IQRO: MY UNIVERSE Review

“Finding a better way to live”

 

 

Semesta film Iqro: My Universe tampak seperti tempat yang lebih-baik untuk ditinggali. The girls here are kickin’ ass in a science fair! Periode cerita ini berlangsung memang tidak gamblang disebutkan, tapi kita semua bisa berharap dunia tempat tinggal Aqilla adalah masa depan yang baik yang enggak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang. Kenapa aku bilang masa depan? Karena di film ini kita melihat ilmu pengetahuan dan agama berjalan saling bersisian, saling dukung mendukung. Tidak ada yang ribut mempermasalahkan bentrokan ilmu agama dengan sains di lingkungan Aqilla. Sah-sah saja untuk anak perempuan, berhijab, pengen menjadi astronot. Aqilla tidak dicurigai pengen bikin bom ketika membuat roket. It seems like a perfect place to live.

Tapi sepengetahuan Aqilla, Bumi semakin rusak. Lewat narasi ia menceritakan keinginannya untuk menemukan planet hunian baru, yang lebih baik, supaya semua orang bisa pindah ke sana. Makanya Aqilla getol banget pengen jadi astronot beneran. Ia percaya dengan pindah, maka hidup akan menjadi lebih baik. Begitu ia menemukan lomba vlog berhadiah kunjungan ke pusat pelatihan astronot, Aqilla langsung semangat untuk ikutan. Tapi opa (kakek) Aqilla yang menginspirasinya menjadi astronot, tidak bisa diajak bikin vlog sebab beliau pindah bertugas ke Inggris. Hanya ada satu cara lagi supaya Aqilla bisa terpilih. Yakni membuat vlog bersama astronot wanita Indonesia, Tsurayya. Aqilla bekerja keras supaya mendapat approval dari Tsurayya, hingga berdampak ke prestasinya sekolah. Aqilla tidak peduli. Dia harus menang supaya impiannya jadi astronot yang menemukan tempat tinggal baru bisa terwujud, sekaligus mengalahkan saingannya di sekolah. Cita-cita memang harus tinggi, tapi Aqilla terlalu sibuk sama hal-hal yang jauh di atas, sehingga melupakan hal yang lebih penting, yang berada lebih dekat di darat.

Aku enggak nonton film Iqro yang pertama, tapi kupikir film itu pastilah banyak diminati sehingga cerita anak-anak ini dibuatkan sekuelnya. Dan dari apa yang kulihat pada film kedua ini, Iqro bisa jadi memang semesta khusus film-film yang baik. Film ini akan mengajarkan kepada anak-anak seperti Aqilla untuk berani mengejar cita-cita. Iqro: My Universe juga bekerja dalam level spiritual alias rohani, karena apa yang tampak di luar sebagai cerita anak yang ingin menjadi astronot supaya bisa mencari planet yang lebih baik sebenarnya berbicara tentang fenomena khas yang relevan dengan pemeluk agama Islam sekarang ini; soal hijrah. Kendati begitu, film ini juga tidak serta mengekslusifkan diri. Sutradara Iqbal Alfajri membahas hijrah dalam konteks yang universal. Film simply menyebutnya sebagai pindah, dan selain Aqilla kita mendapat dua contoh kasus hijrah lagi yang paralel dan mendukung sebagai pembelajaran ‘pindah’ yang diinginkan oleh Aqilla. Pertama, subplot si opa yang pindah ke Inggris yang menurut Aqilla meninggalkan dirinya, yang kemudian si opa dihadapkan pada pilihan untuk kembali ke negara yang lebih membutuhkan atau tetap di sana. Kedua, subplot kerabat Aqilla yang baru saja pindah dari desa ke kota, yang bakal harus memilih menjadi beban ayahnya dengan belajar di pesantren atau kembali ke desa.

Aqilla harus menyadari bahwa ini bukan soal mencari tempat yang lebih baik, melainkan membuat tempat tinggal menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang. Yaitu dengan melakukan kebaikan yang dimulai dari perbaikan sikap diri sendiri. Karena hijrah sesungguhnya adalah pergi meninggalkan yang buruk dan mendatangi yang baik-baik.

 

ketika kau ngajakin bikin vlog dan nyuruh narsumnya megangin kamera

 

Really, Aqilla’s story is not half bad. Tentu, lapisan terluarnya ditampilkan sebagai cerita hubungan anak dengan mentor yang lebih tua, yang ‘galak’, tapi toh paling tidak hubungan utama cerita ini bertumpu pada pasangan yang tak-biasa; seorang anak dengan astronot wanita. Paling enggak, ini menceritakan dunia astronot yang tidak semua orang tau. Atau malah mau peduli untuk mencari tahu. Ada banyak hal yang mestinya bisa digali dan diintegralkan dengan gagasan cerita. Momen-momen seperti Aqilla latihan ala astronot; berjalan di dalam air, running an errand mencari benda-benda yang penting untuk penelitian antariksa. Film harusnya lebih memperbanyak soal ini. Tapi sayangnya, film seperti tidak tahu apa yang mereka punya. Tokoh Aqilla sebenarnya tergambar menarik. Dia gigih, dia punya attitude yang mungkin membuatnya tampak sengak tapi cocok dengan pembelajaran yang bakal karakternya dapatkan. Aqilla kabur dari rumah, bohong sama ibu, hanya supaya bisa ketemuan sama Bu Tsurayya – padahal ini ceritanya lagi bulan puasa loh. Aku dulu waktu kecil sempat bercita-cita jadi astronot, dan melihat Aqilla di film ini aku malu sendiri tidak benar-benar serius mengejar cita-cita tersebut. Aisha Nurra Datau yang memerankannya juga gak ancur aktingnya. Dia seharusnya bisa menjadi salah satu ikon anak-anak jaman now. Pembuat film yang lebih kompeten akan mengeksplorasi relasi Aqilla dan Tsurayya habis-habisan, menantang Aisha untuk beradu akting dengan Maudy Koesnaedi dalam level yang berbeda.

Tapi film ini tidak melakukan apa-apa terhadap keunikan yang ia punya. Latar bulan puasa, budaya rohani tidak pernah benar-benar dicuatkan. Kita hanya melihat mereka berbuka dan makan sahur. Dan sesekali mengaji. Menyebutkan ayat-ayat yang dijadikan sumber perkembangan ilmu pengetahuan. Itupun dilakukan dengan paparan semata. Tidak ada arahan yang spesial digunakan untuk mengakomodir cerita yang unik ini.

Mentang-mentang judulnya Iqro (sepertinya lebih mengacu kepada kitab yang dibaca anak-anak pengajian alih-alih kata Iqra yang berarti bacalah), film ini diceritakan dengan sangat tekstual. Formula cerita dimainkan dengan standar; sedikit nilai plus ketika film berusaha semaksimal mungkin mengaitkan subplot-subplot – namun plot utama si Aqilla benar-benar biasa. Seperti membaca buku cetak pelajaran. Pengetahuan dan keilmuan astronot disebut begitu saja. Bayangkan melihat anak yang bersemangat berinteraksi dengan mentor yang sok cuek; seharusnya bisa mengasyikkan. Akan tetapi film malah memberi mereka dialog tentang penjelasan kegunaan bunga Chrysantemum dan zat-zat kimia. Jadinya membosankan. Dialog film ini memang sangat parah. Hampir seperti penulisnya tidak tahu bagaimana cara merangkai dialog yang menarik. Dialog dalam film sebaiknya – SEHARUSNYA – hanya digunakan antara untuk memajukan plot atau untuk menunjukkan karakter. Dialog dalam film ini jarang sekali berfungsi seperti demikian.

saking biasanya nonton film ini rasanya kayak naik roller coaster yang tak mampu membuat kita berteriak

 

Terlalu banyak dialog yang berisi eksposisi alias penjelasan yang enggak penting karena kita semua sudah tahu. Kayak dialog papa Aqilla menjelaskan ke mama soal pencurian barang-barang di museum. Literally yang diucapkan papa adalah ringkasan apa yang sudah kita lihat di adegan sebelumnya. Sungguh adegan yang mubazir. Kita sudah tahu apa yang terjadi, masing-masing kita sudah melihat kejadiannya dengan mata kepala sendiri, I mean, anak kecil yang nonton juga pasti ngerti sama kejadian tersebut – siapa yang bersalah, siapa yang nolongin, siapa yang enggak sengaja terlibat. Jadi kenapa harus ada dialog yang menginfokan rangkuman kejadian tersebut. Ini yang penonton kita apa mamanya Aqilla. Di menjelang pertengahan ada yang lebih parah dari itu. Aqilla buka puasa ke rumah kakaknya, mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan dialog yang dimainkan oleh dua tokoh ini adalah… Aqilla menceritakan ulang semua kejadian yang sudah kita tonton hingga di titik itu. Ikut lomba vlog, opanya pergi ke Inggris, dia berusaha minta vlog kepada Tsurayya, empat puluh lima menit kejadian yang sudah kita saksikan dirangkum dalam percakapan Aqilla dengan kakaknya.

Ini juga menunjukkan betapa uselessnya tokoh Kak Raudah yang diperankan oleh finalis Gadsam Adhitya Putri. Dan dia bukan satu-satunya tokoh tak-berguna dalam film ini, yang ‘tugas’ mereka cuma nyampein satu ayat atau ngasih satu benda, dan kemudian hilang hingga akhir cerita. Menjelang tamat, kan ceritanya hari raya tuh, nah bahkan tokoh-tokoh ini gak muncul lagi ikut merayakan lebaran bersama Aqilla. Aku mengerti bahwa mungkin tokoh-tokoh tersebut ‘penting’ karena punya peran di film pertama, tapi ya jangan dipaksain muncul juga kalo gak mampu memberikan banyak fungsi untuk mereka. Pastilah ada cara yang lebih baik, sehubungan dengan pemanfaatan karakter, untuk ngasih Aqilla satu benda atau satu informasi. Cerita ini sebenarnya mampu berdiri sendiri, hanya saja film memilih untuk membuatnya tak-lepas dari film yang pertama dengan tetap memasukkan tokoh-tokoh yang sebenarnya tak penting.

 

 

 

Sungguh berat rasanya buatku menulis ulasan ini, karena filmnya sendiri sebenarnya tergolong film yang bergagasan baik. Yang punya nilai untuk ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Tapi penggarapannya sangat standar. This movie was so text-book, it barely has a soul. Kualitas penulisannya di bawah rata-rata. Banyak karakter tapi dialognya hanya berupa eksposisi dan rangkuman kejadian. Sehingga mereka semua jadi mubazir tidak berguna. Film ini bicara tentang tidaklah apa-apa untuk berusaha menggapai bintang setinggi-tingginya, planet kalo perlu, sayangnya dirinya sendiri tidak bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Film ini membidik rendah, tidak meroket ke angkasa.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for IQRO: MY UNIVERSE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana sih pandangan kalian tentang hijrah? Apa pendapat kalian tentang tren hijrah yang marak dewasa ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

DARK PHOENIX Review

“The kids who need the most love will ask for it in the most unloving of ways.”

 

 

Dengan segala kesemrawutan X-Men Cinematic Universe, paling tidak ada dua hal yang kita ketahui tetap kontinu. Pertama; Jean Grey tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Dan kedua; masalah tersebut dapat membuat cewek ini menjadi jahat.

Hidup selama lebih dari sembilan-belas tahun, sebelas film X-Men dibuat secara estafet dari pembuat satu ke pembuat lain. Sayangnya, film-film ini tampaknya hanya dibangun oleh harapan masing-masing pembuat tersebut untuk menghapus ‘jejak’ yang terdahulu. Karena, apparently, membuang sesuatu toh memang lebih gampang daripada mengikatnya ke sesuatu yang baru. Makanya, cerita X-Men kemudian begitu bernapsu untuk membahas ‘kembali ke masa lalu’; mereka ingin me-reboot secara halus. Hasilnya tentu saja kita yang bingung dengan segala ketidakkonsistenan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak-terjawab oleh logika. Dark Phoenix actually mengeksplorasi ulang cerita Jean Grey yang sudah pernah diceritakan pada X-Men: The Last Stand (2006). Jean Grey punya kekuatan begitu besar, namun dia sendiri begitu insecure dengan kemampuan dan statusnya sebagai mutant, sehingga kombinasi dua hal tersebut menjadi luar biasa berbahaya. Mengancam keutuhan dunia beneran. Serta keutuhan dunia impian Profesor X, di mana manusia dan mutant hidup saling bekerja sama. Visi sutradara Simon Kinberg dalam debut film panjangnya ini adalah menjadikan Dark Phoenix sebagai penutup franchise yang benar-benar intriguing dan kelam.

