SEHIDUP SEMATI Review

 

“Not even death can do us apart”

 

 

Kesakralan pernikahan  dibuktikan dengan ikrar untuk menjadi pasangan yang sehidup semati. Janji untuk senasib sepenanggungan. Susah senang selalu bersama-sama, hingga maut memisahkan. Janji suci dua insan Katolik tersebut dapat berubah menjadi beban toxic mengerikan, seperti yang terjadi dalam psychological thriller terbaru dari Upi ini, Ketika rumah tangga jadi tak lagi harmonis, pernikahan hanya jadi neraka personal bagi istri yang tidak diperkenankan melawan, melainkan bertambah fungsi jadi punching bag emosi dan frustasi suami. Afterall, istri harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap suami. Perceraian merupakan aib keluarga, dan adalah tugas istri untuk menjaga martabat suami dan keluarganya. Dengan muatannya ini, Sehidup Semati dengan cepat menjadi sebuah gambaran naas yang bakal berkembang menjadi jauh lebih menyeramkan lagi. Karena Upi membenturkan penafsiran ekstrim dari dogma atau ajaran agama itu dengan pandangan yang sepertinya solutif, hanya datang dari tempat yang tidak benar-benar bisa dipercaya. Penceritaan film ini pun akhirnya baur, antara benar psychological atau sebuah supernatural.

Pasangan tak-bahagia dalam film ini adalah Renata dan Edwin. Laura Basuki jadi Renata yang tersiksa mental dan fisik. Bukti visual memperlihatkan perempuan berambut seleher itu jadi korban KDRT. Ario Bayu jadi Edwin, pria yang keras, dingin, distant, dan tersenyum hanya kepada layar hapenya. Karena cerita ini dari sudut pandang Renata, kita tidak benar-benar diperlihatkan sisi Edwin, kenapa dia bisa berubah begitu violent kepada perempuan yang tadinya ia cintai. Alasan ‘kecewa’nya sih kita diberitahu. Mereka pengen punya anak tapi Renata physically tidak bisa. Jadi, Renata harus mengalami ‘siksaan’ janji sucinya itu sendirian. Luka dan sakitnya ia pendam sendirian. Toh, agama dan keluarga besar mengajarkan sudah kodrat istri untuk patuh. Sampai, dia mendengar ada suara lenguhan perempuan dari ruang kerja Edwin. Ruang kerja yang sama sekali tidak boleh ia buka/datangi. Renata mulai curiga suaminya literally punya simpanan perempuan lain. Beruntung, Renata yang biasanya sehari-sehari cuma ‘berteman’ dengan televisi, kini punya tempat mengadu. Tetangga barunya, Asmara, perempuan yang completely bertolak belakang dengannya. Asmara liar dan berani, dia malah meledek Renata yang patuh sebagai ‘perempuan bego’. Meski begitu, Asmara tetap masih menyisakan aura misterius (Hmm, siapa lagi yang paling cocok meranin karakter ini kalo bukan Asmara Abigail) Dari perempuan yang sepertinya segala merah itulah, Renata belajar untuk menjadi sedikit lebih berani untuk stand up for herself. Tapi masalahnya, bayangan perempuan simpanan Edwin semakin kerap menghantui. Suara-suara dan kejadian aneh kian santer di sekitar Renata.

Di film ini ikrar suci dibalik menjadi ‘sampai maut menyatukan kita’

 

Sebagai thriller psikologis film ini memang benar menyejajarkan kita dengan psikis Renata. Kita merasakan sama kecil dan terisolasinya dengan Renata yang dititah suami untuk tetap tinggal di rumah. Kita dibuat ikut merasakan derita fisik dan mentalnya. Film ini mampu mencapai itu berkat penampilan akting getir serta treatment yang diberikan kepada karakter ini. Renata seperti titik kecil pucat yang dikontraskan pada setting latar yang pekat. Ya, putihnya Renata lebih terasa seperti pucat, ketimbang suci. Seantero apartemen yang dia huni pun dijelmakan menjadi tempat yang (nyaris) kosong. Hanya Asmara dan seorang ibu tua (dan satpam Muklis!) yang tampaknya kenal dan berinteraksi dengan Renata. Ketika Renata berjalan di lorong-lorong menuju unitnya, dia seperti berjalan di labirin yang persis suasana hatinya. Dingin dan banyak sudut gelap. Ketika kita masuk ke dalam unitnya, keadaan tidak menjadi lebih nyaman, karena bahkan ruang pribadi perempuan itu pun tampak muram dan terasa restricted baginya. Kamar yang tak boleh dibuka. Benda-benda yang either bertukar tempat ataupun bukan miliknya. Zona nyaman Renata hanya di depan televisi. Dan aku suka gimana film membuat Renata seperti sangat susceptible terhadap apa yang ia tonton dan dengar di televisi. Siaran ceramah yang bagi kita terdengar esktrim, seperti larangan tegas bagi Renata. Waktu Renata mulai curiga ada perempuan di rumahnya, siaran yang ditontonnya adalah sinetron tentang pelakor. Dan masuk babak akhir, sebelum ketegangan dan kecurigaan kepada suami memuncak, Renata kita dapati tengah menonton berita kriminal seputar ditemukan mayat istri korban kekerasan suami.

Seolah teror psikologis belum cukup seram dan ‘membingungkan’, film juga menyiapkan teror lain, Teror dari supernatural. Sosok perempuan yang kerap sekelebat hadir di ekor mata Renata ditreat oleh film lebih seperti penampakan arwah penasaran. Ditambah pula si ibu tua diperlihatkan pernah melakukan semacam ritual dengan dukun di unitnya sendiri. Unsur supernatural yang dibaurkan dengan psikologis tadi memang menambah layer kepada misteri. Aku sendiri memang sangat menikmati menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang ‘dihadapi’ oleh Renata. Tapi pace film ternyata jadi agak goyah ketika sudah waktunya mereveal dan menyelesaikan cerita. Like, film ini jadi terasa terlalu lama bermain-main di misteri penampakan perempuan sehingga paruh akhirnya jadi kayak lebih buru-buru, padahal konfliknya lebih banyak di paruh akhir. Kecamuk psikologis juga lebih dahsyat di bagian paruh akhir, dengan segala ketakutan baru Renata soal orang-orang lain di sekitarnya selain suaminya.

Akibatnya, penjelasan yang diungkap film akan terasa ‘short’. Meskipun sebenarnya cukup gede, dan tragis, tapi penonton sebagian besar akan masih terlalu sibuk dengan berusaha mencerna kepingan puzzle tragedi yang telat dibagikan tersebut. Film ini akan dengan cepat menjadi supermembingungkan begitu baru di pertengahan kita dikasih penyadaran bahwa Renata, satu-satunya perspektif yang bisa kita pegang justru ternyata ‘agen’ dari kerancuan. Bahwa dia adalah perspektif yang unreliable. Kita sangka kita akan mengungkap misteri bersamanya, tapi ternyata dialah misterinya. Hal yang tidak real ternyata justru hal-hal yang berinteraksi dengannya. Dan ‘tidak real’ di film ini bukan saja hanya perihal suatu kejadian tidak benar-benar terjadi, melainkan juga kejadian yang beneran terjadi tapi bukan pada waktu yang seperti kita lihat di film. Alias, soal urutan juga teracak. Jadi berikut kotak spoiler soal bagaimana menurutku urutan kejadian kisah tragis Renata sebenarnya terjadi (serta siapa sebenarnya karakter-karakter seperti Asmara dan Ana). Kalian bisa skip kotak di bawah ini jika tidak ingin kena spoiler

Spoiler Urutan Kejadian:

Renata kecil liat Ayah pukulin Ibu – Renata kecil liat ayah muntah darah dan lumpuh – Keluarga mereka tetap utuh Ibu tetap merawat Ayah yang kini gak bisa ngapa-ngapain Ibu – Renata gede nikah sama Edwin – Renata gak bisa hamil – Edwin dicurigai selingkuh sama perempuan lain – Renata mulai kesepian, temannya cuma televisi – Renata ngadu ke keluarga tapi malah disalahin – Edwin mau minta cerai – Renata kalut, stress, terilham rumah tangga Ibu dan Ayahnya, membunuh Edwin – Ana nelfon dan Renata jadi terkonfirm siapa selingkuhan edwin – Renata bunuh Ana – Cerita film dimulai – Di dalam halu kepalanya, Renata nganggap Edwin masih hidup – Tapi hantu Ana mulai menghantui, tetap sebagai pelakor – Renata menciptakan teman/pelarian/alter ego dari karakter sinetron yang ia tonton, yaitu Asmara – Gangguan Ana semakin intens – Asmara ‘membunuh’ hantu Ana – Ibu Ana mulai mencari anaknya yang tidak pulang dan mencurigai Renata berkat petunjuk dukun – Renata membunuh Ibu Ana via Asmara – ‘Asmara’ yang ia ciptakan semakin kuat, sehingga Renata jadi berkonfrontasi dengan realita – Revealing kejadian sebenarnya – Renata membunuh ‘Asmara’ yang ia takutkan jadi pelakor berikutnya – Renata mereset halunya, hidup berdua dengan Edwin  masih sayang padanya – Cerita film selesai

 

Bukan sama-sama hidup/mati, melainkan satu hidup, yang satu mati

 

So yea, film ini pretty ribet. Karakter yang kita kira nyata, sebenarnya tidak ada di sana. Kejadian yang kita sangka baru, sebenarnya terjadi bahkan sebelum frame film ini dimulai. Masa lalu bercampur dengan present chaos Renata. There is a lot to unpack, baik bagi kita, maupun bagi filmnya sendiri. Aku melihat film ini sendirinya keteteran. Sehingga bahkan untuk membangun simbol aja tidak sempat. Seperti ruang kerja Edwin, film udah hampir habis ruangan tersebut tidak kita dan Renata ‘lihat’ sebagai apa sebenarnya.  Padahal ruangan tersebut adalah simbol dari ‘truth’. Selain mengintip dan melihat suaminya selingkuh dengan Ana, perempuan yang ada di poster orang hilang di sekitar apartemen, harusnya ada adegan yang memperlihatkan Renata konfrontasi dengan ‘truth’ yang sebenarnya di sana, entah itu mayat atau sesuatu yang membuat Renata kembali menapak ke realita.

Selain misterinya yang jadi bloated, pesan film ini juga tampak agak terlalu melebar. Meskipun memang sutradara sekuat tenaga berusaha mengembalikan ke ‘jalan yang benar’. Awalnya film ini tampak seperti kisah peringatan atau malah sindiran untuk tidak terlalu ekstrim dalam menerapkan ajaran agama. Tapi ternyata bukan ajaran agama saja yang berbahaya jika kita gak rasional dalam ‘mengonsumsinya’ Karena kita lihat Renata justru sebenarnya terpengaruh oleh apapun yang ia dengar di televisi. Pembahasan soal perempuan saling support juga berkembang jadi aneh, lantaran turns out cerita ini berakhir dengan pembunuhan antarkarakter perempuan. Bahasannya utama seperti malah jadi soal pelakor. Seolah ini jadi thriller atau horor pelakor, ‘genre’ yang memang sempat surprisingly laku di skena horor lokal tahun lalu.

 

Motivasi  Renata sebenarnya cukup clear. Dia pengen menuhin janji suci. Dia rela bertahan walau suaminya kasar. Tapi sang suami langsung mau pisah begitu dia gak bisa punya anak. Jadi Renata pengen take control back. Persoalan pelakor malah menginterfere. Karena ini harusnya adalah soal dia dengan suaminya. Apalagi film membuat seperti sebuah momen kemenangan ketika Renata membunuh Ana. Melebihi momen saat Renata akhirnya ‘berkonfrontasi’ dengan Edwin. Penonton di studioku pada bersorak. Padahal seharusnya ini adalah thriller psikologis seorang perempuan yang jadi ‘rusak’ mentalnya karena situasi yang menekan. Peristiwa pembunuhan itu harusnya dilihat sebagai proses downward spiral yang tragis, journeynya seharusnya yang ditekankan. Bukan ke soal ‘ternyata istrinya yang membunuh!’

