UPGRADE Review

“Computers are useless; they can only give you answers”

 

 

 

Dalam dunia yang penuh hingar bingar, nyaman sekali rasanya bisa menyelam ke dalam kepala sendiri. Ketika kebingungan, atau saat merasa butuh untuk mempertimbangkan sesuatu, kemungkinannya adalah kita merasa perlu untuk bertanya kepada diri sendiri. Bicara kepada suara di dalam kepala itu bukan pertanda kita gila. Malahan akan membuat kita lebih pinter jika kita cukup tenang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya adalah tindakan menggali kesadaran dan potensi diri. Bahkan, menulis pun sejatinya adalah pekerjaan yang bertanya kepada diri sendiri – kita ngobrol di dalam kepala, kita jelajahi ruang pikir dan pemahaman yang ada di sana.

Masalahnya adalah; bagaimana jika yang ada di dalam kepala itu bukan pikiran kita? Bagaimana cara kita membedakan mana yang suara hati mana yang ‘bisikan setan’? Perlukah kita langsung percaya kepada jawaban yang diberikan oleh suara-suara yang ada dalam kepala kita?

 

Upgrade mungkin memang bukan film yang menonjolkan perjalanan filosofis. Film ini lebih sebagai hiburan tembak-langsung, di mana kita akan melihat aksi berantem penuh kekerasan dan dunia masa depan yang memenuhi dahaga fantasi terhadap kemutakhiran teknologi. Akan tetapi, garapan Leigh Whannell ini memberikan pandangan yang cukup menarik – ia bermain-main dengan konsep seorang manusia yang tidak lagi punya kontrol atas tindakannya sebab sudah menyerahkan semua kendali kepada suara asing di dalam kepalanya.

cue entrance musik Randy Orton

 

 

Cerita tidak akan pernah melebar keluar dari perspektif Grey Trace (Logan Marshall-Green berkesempatan memainkan adegan berantem unik). Pria ini kehilangan istri dan anggota gerak tubuhnya ketika mobil-nyetir-sendiri mereka melaju error dengan tragisnya. Tubuh Grey lumpuh total, kecuali kepalanya. Tatkala ia meratapi nasib, terbaring di tempat tidurnya, seorang ilmuwan komputer memberinya tawaran untuk jadi inang sebuah chip maha-canggih. Dengan chip yang disebut Stem tertanam di lehernya, Grey bisa berjalan dan mengusap air matanya lagi. Tapi kemudian Stem bicara kepada Grey, ia menawarkan bantuan lebih dari apa yang diminta oleh Grey. Stem, dengan izin Grey, bisa mengendalikan tubuh mekanik yang tadinya sirik ama teknologi ini, melakukan pekerjaan yang tak sanggup ia lakukan. Termasuk balas dendam. Mengubah Grey menjadi mesin pembunuh.

Ketika nonton ini, aku ngobrol kepada diriku sendiri. Hey, kita sudah pernah toh melihat cerita seperti begini sebelumnya. Pria biasa yang tiba-tiba jadi perkasa, melakukan aksi tuntut balas. Mesin yang pada akhirnya mengambil alih kemanusiaan. Kepalaku balas bertanya; Tetapi yang ini beda, tuh lihat, adegan berantem pertamanya aja bikin mulutmu otomatis menganga.

Suara di kepalaku benar. Dari adegan Grey yang mendadak jago bertarung – bahkan lebih efisien dari Robert McCall di The Equalizer 2 (2018) kita bisa melihat bahwa film ini diarahkan kepada tone yang berbeda dari cerita balas dendam yang sudah-sudah. Feelnya sangat gelap, ala grindhouse 70an yang dibuat oleh John Carpenter. Sudah jarang sekali kan kita melihat gaya seperti begini hadir di jaman yang mengutamakan kepada budget dan efek yang supercanggih. Film ini berada di titik seimbang antara tragedi dan komedi, sehingga meskipun lingkungannya futuristik, kejadian-kejadiannya brutal, tapi kita masih menemukan pijakan untuk merasakan kenyataan. Berantemnya unik, kocak, dan meyakinkan. Logan Marshall-Green melakukan tugas yang menakjubkan dengan ekspresi wajahnya. Begini, begitu Stem dikasih ijin mengambil alih, Grey hanya bisa melihat dengan matanya saat tangan dan kakinya beraksi menghajar musuh. Dan sebagian besar dari adegan bak-bik-buk itu, Grey tampak takut hingga dia bahkan sampe meminta maaf kepada lawannya. Konsep ini digarap dengan kocak sekali, karena lawannya pun memandang Grey dengan heran, like, man you are crazy what the hell is wrong with you?

“fight your own battle, lazy-ass!”

 

Ada salah satu adegan yang menampilkan Grey berdiri melihat daftar nama tenant sebuah apartemen, dan kita dilihatin dengan jelas nama J. Wan, yang obviously adalah easter egg buat sutradara horor James Wan. Leigh Whannell memang sudah banyak berkolaborasi dengan Wan, karya paling ngehits mereka tidak lain tidak bukan adalah Saw (2004) yang tak pelak menjadi ikonik buat genre horor. Apa yang dilakukan oleh Whannell dan Wan di film tersebut sungguh patut dijadikan suri tauladan buat filmmaker lokal; mereka berkutat dengan budget rendah dan sukses menghasilkan tontonan yang luar biasa meyakinkan, sangat menyenangkan, ngajak berpikir pula, dari dana sesedikit itu. Bikin film gak mesti mahal; kita gak perlu punya yang terbaik karena yang terpenting adalah seberapa besar usaha yang dilakukan supaya menghasilkan yang terbaik. Whannell mengulangi lagi kerja kerasnya pada film Upgrade ini. Dia berhasil ngestrecth konsepnya melewati batas-batas budget. Dan mengingat ini adalah film yang bertempat di masa depan yang sudah canggih, jelas pencapaian Whannell menghidupkan dunianya bukan hal yang bisa diremehkan.

Tak sekalipun semua yang nampang di layar itu terlihat murahan. Lingkungan pada film ini direalisasikan dengan amat baik. Bahkan, dan aku gak melebihkan, dengan budget yang jauh berbeda, film ini bisa kelihatan satu dunia dengan Blade Runner 2049 (2017). Aspek futuristik dan spesial efeknya tidak sekalipun membuat film jadi cheesy. Pun film tidak terlihat sok-sok bergaya ala B-movie, kalian tahu, gerak kameranya enggak pernah terlalu over-the-top. Tidak ada shot-shot ambisius. Justru dieksekusi dengan kreatif sekali. Pergerakan kamera yang sedikit tertahan kepada Grey – memberikan kesan gerak kaku seperti berantem jurus robot yang ia lakukan.

Seperti halnya film enggak lantas menjadi bagus karena punya budget raksasa, kita juga tidak bisa mengupgrade kemanusiaan dengan hanya bergantung kepada kemutakhiran teknologi. Seperti yang disebutkan dalam dialog film ini, mesin yang hanya berisi angka 1 dan 0 tidak akan bisa menanggulangi kekompleksan manusia. Mereka hanya tahu berpikir mencari jawaban yang termudah. Sedangkan manusia, kita dianugrahi rasa yang tak jarang mengoverride pikiran, for better or worse.

 

Ketika aku bilang cerita film ini tak pernah keluar dari frame sudut pandang Grey, kepalaku langsung berontak protes. Hal tersebut mengakibatkan tokoh yang lain gak jadi gak keurus, katanya. Setelah dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Aku terlalu sibuk menggelinjang seru melihat apa yang kutonton sehingga menjadi sedikit bias kepada film ini secara keseluruhan. Untung ada suara di kepala yang mengingatkan. Grey tereksplorasi dengan baik, kita mengerti pandangan orang ini terhadap situasi dunianya, kita melihatnya berkembang dari seorang lumpuh yang berusaha menerima kondisinya lalu dia takut akan apa yang bisa ia lakukan, menjadi seseorang yang embrace it all sebelum akhirnya sadar apa yang sebenarnya ia butuhkan. Kita peduli sekali kepadanya. Namun tidak demikian terhadap tokoh-tokoh yang lain. Polisi wanita yang bertugas menginvestigasi kasus kecelakaannya, ibu yang menemaninya, istrinya yang meski perannya kecil namun sangat integral terhadap karakterisasi Grey, orang yang memberinya Stem, mereka semua begitu satu dimensi. Hacker yang sempat membantu Grey malah ternyata gak penting meski memegang peranan dalam cerita. Bahkan tokoh antagonis tidak banyak diberikan warna, kita membenci mereka karena hal yang mereka lakukan. Kesan kita kepada semua orang di sekitar Grey tidak pernah lebih dari jauh dari apa yang kita lihat. Ini sangat disayangkan, karena dengan konsep yang begitu keren, film justru kesusahan menyeimbangkan antara konsep tersebut dengan para tokohnya.

 

 

 

Kekurangeksploran tokoh lain membuat film dapat menjadi sedikit membosankan tatkala takada kejadian menarik seputar Grey dan Stem yang terjadi, karena memang kita hanya peduli sama tokoh utama seorang. Kita ingin cepat-cepat melihat aksi yang direkam dengan kerja kamera yang kreatif, dengan sinematografi yang unik, dengan konsep yang membuat cerita yang udah sering dilihat ini menjadi terasa menyegarkan. Di luar pencapaian luar biasanya menjadi tontonan yang super fun melewati batasan budgetnya, aku dan suara di dalam kepalaku setuju film ini mestinya bisa diupgrade sedikit lagi sehingga semua elemennya dapat berimbang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for UPGRADE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ANT-MAN AND THE WASP Review

“Stepping out of your comfort zone is the best way to grow.”

 

 

Dunia superhero Marvel menjadi kecil dalam film Ant-man and The Wasp, tentu saja ‘kecil’ di sini bukan dalam artian kerdil karena minim aksi dan kurang kepentingan. Karena film ini meriah dan benar-benar sebuah ledakan menyenangkan. Kocak dengan gaya humor yang dapat kita bedakan di antara yang lain, much like sekuen aksinya yang merupakan gimmick khas yang selalu dinanti. Ceritanya lah yang mengambil ruang lingkup yang lebih kecil. Tidak ada ancaman kehancuran global, tidak ada malapetaka dahsyat  dari luar angkasa. Scott Lang adalah contoh langka seorang pahlawan super yang benar-benar mengalami konsekuensi dunia nyata,  dia gak punya duit banyak untuk membuat hidupnya lebih mudah, dia tidak benar-benar punya kekuatan super – kostum Ant-Man harus  ia kenakan dengan prasyarat.

Dan dalam film ini, Scott Lang terpenjara di rumahnya sendiri.

 

Hidup Scott Lang sebagai manusia biasa saja sudah cukup susye, apalagi ketika dia harus mengemban tugas sebagai superhero. Nafsunya untuk menjadi pahlawan yang bener, sebagai lawan dari kehidupan kriminalnya – membuat Lang  harus berada dalam posisi tahanan rumah selama dua tahun. Cerita film ini dimulai  ketika Lang sudah dalam hari-hari terakhir masa tahanannya. Dia sudah enggak sabar menunggu alarm di pergelangan kakinya dilepas sehingga dia bisa pergi keluar rumah dan menjadi ayah yang ia inginkan bagi putri semata wayangnya. In a comical fashion, kita melihat bagaimana hari-hari dihabiskan olehnya; dia membuat lorong sarang semut dari kardus untuk main misi mencuri-mencurian sama anaknya, dia ngerock pake drum set mainan untuk anak kecil, dia dengan khusyuk membaca novel young-adult, dia latihan sulap lewat youtube. Zona nyaman pahlawan super kita diusik oleh Hope dan Hank Pym, mentor yang bikinin kostum superhero buat Lang. Keluarga ini bermaksud mencari ibu mereka yang hilang di dunia kuantum berpuluh tahun yang lalu – sebagai resiko jika mengecilkan tubuh melewati batas. Dan mereka pikir, Scott yang pernah keluar hidup-hidup dari dunia kuantum tersebut dapat membantu mereka.

