My Dirt Sheet Awards PERFECT10

 

 
Seperti semua cerita memalukan lainnya, awarding ala-ala ini juga bermula dari Facebook.
Nun jauh sebelum aku punya blog khusus ngulas film, dulu aku suka nulis semacam ‘personal-literatur’ di notes Facebook. Dan di akhir tahun 2009, aku bikin cerita rangkuman kejadian-kejadian yang terjadi dan menimpaku tahun itu. Baru di 2011-lah, konsep rangkuman tersebut berubah menjadi per-kategori. Kayak award show. Terpengaruh heavily oleh segmen The Dirt Sheet milik Miz dan John Morrison di WWE. So yeah, itulah cikal bakal atau origin dari awarding serta blog ini sendiri.
Konsep The Dirt Sheet di WWE yang tahun berikutnya itulah yang kuadopsi saat melebarkan diri dari FB ke blog beneran. Mulai dari catchphrase “winners and losers” hingga ke acara award yang ngasal dan suka-suka aja. Seiring waktu, aku jadi pencinta film dan mulai giat menonton dan nyari pengetahuan tentang film. Sehingga blog ini pun lebih fokus ke ulasan, dan ‘yang dinilai’ di award pun ikut bergeser; Dari yang tadinya berasal dari hal-hal yang kualami, kuamati, di manapun, sekarang jadi lebih banyak nyerempet tentang film dan sosial media.
Dan gak kerasa, sekarang ternyata udah yang ke-10 kalinya (tahun, iye, tahuun!) aku bikin awarding kayak begini di blog yang aku juga gak nyangka masih ada – dan ngelewatin cukup banyak evolusi. Aku sendiri juga kaget, excitement aku nulis dan ngerangkum kaleidoskop-yang-nyaru-sebagai-awarding ini masih sama kayak pas pertama kali bikin. Rasanya masih superseruu!! Padahal tahun 2020 gak exactly tahun yang ramah…
Ya, selain sebagai penanda full-circlenya sepuluh tahun Award ini, fokus kali ini juga tentu saja kepada 2020 itu sendiri. Tahun yang bagi sebagian besar manusia normal adalah tahun yang mengerikan. Merenggut kita dari kebiasaan normal. Membuat kita bertempur dengan penyakit yang menyebar lewat satu-satunya yang membuat manusia itu manusia; sosialisasi. Bagaimana dengan kalian, berapa menurut kalian angka yang sudah dicetak oleh tahun 2020?
Karena, inilah skor tahun 2020 menurut My Dirt Sheet!
 
 
 
 

TRENDING OF THE YEAR

Oke, menurutku kita semua tahu, tahun 2020 itu tahun milik siapa. Jadi gak usah basa-basi, inilah pemenang The Dirty untuk Trending of the Year:

Ilustrasi di atas (credit buat siapapun yang bikin) benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Bermula dari kalelawar yang dijadiin sup, Covid-19 udah mengambil alih dunia. 2020 praktisnya bagi kita hanya berlangsung tiga bulan – cuma sampai Maret. Karena setelah itu semuanya hanya tentang survival kita dari corona. Virus ini mengubah gaya hidup, menguak sisi buruk, dan memercikkan banyak pengaruh lain – positif dan negatif – ke dunia yang kita kenal.
Tapi, kalo kalian masih penasaran sama tren apa aja pernah nongol di 2020, berikut mention buat para nominasinya:
1. #Blacklivesmatter
Seolah dunia gak bisa lebih horor lagi, hashtag ini jadi viral setelah insiden polisi bertindak semena-mena terhadap warna kulit di Amerika, yang memicu gerakan yang melawan praktik rasisme yang masih senantiasa ada di masyarakat nyaris di seluruh dunia.
2. Bu Tejo
Sosok yang memungkinkan film pendek Tilik menjadi viral. Karakter ini dibahas dari segala sudut oleh beragam warna netijen. Whether Bu Tejo adalah stereotipe atau gambaran nyata, yang jelas ibu bermulut tajam ini sudah sukses jadi idola
3. Dancing Pallbearers
Gak heran meme pembawa peti jenazah yang menari ini jadi viral. After all, komedi adalah mekanisme terbaik manusia. Dan 2020 memang adalah tahun dengan angka kematian yang tinggi
4. Kekeyi
Selegram dan bintang Youtube yang terkenal karena… ah katakanlah, karena keahlian tutorial make up dan video clip musiknya. Tengah 2020 aja, subscribernya udah nyampe satu juta
5. Kopi Dalgona
Bulan-bulan pertama masa karantina atau PSBB, kopi dalgona jadi pengalih perhatian yang trendi, saat semua orang berusaha untuk menyajikan sendiri kopi campur krim yang katanya enak ini
6. Parasite
Film yang paling banyak dibicarakan oleh sinefil. Menang gemilang di Oscar, mendobrak begitu banyak pintu rekor dalam catatan sejarah penghargaan film bergengsi di dunia itu sendiri.
7. Sepedaan di Tengah Jalan
Di masa pandemi, semua orang pada pengen sehat. Jadi beberapa ada yang merogeh goceknya, membeli sepeda termutakhir, dan merasa memliki separuh jalan raya!
 
 
 
 
Sepertinya aku gak perlu mengingatkan berapa persisnya angka kasus dan kematian karena Covid-19 di akhir tahun, karena semua itu masih berlanjut hingga sekarang. Begitu banyak korban. Belum lagi bencana-bencana yang lain. Di Januari itu ada banjir di Jakarta, lalu disusul oleh kebakaran hutan gede-gedean di Australia, bahkan katanya sempat mau ada Perang Dunia Ketiga! Gak heran jiwa yang menuju Great Beyond di film Soul itu jumlahnya banyak banget. Atuk dan Oomku ada di antara mereka.
Maka, mari kita Mengheningkan Cipta,
kita panjatkan do’a-do’a kepada mereka – mungkin kalo bisa juga sedikit kata maaf karena menyepelekan kematian mereka karena kepala kita terlalu keras untuk percaya Corona itu ada.
Kita dedikasikan

MOMENT OF SILENCE

ini untuk mereka-mereka, serta para tenaga kesehatan yang baik yang telah gugur maupun yang masih terus berjuang tanpa kenal lelah.
Mengheningkan Cipta
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
 
 
 
 
With that being said, aku gak akan biarkan Award ini jadi gloomy karena bencana dan trauma yang dibawa oleh Covid. Karena penyakit itu, bukan dia-lah yang kuat sebenarnya, melainkan karena kekonyolan kita yang menghadapinya. Sikap dan reaksi kitalah yang memberikan kesempatan besar kepada pandemi tak-kenal ampun itu untuk terus eksis.
Sehingga, lewat kategori spesial berikut ini, aku ingin mengajak kita semua untuk merayakan reaksi-reaksi beragam manusia dalam menghadapi si trend 2020.

BEST REACTION TO CORONA


 
Nominasinya adalah:
1. Bebasin Napi
Sementara rangorang diharuskan mengurung diri di rumah, para napi yang tadinya udah aman di dalam sel, malah dibebaskan menuju rumah masing-masing. Dengan efektif menambah calon korban – either korban pandemi atau korban kriminal-yang-diulangi-lagi
2. Bikin Tugu
Emangnya siapa sih yang gak mau selfie bersama makhluk paling terkenal seantero 2020?
3. Dangdutan
Kalo Taylor Swift bilang “shake it off”, maka orang-orang di negara kita beda lagi. Mereka bilangnya “jogetin aja!” 
4. Diskonin Turis
Alih-alih menghentikan penerbangan, pemerintah di Indonesia yang jago melihat peluang malah menggenjot pariwisata dengan ngasih diskon untuk turis asing berkunjung ke Indonesia. Rasakan langsung sensasi hidup di tengah Corona!!
5. Jadi Pocong
Untuk mastiin penduduk daerah mereka disiplin ber-PSBB, dua orang penduduk sebuah desa di Lamongan nekat berjaga sambil cosplay jadi Pocong. Bercandanya memang level Halloween di April Mop
6. Jualan Kalung
Ada gula ada semut. Ada penyakit, ada obat. Maka para petinggi di Kementan jualan kalung yang katanya anti-corona.
7. Ngarang Teori
Nyiptain film dan lagu tentang corona udah biasa. Di antara pemusik, ada yang namanya disebut sebagai jerinya oleh anak gaul sosmed, ngarang sesuatu yang lebih kreatif. Teori konspirasi di balik bencana pandemi.
6. Nimbun Masker
Setara dengan jalan pikiran pemimpinnya yang, beberapa penduduk yang punya jiwa bisnis tinggi, dengan sigap memborong masker, tisu toilet, hand sanitizer, dan beberapa perlengkapan esensial lain untuk dijual kembali dengan harga tinggi

 
Seringkali aku jadi mikir, jangan-jangan penanganan corona gak pernah terlalu serius karena memang ada peluang bisnis yang gede dibawa oleh pandemi ini? But anyway, inilah pemenang The Dirty untuk Reaksi Terbaik:

At least, reaksi mereka memang berdasarkan untuk pencegahan virus yang lebih baik

 
 
 
Setali tiga uang dengan itu, kategori yang berikutnya diumumkan adalah penghargaan untuk kebegoan paling hakiki yang pernah dilakukan umat manusia di tahun 2020. Marilah kita sambut para nominasinya dengan elu-eluan yang dahsyat.
“Elu! Elu! Elu!!!”

BEGO OF THE YEAR

 
1. Buku Film Kemendikbud
Jenius dan dogol mungkin jaraknya memang hanya ‘sebenang’. Tapi jika kalian – dan begitu juga dengan sejumlah penulis lain – membaca buku yang penuh typo, ungkapan aneh, kalimat yang kayak terputus, dan istilah yang salah, maka jelas tidak akan salah menempatkan buku ini ada di kotak yang mana
2. Covidiot
Terms untuk orang-orang yang bego dalam menghadapi covid-19. Entah itu karena gak percaya, atau ngambil kesempatan, atau malah ngejelekin orang yang mengutamakan kesehatan ketimbang keviralan.
3. Hamil Karena Berenang
Komisioner KPAI mengaku menemukan sesuatu di jurnal ilmiah. Yakni jenis sperma super yang bisa hidup dan berenang mencari mangsa di kolam renang. Penemuan yang saking ‘jenius’nya aku sampai gak yakin si Ibu kesandung hoaks di bagian mana; supersperma atau jurnal ilmiahnya…
4. Karen
‘Spesies’ ini terlahir di Amerika yang lagi krisis sosial, dalam lingkungan gabungan dari salah kaprah feminis dan salah kaprah masalah rasis. Mind you, spesies ini bisa lebih berbahaya daripada covid, karena selain membawa senjata api, perempuan-perempuan itu juga selalu benar.
5. Penonton Film Milea
Filmnya sendiri pintar. Culas, lebih tepatnya. Kita-kita yang nontonnya-lah yang udah sukses dibego-begoin. Sekian jumlah orang telah tertipu beli tiket film untuk nonton cuplikan-cuplikan no effort. Dan banyak yang ngaku suka pula sama ‘film’nya!
6. Pertandingan Money in the Bank
Konsep MITB kali ini cukup unik. Cowok ama cewek digabung. Arenanya bukan ring, melainkan satu gedung. Namun nyatanya yang kita dapatkan adalah pertandingan konyol – semacam food fight dan komedi sketch, dengan editing yang poor. Way to waste such a good concept.

 
Dan anugerah yang lebih malu-maluin ketimbang Razzie ini jatuh kepadaa..

Basically, nyaris semua nominasi Best Reaction to Corona tadi masuk ke dalam istilah Covidiot

 
 
 
Semoga gak ada yang berantem karena dua kategori di atas. Karena, bukannya apa-apa, tapi kategori Feud of the Year kami sudah punya daftar nominasi yang lengkap dan tinggal nunggu keputusan pemenang. Jadi kalo mau berantem, tahun depan saja ya. Jangan kuatir, Corona juga dipastikan oleh Pemerintah untuk tetap ada, kok!

FEUD OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Amerika vs. TikTok
Salah satu deklarasi di masa-masa akhirnya menjabat presiden, Trump mendeklarasikan perang terhadap TikTok, buatan Cina yang diyakininya menjual data-data pengguna Amerika
2. Geprek Bensu vs. I am Geprek Bensu
Seteru branding antara dua franchise ayam geprek (so last year!) yang setelah dipikir-pikir lebih cocok masuk Shocker of the Year. Karena, serius aku baru tahu, ternyata keduanya berbeda!! 
3. Habib Rizieq vs. Nikita Mirzani
Atau lebih dikenal dengan pertengkaran tukang obat melawan wanita tunasusila. Mungkinkah seteru mereka ini akan mewakili seteru gender-role yang kian ngehits di kalangan SJW?
4. Jefri Nichol vs. Falcon Pictures
Single-handedly nyingkirin WWE vs. Twitch dari daftar nominasi, karena yang dihadapi Nichol di sini actually adalah apa yang terjadi kalo WWE benar-benar mempermasalahkan penampilan superstarnya di media/platform lain. Seteru kontrak yang kedua belah pihak sama-sama punya poin ‘benar’
5. Joe Exotic vs. Carole Baskin
Nah kalo ini, baru, seteru yang kedua belah pihaknya sama-sama ‘mencurigakan’. Musuh bebuyutan yang sama-sama merasa lawannya bukan penyayang biantang yang baik. Pertengkaran mereka dikipas menyala lagi oleh serial dokumenter Tiger King di Netflix. 
6. Sasha Banks vs. Bayley
Klasik dari teman jadi lawan. Build up Sasha lawan Bayley udah dari setahun sebelumnya, dan di 2020 kita baru dapat klimaksnya. Yang dimainkan dengan character-work sangat bagus dari kedua superstar.
7. Telkom vs. Netflix
Siapa di sini yang pake Indihom, pas streaming Netflix kualitas gambarnya cetek? Nah, ditengarai penyebab itu adalah kesirikan Telkom kepada Netflix yang gak kunjung usai sepanjang tahun
8. Ukhti vs. Kawat Berduri
Di Twitter ada yang ngumpulin kumpulan klip-klip para ukhti yang berjuang dengan motor mereka di jalan raya. Enggak jelas juga mereka berjuang melawan apa, aturan lalu lintaskah, atau keignoran sendiri terhadap cara mengemudi yang baik dan benar. Melawan kawat berduri inilah yang paling bikin aku ngakak karena seperti puncak dari ‘perjuangan’ tersebut.

 
The Dirty jatuh kepadaaa…

Mereka berdua salah, aku gak mau memihak tapi tbh aku masih yakin kalo Carole memang memberi makan suaminya kepada harimau

 
 
Orang berantem biasanya dibumbui oleh trash talks, sebagai penyedap pertengkaran mereka. Membuat kita betah menyimak ketubiran mereka. Tapi, ada juga talks atau omongan yang justru bikin kesel. Gak semua komen atau quote atau meme lucu untuk terus diulang-ulang.
Kategori berikut ini akan memberikan penghargaan buat Quote paling annoying, yang sukur-sukur setelah dikasih piala, mereka menghilang dari muka bumi. Dan membawa Covid serta bersamanya

MOST ANNOYING QUOTE


Nominasinya adalah:
1. “Ikan hiu makan tomat”
2. “Iri bilang, Boss!”
3. “Karena pembahasannya agak sulit”
4. “Ku menangiiisss membayangkan..”
5. “Si kecil mulai aktif ya, Bun!”
 
Dan jeng-jeng-jenggg, pemenangnya a-da-laaaaah..

Pemerintah yang benar-benar tone deaf. Dan malas. Mendengarnya bikin aku… menangisss membayangkaaannn

 
 
Yea, I know mungkin si ‘ku menangis’ itulah yang harusnya kumenangin. Paling enggak, sebenarnya dia bisa menang sebagai Adegan Terbaik, jika kategori tersebut masih seperti di tahun 2013 saat pertama kali dimunculkan. Karena saat itu, kategori Best Movie Scene masih untuk lucu-lucuan. Tapi sekarang aku ingin lebih kritikal terhadap film. Dan lagi, penghargaan beneran untuk adegan terbaik memang masih kurang di luar sana.
Jadi, marilah kita simak nominasi Adegan Film Terbaik sepanjang tahun 2020

BEST MOVIE SCENE

 
Para nominasinya adalah:
1. City tracking – (“The Vast of Night”)

2. Dancing Drunk – (“Another Round”)
https://www.youtube.com/watch?v=J5jZTO92ZVk
3. Escaping House – (“The Invisible Man”)

4. Kitchen Fight – (“The Hunt”)

5. Police Station Fight – (“Birds of Prey”)

6. Reunion – (“Da 5 Bloods”)
https://www.youtube.com/watch?v=DqIy8ywpvKI
7. The Interview – (“Borat Subsequent Moviefilm”)
https://www.youtube.com/watch?v=voTC3VEZ054
 
And The Dirty goes to…..