 




Aku senang mulai banyak yang bikin, namun begitulah sayangnya, aku melihat tren genre psychological thriller di film kita. Seperti miss bahwa harusnya ya tentang psikis seseorang yang mengelam, bukan tentang orang psycho (alias ‘gila’)  Bukan soal kejutan di akhir bahwa karakter utamanya ternyata ‘gila’, melainkan lebih ke menggambarkan proses yang membuat si karakter terjun ke dalam kegilaan. Apakah dia memilih, atau didorong tanpa punya pilihan. Filmnya harusnya bukan cuma tentang ‘lihat dia jadi gila karena keadaan atau sistem masyarakat’ dan lalu ditutup dengan kegilaan yang dibaurkan dengan momen seolah kemenangan, seolah ‘rasain tuh sistem!’ Harusnya tidak ada kemenangan. Sehidup Semati mirip sama Sleep Call (2023). Pemeran utamanya sama, karakternya mirip. Direveal punya kondisi yang mirip. Sleep Call sebenarnya melakukan soal journeynya dengan lebih baik, tapi film itu messed it up dengan reveal bahwa karakternya sudah berbakat gila sedari awal. Masih tetap seputar revealing mengejutkan. Sehidup Semati memainkan atmosfer thriller dan misteri dengan lebih baik, karakter-karakternya lebih menantang, tapi seperti puas di revealing dan dengan awal journey yang tidak ditegaskan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEHIDUP SEMATI

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian di manakah batas seorang perempuan yang setia dan taat bisa disebut bego seperti kata Asmara? Pantaskah mereka kita sebut bego?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TERRIFIER 2 Review

 

“Evil wants what it wants and won’t stop until it’s won or you kill it. And the only way to kill it is to be meaner than evil.”

 

 

Ini pertama kali aku kenal Art the Clown. Aku gak nonton film pertamanya. But, sekarang halloween, dan aku dengar sekuel dari film 2016 lalunya tayang, dan jadi hit box office di Amerika. Awalnya aku mutusin ikut nonton, mau bandingin aja horor laku di negara kita ama negara mereka sama-sama bego atau tidak. So, yea. Art the Clown ternyata badut yang lebih gila dari yang kusangka. Jahat. Sadis. Setan. Brutal. Jijik. Sinting. Edan. Busuk. And I like it!

Aku pun lantas tahu bahwa aku baru saja ‘berkenalan’ dengan ikon slasher modern yang sebenarnya. Art the Clown seperti didesain menjadi gabungan sekaligus berlawanan dengan ikon-ikon slasher dari 80-90an. Dia pendiam seperti Jason dan Michael Myers, tapi sekaligus usil dan berisik seperti Freddy Krueger. Bisa dibayangin tidak? Baiknya jangan deh, ntar mimpi buruk. Art juga dibikin gak bisa mati, dan seperti punya kekuatan mistis yang membuatnya bisa masih ‘aktif ya bun’ walau di kepalanya sendiri ada lubang menganga bekas peluru. Art juga bisa muncul di tempat-tempat yang mustahil, seolah bisa berteleport. Senjata pembunuhnya dibikin komikal, Art ke mana-mana membawa karung plastik berisi berbagai perkakas yang digunakannya untuk menyerang, mulai dari pisau berkarat hingga rantai.  Seperti badut-badut kebanyakan, Art memang hobi memainkan trik dan ketawa-ketawa, tapi ‘selera humor’ Art sungguh-sungguh menyakitkan bagi orang lain. Badut setan ini menganggap orang kesakitan itu lucu! Jadi, Art akan menyiksa korbannya, dan dia melakukannya seolah sedang bermain-main. Setelah mengelupasin batok kepala orang sehingga keliatan otak dalam salah satu adegan film ini, misalnya, Art akan ketawa dan tepuk tangan melihat korbannya itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Ketawanya si Art bukannya nyaring dan mengerikan menyumpah serapah kayak Freddy, melainkan ketawa tanpa suara. Namun film membuatnya seolah jeritan korban menjadi suara tawa Art. Di lain adegan, suara rekaman di rumah hantu dijadikan seolah suara Art menikmati ‘show berdarah’ buatannya sendiri. David Howard Thornton benar-benar great menghidupkan psikonya, jahatnya, badut ini lewat mime yang seringjuga kocak tapi dijamin selalu creepy. Pennywise jadi kayak anak pesantren jika dibandingkan dengan Art.Film ini actually ngasih eksplorasi soal siapa – atau lebih tepatnya – apa sebenarnya si Art ini, ada pengembangan lore yang dilakukan sekaligus dengan mengaitkannya dengan apa yang sepertinya sebuah gagasan yang dikandung oleh cerita di balik semua pembunuhan berdarah itu.

Michael Myers bisa istirahat dengan tenang, karena ini waktunya era badut!!

 

Oh boy, menyebut ‘pembunuhan berdarah’ sebenarnya sangat-sangat mengecilkan apa yang ditampilkan oleh film ini. Berita soal banyak penonton bioskop di Amerika yang muntah, hingga sampai pingsan, yah sekarang aku yakin itu bukan strategi marketing biar viral. Aksi kekerasan film ini sungguh-sungguh di level repulsive yang tinggi seperti demikian. Kayaknya sudah lama aku enggak panas-dingin nonton horor yang gore. Sutradara Damien Leone gak sungkan-sungkan! Dia menampilkan adegan potong kepala, full on-cam. Adegan ngelupas-ngelupasin kulit. Kepala meledak. Body horror dengan efek yang jijik. Kekerasan kepada anak – Art gak pandang bulu, cowok, cewek, anak kecil, orang dewasa, semuanya disayat-sayat dan dibikinnya bermandi darah. Leone tahu persis bikin horor – apalagi slasher ampe gore-gorean (istilah serem buat jor-joran, hihihi) – kudu bikin protagonisnya tersiksa luar dalam. Itulah yang ia pastikan. Protagonis cerita ini, si Sienna, dan adiknya, dan juga manusia-manusia lain yang ketemu dengan Art (baca: yang jadi korban) bener-bener dibikin berdarah-darah. Efek praktikal yang digunakan menambah pekatnya level sadis dan jijik film ini. Membuat semua ‘pembunuhan berdarah’ film ini terasa real, maka jadi makin menyeramkan. Satu adegan yang buatku benar-benar merasa gak nyaman adalah ketika Art muncul menyambut dan membagikan permen kepada anak-anak yang lagi trick or treat. Permennya ditarok di kepala korban dong! Kepala yang sudah dipenggal itu, dibuka batoknya, trus ditempat yang tadinya otak, diganti jadi buat naro permen-permen, dan si Art dengan gaya biasa aja bagiin permen seolah kepala itu adalah baskom yang sudah dihias kayak kepala. Salah satu anak yang ngambil permen dengan polosnya bilang “Ih, jijik lengket” karena di permennya masih ada darah beneran (atau malah sel otak, ewwww) dari orang yang baru saja diacak-acak isi kepalanya! Sick man!!

Bukan cuma darah, there’s literally shit in this movie. Aku yang udah antisipasi bakal ketemu adegan menjijikkan saja gak siap begitu si  Little Pale Girl, tahu-tahu menumpahkan limbah coklatnya ke lantai. Just “Proottt!!”. ‘Ya Allah lindungilah kami dari setan yang terkutuk’ moment banget!! Di film ini Art diberikan semacam sidekick yaitu badut anak kecil, yang interesting, bukan saja karena diperankan tak kalah meyakinkan oleh Amelie McLain (kok anak-anak barat bisa bagus sih kalo akting?) tapi juga karakternya yang dibentuk sebagai ambigu. Gak jelas apakah cewek cilik ini hantu atau sesuatu yang lebih simbolik dan lebih sinister. Kalo kalian pengen tahu, mungkin nanti malam bisa tanya langsung PAS DIA DAN ART DATANGKEKAMARMU!!!

Yang jelas kalo kalian bertanya kepadaku, jadi apakah ini film eksploitatif yang ‘murahan’ yang hanya gore-fest saja? Maka aku akan menjawab “Iya dan tidak”. Soal murah, memang film ini tipikal low-budget movie, namun dia berpesta pora dengan apa yang ia punya. Film ini menyuguhkan yang terbaik dari segi visual, kebrutalan, desain produksi dan estetiknya, hanya dengan budget yang tidak di level studio raksasa. Malah konon, film ini difund  sum-sum oleh para penggemar yang menginginkan sekuel dari cerita Art. Dari orang-orang sakit yang mendukung film ini jadi lebih sadislah kita mestinya berterima kasih. Serius. Jangan ngarep deh studio gede bikin yang penuh resiko dan melanggar batas kayak yang film ini lakukan. Makanya penggemar horor harusnya merayakan ini. Lalu, untuk soal ‘hanya gore-fest’, aku dengan bangga bilang tidak karena film ini actually berusaha menjadi lebih daripada itu. Terrifier 2 berusaha untuk menjadikan elemen mistisnya bukan sekadar cheap supernatural, melainkan jadi surealis yang ARTsy (alias banyak si Art-nya hihihi) Sureal film ini terutama datang dari si Little Pale Girl, ketika eksplorasi power Art, dan terutama ketika menggali koneksi antara Art dengan protagonis cerita. Film ini ada meggunakan menakuti lewat mimpi, yang adegannya cukup panjang. Biasanya aku gak suka adegan mimpi, tapi film ini melakukannya dengan benar karena mimpi tersebut tidak dibentuk untuk mengecoh ‘udah serem-serem taunya mimpi’, melainkan kita diingatkan ini mimpi. Adegannya seramnya diselingi shot si Sienna lagi tidur, dan tidurnya gelisah. Mimpi ini adalah bagian dari galian karakterisasi, karena inilah waktu film menyelami psikologis Sienna. Dia memimpikan Art, dan mimpinya itu crossover dengan dunia nyata. Adegan tersebut jadi mengsetup banyak elemen cerita, tanpa kita merasa terkecoh melainkan jadi berpikir. Film ini bukan tipe gore yang kita tinggal istirahatin otak untuk bisa menikmatinya.

 

Aku, ketika teror sudah usai, tapi ternyata ada mid credit scene dengan Chris Jericho!

 

Film slasher biasanya tak ngembangin karakter karena tahu penonton bakal lebih suka untuk peduli sama karakter pembunuh maniaknya. Terrifier 2 gak mau jadi fllm slasher yang biasa. Adegan mimpi yang panjang itu jadi bukti Terrifier 2 peduli sama karakter manusia, dan benar-benar punya plot dan pengembangan untuk protagonisnya. Jadi ceritanya, Sienna dan adik cowoknya, Jonathan, yang masih 12 tahun, masing-masing sedang dealing with kematian ayah mereka yang sepertinya seorang komikus. Apa yang terjadi pada ayahnya mereka ini penting, dan direveal bertahap oleh film. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Film masih menyisakan ruang untuk misteri dan kita berteori.  Yang jelas, si ayah meninggalkan buku yang berisi kasus-kasus si Art kepada Jonathan dan karakter superhero (wanita berarmor dan bersayap ala Valkyrie) kepada Sienna, yang actually membuat sendiri kostum sang superhero untuk halloween. Implikasinya adalah si ayah tahu tentang Art dan percaya Art bisa dibunuh dengan pedang si superhero. Koneksi ini, plus kedua kakak beradik ini juga bisa melihat The Little Pale Girl membuat Art menjadikan mereka sasaran utama. Sienna (Lauren LaVera tampak perfect di kostu, eh di perannya ini) kini harus berjuang untuk benar-benar bisa menjadi superhero bagi keluarganya, menyelamatkan mereka dari Art.

