MINI REVIEW VOLUME 8 (THE WHALE, AFTERSUN, ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT, NOKTAH MERAH PERKAWINAN, ELVIS, INFINITY POOL, WOMEN TALKING, BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER)

 

 

Normalnya, bulan Januari-Februari di bioskop itu agak adem ayem, karena biasanya film yang tayang di awal tahun itu ya tipe film yang ga rame enough untuk tayang di musim-musim liburan. Tapi di blog ini, bulan-bulan tersebut biasanya justru yang paling sibuk. Karena waktu tersebut merupakan last chance buat nontonin film-film yang kelewat di tahun sebelumnya, serta ngejar nontonin film-film yang masuk nominasi Oscar. Tahun yang sudah-sudah, blog ini entrynya paling banyak ya di bulan-bulan awal tersebut. Untuk itulah aku bersyukur bikin segmen Mini-Review.  Karena sekarang ku punya slot khusus untuk film-film itu, sehingga gak perlu kayak kebakaran jenggot lagi ngejar ngulasnya. Jadi, inilah Mini-Review pertama di 2023, yang di antaranya berisi tiga nominasi Best Picture Oscar yang baru saja ketonton!

 

 

 

AFTERSUN Review

Jika dirancang dengan baik, struktur penceritaan dapat mengangkat feeling yang terkandung di dalam narasi menjadi berkali-kali lipat lebih emosional. Aftersun, debut sutradara Charlotte Wells ini contohnya. Kisah seorang perempuan yang mengenang masa-masa liburan bersama sang ayah saat ia masih kecil, tidak diceritakan Charlotte dengan sedatar pakai flashback. Charlotte benar-benar paham dengan apa yang sedang ia sampaikan, dia punya visi yang kuat, sehingga tindak mengenang-masa tertentu itulah yang ia wujudkan lewat struktur dan gaya bercerita.

Nature dari kenangan yang episodik, dan much more dreamy dari reality itulah yang benar-benar divisualkan oleh film. Dijadikan hook emosional juga tatkala kenangan yang diambil itu dibentrokkan dengan apa yang terjadi di masa sekarang. Di sinilah ketika film sekali lagi berhasil menjelma dengan luar biasa emosional. Sophie yang berumur 11 tahun lagi liburan di Turki bareng ayah, mereka ke pantai, main game, kenalan sama orang baru, berenang – semua yang manis-manis itu ditangkap oleh film lewat estetik, kamera, warna, bahkan suara yang kontras dengan sesuatu yang membayangi. Melalui interaksi mereka, keingintahuan kita tentang ini sebenarnya cerita tentang apa menemukan pegangan pada sesuatu yang lebih naas. Bahwa ini anak yang sedang menelisik ulang, sedang berusaha mengenali lebih dekat siapa sosok ayahnya, lewat kenangan yang bisa jadi satu-satunya yang ia punya tentang sang ayah.  Keputusan film untuk tidak ‘meneriakkan’ yang merundung Sophie saat dewasa, lantas menghantarkan kita pada apa yang menurutku membagi dua penonton film ini. Tidak puas karena tidak ada finality yang jelas. Atau tercenung merasakan aftertaste getir yang luar biasa kuat.

Namun di luar itu semua, aku yakin penonton bakal satu suara soal betapa hangat dan manis (tapi tragisnya) hubungan ayah dan anak itu tergambar. Chemistry antara Paul Mescal dan Frankie Corio tak pelak jadi pesona utama yang bikin kita semua peduli dan menyimak sampai habis.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for AFTERSUN

.

 

 

ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT Review

Semua film perang basically adalah propaganda anti-perang. Mereka menyampaikan itu dalam berbagai cara, ada yang menelisik propaganda untuk terjun perang itu sendiri, ada yang langsung mengajak penonton mengalami langsung suasana perang, ada yang mengeksplorasi dampak setelah perang, dan lain-lain. Intinya film-film itu akan menunjukkan betapa perang adalah sebuah horor kemanusiaan. Edward Berger dalam film perang adaptasi-novel ini, semacam menggunakan semua cara tersebut. All Quiet on the Western Front sungguh bakal jor-joran  membuat kita melihat horornya perang, dan membiarkan kita terhenyak dalam keheningan di ending, saat semua dar-der-dor dan dag-dig-dug dan asap tembakan itu hilang dari layar.

Momen yang buatku paling nohok adalah saat film actually memperlihatkan gimana para anak muda yang bersemangat jadi tentara itu sebenarnya gak tahu apa-apa, gak nyadar bahwa medan perang ternyata begitu mengerikan. Kontras antara yang mereka rasakan sebelum berangkat, dengan saat sudah berlarian diberondong peluru itulah yang buatku terasa baru di film ini. Sebagian besar dari karakter film ini ketakutan setengah mati! Kemudian emosi itu semakin menjadi-jadi tatkala kita melihat mereka sebenarnya tahu bahwa pihak lawan juga sama takut, sama tak berdaya, dan mungkin sama menyesalnya, tapi mereka tetap harus saling bunuh. Itulah yang buatku paling spesial dari film ini.