Sayangnya, perwujudan dari visi tersebut sungguh datar dan tidak benar-benar menarik karena Dark Phoenix ternyata enggak jauh lebih dalem dari Last Stand dalam mengeksplorasi cerita ini. Narasi yang diucapkan oleh Jean Grey tentang evolusi yang membungkus cerita ini terdengar out-of-place dan gak benar-benar nyambung sama tema dan apa yang menjadi journey dari Grey. Seharusnya film ini mengangkat pertanyaan lebih kompleks dari keadaan Jean Grey. Apakah dia bisa tetap bersama dengan orang-orang yang ia cintai dengan kekuatan yang ia miliki jika ia memilih untuk menerima kekuatan tersebut. Film seharusnya menekankan kepada keadaan jiwa Grey sendiri yang bertanya kepada dirinya apakah dia masih bisa menganggap rekan-rekan sebagai keluarga setelah semua kenyataan yang ia ketahui. Opening film ini tampak seperti sudah akan mengambil jalan yang benar. Film membahas soal baik dan jahat sebenarnya cuma masalah pilihan, bukan masalah kemampuan yang kau punya. Kita bisa saja hanya punya pulpen, dan tetap melakukan hal keji seperti membunuh orang dengan pulpen tersebut jika kita memilih begitu. Yang film ini tawarkan kepada kita adalah tokoh utama yang harus memilih untuk berbuat baik atau berbuat jahat dengan ‘hadiah’ yang ia terima – ini ultimate choice banget, pilihan yang harus dibuat oleh Jean Grey personal dan dalem sekali. Tapi film memilih untuk lebih mengedepankan serangan alien. Tidak benar-benar banyak melakukan sesuatu yang baru dan berbobot dari kondisi psikologi Grey. Kita hanya melihat dia menangis meringkuk berhujan-hujan, kemudian curhat ke berbagai orang, dan meledak marah, menyebabkan kemalangan secara tak-sengaja, dan membuat marah lebih banyak orang – same old basic stuff.

Menonton ini aku memutuskan untuk tidak memikirkan kontinuitas, karena sesungguhnya justru kontinuitas itu yang paling mengancam dunia film ini – ketimbang alien, ataupun kekuatan Jean Grey. Aku bermaksud menikmati film ini sebagai cerita solo. Dan bahkan melihatnya seperti demikian pun, film ini lemah karena dangkalnya pengeksplorasian tersebut.

franchise X-Men tidak peduli soal kesinambungan, and so should you.

 

Momen-momen bersinar datang dari sekuen-sekuen aksi. Favoritku adalah bagian di awal ketika para anggota X-Men menggunakan masing-masing kemampuan mereka untuk bekerja sama menolong pesawat ulang-alik di luar angkasa. Mungkin film menyadari bahwa appeal X-Men terletak pada kemampuan khusus yang berbeda-beda pada setiap mutant. Sehingga film tidak benar-benar menjadikan sisi drama psikologis sebagai fokus utama. Mereka ingin mengakhiri semua ini dengan ledakan dan pertempuran di sana sini. Adegan pertarungan terakhir di kereta api yang seru itu kelihatan banget ditambah/direshoot – Grey dan tokohnya Chastain melakukan interaksi yang merupakan pengulangan dari adegan sebelumnya – karena film merasa masih kurang seru.

Dilihat dari jajaran penampil akting, film ini solid. Aku gak bisa bilang metode yang dilakukan James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, dan banyak nama beken lain pendukung film ini, untuk menghidupkan peran mereka jelek. Hanya saja naskah tidak banyak memberikan ruang gerak. Dialog mereka terlalu gamblang. Jessica Chastain memberikan kemampuan terprofesionalnya menghidupkan karakter alien kayu yang ingin memanfaatkan kekuatan Jean Grey, tapi tokoh ini begitu standar sehingga kita tidak punya niat untuk peduli lebih jauh terhadap dirinya.

Sophie Turner sebagai Jean Grey juga sebenarnya enggak jelek. Dia menunjukkan kemampuan berpindah rentang emosi yang cukup jauh dengan begitu singkat. Film menuntutnya sering melakukan hal tersebut, dan Turner beneran terlihat menyeramkan dengan CGI yang membuat uratnya tampak seperti kabel-kabel merah yang siap meledak. Akan tetapi naskahlah membuatnya tampak lebih seperti robot korslet ketimbang manusia yang sedang berkecamuk ya pikiran, ya kekuatannya. Jean Grey yang menyeberang ke sisi jahat harusnya adalah soal emosi yang powerful, yang relatable, kegalauan paripurna tentang keberadaaan dan fungsi diri sendiri. Dark Phoenix berkelit dari membahas itu. Instead, kejadian yang kita lihat bentuknya selalu Jean Grey memilih tindakan dan orang yang berinteraksi dengannya mengambil reaksi terhadap aksinya. Film kemudian fokus pada reaksi orang tersebut. Kejadian dalam film ini kumpulan dari aksi-reaksi tersebut. Kita hanya melihat sedikit pembahasan dari Jean Grey dan fokus ke dampaknya terhadap tokoh lain. Kita tidak melihat Grey memikirkan kembali apa yang baru saja ia lakukan. Tokoh lainlah yang harus mengusahakan penyelesaian, yang memberikan jawaban kepada Grey.

dark twist dari kata-kata motivasi “kau dapat melakukan apapun yang kau pikirkan”

 

Mungkin Jean Grey tepatnya bukan seperti robot ataupun bom waktu. Melainkan lebih seperti anak kecil. Bocah insecure yang memancing perhatian dengan berbuat nakal. Dalam adegan pembuka di mobil bersama kedua orangtuanya, kita melihat ibu dan ayah Grey agak ‘pelit’ menunjukkan kasih sayang kepadanya. Setelah dewasa pun, kenyataan menghantam dan kita tahu apa yang menimpa Grey jelas bukan termasuk ke dalam kategori ‘cinta kasih orangtua’. Jean Grey tampak seperti seorang anak yang kebanyakan dilarang dan diberikan aturan. Jadi dia berteriak, merengek. Ngamuk. Dia pengen dimengerti tapi gak tau bagaimana mempersembahkan dirinya. Tergantung kepada orang tua atau orang dewasalah memikirkan cara yang terbaik untuk mengajak anak seperti ini berbicara; untuk membujuknya. Makanya film ini segimanapun serunya adegan berantem (cuma film ini yang bisa membuat menyeberang jalan sebagai panggung tawuran mutant), penyelesaian masalahnya selalu adalah mengajak Jean bicara baek-baek. Makanya arc yang paling digali secara emosional justru adalah milik Profesor X.

Karena di balik semua itu, film ini bisa kita anggap sebagai tutorial mendiamkan anak kecil yang mengamuk. Ketika kita menginginkan semua aman untuk anak kita – dalam kasus Prof. X; dia mau dunia jadi lebih baik untuk mutant generasi muda – kadang kita melupakan si anak itu sendiri. Ada banyak cara untuk gagal sebagai orangtua, dan orang-orang di sekitar Jean Grey melambangkan beberapa. Pelajaran pertamanya; jangan berbohong kepada mereka

 

Kita lebih konek secara emosi kepada Prof. X, Mystique, dan bahkan Magneto dibandingkan kepada Jean Grey. Kita mencoba untuk menolerir keputusan dan langkah-langkah yang mereka ambil. Sedangkan bagi si tokoh utama sendiri, kita tidak merasakan apa-apa – selain mungkin sedikit geram. Kita tidak mendukung aksinya. Kita tidak merasa kasihan kepadanya. Kita tidak peduli di akhir cerita itu dia berevolusi menjadi apa. Seperti halnya dengan rengekan anak kecil, kita hanya ingin masalah Grey cepat terselesaikan dengan mengharap para tokoh lain segera ‘menekan tombol yang benar’. Demikian hampanya pengembangan tokoh utama kita.

 

 

 

Tidak seemosional yang seharusnya bisa mereka capai. Tidak se-dark yang judulnya cantumkan. Tidak sebegitu banyak berbeda dengan cerita yang pernah mereka sampaikan sebelumnya. Film terakhir dari franchise yang sudah berjalan nyaris dua-puluh tahun ini membuat kita terbakar oleh api kekecewaan. Karena biasa aja, gak kerasa kayak final. Penghiburan berupa jajaran cast dan adegan-adegan aksi boleh jadi membuat kita menyukai film ini, namun secara penceritaan terasa hampa. Pesan dan narasinya terasa dipaksakan. Sungguh pilihan yang aneh yang diambil oleh Kinberg untuk menutup franchise ini. Atau mungkin semua ini adalah siasat, “Kill it with fire!”, supaya para penonton menjadi apatis dan secepatnya melupakan universe ini pernah ada sehingga reboot X-Men yang baru, dari Disney, bisa lantas dibuat.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DARK PHOENIX.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian setuju dengan ‘parenting’ ala Profesor X? Menurut kalian apa maksud X dari X-Men? Menurut kalian apakah X-Men perlu untuk dibuat ulang? Bagaimana kalian akan menyelamatkan X-Men kali ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

BRIGHTBURN Review

“Hypothetical questions get hypothetical answers.”

 

 

 

Berandai-andai memang menyenangkan, kita semua suka melakukannya. Makanya filter ‘gender-swap’ di snapchat langsung ngehits. Berpikir hipotetikal berarti bermain dengan imajinasi. Orang-orang pintar seperti Einstein menghargai kekayaan imajinasi sebagai bentuk dari kecerdasan. Karena dengan berimajinasi, kita mendorong diri sendiri untuk berpikir di luar kotak, di arena yang jauh lebih luas. Ide cerita film Brightburn yang sangat menarik ini terlahir dari andai-andai pembuatnya. Dari imajinasi kreatif yang berusaha membayangkan peristiwa asal muasal superhero dalam cahaya yang jauh, jauh, lebih gelap. Yakni bagaimana jika suami-istri Kent mengadopsi bayi alien super yang jahat kelakuan, alih-alih baik hati.

Bagi Tori Breyer yang diperankan oleh Elizabeth Banks, andai-andai bukan semata imajinasi. Melainkan juga sebuah harapan. Tori dan suaminya sangat pengen dikarunai anak. Dari buku-buku yang disorot pada adegan pembuka, kita lantas mengerti usaha yang mereka lakukan urung membuahkan hasil. Bukan bintang jatuh yang kemudian mengabulkan harapan mereka. Tetapi sebuah meteor. Berisi seorang bayi laki-laki! Tori dan suami membesarkan anak yang mereka beri nama Brandon layaknya anak kandung sendiri. Bahkan ketika Brandon menunjukkan gelagat mengerikan. Yang jelas-jelas bukan perilaku anak baru gede yang biasa. Orang-orang di sekitar keluarga tersebut satu persatu mendapat musibah aneh. Dengan semua ‘bukti’ mengarah ke Brandon pun, Tori tetap kekeuh dengan andai-andainya, bahwa Brandon adalah buah hati kesayangan yang harus ia lindungi.

teman-temanmu gak tau bahwa mereka baru saja meledek seorang alien, Nak

 

Dalam menyampaikan premis unik tersebut, Brightburn menjelma menjadi horor aksi. Penggemar adegan-adegan berdarah akan menyukai film ini. Anggota tubuh yang remuk, wajah dengan mulut literally menganga (karena rahangnya hancur), akan menghiasi layar. Dan cerita tak butuh waktu yang lama untuk sampai ke bagian-bagian sadis tersebut. Yang justru menunjukkan kelemahan yang dipunya oleh film ini. Meskipun dia punya cukup banyak gaya untuk menghadirkan horor kekerasan, film ini tidak banyak bermain dengan penceritaan. Ataupun dengan gagasan ceritanya sendiri.

