Royal Rumble 2020 Review


 
On this day, clearly… kalian semua sudah nonton Royal Rumble, atau paling enggak sudah membaca tentang kehebohan paripurna kembalinya salah satu pegulat yang paling gak disangka-sangka untuk kembali. Edge. Sembilan tahun yang lalu, si Rated R Superstar ini mengumumkan dia terpaksa gantung-sepatu lantaran komplikasi cedera leher. Penggemar gulat gak pernah lupa wajahnya saat itu. Dan di Royal Rumble 2020, sebagai peserta urutan ke 21, Edge kita lihat lagi dengan wajah siap tempur. Suasana pecah begitu Edge beraksi. Seantero stadiun baseball yang luas itu terkesima menyaksikan Edge melakukan gerakan-gerakan andalan, seolah dia tidak pernah pergi.

Seperti kita menghitung mundur entrance royal rumble berikutnya, Edge menghitung mundur waktu yang tersisa bagi karirnya. Dan keduanya adalah hitungan yang penuh optimis. Setiap hitungan melambangkan kekhawatiran, pertanyaan, dan harapan. Royal Rumble adalah cerita “bagaimana jika” dan Edge adalah tokoh utama yang pas untuk ini. Karena dia adalah pria yang menyangka dia tidak akan bisa lagi melakukan hal yang ia cintai. Pria yang sudah bekerja keras untuk sampai di atas, untuk kemudian begitu saja disuruh turun tidak boleh naik lagi. Pada akhir countdown tersebut, dia disambut dengan begitu hangat, wajahnya mengingatkan kepada kita bahwa mungkin cuma within sepuluh hitungan orang bisa dipisahkan dari mimpinya.

 

dan gambar inilah yang dianggap lebih penting oleh kamera WWE dibandingkan Spear pertama yang dilakukan Edge dalam pertandingan yang mengisyaratkan reborn karirnya.

 
Selain Edge, ada banyak lagi momen dan cerita keren yang berhasil dihimpun oleh pertandingan Royal Rumble. Makanya acara ini selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar. PPV Royal Rumble adalah show selain Wrestlemania yang hypenya selalu gede. Pengalamanku bikin acara nobar, Royal Rumble malah selalu yang paling ramai peserta nobarnya. Di tahun ini, dua pertandingan Royal Rumble yang kita dapatkan terasa sangat seru, terutama yang pertandingan cowok. Bahkan sebelum perhatian dan haru kita dicuri oleh Edge, Brock Lesnar membuat partai ini teramat menarik. Obviously gak semua kalian akan setuju denganku, karena Lesnar memang kebangetan. Lima belas superstar ia buang begitu saja kali ini; legends, juara, pendatang baru, jobber — semuanya dijadikan jobber oleh Lesnar. Aku gak kebayang gimana tim kreatif ngepitch ide ini ke para superstar “Ayo siapa yang mau jadi tumbal Lesnar, nanti dikasih bonus deh”.. Tapi ini menghasilkan pengalaman seru yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Berkat Lesnar dan kemampuannya; bergulat dan memancing (alias membelah) reaksi dan emosi penonton, match ini jadi berbeda sekali dari yang sudah-sudah. Belum pernah kita melihat satu ornag mendominasi dari awal, bahkan Reigns saat dalam cerita one-versus-all-nya dulu enggak sepecah ini. Meskipun mengerang dan protes melihat favorit-favoritku dikeluarkan olehnya, deep inside aku ingin melihat Lesnar beneran sampai ke akhir Rumble dengan membuang satu persatu yang datang.
Tapi kemudian Lesnar toh dikeluarkan juga, oleh Drew McIntyre – yang bakal memenangkan partai bergengsi ini dan maju ke partai utama di Wrestlemania. WWE told a perfect somekind-of-passing-a-torch story di sini. Rumble seolah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Lesnar mendominasi. Mengalahkan semua ‘hantu-hantu masa lalunya’ alias superstar-superstar yang pernah bertanding melawannya, yakni Rey Mysterio, Kofi Kingston, Braun Strowman, Ricochet, dan bahkan Shinsuke Nakamura. Lesnar begitu hebat membawa cerita di pertengahan pertama. Aku suka gimana Lesnar bereaksi terhadap NXT’s Keith Lee, yang aku yakin di bawah pengarahan Paul Heyman sehingga lawannya ini tampak beneran menggentarkan. Kita di-tease berbagai versi interaksi, berbagai usaha yang gagal, karena Lesnar beneran kuat. Sampai kemudian – mengambil julukannya dulu – the next big thing datang dalam wujud McIntyre. Kekuatan dan strategi sang juara melawan passion dan semangat penantang – ini cerita klasik yang sempurna, yang dieksekusi dengan menakjubkan. Separuh akhir beralih menjadi cerita McIntyre berjuang memenangkan seantero pertandingan, sebab membuang Lesnar belum cukup. Ia harus menang dan mengambil spot untuk benar-benar bisa mengalahkan Lesnar dan memenuhi ‘ramalan’ yang menjadi gimmicknya dulu – bahwa ia, Drew McIntyre, adalah Sang Terpilih.
PPV Royal Rumble selalu susah untuk direview karena hal-hal begini. The Rumble was so hype, udah kayak nonton film antologi, sehingga kita selalu hanya nunggu match rumble-nya saja. Apalagi sejak ada dua match rumble, cewek dan cowok. Padahal dalam PPV selalu ada match lain yang enggak kalah solidnya. Seperti kali ini ada very physical kontes antara Daniel Bryan yang memilih Strap Match untuk mengalahkan lawannya yang sepertinya urat sakitnya udah putus; The Fiend Bray Wyatt. Salah satu peningkatan yang dapat kita rasakan adalah WWE tidak lagi menggunakan lampu temaram untuk match The Fiend. Matchnya sendiri memang cukup brutal. Cambukan sabuk kulit itu berbekas nyata di kulit kedua superstar ini, mereka benar-benar saling menyakiti. Bray Wyatt beruntung ia mengenakan topeng, sebab aku yakin di balik itu ia juga pasti meringis kesakitan meski tokohnya ditulis untuk tidak ngejual damage untuk menghasilkan efek dramatis dan mengerikan. Asuka melawan Becky Lynch juga sebenarnya told a great story. Bukan saja aksinya solid, melainkan juga mengandung bobot yang penting dalam pembangunan salah satu karakter utama Wrestlemania nantinya.  Semua ini adalah soal Lynch yang harus mampu membuktikan dirinya bisa mengalahkan Asuka yang menyimbolkan ‘demon’ yang belum ia taklukkan. The Man lawan Demon, kalo boleh dibilang. Finishing match ini terbendung bagus, juga dari perspektif Asuka yang belakangan seperti jadi bergantung kepada jurus semburan mautnya.
Kedua match tersebut sayangnya kurang mendapat perhatian karena berada di antara dua partai rumble. Penonton masih terengah dari rumble cewek dan menyimpan tenaga untuk rumble cowok. Jika ditempatkan berbeda, niscaya reaksi kita yang nonton akan berbeda. Buktinya adalah match Roman Reigns melawan Baron Corbin yang sudah basi namun karena dijadikan pembuka acara, maka masih ramai oleh reaksi. Penonton cukup terhibur karena, dan padahal mereka basically hanya, berkeliling arena. Match yang beneran jelek adalah Bayley melawan Lacey Evans. Ceritanya cukup berbobot, tapi dimainkan dengan sangat datar. Lacey masih berjuang untuk konek kepada penonton dan memperkuat deliveri ekspresi dan memperketat timing, meskipun dia sudah diberikan patriotisme dan feminisme sebagai modal untuk karakter babyfacenya. Bayley juga masih belum menemukan kekhasan karakter heelnya, sebab tipuan pura-pura cedera yang ia lakukan masih terlihat akting dan gak ada yang percaya itu bukan trik jahatnya. Kedua superstar belum maksimal
Harusnya ada adegan Izzy nyerang anaknya Lacey aja sekalian biar seru

 
Dua match rumble kali ini sebenarnya punya struktur-gede alias formula yang sama. Satu orang dibuild kuat hingga separuh jalan, dan kemudian dioverthrow oleh new challenger. Lesnar diganti oleh Drew. Hanya saja di rumble cewek, formula ini kebalik. Yang gak really new-lah yang justru mengambil alih dari yang superstar yang baru. Dan ini membuat kesal banyak orang, termasuk aku. Kemenangan Charlotte terasa sangat getir bagi penonton. Terutama karena dia membuang begitu saja Bianca Belair yang masuk dari nomor dua, bertahan 33 menit, dan mengeliminasi delapan orang. Rumble cewek yang menarik di paruh awal; ada begitu banyak interaksi superstar seru seperti Mandy Rose diselamatkan oleh Otis dengan jurus kasur empuk, menjadi kering di paruh akhir. Karena setelah mengeliminasi Belair, tidak ada lagi selain Flair yang viable untuk benar-benar memenangkan pertandingan. Ring diisi oleh bintang tamu seperti Beth Phoenix, returning yang gak benar-benar relevan seperti Naomi, dan ya, surprise seperti Santina Marella. Mestinya SJW marah nih ngelihat WWE jadiin karakter cowok yang kecewekan sebagai komedi semata. Yang jelas, logika -gak-jalan itu adalah Naomi yang bertingkah seolah menyebrang dari meja ke dalam ring adalah lompatan yang sulit, padahal dia tinggal melompat-lompat dengan satu kaki saja karena rule eliminasi adalah menyentuh lantai dengan kedua kaki. Satu-satunya penantang yang mungkin menang selain Charlotte adalah Shayna Baszler. Yang juga mengeliminasi delapan lawannya, namun mesti kalah dengan datar oleh Charlotte.
Aku benar-benar gagal paham kenapa WWE terus ngepush Charlotte ke spotlight. Enggak ada yang mau lihat dia menang karena bakal jadi jalan yang boring menuju Wrestlemania. Siapa yang mau dia tantang? Bayley yang lebih membosankan atau Lynch untuk kesekian kalinya? WWE harus menyiapkan cerita atau kejutan yang out of the box untuk ngangkat Charlotte. Atau mending sekalian semua fourhorsewomen itu diadu saja di winner takes all nanti.
ultimate heel adalah ketika kamu tetap dikasih menang saat semua orang males lihat kamu menang

 
 
Sensasi euforia Royal Rumble enggak hanya mempengaruhi penonton. Tapi juga para superstar. Karena banyak sekali botch pada acara ini. Mulai dari yang simpel bergerak terlalu semangat kayak Lesnar yang kesandung tali saat mau ngejar Elias atau Lacey Evans yang nyaris jatuh saat menggunakan jurusnya, dan kemudian detik berikutnya hampir terpeselet saat springboard dari tali ring, ke yang lupa cue gerakan kayak Aleister Black yang harus dipanggil oleh Rollins karena lupa menendang Rollins dari belakang atau Natalya yang kelupaan berdiri di belakang Santina sehingga Santina harus dua kali bergaya di depan Beth Phonenix, hingga ke yang menyebabkan cedera. Beth Phoenix terlalu bersemangat ngejual pukulan sehingga lupa dirinya against pojokan ring. Alhasil belakang kepalanya berdarah dan sepanjang match rambut Phoenix antara kayak habis diombre atau ketumpahan saus spagheti. AJ Styles juga agak terlalu lincah ngesold Spear dari Edge sehingga bahu kirinya terhimpit dan dia harus keluar lebih cepat daripada rencana supaya cederanya tidak semakin parah.
 
 
WWE memulai tahun, seperti biasa, dengan sangat seru. Lesnar yang banyak dipotes sebenarnya bermain dengan keren. Dua match Royal Rumble begitu epik, walaupun yang cewek hasilnya pahit, sehingga match-match yang lain jadi tampak biasa saja. Aku kembali mengadakan nobar setelah vakum nyaris dua tahun, dan nobar kali ini adalah yang paling seru. Apalagi kita menontonnya di dalam bioskop mini. Experience yang cocok sekali lantaran ppv yang satu ini memang menjual spektakel, momen, dan kejutan lebih banyak daripada porsi gulat-benerannya. The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada partai Royal Rumble cowok yang punya cerita keren yang menjadi set up pertemuan gede antara Drew McIntyre dengan Brock Lesnar di Wrestlemania nanti, dan kemunculan Edge sebagai MOMENT OF THE NIGHT
 
 
Full Results:
1. FALLS COUNT ANYWHERE Roman Reigns mengalahkan King Baron Corbin
2. 30-WOMEN’S ROYAL RUMBLE Charlotte Flair menjadi last woman standing
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan atas Lacey Evans
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP STRAP MATCH The Fiend Bray Wyatt tetap juara mengalahkan Daniel Bryan 
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch akhirnya bisa mengungguli Asuka
6. 30-MEN’S ROYAL RUMBLE Drew McIntyre membuang mimpi 29 superstar lain menjadi main event Wrestlemania
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

AKHIR KISAH CINTA SI DOEL Review

“May your choices reflect your hopes, not your fears”
 

 
Zaenab yang diketahui hamil diberi nasehat oleh dokter enggak boleh stress dan enggak boleh banyak pikiran. And Zaenab be like; yea right aku akan santai-santai saja di film yang judulnya bukan lagi ‘The Movie + angka’ atau ‘Anak Sekolahan’ tapi melainkan ‘Akhir Kisah Cinta’! 
Aku sama sekali gak menyangka akan tiba masanya aku menyebut trilogi Star Wars kalah memuaskan dibandingkan trilogi Si Doel. Saat film pertamanya tayang, Doel memang tampak seperti usaha lain menguangkan nostalgia. Ceritanya berakhir, tapi masih menyisakan ruang untuk sekuel. Dan kemudian film keduanya tahun lalu tayang seolah menguatkan dugaan film ini hanya jualan semata, lantaran cerita yang gak kemana-mana. Yang muter di tempat, dengan si Doel yang tetap diam tidak membuat keputusan. If anything, film kedua tersebut seperti ingin memerah tangis lewat sudut pandang Zaenab yang diberi porsi lebih. Di film ketiganya ini, sungguh sebuah kejutan karena sekarang keputusan dari pilihan yang sulit itu benar-benar diambil. Dan Zaenab, yang kita kenal bahkan lebih pasif dan pasrah daripada si Doel, memegang kunci untuk menutup semua ini dengan memuaskan.

ini bisa jadi adalah kehamilan tersedih di sinema.. bahkan hamil kecelakaan saja enggak sedepresi ini

