FLATLINERS Review

“Sometimes a little near death experience helps put things into perspective”

 

 

Wajar kita penasaran sama kematian. Karena kenyataan keras yang mesti kita hadapi adalah bahwa tujuan akhir dari kehidupan adalah mati. Hidup dan mati selalu adalah misteri; apa yang terjadi begitu kita mati? Apakah kita hidup sebagai ruh – ataukah kita bobok panjang sampai kiamat tiba? Beberapa orang, untungnya bisa menggambarkan sedikit ‘jawaban’. Orang-orang yang pernah nyaris-mati, kita banyak mendengar cerita tentang orang yang mengalami mati suri. Gimana mereka melihat cahaya; bertemu dengan kerabat yang sudah duluan almarhum, cerita-cerita semacam ini selalu menarik. Aku sendiri dulu pernah nyobain teori sleep paralysis, itu loh tidur melepas ruh yang katanya kita bisa terbang dan melihat tubuh sendiri. Aku pernah sangat penasaran dan sesiangan menekuni teori yang katanya ilmiah itu – ceile ‘menekuni’, padahal niat mulianya sih lagi males dan pengen nyari alasan bolos kuliah hihi. Jadi, kita bisa bayangkan para murid kedokteran yang setiap hari berurusan langsung dengan orang sakit, orang mati, orang-orang yang tersadar dari koma. Ide atas apa yang sebenarnya terjadi setelah kematian tentu saja begitu menggoda bagi mereka.

Flatliners yang disutradarai oleh Niels Arden Oplev adalah reimagining dari psikologikal thriller Flatliners (1990), mengambil konsep menarik tentang afterlife tersebut. Ceritanya kurang lebih sama, dengan modernisasi di beberapa poin. Lima orang murid kedokteran melakukan eksperimen, mereka mencari cara untuk merekam kerja otak ketika seseorang dalam keadaan mati. Mereka ingin melihat sendiri apa yang terjadi ketika mati, membuktikan cerita-cerita mulut tentang ada kehidupan setelah mati. Usaha mereka berhasil, bergiliran Courtney, Jamie, Marlo, Sophia  nyobain sensasi mati, dan dihidupkan kembali setelah beberapa menit oleh Ray yang setia berjaga.  Awalnya memang tampak aman, mereka bahkan dapat semacam enlightment dari berflatline-ria tersebut. Namun kemudian, berbagai penampakan mengerikan dari masalalu mulai meneror mereka satu persatu

“rohku melayaaang, tak kembaliiiiii bila kau pun pergiiiiii~hii”

 

Film ini adalah contoh yang nyata bahwa tidak peduli betapa cakapnya seorang sutradara, betapa kerennya penampilan akting seorang aktor, pada akhirnya kekuatan naskah, dan produksi lah yang menentukan film apa yang sebenarnya ingin mereka bikin.  Enggak salah memang film ini diberi judul Flatliners, lantaran toh benar filmnya tidak berkembang menjadi apa-apa. Datar. Flatliners mengemban konsep dan ide cerita yang unik, dan mengubahnya menjadi PESTA PORA JUMPSCARE di antara banyak hal yang berusaha mereka capai.

To be honest, aku enggak yakin sedang menonton apa. Film ini dimulai dengan perlandasan drama seputar dunia sekolah kedokteran, kita ngeliat apa yang dilakukan dan backstory karakter-karakternya yang masih muda,  aku sempat teringat sama buku Cado-Cado yang aku suka namun tidak kutonton filmnya ( tayang tahun 2016) lantaran terlihat seperti cinta ala Korea. Drama pada Flatliners  berubah menjadi lebih gelap tentang rasa bersalah sehubungan dengan masa lalu para tokoh, dan ultimately film berubah menjadi thriller saat para tokoh menyadari bahwa eksperimen flatlining yang mereka lakukan ternyata memiliki konsekuensi jumpscare film horor. Dari sudut penulisan, film ini mengambil banyak keputusan aneh tak-terjabarkan. Dan yang kumaksud dengan tak-terjabarkan adalah kita enggak bisa melihat apa produk akhir dari yang mereka inginkan. Nonton film ini dan akan jelas sekali tidak ada cukup komunikasi yang terjalin antara sutradara, penulis, studio, aktor, sebab semua orang terlihat berada dalam film yang berbeda. Flatliners terasa seperi dirancang oleh banyak otak dengan ide berbeda. Dan inilah yang kita dapatkan; sebuah usaha bersama yang tidak berbuah manis.

Sebagai pembelaan, film originalnya sebenarnya juga enggak hebat-hebat amat. Tapi paling enggak, mereka lebih terarah. Tokoh-tokohnya mencari thrill dari sensasi kematian. Dan ketika sampai di aspek cerita yang mengerikan, film tersebut mengeksplorasi misteri dari apakah yang para tokoh alami adalah psikologikal atau memang sebuah fenomena supranatural. Pertanyaan yang diangkat apakah mereka memang melihat hantu atau otak mereka memang sudah rusak karena nge-flatline. Begonya Flatliners versi 2017 ini adalah mereka tidak mengindahkan (atau malah tidak mengerti) framework dari sourcenya sendiri. Heck, mereka bahkan tidak mengerti cara kerja halusinasi. Maksudku, penampakan-penampakan seram itu muncul dengan cara yang ngagetin penonton! Tokohnya malah enggak melihat mereka, penampakannya muncul sekelabat di belakang tokoh. Padahal kan penampakan itu terjadi di dalam kepala si tokoh.

Bagian ‘terbaik’ dari film ini adalah aspek setelah mencicipi pengalaman nyaris-mati, para tokoh mmendapat kemampuan istimewa. Courtney jadi bisa main piano dengan sempurna, dia bisa menjawab pertanyaan dari dosen – bahkan sebelum pertanyaannya selesai diucapkan. Jamie jadi tahan cuaca dingin, mereka literally bermain-main di hujan salju dengan pakaian dalam. Motivasi Sophia ngeflatline adalah demi jadi pinter, dan dia memang terbukti jadi bisa nyelesain kubus rubik dengan amat cepat. It is hilarious dalam cerita tentang orang-orang yang menghentikan jantung mereka, kemudian menghidupkannya lagi, reperkusi yang turut ditonjolkan oleh film ini adalah mereka jadi punya kelebihan. Aspek ini pun kemudian tidak berkembang jadi lebih berarti, they are just there supaya keren.

Obviously, Flatlining adalah metafora dari menggunakan narkoba. Kedua tindakan itu adalah sama-sama kerjaan yang bercanda dengan maut. Kita ‘terbang’ setelah makek drugs, beberapa orang ngerasa lebih kreatif dan produktif dengan obat-obatan. Lucunya Flatliners adalah, film ini juga gagal dalam memperlihatkan bahaya dari eksperimen mereka. Underlying message yang ada ialah beberapa orang harus melakukan hal ekstrim sebelum akhirnya sadar bahwa mereka pernah melakukan kesalahan. Dan kesalahan tersebut bisa dihapus dengan meminta maaf.

 

Dan sama seperti versi baru Pengabdi Setan (2017), Flatliners juga tidak berani menyinggung agama. Padahal dalam film yang dulu, konsep kehidupan-dan-kematiannya berdasarkan teologi Kristen. Dalam film yang sekarang ini, kita tidak pernah diberikan pandangan soal apa yang dipercaya oleh karakter, dan ini hanya menyebabkan karakter-karakternya semakin hampa.

Hubungan antarkelima tokoh sudah minimalis sedari awal. Mereka enggak berteman, mereka cuma seangkatan yang tadinya saling ‘berkompetisi’ sebagai calon dokter. Dengan hubungan yang enggak kuat, film ini sungguh punya nyali untuk mengganti sudut pandang, mengubah tokoh utama di tengah-tengah cerita. Saat cerita berpindah dari tentang Courtney ke tentang Marlo, kita tidak merasakan ada bobot emosional karena mereka tidak terestablish punya hubungan yang dekat. Ellen Page adalah satu-satunya alasan orang datang nonton ini ke bioskop, I know I do. She was so talented dan Courtney benar adalah tokoh yang paling menarik. Dan film ini menghilangkan tokoh yang ia perankan di pertengahan cerita, meninggalkan kita bersama karakter-karakter klise yang mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi saat mereka ‘mati’.

persetan dengan teknik medis, kalian gak bisa gitu aja nyentuh dada Nina Dobrev

 

Bahkan setelah kepergian Courtney, aku masih berusaha bertahan menyelesaikan nonton film ini, melewati semua adegan-adegan horor klise. Melewati efek-efek pasaran. Melewati suara rekaman tangis bayi yang sudah kita dengar sejak film horor tahun 90an. What really does it for me adalah ketika satu dialog bego terlontar dari salah satu tokoh saat mereka mulai bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Sophia, dalam kebijakannya yang tiada tara, menyebut dengan gusar “Maksudmu, kamu tahu ada dampak negatif dari flatlining?” HA!!! Ini bego banget, perfectly menyimpulkan keignorant semua aspek yang berusaha bekerja dalam film ini. I mean, itu sama saja dengan dia menanyakan apakah ada dampak negatif dari mencoba merasakan kematian. Well yea; negatifnya jelas adalah MATI beneran, duh!

 

 

 

Mereka tidak membuat ulang ini karena punya sesuatu yang baru. Mereka tidak menggarap ini karena ingin mengimprove sesuatu dari film yang lama. Mereka tidak punya sudut pandang personal sehubungan dengan materialnya. Mereka cuma ingin manufacturing suatu produk. Makanya kita dapat cerita yang terasa lebih seperti kumpulan ide-ide standar dari studio film. Aku tidak mau menjelekkan siapapun, aku tidak melarang kalian nonton ini, sah-sah aja kalo suka, tapi ini adalah contoh film di mana yang terlibat just dropped the ball. Salah satu film paling membosankan tahun ini, menonton ini adalah cara yang paling aman buat kita ngerasain gimana sih pengalaman nyaris-mati itu.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FLATLINERS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GOOD TIME Review

“Bad times don’t last, but bad guys do.”

 

 

Apalah artinya masa-masa sulit. Semuanya akan terasa ringan jika kita hadapi bareng orang yang kita cinta. Jadi, demi melewati semua masa-masa keras tersebut, Connie mengajak adiknya menghabiskan waktu berkualitas bersama dengan merampok bank.

Kedua bersaudara ini sudah semestinya saling menjaga. Namun kemudian, Nick, adik Connie tertangkap saat mereka melarikan diri dari kejaran polisi. Connie dan Nick memang adalah saudara yang sama-sama dibesarkan dalam lingkungan di mana kata panci dan gunting diasosiasikan sebagai kesakitan oleh Nick. Dan Connie lebih yakin dari sekedar positif bahwa adiknya yang mengalami gangguan mental itu tidak akan bertahan di dalam penjara. Tidak semalam pun. Maka Connie melakukan apapun yang dia bisa, dan kita tahu cowok ini enggak akan segan menggali lubang sedalam-dalamnya, untuk mencari uang guna membebaskan Nick.

Kita akan mengikuti petualangan Connie basically secara real time, dari pagi, ke malam, dan ke pagi lagi. Cerita menjadi sangat urgen dan really contained. Kita tidak pernah terlepas dari perpindahan waktu dan segala tindakan, aksi yang terjadi, terasa begitu in-the-moment. Dan cara kamera merekam suasana malam yang ia lalui adalah sangat mengundang kita untuk terus mengintip ke dalam kota itu. Kita akan dapat banyak close ups yang menguatkan ketegangan dan stres yang dialami oleh karakter. Film bisa menjadi seperti sebuah dokumenter karena banyaknya long takes yang digunakan untuk merekam perjalanan, benar-benar terasa real bagaimana kumuh dan kerasnya keadaan malam tersebut. Suasana malam itu berdengung, literally scoring musik akan mengalun ngebuzz memberikan suasana restless yang disturbing. Gaya dan perspektif yang unik dan begitu klop, adegan pembukanya saja sudah begitu kuat ketempel oleh emosi sebagaimana kita melihat Nick menjawab pertanyaan-pertanyaan game dari seorang psikiater.

