MAXXXINE Review

 

“To be a star is to own the world”

 

 

Quick recap untuk trilogi horor karya Ti West ini; film pertamanya, X (2022), bentukannya horor slasher, tentang Maxine bersama kru ‘film independen’ (baca: film bokep)nya syuting di farm house terpencil dan mereka semua dibunuh satu persatu oleh pasangan tua psycho pemilik rumah. Film keduanya, Pearl (2022), bentukannya lebih ke horor psikologis, karena ceritanya tentang masa muda Pearl, si nenek psycho di film pertama, tentang gimana Pearl ingin jadi artis namun keadaan (termasuk kejiwaannya) membuat dia bounded to the place. Benang merah trilogi ini adalah tentang stardom, dan how bad you want it, yang juga bisa dikerucutkan menjadi tentang sebuah empowerment bagi perempuan seperti Maxine dan Pearl – yang harus bertarung melawan waktu (if you old, game over) dan dunia glamor yang keras. Sebagai sajian penutup, West membawa kita ke Hollywood 80an. Menengok Maxine yang berjuang mendapatkan peran di film ‘beneran’. Bentukan yang dipilih kali ini adalah semacam horor misteri kriminal. Karena ada serial killer(s?) on the loose. Semua orang bisa jadi korban dan tersangka. Jika ada satu hal yang dengan mantap dijadikan tema oleh West kali ini, maka itu adalah Hollywood itu dosa.

Maxine keterima jadi lead di projek sekuel The Puritan – horor yang disebut oleh sutradaranya sebagai film kelas B dengan ide kelas A. Sang sutradara cewek itu terkesan dengan audisi Maxine. Genre horor mungkin memang masih sebelas-duabelas ama bokep dalam artian sama-sama masih bersifat eksploitatif, tapi toh Maxine aktingnya extraordinary.  Namun ada hal yang membuat transisinya ke industri besar itu terhambat. Maxine yang kini pirang, boleh saja jadi lebih tangguh, tapi tetap saja dia masih terguncang akibat masa lalunya di film pertama. Di mana dia membunuh untuk survive. Bukan hanya bayang-bayang Pearl yang menghantui. Serangkaian pembunuhan misterius terjadi di area City of Angels, Maxine khawatir detektif bakal mengaitkan itu dengan masa lalunya. Tapi ketika teman dan orang-orang di sekitarnya jadi korban, Maxine mau gak mau ikut terseret, dia harus hadapi meski itu berarti pertaruhan bagi hidup dan karirnya.

She’s a staarrrr!!

 

Dunia fiksi Maxxxine dibuat overlap dengan dunia nyata Hollywood era 80an. Karena latar pada cerita ini memang demikian signifikan. Ti West telah sukses membangun keinginan karakternya; mereka ingin jadi bintang, dan seiring itu tentu saja tempat tujuan mereka juga ikut terbuild up, gimana Hollywood sudah menjadi tujuan akhir – katakanlah, ‘Mekah’ – bagi baik itu Pearl, ataupun tentu saja Maxine. Maka sekarang otomatis giliran City of Angels itu yang diperlihatkan karakternya. Bukan tempat suci, melainkan tempat penuh dosa. Tempat gemerlap iming-iming mimpi. Di sana orang bisa dan hanya bisa sukses jika mau melakukan apa saja. Rela memberikan apa saja, dan ya tempat itu akan meminta. Merampas kalo perlu. Maxine saja gak cukup hanya nunjukin kebolehan aktingnya, dia juga masih harus menunjukkan dadanya. Cerita Maxine boleh jadi fiksi, namun bukan tidak mungkin part of it pernah dialamin atau bisa terjadi beneran karena tempat itu nyata. Beserta ‘dosa-dosanya’. Film ini mengontraskan antara referensi-referensi sinema (yang bikin kita jumpalitan kayak meme si Leonardo DiCaprio, yang berasal dari filmnya yang juga berlatar dunia Hollywood nyata) dengan kejadian horor yang juga terjadi di Hollywood di kala itu. Masa ketika satanisme populer. Saat pembunuh berantai seperti Richard Ramirez alias Night Stalker gentayangan di jalanan.

Dari situlah Maxxxine menyematkan genre horor misteri kriminalnya. Ada serial killer juga di sekitar Maxine. Membunuhi teman-temannya, range mulai dari teman di bisnis film biru hingga ke aktris film The Puritan sebelumnya. Akan ada sepasang detektif yang mengendus hubungan antara si pembunuh dengan Maxine yang baru saja dicast untuk film Puritan kedua. Aku suka di sini kesannya jadi mendua, antara detektif itu beneran pengen minta tolong petunjuk atau informasi dari Maxine, atau mereka ada sedikit curiga kepadanya. Kesan mendua ini bikin misterinya hidup, dan kesan itulah yang gak aku temukan pada Longlegs (2024) yang detektifnya percaya aja kepada firasat cenayang protagonisnya. Anyway, film Maxxxine sendiri tidak pernah benar-benar belok jadi cerita pemecahan misteri, lantaran tetap berpegang kepada perspektif Maxine yang menjauh dari polisi karena gak mau ketahuan dia dulu pernah membunuh. Film tetap jadi horor misteri dengan terus berada di belakang Maxine yang menemukan semakin susah baginya untuk jadi syuting karena selain detektif, ada juga orang yang dikirim oleh pelaku sebenarnya untuk mengikutinya.

Yang menarik di sini menurutku bukan exactly siapa pelaku (meski memang hubungan dia dengan Maxine sebenarnya personal). Melainkan bagaimana motivasi si pelaku clash dengan keinginan Maxine, dan benturan tersebut membentuk gagasan atas apa yang sebenarnya film ini ingin katakan. Si Pelaku dan cult yang merekam aksi pembunuhannya ingin membuat film dokumenter untuk menunjukkan betapa ‘setan’nya Hollywood. Mengiming-imingi banyak gadis muda kepada kehidupan yang jauh dari agama, dengan janji manis popularitas duniawi.  Bahwa Hollywood sebenarnya tempat jahat yang justru membahayakan nyawa. Statement tersebut tentu saja ironis karena untuk menguatkan narasi dokumenternya tersebut, si Pelaku justru melakukan pekerjaan setan – dia membunuhi orang-orang yang cuma mau mengejar mimpi. Orang-orang seperti Maxine. Sedari kecil Maxine diajarin mantra “I will not accept a life I didn’t deserve”. Aku tidak akan menerima hidup yang tak pantas aku dapatkan. Maxine, bekerja keras dan survive selama ini dari kerjaan yang dipandang rendah (baca: bintang bokep) merasa bahwa ia pantas dan inilah jalannya menjadi bintang film beneran. Dia ready menghadapi kerasnya Hollywood. Tapi kemunculan si Pelaku, serta bayang-bayang Pearl yang masih terus menghantui, membuatnya ragu. Bagaimana jika hidupnya bukan pada bintang terang?

Kalo jaman sekarang mah orang-orang pada ngaku-ngaku jadi something yang bahkan they don’t understand

 

Menjadi bintang berarti kita telah ‘menaklukan’ dunia, menaklukan orang-orang penghuninya. Bagaimana cara menaklukan dunia? Well, Maxine telah menemukan cara tercepat untuk menaklukan dunia. Yaitu dengan membuat sendiri dunia yang pantas buat diri kita.

 

Akhiran film ini sekilas bakal terasa happy ending. Maxine mengalahkan Pelaku. Dia sukses jadi artis horor. Dia bakal stay di Hollywood for a long time. Tapi selama menatap kepala palsu Maxine properti syuting itu, aku kepikiran mantranya tersebut. Kepikiran dunia seperti apa yang pantas dan sedang ia dapatkan. And that’s when it strikes me. Maxxxine sebenarnya berakhir dengan implikasi mengerikan. Si Maxine rise to fame karena hal yang diinginkan oleh Jill, si ghostface di Scream 4 (2011). Because some f*up shit happens to her. Itulah sebabnya kenapa Maxine ‘berterima kasih’ kepada si Pelaku sebelum menembaknya. ‘Divine intervention’ yang dimaksud Maxine saat itu adalah berkat ulah Pelaku, maka dia jadi punya momen dramatis. Action mengalahkan penjahat yang adalah darah dagingnya, berlatar sign Hollywood, di puncak dunia gemerlap, Maxine langsung jadi hero in her ‘real life.’ Sesaat sebelum menembak, di bawah sorot lampu helikopter, Maxine membayangkan dirinya jadi bintang besar. Diwawancara. Dijadikan idola, dimintai pendapat dan saran. Menurutku di saat itulah Maxine sadar dunianya. Dunia horor. Dan seramnya, dia jadi akan terus menciptakan dunia itu. Kata-kata terakhir Maxine bikin aku bergidik. Saat ditanya sutradara, “Kau telah dikenal dan mendapat perhatian semua orang. Apa yang mau kau lakukan selanjutnya?” Maxine menjawab “Aku tidak ingin semua ini berakhir” – sambil menatap kepala palsu berdarah tadi. I swear, ini film kalo mau lanjut lebih dari trilogi, Maxine pasti jadi penjahatnya. She would do anything to keep attention to her. 

Bicara tentang trilogi, well, Maxxxine yang ceritanya beneran kelanjutan dari film pertama jadi punya kelemahan dibandingkan dua film sebelumnya yang bisa dibilang dua cerita yang berdiri sendiri. Penonton yang gak nonton X, bakal kurang mengerti journey Maxine secara utuh.  Paling enggak, mereka akan bingung siapa nenek-nenek yang ‘terlihat’ oleh Maxine. Apalagi ada dua adegan penting yang merupakan satu rangkaian terkait ‘penampakan’ Pearl. Yaitu ketika Maxine melihat sosoknya di jendela rumah Norman Bates di set film Psycho. Karena nanti akan ada adegan kejar-kejaran, Maxine lari ke rumah tersebut, dan ternyata isinya ya hanya set film, Bukan rumah beneran. Kepentingannya adalah penampakan Pearl yang bikin Maxine kaget di awal, membuat rumah tersebut jadi simbol bagi Maxine. Pearl adalah sosok yang ia takuti, dan ia kalahkan. Sehingga wajar, ketika dikejar orang jahat, Maxine lari ke tempat itu. Makna adegannya jadi ada. Tapi jika penonton tidak tahu Pearl, maka adegan lari ke rumah Psycho itu hanya kayak adegan Maxine ngumpet dan kebetulan selamat dari pengejarnya. Jadi untuk berdiri sendiri, film ini tidak sekuat dua film lainnya. Mia Goth tetep ngasih performance yang luar biasa, karakter Maxine kayaknya udah mendarah daging kepadanya. Hanya saja di sini, dengan cerita misteri pembunuh, Maxine sebagai karakter lebih banyak bereaksi. Baru di pertengahan-akhir nanti cerita membuat dia banyak melakukan pilihan.

 

 




Film pertama bermain dengan pembalikan ‘final girl’ archetype. Film kedua bermain dengan psikologis karakter. Film ketiga dalam trilogi ini bermain dengan dunia, panggung bagi karakternya. Ini membuat karakter sering jadi pihak yang bereaksi terhadap dunia tersebut, ketimbang jadi penggeraknya. Also, sebagai penutup, film ini juga jadi kurang kuat untuk berdiri sendiri. Besides that, Ti West bisa dibilang berhasil-lah. Hatrick. Trilogi. Tiga-tiganya bagus, film horor modern yang cool. Berbobot. Punya karakter memorable. Punya adegan dan dialog yang ikonik. Dan sebagai crime horor, film ini kerasa suspensnya. Tapi kengerian paling besar itu datang bukan dari misterinya, ataupun pembunuhannya. Tapi dari pilihan-pilihan yang akhirnya dibuat oleh karakter utama. Terkait bahwa dia sekarang membuat dunianya sendiri di sana.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MAXXXINE.

 

 




That’s all we have for now.

Kalo diurut, posisi pertama yang aku suka adalah Pearl. Lalu X. Terakhir Maxxxine. Bagaimana dengan kalian? 

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE Review

 

“You are your own worst enemy”

 

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Miles Morales menyadari itu tatkala dia bertemu dengan Spider-Man – Spider-Man lain dari entah berapa banyak universe berbeda. Orang-orang yang basically adalah dirinya sendiri. Yang punya kekuatan yang sama. Punya garis hidup dan masalah yang sama. Tentu it’s all fun and games kalo mereka sedang akur. Masalahnya, Miles gak bisa diam saja mengetahui dirinya dan juga Spider-Man lain bakal ngalamin kehilangan orang tersayang. Apalagi karena Miles masih punya unresolved conflict dengan ayahnya tersebut. Maka Miles pun mulai bergerak sendiri. Melawan ‘canon’ cerita Spider-Man. Melawan Spider-Society yang berusaha menjaga ‘canon’ tersebut. Ya, bagian kedua dari trilogi Spider-Verse ini didesain oleh sutradara Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson sebagai perjuangan seseorang melawan takdir yang telah dituliskan.

Karena memang, meskipun telah digariskan, tapi kesempatan mengubah nasib masing-masing itu sebenarnya masih terbuka. Kita menulis cerita hidup kita sendiri. Kita cuma perlu mengalahkan diri sendiri untuk bisa melakukannya.

 

Kehadiran film animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lalu mengubah pandangan banyak orang terhadap apa yang bisa dilakukan oleh film animasi. Film tersebut bukan cuma punya cerita yang grounded yang berhasil mengikat soal pilihan hidup dengan konsep multiverse, tapi juga memperlihatkan potensi gila yang dipunya medium ini, jika punya kreativitas dan cukup nekat untuk melakukannya. Estetik buku komik yang dihadirkannya membuat nonton film itu serasa baca komik yang bergerak sendiri! Visual fluid lagi unik yang begitu groundbreaking tersebut lantas diadaptasi oleh berbagai film animasi sukses lain setelahnya, named Puss in Boots terbaru  yang berestetik anime dan The Mitchells vs. The Machines yang pake gaya kultur internet. Itulah, ketika film berlomba-lomba untuk ngasih kualitas yang bagus (bukan cuma berlomba ngejar ‘sekian penonton telah beli tiket di bioskop’) maka yang akan kita dapatkan ya kualitas yang bakal terus meningkat. Animasi Spider-Verse ini, contohnya.