Sebagai pembanding, kita bisa melihat film The Prodigy (2019) yang juga bicara tentang keluarga yang dikaruniai anak jenius yang bermasalah kelam. Nyaris denyut per-denyut kisah dalam kedua film ini mirip. Anak pintar yang menjadi violent. Bermasalah di sekolah. Menyakiti binatang. Dipanggil untuk konseling. Mengancam konselornya. Lebih banyak orang menderita. Ibu yang akhirnya mengambil tindakan. Bahkan endingnya memberikan kesan yang serupa, dan sama-sama menantang kita untuk minta sekuel. Dua film ini seperti dipotong dari kain yang sama. Hanya beda latar tokohnya. Dalam Brightburn, si anak beneran seorang monster, dan orangtuanya adalah orangtua angkat. Latar yang sebenarnya lebih dari cukup untuk menghasilkan cerita dengan perbedaan masalah yang mendasar. Namun film ini tidak tampak benar-benar tertarik untuk menggali lebih dalam. Mereka hanya bermain di permukaan. Persoalan anak angkat itu tak pernah menjadi prioritas. Film hanya ingin mewujudkan imajinasi mengerikan seperti apa ketika seorang superman cilik menjadi monster super pembunuh.

Ketika The Prodigy mengandalkan lebih banyak kepada penampilan akting untuk menghadirkan keseraman yang bergaung merasuk ke dalam diri kita, sutradara David Yarovesky lebih memilih untuk bergantung berat kepada editing dan efek visual untuk menciptakan sosok monster bertopeng dalam Brightburn. Musik dalam film ini bisa menjadi sangat keras karena ia adalah gabungan dari jumpscare dan ledakan-ledakan aksi. Pemilihan musik ini membuat kita berada dalam situasi yang sulit; karena kita butuh adegan aksi untuk bersuara menggelegar, tapinya film ini menggabungkan aksi tersebut dengan horor, dan kita gak pernah suka horor yang suaranya bikin jantung copot. The Prodigy menggunakan teknik dramatic irony – membuat kita tahu lebih banyak daripada ibu dalam cerita tersebut – sehingga kita semakin peduli sebab kita mengerti betul sejauh apa usaha yang ia lakukan untuk melindungi anaknya, kita bersimpati meski kita tahu yang ia lakukan tidak bisa dibilang benar. Sedangkan Brightburn bercerita dengan lempeng. Penuh oleh trope dan klise dari elemen ‘evil kid’. Tori ditulis sebagai karakter dengan satu kebohongan yang ia percaya; bahwa Brandon adalah anaknya, bahwa Brandon adalah anak yang baik, hanya saja ‘cela’ tokohnya ini tidak pernah mengundang rasa simpati kita. Malah jatohnya annoying. Karena kita melihat Tori sebenarnya sudah tahu, dan film tidak membuat hal menarik untuk menunjukkan dia membohongi diri sendiri, dia tidak pernah tampak seperti melindungi, lebih seperti keras kepala.

Film ini gagal untuk mengangkat moral yang berusaha mereka selipkan ke dalam imajinasi liar premis ceritanya. Bukannya menjadi anti-hero, film ini malah jadi seperti anti-keluarga. Yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa mengendalikan orang yang bukan darah daging kita, kita tidak akan mengerti mereka, karena kita dan mereka begitu berbeda. Kita tidak bisa terus membohongi diri karena cepat atau lambat kenyataan akan menghantam dengan keras. Kemudian meledakkan kita.

 

Tidak sanggup membuat simpati jatuh ke Tori, maka setelah midpoint film memindahkan fokus cerita kepada Brandon yang sudah tidak bisa mundur lagi menjadi dirinya yang dulu. Tapi kita pun akan susah sekali untuk bersimpati kepada tokoh ini. Kita tidak bisa merasa kasihan kepadanya. Karena film membuat tokoh ini murni jahat. Dia bahkan bukan anti-hero. Brandon tidak ditulis seperti Bezita yang membunuh banyak orang untuk memancing Goku bertarung supaya dia bisa menjadi lebih kuat lagi karena dia percaya hanya dia yang Pangeran Saiya-lah yang dapat mengalahkan Manusia Iblis Buu dan menyelamatkan Bumi. Brandon tidak ditulis seperti Carrie yang mengamuk menghabisi teman-teman sekelasnya karena dia sudah dibully dan dipermalukan di depan mereka semua. Brandon cuma diledek, apakah itu berarti dia pantas untuk balas dendam? tentu tidak. Satu-satunya usaha film untuk membuat Brandon tampak simpatik adalah dengan membuat dia seperti lupa-diri ketika melakukan hal mengerikan, seolah ada yang mempengaruhinya, seolah ada dua jiwa di dalam sana – kayak The Prodigy. Namun tentu saja elemen tersebut seperti dijejelin masuk gitu aja karena gak make sense kenapa bisa ada dua. Kenapa gak ditulis dia amnesia aja sekalian, bikin dia berjuang melawan siapa dirinya yang sebenarnya. Buat perjuangan dalam diri Brandon, antara dia yang baik karena dibesarkan penuh kasih sayang dengan dirinya yang asli – seorang monster superpower. Sayangnya film ini tidak seperti itu. Ketika Brandon melakukan hal sadis, ya hanya sadis. Jahat. Tidak ada layer dari tingkah lakunya. He’s one dimensional jahat ketika sudah total menjadi monster. Alasan dia menjadi seperti demikian tidak ditulis simpatik.

Film benar-benar tidak mengerti bahwa mereka perlu untuk membuat kedua tokoh ini tampil simpatik. Untuk membuat hubungan antara Tori dan Brandon bekerja, dinamika mereka harus dirancang oleh film. Mereka harus dibentrokkan. Tetapi dua tokoh tersebut berjalan sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada yang bisa kita dukung di antara dua tokoh sentral; Tori dan Brandon. If anything, aku lebih simpatik sama suami Tori, tapi pun tokoh ini tidak benar-benar punya arc. Tokoh-tokoh yang lain hanya ada di sana untuk menambah jumlah korban dan/atau melakukan hal-hal simpel nan bego karena naskah menyuruh mereka untuk berbuat demikian. I mean, guru BP (BP atau BK sih, aku gak tau bedanya ahaha) mana yang ngasih ponakannya senjata api sebagai hadiah ulangtahun? Mana ada orang dewasa yang ngasih anak-anak pistol.

well, kecuali saat lebaran.

 

Akan ada satu-dua yang bikin kita menggelinjang menonton film ini, terutama jika kita penggemar horor sadis. Premis ceritanya sendiri memang menarik. Film pun sepertinya sangat aware dengan premis tersebut, dan gak malu-malu dia memasukkan banyak hal yang bisa mengingatkan kita kepada Superman. Paduan horor dan aksi sebenarnya bukan pertama ini dilakukan, jadi film ini dituntut untuk punya gaya. Secara visual sih, dia memang cukup bergaya. Suara keras dan efek yang cukup mengerikan – meski adegan terbang keluar masuk rumah di babak akhir itu malah lebih mirip adegan film kartun. Namun secara penceritaan, film ini tampil biasa saja. Ceritanya maju begitu saja, dengan pengembangan ala kadar penuh oleh trope dan klise. Masing-masing tokohnya tidak mendapat keadilan dari segi penulisan. Tidak ada satupun yang mengundang simpati. Dan membuat kita duduk menyaksikan perjalanan tanpa ada yang bisa didukung; what a monster move!
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for BRIGHTBURN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Andai-andai mengerikan seperti apa yang pernah terpikirkan oleh kalian? Dan bagaimana kira-kira kalian menjawab andai-andai tersebut?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

US Review

“Know your enemy”

 

 

 

Horor terbaru garapan komedian pemenang Oscar Jordan Peele bertindak hebat sebagai cermin buat melihat refleksi mengerikan kehidupan sosial supaya kita dapat melihat dengan jelas bahwa musuh sesungguhnya bukanlah ‘mereka’. Melainkan ‘kita’. Kita yang membuat tembok pemisah itu ada. Ralat; kita yang jadi tembok pemisah di antara kita sendiri. Jika Yowis Ben 2 (2019) bisa membuat kata ‘gandeng’ sebagai komedi yang efektif; maka film Us ini membuat bergandengan tangan yang tadinya simbol pemersatu berubah menjadi simbol yang membatasi. Dan secara kontekstual keadaan negara asal film ini sendiri, Us merupakan komentar yang kuat terhadap negara U.S. (hey bahkan judul filmnya kayak ngarah ke nama negara mereka kan) dengan bagaimana teror dalam film ini berjati diri sebagai ‘orang Amerika’ dan tokoh utamanya menjadikan Meksiko sebagai tempat tujuan keselamatan.

Mengerikan bagaimana film ini rilis berdekatan dengan kejadian seorang teroris yang menembaki jemaat Jumatan di Selandia Baru, di mana berbagai media ‘kulit putih’ memberitakannya dengan malu-malu, seolah mereka tidak mau mengakui teroris bisa datang dari golongannya. This is exactly what this Us movie is about. Lebih gampang untuk menuding mereka terbelakang, budaya yang mendukung kekerasan, yang penuh kebencian. Lihatlah betapa lincahnya media-media itu mengelak dari mengatakan pelakunya adalah “teroris dari golongan kita” – karena itu berarti seperti mengakui seluruh putih juga sama kasarnya. Atau seperti mengakui dirinya sudah salah selama ini?

Film Us mendorong kita, dari golongan apapun, untuk berhenti memberikan privilige – menyudahi dobel standar – dan menerima bahwa kekurangan itu bisa datang dari dalam diri sendiri yang telah salah melihat perbedaan sebagai pemisah

 

Menjadi komedian yang hebat sudah barang tentu dapat mengasah ketajaman seseorang dalam melontarkan kritikan dengan subtil; menangkap esensi yang ingin dibicarakan, mengamplify hal tersebut berkali lipat sehingga kita horor mendengarnya, dan kemudian mewarnainya dengan cerdas dalam warna-warni komedi. Jordan Peele ini adalah contoh nyata seorang komedian dan sekarang sutradara horot yang hebat. Dalam Get Out (2017) kita diperlihatkan pandangan yang kuat sekali tentang ketakutan terhadap ras. However, dalam film Us kali ini, Peele lebih banyak bermain-main dalam genre horor itu sendiri. Us tampil sebagai pure horor yang menyenangkan, yang memuaskan penggemar horor sepertiku yang udah jarang banget dapat horor yang berisi. Us bercerita tentang satu keluarga yang sedang berlibur, dan liburan mereka berubah menjadi petaka saat rumah mereka disatroni oleh keluarga misterius berpakaian merah, membawa gunting, dan ini nih paling horornya; berwajah mirip banget sama mereka! Jadi, Us ini balutan ceritanya berupa thriller home invasion, akan ada orang mengendap-ngendap membawa perkakas apapun yang bisa mereka temukan untuk membela diri, akan banyak tusukan di sana-sini, darah bermuncratan, visual dan musik yang eery banget (lucunya ada satu musik film ini yang ngingetin aku sama musik game South Park: The Stick of Truth).

salah satu hak istimewa yang mereka miliki adalah gak takut hitam main panas-panas

 

Perhatikan cara film menghujamkan kengerian tentang kembaran dan duality kepada kita semua di babak pertama. Kaca yang bukan kaca, frisbee yang dengan tepat menutup pola alas duduk di pantai, kemunculan terus menerus angka 11:11 sebagai sebuah simetri mengerikan – mengenai makna horor dari 11:11 secara general sudah pernah aku tuliskan di review 11:11 Apa yang Kau Lihat (2019) – dan bagaimana film mengaitkan angka tersebut dengan ayat kitab yang bersuara sebagai peringatan untuk hal mengerikan yang akan datang. Suspens dan ketakutan kita sudah ikut terbendung bersamaan dengan kecemasan yang dirasakan oleh tokoh utama kita; Adelaide. Seorang wanita yang punya trauma bertemu dengan ‘gadis cermin’ saat ia tersesat di wahana taman hiburan semasa kecilnya.