The power of filmmaker yang beneran bikin film dengan berani dan punya suara

 
 
 
Selain nonton film, selama lockdown kita menghabiskan waktu di rumah paling banyak di antaranya adalah dengan main video game. Sebelum masuk ke pengumuman kategori berikutnya, aku mau umumin perihal My Dirt Sheet sekarang udah aktif juga ngereview di Youtube, dengan konsep yang agak berbeda. Yakni ngereview sambil main game! Dan game-game berikut ini boleh jadi bakal dimainin berikutnya.

GAME OF THE YEAR


 
Nominasinya adalaaaaaaa —– loading —— aaah:
1. Among Us

 
2. Animal Crossing: New Horizons

 
3. Crash Bandicoot 4: It’s About Time

 
4. Final Fantasy VII Remake

 
5. Resident Evil 3

 
 
Game udah mulai kayak film aja, banyakan sekuelnya… Tapi at least, sekuel game ngasih sesuatu yang benar-benar harus jelas berbeda dari originalnya.
Oke, inilah, pemenang The Dirty sebagai Game Tahun Ini:

Di masa pandemi, everybody is a SUS (alias dicurigai OTG)

 
 
 
Bahkan di dalam game kayak Among Us pun kita bertengkar satu sama lain. Kayak kurang belajar PPKN aja. In fact, segala kekacauan reaksi dan kekeraskepalaan orang-orang berhadapan dengan situasi seperti pandemi ini seperti ya karena memang kurang edukasi. Level negara aja lebih percaya kata influencer ketimbang kata-kata scientist.
Untuk itulah, maka My Dirt Sheet kali ini memberikan penghargaan khusus untuk guru-guru atau pendidik yang udah menghibur dan somewhat mendidik kita dengan ilmu dan kepandaian mereka

TEACHER OF THE YEAR


 
Nominasi untuk kategori ini adalah….
1. Frank Tassone (“Bad Education”)
Diadaptasi dari tokoh nyata, Frank adalah guru yang populer di sekolah, terkenal ramah dan bijak. Bagaimana kita menyingkapi jika ternyata guru seperti ini ketangkap basah korupsi?
2. Joe (“Soul”)
Joe begitu sibuk mengejar mimpi sehingga ia sendiri gak sadar betapa banyak orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik berkat didikan dan bimbingannya.
3. Martin (“Another Round”)
Guru yang satu ini gokil banget; karena merasa dirinya udah jadi membosankan, maka dia menerapkan salah satu penelitian tentang alkohol. Dia minum sebelum ngajar!
4. Mr. Shaibel (“The Queen’s Gambit”)
Kita bisa belajar dari siapapun. Mr. Shaibel membuktikan hal tersebut. Karena meskipun dia ‘cuma’ janitor, tapi berkat ajarannyalah Beth Harmon jadi punya mental dan attitude seorang juara catur.
5. Taat Pribadi (“Guru-Guru Gokil”)
Guru gokil versi Indonesia. Tadinya dia benci banget ama guru, tapi begitu ngerasain berada di tengah murid-murid saat menyamar jadi guru, Taat jadi menemukan cinta.

 
Dan, guru yang akhirnya jadi pahlawan dengan tanda jasa karena punya The Dirty adalaahh

 
 
 
 
Di tangan pendidik kayak Mr. Shaibel itulah masa depan anak-anak bisa cerah. Kalo di film, di tangan penulisan naskah lah, karakter anak-anak bisa punya modal kuat untuk masa depan yang cerah. Karena jadi bisa dimengerti dan dimainkan perfect oleh aktor cilik nantinya.
Kali ini pun, kategori Karakter Anak Terbaik dihadirkan kembali

BEST CHILDREN CHARACTER


dengan nominasi sebagai berikut:
1. Becky – “Becky”
Becky adalah Home Alone dengan tingkat violence maksimal!
2. Christmas – “Troop Zero”
Christmas ngingetin kita untuk jadi diri sendiri dan tidak conform ke standar buatan sosial.
3. David – “Minari”
David yang terlahir Amerika, tapi tetap tak melupakan jiwa Korea-nya. 
4. Flora – “The Haunting of Bly Manor” 
Flora boleh jadi creepy dan aneh, tapi semua itu ia lakukan demi melindungi orang-orang yang ia cinta
5. Mary – “The Secret Garden”
Mary menunjukkan kepada kita kekuatan dari memupuk imajinasi dan harapan.
6. Miles – “The Haunting of Bly Manor”
Miles adalah peringatan untuk tidak berkubang dalam kehilangan dan terbujuk rayu setan.
7. The Willoughby Children – “The Willoughbys”
Anak-anak Willoughby sangat unik, karena bermain dalam imajinasi gelap anak-anak yang menyangka mereka gak suka dengan orangtua sendiri

 
Dan The Dirty diberikan kepadaaa…

Perfectly splendid!!

 
 
 
Dari anak-anak, kita beralih ke calon ibu anak-anakku…haiayaaassssaphambyaarr XD Unyu op the Year, salah satu kategori original My Dirt Sheet Awards, dari tahun ke tahun selalu jadi kategori yang paling susah untuk ditentuin pemenangnya. Karena semuanya cakep-cakeeepppp hihihi

UNYU OP THE YEAR


Dan inilah para nominasi yang udah malang melintang di internet dan perfilman sepanjang 2020:
1. Alexa Bliss
Dari Goddess, Alexa berganti menjadi karakter yang unyu tapi creepy. Ini adalah kesekian kalinya Alexa masuk nominasi, mungkinkah penampilan barunya ini membawa berkah?
2. Anya Taylor-Joy
Dari Mak Comblang ke juara catur ke mutant petarung, Anya Taylor-Joy yang juga udah sering nongol sebagai nominasi, kini punya tiga penampilannya itu sebagai jurus pamungkas untuk mendapatkan piala!
3. Joey King
Dari remaja yang menyimpan rahasia hingga remaja yang memendam cinta menggelora, Joey King siap menjadi penantang kuat berkat aktingnya yang natural
4. Kathryn Newton
Dari remaja tak-populer kemudian berubah menjadi seorang pembunuh berantai, semua itu dilakukan Kathryn Newton dalam satu film yang sama. Penampilan dual aktingnya merupakan salah satu tantangan unik di tahun 2020
5. Millie Bobby Brown
Dari yang awalnya dikenal sebagai gadis cilik misterius dengan kekuatan psikis, Millie Bobby Brown berevolusi menjadi gadis muda yang enerjik, supel, dan cerdas dalam membongkar misteri.
See, semua nominasi ini membekas di hati. But there’s only one true winner. Dan inilah pemenang yang membawa pulang The Dirty berhias pita pink…

Checkmate!

 
 
 
 
Selagi aku membayangkan punya pasangan kayak mereka, mari kita rayakan cinta beneran yang udah membuat 2020 menjadi tahun yang hangat, di tengah segala keterbatasan akibat pandemi. Tapi awas, jangan sampai baper!

COUPLE OF THE YEAR



1. Abby & Harper
Menjadi pasangan berarti harus saling mengerti dan memahami, seperti Abby dan Harper yang tadinya udah mau putus tapi berakhir happy ending
2. Baskara & Sherina
Kita pikir kita dan pasangan yang paling uwu? Well, look at them and think again
3. Hinode & Miyo
Suka sama orang pasti ada alasannya. Dan alasan Hinode dan Miyo saling cinta ini akan membuat kita klepek-klepek sendiri
4. Jake & Amy
So happy akhirnya Jake dan Amy akhirnya dikasih momongan
5. Jamie & Dani
Kisah cinta Jamie dan Dani yang akhirnya harus terpisah dunia, memang sehangat dan semenyayat romansa yang dibalut horor!

6. Lars & Sigrit
Menjadi pasangan juga berarti harus saling dukung. Tengok saja perjalanan cinta Lars dan Sigrit di atas panggung karir menyanyi mereka
7. Otis & Mandy
Romansa klasik ‘beauty & the beast’ selalu punya pesona tersendiri, khususnya ketika dibawa ke dalam ring WWE

8. Zayn & Gigi
Satu lagi pasangan seleb real-life yang sukses bikin netijen ber-uwu uwu ria
 
Dan inilah The Dirty sebagai simbol cinta untuk pasangaaannn….

Tadinya kirain bakal cringe, tapi ternyata jadi salah satu dari sedikit sekali storyline yang kocak dan berbeda dari WWE di 2020

 
 
 
Di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan, kita memang perlu mengisi dunia dengan lebih banyak cinta dan… musik!
Kategori berikut ini dijamin akan membuat kita terhibur dengan penampilan musik yang lain dari yang lain

BEST MUSICAL PERFORMANCE


 
Nominasinya adalaaah
1. Aubrey Plaza “Get Ready for Judgment Day”

2. Baby on Twitter “Killing in the Name of”

3. Baby on Twitter II “I Wonder What’s Inside Your Butthole”

4. Class 1-A “Hero Too”

5. Fire Saga “Double Trouble”

6. Miz & Morrison “Hey Hey”

7. Slashstreet Boys “Die by My Knife”

 
8. Troop Zero “Space Oddity”

 
Dan dengan bangga The Dirty kami berikan kepadaaa…

Gagal sebagai Couple of the Year, Lars dan Sigrit justru berhasil merebut hati kita dengan penampilan musik yang konyol dan menghibur!

 
 
 
 
Sebelum aku jadi keterusan mengkhayal, kayak beberapa teman kita yang masih bahagia dengan menganggap semua baik-baik saja dan Covid akan hilang dengan sendirinya sehingga tetap berkeliaran dengan masker yang dijadiin sebagai bagian dari gaya, baiknya aku segera balik menghadap realita. Menatap apa-apa saja yang sudah kukerjakan di tahun 2020.

MY MOMENT OF THE YEAR

Sebagai seorang Cancer yang memang lebih senang menyendiri, nyaris sepanjang tahun berdiam di rumah – untuk pertama kalinya lebaran sendirian (cuma sama kucing) – memberi aku banyak waktu untuk reinventing self. Dengan kebiasaan menonton yang juga semakin longgar karena pindah ke platform, aku akhirnya bisa mengejar untuk bikin konten di channel My Dirt Sheet yang Alhamdulillah sudah diaktifkan tahun 2020 ini. Awalnya berisi main game, yang kemudian ditambah dengan segmen ngereview sambil main game! Yang belum subscribe silakan subscribe yaa. Blog ini gak akan kutinggalin, channel itu hanya untuk perpanjangan ulasan dan penyaluran hobi bermain-main aja hehehe
Awalnya sih karena memang aku sempat diundang ngereview bareng oleh CineCrib. Aku jadi ngerasain juga keluwesan yang bisa didapat dari menyampaikan langsung, yang gak bisa sepenuhnya tersampaikan lewat review tulisan. Jadi, review di channel itu akan berfungsi sebagai pelengkap saja. Selain itu, aku juga diberi kesempatan untuk menjadi juri di kompetisi film pendek. Lumayan, aku jadi sempat juga dimention satu twit barengan Jokowi dan orang-orang penting. Dan kalo ada satu kejadian yang bikin aku gak tidur semaleman, maka itu adalah kejadian berpayung-payung ria (padahal malamnya mencekam) bersama Gadis Sampul.
Namun begitu, kejadian paling mengesankan buatku di tahun 2020 – jauh lebih mengesankan daripada pencapaianku dapat King of Games 10 kali di Duel Links, adalah ketika….
Menang Liga Komik (kuis-kuis tentang film) Kompasiana!

Serius deh, ini perjuangannya berdarah-darah, timku harus benar-benar ngatur strategi!

 
 
 
Dan sampailah kita ke penghargaan terakhir. Penghargaan paling greget yang bisa ditawarkan oleh My Dirt Sheet.
Aku gak yakin setelah melihat semua yang dikerjakan Pemerintah di tahun 2020 kita masih bisa kaget, tapi inilah kategori puncak

SHOCKER OF THE YEAR

Sebelum sampai ke pemenangnya, simak dahulu para runner-ups ini:
1. Parasite dari Korea menang empat Oscar, dan mencetak sejarah!
2. Edge kembali berlaga di atas ring!!
3. Utang Temon ke Muklis nyampe 250 juta!!!
4. Valentino Rossi cheated death! Twice!!
5. Undertaker main TikTok!
6. Everything is cake!!!
7. Mudik beda ama pulangkampung!?!
8. The Dirt Sheet Miz and Morrison is back!!
9. Es Krim Viennetta juga comes back!!
10. Tapi es krimnya beda ama yang dulu!!?!
11. Video UFO Pentagon!!
12. Monolith kayak film 2001: A Space Odyssey ditemuin di beberapa tempat!!!

 
Oke, tarik napas dalam-dalam…
Udah?
Inilah yang paling mengejutkan di antara semuanya…:

Di saat aku baru bikin youtube karena lockdown, orang di luar sana udah mecahin kode serial killer paling rumit abad ini!!!

 
 
 
 
Jadi, begitulah.
Semoga sebagian besar juara di 2020 ini enggak jadi juara bertahan di tahun depan nanti. Dan untuk itu memang keignorant kita semua harus cepat-cepat dienyahkan. Jangan sampai ada lagi selebrasi-selebrasi gak penting. Jangan dipelihara lagi denial-denial hanya untuk mempercantik citra diri. Kita semua punya banyak waktu untuk merenung sendiri di rumah.
I hope you all have wonderful year ahead.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners.
And there are 

 
We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.

MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review

“You have to be determined to change the world … Even though nothing changes.”
 

 
 
Semua orang bekerja keras supaya jadi sukses. Semua orang ingin sukses, well, demi alasan yang beragam. Mulai dari tujuan yang noble seperti membahagiakan keluarga. Hingga yang sedikit lebih personal. Ada yang bekerja keras menjadi sukses supaya tidak perlu lagi memperkenalkan dirinya. Ada pula yang bekerja keras menggapai sukses supaya bisa mengubah dunia. Levee, karakter dalam film Ma Rainey’s Black Bottom yang diadaptasi dari teater, ingin sukses supaya bisa seperti Ma Rainey si penyanyi blues tersohor itu. Supaya produser musik kulit putih tunduk dan mendengarkan apa maunya. Karena Levee punya pandangan baru mengenai musik blues, that he knows better, dan dia ingin menaikkan derajatnya demi keluarga. Ya, Levee pengen sukses untuk ketiga tujuan tadi. Maka dari itu, cerita film ini akan berakhir mencekat bagi dirinya.
Keseluruhan cerita Ma Rainey’s Black Bottom berlangsung dalam kurun satu hari, dan practically sebagian besar berlokasi di satu tempat yang sama. Jadi ceritanya memang akan sangat contained. Cerita ini berlangsung di gedung rekaman musik. Ma Rainey yang terkenal itu akan ngerekam album, tapi dia belum datang. Sehingga kita dibawa ke basement, berkenalan dengan empat anggota band pemusiknya. Salah satunya adalah Levee, si peniup terompet. Pemusik muda berbakat, yang punya visi dan ambisi besar. Levee ingin menulis musik sendiri. Dia bahkan sudah menyiapkan satu untuk dipitch kepada produser rekaman ini. Ada sedikit ketidakcocokan antara Levee dengan Ma, mainly karena Levee sedikit mengubah aransemen lagu Ma, dan dia percaya gubahannya ini bakal lebih laku. Yang terang saja ditolak oleh Ma. Ketidaksamaan mereka berujung pada ‘rusuhnya’ proses rekaman.
Jika Levee bersedia melakukan apapun untuk mengorbitkan dirinya sendiri – termasuk enggak koperatif dengan band, maka Ma juga tidak kalah sukarnya untuk diajak bekerja sama, at least bagi produser rekaman. Namun begitu, ada begitu banyak yang bisa kita simak di balik gambaran kedua karakter ini. Lewat kisah Levee dan Ma Rainey yang lagi rekaman musik di Chicago 1920an ini, film secara khusus menyoal masalah rasisme yang masih terus bergulir, dan secara umum juga membahas dinamika keahlian yang dimiliki oleh seseorang dengan kuasa yang menyertainya.

