BRIGHTBURN Review

“Hypothetical questions get hypothetical answers.”

 

 

 

Berandai-andai memang menyenangkan, kita semua suka melakukannya. Makanya filter ‘gender-swap’ di snapchat langsung ngehits. Berpikir hipotetikal berarti bermain dengan imajinasi. Orang-orang pintar seperti Einstein menghargai kekayaan imajinasi sebagai bentuk dari kecerdasan. Karena dengan berimajinasi, kita mendorong diri sendiri untuk berpikir di luar kotak, di arena yang jauh lebih luas. Ide cerita film Brightburn yang sangat menarik ini terlahir dari andai-andai pembuatnya. Dari imajinasi kreatif yang berusaha membayangkan peristiwa asal muasal superhero dalam cahaya yang jauh, jauh, lebih gelap. Yakni bagaimana jika suami-istri Kent mengadopsi bayi alien super yang jahat kelakuan, alih-alih baik hati.

Bagi Tori Breyer yang diperankan oleh Elizabeth Banks, andai-andai bukan semata imajinasi. Melainkan juga sebuah harapan. Tori dan suaminya sangat pengen dikarunai anak. Dari buku-buku yang disorot pada adegan pembuka, kita lantas mengerti usaha yang mereka lakukan urung membuahkan hasil. Bukan bintang jatuh yang kemudian mengabulkan harapan mereka. Tetapi sebuah meteor. Berisi seorang bayi laki-laki! Tori dan suami membesarkan anak yang mereka beri nama Brandon layaknya anak kandung sendiri. Bahkan ketika Brandon menunjukkan gelagat mengerikan. Yang jelas-jelas bukan perilaku anak baru gede yang biasa. Orang-orang di sekitar keluarga tersebut satu persatu mendapat musibah aneh. Dengan semua ‘bukti’ mengarah ke Brandon pun, Tori tetap kekeuh dengan andai-andainya, bahwa Brandon adalah buah hati kesayangan yang harus ia lindungi.

teman-temanmu gak tau bahwa mereka baru saja meledek seorang alien, Nak

 

Dalam menyampaikan premis unik tersebut, Brightburn menjelma menjadi horor aksi. Penggemar adegan-adegan berdarah akan menyukai film ini. Anggota tubuh yang remuk, wajah dengan mulut literally menganga (karena rahangnya hancur), akan menghiasi layar. Dan cerita tak butuh waktu yang lama untuk sampai ke bagian-bagian sadis tersebut. Yang justru menunjukkan kelemahan yang dipunya oleh film ini. Meskipun dia punya cukup banyak gaya untuk menghadirkan horor kekerasan, film ini tidak banyak bermain dengan penceritaan. Ataupun dengan gagasan ceritanya sendiri.

Sebagai pembanding, kita bisa melihat film The Prodigy (2019) yang juga bicara tentang keluarga yang dikaruniai anak jenius yang bermasalah kelam. Nyaris denyut per-denyut kisah dalam kedua film ini mirip. Anak pintar yang menjadi violent. Bermasalah di sekolah. Menyakiti binatang. Dipanggil untuk konseling. Mengancam konselornya. Lebih banyak orang menderita. Ibu yang akhirnya mengambil tindakan. Bahkan endingnya memberikan kesan yang serupa, dan sama-sama menantang kita untuk minta sekuel. Dua film ini seperti dipotong dari kain yang sama. Hanya beda latar tokohnya. Dalam Brightburn, si anak beneran seorang monster, dan orangtuanya adalah orangtua angkat. Latar yang sebenarnya lebih dari cukup untuk menghasilkan cerita dengan perbedaan masalah yang mendasar. Namun film ini tidak tampak benar-benar tertarik untuk menggali lebih dalam. Mereka hanya bermain di permukaan. Persoalan anak angkat itu tak pernah menjadi prioritas. Film hanya ingin mewujudkan imajinasi mengerikan seperti apa ketika seorang superman cilik menjadi monster super pembunuh.

Ketika The Prodigy mengandalkan lebih banyak kepada penampilan akting untuk menghadirkan keseraman yang bergaung merasuk ke dalam diri kita, sutradara David Yarovesky lebih memilih untuk bergantung berat kepada editing dan efek visual untuk menciptakan sosok monster bertopeng dalam Brightburn. Musik dalam film ini bisa menjadi sangat keras karena ia adalah gabungan dari jumpscare dan ledakan-ledakan aksi. Pemilihan musik ini membuat kita berada dalam situasi yang sulit; karena kita butuh adegan aksi untuk bersuara menggelegar, tapinya film ini menggabungkan aksi tersebut dengan horor, dan kita gak pernah suka horor yang suaranya bikin jantung copot. The Prodigy menggunakan teknik dramatic irony – membuat kita tahu lebih banyak daripada ibu dalam cerita tersebut – sehingga kita semakin peduli sebab kita mengerti betul sejauh apa usaha yang ia lakukan untuk melindungi anaknya, kita bersimpati meski kita tahu yang ia lakukan tidak bisa dibilang benar. Sedangkan Brightburn bercerita dengan lempeng. Penuh oleh trope dan klise dari elemen ‘evil kid’. Tori ditulis sebagai karakter dengan satu kebohongan yang ia percaya; bahwa Brandon adalah anaknya, bahwa Brandon adalah anak yang baik, hanya saja ‘cela’ tokohnya ini tidak pernah mengundang rasa simpati kita. Malah jatohnya annoying. Karena kita melihat Tori sebenarnya sudah tahu, dan film tidak membuat hal menarik untuk menunjukkan dia membohongi diri sendiri, dia tidak pernah tampak seperti melindungi, lebih seperti keras kepala.

Film ini gagal untuk mengangkat moral yang berusaha mereka selipkan ke dalam imajinasi liar premis ceritanya. Bukannya menjadi anti-hero, film ini malah jadi seperti anti-keluarga. Yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa mengendalikan orang yang bukan darah daging kita, kita tidak akan mengerti mereka, karena kita dan mereka begitu berbeda. Kita tidak bisa terus membohongi diri karena cepat atau lambat kenyataan akan menghantam dengan keras. Kemudian meledakkan kita.

 

Tidak sanggup membuat simpati jatuh ke Tori, maka setelah midpoint film memindahkan fokus cerita kepada Brandon yang sudah tidak bisa mundur lagi menjadi dirinya yang dulu. Tapi kita pun akan susah sekali untuk bersimpati kepada tokoh ini. Kita tidak bisa merasa kasihan kepadanya. Karena film membuat tokoh ini murni jahat. Dia bahkan bukan anti-hero. Brandon tidak ditulis seperti Bezita yang membunuh banyak orang untuk memancing Goku bertarung supaya dia bisa menjadi lebih kuat lagi karena dia percaya hanya dia yang Pangeran Saiya-lah yang dapat mengalahkan Manusia Iblis Buu dan menyelamatkan Bumi. Brandon tidak ditulis seperti Carrie yang mengamuk menghabisi teman-teman sekelasnya karena dia sudah dibully dan dipermalukan di depan mereka semua. Brandon cuma diledek, apakah itu berarti dia pantas untuk balas dendam? tentu tidak. Satu-satunya usaha film untuk membuat Brandon tampak simpatik adalah dengan membuat dia seperti lupa-diri ketika melakukan hal mengerikan, seolah ada yang mempengaruhinya, seolah ada dua jiwa di dalam sana – kayak The Prodigy. Namun tentu saja elemen tersebut seperti dijejelin masuk gitu aja karena gak make sense kenapa bisa ada dua. Kenapa gak ditulis dia amnesia aja sekalian, bikin dia berjuang melawan siapa dirinya yang sebenarnya. Buat perjuangan dalam diri Brandon, antara dia yang baik karena dibesarkan penuh kasih sayang dengan dirinya yang asli – seorang monster superpower. Sayangnya film ini tidak seperti itu. Ketika Brandon melakukan hal sadis, ya hanya sadis. Jahat. Tidak ada layer dari tingkah lakunya. He’s one dimensional jahat ketika sudah total menjadi monster. Alasan dia menjadi seperti demikian tidak ditulis simpatik.

Film benar-benar tidak mengerti bahwa mereka perlu untuk membuat kedua tokoh ini tampil simpatik. Untuk membuat hubungan antara Tori dan Brandon bekerja, dinamika mereka harus dirancang oleh film. Mereka harus dibentrokkan. Tetapi dua tokoh tersebut berjalan sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada yang bisa kita dukung di antara dua tokoh sentral; Tori dan Brandon. If anything, aku lebih simpatik sama suami Tori, tapi pun tokoh ini tidak benar-benar punya arc. Tokoh-tokoh yang lain hanya ada di sana untuk menambah jumlah korban dan/atau melakukan hal-hal simpel nan bego karena naskah menyuruh mereka untuk berbuat demikian. I mean, guru BP (BP atau BK sih, aku gak tau bedanya ahaha) mana yang ngasih ponakannya senjata api sebagai hadiah ulangtahun? Mana ada orang dewasa yang ngasih anak-anak pistol.

well, kecuali saat lebaran.

 

Akan ada satu-dua yang bikin kita menggelinjang menonton film ini, terutama jika kita penggemar horor sadis. Premis ceritanya sendiri memang menarik. Film pun sepertinya sangat aware dengan premis tersebut, dan gak malu-malu dia memasukkan banyak hal yang bisa mengingatkan kita kepada Superman. Paduan horor dan aksi sebenarnya bukan pertama ini dilakukan, jadi film ini dituntut untuk punya gaya. Secara visual sih, dia memang cukup bergaya. Suara keras dan efek yang cukup mengerikan – meski adegan terbang keluar masuk rumah di babak akhir itu malah lebih mirip adegan film kartun. Namun secara penceritaan, film ini tampil biasa saja. Ceritanya maju begitu saja, dengan pengembangan ala kadar penuh oleh trope dan klise. Masing-masing tokohnya tidak mendapat keadilan dari segi penulisan. Tidak ada satupun yang mengundang simpati. Dan membuat kita duduk menyaksikan perjalanan tanpa ada yang bisa didukung; what a monster move!
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for BRIGHTBURN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Andai-andai mengerikan seperti apa yang pernah terpikirkan oleh kalian? Dan bagaimana kira-kira kalian menjawab andai-andai tersebut?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

[Reader’s Neatpick] – THE PRODIGY (2019) Review

“..yang saya tidak sukai adalah film yang horornya dikarenakan ada unsur gaib. Film ini? Daaaamn brooo..!!! asyuuuu~~~”Ida Bagus Arindra Dirasthya, atau biasa dipanggil Garonk.

 


Sutradara: Nicholas McCarthy
Penulis Naskah: Jeff Buhler
Durasi: 1jam 32menit

 

Sarah dan suami tercinta dikaruniai seorang anak yang heterochromia. Tenang, itu bukan nama penyakit. Melainkan istilah untuk orang yang bola mata kiri dan kanannya berbeda warna. Keistimewaan Miles, begitulah Sarah menamai anaknya, ternyata tidak berhenti sampai di sana. Miles yang masih kecil menunjukkan kepintaran yang bermil-mil jauh lebih maju dari ukuran anak-anak sebayanya. Saking pinternya, Miles ini ngingaunya pun pake bahasa asing! Enggak perlu waktu lama untuk naluri keibuan Sarah mendeteksi ada yang enggak beres pada diri Miles, yang kadang tampak totally seperti orang yang berbeda. Memang semengerikan dan misterius beginikah perilaku seorang anak jenius, atau jangan-jangan nilai dan prestasi Miles tersebut ternyata didongkrak oleh suatu wujud supernatural?