Sehingga bagian-bagian yang over-the-top kayak potongan tubuh di atas pohon, mayat-mayat dan sebagainya, teriakan dan desain musik yang agak trying too hard biar seram, terasa tidak lagi benar-benar diperlukan. Film ini sudah berhasil di momen-momen kecil yang menguarkan perasaan para pemuda di medan perang. Gimana mereka menikmati makan angsa colongan, untuk kemudian dikontraskan dengan kejadian di medan perang. Untuk film yang punya kata Quiet pada judul, narasinya sendiri agak terlalu banyak nge-generate noise yang menurutku bisa lebih diefektifkan lagi. But still, film ini tepat menembak sasarannya. Perang itu mengerikan!

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALL QUIET ON WESTERN FRONT

 

 

 

BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER Review

Kepergian Chadwick Boseman certainly ninggalin lubang menganga di hati para penggemar dan kolega-koleganya, dan ini juga tercermin pada franchise superhero yang ia tinggalkan. Lubang menganga dari kepergian karakter T’Challa sebagai protagonis di Black Panther terasa begitu susah untuk ditutup, membuat sekuel yang digarap oleh Ryan Coogler secara naratif terasa berantakan. Rewrite yang mereka lakukan buat karakter-karakter yang ditinggalkan terasa banget membekas, jadi rajutan kasar pada overall sajian filmnya.

Wakanda Forever bekerja terbaik ketika mendalami soal kematian T’Challa. Gimana dampaknya bagi Ramonda yang jadi naik tahta lagi. Bagi Shuri yang merasakan grief sekaligus menyalahkan diri sendiri atas kematian sang abang. Dan pada rakyat Wakanda lainnya. Aku pikir harusnya film menahan diri dan berkutat dulu pada masalah ini. Bikin Wakanda Forever sebagai complete tribute, bagi sang karakter, sekaligus aktornya. Tapi mungkin karena agak segan cashin’ in cerita dari real tragedi, atau mungkin karena film ini bagaimana pun juga adalah roda-gigi dari proyek yang gak bisa segampang itu diubah rancangannya, maka Wakanda juga langsung mentackle sekuel sebagai aksi superhero. Hasilnya mungkin kedua kepentingan itu masih bisa terikat, tapi menghasilkan bentukan yang weird dan terutama agak maksa bagi karakter pengganti superhero utama, si Shuri.

Durasi lebih dari dua jam setengah nyatanya gak cukup untuk bikin naskah superpadet ini rapi. Kita masih akan sering berpindah dari Shuri, ke karakter lain, membuat development Shuri jadi tidak terasa benar-benar earned. Ada aspek dari dirinya yang jadi kayak dilupakan, makanya relasi Shuri dengan Namor tidak pernah benar-benar terasa genuine. Namor pun terasa kayak penjahat random yang aksinya gak benar-benar fit in ke dalam narasi keseluruhan, rencananya terlihat aneh. There’s so much going on. Makanya aku lebih suka Quantumania yang lebih contained dan terarah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BLACK PANTHER: WAKANDA FOREVER

 

 

 

ELVIS Review

Yang unik dari biografi karya Baz Luhrman ini – selain karakter titularnya yang punya aksi nyentrik di panggung – adalah perspektif cerita. Kita tidak melihat cerita ini dari si Elvis himself, melainkan dari seorang Colonel Tom Parker. Manager sang Raja Rock ‘n Roll. Dan meskipun itu jadi modal film ini untuk bisa langsung netapin motivasi karakter itu sebagai penggerak cerita, dalam perkembangannya perspektif itu tidak pernah benar-benar jadi utama melainkan hanya terasa jadi excuse supaya cerita bisa ‘melayang’ dari satu titik di kehidupan dan karir Elvis ke titik lainnya, tanpa benar-benar mendalami kehidupan itu sendiri.

Padahal Austin Butler sudah benar-benar ‘serius’ menjelma jadi Elvis. Gaya bicara, mannerism, bahkan dandanannya terlihat lebih natural dan inviting ketimbang riasan over yang malah seringkali nutupin kecemerlangan akting Tom Hanks. Tapi film lebih memilih untuk merayakan teknis yang artifisial. Permainan montase dan editing terasa terlalu banyak, dan at times lebih glamor daripada gimana subjek (atau di sini jadi objek?) diperlihatkan oleh ceritanya sendiri. Permasalahan di karir seperti di-cancel TV karena aksi panggung yang seloroh, pandangan rasis waktu periode itu, dan lain sebagainya, tidak terasa benar-benar punya penyelesaian yang saklek. Hubungan naik-turun antara Elvis dan Colonel pun – karena ini supposedly cerita dari Colonel – tidak begitu memuaskan meskipun kita sudah berhasil tersedot untuk peduli.