 
Penonton yang menuntut cerita benar-benar sebuah akhir akan seketika oleh Zaenab yang menuntut si Doel cepat membuat keputusan. Film ini dimulai dengan tekanan waktu yang jelas; Zaenab hamil enggak boleh stress, namun dia punya tiga masalah besar yang menggerogoti pikirannya. Kenapa Doel tidak memberitahu dirinya Sarah sudah meminta cerai. Kenapa Doel tidak segera mengurus perceraian. Dan yang paling memberatkan pikiran Zaenab adalah rasa bersalah kepada Sarah karena Zaenab merasa salah dirinya lah Doel tidak mengejar Sarah sehingga wanita itu harus membesarkan anak seorang diri selama empat-belas tahun, dan sekarang Sarah memilih mundur demi dirinya dan Doel. Ada api rage dalam diri Zaenab sekarang yang membuat film jadi menarik. Ia praktisnya tokoh utama di awal-awal film, membuat keputusan-keputusan mendesak. Ia memberanikan diri untuk mengkonfrontasi Doel, bicara kepada Mak Nyak, menatap mata Dul anak Sarah, dan mencari Sarah untuk mengutarakan pilihannya sebelum Sarah kembali ke Belanda.
Memutuskan sebuah pilihan itu bisa sangat berat. Itu pelajaran pertama yang bisa kita ambil dari kisah cinta si Doel. Setelah selama ini dia masih enggak bisa memutuskan pilihan. Karena ia gak mau menyakiti hati. Namun dari trilogi ini kita melihat sikap Doel ternyata melukai lebih banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Dalam film ini, beratnya mengambil keputusan akan sangat terasa. Kita bisa melihat pilihan yang benar-benar sulit, dari segala sisi. Bukan hanya dari si Doel sendiri, tetapi juga dari eksistensi film ini. Mau gak mau, kisah si Doel harus berakhir. Penonton gak bisa terus menerus digoda, meskipun kita tahu betapa berat bagi sebuah IP untuk mengakhiri jualan andalannya. Ditambah lagi si Doel – kita bicara induk langsung film ini yakni sinetronnya – sudah bergulir selama dua puluh tujuh tahun. Untuk mengakhiri sesuatu yang sudah berjalan semua itu, pastilah dihadapkan pada pilihan yang berat. Bagaimana mengakhiri dengan memuaskan. Bagaimana menghormati penonton. Bagaimana membuat cerita yang berakhir adil bagi semua tokoh-tokoh yang menghidupi semestanya. Untuk membuat sesuatu yang sefinal ini akan ada pilihan yang berat, ada yang gak bisa semuanya terpuaskan. Personally, aku pikir sikap kita juga turut andil dalam mengakhiri film ini dengan memuaskan. PH atau Studio mendengarkan suara kita lewat angka penonton, dan merosotnya jumlah penonton pada film kedua dibandingkan yang pertama bukan tidak mungkin jadi salah satu penentu bagi film ini untuk segera berakhir dan dibuat dengan menempuh resiko seperti yang kita dapatkan sekarang.
Film memperlakukan karakter-karakternya dengan lebih memuaskan kali. Lebih banyak interaksi antara Doel dengan Dul. Momen manis melihat Doel mengajak putranya – anak yang tak ia tahu keberadaannya hingga dua film yang lalu – berkeliling Jakarta narik oplet. Doel menjelaskan cara kerja dan ‘sejarah’ oplet, ini adalah adegan yang aku tunggu sedari film pertama. Meski sebagian besar memang kelihatan seperti eksposisi atau device nostalgia saja, tapi paling enggak sekarang film ini tahu bahwa adegan seperti demikian yang dibutuhkan oleh film ini. Dul juga berinteraksi lebih banyak dengan anak Atun, Atun, Zaenab, dan Mandra. Peralihan dari sinetron ke bioskop enggak begitu berarti bagi sutradara dan penulis Rano Karno, karena semua tokoh dan interaksi mereka punya rasa yang sama. Tokoh-tokoh lama tampak nyaman menjadi diri mereka, sekaligus berkembang sesuai zaman, tokoh-tokoh baru juga gak canggung mengisi di antara mereka.
Perlakuan film terhadap Mandra adalah hal favoritku di film ini. Mandra punya subplot sendiri soal ia berusaha menjadi tukang ojek. Walaupun persoalan kerja ini enggak benar-benar tuntas, dan dipanjang-panjangin dari film kedua, namun Mandra punya akhir cerita tersendiri yang bikin kita merasa senang demi dirinya. Ini adalah momen surprise gede yang dipunya oleh film, jadi aku gak akan bocorin di sini. It was a nice surprise I would never guess it. Namun yang perlu dijadikan catatan dan dibahas dalam ulasan ini adalah cerita Mandra sebenarnya lawan dari cerita Doel; yang terjadi kepada Mandra adalah pelajaran besar bagi si Doel. Mandra adalah happy ending sejati karena berbeda dengan Doel yang plin-plan, gak bisa mutusin apa yang ia suka, Mandra setia kepada cintanya. Sehingga meskipun kita menertawakan hidupnya – jika ditarik dari sinetron, Mandra ini cocok sekali jadi poster boy slogan ‘hidupku adalah tragedi komedi’ – paling enggak, Mandra tidak harus menderita, ia tidak pernah berada pada posisi seperti si Doel. Mandra adalah karakter yang meletakkan keputusannya pada harapan. Ini yang jadi poin atau gagasan pada film.
Hanya Mandra yang bisa ketuker bahasa Belanda dengan bahasa India

 
Dibandingkan dengan Mandra, memang film tampak seperti menghukum si Doel. Zaenab membuat pilihan, Sarah kekeuh pada keputusannya sedari awal. Doel menjelang akhir film seolah akan ditinggalkan sendirian. Dan aku, serta kuyakin setengah dari penonton lain, enggak akan masalah jika film berakhir seperti demikian. Because Doel deserves it. Wakunya sudah habis, wanita- wanita itu terlalu berharga untuk ia gantung. Dia terlalu penakut – pasif – untuk membuat keputusan. I mean, mungkin gak bakal ada trilogi bioskop Doel jika dia sedari sinetron sudah memilih dengan mantap hati. Namun film enggak tega. Sesaat aku hampir tatkala cerita seperti tereset lagi pada babak ketiga. Film ternyata memberikan Doel kesempatan untuk belajar dari semua yang udah dilewati – semua yang sudah setia kita ikuti. Bola sekali lagi berada di lapangannya; pertanyaan pamungkas itu muncul lagi; Siapa yang bakal Doel pilih?
Yang membuat film ini memuaskan bukan exactly jawaban ‘siapa’ tadi. Melainkan betapa keputusan yang dibuat oleh si Doel (akhirnya!) terasa masuk akal dan feel earned. Ini literally kesempatan kedua baginya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk mengejar dan menjemput yang pergi, bukannya mendiamkan. Untuk hadir dan membesarkan anak, bukannya baru ketemu lagi saat si anak dewasa. Juga masuk akal kenapa baru sekarang Doel membuat keputusan; karena baru sekarang ia berani. Mengambil resiko, menaruh harapan. Doel tak pernah orang yang bego, dia tukang insinyur; maka ia pastilah ia cukup pintar untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Gambaran besar film ini membentuk sebuah lingkaran yang masuk akal. Film pertama adalah tentang Doel dan Zaenab dan Sarah memilih hal yang mereka takuti demi kebaikan bersama; Doel memilih ke Belanda meskipun ia tahu ada Sarah dan keadaan akan runyam. Film kedua adalah jembatan bagi Doel untuk mengenali apa yang ia inginkan. Dan film ketiga barulah ia melihat harapan untuk semuanya lebih baik, maka barulah ia memilih.

Perbuatan Doel sebenarnya bijaksana, karena seperti kata Nelson Mandela; kekuatan yang mendorong kita melakukan sesuau, berkata, berpikir, seharusnya berlandaskan pada harapan dan optimisme daripada berdasarkan ketakutan atau paksaan.

 
 
Doel gives very nice send-off, bukan hanya kepada Sarah dan Zaenab, melainkan juga kepada kita yang udah ngikutin dari tv ke bioskop, bahkan ada yang selama dua-puluh tujuh tahun. Menurutku tidak ada cara lain yang lebih baik untuk mengakhiri ini semua. Film ini haru, menyayat, lalu menyuarakan harapan, dan memuaskan penonton sehormat mungkin yang ia bisa. Aku akan memberikan nilai lebih tinggi jika bukan karena film ini masih memperlakukan dirinya sendiri lebih sebagai sinetron ketimbang sebagai film. Ia tidak akan bisa berdiri sendiri, because it was never intended to be.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for AKHIR KISAH CINTA SI DOEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang pilihan Doel? Apakah kalian pernah mengikuti sinetronnya? Jika boleh berandai, adegan apa yang ingin kalian lihat di film?
Kalo aku, aku pengen sekali melihat si Doel ngobrol dinasehatin ama babeh-nya, you know, mungkin dalam mimpi atau apa, kayak Harry dan Dumbledore di King’s Cross. I mean, teknologi sepertinya sudah memadai, dana juga sepertinya mungkin bagi Falcon.. kalo Star Wars bisa, kenapa enggak bisa juga?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

1917 Review

“A warrior is defined by his scars, not his medals”
 

 
Semua pejuang Perang Dunia I – termasuk di dalamnya adalah kakek sang sutradara yang namanya disebutkan pada kredit akhir film 1917 – melewati pengalaman hidup-mati yang benar-benar mengerikan. Mereka bukan superhero yang senantiasa selamat ketika musuh menyerang, dipuja-puja semata karena mengalahkan musuh dengan jurus ciamik. Mereka manusia yang semata menggebah diri untuk menjadi berani, yang berjuang membela yang dipercaya sekaligus berkutat untuk tidak menjadi seperti yang mereka lawan. Perjuangan yang sangat berat adalah mempertahankan kemanusiaan, dan dalam perang semua nilai-nilai kemanusiaan dapat dengan mudah tergadai.

Film 1917 dibuat oleh Sam Mendes bukan sebagai medali dari sebuah peristiwa peperangan. Melainkan – di sinilah letak keurgenan film ini – sebagai pengingat perang semestinya jangan sampai terjadi lagi. 

 
Ada dua hal esensial yang bisa bikin kita jatuh cinta sama suatu film. Cerita, dan pencapaian teknisnya. Film yang ‘dewa’ banget bakal punya keduanya. Film 1917 enggak begitu mentereng dari segi cerita. Enggak ada pengungkapan gede, enggak ada plot ribet. Film ini mengisahkan dua orang tentara Inggris yang lagi nyantai di tengah medan perang yang lagi adem ayem. Minggu depan mereka bakal makan malam ayam di rumah masing-masing. Jerman udah dipukul mundur ke belakang garis depan. Tentara Inggris di bawah pimpinan Kolonel MacKenzie sudah bersiap melakukan serangan terakhir esok pagi. Namun ada kabar baru; keadaan tersebut hanya jebakan. Jerman yang diketahui sudah mundur, ternyata siap menyambut Inggris dengan serangan balik kekuatan berkali lipat. Dua tentara yang lagi ngaso tadi – kopral Blake dan Schofield – dikirim ke garis depan untuk memberitahukan ini kepada Sang Kolonel. Mereka berdua harus berpacu dengan waktu sebelum pagi tiba, melintasi daerah musuh yang berbahaya, demi menyelematkan seribu enam ratus nyawa tentara.

Sebelum Jerman berteriak “I activated my trap card!”

 
Jika kalian menganggap kisah simpel yang menggerakkan film ini tampak seperti storyline video game – aku sendiri teringat sama opening game Suikoden II begitu melihat adegan-adegan awal film ini, maka tunggu sampai kalian menyadari cara film ini menceritakan kisah tersebut. It is exactly kayak video game. Menonton ini sensasinya sama kayak lagi main game perang, atau petualangan, karena sebagian besar adegan akan menyorot tokoh dari belakang dan kita mengikutinya. Gerak kamera begitu immersive sehingga kita serasa ikut bergerak bersama. Kejadian film pun dibuat seperti mengacu kepada bagaimana video game menyusun adegan-adegan. Ada porsi aksi saat intensitas naik, player mengambil kendali, kamera menyorot dari belakang, mengikuti perjalanan. Setiap belokan di parit penjagaan itu terasa berbahaya. Belum lagi suara tembakan atau even apapun di kejauhan, Scho dan Blake seperti selalu diancam bahaya. Kemudian ada kalanya mereka tiba di tempat baru, dan kamera merekam sekeliling, sudut pandang kita lebih luas – ini seperti bagian cutscene pada videogame, pemain rileks menikmati cerita. Tokoh-tokoh pendukung dalam film ini bahkan diberikan fungsi seperti penjelasan-level pada video game. I mean, dari waktu ke waktu Scho akan bertemu dengan pimpinan-pimpinan seperti MacKenzie, dan mereka akan memberikan eksposisi sedikit tentang situasi , just like bagian penjelasan antar-level dalam game. Penonton yang sering main game pasti akan merasakan kesamaan ini. Setelah percakapan perpisahan dengan satu tokoh yang mengantarkan Scho ke jembatan, tanganku malah sampe otomatis meraih ke depan tempat duduk mencari joystick karena untuk beberapa detik aku merasa sedang bermain game alih-alih menonton sinema.
Kadang kamera akan berjalan duluan, menjauhi tokoh, sehingga kita mendapat jangkau pandang yang lebih luas dan pemahaman tentang sekitar medan menjadi lebih lebar. Dan karena ini adalah beneran medan perang, maka yang kita lihat benar-benar pemandangan mengerikan medan peperangan. Film memperlihatkan mayat manusia dengan mulut menganga, mayat-mayat kuda, mata kita dilarang untuk menoleh ke kiri ke kanan karena set yang dibangun begitu mendetil dan menyokong rasa yang ingin disampaikan. Ketakutan Scho dan Blake mengarungi perjalanan tersebut nyampe dengan sukses kepada kita. Film membuat mereka mengalami begitu banyak hal mengerikan yang bisa terjadi kepada manusia di medan perang, mulai dari tangan tertusuk kawat hingga menghindari bom di tempat yang penuh tikus. Inilah kenapa film menggunakan cara pengambilan gambar yang seperti one-take dari awal hingga akhir. Inilah kenapa film terlihat seperti video game. Kamera tidak ingin melepaskan kita sedetik pun dari pengalaman yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Sense of real time yang mereka bangun dengan gerakan kamera yang seamless seolah tanpa cut, dan terbukti sangat berhasil.
Film 1917 ini menggunakan gimmick seolah ia dishot dalam satu take, seperti Birdman (2014). Semua pengadeganan sudah dipikirkan, posisi pemain, jalur kamera, gerakan tokoh – seluruh elemen tersebut dirancang untuk menampilkan ilusi film ini diambil dengan satu take yang panjang. Namun peran besar editing dan efek di sini juga tak bisa kita abaikan. Film memanfaatkan adegan-adegan seperti tokoh yang tertembak sehingga jatuh dan gelap, atau masuk ke dalam air, atau tokoh berjalan di antara benda seperti pohon atau tembok, sebagai celah untuk mengcut dan menyatukan kembali dengan shot berikutnya. Precise sekali sambung menyambung yang dilakukan, sehingga ilusinya gak kentara. Film melakukan ‘gimmick’ ini dengan tidak sembarangan, melainkan dengan cita rasa seni yang tinggi. Lingkungan dan aksi ditangkap oleh kamera dengan sangat menawan. Dengan warna-warna, misalnya pada scene di malam hari yang tampak kece sekali. Departemen musik dan suara juga ikut menyumbangkan suasana intens yang enggak dibuat-buat ataupun terasa lebay. Pencapaian teknis film ini memang sukar untuk diabaikan
harus ditenangin dulu setelah lihat tikus jerman segede gaban!

