ATOMIC BLONDE Review

“A secret makes a woman, woman.”

 

 

Perang informasi dan spionase selalu adalah soal fleksibilitas moral, atau bahkan meniadakan moral sejenak, hanya untuk menghancurkan musuh.

 

Makanya, historically setelah Perang Dunia Kedua, secret services MI6 mulai merekrut pria-pria pemakai narkoba, alkoholik, dan para homoseksual untuk dijadikan mata-mata. Lagian, kelompok orang-orang yang dianggap gampang menanggalkan moral tersebut sudah luar biasa berpengalaman dalam menyimpan rahasia. Kalo soal moral sih, yang namanya manusia ya jelas bukan malaikat. Namun, sebenarnya, cewek lebih ampuh dalam menyimpan rahasia. Serius, cewek mana pun yang tahu banyak akan berkata bahwa mereka belum pernah melihat ke dalam hati pria. Dan lagipula aku punya teman cowok yang kalo bohong pasti langsung ketahuan karena terlalu banyak ngedip dan keringetan, persis Nick di serial New Girl.

Di luar kemasannya yang mirip John Wick versi cewek, Atomic Blonde yang diadaptasi dari graphic novel The Coldest City adalah cerita tentang mata-mata. Kalo biasanya di akhir setiap review aku bilang, “in life there are winners and there are losers”, maka film ini punya petuah yang sedikit berbeda. Di dunia dengan orang-orang yang memakai nama alias itu, hanya ada kebohongan dan kebenaran. Kelemahan adalah ketika seseorang mempercayai orang lain. Jadi, jangan heran akan ada BANYAK TWIST-AND-TURN dalam cerita Atomic Blonde.

Paralel dengan setting sejarahnya yang menjelang peruntuhan Tembok Berlin, film ini bilang bukan senjata yang membuat kita saling tak-percaya. Senjata ada karena kita enggak bisa percaya pada siapa-siapa. Charlize Theron adalah agen mata-mata bernama Lorraine Broughton, dia tersohor oleh kemampuan penyamaran sekaligus keahlian kombatnya. Oleh atasan dan CIA, Lorraine diminta untuk berangkat ke Berlin demi menemukan List ‘penting’ berisi nama-nama orang yang diduga double-agent. Di Berlin, Lorraine akan dibantu oleh Percival (sekali lagi James McAvoy devilishly menghibur). Mereka juga harus melindungi seorang agen yang rumornya sudah hafal isi List tersebut, sehingga dia juga ikutan buron oleh orang-orang jahat.

Bukan List of Jericho loh ya!

 

Meskipun ini lebih kepada sebuah cerita mata-mata yang kompleks dengan ledakan aksi, maaaan, enggak usah ragu deh sama sekuens berantemnya. Setiap masing-masing mereka dihandle dan difilmkan dengan gaya keren, juga intens. The shots were beautiful. Lorraine bener-bener menghajar banyak orang. Kabarnya, Theron menampilkan sebagian besar adegan aksinya tanpa peran pengganti, which is incredibly amazing! Atomic Blonde digarap oleh salah seorang sutradara John Wick (2014). Dan David Leitch sekali lagi membuktikan kepiawaiannya mengarahkan adegan pertarungan tangan kosong, ataupun kejar-kejaran mobil. Bandingkan deh editing dan gerak kamera pada sekuens aksi film ini dengan Kidnap (2017). Oke, aku akan nunggu sampai sakit kepala kalian mereda setelah ngeliat adegan Kidnap.

Udah?

Well, Leitch membuat setiap bak-bik-buk terlihat menakjubkan. Gerak kameranya mulus sejalan dengan arah mata kita. Particularly sekuen pertarungan di tangga, yang kemudian berlanjut di jalanan Berlin yang ramai oleh warga yang demo. It is such a blast. Salah satu porsi aksi sinema yang paling stand out di tahun 2017.

Theron excellent banget. Ada sesuatu dari tokoh Lorraine yang membuat kita terinvest. Ya, cerita memang mengeksploitasi dirinya yang seorang cewek, but again, itu untuk menunjukkan cewek adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan spy yang badass. Lorraine ditulis sangat dingin. Personanya udah Ice Queen banget. Itu bukan hanya karena kita ngeliat dia dua kali mandi berendem dalam es batu, ataupun minumnya selalu es kosong campur Vodka. Karakter ini seolah diselubungi misteri. Dia pintar, kata-katanya tajam, tindakannya tangkas, dia membuktikan dirinya adalah orang yang tepat untuk tugasnya. Tapi ada secercah vulnerabilitas di dalam pribadi cewek ini yang kadang terlihat. Film ini mencerminkan personality Lorraine lewat penggunaan warna. Most of the time, di momen-momen cool, Lorraine akan didominasi oleh warna biru seperti kita melihatnya di bawah air dari balik akuarium. Kemudian semburat merah akan lantas mewarnai sosok ini, entah itu api dari pemantik ataupun cahaya neon, dan sekilas kita melihatnya kembali sebagai ‘manusia biasa’. Pun begitu, Lorraine enggak selalu langsung menang berkelahi. Adegan pertama kita melihat tokoh ini, dia dalam keadaan babak belur. Karakter dan treatmentnya sendiri akan membuat kita tetap tertarik, kayak cowok kalo lagi naksir ama cewek kece yang jutek.

 

Namun tertarik enggak bisa membawa kita jauh-jauh amat. Sebab selalu ada saatnya kita ingin belajar lebih banyak tentang karakter tersebut. Hingga menjelang babak akhir, aku enggak pernah benar-benar mengerti apa sih motivasi si Lorraine. Ataupun kenapa banyak orang mengincar daftar nama yang menjadi masalah tersebut. Oke, Lorraine dan teman-temannya ingin mengamankan List, dan bad guys pengen menjualnya, tapi inner motivasi dari kenapa mereka bersedia melakukan itu adalah hal yang bikin kita berjuang untuk mengerti. Dunkirk (2017) membuktikan bahwa kita bisa kok mengikuti karakter hanya di momen yang sedang berlangsung saat itu. Hanya saja, Atomic Blonde tidak berhasil membuat rasa tertarik kita terpuaskan. Investasi kita terhadap karakter tidak membuahkan apa-apa karena kita struggling berat memahami kompleksititas ceritanya.

Penulisan tokoh-tokoh seolah dibuat sengaja untuk mengecoh kita, it full of turns. Setiap mereka diperkenalkan sebagai sesuatu dan pada akhirnya mereka ternyata adalah ‘sesuatu’ yang lebih besar. Sesuatu yang berbeda. Kita enggak diberikan banyak waktu untuk mengenal mereka. Kita dapat dream sequence untuk Lorraine. Tapi itu belum cukup. Selebihnya, untuk karakter-karakter minor, perubahan mereka terjadi begitu saja. Misalnya tokoh si Sofiia Boutella. Dia juga bermain sangat baik, namun masih belum termanfaatkan dengan sama baiknya. Relationship Delphine dengan Lorraine dapat memberikan layer yang lain pada narasi, tapi film tidak mengeskplorasinya. Cuma sebatas, there we did it.

Sofia Nutella, Charlize Terong, James McD. Oke aku lapeeerrrr

 

Film ini mengecewakan ku dari segi sudut pandang bercerita. Petualangan dengan tokoh-tokoh yang penuh muslihat, aksi yang mendebarkan, menjadi berkurang intensitasnya lantaran film menggunakan flashback. Mereka memilih untuk bertutur dengan cara Lorraine duduk diinterogasi, untuk kemudian dia menceritakan apa yang sudah terjadi. Banyak film yang juga memakai cara bercerita seperti ini, kita diperlihatkan kondisi tokoh utama sekarang seperti apa untuk kemudian kita mundur sembari dia menceritakan kisahnya. Aku enggak begitu suka cara begini karena ketegangan film jadi berkurang. Kita melihat Lorraine matanya hitam abis ditonjok, sekujur badannya dihiasi borok luka, akan tetapi kita tahu dia akan baik saja. Because she sit was there to tell the tale. Jadi, setiap berantem yang kita lihat akan bikin kita, like, “wuiihhh idih!… ah, tapi dia selamat kok.” Cerita film ini bisa menjadi lebih exciting, tensi serta stakenya lebih gede jika dimulai lurus aja dari awal ke akhir, tanpa perlu bolak-balik antara present dengan timeline sebelumnya. Lagipula, setiap kali cerita balik ke ketika Lorraine diinterogasi, segalanya terasa berjeda. Sekuens di ruang interogasi itu kering dan hampa banget, kita pengen cepet-cepet balik ke bagian Lorraine melakukan sesuatu yang badass.

Satu lagi gaya yang diambil oleh Atomic Blonde, yang menurutku agak berlebihan, adalah penggunaan musiknya. While it is nice denger lagu-lagu upbeat dari 80an – pilihan lagunya bagus – namun timing pemakaian lagu ini terasa memberatkan film lebih daripada membantunya. Soundtrack film ini ABRASIVE sekali, seolah menjadi bagian dari narasi. Seperti ketika Lorraine masuk ke bar, lagu rock itu kemudian berganti gitu saja jadi musik jazz ketika ada yang menyalakan pemantik api saat Lorraine duduk di meja bar. Ada dua atau tiga kali kejadian, di mana musik latar pelan banget, dan ketika Lorraine mulai menghajar orang, musiknya menggede sendiri begitu saja. Mereka tampaknya ingin bikin lagu-lagu itu standout, akan tetapi sepertinya bukan ide yang bagus sebab lagu-lagu itu tidak menambah kepada narasi, ataupun benar-benar penting untuk pengembangan karakter.

 

 

 

Not to say film ini style over substance. It does have a complex spy story. Dan gaya film ini memang keren luar biasa. Banyak shot ciamik. Sekuens aksi yang nampol. Tapi film ini bukan orang Jerman yang enggak bikin kesalahan simpel. Terdapat banyak pilihan editing yang tampak seperti ‘just because they can’ alih-alih yang benar dibutuhkan untuk kepentingan cerita; susunan narasi yang bolak-balik dan terasa amburadul, membuat kita sering terlepas. Apalagi di bioskop Indonesia, sensornya banyak, jadi makin terlepas, deh kita. Dan musik yang sangat menggebu-gebu, meski kepentingannya enggak segede itu buat narasi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ATOMIC BLONDE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KIDNAP Review

“When I grow up, I’ll be a man like Mom.”

 

 

Kasih anak sepanjang jalan. Kasih ibu sepanjang masa. Well, dalam film ini Halle Berry membuktikan kasih sayang sepanjang masanya dengan desperately mengejar penculik anaknya, ngebut-ngebutan di sepanjang jalan tol.