Kayaknya Ma Rainey ini-lah yang mempelopori musisi harus banyak maunya kalo disuruh nyanyi

 
 
Karena film ini tadinya adalah naskah teater, maka memang akan banyak sekali dialog yang akan kita dengar. Tapi jangan khawatir, tak akan sedetik pun dari film ini yang bikin kita mengucek mata yang berair karena kebanyakan menguap. Sebab craft film ini dalam menghidupkan dialog-dialog, yang ditulis dengan cerdas dan menantang, adalah tingkat juara.
Pertama tentu saja soal permainan aktingnya. Semuanya bagus banget. Yang bikin was-was itu adalah karakter Ma Rainey, karena biasanya karakter yang berasal dari tokoh asli kayak gini ekstra sulit karena tuntutan perbandingan dengan versi aslinya. Karakter kayak gini punya kadar seimbang yang harus dicapai sehingga hasilnya tidak tampak seperti parodi, melainkan berhasil menghidupkan dengan respek. Viola Davis berhasil untuk membuat Ma versi dirinya tak tampak sebagai parodi ataupun tak tampak hanya sekadar bermain ‘pura-pura’. Meskipun permintaan Ma dalam film ini terdengar komikal, tapi lewat ekspresi Davis kita merasakan urgensi. Kita merasakan weight dan tensi yang real, bahwa karakter ini gak main-main ketika dia minta kola dingin sebelum rekaman (dan tak akan mulai rekaman sebelum ada kola). Kita juga dapat merasakan karisma sosok Ma Rainey tersebut. Secara desain naskah, karakter Ma ini dimaksudkan sebagai ‘antagonis’ dari Levee, tapi film ini tidak berniat untuk membuat semua hitam-putih. Sehingga tantangannya adalah membuat penonton melihat sesuatu di balik cara pandang Levee terhadap Ma. Dan film ini berhasil. Permainan akting para aktor sangat membantu mencapai dinamika yang diinginkan.
Menurut IMDB, ini adalah film terakhir Chadwick Boseman. Istilahnya, ‘swan song’ buat Boseman. Dan mengetahui hal tersebut, membuat film ini terasa semakin mencekat saja. Boseman main film ini sambil berjuang dalam pengobatan kanker, yang ultimately merenggut nyawanya. Aku tau aktor profesional selalu memberikan kerja maksimal dalam setiap pekerjaan mereka, tapi melihat aktingnya yang begitu intens – khususnya di satu adegan monolog mempertanyakan Tuhan – dalam film ini, I wonder apakah Boseman ‘tahu’. Karena emosi yang ia tunjukkan tampak amat, sangat real. Amarah dan terlukanya karakter Levee ini menguar kuat di balik sikapnya yang tampak konfiden akan perubahan besar yang bakal ia bawa melalui bakat musiknya. Sama seperti Ma tadi, walaupun tokoh ini didesain sebagai protagonis, tapi lewat akting yang benar-benar tepat memaknai naskah, Levee juga seringkali membuat kita khawatir, atau kita tidak merasa setuju dengannya. Range karakter ini juga luar biasa. Di awal kita akan melihat dia dengan senyum dikulum “aku tahu kapan harus tersenyum, aku bisa tersenyum kepada siapapun yang ku mau” dengan ambisi terasa kuat di balik sifat optimis, dan di akhir saat dia tampak menyangkal dan meluap, kita bisa merasakan penyesalan dan pembelajaran merebak di hatinya. Boseman berpindah dari arahan yang menyuruhnya untuk subtil ke meledak, dengan sangat precise. Tanpa terbata melainkan sangat meyakinkan. Tak pelak, perfilman benar-benar telah kehilangan aktor sehebat Chadwick Boseman.
Kalo kata Mr Sneecbly “You’re gonna be a footnote on my epic ass!”

 
 
Kedua, ya tentu saja tulang punggung film ini. Naskah. Penulisannya keren banget. Walaupun isinya orang-orang ngobrol – mau berdebat atau bercerita – tapi tidak monoton. Ada eskalasi yang terasa. Percakapan mereka pun sangat imajinatif. Misalnya ketika berbincang soal analogi ras kulit hitam dengan makanan. Benar-benar fantastis untuk disimak. Pun terasa kepentingannya sebagai menyuarakan struggle ras yang seperti tak akan ada habisnya.
Komentar tentang perjuangan ras memang jadi pilar utama film ini. Film ingin kita ikut duduk mengobrolkan soal bagaimana cara terbaik melakukan perjuangan tersebut. Levee dan Ma adalah ‘studi kasus’ yang mewakili dua bentuk perjuangan. Memahami perbedaan sikap kedua karakter tersebut akan membuat kita mengerti dengan gagasan yang ‘ditandingkan’ oleh film ini. Ma Rainey, yang dijuluki Mother of Blues. Dia reluctant menggunakan julukan tersebut. Karena musik blues, katanya, sudah ada dari dulu. Dan bahwa orang harusnya tahu dulu sejarah, jangan tau memainkan musiknya saja. Pernyataan dan sikap Ma inilah yang jadi kunci – yang paling membedakan Ma dengan Levee. Yang membuat Levee tidak akan bisa seperti Ma. Bahwa Ma berjuang bukan demi ambisi pribadi. Kita melihat Ma bersikeras keponakannya yang gagap ikut dalam rekaman album, kita melihat Ma bersikeras keponakannya dan anggota band dibayar tunai sehabis rekaman. Ma peduli kepada rombongannya. Ma peduli pada perjuangan bersama.
Sedangkan Levee, dia sudah siap untuk keluar, nyiptain musik sendiri, bikin band sendiri. Levee bahkan sulit ‘bekerjasama’ dengan Tuhan, karena dia gak percaya. Dia menggunakan uang hasil main musiknya untuk beli sepatu – sebagai bentuk ‘puk-puk’ terhadap dirinya sendiri. Levee sama seperti Ma, berjuang demi derajat ras yang lebih baik. Bedanya Levee bergerak demi dirinya sendiri terlebih dahulu. Dia bersikeras berjuang untuk mendobrak pintu, hanya untuk menemukan dirinya sendirian tak akan bisa mencapai ke mana-mana. Hal ini divisualkan oleh film lewat adegan yang bernuansa cukup sureal di mana Levee akhirnya berhasil membuka pintu di ruang latihan hanya untuk merasa semakin terkungkung, bukannya semakin bebas.

Setiap perjuangan yang kita lakukan adalah untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tapi itu tidak berarti perubahan akan langsung terjadi. Makanya, penting bagi kita untuk berjuang dengan mengingat ke belakang. Supaya kita bisa mengingat ‘lebih baik’ itu untuk siapa. 

 
Sebagai kulminasi dari cerita, penampilan akting, arahan, dan penulisan itu sendiri, film berakhir dengan terasa sangat ironis. Perjuangan Levee sendirian itu dengan sangat mudah ditampik. Dia tidak accomplish apa-apa selain melukai kaumnya sendiri. Berbeda sekali dengan Ma yang pada akhirnya bukan hanya karirnya menjadi lebih secure, dia juga membawa ‘security’ bagi orang-orangnya. Yang berarti perjuangan mereka masih akan berlanjut. Eventually dunia akan berubah jika semakin banyak orang mengusahakan hal yang sama.
 
 
 
Film ini adalah proyek kedua dari Denzel Washington yang 2015 lalu mengumumkan bahwa dirinya akan membuat film berdasarkan naskah teater karya August Wilson. Aku suka banget sama film proyek pertamanya, Fences yang keluar tahun 2016. Dan film yang kali ini, aku dengan senang hati sekali memberitahu, bukan hanya mempertahankan prestasinya punya penampilan akting yang memukau, tapi juga ceritanya bahkan lebih emosional lagi. So yea, I also like this movie very much. Sutradara George C. Wolfe ditunjuk untuk menggarap cerita, dan yang ia bikin untuk kita adalah suatu tontonan yang begitu menghantui. Hingga lama setelah kita menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for MA RAINEY’S BLACK BOTTOM
 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa kecewa saat telah berjuang keras tapi merasa tidak mengubah apapun?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

SOUND OF METAL Review

“Hearing loss is less about hearing and more about understanding”
 
 

 
 
Bayangkan kalian mendedikasikan diri untuk menggeluti satu bidang, dan kemudian berhasil di sana, lalu tiba-tiba semua itu direnggut dari kalian. Tentunya sangat devastating. Tapi ternyata ada yang lebih mengenaskan daripada itu. Bayangkan, hal yang kalian geluti tadi itu, adalah satu-satunya hal yang bisa kalian jadikan pelarian. Bayangkan jika hal tersebut actually adalah sesuatu yang kalian butuhkan dalam perjuangan personal untuk menjadi lebih baik. Dan lalu kalian dirampas dari ‘pegangan’ tersebut.
Kehilangan seperti demikianlah yang persisnya menimpa Ruben dalam film Sound of Metal. Ruben yang seorang drummer band rock menemukan zona nyamannya di atas panggung. Ketika dia nampil bersama pacarnya, Lou. Mereka tinggal dalam minibus, sembari tur keliling kota. Heavy metal dan drum itu bagi Ruben bukan sekadar hobi. Melainkan caranya berjuang melawan kecanduan obat-obatan. Musik keras dan hingar bingar kehidupan di jalan adalah kehidupan baru Ruben sebagai seorang yang clean. Namun ‘pajak’ yang harus ia tanggung dari kehidupan semacam itu, dari eksposur terhadap suara-suara lantang setiap hari, sungguhlah berharga tinggi bagi Ruben. Pendengarannya, berangsur-angsur hilang. Memutuskan Ruben dari kehidupan lebih baik yang sedang coba ia bangun. Di dunia tanpa-suaranya kini, Ruben bagaikan anak kecil yang telanjang di tengah rimba. Helpless. Defenseless. Obat-obatan dapat dengan gampang menculiknya kembali.
Sound of Metal, meskipun bicara tentang tokoh yang kehilangan pendengaran, bijak sekali untuk tahu bahwa cerita seperti ini bukan semata soal bagaimana menyembuhkan pendengaran itu sendiri. Melainkan adalah soal membuka telinga untuk sebuah pemahaman yang lebih besar. Pemahaman untuk menerima sebuah kehilangan. Dan nyatanya, itulah yang membuat drama garapan Darius Marder ini begitu manusiawi.

‘New normal’ bagi Ruben

 
Film yang menyoal seseorang yang hidupnya dipaksa untuk berubah, seseorang yang harus kehilangan semua yang ia butuhkan dalam waktu singkat, akan gampang sekali untuk jadi sangat overdramatis. I mean, cerita begini tuh udah kayak taman-bermainnya drama tragis. Yang diset untuk membuat penonton lomba mewek dan mendorong lajunya penjualan sekotak tisu di pasaran. Di sinetron aja udah sering kan, cerita yang tokohnya tiba-tiba buta, atau tiba-tiba bisu. Ruben bisa saja jadi ‘sinetron’ dengan tokoh yang tiba-tiba tuli. Serius, sepanjang nonton ini aku udah bersiap-sipa nyumpahin kalo-kalo film belok ke arah ‘sinetron’. Kalo-kalo ada satu saja elemen cringe atau lebay. Tapi ternyata tidak ada. Dari awal hingga akhir tak ada. Dan aku senang sekali. Karena; amit-amit. Serius. Amit-amit kalo sampai begitu. Karena cerita dengan arahan seperti begitu tidak akan bisa menggapai dan berlaku hormat kepada karakternya. ‘Misi’ film seperti begini harusnya bukan untuk mempermainkan emosi penonton, melainkan justru memperlihatkan gambaran emosi yang manusiawi terkait persoalan yang terjadi kepada karakter. Gol minimum yang harus dicapai film ini, paling enggak, adalah untuk membuat kita bisa merasakan langsung seperti apa rasanya kehilangan pendengaran.
Marder achieves lebih banyak melampaui gol minimum tersebut. Sound of Metal di tangannya menjelma menjadi cerita yang benar-benar respek dan memanusiakan Ruben. Gak menye-menye maupun overdramatis. Marder telah membuat ini sebagai sebuah perjalanan karakter; sudut pandang yang menarik kita masuk. Membawa kita untuk berempati terhadap karakternya. Ya, lewat permainan sound design, kita jadi tahu langsung apa yang dirasakan oleh Ruben. Ketika Ruben kesulitan untuk mendengar, maka kita pun akan dibuat mendengar kehampaan yang sama. Dan ini bukan hanya soal suara berdering atau hanya ngemute menjadikan adegannya tanpa-suara. Marder enggak memanipulasi emosi lewat absennya suara. Melainkan bercerita dengan absen suara. Ada ritme. Marder membangun kontras sedari awal. Musik rock yang memenuhi setiap adegan, belakangan akan tergantikan oleh dialog-dialog yang teredam. Menimbulkan sensasi ‘kita ingin dengar lebih banyak, tapi tak bisa’. Persis inilah yang dirasakan oleh Ruben. Ketika intensitas naik bagi Ruben, film akan mulai menarik semua suara. Ketika Ruben seperti mulai menyerah, atau saat ia akan mengambil keputusan penting, film akan menampilkan kembali suara-suara percakapan. Membuat Ruben dapat mendengar lewat alat atau membuat lawan bicara Ruben bisa bicara dengan alat. Alias, sebenarnya saat itu Ruben ‘dipertemukan’ kembali dengan cara untuk mengembalikan pendengarannya. This fuels Ruben. Ini menguatkan konflik yang ada pada pertengahan cerita. Konflik saat Ruben masih memandang tuli itu sebagai sesuatu yang harus disembuhkan.
Actually, ini jadi salah satu poin penting yang dibicarakan oleh film. Babak kedua diisi oleh cerita Ruben yang tinggal di sebuah komunitas tuna-rungu. Bagi Ruben, ini adalah tempat untuk menyembuhkan dirinya. Padahal justru merupakan tempat untuk membiasakan dirinya dengan kehidupan tanpa-suara. Kita akan melihat adegan-adegan Ruben diajarin ini itu. Menjalin relasi dengan para anggota; ada yang seperti Ruben kehilangan kemampuan mendengar secara tiba-tiba, ada yang sedari lahir. Kita melihat Ruben melihat anak-anak tuna rungu belajar berkomunikasi, lalu lantas dia sendiri juga belajar bahasa-isyarat. Tempat rehab ini terlihat ramah dan menenangkan, tapi kita bisa melihat Ruben justru tidak melihatnya seperti itu. Di titik ini, Ruben masih belum berdamai dengan keadaannya. Dia percaya bisa sembuh dari yang ia anggap penyakit, sebagaimana dia bisa sembuh dari candunya. Menarik cara film mengomunikasikan argumen bahwa sebenarnya tuli itu sendiri tidak pernah dianggap sebagai penyakit yang harus disembuhkan bagi para pengidapnya. Melainkan tak lebih sebagai ‘cara lain dalam menempuh hidup’. Inilah yang ultimately harus dipelajari oleh Ruben.

Bahwa dengan kehilangan pendengaran, tidak berarti seseorang kehilangan hidup. Melainkan hanya hidup di dunia dan gaya yang baru. Kepositifan orang-orang di komunitas itulah yang dijadikan poin vokal oleh film ini. Gak semua masalah selesai dengan uang, karena dua hal. Uang tidak menjamin, ataupun memang tidak ada masalah. ‘Hanyalah’ soal pemahaman dan penerimaan kita terhadap kondisi.

 
Saat belajar skenario, biasanya kita dikasih tahu untuk merancang kehidupan tokoh utama. Mulai dari ia kecil, hingga ke momen yang akan jadi periode cerita pada film. Rancangan atau karangan kehidupan karakter inilah yang jadi backstory, yang semakin memperkuat karakterisasi tokoh utama yang kita tulis. Backstory tersebut tidak mesti terpampang pada film, tapi harus tersampaikan garis besarnya, supaya penonton bisa mengenali karakter dan bersimpati kepadanya. Backstory Ruben dalam cerita Sound of Metal berperan besar terhadap konflik yang harus ia lalui. Penceritaan yang dilakukan oleh Marder sungguh berhasil menuturkan backstory itu semua tanpa membuat film menjadi bertempo lambat ataupun membuat ceritanya jadi melanglang buana. Marder dengan efektif membuat kita mengerti. Semua hal yang perlu kita ketahui sebagai elemen emosional bagi Ruben dengan sukses tersampaikan. Misalnya, film masih ingat (dan sempat) untuk membahas kenapa pekerjaan sebagai drummer rock itu penting bagi Ruben. Begitupun soal makna dari hubungannya dengan Lou; apa peran Lou sang kekasih itu di hidup Ruben. Semua itu terbahas, menyatu dalam plot-plot poin cerita sehingga keseluruhan narasi film ini terasa sangat padat. Dan somewhat feels real.

“Plok! Plok! Plok!” adalah bunyi metal yang baru

 
Porsi terakhir dari ulasan ini khusus kudedikasikan untuk penampilan akting Riz Ahmed, yang luar biasa emosional – tanpa perlu berteriak-teriak – sebagai Ruben. Supaya cerita yang memfokuskan kepada personal dan kepribadian Ruben ini bisa berhasil, tentu beban itu tersandarkan kepada pemerannya. Tantangan bagi Ahmed di sini adalah menemukan titik-seimbang untuk penonton dapat merasakan emosi karakternya. Titik-seimbang di antara drama soal kehilangan pendengaran yang gak semua orang bisa langsung terkonek, dengan drama tentang manusia yang berusaha menerima kenyataan. Ahmed berhasil, buktinya kita mengerti dan berempati pada setiap keputusan yang diambil oleh Ruben, entah itu soal dia bersikukuh mencari uang untuk operasi, atau ketika dia memilih keluar dari komunitas dan kembali kepada Lou.
Ahmed mengerti bahwa yang diincar sutradara adalah untuk tidak membuat tokohnya ini tampil seperti minta dikasihani, atau mengasihani diri sendiri. Dan sebaliknya, juga tidak ingin tampak seperti sosok yang sempurna bagi kita. Jadi apa yang dilakukan Ahmed untuk mewujudkan semua itu? Permainan emosi. Ahmed membawa kita menyelami reaksi Ruben saat berjuang menerima kenyataan pendengarannya tak akan pernah kembali. Karakter ini tidak dimainkannya sebagai tokoh yang bersikap kasar, ataupun suka berteriak, tapi kita masih tetap merasakan gejolak emosi dan marah dan gak-terima itu di balik dirinya. Ia menggunakan bahasa tubuh dan gerakan mata, terutama saat adegan-adegan dia mengobservasi lingkungan komunitas, sehingga arc Ruben dapat tersampaikan dengan utuh. This is one top level performance. Yang aku dengan sangat senang hati melihatnya mendapat ganjaran piala. Lihat saja adegan fenomenal di ending. Kalo itu tidak memberikan dorongan semangat dan menginspirasi kita untuk berdamai dengan kenyataan, untuk mensyukuri yang terjadi sebagai lanjutan kehidupan; maka aku gak tau lagi yang menginspirasi itu seperti apa.
 
