MINI REVIEW VOLUME 11 (V/H/S/85, NO HARD FEELINGS, STRAYS, TOTALLY KILLER, BLUE BEETLE, PET SEMATARY BLOODLINES, THEATER CAMP, CONCRETE UTOPIA)

 

 

Harusnya sih ini edisi halloween. Tapi ternyata yang belum kutonton dan kuulas ada berbagai genre!! Jadilah aku kumpulin aja semua seperti biasa, dan ya, inilah edisi kesebelas. Dan mungkin kita akan segera bertemu di edisi berikutnyaaa

 

 

BLUE BEETLE Review

It has its charms. I mean, pusat di balik cerita superhero robot kumbang ini adalah keluarga latin, yang struggle dengan keadaan ekonomi. Dan karena berasal dari keluarga latin, kejadian seputar protagonisnya menjadi superhero pun jadi punya ‘warna’ yang berbeda. Jika biasanya superhero merahasiakan yang terjadi kepadanya dari keluarga, maka Blue Beetle berubah persis di depan ayah, ibu, adik, paman, dan neneknya sekaligus. Masalah Blue Beetle juga adalah masalah keluarganya. Bahkan ada sekuen saat justru si superhero yang kekuatannya bisa menciptakan senjata apapun yang ia bayangkan (dia pakai Buster Sword kayak Cloud di FF VII!!) yang harus diselamatkan oleh keluarganya.

Ada momen-momen lucu dari sini. Dan tentunya juga momen seru. Jika sutradara Angel Manuel Soto diberikan kreasi penuh, aku yakin film ini harusnya bisa lebih kuat lagi pada identitas dan perspektif keluarga tersebut. Sayangnya film Blue Beetle bermain aman. Tidak mau mengambil terlalu banyak resiko dengan menjadikan ini film superhero mexico. Film ini bangunan superheronya amat sangat template. Korporat jahat, pasukan militer super, villain yang kekuatannya sama dengan si superhero – only bigger dan badder. Ujung-ujungnya, nonton ini aku tetap merasa bosan. Durasi dua jam lebih itu kerasa banget karena meskipun identitasnya unik tapi yang mereka lalui, plot ceritanya, kejadiannya, terasa seperti yang udah sering kita tonton.

Jika semua studio film superhero modern main aman seperti begini, maka gak heran penonton terkena ‘superhero fatigue’

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BLUE BEETLE

.

 

 

CONCRETE UTOPIA Review

Bencana yang dipotret sutradara Tae-hwa Eom dalam Concrete Utopia bukan exactly runtuhnya tanah karena gempa. Melainkan soal runtuhnya kemanusiaan. Potret yang sangat powerful, dan bikin merinding. Digambarkan manusia bisa seketika turn on each other, saling serang gak peduli sama yang lemah, kalo urusannya udah tentang tempat tinggal. Demi menduduki suatu tempat. Lihatlah ke luar jendela, dan kita akan lihat bentuk konkrit dari yang disimbolkan oleh film ini.

Di cerita ini penduduk satu-satunya apartemen yang masih berdiri berusaha survive, bertahan di apartemen, membentuk komunitas dan aturan-aturan sendiri. Sumber makanan, obat-obatan, dan air yang sedikit membuat mereka tega mengusir pendatang yang ingin mencari perlindungan. Padahal di masa sulit seharusnya manusia bekerja sama. Gak peduli dari mana dia berasal. Film ini nunjukin dengan ironis bahwa pemimpin mereka apartemen sebenarnya juga seorang pendatang. Orang luar yang membunuh seorang penghuni apartemen sebelum bencana datang.

Eksekusi ceritanya luar biasa. Kita dibuat terus menyimak gimana komunitas ini bekerja, dengan ironi tadi membayangi di baliknya.  Akan ada banyak sekali adegan-adegan yang menghasilkan perasaan yang kontras. Terkadang memang terasa over, tapi semuanya masih bekerja dalam satu kesatuan bangunan-dunia yang senada. Dan kupikir, cara film ini mengakhiri ceritanya pun terasa puitik. Benih-benih harapan itu mereka tebar, sehingga api harapan itu masih terasa hangat.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CONCRETE UTOPIA

 

 

 

NO HARD FEELINGS Review

Ternyata Jennifer Lawrence bisa juga jadi Girl on Fire di film komedi! No Hard Feelings terasa bergelora dan penuh energi chaotic berkat penampilan komedik Jen-Law. Dia gak ragu untuk tampil total!!

Karakter yang dia mainkan, Maddie, memang bukan tipe yang mudah untuk kita kasihani. Orangnya keras kepala, cuek, dan bukan exactly tipe kakak cewek yang anggun. Sikapnya itu kemudian dibenturkan saat Maddie kepepet duit. Maddie menerima lowker dari pasangan kaya yang lagi mencari ‘pacar bayaran’ untuk anak cowok mereka yang udah mau kuliah tapi sampai sekarang belum punya pacar karena ansos dan introvert banget.

Dari sinilah komedi romantis karya Gene Stupnitsky ini jadi laen. Rootnya dari awkwardness yang timbul dari seorang tante-tante mencoba mendekati daun muda. Beberapa adegan awal cenderung hard to watch, dalam artian ngenes, tapi di situlah poin dagang film ini. Relationship dua karakter sentral berkembang, bukan lagi dari perasaan romantis yang dibuat-buat, tapi jadi genuine hubungan yang saling mendewasakan. Rasanya sudah jarang kita dapat suguhan ringan, tapi juga nekad serta nyeleneh.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO HARD FEELINGS

 

 

 

PET SEMATARY: BLOODLINES Review

Kok ya aku jadi agak kasian sama Stephen King. Tahun ini dua ceritanya dikembangkan menjadi film yang benar-benar sebuah adaptasi lepas. Dan kedua film itu tidak benar-benar bagus. Pertama, The Boogeyman, yang malah melanjutkan cerita asli King dengan karakter-karakter baru. Dan sekarang, Pet Sematary: Bloodlines, yang mengambil posisi sebagai prekuel dari cerita asli; thus film ini mengarang bebas dari karakter-karakter yang sudah ada. Sedikit banyak mengubah mereka. Sesuatu yang sama sekali tidak perlu.

Sebenarnya sutradara Lindsey Anderson Beer masih respek. Dia berusaha mengarahkan dan menuliskan cerita ini semirip mungkin dengan vibe cerita-cerita King. Kota kecil dengan penghuni yang turun temurun menempatinya dijadikan pusat cerita. Karakter-karakter penghuninya – Judd muda dijadikan protagonis cerita – berusaha dikembangkan. Premis tanah yang semua makhluk yang dikuburkan di dalamnya bakal balik jadi makhluk jahat, coba diperdalam. Dipersonalkan. Film ini nyaris setengah berhasil melakukan itu semua.

The best thing yang bisa kubilang untuk film ini adalah dia seperti fan-fic yang bland. Sampai ke aspek horornya pun nanggung. But it’s okay. Masih bisa jadi tontonan pengisi waktu-lah, sebenarnya. Namun semua itu diperparah oleh hal-hal yang diretcon. Hal-hal yang beda ama materi aslinya. Jadinya film ini konyol aja, jadi kayak ngada-ngada.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY: BLOODLINES

 




STRAYS Review

Ngomong-ngomong soal pets, nah ini baru film tentang hewan peliharaan yang benar-benar serasa seperti sebuah perjalanan liar!

Paling tepat ya menyebut komedi garapan Josh Greenbaum ini sebagai film anjing. Karakternya 95% live-action anjing, dan tingkah mereka pun benar-benar anjing. Sepertinya memang film ini terutama memparodikan film-film tentang anjing peliharan yang kebanyakan bicara tentang persahabatan anjing dengan manusia. Di film ini, yang ditekankan adalah persahabatan antara sesama anjing, dan mereka mau balas dendam sama owner yang sudah menelantarkan si karakter utama. Dan para anjing dan komedi di sini vulgar dan raunchy abis. Ini bukan tipe film yang diputar untuk ditonton bareng keluarga.

Tapi bukan berarti film ini enggak punya hati. Yang dialami Reggie sebagai anjing peliharaan, sebenarnya menyedihkan. Pemiliknya sebenarnya gak suka sama dia. Tapi Reggie terjebak dalam somekind of toxic relationship yang membuat dia merasa pemiliknya akan sayang, kalo dia nurut. Udah dibuang pun, dia ngerasa pemiliknya lagi ngajak main. Reggie dealing with perasaan ini yang jadi bobot dramatis film. Karena bahkan kita manusia bisa terjebak toxic relationship. Tonenya boleh aja agak random, tapi film ini lebih dari sekadar komedi jorok – yang sebenarnya juga berusaha dijustify oleh film dengan menjadikan dirinya sebagai parodi film anjing. Bahwa anjing itu ya, anjing. Dan manusia bisa lebih anjing lagi,

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for STRAYS

 

 

 

THEATER CAMP Review

Agak susah mutusin film ini satir tentang komunitas camp teater, atau surat cinta terhadap mereka. Tapi boleh jadi, inilah bentuk tertinggi dari sebuah passion dan kecintaan; mampu menertawakan sekaligus menceritakannya dengan penuh hangat. Theater Camp karya Molly Gordon dan Nick Lieberman akan ikut membuat kita jatuh cinta, meskipun kita bukan teater geek seperti mereka.

Karena pada hatinya, film tentang influencer yang terpaksa menjalankan summer camp teater milik ibunya ini bicara tentang hal yang relate. Yakni tentang tempat bagi anak-anak – bagi orang-orang yang not really fit in di kehidupan sosial yang ‘normal’. Tentang orang-orang yang menemukan rumah dan keluarga, dan mereka harus menyelamatkan rumah mereka bersama-sama. Duh, lagu ‘Camp isn’t Home’ yang jadi adegan musikal pamungkas film ini sukses bikin emosiku jumpalitan.

Banyak karakter di cerita ini. Permasalahan mereka punya benang merah yaitu dilema antara stay di sana atau tidak. Antara bertahan di passion dan mengejar mimpi, atau ‘menyerah’ kepada realita. Film mengambil posisi yang sangat berimbang, tidak menghukum, mengolok pilihan manapun. Semuanya diserahkan kepada penonton, untuk ikut memilih. Komedi film ini juga dituliskan dengan mumpuni. But I do think, film ini bisa menjangkau lebih banyak penonton lagi jika eiher durasinya dipanjangin supaya penonton in general bisa  mengenal masing-masing mereka lebih lama, atau fokusnya agak dirapatkan ke satu karakter secara khusus.

The Palace of Wisdom gives 7.5  gold stars out of 10 for THEATER CAMP

 

 

 

TOTALLY KILLER Review

Premis film ini ngingetin aku sama filmnya si Taissa Farmiga, The Final Girls (2015) – duh, jaman2 masih ngereview di Path haha. Kalo di film tersebut protagonis ceweknya tersedot ke film slasher tahun 80an yang dibintangi ibunya dan berusaha mencegah karakter ibunya mati, sedangkan di karya Nahnatchka Khan ini, ceritanya tentang protagonis cewek remaja yang kembali ke masa lalu untuk menggagalkan rencana seorang pembunuh berantai yang membunuhi ibu dan teman-teman ibunya di SMA. Kedua film tersebut sama-sama mengandalkan referensi film 80an sebagai bumbu di balik bunuh-bunuhan. Tapi di Totally Killer, referensi yang digunakan gak sebatas pada film horor.

Dari Back to the Future ke Halloween ke film-film remajanya John Hughes, Totally Killer bakal totally bikin kita tetep have fun bernostalgia sambil jejeritan, dan ikut menebak-nebak pembunuh seperti saat nonton Scream. Toh naskah film ini gak cuma berisi referensi sana-sini. Kecerdasan penulisan ditunjukkan dari konsep time travel dan gimana mereka menggunakan kesempatan itu untuk membandingkan dengan kocak antara remaja jaman dulu dengan remaja jaman sekarang.

Gimana Jamie heran di 80an orang-orang pada selow ngata-ngatain orang, sekolah yang pengamanannya nyante. Apa-apa gak ribet kayak di 2023. Tapi sekaligus juga memperlihatkan ke kita gimana selownya orang jaman dulu sama ternyata bisa berdampak pada anak jaman sekarang. Film ini did a great job ngangkat diskursus soal kebiasaan sosial pada dua era berbeda – meskipun ini sebenarnya horor komedi yang dibuat sebagai tontonan ringan. Ini lantas  terefleksi juga kepada film. Film jaman sekarang, seperti film ini sendiri, cenderung harus jadi ribet dibandingkan horor jaman dulu yang cukup bunuh-bunuhan saja. Pertanyaannya dioper ke kita nih sekarang, jaman mana yang lebih baik?

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for TOTALLY KILLER

 

 

 

V/H/S/85 Review

Franchise V/H/S/ tampaknya sudah resmi jadi staple penggemar horor setiap halloween. Tahun ini mereka ngeluarin lagi, dan tema besar kali ini adalah video-video horor, snuff film, dan rekaman ganjil dari tahun 1985.

Sebagai antologi cerita, at least V/H/S/ semakin kreatif dalam menampilkan atau menempatkan lima horor pendek. Kali ini film ini bermain-main dengan urutan. Ada cerita yang displice jadi dua bagian supaya kita makin penasaran. Dan karena cerita-cerita ini random, nonton film ini ada sensasi masuk ke something unknown yang menambah minat kita ngikutin sampai habis.

Lima horor pendek dalam film ini sendiri, menurutku tidak terlalu seram. Sebagian besar gak benar-benar ngasih sesuatu yang baru juga, meskipun memang mereka berusaha menghadirkan kesan cerita itu memang direkam tahun 85. Kayak cerita tentang virtual reality, yang dihadirkan dengan gaya monolog seseorang lagi perform di teater. Komedi atau satir cerita tersebut works karena dibuat (dan ditonton) oleh yang tau sekarang teknologi ada di mana, dan gimana masyarakat menggunakannya. Pada akhirnya segmen cerita ini adalah showcase horor gore yang memang jadi ciri khas horor 80an.

Ada juga segmen yang bermain-main dengan premis Pet Sematary – yang di tahun 85 itungannya masih novel horor yang baru booming. Sekelompok pemuda pemudi main di danau, lalu mereka ditembaki seseorang misterius, dan yang mati di danau bisa hidup kembali, kayak di cerita Pet Sematary. Segmen ini sebenarnya sangat fun, tapi sayangnya terlalu singkat. Apalagi bagian keduanya, yang melibatkan satu keluarga dengan perayaan sinting. Terlalu singkat, membuat kita pengen lebih. Segmen Rory yang dijadikan pembungkus semua cerita, juga terlalu singkat padahal kisah creature-nya sudah bikin penasaran.

Segmen favoritku adalah Dreamkill, yang melibatkan seorang detektif yang berusaha memecahkan kasus aneh. Serangkaian kasus pembunuhan yang serupa dengan video-video rekaman yang ia tonton seminggu sebelumnya. Kayaknya jarang segmen di V/H/S/ yang ngasih horor surealis kayak gini. Sedangkan segmen yang paling tak kusuka adalah God of Death, terinspirasi dari gempa Mexico di tahun 85. Buatku segmen ini kepanjangan dan annoying kameranya bikin pusing.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/85

 




That’s all we have for now

Empat film horor dari list ini menurutku sangat cocok untuk dijadikan maraton horor tahun ini.  Bahkan Concrete Utopia bisa ditambahkan, mengingat basically itu adalah horor kemanusiaan yang relevan dengan keadaan sekarang. Bagaimana dengan kalian, apa list tontonan halloweenmu tahun ini? Share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SAW X Review

 

“It’s not life or death, it’s a game”

 

 

Halloween adalah tradisi. Bagi orang luar yang merayakan dengan acara trick or treat. Sedangkan bagi kita penggemar film, dulu saat halloween kita punya tradisi nonton franchise Saw di bioskop! Aku yakin adegan-adegan sadis dari alat dan permainan mengerikan dalam film-film Saw pasti ada yang membekas banget di ingatan kita masing-masing. Well, tahun ini, tradisi itu bisa kembali kita rayakan karena they made a new Saw movie. Kevin Greutert, yang biasanya mengedit film-film Saw dan dulu pernah menyutradarai beberapa, kembali duduk di kursi sutradara. Dan langkah besar yang ia lakukan adalah… eng ing eng membuat John Kramer menjadi protagonis cerita! Dia membuat film yang franchisenya dikenal sebagai torture porn ini menjadi lebih sebagai sebuah perjalanan personal dari John Kramer yang mencari kesembuhan dari kanker yang ia derita. And by doing so, Kevin literally membuat film ini sebagai Tobin Bell‘s acting clinic!!