Sembilan-puluh menit sensasi menegangkan mestinya bisa kita alami bareng Halle Berry yang hari itu lagi sial banget. Dia memerankan tokoh bernama Karla. She’s a single mom yang lagi ngurusin perceraian. Di tempatnya bekerja sebagai waitress – kafe paling enggak bersih seAmerika, setidaknya menurut salah satu pelanggan cerewet – Karla dibuat repot karena temen waitressnya enggak masuk kerja. Di sini karakter Karla diset up, kita lantas paham bahwa dia enggak akan nerimo diperlakukan rendah, that she doesn’t take shit from anybody. Karla akhirnya bisa refreshing jalan-jalan ke taman bareng anaknya, Frankie. Kita melihat betapa dekat mereka. Kita bisa merasakan naluri ibu pelindung Karla semakin teramplify oleh perceraian, dia enggak mau pisah ama Frankie. Dan di momen itulah, Frankie justru diculik oleh seseorang (atau sekelompok). Basically, film enggak pake ngerem berubah menjadi full adegan kejar-kejaran.

Lebih dari sebuah misi penyelamatan, Ini adalah jalan pembuktian bagi Karla bahwa dia bisa menjadi ibu yang baik. Bahwa dia sanggup mengurus anak. At heart, Kidnap bekerja sebagai cerminan struggle seorang single mother yang menolak untuk terlihat lebih ‘rendah’ dari mantan suami. Ataupun dari pasangan suaminya yang baru. Desperate, putus asa, namun gigih. Film ini mengingatkan kepada siapapun di luar sana bahwa tidak ada yang mengalahkan tekad dan perjuangan seorang ibu yang menginginkan anaknya.

 

 

Dari konsep sendiri, ini adalah cerita yang menjanjikan. Jika diolah oleh tangan-tangan yang tepat, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian thriller yang asik sekaligus seru. This could work great, film televisi Duel (1971)  buatan Stephen King, kan, juga mirip-mirip kayak gini. Tapi struggle is real buat orang-orang di balik pembuatan film Kidnap. Halle Berry melakukan sebaik mungkin yang mampu ia usahakan. Dan that’s about the nicest thing yang bisa aku bilang untuk film ini. Penulisan plot poin serta penghalang buat tokoh Karla begitu seadanya sehingga kita terhibur juga oleh keover-the-topan yang dihasilkan. Di satu titik, Karla sengaja bikin mobil-mobil tak berdosa saling tabrakan seolah mereka cuma bom-bom car sebab dia ingin disetop oleh polisi sehingga dia bisa mengadukan kasus penculikan tersebut. Oh ya, sebagai plot device, narasi sengaja membuat hape Karla terjatuh, so yea, supaya kita dapat halangan pertama. Setelah itu, tidak banyak variasi kegiatan Karla. Dia antara berlari-lari, ataupun berdoa dan bicara kepada dirinya sendiri.

Mungkin dia juga sengaja nyala sein ke kiri terus beloknya ke kanan

 

Bayangkan film Nay (2015), gabungkan dengan Taken (2008). Tapi batasi porsi dialognya dengan hanya “Oh my god” dan “Frankie!”. Rekam dengan audio. Kemudian potong-potong adegan aksi dan kebut-kebutannya, susun ulang dengan serampangan-pokoknya-asal-cepet. Sudah? Sip, kalian sudah dapat gambaran besar tentang seperti apa film Kidnap dipersembahkan. EDITINGNYA ADALAH SALAH SATU YANG TERBURUK yang pernah kita saksikan dalam dunia sinema. Demi memancing adrenalin penonton, film ngeshot back-and-forth dengan cepat. Jarang sekali kita bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Sekuen Karla berantem cekek-cekekan seatbelt dalam terowongan adalah sekuen yang bikin mata berair, eye-tracingnya completely off. ALih-alih merasakan ketegangan, kita malah sibuk berusaha fokus, sehingga sama sekali enggak ada emosi yang kita pungut dari adegan tersebut.  Banyak informasi yang literally terpotong oleh proses editing yang kasar banget. Seperti pada akhir, kita melihat Karla dikejar anjing dan salah satu penjahat. Karla sembunyi dengan menyelam di dalam air. Kemudian dia tiba-tiba muncul dari belakang si penjahat, ada pergulatan, dan kita enggak pernah lihat apa yang sebenarnya terjadi kepada anjing galak tadi.

Ketika Karla berlari keluar dari mobil, dia setengah mati berusaha secepat mungkin ke tempat yang ia tuju, sesungguhnya ini adalah momen yang sangat intens. Namun, berkat editing horrible – alihalih pake continuous shot yang panjang, mereka malah memotongnya menjadi banyak shot – momen tersebut jadi kehilangan energi. Pilihan yang dilakukan oleh filmmakernya bakal bikin kita ngakak, dan dari sinilah letak enjoy nonton film ini datang. Beneran, kalian bisa bikin semacam drinking game atau apa dari banyaknya shot speedometer yang beranjak naik dari 40 ke 60, seolah minivan si Karla ngebut banget.

Seperti Karla yang desperate ngejar penculik anaknya, film ini desperate agar kita terhibur menontonnya. Ia gunakan trik-trik filmmaking supaya filmnya seru. Eh malah jadi tampak konyol. To pinpoint one moment in particular; dalam salah satu adegan kebut-kebutan, film ini menggunakan efek fade black dan terang lagi dengan cepet-cepet sekitar enam atau tujuh kali. Tujuannya sih supaya kita turut ngerasain tegangnya melaju dalam kendaraan yang nyaris tabrakan, akan tetapi kelihatannya malah kayak adegan di trailer film-film action. Merasa enggak cukup, film ini pun turut memakai teknik Dutch Angle. Eh, tau Dutch Angle gak? Itu tuh, teknik kamera miring atau ditilt beberapa derajat sehingga bagian bawahnya enggak lagi sejajar garis horizontal. Seperti yang biasa kita jumpai pada film-film psikologis ataupun arthouse. Teknik ini sebenernya digunakan untuk menggambarkan suasana yang eerie biar lebih dramatis. Jika karakter bingung, maka dengan diceritakan pake kamera ngeoblige kayak gini, rasa bingungnya bisa meningkat menjadi kecemasan yang luar biasa. Dalam film ini, aku tanya deh, kenapa? Kenapa momen nyeni kayak gini digabung begitu saja ke dalam action thriller klise. Dutch angle jika salah penempatan, atau dilakukan dengan enggak pas, jadinya malah konyol. Dan itulah yang terjadi pada salah satu car chase di film ini.

“You took a wrong movie!”

 

Ketika kita punya cerita yang sederhana, yang konsepnya begini basic, kita bakal enggak bisa menahan diri untuk memasukkan twist sekecil apapun yang kita bisa.  Yang tidak termaafkan adalah ketika kita memasukkan twist, dan kemudian kita merasa perlu untuk menjelaskan kepada penonton. Setelah kita melihat cerita tembak-langsung, Kidnap dengan tanpa dosanya merangkum narasinya dengan memasukkan adegan berupa suara di radio memberitakan apa yang telah terjadi. Menurutku, ini adalah salah satu bentuk penceritaan yang meremehkan intelensia penonton. Closing dengan siaran berita itu sama sekali enggak perlu.

Jika pria adalah seorang yang menyintai unconditionally,yang senantiasa melindungi dan peduli. Maka, ya, Ibu adalah seorang pria.

 

 

 

Complete failure of production. Film ini sangat berantakan. Editingnya yang parah membuat konsep thriller yang punya potensi menjadi hilang begitu saja. Tergunting-gunting di dapur studio. Sebagian besar durasi kita akan capek untuk mengikuti alur editing yang parah. Sehingga kita lupa untuk menikmati emosi dan struggle tokoh utamanya. Namun aku gak bisa bohong, aku terhibur juga dibuat oleh film ini. Pilihan-pilihan yang mereka lakukan dalam menyampaikan cerita sangat konyol.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for KIDNAP.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ANNABELLE: CREATION Review

“If your soul has no Sunday, it becomes an orphan.”

 

 

Seorang tukang kayu membuat sebuah boneka yang mirip dengan manusia. Boneka tersebut dia dandani, dia kasih baju baru. Tapi tukang kayu yang satu ini bukan bernama Pak Gepetto. Dia tidak pernah memohon kepada peri biru supaya bonekanya hidup. Apalagi supaya bonekanya membunuhi dan memakan jiwa orang-orang. Pak Mullins, instead, berdoa supaya putri kecil semata wayangnya hidup kembali. Beliau dan istrinya begitu terpukul sehingga mereka meminta kepada apa yang dijelaskan dalam babak ketiga film ini. Annabelle: Creation adalah cerita asal mula gimana boneka Annabelle dibuat dan berujung menjadi tempat bersemayam suatu entitas jahat yang menyebarkan horor ke sebuah panti asuhan, sebelum akhirnya horor tersebut menyebar ke mana-mana, sebagaimana yang sudah kita ketahui.

Kita hidup di dunia di mana setiap studio film gede kepengen punya Dunia-Sinema sendiri. Ada superhero universe, monster universe, dan sekarang kita punya Conjuring Universe. That’s just a thing now. Indonesia juga sepertinya bakal punya juga; Doll Universe atau entah apa lagi yang diperkirakan bisa meraup untung gede. Buat Conjuring Universe katanya kita bakal dapat backstory dari masing-masing tokoh hantu, kayak Annabelle, The Crooked Man, dan Valak. Beginilah tren sekarang, kita harus menerimanya. Meski memang, dalam kondisi normal aku enggak akan pernah berpikir cerita origin Annabelle benar-benar penting untuk kita ketahui. Ini semacam prequelception, film ini adalah cerita prekuel dari film pertama yang merupakan prekuel dari The Conjuring (2013), jadi ya mindset saat masuk nonton adalah memang siap-siap melihat wahana cash grab banget.

But actually, wow, Annabelle: Creation bakal bikin malu film pertamanya. Bukan sekedar horor ngagetin. It is fun and very enjoyable, lore Annabellenya sendiri digali dengan baik, cara mereka mengaitkan film ini dengan yang pertama keren banget, dan saat film berakhir, aku ingin tepuk tangan. So yea, perihal movie-movie cash grab kayak gini – yang fokusnya bangun universe, saranku ya memang udah trennya. Give it a chance. Stop fighting it, just give in to it…

I don’t know why I’m quoting a rapist

 

Studio yang membuat film horor mainstream harusnya bisa terbuka matanya oleh film ini; bahwa HOROR MAINSTREAM BISA KOK DIBIKIN BAGUS. Kuncinya ya di keahlian pembuatnya. Film horor selalu adalah cerminan talenta sutradaranya. Arahan seperti apa yang bisa ia berikan untuk memancing rasa takut bergentayangan dalam diri kita, penontonnya. Untuk menghimpun scare tanpa memberikan banyak waktu untuk kita melepaskan rasa takutnya dengan kaget dan bernapas lega. David F. Sandberg  memanfaatkan teknik pencahayaan dan pembangunan suspens serupa seperti yang ia lakukan sebelumnya dalam Lights Out (2016), horor yang juga berhasil menangkap ide sederhana dan menggubahnya dengan cerdas dan inventif.