“Apa lagu favoritmu?” / “Hard Times”

 

Masa sulit membuat kita sering mempertanyakan apa gunanya mencoba. Si bijak Homer Simpsons malah pernah bilang “Pelajarannya adalah, jangan pernah berusaha”. Namun film ini memberikan kita pelajaran yang lain untuk kita petik.  Sesulit-sulitnya hidup, semua itu tidak akan bertahan lama. Hanya persoalan gimana kita memandang, mempercayai, dan menjalankannya. Sekaligus juga film ini memberi kita peringatan, bahwa perbuatan jahat awetnya seumur-umur. Sekali kita menjustifikasi satu perbuatan miring yang kita lakukan, tak sulit lagi bagi kita untuk mengambil tindakan salah berikutnya – dan kemudian kembali menganggapnya benar.

 

Berkebalikan dengan hidup, dalam dunia sinema justru bad films last, dan bad acting tidak mesti bertahan. Robert Pattinson dan para aktor Twilight (2008) adalah contoh hidupnya. Di saat kejelekan Twilight akan tetap abadi kayak vampire-vampire pengisinya, karir para pemainnya toh masih bisa berkembang menjadi lebih baik. Di semester awal tahun 2017, kita sudah melihat penampilan terbaik dari Kristen Stewart dalam Personal Shopper. Dan dalam Good Time, di mana dia berperan sebagai Connie si total a-hole, Robert Pattinson gak mau kalah, dia pun menyuguhkan permainan akting yang sangat ngegrunge, dia menyelam sempurna ke dalam karakter. Ini benar adalah performa terbaik yang pernah Pattinson tampilkan kepada kita.

Penampilan yang sangat unhinged ditambah penulisan karakter yang teramat nekad menghasilkan sebuah FILM YANG BENAR-BENAR LANCANG. Tidak ada kualitas baik dari dalam pribadi Connie. Dia melakukan hal yang kurang ajar. Dia mengatakan hal-hal yang so politically incorrect, yang enggak semua orang berani mengatakannya di dalam film, terlebih di dunia nyata. Satu-satunya hal yang bisa membuat kita sedikit simpatik adalah kecintaannya terhadap sang adik. Dan film ini paham, itu sudah cukup. Dalam dunia film ini, kehidupan jalanan yang keras, para kriminal itu setidaknya ingin melakukan sesuatu yang baik buat satu orang, sekali saja. Kita melihat mereka saling bantu, jika diperlukan. Tapi tidak pernah terlalu ramah untuk menjadi satu kesatuan pembela kebenaran moral. Mereka hanya punya pemahaman, dan mereka melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Benny dan Josh Safdie, dua bersaudara yang menulis sekaligus menyutradarai film ini, menyetir cerita ke arah yang jauh sekali dari keHollywood-Hollywoodan. Enggak bakal ketemu deh adegan pemanis di mana tokoh utamanya menjadi pahlawan. Good Time adalah versi lain dari Hell or High Water (2016). Actually, Benny ikutan bermain, dia berperan sebagai Nick yang mengalami cacat mental. Dia bermain sama kerennya dengan dia mengepalai film ini. Adegan pembuka berhasil membuka mata kita, membuat kita sangat tertarik. Ketika Nick ditanyai oleh psikiater, kita bisa melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut mengganggunya. Kepedihan tertampang jelas di ekspresi diamnya, kita bisa ngerasain. Kita paham dia benci hidupnya, dia benci duduk di sana, ditanyain, dipaksa mengingat masa lalu. Rasa ingin melihat Nick dan Connie berhasil tak tertangkap dan sukses memulai hidup baru dalam diri kita datang dari sini.

oke jadi sudah jelas kan ini bukan film tentang biskuit chocochips

 

Babak pertama film ini praktisnya dapat kita sebut sebagai kesempurnaan. Tone, karakter, style, semua disetup dengan sungguh menarik. Menurutku film ini fresh banget, serta extremely surprising. Namun di bagian tengah, ketika Connie menumpang di rumah orang untuk beberapa waktu, pacenya agak melambat. Kita akan gak sabar menanti cerita untuk bergerak lagi. Terkadang, film memang sengaja memperlambat tempo. Mereka mempersembahkan karakter baru, dan membiarkan si tokoh ini bercerita tentang apa yang terjadi kepada dirinya, supaya kita bisa sedikit tertarik. Esensinya sih, film ingin memperlihatkan paralelnya tokoh ini dengan Connie sehubungan dengan ‘good times’ yang mereka lalui.

 

 

Oleh Benny dan Josh, film ini menjelma menjadi sesuatu yang bisa kita nikmati sambil duduk santai, kerja kameranya teramat impresif, padahal kita enggak sungguh-sungguh enjoy sama apa yang kita lihat di layar. Misalnya, satu adegan ciuman yang luar biasa cringe-worthy itu. Kita tidak lagi melihat aktor bermain peran di sini, yang kita lihat adalah kriminal-kriminal beneran yang melakukan hal-hal filthy. Kenekatan menampilan tindakan gross senyata ini tak pelak adalah kenekatan yang semestinya mendapat respek. Aku angkat topi buat filmmakers dan para aktor yang melakukannya. Ini udah sukses jadi salah satu thriller urban favoritku. Pastilah salah satu waktu yang baik ketika kita menontonnya, dan impresinya dijamin bertahan lama.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for GOOD TIME.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are loser.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

POSESIF Review

“If our love is only a will to possess, it is not love”

 

 

Ada hal-hal tertentu yang enggak bisa dilalui bersama tanpa kita menjadi dekat, dan dihukum ngiterin lapangan sekolah berdua dengan tali sepatu saling bersimpulan adalah salah satunya. Perkenalan antara Lala (pendatang baru Putri Marino bermain cemerlang) dengan si anak baru Yudhis (akting Adipati Dolken semakin matang) berawal dari warna sepatu yang melanggar peraturan sekolah. Lala dan Yudhis jadi deket, tak sulit buat temen sekelas Lala nyomblangin mereka, dan jadianlah kedua remaja tersebut. Cinta pertama Lala awalnya manis banget. Kehadiran Yudhis membantu Lala melewati hari-hari. Sekolah, latihan loncat indah, hang out, Yudhis selalu ada di dekat Lala.

Oktober adalah waktu yang aneh untuk menayangkan drama percintaan dengan tokoh anak SMA. Biasanya film-film remaja ramenya sekitaran Februari ataupun pas musim liburan sekolah. Tapi setelah menyaksikan sendiri, aku jadi bisa melihat keserasian film ini tayang berdekatan dengan Halloween. Posesif bukan seperti drama cinta biasa. Sutradara Edwin mengarahkan film ini LEBIH SEPERTI SEBUAH SAJIAN THRILLER. Adegan-adegan film ini dipersembahkan dengan perlahan, meski runtunan dari fase kenalan ke jadian ke deket banget disampaikan dengan cepat. Emosi dan rasa ragu akan merayap masuk sembari hubungan Yudhis dan Lala mekar. Dua pemain lead bermain dengan sangat baik, chemistry tumbuh tanpa tersandung ekspresi yang dibuat-buat. Mereka ngelewatin banyak transformasi emosi, dan mereka nailed each and every one of it. Bagi dunia, Lala mungkin cuma seseorang. Namun buat Yudhis, Lala seoranglah yang jadi dunia. Kita akan menyaksikan hubungan romansa di antara kedua anak muda ini berbelok ke arah yang mengerikan. Kalo lagi enggak bersama Lala, Yudhis akan ngestalk social media, nelfonin nanyain kabar – ada shot yang memperlihatkan Yudhis missed call lebih dari tiga-puluh kali dalam rentang waktu kurang dari satu jam. Dolken bener-bener tepat sasaran memainkan note-note yang creepy.

Sebelum kenalan, Yudhis udah tahu nama Lala dari video instagram, wow that’s not creepy at all

 

 

Posesif benar-benar mengeskplorasi apa yang relationship bisa lakukan kepada jiwa-jiwa muda yang insecure. Betapa  kadang kita lebih memilih untuk mempertahankan hubungan tak-sehat daripada untuk melepasnya dan memulai dari awal. “Belum tentu loh, kamu bisa dapat cowok kayak gitu lagi” saran teman kepada Lala yang bimbang.

 

Menurutku, film ini penting untuk ditonton – bukan hanya karena ini adalah sudut pandang yang berbeda dari film remaja kebanyakan – melainkan juga karena ceritanya yang sangat dekat. Setiap kita pasti pernah jatuh cinta, pasti ngalamin sensasi deg-degannya cinta pertama. Pada beberapa titik dalam hidup, kita pernah berada di posisi Yudhis, atau di posisi Lala, atau di posisi sahabat cowok yang diam-diam naksir Lala, atau malah pernah berada di tiga posisi itu sekaligus. Maksudku, nonton ini juga bisa bikin baper. This movie hits home more than I expected. Personally, I might be or might not be, …. Oke jujur, aku pernah bikin takut anak gadis orang kayak yang dilakukan Yudhis, secara gak sengaja. Dan itulah masalahnya. Untuk sebagian besar kasus hubungan yang mengekang, yang terlalu gak-ngasih jarak, kita gak sadar sudah membuat pasangan merasa tak nyaman. Padahal niatnya, sumpah! padahal niatnya baik

mengapaaa aku beginiiiii??

 

Tema ‘dikungkung oleh tuntunan dari luar’ kerap terdengar di sepanjang narasi. Lala yang terus digebah oleh ayah untuk jadi atlet, nyaingin almarhum ibunya. Yudhis yang enggak boleh ngekos, musti deket terus dengan ibu. Yudhis yang gak ngasih space ke Lala. Sekolah dengan peraturan gak jelas sepatu harus hitam. Bahkan Lala jadian dengan Yudish adalah hasil comblangan dari teman sekolah – yang menyimbolkan persetujuan dari lingkungan terus saja mempengaruhi pilihan dan keputusan tokoh kita. Jika ditelanjangi dari layer masing-masing, film Posesif dan film The Lobster (2015) memiliki kesamaan inti cerita. Perjalanan Lala ialah perjalanan membebaskan diri dari kurungan tak terlihat orangtua, teman-teman, dari orang yang ia masih ragu cinta atau enggak. Kita akan belajar bahwa Lala dan Yudhis sebenarnya punya masalah yang sama, hanya saja Yudish memproyeksikannya dengan cara yang sedikit mengerikan. Pada akhirnya kedua orang ini akan saling posesif terhadap masing-masing, dan itu enggak sehat.

Sesuai dengan overlaying symbol yang disebutkan oleh film; cinta dengan olahraga yang ditekuni Lala, loncat indah adalah pengalaman yang sama bagi anak muda. Terjun ke dalam relationship sama menakutkannya dengan terjun ke kolam dari menara loncat tingkat paling atas. Lala dilatih oleh ayahnya  Naik ke atas papan loncat adalah suruhan, namun actually meloncat adalah murni keputusan Lala. Kamera menangkap resah dan gejolak tersebut dalam shot-shot menarik Lala yang jungkir balik terjun. Menjalin hubungan percintaan itu adalah kerja keras, karena hidup adalah kerja keras dan cinta adalah bagian dari hidup. Ini adalah tentang kontrol – masing-masing memegang kendali atas hidupnya. Dalam film ini, air kolam di bawah itu adalah hidup dengan segala konsekuensinya. Terjun ke dalam itu adalah sebuah pilihan pribadi – kita bisa menyuruh orang untuk naik, tapi pada akhirnya yang bisa kita miliki adalah diri kita sendiri.