 
While film ini niscaya dengan gampang menghibur banyak penonton – kita bisa menjamin kata-kata ‘seru, tegang, ataupun dahsyat’ bakal keluar dari mulut teman yang menyaksikan – aku juga masih bisa melihat beberapa penonton akan menyebut kekurangan film ini adalah kurang berisi. Lantaran cerita yang sangat simpel. Film ini memang kurang lebih seperti Dunkirk (2017); menempatkan kita begitu saja ke tengah-tengah peperangan, mendadak mengikuti orang-orang yang berjuang nyawa. Namun Dunkirk memang dibuat lebih ke arah thriller. Sedangkan 1917 masih berusaha mengangkat lebih banyak drama, walaupun memang penceritaannya dilakukan dengan cepat, dan berkat teknis yang mencuri perhatian kita bakal mengoverlook drama dan bakal mainly mengingat film ini sebagai pengadeganan dan ilusi one-shotnya itu saja.
George MacKay dan  Dean-Charles Chapman, respectively sebagai Scho dan Blake, diberikan peran yang bukan tanpa arc. Karakter mereka ditulis berlawanan dengan Blake memiliki fungsi sebagai pendukung bagi pertumbuhan karakter Scho. Pada permulaan film, Scho tidak terlihat punya semangat juang sebesar Blake. Ia malah tampak kesal sudah ditunjuk Blake untuk menemani melakukan misi. Dan takut – Scho tanpa ragu nunjukin keengganannya, ketakutan, keraguannya terhadap misi mereka. Scho percaya pada hal terburuk yang bisa terjadi. Kontras sekali dengan Blake yang semangat dan optimis, dia penuh motivasi karena abang kandungnya ada di pasukan MacKenzie, dan si abang akan jadi korban jika mereka gagak datang menghentikan serangan tepat waktu. Sifatnya inilah yang menurun kepada Scho setelah peristiwa mengenaskan di pertengahan cerita. Kita melihat transformasi dari Scho, dia benar-benar berjuang kali ini. Arcnya comes full circle dengan adegan akhir yang mirip dengan adegan awal, hanya saja kita tahu tokohnya sudah bukan lagi pribadi yang sama. Scho yang tadinya bahkan enggak peduli dengan medali, menjadi sadar dan bangga berjuang atas nama luka-luka dan jerih payah ia tempuh dengan semangat untuk membuat hidupnya lebih bermakna daripada sekadar cari aman. Scho rela berjuang bukan saja demi dirinya tapi juga demi orang lain.

Perjuangan itu seharusnya bukan hanya bertahan hidup. Yang terutama adalah mengisi hidup tersebut; menjadikan hidup berguna, terhormat, berjasa bagi orang lain. Sehingga akan ada bedanya bagi dunia saat kita hidup dengan saat kita tidak ada lagi di dunia.

 
Arc Scho sebagai tokoh utama sebenarnya sangat memuaskan. Pada babak akhir itu kita benar-benar pengen melihat usahanya tidak sia-sia dan dia selamat, karena kita akhirnya melihat dia tulus berjuang. Hanya saja kepedulian kita terhadapnya tidak muncul sedari awal. Kita tidak melihat alasannya berjuang hingga menjelang ending, Schofield ditulis sebagai karakter ‘ternyata’ alias backstorynya perlahan diungkap – dan sayangnya, itu termasuk motivasinya. Makanya ada sebagian penonton yang masih merasa kurang padat soal pengkarakteran yang dipunya oleh film ini. Aku pun setuju, motivasi Scho seharusnya bisa diperkenalkan sedari awal supaya saat menontonnya kita bisa lebih relate dan enggak hanya terpukau oleh teknis. Tapinya lagi, aku pikir, Scho bisa jatoh lebih buruk, like, di tangan penulis yang lebih kurang kompeten aku yakin Scho bakal jadi annoying dengan keengganannya ikut misi di awal-awal tersebut. Jadi paling enggak, aku menyimpulkan film ini menempuh resiko dengan membuat perjalanan Scho seperti yang kita saksikan, yang ditulis memang untuk sesuai dengan gaya one long take yang ingin mereka lakukan.
 
 
 
 
Meskipun bukan satu-satunya atau malah bukan yang pertama yang menggunakan konsep one-take, tetapi film ini tetap punya pencapaian teknis yang enggak bisa dipandang sebelah mata. Penceritaannya menerjunkan langsung ke medan perang dan menyaksikan sendiri perasaan mencekam di tengah-tengah sana. Kisahnya punya drama yang cukup untuk membuat kita ikut terengah-engah menontonnya. Sebab semuanya terasa begitu nyata, berlangsung tepat di depan kita. Tekanan waktu terasa mencekam, bahaya terasa mengincar dari setiap adegan. Ilusi dari gabungan teknis yang luar biasa sebagai cara film bercerita sungguhlah kuat. Sehingga jika film ini adalah peluru, maka ia adalah peluru yang membekas sangat dalam ke dalam pengalaman menonton kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for 1917.

 
 
 
That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Perang Dunia 3 yang sedang gencar ‘dipromosikan’ oleh pemerintah Amerika? Bagaimana perasaan kalian jika diharuskan untuk berperang?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

LITTLE WOMEN Review

“Women now have choices”
 

 
Dulu waktu hidup masih simpel, judul Little Women terdengar seperti sesuatu yang cute, yang hangat. Ketika pengarang Lousia May Alcott menuliskan itu sebagai judul novel yang aslinya dibagi menjadi dua bagian, ia memaksudkan Little Women sebagai istilah untuk masa-masa di mana masalah dewasa mulai merayapi gadis-gadis yang beranjak dewasa. It was the 19th century, tepatnya tahun 1890an, dan ‘masalah dewasa’ tersebut berarti gadis-gadis harus mulai memikirkan pernikahan untuk menaikkan status mereka. Karena membahas masalah inilah, cerita ini menjadi klasik. Sudah berkali-kali ia diadaptasi ke medium film, mulai dari 1933 hingga yang terbaru sebelum ini di tahun 2018. Sebab romansa begitu universal dan timeless, cerita tentang empat kakak beradik cewek yang berubah menjadi wanita berdikari dan menemukan cinta masing-masing akan selalu nyantol di hati enggak peduli era berapa. Kini, ada satu hal yang berubah. Di masa SJW dan pergolakan feminisme sekarang ini, judul Little Women kemungkinan bisa dianggap merendahkan. Udahlah wanita, kecil pula. Jika memanglah benar judul ini menghighlight ketimpangan sosial wanita dan pria, maka Greta Gerwig berhasil mengadaptasi cerita ini menjadi sebuah film yang memiliki semangat pemberdayaan yang membuatnya semakin beresonansi lagi.
Sekali lagi kita mengunjungi Jo, Meg, Amy, Beth, sehingga aku merasa agak mubazir juga menuliskan kembali sinopsis cerita mereka. Empat gadis remaja yang seringkali harus saling mengurus diri lantaran ibu dan ayah masih punya urusan di dunia yang baru saja menyudahi perang. Jo pengen jadi penulis, Amy pengen jadi pelukis, Beth pengen jadi pianis, dan si sulung Meg play along with them. Mereka berteman akrab dengan tetangga mereka yang bangsawan kaya. Particularly kepada Theodore Laurence. Ada percikan cinta. Namun Jo belum siap menerimanya. Ini adalah cerita kekeluargaan, sisterhood, perjuangan wanita menggapai cita-cita sebelum siap menerima cintanya. Gerwig yang sukses berat dalam debut penyutradaan film panjangnya di Lady Bird (2017) tampaknya memang jago menguatkan cerita sehingga menjadi sangat personal. Secara literasi, Little Women originally sudah bisa dikategorikan sebagai otobiografi lantaran Alcott menulis cerita ini berdasarkan kejadian hidupnya dan keluarga, namun ia harus membuat beberapa penyesuaian demi penjualan. Di sinilah letak jasa Gerwig; ia mendedikasikan adaptasi versinya ini ini untuk pilihan hidup personal personal yang sudah dipilih oleh pengarang. Dalam sebuah penceritaan yang begitu manis,

memblurkan fiksi dan kayfabe (fakta-dalam-fiksi)

 
Gak gampang membuat cerita lama terasa berbeda. Setiap adaptasi Little Women menggunakan pendekatan berbeda, misalnya versi 2018 yang mengangkut cerita dasar dan meletakkannya di suasana modern kita sekarang ini; film itu bisa bagus jikasaja aktingnya enggak selevel sinetron atau FTV. Gerwig, however, tetap menempatkan Little Women versinya sebagai period piece. Beberapa elemen yang tak berani ditampilkan oleh film-film versi yang lebih lawas, seperti pembakaran naskah tulisan Jo oleh Amy ataupun Amy yang jatuh ke dalam kolam beku, ditampilkan tanpa masalah oleh Gerwig. Sebab ia ingin menonjolkan interaksi, keakraban dalam keluarga Jo March. Inovasi signifikan yang dilakukan Gerwig terhadap materi ini berawal dari penggunaan alur maju mundur sebagai cara bercerita. Literally mengoverlap masa remaja dengan masa dewasa, seperti yang dimaknakan oleh judul menurut sang pengarang bukunya.
Penonton film Indonesia bakal akrab dengan teknik bercerita begini mengingat sepanjang 2019 kemaren hingga ke 2020 ini kita menyaksikan banyak film lokal yang tersusun demikian. Bebas dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini misalnya. Film crime-drama Darah Daging juga, meski dengan penggarapan dan timing yang lebih buruk. Cerita akan dimulai dari Jo yang sudah dewasa, di kantor percetakan, bermaksud menjual dan menerbitkan cerita yang ia tulis. Seiring proses kreatif Jo saat ia merevisi tulisannya nanti, kita akan dibawa flashback ke masa remajanya karena memang Jo menuliskan masa-masa itu sebagai cerita (walau ia nyangkal dan bilang itu cerita temannya kepada pimred). Penggunaan dua timeline yang saling tindih ini dilakukan dengan cermat oleh Gerwig. Ia memastikan tidak ada emosi yang ketinggalan sebelum sempat terbangun saat mengontraskan antara masa dewasa yang tokoh-tokohnya bergulat dengan profesi dan pilihan hidup masing-masing dengan masa remaja saat mereka masih bersama-sama mengadakan pertujukan drama dan menghias pohon natal. Gerwig sangat precise mengatur waktu, menjahit dua timeline, tidak akan ada tokoh yang diizinkan pergi sebelum kita benar-benar sudah peduli kepadanya.
Kita tidak akan tersesat karena akan senantiasa dibimbing oleh time image, alias gambar-gambar yang menunjukkan waktu. Misalnya gaya rambut para tokoh. Atau yang paling obvious; tone warna. Cerita di masa lalu Jo akan dikuas warna-warna yang lebih hangat dan terang oleh film, menandakan perasaan para karakter pada saat itu. Sedangkan masa ‘kini’ cerita, warnanya lebih dominan biru sehingga terasa lebih ‘dingin’. Film tak perlu repot-repot meng-cast dua aktor untuk masing-masing tokoh. Mungkin kalian masih ingat kesalahan terbesar Little Women 1994 yang bagus itu? ya, menggunakan dua aktor untuk Amy; Samantha Mathis tidak bisa mengimbangi pesona Kirsten Dunst sebagai Amy remaja. Cast pilihan Gerwig terbukti luar biasa solid. Mereka mengarungi dua masa dengan tanpa cela, pertumbuhan mereka yang di babak awal terasa cukup menganga perlahan menutup dan terikat sempurna. Rentang yang harus mereka lakukan tidak membuat satu tokoh terasa seperti dua orang yang berbeda. Saoirse Ronan perfect sebagai Jo, sekali lagi dia menunjukkan permainan peran gak meledak-ledak tapi tetap ‘membakar’. Florence Pugh mencuri perhatian meniti karakter Amy dan tidak pernah terjatuh menjadikan tokoh ini annoying dan jahat meskipun Amy dan Jo paling sering bertengkar dan berbeda pendapat. Emma Watson sebagai Meg juga flawless mendukung Jo lewat keputusannya menikah bukan karena harta – yang menunjukkan menikah bukan tanda kelemahan wanita.
dan Timothy Chalamet sudah siap membuat penonton bersenandung dangdut “Chalamet malam duhai kekasih”

 

Little Women versi Gerwig ini punya agenda untuk menunjukkan bahwa kini wanita punya pilihan. Bahwa pernikahan bukan semata tujuan akhir kehidupan. Meskipun begitu memilih untuk menikah juga bukanlah sebuah pengakuan wanita butuh pria, melainkan pilihan untuk merayakan cinta.

Dalam film ini Gerwig menunjukkan mengakui cinta itu juga sama pentingnya dengan mengejar mimpi dan kemandirian. Film memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan pilihan yang diambil oleh pengarang cerita, dan menampilkan sebenar-benarnya dengan cara unik tersendiri. Alcott tidak menikah hingga akhir hayatnya. Dalam film, Jo menulis cerita yang endingnya tanpa pernikahan dan pimred memintanya untuk mengubah dan menjadikan tokohnya menikah. Romansa dan pernikahan itulah yang kita dapat dalam Little Women original dan adaptasi-adaptasi lainnya sebelum ini.
Gerwig mencoba menghormati Alcott, menghormati Jo March. Menghormati wanita-wanita modern. Akhir inovasi maju-mundur film ini menghantarkan kita – tanpa sadar – kepada satu inovasi lagi. Batas masa lalu dan masa kini film semakin tidak jelas, mereka berpindah dengan sangat cepat, dan tau-tau kita melihat Jo duduk kembali di kantor redaksi. Jo penuh konfiden sekarang, sedangkan kita enggak pasti dan mempertanyakan ulang kepada diri sendiri, apakah semua momen manis – malah sempat-sempatnya ada ‘bandara momen’ versi jadul – itu hanya cerita karangan Jo. Tone warna sudah tidak membantu lagi sekarang. Kita di akhir cerita diminta melihat dengan rasa.

Menyaksikan Jo memandang kelahiran buah karyanya seolah film mengajak kita untuk merasakan yang dialami oleh Alcott. Merasakan kebanggaan, sebuah happy ending yang terasa positif dan membawa semangat optimisme bahwa pilihan kita itulah kebahagiaan kita.