Adelaide diperankan oleh Lupita Nyong’o, aktris ini akan membuat kita melongo menyaksikan kebrilianan aktingnya. Aku sendiri berharap penampilan Nyong’o di film ini akan berhasil mematahkan ‘kutukan’ Oscar terhadap genre horor. Dalam Us, tantangan bagi Nyong’O adalah memainkan dua orang yang serupa tapi tak sama. Adelaide, dan Red kembarannya. Yang satu melotot cemas, yang satu lagi melotot bikin kita pengen pipis di celana. Duality antara dua perannya ini berhasil tersampaikan dengan luar biasa. Malahan, bukan hanya Nyong’O saja. Cast lain juga bermain dengan rentak yang benar-benar mentok. Mereka harus memainkan dua versi yang berbeda dari tokoh yang sama. Adelaide punya suami dan dua anak, dan pada satu poin cerita keempat orang ini masing-masing harus berhadapan dengan kembarannya. Peran mereka menuntut banyak, dramatis dan creepy, sekaligus juga komedi. Ini actually jadi salah satu kehebatan dari arahan dan penceritaan film Us. Bahkan komedinya saja bisa begitu menyatu dengan horor. Tidak terasa terpisah, tidak ada satu karakter yang dipaksakan nyeletuk konyol untuk komedi – membuat tokohnya terkotak di sana. Komedi pada Us berjalan sama naturalnya dengan drama dan teror yang disajikan.

Yang membuat film ini berbeda dari kebanyakan horor adalah kita yang menonton merasa bahwa ceritanya yang mengusung fenomena aneh tersebut punya interpretasi yang beragam sehingga kita tertarik untuk pengen menonton lagi. Dan tentu saja, jika kita nonton ulang kita akan bisa melihat film ini dari sudut pandang yang berbeda, kita akan menangkap maksud-maksud yang mungkin terlewat. Heck, kita akan dibuat pengen nonton lagi karena ini adalah horor yang benar-benar menyenangkan, yang dibuat dengan penuh passion. Film ini justru bertambah urgen saat kita sudah pernah menontonnya, padahal ceritanya sendiri sengaja dibuat obvious oleh Peele. I do think film ini bisa lebih baik jika dibuat lebih ambigu. Misalnya seperti Annihilation (2018) yang ditutup dengan enggak jelas apakah yang di akhir cerita itu tokoh utama yang asli atau android kloningannya. Yang akan membuat endingnya terus dibicarakan. Us dihadirkan dengan sebaran metafora, namun pada akhirnya semua kejadian itu terangkum dengan jelas apa dan kenapanya. Dan mungkin saja itu bukan pilihan yang membuat film terasa maksimal. Namun aku mengerti kenapa Peele membuat film ini punya kesimpulan yang terang. Sebab dia ingin kita semua mengerti apa yang ia sampaikan. Karena dia ingin menekankan poin-poin yang mendukung komentar dan kritiknya tentang siapa musuh kita sebenarnya. Dia ingin membuat kita membicarakan ini bertahun-tahun kemudian, alih-alih membicarakan siapa yang asli mana yang palsu.

Karena inilah poin film yang utama: semua orang sama, tidak ada asli-palsu. Tidak ada us or them.

 

 

Dan sampailah kita ke ranah spoiler. Inilah alasan kenapa aku sengaja telat mempublish review Us, karena yang udah sering mampir ke blog ini pasti tahu aku gak akan segan-segan menuliskan isi mendetail film. Jadi aku sengaja ngasih tenggat waktu sedikit supaya pada menonton dulu sebelum baca review ini. Tapi aku gak bisa menahan diri selama itu hehehe… so here it goes:

Lewat Us, Peele ingin menunjukkan bahwa semua manusia itu sama. Yang membedakannya adalah privilege. Menurutku inilah kata kunci utama yang menjadi tema besar film horor ini. Privilege – hak istimewa. Dan bagaimana kitalah yang salah karena privilege itu yang bikin ya kita sendiri. Kita yang mengistimewakan suatu golongan di atas golongan yang lain.

 

Makanya para kembaran yang hidup di gorong-gorong bawah tanah itu disebut sebagai the Tethered – Yang Tertambat. Yang Terikat. Mereka tak punya privileged untuk bergerak. Mereka harus ngikutin kembaran asli mereka. Film memperlihatkan kembaran suami dan anak Adelaide yang paling kecil mati karena mereka harus menirukan gerakan suami dan anak Adelaide yang asli. Padahal orang-orang bawah ini, tak kalah cakap. Bahkan film menunjukkan para kembar jahat ini lebih jago lari, lebih kuat dari yang asli. Ada momen menyentuh ketika kita menyadari bahwa si anak tiruan mengalami luka bakar hanya karena api di tangannya menyala sedangkan api di tangan yang asli tidak karena yang asli kalah kompeten. Inilah kenapa film memutuskan untuk memberi tahu kita Adelaide itu sebenarnya bukan yang asli – bahwa dia dan kembarannya bertukar tempat. Karena film ingin menunjukkan bahwa tak ada perbedaan yang mendasar. Si tiruan bisa punya anak, bisa jatuh cinta, bisa punya perasaan. Mereka bisa bicara layaknya orang normal jika dilatih, sama persis ama manusia. Hanya tempat dan privilege saja yang mereka tak punya. Mereka tak bisa memilih jodoh di bawah sana karena harus menuruti versi yang tinggal di atas. Tempat juga jadi faktor yang menarik. Adelaide asli tidak kunjung normal kemampuan bicaranya semenjak lehernya dicekek waktu kecil karena tidak ada yang mengajaknya bicara di bawah sana. Keturunan Adele yang asli tak bisa berkembang normal di bawah sana. Adelaide yang asli malah merasa dirinyalah yang tiruan; karena ia tinggal di tempat yang tak mengakui siapa dirinya – the human within. Hanya ketika dia bisa menarilah, orang-orang bawah mulai mendengarnya, dan inilah yang menyebabkan Adelaide asli mulai memikirkan gerakan invasi.

Pada akhirnya, keputusan film untuk membeberkan jawaban alih-alih tetap ambigu adalah untuk mempertegas bahwa yang enggak istimewa pun bisa menjadi istimewa jika diberikan kesempatan yang sama. Pertanyaannya adalah maukah kita memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang. Semua hal. Film bioskop, misalnya, sebuah film boleh saja dapat privilege diberikan jumlah layar yang banyak sehingga mereka mendapat kemungkinan perolehan jumlah penonton yang lebih banyak dan kita berargumen filmnya pantas mendapat keistimewaan. Dan kita berargumen gak semua film bisa sesukses dia jika diberi kesempatan yang sama. Tapi dari mana kesimpulan ini sesungguhnya? Padahal yang lebih penting adalah, mau tidak memberikan film lain perlakuan jumlah layar yang sama. Beranikah mencoba memberi kesempatan yang sama untuk dia membuktikan diri? Nah ‘Kenapa’ tersebutlah yang jadi pokok persoalan film Us. Kenapa kita membeda-bedakan, kemudian merasa terancam ketika ada yang berusaha mendapatkan privilege. Kenapa kita menciptakan sesuatu untuk dikejar dan terusik ketika ada yang beneran mengejar. Perkara ini adalah tokoh kulit hitam memperkuat tema privilege dan kita semua sama tersebut sebab di luar sana perbedaan perlakuan itu masih terjadi.

 

 

Jika dibandingkan, film ini terasa lebih pure horor ketimbang Get Out yang lebih tematis. Namun pada film ini, Jordan Peele menunjukkan kedewasaan dalam bercerita. Dia tidak lantas menjadi pretentious dalam film keduanya ini. Film ini dapat dinikmati, bahkan bikin kita pengen nonton lagi secepatnya. Kita bisa menerima penjelasan cerita bahwa kelinci itu ada untuk makanan para Tethered, namun kita tetap pengen nonton lagi karena kelinci itu kita pikir bakal punya arti lebih dalam. Film mendorong kita untuk mempertanyakan dan mencari jawaban, meski mereka sudah meletakkan jawabannya. Bobot komentar sosial yang disisipkan pada akhirnya membentuk seperti apa akhirnya film ini, and it’s a really interesting shape.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for US.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian punya teori sendiri tentang film ini? Kenapa menurut kalian senjata penjahat film ini adalah gunting terkait dengan elemen kembar yang ia usung? Setujukah kalian semua orang di dunia berhak atas kesempatan yang sama?

 

Buat yang suka cerita tentang ‘kembaran’ dan ‘cermin’, silakan disimak film pendekku yang berjudul Gelap Jelita: https://www.vidio.com/watch/1597796-isff2019-gelap-jelita-full-movie-bandung

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

PENGUIN HIGHWAY Review

“It is not the answer that enlightens, but the question.”

 

 

 

Beberapa ekor pinguin muncul begitu saja di taman, di kota yang bukan saja panas, tapi juga bahkan jauuuh dari aroma laut. Fenomena yang aneh tersebut jelas saja mengundang banyak reaksi. Orang dewasa akan garuk-garuk kepala, mereka berusaha memindahkan pinguin-pinguin tersebut ke tempat yang lebih layak. Bagaimana dengan anak-anak kecil seusia Aoyama? Wuih suasana ruang kelas empat tersebut riuh oleh semangat anak-anak yang bertanya-tanya ada apa gerangan. Seru sekali mereka membincangkan makhluk-makhluk lucu tersebut. Sebagai seorang anak sepuluh-tahun, yang dibilang dewasa juga belum, tapi punya kecerdasan yang jauuuuuuhhh di atas teman sebayanya, Aoyama mencatat detil-detil tentang pinguin yang bisa ia temukan di buku. Dia membandingkannya dengan yang ia lihat sendiri. Aoyama membuat teori-teori. Saking sibuknya, Aoyama mungkin tak sadar bahwa ia juga sama anehnya dengan para pinguin itu di mata teman-temannya.

Penguin Highway nyata-nyatanya adalah salah satu film teraneh yang bisa dibuat orang untuk anak-anak. Film menggali rasa penasaran yang didera oleh anak kecil dengan enggak malu-malu. Karena bagi mereka hampir semua hal di dunia adalah misteri. Pinguin itu justru bukan ‘masalah’nya sebenarnya bagi Aoyama. Karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Aoyama berkembang menuju remaja, dewasa. Aku punya adek berusia sepuluh-tahun dan memang dia ‘pervert’ seperti tokoh film ini. Aoyama having a first crush kepada Kakak cantik asisten dokter gigi, wanita yang jauh lebih dewasa daripada dirinya. Dia sudah menetapkan akan menolak cewek-cewek yang ‘menembak’nya karena pilihan sudah ia tetapkan. Aoyama yang cerdas bahkan rela jarang gosok gigi biar bisa ke dentist terus; bertemu dengan Kakak yang juga jadi guru main caturnya. Salah satu observasi ilmiah yang diamati Aoyama terhadap Kakak adalah bagaimana cewek itu punya payudara yang berbeda dibanding punya ibunya. Dan karena film ini mengambil sudut pandang Aoyama, maka bukan saja kita mendapat sejumlah close-up shot dada Kakak, namun juga semua hal tampak seperti payudara. Aoyama memilih kue yang bulet, memandangi gunung-gunung yang bulet, mangkok yang… you guessed it, bulet! Hal menjadi semakin menarik tatkala Aoyama menemukan hubungan antara si Kakak dengan kemunculan para pinguin dan juga gelembung air besar yang Aoyama dan teman-temannya temukan di padang rumput di dalam hutan.

di umur sekecil itu Aoyama sudah bisa menyimpulkan memandangi boobs, berpikir tentangnya, akan membawa ketentraman hati.