 

Perbedaan antara film komersil dengan film yang enggak mainstream bisa jadi hanya terletak pada bagian akhirnya. Posesif bisa saja menutup ceritanya di saat Lala ditinggalin di tengah jalan. Menurutku, jika selesai di sini, saat Lala berjalan di jalan tol yang bercabang, memilih sendiri langkahnya, pesan yang disampaikan akan bisa menjadi lebih kuat. Tapi Posesif ingin appeal buat lebih banyak orang, dan sebagian besar penonton ingin ending yang enggak muram-muram banget. Dan di babak ketiga inilah, film tampak enggak yakin bagaimana mengakhiri cerita dengan memuaskan target penontonnya. Menuju ke ending, cerita menjadi agak terseret – kayak, udah beres, eh ternyata belum. Padahalnya mestinya cerita ditutup either dengan ninggalin Lala tadi, atau Lala dan Yudish enggak pernah kabur sedari awal. Hanya ngeliatin Lala menghapus foto-foto di Instagramnya sudah dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat. Pilihan final adalah membungkus cerita dengan freeze-frame close up Lala, wow such a cool way to end -,-

Ada beberapa poin cerita yang enggak konsisten. HP Yudhis yang ketinggalan di dalam mobil adalah contoh plot device yang terasa enggak klop dengan karakter Yudhis yang punya issue dengan kepemilikan. Maksudku, berdasarkan sikap ‘melindungi’nya terhadap  Lala, aku membayangkan Yudhis sebagai orang yang ngeprotect barang-barang pribadi, dia tidak akan lupa dan meninggalkan HP di tempat yang dapat dijangkau orang. Aku juga sempet bingung dengan lokasi cerita, apakah di Jakarta atau di Bandung, sebab di awal-awal Lala dan Yudhis jalan-jalan di NuArt yang terletak di Bandung – aku tahu karena pernah ke sana dan nekat moto-moto daerah workshop patung, kemudian dibentak satpam yang meminta foto-foto yang kuambil di sana harus dihapus; yea, bicara tentang aturan, right..

Soal status anak baru Yudhis juga cukup membuatku mengangkat sebelah alis, dia pindahan dari mana, kenapa dia pindah sekolah di tahun terakhir, apakah ada indikasi sifat violentnya yang menyebabkan dia pindah sekolah, apakah cinta pertama itu di pihak Lala saja – like, apakah sebelum ini Yudhis yang ganteng pernah terlibat cinta ga-sehat dengan cewek lain dan kekerasan yang dilakukannya membuatnya harus pindah sekolah? Menurutku latar belakang Yudhis perlu digali sedikit lagi, karena bisa saja mereka malah meninggalkan backstory yang menarik.

Konteks cerita juga membuat tidak ada konsekuensi nyata yang diperlihatkan oleh film mengenai apa yang dilakukan Yudhis. Yang membuat film ini terasa setengah-setengah. Ini bukan cerita romansa biasa, sekaligus tidak pernah mekar sebagai thriller yang benar-benar mengerikan. Kesan yang diincar adalah keragu-raguan, semua orang melakukan kesalahan, namun dengan absennya konsekuensi yang benar-benar nyata, pesan film tidak sampai pada ketinggian loncat yang diinginkan.

 

 

Cinta bisa jadi adalah ilusi yang tercipta dari kebutuhan kita akan sesuatu yang nyaman, yang terbentuk bukan dari pilihan kita melainkan dari jawaban tergesa atas tuntunan dari luar. Film ini akan mengingatkan kita semua akan itu, dia tidak ragu untuk menjadi menakutkan dalam menyampaikannya. Karena, seperti Lala, terkadang kita harus belajar dalam cara yang keras. Kisah cinta bukan semata milik suka ria. Film ini paham betul dia punya pesan penting, dan dia rela menerjunkan diri di dalam kolam mainstream, menempuh riak resiko kreatif, ini bukan film sempurna, melainkan sebuah kesempatan penting untuk berefleksi diri yang sayang untuk tidak dimiliki.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for POSESIF.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

HAPPY DEATH DAY Review

“The definition of insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results”

 

 

Bagi Tree, hidup adalah film slasher pribadi – sebuah mimpi buruk yang tidak berhenti, akan tetapi senantiasa terus berulang. Kehidupan Tree membentuk lingkaran sempurna saat hari ulang tahunnya menutup menjadi hari kematian. Dan Tree terbangun hanya untuk mengulangi lagi satu hari spesial tersebut. Tentu saja tidak butuh waktu banyak bagi Tree untuk menyadari hal ini; Hanya beberapa hari, dan itu itungannya tetep sehari bagi Tree hehehe. Pagi berikutnya dia terbangun di kamar kos cowok yang sama (as opposed to various), berjalan teler melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang persis seperti yang sudah ia lihat kemaren, dikasih surprise cupcake oleh teman sekamar, disirikin oleh saingan Regina Georgenya, dan malamnya disatroni oleh seorang misterius bertopeng bayi yang ngebet pengen ngebunuhnya, Tree langsung tahu dia harus segera menyibak siapa orang yang berusaha membunuhnya supaya dia bisa mencegah kematian dan hopefully mengembalikan hidupnya ke alur yang normal.

Akan butuh banyak banget kematian yang kejam untuk menyelamatkan satu nyawa.

 

Menjalani hidup yang itu-itu saja mungkin membosankan. Beberapa orang toh merasa nyaman dengan repetisi. Tetapi, melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda, jelas adalah satu kegilaan. Dan adalah suatu kebegoan untuk terus jatuh ke lubang yang sama. Happy Death Day menunjukkan bahwa  yang terbaik dari kita sekalipun kadang harus gila, atau bego dulu, sebelum bisa berkembang dan keluar dari lingkaran penderitaan.

 

Bayangkan film Mean Girls (2004), lalu taroh karakter cewek plastiknya ke dalam situasi yang sama dengan yang menimpa Bill Murray di Groundhog Day (1993), aduk rata, kemudian ditaburin kejutan-kejutan horor slasher whodunit ala Scream (1996). Itulah resep membuat kue tart Happy Death Day.  Dan kue tart yang satu ini rasanya sangat meriah. Berbagai macam rasa ‘cerita’ loop yang sudah pernah kita cicipi, bergabung menjadi satu. Belum lama ini Zoey Deutch di film Before I Fall (2017) juga terbangun di hari yang sama, dan terus mengulang kejadian over and over – Happy Death Day basically mengikuti alur cerita yang sama, Tree juga harus belajar menjadi orang yang lebih baik, tapi film ini melapis perjalanan innernya dengan gimmick thriller. Film ini tidak sesendu drama Before I Fall. Dari semuanya, Groundhog Day lah yang berpengaruh paling kuat. Malahan, film ini sadar diri dan mengakui hal tersebut. Ada adegan di mana satu tokoh beneran nyebut tentang film tersebut saat Tree lagi curhat soal apa yang ia alami. Namun alih-alih nostalgia, Happy Death Day adalah film yang kekinian.

Film ini digarap dengan sangat komersil. Sutradara Christopher Landon yang menulis film-film Paranormal Activity sudah barang tentu tak asing dalam mengolah cerita yang mudah disukai oleh banyak kalangan, khususnya remaja. Filmnya tampak sangat cantik, sekuens kejar-kejarannya exciting, aku suka arahan Landon ketika menangani blocking di sekuens aksi film ini. Happy Death Day tidak pernah menjadi terlalu serius. Tone film ini benar-benar mengejutkanku, aku tidak menyangka film ternyata LIGHT-HEARTED, KOCAK, DAN SANGAT ENJOYABLE. Kalo mau dibandingin, menonton Tree di sini membuatku teringat sama Emma Roberts dan perannya sebagai Chanel di serial Scream Queens.

Attitude dan karakter Tree yang membuat film ini begitu menyegarkan untuk ditonton meskipun cerita seperti ini sudah berulang kali kita dapatkan. Jessica Rothe melakukan banyak permainan emosi, juga sangat ekspresif. Memainkan Tree adalah sebuah perjalanan yang fisikal, dengan lapisan psikologis, dan Roth melakukan pekerjaan yang fantastis di sini. Tree mungkin adalah tokoh pertama yang mengemban tugas sebagai tipikal tokoh ‘jalang’ yang bakal mati duluan dan cewek heroin yang selamat berkat kebaikannya sekaligus.

Sebagai cewek populer, Tree berlaku kasar sama semua orang. Ada adegan kocak ketika dia membuat daftar orang-orang yang sekiranya punya motif untuk membunuh dirinya, dan dia kewalahan sendiri begitu sadar bahkan pengemudi uber pun pernah ia kasarin dan berkemungkinan menyimpan dendam kesumat. Di sekitar midpoint, kita ngeliat penggalan-penggalan yang sangat lucu saat Tree menguntit para ‘tersangka’ satu-persatu, hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak bersalah dan dia membiarkan dirinya terbunuh oleh si Pembunuh Berwajah Bayi yang muncul menyerangnya dari tempat tak terduga. Lama kelamaan memang adegan pembunuhannya tidak lagi seram, malah berubah menjadi lawak.

Terkadang bukanlah kesempatan yang banyak yang kita perlukan. Pada akhirnya, yang benar-benar diperhitungkan adalah tindakan yang kita pilih untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Perubahan itu harus kita sendiri yang memulai.

 

Dalam perjalanannya, film ini tidak lagi terasa seperti horor buatku. Tree yang dibunuh terus, kemudian mengulang lagi pencariannya, malah menjadi seperti permainan video game dengan nyawa tak terbatas. Tonenya yang ringan dan cenderung tidak-serius juga turut membantu raibnya faktor-taku tersebut, meskipun film memang menaikkan taruhan dengan menetapkan kondisi Tree semakin melemah setiap kali dia terbangun dari keadaan terbunuh. Jika kalian penggemar horor yang ada jumpscarenya, mungkin kalian bahkan lebih terhibur lagi daripada aku saat menonton ini. Ada banyak taktik jumpscare yang digunakan untuk memancing rasa takut, sayangnya sebagian besar lemah banget untuk membuat kita beneran kaget.

Cerita yang klise tidak memberikan banyak ruang untuk kejutan. Dan bicara soal kejutan, film ini punya dua momen gede sehubungan dengan identitas pelaku. Tentu saja, sebelum pengungkapan terdapat sejumlah red-herring yang ditebar. Film ini banyak banget red herringnya,  setiap dari mereka langsung tereliminasi dengan dibunuh langsung oleh the real culprit. Masalahnya adalah, pengungkapan identitas pelaku tampak begitu berjalan-sesuai-skema. Kita tidak merasa begitu terkejut. Di bagian false resolution, pengungkapannya memang tidak memuaskan. Dan ketika resolusi yang sebenarnya datang, it just doesn’t hold together, tidak terasa benar-benar masuk akal.

