehannya sebagai sutradara untuk pertama kali. Dia mengarahkan cerita dengan benar-benar kompeten. Kita akan dibawa mengikuti Molly dengan penceritaan yang detil. Film ini berisik oleh sekuen-sekuen dialog. Sebagian besar di antaranya adalah narasi voice-over oleh tokoh Molly. Biasanya penceritaan begini akan menurunkan nilai film, karena kita diberitahu poin cerita alih-alih diperlihatkan, namun Sorkin menemukan cara untuk memanfaatkan hal tersebut ke dalam cerita. Narasi voice-over dalam film ini tidak terasa seperti menyuapi kita dengan informasi sehingga menjadi membosankan. Malah, dua-setengah jam itu enggak terasa lantaran narasinya menarik. Beberapa momen memang tidak tampak menambah banyak buat cerita, melainkan justru memperlambat pace, tapi karena ditangani dengan memikatlah kita gak akan benar-benar mempermasalahkannya.

Terkadang, narasi membutuhkan banyak ekposisi, namun Sorkin melakukannya dengan cepat, dan dia memastikan kita benar-benar butuh informasi yang ia beberkan. Dalam adegan bermain poker, misalnya. Kita didudukkan pada tempat duduk yang sama dengan Molly. Dia mengobservasi permainan, kita diperkenalkan sama istilah-istilah permainan yang mungkin enggak semua penonton mengerti. Kemudian untuk adegan permainan selanjutnya kita tiba-tiba sudah mengerti psikologi di balik permainan tersebut, kita paham rintangan pada langkah yang diambil para tokoh yang sedang bermain poker. Di mana Molly pada poin ini? Dia sudah menjadi kepala penyelenggara permainan. Begitu tangkasnya alur mengalir, pace yang disajikan amat thrilling sehingga kita gak sadar sudah terlena mengikutinya. I mean, sepertinya aman untuk mengatakan penceritaan Sorkin membuat kita kecanduan sama kehidupan Molly yang luar biasa.

serius deh, cerita kayak gini sama normalnya dengan setiap kali main Poker kita dapat full house

 

Jessica Chastain pernah bermain dalam film yang buruk, namun sebagai aktris, Chastain tidak bisa menjadi sebuah aktor yang buruk – apapun perannya. Paling enggak, aku belum pernah nonton film yang jelek karena akting Chastain. Dalam Molly’s Game, dia bermain dengan sangat terrific. Karakternya sendiri sudah menarik sedari awal, dan bagaimana Chastain menghidupkannya membuat Molly mekar berkembang menjadi peran yang hebat. Kalo ini sedang ngulas gulat, maka aku akan bilang Chastain punya mic skill yang dahsyat. Maksudku, setiap kalimat yang ia ucapkan terasa punya bobot, lengkap dengan emosi yang meyakinkan. Begitu compellingnya sehingga aku merasa kalolah dia menyeramahiku, Chastain’s Molly bisa menyebut semua pilihan-pilihan salah yang sudah kuambil sepanjang hidupku, dan aku akan melaksanakan semua nasehatnya tanpa argumen. That’s how convincing she was.

Sosok pahlawan bagi kebanyakan anak perempuan biasanya adalah bapaknya. Tapi bukan buat Molly. Sedari kecil, Molly enggak punya pahlawan, enggak punya tokoh panutan. Malahan, bisnis poker illegal yang ia lakukan, tanpa ia sadari, adalah perwujudan perlawanannya terhadap sang ayah. Sebagai cara bagi Molly untuk punya kontrol di atas pria-pria yang lebih berdaya.

 

Sorkin mengambil sebuah pertaruhan yang besar ketika ia mengembangkan kisah hidup Molly Bloom sebagai naskah film. Sebab ini adalah film yang stake ceritanya terlihat ngambang, gak jelas. Padahal setiap film harus punya stake yang terang sehingga penonton dapat terkonek dan peduli dengan protagonisnya. Materi yang dipunya Sorkin adalah seorang wanita yang sudah kehilangan segalanya. Tragedi di olimpiade itu adalah titik balik; Molly sudah kehilangan segalanya di awal cerita. Dan sebagaimana pepatah lama bilang, “saat kau ada di dasar, jalan yang ada hanya ke atas”. Tantangan dan resiko yang diambil oleh Sorkin sebagai penulis merangkap sutradara adalah dia harus memutar caranya gimana supaya kita peduli apakah nanti Molly bisa bebas atau hidup dalam penjara, sementara kita tahu dipenjara atau enggak sama sekali udah gak banyak bedanya bagi Molly. Bukan hidupnya, melainkan hanya reputasi yang jatoh kalo dia dipenjara. Jadi, perjalanan dalam film ini dibuat Sorkin sebagai somewhat psikologikal, perjalanan ke dalam diri yang dilakukan oleh Molly – dia harus mencari tahu pijakan moralnya sendiri, mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya begitu tertarik menyambung hidup sebagai seorang host poker illegal.

Poker dan film punya satu kesamaan; ada taruhannya.

 

Kita akan eventually mengetahui lapisan terdalam yang memotivasi Molly. Tidak peduli betapa powerful dan berkuasanya pria di sekitar Molly, dirinya selalu bisa untuk mengambil kendali. Molly pinter, tegas, dan sudah terlatih untuk tidak terintimidasi.  Tentu, dia toh terscrew up juga oleh pria – dalam film kita melihat seorang seleb yang tadinya langganan permainan poker Molly malah ‘mengkhianati’ dengan almost literally pindah ke meja lain, tetapi Molly selalu siap berdiri dengan pinggangnya yang cedera. Actually, bagian akhir film yang mengungkap penjelasan ini, tentang keunggulan dan kelemahan karakter Molly, adalah bagian yang menurutku malah menyepelekan nilai penceritaan yang sudah dibangun oleh film di awal. Juga menurunkan kadar temanya yang soal bahwa wanita enggak kalah dari laki-laki.

Adegan yang dimaksud itu adalah ketika Molly yang sedang galau oleh banyaknya tuduhan kriminal dan sebagainya, berjalan gitu aja ke ring ice skating. Dia memutuskan untuk bermain sebentar, menyewa sepatu skate dengan menggadai sarung tangan Chanel, dan ketika dia bermain ice skating, seseorang memanggil namanya. “Molly!” Ia terjatuh. Di luar ring, ujug-ujug ada ayahnya. Adegan ini begitu konyol buatku, tadinya aku menyangka sosok si ayah itu hanya imajinasi Molly. Ayah (Kevin Costner memainkan seorang ayah sekaligus psikolog yang disiplin) selama ini bersikap tegas dalam mendidik dan melatih Molly. Beliau adalah tipe ayah yang akan kecewa padamu, meskipun kau sudah jadi juara kelas, hanya untuk terus memompa semangat juangmu. Jadi kupikir akan sangat emosional sekali bagi Molly mengingat sang ayah di tempat yang sudah lama ia tinggalkan, akan sangat masuk akal jika momen ini akan jadi momen penyadaran bagi Molly. Tapi ternyata film malah membuat si Ayah benar-benar ada di sana; faktor kebetulan berusaha mereka tutupi dengan menyebut Ayah tahu Molly ada di mana dari Ibunya, meskipun asumsi yang kita dapat dari konteks adegan sebelumnya adalah Molly enggak pernah exactly mutusin akan ke ice skate – dia hanya berjalan ke arah sana. Ayahlah yang mengungkapkan apa yang selama ini jadi kelemahan Molly, apa yang membuatnya getol bikin poker gelap, darimana motivasi Molly berasal. Sesungguhnya ini semua berlawanan dengan aspek karakter dan cerita yang sudah dibangun, kenapa Molly yang mandiri dan pintar harus dijelaskan tentang dirinya sendiri oleh pria yang selama ini ia antagoniskan?

Bahkan lebih aneh lagi jika kita sambungkan konteksnya dengan adegan sebelum ice skating itu berlangsung. Sebuah adegan yang merupakan titik balik dari hubungan Molly dengan pengacaranya. Di adegan ini Idris Elba melakukan monolog menakjubkan tentang bagaimana selama ini dia salah menilai Molly. Bahwa Molly lebih dari sekedar “Poker Princess”. Basically, Elba bilang kepada kita semua bahwa inilah saatnya kita sadar tentang kebaikan Molly dan segera mendukungnya. Hanya karena dia membuat kesalahan, bukan berarti Molly adalah penjahat. Jadi, aku mengerti supaya arc Molly beres, dia kudu bisa melihat koneksi dirinya dengan sang ayah. Hanya saja, membungkus arc yang demikian dengan dia mendapat penjelasan dari si ayah benar-benar melemahkan karakter Molly sendiri.

Semua pemain poker dalam film ini adalah pria-pria kaya, terkenal, punya jabatan. Dan kebanyakan mereka jatuh bangkrut akibat ulah sendiri. Molly yang dibesarkan supaya setangguh laki-laki kecanduan untuk mengontrol mereka, dan pada gilirannya Molly juga dijatuhkan oleh pria-pria yang bahkan nama mereka enggak berani diungkap oleh Molly dalam bukunya. Molly bermain sebagai pria jantan, tapi permainan itu bubar dengan cepat. Film ini mengeksplorasi tentang betapa kemaskulinan dapat menjadi racun bukan hanya kepada pria, namun juga kepada wanita. Kepada society. Karena bagaimanapun juga, pria dan wanita tetap saling bergantung satu sama lain.