 
 
 
Persaingan antar-saudara, cinta yang tak dibalas, penyakit yang memisahkan, perjalanan yang meraih mimpi; semua formula sebuah cerita yang loveable ada dalam film ini. Semuanya itu memang diceritakan dengan manis. Adegan-adegan film ini bakal gampang banget ngena di hati. Castnya aja sudah lebih dari cukup untuk membuat kita jatuh cinta. Film ini punya gagasan yang sangat relevan, namun tidak terasa begitu urgen. I mean bukan untuk merendahkan kepentingan wanita. Hanya saja, dengan fakta film ini sudah adaptasi film panjang kelima dari materi yang sama, enggak semuanya jadi terasa kurang menantang. Penggunaan maju-mundur juga bukan exactly hal baru. Film ini memang beda, inovasinya berhasil membuat cerita jadi segar, dan tak lupa membuat kita merasakan sesuatu right there in the heart, hanya saja kemagisannya berkurang begitu kita ingat ini adalah reinkarnasi dan semua perbedaan tadi gampang diusahakan jika kita sudah punya empat sebagai ‘contoh’nya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LITTLE WOMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian akhir film ini, apakah Jo sebaiknya menikah atau tidak? Apa masih pada gemes dia gak jadi sama Laurence? ahahaha

Apa pendapat kalian tentang perempuan yang tidak menikah?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

JOJO RABBIT Review

When you know love then that is the time you forget hate”
 

 
Setiap film perang sebenarnya adalah film-film anti-perang yang menyamar. Buktinya ya kayak Jojo Rabbit ini. Kisah dalam film ini diadaptasi dari novel serius karangan Christine Leunens yang berjudul Caging Skies. Membahas tentang prejudis dan diskriminasi Yahudi oleh Nazi Jerman, sebagai pembuka mata bahwa perang yang mereka lakukan selama itu sesungguhnya sebuah kehilangan besar dari kemanusiaan yang satu. Oleh Taika Waititi pesannya tersebut disamarkan lebih dalam lagi. Jojo Rabbit dihadirkan dengan nada komedi, gagasannya difokuskan lagi olehnya menjadi sebuah pesan anti-kebencian. Yang membuat film ini menjadi lebih relevan lagi dengan keadaan dunia sekarang; dunia tempat di mana kebencian digunakan sebagai propaganda dan api untuk menakuti-nakuti dan mengontrol kepentingan politik beberapa pihak.
Tantangan pertama cerita ini adalah bagaimana cara membuat tokoh utamanya yang seorang kadet nazi yang udah benar-benar terpatri untuk membenci dan menghabisi setiap yahudi yang ia lihat menjadi simpatik. Sebagai film, tentu saja ini akan menjadi journey sangat menarik; perjalanan seorang yang penuh kebencian menjadi menyadari hal-hal indah yang membuat dia mengubah pandangannya. Dan menjadi berkali lipat menarik karena tokoh dalam Jojo Rabbit adalah anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun. Waititi sudah berpengalaman menangani cerita dalem yang bertokoh anak-anak (tonton juga Hunt for the Wilderpeople yang keluar 2018) sehingga ia mengerti menampilan ‘penuh kebencian’ ini dengan cara dan takarannya sendiri.

bukankah kita semua adalah anak kecil yang polos di hadapan doktrin-doktrin kebencian?

 
 
Jojo Rabbit dibuka dengan set up Jojo si calon tentara Nazi yang dilatih di kamp pelatihan. Pelatihan di kamp yang kita bayangkan bakal intens dan penuh disiplin dan jenderal galak ternyata tampil lucu. Waititi menekankan posisi dan sudut pandang anak kecil untuk menggambarkan dan mengomentari doktrin kebencian yang menjadi api perang ini dengan sarkas. Informasi yang diberikan film persis seperti kita mengingatkan kepada anak-anak, simpel. Pisau itu berbahaya. Granat apalagi. Semuanya dihampar lewat pengadeganan yang lucu, lewat tokoh-tokoh yang ‘ajaib’. Namun dunia Jojo adalah dunia yang mengharuskan perang. Jojo hidup dengan pemahaman bahwa semua hal ironi (berbahaya namun sia-sia), semua peperangan dan kebencian terhadap yahudi adalah hal yang patriotis.
Opening film ini ‘meledek’ salam Nazi dengan menampilkannya diiringi lagu I Wanna Hold You Hand-nya The Beatles yang dibahasa-jermankan. Ada adegan petinggi-tinggi Nazi yang saling menyapa “Heil, Hitler!” setiap kali bertemu dilakukan Waititi dengan adegan satu menit dan salam itu terdengar lebih dari dua puluh kali. Tokoh Nazi dalam film ini gak ada yang sadar yang mereka lakukan itu tak lebih dari kebencian dan perbuatan kosong. Mereka bahkan gak ngeh kalo dunia mereka vibrant dan begitu berwarna, kota itu seperti bukan tempat yang kita bayangkan jika mengimajinasikan kebencian. Salah satu elemen penting yang dipunya film ini adalah percakapan antara Jojo dengan Hitler yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Aku membaca banyak kritikus ataupun penonton luar yang gak suka dengan portayal Hitler dalam film ini. Mereka mengatakan menjadikannya parodi, seperti tokoh kartun, adalah langkah tidak-sensitif oleh film; mengecilkan dosa dan perbuatan laknat Hitler itu sendiri. Dan hal tersebut tidak lucu. Well, mengkartunkan Hitler bukan pertama kali terjadi di sini. Charlie Chaplin sudah lebih dahulu mempermalukan sang diktator di tahun 1940 lewat film The Great Dictator. Lagipula, yang dilakukan oleh Waititi bukan sekadar menghumorkan. Karena ketika kita teliti, Hitler yang di film ini bukan Hitler ‘asli’. Melainkan Hitler yang ada di kepala Jojo.
Tokoh ini penting karena dia adalah perwujudan dari doktrin yang bersarang di dalam kepala Jojo – yang sama sekali belum tau dunia dan pilihan lain di luar mindset swastika yang dipaksakan kepadanya. Bagi Jojo, Hitler asli adalah tokoh idola, pemimpin yang harus dihormati, ditakuti. Yang tak boleh dilawan kehendaknya. Relasi antara Jojo dengan Hitler imajinasi tersebut bukan menunjukkan bahwa si Jojo gila, ngomong sendirian. Melainkan untuk menunjukkan anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, — eh salah, itu lirik lagu, maksudku anak kecil juga – ralat lagi; AJA! – bisa berpikir, bisa bergumul dengan pikirannya, mempertimbangkan rasa. Ia tidak menutup pintu debat. Ia, tanpa ia sadari, berani mempertanyakan sifat-sifat bentukan doktrin yang bersarang di benaknya.

Musuh terburuk kemanusiaan yang sesungguhnya adalah doktrin yang didasarkan pada kebencian. Doktrin yang membuat kita menutup mulut, mata, telinga. Menjauhkan kita dari argumen karena menyangka doktrin tersebut tidak bisa diperdebatkan. Padahal dunia tidak pernah sesatu dimensi itu. 

 
Film di balik quirkiness-nya menunjukkan kepada kita bahwa doktrin kebencian sudah meraga ke pribadi Jojo, namun belum ke jiwanya. Jojo masih punya harapan. Malah, semua orang sesungguhnya masih punya harapan. Jojo payah dalam latihan perang, dia ngebom dirinya sendiri. Jojo gak tega membunuh kelinci, sehingga giliran dia yang diejek kelinci – makanya judul film ini Jojo Rabbit. Simbolisme bermain di sini; kelinci adalah hewan yang berani, cerdas, kuat, dan panjang akal. Jojo sesungguhnya benar seperti kelinci. Hanya saja, semua sifat itu belum terbentuk karena masih ada dilema pada moralnya. Dilema yang terbentuk oleh doktrin Nazi yang penuh kebencian tadi.
Enter Elsa. Bukan Ratu Salju dari Arendelle. Melainkan gadis Yahudi dari balik tembok di atap rumah Jojo. Awalnya tentu saja Jojo jauh dari Elsa, takut malah. Elsa (Thomasin McKenzie mencuri perhatian dengan begitu wonderful) juga enggak punya keinginan untuk berakrab-akrab. Mereka musuh, Nazi dan Yahudi. Jojo menyalurkan semua kebenciannya dengan menulis buku tentang Yahudi, hasil observasinya alias imajinasinya atas apa yang diceritakan Elsa – hanya supaya Jojo tetap takut dan tidak mengadukannya kepada tentara. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Jojo hanya mempraktekkan kebencian tanpa actually merasakan kebencian itu. As the story goes, dia merasakan sesuatu dan perlahan kebencian-buta itu memudar. Film menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita perbuat akan kalah sama apa yang kita rasakan di dalam hati. Inilah kunci dari semua kebencian tersebut. Hati yang dipupuk oleh cinta (bagi Jojo itu berarti dari ibunya dan perasaan genuine yang tumbuh dari interaksinya dengan Elsa) jauh lebih bermakna daripada benak yang ditempa oleh kebencian. Perasaan ini bukan hanya tumbuh pada Jojo. Film dengan nekat memperlihatkan satu tindakan pahlawan dari seorang panglima Nazi yang diperankan oleh Sam Rockwell.

Besar kemungkinan film ini bakal dihujat karena ingin menggambarkan Nazi sebagai sosok simpatik. Namun justru di sinilah poin yang ingin diutarakan oleh film. Bahwa nun jauh di hati kita semua sama. Bukan hanya yahudi yang harus dilihat manusia, bukan sebagai monster bertanduk. Tentara Nazi juga. Pandangan mereka terhalang oleh doktrin kebencian, dan begitu juga kita. Padahal seharusnya kita semuanya cukup dengan merasakan rasa. Tidak ada gunanya saling menebar kebencian. Lebih baik tumbuhkan cinta dan benci itu akan hilang dengan sendirinya.

 

karena ini film dengan anak-anak, maka: “Make friends, not war!”

 
 
Soal feel itulah yang dihamparkan dengan kuat. Meskipun filmnya bernada satir, tapi kita akan merasakan banyak hal sekaligus ketika menonton film ini. Kita bisa meraksakan bangganya Jojo sebagai Nazi. Malunya dia ketika dianggap pengecut. Marahnya dia ketika dia enggak mengerti apa yang ia banggakan sebagai Nazi. Takutnya dia ketika berada di tengah-tengah peperangan beneran. Uwiiih, kerasa benar bagi Jojo perang itu jauh seperti latihannya, jauh seperti yang ia bayangkan – dan ia gak siap. Ia menolak. Adegan perangnya terlihat mengerikan deh pokoknya. Waititi juara di sini menyatukan berbagai tone cerita, membawa kita mengarungi masing-masingnya dengan mulus. Ketika Jojo rindu dengan hangatnya cinta sang ibu, kita juga akan terhenyak.
Wajar dan pantes banget makanya jika si Roman Griffin Davis mendapatkan penghargaan di debutnya sebagai aktor cilik ini. Setiap emosi berhasil ia sampaikan lewat ekspresinya yang juga sama luwesnya. Davis mengimbangi penampilan Scarlett Johansson yang berperan sebagai ibunya. Kita akan melihat sisi lain dari Johansson karena di sini dia memainkan peran yang sedikit berbeda dari yang biasa ia tangani. Masih sok galak, dan pinter sih, tapi there are lot more to it. Ada satu adegan monolog darinya yang keren karena butuh  banyak range emosi dan ekspresi. Hubungan Jojo dengan ibunya jelas adalah yang paling penting, bahkan mungkin inti dari journey Jojo. Film memperlakukan hubungan ini juga dengan unik. Memanfaatkan sepatu sebagai simbol adegan. Gestur sesimpel mengingatkan tali sepatu dijadikan bentuk cinta yang luar biasa. Di luar iti, aku gak mau bilang banyak, tapi kujamin; it’s beautiful. Kalo menurut kalian enggak indah dan menyengat di hati, boleh jitak pala Hitler.
 
 
 
Karikatur komedi itu tidak lagi terlihat sedangkal yang kita bayangkan, di menjelang akhir babak kedua. Film ini punya niat yang begitu, menyebarkan semangat anti-kebencian, dan bermaksud memekarkan bunga-bunga cinta di hati kita. Dan semua ini dilakukan oleh film dengan melewati begitu banyak emosi. Horor dan humor bisa jadi datang bergantian, namun tak sekalipun kita merasakan film terbata menceritakannya. Waititi mengambil resiko dan upaya yang besar dalam membentuk ulang cerita adaptasi ini. Alhasil, semua yang mestinya jadi aneh malah tampak begitu indah. Satir itu punya makna yang mengena. Semua itu karena film ini berhasil menyentuh hati kita.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for JOJO RABBIT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa doktrin kebencian bisa begitu tertanam pada diri manusia? Apakah membenci sesuatu memang lebih mudah daripada mencinta?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ABRACADABRA Review

“Those who don’t believe in magic, will never find it.”
 

 
“Abracadabra!” adalah ‘mantra’ sihir untuk pesulap, yang diserukan pada momen penghujung trik yang sedang mereka mainkan. Kata ini turunan dari bahasa aram (Aramaic) yang memiliki arti ‘dibuat dari kata-kata saya’. Namun sendirinya, kata ini tidak bermakna apa-apa, melainkan hanya sugesti yang memberikan impresi ada suatu kekuatan sihir yang dipanggil saat memainkan pertunjukan tersebut. Sedikit banyaknya, mantra abracadabra merupakan bagian dari trik sulap itu sendiri. Hanya sebaris kata yang mencoba menghasilkan ilusi.

So in that sense, kita bisa bertanya apakah film Abracadabra garapan Faozan Rizal ini juga hanyalah trik dan barisan gibberish – omong kosong – belaka?