Yeah, akhirnya setelah sekian tahun, setelah sembilan film, ada sineas yang nekat benar-benar menjadikan bintang dari franchise ini – si John Kramer, dalang di balik Jigsaw, yang diperankan dengan ikonik oleh Tobin Bell – sebagai tokoh utama. Di film horor memang biasanya karakter penjahat selalu lebih ‘superstar’, lebih diingat oleh penonton, ketimbang karakter utama. Karakter penjahat – dalam kasus genre horor biasanya adalah sosok monster, hantu, atau psikopat – diposisikan sebagai tantangan terberat yang harus diovercome oleh si hero. That way, mereka yang sebagai antagonis jadi lebih berkesan dari protagonisnya. Bertahun-tahun kita kagum sama John Kramer. Sama kejeniusannya merancang alat-alat mematikan. Sama kecerdasannya ‘menebak’ yang bakal dilakukan korbannya (sehingga membuat film-film Saw punya twist unik). Sama prinsip dan pandangannya terhadap manusia dan pilihan hidup. Kramer selalu memilih orang-orang bobrok dengan moral yang rusak sebagai calon korban. Dan dia tidak membunuh mereka. Melainkan Kramer membuat mereka memainkan game hidup-mati, sebagai bahan pelajaran bagi mereka. For the victims niscaya akan survive kalo ngikutin aturan permainan death trap, yang seringkali seputar mereka menyadari kesalahan personal masing-masing. Menurut Kramer, dia adalah semacam seorang motivator. Aspek inilah yang digali oleh Saw X. Dari sinilah mereka mengambil sudut untuk membentuk Kramer, kali ini, sebagai protagonis cerita.

I would tell children that this is Eminem

 

Mengambil timeline antara kejadian di film pertama dengan film kedua, Saw X bercerita tentang masa-masa John Kramer lagi down berat karena kanker yang ia derita. Hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Di saat itulah, Kramer mendengar tentang suatu pengobatan eksperimental di Mexico. Dia mendaftar ke sana, dan terpilih oleh Dr. Cecilia sebagai pasien mereka berikutnya. Kramer pikir operasi mahal dan rahasianya di sana itu berhasil. Kramer sudah siap untuk memulai hidup barunya, aku pikir kesembuhannya itu membuat dia bakal meninggalkan kota Mexico sebagai totally jadi orang baik. Tapi Kramer ditipu. There was no pengobatan eksperimental. Yang ada, Kramer harus kembali menjadi ‘motivator hebat’ buat Dr. Cecilia dan semua krunya. Supaya mereka tobat, kembali ke jalan yang benar, lewat proses yang luar biasa menyakitkan.

Tahun lalu kita dapat film Orphan: First Kill (2022) yang berusaha melakukan hal yang sama. Menjadikan antagonis franchisenya seorang protagonis. Film tersebut mati-matian membuat kita bersimpati kepada Esther, sosok yang di film originalnya adalah seorang psikopat; wanita dewasa yang nyamar jadi anak-anak, dan merusak rumah tangga keluarga yang mengadopsinya. Film tersebut gagal memantik simpati yang genuine dari Esther, lantaran mereka hanya sekadar menghadirkan sosok yang lebih jahat sebagai antagonis di arc Esther, seolah dengan kehadirannya Esther otomatis jadi korban lemah di tangan yang lebih kuat. Film tersebut tidak menggali ataupun menetapkan moral compass Esther sedari awal (like, waay awal di film pertama). Saw X bisa berhasil menjadikan Kramer protagonis karena penonton sudah tahu di mana karakter ini berpijak. Bahkan ketika dia jadi villain di film-film Saw, kita sudah bisa melihat bahwa dia ini semacam ‘orang jahat adalah orang baik yang teraniaya’. Alih-alih orang dewasa yang bertubuh kecil, Kramer adalah orang tua yang sakit parah. Sisi vulnerablenya lebih genuine. Persahabatannya dengan seorang anak Mexico lebih genuine ketimbang kebaikan Esther terhadap tikus. Namun ketika film menghadirkan antagonis bagi dirinya pun, moral compass Kramer tetap digali. Kita sedih melihatnya ditipu, tapi kita tetap dibuat melihat Kramer sebagai psikopat yang membuat orang-orang melakukan permainan maut, walaupun kini korbannya adalah orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. ‘Lawan’ yang dihadirkan untuknya pun sepadan, jahat dan moralnya sama-sama sinting. I think film juga cukup sayang mematikan karakter ini sehingga nasibnya di akhir cerita belum benar-benar diputuskan.

Bagaimana dengan penonton yang belum pernah nonton Saw, atau sama sekali enggak tahu seperti apa karakter John Kramer sebelumnya? Film ini bercerita bukan tanpa development. Paruh awal ditulis dengan seksama, kita benar-benar dibuat melihat Kramer sebagai manusia yang butuh pertolongan, tapi dia punya sisi gelap. Badannya boleh ringkih, tapi sorot matanya. Menatap orang seperti memutuskan orang ini layak hidup atau enggak. Film bahkan memperlihatkan Kramer ‘berfantasi’ menyiksa seseorang dengan alat penghisap bola mata, saat dia mengintip si orang ini sedang mau mencuri barang berharga milik pasien yang tengah tak-sadarkan diri di rumah sakit. Menurutku, ini set up yang efektif sekali untuk memperkenalkan siapa sebenarnya John Kramer kepada penonton baru. Sekaligus juga tentu saja mempertahankan vibe khas franchise Saw di tengah-tengah penceritaan yang lebih dramatis. Sedangkan untuk paruh akhir cerita, saat cerita fully masuk ke status lebih berdarah-darah, film mengeksplorasi hubungan antara Kramer dengan ‘muridnya’, Amanda. Hubungan yang cukup heartfelt, supaya penonton masih bisa merasakan kemanusiaan dari si karakter psikopat yang punya moral ini.  Dan ini juga abu-abu, karena Amanda gak yakin apakah dia bisa jadi penerus, dan Kramer berusaha meyakinkan dengan ngasih pemahaman betapa pentingnya ‘kerjaan’ mereka ini bagi korban-korban mereka.

Hidup bagi Kramer adalah suatu perjuangan, permainan kalo boleh dibilang, dengan kematian sebagai taruhannya. Itulah sebabnya dia memperjuangkan kesembuhannya dengan sungguh-sungguh. Itu juga sebabnya kenapa para korban dia tempatkan di posisi maut, antara berjuang melawan sakit demi survive, atau kalah dan mati.

 

Karena dimulai dengan lebih drama dan personal itulah, vibe Saw X akan terasa janggal bagi penggemar berat franchise torture horror ini. Beruntungnya, pak sutradara bukan orang baru dalam per-Saw-an. Dia yang pernah jadi editor dan nyutradarain cerita-cerita Saw, paham betul apa yang membuat Saw X ini Saw. Dia tahu resep horor ala Saw. Adegan-adegan perjuangan sampai mati, gaya kamera menangkapnya, gaya editing menampilkan adegan penyiksaan yang benar-benar bisa bikin ngilu itu, semuanya dia garap sama persis dengan vibe Saw yang kita ingat. Game/alat siksaan favoritku di film ini adalah trap ala patung Mexico yang mengharuskan korban membuka batok kepala dan mencungkil otak sendiri. Kebayang kalo kepala lagi pusing, mungkin teknik itu bisa dicoba hahaha… Kevin tahu satu lagi hal yang ditunggu oleh penonton; momen kejeniusan Kramer. Sehingga meskipun kali ini film enggak langsung terjun ke siksa-siksaan, tapi bercerita dengan lebih humanis dahulu, film ini enggak tergagap dan langsung konek ketika momen berdarah-darah – ketika momen ‘genre’nya hadir. Bahwa ini benar film yang sesuai dengan ruh film-film terdahulu, bukan sebuah poser yang mereplika Saw.

Bacanya Saw ‘Eks’, atau Saw ‘Ten’, atau Saw ‘Twitter’ sih?

 

Yang bikin lebih menarik lagi adalah situasi Kramer saat merancang trap tersebut. Dia harus berimprovisasi dengan alat-alat kesehatan yang ia temukan di lab ‘palsu’. Sekali lagi, film mempush karakter Kramer sebagai seorang yang bukan semata sadis tapi punya kreativitas yang tinggi. Dia bisa menciptakan alat mengerikan, tapi sekaligus juga estetik dan tematis. Like, sempat-sempatnya dia bikin desain serupa patung Mexico yang ia lihat jadi spot foto turis di jalanan. Film berhasil membuat hal yang sebenarnya convenience, kemudahan, bagi karakter utama sebagai hal yang balik mendukung karakterisasinya. Karena saat menonton kita tidak akan mempertanyakan, kok bisa dia bikin semua itu secara mendadak. Padahal sebenarnya cukup banyak juga momen-momen ‘gak mungkin’ pada cerita. Momen-momen yang terlalu ‘kebetulan’ para korban melakukan suatu hal, atau Kramer melakukan atau meletakkan sesuatu, yang sesuai dengan ‘hasil’ yang dia inginkan. Karakternya yang sudah well-establish membuat hal tersebut dengan mudah kita maklumi sebagai ‘kejeniusan’ karakternya alih-alih sebagai ‘pemaksaan’ kehendak naskah.

Meskipun memang secara journey, aku rasa film ini bakal bisa lebih terasa punya perkembangan jika diposisikan sebagai origin John Kramer sebagai Jigsaw. Karena di film yang kita saksikan ini, journey Kramer sebenarnya sudah berakhir di pertengahan. Saat dia memutuskan untuk ‘balik’ jadi Jigsaw, untuk balas dendam. Setelah momen itu, sebenarnya film berjalan tanpa plot, melainkan hanya memperlihatkan momen sadis ala Saw, sambil menunggu revealing-revealing yang bikin cerita seru saja. Tapi yah, itulah Saw. Momen-momen itu harus ada karena itulah yang membuat sebuah film bisa disebut sebagai film Saw. Kehadiran film dengan berusaha menggali drama personal dari Kramer, membuat Kramer jadi manusiawi sebagai protagonis, itulah yang mengelevasi film ini, walaupun memang enggak full dan kurang merata.

 




Mungin memang inilah film yang paling bisa mengaplikasikan formula khas franchise Saw ke dalam struktur penceritaan film dengan benar. It’s not perfect, tapi toh memang ini jadi film yang paling berbobot seantero franchisenya. Gak cuma twist dan revealing. Gak cuma adegan penyelidikan polisi. Gak cuma adegan penyiksaan dengan jebakan mematikan. Di sini kita diajak menyelami karakter utamanya, yang notabene juga bukan orang baik-baik. Kalo secara timeline, aku gak bisa ngomong banyak. Karena se-ngefans-ngefansnya pun, aku udah gak bener-bener ingat urutan kejadian semua film Saw. Dan filmnya pun memang sengaja ngeluarin cerita yang bakal membuat kita melompat-lompat timeline. I think timeline gak benar-benar jadi soal. Buatku, bisa menikmati horor yang berbobot dan punya karakter unik dan karismatik, itu hiburan yang sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAW X

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian franchise Saw masih layak untuk dilanjutkan dan di-elevate menjadi lebih berbobot? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



NO ONE WILL SAVE YOU Review

 

“It is the confession, not the priest, that gives us absolution.”

 

 

Bekal-diri, atau pengalaman, alias juga referensi saat kita menonton film ternyata memang ngaruh ke tangkapan kita terhadap film tersebut. Makanya film yang kita sukai pada masa kecil mungkin akan terasa berbeda jika ditonton saat sudah dewasa.  Aku ngerasain ini saat nonton No One Will Save You, horor karya Brian Duffield. I feel like aku gak bakalan ngerti film ini kalo aku menontonnya sebelum nonton Sleep Call (2023). Loh kok Sleep Call? Diskursus soal literally ‘gak bakal ada yang nolongin kamu’ dibuka di film itu. Lewat pembahasan film itu soal jakarta/hidup itu keras, aku bisa lebih mudah menangkap bahasan yang juga diangkat di sini – hanya lebih tegas sebagai perspektif personal. Lebih mudah karena memang film No One Will Save You dibuat oleh Brian Duffield dengan desain yang cukup aneh. Asing. ‘Alien’, kalo boleh dibilang. Horor alien, tapi juga teror home-invasion. Penuh aksi menegangkan, tapi juga sunyi dengan nyaris tak ada dialog. Kejadiannya memang merupakan penyimbolan, tapi sekaligus juga literal.

No One Will Save You merupakan tipe film yang keren karena penceritaannya. Penonton yang hanya melihat outer journey alias urutan kejadian bakal missed hal yang membuat film ini spesial. Karena memang peristiwa filmnya simpel saja. Seorang gadis muda bernama Brynn, tinggal sendirian di rumahnya yang terletak di pinggir hutan cukup jauh dari pusat kota kecil. Suatu malam rumahnya kedatangan tamu jauh dari angkasa luar. Survive dari kejar-kejaran malam itu, paginya Brynn mencoba lapor polisi. Tapi dia punya masalah dengan salah satu polisi, serta ternyata beberapa penduduk sudah dikendalikan oleh alien. Sehinga minta tolong sudah bukan lagi opsi. Malamnya, Brynn bersiap di rumah, mencoba mengcounter serangan alien berikutnya.

Sampai gak bisa berkata-kata

 

Storytelling arahan sutradaranya lah yang membuat film jadi begitu rich dan efektif. Konsep unik yang ia jadikan penentu adalah tidak ada dialog, kecuali satu baris kalimat yang esensial sebagai penanda resolusi pada development karakter utama. Film ini bakal banyak momen-momen personal Brynn di ruang-ruangnya sendiri, hingga ke kucing-kucingan melawan alien, tapi semua itu diceritakan tanpa banyak berkata-kata. Semua informasi disampaikan lewat penceritaan visual. Kita kenalan dengan karakter si Brynn lewat menyimak tingkah lakunya. Bahkan namanya saja kita tahu dari tulisan. Film seolah selalu berhasil menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu tanpa menyebut hal tersebut. Sehingga nonton film ini jadi change of pace yang menyegarkan, di tengah sumpeknya film-film jaman sekarang yang meledak-ledak, lagi cerewet ngasih eksposisi di sana sini. No One Will Save You menampilkan karakter – backstorynya, konflik personalnya, hingga nanti tantangan fisik dan emosional journeynya  – lewat pengadeganan yang terukur. Semua aspek teknis seperti kamera, suara, punya treatment khusus untuk mendukung penceritaan visual ini.

Walau nyaris tanpa dialog, toh film ini bukan bisu. Kita tetap mendengar suara-suara. Dengung sinar UFO, suara tapak kaki alien yang jari-jari kakinya udah kayak kaki-kaki kecil sendiri. Dan desain suara-suara itu tuh keren banget! Film ini benar-benar memanfaatkan suara untuk menghasilkan efek horor yang maksimal. Setiap pekik tertahan, suara derit, semuanya itu ngebuild up kepada tensi yang jadi urat hidup film ini. Pun diselaraskan dengan kerja kamera. Momen di babak awal saat pertama kalinya Brynn menyadari ada alien di lantai bawah rumahnya, benar-benar momen yang menegangkan. Cara film ‘memperkenalkan’ alien itu juga precise dan terukur sekali. Kadang Brynn hanya melihat sosok blur alien dari balik kaca, kadang dia hanya melihat kaki mereka. Sudut pandang yang kuat, pembangunan adegan yang tepat, sukses bikin kita ikut menahan napas. Seiring berjalan durasi, sosok alien semakin ditampilkan dengan jelas oleh film. Desain mereka juga luar biasa. Meskipun tampilan dasar mereka cukup klise ‘alien abu-abu bermata besar, berbadan kecil’  tapi film menyimpan banyak kejutan. Cara mereka bergerak saja selalu berhasil bikin kita bergidik. Yang menurutku paling seram adalah alien besar seperti laba-laba, sekuen kejar-kejaran Brynn dengan makhluk ini juga seru dan ngeri sangat.