 

 

 

 

Debut sutradaranya ini membuktikan kekompetenan Aaron Sorkin sebagai pengarah cerita. Akan tetapi, penampilan akting, dialog yang memikat, dan fakta bahwa ini adalah kisah nyatalah yang membuatnya menjadi film yang spesial. Salah satu penulisan yang paling menarik di tahun 2017. Pacing film bisa terasa sangat lambat, pilihan yang diambil untuk menyelesaikan plotnya pun enggak benar-benar kartu as. Tapi yang diceritakan film ini sebenarnya penting untuk kita saksikan.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10  for MOLLY’S GAME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SILARIANG: CINTA YANG (TAK) DIRESTUI Review

Running away from the problem only increases the distance from the solution.”

 

 

Cinta itu pelik. Pernikahan bukanlah hal yang sepele. Maksudku, kita mungkin bakal menyangka bagian tersulitnya adalah di acara pesta pernikahan – you know, jaman kekinian wedding kudu mewah dan segala macam repot yang lain –  tapi sebenarnya itu cuma fase pemanasan dari ‘kerja keras’ berikutnya. Cinta enggak mesti berujung bahagia selamanya, apalagi kalo enggak diperjuangkan. Complicated banget. Pertama-tama, kita kudu mengejar restu orangtua dulu. Bahkan ketika sudah dapat restu pun, tak semua cinta yang mampu bertahan. Jadi, mungkin kalian sempat kepikiran; kawin lari aja. Gak perlu pesta gede-gedean, gak perlu ngap-ngap emosian minta restu ke mama, papa, mertua. Silariang, kata orang Makassar. Ada alasannya kenapa Makassar punya istilah sendiri buat kawin-lari. Di sana masih ada tradisi adat yang mengikat; bahwasanya keturunan bangsawan enggak boleh nikah sama keturunan jelata. Jadi, mau nikah bagi orang Makassar sedikit lebih eksra tingkat kesulitannya.

Lari mungkin memang jalan termudah untuk memenangkan cinta. Tapi apa yang sebagian besar orang gagal untuk mengerti adalah Cinta terhadap seseorang, perasaan tulus tersebut tidak pernah salah. Jadi kenapa si innocent itu harus disandingkan dengan kata lari. It’s not that lari itu berkonotasi negative (walau sebagian besar waktu memang demikian), hanya saja – yang perlu ditegaskan adalah – lari bukan satu-satunya jalan keluar.

 

Silariang: Cinta yang (tak) Direstui mengajak kita menyelami dan mempertanyakan cinta lewat kisah Yusuf dan Zulaikha. Yang satu anak pengusaha, satunya lagi putri berdarah bangsawan. Pernyataan cinta mereka tidak bisa direstui sebab mereka tidak satu strata. Terlahir ke dalam budaya Makassar, kebersamaan mereka justru menjadi aib bagi keluarga masing-masing. Yusuf bermaksud melawan, maka ia mengajak Zulaikha nikah di tempat yang jauuuuh dari rumah. Terdengar sangat romantis, bukan? Pangeran yang membawa Putri naik kuda. Tapi Yusuf bukan pangeran. Mereka lari naik angkot, kemudian sampan. Dan apa yang menyongsong mereka di tempat yang baru jelas bukan serta merta keindahan.

Rammang Rammang kayak tempat Piccolo melatih Gohan

 

Inilah yang dilakukan dengan baik oleh Silariang. Naskahnya cukup bijak untuk mengeksplorasi permasalahan yang membuat para tokoh memang bertingkah sesuai dengan umur mereka. Permasalahan yang mereka hadapi sesungguhnya begitu serius dan dewasa. Bukan sekadar Yusuf dan Laikha kabur atas tekanan orangtua sehingga kita mendukung mereka, sepasang protagonis yang minta dikasihani karena selalu melewati rintangan cinta. Film ini bukan tentang itu.  Bagaimana tindak Silariang itu mempengaruhi pelaku dan orang-orang di sekitar mereka, yang mereka tinggal lari, turut menjadi fokus dalam cerita. Setiap dari mereka diberikan konflik personal. Tak pernah film ini berpaling dari kenyataan-kenyataan seperti hubungan rumah tangga yang diaku sudah dipupuk cinta bertahun-tahun dapat dengan mudah pecah hanya dalam satu hari. Begitu banyak dan dalamnya perspektif yang dibahas, sehingga membuat kita melihat para tokoh enggak lagi dalam cahaya protagonis ataupun antagonis.  Semua orang punya pandangan di dalam kepala sebagaimana setiap orang punya cinta di dalam hati mereka. Menonton mereka bergulat dengan hal tersebut – bagaimana mereka memposisikan diri di antara cinta dan adat – adalah kualitas terkuat yang dimiliki oleh film ini. Mereka diberikan kesempatan untuk menggapai momen dramatis tersendiri sebagai penutup dari saga masing-masing.

Sudah begitu lama penonton memohon film Indonesia tampil dengan corak latar budaya yang kuat, dan Silariang hadir sebagai  penjawab harapan tersebut. Kita enggak hanya melihat Makassar di sini. Kita ikut hidup di dalamnya. Budaya itu kuat mengakar dalam setiap lapisan adegan, tanpa diiringi dengan kepentingan untuk menjelaskan sehingga membuat film ini juga bekerja dengan amat baik sebagai sebuah penceritaan visual. Seperti adegan ketika Paman dan Bibi Yusuf datang ke rumah Zulaikha. Mereka ditanyai maksud kedatangan, dan begitu baru sepatah menjawab, mereka malah ditawari minum teh oleh Paman Zulaikha. Dan setelah diminum tehnya tawar. Selayang pandang, adegan ini tampak agak menggelikan – orang mau jawab kok malah disuruh minum – namun sebenarnya adegan ini dengan subtil membentuk poin ke budaya Makassar; tamu yang disuguhi minuman tawar basically disuruh ‘pulang aja lo’. Ada begitu banyak adegan-adegan emosional yang dipasangi atribut budaya yang membuat masing-masing momennya menguar dan sangat vokal. Kita gak bakal gampang lupa adegan cuci kaki ataupun ketika melihat badik itu berpindah tangan seliweran di depan mata.

Kamera meromantisasi nyaris setiap adegan. Kadang terasa agak over, tapi sebagian besar bekerja efektif sebagai pendukung penceritaan. It’s a clear work of both editing and directing. Dua tokoh lead dimainkan oleh aktor yang sama sekali enggak ada darah Makassar, but yet, mereka tampak seperti pribumi sejati. Mereka meyakinkan banget sebagai anak muda yang saling jatuh cinta, namun enggak yakin apakah yang mereka tapaki adalah langkah yang benar. Aku mungkin salah, tapi sepertinya ini adalah kali pertama buat Bisma Karisma dan Andania Suri memainkan karakter yang dewasa. Bisma was so good sebagai Yusuf, permainan aktingnya tampak meningkat, tapi setiap kali mereka bersama – terlebih di bagian-bagian emosional – Andania Suri just plainly membanting akting Bisma. Ketika mata dan ekspresi Bisma kadang tampak keluar dari karakter, enggak sinkron dengan pemain yang lain (adegan mereka di rumah sakit bisa jadi contoh), Suri tampak secara konstan brilian. Adegan nangis selalu adalah senjata pamungkas jebolan Gadis Sampul ini.  Ada lapisan dalam emosinya, seperti ketika adegan mereka naik sampan, di tengah-tengah pemandangan asik itu Zulaikha malah tampak takut sebagai cerminan dari dia takut mengarungi kehidupan berdua. Dan kupikir adegan ketika Zulaikha sembunyi di bawah tangga rumah, dan peristiwa yang mengikutinya, adalah adegan emosional yang menjadi favorit banyak orang.

tak u-uk, Cu’

 

Saat menonton, aku pikir kita perlu melihat backstory hubungan Yusuf dengan Zulaikha sebab kita sama sekali enggak tahu darimana hubungan cinta yang kuat itu bermula. Film enggak memberikan ini, kita dilempar ke tengah polemik restu keluarga mereka. Kita hanya tahu mereka ini saling cinta mereka rela meninggalkan keluarga. Ketika aku memikirkan tentang hal ini lagi setelah selesai menonton, aku jadi melihat kemungkinan dari alasan kenapa film enggak menunjukkan hal tersebut. I think film ingin memperlihatkan bahwa kedua tokoh ini, mereka belum sepenuhnya mengerti atau yakin cinta itu ada. Bahwa yang mereka cintai adalah kemungkinan mereka hidup berdua, diakui sebagai pasangan. Buatku, ini juga sesuai dengan konteks guncangan kecil saat mereka menjalin rumah tangga di bagian akhir cerita. Maka aku menggolongkan kurangnya backstory cerita sebagai keputusan beresiko yang diambil oleh film.  Lagipula, film sudah semacam menebus aspek ini dengan memperlihatkan rentetan adegan manis nan menyenangkan tentang gimana Yusuf dan Zulaikha membersihkan rumah, ataupun saat mereka diperlihatkan berusaha ngurus bebek dan menghela sapi.

Berdasarkan reaksi penonton saat pemutarannya, film ini secara gak sengaja menjadi kocak. Namun ini sesungguhny adalah hal yang bagus karena kekocakan tersebut berasal dari situasi ataupun interaksi yang tampak begitu real alih-alih komikal. Masalah yang mereka hadapi adalah masalah yang logis dihadapi oleh pasangan yang melakukan kawin lari. Dan masalah tersebut memang tampak menggelikan oleh sebab betapa nyatanya ia. Penyelesaian konfliknya lah yang buatku tampak berlebihan. Film sudah membangun dengan begitu baik sehingga aku sedikit kecewa ketika film resort ke trope-trope drama untuk menyelesaikan konflik ceritanya. Also, mereka membuat semua hal menjadi convenient. Padahal aku ingin melihat mereka berjuang lebih keras dalam menyatukan pendapat seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh film The Big Sick (2017), komedi romantis yang juga bicara tentang hubungan cinta yang enggak disetujui. Kedua film ini juga sama-sama memakai penyakit sebagai plot device, tapi tidak seperti Silariang, rumah sakit dalam The Big Sick enggak lantas mencuat menjadi penyelesaian. Aku ingin menghindari spoiler berlebihan, jadi aku cuma akan bilang alih-alih aspek ‘golongan darah yang langka’, aku pikir cinta mereka akan lebih teruji jika ‘pemersatu’ mereka itu dibuat meninggal saja.