Avengers: “Scott Lang, main yuuuukk, ada Thanos niiih” / Cassie: “Papa gak boleh keluaarr”

 

Setelah narasi pembuka yang entah bagaimana mengingatkanku sama porsi awal game God of War, film ini memang tidak pernah berhenti menyuguhkan sesuatu yang membuat kita terhibur.  Kita seperti terus diping-pong antara karakter segar, dialog lucu, dan aksi berantem yang koreografinya supercepet dan bermain dengan tokoh-tokoh yang mengecil dan membesar sekejap mata. Film ini juga banyak bersenang-senang dengan adegan yang mengambil komedi pada persepsi kita terhadap ukuran.  Adegan akan dimulai dengan tokoh-tokoh lagi ngobrol di mobil, kamera dibuat nyaris close up, untuk kemudian suatu yang enggak semestinya sebesar itu muncul dari belakang, shot di zoom out, dan kita sadar apa yang sebenarnya terjadi regarding dimensi ukuran tokoh-tokoh pada adegan tersebut.

Kita memang sudah semestinya harus bisa melihat gambaran besar dari suatu masalah, supaya kita bisa mengerti dalam mengambil langkah apa yang harus dilakukan. Tapi terkadang, gambaran besar yang harus dapat kita lihat itu, nyatanya, adalah penyederhanaan dari situasi yang menurut kita pelik.

 

 

Dibintangi oleh begitu banyak talenta, Ant-Man and the Wasp bergantung kepada keahlian sutradara dalam mengembangkan tokoh-tokoh yang ada. Peyton Reed tampaknya sudah nyaman dengan dunia superhero yang ia tangani sejak ‘episode’ pertamanya. Dia paham betul bahwa Ant-Man akan banyak bicara tentang fiksi ilmiah, jadi ia memainkan itu semua ke dalam komedi. Celetukan Lang bakal membuat kita terbahak mengenai kata ‘kuantum’ di depan setiap; that’s how ribet aspek keilmuan yang dipunya oleh film ini sebenarnya. Komedi tentu saja dilakukan supaya penonton enggak bingung diterpa eksposisi tentang bagaimana peraturan ilmu-ilmu yang dibahas pada cerita. Salah satu contohnya adalah bagaimana, seperti yang juga kita lihat pada film pertama, Michael Pena dengan terrific menceritakan kejadian saat diinterogasi oleh salah satu tokoh penjahat. Dia nyerocos cepat dan layar akan nunjukin gambaran yang sedang ia omongin, di mana para aktor akan ngelyp-sinc setiap dialog yang ia ucapkan. Film ini berhasil membuat eksposisi menjadi hal yang lucu. There’s also adegan ‘serum kejujuran’ yang sukses membuatku ngakak. Hank Pym yang diperankan oleh Michael Douglas juga salah satu favoritku di film ini, karakternya sort of pemarah dan suka ngedumel, tapi itu sebenarnya di dalam hati, dia sosok yang peduli. Pasif-agresif tokoh ini mirip sama tokoh Sam di serial GLOW, sutradara acara gulat khusus cewek yang punya gerutu tersendiri dalam nunjukin kepeduliannya terhadap pemain yang ia tangani, actually aku sedang ngikutin season 2nya – aku rekomendasikan serial ini buat kalian yang tertarik sama struggle pembuat acara tv yang kurang popular, dan drama komedi  secara umum.

Balik ke Ant-Man and The Wasp, tho, Scott Lang sendiri enggak berada di kursi kemudi, kalian tahu, karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Hope alias The Wasp. Menurutku, film ini punya masalah yang sama dengan Kulari ke Pantai (2018) di mana sebenarnya tokoh utama cerita film ini adalah tokoh lain, tetapi pada Ant-Man ini aku bisa melihat kenapa mereka gak bisa gitu aja mengganti tokoh utamanya menjadi The Wasp. Karena ini adalah universe Ant-Man, Ant-Manlah yang ada berperan di Avengers. Jadi, dia harus tetap menjadi tokoh utama, meskipun dia sebenarnya enggak begitu paralel dengan apa yang ingin dikatakan oleh film, dengan apa yang ingin dicapai oleh tokoh penjahat dan The Wasp. Jika di film pertama, Lang ditunjukkan sebagai mantan kriminal yang pinter, dia bisa bikin alat untuk masuk ke rumah orang, dia jago parkour, dia dengan cepat menguasai aplikasi kostum pengubah ukuran yang dipinjamkan kepadanya. maka di film ini dia hanya ngomentarin hal-hal dengan lucu. Kalo bukan karena pesona Paul Rudd yang bikin tokoh ini jadi begitu likeable, akan susah untuk peduli padanya sebagai tokoh utama. Dia bahkan gak benar-benar niat untuk sneak out dari rumah yang menahannya. Dia pernah mengalahkan Falcon, salah satu Avengers, dan di film ini dia diselamatkan dari tenggelam oleh The Wasp. Dan randomly dia tidak bisa menguasai kostumnya. Kita tidak ngecheer Ant-Man lebih besar dari kita menginginkan The Wasp berhasil reuni dengan ibunya, atau bahkan itupun kita tidak benar-benar mencemaskan keselamatan Pym yang masuk ke dunia kuantum. Film memang seperti kurang greget, tapi tidak bisa dipungkiri cerita dibangun dengan The Wasp sebagai highlightnya.

Jika The Wasp tidak segera meminta bantuan kepada Ant-Man, dia akan kehilangan ibunya. Jika Ghost – tokoh antagonis di sini – tidak mencuri lab dan teknologi dari ayah Wasp, dia akan mati. Dua tokoh ini harus segera keluar dan mengusik zona nyaman yang membawa malapetaka bagi mereka.  Ant-Man adalah kontras dari ini, dia tidak perlu melakukan semua itu. Dia bisa duduk baik di rumah dna dia akan menjadi ayah yang baik. Dia diseret ke dalam situasi di mana dia tak punya jalan lain selain mesti berhasil, demi kembali ke zona nyamannya.

 

Tayang setelah Avengers: Infinity War (2018) yang begitu depressing, film ini mendapat keuntungan hadir sebagai film yang didesain untuk menjadi tontonan yang menyenangkan. Hampir tidak ada unsur suram pada film ini. Sangat ringan dan luar biasa menyenangkan. Makanya, aku pikir kita akan gampang bias dalam menyingkapi film ini. Kita menganggapnya segar, karena kita baru saja dibuat ‘dendam’ sama Thanos. Namun, bayangkan jika kita menonton ini lagi, jauh nanti setelah Infinity War, atau bayangkan ada orang yang belum nonton Infinity War dan dia hendak marathon Ant-Man dan Ant-Man 2.. Tidak ada yang begitu berbeda pada dua film Ant-Man. Sekuelnya ini tidak benar-benar sesuatu yang fresh dibandingkan dengan film pertamanya. Malahan, tokoh utamanya jadi kurang kuat, meskipun keseluruhan film tetap adalah tontonan yang ekstra menyenangkan. I guess film ini benar-benar dipush untuk menjadi menyenangkan, karena ada rencana di dalam dunia sinematik ini. Tapi kita harus melihat film sebagai sesuatu yang berdiri sendiri; film ini mampu, tapi banyak elemen yang sebenarnya tampil lebih lemah. Satu tokoh jahatnya, si Burch, kehadiran tokoh ini memang mengundang tawa di ujung, tapi in a long run karakternya enggak benar-benar penting. Sekiranya dihilangkan, beberapa hal pada film ditulis ulang, cerita mungkin bisa menjadi lebih baik.

berkat film ini kita tahu for a fact bahwa suara semut bukan “oee..oee” seperti yang disebut pada lagu anak-anak

 

 

Alih-alih dunia, film ini bicara mengenai menyelamatkan keluarga; yang mana adalah semesta personal bagi setiap individu. Menghibur kita dengan ritme yang cepat, aksi-aksi dnegan efek komputer yang memukau, tokoh-tokoh yang kocak, akan susah sekali untuk terkulai tertidur ketika menonton ini. Bisa dibilang, film ini mengorbankan cerita yang lebih kuat, karakter yang lebih baik, demi tampil lebih ringan bahkan dari film pertamanya. Dia akan menjelaskan hal-hal dengan cara yang lucu, jika tidak bisa, maka film akan meninggalkannya tanpa penjelasan. Film mengharapkan kita, terutama pada babak ketiganya, untuk menerima saja, atau paling enggak sudah membaca komiknya. Big Hero 6 (2014) akan menghasilkan impresi yang lebih membekas untuk tantangan dan tema yang nyaris serupa. Setelah Infinity Wars, gampang untuk dengan cepat bilang film ini fresh, tapi jika dibandingkan dengan film pertamanya, film ini lebih kompleks. Namun kekompleksannya tidak dimainkan dengan benar-benar membuatnya unggul dan berbeda. But hey, it’s a small world, afterall.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM Review

“Stupidity and greed will kill off humans”

 

 

Ada yang punah pada Jurassic World: Fallen Kingdom, dan itu bukan dinosaurusnya.

 

Dua puluh lima tahun setelah Jurassic Park (1993), teori chaos yang dibicarakan oleh Dr. Ian Malcolm sekarang sudah menjadi prophecy yang terwujud nyata. Dan beban dilema moral itu kembali jatuh kepada manusia sebagaimana ancaman kepunahan sekali lagi membayangi dinosaurus. Gunungapi di pulau atraksi dinosaurus, Isla Nublar menunjukkan aktivitas tak menyenangkan, mengancam kehidupan kadal-kadal prasejarah buatan yang tinggal di sana. Tanggung jawab tentu saja ada di tangan manusia, sebagai pihak yang telah menciptakan mereka. Setiap tindakan ada konsekuensi, ada satu pertanyaan raksasa lagi yang bikin manusia mikir dua kali – yakin mau nyelametin makhluk-makhluk yang secara insting menjadikan manusia sebagai menu sarapan, makan siang, dan tak ketinggalan makan malam mereka?

Jurassic World: Fallen Kingdom tampak seakan bersiap membuka ruang diskusi bertajuk debat antara ketamakan melawan tanggungjawab. Karena hal tersebutlah yang menjadi motivasi para tokohnya. Claire (segala kekacauan dinosaurus itu jadi terlupakan demi ngelihat Bryce Dallas Howard), mengambil alih posisi tokoh utama kita kali ini, aktif dalam organisasi pecinta alam yang ingin menyelamatkan dinosaurus sebagai bagian dari makhluk hidup. Berhasil mendapat sponsor keuangan dari seorang bapak tua yang sakit-sakitan di rumah gedongannya, Claire membujuk Owen (kenapa dia begitu kocak? Tentu saja karena dia adalah Chris Pratt) untuk mengadakan ekspedisi penyelamatan ke Isla Nublar. Maksud hati kerja sama tiga orang ini adalah menyelamatkan sebanyak mungkin dinosaurus dari pulau yang bakalan banjir lava panas itu, memindahkan mereka ke tempat baru yang aman dan terjamin.

sayangnya cerita tentang dilema moral tadi tak bisa ikut terselamatkan

 

Enggak sampai sepuluh menit malah, pembahasan yang mestinya berbobot tersebut ditinggalkan begitu saja. Ketika tim ekspedisi sampai di pulau, seketika film menjadi aksi kejar-kejaran, dan lewat midpoint, cerita kembali berubah tone; kali ini menjadi semacam monster thriller di ruang sempit. Claire dan Owen harus mengeluarkan para dinosaurus yang tadinya mereka pikir mereka selamatkan, dari mansion yang diambil alih oleh pihak-pihak yang melelang para dinosaurus dengan tujuan mulia menjadikan mereka sebagai senjata militer. Porsi monster thriller ini bisa saja menjadi keren, karena kita tahu sutradara J.A. Bayona sudah pengalaman bikin thriller di tempat tertutup, yang kita perlukan sekarang adalah hook dan cerita yang menarik. Dari sekian banyak kemungkinan elemen cerita yang berpotensi menarik untuk digali – aku pribadi sebenarnya tertarik mengenai bahwa tidak hanya satu kelompok yang mampu menciptakan dinosaurus – film ini malah kembali mengeksplorasi soal penggunaan dinosaurus untuk kepentingan militer. Elemen cerita yang sudah muncul di Jurassic World (2015) dan tidak ada orang yang aku kenal yang menganggap cerita tersebut keren. I mean, ceritanya begitu gak make-sense, sebab tidak dalam dunia manapun kita menemukan militer melatih binatang cerdas untuk berperang, let alone langsung loncat ke milih dinosaurus.