“Maka, The Prodigy menjelma menjadi horor yang lumayan spesial. Sampai-sampai sahabatku yang satu ini, Garonk yang sedari jaman kuliah sudah dikenal sebagai orang yang anti banget nonton horor, ternyata nonton filmnya. Bahkan nonton lebih duluan daripada aku! So that makes this review kinda special too. Karena kita akan membahas film horor dari sudut pandang penonton yang gak suka film horor.”

“Saya bukannya tidak menyukai film horor. Yang saya tidak sukai adalah film yang horornya dikarenakan ada unsur gaib. Semisalnya karena hantu. Karena saya ga suka hal yang tidak bisa ditelaah lebih jauh. Tapi tidak berlaku untuk jenis science fiction yaah, karena walau kita tau itu fiksi, tapi masih dekat (nyerempet) dan bisa ditelaah lebih jauh juga dekat sama penjelasan ilmiah. Berbeda sama tipe hantu, saya mau mikirin lebih malah jauh ga nyampe dan jadi ga masuk akal, mau nyari sebab-akibat dan alasan-alasannya sepertinya tidak sampai di kepala.”

“Jadi lebih karena alasan gak ilmiah, gak keilmuan, ya”

“Alasan lainnya takut juga sih hahaha.. Itulah makanya sebelum saya tonton, sudah jadi kebiasaan saya untuk bertanya dahulu. Atau membaca preview film apakah ini horor karena hantu atau lainnya. Saya tidak anti sama spoiler.. hehehe, karena tahu info film yang akan ditonton itu seperti kita sudah siap dan tidak kaget untuk menjalani ujian ;p Setelah tahu infonya, tanya lagi menurut individu apakah worth untuk ditonton, karena kalo dari preview itu kan dia sifatnya persuasif.”

“Sebenarnya semua horor – yang bagus loh ya, bukan yang dibuat ngejar setoran – bermain di ranah keilmiahan, Ronk. Tepatnya tuh di psikologis manusia. Tentang bagaimana reaksi dan kondisi emosi seseorang ketika berhadapan dengan kehilangan, misalnya. Tren horor barat sekarang berpusat di kejiwaan seorang ibu. The Babadook (2014) yang tentang single-mom yang diserang kecemasan menempuh hidup dan duka pada saat yang bersamaan. Hereditary (2018) bicarakan kegelisahan seorang mama yang merasa tidak mampu mengendalikan, memberikan yang terbaik untuk keluarganya, karena dia sendiri punya masa lalu kelam dari keluarganya. Bird box (2018), A Quiet Place (2018)dua-duanya soal ibu yang mengambil alih posisi kepala keluarga. Berbeda sekali dengan horor lokal yang malah menjadikan ibu sebagai sosok hantu, horor barat menggali insting maternal yang begitu manusiawi. The Prodigy ini, kan, juga begitu. Tema besarnya adalah ketakutan orangtua, khususnya ibu, akan anak mereka yang berbeda dengan anak-anak normal.” 

“Mengerikan… menegangkan sih lebih tepatnya. Sepertinya saya sendiri juga jika punya anak yang jenius; awal-awal tentu saja senang. Tapi itu juga selama jenius masih dalam tahap wajar di usianya. Kalo terlalu jenius banget mungkin saja saya juga takut. Orangtua takut bisa saja karena nantinya sang anak akan sulit beradaptasi di lingkungan di masa mendatang, dia akan jadi anti sosial. Juga acuh sama lingkungan. Jika dia jenius masih dalam tahap yang wajar sesuai umurnya, tentu saya juga akan perlakukan anak saya secara berbeda menyesuaikan dengan kecerdasannya sehingga dia bisa lebih terarah. Peran orang tua seperti biasa, mengarahkan.”

“Sutradara McCarthy setuju tuh, Ronk. Makanya film benar-benar ia arahkan untuk fokus di reaksi horor Sarah akan perilaku Miles. Film ini enggak kemana-mana dulu, dia langsung ngasih tahu kita bahwa si anak itu memang ‘bermasalah’. Horor-horor lain mungkin akan menguatkan misteri, membuat kita ikutan menebak bareng Sarah sebenarnya anaknya kenapa. Tapi pada film ini, kita dari awal sudah tahu lebih dulu daripada Sarah. Teknik inilah yang disebut sebagai DRAMATIC IRONY. Dengan membuat kita tahu lebih banyak daripada tokoh utama, film ingin kita menilai aksi-aksi yang diambil oleh sarah. Mendramatisasi sejauh apa yang akan dilakukan oleh orangtua untuk mengusahakan yang terbaik kepada anaknya. Supaya waktu kita tidak habis untuk mempertanyakan anaknya baik atau jahat. Agar kita langsung melihat poin bahwa sesuatu yang luar biasa jahat, masihlah sebuah anak bagi seorang ibu. Dramatisnya jadi benar-benar kerasa saat Sarah memutuskan untuk membunuh seorang wanita yang merupakan satu-satunya korban yang selamat dari pembunuh-berantai yang merasuki tubuh Miles.”

“Benar juga. Semua orangtua tidak ada yang tidak mencintai anaknya. Saya rasa sih tindakan sarah, memastikan si anak tidak ada flaw di masa kecilnya, jadi lebih baik si ibu saja yang berkorban daripada anaknya yang akan dicap sebagai pembunuh. Lebih baik dia sendiri yang menjadi pembunuh. Sarah ingin berusaha menjadi orangtua yang baik, tapi keadaannya yang membuat tindakan yang perlu dilakukan menjadi sedikit melenceng dari orangtua seharusnya.”

“Paling enggak, Sarah adalah orangtua yang lebih baik daripada suaminya. Sarah lebih mikirin anak, sedangkan si suami lebih fokus untuk membuat diri tidak lebih buruk dari ayahnya ya hahaha”

“Namun saya ga tau apakah pada akhirnya ini menjadi ending yang baik. Ga bisa menilai, tapi menurut saya sih karena rasa cinta yang besar pada anak dan keinginan agar si pembunuh tidak memanfaatkan badan anaknya, hanya saja waktunya tidak tepat. Poor Sarah.”

“Nah, kalo soal ending, menurutku jadi kurang memuaskan. Karena kita udah dibangun untuk percaya Sarah akan melakukan apa saja untuk anaknya, jadi masuk akalnya buatku adalah Sarah harus melakukan ‘banting-stir’ yang ekstrim dalam mewujudkan hal tersebut. Aku lebih suka kalo film berakhir dengan Sarah membunuh Miles. Akan lebih dark juga, tidak ada hal yang lebih kelam di dunia selain orangtua yang harus terpaksa membunuh buah hatinya sendiri. Aku percaya film ini mengerti akan hal itu, tapi sepertinya studionya agak takut, jadi kita gak jadi dapat ending itu. Malah diganti sama adegan yang menurutku kebetulan semata, mengurangi intensitas yang sudah dibangun film, meski lebih gak-dark. Mungkin juga produser mengincar kemungkinan sekuel. Tapi aku pikir film ini akan bisa jadi lebih keren kalo endingnya gak seperti yang kita tonton.”

“Daaaamn brooo..!!! asyuuuu~~~ Kalo saya sih, yang paling berkesan adalah Miles. Adegan dimana Miles asli (jiwa sang anak) berusaha melawan untuk tidak diambil alih dan sempat memberikan clue pada si doktor. Juga saat jiwa si pembunuh sudah punya rencana yang matang dan langsung menyatakan rencana briliannya agar si doktor mengatakan bahwa regresi yang dilakukan tidak berhasil.” 

“Setuju, adegan doktor ama Miles itu keren tuh! Akting pemainnya mantep-mantep. Colm Feore yang jadi doktor berhasil meyakinkan tanpa overakting kayak tokoh-tokoh penegah yang biasa. Takutnya ketika diancem itu natural. Taylor Schilling yang jadi Sarah juga dapetlah emosi dramatisnya. Yang jadi Miles, si Jackson Robert Scott, jago juga mainin dua jiwa.”

“Yang paling menarik tentu saja Miles dengan dua jiwa donk.”

“Dua jiwa, mata yang berbeda warna, adegan setengah wajah Miles dalam kostum halloween. Film ini kental sama unsur dualisme; Spiritual dan sains. Innocent dan guilty. Kematian dan kehidupan. Film menghubungkan semua itu dengan konsep reinkarnasi.” 

“Konsep reinkarnasi sudah tampak sedari adegan pertama, adalah di mana momen kematian dan kelahiran memiliki timing yang bersamaan (slightly), sehingga soul atau jiwa yang berpindah tidak dalam masa tunggu tapi langsung punarbawa atau tumimbal. Alias jiwa turun langsung kembali kedunia pada badan kasar yang baru dilahirkan. Konsepnya sudah dilakukan film dengan benar, menurut kepercayaan agama saya. Saya di sini mungkin tidak akan mengutip dari mantra (ayat) di kitab suci, tapi saya jelaskan dengan bahasa saya saja (kalau curious dan mau detail bisa di cari sendiri, atau tanya ke orang dengan kapasitasnya ya hehehe saya cuma bisa kasi penjelasan dasar saja)”

Kelahiran kembali / Reinkarnasi / Punarbawa / Punarbhava (seperti itu kita menyebutnya) merupakan salah satu dari lima dasar keyakinan hindu yang kita percaya (Panca Sradha), mungkin seperti Rukun Iman buat saudara-saudara Muslim seingat saya (tolong dikoreksi, karena saya tidak selalu hadir di pelajaran agama Islam waktu sekolah dulu). Jadi kelahiran kembali ini dikarenakan atma (jiwa) masih membawa karma dari perbuatan (baik/buruk) yang telah dilakukan pada masa lampau. Dan untuk melepas dari reinkarnasi dan mencapai moksa (kebebasan dari ikatan duniawi), dalam kehidupannya seseorang perlu melakukan perbuatan baik, meningkatkan pengendalian diri & spiritual dan melepas dari keinginan keduniawian, sehingga ia terbebas dan kembali kepada pencipta yang menjadi kebahagiaan tertinggi.

 

“Waaah, kalo begitu film ini risetnya cukup detil juga ya sepertinya. Kejadiannya lumayan mendekati kebenaran pada konsep Agama Hindu di dunia nyata. Jangan-jangan footage tentang kasus anak kecil yang punya ingatan di kehidupannya yang dahulu sebagai seorang pilot yang ada di film itu contoh reinkarnasi beneran kali ya.” 

“Saya tidak mengetahui dengan pasti tapi yang saya pernah dengar info bahwa ada seorang anak yang (sepertinya) memiliki ingatan saat kehidupannya yang terdahulu. Dia bisa tahu tempat tinggal bahkan mengingat kerabat dan keluarganya. Saya tidak tahu bagaimana dia punya kenangan dari masa sebelumnya, tapi jika benar; Ya, ini bisa jadi contoh dari reinkarnasi.”

“Menarik sekali. Prodigy ini ternyata memang cukup solid. Trope evil kid yang dimiliki ceritanya bisa membungkus dengan rapi tema tentang ketakutan orangtua, juga ada elemen reinkarnasi yang terkonsep dengan benar sebagai panggung cerita. Kalo mereka berani dari awal sampai akhir, aku akan ngasih lebih tinggi, tapi pilihan ending film ini buatku cukup signifikan ‘mengurangi’ penceritaan secara keseluruhan.”

“Ahaha. Oke kok filmnya. Saya ngasih 7.5 dari 10 kali ya.”