Supaya gak kalah sama yang terinspirasi oleh film pertamanya, Across the Spider-Verse up the ante. Di film ini gambar-gambarnya meriah oleh berbagai macam estetik yang digabung menjadi satu. Estetik atau gaya animasi yang dipakai dikaitkan menjadi identitas karakter. Jadi, berbagai karakter dari bermacam semesta itu akan hadir lebih konsisten dengan estetik masing-masing. Spider-Punk yang dari Inggris, misalnya. Karakternya akan digambar dengan gaya grafiti anarki jalanan, sejalan dengan sifat karakternya yang punk abis. Salah satu musuh mereka, si Vulture, diceritakan datang dari Eropa jaman dulu, dan bentukannya juga klasik banget. Seperti coretan di kanvas kuning, gitu. Kalo penjahat utamanya, estetiknya lain lagi. Di sini kita berkenalan dengan karakter villain yang tadinya kayak harmless. Miles malah menjulukinya “Villain of the Week”, yang maksudnya sih meledek kemampuan anehnya yang tak seberapa. The Spot yang bentukannya item-putih tanpa wajah itu ‘cuma’ bisa bikin lubang-lubang yang bertindak semacam portal. Fight scene Spidey dan Spot awalnya tampak konyol, tapi karena portal-portal tersebut, adegannya jadi seru dan sureal. Unpredictable. Apalagi The Spot ternyata punya motivasi dendam yang cukup kuat terhadap Miles, sehingga kemampuannya tersebut berkembang menjadi lebih ‘menyeramkan’. The Spot-lah yang membuat anomali pada Spider-Verse karena dia bisa berpindah semesta seenaknya, dan ngambil kekuatan dari sana. Anomali yang akhirnya bikin rusuh seantero multiverse.

Aku masih ngakak dengar Nick New Girl jadi Peter Parker

 

Kita juga akan dibawa ‘verse’nya si Spider-Gwen, yang dunianya mungkin adalah yang paling ‘romantis’. Karena tergambar seperti ledakan warna cat air, yang warna backgroundnya seringkali berubah, meredup atau mencerah, sesuai mood cerita saat itu. Actually cerita Gwen sebagai (sepertinya) satu-satunya Gwen Stacy, the other love interest, yang jadi Spider-(Wo)man jadi salah satu perspektif pilar film ini. Film ini justru dibuka dari bahasan tentang Gwen dan dunianya. Tadinya kupikir film dibuka dari Gwen hanya sebagai device eksposisi, yang fungsinya menyegarkan ingatan kita kembali pada cerita film yang lalu. Tapi ternyata bahasan di situ cukup mendalam. Bumi-65 tempat Gwen tinggal akan disorot cukup banyak, kita akan lihat story si Gwen dan apa yang terjadi dengan Peter Parker di dunianya itu. Kita akan diperlihatkan juga relasi Gwen dengan ayahnya, yang kapten polisi. Dan di dua puluh menit pertama itu aku mulai merasa seperti punya spider-sense yang ngasih tahu ada sesuatu yang kurang beres pada naskah film ini.

Karena setelah dua-puluh menit, cerita lantas berpindah ke dunia Miles Morales. Kita akan diperlihatkan masalahnya dengan ibu dan ayah. Masalah yang grounded seperti Gwen dan ayahnya tadi. Bahwa anak-anak yang jadi superhero ini punya jarak dengan ayah mereka yang polisi. Meskipun memang buatku ini jadi pondasi drama yang kuat – karena biasanya dalam cerita superhero, protagonis justru punya masalah karena mereka harus mencari father figure, lantaran banyak superhero yang tidak tumbuh dengan sosok ayah, entah itu ayah kandungnya entah itu mati atau jadi jahat – tapi tetap saja film ini jadi aneh karena terasa seperti punya dua babak pertama. Dua babak set up. Untuk dua karakter utamanya, yang sepertinya film ini bingung mau nonjolin yang mana. Kedua karakter akan bertemu di babak kedua, yang involve banyak adegan aksi superseru. Salah satunya kejar-kejaran antara Miles dengan para Spider-Man. Yang menurutku inilah alasan kenapa para sutradara ‘gak jadi’ bikin film ini jadi perspektif cerita Gwen. Yang membuat mereka kembali ke Miles. Bayangkan John Wick dikejar-kejar satu kota, tapi ini adalah Spider-Man, dikejar oleh berbagai macam versi Spider-Man dengan berbagai macam kekuatan dan visual. Mereka pasti merasa sayang melewatkan ini. Cerita mulai memisah lagi antara Gwen dan Miles di babak ketiga. Gwen meresolve konfliknya dengan ayah. Sementara Miles, babak ketiganya belum berakhir karena dibikin sebagai cliffhanger. Dengan tulisan ‘bersambung’ pada layar!

Pengen nangis rasanya.. Damn you, Sony, for putting me on this tough spot!!

 

Orang bilang musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Dan saat nonton film ini seperti ada pertarungan dalam diriku. Antara aku yang nonton untuk enjoy things, dengan aku yang nonton untuk mengulas tontonan tersebut sebagai film. Karena memotong film di tengah tidak akan pernah jadi penciri film yang bagus. It was a corporate move, to sell products! Bahkan dalam sebuah episode trilogi, ‘bersambung’ mestinya hanya dipakai untuk memancing minat penonton ke episode berikutnya setelah episode yang ini selesai. Or at least, ada sesuatu arc yang selesai. Jika film ini tetap pada Gwen sebagai tokoh utama, ‘bersambung’nya tadi akan bisa dioverlooked. Karena memang bahasannya dengan ayah, menemui penyelesaian di akhir. Contohnya film bagian kedua dari Trilogi Fear Street (2021). Secara picture triloginya, film itu memang episode flashback untuk pembelajaran karakter utama trilogi terhadap kekuatan musuh. Namun kita juga bisa melihatnya sebagai film utuh, sebagai cerita tentang seorang perempuan yang dibully dan relasinya dengan kakaknya di perkemahan musim panas. Sebuah cerita tertutup yang juga bertindak sebagai bridge ke bagian terakhir trilogi. Spider-Man: Across the Spider-Verse mestinya bisa bertindak seperti itu dengan menjadikan Gwen tokoh utama. Menjadikan ini sebagai closed story Gwen.  Story Gwen memang berakhir, tapi film membagi dua, dengan tetap memberatkan pada Miles. Memfokuskan action-action pada Miles, dan mengangkat banyak bahasan juga dari sana. Itu yang akhirnya bikin film ini tidak bisa berdiri sendiri. Tidak seperti film pertamanya yang masih mengangkat pertanyaan, sembari menuntaskan soal Miles dengan pilihannya. Film kedua ini bahkan tidak benar-benar berusaha memparalelkan kedua perspektif utamanya, sehingga kita jadi dapat dua babak satu dan dua babak tiga (yang satunya lagi dipotong). Gak heran durasi cerita bisa sangat molor, padahal pace cerita dan aksinya cepat-cepat semua.

 

 




Ini jadi satu lagi film yang membuat aku menangis. Karena aku memang sudah sangat suka. Gaya visual yang beragam, begitu unik dan ngasih sensasi magic of movies yang kuat. Seseorang di Twitter bilang “film ini membuat kita seperti melihat warna untuk pertama kalinya”, and somewhat aku setuju. Karakter-karakternya juga sukses bikin aku terpesona. Mereka semua menarik, dan tentu saja sangat kocak (karena mereka semua adalah Spider-Man yang memang harus lucu!) Aksinya superseru. Romance Gwen dan Miles cute dan sweet. Dan selera humor film ini juga cocok buatku. Referensi dan nostalgianya mungkin memang agak rapet. Mungkin gak semua penonton casual bisa menangkap. Karena seringkali jokes di sini membutuhkan ‘pengetahuan’ terhadap perkara Spider-Man, baik itu komik, film, atau media lain, yang sudah ada bukan dari kemaren sore melainkan bertahun-tahun. Favoritku adalah ketika Donald Glover interaksi dengan Miles Morales. Ini kocaknya layered banget, bukan saja karena Donald jadi Prowler versi live-action, tapi juga karena karakter Miles sendiri aslinya terinspirasi dari Donald Glover yang pengen jadi Spider-Man, dan kreator Spider-Man simply melihat Donald pakai kostum Spider-Man dalam salah satu episode serial komedi Community. Tapi in the end, aku tahu as much as I love it, aku gak bisa ngasih skor yang tinggi untuk film ini. Karena ini cerita yang tidak tuntas. Dan cerita tersebut tidak harus dilakukan dengan seperti ini. Ada opsi lain, yang mungkin memang lebih risky. But hey, seperti Miles yang menghadapi Spider-Man lain, kita semua harus bertarung dengan diri sendiri. Film harus bertarung melawan sisi korporatnya. Aku, well, I’m done fighting untuk film ini. Perkara sisi baik atau sisi jahat yang menang, itu lain cerita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE

 




That’s all we have for now.

Kira-kira apakah kalian akan akur dengan versi kalian dari universe lain? Atau apakah kalian punya versi dark sendiri, bagaimana kalian bisa mengalahkannya jika kalian harus bertarung?

Share di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



HALLOWEEN ENDS Review

 

“Be careful fighting someone else’s demons – it may awaken your own”

 

 

Oke, this is it! Empat-puluh tahun trauma. Setelah begitu banyak korban berjatuhan, setelah begitu banyak sekuel-sekuel yang diberangus.  Kita akhirnya melihat klimaks dari Laurie Strode, one time a babysitter, dan Michael Myers, sang babysitter killer. Pertemuan akhir dua ikon horor ini benar-benar punya big-match feel. Meskipun film-filmnya sendiri kurang memuaskan, tapi toh sutradara David Gordon Green berhasil juga membuild up babak akhir dari trilogi Halloween modern, dengan perspektif yang fresh. Dalam Halloween (2018) dia membuat Laurie jadi penyintas paranoid, yang hampir berbalik dari yang diburu menjadi pemburu. Dan dalam Halloween Kills (2021), Green memperlihatkan betapa kuat dan mengerikannya demon yang harus disingkirkan oleh Laurie. Monster yang telah berefek begitu besar bahkan hingga ke seluruh penduduk Haddonfield. Saking gede feelnya, ini bisa dengan gampang kubayangkan nongol jadi headline match WrestleMania; Laurie vs. Michael! Namun karena sering nonton gulat itulah, aku jadi sudah sedikit mengantisipasi bahwa build up dan hype kadang bisa tak diikuti oleh eksekusi yang sepadan. Untuk final battle Laurie dan Michael ini, bayangkan kalo match Stone Cold lawan The Rock di WrestleMania 17 tapi sebagian besarnya diisi oleh interferensi kisah romance dari dua pegulat lain yang nongol mengacau. Karena itulah yang literally terjadi pada film terakhir dari trilogi Halloween David Gordon Green ini.

Halloween Ends memang memenuhi janji judulnya untuk mengakhiri semua mimpi buruk yang muncul setiap kali halloween di Haddonfield, tapi juga tidak terasa seperti akhir dari sebuah trilogi. Setting waktu kisah ini adalah empat tahun sesudah Halloween Kills (yang mengambil kejadian hanya beberapa menit setelah ending film pertamanya), dan dari waktunya ini saja keurgenan cerita sudah seperti lepas. Ketika kita masuk ke film terakhir ini, mood atau suasananya udah beda. Laurie sudah menata kehidupan baru bersama cucunya, Allyson. Sang cucu kini jadi perawat, sementara Laurie berusaha mencari ketenangan personal dengan menuliskan buku tentang Michael Myers. Si pembunuh bertopeng ini memang sudah lama tak tampak, namun setiap halloween teror dan trauma yang ia bawa masih membekas. Penduduk masih dirundung takut, walau kini mereka mengekspresikan takut tersebut dengan cara yang mulai mengkhawatirkan. Termasuk si Laurie. Diceritakan, Allyson pacaran sama pemuda bernama Corey. Sebagian besar durasi dihabiskan Laurie menjadi seorang nenek yang mengkhawatirkan (sampai menguntit) kehidupan cinta cucunya. Laurie memang kembali jadi gak tentram, Karena Laurie merasa, Corey si pemuda yang juga sedang berusaha merajut hidup setelah trauma yang berhubungan dengan tragedi malam halloween,  punya mata yang sama dengan Michael Myers.

Tatap mata, Ojan!

 

Sebenarnya, film ini punya cerita yang lebih baik dibanding film Halloween Kills yang hampa dan praktisnya gak ada plot, melainkan cuma Michael bunuhin penduduk kota yang bersatu maju memburunya (hal yang dilakukan dengan lebih ‘boss’ oleh Laurie di film pertama) Halloween Ends, seenggaknya, punya bahasan seputar inner demons. Bagaimana ketika sekelompok manusia adalah penyintas harus berdamai dengan trauma bersama, berusaha saling suport, sembari tidak saling membangkitkan demon masing-masing, karena setiap manusia punya momok tersendiri dalam kehidupannya. Kisah Corey yang diperankan dengan duality atau ambigu yang tepat oleh Rohan Campbell sesungguhnya adalah penggalian yang cukup dalam tentang seberapa besar efek trauma bisa membentuk orang. Karena Corey yang dituduh membunuh anak kecil bukan saja harus menyembuhkan diri dari itu, tapi dia melakukannya sembari didera oleh orang-orang yang berusaha menyembuhkan trauma mereka dengan ‘melemparkan batu’ kepada dirinya. Kisah Corey ini adalah materi yang bisa banget berdiri sendiri. Yang menurutku pantas untuk mendapat babak tersendiri. Halloween Ends tampak seperti masih berusaha mengekspansi cerita, walau sudah di penghujung. Alhasil, kisah Corey tidak bisa maksimal. Film mengecilkannya seperti hanya jadi persoalan cinta ‘terlarang’. Yang juga membawa kita ke karakter Allyson yang jadi semakin annoying sebab di umur segitu permasalahan yang ia punya cuma gak senang neneknya gak setuju dia pacaran ama Corey. Kasian banget memang si Andi Matichak. Percuma muncul di trilogi, tapi dari film pertama hingga terakhir, karakternya tidak mendapat peran yang benar-benar berarti.

Semua orang cepat atau lambat bakal berhadapan dengan demon atau masalah menakutkan tertentu di dalam hidupnya. Mentality fight atau flight ketika berhadapan dengan itu yang bakal menentukan jadi seperti apa seseorang ke depannya. Laurie tahu untuk tidak kabur dari demonnya. Dia memilih bertempur. Halloween Ends pada hakikatnya menegaskan yang sudah dibuild pada film yang lalu, bahwa bukan hanya Laurie yang trauma. Melainkan seluruh kota. Setelah empat tahun, semua orang masih berjuang untuk healing. Masalah yang dihadapi Laurie sekarang terjadi ketika dia berusaha membantu orang lain menghadapi demon mereka. Secara simbolik film memperlihatkan ketika kita bertarung dengan demon orang lain, kita harus berhati-hati untuk tidak membangkitkan demon dari diri sendiri.

