COLLATERAL BEAUTY Review

“Life is a teacher and Love is the reward in all its forms.”

 

collateral-beauty_poster

 

Film ini sudah berjasa besar dalam mengingatkanku untuk, sebisa mungkin, enggak lagi nonton trailer. Film apapun.

Tidak ada yang lebih ngeselin daripada getting your expectations high up dengan nonton lima-menit-or-so video promo, untuk kemudian mendapati filmnya enggak live it up dengan apa yang sudah mereka imingkan. Ini lebih parah daripada diphpin cewek. Trust me, pengalaman nonton akan lebih menyenangkan jika kita mengetahui sesedikit mungkin tentang film yang bakal ditonton. Jadi itulah kenapa aku males nonton trailer. Tapi kadang ngehindarin trailer cukup sulit daripada kelihatannya. I mean, setiap ke bioskop kita mau-tak mau harus ngeliat beberapa. In fact, saat di bioskop, aku justru lebih senang ketemu trailer ketimbang harus ngeliat iklan komersial. Which is remind me..,

Bioskop, kenapa harga tiketmu semakin mahal tapi iklan malah tambah banyak? Apa kami beneran disuruh nambah bayar buat nontonin iklan?!

 

Begitulah aku kenal dengan Collateral Beauty. Aku nonton trailernya yang diputer di bioskop sekitaran jelang akhir tahun lalu, and I was intrigued by it. Film ini mempersembahkan sesuatu yang unik. Trailernya nyeritain sebuah plot. Ada seorang pria yang dikunjungi oleh personifikasi dari Kematian, Cinta, dan Waktu. Mereka bicara kepadanya, mereka mencoba membantu pria ini keluar dari situasi yang sulit. Dari trailernya seolah ini adalah perjalanan spiritual yang penuh pesan filosofis. Bertabur bintang papan atas pula. Will Smith, Keira Knightley, Edward Norton, Kate Winslet, geng nominator Oscar deh pokoknya. Aku serius nungguin film ini tayang. Namun kemudian, ilang begitu saja di bioskop. Kalah saing ama Rogue One, mungkin saja. Tenggelam sama dua film komedi hits akhir taun Indonesia, bisa jadi. Jawaban yang bisa kusimpulkan dari ketika nonton ini adalah, mungkin para bintang top tersebut malu. Mereka memang seharusnya malu udah main di film ini. Trailernya bo’ong banget. Cerita film sebenarnya sangat berbeda dari apa yang dijual pada trailer. Not even close.

 this is a giant marketing scam
this is a giant marketing scam

 

Film ini sesungguhnya juga bikin aku kagum.
Sebagian besar adegan disyut dengan sangat cakap, menghasilkan visual yang cakep. Penampilan aktingnya pretty good, seperti yang bisa kita harapkan dari para aktor sekelas mereka. Serius nih, aku kagum. Para aktor tersebut bekerja keras, terutama Will Smith. He’s really trying in this. Penampilannya di sini seolah dia sedang mainin film buat nominasi Oscar, seperti yang biasa ia lakukan di film-film ‘andelan’ lain sekitaran Desember setiap tahunnya. Tapi bener deh, gimana film ini bisa membujuk aktor-aktor lain untuk main di film ini adalah hal yang pantas kita admire. I mean, Collateral Damage, eh sori maksudnya, Collateral Beauty punya PLOT LINE YANG LUAR BIASA BEGO, sehingga fakta film ini bisa muncul sebagai suatu eksistensi aja udah merupakan hal yang menakjubkan. Amazing. Amazingly insulting buat cerita-cerita bagus yang masih keliaran nyari jodoh di luar sana, sih lebih tepatnya.

Collateral Beauty menceritakan tentang seorang bisnis man yang sukses bernama Howard. Setelah kematian putrinya yang baru berusia enam tahun, Howard mengucilkan dirinya sendiri. Menutup perasaannya. Dia menolak bicara kepada orang lain, termasuk kepada karyawan dan teman-temannya. Plot utama film ini dibeberkan dalam rentang dua-puluh-menit pertama dan plot tersebut benar-bener beda dari apa yang sudah trailer bikin kita percaya.

Howard begitu patah hati oleh kepergian putrinya sehingga kerjaannya terbengkalai. Tiga teman, yang juga adalah karyawannya, khawatir mereka bakal kehilangan pekerjaan jika Howard terus-terusan ‘pendiem’ kayak gini. Alih-alih beresin urusan dengan klien, Howard menghabiskan jam kantor dengan nyusun domino dan ngeberantakinnya sendiri. Jadi, Whit, Claire, dan Simon (berturut-turut diperankan oleh Edward Norton, Kate Wisnlet, dan Micahel Pena) yang ingin nyelametin leher masing-masing, menyewa private investigator buat ngintilin ke mana Howard pergi. Dengan skill deduksinya, si detektif berhasil mengetahui bahwa Howard mengirim surat kepada Kematian, Cinta, dan Waktu. NOT! Si detektif actually ngebongkar kotak surat, bayangin hahahaha! Kemudian tiga temen Howard membayar tiga pemain teater buat mendatangi Howard berpura-pura jadi sosok Kematian, Cinta, dan Waktu. Supaya apa? Supaya si detektif bisa ngerekam percakapan Howard dengan mereka dan nantinya rekaman tersebut diedit sehingga yang terlihat hanya Howard bicara dengan diri sendiri. Rekaman editan inilah yang nanti digunakan oleh tiga temen Howard buat ditunjukin ke klien; sebagai bukti Howard rada sedeng dan dia enggak seharusnya berada di posisi sebagai atasan, dan pada akhirnya mereka bertiga bisa tetep kerja.

See, plotnya persis kayak film ini sendiri. Manipulatif.

 

Menakjubkan bukan gimana orang-orang kantoran itu punya teknologi yang canggihnya nyaingin teknologi Hollywood; mereka bisa menghapus satu manusia utuh dari video handphone. Haha..ha. Ada begitu banyak hal gak masuk akal pada penulisan narasinya. Kita bisa ngomong sampai bibir item soal betapa terriblenya teman-teman Howard. Misi film ini sepertinya memang ingin nunjukin bahwa istilah temen makan temen di dunia kerja itu adalah hal yang nyata. Apa yang mereka lakuin di sini – Howard sedang dalam keadaan broken yang mendalam, mereka malah nyewa orang, berencana untuk membuat Howard seperti orang gila – it is just tindakan yang, Cinta di AADC 2 bilang “apa yang kamu lakuin itu jahat”. Dan film ini mencoba untuk merasionalkan hal tersebut di akhir.

Sebenarnya adalah konsep menarik tentang hubungan antara manusia dengan Kematian, Cinta, dan Waktu. Sejatinya tidak ada awal dan akhir, waktu hanya digunakan untuk mengukur eksistensi. Kita hanya merasa ada waktu ketika kita either sedang bersama atau sedang pisah dari seorang yang kita cintai. Tapi ultimately kita sering enggak sadar, seperti Howard, bahwa indahnya cinta terus berlanjut bahkan setelah kematian. Film ini nunjukin trauma mengakibatkan Howard menjadi lebih dekat dengan orang-orang yang shared cinta yang sama seiring berjalannya waktu. Hidup mengajarkannya tentang kematian, dengan cinta sebagai hadiahnya. Cinta melampaui waktu dan kematian; dalam kematian ada cinta, dan dalam waktu tidak ada kematian. We are all connected dengan hal tersebut.

 

replace them with Schmidt, Jess, Nick from New Girl dan film ini kayaknya bisa lebih seru. Howardnya ganti ama Winston. Hihi
replace them with Schmidt, Jess, Nick from New Girl dan film ini kayaknya bisa lebih seru. Howardnya ganti ama Winston. Hihi

 

Sayangnya perhatian Collateral Beauty sepenuhnya hanya tercurah kepada nyembunyiin twist sehingga film ini lupa untuk membangun cerita yang benar-benar menyentuh hati. Ada dua ‘kelokan’ cerita di dalam fim ini, yang dua-duanya terungkap menjelang akhir. Dan sama-sama enggak masuk akal. Satu yang menyangkut Howard, jika dipikir-pikir merupakan kebetulan yang teramat mengada-ada. Logikanya nol besar dan actually malah makin merusak film secara keseluruhan. Twist yang satu lagi berdasar kepada bahwa ternyata tidak hanya Howard yang belajar, ketiga temannya actually juga dibahas personal ama tiga ‘spirit’ tersebut. Film ini mencoba membuat kita mempertanyakan apakah ketiga pemain teater tersebut adalah spirit beneran, namun sekali lagi, hal ini justru makin memperparah narasi dan plot line yang memang sedari awal sudah horrible and crazily stupid.