“Aku ngasih 6/10 aja deh. Semoga ke depan ada ‘reinkarnasi’ cerita ini yang lebih berani hhahaha”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Ida Bagus Arindra Dirasthya alias Garonk (twitter @gus_arind) udah mau berpartisipasi bahas film ini, membuka mata sekali tentang konsep reinkarnasi. Aku rekomen banget loh film-film yang aku sebut di atas. Siapa tahu dirimu yang tadinya gak suka hantu-hantuan secara umum malah bisa jadi penelaah film horor.

Bagaimana jika kalian nantinya punya anak yang jenius seperti Miles, apakah kalian akan takut? Apakah kalian akan memperlakukannya secara spesial?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

Buat yang pengen dengar lebih banyak soal film dan krisis ilmu pengetahuan, bisa simak video Oblounge featuring aktor senior Slamet Rahardjo ini yaa:

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BIRD BOX Review

“The way to see by faith is to shut the eye of reason.”

 

 

Peringatan keras itu diberikan Malorie kepada dua bocah yang belum lagi enam-tahun – adegan ini juga merupakan cara film membuat Sandra Bullock menerangkan ‘aturan-main’ film kepada kita para penonton – sebelum dirinya membawa anak laki-laki dan anak perempuan tak bernama itu berlarian ke hutan. Menuju jeram yang deras. “Apapun yang terjadi, jangan sekali-kali melepaskan tutup-mata kalian! Jika kalian melihat, kalian mati.”

Dari apa ketiga tokoh ini lari, kalian tanya? Kenapa mereka tidak boleh membuka mata? Film akan selang seling menarik kita mundur ke belakang, ke peristiwa lima tahun yang lalu; saat Marolie dan adiknya pulang dari dokter kandungan, saat pertama kali tren bunuh diri terjadi di dunia mereka. Bird Box adalah film adaptasi novel yang draftnya ditulis pada tahun yang sama dengan tayangnya The Happening (2008) – film yang actually melenyapkan kredibilitas M. Night Shyamalan di mata penonton film, tak terkecuali penggemarnya. Seluruh penduduk kota mendadak seperti berlomba-lomba melakukan hal menyakitkan kepada tubuh mereka. Bayangkan aksi-aksi di Jackass, hanya saja pesertanya melakukan stunt dengan patah tulang leher sebagai tujuan utama. Kita melihat satu wanita masuk ke dalam mobil yang terbakar. Kita menyaksikan orang menabrakkan diri ke bis yang sedang melaju. Semuanya kacau. Namun tidak seperti The Happening yang enggak exactly menerangkan apa yang terjadi (tersangka utama tetap para tumbuhan yang mendendam), dalam Bird Box kita diberitahu penyebab orang-orang menjadi edan itu adalah suatu makhluk, film dengan hebatnya membuat wujudnya ambigu; entah karena seram atau aneh atau apa, yang jika dilihat maka kita akan otomatis berpikir “ah baiklah, sudah saatnya aku mengakhiri hidup”

dan makhluk ini tidak bisa dicurangi seperti yang dilakukan Hermione kepada Basilisk

 

Film ini seperti terdiri dari dua bagian; bagian di masa lalu dengan nuansa thriller sekelompok orang saling-asing berkumpul, berusaha untuk bekerja sama, mencoba untuk saling kenal dan memahami, dalam usaha bertahan hidup dengan makanan materi seadanya – aku suka bagian ini karena mengingatkanku kepada The Mist (2007) khususnya pada bagian mereka harus menantang maut keluar dari tempat persembunyian untuk menyuplai makanan. Dan bagian present time di mana Malorie dan anak-anak itu mengarungi jeram dengan mata tertutup untuk mencari tempat perlindungan yang bahkan Malorie sendiri enggak yakin persis, apa sanctuary yang mereka cari beneran ada atau hanya jebakan.

Aku enggak benar-benar setuju sama cara bercerita yang bolak-balik karena pada banyak kasus membuat kita terlepas, seperti melompat-lompat antara dua situasi/perasaan si tokoh utama. Seperti ada dua versi tokoh utama; progres dan regres, dan di satu titik dua versi ini akan bertemu supaya kita mengerti. Bird Box juga bercerita seperti begini, tetapi tidak membuatku terlepas begitu lama karena cerita tahu cara mengeksplorasi situasi menjadi benar-benar menarik. See, the thing is Bird Box is not exactly ‘what-you-see-is-what-you-get” type of film. Lapisan ceritanya lebih banyak dari lapisan kain yang menutup mata Malorie. Kita bisa ‘terhibur’ oleh tokoh-tokohnya karena film ini dapat bertindak sebagai studi karakter bagaimana sekelompok orang ‘dipaksa’ bekerja sama dalam dunia yang bisa dibilang sudah kiamat. Kita akan melihat mana yang mau selamat sendiri, mana yang mengerti bahwa survive enggak sama dengan menjalani hidup. Film menambah ketegangan ceritanya dengan membuat bahwa ternyata enggak semua manusia yang melihat makhluk tersebut bakal bunuh diri. Ada sekelompok orang yang bisa (film secara tersirat menyebut kemampuan tersebut dimiliki oleh kelompok orang-orang yang terganggu mentalnya), dan mereka membentuk semacam cult yang mendedikasikan diri membuat orang-orang normal melihat ‘keindahan’ si makhluk. Ini menciptakan tensi yang berhubungan dengan rasa percaya, yang tepat sekali berlawanan dengan karakter Malorie; seorang wanita yang karena masa kecilnya, merasa lebih nyaman untuk membiarkan hatinya berada di dalam sangkar. Di dalam kotak. Seperti burung-burung yang ia gunakan untuk mendeteksi kedatangan Dia-yang-Wujudnya-Tak-Boleh-Dilihat.

I hope I can unsee that Sandra Bullock-Michael Jackson meme

 

Malorie merasa nyaman dengan tidak melihat masalah. Makanya dia begitu jago selamat sekian lama dari makhluk tersebut. Ketika dia hamil, dia tidak tertarik untuk mengetahui jenis kelamin kandungannya. Ketika anaknya lahir, dia tidak repot-repot memberinya nama. Karena dia tidak mau sakit, siapa yang bisa jamin orang yang ia cintai gak bakal pergi. Membuka hati bagi Malorie adalah kelemahan. Sama seperti membuka matanya, dia akan ‘mati’ melihat si makhluk. Buta justru jadi perlindungan utama di dunia Malorie di luar sana. Malorie tidak membiarkan harapannya terbang tinggi, dan di sinilah letak salahnya.

Kita harus percaya kepada harapan. Bahkan saat kita tidak punya alasan untuk percaya. Itulah yang namanya Blind Faith. Film ingin mengajarkan pentingnya untuk punya sesuatu yang dipercaya supaya tidak kehilangan arah dan asa dalam hidup.

 

Sayangnya, blind faith sering dikonotasikan dengan hal yang negatif; Iman-Buta sering dituduhkan menjadi penyebab keekstriman manusia terhadap agama. Padahal tidak selamanya begitu. Blind faith enggak mesti percaya pada sesuatu dengan bodohnya sehingga manut aja. Anggap kalian sedang berjalan di dalam suatu bangunan, kalian menemukan sebuah pintu dengan secarik kertas menempel padanya; bertuliskan “Ini Bukan Pintu Keluar”. Keyakinan, faith, adalah ketika kita punya alasan untuk percaya atau tidak percaya pada apa yang tertulis di pintu – mungkin kalian punya sense of direction yang bagus, pintu itu ada di barat yang mestinya memang ke arah luar, something like that. Blind Faith, sebaliknya, adalah kalian percaya itu bukan pintu keluar, meskipun kalian enggak tahu pasti tulisan tersebut bener atau enggak; siapa yang nempelin di sana, siapa yang menulisnya – bisa saja itu cuma prank dan beneran pintu keluar, atau bisa saja itu tantangan dan pas dibuka di baliknya ada kru TV ngasih hadiah uang tunai sebagai hadiah kuis.

Namun bagi mereka yang sudah percaya begitu saja itu bukan pintu keluar, apa pun di balik itu mereka anggap jurang. Katakanlah isi di balik pintu memang harta karun, apakah, mereka merugi? Tidak, karena orang tidak bisa dibilang rugi dengan kehilangan sesuatu yang belum menjadi milik mereka. Pada orang yang beriman-buta, yang percaya seratus-persen; fakta – benar atau salah – bukan lagi persoalan karena mereka percaya apa yang dipilih itu bermanfaat. Hal yang sama terjadi kepada Malorie ketika dia mendengar broadcast ada sanctuary setelah jeram. Ini adalah titik ketika Malorie – yang selama hidupnya menolak untuk ‘melihat’ ketika dia ‘diperbolehkan’ – diharuskan untuk belajar menaruh harapan. Meletakkan kepercayaannya, blindly. Di sinilah pemilihan cara bercerita Bird Box mendapat pengampunan. Di saat bersamaan dengan Malorie mendengar panggilan radio, kita merasakan ambigu yang luar biasa, kita memahami dilema yang dihadapi. Adegan ini yang menjadi plot poin, menghantarkan kita masuk ke babak tiga; kita sudah punya pegangan terhadap cult dan apa yang mereka lakukan – film membuat isi broadcast yang didengar Malorie sama dengan paham para penganut cult sekaligus kita sudah tahu gimana hubungan Malorie dengan anak-anak ini, dalam keadaan seperti apa kondisi mental dirinya sekarang. Jika film berjalan dengan narasi yang paralel, tidak bolak-balik, salah satu dari dua elemen dilema ini belum akan terbangun sempurna; efek yang dihasilkan tidak akan sekuat yang diniatkan.

.

 

Aku senang dengan keluarnya film ini, di masa mendatang aku bisa bikin acara nonton maraton film-film Enggak Bisa Lihat – Enggak Bisa Bicara – Enggak Bisa Dengar – Enggak Bisa Napas. Garapan Susanne Bier ini tak pelang memang memberikan pengalaman tercekat tersendiri. Dia berhasil membuktikan dalam film horor itu bukan harus penampakan seram yang mutlak memberikan perasaan menakutkan. Makhluk dalam film ini wujudnya dibiarkan sesuai imajinasi, bahkan pada tokoh-tokohnya sendiri makhluk ini tampil dalam wujud yang berbeda-beda. Film mengimplikasikan cara kerjanya sama dengan Dementor; menampilkan wujud yang paling menakutkan dan menyedihkan buat yang lihat. Aturan-main diset dengan detil, meski banyak beberapa aspek cerita yang tidak dijelaskan – yang hanya di sana karena naskah menuntut seperti itu. Seperti kain penutup yang tidak benar-benar membuat orang ‘buta’. Atau kenapa cuma burung, bagaimana dengan hewan lain apakah mereka kena pengaruh makhluk? Rentang waktu lima-tahun juga tidak dipergunakan banyak selain untuk membuat bayi-bayi itu tumbuh menjadi bocah. Film menuntun kita supaya tidak melihat lebih banyak dari yang mereka perlukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for BIRD BOX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian blind faith itu bagus, atau enggak? Would you follow your religion blindly? Ataukah kalian perlu alasan untuk mengimani kepercayaan yang kalian anut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SILAM Review

“Adventure must start with running away from home.”

 

 

 

Di masa silam, ada film horor yang menampilkan hantu gadis cilik kembar yang menjadi begitu ikonik.