Rumah yang dijadikan panti itu dijadikan kembali oleh sutradara sebagai sebuah tool-box of horror. Kita bisa lihat geliat kretivitasnya bekerja around trope-trope scare penghuni yang kejebak di rumah yang ada hantunya, dan hasilnya memang menghibur. Sandberg mengerti betul dua aspek paling penting untuk diperhatikan ketika seorang sutradara membangun suspens. Sinematografi dan design suara. Banyak scares yang fun akibat dari penggunaan kamera, atmosfer, dan suara yang efektif. Jikapun ada gore, maka darah-darah itu dilakukan dengan subtil dan sangat singkat. Secukupnya, enggak seperti pada The Doll  2 (2017) yang babak berdarahnya begitu horrifying sehingga menyemenkan genre lain di luar yang kita kira. Kita tidak terlepas dari cerita oleh efek dan segala macam gimmick berdarah di sini.

Annabelle: Creation juga punya kesamaan dengan Ouija: Origin of Evil (2016). Keduanya sama-sama cerita yang berangkat dari objek biasa yang jadi angker lantaran dihantui. Keduanya sama-sama membahas asal mula kenapa bisa terjadi. Keduanya sama-sama surprisingly jauh lebih bagus dari film pertama mereka. Eeriely enough, keduanya sama-sama menampilkan aktor cilik Lulu Wilson, yang penampilan aktingnya stand out banget pada masing-masing film. Kita akan mengikuti Lulu Wilson yang berperan sebagai Linda dan temannya bernama Janice (dimainkan dengan tak kalah totally amazingnya oleh Talitha Bateman, yang nanti gedenya mirip Dahlia Poland, nih). Janice yang pincang dan Linda adalah sobat karib, mereka udah lama bareng di panti asuhan. Mereka berharap mereka bakal diadopsi bersama, jadi saudara beneran, mereka sering membicarakan harapan ini, dan membuat tokoh mereka jadi punya kedalaman. Dan terutama kita jadi tumbuh rasa peduli, kita ingin melihat impian mereka berbuah manis. Jadi,kita punya karakter, tokoh film ini bukan sebatas anak kecil yang suka main boneka. Mereka tidak diberikan skrip dan arahan sekedar ngeliat hantu ataupun bicara sendiri. Ini lebih dari gangguan hantu di malam hari. Ada set up drama. Persahabatan mereka diuji oleh kehadiran si roh jahat. Ketika hal mulai menjadi semakin serius dan semakin mengerikan menuju ke babak tiga, kita akan terinvest sepenuhnya kepada nasib kedua anak.

Hantu akan lebih mudah mengganggu orang-orang yang imannya lemah. Akan tetapi, Janice diganggu not necessarily karena dia yang paling lemah secara iman maupun secara fisik. Hantu dan anak yatim piatu seperti Janice punya kebutuhan yang sama; Rumah.

 

Aku jadi kepikiran untuk bikin semacam jumpscare meter setiap kali ngereview film-film horor. Buat film ini, itungan jumpscarenya tinggi banget di paruh awal. Ada banyak momen yang kayak ngebuild ke sesuatu untuk kemudian diikuti oleh suara yang lantang. Flaw ini jika ditelusuri sepertinya musababnya adalah skrip yang enggak kuat-kuat amat, terutama di bagian awal. Film menyediakan ruang untuk set up sehingga ceritanya terasa lambat, dan untuk mengakali ini mereka merasa perlu untuk memasukkan jump scare supaya penonton enggak bosan. Langkah yang bisa dimengerti, namun tetap bukanlah pilihan terbaik. Tadi aku sempat nyebutkan cerita terselesaikan dengan keren; tokoh-tokoh mendapatkan apa yang mereka mau, bahkan Annabelle ‘reuni’ dengan bonekanya – tie in cerdas ke Annabelle (2014) dan urban legend Annabelle yang asli, which is a good thing. Aspek yang sedikit goyahnya adalah pergantian sudut pandang  selama narasi. Kayak ada pergantian tokoh utama. Ini sebenarnya adalah resiko kreatif penceritaan yang diambil, karena biasanya kalo ganti-ganti begini paling enggak ada benang merah atau keparalelan pada arc tokoh-tokoh. Narasi film tidak memparalelkan semua, hanya beberapa tokoh. Meski begitu aku tetep bisa respek film ini karena film ini nunjukin mainstream horor bisa kok diolah dengan baik dan enggak melulu dominan oleh cheap scare.

tag, you’re it!

 

 

Horor dengan scare yang bagus, walaupun di paruh awal terlalu mengandalkan kepada jump scare. Arahan dan performance akting yang kuatlah (terutama dari aktor-aktor cilik) yang membuat film ini menjadi menyenangkan. Bikin kita terinvest. Dan secara konstan merepet di sudut kursi masing-masing. Horor mainstream ternyata mampu diolah menjadi bagus di tangan filmmaker yang handal. Prekuel dari prekuel enggak setiap hari adalah sesuatu yang jelek. Film ini dapat menjadi Teladan yang baik sekaligus adalah PR berat bagi sineas-sineas tanah air, jikalau memang ingin membuat scene horor lokal yang benar-benar layak menyandang status genre signatur di film Indonesia. Sebab, seperti yang disenggol oleh film ini, hantu juga ingin punya rumah.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for ANNABELLE: CREATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku

 

Buat kamu-kamu (apalagi yang cowok) yang berencana mengubah dunia, maka lakukanlah cita-cita mulia tersebut sebelum kamu menikah. Karena, kata mas Muh Rio Nisafa dalam buku ini, setelah nikah nanti jangankan dunia, ngeganti channel tivi saja kita udah enggak bisa!

Wuih, seserem itukah dunia rumah tangga?

Ngomong-ngomong, Muh Rio Nisafa ni safa, sih? Aku tadinya mengenal beliau hanya sebagai komika atau stand up comedian yang sama-sama terdaftar sebagai peserta Nulis Lupus Bareng kloter Jogja. Bedanya; mas Rio juara satu, sedangkan aku juara ‘cheerleader’. Setelah baca buku kedelapannya ini, aku jadi tahu kalo Mas Rio juga seorang kepala keluarga yang sudah delapan tahun menikah. Dan amat-sangat berbahagia karena statusnya tersebut.

Warna warni kehidupan berkeluarga tergambar ceria di sini. Ini bukan cerita fiksi, makanya komedi yang dihadirkan terasa kena sekali. Terlihat benar, akur dengan profesinya, Mas Rio memandang kehidupan sebagai panggung komedi. Termasuk, eh ralat, apalagi kehidupan berumah tangga. Dalam buku ini disebutkan menjadi AYAH PENUH SUKA DAN SUKA. Namun bukan berarti enggak ada dukanya. Happy Family tidak melulu bikin jealous para jomblo yang masih gagal move on dengan segala kespesialan yang didapat oleh pasangan yang sudah menikah. Meski memang sih, cukup banyak senggolan manja yang membandingkan enaknya sudah menikah dibandingkan masih pacaran. Riak-riak kecil perbedaan akan selalu hadir karena pernikahan hakikinya adalah menyatukan dua perbedaan; dua tingkah laku, dua kebiasaan, dua kehendak keluarga, dua pandangan hidup. Semua perbedaan toh tidak mesti jadi momok, tidak harus dianggap duka, karena bercermin dari pengalaman yang dituturkan jenaka oleh buku ini, perbedaan dalam rumah tangga adalah hal-hal yang patut disyukuri dan, eventually,  patut untuk  ditertawakan bersama.

pedoman suami siaga (siap-antar-ganteng)

 

Buku adalah buah pikir dari penulis. Basically, buku adalah anak dari pengarangnya. Meskipun sudah beranak buku delapan kali, Mas Rio baru punya satu anak manusia. Pengalaman mendapat anugerah gede tersebut diceritakan dengan asyik dan penuh bangga. Ada lima bab besar (hush, bukan buang air, jorok ih!) dalam buku ini, dengan satu bab didedikasikan tentang putra pertamanya. Dan dalam tiga bab sebelum itu pun kita sudah seperti terset up kepada momen kelahiran ini, dimulai dari Yahnda dan Manda ngerjain PR Fisika.

Anak dapat kita umpamakan sebagai sebuah buku kosong yang bakal menuliskan sendiri ceritanya. Tapi karena anaknya sendiri masih kecil, Mas Rio khusus di buku ini memproyeksikan sedikit dirinya, dan mungkin sedikit harapan, dan kita sebagai pembaca mendapatkan bantering imajiner yang super kocak antara Yahnda dengan si kecil Fano. Seperti yang bisa kita baca saat mereka pergi liburan ke waterpark. Ataupun ketika Fano dibanding-bandingin dengan presiden. Personally, aku ngakak sejadi-jadinya di bagian cerita ada anak bernama Sekar, yang nama panjangnya ternyata adalah Sekarang Kita Pulang! ahahahaha

Buat seorang stand up comedian, kepekaan terhadap isu-isu politik dan sosial selalu merupakan senjata utama. Happy Family luwes sekali memasukkan pancingan terhadap aspek-aspek tersebut, untuk kemudian mengolah dan menyelesaikannya dengan punch line yang bertenaga dan tepat sasaran. Banyak subbab pendek yang mampu menghabiskan setengah jam waktu sebab kita akan tergelak oleh lucunya dan betapa benarnya perbandingan gila yang diambil oleh penulis. Membaca ini akan terasa seperti menonton solo show dari seorang komika yang menceritakan apa yang jadi pikirannya, dengan layer rumah tangga yang pas sehingga terasa begitu relevan serta memikat. Terutama, tidak ada keluhan di sini. Ketika Yahnda curhat soal satu-satunya waktu dia dapat ngobrol dengan istri adalah ketika hape bininya lowbatt dan sedang di-charge, kita ikut tergelak sebab kita tahu memang begitulah kehidupan di jaman modern. Anekdot-anekdot segar dan tebakan kocak seperti beda kopi enak dengan kopi mahal mengalir lancar.

Sketsa-sketsa komedi singkat ala kolom humor di pinggir halaman TTS menghiasi halaman di bab akhir. Menghantar kita melalui penutup yang ringan, namun membuat kita ingin membacanya berulang kali. Berbagai macam skenario Raisa kenalan sama keluarga pacarnya, speerti pada iklan,tak pelak adalah salah satu bagian terbaik buku. Pacaran memang indah, tapi dunia rumah tangga enggak kalah serunya.

As a whole, jika kalian lagi duduk nyante sore hari di depan rumah, buku ini bisa jadi santapan yang enggak kalah menarik dari goreng pisang. Bukan cuma yang udah nikah loh, yang bakal terhibur. Candaannya sarat, akrab, dan yang paling penting; kocak. Sekali baca saja kita tahu kalo buku ini ditulis oleh seorang komika, gaya tulisannya persis kayak gaya tutur yang biasa kita tonton di acara stand up komedi. Unik, tapi terkadang memang sedikit mengganjal, khususnya bila kita mengahrapkan struktur yang lebih konvensional seperti novel atau personal literature yang biasa. Kuncinya ada di editing, you know, like, susunan cerita. Apalagi genre komedi banyak mengandalkan repetisi sebagai salah satu jokesnya. Buku ini melakukan dengan cukup bagus. Akan tetapi, ada beberapa editing dari sisi teknis seperti sejumlah besar typo yang terlupa untuk dibenerin dan penggunaan sudut pandang yang seperti kurang konsisten, ada bab yang pake ‘gue’, ada yang pake ‘saya’.