Sementara aliennya memang pencapaian teknis, keseluruhan film sebenarnya bertumpu pada delivery Kaitlyn Dever sebagai perspektif utama. This is practically film dengan satu karakter. Cerita menempel erat pada sudut pandang Brynn, dan Kaitlyn Dever mengerti tugasnya dan kupikir ini adalah yang terbaik dari penampilan aktingnya so far. Raut wajahnya bicara, matanya bicara, dan dia gak ragu untuk meraih ke dalam sisi emosional karakternya. Dan semua itu dia lakukan sambil dikejar-kejar oleh alien! Sisi emosional dan inner karakter, inilah yang bikin film ini dalem. Dan spesial. Karena bagaimana pun juga horor bukan semata soal survive dari makhluk mengerikan, bukan sebatas soal mengalahkan mereka. Melainkan juga mengenai apa ‘arti’ survive tersebut bagi si karakter utama. Mengalahkan momok itu berarti dia mengalahkan apa di dalam hidupnya. Refleksi terhadap karakter inilah yang jarang dipunya oleh horor kita, tapi di film ini ada. Malah itu yang benar dijadikan urusan utama, merayap di balik persoalan invasi alien. Semua treatment storytelling yang digunakan film ini – seperti yang sudah kusebutkan tadi – membangun kepada tema yang berasal dari galian inner journey karakter Brynn.

Kalo dibikin tahun 2000an, pasti Amanda Seyfried yang dicast jadi Brynn haha

 

Ketika pertama kali kita melihat Brynn, gadis ini tampak damai di ‘dunia’ kecilnya. Di rumahnya. Dia menari, bermain dengan diorama kota yang dikumpulkannya sendiri, dengan riang menulis surat untuk sahabatnya yang bernama Maude. Vibe bimbang baru nampak ketika dia hendak ke kota. Brynn berlatih senyum di depan cermin. Tampak menguatkan diri sebelum berinteraksi dengan orang lain. Saat dia beneran berinteraksi, kita merasakan ada hubungan yang dingin antara warga dengan Brynn. Seorang polisi dan istrinya malah tampak dihindari oleh Brynn. Menghindar seperti saat dia dengan sengaja ‘tidak menjawab’ telfon.  Aku mengenali gelagat itu. Waktu kecil, aku pernah gak sengaja bikin tangan temanku patah saat kami bermain Benteng Takeshi-Takeshian, dan setelah itu aku gak berani main ke rumahnya, gak berani ketemu sama orangtuanya. Aku tahu walaupun gak sengaja, aku harusnya minta maaf, tapi tetap saja itu sungguh hal menakutkan untuk dilakukan. Jangankan minta maaf, mau ngomong aja takut. Film dibuat tanpa dialog karena Brynn juga merasa bersalah terhadap sesuatu. Later deep within the story, kita dikasih tahu apa yang dulu terjadi pada Brynn dan temannya, Maude. Dan aku langsung, damn, aku yang gak sengaja aja dulu bisa takut sampai segitunya, gimana Brynn ini yaa..

Rasa bersalah. Guilt. Inilah yang sebenarnya dimaksud film ini ketika menyebut tak akan ada yang bisa menyelamatkan kita. Gak ada yang bisa menyelamatkan kita dari rasa bersalah, kecuali diri kita sendiri. Gimana caranya? Dengan gak mangkir dari perbuatan. Dengan mengakui. Dengan meminta maaf. Kesempatan meminta maaf bagi Brynn datang secara tak sengaja melalui invasi alien, dan adalah up to her untuk menggunakan itu. Pada pilihannya itulah tercermin perkembangan Brynn sebagai karakter utama cerita.

 

Jadi ‘dunia kecilnya’ itu ternyata juga adalah penjara sosial. Tokoh utama kita ternyata ‘di-shun’ warga akibat perbuatannya di masa lalu. Dikucilkan. Invasi alien justru berbuah kesempatan buat Brynn untuk resolve urusan personalnya tersebut. Dalam salah satu ‘serangan’ alien, Brynn justru mendapat kesempatan untuk meminta maaf; hal yang selama ini tidak bisa dia dapatkan karena keadaan dan dirinya sendiri. Di bahasan ini, sendirinya film punya pilihan. Menjadi kisah manis penuh harapan dengan happy ending Brynn akhirnya dimaafkan masyarakat. Atau menjadi kisah miris, bahwa Brynn tidak bisa mengharap maaf, bahwa memaafkan diri sendiri adalah satu-satunya healing yang bisa ia terima, dan itu sesungguhnya cukup.

Pada pilihan krusial itulah film menunjukkan keistimewaan. Jujur, saat menonton aku mengharapkan pilihan yang pertama. Aku berharap film ngasih lihat Brynn mendapat pengampunan yang layak karena dia selama ini menyesali perbuatannya dalam diam. Brynn has suffer so much, meski tak kelihatan dari luar. Aku berharap seenggaknya ada adegan Brynn openly bicara kepada keluarga Maude, meminta maaf, eventho it’s too late. Pilihan ini aku yakin lebih memenuhi struktur skenario terkait aksi dan development karakter. Tapi film enggak mau benar. Film menunjukkan kecintaan mereka terhadap karakter Brynn dengan memilih untuk tetap ‘real’ alih-alih benar sesuai aturan. Dan ini yang bikin ending film mengejutkan dan sangat kuat. Dengan membuat ‘alien aja kasihan sama Brynn’, tema dan gambaran yang menyentil kehidupan sosial kita (balik lagi ke Sleep Call’s “hidup itu keras”) terasa lebih menohok. Alien yang awalnya ditampilkan misterius, seiring durasi menjadi lebih fokus dan malah tampil close up adalah paralel dari gimana masyarakat seharusnya melihat Brynn, for she is an alien among them. Seorang berbeda – berdosa – yang dianggap berbahaya dan tak punya tempat di antara mereka. Apapun yang keluar dari mulutnya gak bakal dipercaya. Brynn tidak dikasih kesempatan.

 

 




Makanya film ini pun hadir dengan tidak banyak berkata-kata. Itu jadi pembuktian betapa kuatnya treatment dan perspektif penceritaan. Semuanya dilakukan untuk mewakili yang dirasakan oleh Brynn, sang karakter utama. Kejadian invasi alien ke rumah mungkin tampak biasa, tapi penceritaan di baliknya, semuanya kuat dan didesain dengan sangat terukur. Kerja kamera, desain suara, penampilan akting. Film ini sukses berat baik itu dalam menampilkan horor dikejar-kejar alien maupun kejadian-kejadian yang lebih sureal setelahnya. Pilihan endingnya merupakan salah satu yang paling mencengangkan. Film ini gak ragu untuk sedikit berbelok dari yang seharusnya. Dan memilih untuk tampil dengan gambaran dan pesan yang lebih real dan menohok.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NO ONE WILL SAVE YOU

 

 




That’s all we have for now.

Dina di Sleep Call gak punya Rama, sedangkan Brynn di film ini punya alien. Menurut kalian kenapa alien-alien itu membiarkan Brynn hidup di antara koloni yang mereka kendalikan?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL Review

 

“Study the past if you would define the future”

 

 

Kisah-kisah dari tanah Nusantara memang tak ada habisnya. Keragaman suku, adat istiadat, hingga kepercayaan beragama membuat Indonesia bagai sebuah sumur minyak ide cerita yang senantiasa mengalir. Problemnya memang  soal pengisah cerita harus tahu di mana harus menggali. Lalu bagaimana mengolahnya. Ide membuat kisah horor berkelanjutan dari mitologi khas Jawa memang menarik. Dengan pengalamannya menggarap horor terlaris serta horor dengan makhluk khusus, Awi Suryadi di posisi sutradara tampak seperti tawaran yang cukup menjanjikan. Like, aku tertarik untuk melihat gimana dia bakal menghidupkan sosok-sosok horor dalam legenda. Tapi balik ke problem ‘gali sumur minyak’ tadi. Arahan horor Awi hanya bisa terlaksana maksimal jika dibarengi oleh naskah yang tahu di mana harus menggali dan mengolah kisah-kisah adaptasi ini. Dulu pernah jadi serial, kini Kisah Tanah Jawa tampak memulai proyek pertama dari universe kisah horor ini dengan Pocong Gundul, namun sedari film krusial ini kelemahan penulisan sudah amat kentara.

Konsep baru dari dunia parapsikologi diperkenalkan oleh film ini. Konsep retrokognisi. Basically, itu adalah istilah untuk kemampuan paranormal bisa melihat masa lalu. Dalam film ini, retrokognisi bahkan bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Hao yang mewarisi kemampuan itu dari sang Eyang, tinggal memegang benda milik seseorang lalu dia bisa melihat apa yang terjadi pada empunya barang tersebut di masa lalu. Tadinya kemampuan ini Hao gunakan untuk kepentingan mengungkap sejarah. Tapi sepasang suami istri yang hadir di seminar Hao meminta pertolongan untuk mencari anak gadis mereka yang hilang. Dengan kemampuan retrokognisi, Hao mencoba menemukan siswi yang hilang di sekolah. Aksi Hao tersebutlah yang membuat Pocong Gundul, hantu produk ilmu hitam yang menculik si siswi, jadi turut mengincar nyawanya.

Kenapa mantra-mantra bahasa Jawa terdengar lebih mengerikan?

 

Penggambaran horor yang dilakukan film terhadap konsep paranormal tersebut cukup kreatif dan menyenangkan. Karena yang sebenarnya ‘pergi’ ke masa lalu dalam retrokognisi film ini adalah ‘qorin’ dari Hao yang melihat semua peristiwa sebagai empunya barang yang dijadikan medium, maka yang kita lihat adalah Deva Mahenra duduk di sana tapi dari pantulan cermin-cermin yang ada kita dapat melihat sosok ‘aslinya’, yaitu Sari si siswi yang hilang. Untungnya film punya efek dan teknis yang mumpuni untuk menjelajahi ‘lapangan bermain’ yang unik dari elemen horornya tersebut. Kita juga enggak susah menyejajarkan diri dengan karakter, lantaran Hao di sana juga sama dengan kita, mengalami ketakutan yang dirasakan Sari saat kejadian. Jadi jumpscarenya akan efektif, permainan kameranya akan benar-benar terasa membangun ke antisipasi kita untuk kejadian horor. Bukan hanya itu, film ini juga berhasil memvisualkan ketakutan psikologis Sari dan Hao, di antaranya lewat estetik kain kafan dan tanah kuburan, serta – ini yang menarik dan menurutku kurang banyak dieksplorasi; elemen body horror.

Apalah horor berkearifan lokal tanpa ilmu hitam. Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul juga mengeksplorasi soal klenik, menyandingkannya dengan pseudo-science. Ritual santet hingga kekuatan si Pocong yang melahap sukma manusia lewat ujung jari, semua itu mengarah kepada adegan-adegan ‘gangguan’ pada anggota tubuh manusia. Kita melihat karakter menjerit histeris saat tubuh mereka melakukan hal di luar normal; bola mata yang membesar hingga pop out dari lubangnya, misalnya. Hanya saja, adegan-adegan horor yang kuat ini tidak ditimpakan kepada karakter utama. Deva Mahenra tampak sudah siap untuk tampil total, tetapi karakternya tidak banyak mengalami development. Secara scare pun, karakter Sari yang diperankan natural oleh aktor remaja Nayla D. Purnama, terasa dapat adegan yang jauh lebih mencekam.

Padahal kalo dilihat-lihat, desain journey Hao sebenarnya mirip dengan Qodrat (2022). Film ini ngeset up cerita yang membuka untuk petualangan-petualangan Hao selanjutnya sebagai pembasmi hantu pengganggu manusia. Tapi tidak seperti Ustadz Qodrat, Hao tidak terasa seperti earned petualangan tersebut. Karena Hao masih minim penggalian karakternya. Dia ‘cuma’ berubah dari orang yang menggunakan ilmunya sebagai bahan seminar, menjadi seorang ‘pahlawan’. Perubahannya tersebut minim inner journey, melainkan cuma karena si Pocong Gundul juga sekarang mengincar dirinya. Hubungan Hao dengan karakter lain juga tidak ter-flesh out. Persoalan yang  dibuka di bagian awal, tentang dia yang masih kecil dengan kejadian yang menimpa eyangnya, tidak pernah dijadikan hook dramatis oleh cerita. Sehingga plot film ini kerasa hampa. Ini jadi keputusan yang aneh karena set upnya itu sendiri dimainkan dengan dramatis, seolah bakal berpengaruh kepada Hao saat dewasa. Eyang meminta Hao kecil untuk stay selama eyang retrokognisi ke masa lalu, tapi Hao malah pergi main ke luar rumah bersama Rida, sahabatnya. Like, aku nungguin sepanjang durasi kapan Hao dewasa merasa bersalah atau terguncang oleh peristiwa kematian eyangnya. Tapi hook dramatis yang penting sebagai bangunan karakternya itu tidak ada. Karakter Hao berjalan lempeng aja. Sehingga ketika dia diganggu hantu pun, gangguannya tidak benar-benar terasa ngaruh ke emosi kita. Stake dia ngelakuin retrokognisi juga tidak dibangun, ya aturannya, pantangannya, atau semacamnya, padahal sudah dilandaskan bahwa kemampuan tersebut berbahaya.

Biasanya, kisah tentang orang yang bisa ke masa lalu, akan berkaitan dengan bahasan entah itu dia memperbaiki satu hal kecil, atau konfrontasi dengan hal di masa lalu, atau yang lainnya seputar gimana masa lalu itu jadi pembelajaran baginya untuk menangani masalah di masa sekarang. Film ini melibatkan karakter yang ke masa lampau katakanlah untuk mencari info ngalahin setan, tapi secara keseluruhan film ini terasa kosong karena gak actually punya sesuatu di balik ‘perjalanan’ itu terhadap perkembangan karakter utamanya. 

 

Penceritaan tidak terbantu oleh tone yang terasa ke mana-mana. Film ini seperti mengincar horor yang serius menakutkan, namun itu tidak pernah tercapai karena seringkali film malah jatohnya lucu. Della Dartyan berperan sebagai Rida, sahabat yang menjaga Hao saat melakukan perjalanan mistis, lucunya dia berakting seperti sedang dalam sebuah film komedi. Tau gak gimana superhero Marvel seringkali nyeletuk konyol saat bertarung melawan supervillain, di tengah bahaya mengancam dunia? Nah, Rida-nya Della seringkali nge-Marvel-in kisah horor ini. Buatku yang ingin ngerasain feeling horor, ini annoying. Tapi toh penonton lain pada ketawa. Jadi mungkin baiknya memang film ini dijadikan horor komedi saja. Lagipula lihat saja desain makhluk Pocongnya. Aku gak tau di mana letak seramnya pocong yang gundul, atau bahkan apakah hantu yang kepalanya gundul masih layak disebut pocong karena kalo kita bisa melihat palanya gundul berarti dia sudah bukan hantu yang terbungkus kafan lagi…. Jujur saja, penampakan hantu itu saat bersosok Iwa K. justru jauh lebih creepy dan disturbing. Saat full make up pocong gundul, kesan seramnya hilang. Tinggal ngagetin doang. Ditambah pula si Rida dengan cueknya memanggil-manggil dia dengan sebutan ‘Gundul’. Aspek paling seram dari si Pocong Gundul adalah fakta bahwa senjata andalannya adalah ludah asam! Kupikir, damn, mungkin dia semasa hidup suka main sebagai Reptile di Mortal Kombat

Bikin martabat pocong terjun bebas aja!

 

Sekiranya kita enggak tahu film ini diadaptasi dari buku cerita, penonton film yang sudah fasih sama bentuk penceritaan film pasti akan bisa menebak kalo cerita film ini aslinya adalah dari buku. Darimana bisa ketebak? Dari penceritaan yang terlalu bergantung kepada eksposisi lewat narasi. Lewat info yang ‘diceritakan’ oleh karakter. Naskah film ini masih belum luwes dalam mengadaptasi penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan, misalnya soal retrokognisi itu apa, pocong gundul itu aslinya dari siapa, dan sebagainya; penjelasan-penjelasan itu masih dituturkan begitu saja oleh karakter. Mereka mendiktekan penjelasan itu, hampir seperti aktornya tinggal membacakan teks saja. Seharusnya naskah yang baik bisa menerjemahkan itu ke dalam bentuk penceritaan yang lebih kreatif. Membuat adegan penjelasan yang lebih mengalir dan tidak seperti kita mendengar orang membaca bahasa tulisan. Karena produk naskah kan sebuah film, tayangan audio visual yang harusnya lebih sebagai sebuah memperlihatkan, daripada hanya memperdengarkan.