Di masa silam, ada film horor yang membangun ceritanya sedemikian rupa sebelum akhirnya persepsi kita bersama tokoh utama dibelokkan oleh pengungkapan siapa si tokoh sebenarnya

Di masa yang enggak silam-silam banget, ada film horor tentang boneka terkutuk yang dirasuki oleh arwah jahat.

Di masa kini, kita punya film horor bernama Silam tentang seorang anak haus kasih sayang yang membuat boneka untuk jadi temannya sebelum akhirnya si anak kabur dari rumah dan lantas bertemu dengan hantu kembar, arwah jahat hasil ritual, dan kenyataan siapa dirinya sebenarnya. Setelah menuntaskan film ini, kita akan dibuat penasaran, kenapa cerita yang seharusnya diadaptasi dari novel malah jadi kayak adaptasi horor-horor sukses dari masa silam?

 

Beneran deh, begitu nyampe kamar sehabis nonton aku langsung adain riset kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar, eh kenapa jadi mantra film sebelah… Anyway, aku langsung search sinopsis novel sumber cerita film ini dan aku mendapati cerita yang luar biasa kuat kesan dramatisnya. Kalian yang belum baca novelnya bisa klik di sini untuk sinopsis ceritanya. Silam versi film seperti mengecilkan volume emosi yang dipunya oleh sumbernya. Mereka menghidupkan cerita tersebut dengan memasukkan banyak hal-hal yang kepentingannya cuma supaya film ini mirip sama film-film hits. Mereka kira kita menonton horor karena ingin melihat hantu, jadi arahan cerita film ini, ya memang dibuat untuk memfasilitasi berbagai macam kemunculan hantu, yang sebenarnya enggak menambah banyak ke dalam bobot cerita. Cara dan arahan pengembangan yang dipilih oleh film ini membuat kita, para penonton, tersilamkan dari pesan sebenarnya yang dikandung oleh cerita. Film sudah menyiapkan dua pengungkapan yang diniatkan supaya kita memandang ceritanya dengan takjub.

ini adalah jenis film yang dramatic premisnya berumus “ingin…, dan ternyata…” alih-alih “ingin…, tetapi…”

 

 

Mengalami mental abuse di rumah oleh Ibunya, dan physical abuse di sekolah alias dibully oleh teman sekelasnya yang tampak terlalu gede untuk ukuran anak es-de, Baskara tak lagi punya tempat untuk mengadu selain kepada kuburan ayahnya. Dalam kerinduannya yang amat sangat kepada sosok bapak, Baskara (dalam debutnya ini, Zidane Khalid dipercaya memainkan karakter dengan range yang cukup luas) menemukan alamat pamannya yang punya wajah teramat mirip dengan ayahnya. Baskara yang penasaran pun akhirnya mengunjungi alamat tersebut, di mana ia disambut hangat penuh kasih sayang oleh keluarga sang Paman. Baskara memutuskan untuk tinggal di rumah berada tersebut. Satu hal yang mengganggu adalah; semenjak kepala terbentur akibat ulah teman-teman sekolahnya yang jahat, Baskara yang mengaku tidak percaya sama hantu malah jadi sering melihat makhluk-makhluk menyeramkan tersebut di sekitarnya. Terutama di malam hari, di rumah di mana paman dan bibi dan sepupu kembarnya turut melakukan gelagat yang tak bisa dijelaskan oleh pikiran Baskara.

Melarikan diri mungkin memang penyelesaian yang paling mudah dari masalah-masalah yang mengukung, baik itu di rumah, di sekolah, di manapun. Actually, minggat bisa jadi adalah awal dari petualangan terbesar dalam hidup seorang anak atau remaja. Masalahnya dengan ‘berlari’ begini adalah, pelarian tersebut akan selalu membawa kita balik pulang.

 

Meminjam banyak elemen dari source lain memang bisa menaikkan kualitas nilai hiburan dalam sebuah film. Kita akan semakin enjoy menonton film yang punya sesuatu yang bisa kita kenali. Tentu saja syaratnya adalah tidak mengorbankan elemen unik, tidak melupakan ‘hati’ dan ‘jiwa’ yang dipunya oleh film kita sendiri. Silam justru tampak tidak peduli dengan semua itu. Twistnya bisa dengan mudah ditebak oleh penonton yang berpengalaman ataupun yang punya perhatian. Pembangunan plotnya juga gak benar-benar nyambung. Namun Silam tetap melaju berceloteh. Maksudku, anak macam apa yang menghabiskan waktu curhat sama batu nisan ayahnya, yang membuat boneka untuk ngejagain ibunya, tapi dia sendiri bilang dia tidak percaya hantu. Kontradiktif sekali. Film tidak berniat untuk memberi makna kepada detil-detil seperti perlunya memasukkan dua tokoh yang kembar, ataupun kenapa harus ada elemen ritual atau perjanjian dengan setan.

Memasuki pertengahan, kejadian menjadi repetitif; dan ini bukan saja terasa oleh Baskara yang terus melihat keluarga pamannya melakukan hal yang itu-itu melulu, namun juga oleh kita yang terus menyaksikan ‘gangguan malam hari’ yang enggak benar-benar punya punchline – yang gak punya ujung apa-apa. Selalu hanya malam tiba, Baskara terbangun dari tidurnya, dan dia melihat hantu-hantu, juga seorang nenek misterius di halaman rumah. Film tidak membuahkan puncak kepada elemen larangan ke luar rumah malam hari. Tidak ada kaitan yang menahan kita untuk terus tertarik kepada cerita.

Kesempatan emas untuk hidup dengan emosi, buat film ini, sesungguhnya bisa datang dari hubungan Baskara dengan ibunya. Baskara selalu telat pulang, dia jadi sering diomeli oleh ibunya yang sebenarnya mencemaskan Baskara. Tapi kita tak pernah melihat dari sisi Ibunya, bahkan setelah Baskara pergi dari rumah. Saat dimarahipun, kita tidak banyak melihat interaksi. Si anak sepuluh-tahun itu hanya diam, terlihat seperti mau menangis. Padahal kita perlu melihat ‘api’ di sini. Supaya kita percaya ada hubungan kasih sayang antara Baskara dengan ibunya. Sehingga ketika Baskara yang ketakutan dan ingin ‘pulang’, kita bisa merasakan usaha dan ketakutannya. Kita kurang mengenal ibu dan ‘bentukan’ keluarga Baskara. Ibu dalam amarahnya bilang dia sudah capek bekerja keras, namun Baskara malah lebih sering menghabiskan waktu di kuburan ketimbang bersamanya. Film ingin menunjukkan Baskara punya masalah ekonomi, bahwa Ibu mulai khawatir soal nafkah mereka dan Baskara yang menghambur-hamburkan uang, tapi kita tidak diperlihatkan apa sih usaha si ibu. Yang ada malah kita disuapi informasi uang jajan Baskara lima-belas ribu rupiah.

Film benar-benar melewatkan kesempatan. Kita perlu diperlihatkan lebih banyak tentang Ibu dan Baskara. Bahkan menurutku, cerita dan emosi akan lebih tersampaikan jika Baskara berantem dengan ibunya; jika ibunya yang mendorong dan melukai kepala Baskara. Karena dengan begitu, alasan Baskara kabur dari rumah juga akan semakin kuat, dan film tidak perlu memasukkan tokoh bully yang bahkan tidak kelihatan lagi sampai akhir cerita. Di bagian penyelesaian pun, mestinya biarkan saja Baskara dan Ibu menyelesaikan ‘drama’ mereka supaya plotnya menutup. Tapi sepertinya, film horor lokal butuh untuk menunjukkan adegan orang kesurupan manjat tembok,  sehingga kita malah dapat cerita perjanjian dengan setan yang menihilkan aspek drama dalam apa yang jadinya cerita hubungan single mom-anak berbalut horor ini.

untung si Baskara nulisin surat minggatnya bukan pake lipstik ibu ke cermin kayak cerita anak 80an haha

 

 

 

Kekerasan dan abuse lainnya memang menjadi penyebab utamanya anak minggat dari rumah. Film ini bisa saja menjadi pandangan dan komentar mengenai hal tersebut, dia punya modal untuk menjadi horor yang menarik dan bergizi. Tapi film, seperti halnya anak-anak yang kabur itu, memilih jalan termudah. Dia tidak mau ribet memikirkan pesan. Bahkan enggan memberikan jarak antara rumah Baskara dengan rumah pamannya; semua hal yang menyangkut film ini dapat kita simpulkan sebagai kemudahan. Batalin janji dengan setan cukup dengan satu kalimat sederhana, coba. Film hanya mau menampilkan hantu yang seram, karena mengira kita ingin melihat hantu. Enggak peduli betapa banyak hal gak yang bisa dihilangkan, dan hal lain yang harusnya dimasukkan. Ini bukan film bego, kita masih bisa menikmatinya dalam tingkatan tertentu. Hanya saja, tidak banyak berbeda dengan rekan-rekannya di Danur Universe, film ini pun adalah adaptasi ala kadar, yang tidak mau bersusah payah, dari sebuah cerita horor yang terkenal bukan semata karena seramnya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SILAM.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Dulu di daerah tempat tinggalku sempat ngetren loh anak-anak yang berlagak mau minggat dari rumah. Pernah gak sih kalian kepikiran untuk minggat dari rumah sehabis dimarahin orang tua? Apa mungkin ada yang beneran pernah minggat? Share dong ceritanya hhihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE RETURNING Review

“Sometimes dead is better”

 

 

Seperti dicomot langsung dari halaman buku misteri milik Stephen King, The Returning adalah horor keluarga yang menilik masalah beratnya menghadapi kehilangan anggota keluarga; merelakan terkasih yang sudah pergi dan move on dengan kehidupan.

Karena, benar, mati jauh lebih baik ketimbang hidup cuma menanti yang tak bakal kembali. Karena sejatinya, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Melainkan akhir dari derita. Yang harus kita sadari, bahwa kematian adalah saat kenangan-kenangan manis itu bermunculan.

 

Sudah tiga bulan berlalu, namun jasad Collin (dengan subtil Ario Bayu memainkan dua peran yang berbeda di sini) yang mengalami kecelakaan saat sedang berpanjat-tebing ria masih gagal diketemukan. Membuat Natalie (Laura Basuki diberikan tugas yang lumayan rumit sebagai tokoh utama) semakin nelangsa. Di saat kedua anak dan ibu mertuanya sudah merelakan Collin, semua orang praktisnya sudah menganggap Collin meninggal, Natalie masih belum ikhlas. Dia masih menanti sang suami sampai terbawa mimpi. Asa Natalie mendapat jawaban, Collin muncul begitu saja di pintu depan rumah mereka. Sehat wal’afiat. Keluarga ini lantas mencoba menyambung kembali kehidupan harmonis mereka. Namun ada yang janggal dari Collin. “Ayah berubah” kata Maggie, anak tertua Natalie, setelah menyaksikan ayahnya di tengah malam memakan apel dengan begitu rakus. Seperti kelelawar.

“Kelelawar sayapnya hi…jau!”

 

 

Film ini punya apa-apa yang jadi resep membuat horor yang bagus. Makhluk gargoyle seram yang bakal hinggap terbalik dalam mimpi buruk para penonton, drama keluarga yang erat tentang ibu dengan anak-anaknya, dampak kehilangan terhadap orang yang ditinggalkan; so much sehingga orang bisa sekuat tenaga berusaha memegang erat keluarganya yang tersisa. The Returning sepertinya mengerti bagaimana membuat horor yang bagus. Mereka mencoba membangun atmosfer seram dari rumah dan segala keganjilan yang terjadi. Dunia 97nya sendiri terbangun dengan detil, enggak dilambaikan di depan hidung kita, tapi kita masih tetap mengerti di kurun waktu kapan cerita ini terjadi. Mereka mencoba meng-grounding tokoh-tokoh dengan masalah yang relatable, sementara membangun misteri yang jadi landasan ‘mitologi’ horor cerita. Dan di sinilah masalahnya. The Returning terlihat berusaha terlalu keras. Hampir seperti, Witra Asliga dalam debut penyutradaraan film panjangnya ini, tidak mau ada yang salah.