 
Film ini berbicara tentang Lukman (Reza Rahadian), seorang Grandmaster Sulap yang – untuk alasan yang tidak begitu dijelaskan – mulai kehilangan kepercayaan pada kemagisan pekerjaannya. Ia bermaksud mempensiunkan diri dengan cara yang lebih terhormat daripada yang dilakukan oleh sang ayah. Pesulap yang menghilang begitu saja. “Aku tidak akan bersembunyi”, lirih Lukman mantap sambil memandang foto dan memorabilia bekas pertunjukan milik ayahnya tersebut. Ada satu kotak kayu di antara barang-barang tersebut. Kotak persegi biasa. Meskipun di atasnya tercetak segitiga tulisan abracadabra, seperti yang dituliskan pada jimat-jimat kesehatan pada abad pertengahan, tapi kotak ini bentukannya seperti kotak biasa untuk nyimpan barang. Tidak ada kontrapsi untuk membuka lubang rahasia. Tidak ada tuas tersembunyi. Tidak ada apa-apa. Lukman bermaksud menggunakan kotak ‘biasa’ ini sebagai pertunjukan sulap terakhirnya. Ia ingin dianggap gagal oleh penonton sehingga bisa undur diri dengan tenang. Namun ternyata kotak itu bukan sulap, melainkan sihir! Seorang anak kecil beneran hilang saat dimasukkan Lukman ke sana. Lukman harus menarik dirinya kembali ke dalam dunia sihir dan muslihat, mencari tahu apa sebenarnya kotak itu supaya bisa mengembalikan orang-orang yang sudah ia hilangkan, mengarungi misteri dunia sang ayah, sembari melarikan diri dari polisi (Butet Kertarajasa) yang hendak menangkapnya dengan tuduhan penculikan.
Kunci dari penyeruan abracadabra oleh pesulap-pesulap terletak pada cara mengucapkannya. Tidak bisa dengan sekadar melambaikan tongkat sihir dan berseru sekenanya. Harus dramatis. Antisipasi penonton kudu dibangun terlebih dahulu sebelum kata pamungkas itu disebutkan. Film Abracadabra punya banyak trik dalam menyuarakan cerita dan gagasannya. Dan film ini pun punya cara bercerita tersendiri – cara penyampaian – yang benar-benar membuatnya berbeda (beneran, gak ada film Indonesia yang baru-baru ini main di luar sana yang tampil seperti film ini). Cara berceritanya inilah yang jadi penentu utama kita bisa menyukainya atau tidak. Karena film ini bisa sangat aneh, membingungkan, membosankan, atau malah konyol bagi masing-masing yang menyaksikan.

kenapa dia tidak bilang avada kedavra saja supaya semuanya bisa tuntas dengan cepat dan tanpa derita

 
Karakter-karakter dalam film ini ditulis dengan begitu unik, sampai-sampai menginjak batas surealis. Banyak tokoh Abracadabra yang bersikap aneh, yang berdialog creepy (film mengambil keuntungan dari aktor-aktor yang biasa bermain teater), seolah mereka dipinjam langsung dari dunia milik David Lynch. Keseluruhan dunia film ini enggak bekerja sebagaimana mestinya dunia kita bekerja. Ada satu adegan saat Lukman naik taksi ke Pantai Rahasia, dan untuk sampai ke sana, taksi itu harus berjalan mundur – mundur kayak gambar video yang di-play dengan tombol reverse. Gak masuk akal? Ya. Gak logis? Ember. Namun itulah yang menjadi daya tariknya. Film meletakkan komedi mereka pada karakter-karakter dan kejadian ganjil. Batas antara sulap dengan sihir itu tipis sekali di sini. Semuanya dimaksudkan paralel, sebagai pendukung perjalanan inner Lukman yang berusaha mencari rasa percayanya yang hilang terhadap keajaiban.

Bukan mantra yang sebenarnya mengandung keajaiban. Kita tidak bisa memanggil keajaiban hanya dari sekedar kata-kata. Kita juga harus mempercayai kita bisa melakukannya. Makanya Lukman tidak bisa menemukan yang ia cari karena dia tidak percaya pada apa yang ia cari. Dia bahkan tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Hanya saat ia percaya barulah semua jawaban itu muncul kepadanya.

 
Faozan Rizal yang berakar sebagai mata di balik lensa kamera punya visi sangat indah dalam menangkap gambar-gambar yang menjadi panggung pertunjukan film ini. Dia menggunakan palet warna yang mengingatkan kita pada film-film karya sutradara Wes Anderson. Ruangan dalam kantor polisi dalam Abracadabra disiram oleh warna merah muda yang kontras sekali dengan penghuninya yakni seorang komisaris dan dua anak buahnya. Ini menguarkan kesan konyol, persis seperti karakter para polisi yang dibuat menganggap sulap adalah kriminal dengan nada komikal. Sementara seringkali dunia akan disapu oleh gradasi warna orange tatkala Lukman fokus di layar, yang membuat kita secara tak sadar menghubungkan dirinya dengan harimau sumatera bernama Datuk yang bisa muncul di mana saja, yang mungkin adalah spirit-animalnya. Pemilihan komposisi warna dan posisi/blocking karakter merupakan bagian integral dari bangunan dunia cerita.
Ketika cerita butuh paparan, entah itu dari tokoh yang menceritakan langsung lewat flashback, film melakukannya lewat treatment khusus. Adegan eskposisi tersebut diceritakan dengan gaya film bisu. Kita melihatnya dalam reel klip film hitam putih. Sehingga kita juga seperti mundur bersama ke dalam kurun waktu, seolah berpindah dari tipikal film kontemporer ke zaman film klasik. Kita terbawa berjalan tanpa terbebani oleh informasi-informasi yang dihamparkan oleh film.
Selain waktu, tempat juga merupakan elemen yang penting, walaupun sangat subtil sekali. Tokoh kita akan bertualang dari panggung, ke bandara, ke pantai, ke bukit. Film memasukkan elemen mitologi ke dalam cerita; kotak kayu yang jadi sumber masalah disebutkan terbuat dari kayu Pohon Kehidupan Yggdrasil. Dalam mitologi Norwegia (Norse) Yggdrasil adalah pohon raksasa di pusat bumi yang akarnya menembus hingga tiga dunia. Dalam film ini, walaupun tidak pernah dijelaskan apa persisnya yang terjadi kepada orang-orang yang masuk dan menghilang ke dalam kotak, namun diberikan kesan bahwa keajaiban kotak Lukman ini berupa ia menjadi semacam portal. Yang masuk ke sana bisa muncul di mana saja atau muncul lagi dari dalam kotak namun di kurun waktu yang berbeda. Orang yang mengerti tentang kotak ini diperlihatkan mengincar kekuatannya; mereka sukarela masuk seolah ada tempat yang ingin mereka tuju, dan kotak itu adalah penghantarnya.

mungkin di dalam kotak itu ada dunia seperti tas koper Newt di Fantastic Beasts

 
Jika dipikir-pikir, film memang tak ubahnya seperti pertunjukan sulap. Ada akting. Ada sutradara yang punya job-desc mirip dengan pesulap; mengarahkan kru dan para pemain dalam sebuah pertunjukan make-believe, kalo gak mau dibilang menipu. Dan tentu saja, sama-sama punya trik. Untuk urusan trik, seperti yang sudah dijabarkan di atas, Abracadabra punya banyak. Film ini tampak memikat. Film ini terdengar berbeda. Tapi kadangkala trik itu sendiri dikerjakan dengan enggak mulus. Editing yang masih terlihat jelas potongannya – kita dapat menemukan dengan jelas mana adegan sulap yang dipotong dan kemudian disatukan kembali. Like, kamera ngesyut aktor masuk ke dalam kotak – kotaknya ditutup, si pesulap bilang abracadabra – cut – kamera stop rolling, si aktor keluar – kamera lalu ngesyut lagi kotak kosong dan si pesulap membuka kotak – tadaaa, hilang! Penyatuan adegan itu yang sangat kentara. Pesulap yang ‘membongkar’ triknya sendiri saat pertunjukan tentu bukan pesulap yang cakap, atau paling tidak dia belum fasih betul, belum gigih banget mengerjakan triknya tersebut.
Pun secara substansi, masih ada beberapa yang terasa belum sampai; belum kena. Narasi yang belum memuaskan lantaran masih banyak pertanyaan yang terangkat tapi tak-terbahas. Journey tokoh utama dapat terasa terlampau aneh. Lukman terlalu distant. Dia yang gak lagi percaya terasa kurang usaha saat di awal-awal dia penasaran dan mencari orang-orang yang sudah ia hilangkan. Dia hanya mengucapkan abracadabra berulang kali, seperti orang gila yang mengharapkan perubahan dengan mengulang-ulang perbuatan. Sehingga kadang kita merasa lebih relate dan tertarik sama ‘petualangan’ komisaris polisi konyol yang memburunya. Si komisaris bahkan punya latar belakang yang berkonflik lebih menarik; dia adalah murid sulap yang gagal menjadi pesulap. Revealing ini actually lebih memancing minat ketimbang pengungkapan bahwa Lukman sebenarnya adalah juga dulu muncul dari kotak.
 
 
Untuk menjawab pertanyaan di awal; Abracadabra enggak benar-benar sebuah gibberish karena tokohnya mengalami konflik dan perjalanan, masih ada narasi dan gagasan di baliknya. Kita bisa jatuh cinta sama film ini dari gaya dan visual dan keanehannya. Tapinya lagi, film ini memang terlalu mengandalkan gaya sehingga dunia yang diniatkan ambigu malah acakali terasa artifisial. Pembelajarannya jadi terasa minimal. Ini seperti menonton trik-trik yang sangat elaborate, yang bahkan belum semuanya fasih dilakukan, untuk pertunjukan sesimpel mengeluarkan kelinci dari dalam topi.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for ABRACADABRA.

 
 
 
That’s all we have for now.
Mantra sesungguhnya dalam film ini adalah “dari debu kembali menjadi debu”.. menurut kalian apakah makna dari kalimat tersebut? Apa kepentingannya terhadap perkembangan karakter Lukman?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

UNDERWATER Review

“If you hit rock bottom, the only way to go is up”
 

 
Pesimistis merupakan gambaran sikap atau keadaan pikiran seseorang yang mengharapkan yang terburuk dalam hal apapun. Yang belum apa-apa udah gak antusias duluan, hilang harapan, dan gak mau muluk-muluk mikir bakal berhasil. Si pesimis inilah yang jadi tokoh utama kita dalam sci-fi horror/thriller Underwater. Namanya Norah. Salah satu kalimat perkenalannya kepada kita literally soal dia yang menjadikan sifat pesimis sebagai zona nyaman. Sebagai seorang mekanik di stasiun pengeboran minyak raksasa di bawah laut, ia curhat ketika soal di bawah sana, dia enggak tahu lagi hari dan hanya melakukan kerjaannya. Dia gak ngeluh, just stating a fact. Aku akan kehilangan minat sama sekali ama tokoh ini, jika kemudian aku tidak melihatnya bimbang sejenak dan mengurungkan niatnya mengguyur laba-laba di wastafel. Adegan kecil inilah penentu yang mengisyaratkan cewek bondol yang diperankan Kristen Stewart ini bukan satu-dimensi, bahwa ada sesuatu yang menyebabkan dia ‘menipu’ diri dengan bersikap pesimis.
Jadi jangan pesimis duluan sama film ini. Memang, film jenis ini sudah banyak. Dan dengan ‘jenis ini’, yang aku maksud adalah film-film sci-fi horor yang meniru Alien (1979). Let’s just face the fact, di tahun 2020 ini Alien sudah sah jadi kakeknya horor-horor sci fi. Setiap film generasi baru dalam genre ini hampir pasti bakal mirip, entah itu nyontek, ngasih tribute, ataupun memparodikan dirinya. Sebegitu hebatnyalah Alien. Kita bakal terus membanding-bandingkan cerita seperti ini dengan Alien, karena film itu udah jadi batas atas. Salah satu poin minus Underwater toh memang meminjam banyak elemen dari Alien. Dalam film ini kita bahkan akan menjumpai adegan bayi monster yang melompat keluar dari tubuh korbannya. Formula ceritanya mirip, karakter-karakter pendukungnya mirip. Banyak yang menyipitkan mata menyebut film ini hanyalah Alien di dasar laut, alih-alih luar angkasa. Namun actually, perbedaan tempat ini berhasil menjadi penanda yang memisahkan antara keduanya.
Stasiun raksasa tempat Noah bekerja meledak. Bersama beberapa orang yang selamat, Norah berusaha mencari cara untuk menyelamatkan diri ke permukaan. Mereka harus berjalan kaki di dasar laut, menuju stasiun sebelah yang masih memiliki kapsul penyelamat. Masalahnya adalah kondisi di sana sama sekali belum stabil. Ledakan susulan bisa terjadi kapan saja. Belum lagi tekanan air dan jarak tempuh yang berkemungkinan perjalanan menjadi terlalu beresiko bagi mereka. Dan ketika mereka beneran nekat mencoba, satu faktor bahaya lagi muncul. Penyebab ledakan fasilitas pengeboran mereka ternyata adalah monster-monster. Norah beserta rekan-rekan kini tak ubahnya bebek mainan di kolam. Menunggu monster-monster datang ‘mempermainkan nyawa’ mereka.

gimana gak pesimis; sudah 2020 dan tetep, blackman game over duluan

 
Underwater mengikuti semua klise sekelompok orang yang terjebak kemudian harus survive dari monster yang satu persatu memangsa mereka. Namun semuanya dilakukan dengan kompeten, dan menarik. I did enjoy this very much. Dalam teori skenario yang keren, tokoh utama akan selalu dipaksa untuk mengambil tindakan. Rintangan demi cobaan selalu datang menghantam. Tokoh akan selalu ditempatkan di posisi yang mengganggu baginya, yang menantang kepercayaannya. Underwater punya ini semua. Norah si pesimis terus disuruh untuk aktif menyelamatkan diri. Musuh Norah bukan hanya monster-monster kayak alga. Melainkan juga keadaan. Ledakan dan runtuhnya struktur stasiun. Tekanan air. Film enggak membuang waktu untuk terus menyerang Norah. Belum ada lima-belas menit, kita sudah melihat adegan aksi menyelamatkan diri dari stasiun yang meledak, bocor, kemasukan air. Lingkungan film ini semuanya digunakan sebagai halangan untuk tokoh utama, menyebabkan cerita selalu berada dalam kondisi menegangkan.
Setiap menit yang disediakan, berusaha dimanfaatkan oleh sutradara William Eubank untuk membangun kengerian sekaligus karakter. Kredit pembuka film ini saja dipakai untuk menampilkan judul-judul berita, sebagai usaha film melandaskan cerita seputar pembangunan stasiun pengeboran, batas alam mana yang mereka langgar sehingga bumi, katakanlah, menyerang balik. Antara adegan survival satu dengan yang lain, cerita akan mengerem sebentar untuk mengembangkan karakter. Norah diberikan hubungan emosional dengan rekan-rekannya. Dan di sinilah peran Kristen Stewart sangat dibutuhkan oleh film. Sekali lagi, jangan pesimis dulu padanya mentang-mentang ia jebolan Twilight. Stewart adalah bagian terbaik dalam film ini.
Dari nyeletuk soal apapun yang mereka lakukan mereka bakal jadi mayat yang ngambang di permukaan laut, hingga ke keteguhannya untuk tinggal dan menyelamatkan, Norah punya banyak momen pembelajaran. Stewart membawakan itu semua dengan sangat meyakinkan. Helm dan baju selam bukan hambatan bagi aktingnya. Jujur, waktu yang dipunya oleh film ini untuk development karakter sebenarnya enggak cukup. Underwater pada akhirnya masih tampak seperti aksi demi aksi dengan tokoh-tokoh yang mudah dilupakan. Jika bukan karena Stewart yang kini kuat dalam permainan ekspresi dan emosional, Norah bisa ikut-ikutan terlupakan. Tapi enggak. Perjalanan tokoh ini soal mengubah pesimis menjadi amunisi yang produktif tetap terasa sebagai tulang punggung film.

Sifat pesimis tidak melulu menghasilkan sesuatu yang negatif. Norah dalam film ini menyontohkan bahwa pesimis justru membuat dirinya bisa berpikir selangkah lebih maju. Membuatnya mengantisipasi hal-hal merugikan, dan mengubahnya menjadi langkah pencegahan dan menolong orang. Pesimis bisa dijadikan sebagai tameng defensif yang mencegah kita untuk terlalu kecewa tatkala sesuatu yang buruk sudah dikenali sedari awal. Orang-orang yang pesimis, dalam kondisi terbaik mereka, selalu adalah yang pertama kali sadar mereka berada di bawah dan jalan satu-satunya bagi mereka adalah ke atas.