Tidak ada tempat yang cukup jauh dari masalah yang kita hindari. After all those times, Yusuf masih terombang-ambing antara Cinta itu masalah uang atau masalah harga diri.

 

Sebelum menyaksikan ini di bioskop, aku sudah pernah menyaksikan film ini saat Ichwan Persada, sang produser – mentorku, mengadakan pemutaran khusus saat acara Halal Bi Halal My Dirt Sheet di kafe eskrimku di Bandung. Saat itu, filmnya masih belum dipoles, masih menggunakan musik template. Dan untuk beberapa adegan, aku lebih suka versi mentah itu ketimbang versi yang aku tonton di bioskop. Musiknya bagus dan mendukung penceritaan, namun ketika sudah masuk lagu soundtrack, beberapa adegan terasa dijejalin ke kita. Pada adegan pembuka, misalnya, aku gak mengerti kenapa lagu yang dipake begitu gempita mempromosikan Makassar. Aku merasa lagu tersebut enggak bekerja baik dengan tone keseluruhan film, it interferes dengan mood yang ingin disampaikan, dan aku pikir push terhadap Makassar dan budayanya sendiri sudah amat sangat tercermin dalam bahasa dan elemen-elemen penceritaan yang lain.

 

 

Jika kalian pernah mengharapkan film Indonesia dengan konten lokal yang kuat, drama Indonesia yang digarap dewasa, maka aku akan heran sekali kalo kalian malah melewatkan film ini. Kaya oleh perspektif tokoh yang berdimensi luas. Penceritaan didukung oeh visual cantik dan penampilan akting yang sangat meyakinkan. Untuk sebagian waktu, konflik yang dihadirkan terasa sangat manusiawi. Akan tetapi resolusi film datang dari aspek yang begitu convenient, sehingga terasa film mengambil cara yang aman untuk mengakhiri ceritanya. Film juga meninggalkan soal tradisi yang masih menjadi pemisah antara cinta dalam nada yang enggak tertutup. Bukan ambigu, melainkan mereka seperti sengaja enggak menyebutnya. Lari enggak akan menyelesaikan masalah, namun kupikir bigger picture yang mestinya ‘dijawab’ oleh film ini adalah soal strata yang membuat Yusuf dan Zulaikha enggak bisa bersatu in the first place.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SILARIANG: CINTA YANG (TAK) DIRESTUI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE SHAPE OF WATER Review

“The night allows the stars to shine and we come alive.”

 

 

 

Si Cantik dan Si Buruk Rupa bukan hanya milik Belle dan Beast di tahun 2017, sebab Guillermo del Toro sudah menulis satu lagi dongeng cantik yang mempertemukan manusia dengan makhluk bukan-manusia yang bekerja dengan begitu menakjubkan dalam berbagai tingkatan. The Shape of Water adalah kisah cinta yang sangat dewasa, sebuah fantasi yang demikian erotis sehingga mungkin terlihat menakutkan buat beberapa mata, yang dilatarbelakangi oleh suspens politik Perang Dingin.

Bahkan kalimat tersebut belumlah cukup untuk mendeskripsikan film ini, sebab dia juga adalah tentang kehidupan yang tidak terpenuhi;  tentang perjuangan manusia untuk mengisi kekosongan di hati mereka.

 

Sejauh ini, satu-satunya film yang sukses membuatku menitikkan air mata adalah Pan’s Labyrinth (2006). Aku begitu tergerak oleh penceritaan yang begitu menghanyutkan sehingga terasa benar-benar magis. Del Toro adalah master dalam menceritakan dongeng seperti ini, dia mampu menyatukan berbagai elemen – membuat ceritanya punya lapisan yang mekar membuka dengan cara yang teramat menawan.  Dan aku benar-benar gembira, setelah ngerjain proyek-proyek yang sepertinya adalah pekerjaan pesenan, del Toro kembali ke akarnya tersebut. The Shape of Water terasa bersandingan dengan Pan’s Labyrinth dan The Devil’s Backbone (2001). Tentu saja,  film ini dilengkapi dengan efek visual yang sama ajaibnya. Meletakkan hal-hal di luar normal ke dalam lingkungan yang ordinary adalah keahlian del Toro. Kalo ada istilah pekerja mimpi, maka orang ini pastilah personifikasi yang paling tepat mewakili istilah tersebut. Efek prostetik dan kostum monster amphibi itu membuat si tokoh seolah melompat ke luar layar.

Namun, dari semua aspek-aspek mencuat yang sudah jadi ciri khasnya, The Shape of Water tampil unik dan kuat berkat tema yang ia koarkan. Tema yang sejatinya adalah suara del Toro yang berpesan kepada para pembuat film – kepada setiap orang yang merasa out-of-place, yang merasa apa yang mereka lakukan belum cukup untuk mengisi hidup sesuai dengan keinginannya.

Kita diberitahu oleh narator bahwa tokoh utama kita adalah seorang “Putri tanpa Suara”. Elisa (Sally Hawkins bakal jadi langganan nominasi penghargaan film oleh penampilannya di sini) adalah wanita tuna wicara, tetapi bukan sebatas itu yang membuatnya merasa enggak sempurna. Elisa cukup bahagia dengan rutinitasnya, dia akrab dengan tetangganya yang seniman, dia sohiban dengan rekan kerjanya sesama janitor malam hari di perusahaan rahasia milik pemerintah. Hanya saja ada sesuatu yang tidak cocok dari dirinya – nun jauh di dalam sana Elisa adalah spirit yang ceria. Dia suka nonton film, dia suka menari mengikuti adegan film yang ia tonton, Elisa adalah putri di dunianya sendiri. Sebab di dunia luar, dia bukan siapa-siapa. Orang yang tidak bisa bicara sama terasingnya  dengan kulit hitam ataupun gay, seperti teman-temannya, di tahun 60an tersebut. Malam hari adalah satu-satunya waktu mereka ‘bersinar’ lantaran sudah tidak ada lagi yang melihat.

Putri manis dalam bis

 

Itulah sebabnya kenapa Elisa sangat tertarik dan merasa dekat dengan makhluk amfibi yang disimpan dalam salah satu ruangan perusahaan rahasia tersebut. Menggunakan ‘kebebasan’nya sebagai tukang bersih-bersih, Elisa menyempatkan diri setiap malam masuk ke ruangan demi mengunjungi makhluk yang bagi ilmuwan dan atasannya tergolong berbahaya. Elisa memberinya makan, menghiburnya dengan musik. Monster yang disiksa dan dijadikan bahan eksperimen itu mengisi ruang kosong di dalam diri Elisa. ‘Duyung Cowok’ mana paham kalo Elisa adalah seorang yang cacat; mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Elisa tidak lagi seorang yang punya kekurangan ketika dia bersama dengan Si Makhluk; mereka ekual. Perasaan dibutuhkan, diperlakukan sama, inilah yang ditangkap oleh Elisa sehingga mereka berdua lantas menumbuhkan rasa saling cinta. Namun, seperti setiap kisah cinta yang ada; akan selalu ada rintangan yang mencoba memisahkan mereka berdua.

Begitu banyak tokoh dalam film ini yang merasa ‘kurang’ di dalam hidup mereka. Menyaksikan mereka berusaha mengisi hidup mereka adalah pertunjukan utama cerita. Bahkan tokoh antagonis, Richard yang diperankan heel abis oleh Michael Shannon, seorang petugas pemerintah yang kerjaannya menyiksa si Merman juga diberikan konflik personal. Kita diperlihatkan kehidupan rumah tangganya – termasuk kehidupan intimnya, sebagai kontras dari Elisa. Kita diberikan kesempatan untuk mengerti bahwa Richard juga berjuang, dia merasakan hidupnya masih kurang, tugasnya adalah mempelajari si Merman namun dia belum berhasil mendapat progres yang berarti. Richard belum mencapai kehebatan yang ia dambakan. Dia sendiri juga masih struggling dan menjawab kepada orang yang posisinya lebih tinggi.