Tidak ada yang salah banget dalam cerita ataupun ide yang ingin disampaikan. Secara materi, ini bisa menjadi horor dramatis – dan menyentuh ranah psikologis – yang asik untuk diikuti. Tapi nyatanya, aku tidak merasa senang (se-fun yang bisa dibangkitkan oleh horor), ataupun bahkan penasaran, dalam menontonnya. Setiap masing-masing adegan lebih terasa seperti misi yang ingin diselesaikan alih-alih sebuah penceritaan. Tidak membantu juga kenyataan bahwa film ini dibangun dengan twist sebagai tujuan. Tidak ada yang salah dengan twist, namun twist paling gak-asik itu adalah twist yang membuat kita enggak bisa sepenuhnya masuk ke dalam kepala tokoh utama. Kita mengerti motivasi Laura, tetapi hal-hal lain yang seharusnya adalah langkah-langkah yang ia ambil, ternyata berubah menjadi pengecohan – hanya untuk ngeswerve penonton. Semiring-miringnya niat tokoh utama, mereka haruslah membuat kita peduli, membuat kita memahami dirinya. Dalam film ini, kita merasa dibegoin dengan mendukung tokoh utama.

Jika titik-titik itu kita sambungkan – kalung, masalah Natalie dengan Oma, dengan Maggie – kita masih menemukan garis lurus. Semuanya masih terasa masuk akal. Tapi film masih tetap menyisakan misteri, yang sebetulnya adalah loose ends yang lupa diikat.  Aku gak mau spoil terlalu banyak, tapi ada satu hal yang gak klop buatku; Oma (ibu mertua Natalie) yang actually pertama kali melihat Collin di dalam mobil, dan secara urutan narasi, kejadian tersebut terjadi sebelum ‘ritual’ dilakukan. Jadi, bagaimana bisa Collin sudah ‘ada’ di sana? Karena kita tahu Oma tidak berhalusinasi; dalam cerita ini, hanya Natalie yang belum merelakan; Oma malah yang menyarankan untuk menyiapkan urusan pemakaman.

Subplot-subplot yang ada, pada akhirnya hanya berfungsi sebagai kambing hitam; pengalih perhatian supaya kita tidak menebak twistnya. Masalah-masalah seperti anak bungsu Natalie yang gak bisa bicara dan dibully di sekolah karenanya, Maggie yang katanya takut tumbuh dewasa, merupakan masalah yang bisa membawa pesan penting, namun pada akhirnya tidak mendapat penyelesaian karena hanya berfungsi sebagai red-herring. Banyak tokoh yang keberadaannya begitu mentah, mereka hanya terasa seperti throw-away character. Ada teman Natalie yang diajak pindah ke Jogja sama pacarnya – how is this important to the story? Ada saudara cowok Natalie yang ia marahi lantaran ngajak Collin pergi memancing – apa yang ingin dicapai dari masalah ini? Dan si bungsu Dom yang gak bisa bicara tau-tau bisa ngomong, dimaksudkan supaya kita kasihan kepadanya – it just doesn’t work. Aneh sekali cara film ini membangun Dom enggak bicara karena yang tertangkap adalah Dom tidak dikasih kesempatan bicara alih-alih memang ‘gak bisa’. Seperti ketika Collin baru pulang, Dom yang jago gambar memamerkan gambar buatannya ke ayah LEWAT perantara Maggie – kenapa dia enggak berkomunikasi sendiri dengan ayahnya. Di bagian pengungkapan, ada satu perkataan Natalie yang bikin aku ngakak; dia menyebut anak-anaknya menanyakan Collin terus menerus, dan ini sungguh kebohongan gede dari Natalie karena kita tahu justru Maggie yang sebel ibunya enggak move-on dari kepergian ayah, dan Dom, well, kan Dom sama sekali gak bisa berbicara gimana cara dia mendesak bertanya haha

hanya anak-anak yang jujur, that’s what makes them children.

 

 

Film berusaha untuk menjadi benar, namun pada akhirnya tetap melakukan pilihan-pilihan yang ganjil. Penggunaan jumpscare masih menjadi andalan, terlihat seperti film ini belum sepenuhnya yakin bisa membangun kengerian dari gambar dan editing semata. Padahal gambar dan editingnya sudah cukup precise.

Setiap kita punya kelemahan, dan adalah hal yang bagus kala kita menyadari kelemahan yang kita punya, dan kita berbuat sebaik mungkin around that weakness, mencoba untuk menutupinya. Atau paling tidak supaya kelemahan tersebut tidak kelihatan. Logikanya kan begitu; Jangan letakkan kelemahan itu di tempat terbuka. Dalam film, ya sebaiknya film jangan dimulai dari teknik filmmaking kita yang paling lemah, karena sepuluh menit pertama itu nentuin mood penonton banget. Strangely enough, film ini dibuka oleh adegan panjat tebing yang benar-benar terlihat tidak profesional. Adegan ini menciptakan kesan pertama yang enggak baik. Sebenarnya bisa dengan gampang diperbaiki; kita akan membahas itu sebentar lagi, aku ingin menunjukkan satu lagi pilihan aneh yang dilakukan oleh film ini.

Tokoh-tokoh film ini bicara tentang ayah mereka yang sudah berubah, “ayah biasanya gak begini”, dan kita harus percaya  gitu aja dari kata-kata mereka. Seharusnya diperlihatkan bagaimana Collin sebelum menghilang. Film memang memperlihatkan beberapa flashback yang menunjukkan kedekatan Collin dengan Natalie, maupun dengan Maggie. Tapi dalam sebuah skenario yang baik, flashback semestinya hanya jadi pilihan terakhir jika sudah mentok. Pada film ini, toh pilihan itu masih ada. This is how to fix this; Mereka bisa saja memulai cerita dari sebelum Collin kecelakaan. Sepuluh menit pertamanya bisa menunjukkan gimana Collin sebenarnya, lalu inciting incidentnya barulah dia jatuh dari tebing. That way, kita tidak perlu melihat adegan panjat tebing yang susah untuk difilmkan sebagai pembuka, yang ultimately jadi bagian paling tak meyakinkan dalam film ini.

 

 

 

Pertanyaan seram yang bisa bikin bulu kuduk merinding “itu ayah kita atau bukan?” tak pernah terangkat karena film sibuk membelok-belokkan kita, karena ia pengen terlihat menarik dan pinter dengan twistnya yang mengecoh. Inilah yang menyebabkan film menjadi enggak seram. Enggak genuine lagi suasana yang dihadirkan. Mereka jadi tergantung sama musik keras mengagetkan. Jadi, jangankan subplotnya, premis film sendiripun hanya dijadikan sebagai pengecoh – sebuah loose end yang sengaja enggak diikat. Aku tidak merasa enjoy saat menontonnya padahal film ini punya cerita yang menarik. Strukturnya pun bener, hingga mereka sadar durasi sudah hampir habis dan buru-buru menutup cerita dengan pengungkapan. Tidak ada yang spesial dari pengarahan sutradara baru ini. Tapi tetap saja, film ini menginspirasiku, karena aku juga pengen membuat film – tapi saat ini masih belum bisa, maka aku menulis review. For what it’s worth, anggaplah film ini sebagai pemanasan sebelum remake Pet Sematary (2019) rilis, atau paling enggak sebelum nonton The Hollow Child (2018) di studio sebelah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RETURNING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan perkataan Collin kepada Maggie seputar kadang kita harus mengambil resiko? Apakah perubahan adalah resiko? Seberapa jauh resiko yang berani kalian ambil demi cinta?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PYEWACKET Review

“We are our own worst enemy.”

 

 

Beberapa helai rambut Ibu yang nempel di sisir sudah dikumpulkan. Simbol kegelapan sudah dipasang di pohon-pohon. Tanah untuk menanam rambut sudah digali. Mantra juga telah dihapal. Menyayat tangan sendiri sebagai darah persembahan pun sudah siap sedia untuk dilakukan oleh Leah. Salahnya sendiri, siapa suruh ibu begitu rese membawa mereka berdua pindah ke rumah di pinggiran kota, Leah yang masih lima-belas tahun jadi tidak bisa lagi ikutan kumpul-kumpul sama temannya sepulang sekolah. Dan lagi, apa salahnya Leah bergaul dengan mereka, berdandan seperti mereka; kenapa pula ibu mengatai mereka bodoh karena tertarik pada ilmu hitam. Mestinya ibu ngerti dong, Leah hanya mencari pelarian sebagai usaha untuk dealing dengan kematian ayah. Tapi ibu malah menganggap ekspresi dari depresi Leah sebagai hal yang mestinya ada di tempat sampah. Jadi, terserah. Leah hidup sendiri saja, sama Janice dan teman-teman yang sehati dan mengerti dirinya. Biarin sana Ibu ditangkap sama Pyewacket!

Kita semua pasti pernah seperti Leah. Bukan, bukan literally manggil setan untuk bunuh orang, kalo soal itu aku gak tahu. Mungkin memang ada dukun hitam beneran di antara kalian? Who knows, kan. Yang kumaksud adalah kita pernah seperti Leah yang marah besar sama Ibunya. Kita juga mesti pernah begitu marah sama keluarga, sama orang yang kita cintai, sampe-sampe kita ingin melakukan hal yang mengerikan terhadap mereka. Waktu kecil, aku pernah berantem sama adikku, sehingga waktu dia main di luar, aku masuk ke kamarnya dan menendang rumah bonekanya sampai jebol. Dan sama seperti Leah, sesegera mungkin setelah aksi ‘serangan’ mengerikan terlaksana, rasa penyesalan itu datang dengan teramat kuat. Dalam Pyewacket, kita melihat Leah sungguh menyesali setiap keputusan yang sudah ia bikin. Kerja karakter dalam film ini sangat kuat; momen ketika ibunya membersihkan luka di lengan Leah – luka yang dengan sengaja dibuat Leah untuk menyelesaikan ritual ilmu hitam dengan niat mencelakai ibunya beberapa menit yang lalu – terasa sangat menyayat hati. Film juga dengan mulus mentranslasikan penyesalan Leah menjadi rasa ketakutan ketika entitas tak terlihat mulai datang meneror mereka.

tokoh cewek jaman now suka nyayat diri sendiri yaa

 

Ketika bicara horor indie, biasanya kita akan bicarain horor-horor yang ‘menjijikkan’, yang efek prostetiknya bikin mual, banyak darah, potongan tubuh. Dan yea, film-film seperti itu memang fun – sebuah daya tarik yang efektif. Dari segi pembuatan, ini adalah langkah yang menunjukkan kemampuan si pembuat. Gimana mereka bisa bekerja memanfaatkan sebaik-baiknya dari apa yang bisa diusahakan oleh kantong duit yang enggak tebel. Alih-alih memakai banjir darah dan pake adegan tokoh cewek dengan busana minim dikejar-kejar monster, sutradara yang tadinya aktor,  Adam MacDonald, memilih untuk menggantungkan kekuatan filmnya pada momen-momen karakter. Jelas sama sekali enggak mahal memperkuat elemen horor dari sisi emosi dan karakter para tokoh – lagipula bukankah horor sejati memang berasal dari dalam para tokoh sendiri, ya gak?