Hidup seolah tak ada hari esok, literally

 

 

 

Toh, film ini memang menghibur. Aku tidak menyangka mereka mengolah misteri dengan konsep ‘mengulang hari’ menjadi sajian yang ringan. Ada banyak adegan yang diolah untuk memancing kelucuan alih-alih kengerian. Perjalanan inner Tree tidak ditangani dengan dramatisasi berlebihan. Tapi itu bukan berarti film ini serta merta bagus. Landon paham bagaimana harus mengikuti selera pasar, khususnya remaja-remaja putri. Kekerasan dibuat minimal. Aksi-aksi fisik jatohnya kocak. Film ini menyenangkan untuk dinikmati pada permukaan. Dalam tingkatan yang lebih dalam, however, tidak banyak kejutan yang diberikan. Ceritanya klise. Lebih seperti gabungan plot-plot sejenis, hanya saja digarap dengan visi supaya menjadi menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for HAPPY DEATH DAY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

BLADE RUNNER 2049 Review

“Our memories are not always our own”

 

 

Di masa depan, waktu di mana mobil bisa melayang, kota-kota menjulang, hologram dan teknologi sudah pesat berkembang, tetapi lingkungannya sangat suram. Tidak adakah manusia yang menjaganya? Masa depan adalah waktu di mana manusia telah tersesat, sementara robot-robot android yang mereka bangun mengetahui persis apa yang jadi keinginan hidupnya; ingin menjadi manusia. Ironi itulah yang menjadi tema utama di balik beragam dimensi cerita Blade Runner 2049.

Satu lagi cerita pinokio, pencarian jawaban terhadap eksistensi, hanya saja digarap dengan nuansa filosofis kental menghiasi penceritaan yang sangat kuat. Memancing emosi dan pikiran. Meskipun eksterior film suram dan dingin banget, kota-kota gelap, San Diego udah beneran kayak kota sampah di salah satu adegan, ada hati yang hangat berdenyut di dalam cerita. Statusnya sebagai film sekuel tidak menjadi beban, sebab sukur Alhamdulillah, Denis Villeneuve mengerti apa yang harus dia lakukan ketika menangani sekuel dari karya flawed-masterpiece seperti Blade Runner (1982). Kenapa aku bilang flawed, well Blade Runner original udah bikin pembuatnya bingung. Ridley Scott mengeluarkan tiga versi film, masing-masing dengan editing cerita yang berbeda, sebab tampaknya Scott masih belum puas. Film tersebut punya pengaruh besar bagi sci-fi scene, tema filosofisnya mengundang banget untuk kita menontonnya lagi dan lagi. Dengan begitu, alih-alih ngotot ngereboot atau menjadikan sekuel ini set up dari franchise baru, Villeneuve merekonstruksi cerita tiga babak yang sangat kuat. Plotnya punya awal-tengah-akhir, Blade Runner 2049 adalah film yang benar-benar punya cerita, yang kokoh berdiri sendiri, it’s a very contained, dan aku harus bilang ini adalah salah satu film terbaik yang bisa kita saksikan di tahun 2017.

Tanpa kenangan, kita bakal nyasar. Akan tetapi,Blade Runner 2049 mengungkapkan bahwa beberapa kenangan yang paling berharga bagi kita bisa jadi bukan milik kita.

 

Ketika para robot android tidur, mereka bermimpi menjadi manusia. Mereka ingin merasakan ‘keajaiban’ hidup yang hanya bisa dirasakan oleh manusia. Agen KD6-3.7 tahu persis dirinya adalah Replicant – sebutan untuk android yang dibuat demi membantu pekerjaan manusia. K bekerja sebagai Blade Runner, polisi yang melacak Replicant-Replicant liar untuk kemudian ‘memensiunkan’ mereka. Mungkin karena itu, dia juga membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih mulia daripada replicant-replicant yang lain; bahwa dialah yang paling mendekati apa yang disebut dengan manusia. Ryan Gosling – keliatan sedikit berotot dibanding penampilannya di La La Land (2016) – bermain dengan teramat baik di sini. Selagi dia bepergian ke tempat-tempat, mencari petunjuk dalam investigasinya mengenai sebuah misteri kasus masa lalu, Gosling’s K harus berurusan dengan berbagai macam emosi, terutama ketika setiap misteri yang ia buka membuatnya belajar hal baru yang menimbulkan gejolak pada dirinya. Susah baginya untuk bagaimana menanggapi hal yang ia sibak, penampilan Gosling di sini sangat menarik untuk kita simak. K harus mencari Deckard (tokoh utama Blade Runner original), sebab Deckard-lah yang bisa membantunya. Harrison Ford bermain sangat menakjubkan, di usianya dia masih mampu melakukan banyak aksi fisik. Di sini dia sangat terguncang oleh kejadian masa lampau, dan kita akan belajar kenapa dia melakukan apa yang ia lakukan, kalian akan bisa memahami tokoh ini walaupun belum nonton film yang pertama. Blade Runner 2049 bekerja dengan sangat baik menjelaskan tanpa pernah menjadi terlalu eksposisi dan tidak sekalipun emosi terlupa untuk digaungkan.

kirain ingatan masa kecilnya adalah waktu jadi Mousekeeter di Mickey Mouse Club hhihi

 

Untuk kali ini, aku gak akan beberin banyak plot poinnya, kalian harus saksikan sendiri sebab film ini worth banget untuk ditonton. Serius, cari deh yang layarnya paling gede dan suara paling kenceng sekalian. Bagi para penggemar berat Blade Runner yang menanti jawaban – mungkin lengkap dengan catatan teori sendiri – salah satu pertanyaan sinematik terpenting sepanjang masa “Apakah Deckard manusia, ataukah dia Replicant?”, maka rasa penasaran dan teori kalian mungkin akan bertambah. Film ini menawarkan jawaban tanpa pernah benar-benar tegas akan hal tersebut. Banyak kejutan yang bakal bikin kalian menggelinjang, aku sempat di”sssst!”in sama penonton di sebelah lantaran kelepasan ngomong “Ohmygod What!!?” kenceng banget di salah satu adegan Jared Letto mereveal sesuatu di bagian akhir.

Kalo itu belum mampu untuk mendorong kalian bangkit dari depan laptop dan segera ke bioskop, mari aku beri sedikit ilustrasi pribadi; Aku gemar nonton film bisa dikatakan rada telat, karena aku tumbuh di kota yang gak ada bioskop. Dan lagi kata mentorku, aku lahir di tahun yang salah. Aku tidak pernah menyaksikan klasik seperti Psycho, The Shining, bahkan Jurassic Park di bioskop. Tapi kemudian aku menyaksikan film-film kayak Enemy (2014), Sicario (2015), Arrival (2016), dan Blade Runner baru ini, yang membuatku berpikir “Maaan, seperti inilah rasanya menonton filmmaking kelas Master di bioskop” Jadi poinku; sukurilah Denis Villenueve selagi kita masih bisa nyaksiin karyanya yang udah kayak Hitchcock atau Spielberg modern secara langsung. Di bioskop!

Ingatan tentang kejadian baik lebih tidak bisa dipercaya dibandingkan dengan ingatan buruk. Kita bisa sampai pada kesimpulan ini demi melihat gimana proses ingatan masa kecil dipasangkan kepada para replicant. Dan episode Total Rickall serial Rick and Morty akan menguatkan teori ini. Ingatan kita tidak bisa dipercaya sebab kita mengingat dengan perasaan. Kita cenderung suka tampered with good things, yang kita ingat sebenarnya bukan kejadiannya, melainkan apa yang kita rasakan saat itu. Dan ketika merelive lagi, perasaan tersebut akan dibesar-besarkan. Kenangan yang terlalu detil, seperti kenangan anak ulangtahun yang dilihat K sedang dalam proses pembuatan adalah kenangan sintetis, sedangkan memorinya tentang dibully, meskipun tampak aneh dan kurang detil, justru adalah yang otentik dan benar terjadi.

 

 

Aku mengerti kenapa banyak yang was-was ngeliat durasinya yang memang panjang banget, nyaris tiga jam. Film memang banyak menghabiskan waktu dalam bercerita, ada banyak yang disampaikan sehingga bikin bingung. Beberapa orang di studio juga kedengaran bilang bosan pas keluar, bahkan di tengah film ada suara orang menguap. Nah, kalo urusan bosan ini aku kurang mengerti gimana bisa seseorang merasa bosan padahal sepanjang film matanya terus disuapi pemandangan-PEMANDANGAN BERGIZI? Visual film ini marvelous banget, kandidat kuat sekali untuk sinematografi terbaik Piala Oscar. Aku sampai lupa ngunyah permen karet saking takjubnya ngeliat layar. Tampak begitu hidup seolah kita bisa menjangkau ke dalam layar, dan masuk ke dunia tahun 2049 tersebut. Agenda filosofis film ini juga semakin lancar tersampaikan berkat iringan musik yang eerienya menyentuh banget. Blade Runner 2049 akan ngingetin kita semua kenapa kita suka nonton film. Craftmanship dan treatment adegannya luar biasa. Aku jadi teringat masa ketika aku nonton Mulholland Drive dan seketika tergerak pengen nulis cerita dan ngerekam, punya mimpi bikin film sendiri.

atau malah bikin hopeless kita gak akan pernah bisa bikin karya semasterpiece ini

 

Film ini sendirinya adalah sebuah mesin yang indah sekali untuk ditonton. Untuk diselami. Untuk dinikmati. Penokohan karakternya paralel. Aku senang Batista dapat peran yang cukup signifikan sehingga dia bisa bermain di luar karakter Drak, and he plays it good. Romansa antara K dengan hologram yang ia pasang di rumahnya sangat membantu pengembangan karakter, kita bisa simak K belajar banyak dari Joi soal keinginan untuk menjadi manusia. In fact, setiap karakter yang dijumpai K adalah pembelajaran. Dari elemen ini, aku melihat satu (dan hanya satu) kekurangan pada film. Mungkin menyadari ceritanya yang panjang dengan banyak informasi yang harus disusun oleh penonton, film memberikan sedikit kemudahan berupa pengulangan dialog via voice-over yang bergaung di dalam kepala K. Ada banyak adegan ketika tokoh kita diam, suara karakter dari adegan sebelumnya diperdengarkan kembali, kemudian K pasang tampang dia berhasil menyimpulkan sesuatu. Menurutku, di sini film agak meremehkan penonton. Karena bagi penonton yang benar-benar memperhatikan, dialog-dialog untuk mengingatkan itu sama sekali tidak perlu. Kita sebagai penonton mestinya bisa memilah mana informasi penting, mengingat, dan menyambungkannya sendiri.

 

 

 

Ini adalah jenis tontonan yang begitu menakjubkan, visual mewahnya secara konstan menyuapi mata, sehingga mampu menginspirasi banyak orang. Meskipun bercerita tentang makhluk buatan, tidak ada yang terasa seperti replika. Emosinya genuine. Perasaan yang disampaikan tokoh-tokohnya begitu manusiawi. Lewat plot yang kuat, pembangunan dunia yang masuk akal, dan rentetan pertanyaan filosofis yang mengalir mulus sebagai dimensi cerita, film ini sukses berat menjadi bukan saja salah satu sekuel terbaik – dia bisa berdiri sendiri, enggak tergantung kepada film lain – namun juga film terbaik yang pernah ada.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLADE RUNNER 2049

 

 

 

That’s all we have for now.
Buat yang mau nonton Blade Runner (1982) bareng sambil diskusi, dateng aja ke markas My Dirt Sheet di kafe es krim Warung Darurat, Jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Kami muterin film by request!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GERALD’S GAME Review

“The cost of repressing a memory is that the mind does not know the abuse ended.”