Ada drama keluarga yang legit membahas grief dan koneksi dari anggota keluarga yang ditinggalkan misteri di balik ini gore-fest yang memang jadi sajian utama. Drama dan konflik yang lebih personal yang dibuat oleh film tidak punya easy answer. Terrifier 2 tidak memberikan jawaban apa-apa. Melainkan membuat kita lebih berpikir lagi karena sekarang drama dan mistis dan lore dan koneksi ajaib para karakter, dan bahkan something dari film pertamanya, jadi satu. Jadi puzzle besar, yang setiap kepingannya begitu aneh, untuk kita susun. Film ini bijak tidak memberikan jawaban, melainkan memastikan ceritanya masuk ke dalam logika dunia yang mereka ciptakan. Inilah yang harusnya dilakukan oleh film-film horor. Bukan semata menciptakan misteri, kemudian memberikan jawabnya – or worse, bertingkah seolah ada jawaban untuk misterinya (“Ayo penonton yang bisa menangkap clue-cluenya berarti kalian cerdaasss”). Melainkan memberi ruang bagi penonton untuk menyelami misteri tersebut. Untuk berteori, kemudian merasa ngeri sendiri. Terrifier 2 memberikan itu semua kepada kita. Momen untuk jerit-jerit. Momen untuk mual. Momen untuk bergidik. Momen untuk refleksi ke karakter. Momen untuk menebak dan berteori, tanpa harus tahu mana yang benar-mana yang salah.

Teoriku, alasan Sienna dan Jonathan bisa melihat The Little Pale Girl seperti Art, adalah karena selain sebagai sosok ‘hantu’ si badut cilik ini adalah simbol darkness dalam diri. Sienna dan Jonathan bisa melihat karena mereka punya sisi kelam akibat ditinggal ayah. Itulah kenapa Art menyasar mereka. Karena untuk membunuh setan, manusia harus melakukan hal yang lebih kejam daripada setan itu sendiri. Sienna dan Jonathan bisa melihat si cilik, jadi bukti bahwa mereka berpotensi jadi ‘bahaya’ bagi Art. Terutama si Sienna, yang punya jiwa pemberani yang belum ia sadari. Jiwa yang jadi pembeda dirinya dengan Art. Makanya juga si karakter dari film pertama dimunculkan, karena dia survivor Art, yang actually jadi sinting seperti Art. Dia tidak punya yang dimiliki Sienna. Sifat pemberani dan heroik, yang lebih lanjut disimbolkan oleh armor, sayap, dan pedang kostum Valkyrie yang Sienna kenakan.

Art the Clown yang tak bisa mati sejatinya diniatkan oleh film sebagai perwujudan dari evil itu sendiri. Dan yang namanya evil tidak bisa dibunuh. Kenapa? karena untuk membunuh evil, seseorang harus bertindak lebih setan daripada si evil itu sendiri. Sehingga jadi semacam kejahatan melahirkan kejahatan. Ya, melahirkan. Menurutku itulah makna yang disimbolkan film ketika memperlihatkan kepala Art terlahir dari survivor kebrutalan dirinya. Orang yang selamat dari dirinya yang evil, berarti sendirinya telah menjadi evil yang bahkan lebih brutal. Siklus kejahatan akan terus berulang, jika tidak banyak yang seperti Sienna.

 




Totally, film ini bukan untuk yang faint-hearted, definitely tidak untuk ditonton saat makan (kecuali kalian lagi bikin video challenge try not to vomit) Karena film ini memberikan semua yang diminta, yang diidam-idamkan oleh penggemar horor slasher berdarah, yakni gore brutal yang kelewat real. Badanku literally panas-dingin nonton ini. Tapi aku suka, karena inilah yang kurindukan dari horor sadis. Karakter yang konyol tapi super seram. Suasana yang mencekam tapi ada surelisnya juga. Film ini memberikan itu semua, and more! Karena di sini, karakterisasi, plot, benar-benar diberikan pengembangan. Kita tidak hanya menonton orang-orang mati dibunuh dalam cara yang semakin bikin meringis. Film ini memang ngasih itu, tapi juga ada cerita – drama yang mumpuni di baliknya. Aktingnya juga gak jelek dan cheap kayak film-film horor biasa yang menjual wahana. Malah aku bisa bilang film ini berhasil menciptakan karakter yang bakal ikonik di horor. Antagonis, maupun protagonisnya. Ini adalah kontender legit untuk horor terbaik 2022, asal kita sanggup menguatkan diri untuk bertahan hingga durasinya habis. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TERRIFIER 2

 

 




That’s all we have for now.

Apa yang membuat karakter horor bisa menjadi ikon? Apakah kalian punya kriteria tertentu?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MEN Review

 

“No one can send you on a guilt trip without your permission”

 

 

Sebagai cowok, tak bisa kupungkiri, tuntutan untuk tampil ‘kuat’ itu seringkali memang ada. Bahkan dalam bentuk terkecil, lingkup sehari-sehari sekalipun, cowok sedapat mungkin diharapkan untuk tidak menunjukkan kelemahan. Tidak memperlihatkan sisi ke-vulnerable-an. Mau itu kenalan atau berdebat, cowok harus memulai duluan, dan harus dapet the last word. Kalo dibales, lawan terus. Cowok juga pantang nunggu disuruh, harus langsung take action. Permisi? Gak perlu izin-izinan. Cowok harus bisa ambil inisiatif duluan. Tuntutan-tuntutan sosial seperti itu memupuk ego para cowok. Hingga ke titik gak sehat cowok harus terus menunjukkan dominasinya. Walaupun mereka tahu mereka yang salah, walaupun mereka tahu mereka yang ngarep, mereka yang butuh, cowok akan melakukan apapun untuk assert the dominance.  Akar konflik utama dalam Men, horor simbolik terbaru Alex Garland basically adalah cowok yang mengemis untuk dimengerti oleh ceweknya, tapi karena dia cowok, maka ia menunjukkan itu dengan membuat semuanya jadi toxic, menyengsarakan, dan mengerikan bagi semua orang. Terutama bagi ceweknya.

Cewek yang dimaksud bernama Harper (diperankan oleh Jessie Buckley yang benar-benar ngasih gambaran seseorang yang terluka dalam secara emosional). Harper menyewa rumah untuk beberapa hari di pedesaan di Inggris.  Niatnya sih dia mau healing, karena baru saja mengalami ‘perceraian’ yang dahsyat dengan suami. Mereka bertengkar, Harper ngancem pergi, dan si suami ngancem akan bunuh diri kalo Harper pergi. And he did it. Harper menyaksikan raut hopeless suaminya saat pria itu terjun dari atap apartemen. Adegan peristiwa itu yang terus terbayang di benak Harper sehingga dia berlibur ke desa untuk menghilangkan semua itu. Namun orang-orang di desa itu tampak gak beres. Semua pria yang Harper temui di sana, mulai dari empunya rumah, polisi, anak remaja, hingga pendeta (kesemuanya diperankan oleh aktor yang sama, Rory Kinnear) cenderung mempersalahkan dirinya. Mengjudge dia atas hal-hal yang ia lakukan, termasuk perihal kematian suami. Keadaan menjadi semakin menakutkan bagi Harper tatkala seorang pria misterius tanpa-busana muncul di halaman rumah sewaannya.

Seolah dia adalah Adam, yang ingin menuntut tanggung jawab dari Harper yang jadi Hawa

 

Rural atau Folk Horror yang efektif selalu menggali lebih dalam daripada sekadar orang kota berkunjung ke desa yang ternyata mengerikan. Walaupun memang tak sedikit juga horor yang bekerja cuma sampai pada level desa dipandang sebagai tempat yang angker, atau kuno, dan sebagainya, tetapi sesungguhnya yang namanya horor selalu berasal dari dalam. Untungnya, Alex Garland paham hal tersebut. Dalam Men ini, Garland tidak membuat film dangkal yang horornya berasal dari luar. Ya, orang di desa yang dijumpai oleh Harper bertingkah aneh, kurang ajar, dan menyeramkan. Tapi benarkah demikian? Garland mengangkat pertanyaan tentang itu dengan membuat pria-pria tersebut diperankan oleh aktor yang sama. Apakah ceritanya mereka semua kembar? Tentu tidak. See, yang namanya film selalu adalah soal perspektif. Maka, Garland mengarahkan kita untuk melihat orang yang melihat mereka semua sebagai orang yang sama. Kita difokuskan kepada Harper. Perempuan yang berkunjung demi melupakan traumanya. Trauma inilah yang sebenarnya jadi sumber horor yang dirinya alami selama di sana. Trauma inilah yang harus dia resolve, yang harus ia konfrontasi supaya benar-benar bisa ‘sembuh’. Dengan itulah, Men menjelma menjadi rural horor yang efektif karena dia menggali horor bersumber dari emosional karakter utamanya.

Garland menggunakan kontras untuk menguarkan perasaan terasing. Desa yang hijau dan tampak sungguh hidup kayak lokasi negeri dongeng dapat jadi tempat yang begitu terpencil rasanya bagi Harper. Rumah nyaman dapat jadi creepy dan berbahaya saat dirinya sendirian, Selain itu, banyak simbol-simbol, metafora, yang digunakan Garland untuk menggambarkan keadaan horor yang menghantui Harper. Salah satu simbol yang ia gunakan adalah simbol agama. Begitu Harper sampai di rumah sewaan di desa di menit-menit awal cerita, Garland sudah langsung menanamkan pohon dan buah apel di layar. Dengan segera menekankan antara persamaan antara Harper yang memetik apel tanpa ijin dengan Hawa. Poin Garlan di sini adalah bahwa perempuan dipersalahkan. Poin yang jadi Harper’s belief sebagian besar durasi.

Memahami film ini memang agak tricky. Apalagi membuatnya, aku yakin. Kenapa? Karena ini adalah cerita yang mencoba membahas relasi antara laki-laki dan perempuan, antara maskulin dan feminim, yang ceritanya dibuat oleh laki-laki, tapi mengambil sudut pandang perempuan. Bahkan, aku mereview ini saja ngeri. Takut terdengar seperti mansplaining perasaan yang dialami oleh perempuan dalam posisi Harper. Perempuan yang merasa dipersalahkan. Yang dituduh telah menyebabkan suaminya bunuh diri. Dia percaya dia gak salah, bahwa suaminya mati karena pilihan sendiri. Bahwa mereka bertengkar karena suaminya semakin toxic. Begitu banyak film yang membahas mengenai perempuan di dunia yang didominasi oleh racun maskulinitas pria, yang mencoba mengangkat sudut pandang perempuan sebagai korban dan membuat semua karakter pria sebagai misoginis brengsek. Film-film itu biasanya membuat protagonis perempuan yang gak-punya salah dan keseluruhan film menunjukkan bagaimana dunia terbentuk menjadi tempat berbahaya bagi perempuan. Film Men ini tidak seperti itu. Di sini letak tricky-nya. Tentu, film ini tidak meleng dari perangai pria yang lebih suka menyalahkan perempuan daripada ngakuin ke-vulnerable-an sendiri, tapi Men juga berani mengangkat bagaimana perempuan juga tidak sepenuhnya benar. Karenanya, salah-salah film ini bisa terlihat sebagai kelitan pria bahwa sebenarnya mereka gak bersalah.  Harper memang punya salah. Dia merasa dihantui seperti itu (mendengar gema suaranya aja dia jadi takut sendiri) tentu karena dia merasa bersalah terhadap sesuatu. Nah, penggalian terhadap itulah – realisasi Harper terhadap salahnya apa – itulah yang berusaha dihadirkan film yang have no choices menceritakannya dengan simbol-simbol dan penggambaran membingungkan. Semata karena film ingin respek terhadap sudut pandang yang berusaha digambarkan.