 
 
Dengan penggunaan sound-design, penampilan akting, dan arahan yang benar-benar respek menempatkan karakter sebagai identitas dan subjek – bukannya objek penderita – film ini berhasil menjadikan ini lebih dari cerita tentang orang yang kehilangan indera pendengar. Malahan membawa kita lebih dalam ke persoalan yang lebih relatable dan manusiawi. Menggambarkan dengan penuh hormat bagaimana susah dan perlunya sebuah acceptance terhadap situasi. Beberapa penonton mungkin akan menganggap film ini berat – inner journey Ruben memang demikian kompleks – tapi film ini gak akan bikin bingung. At the end of the movie, kita gak akan dibuat bertanya balik “apa itu tadi?” Percayalah, saat menonton film ini, berat itu ada tapi berat karena konflik karakter, tidak menghambat sama sekali bagi pengalaman menonton. Dan di akhir itu, oh percayalah, kita semua akan merasakan beban itu terangkat sudah dengan perasaan yang sangat melapangkan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for SOUND OF METAL.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Aku pernah membaca bahwa ternyata penyandang disabilitas pendengaran malah lebih suka disebut tuli ketimbang dengan sebutan tuna rungu. Menurut kalian, kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Survivor Series 2020 Review


 
 
Yang spesial dari Survivor Series tahun ini adalah bukan saja ini merupakan acara yang semua pertandingannya adalah champion melawan champion – mempertandingkan juara-juara dari brand Raw melawan juara-juara dari Smackdown – melainkan juga acara yang bertepatan dengan tiga puluh tahun karir Undertaker bergulat di WWE. Acara ini adalah perayaan bagi Undertaker yang resmi menutup kiprah legendarisnya.

Undertaker, tak pelak, adalah salah satu karakter dengan karir tersukses seantero dunia gulat hiburan. Bagaimana tidak. Karakter supernatural yang penuh gimmick seperti itu tentu saja susah untuk dipertahankan, apalagi dikembangkan menjadi sesuatu yang dipedulikan banyak orang. Namun Mark Calaway mampu. Dia mendedikasikan diri kepada karakter yang dipercayakan kepadanya, no matter how over the top it might be. Taker mendapatkan respek besar karena kiprahnya menghidupkan karakter yang ‘mustahil’ tersebut. Benar kiranya, Undertaker adalah survivor dalam artian yang sebenarnya. 

 
Sayangnya, acara Survivor Series 2020 ini seperti tidak mampu merangkul dua kekhususan tersebut. Baik itu perayaan tutup-karir Undertaker maupun pertandingan-pertandingan tim dan juara antarbrand, tidak ada yang berhasil diperlihatkan benar-benar spesial, secara maksimal. WWE melakukan banyak pilihan-pilihan yang aneh. Dan juga penulisan atau booking yang, seperti standar acara mingguan mereka yang biasa, terasa seperti digarap mendadak. Acara selebrasi Undertaker itu dilakukan di akhir, setelah semua pertandingan selesai, sehingga terasa terpisah dari acara. Serupa dengan ekstra pada sebuah dvd/bluray film yang baru saja kita tonton. Penyelenggaraannya pun awkward sekali. Beberapa legend yang bersangkut paut dengan Undertaker datang berkumpul ke atas ring, mulai dari The Godfather, Savio Vega, hingga ke Shawn Michaels, Triple H, dan tentu saja Kane. I wonder if they would wanna bring all of the Streak’s victims tho, karena pastilah menarik kalo ada Randy Orton, Brock Lesnar, dan Batista. Dan CM Punk, anyone? lol..
Balik lagi ke acara, para legend yang berkumpul di atas ring itu tau-tau hilang semua setelah pemutaran video; digantikan posisinya oleh Mr. McMahon yang memanggil Undertaker. Taker datang dan ngasih speech, lalu berlutut, berpose untuk terakhir kalinya bareng hologram Paul Bearer. Kemudian acara berakhir, tidak satupun dari para legend tadi kelihatan lagi, tidak ada interaksi mereka dengan Undertaker. Which is weird, dan tampak pointless, buat apa mereka semua muncul kalo begitu. Buatku, tampak seperti ada perubahan rencana/acara yang dilakukan oleh WWE.

Semoga WWE gak lupa mereka pernah menggunakan lagu Katy Perry untuk entrance Undertaker dalam sebuah klip rekap Wrestlemania resmi.

 
 
Daya tarik yang dijual pada event perang-antar-brand seperti Survivor Series kali ini tentu saja adalah ketika juara masing-masing brand diadu. Superstar lain dari brand tersebut membentuk tim, lalu turut bertanding melawan brand saingan. WWE sudah sering melakukan ini. Dan pada setiap kali gimmick acara seperti ini dilakukan, WWE selalu kesusahan untuk membangun sesuatu yang benar-benar spesial. Seperti pada pertandingan-pertandingan kali ini. Yang paling terasa adalah kurangnya stake alias pertaruhan. ‘Best of the Best’ yang jadi tagline itupun hanya seperti ucapan basi. Mereka harusnya menciptakan sesuatu yang kongkrit untuk bisa dimenangkan oleh brand yang berhasil unggul atas brand lain. Brand supremacy sebagai hadiah tertinggi, katanya, tidak lagi menarik karena tahun demi tahun kita melihat kemenangan brand di Survivor Series tidak pernah berarti banyak. WWE harusnya membangun cerita yang lebih bermakna bagi para superstar yang bakal bertanding. Paling tidak bangun alasan kenapa mereka harus mau bekerja sama memenangkan brand mereka, kenapa mereka harus menang bareng, ciptakan kerugian atau kehilangan ketika mereka gagal. Seperti pada cerita film. Harus ada motivasi, harus ada ganjaran kalo gagal mencapai keinginan, harus ada dorongan yang membuat aksi mereka urgen. Semua itu tidak dapat kita temukan pada match-match di sini.
Padahal dengan adanya momen 30 Tahun Karir Undertaker, WWE bisa saja mengaitkan kemenangan brand tersebut. Like, mereka bisa bikin brand yang menang bakal dapat hak untuk mengirim delegasi sebagai ngasih tribute ke Undertaker. Atau sekalian saja, brand yang menang bakal dapat kehormatan mengirimkan salah satu superstarnya untuk melawan Undertaker di pertandingan terakhir sang Legenda. Seharusnya ada banyak hal/stipulasi kreatif yang bisa WWE lakukan untuk membuat pertandingan di Survivor Series punya lapisan, therefore menjadi jauh lebih menarik lagi.
Tapi nyatanya Survivor Series tahun ini justru semakin membosankan. Karena pertandingan antarjawara yang dihadirkan oleh WWE tidak punya dinamika face-v-heel. Baik melawan jahat. WWE seperti lupa bahwa juar-juara pada dua brand yang mereka punya ternyata pula formula yang sama. Juara Tag Team sama-sama face. Juara papan tengah sama-sama antagonis. Juara cewek juga sama-sama tokoh-baik. Tim di Tradisional Tag Teamnya juga gak ada yang bulet karakternya. Para superstar yang bertanding bisa jungkir balik berkali-kali, bisa ngeSuperkick ratusan kali, bisa ditimpuk ke meja ampe patah-patah pun, tapi tanpa dinamika karakter protagonis-antagonis, tanpa ada drama dan psikologi pada alur, semua yang mereka lakukan akan tetap terasa hambar. Karena bagi kita yang nonton, pertandingan mereka jadi bukan soal siapa yang menang dan kalah. Kita tidak bisa peduli kepada hal tersebut. Ketika yang kita tonton hanya aksi demi aksi, maka acara itu akan terasa garing, tidak ada naik turun. Tidak ada hasil dan konsekuensi. Apa bedanya bagi kita kalo yang menang New Day dan bukan Street Profits? Apa ngaruhnya ke greget kita kalo Smackdown berhasil menyusun Raw, kalo nantinya poin itu akan tetap disusun susul menyusul – karena WWE tidak mau ada brandnya yang kelihatan jadi benar-benar lemah; bisa-bisa mereka diprotes sama network penyiar yang namanya udah jadi bagian dari seragam masing-masing brand.
Bukan pekerjaan gampang, memang, menulis cerita pertandingan untuk partai yang sama-sama baik atau yang sama-sama jahat. Masalahnya, WWE di acara ini sama sekali tidak tampak berusaha maksimal. New Day melawan Street Profits, misalnya. Kedua tim sama-sama face. Persona karakter mereka buatku annoying semua, tapi mereka berempat punya in-ring work yang fantastis. Untuk ngasih bumbu pertandingan ini, WWE bisa saja memasukkan Big E ke dalam equation. Bikin Street Profits datang bersama Big E, untuk kemudian bisa dibikin Big E entah itu membantu mereka sebagai sesama Smackdown, atau malah balik membantu New Day; yang merupakan mantan rekan satu tim. Hal seperti demikian tidak akan merusak karakter, melainkan membantu memberikan lapisan kepada match dan kepada karakter superstar itu sendiri. Yang Intercontinental lawan U.S champion, lebih parah lagi. Juara yang satu suka main curang, yang satunya lagi suka main keroyokan. WWE ninggalin kita untuk bengong gak tahu mau jagoin siapa di antara dua karakter heel tersebut.
Mungkin kita harus jagoin ‘si anak bawang’ aja?

 
 
Melihat itu, aku jadi berpikir jangan-jangan WWE memang gak mikirin soal pemasangan juara ini sedari awal. Mereka gak ada rencana, dan hanya tersadar juara mereka ‘sama’ semua saat sudah masuk acara. The only working pair is Sasha Banks dan Asuka, itupun karena Sasha so good mainin karakter abu-abu (antara heel dan face) dan terutama karena Asuka dan Sasha sudah punya ‘sejarah’. Jadi saat menonton mereka, kita seperti melanjutkan babak baru. Pilihan finish yang dilakukan pun menurutku relatif aman, dan bisa jadi memang beginilah seharusnya. Ini satu lagi masalah yang bakal muncul ketika membuat match juara-lawan-juara; Para juara tersebut haruslah ‘dilindungi’. Naturally, semua pemegang sabuk harus di-book supaya terlihat kuat. Karena kalo tidak mereka jadi gak believeable, atau yang parah malah bisa-bisa sabuknya jadi turun prestise. Melindungi itulah yang sulit. Gak semua superstar berada dalam posisi serupa karakter Sami Zayn, yang masih bisa come out okay setelah dibuat terlihat lemah sebagai juara.
Satu lagi yang mestinya diperhatikan oleh WWE jika mereka memang ingin mempertahankan gimmick perang-brand adalah brand itu sendiri; Raw dan Smackdown, haruslah punya ‘karakter’ juga. Coba kita bedakan keadaan sekarang dengan keadaan saat baru-baru ada brand-split sekitar 2002-2003an. Raw dan Smackdown terasa sangat distinctive, udah kayak dua acara yang berbeda jauh. Punya manager yang beda visi, punya set panggung yang berbeda, punya daftar superstar dengan keahlian yang berbeda – Raw more of a hardcore, sedangkan Smackdown lebih ke cruiserweight. Karakterisasi khusus brand tersebut memudahkan kita untuk memilih favorit; kita lebih suka dan peduli sama brand yang mana, dan ketika mereka beradu kita akan mati-matian menjagokan salah satunya. Brand yang sekarang, selain warna dan musik pembuka, tidak ada lagi perbedaan yang mencolok. Semua sama, dari set hingga ke ‘kelakuan’ superstarnya.
Maka ketika mereka beradu dalam Traditional Tag Team, kita tidak benar-benar melihat mereka sebagai kubu yang berbeda. Partai Traditional Tag Team Cowok adalah match yang paling parah. Kelihatan hanya seperti random superstar yang dikumpulkan. Yang punya cerita cuma Seth Rollins dan Jey Uso. Keduanya berada di Smackdown, tapi kita tetap susah untuk mendukung Smackdown karena karakter mereka berdua berada pada titik yang membingungkan; kita tidak yakin mereka baik atau jahat at that point. Sehingga easily, match yang paling menghibur adalah Traditional Tag Team Cewek. Kedua kubu terasa sangat berbeda, dan mereka punya cerita masing-masing. Ada Bayley yang ngasih karakter ke Smackdown, dan – ya I hate it too – ada Lana untuk tim raw. Tonton dan perhatikan booking membuat Bayley yang heel tersingkir duluan; ini effectively membuat Smackdown tim face di sini, as opposed to Shayna dan Nia Jax, dan Lana. Dan meskipun kita bisa melihat ending yang bau-baunya bakal either menarik atau jengkelin, match ini tetap terasa lebih menarik di antara partai-partai sebelumnya.
“It doesn’t have to be pretty. It just have to be hurt” Exactly

 
 
On the paper, sure it is fun. Acara yang menampilkan adu-brand. Yang terbaik dari masing-masing brand saling berhadapan satu sama lain. Hanya saja pada praktiknya, para superstar just have less things to work with karena WWE enggak menyediakan ruang untuk dinamika karakter pada match-matchnya. Perayaan Undertaker pun seperti terpisah dari acara, padahal mestinya bisa dimasukin dan dijalin mulus ke dalam rangkaian acara. Diberikan weight lebih ke acara.
Bukti mutlak WWE gak punya cerita jangka panjang dan just scrap everything on the go adalah mengganti Orton sebagai juara WWE, dengan Drew McIntyre. WWE sebenarnya tentu paham menulis face-lawan-face atau heel-lawan-heel itu susah dan matchnya bakal ngebosenin, maka khusus untuk main event, mereka terpaksa untuk mengganti pemain. Randy Orton yang heel, meski baru saja jadi juara, tidak akan menarik jika ditandingkan dengan Roman Reigns yang lagi hot-hotnya setelah bertukar peran menjadi antagonis. Mengganti karakter Orton jadi face akan makan lebih banyak waktu. Maka WWE mengembalikan sabuk kepada Drew McIntyre yang sudah jadi salah satu babyface terbesar di Raw. Dengan efektif menunjukkan mereka jadiin Orton juara itu tanpa pemikiran sedari awal, tanpa kesadaran bahwa sebulan setelah itu mereka butuh partai seru juara melawan juara. Dan aku senang WWE comes to their senses pada match ini. Karena McIntyre lawan Reigns – udah kayak battle antara dua kepala suku – easily baik secara teori maupun eksekusi adalah MATCH OF THE NIGHT. Terbaik. Terseru. Endingnya make sense. Semua itu karena ada dinamika, ada drama, psikologi karakter mereka berjalan. Dengan baik pula.
 
 
 
 
Full Results:
1. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw (AJ Styles, Matt Riddle, Braun Strowman, Keith Lee, dan Sheamus) menyapu bersih Tim Smackdown (King Corbin, Jey Uso, Seth Rollins, Otis, dan Kevin Owens)
2. CHAMPIONS VS. CHAMPIONS Street Profits (Smackdown Tag Team Champions) ngalahin New Day (Raw Tag Team Champions)
3. CHAMPION VS. CHAMPION Bobby Lashley (United States Champion) bikin tap out Sami Zayn (Intercontinental Champion)
4. CHAMPION VS. CHAMPION Sasha Banks (Smackdown Women’s Champion) merebut kemenangan dari Asuka (Raw Women’s Champion)
5. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw menang dengan Lana sebagai sole survivor (Shayna Baszler, Nia Jax, Peyton Royce, Lacey Evans) mengalahkan Tim Smackdown (Bianca Belair, Liv Morgan, Ruby Riott, Natalya, Bayley)
6. CHAMPION VS. CHAMPION Roman Reigns (Universal Champion) unggul atas Drew McIntyre (WWE Champion)
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NOCTURNE Review

“No one remembers who came in second.”
 

 
 
Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.
Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 
 
Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.
Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.
Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 
 
Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.
Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.
 