Cerita film ini beresonansi dengan kenyataan yang lebih dekat dari yang kita kira. Perlakuan terhadap beberapa minoritas di tahun 60an itu masih bisa kita jumpai di ‘jaman now’. Hebatnya, film tidak pernah meminta kita untuk berbelas kasihan kepada mereka. Karena kita diperlihatkan bahwa sesungguhnya antara para ‘outcast’ dengan para petinggi punya kecacatan yang sama. Dan cacat itu enggak membuat seseorang menjadi monster. Ngomong-ngomong soal monster, ada sesuatu mengenai makhluk amfibi itu yang terasa ‘akrab’. Di sini kita punya makhluk yang ditangkap dan diperlakukan dengan tidak manusiawi, padahal tadinya dia dianggap ‘dewa’ oleh orang-orang di habitat aslinya. Si Makhluk praktisnya tidak dimanfaatkan, tidak dihargai, dengan sebagaimana mestinya. Aku yakin banyak dari kita yang merasa disia-siakan seperti ini dalam dunia pekerjaan, ataupun dalam berkarya.

belum jadi ayam, udah dimamam

 

Para superstar di WWE contohnya, kebanyakan dari mereka dikontrak dari jalur indie karena skill dan teknik mereka berhasi melambungkan namanya. Namun ketika bermain di WWE, skill mereka dibatasi, gerakan-gerakan mereka disesuaikan dengan standar WWE, mereka tidak boleh lagi menggunakan jurus yang jadi andalan mereka lantaran dianggap terlalu membahayakan oleh manajemen WWE. Jadi buat apa mereka dikontrak? Pembuat film juga begitu; sutradara film arthouse diberikan kesempatan oleh studio gede untuk menggarap suatu film, tetapi produk akhirnya enggak boleh terlalu artsy, harus sesuai selera pasar mainstream. Jadi buat apa dikasih kesempatan itu sedari awal? Aku juga pernah ngalamin kayak gini, aku kerjasama ama salah satu youtube channel yang tertarik dengan ulasan filmku, aku diminta nulis naskah untuk video daftar-daftaran kayak 10 Film Action Terseru dan sebagainya. Setelah aku setuju dan mengirimkan tulisan list susunanku, mereka meminta untuk mengganti film-filmnya dengan film dari rujukan mereka. Jadi aku bertanya buat apa memintaku kerja sama kalo ujung-ujungnya makai sudut pandang mereka juga?

Wujud air selalu sesuai dengan media tempat ia tertampung. Film ini menarik perbandingan bahwa semestinya kita bertindak seperti air demi mengisi kekosongan dalam hidup. Kita harus bisa beradaptasi sesuai dengan environment tempat kita berada, bekerja. Masing-masing ada tempatnya, kita yang harus tahu di mana kudu menempatkan diri dengan benar. Idealisme sejatinya tidak akan pernah kering jika kita terus menyuarakannya.

 

 

Dosa kalo sinematografi film ini enggak dapat pengakuan. Guillermo del Toro sekali lagi membuktikan bahwa ia punya taring yang tajam dalam urusan desain produksi dan penceritaan. Hanya menjelang babak ketiga saja film ini sedikit goyah oleh sekuens yang tampak sedikit cheesy. Akhiran cerita film pun gampang untuk kita tebak sehingga mendekati akhir, pacing film sedikit tersendat. Ada kejadian aneh yang terjadi, juga ada beberapa aspek cerita yang enggak begitu integral dengan apa yang berusaha dilakukan oleh film ini. Ada saat ketika aku menyangka film akan berakhir, menurutku ada satu adegan yang bisa jadi sebuah ending yang mantep, namun ternyata cerita terus bergulir. Dan kelanjutan tersebut malah jaidnya terasa seperti terburu-buru.

 

 

Lewat film ini, del Toro menunjukkan kepada kita apa yang dibutuhkan untuk mengisi kekurangan jika kita pernah merasa hidup kita masih unfulfilled – belum perpenuhi sebagaimana yang kita inginkan. Film ini sendiri adalah bentuk dari perjuangan mengisi tuntutan dan kreativitas yang ideal. Semua pemainnya menampilkan permainan peran yang brilian. Efek visual dan produksinya mewujudkan dongeng ini bagai sebuah kisah nyata. Ini adalah film cantik yang personal, dan sesungguhnya bersuara banyak tentang kejadian yang masih terjadi di masa sekarang. Kita perlu menangkap kesempatan dan menunjukkan siapa diri kita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SHAPE OF WATER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THREE BILLBOARDS OUTSIDE EBBING, MISSOURI Review

“There was never an angry man that thought his anger unjust”

 

 

Mau keluh kesah, masalah, atau jeritan minta tolongmu didengar banyak orang? Gampang. Iklanin aja. Pasang gede-gede di papan reklame. Dijamin efektif. Bahkan jika tempatmu memasang reklame jarang dilewati orang. Tiga papan iklan di pinggir jalan perbatasan kota Ebbing, Missouri yang dipasang oleh Mildred Hayes, seorang ibu yang tampaknya have seen better days, sukses mengguncang kota kecil mereka. Akan ada banyak orang yang terpengaruh, yang berubah hidupnya oleh papan-papan merah yang  bertuliskan kalimat-kalimat simpel berwarna hitam. Pemandangan kontras ini mewarnai para penduduk. Ada yang setuju dan mendukung Mildred; membantu wanita itu membayar biaya pemasangan yang enggak kecil. Ada juga yang menganggap pesan yang dipajang tersebut sebagai kalimat yang enggak pantas, bahwa Mildred yang gak pernah senyum dan kasar itu hanya menyebarkan kebencian. Ngomong-ngomong, apa sih bunyi ketiga papan iklan Mildred? Sini kuberitahu:

“Sekarat-sekarat diperkosa.”

“Tapi belum ada yang ditangkep.”

“Tanya kenapa, Pak Polisi Willoughby?”

kenapa pas kutranslate bunyinya jadi kayak headline koran Lampu Merah ya?

 

Mildred tentu saja mengacu kepada kasus pemerkosaan yang menghilangkan nyawa putri remajanya. Kasus yang udah setengah tahun ditangani oleh Kepolisian Ebbing, namun tak kunjung mendapat titik terang. Mildred malah merasa kasusnya ‘dicuekin’ gitu aja, enggak ada progres yang memuaskan. Jadi, dia memasang reklame blak-blakan tersebut demi menegur kepala polisi. Mengingatkan juga kepada penduduk lain bahwasanya keadilan belum lagi ditegakkan. Pelakunya masih di luar sana, entah siapa. Tentu saja ada prasangka; apakah polisi sengaja menutupi kasus, apakah ada pihak yang mereka lindungi, atau apakah mereka bener-bener gak kompeten kayak polisi bernama Jason Dixon yang kerjanya mabok? Sesungguhnya semua itu turut menjadi bahan bakar kemarahan Mildred. Dia menuntut keadilan, dan sekarang setelah begitu lama diacuhkan, dia bertekad untuk memastikan dengan tenaganya sendiri keadilan itu ditegakkan.

Ketika dihadapkan pada sebuah tragedi, sekelompok orang akan mengalami reaksi yang beragam. Lebih sering daripada enggak, masyrakat akan mencoba untuk melupakannya. Just move on. Namun saat tragedi tersebut diingatkan kembali, dengan paksa, seperti selancang yang dilakukan Mildred, ‘zona nyaman’ tersebut terguncang. Sebab kita lebih suka untuk melupakan, terlebih jika tidak menyangkut diri kita. Film ini mengeksplorasi dengan hebat masalah yang timbul saat kenyamanan publik, persetujuan untuk melupakan itu diganggu oleh seorang yang masih membiarkan api itu menyala. Ini adalah potret sebuah api yang dilawan dengan api.

 

Judul yang ribet dan terlalu panjang bisa saja diniatkan sebagai isyarat betapa unik dan ‘mengganggunya’ film ini. Tidak ada yang menetramkan telinga dalam cerita ini. Film ini menyelami sisi gelap manusia; yakni KEMARAHAN. Tapi tidak lantas menjadi depressing ataupun karena banyak terdapat humor-humor kelam terkandung di dalam penceritaannya. Bukan hanya tokoh utama, penduduk film ini semuanya akan mengejutkan hati kita yang damai dengan perkataan dan perbuatan yang tanpa tedeng aling-aling, tanpa sensor. Sesungguhnya ini adalah langkah yang nekat dan cerdas. Kalian tahu, menggunakan tokoh cerita untuk menyampaikan candaan yang kasar, namun actually mempunyai makna. Sutradara Martin McDonagh menyinggung isu-isu relevan yang tidak berani dibicarakan orang; tentang menyebar kebencian, tentang memandang rendah aparat, media, akan ada banyak momen yang bikin kita nyengir-ga-enak. Dan setelah itu kita bakal mikirin apa yang barus saja kita saksikan,  dan kemudian kita tersadar bahwa yang barusan tadi adalah sindiran yang halus, yang dimainkan dengan cantik.

marah sih, tapi berani sebut merek?

 

Kita tidak bisa menebak apa yang terjadi sepanjang film ini. Percayalah, aku mencobanya. Tapi setelah adegan interogasi antara Mildred dengan Willoughby yang benar-benar tak disangka akan berakhir seperti demikian, aku berhenti memprediksi ke mana langkah cerita selanjutnya. Bahkan sedari awal aja aku udah salah. Ini bukan cerita detektif, kita tidak akan melihat Mildred memecahkan petunjuk, mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada putrinya, ataupun dia akan berhasil membalaskan dendam terhadap siapapun pelaku tindakan keji tersebut. Ini adalah drama tentang pengaruh ekspos tragedi terhadap kemanusiaan. Plot poin-plot poinnya tidak terkuak seperti yang kita tahu dari pengalaman menonton. Tokoh-tokohnya mengambil langkah yang tidak bisa kita lihat kemungkinannya. Kita mengharapkan mereka “oh ternyata dia..” atau “oh pasti dia bakal” dan ternyata enggak.