‘Kesalahan’ Harper cuma dia membiarkan dirinya kena guilt trip dari suami, dan kemudian dari para pria di desa, dengan terus avoiding confrontation. Hanya setelah dia mau duduk membicarakan masalah dengan para horor di akhir cerita itulah, Harper akhirnya menemukan kedamaian. Bahwa dia kini yakin dirinya sepenuhnya tidak-bersalah, tidak ada lagi ruang keraguan. Yea, Harper mungkin mematahkan hati suaminya (digambarkan lewat para pria di desa yang patah kaki dan tangan terbelah karena ‘ulah’ Harper membela diri) tapi bukan dirinya yang membuat suaminya bunuh diri. Dengan menunjukkan ‘kesalahan’ Harper, film ingin memperlihatkan bahwa most of the time perempuan bisa terus dipersalahkan hanya karena sikap pria yang tak terkonfrontasi.

 

Adegan hamil paling disturbing!!

 

Jika penampilan eerie Kinnear yang begitu luas rangenya itu belum berhasil bikin kalian takut, jika segala kilasan imaji-imaji patung nan surealis belum bikin kalian merinding, jika gema suara Harper belum bisa bikin kalian merapatkan kepala ke dalam selimut, well, Men masih punya satu senjata-horor lagi.  ‘Senjata’ yang berhasil bikin film ini jadi salah satu horor tergila. Garland juga menyiapkan elemen body-horor ke dalam cerita. Menjelang akhir kita akan disuguhkan pemandangan disturbing ketika si pria telanjang misterius melahirkan seorang pria, dan pria itu melahirkan pria lain yang dijumpai Harper di desa. Siklus melahirkan yang terus berulang. Membayangkan adegan cowok melahirkan aja udah bikin makan malam serasa mau melompat keluar. Film ini punya berkali-kali melahirkan bukan bayi tapi manusia dewasa, lengkap dengan darah dan cairan ketuban, dan ditambah ngeri pula dengan ‘lubang’ lahir yang berbeda-beda. Ada yang menyeruak dari punggung, ada yang dari mulut, ugh! Benar-benar horrifying! Semengerikan makna yang dikandungnya. Bahwa cowok di mana-mana sama, dan mereka seperti itu karena turun-temurun dibesarkan dengan pandangan – atau juga tuntutan – untuk menjadi toxic seperti yang sudah kujelaskan di pembuka ulasan.

Ngomong-ngomong soal makna, film Men yang sedari awal enak untuk dikulik dan dipikirkan mendadak terasa kayak cuek di akhir. Simbol dan kejadian-kejadian sureal diarahkan untuk menjadi ambigu dalam usaha film untuk tak terlihat menyalahkan karakter perempuannya. Ambigu, sampai-sampai di akhir cerita penonton malah jadi tidak yakin apakah semuanya nyata atau tidak. Jika ini tidak nyata, tapi toh film memperlihatkan bekas-bekas kejadian. Tapinya lagi jika nyata, film memperlihatkan banyak hal yang mengundang pertanyaan bagaimana bisa itu semua beneran terjadi tanpa ngasih jawabannya. Semuanya tampak seperti dilempar sebagai open interpretation, walaupun di titik akhir itu kita bisa menyimpulkan makna dan gagasan cerita. Menurutku pilihan ini dapat membuat penonton jadi bingung dan merasa tidak ada pay-off. Dan aku gak yakin ini film membuat pilihan yang benar dalam mengakhiri ceritanya.

 

 

Dari rural horor ke body horor, sesungguhnya film ini adalah gambaran horor yang surealis dari tantangan /kesulitan yang harus dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya film ini terasa disturbing luar dalam. Luarnya penuh imaji yang aneh dan benar-benar bikin gak nyaman. Dimainkan dengan luar biasa sehingga nuansa creepy itu benar-benar terdeliver. Sementara dalamnya sukses bikin kita tercenung, merenungkan relasi perempuan dan laki-laki yang kian gak-sehat. Film berusaha respek dan tidak ikut menyalahkan satu pihak, sehingga pada akhirnya memilih untuk menjadi ambigu. Dan dengan menjadi itu, film sedikit kehilangan powernya. But in the end, film ini tetap salah satu penceritaan horor yang menohok. Terasa beneran seram karena mengangkat hal dari dalam. Hal yang memang beresonansi dengan permasalahan mendasar manusia. Women and men.
The Palace of Wisdom gives 7.5  out of 10 gold stars for MEN

 

 

That’s all we have for now.

Menonton film di atas, apakah ada terbersit dalam hati untuk merasa kasian kepada laki-laki tokoh ceritanya? Bagaimana pendapat kalian tentang si pria-hijau-telanjang?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE GREEN KNIGHT Review

“A man was defined not by his flaws, but by how he overcame them”

 

Mendengar kata Ksatria, yang terlintas di pikiran kita adalah sikap yang terhormat. Tangguh, berani, jujur, dan kuat. Jika mencari sosok, pikiran kita akan mendarat kepada Arthur dan Para Ksatria Meja Bundar. The Green Knight, dari sutradara David Lowery, bukanlah epos perjuangan menarik pedang dari batu, melawan naga dan penyihir atau apa. Lowery lebih tertarik kepada kisah Sir Gawain, anak muda keponakan Sang Raja. Gawain belum sepenuhnya menyandang gelar Ksatria karena dia belum punya petualangannya sendiri. Dia belum membuktikan keberanian dan kegagahannya. Dia belum punya cerita kepahlawanan untuk dikisahkan. Dalam film ini, Lowery bahkan membuat Gawain semakin relate lagi kepada kita yang rakyat jelata. Tes yang harus dilalui Gawain di sini, di balik semua simbolisme dan fantasi-fantasi sureal, adalah perjalanan manusia mengarungi godaan. Entah itu godaan gender, harta, atau godaan duniawi lainnya. Sehingga hampir seperti sebuah perjalanan spiritual. Karena jikapun ada musuh yang harus dikalahkan Gawain dalam ujian yang membuatnya bertualang mencari Green Knight, maka musuh itu adalah dirinya sendiri. 

green9c8f83a3bc6101c545f061461a157533384de909
Dirinya yang pejuang procastination, seperti kita

 

Duh, Gawain ini ya, adegan pertamanya aja dia diperlihatkan diguyur air oleh pacarnya, karena bangun kesiangan. Ketika ditanya tentang menjadi Ksatria, Gawain hanya menjawab enteng bahwa dia masih punya banyak waktu. Ibu Gawain sendiri (dalam cerita Lowery, ibu Gawain adalah Morgan si Penyihir) mulai mencemaskan sikap putranya yang kayak enggak serius untuk membuktikan diri sebagai Ksatria. Makanya ibu tanpa sepengetahuan seorangpun, lantas mempersiapkan tes untuknya. Saat jamuan malam Natal bersama Raja Arthur dan para Ksatria di Istana, ibu Gawain meng-summon Green Knight – setengah manusia setengah pohon – ke tengah-tengah meja bundar mereka. Green Knight mengajukan sebuah permainan. Bagi seorang Ksatria yang berani maju dan melukainya, Green Knight akan memberikan Ksatria tersebut senjata sakti. Dengan syarat dan ketentuan berlaku: setahun ke depan si Ksatria tadi harus ke Green Chapel enam malam di utara, di mana Green Knight akan menunggu untuk melukai Ksatria tersebut dengan cara yang persis sama dengan yang dilakukannya kepada Green Knight pada malam ini.

Aku gak bangga dengan ini, tapi aku tau kalo aku ada di sana, aku gak akan mengajukan diri. Kalopun terpaksa, aku hanya akan menebas pelan tangan si Green Knight, atau semacam itulah. Dan itulah sebabnya kenapa Gawain adalah karakter yang lebih memorable dan menarik. Dan juga kenapa Dev Patel seribu kali lebih pantas jadi karakter ini. Karena karakternya kompleks, dan Patel mampu berbicara – menyampaikan banyak – lewat bahasa tubuh dan pancaran matanya saja. Gawain bukan semata seorang yang gak mikirin masa depan. Lewat tatapannya saat ditanya Raja, kita paham Gawain sebenarnya pengen sekali menyandang gelar Ksatria. Dia ingin dipandang terhormat. Tapi dia meragukan dirinya sendiri, yang penuh oleh sikap-sikap yang ia tahu bukan sikap pahlawan banget. Dia meragukan keberaniannya, dia bahkan gak yakin dirinya cukup berani atau cukup tabah menghadapi tantangan. Gawain ini jadi setengah-setengah.

Sikapnya tersebut langsung kita lihat saat dia dengan berani menjawab tantangan Green Knight, tapi kemudian ragu untuk menyerang. Si Green Knight harus menyerahkan diri dulu, lalu membuang senjatanya dulu, dan itupun belum cukup untuk membuat Gawain berani menyerang. Dia masih takut. Ragu. Ketika Green Knight menyodorkan batang leher, barulah si Gawain beraksi. Dan dalam usaha untuk menyelamatkan muka, Gawain melakukan hal yang sedikit berlebihan dengan menebas putus leher si Green Knight. Si Ksatria sihir itu bangkit tanpa merasa sakit, dan pergi meninggalkan Gawain yang menyadari tahun depan giliran kepalanya-lah yang menggelinding di tanah. Namun bahkan dengan nasib yang sudah ditetapkan seperti itu, Gawain masih belum gerak. Setahun yang diberikan bukannya dia habiskan dengan menempa keberanian, melainkan malah membuatnya semakin ‘meringkuk’ ketakutan. Begitu udah deket-deket deadline, setelah dibujuk-bujuk oleh Raja, dihibur dan disemangati oleh pacar, dan dibekali oleh ibu sabuk ajaib yang membuatnya tak akan bisa terluka, barulah Gawain berangkat menyelesaikan tantangannya.

Inilah kenapa buatku film ini lucu sekali. Lucu dalam artian tragis dan miris sih. Karena Gawain ini udah kayak sentilan kepada kita semua. Kita juga tahu kita semua akan mati. Kita tahu waktu kita terbatas di dunia, tapi apa yang kita lakukan dalam mengisinya? Berapa banyak dari kita yang masih berkubang dalam meragukan diri. Yang menunda-nunda beraksi karena gak yakin kita ini good enough. Berapa banyak dari kita yang menyerah pada godaan, yang melipir dalam perjalanan mengejar tujuan, karena kita takut gagal dan takut pada apa yang ada di ujung sana. Cerita Gawain boleh jadi adalah tentang perjalanan menemukan kehormatan dengan menerima kelemahan-kelemahan diri, tapi bagi kita cerita ini juga bisa jadi cermin refleksi atas sebetapa sedikitnya hal yang baru berani kita lakukan dalam kurun hidup yang terbatas ini. 