Tidak pernah kita diperlihatkan kehidupan bahagia Howard bersama putrinya, selain adegan memori yang itu-itu melulu, sehingga kita kesusahan buat konek dengan karakternya. Kita tidak pernah melihat sisi bahagia dari Howard. Tidak ada adegan interaksi dengan putrinya, yang mana sangat krusial buat fondasi emosi. Padahal mestinya di dalam film semua harus dikontraskan. Namun karena film ini terlalu napsu nyembunyiin cerita, we don’t get to see that. Hanya ada satu adegan di pembuka di mana Howard girang, dia tertawa, dia ngasih pidato tentang kesuksesan. And that’s it. Cerita lompat ke tiga tahun kemudian di mana Howard pasang tampang sedih ke semua orang.

 

 

 

 

Hal terbaik yang kita bisa bilang buat film ini bahwa dirinya adalah suguhan dengan penampilan akting yang baik namun punya beberapa cacat dalam penulisan dan narasinya. Sesungguhnya film ini sendiri pun sadar akan kelemahannya, tahu bahwa cerita yang ia punya penuh oleh keenggaklogisan, jadi makanya mereka nekat bikin trailer yang nipu abis. Mereka enggak bisa hanya mejengin wajah-wajah pemain yang pernah jadi nominasi Oscar. Jadi ya, mereka butuh some terrible bait-and-switch. Karena, selain dengan trailer, dengan apalagi mereka bisa menjual diri dengan meyakinkan?
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for COLLATERAL BEAUTY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu


Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
Dulu, di kamusku tak masalah jika 4 kata tersebut berada dalam 1 kalimat.
Ketika orang merutuki 3 kata pertama, aku tetap baik baik saja, karena aku tahu akan selalu ada kata yang terakhir itu.
Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
3 kata pertama adalah perusak bahagia yang utama.
Tapi, aku selalu memiliki kata yang paling akhir.
Yang malah menjadi sumber bahagia termutakhir.

Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu.
Kini aku turut memaki keempat kata itu.


 

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

r(u)mah


Sayangku, aku menulis ini di bawah kendali rindu yang teramat,
dalam paksaan malam yang pekat dan bayanganmu yang kulihat lamat lamat.

Kucoba untuk merangkai sesak, dalam untaian abjad yang nantinya bisa kau baca.
Agar kau mengerti rasa dan rinduku yang tanpa batasan.

Masih jelas terasa sisa kecupmu berbulan bulan silam dan
hangat dekap yang kau berikan.
Saat kau merentang tangan untukku yang butuh ketenangan.

Karena dalam rengkuhmu kutahu, aku sudah pulang.
Karena kamu adalah rumah.
Tempat kembaliku saat lelah,
tak peduli seberapa jauh aku sudah melangkah.
Kembali padamu, bukan sebatas singgah.

Rumahku yang menenangkan,
kutulis ini untukmu, agar kau memahami hangatmu adalah hal yang selalu ingin kurasa.
Kamulah sesatunya rumah yang kuharap.
Tujuan akhir dari setiap perjalanan.
Tempatku melabuhkan segala resah.
Meski kini kita hanya mampu mendekap jarak.
Kuharap akan selalu aku yang menjadi hangat dan udara yang kau hirup dalam dalam.
Karena kamu, pemilik dari segala rindu dan kasih sayangku yang satu.

Karena kamu, rumahku.


 

 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

MOAMMAR EMKA’S JAKARTA UNDERCOVER Review

“Don’t sacrifice your peace trying to point out someone’s true color.”

 

jakartaundercover-poster

 

Kalo kita mau kenal deket sama orang, alangkah lebih baiknya jika kita tahu yang buruk-buruk tentang orang tersebut. Apa kebiasaan jeleknya; apa dia suka ngeles, apa dia masih sering ngompol, apa dia hobi jajan tapi enggak pernah ntraktir, atau apa dia suka makan upil. Bukan supaya bisa kita manfaatin buat yang enggak-enggak. Supaya kita bisa belajar how to deal with them, gimana supaya kita bisa memahami mereka. Tampaknya hal ini juga yang kepikiran oleh Moammar Emka ketika nulis blak-blakan tentang pengalaman mengarungi dunia malam Jakarta di bukunya yang sensasional, buku yang later menjadi salah satu bacaan terlaris di Indonesia. Ibu kota memang keras, dia bekerja keras dan bermain juga keras. Dan kita diajak mengenal lebih dekat kota ini dari sisi terburuknya. Sehingga kita bisa menghargai Jakarta sampai ke lapisan-lapisannya yang paling rendah sekalipun. Karena memang, at heart, film ini adalah TENTANG RESPEK, RASA PERCAYA, DAN CINTA.

Jakarta Undercover yang ini actually adalah film kedua yang diangkat dari cerita-cerita bukunya. Jujur aku belum baca bukunya. Jadi aku gak bisa ngobrol banyak saat ketemu sama Mas Emka di closed screening beberapa bulan yang lalu. Saat buku Jakarta Undercover ngehits aku masih dalam fase usia yang polos. Ceile alasannya ahahaha. Film pertama yang dibintangi Luna Maya, tayang 2006 lalu, juga aku belum pernah nonton. Jadinya lagi, aku gak bisa bikin perbandingan antara film yang disutradarai oleh Fajar Nugros ini sama film yang pertama itu. Namun sukurnya ini bukanlah sekuel, ataupun remake. Melainkan sebuah babak cerita terpisah, anggap sebagai perspektif yang baru.

Kita melihat film ini dari kacamata Pras, seorang pria pendatang yang mengadu nasib jadi wartawan di Jakarta. Ngerasa gak berguna nulis artikel titipan pencitraan melulu, Pras ingin ngelakuin sesuatu yang signifikan. Pertama kali ketemu Pras, kita melihat dia dalam keadaan lagi lesu-lesunya; dia males ngerampungin artikel wawancara pejabat, kerjaannya minum bir dan turu, dia boongin ibunya yang senantiasa nelpon nanyain keadaan Pras. Kesempatanlah yang kemudian datang kepada Pras. Serangkaian adegan ‘aslinya gak niat nolong orang’ menghantarkan dirinya masuk ke dalam inner circle seorang ‘organizer’ acara-acara underground di Jakarta. Memanfaatkan pertemanannya dengan Yoga, juga dengan Awink, Pras dapet akses keluar masuk berbagai party. Dia diam-diam menulis tentang kehidupan malam yang baru kali ini dia kenal. Tapi tentu saja, things menjadi complicated. Masalah etika masuk di sini. Pras ngerasa bersalah saat tulisannya akan turun cetak. Tak pelak keadaan menjadi berbahaya, karena dunia underground tersebut enggak suka diekspos ke cahaya. Dalam dunia yang mestinya tertutup rapat, kepercayaan adalah hal yang utama, terutama bagi Yoga yang bukan orang sembarangan. I mean, oh man, jika saja Yoga tahu – dan Pras sadar – bahwa ternyata mereka menyintai wanita yang sama..!!!

cinta memang gila
cinta memang gila

 

Menonton film ini, samar-samar aku mendengar kembali nasehat yang pernah dilontarkan oleh guru biologiku waktu SMA. Ketika itu memang di sekolah lagi maraknya berantem antargeng dengan sekolah lain. Jadi yaa, di sekolah semacam buka unofficial open rekrutmen jadi pasukan gitu. Dan si ibu guru dengan suaranya yang keibuan bilang “Dalam pergaulan, kita dan teman-teman saling mewarnai. Jangan sampai diri kita terwarna lebih banyak oleh warna-warna gelap dari teman-teman. Lebih baik kita yang mewarnai mereka dengan warna terang sebanyak-banyaknya.”

 

Dalam usahanya untuk tidak tersilaukan sama gemerlap lingkaran kelam Jakarta, Pras enggak sadar bahwa dia mewarnai orang-orang gabener itu lebih banyak daripada mereka mempengaruhi sikap dirinya. Menurutku, di sinilah letak elemen yang paling menarik dari film Jakarta Undercover. Film ini tidak pernah memperlihatkan orang yang nari-nari nyaris telanjang, orang yang menjual diri, yang transaksi obat-obat, yang berantem demi daerah, orang kayak Yoga, tersebut sebagai pihak yang total hitam. Malahan, kalo mau nunjuk yang paling ‘bengkok’, telunjuk kita akan mengarah ke Pras yang gak pernah terang-terangan nunjukin niat aslinya bergaul dengan mereka. Eventually, kita akan melihat gimana Yoga mempraktekkan apa yang ia dapat dari perbincangannya dengan Pras. Sementara tokoh kita belajar mengenai lingkungan barunya buat cari hal yang bisa dijadikan bahan tulisan, ‘teman-teman’ baru Pras belajar banyak hal positif dari dirinya. Tentang bagaimana keinginan Pras menjadi berguna bagi orang banyak sudah turut mempengaruhi orang lain. Dan Pras gak menyadari itu sampai tulisannya dicetak, makanya dia merasa amat bersalah. Tulisannya bisa berpengaruh terhadap banyak orang, justru in a bad way.