Mildred adalah seorang yang sangat kuat tekadnya, salah satu tokoh film terkuat yang pernah aku tonton sejauh ini. Dia begitu marah. Penampilan Frances McDorman memainkan karakter yang menatap semua kebencian dan melawannya, menangkis segala anggapan bahwa yang ia lakukan adalah hal yang salah, akan menjadi sebuah penampilan yang melegenda, lihat saja.  Lapisan tokoh ini semakin menebal oleh hubungannya yang tidak baik dengan putrinya tersebut, jadi di balik luapan marah itu terkadang kita bisa menangkap secercah penyelasan, sedikit penyalahan diri sendiri. Adegan Mildred bicara satu arah dengan rusa terasa surreal, dan I personally think it was beautiful. Sam Rockwell sebagai polisi rasis yang, oke orang ini adalah personifikasi dari segala yang buruk-buruk yang pernah kita dengar tentang polisi, juga bermain dengan sangat meyakinkan. Tokoh ini actually punya arc yang ingkarannya lebih gede, karakternya bertransformasi. Paralel antara Mildred dan Dixon terbentuk dari tokoh kepala polisi yang diperankan excellent oleh Woody Harrelson. Kita tidak akan bisa menebak sejauh tindakan yang diambil oleh seseorang yang menginginkan keadilan. Dengan cepat hitam dan putih itu jadi abu-abu, malahan perlahan kita bakal mempertimbangkan untuk berpihak kepada Dixon alih-alih Mildred.

Gimana bisa kita enggak marah-marah sama kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan? Hidup memisahkan anak dari orangtuanya. Hidup merenggut orang-orang baik di saat mereka masih muda. Menahan marah tidak akan menyembuhkan kita dari perasaan kehilangan. Kebenaran tidak akan berubah dengan kita menelan amarah bulat-bulat. Sebaliknya, marah adalah jalan yang harus ditempuh. Salurkan. Berjuang, berkelahi jika perlu. Dan setelah semua asap huru hara itu menghilang, barulah kita akan mendapati simpati, pemahaman, dan empati berdiri di permukaan.

 

 

 

 

Sesungguhnya film yang baik adalah film yang mampu membuat kita terus memikirkan apa yang selanjutnya terjadi kepada para tokoh. Bahwasanya kita merasakan mereka melanjutkan hidup bahkan setelah film berakhir. Aku gak yakin apakah ini kekurangan atau malah kelebihan yang dimiliki oleh film ini, yang jelas kita sudah begitu terinvest terhadap perkembangan para tokoh sehingga saat cerita ditutup literally di tengah jalan. Film sedikit tidak adil lantaran kita ngerasa kita perlu melihat sedikit lagi – satu adegan saja- apa yang terjadi terhadap Mildred. Film ini terasa melegakan, dan juga kurang memuaskan di saat yang bersamaan. Seperti halnya dia memancing kita untuk menangis sekaligus tertawa menyaksikan apa yang dihadapi oleh tokohnya. Salah satu tontonan terbaik, dan paling punya nyali, tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THREE BILLBOARDS OUTSIDE EBBING, MISSOURI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE KILLING OF A SACRED DEER Review

“Justice is doing for others what we would want done to ourselves.”

 

 

Rusa keramat itu bisa saja pernikahan, atau anak, atau pasangan hidup. Objek pada judul film ini jelas sebuah metafora. Namun kata kerjanya mengisyaratkan sebuah pesan yang jelas. Jangan membunuh. Membuat orang menjadi tidak bahagia karena kehilangan sesuatu adalah perbuatan yang tercela. Dosa. Nyawa itu milik Tuhan, Beliau yang mengatur. Dan itu berarti jika seseorang menghilangkan nyawa orang lain, maka orang tersebut sudah ikut campur kerja si Maha Pencipta. Betapa sombong dan takaburnya manusia yang meletakkan tangannya ke dalam urusan Tuhan, ke dalam urusan nyawa. Namun bagaimana jika pekerjaan ‘meniru’ Tuhan itu memang ada – bukan hanya ada, sekaligus juga dianggap mulia? Para dokter menyembuhkan orang-orang yang sakit, on the other hand, banyak juga tidak mampu mereka selamatkan. Apakah mereka, para dokter, musti bertanggungjawab atas kegagalan mereka?  Apakah mereka harus diberikan konsekuensi? Apakah yang mereka gagal lakukan, adalah sebuah tindak pembunuhan?

The Killing of a Sacred Deer mengeksplorasi tentang  konsekuensi dan keadilan, dan film ini menggalinya dari tempat yang tak terduga. Rumah sakit putih berkilat adalah panggung yang berdarah di film ini. Dan kita sebagai penonton, akan terperangkap di sana. Dibuatnya sedemikian rupa sehingga kita tidak tahu lagi mana jawaban yang memuaskan. Kadang frustasi juga menonton ini karena tokoh film ini begitu pandai mendem emosi, sangat subtil, walaupun ada kejadian menyeramkan yang menyelimuti mereka.

Sedari permulaan, film ini sudah aneh banget. Collin Farrel yang brewokan berperan sebagai dokter bedah yang diam-diam bertemu dengan cowok yang masih berusia enambelas tahun. Martin namanya. Dokter Steven mengajak Martin makan di luar, jalan-jalan, membelikan remaja itu jam tangan anti-air yang harganya selangit. Ketika ditanyai oleh kolega, Steven mengatakan bahwa Martin adalah teman sekelas putrinya. Padahal enggak. Kita tahu Martin belum pernah bertemu dengan keluarga Steven; istri yang juga dokter handal, putri yang baru nginjak usia remaja, dan putra yang rambutnya gondrong, mereka enggak tahu ayah mereka diam-diam pergi menemui Martin. Hmm ada apa ini? Aku tidak bisa menebak ini cerita tentang apa. Tapi semakin berjalan waktu, lapisan cerita itu semakin membuka, kita dibelokkan berkali-kali oleh pengungkapan yang semakin sinister, hingga sampailah kita melihat keluarga harmonis itu dirundung masalah yang tak mampu dijelaskan oleh otak-otak jenius Steven dan istrinya. Anak-anak mereka kejatuhan penyakit aneh!

dokter tangannya bagus, tulisan tangannya yang jelek

 

Dari yang tadinya perasaan iba berubah menjadi ketakutan. Dari yang tadinya sopan, kehadiran Martin yang tak diundang menjadi sebentuk ancaman. Sutradara Yorgos Lanthimos dengan sangat hati-hati ngecraft ritme dan tutur penceritaan, membuat kita tetap tertarik Desain musik dan suara yang dipakai sepanjang film sukses berat menghasilkan atmosfer yang creepy. Kamera yang menangkap pemandangan-pemandangan simetris-but-not-really, menciptakan sensasi ketimpangan yang secara tersirat memperkuat konflik pada tema keseimbangan, dan kita tahu keseimbangan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh cerita.  Akan ada banyak orang yang enggak sanggup menyelesaikan menonton film ini lantaran beberapa adegan memang sangat menantang moral kita, enggak semua yang dihadirkan di sini politically correct. Tokoh-tokoh di sini akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang bakal bikin kita gak nyaman, lantas kita tertawa. Seperti ketika putri Dokter Steven berkata kepada adiknya yang enggak bisa berdiri “kalo kamu mati, musik player kamu buat aku ya, plisss”. Yang paling gebleg terang saja adalah adegan menjelang terakhir yang involving senapan, penutup wajah, dan duct tape.

If anything, film ini mau bilang bahwa karma itu ada. Senyata hukum aksi dan reaksi pelajaran fisika.  Jika kita berbuat kejahatan, maka kejahatan itu akan balik menimpa kita. Membenarkan perkataan Mahatma Gandhi “mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia buta”, film ini punya sistem penyeimbangan neraca sendiri. Jika seseorang membunuh, dia menghilangkan nyawa orang, maka pembalasn dari tindakannya bukanlah keluarga si pembunuh balas dibunuh oleh keluarga korban. Melainkan si pembunuh harus membunuh keluarganya sendiri. Dengan cara demikian, yang berdosa tetap satu orang sehingga keadilan tertinggi bisa tercapai tanpa harus membawa banyak orang ke lembah kejahatan.

 

 

Perjalanan tokoh Steven akan membuat kita balik mengantagoniskan dirinya, meski kita tahu kesusahan yang ia lewati. Kita kasihan tapi kita juga geram kepada dirinya yang tidak mengambil tindakan yang benar. Untungnya film ini diberkahi oleh beragam penampilan yang hebat, enggak sebatas berada di pundak Farrel dan Nicole Kidman saja. Aktor-aktor muda juga bermain dengan sangat meyakinkan. Setiap anggota ditulis dengan matang, ada build up yang diberikan terhadap mereka. Sehingga ketika hal menjadi ruwet di dalam lingkaran mereka, kita turut merasakan kecamuk yang bergelora di balik tenangnya mereka. It’s heartbreaking melihat Steven pada akhirnya harus memilih; Ketika dia menyadari kenapa putra bungsunya yang selama ini sedikit  gak-nurut mendadak mengubah cita-cita menjadi sesuai dengan kehendak dirinya; Pandangan matanya conflicted banget, dia gak yakin yang mereka lakukan benar, juga tersirat keraguan, sebab kalian tahu,

jika kita berkorban, maka korbankanlah yang terbaik yang kita punya.

 

 

Film ini adalah adaptasi bebas dari mitologi dewa-dewi Yunani, yang actually sempat disebukan di dalam narasi. Kisah tentang Raja Agamemnon yang sudah membunuh salah satu rusa kesayangan Artemis, sehingga Dewi Pemburu itu marah dan meminta Agammemnon untuk mengorbankan putrinya. Film ini memang tidak pernah serta merta bilang Steven adalah Agamemnon, ataupun bahwa Martin adalah Artemis, tapi jelas sekali film ini menyuarakan hal yang sama. Jangan lakukan kepada orang lain hal yang tidak mau kau lakukan kepada diri sendiri.