 

Secara teknis, film ini tergolong cerita fiksi ilmiah, karena Aoyama dan teman-temannya memandang pinguin dan semua peristiwa yang mengikutinya dari sudut keilmuan. Aoyama senang bereksperimen, dia membuat gadget dari mainan, dia menyimpulkan teori-teori berdasarkan data dan keilmuan yang ia riset. Aoyama membuat catatan yang membandingkan  waktu metamorfosis kupu-kupu dengan hitungan hari menjelang dia tumbuh dewasa. Didukung oleh ayahnya yang kerap menyemangati dengan coklat tatkala Aoyama berhasil membuat kesimpulan terhadap suatu peristiwa, Aoyama percaya dia akan meraih hal-hal yang hebat untuk dunia. Tapi actually, elemen fiksi ilmiah ini cuma latar karena sesungguhnya ini adalah cerita tentang coming-of-age. Filosofi hubungan antara Aoyama dengan si Kakak lah yang menjadi penggerak utama cerita. ‘Kamera’ akan menangkap perjalanan inner karakter, disuguhkan lewat animasi yang kawaii dan mempesona. Sementara kita hanya sekelebat melihat catatan teori yang dibangun oleh Aoyama – antara itu atau lewat dialog cepat yang ia sebutkan. Ceria penuh warna seperti mata anak-anak memandang dunia. Ketika dunia mereka menjadi aneh atau sedikit menyeramkan, warna-warna tersebut tidak absen, tidak lantas membuat film menjadi suram. Melainkan animasinya dibuat mengundang rasa penasaran kita, mewakili perasaan Aoyama yang selalu ingin tahu.

Saat menonton ini, memang pada awalnya aku menganggap cerita film ini lumayan mengganggu buatku. Setelah ekspektasi kita dibangun terhadap ilmu pengetahuan di sepuluh menit pertama, kita secara alami akan menganggap film akan memberi kita jawaban yang logis terhadap semua fenomena yang terjadi. Tapi bukan saja ternyata elemen sci-finya terkesampingkan, penjelasan masuk-akal terhadap semua itu bahkan tidak ada! Alih-alih melihat jawaban, aku malah melihat orang melempar kaleng kola dan kaleng tersebut berubah menjadi pinguin di udara. Aku pun merasa dicuekin karena Aoyama dan teman-temannya tidak pernah mengajakku berteori bersama, heck, bahkan main caturpun aku tidak dilibatkan. Namun kemudian aku sadar, aku masih melihat film ini dalam posisi sebagai orang dewasa. Belum kembali menjadi anak-anak seperti yang film ini niatkan. Ini sama sekali bukan masalah apa jawaban yang benar, tidak pernah seperti demikian bagi anak-anak. Ini adalah soal mencari jawaban. Tidak perlu ada stake, tidak perlu dikejar waktu karena anak-anak punya semua waktu yang mereka butuhkan untuk eksplorasi. Film meminta kita untuk mengistirahatkan pikiran dewasa dan biarkan naluri kanak-kanak kita memegang kendali, supaya kita bisa melihat lebih banyak. Bahkan si Kakak dalam cerita, dia belajar banyak dan merasa kembali muda dengan berada di sekitar Aoyama dan teman-teman yang sedang melakukan eksperimen.

Kebebasan untuk tidak terlalu memusingkan hal-hal yang terjadi, merupakan anugerah yang dimiliki oleh anak kecil. Orang dewasa akan terdistraksi kepada hasil sehingga fokusnya teralihkan dari hal-hal yang membuat kita tertarik, dan yang menginspirasi pada awalnya. Bukan soal benar atau salah, mustahil atau logis, ini adalah soal mencari, memuaskan sendiri rasa penasaran kita dengan terus mengasah kreativitas dan segala kemungkinan. Karena kritis itu bukan semata bertanya dan berharap mendapat penjelasan yang memuaskan. Kritis adalah memuaskan diri dengan mencari jawaban atas tanya-tanya yang terus kita ajukan sebab dunia begitu membuat penasaran. 

 

Aoyama boleh saja gagal menemukan jawaban yang logis, sebab semua perjalanan yang ia lalui itu telah membuat dirinya humble. Menjadikannya manusia yang lebih baik pada akhir cerita. Penguin Highway adalah salah satu contoh cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ yang baik. Perubahan karakter Aoyama di awal dengan di akhir cerita dapat kita rasakan dengan kuat mengalir. Sutradara Hiroyashu Ishida melakuan kerja yang sangat baik mengarahkan cerita yang kompleks dan aneh dalam film panjang pertamanya ini. Film ini terasa lucu dan menghibur, tetap teramat dekat meskipun menangani masalah yang di luar logika. Aoyama tidak tampak seperti Conan, yang kita tahu dia adalah orang dewasa dalam tubuh anak kecil. Aoyama memang terhadirkan sebagai seorang bocah yang pintar dan penuh keingintahuan, dia memandang semua fenomena sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.

Sesungguhnya orang yang pintar tahu banyak hal yang tak ia tahu.

 

 

But I do thing film ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi. Terutama pada karakter Kakak Cantik. Tokoh ini sengaja dibuat misterius, karena dia adalah salah satu ‘misteri’ bagi Aoyama secara fisik. Tapi film turut membuat eksistensi si Kakak sebagai tanda tanya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ini membuat tokoh Kakak jatuh ke dalam trope “Manic Pixie Dream Girl” – tokoh cewek yang di mata protagonis cowoknya begitu sempurna dan hanya berfungsi sebagai dorongan ataupun pembelajaran si protagonis untuk menjadi tokoh yang lebih baik. Trope ini menandakan naskah tidak berhasil menggali karakter pendukung, dan memang kelihatan jelas film ini hanya berpusat pada Aoyama. Naskah membiarkan Aoyama jadi tokoh utama meskipun ada tokoh lain yang lebih punya stake untuk mencari jawaban. It’s okay jika film memutuskan seperti demikian dan konsisten terhadapnya, tapi aku berpikir film tidak mesti membuat Kakak sebagai Manic Pixie Dream Girl yang mengurangi penilaian – bisa diberi bobot lebih banyak, atau melakukan hal simpel seperti yang dilakukan Love for Sale (2018) kepada tokoh Arini; Love for Sale membuat Arini ‘termaafkan’ karena dia tidak seujug-ujug ada di sana sebagai pembelajaran untuk Richard, dia ada sebagai bentuk pilihan dari Richard. Kakak di Penguin Highway, menurutku seharusnya bisa dibuat seperti demikian alih-alih ada dan kemudian tidak ada.

 

 

Diadaptasi dari novel karangan Tomihiko Morimi, si pengarang ini sering disebut sebagai Virgin Writer karena kekhususannya memasukkan hal-hal lugu yang bisa dianggap ‘pervert’ oleh sebagian orang. Dan memang, film ini jelas adalah salah satu teraneh yang bisa ditonton oleh anak-anak. Mengusung cerita coming-of-age dengan bungkus sci-fi. Benar-benar menaruh penonton dalam bingkai pandang tokoh utamanya yang masih kelas empat. Film ini melempar semua logika dan meminta kita untuk mengikuti perjalanannya dengan santai, karena dirinya adalah potret yang mengingatkan kembali bagaimana rasanya kembali menjadi anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. Unik dan menyegarkan, seperti pinguin.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PENGUIN HIGHWAY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kapan terakhir kali kalian membaca untuk menambah ilmu, alih-alih biar dapat nilai bagus? Kapan terakhir kali kalian bertanya untuk membuka wawasan, bukannya bertanya untuk nyinyir atau malah nyindir orang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

 

CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

HAPPY DEATH DAY 2U Review

“To the world you may be one person; but to one person you may be the world.”

 

 

 

Yang aku inginkan adalah terbangun dalam keadaan sehat wal’afiat. Bahwa hari ini akan baik-baik saja. Aku tidak akan tewas dengan sukses dalam perjalanan ke bioskop demi menonton sekuel dari Happy Death Day (2017) yang seru dan kocak dulu. Semua orang pastinya pengen harinya berjalan mulus, tetapi hidup tidak pernah segampang itu. Toh, aku bersyukur juga, lantaran Happy Death Day 2U ini enggak benar-benar memberikanku masa yang sulit.

Menyambung langsung satu hari setelah kejadian di film pertama, kita melihat Ryan (tokoh minor dari film tersebut) mengalami kejadian loop yang persis sama seperti yang dialami oleh Tree (protagonis cewek paling feisty yang kita saksikan dalam horor baru-baru ini). Ryan bahkan mati juga dibunuh sama orang misterius yang mengenakan hoodie dan topeng bayi maskot kampus mereka. Maka Ryan yang lebih pinter dari kelihatannya itu berkonsul dengan Tree. Mereka bekerja sama menangkap si pembunuh, Tree menemukan kejutan dan kenyataan bahwa kejadian loop tersebut disebabkan oleh alat ciptaan Ryan. Dan bahwasanya teori multiverse itu benar adanya. Eventually, dalam usaha membereskan kekeliruan dan menutup loop, Ryan gak sengaja ‘mengirim’ Tree ke dunia paralel. Di mana Tree mendapat diri terbangun dalam kejadian film pertama, hanya saja di dunia tersebut keadaan sedikit berbeda. Ibu Tree masih hidup; itu perbedaan baiknya, yang bikin Tree girang dan betah di sana. Buruknya – si pembunuh bertopeng bayi yang dulu sudah ia kalahkan juga masih hidup dan masih berniat membunuh, tentu saja. Tree kembali terjebak dalam lingkaran kematian di hari ulangtahunnya!

Reaktor Kuantum Sisyphus, as in Raja Sisyphus yang dihukum mendorong naik batu raksasa ke atas bukit

 

Tadinya aku langsung pengen cemberut, tapi gak jadi. Film membuka diri dengan sudut pandang tokoh Ryan, yang kupikir adalah langkah yang berani sebab jarang ada genre horor yang tokoh utamanya seorang minoritas. Kupikir film ini akan membahas tentang gimana ia menyingkapi proyek sains berbahaya yang ia lakukan. Namun meskipun memang film ini bakal mengarah ke sci-fi dengan teori multiverse dan alat kuantum dan persamaan fisika segala macem (membuatnya lebih mirip Back to the Future 2 ketimbang Groundhog Day), status tokoh utama itu seperti dikembalikan lagi kepada Tree. Ini ternyata masih cerita Tree. Ini masih kekurangrapihan dalam penulisan skenario menurutku, tapi aku seratus persen bisa memaklumi kenapa mereka kembali melempar Jessica Rothe ke dalam cerita. Karena aktris inilah yang jadi kekuatan utama. Dia begitu kocak di film pertama, dialah alasan kenapa penonton meminta adanya sekuel; kita masih ingin dihibur oleh tingkah berani dan nekat Tree yang ia mainkan dengan begitu alami.

Energi dan kharisma ‘kegilaan’ Rothe sebagai Tree dilipatgandakan oleh sutradara Christopher Landon yang meningkatkan dosis komedi dalam ceritanya. Kita akan terbahak ngeliat reaksi Tree begitu sadar dirinya terjebak lagi. Kita akan guling-guling oleh montase-montase berlatar lagu pop seputar Tree melakukan berbagai aksi bunuh diri karena enggak sudi mati dibunuh pada setiap penghujung hari. Film ini juga tidak melupakan sisi emosional, yang datang dari dilema yang harus dihadapi oleh Tree. Elemen multiverse digunakan untuk menambah bobot pada karakter Tree, membuat dirinya semakin menarik lagi; karena di dunianya sekarang semua hal baru bagi dirinya. Dia punya pilihan yang tak ia miliki sebelumnya. Ultimately dia harus memilih antara dua orang yang ia sayangi. Jarang loh horor komedi punya lapisan cerita emosional seperti ini.

kini kalian tahu kenapa aku mengutip lirik Paramore di paragraf pembuka

 

Bagi dunia kita hanya seorang. Atau mungkin enam, jika menganut teori multiverse film ini. Tapi berapa banyak itu, mau tak-hingga sekalipun, sesungguhnya tak jadi soal karena ‘dunia’ kita terbangun atas kecintaan terhadap satu orang yang begitu spesial. Pilihan yang ditawarkan setiap hari kepada kita memang beragam, selalu ada kesempatan untuk memiliki kembali apa yang sudah hilang dari kita. Tapi seperti halnya Tree, yang harus kita ingat adalah, jangan sampai kita kehilangan ‘dunia’ yang masih kita punya hanya demi mengejar kembali ‘dunia’ yang telah hilang.