 

Laurie Strode, di pihak satunya, jadi tidak banyak yang dilakukan untuk awal-awal. Film hanya memperlihatkan dia berusaha menjalin kehidupan normal, sementara tetap menaruh curiga dan mengkhawatirkan cucunya. Jujur, untuk yang udah kehype film ini bakal jadi duel terakhir Laurie, aku gak expect melihat karakternya direset ke bentuk baru oleh film. Padahal yang kebayang ya melihat Laurie langsung jadi badass, apalagi setelah di film kedua dia gak ngapa-ngapain. Dan memang, ketika pada akhirnya dapat kesempatan beraksi, Jamie Lee Curtis menunjukkan dia tahu dan paham menunjukkan di taraf ruthless seperti apa karakter yang sudah ia perankan bertahun-tahun tersebut. Kita nonton ini pengen lihat aksi Laurie, dan Curtis benar-benar jadi heroine yang cadas. Dia bahkan melakukan lebih banyak aksi ketimbang Tara Basro di dua film Pengabdi Setan digabung jadi satu. Untuk urusan aksi dan bunuh-bunuhan, film ini memang masih nunjukin kreativitas dan sisi fun di tingkat hiburan yang tinggi. Walaupun masih bersandar pada referensi dan throwback, tapi adegan-adegan mati di film ini terasa segar dan bikin melek. Favoritku adalah kill yang berhubungan dengan piringan hitam.

This is how you do a heroine in horror movie

 

Final battle Laurie dan Michael terdeliver secara emosional. Apalagi buat kita yang sudah bolak-balik ngikutin kisah mereka dalam berbagai versi. Halloween Ends ngasih sesuatu yang benar-benar terasa seperti this is the end. Namun ada ‘tapinya’. Aku merasa Michael Myers sedikit terlalu banyak kehilangan ‘tuahnya’ di sini. Istilahnya, terasa lemah. Michael persis seperti yang dikatakan oleh Corey kepadanya saat merebut topeng. Michael yang sekarang hanyalah si tua dengan topengnya. Film ini mengulang kesalahan yang ada pada Halloween 2018. Suasana mencekam malam halloween itu tidak terasa. Padahal itu yang sebenarnya jadi ciri khas setiap installment Halloween. Dan film ini bukannya meniatkan memang gak ada. Lihat saja openingnya. Keren sebenarnya. Horor dan trauma itu masih menyelimuti. Malah ada satu sekuen montase singkat yang memperlihatkan tetap terjadi berbagai pembunuhan yang dibuat seolah dilakukan oleh Michael Myers. Nah, sebenarnya kalo film benar-benar fokus mengeksplorasi, suasana mencekam itu harusnya hadir sejalan dengan aspek warga masih merasa diteror. Bahwa dalam healing mereka, justru muncul ‘Michael-Michael’ lain. Sejalan dengan kisah Corey. Film tidak berhasil memvisualkan maksudnya tersebut. Suasana mencekamnya hanya berusaha dihadirkan lewat aksi Corey setelah bertransformasi, tapi itupun kurang nendang karena malah tampak lebih seperti korban bully yang mau balas dendam. Singkatnya, film ini butuh presence real Michael Myers lebih banyak lagi.

Mungkin sebenarnya film pengen membuat Michael juga berhadapan dengan demonnya (which is his humanity) sehingga sekarang dia vulnerable dan terlihat lemah dan tak bertuah. Tapi jika benar demikian, film tidak melakukannya dengan baik dan jelas. Film terburu-buru memuat ada karakter baru yang sepertinya bakal jadi pembunuh bertopeng William Shatner kedua, sehingga dua sentral utama tidak mendapat pengembangan ultimate yang maksimal. Malah, semuanya tidak ada yang benar-benar maksimal. Corey itu malah kayak, bayangkan kalo dalam trilogi sekuel Star Wars, Anakin baru muncul di film ketiga – dia dari baik ke jatuh ke dark side dalam satu film. Corey kayak si Anakin. Sehingga mestinya cerita dia bisa juga dibuild up dari film pertama. Trilogi seharusnya seperti demikian. Sementara yang kita lihat pada Halloween Ends ini, kayak sekuel biasa. Yang malah jadi membahas orang baru, serta orang lama dengan karakterisasi yang baru (karena loncat empat tahun) Jadinya malah kayak another reboot.

 




For now, film ini memang benar tampak memenuhi janjinya sebagai kisah akhir Laurie dan Michael. Film memberikan kita final battle yang emosional – puncak dari nostalgia seluruh franchise dan build up yang dilakukan sedari dua film sebelumnya. Hanya saja, untuk sampai ke momen tersebut, film melakukan ekspansi yang mengundang pertanyaan. Kenapa mereka baru melakukan semua itu di film terakhir. Kenapa tidak dibuild up juga dari sebelumnya. Film ini punya kisah yang oke, yang kalo diberikan waktu lebih banyak, dijadikan babak atau episode tersendiri, akan bisa jadi bahasan yang keren. Namun karena film ini adalah bagian akhir trilogi, kisah yang dipersembahkan di sini terasa seperti lompatan jauh yang tidak benar-benar terajut ke dalam sebelumnya. Melainkan lebih mirip seperti sekuel yang mereset kisahnya menjadi satu episode yang baru. Sehingga ya, aku tidak bisa bilang trilogi Halloween modern ini sebagai trilogi yang bagus. Tentu, trilogi ini berhasil ngasih penggalian baru, tapi tidak terasa benar-benar work sebagai kesinambungan. Melainkan kayak corat-coret ide saja. Like, soal Corey dan kota Haddonfield, itu menurutku ide bagus. Cuma karena di film ini keliatannya cuma seperti pengisi durasi saja (dan malah jadi romance dan kisah bully cheesy), maka ya jadinya kayak berantakan. Apakah ini beneran cerita Laurie? Kenapa film malah lebih banyak bahas Corey, lalu ujug-ujug final battle Laurie dan Michael? 
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for HALLOWEEN ENDS

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya film ini bakal jadi film Halloween terakhir? Kenapa?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



JURASSIC WORLD DOMINION Review

 

“We are doomed to coexist”

 

 

Dinosaurus adalah soal ukuran. Dan film terakhir dari trilogi Jurassic World ini percaya bahwa bigger is better.  Maka mereka membuat durasi yang superpanjang, dengan dinosaurus besar-besar yang jumlahnya banyak, dengan karakter manusia yang lebih banyak pula. Bahkan judulnya. Dominion, yang berarti kekuasaan besar. Akan tetapi, ada kata ‘minion’ yang terkandung di dalam kata tersebut. You know, minion, berarti antek, atau bisa juga makhluk-makhluk kecil annoying di animasi anak-anak itu. Nah sayangnya, walaupun digadang-gadangkan sedemikian rupa – yang membuat film ini tak ayal memang cocok sebagai hiburan mainstream –  justru persis seperti minion itulah film ini terasa. Sutradara Colin Trevorrow yang kembali menangani film ini (setelah absen di film kedua, Jurassic World Fallen Kingdom) tidak banyak ngasih apa-apa kepada karakternya, selain untuk nostalgia. Ceritanya pun tampak hanya berpengaruh sedikit terhadap keseluruhan premis besar soal manusia dan hewan purba yang mereka hidupkan kembali. Kayak berputar-putar di tempat saja.

Padahal film keduanya berakhir dengan hook yang bikin penasaran. Dengan taman hiburan dan suaka yang terus saja gagal dan hancur, kadal-kadal raksasa kini hidup berdampingan dengan manusia. Sekuen eksposisi pada pembuka film ketiga ini memang memperlihatkan montase kehidupan manusia dan dinosaurus, beserta problem yang hadir. Hanya saja ini adalah problem yang sudah ada, yang sudah diangkat dari film sebelumnya – bahkan sejak Ian Malcolm dan Alan Grant dan Ellie Sattler memprotes yang dilakukan oleh John Hammond. Jadi naturally kupikir Jurassic World terakhir ini akan benar-benar memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bisakah manusia hidup bersama dinosaurus. Haruskah. Kupikir, jawaban tersebut akan diberikan film ini dengan benar-benar menelisik dan mengeksplorasi segala permasalahan ketika manusia dan dinosaurus berbagi planet kecil yang sama. Bagaimana dengan hewan-hewan. How will everything work. Sekelebat dari pembahasan dinosaurus di dunia manusia itu dihadirkan oleh film ini. Ya sekelebat.

Ini adalah masalah pertamaku buat arahan Trevorrow, sejak Jurassic World pertama. Kameranya seperti tidak mengerti apa sih yang bikin wow dari dinosaurus. Trevorrow di film pertama, dan di film ketiga yang kembali ia tangani ini, masih sibuk meniru Spielberg tanpa menyadari kenapa Jurassic Park pertama bisa demikian mencengangkan. Dia cuma tahu satu hal. Dinosaurus itu besar. Dan cuma itulah yang ia lakukan setiap kali dinosaurus dimunculkan. Makhluk besar yang memenuhi layar. Brachiosaurus yang selebar itu ditampilkannya begitu saja, dia tak peduli kepala si dinosaurus sudah hampir kepotong frame. Bandingkan dengan gimana Steven Spielberg memperlihatkan dinosaurus berleher panjang itu pertama kali. Bukan hanya besarnya yang diinformasikan. Melainkan betapa majesticnya kehadiran makhluk itu bagi manusia yang melihat. Elemen inilah yang absen dari film dinosaurus karya Trevorrow. Saat Spielberg akan menggunakan musik, gerak kamera, serta perspektif dari reaksi manusia untuk mempertegas skala alias perbandingan yang ingin diceritakan, Trevorrow hanya menampilkan gitu aja. Tidak ada gaya khas ataupun sudut pandang yang diperkuat. Jurassic World Kedua bahkan menampilkan dinosaurus dengan lebih baik, karena paling tidak film tersebut berhasil menangkap esensi saat memproyeksikan makhluk itu ke dalam elemen thriller. Begitu banyak adegan dengan dinosaurus ditampilkan pada film ketiga ini, tapi semuanya tampak mentah dan enggak majestic. Sedari opening, adegan paling awal banget aja, aku udah mengerang. Pak sutradara kita gak berubah. Adegan kapal menangkap ikan di laut, diserang dinosaurus air supergede. Kandang penangkap ikan diturunkan ke air, terus diangkat – sudah berisi tangkapan. Dan kemudian “Roaaarrr!” dinosaurus muncul. Literally begitu aja film menampilkannya. Gak ada build up dan segala macam. Di tengah nanti ada adegan karakter nyelam di kubangan berlumpur, dengan dinosaurus pemangsa berdiri tepat di atasnya. Bagian mengendus airnya sih dapet seram dan skalanya, tapi sebagian besar waktu termasuk pas pembuka adegannya, kamera hanya merekam dengan datar. Final battle nantinya melibatkan tiga predator puncak dengan karakter manusia sentral berlarian di tanah sekitar mereka, tapi pertempuran ini sangat biasa. Gelap, cepat, dan gak grande kayak pertempuran di film-film sebelumnya. Gak ada trik teknis apa-apa selain CGI dan animatronik.

T-Rex lawan Giganotosaurus lawan…. Edwardscissorshandsaurus?

 

Kehidupan dinosaurus di dunia manusia pun seperti itu. Disyut dengan normal-normal aja. Dinosaurus dalam film ini diposisikan hampir seperti saat kita melihat makhluk-makhluk planet yang bentuknya lucu-lucu di background adegan film Star Wars. Udah kayak sehari-hari. Mungkin memang karena itu pointnya. Mungkin karena sekarang ceritanya dunia sudah empat tahun ditempati dinosaurus, maka keberadaan mereka jadi biasa aja. Jadi aku mencoba maklum dan mulai memusatkan perhatian kepada karakter manusia. Sebab jika dinosaurus di cerita ini mulai tidak spesial, maka tentulah keistimewaan itu terletak pada pihak satunya lagi – pihak yang coexist bersama dinosaurus di dalam narasi film ini – manusia. ZONK! Turns out, karakter manusia dalam film ini nyaris gak punya plot dan digarap sama datarnya.

Basically film ini punya dua cerita. Pertama cerita tentang Owen dan Claire – pasangan protagonis trilogi ini – yang kini tinggal bersama di pegunungan Sierra Nevada, mencoba untuk melindungi si gadis cloningan, Maisie. Gadis yang sudah mulai remaja itu tentu gak suka ‘dikandangin’, dan dia yang juga tengah krisis identitas, susah menerima harus hidup bersama ‘papa – mama’ bohongannya. Also, hutan belakang rumah mereka, Blue si ‘Petlociraptor’ ternyata bisa punya anak, by herself. Dan kini ada pihak yang mengintai dari balik pepohonan. Mencoba menculik Maisie, dan anak si Raptor. Kedua, cerita  yang dikhususkan untuk menggelitik saraf nostalgia kita. Di belahan dunia lain ada wabah belalang raksasa, dan Ellie beserta Dr. Grant berniat untuk mengusut sumber wabah tersebut. Dua cerita ini akan berujung di suaka dinosaurus yang baru. Dan oleh kebetulan yang bikin plot sinetron dan ftv lokal kita gigit jari, karakter-karakter dari dua periode trilogi Jurassic bakal bertemu di tempat yang sama, dan bekerja sama untuk selamat dari tempat tersebut.

Dan oh yea, soal cloning nanti akan discrap oleh film ini, dan kita akan melihat origin Maisie yang bahkan lebih “meh”lagi.

Alih-alih plot yang grounded, film bikin kita boring dan sumpek oleh mumbo jumbo politik sains dan smuggling dan … oh my god, film ini ternyata menempatkan dirinya jadi film aksi ala espionage atau mata-mata. But I guess I can not complain much about it, karena justru porsi Owen dan Claire menguntit penculik dan berusaha menyusup ke dalam tempat ilmuwan segala macem itulah yang membawa kita ke satu-satunya momen Jurassic World Dominion yang keren dan bikin melek. Aksi kejar-kejaran di sepanjang kota sama velociraptor yang dijadikan senjata pembunuh oleh geng penjahat. Seru aja akhirnya kita melihat kontras yang dijanjikan oleh film. Melihat dinosaurus di habitat manusia. Bikin rusuh dan segala macem. Dan bagian ini tu baru terjadi sekitar satu jam lebih into the movie. Setelah selama itu gak dikasih asupan apa-apa, aksi gede seperti demikian memang jadi penghibur yang ampuh. Balik ke karakter, mereka semua memang gak dikasih banyak perubahan apa-apa. Relasi Owen dan Claire gak dikasih eksplorasi yang baru. Mereka pretty much orang yang sama dengan yang kita lihat  di akhir film kedua. Yang berubah dan punya plot sedikit memang cuma Maisie, tapi karakter yang diperankan Isabella Sermon ini pun tidak ditempatkan di kursi karakter utama. Bicara tentang itu, memang benar-benar kabur siapa yang dijadikan sudut pandang utama di sini. Peran Chris Pratt di sini lebih kecil, motivasi dia lucunya juga menyangkut soal memenuhi janji kepada raptor. Bryce Dallas Howard yang karakternya di sini merasa sebagai ibu, dan diberikan banyak momen aksi juga gak benar-benar punya perkembangan karena karakternya sedari awal sudah right the whole time.