Dinosaurus. Dinosaurus. Dinosaurus. Lebih dari menyelamatkan mereka, film tampak berusaha begitu keras menempatkan mereka semua di wajah kita just so they could ‘save’ them for more films. Aku mengerti ketika kita membuat film tentang dinosaurus, seketika dinosaurus menjadi hal yang esensial. Filmnya harus punya dinosaurus, karena itulah yang ingin dilihat oleh penonton.  Tapi film sesungguhnya adalah bagaimana cara menceritakan tentang sesuatu tersebut, dalam hal ini dinosaurus. Fallen Kingdom penuh dengan sekuen manusia lari terbirit-birit dikejar oleh dinosaurus buas, tetapi tidak ada yang terasa memorable karena diolah dengan mentah tanpa build-up. Satu-satunya obat pada film ini adalah arahan dan perspektif dari sang sutradara dalam menampilkan adegan-adegan yang bikin bulu kuduk meremang. Tapi pada dasarnya film ini adalah lima belas menit terakhir The Lost World: Jurassic Park (1997) yang dipanjangin hingga mengisi sebagian besar durasi dua-jam. Film Jurassic Park, sebagai perbandingan, setiap sekuen yang mengandung si T-Rex dibuat dengan benar-benar ngebuild up si monster sendiri, kita melihat dia di kandang, lepas dari kandang, hingga ke shot ikonik T-Rex mengaum di museum, mereka tidak sekadar memejeng dinosaurus di layar, ada pembangunan cerita yang terasa intens, yang membendung antisipasi dan kengerian kita terhadap T-Rex. Pada The Lost World juga begitu, dari trailer yang menggantung, ke kejaran dua ekor T-Rex, ke bayinya, ke kota-kota, mereka tidak hanya muncul. Ada terasa seperti tahapan yang menghimpun kengerian dan akhirnya memuncak menjadi sekuen atau adegan yang mengesankan. Hal seperti demikian tidak kita temukan pada Fallen Kingdom. Adegan-adegannya ya tampak datar, mereka hanya menunjukkan dinosaurus. Yang mana semakin terasa mengecewakan karena mereka kini bekerja dengan teknologi CGI dan animatronik yang semakin memadai dan meyakinkan. Selain Blue si Raptor baik, mereka enggak benar-benar ngebuild up keberadaan para dinosaurus.

Ankylosaurus itu sepertinya dibeli Indonesia untuk membantu perbaikan jalan

 

Ada beberapa gambar yang impresif. Secara directorial, film ini lebih baik dri Jurassic World yang kamera asal ngerekam yang penting gambarnya keren punya. Hanya saja lebih seringnya, film ini melakukan shot-shot yang visually dipersembahkan untuk nostalgia film Jurassic Park terdahulu.  Tanpa diback up oleh pembangunan cerita, throwback yang begitu in-the-face itu malah jatoh datar dan tidak benar-benar ngefek membuat film menjadi berbobot. Adegan tim ekspedisi melihat Brontosaurus, misalnya. Tubuh cerita film ini tampak begitu mirip dengan The Lost World; paruh pertama di hutan, paruh terakhir di hunian manusia. Bahkan ada beberapa adegan yang mirip sama adegan di Jurassic Park III (2003). Dosa terbesar film ini, sebagai bagian dari trilogi Jurassic World, bagaimanapun juga adalah ketidaksinambungan cerita yang muncul lantaran trilogi ini sendiri tidak mengacknowledge kejadian di Jurassic Park 2 dan 3. Hal ini membuat karakter yang muncul kembali serta aspek cerita yang dihadirkan tampak ‘aneh’. Jika gunungapi Isla Nublar mau meletus, kenapa repot-repot nyari tempat mindahin dinosaurus, ampe ke pemukiman manusia segala – kan bisa dikembalikan ke Isla Sorna saja, yang sudah kita semua ketahui dari Jurassic Park terdahulu tidak memiliki gunung berapi.

Ketamakan pangkal kepunahan. Tamak yang sesungguhnya adalah ketika kita mengeksploitasi sesuatu demi kepentingan sendiri, sehabis-habisnya, dan ketika sesuatu yang kita usahakan tersebut berbalik menjadi sesuatu yang salah, kita berpaling mangkir dari tanggungjawab terhadapnya.

 

Bukan berarti film ini menajamkan karakter manusianya. Mereka dibuat sama blandnya dengan para dinosaurus maupun dengan cerita. Jika disebut “Jurassic Park”, maka yang terlintas pertama kali di pikiran kita pastilah dinosaurus, tapi percakapan dan yang dilakukan oleh tokoh manusianyalah yang membuat film tersebut menjadi berbobot. Kita melihat Dr. Grant membuang artefak kuku Raptor sebagai simbol dia move on dan lebih memilih keluarga. Tidak ada yang seperti demikian pada Fallen Kingdom. Sebagai tokoh utama, Claire diolah dengan lebih baik daripada saat di Jurassic World. Dia membuat pilihan besar, tetapi beberapa detik kemudian film memutuskan untuk menegasi pilihannya tersebut. Kemampuan tokoh ini pun sepertinya diturunkan. Aku tidak mengerti kenapa dia yang mantan operator taman musti balik ke taman yang sama ditemani oleh anak baru yang mengoperasikan komputer segala macem unuknya. Bicara tentang anak baru tersebut, cowok ini adalah tokoh paling annoying di sepanjang film. Dia muncul teriak-teriak panik doang, dia takut pada semua hal; ketinggian, T-Rex, komentar cerdasnya adalah bahwa lava itu panas. Jelas dia dimasukkan untuk komedi, namun yang bikin kita gagal paham adalah kenapa film ini menganggap dia lucu, kenapa dengan adanya Chris Pratt di jajaran cast mereka, film masih perlu menggali komedi dengan cara yang annoying seperti ini.

Owen di tangan Chris Pratt memang tampak keren, dia salah satu yang bikin kita betah nonton film ini. Relasinya dengan Blue akan membuat kita semua kangen sama binatang peliharaan kita di rumah. Porsi drama, komedi, dan aksi berhasil dia tackle dengan sempurna. Sayangnya, tokoh Owen tidak berkembang sama sekali. Sejak awal kemunculan, dia tampak tak berubah dari film pertama. Saat film ini berakhir pun, dia masih orang yang sama. Dia tidak belajar apapun, dia tidak berkembang ke manapun. Begitu juga dengan tokoh antagonis manusia dalam film ini; dibuat begitu satu dimensi, penjahatnya adalah bos corporate yang hanya mau uang, that’s it. Ada tokoh anak kecil yang diungkap punya background menarik. Treatment terhadap si anak dengan dinosaurus yang dilakukan oleh film, ada satu adegan di mana pantulan wajah si anak di kaca seolah menyatu dengan wajah Indoraptor, membuat kita berteori seru begitu selesai menyaksikan film ini. Aku banyak mendengar bahwa orang-orang menganggap film ini terlalu ‘sadis’ dan gelap buat penonton cilik, dan aku gak setuju. Fallen Kingdom justru tampak jinak, beberapa adegan pemangsaan tampak dibuat ditahan-tahan, apalagi kalo bukan demi mencapai rating tayang yang lebih ringan.

 

 

Sama seperti manusia yang berusaha melakukan tindakan yang mulia namun pada akhirnya kita melakukan lebih banyak hal yang salah ketimbang yang benar, film ini pun hanya terselamatkan dari ‘kepunahan total’ berkat kemampuan dari sang sutradara. Ada beberapa momen yang fun, film ini masih cocok untuk ditonton seru-seruan waktu liburan, tapi tidak akan pernah berbekas lama. Karena screenplay film ini benar-benar berantakan. Teramat sangat datar, tokoh-tokohnya tidak banyak perkembangan, hingga film ini tampak tak menimbulkan kesan yang berarti. Hanya seperti filler menjelang cerita yang sebenarnya yang ingin mereka ceritakan tentang bagaimana dinosaurus akhirnya dimanfaatkan manusia untuk kehidupan rakyat banyak.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SOLO: A STAR WARS STORY Review

“Trust is a two way street”

 

 

Terserah kita, sebagai penonton yang terhanyut oleh petualangan luar angkasa ketika menonton Star Wars original, mau milih pengen kuat kayak Luke Skywalker atau mau sekeren Han Solo. Buatku, jawabannya selalu adalah Han Solo. Dia lucu, jago nembak dan nerbangin pesawat, dan dia sombong akan hal tersebut. Sesuatu yang hebat pada tokoh ini adalah gimana dalam skenario cerita fantasi yang larger-than-life itu dia terasa seperti orang biasa yang lagi nongkrong di planet nun jauh di sana. Han bukan pejuang Jedi, dia hanya seorang penyelundup barang. Tapi melihat dari teman gaulnya yang monster berbulu, kita tahu Han Solo sudah melewati banyak petualangan seru; yang membuat tokoh berandal ini lebih menarik ini.

Jadi, tentu saja natural bagi studio yang punya hak nyeritain kisahnya pengen menggali lebih banyak soal petualangan solo dari seorang Han Solo. Dan setelah melalui banyak kemelut produksi, bolak-balik diarahkan banyak orang sebelum akhirnya Ron Howard mendapat kredit final sebagai sutradara, film yang memperlihatkan kepada kita seperti apa Han Solo sewaktu masih muda akhirnya mendarat juga. Sebagai sebuah aksi petualangan, film ini sangat exciting. Akan ada banyak adegan kejar-kejaran dengan kendaraan yang hanya bisa kita bayangkan, entah itu ketika Han melarikan diri atau mau menyelamatkan sesuatu, dengan keseruan yang terbangkit oleh menit-menit terakhir skill kenekatan Han Solo yang beruntung itu menunjukkan tajinya. Adegan di kereta api dan adegan kabur dari monster dengan Millennium Falcon itu sungguh luar biasa menyenangkan. Ya, dengan serunya film ini akan memberikan jawaban seputar kehidupan awal dari Han sebelum adegan pertama di Star Wars episode IV (1977), tentang bagaimana dia bisa berteman dengan Chewbacca, asal usul dirinya bisa berada di balik kursi pilot pesawat angkasa paling ngehits di dunia – Millennium Falcon – yang tentu saja kita juga akan melihat interaksi Han dengan Lando Calrissian. Kita akhirnya akan melihat langsung peristiwa menarik gimana tepatnya Han memenangkan Millennium Falcon dari taruhan dengan Lando. Pretty much apa yang kita suka dari karakter Han Solo, kesombongannya, skillnya, keberuntungannya, akan diangkat dalam film ini.

dan ada droid yang mendambakan kesetaraan hak antara mesin dengan manusia hihihi

 

 

Yang sering luput dari pembicaraan rangorang ketika ngegosipin Han Solo adalah mengenai sikapnya yang suka jengkel dengan ketidakkompetenan makhluk di sekitarnya. Selain kocak, jago, tengil, dan segala macam sikapnya yang charming tersebut, Han Solo cukup ‘galak’ ketika ada orang yang tidak melakukan sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Ada banyak kejadian yang menunjukkan trait karakternya ini dalam film-film Star Wars terdahulu, seperti misalnya ketika Han bete ngejelasin cara kerja Force kepada Rey dan Finn di Star Wars The Force Awakens, “That’s not how the Force works!”. Han Solo punya sedikit superiority complex, namun dia susah mengekspresikannya oleh sebab deep inside, dia adalah orang yang lebih memilih untuk rileks dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dalam Solo: A Star Wars Story inipun aspek karakter itu nyaris lupa diangkat. Film actually mengerti, mereka mengolah cerita dengan tema kepercayaan terhadap orang lain, yang berusaha mereka sangkutkan dengan sikap grumpy Han terhadap orang sekitar, like, lewat film ini kita akan mengerti kenapa Han Solo lebih suka bertindak sendiri – atau paling enggak kenapa dia hanya percaya berat kepada Chewie.  Hanya saja, aspek ini dimainkan oleh film dengan datar, lebih kepada sebagai komedi dan tidak benar-benar membuat aspek ini sebagai kedalaman yang berarti bagi si tokoh sendiri.

Dibesarkan di bawah naungan geng bandit di pipa-pipa bawah tanah menjadikan Han Solo punya insting untuk selalu bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, apa yang ia lakukan lebih sering mengharuskannya untuk mempercayai diri sendiri, berimprovisasi tidak menurut sama perintah. Konflik inilah yang membebani Han Solo pada hari-hari awal petualangannya. Kepercayaan adalah jalan dua-arah. Simpelnya, jika kita tidak percaya kepada orang lain, maka pada gilirannya, mereka pun akan mengalami kesusahan untuk mempercayai kita. Han Solo pada akhirnya membuat perhitungan ini menjadi lebih sederhana lagi; dia memasukkan keberuntungan dalam ekuasi yang harus ia percaya.