 

 

Buat yang mau menambahkan buku Lucu ini ke koleksi pustaka, ataupun lagi nyari pedoman menjalani hidup berumah tangga, bisa langsung pesan ke pengarang yang katanya pernah digodain SPG ini di twitter.com/rio_nisafa atau facebook.com/rio.nisafa

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS Review

“History is written by the victors.”

 

 

Apalah artinya sejarah, cuma dongeng yang disepakati bersama. Dulu banget Napoleon pernah berkata begitu. Kalimat yang enak banget buat diperdebatkan, namun berdering benar dalam film science fiction terbaru garapan Luc Besson yang diadaptasi dari komik asal Perancis.

 

Satu ras alien nyaris punah lantaran planet hunian mereka meledak, sebagai korban dari peperangan antargalaksi. Bayangkan Batman berantem dengan Superman di tengah kota. Gedung yang hancur, nah seperti itulah nasib planet cantik yang kita lihat di adegan pembuka film ini. Catatan tentang peristiwa naas tersebut dihapus oleh sekelompok orang jahat yang enggak ingin ‘prestasi’nya diketahui umum karena bakal berpengaruh terhadap apa yang sudah mereka usahakan selama ini. Mayor Valerian mendapat premonition tentang peristiwa itu. Bersama partner in crimenya, Sersan Laureline yang kece, Valerian mencoba memecahkan apa yang terjadi sekaligus berusaha untuk membantu segelintir penyintas ras tersebut mengembalikan peradaban, menyelematkan mereka dari kemusnahan.

Valerian and the City of a Thousand Planets seharusnya dijuduli Valerian and the City of a THOUSAND AWWWWWW. Visual film ini benar-benar spektakuler. Kita bisa dengan gampang nulis artikel internet semacam “Seribu Hal yang Menakjubkan di Valerian” karena memang ada sangat banyak penampakan yang bikin kita takjub. Efek CGInya terender mulus banget. Film ini dengan sukses menghidupkan fantasi penggemar science fiction di seluruh dunia; ada banyak jenis alien yang muncul dan desain mereka semua amat kreatif. Yang membuat rasa tertarikku semakin terpancing adalah sense optimis yang terkandung di dalam ceritanya. Universe dalam film ini berpusat di sebuah stasiun luar angkasa luar biasa besar. Ribuan alien dan manusia tinggal harmonis di sana. Montase di awal membuat kita mengerti gimana perdamaian semesta itu  bisa tercapai. It’s weird, but it’s okay to dream, kan ya. I mean, toh membuatnya menjadi relevan dengan kondisi dunia. Di mana kita mengharapkan hal yang sama bisa terjadi di dunia. Film ini pun berhasil meletakkan kita ke dalam perspektif baru; sudut pandang survivor yang sebenarnya enggak ada kaitan langsung dengan perang.

Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.

 

Ini adalah petualangan luar angkasa yang seperti gabungan Avatar, The Matrix, dan yes, Star Wars. Meskipun begitu, film ini masih terasa orisinil. I have to say beberapa sekuens aksi film ini bakal bikin kita menahan napas. Valerian memanfaatkan konsepnya dengan baik, kita dapat menikmati contohnya di adegan kejar-kejaran antardimensi di Pasar. Di bagian tengah juga ada sekuen yang amazingly stunning di mana Valerian dengan suit pelindungnya berlari gitu aja, ‘menembus’ dinding-dinding, dan kita ngikutin dia melewati beragam environment dengan cepat. Permainan CGI yang luar biasa. Memang sih, beberapa  terasa seperti gabungan beberapa hal yang sudah pernah kita lihat, tetapi tetap teramat menarik karena dipersembahkan dengan lumayan unik. Adegan yang menyenangkan, nonetheless. Film ini punya banyak aspek untuk kita sukai.

Dalam kartun Dragon Ball kita belajar kalo sebuah planet intinya udah hancur, maka tidak butuh waktu lama buat keseluruhan planet tersebut runtuh dan menjadi debu di tata surya. Ini jualah yang menjadi masalah pada film Valerian; Inti narasi film ini tidak pernah benar-benar kuat. Jika kita liat dari dasar storytellingnya banget, maka kita akan menemukan kekecewaan. Narasi mengalami banyak pergantian tone, dan lebih sering ketimbang enggak, ceritanya highly uneven. Ada satu poin dalam narasi ketika kita mendadak diperkenalkan kepada tokoh yang diperankan oleh Rihanna. Kita ngeliat kebolehannya dia menari sembari instantly ganti kostum (udah kayak musik video), yang kemudian membawa kita ke adegan penyusupan yang kocak dan inovatif, untuk kemudian berakhir dramatis. Tonenya berganti dengan cepat, dan clashnya kentara sekali.

Valerian terutama bercerita dengan mengandalkan humor, dan untuk sebagian besar waktu enggak ada penonton yang tertawa. Ketika Valerian dan Laureline berinteraksi – Valerian menggoda, dan Laureline menepis dengan mau mau tapi dingin – humornya enggak nyampe. Datar. It just doesn’t work. And a lot of that datang dari ketiadaan chemistry di antara dua tokoh lead kita. Bantering keduanya kayak enggak punya jiwa. Kalaulah boleh diadu, permainan akting Cara Delevingne lebih meyakinkan daripada Dan DeHaan. Tokohnya pun memang lebih menarik Laureline sih. Bisalah disejajarin ama hero-hero wanita yang lagi hits sekarang. Cara memainkan tokohnya dengan level fierce yang pas, sehingga para penonton yang cowok pun bakal ikut penasaran ‘ngedapetin’ hatinya. Sebaliknya, Valerian malah terlihat seperti anak remaja yang pengen banget menjadi keren seperti Han Solo. Tokoh utama kita ini mestinya adalah seorang yang cocky, semau gue, lady-killer, dan ketika dibutuhkan; dia cakap beraksi. Tapi tidak sedetikpun dari dua jam lebih film ini aku percaya dan yakin kalo tokoh ini adalah space adventurer paling keren sealam semesta. Dan DeHaan adalah aktor yang cakap, tapi di film ini dia sangat enggak pas dengan peran yang ia dapatkan.

“ella ella eh eh”

 

Pretty much seluruh momen film ini disyut di hadapan green screen. CGI efeknya menawan. Gambarnya halus. Downsidenya memang adalah aktor-aktor yang terlibat bakal kesusahan untuk stay in character. Dan DeHaan serta Cara Delevingne cakep banget di kamera, beautiful people yang kamera udah jinak deh sama mereka. Namun berinteraksi dengan  practically nothing bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan. Kedua aktor kadang terlihat off, maka terang saja kita enggak begitu tersedot kepada petualangan mereka. Relationship mereka kayak dipaksakan, dialog yang mengisi ‘pacaran’ mereka berdua antara humor gak-kena dengan kalimat puitis seputar tumbuhnya rasa cinta yang bikin kita meringis geli.

 

Ketika dua kubu atau lebih beradu, pemenang dari benturan tersebut akan mengukuhkan diri. Dibuatlah catatan kemenangan gimana heroiknya peristiwa yang mereka alami. Sementara yang kalah, akan menjadi catatan kaki. Mereka ada dalam belas kasihan pihak yang, katakanlah, hidup untuk menceritakan kisahnya. Terlebih buat pihak yang jadi colaterral damage, yang sengaja dikorbankan. Mereka enggak akan disebut sampai ada celah bagi pemenang untuk memanfaatkan mereka demi keuntungan sendiri.   

 

 

Masih ada banyak kesenangan yang bisa didapat dari menonton film ini. Punya tampilan yang cantik, semarak oleh warna dan efek yang mulus. Mampu membangun universe yang spektakular dan benar-benar hidup. Film ini akan menumbuhkan banyak pengikut yang setia dan sangat passionate, yang masih akan membicarakan film ini bahkan setelah bertahun-tahun. Para penggemar yang masih akan cinta dan enggak akan peduli bahwasanya penceritaan film ini sangat uneven. Banyak pergantian tone, menghantarkan kepada humor yang enggak bekerja dari tokoh lead yang hampir punya sedikit sekali chemistry.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE STORY OF 9O COINS short film Review

 

Kita sering melupakan betapa pentingnya janji, seperti kita sering melupakan bahwa film pendek tidak kalah pentingnya dengan film panjang. Ataupun bahwa ulasan atau review itu lebih dari sekedar sarana publikasi. Beberapa waktu lalu aku pernah buka pintu kerjasama buat aspiring filmmakers yang punya film pendek dan ingin direview. Namun sampe sekarang, Alhamdulillah, belum ada satu pun yang menghubungi. But to my surprise, malah filmmaker luar yang dengan hormat dan humblenya mempersembahkan karya debutorialnya untuk direview.

Michael Wong, indie director asal Malaysia, emailed me, dan dia punya satu film indah yang menurutku sangat penting untuk dishare. Not necessarily karena film pendek ini udah berprestasi di berbagai festival film internasional; which includes the Best Foreign Short & Best Actress at Los Angeles Independent Film Festival Awards, Best Drama & Best Cinematography at Los Angeles Film Awards, Best Foreign Short Film at Ukrainian International Short Film Festival, Rising Star Awards at Canada International Film Festival, an Official Finalist at London Film Awards, among others. Aku pikir, film pendek ini begitu penting dan sangat relatable buat begitu banyak orang, karena ini adalah cerita yang mengingatkan kita kepada janji.

And in hard times, this film can be a reminder to people of why they are in love in the first place.

 

Wang Yuyang dalam opening film pendek ini ditolak cintanya oleh Chen Wen. Jadi sebagaimana lumrahnya seorang cowok pejuang cinta, Wang Yuyang enggak menyerah. Dia mendeklarasikan sebuah ‘proposal’ yang lain; bahwa dia akan memberikan koin berbungkus amplop kecil kepada Chen Wen setiap hari. Kesepakatannya adalah; di hari ke sembilan-puluh, Wang Yuyang akan menanyakan kembali apa yang sekarang ditolak oleh Wen. Jika masih ditolak, koin tersebut akan mereka gunakan untuk beli minum kemudian pisah untuk selamanya. If somehow Wen menerima (Yuyang berkata penuh harap banget saat ngejelasin ini), maka koin tersebut akan digunain buat ngurus surat nikah. Sutradara Michael Wong tidak mengambil langkah bertele dan memanfaatkan 9 menitan durasi dengan sangat efektif. Romansa yang mengalir dari kedeketan mereka berdua tergambar lewat visual dan sinematografi yang niscaya ampuh bikin penonton cewek meleleh. Enggak butuh berepisode-episode sinetron untuk membuat kita mengerti bahwa cinta lambat laun tumbuh di antara mereka.