Saking banyaknya eksposisi,  nonton film ini hampir seperti kayak dengerin mumbo jumbo omong kosong doang. Masih mending nonton Tenet, yang walaupun dialognya juga penuh penjelasan teori fisika kuantum or whatever that is, tapi setidaknya itu adalah pengetahuan yang ada bobot kebenarannya. Sedangkan pada Pocong Gundul ini, semuanya terasa tanpa bobot. Tau dong pepatah ‘air beriak tanda tak dalam’? Nah, film Pocong Gundul yang ceriwis ini juga seringkali malah jatoh bego oleh dialog ngasal dan lemah logika yang mereka punya. Salah satu yang menurutku fatal karena merusak penerimaannku terhadap logika-cerita mereka adalah soal siswa yang hilang di sekolah, yang kata gurunya sudah dicari-cari ke hutan belakang tidak ketemu, padahal siswa itu ada di dalam sumur yang ada di sana. Masa iya saat pencarian gak ada yang mencari ke dalam sumur – yang bahkan lokasi sumurnya sama sekali tidak tersembunyi ataupun sulit dijangkau. Apalagi peristiwa kehilangan tersebut bukan yang pertama kali, melainkan sudah ada dua kejadian sebelumnya. Buatku ini adalah gejala sebuah penulisan yang malas. Peristiwa seputar misteri hilangnya siswa tersebut mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi.

 

 




The actual horrifying truth adalah mereka akan terus membuat horor berkualitas subpar seperti ini. Tidak peduli sekeras apapun kita mengkritik. Tetap tidak akan ada perbaikan. Karena film-film seperti ini akan terus laku. Palingan tampilannya saja yang seiring berjalan teknologi akan semakin cakep, dan mulus, dan teknisnya makin bagus. Adegannya semakin sadis. Sementara ceritanya, sebaiknya kita melihat ke belakang dan tidak berekspektasi banyak. Ragam budaya dan seni dan nilai lokal tanah air akan terus dieksploitasi sebagai cerita horor ala kadar, yang bahkan untuk memenuhi fungsi sebagai melestarikan budaya/seni itu saja belum bisa. Mereka hanya akan jadi latar untuk horor-horor seperti ini. Konsep unik yang ditawarkan akan lenyap di tengah-tengah cerita, seperti hantu yang dibacain Ayat Kursi. The new low buat horor lokal adalah saat hendak menontonnya kita memang tidak mengharapkan yang muluk-muluk, tapi somehow begitu filmnya usai kita tetap merasa kecewa. Aku merasakan itu di film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for KISAH TANAH JAWA: POCONG GUNDUL

 

 




That’s all we have for now.

Kalo buatku, bahasa Jawa itu terdengar lebih mengerikan ketika dijadikan mantra atau tembang horor. Apakah ada yang sependapat? Atau ada yang ngerasa lebih seram daerah lain? Kenapa ya setiap orang bisa berbeda gitu?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE NUN II Review

 

“Seeing a miracle will inspire you, but knowing you are a miracle will change you”

 

 

Adalah fenomena ajaib, saat sebuah sekuel tampil lebih baik dari film pertamanya. Ajaib dalam artian, agak jarang terjadi. Lantaran sekuel biasanya dibikin karena studio berusaha mengulangi kesuksesan sebuah film, maka kualitas sudah bukan perkara utama lagi. Dari sudut pembuat, pembuatan sebuah sekuel itu stake-nya lebih kecil, less riskier, ketimbang cerita baru. Usaha mereka bisa diperkecil saat ada jaminan penonton bakal datang menonton lanjutan dari sesuatu yang sudah terbukti sukses sebelumnya. Kejadian langka sekuel lebih bagus dari pendahulunya maka wajib kita rayakan, karena itu berarti film tersebut bukan semata pengen memerah kesuksesan, tapi juga melakukan perbaikan-perbaikan. The Nun II, kukatakan saja, tampil lebih baik dari film pertamanya yang sangat uninspiring dan tak memorable. Namun karena The Nun pertama separah itu pulalah, maka kiprah sekuel horor karya Michael Chaves ini tak menjadi seajaib itu. The bar was just too low. Dan The Nun II berhasil tampil lebih baik meskipun usaha perbaikannya sendiri sebenarnya amat sangat minim.

Mengambil latar waktu beberapa tahun setelah battle antara Suster Irene dengan Valak, The Nun II dibuka oleh kematian mengenaskan seorang pastor. Tubuhnya terangkat ke udara, lalu terbakar seketika. Kematian misterius pemuka gereja tersebut ternyata hanyalah satu dari banyak lagi kasus lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai penyintas, Suster Irene yang melanjutkan hidup sebagai suster normal di biara normal, ditugasi kembali oleh Gereja untuk mengusut kasus ini. Karena there’s no doubt, si suster iblis Valak, berada di balik semuanya. Bersama kolega baru, Suster Irene harus melacak relikui kuno. Serta mencari keberadaan si Valak, yang kini bersemayam di sebuah boarding school untuk anak-anak perempuan.

The Nun II yang dinanti-nanti oleh… NO ONE

 

Cerita kali ini memang punya bobot emosi. Karena si Valak actually bersemayam masih di dalam tubuh Frenchie alias Maurice, seperti yang kita lihat di akhir film pertama. Sehingga koneksi personal antara Irene dengan Maurice akan jadi hook dramatis saat kekuatan baik dan jahat itu akhirnya nanti bertempur sekali lagi. Selain itu, pemuda baik hati yang kerja jadi tukang kebun tersebut juga diperlihatkan punya hubungan yang dekat dengan salah satu guru di boarding school (disebutnya Ibu oleh anak-anak murid) dan dengan salah satu anak murid yang bernama Sophie. Malahan, ini juga lantas jadi kekurangan film The Nun II buatku. Bobot emosi cerita ini lebih banyak dan lebih mudah tersampaikan ketika dipantik dari karakter lain, bukan dari karakter utama. Film ini kena ‘penyakit’ karakter utamanya kalah menarik dengan karakter lain. I would prefer cerita fokus di Sophie saja. Fokus di kehidupan di boarding school saja. Simpati kita sebenarnya memang lebih banyak tercurah kepada si kecil Sophie. Yang dibully oleh teman sekelas, dikatain pacaran sama om-om (alias Maurice). Setting asrama katolik tempat mereka bersekolah juga lebih banyak menawarkan elemen-elemen horor. Misalnya ketika teman-teman Sophie mengajaknya ke chapel terbengkalai untuk main challenge yang berbau mistis.

Sedangkan Suster Irene, maan, aku suka Taissa Farmiga di serial American Horror Story, tapi di sini karakter dia boring. Bosenin bukan karena dia gak lakuin apa-apa, loh. Suster Irene ini ‘kerjaan’nya banyak banget; traveling, investigasi, dan nanti harus ‘duel’ lagi dengan Valak. Cuma ya, terlalu banyak sehingga momen-momen untuk development karakternya jadi minim. Ada sedikit soal dia teringat akan mendiang ibunya, tapi itu pun tidak berbuah sesuatu yang membuat kita melihat dia sebagai karakter yang genuine. Setidaknya tidak seperti kita melihat Sophie, atau malah kolega barunya, si Suster Debra (diperankan oleh Storm Reid) Karakter Suster Irene punya sedikit sekali inner journey atau pembelajaran diri yang dramatis. Karakternya cuma belajar tentang identitas dirinya ternyata keturunan siapa. Dramatisnya Irene cuma datang dari ‘ternyata’. Sementara Sophie, kita melihat dia dari seorang korban bully menjadi gadis cilik yang berani. Lalu Suster Debra, punya arc dari seseorang yang ragu akan ‘kerjaan’ mereka – katakanlah dia suster yang imannya kurang – menjadi percaya akan mukjizat. Kepercayaan yang kuat sehingga mendorong Suster Irene untuk semakin ‘pede’ ngalahin Valak.

Sebagai horor gotik yang kental dengan nuansa religi, The Nun II memang banyak bicara soal mukjizat dan kepercayaan. Pembahasan soal anggur adalah darah Yesus adalah pembicaraan soal menumbuhkan iman. Bahwa dengan iman yang kuat maka kebenaran akan terwujud. Bahwa akan selalu ada mukjizat di sekeliling, bagi orang-orang yang percaya. Dan seperti yang dialami Suster Irene, terkadang mukjizat itu ada pada diri kita sendiri.

 

Alih-alih mengembangkan Irene sebagai karakter, film ini tampak lebih tertarik menggarap Irene sebagai karakter dengan casting meta. Film lebih tertarik membangun benang merah antara Irene yang diperankan oleh Taissa Farmiga, dengan Lorraine Warren di timeline The Conjuring yang diperankan oleh kakak Taissa, Vera Farmiga. Dalam salah satu sekuen ‘penglihatan’ Irene terhadap masa lalunya, sekilas ada Lorraine, sehingga mengindikasikan dua karakter ini mungkin memang berada dalam satu garis keturunan yang sama. Lore cerita seperti ini memang menarik, tapi menurutku hal-hal trivia seperti begini masih bisa dilakukan sambil tetap membangun personality karakter secara khusus dengan lebih genuine. Jadi film ini sebenarnya lebih tepat jika difungsikan sebagai horor tertutup di setingan sekolah asrama, dengan karakter-karakter yang hidup di sana sebagai perspektifnya. Tapi karena perspektif utamanya Irene, maka cerita akan sering berpindah-pindah ke bagian ‘investigasi’ yang menurutku membuat kita seringkali lepas dari denyut cerita yang bikin film ini hidup.

Ciee Valak masuk halaman Mode hahaha

 

Sepulang nonton, aku ngecek trivia IMDB film ini, dan di sana disebutkan total screen time Valak si suster iblis cuma dua menit lima-tujuh detik. The Nun II sesungguhnya merupakan film yang benar mengandalkan atmosfer horor ketimbang menjadikan sosok demonnya banci kamera. Oh, jumpscare tetap ada. Banyak. Sebagian besar ngeselin, terutama yang muncul di awal-awal. Tapi secara garis besar, film ini mengerti membangun momen-momen seram tersebut. Valak sebenarnya sering muncul, lore nya juga mengalami pengembangan, tapi dia ditampilkan dari balik bayang-bayang. Tidak pernah lebih lama dari seharusnya, sampai-sampai membuat kita bosan melihatnya. Atau malah film bermain-main dengan imaji-imaji yang menyerupai Valak. Momen paling kreatif film ini adalah saat memunculkan ‘Valak’ lewat halaman-halaman majalah di sebuah stand atau kios. Halaman yang berisi gambar-gambar itu membentuk kolase yang serupa dengan penampakan Valak. Dan ini cara film menampilkannya benar-benar intens, like antisipasi kita terhadap kemunculan real Valak tetap dijaga tinggi. Film ini ngerti the art of bikin penonton menahan napas dalam ketakutan. Setiap entrance Valak, entah itu beneran dia atau bukan, benar-benar terasa fresh dan jadi momen horor yang jempolan. Dan bukan hanya Valak, melainkan ada satu makhluk horor lagi yang ditampilkan dalam film ini. Makhluk yang menurutku bisa saja mereka bikinkan film tersendiri, saking efektifnya cara film memperkenalkan.

Karena itu jugalah aku jadi merasa kesal dengan editing film ini. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah hal itu memang dari sononya karena ngincar rating umur tertentu atau ‘ulah’ sensor kita, tapi yang jelas treatment cut-cut film ini dalam menampilkan adegan-adegan horor terasa agak off. Ketika kamera sudah menangkap misteriusnya dengan ciamik, tensi sudah terbangun, exit adegan atau punchline horornya seringkali terasa terlalu cepat. Sehingga momen-momen seram tersebut jadi terasa kurang nendang. Flow horor film pun jadi terasa enggak benar-benar sempurna. Nonton film ini tu jadi kayak kerasa ‘kentang’ gitu loh. Udah capek-capek membuild suspens, tapi puncak pelampiasannya gak ada memuaskan semua. Kayak Valak lagi membunuh salah satu korban misalnya, momen dia ‘nakut-nakutin’nya udah dapat, tapi saat dia went for the kill, tiba-tiba berlangsungnya cepat.

 




Sense horor film ini sebenarnya ada pada tempat yang tepat. Gambar-gambar dan build upnya keren semua untuk standar skena horor. Kalo ternyata bukan salah ‘sensor’, film ini adalah horor dengan timing paling gak-precise yang aku tonton beberapa tahun belakangan. Gak puas aja nontonnya. Ceritanya pun begitu. Padahal dibandingkan film pertamanya, film kali ini punya bobot dramatis. Punya karakter yang cerita mereka mampu membuat kita peduli. Punya development juga. Sayangnya semua itu ada pada karakter yang gak tepat. Dalam artian, bukan pada karakter utama. Heroine utama film ini toh memang tetap dibuat cukup badass dan segala macem, tapi dia ini cuma punya ‘kejadian’. Irene ini bentukan karakternya tu kayak tipikal hero dalam film action. Development dia nyaris tidak ada, melainkan cuma ‘ternyata’. Dan karena cerita harus ngikut perspektif si karakter utama, maka cerita yang mestinya kuat di kejadian sekolah asrama, jadi sering berpindah. So yea, film ini adalah peningkatan dari film pertama, tapi itupun lebih karena film pertama yang memang set standar terlalu ke bawah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE NUN II

 




That’s all we have for now.

Dunia cerita Conjuring dan The Nun sepertinya sudah diset untuk segera bertemu kembali. Apa hubungan Lorraine dengan Irene menurut kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SLEEP CALL Review

 

“Nobody is coming to save you”

 

 

Telponan sama gebetan sampai pagi ternyata ada istilahnya. Sleep call. Romantis sih memang, kita yang lelah dan sumpek setelah beraktivitas seharian kini ada di kamar, curhat bertukar cerita, mendengarkan suara orang yang bikin kita nyaman, sampai akhirnya kita ketiduran. At least ku dulu gitu sih, terakhir kali ngerasain ‘sleep call’ itu pas jaman BB. Telponan sampai pagi, karena dulu video belum lancar kayak sekarang hahaha. Tapi film Sleep Call buatan Fajar Nugros ternyata bukan film romantis. Melainkan sebuah thriller psikologis. Genre yang masih langka banget di perfilman Indonesia, tapi juga merupakan genre favoritku. Muholland Drive (2001) karya David Lynch-lah yang membuatku jadi tertarik sama film, membuatku mulai nonton film katakanlah religiously. Dan dalam film Sleep Call ini, aku merasakan ruh dan bentukan cerita psikologis serupa film itu. Jika perjalanan Diane dalam Mulholland Drive sesungguhnya adalah gambaran yang menyingkap true nightmare di balik gemerlap Hollywood, maka Sleep Call sesungguhnya adalah wake-up call bagi orang kecil seperti Dina bahwa no matter what, Jakarta itu keras!

Dua film itu sama-sama tegas dan lugas. Blak-blakan memperlihatkan Jakarta, seperti Hollywood, merupakan tempat mengais kehidupan penuh oleh kesempatan, tapi juga tanpa ampun. They could make us jika kita mau put on an act, atau tempat itu will definitely break us. Dina terlilit utang. Untuk bisa melunasi pinjaman onlinenya, dia terpaksa harus kerja jadi karyawan pinjol. Such an irony. Dina harus bermanis-manis supaya orang mau minjem ke perusahaannya, dan pada gilirannya, dia juga harus galak supaya peminjam takut dan mau membayar hutang mereka. Inilah yang Dina gak bisa. Dia gak bisa marah sama pengutang, karena dia berada di posisi yang sama. Performa kerja yang buruk, relasi dengan sahabat dan sesama karyawan lain yang hambar, dan kebutuhan hidup yang terus menekan, satu-satunya tempat tenang bagi Dina adalah ‘tempat’ yang ia kunjungi setiap jam 10 malam. ‘Tempat’ di mana dia bercengkerama dengan seorang cowok bernama Rama. Dina percaya Rama dan dunia ‘maya’ itulah yang bakal menyelamatkan dirinya. Tapi keadaan semakin buruk, nyawa-nyawa mulai melayang, saat realita menghantam sampai ke dunia aman Dina tersebut.