 
 
Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA Review

“It does not do to dwell on dreams and forget to live”
 

 
 
Adalah prestasi yang luar biasa sebenarnya untuk dapat menjadi seperti Lars dalam film Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga. Enggak gampang untuk bisa teguh mengejar passion masa kecil. Untuk terus mendedikasikan diri mengusahakan mimpi, meskipun diremehkan – bahkan diledek – oleh semua orang. Termasuk orangtuamu sendiri. Karena realita tak akan menghantam kita pelan-pelan. Di bawah tekanan kenyataan, enggak semua orang mampu mempertahankan siapa dirinya, seperti Lars. Namun tentu saja, untuk memegang erat passion seperti demikian, kita juga enggak boleh seperti Lars. Yang lupa memperhatikan sekitar karena mimpinya yang terlalu jauh itu.
Sedari kecil, sejak ditertawakan oleh kerabat dan tetangga pada malam pemakaman ibunya, Lars bertekad untuk memenangi kontes nyanyi se-benua Eropa yang tersohor itu. Dia ingin membuat bangga ayahnya yang pelaut. Sekarang usia Lars (Will Ferrell udah sah jadi rajanya underdog-absurd komedi) sudah kepala tiga, dan tetap saja hanya Sigrit (Regina George.. eh, Rachel McAdams jadi ‘wanita desa’ yang lugu dan bersuara indah) seorang yang percaya dan mendukung dirinya. Bersama mereka membentuk band duo Fire Saga, yang nyanyi di kafe dan pesta-pesta di kota – walaupun warga selalu meminta mereka memainkan satu lagu rakyat dan menolak mendengar lagu ciptaan Lars yang lain. Dalam sebuah rentetan kejadian yang kocak – agak sadis, tapi tak pelak konyol – Fire Saga akhirnya kepilih untuk pergi mewakili Islandia ke final Eurovision tahun ini. Berdua saja di ranah showbiz yang glamor dan sarat kepentingan terselubung, Lars yang tak-mampu melihat apapun di luar potensi kemenangan dirinya, dan Sigrit yang akhirnya merasakan perhatian meskipun datang bukan dari partner masa kecilnya, mulai merenggang. Dan setelah satu lagi kecerobohan penampilan musik yang failed dan nyaris berujung petaka, Fire Saga seperti sudah digariskan untuk bubar – membuat malu negara, dan tentu saja ayah Lars di rumah.

Dan percaya atau tidak, film ini juga melibatkan bangsa peri

 
 
Kita yang tinggal di Indonesia mungkin belum banyak yang pernah mendengar – apalagi yang gak ngikutin musik kayak aku – Eurovision yang merupakan kontes musik yang beneran ada di Eropa sana. Acara ini ternyata udah diberlangsungkan semenjak pertengahan 1950, dan sudah menelurkan tren-tren musik mulai dari ABBA hingga ke Celine Dion. Film garapan David Dobkin ini pun tadinya diniatkan rilis bersamaan dengan pagelaran Eurovision tahun 2020, tapi urung karena pandemi korona. Kenapa komedi musik ini menjadi seperti begitu urgen? Kenapa tokoh fiksi harus diciptakan ke dalam show nyata yang sudah jadi tradisi? Itu karena film Eurovision ini difungsikan bukan hanya sebagai tribute, melainkan sekaligus sebagai parodi untuk mengingatkan acara itu sendiri yang semakin modern malah semakin konyol. Eurovision adalah kontes musik yang kini bukan semata adu-kemerduan suara, namun lebih sebagai adu-aksi panggung. Kembang api, efek video, kostum-kostum ‘unik’. Acara itu udah jadi selebrasi unjuk-gigi negara-negara terlibat. Di belakang panggung, ada strategi dan permainan politik bahkan sedari pengiriman delegasinya. Semua itu ditampilkan dalam nada ringan oleh film Eurovision Fire Saga ini. Kita mendengar komentar soal kostum, dan aksi panggung, yang diwakilkan oleh tingkah polah Lars yang jadi laughing stock seluruh kota. Kejadian seputar Lars dan Sigrit kepilih oleh produser dibuat sebagai kebetulan yang sebenarnya direncanakan oleh pihak-pihak tertentu.
Formulanya, ini merupakan cerita underdog. Lars dan Sigrit diremehkan. Namun bukan karena kemampuan nyanyi mereka yang buruk. Tonton sendiri dan biarkan mereka membuatmu terpana oleh ballad-ballad pop yang nendang abis. Penyebab mereka tidak-ada yang menjagokan adalah karena mereka selalu melakukan aksi-aksi panggung yang norak dan berlebihan. Penampilan musik mereka gagal selalu karena hal tersebut. Ini lantas dikaitkan oleh film dengan heart-of-the-story, yakni hubungan antara Lars dengan Sigrit. Yang satu punya mimpi besar, yang satu punya talenta tak-terukur. Ada cinta di antara mereka. Dan hanya ada sepihak saja yang melihat ini. Cerita dan karakter mereka dibangun supaya kita menginginkan mereka berhasil. Dengan stake bubaran yang memang berhasil membuat kita peduli. Walaupun formula film ini standar sekali – it fits to both our usual underdog and childhood lover story – film ini masih berhasil untuk tampil segar berkat karakter. Dan visual Islandia dan panggung Eurovision yang gemerlap. Dan tentu saja lagu-lagunya.
Aku menikmati penampilan di film ini. Ferrell dan McAdams jadi center-piece yang sempurna untuk cerita, meski kadang terlihat aneh juga mereka sebaya tapi Lars kadang seperti terlalu tua (apalagi film kerap mengingatkan kita dengan running joke ‘mungkin-bukan-kakak-adik’ itu). Aku terutama suka sekali sama penampilan McAdams di sini, karakternya hampir seperti magical. Apalagi pas nyanyi. Wuih! Lagu ‘Double Trouble’ yang mereka bawakan dengan naas itu sudah hampir bisa kupastikan bakal masuk jadi nominee buat kategori Best Musical Perfomance di My Dirt Sheet Awards tahun depan. In fact, dalam film ini akan ada banyak penampilan musikal yang memukau. Lagu finale-nya bakal bikin merinding. Dibawakan dengan lip sync oleh McAdams tidak lantas membuat penampilan terasa ‘plastik’. They played it off so good, dan salut juga buat Ferrell yang beneran menyanyikan semua lagu bagiannya.
Dengan sifatnya yang jengkelin, kadang Lars terlihat seperti Matt Riddle versi tua

 
 
Cerita underdog dalam sebuah kompetisi bisa kita maklumi taat kepada formula yang sama. Seperti setiap cerita tinju ‘blueprint’ bakal selalu formula cerita-cerita Rocky. Eurovision Fire Saga ini pun sebenarnya buatku tak masalah diceritakan dengan formulaic. It has a clear-cut plot. Tahun kemaren kita dapat Fighting with My Family (2019) yang berceritanya standar tapi tetap enak dan segar untuk diikuti karena punya cerita yang padet tersusun rapat di samping punya karakter yang unik sekaligus manusiawi. Eurovision Fire Saga ini, however, tidak terasa serapi itu. Untuk mengisi formula tersebut, cerita ini punya banyak jejelan yang sebagian terasa tidak perlu. Dua-jam-lebih film ini memang bikin geram. Bukan karena kepanjangan, melainkan lebih karena kita bisa melihat mana bagian yang mestinya bisa dipotong, atau dihilangkan, atau diganti, untuk membuat penceritaan jadi lebih efisien.
Misalnya, soal perjalanan Lars. Kita paham yang dia butuhkan adalah mendapat ‘anggukan’ dari ayahnya. Sehingga dia butuh untuk ketemu lagi dengan sang ayah, untuk mengonfrontasikan segala uneg-uneg. Pelajaran yang ia harus sadari datangnya dari sini. Hanya saja usaha film terasa sangat minimal dalam menceritakan ini karena film – yang sudah merasa dengan memasang Will Ferrell sebagai bintang utama maka mereka sudah otomatis melandaskan film ini sebagai komedi absurd – tidak merancang konfrontasi itu dengan benar-benar ‘masuk akal’. Film melakukannya dengan membuat Lars menempuh perjalanan bolak-balik naik pesawat, mereka memasukkan skit komedi dengan turis Amerika, yang sesungguhnya hanya memperpanjang waktu. Bukan cuma sekali itu film ini terasa ngedrag. Eurovision punya agenda untuk menampilkan kameo-kameo mulai dari artis hingga pemenang kontes Eurovision beneran (which make them ‘artis’ juga kalo dipikir-pikir), yang penempatannya memang kurang begitu menambah bobot cerita. Sekuen ‘song-along’; various tokoh saling nyambungin nyanyian tidak ditempatkan dengan mulus sehingga tampak seperti adegan selipan yang setengah hati niru-niruin Riff-off nya Pitch Perfect.

Lars sesungguhnya relatable untuk banyak orang, terutama sepertinya generasi milenial. Generasi pengejar mimpi. Kegagalan Lars bagi mereka bisa dijadikan sebagai cautionary tale. Mengejar passion bukan serta merta jadi alasan untuk bersikap egois. Tetaplah perhatikan orang-orang di sekelilingmu. After all, sedikit banyaknya pasti ada mereka pada mimpi yang coba kita wujudkan itu.

 
Bahan-bahan untuk meracik tayangan komedi yang lucu dan kuat dari segi drama sebenarnya sudah ada di atas meja. Produser yang gak mau Islandia menang karena ekonomi yang gak siap – atau mungkin dia gak mau berbagi. Dua sahabat yang terancam berpisah. Bentrokan ide kreatif. Konflik perasaan. Satu tambah satu itu bisa dijadikan dua dengan dengan gampang. Namun film ini merasa content dengan aspek-aspek seperti hantu ataupun invisible elves sebagai bagian utama dari plot. Sekalipun film ini diniatkan sebagai parodi, tetap saja hal tersebut menjadi overkill. Karena toh cerita enggak perlu untuk menjadi sesuatu yang katakanlah ‘impossible silly’. Malah, mestinya film ini bisa jadi lebih magical. Kayak elemen mitos Speorg Note yang dipunya oleh film – not yang hanya bisa dicapai oleh peri – ini aku suka; melihat tokoh percaya pada hal ini untuk membuatnya bernyanyi lebih baik, ini adalah keajaiban yang menambah untuk cerita. Tapi hantu yang terlambat memperingatkan, dan peri yang low-key melakukan kriminal, not so much. Cuma candaan receh – tidak esensial – yang dipaksa masuk supaya cerita bisa stay di jalur formula yang sudah ditetapkan.
 
 
 
Mungkin memang seperti inilah kontes Eurovision jika wujudnya adalah sebuah film. Tayangan menghibur, dengan formula yang terbukti-bisa-berhasil dan jejeran penampil yang meyakinkan. Hanya saja semua itu diisi penuh dengan penampilan-penampilan yang konyol. Kita tahu ini gak bagus tapi kita menikmati tayangannya. Kita gak perlu elves, hantu, antagonis – or seemingly so – yang gak jelas motivasinya apa, ataupun deretan kameo yang menambah-nambah durasi. Namun kita tetap peduli sama Fire Saga. Dan lagu mereka dengan tepat menyimpulkan film ini. “How come something so wrong feels so right?”
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA.

 

 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian mendengar tentang kontes Eurovision sebelumnya? Siapa kontestan favorit kalian di sana?

Dan bagaimana pendapat kalian tentang kontes menyanyi yang berkonsep pencarian bakat seperti ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

My Dirt Sheet Awards CLOUD9

 

 
Ketika bersenang-senang, waktu akan terasa cepat sekali berlalu. Coba deh bandingin satu jam di dalam kelas mandangin papan tulis ama satu jam di rental ps mandangin layar, supaya bisa terasa jelas perbedaannya. Hidup pun begitu. Masa kanak-kanak yang menyenangkan itu ternyata sudah bertahun-tahun ditinggalkan meskipun rasanya baru kemaren berlalu. My Dirt Sheet enggak kerasa udah mau memasuki tahun kaleng alias tin tahun depan. Aku kaget ternyata udah punya sepuluh juara film tahunan, yang berarti ngeblog sudah aku lakukan hampir genap satu dekade. Tahun 2019 terasa semakin spesial karenanya; tahun yang asik, terutama untuk film. Pop culture juga berkembang pesat. Dan walaupun banyak juga kejadian konyol ataupun mengenaskan, aku pikir kita semua senyum ceria, senang mengiringi kepergian 2019. Kenapa aku bisa berpikir demikian? Karena di My Dirt Sheet kita punya catatan. Prestasi, kebodohan, kemajuan, kemunduran; semuanya kita kumpulkan dan kita beri penghargaan.
My Dirt Sheet Awards CLOUD9 mengacu kepada istilah ‘cloud-nine’ yang memiliki makna perasaan euforia akibat perasaan senang dan gembira yang begitu besar sehingga seolah terbang ke awan. Penghargaan ini adalah persembahan untuk 2019 yang sudah mengirim kita ke ‘awan’ tersebut. Tahun yang terasa begitu singkat dan bagi banyak orang merupakan penutup dekade fase penting hidup mereka.
Memang, persis seperti kata Gilderoy Lockhart kepada Harry Potter yang ‘tersandera’ bersama dirinya menjawab surat-surat penggemar sepanjang malam; “Waktu berlalu bagai terbang, ya!”
 
 

TRENDING OF THE YEAR

Ngetren berarti sudah berhasil menjadi hits, ramai diperbincangkan. Namun ngetren tidak berarti semua itu dicapai karena punya skill atau karena prestasi. Pada masa kini, jadi terkenal adalah soal punya cerita yang bisa dijual. Ini nominasi terngetren 2019:
1. Baby Yoda
Serial The Mandalorian memberikan kepada dunia sesosok CGI paling menggemaskan. Malah ada orang yang nonton serial ini cuma demi ngikik gemes ngelihat si baby ini
2. Billie Eilish
Debut albumnya di 2019 udah sukses menyemen legacy penyanyi muda nyentrik ini sebagai The Reigning Queen of Electropop. Lagunya bahkan jadi soundtrack buat acara NXT Takeover.
3. Kasus Lem Aibon 
Kasus penyimpangan anggaran ini merupakan salah satu kasus ‘kesalahan’ pemerintah yang paling hot sepanjang tahun. Susah untuk gak ngangkat alis dan bertanya soal anggaran beli lem mencapai 82 milyar rupiah, toh
4. KKN di Desa Penari
Cerita horor ini sukses menghebohkan sosial media. Khususnya di twitter. Literally menjadi trending topic, orang-orang excited menebak lokasinya, apakah cerita ini beneran. Ternyata, cuma promo untuk film horor terbaru
5. Lucinta Luna
Publik figur paling heboh di Indonesia 2019. Tadinya ia laki-laki, eh maaf tabu, maksudku; tadinya ia penyanyi dan penari. Setelah meroket, ia pun turut menjadi pemain film.
6. Marie Kondo
Pahlawan bagi orang-orang berantakan di seluruh dunia. Acaranya yang disiarkan di Netflix yang menunjukkan keahlian beberes luar biasa benar-benar menjadi inspirasi.
The Dirty pertama 2019 jatuh kepadaa:

Internet loves baby. Internet loves Yoda. It’s a simple math. Maka Baby Yoda – meskipun bukan si Yoda yang itu – dengan segera jadi meme di mana-mana

 
 
Anak-anak adalah masa depan. Kadang orang dewasa lupa itu. Kita hanya ingat indah dan cerianya masa kecil yang sudah kadaluarsa. Makanya, My Dirt Sheet memberikan penghargaan khusus untuk penulisan karakter anak kecil. Merekalah simbol bagaimana orang dewasa memandang penerus dan memperlakukan masa depan.

BEST CHILD CHARACTER


Adek-adek yang masuk nominasi untuk adalaaahh
1. Abra – “Doctor Sleep”
Enggak banyak anak kecil yang sanggup perang mental satu-lawan-satu dengan Rose the Hat. Abra did it.
2. Andy – “Child’s Play”
Hubungan Andy dengan Chucky seperti mencerminkan perasaan kita terhadap hal yang kita minta, yang sebenarnya tidak kita perlukan.
3. Jojo – “Jojo Rabbit”
Semua orang sok gagah dalam perang. Karakter Jojo mengajarkan sebaliknya, jadilah seperti kelinci.
4. Judy Warren – “Annabelle Comes Home” 
Karakter Judy seperti menyimbolkan ketidakmengertian seorang anak terhadap pekerjaan orangtuanya.
5. Max – “Good Boys”
Anak yang mencoba menjelajahi dunia orang gede, Max literally adalah antitesis dari kategori ini.
6. Trudy – “Once Upon a Time… in Hollywood”
Siapa lagi yang lebih tepat untuk menjadi personifikasi kegalauan aktor tua selain karakter aktor cilik berbakat yang attitudenya berkebalikan drastis dari sebuah old-school.

 
Dan The Dirty jatuh ke tangan kecil siiiii…

Kebayang temannya si Yorki ngomong “Oooh a trophy, good for you, Jojo”

 
 
 
Anak-anak itu, biarkan mereka tumbuh. Berikan semua waktu untuk berkembang, dan kita niscaya akan kaget. Berapa banyak waktu mengubah seseorang. Penghargaan khusus pertama CLOUD9 diberikan kepada proses perubahan paling mengejutkan. Sebuah transformasi diri. Masih ingat Reza Rahadian berubah total menjadi Habibie Tua? Penghargaan ini kurang lebih seperti itu, hanya saja diberikan untuk yang masih menjadi diri mereka namun dengan evolusi yang membuat kita semua pangling.