Tapi di balik confused-nya diriku terhadap penceritaan dan fokus film ini, toh tak bisa dipungkiri juga film ini jadi punya energi luar biasa nyetrum. Dan mungkin inilah tujuannya. Membuat suatu presentasi yang seperti punya ruh Elvis itu sendiri. Sehingga ketika penonton menyaksikannya, film ini lebih dari sekadar menuturkan ulang kisah hidup si Bintang. Melainkan live-and-breath his personality.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ELVIS

 




INFINITY POOL Review

Nama Cronenberg memang tidak akan mengkhianati ekspektasi kita, karena Infinity Pool karya Brandon Cronenberg mungkin memang enggak se-jijik film bokapnya, tapi tetaplah sebuah pengalaman horor yang bikin badan jumpalitan saking aneh dan nekat konsepnya.

Film ini dimulai dengan premis yang sangat menarik. Penulis dan istrinya liburan di resort, mereka kemudian berteman dengan sesama turis, mereka have fun together, lalu uh-oh mobil mereka gak sengaja menabrak orang lokal hingga tewas. Si penulis, yang nyetir, dihukum mati oleh polisi setempat. Nah, hukuman matinya itulah tempat kegilaan konsep Brandon berada.  Ada sesuatu soal kelas sosial yang ingin dibicarakan di sini. Daerah turis yang melihat wisatawan sebagai kantong duit, dan turis yang merasa punya duit berarti bebas melakukan apapun; interaksi itulah yang membentuk konsep aneh cerita film ini.

Jadi aku menunggu. Nunggin buah apa yang bakal kita petik dari Penulis dan teman-teman kayanya sengaja berbuat onar karena mereka punya duit untuk membayar program clone.  Jadi yang dihukum mati adalah clone mereka, sementara mereka sendiri bebas ngelakuin apa saja termasuk kriminal. Tapi ternyata loop yang dimaksud pada judul, memang hanya repetisi. Dengan cepat keseruan tindak mereka jadi datar ketika tidak ada ujung, tidak ada konsekuensi nyata. Film kayak pengen bahas drama dari eksistensi, like, siapa tau si Penulis yang asli justru sudah mati – ketuker ama kloningan. Tapi enggak. Pengen bahas konflik antara Penulis dengan istrinya, juga enggak pernah benar-benar ke arah sana. Pada akhirnya yang kunikmati bahkan bukan gore-nya, namun kegilaan Mia Goth sebagai Gabi yang ternyata jauh lebih sinister dari kelihatannya. Calon adegan favorit tuh, Mia Goth teriak-teriak di babak ketiga hihihi

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for INFINITY POOL

 

 

 

NOKTAH MERAH PERKAWINAN Review

Film yang paling banyak direkues nih, untuk diulas. Tapi aku baru bisa menontonnya saat tayang di Netflix. Dan I’m sorry to say, karya Sabrina Rochelle Kalangie ini might be jadi runner up kalo akhir tahun kemaren aku jadi publish daftar Top-8 Film Paling Overrated 2022

Kita udah bahas gimana Aftersun dan Elvis melakukan sesuatu dengan cara berceritanya sehingga film itu jadi terangkat jadi something else. Aftersun menjadi lebih emosional dan genuine, sedangkan Elvis jadi punya perspektif unik sebagai landasan narasi. Noktah Merah juga berusaha membuat nature datar dari cerita rumah tangga yang sus ada perselingkuhan punya spark, dengan sedikit ‘mengacak’ perspektif. Tapi strukturnya itu tidak berbuah apa-apa selain perspektif yang aneh (kalo gak mau dibilang kacau). Film ini narasinya dibuka oleh karakter ‘pelakor’. Seolah dia karakter utama. Dia curhat kepada karakter lain soal dia cinta sama pria yang beristri, tapi yang kita lihat sebagai ‘cerita’ dari dia itu tidak pernah mewakili perspektifnya. Kita melihat drama biasa, yang actually di luar perspektif sang karakter. Cerita ini lebih cocok kalo membuat sang istri jadi karakter utama, jika perspektif istri yang jadi utama. Karena semua masalah itu sepertinya ada di kepala karakter ini. Walaupun nanti si pelakor dan istri bertemu, tapi perspektif para karakter ini gak pernah melingkar, karena cerita resolve (tau-tau) dari persoalan anak. Naskah film ini jadi benar-benar choppy setelah usaha untuk membuat penceritaannya bergaya.