Dan makanya lagi, karakter favoritku di film dengan banyak tokoh-tokoh bercela ini adalah Yoga. There’s so much depth and layers dalam pribadinya. Dia begitu jujur dalam apapun. Dia tahu dia orang berpengaruh. Dia tahu apa yang ia mau. Dia tahu apa yang ia benci. Gabungan dari semua berkumpul dan bermanifestasi menjadi seorang karakter yang kinda menyeramkan, tapi, kita paham dia dan kita respek. It’s such a complex character. Baim Wong luar biasa memerankan Yoga. Memberikan intensitas yang sangat dibutuhkan oleh film ini. Setiap scene yang ada dia seolah berbunyi “tik-tik-tik” bom-waktu karakternya meledak. Setiap scene yang ada Yoga dan Pras, Yoga nanyain Pras sesuatu, dan Pras menjawab canggung, is just dripping oleh perasaan ngeri, was-was. Akting dalam film ini so good, mereka berdua bahkan sebenarnya enggak perlu musik latar buat negasin emosi. Oka Antara juga excellent dalam memainkan Pras yang kelihatan awkward di antara party-party dan lingkungan barunya.

Yang sukses nyulik perhatian semua orang, tak lain dan tak bukan adalah penampilan Ganindra Bimo. Tadinya kupikir peran ‘unik’nya di sini cuma sebagai sidekick buat nyampein comedic relief dan alat eksposisi doang. Awalnya Awink malah lebih ke kayak anak kecil yang annoying. Ternyata Awink juga punya momen dramatisnya sendiri, dan actually menambah cukup banyak buat keseluruhan cerita. In fact, setiap karakter diberikan momen di mana mereka bisa bersinar secara emosional. Bahkan tokoh pendukung minor kayak tokohnya Lukman Sardi juga punya api di sini. Tyo Pakusadewo juga great. Film menjadi begitu intens setelah lewat mid-point. Everything dibangun properly sehingga PERTENGAHAN AWAL TERASA SEPERTI FOREPLAY, DENGAN SEGALA EMOSI TERCROT MEMUASKAN DI PARUH AKHIR.

Everyone’s just finally saling pointing out ‘warna’ masing-masing, dan yang kita tonton adalah adegan yang sama sekali jauh dari damai. Hal yang mungkin sebaiknya tidak dilakukan, biarlah rahasia itu tertutup rapat. Tapi mungkin, di dalam dunia yang tidak necessarily melulu putih atau hitam, itulah tindakan yang harus dilakukan oleh setiap orang; to recognize flaws.

 

Ada banyak adegan-adegan yang memorable dan membekas, karena film ini tampaknya dibuat dengan sangat have fun. Aku suka adegan mandi; Laura menggosok badannya keras-keras ingin mengikis noda yang tak akan pernah sirna. Aku suka gimana mereka memanfaatkan skit orang gila di supermarket sebagai somekind of 4th-wall-breaking messenger kepada penonton. Aku suka adegan makan di warteg sambil ngomongin soal makan temen. Aku suka the very last shot of Pras, aku enggak akan spoil tepatnya apa di sini.

Oke, let’s just address the elephant in the room. Jakarta Undercover adalah film dengan BANYAK ADEGAN DEWASA. Sebagian besar disyut dengan really close. Sangat tense, terkadang ada violencenya juga. Versi yang diputar saat closed screening adalah versi utuh, aku nontonnya jadi kepikiran, “ni film ntar gimana bentuknya abis kena sensor?”. Ternyata mereka berhasil ngetrim beberapa tanpa merusak penyampaian film. Mesti begitu presentasi film ini masih terlalu dewasa, kekerasan dan beberapa perlakuan dalam film bisa jadi hal yang mengganggu, terutama bagi penonton yang easily get offended oleh persoalan nilai wanita dan pria.

 The moment Pras nyesel tape recordernya gak bisa ngerekam video.
The moment Pras nyesel tape recordernya gak bisa ngerekam video.

 

Untuk sebuah film tentang orang yang mencari bahan tulisan dengan bekerja diam-diam, film ini tidak punya sense of discovery yang kuat di dalam ceritanya. Maksudku, memang di film ini masih ada dari kita yang akan baru pertama kali tahu ternyata di Jakarta ada yang begituan (film ini diangkat dari buku yang terbit belasan tahun lalu yang berisi pengalaman penulisnya), namun secara penggalian cerita tidak benar-benar ada hal baru untuk kita temukan. Aku ngerasa ada film yang ceritanya seperti ini sebelumnya, you know, cerita tentang dua orang mencintai wanita yang sama, it’s like usual trope di film-film gangster. Fokus romansa dan nyerempet ke komedi membuat film terasa generic. Film ini jadi terasa ringan, alih-alih suatu sajian pembuka mata yang mestinya bisa lebih heavy, lebih kritis, lebih berdaging.

Endingnya agak sloppy. Aku lebih suka babak akhir versi yang kutonton di closed screening, karena di situ filmnya kinda leave it open buat beberapa hal, kayak adegan shoot out. So at least di ujungnya ada yang berusaha kita discover sendiri. Aku juga agak enggak akur sama penggunaan flashback dan cara film ini actually menggunakannya. Agak keseringan sehingga seolah film ini enggak percaya penonton ingat sama apa yang sudah terjadi di awal-awal. Dan lagi, film ini memakai efek kayak grainy grainy gitu di setiap adegan flashback, sebagai pembeda. Hanya saja justru adegan-adegan tersebut jadi terasa semakin dilempar ke muka kita. Juga adegan mimpi yang heavy oleh editing. Yang sebenarnya enggak diperlukan karena toh dengan segera filmnya ngasih tau itu adegan apa lewat dialog. It takes us away from the story. Mungkin akan lebih baik jika penonton dibiarkan recognized sendiri mana yang real-time mana yang enggak.

 

 

 

Secara sajian memang relatif ringan, tapi bakal ‘berdarah-darah’ oleh penampilan yang bakal menjadi teramat sangat emosional. Towards the end film ini intens oleh performa brutal oleh emosi. Tokoh-tokoh ilm ini akan ninggalin kita dalam keadaan babak belur. Kayak tokoh-tokohnya, teknikal film ini juga ada celanya. Sound design yang agak off. Penggunaan efek lensa/kamera yang somewhat distracting. Playful elemen dalam film ini enggak semuanya bekerja dengan baik. Namun jangan takut jangan khawatir, ini bukan film yang jualan liuk tubuh tanpa busana dan desahan bibir merah. Yang disibak oleh film ini adalah bukan soal betapa ‘kotor’nya Jakarta. Ada misi kemanusiaan yang menguar dari narasi ringan yang menitikberatkan kepada respek, rasa percaya, dan cinta.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MOAMMAR EMKA’S JAKARTA UNDERCOVER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

BUKA’AN 8 Review

“All generations have similar values; they just express themselves differently.”

 

bukaan8-poster

 

Menjadi suami idaman berarti harus siap siaga menjaga dan memenuhi kebutuhan istri. Alam (pembawaan Chicco Jerikho sudah oke, hanya deliverynya saja yang kerap off) tentu saja mengerti itu. Dia cinta istrinya, dia ingin menunujukkan ia seorang calon ayah yang bertanggungjawab. Alam berusaha berikan yang terbaik buat Mia (highlight dari performance Lala Karmela, ya, di rambutnya). Namun sifat kritis yang emosional di dunia maya hanya menghantarkan Alam dari mulut mangap yang menggebu ke mulut mangap tanda laper. Empat-puluh-delapan ribu pengikut twitter enggak bisa diuangkan buat membayar biaya persalinan dan rawat inap kelas terbaik rumah sakit. Well, yea, tentu saja bisa sih dimanfaatkan jika rela ‘menjatuhkan’ diri sebagai alat promosi perusahaan. Alam adalah seorang yang idealis selain seorang yang panjang akal. Jadi kita akan melihat Alam running around keluar-masuk rumah sakit mengusahakan apa yang ia bisa demi menjamin proses persalinan terbaik buat istri dan anaknya. Ada urgensi pada narasi, Alam kudu cepet sebelum Mia brojol. Dan ‘mengusahakan yang ia bisa’ itu actually adalah pertanyaan yang terus dituntut oleh mertua dan keluarga yang hadir di sana, memberikan sokongan moril dan komedi riil, yang jadi andelan film ini dalam menuturkan kisahnya yang sebenarnya sangat relatable buat pasangan suami-istri kekinian di luar sana.