MAKEOVER OF THE YEAR


Nominasi untuk kategori ini adalah….
1. Bray Wyatt
Dari cult-leader, Wyatt berubah menjadi host ramah acara anak-anak. Namun gak sampai di sana, si suka senyum berubah lagi menjadi setan mengerikan begitu ditantang berkelahi 
2. Chucky
Dulu Chcuky adalah boneka sadis karena ia jiwa seorang kriminal satanis, kini Chucky adalah A.I. polos yang jadi beringas karena salah asuhan
3. Rara
Transformasi Rara di film Imperfect adalah suatu perjuangan yang patut disyukuri
4. Shun
Shun tadinya adalah cowok kemayu, cinta damai. Di Saint Seiya Netflix terbaru, Shun berubah menjadi cewek tulen jagoan. Mungkin Shun-nya main genre swap di aplikasi handphone
5. Sonic
Perubahan wujud Sonic di teaser film barunya dihujat oleh warganet sedunia hihihi
6. Thor
Dalam Avengers: Endgame ada masa kala Thor yang dewa berperawakan atletis, tegap, gagah, pejantan tangguh berubah menjadi Thor si pejantan tambun.

 
Dan yang hidupnya bakal berubah lagi karena dapat piala adalaahh

Yow-wie, Wow-wie! Ini kayak dari Kak Seto menjadi Seto as ain Setan Narako!

 
 
 
Bicara tentang perubahan, kita gak bisa enggak bicara tentang film. Tempat para tokoh berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Film mengakomodasi perubahan karakter lewat sekuens, yang terdiri dari beberapa adegan. Kategori ini memberikan penghargaan untuk adegan terkeren yang pernah kita saksikan sepanjang tahun 2019.

BEST MOVIE SCENE


Simak para nominasinya:
1. Couple Fight – “Marriage Story”

2. Flamethrower Send Off – “Once Upon a Time… in Hollywood”
http://www.youtube.com/watch?v=5fVaNpn4CRM
3. Motorball Battle – “Alita Battle Angel”
http://www.youtube.com/watch?v=lZSRgvIKZLo
4. Opening Terror – “Perempuan Tanah Jahanam”

5. Stairs Dance – “Joker”

6. UKS – “Dua Garis Biru”
7. Uuuuuh Aaaahhh – “Midsommar”

 
And The Dirty goes to…..

Bukan semata karena long takenya, melainkan karena penggunaan yang tepat sehingga terus membekas di benak dua juta lebih penontonnya

 
 
 
Dari yang keren, kita beranjak ke yang ngeselin. Kadang, dalam film atau dalam lagu atau internet kita menjumpai kata-kata yang jadi mantra motivasi. Namun gak sedikit juga yang jadi celoteh menjengkelkan – yea because we heard them in just literally everywhere!. Berikut adalah penghargaan bagi mereka.

MOST ANNOYING QUOTE

Nominasinya adalah:
1. “Entah apa yang merasukimu” – lirik lagu yang ada suara gagaknya
2. “I love you three-thousand” – Tony Stark yang bikin semua orang nangis, pffft
3. “Jutaan orang bahkan tidak menyadari” – iklan di youtube yang rambut yang ngucapin berhak diganjar satu award lain 
4. “Li’l bit of bubbly” – Chris Jericho
5. “Scopa tu mana” – tren twitter yang seriously, apa sih artinya ini!
6. “Seyeeeengg” – meme dari adegan anak kecil pacaran di sinetron
 
Dan pemenangnya adalaahhh… – jangan khawatir, mereka gak bakal ngasih speech kok

…nuff said.

 
 
 
Di tahun 2019 kita mengenal istilah bucin, dan teman-teman seangkatannya seperti fakboi dan sadboi. To hell dengan toxic-toxic semacam itu. Semuanya punya pasangan. Di langit sudah digariskan siapa jodohnya siapa. Jadi ya, cinta memang kudu diselebrasi.

COUPLE OF THE YEAR

Siap-siap baper dengan nominasi:
1. Aladdin & Jasmine
Pasangan yang membuktikan cinta dapat membuka satu dunia baru, a whole new world~~
2. Columbus & Wichita
Kalo pasangan ini; ngasih tau kalo cinta bukan berarti harus terlalu attach ke yang dicintai
3. Hydro Coco & Susu Bear Brand
Jadilah pasangan seperti mereka; persatuan yang membahagiakan semua orang
4. Minke & Annelies
Pasangan yang mengajarkan jika cinta, maka kejar dan perjuangkanlah sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya
5. Seth Rollins & Becky Lynch
Jika cinta, dunia seperti milik berdua. Kalimat itu jadi beneran bagi Rollins dan Lynch yang menemukan cinta dan sama-sama jadi juara dunia.
6. Spider-Man & MJ
Yang bisa kita petik dari mereka adalah cinta berarti siap menerima dan berbagi rahasia terbesar masing-masing, dan saling mendukung. 
 
Dan The Dirty diberikan kepadaaa..

oih yesss beibeeh!

 
 
 
 
What? Dua produk minuman bisa menang pasangan terkeren ngalahin manusia? Enggak ada yang bego soal persatuan, kalo cocok ya cocok. Yang bego itu justru adalah para nominasi di kategori berikut.

BEGO OF THE YEAR


Marilah kita sambut para nominasi dengan tepuk tangan:
1. Game WWE 2K20
Niat gak sih mereka ngerilis video game ini? WWE 2K20 berisi banyak glitch, mulai dari objek yang seperti masuk ke lantai, gerakan yang absurd, superstar yang melayang, hingga gamenya mati total saat pergantian tahun
2. Genie Will Smith
Aladdin live-action bermaksud meredakan nyinyiran fans soal jin yang gak biru dengan merilis footage Will Smith sebagai Genie biru. Namun promosi tersebut semakin sukses diketawain karena begonya visual kepala Smith di badan jin blau.
3. Nia Ramadhani gak bisa ngupas salak
Beneran deh ini, sebagai manusia yang punya dua jempol tangan aku benar-benar heran ada orang yang seperti Nia Ramadhani
4. Rambut si Jutaan-Orang-Bahkan-Tidak-Menyadari
Jutaan orang bahkan tidak menyadari bahwa rambut mereka terlihat bego.
5. Rey… Skywalker!
Penulisan arc terkonyol se-2019. Ending film ini begitu bego sehingga adegan di tengah yang Rey bilang namanya “Just Rey” aja terasa jauh lebih powerful.
6. Si Dobleh
Kadang orang saking begonya, sehingga orang lain jadi bingung dia sengaja ngetroll atau memang bego. Adegan penangkapan si Dobleh ini dengan jelas menggambarkan hal tersebut.

 
Anugerah malu-maluin ini jatuh nimpuk kepalaaa…

sebenarnya yang menang ada dua, yang satu si dobleh, yang satunya lagi… kabur!

 
 
 
 
Bukan cuma Superbowl yang punya half-time show. Awards ini juga punya. Actually half-time kita adalah parade nominasi untuk kategori penampilan musik terheboh. Jadi, mari kita persilakan waktu dan tempat bagi mereka untuk jingkrak-jingkrak!

BEST MUSICAL PERFORMANCE

 
Nominasinya adalaaah
1. Bray Wyatt & Huskus the PigBoy – “Muscle Man Dance”

2. Chucky – “Buddy Song”

3. Jasmine -“Speechless”

4. Meisha – “Bukan Taman Safari”

5. Simba – “I Just Can’t Wait to Be King”

6. Vanesha Prescilla – “Digaruk Salah”

 
 
Hahaha oke, sepertinya kategori ini cukup jelas siapa pemenangnya. Dan dia adalaaahh

it feels so wrong, yet so right

 
 
 
Gak salah memang tahun lalu Vanesha masuk nominasi Unyu op the Year, karena dia memang beneran asik. Gak banyak loh, yang berani untuk gak-jaim dan menampilkan sesuatu yang out-of-the-box. Apalagi cewek. Bicara Unyu op the Year, setelah aku merangkum nominasi award ini, aku menemukan satu kesamaaan di antara mereka; Semuanya punya bibir yang amazing! So yea, selain brain, beauty, dan behavior, kali ini ada satu konstanta lagi yang jadi penilaian.

MOST AMAZING LIPS (OR FORMERLY KNOWN AS UNYU OP THE YEAR)

Dan aku susah nyortir karena semuanya bagus-bagus, maka kumasukkan saja banyakan. Inilah nominasinya:
1. Adhisty Zara
Breakout star di perfilman Indonesia 2019. Hampir semua film yang ia bintangi box office.
2. Alexa Bliss
Sejak turn jadi babyface, Bliss tampak semakin unyu aja. Gerakan gulatnya pun semakin luwes. Apakah third time is a charm buatnya di penghargaan ini?
3. Anya Taylor-Joy
Jarang nongol, tapi setiap kali selalu membekas. Anya mencuri spotlight pada film Glass 
4. Florence Pugh
Nah kalo ini breakout star di perfilman internasional. Pugh, entah badass  jadi Paige, atau nangis jadi Dani, atau ngeselin jadi Amy, selalu total dan berhasil memenuhi tantangan perannya
5. Isabela Moner
Film live-action Dora the Explorer benar-benar menaruh kita dalam posisi yang awkward saat mereka nge-cast si bubly berbibir seksi ini sebagai Dora, yang seharusnya adalah anak-anak
6. Maya Hawke
Nominee yang ini hadir dengan satu plus: freckless yang kece. Maya Hawke begitu cool di Stranger Things, dia instantly jadi salah satu favorit orang-orang dalam serial tersebut
7. Naomi Scott
Salah satu nyanyian paling menawan keluar dari bibirnya yang juga menawan. Selain jadi Jasmine, Scott juga bermain sebagai Charlie’s Angels hanya saja aku gak peduli sama film itu.
8. Samara Weaving
3B Samara beda dari yang lain. Yakni beauty, badass, dan bibir. Penampilannya jadi bride yang harus survive dari kegilaan di Ready or Not benar-benar keren, with wedding dress, shotgun, and everything

 
Beneran susah milihnya. Bahkan sampai ngetik ini aku kebayang kiss-bye Zara di Keluarga Cemara. But finallly, The Dirty goes to…

oke ini lumayan personal karena bibir Samara mirip sama…, ah sudahlah….

 
 
 
 
Aduh, kapan ya cewek-cewek itu bisa kuajak…. main video game bareng! Sayangnya meski ada juga yang suka ngegame, sebagian besar cewek lebih suka main tiktok daripada main game beneran. Padahal game semakin bagus loh.

GAME OF THE YEAR


Selain semakin sinematik, video game juga semakin adiktif. Berikut adalah nominasinya:
1. Kingdom Hearts 3

Petualangan ala Final Fantasy di dunia-dunia Disney, kali featuring Toy Story, Frozen, Big Hero 6, dan banyak lagi upgrade yang bikin ngiler
2. Resident Evil 2 (the remake)

Banyak orang gak sabar memainkan ulang Resident Evil 2 dengan environment yang jauh lebih nendang
3. Saint Seiya: Awakening

Meski gamenya pelit ngasih petarung yang kuat, tapi RPG mobile phone ini asik dan menuhin dahaga nostalgia banget
4. Untitled Goose Game

Lihat betapa cute, random, dan originalnya game ini. Main sebagai angsa dan porak porandakan semua? yes, please
5. Yu-gi-oh! Duel Links
http://www.youtube.com/watch?v=Gf787DOSyLM
Real Yugioh menjadi terlalu rumit, Duel Links hadir di hape sebagai versi yang lebih simpel, tradisional, dan lebih seru karena punya banyak unlockable dan misi. 
 
Daripada nunggu loading kelamaan, inilah pemenangnyaa

Duel lawan duelist dari bagian manapun di seluruh dunia, kapan saja! Adiktif banget nih game

 
 
 
Kompetisi di game memang seru. Tapi kompetisi di dunia nyata, selain mengerikan, kadang juga bisa konyol. Karena kita orang Indonesia yang demen nonton keributan, maka sambutlah kategori ini:

FEUD OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Andy vs. Chucky
Pertengkaran anak cowok dengan mainannya adalah pertengkaran sahabat sejati yang sebenarnya
2. Joko Anwar vs. Livi Zheng
Dua sutradara beradu gengsi, yang satu gak ngincer Oscar melawan satu yang bangga-banggain eligible untuk Oscar  
3. Jokowi vs. Prabowo part II
Iklim Pemilu yang bisa dibilang paling kisruh yang pernah aku rasakan. Sebenarnya yang seru ribut sih, sama seperti jilid satu lima tahun lalu, para pendukung masing-masing sampai-sampai ada Kerusuhan 22 Mei  
4. Polisi vs. Anak STM
Perlakuan rasis menyulut keributan ini. Anak STM datang begitu saja sebagai tenaga sukarela untuk kakak-kakak mahasiswa yang dikasari oleh polisi  
5. Rusev vs. Lana
Dua orang ini tadinya pernah dapat nominasi Couple of the Year. Drama marriage story jika dibawa ke dalam ring memang lebay, menjengkelkan, dan lebih berlarut-larut. 
6. WWE vs. AEW
Pesaing WWE hadir dalam bentuk perusahaan gulat yang dikawangi oleh Cody Rhodes, Chris Jericho, Dean Ambrose, dan pegulat-pegulat yang merasa diri mereka terlalu tinggi untuk standar WWE
 
Pemenangnya, dan plis rebutan pialanya di luar aja, adalah…

Sebelum di antara kedua sineas ini ada yang bikin film bernilai 8.5 oleh MyDirtSheet, feud ini sebaiknya terus aja berlanjut

 
 
 
Kita memang suka pertentangan. Dua Garis Biru yang baru tayang teasernya doang aja udah ditentang kok. Namun yang mesti disadari adalah tiap tahun kita berduka. Ada aja kerusuhan, terorisme. Penembakan di mesjid New Zealan itu, sampai divideoin oleh pelakunya. Sakit gak sih orang-orang. Orang rasis juga semakin terang-terangan, mungkin semuanya harus kena sambit telor dulu oleh anak muda di Australia biar sadar. Dunia berduka ketika orang-orang baik seperti Pak BJ Habibie tutup usia. Ada banyak kematian yang ditangisi. Bahkan lampu aja mati tiga hari di pulau Jawa. Buatku, tahun ini pertama kalinya aku merasakan ditinggal oleh anggota keluarga yang dekat. Kakekku yang udah mengenalkanku kepada dunia cerita dan warna meninggal dunia karena sakit ginjal. Maka aku mengajak kita semua untuk mengheningkan cipta, mengenang duka yang telah terjadi di dunia. Mengirimkan doa untuk Habibie, Toro Margens, Mean Gene, Agung Hercules, dan banyak lagi yang gak tersebut namanya.
Mengheningkan cipta,
Mulai!
….
….

MOMENT OF SILENCE

….
….
….
….
….
….
….
Selesai!
 
 
 
Award spesial kedua tahun 2019 kuberi nama – kudedikasikan – untuk kucing-kucing korban kejahatan Luka Magnotta seperti yang kita tonton di serial Netflix. Ini adalah penghargaan khusus buat kucing-kucing yang hadir sepanjang 2019, surviving the world.

DON’T F**K WITH CATS AWARD


Nominasinya adalah:
1. Church
Kucing paling serem
2. Goose
Kucing paling alien
3. Jellicle Cats
Kucing paling blo’on
4. Jerry’s Talking Cat
Kucing paling misterius, not in a good way 
5. Max
Kucing paling manjaaa
6. Simba
Kucing paling besar – well, lion is a big cat!
 
King of Meow jatuh kepadaa..

That’s my cat!

 
 
 
Selain membesarkan kucing yang pintar, patuh, dan taat beribadah, aku juga membesarkan adiknya. Hahaha. Maksudku, aku juga melakukan beberapa kerjaan yang ada manfaatnya. Kurang – lebih.

MY MOMENT OF THE YEAR

So yeaa di 2019 aku dilangkahin adek nikah duluan, hapeku rusak, lalu crosspath kembali with Cool Lil Sis setelah sekian tahun but she doesn’t even recognize me, tapi itu gak membuatku berhenti mengembangkan diri. Aku berhasil pansos jadi King of Games di ranked duel Duel Links tiga kali, dengan gak sekalipun beli kartu pakai duit beneran. Melangkah pertama kali ke kantor Starvision seperti merangkum bahwa tahun 2019 adalah tahun masuk ke ‘ruangan baru’ bagiku. My Dirt Sheet mulai tahun 2019 buka rubrik baru; Readers’ Neatpick, untuk ngereview bareng teman-teman/pembaca yang mengusulkan film untuk diulas. Rubrik ini kubikin untuk menumbuhkan keyakinan pada kita semua bahwa semua orang bisa mereview, we just have to ask the right questions. Aku juga membuat channel youtube. No, aku belum pede ngereview langsung. Instead, yang aku buat adalah channel Oblounge (Obrolan Musik Lounge) bareng teman-teman di FFB, isinya berbagai hal tentang film. Kami ngereview, meliput, main game seru, apapun yang berhubungan dengan film. Kami pun sukses mengadakan Festival Film Bandung 32 yang banyak suka-duka. Yang paling membuatku senang adalah film pendekku, Gelap Jelita, diputar untuk umum, di Indicinema dijadikan diskusi tentang perempuan, dan aku jadi salah satu pembicaranya.
Jadi ya, tahun 2019 buatku adalah tahun yang banyak bicara, dan banyak juga bekerja.