 

 

Porsi komedi dan drama benar-benar digadang sehingga elemen horornya sudah seperti beda dunia dengan dua elemen pertama tadi. Tidak banyak kengerian, tidak banyak bunuh-bunuhan yang kita saksikan. Setiap momen konfrontasi dengan si pembunuh pun tidak ada yang memorable lantaran dieksekusi dengan begitu standar. Tidak ada peningkatan dalam cara film ini membangun keseraman. Formulanya itu-itu melulu; selalu berjalan pelan ke tempat yang dicurigai, kemudian ternyata enggak ada siapa-siapa, dan si pembunuh muncul dari tempat lain. Kengeriannya hanya dibangun dari musik, sementara adegannya ya gitu-gitu aja. Konfrontasi final yang kita nanti-nanti setelah sekuens yang begitu panjang yang terdiri dari banyak adegan perpisahan juga gagal menorehkan efek yang membekas. Terutama buatku adalah karena motif si pembunuh di dunia paralel ini berbeda dari yang Tree kira. Pembunuhnya juga beda. Aku gak bakal nyebutin di sini, tapi setelah mengetahui motifnya, aku merasa aneh aja. I mean, Tree bisa aja lanjutin hidup di sana karena gak ada yang bunuh dia, dia bisa banget lanjutin dengan milih ngeloop sekali saja khusus untuk nyelametin satu temennya sekaligus nangkep tuh pembunuh, dia lalu gak usah bunuh diri biar bisa keluar dari loop (since loopnya aktif hanya kalo dia mati) dan nerusin hidup dengan Ibu sambil menumbuhkan cinta dengan cowok yang ia sukai. Solusi win-win kan?

Memang, kalo dia gak melakukan hal tersebut, film gak jalan – dia gak belajar. Tapi kemungkinan dia melakukan itu toh tetap ada. Dan film tidak bisa menjelaskan kenapa Tree tidak memilih itu saja. Kita hanya diminta untuk setuju dengan apa yang ditawarkan film, kita diminta percaya. Banyak adegan di film ini yang meminta kita melakukan hal tersebut. Seperti gimana bisa Tree membuat empat temannya percaya dia jenius yang tahu rumus kuantum yang benar sehingga mereka rela mempertaruhkan kena DO dari kampus, padahal kita tahu empat orang tersebut otomatis tidak punya ingatan apa-apa lagi mengenai apa yang mereka lakukan setiap kali loop terjadi. Memperlihatkan adegan Tree menjelaskan kepada mereka memang akan membuat film menjadi repetitif, namun semakin ke sini aku semakin sulit percaya Tree bisa melakukan dan tidak ada ‘perlawanan’. Kita diminta untuk percaya mereka melakukannya karena ‘takut’ dengan Tree yang mean girl.

Kita diminta untuk tidak bertanya apa yang terjadi pada Ryan yang datang dari dunia yang lain; kenapa bisa ada dua Ryan di dunia yang sama, namun ketika Tree nyebrang ke dunia yang lain kita tidak melihat ada dua Tree di sana. Apa yang terjadi kepada Tree B di dunia yang didatangi oleh Tree A? Convenient sekali dia tidak ada. Padahal jika ada enam dunia, bukankah mestinya ada enam Tree, ada enam SISY, ada enam Ryan, ada enam loop? Tidak mungkin Tree B sudah meninggal karena teman-temannya tidak heran melihat Tree A. Kompleksnya kejadian di film ini membingungkan karena cerita film ini menawarkan jawaban kenapa bisa terjadi loop in the first place. Kita mendapat cerita yang berbau sci-fi, namun jawaban itu sendiri tidak dibuat dengan matang. Film hanya ingin punya ‘alasan’ tanpa benar-benar detil membangunnya. Middle-credit scenenya mengisyaratkan seolah bakal ada sekuel, meng-tease seputar mencari kelinci percobaan untuk uji coba loop, dengan kocak Tree mengajukan satu tokoh yang lantas membuatku heran gimana caranya menargetkan loop kepada satu orang – bukannya Tree dan Ryan kena loop secara random?

 

 

 

 

Menurutku itulah kesalahan terbesar dalam film ini. Menjadikannya sebagai usaha untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pernah ditanyakan ‘kenapa’. Film pertama bekerja efektif dengan keambiguannya. Tidak diperlukan penjelasan. Namun jika ingin menjelaskan, maka lakukanlah dengan sebenar-benar jelas. Film kedua ini punya landasan sains untuk memasukakalkan semua kejadian, hanya saja landasan tersebut dibangun dengan lemah sehingga justru jadi menimbulkan banyak pertanyaan lain. Pada akhirnya film menyuruh kita untuk menelan bulat-bulat pertanyaan tersebut. Kita disuruh untuk ikut saja, percaya saja, pada kejadian yang mereka susunkan sebagai alur cerita, tidak usah memikirkan alternatif lain. Ironis sebenarnya untuk sebuah cerita tentang multiverse dan pilihan manusia yang begitu beragam. Di samping semua itu, film ini masih mempertahankan pesona yang membuat film pertamanya disukai dan aspek yang membuat dirinya ada; selera humor dan penampilan Jessica Rothe. Makanya film ini bakal bekerja paling baik jika ditonton maraton langsung setelah film pertamanya.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HAPPY DEATH DAY 2U.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Punyakah kalian ‘dunia sempurna’ yang sering kalian bayangkan sehubungan dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan? Maukah kalian menukar apa yang saat ini dimiliki dengan kesempatan untuk tinggal di ‘dunia sempurna’ tersebut? Dan bicara tentang multiverse, kira-kira bisakah kalian menang melawan diri kalian dari dunia yang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

BIRD BOX Review

“The way to see by faith is to shut the eye of reason.”

 

 

Peringatan keras itu diberikan Malorie kepada dua bocah yang belum lagi enam-tahun – adegan ini juga merupakan cara film membuat Sandra Bullock menerangkan ‘aturan-main’ film kepada kita para penonton – sebelum dirinya membawa anak laki-laki dan anak perempuan tak bernama itu berlarian ke hutan. Menuju jeram yang deras. “Apapun yang terjadi, jangan sekali-kali melepaskan tutup-mata kalian! Jika kalian melihat, kalian mati.”

Dari apa ketiga tokoh ini lari, kalian tanya? Kenapa mereka tidak boleh membuka mata? Film akan selang seling menarik kita mundur ke belakang, ke peristiwa lima tahun yang lalu; saat Marolie dan adiknya pulang dari dokter kandungan, saat pertama kali tren bunuh diri terjadi di dunia mereka. Bird Box adalah film adaptasi novel yang draftnya ditulis pada tahun yang sama dengan tayangnya The Happening (2008) – film yang actually melenyapkan kredibilitas M. Night Shyamalan di mata penonton film, tak terkecuali penggemarnya. Seluruh penduduk kota mendadak seperti berlomba-lomba melakukan hal menyakitkan kepada tubuh mereka. Bayangkan aksi-aksi di Jackass, hanya saja pesertanya melakukan stunt dengan patah tulang leher sebagai tujuan utama. Kita melihat satu wanita masuk ke dalam mobil yang terbakar. Kita menyaksikan orang menabrakkan diri ke bis yang sedang melaju. Semuanya kacau. Namun tidak seperti The Happening yang enggak exactly menerangkan apa yang terjadi (tersangka utama tetap para tumbuhan yang mendendam), dalam Bird Box kita diberitahu penyebab orang-orang menjadi edan itu adalah suatu makhluk, film dengan hebatnya membuat wujudnya ambigu; entah karena seram atau aneh atau apa, yang jika dilihat maka kita akan otomatis berpikir “ah baiklah, sudah saatnya aku mengakhiri hidup”

dan makhluk ini tidak bisa dicurangi seperti yang dilakukan Hermione kepada Basilisk

 

Film ini seperti terdiri dari dua bagian; bagian di masa lalu dengan nuansa thriller sekelompok orang saling-asing berkumpul, berusaha untuk bekerja sama, mencoba untuk saling kenal dan memahami, dalam usaha bertahan hidup dengan makanan materi seadanya – aku suka bagian ini karena mengingatkanku kepada The Mist (2007) khususnya pada bagian mereka harus menantang maut keluar dari tempat persembunyian untuk menyuplai makanan. Dan bagian present time di mana Malorie dan anak-anak itu mengarungi jeram dengan mata tertutup untuk mencari tempat perlindungan yang bahkan Malorie sendiri enggak yakin persis, apa sanctuary yang mereka cari beneran ada atau hanya jebakan.

Aku enggak benar-benar setuju sama cara bercerita yang bolak-balik karena pada banyak kasus membuat kita terlepas, seperti melompat-lompat antara dua situasi/perasaan si tokoh utama. Seperti ada dua versi tokoh utama; progres dan regres, dan di satu titik dua versi ini akan bertemu supaya kita mengerti. Bird Box juga bercerita seperti begini, tetapi tidak membuatku terlepas begitu lama karena cerita tahu cara mengeksplorasi situasi menjadi benar-benar menarik. See, the thing is Bird Box is not exactly ‘what-you-see-is-what-you-get” type of film. Lapisan ceritanya lebih banyak dari lapisan kain yang menutup mata Malorie. Kita bisa ‘terhibur’ oleh tokoh-tokohnya karena film ini dapat bertindak sebagai studi karakter bagaimana sekelompok orang ‘dipaksa’ bekerja sama dalam dunia yang bisa dibilang sudah kiamat. Kita akan melihat mana yang mau selamat sendiri, mana yang mengerti bahwa survive enggak sama dengan menjalani hidup. Film menambah ketegangan ceritanya dengan membuat bahwa ternyata enggak semua manusia yang melihat makhluk tersebut bakal bunuh diri. Ada sekelompok orang yang bisa (film secara tersirat menyebut kemampuan tersebut dimiliki oleh kelompok orang-orang yang terganggu mentalnya), dan mereka membentuk semacam cult yang mendedikasikan diri membuat orang-orang normal melihat ‘keindahan’ si makhluk. Ini menciptakan tensi yang berhubungan dengan rasa percaya, yang tepat sekali berlawanan dengan karakter Malorie; seorang wanita yang karena masa kecilnya, merasa lebih nyaman untuk membiarkan hatinya berada di dalam sangkar. Di dalam kotak. Seperti burung-burung yang ia gunakan untuk mendeteksi kedatangan Dia-yang-Wujudnya-Tak-Boleh-Dilihat.

I hope I can unsee that Sandra Bullock-Michael Jackson meme

 

Malorie merasa nyaman dengan tidak melihat masalah. Makanya dia begitu jago selamat sekian lama dari makhluk tersebut. Ketika dia hamil, dia tidak tertarik untuk mengetahui jenis kelamin kandungannya. Ketika anaknya lahir, dia tidak repot-repot memberinya nama. Karena dia tidak mau sakit, siapa yang bisa jamin orang yang ia cintai gak bakal pergi. Membuka hati bagi Malorie adalah kelemahan. Sama seperti membuka matanya, dia akan ‘mati’ melihat si makhluk. Buta justru jadi perlindungan utama di dunia Malorie di luar sana. Malorie tidak membiarkan harapannya terbang tinggi, dan di sinilah letak salahnya.

Kita harus percaya kepada harapan. Bahkan saat kita tidak punya alasan untuk percaya. Itulah yang namanya Blind Faith. Film ingin mengajarkan pentingnya untuk punya sesuatu yang dipercaya supaya tidak kehilangan arah dan asa dalam hidup.

 

Sayangnya, blind faith sering dikonotasikan dengan hal yang negatif; Iman-Buta sering dituduhkan menjadi penyebab keekstriman manusia terhadap agama. Padahal tidak selamanya begitu. Blind faith enggak mesti percaya pada sesuatu dengan bodohnya sehingga manut aja. Anggap kalian sedang berjalan di dalam suatu bangunan, kalian menemukan sebuah pintu dengan secarik kertas menempel padanya; bertuliskan “Ini Bukan Pintu Keluar”. Keyakinan, faith, adalah ketika kita punya alasan untuk percaya atau tidak percaya pada apa yang tertulis di pintu – mungkin kalian punya sense of direction yang bagus, pintu itu ada di barat yang mestinya memang ke arah luar, something like that. Blind Faith, sebaliknya, adalah kalian percaya itu bukan pintu keluar, meskipun kalian enggak tahu pasti tulisan tersebut bener atau enggak; siapa yang nempelin di sana, siapa yang menulisnya – bisa saja itu cuma prank dan beneran pintu keluar, atau bisa saja itu tantangan dan pas dibuka di baliknya ada kru TV ngasih hadiah uang tunai sebagai hadiah kuis.