Sebagai sebuah DRAMA KOMEDI, BUKA’AN 8 TAMPIL PADET OLEH ISU-ISU TERKINI yang ingin disampaikan. Film ini punya tujuan lebih dari sekedar membuat kita tertawa terbahak-bahak. Dalam kata sambutannya di malam premier, sutradara Angga Dwimas Sasongko bilang bahwa film ini adalah puisi yang menghantarkan mereka semua pulang ke dekapan keluarga. Dan memang seperti demikianlah film ini diniatkan terasa. Buat yang udah punya keluarga bakal teringat ‘perjuangan’ kelahiran legacy mereka yang pertama. Buat yang lagi pacaran bisa terbawa sama kisahnya yang tentang pembuktian diri kepada keluarga pasangan. Buat yang jomblo dan belum punya anak? Well, begini loh yang bakal dihadepin;

Life got real real-fast, kita tidak bisa hanya ngejar menang di dunia maya.

 

Penyajiaan secara komedi adalah langkah terbaik yang dilakukan oleh film ini. Karena memang elemen komedi seperti beginilah yang paling gampang konek dengan semua orang. Penampilan Sarah Sechan, Tyo Pakusadewo, dan juga Dayu Wijantofor some moment, sangat membantu film ini menggapai note-note kocak yang sudah disiapkan. Membuat ceritanya terasa lebih grounded lagi. Aku suka gimana film ini terasa seperti komedi situasi dengan rumah sakit yang berkembang sebagai latar yang sangat hidup. Cerita film sangat resourceful dalam menggunakan lokasinya. Soal pembagian porsi, film ini did a good job dalam menyeimbangkan tone. Meski memang banyaknya elemen membuat kita sulit buat ngecengkram dunia yang dibangun dalam film ini. Menyaksikan ini kita tidak akan tertawa di momen-momen yang canggung. Film berhasil membuat kita tertawa di mana kita harus tertawa, dan membuat kita merenung menghayati pesan dan sentilannya di tempat yang juga sudah disediakan. Di antara para tokoh tidak selalu terasa ada pembagian tugas; mana yang buat ngelawak, siapa yang buat serius.

 yang mau jadi boneka dunia maya siapa?
yang mau jadi boneka dunia maya siapa?

 

Buka’an 8 adalah jenis film yang terbaca hebat di atas kertas. Character arc dari Alam si tokoh utama terplot dengan terang dan jelas, kita bisa mengerti motivasi dan ‘perjalanan’ yang pada akhirnya ia tapaki. Kita paham alasan pada pilihan kerjaannya. Namun, secara penyajian, cerita yang menginkorporasi banyak elemen kayak gini adalah cerita yang cukup tricky untuk dapat direalisasikan dengan baik. Unfortunately, Buka’an 8 memang terlihat cukup kepayahan. Sebagian besar waktu, ‘heart’ ceritanya, momen-momen yang harusnya ngena-banget malah terasa kering. Karena terkadang ada begitu banyak yang harus disampaikan, sehingga mereka terasa dijejelin alih-alih masuk dengan mengalir. Dari menit-menit pertama saja, misalnya, di adegan di dalam mobil di tengah jalanan macet; film berusaha ngeestablish apa yang jadi dasar moral dan pesan film, sekaligus ngenalin ke kita karakter dua tokohnya, apa tantangan yang mereka hadapi. Kita mendengar perbincangan mereka, yang kemudian diinterupsi oleh ‘perbincangan’ twitter yang menyinggung isu politik dan sosial media kekinian. Ada banyak topik yang berlangsung, in different ways, yang dijejelin ke kita pada sekuen bincang-bincang tersebut. Hasilnya kita gak berhasil memegang apa-apa sehingga adegan pertama yang penting tersebut malah enggak terasa impactful. Emosinya jadi enggak kena.

Soal penggunaan elemen dunia maya pada film selalu menjadi hal yang on dan off buatku. Jika bekerja baik, ya memang mereka bekerja baik. Akan tetapi, pada kebanyakan film, percakapan sosial media hanya berupa gimmick buat mempermudah penceritaan, seperti cara males memberikan ekposisi. Ataupun cuma sebagai cara biar filmnya terlihat kekinian. Meskipun, menurutku, pemakaian gimmick kekinian secara blak-blakkan justru secara otomatis bikin filmnya terasa dated. I mean, dunia berkembang begitu pesat jika ada yang nonton film ini dua-puluh-tahun lagi, maka mereka bakal kebingungan – malah mungkin memperolok – gimana kemakan jamannya apa yang ditampilkan oleh film ini. Toh film-film yang timeless tidak pernah bersusah payah nunjukin teknologi, liat saja 12 Angry Men (1957) ataupun The Shawshank Redemption (1994). Film-film itu terasa relevan ditonton kapanpun.

Makanya, walaupun adalah hal yang bagus film Buka’an 8 menggunakan sosial media dan dunia maya sebagai tema yang actually menambah sesuatu, memegang peran penting, bagi cerita. Namun, penggunaan sisipan perbincangan sosmed yang berlebihan tak pelak sudah membuat kita terdistraksi dari ceritanya. Kita terlepas dari emosi. Film ini menggunakan animasi tweet, ataupun message whatsapp, dengan avatar user yang bergerak saat mengucapkan status mereka. Kita mendengar bunyi pesan masuk, kita mendengar mereka ‘berdialog’ sembari membacanya di layar. Tak jarang layar nyaris penuh oleh message sosmed. Belum lagi subtitle bahasa Inggris di bagian bawah layar. It’s just too much. Film perlu ngerem sebentar dan menyadari betapa menggelikannya adegan mereka seringkali terlihat oleh usaha atas nama kekinian ini. Dan avatar-avatar bergerak tersebut dengan cepat terasa tidak lagi lucu, it’s annoying, dan memakan waktu melihat mereka kembali ke posisi ‘foto profpict’.

Gimana film ini bisa ngarepin cerita dan karakter-karakter mereka terasa real dengan memakai overused gimmickal element kayak gini masih jadi pertanyaan buatku. Karena film ini memang come off sebagai tontonan yang menganggap dirinya sebagai sesuatu yang bener-bener kudu untuk kita tonton. This film takes itself rather seriously alih-alih have fun dengan ceritanya yang padahal justru sarat dengan poin-poin yang agak keluar logika. Inilah salah satu penyebab kenapa Buka’an 8 gagal konek dengan kita.

masa iya sih sehari 24 jam megang hape bisa salah liat tanggal?
masa iya sih sehari 24 jam megang hape bisa salah liat tanggal?

 

Kita enggak yakin gimana film ini eventually works. Sebenarnya bagus banget ada film yang arah ceritanya enggak ketebak. Narasi Buka’an 8 bisa berkembang ke banyak arah. Seru sekali nonton ini – kita kayak “wah, jangan-jangan nanti si Alam begini” eh taunya enggak. It feels like mereka punya struktur yang mantep, poin per poin. Pengembangannyalah yang menjadi masalah. Begitu banyak poin cerita yang sempat dibahas tetapi berakhir pointless, misalnya tentang mbak pasien rumah sakit yang nitipin surat buat Alam ke suster, later ternyata suratnya ilang dan suster jadi lanjut ekposisiin isi suratnya ke Alam; apa faedahnya bikin ada surat in the first place? Banyak karakter yang enggak benar-benar menambah banyak buat cerita, kayak ‘saingan’ antara Uni Emi dan Ambu yang go nowhere selain buat mancing tawa.

Tokoh Alam belajar dari orang-orang sekitar dirinya di lingkungan sekitar rumah sakit, hanya saja proses pembelajarannya masih terkesan relatif gampang (atau malahan digampangkan). Orang-orang sort of datang ke Alam dan ngasih tahu hal-hal yang diperlukan. Stake yang sebenarnya mungkin memang bukan soal duit; lebih kepada pembuktian tanggung jawab Alam sebagai seorang suami, tapi karakternya so muddled dengan emosi yang tidak berhasil disampaikan dengan maksimal. Keputusan-keputusan yang diambil Alam sesuai dengan penokohannya, tetapi penyampaiannya jarang membuat kita merasa empati. In fact, sedikit sekali ruang bagi tokoh-tokoh buat bergerak natural.

Akankah kita jadi orangtua yang hebat? Pertanyaan yang seringkali bikin calon orangtua gemeter. Karena setap generasi akan berbeda dari orangtuanya. Dan buat Alam sebagai generasi millennial, dia keluar dengan overload of confidence, buat buktiin dia adalah jembatan ke generasi berikutnya. Film ini menggambarkan Alam yang dipandang sebelah mata oleh mertua. Hal tersebut eventually eats him up on the inside. Terlebih ketika semua hal yang ia percaya bakal work out ternyata gagal satu persatu. But setiap orang punya caranya sendiri. Dengan nunjukin great responsibility ngetake care diri sendiri, bisa dan mengerti kapan harus bertindak, kita sudah nunjukin sudah lebih dari siap buat membesarkan sebuah keluarga.