Apalah cinta tanpa pilihan. Dan saat konflik itu tiba,  The Story of 90 Coins doesn’t shy away dari fakta bahwa setiap manusia pada akhirnya harus memilih jalan sendiri. Oleh tuturnya, kita dibuat mengerti apa yang membebani dua sisi mata uang  –  yes , I’ve just punted it in – yakni Wen dan Yuyang. I think film ini punya kemampuan untuk beresonansi berbeda terhadap each penonton. It could sparks a healthy discussion di antara cowok dan cewek. To be frank, it’s hard not to pick a side when you’re watching a story as true and relatable as this. Menurutku, bukan hanya trust yang berpengaruh besar dalam menggali lubang di antara dua manusia ini. Semuanya kembali ke masalah seberapa besar seseorang menghargai janji.

it’s not just another mars and venus problem

 

Aku pastilah sudah hidup bak raja, tinggal dalam kamar bergelimang keripik kentang dan coklat jika Mamaku menepati janji-janjinya sekarang, “Udah, jangan rebutan! Nanti Mama belikan sepuluh lagi”. Dulu waktu kecil, setiap kali aku dan adikku berantem soal makanan (baca: setiap dua jam sekali, setiap hari!) – mainly because aku laper melulu dan my little evil sister pelit bukan kepalang – Mama akan menjanjikan beliin aku lagi hanya supaya kami berhenti saling lempar barang-barang.

Jadi, ya, karena sering diphpin begitu, aku tumbuh dengan tekad untuk sebisa mungkin nepatin janji betapa pun beratnya. Aku pernah janji gak ngehubungin orang, and I fulfilled that before we are friends again setelah setahun. Nelangsa, ya. Susah, memang. Tapi, aku berhasil enggak ingkar.  Aku mengerti bahwa bagi sebagian besar, janji diumbar dengan gampang saja karena itu adalah jalan keluar termudah. And it will instantly work. Diajakin ngumpul, tapi kalian lagi pengen me-time? “Insya Allah gue datang yaa”. Diundang acara, tapi gak enak nolaknya sebab nanti giliran kalian yang bikin acara kalian takut temen itu ‘bales dendam’ gadatang? “Okeee, tapi aku rada telat kayaknya.”- and then you never show up, atau ngecancel di menit-menit terakhir.

Anak muda sekarang kan memang suka gitu, dia yang memulai, dia yang mengakhiri. Dia yang berjanji, dia pula yang mengingkari.

Eh, kenapa jadi lagu dangdut?

 

Film ini berkata “Don’t let a promise just be a beautiful memory”. Apa yang terjadi pada Wen dan Yuyang di akhir cerita menunjukkan kepada kita bahwa terkadang kita enggak ingat, or we do not even realize, that we take our dearest for granted. Kadang kita bisa menjadi begitu selfish. Dan oleh karena itu juga, bahwa kadang kita sering mengucapkan sesuatu tanpa benar-benar memaksudkannya .

 

Film ini akan menegur kita dengan manis. One could argue that montase kenangan di bagian akhir dapat menjadi terlalu sappy, tapi menurutku hal tersebut bekerja cukup baik dengan tone yang sudah dibangun oleh film. Kita bisa melihat beda antara karakter, yang mana menandakan penulisannya fokus. My little problem, well it is not really a problem sih, but I do think bagian ending film pendek ini sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Narasi bisa berjalan tanpa kita harus tahu apa jawaban yang terlontar dari mulut Chen Wen. Aku lebih suka cerita yang membuat kita menebak, namun perlakuan film pendek dengan film panjang memang sedikit berbeda. Biasanya film pendek diakhiri dengan ‘kejutan’ atau sesuatu hal yang menohok banget, this short did just that. Dia mereveal semua supaya note dramatis dan emosional yang dihasilkan bisa maksimal terpush.

Aku senang dapat kesempatan tahu dan nonton film pendek ini. Aku merasa terhormat sudah dimintai pendapat mengulasnya sebagai ulasan short film pertama di mydirtsheet.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 stars for THE STORY OF 90 COINS.

 

 

Buat yang pengen nonton filmnya dan tahu lebih banyak bisa ikuti salah satu link di bawah ini:

a) Short film streaming link: http://www.vimeo.com/143267832/
b) Facebook page: www.facebook.com/thestoryof90coins/
c) IMDb page: www.imdb.com/title/tt5182914/

 

That’s all we have for now.
Kesempatan masih terbuka loh buat yang punya film pendek dan pengen diulas, ataupun pengen discreening di Warung Darurat Bandung; silahkan hubungi kami lewat email.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

PHOENIX FORGOTTEN Review

“The truth is out there.”

 

 

Ada dua jenis manusia bumi;  yang dengan semangat ngegosipin alien (apalagi kalo sambil ngemil gorengan), dan yang skeptis. Either way, penampakan alien selalu adalah topik yang menarik. Dan sangat menjual, tentunya. Kalian sering kan ketemu artikel semacam “7 Bukti Kita Tidak Sendirian Di Dunia Ini” atau “8 Orang Terkenal yang Pernah Diculik Makhluk Luar Angkasa”, well yea, aku biasanya akan ngarahin mouse ke judul itu, dan ngelik, dan membaca artikelnya untuk beberapa menit ke depan. Para believer masuk karena bukan hanya penasaran sama Alien, kita juga pengen nyimak berbagai teori konspirasi yang menyertai di baliknya. Bahkan untuk para skpetis, pembahasan tentang UFO menjadi sangat menantang karena mereka ingin membuktikan diri mereka benar.

Dan untuk urusan film tentang penampakan alien, aku biasanya termasuk golongan skeptis. Apalagi kalo filmnya memakai gaya found-footage alias first-person view. Biasanya sih, film kayak gini cuma ngandelin jumpscare dan berbagai teknik filmmaking murahan lain untuk meraup sebanyak mungkin untung yang mereka bisa dari ketertarikan natural manusia terhadap hal-hal supranatural. Kita udah paham deh, ‘aturan main’ film-film genre begini.

Sekilas, Phoenix Forgotten mungkin memang terlihat  niru-niruin The Blair Witch Project (1999). Ini bahkan bukan film pertama yang mengeksplorasi fenomena misteri Phoenix Light yang BENERAN TERJADI DI ARIZONA TAHUN 1997. It was a very interesting world phenomenon. Ratusan orang mengaku melihat barisan bola cahaya misterius yang membentuk formasi V, melayang di langit malam Arizona. Dokumentasi tentang ini banyak banget. Dari yang pernah aku baca, katanya Pemerintah setempat mengklaim hal tersebut hanyalah salah persepsi yang berkembang menjadi hoax yang dibesar-besarkan. Cuma lampu flare dari pesawat militer, katanya sambil berkelakar. Namun setelah Beliau hengkang dari jabatan, Governor tersebut mengaku sebenarnya dia enggak tahu persis tentang kejadian tersebut. Kontroversi dan teori pun menjadi semakin liar oleh ini. Phoenix Forgotten memasukkan aspek-aspek ini ke dalam narasi. Akan tetapi, nama Ridley Scott di barisan eksekutif produserlah yang terutama membuat aku tertarik nonton film ini.

Dan aku enggak menyesal udah nonton.

And if the name Ridley Scott sounds too alien to you, well yea…

 

Narasi film ini mengejutkanku; efektif sekali. Ceritanya ada tiga anak remaja yang di tahun 1997 menghilang gitu aja. Mereka diketahui sedang dalam ‘misi’ mengejar jejak cahaya misterius yang muncul di langit beberapa waktu sebelumnya. Peristiwa hilangnya mereka diceritakan, dikenang kembali oleh adik dari salah satu remaja. Penceritaannya dipersembahkan bergaya dokumenter, dan kita akan ngikutin si adik yang sekarang udah gede, mengunjungi berbagai tempat dan menginterview beberapa orang yang dulu pernah bertemu dengan kakaknya, atau yang mungkin ada hubungannya dengan sang kakak, ataupun yang dulu pernah melihat cahaya misterius itu. Masa kini dan masa lalu digabungkan as kita turut menonton kaset-kaset video buatan tiga remaja tersebut – berisi perjalanan ekspedisi mereka – yang ditonton oleh si adik yang gedenya diperankan oleh Florence Hartigan yang sempet aku sangka si Spencer dari PLL, namun ternyata adalah orang yang berbeda.

Misteri datang dari apa yang membuat tiga remaja tersebut menghilang dan tak pernah terlihat lagi hingga sekarang. Enggak ada seorang pun yang tahu mereka kemana. Aspek ini memberikan bobot emosi kepada cerita. Film-film UFO modern kebanyakan payah dan membosankan karena mereka tidak mengerti apa yang membuat subjek ini menarik. Enggak paham soal apa sih yang membuat genre ini bekerja. Ini bukan sebatas tentang hutan angker, atau jejak dan cahaya tak-dikenal di angkasa. Mereka pikir mereka cukup hanya dengan nunjukin hal-hal menyeramkan, sekelebat sosok alien berjalan di balik jendela, diiringi suara keras, dan mungkin ledakan. Namun UFO dan alien bukan sebatas tentang itu. Yang terbaik di antara film-film (ataupun serial TV) tentang Alien selalu adalah yang membahas tentang PARANOIA SEPUTAR EVENT penampakan atau encounter, lantas obsesi yang timbul dari kejadian tersebut. Phoenix Forgotten benar-benar menangkap dua hal ini dengan sangat baik.

It’s not that kita bego-bego amat, mau aja percaya sama hal di luar nalar seperti keberadaan Alien. Kita ingin percaya akan hal tersebut. Di luar kesadaran, sebagian kita ingin Alien yang kita sangsikan, benar-benar ada. Kita terobsesi sama ide bahwa ada kehidupan lain di luar sana. Dan ini sama sekali enggak ada hubungannya dengan kita ingin our belief yang benar, namun ini lebih kepada rasa ingin tahu dan naluri berpetualang yang sama besarnya. Bayangkan berapa banyak kemungkinan hidup kita akan berkembang menjadi  who knows what jika Alien benar-benar ada. And lets face it, untuk membuktikan itu saja entah berapa banyak terobosan yang sudah dicapai oleh umat manusia atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi. Intinya adalah, enggak ada ruginya ngomongin Alien.

 

 

Jika kalian suka sama hal-hal berbau konspirasi, or just like mystery overall, film ini bisa dijadikan pilihan yang bagus untuk ditonton saat senggang. Tapi yah, memang bisa sedikit bias sih. Elemen terobses dan paranoia film ini dapat berbalik menjadi too much juga.  I mean, I do feel related ama film ini karena aku suka baca-baca dan riset tentang misteri UFO. Walaupun unfortunately aku belum pernah ngeliat UFO, justru mama dan adekku yang pernah. Jadi sekitaran taun 2004an, mereka pulang dari lari pagi sambil heboh kayak histeris massal. Mereka mengaku melihat barusan lampu-lampu di langit yang terbang dengan kecepatan lambat banget menjadi wwuuuussshhh!! Ngebut tapi sunyi. Adekku sempat ngerekam lewat hapenya, namun entah karena teknologinya jelek entah karena UFO beneran, hasil rekamannya malah gelap gulita dengan bunyi desingan kayak mesin di latarnya. Miriplah sama suara efek UFO dalam film ini.