Namun bagi mereka yang sudah percaya begitu saja itu bukan pintu keluar, apa pun di balik itu mereka anggap jurang. Katakanlah isi di balik pintu memang harta karun, apakah, mereka merugi? Tidak, karena orang tidak bisa dibilang rugi dengan kehilangan sesuatu yang belum menjadi milik mereka. Pada orang yang beriman-buta, yang percaya seratus-persen; fakta – benar atau salah – bukan lagi persoalan karena mereka percaya apa yang dipilih itu bermanfaat. Hal yang sama terjadi kepada Malorie ketika dia mendengar broadcast ada sanctuary setelah jeram. Ini adalah titik ketika Malorie – yang selama hidupnya menolak untuk ‘melihat’ ketika dia ‘diperbolehkan’ – diharuskan untuk belajar menaruh harapan. Meletakkan kepercayaannya, blindly. Di sinilah pemilihan cara bercerita Bird Box mendapat pengampunan. Di saat bersamaan dengan Malorie mendengar panggilan radio, kita merasakan ambigu yang luar biasa, kita memahami dilema yang dihadapi. Adegan ini yang menjadi plot poin, menghantarkan kita masuk ke babak tiga; kita sudah punya pegangan terhadap cult dan apa yang mereka lakukan – film membuat isi broadcast yang didengar Malorie sama dengan paham para penganut cult sekaligus kita sudah tahu gimana hubungan Malorie dengan anak-anak ini, dalam keadaan seperti apa kondisi mental dirinya sekarang. Jika film berjalan dengan narasi yang paralel, tidak bolak-balik, salah satu dari dua elemen dilema ini belum akan terbangun sempurna; efek yang dihasilkan tidak akan sekuat yang diniatkan.

.

 

Aku senang dengan keluarnya film ini, di masa mendatang aku bisa bikin acara nonton maraton film-film Enggak Bisa Lihat – Enggak Bisa Bicara – Enggak Bisa Dengar – Enggak Bisa Napas. Garapan Susanne Bier ini tak pelang memang memberikan pengalaman tercekat tersendiri. Dia berhasil membuktikan dalam film horor itu bukan harus penampakan seram yang mutlak memberikan perasaan menakutkan. Makhluk dalam film ini wujudnya dibiarkan sesuai imajinasi, bahkan pada tokoh-tokohnya sendiri makhluk ini tampil dalam wujud yang berbeda-beda. Film mengimplikasikan cara kerjanya sama dengan Dementor; menampilkan wujud yang paling menakutkan dan menyedihkan buat yang lihat. Aturan-main diset dengan detil, meski banyak beberapa aspek cerita yang tidak dijelaskan – yang hanya di sana karena naskah menuntut seperti itu. Seperti kain penutup yang tidak benar-benar membuat orang ‘buta’. Atau kenapa cuma burung, bagaimana dengan hewan lain apakah mereka kena pengaruh makhluk? Rentang waktu lima-tahun juga tidak dipergunakan banyak selain untuk membuat bayi-bayi itu tumbuh menjadi bocah. Film menuntun kita supaya tidak melihat lebih banyak dari yang mereka perlukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for BIRD BOX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian blind faith itu bagus, atau enggak? Would you follow your religion blindly? Ataukah kalian perlu alasan untuk mengimani kepercayaan yang kalian anut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

OVERLORD Review

“Heroism has a dark side”

 

 

Hari-H memang bikin deg-degan. Kita belajar mati-matian menjelang ujian, dan menit-menit dalam perjalanan ke sekolah, kita diam tak bergeming mikirin segala hal yang buruk-buruk tentang kemungkinan kita gak lulus ujian. Di lain tempat, ada yang bersuka cita mau menikah, dan di malam hari tepat sebelum nikahan, nervous itu datang membuat terdiam duduk mikirin gimana kalo ternyata pilihan kita salah. Mungkin karena H-nya itu singkatan dari Hantu, kali ya, makanya bikin gugup dan gelisah. Membuat takut. Kita cuma bisa membayangkan gimana kecamuknya hati dan kepala para tentara yang dikirim untuk berperang. Yang pergi membela negara di medan tumpah darah. Yang beberapa saat lagi bakal dibunuh atau membunuh duluan. Yang tidak peduli lagi mana salah, mana yang benar.

“Kita harus jadi sebusuk para musuh” kata komandan dalam film Overlord, mencoba sebisa mungkin terdengar seperti Samuel L. Jackson. Dan itu bukan sekedar remark-sindiran dariku, karena poinku adalah film ini berusaha membuat kita bersimpati (nada dan gaya bicara Jackson memang terdengar penuh wibawa dan simpatis) dengan pilihan yang harus diambil oleh para protagonis dalam cerita perang di mana satu sisinya memang pure evil.

Kita bisa bilang film ini bermain-main dengan genre film perang lebih banyak daripada ia berusaha menggali dilema moral seperti layaknya cerita perang itu sendiri. Adegan pembukanya terlihat menggoda kita dengan memberikan komentar tentang kejadian di opening Saving Private Ryan (1998), film perang karya Stephen Spielberg. Lebih baik di atas pesawat daripada masuk medan dengan kapal-kapal, kata salah satu tokoh Overlord saat mereka dari udara mengawasi garis pantai Perancis. Saat itu malam buta, kala Perang Dunia Kedua, platon protagonis kita bersiap untuk melakukan pendaratan ke pedesaan Perancis yang sudah dikuasai oleh tentara Nazi Jerman. Dan tokoh utama kita, duduk diam di sana. Gemetar di dalam sepatunya sendiri. Si luapan perasaan bimbang dan takut itu namanya Boyce (Jovan Adepo memainkan tipe karakter yang biasanya mati duluan). Dia sempat diolok-olok oleh teman-temannya, dikatain enggak cocok berada di medan perang. Dan kemudian pesawat mereka diberondong peluru. Dalam sebuah long-shot keren, kita melihat Boyce berjuang selamat dengan terjun payung sementara backgroundnya penuh huru-hara.

Ngeliat si Boyce yang tadinya duduk cemas menunggu bahaya pasti akan datang, aku serta merta kepikiran; gimana ya kalo ada Final Destination yang set ceritanya tentang tentara mau perang kayak begini. Tokohnya mendapat penglihatan tentang peristiwa naas, yang kemudian membuatnya jadi bisa menolong teman-teman seperjuangan selamat dari perang. Kupikir itu akan memberi twist buat franchise tersebut, tapi aku tidak bisa mengkhayal terlalu lama, karena Overlord segera menarikku masuk kembali berkat ceritanya yang benar-benar menggigit. Misi pasukan Boyce adalah meledakkan menara komunikasi di desa. Film memastikan tone tegang dan berdarah-darah itu tetap menguar sedari awal, dan tak pernah terputus saat cerita berbelok menjadi sci-fi horor oleh pengungkapan yang disaksikan oleh Boyce. Nazi yang mereka hadapi bukan jahat sembarang jahat. Mereka literally gak manusiawi.

klop banget tadi malam aku habis menghajar beberapa Zombie Nazi di game South Park: The Stick of Truth (2014)

 

Menonton Overlord adalah pengalaman yang menyenangkan, terutama jika kita suka sama adegan-adegan laga bersimbah darah. Drama perangnya masih ada, tokoh utama kita adalah seorang dengan moral kompas yang lurus, dia enggak setuju dengan cara interogasi menghajar musuh. Bahkan ada cerita menarik dari masa-masa pelatihan mereka soal Boyce yang enggak sampai hati membunuh tikus, yang berujung seluruh pasukan mereka dihukum fisik. Hanya saja, kedalaman lapisan moral itu semakin mendangkal mendekati akhir film. Di mana cerita berubah menjadi sajian horor kemanusiaan melawan monster. Narasi tetap mengalir koheren, tetapi gizi itu lama-lama semakin menghilang. Menonton film ini kayak menyantap seporsi lengkap mie. Awalnya masih ada telor, ayam, mungkin sayur mayur. Ketika semua itu habis, hanya tersisa bumbu mie yang enggak begitu bergizi, namun rasanya masih enak untuk dinikmati.

Arc Boyce adalah soal gimana dia mempertahankan moral kemanusiaan dirinya. Dia berubah dari yang ogah-ogahan, gak cocok berperang, menjadi penyintas yang bahkan lebih dari berkompeten untuk memimpin pasukan kecilnya sendiri. Tapi dia tidak pernah kehilangan sense baik-buruk tersebut. Dia tidak pernah melanggar garis yang membuatnya menjadi sekeji pihak yang ia lawan. Sepanjang film, pilihan-pilihan yang diambil oleh Boyce yang membuat narasi bergerak maju. Yang membuat dirinya termasuk ke dalam situasi mengerikan, dan kita mendapatkan aksi-aksi yang seru. Tidak ada yang salah dari Boyce sebagai tokoh utama. Pemeranannya pun meyakinkan. Tapi aku tidak bisa bilang menyukai tokoh ini. Dia terlihat ‘terlalu sempurna’ di sana, kayak Pak Ustadz di dalam kelab malam. Dia terlalu lurus sehingga tampak lebih membosankan daripada temannya, Chase, yang lebih suka menembak dengan kamera alih-alih dengan senapan.

Kepahlawanan punya sisi gelap. Perang begitu mengkhawatirkan, karena tidak seperti ujian sekolah, kita tidak pernah benar-benar seutuhnya menang dalam peperangan. Dan, ironisnya, seperti ujian sekolah; kita perlu perang untuk menggenjot diri naik ke tingkat selanjutnya. 

 

 

Pun, plot tokoh seperti Boyce sudah sering kita temukan. Hal penting yang harus dilakukan pada plot semacam ini adalah kita diperlihatkan perubahan si tokoh, untuk itu kita harus tahu dia seperti apa sebelum sampai di medan perang. Full Metal Jacket (1987) bisa dijadikan acuan. Dalam film tersebut, Kubrick mengambil keputusan beresiko. Dia membuat kita melihat si tokoh sedari masa pelatihan, gimana dia lebih memilih jadi posisi jurnalis perang, dan akhirnya harus menarik pelatuk di hadapan musuh yang ternyata adalah wanita muda, tetapi film itu terasa terbagi menjadi dua bagian. Overlord sepertinya tidak ingin cerita menjadi seperti demikian, maka kita hanya mendengar cerita tentang Boyce sebelum masa perang. Untuk membuat Boyce menjadi jagoan, mereka simply menyederhakan cerita menjadi laga ala video game; Boyce dan pasukan harus menjalankan misi menyusup ke dalam markas musuh, menghabisi bos besar, dan berlari keluar dengan pemandangan markas musuh hancur lebur – exactly kayak ending-ending video game petualangan. Boyce, secara pribadi, sebenarnya enggak benar-benar berubah. Perubahan yang kita rasakan terjadi, berasal dari pandangan orang tentang dirinya. Teman-teman Boyce jadi lebih hormat kepadanya.

sepertinya masih perlu ya diingetin bahwa Nazi itu jahat?

 

Dengan penampilan yang seragam meyakinkannya, banyak tokoh-tokoh minor yang terasa lebih menarik dibandingkan si sudut pandang utama. Aku suka sekali sama hubungan yang terjalin antara salah satu tentara, Tibbet, dengan anak kecil yang mereka tolong. Sersan mereka yang sudah siap-segala-resiko pun lebih menggugah minat dan mengundang simpati. Tapi sekali lagi, ini adalah keputusan yang diambil oleh film. Jadi walaupun cerita jadi harus mengandalkan beberapa ‘kebetulan’, menggunakan elemen ‘damsel in distress’ yang usang, dan Boyce-nya kalah menarik, Boyce dinilai paling bentrok dengan antagonis, dia yang paling punya stake. Tidak ada yang lebih berharga lagi yang bisa dipertaruhkan daripada rasa kemanusiaan.