 

 

Film ini lebih ‘mirip’ dengan Filosofi Kopi (2015) dibandingkan Surat dari Praha (2016), yang cukup membuatku kecewa; Surat dari Praha adalah film Indonesia dengan skor tertinggi yang kuberikan tahun kemaren. Drama komedi ini bakal gampang disukai. Dia enggak bagus banget meski juga enggak buruk-buruk amat sih, kita masih bisa ngeliat daya tariknya. Setelable lah buat ditonton bareng keluarga. Hanya saja memang film ini tidak memuaskan secara delivery. Karakter yang kurang, sementara banyak elemen lain yang terasa berlebihan. Ada beberapa adegan yang mestinya bisa diilangin aja, begitupun ada beberapa dialog yang enggak perlu ditulis segamblang yang film ini lakukan. Film yang acceptable, di sana sini kita akan tertawa, namun juga kerapkali bakal terasa kering. Yang jelas nilai film ini bukaan 8.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for BUKA’AN 8.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

RINGS Review

“By renouncing samsara, we embrace our potential for enlightenment.”

 

ringsph7mkx5mkkfeae_1_l

 

Apa persamaan antara bunyi statis televisi yang mirip-mirip bunyi air dengan dering telepon? Well, jika kalian mendengar dua suara tersebut berurutan, maka besar kemungkinan suara berikutnya yang akan kalian dengar adalah suara gadis kecil yang berbisik lantang, “Tujuh hari.” Hii, bayangin gimana tuh bisik-bisik tapi lantang, eh salah, maksudnya: bayangin tuh gimana jika hidup kalian mendadak tinggal seminggu lagi!

Lingkaran mitologi Ring selalu berputar di antara kaset video, televisi, dan telepon. Samara dengan jahatnya memastikan kutukannya terus direcycle oleh manusia, sehingga kepedihan dan deritanya bisa terus menghantui. Tonton videonya, Samara akan nelpon, dan dalam tujuh hari kita bakal isdet. Bila kalian sudah pernah nonton Ring sebelumnya, maka kalian pasti tahu satu-satunya cara terlepas dari kutukan adalah dengan mengcopy video creepy tersebut dan mempertontonkannya kepada orang lain. Namun jika kalian bertanya “pfft, siapa sih yang masih nonton vhs hare gene” maka joke’s on you. Dunia modern tidak jadi halangan bagi si vintage Samara buat go live. She’s coming and she’s gonna get everybody. Karena sekarang ada cara cepat buat memperbanyak kopian video; masukkan ke komputer, copy file quicktimenya, dan voila! kalian bisa share langsung ke internet!

Jadi, yaah, memang terdengar bego sih, tapi cerita kali ini memasuki teritori yang belum pernah digarap pada dua film Ring sebelumnya. Film ini PUNYA ELEMEN FIKSI-ILMIAH. Ada dosen yang berhasil survive dan mengetahui bagaimana cara kerja video Samara. Jadi dia membentuk semacam cult ‘underground’ gitu di kalangan murid-muridnya. Menggunakan metadata video, profesor biologi tersebut ingin bereksperimen dengan jiwa; gimana keabadian, dan segala macam terus berulang di dalam kehidupan. It’s actually lumayan menarik. Sayangnya fokus utama cerita tidak terletak di tangan si dosen. Tokoh utama cerita adalah pacar dari salah satu murid baru si dosen. Julia (Matilda Anna Ingrid Lutz ini mukanya miripmirip persilangan antara Raisa ama Jessica Alba) dateng ke kampus demi mencari cowoknya yang hilang semenjak percakapan skype mereka terputus dengan abrupt. Ternyata, cowoknya adalah anggota cult eksperimen, dan Julia mengorbankan diri menonton video Samara demi nyawa sang pacar. Kemudian film pun kembali mengeksplorasi cerita investigasi, di mana Julia dan cowoknya berusaha memecahkan misteri Samara yang sempet-sempetnya masukin penggalan video artsy-but-creepy yang baru.

"like-in video insta dan snapchatku dong, Kak"
“like-in video insta dan snapchatku dong, Kak”

 

Yang follow twitter ataupun temenan sama aku di Path, tentunya sudah ngeliat (sukursukur sekalian ngebaca) sejak awal bulan Februari ini aku ngereview tiga film Ring terdahulu. Aku memang lumayan excited nungguin film ini. Ring adalah film yang bertanggungjawab membuat aku parno melongok ke dalam sumur. Sadako, dan/atau Samara, adalah sosok yang sukses jadi pioneer hantu-hantu berambut panjang yang jalannya patah-patah dalam film-film horor yang lain. Tayang Rings kerap diundur, tadinya direncanain keluar Oktober tahun lalu – barengan ama Halloween, eh taunya di Indonesia dijadwalkan November. Dan terus diundur sampe akhirnya mentok di bulan ini. Setelah menonton filmnya, aku jadi sedikit kebayang alasan kenapa mereka gak pede nayangin. Tapi sejujurnya, buatku film ini enggak parah-parah amat. Enggak sejelek The Bye-Bye Man (2017), ataupun Incarnate (2016), ataupun The Disappoinments Room (2016) yang buat ngereviewnya aja aku langsung gak napsu. Kalo mau diurutin, berikut klasemen scoreku buat tiga film Ring:

The Ring (2002) 7/10
Ringu (1998) 6.5/10
The Ring Two (2005) 4/10

 

The Ring (2002) adalah salah satu usaha terbaik Amerika dalam ngadaptasi horor ketimuran. Filmnya berhasil ngecapture tone tragedi dan kesedihan yang menguar dari film orisinalnya. Bukan hanya itu, The Ring punya tokoh utama yang lebih setrong dan mandiri dibandingkan Ringu (1998), while also menambahkan sesuatu kepada visual video kutukan sehingga jadi lebih seram. Ring pertama versi Jepang dan versi Amerika sama-sama bercerita dengan sunyi dan sangat subtle. Berbeda sekali dengan The Ring Two yang terasa lebih sebagai horor yang mainstream, dengan cerita yang muddled dan gak fokus, gak serem malah unintentionally funny. Jadi mari cari tau ada di mana posisi Rings dalam klasemenku.

Beneran, aku sendiri lumayan surprise mendapati Rings enggak seburuk yang udah kuharapkan. Ekspektasi buat horor ini memang rendah; director Hideo Nakato yang nanganin dua film Ring tidak lagi terlibat di sini; tidak ada Naomi Watts yang aktingnya udah nyelametin The Ring Two; tidak juga ada visi Gore Verbinski yang udah bikin The Ring jadi punya aura surreal. Aku masuk ke teater dengan gemetar, siap-siap dibombardir oleh kebegoan. Namun ternyata, film ini CUKUP BERKOMPETEN. Diarahkan dengan lumayan mantep. Ada beberapa sekuens yang diceritakan dengan efektif. Ada seremnyalah. Aku suka shot saat Dosen Profesor menatap hujan di luar jendela. Performances dalam film ini, meski sedikit turun naik, tidak terasa nol besar banget. Tidak ada penampilan akting yang membuat kita nyeletuk “pemainnya menang tampang doang!”. Vincent D’Onofrio adalah yang terbaik dalam film ini dari departemen akting. Tokohnya muncul belakangan, dan sendirinya adalah peran pendukung yang really ‘fun’. Sedangkan tokoh utama kita, seperti yang kubilang tadi, lumayan kompeten. Walaupun terkadang dia masih terasa kayak ngomong buat dirinya sendiri, but maybe it’s just the character.

Masalah terberat dalam nanganin cerita Ring selalu adalah bagaimana mengisi babak keduanya. Bagaimana membuat film tetap menjadi seram dengan omen-omen kayak genangan air dan semacamnya, sekaligus tetap engaging dalam jangka waktu sejak tokoh utama menonton video sampai ke maut datang menjemput. Film pertama menarik kita masuk lewat investigasi yang surreal hingga nyaris psikologis. Film kedua kebingungan jadi mereka melempar elemen nonton video begitu saja keluar jendela. Film ketiga, Rings ini, bermaksud meniru kakak tertuanya, hanya saja film ini tidak punya footing yang kuat pada plot linesnya. Dari soal ngopi file buat selamat dari kutukan saja udah konyol banget. Kita tidak bisa mendapat banyak hal dari film ini. Semua trope karakter dan klise yang kita expected bakal ada dalam film horor dipakek. Adegan opening di pesawat actually salah satu yang terparah, untungnya kita enggak perlu repot-repot mengingatnya. Rings kehilangan aura subtle, sense of tragedy, yang menjadikan film pertamanya – baik versi Jepang maupun Amerika – terasa begitu berbeda dan menyeramkan.