 

 

Dari sekian banyak cerita horor yang sudah ditelurkan oleh Stephen King, Gerald’s Game adalah buku yang paling terakhir difavoritkan untuk diadaptasi menjadi film. Bukan karena jelek, serius, kalo ada yang gak bisa ditulis oleh Stephen King, maka itu adalah menulis cerita horor yang jelek. Namun, Gerald’s Game certainly adalah salah satu pilihan yang buruk buat pembuat film yang mau menyadur cerita horor darinya lantaran akan susah banget menjual cerita yang sebagian besar adegannya adalah adegan seorang tokoh basically ngobrol dengan kepalanya sendiri.

Bagi sutradara Mike Flanagan, yang sebelumnya udah sukses menangani horor tentang cermin dan horor tentang papan jailangkung (respectively Oculus dan Ouija: Origin of Evil) menjadi sangat menarik dan menyeramkan, bagaimanapun juga jelas ini adalah tantangan. Sebelumnya, untuk Netflix, Flanagan juga pernah menggarap thriller kucing-kucingan pikiran antara seorang yang bisu dengan perampok psycho yang ingin masuk ke rumahnya (Hush, tayang 2016). Jadi yah, thriller ruang sempit, horor dari keadaan seadanya, adalah taman bermain buat Flanagan. Dan di tangannya, Gerald’s Game menjadi sebuah projek passion yang setiap babaknya sangat haunting, dia mengolah adaptasi dari sumber yang membatasi apa yang bisa dilakukan terhadap karakternya, and he got it right. So right it’s disturbing.

 

Kehidupan romantika rumah tangga Jess dan suaminya yang berusia lebih tua, Gerald, dalam keadaan kritis. Demi menyalakan kembali api-api cinta yang kian redup itu, mereka pergi liburan; menginap beberapa hari di sebuah pondok mewah yang terpencil. Tempat tersebut dibikin privat dengan harapan mereka bisa menemukan gairah tanpa gangguan. Jadi, Jess dan Gerald sudah siap memainkan sesuatu skenario yang kinky banget di ranjang. Kedua tangan Jess diborgol ke tempat tidur. Tetapi, belum sempat ngapa-ngapain, Jess mendadak merasa amat tak nyaman melakoni fantasi role-play ini, dan tau-tau Gerald terkena serangan jantung. Gerald meninggal sebelum sempat membuka kembali borgol tangan Jess.  Mengetahui para pengurus pondok baru datang paling cepat setidaknya tiga-empat hari lagi, Jess berteriak minta tolong. Suara Jess didengar oleh seekor anjing yang masuk ke rumah, dan memutuskan untuk tinggal di sana. Sebab dia menemukan stok daging yang masih hangat di lantai kamar, dan satu porsi gede daging lagi yang masih begitu fresh, terikat menggiurkan di atas tempat tidur.

Mike Flanagan mempercayakan tampuk tokoh utama kepada Carla Gugino. Sebagai Jess, Gugino dihadapkan kepada tugas yang mustahil untuk diatasi. Dia harus diborgol pada sebagian besar penampilannya dalam film ini sembari harus menyampaikan banyak emosi serius. Terutama, Gugino harus benar-benar total dalam keadaan panik. Aku pernah ngeliat orang syuting sehingga aku jadi punya sedikit bayangan bahwa memang susah sekali bagi seorang aktor untuk menampilkan emosi yang konstan dalam setiap take demi take. Carla Gugino fantastis banget, penampilan aktingnya di sini adalah kerja keras yang akan sayang sekali kalo enggak dilirik, sukur-sukur diganjar, penghargaan.

Jess sebenarnya sudah diborgol jauh sebelum Gerald membawanya ke pondok terpencil tersebut. Selama ini, dia sudah dibelenggu oleh masalah lu. Eh sori, maksudnya masa lalu. Ada trauma masa kecil yang terjadi kepada wanita ini pada saat dia masih berusia dua-belas tahun, menonton gerhana bersama ayahnya. Secara esensi, ini jauh lebih besar daripada cerita orang yang ingin bebasin dari kuncian rantai metal. Journey sebenarnya adalah soal Jess melepaskan diri dari ikatan mentalnya sendiri, di mana kebenaran tertutup oleh bayangan ketakutan dan penolakan. Seperti bulan menutup matahari. Gerald’s Game adalah CERITA MENYERAMKAN TENTANG PENEMUAN DIRI yang diceritakan lewat tutur yang elok. Pada intinya tentang wanita dengan masa lalu yang sangat mengerikan yang selama ini selalu ia tutupi karena menyangka bahwa dirinya turut bersalah atas kejadian tersebut. Terborgol di kasur dengan maut siap menjemput, menyediakan banyak waktu buat Jess berefleksi. Mengunjungi kembali masa-masa traumatis tersebut sehingga akhirnya dia sendiri menyadari kenapa dia menjadi seorang dirinya sekarang.

Karenanya Jess, after all that times, belum lagi bebas. Repressing memory hanya berdampak kepada pikiran kita tidak akan pernah menganggap semuanya berakhir.

 

Bukan berarti penampilan yang lain bisa dilengoskan begitu saja. Seperti halnya Carla Gugino, pemeran Gerald; Bruce Greenwood, juga mesti mempersembahkan dua karakter dalam satu tokoh yang sama. Setelah terborgsol beberapa jam dan mulai dehidrasi, Jess mulai berhalusinasi. Dia melihat versi hantu dari sang suami yang terus bicara kepadanya. Mengompori pikiran-pikiran buruk Jess. Sebagai mekanisme pertahanan dari ini, Jess mempersonifikasikan sisi optimis dan kebaikkan di dalam dirinya menjadi sosok dirinya sendiri yang bebas, dan lebih kuat. Percakapan tiga orang ini yang akan bikin kita mantengin layar, mempelajari backstory, berusaha mengenal siapa sebenarnya Jess. Dan untuk itu, Gugino dengan meyakinkannya memainkan dua tokoh yang berlawanan, dan begitu juga Greenwood yang tampak menacing sebagai hantu Gerald yang to the point mengungkit kenangan terburuk Jess. Pribadi yang sangat berbeda dengan Gerald yang asli.

dan tadinya kupikir Chiara Aurelia beneran baru berusia 12 tahun

 

Ketika menggarap adaptasi sebuah novel, kita kudu memfokuskan kepada tujuan bahwa produk akhirnya akan seakurat dan setaat mungkin dengan sumber aslinya. Penyesuaian dan perubahan  kreatif tentu saja harus dilakukan, karena film enggak sama dengan buku. Kuncinya adalah perubahan tersebut adalah untuk peningkatan yang kurang bekerja, dan tidak mengubah apa-apa yang enggak salah pada sumber asli. Mike Flanagan paham betul ini. Sama seperti dia juga paham bahwa horor yang sebenar-benar horor adalah bukan menakut-nakuti penonton semata, ataupun soal gila-gilaan twist belaka. Horor sejati adalah soal mempersembahkan karakter ke dalam situasi mengerikan yang bisa direlasikan oleh penonton, enggak peduli seberapa supernatural ataupun realistisnya situasi tersebut. Karakter dalam situasi, di mana karakternya akan beraksi baik fisikal dan psikologis berusaha keluar dan mengalahkan situasi horor yang menjangkiti dan siap menelan.

Setiap lapisan cerita pada Gerald’s Game dibangun dengan cermat. Editing film ini sangat mulus menggabungkan adegan masa kini dengan adegan masa lalu. Flashback tidak bisa dihindari di sini, dan Flanagan mengolah flashback menjadi sebuah device development penting untuk karakter Jess. Yang ultimately merangkai narasi dengan kohesif. Ada banyak visual yang sangat unsettling dan benar-benar surreal saat matahari terbenam. Pertemuan Jess dengan sesosok raksasa pucat yang menyandang tas berisi tulang-tulang akan membuat kita bertanya mana yang nyata, mana yang hanya di dalam kepala. Aku masih merinding setiap kali layar bergelora oleh cahaya merah, menandakan keadaan jiwa Jess dalam kondisi yang paling rapuh. Namun, merah itu bukan sekadar metafora. Di lapisan terluar, film could get really bloody. Sehingga kita tidak punya zona aman ketika menonton film ini. Setiap babaknya mengandung sesuatu yang menakutkan nan disturbing.

repressed memoriku soal gajadi milih jurusan psikologi keluar lagi saat nonton ini -,-

 

Jikalau kita hendak ngenitpick film ini, maka yang bisa aku katakan adalah aspek cara melepaskan diri dari borgol dan aspek ending yang menyangkut si Moonlight Man enggak benar-benar plausible sebab dunia film ini terestablish sebagai dunia normal. Kedua aspek ini semacam mengakibatkan tone cerita yang enggak mash up dengan baik. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa ini adalah cerita Stephen King. Dan setiap cerita dari beliau semestinya berlandaskan kepada universe yang sama, Stephen King Universe. Dunia balas dendam personal adalah dunia di mana Stephen King adalah tuhannya. Dengan menanamkan ini di kepala, kita jadi bisa mengerti bahwa penting bagu Jess untuk bebas dengan berdarah-darah. Juga penting bagi dirinya untuk bertemu dengan Moonlight Man di akhir cerita, berkonfrontasi. Karena, seperti yang kita pelajari dari kata-kata si Moonlight Man sendiri di gedung pengadilan itu. Moonlight Man dan Jess, walaupun berbingkai kemenangan moral Jess, sesungguhnya mengalami perjalanan yang sama. Mereka sama-sama menderita, sama-sama punya sesuatu yang menutupi kebenaran personal. Tidak ada penjahat dalam cerita ini. Tidak hantu Gerald, tidak Moonlight Man. Bahkan tidak pula si anjing kelaparan yang hanyalah seekor simbol tentang seseorang yang tahu dia memiliki sesuatu namun masih mencari di tempat lain.

Kebenaran itu pedih. Menerimanya bisa menimbulkan borok mental dan fisik. Terutama kalo kebenaran tersebut ada sangkut pautnya dengan trauma dan keburukan yang menimpa diri sendiri.

 

 

 

Bukan exactly traumanya, melainkan proses yang kita lakukan terhadap trauma itulah yang membentuk siapa diri kita. Lewat penceritaannya yang tiap babak menawarkan ketakutan dan hal disturbing, film ini memberikan hembusan semangat kepada kita. Setiap kenangan yang direpress adalah belenggu yang membatasi. Pilihannya adalah terikat atau terbebas. Walau perih. Walau perih. Sori malah jadi lagu Vierra, padahal kan film ini adalah salah satu adaptasi terbaik dari novel Stephen King. Mike Flanagan sekali lagi membuktikan bahwa dia masih termasuk dalam golongan sutradara horor terbaik yang bekerja dewasa ini. Sureal dan psikologis sekali, film ini ditangani olehnya.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for GERALD’S GAME.

 

 

 

That’s all we have for now.
Film ini sudah bisa disaksikan di Netflix. Kalo ada yang mau nonton bareng dan diskusi, langsung aja datang ke markas My Dirt Sheet di kafe eskrim Warung Darurat, jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Nanti filmnya kami putarkan untuk kalian.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

DEATH NOTE Review

“I’m for truth, no matter who tells it. I’m for justice, no matter who it’s for or against.”