And also, kenapa kelas Paleontologiku dulu gak pernah sekeren di film ini?

 

 

Yang paling kasian memang para karakter legend. Laura Dern, Sam Neill, Jeff Goldblum menyuntikkan sensasi familiar yang juga seringkali lucu, tapi mereka ada di sana gak lebih sebagai penjual nostalgia. Kayak kalo WWE tau-tau munculin superstar dari tahun 90an – gak disuruh gulat, gak disuruh aksi apa-apa, selain ngucapin catchphrase doang – untuk ngeboost rating acara. Tapi bahkan WWE lebih mending, karena sering juga superstar jadul tersebut dijadiin korban serangan superstar muda yang hendak dipush. Jurassic World Dominion bahkan gak punya nyali untuk membunuh salah satu dari mereka untuk menambah stake. Mereka cuma dihadirkan, sebagai karakter yang persis seperti yang diingat oleh para penggemar Jurassic Park. Selain tampang yang sekarang udah menua, mereka masih tampak sebagai karakter yang sama. Nah, inilah masalahnya. Karakter mereka gak ditreat sebagaimana karakter yang layak oleh film ini. Masa iya, udah berapa puluh tahun tapi mereka masih sama. Selain cerai, dan kini sudah cukup sukses dikenal banyak orang, development tiga karakter ini sebagai manusia yang menghidupi dunia cerita enggak ada. Makanya karakter mereka terasa datar.  Mereka gak punya plot, gak punya permasalahan baru. Film cuma butuh karakter ini ada supaya kita bisa nostalgia, maka mereka tidak ngasih apa-apa untuk pembangunan karakter ini. Interaksi mereka dengan karakter baru – yang tentu saja dibuat dengan mereka sebagai referensi – memang berhasil ngasih kekehan di sana sini. Tapi in the end, kita datang ke film untuk melihat cerita, bukan haha hehe reuni atau nostalgia semata.

Manusia disebut makhluk sosial, tapi justru paling banyak masalah dalam urusan hidup bersosial. Like, jangankan dengan dinosaurus seperti yang diangkat film ini, dengan hewan aja manusia bisa seenaknya mendominasi. Bisa seenaknya main gusur. Malahan, jangankan dengan hewan, dengan sesama spesies aja, kita manusia banyak menciptakan kotak-kotak supaya bisa saling bersitegang untuk perbedaan-perbedaan sepele. Maka, jika ada satu hal yang berhasil diperlihatkan oleh film ini maka itu adalah memang manusialah yang harus belajar untuk coexist bersama makhluk lain.  

 

 

Dengan karakter yang nyaris punya plot, dinosaurus-dinosaurus yang ditampilkan datar, dan bahasan yang muter di tempat, maka film ini sukses jadi sajian panjang paling membosankan yang bisa kita saksikan di bioskop tahun 2022. Eksistensi yang dipedulikan oleh film ini ternyata bukan antara manusia dengan dinosaurus, melainkan antara karakter baru dengan karakter lama. Film hanya peduli pada nostalgia dan menjadi besar, tanpa benar-benar mendalami dan mengeksplorasi hal-hal tersebut. Setelah nonton film ini aku jadi merasa gak rela kalo ini adalah akhir dari franchise Jurassic. Karena bagaimana pun juga, ini semua berawal dari Jurassic Park yang udah menginspirasi banyak dan masterpiece, maka sudah seharusnya seluruh karakter dan dunianya mendapat penutup yang jauh lebih layak daripada yang dilakukan oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JURASSIC WORLD DOMINION

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal cerita yang berawal dari penangkaran dinosaurus, bagaimana pendapat kalian tentang kebun binatang secara moral ataupun secara tanggung jawab manusia yang harus hidup coexist dengan hewan?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FEAR STREET PART 3: 1666 Review

“Intelligence is the biggest blessing that a human being has, but right now it has become a curse upon humanity”

 

Fear Street Part Three: 1666 seharusnya bisa jadi yang entry yang paling fresh karena sudah keluar dari bayang-bayang slasher 90an dan 70an yang menghantui dua bagian sebelumnya. Mustinya di film ini, sutradara Leigh Janiak bisa lebih leluasa mengepakkan sayap, mengembangkan period-horor supernatural, sebab cerita kali ini akan membawa kita mundur jauh ke belakang. Di mana tak banyak yang bisa mempengaruhi, kecuali mungkin horor-horor seperti The Witch (2016).  Yang juga mengusung tema penyihir, yang dikaitkan dengan posisi perempuan dipandang oleh pria. Film ini bekerja terbaik saat berusaha menggali soal tersebut. Akan tetapi, fungsinya sebagai pengikat dan penutup trilogi, membuat film tak bisa berlama-lama di sana. Dan justru membuat film ini jadi entry yang paling tak bisa berdiri sendiri.

Dan untuk membuat hal semakin parah, di bagian terakhirnya ini, film masih berkutat untuk membuat protagonisnya tampak relevan dengan mitologi dan semua masalah pada cerita.

So, here we go again!

Konsep yang dipakai film ini dalam membentuk ‘episode-episode’ triloginya mengangkat peristiwa masa lalu lebih dari sekadar flashback. Mereka adalah cerita tersendiri. Untuk mengikat itu semua, film menggunakan mitologi penyihir, yang harus dipecahkan misterinya oleh satu karakter yang merupakan perwakilan penonton dalam mempelajari apa yang sesungguhnya terjadi. Satu karakter itu adalah Deena. Dalam film ketiga ini, Deena memang akhirnya mendapat banyak porsi untuk beraksi dan menentukan pilihan, dialah yang tau dan mengungkap rahasia.

Setelah mengembalikan tangan yang hilang ke mayat Sarah Fier, Deena tertransport back ke tahun 1666. Tepat pada saat perburuan penyihir akan dimulai. Deena akan mengalami kejadian yang sama dengan yang dialami oleh Sarah Fier. Sayangnya bukan kejadian menyenangkan. Sebab penyihir yang diburu komunitas petani Union itu (sebelum mereka terpisah menjadi dua kota) memang adalah si Sarah Fier. Pada dua bagian sebelumnya, kita telah mendengar begitu banyak tentang urban legend penyihir bernama Sarah Fier. Mitologinya, kutukannya, dan akhir hidupnya sampai-sampai dijadikan lagu anak-anak di kemudian hari. Sekarang, kita akan dikasih lihat bagaimana Sarah Fier saat masih hidup di tahun 1666, di masyarakat Puritan yang masih bersatu, tapi masih sangat terbelakang. Selagi Sarah nantinya akan bertemu dengan nasib yang tragis, Deena belajar tentang kenyataan di balik kutukan yang membuat kota tempat tinggalnya, Shadyside, menjadi kota penuh pembunuhan. Tidak seperti Sunnyvale yang makmur. Kenyataan itulah yang nanti digunakan Deena untuk menghancurkan musuh sebenarnya dan membebaskan seantero kota dari kutukan.

fearstreet3
Apa mungkin harus ganti pemimpin?

 

Namun tugas krusial film bukan sebatas menetapkan apa yang harus dilakukan oleh Deena, tapi tentu salah satunya juga adalah untuk dapat menjelaskan kepentingan Deena di dalam semua cerita in the first place. Bagaimana dia bisa terkonek dengan semua. Kenapa mesti Deena, kenapa bukan karakter lain seperti Ziggy. Dan di titik inilah, di fondasi awalnya inilah, Fear Street Part Three – kalo gak mau dibilang keselurahan trilogi ini – falls apart.

Deena, yang menghabiskan seantero film bagian pertama dengan running around mencari kerelevanan dirinya dengan mitologi, tentu saja by the law of screenwriting akan secara ajaib diungkap related dengan penyihir Sarah Fier. Sebagaimana yang akan kita lihat pada bagian ketiga – dan terakhir – trilogi ini. Deena menjadi Sarah Fier. Yang pada era terbelakang itu dituduh sebagai penyihir, karena dia perempuan yang mandiri, capable, pintar. Dan ya, karena dia adalah perempuan yang suka sama perempuan. Inilah satu-satunya koneksi antara Deena dengan Sarah. Mereka sama-sama lesbian. I was right saat mengatakan di review film bagian pertama, bahwa sexual preference Deena begitu ditonjolkan karena itulah satu-satunya karakterisasi yang dia miliki. Tapi tentu saja aku enggak bilang kalo lesbian itu adalah karakterisasi yang buruk untuk protagonis perempuan. Hanya saja, punya karakterisasi yang sama dengan Sarah Fier tersebut tetap bukanlah alasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan ‘kenapa mesti Deena’ itu tadi. I mean, masa iya cuma Deena lesbian yang lahir di Shadyside dalam rentang tiga ratus tahun itu. Relasi ini terlalu lemah. Deena harusnya punya relasi yang lebih kuat lagi kepada Sarah Fier.

Dan padahal film ini punya banyak kesempatan untuk membuat relasi tersebut lebih kuat. Kenapa mereka tidak membuat Sarah Fier sebagai leluhur Deena saja. Akan bisa lebih tragis. Karena kisah cinta Deena dengan Sam akan naik status menjadi sebuah takdir, karena Sarah juga jatuh cinta sama karakter yang sepertinya adalah leluhur Sam. It also would make more sense, karena memang pada bagian cerita di tahun 1666 itu kita melihat karakter-karakter yang telah muncul pada dua film sebelumnya, ada sebagai karakter lain yang merupakan leluhur mereka. Ada Berman, ada Goode, ada teman-teman Deena tahun 1994 – mereka semua diperankan oleh aktor yang sama dengan yang memerankan karakter mereka sebelumnya. Tapi Deena dan Sarah Fier diperankan oleh dua aktor yang berbeda; Kiana Madeira dan Elizabeth Scopel. Kita tidak melihat ada Deena yang lagi jadi Sarah Fier, bertemu dengan Deena versi 1666 di dunia itu. Padahal adik Deena dan adik Sarah Fier di situ diperankan oleh aktor yang sama (I find it even funnier because I’m not sure if the ‘real’ Sarah Fier a black person or not). Kalopun memang Sarah Fier bukan leluhur Deena, kenapa saat cerita bagian ini yang kita lihat itu tidak tetep Sarah Fier yang asli aja? Jadi keberadaan Deena yang ‘didempetkan’ dengan Sarah Fier benar-benar messed up. Benar-benar terasa seperti film try too hard untuk meyakinkan kita bahwa Deena punya tempat di cerita ini.

Aku lebih prefer kalo protagonis utama cerita ini adalah Britta.. eh, Ziggy. Karena dialah yang telah benar-benar kehilangan. Benar-benar kena dampak kutukan. Ziggy punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh Deena. Koneksi personal ke ‘pelaku yang sebenarnya’, yang demikin terestablish dari film sebelumnya. Atau, bikin saja Sarah Fier asli yang jadi tokoh utama kali ini. I mean, dari posternya aja udah make sense. Udah keliatan kalo sebenarnya lebih cocok Sarah Fier beneran, bukan Deena. Bagian pertama tentang Deena, bagian kedua tentang Ziggy, dan bagian ketiga? Randomly leluhur Sam yang mejeng, padahal dia bukan karakter utama. Padahal sudah jelas cerita kali ini akan membahas kehidupan Sarah Fier.

fear1a182f032558b368568ecd4a02ad3019
Satu lagi dosa film ini adalah tidak nongolin kembali Maya Hawke, kasih jadi siapa kek gitu di tahun 1666

 

Secara arc pun, Sarah Fier lebih kuat daripada Deena. Dalam cerita Sarah Fier, film men-tackle soal perempuan yang dituduh penyihir. Soal pria yang seperti tidak bisa menerima perempuan ternyata bisa lebih pintar dan capable daripada mereka. Soal hubungan asmara yang juga berarti bahwa perempuan ternyata bisa untuk ‘tidak butuh’ laki-laki. Sekalian juga memotret tentang betapa ketakutan bisa menyebarkan tuduhan bermacam-macam, dan kelompok orang yang ketakutan ternyata sangat mudah untuk diperdaya. Sarah Fier yang dianggap membawa kutukan dan memiliki sihir hitam, akhirnya mengembrace anggapan tersebut dengan memutuskan untuk benar-benar membawa celaka bagi para penuduh dirinya. Ini development yang tragis dan sangat personal. Aku benar-benar pengen cerita Sarah Fier ini dijadiin satu film beneran aja.

Dalam sebuah masyarakat terbelakang, kecerdasan bisa menjadi kutukan. Ini bukan soal perempuan bisa secakap atau malah lebih jago saja. Kita sendiri sekarang berada pada masa terbelakang versi modern. Karena sering kita lihat sekarang perkataan para ahli sering dibenturkan dengan perkataan ngasal, dan orang-orang lebih memilih percaya kepada yang ngasal. Karena kenyataan yang diberitahukan oleh yang ahli lebih mengerikan.

 

Coba bandingkan dengan cerita Deena – yang terus dipush oleh film ini. Kisah Deena itu gak ada apa-apanya. Sudah tiga film, tapi perkembangan karakternya nyaris nihil. Plot Deena bukan tentang dia berubah menjadi baik. Melainkan hanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana dia bisa selamat. Perkara dia Shadysider yang muak sama kota juga diresolve dengan bukan sebagai pembelajaran bagi dirinya. Konflik Shadyside yang ternyata selama ini jadi ‘tumbal’ untuk kemakmuran Sunnyvale berakhir bukan dengan para penduduk akhirnya menghormati Shadyside (ingat, Sarah Fier harusnya adalah paralel bagi kota Shadyside), melainkan Sunnyvale akhirnya ada kecelakaan juga. Ini kayak, kita merasa lebih baik sekarang karena kau ternyata enggak seperfect itu.

Usaha film meng-immerse Deena sehingga seolah ini sepenuhnya adalah cerita miliknya pada akhirnya tetap sia-sia karena film harus tetap mengacknowledge bagian ketiga ini terdiri dari dua bagian. 1666 dan 1994 (lagi!) Ini menciptakan problema baru. Pada film kedua, bagian Deena untuk mengikat ke trilogi sangat sedikit sehingga bisa kita acuhkan, 1978 itu diceritakan full dalam tiga babak. Pada bagian ketiga ini, tidak seperti itu. Tidak benar-benar ada struktur tiga-babak di sini. Porsi Sarah Fier 1666 jatohnya tetap terasa seperti flashback yang sangat panjang, lalu cerita ini hanya punya satu jam lagi untuk mulai-dan-penghabisan.