Sejak itu, aku jadi penasaran pengen liat UFO, jadi aku mengerti darimana rasa obsess salah satu tokoh remaja yang menghilang itu berasal, meski enggak sepenuhnya tereksplor oleh cerita. Dia ngefilmin semua dokumenter tersebut, kita bisa merasakan penasaran dan obsesnya tumbuh dan terdevelop dengan baik. Ada momen-momen ketika mestinya dia lari, namun dia ingin tetap bertahan, dia cuma mau dapat lima menit rekaman lagi to hopefully mendapat yang ia cari dan membuat keingintahuannya terpuaskan.

Kamera, rolling, …kabuurrr!!!

 

Dua babak pertama menyuguhkan misteri yang sangat compelling. Film ini bekerja jauh dari sekedar tentang anak tersesat dan melihat penampakan alien. Ada drama keluarga yang turut berkontribusi di sana, bahu membahu dengan elemen misteri. Kita akan melihat rekaman tahun 97, diselang-seling dengan kejadian di masa sekarang. Aku menghitung tidak ada satupun jumpscare dalam film ini. It is less a jumpscare fest and more of a mystery di mana tokohnya hanya pengen mencari anggota keluarga yang hilang. Fokusnya ada pada keluarga dan dampak trauma kehilangan anak buat mereka. Agak sedikit goyah sih di babak akhir di mana arc ini berakhir abrupt, dan proses kita mendapatkan final tape juga sangat dipermudah.

 

 

Dengan gaya found-footage, film ini sukses menangkap tiga hal: feel of 1997, trauma kehilangan orang yang disayangi, dan paranoia serta obsesi seputar UFO dan alien. The way penceritaannya dilakukan, mengedit adegan-adegan, membuat ini jadi enak untuk dinikmati. Surprisingly very effective. Mampu membuat kita terinvest. Penampilan akting dan tokohnya pun menarik. Ada bobot emosi di sana. Meski ada juga bagian yang terasa annoying, terutama saat mereka ngulang-ngulang reaksi yang sama saat melihat sesuatu yang ganjil di langit. Mengingatkan kita kembali akan peristiwa fenomenal yang terjadi di Arizona tahun 1997, dan mungkin kita enggak akan pernah tahu apa sebenarnya yang dilihat orang-orang kala itu. Namun untukku, aku ingin orang-orang enggak begitu saja melupakan film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for PHOENIX FORGOTTEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WAR FOR THE PLANET OF THE APES Review

“When a man assumes leadership, he forfeits the right to mercy”

 

 

Kera sering dianggap sebagai kerabat terdekat manusia. Para ilmuwan dengan teori evolusi sih berkata begitu, we are both primates, rantai DNA dan segala macem punya kesamaaan. Namun siapa sih yang sudi dikatain mirip ama monyet? Well, sejak menonton film pertama dari prequel seri The Planet of the Apes, suka gak suka aku jadi terhenyak juga melihat pelajaran yang terus berulang; bahwa manusia dan kera itu memang mirip tanpa kita sadari. Kera juga adalah spesies yang menyayangi keluarga, hidup bersosial dan saling berketergantungan, mereka punya rumah, mereka punya emosi yang membentuk karakter.

Bahwa kemanusiaan bukan ekslusif milik manusia semata. Malahan, oleh film ketiga ini – yang mengeksplorasi kata pertama dari judulnya –  kita akan dibuat benci sama spesies kita sendiri. Kera diserang, diperbudak, mereka adalah korban dari ketidakmampuan manusia mengaplikasikan ‘kemanusiaan’ itu sendiri.

 

The Planet of the Apes has been a great series so far. Kita sudah melihat kebangkitan bangsa kera mengambil alih planet dari manusia. Kita sudah melihat permulaan era baru di mana bukan lagi manusia sebagai spesies terkuat, dan dalam film kali ini kita akan melihat perang antara manusia-manusia yang tersisa dengan kera-kera pintar itu terjebak di tengahnya. Namun lebih daripada tentang memenangkan peperangan tersebut, ini adalah tentang SURVIVE DARI HORORNYA PERANG. Perspektif film ini teramat kuat karena sebagian besar waktu kita akan ngikutin Caesar sebagai pemimpin bangsa kera, and it’s also about pilihan-pilihan yang dibuat oleh pemimpin. Struggle antara rasa belas kasih dan balas dendam menjadi elemen konflik yang mewarnai cerita.

screw science, we are at war!!

 

Pada titik ini, kita tidak lagi mengagumi Caesar hanya sebagai pencapaian teknologi. I mean, not to overlook the production dan efek film ini sih. Yang mana sangat mencengangkan. Sekali lirik adegan pembukanya saja, kita langsung sadar bahwa film ini dibuat tekun oleh sekumpulan orang-orang jenius yang sangat berbakat. Kerja motion capturenya adalah salah satu yang terbaik yang pernah aku tonton, semuanya terlihat nyata. Andy Serkis sekali bermain brilian menghidupkan Caesar. Seperti yang kutulis tadi, mereka bisa menyejejerkan manusia dengan kera dalam satu adegan dan kita akan lebih respek terhadap yang kera, tapi bukan lagi karena bulu dan tingkahnya terlihat asli dan meyakinkan. Caesar di sini teramat menderita. Dia bukan lagi kera kecil yang diajarin bicara sama James Franco. Dia tidak lagi seekor kera naïf yang idealis berusaha menjadi simbol perdamaian manusia dengan kera. Di sini Caesar dan kelompoknya belajar hal baru: Dendam. Amarah menguasai, as Caesar bergulat melawan sisi gelap dari dalam dirinya sendiri. Pertumbuhan inilah yang membuat War for the Planet of the Apes bekerja luar biasa berhasil sebagai penutup trilogi. Journey Caesar bukan hanya bergerak di dalam lingkar film ini saja, jika kita menonton ulang dari Rise, terus Dawn, terus War ini, maka akan terasa pergerakan natural dari arc Caesar dan tokoh-tokoh lain, bahwa arc mereka membentuk satu gambar besar. Tentu saja aku gembira sekali karenanya, sebab meski aku belum nonton seri yang jadulnya, aku suka seri Planet of the Apes modern ini sedari Rise (2011).

Tidak seperti Simian Flu yang enggak ada obatnya, untungnya film ini berhasil menyembuhkan beberapa ‘penyakit’ yang menurutku menjadi masalah dalam dua film sebelumnya. Main problem seri ini adalah mereka bicara begitu banyak sebagai kera, sehingga melupakan karakter manusianya. Tokoh manusia tidak dibuat semenarik Caesar dan kawan-kawan. Setiap kali film membawa kita ke posisi tokohnya James Franco atau tokohnya Jason Clarke, kita pengen cepet-cepet pindah kembali ke Caesar, yang selalu menjadi inti cerita. Dalam film ini, kita setidaknya dapat tiga tokoh manusia yang diolah dengan menarik. Terutama tokohnya Woody Harrelson yang awalnya terlihat komikal sebagai Kolonel keji yang menyerang rumah Caesar. Ada kedalaman di dalam tokoh ini.  Kolonel adalah cerminan seperti apa jadinya Caesar jika dia terjerumus ke dalam lubang kesalahan yang sama. Kedua orang ini adalah pemimpin yang sama-sama menderita oleh pengorbanan dan kehilangan, jadi mereka ingin memastikan kelompoknya tidak lagi mengalami hal tersebut.  Ada gagasan tentang trait pemimpin yang juga dibahas oleh film ini secara subtil lewat dinamika Caesar dan Kolonel.

Dan tentu saja simbolisme. Kolonel menangkap dan memperbudak kera-kera di markas pasukannya yang dibuat mirip banget ama markas pasukan holocaust. Pasukannya bahkan punya chant khusus segala. In fact, ada banyak imaji holocaust dalam film ini. Sejalan dengan itu, masalah kedua film-film Apes ini adalah terlalu banyak dialog eksposisi, terutama Dawn (2014) tuh, banyak banget.  Dalam film War, penulis tampaknya menyadari hal ini, dan mereka membuang semua penjelasan, kecuali pada satu sekuen di mana Caesar dan Kolonel  ngobrol tegang membahas apa yang terjadi di masa lalu.

kera saktiii, membuat semua orang menjadi gempar

 

Aku sudah dibuat ternganga semenjak tembakan pertama berdesing. Ada begitu banyak sekuens dalam film ini yang membuat aku takjub hanya dari sudut pandang filmmakingnya. Arahan Matt Reevers membuat cerita menjadi sebuah perjalanan emosi yang suram namun sangat indah untuk diikuti. Sinematografi dan editingnya pun menyambung dengan mulus. Tidak ada momen yang terasa out-of-place ataupun sia-sia. Semua yang terjadi di sepuluh menit pertama basically ngeset-up segala yang kita butuhkan mengenai narasi dan film ini dan pada akhirnya akan terkonek sempurna dengan babak akhir. Untuk melengkapi pencapaian akting dan visualnya, departemen musik pun turut menyumbangkan peran yang begitu besar buat penceritaan. Suara dan musik eventually menjadi aspek yang penting sekali sebab ada banyak sekuens di mana tidak ada yang berbicara. Caesar memberikan isyarat kepada kera lain, mereka berkomunikasi diam-diam, dan yang kita punya untuk dipegang memang hanya penampilan, timing pengambilan gambar, dan musik. Juga ada momen yang ngebangun detik-detik balas dendam Caesar yang entirely senyap, jadi permainan musik dan desain suara begitu vital. Ditambah dengan penampilan Serkis, maka kita dapat the very definition of epic right there.

Musuh selalu mengintai  dari luar sana. Dan kekerasan manusia terhadap kera dalam film ini berfungsi sebagai metafora yang sangat pas terhadap keadaan kita dengan alam sekarang ini. Kita menjawab hal yang tidak kita tahu dengan ketakutan dan keinginan untuk mengontrolnya. Jadi kita merasa sebagai pemimpin dan berpikir berhak untuk membuang belas kasihan. Maka daripada itu, jika dibalik, siapkah manusia jika suatu saat nanti benar-benar muncul spesies yang lebih pintar untuk menggantikan posisi kita sebagai spesies alpha di muka bumi ini?

 

 

Salah besar jika kita masuk ke dalam studio, mengharapkan tontonan ringan yang ‘ceria’ oleh ledakan dan tembak-tembakan perang. Film ini begitu uncompromising sehingga menyebutnya fun sungguh sebuah typo yang disengaja. War digarap dengan unconventional. We do get a gigantic action scene, namun tidak bakal seperti yang kita bayangkan. Saat menonton pun, mungkin kita akan mulai berpikir, menebak-nebak ke mana arah cerita, you know, like, siapa akhirnya bakal melakukan apa, dan film ini tidak akan melakukan apa yang kita pikirkan. Narasi tidak memberikan jalan keluar gampang untuk karakter-karakternya. Film akan membuat mereka melakukan pilihan dan keputusan yang susah.