Enggak berani ngelakuin sesuatu yang benar-benar berbeda. Film ini justru malah nekat mengubah mitologi yang udah dibangun. Seolah mereka enggak setuju dengan origin Samara dan nekat nambahin ulang (dengan maksa pula!) hal tentangnya. It kind of messes with previous installments. Video baru dalam film ini jauh dari kesan creepy-penuh-makna, visual cluenya enggak asik kayak video yang pertama. Apa yang dilalui Julia dalam memecahkan misteri pada dasarnya sama dengan yang dialami oleh tokoh Naomi Watts di The Ring. Dia juga ketemu bapak yang ternyata jahat. Dia juga merasa kasihan dengan Samara. Actually, cuma di sifat Samara inilah, Rings akur dengan film-film sebelumnya. Samara digambarkan ‘tertarik’ dengan orang yang bersikap baik, dengan pengorbanan. Bukan kebetulan Samara memilih Julia, it was because Julia pasang badan demi menghentikan kutukan pada pacarnya. Kesannya tuh, Rings ini hanyalah sebuah versi jelek dari The Ring. Ending filmnya sebenarnya cukup menarik dan ada nambah dikitlah buat universe ini, cuma aku enggak yakin apakah yang film ini lakukan di adegan terakhir tersebut bener-bener make sense dengan aturan cerita yang sudah dibangun.

Sakit jangan disayang-sayang. Tampaknya inilah yang ingin dibicarakan oleh Rings. Adalah hal yang perfectly fine buat kita membuang derita. Membuang masalah. Nama Samara yang begitu dekat dengan kata Samsara, melambangkan penderitaan yang tak kunjung berakhir karena life dan death terus kontinyu. Samara menganggap belas kasihan dan rasa pengertian sebagai titik lemah dan menjadi jalan dirinya masuk. Perasaan marah, sedih, galau, all those pains, mungkin lebih baik dikubur dalam-dalam. Karena kalo dibebasin, they will keep coming back to haunt you. Samara ingin derita terus tersebar dengan orang-orang terus menontonnya.

 

Sedikit cerita horor nih; Jadi saking excitednya mau nonton film ini aku sampai membawa mainan kuntilanak ikut serta. Trus di bioskop tadi kan, aku mau motion Kana bareng ama poster dek ‘Ara. Lumayan buat dipajang di sini. Eh tau-tau…. Hapeku…. MendadakMATIsendiri!!! Jeng-jeeengggg!!

Dan sekarang ngeri sendiri dek ‘Ara manjat keluar dari layar laptop.
Dan sekarang ngeri sendiri dek ‘Ara manjat keluar dari layar laptop.

 




Film yang sekedar ‘okelah’. Dibuat dengan cukup cakap sebenarnya. Sekuens yang lumayan efektif. Plot lines nya bego tapi bukan bego yang inkompeten. Sayangnya film ini tidak punya nyali untuk melakukan sesuatu yang baru kepada mitologi Ring secara keseluruhan. Hanya kayak usaha buruk dalam nulis ulang. Jump scares, klise, dan karakter trope yang biasa ada di film horor kebanyakan, turut kita jumpai di sini. Ketimbang film-film pertamanya yang bernuansa sedih dan bernature cerita cukup primal dan ‘sadis’, film ini mestinya bisa lebih nendang dengan ngusung science-fiction, but nyatanya malah lebih milih untuk menjadi generic. Menjawab pertanyaan soal klasemen di atas, ya paling enggak, film ini sedikit lebih baik daripada The Ring Two. Kalian bisa nonton film ini dan enggak mati tujuh hari kemudian karena nyesel berat udah nonton film jelek.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for RINGS.

 

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.


Konstelasi Rindu


Lagi lagi ini masih tentang kamu, tuan merah jambuku.
Wujud nyata dari beribu doa yang ku pinta sejak dulu.

Bentuk bahagia yang satu.
Hari ini aku bersama sepi.

Karena memori memaksaku untuk berdiam diri mengingat segala memoar tentang kamu.

Ketika tawa dan haru kita berintegrasi jadi satu saat cinta datang bertamu dan tatapan malu malu sering kali menciptakan sepi panjang yang canggung.
Lagi lagi aku bicara tentang kamu.

Karena ternyata panah cinta terlalu tertanam dalam saat itu.

Dan mencabutnya pun terlalu penuh haru.

Sakit. Karena darah kasat mata mengalir tanpa mengerti arti habis.
Hari ini,

Setelah kata melupakanmu sudah bisa terealisasi.

Memori itu datang lagi.

Memori membuatku mengecap rasa rindu.

Rindu yang sering membuat lidahku kelu.

Ah, ternyata hari ini rinduku masih saja berkonstelasi berwujud kamu.

Dan aku, hanya mampu tersenyum kaku.


 

 

 

As seen on thedeepeyes.wordpress.comcropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

THE LEGO BATMAN MOVIE Review

“To share your weakness is to make yourself vulnerable; to make yourself vulnerable is to show your strength.”

 

thelegobatmanmovie-poster

 

Penjahat yang hebat membentuk pahlawan yang hebat. Karena semakin berat tantangan, semakin great pula effort yang harus dilakukan untuk overcome it. Hubungan aneh antara superhero dan penjahat itulah yang sesungguhnya membuat setiap cerita komik, or even setiap cerita baik-melawan-jahat menjadi menarik. Rivalry mereka mendorong yang terbaik dari diri masing-masing, dan ‘pertarungan’ itu yang kita nikmati. Aksi Superman menyelamatkan manusia tidak akan bisa kita kagumi jika Lex Luthor tidak mengerahkan kemampuan terbaiknya at being doesn’t care about anyone. Goku enggak bakal pernah jadi orang terkuat jika Bezita berhenti menantangnya berkelahi. John Cena tidak akan pernah punya jurus baru jika CM Punk tidak terus-terusan showcasing a great match – membuktikan dirinya the best in the world. Dan kita tahu, satu-satunya yang bikin Batman segan membunuh adalah karena dia tidak mau menjadi sama seperti Joker.

Tidak akan ada Batman jika tidak ada Joker.

Namun, apa yang dilakukan oleh The LEGO Batman Movie terhadap hubungan antara Joker dengan Batman adalah sesuatu yang sangat brilian. Batman enggak mau admit bahwa dia butuh Joker untuk merasa complete. In fact, Batman di sini having a real hard time mengakui bahwa dia sebenarnya juga butuh orang lain. Film ini mengambil RUTE YANG BENAR-BENAR BERBEDA dalam membahas hubungan mereka. Tidak ada yang lebih diinginkan Joker selain supaya Batman mengakui hubungan spesial (cieee~) di antara mereka. Joker benci Batman, dan dia mau Batman juga bilang dia benci Joker, bahwa dia seneng banget menghajar Joker. But Batman can not say that. Dan kalian tahu, sangatlah kocak cara yang film ini lakukan dalam menggali ‘relationship’ antara dua tokoh komik paling populer tersebut. Ada dialog Batman yang tepatnya bilang begini, “I am fighting a few different people… I like to fight around.” Yup, it’s like persahabatan Kevin Owens dan Chris Jericho di Raw, rivalry antara Batman dan Joker di sini dibikin kayak orang… lagi… pacaran!

Menunjukkan bahwa kita butuh orang lain memang membuat kita vulnerable. Tetapi tidak seketika berarti menjadikan kita lemah. Kesediaan untuk mengakui ketidakmampuan diri sendiri, untuk saling bergantung kepada kekuatan satu dan yang lain demi menjadi kuat bersama-sama ultimately adalah kekuatan terbesar yang dipelajari oleh Batman dalam film ini. Di balik lelucon-lelucon yang datang silih berganti, The LEGO Batman Movie actually berhasil menyentuh penonton sedikit lebih dalem lewat perubahan karakter Batman yang belum pernah ditulis seperti ini sebelumnya.

Hey Jokes. Cash me ousside how bow dah?
Hey Jokes. Cash me ousside how bow dah?

 

Film The LEGO Movie yang keluar tahun 2014 bisa jadi adalah salah satu kejutan paling menyenangkan yang pernah didapat oleh dunia sinema. I love that movie, padahal tadinya aku menyangka film tersebut bakal jualan produk semata. Ternyata, itu adalah animasi dengan cerita yang cukup dalem dan amat-sangat-kocak. Jadi ketika sepertinya mereka mau mulai bikin franchise film LEGO dan eventually mengangkat kisah ksatria malam bertopeng favorit semua orang, aku sangat excited. I actually don’t mind kalo di masa akan datang kita dapet film LEGO versi Harry Potter atau versi Jurassic Park atau franchise film terkenal lain, karena mereka tahu persis gimana memanfaatkan lisensi yang mereka punya sebaik-baiknya. Ada banyak karakter, juga banyak cameo yang dipakai, yang bahkan enggak ada hubungan-langsung dengan universe Batman.