Di saat-saat kayak ginilah, kekurangtajaman Janiak menghidupkan dunia terpampang nyata. Bagian 1666 dengan bagian 1994 tidak terasa banyak berbeda. Hanya setting dan visualnya saja. Tahun 1666 kayak orang modern yang lagi cosplay jadi orang jadul, karena pengarahan akting yang seadanya. Karakter-karakter remaja itu goyah sekali pada aksen dan mannerism, dan segala macam. Sedangkan pada bagian 1994, Janiak yang masih berniat untuk tampil trendi dengan neon dan segala macam, hanya punya walkman dan Konami Code sebagai pengingat kita akan periode yang sedang disaksikan. Karakter-karakter yang tersisa pun tak ada yang bisa kita pedulikan, kecuali Ziggy, yang berusaha dimentahkan oleh film demi Deena.

 

 

Untuk aspek horor bunuh-bunuhannya, aku gak akan bilang banyak. Karena itulah yang satu-satunya dipunya oleh film sebagai hiburan yang membuatnya mengasyikkan. Aku akan membiarkan mereka untuk kalian nikmati sendiri. Aku cuma akan bilang, porsinya gak banyak, tapi masih setara-lah kesadisannya dengan dua film sebelumnya. Ada juga aksi yang melibatkan strategi keren melawan bala tentara pembunuh psikopat, yang buatku mixed feeling karena aku masih melihat rule yang ditetapkan film ini gak konsisten. Tapi secara keseluruhan film berhasil menutup trilogi ceritanya dengan sebuah penyelesaian. Secara cerita, satu jam pertama film ini lebih bisa dinikmati ketimbang film pertama. Meskipun posisinya sebagai film itu sendiri adalah yang paling goyah di antara yang lainnya. It is less than a movie. Seharusnya ada cara yang lebih baik lagi untuk membuat konsepnya immersive dengan cerita. Tapi, ini udah gak tertolong, karena sudah dikutuk, eh salah, desain seperti itu.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 3: 1666

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian setuju bahwa pada kondisi pandemi yang makin parah sekarang, para nakes dan para ahli sudah sama nasibnya seperti pada orang-orang yang dicurigai penyihir alias dianggap berbahaya, dibandingkan omong kosong para influencer atau pihak yang menganggap semua baik-baik saja?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

AKHIR KISAH CINTA SI DOEL Review

“May your choices reflect your hopes, not your fears”
 

 
Zaenab yang diketahui hamil diberi nasehat oleh dokter enggak boleh stress dan enggak boleh banyak pikiran. And Zaenab be like; yea right aku akan santai-santai saja di film yang judulnya bukan lagi ‘The Movie + angka’ atau ‘Anak Sekolahan’ tapi melainkan ‘Akhir Kisah Cinta’! 
Aku sama sekali gak menyangka akan tiba masanya aku menyebut trilogi Star Wars kalah memuaskan dibandingkan trilogi Si Doel. Saat film pertamanya tayang, Doel memang tampak seperti usaha lain menguangkan nostalgia. Ceritanya berakhir, tapi masih menyisakan ruang untuk sekuel. Dan kemudian film keduanya tahun lalu tayang seolah menguatkan dugaan film ini hanya jualan semata, lantaran cerita yang gak kemana-mana. Yang muter di tempat, dengan si Doel yang tetap diam tidak membuat keputusan. If anything, film kedua tersebut seperti ingin memerah tangis lewat sudut pandang Zaenab yang diberi porsi lebih. Di film ketiganya ini, sungguh sebuah kejutan karena sekarang keputusan dari pilihan yang sulit itu benar-benar diambil. Dan Zaenab, yang kita kenal bahkan lebih pasif dan pasrah daripada si Doel, memegang kunci untuk menutup semua ini dengan memuaskan.

ini bisa jadi adalah kehamilan tersedih di sinema.. bahkan hamil kecelakaan saja enggak sedepresi ini

 
Penonton yang menuntut cerita benar-benar sebuah akhir akan seketika oleh Zaenab yang menuntut si Doel cepat membuat keputusan. Film ini dimulai dengan tekanan waktu yang jelas; Zaenab hamil enggak boleh stress, namun dia punya tiga masalah besar yang menggerogoti pikirannya. Kenapa Doel tidak memberitahu dirinya Sarah sudah meminta cerai. Kenapa Doel tidak segera mengurus perceraian. Dan yang paling memberatkan pikiran Zaenab adalah rasa bersalah kepada Sarah karena Zaenab merasa salah dirinya lah Doel tidak mengejar Sarah sehingga wanita itu harus membesarkan anak seorang diri selama empat-belas tahun, dan sekarang Sarah memilih mundur demi dirinya dan Doel. Ada api rage dalam diri Zaenab sekarang yang membuat film jadi menarik. Ia praktisnya tokoh utama di awal-awal film, membuat keputusan-keputusan mendesak. Ia memberanikan diri untuk mengkonfrontasi Doel, bicara kepada Mak Nyak, menatap mata Dul anak Sarah, dan mencari Sarah untuk mengutarakan pilihannya sebelum Sarah kembali ke Belanda.
Memutuskan sebuah pilihan itu bisa sangat berat. Itu pelajaran pertama yang bisa kita ambil dari kisah cinta si Doel. Setelah selama ini dia masih enggak bisa memutuskan pilihan. Karena ia gak mau menyakiti hati. Namun dari trilogi ini kita melihat sikap Doel ternyata melukai lebih banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Dalam film ini, beratnya mengambil keputusan akan sangat terasa. Kita bisa melihat pilihan yang benar-benar sulit, dari segala sisi. Bukan hanya dari si Doel sendiri, tetapi juga dari eksistensi film ini. Mau gak mau, kisah si Doel harus berakhir. Penonton gak bisa terus menerus digoda, meskipun kita tahu betapa berat bagi sebuah IP untuk mengakhiri jualan andalannya. Ditambah lagi si Doel – kita bicara induk langsung film ini yakni sinetronnya – sudah bergulir selama dua puluh tujuh tahun. Untuk mengakhiri sesuatu yang sudah berjalan semua itu, pastilah dihadapkan pada pilihan yang berat. Bagaimana mengakhiri dengan memuaskan. Bagaimana menghormati penonton. Bagaimana membuat cerita yang berakhir adil bagi semua tokoh-tokoh yang menghidupi semestanya. Untuk membuat sesuatu yang sefinal ini akan ada pilihan yang berat, ada yang gak bisa semuanya terpuaskan. Personally, aku pikir sikap kita juga turut andil dalam mengakhiri film ini dengan memuaskan. PH atau Studio mendengarkan suara kita lewat angka penonton, dan merosotnya jumlah penonton pada film kedua dibandingkan yang pertama bukan tidak mungkin jadi salah satu penentu bagi film ini untuk segera berakhir dan dibuat dengan menempuh resiko seperti yang kita dapatkan sekarang.
Film memperlakukan karakter-karakternya dengan lebih memuaskan kali. Lebih banyak interaksi antara Doel dengan Dul. Momen manis melihat Doel mengajak putranya – anak yang tak ia tahu keberadaannya hingga dua film yang lalu – berkeliling Jakarta narik oplet. Doel menjelaskan cara kerja dan ‘sejarah’ oplet, ini adalah adegan yang aku tunggu sedari film pertama. Meski sebagian besar memang kelihatan seperti eksposisi atau device nostalgia saja, tapi paling enggak sekarang film ini tahu bahwa adegan seperti demikian yang dibutuhkan oleh film ini. Dul juga berinteraksi lebih banyak dengan anak Atun, Atun, Zaenab, dan Mandra. Peralihan dari sinetron ke bioskop enggak begitu berarti bagi sutradara dan penulis Rano Karno, karena semua tokoh dan interaksi mereka punya rasa yang sama. Tokoh-tokoh lama tampak nyaman menjadi diri mereka, sekaligus berkembang sesuai zaman, tokoh-tokoh baru juga gak canggung mengisi di antara mereka.
Perlakuan film terhadap Mandra adalah hal favoritku di film ini. Mandra punya subplot sendiri soal ia berusaha menjadi tukang ojek. Walaupun persoalan kerja ini enggak benar-benar tuntas, dan dipanjang-panjangin dari film kedua, namun Mandra punya akhir cerita tersendiri yang bikin kita merasa senang demi dirinya. Ini adalah momen surprise gede yang dipunya oleh film, jadi aku gak akan bocorin di sini. It was a nice surprise I would never guess it. Namun yang perlu dijadikan catatan dan dibahas dalam ulasan ini adalah cerita Mandra sebenarnya lawan dari cerita Doel; yang terjadi kepada Mandra adalah pelajaran besar bagi si Doel. Mandra adalah happy ending sejati karena berbeda dengan Doel yang plin-plan, gak bisa mutusin apa yang ia suka, Mandra setia kepada cintanya. Sehingga meskipun kita menertawakan hidupnya – jika ditarik dari sinetron, Mandra ini cocok sekali jadi poster boy slogan ‘hidupku adalah tragedi komedi’ – paling enggak, Mandra tidak harus menderita, ia tidak pernah berada pada posisi seperti si Doel. Mandra adalah karakter yang meletakkan keputusannya pada harapan. Ini yang jadi poin atau gagasan pada film.
Hanya Mandra yang bisa ketuker bahasa Belanda dengan bahasa India

 
Dibandingkan dengan Mandra, memang film tampak seperti menghukum si Doel. Zaenab membuat pilihan, Sarah kekeuh pada keputusannya sedari awal. Doel menjelang akhir film seolah akan ditinggalkan sendirian. Dan aku, serta kuyakin setengah dari penonton lain, enggak akan masalah jika film berakhir seperti demikian. Because Doel deserves it. Wakunya sudah habis, wanita- wanita itu terlalu berharga untuk ia gantung. Dia terlalu penakut – pasif – untuk membuat keputusan. I mean, mungkin gak bakal ada trilogi bioskop Doel jika dia sedari sinetron sudah memilih dengan mantap hati. Namun film enggak tega. Sesaat aku hampir tatkala cerita seperti tereset lagi pada babak ketiga. Film ternyata memberikan Doel kesempatan untuk belajar dari semua yang udah dilewati – semua yang sudah setia kita ikuti. Bola sekali lagi berada di lapangannya; pertanyaan pamungkas itu muncul lagi; Siapa yang bakal Doel pilih?
Yang membuat film ini memuaskan bukan exactly jawaban ‘siapa’ tadi. Melainkan betapa keputusan yang dibuat oleh si Doel (akhirnya!) terasa masuk akal dan feel earned. Ini literally kesempatan kedua baginya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk mengejar dan menjemput yang pergi, bukannya mendiamkan. Untuk hadir dan membesarkan anak, bukannya baru ketemu lagi saat si anak dewasa. Juga masuk akal kenapa baru sekarang Doel membuat keputusan; karena baru sekarang ia berani. Mengambil resiko, menaruh harapan. Doel tak pernah orang yang bego, dia tukang insinyur; maka ia pastilah ia cukup pintar untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Gambaran besar film ini membentuk sebuah lingkaran yang masuk akal. Film pertama adalah tentang Doel dan Zaenab dan Sarah memilih hal yang mereka takuti demi kebaikan bersama; Doel memilih ke Belanda meskipun ia tahu ada Sarah dan keadaan akan runyam. Film kedua adalah jembatan bagi Doel untuk mengenali apa yang ia inginkan. Dan film ketiga barulah ia melihat harapan untuk semuanya lebih baik, maka barulah ia memilih.

Perbuatan Doel sebenarnya bijaksana, karena seperti kata Nelson Mandela; kekuatan yang mendorong kita melakukan sesuau, berkata, berpikir, seharusnya berlandaskan pada harapan dan optimisme daripada berdasarkan ketakutan atau paksaan.

 
 
Doel gives very nice send-off, bukan hanya kepada Sarah dan Zaenab, melainkan juga kepada kita yang udah ngikutin dari tv ke bioskop, bahkan ada yang selama dua-puluh tujuh tahun. Menurutku tidak ada cara lain yang lebih baik untuk mengakhiri ini semua. Film ini haru, menyayat, lalu menyuarakan harapan, dan memuaskan penonton sehormat mungkin yang ia bisa. Aku akan memberikan nilai lebih tinggi jika bukan karena film ini masih memperlakukan dirinya sendiri lebih sebagai sinetron ketimbang sebagai film. Ia tidak akan bisa berdiri sendiri, because it was never intended to be.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for AKHIR KISAH CINTA SI DOEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang pilihan Doel? Apakah kalian pernah mengikuti sinetronnya? Jika boleh berandai, adegan apa yang ingin kalian lihat di film?
Kalo aku, aku pengen sekali melihat si Doel ngobrol dinasehatin ama babeh-nya, you know, mungkin dalam mimpi atau apa, kayak Harry dan Dumbledore di King’s Cross. I mean, teknologi sepertinya sudah memadai, dana juga sepertinya mungkin bagi Falcon.. kalo Star Wars bisa, kenapa enggak bisa juga?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER Review

“For the discovery of self we have to overcome the fear of self”
 

 
The Force Awakens (2015) berakhir dengan Rey melembar lightsaber ke Luke. The Last Jedi (2017) dimulai dengan Luke menangkap lightsaber tersebut, dan membuangnya begitu saja! Rangkaian adegan itu kini kita paham adalah simbol dari ‘passing the torch‘. Tapi tampaknya simbolik tersebut lebih dari sekadar antara dari Skywalker ke apprentice – ke Jedi generasi baru. Melainkan bisa juga jadi simbol penyerahan tongkat estafet antara satu sutradara ke sutradara berikut yang melanjutkan ceritanya. However, dalam Star Wars: Episode IX – Rise of the Skywalker yang kembali disutradarai oleh J.J. Abrams, kita melihat lightsaber tersebut ditangkap Luke dan mereka melakukan adegan yang seperti prosesi ulang yang berbeda dari simbolik passing the torch tadi. Seolah film juga ingin mengembalikan cerita ke jalur Abrams. Hal yang dapat kita simpulkan dari estafet semacam ini adalah di antara dua: pembuatnya sudah merencanakan atau pembuatnya memang tidak membuat rencana atau peta atau endgame yang mutlak tatkala mereka membuat franchise trilogi ini. Dan melihat dari perjalanan pada Episode IX ini, jawabannya besar kemungkinan adalah kemungkinan yang kedua.
Film yang jadi konklusi akhir dari trilogi Star Wars era kekinian ini memusatkan perhatian kita kepada siapa Rey sebenarnya. Selang dua tahun, Rey sekarang digembleng oleh Leia. Kekuatan Jedi dan penguasaan Force-nya sudah demikian mantap, tapi belum maksimal karena Rey takut oleh satu kekuatan lain di dalam dirinya. Sementara itu, Kylo Ren mengabdi pada Sith Lord yang baru, dan ia kerap menghubungi Rey – lewat hubungan ini Force mereka berdua; mengajak Rey bergabung, meninggalkan Leia, menumbangkan si Lord dan bersama-sama menjadi Emperor galaksi. Rey ogah. Terlebih ketika pasukan Resistance mengetahui bahwa si Sith Lord yang baru itu actually adalah musuh lama. Rey, bersama Finn, Poe, C-3PO, Chewbacca, dan BB-8 bertualang dalam Millennium Falcon menjelajah galaksi, bertemu dengan orang-orang baru, sembari mencari petunjuk keberadaan si Sith Lord dan menyusun serangan sebelum pihak Dark Side melancarkan ribuan armadanya yang masing-masingnya sanggup menghancurkan planet.
Dalam lingkup sebagai satu cerita utuh sendiri, film ini bergerak dalam satu gagasan yang ditampilkan sebagai tema besar. Yakni tentang mengatasi ketakutan terhadap diri sendiri. Hampir semua aspek karakter bergerak di dalam gagasan ini. Kylo Ren yang takut mengakui siapa dia di balik ‘topeng gelapnya’, sehingga dia terus mengenakan topeng tempur dan kerap melakukan kejahatan demi kejahatan. Rey yang takut mengetahui siapa dirinya sebenarnya, dia gak siap untuk membuka kenyataan tentang dirinya. Bahkan perjuangan Resistance mandeg gara-gara mereka takut pada kenyataan jumlah pasukan yang sedikit sehingga mengira tidak ada lagi yang mau bergabung dengan perjuangan mereka.