 

 

Sebenarnya Solo ini dapat menjadi cerita yang menarik, dengan pertimbangan bahwasanya ia adalah cerita yang tidak benar-benar harus terkait langsung dengan trilogi original. Akan tetapi, jika kita menggarap sebuah prekuel dari cerita yang sudah dikenal luas, maka akan selalu ada tuntutan – akan selalu ada beban, lantaran cerita yang sedang kita bikin sudah tertambat oleh cerita yang lain. Mau tak mau kita harus mengembangkan cerita baru ini ke arah yang orang sudah tahu, dan jika ada beda dikit aja, kesinambungan cerita gedenya akan terganggu. Dan kalo sudah begitu, siap-siap menghadapi celotehan protes terutama dari para fans. Yang mau aku bilang adalah, butuh nyali untuk menggarap prekuel. Yang sayangnya, nyali ini tidak aku temukan dalam film Solo.

Jarang sekali film ini membahas dalem tentang Han Solo itu sendiri, meskipun kalo mikir logika ini adalah cerita tentang dirinya. Kita hanya melihat petualangan demi petualangan, tanpa ada bobot karakter di dalamnya. Film ini secara berhati-hati membuat kejadian, sehingga jika kita nonton film ini kemudian dilanjutkan dengan film Star Wars yang pertama, tidak ada cerita ataupun interaksi tokoh yang terasa janggal. Tidak ada kontinuitas yang dicoreng. But at the same time, apa yang film ini accomplished regarding tokoh Han Solo itu sendiri; nol besar. Han Solo tidak diberikan aspek yang baru kita lihat, dengan lain kata; tidak ada development. Mereka hanya mengeksplorasi hal-hal yang ingin kita minta, yang mana membuat film ini terasa seperti fans service semata, tanpa menempuh resiko apa-apa. Seolah mereka sebenarnya tidak punya sesuatu yang ingin diceritakan lagi dari Han Solo sebagai seorang karakter, selain petualangan-petualangan itu.

Salah satu alasan Harrison Ford menginginkan Han Solo meninggal di Return of the Jedi adalah karena dia merasa karakter ini enggak punya banyak kedalaman sehingga dengan membuatnya melakukan pengorbanan, Han Solo bisa mendapat peningkatan karakter. Dan kita melihat keinginan Ford ini dikabulkan pada The Force Awakens, dan kita bisa rasakan sendiri gimana kematian itu menambah banyak bagi Han sebagai seorang karakter. Dia jadi punya sesuatu yang lebih dalam untuk kita rasa. Dalam Solo kali ini, sayangnya, tokoh Han Solo tidak berusaha untuk digali lagi. Plot tokohnya tipis. Tidak banyak ruang gerak yang diberikan kepada Alden Ehrenreich untuk menerbangkan karakter ini. Dia hanya senyum smug, ngedipin sebelah mata, nunjuk-nunjuk, seperti yang dilakukan oleh Han Solo yang kita kenal. Sepatu yang ditinggalkan oleh Harrison Ford buat tokoh ini adalah sepatu yang besar, dan arahan cerita yang tidak berani mendorong batasan ini membuat Han si Alden tampak tak lebih dari seperti parodi dari Han Solo yang asli. Interaksi Han Solo dengan tokoh-tokoh yang lain pun terasa terbatas. Dia punya hubungan romansa dengan cewek dari masa kecilnya yang turns out menjadi salah satu elemen gede dalam cerita (yang tampaknya berlanjut ke sekuel). Han diberikan tokoh mentor yang ngajarinnya soal dunia selundup-selundupan, tapi sama sekali tidak tampak seperti demikian, mereka malah tampak seperti teman satu tim. Dengan Lando dan Chewie-lah, film menemukan titik terang. Donald Glover sebagai Lando adalah pilihan yang tepat, dia tidak tampak bermain menjadi seperti aktor  lain yang memainkan tokoh Lando, dia memberikan sentuhan lain buat karakter yang kita kenal ini.

“This is Sabbac, don’t catch you slippin’ now”

 

 

 

Bukan berarti ini adalah film yang jelek. Aku sendiri enggak akan ragu untuk nonton ini dua kali. Adegan-adegan aksi petualangannya seru, film ini tahu cara ngebuild stake sehingga membuat para tokoh utama kelihatan menghadapi sesuatu yang actually bisa gagal. Hanya saja film ini mengecewakan karena tidak berani mengembangkan sesuatu yang baru. Alih-alih punya cerita Han Solo yang ingin digali, membuatnya semaki dalem sebagai sebuah karakter, film lebih memilih untuk sekedar memperlihatkan asal muasal adegan-adegan yang kita tahu. Tanpa menempuh resiko. One way or the other, apa yang mereka lakukan di sini membuat aku percaya kepentingan eksistensi film ini tak lebih dari sekadar karena uang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SOLO: A STAR WARS STORY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

READY PLAYER ONE Review

“Reality is broken, game designers can fix it.”

 

 

Kita berkomunikasi dengan studio film, dengan Hollywood, melalui dompet kita. Mereka mendengarkan kita dari apa yang terjadi kepada Wreck-it-Ralph, Deadpool, It, Stranger Things. Dan Scott Pilgrim, yea, film ini meminjam cukup banyak dari penyelesaian dan aspek pada Scott Pilgrim. Tayangan yang populer selalu adalah tayangan yang berakar kuat pada rerefensi dan nostalgia. Tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi kesenangan melihat hal-hal yang kita sukai dihidupkan kembali. Dan tanpa pake loading keraguan lagi, Ready Player One adalah salah satu film paling nerd yang pernah dibuat. Dalam hatiku teriak-teriak senang sepanjang film ini demi ngeliat referensi demi referensi berseliweran. Video game, anime, kartun, film, segala pop-culture terutama dari tahun 1980an senantiasa menghiasi layar setiap framenya, sehingga aku jadi capek sendiri.

Mengambil tempat di kota Columbus di masa depan, Ready Player One melandaskan dunia yang sudah demikian canggih teknologi gamenya sehingga orang-orang, bukan hanya remaja kayak Wade Watts, lebih suka untuk log in dan menjalani kehidupan mereka di dalam Oasis, sebuah semesta virtual reality di mana kita bisa menjadi siapapun, berkekuatan apapun yang kita mau. Oasis diciptakan oleh seorang gamer yang sangat jenius, namun begitu eksentrik sehingga menjadi misterius (bayangkan perpaduan antara Steve Jobs dengan Willy Wonka). Sebelum meninggal dunia, si pembuat ini merancang permainan terakhir di dunia Oasis, di mana dia menyembunyikan tiga kunci entah di mana di dalam jaringan game-game tersebut. Tiga kunci yang jika ditemukan akan menghantarkan pemain mendapatkan telur emas, berupa kontrak yang akan membuat si pemenang sebagai satu-satunya orang yang mendapat kontrol penuh atas Oasis. Tak terhitung jumlahnya gamer yang mencoba memenangkan tantangan ini. Wade, sejumlah temannya, wanita misterius beruser name Art3mys, dan petinggi perusahaan virtual reality yang culas adalah beberapa dari yang menginginkan Oasis untuk kepentingan mereka.

gg, noob, gg.

 

Tentu saja Ready Player One akan sangat luar biasa dari segi visual. Sekuen aksi-aksinya dazzling gilak! Sepertinya tidak ada yang bisa mengalahkan Steven Spielberg dalam memfilmkan suatu adegan sehingga perspektifnya terasa begitu menganggumkan. Bagian balap-balap di sekitar awal film itu adalah bukti yang bisa kita lihat dengan mata kepala langsung. Apa yang mau ia tampilkan kelihatan semua tanpa membuat kita keluar dari konteks sudut pandang tokoh utama, scene blocking yang luar biasa. Dan betapa cepatnya semua itu terjadi, beberapa shot tampak mulus melebus menjadi satu. Belum lagi penggunaan musik dan efek suara yang bertindak lebih dari sekadar latar belakang. Segala teknik filmmaking master itu bisa kita saksikan sepanjang film ini bergulir. Spielberg juga paham dia tidak harus terlalu mengikuti buku ketika mengadaptasi jadi film, lihat saja Jurassic Park nya. Spielberg tahu dia harus melakukan penyesuaian, dan itu pula yang ia lakukan pada film ini. Pembaca bukunya akan menemukan beberapa adegan tambahan yang tidak ada pada source asli dan itu hanya membuat pengalaman menonton menjadi semakin mengasyikkan. Memang, film ini tetap terlalu panjang, babak tiga terasa sedikit diulur-ulur, tapi menurutku masalahnya terletak kepada penokohan yang memang tidak semenakjubkan teknis dan pengalaman sinematis yang disuguhkan filmnya.

Reperkusi dari banjir referensi pop-culture yang kita temukan sepanjang film adalah, filmnya sendiri akan terasa bergantung oleh hal tersebut. Kita akan gampang terbiaskan demi melihat Batman, Ryu, The Shining, motor Akira, Iron Giant, dan banyak lagi, bergantian muncul di layar. Aku gak akan bohong aku terkekeh-kekeh menyaksikan mereka semua. Namun aku juga gak akan bohong, referensi-referensi itu pada akhirnya terasa hambar. Mereka sekilas lewat saja. Sementara yang sebenarnya kita butuhkan adalah koneksi emosional yang bertahan lama, yang membuat kita memikirkan para tokoh cerita.

Secara singkat, beberapa adegan menunjukkan kepada kita kehidupan rumah Wade (Tye Sheridan cocok sekali sebagai nerd yang penyendiri). Dia tinggal bareng bibi dan pacar bibinya yang abusif. Dari momen-momen ringkas itu kita tahu bahwa Wade tidak bahagia hidup bersama mereka, rumahtangga mereka penuh kekerasan dan ancaman, sehingga tentu saja kehidupan di dalam dunia video game menjadi alternative menyenangkan buat Wade. Dia lebih betah sebagai Parzival di Oasis. Nah, karakternya di dalam sinilah yang hampir sama aja dengan gak ada. Parzival enggak mau bikin klan, tapi toh dia punya beberapa orang teman yang rela membantunya menyelesaikan misi di game. Parzival pun bertemu Art3mys (Olivia Cooke main keren banget di sini), dan seketika ia jatuh cinta. Terasa sangat diburu-buru, namun aku bisa mengerti kenapa harus dibuat seperti itu. Wade sangat butuh kasih sayang. Dia dengan cepat ‘jatuh cinta’ kepada gadis pertama yang memberikan perhatian lebih kepadanya, meski mereka belum pernah bertemu, karena sebenarnya itu adalah jeritan minta tolong dari Wade atas betapa mengerikan hidupnya yang asli.

Wade, dan orang-orang yang tinggal di Oasis menggunakan sosok avatar untuk reach out dan mendapatkan teman, sebagai simbol dari kepercayaan diri. Sesuatu yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata. Film ini mengeksplorasi kenyataan yang lebih dekat dari yang kita duga; di mana sekarang pun, sosial media dan internet memberikan kesempatan penggunanya – yang kebanyakan adalah anak muda yang masih begitu insecure – untuk mengekspresikan emosi terdalam mereka dalam penyamaran identitas avatar. Tentu saja ini bisa berarti bagus, karena kepercayaan diri yang mereka develop di dunia virtual itu bisa saja terbawa ke diri mereka di dunia nyata. Namun, seseorang harus menyadari bahwa untuk melakukan hal tersebut sesekali dia harus terjun ke dunia nyata, log out dari sosial media, untuk berinteraksi dan sosialisasi beneran. Karena sungguh sebuah hal yang menyedihkan jika kita hanya hidup dan penting di dunia maya.

aku kasihan sih sama adekku, kalo main game bareng, mana pernah dia jadi player one hhihi

 

Dunia yang begini besar tentu akan membutuhkan penjelasan. Dialog-dialog eksposisi memang tidak terhindarkan dalam film ini, karena akan selalu ada peraturan yang harus dijelaskan, ada sistem yang kudu dilandaskan. Namun kupikir semestinya film bisa menggarapnya dengan lebih baik lagi. Lima belas menit awal yang kita dapatkan di sini sungguh berat oleh narasi yang memaparkan alih-alih memperlihatkan. Wade akan menjelaskan Oasis kepada kita, padahal toh dia melakukan itu sambil berjalan di sepanjang daerah tempat tinggalnya. Di mana kita melihat orang-orang sedang log in ke dalam virtual reality tersebut. Kita melihat bocah kecil jadi petinju, seorang ibu rumah tangga jadi penari, pesan yang ingin disampaikan cukup jelas – bahwa dalam Oasis semua orang bisa menjadi apapun yang mereka mau, tetapi tetap saja kita mendengar penjelasan itu dari mulut Wade. Seringkali, dialog-dialog penjelasan seperti ini dihadirkan seolah film menganggap penontonnya bego dan tidak mengerti jika tidak dijelaskan benar-benar.