 

orang yang optimis akan jalan kaki sambil membayangkan lewat di depan rumah nanas

 
Dunia Underwater terwujud dengan ciamik. Set dan desain produksi film ini cukup niat, sehingga semua yang terjadi di depan mata kita tampak otentik. Baju selam yang mereka kenakan aja terbangun dengan kuat, sampe-sampe aku merinding sendiri saat melihat mereka yang berdiri di dalam lift yang turun hingga terendam air. Baru sekali itu aku kepikiran betapa mengerikan rasanya mengetahui tubuh kita berada di dalam air, tapi badan kita sama sekali enggak basah. Itu gak normal. Dan aku beneran jadi merinding sendiri di bioskop.
Aku suka satu adegan kematian yang melibatkan helm baju selam yang rusak, karena ini juga menambah suspens dan dilakukan dengan menarik. Monster-monster juga diperlakukan dengan pas. Aku enggak tau budget film ini, tapi melihat banyaknya adegan gelap – jalan di dasar laut dapat jadi cukup membosankan karena gelap dan berlumpur tak kelihatan apa-apa jika dibandingkan dengan adegan-adegan di awal film – seperti mengisyaratkan film ini berusaha memaksimalkan budget mereka (terkait penggunaan efek). Dan ini efektif. Monster-monster hanya diperlihatkan sekelebat di tempat-tempat gelap, yang menambah kesan seram berkali lipat. Dan ketika mereka ngejumpscare, rasanya alamiah, sebab tentu saja makhluk yang mendekat diam-diam ingin memangsa kita akan menerkam di detik-detik terakhir. Ada shot keren yang aku suka banget menjelang akhir saat Norah menembakkan flare ke laut untuk melihat sosok ‘bos’ film ini, dan kita juga hanya melihat monster raksasa itu dari pendaran flare yang menembus air. Memberikan ruang bagi imajinasi kita untuk berenang liar, membuat monster ini jadi lebih seram dari yang bisa diciptakan oleh film ini. Pikiranku malah sampe ke Emerald Weapon FFVII saat menyaksikannya.
Range yang cukup curam dari ledakan dan runtuhnya bangunan ke berjalan dalam kegelapan membuat bagian tengah film ini memang terasa membosankan. Apalagi film juga tak menghindar dari membuat tokoh-tokoh pendukung melakukan hal-hal bego, seperti balik mengambil pistol yang ketinggalan di dalam goa. Namun tidak ada yang lebih merusak tone daripada tokoh yang diperankan oleh TJ Miller. Sepertinya memang dalam setiap grup harus selalu ada satu orang yang aneh, yang begitu random sehingga membawa boneka kelinci ke manapun dalam situasi apapun, orang yang suka ngelucu meskipun tak-pada tempatnya. Tokoh tipe ini memang dimasukkan sebagai peringan suasana, biar film gak serius amat, mengendorkan tensi dan semacamnya. Akan tetapi, mengingat film ini punya waktu yang sempit untuk memberikan dorongan dramatis untuk tokoh utama, gimmick tokoh yang dimainkan Miller ini kerasa mengganggu development Norah, dia tampak enggak cocok berada di sana, dan ya, terasa membuang-buang waktu saja.
 
 
 
 
Baru dua minggu di 2020, dan kita sudah mendapat kejutan yang menyenangkan. Film ini benar klise, banyak mengambil adegan dari film lain, punya tokoh-tokoh yang tipikal. Tapi ia melakukannya dengan sangat baik. Ini adalah jenis horor/thriller yang simpel; lari, ngobrol, lari, ngobrol, lari, tapi ia terus menemukan cara untuk membuat memaksimalkan perjalanan tokoh utama. Semuanya dijadikan sebagai musuh, sebagai tantangan. Membuat cerita original dengan shot-shot menegangkan ini menjadi superseru. Jikalau proyek ini mendapat perhatian yang lebih serius lagi, dapat waktu yang lebih banyak untuk cerita lebih dieksplorasi, bukan tidak mungkin dia bakal jadi salah satu mutiara di tengah lautan perfilman. Untuk saat ini, ia cukup menjadi pembuka memuaskan dari skena horor di tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for UNDERWATER.

 
 
 
That’s all we have for now.
Jika menjadi optimis terlalu susah, cobalah untuk memanfaatkan pesimismu sebagai keuntungan. Menurut kalian apa sih bedanya antara pesimis dengan mudah menyerah? Pernahkah kalian punya masalah overthinking?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI Review

“A shared happiness is twice the happiness, a shared sadness is half the sadness.”
 

 
Bisakah kita merasa bahagia jika tak pernah sedih? Pertanyaan itu memang sudah terjawab pada film animasi Inside Out (2015). Namun Angga Dwimas Sasongko dalam Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini seolah berkata “nanti dulu” lalu mengganti pertanyaan menjadi Apakah tidak tahu akan suatu hal menyedihkan membuat kita lebih bahagia? Dan dapatlah kita drama penuh hati yang menganjurkan untuk membuka diri dan brutally honest kepada anggota keluarga.
Dengan amunisi kutipan-kutipan dari sumber aslinya (buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini karangan Marchella FP yang populer di kalangan milenial), Angga dan tim penulis naskah membangun satu keluarga sebagai pusat cerita. Keluarga yang dari luar tampak seperti potret keluarga modern yang berbahagia. Dengan tiga anak yang dewasa; si sulung Angkasa adalah sosok abang teladan yang sayang pada kedua adiknya, si tengah Aurora yang agak sedikit pemberontak, tapi memang begitulah seorang seniman, dan adik bungsu Awan yang mulai mengejar mimpinya bekerja di firma arsitektur mentereng. Bersama pendewasaan mereka, terbit juga cerita kegagalan, pertengkaran, kecemburuan. Keluarga ini semakin berjuang dengan ketidakbahagiaan di dalam diri masing-masing, yang berakar pada sikap ayah yang seperti lebih mementingkan Awan.

Awan kan nama cowok, kalo cewek mestinya… Awati kan ya!

 
Menakjubkan cerita dengan tokoh kompleks ini bisa terwujud mengingat buku aslinya ‘hanya’ berupa kalimat-kalimat singkat dan ilustrasi per halaman. Penulis Jenny Jusuf dan Mohammad Irfan Ramly praktisnya hampir sama seperti membangun dari nol. Jika baru-baru ini kita menyaksikan Marriage Story (2019) yang berkisah ‘pertengkaran’ rumahtangga antara suami istri dengan melukiskan proses perceraian betulan dan kuat oleh sudut pandang kearifan lokal sosial di Barat, maka Nanti Kita Cerita Hari Ini sukses menghadirkan drama dalam konteks keluarga yang lebih besar – melibatkan  anak – dengan benar-benar mencerminkan wajah keluarga menurut kehidupan ketimuran. Bahwasanya anak diharapkan sebagai penyambung harapan orangtua, dengan setiap anak punya ‘tugas’ sesuai dengan urutan lahir yang kadang menghambat kehidupan pribadi anak itu sendiri.

Dengan kata lain, ada pengorbanan. Dan tokoh-tokoh anak dalam keluarga ini, sesuai fitrahnya sebagai generasi muda yang modern, siap untuk memberontak, mencari kebahagiaan atas dan demi diri mereka sendiri.

 
Naskah berhasil menghimpun banyak garis plot dan menceritakannya dengan cukup efektif. Kita dapat melihat dan dapat merasakan konflik dari masing-masing tokoh karena film ini menuliskan dengan drama naratif dengan padu. Angkasa, Aurora, dan Awan – mereka punya keinginan dan kebutuhan atau wants-and-needs yang jelas. Benturan wants-and-needs dalam diri mereka bersumber dari tempat yang sama; dari sikap ayah kepada mereka. Konflik tidak berhenti di situ, kita juga melihat bukan saja keinginan dan kebutuhan masing-masing mereka saling berbenturan satu sama lain – menciptakan tensi di antara ketiganya, sekaligus juga bentrok dengan dunia luar – menciptakan tekanan yang harus mereka hadapi. Angkasa yang ingin melindungi adik-adiknya terutama Awan sesuai janji waktu kecilnya kepada ayah, he did a very good job at it, tapi ia juga perlu untuk memikirkan kepentingannya sendiri dan ini berdampak kepada kehidupan romansanya dengan pacar. Aurora yang ingin mendapat rekognisi dari ayah, dia perlu fokus ke pengembangan dirinya sendiri alih-alih selalu terdistraksi oleh cemburunya kepada Awan, yang mengganggu performanya dalam menghasilkan karya seni sebagai profesinya. Awan ingin bisa menentukan pilihannya sendiri dan gak lagi mendapatkan sesuatu karena bantuan ayah, tapi dia perlu belajar untuk tidak menjadi egois sebagaimana yang sudah menyebabkan dirinya dipecat karena tidak bisa bekerja sebagai tim.
Dalam sebuah cerita yang dangkal dan lebih tradisional, sosok ayah yang jadi sumber konflik mereka akan digambarkan satu-dimensi khas trope patriarki. Ayah dalam film ini memang pemaksa dan kadang terlihat terlalu lebay seperti ketika dia memarahi Awan yang terlambat di depan banyak orang seolah adegan yang mengharuskan dia marah saat itu juga supaya dramatis. Ayah ini mirip Marlin di Finding Nemo (2006), ia overprotektif terhadap Awan – bahkan menyuruh semua orang untuk overprotektif kepada bungsunya itu – dan juga mirip dengan Joy di Inside Out (2015) karena sama-sama punya prinsip untuk tak membiarkan kesedihan dekat-dekat sama keluarganya. Sebagai tokoh utama, Ayah memang sering terasa unbearable. Namun film sudah menyiapkan satu alasan sebagai pembelaan terhadap tokoh ini. Ada twist yang mengungkap rahasia yang dipilih untuk dipendam oleh sang ayah yang membuat tokoh ini bukan tipikal patriarki. Twist yang diposisikan sebagai resolusi, atau jawaban dari perubahan yang dilalui Angkasa, Aurora, dan Awan bukan hanya mempengaruhi ketiganya tapi juga bekerja lebih dalam membuat kita memikirkan ulang seberapa jauh orangtua berbuat demi kebahagiaan keluarga.

Kebahagiaan kita memang tidak mestinya bergantung kepada orang lain, namun kita juga tidak bisa mangkir dari kesedihan jika orang-orang yang kita sayang bersedih. Bahagia sendirian adalah bahagia yang kosong, karena bahagia itu juga ada dalam berbagi. Berbagi apapun, termasuk kesedihan.

 
Meskipun ditanam dengan detil dan dengan alasan yang logis, namun ada masalah yang sering hadir dalam setiap cerita yang menggunakan elemen twist. Pada film ini ada beberapa. Di antaranya wants-and-needs si ayah yang terlalu ‘drama’. Kemudian twist malah membuat salah fokus seolah yang penting adalah ‘apa rahasianya’, bukan di ‘mengapa’nya. Padahal impact harusnya ada di ‘mengapa’ itu. Demi twist, film akan membuat ada sesuatu yang harus ditutupi, dikurangi dengan sengaja, karena naturally film ingin bagian pengungkapan bekerja maksimal. Pada kasus film ini, yang diminimalisir adalah peran sang ibu. Berbeda dengan Nemo yang ibunya meninggal saat tragedi masa lalu, ibu kakak-beradik dalam Nanti Kita Cerita Hari Ini masih hidup. Dia adalah bagian dari tragedi, dia ikut menyimpan rahasia, akan tetapi pada dua babak awal tokoh ini tidak banyak berperan. Dia hanya ada di setiap shot. Kita tidak melihat dia berinteraksi dengan anak-anaknya. Ini terlihat gak alami. Juga membuat kekompleksan cerita tidak bisa mencapai sempurna.
Konflik internal wants-and-needs harusnya membuat si tokoh ditarik-tarik antara ayah yang menjadi sumber/yang merepresentasikan keinginan mereka dengan satu tokoh luar yang memaksa mereka menyadari apa yang mereka butuhkan. Angkasa berada di antara ayah dan pacarnya. Awan ditarik-tarik antara ayah dengan Kale, lelaki yang ia temui di konser musik yang mengajarkan dia kebahagiaan sebagai diri sendiri. Aurora, yang sebenarnya punya konflik lebih pedih, hanya punya ayah. Tidak ada tokoh lain yang melambangkan keinginannya. Ibu harusnya menempati posisi ini  – dia satu-satunya tokoh yang kita lihat masuk ke studio Aurora dan later punya adegan dialog khusus berdua – tetapi karena ibu disiapkan baru boleh aktif setelah pengungkapan, kita tidak melihat dinamika wants-and-needs yang lebih dalam pada Aurora. Makanya, perubahan tokoh Aurora tidak kita terima sekuat yang lain.
Sasongko menyiapkan jejeran pemain berkualitas untuk memberikan nyawa kepada tokoh-tokoh cerita yang kompleks dan manusiawi tersebut. Masing-masing tokoh punya dua versi; yang lebih muda dan yang lebih tua, sebab cerita akan sering bolak-balik antara masa lalu saat kejadian tragedi dan masa kini saat mereka sudah dewasa, dan pergantian pemain ini terlihat natural. Karakternya terasa kontinu tanpa ada aspek emosi dari mereka yang terlewatkan oleh kita. Sedikit komplen pada dialog dan bahasa yang dapat terdengar terlalu pretentious, bahkan para aktor sendiri seperti tidak sejiwa dengan kata-kata yang mereka ucapkan. Masalah ini datang dari penetapan konteks dunia yang kurang beridentitas cerita lantaran tokoh utama si ayah tadi yang tidak sedunia dan sepahaman dengan anak-anaknya. Film tidak berhasil menyeimbangkan antara kebutuhan twist, sikap yang ditentang, dan sikap yang menentang. Film juga banyak sekali memakai lagu-lagu, musik aliran ‘kopi-dan-senja’, hingga menyebut penyanyi dan band seperti Kunto Aji, Arah, dan lain-lain. Clearly, film menargetkan penonton kalangan milenial yang indie dan trendi, dan mereka akan suka ini dan tidak akan menganggapnya pretentious.

bagaimana kalo ternyata Awan sebenarnya adalah Zack… eh wait, itu plot Awan lain yang di video game, deng!