Takut pada diri sendiri membuat kita menciptakan sosok ideal yang bakal bertentangan dengan diri – seperti Kylo Ren, dan membuat kita tidak terbuka, tidak bebas, tidak bisa memberi dan menerima secara penuh – seperti Rey. Dengan kata lain, menghambat kemajuan. Kita tak kan bisa kabur dari perbuatan masa lalu, latar belakang, maka daripada meninggalkan diri sendiri, ambillah resiko seperti Poe. Karena jika dirimu disukai maka itu adalah karena itu memang dirimu sendiri, dan jika dirimu gagal maka kamu akan tahu persis titik mana dari dirimu yang harus diperbaiki.

 
Sayangnya tema tersebut tidak konsisten. Sehingga judul Rise of the Skywalker pun seperti reaching yang cukup jauh. Skywalker memang adalah keluarga yang jadi sorotan utama dalam dongeng Star Wars original, tapi pada film ini para Skywalker sejatinya adalah tokoh pendukung bagi tokoh utama yang non-Skywalker dalam perjalanannya menjadi ‘seorang’ Skywalker. Rey direveal memang bukan Skywalker dan di akhir dia mengadopsi nama Skywalker sebagai penghormatan buat Skywalker yang telah mengajarinya banyak hal tentang Force dan menjadi diri sendiri. Namun cara film menutup arc ini di ending malah tampak seperti menunjukkan Luke dan Leia adalah pasangan dan Rey adalah anak mereka – you know, like, selama ini yang dispekulasi oleh fans. Padahal ada cara lain yang lebih cocok dengan tema, dengan tokoh yang lebih cocok menyandang judul Rise of the Skywalker. Yakni Kylo Ren, alias Ben Solo yang berdarah Skywalker dari ibunya. Keseluruhan arc Kylo Ren di film ini adalah dia kembali kepada dirinya yang asli – yang Ben. Ada momen dramatis Kylo dengan Han Solo yang berlangsung dalam kepalanya, mereka ngobrol dengan dialog yang sama saat Kylo Ren membunuh ayahnya itu di Episode VII tapi dengan nada yang berbeda; adegan yang sangat pintar. Juga ada sedikit momen penyadaran yang melibatkan Kylo dengan ibunya. Film bisa saja menyatukan Ben dengan Rey, membuat nama Skywalker lebih natural berpindah. Hanya saja film lebih memilih untuk Rey mengenyahkan siapa dirinya setelah dia berani memikul siapa dirinya itu terlebih dahulu.

mungkin mereka sendiri bingung antara Skywalker dengan Jedi.

 
Melihat elemen cerita ini sebagai bigger picture – sebagai penutup dari trilogi – film ini sayang sekali terasa sangat random, semua yang terjadi di film ini tidak kohesif dengan yang sudah dibangun, bukan saja dari dua episode trilogi ini sebelumnya, bahkan juga dengan dua trilogi sebelum ini, alias enam episode Star Wars terdahulu. Rey diungkap sebagai seorang Palpatine, Emperor jahat yang jadi dalang di Star Wars terdahulu. Hal ini memang menarik, terlebih hardcore fans mungkin sudah ada yang bisa melihat kesamaan gaya bertarung Rey dengan Palpatine (sama-sama menggenggam lightsaber dengan kedua tangan dan mengayunkannya bersama berat seluruh tubuh). And it’s cool, menarik Rey ternyata adalah keturunan makhluk paling jahat di galaksi. Masalahnya adalah si Palpatine itu, yang sudah dibunuh oleh Darth Vader alias Anakin Skywalker, yang membuktikan kebenaran ramalan “seorang Skywalker akan mengembalikan keseimbangan Force”, dikembalikan oleh film ini. Dari sepuluh menit pertama kita diberitahu Palpatine masih hidup dan dia juga adalah (masih) dalang dari kejadian-kejadian di dua episode sebelumnya. Dan ini bego karena menegasi ramalan dan arc Skywalker dahulu, serta terlihat sebagai penulisan final yang begitu pemalas dan gak kreatif dan kayak sinetron.
Bahkan Dragon Ball Z aja ngerti gimana cara kerja dunia, jika satu tirani sudah kalah dan dunia memasuki masa damai, maka kedamaian tersebut cepat lambat bakal berakhir karena kemunculan tirani baru. Pada Episode VII sepertinya Star Wars sudah mulai memasuki tahap baru. Yah meskipun tokoh-tokoh dan kejadiannya kayak counterpart dari Episode original, tapi paling tidak kita melihat nama-nama baru. Kita diperkenalkan kepada Snoke, Supreme Leader baru. Episode VIII meginjak pedal gas perubahan itu lebih dalam lagi, semua yang kita duga dibuang, Snoke bahkan dihilangkan untuk kebangkitan musuh baru. Namun Episode IX memunculkan kembali Palpatine, ini adalah tirani yang sama dengan bertahun-tahun lalu, cara paling mudah dalam menyusun cerita ke ranah nostalgia, tidak perlu repot-repot mengikat cerita yang sudah diperluas (atau mungkin diperumit) oleh episode sebelumnya. J.J. Abrams seperti membuat sekuel buat episode VII, dengan memunculkan kembali elemen-elemen tidak ditonjolkan oleh Rian Johnson di episode VIII, dan gantian membuang yang udah dibuild up oleh Johnson.
Finn suddenly has ‘feelings’, Rey suddenly bisa heal dengan Force, dan Kylo Ren suddenly bisa perbaiki helm dengan teknik kintsugi

 
 
Ini kayak ketika aku dan teman-teman tim Lupus Reborn Jogja berniat bikin novel yang dikerjakan secara estafet per bab, kami hanya merumuskan tokoh tanpa ada garis besar perjalanan. Hasilnya setiap bab rasanya gak padu, ketika menulis aku susah payah menyambung ide dari bab sebelum aku dan ketika dilanjutkan, hasilnya enggak sesuai dan gak nyambung lagi. Atau kayak serial yang setiap episodenya disutradarai oleh orang yang berbeda-beda. Contoh paling epik adalah American Horor Story 1984 tahun ini; sedari beberapa episode terakhir mereka seolah ngebangun ke konser musik yang bakal berdarah-darah, tapi ternyata di episode finale, konser itu enggak ada – malah lompat ke masa depan, dengan banyak eksposisi tentang konser tersebut. Episode IX ini jatoh mengecewakan seperti itu, dia tidak terasa benar-benar menyambung Episode VIII, melainkan seperti membenarkan yang salah. Membenarkan dengan acuan kesenangan fans.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh Martin Scorsese sebagai film yang hanya serupa wahana taman hiburan. Rise of the Skywalker disibukkan oleh keinginannya memenuhi keinginan dan hiburan fans. Film ini hanya spectacle besar – it’s being real good at it. Banyak adegan yang benar-benar wah kayak duel Rey dengan Kylo di atas bangkai spaceship dengan latar laut berombak, itu keren gila. Tapi dari segi cerita, film ini banyak lemahnya dan sangat terasa maksain. Atau mungkin, sebagai pembelaan, film ini diubah karena wafatnya Carrie Fisher yang berperan sebagai Leia; salah satu dari tiga trio original. Episode VII adalah tentang Han Solo. Episode VIII adalah tentang Luke. Dan IX ini seharusnya tentang Leia. Kenyataannya, Carrie meninggal. Film ini menggunakan stok adegan-adegan Carrie Fisher sebagai Leia yang enggak dipake dari dua episode terdahulu, dan mereka merancang adegan dari sana. Beberapa mulus, namun sebagian besar adegan Leia tampak aneh. Makanya di film ini peran Leia penting tapi screentimenya sedikit. Penyesuaian yang mereka lakukan, supaya aman, ya naturally akan didasarkan kepada kesenangan fans.
 
 
Oh please, jangan khawatir sama beberapa spoiler di sini. Filmnya sendiri juga enggak peduli sama cerita dan kesinambungan. Mereka hanya ingin kita menonton ini dan terhibur oleh petualangan dan aksi di tempat-tempat paling seru di galaksi. Fans will love this because of it. Film juga menyisipkan banyak reference dan easter egg dari episode-episode terdahulu sehingga nontonnya memang terasa seru. Namun untuk sebuah cerita yang mengangkat soal tidak takut kepada diri sendiri, film ini tidak punya nyali mengetahui ke arah mana dia akan menjadi. Sehingga mereka membelokkan dan mengabaikan dirinya sendiri di masa lampau.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF THE SKYWALKER

DANUR 3: SUNYARURI Review

“Just because you don’t see something doesn’t mean it isn’t there”

 

 

Risa, dalam narasi voice-over menit-menit awal film, mendeskripsikan hantu-hantu yang pernah ia temui salah satunya dengan “… ada yang jadi sahabat dan tak pernah pergi”. Kalimat tersebut tentu saja mengacu kepada Peter dan empat hantu lain yang sudah berteman dengan Risa sedari kecil. Namun nada Risa mengucapkan kalimat tersebut sangat muram. Tidak kedengaran seperti orang yang senang, atau malah tidak seperti orang yang bangga berteman dengan hantu-hantu. Hampir seperti nada orang yang bosan. Yang sudah muak.

Trilogi Danur jika kita menjauh sedikit sehingga melihat gambaran besarnya, sesungguhnya punya tema-tema yang berkembang. Danur pertama (2017) adalah soal Risa belajar untuk menerima kekurangan orang lain, dalam kaitannya dengan pembelajar menjalin pertemanan. Danur 2: Maddah (2018) adalah giliran Risa belajar untuk membuka dirinya dan tidak minder dengan kekurangan diri; Film kedua ini membahas adik Risa yang malu dengan kemampuan kakaknya. Pada Danur terakhir sekarang – mari kita mendekat untuk fokus lagi – yang diangkat adalah soal Risa yang berada di titik terendah dirinya, meskipun hidup Risa udah di titik paling nyaman. Kerjaan nulisnya lancar. Adiknya akrab dengan dia. Risa bahkan sekarang punya pacar seorang penyiar radio. Risa pun kini punya teman-teman manusia. Namun kesulitan yang sempat ia alami dalam bersosialiasi dalam pengalaman-pengalaman terdahulu terus membayangi Risa. Dia takut pacar dan teman-temannya minggat begitu mereka tahu Risa juga berteman dengan hantu. Jadi Risa mulai cuek sama Peter, William, Janshen, Hans, dan Hendrick. Sampai ke titik Risa benar-benar enggak mau melihat mereka semua lagi. To her horror, walau dia sudah tak bisa melihat mereka lagi, dia masih bisa menyium bau danur di rumah yang entah kenapa diguyur hujan sepanjang waktu.

Hantu bagi Risa adalah simbol dari masalah. Jadi dia meminta penglihatannya untuk ditutup supaya tidak bisa melihat mereka lagi, supaya dia tidak lagi terkena masalah. Tapi sesuatu yang tidak kita lihat, bukan berarti tidak ada. Kita tidak bisa terhindar dari masalah hanya karena kita menolak untuk melihat ada masalah di sana. Pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita Risa dalam Danur 3 ini adalah masalah tidak akan lenyap hanya karena kita menolak mengakui keberadaannya.

 

Setelah nunggu tiga film – tiga tahun, barulah kali ini kita benar-benar mendapatkan eksplorasi persahabatan antara Risa dengan hantu. Kita melihat lebih banyak adegan yang melibatkan para hantu Belanda cilik. Karena dalam dua film sebelumnya, kisah Risa dengan Peter cs selalu tergeser ke belakang oleh kisah hantu antagonis yang butuh jangkauan lumayan panjang untuk bisa kita paralelkan dengan kisah inner Risa. Dalam Danur 3: Sunyaruri ini, masalah difokuskan kepada hubungan Risa dengan temannya. Risa banyak melakukan pilihan terkait teman-temannya, baik yang manusia maupun yang hantu.

pemeran hantu anak-anaknya dari film pertama masih sama gak sih? kok mereka gak tampak tumbuh gede ya. Apa jangan-jangan….

 

Bagian-bagian awal film ini cukup bisa dinikmati. Tidak ada jumpscare yang berlebihan – meskipun aku menduga ini karena kali ini aku menonton di bioskop yang terkenal punya sistem audio yang lebih ‘mendem’ daripada bioskop sebelah – Tidak ada kamera yang diputer-puter hanya supaya terlihat nyeni. Set dan desain artistik film ini toh berhasil membangun dunia yang seram. Adegan prolog di dalam gedung teater merupakan salah satu adegan terseram dalam film, walaupun ternyata gak nyambung-nyambung amat sama keseluruhan isi cerita – hantunya pun ternyata beda dengan yang jadi ‘bos’ di cerita film ini – sehingga adegan tersebut sebenarnya bisa saja dibuang. Tampak jelas, bukan hanya sutradara Awi Suryadi, aktor Prilly Latuconsina pun tampak sudah menemukan ‘kadar yang tepat’ dalam kerja mereka untuk semesta horor ini. Sebagai Risa yang mulai menolak kemampuannya, Prilly mendapat tantangan baru. Di sini dia nyaris memainkan protagonis dan antagonis sekaligus, sebab terkadang dia melakukan pilihan yang tak akur dengan kita. Karena kita tahu lebih baik bagi tokoh ini untuk tetap bersama dengan Peter dan hantu cilik lainnya.