Setidaknya ada dua kali ‘bolak-balik’ pada cerita; tokoh yang udah sampai di tempat menarik, kemudian ditarik mundur lagi oleh cerita, yang mengindikasikan penulisan seharusnya bisa lebih baik lagi. Tapi tone cerita yang konsisten, mampu membuat elemen menghibur itu terus terjaga. Ringan, penuh aksi brutal, dan makhluk horor dengan prostetik yang tampak semakin creepy – low budget itu berhasil dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Estetiknya tidak pernah kelihatan jelek.

 

 

Ini adalah film yang berjaya di dalam dunianya sendiri. Jikapun bertahan di ranah horor drama perang, film ini tak pelak akan lebih bermakna, tapi dia tidak akan pernah benar-benar stand out karena sudah begitu banyak cerita yang seperti demikian. Pilihan yang membawa genre ini berfusion dengan body horror; katakanlah eksperimen yang mereka lakukan, pada akhirnya lebih mungkin membuat film menjadi seperti para pahlawan seharusnya; dikenang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for OVERLORD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi Nazi? Apakah kekerasan dibalas dengan kekerasan? Atau memilih berdiri di atas moral? Bagaimana sih moral yang tinggi itu? Apa maknanya memenangkan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE PREDATOR Review

“Never capture what you can’t control.”

 

 

Monster pembunuh dari luar angkasa berkunjung lagi ke Bumi, siap untuk berburu manusia. Mereka hadir dengan kekuatan yang sudah berevolusi; lebih pintar, lebih ganas, lebih gede, dengan senjata dan teknologi yang lebih mematikan pula. Tapi jangan khawatir. Sekumpulan pria macho yang dapat memadamkan rokok dengan lidah sudah siap untuk menghadapi alien tersebut. Mereka akan menunjukkan bahwa makhluk seberbahaya itu tidaklah mengerikan. Melainkan lucu.

The Predator ternyata bukanlah sebuah reboot ataupun prekuel. Ceritanya adalah lanjutan, pengembangan dari semesta Predator (1987) di mana kita melihat salah satu penampilan terbaik dari Arnold Schwarzenegger. Film lanjutannya ini meng-acknowledge kejadian pada film-film sebelumnya, tidak ada yang elemen yang dihapus. Sutradara Shane Black yang actually juga ikutan main pada film yang pertama tahu persis trope-trope yang membuat franchise ini digemari, sebagai sebuah film monster 80an. Sampai di sini, penggemar Predator menghembuskan napas lega, Akan tetapi, ada sesuatu yang dilakukan oleh Shane Black terhadap arahan bercerita, sebagai bagian dari misinya mengembangkan mitos dan dunia Predator. Sesuatu yang mungkin mengecewakan bagi para penggemar. Seperti The Nun (2018) yang lebih mirip sebuah petualangan misteri ketimbang horor mencekam, The Predator digarap oleh Black dengan menjauh dari akar horornya. Hampir tidak ada jejak keseraman yang muncul pada film ini. The Predator tampil sebagai aksi petualangan melawan monster yang penuh oleh lelucon-lelucon. Yang mana paling tidak membuatnya lebih baik dari The Nun yang tampil setengah-setengah.

brb nyari lengan korban yang ngacungin jempol

 

 

Satu-satunya adegan paling mengerikan dalam film ini adalah ketika ahli biologi yang diperankan oleh Olivia Munn berusaha melarikan diri dari Predator yang mengamuk di lab. Dia berusaha bersembunyi tetapi pintu ruangan hanya terbuka setelah melewati proses dekontaminasi. Jadi, dia musti buka baju dulu, di-scan segala macem dahulu, sementara si Predator di ruangan kaca di sebelah sudah semakin mendekat. Kita tidak akan menemukan suspens selain pada adegan tersebut. Film benar-benar berkonsentrasi untuk komedi dan adegan-adegan aksi yang berujung dengan tubuh yang terpotong. Shane Black memang sengaja melakukan itu semua; menomor-duakan aspek horor. Sepertinya dia punya ide lain terhadap franchise Predator, sebagimana tokoh di film ini yang punya pendapat berbeda terhadap penyebutan istilah Predator. Ada running jokes tersemat dalam cerita soal selama ini kita salah menyebut para alien tersebut sebagai Predator. Karena Predator tersebut enggak exactly predator. Mereka pemburu. Mereka membunuh bukan untuk hidup, melainkan untuk bersenang-senang. Mereka tidak memangsa manusia. Dalam film ini dijelaskan alasan Predator membunuh yang ternyata lebih sophisticated dari sekedar insting bertahan hidup. Ini sebenarnya mencerminkan visi dan arahan Shane Black untuk ke depannya. Jika kita lihat ending film ini, bukan sekedar asal nembak jika kita sampai berteori manusialah yang akan menjadi predator bagi Predator.

Bukan tanpa alasan jika manusia disebut sebagai predator paling berbahaya. Enggak cukup dengan memakan apa saja yang bisa dimakan untuk bertahan hidup, membuat kita predator segala resipien; jumlah mangsa paling banyak. Kita terkadang suka ‘memangsa’ sesuatu di luar kemampuan kita. Manusia ingin menangkap semuanya, lihat betapa tamaknya teknologi dan alien diperebutkan oleh tokoh-tokoh film ini.

 

 

Dimulai dengan pesawat asing crashing down, yang mengingatkan kita kepada Predator pertama, dan tentu saja dengan The Nice Guys (2016); buddy-komedi garapan Black yang kocak abis. Sama seperti film tersebut, The Predator juga punya tokoh anak jenius yang memegang peranan penting. Tapi tidak seperti film tersebut, The Predator  punya plot yang sedikit terlalu ribet untuk dirangkai. Narasi film ini lebih terasa seperti rangkaian-rangkaian kejadian alih-alih sebuah kesatuan cerita yang kohesif. Tokoh utama kita adalah Quinn McKenna seorang sniper yang diperankan oleh Boyd Holbrook. Dialah yang pertama kali menemukan pesawat alien yang jatuh saat sedang bertugas di hutan. Pemerintah tentu saja berusaha menutupi kejadian tersebut, Quinn ditangkap dan dikirim ke penjara karena menolak untuk tutup mulut. On the way, Quinn bergabung dengan tentara-tentara ‘sinting’ yang lain, untuk mengalahkan alien yang Quinn tahu bakal datang mencari benda yang ia ambil dari rongsokan pesawat. Yang tak diketahui Quinn adalah benda tersebut justru dikirim pos ke depan pintu rumahnya. Dan jatuh ke tangan Rory, anaknya. See, Jacob Tremblay di sini adalah anak berkebutuhan khusus yang bisa menyusun bidak-bidak catur yang berserakan ke posisi sebelum permainan diganggu. Armor dan benda-benda berkilat itu dimainkan oleh Rory layaknya video game. Bahkan helm alien tersebut ia kenakan sebagai kostum Halloween. Tanpa menyadari bahwa dia baru saja mengirim sinyal memberitahu Predator langsung ke alamat rumahnya.

kalo gak mau dilihat orang, pake topeng astronot aja, dek

 

 

Film ini adalah rangkaian kejar dan kabur-kaburan yang melibatkan banyak talenta, dialog dan momen kocak, serta sosok Predator yang kostumnya keren. Keputusan memakai orang alih-alih komputer memang jarang sekali menjadi keputusan yang jelek untuk film monster seperti ini. Enggak semua yang kita lihat adalah CGI, walaupun memang efek menjadi penyedap utama buat film ini. Shot, cara mati, pertempurannya, seru untuk diikuti. Pemandangan Predator yang tak-terlihat terguyur oleh darah  membuatku bertepuk tangan. Selera komedi film ini sangat klasik, nuansa monster 80annya sangat kuat. Ada satu tokoh yang bilang “I will be back” yang langsung disamber ama temennya “No, you won’t”. Dan ini lucunya meta banget. Hanya saja, di luar segala referensi dan one-liner itu, enggak banyak yang bikin kita ter-attach sama tokoh-tokohnya. Sangat susah buat kita bersimpati pada apa yang mereka hadapi, lantaran mereka sendiri tidak pernah tampak ketakutan. Mereka bercanda saja sepanjang waktu. Malah ada satu tokoh yang karakternya literally disebutin suicidal. Dan dia menyebut itu dengan tampang bangga. Jadi ketika dia benar-benar memilih untuk mati, kita enggak ada sedih-sedihnya.

Sepertinya film berusaha melakukan apa yang dilakukan oleh Taika Waititi pada franchise Thor. Taika melihat potensi komedi pada Thor, dan menggadangkan aspek tersebut, tapi Taika tidak mengecilkan porsi yang lain. Thor dan para karakter tetap dibuat emosional, dan actually tema ceritanya adalah bahwa dewa juga manusia. The Predator mencoba untuk berevolusi, Black melihat potensi komedi pada franchisenya, dan benar-benar banting setir ke arah sana. Sisi kemanusiaan karakter lupa diperhatikan. Jangankan horor, emosi yang lain pun tidak dapat kita rasakan. Ada satu tokoh yang belum pernah menyakiti orang seumur hidupnya. At one point of the story, terbunuhlah orang olehnya. Tapi film tidak membawa kita untuk menyelami perasaannya; tidak ada penyesalan, sedih, tidak ada rasa bersalah, atau malah tidak ada rasa senang ataupun mungkin lega. Film ini berpindah begitu cepat seolah kejadian-kejadian yang mereka lewati sudah tidak penting lagi karena, hey, itu Predator yang harus mereka kalahkan sudah muncul kembali.

Ada perbincangan soal menjadi ‘alien’ di planet sendiri. Predator normal dan Quinn sebenarnya berbagi perjalanan yang serupa, bahwa mereka adalah orang asing. Mereka adalah pelarian. Karena mereka tidak setuju ataupun bertentangan dengan pemerintah, dengan sebuah kesepakatan. Jadi mereka memilih cara mereka sendiri, dengan harapan mengubah hal menjadi lebih baik karena mereka tahu that they know better. Makanya pertempuran terakhir dengan Super Predator yang pada dasarnya adalah ‘polisi’ para predator menjadi sangat personal bagi Quinn. Aspek ini terlihat digunakan sebagai alasan kenapa Black membawa The Predator menjadi full action dan less-horor. Karena dia ingin berevolusi. Bahwa dia tak segan untuk menjadi berbeda di dunianya sendiri. Babak ketiga film ini memang seperti sebuah tindakan yang berkelit dari potensi horor, terasa sekali gimana film yang sadis ini enggak mau tampil menyeramkan. Drawback dari keputusan kreatif ini adalah film tidak bisa bercerita dengan baik, narasinya tidak terasa berkembang dengan alami.

Alih-alih berevolusi, apa yang dilakukan oleh Shane Black terhadap film ini malah lebih seperti ilmuwan gila yang sedang menjahit makhluk Frankeinstein. Ya, film ini makhluk tersebut; penuh jahitan.

 

 

 

 

Dengan semua materi dan talenta yang ia punya, Shane Black menyuguhkan kepada kita petualangan aksi yang kocak dan sadis dengan sosok monster, tapi tidak pernah diniatkan untuk terasa menyeramkan. Keputusan yang aneh, memang. Tapi aku tidak bisa bilang aku kecewa, karena aku sebagai penonton yang tumbuh dengan monster-monster cheesy 80-90an, sangat menikmati lelucon film ini. Tapinya lagi, kesenangan pribadi kita terhadap suatu film tidak lantas menyematkan predikat bagus terhadap film tersebut. Ada banyak aspek yang lemah pada film ini, narasinya yang tidak padu, plot yang tipis, karakter yang tampak tidak tahu emosi lain selain ngelucu. Untuk menyederhakannya; film ini terasa artifisial. Dia seperti memakai banyak armor secara serabutan. Yang menunjukkan betapa lemah ia sesungguhnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE PREDATOR.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa sih kekuatan dari franchise Predator menurut kalian? Apa film Predator favoritmu?Apakah dengan membuatnya jadi kehilangan unsur seram dan total komedi Shane Black sudah membunuh franchise ini?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017