Momen emosional film pun hanya bersandar pada dialog-dialog banal istri dan suami yang saling meledak. Sementara untuk momen-momen yang ‘diam’, yang diserahkan kepada kita untuk merasakan masalah atau emosi, film ini gak benar-benar punya. Karena dengan perspektif yang gak kuat, momen-momen tuduhan istri atau momen yang bisa jadi-masalah, ya hanya terlihat seperti kekeraskepalaan sang istri, atau suami yang ‘melarikan diri’. Momen-momen yang mestinya genuine feeling itu jadi hanya annoying.

The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for NOKTAH MERAH PERKAWINAN

 

 

 

THE WHALE Review

The Whale is beautiful. Sedih, sih, memang. Tapi beautiful, Aku jeles. See, aku orangnya masa bodo dan sering dikatain hidup di dunia sendiri, jadi iri adalah satu rasa yang paling gak relate buatku, tapi ya, aku berhasil dibuat Darren Aronofsky merasa iri kepada Charlie, pria yang really let himself go sampai membahayakan dirinya sendiri.

Aku iri karena Charlie masih bisa begitu optimis kepada orang lain, meskipun dirinya telah menyerah kepada dirinya sendiri. Loh? Iya, di situlah kompleksnya cerita film ini. Aku ingin seperti Charlie yang percaya bahwa masih ada cinta dan kepedulian pada semua orang, bahwa people incapable of not caring. Mereka cuma harus jujur kepada diri sendiri. Dan kepercayaan Charlie tersebut benar. Man, aku hampir nangis di ending. The Whale bukanlah cerita tentang orang yang gendut kemudian meratapi nasibnya. Justru sebaliknya, film ini adalah tentang orang yang sudah tahu dirinya tak tertolong, tapi dia percaya cinta itu ada, dan mencoba menolong orang-orang terdekatnya untuk menemukan hati mereka. Makanya karakter Charlie ini begitu kontras. Di kala sendiri kita melihat his destructive behavior terhadap diri sendiri, makan segitu banyak sampai jantungnya berontak. Gak mau ke dokter karena dia nyimpan duit untuk putrinya. Yang grew up membenci dirinya. Ada begitu banyak adegan yang hard to watch, hingga ke perilaku putri Charlie (Sadie Sink sukses jadi anak paling nyakitin sedunia akhirat) Tapi film bersikukuh untuk kita melihat Charlie tanpa belas kasihan, melihat Charlie menyerap itu semua sebagai hukuman diri, dan menumpahkan cintanya di balik itu semua. Tanpa harap kembali. Itulah bentuk dia dealing with grief dan rasa bersalahnya.

Drama di satu tempat tertutup, with nothing but dialog dan raw emotions. Ini adalah cerita seorang pria yang nothing to lose, melainkan punya banyak untuk dibagi kepada dunia yang bahkan terlalu jijik untuk memandangnya. Brendan Fraser juara banget di sini, kalo bukan karena persona dan pemahamannya terhadap Charlie, karakter dan film ini gak bakalan worked seindah – dan semenyedihkan – ini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE WHALE

 

 

 

WOMEN TALKING Review

Sebagai nominasi Best Picture Oscar, Women Talking karya Sarah Polley memang benar bicara tentang hal yang relevan, dengan cara yang menggugah pikiran dan hati kita sekaligus. Mengenai perjuangan perempuan, yang masih saja terus seperti berada di posisi jahiliyah di mata kuasa lelaki. Untuk itu saja, film ini mampu bikin kita tetap melek, pasang telinga, menyimak apa yang mereka permasalahkan. Untuk ikut mencari apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ikut peduli sama masalah ini, lebih dari soal feminis tapi jadi soal kemanusiaan pada dasarnya.

Perempuan-perempuan dalam film ini berembuk setelah sekali lagi, salah satu dari mereka terbangun dalam keadaan sudah tak-perawan. Dibius pake obat bius sapi. Diperkosa oleh laki-laki, sekampung sendiri. Para perempuan itu mendiskusikan apakah mereka akan tetap tinggal di koloni, dan berontak melawan. Atau pergi dari sana. Sebagian besar durasi film yang warna dan settingnya juga dibikin kayak kisah jadul ini membahas tentang debat para perempuan, mikirin pro dan con dari dua pilihan tersebut. Dan demi Tuhan – oh aku bakal dirujak ngatain ini – film ini jadi boring karenanya. Debat mereka repetitif, dan terasa seperti percakapan yang mengawang-awang ketimbang solving problem.