Apa yang kita sangka kita butuhkan dalam hidup, kemudian kita berjuang keras untuk menggapainya, terkadang bisa saja menjadi titik balik kehancuran kita sendiri. Karena sesungguhnya musuh utama kita, monster yang semestinya kita takuti, seringkali adalah diri kita sendiri. Tak jarang kita kurang masak berpikir sebelum mengambil tindakan. Manusia adalah makhluk impulsif yang mengambil tindakan berdasarkan satu momen kemarahan, keputusasaan. Dan menurut film Pyewacket, hal tersebut sungguh sebuah hal yang berbahaya.

 

MacDonald paham bagaimana membangun karakter dan situasi yang mengantarkan kepada tensi, yang sebenarnya pun enggak necessarily benar-benar makhluk horor. Dalam Pyewacket, kengerian datang seringkali dari keputusan-keputusan yang diambil oleh Leah. Jika aspek setan misterius dan hal-hal goibnya kita tinggalkan sebentar, kita akan mendapatkan drama tentang hubungan ibu dan anak yang sama-sama dealing dengan tragedi; kehilangan ayah – kehilangan suami. Ketegangan film ini berakar pada hubungan Leah dengan ibunya yang semakin hari semakin runtuh, meski mereka berusaha untuk terus menatanya. Tetapi selalu ada miskomunikasi, selalu ada hati yang tersinggung. Itulah salah satu alasan kenapa film bekerja dengan efektif, sebagai horor dan sebagai drama ibu-anak. Karakter para tokohnya sangat ter-flesh out. Tentu saja semua hal tersebut menjadi mentah kalo film salah mengcasting pemeran. Leah dan ibunya adalah pusat dari film, dan kedua pemerannya pun bermain dengan gemilang. Nicole Munoz sebagai Leah berhasil mendeliver perasaan frustasi, yang kemudian berubah menjadi ketakutan, dan kengerian luar biasa, dengan sangat meyakinkan. Permainannya ini diimbangi oleh Laurie Holden sebagai ibu yang terasa jauh oleh Leah, ada sense misteri yang berhasil dikuarkan oleh Holden pada perannya di sini. Pada bagian akhir, interaksi mereka mengingatkanku kepada Tara Basro dan Christine Hakim di film Hoax (2018). Tokoh Leah dan ibunya diset up dengan cara yang menarik yang membuat kita menjadi benar-benar peduli saat cerita mulai berbelok ke ranah horor.

hampir seperti Lady Bird dengan rasa setan

 

Film ini menggunakan efek minimal untuk membangun kengerian dari desain suara, juga dari keterbatasan kamera. Kesan low-budget benar-benar terasa, dan oleh film dimanfaatkan sebagai penunjang penceritaan. Film-film horor kebanyakan akan menggunakan musik untuk menambah efek ngeri saat kamera menangkap hal ganjil di layar. MacDonald membiarkan pemandangan ganjil terpampang gitu aja, tanpa petunjuk suara yang mendadak membesar. Misalnya, menjelang babak kedua film ini, kita akan diberikan wide shot Leah di tengah hutan. Setelah lumayan lama mengerjap, barulah aku menyadari ada bayangan hitam di salah satu pohon di belakang Leah, dan buatku itu adalah detik yang bikin merinding. You know, discover things like that. Begitulah film ini menangani penampakannya. Kamera melakukan wide shot seolah bilang “cari ya, ada yang seram loh di sini” dan memang elemen paling seram di shot tersebut biasanya akan kita temukan di latar belakang. Kita harus benar-benar melotot nontonin film ini. Saking seringnya kamera menyembunyikan ‘sesuatu’, kita enggak bakal melihatnya terus-terusan.

Selain wide shot, MacDonald juga sering beralih ke kamera handheld untuk memperkuat atmosfer seram. Taktik kamera begini biasanya akan membuat film terlihat murahan, sih, namun Pyewacket justru terbantu lantaran kita jadi semakin terasa seperti mengobservasi para tokoh melewati suatu kejadian mengerikan secara langsung, dari mata setannya! Kita melayang di atas orang yang lagi tidur – yang sukses membuatku berdoa si tokoh enggak bangun supaya aku gak melihat pantulan di bola matanya. Beneran, film begitu saja berpindah sudut pandang sehingga rasanya unsettling sekali seolah kitalah setannya.

Penting untuk film horor mengerti kapan harus berhenti; sama kayak manusia, berhentilah saat di puncak ketinggian karir, supaya orang mengingatmu dalam keadaan terbaik. Film horor yang baik juga biasanya menghentikan cerita di saat drama lagi tinggi-tingginya, ketakutan lagi memuncak, momen gede itu dicut gitu aja. Contohnya The Blair Witch Project (1999) yang legendaris, kita bahkan belum lihat penyihirnya dan filmnya tamat. Namun toh film tersebut membuat kita memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Pyewacket juga begini. Tentu, endingnya terasa sedikit diburu-buruin, menurutku kita paling enggak butuh beberapa menit lagi melihat para tokoh untuk mencerna apa yang terjadi. Namun sebenarnya, film ini meminta kita untuk berpikir sendiri, menyusun puzzle yang kepingannya sudah selesai mereka bagikan. Itulah tugas film ini; sebagai pemberi kepingan puzzle yang kita butuhkan. Begitu semua sudah terhampar, film akan berakhir, dan giliran kita untuk memproses ceritanya yang memang ternyata mengikat dengan sempurna.

 

 

 

 

Buatku, ini adalah horor yang sangat efektif. Menghantarkan sisi emosional dengan baik, juga kengerian yang mampu bikin merinding. Sedikit yang membuat terlepas dari cerita adalah kenyataan bahwa film ini berbudget rendah; ada beberapa adegan mengandalkan spesial efek yang jika duitnya lebih banyak, niscaya akan lebih baik. Namun film dengan bijaksana menampilkan spesial efek ini dengan wide shot dari jauh. Juga ada satu adegan di sekitar pertengahan film saat dua tokoh berjalan di hutan malam-malam, yang menurutku sia-sia dan enggak perlu. Adegan tersebut sebenarnya punya nuansa seram yang kuat, hanya saja ternyata berakhir sebagai sebuah lelucon dari satu tokoh ke tokoh yang lain, like, ada tokoh yang pura-pura kesurupan. Mencelos banget rasanya melihat adegan ini, enggak klop sama keseluruhan film. Selain hal tersebut, film ini terasa sangat mencekat, salah satu contoh terbaik dari horor jalur indie.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PYEWACKET.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SUSAH SINYAL Review

“Time is precious.”

 

 

Tak bisa disangkal, hidup di generasi kekinian sekarang ini kita lebih sering berkomunikasi lewat sosial media ketimbang ngobrol langsung face-to-face. Ngobrol lewat internet. Makanya jika disuruh milih antara gak ada sinyal atau gak ada pacar, maka tentu kita bakal memilih mendingan gak ada pacar. Karena dengan sinyal, pacar bisa didapat. Haha engga semua ding, poinku adalah; sinyal udah jadi kebutuhan pokok. Apalagi buat anak muda, pasti gak bakal betah nongkrong di tempat yang sinyal wifinya ilang timbul. Bisa ketinggalan banyak informasi dong, kak, kalo gak ada sinyal.

Kiara yang masih SMA itu juga sama. Kalo enggak lagi curhat sama neneknya, Kiara akan menyelam ke dunia maya; untuk sekedar ngevlog atau nyanyi lagu ciptaan sendiri. Kiara (Aurora Ribero yang mirip Sasha Banks main bagus banget di debutnya) udah gak bisa dipisahin deh sama hape. Pernah smartphonenya disita lantaran ketahuan guru lagi main instagram di kelas, Mama Kiara lantas dipanggil ke sekolah. Menghadap guru BP. Tentu saja tidak ada asap tanpa ada api, selidik punya selidik ternyata masalah Kiara bersumber dari hubungannya yang enggak akrab dengan si Mama. Mama Kaira, Ellen (Adinia Wirasti tackles her notes perfectly), sibuk bekerja sebagai pengacara. Dia sudah bercerai dengan suami, dan tentu saja hal tersebut seringkali jadi kayu bakar ributnya Kiara dengan Ellen. Solusinya satu, mereka harus pergi liburan, ngabisin waktu bersama sebagai keluarga. Dan ini berarti Ellen harus meninggalkan urusan kerjaan, dan Kiara kudu ngorbanin seleksi online kontes bakat yang ia ikuti, sebab tempat liburan yang mereka kunjungi cukup terpencil.

aduh, si the-line-where-the-sky-meets-the-sea gabisa calls me nih

 

Susah Sinyal singkatnya adalah film tentang wanita yang mandiri, yang harus ngurusin putrinya yang juga mandiri, sehingga menimbulkan banyak ketegangan di antara mereka. Aku sedikit teringat sama Rachel di komik Animorphs, Rachel juga suka ‘berantem’ sama ibunya yang pengacara. Ada banyak heartfelt moment dari hubungan Kiara dengan Ellen. It is also a fish-out-of-water comedy, karena kedua tokoh utama tersebut ditempatkan di dalam lingkungan yang sama sekali berbeda dengan ‘habitat’ mereka, mereka harus menyesuaikan diri sekaligus berusaha beakrab-akrab ria satu sama lain – menjalin kembali hubungan ibu anak yang renggang. Dan akan ada banyak komedi datang dari gimana orang kota jika ditempatkan di tempat yang jauh dari semua kecanggihan.

Nah loh, jadi peran Ernest Prakasa di film ini apa dong?

Dia meranin rekan kerja Ellen dan mostly berfungsi sebagai amunisi komedi. Ernest is good at laughing at himself, dan kita dibawa tertawa bersamanya.  Kali ini, peran Ernest sebagai seorang tokoh memang gak banyak. Tapi peran di belakang layar, aku bisa bilang bahwa di Susah Sinyal ini Ernest benar-benar menaikkan permainannya. Kocak, serius, emosional, bukanlah hal yang gampang untuk menggabungkan ketiga hal tersebut. Timingnya harus benar-benar pas, jika tidak, film akan terasa episodik dan enggak menyatu mulus. Susah Sinyal precise banget pada editing penceritaan komedi. Ernest tahu di mana dan gimana harus memanfaatkan rekan-rekan stand up nya sehingga mereka tampil mencuri perhatian namun juga berusaha untuk tidak mengorbankan emosi pada inti cerita. Astri Welas kocak sekali di sini sebagai pemilik hotel tempat mereka menginap. Arie Kriting membuat momen-momennya sendiri. Tokoh-tokoh pendukung di film ini memang punya kelakuan aneh, tapi lelucon dan candaan mereka sangat fresh dan kekinian. Susah Sinyal semakin excel di departemen komedi berkat anekdot-anekdot dan selera humor yang  benar-benar mengena.