 
 
 
 
 
 
Penghargaan terakhir, seperti biasa, diberikan untuk kejadian paling tak-terduga, paling heboh, paling greget, paling ngagetin yang terjadi di 2019

SHOCKER OF THE YEAR

Nominasinya paling banyak, bahkan lebih tepat disebut runner-ups, karena pemenangnya ada di bawah
1. Ibukota negara Indonesia mau dipindahin ke Kalimantan Timur!!
2. Prabowo bisa bahasa hewan!!!
3. Barbie Kumalasari dulunya pembantu Lala Ibu Peri!!
4. CM Punk nongol lagi di WWE!!!
5. RUU Permusikan ngambil daftar pustaka dari makalah anak SMK!!
6. Ada Hari Dilan! HARI – motherf’kn – DILAN!!!
7. PUBG diharamkan!
8. Skandal prostitusi artis di Indonesia dan Korea!!
9. Avengers ditayangin di bioskop mulai dari jam lima subuh! and it’s not even lagi sahur!!
10. Black Hole akhirnya berhasil difoto!!!
11. Indomi bisa betulin barang yang rusak!!
12. “Eh, kok gak ada, anjing! Ilang, goblok!!!!”

 
Sukar dibayangkan di saat Maudy Ayunda dalam pertimbangan milih kuliah di Stanford atau Harvard, segala kejadian di atas juga terjadi di dunia. Dan inilah yang paling mengejutkan di antara semuanya…:

Kalo orangtuaku tahu Teletubbies aja udah punya anak, bisa-bisa aku ditodong nikah lagi! Alamak!!

 
 
Jadi, begitulah. Seperti yang dikatakan Asmara Abigail di film Perempuan Tanah Jahanam; “Kerasa gak?”
Semoga awards ini bisa jadi pengingat yang membantu kita semua merasakan kesenangan-kesenangan ikonik, unik, sekaligus pointless duniawi tahun 2019 sebab cepatnya waktu berlalu memang membuat kita tidak merasa sama sekali.
I hope you all have wonderful year ahead.
Selamat Tahun Baru, dan untuk menyambut satu dekade My Dirt Sheet Awards, apa kalian punya usulan untuk tema berikutnya? 10 – My Dirt Sheet Awards Tenet, or sumting? Atau ada usulan kategori baru?
Share with us in the comment below. Who knows if in the next year Awards there’d be a ‘Best Comment’ category — with actual prize, maybe?
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember in life, there are winners.
And there are 
“We don’t create lame stories and stupid excuses at The Palace of Wisdom”

 
 
Yang jelas, we still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.

TEMEN KONDANGAN Review

“You don’t need to prove anything to anyone as far as you know yourself”
 

 
Film haruslah punya kepentingan. Kudu unik, punya originalitas dan kebaruan. Serta tentu saja harus relevan. Makanya Teman Kondangan ini, eh maaf salah… Makanya Temen Kondangan ini jadi puncak dari sinema komedi Indonesia. Digarap oleh Iip Sariful Hanan yang sebelumnya menelurkan berbagai karya klasik seperti… ..umm, sinetron-sinetron, film ini sangat merangkul dan mewakili gaya hidup kekinian. Hanan memotret fenomena besar dan penting-banget dalam kehidupan sosial kita saat ini yakni persoalan menghadiri pesta pernikahan gak boleh sendirian karena bakal dinyinyirin oleh netizen.
Temen Kondangan dibintangi oleh Prisia Nasution yang berperan sebagai Putri; seorang selegram dengan ribuan follower yang mendapat layangan undangan dari sang mantan ke pesta pernikahannya di Bandung. Putri lantas ditantang oleh sahabat-sahabat ceweknya untuk datang ke pesta tersebut sebagai bukti nyata dirinya sudah move on. Tentu saja Putri menyanggupi. Hanya saja, kini dia lagi jomblo, dan datang ke pernikahan sendirian jelas akan menurunkan citranya di mata para fans dan pengikutnya di dunia maya. That’s the number one rule di jagat pergaulan masa kini. Jadi Putri mencari cowok yang mau mendampinginya ke sana, berpura-pura menjadi pacar barunya. Pada hari H kondangan, Putri yang awalnya jumawa menggaet teman lamanya yang anak band, menjadi kalang kabut. Sebab ada dua lagi cowok yang datang memenuhi permintaannya. Putri harus segera meluruskan masalah sebab kini ia sudah kehilangan dua ribu follower di Instagram. Gawat gak sih follower ilang!? Hidup pasti bakal kacau!!

pirtirihin ciritinya bisir sikili yiii

 
Oke, jokes aside, film ini sebenarnya punya konsep komedi situasi yang menarik. Satu tempat, satu kejadian. Wanita yang harus berkonfrontasi dengan sirkel sosialnya, wanita yang selama ini hidup membangun singgasana di dunia maya kini berusaha menyelesaikan masalah yang dia undang sendiri ke pesta pernikahan mantannya. Set up film ini juga menarik. Kita melihat bagaimana ‘panik’nya Putri mencari pasangan yang bisa diajak ke kondangan. Narasi actually menyediakan tiga opsi baginya. Namun, ketiga cowok yang harusnya menjadi pendukung, yang harusnya melambangkan sesuatu yang bakal Putri ubah mengenai dirinya, dibuat oleh film punya agenda masing-masing. Yang lebih besar dan gak benar-benar menambah apa-apa terhadap journey tokoh Putri. Tiga cowok ini adalah bos Putri yang ternyata bekas pacar mempelai wanita dan bapak ini bucin alias belum move on parah, sepupu teman Putri yang memang menjadikan jasa temen kondangan sebagai profesi, dan teman SMA Putri yang anak band dan kebetulan ketemu di kafe, untuk pertama kalinya sejak mereka lulus sekolah, dan kebetulan dia naksir berat memendam cinta kepada Putri.
Ketika cerita sudah tiba di pesta pernikahan, semua masalah ini melebar. Tidak lagi sepenuhnya mengenai Putri. Malah justru Putri yang berusaha membantu masing-masing cowok. Ada subplot soal band yang mengkhianati personelnya, soal tokoh yang menjadikan lagu Ular Berbisa sebagai penenang. Putri tidak lagi pusat konflik. Karena dia bukannya gak bisa move on, atau ditinggalin sahabat. Putri hanya ingin ke kondangan bawa pasangan supaya orang-orang bisa lihat dia beneran move on. Need Putri dalam cerita ini adalah bahwa dia gak perlu buktiin apa-apa ke orang, dia gak perlu dengar kata-kata miring dari orang. Pembelajaran Putri tentang hal tersebut beres lewat teguran sang mantan. Semua yang di luar ini gak paralel dengan Putri, Kekacauan pernikahan bukan exactly her fault. Di akhir ada sekuens kejar-kejaran pakai perahu bebek-bebekan, dan itu gak ada hubungannya sama Putri. Makanya cerita film ini terasa sangat berantakan. Bahasan film menyerempet ke mana-mana. Film menyinggung nikahan gak mesti mewah-mewah selain persoalan baper, gak bisa move on, dan citra sosial media. Yang terasa diada-adakan karena film butuh untuk mengisi durasi. Dan karena ini komedi, maka kejadiannya dibuat seajaib mungkin. Seperti ibu salah satu mempelai yang melipir dari pelaminan begitu saja untuk mencari berondong. Film juga berdedikasi sekali untuk mengisi waktu dengan reference-reference ke produksi-produksi MNC lainnya, makanya kita dapat adegan Lukman Sardi nongol sebagai dirinya sendiri ngobrolin filmnya; Di Balik 98 (2015)

Tak habis pikir, film yang diniatkan salah satunya untuk menegur kita dari palsunya interaksi dunia maya, malah membuat adegan dunia nyata di dunianya sebagai kejadian yang dilebay-lebaykan.

 
Soal komedinya, biar aku gambarkan beberapa adegan supaya kalian dapat mengerti seperti apa tepatnya tipe film ini. Bos Putri masuk ke ruangan kerja Putri, langsung mengajak ngobrol sambil melihat sekeliling ruangan, di ruangan itu ada poster setengah badan Putri, dan saat mengobrol tangan si bos mendarat tanpa sengaja dan berhenti di bagian dada Putri pada poster tersebut. Adegan lain, ada yang menampilkan orang diuppercut sehingga terangkat tinggi kayak kartun dan pingsan. Begitulah tren komedi Indonesia masa kini. Puncak entertainmen layar lebar tanah air, karena ya kita tertawa. Orang-orang di studioku bersenang hati menontonnya. Dan oh ya, jangan lupakan tarian lagu Ular Berbisa yang membuat suasana pernikahan jadi kayak live show Inbox/Dahsyat.

mentang-mentang ada mantan host-nya maen

 
Setiap kali mengulas review film-film komedi yang ditujukan untuk anak-anak, aku mencoba realistis menyingkapi level humor/candaan dan dalamnya eksplorasi cerita, standar penilaian selalu mempertimbangkan fakta bahwa film itu bukan dibuat untuk aku. Jadi komedi-komedi receh enggak serta merta membuat film menjadi berkualitas rendah. TAAPIIIII, Temen Kondangan ini bukan film anak-anak. Ini ditujukan untuk milenial, generasi yang mulai menghadapi krisis mid-life seputar relationship, yang menggunakan sosial media sebagai interaksi sosial dan pekerjaan. Film ini gak punya urusan untuk menjadi sereceh-recehnya kayak film untuk anak balita. Mungkin di antara kalian ada yang beruntung menyaksikan Playing with Fire (2020) yang dibintangi John Cena di bioskop? Nah, Temen Kondangan ini berada di level yang sama dengan film tersebut. Demi komedi dan kerecehan, film menyia-menyiakan potensi dari konsep dan cerita yang dimilikinya.
Bukannya gak boleh receh. Film-filmnya Taika Waititi humornya receh dan absurd semua kok, lihat saja Thor: Ragnarok (2017) atau Jojo Rabbit (2019) yang masuk nominasi Oscar tahun ini. Tapi ya, seharusnya film memberikan bobot di balik kerecehan tersebut. Misalnya, alih-alih stake yang hanya ‘follower turun’, kembangkanlah kepentingan angka follower itu lebih jauh lagi terhadap hidup Putri. Bikin supaya kita peduli Putri kehilangan pengikut dan tekankan kepentingan sosial media. Atau mungkin memang aku yang kuper; mungkin dunia nyata memang sudah sebegitu berubahnya sehingga angka follower kini sudah urusan hidup-dan-mati? I don’t know, still, rasanya bego dan gak ada apa-apanya stake yang begini. Seperti penulisan dan pengembangan ide yang masih dangkal.
 
Karena kerecehan dan ke-weightless-an ini jualah film jadi tidak berhasil memenuhi misinya. Perjalanan Putri, dalam level yang lebih dalam, seperti contoh kepada kita untuk gak terlalu dengerin sosmed. Kita gak perlu buktikan sesuatu yang sudah kita lakukan kepada orang hanya demi gak dijulidin ama mereka. On a surface level, film menyugestikan tidaklah apa-apa datang ke pesta pernikahan tanpa pasangan. Hanya saja film tidak bisa menjawab kenapa. Kenapa enggak masalah datang kondangan sendirian. Kenapa baiknya kita gak usah bawa pacar palsu atau nyewa teman kondangan. Kejadian dalam film terlalu dibuat-buat sehingga gagal memberikan gambaran yang grounded. Situasinya terlalu kartun. Ditambah absennya bobot dan urgensi tokoh utama, film ini jadi kayak makan snack murah. Asik dikunyah tapi isinya ‘angin’ doang.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for TEMEN KONDANGAN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Jadi kalo ada yang datang ke kondangan mantan, itu artinya dia udah move on atau belum? Perlu gak sih datang ke nikahan mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Survivor Series 2019 Review


 
Ini adalah malam saat satu kemenangan atau kekalahan bisa menjadi penentu kunci brand acara WWE yang paling dominan. Dan kali ini kandidat yang berebut supremasi bukan hanya tim merah dan tim biru. Setelah dibesarkan selama nyaris satu dekade, tim kuning – anak emas Triple H – NXT akhirnya dilibatkan ke dalam pertempuran acara induk. Hasilnya memang seperti yang sudah diantisipasi banyak penggemar.

Survivor Series 2019 ini, dengan perseteruan antara Raw – Smackdown – NXT, sedikit kurang masuk akal dari segi kontinuitas cerita dan karakter, tapi sungguh-sungguh seru dan menyenangkan.

 
Jadi, apa sih sebenarnya NXT? Seberapa besar pengaruhnya terhadap keseluruhan standar acara WWE? Kita intip sedikit latar belakang NXT yang kemunculan awalnya di 2010an ini. Setelah berpindah format dari kompetisi ala reality tv, NXT dua tahun setelah debutnya menjadi semakin populer. Oleh Triple H, NXT dijadikan semacam developmental untuk talent-talent yang masih hijau dan mengasah skill gulat dan skill penampil mereka. NXT, tidak terbatas seperti Raw dan Smackdown yang harus memperhatikan, keinginan produser, permintaan sponsor, dan segala macam tetek bengek yang berhubungan dengan rating acara. Tapi tetap dikemas dengan kualitas dan standar produk yang tinggi. Oleh karenanya, menonton NXT menjadi seperti eskapis yang menyegarkan. Terutama bagi penggemar yang menginginkan konten yang lebih banyak aksi ketimbang drama. Bintang-bintang di NXT lebih bebas mengekspresikan karakter mereka, mengekslporasi jurus-jurus yang dahsyat. Dibandingkan Raw dan Smackdown yang lebih berorientasi ke family-entertainment, NXT terasa seperti remaja pemberontak di dalam keluarga WWE.
Sebagian bagian dari perubahan arahan acara induk Raw dan Smackdown menjadi lebih ‘galak’ yang mulai dilakukan sejak Oktober lalu, Survivor Series 2019 fokus untuk memperkenalkan NXT. Mengintroduksikan superstar dan gaya bermain tim kuning yang lebih agresif kepada penonton Raw dan Smackdown. Stake brand supremacy yang tadinya dari tahun ke tahun terasa semakin hampa; Raw menang dalam tiga tahun terakhir dan nyatanya kemenangan tersebut seringkali tidak berbuntut apa-apa, pada tahun ini menjadi sedikit lebih bergairah. Karena banyak penonton yang menganggap NXT begitu keren sehingga Raw dan Smackdown seharusnya dibuat lebih mirip seperti NXT. Bahkan, dari dulunya superstar dari NXT dinanti-nanti untuk naik kelas ke acara induk, menjadi dikhawatirkan untuk naik kelas karena acara induk masih belum sekeren acara NXT. Lucu, betapa secara tak-sengaja NXT sudah meng-take over acara inti.
Build up Survivor Series kali ini dimulai dari invasi para superstar NXT ke Smackdown saat sebagian besar superstar Brand Biru terlambat pulang dari show di Arab awal November. Storyline yang langsung menghantam penonton dengan gelombang keseruan karena serta merta kita mendapat banyak potensi pertandingan yang menarik. Para juara dari masing-masing brand dipertandingkan. Match-match yang normalnya hanya bisa kita dapatkan dalam video game kini bisa menjadi kenyataan.