If anything, aku teringat dan jadi membandingkan ini sama 12 Angry Men (1957). Yang kayaknya kukasih 8 atau bahkan 9 kalo mau direview. Percakapan pada film itu terasa benar-benar lock dan punya weight dan pada gilirannya emosional untuk disimak, karena ironisnya punya dasar logika yang kuat. Orang bilang cowok naturally lebih pakai logika ketimbang perasaan, but no, justru masalah di cerita itu muncul ketika para juri pria itu mendakwa tersangka dengan perasaan. Prasangka. Dengan judgmental. Mereka, para cowok, juga harus belajar melihat dengan logika. Dan di situlah letak mengawang-awangnya Women Talking. Argumen-argumen mereka terasa seperti perbincangan logis yang diputar-putar oleh perasaan. Sehingga masalah itu enggak selesai-selesai. Mungkin memang itu tujuannya. Memperlihatkan bahwa bagi wanita, semuanya susah, apa-apa pasti dijudge, bahkan di antara mereka sendiri. Di sini protagonisnya karakter optimis juga kayak Charlie di The Whale, dia dihamili tapi masih percaya pada potensi dia akan memaafkan sang pelaku, siapapun itu. Sehingga keputusan yang mereka ambil dari sikap-sikap kayak gini jadi terasa emosional dan penting.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WOMEN TALKING

 

 




That’s all we have for now

Dengan ini semua film nominasi Best Picture Oscar sudah kureview, silakan follow akun twitterku di @aryaapepe karena biasanya menjelang Oscar aku suka bikin prediksi di sana hehehe

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MISSING Review

 

“Parents make mistakes not because they don’t care, but because they care so deeply”

 

 

Ada yang hilang pada modern thriller, yang kebanyakan menjodohkan protagonis dengan antagonis yang didesain saklek sebagai perwujudan rintangan atau pembelajaran. Suspens dari kehilangan kendali atas hal yang familiar – atas hal keseharian. Ketegangan ketika tokoh utama bahkan tidak yakin pada apa yang sebenarnya terjadi. Saat ketidaktahuan jadi lawan terberat, sehingga membuatnya lantas berpikir ‘mungkin aku yang jahat’. Duo sutradara Nicholas D. Johnson dan Will Merrick menemukan ‘missing ingredient‘ tersebut, dan memasukkannya semaksimal mungkin dalam sekuel-lepas dari Searching (2018) yang mereka garap. Missing  di tangan mereka masih dalam formula yang sama dengan Searching, masih seputar mencari keluarga yang hilang lewat penyelidikian melalui dunia maya, tapi drama kehilangan tersebut terasa lebih ngena. Misterinya terasa lebih grounded, terutama buat anak muda yang menonton. Karena sekarang perilaku di internet dan hubungan dengan orangtua langsung dijadikan sebagai perspektif utama.

Yea, tentu saja seperti film pendahulunya, Missing juga merupakan thriller dengan gimmick. That’s the identity. Ciri khas yang dipertahankan. Film ini sepenuhnya bercerita lewat layar komputer atau gadget. Semua interaksi karakter kita lihat dari chat, rekaman video, video call, dan sebagainya yang terhampar di layar. Tapi baik Missing, ataupun Searching, punya drama yang kuat untuk ngeback up gimmick yang mereka pakai. Drama keluarga yang juga membuat misteri dalam cerita jadi berbobot dan kita pedulikan. Dalam Missing yang jadi sorotan adalah hubungan cewek remaja – yang sudah mau delapan-belas tahun – dengan ibu yang membesarkan dirinya seorang diri sejak ayah gak ada. Si June ini (Storm Reid on her star-making performance) bakal ditinggal beberapa hari di rumah, ibunya pergi liburan ke Kolombia bareng Kevin, pria yang jadi pacar baru ibunya. Di Kolombia itulah si ibu dan Kevin menghilang. Keberadaan mereka berdua seperti hilang begitu saja. Tinggal June yang mati-matian mencari ibu lewat jejak-jejak digital selama liburan. June go deep, meretas akun, menyewa jasa online, dan sebagainya sampai-sampai dia menemukan kenyataan bahwa, bukan hanya Kevin – tapi juga ibunya sendiri – punya rahasia kelam di masa lalu mereka. Rahasia yang besar kemungkinan jadi kunci misteri menyedihkan ini.

Cewek kalo udah jadi detektif online, memang seng ada lawan!