But also, film ini dengan berani mengambil resiko. Tone gelap itu berusaha mereka imbangi dengan sedikit suara ringan. Resiko ini datang dalam wujud kera botak yang menyebut dirinya “Bad Ape”. Tokoh ini adaah semacam komedik relief yang sebenarnya punya potensi untuk menghancurkan setiap adegan yang ada dianya dengan lelucon yang bikin nyengir. Sukur Alhamdulillah, film berhasil menemukan celah waktu dan kadar humor yang tepat, dan menurutku peran Steve Zahn ini menjelma menjadi salah satu kekuatan yang dipunya oleh film. Ada juga momen-momen manis yang datang dari tokoh gadis cilik bisu, yang salah-salah garap bisa saja hanya menjadi device nostalgia buat penggemar seri orisinil Planet of the Apes. Tetapi Nova oleh Amiah Miller begitu adorable, kehadirannya jadi simbol bunga di padang salju, eh salah, padang gurun, hmmm… medan perang, ding! Nova adalah harapan sekaligus bukti bahwa kedua spesies dapat hidup berdampingan.

 

 

 

 

Masterpiece ini bukan hanya tambahan yang hebat buat dua film sebelumnya, melainkan juga adalah sebuah penutup yang melengkapi trilogy ini dengan overaching plot yang sungguh-sungguh memuaskan. Setiap menit durasinya terasa sangat emosional dan riveting. Tidak ada dialog ataupun momen yang ‘salah’, kecuali satu kali mereka melakukan adegan eksposisi. Di luar itu, ini adalah cerita brutal tentang perang dan survival dan apa yang membuat pemimpin menjadi seorang pemimpin. Ini bukan blockbuster popcorn. Tetapi tak pelak, this was a beautiful experience. Penampilan aktingnya amazing semua, arahannya sangat riveting. Film ini adalah kasus langka di mana film ketiga menjadi film terbaik dalam trilogi tersebut. Dan juga adalah sebuah pengingat bahwa prekuel bisa kok menjadi sangat bagus jika digarap dengan sepenuh hati seperti ini. Explosive dan emosional, ini tak lagi sekedar khayalan gimana jika kera menguasai dunia. Ini sudah menjadi pembahasan mendalam apakah kita manusia, yang tidak berbelas kasih kepada alam, memang pantas untuk menjadi spesies penguasa dunia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WAR FOR THE PLANET OF THE APES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

Battleground 2017 Review

 

Dalam salah satu episode serial Netflix tentang gulat wanita, GLOW (2017), Ruth si tokoh utama sempat protes lantaran karakter tokoh heel yang dia pitch ke produser (atau booker, mengingat medan kita adalah ranah wrestling show) – wanita korban perkosaan di dunia post-apocalypse berontak ingin menguasai air dan satu-satunya pria yang tersisa – ditolak mentah-mentah. Alasannya cuma satu, terlalu ribet. Make it simple. Terlebih buat global company segede WWE.  Makanya, meski pesan yang ditimbulkan bisa sangat degrading dan sungguh-sungguh ketinggalan-jaman, kita tetap saja mendapat tokoh antagonis yang otomatis jahat hanya karena mereka berasal dari negara bukan-America seperti Rusev. Dan Jinder Mahal, yang tentu saja demi heat dan draw yang gede-nan-gampang, dijadikan juara WWE.

Pro-wrestling memang adalah tentang karakter yang berwarna, seperti yang disebut dalam video opening acara Battleground, namun warna tersebut hendaklah enggak nyampur-nyampur.

 

The way Battleground teresolve sepertinya memang sudah diset untuk membangun clash antar-negara. Acara ini berdentum oleh gaung patriotisme. Namun, jika Nolan’s Dunkirk (2017) menitikberatkan kepada perjuangan bersama melawan segala odds, maka dalam Battleground, as we see John Cena merangkak desperately demi nancepin bendera Amerika dengan Rusev memburu ganas di belakangnya, kesimpelan nature acara gulat membuat semuanya terasa komikal. Patriotisme sedikit tercoreng oleh warna pretentious karena WWE membuat ceritanya terlalu hitam dan putih. Battleground adalah ladang mereka ngebuild up kekuataan Amerika.

Dan di sisi yang berlawanan, kita melihat Jinder Mahal Berjaya, mengalahkan Randy Orton. Mahal membuktikan kepada dunia lewat match Punjabi Prison bahwa dia benar adalah Maharaja di India. Ini lebih seperti Dunkirk di mana kita melihat Singh Brothers dan, even The Great Khali yang bikin surprise tanpa tedeng aling-aling stumbling on the ramp, it was basically semua Jinder’s People keluar untuk mastiin Jinder keluar sebagai pemenang. India bersatu, aku sendiri excited kalo-kalo kita bakal dapet stable semacam India World Order. Dan melihat cara mereka ngebooking begini, Cena dan Jinder will eventually cross path, leading to a great nation war, mungkin saja di Summerslam. Despite this show itself – dan kemungkinan Cena ngebury Jinder, aku niscaya tetep bakal menunggu-nunggu hal tersebut untuk terjadi.

sejak di The Wall (2017), Cena mahir banget akting merangkak

 

Match mereka sendiri menjadi terlalu datar, dengan emosi tersesat entah di mana oleh rapatnya gimmick yang berusaha dibangun.  Contohnya Flag Match antara Cena dengan Rusev. Pertandingan yang sejatinya semacam lomba lari, yang kayak Ladder ataupun Flag, akan selalu memancing dramatic impact dari momen-momen superstar face berjuang mencapai ‘garis finish’. Akan tetapi, jika pada Ladder Match, mereka dapat menggunakan tangga sebagai senjata dan device akrobatik dengan seribu satu cara, maka pada Flag hanya entah berapa kali kita bisa memanfaatkan tiang bendera menjadi alat penyerang yang efektif dan menarik untuk dilihat. So naturally mereka resort ke elemen ‘lomba lari’ tadi, di mana hanya exciting di percobaan pertama. Akting Cena dan tingkah Rusev yang, “lama banget!” koor penonton nobar di Warung Darurat, sengaja ngulur-ngulur waktu kesusahan atau pun bergaya membawa bendera dengan cepat menjadi annoying. And it’s not really believable either, lantaran sebelum match dimulai kita melihat kru memasang bendera dengan sangat sigap. I mean, mendingan krunya aja deh yang tanding. Sepuluh menit terakhir menjadi porsi yang paling seru, Rusev dan Cena finally get to some fun actions. Sayangnya, match ini berlangsung selama dua-puluh menitan, jadi yah, keseruan di akhir itu enggak berarti banyak.

Menaruh Jinder Mahal dalam pertandingan yang hampir setengah jam juga sepertinya bukan pemikiran yang cemerlang. Sejauh ini, aku suka gimana freshnya sabuk kejuaraan tertinggi dipegang oleh superstar yang enggak disangka-sangka. WWE pun benar-benar ngepush status foreigner Jinder Mahal sebagai antagonis kelas kakap. Namun Jinder belum membuktikan bahwa dia deliver sebagai yang top di kelasnya. Tiada ciri khas yang distinctive dari duel-duel si Modern Day Maharaja. Spot menarik dan kocak malah selalu datang dari Singh Brothers. Begitu juga di Punjabi Prison ini. Emosi match terasa datar (makasih juga buat Randy Orton yang tampak main males-malesan sejak kehilangan gelarnya). Penjara itu kehilangan nuansa brutal, meski komentator udah susye paye ngejual ini sebagai mimpi buruk. Crash terkeren justru datang dari salah satu Singh yang jatuh dari ketinggian kandang ke meja komentator. Bagian paling dramatis secara emosi adalah ketika literally kemenangan Orton ditahan oleh Khali dan Mahal sengaja duduk di sana menonton sambil neriakin makian. Mengingat sejarah bahwa Khali adalah orang yang bertanggung jawab untuk kehadiran Punjabi Prison Match, beberapa menit momen tersebut menjadi sangat simbolik.

Punjabi Prison versi Indonesia: dikurung seharian nontonin sinetron-sinetron Punjabi’s

 

WWE  bukannya enggak berani ngebook orang asing sebagai protagonis, buktinya kita melihat Shinsuke Nakamura melawan Baron Corbin di mana si Corbinlah yang terlihat luar biasa ngeselin. Karakter Corbin works really well, dia ‘talking smack’ semua orang, termasuk penonton. Dia malah memulai match dengan talk trash di depan idung Nakamura. Such a fun heel. Sedangkan untuk bagian Nakamura, para penulis salah kaprah dengan mengarahkan karakter King of Strong Style ini menjadi karakter babyface yang musti dihajar duluan baru ngebales ala ala John Cena. Nakamura enggak butuh dramatic element kayak gitu. He can work well, his strike sangat cepat, dan ‘membumikan’nya seperti pada match ini hanya membunuh tempo dan pace dan electric yang ia miliki. Aku ngerti hasil akhirnya bahwa kedua superstar tersebut pada titik ini harus dilindungi secara menang-kalah. Yang enggak aku ngerti adalah kenapa kedua superstar yang harus dilindungi ini malah dibook tanding berdua. Memangnya enggak ada lawan lain?

Semuanya terasa menurun setelah bel tanda kejuaraan tag team sebagai partai pembuka berakhir. New Day dan Uso menyuguhkan aksi tag yang cepat, banyak false finish yang bikin kita melonjak-lonjak. Kofi dan Uso kick out bergantian dari finisher lawannya masing-masing. Puncak serunya adalah ketika Xavier Woods yang sedang terbang kena stop oleh tendangan di kepalanya. Wuih itu telak banget, enggak lebay deh kalo kubilang itu SUPERKICK TERKEREN sejak Shawn Michaels nendang Shelton Benjamin. Battleground tidak bisa mengembalikan derasnya sorak penonton, not even dengan AJ Styles dan Kevin Owens. Kedua orang ini malah diberikan penyelesaian yang aneh dan datar. Angle wasit pingsannya enggak mengarah ke apa-apa, Owens bahkan enggak tap out, dan sepertinya wasit  bangun kelamaan sehingga endingnya tampak awkward. Dan meski mungkin kita senang Zayn akhirnya menang, both Zayn dan Mike –tiga sama Maria- enggak terlihat credible sebagai pemain papan tengah. Match cewek, however, bisa saja menjadi lebih baik jika saja WWE enggak terlalu doyan dengan eliminasi cepet-cepet. Pertandingannya terasa terburu-buru dan did very little to the girls.

 

Ada tebakan nih; siapa juara WWE saat ini yang jarang mempertahankan gelar di ppv, tetapi bukan Brock Lesnar?