Akan tetapi, tidak seperti Mother! (2017) yang menceritakan kembali kisah di Kitab Suci dengan cerita sendiri dan actually punya tujuan, glaring with symbolisms sehingga kita tahu ceritanya sudah pasti tidak berada di dunia logika, The Killing of a Sacred Deer adalah film gagasan yang benar-benar vague. Ceritanya terlihat bertempat di dunia biasa, namun kita mendapat hal mengerikan – gaib kalo boleh dibilang – dan film ini tidak memberikan penjelasan, misalnya penjelasan penyakit apa yang menjangkiti keluarga Steven. Atau bagaimana Martin tampak bisa mengontrol penyakit tersebut. Dan menurutku ini menjadi kelemahan sebab mengurangi kesan real. Kita sudah sengaja dibuat sedikit terdeatch demi menyampaikan kengerian, dan ditambah dengan kejadian seputar penyakit, film ini semakin terasa jauh. Aku pikir, The Lobster tahun 2016 lalu yang juga digarap oleh Lanthimos masih lebih terasa relatable padahal ceritanya tentang masa depan di mana semua orang bisa berubah menjadi binatang.

 

 

 

Sesungguhnya semua orang pasti ada saja keanehannya. Kenormalan adalah hal yang amat langka bagi film ini, makanya jika kalian juga punya kelainan, yakni suka nonton film-film aneh dan berani, film ini tentu adalah pilihan yang rugi untuk dilewatkan. Karena penceritaannya yang begitu menantang. Mengerikan, menyedihkan, bikin geram, tak pelak film ini bakal bikin kita merenung setelah menontonnya. Membuat kita berpikir ulang mengenai apa itu keadilan yang sebenarnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KILLING OF A SACRED DEER.

 

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

MOTHER! Review

“What if God was one of us?”

 

 

Aneh!
Apaan sih ini!?
Sinting.
Gila.

MIRING!!

Karya terbaru Darren Aronofsky, Mother!, akan terus jadi perbincangan penggemar film untuk bertahun lamanya karena film yang satu ini bikin frustasi ngebingungin kita. Ada kali, satu juta cara yang berbeda menginterpretasi film ini karena ceritanya dipenuhi oleh metafora, denyut-denyut psikologi yang bikin gak nyaman, ditambah dengan imaji visual yang benar-benar mengundang tebakan. Malahan bakal banyak orang yang akan jatuh membencinya, mengatai film ini pretentious, atau flat out tersinggung sama apa yang disampaikan. Darren Aronofsky juga terkenal karena filmnya yang suka niruin film lain, dan kita bisa menyerang Mother! karena dia cukup ngingetin sama Rosemary’s Baby (1968). I could totally see film ini bakal mendapat reaksi beragam, aku paham kenapa sulit tayang – bahkan gak bakal – di bioskop Indonesia, dan sepertinya ‘perpecahan’ pendapat inilah yang benar-benar dicari oleh Aronofksy. Dia sukses berat untuk itu – tak ada sangkal.

Jika kalian ditanya oleh teman Mother! ini film tentang apa, maka kalian bisa dengan simpel menjawabnya sebagai film yang bercerita tentang suami istri Jennifer Lawrence dan Javier Bardem yang rumah tenang nan damai mereka mendadak kedatangan banyak tamu tak-diundang. Orang-orang asing tersebut awalnya datang sebagai fan yang bersilaturahmi sebentar, tokoh Bardem adalah seorang pujangga terkenal, jadi wajar dia punya banyak pengagum. Awalnya nerimo dengan tangan terbuka, namun kelamaan Jennifer Lawrence gondok juga. Rumah mereka yang masih dalam tahap renovasi jadi berantakan. Tamu-tamu itu gak punya respek terhadap privasi ataupun sense kepemilikan. Kerja keras Jennifer ngerawat rumah tidak dipedulikan.

Ibu yang mestinya kita perhatikan, selain ibu kandung sendiri

 

Memperbaiki sesuatu yang rusak sebenarnya justru lebih susah untuk dilakukan ketimbang menciptakan seusatu dari awal. Makanya, tindak merawat, menjaga sesuatu, adalah sebuah tindakan yang harusnya mendapat perhatian lebih. Karena ia membutuhkan dedikasi; memberikan cinta, lagi dan lagi.

 

Akan tetapi, saat kalian menjelaskan, buatlah mimik wajah yang paling misterius sekaligus paling nyebelin di seluruh semesta. Karena memang seperti itulah film ini. Dari dokter seorang, besoknya datang istrinya, hari berikutnya anak-anaknya, terus saja semakin banyak random people yang datang, dan Jennifer menemukan lantai rumah mereka berlubang dan mengeluarkan darah, dan ternyata di balik tembok-tembok kayu yang dirawat mati-matian olehnya, rumah mereka punya jantung!

Film ini mengeksplorasi tentang banyak hal. Setiap percakapan dengan tamu mengandung makna yang berbeda untuk kita tangkap. Ada juga menyinggung isu lingkungan. Membahas tentang gimana ketenaran bisa mempengaruhi kita dan orang sekitar. Menilik dinamika hubungan rumah tangga. Namun, yang paling kuat menguar dari narasi film ini, tentu saja adalah tema teologinya. Ya, menonton film ini sama SEPERTI BELAJAR HUBUNGAN MANUSIA DALAM PELAJARAN AGAMA. Membahas hubungan sosial dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan.

Sebelum lanjut, aku mau ngasih tau sebentar kalo aku sengaja milih lay out blog yang menempatkan tags di awal, di atas isi ulasan, supaya bagi kalian yang membaca, kalian akan menemukan label spoiler di sana. Jadi, pertimbangkan juga ini sebagai peringatan karena aku akan jarang sekali minta izin untuk membeberkan apa yang kuperlukan dalam mengulas suatu film. With that being said, Javier dan Jennifer dalam film ini memainkan tokoh yang merupakan personifikasi dari Tuhan dan, ya, alam. Tokoh mereka enggak diberikan nama, Javier simply disebut sebagai dia; Him dengan huruf H besar. Dan Jennifer adalah Mother. Ibu. As in Ibu alam.

What if God was one of us?
Dia suka dipuja. Hanya pria, seorang kepala keluarga yang ingin rumahnya penuh oleh kehidupan. Jadi dia mengundang kita masuk ke rumahnya. Mempersilakan kepada kita semua fasilitas. Menyuruh istrinya untuk menyiapkan segala yang kita perlukan. Tapi sampai sejauh apa kita overstaying her welcome? Sampai kapan kita terus menyangkal kerusakan yang kita lakukan sementara sang istri terus beri dan memberi hingga tidak ada lagi yang bisa diberi? Tuhan menciptakan, alam menyediakan, dan manusia menghabiskan. SIklus eksistensi dunia. Kita mengambil seenaknya, use everything as we pleased. Dan reperkusinya hanyalah alam yang menderita.

 

Ada banyak referensi kejadian di kitab suci. Luka di rusuk yang dilihat Jennifer pada si dokter, mengisyaratkan bahwa tamu yang diundang oleh suaminya itu adalah Adam. Adegan di pagi berikutnya membuktikan referensi ini; kita melihat istri si dokter muncul gitu aja di pintu depan Jennifer. Larangan suami Jennifer dilanggar oleh dokter dan istri. Dan kemudian kita melihat anak mereka berkelahi, yang satu membunuh yang lain sebagai referensi dari kisah Habil dan Qabil. Sikap ignorant para tamu yang tetep duduk di wastafel, menyebabkan wastafelnya rubuh dan pipa air bocor, Jennifer ngamuk dan mengusir semua tamu keluar adalah penggambaran gimana manusia suka mengabaikan peringatan alam. You know, kita sering kebanjiran karena ulah kita sendiri.

Bagian favoritku adalah setengah bagian akhir. Kegilaan total terjadi di sini. Ada sekuen yang ofensif sekaligus disturbing. Rumah mereka dipadati orang sepadat-padatnya, pokoknya tempat itu udah gak berbentuk. Mereka membuat setiap ruang sebagai tempat pemujaan kaum masing-masing, lengkap dengan ritual dan segala macem hal disturbing. Menunjukkan bahwa kita terkotak-kotak padahal memuja satu yang sama. Kita melakukan hal yang gak rasional, supaya apa? atas nama Tuhan biar makin disayang terus dikasih tambahan rezeki? Dalam film ini memang Tuhan digambarkan sangat baik. Tokoh Javier Bardem gapeduli barang-barangnya rusak karena toh barang bisa dibuat lagi. Dia memberi izin. Sekalipun marah, dia meredam, dia biarkan dirinya dan istri menanggung luka

Disuruh nyapu rumah sama ibu ini artinya disuruh nyapu seluruh dunia

 

Cerita yang dicraft dengan sangat baik. Godly, kalau aku lagi mood bikin pun, tapi aku masih terguncang oleh film ini. Aku masih kepikiran, aku masih kebanyak bentuk, malahan warna rumah itu. Gimana setiap sudutnya mengeluarkan suara. Aku merasa masih ada layer yang belum kuungkap. Masih banyak simbolisme yang tidak aku mengerti. Dan mungkin aku tidak bakal pernah mengerti lantaran aku bukan orang yang seratus persen relijius. Karena bahkan tata kamera, sinematografi film ini diarahkan untuk punya arti. Setiap kali ada Jennifer Lawrence, dan aktor ini hanya absen di adegan pembuka dan penutup film, kamera terus menempel wajahnya. Selalu close-up shots, entah itu kita melihat rautnya yang bingung ataupun kita melihat rambutnya tergantung. Sampai-sampai kita jadi pengen berdoa, meminta wide shots, karena kita pengen melihat lebih jelas hal aneh menakutkan apa yang dilihat oleh tokoh ini.