 

Naskah juga menelisik sama dalamnya dengan usaha June mencari keberadaan sang ibu. Peristiwa ibu hilang itu baru kejadian sebagai plot poin pertama, yang artinya film meluangkan waktu sekitar setengah jam untuk melandaskan dulu bagaimana hubungan June dengan ibunya. Akar yang kuat itulah yang nanti membuat misteri ini jadi terasa nyesek, lebih dari twist-twist yang terjadi. Itu jugalah yang membuat June dan ibunya jadi terasa seperti orang beneran; problem mereka kita mengerti, relationship mereka terasa real, membuat masalah keluarga mereka jadi penting untuk disimak. Karena mungkin kita juga ngalamin problem yang sama. Anak yang tak dekat dengan ibunya, anak yang merasa ibu tidak berduka seperti dirinya berduka terhadap sosok ayah. See, June diceritakan memang masih kangen berat sama ayahnya. Video masa kecil yang diputar sebagai adegan pembuka itu benar-benar efektif ngeset begitu banyak hal penting dalam narasi dan karakterisasi para lakon. Sehingga kita maklum kenapa June jadi sinis sama ibunya yang malah punya pacar baru. Kalo cuma dibaca dari sini, memang kesannya kayak set up biasa. Itulah sebabnya kenapa kita enggak baca review dulu sebelum nonton, karena bagi yang udah nonton, pasti langsung kebayang betapa amazingnya film ini menceritakan itu semua. Gimmick layar laptop atau komputer menciptakan semacam keterbatasan ruang gerak bagi karakter, tapi film ini selalu menemukan cara untuk menambah layer percakapan atau interaksi karakter lewat bagaimana sosmed dan interaksi digital bekerja.

Momen-momen seperti June pura-pura ngetik pesan ibunya (padahal dia cuma ngasal aja ngetik huruf – malah sempat ngumpat pake ‘stfu’ segala), June ngechat teman diam-diam sambil ngobrol, atau ketika June cuma balas ‘I love you’ dari ibunya dengan acungan like; momen-momen tersebut berhasil bicara banyak tentang karakter dan hubungan mereka – sama efektifnya dengan kalo film melakukannya dengan dialog seperti biasa. Itu semua belum apa-apa, dibanding ketika nanti sudah sampai pada bagian pemecahan misteri. Usaha yang dilakukan June lewat komunikasi yang terbatas pada apa yang bisa dilakukan teknologi (yang ternyata bisa mengungkap banyak hal jika kita ‘bijak’ menggunakan internet!) terasa banget seperti step-step natural pengembangan naskah. Sementara juga stay relate karena kita bisa melihat kita bakal melakukan hal yang sama dengan June yang gak langsung bisa. Yang ragu-ragu. Yang salah ngetik dan nebak password. Naskah benar-benar firing all cylinders. Stake terus dinaikin dari mepetnya waktu, terbatasnya bahasa, terbatasnya duit. Misteri pun semakin membesar karena si June bukannya dapat jawaban, tapi justru semakin dia mengungkap hal semakin banyak pula pertanyaan baru yang menghadang. Hebatnya film gak kehilangan pegangan. Tema dan perspektif karakter tetap dikobarkan. Kita akan melihat dalam pencariannya, June jadi berteman dengan beberapa orang, yang actually penting untuk pembelajaran karakternya.

Sebagai anak, kita seringkali merasa dipaksa menelan anggapan bahwa orangtua selalu benar. Bahwa orangtua always knows best. Sehingga meskipun kita tau itu tidak benar, tapi toh kepercayaan bahwa orangtua bakal selalu ada – bakal selalu got our back – tetap terpatri di dalam diri. Inilah yang dijadikan konflik oleh film ketika June mulai dihantui ‘gagasan’ bahwa bisa jadi orangtuanya melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya. Dan bahwa sikap dirinya yang jadi penyebab ibunya pergi. Ketika seorang anak, dirundung oleh berbagai emosi yang bersumber dari mereka menyadari tidak cukup mengappreciate orangtuanya, di situlah cerita film ini bersinar.  

 

Film seperti ngetackle dua permasalahan sekaligus. Masalah anak dan ibu tadi. Serta masalah yang lebih universal, seperti gimana dalam suatu kasus yang telah jadi viral, kita seringkali lupa akan masalah awal. Gimana biasanya publik malah menyorot perempuan, lebih banyak ketimbang laki-laki. Bahkan bisa sampai jadi pihak perempuan yang sebenarnya korban lah yang lebih diantagoniskan. Sama seperti ketika membahas anak-dan-orangtua, ketika membahas internet, film ini juga berimbang. Dia memperlihatkan bukan saja internet bisa berdampak buruk, tapi juga memperlihatkan bahwa internet jadi cara June untuk menyelesaikan masalah. Semua kembali kepada pemakai, bagaimana mereka menggunakan teknologi tersebut.