Dan pada akhirnya, senyum-lah yang justru paling susah dilakukan oleh orang-orang kecil seperti kita dan Dina

 

Seperti yang dilakukannya di film Inang (2022), Fajar Nugros kembali bermain-main dengan peran meta. Bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan cast yang ia pilih untuk memerankan karakter-karakter. Laura Basuki jadi meta saat memerankan Dina karena di mata penonton Laura Basuki punya image yang kuat sebagai perempuan yang innocent. I mean, di film ini kita nanti akan melihat makhluk Tuhan selembut Laura Basuki harus marah-marahin orang. Dia meletakkan simbol polos di tengah dunia yang keras sehingga bagi penonton, terasa ada lapisan ekstra, misalnya, ketika karakter Dina yang tadinya merasa kesulitan akhirnya bisa meledak marahin orang. ‘Anjing-anjingin’ orang. Efek sebuah kota begitu keras sampai-sampai ‘menghancurkan’ karakternya yang terus ditekan jadi lebih mudah terdeliver kepada kita. Selain Laura dan Dina, film ini juga menyiapkan satu karakter meta lagi, tapi lebih berfungsi untuk komedi. Yang komedi tersebut juga berjalan dua lapis. Pertama dari image aktornya tadi, dan kedua dari eksistensi karakter religius ini dalam dunia pinjol yang keras tersebut.

Inilah yang akhirnya membedakan Sleep Call dengan Mulholland Drive yang menggambarkan ‘politik belakang layar’ Hollywood dan kebimbangan (and later, kejatuhan) karakternya lewat adegan-adegan yang semuanya dream-like dan surealis . Fajar Nugros memilih untuk memotret kerasnya ibukota terhadap jelata dengan lebih gamblang. Seringkali juga menyentil lewat komedi. Polosnya Dina saat menagih utang ke rumah duka.  Celetukan sesama karyawan pinjol – dengan latar beragam – dalam ‘membenarkan’ kerjaan mereka. Komedi-komedi ini membangun ke momen-momen yang lebih kelam, seiring berlanjutnya cerita. Puncaknya, ya adegan-adegan thriller. Sleep Call memotret dengan intens, dan seperti yang diperlihatkan langsung di pembuka (as a stolen prologue), film ini gak ragu untuk jadi berdarah-darah demi memvisualkan efek dramatis dari tema gimana kerasnya kehidupan membuat seseorang jadi ‘edan’. Bahkan adegan yang lebih metafora seperti cerita Ramayana (dengan karakter yang jadi garisbawah karakter-karakter dalam Sleep Call) yang didengar oleh Dina juga tidak dibuat surealis seperti Klub Silencio di Hollywood versi Mulholland Drive. Momen surealis film Sleep Call justru hadir ketika menggambarkan Dina di ruang-ruang amannya bersama Rama. Film mengontraskan dunia ini dengan dunia nyata lewat antara pencahayaan, yang jadi ungu-ungu neon, ataupun dari ruang dan setting yang lebih ‘terbuka’. Film tidak benar-benar menuntun kita, sometimes cerita akan berjalan dengan abrupt, tapi tanda-tanda visual yang dilakukan film tersebut menjadi pegangan yang cukup untuk membuat kita bisa mengerti.

Menjaga hal untuk tetap tampak real dan dekat membuat film ini tentu saja lebih accessible bagi penonton. Sementara latar soal fenomena dating online mampu mengangkat concern yang aktual tentang resiko dan bahayanya dunia maya, latar tentang pinjol-lah yang mampu membuat film ini unik, merakyat, dan terasa urgent. Bahwa, ngerinya, cerita seperti di Jakarta Dina ini, mungkin sedang terjadi di luar sana, yang bahkan tidak terbatas pada Jakarta, atau bahkan pada orang kecil saja. Senyum – marah. Nyata – maya. Kaya – miskin. Duality-duality yang menghiasi cerita seperti membangun kepada komentar sosial yang ingin disampaikan oleh film ini.  Dan karenanya, sesekali kita juga bisa merasakan ada vibe-vibe seperti film Parasite (2019) atau malah Hunger Games merayapi film ini. Ada satu adegan yang benar-benar memperlihatkan jurang antara dua kelas sosial tersebut. Yang memperlihatkan saat si Kaya hanya menganggap si Miskin sebagai hiburan.

Orang-orang miskin harus saling bunuh demi bisa survive. Orang-orang kaya mempekerjakan mereka untuk saling bunuh tersebut. Dan di dunia yang begitu keras membagi manusia ke dalam dualitas ini, kita tidak bisa mengharapkan ada penyelamat yang datang. Pada akhirnya, seperti Dina, kita harus menyelamatkan diri sendiri.

 

Pandangan tersebut saat dibawa oleh film ke dalam perspektif karakternya, membuat cerita menjadi kisah personal seorang perempuan, bukan saja semata soal miskin dan kaya. Duality bertambah satu. Gender. Cerita Ramayana tadi seketika jadi epos usang, yang oleh karakter utama cerita hanya jadi harapan kosong. Film menuai bobot dramatis lebih lanjut dari sini. Semuanya bakal terhimpun menjadi satu penyadaran dan akhir yang dramatis  dari perjalanan karakternya. Sehingga film ini terangkat, bukan hanya sekadar soal ‘ternyata’

WAKE UP!!

 

Karena memang, lubang betmen pada genre psychological thriller ini adalah cerita jadi cuma tentang ternyata si karakternya adalah apa. Lupa memuat journey dan pengembangan inner dari si karakter. Kembali kita ambil contoh Mulholland Drive; film tersebut memang bergerak dalam bangunan untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya Betty dan Diane, dan Rita dan Camilla, dan banyak lagi. Tapi melalui proses pengungkapan dan visualisasi dunia surealis tersebut kita bisa melihat journey satu orang sebagai perspektif utama cerita. Ketika dia menyadari dia sebenarnya ‘apa’, kita memahami kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Kita tahu journey naas yang ia alami. Hollywood failed her. Sleep Call, seperti sudah kusebut di awal, punya dasar bentukan cerita yang sama. Di akhir cerita kita sadar – just as Dina sendiri sadar – ‘apa’ sebenarnya Dina. Tapi film tidak stop di sekadar dia ternyata ‘apa’, karena kita di akhir cerita paham journey yang membuat Dina sampai ke titik itu. Kita paham Jakarta, nyata dan maya, broke her. Perubahan karakternya yang kita antisipasi – dari polos jadi beradaptasi dengan kerasnya dunia – jadi punya dramatic irony setelah kita melihat apa yang dia lakukan di akhir.

However, karena itulah aku merasa film ini agak overkill saat membentuk backstory dari journey Dina. Harusnya ada batasan jelas kapan Dina, biar gak spoiler amat katakanlah, ‘rusak’. Membuatnya ternyata sudah mulai ‘rusak’ sedari awal, seperti yang dilakukan oleh film ini, malah mengaburkan journey yang ia alami dalam frame waktu cerita film ini berlangsung. Mengurangi efek dramatis soal tidak ada tempat untuk dia menaruh harapan, karena sekarang kita jadi ragu apakah hubungan dengan Rama selama sleep call itu ada simply karena Dina sudah ‘rusak’ atau itu adalah bentukan yang kompleks dari proyeksi dirinya yang berjuang mengarungi dunia nyata yang keras dan kejam – which is I believed yang inilah yang sebenarnya diniatkan oleh film. Tapi ya, film ini sendirinya jadi agak sedikit terlalu terlena dengan elemen thriller dari karakter utamanya.

 

 




Film ini adalah apa yang terjadi ketika filmmaker yang tahu persis apa yang mau dibicarakan, yang sudah mulai punya bentuk khasnya, tapi tetap membuka diri untuk tantangan baru. Tahun lalu Inang dibuatnya sebagai sebuah elevated horor, tapi agak kurang pada galian psikologisnya. Film kali ini, bukan saja beneran sebuah psychological thriller, tapi menurutku film ini punya keunikan untuk bisa menantang Mulholland Drive. Keputusan untuk membuat momen-momen paling naas karakter lebih gamblang alih-alih surealis mampu membuat film terasa urgent dan lebih mudah konek pada penonton kita. Beat-beat cerita dan journey karakternya berhasil terasa dramatis dan intens. Film ini juga menggunakan komedi dengan baik untuk memperkuat delivery temanya. Genre ini naturally punya lubang jebakan, dan film ini berhasil melangkahi itu karena ini bukan sekadar cerita ‘ternyata’. But I did feel film ini agak overkill dengan backstory sehingga mengurangi efek dramatis dari journey psikologis karakternya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SLEEP CALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah penceritaan psikologis seperti yang dilakukan oleh film ini mudah untuk diikuti, atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



TALK TO ME Review

 

“Death is the wish of some, the relief of many, and the end of all”

 

 

Kematian – duka – drugs. Lingkaran setan depresi yang merundung remaja itulah yang digambarkan oleh film horor buatan sutradara kembar asal Australia, Danny dan Michael Philippou. Debut penyutradaraan mereka ini ternyata enggak bisa dianggap kaleng-kaleng! Talk to Me punya nafas horor yang kental, disertai pula dengan konsep dan penyimbolan yang menarik. Sekilas ini terlihat seperti another jelangkung-like story, you know, cerita manggil-manggil arwah lalu lantas kesurupan. Alih-alih boneka atau papan ouija, film ini menggunakan patung tangan. Para anak muda karakter cerita nanti bukan hanya kesurupan, tapi kecanduan kesurupan. Begitulah film ini menjadikan dirinya unik, tangan pemanggil arwah dijadikan seperti perumpaan drugs – candu tempat anak muda melarikan diri dari membicarakan masalah. Dalam hal ini duka karena kehilangan orang yang dicinta. Set up dan paruh awal film ini memang efektif sekali membuat kita terpaku menatap layar (sambil sesekali jantungan oleh jumpscare). Aku pengen suka film ini, secara teknis definitely one of the decent horror out there. Tapi di paruh akhir, aku duduk di sana merasa jengkel. Oleh karakter utamanya, dan oleh cerita yang berkembang dengan aneh.

Remaja-remaja dalam Talk to Me berhura-hura. Berpesta. Di rumah salah satu dari mereka yang kebetulan orangtuanya lagi pergi, atau yang cukup ‘open minded’ untuk ngebolehin mereka bersuka ria. Mereka lantas berkerumun nyobain satu hal baru ini. Bergantian nyicipin sensasi ketegangan dan menyerempet bahaya, tapi sekaligus juga ngasih kelegaan dan kepuasaan tersendiri, karena mereka telah berani mencoba. Mengalahkan tantangan sosial sehingga akhirnya mereka semakin diterima di dalam lingkaran ‘anak-anak keren’. Hal baru tersebut adalah sepotong patung tangan yang bisa membuat siapa saja yang menggenggamnya (serupa bersalaman) dapat melihat roh gentayangan, entah itu hantu atau setan. Bahkan ketika anak-anak remaja itu mengizinkan, roh itu bisa masuk ke dalam tubuh mereka. Sembilan-puluh detik adalah batas waktu yang tak boleh dilanggar, selewat itu ritual harus dihentikan jika tidak mau si empunya tubuh kesurupan selamanya. Tubuhnya bakal jadi milik si roh yang diizinkan masuk. See, kata kuncinya adalah berbahaya. Perbandingan permainan horor tersebut dengan narkoba memang jelas ditarik oleh film. Dalam salah satu adegan montase kita melihat para karakter remaja cerita ini udah kayak sedang teler, bergantian mencoba tangan tersebut, berkali-kali. Mereka bersenang-senang dan seperti udah mabok beneran. Permainan berbahaya itu esensial bagi pergaulan karakter remaja di film ini. Ada yang melihatnya sebagai ‘syarat’ untuk diterima. Melihatnya sebagai cara untuk populer. Ada yang menjadikannya sebagai outlet untuk melupakan masalah. Karakter utama kita, Mia, melihat permainan itu sebagai ketiganya sekaligus.

Mia kehilangan ibunya dua tahun yang lalu. Sang ibu bunuh diri, tapi Mia masih memendam grief luar biasa. Kita melihat di balik keceriaannya, di balik hubungannya yang tampak akrab dengan kakak-beradik Jade dan Riley, Mia belum berdamai dengan tragedi tersebut. Dia masih gak mau percaya akan pilihan naas ibunya, dan deep inside masih terus berusaha mencari jawaban. Namun sebagaimana remaja yang lagi rentan, rapuh, tapi pengen terlihat kuat, Mia mencari jawaban di tempat lain. Bukannya membicarakan secara dewasa dengan ayah, Mia mencari penenangan diri lewat, yah, hal-hal seperti drugs atau permainan horor ‘bicara dengan tangan’ tadi. Di antara teman-temannya, Mia memang yang paling semangat mencoba main ini. Ketika Riley, yang paling kecil di antara mereka, mencoba patung tangan, Mia yang menyangka Riley kesurupan arwah ibunya. Ini menyebabkan Riley melewati batas waktu, sehingga nyawanya kini terancam. Mia harus bertanggungjawab dan menyelamatkan Riley, dan itu berarti dia harus mengkonfrontasi penyebab ibunya bunuh diri.

Berjabat tangan dengan maut

 

Urusan horor, film ini memang gak malu-malu. Duo sutradara kita paham bahwa ini kesempatan bagi mereka to show they are a big deal here in this genre. Dan passion itu memang kelihatan. Talk to Me punya momen-momen horor yang intens. Adegan kesurupannya adalah campuran antara chaos dan fun. Pendekatan yang mereka ambil punya reference ke horor seperti Evil Dead, dengan penampilan yang over-the-top dan level gore yang bakal sukses bikin kita meringis. Adegan Riley membentur-benturkan wajahnya ke meja niscaya bakal jadi tantangan tersulit kalo dimasukin ke video ‘don’t look away challenge’. Dan bukan cuma sebatas horor fisik, film ini juga mengerti membangun suspens untuk horor yang lebih emosional. Horor yang lebih ‘mental’. Ruh-ruh yang memasuki tubuh remaja-remaja itu akan membuat mereka bertindak atau mengatakan hal yang berhubungan dengan ketakutan atau hidup mereka. Seringkali terciptakan kondisi awkward yang begitu ekstrim saat hantu membocorkan ‘rahasia’ hostnya. Saat membuat host yang religius melakukan tindakan paling bikin setan ngakak. misalnya. Selain itu, film ini jadi horor mental karena ada banyak juga adegan ketika Mia merasa ambigu. Apakah dia benar melihat setan, atau dialah yang bertingkah aneh. Apakah benar dia cuma sekali ‘menyentuh’ ganja. Apakah roh yang bicara kepadanya itu memang hantu ibunya, ataukah justru hantu jahat lain yang mencoba menipunya. Or worse; semuanya memang hanya karena kepalanya saja yang enggak beres.

Mia harusnya karakter yang menarik dengan banyak konflik personal regarding tragedi di masa lalu. Duka yang belum mampu dia hadapi, sehingga dia terjerumus pelampiasan yang enggak benar. Tapi naskah membuat karakter ini nyaris unbearable. Mia, buatku, malah jatohnya terasa annoying karena keambiguan, misteri yang menimpanya tidak pernah benar-benar dibuat untuk menempa development Mia. Begini, jika melihat dari build up di paruh awal, journey Mia sepertinya diarahkan tentang mengikhlaskan ibu. Mia seperti harus belajar percaya bahwa ibunya ‘baik-baik saja’, bahwa beliau benar bunuh diri karena setiap orang punya masalah dan terkadang beberapa orang menganggap kematian sebagai sebuah harapan. Itulah sebabnya kenapa ada adegan Mia ‘ketemu’ kanguru yang sekarat di tengah jalan. Riley yang bersamanya di saat itu mengerti bahwa kanguru tersebut harus mereka bantu. Kanguru butuh Mia untuk menghilangkan penderitaannya, alias si kanguru meminta Mia untuk menggilas dirinya. Tapi Mia gak tega. More than that, Mia gak tahu betapa sakralnya kematian. Jika Mia tahu, dia tentu tidak akan sesemangat itu main manggil hantu-hantuan. Yang Mia lakukan adalah, pergi meninggalkan kanguru. Sekali lagi menunjukkan bahwa dia lebih suka untuk ‘kabur’ dari masalahnya. Nah, dari ‘kesalahannya’ tersebut, maka pembelajaran bagi Mia berarti harusnya adalah menyadari bahwa kenyataan harus dihadapi, meski itu berarti menerima bahwa ibunya bunuh diri karena bagi ibunya itu satu-satunya cara untuk bebas.