Dengan sebagian besar waktu kamera ngikutin wajahnya, Jennifer Lawrence tidak bisa untuk tidak bermain total. Dia tampak innocent. Dia sangat vulnerable. Dia acak-acakan di sini. Kalo Oscar enggak ragu sama peran film aneh seperti begini, menurutku penampilan JenLaw sebagai Ibu pantas untuk diganjar piala emas tersebut. Javier Bardem turut menampilkan performa yang menarik. He looks full of himself, tapi tidak pernah dalam kesan yang antagonis. Satu hal yang menarik lagi adalah, demi bikin atmosfer randomnya orang-orang yang namu ke rumah, Aronofsky juga memasang aktor yang random. Aku gak tau apa-apa soal film ini, aku gak nonton trailer, gak baca sinopsis, sebelum nonton aku jahiliyah film ini tentang apa, apalagi mengenai pemainnya – I have no idea siapa aja, dan buatku, begitu aku melihat aktor-aktor yang pop out rasanya memang random banget. Membuat film ini semakin kuat mengakar.

 

Tapinya lagi, Aronofsky juga mengambil resiko agar filmnya ini bermain dalam lingkup konteks. Alur narasi ini juga bisa kita lihat sebagai semacam ramalan, dan dunia kita berada di babak ketiga film. Tinggal nunggu waktu kiamat haha. Dan actually, ini menjadikan pace film agak bermasalah. Kita melihat hal-hal simbolik yang gila, pengalaman sosial yang canggung dan unsettled, untuk kemudian tensi film menurun; kembali ke keadaan sehari-hari, dan berlanjut dengan gila kembali. Hal ini bisa bikin kita gak sabar, beberapa adegan juga dibuat sangat dragging, ditambah pula dengan banyaknya topik yang dijejalkan. So yeah, gak semua orang bakal suka. Bahkan aku bisa lihat bakal banyak yang benci. Filmnya aneh, menyinggung, mengganggu. Namun tak pelak, film ini bakal dibicarain banyak orang. Aku sendiri enjoy menontonnya, and it certainly can affect us all.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MOTHER!

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

TURAH Review

“Either give up and die or die trying”

 

 

Satu lagi permata di antara kelimpahan batu, Turah adalah film yang berani mengangkat dan mengambil wujud berbeda dari film-film lain. Namun, ini adalah permata yang amat kasar. Menontonnya kita tidak akan merasa senang, atau gembira, atau berbunga, atau jumawa melihat tokoh baik berhasil mengalahkan tokoh jahat. Sebab depresi hidup adalah lawan yang berat; antagonis sebenarnya yang membawahi rasa takut, putus asa, dan berbagai macam perasaan negatif lain. Sutradara Wicaksono Wisnu Legowo menghimpun semua – tanpa memanis-maniskan keadaan – dan memperlihatkan kepada kita secara langsung seperti apa hidup yang untuk berharap aja, kita udah takut.

Kalo mau dideskripsikan, maka aku akan menggunakan istilah tempat jin buang anak untuk menjelaskan tempat seperti apa Kampung Tirang. Literally banyak mayat bayi yang ditemukan di kali dan dikubur di pinggir kampung. Tempat itu bahkan bukan ‘kampung’ beneran. Dia hanya sepetak tanah timbul dari endapan kali yang digunakan sebagai tempat tinggal buat orang-orang yang tidak mendapat tempat di dunia seberang kalinya. Orang-orang terbuang, dilepehkan mentah-mentah. Bagi kelas atas, mereka hanya tambahan suara saat pilkada. Janji-janji kesejahteraan itu tak perlu ditepati. Air bersih dan tempat tinggal yang layak? Pake aja apa yang ada! Turah sudah dari kecil tinggal di Kampung Tirang. Untuk memenuhi nafkah keluarga, dia dan para warga yang lain bekerja sebagai buruh pribadi Juragan Darso. Ternak kambing, barang bekas, tambak ikan, semua dijual ke Darso yang kemudian akan memberi upah kepada mereka.

Cukup? Tentu saja jauh!

 

Turah mungkin manut dan masih bisa legowo, istrinya dengan bijak menolak punya anak hanya untuk menambah korban sengsara, dapur mereka masih bisa ngebul walau hanya pas-pasan. Ditanyai apa ada kebutuhan yang masih kurang? Turah dan segenap penduduk menjawab “tidak ada, sudah cukup semua.” Namun tidak begitu dengan sahabatnya, si Jadag. Pemabuk ini sudah capek hidup susah, sudah bertahun-tahun dia bekerja kepada Darso namun hidupnya tak kunjung naik kelas. Dia cemburu sama Pakel yang sarjana. Jadag menyuarakan aspirasinya, mengajak Turah dan warga untuk membuka mata mereka, bahwa mereka bisa mendapat lebih, keringat mereka mestinya mengering masuk ke pundi-pundi masing-masing. Jadag mengambil rute protes yang beanr-benar frontal sehingga jika air kali yang tenang adalah Kampung Tirang, maka Jadag adalah batu yang dilempar ke sana, membuat riak-riak yang mengancam zona nyaman tempat terkutuk itu.

Hidup, sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, adalah siklus yang selalu bertemu dengan kematian. Kita bisa menyerah dan mati. Atau mencoba, dan mati karenanya. Jadi, kenapa mesti takut? Keadaan suatu kaum tidak akan berubah, kecuali mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan perubahan tanpa mengambil langkah untuk berubah.

 

Suara dan cahaya dalam film ini semuanya berasal dari alam. Kita tidak mendengar musik pengiring. Kita tidak melihat cahaya yang diekpos editing studio berlebihan. Hasilnya adalah sebuah gelaran gambar bergerak yang tampak nyata. Hampir seperti dokumenter ataupun live video. Sekuens menjelang penutup, yang malam-malam ujan gede itu, adalah yang paling membuatku takjub. Ditambah dengan pemahaman konteks cerita saat di titik itu, wuih bulu kudukku meremang saat menontonnya Film ini memang sangat suram. Hampir-hampir sukar untuk ditonton. Sekalipun ada humor yang terlontar dari percakapan para tokoh, maka itu adalah jenis humor yang bikin kita ragu apakah pantas menertawakan atau enggak. Sebab film ini cukup pintar untuk tidak menampilkan hal dalam satu dimensi. Bahkan tokoh Juragan Darso tidak semena-mena ditampilkan culas.

Penampilan akting para pemain nyaris sangat teatrikal. Aku gak bilang aktingnya kaku. Para aktor justru memainkan perannya, mendeliverkan emosi dengan sangat baik. Kita bisa merasakan pengaruh kata-kata Jadag merasuk lewat pancaran mata Ubaidillah yang memainkan Turah. Kita bisa merasakan geram dan later, kebimbangan menyeruak saat perlahan Slamet Ambari yang jadi Jadag runtuh oleh kesadaran tentang keadaan orang-orang di sekitarnya dan apa yang mereka pikirkan atas tindakan dirinya.  Dan menurutku ini agak berkonflik dengan kepentingan film untuk tampil serealistis mungkin. Ceritanya sendiri sudah cukup serius dan kelam, kita melihat penghuni kampung tersebut dalam keadaan susah – tak pernah senang – dan mereka tidak mengeluh. Tepatnya tidak berani mengeluh. I think film perlu memperlihatkan kepada kita gimana mereka tampak senang hidup di sana, sebagai kontras dari inner struggle yang dikubur dalam-dalam. Tapi enggak. Jadi kita dapat film yang muram dari awal hingga akhir, ditambah dengan dialog penuturan yang dibawakan dengan terlalu serius. Sangat menitikberatkan pada hal-hal emosional. Sehingga semakin ke ujung, aku kehilangan atmosfer otentik yang ingin ditonjolkan oleh film.

but seriously, mereka ngebuildnya begitu hebat aku jadi penasaran pengen lihat tokoh Ilah

 

Di satu sisi kita punya Jadag yang nyaris –nyaris menjadi over the top. Di sisi lain, tokoh utama cerita, Turah tidak benar-benar melakukan apa-apa. Tapi actually, ini adalah story arc dari Turah. Sebagian besar film, mengikuti Turah adalah kerjaan yang membosankan dibandingkan dengan adegan-adegan yang ada si Jadag. Turah kalah menarik. Dia tidak mengambil keputusan. Dia tidak memancing konflik. Dia berada di sana hanya bereaksi terhadap aksi yang dilakukan oleh Jadag. At times, aku kepikiran kalo Jadag bisa jadi adalah tokoh utama yang bisa membuat film lebih eventful. Tapi tentu saja, Turah punya kepentingan menyampaikan satu pesan tertentu pada narasi, yang aku bisa mengerti konteksnya kenapa film ini tetap menjadikan dia sebagai tokoh utama.

Meskipun usahanya tidak berbuah manis lantaran penuh oleh amarah, Jadag adalah pahlawan dalam cerita Turah. Sisa-sisa keberanian di dalam diri Turah terbangkitkan, dia belajar dari kesalahan yang dibuat oleh Jadag. Sekali lagi, ini adalah tentang diam saja atau mengambil tindakan. Pertanyaannya sekarang tindakan yang bagaimana. Jadag menggugurkan satu ekuasi, sehingga menyisakan satu lagi. Dan itu  sehubungan dengan kenapa mereka mau tinggal di sana. Kita tidak perlu stuck di satu tempat. Orang-orang di Kampung Tirang sebenarnya punya keahlian. Mereka memang pernah terbuang, tapi mereka bukan sampah. Mereka adalah leftovers yang enggak dipakek. Tindakan yang mereka ambil mestinya adalah sesimpel pergi mencari tempat yang membutuhkan kepandaian mereka.