 

 

 

Video game sejatinya dibuat untuk dimainkan bersama-sama. Menjadikannya sebuah pelarian, sebagai media untuk menyendiri, supaya menang sendiri, jelas sebenarnya adalah sebuah penyalahgunaan. Film ini pada puncaknya berusaha menyampaikan pesan bahwa bergerak bersama, sebagai sebuah tim, sebagai sebuah kesatuan dari lingkaran sosial, adalah kemampuan yang semestinya kita pelajari. Sebuah skill yang mestinya diasah. Sebuah klasik Spielberg yang sangat menyenangkan, meriah oleh referensi pop culture dari 80an, yang semestinya bisa bekerja dalam level yang lebih dalam lagi jika para tokohnya dieksplorasi dengan sama menakjubkannya dengan unsur-unsur teknis yang dimiliki oleh penceritaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY PLAYER ONE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PACIFIC RIM: UPRISING Review

To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.”

 

 

Jake Pentecost bukan ayahnya. Dia tidak mau dipandang tinggi karena nama ayahnya, yang sudah mengorbankan nyawa sebagai pilot dalam perang Jaeger – Kaiju sepuluh tahun yang lalu. Meski toh Jake juga punya kemampuan besar dalam mengendarai Jaeger; mech weapon yang dioperasikan oleh dua orang dengan saling mengsinkronisasi otak, namun Jake tidak mau bergabung dengan militer yang ia anggap sebagai tak ubahnya penjara. Jake hanya mau hidup senang, mumpung dunia sudah damai. Tidak terdengar lagi serangan Kaiju – monster raksasa kiriman alien lewat celah di lingkaran Samudra Pasifik. Demi memperkukuh statusnya sebagai ‘pemberontak’, Jake hobi menjual parts dari Jaeger kepada preman-preman penadah. Dalam salah satu ‘misinya’ tersebut, Jake bertemu dengan cewek remaja 15-tahun yang jenius, yang bisa membuat Jaeger mini dari rongsokan Jaeger beneran. Mereka berdua akhirnya direkrut (secara paksa jika dilihat dari sudut pandang Jake) oleh pihak militer. Dan sekarang Jake harus memimpin pilot-pilot Jaeger yang sebagian besar masih sangat muda melawan serangan tak-terduga dari Kaiju, yang kini juga bisa mengendarai Jaeger!

Jake Pentecost bilang “aku bukan ayahku”. Setiap dari kita bukan orang lain. Percaya pada kemampuan diri sendiri. Setiap orang adalah pilot dari kendaraan hidupnya, sebagai bagian dari keluarga

 

Steven S. DeKnight bukan Guillermo del Toro. Ketika pada film pertamanya, Del Toro delivering pertarungan mech melawan monster yang exciting namun sedikit kosong pada sisi kemanusiaan. Maka pada film kedua ini, DeKnight mengambil alih, dan dia berusaha memaksimalkan pengkarakteran tokoh manusia, terutama pada dua tokoh lead – Jake Pentecost dan si cewek remaja, Amara Namani. Tapi usahanya tersebut bukan tanpa cacat, karena Pacific Rim: Uprising punya niat mulianya tersendiri. Yakni menjadi sebuah brand. Mau nyaingin Transformers, mungkin. Dan mereka enggak berniat bikin lebih baik dari franchisenya Michael Bay tersebut. Usaha ngeflesh out karakter yang menurutku pada babak awal lumayan meyakinkan, malah jadi terkesampingkan karena begitu build up itu beres, film berubah menjadi tak lain tak bukan non-stop aksi Jaeger melawan Jaeger, Kaiju, dengan pengkarakteran yang dipaksa masuk dengan kasar di sana sini lewat flashback saat para tokoh berusaha menyeleraskan otak mereka.

John Boyega bukan Idris Elba. Walaupun sama-sama likeable dan kharismatis, namun John Boyega lebih ke komedi. Sebagai Jake, pada film ini dia punya range emosi yang jauh, namun penulisan lebih menekankan porsinya ke komedi yang bikin kita nyengir karena lebih sering daripada enggak, tingkah Jake pada film ini menyerempet ke batas-batas memalukan. Jake akan sering menyebutkan betapa tampan dan sempurna struktur wajahnya, actually ini jadi running jokes di film, namun yang membuatnya jadi tampak awkward adalah dia nyebutin itu ke Amara yang masih lima-belas tahun, yang buatku malah tampak aneh. Jake juga sering nyebutin gimana partner pilot Jaegernya juga berwajah ganteng dan seksi. Ini dimainkan sebagai komedi, namun punchlinenya tidak efektif sehingga malah bikin nyengir daripada ngakak. Penampilan terbaik di sini datang dari pendatang baru Cailee Spaeny yang jadi Amara. Cewek ini sangat charming, bahkan ketika dia seharusnya menjadi karakter yang annoying buat Jake. Cailee membuatku teringat sama Britt Robertson waktu masih muda, aku excited untuk melihat penampilan Cailee pada film-filmnya setelah ini, karena menurutku cewek ini punya masa depan yang cerah dengan penampilan akting seperti yang ia tampilkan di sini. Sikap antusias Amara ketika dia pertama kali menjejakkan kaki di markas militer, ketika ia melihat Jaeger-Jaeger terkenal yang ‘terparkir’dengan mata kepalanya langsung, benar-benar terasa mewakili antusias kita para nerd melihat robot-robot.

nerd mana sih yang gasuka diwakili cute girl seperti Amara

 

Baik Jake maupun Amara diberikan kesempatan untuk ngeredeem diri mereka masing-masing. Cerita cukup bijak untuk membuat mereka melakukan sesuatu yang menjadi bagian dari apa yang menghantui diri mereka; Amara diberikan kesempatan melompat seperti yang tidak sempat ia lakukan saat masih kecil. Sedangkan Jake diberikan kesempatan untuk menangkap seperti yang dulu pernah gagal ia lakukan. Hanya saja usaha untuk memperkuat karakter pada film ini, terasa sangat dikalkulasi. Hampir terasa seperti film benar-benar memberi petunjuk atas mana bagian untuk karakter development, mana bagian untuk aksi. Ditambah tidak membantu lagi oleh cepatnya pace cerita yang membuat kita tidak yakin ini cerita tentang apa sih sebenarnya. Seharusnya ini adalah cerita tentang gimana dunia menata kembali hidup setalah serangan Kaiju, tapi bagian menata kembali tersebut dengan cepat terlupakan. Aku personally tidak akan menolak jika kita dapat tentang Jake yang melakukan hal yang tak ingin ia lakukan – ada momen menarik di mana dia mendukung Shao Industry yang ingin meluncurkan Jaeger tanpa pilot yang mana akan membuat pilot-pilot militer kehilangan pekerjaan, hanya supaya ia bisa kembali ke kehidupan jalanan yang bebas dan lepas. Tapi cerita ini ditumpangtindihkan dengan berbagai subplot yang diselesaikan dengan cepat, seperti cerita Amara sebagai anak baru yang merasa dirinya doesn’t belong there. Terutama sekali, hal ini disebabkan oleh film yang tidak ingin menjadi lebih dari sekadar film Jaeger melawan Kaiju. Apa yang berpotensi menjadi cerita emosional, hanya berujung menjadi cerita sesimpel yang biasa kita temui dalam film kartun untuk anak-anak. Ada cerita tentang pemanfaatan darah Kaiju yang mengancam populasi manusia, tapi pada akhirnya hanya gimana cara mengalahkan Kaiju yang jadi persoalan.

Setengah paruh akhir film adalah aksi tarung, yang tentu saja seru melihat makhluk-makhluk raksasa bertarung dengan senjata dan teknik masing-masing. Tetapi toh akan bosan juga melihat robot dan monster dilempar menghancurkan gedung-gedung. Film meniadakan dampak begitu saja sehingga kita tidak lagi menganggap serius apa yang kita saksikan. Pada satu pertempuran, sebuah Jaeger menggunakan sinar plasma yang mengikat mobil-mobil, menjadikan mereka semacam bola untuk dilempar sebagai senjata menumbuk Jaeger jahat. Tidak pernah ada usaha untuk memastikan, atau mengangkat dampak dari perbuatan ini; apakah ada orang di dalam mobil-mobil tersebut, ada berapa orang yang jadi korban di sana. Akan ada banyak adegan seperti demikian pada Pacific Rim: Uprising di mana kita diminta untuk tidak peduli dan tidak menggunakan akal sehat dan nikmati saja. Dan sebagaimana film-film blockbuster, film ini juga berusaha tampil hits dengan masukkan twist pada satu tokohnya. Demi menjaga spoiler, aku gak akan bilang tepatnya apa, tapi tokoh yang diperankan komedian Charlie Day akan membuat kita tertawa, karena beberapa bagian memang diniatkan untuk lucu-lucuan, namun eventually film melakukan hal lain dengan karakter ini dan tetap saja membuat kita tertawa padahal sudah tidak semestinya lucu, karena apa yang dilakukannya betul-betul malu-maluin.

Saat kita yang paling kecil di antara yang besar-besar, film menyarankan kita untuk menjadi yang terpintar di sana. Kadang kita harus bisa untuk outsmarted the situation. Menggunakan berbagai resources untuk menjawab tantangan. Karena tidak ada gunung yang terlalu tinggi, pandai-pandainya kita aja gimana harus mendaki

 

Ada satu shot saat lokasi cerita ada di Jepang yang nunjukin patung Gundam. Adalah hal yang bagus mereka memasukkan tribute spesifik untuk robot asal Jepang tersebut, namun akan jadi lebih bagus lagi jika mereka juga ‘meniru’ apa yang membuat Gundam begitu fenomenal. Gundam bukan semata soal robot mech yang bertempur di luar angkasa, bukan sekedar ledakan tak berarti. Tema gede dari Gundam adalah horor dan penderitaan yang disebabkan oleh perang. Pertempuran robot hanyalah lapisan terluar yang anggaplah sebagai bonus dari penceritaan yang menarik. Pacific Rim: Uprising, semuanya tentang lapisan terluar. Film ini mengerti bagaimana mengadegankan sekuens aksi yang menghibur, hanya saja tidak ada apa-apa di balik permukaannya. Beberapa penonton mungkin akan terhibur, tapi sebagian besar waktu, film ini tak lebih dari usaha agresif  mengapitalisasi sebuah brand yang baru.

Scrapper ngingetin aku sama Acguy di game Gundam

 

 

 

Benar-benar film studio dengan ledakan tanpa seni di dalamnya. Jika kalian hanya peduli monster dan robot berantem dengan spesial efek yang keren, kalian akan bersenang-senang dengan film ini. Jika kalian ingin sesuatu yang bisa membuat kalian peduli dan menonton sesuatu yang actually punya maksud dan kedalaman, film ini tidak akan memuaskan tuntunan kalian.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for PACIFIC RIM: UPRISING

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

A WRINKLE IN TIME Review

“The best way to gain self-confidence is to do what you’re afraid to do.”

 

 

Sebagaimana kita tidak bisa menilai film gitu aja dari trailernya, betapapun kecewanya, aku tidak bisa mengatakan A Wrinkle in Time sebuah film yang buruk semata karena lagu Scar to Your Beautiful nya Alessia Cara yang udah bikin trailer film ini terasa empowering, sama sekali tidak ditemukan di actual filmnya. Akan tetapi, petualangan fantasi anak-anak terbaru dari Disney ini menjelma, dari novel dengan pesan dan pelajaran tentang perbedaan yang kuat menjadi film yang kurang memuaskan untuk alasan yang lain. Dan sebagaimana guru waktu SD dulu suka memuji sebelum menasehati “tulisan tangan kamu bagus ya, tapi…..”aku akan mengulas terlebih dahulu elemen-elemen yang membuat film ini pantas untuk ditonton lantaran ia berbeda dari fantasi kebanyakan (bahkan dari film superhero), supaya A Wrinkle in Time punya kesempatan untuk berjuang.