 

Bahkan dalam perjalanannya pun, Gawain tampak seperti belum sadar bahwa sekaranglah saatnya dia membuktikan diri. Babak kedua film ini adalah adventure Gawain yang bertemu dengan beragam orang, beragam kejadian (bayangkan petualangan Kera Sakti mencari kitab suci dan bertemu dengan banyak siluman di sepanjang jalan) Sebenarnya semua yang ditemui Gawain tersebut adalah bagian dari tes dari sang ibu, yang aku bayangkan pastilah risau sekali melihat anaknya gak benar-benar belajar. Dalam setiap tantangan, Gawain lulus tapi tidak dengan, katakanlah, perfect skor. Beberapa kali dia seperti nyerah gitu aja, sebelum akhirnya bangkit karena ‘bantuan’ ilusi. Ketika dia membantu seorang hantu mencari kepala di dasar danau, Gawain dengan ‘polosnya’ nanyain imbalan. Ketika dia digoda oleh perempuan kaya yang wajahnya mirip dengan sang pacar (sama-sama dimainkan oleh Alicia Vikander, dengan sama sukses pula), mulut Gawain memang menolak tapi badannya enggak. Dan ketika ada kawanan raksasa, Gawain gak ragu untuk mintak numpang. Aku ngakak.

Greengreen-knight-зеленый-рыцарь-фильм-2020
Beginilah akhirnya kalo malah jadi Ksatria Meja Blunder

 

Tentu saja, film bukan sekadar tentang apa, membaca film bukan saja tentang membahas makna sebenarnya. Melainkan adalah membahas tentang bagaimana film tersebut menjadi apa yang ia sampaikan. Membaca pilihan-pilihan yang diambil pembuatnya dalam menceritakan gagasan. The Green Knight ciptaan Lowery ini adalah dongeng dari dunia yang berbeda. Begitulah kesan yang muncul saat kita menyaksikan film ini. Lowery membuatnya sangat indah. Abstrak. Sureal. Seumpama melihat puisi yang bergerak. Teknik visual dan sinematografi yang ia lakukan di sini benar-benar beda. Benar-benar ajaib. Yang seiring jauhnya perjalanan Gawain, menjadi terasa semakin surealis. Di awal-awal kita ‘hanya’ dimanjakan dengan komposisi warna alam seperti salju putih, kabut abu dan debu. Tapi perlahan warna lain mulai muncul saat film membawa kita ke dunia terbuka. Khayalan dan fantasi semakin tak jelas batasnya. 

Ngomong-ngomong soal warna, yang menarik di sini ternyata bukanlah warna hijau. Melainkan kuning. Yea, I know, kalian mungkin bakal bandingin ama film Indonesia baru-baru ini yang katanya dominan warna/filter kuning. Aku gak nonton film itu, jadi gak bisa bandingin. Tapi yang mau aku bahas di sini adalah warna kuning pekat (nyaris orange) yang digunakan Lowery sebagai warna selempang Gawain, sebagai warna yang mengecat pemandangan saat adegan Gawain menemui Green Knight di Green Chapel, bukanlah digunakan tanpa alasan. Lowery menggunakan kuning dengan shade gelap karena warna tersebut melambangkan sikap pengecut. Yang memang konstan ditunjukkan oleh Gawain. Sesuai sekali dengan konteks adegan saat di Green Chapel tersebut. Dan filter warna tersebut memang hanya muncul pada layar saat Gawain menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Kecemasan, kebingungan, sehingga akhirnya dia kabur. Setelah Gawain berubah menjadi berani, warna itu tidak kita jumpai lagi.

Itulah, di samping dialog-dialog yang memang berima dan diksi njelimet kayak bacaan puisi, film ini memilih untuk bersuara lewat simbol-simbol seperti warna ataupun benda. Karena dedikasinya untuk menunjukkan detil-detil simbol tersebut, maka film ini cenderung akan terasa lambat. Mereka butuh bermenit-menit untuk satu adegan saja. Jika kita ambil poin-poin kejadian, maka kita akan menemukan jumlah yang enggak banyak. Karena poin-poin itu dielaborate dengan segenap detil dan rasa dan makna, sehingga masing-masingnya jadi serupa seni yang ganjil. Sehingga juga, meskipun lambat, film ini tidak akan membosankan. Begitu banyak hal yang bisa kita nikmati, yang bisa kita gali maknanya berseliweran. Lambatnya itu tidak pernah jadi kekurangan. Melainkan, jadi karakter bagi filmnya.

Karena memang film ini, menuruti perkembangan karakternya yang penakut itu, jadi berprokastinasi ria juga. Film petualangan yang normal kan biasanya, seiring tantangan yang ditemukan di jalan, karakternya bakal nambah pembelajaran. Tapi The Green Knight memang tidak pernah diniatkan sebagai film normal. Di sini, udah mau masuk dua jam, tapi Gawain tidak benar-benar belajar apapun. Pembelajaran itu enggak disebar, melainkan ditunda-tunda untuk kemudian ditumpuk; pada adegan krusial menjelang akhir. Gawain mendapat semacam penglihatan dan dia baru belajar dari sana. Karakternya baru berubah menjadi lebih baik – langsung beres – di momen tersebut. Perlakuan development yang seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa film ini tidak terpaku pada struktur bercerita, sementara juga turut menguatkan rasa ganjil yang jadi bumbu utama film ini sendiri. Yang sebaliknya, melihatkan dalam bentuk penglihatan tanpa peringatan kepada kita, juga bisa membuat penonton jadi merasa terkecoh, sehingga sedikit terlepas dari cerita.

 

 

Jadi untuk menyimpulkan, aku kayaknya udah kehabisan kata-kata. Sebuah film bisa menjadi sangat ajaib. Mendongeng kisah pahlawan yang relate sambil tampil abstrak layaknya puisi. Kalian yang meragukan kemampuan film untuk bisa mencapai itu, film ini hadir untuk menantang keraguan tersebut. Untuk menantang storytelling tradisional, dan bahkan menantang legenda itu sendiri. Dan meskipun memang tidak semua tantangan bisa ia menangkan, tapi tidak bisa dipungkiri juga, film ini adalah penceritaan tentang epos kemanusiaan yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE GREEN KNIGHT.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kekesatriaan Gawain pada versi film ini? Mengapa menurut kalian dia pantas/tidak pantas menyandang gelar Ksatria? Bagaimana makna Ksatria itu sendiri di dalam dunia modern ini?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

I’M THINKING OF ENDING THINGS Review

“Living in regret will become your biggest regret.”
 

 
Jika kalian berpikir untuk mengakhiri nonton film ini sekarang – yang berarti mungkin kalian bosan mendengarkan percakapan tak-berkesudahan atau bingung menyelami bacaan puisi; JANGAN! Karena walau karya terbaru Charlie Kaufman ini memanglah sangat kompleks, tetapi ini merupakan tontonan yang berakar kepada emosi yang paling manusiawi dari setiap diri kita. Sehingga film ini bisa jadi teman curhat kita yang paling akrab untuk ngobrolin hal yang paling kita takuti; Eksistensi, cinta, dan waktu.
Awalnya film ini seperti sebuah cerita tentang cewek yang ingin mengakhiri relationship-nya yang buruk. Kita mendengar suara hatinya menarasikan betapa dia dan pacarnya, Jake, udah gak semenarik dulu. Dan bahwa ‘dulu’ di sini aja dia udah lupa pastinya kapan. Si cewek merasa hubungan mereka masih lama padahal masih relatif baru; sebegitu jenuhnya dia dengan hubungannya. Dia bermaksud ingin mengakhiri itu semua, setelah perjalanan terakhir (dan pertama) mereka ini. Jake mengajaknya untuk bertemu dengan kedua orangtua Jake. Kita menonton perjalanan mereka, berkendara dengan mobil sementara salju mulai turun di luar. Kita mendengar bincang-bincang mereka – tentang eksistensi, tentang karya-karya klasik, tentang apapun. Ketika sampai di rumah orangtua Jake, keanehan pada kejadian di film ini sudah tidak bisa kita dianapungkiri lagi. Film semakin bernuansa sureal tatkala ibu dan bapak Jake tampil kadang tua, kadang muda, kadang tua lagi. Dan untuk menambah kerutan di jidat kita, film juga semakin sering meng-cutback ke seorang janitor tua yang sedang sendirian di gedung sekolah. Apa hubungannya si Janitor Tua dengan si tokoh cewek dan Jake?

Strangely, film ini membuatku baper

 
 
Di dunia cerita yang seperti mimpi dengan banyak hal yang berubah-ubah dan tak-pasti, justru si Janitor yang muncul sporadik di duapertiga durasilah yang merupakan paling konstan. Ketika Jake kelihatan seperti memiliki sikap yang berganti-ganti, ketika kedua orangtuanya dapat dengan jelas kita lihat berubah seperti meloncati periode waktu setiap mereka muncul, dan bahkan ketika tokoh utama kita dipanggil dengan nama yang berbeda-beda, si Janitor tetap berada di sekolah. Sendirian. Menonton film atau mengamati siswa-siswi. Pada satu momen, kita melihat si Janitor selesai menonton romance-fiksi karya Robert Zemeckis (Kaufman masukin nama Zemeckis di film ini udah kayak kalo Garin bikin film dan di film itu tokohnya nonton film rekaan yang disutradarai Hanung) tentang seorang waitress dan kemudian pada adegan makan malam di rumah keluarga Jake sesudahnya, si tokoh cewek disebutkan bekerja sebagai waitress. Di momen lain kita melihat percakapan yang didengar si Janitor, di-recite oleh dua tokoh lain pada adegan berikutnya. Hal yang dilihat dan didengar oleh si Janitor somehow memiliki efek terhadap kejadian yang dialami oleh tokoh utama dan Jake. Menonton film ini dengan menyadari hal tersebut, akan membuka pemahaman baru pada kita karena bahwa ini film ternyata tidak untuk dilihat luarnya saja.
Penampilan tokoh-tokohnya bisa dibilang horor, karena begitu unsettling dan random dan sureal. Salut sama permainan akting para aktor, mulai dari Jessie Buckley, Jesse Plemons, Toni Collette, dan ‘Remus Lupin’ David Thewlis. Dari segi fungsinya, I’m Thinking of Ending Things dikatakan sebagai film thriller, tepatnya psikologikal thriller karena benar-benar menghantui kejiwaan kita dengan komentar-komentar soal penyesalan dan kesepian. Film ini persis seperti gambaran yang disebutkan oleh si tokoh cewek ketika mendeskripsikan lukisan pemandangan yang ia buat. Meskipun kita tidak melihat dengan langsung ada orang yang sedih atau orang yang menyesal, tapi gambar yang disajikan menghantarkan semua rasa tersebut. Kita disuruh untuk menyelam langsung ke dalam gambar-gambar untuk merasakannya. Salju yang kemudian membadai di malam hari yang gelap dan jalanan-jalanan yang nyaris kosong adalah penanda oleh film bahwa yang kita saksikan ini adalah lukisan yang menyuarakan perasaan kelam, dingin, dan sebuah kesedihan. Dan meskipun  kita boleh saja baper oleh si cewek dan Jake (personally I miss having deep conversations about movies, existence, human, and space with ‘that someone’), tapi sebenarnya si Janitor Tua-lah yang didesain untuk dekat dan mewakili kita.
Si Janitor Tua ini adalah seorang ultimate observer. Selain nonton film, sudah begitu banyak orang yang ia perhatikan. Murid-murid yang tumbuh silih berganti di sekolah itu; dia mendengar banyak, melihat banyak, namun tidak ada yang memperhatikannya. Ketika cerita mengambil panggung di rumah Jake, kita dibawa bertandang ke kamar Jake sewaktu kecil dan kita melihat banyak koleksi film dan buku. Dan bukan hanya itu, di basement ‘terlarang’ rumah itu – di dalam mesin cucinya, kita melihat pakaian dengan logo yang sama persis dengan logo pada seragam si Janitor. Inilah benang merah tak-terbantahkan dari apa yang sepertinya merupakan dua narasi terpisah. Bahwa Jake, orang yang kepalanya penuh oleh pengetahuan tentang karya film dan sastra klasik, dan Janitor Tua, orang yang bertahun-tahun berada di tengah pusaran beragam siswa beserta pengalaman dan cerita mereka, adalah orang yang sama.
Tentu, kita dapat membayangkan seperti apa psyche orang seperti Jake. Kita sendiri juga banyak menonton film dan membaca dan kemungkinan besar sering memperhatikan perilaku orang lain di internet atau secara langsung. Semua yang kita baca/amati dapat dengan mudah menjadi bagian dari imajinasi atau cerita yang kita susun sendiri. Dan itulah yang sebenarnya terjadi pada film ini. Semuanya adalah figmen dari imajinasi karangan Jake si Janitor Tua. Dia sudah melihat terlalu banyak sehingga dirinya bisa menciptakan/mengarang cerita tentang kehidupannya sesuai dengan yang ia mau. Makanya adegan dengan orangtuanya memperlihatkan sosok yang berubah-ubah usia, karena karena Jake membayangkan mereka (atau kejadian tersebut) dalam timeline yang berbeda-beda. Mengapa seseorang mengarang ulang cerita hidupnya di dalam kepala? certainly kita pasti juga pernah merasa menyesal melakukan langkah salah dalam hidup dan berandai ‘bagaimana jika saat itu aku begini’. Dalam kasus si Jake ini, kita harus mempertanyakan bagaimana bisa orang yang berwawasan luas seperti Jake bisa berakhir jadi tukang sapu aula? Nah, di sinilah letak penyesalan tersebut.
Penyesalan dapat menghantui hidup kita dalam berbagai rupa. Kita bisa menyesali perbuatan yang telah dilakukan atau menyesali keputusan yang dibuat. Rasa sesal itu juga bisa datang dari sesuatu yang urung kita lakukan, dari kesempatan yang tidak kita ambil. Kita juga menyesal akan sesuatu bagian dalam hidup kita yang sudah usai. Dan terakhir sesal itu datang dengan sangat pahit saat kita rasa dunia ternyata tak seindah yang kita bayangkan. Mengemban keempat jenis penyesalan ini akan membuat hidup sengsara, seperti yang dialami oleh Jake. Dari kejadian di film ini – kejadian karangan Jake tentang sebagaimana mestinya hidupnya – kita bisa menyimpulkan Jake menyesal tidak pernah berani untuk punya pacar, menyesal belum bisa membahagiakan orangtua, menyesal gagal secara karir, dan dia jadi bitter terhadap dunia yang mengacuhkannya.