 

 

Sebagai seorang full-pledged nerd ada tiga hal yang kuidam-idamkan di dunia ini; surat undangan masuk Hogswart, kostum Iron Man, dan buku Death Note. Tapi kutebak, setiap dari kita pasti pernah berada di dark place of our live sehingga begitu pengen punya Death Note supaya bisa menghapus ‘masalah’ dengan gampangnya. Konsep seseorang bisa membunuh orang lain semaunya, hanya dengan mengetahui nama dan wajah diolah ke dalam perang prinsip dan mental yang sangat menantang pikiran. Aku enggak ngikutin anime ataupun manganya, but I do nonton adaptasi orisinal Jepang yang tayang tahun 2006, dan aku ngefan berat sama film tersebut. Mengenai adaptasi Amerika yang tayang di Netflix ini, aku excited sekaligus ngeri. Aku menganut kepercayaan bahwa adaptasi adalah interpretasi, demi kreativitas dan penyesuaian, sudah sebaiknya adaptasi berbeda dari source materialnya. Tapinya lagi, aku ngeri film ini jadi beda banget hingga hancur seperti Dragonball: Evolution (2009).

Anime adalah media entertainmen yang paling sering disepelekan oleh penonton. Kita kalah keren deh di depan cewek kalo ngaku suka anime, dibandingkan kalo kita bilang suka film action. Padahal anime punya pengaruh yang sangat gede buat perfilman dunia, apalagi perfilman Amerika. The Matrix aja berkiblat ke Ghost in the Shell. Maka, ketika anime-anime itu disadur ke layar lebar, mereka akan mendapat penyesuaian supaya ide cerita dan konsep yang menarik dapat diterima oleh masyarakat yang lebih luas. Jadi, ya aku mengerti serta sudah mengharapkan bakal menjumpai banyak perubahan; latar, peatau mungkin sudut pandang, antara Death Note versi Netflix dengan versi orisinalnya.

Cowok SMA jenius bernama Light Turner (versi Light yang lebih ‘cengeng’ dimainkan oleh Nat Wolff) memungut buku hitam yang jatuh bersama air hujan dari langit. Buku yang bisa membunuh siapapun yang namanya tertulis di sana. Light lantas disapa oleh Shinigami Ryuk si empunya buku. Ryuk (suara Willem Dafoe adalah salah satu hal terbaik di sini) menggebah Light untuk menggunakan kemampuan buku ajaib tersebut demi ‘kebaikan’. Dengan kemampuan ini, Light eventually menjelma menjadi persona yang dikenal orang sebagai Kira; anonim yang membunuhi penjahat-penjahat tak tersentuh hukum di seluruh dunia. Kira boleh saja dipuja sebagai dewa, namun pembunuhan tetaplah pembunuhan. Seorang detektif muda yang sangat brilian muncul dan menangani kasus Kira. Dan mind games kucing-kucingan di antara Kira melawan L (Lakeith Stanfield sebagian besar memainkan mannerism eksentrik tokoh ini) pun dimulai.

Setiap orang yang berpikir benar akan melakukan tindakan yang benar. Implikasi di balik cerita buku yang bisa membunuh orang dengan hanya menuliskan nama sambil mengingat rupa si target sesungguhnya adalah bahan pemikiran yang benar-benar menarik. Kira dan L sama-sama berjuang demi kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Masing-masing percaya bahwa kebenaran versinya lah yang hakiki. Tidak ada hitam dan putih di dunia yang penuh oleh orang-orang jahat.

 

Sukurnya, film ini enggak separah Dragonball: Evolution. Kita bisa merasakan usaha dari sutradara Adam Wingard, ia tidak sekadar memasukkan elemen-elemen signature Death Note ke dalam satu jam empat puluh menit. Film ini masih kompeten meski memang beberapa pilihan style, artistik, juga musik terasa aneh dan benar-benar di luar karakteristik cerita yang dark seperti begini.  Aku mengerti mereka ingin membawa cerita yang kompleks ini menjadi lebih ramah buat ke pasar Amerika. Oleh karena itu, pilihan castingnya bisa dimaklumi. Sayangnya, pengertian lebih ramah buat pasar Amerika itu berarti  menyederhanakan sehingga malah merubah drastis beberapa hal yang justru adalah kekuatan dari konsep Death Note.

Light merancang episode Final Destination

 

 

Perbedaan yang bisa langsung kita dengar adalah Death Note kali ini SANGAT ‘RIBUT’. Menjelang akhir  banyak sekuens kejar-kejaran yang sama sekali tak terasa lagi bobot drama ceritanya. Ada perbedaan signifikan antara elemen kematian. Merasa meninggal mendadak oleh serangan jantung enggak serem-serem amat buat penonton, film ini malah membuat setiap korban Kira meninggal dengan sangat brutal. Darah muncrat dan potongan tubuh jadi andelan. Kira adalah yang paling menderita. Mereka basically membagi dua karakter Kira orisinal ke dalam dua tubuh; Light dan Mia (padanan Amane Misa diperankan oleh Margaret Qualley). Dan ini benar-benar melemahkan Light sebagai tokoh utama. Tokoh ini tidak lagi kompleks. Dia berubah menjadi remaja tipikal film-film Hollywood. Light dalam film ini diajarkan oleh Ryuk, baik dari penggunaan buku maupun cara menjadi persona ‘Kira’. Keputusan yang dibuat Light semuanya kalah kuat dibandingkan dengan keputusan-keputusan Mia regarding penggunaan Death Note. Reaksi Light saat pertama kali melihat Ryuk konyol banget, dia seperti seorang yang penakut dan no business megang title Kira. Dan oh ya, sepertinya aku lupa bilang kalo Light di sini menggunakan Death Note supaya dia bisa pedekate sama Mia.

Yea, aku bisa mendengar teriakan protes kamu-kamu semua. Death Note ngeskip begitu banyak adegan-adegan penting yang integral dengan kehidupan Light. Kita hanya dapat montase sekilas. Bahkan jika kalian belum pernah denger tentang Death Note, ataupun baru sekali ini nonton Death Note, kalian akan mendapati perubahan Light dari yang tadinya anak sekolahan menjadi Kira sang Dewa Penghukum yang punya pengikut tak-sedikit sangat abrupt. Film pun tidak pernah benar-benar memperlihatkan intensnya mind games antara L dengan Kira. Sebagai perbandingan; Dalam versi Jepang, Light dan L pertama kali duduk ngobrol sambil mereka main catur, percakapan mereka berdua sangat subtil, L berusaha menebak apakah Light adalah Kira dan sebaliknya, Kira ingin membongkar nama asli L. Percakapan mereka sangat tenang, namun kita bisa merasakan ketegangan. Adegan tersebut diakhiri dengan Light ngskak mat L. Dalam film Death Note kali ini, L dan Light bertemu di meja kafe. Perbincangan mereka penuh emosi, tuduh dan sangkal-sangkalan dengan nada-nada tinggi. Berakhir dengan L menyapu piring-piring di atas meja ke lantai. Benar-benar berbeda dengan karakter asli mereka, dan sesungguhnya ini adalah perubahan yang enggak perlu.

Aku lebih suka dengan Mia, dia membuat pilihan cerdas dan beraksi lebih seperti Kira dibandingkan si Kiranya sendiri. L memberikan warna berbeda dari segi penampilan, dengan karakter yang kurang lebih sama: introvert nyentrik yang suka banget makan permen. Namun, menjelang akhir L lepas kontrol emosi dan tidak lagi seperti L. Ada konflik yang digali mengenai dia yang enggan membunuh, tapi tetap saja tidak membuat kita lebih peduli lantaran bobot drama yang tidak mampu bertahan oleh keputusan penceritaan. Penyelidikan L di sini juga relatif gampang, karena Kira diberikan background keluarga yang berbeda. Dari latar belakang tersebut, sesungguhnya L  (atau bahkan kita, jika disuruh jadi detektif) bisa dengan gampang menebak siapa Kira hanya dengan menyimak korban pertama. If anything, Ryuk adalah tokoh yang membuat kita bertahan. Jika versi aslinya, Ryuk adalah Shinigami yang bosan sehingga dia ‘main-main’ ke dunia manusia, maka Ryuk dalam film ini sudah seperti Jimmy Jangkrik bagi Light. Wujudnya juga awesome, kita harusnya melihat tokoh ini lebih banyak.

“We could change the world.” “We? Maksudnya kita berdua?” cue suara cie cieeeee

 

 

 

Seharusnya ini adalah cerita yang gelap dengan tema moral yang kaya. Adaptasi memang perlu untuk melakukan perubahan sebab adaptasi adalah interpretasi yang baru terhadap suatu sumber. Hanya saja ada perbedaan tegas antara mengambil sudut pandang ataupun mengubah angle dengan menyederhanakan materi sehingga kehilangan esensinya. Film ini melakukan yang kedua. Pilihan musik yang gak cocok, adegan dansa, plus slow-motion, mengubah dari apa yang mestinya cerita kucing-kucingan menjadi drama romansa yang melibatkan buku aneh pencabut jiwa. Bahkan ketika kita ingin menganggap film ini lepas dari universe Death Note pun, film tidak bekerja dengan baik lantaran menggunakan montase ngeskip-skip bagian yang semestinya diperlihatkan kepada kita. Yah, kupikir apel pun akan susah segar lagi jika dibawa dari Jepang ke Amerika.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEATH NOTE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KIDNAP Review

“When I grow up, I’ll be a man like Mom.”

 

 

Kasih anak sepanjang jalan. Kasih ibu sepanjang masa. Well, dalam film ini Halle Berry membuktikan kasih sayang sepanjang masanya dengan desperately mengejar penculik anaknya, ngebut-ngebutan di sepanjang jalan tol.

Sembilan-puluh menit sensasi menegangkan mestinya bisa kita alami bareng Halle Berry yang hari itu lagi sial banget. Dia memerankan tokoh bernama Karla. She’s a single mom yang lagi ngurusin perceraian. Di tempatnya bekerja sebagai waitress – kafe paling enggak bersih seAmerika, setidaknya menurut salah satu pelanggan cerewet – Karla dibuat repot karena temen waitressnya enggak masuk kerja. Di sini karakter Karla diset up, kita lantas paham bahwa dia enggak akan nerimo diperlakukan rendah, that she doesn’t take shit from anybody. Karla akhirnya bisa refreshing jalan-jalan ke taman bareng anaknya, Frankie. Kita melihat betapa dekat mereka. Kita bisa merasakan naluri ibu pelindung Karla semakin teramplify oleh perceraian, dia enggak mau pisah ama Frankie. Dan di momen itulah, Frankie justru diculik oleh seseorang (atau sekelompok). Basically, film enggak pake ngerem berubah menjadi full adegan kejar-kejaran.

Lebih dari sebuah misi penyelamatan, Ini adalah jalan pembuktian bagi Karla bahwa dia bisa menjadi ibu yang baik. Bahwa dia sanggup mengurus anak. At heart, Kidnap bekerja sebagai cerminan struggle seorang single mother yang menolak untuk terlihat lebih ‘rendah’ dari mantan suami. Ataupun dari pasangan suaminya yang baru. Desperate, putus asa, namun gigih. Film ini mengingatkan kepada siapapun di luar sana bahwa tidak ada yang mengalahkan tekad dan perjuangan seorang ibu yang menginginkan anaknya.

 

 

Dari konsep sendiri, ini adalah cerita yang menjanjikan. Jika diolah oleh tangan-tangan yang tepat, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian thriller yang asik sekaligus seru. This could work great, film televisi Duel (1971)  buatan Stephen King, kan, juga mirip-mirip kayak gini. Tapi struggle is real buat orang-orang di balik pembuatan film Kidnap. Halle Berry melakukan sebaik mungkin yang mampu ia usahakan. Dan that’s about the nicest thing yang bisa aku bilang untuk film ini. Penulisan plot poin serta penghalang buat tokoh Karla begitu seadanya sehingga kita terhibur juga oleh keover-the-topan yang dihasilkan. Di satu titik, Karla sengaja bikin mobil-mobil tak berdosa saling tabrakan seolah mereka cuma bom-bom car sebab dia ingin disetop oleh polisi sehingga dia bisa mengadukan kasus penculikan tersebut. Oh ya, sebagai plot device, narasi sengaja membuat hape Karla terjatuh, so yea, supaya kita dapat halangan pertama. Setelah itu, tidak banyak variasi kegiatan Karla. Dia antara berlari-lari, ataupun berdoa dan bicara kepada dirinya sendiri.