Beberapa momen di babak awal yang menyangkut keluarga tokoh utama kita, Meg, benar-benar terasa menyentuh. Kehangatan di rumah tangga mereka yang multikultural menguar deras. Kedua orangtua Meg adalah ilmuwan. Meg terutama sangat dekat dengan ayahnya yang berkulit putih. Adegan-adegan emosional nantinya akan banyak melibatkan hubungan ayah dan putrinya ini, dan film melandaskan bibit-bibit tersebut dengan sangat baik. Ayah Meg bereksperimen dengan ide yang menarik seputar bahwa dimensi di alam semesta bisa dilipat umpama kertas sehingga seseorang bisa bertransportasi dari ujung dunia ke ujung satunya lagi, berpindah beribu-ribu tahun cahaya, hanya dalam beberapa detik. Oleh percobaan tersebutlah, ayah Meg menghilang begitu saja. Empat tahun dia tak kembali, padahal namanya bukan Bang Toyib. Peristiwa ini sangat mempengaruhi Meg. Seketika dia menjadi tertutup, kepintarannya tak lagi cemerlang, hubungan sosialnya meredup – ia jadi dibullly teman-teman di sekolah. Semua aspek karakter Meg ini ditangkap dengan otentik oleh cerita, membuat aku merasa kasihan kepadanya. Meg terlibat masalah di sekolah, dia tidak lagi konfiden bergaul karena selalu memikirkan sang ayah. Sampai ketika tiga wanita aneh bertandang ke halaman belakang rumahnya. Mereka mengajak beserta adik dan cowok teman sekelas Meg mengarungi dimensi dunia demi mencari ayah Meg yang kemungkinan besar masih hidup di suatu tempat di pelosok semesta.

Setiap kita pernah takut untuk menjadi diri sendiri. Ragu untuk berdiri demi keyakinan sendiri. Padahal di dunia yang penuh warna-warni, kita paling tidak boleh untuk kehilangan jati diri. Karena jika cantik  itu luka, maka sebaliknya kita bisa mengenali kekurangan yang dimiliki dan menjadikannya sebagai kekuatan.

 

Film bekerja dengan ketulusan dan genuine maksimal pada titik terendah hidup Meg – saat dia harus berurusan dengan kehilangan dan kekecewaan mendalam yang tak ia tunjukkan. Kisah yang berpusat pada anak-anak sembari menekankan kepada kebimbangan perasaan, diwarnai dengan perbedaan kulturasi, mungkin baru sekali ini dibuat segrande ini. Karakter Meg adalah seorang kutubuku, yang justru jarang tampak pintar karena ia menutup semua rapat-rapat. Ke-insecure-annya membuat tokoh ini menjadi efektif sebagai tokoh utama. Meg harus belajar untuk mengenali kekurangan yang ia miliki. Storm Reid yang memerankan Meg lumayan baik memainkan adegan-adegan emosional yang dibebankan kepadanya. Penonton cilik akan gampang terelasi kepada tokoh ini, pun dia membawa pesan yang bagus yang bisa mereka petik dari anak cewek yang enggak pede sama apa yang dianugrahi kepadanya. Aku gak yakin apakah arahan dari sutradara Ava DuVernay mengharuskan Reid senantiasa tampil ‘gak lepas’ atau gimana, karena pada beberapa adegan di mana Meg discover hal-hal menakjubkan (kayak manusia berubah menjadi monster daun selada cantik) di depan mata kepala, anehnya Meg tidak kelihatan surprise-surprise amat.

aku mungkin gelinjang gila-gilaan demi ngelihat Oprah raksasa di halaman rumah

 

Baru-baru ini, aku membaca berita mengerikan yang dishare temen di twitter; tentang anak empat tahun yang membunuh adik bayinya karena sering dibecandain dengan “ada adek, nanti mama gak sayang lagi ama kamu”. It was such a terrible joke yang bisa dilontarkan orang dewasa kepada anak kecil, sebab kasih sayang antar anggota keluarga semestinya tidak perlu lagi dipertanyakan. Film ini bilang, cinta itu ada meski sering tidak kelihatan. A Wrinkle in Time, dalam kapasitas bijaknya, membuat perubahan dari source material sehubungan dengan Meg dan adiknya. Kita lihat Meg sempet bimbang juga ketika ayahnya berniat mengadopsi bocah bernama Charles Wallace. Dan sesungguhnya elemen adik adopsi ini menambah lapisan relationship Meg dengan keluarga, sekaligus menambah bobot terhadap aspek keluarga multicultural. Utimately, adik adopsi ini berperan penting terhadap tema besar yang diusung oleh film, yaitu kekuatan cinta, sebab antara Meg dan Charles bukan lagi sekedar keharusan karena mereka berhubungan darah, it is actually cinta sejati yang terbentuk di antara dua yang merasa sebagai sebuah keluarga.

Kita harus menerima hal yang tidak bisa kita ubah, dan pada gilirannya kita harus menerima bahwa kita harus melakukan sesuatu perihal hal yang  bisa kita ubah. Jangan takut. Kita harus belajar menyinta, sebab kemenangan dengan cinta adalah kemenangan yang sesungguhnya.

 

 

Menemukan kembali ayah memang adalah tujuan mereka, namun petualangan antardimensi yang mereka tempuhlah yang menjadi kunci petualangan mereka – yang mana juga adalah faktor yang mestinya paling kita nikmati. Di planet pertama, rombongan Meg singgah di tempat di mana perbukitannya hijau, lautnya berkilau cemerlang, dan bunga-bunganya bisa ngegosip pake bahasa warna. Sekuens yang mengikuti di poin ini benar mengagumkan. Dan, mengesampingkan fakta bahwa film gagal untuk mengeksplorasi bahasa warna dan elemen fantasi lain,  sekuens di planet ini adalah pemandangan terbaik yang dipunya oleh film secara keseluruhan. Sayang memang, untuk petualangan yang lain, efek yang digunakan tidak seimpresif yang diniatkan untuk tercapai, apalagi untuk ukuran budget sekantong pundi milik Disney.

Untuk memperparah lagi, film menjadi sangat ketergantungan kepada efek-efek ini, padahal tadinya kita udah dibuat percaya dan menapak kepada hati cerita. Masuk babak kedua, hingga akhir, hanya pertunjukan efek dengan banyak cerita yang disumpelin biar muat seratusan menit. Sentuhan manusiawinya tak lagi terasa kuat. Kita dituntun oleh dialog-dialog eksposisi, dan desain suara serta musik soundtrack yang sangat intrusif. Pada awal penerbitan bukunya di tahun 1962, cerita A Wrinkle in Time sudah dicap sebagai tidak-bisa-diadaptasi. Pada film ini terlihat jelas, terbukti bahwa ketidakbiasaan itu bukan karena teknologi melainkan karena apa yang harus diperlihatkan akan berbenturan dengan pesan cerita mengenai berimajinasi. Kekuatan narasi itu berkurang setingkat. Pun terasa ironis, untuk sebuah cerita yang memerlukan tokohnya untuk tidak mementingkan penampilan, film ini – tidak bisa tidak untuk – terlihat luar biasa berjuang menyuguhkan visual yang cantik. Akibatnya, pesan maupun penyimbolan yang berusaha diintegralkan ke dalam adegan menjadi tidak lagi bertenaga.

“Daaaaamn” Tucker, Amerika

 

Film ini bicara tentang menjadi satu dengan semesta. Sendirinya, film terlihat berdiri goyah di batu-batu gem di dalam gua planet tempat Zach Galifianakis bersemayam. Berusaha menyeimbangkan visual dengan cerita, tema dengan fantasi. Berhasil? Tidak juga, cerita kewalahan berpindah dari hubungan keluarga, ke berlarian menyelamatkan diri, ke romansa anak remaja, dan kebanyak mode lainnya. Jadinya banyak yang tertinggalkan datar. Ketiga ‘penyihir eksentrik’ itu misalnya, mereka mestinya bisa lebih banyak berperan daripada sekadar pembimbing yang bertutur paparan. Film justru menyandarkan bahunya kepada pemeran anak-anak, yang mana masuk akal karena ini adalah film anak-anak, hanya saja, umm pilihan aktornya mestinya bisa lebih dipikirkan lagi. Peran Charles Wallace tampaknya memang terlalu besar bagi aktor cilik Deric McCabe. Cerita banyak memberikan tugas dan range buat tokoh ini, yang disampaikan oleh McCabe dengan sama sekali tidak meyakinkan. It was very bad. Terutama ketika wajahnya diclose up, pada babak terakhir sering tuh, ekspresinya tampak sangat dibuat-buat.

Yang bikin aku ngakak adalah ketika Meg berteriak gimana dia tidak mau kehilangan adiknya, dia enggak akan biarkan adik terpisah dari dirinya, sementara pada adegan sebelum itu kita sama-sama melihat dia oke-oke saja berlarian dikejar angin gede tanpa kehadiran Charles, dan Meg tidak tampak merisaukan hal ini. Untuk kemudian Charles muncul begitu saja entah darimana. Ketidakkonsistensian kayak gini yang jadi pertanda cerita film sangat njelimet.

 

 

 

 

Meninggalkan elemen sci-finya, ini adalah cerita yang mengajarkan anak untuk mencapai kepercayaan diri. Tokoh utama film ini dihadapkan pada tantangan berupa kehilangan dan tuntutan sosial, yang mana ada kondisi yang juga tak bisa dihindari di luar sana. Anak kecil bisa saja akan sangat menyukai film yang menjadikan perwakilan mereka sebagai pusat semesta. Hubungan antarkeluarganya pun dibahas dengan hangat. Tapi penceritaannya bisa sangat kontra dengan apa yang mau disampaikan. Terlalu banyak yang dibahas juga, judulnya pun sepertinya lebih tepat kerutan pada tempat, alih-alih waktu, yang kemudian turut menambah kerutan pada kening kita saat menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for A WRINKLE IN TIME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ANNIHILATION Review

“The worst part of self destruction is that you are fully aware of it but there’s nothing you can do to stop it.“

 

 

Dunia yang damai akan selalu mengundang orang-orang bodoh untuk merusaknya. Kata-kata Goku di komik Dragon Ball tersebut masih suka nempel di kepalaku, karena memang ada benarnya. Contoh simpelnya pada diri sendiri, udah bagus sehat-sehat tapi kita cenderung suka makanan yang lezat ketimbang yang bergizi. Kita males olahraga. Garis finish hidup memang pada kematian, namun sepertinya kita diprogram untuk merusakkan diri. Sel tubuh kita diatur untuk bisa menua, dan kebiasaan hidup kita mempercepatnya. Kebanyakan kita masih menganggap bunuh diri adalah perbuatan tercela, namun toh beberapa dari kita masih ngerokok, minum-minum. Orang pacaran akan punya keinginan buat nambah pacar. Pasangan yang sudah bahagia menikah, tetep aja kadang memilih selingkuh, baik dengan manusia lain ataupun dengan pekerjaan. Sampai di kalimat inilah, Lena (Natalie Portman memerankan wanita yang berusaha menumpas kesalahannya dengan sangat baik) terhenyak.

Bukan semata karena ia seorang ahli biologi mantan tentara, maka Lena secara sukarela ikutan ekspedisi rahasia ini – meski memang keahliannya tersebut terbukti sangat dibutuhkan di lapangan. Suami Lena, seorang sersan adalah satu-satunya tentara yang berhasil keluar dari misi satu-tahunnya, itupun dalam keadaan setengah sehat. Jadi Lena memutuskan ia harus mencari tahu apa yang menyebabkan suaminya mengalami pendarahan hebat setelah minum air. Bersama empat cewek ilmuwan lain, Lena masuk ke zona unknown yang dibatasi oleh dinding tembus cahaya yang berpendar warna pelangi – bayangkan gelembung  di iklan sabun, kurang lebih begitu hanya lebih besar dan indah – yang mereka sebut “Shimmer”. Zona tersebut semakin hari semakin meluas, menjauh dari pusatnya; sebuah mercusuar di pinggir pantai yang ditabrak meteor. Tim Lena harus menyelediki sampai ke titik itu, guna mencari tahu apa sebenarnya Shimmer ini, apakah tembok alien ini berbahaya bagi lingkungan atau enggak, kenapa setiap pasukan yang dikirim ke sana selalu kayak Bang Toyib kecuali suami Lena yang pulang dalam keadaan parah.