Kematangan juga ditunjukkan oleh Ernest dari segi pembangunan layer dan treatment beberapa adegan. Konflik internal karakter bisa datang dari pekerjaan, dan di film ini kita melihat gimana pekerjaan Ellen sebagai pengacara, yang of course kita tahu pengacara selalu menang adu argumen, dibentrokan dengan ketidakmampuan Ellen berkomunikasi dengan putrinya sendiri. Kasus yang ditangani Ellen, yang awalnya dia tolak karena gak mau ngurusin perseoalan sepele artis, sesungguhnya paralel dengan yang ia alami, menjadikan kasus itu sangat personal baginya. Pemilihan lokasi resort di Sumba juga dibuat beralasan. Kiara memilih Sumba sebagai tempat liburan, dan kita bisa meihat bahwa keinginannya ke Sumba adalah refleksi terhadap keinginan Kiara untuk dekat dengan sang ibu. Ellen adalah Sumba bagi Kiara; ‘tempat yang ingin dia kunjungi, tempat yang cantik dan indah, tapi juga tempat yang susah untuk melakukan komunikasi.   Aku suka sekali adegan terakhir film ini di mana kedua tokoh utama kita akhirnya bisa terkonek kembali sebagai keluarga justru di tempat yang gak ada sinyalnya.

 

Ada satu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ada satu yang lebih berharga ketimbang duit beratus-ratus juta. Ada satu hal yang bisa kita berikan kepada orang lain, yang bisa kita habiskan demi orang lain, dan sama sekali tidak membuat kita rugi. Hal itu adalah waktu. Tidak ada pembandingnya, waktu-waktu yang kita habiskan demi berada bersama orang yang kita cinta. Duit bisa dicari, tapi waktu – kita tidak mencari waktu. We make time. Dan itulah sebabnya kenapa waktu begitu tak ternilai. Jika kalian ingin menunjukkan rasa cinta kepada seseorang, berikan waktumu untuk mereka.

 

product placementnya mengalir mulus semilir angin di pantai

 

Di babak awal, agak sedikit susah buat kita ngegrasp konteks cerita, ada sedikit tonal issue sih di sini, komedinya bisa sedikit membuat distraksi, tapi begitu kita paham, film ini seketika menjadi lebih menyenangkan untuk ditonton. Tapinya lagi, juga ada sedikit masalah pada pacing. Kita dibawa bergerak dari excitement ngeliat mereka liburan dan berusaha konek, untuk kemudian dikembalikan lagi ke suasana kantor, dan kemudian balik ke Sumba. Perasaan naik turunnya adalah perjalanan yang sedikit bumpy. Struktur mestinya bisa dibangun dengan lebih baik lagi. Karena dengan apa yang kita tonton, cerita menyisakan banyak aspek yang hanya untuk di satu momen itu aja, yang tidak dipanen ‘buahnya’. Kiara dengan Abe misalnya. Kita paham affection Kiara kepada Abe bergerak dalam konteks Kiara ingin melawan mamanya, tapi dengan penceritaan yang terpenggal, aspek cerita ini lebih terasa kayak poin yang ditinggalkan. Ada banyak adegan yang jatohnya malah seperti untuk komedi semata, padahal enggak. Mereka bekerja di dalam konteks, akan tetapi penceritaan yang banyak mengambil detour membuat kepentingan mereka berkurang. Bahkan elemen fish-out-of-waternya juga tak pernah bekerja maksimal. Kedua tokoh utama kadang menjadi hal paling terakhir yang menarik atensi kita dibandingkan porsi komedi.

Film actually lebih ke komedi, dengan sedikit mengorbankan tokoh-tokoh sentral. Dan ‘lucunya’, hanya dua karakter sentral itu yang diberikan arc. Tokoh-tokoh pendukung tidak punya storyline, mereka di sana untuk pemantik kelucuan. Jadi, ya, inti film ini mengalah kepada elemen yang tidak didevelop penuh, dan resultnya adalah yang inti juga jadi tak maksimal.

 

 

Mengesampingkan teknis, film ini akan gampang sekali untuk disukai karena sebagai sebuah film komedi, ini adalah film yang pecah banget. Jokesnya mengena, relevan karena memang diniatkan sebagai pandangan terhadap isu kekinian seputar sosial media. At heart, ini adalah tentang hubungan ibu dan putrinya, gimana anak cewek selalu menganggap ibu sebagai ‘musuh’, dan bagaimana mereka saling terhubung kembali hati ke hati.  Ernest kembali bicara tentang masalah komunikasi dalam keluarga; Jika di Cek Toko Sebelah (2016) ia menekankan pada father-son di mana dalam interaksi mereka lebih memilih diam, menghindari konfrontasi, maka di film ini yang ditekankan adalah mother-daughter suka berinteraksi dengan konfrontasi gede karena they don’t know how to talk with each other. Namun, dari segi struktur, film ini adalah sedikit kemunduran dari Cek Toko Sebelah. Pacing mestinya bisa lebih lancar lagi. Terutama dari itu, enggak seperti judulnya, film ini bakal menjangkau penonton yang luas.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SUSAH SINYAL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We got the Piala Maya for Blog Kritik Film Terpilih 2017

KIDNAP Review

“When I grow up, I’ll be a man like Mom.”

 

 

Kasih anak sepanjang jalan. Kasih ibu sepanjang masa. Well, dalam film ini Halle Berry membuktikan kasih sayang sepanjang masanya dengan desperately mengejar penculik anaknya, ngebut-ngebutan di sepanjang jalan tol.

Sembilan-puluh menit sensasi menegangkan mestinya bisa kita alami bareng Halle Berry yang hari itu lagi sial banget. Dia memerankan tokoh bernama Karla. She’s a single mom yang lagi ngurusin perceraian. Di tempatnya bekerja sebagai waitress – kafe paling enggak bersih seAmerika, setidaknya menurut salah satu pelanggan cerewet – Karla dibuat repot karena temen waitressnya enggak masuk kerja. Di sini karakter Karla diset up, kita lantas paham bahwa dia enggak akan nerimo diperlakukan rendah, that she doesn’t take shit from anybody. Karla akhirnya bisa refreshing jalan-jalan ke taman bareng anaknya, Frankie. Kita melihat betapa dekat mereka. Kita bisa merasakan naluri ibu pelindung Karla semakin teramplify oleh perceraian, dia enggak mau pisah ama Frankie. Dan di momen itulah, Frankie justru diculik oleh seseorang (atau sekelompok). Basically, film enggak pake ngerem berubah menjadi full adegan kejar-kejaran.

Lebih dari sebuah misi penyelamatan, Ini adalah jalan pembuktian bagi Karla bahwa dia bisa menjadi ibu yang baik. Bahwa dia sanggup mengurus anak. At heart, Kidnap bekerja sebagai cerminan struggle seorang single mother yang menolak untuk terlihat lebih ‘rendah’ dari mantan suami. Ataupun dari pasangan suaminya yang baru. Desperate, putus asa, namun gigih. Film ini mengingatkan kepada siapapun di luar sana bahwa tidak ada yang mengalahkan tekad dan perjuangan seorang ibu yang menginginkan anaknya.

 

 

Dari konsep sendiri, ini adalah cerita yang menjanjikan. Jika diolah oleh tangan-tangan yang tepat, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian thriller yang asik sekaligus seru. This could work great, film televisi Duel (1971)  buatan Stephen King, kan, juga mirip-mirip kayak gini. Tapi struggle is real buat orang-orang di balik pembuatan film Kidnap. Halle Berry melakukan sebaik mungkin yang mampu ia usahakan. Dan that’s about the nicest thing yang bisa aku bilang untuk film ini. Penulisan plot poin serta penghalang buat tokoh Karla begitu seadanya sehingga kita terhibur juga oleh keover-the-topan yang dihasilkan. Di satu titik, Karla sengaja bikin mobil-mobil tak berdosa saling tabrakan seolah mereka cuma bom-bom car sebab dia ingin disetop oleh polisi sehingga dia bisa mengadukan kasus penculikan tersebut. Oh ya, sebagai plot device, narasi sengaja membuat hape Karla terjatuh, so yea, supaya kita dapat halangan pertama. Setelah itu, tidak banyak variasi kegiatan Karla. Dia antara berlari-lari, ataupun berdoa dan bicara kepada dirinya sendiri.

Mungkin dia juga sengaja nyala sein ke kiri terus beloknya ke kanan

 

Bayangkan film Nay (2015), gabungkan dengan Taken (2008). Tapi batasi porsi dialognya dengan hanya “Oh my god” dan “Frankie!”. Rekam dengan audio. Kemudian potong-potong adegan aksi dan kebut-kebutannya, susun ulang dengan serampangan-pokoknya-asal-cepet. Sudah? Sip, kalian sudah dapat gambaran besar tentang seperti apa film Kidnap dipersembahkan. EDITINGNYA ADALAH SALAH SATU YANG TERBURUK yang pernah kita saksikan dalam dunia sinema. Demi memancing adrenalin penonton, film ngeshot back-and-forth dengan cepat. Jarang sekali kita bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Sekuen Karla berantem cekek-cekekan seatbelt dalam terowongan adalah sekuen yang bikin mata berair, eye-tracingnya completely off. ALih-alih merasakan ketegangan, kita malah sibuk berusaha fokus, sehingga sama sekali enggak ada emosi yang kita pungut dari adegan tersebut.  Banyak informasi yang literally terpotong oleh proses editing yang kasar banget. Seperti pada akhir, kita melihat Karla dikejar anjing dan salah satu penjahat. Karla sembunyi dengan menyelam di dalam air. Kemudian dia tiba-tiba muncul dari belakang si penjahat, ada pergulatan, dan kita enggak pernah lihat apa yang sebenarnya terjadi kepada anjing galak tadi.

Ketika Karla berlari keluar dari mobil, dia setengah mati berusaha secepat mungkin ke tempat yang ia tuju, sesungguhnya ini adalah momen yang sangat intens. Namun, berkat editing horrible – alihalih pake continuous shot yang panjang, mereka malah memotongnya menjadi banyak shot – momen tersebut jadi kehilangan energi. Pilihan yang dilakukan oleh filmmakernya bakal bikin kita ngakak, dan dari sinilah letak enjoy nonton film ini datang. Beneran, kalian bisa bikin semacam drinking game atau apa dari banyaknya shot speedometer yang beranjak naik dari 40 ke 60, seolah minivan si Karla ngebut banget.

Seperti Karla yang desperate ngejar penculik anaknya, film ini desperate agar kita terhibur menontonnya. Ia gunakan trik-trik filmmaking supaya filmnya seru. Eh malah jadi tampak konyol. To pinpoint one moment in particular; dalam salah satu adegan kebut-kebutan, film ini menggunakan efek fade black dan terang lagi dengan cepet-cepet sekitar enam atau tujuh kali. Tujuannya sih supaya kita turut ngerasain tegangnya melaju dalam kendaraan yang nyaris tabrakan, akan tetapi kelihatannya malah kayak adegan di trailer film-film action. Merasa enggak cukup, film ini pun turut memakai teknik Dutch Angle. Eh, tau Dutch Angle gak? Itu tuh, teknik kamera miring atau ditilt beberapa derajat sehingga bagian bawahnya enggak lagi sejajar garis horizontal. Seperti yang biasa kita jumpai pada film-film psikologis ataupun arthouse. Teknik ini sebenernya digunakan untuk menggambarkan suasana yang eerie biar lebih dramatis. Jika karakter bingung, maka dengan diceritakan pake kamera ngeoblige kayak gini, rasa bingungnya bisa meningkat menjadi kecemasan yang luar biasa. Dalam film ini, aku tanya deh, kenapa? Kenapa momen nyeni kayak gini digabung begitu saja ke dalam action thriller klise. Dutch angle jika salah penempatan, atau dilakukan dengan enggak pas, jadinya malah konyol. Dan itulah yang terjadi pada salah satu car chase di film ini.

“You took a wrong movie!”