 
Buatku, musik dan dialognya memang annoying. My least favourite part justru ketika film memperlihatkan tokoh yang mewakili milenial indie sejati, yakni Awan dan terutama si manic pixienya – si Kale. Film membuat tokoh ini sebagai makhluk paling sempurna di cerita – karena kita melihatnya dari mata Awan yang terpesona mendengar kalimat-kalimat bijaknya – padahal dia sebenarnya asshole juga. Keinginan Awan adalah untuk bisa memilih pilihan sendiri, dan Kale adalah sosok bebas yang ia kagumi. Tapi apa yang terjadi ketika dia jalan dengan Kale? Awan dikasih manisan jeruk. Awan dibawa makan ke kios kenalan Kale. Awan dipesenin kaki kambing sama Kale, tanpa ditanya dulu maunya apa. Keluar dari mulut singa masuk lubang buaya. Sekuen romantis ini actually bekerja di luar struktur dan seharusnya bisa dipikirkan dengan lebih baik lagi. Tapi sepertinya ini adalah cara film untuk menarik target pasar. Karena jualannya memang dialog-dialog itu. Dan silahkan lihat juga gimana film mengandalkan peran-peran minor sebagai penarik, bahkan yang perannya cuma sebagai kameo, sebagai komedi, ataupun sebagai peniru gaya lelucon flashback ala Ant-Man (2015).
 
 

THE GRUDGE Review

“The fear of facing your fears is harder to overcome than the fear itself.”
 

 
Kutukan jelas bukan hal yang kita minta sebagai oleh-oleh yang dibawa ibu dari Jepang. Namun justru kutukan Ju-On itulah yang dibawa oleh seorang wanita ke rumahnya yang beralamat di 44 Reyburn Drive (44 angka sial di Jepang). Si wanita berakhir menjadi Kayako versi Amerika. Dan rumahnya, well, beberapa kasus kematian dan pembunuhan misterius yang ada di file kepolisian di sana semuanya selalu berakar dari rumah tersebut. Detektif Muldoon yang baru saja pindah ke daerah sana menjadi tertarik dan berniat mengusut tuntas misteri. Tapi dengan membuka pintu rumah, Muldoon – seperti sejumlah orang sebelum dirinya – menjadi termasuk sebagai bagian dari kutukan. Kejadian-kejadian aneh mulai terus menghantui, Muldoon harus segera memecahkan misteri dan mengenyahkan kutukan sebelum kekuatan gelap itu merangkul putra semata wayangnya.
The Grudge bisa disebut sebagai remake, tapi sebenarnya dia lebih bertindak sebagai sekuel spin-off adaptasi. Masuk akal gak sih kedengarannya? Haha anyway, timeline film ini berlangsung setelah kejadian di Ju-On: The Grudge original, hanya saja dengan tokoh hantu yang berbeda. Kutukan itu dianggap sebagai virus, dan virus ini sekarang ada di Amerika. Jadi semua elemen-elemen horor di original yang lebih bergaya Jepang, disulihkan menjadi lebih akrab buat penonton di belahan dunia barat. Sebagai upaya untuk membuat The Grudge sebuah bagian dari semesta Ju-On, film ini menggunakan gaya bercerita yang sama. Dengan banyak narasi; berpindah-pindah antara sudut pandang satu tokoh dengan tokoh lain. Sementara pusatnya adalah rumah tempat kutukan kematian itu bersarang. Ya, dapat dikatakan tokoh utama film ini adalah kutukan itu sendiri, dengan rumah sebagai perwujudannya.

aku jadi ingat alasan ogah keramas malam-malam

 
Aku dulu suka banget Ju-On, aku gak pernah nonton yang versi Amerikanya yang dimainkan oleh Sarah Michelle Gellar dan bahkan Ju-On versi terbaru yang katanya udah versus versusan ama Sadako kayak Freddie vs. Jason, tapi aku dan teman-teman dulu kalo nginap pas besok libur sekolah, selalu menyetel film Ju-On 1,2,3. Dari yang tadinya takut dengar kretekan napas Kayako, kami lantas becandain suara itu dan suara ngeong-nya Toshio. I remember fondly membaca nama-nama tokoh yang muncul berlatar putih setiap transisi narasi dalam film-film Ju-On. Film asli Jepangnya memang bahkan lebih acak lagi, dengan lebih banyak tokoh. Dari anak sekolah, berikutnya bisa saja cuma tukang antar makanan yang dijadikan sudut pandang, dan baru lama lagi cerita kembali ke anak sekolah tadi.
Setidaknya ada empat narasi yang terhimpun di dalam The Grudge baru ini. Lima jika menghitung cerita keluarga ibu dari Jepang yang menjadi awal mula horor di sini. Dengan Muldoon sebagai protagonis utama yang narasinya sebagai penghubung. Karena selama penyelidikannya itulah, kita akan dibawa ke narasi-narasi yang lain. Ada tentang keluarga real estate yang sedang menanti bayi mereka. Ada tentang keluarga tua yang menghuni rumah ini setelah kasus pertama terjadi. Ada tentang detektif yang menangani kasus ini sebelum Muldoon. Seharusnya ini menjadi menarik sebab mereka semua diberikan dasar cerita tersendiri, mereka punya kesamaan masalah dengan Muldoon. Yakni soal mereka gak benar-benar membicarakan problema mereka dengan keluarga/pasangan/rekan. Mereka takut menga-acknowledge keadaan yang menakutkan. Satu detektif yang menolak mengakui dugaan bahwa mereka hadapi adalah supernatural. Karakter yang diperankan John Cho lebih memilih untuk tinggal di rumah kosong – menemani anak kecil yang jelas-jelas aneh alias bukan manusia – ketimbang seranjang dengan istrinya membicarakan kondisi janin mereka. Tokoh bapak yang memilih diam membiarkan istrinya yang sakit bercengkrama dengan hantu-hantu karena dia ngarep istrinya juga bisa tinggal dan komunikasi dengannya saat ‘pergi’ nanti. Semua ini paralel dengan Muldoon (Andrea Riseborough vibenya udah kayak Naomi Watts di Ring digabung Winona Ryder di Stranger Things, namun dengan less-charisma) yang mencoba menghindari anaknya dengan pekerjaan. Dia takut anaknya masih belum bisa melupakan kepergian sang ayah.
Muldoon punya kode khusus yang ia gunakan saat berkomunikasi dengan putranya. “Saat takut, pejamkan mata, dan hitung sampai lima”. Kalimat ini dimainkan oleh film sebagai ‘mantra’. Bukan saja ini dipakai sebagai momen-momen manis, melainkan juga berperan nantinya sebagai faktor scare dan punya bobot pada elemen misteri. Kalimat juga punya fungsi yang lebih dalam. Ia merupakan gagasan subtil yang disampaikan oleh film.

Menutup mata memang bukan saran bagus untuk orang yang mau melangkah. Menutup mata, dalam konteks orang yang ketakutan, memiliki makna untuk melihat lebih banyak ke dalam diri, melupakan sejenak distraksi di sekitar. Dalam gelap hanya ada diri dan intensi kita. Taktik Muldoon ini adalah cara untuk menghimpun kekuatan dan semangat diri sendiri, untuk sesaat meniadakan pengaruh buruk dari luar yang terkadang menghentikan kita. Karena seringkali menghadapi ketakutan jauh lebih menakutkan dibanding ketakutan itu sendiri.

 

boringnya film ini sangat ampuh membujuk kita untuk menutup mata

 
Dari karakter-karakternya memang film ini tampak dibuat dengan serius. Seperti menyadari bahwa tidak ada hal baru yang sebenarnya ditawarkan. Dan dengan ruang gerak yang terbatas, film hanya punya karakter. The Grudge dikerjakan oleh sutradara yang membuat horor artistik low-budget The Eyes of My Mother (2017), Nicolas Pesce. Di film itu kita dapat merasakan kreasi dan ide-idenya yang cukup ambisius, Pesce bebas di sana, makanya horornya terwujud mengerikan. Kita dapat menjumpai secercah kreasi serupa pada The Grudge. Adegan seperti saat seseorang jatuh dari tangga, atau lingering shot rumah di kredit penutup mampu membuat kita bergidik ngeri. Sesempit itulah ruang gerak yang ia punya, karena film ini diniatkan studio untuk jadi horor yang benar-benar appeal buat penonton umum, khususnya penonton barat arus mainstream. And by that, it means membuat film ini jadi memenuhi dua kriteria: Satu, harus mengandung unsur-unsur Ju-On. Dua, scarenya harus niruin gaya-gaya Conjuring.
Makanya film ini gak bekerja dengan efektif. Dan kegagalan itu berada di tempat yang cukup fatal. Di horornya. Studio mempekerjakan sutradara arthouse, tapi mengukungnya dalam jalur mainstream. Horor film ini malah mengandalkan jumpscare-jumpscare. Mengharuskan Pesce secara konstan menghadirkan jumpscare yang ia gak paham. Jiwa film ini enggak pernah cocok dengan fisiknya. Akan ada banyak sekali adegan hantu jumpscare yang seperti dipaksakan karena bahkan kemunculan hantunya agak sulit dicerna. Alih-alih hantu ketimuran, kita akan melihat hantu yang lebih mirip zombie, dan mereka akan menyeringai membuka mulut sebesar-besarnya. Ini gak seram, malahan konyol. Mengagetkan, hanya karena ada musik kenceng. Ingat ketika aku menuliskan tokoh utama film ini adalah rumah dan hantunya? Well, dengan teknik horor yang semurahan ini – dengan sosok hantu yang lemah secara visual, protagonis kita tidak bisa berbuat banyak. Mereka malah terlihat sok dramatis. Ditambah dengan misteri yang enggak benar-benar baru; fans Ju-On akan sangat hapal dengan kejadian dan beberapa adegan creepy yang merupakan recycle dari Ju-On sebelumnya, maka The Grudge terlihat seperti usaha yang sia-sia belaka.
 
 
Penggemar Ju-On bakal merasa bosan menyaksikan ini, sebab ini bukanlah visi baru seperti yang tertulis pada posternya. Penonton baru yang belum mengenal Ju-On, role kutukan dan misteri serta struktur bercerita yang mengundang untuk berpikir, seharusnya menjadi hal yang baru yang menarik minat. Film gagal mendeliver ini, lantaran karakter-karakternya susah untuk dipedulikan. Antara mereka terlampau serius atau horornya terlalu receh. Konflik malah sepertinya datang dari pembuatnya, mungkin dia menutup mata, mengenyahkan keraguan beserta seluruh passionnya, dan just go with it the way studio wants to.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for THE GRUDGE.

My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ OF 2019


 
 
Akhir tahun adalah waktu yang biasanya kita gunakan untuk meratapi resolusi-resolusi yang tak jadi tercapai (lagi!), keinginan-keinginan yang kandas tak terwujud, dan harapan-harapan yang berbuah kekecewaan. List ini adalah salah satu perwujudan dari harapan-harapan itu.
Ketika film disebut mengecewakan, bukan lantas seketika berarti film itu jelek, pembuatnya bego gak ngerti bikin film. Film yang bagus juga bisa saja tetap membuat kita merasa kecewa. It’s just mewujudkan sebuah film berarti membuat pilihan. Mau ngambil resiko atau tidak. Mau jadi nyenengin hati fans, atau hati semua orang, atau hanya hati produsernya. dan pilihan yang diambil film kadang enggak sejalan – enggak sefrekuensi, kalo kata Ainun – dengan harapan dan ekspektasi kita. Yang menurut kita penting, belum tentu begitu bagi pembuatnya.
Jadi, ya, daftar ini akan sangat subjektif. Kalian boleh jadi tidak menemukan film yang kalian benci. Sebaliknya, kalian bisa saja menemukan film yang kalian suka atau mungkin malah film yang menurut kalian bagus nampang di sini. Dan aku yakin memang ada. Tahun ini actually lebih banyak film yang populer, yang bisa dibilang bagus – at least yang kukasih skor lumayan tinggi – yang menurutku mengecewakan. Karena ekspektasi dan pilihan tadi. Also, daftar ini hanya akan mengcover film-film yang kutonton di bioskop, sebab dikecewakan oleh film yang kita harus berangkat dari rumah, meluangkan waktu untuk menempuh perjalanan, mengeluarkan uang, terasa lebih nyesek. Apalagi kalo ternyata yang ditonton di layar gede itu tak lebih dari glorified-ftv.
Setiap tahun aku beresolusi bisa menonton film-film di bioskop tanpa harus meratapi duit yang sudah keluar dan bertanya keras-keras ke tembok ala Adam Driver di Marriage Story “why did they do that?”, tapi nyatanya aku masih mendapati delapan film ini:
 
 
 

8. AVENGERS: ENDGAME


Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Robert Downey Jr, Chris Evans, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
Duration: 3 hour 1 min
Ya, ini bakal kontroversial, aku bahkan bisa mendengar mouse kalian bergerak cepat mau menutup halaman ini haha.. Jika kalian ngarahin mousenya ke judul setiap nomor, instead, maka kalian akan diarahin ke halaman ulasan, dan bisa dilihat di sana aku ngasih film ini skor 7 dari 10 bintang emas. Avengers: Endgame dibuat dengan sangat kompeten. Final fight yang kita tunggu-tunggu digarap dengan seru, menghibur sekaligus berhasil memenuhi tujuan ‘politik’ era SJW sekarang ini.
Posisinya ada di atas menunjukkan bahwa film ini tergolong bagus. Kekecewaanku timbul dari mereka memperkenalkan time-travel dan actually membuat babak kedua membahas mengenai aturan time-heist. Mereka menyusunnya dengan klop. Hanya saja, aku tidak mengharapkan itu. Infinity War berakhir dengan kemenangan Thanos, film membangun ekspektasi kita terhadap cara apa yang bakal dilakukan Avengers untuk well, to avenge their loss. Dan time-heist ini adalah cara yang paling standar untuk membahas soal serangan balasan tersebut. Film seperti punya agenda ingin membuat kita bernostalgia, maka ceritanya pun tidak move on. Malahan membawa kita ke semacam highlight.
Dan ini bukan cara yang paling aman pula. Avengers: Endgame meninggalkan kita dengan banyak plothole. Mungkin kalian adalah salah satu yang ikut membahas soal plothole dan implikasi kocak dari time-travel beda timeline di kolom komen review. It’s hilarious. Pembelaan pembuat film ini terhadap kekonyolan itu  adalah – seperti yang bisa kita tebak – penjelasannya bakal ada di film phase berikut. Ini membuat Avengers: Endgame less of a film dan lebih seperti produk. Aku setuju sama kata Martin Scorsese.
My Breaking Point:
Fans berkampanye betapa Tony Stark pantas untuk dapat Oscar. Ugh…. Bercanda haha.
Breaking point-ku yang benar adalah saat menyadari para Avengers sebenarnya berkelahi dengan orang yang berbeda. Thanos yang mereka lawan bukanlah Thanos yang mengalahkan mereka di Infinity War. Dan ini membuat pertarungan terakhir itu jadi hampa bagiku. Aku mau melihat mereka mengalahkan orang yang sudah bikin mereka kalah; Thanos dengan kekuatan Infinity Stone penuh. Bukan Thanos yang gak tahu apa-apa, yang cukup dikalahkan oleh Scarlet Witch seorang.
 