Animasi jaman sekarang sudah diharapkan bakal gemilang dalam segi teknis, terutama visual. Dengan skema warna orange cerah dipadukan dengan berbagai warna gelap, film ini berhasil menampilkan animasi yang fantastis. Membuat Kota Gotham dari brick LEGO tersebut menjadi spektakuler. The LEGO Batman memakai formula bercerita yang sama dengan film LEGO yang pertama. Sekali lagi dengan pinter MEMANFAATKAN GIMMICK MAINAN LEGO SEHINGGA MENGHASILKAN CERITA YANG EKSLUSIF, as in elemen ceritanya hanya bisa worked dengan keberadaan balok-balok susun tersebut. Film ini memang kelihatannya menggunakan tone yang sama. It does follows rangkaian event yang sama dengan film LEGO sebelumnya. And they did it all again, dengan juga sangat kocak. Aku girang banget mereka mempertahankan SELERA HUMOR YANG FANTASTIS. Di film ini juga ada adegan nyanyian, yang mana kita akan melihat Batman ngerap. Pantes ditonton banget gak sih hahaha!

 

Film ini layaknya tulisan personal literatur yang kocak yang ditulis oleh Batman sendiri.

Kita bisa bilang The LEGO Batman Movie adalah parodi yang sangat kreatif. Semua tokoh – disuarakan dengan sesuai dan beresonansi kuat terhadap karakter-karakternya – mendapatkan penyelesaian pada plot mereka, with the ganks of villains treated as one. Keren aja ngeliat gimana sebuah film paham mengenai apa-apa yang bisa dieksploitasi dari karakter, dan benar-benar mengeluarkan yang lucu-lucu dari mereka. Kalian tahu, Batman sudah menumpas kejahatan sejak lama banget, all the way back ke tahun 1960an, malahan sebelumnya ada juga serialnya yang masih hitam-putih. Saking jadulnya, kita tidak perlu ikut kelas sejarah supaya mengerti kehidupan masa lalu. Kita cuma perlu nonton semua Batman. Dan film ini PAHAM BETUL ON HOW TO POKE FUN AT BATMAN’S HISTORY. Ada banyak lelucon soal film-film Batman terdahulu, yang kadang ditampilkan dengan selayang, namun fans berat Batman pasti bakalan nangkep.

Will Arnett membuat suara serak-serak Batman menjadi elemen yang kocak, dia berhasil mengeluarkan kelucuan dari kontrasnya suara dengan karakter tokohnya. Dalam film ini, Batman adalah seorang yang confident sangat – malah udah sampai level arogan. Dia tahu dia kuat. Menjinakkan bom beberapa detik sambil melawan penjahat kelas kakap bukan masalah baginya. Tapi, di balik topengnya, di lubuk hati terdalem, Bruce Wayne sangat depressed soal fakta bahwa dia tidak punya keluarga. He’s having a hard time mengakui butuh keluarga, karena dia takut kehilangan lagi, meskipun Alfred, Robin, dan orang-orang di sekelilingnya constantly mencoba untuk menjadi bagian dari keluarga Batman. But he just like “Enggak, Batman kerja sendiri. Nonton sendiri. Aku nyanyi dan menghajar orang sendiri. Because I’m awesome!!.”

“sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu asyik dengan duniaku sendiri~”
“sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu asyik dengan duniaku sendiri~”

 

The movie is really funny. Punya banyak bahan candaan sehingga rasanya setiap detik kita ditinju oleh punchline. Perihal jenis jokesnya; ini adalah film dengan humor yang SARCASTIC, YANG MENGGUNAKAN BANYAK REFERENSI POP-CULTURE DALAM NADA YANG IRONIS. Humornya dateng terus dan terus dan terus sampai-sampai kita kesusahan untuk mengikuti. Apalagi buat penonton yang bergantung kepada tulisan subtitle. Film ini gets a little frenetic dan oleh sebab banyaknya lelucon, kadang susah untuk kita mengambil fokus. Tak jarang saat kita belum selesai tertawa, lelucon lain sudah mulai dikoarkan oleh tokoh film. Ada beberapa kali aku merasa lelah tertawa dan cuma sanggup terkekeh pelan atau malah senyum doang. Kadang ada juga kita temukan jokes yang enggak selalu make sense together saking cepatnya jokes tersebut dateng. Kayak waktu Batman nyebut apakah mereka akhirnya dibantu oleh Suicide Squad dan gak sampai dua menit kemudian, dia malah bercanda nyindir soal betapa begonya ngumpulin tim berisi kriminal buat ngelawan tim kriminal yang lain.

 

 

 

Animasi yang dapat ditonton oleh semua anggota keluarga ini sungguh sebuah ledakan yang menyenangkan dari awal sampai akhir. Punya banyak sekuens aksi yang seru yang melibatkan sejumlah gede tokoh-tokoh Batman, DC Universe dan sekitarnya, sebanyak yang bisa dipakai oleh LEGO. This movie understands how to poke fun at their characters. Leluconnya adalah tipe-tipe sarkas, yang kalo kalian enggak punya masalah sama film yang acknowledging film lain di dalam cerita, maka candaan film ini akan terasa pas dan kocak sekali. But jokenya acap datang terlalu cepat dan terus menerus sampai-sampai kita capek sendiri dan it gets frenetic. Filmnya bisa jadi lebih baik lagi, sih, jika tone humornya lebih diselaraskan sama elemen drama yang sedikit lebih serius. But then again, kalo kelemahan film ini cuma terletak di humornya yang rada terlalu cepat dan rame, maka sesungguhnya ini adalah film yang kelewat menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE LEGO BATMAN MOVIE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Jumat Pagi yang Basah


Aku masih rindu
Pada percakapan dan tawa tawa yang tak jelas, serta

Pada khayalan kita yang tak berbatas.

Jumat pagi yang basah,

membuat rinduku makin resah.

Menuntut temu yang tak mungkin, dipaksa pasrah.
Jumat pagi yang basah,

dingin merambat pelan, dalam hatiku yang belum ikhlas.

Hati dan raga ini butuh dekapan.

Untuk meredam dingin dan rindu yang tak berkesudahan.
Jumat pagi yang basah.

Rindu yang resah.

Dan aku yang dipaksa pasrah,

mataku… kembali basah.

(Jakarta, 27 Januari 2017 – Saat hujan dan rindu sedang sama derasnya)


 

 

 

As seen on https://thedeepeyes.wordpress.com/cropped-beautiful-girl-drawing-eyes1

PERTARUHAN Review

“Every father should remember that one day his son will follow his example instead of his advice.”

 

pertaruhan-poster

 

All bets are off ketika sebuah keluarga kehilangan salah satu kaki penyeimbang kasih sayangnya. Kita pernah ngalamin, dong, gimana rumah berubah jadi kacau jika Ibu pergi arisan beberapa jam aja. Semenjak sang istri meninggal, Pak Musa memang mendapati keluarganya bagai anak ayam kehilangan induk. Tak mampu menunjukkan rasa cinta as a mother does, Pak Musa (terlihat seperti diniatkan sebagai supporting role, nyatanya Tyo Pakusadewo overpowering semua cast muda) memimpin rumah tangga dengan hati baja dan tulang besi. Kehidupan di rumah mereka keras. Ada satu adegan di babak pertama di mana Pak Musa really lay down the law kepada anak-anaknya di rumah. Keempat anak Pak Musa tumbuh menjadi pemuda liar. Urakan. Suka streaking around gangguin ibu-ibu satu RT yang lagi senam. Keluar malam dan mabuk-mabukan. Mereka begitu bukan karena mereka tidak hormat kepada orangtua.

It is a failure in communication yang memegang peranan besar, it is about men’s tough love. Anak-anak ini juga gagal nunjukin rasa sayang kepada bapaknya. Ibra (delivery Adipati Dolken need more work karena sebagian besar waktu dia jauh dari terdengar tegas) diam-diam bekerja di sebuah pool bar. Elzan (tokoh Jefri Nichol ini sayangnya kurang diflesh out padahal dia actually yang paling jantan di antara mereka) kerja sebagai pelayan di hotel remang-remang. Amar (berkat image Aliando Syarief, tokoh ini providing some relief, yang terutama worked pada kalangan fansnya) demi ngejar the love of his life, kerja jadi supir anak sekolah. Sedangkan si bungsu Ical (Giulio Parengkuan terlihat confused namun it worked dengan karakter tokohnya) rela bolos karena enggak sampai hati minta uang sekolah. See, mereka selalu menempatkan Bapak di prioritas nomor satu mereka. Bapak yang sudah tua, yang tenaganya sudah tidak mendukung lagi bekerja sebagai satpam berpenghasilan pas-pasan di sebuah bank.

Gejolak muda sesungguhnya hanya perlu diarahkan. Untuk itu, mereka memerlukan contoh ketimbang nasihat-nasihat. The problem with Musa dan anak-anaknya adalah dengan hanya satu panutan, anak-anak tersebut tidak melihat cukup banyak dari Musa. Dia memberitahu mereka soal kemandirian, tetapi yang Musa perlihatkan di rumah adalah kekerasan dan ketidakterbukaan. Dan itulah yang ditangkap oleh empat anaknya.