Next film bisa dikasih judul ‘Stalking’, isinya liatin layar laptop orang refresh-refresh instagram mantannya seharian

 

Mengawal gimmick yang secara natural membatasi (salah-salah film kayak gini malah cuma bikin kita full bacain chat WA di layar doang) untuk bisa mampu membahas banyak dan menghantarkan karakterisasi, sementara juga memuat misteri yang semakin menarik dan membesar, kita memang harus angkat topi sama pembuatnya. Enggak gampang bercerita dengan desain seperti ini. Sama para pemain juga, supaya emosinya nyampe, mereka dituntut permainan ekspresi yang benar-benar harus maksimal. Teknis dan desain produksi itu mengangkat film ini. Walaupun Missing, seperti Searching, memang tidak total hadir natural. Like, percakapan atau hal penting di layar komputer itu kerap di-zoom supaya kita tahu ke mana harus melihat alih-alih membiarkan kita melihat sendiri yang terjadi. Itu, dan film seperti struggling harus nampilin layar komputer sehingga beberapa adegan kehilangan perspektif (like why tau-tau kita nontonin cctv tempat publik) actually adalah kritikanku waktu review film Searching. Film Missing, however, walau masih begitu tapi seenggaknya kali ini layar komputer itu lebih dimasukkan ke dalam bangunan narasi dan misteri. Kita melihat banyak aplikasi, dari layar,  dan sekarang ‘dari layar siapa itu semua dilihat’ benar-benar jadi penentu dalam narasi. Kayak di awal, rekaman yang ternyata kita lihat dari layar ibunya – bukan dari layar June – menambah banyak untuk pemahaman dan karakterisasi. Dengan kata lain, dalam Missing, layar-layar itu bukan saja untuk meihat ‘apa yang terjadi’ saja, tapi juga soal siapa yang sebenarnya sedang melihat itu. Ini bikin film ini jadi lebih intens, dan bahkan punya replay/rewatch value yang lebih gede lagi.

Keterbatasan gimmick yang masih belum bisa sepenuhnya dihindari adalah soal timing. Soal pace. Kaitannya dengan lingering emotion. Missing yang semua adegannya adalah tampilan dari desktop komputer atau layar gadget tentu saja tidak bisa menampilkan momen-momen karakter di luar komputer mereka. Jadi momen-momen ketika karakter matiin layar, untuk menghayati perasaan emosional yang menggelayuti mereka, kita gak dapat turut merasakan itu dengan maksimal.  Kita hanya ‘on’ saat investigasi dan aksi-aksi memecahkan misteri, karena saat itulah mereka juga online. Jadi yang full kita rasakan justru momen-momen shocking revealing demi revealing, yang bikin film jadi seru in the moment itu saja. Babak ketiga yang paling terasa film membesar nyaris liar. Tidak banyak waktu bagi kita untuk meresapi ada apa sebenarnya, meresapi karakter yang tau-tau ada. Tidak banyak waktu untuk kita second guessing plot, padahal ada satu-dua hal bagiku yang masih agak ‘aneh’. Kayak kenapa cuma nama ibunya yang diubah oleh program perlindungan, kenapa nama June yang masih kecil itu tetap. Apa tidak berbahaya. Buatku di babak ketiga film hampir jadi terasa generik dan mulai sembrono. Tapi tak bisa dipungkiri, agak terselamatkan, oleh babak set up yang memang telah membangun pondasi untuk ke sana dengan nicely. Sehingga kalo mau melingkar, ya, memang harus begitu. Meskipun membuat film jadi lebih ke arah untuk shocking saja.

 




Aku aslinya kurang suka nutup tulisan dengan ‘Tapi overall…”, tapi kayaknya ku sudah kehabisan napas untuk berkata-kata. Jadi yah, tapi overall, aku lebih suka film kedua ini ketimbang yang pertama. Walaupun secara bobot kedua film ini sama kuat membahas masalah kerenggangan hubungan orangtua dan anak di era modern dibungkus dalam bingkisan misteri. Keduanya sama-sama jago dalam membangun suspens, membuat hal menjadi lebih besar dan terus membesar dengan cara bercerita atau pengungkapan yang menarik.  Napasnya juga sebenarnya mirip. Cuma yang bikin aku sedikit lebih suka adalah; film yang kedua ini terasa lebih matang aja dalam menghandle gimmick layar komputernya. Sehingga di film ini perspektif karakter terasa lebih matang juga. Kita gak hanya ikut melihat apa yang terjadi. Tapi ada layer yang intens dari ‘siapa yang sedang melihat’. Replay value film ini pun jadi tinggi banget. Duality pada judul pun jadi terasa semakin ‘nyata’. Kehilangan seseorang bisa jadi rindu, juga bisa jadi sesuatu yang bermakna lebih mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSING

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian internet bisa digunakan oleh setiap orang untuk melacak hidup seseorang itu adalah hal yang mengerikan? atau sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PARA BETINA PENGIKUT IBLIS Review

 

“Once you shake hands with the devil, you have to accept they are in control”

 

 