 

Ketika kita punya cerita yang sederhana, yang konsepnya begini basic, kita bakal enggak bisa menahan diri untuk memasukkan twist sekecil apapun yang kita bisa.  Yang tidak termaafkan adalah ketika kita memasukkan twist, dan kemudian kita merasa perlu untuk menjelaskan kepada penonton. Setelah kita melihat cerita tembak-langsung, Kidnap dengan tanpa dosanya merangkum narasinya dengan memasukkan adegan berupa suara di radio memberitakan apa yang telah terjadi. Menurutku, ini adalah salah satu bentuk penceritaan yang meremehkan intelensia penonton. Closing dengan siaran berita itu sama sekali enggak perlu.

Jika pria adalah seorang yang menyintai unconditionally,yang senantiasa melindungi dan peduli. Maka, ya, Ibu adalah seorang pria.

 

 

 

Complete failure of production. Film ini sangat berantakan. Editingnya yang parah membuat konsep thriller yang punya potensi menjadi hilang begitu saja. Tergunting-gunting di dapur studio. Sebagian besar durasi kita akan capek untuk mengikuti alur editing yang parah. Sehingga kita lupa untuk menikmati emosi dan struggle tokoh utamanya. Namun aku gak bisa bohong, aku terhibur juga dibuat oleh film ini. Pilihan-pilihan yang mereka lakukan dalam menyampaikan cerita sangat konyol.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for KIDNAP.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

SHUT IN Review

“Mother love is the fuel that enables a normal human being to do the impossible.”

 

shut_in_ver2

 

Bagi seorang ibu cuma sedikit hal di dunia yang horornya melebihi perasaan ketika melihat anak yang ingin di’selamatkan’ malah berakhir celaka. Apalagi jika si ibu tersebut punya profesi sebagai psikologis anak. Rasa bersalahnya dateng barengan ama rasa gagal, tuh. Sesek numpek di dada pasti ada, dan kita bisa melihat itu semua dari gimana Naomi Watts memainkan perannya sebagai Mary Portman dalam film Shut In.

Anak tiri Mary lumpuh setelah ngalamin kecelakaan mobil enam bulan yang lalu; Kejadian tragis yang juga merenggut nyawa suaminya. Mary sekarang ngerawat anak remajanya tersebut. Dia memandikan Stephen, mengurus keperluan sehari-hari, namun kebutuhan Mary sebagai seorang ibu – terlebih ibu yang merasa bersalah – tidak terlampiaskan karena kondisi anaknya tidak memungkinkan buat mereka untuk kembali bisa menjalin hubungan emosional yang aktif. Jadi Mary mencari koneksi ke pasiennya yang kebanyakan memang masih anak-anak. Mary mau bisa nolong semua anak-anak bermasalah itu. Terutama, dia ingin ‘menolong’ Tom (Jacob Tremblay memerankan bocah tunarungu yang suka berkelahi).
Suatu malam, Tom muncul gitu aja di rumah Mary dan Stephen, untuk kemudian ia hilang dengan sama mendadaknya. Di luar badai salju, dan di dalam rumah, pada malam hari, Mary mulai mendengar suara-suara aneh. Dia sort of ngeliat penampakan. Apparently, Mary enggak benar-benar yakin misteri apa yang sedang terjadi kepadanya.

 

Badai salju yang menderu dari luar rumah menjadi elemen yang mengurung karakter dalam film ini. Mereka tidak bisa keluar dari dalam rumah. Secara estetis, kita juga merasakan perasaan klaustrofobiknya. Kita seperti ikutan berada di dalam rumah mereka, untuk kemudian rumah tersebut terasa mengurung kita lewat beberapa momen sound designnya. I love that contained aspect of this movie. Aku lumayan excited waktu mau nonton. Apalagi psikologikal horor ini dimainkan oleh Naomi Watts yang kerap muncul di film-film horor yang lumayan bagus. In fact, Naomi Watts main di film terfavoritku sepanjang-waktu, Mulholland Drive(2001), so yea I naturally drawn in oleh setiap film yang ia perankan. Arahan yang didapatkan oleh film ini cukup lumayan, meski there’s nothing really much to it. Ada shot-shot yang perfectly capture momen yang bikin kita merasa in-the-moment. Satu adegan yang aku suka pengambilan gambarnya, yaitu aerial shot menjelang akhir di adegan yang involving bayangan dan tangga. That’s a great shot.

Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi
Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi

 

Nyawa film terutama terletak pada screenplay. Kelihatan deh pokoknya sebuah film yang punya skenario buruk dan sutradara berusaha keras buat menjadikannya baik, namun tetep enggak bisa, karena apa sih yang bener-bener bisa dilakuin jika naskahnya sedari awal sudah begitu jelek dan keliatan banget ngarang. Kalo Mary bingung ke mana perginya Tom, maka kita sebagai penonton akan terbengong-bengong berkat BETAPA TERRIBLENYA FILM INI DITULIS. Banyak banget ketidakkonsistensian sehingga sebagian besar waktu film ini was just bad. Dua babak pertama dipenuhi oleh adegan-adegan mimpi, diselingi dengan jump-scares yang sok ngecoh. Dengan cepat film ini akan terasa menyebalkan. Dan bicara soal ngecoh, ini adalah jenis film yang bangga banget punya twist. Film yang tujuan utamanya memang ingin terlihat heboh dengan twist, mereka kayaknya nulis dari twistnya duluan kemudian baru ngembangin ceritanya, yang mana semua elemen dipaksa nyambung banget, sehingga twist yang dihasilkan malah jadi bego alih-alih bikin takjub. Semua yang terjadi di dua-puluh-menit terakhir membuat everything else yang sudah terjadi sebelumnya menjadi total gak masuk-akal.

Jika semua klise dan trope film horor bisa bermanifestasi menjadi manusia, mereka tumbuh tangan dan punya jari jemari, kemudian mereka mutusin buat ngetik, maka “voila!” Jadilah skenario film Shut In.

 

Semua taktik scare yang dilakukan oleh film ini adalah TAKTIK FALSE SCARE. Kita ngeliat penampakan, eh taunya Mary lagi mimpi. Kita ngeliat adegan berdarah, eh taunya Mari sedang ngigo. Kita denger suara-suara aneh, eh taunya ada rakun loncat dari balik kayu diiringi suara musik yang lantang yang bikin Mary dan seisi bioskop jantungan. Kita ngecek kegelapan malam, ngikutin Mary nyebrangi halaman bersalju, eh taunya cowok yang tadi pagi naksir ama Mary muncul dari balik pintu sambil menyapa “Hey, ini gue!!”. Keras-keras. Itulah ‘hal-hal mengerikan’ yang bakal kita hadapi dalam film ini. Efektif sekali, bukan? Yeah, efektif buat bikin kita TERTIDUR!!!!

Shut In enggak mau repot-repot bahas soal psikologis, atau perspektif, atau moral, atau apalah. Detil-detil backstory enggak penting bagi film ini. Kita enggak pernah yakin kenapa malam itu si Tom bisa nongol di rumah Mary. Kita enggak pernah dihint soal latar belakang Mary dan keluarganya. Film ini enggak peduli saat kita mengernyit berusah mengira-ngira kenapa Mary sering banget skype-an ama tokoh Dr. Wilson yang diperankan oleh Oliver Platt. Kita enggak sempat kenalan sama beliau, apakah dia temen lama Mary, atau dia psikologis Mary, or heck film ini enggak mau tau perihal gimana Mary terlihat so bad at her job, both as child psychologist and as a mom, dibuat oleh presentasi ceritanya.

Mari ngobrol sebentar soal adegan dengan skype. Biar kelihatan remaja dan relevan, film-film jaman sekarang memang hobi banget masukin adegan para karakter facetime-an via skype. Adegan skype actually bisa saja bekerja dengan baik, kita udah nyaksiin contohnya pada film The Visit (2015). Adegan ngobrol lewat skype bisa bagus jika (dan hanya jika!) obrolannya bagus. Dialoglah yang memegang kunci. Dalam film ini, sayangnya, penulisannya begitu minimalis.

Mary: “Etau enggak, akhir-akhir ini aku susah tidur, nih”
Wilson: “Yaah, kamu masih trauma dan sering baper sih”
Mary: “Eng-GAaaKK! Beneran, ih, kayaknya ada sesuatu yang lain di sini”
Wilson: “What-the-kamsut?”
Mary: “Kayaknya… di rumahku…. ada hantu!”
Wilson: “Masa orang dewasa terpelajar kayak kita percaya hantu sih?”
Mary: “Tapi aku sering denger-denger suara gitu, pernah ngeliat malah”
Wilson: “Gurl! Please. You’re just being silly”
Mary: “CK! Bye. Brb Sibuk.”

Ya kurang lebih begitulah obrolan mereka. Gitu terus lagi dan lagi, adegan percakapan skype mereka muter-muter di situ melulu. Mengerikan!

This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.
This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.

 

Yang terpenting buat film ini adalah gimana memancing rasa kaget kita, alih-alih takut. Fokus utama nya adalah gimana supaya so-called twist mereka enggak ketahuan.

Padahal despite ‘usaha’ mereka, kita sedari pertengahan udah bisa menebak hanya dengan mengacu kepada apa yang disebut kritikus terkenal Roger Ebert sebagai The Law of Economy of Characters. Atau Hukum Ekonomi Karakter; teori tentang kebiasaan film ini menjelaskan bahwa oleh sebab budget, film tidak akan pernah diisi oleh karakter yang tidak berguna, setidakpenting apapun kelihatannya peran mereka. Apalagi kalo diperankan oleh aktor yang cukup punya nama. Karakter-karakter tersebut sudah pasti akan direveal punya peran yang penting. Jadi, yaaa, kalo kita ngeliat cast yang familiar dengan peran yang minimal, maka niscaya mereka adalah twist yang dirahasiain oleh film.

Coba deh, tonton ini dan tebak apa yang sebenarnya. Wait, actually… Jangan tebak. Tepatnya maksudku, jangan bersusah payah luangkan waktu dan uang buat nonton. Aku beberin aja twistnya di sini:

 


Jadiii, anak tiri si Mary yang lumpuh ternyata enggak lumpuh. Stephen selama ini hanya pura-pura lumpuh. That’s the big twist. Film ini ngasih arti baru buat kalimat “Cinta ibu mampu membuat orang normal ngelakuin hal yang enggak masuk akal.” Stephen sangat ingin perhatian dan kasih sayang ibunya, sehingga ketika Tom datang dan perhatian Mary jadi bergeser ke ngurusin bocah malang tersebut, Stephen jadi iri. Dia bangkit dari kursi rodanya, menangkap Tom, dan menyekapnya di suatu tempat di dalam rumah. Suara-suara yang didengar Mary adalah suara Tom yang berusaha keluar. Penampakan, blurry vision, dan mimpi-mimpi yang dialami oleh Mary adalah ulah Stephen yang diem-diem masukin obat ke dalam minuman ibu tirinya tersebut. That’s it. Seriously, twistnya bikin revealing film The Boy (2016) jadi terlihat enggak parah-parah amat.


 

 

 

 

Apa coba persamaan antara Naomi Watts dengan kita-kita yang nonton film ini?
Sama-sama kejebak!
That’s how I felt during this entire film. Penampilan dan arahan yang acceptable tidak akan berarti banyak jika sumber penyakit ada di skenarionya. Tidak ada bagian yang bagus; babak satu dan duanya plainly bad, dan babak ketiganya sukses menghantarkan ini sebagai salah satu dari film horor terburuk yang pernah aku tonton. Atau psikologikal thriller terburuk. Whatever. This movie is horrible, people!
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for SHUT IN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.