Talk to me adalah ‘mantra’ yang diucapkan saat anak-anak itu sudah siap untuk melihat hantu dengan bantuan patung tangan. Dikaitkan dengan konteks cerita ini, kata-kata tersebut juga dapat berarti pesan untuk kita bahwa suatu masalah ya harus dibicarakan. Masalah sulit dalam hidup remaja salah satunya adalah soal kematian, for kehilangan orang yang disayang memang bisa membuat anak muda terjerumus ke lingkaran setan. Film ini nunjukin bahwa momok sebenarnya bukanlah kematian, karena kematian bisa berarti berbeda-beda bagi orang. Beberapa bahkan menganggapnya jalan keluar. Momok sebenarnya justru adalah hal yang bisa orang lakukan jika dia belum berdamai dengan kematian tersebut.

 

Tapi momen pembelajaran Mia tidak kunjung datang. Jikapun ada, cara film menceritakannya membuat momen tersebut hanya jadi sebuah shock value. Untuk tidak ngespoil terlalu banyak; momen Mia memilih membunuh Riley atau tidak oleh film ini hanya dijadikan kejutan buat kita. Padahal harusnya kita dibuat mengerti kenapa Mia memilih hal yang akhirnya dia lakukan.  Harusnya kita ada di dalam kepala Mia saat itu, bukannya berada di dalam mobil yang sedang melaju. Karena di momen itulah Mia baru benar-benar bergulat dengan kematian, dengan topik yang selama ini ia hindari karena dia takut berhadapan dengan kenyataan tentang ibunya. Personal Mia bergulat dengan pertanyaan apakah Riley juga wish for a death, bisikan hantu ibunya mewakili apa yang ingin dia yakini sedangkan kenyataan mewakili apa yang butuh untuk dia percaya. Secara kejadian kulit luarnya pun, aku merasa gak yakin lagi soal apa yang ingin film ini sampaikan selain bikin kita surprise. Sampai di rumah saat pulang dari menonton film ini di bioskop, aku masih bingung sama pilihan Mia karena menurutku gak make sense dengan apa yang sebelumnya ini dia lalui. Like, dia baru saja ninggalin ayahnya bersimbah darah untuk menipu sahabatnya, supaya bisa membunuh adik si sahabat, tapi setelah capek-capek jalanin rencana itu, Mia malah tidak follow thru her plan. Kenapa dia memilih ini. Apa pengaruh pilihannya ini pada journey Mia yang telah dibangun? Aku gak bisa menjawab itu lantaran paruh akhir film seperti melipir dari build up di awal dengan ngasih banyak ambigu tapi terkesan trying too hard supaya kita bersimpati pada karakter Mia. Dan oh boy, bersimpati kepadanya adalah hal yang benar-benar susah.

Real definisi ‘gak percaya sama orang hidup”

 

Akting Sophie Wilde sebenarnya total. Namun aku lebih suka Mia saat dia kesurupan ngejahilin Riley, Jade, dan teman-teman lain ketimbang Mia dengan mode sok histeris dirundung grief dan hantu. Mia ditulis sebagai karakter yang benar-benar cari masalah, kemudian sok menjadi yang paling terluka. Misalnya, dia sendiri yang bersikeras membolehkan Riley yang masih terlalu muda untuk mencoba permainan patung tangan, tapi kemudian dia ‘mengajak’ teman yang lain untuk ikutan ngaku bersalah. Relasi film sebenarnya didesain cukup kompleks. Sahabat Mia, Jade, punya pacar yang merupakan mantan Mia (eventho mereka cuma pernah pegangan tangan). Mia yang bersikeras mereka sekarang cuma temenan itu, oleh naskah yang mendesain karakter Mia sebagai orang yang menghindar membicarakan masalah, malah membuat Mia terkesan licik dengan mengajak si pacar nginap di rumahnya – saat mereka semua terguncang oleh kejadian yang menimpa Riley. Saat hal menjadi lebih intens, Mia yang harusnya sudah belajar untuk konfrontasi masalah, lebih memilih untuk percaya hantu ketimbang orang hidup. Buatku, ini membuat aksi-aksi Mia sebagai pilihan dogol yang membuat aku susah merasa relate dan peduli kepada Mia. Aku malah lebih bersimpati kepada karakter Jade, karena stake kehilangan Riley itu lebih kuat terasa. Mia gajelas bakal kehilangan apa jika hantu berhasil ngeklaim tubuh Riley.

Bahkan sekuen yang mengantar kita kepada penutup cerita yang harusnya keren dan sureal, terasa hampa karena Mia hanya berakhir sebagai karakter yang ‘oh ternyata dia sekarang jadi begini” alih-alih membuat kita menyelami kenapa dia harus berakhir seperti itu. Development Mia seperti putus di tengah dan film melanjutkan ceritanya untuk jadi kisah downward spiral seorang karakter yang sikap dan pilihannya enggak simpatik. Developmentnya, pembelajarannya yang harusnya bikin kita jadi berbalik peduli kepadanya, tapi itu juga yang diputus. Makanya, aku di awal tulisan ini bilang pengembangan film ini aneh.

 

 




Paruh akhir film ini tidak harus seperti itu. Film ini punya konteks soal kematian yang dibungkus oleh ide dan konsep horor yang menarik. Yang sebenarnya serupa dengan cerita-cerita pemanggilan ruh tapi juga terasa berbeda berkat karakter dan situasi yang dihadirkan. Protagonis harusnya adalah karakter yang simpatik dan memancing dramatic irony karena kita melihat dia terus melakukan pilihan yang salah. Penyadaran dia di akhir harusnya jadi momen besar. Tapi film membelokkannya hanya menjadi sekadar kejutan. Tragisnya tidak pernah benar-benar berkesan karena si karakter kehilangan development yang telah dibangun di paruh awal. Sehingga meskipun aspek horornya menyenangkan dan super intens, kesenanganku menonton ini berkurang karena karakternya flat out annoying. Go talk to my hand aja sono! 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TALK TO ME

 




That’s all we have for now.

Mia bercerita dia punya recurring nightmare yaitu mimpi melihat dirinya gak punya pantulan di cermin. Apakah kalian juga punya mimpi buruk yang terus berulang? Kalo aku, aku paling sering mimpi ketemu kembaran seseorang dan aku harus memilih mana yang asli, mana yang hantu.

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 10 (WAKTU MAGHRIB, THE PASSENGER, HOME FOR RENT, BIRD BOX: BARCELONA, ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD, RUBY GILLMAN TEENAGE KRAKEN, COBWEB, THEY CLONED TYRONE)

 

 

Edisi kesepuluh Mini-Review ini isinya udah kayak pesta di musim panas. Mulai dari zombie hiu ke cewek laba-laba, dari mermaid jahat ke kloningan korporat, dari orang kesurupan ke psikopat hingga ke sekte-sekte sesat. Meriah! I’ve had fun nontoninnya, dan sekarang saatnya mengulas merekaa!!

 

 

BIRD BOX: BARCELONA Review

Bird Box: Barcelona adalah sekuel, yang tidak banyak memberikan jawaban baru atas fenomena khusus yang ia angkat sebagai cerita. Dunia masih tetap ‘kiamat’ oleh keberadaan sesuatu yang membuat setiap orang bunuh diri jika mata mereka melihat cahaya di luar. Sehingga film ini memang bisa bikin penonton yang ingin tahu kelanjutan atau penyelesaian masalah itu jadi kecewa.

Aku pun pastinya bakal menutup mata juga loh kalo saja sutradara Alex dan David Pastor benar-benar tidak punya tawaran baru. But they did have one. Enggak gede, memang, namun buatku sudah cukup untuk membuka sesuatu yang baru dalam experiencing dunia cerita mereka. Hal yang beda kali ini itu adalah perspektif. Kali ini bukan tentang seorang ibu yang memegang teguh harapan dan kepercayaan untuk membawa anak-anaknya ke tempat keselamatan. Melainkan tentang seorang ayah yang ingin melihat keluarganya lagi. Protagonis kali ini bukan orang baek-baek yang pengen survive. Melainkan salah satu anggota cult yang percaya tugas mereka adalah membimbing sebanyak mungkin orang untuk melihat ‘keindahan’ mematikan. Journey protagonis dalam menyadari kesalahannya yang bikin film ini menarik. Gimana nanti dia berinteraksi dan belajar dari calon korbannya.

Mungkin lebih tepat kalo kita menganggap film ini bukan sebagai sekuel, tapi sebagai companion saja dari film pertamanya. Elemen-elemennya memang berulang dan gak banyak development baru. Tapi kalo dibandingkan dengan film pertamanya, journey protagonis kali ini lebih menarik dan menantang.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIRD BOX: BARCELONA

.

 

 

COBWEB Review

Horor ‘makhluk yang tinggal di dalam dinding rumah’ selalu punya pesona tersendiri. I think it’s because kita semua setidaknya pernah sekali seumur hidup kebayang yang enggak-enggak ketika mendengar bunyi derit rumah. Perfect banget buat jadi elemen cerita horor. Melihat ke belakang, film kayak Housebound (2014) atau The Boy (2016), cerita tentang seseorang di balik dinding ini bisa sukses karena faktor surprise di dalam ceritanya, tapi sekaligus juga punya kendala yang sama; bagaimana memasukakalkan orang bisa hidup sekian lama di balik tembok. Mari kita lihat cara sutradara Samuel Bodin menghandle soal itu dalam Cobweb

Again, film ini punya langkah awal yang bagus dari perspektif utama. Anak kecil yang mendengar suara di balik dinding rumah, tapi orangtuanya gak percaya. Dari sini drama horornya berjalan. Enggak dibuat ambigu dan menantang, tapi horornya dirancang untuk hiburan mainstream yang efektif, dari sikap orangtua yang mencurigakan. Membangun ke arah pengungkapan siapa di balik dinding, untuk kemudian diubah film menjadi sajian horor kedua, yakni horor creature. Yang di sinilah buatku film jadi kayak kesangkut sendiri pada jaring horor yang mereka buat.

Walau memang paruh akhirnya jauh lebih seru, tapi bagian itu juga lebih generik. Aku gak tahu apakah karena itu film jadi berusaha membuat si makhkluk jadi bombastis, atau mereka cuma pengen beda, tapi hasilnya film ini jadi konyol dan mungkin lebih tepat kalo dibuat sebagai horor komedi. Film seperti tidak bisa memilih makhuk horornya, apakah manusia atau hantu. Jadi mereka membuatnya basically kayak gabungan keduanya. Perspektif karakternya pun jadi tidak terpakai lagi, padahal diceritakan makhluk itu adalah saudara dari si karakter utama. Maka endingnya pun terasa jadi flat.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for COBWEB

 

 

 

HOME FOR RENT Review

Tiga tahun belakangan aku gak terkesan sama horor Thailand. Dua yang tayang, dengan hype besar dan populer itu, actually melempem dari segi cerita karena hanya dibuat sebagai wahana jumpscare. Ekspektasiku buat horor Thailand lagi agak rendah, makanya karya Sophon Sakdaphisit menarik telak buatku!

Ini sudah bukan lagi soal ekspektasiku. Home for Rent memang punya cerita yang kuat di balik sajian horor tentang sekte misterius. Cerita orangtua yang berkubang duka begitu dalam, sehingga rela melakukan sesuatu di luar nalar dan bahkan membahayakan keluarganya. Berkisah tentang film ini actually agak susah, karena satu lagi ‘fitur’ yang dipunya oleh film ini adalah mencacah ceritanya ke dalam beberapa sudut pandang. Kita akan berpindah melihat satu kejadian yang sama, dari sudut karakter yang berbeda. Fitur storytelling yang beresiko, tapi juga punya kelebihan yakni membuat pengungkapan misteri jadi berbobot karena ditambatkan kepada perspektif karakter.

Home for Rent terbukti menggunakan cara bercerita seperti itu tidak untuk menutupi dangkalnya bahasan. Melainkan ya ketajaman naluri sutradara untuk membuat cerita dramatis, sekaligus memperkaya cerita dan misteri lewat lapisan sudut pandang. Perpindahan sudut pandang itu juga tak membuat siapa karakter utama jadi tidak jelas. Naskah tetap tegas, Development dan journey dramatis tetap pada Ning, si ibu, sebagai karakter utama.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for HOME FOR RENT

 

 

 

RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN Review

Jika kraken adalah makhluk laut dengan lengan atau tentakel banyak, maka Ruby Gillman, Teenage Kraken adalah film dengan banyak sekali cabang-cabang yang mengingatkan kita kepada film lain. Yang bikin aku sedikit kecewa adalah kisah tentang makhluk mitos yang menyamar jadi manusia, hidup seperti manusia, ini harusnya kisah yang benar-benar original. Namun sutradara Kirk DeMicco dan Faryn Pearl seperti tidak bisa memutuskan.

Beberapa dari kalian mungkin akan menyebut ini kayak Turning Red (2022). Mungkin ada juga yang memiripkan ini seperti Luca, atau malah Harry Potter. Mungkin film ini memang mengincar kemiripan itu. Karena to be honest, Ruby Gillman bekerja paling kocak saat menjadi parodi. You know, gimana mereka membalikkan status jadi kraken baik dan mermaid jahat. Gimana mereka menggambarkan sosok si jahat itu. Desainnya yang playful dan ngasih komedi tersendiri. Kekecewaanku memang akhirnya terobati dari gimana film ini membentuk para karakternya. Mereka semua terasa mencuat di balik cerita yang not really interesting dan berjuang untuk mengapung sebagai sesuatu yang berbeda. Sebagai tontonan untuk keluarga, tentu saja film ini merupakan alternatif yang baik. Dengan segala pesan ibu-anak perempuan dan persahabatannya. Selain itu, film ini juga punya elemen action yang bikin penonton cilik semakin betah menanti akhir kisahnya

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RUBY GILLMAN, TEENAGE KRAKEN

 




THE PASSENGER Review

Terlalu sering kita mendengar nasehat untuk tidak melihat siapa orangnya, tapi lihatlah apa yang dikatakan olehnya. Nasehat yang jelas agak ganjil karena bayangkan kalo kita dilarang menyerobot antrean oleh seorang koruptor, misalnya. Nonton The Passenger karya Carter Smith akan terasa ganjil seperti begitu karena di film ini kita akan melihat protagonis yang sedang dibantu untuk membereskan masalah personal di dalam hidupnya, oleh seorang ‘teman’ yang baru saja membunuhi orang-orang di diner tempat mereka bekerja.

The Passenger adalah road trip intens, bukan oleh aksi-aksi, melainkan oleh dinamika karakternya. Seorang pria muda yang begitu helpless dan terguncang oleh yang ia perbuat di masa lalu sampai-sampai seseorang yang berbahaya, meledak-ledak, tergerak untuk membantunya. Tahun lalu, ada film Piggy (2022) yang mirip seperti ini, cewek korban bully dan body shaming, dikasihani oleh pembunuh psikopat. Tapi film tersebut berkembang jadi thriller bunuh-bunuhan generik. The Passenger mengembangkan ceritanya dengan lebih berfokus kepada drama. Dua karakter sentral dimainkan dengan sangat meyakinkan, emosi mereka terasa raw, rough, tapi memang itulah yang dibutuhkan oleh cerita. Film ini berhasil membuatku bercakap-cakap dengan layar, berusaha ngobrol dengan para karakter. Di satu sisi, kita ingin Bradley melarikan diri dan selamat, tapi di sisi lain kita juga ingin dia menemukan keberanian untuk mengkonfrontasi masa lalunya, dan satu-satunya cara ya lewat Benson yang tak pernah jauh dari pistolnya.