Begitu kelima cewek ini (lima, biar gak disalahsangka ama tim Ghostbuster) menembus Shimmer dan mereka menemukan hal-hal baru di sana, film langsung memenuhi tugasnya sebagai film sci-fi dengan elemen yang menyenangkan. Sense of discovery dan debar survival yang mengakar kuat dari klasik seperti Alien dan The Thingnya John Carpenter akan menyambut kita. Akan tetapi, pada intinya, Annihilation adalah tipikal sci-fi yang lebih dalem. Film ini menggebah kita untuk berpikir dan menyimpulkan sendiri, dia punya ambiguitas pada ceritanya, punya maksud terselubung, ada implikasi dan ide. Di balik spesial efek yang sama luar biasa meyakinkannya dengan penampilan akting para aktor, di luar sinematografi dan pemandangan yang mencengangkan, film ini punya sesuatu yang ingin ia ceritakan, punya gagasan yang ingin disampaikan, jadi bukan sekadar unjuk kebolehan nyeni.

dan juga punya makhluk menyeramkan

 

Jaman sekarang, kebanyakan film menyangka penonton merasa perlu untuk punya pendapat yang sama tentang apa yang mereka tonton. Kalo tiga dari lima orang bilang filmnya bagus, maka konklusinya film itu beneran bagus. Tapi itu kan, cara yang statistik sekali untuk melihat sebuah film. Padahal film yang baik mestinya adalah film yang mampu mengundang perbincangan, yang memperlakukan penontonnya sebagai manusia yang punya pikiran, yang mendengarkan opini dan gagasan mereka sebagai feedback yang actually matter ketimbang menganggap mereka hanya sebagai angka yang dapat dihitung. Aku suka ketika film berani untuk memancing perbedaan pendapat. Film favoritku sepanjang waktu adalah Mulholland Drive (2001), aku nonton ini pertama kali di tahun 2010, dan sampe sekarang aku belum ketemu teman atau lawan diskusi yang punya pendapat sama denganku soal apa yang sebenarnya terjadi, maksud-maksud di balik film tersebut. Film kayak begini, dan untungnya Annihiliation termasuk di antaranya, akan membuat para nerd berkumpul bareng dan berdiskusi, dan inilah yang menggerakkan roda perfilman terus maju ke arah yang lebih baik. Film yang bagus mengajak penonton berpikir, namun kecenderungan kita untuk merusak hal-hal baik; munculnya penonton yang malas berpikir, turut andil menciptakan film-film sepele yang hanya mengincar jumlah penonton.

Sutradara Alex Garland memang terkenal hobi mengajak penontonnya ke dalam perjalanan pikiran. Pada Annihilation, kita akan dibawa menembus Shimmer ke sebuah alam yang secara metafora adalah cerminan dari sel kanker yang dijadikan tema berulang, yang paralel dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Kita bisa bilang zona di dalam Shimmer, yang semakin meluas itu adalah kanker – penyakit yang semakin menjalar. Di dalam sana, makhluk hidup termutasi, sel mereka membelah, menyebabkan mereka berubah. Dari kesimpulan Lena terhadap Shimmer, kita belajar bahwa sel dalam zona Shimmer tidak bersifat menghancurkan, dia hanya mengubah. Perjalanan Lena ke balik tabir Shimmer sejatinya adalah perjalanannya melihat ke perubahan yang sudah terjadi kepada dirinya sebagai manusia, sebagai seorang istri. Dan manusialah yang punya sifat menghancurkan, inilah yang menjadi landasan konflik personal buat Lena. Dia ingin menuju pusat Shimmer, karena dia tahu dia tidak bisa menghentikan perubahan yang sudah ia buat. Maka kita lihat dia akhirnya ‘berantem’ ama duplikat selnya karena, metaphorically, ia ingin menghancurkan dirinya yang sudah berubah sejak pernikahannya mengalami masalah.

Kecenderungan, atau dalam tingkatan yang ekstrim, dorongan manusia untuk meghancurkan apa yang sudah baik menjadi pusat dari semesta cerita Annihilation. Semua tokoh yang masuk Shimmer bersama Lena adalah orang-orang yang diri mereka sudah berubah menjadi lebih buruk. Orang yang punya ‘kanker’ dalam hidupnya. Apa yang terjadi sebenarnya kepada Lena adalah dia merasa bersalah telah secara sadar merusak jalinan pernikahannya, – ini adalah kanker bagi kehidupan Lena – dan dia hanya bisa melihat perubahan yang kanker itu sebabkan. Dalam tingkat ekologi, kita juga hanya bisa melihat dampak dari yang kita lakukan terhadap lingkungan. Dan ini membuat kita sampai pada kesimpulan mengerikan; apakah kita, manusia, adalah kanker bagi alam semesta?

 

Sehubungan dengan kehidupan Lena, dalam film ini kita akan melihat adegan antara dirinya dengan seorang prosefor dari universitas tempat dirinya mengajar. Ini adalah adegan yang dari segi kebutuhan, aku mengerti kenapa mesti ada. Ini diperlukan untuk menambah lapisan dan konflik buat karakter Lena. Hanya saja, adegan ini tampak tidak benar-benar penting, like, mereka bisa saja memotongnya dan kita tetap mengerti apa yang terjadi, ataupun mestinya bisa digarap dengan lebih integral sehingga film enggak butuh pake flashback terlalu banyak.

Masuk ke Shimmer bisa jadi X-Men gak ya?

 

Ketika membahas film seperti ini, memang sulit untuk menghindari spoiler, terlebih karena kita ingin melihat pendapat orang mengenai kejelasan pada ending cerita. Aku sendiri melihat ending Annihilation, tidak necessarily sebagai twist apakah Lena yang di luar ini Lena yang asli atau tidak. Yang penting buatku adalah Lena sudah berubah, dia tidak lagi pribadi yang sama dengan saat film dimulai. Perubahan ini ditegaskan oleh kilauan di matanya, yang menunjukkan dia sudah termutasi. It doesn’t matter apakah dia klone, karena toh sudah ditetapkan apa yang diciptakan di dalam Shimmer adalah duplikasi persis, dan tentu saja Shimmer sudah mengcopy apa yang dirasakan oleh Lena.  Aspek yang kusuka pada film ini sebenarnya adalah bagaimana mereka membuat Shimmer tampak netral. Monster-monster di dalamnya, mereka berbahaya, namun apakah itu menjadikan mereka jahat? Mereka hewan dan mereka butuh makan, walaupun mereka hewan mutasi. Kalopun Lena yang di luar ini adalah produk Shimmer, itu tidak menjadikan dia versi yang jahat, kan? Annilihation juga mampu membuat kita memikirkan kembali persepsi kita terhadap apa yang kita antagoniskan, membuat status ‘jahat’ itu tidak begitu gampang kita berikan kepada hal yang tampak berbahaya ataupun menakutkan bagi kita.

 

 

 

Pada permukaannya, film ini adalah thriller sci-fi yang menyenangkan, ada tembak-tembakan, ada hewan monster. However, film menggali jauh lebih dalam dari premis seorang istri yang memasuki dinding gelembung maut demi kesembuhan suami. Ceritanya begitu mengundang pemikiran oleh simbol-simbol dan pesan yang ingin pembuatnya sampaikan. It’s a cerebral movie. Sampai-sampai dinobatkan sebagai film yang terlalu pintar sehingga enggak jadi tayang di bioskop. Hihi, alasan yang lucu.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ANNIHILATION.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE CLOVERFIELD PARADOX Review

“The second time you make it, it’s not mistake, it’s a choice.”

 

 

Planet sudah nyaris kehabisan sumber daya energi. Penguasa-penguasa minyak di dunia mulai insecure, mereka pun rebutan tetes-tetes terakhis emas hitam tersebut. Dunia sedang perang, Bumi sedang kritis. Teknologi berusaha menjawab masalah ini dengan mengirim beberapa orang ahli ke satelit luar angkasa, guna mengoperasikan accelerator partikel bertenaga tinggi. Entah bagaimana dengan menembak ruang angkasa dengan partikel tersebut bisa memberdayakan dan memperbarui kembali sumber energi di planet Bumi, kita enggak pernah tahu lantaran ada masalah yang lebih gede ketika hal keren itu dilakukan. Kali ini para astronotlah yang enggak menghiraukan, mereka sudah bekerja dua tahun untuk menyempurnakan accelerator. Waktu sudah semakin menipis dan boom!!! Mereka berhasil….. melenyapkan bumi entah kemana. Satu planet gede raib begitu saja, bayangkan. Ternyata benar saja, dimensi lain itu terbuka oleh gaya yang dihasilkan oleh energy accelerator. Mengirim mereka terbang menembus dunia yang satu lagi, sementara monster-monster entah dari mana bermunculan di Bumi tempat dua film Cloverfield sebelumnya terjadi.

kayak Rick dan Morty, hanya saja film ini lucunya enggak lucu.

 

Aku pikir semua orang pada kaget ujug-ujug film ini keluar nyaris barengan ama trailernya yang nongol di Superbowl. Tayangnya di Netflix pula, bukan lagi di bioskop. Aku enggak yakin apakah ini langkah desperate atau memang mereka mau ngasih kejutan, yang jelas ini adalah taktik marketing yang cerdas. Ini membuat banyak orang membicarakannya, membuat orang penasaran. Terlebih karena Cloverfield pertama (tayang tahun 2008) dengan sekuelnya; 10 Cloverfield Lane (2016) adalah seri yang begitu jauh berbeda. Saking uniknya udah kayak film yang enggak ada hubungannya. Film pertama adalah thriller tentang kota yang udah dikuasai monster, aku suka banget filmnya dengan efektif memakai footage sebagai gimmick untuk menambah keunknownan kita terhadap monster dan apa yang sebenarnya terjadi. Film kedua, aku eventually lebih suka ini kecuali bagian akhirnya, lebih sebagai confined-psikologikal thriller tentang cewek yang gak yakin apakah dia sedang diculik atau memang sedang diselamatkan. Baru saat babak terakhir, dan kemudian dipastikan saat endinglah, kita melihat keduanya bisa jadi adalah cerita yang berhubungan.

Film ketiga ini, seharusnya menjembatani dua film tersebut, atau paling tidak menjelaskan misteri apa yang sebenarnya terjadi kepada Bumi. Dari mana monster-monster itu. The Cloverfield Paradox bisa saja melanjutkan ‘tradisi’ cerita yang berbeda setiap sekuelnya, sebab yang kita dapat di sini adalah sebuah thriller tertutup di luar angkasa, namun sayangnya film ini justru membuat kita lebih bingung lagi dalam menyambungkan, dalam memahami, apa yang terjadi di semesta Cloverfield.

Meski begitu, film ini memang melaksanakan tugasnya. Kita berhasil dibuat memikirkan ulang kembali mengenai franchise ini setelah menontonnya. In some ways, film ini memberikan kemungkinan-kemungkinan baru terhadap pengembangan universenya. Namun di pihak lain, film juga melakukan hal-hal yang tampak ‘menghancurkan’ apa yang sudah dibangun. Paling tidak, untuk saat ini kelihatannya begitu. Now, jika kalian menonton film ini dengan enggak peduli atau malah mungkin enggak tahu bahwa ini adalah bagian dari suatu franchise,  kalian akan mendapati  The Cloverfield Paradox  sebagai thriller sederhana yang simpel tentang kru astronot yang satu persatu tewas. Ini bagus, film ini mampu berdiri sendiri sebagai sajian yang enjoyable. Enggak masuk akal, namun tak pelak menghibur. Akan tetapi, jika kita mencoba melihat gambar besar yang utuh, film ini benar-benar adalah sebuah paradoks.

Aspek dunia multidimensinya lah yang membuat hal menjadi unnecessarily ribet. Kita bisa kepikiran teori yang membangun film ini ataupun teori kenapa film ini jelek dengan sama banyaknya. Dan menurutku di situlah letak kekurangan film ini; ENGGAK JELAS. Padahal film ini sepertinya lumayan mengerti pijakan horor atau thriller yang bagus. Bahwasa ceritanya harus bisa menghantui tokohnya secara personal dengan ketakutan universal seperti rasa bersalah, kesepian, ketidaktahuan. Tokoh utama kita punya masa lalu yang tragis. Dia merasa bersalah atas kematian anak-anaknya, dia melakukan sesuatu (suatu hal yang bego) yang menyebabkan rumahnya terbakar. Pada inti setiap cerita horor yang baik selalu ada konflik bermakna yang dikaitkan dengan kejadian seram yang terjadi, yang menjelaskan kenapa hal tersebut menimpa si tokoh. Film ini, sepertinya dibuat oleh orang-orang yang gak tahu pasti mau bercerita apa. Masalah ketakutan personal tokoh utama tidak pernah benar-benar didukung oleh hal-hal ‘ekstraterestial’ yang mereka masukin ke dalam narasi. Sama sekali tidak ada penjelasan kenapa kita menyaksikan tokoh yang kehilangan lengan karena kesedot dinding, tapi dia gak merasa sakit – malah bercanda setelahnya. Tidak ada pemahaman kenapa kompas keren para kru hilang dan muncul di dalam dada teman mereka yang meninggal setelah tubuhnya mengeluarkan banyak cacing.