Sebagai karakter, Risa di sini diserang bertubi-tubi. Bukan hanya mental – dia tidak tahu lagi yang terjadi, melainkan juga fisik. Sebagian besar adegan dalam film ini mengharuskan Prilly memakai riasan lebam lantaran sebelah mata Risa membengkak  secara ganjil. Riasan yang digunakan tampak cukup meyakinkan; bukan sebatas bengkak memerah, tapi juga berair seperti bengkak beneran. Aku salut juga melihat Prilly mampu berakting konsisten dengan kondisi sebelah mata dibuat seperti demikian, I mean how can she see? Ada banyak adegan horor menarik yang mestinya bisa diciptakan dari keterbatasan Risa sekarang. Namun film malah melakukan hal yang bego seperti membuat Risa yang matanya bengkak sebelah berjalan masuk ke dalam rumah kosong dan melihat lewat layar hape. Kurang logis seseorang yang pandangannya terbatas melihat sesuatu dari alat yang semakin membatasi jangkauan pandangnya.

Actually, hal bego yang dilakukan oleh film ini dimulai jauh sebelum adegan Risa masuk rumah kosong tersebut. Aku yang sudah tersedot masuk ke dalam cerita oleh bahasan yang grounded dan personal bagi tokohnya, dengan set piece yang meyakinkan, tiba-tiba terlontar lagi keluar oleh adegan-adegan yang seperti dipikirkan sekenanya. Kita akan melihat berbagai hal konyol seperti Risa yang memanggil kelima hantu temannya selalu dengan urutan yang sama persis; Peter, William, Janshen, Hans, Hendrick (yea abjad right?) ataupun hantu-hantu yang hilang seperti dijentik Thanos. Semua rangkaian bego itu dimulai dari ketika tokoh Umay Shahab merekam dirinya sesaat sebelum dirinya pengen pipis. Manusia real macam apa yang mengaktifkan kamera, mengetahui persis dirinya pengen ke kamar mandi. Sejak adegan di akhir babak pertama ini, aku mulai khawatir sama perlakuan film ini terhadap tokoh-tokoh baru yang dimiliki. Tokoh-tokoh anak muda teman pacar Risa yang bekerja di radio ini dimainkan oleh aktor-aktor muda yang cukup ternama, tapi pelit sekali dimunculkan. Mereka tidak punya karakter. Satu-satunya yang sedari awal tampak ada ‘cerita’ adalah tokoh yang diperankan Stefhani Zamora; produser radio ini seperti ada suka dengan pacar Risa yang diperankan Rizky Nazar – thus seperti membangun ke cinta segitiga dengan Risa. Namun selain membuat Risa jadi jealous dan makin napsu mempertahankan pacarnya sehingga semakin galak pula ia kepada Peter cs yang ia kurung di loteng rumah, perihal tiga tokoh ini tidak pernah berkembang lebih lanjut.

Sebuah hal yang sia-sia; film punya set baru – lingkungan radio lengkap dengan anak-anak muda yang bekerja di sana, tapi tak pernah membahas apapun dengan latar tersebut. Keren memang, film menggambarkan suasana rumah Risa yang banyak mainan anak cowok berserakan yang bisa saja menunjukkan para hantu sengaja untuk menarik perhatian Risa. Tapi kita sudah melihat set rumah sejak dari film pertama. Danur 3 punya kesempatan mengambil setting baru, tapi dia tidak mengambilnya. Aneh untuk konteks cerita Risa ingin mempertahankan pertemanan dengan manusia, kita malah tidak mendapat kesan Risa benar-benar berteman dengan mereka. Hanya ada satu adegan mereka ngobrol bersama. Masa iya mereka semua cuma cameo? Well, jawaban dari ini semua ternyata lumayan menyakitkan. Film ternyata sengaja menyimpan banyak tentang mereka karena film memaksudkannya untuk twist. Twist yang berjenis murahan dan malas dan seenak udel dan maksa. Twist yang menunjukkan ketidakmampuan sutradara dan penulis menyajikan cerita dan petunjuk yang subtil. Jadi kita dibiarkan enggak tahu dan tanpa informasi sebelum di menit-menit akhir mengungkap lewat flashback. Film yang jauh lebih baik, pembuat yang jauh lebih kompeten – yang kepeduliannya untuk bercerita lebih besar ketimbang kepeduliannya akan duit – akan membuat cerita yang runut. Yang membahas persahabatan mereka sedari awal, melandaskan informasi-informasi penting secara tersirat sehingga ketika twist datang penonton tak merasa terkecoh. Tapi aku yakin film ini merasa sudah memberikan petunjuk ‘cerdas’ dari nama tokoh, jadi mungkin kitalah yang bego karena enggak sadar nama tersebut.

Cara yang dilakukan oleh film ini membuat kita tak tahu apa-apa dan menonton sebagian besar film dengan sesedikit mungkin cerita. Kita hanya tahu ada hantu yang menjauhkan Risa dari Peter, tanpa pernah kita tahu motivasinya apa. Benar-benar enggak jelas tindakan yang dilakukan oleh hantu – yang desainnya jika dibandingkan dengan hantu Danur 2 akan terlihat sangat basic dan seadanya. Jadi si hantu ini membuat Risa tak bisa melihat Peter tapi lalu kemudian teriak-teriak nyuruh Risa memanggil Peter cs kepadanya. Dan aku belum nyebutin soal si hantu yang gemar nyanyiin lagu Boneka Abdi, yang bahkan udah gak terdengar seram lagi setelah dinyanyikan berkali-kali seperti yang film ini lakukan.

Kenapa Rain, kenapa kau acak urutan memanggil nama mereka?

 

Bahkan dengan geng Peter pun, film tidak memperlihatkan Risa bermain dengan mereka. Kita hanya mengandalkan pengetahuan mereka akrab sedari film pertama. Yang membuat efek Peter menghilang nantinya tidak pernah benar-benar kuat, apalagi buat penonton yang benar-benar blank tentang Risa dan Danur – sehingga film ini tidak bisa berdiri sendiri.

Namun begitu, masih ada hal-hal menarik lain yang bisa kita tarik dari film ini. Misalnya seperti betapa besar pengaruh dunia barat. Kita melihat di perayaan ulang tahun, Risa dan teman-teman memakan pizza dan pasta. Kita juga mendengar lagu pengusir hujan yang dinyanyikan Risa sebenarnya adalah lagu inggris anak-anak yang berjudul ‘Rain, Rain, Go Away’. Jika kalian cukup iseng mungkin kalian bisa menarik hubungan antara budaya Jawa Barat dengan budaya barat yang ditunjukkan oleh film ini.  Kalo aku, lebih tertarik melihat gambaran proses kreatif Risa menulis cerita oleh film ini. Karena susah sekali untuk memastikan apakah Risa yang asli menulis dari apa yang ia alami atau hanya dari pikirannya saja. Dalam film ini kita melihat tokoh Risa menulis Canting tapi tak beneran ia alami. Ia menulis duduk di hutan, padahal dia hanya membayangkan dirinya berdasarkan lukisan di dinding. Tapi dia juga menulis tentang Peter dan teman-teman. Mungkin alih-alih menjawab semua itu, tujuan film justru sebenarnya untuk mengangkat kemisteriusan sosok Risa dan cerita-cerita hantu yang ia jual sebagai kebenaran tersebut.

 

 

 

Pujian tertinggi yang bisa kita sematkan kepada film yang sepertinya adalah akhir dari trilogi Danur ini adalah ia merupakan film yang paling mendingan dibandingkan dengan dua film sebelumnya. Scare-nya dilakukan dengan lebih baik. Film ini membahas masalah yang lebih dekat dengan tokoh utamanya, punya gagasan yang lebih menantang. Tapi tak banyak perbedaan dari bangunan cerita yang masih ala kadar. Yang seperti tak begitu peduli menyampaikan cerita yang solid dan tak merendahkan penonton horor melalui misteri yang tak dibangun.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DANUR 3: SUNYARURI.

GLASS Review

“You are what you believe yourself to be.”

 

 

Sembilan-belas tahun! Dengan waktu selama itu, Glass bisa saja adalah salah satu film bertema buku komik, yang paling ditunggu-tunggu oleh pecinta film dan nerd di seluruh. Termasuk. Dan ia bahkan bukan tipikal film superhero yang mengandalkan bak-bik-buk serta CGI. Kalian salah beli tiket kalo ngarepin aksi penuh ledakan dan monster-monster, dewa-dewa, alien, manusia berjubah beterbangan. Karena ini adalah buah pikiran M. Night Shyamalan, yang demen membengkokkan ekspektasi baja kita semua, lantas memecahkannya berkeping-keping, for better or worse. Malahan, dengan beraninya film terang-terangan menampilkan tulisan “A True Marvel”, seolah menantang gagasan kita mengenai apa sih ‘pahlawan super’ itu sebenarnya.

Alih-alih main fisik, sedari awal trilogi ini memfokuskan kepada kejiwaan manusia. Hampir tidak ada adegan aksi di Unbreakable (2000), malahan sebagian besar adalah tentang David Dunn yang harus ‘mengikhlaskan’ dirinya punya kekuatan tidak-bisa-terluka dan actually menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan orang banyak. Sebagai antagonis dari Dunn adalah Elijah Price yang menyebut dirinya sebagai Mr. Glass, penggemar – bahkan ahli – buku komik lantaran banyaknya waktu yang ia habiskan membaca sebagai ganti dirinya yang tidak boleh banyak bergerak karena kondisi tulang tubuhnya yang begitu rapuh. Twist yang dihadirkan oleh film pertama yang dielu-elukan sebagai masterpiece dari Shyamalan adalah bahwa ambisi villain, alias penjahat, tidak melulu menghancurkan superhero. Bahwa ada satu orang yang rela menimbulkan petaka bagi masyarakat hanya demi mencari, membangkitkan, superhero beneran. Ke-grounded-an elemen superhero dari dunia Unbreakable secara mengejutkan diteruskan ke Split (2016). Nobody saw this coming. Tidak ada yang menyangka Kevin yang punya dua-puluh-empat personalita berbeda itu hidup di universe yang sama dengan Dunn dan Mr. Glass. Hingga menit-menit terakhirnya, Split tampak seperti thriller membalut studi psikologis tentang manusia yang ‘kabur’ dari trauma mendalam ke dalam kepalanya, melahirkan identitas-identitas berbeda sebagai pertahanan. Jadi, ya, aku sudah tahu Glass juga bakalan lebih banyak ngobrolnya ketimbang berantem. Antisipasi memang sudah membuncah, pembahasan apa yang bakal diangkat oleh penutup trilogi ini; hal mind-blowing apa yang sudah dimatangkan Shyamalan begitu lama untuk kita semua.

Anya-Taylor Joy masih balita loh ketika Unbreakable tayang di bioskop

 

 

Babak pertama Glass sungguh-sungguh keren. Menakjubkan rasanya diperkenalkan kembali kepada Dunn; kita melihat seperti apa hidupnya setelah bertahun-tahun, gimana dia sekarang bekerja sama dengan anaknya. Dengan segera mereka menemukan tempat Kevin menyekap orang-orang yang ia culik, kemudian wow! aku tak menyangka bakal secepat itu melihat Dunn dan The Beast (identitas Kevin yang paling buas) adu kekuatan. Mereka berdua ketangkep oleh polisi dan diasingkan ke sebuah rumah sakit. Dunn, Kevin, dan juga Mr. Glass yang lumpuh dikarantina di dalam ruangan mereka masing-masing di sana.

Sampai di sini, film mengambil waktu untuk membawa kita menyelami pokok pikiran yang tema cerita. Buat beberapa penonton, babak kedua ini bisa berubah menjadi membosankan. Tetapi perbincangan mereka dengan dokter yang diperankan oleh aktris American Horror Story, Sarah Paulson, sebenarnya sangat menarik. Kita diperlihatkan pula banyak treatmen-treatmen filmmaking yang membuktikan bahwa Shyamalan memang tahu apa yang sedang ia buat. Dan tentu saja, akting dari pemain-pemain lain membuat mataku betah untuk menontonnya. Meskipun memang, kuakui, ada sedikit rasa “loh kok ke arah sini?” yang mengganjal saat bincang demi bincang itu bergulir. Bangunan cerita yang dipilih Shyamalan buat Glass toh lumayan aneh. Dua film sebelumnya dimanfaatkan untuk mengukuhkan semesta dunia cerita ini adalah dunia superhero. Namun babak kedua film ini, kita diperlihatkan ‘debat’ antara si dokter yang percaya apa yang dialami oleh Dunn, Glass, dan Kevin bukanlah kekuatan superhero melainkan kekuatan normal yang bisa dimiliki oleh semua orang. Si dokter berusaha meyakinkan mereka bahwa pikiran merekalah yang membuat mereka percaya penyakit mereka adalah anugrah yang luar biasa. Yang tercipta dari permasalahan ini terasa seperti antiklimaks dua film sebelumnya. Babak ketiga diisi oleh Shyamalan dengan banyak twist, yang masuk akal dan ditanam dengan properly, hanya saja kurang nendang, kalah jauh jika dibandingkan dengan twist dua film sebelumnya. Hal ini disebabkan karena kelokan-kelokan cerita pada Glass tidak benar-benar membawa kita ke ‘tempat’ yang baru.

Kita sanggup melakukan apa saja jika kita percaya mampu melakukannya. Kau adalah sesuatu yang kau percaya itu dirimu. Begitu kuatnya kekuatan pikiran. Orang lain tidak akan bisa menegasi  apa yang kau percaya sekalipun kepercayaan itu hanyalah sebuah fantasi. Glass mengaitkan hal ini dengan mitologi superhero dalam buku komik. Tokohnya percaya hal yang mereka baca di komik, bahwa komik punya landasan kebenaran yang dibuat berdasarkan pengalaman nyata. Komik dijadikan bukti keberadaan superhero, sehingga mereka yang punya sedikit kelebihan percaya mereka juga superhero. Di lain pihak, rasionalisasi bisa kita terapkan pada hal apapun begitu kita sudah percaya terhadap ‘lawan’ dari suatu hal. Yang menarik terutarakan oleh film ini adalah, justru orang yang paling tak percaya-lah yang sebenarnya paling mempercayai apa yang ingin ditentangnya.

Tidak ada pahlawan atau penjahat, semua itu bisa berganti dengan mudahnya. Yang ada hanya pikiran dan usaha kita terhadapnya.

 

jangan-jangan semua orang gila di RSJ sebenarnya adalah superhero dan kita semua bersalah udah menahan mereka

 

 

Meskipun film ini meninggalkan kesan yang kurang nendang dan praktisnya di bawah harapan banyak orang, bukan berarti tidak ada yang bisa kita nikmati selama durasi dua jam lebih tersebut. Malahan, film ini buatku loveable banget. Teknisnya memang tingkat super semua. Perspektif kita didesak oleh kamera yang seringkali mengambil posisi orang-pertama. Ini tidak akan menjadi masalah terutama jika yang kita lihat adalah Kevin alias The Horde. Melihat James McAvoy berganti peran dalam hitungan jentikan jari (atau dalam film ini literally on a flip of the switch) sudah merupakan anugerah tersendiri, yang membayar lunas tiket bioskop kita. Pindah-pindah persona dan gaya bicara seperti itu tampak sangat mudah dilakukan olehnya. Hubungan yang terjalin antara Kevin dengan Casey tampak manis sekaligus devastatingBruce Willis dan Samuel L. Jackson juga menyuguhkan permainan yang sama solidnya, meskipun peran mereka enggak begitu banyak bercakap. Aku suka gimana Shyamalan memberikan treatment warna kepada setiap kemunculan tiga tokoh ini. Dunn hampir selalu disertai dengan warna hijau yang melambangkan kehidupan yang dilindungi olehnya. Kevin dengan warna kuning dan pala botak membuatnya tampak seperti pendeta, yang kultus oleh agenda penyelamat versinya sendiri. Glass dengan warna ungu sebagai simbol yang diagungkan, royalti, karena dia percaya dialah ‘tuhan’ – pencipta dari superhero. “Bukan limited edition. Aku menulis origin story,” akunya dengan bangga. Dalam adegan interogasi, Shyamalan mendudukkan tiga tokoh ini di dalam ruangan pink untuk menunjukkan kepada kita kepercayaan mereka mulai memudar. Keraguan apakah mereka superhero atau cuma orang sakit mulai membesar.

Kebiasaannya membuat cerita twist menjadikan Shyamalan begitu peka terhadap detil-detil. Dengan cermat ia melandaskan banyak hal, menyisipkan informasi demi informasi. Membuat adegan flashback menjadi menyenangkan dengan perlakuan khusus yang begitu diperhatikan olehnya. Maka dari itu, aku jadi sedikit geram ketika ada beberapa aspek dalam cerita yang ‘luput’ olehnya; yang harusnya bisa dieksekusi dengan lebih masuk akal dan gak konyol. Seperti lampu-lampu di kamar Kevin; dia dijaga oleh lampu sorot yang dipasang di dekat pintu masuk supaya ketika ada apa-apa – Kevin memunculkan The Beast atau identitas lain yang berbahaya untuk melarikan diri – lampu otomatis menyala, menyilaukan mata, dan memaksa identitas berbahaya itu kembali masuk dan bertukar dengan identitas lain yang lebih ramah. Tentu, aspek ini memberikan kita momen-momen menakjubkan dari akting McAvoy, namun juga benar-benar bego. Kevin bisa dengan gampang meloloskan diri; dia cukup menutup mata, atau menyarungkan matanya ke pakaian atau sarung bantal ala film Bird Box (2018). Kenapa tidak sekalian aja mereka membuat semua ruangan berisi lampu seperti ruangan Dunn yang penuh oleh keran air.

Sama seperti Avengers: Infinity War (2018), Glass adalah cerita dengan banyak tokoh yang membuat kita bingung siapa tokoh utamanya. Dan sama mengejutkan seperti Infinity War yang ternyata adalah tentang kebenaran versi Thanos, film ini memang dibuat sebagai episode untuk Mr. Glass. Hanya saja tidak gampang membuat cerita di mana penjahatnya memegang kendali, terutama jika kau berniat untuk punya twist dalam ceritamu. Inilah sebabnya kenapa Dunn diberikan porsi yang sedikit, dia bahkan gak punya arc. Kevin Wendell Crumb terlihat lebih cocok sebagai tokoh utama – ia dimunculkan duluan, dia punya arc, porsinya lebih banyak – tapi dia pun tidak melakukan pilihan yang relevan dengan tema cerita. Semua penjahat butuh superhero, semua hal dalam film ini dilakukan oleh Mr. Glass. Twist sebenarnya dalam film ini adalah di mana tepatnya posisi Mr. Glass. Apa dia penjahat atau superhero. Dia protagonis atau antagonis. Dan cerita yang seperti ini hanya berani dilakukan oleh sutradara seperti Shyamalan yang enggak pernah betul-betul peduli terhadap angka box office.

 

 

 

 

Film ini adalah suplemen yang bergizi untuk penggemar komik superhero, terutama di masa-masa di mana cerita fantasi tentang pahlawan dan penjahat berlomba-lomba menghadirkan sudut pandang yang baru. Buat penggemar film pun ada begitu banyak yang bisa bikin jatuh hati dalam film ini. Sinematografi, akting, tema, treatment, film ini benar dibuat oleh orang yang punya visi. Meskipun visi itu kadang membuat kita kecele. Tak kalah banyaknya hal yang mestinya bisa dirapihkan oleh film ini, tapi film masih bekerja di dalam konteksnya. Twistnya – yang kurang nendang – tetap sebuah kelokan yang logis dan solid. Kita boleh jadi sedikit kecewa karena menunggu lama, tapi kita tidak perlu punya kekuatan super melenturkan tubuh, enggak perlu sebegitu long reachnya, untuk memaksa diri menyukai film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GLASS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Komik adalah media cerita yang paling sering diremehkan. Apa pendapat kalian tentang komik, dan cerita superhero secara universal?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD Review

“Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born”

 

 

 

Setiap kali berkenalan dengan orang baru, sesungguhnya kita seperti melangkah ke dalam dunia baru yang mungkin saja belum pernah kita lihat sebelumnya. Kita kemudian bisa berteman dengan mereka, jika ‘dunia’ kita dan milik mereka berjalan beriringan. Sebab dalam menjalin persahabatan, hal terbaik yang kita lakukan terhadap teman kita adalah tidak menarik dunia mereka masuk ke dalam dunia kita.

 

Indahnya persahabatan antara Hiccup, anak kepala suku bangsa viking, dengan Toothless, naga Night Fury yang bersisik dan hitam, sudah kita rasakan bersama-sama semenjak film pertama mereka tayang di bioskop delapan tahun yang lalu. Malahan, persahabatan merekalah satu-satunya hal yang konstan yang dapat kita temukan dalam dunia trilogi film mereka yang senantiasa berkembang. Berawal dari perasaan mutual – sama-sama membutuhkan; Toothless yang cacat tidak bisa terbang tanpa bantuan Hiccup, begitupun Hiccup yang menjadikan Toothless sebagai perangkat untuk membuktikan kemampuannya, hubungan mereka berdua layaknya simbol perdamaian antara manusia dengan naga. Hiccup sudah menjadikan si naga sebagai partner sejatinya, kita lihat mereka bekerja sama. Persahabatan mereka bahkan sudah teruji dalam peristiwa mengharukan di film kedua (2014) saat Toothless berusaha keras mematahkan kekuatan yang menyuruhnya menyakiti Hiccup. Trilogi How to Train Your Dragon tak pelak adalah salah satu dari seri animasi yang benar-benar punya arc menawan untuk kita simak. Menontonnya sendiri-sendiri saja sudah cukup menghangatkan, apalagi jika kita melihat gambar besar dari apa yang diceritakan oleh tiga film ini.

Kita bisa melihat perubahan, katakanlah evolusi, baik dari apa yang mereka hadapi maupun dari segi visual yang terus saja bikin kita takjub. Sensasi perkembangan itu memang jadi nilai kuat dari trilogi film ini. Sebagai penutup trilogi, How to Train Your Dragon: The Hidden World memperlihatkan kedewasaan para tokohnya. Hiccup, kini animasi yang halus itu menunjukkan bulu-bulu jenggot halus mulai membayangi dagunya, adalah kepala suku yang sah untuk klan Berk. Dia memerintah kampung mereka di mana naga dan manusia ia usahakan hidup berdampingan. Bersama teman-teman penunggang naga, Hiccup dan Toothless memimpin misi-misi pembebasan naga-naga yang tertangkap oleh para pemburu. Tapi sanctuary yang mereka buat -desa mereka – lama-lama justru bisa menjadi sasaran empuk buat para pemburu. Terutama yang keji seperti Grimmel, pemburu yang bertanggung jawab atas status Toothless sebagai naga Night Fury satu-satunya. Menyadari keberadaan mereka begitu mudah ketahuan dan disusupi, Hiccup membawa seluruh suku beserta naga-naga mereka, hijrah ke sebuah tempat tersembunyi – tempat asal muasal para naga – yang pernah didongengkan ayah kepadanya. Perjalanan yang mereka tempuh sangat beresiko karena semakin mengekspos eksistensi mereka, dengan Grimmel yang terus mengekor dan menggunakan Light Fury (naga Night Fury betina) memancing Toothless keluar dari perlindungan Hiccup dan para manusia.

I summon Blue Eyes White Dragon!

 

Alih-alih membebani cerita dengan menambahkan karakter-karakter baru (seperti yang dilakukan Ice Age dalam setiap sekuel mereka), sutradara Den Deblois melakukan pilihan yang tepat dengan malah mengekspansi dunia tempat tinggal para tokoh. Dan pada dasarnya ini juga berarti dia terus menggali apa yang dipunya oleh karakternya – Hiccup sedari awal memang adalah seorang petualang dengan ide-ide out-of-the-box, jadi masuk akal ketika tokoh ini mendapat gagasan untuk membawa rakyatnya ke ujung antah berantah sebagai penyelesaian masalah yang dihadapi suku Berk. Setiap teman-teman manusia Hiccup juga terus digali ‘kegunaannya’, jadi ketika mereka melakukan hal yang lucu kita tahu perbuatan tersebut terletak di antara digunakan untuk menguatkan karakter mereka atau bakal berpengaruh terhadap majunya cerita. Setidaknya ada tiga relasi/hubungan penting yang harus kita perhatikan karena merupakan fokus utama cerita. Antara Hiccup dengan Toothless, tentu saja. Antara Hiccup dengan Astrid – yang sejak film pertama dibangun sebagai love interest – perhatikan gimana Astrid yang pejuang membantu Hiccup dengan tidak menggunakan ‘bantahan’. Dan antara Hiccup dengan rakyat yang ia pimpin – ini berkaitan dengan ‘pekerjaan’nya sebagai kepala suku yang full-circle dengan relasi Hiccup dengan ayahnya dahulu.

Menggunakan banyak nama gede sebagai pengisi suara sepertinya memang keputusan yang menguntungkan. Suara-suara milik Cate Blanchett, Jonah Hill, Kristen Wiig, F. Murray Abraham, Christopher Mintz-Plasse, America Ferrera, Jay Baruchel terdengar begitu ekspresif hampir seolah film ini merekam suara terlebih dahulu baru kemudian menyesuaikan animasi dengan suara yang sudah didapat. Interaksi para tokoh sama mulusnya dengan visual yang dihadirkan. Hal ini terlihat sekali saat kita berpindah melihat interaksi Toothless dengan si naga betina. Kita tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan, tetapi emosi-emosi itu tidak pernah tercecer. Kulminasi semua aspek keindahan itu terwujud pada adegan final yang menghantarkan kita pulang dengan penuh kehangatan. Setiap ada pertemuan selalu ada perpisahan, film lewat adegan penutup memperlihatkan dengan indah tidak ada yang absolut dalam pertemuan dan perpisahan.

Dan setiap ada pertemuan, akan selalu ada makan-makan.

 

Dengan tokoh-tokoh dan permasalahan yang lebih dewasa, film harus memutar otak untuk membuat ceritanya tetap tak-berat disantap oleh anak kecil. Jadi kita akan menemukan beberapa kemudahan, yang menurutku memang disayangkan. Membuat film ini tidak bisa terbang mencapai ketinggian yang dicapai oleh film pertamanya. Penulisan dibuat tak sedalam yang semestinya bisa dilakukan. Jika pada dua film sebelumnya kita melihat elemen pengorbanan yang tak lazim ditemukan dalam animasi keluarga seperti ini  – ada kaki yang hilang, bahkan nyawa – maka pada film kali ini kita tidak menemukan tindak seberani itu, meskipun film tetap masih berusaha keras menyampaikan maksud dan emosi yang melandasi setiap adegannya. Poin yang ingin diacungkan adalah bagaimana Hiccup musti ‘membebaskan’ Toothless. Masih mengharukan, tetapi kurang menggigit, buatku mainly karena kita baru saja menyaksikan elemen yang mirip pada hubungan persahabatan antara ‘manusia dengan manusia’ dalam Ralph Breaks the Internet (2018). Bukannya mau mengecilkan persahabatan antara manusia dengan hewan, aku aja gak bakal langsung tega melepaskan kucingku, tapi film ini butuh lebih banyak penekanan dari konflik inner si Hiccup seperti yang kita lihat pada Ralph. Mereka sama-sama diambang perpisahan dengan sahabat karena ulah mereka sendiri, namun pada How to Train Your Dragon ini kita teralihkan dari Hiccup ke satu relasi lagi yang kurang tergarap dengan baik.

Relasi tak-tergali dengan cukup itu adalah antara Hiccup dengan Grimmel, pemburu yang sempat memuji mendiang ayah Hiccup karena mereka satu pemikiran. Film seharusnya memusatkan konflik inner Hiccup di sini. Dia dibuat menyadari apa yang ia lakukan sebenarnya juga sama aja dengan berburu naga (meskipun naga buruan ia selamatkan alih-alih dibunuh), tapi kita tidak benar-benar melihat bobot ini mempengaruhi cerita. Lantaran si Grimmel sendiri dibuat satu-dimensi. Dia adalah penjahat kartun yang total jahat, tidak ada perbedaan filosofi seperti Hiccup dengan ayahnya di film pertama, sehingga kita pun tidak pernah benar-benar melihat dan merasakan problem personal dari Hiccup. Dia seperti membuat keputusan yang salah kemudian menjadi benar karena si antagonis ini jahat banget. Tak lebih dari itu. Di film pertama Hiccup bersusah payah memberikan pandangan baru kepada ayah dan teman-temannya, membelokkan cara pikir mereka terhadap naga, dan di film penutup ini kita melihat Grimmel dengan gampangnya punya serum untuk cuci otak mengendalikan naga-naga. Kemudahan yang timpang sekali, yang tidak memberi ruang untuk kita menarik garis paralel antara protagonis dengan antagonis. Permasalahan dalam film ini jadi seperti versi lebih ringan dari permasalahan yang sudah pernah dihadapi oleh tokoh utamanya.

 

 

 

 

Namun bukan berarti film ini tersimpulkan dengan kata kecewa. Ia tetap sebuah suguhan yang menghangatkan, yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Aksinya seru, tokoh-tokohnya lucu. Sebagai penutup trilogi, film menjalankan fungsinya dengan manis. Mungkin ia sengaja menjadi begitu jinak, sehingga kita merasa sayang harus berpisah dengannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa menurut kalian Hiccup tidak jadi ikut bersama Toothless? Apa makna membebaskan naga dalam film ini?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017