Bukan siapa yang benar-siapa yang salah, siapa yang jahat-siapa yang baik yang ingin dicapai oleh film. Karena dua karakternya itu akan menjadi sesuatu yang lebih dekat dari sahabat tapi juga begitu berjarak seperti musuh paling bebuyutan. Jalinan kuat dan unik yang perlahan terbentuk inilah yang bikin kita betah nonton sampai beres.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PASSENGER

 

 

 

THEY CLONED TYRONE Review

Nah ini baru unik, seru dan kocak juga! Cara mereka ngambil judul aja udah demikian menarik, jika kita lihat konteks ceritanya. Dari luarnya, They Cloned Tyrone seperti cerita ala Groundhog Day, hanya lebih ‘gila’. Jadi si Fountaine ngerasa hidupnya rada-rada berulang gitu. Tapi bukan karena dia masuk time loop. Fountaine sebenarnya telah tewas, tapi dia terbangun seperti biasa di kamar, dan kembali menjalani rutinitasnya sebagai drug dealer seperti gak ada apa-apa. Aslinya, Fountaine sudah dikloning, dan dia baru tahu akan apa yang sebenarnya terjadi dari interaksinya dengan unlikely allies.

Di dalam, They Cloned Tyrone sebenarnya sebuah komentar sosial. Juel Taylor dalam debut penyutradaannya ini bikin sesuatu yang bisa berdampingan dengan horor-horornya Jordan Peele. Karena sesungguhnya film ini juga punya concern terhadap eksploitasi warga kulit hitam. Bukan cuma Fountaine yang dikloning, hampir semua orang di lingkungan mereka ternyata jadi bahan percobaan perusahaan kulit putih yang punya markas di bawah tanah. Waralaba ayam goreng, produk pengecat rambut, hal-hal yang mereka tonton iklannya di TV ternyata adalah alat untuk ‘mengendalikan’ mereka. Semua itu dibikin oleh film sebagai simbol bagaimana stereotipe yang tersemat pada warga kulit hitam sebenarnya tak lebih dari sebuah eksploitasi

Bibit misteri dan komedi tumbuh dengan asik. Trio sentral (John Boyega, Jamie Foxx, dan Teyonah Parris) bikin cerita makin seru dengan enerji dan personality mereka masing-masing. Film ini bisa sangat menghibur. Problem sedikit ada pada pacing pada cerita yang secara natural punya beberapa pengulangan, juga karena bentukannya yang berupa pemecahan misteri. Film pada beberapa kesempatan masih terlihat struggling untuk menjaga pace, menurutku kalo film bisa lincah dalam tempo dan komedi, tentu penceritaannya lebih nonjok lagi.

The Palace of Wisdom gives 6.5  gold stars out of 10 for THEY CLONED TYRONE

 

 

 

WAKTU MAGHRIB Review

Untuk beberapa waktu, horor karya Sidharta Tata ini jadi film Indonesia paling laris di 2023. Dan setelah ditonton, aku bisa paham kenapa film ini menghasilkan kesan dan pembicaraan yang baik. Waktu Maghrib dengan cerdik menjadikan ceritanya berpusat pada karakter anak, tapi dengan horor yang tetap brutal. Konteks ceritanya pun diambil yang ‘dekat’ dengan penonton, kepercayaan bahwa waktu maghrib adalah waktu tabu untuk keluar rumah.

Saat nonton ini, aku kepikiran Forbidden Siren, game horor tentang warga di sebuah desa yang dilarang keluar rumah saat sirine berbunyi di malam hari, yang tetap nekat ya berubah jadi zombie berdarah-darah. Desain horor film ini mirip dengan itu (I think it would be cool kalo suara sirine diganti suara adzan maghrib). Bahasan tentang orang takut ke mesjid karena setan maghrib tentu bakal menarik jika digali. Tapi Waktu Maghrib ternyata hanya memperlihatkan soal itu sekilas. Naskah dan arahannya seperti bergelut pengen menceritakan apa, dan akhirnya memilih jalan yang generik. Waktu Maghrib tak lagi membahas ketakutan tersebut, melainkan jadi literally sosok setan yang membuat anak-anak bunuh diri. Jadi tebak-tebakan misteri siapa yang sebenarnya jahat.

Ketika satu anak mati, cerita pindah ke anak lain. Perspektif berpindah-pindah yang dilakukan Waktu Maghrib tidak sebaik yang dilakukan oleh Home for Rent. Karena di Waktu Maghrib, tokoh utamanya gak pernah jelas. Tidak ada karakter yang mengalami development, karena cerita hanya tentang selamat dari hantu. Plotnya hanya tentang ‘oh ternyata’. Motivasi dan mitologinya enggak berkembang dengan baik. Suasana desanya tidak pernah tergambar detil, padahal set upnya sebenarnya menarik. Kita tahu film ini not follow through idenya sendiri, saat film bahkan gak mampu gambarin suasana maghrib itu dengan genuine.

The Palace of Wisdom gives 3 gold star out of 10 for WAKTU MAGHRIB

 

 

 

ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD Review

Yang aku gak suka dari film ini cuma judulnya. Selebihnya, film ini such a blast! Idenya segar banget. I know for a fact, kalo ini dibikin oleh Hollywood, maka judulnya pasti adalah Zombie Shark, atau Zombie Shark Hero.

Sutradara Yusuke Ishida sebenarnya ngambil setting zombie apocalypse cuma untuk perumpamaan. Karyawan yang kerja pagi pulang malam, nurut-nurut saja sama bos yang toxic berlindung di balik istilah keluarga, atau terus ‘ngedoktrin’ mereka bahwa mereka bukan apa-apa tanpa kerjaan ini, dianggap sebagai zombie. Kalo sedang tidak dikejar zombie, maka si Akira Tendo, karakter utama kita itulah yang jadi zombie korporat. Dia justru tampak lebih hidup saat membasmi zombie-zombie beneran, karena cuma di saat itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri. Akira sampai bikin list sendiri, kegiatan-kegiatan yang ingin dia lakukan mumpung sempat karena dia bisa gak masuk kerja sebab dunia dilanda wabah zombie. Akira dan listnya jadi kontras yang menarik pada genre zombie yang biasanya karakter utama justru si kikuk yang harus jadi jagoan dan punya list berupa aturan yang gak boleh dilanggar kalo mau selamat di dunia zombie. Akira dan listnya malah hidup bersenang-senang saat ada zombie. Yang paling ngakak ya ketika film ini gambarin siapa lawan Akira sebenarnya. Siapa musuh karyawan-karyawan kecil. Ya, corporate shark. Film menggambarkannya jadi literally hiu zombie, Hiu dengan kaki-kaki zombie. Design makhluk horor yang sungguh jenius hahaha. Vibe over-the-topnya masuk dan gak pernah jadi annoying ataupun bikin film jadi bablas receh

Film ini bekerja terbaik ketika mengumpamakan hal tersebut. Vibe cerianya di saat horor sebenarnya jadi ironi yang lucu. Stake di cerita ini bukan dari nyawa Akira yang bisa menghilang kalo dia kena gigit zombie. Melainkan, kita lebih khawatir kalo Akira kembali jadi budak di kantor. Journey Akira juga dipenuhi oleh karakter-karakter manusia yang bakal membantunya menyadari bahwa dia jadi zombie begitu urusan kerjaan dan bosnya tiba. Bagian serunya buatku ya di babak awal, dan di babak akhir. Babak keduanya sedikit generik, meski memang perlu untuk ngebuild up relasinya dengan karakter lain. Kalo film fokus di perumpaman, cerita tidak dipanjang-panjangin oleh kejadian Akira dan gengnya di luar sana dengan zombie-zombie generik, maka film ini akan lebih enak ditonton.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ZOM 100: BUCKET LIST OF THE DEAD

 

 





That’s all we have for now

Kita sudah di paruh akhir 2023, dan aku sudah mulai bisa melihat calon-calon yang bakal masuk Top-8 ku untuk tahun ini. Gimana dengan kalian? Apakah kalian punya rekomendasi film 2023 yang mungkin terlewat olehku, dan kalian merasa film itu pantas dapat skor 8? Silakan share di komen.

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INSIDIOUS: THE RED DOOR Review

 

“Painting is good for the soul”

 

 

Insidious original membuka pintu baru dalam sinema horor ala wahana rumah hantu. Perjalanan masuk ke dalam dunia lain. Wuih, pokoknya sejak Insidious booming, gak terhitung deh ada berapa film horor Indonesia yang terinspirasi konsep menjelajah ke other side lewat proyeksi astral seperti yang dipunya oleh film yang ditelurkan oleh James Wan, back at 2010 itu. Dunia gaib dan rulenya memang berbeda-beda, tapi dari gaya dan vibenya kita dengan segera bisa langsung pinpoint yang sedang ‘ditiru’ itu adalah konsep The Further yang ada pada Insidious. Jika sudah seinfluential begitu, maka sudah hampir bisa dipastikan juga Insidious bakal diperah menjadi franchise. And it did. Right now, kita sedang mantengin halaman review untuk seri kelima dari franchise Insidious. Sama seperti kebanyakan franchise horor, laku bukan berarti jaminan mutu. Antara ditinggal James Wan setelah seri kedua dengan konsep yang sudah sebegitu banyak yang meniru, Insidious mulai terasa jadi biasa-biasa saja, Maka dari itulah, menggarap seri kelima ini jadi tantangan yang nyata bagi Patrick Wilson; yang dari pemain filmnya, dia debut jadi sutradara.

Patrick mengembalikan Insidious: The Red Door kepada cerita keluarga Josh Lambert.  Terakhir kali kita melihat mereka di Insidious Chapter 2(2013), keluarga itu memutuskan untuk melakukan terapi hipnotis untuk melupakan teror di masa lalu, supaya tak lagi dihantui. Supaya anak-anaknya gak trauma dulu ayah mereka pernah berusaha membunuh mereka karena dirasuki setan. Ingatan itu dikubur dalam-dalam supaya keluarga ini bisa move on dan hidup normal serta bahagia. Well, fast forward sepuluh tahun kemudian, kita melihat hidup mereka memang cukup normal, tapi mereka gak exactly terlihat seperti keluarga bahagia. Malahan, mereka sudah bukan keluarga utuh. Josh sudah cerai dengan istrinya. Dan, hubungan Josh dengan anak-anaknya – terutama dengan si sulung Dalton yang sudah hendak kuliah – tidak baik-baik saja. Renggang. Baik Josh maupun Dalton seperti disibukkan dengan pikiran sendiri, bahwa ada masa-masa yang tidak bisa mereka ingat, dan ini mengganggu mereka.  Sementara Josh berusaha mencari kesembuhan yang lebih ilmiah, Dalton di asrama mulai dihantui kejadian misterius, saat di kelas tiba-tiba dia melukis sebuah pintu merah.

Pintu itu melarangmu masuk, atau melarangmu keluar, tanya dosen yang melihat lukisannya.

 

Ah, pintu yang harus ditutup alias tak boleh dibuka. Saat menonton, aku memang lantas teringat sama anime fantasy Suzume (2023) yang bicara hal serupa. Yang juga menyimbolkan ingatan traumatis dengan pintu yang tertutup. Sesuai genrenya, Insidious membicarakan persoalan itu dalam nada yang lebih kelam. Jika Suzume harus menutup pintu untuk mengalahkan cacing raksasa, dengan vibe petualangan dan bumbu romansa. Insidious mengharuskan karakternya berkonfrontasi dengan setan mengerikan, tanpa ada rule ataupun senjata yang jelas untuk mengalahkan sang momok. Pintu itu harus dibuka. Dan ‘perjalanan personal’ kedua karakter – Josh dan putranya, Dalton – untuk menemukan cara menemukan kembali ingatan mereka, dalam artian membuka pintu itu, adalah perjalanan masing-masing. Secara sendiri-sendiri (this is a broken father-son relationship, after all). Penuh oleh kejadian mengerikan yang tersampaikan kepada kita dalam bentuk jumpscare selantang-lantangnya.

Walau karakter utamanya tetap Josh Lambert, tapi film membagi dua perspektif ceritanya. Kita akan secara bergantian ngikutin Josh dan Dalton. Akibat yang paling jelas dari cara bercerita seperti ini adalah tempo yang jadi benar-benar kerasa gak balance. Sering berpindah-pindah karakter menghasilkan kesan film ini lebih panjang daripada durasi sebenarnya. Kesan ini timbul karena film otomatis punya lebih banyak kejadian. Kejadian dari sisi Josh, Dan kejadian dari sisi Dalton. Dua kejadian ini tentu saja akan ‘bersaing’ satu sama lain; kita akan merasa ada satu yang lebih seru ketimbang yang lain. Jadi kita bakal menunggu kejadian yang seru itu saja. Dalam kasus film ini, kejadian yang dialami Dalton di lingkungan kampus seni memang lebih menarik daripada yang dilewati ayahnya yang cuma di rumah. Untuk menyeimbangkan keduanya, film butuh arahan yang solid serta penulisan yang cerdik. Film ini toh tampak benar-benar berjuang untuk mencapai itu. Patrick Wilson memasukkan banyak experience baru ke dalam bagian Josh. Kayak, horor di dalam mesin scan otak, ataupun permainan memori yang dibikin sendiri oleh Josh di rumah demi melatih ingatannya. Tapi tetap saja bagian Josh ini terasa lebih generik, apalagi bandingannya adalah karakter Dalton yang berada dalam situasi baru, less drama, dan terbantu oleh karakter pendukung yang gampang disukai oleh penonton.

Dalton dipasangkan dengan Chris (cewek, bukan cowok) yang sifatnya dibikin bertolak belakang dengan Dalton. Sehingga interaksi mereka jadi seger banget, persahabatan mereka jadi kayak natural. Ty Sympkins mainin karakter pendiam dan banyak masalah, sementara Sinclair Daniel jadi orang yang cablak, nekat, dan punya selera humor. Relasi ini jelas dianggap lebih menghibur, ketimbang persoalan Josh yang lebih banyak ‘drama’ soal takut pikun dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan clue-clue dari misteri masa lalu yang gak benar-benar bisa kita ikuti. Persoalan misteri untuk bagian Dalton lebih engaging dan lebih mudah konek kepada penonton karena banyak menyangkut ke adegan-adegan film Insidious saat dia masih kecil. Aku sendiri, lebih tertarik oleh gimana film membuat melukis sebagai cara Dalton teringat kembali kepada hal yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam oleh terapinya dulu. Jadi sebagai mahasiswa seni lukis, Dalton diajarkan untuk menggambar berdasarkan apa yang ia rasakan. Dalton diajar untuk membuka pintu di dalam dirinya. Ajaran itu accidentally membuat Dalton bersentuhan dengan ingatan terkuburnya. Membuat Dalton jadi kembali bisa nyebrang ke The Further (istilah film ini untuk dunia lain), meskipun di titik itu dia belum lagi ingat atau mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan. Dan tebak ngapain dia dengan pengalaman mistis ‘barunya’ tersebut? Sama seperti anak muda pada umumnya, dia gunakan The Further untuk menggoda temannya. Menggoda si Chris hahaha

Ada yang ngitung berapa banyak objek warna merah yang muncul sepanjang film?

 

Konsep melukis dengan membuka pintu dalam diri ini mengingatkanku sama dulu waktu belajar nulis. Aku juga diajarkan untuk membuka pintu-pintu di dalam diri terlebih dahulu – diajarkan untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu supaya tulisan bisa punya rasa dan ada jiwanya. Melukis ternyata juga seperti itu. Enggak bisa asal mirip dengan ‘foto’ maka disebut bagus. Melainkan harus ada rasa dan jiwa pembuatnya. Makanya lukisan A.I. mau sebagus apapun juga masih kalah sama buatan seniman manusia. Di film ini bahkan diperlihatkan bahwa lukisan yang prosesnya dibuat dengan jiwa, juga berfungsi sebaliknya, yakni dapat menyembuhkan jiwa itu sendiri.