Jake tidak menyadari ada sesal kelima; yakni hidup bergelimang penyesalan tersebut. Alih-alih memperbaiki hidup, dia malah mengarang cerita dalam kepalanya. Cerita yang sama seperti jalanan bersalju itu. Sempit, dan tak membawa hidupnya ke mana-mana. 

 

Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna

 
Dengan keunikan bahwa ternyata tokoh utama kita adalah bagian dari imajinasi alias seseorang yang tidak nyata, maka dapat dimaklumi jika ada dari kita yang merasa terkecoh oleh film ini. Kirain film tentang bad relationship ternyata film tentang cowok yang gak bisa move on dan kesepian seumur hidup. Things yang ingin diakhiri itu ternyata bukan hubungan pacaran, melainkan sesuatu yang lebih kelam lagi, tergantung dari interpretasi kita. Kaufman sepertinya memang ingin mendobrak struktur tradisional film, tapi tetap saja sineas sekaliber dirinya (mungkin secara tidak sadar) tidak tega merusak kaidah film. Tokoh si cewek diberikannya keinginan dan kendali atas diri. Tokoh ini seperti konsep yang lebih kuat daripada karakter di The Lego Movie (2014) – film itu sangat menarik membuat tokoh utama yang beraksi dan punya free will padahal ternyata mereka tetap saja dimainkan oleh orang lain. Bedanya adalah si cewek ini didesain Kaufman bergerak dengan kemauan sendiri yang merupakan refleksi dari sisi lain Jake. Konsep ini menguatkan konteks dengan sangat hebat. Karena sekarang yang kita lihat sebenarnya itu adalah Jake mengobrol sendiri di dalam kepalanya. Tempat yang seharusnya dia jadi bintang utama – kita melihat dia sampai membayangkan dirinya mendapat award di akhir cerita – tetapi dia tetap ‘dikalahkan’ oleh si cewek; yang notabene adalah tokoh imajinasinya.
Ini mungkin adalah gambaran konflik personal terhebat yang pernah kita lihat di dalam medium film. Kontemplasi karakter benar-benar dimekarkan menjadi fantasi sureal yang tak menye tapi begitu kuat menghantarkan kita ke dalam dinginnya perasaan sedih. Karakter yang ‘kalah’ dengan kepalanya sendiri, menandakan akhirnya dia menemukan kedamaian dan melepaskan sesalnya (walaupun sesaat). Kalo disangka terlalu rumit membayangkan si cewek dan Jake sebenarnya adalah Jake yang berdebat dirinya sendiri yang melihat dari sisi lain, bayangkan saja adegan ketika cewek dan Jake membahas film, namun si cewek bahasannya lebih ‘benar’ ketimbang Jake. Ini kayak kita mau nulis tapi ternyata hasil di dalam kepala jauh lebih bagus ketimbang hasil beneran haha..
 
 
 
So yea, aku gak akan bahas film ini poin demi poin, maksud per maksud, simbol ke simbol. Sebagian karena sutradaranya udah keburu buka kartu. Namun sebagian besar karena menurutku film ini adalah bincang-bincang yang perlu untuk ditonton langsung oleh kalian. Karena film ini sebenarnya bukan soal apa yang sebenarnya terjadi, melainkan perasaan apa yang dihantarkan olehnya. Dan Kaufman, di balik sureal dan teka-teki dan puisi dan reference ke berbagai film, berhasil. Di menit tokohnya mulai ngobrol dengan pikirannya saja, aku sudah tertarik, dan lantas baper saat tokohnya ngobrol berdua. Jadi aku penasaran, rasa apa yang mungkin muncul dari penonton-penonton lain. Struktur naskah bisa jadi memang diabaikan oleh pembuat yang lebih tertarik pada konstruksi visual film adaptasi ini (ratio 4:3 digunakan supaya perhatian kita lebih terfokus), tapi masih bisa ‘worked’ karena sangat efektif dan konsisten dengan konteks gagasan yang ingin disampaikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for I’M THINKING OF ENDING THINGS.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Salah satu dialog dalam film menyebut bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar dirinya akan mati, sehingga manusia menciptakan harapan. Tapi dengan berharap, kita jadi bisa kecewa. Dan kemudian memilih untuk mengakhir semuanya sekarang. Bagaimana pendapat kalian tentang harapan dan penyesalan itu sendiri? Bagaimana kalian cope up dengan perasaan menyesal? Bisakah kita hidup tanpa ada rasa menyesal?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SLENDER MAN Review

“Cure for an obsession: get another one”

 

 

 

Dua orang anak cewek mengajak seorang teman mereka ke hutan. Bukan untuk bermain-main layaknya anak berumur dua-belas tahun yang biasa. Mereka mengajak si teman, untuk ditusuk berkali-kali, demi membuat Slender Man senang. Gilanya; cerita tersebut benar-benar terjadi di Winsconsin, Amerika, May 2014 yang lalu. Sayangnya; film Slender Man tidak banyak mengeksplorasi elemen ini, mereka membuat cerita baru yang semakin mengaburkan aspek utama yang bikin sosok Slender Man itu sendiri menarik; Obsesi.

Sejak kemunculannya di kontes photoshop online tahun 2009, Slender Man memang menarik perhatian orang-orang, khususnya fanatik horor. Cerita karangan fans tentang entitas ini, kejadian-kejadian penampakannya, peraturan untuk dapat melihatnya, tips buat selamat darinya, bermunculan di forum-forum internet. Slender Man jadi semacam urban legend era digital. Bahkan sampai dibuatin software gamenya sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang sudah terobsesi sama makhluk reka ini. Mereka semua ingin percaya makhluk tersebut ada; hingga ke titik puncak; merekalah yang membuat Slender Man eksis di dunia.

Menakjubkan seberapa keras usaha manusia untuk mengejar sesuatu yang kita serahkan hati dan pikiran kepadanya. Obsesi bisa mendorong kita menjadi lebih kreatif, melakukan hal-hal yang tadinya tidak kita bisa. Dan memang menjadi menyeramkan tatkala kita hanya memikirkan satu hal terus menerus dengan berlebihan. Menyangka kita hanya bisa bahagia olehnya saja. Film Slender Man sesungguhnya menawarkan obat untuk obsesi seperti demikian; dengan membuang hal yang kita cinta. Dengan mencari sesuatu yang lain untuk dicintai.

 

 

Selain temanya, film ini punya beberapa ide menarik dan shot-shot gambar creepy untuk membuat kita bertahan menyaksikan. Pencahayaannya membangun suasana gak enak dengan ciamik.Video yang disaksikan para tokoh pada film ini digarap surreal kayak video terkutuk di horor Jepang, Ring (1998) atau The Ring (2002) – versi Amerikanya, jadi gambar-gambarnya yang random itu akan membuat bulu kuduk kita merinding, menghipnotis bukan hanya tokoh film namun jika kita, para penontonnya. Mengenai ide, Slender Man yang menyatroni rumah orang, memanggil mereka lewat video call dan actually menampakkan dirinya lagi melihat apa itu sebenarnya elemen yang serem, lagi seger. Aku akan suka sekali jika bagian tersebut dibahas lebih banyak. Juga ada sekuen horor di perpustakaan, yang memainkan perspektif kamera untuk menghasilkan efek-efek yang disturbing. Tokohnya yang berlarian panik antara rak demi rak, dan gak tau Slender Man bakal muncul di mana. Perasaan ngeri yang hadir saat memainkan gamenya benar-benar terasa di bagian ini.

karena perpustakaan dan buku-buku adalah momok yang nyata bagi remaja

 

Hanya saja Slender Man tidak tahu mau menjadi film seperti apa. Slender Man butuh untuk menjadi film yang senyap. Dalam gamenya, kita gak pernah tahu Slender Man itu munculnya di mana. Kengerian yang menjadi mitos dari sosok ini adalah kita tidak mendengar apa-apa selain suara tapak kaki dan napas kita sendiri. Tapi di film ini, kita tahu setiap kali Slender Man akan muncul. Terima kasih berkat musik gede yang ngasih kisi-kisi dan kesempatan kita untuk membangung antisipasi. Fun nya jadi enggak ada. Terlebih, kita tahu dia bakal muncul, dan yang kita lihat juga adalah sosok CGI. Seramnya musnah sudah.

Mereka bisa saja membuat film found footage atau sesuatu dengan first person point-of-view tentang remaja yang berburu Slender Man, ala Blair Witch, biar sama kayak gamenya. Mereka bisa saja memfokuskan kepada apa sih sebenarnya Slender Man itu, dari mana ia berasal.  It would make a much better movie. Tapi enggak. Alih-alih itu mereka membuat cerita tentang empat cewek remaja yang mempraktekkan apa yang ada pada video ‘bagaimana memanggil Slender Man’ di internet, Slender Man kemudian beneran datang. Mengambil geng cewek tersebut satu persatu, kecuali diberikan sesuatu yang paling dicinta sebagai pertukaran.

makanya yang diculik duluan adalah pemain yang aktingnya paling jago

 

 

Aku seneng juga ngeliat ada Annalise Basso main di sini, karena pemenang Unyu op the Year dua tahun yang lalu punya prestasi nongol di horor yang bagus kayak Oculus (2013) dan Ouija: Origin of Evil (2016). Tapi keberadaannya di Slender Man, meski memang dia yang main paling meyakinkan dan tokohnya yang paling kuat menyuarakan tema obsesi, sama sekali tidak mengangkat banyak buat film ini. Hal tersebut dikarenakan filmnya sendiri demen sekali memindah-mindahkan tokoh utamanya. Katie bisa jadi tokoh utama yang paling menarik dari empat pilihan yang ada, tapi aku juga paham film butuh suatu bukti bahwa stake yang dihadapi tokoh utama enggak main-main. Jadi, kita punya Hallie yang diperankan oleh Julia Goldani Telles yang aktingnya paling biasa aja, Aku gak mengerti kenapa mereka enggak memberikan peran Hallie buat Basso, ataupun kepada Joey King saja – mengingat dia yang paling terkenal di sini. Kenapa harus diserahkan kepada bintang lain, kalo toh hanya untuk membuat penonton melompat-lompat pindah antara Wren (tokoh yang diperankan oleh King) dengan Hallie. Bukannya Hallie gak punya motivasi di cerita, cewek ini punya. Dia atlet lari di sekolah yang gak benar-benar menyukai apa yang ia kerjakan, dia juga punya adik yang look up to her, dia naksir sama cowok di sekolah. Namun dengan menggonta-ganti sudut pandang, arc nya si Hallie ini jadi terasa mentah, kita jadi gak pernah bisa betah di belakang si tokoh. Eksplorasi tokohnya dangkal sekali.

Empat peran sentral ini gak banyak ngapa-ngapain. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan adegan chat layar handphone. Bahan obrolan mereka tak jauh dari seputar cowok. Mereka menghabiskan waktu dengan menonton bokep di laptop bareng-bareng. Di babak ketiga, Hallie malah mangkir dari Slender Man dan pergi kencan ke rumah cowok. Bicara soal pindah obsesi, huh?

Film juga lanjut membuat mereka bego untuk alasan yang tak jelas. Seperti saat mereka menutup mata dengan kain supaya enggak melihat Slender Man, dan di detik pertama ada bunyi di hutan itu, ada satu tokoh yang langsung mengintip dari balik kain penutup matanya. Wren mencemooh Hallie yang enggak mengorbankan piala dan medali larinya kepada Slender Man, terasa datang entah dari mana. Karena meski diceritakan Hallie jago lari, kita tidak pernah benar-benar melihat dia cakap dalam berlari. Malah lucu sekali di adegan akhir; Hallie lari dan dia tertangkap. Lebih lucu lagi, Hallie saat itu sebenarnya lari dari sikap kepahlawanan; like, dia datang untuk menyerahkan diri demi menyelamatkan seseorang, dan ketika Slender Man muncul, tebak apa yang terjadi: Hallie ngibrit – lupa ama niat baik dan pelajaran yang sudah ia sadari. Ngibrit dan ketangkep. Sukses berat film ini bikin protagonisnya terlihat kayak pengecut tanpa nilai baik sama sekali.

 

 

 

Perasaan horor pun semakin merayapiku yang duduk si studio itu, menonton makhluk supranatural yang membuatku penasaran – karena aku tidak pernah bisa menamatkan gamenya. As I watched cerita yang tak benar-benar padu, tema obsesi yang berdenyut lemah di balik hingar-bingar jumpscare, gambar-gambar creepy yang menjadi mentah karena arahan yang tak berjiwa, tokoh-tokoh yang punya karakter sama banyaknya dengan pohon-pohon, sudut pandang cerita yang berganti-ganti, dan mendengar bapak di kursi sebelahku yang mendengkur keras – tertidur, aku sadar akan ketakutanku yang menjadi nyata; bahwa obsesiku soal horor sudah membuatku harus mengorbankan waktu dan duit yang berharga. Tapi kuakui, sebenarnya bisa saja film ini menjadi lebih buruk dari ini, lantaran tema dan ide menarik dan gambar-gambar creepy yang ia punya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SLENDER MAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SEKALA NISKALA Review

“Reality of things is hidden in the realm of the unseen.”

 

 

Tuhan menciptakan setiap hal berpasangan-pasangan agar dunia seimbang. Sekilas, memang tampaknya berujung pada spektrum yang berbeda – pada kubu positif dan negatif; baik dan jahat, sehat dan sakit. Namun sejatinya dua hal yang berseberangan berfungsi bersama membentuk sebuah harmoni.  Sebab kedua sisi tersebut sejatinya ekual dan sama pentingnya. Ketika sisi yang satu tidak bisa ada tanpa sisi satunya. Seperti ada laki-laki, maka ada perempuan. Setelah siang, maka akan ada malam. Ada kenyataan dan juga ada impian ketika kita bangun dan, pada gilirannya, tertidur.

Bayangkan permainan jungkat-jungkit yang banyak dijumpai di sekolahan balita baru gede alias TK. Yea, of course, mungkin kalian punya pengalaman buruk naik ini saat teman kalian di ujung yang satunya mendadak pergi begitu kalian masih di atas, sehingga kalian jatuh turun berdebam keras. Poinku adalah, permainan tersebut tidak bisa dimainkan dengan aman jika kedua ujungnya tidak berisi orang. Demikianlah juga cara kerja dunia, keseimbangan tidak akan tercapai jika tidak ada yang di atas dan di bawah di saat bersamaan. Jika dualitas itu tidak tercapai, maka chaoslah yang akan terjadi

ada yang terlihat, dan ada yang John Cena

 

The whole concept of duality inilah yang diceritakan oleh Sekala Niskala dalam simbolisasi dan penggambaran yang sungguh-sungguh tidak biasa. Hampir bikin pipis di celana, malah. Lantaran begitu surreal dan creepynya pengadeganan dan cerita yang digunakan. Dan yang membuat menonton film ini menjadi sebuah pengalaman yang bikin merinding, di atas desain suara dan sinematografi yang mistis banget, adalah betapa tipisnya garis antara realita dengan hal-hal surealis itu ditampakkan. Film tidak pernah repot-repot menjelaskan perkara yang sedang terjadi, apakah yang sedang kita lihat itu hanya produk imajiner di dalam kepala tokohnya, ataukah memang ada unsur mistis di sana. Namun tidak sekalipun kita dibuat kebingungan. Kita akan merasa tidak yakin apa yang sedang terjadi, dan dari sinilah ketertarikan untuk menyaksikan datang tanpa ada akhirnya.

Berlatar tempat di sebuah daerah kecil di Bali, kita akan memanggil protagonis kepada seorang anak cewek yang usianya tak lebih dari sepuluh tahun. Mereprentasikan perbedaan-yang-merupakan-satu-keutuhan, Tantri ini punya saudara kembar. Cowok, namanya Tantra. Sepertinya bukan cuma di Gravity Falls aja kembar buncing (kembar beda kelamin) dianggap menarik hal gaib dan petaka. Tantra mendadak sakit keras. Dia tidak bisa merespon, seluruh inderanya sudah lupa bagaimana caranya bekerja. Tidak banyak harapan bagi Tantra selain menunggu kematian datang menjemput. Menginggalkan Tantri dalam nestapa, karena bukan saja dia kehilangan teman bermain, dia juga kehilangan sosok ‘yang’ yang melengkapi ‘yin’nya. Tidak ada konflik besar dalam cerita film ini. Delapan-puluh-lima-menitan  yang kita saksikan adalah momen-momen ketika Tantra harus berurusan dengan kegelisahan dan kecemasan yang coba ia tangkal. Di sinilah penceritaan film menunjukkan kemagisannya. Tantri berusaha untuk terus bersama dengan Tantra dalam berbagai adegan yang bikin merinding yang sengaja banget dibikin kabur entah itu mimpi atau perwujudan dari hubungan batin antara Tantri dan Tantra sebagai anak kembar.

Sutradara Kamila Andini punya keterampilan tak biasa dalam menghadirkan emosi lewat berbagai hal subtil dan perlambangan. Menyaksikan film ini akan seperti menonton film  bisu yang terkadang bisa menjadi pemandangan yang sungguh pilu karena keindahannya. Bulan tampak mengambil peran penting dalam cerita. Dimulai dengan Tantra yang mendongeng lewat media bayangan perihal bagaimana dirinya sama seperti rembulan yang perlahan menghilang sinarnya, hingga ke adegan paling cantik di film ini saat Tantri menari di bawah bulan purnama, yang sepertinya menyimbolkan Tantri sedang menari bersama Tantra. In fact, menurutku bulan bisa menjadi kunci untuk menebak apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

I do have a theory soal ini; kupikir film ingin melandaskan bahwa setiap kemunculan Tantra dan hal-hal ganjil yang terjadi di malam hari adalah benar kedua tokoh kita sedang berkomunikasi lewat hubungan khusus seperti telepati mereka sebagai anak kembar, you know, anak kembar dipercaya punya ikatan tak terjelaskan di mana yang satu akan bisa mengetahui apa yang dipikirkan oleh yang lain. Pertemuan kembali Tantri dengan Tantra pertama kali terjadi di malam hari. Barulah semakin cerita berjalan, kita mulai melihat Tantra ‘aktif’ di siang hari – mereka bermain ayam-ayaman dalam tarian lain yang sama creepynya – yang pada titik ini Tantra semakin mencemaskan potensi dia berpisah; jadi mungkin semua kejadian di siang hari yang melibatkan Tantra adalah hasil kreasi kepala Tantri belaka.

ohiya, aku lupa bilang bahwa mereka juga senantiasa ditemani oleh anak-anak kecil berpakaian putih yang mengepak-ngepak dan berguling-guling kayak janin

 

Selain bulan, telur juga menjadi relik kunci yang mengantarkan kita lebih jauh ke dalam ranah di mana fantasi dan psikologi beradu. Betapa halusnya film membuat adegan sebiasa dua anak yang makan telur mata sapi, dengan Tantri hanya memakan putihnya, dan memberikan bagian kuning telur untuk Tantra. Kemudian kamera lingering di depan kedua piring makan mereka, sedikit terlalu lama, untuk memastikan kita menangkap imaji dua entitas yang mestinya saling melengkapi. Kemudian telur ini mengantarkan kita ke satu lagi adegan surealis yang bakal lama terngiang di kepalaku; yakni saat Tantri makan telur rebus, dan dengan ajaibnya dia tidak menemukan bagian kuning telur. Momen Tantri mengubek-ngubek telur tersebut hingga menjadi berantakan, selain sangat powerful dan disturbing, sekaligus menjadi pertanda buat kita bahwa Tantri sudah kehilangan bagian dari dirinya, Tantra – kuning dari putih utuhnya telur eksistensi mereka.

Unsur kebudayaan Bali yang menganggap hal-hal surreal sebagai sebuah eksistensi menguar kuat lewat tari-tarian dan kostum yang dikenakan oleh para tokoh, yang tentu saja dianyam dengan benang-benang fantasi. Membuat film ini semakin tampak aneh namun sangat menghipnotis. Penampilan akting para pemain akan membuat kita teringat kepada pertunjukan teater panggung yang penuh dengan gestur-gestur dan dialog yang tidak tembak-langsung. Tokoh anak-anak dalam film ini, terutama pemeran Tantri – Ni Kadek Thaly Titi Kasih – yang sangat menggetarkan jiwa. Aku gak bisa pastikan apakah ini dari arahan atau memang insting natural dari Kadek karena aku gak berada di sana saat mereka syuting, tapi timing Tantri terasa sangat real dan sungguh precise. Pace film ini sengaja dibikin sangat lambat, adegan-adegan yang kita lihat kadang tampak tak banyak faedahnya seperti kita melihat Tantri dan ibunya berjalan masuk rumah sakit, dan kamera menyorot langkah perlahan mereka. Setiap kali kita dipantekkan ke sosok Tantri, entah itu dia turun dari mobil, dia menari, ataupun dia bertingkah kayak hewan yang ia tiru, Tantri bergerak di zonanya sendiri, lambatnya benar-benar tampak lebih dan actually memberi banyak bobot kepada penceritaan karakternya. Aku juga suka sama penampilan Ayu Laksmi sebagai Ibu dari si kembar. Aku pikir cukup menggelikan perannya sebagai tokoh hantu di Pengabdi Setan (2017) mendapat penghargaan. Di Sekala Niskala ini kita baru bisa melihat kepiawaiannya bermain peran dengan tokoh yang benar melakukan sesuatu;  Tokohnya punya cara ‘naas’ tersendiri dalam mengekspresikan kehilangan.

Senada dengan The Breadwinner (2017), film ini juga bicara tentang menemukan kedamaian dengan menyelam ke dalam kepala; dengan berusaha melihat hal-hal yang tak terlihat demi mencari realita yang kita sendiri diri harus diyakinkan kepadanya.

 

 

 

Interpretasi yang sangat haunting dari bagaimana benak anak kecil bekerja dalam menghadapi kehilangan. Dalam diamnya, film ini meriah oleh bahasa visual dan pemandangan ganjil nan subtil – yang bukan efek komputer! – dan memang benar dirinya bekerja terbaik saat melakukan itu. Desain produksi dan arahan membuat film ini luar biasa unik. Sebaliknya dalam dialog, kadang film ini masih cenderung untuk menjelaskan hal yang tak perlu dibeberkan. Pace yang sangat lambat juga tentunya jadi hambatan buat penonton kasual menikmati film ini, let alone berkontemplasi dengan kedalaman ceritanya. Sama seperti judulnya, film ini turut bermain dengan hal-hal yang tak terlihat, yang menjadikan penceritaannya begitu kuat. Tapi beberapa aspek yang terlihat oleh banyak orang, could actually memberatkan buat dirinya sendiri. Setelah mengatakan itu, aku tetap menyarankan untuk segera menonton ini jika kalian ingin menyaksikan sesuatu yang mungkin tidak bakal terlihat lagi yang serupa dengan ini dalam waktu dekat.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SEKALA NISKALA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

A CURE FOR WELLNESS Review

“Mens sana in corpore sano”

 

 

Kesehatan adalah anugerah yang tak ternilai harganya, jadi kita mati-matian ngelakuin apapun demi menjaganya. Beruntung, teknologi dan ilmu pengetahuan semakin maju. Bermacam teknik pengobatan ampuh ditemukan, mulai dari lasik yang bisa nyembuhin mata minus sampai ke klinik Tong Fang yang denger-denger sanggup benerin buta warna. Orang-orang pun jadi rajin fitness dan ngegym, mencoba variasi diet, mengunduh aplikasi yang memonitor kesehatan, banyak deh cara-cara hits yang bisa dilakukan untuk menjaga kebugaran tubuh. Namun, penyakit juga sama berkembangnya. Seperti ular hydra yang ditebas satu kepala, tumbuh dua lainnya, penyakit juga bermutasi seiring teknologi. Kita mendengar banyak virus baru dan kelainan aneh-aneh yang memacu para ilmuwan untuk segera menemukan obatnya. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan, malah bisa dibilang kecurigaan;

jangan-jangan teknologi dengan sengaja dimanfaatkan untuk menyiptakan penyakit?

Film A Cure for Wellness menyinggung hal ini sebagai tema ceritanya. Salah satu tokoh film praktisnya berkata “kalo orang pada sehat, nanti dokter dapat duit dari mana?”

orang sakit disayang dokter

 

Klinik-klinik alternatif, aplikasi-aplikasi kesehatan yang bisa diunduh di gadget, obat-obat baru, bisa jadi sebagian besarnya memang hanya ‘jualan obat’ semata. Usaha komersil untuk menjawab kebutuhan manusia akan kesehatan. Banyak yang berlomba-lomba mencoba pengobatan termutakhir. Bukannya hendak sinis sama dokter sih, tapi tentu saja dokter pun akan berusaha membantu pasien yang masih merasa insecure atas kesehatannya. They’ll look for new things, dan hey itu dia, ketemu deh penyakit baru. Tapi bagaimana jika tidak ada yang tahu problem itu ada? Apakah tetap akan menjadi problem? Kita ke dokter tanpa mengetahui pasti sakit apa, dan setelah diperiksa kita divonis mengidap sesuatu yang tidak kita tahu ada pada kita sebelumnya. I mean, kita tentram justru setelah tahu punya penyakit, alihalih tentram oleh merasa sehat.

Kita enggak tahu kita sakit sampai ada yang memberitahu bahwa kita sakit. Tapi apakah kita benar-benar sakit?

 

A Cure for Wellness dibesut oleh Gore Verbinski sebagai sebuah psikologikal thriller yang diniatkan sebagai METAFORE KECEMASAN GLOBAL TERHADAP KESEHATAN. Tentang bagaimana masyarakat lebih senang untuk menjadi overmedicated, lebih memilih untuk mendengar kata para ‘ahli’ ketimbang bertanya sendiri mengenai apa yang salah dari cara hidup dan budaya modern ini. Dalam film ini diceritakan protagonis kita, Lockhart (tampang Dane DeHaan klop banget sama karakternya yang sinis tapi enggak-yakin), kudu menjemput atasannya yang sedang menjalani pengobatan di rumah spa terkenal di pegunungan Swiss sana. Wellness Center yang ia kunjungi adalah tempat berobat yang laris, metode terapi berbasis airnya mujarab, pasien yang menetap di sana mendapat perawatan yang nyaman sehingga banyak yang enggak mau pulang. Termasuk atasan si Lockhart. Dari yang tadinya maksa (jika gagal, Lockhart bakal dipecat), Lockhart mulai menyadari ada sesuatu yang enggak beres dari tempat pengobatan tersebut, yang actually malah lebih mirip cult. Sembari menunggu kakinya sendiri sembuh dari kecelakaan, Lockhart berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

To be honest, aku setuju sama pesan film ini soal ‘jangan perbaiki yang tidak rusak’. Waktu masih kuliah dulu, temen-temen sekelas enggak ada yang mau nyolokin flashdis ke komputerku lantaran aku enggak install antivirus. Karena, tahu sendiri dong cara kerja virus dan antivirus itu gimana; kalo kita enggak senantiasa mengupdate the so-called pelindung itu, maka virus-virus baru tidak akan terdeteksi oleh antivirus kita. Namun bagi komputerku yang tidak pasang antivirus, virus-virus – yang terdeteksi oleh komputer teman-teman yang lain – tidak pernah mengganggu kinerja, sampai antivirus itu aku install out of insecurity. Dan karena diledekin ternak virus hhihi. Begitu antivirus dipasanglah, aku mulai sibuk ngescan, ngupdate, dan hal-hal yang sejatinya cuma rangkaian aksi-reaksi. Buatku memang sesimpel; Jika kita tidak pasang aksi, maka tidak akan ada reaksi. Jika kita tidak repot-repot check up setiap batuk sedikit, jika kita malah fokus ke olahraga teratur dan menjaga diri, maka kesehatan kita akan terjaga sama baiknya dengan minum obat.

Bukankah memang sebenarnya ‘sakit’ itu datang dari pikiran sendiri?

 

Meskipun film ini punya banyak kesamaan dengan film-film lain seperti Shutter Island (2010), kita juga udah sering liat film dengan tokoh dokter gila yang bisa jadi tokoh utamanyalah yang gila, namun A Cure for Wellness tetap terasa stand out karena ini adalah film yang sangat aneh. It looked very different. Gore Verbinski mencurahkan kemampuannya menampilkan imaji-imaji yang cantik, surreal, sekaligus nyeremin (kayak sekuens video di The Ring) sehingga durasi yang nyaris dua setengah jam bisa teralihkan oleh pesona visualnya. Setiap gambarnya terbingkai dengan sempurna. Editingnya juga sangat rapi. Ada banyak shot yang menampilkan pemandangan berupa refleksi; air kolam yang sejernih kaca, kereta api dan bayangannya di jendela yang simetris banget, dan seiring pertumbuhan keraguan karakter Lockhart, image reflection yang hadir akan semakin blur. Simbolisme yang bekerja di luar dan dalam, karena film ini juga meminta kita untuk bercermin. Film ini membutuhkan kita untuk berpikir. Definitely apa yang dipersembahkan oleh Verbinski dan timnya kali ini punya sesuatu untuk kita bahas dan kita pikirkan. Dan itulah yang membuat film ini spesial.

Aku takjub sekali setelah selesai menontonnya untuk beberapa alasan. Luar biasa aneh, dan sangat berani. Apa yang terjadi dalam film ini sudah barang tentu akan membuat banyak penonton, malah bahkan kritikus film, bergidik enggak setuju. Ada elemen keluarga yang sangat nyeleneh. Penceritaan film pun terasa sangat ‘bikin kita ikutan gila’. Tapi kupikir justru karena itulah kita kudu mengapresiasi film ini; enggak benar-benar original, namun karena sangat aneh dia terasa kayak film yang belum pernah kita lihat. There’s a lot going on di bawah permukaan cerita yang terungkap sejalan dengan Lockhart terseok-seok melintasi koridor demi koridor Pusat Kesehatan yang creepy tersebut. Di babak kedua nuansa thriller semakin kental sembari kita menyaksikan Lockhart menungkap misteri. It is really intriguing, dia ketemu banyak tokoh dari berbagai tempat di Wellness Center dan di kota, dia mendengarkan cerita mereka, yang masing-masing adalah versi yang berbeda dari satu cerita yang sama. Sayangnya juga jadi banyak eksposisi yang dilemparkan kepada kita karenanya.

Film ini juga punya sounding yang menakjubkan. I mean, suara seretan tongkat kruk yang menggema di lorong kosong akan menjadi suara yang sering kita dengar dan niscaya lama kelamaan that sound becomes really unnerving.

cekit, cekiitt, cekit, cekiiiitt

 

Beberapa hal memang memberatkan buat film ini. Durasinya, terutama. Dan jika seperti yang kutulis di atas, kalau kalian bisa ngeoverlook panjangnya durasi dan eksplorasi yang meletihkan dan lumayan repetitif, masih ada elemen-elemen yang just straight up gilak dan over-the-top dan penjelasannya kadang bikin kita mikir panjang banget. Ada soal umur dan waktu yang terlalu tak masuk akal buat film yang menyinggung soal sains. Ada soal kejadian aneh yang tak pernah diberikan batas jelas mana yang khayal, mana yang kenyataan. Dan, ada belut. Ya, makhluk yang jadi personifikasi ketakutan tokoh utama kita sering didapati muncul dan actually punya penjelasan tapi masih menyisakan pertanyaan sepele semacam, “kenapa bisa sampai ada belut di dalam sana?” Kejadian Lockhart tertabrak pun susah dikeluarkan dari kotak kebetulan. Verbinski memang tak berniat untuk menjelaskan semuanya sampai ke dasar akuifer cerita.

 

 

 

Tak sering kita menyaksikan film seaneh ini. Cantik, tapi sangat lain dari yang lain. Enggak sepenuhnya orisinil, namun berkat arahan dan editing yang menakjubkan maka ia jadinya luar dari biasa. Film ini layaknya obat untuk menyembuhkan segala sesuatu yang normal di luar sana. Obat pahit yang susah untuk semua orang telan, tepatnya. Dan jika kalian bertanya apakah obat tersebut mujarab menyembuhkan? Well, kita harus mencoba menelannya sendiri-sendiri karena setiap obat punya pengaruh yang berbeda kepada setiap orang.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for A CURE FOR WELLNESS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.