Joker adalah Rey Mysterio yang tersakiti

 
Dan memang seperti fantasy league atau video game-lah match card acara ini. Kesinambungan dengan storyline dari superstar di dalam brand terpaksa harus kita lupakan sejenak. Pertandingan antartim atau antarbrand di Survivor Series hanya seru jika kita mampu mengsuspen ketidakpercayaan kita terhadap berbagai ketidakbersambungan. Raw dan Smackdown mungkin masih bisa berjalan seiring storyline di dalam brand mereka masing-masing; Charlotte dan Asuka masih saling membenci meski mereka satu tim dalam Survivor Series. Namun NXT adalah yang paling banyak butuh kerelaan kita untuk memaklumi hal-hal seperti Rhea Ripley yang bekerja sama dengan Bianca Belair yang satu malam yang lalu berantem habis-habisan di NXT War Games (ppv tahunan NXT). Kinda hard to believe Ripley memilih Belair dan juga Io Shirai sebagai rekan timnya padahal anggota tim War Gamesnya sendiri tidak dapat pertandingan apa-apa.
Survivor Series memang tidak dirancang untuk ditonton ‘serius’ seperti demikian. Karena yang ditawarkan memang adalah pertandingan-pertandingan, pertemuan-pertemuan impian. Kapan lagi kita melihat Sasha Banks dan Belair yang punya gaya ngeboss yang mirip bisa satu ring. Kapan lagi kita melihat Shirai bertemu kembali dengan Kairi Sane – kali ini dalam kapal yang berbeda. Atau bahkan, kapan lagi kita melihat pertandingan triple threat antara tiga orang yang semuanya mengandung unsur ‘strong’ dan ‘style’ – AJ Styles melawan Shinsuke Nakamura melawan Roderick Strong; pemenang match ini harusnya benar-benar dinobatkan sebagai King of the Strong Style. Survivor Series menyuguhkan momen-momen dahsyat yang benar-benar seperti ultimate fan-service. Dan perlu diingat sebagian besar superstar Raw dan Smackdown berasal dari NXT, sehingga beberapa dari mereka punya backstory tersendiri yang membuat duel semakin berisi. Aku ngakak, misalnya, saat melihat Shirai dan Sane bertarung heboh sebagai throwback mereka yang dulunya partner, dengan Dana Brooke hanya bengong di belakang.
Para superstar NXT sepertinya menyadari bahwa ini adalah kesempatan buat mereka. Sehingga meskipun sebagian besar mereka masih luluh lantak oleh pertandingan maut di War Games dua-puluh-empat jam yang lalu, mereka masih tampil maksimal. Adam Cole kemaren jatuh dua puluh kaki meniban meja, dan malam ini di Survivor Series sakit pada punggungnya dijadikan bukan sebagai hambatan, melainkan poin untuk bercerita dalam match dahsyatnya melawan Pete Dunne yang juga sama babak belurnya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa kesempatan sangat berharga untuk dilewatkan. Bukan hanya NXT yang mengapitalisasi kesempatan seperti ini. Raw dan Smackdown juga dapat keuntungan. Tidak lagi kita melihat pertandingan kejuaraan yang membosankan. Both Universal dan WWE Championship berlangsung asik dan padet – told the story well, tanpa bullshit, dan deliver aksi yang enggak berlebihan. Daniel Bryan melawan the Fiend menegangkan – meski akan jauh lebih bagus jika warna lampunya biasa aja – dan Brock Lesnar melawan Rey Mysterio berisi momen yang keren yang sudah jarang dilakukan oleh WWE.
Satu lagi nilai positif dari penambahan NXT adalah skoring yang menjadi intense. Sebelum ini, hanya Raw lawan Smackdown, skor kedua brand yang seringkali dibuat susul menyusul udah nyaris seperti spoiler hasil pertandingannya. Maksudku, kita sudah bisa menebak siapa yang bakal memenangkan pertandingan berdasarkan skor saat pertandingan itu berlangsung. Dengan adanya NXT, skor tersebut jadi semakin susah untuk ditebak hasil akhirnya. Di tengah acara, skor 3 – 1 – 2 dengan NXT memimpin dan Raw paling bontot, membuat kita tetap excited karena apapun masih mungkin untuk terjadi. NXT bisa gagal memimpin dan seri dengan salah satu brand. Atau mungkin malah Smackdown yang mencuri kemenangan. Hal yang tak bisa diantisipasi semacam ini yang membuat acara semakin seru.
seharusnya ada peraturan tegas Walter hanya boleh keluar diiringi musik klasik

 
 
Menangani pertandingan dengan superstar berjumlah banyak sekaligus – dua traditional tag team kali ini berjenis triple threat yang berarti ada lima-belas superstar aktif sekaligus – tampak sekali ada kesulitan dalam booking atau penulisan. Pertandingan yang cewek menggunakan elemen cedera palsu yang mengirim bukan hanya satu, melainkan dua superstar dari tim NXT ke backstage, untuk kemudian kembali lagi di akhir, tanpa jejak sakit apa-apa dan membantu Ripley ngalahin Sasha Banks, untuk memenangkan pertandingan. Ripley seharusnya tidak perlu mendapat bantuan, karena dia sudah begitu over sejak di War Games, dan tentu saja tidak perlu membuat ada yang ‘cedera’ karena terlihat gak masuk akal. Pertandingan yang cowok bahkan lebih parah lagi bookingannya. Terkecuali Keith Lee yang mendapat sorotan luar biasa sehingga tampak begitu kuat, banyak dari superstar yang terlibat seadanya. Mereka hanya ada di sana untuk dikenai jurus finisher. Seperti Damien Priest yang literally gak ngapa-ngapain sebelum kena RKO. Kevin Owens seperti diberikan kedalaman; ia yang kemaren bergabung dengan tim War Games NXT, kini memilih untuk menyerang Smackdown alih-alih NXT. Tapi kemudian kedalaman tersebut jadi berhenti begitu saja karena Ciampa, NXT, sendiri yang mengeliminasi Owens.
 
Penulisan yang tidak berimbang, dan ketidaksinambungan storyline intra-brand yang membuat superstar menjadi kurang-berkarakter menjadi sandungan utama Survivor Series. Tapi selain itu, semua aksinya menghibur. Kalian yang belum pernah nonton NXT, bisa dipastikan akan tertarik untuk mulai mengikuti acara tersebut setiap minggu. Karena hal terbaik yang dilakukan Survivor Series 2019 adalah menge-push brand NXT. Bukan hanya Tim Kuning menang angka, mereka juga menang di match terbaik. The Palace of Wisdom menobatkan Adam Cole melawan Pete Dunne dalam pertandingan yang tampak menyakitkan namun begitu seru sebagai MATCH OF THE NIGHT.
 
 
Full Results:
1. WOMEN’S SURVIVOR SERIES TRADITIONAL TAG TEAM TRIPLE THREAT Tim NXT (Rhea Ripley, Bianca Belair, Candice LeRae, Io Shirai, Toni Storm) menang atas Tim Raw (Charlotte Flair, Natalya, Asuka, Kairi Sane, Sarah Logan) dan Tim Smackdown (Sasha Banks, Carmella, Nikki Cross, Lacey Evans, Dana Brooke)
2. TRIPLE THREAT NXT North American Champion Roderick Strong mengalahkan Intercontinental Champion Shinsuke Nakamura dan United States Champion AJ Styles
3. NXT CHAMPIONSHIP Adam Cole bertahan atas Pete Dunne
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP The Fiend Bray Wyatt jadi juara bertahan ngalahin Daniel Bryan
5. MEN’S SURVIVOR SERIES TRADITIONAL TAG TEAM TRIPLE THREAT Tim Smackdown (Roman Reigns, Shorty G, King Baron Corbin, Braun Strowman, Mustafa Ali) unggul dari Tim NXT (Tomasso Ciampa, Matt Riddle, Walter, Keith Lee, Damien Priest) dan Tim Raw (Seth Rollins, Randy Orton, Ricochet, Drew McIntyre, Kevin Owens)
6. WWE CHAMPIONSHIP NO HOLDS BARRED Brock Lesnar tetap juara mengalahkan Rey Mysterio 
7. TRIPLE THREAT NXT Women’s Champion Shayna Baszler menang dari Smackdown Women’s Champion Bayley dan Raw Women’s Champion Becky Lynch 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

KOBOY KAMPUS Review

“I certainly can’t change it by sitting on my couch..”

 

 

 

Bikin dan ngurusin sebuah negara itu enggak gampang, terutama ketika kita enggak melakukan apa-apa terhadapnya. Tapi, lucunya, justru itulah yang dilakukan oleh para koboy kampus – sebutan lawas untuk mahasiswa yang lebih senang untuk tidak langsung menembak target lulus kuliah secepatnya – di ITB era pemerintahan Soeharto.

Para ‘koboy’ ini dipimpin oleh Pidi, mahasiswa seni rupa yang berpotongan gondrong. Melihat teman angkatannya berkoar-koar orasi mengkritisi presiden, Pidi terilham suatu cara lain untuk memprotes negara. Yakni membuat negara sendiri. Terciptalah Negara Kesatuan Republik The Panasdalam, nama yang sungguh merangkul perbedaan lantaran merupakan singkatan dari Atheis, Paganisme, Nasrani, Hindu-Buddha, dan Islam. Awalnya negara yang cuma seluas ruang lukis itu – actually ruang lukis itu memang jadi lokasi negaranya – hanya memiliki penduduk sebanyak lima orang. Tapi berkat ajaran Pidi sang Imam Besar, berkat alunan lagu-lagu ciptaannya yang kocak,  berkat kehidupan kampus sebagai alternatif dari berpanas-panas di luar turun ke jalan, negara The Panasdalam dengan cepat berkembang dan menarik minat mahasiswa Indonesia untuk berpindah warga negara masuk ke sana.

Negara yang penduduknya setiap kali makan dan buang air ke luarnegeri

 

Mengenai The Panasdalam dan Pidi Baiq sendiri, aku yang lahir di luar zaman dan daerah mereka, memang tidak begitu familiar dengan mereka. Aku tahu beberapa lagunya yang lucu-lucu kayak “Jane”, “Rintihan Kuntilanak”, dan “Tragedi Segitiga Merah Maroon”, aku juga tau Pidi yang menulis Dilan. Dan cuma itulah yang aku tahu. Tapi aku bisa relate dengan kehidupan koboy kampus yang ditampilkan oleh film ini. Kalo di kampusku dulu mahasiswa-mahasiswa golongan telat lulus alias terdistraksi melulu oleh maen, pacaran, atau hal-hal absurd tak-penting tapi diyakini bisa menyelamatkan dunia ini istilahnya adalah “king of injury time specialists”, dan aku salah satu anggotanya haha.. Makanya nonton ini aku jadi seperti menertawakan diri sendiri. Kehidupan kampus tergambar terang dengan rasa nostalgia. Dialognya mengalir jujur, sejujur jailnya mahasiswa dengan segala gagasan gila dan nilai ‘liar’ mereka. Dan memang dua hal itulah yang menjadi appeal utama dari film Koboy Kampus. —oh, bagi beberapa penonton mungkin ada satu lagi; anggota JKT48.

Selain itu, aku tidak merasa peduli dengan kejadian yang muncul silih berganti sepanjang durasi. Karena subplot-subplot yang dihadirkan tidak dilandasi oleh satu gagasan yang paralel. Mereka hanya ada untuk lapangan bermain komedi. Kita tidak pernah tahu dan mengerti siapa Pidi karena film tidak mengajak kita untuk menyelami dan mengeksplorasi motivasi dan sudut pandangnya. Malahan, film seperti takut untuk memperlihatkan cela tokoh ini. Untuk memperlihatkannya sebagai manusia yang setara dengan teman-temannya. Kita diminta untuk memandangnya seperti tokoh teman-teman memandangi dirinya; penuh kagum karena Pidi begitu lucu, bijaksana, cemerlang dengan ide-ide unik. Yang bahkan tidak benar-benar menambah banyak untuk elemen negara The Panasdalam yang ia dirikan.

Film sangat mengultuskan sosok Pidi. Dia tergambarkan sebagai ‘juru selamat’ lewat fatwa-fatwa yang dicetuskannya dalam The Panasdalam. Negara tersebut didirikan sebagai bentuk perlawanan Pidi. Jika ada hadist yang menyebut untuk mengubah kemungkaran, gunakanlah tangan – jika tidak mampu maka gunakanlah lisan, dan jika tetap tak mampu gunakan hati, maka negara buatan Pidi digambarkan berada bahkan di atas hadist tersebut. Perlawanan mereka adalah perlawanan cinta damai lewat lagu. Di kampus, di rumah, di kampus lagi, dia menyanyi sepanjang waktu. Disambut oleh anggukan kepala tanda setuju dan gelak tawa ‘rakyat-rakyatnya’. Jika ditambah dengan perawakannya, Pidi tampak seperti Yesus bergitar versi hippie. Yang hanya duduk sepanjang waktu menyanyikan protes, sementara dunia tampak membaik dan tambah menyenangkan karena semakin banyak orang yang terkagum sehingga menerapkan ‘ajarannya’. Untuk menekankan hal ini, film memasang satu adegan nyanyi yang menampilkan Pidi bersinar dalam latar yang seperti awan-awan. Haleluya!

Pidi tidak menciptakan negara. Dia menciptakan agama.

 

Dan apa sih skenario? Pidi jelas jauh berada di luar – di atas – semua aturan-aturan itu. Tokoh utama film punya kaidah untuk ditulis banyak melakukan sesuatu, dalam perjalanannya harus mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya, secara konstan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menentang pemikirannya, tapi tidak demikian halnya dengan Pidi. Inilah yang menyebabkan susah untuk peduli kepada tokoh ini. Karena dia hanya duduk dan bernyanyi, tak tersentuh oleh permasalahan negara dan permasalahan sosial – perkuliahan yang dihadapi oleh teman-temannya. Tentu sah-sah saja jika tokoh utama ceritamu punya dan jago dalam satu kepandaian. Bernyanyi dan bermain gitar adalah kekhususan tokoh ini – kita tidak bisa mengharapkan dia ikutan melukis. Akan tetapi tokoh utama juga harus ditulis sebagai karakter yang aktif berbuat dan ditantang oleh sesuatu. Paterson dalam film Paterson (2017), misalnya. Dia pembuat puisi – that’s what he does as a character. Namun kita tidak mati kebosanan mengikuti kisahnya karena serutin apapun hidupnya yang bekerja sebagai pengendara bus kota, Paterson secara rutin ‘ditantang’ oleh sekitar. Dia aktif bergerak, mengajak anjingnya jalan-jalan, bertemu anak kembar, busnya pecah ban. Ada perjalanan inner melingkar – yang koheren dengan outer journey – yang ia hadapi, ada pembelajaran yang berlangsung dari Paterson yang berusaha untuk membuat rutinitasnya menjadi hal-hal luar biasa yang indah ia puisikan. Journey seperti demikian absen pada Pidi. Dia tidak setuju dengan keadaan negara, dia tidak setuju dengan perlawanan dari sebagian temannya, dia membuat negara baru untuk menunjukkan beginilah seharusnya – bentuk kritisi yang ia sampaikan, tapi ia tidak melakukan apa-apa dengan negara tersebut.

Dia memperlakukan Panasdalam sebagai eskapis dari masalah karena baginya keadaan politik atau masalah kuliah itu adalah masalah luar negeri. Sementara negara yang ia bangun sudah keren. Ada masalah kecil, dia tinggal bernyanyi. Padahal kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan duduk saja

 

Oh boy, betapa The Panasdalam adalah negara idaman. Tidak ada konsekuensi diperlihatkan di sini. Ini semester terakhir, sementara nilai kuliahmu amburadul? Well, di tahun itu mahasiswa bisa kuliah hingga empat-belas tahun. Cerita film ini mengambil kurun dari 1995 hingga lengsernya Soeharto di 1998, dan untuk sebagian besar cerita tokoh kita sudah disebutkan dalam “semester terakhir”nya. Soal biaya? Ah, tak sekalipun tokoh kita diperlihatkan susah uang. Keluarga? Apalagi. Keluarga Pidi mendukung anaknya. Jika ada teman yang keluarganya nyuruh lulus, bagi Pidi tak jadi soal. Pacar? Patah hati hal biasa karena kita toh masih mahasiswa untuk waktu yang lama. Pidi tak tersentuh sama semua itu.

kayaknya seru ya kalo diospek sama Candil, serius!

 

Memang, film ini membangkitkan pertanyaan demi pertanyaan yang tokoh kita tak peduli untuk menjawabnya. Kenapa si Inggris nelfon ayahnya cuma untuk ngabarin dirinya diangkat jadi Duta Besar Inggris The Panasdalam. Kenapa bibir Stefhani Zamora item. Kenapa Boris bisa sampe gak pernah ketemu sama Pidi. Tapi bisa jadi memang itulah sasaran film ini. Karena mereka mempersembahkan diri sebagai komedi yang absurd. Dan sebagai komedi, dia efektif membuat penonton di dalam studioku tertawa. Tapi sesungguhnya narasi yang dihadirkan, cara berceritanya, film ini lebih cocok sebagai sebuah buku novel – atau mungkin komik, yang tidak perlu (mau) terkait oleh kaidah-kaidah penceritaan.

 

 

 

Menonton negara fiksi dalam film ini seperti menyaksikan sebuah cult/sekte cinta damai yang berkembang menjadi sesuatu yang absurd. Harmless, tapi juga pointless. Seperti ceritanya yang berkembang tak jelas arah. Jika kalian berharap akan tahu siapa Pidi dengan menonton ini, kita tidak akan mendapat banyak selain dia adalah sosok pemimpin paling ideal yang bisa diimpikan seseorang yang pengen negaranya maju. Generasi tua bisa nyaksikan ini untuk unsur nostalgia. Generasi yang lebih muda bisa hadir untuk lebih banyak dialog ringan namun gemes seperti yang dijumpai pada dua film Dilan. Tapi jika kalian pengen film yang beneran kayak film, maka aku gambarin kalo aku sendiri merasa menyesal enggak titip absen aja pas acara nonton bareng film ini tadi.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KOBOY KAMPUS.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Mahasiswa seperti apakah kalian dulu?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.