 

 

 

Wakil terpilih dari film Indonesia untuk bersaing di Film Asing Terbaik ajang Oscar tahun 2018 mendatang. Makanya, aku sempat kecele pas Bandung enggak kebagian jadwal tayang film ini. Dan pada akhirnya, buatku, film Turah ini benar-benar seperti ‘sisa-sisa’ yang aku pungut dari bioskop alternatif, tapi perlu diingat, sisa-sisa bukan melulu berarti sampah. Karena aku justru merasa seperti baru saja menang lotere sehabis menonton film ini. Sisi kemanusiaan yang kuat, komentar tentang kecemburuan sosial, tentang kepemimpinan, film ini menyentuh jauh lebih luas dari sepetak tanah kampung. Kerelevanan ini membuatnya pantas terbang ke Oscar. Meski sebenarnya dia bukan pilihan satu-satunya, ada film yang lebih baik daripada ini – teknis maupun penulisan. Karena buat sebuah film yang menyuarakan harapan, film ini kadang tampil terlalu muram untuk membuat penonton peduli.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK Review

“We share the blame.”

 

 

Ada dua hal yang bisa kita lakukan saat rumah kita kemalingan; pasrah, atau melawan. Sebenarnya ada satu lagi yakni minta tolong. Tetapi jika rumah kita letaknya di tengah-tengah entah di bagian mana Sumba seperti rumah Marlina, teriak minta tolong jelas bukan pilihan yang cerdas.

Rumah Marlina selayaknya adalah sistem yang rusak, karena dia tidak lagi punya suami. Tanpa anak. Marlina adalah istri, seorang wanita yang tidak punya lagi pria sebagai sosok pelindung. Film dengan segera mencengkeram kevulnerablean Marlina melalui tujuh pria yang datang menyatroni rumahnya. Merampok ternak. Memakan sup ayam masakannya. Dan kalo masih ada waktu, bergiliran menidurinya.  Tapi Marlina beruntung, karena sistem di rumahnya akan terestorasi berkat tindakan para pria tak-diundang tersebut. Marlina masih akan berfungsi sebagai wanita; tunduk dalam bayang-bayang lelaki. Toh, ada dua hal yang bisa dilakukan dalam sebuah sistem yang rusak; diem-diem aja sejauh mana bisa bertahan, atau bergerak untuk mengubahnya. Marlina memilih mengayunkan parang. Empat babak cerita ini adalah tentang Marlina si pembunuh dari Sumba yang menunggang kuda, menenteng kepala pria, di sepanjang jalan berbukit nan tandus.

Dengan sebagian besar waktu menampilkan pemandangan alam, film ini tampak SEPERTI FILM KOBOi. Musiknya membuatku pengen bertualang lagi di wilderness  game Wild Arms. Tapi jagoan utama film ini bukanlah pria berpistol. Marlina tidak menunggang kudanya ke balik matahari tenggelam. Ini adalah western gaya timur, yang dengan berani mendobrak pakem-pakem yang ada. Film ini tidak seperti yang lain. Serius deh, aku sampai merasa kasihan sama penonton yang masih berbondong ngantri nonton superhero – bahkan sampai rela mendongak di barisan depan, sementara mereka sebenarnya bisa lega-legaan menonton Marlina yang tayang satu hari sesudahnya, dan menikmati kecantikan dan keindahan cerita yang jarang didapat.

Oh, betapa mereka tidak tahu apa yang mereka lewatkan..

 

Setiap pilihan yang diambil oleh sutradara Mouly Surya adalah beneran pilihan beresiko yang terbayar dengan amat memuaskan. Marlina boleh saja membawa kepala orang ke mana-mana, namun sebenarnya yang melakukan heavy-lifting di sini adalah Marsha Timothy. Dia membawa keseluruhan film ini dengan sangat meyakinkan, emosi perannya begitu menguar lewat penampilan yang penuh oleh ekspresi-ekspresi terkepal penampilan. In fact, arahan Mouly berhasil membuat semua tokoh film ini kuat oleh karakter, mereka terasa nyata.  Novi, teman Marlina yang sedang hamil tua, juga diberikan arc cerita yang berakar pada kenyamanan istri yang ‘ikut’ suami. Dea Panendra juga enggak tanggung-tanggung menampilkan emosi. Novi tadinya ingin pergi mencari suaminya yang kesel lantaran anak mereka belum lahir-lahir. Dari cara Novi bercerita, kita tahu dia masih ingin memegang hubungan yang erat dengan suami, meskipun suami sudah menyalahkannya – menuduhnya ada main dengan pria lain. Ini adalah ciri orang yang playing the victim banget. Mereka bertahan karena ada orang yang bisa mereka salahkan.

Tapi film ini cukup bijak menangani tema yang ingin disinggungnya. Kaum lelaki diberi kesempatan untuk triumph secara kemanusiaan. Film tidak terjebak dalam perangkap sebagai korban. Tidak semua pria digambarkan arogan seperti Markus dan teman-temannya.

Ya, terkadang orang-orang kampung Sumba itu tampak aneh, mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh di serial Twin Peaks. Film ini memang sesekali menampilkan adegan yang brutal; pemenggalan kepala actually terpampang tanpa tedeng aling-aling, tetapi film bekerja dengan sangat efektif  ketika dia tampil sebagai KOMEDI YANG BENAR-BENAR DARK. Kebanyakan komedi datang dari reaksi penduduk saat mereka bertemu dengan Marlina. Sekali lagi komentar tentang status gender terucap saat kita melihat para lelaki akan ketakutan, sementara para wanita tampak tidak terlalu mencemaskan. Aku beneran ngakak dan harus menutup mulut demi mendengar salah satu penumpang truk  menanyakan dengan kepedulian “Tidak capek tanganmu, Nona?”, alih-alih berteriak ketakutan ngeliat Marlina menodong supir truk yang ia bajak dengan parang.

 

Dunia yang nestapa menjadikan kita cenderung nyaman berperan sebagai korban. Saat kita menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa, sebenarnya kita meminta untuk dikasihani.  Bahwa kita enggak salah. Yang salah orang lain, yang jahat adalah orang lain. Kita menggunakan istilah blaming the victim  untuk menuntut keadilan, akan tetapi justru mengukuhkan bahwa kita adalah victim, korban.

 

Jika ditelanjangi dari tema status gendernya, pesan soal menjadi korban atau enggak tersebut masih dapat kita rasakan keluar dari film. Ini bukan lagi sebatas gender mana yang jadi korban, karena kita melihat di bagian akhir cerita, peran ‘korban’ tersebut digulir begitu saja dari cewek ke cowok. Sedari awal, Marlina menuju kantor polisi bukan untuk mengaku telah membunuh orang. Kepala itu dia bawa bukan untuk ditunjukkan sebagai bukti. Dia melakukan perjalanan ke kantor polisi untuk mengadukan pelecehan yang ia alami. Marlina juga menolak mengaku dosanya ke gereja. Karena dia percaya dia enggak bersalah. Butuh tiga babak bagi Marlina untuk menyadari bahwa dia masih memposisikan dirinya sebagai korban. Ya, memang, walaupun digadangkan senang membantu rakyat, instansi pemerintah seperti polisi tidak pernah keliatan menyenangkan ataupun benar-benar membantu dengan segala tetek bengek birokrasinya. Film ini pun mengomentari soal tersebut saat Marlina duduk menceritakan tragedi ke yang berwenang.  Tapi Marlina tidak mendapat reaksi yang diinginkan. Malahan polisi justru tampak menyalahkannya, “kok enggak ngelawan?” polisi basically bilang gitu. Barulah ketika Babak keempat yang diberi judul ‘Kelahiran’, Marlina menyadari dia bisa duduk sebagai pengemudi.

nonton ini enaknya sambil makan sop ayam.

 

Bicara visual, ini adalah film yang sangat menawan. Pencahayaannya, wuiihhh, sama dengan Leonardo DiCaprio’s The Revenant (2016), film ini juga menggunakan cahaya-cahaya alami. Matahari, lampu petromaks, api tungku, menghasilkan gambar-gambar yang bergaung kuat oleh emosi cerita. Momen Marlina berpikir di dapur, dengan api tungku menciptakan riak-riak bayangan adalah salah satu momen favoritku di film ini. Wide shot pemandangan bukit-bukit alam itu dimanfaatkan lebih dari sebuah latar belakang. Kamera menangkap hal-hal indah adalah kerjaan sinematografer, dan kerjaan sutradaralah yang mengomandoi penggunaan dan penggabungannya. Semuanya disunting dengan sempurna, semuanya tergelar tidak dengan sia-sia. Tidak ada satu shot pun yang terasa salah tempat.

 

 

Desain produksi kelas atas. Film ini boleh berbangga sudah menciptakan varian genre baru dalam dunia sinema, karena dia memang pantas untuk berbangga. Pilihan musiknya, pilihan cara bercerita, film ini sangat berani. Ia begitu berbeda dari film-film Indonesia kebanyakan. Robbery – Journey – Confession – Birth adalah babak yang juga menjadi mantra bangkitnya kesadaran internal yang dialami oleh Marlina, juga Novi. Film ini membuka mata bahwa kebanyakan wanita hidup di antara berusaha melawan dan ngikut sistem, mereka melihat sampai kapan mereka mampu. Akan tetapi, adalah hal yang memungkinkan untuk menjadi lebih daripada itu. Bahwa wanita, juga pria, bisa mengambil aksi tanpa harus menyalahkan siapa-siapa. Bahwa setiap kita bisa menjadi tokoh utama dalam kehidupan sendiri.

Tonton ini sesegera mungkin begitu ketertarikan itu tiba, karena kita gak punya hak buat nyalahin bioskop kalo-kalo filmnya keburu turun sebelum kita sempat menonton.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.