Setiap dari kita pasti enggak akan menolak jika dikasih kesempatan untuk balik memperbaiki kesalahan. Tapi, di dunia nyata, kita unlikely bakal dapat kesempatan kedua. Pelajaran yang bisa dikutip dari film ini adalah bukan dengan hidup tanpa membuat kesalahan sama sekali, melainkan kita harus belajar dari kesalahan tersebut sehingga kesalahan yang sama tidak terjadi dua kali.

Penjelasan yang ada sama enggak masuk akalnya

 

 

Alih-alih mengerikan, kejadian film ini jatohnya jadi konyol. Kita tidak pernah benar-benar peduli sama para tokoh, yang memang enggak mendapat karakterisasi yang memadai. Setiap kematian tidak terasa seperti kehilangan, apalagi kesedihan. Di antara semua hal-hal tak masuk akal yang mestinya ada kepentingan itu, film justru sempet-sempetnya masukin adegan eksposisi yang paling enggak dibutuhin; video seorang pengarang buku yang mengembangkan teori dimensi dunia mengungkapkan gelisahnya mengenai kemungkinan dua dimensi berbenturan. Tak pelak adegan ini menerangkan filmny sendiri dengan sangat gamblang. See, film ini bahkan tidak mengerti kapan ambigu itu harus diterapkan.

Ending film ini secara praktis membuat aku bingung dengan keseluruhan timeline franchise Cloverfield. Kita melihat monster yang sama dengan di ending film pertama, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Adegan monster itu menembus awan sebenarnya cukup impresif jika konteks ceritanya kuat. Jadi apakah film ketiga ini merupakan awal dari film yang pertama? Apakah mereka bahkan ada di dunia yang sama? Di akhir film pertama, kita melihat runtuhan satelit jatuh sebagai awal dari kedatangan monster. Di film ketiga ini, however, satelit yang jatuh terjadi di Bumi yang Lain. Jadi tokoh film ketiga enggak hidup di tempat yang sama, dan kita bisa simpulkan monster di Bumi yang Lain berukuran lebih kecil – atau belum berkembang. Akhir film 10 Cloverfield Lane menunjukkan dunia sudah semacam diinvasi oleh Alien, jadi kemungkinan timeline film ini paling belakangan. Kesimpulanku adalah film ketiga terjadi duluan, diikuti oleh film pertama, dan kedua. Dengan film ketiga berada di dunia yang berbeda dengan film pertama, sedangkan film kedua masih abu-abu terjadi di mana. Masalahnya adalah, kita kerap dibawa balik ke tokoh suami protagonist yang tinggal di bumi, dan dia berkomunikasi dengan hape kekinian. Timeline ini begitu membingungkan buatku; film sepertinya sengaja mengaburkan penunjuk waktu sehingga kita enggak benar-benar tahu apa terjadi kapan kepada siapa, dan ini disengaja biar film masih bisa terus menelurkan cerita lain. Dan dengan dunia multi dimensi ini kemungkinannya akan nyaris tak terhingga.

 

 

Film ini masih bisa menyenangkan untuk ditonton, sensasi thrill dan terkurung di tempat tertutupnya cukup menguar meskipun karakternya tidak kita pedulikan. Ini juga adalah sebuah cerita yang cepet, kelihatan ingin menyumpelkan universe rumitnya ke dalam durasi yang mestinya bisa diperpanjang lagi demi narasi yang lebih kohesif. Namun pada akhirnya yang paling mengganggu adalah betapa malasnya aspek penceritaan dengan eksposisi yang salah tempat dan banyak hal konyol yang enggak masuk akal, malahan tampak dipaksakan. Paradoks yang ada ialah hal terbaik pada film ini bukanlah filmnya sendiri, melainkan promo marketingnya, dan sesungguhnya kita semua pasti akan lebih menikmati film yang ceritanya pinter dibandingkan film yang marketingnya keren.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE CLOVERFIELD PARADOX.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DOWNSIZING Review

“The real meaning of greedy is taking more than you give.”

 

 

Ketika para ilmuwan dalam drama komedi satir Downsizing berpikir mereka sudah mengatasi masalah lingkungan dan populasi di seluruh dunia dengan menyusutkan umat manusia, mereka tetap tidak bisa mengerdilkan pertanyaan besar yang digantungkan Tuhan di atas kita semua; kapan kiamat itu akan tiba. Dan dapatkah kita lari darinya.

 

Downsizing memulai ceritanya dengan sangat luas. Film ini menawarkan premis yang menarik saat kita melihat orang-orang berjas putih itu berhasil menemukan cara untuk memperkecil ukuran tubuh manusia. Sungguh sebuah prospek hidup yang sangat cerah. Karena dengan menjadi kecil, orang-orang akan butuh lebih sedikit makanan, minuman, dan bahkan perhiasan. Space tempat tinggal pun tentunya dapat ‘dihemat’. Lingkungan dapat lebih mudah dilestarikan. Paul Safranek melihatnya dari sisi ekonomi; dengan mengecil dia dan istrinya dapat tinggal di rumah mewah yang secara normal tidak bisa mereka beli. Cerita Downsizing pun menyusut saat kita mengikuti Paul yang akhirnya memutuskan untuk ikutan program LeisureLand; bersama sang istri dia akan pindah ke dunia Kecil. Dari masalah environment menjadi pandangan personal mengenai apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sebagai makhluk yang berkomunitas, Downsizing mencoba untuk menantang pikiran dan imajinasi kita semua, hanya untuk mengerdilkan sendiri ceritanya.

apapun yang besar tentunya akan semakin besar kalo kita mengecil, apalagi masalah

 

Aku bisa terus menggunakan istilah mengecil, mengerucut, dan semacamnya untuk mendeskripsikan bagaimana perasaanku ketika menonton film ini. Maksudku, aku benar-benar kecewa lantaran film ini sebenarnya punya begitu banyak potensi. This movie could be much BIGGER than this. Babak pertama film sungguh menggugah minat dan imajinasi. Film bahkan dengan seksama menuntut kita melihat proses penyusutan manusia itu berlangsung. Begitu detilnya sehingga semua langkah sci-fi itu terlihat realistis, even plausible buat penonton yang kurang suka ngayal. Menurutku, film bisa aja dimulai dengan adegan di rumah sakit itu, kita melihat orang-orang dicukur, gigi mereka diperiksa, kemudian dibius sebelum dimasukkan ke dalam kamar khusus, semuanya teratur dan sangat metodikal. Dengan begini fokus kita akan langsung ke tokoh Paul, di mana kita melihatnya tersadar dan mendapati menunggu kedatangan istrinya.

Seperti film-film sci fi yang bagus, Downsizing awalnya membahas banyak untuk kita pikirkan mengenai sistem dunia yang sudah diubah oleh narasinya. Kita mengerti bahwa ‘orang-orang kecil’ itu enggak bisa berfungsi tanpa orang-orang normal, thus membagi dua kelompok orang ini pun tentunya punya pertimbangan sendiri. Film membuat proses downsizing tersebut punya ‘kekurangan’; beresiko kematian, punya syarat khusus, serta digambarkan ada golongan yang enggak setuju sama penciptaan teknologi ini. Kita lihat ada seorang pria di bar yang mengonfrontasi Paul dan istrinya soal keputusan pindah hidup sebagai manusia kecil. Paul sendiri bahkan mengalami suatu hal sehubungan dengan pandangan mengenai downsizing, aku gak akan bocorin kejadian lengkapnya, yang jelas adegan tersebut memisahkan Paul dengan istrinya selamanya,  karena menurutku adegan yang jadi plot poin pertama tersebut benar-benar kejutan yang menambah banyak bobot drama.

Paul menyangka dengan menjadi kecil, dia bisa hidup senang, sekaligus menjadi pahlawan. Begitu jugalah film ini berpikir. Dengan menjadikan tokoh utamanya kecil, film menyangka mereka punya alasan untuk melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sempat mereka bahas di babak awal. Nyatanya, kita tidak pernah menoleh ke sana lagi lantaran cerita sudah berubah mengenai kehidupan Paul di kehidupan barunya. Jika bukan karena prop dan desain produksi yang unik, seperti mahkota bunga ukuran asli yang jadi hiasan jambangan ataupun duit dolar ukuran normal yang dipajang di dinding sebagai hiasan, kita bisa saja sekalian melupakan Paul sudah menjadi makhluk liliput yang enggak imut. Di sinilah Downsizing menyeberang menjadi film sci-fi yang enggak bagus; kita kembali ke masalah basic dengan melupakan perubahan gede yang dilakukan oleh universe ceritanya.

from hero to zero cm

 

Film terlihat bersusah payah mengakomodasi cerita dan pesan sosial yang berusaha ia sampaikan. Kalolah boleh menunjuk, sekiranya kelemahan itu ada pada tokoh utamanya. Aku belum pernah melihat Matt Damon sedatar dan seboring ini dalam film komedi. Dia benar-benar menghidupkan tokohnya – dia melakukan apa yang disuruh oleh narasi. Dia mematuhi saja, sama seperti yang dilakukan oleh Paul. Tokoh Paul memang diniatkan terdiskonek dari kehidupan sekitarnya, karena dia begitu terpukul secara mental, namun cerita menuliskan seolah pilihan orang ini adalah siapa yang paling baik untuk dia ikuti.

Tokoh-tokoh di sekitar Paul tak pelak punya karakter yang lebih menarik. Tetangga Paul, seorang yang kebanyakan berpesta tapi bukan orang yang brengsek, misalnya. Dia mengajak Paul menikmati hidup, dialah yang pertama kali diikuti oleh Paul. Kemudian ada wanita dari Vietnam yang beberapa tahun lalu ngetop karena kabur dari penjara dengan bersembunyi dalam kotak TV. Paul bertemu dengan tokoh yang instantly mencuri perhatian ini, dan kita lihat gimana ‘kelemahan’ Paul – dia kinda stuck dengan si wanita. Kemudian Paul diberikan pilihan untuk mengikuti penemu teknologi mengecil itu sendiri ke dunia utopia. Mau tahu bagaimana cerita membuat Paul memutuskan pilihan final ini? Dengan seolah Paul malas berjalan kaki sebelas jam ke Utopia. Jadi, dia balik dan membuat keputusan yang benar. Film ini mengontraskan Paul yang ingin hidup nyaman dengan orang-orang yang actually berjuang untuk hidup, akan tetapi ada begitu banyak hal menarik lain sehingga membuat kita enggak pernah benar-benar peduli sama Paul. Bahkan aku lebih peduli sama istrinya; aku berharap bakal melihat Kristen Wiig lagi, tapi tokoh ini dimunculin lagi hingga akhir hayat film.

Metafora lingkungan pada film ini menyampaikan dengan subtil satu pandangan yang teruji; bahwa manusia adalah makhluk yang boros dan rakus. Ketika sumber daya menipis, solusi yang tampak lebih menarik buat kita adalah dengan menjadi mengecil yang berarti kebutuhan kita ikut mengerucut sehingga kita bisa menikmati sumber daya lebih lama. Ini bukanlah soal penghematan, melainkan hanya sebuah langkah untuk terus memperpanjang kesempatan. Rakus sebenarnya rakus adalah ketika kita mengambil lebih banyak dari yang kita beri.

 

 

 

Ada banyak alasan untuk menyukai film ini. Actually aku berusaha banget untuk suka. Dialog yang diucapkan tokohnya penuh oleh kesadaran. Humornya cerdas, satirnya bikin kita miris. Dunia film ini dibangun dengan kreatif, sense bertualang ke tempat yang baru juga turut hadir. Namun film ini menjauhi apa yang membuatnya begitu unik dan cerdas. Dari apa yang tadinya adalah mengubah dunia, berubah menjadi transformasi hidup seorang manusia yang tidak benar-benar menarik. Ini seperti kita melihat pusaran yang dinamik, kemudian dipaksa untuk melihat sesuatu yang berdiri diam di antara dinamika tersebut. Film ini salah memilih fokus. Dari sekian banyak hal menarik di sana, dunia yang penuh dengan tokoh-tokoh yang intriguing – dengan penampilan singkat dari banyak aktor pendukung yang juga lebih menarik – film ini malah menjadi cerita tentang reaksi manusia mencari apa yang terpenting dalam hidupnya yang hampa.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for DOWNSIZING.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017