 
 
 
 

7. HABIBIE & AINUN 3


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Maudy Ayunda, Jefri Nichol, Diandra Agatha
Duration: 2 hour 1 min
Untuk merangkumnya, ini adalah cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang.
Film ini kayak pengen menceritakan tentang Ibu Ainun, tapi sendirinya tidak percaya bahwa cerita Ibu Ainun semasa muda tidak akan menjual. Maka mereka membuatnya sebagai sekuel Habibie & Ainun dan fokus tetap pada Habibie. Ditambah Bapak Habibie berpulang (salah satu momen menyedihkan bagi Indonesia tahun ini) dan film bergerak lebih cepat daripada lariku saat ditagih hutang untuk menguangkan kematian tersebut.
Cerita Ainun yang tentang wanita enggak kalah dari pria – manusia bukan soal gender lucunya malah seperti nomor dua, meskipun penulis tampak bersusah payah membuatnya Ainun seperti dokter wanita pertama dengan segala kesulitannya di dunia yang masih memandang wanita nantinya bakal balik ke dapur. Bagaimana film akhirnya menjual cerita ini? Dengan elemen romansa tak-sampai dan tokoh antagonis dibuat satu-dimensi demi Ainun kelihatan menarik.
My Breaking Point:
Ketika si senior antagonis masih diperlihatkan menyiapkan pidato perpisahan, dia dibuat gak logis banget masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Ainun gak terlihat pintar dan selfless hanya dengan menampilkan tokoh senior ini sebagai ‘lawannya’.
 
 
 
 
 

6. FROZEN II


Director: Chris Buck, Jennifer Lee
Stars: Idina Menzel, Kristen Bell, Josh Gad, Jonathan Groff
Duration: 1 hour 43 min
Ini adalah contoh sekuel yang buru-buru diadakan karena film pertamanya laku. Ia dibuat sebagai brand ketimbang dibuat karena mereka punya cerita segar untuk dibagikan. Karena Frozen II hadir dengan cerita yang mirip Avatar Legend of Aang, penuh eksposisi dan throwback, yang ironisnya mereka tetap berhasil melepehkan perjalanan Elsa di film pertama.
Elsa yang sudah belajar untuk berani menjadi diri sendiri di tengah keramaian dalam film ini diharuskan belajar untuk menemukan dirinya sendiri dan di akhir memilih untuk sendirian karena dia begitu berbeda dengan orang-orang. Pesan seperti apa ini? Kita pengen karakter cewek yang mandiri tapi gak gini juga caranya.
Petualangan film ini tidak terasa seru, karena diberatkan oleh narasi eksposisi. Drama antar-saudari tidak lagi simpel dan mengena, melainkan terasa begitu jauh oleh cerita perang-fantasi yang ribet. Fantasinya pun terasa usang meski memang visualnya teramat indah.
My Breaking Point:
Olaf. Serius deh, Olaf sangat menjengkelkan. Dan film terus ngepush manusia salju sampai-sampai kita melihat adegan Olaf menceritakan – eng, MENGADEGANKAN ULANG! kejadian di Frozen pertama. What. An. Annoying. Waste. Of. Time.
 
 
 
 

5. X-MEN: DARK PHOENIX


Director: Simon Kinberg
Stars: Sophie Turner, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Duration: 1 hour 53 min
X-Men seharusnya bisa dijadikan contoh gimana hancurnya cerita superhero jika bermain-main dengan time-travel. Namun tetap saja elemen itu bakal dipilih karena dengan begitu universe lebih mudah untuk diekspansi. Masalah logika nomor dua.
Dark Phoenix bukan saja berurusan dengan masalah kontinuitas – banyak aspek yang enggak masuk dengan dunia dalam franchise X-Men sebelumnya. Ia juga harus berurusan dengan pengaruh SJW – sekali lagi ini adalah cerita wanita yang berusaha menjadi dirinya sendiri -, dinyinyirin mirip dengan Captain Marvel yang sudah lebih dulu tayang dengan jarak yang tak begitu jauh, dan beban sebagai penutup X-Men. Well, setidaknya sebelum dibeli oleh studio dagang yang lebih gede.
Hasilnya sungguh berantakan. Dark Phoenix terlihat jelas mengalami banyak shoot ulang. Ada yang bagus, seperti final battle di kereta api. Namun secara keseluruhan, setiap babak film ini terasa kayak film yang berbeda. Mereka enggak menyatu dengan kohesif, tone ceritanya beda, motivasinya beda. Film juga pengen nampil sangat serius sehingga enggak ada lagi kesenangan menontonnya.
My Breaking Point:
Ketika mereka memperkenalkan alien sebagai musuh utama. Alien yang sangat miskin eksplorasi. Bangsa alien tersebut bahkan gak sempat disebutkan namanya. Aku hanya menyebutnya…; Peran-yang-disesali-oleh-Jessica Chastain.
 
 
 
 
 

4. AVE MARYAM


Director: Robby Ertanto
Stars: Maudy Kusnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Joko Anwar
Duration: 1 hour 25 min
Oh betapa ekspektasiku tinggi sekali mendengar pujian-pujian bagi film ini dari penayangannya di berbagai festival. Temanya pun berani, kisah cinta seorang biarawati. Tapi begitu ditonton di bioskop… maan, kenapa rasanya ada yang bolong.
Selain sinematografi yang keren, art yang memanjakan mata, dan adegan manis berdialog di kafe, tidak ada yang bisa dinikmati dari Ave Maryam. Perjalanan tokoh utamanya terasa abrupt. Konfliknya yang berani itu gak terasa. Film ini seperti kisah cinta biasa. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Aku seperti menonton film yang berbeda dengan orang-orang di festival. I mean, filmnya benar-benar kosong, kita hanya baru akan mengerti konflik dan backstory dan segala macemnya setelah membaca sinopsis. Sungguh sebuah karya menyedihkan jika harus mengandalkan sinopsis sebagai komplementer – sebagai sarana untuk menampilkan yang tidak bisa ditampilkan.
Kemungkinan terbesar adalah akibat penyensoran. Dan jika benar, maka sangat disayangkan sekali perfilman kita masih belum berani menghidangkan cerita yang bertaji.
My Breaking Point:
Maryam memandangi Romo Yosef bermain musik, kamera fokus kepada si Yosef seolah dia konduktor terkeren di dunia, padahal tidak ada sama sekali rasa di adegannya.
 
 
 
 

3. BEBAS


Director: Riri Riza
Stars: Maizura, Marsha Timothy, Sheryl Sheinafia, Baskara Mahendra
Duration: 1 hour 59 min
Bebas diadaptasi dari film Korea yang berjudul Sunny. Sunny sendiri merupakan cerita persahabatan cewek remaja Korea yang kental sendiri dengan lokalitas orang sana, film itu menggambarkan sistem pendidikan yang keras dan hubungan sosial remaja yang membentuk geng sekolah.
Kupikir akan menarik, bagaimana Riza akan membawa cerita ini ke dalam lokal Indonesia. Tokoh yang tadinya cewek semua, diganti dua menjadi cowok. Setting waktu yang diambil adalah 90 akhir, saat Indonesia lagi krisis-krisisnya. Ternyata, tidak ada hal lokal yang signifikan yang dijadikan daging oleh film saduran ini. Film berpuas diri dengan lagu-lagu 90an dan gak melakukan banyak terhadap cerita. Semua kejadian dalam film ini sama persis dengan yang di film asli. Hingga ke dialog-dialognya. Latar hanya sekadar tempelan. Soal cowok main dalam geng cewek pun tak dijadikan fokus utama. Seharusnya yang diganti jadi cowok, tokoh utamanya aja sekalian.
Salah satu produk film paling malas tahun ini, minim visi original, dan hanya mengandalkan nostalgia musik, jejeran cast, dan cerita dari material aslinya.
My Breaking Point:
Sesama-samanya dengan Sunny, tapi film berhasil untuk membuatku kecewa karena entah mengapa mereka mengurangi porsi Suci (Su-ji pada Sunny) dan tidak ada adegan Suci menyelamatkan Vina
 
 
 
 
 
 
 

2. RATU ILMU HITAM


Director: Kimo Stamboel
Stars: Ario Bayu, Hannah Al Rashid, Putri Ayudya, Adhisty Zara
Duration: 1 hour 39 min
Film ini juga punya jejeran cast yang yahud, tapi bahkan mereka lebih enggak banyak berguna lagi ketimbang cast Bebas. Ratu Ilmu Hitam harusnya jadi film favoritku tahun ini – horor, ada efek praktikal body horor, sadis, digarap oleh kombo maut pada genre ini (film ini ditulis dan dipromosikan secara keras oleh Joko Anwar). Aku memang menyukainya. Hanya saja, ini jauuuuuh banget untuk jadi film yang memuaskan.
Mainly karena penulisannya yang sangat mengecewakan. Cast yang berjubel itu tidak mampu diberikan penulisan yang berbobot, let alone berimbang. Si Ari ‘Wage bacanya Weij’ Irham malah hanya dikasih satu adegan penting. Bayangkan. Hampir seperti film ini enggak peduli soal mengarahkan akting. Mereka hanya fokus membangun keseraman dan twist bergagasan moral berbau politis. Buktinya lagi, film gak mau repot-repot ‘maksa’ pemainnya mainin adegan dengan kelabang asli. Hewan-hewan kecil itu masih pakai efek komputer dan terlihat gak meyakinkan. Dan menjadi menggelikan ketika di kredit penutup kita melihat still foto adegan-adegan seram – menggunakan kelabang asli – dari Ratu Ilmu Hitam original.
Yang kuharap adalah horor sadis sederhana, memanfaatkan banyaknya cast mumpuni. Namun yang didapat adalah kejadian ribet dengan sok berada di batasan moral abu-abu, yang tidak didukung oleh penulisan dan struktur cerita yang bener. Tokoh utamanya aja gak jelas siapa. Kenapa gak sekalian aja judulnya Ratu Kulit Hitam kalo memang mau dapat pujian filmnya punya isu, siapa tau bisa menang Oscar.
My Breaking Point:
Dialog-dialog film ini yang sibuk menjelaskan, ngobrol ringan, dan berusaha mengomentari banyak hal, benar-benar menjengkelkan buatku. Gak cantik penulisannya. Puncaknya adalah ketika tokoh yang diperankan Zara dan tokoh anak panti yang tadinya akur, tau-tau berantem adu mulut lantaran si cowok mau nembak tikus di dalam rumah. WTF.
 
 
 
 
 
Sebelum masuk ke posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions yakni film-film bioskop 2019 yang dapat skor 1. Ironisnya, mereka memenuhi ekspektasiku; Jelek, dan ternyata beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

11:11 Apa yang Kau Lihat,

Roy Kiyoshi the Untold Story,

47 Meters Down: Uncaged,

Pariban: Idola dari Tanah Jawa

Sekte,

Kelam

 
 
 
Dan juara paling mengecewakan tahun ini jatuh kepadaaa

1. STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER


Director: J.J. Abrams
Stars: Daisy Ridley, Adam Driver, John Boyega, Oscar Isaac
Duration: 2 hour 22 min
Ketika Force Awakens munculin tokoh yang practically ‘mary sue’ aku masih bisa memaafkan; at least, sudut pandang baru dan revealingnya bakal keren. Ketika Last Jedi membuang semua teori fans ke laut dan nge-swerve kita setiap kali kesempatan, aku juga masih oke – malah excited mau dibawa ke mana sebenarnya trilogi ini, apa jawaban besar yang menanti di Episode 9. Lalu, akhirnya tibalah Rise of the Skywalker. Dan jelas sudah mereka tidak punya rencana apa-apa untuk trilogi ini selain untuk menjual mainan saat natal dan tahun baru.
My Breaking Point sudah mulai mendidih di menit-menit pertama mereka munculin kembali Palpatine. Menghapus semua kejayaan prophecy Anakin yang menjadi motor di Star Wars terdahulu. Dan sepanjang durasi, aku merasa terus menggelegak karena film ini tidak melanjutkan, melainkan merevisi sesuka hati. Tidak lagi peduli pada apa yang sudah dibangun – baik atau buruk – dan just go with apapun yang sekiranya bisa bikin fans bersorak “hey itu dari episode ke anu!”
Out of nowhere mereka membuat Poe sebagai kurir scroundel galaksi – seperti Han Solo – padahal di episode sebelumnya dia anak pilot biasa, dan sudah ikut berperang sejak muda. Mereka begitu saja membuat Finn punya ‘feeling’ dan ada banyak Stormtrooper seperti dirinya, meskipun di episode sebelumnya arc Finn adalah satu-satunya mantan militer yang berusaha rise up dari komanda-komandannya dahulu. Kisah cinta Finn pun seperti tak-eksis di sini. Dan kalo aku punya popcorn, maka semua popcornnya pasti sudah kulempar-lempar ke layar ketika hantu-force Luke mengangkat pesawat yang mestinya sudah rusak dan gak bisa dipakai. Kerusakan pesawat X-Wing ini penting, karena itulah yang menyebabkan Luke mengerahkan tenaganya sendiri hingga mati untuk muncul dalam bentuk energi menolong Resistance di Episode VIII
Nonton ini aku antara nyengir seru nonton aksinya dan nyengir blo’on melihat elemen-elemen yang gak kohesif.
Aku mengerang keras di bioskop pada momen ketika Rey menyebut dirinya Rey Skywalker di akhir. AARRGGHH!
 
 
 
 
That’s all we have for now.
Bisa dilihat sebagian film di daftar ini adalah box office, dan ini merupakan pertanda tak menyenangkan industri film semakin mengarah ke produk dan wahana. Sekalinya ada film yang berbeda, film tersebut ditakutkan akan begitu kontroversial sehingga dijinakkan. Tiga dari empat film impor di sini adalah buatan Disney, dan ini aku gak menyebut film-film live-action mereka yang semuanya sudah diantisipasi bakal jelek. Kalolah yang aku bikin adalah list film terburuk, film-film Disney tahun ini akan berkumpul di sana. Magic mereka hanya visual sekarang, dan aku benar-benar takut tren ini terus berlanjut.
Untuk Indonesia, tren yang mulai muncul adalah ‘film’ yang bersambung. Dan ini sedapat mungkin kubasmi dengan tidak menyebutnya sama sekali meskipun kesalnya luar biasa dapat yang jenis ini di bioskop.
Juga noticed dong kalo kebanyakan film di list ini bertokoh utama perempuan, yang ditulis dengan kurang baik. Ini actually satu lagi tren yang menakutkan; tokoh-tokoh perempuan sekarang diharapkan kuat, mandiri, berdaya, gak butuh cowok, dan ini salah kaprah menjadikan tokoh itu sebagai poster girl SJW dan feminism, padahal mereka seharusnya jadi tokoh yang relatable dan belajar untuk menjadi kuat.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Jangan lewatkan Top-Eight Movies of 2019 yang akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, juga awards tahunan My Dirt Sheet Awards CLOUD9 di 2020.
Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~
 
 
 
 
Because in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017