Mungkin dia juga sengaja nyala sein ke kiri terus beloknya ke kanan

 

Bayangkan film Nay (2015), gabungkan dengan Taken (2008). Tapi batasi porsi dialognya dengan hanya “Oh my god” dan “Frankie!”. Rekam dengan audio. Kemudian potong-potong adegan aksi dan kebut-kebutannya, susun ulang dengan serampangan-pokoknya-asal-cepet. Sudah? Sip, kalian sudah dapat gambaran besar tentang seperti apa film Kidnap dipersembahkan. EDITINGNYA ADALAH SALAH SATU YANG TERBURUK yang pernah kita saksikan dalam dunia sinema. Demi memancing adrenalin penonton, film ngeshot back-and-forth dengan cepat. Jarang sekali kita bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Sekuen Karla berantem cekek-cekekan seatbelt dalam terowongan adalah sekuen yang bikin mata berair, eye-tracingnya completely off. ALih-alih merasakan ketegangan, kita malah sibuk berusaha fokus, sehingga sama sekali enggak ada emosi yang kita pungut dari adegan tersebut.  Banyak informasi yang literally terpotong oleh proses editing yang kasar banget. Seperti pada akhir, kita melihat Karla dikejar anjing dan salah satu penjahat. Karla sembunyi dengan menyelam di dalam air. Kemudian dia tiba-tiba muncul dari belakang si penjahat, ada pergulatan, dan kita enggak pernah lihat apa yang sebenarnya terjadi kepada anjing galak tadi.

Ketika Karla berlari keluar dari mobil, dia setengah mati berusaha secepat mungkin ke tempat yang ia tuju, sesungguhnya ini adalah momen yang sangat intens. Namun, berkat editing horrible – alihalih pake continuous shot yang panjang, mereka malah memotongnya menjadi banyak shot – momen tersebut jadi kehilangan energi. Pilihan yang dilakukan oleh filmmakernya bakal bikin kita ngakak, dan dari sinilah letak enjoy nonton film ini datang. Beneran, kalian bisa bikin semacam drinking game atau apa dari banyaknya shot speedometer yang beranjak naik dari 40 ke 60, seolah minivan si Karla ngebut banget.

Seperti Karla yang desperate ngejar penculik anaknya, film ini desperate agar kita terhibur menontonnya. Ia gunakan trik-trik filmmaking supaya filmnya seru. Eh malah jadi tampak konyol. To pinpoint one moment in particular; dalam salah satu adegan kebut-kebutan, film ini menggunakan efek fade black dan terang lagi dengan cepet-cepet sekitar enam atau tujuh kali. Tujuannya sih supaya kita turut ngerasain tegangnya melaju dalam kendaraan yang nyaris tabrakan, akan tetapi kelihatannya malah kayak adegan di trailer film-film action. Merasa enggak cukup, film ini pun turut memakai teknik Dutch Angle. Eh, tau Dutch Angle gak? Itu tuh, teknik kamera miring atau ditilt beberapa derajat sehingga bagian bawahnya enggak lagi sejajar garis horizontal. Seperti yang biasa kita jumpai pada film-film psikologis ataupun arthouse. Teknik ini sebenernya digunakan untuk menggambarkan suasana yang eerie biar lebih dramatis. Jika karakter bingung, maka dengan diceritakan pake kamera ngeoblige kayak gini, rasa bingungnya bisa meningkat menjadi kecemasan yang luar biasa. Dalam film ini, aku tanya deh, kenapa? Kenapa momen nyeni kayak gini digabung begitu saja ke dalam action thriller klise. Dutch angle jika salah penempatan, atau dilakukan dengan enggak pas, jadinya malah konyol. Dan itulah yang terjadi pada salah satu car chase di film ini.

“You took a wrong movie!”

 

Ketika kita punya cerita yang sederhana, yang konsepnya begini basic, kita bakal enggak bisa menahan diri untuk memasukkan twist sekecil apapun yang kita bisa.  Yang tidak termaafkan adalah ketika kita memasukkan twist, dan kemudian kita merasa perlu untuk menjelaskan kepada penonton. Setelah kita melihat cerita tembak-langsung, Kidnap dengan tanpa dosanya merangkum narasinya dengan memasukkan adegan berupa suara di radio memberitakan apa yang telah terjadi. Menurutku, ini adalah salah satu bentuk penceritaan yang meremehkan intelensia penonton. Closing dengan siaran berita itu sama sekali enggak perlu.

Jika pria adalah seorang yang menyintai unconditionally,yang senantiasa melindungi dan peduli. Maka, ya, Ibu adalah seorang pria.

 

 

 

Complete failure of production. Film ini sangat berantakan. Editingnya yang parah membuat konsep thriller yang punya potensi menjadi hilang begitu saja. Tergunting-gunting di dapur studio. Sebagian besar durasi kita akan capek untuk mengikuti alur editing yang parah. Sehingga kita lupa untuk menikmati emosi dan struggle tokoh utamanya. Namun aku gak bisa bohong, aku terhibur juga dibuat oleh film ini. Pilihan-pilihan yang mereka lakukan dalam menyampaikan cerita sangat konyol.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for KIDNAP.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ANNABELLE: CREATION Review

“If your soul has no Sunday, it becomes an orphan.”

 

 

Seorang tukang kayu membuat sebuah boneka yang mirip dengan manusia. Boneka tersebut dia dandani, dia kasih baju baru. Tapi tukang kayu yang satu ini bukan bernama Pak Gepetto. Dia tidak pernah memohon kepada peri biru supaya bonekanya hidup. Apalagi supaya bonekanya membunuhi dan memakan jiwa orang-orang. Pak Mullins, instead, berdoa supaya putri kecil semata wayangnya hidup kembali. Beliau dan istrinya begitu terpukul sehingga mereka meminta kepada apa yang dijelaskan dalam babak ketiga film ini. Annabelle: Creation adalah cerita asal mula gimana boneka Annabelle dibuat dan berujung menjadi tempat bersemayam suatu entitas jahat yang menyebarkan horor ke sebuah panti asuhan, sebelum akhirnya horor tersebut menyebar ke mana-mana, sebagaimana yang sudah kita ketahui.

Kita hidup di dunia di mana setiap studio film gede kepengen punya Dunia-Sinema sendiri. Ada superhero universe, monster universe, dan sekarang kita punya Conjuring Universe. That’s just a thing now. Indonesia juga sepertinya bakal punya juga; Doll Universe atau entah apa lagi yang diperkirakan bisa meraup untung gede. Buat Conjuring Universe katanya kita bakal dapat backstory dari masing-masing tokoh hantu, kayak Annabelle, The Crooked Man, dan Valak. Beginilah tren sekarang, kita harus menerimanya. Meski memang, dalam kondisi normal aku enggak akan pernah berpikir cerita origin Annabelle benar-benar penting untuk kita ketahui. Ini semacam prequelception, film ini adalah cerita prekuel dari film pertama yang merupakan prekuel dari The Conjuring (2013), jadi ya mindset saat masuk nonton adalah memang siap-siap melihat wahana cash grab banget.

But actually, wow, Annabelle: Creation bakal bikin malu film pertamanya. Bukan sekedar horor ngagetin. It is fun and very enjoyable, lore Annabellenya sendiri digali dengan baik, cara mereka mengaitkan film ini dengan yang pertama keren banget, dan saat film berakhir, aku ingin tepuk tangan. So yea, perihal movie-movie cash grab kayak gini – yang fokusnya bangun universe, saranku ya memang udah trennya. Give it a chance. Stop fighting it, just give in to it…

I don’t know why I’m quoting a rapist

 

Studio yang membuat film horor mainstream harusnya bisa terbuka matanya oleh film ini; bahwa HOROR MAINSTREAM BISA KOK DIBIKIN BAGUS. Kuncinya ya di keahlian pembuatnya. Film horor selalu adalah cerminan talenta sutradaranya. Arahan seperti apa yang bisa ia berikan untuk memancing rasa takut bergentayangan dalam diri kita, penontonnya. Untuk menghimpun scare tanpa memberikan banyak waktu untuk kita melepaskan rasa takutnya dengan kaget dan bernapas lega. David F. Sandberg  memanfaatkan teknik pencahayaan dan pembangunan suspens serupa seperti yang ia lakukan sebelumnya dalam Lights Out (2016), horor yang juga berhasil menangkap ide sederhana dan menggubahnya dengan cerdas dan inventif.

Rumah yang dijadikan panti itu dijadikan kembali oleh sutradara sebagai sebuah tool-box of horror. Kita bisa lihat geliat kretivitasnya bekerja around trope-trope scare penghuni yang kejebak di rumah yang ada hantunya, dan hasilnya memang menghibur. Sandberg mengerti betul dua aspek paling penting untuk diperhatikan ketika seorang sutradara membangun suspens. Sinematografi dan design suara. Banyak scares yang fun akibat dari penggunaan kamera, atmosfer, dan suara yang efektif. Jikapun ada gore, maka darah-darah itu dilakukan dengan subtil dan sangat singkat. Secukupnya, enggak seperti pada The Doll  2 (2017) yang babak berdarahnya begitu horrifying sehingga menyemenkan genre lain di luar yang kita kira. Kita tidak terlepas dari cerita oleh efek dan segala macam gimmick berdarah di sini.

Annabelle: Creation juga punya kesamaan dengan Ouija: Origin of Evil (2016). Keduanya sama-sama cerita yang berangkat dari objek biasa yang jadi angker lantaran dihantui. Keduanya sama-sama membahas asal mula kenapa bisa terjadi. Keduanya sama-sama surprisingly jauh lebih bagus dari film pertama mereka. Eeriely enough, keduanya sama-sama menampilkan aktor cilik Lulu Wilson, yang penampilan aktingnya stand out banget pada masing-masing film. Kita akan mengikuti Lulu Wilson yang berperan sebagai Linda dan temannya bernama Janice (dimainkan dengan tak kalah totally amazingnya oleh Talitha Bateman, yang nanti gedenya mirip Dahlia Poland, nih). Janice yang pincang dan Linda adalah sobat karib, mereka udah lama bareng di panti asuhan. Mereka berharap mereka bakal diadopsi bersama, jadi saudara beneran, mereka sering membicarakan harapan ini, dan membuat tokoh mereka jadi punya kedalaman. Dan terutama kita jadi tumbuh rasa peduli, kita ingin melihat impian mereka berbuah manis. Jadi,kita punya karakter, tokoh film ini bukan sebatas anak kecil yang suka main boneka. Mereka tidak diberikan skrip dan arahan sekedar ngeliat hantu ataupun bicara sendiri. Ini lebih dari gangguan hantu di malam hari. Ada set up drama. Persahabatan mereka diuji oleh kehadiran si roh jahat. Ketika hal mulai menjadi semakin serius dan semakin mengerikan menuju ke babak tiga, kita akan terinvest sepenuhnya kepada nasib kedua anak.

Hantu akan lebih mudah mengganggu orang-orang yang imannya lemah. Akan tetapi, Janice diganggu not necessarily karena dia yang paling lemah secara iman maupun secara fisik. Hantu dan anak yatim piatu seperti Janice punya kebutuhan yang sama; Rumah.