 

Sebagai yang bermula sebagai aktor komersil, Patrick Wilson sekiranya sudah belajar satu-dua hal cara ngebuild up momen horor yang menjual banget. Momen-momen seperti bayangan yang mengendap-ngendap dari balik kaca belakang mobil ataupun saat Josh merasa dirinya tak lagi sendirian di dalam mesin scan merupakan momen-momen yang pantas jadi highlight karena sukses bikin penonton satu studioku menghela napas dan menjerit-jerit. Momen ketika Dalton harus ‘balapan’ dengan entitas yang mau mengacau dunia nyata saat dia di dalam The Further juga ngasih reaksi super pada penonton. Patrick Wilson hanya perlu belajar lebih banyak untuk menjadikan momen-momen itu sebagai kesatuan cerita yang koheren. Karena babak ketiga film ini, babak ketika cerita Josh dan cerita Dalton mulai melebur jadi satu kesatuan konfrontasi horor atas nama perjuangan keluarga mereka, di situlah film ini terasa lemah. Kejadian just sort of happen. Rule soal The Further jika dimasuki makin jauh, makin berbahaya, sama sekali tak terasa ngefek karena Josh actually jalan di dalam sana dari rumah istrinya ke kampus Dalton – jarak yang jauh apalagi ditempuh hanya dengan kaki. Soal rule, ngomong-ngomong, memang tak pernah dijabarkan film dengan legit. Jika Dalton butuh lukisan dan teknik melukis yang ia pelajari sebagai jalan masuk, maka film tidak benar-benar memasukakalkan kenapa Josh yang ‘penyakit lupa’nya lebih parah juga jadi bisa ingat.

Yang benar-benar terlepas dari penulisan film ini akibat cara bercerita dua perspektif adalah tidak bisa fokus ke persoalan koneksi ayah dan anak yang renggang. Karakter ini terbatas pada perjalanan masing-masing meng-confront horor dengan cara yang berbeda. Sementara usaha ayah koneksi ke anak, drama mereka, tidak dilakukan maksimal. Pendekatan antara mereka berdua hanya dilakukan lewat percakapan whatsapp yang juga tampak generik lewat tampilan chat di layar dan sebagainya. Interaksi yang minim, effort yang kayak terpisah, tapi di akhir film mendadak mereka berjuang bersama. Feeling yang dihasilkan jadi tak terasa kuat, film ini hanya kejadian-kejadian yang tau-tau comes together di akhir. Momen ayah akhirnya pelukan dengan anak cowoknya harusnya jadi momen manusiawi yang grounded, yang powerful, yang mungkin relate bagi banyak penonton. Akan tetapi sepanjang perjalanannya, film tidak membuild up koneksi ini dengan benar, sehingga ya hanya jadi adegan saja.

 




Setelah sempat pindah fokus karakter pada dua film terakhirnya, aku sebenarnya seneng film ini kembali kepada keluarga Josh Lambert. Senang karena muatan drama bisa mengalir lebih genuine jika horor digali dalam lingkungan keluarga yang punya arc alias episode cerita. Film ini berusaha menggali kelanjutan cerita, sambil tetap menapak pada kejadian sebelumnya; berusaha memberikan development yang natural untuk karakter-karakter, namun sayangnya film ini not really good at doing it. Keputusan bercerita membagi dua perspektif adalah keputusan beresiko untuk ditempuh, apalagi saat film tidak dikawangi oleh sutradara yang sudah lebih mahir. Patrick Wilson cukup lumayan menghasilkan adegan-adegan horor, dia cuma butuh bercerita dengan lebih koheren. Yang lebih enak dalam penggabungan dua perspektifnya. Film ini pada jantungnya bicara tentang hubungan ayah dan anak, failednya komunikasi yang terjadi secara turun temurun, tapi proses pembelajaran karakter ke sana tidak terjabarkan dengan baik, melainkan hanya muncul sebagai solusi, tanpa ada proses yang benar-benar dramatis. Aku ragu ini bakal jadi film terakhir, tapi di samping kelemahan-kelemahan penceritaan tadi, aku rasa aku bisa nerima kalo film ini dijadikan penutup dari cerita keluarga yang sudah kita ikuti lebih dari sepuluh tahun yang lalu
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INSIDIOUS: THE RED DOOR

 




 

That’s all we have for now.

Di film ini banyak lukisan-lukisan seram. Ngomong-ngomong, kenapa ya ada lukisan yang bisa tampak seram banget? Apakah kalian punya cerita tentang takut sama suatu lukisan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Sebelum ditutup, aku mau ngajak kalian pindah dari mobil jip ke pesawat. Alias di Apple TV+ ada serial bagus tentang pembajakan di pesawat! Dibintangi oleh Idris Elba, serial thriller ini bakal ngajak kita ke sebuah trip angkasa yang tak terlupakan. Yang pengen nonton bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE BOOGEYMAN Review

 

“Now you will know why you are afraid of the dark…”

 

 

Monster di dalam lemari. Meskipun bentuknya berbeda-beda tergantung kepercayaan dan lingkungan masing-masing, toh ternyata anak-anak di seluruh belahan dunia punya ketakutan yang sama. Kita semua takut sama sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Yang membuat kita lebih suka tidur dengan lampu menyala, dan will never ever  in million years mengintip kolong tempat tidur. Kita percaya ada sesuatu di dalam hitam pekat itu, ada apapun momok yang kita takuti. Menurut kepercayaan rakyat kita, ada yang namanya wewe gombel, misalnya. Hantu perempuan yang suka menculik anak kecil yang ‘nyasar’ ke tempat gelap. Jangankan anak biasa seperti kita, anak-anak penyihir aja takut Boogeyman, kok. Buktinya di Harry Potter, J.K. Rowling menulis yang namanya Boggart; makhluk yang suka ngumpet di dalam benda-benda seperti lemari dan menjelma menjadi hal yang paling ditakuti oleh orang yang melihatnya. Lain lagi menurut penulis horor nomor satu, Stephen King, Di dalam benaknya, Boogeyman atau momok punya akar yang lebih personal. Ketakutan turun-temurun terhadap kegelapan dimainkannya di ranah psikologis saat dia menulis cerita The Boogeyman. Kisah seorang ayah yang ke terapi, mengaku tiga anaknya dibunuh oleh ‘monster dari dalam lemari’. Penulisan King yang begitu detil, tapi juga begitu misterius, mengangkat kesan mendua –  bahwa mungkin si ayah itulah pelaku sebenarnya. Bahwasanya Boogeyman bisa jadi hanyalah produk dari kepala yang penuh stress dan jiwa yang tertekan. Kisah tersebut kita dapatkan muncul dalam adegan film The Boogeyman yang diadaptasi oleh sutradara Rob Savage. Tapi alih-alih fokus menggali itu, Rob mencari lubang galian yang baru. Lubang tempat dia bisa menonjolkan momok itu lebih sebagai makhluk fisik di atas cerita psikologis tentang kehilangan.

Dengan kata lain, The Boogeyman yang kita saksikan merupakan adaptasi yang bisa dibilang sangat lepas. Rob membuat karakter baru, menciptakan persona baru dari karakter yang sudah ada. Salah-salah, yang dia buat ini bisa jatoh sebagai fan-fiction, alih-alih adaptasi. But hey, aku gak bilang film ini jadi jelek hanya karena gak memfilmkan actual story dari Stephen King. Afterall, dari keberadaan Boogeyman itu sendiri kita tahu bahwa kita semua punya ketakutan yang sama, hanya bentuk atau perwujudannya saja yang berbeda. Jadi yah, kalo mungkin menurut pembuat film ini, bentuk yang lebih beresonansi buat penonton kekinian adalah yang lebih genjar-genjer dan physically seperti ini, ya mari kita nilai film ini sesuai bentuk itu sendiri.

Momok monster di dalam lemari juga bisa jadi cerita lucu, misalnya yang dibuat oleh Pixar

 

Dosa film ini sebenarnya ‘cuma’ jadi generik. Secara cerita, The Boogeyman gak benar-benar groundbreaking. Kayak udah banyak cerita kehilangan yang seperti ini. Jadi, therapist yang ada di cerita pendek aslinya, di sini dikembangkan punya keluarga. Dua orang anak perempuan, yang satu masih kecil, yang satu lagi sudah SMA. Keluarga ini kehilangan sosok ibu yang tewas kecelakaan. Kehilangan tersebut lantas membekas pada anak-anaknya, terutama pada tokoh utama cerita, si cewek remaja, Sadie. Yang di adegan pembuka kita lihat nekat ke sekolah pakai baju milik sang ibu. Perfectly ngeset gimana dia menolak untuk melupakan sosok tersayangnya itu. Namun itulah yang justru jadi jalan masuk bagi Boogeyman ke rumah mereka. Dibawa oleh Lester Billings dalam adegan yang diangkat dari cerita aslinya, si Boogeyman yang merasakan grief yang besar di rumah Sadie, jadi kerasan. Tiap malam Boogeyman datang dari sudut-sudut gelap, mengganggu Sadie dan adiknya. Menggunakan rasa kehilangan mereka untuk meneror. Udah kayak kucing aja, si Boogeyman ini senang bermain-main dengan mangsa sebelum melahap mereka.

Teror yang dihadirkan dari si momok ini sebenarnya cukup seru. Apalagi di awal-awal, saat film belum serta merta menunjukkan sosoknya. Melainkan hanya lewat suara. Si Boogeyman bisa meniru suara orang, dan sebagian besar adegan seram didatangkan dari gimana satu karakter ‘dikecoh’ oleh suara yang ia sangka suara keluarganya. Si Sadie dengan suara ibunya, misalnya. Film The Boogeyman masih seram, saat bermain dengan konsep begini. Ketika hanya suara, dan sosok monsternya masih tak jelas terlihat oleh kita. Yang paling sering dapat adegan seram sih sebenarnya adik si Sadie, si Sawyer (diperankan oleh aktor cilik Vivien Lyra Blair dengan – intentional or not – cukup kocak). Ada sekuen dia harus keluar dari kamar dengan penerangan hanya dari lampu bulan kesayangannya. Atau ketika adegan dia harus terapi untuk menghilangkan ketakutannya akan gelap. Saat adegan-adegan tersebut, kita hanya diperlihatkan sekelebat dari si monster, sehingga ruang kita berimajinasi masih ada. Misterinya jadi kerasa mengerikan. Sayangnya, film ini bertujuan bikin si Boogeyman literally jadi monster yang harus dikalahkan kayak di film-film horor creature. Sehingga film butuh untuk mereveal wujudnya, dan hilanglah sudah semua kemisteriusan yang jadi sumber keseraman itu. Desain si Boogeyman agak kurang menyeramkan bagi kita, yang lebih takut ke hantu-hantuan. Tapinya lagi, aku bisa membayangkan makhluk hitam berkaki banyak seperti itu sangatlah mengerikan bagi anak-anak barat yang memang di sana, ketakutan pada laba-laba jadi ketakutan yang umum.

Saking sering lucu, aku malah ngira si adek nangis karena kakaknya salah cabut gigi yang sakit

 

Padahal monster Boogeyman di dalam film ini sebenarnya masih mengandung makna penyimbolan. ‘Dosa’ film sebagai sajian generik monster mengerikan sebenarnya gak harus jadi ‘big deal’ jika film mampu menguatkan penyimbolan tersebut. Atau seenggaknya gak membuat perhatian kita melulu tertuju pada makhluk yang gak lagi universally mengerikan. Keadaan si Sadie, ‘drama’ dia harusnya tetap jadi poin vokal. Keberadaan si monster sebenarnya berkaitan erat dengan yang dirasakan oleh Sadie.  Kita bisa lihat Sophie Thatcher memainkan karakter itu sebagai orang yang penuh duka. Dia sampai berusaha memanggil arwah ibunya. Maka, monster itu sebenarnya adalah duka yang tak tersalurkan dengan baik. Dia tidak bisa membicarakan masalahnya dengan ayah – yang memilih untuk tampak tegar karena sebagai therapist dia tidak boleh terlihat rapuh oleh orang lain. Secara metafora, Sadie lebih memilih berada dalam kegelapan duka, daripada melupakan sang ibu. Keluarga Sadie memilih untuk menyimpan masalah itu di dalam ‘lemari hati’ masing-masing. Pembelajaran Sadie adalah untuk meluapkan dan melupakan, supaya bisa move on. Yang diparalelkan oleh film dengan cahaya atau api sebagai cara mengalahkan Boogeyman. Sadie harus membakar si monster, yang berujung dia juga membakar habis benda-benda yang mengingatkannya kepada ibu.

Jadi itulah kenapa kita takut gelap. Gelap merepresentasikan hal-hal yang tidak kita ketahui, ataupun sesuatu yang berusaha kita sembunyikan, dan kita terlalu takut untuk melangkah ke dalamnya, meskipun jika melangkah itu dilakukan untuk menyalakan lampu. Film ini suggests cara untuk berani dengan kegelapan bukanlah dengan melatih diri di dalam kegelapan itu, melainkan berani untuk menyalakan api. Melawannya.

 

Harusnya film ini lebih banyak bermain di ranah horor yang lebih grounded tersebut. Mengangkat hal-hal seram dari gimana Sadie yang memilih untuk berkubang dalam kenangan kepada ibu, menjalani harinya. Adegan-adegan dia di sekolah, membuat keputusan yang salah saat berinteraksi dengan temannya – sadar atau tidak; harusnya adegan itu yang jadi pilar karena di situlah dampak dari sikapnya terwujud. Bahwa Boogeyman bagi Sadie bisa muncul di mana saja sudut-sudut gelap dia berada, karena figuratively, Sadie membawa kegelapan itu bersamanya. Di hatinya. Serta gimana hal tersebut berdampak bagi orang sekitarnya. Pada adik dan ayahnya misalnya. Horor yang seperti itu akan lebih gampang relate kepada kita daripada horor yang berubah jadi semacam mencari tahu cara mengalahkan monster laba-laba. Beberapa adegan di babak akhir film ini memang jadi lebih mirip action dalam film monster ketimbang horor. Jauh dari ruh materi aslinya. Sejujurnya, satu-satunya yang membuat film ini masih terasa kayak cerita Stephen King adalah film cukup bijak untuk membuat beberapa adegan dari reference cerita asli. Selebihnya, ya film ini terasa kayak usaha orang yang mencoba mengekspansi cerita King, tapi dengan kemampuan ala kadar. Like, there’s no way Stephen King bikin cerita dengan teman-teman sekolah tapi hanya digunakan untuk drama pembullyan tanpa bahasan hubungan yang lebih padat. Film ini mestinya lebih memperdalam lagi bahasan yang ia tambahkan, dan gak cepat settle ke masalah mengalahkan monster.

 




Sebagai adaptasi, film ini bergerak dengan bebas dan eventually menceritakan kisah di luar materi aslinya. Menambahkan karakter dan memindahkan pusat eksplorasi cerita. Walau melakukan itu dengan tetap respek dan banyak callback ke cerita asli, tapi film ini memang jauh dari ruh aslinya. Horornya dibuat jadi semacam mengalahkan monster; sebenarnya masih oke karena tetap didesain sebagai simbol grief dari yang dirasakan karakter. Akan tetapi bahasannya kurang mendalam karena film sengaja mengambil bentuk yang lebih generik. Kepentingannya berubah menjadi ‘apa makhluk ini sebenarnya’. Jawabannya memang punya layer simbolik, tapi film sekali lagi berusaha mengalihkan kita dari itu ke ya literal monsternya. Yang bahkan gak tampak seseram itu. Karena sebenarnya yang seram kan justru di makna keberadaannya. Film kurang dalam menggali ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE BOOGEYMAN

Kalo mau bias dan tetap kecewa karena gak sesuai cerita aslinya sih, aku menganggap film ini adaptasi yang cukup lucu. Karena film ini gak mau ‘sedalam’ aslinya, maka ceritanya diringankan. Tapi juga gak mau terlalu ringan, maka dielevated dikit. Kenapa ribet muter-muter seperti itu hahaha

 




That’s all we have for now.

Baru SMP, aku berani tidur di kamar sendirian dengan lampu dimatikan. Aku jadi sangat penakut saat itu terutama karena film The Sixth Sense. Boogeyman ku adalah kalo-kalo ada hantu muntah di balik selimut hahaha… Bagaimana dengan kalian? Apakah dulu kalian juga takut gelap? What is your Boogeyman back then?

Share  di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA