MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT Review

“To hope is to gamble”

 

 

 

Sebuah rencana pembunuhan massal. Dobel agen, dan mungkin lebih. Tiga bom nuklir. Jikalah hal-hal; tersebut merupakan aba-aba “satuuu.. duaaa.. tigaa” sebelum lomba lari, maka Mission: Impossible ini adalah peserta lomba yang seketika berlari paling kencang selepas hitungan tersebut selesai diucapkan penjaga garis start.

Toh, pelakon protagonis dalam film ini memang berlari dengan waktu. Ethan Hunt dan rekan timnya yang sudah kita kenal baik – ini adalah seri keenam dalam franchise Mission: Impossible – harus bertanggung jawab setelah satu misi yang mereka emban, gagal total. Kompas moral Hunt, juga bagaimana dia kerap mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang ia cintai, akan menjadi ‘kelemahan’ yang ditantang kembali oleh film ini. Hunt akan dibenturkan dengan karakter yang tidak segan-segan untuk melibatkan ‘pihak tak bersalah’ demi kesuksesan misi. Tom Cruise dan Henry Cavill benar-benar tampak seperti  dua imej yang berlawan; dengan sosok Cavill menjulang sebagai sesuatu yang dulu adalah milik Cruise. Di bawah situasi yang terus menekan dan stake yang bergulir semakin besar, Hunt akan berusaha untuk membuktikan bahwa harapan adalah strategi terbaik yang bisa dipertimbangkan oleh manusia dalam berjuang.

Di dalam dunia penuh tipu muslihat, sedikit nurani sangat patut untuk dihargai. Kemanusiaan adalah harapan. Sudah semestinya kita bergantung kepada rasa untuk saling melindungi, saling memperhatikan, tidak peduli betapa kacau dan peliknya situasi. Jika dunia adalah perjudian, maka bertaruhlah pada harapan.Berbahaya, memang, apalah hidup tanpa menempuh resiko, kan?

 

Dan bicara soal berlari; Film ini akan membuat film-film aksi lain tampak seperti balita yang baru bisa berjalan. Aku enggak melebih-lebihkan. Kamu-kamu yang ngasih Buffalo Boys (2018) nilai 8 karena kalian bilang aksinya bagus, harusnya memberikan nilai 20, bahkan lebih, untuk Mission: Impossible – Fallout. Sebab ini adalah salah satu film aksi terbaik yang pernah aku tonton. Aku tidak pernah semenggelinjang ini menyaksikan sekuen-sekuen aksi sejak Mad Max Fury Road tahun 2015 yang lalu. Usaha film ini untuk menyuguhkan aksi laga yang benar-benar real luar biasa kuat dan keras. Porsi-porsi laga di film ini semuanya dirancang dan dikerjakan dengan matang dan penuh perhitungan. Bukan saja segi koreografi,  sudut pengambilan gambar; perspektif sinematografinya pun benar-benar digarap dengan cermat. Banyak sekali momen-momen tak terlupakan. Menakjubkan sekali gimana film ini seolah menantang diri untuk mengungguli adegan demi adegan. Membuat kita hanya bisa melongo di tempat duduk, berdecak kagum “gila, kok bisa ya!”

Setiap adegan aksi, entah itu berlari di jalanan maupun kejar-kejar di helikopter, semua tampak seperti versi terbaik dari apa yang mungkin untuk mereka capai. Maksudku, kalo kalian pengen bikin adegan kejar-kejaran di sekeliling kota, bikinlah aktornya benar-benar melakukan dengan kakinya sendiri. Tak pelak, sulit sekali kita bakal menemui tokoh yang total seperti Tom Cruise. Dia nekat melakukan semua tindak ekstrim yang tertulis di dalam naskah itu sendiri. Dia bergelantungan di helikopter. Dia terjun paying dengan ketinggian yang relatif rendah. Fakta menarik yang dibeberkan sebagai penghantar rilis film ini adalah Cruise melakukan aksi meloncati gedung, sampe kakinya beneran patah sehingga suting terpaksa ditunda beberapa waktu.  Dedikasi yang luar biasa. Hasilnya memang yang kita saksikan di layar itu menjelma menjadi stunt yang mencengkeram total karena kita dapat melihat adegannya sungguhan terjadi. Dan tentu saja, semua adegan aksi itu dieksekusi dengan sama luar biasanya.

Set piece dan semuanya dirancang untuk bikin kita terpana. Kebanyakan film lain akan terpojok dan menggunakan CGI untuk adegan-adegan sulit nan berbahaya, utilizing banyak teknik cut dan segala macem. Adegan Hunt naik sepeda motor dikejar-kejar di jalanan kota Paris;  Cruise tidak beraksi di depan green screen, dia tidak digantikan oleh stuntman – film lain akan membuat tokoh ini pakai helm hanya supaya wajahnya enggak kelihatan, tapi tidak buat Tom Cruise. Dia tidak mengenakan helm. Tidak pula kepalanya ditempel oleh efek ke badan pengendara lain

Ultimate Tom Cruise Shot

 

Film mungkin bisa tampak sedikit mengerem jika kita meniliknya dari segi cerita. Tentang rencana pengeboman, tentang seseorang yang berusaha menyelematkan banyak orang tanpa mempedulikan dirinya sendiri, kalian tahulah, trope begini sudah sering didaur ulang – terutama dalam genre laga. Cerita yang kita dapat di sini memang tidak sepenuhnya baru. Namun, arahan dan penulisan Christopher McQuarrie berhasil memberikan sesuatu untuk dilakukan oleh setiap anggota tim Hunt, sehingga peran mereka jadi terangkat – masing-masingnya menambah kaya sudut pandang cerita, dan pada akhirnya juga  menambah bobot ketegangan.

Luther yang diperankan simpatik oleh Ving Rhames mencoba untuk menjinakkan bom, tapi dia literally merasa tangannya kurang, jadi dia ‘terpaksa’ meminta bantuan kepada seseorang yang sama sekali belum pernah kenalan langsung sama bom. Dia juga nge-share burden yang ia rasakan sebagai seorang yang pernah diselamatkan demi ‘harga’ tertentu oleh Hunt. Simon Pegg yang senantiasa menampilkan permainan peran yang menghibur, sebagai Benji harus mencari letak bom yang satu lagi di dalam ruangan yang penuh kotak besi – yang semuanya nge”bip” kena radar, jadi dia harus segera menemukan kotak yang benar. Tokoh-tokoh pendukung juga kebagian aksi, mereka ditempatkan dalam situasi yang tampak mustahil di mana kemampuan mereka diuji. Aspek inilah yang membuat cerita terasa fresh, meskipun memang plotnya sendiri enggak exactly baru. Ada usaha untuk terus menggali perspektif dari berbagai sudut.

Tokoh-tokoh jahat di film ini juga sangat memorable. Motif mereka menarik. Kepentingan, cara, mereka dibenturkan kontras dengan milik Hunt. Bahkan, sekali lagi, buat tokoh yang minor. Seperti pada adegan berantem di toilet Grand Palais; tidak hanya Cruise dan Henry Cavill, ada satu penjahat lagi yang berbagi mempertaruhkan nyawa di sini. I mean, adegan berantemnya sangat greget dan terlihat begitu nyata lantaran film begitu berhasil menggali sudut pandang; konsep mereka menggunakan kemampuan terbaik di saat yang mustahil tetap menguar kuat bahkan di satu sekuen berantem yang simpel ini. Or even jika si penjahat ataupun tokoh yang tidak bisa berbuat banyak, mereka paling enggak diberikan adegan dengan shot yang unik, seperti saat seseorang yang terikat, tenggelam di dalam mobil.

yaiyalah mustahil, namanya juga Mission: Impossible

 

Beberapa penonton mungkin akan merasa bermasalah dalam menyimak dialognya yang memang butuh perhatian ekstra. The thing is, film laga sekeren ini toh masih bisa kita nikmati untuk aksi-aksinya, bahkan jika suaranya dimute sekalipun. Tapi kan tentu saja rasanya bakalan kurang. Film meminta kita untuk memperhatikan dengan seksama setiap dialog, karena bakal ada pengungkapan-pengungkapan yang efeknya baru akan kena jika kita mengingkat beberapa kata kunci yang pernah disebutkan oleh para tokoh. Buatku, ini adalah bentuk penghormatan film kepada penontonnya. Sebab, meskipun konsep yang mereka gunakan adalah laga yang sering bergantung kepada ‘kebetulan’, namun masih ada kesempatan untuk kita berpikir memecahkan misteri cerita. Jadi, film laga itu gak mesti mindless. Kita masih bisa terhibur sembari tetap memutar otak.

 

 

 

Justru, ini adalah apapun yang bisa kita minta dari sebuah film. Tokoh-tokohnya bisa kita pedulikan. Aksi-aksinya terlihat nyata dan bikin kita menahan napas. Ada yang bisa kita pikirkan, regarding moral dan plot cerita secara keseluruhan. Penulisannya rapi – pengungkapan, twist, secara konstan kita akan geregetan dibuat oleh film ini. Bahkan jika kalian belum pernah menonton film-film sebelumnya, seri keenam ini tidak akan menjadi masalah untuk kalian mengikuti cerita, karena ia mampu untuk berdiri sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

22 MENIT Review

Calm before the storm

 

 

 

Pernahkah ketika sedang bersantai di kamar, menikmati film mungkin, dengerin musik sambil ngemil mi mentah, atau asik main video game sambil download-download, kemudian mendadak saja ada perasaan gak enak yang timbul dari suasana tenang tersebut. Kalian bisa merasakan ada yang tak beres, dan sekonyong-konyong listrik mati, dan terlontarlah semua sumpah serapah tersebut? Itulah yang disebut pepatah sebagai “ketenangan sebelum badai”. Warga Jakarta mungkin masih belum lupa ketenangan ganjil yang mereka rasakan di pagi hari tanggal 14 Januari tahun 2016 silam.

Dua-puluh-dua menit keseharian kota yang ramai menjelang pukul sebelas lebih empat-puluh siang. Ya memang ada sedikit macet, orang-orang mengejar waktu mengejar urusan penting masing-masing, beberapa pelanggar lalu lintas kena tilang pak polisi, tapi saat itu adalah sedamai-damainya yang bisa diharapkan oleh pelintas ataupun ‘penghuni’ daerah sibuk seperti di Sarinah. Set up awal film 22 Menit ini sungguhlah efektif dan tepat sasaran memperlihatkan kepada kita beberapa karakter yang sama sekali tak menyangka beberapa saat lagi hidup mereka akan porak poranda. Keragaman penduduk ibukota juga terhampar jelas di sini. Tentu saja, kita tahu sedikit lebih banyak daripada AKBP Ardi yang langsung ke markas setelah mengantar putrinya ke sekolah, Polisi Firman yang mengatur lalu lintas sambil menahan resah karena di-silent treatment-in ama tunangannya, Hasan yang belum benar-benar legowo disuruh oleh adiknya untuk ikutan kerja sama orang lain, dan Dessy yang didesak cepet datang karena sudah ditunggu temannya di coffe shop untuk persiapan presentasi, tentang apa yang bakal terjadi di tempat tujuan mereka. Film cukup bijak untuk menanam mereka sehingga paling tidak kita penasaran “kira-kira siapa yang bakal selamat ya?” Dan ketika bom itu meledak, film pun cukup berhasil memberikan suasana tegang perburuan hidup mati antara polisi dengan teroris.

Sesuatu hal yang baru akan menimpa kita pada saat-saat yang tidak diduga. Kenyamanan membuat kita lengah. Untuk itulah, sebenarnya kita dituntut untuk senantiasa waspada. Bersiap mengantisipasi segala sesuatu. Seperti yang dilakukan oleh polisi-polisi dalam film 22 Menit.

kalo kata Bezita, kedamaian membuat malas – lantas orang jahat menyerang dan kita tunggang langgang

 

Kompeten enough dalam setiap aspek yang dimiliki. Jika film ini kita ibaratkan sebagai polisi, maka 22 Menit adalah seorang polisi teladan yang  berhasil menjalankan tugas simpelnya dengan cakap. Namun ia juga begitu sederhana sehingga menolak kenaikan pangkat. 22 Menit punya kepentingan untuk hadir ke kancah dunia perfilman tanah air, dan film ini tidak berniat untuk menjadi lebih dari pada itu. Padahal sebenarnya bisa. Tapi mungkin, memang beginilah polisi yang baik. Tidak ambisius. Jika memang hanya ingin tampil di muka umum, jika memang hanya ingin nunjukin teroris itu jahat dan polisi itu hebat, kenapa mesti repot-repot mikirin hal di luar itu yang membutuhkan usaha ekstra.

Eugene Panji dan Myrna Paramitha memang bukan orang pertama yang diminta untuk mengarahkan tragedi pengeboman beneran menjadi sebuah kisah kepahlawanan. Dalam setahun terakhir ini saja, kita sudah menonton dua film tentang peristiwa pengeboman acara  lari marathon di Boston. Tapi, ketika Stronger (2017) dibuat,  mereka actually menggali sesuatu. Membicarakan satu-dua buah pikiran lewat sudut pandang tokoh utamanya.  Stronger dan Patriots Day (2016) totally adalah dua cerita yang berbeda padahal mengangkat satu peristiwa yang sama. Karena mereka dibuat dalam konteks perspektif yang khusus. Mereka berangkat dari cerita satu orang karakter; memang ada yang diceritakan dari karakter tersebut – ada drama yang ingin digali. Aspek tersebut membuat film-film itu tampil lebih kuat, dibandingkan 22 Menit yang enggak punya lapisan sebanyak tokoh-tokoh yang ia punya. Film ini sebenarnya bisa menjadi lebih dahsyat sebagai sebuah tontonan patriotisme, for instance, jika durasinya dipanjangkan. Tapi ya, kalo memang yang bikin filmnya sudah puas begini – toh misi citra mereka sudah selesai – ya apa boleh buat.

Cara berceritanya pun cukup unik. Film ini menggunakan struktur bolak-balik untuk mengakomodasi tokoh-tokoh yang tadi diperkenalkan. Kita melihat rutinitas mereka. Kita tahu tujuan mereka. Kita saksikan masalah mereka hari itu. Namun kita tidak pernah benar-benar mengenal mereka. Jika Vantage Point (2008) saja masih dikritik repetitif padahal sudah menggali tokoh-tokoh yang dipunya, kesempatan apa yang dipunya oleh 22 Menit yang hanya meniru penceritaan yang dilakukan oleh film tersebut? Kita bergantian melihat drama yang dialami oleh para tokoh sebelum waktu ledakan tiba; setelah satu tokoh, layar akan menunjukkan jam yang dimundurin ke dua-puluh-dua menit sebelumnya, dan kita mengikuti tokoh yang lain. Masalahnya adalah tidak ada banyak lapisan pada tokoh-tokoh tersebut. Tidak ada pergantian sudut pandang. Semua yang kita lihat setiap ‘ganti tokoh’ tak lebih dari sedikit penambahan adegan, like, kita sudah bisa tahu eksterior para tokoh, namun tidak pernah dibiarkan masuk mengenal interior mereka.

Saat orang pake google infrared, dia kagak, dan dia tetap yang paling jagoan

 

Tentu, kita merasa kasihan sama mereka, kita tidak ingin orang-orang tak berdosa dan tak tahu apa-apa itu jadi korban peledakan bom. Hanya saja tidak ada perjalanan karakter. Keinginan yang buyar oleh ledakan itu nyatanya memang sebuah tragedi, sesuatu yang sangat emosional; menyedihkan. Tetapi peduli kepada karakter dalam film itu maknanya adalah kita turut merasakan beban mereka – kita ikut belajar bersama mereka. Bahkan Hereditary (2018) yang konteksnya adalah tidak-ada jalan keluar bagi para tokoh yang sudah digariskan untuk suatu hal yang buruk saja masih memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar sesuatu, untuk menyaksikan tokohnya berkembang. Tidak sekedar kita mengasihani mereka yang berada di tempat yang salah, dalam waktu yang salah.

Ini adalah masalah paling besar yang terasa saat kita menonton 22 Menit. Tidak ada tokoh yang bisa kita ‘tempelin’. Mereka antara kurang tergali ataupun dibangun supaya kita merasa kasihan. Hasan yang diperankan oleh Fanny Fadillah (Ucup!!!) sebenarnya adalah yang paling mendekati seorang tokoh utama yang menarik untuk cerita film ini; dia awalnya tak mau bekerja, bujangan tua ini punya pandangan sendiri terhadap kerja di bawah orang lain. Dia bahkan risih berapi-rapi ria pake kemeja. Dia hanya nurut disuruh cari kerja karena selama ini adiknya yang sudah susah payah menghidupi keluarga. Kejadian terorisme ini mestinya mengubah segalanya bagi Hasan dan keluarga, sayangnya tidak diresolve dengan baik oleh cerita.

Satu lagi soal tokoh-tokoh adalah; film ini tidak berani berbuat banyak terhadap pihak terorisnya. Mereka hanya ada di sana untuk bikin kerusuhan. Kita tidak dikasih tahu alasannya apa, tidak ada cerita mengenai mereka, tidak ada sudut pandang moral mereka. Dan ini membuat mereka tampak lemah, kenapa juga mesti mengumbar diri di tengah keramaian; entah salah rencana atau memang rencana mereka seperti itu, kita tidak pernah tahu. Meskipun dipromosikan dengan hashtag KamiTidakTakut, film justru malah terlihat tidak berani menggali apa yang kita tahu persis akan membawa film ini ke ranah agama. Bahkan aksi kepolisiannya sendiri juga tidak pernah betul-betul ditonjolin. Bagian dari tokohnya Ario Bayu, misalnya, malah tampak seperti kebetulan dia berada di TKP. Mungkin, memang kejadian aslinya seperti begini; ada satu polisi yang kebetulan lewat sana, dan dengan sigap mengambil tindakan. Namun, yang perlu diingat bahwa ini adalah sebuah film. Sebelum menjadi film, tentu ia melewati meja naskah terlebih dahulu. Mestinya kan, bisa, semua elemen kejadian nyata pada cerita ini disesuaikan demi menghasilkan naskah yang lebih kuat.

 

 

 

 

Aku sesungguhnya suka gimana film ini berusaha mengambil tindakan untuk membuat film ini tampil tak-biasa lewat struktur berceritanya. Meskipun, mereka melakukannya dengan meminjam dari film lain. Bagian siaran radionya malah lebih meyakinkan dari siaran radio Death Wish (2018) yang kelihatan banget ditambahin belakangan biar filmnya relevan dengan isu kepemilikan bersenjata. Menjelang tamat, aku mendengar ada sound effect bunyi detak jam yang mengingatkanku pada Dunkirk (2017), yang anehnya adalah kenapa baru sekarang menggunakan efek itu, setelah gimmick Vantage Point dan shot waktu sudah tidak digunakan lagi. Bagaimanapun juga, mereka mengeksekusi adegan-adegan dengan lumayan kompeten. Efeknya niat. Sayangnya, it’s pretty much what you see is what you get. Jika ketenangan sebelum badai itu merupakan pertanda yang mengingatkan kita untuk waspada, maka keheningan setelah semua debu dan asap ledakan itu semestinya adalah waktu untuk kita memikirkan apa yang sudah terjadi. Film ini, pada akhirnya, lebih tampak sebagai usaha simpel mempahlawankan kekuatan polisi dengan meminta kita mengasihani tokoh-tokoh yang lain. Jika kalian tidak punya masalah dengan hal tersebut, film ini bisa jadi tontonan yang greget buat kalian.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for 22 MENIT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BUFFALO BOYS Review

“The worst thing that colonialism did was to cloud our view of our past.”

 

 

 

Koboi itu naik kuda. Karena kalian naik kerbau, kusebut Buffalo Boys. Van Trach yang jahat menertawakan dua jagoan kita yang datang menunggang kerbau dalam rangka membebaskan penduduk desa dari tiraninya. Walaupun dengan logika seperti demikian, mestinya Panglima Belanda itu menyebut koboi sebagai “horseboy”. Toh, Cow dari Cowboy kan artinya Sapi. Tapi kita bisa maklum karena bahasa Inggris bukanlah bahasa pribumi bagi Van Trach. Yang jelas, regardless tunggangannya, jagoan di Buffalo Boys ini memang sama seperti Cowboy-Cowboy yang di Amerika; mereka menggembala makhluk-makhluk helpless nan tak berdosa menuju keselamatan.

Jagoan kita, Arana dan dua keponakannya baru saja kembali menjejak di bumi pertiwi setelah bertahun-tahun hidup ‘keras’ di Amerika. Perjalanan pulang kampung menghantarkan mereka ke satu desa petani yang dikuasai oleh penjajah. Warga dilarang menanam padi karena opium dianggap jauh lebih menguntungkan. Yang nekat berontak, satu persatu dibantai di depan umum, supaya jadi pelajaran bagi yang lain. Film punya nyali menekankan kepada kekejaman yang dilakukan oleh penjajah dan antek-anteknya. Setting Indonesia di jaman penjajahan memang sangat tepat untuk membuat cerita semacam ini. Mencampurkan dongeng ke dalam sejarah penjajahan Indonesia, dan tak ketinggalan elemen western Django Unchained (2012), dan klasik seperti Seven Samurai (1954) –malahan ada tokoh nenek yang berlatar sama dengan nenek di karya Akira Kurosawa tersebut -, Buffalo Boys bermaksud menjadi sajian aksi yang kreatif dan bisa kita banggakan. Hasilnya?

Ternyata malah lebih pantas untuk kita tertawakan.

Cap dagang ‘film konyol’ sekarang bukan hanya milik horror lokal. Tonton deh, Buffalo Boys!

 

Punya potensi besar untuk menjadi film cult – film yang digemari secara sakral oleh banyak orang – karena kekonyolan logika; actually adalah pujian yang bisa aku berikan untuk Buffalo Boys. Sebab dia akan membuat kita tertawa-tawa menontonnya, paling enggak sampai kita ingat kita sudah membayar tiket untuk tontonan yang kita pikir bakal epik. Lima-belas menit pertama aku sudah ngakak gak berhenti-henti. Pertama; Saat para tokoh sampai di Indonesia, Arana memperingatkan mereka jangan sampai ada orang yang tahu asal mereka darimana. Dua jagoan kita musti berbaur dengan penduduk lokal. Lantas berjalanlah mereka pasang lagak seperti biasa-biasa saja, dengan topi koboi!

Keblo’onan yang teramat nyata, yang bikin aku harus minta maaf pada penonton di sebelahku lantaran ngakak ampe jongkok lompat-lompat di kursi, datang dalam sebuah adegan flashback – btw, aku gak ngerti kenapa mereka mesti pakai flashback sedini itu, padahal introduksi tokohnya bisa lebih baik dengan menyajikan cerita secara linear.

Jadi, di flashback tersebut, Arana dan Sultan Hamza terdesak dikejar Belanda. Arana kabur naik sampan, sementara Sultan tinggal untuk menahan pasukan Belanda. Kemudian kita menyaksikan Arana menyaksikan Sultan dibunuh; dia ditembak oleh empat orang, dalam jarak yang dekat. I mean, kenapa Belandanya bego sekali, tidakkah mereka melihat Arana masih di dekat sana; SEBERAPA CEPAT sih dia kabur dengan naik sampan di air yang tenang?! Kenapa musti empat-empatnya bunuhin orang yang udah terluka, kenapa yang berusaha kabur itu enggak ditembak. I was like, he’s a sitting duck right there!!!! Jawabannya ya karena kalo ditembak, filmnya tamat karena tokohnya sudah mati sebelum cerita dimulai hihihi..

 

Jumlah duit yang mereka keluarkan demi film ini jelas bukan sesuatu yang bisa kita tertawakan. Desain produksinya benar-benar total, dunia yang dibangun film ini jadi terlihat meyakinkan. Saking banyaknya duit, sekalian sampai ke darah-darahnya mereka mainkan dengan CGI. Film ini seharusnya menginvestasikan sama banyaknya kepada pengembangan cerita. Karena apa yang kita dapatkan pada Buffalo Boys benar-benar laughable. Aku ingin bicara tentang karakter dan penampilan para pemain, tapi aku gak bisa. Karena film ini tidak menawarkan banyak untuk diceritakan. Film aksi mestinya membangun tokoh utama, penonton harus peduli sama mereka. Namun hingga akhir film, kita masih tak kenal siapa kedua jagoan bersaudara tersebut selain bahwa mereka adalah anak dari Sultan yang dibunuh oleh si penguasa lalim, Van Trach. 

PENOKOHANNYA SANGAT TIPIS. Suwo yang diperankan oleh Yoshi Sudarso adalah si bungsu yang mengaku sering diremehkan oleh abang dan pamannya. Sedangkan abangnya, Jamar, yang diperankan oleh Ario Bayu adalah seorang yang tidak suka sama kalajengking. That’s it. Kevulnerablean mereka segitu doang, kita diharuskan peduli sama mereka berdasarkan dua hal tersebut. Dan oh iya, Si Suwo ini kerjaannya ngelaba ama cewek, dia naksir sama tokohnya si Pevita Pearce. At the sight of her, Suwo akan membuka penyamarannya dan melupakan dirinya masih berada di kota yang penuh Belanda. Menakjubkannya tokoh Suwo ini adalah, satu plot poin cerita ini bergulir dari dia yang disuruh beli obat, namun malah ‘pacaran’ ama Pevita, alhasil mereka kegrebek antek Belanda.

Menang kerbau! Menang kerbau! eh maaf, salah daerah..

 

Motivasi Arana ini sebenarnya juga tidak begitu jelas. Dia melarikan diri ke Amerika, membawa dua anak saudaranya yang dibunuh oleh Belanda. Kita melihat mereka pertama kali saat sedang ngadain adu tarung, demi uang, di dalam gerbong kereta api yang menuju California. Kejadian menjadi kacau, ia hampir mati ditembak orang sana. Jadi saat itu juga, Arana mutusin sudah saatnya kembali ke Indonesia. Ini udah ibarat keluar dari mulut singa, masuk lubang buaya, kemudian dia balik lagi ke mulut singa. Nyalahin buaya padahal mereka sendiri yang bisnis berbahaya di sana. I guess film cukup relevan dengan kondisi sekarang hahaha.. Serius nih, padahal ini elemen yang cukup menarik loh. Gimana mereka yang tadinya udah seperti penjajah kecil-kecilan di Amerika, kepukul mundur, untuk kemudian harus mengronfontasi penjajah di negeri sendiri. Tapi film tidak pernah memberi bobot lebih banyak ke elemen kenapa mereka mesti dibuat pindah begitu jauh ke Amerika, selain untuk membuat mereka mendapat gimmick topi koboi.

Film  akan seringkali membuatku berpikir bahwa mereka sebenarnya punya modal dan materi cerita yang cukup tapi tidak mampu untuk mengolahnya dengan kompeten. Film segrande ini mestinya dibuat dua jam lebih, untuk totalitas mengeksplorasi budaya dan gimmick ceritanya. Ada banyak perspektif yang bisa dijadikan faktor dalam penggalian cerita; ada orang desa, ada orang Belanda, jagoannya sendiri adalah orang asing di tanah itu, tapi film tidak mau meluangkan waktu untuk membahas ini. Mereka ingin cepat-cepat ke sekuen aksi saja. Hubungan kakak-adik Jamar dan Suwo juga tidak pernah digali secara mendalam. Mereka tidak ubahnya tampak sebagai sahabat, enggak kelihatan sebagai kakak adik. Bahkan mereka tak tampak tertarik dengan sejarah keluarganya sendiri. Jamar diwarisi keris, dan kita tidak pernah melihat keris tersebut beraksi. Menjelang pertarungan akhir selesai, aku terus bertanya-tanya “mana keris, mana kerisnyaa??” Oh ternyata, keris itu ditaroh di punggung untuk perlindungan kalo ditembak dari belakang -,-

Sesuai dengan judulnya, film ini didominasi oleh pria. Ada juga, sih, peran wanita. Tiga di antaranya jadi objek yang perlu diselamatkan. Ini kontras sekali dengan keluh kesah Kiona, tokoh yang diperankan oleh Pevita. Kiona adalah elemen yang paling disia-siakan oleh film. Ditambah dengan keahlian panahnya, dia bisa saja tumbuh menjadi hero cewek yang kuat, tapi naskahnya begitu clueless terhadap apa yang sedang ia ceritakan. Kiona ini benci sama fakta cewek selalu tak dianggap, bahwa laki-laki adalah nomor satu.  Kalo digali, sudut pandang tokoh ini bisa menjadi bahan pemikiran. Kemudian, exactly beberapa detik setelah itu, kita melihat dia akhirnya berhasil tepat memanah dengan dibantu oleh laki-laki. Kenapa banget. Padahal di adegan pengenalan tokoh ini, kita melihat Jamar dan Suwo terkagum-kagum oleh aksi panah yang ia lakukan selagi menunggang kerbau. Ke mana perginya semua keberdayaan dan kemandirian yang keren itu.

If anything, film ini membuktikan lagu Sabda Alam itu benar adanya; bahwa wanita memang sudah dijajah pria sejak dahulu. Sejarah penjajahan inilah yang diangkat oleh Buffalo Boys, supaya kita tidak melupakannya. Kehebatan dan kemudahan itu semuanya milik kaum pria. Tidak dengan wanita, mereka bahkan tidak dibiarkan mati begitu saja. Wanita di film ini, harus disiksa dahulu. Mereka harus pasrah menunggu diselamatkan. Bukan hanya Kiona, menjelang akhir kita juga akan melihat seorang istri yang memilih mati mengikuti suaminya. Melihat dari gimana wanita dan pria diperlakukan, sepertinya kita bisa menebak kelamin kerbau yang ditunggangi oleh dua koboi jagoan kita.

wanita-wanita minta tolongnya ke Buffalo Bill ajaaa

 

Dengan tokoh-tokoh protagonis semembosankan itu, wajar kalo perhatian kita beralih ke tokoh antagonis. Film ini punya banyak, penampilannya pun lebih ‘colorful’, ada berbagai keunikan dari masing-masing penjahat. Van Trach memiliki pemikiran yang menarik; the way dia menganggap Suwo dan Jamar lah yang sudah mengusik hukum di desa jajahannya. Bahwa dialah yang merasa terjajah oleh mereka. Aku suka adegan ketika di depan mayat kakek dan ayah, Van Trach nyuruh Kiona berterima kasih kepadanya karena telah dibiarkan hidup. Ini adalah satu-satunya momen di mana ada emosi yang kerasa. Karena film ini sedemikian terasa kosong, hanya rangkaian aksi-aksi tembak. Arahannya tidak berhasil membangun suspens. Tokohnya Mikha Tambayong abis mau diperkosa, ia disandra dengan sebilah pisau pada batang lehernya. Setelah itu, dia membicarakannya seolah tidak ada apa-apa, tidak ada jejak trauma atau apapun emosi sama sekali.

Hal terburuk yang diakibatkan oleh penjajahan adalah membuat kita melupakan masa lalu. Film ini mengatakan bahwa kita berhak untuk tahu. Jamar dan Suwo berhak untuk membalas dendam. Namun seburuknya terjajah, adalah terjajah oleh rasa dendam. Jika harus berjuang, berjuanglah demi keadilan. Demi berubahnya masa lalu menjadi masa depan yang lebih baik.

 

Tak lebih dari klise-klise film koboi yang berusaha dilokalkan, tapi tidak dengan kompetensi yang memadai. Keindahan visual, kostum-kostum yang epik, film ini cuma ‘tampang’. Mengatakannya style over substance juga susah lantaran enggak ada gaya dalam penceritaannya.  Sekuen aksinya punya koreografi yang seru, banyak hal menarik yang mereka lakukan saat bertarung maupun tembak-tembakan. Hanya saja, kamera tidak dapat menangkap semua dengan baik. Editingnya juga gak ngerti untuk menyuguhkan rangkaian yang asik untuk dilihat. Di big-finale, kita akan melihat dua adegan pertarungan yang diselangselingin. Tapi gak ada eye-trace yang menyelaraskan dua berantem tersebut. Kita seperti melihat adegan yang berpindah-pindah, sungguh membingungkan, tak lagi enak untuk diikuti.

 

 

 

 

Bahkan reviewku pun terlihat kayak naskah stand-up komedi; Setiap paragraf berakhir dengan punchline lelucon. Karena filmnya sendiri memang begitu, setiap adegan aja saja yang bikin kita tertawa. Ketinggian kalo mengharapkan laga yang kolosal dan penuh referensi sejarah di sini. It’s juts a mindless action berbalut desain produksi yang keren yang semestinya diniatkan untuk total bersenang-senang. Tapi film ini menganggap dirinya serius dan penting. Yang ada malah, mereka baru saja menghabiskan puluhan milyar untuk membuat salah satu film paling konyol yang bisa kita tonton setahun terakhir ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for BUFFALO BOYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Extreme Rules 2018 Review

 

 

Waktu tinggal sepuluh menit lagi. Skor 4-3 untuk juara bertahan Dolph Ziggler yang dengan liciknya sekarang bermain lambat. Mengunci, menahan, mengulur waktu dengan sengaja. Seth Rollins berusaha bangkit mengejar ketertinggalan, dia mencoba menyerang, tapi Ziggler kembali menjatuhkannya. Kedua superstar sama-sama terbanting ke matras dengan keras. Rollins mengambil kesempatan, dia terbang menghantam Ziggler dari turnbuckle paling atas. BRUUKK. Ziggler masih mampu bangun di hitungan kedua! LIMA MENIT LAGI!!! Rollins berusaha menyerang dengan jurus pamungkas, tendangan Blackout, Ziggler berhasil mengelak!!! TIGA MENIT!!!! Aku geregetan nonton sambil menggigit-gigit tangkai eskrim (esnya sudah dari tadi mencair oleh panasnya pertarungan). Dan penonton di stadion PPG Paints Arena di Pennsylvania sana malah asik sendiri menghitung mundur waktu seolah ini adalah pertandingan Royal Rumble.

 

WWE Fans: “Awas ya. Jangan sampai Roman Reigns jadi main event lagi”

WWE: “Oke, kami dengar saran dan permintaan kalian”

WWE Fans: “Ya tapi nanti kami masih akan tetap heboh neriakin –kalo perlu ngelakuin – hal-hal yang gak nyambung, supaya kami kelihatan keren di tv, kemudian pulang dan komplen di internet soal produk kalian yang basi.”

 

 

Kita, sebagai yang mengaku penggemar, suka ngeluh, ngritik, komplen betapa WWE tidak memperhatikan keinginan fans. Gimana produk mereka semakin hari semakin membosankan. Bagaimana para penulis skrip tidak tahu cara menggali potensi dari talenta-talenta yang mereka punya. Tentang manajemen WWE yang terlalu memonopoli, mereka mengambil superstar, dan memperlemah mereka dengan membatasi gerakan dan gimmick yang konyol. Tentu, kita memang harus kritis seperti demikian, menunjukkan kita peduli terhadap produk yang kita gemari. Sama seperti pada film, Kita ingin yang kita tonton sedari kecil ini berkembang menjadi lebih baik. Sama seperti pada film, toh kita tidak teriak-teriak sibuk sendiri di dalam bioskop. Sama seperti pada film, kita – penonton – adalah bagian dari pertunjukkan. Tidak satu berada di atas yang lain. Maka dari itu, menghijack pertunjukan – bikin heboh sendiri malah tidak memperhatikan apa yang sedang disuguhkan – bukannya membantu untuk membuat show menjadi lebih baik, malahan menjadikannya tampak konyol. Nyatanya merendahkan sekali terhadap superstar-superstar yang tak diacuhkan.

Sebagai fans, kita semestinya tidak egois. We should not think we can run the show seenak udel. Kita perlu belajar respek. Kita perlu belajar, period. Kita perlu ingat bahwa setiap acara dijalankan dalam konteks tertentu. Ketika kita menonton WWE, kita mestinya paham bahwa ini adalah acara yang berdasarkan pada storyline, drama, dan (psikologi) karakter. Ini bukan kompetisi murni, jadi gak ada gunanya ngeluh kenapa atlit yang beneran hebat bisa kalah sama atlit yang jurusnya hanya sedikit. Sebaliknya, aku pikir konyol sekali bahwa dalam pertandingan kejuaraan Intercontinental pertama yang jadi main event sejak Davey Boy Smith melawan Bret Hart di Summerslam ’92, pengolok-olokan sebagai bentuk dari yang katanya protes membangun itu tetap terjadi. I mean, ini yang main Seth Rollins yang dielu-elukan fans sebagai salah satu pegulat terhebat loh, namun tetap saja penonton tidak memperdulikan. Apapun yang dilakukan WWE tampaknya tak bisa benar di mata fans, dan ini menurutku terjadi karena kita sebagai fans kadang melupakan konteks sebenarnya dari acara ini.

“The B Team is about to get F in the B”

 

Orang-orang menganggap kontes Ironman untuk Kejuaraan Intercontinental itu sebagai laga yang buruk, karena mereka tahu kedua superstar yang terlibat sebenarnya kompeten untuk melakukan pertandingan gulat klasik yang epik. They didn’t get that, so they thought “hey, it’s time to takeover”. Pertanyaannya adalah; apa seharusnya memang harus begitu. Sebuah pertunjukan ‘seharusnya’ punya alur, yang dibangun sesuai dengan konteks. Mereka tidak harus bertarung secara over, karena ada cerita yang harus disampaikan. Jika kita memikirkan lebih dalam, psikologi match ini bekerja dengan sangat baik. Ingat ketika sebelum match, Rollins diwawancara di backstage? Apa yang ia katakan saat itu literally foreshadowing apa yang bakal kita saksikan. Rollins beneran berpacu dengan waktu, dia dihalangi oleh Ziggler yang di sini berperan sebagai heel; antagonis. Heel Ziggler tidak berusaha untuk bergulat, dia berusaha untuk menang dengan segala cara. Tentu, dia sungguh mampu bertarung sendiri, tapi di cerita ini dia culas dan punya teman bernama Drew McIntyre. Jika kita marah dan gak seneng melihat kelakukan mereka berdua di sini, maka itulah yang namanya peran heel – peran antagonis. Aku tidak melihat masalah dalam penyampaian cerita ini. Ironman adalah pertandingan yang tricky untuk dibook (Sasha-Bayley adalah contoh yang sukses, Sasha-Charlotte contoh yang kurang), dan untuk match ini; mereka berhasil deliver cerita dengan kuat. Meski aku setuju bahwa skrip gak musti semengekang itu, mereka bisa sedikit lebih lepas dan tujuan cerita masih tercapai; terutama aku kurang sreg ama elemen sudden deathnya, aku lebih suka jika dibiarkan hasilnya seri karena lebih emosional buat Rollins sebagai tokoh utama di cerita ini.

Kalo main video game, biasanya kita akan menemukan cut scene – sekuens adegan cinematic yang tidak bisa kita mainin, bahkan sudah banyak sekarang yang tidak bisa kita skip. Kita disuruh nonton doang. Nah, dalam satu show WWE, kita akan banyak menemukan partai-partai pertandingan yang sejatinya adalah cutscene dalam video game. Pertandingan yang fungsi sebenarnya adalah pengisi waktu untuk meneruskan cerita. Tidak terkecuali dalam Extreme Rules ini. Match kayak Alexa Bliss lawan Nia Jax, digunakan untuk furthering karakter-karakter dan cerita dalam  saga Ronda Rousey. Jeff Hary lawan Nakamura digunakan untuk memperkenalan Randy Orton ke dalam cerita. Bahkan Tag Team antara Team Hell No melawan Bludgeon Brothers dialihfungsikan sebagai cutscene match demi mengakomodasi cedera yang dialami Kane sebelum acara. Jadi sama sekali bukan tentang superstar yang tidak mampu beraksi dengan baik. Asuka dan Carmella dibook bukan semata untuk menjatuhkan Asuka, hanya masih dalam tahap developmental karakter baru bagi mereka saja. Buruknya pertandingan itu disengaja, ada desain dari pengaturan match card dan segala macam yang bakal terasa jika kita melihat mereka sebagai gambaran besar show Extreme Rules.

One. Two. Happy Birthday to me!!!

 

Untuk development karakter, memang kita sudah paham WWE rela berlama-lama. Kadang mereka pakai rangkaian match, makanya kita sering dapat partai yang itu-itu melulu. Constable Baron Corbin melawan Finn Balor adalah contoh development yang merupakan tahap yang lebih lanjut dari ‘cutscene’ match. Kesuksesan The B Teamnya Bo Dallas dan Curtis Axel di partai kejuaraan Tag Team Raw bisa dibilang sebagai tahap akhir dari pengembangan mereka; bahwa karakter mereka sudah mekar dan siap untuk dilepas di pertandingan selanjutnya. Lashley-Roman Reigns, Styles-Rusev adalah karakter-karakter yang sudah fully-blown, dan kelihatan match mereka diberikan kebebasan lebih, dan hasilnya tak mengecewakan; partai mereka bekerja efektif dari sudut karakter dan aksi. The most fun yang kita dapatkan dalam pertunjukan ini tak pelak adalah Cage Match antara Strowman melawan Owens, namun tentu saja momen high risk seperti demikian tidak akan mungkin terus-terusan dilakukan karena menyangkut well-being dari superstar. Masalah Proteksi Superstar ini juga salah satunya yang patut kita perhitungkan ketika bicara dalam konteks acara WWE.

Tentu saja, aku tidak membela WWE mati-matian. Kesalahan tidak berarti lepas dari tangan mereka. Karena selain KONTEKS yang harus kita ingat, juga ada KONSEP yang harus mereka landaskan dalam membangun acara.  Dan aku berpikir, WWE – demi develop cerita – cenderung melupakan konsep ini dan akibatnya benar-benar terasa ke pengalaman menonton kita semua. Seperti, Extreme Rules ini; seharusnya ini adalah acara yang konsepnya semua pertandingan menjadi ‘ekstrim’ pada malam itu. They used to have stipulation matches, even hardcore matches. Tapi sekarang WWE tidak lagi benar-benar live it up ke konsepnya. Dan memang ini mengecewakan, terlebih buat kalangan fans yang sudah membangun antisipasi seperti apa aplikasi konsep mereka seharusnya.

 

 

 

 

Pada Extreme Rules, kitaikut share the blame. Kita kadang lupa konteks acara. WWE pun sebenarnya bisa melakukan lebih dan tetap berjalan sesuai konteks mereka, dengan tidak menyia-nyiakan konsep yang sudah diantipasi. Shownya sendiri sebenarnya enggak parah-parah amat, setiap partai punya sesuatu yang bisa kita nikmati dalam kapasitasnya sebagai bagian dari acara gulat hiburan.

Happy Rusev Day!

The Palace of Wisdom menobatkan WWE Championship antara AJ Styles melawan Rusev sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The B-Team juara baru ngalahin The Deleters of World
2. SINGLE Finn Balor mencuri kemenangan dari Constable Baron Corbin
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Carmella retains dari Asuka yang terdistraksi James Ellsworth yang mestinya digantung dalam kandang
4. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura menang dengan curangin Jeff Hardy
5. STEEL CAGE Braun Strowman melempar Kevin Owens dari atas kerangkeng
6. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Bludgeon Brothers praktisnya menang handicap lawan Daniel Bryan (Kane nyaris gak ofensif dengan cedera kaki)
7. SINGLE Bobby Lashley mengalahkan Roman Reigns
8. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP EXTREME RULES Alexa Bliss bertahan dari Nia Jax
9. WWE CHAMPIONSHIP AJ Styles tetap juara atas Rusev
10. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP 30-MINUTE IRONMAN Dolph Ziggler menang sudden death setelah seri 4-4 melawan Seth Rollins.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION Review

“Celebrate our differences”

 

 

 

Monster juga sama kayak manusia. Punya rasa, punya hati. Buktinya, Dracula yang kini sudah menjomblo beratus-ratus tahun mulai merasa kesepian. Kita lihat dia diam-diam main Tinder versi monster. Namun dari sekian banyak “Ping”, Drac belum juga menemukan yang benar-benar nge-”Zing!”. Meskipun belum tahu soal gundah gulana ayahnya, toh Mavis kasian juga demi ngelihat gelagat Drac. Vampir cewek ini mikir, mereka sekeluarga butuh liburan, Drac butuh jalan-jalan keluar dari kesibukan di Hotel. Jadi, Mavis nge-book perjalanan naik kapal pesiar untuk seluruh keluarga dan kerabat monster. Liburan mewah khusus monster sehingga Drac bisa bertemu dan kenalan ama mahluk-makhluk baru. Mulai dari yang seram, yang berbulu, yang bermata banyak, yang manusia, hingga ke yang berusaha membinasakan keluarga mereka.

kukira Zing itu shampoo anti ketombe

 

Sutradara Genndy Tartakovsky – yang kali ini juga turut menulis naskahnya – mempertahankan keunggulan yang dimiliki Hotel Transylvania sejak film pertama; keunikan desain para tokohnya. Pada film ketiga ini, bahkan animasi mereka tampak lebih ‘liar’ lagi. Aku benar-benar menikmati level kreativitas yang dihadirkan oleh film ini, karena hal itulah yang sebagian besar membuat kita bertahan menonton film ini. Kita akan penasaran komedi apalagi yang bakal mereka eksplorasi in regards of karakteristik dan kemampuan dari masing-masing monster. Lelucon dan animasi film ini bukan tipikal animasi normal, katakanlah seperti Pixar. Menonton film ini akan lebih terasa seperti menonton kartun konyol Bugs Bunny ketimbang Toy Story. Latar belakang Tartakovsky sebagai pembuat kartun-kartun Nickelodeon semacam Dexter’s Laboratory dan Samurai Jack benar-benar menunjukkan taringnya. Salah satu sekuen ‘gila’ favoritku adalah ketika Drac dan dunsanaknya terbang naik pesawat, yang dikelola oleh makhluk-makhluk Gremlin. Banyak sekali candaan sehubungan dengan apa yang Gremlin lakukan – you know, bahwa mereka adalah makhluk perusak. Di penerbangan paling-tak-nyaman tersebut, pramugara pramugari kru kabin Gremlin gak peduli sama penumpangnya, lihat saja gimana cara mereka menangani koper dan masker udara. Ada banyak momen seperti demikian, yang membuat kita tertawa tanpa merendahkan IQ, lantaran ada kreativitas dan tentu saja pesan di dalamnya.

Satu hal lagi yang dilakukan berbeda oleh Tartakovsky adalah gimana dia membuat kontinuitas terhadap tokoh, dengan tidak mengorbankan komedi yang ia sampaikan. I mean, detil seperti Dracula yang tertancap sejumlah anak panah, dan di adegan berikutnya anak panah tersebut masih ada di badannya – tidak lantas menghilang kayak di animasi kebanyakan – adalah bukti bahwa kekonyolan yang ada di permukaan tersebut enggak dibuat asal-asalan. Ada pemikiran di baliknya, ada perhatian ekstra yang diberikan oleh pembuatnya. Dalam istilah singkat, filmnya boleh tampak ugal-ugalan, tapi tidak sembarangan receh.

Hotel Transylvania 3 benar-benar total – lebih sebagai film kartun yang menghibur, akan tetapi tidak membuat kita merasa seperti orang blo’on. Kita bisa menikmati keunikan tokoh-tokohnya, kita menertawakan situasi yang menimpa mereka. Sekaligus kita bisa mengapresiasi imajinasi dan pesan tersembunyi yang dimiliki film seputar manusia dan monster dapat hidup berdampingan.

 

Dari segi cerita, memang Hotel Transylvania 3 ini bisa dengan mudah kejegal. Jika film pertama membahas mengenai halangan cinta antara vampir dan manusia, dan film kedua menelaah soal ketakutan Drac apakah keturunannya malah menjadi makhluk mortal ketimbang mengikuti garis darah abadinya, maka film kali ini tak lebih dari sekadar liburan keluarga. Khas Adam Sandler banget! Kita bisa mengritik gimana film ini udah gak sesuai ama judulnya lagi, karena tempatnya udah bukan di Hotel. Kita bisa nyeletuk bahwa cerita film ini hanya sekedar rentetan lelucon dan seri sketsa komedi konyol tentang monster. Tubuh utama cerita adalah tentang teman dan keluarga Drac yang berusaha untuk membantu si “Blah-blah-blah” mendapatkan pasangan baru, dan enggak banyak yang bisa kita salami dari permukaan cerita ini. Dalam cahaya yang positif, bagaimana pun juga, film ini mencoba untuk mencari keseimbangan antara hiburan untuk anak kecil dan orang dewasa. Karena film ini diniatkan untuk menjadi ‘Liburan Keluarga’ yang sesungguhnya.

Setiap kali engkau menambah kata “keluarga” ke sesuatu, niscaya sesuatu itu akan menjadi riweuh

 

Ketika anak-anak terhibur oleh wajah-wajah seram yang sudah mereka anggap lucu, karakter-karakter yang sudah mereka kenal, para orang dewasa niscaya akan bisa mendapat lebih dari humor yang dituturkan oleh film ini. Sebab banyak humor ‘bapak-bapak’ yang diselipin dalam adegan-adegan film ini. Seperti misalnya ketika keluarga manusia serigala yang punya anak satu RT melihat tempat penitipan anak di kapal. Anaknya segitu banyak, beberapa mereka gendong, atau lebih tepatnya gelayutan di badan begitu saja, dan sisanya berlarian ke sana ke mari. Dua pasang manusia serigala ini tak punya waktu kosong, sibuk ngurusin anak, muka mereka kelihatan letih sekali. Dan ketika mereka mendengar penitipan anak itu bilang mau mengurusin anak mereka, by choice – you know – reaksi mereka mendengar “by choice” ini benar-benar bikin terbahak. Yang aku paham anak kecil gak akan ngerti karena ini merujuk kepada pemahaman bahwa anak-anak mereka itu semua karena ‘kecelakaan’ sebab mereka adalah werewolve yang ‘buas’. Jadi, memang film ini memfokuskan diri dalam menyeimbangkan lelucon yang bisa mereka gali dari karakteristik tokoh-tokohnya, alih-alih kedalaman cerita. Bahkan ada lelucon mengenai tentakel yang seratus persen anak kecil belum ngeh di mana lucunya.

Semua makhluk diciptakan berbeda, bahkan manusia punya warna kulit, rambut, bentuk wajah yang berbeda. Kita tidak harus meniadakan perbedaan tersebut, embrace it. Karena yang terpenting adalah bukan bagaimana kita dan mereka adalah sama, melainkan adalah kita bisa mengapresiasi setiap orang meskipun berbeda dengan kita. Pesan inilah yang bisa dibawa pulang oleh anak kecil, dan semoga mereka mengaplikasikannya dalam hidup mereka yang masih tak-berdosa.

 

 

Sesuka-sukanya aku sama arahan kreatif film ini. Sama gimana presisinya timing dan editing dan penyampaian yang mereka punya. Toh, kurangnya elemen kebaruan masih terasa mengganggu buatku. As far as the storytelling goes, nyaris tahap demi tahap ceritanya bisa kita tebak. Siapapun yang pernah menonton film bakal bisa menyimpulkan ke arah mana cerita akan berjalan. Kita akan mengantisipasi pilihan-pilihan yang bakal diambil oleh para tokoh dan apa yang terjadi sesudahnya. Yang bikin beda cuma karena film ini bergerak dengan cepat, dan betul-betul edan. Mereka mengerahkan semuanya demi kekocakan dan hiburan. Satu hal yang took me by surprise, dan aku gak bisa bilang aku menyukainya, adalah ujung-ujungnya masalah selesai lewat tarian dan nyanyian. Jenaka, tapi aku akan lebih suka kalo film mengeset elemen ini sedari awal, sedari sepuluh menit pertama. Sebab, dari saat aku menonton, adegan flashback di awal tersebut terlihat kayak melandaskan film ke arah yang totally berlawanan dengan nyanyi-nyanyian. Mereka ngebuild Dracula dengan musuh bebuyutannya, Abraham Van Helsing, manusia yang sangat membenci monster dan bagaimana Dracula bisa meloloskan diri darinya. Dan later, kita mendapat konfrontasi di antara kedua orang ini dalam sebuah show down yang terasa seperti out-of-place buatku.

 

 

 

 

Film yang banyak memakai referensi monster-monster bersejarah sebagai materi komedinya ini memang tidak akan tercatat di dalam buku sejarah sebagai animasi klasik yang berpengaruh besar dalam dunia perfilman. Ia bahkan tak sanggup melebihi film pertamanya, meski aku pikir seimbang dengan film yang kedua. Tapi dia digarap dengan perhatian khusus sehingga menjadi sajian yang total menghibur, namun tidak terasa totally receh. Gila dan tampak kacau, memang, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa diapresiasi oleh seluruh anggot akeluarga yang menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

R – RAJA, RATU & RAHASIA Review

A secret is barrier that keeps a couple from being truly close with each other.”

 

 

 

Lika-liku kehidupan anak SMA yang dadanya bergelora oleh hasrat namun lebih nyaman untuk memendamnya disajikan sebagai lapangan bermain cerita R – Raja, Ratu & Rahasia. Adalah Ratu (Aurora Ribero men-tackle kembali peran keduanya sebagai tokoh yang gak bisa ngomongin ketakutan terdalamnya like a boss), nama seorang cewek yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangtua. Ratu yang merasa hatinya kesepian, bergabung dengan komplotan rahasia di sekolahnya, dalam usaha untuk mengisi kembali lubang kosong  menganga pada hidupnya. Masalah timbul ketika sahabat masa kecil Ratu, cowok pebasket bernama Raja (Brandon Salim cukup charming mainin tokoh yang sekilas tampak keras, namun sangat peduli sama teman-temannya), menghimpun benci teramat sangat terhadap komplotan tersebut. Ratu kini harus berahasia agar keikutsertaannya sebagai anggota tidak diketahui oleh Raja. Karena ia tidak akan sanggup jika satu lagi orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya kepopuleran novel remaja mampu menarik minat pembuat film untuk merealisasikan kesuksesannya ke layar lebar. Tentu dengan harapan meraih taraf pencapaian yang sama, kalau tidak melebihi. Mengekor Dear Nathan (2017) yang besar dari Wattpad sehingga dibukukan, Starvision Plus kali ini menggandeng karya penulis, Wulanfadi, yang juga berawal dari platform penulisan yang sama dan sudah punya penggemar yang sedari 2016 udah tidak sabar menanti filmnya. Materi ini diserahkan kepada Haqi Achmad yang sudah malang melintang di ranah penyaduran cerita teenlit ke dalam scenario film. R – Raja, Ratu & Rahasia sudah barang tentu akan kuat sekali menguarkan pesona remaja, lengkap dengan konflik cinta dan persahabatan yang mewarnainya.

Aku pikir masuk akal sih kalo orangtua-orangtua yang saling sahabatan akan janjian menamai anak mereka selayaknya berpasangan

 

R- Raja, Ratu & Rahasia akan ramai oleh celoteh anak muda. Dengan canda-candaan khas mereka. Oleh persaingan yang sebenarnya sepele namun tampak begitu menekan jika dilihat dalam balutan seragam putih abu. Memberikan sensasi manis-manis nostalgia kepada penonton yang lebih dewasa. Karena cinta itu urusan yang tak lekang oleh waktu, semua orang pasti pernah merasakan dan mengerti pentingnya menyimpan suatu hal ke dalam diri sendiri, karena takut hidup akan berubah begitu rahasia tersebut terbongkar.

Menyimpan rahasia itu memang enggak sama dengan flat-out berbohong. Dengan berahasia kita bukannya enggak jujur, melainkan ‘hanya’ enggak mengatakan semua hal. Tapi tentu saja, rahasia tetaplah suatu pembatas yang menghalangi dua orang untuk benar-benar dekat antara satu sama lain. Dan jenis rahasia yang paling berbahaya untuk dijaga, tampaknya, adalah rahasia seperti Ratu kepada Raja – jenis rahasia yang ditakutkan akan membuat orang yang kita cintai jadi bertentangan dengan kita. Rahasia yang menabir identitas; dan Ratu menutupi kevulnerableannya dari Raja. Dia seharusnya menyadari semakin lama ia menyembunyikannya, akan semakin membahayakan komunikasi di antara mereka berdua.

 

Sutradara Findo Purnowo boleh saja mampu untuk memastikan film ini tidak akan keluar dari jalurnya, sebagai sebuah cerita untuk remaja. Tapi kehangatan dan senda gurau, atau bahkan lagu jazz itu, mestinya ia sadari tidak akan mampu untuk menutupi kelemahan film ini yang sebagian besar berasal dari kurangnya intensitas dan emosi yang real. Dan ini berarti adalah masalah pada arahannya. R – Raja, Ratu & Rahasia sesungguhnya punya dua elemen menarik, yang membuatnya berbeda dengan drama cinta remaja yang lain. Ini bukan exactly tentang cewek baek-baek yang naksir sama cowok badboy di sekolah. Ratu dan Raja sudah berteman sejak kecil, orangtua mereka sahabatan, but recently Ratu develop  perasaan khusus buat Raja – yang ternyata berbalas – namun keadaan membuat Ratu menumbuhkan satu perasaan lagi. Takut ditinggal. Salah satu elemen menarik yang dipunya oleh film ini adalah kita benar-benar diperlihatkan ketakutan yang dirasakan oleh hati Ratu dalam bentuk visual. Satu lagi elemen menariknya adalah sekolah mereka punya komplotan rahasia, tempat di mana Ratu mencoba untuk kembali ceria dan melupakan rasa takutnya itu.

Sayangnya, pada saat menangani dua elemen inilah, arahan Purnowo tidak kelihatan berhasil mengangkat film ini menjadi sesuatu tontonan yang remarkable. Direksinya sangat bland. Sudah cukup aneh memulai sebuah cinta remaja dengan adegan pemakaman – yang mana secara otomatis mengeset mood sedih dan rapuh yang menempel hingga akhir ke tokoh utama. Apa yang dilakukan film ini kepada adegan-adegan rasa takut Ratu membuatnya terlihat sangat fake dan menggelikan. Susah untuk menganggap sesuatu sebagai hentakan emosi yang serius jika sesuatu tersebut dihiasi oleh kelap-kelip dan latar efek komputer yang sangat kasar. Aku percaya mereka memaksudkan adegan tersebut sebagai peristiwa yang surreal, tapi hasil akhirnya jauh sekali. Adegannya pun itu-itu melulu. Ekspresi Ratu setelah ia membayangkan adegan pun tidak membantu kita untuk bisa menyelami adegan ini lebih dalam, karena ia terlihat seperti kebingungan, seolah hal tersebut semacam premonisi dari luar yang datang menghantamnya; lebih kayak sesuatu yang baru saja kepikiran alih-alih perasaan yang merayap membayangi hatinya.

Komplotan rahasia yang diikuti oleh Ratu, yang konon didirikan oleh abang Ratu… well, bagaimana komplotan tersebut seusatu yang big deal juga tidak berhasil diceritakan oleh arahan film ini. Tidak pernah ada build up ke komplotan tersebut. Film yang baik akan memperlihatkan kepada kita kenapa komplotan ini punya pengaruh di sekolah. Tapi film ini, set upnya datar sekali. Bahkan untuk bisa masuk ke dalam komplotan tersebut pun terlihat sangat gampang. Dibilang kelompok nerd, enggak. Kelompok siswa-siswa yang populer juga tidak. Dia tidak tampak sebagai seusatu yang ekslusif. I mean, selain Raja kita tidak melihat tokoh lain yang bukan anggota dari perkumpulan ini. Teman-teman Raja, semua masuk. Teman-teman Ratu pun semuanya diundang, meski cuma si Ratu yang punya alasan yang masuk akal bisa diundang. It was supposed to be an exclusive, elite club, tapi apa yang mereka lakukan di sana? Pertemuannya cuma pesta topeng, olahraga bareng, kenapa harus jadi kumpulan rahasia segala kalo toh kegiatannya tampak kayak kegiatan afterschool bareng teman-teman biasa. Seharusnya kelompok ini dibangun semisterius dan sepenting mungkin, sehingga ketika Ratu harus memilih, kita merasakan keterikatan terhadap kelompok ini. The way this film goes, Ratu dan Raja bisa keluar masuk sesukanya, kelompok ini tidak lagi tampak sebagai hambatan.

“Aja gak bakal ninggalin Ratu. Aja gak bakal blablabla”.. Gimana kalo filmnya udahan AJA?

 

Cerita punya banyak kejadian yang menyangkut banyak tokoh, dan kita bisa melihat film ini tidak mampu menangani semuanya dengan baik. Banyak adegan yang jatuhnya konyol dan gak penting. Ya, aku bicara tentang adegan ‘mengejar ke bandara’. Ada tokoh anak baru yang jadi sahabat Raja, yang titik puncak eksistensi karakter ini hanya ke Raja main basket yang tiangnya pendek sama om-om. Ada tokoh yang kerjaannya cuma nabokin tokoh lain, dan berakhir dengan dia jadian sama tokoh yang lain lagi. Menjelang akhir, ada satu tokoh lagi yang meninggal, dan kupikir ini untuk nunjukin bahwa Ratu sudah belajar untuk kuat, namun ternyata hanya dipakai untuk mengangkat drama, dan Ratunya sendiri masih seperti sedia kala; dia tetap rapuh dan masih membayangkan ketakutannya yang penuh gestur manis dan sparkle-sparkle.

Akan sangat susah untuk berusaha menetapkan apa sebenarnya yang ingin diamanatkan oleh cerita film ini. Karena secara logika, jika kita ingin bercerita tentang seorang yang takut untuk sendirian, maka mestinya cerita akan berlabuh ke tokoh tersebut menjadi berhasil mengovercome ketakutannya. Aku gak bilang dia harus tetap sendiri di akhir. Film did the right thing dengan membuat Ratu giliran berada di posisi dia yang ninggalin orang, akan tetapi membuat tokoh ini masih mengkhayalkan yang ia tinggalkan, kinda messed up with the whole journey. Benar juga soal, biarkan kali ini orang yang datang kepadanya, tapi pikirku film yang berani akan membuat Ratu berakhir dengan orang baru yang menyatakan cinta padanya. Hanya dengan begitu tokoh ini bisa menutup sempurna. But I guess, film ini butuh untuk memuaskan target pasarnya, jadi mereka memilih jalan yang paling meromantisasi meski itu berarti karakternya belum benar-benar tampak belajar.

 

 

 

Hadir sebagai bentuk dari usaha mengapitalisasi kisah remaja yang serba berahasia, terlebih kepada orang yang dicinta. Punya semua elemen yang disukai remaja, romantisasi, dramatisasi, candaan khas anak muda. Tapi akan bisa menjadi tontonan yang jauh lebih baik di tangan penggarap yang lebih kompeten. Arahan film ini begitu bland, bener-bener sangat bergantung pada musik untuk menyampaikan rasa. Sepertinya ia tidak peduli pada apapun selain tampak cantik dan menyentuh, terbukti dari adegan seorang abang yang berusaha menenangkan hati adiknya dengan berbicara ke puncak kepala sang adik, hanya karena shot tersebut tampak manis dilihat dari depan.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for R – RAJA, RATU & RAHASIA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SABRINA Review

“Revenge may be wicked, but it’s natural.”

 

 

 

‘Rocky Horror Picture Show’ sepertinya akan mendapat tambahan arti. Jika lawas, kita mengenal kata itu sebagai judul film cult klasik bergenre musical horror. Maka bukan tidak mungkin di era kekinian, mendengar kata tersebut orang-orang jaman now pada langsung kepikiran Rocky Soraya dan rentetan horror sadis buatannya dalam seri The Doll yang dimulai sejak 2016. Sabrina, entry teranyar dari seri ini, hadir dengan cap dagang yang sama; boneka berisi setan dan tusuk-tusukkan hingga potongan anggota badan. Jualan yang ampuh. Seri ini sudah semakin mantap menyemen jalan menuju status cult klasik miliknya sendiri. Meski aku heran juga kenapa boneka ugly-not-creepy kayak Sabrina dibeli oleh banyak anak kecil dalam film ini.

ayo rolling-eyes bersama Sabrina

 

Setelah dua kali sukses, The Doll dan The Doll 2 (2017) mendapat sambutan hangat dari both kalangan penggemar body horror dan mainstream, Rocky dan timnya di rumah produksi Hitmaker Studios tampaknya menjadi semakin gede kep… gede hidung menangguk keberhasilan yang serupa. Tetap bercokol di lingkungan keluarga – yang membuat cerita film ini somewhat relatable – mereka mulai mengekspansi sudut pandang cerita. Sabrina tidak lagi sekedar membahas gimana boneka yang tampangnya kayak versi kartun Luna Maya bermata besar berambut keriting ini menjadi medium entitas jahat yang mengganggu satu keluarga. Ini juga adalah tentang pertempuran ilmu putih dan roh hitam. Malahan, begitu ambisiusnya cerita, status film ini menjadi agak ‘kabur’; pembuatnya bilang ini spin-off, meskipun secara jelas cerita merupakan kelangsungan dari kejadian di The Doll 2. Either way, sesuatu yang mengerikan bakal terjadi, dan tokoh ahli supranatural yang sudah kita kenal di dua film sebelumnya, harus segera menghentikan. Tak peduli meski nyawa mereka sendiri yang sekarang menjadi incaran.

Aku sendiri lebih suka menganggap ini sebagai sekuel karena memang ceritanya terasa lebih besar. Tapi tentu saja lebih besar bukan berarti lebih baik. Aku sempat bingung juga siapa sih tokoh utama di film ini. Seharusnya memang Laras, si paranormal. Hanya saja untuk sebagian besar pertengahan pertama – also the heart in the story – kita akan melihat Maira berusaha menata keluarga barunya. Dia menikah dengan anak pemilik pabrik mainan yang memproduksi boneka Sabrina yang baru. Pasangan ini mengangkat anak bernama Vanya, yang actually adalah keponakan dari Aiden, suami Maira. Kita juga bisa melihat cerita dari sudut pandang Vanya yang bersikap dingin kepada orangtua angkatnya, karena Vanya masih mengenang dan sulit melepaskan sosok ibu kandungnya yang telah tiada. Vanya dan Maira punya hubungan yang cukup menarik; mereka sama-sama kehilangan orang yang mereka cintai. Maira tadinya berpikir Vanya yang lebih suka main boneka dan ngobrol sendiri punya masalah yang sama dengan dirinya di film terdahulu; halu bahwa ibunya (anak dalam kasus Maira) masih hidup. Little did she know, Vanya mengontak dan memanggil roh ibunya lewat permainan anak-anak. Hantu ibu Vanya ini mulai menimbulkan masalah, karena dia sepertinya cemburu Maira mendekati anaknya. Or so we thought. Tapi hal menjadi lebih mengerikan lagi. Iblis yang dipanggil oleh Vanya ternyata punya masalah personal dengan Laras, paranormal kenalan Maira. Cerita kemudian berpindah ke si Iblis Baghiah dan Laras, dan bagaimana Laras harus mengalahkan makhluk halus yang haus tubuh manusia tersebut.

Ini adalah cerita tentang sosok-sosok yang dibesarkan oleh keinginan untuk balas dendam. Di film ini kita akan melihat seberapa jauh dan mengerikannya balas dendam bisa terwujud, jika kita memang berniat untuk melakukannya. Atau bagaimana kesumat itu bisa diredam dengan willing to let go

 

 

Cerita semakin tak terkendali menjelang babak ketiga. Udah susah untuk bisa kita pedulikan. Semua kejadian berbelok dan masuk sekena pembuatnya saja. Ada yang involving senjata mustika. Ada twist yang berhubungan dengan soal persaingan internal keluarga pebisnis mainan. Elemen-elemen cerita ini sebenarnya terikat dengan rapat. Plot pun menutup dan film ini bisa berdiri sendiri. Momen menarik buatku adalah ketika Laras sempat ragu apakah akan mengambil pisau atau kalung daun kelor untuk memusnahkan Baghiah; ini adalah momen ketika dia memilih apakah harus membalas dendam secara langsung atau tidak, karena iblis itu sudah menghancurkan keluarganya sejak film-film yang lalu. Mengenai twistnya, THE CLUE WAS ON THE NOSE, if you know what I’m speaking. Pada dasarnya, drama film ini akan terasa dangkal kurang terdevelop, karena memang porsi yang lebih menarik sudah mereka ceritakan di The Doll 2. Sekaligus juga terasa membingungkan karena jumlah cerita dan elemen-elemennya banyak dan semua ditulis setengah hati, dengan karakter yang lemah.

Ada adegan ketika Vanya mau masuk ruangan yang gelap, tapi dia takut. Dia mencoba menghidupkan lampu, sayangnya saklar terlalu tinggi. Jadi dia masuk saja gelap-gelap. Ini adalah contoh gimana malasnya ngembangin cerita sehingga mengorbankan karakter. Naskah butuh si anak masuk ke ruangan yang gelap; banyak hal yang bisa dilakukan untuk jadikan rintangan – kita perlu melihat usaha si anak karena dia adalah karakter yang seharusnya kita pedulikan. Tapi enggak, Vanya malah terlihat bego gak bisa ngidupin lampu; sebagai hasil dari adegan ini. Satu lagi; di bagian akhir ada pengungkapan yang memperlihatkan semua kejadian mengerikan itu terjadi karena ada satu tokoh yang membayar dukun untuk memanggil setan. Actually, setannya yang membeberkan hal ini. Kemudian kita lihat si tokoh ditangkap polisi, sebagai penyelesaian. Dan ini membuatku berpikir; atas dasar apa polisi menangkap orang yang secara fisik tidak pernah menyentuh, apalagi melukai, korban? Bisakah hukum menahan orang yang ke dukun atau bahkan dukunnya sendiri jika tidak ada bukti mereka melakukan kejadian, katakanlah, pembunuhan? Mungkin kita bisa berkilah ‘ini cuma film’ namun mengambil penyelesaian termudah itu sesungguhnya mendangkalkan cerita lantaran mereka bisa mengeksplorasi gimana nasib si tokoh dengan lebih baik – dan in turn, membuat tokohnya jadi lebih dalem dari sekadar twist device

Paruh terakhir toh bisa saja memuaskan untuk penggemar horror sadis yang tak peduli melihat hal yang sama berkali-kali. Sara Wiijayanto sukses tampil intens, seteru Laras dengan Baghiah, melibatkan banyak orang berdarah-darah tak pelak ada highlight dari film ini. Kalo kalian bertanya kenapa hantunya musti repot ngerasuki orang, membunuh pakai pisau, padahal sebenarnya dia tinggal membanting dengan kekuatan gaib, maka jawabnya adalah karena persoalan sudah begitu personal, hantunya ingin memberikan rasa sakit sebanyak mungkin. Dan juga karena ditusuk pisau aja masih bisa hidup, gimana mau dibanting.

Begitu juga dengan Luna Maya yang dengan berani menjajal semua. Dia jadi wanita yang berusaha memenangkan hati anak angkatnya. Dia kesurupan jadi setan pencabut nyawa. Dia dikubur hidup-hidup. Dia dilempar hingga punggungnya menabrak rak sehingga dahinya terluka. Make up dan efek darahnya hebat. But the filmmakers need to put a new spin into their product. Dan jelas ‘spin’ yang dimaksud di sini bukan spin dari game Pencil Charlie. Serius deh, adegan-adegan permainan memanggil arwah ini digarap dengan begitu malas sehingga dengan begonya kita menatap shot yang sama sampai lima kali. Masa iya mereka gak bisa memfilmkan pensil menuju kata ‘yes’ dengan arah atau sudut yang berbeda. Shoot yang ngezoom pintu setiap kali pindah adegan juga sama overusednya. Awalnya memang terlihat keren, tapi diulang begitu-begitu terus ya jadi bosen.  Ini menjadi bukti bahwa pembuat film ini memang suka mengulang memakai sesuatu yang menurut dia bagus dan cukup berhasil. Film ini kita mendapat banyak adegan yang mirip, beat-to-beat poin adegan nyaris kayak film sebelumnya. Dan betapa lucunya melihat begitu banyak yang kesurupan di film ini, dan semuanya jadi berhidung gede. Ini udah kayak Truth or Dare (2018) di mana yang kesurupan senyum aneh semua.

Kalo lagi main game fighting, pembuat film ini pastilah selalu memakai tokoh yang sama untuk menang, dengan mengeluarkan jurus yang itu melulu – tak lebih dari tendang bawah. I mean, penting untuk menemukan formula keberhasilan – jurus dalam video game adalah formula-formula tersebut, dan tak kalah pentingnya untuk menemukan cara-cara baru untuk mengeksekusi formula tersebut. Karena menggunakan jurus yang sama terus menerus akan membuat orang belajar menemukan kelemahan kita. Dan tentu saja; membosankan.

yang belum pernah kita lihat sebelumnya di film ini adalah Luna Maya berhidung gede

 

Dengan minimnya kemauan untuk mengembangkan cerita, dialog-dialog terdengar kaku karena sebagian besar berisi eksposisi. Sedari awal saja kita sudah dikasih kado-kado berupa penjelasan dan latar belakang cerita.  Film merasa perlu untuk menjelaskan setiap detil kecil. Cara dobrak pintu, misalnya. “Kalo saya bilang ‘dobrak’, kamu dobrak yang keras.” Enggak semua hal musti diucapkan. “Kalo tiga dari jawabannya ada yang salah, berarti hantunya palsu.” Enggak semua kesimpulan musti dijabarin. Malahan, dialog Luna Maya saat menemui Laras pada dasarnya sama aja ama ngerangkum plot yang sudah dilewati. Dan setelah semua ekposisi yang enggak perlu tadi, mereka malah ninggalin yang mestinya mereka jelasin. Tokoh yang diperankan Jeremy Thomas, kita tak tahu apa-apa tentang tokoh yang cukup signifikan ini. Backstorynya hanya dideliver dalam satu kalimat bahwa dia adalah rekan kerja Laras yang dulu, and that’s it. Gimana kita mau peduli, coba, yang ada malah curiga.

 

 

 

Maira, Aiden, Vanya.
Marah. Edan. Paniang.
Itulah yang kurasakan saat menonton ini. Marah karena mereka tidak melakukan apa-apa yang baru, semua yang kulihat di sini tak ubahnya adegan-adegan yang kulihat pada film kedua. Bahkan shot-shot yang digunakan pada film ini pun repetitif. Edan, lantaran kekuatan film ini terletak di kenekatannya tampil berdarah-darah, dan mereka terus mengepush kualitas ini. Dan paniang, pening oleh banyak hal ‘bego’ yang tak terjelaskan, juga oleh naskahnya yang begitu convolute – tiba-tiba ada yang berubah, tiba-tiba ada elemen yang dijejel masuk – mereka seharusnya menulis cerita dengan lebih tight; jika memang pengen memperkenalkan ini sebagai spin-off buat saja dari sudut pandang Laras, misalnya. Buat penonton yang baru menyaksikan ini, tanpa menonton film sebelumnya, kalian bisa saja menjadi fan baru yang kepincut dan penasaran pengen nonton prekuel-prekuelnya. Tapi buat penonton yang sudah ngikutin, jenuh pasti datang, karena kita pengen melihat aplikasi gimmick seri ini dalam sajian yang fresh.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SABRINA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

KOKI-KOKI CILIK Review

“Don’t do something just because you ‘should’”

 

 

 

Daftar menu perfilman tanah air bertambah lengkap berkat kehadiran Koki-Koki Cilik. I mean, film anak-anak aja jarang kita dapatkan, film tentang masak memasak apalagi. Dan Koki-Koki Cilik ini berani dan kreatif sekali menggabungkan keduanya. Enggak sekadar hadir sebagai alternatif penggembira dalam industri perfilman kita; sendirinya Koki-Koki Cilik adalah sajian film yang lengkap dan bergizi tinggi! (Hmmm.. psst… sekiranya ada produser ataupun filmmaker yang baca ulasan ini, aku punya dua cerita yang belum nemu ‘jodoh’ loh; satu  tentang anak-anak, dan satu lagi tentang masakan, bikin juga yuk ahayyy)

Dua hal yang dibutuhkan oleh anak kecil adalah dianggap ‘bisa’ oleh orang dewasa dan mendapatkan kebebasan untuk bermain menyalurkan hobi mereka.  Berdasarkan inilah cerita Koki-Koki Cilik dibangun. Tokoh utamanya, Bima, sudah dikenal sama orang-orang di kampung tempat tinggalnya sebagai anak baik yang suka memasak. Makanya, begitu tabungan Bima dan ibunya ternyata tidak cukup untuk membayar biasa masuk sebuah kemah memasak khusus untuk anak-anak, para tetangga di rumah patungan untuk membantu. Bima senang. Hatinya riang. Di cooking camp yang berlokasi di perbukitan hijau itu, Bima bertemu dengan dua-puluh anak-anak lain yang juga hobi memasak. Mereka bermain bersama, beraktivitas sehubungan dengan memasak bareng-bareng, dan ya berkompetisi. Gol di perkemahan itu adalah memilih juara pertama, yang paling jago masak. Untuk menentukan ini, akan ada babak-babak seleksi segala macem. Buat Bima yang masuk karena murni kecintaannya pada memasak, keadaan di kemah dapat menjadi sangat menekan.  Bima tidak bisa membuat menu-menu modern ala masakan hotel, dia belum pernah makan sushi, dan dia diledek dan dimarahi karenanya. Dia hanya tahu masakan yang tertulis dalam buku resep warisan almarhum ayahnya.  Stress sempat membuat Bima pengen pulang saja, tapi ia tetap berusaha belajar. Dan demi mentor yang ia kagumi di camp, Bima berjuang untuk menjadi koki jawara.

bentuknya boleh gak cantik, tapi masakan Bima punya kepribadian yang bagus

 

Since kita bicara tentang anak-anak dan kompetisi, maka aku akan membandingkan film ini dengan satu lagi film anak yang baru saja tayang, dan sudah kureview; Kulari ke Pantai (2018). Kedua film ini sama-sama menyenangkan, sama-sama sarat pelajaran berharga; mereka melaksanakan misinya sebagai tontonan yang bisa dinikmati oleh anak-anak bareng keluarga. Bukan hanya keceriaan dan tawa yang dibawa pulang oleh penonton cilik sehabis keluar dari bioskop. Akan tetapi, penulisan Koki-Koki Cilik jauh lebih baik. Perspektif tokoh utamanya terhampar kuat. Sekuen-sekuen yang tersusun dalam tiga babak film ini mengalir dengan rapi. Tokoh utama pada Kulari ke Pantai tidak benar-benar merasakan rintangan, kita lebih gravitate ke arah karakter yang lain; Happy lebih relatable buat penonton anak-anak kekinian dibandingkan Sam. Sedangkan Bima pada Koki-Koki Cilik, man, anak ini digempur habis-habisan. Untuk alasan entah apa, kepala koki di kemah itu galak kepadanya. Dia dipandang remeh karena masakannya sederhana.  Dia juga digalak-galakin sama mentornya, Chef Rama (Morgan Oey tampak sudah terestablish sebagai aktor kawakan di sini).

Kita akan konek instantly kepada Bima. Bukan karena dia anak miskin yang perlu menabung setahun untuk bisa sampai di sana, tapi karena dia adalah underdog yang menempuh banyak halangan bahkan untuk terdaftar sebagai peserta saja.

 

 

Film bijaksana sekali dalam membangun tokoh Bima.  Kita begitu peduli saat anak ini menangis dan merasa tidak sanggup melanjutkan, dan kita kembali turut ceria melihat teman-teman camp, yang sudah tersentuh oleh pribadi Bima yang elok, berusaha untuk membuat Bima bersenang hati. Diberikan range emosi yang jauh, enggak gampang buat anak cowok berakting nangis dan merasakan banyak hal menyerangnya dari segala arah, Faras Fatik gemilang memainkan tokoh ini. Bima memang dibuat sebagai anak yang menyebalkan dengan kebawelannya, tapi dia tidak pernah terasa annoying buat kita. Dia adalah anak yang mau belajar. Dia bikin catatan sendiri mengenai masakan. Dia mendengarkan apa yang diajarkan. Dia membuat keputusan yang menguarkan kreativitasnya sendiri. Salah satu kait emosi pada film ini adalah hubungan yang terjalin antara Bima dengan Chef Rama, yang awalnya menolak untuk mengajari Bima – pada dasarnya, Rama menolak untuk terlibat, dia merahasiakan kemampuan masaknya kepada semua orang. Kita diperlihatkan backstory antara Bima dengan almarhum ayahnya. Juga backstory tentang siapa Rama sebenarnya. Dan keduanya akan bertemu, menambahkan kedalaman terhadap kedua karakter ini. Aku suka gimana di babak final Bima membuat keputusan yang menunjukkan dia benar-benar bergerak sesuai pilihan hatinya dan it means a lot karena gentian, kini Bima yang ngajarin Rama suatu hal tentang kemenangan di dalam hidup. In the end, Bimalah yang pulang dengan membawa ‘hadiah’.

Jika ini “Kulari ke Pantai”, maka chef-chef di kamp itu akan menyuruh anak-anak untuk memasak masakan tradisional, mengatakan masakan indonesia akan punah jika tak ada yang memasak. Koki-Koki Cilik, sebaliknya, tahu untuk lebih baik tidak melarang anak-anak melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Film ini paham cara untuk menghargai budaya nasional. Masakan tradisional buatan Bima dinilai paling enak, dan Bima pun tidak segan untuk belajar gimana cara membuat makanan modern. Tidak ada pengguruan secara subtil di dalam film ini. Actually, kita akan menemukan adegan di mana Audrey, juara bertahan yang jadi ‘saingan’ Bima, diminta untuk ngobrol berbahasa Indonesia. Aku juga membahas masalah ini dalam review “Kulari ke Pantai” karena ada adegan yang mirip. Hanya saja,  Koki-Koki Cilik memainkan adegan ini dalam konteks yang enggak menggurui. Bimalah yang meminta Audrey untuk tidak berbahasa Inggris, dan itu karena Bima memang tidak bisa bahasa Inggris. Bima bukan bule ataupun anak yang ngerti Inggris. Jadi adegan ini enggak come-off sebagai ngejudge dan menyuruh, melainkan untuk memberi tahu sedikit-banyak tentang toleransi; kepada bukan saja anak kecil, melainkan kepada kita semua. Mengajarkan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.

sebelum dipake pastikan dulu enggak ada kepala emak-emak di dalam rice cookernya ya, Dek

 

 

Lebih baik memang untuk membuat hal simpel supaya enggak menyulitkan dan gak bikin bosen anak-anak. Film ini enggak melakukan banyak, namun cukup untuk membuat tokoh-tokoh yang ada pada ceritanya hidup dan sukses menghibur kita. Ada anak yang difungsikan untuk total ngelawak dengan lagaknya yang kecentilan sok kayak orang dewasa. Ada anak yang saat tidur juga masih meluk snack. Yang kocak, ada anak yang mengecek data diri peserta lain di internet, dan di layar kita bisa lihat data yang ditampilkan tidak hanya sebatas nama dan umur, bahkan sampai sifatnya “cool, bully” benar-benar tertulis di sana hahaha…  I mean, dari mana yang bikin data tersebut tahu sifat anak itu suka ngebully.

Audrey, si penyendiri,  digambarkan membawa headphone ke mana-mana sebagai bagian dari karakternya. Anak-anak ini, bersama Bima, akan melakukan kegiatan polos khas anak-anak, entah itu membebaskan kambing yang mereka curigai bakal dijadikan bahan pelajaran masak selanjutanya ataupun menransfer kegembiraan lewat telapak tangan. Dan hal yang mereka lakukan itu sangat menyenangkan untuk diikuti. Hubungan antara Audrey dengan Bima juga berkembang menjadi persahabatan yang manis. Semua orang tersentuh oleh pribadi Bima, dari situlah kehangatan cerita ini hadir. Film juga mengeksplorasi bagaimana anak-anak ini berinteraksi dengan orang dewasa di sekitar mereka. Sebagian besar memang ditampilkan polos sehingga menjadi lucu. But on a slightly serious note, film juga memperlihatkan gimana BERBEDANYA ANAK-ANAK DAN ORANG DEWASA DALAM MEMANDANG SEBUAH AJANG KOMPETISI. Pun, cerita tidak berpaling dari konsekuensi. Film tidak punya masalah untuk menghukum anak kecil, demi mengajarkan mereka tanggung jawab. Misalnya ketika ada anak yang ketahuan berbohong dan nyaris membuat Bima dikeluarkan dari perkemahan, anak tersebut dihukum dengan dipulangkan ke rumah.

Kita tidak selalu harus menang untuk ‘menang’. Melakukan sesuatu karena hal tersebut adalah pilihan kita, actually akan berdampak sangat berbeda dengan ketika kita melakukan sesuatu karena kita diharuskan untuk melakukannya. Perbedaan di antara keduanya itulah yang membuat Bima menjadi labih ‘jago’ dibandingkan teman-temannya.

 

 

Aku enggak merasa pengen makan saat menonton film ini. Aku justru jadi kangen bekerja di dapur kafe dibuat olehnya. You know, bereksperimen membuat menu-menu baru dan berusaha untuk menjualnya ke orang. Karena dalam film ini, kita akan melihat anak-anak tersebut masak dan menyiapkan hidangan-hidangan menggugah selera. Well, sort of. Karena yang kita lihat actually adalah proses penyajian makanan secara close-up. Pernah lihat foto-foto makanan cantik di instagram? kurang lebih kayak begitulah masakan dalam film ini. But we do get to see anak-anak tersebut beraktivitas memetik bahan-bahan makanan, menyirami sayuran, ini seperti metafora bahwa mereka perlu memupuk persahabatan sebelum dapat menikmati indahnya.

Bima harus, dan rela, bekerja lebih keras daripada yang lain. Membuat kita ngecheer perjuangan dia. Persis kayak formula cerita serial anime My Hero Academia. Tokoh utama yang justru gak punya kekuatan superhero, ia dipinjami kekuatan, dan dengan itu ia berusaha keras mengejar ketinggalannya daripada yang lain, demi mencapai keinginannya untuk menjadi superhero terhebat. In turn, teman-teman di akademi terkena bias semangat dan kegigihan hatinya. Bima juga begini. Dia yang paling kurang dalam pengetahuan dan teknik memasak, dia butuh banyak bantuan, namun dia tidak berleha-leha dengan bantuan tersebut. Bima yang baik hati justru yang belajar paling giat, memberikan pengaruh positif kepada orang di sekitarnya. Bahkan, hubungan Bima dengan anak cewek bernama Niki juga sama kayak Deku dan Uraraka di “My Hero Academia”. I’m not saying film ini mengopi, kemungkinannya tipis sekali Ifa Isfansyah dan tim di balik film ini menonton anime tersebut. Aku ingin menunjukkan bahwa film ini berhasil menemukan resep cerita yang sama, karena memang beginilah cerita tentang underdog yang menarik ditulis.

Tapi toh ada juga beberapa elemen cerita yang membuatku teringat sama Harry Potter. Seperti pada saat Lima Besar sebelum penyisihan ke Semifinal, Bima dan peserta lain ditantang untuk membuat sushi. Bima membalik-balik halaman buku resepnya, dan dia come out dengan membuat lemper. Seperti Harry Potter yang disuruh membuat penawar racun, dia mencari-cari di buku ramuan si Half-Blood Prince, only to come out dengan lancang menunjukkan bezoar kepada gurunya. Bagian ini mungkin cukup ‘jauh’ dan kelihatan lebih seperti kebetulan ketimbang disengaja. Namun kemudian di menjelang akhir, kita akan lihat ada anak – si Bully – yang berpura-pura tangannya patah supaya Bima berada dalam masalah. Sama seperti Malfoy membuat cedera tangan berkali lebih parah pada film ketiga Harry Potter. Patah tangan di sini adalah insiden yang bisa diganti, mereka tidak harus melakukan ini. Like, ada banyak cara untuk membuat tokoh ini nyalahin Bima, dan mereka memilih insiden yang pernah terjadi di Harry Potter. Sengaja atau tidak, buatku, sudah strike two.

 

 

 

 

Kalo ini adalah makanan, maka ini adalah paket komplit dengan minuman sekalian. Lucu, hangat, musiknya catchy, tidak merendahkan anak-anak, seru karena memberikan kepada kita pandangan dari dunia kuliner. It is a very good movie, dengan skenario yang kuat. Lebih baik daripada Kulari ke Pantai. Saat berurusan dengan anak-anak, kita bisa menjadi sedikit lunak. Aku harap aku bisa ‘lunakkan’ aturan penilaian angkaku karena ini film anak anak, but I won’t. Aku tidak ingin membedakan mereka dengan film orang gede. Dengan script sengelingker ini, cukup disayangkan juga kenapa di akhir cerita hanya Bima yang kelihatannya bener-bener berakhir sebagai koki. Judulnya toh jamak, aku pengen melihat teman-teman Bima mendapat arc yang menutup seperti Audrey. Juga ada elemen-elemen yang membuat film ini tak-terasa terlalu orisinil, meski memang dia mengekspan menu perfilman kita dengan sukses. Semoga filmmaker yang lain jadi ngiler dan kepancing untuk bikin lebih banyak film anak-anak yang berani berkompetisi dengan naskah film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KOKI-KOKI CILIK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ANT-MAN AND THE WASP Review

“Stepping out of your comfort zone is the best way to grow.”

 

 

Dunia superhero Marvel menjadi kecil dalam film Ant-man and The Wasp, tentu saja ‘kecil’ di sini bukan dalam artian kerdil karena minim aksi dan kurang kepentingan. Karena film ini meriah dan benar-benar sebuah ledakan menyenangkan. Kocak dengan gaya humor yang dapat kita bedakan di antara yang lain, much like sekuen aksinya yang merupakan gimmick khas yang selalu dinanti. Ceritanya lah yang mengambil ruang lingkup yang lebih kecil. Tidak ada ancaman kehancuran global, tidak ada malapetaka dahsyat  dari luar angkasa. Scott Lang adalah contoh langka seorang pahlawan super yang benar-benar mengalami konsekuensi dunia nyata,  dia gak punya duit banyak untuk membuat hidupnya lebih mudah, dia tidak benar-benar punya kekuatan super – kostum Ant-Man harus  ia kenakan dengan prasyarat.

Dan dalam film ini, Scott Lang terpenjara di rumahnya sendiri.

 

Hidup Scott Lang sebagai manusia biasa saja sudah cukup susye, apalagi ketika dia harus mengemban tugas sebagai superhero. Nafsunya untuk menjadi pahlawan yang bener, sebagai lawan dari kehidupan kriminalnya – membuat Lang  harus berada dalam posisi tahanan rumah selama dua tahun. Cerita film ini dimulai  ketika Lang sudah dalam hari-hari terakhir masa tahanannya. Dia sudah enggak sabar menunggu alarm di pergelangan kakinya dilepas sehingga dia bisa pergi keluar rumah dan menjadi ayah yang ia inginkan bagi putri semata wayangnya. In a comical fashion, kita melihat bagaimana hari-hari dihabiskan olehnya; dia membuat lorong sarang semut dari kardus untuk main misi mencuri-mencurian sama anaknya, dia ngerock pake drum set mainan untuk anak kecil, dia dengan khusyuk membaca novel young-adult, dia latihan sulap lewat youtube. Zona nyaman pahlawan super kita diusik oleh Hope dan Hank Pym, mentor yang bikinin kostum superhero buat Lang. Keluarga ini bermaksud mencari ibu mereka yang hilang di dunia kuantum berpuluh tahun yang lalu – sebagai resiko jika mengecilkan tubuh melewati batas. Dan mereka pikir, Scott yang pernah keluar hidup-hidup dari dunia kuantum tersebut dapat membantu mereka.

Avengers: “Scott Lang, main yuuuukk, ada Thanos niiih” / Cassie: “Papa gak boleh keluaarr”

 

Setelah narasi pembuka yang entah bagaimana mengingatkanku sama porsi awal game God of War, film ini memang tidak pernah berhenti menyuguhkan sesuatu yang membuat kita terhibur.  Kita seperti terus diping-pong antara karakter segar, dialog lucu, dan aksi berantem yang koreografinya supercepet dan bermain dengan tokoh-tokoh yang mengecil dan membesar sekejap mata. Film ini juga banyak bersenang-senang dengan adegan yang mengambil komedi pada persepsi kita terhadap ukuran.  Adegan akan dimulai dengan tokoh-tokoh lagi ngobrol di mobil, kamera dibuat nyaris close up, untuk kemudian suatu yang enggak semestinya sebesar itu muncul dari belakang, shot di zoom out, dan kita sadar apa yang sebenarnya terjadi regarding dimensi ukuran tokoh-tokoh pada adegan tersebut.

Kita memang sudah semestinya harus bisa melihat gambaran besar dari suatu masalah, supaya kita bisa mengerti dalam mengambil langkah apa yang harus dilakukan. Tapi terkadang, gambaran besar yang harus dapat kita lihat itu, nyatanya, adalah penyederhanaan dari situasi yang menurut kita pelik.

 

 

Dibintangi oleh begitu banyak talenta, Ant-Man and the Wasp bergantung kepada keahlian sutradara dalam mengembangkan tokoh-tokoh yang ada. Peyton Reed tampaknya sudah nyaman dengan dunia superhero yang ia tangani sejak ‘episode’ pertamanya. Dia paham betul bahwa Ant-Man akan banyak bicara tentang fiksi ilmiah, jadi ia memainkan itu semua ke dalam komedi. Celetukan Lang bakal membuat kita terbahak mengenai kata ‘kuantum’ di depan setiap; that’s how ribet aspek keilmuan yang dipunya oleh film ini sebenarnya. Komedi tentu saja dilakukan supaya penonton enggak bingung diterpa eksposisi tentang bagaimana peraturan ilmu-ilmu yang dibahas pada cerita. Salah satu contohnya adalah bagaimana, seperti yang juga kita lihat pada film pertama, Michael Pena dengan terrific menceritakan kejadian saat diinterogasi oleh salah satu tokoh penjahat. Dia nyerocos cepat dan layar akan nunjukin gambaran yang sedang ia omongin, di mana para aktor akan ngelyp-sinc setiap dialog yang ia ucapkan. Film ini berhasil membuat eksposisi menjadi hal yang lucu. There’s also adegan ‘serum kejujuran’ yang sukses membuatku ngakak. Hank Pym yang diperankan oleh Michael Douglas juga salah satu favoritku di film ini, karakternya sort of pemarah dan suka ngedumel, tapi itu sebenarnya di dalam hati, dia sosok yang peduli. Pasif-agresif tokoh ini mirip sama tokoh Sam di serial GLOW, sutradara acara gulat khusus cewek yang punya gerutu tersendiri dalam nunjukin kepeduliannya terhadap pemain yang ia tangani, actually aku sedang ngikutin season 2nya – aku rekomendasikan serial ini buat kalian yang tertarik sama struggle pembuat acara tv yang kurang popular, dan drama komedi  secara umum.

Balik ke Ant-Man and The Wasp, tho, Scott Lang sendiri enggak berada di kursi kemudi, kalian tahu, karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Hope alias The Wasp. Menurutku, film ini punya masalah yang sama dengan Kulari ke Pantai (2018) di mana sebenarnya tokoh utama cerita film ini adalah tokoh lain, tetapi pada Ant-Man ini aku bisa melihat kenapa mereka gak bisa gitu aja mengganti tokoh utamanya menjadi The Wasp. Karena ini adalah universe Ant-Man, Ant-Manlah yang ada berperan di Avengers. Jadi, dia harus tetap menjadi tokoh utama, meskipun dia sebenarnya enggak begitu paralel dengan apa yang ingin dikatakan oleh film, dengan apa yang ingin dicapai oleh tokoh penjahat dan The Wasp. Jika di film pertama, Lang ditunjukkan sebagai mantan kriminal yang pinter, dia bisa bikin alat untuk masuk ke rumah orang, dia jago parkour, dia dengan cepat menguasai aplikasi kostum pengubah ukuran yang dipinjamkan kepadanya. maka di film ini dia hanya ngomentarin hal-hal dengan lucu. Kalo bukan karena pesona Paul Rudd yang bikin tokoh ini jadi begitu likeable, akan susah untuk peduli padanya sebagai tokoh utama. Dia bahkan gak benar-benar niat untuk sneak out dari rumah yang menahannya. Dia pernah mengalahkan Falcon, salah satu Avengers, dan di film ini dia diselamatkan dari tenggelam oleh The Wasp. Dan randomly dia tidak bisa menguasai kostumnya. Kita tidak ngecheer Ant-Man lebih besar dari kita menginginkan The Wasp berhasil reuni dengan ibunya, atau bahkan itupun kita tidak benar-benar mencemaskan keselamatan Pym yang masuk ke dunia kuantum. Film memang seperti kurang greget, tapi tidak bisa dipungkiri cerita dibangun dengan The Wasp sebagai highlightnya.

Jika The Wasp tidak segera meminta bantuan kepada Ant-Man, dia akan kehilangan ibunya. Jika Ghost – tokoh antagonis di sini – tidak mencuri lab dan teknologi dari ayah Wasp, dia akan mati. Dua tokoh ini harus segera keluar dan mengusik zona nyaman yang membawa malapetaka bagi mereka.  Ant-Man adalah kontras dari ini, dia tidak perlu melakukan semua itu. Dia bisa duduk baik di rumah dna dia akan menjadi ayah yang baik. Dia diseret ke dalam situasi di mana dia tak punya jalan lain selain mesti berhasil, demi kembali ke zona nyamannya.

 

Tayang setelah Avengers: Infinity War (2018) yang begitu depressing, film ini mendapat keuntungan hadir sebagai film yang didesain untuk menjadi tontonan yang menyenangkan. Hampir tidak ada unsur suram pada film ini. Sangat ringan dan luar biasa menyenangkan. Makanya, aku pikir kita akan gampang bias dalam menyingkapi film ini. Kita menganggapnya segar, karena kita baru saja dibuat ‘dendam’ sama Thanos. Namun, bayangkan jika kita menonton ini lagi, jauh nanti setelah Infinity War, atau bayangkan ada orang yang belum nonton Infinity War dan dia hendak marathon Ant-Man dan Ant-Man 2.. Tidak ada yang begitu berbeda pada dua film Ant-Man. Sekuelnya ini tidak benar-benar sesuatu yang fresh dibandingkan dengan film pertamanya. Malahan, tokoh utamanya jadi kurang kuat, meskipun keseluruhan film tetap adalah tontonan yang ekstra menyenangkan. I guess film ini benar-benar dipush untuk menjadi menyenangkan, karena ada rencana di dalam dunia sinematik ini. Tapi kita harus melihat film sebagai sesuatu yang berdiri sendiri; film ini mampu, tapi banyak elemen yang sebenarnya tampil lebih lemah. Satu tokoh jahatnya, si Burch, kehadiran tokoh ini memang mengundang tawa di ujung, tapi in a long run karakternya enggak benar-benar penting. Sekiranya dihilangkan, beberapa hal pada film ditulis ulang, cerita mungkin bisa menjadi lebih baik.

berkat film ini kita tahu for a fact bahwa suara semut bukan “oee..oee” seperti yang disebut pada lagu anak-anak

 

 

Alih-alih dunia, film ini bicara mengenai menyelamatkan keluarga; yang mana adalah semesta personal bagi setiap individu. Menghibur kita dengan ritme yang cepat, aksi-aksi dnegan efek komputer yang memukau, tokoh-tokoh yang kocak, akan susah sekali untuk terkulai tertidur ketika menonton ini. Bisa dibilang, film ini mengorbankan cerita yang lebih kuat, karakter yang lebih baik, demi tampil lebih ringan bahkan dari film pertamanya. Dia akan menjelaskan hal-hal dengan cara yang lucu, jika tidak bisa, maka film akan meninggalkannya tanpa penjelasan. Film mengharapkan kita, terutama pada babak ketiganya, untuk menerima saja, atau paling enggak sudah membaca komiknya. Big Hero 6 (2014) akan menghasilkan impresi yang lebih membekas untuk tantangan dan tema yang nyaris serupa. Setelah Infinity Wars, gampang untuk dengan cepat bilang film ini fresh, tapi jika dibandingkan dengan film pertamanya, film ini lebih kompleks. Namun kekompleksannya tidak dimainkan dengan benar-benar membuatnya unggul dan berbeda. But hey, it’s a small world, afterall.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SICARIO: DAY OF THE SOLDADO Review

“How can you have a war on terrorism when war itself is terrorism?”

 

 

“Bagaimana cara engkau mendefinisikan terorisme?” Kalo aku ditanya begitu sih, aku langsung kebayang pengeboman tempat ibadah, aksi penembakan massal di sekolah, penabrakan pesawat ke gedung di siang bolong, kalian tahulah maksudku; terorisme itu kerjaan yang membunuh banyak orang tak berdosa. Tapi, lebih dari tindakannya, terorisme itu sendiri sebenarnya mengacu kepada tujuan tindakan tersebut; untuk menyebarkan terror, menanamkan ketakutan publik, demi mecapai tujuan –politik ataupun ideology – satu golongan. Sicario: Day of the Soldado dengan cepat meninggalkan zona hitam-putih, tokoh-tokohnya tahu ladang kerja mereka adalah zona abu-abu; mereka paham untuk menyelesaikan pekerjaan mereka yang menyangkut hajat hidup orang banyak,  masalahnya tidak pernah soal benar atau salah. Mereka tidak ragu untuk balik melakukan terror, demi menangkap peneror yang sebenarnya.

Dan itulah sebabnya kenapa memerangi terorisme itu begitu susah, sebab teror itul sendiriah perang yang harus kita hadapi. Kita saling menyebarkan teror dalam usaha menghentikan peperangan, kita mencoba mengambil alih kendali dengan propaganda ketakutan.

 

 

Dalam adegan pembuka, kita melihat Matt Graver menginterogasi seseorang. Ia ditugaskan untuk menyelidiki pihak kartel dari negara mana yang udah mengizinkan pengebom bunuh diri masuk ke perbatasan. Jadi dia butuh jawaban dengan segera. He would take no bullshit. Tokoh yang diperankan Josh Brolin ini berkali lipat lebih intens dari film Sicario yang pertama (2015). Untuk mendapatkan jawaban yang ia mau, Matt mengancam akan mengebom rumah keluarga si terdakwa. Dan baik si yang diinterogasi, maupun kita, semua orang yang menyaksikan ini sama-sama tahu ancaman Matt tersebut bukan gertak sambal belaka. Perintah pengeboman akan segera meluncur jika ia tidak mendapat jawaban atau informasi yang memuaskan. Tokoh-tokoh film ini, mereka bukan orang baik-baik. Mereka adalah patriot yang mencoba menyelesaikan pekerjaan yang tidak diinginkan oleh orang lain. Kita tidak membela ataupun root for them. Malahan mungkin kita hanya duduk di studio terpana menyaksikan hal yang mereka lakukan. Merasa ngeri.

Sicario: Day of the Soldado, bukan Si Karyo: Suami-suami Takut Istri loh ya

 

Keunikan dari Sicario, yang tongkat estafetnya digenggam mantap oleh sutradara asal Italia, Stefano Sollima adalah bagaimana film ini tidak tampil selayaknya thriller Hollywood. Tidak pernah diakhiri untuk membuat kita merasa lega, puas. Gembira. Tidak sama sekali. Entertainment value film ini, bisa dikatakan nihil. Hampir setiap adegannya berakhir dengan begitu berbeda dari yang sudah kuharapkan. Sekuen-sekuen aksinya, malah tidak bisa dibilang sebagai sekuen aksi. Mereka tidak dilakukan untuk menghibur penonton, tidak untuk membuat kita berteriak seru. Sekuen aksi di film ini tak lebih dari adegan-adegan kekerasan yang dibuat sedemikian rupa nyata sehinggakita merasa ikut berada di sana. Kekerasan itu akan terjadi dengan begitu cepat, luar biasa brutal, namun tampak sangat efisien.

Kalian tahu gimana film-film lain menampilkan tokoh antihero; mereka dibuat likeable, kocak dengan sudut pandangnya yang twisted, kita tahu mereka sebenarnya baik jauh di lubuk hati terdalam mereka, mereka melakukan hal-hal keren yang membuat kita kagum. Pada Sicario: Soldado, nuh-uh, antiheronya benar-benar menekankan pada kata ‘anti’, like, kita anti deket-deket ama mereka. Film ini bahkan memasukkan pancingan Matt dan Alejandro saja tampak tidak benar-benar saling percaya. Atau malah, mereka berdua mengerti apa yang akan dilakukan pihak lain jika kondisi mengharuskan demikian, maka mereka juga suudzon kepada pihak yang lain. Ketajaman penulisan Taylor Sheridan menunjukkan tajinya di sini.  Aku akui, aku enggak ngebet banget menantikan sekuel Sicario, terlebih saat mengetahui Denis Villeneuve tidak lagi mengepalai filmnya. Namun kemudian, ketertarikanku naik kembali setelah Taylor Sheridan mengonfirmasi ia kembali duduk di kursi penulis scenario. Dan ia tahu, aspek paling mengejutkan yang dipunya Sicario adalah karakter Alejandro yang diperankan oleh Benicio Del Toro.

Pada film kedua ini, Del Toro  diberikan kesempatan untuk menggali lebih banyakdari tokoh Alejandro, karena kali ini giliran arc karakternya yang menutup dengan sempurnya. Dan dia memainkannya dengan sangat menakjubkan. Dalam usaha untuk menghentikan kartel yang membantu teroris menyebrang perbatasan, Alejandro harus berurusan dengan kelompok yang dipimpin oleh orang yang dahulu membunuh putrinya. In turn, Alejandro berada di posisi dia harus mengawal putri dari pembunuh tersebut. Kita paham dua hal mengenai tokoh Alejandro; Dia punya kompas moral sendiri, dan dia enggak akan segan-segan membunuh bocah jika perlu. Apabila memang dibutuhkan, Alejandro akan menyiksa orang. Simpel saja. Tak masalah baginya untuk keluar dari jalur hukum untuk mendapatkan jawaban atas masa lalunya, serta untuk melindungi negara tanah airnya. Although beberapa shot membuatku kepikiran, “Orang ini pernah gak sih dapet peran banci – it would be a challenge buatnya”

Berkat Alejandro aku jadi tahu kalo ‘sepatu’ adalah kata serapan dari bahasa Spanyol

l

 

Tak jarang memang kita melihat gambar-gambar seolah Sollima berusaha keras mengikuti jejak yang ditinggalkan oleh Villeneuve, ini bias menjadi distraksi juga, karena kita diingatkan oleh sebuah pencapaian yang luar biasa. Dari segi teknik, film ini masih berada di belakang  film yang pertama, namun dari segi cerita, Soldado punya kisah yang lebih kompleks. Film pertama pada dasarnya hanya tentang agen yang baru pertama kali terjun ke dunia hitam – narkoba, kartel, dan semacamnya, dan ia menemukan banyak rahasia seputar apa yang sebenarnya mereka lakukan. Cerita yang sederhana, yang terangkat berkat teknik filmmaking. Misi Matt dan Alejandro di film yang kedua ini lebih ribet.  Mereka coba memancing keributan antara kedua kartel di perbatasan, sementara berusaha untuk tidak ‘terlihat’ dalam artian, tidak ada orang yang boleh tahu Amerika campur tangan dalam masalah yang bukan benar-benar berada di negaranya. Kedua tokoh kita terjun langsung ke lapangan, mereka come up dengan sebuah strategi yang sungguh tak mulia – memanfaatkan anak kecil sebagai pion. Film ini mengeksplorasi efek perdagangan narkoba, perang antarkartel, penyelundupan imigran kepada anak-anak yang bersinggungan dengan masalah-masalah tersebut. Film menunjukkan dilema moral yang dihadapi oleh orang yang mestinya di pihak ‘pahlawan’ ketika mereka mencoba untuk menyelesaikan tugas. Tapi sesungguhnya tidak ada ‘orang baik’ di cerita ini, hanya dua kelompok yang berbeda tujuan, di mana kelompok yang satu lebih egois dibandingkan kelompok yang lain.

Anak-anak corrupt oleh narkoba, mereka kecanduan hal-hal yang tak berguna, itulah sejatinya teror  yang paling mengerikan. Film ini menunjukkan apa yang dapat terjadi kepada anak kecil yang tumbuh di dunia yang diteror oleh perang obat-obatan terlarang. Tokoh anak-anak pada film ini benar-benar merepresentasikan hal tersebut. Ada yang dibesarkan untuk menjadi kurir, dan pada akhirnya menjadi pembunuh. Mereka dijadikan alat untuk memicu perang dan adu domba. Hal yang paling menyedihkan adalah mereka dijadikan korban sekaligus sebagai pelaku.

 

 

 

Jika film pertamanya disukai kritik dan penonton kasual, karena it was simple story about orang baru yang melihat hal buruk yang dibeking oleh teknik filmmaking yang menakjubkan. Film ini, akan susah disukai oleh kritik karena moral yang dibawanya, its not really defining good or bad, sudut pandang ini mungkin akan banyak bertentangan dengan orang. Juga akan sulit diterima oleh penonton biasa, sebab filmnya gak ‘asik’, karena aksi-aksinya bukan dibuat untuk hiburan. Tapi buatku, aku mencoba melihat film bukan semata dari baik buruknya pesan moral atau apa, tapi lebih ke gimana cara mereka menceritakan. Selain babak ketiganya yang tampak agak tidak masuk di akal, oddsnya sangat langka untuk bisa kejadian, film ini bercerita dengan sangat kelam. Sama seperti pembunuh bayaran itu, film ini pun kejam, tapi efisien.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SICARIO: DAY OF THE SOLDADO

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017