 

Aku jadi kepikiran untuk bikin semacam jumpscare meter setiap kali ngereview film-film horor. Buat film ini, itungan jumpscarenya tinggi banget di paruh awal. Ada banyak momen yang kayak ngebuild ke sesuatu untuk kemudian diikuti oleh suara yang lantang. Flaw ini jika ditelusuri sepertinya musababnya adalah skrip yang enggak kuat-kuat amat, terutama di bagian awal. Film menyediakan ruang untuk set up sehingga ceritanya terasa lambat, dan untuk mengakali ini mereka merasa perlu untuk memasukkan jump scare supaya penonton enggak bosan. Langkah yang bisa dimengerti, namun tetap bukanlah pilihan terbaik. Tadi aku sempat nyebutkan cerita terselesaikan dengan keren; tokoh-tokoh mendapatkan apa yang mereka mau, bahkan Annabelle ‘reuni’ dengan bonekanya – tie in cerdas ke Annabelle (2014) dan urban legend Annabelle yang asli, which is a good thing. Aspek yang sedikit goyahnya adalah pergantian sudut pandang  selama narasi. Kayak ada pergantian tokoh utama. Ini sebenarnya adalah resiko kreatif penceritaan yang diambil, karena biasanya kalo ganti-ganti begini paling enggak ada benang merah atau keparalelan pada arc tokoh-tokoh. Narasi film tidak memparalelkan semua, hanya beberapa tokoh. Meski begitu aku tetep bisa respek film ini karena film ini nunjukin mainstream horor bisa kok diolah dengan baik dan enggak melulu dominan oleh cheap scare.

tag, you’re it!

 

 

Horor dengan scare yang bagus, walaupun di paruh awal terlalu mengandalkan kepada jump scare. Arahan dan performance akting yang kuatlah (terutama dari aktor-aktor cilik) yang membuat film ini menjadi menyenangkan. Bikin kita terinvest. Dan secara konstan merepet di sudut kursi masing-masing. Horor mainstream ternyata mampu diolah menjadi bagus di tangan filmmaker yang handal. Prekuel dari prekuel enggak setiap hari adalah sesuatu yang jelek. Film ini dapat menjadi Teladan yang baik sekaligus adalah PR berat bagi sineas-sineas tanah air, jikalau memang ingin membuat scene horor lokal yang benar-benar layak menyandang status genre signatur di film Indonesia. Sebab, seperti yang disenggol oleh film ini, hantu juga ingin punya rumah.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for ANNABELLE: CREATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

DUNKIRK Review

“We shall fight on the beaches

 

 

Bayangkan dirimu seorang serdadu Inggris yang terjebak dalam perang, empat ratus ribu pasukanmu dipukul mundur hingga ke garis pantai. Tempat di mana kalian menunggu untuk evakuasi. Hanya saja kondisimu itu sama aja seperti bebek yang berenang di dalam baskom; setiap detiknya kalian dalam bahaya ditembaki oleh pemburu, yang dalam perang ini adalah pesawat angkatan udara Jerman. Jadi tentu saja kalian akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Dunkirk menceritakan tentang survival perang, begitu simpel dan sungguh nyata. Dan oya, kejadian di pesisir pantai Dunkirk ini diangkat dari peristiwa dari Perang Dunia Kedua, yang tercatat di buku sejarah sebagai peristiwa ‘ajaib’ yang mengubah pandangan dunia terhadap perang.  Ajaib bahwa kemanusiaan masih ada as selain tentang gimana para tentara di daratan berusaha keluar dari pantai, ini juga menilik tentang penduduk sipil yang berjuang mengerahkan kapal-kapal pribadi demi menyelamatkan pahlawan bangsa mereka.

At one point of the movie, salah satu tokoh film ini keheranan disambut baik sesampainya di ranah Inggris. Padahal dia merasa malu, negara mereka kalah. “All we did is survive” katanya. Secara militer, memang, mereka kalah. Tapi mereka berhasil selamat dalam jumlah banyak. Mereka selamat untuk melanjutkan hari esok, and it is a glory of humanity. Karena orang-orang Inggris itu menunjukkan semangat dan solidaritas patriotik untuk bersatu, untuk menjadi kuat, melawan situasi yang sulit. Survival tidak pernah adil, dan peristiwa Dunkirk menunjukkan kemanusiaan masih punya harapan dan peluang untuk menang.

 

Sekarang, coba bayangkan, kamu berlari, loncat dari kapal, menyelam, menggapai-gapai mencari udara, dalam cemas dan harap menemukan tempat di luar bidikan bom, dan kalian melakukannya di antara seribuan lebih orang yang melakukan hal yang sama. Benar-benar tidak ada waktu untuk menghembuskan napas lega, apalagi saling menyapa dan get to know each other. Begitulah persisnya film Dunkirk dipersembahkan. Film perang yang bagus seperti Saving Private Ryan (1998) biasanya menceritakan karakter di dalam situasi mengerikan, dan gimana mereka beraksi terhadap perang. Gimana mereka dilanda oleh dilemma. Dunkirk, however, adalah ‘HANYA’ TENTANG PERANG. The actual event. Dan bagaimana terrifyingnya jika kita terjebak di sana. Tokoh utama film ini ya bisa dibilang tentang peristiwa itu sendiri. Tentang evakuasi orang-orang. Film ini begitu in-the-moment. Dramatic impact bukan datang dari kita ngecheer seseorang untuk hidup, untuk kembali kepada keluarganya. Film ini adalah tentang manusia sebagai spesies. Tentang gimana kalo kepepet dan punya tujuan yang sama, kita bersatu. Nolan paham dia enggak perlu membahas karakter terlalu dalam, maka dia meletakkan ‘ledakan’ kepada sekuens perang yang dibuat serealistis mungkin. Dia menangkap event ini dengan sangat menawan. Mengerikan, ya memang, tapi beautiful.

Tom Hardy sukses berat nampilin emosi hanya melalui bolamatanya

 

Jadi ya, karena itulah aku memaafkan pengarakteran yang enggak digali oleh film ini. Meski aku enggak bisa benar-benar konek sama tokoh-tokoh dalam film ini, mereka tidak benar-benar punya arc, kita enggak tau backstory mereka, tapi hal tersebut enggak pernah berdampak begitu besar. Bukan hanya karena film ini dibuat oleh Christopher Nolan.  Enggak ngelebih-lebihin sih kalo aku bilang kebanyakan orang akan suka film ini lantaran ngeliat nama sutradaranya. Nolan itu udah jadi semacam brand sendiri, orang sudah hampir pasti  akan nonton setiap film yang judulnya diiringi oleh “A Christopher Nolan’s film”. This is truly a MAGNIFICENT FILM. Dunkirk menggunakan kapal-kapal asli, pesawat-pesawat tempur beneran, lokasi yang nyata – bukan greenscreen, dan sejumlah besar pemain kayak film india. Dunkirk sangat thrilling dari awal hingga akhir. Karena sedari dimulai, kita sudah langsung diletakkan di tengah-tengah battlefield. Beberapa karakter diperkenalkan dengan cepat, kita ngikutin beberapa tokoh yang berfungsi sebagai wakil dari kita. Dan walaupun mereka jarang ngomong, tidak pernah ada momen-momen hampa.

Untuk selanjutnya, keseluruhan film adalah tentang serangan. Spektakel aksinya benar-benar terlihat realistis. Semuanya terasa otentik. Tidak ada adegan pesawat meledak seperti ledakan yang sering kita lihat di film-film action Hollywood. Tembakan senjata apinya enggak terasa teatrikal. Aspek realistis inilah yang terutama membuat kita tersedot ke dalam cerita. It’s a whole gigantic battle sequence yang dibuat seolah kita ada di sana. Kita tidak mengalihkan pandang dari mereka karena kita begitu masuk oleh perjuangan mereka untuk bertahan, mengatasi segala tantangan.

Jika kalian masuk ke studio mengharapkan cerita yang linear, maka itu berarti kalian belum banyak makan garam soal perfilman.  Salah satu yang membuat karya Nolan selalu dihormati banyak orang adalah film-film Nolan juga menghormati kecerdasan penonton. Karakter boleh saja sederhana, namun tidak ada yang sederhana dari langkah penceritaan yang dilakukan Nolan pada film ini. Dunkirk membagi diri menjadi tiga sudut pandang; di pantai – ngikutin prajurit inggris, di kapal – ngikutin sipil yang mau bantu nyelametin tentara, dan di pesawat – ngikutin Tom Hardy yang berusaha menghalau pesawat Jerman. Akan ada momen ketika kita bingung “loh yang ini kok udah malam, yang di pesawat tadi masih siang..?”  Narasi hanya memberi petunjuk berupa waktu; seminggu untuk pantai, sehari untuk kapal, dan sejam untuk pesawat. Penceritaan film ini seperti soal matematika di sekolah dulu; ada kapal, pesawat, dan orang bergerak dengan waktu yang berbeda, maka kapankah mereka akan bertemu? Film ini membuild up momen sehingga ketika tiga layer waktu tersebut menjadi satu di akhir, semua akan terasa wah. Editing film yang apik turut membuat kita enggak pernah terlepas dari cerita, pergantian-pergantian sudut pandang terasa mengalir dengan mulus.

serius deh, aku senewen akut dengar bunyi detik jam yang terus terdengar

 

Dalam perang, orang-orang tewas – terkadang mereka gugur sendirian, gugur dalam ketakutan, dengan tidak mengetahui nasibnya sendiri pada esok hari. Film ini tidak memalingkan diri dari kenyataan tersebut. Tapi selalu ada harapan. Kata-kata bisa menggerakkan satu negara. Dan film ini menggambarkan, orang-orang sipil sebagai simbol harapan dalam sebuah perang.

 

Untuk standar Nolan, memang Dunkirk adalah film yang singkat. Tapi juga sangat efektif dalam mengisi durasinya. Buatku, durasi film ini udah pas. Kalo terlalu panjang jadinya lebay, terlalu singkat malah ntar jadi kurang ngefek. Segala kengerian perang sudah berhasil digambarkan dengan baik. Kita merasakan ngerinya dikurung, tenggelam, terkunci dalam pesawat yang jatuh, diitembak blindly tanpa tahu di mana yang menembak. Meskipun enggak ada darah terlihat, enggak ada potongan tubuh berceceran, film ini bermain di ranah PG-13, kita tetap tergoncang oleh efek psikologis yang sangat kuat. Sungguh mengerikan menyaksikan karakter-karakter itu literally mencakar-cakar dan merangkak demi hidup mereka. Bahkan kepada tokoh yang pengen menyelamatkan, kita merasakan dorongan yang kuat dan ikut merasakan perjuangan dan halangan yang mereka tempuh.

 

 

 

Menangkap peristiwa bersejarah dengan sangat realistis, tidak ada satupun kejadian yang luput dari rasa otentik dan penuh ketegangan. Penceritaan non-linearnya mengantarkan film menjadi satu kesatuan yang mulus. The look of this movie is outstanding, sekuens battlenya benar-benar tergambar mengerikan, layaknya perang beneran. Dan this whole movie adalah peperangan. Sedikit hindrance adalah di bagian penokohan yang ditulis sederhana, tanpa arc dan tedeng aling-aling. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi hal yang tanked the movie, karena dampak emosional film datang dari sisi psikologikal dan feeling in-the-moment yang membuat kita merasa benar-benar ada di tengah peristiwa tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for DUNKIRK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.