 

Drama action ini punya satu elemen yang paling menarik perhatianku. Arena underground pertarungan cewek. Kita diliatin sekilas di mana dua cewek diadu berantem martial arts, sementara cowok-cowok penontonnya berteriak menyemangati dengan garang. Pertarungan tersebut dijadikan ajang taruhan. It is actually a refreshing element yang seharusnya bisa dieksplor lebih dalam lagi. Bisa ditanam pertanyaan moral di dalamnya. It would also make an interesting relationship story, karena salah satu dari petarung wanita tersebut actually adalah pacar Ibra yang bernama Jamila (Widika Sidmore keren banget cosplaying the Mia Wallace look). Dan mereka ngesyut adegan hand-to-hand combat ini dengan really well. Gerak kameranya cukup untuk membuat kita ngikutin aksi yang terjadi. Yang mana aksi tersebut sangat intens dan fisikal. I really like this part of the movie. Sebuah gimmick yang sesungguhnya punya potensial untuk dikembangkan menjadi lebih compelling.

oke siapa yang tadi di opening pake gaya croth chop nya DX?
oke siapa yang tadi di opening pake gaya croth chop nya DX?

 

Hubungan persaudaraan mereka tersurat jelas pada layar, kita bisa mengerti siapa lebih dekat kepada siapa. Interaksi antarmereka tergambar dengan meyakinkan. Adalah hal yang bagus film ini tidak berupaya untuk menyensor kata-kata kasar atau apapun, karena memang seperti yang kita lihat pada merekalah interaksi anak muda berlangsung. Calling names, toyor-toyoran, ada sedikit nuansa kompetisi di antara masing-masing. Benar MENCERMINKAN ANAK MUDA. Yang gagal mereka tampilkan secara compelling adalah gimana sikap anak muda yang tumbuh dalam lingkungan kasar. Aku enggak tahu apakah dari arahan atau apanya, keempat tokoh mudah ini lebih sering kelihatan seperti anak muda kaya yang manja dan mencari pelampiasan dibanding pemuda-pemuda tak-terurus with a really broken home life. Pertaruhan tampak kesulitan menunjukkan mereka pemuda yang tangguh, dan sesungguhnya itu adalah prestasi mencengangkan sebab antara tangguh dengan cengeng seharusnya ada jarak yang luas. Seluas gap generasi bapak dengan anak-anaknya, yang btw, disinggung sedikit dalam film ini.

Sungguh susah untuk bersimpati dan merasakan empati kepada keempat pemuda ini karena sedari babak pertama mereka disorot dalam cahaya anak-anak berandal yang menyebalkan alih-alih respectable, street-wise punks. Dan itu berlanjut sampe film ampir beres. Mereka tidak melakukan hal apapun yang membuat mereka berhak mendapat respek dari kita. Mereka selalu bertanya dulu sebelum beraksi. They never take action until late in the film. Dan saat aksi itu tiba, mereka melakukan pilihan yang bego. Ngerampok di kota di siang bolong, berbaris keren di pinggir jalan, dengan sambil nyarungin topeng. Pelan-pelan, seolah ingin mastiin orang-orang udah melihat wajah mereka satu persatu. Ada satu momen mereka berembuk “Kita harus melakukan apapun untuk bapak” dan scene berikutnya yang kita lihat adalah Ibra menggunakan ceweknya sebagai pengalih perhatian nyopet di bar. And later he actually let Jamila bertarung demi uang untuk bapaknya berobat.

Ibra is the worst character here. Saat Mila kalah dan babak belur (supposedly, tapi sepertinya film ngirit make up buat bikin efek luka tembak), aku kira Ibra bakal sadar dan minta maaf. But no! Dia malah sok ngecomfort pacarnya dengan bilang “Bukan salah kamu, cuma belum rejeki aja” Like, what??? Dia nyuruh adik-adiknya, dia bergantung kepada ceweknya untuk bertarung demi kepentingannya. Usaha di dalam kamus Ibra adalah meminta bantuan kepada orang. Ngemis ke bank. Minta dikasihani sama rumah sakit. Makanya tadi aku bilang, Elzan adalah yang paling jantan, karena hanya dia yang berani bertindak beneran. Meski tindakan itu adalah nyolong.

darah muda walau salah tak peduliiiihi..hi..hiii~
darah muda walau salah tak peduliiiihi..hi..hiii~

 

Konsistensi penulisan karakternya terlihat agak off. Mungkin saja sih disengaja biar nunjukin mereka labil. Ibra ngancem mau mukul seorang suster kalo saja si suster adalah laki-laki, kalimat ini terdengar agak aneh terucap dari mulut Ibra yang punya pacar seorang ass-kicker. Hubungan Ibra dengan Jamila juga dipertanyakan, it was really strange di satu adegan kita belajar keadaan Bapak dari Mila yang memberitahu Ibra, dan di adegan lain sesudahnya kita melihat Mila kebingungan kenapa Ibra terlihat sedih dan banyak pikiran. It’s like there’s no understanding between them. Dan film ini juga tidak membantu dengan tidak pernah ngasih hint gimana mereka berdua bisa ketemu dan jadian in the first place.
Ketidakkonsistensian juga melebar ke bagian action. Di mana adegan berantem di bar malah jadi bikin ngakak. Tidak ada lagi intensitas dalam koreografinya, padahal mereka berempat dan jelas-jelas outnumbered. Jurus berantemnya juga jadi monoton (hey, monoton is consistency!); lawan tinju kiri – tangkis pakek stance ngepal – bales tinju kanan. Perhatiin deh, berantemnya pasti ada gerak seperti itu. Kamera pun bergoyang sedemikian asik sehingga waktu lagi momen tenang sambil pelukan pun, gambar masih geser kanan-kiri naik-turun.

Apa yang berhasil dijaga oleh film ini dari awal sampai akhir adalah tone sedih. Serius deh, UNTUK SEBUAH FILM TENTANG LAKI-LAKI, INI ADALAH FILM YANG CENGENG. Semua poin cerita diarahkan buat kita mengasihani mereka. Rekan kerja yang nyinyir. Bos yang kejam. Rumah sakit yang menghina. Slow motion dengan musik menyayat hati di adegan-adegan maut. Minta dipuk-puk banget deh. Aku sebenarnya sempet seneng film ini berhasil enggak pake flashback, I was really expecting flashback adegan mereka masih kecil of some sort, ternyata enggak ada and I was like, “you pass the test!” Namun di akhir aku jadi kecele. Film ini masukin montase flashback yang highlight kejadian di awal, dengan slow motion pula! Apalagi kalo bukan demi memeras drama sebanyak yang mereka bisa.

 

Film ini berusaha untuk memancing perbincangan soal ambiguitas moral kayak yang dilakukan oleh Hell or High Water (2016). Namun enggak ada ground yang mensupport karakter-karakter Pertaruhan, selain mereka pantas dikasihani. Tokoh dalam Hell or High Water ngerampok against sistem perbankan yang actually bikin susah orang banyak. Ibra dan adik-adiknya, mereka merampok bank tempat tempat bapak dulu cari makan – tempat yang secara tak-langsung gedein mereka, hanya karena bank tersebut sudah bersikap kasar kepada mereka yang orang miskin. Dan lagi, they were so quick to resort ke merampok bank. Padahal mereka masih muda, sehat wal ‘afiat, jumlahnya ada empat! Mereka bisa cari kerjaan lain, but no, film ini butuh sesuatu yang gede untuk nutup cerita dengan dramatis.

Aku jadi kepikiran, kayaknya bakal lebih seru dan powerful kalo usaha perampokan mereka distop oleh bapak sendiri. Bayangkan bapak yang sakit-sakitan itu datang ke bank, karena dipanggil oleh Ical yang enggak mau kakak-kakaknya go on that path, kemudian bapak dan anak-anak itu (terutama Ibra) have a hearwrenching dialogue soal kasih sayang. Bapak berusaha menyadarkan anaknya, dan ultimately dia harus menembak Ibra. Kupikir dengan begitu ceritanya akan tetap sama, only dramanya make more sense, dan lebih emosional.

 

 

 

 

Seperti Pak Musa yang menyesal tidak bisa menunjukkan dengan baik cinta dan kasih sayang kepada anak-anaknya, film ini juga tidak bisa menunjukkan dengan baik sebuah cerita yang compelling. Di menit pertama, dia sudah mengeskpose kita dengan apa paparan yang dirasakan oleh Pak Musa, alih-alih memperlihatkan. Film tentang laki-laki dan kehidupan keras yang paling cengeng yang pernah aku tonton. Jika kalian mempertaruhkan waktu dengannya, niscaya kalian akan merasa kalah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for PERTARUHAN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.