NAOMI

glow is the new black

 

Naomi has yet to impress me. Selain nari-nari dan nyala dalam gelap dan entrancenya bikin anak bayi epilepsi, Naomi belum banyak berkembang. Aku ingin lihat dia bertanding lebih banyak, melawan kompetitor yang mumpuni.  Sejauh ini, berturut-turut di ppv dia terlibat tag team, melawan Lana, dan sama sekali enggak dapat match. Saat melawan Lana, aku belum melihat peningkatan pada skillnya. Perlu diingat, skill dan moveset itu berbeda; ya, Naomi punya moveset yang asik sebab dia highflyer. Tapi itu bukan lantas berarti dia punya skill bagus. It just mean that she is a highflying, dan karena dia face maka ya dia pake jurus-jurus yang enak dilihat. Take Alexa, Bliss sebenarnya bisa berakrobat di atas ring, tapi semenjak jadi heel, porsi aksinya lebih diarahkan untuk moveset antagonis, Twisted Bliss pun jadi jarang dia gunakan. Atau liat saja Neville; sejak jadi jahat, pamungkasnya beralih jadi Ring of Saturn. Skill yang kumaksud adalah kemampuan dalam ngedeliver dan eksekusi moves. Serangan-serangan Naomi masih terlihat lemat dan emotionless. Di Battleground dia jadi komentator, dan bahkan mic skillnya juga masih pas-pasan, masih terdengar ngapalin skrip. I want to see how she’s improving, semoga dia sengaja disimpan buat mengejutkan kita semua, bukan lantaran karena WWE masih ragu sama dia.

 

 

 

Battleground is a set-up show dengan akhiran match yang cenderung buruk. Eksekusinya datar, cardnya kayak diisi semuatnya. Honestly hanya Corbin yang keluar dengan lumayan meyakinkan, sementara superstar lain either diberikan booking yang jelek ataupun enggak live up sama karakternya. Ini bukan saja pay per view Smackdown terburuk, namun bisa juga adalah salah satu yang terjelek yang ditawarkan oleh WWE.
The Palace of Wisdom menobatkan New Day versus The Usos sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

Full Results:
1. WWE SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP New Day jadi juara baru ngalahin The Usos
2. SINGLE Shinsuke Nakamura menang DQ atas Baron Corbin
3. FATAL 5 WAY ELIMINATION Natalya mengalahkan Charlotte Flair, Becky Lynch, Lana, Tamina
4. WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP Kevin Owens merebut kembali sabuknya dari AJ Sytles
5. FLAG John Cena defeat Rusev
6, SINGLE Sami Zayn menang atas Mike Kanelis
7. WWE CHAMPIONSHIP PUNJABI PRISON Jinder Mahal ngalahin Randy Orton dengan bantuan besar

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

DUNKIRK Review

“We shall fight on the beaches

 

 

Bayangkan dirimu seorang serdadu Inggris yang terjebak dalam perang, empat ratus ribu pasukanmu dipukul mundur hingga ke garis pantai. Tempat di mana kalian menunggu untuk evakuasi. Hanya saja kondisimu itu sama aja seperti bebek yang berenang di dalam baskom; setiap detiknya kalian dalam bahaya ditembaki oleh pemburu, yang dalam perang ini adalah pesawat angkatan udara Jerman. Jadi tentu saja kalian akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Dunkirk menceritakan tentang survival perang, begitu simpel dan sungguh nyata. Dan oya, kejadian di pesisir pantai Dunkirk ini diangkat dari peristiwa dari Perang Dunia Kedua, yang tercatat di buku sejarah sebagai peristiwa ‘ajaib’ yang mengubah pandangan dunia terhadap perang.  Ajaib bahwa kemanusiaan masih ada as selain tentang gimana para tentara di daratan berusaha keluar dari pantai, ini juga menilik tentang penduduk sipil yang berjuang mengerahkan kapal-kapal pribadi demi menyelamatkan pahlawan bangsa mereka.

At one point of the movie, salah satu tokoh film ini keheranan disambut baik sesampainya di ranah Inggris. Padahal dia merasa malu, negara mereka kalah. “All we did is survive” katanya. Secara militer, memang, mereka kalah. Tapi mereka berhasil selamat dalam jumlah banyak. Mereka selamat untuk melanjutkan hari esok, and it is a glory of humanity. Karena orang-orang Inggris itu menunjukkan semangat dan solidaritas patriotik untuk bersatu, untuk menjadi kuat, melawan situasi yang sulit. Survival tidak pernah adil, dan peristiwa Dunkirk menunjukkan kemanusiaan masih punya harapan dan peluang untuk menang.

 

Sekarang, coba bayangkan, kamu berlari, loncat dari kapal, menyelam, menggapai-gapai mencari udara, dalam cemas dan harap menemukan tempat di luar bidikan bom, dan kalian melakukannya di antara seribuan lebih orang yang melakukan hal yang sama. Benar-benar tidak ada waktu untuk menghembuskan napas lega, apalagi saling menyapa dan get to know each other. Begitulah persisnya film Dunkirk dipersembahkan. Film perang yang bagus seperti Saving Private Ryan (1998) biasanya menceritakan karakter di dalam situasi mengerikan, dan gimana mereka beraksi terhadap perang. Gimana mereka dilanda oleh dilemma. Dunkirk, however, adalah ‘HANYA’ TENTANG PERANG. The actual event. Dan bagaimana terrifyingnya jika kita terjebak di sana. Tokoh utama film ini ya bisa dibilang tentang peristiwa itu sendiri. Tentang evakuasi orang-orang. Film ini begitu in-the-moment. Dramatic impact bukan datang dari kita ngecheer seseorang untuk hidup, untuk kembali kepada keluarganya. Film ini adalah tentang manusia sebagai spesies. Tentang gimana kalo kepepet dan punya tujuan yang sama, kita bersatu. Nolan paham dia enggak perlu membahas karakter terlalu dalam, maka dia meletakkan ‘ledakan’ kepada sekuens perang yang dibuat serealistis mungkin. Dia menangkap event ini dengan sangat menawan. Mengerikan, ya memang, tapi beautiful.

Tom Hardy sukses berat nampilin emosi hanya melalui bolamatanya

 

Jadi ya, karena itulah aku memaafkan pengarakteran yang enggak digali oleh film ini. Meski aku enggak bisa benar-benar konek sama tokoh-tokoh dalam film ini, mereka tidak benar-benar punya arc, kita enggak tau backstory mereka, tapi hal tersebut enggak pernah berdampak begitu besar. Bukan hanya karena film ini dibuat oleh Christopher Nolan.  Enggak ngelebih-lebihin sih kalo aku bilang kebanyakan orang akan suka film ini lantaran ngeliat nama sutradaranya. Nolan itu udah jadi semacam brand sendiri, orang sudah hampir pasti  akan nonton setiap film yang judulnya diiringi oleh “A Christopher Nolan’s film”. This is truly a MAGNIFICENT FILM. Dunkirk menggunakan kapal-kapal asli, pesawat-pesawat tempur beneran, lokasi yang nyata – bukan greenscreen, dan sejumlah besar pemain kayak film india. Dunkirk sangat thrilling dari awal hingga akhir. Karena sedari dimulai, kita sudah langsung diletakkan di tengah-tengah battlefield. Beberapa karakter diperkenalkan dengan cepat, kita ngikutin beberapa tokoh yang berfungsi sebagai wakil dari kita. Dan walaupun mereka jarang ngomong, tidak pernah ada momen-momen hampa.

Untuk selanjutnya, keseluruhan film adalah tentang serangan. Spektakel aksinya benar-benar terlihat realistis. Semuanya terasa otentik. Tidak ada adegan pesawat meledak seperti ledakan yang sering kita lihat di film-film action Hollywood. Tembakan senjata apinya enggak terasa teatrikal. Aspek realistis inilah yang terutama membuat kita tersedot ke dalam cerita. It’s a whole gigantic battle sequence yang dibuat seolah kita ada di sana. Kita tidak mengalihkan pandang dari mereka karena kita begitu masuk oleh perjuangan mereka untuk bertahan, mengatasi segala tantangan.

Jika kalian masuk ke studio mengharapkan cerita yang linear, maka itu berarti kalian belum banyak makan garam soal perfilman.  Salah satu yang membuat karya Nolan selalu dihormati banyak orang adalah film-film Nolan juga menghormati kecerdasan penonton. Karakter boleh saja sederhana, namun tidak ada yang sederhana dari langkah penceritaan yang dilakukan Nolan pada film ini. Dunkirk membagi diri menjadi tiga sudut pandang; di pantai – ngikutin prajurit inggris, di kapal – ngikutin sipil yang mau bantu nyelametin tentara, dan di pesawat – ngikutin Tom Hardy yang berusaha menghalau pesawat Jerman. Akan ada momen ketika kita bingung “loh yang ini kok udah malam, yang di pesawat tadi masih siang..?”  Narasi hanya memberi petunjuk berupa waktu; seminggu untuk pantai, sehari untuk kapal, dan sejam untuk pesawat. Penceritaan film ini seperti soal matematika di sekolah dulu; ada kapal, pesawat, dan orang bergerak dengan waktu yang berbeda, maka kapankah mereka akan bertemu? Film ini membuild up momen sehingga ketika tiga layer waktu tersebut menjadi satu di akhir, semua akan terasa wah. Editing film yang apik turut membuat kita enggak pernah terlepas dari cerita, pergantian-pergantian sudut pandang terasa mengalir dengan mulus.

serius deh, aku senewen akut dengar bunyi detik jam yang terus terdengar

 

Dalam perang, orang-orang tewas – terkadang mereka gugur sendirian, gugur dalam ketakutan, dengan tidak mengetahui nasibnya sendiri pada esok hari. Film ini tidak memalingkan diri dari kenyataan tersebut. Tapi selalu ada harapan. Kata-kata bisa menggerakkan satu negara. Dan film ini menggambarkan, orang-orang sipil sebagai simbol harapan dalam sebuah perang.

 

Untuk standar Nolan, memang Dunkirk adalah film yang singkat. Tapi juga sangat efektif dalam mengisi durasinya. Buatku, durasi film ini udah pas. Kalo terlalu panjang jadinya lebay, terlalu singkat malah ntar jadi kurang ngefek. Segala kengerian perang sudah berhasil digambarkan dengan baik. Kita merasakan ngerinya dikurung, tenggelam, terkunci dalam pesawat yang jatuh, diitembak blindly tanpa tahu di mana yang menembak. Meskipun enggak ada darah terlihat, enggak ada potongan tubuh berceceran, film ini bermain di ranah PG-13, kita tetap tergoncang oleh efek psikologis yang sangat kuat. Sungguh mengerikan menyaksikan karakter-karakter itu literally mencakar-cakar dan merangkak demi hidup mereka. Bahkan kepada tokoh yang pengen menyelamatkan, kita merasakan dorongan yang kuat dan ikut merasakan perjuangan dan halangan yang mereka tempuh.

 

 

 

Menangkap peristiwa bersejarah dengan sangat realistis, tidak ada satupun kejadian yang luput dari rasa otentik dan penuh ketegangan. Penceritaan non-linearnya mengantarkan film menjadi satu kesatuan yang mulus. The look of this movie is outstanding, sekuens battlenya benar-benar tergambar mengerikan, layaknya perang beneran. Dan this whole movie adalah peperangan. Sedikit hindrance adalah di bagian penokohan yang ditulis sederhana, tanpa arc dan tedeng aling-aling. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi hal yang tanked the movie, karena dampak emosional film datang dari sisi psikologikal dan feeling in-the-moment yang membuat kita merasa benar-benar ada di tengah peristiwa tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for DUNKIRK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.