Mawar Eva main dua film horor dalam rentang dua bulan, buatku tetap merupakan bagian dari kejutan perfilman di awal tahun 2023. Meskipun dari dua filmnya tersebut belum ada yang benar-benar work out perfectly. Tapi setidaknya Puisi Cinta yang Membunuh yang tayang bulan lalu itu, masih layak buat dimasukin ke museum karena punya sisi artistik yang lumayan. Tidak demikian dengan film Mawar kali ini, Para Betina Pengikut Iblis, yang baiknya segera ia kubur saja sedalam-dalamnya di tanah di tengah hutan. Karena film karya Rako Prijanto yang dijual sebagai film sadis ini, nyatanya lebih tepat disebut sebagai film komedi. Yang tak lucu. Yang setiap adegannya lebih konyol daripada adegan sebelumnya. Sebelum rilis, film ini sempat diributin perkara pemilihan kata ‘betina’ yang dianggap degrading bagi perempuan. Dan setelah akhirnya menonton filmnya, percayalah, jangankan perempuan, iblis saja bakal merasa malu dan terhina nonton kaumnya digambarkan oleh film ini!

Para Betina Pengikut Iblis punya ambisi untuk jadi cerita yang thought-provoking – yang menantang pikiran – dengan menghadirkan protagonis anti-hero. As in, simpatik tapi ngelakuin hal yang benar-benar salah secara moral. Karakter yang diperanin Mawar, si Sumi, misalnya, Cewek yang ingin ke kota, mencari ibu yang katanya ninggalin keluarga mereka. Tapi Sumi tidak bisa ke mana-mana, dia harus mengurus ayahnya yang sakit. Suasana rumah tradisional mereka di hutan itu memang jadi gak enak banget. Ayah yang terus ngeluh kesakitan (sebelah kakinya diamputasi dan lukanya gak kering-kering, btw) dan minta diurusin oleh Sumi bikin Sumi makin stress. Itulah yang bikin Iblis dengan senang hati datang kepada Sumi. Menawarkan Sumi cara untuk provide for her father. Bagaimana rencana si Iblis nyuruh Sumi bikin warung gule dengan bahan daging manusia itu bisa bikin Sumi percaya dirinya bisa segera ke kota, ataupun bisa mendatangkan manfaat untuk si Iblis sendiri, kita gak pernah tahu. Karena naskah dengan segera jadi berserak-serak membahas hal yang semakin di luar perspektif karakter dan di luar nalar kita. Somehow, cerita juga membahas soal Sari yang bersekutu dengan Iblis demi mencari pembunuh adiknya, dan soal Asih yang mungkin saking jelek make upnya jadi muncul dengan kain nutupin wajah.

Disuruh nyariin dokter, si Sumi sempat-sempatnya bobo cantik mimpiin Iblis

 

Aku pikir film ini simply kenak kasus ‘bite more than it can chew’. Disangkanya bikin cerita anti-hero saat protagonis gak punya pilihan lain selain ‘bersalaman’ dengan iblis itu gampang.  Cukup dengan masukin pembunuhan sadis, kata-kata kasar, tempatkan mereka di lingkungan terpencil, masukin dukun-dukunan dan ‘twist’ biar seru. Film ini sama sekali tidak memikirkan soal dilema moral yang harus dilalui karakternya, bagaimana mereka berpikir, bagaimana suatu kejadian berpengaruh kepada mereka. Enggak ada tuh, percakapan berbobot relasi Sumi dan ayahnya. Film ini pengen menghadirkan horor dengan materi dewasa yang lebih menantang pikiran, namun sendirinya tampil dengan sangat amat simplistik sehingga malah kayak ditulis oleh anak kecil yang lagi maen bunuh-bunuhan, untuk ditonton oleh anak kecil juga. Anak kecil yang belum tahu seluk beluk pikiran dan moral manusia dewasa. Sekali lagi aku jadi ngerasa sistem klasifikasi tontonan alias rating bioskop kita cuma dipakai untuk jualan. Supaya film-film bisa jadiin ‘rating dewasa’ dan kesadisan itu sebagai penarik minat remaja untuk menonton. Apalagi bioskop juga tidak pernah tegas mengatur penonton sesuai usia tontonan. Rating dewasa bukan dibuat film untuk bercerita atau membahas masalah yang problematik dengan lebih dalam. Kayak pas nonton The Doll 3 aja, kupikir ratingnya dewasa karena bakal membahas agak dalam soal bunuh diri pada anak (diceritakan sang adik bunuh diri karena ‘cemburu’ kakaknya mau nikah), tapi enggak, ujung-ujungnya ya hanya supaya adegan mati dan sadisnya bisa lebih seru aja. Film Para Betina Pengikut Iblis ini pun mengekor seperti itu, malah lebih parah. Dilema moral, setting komunitas terpencil, bahkan subtext agama dan kelas sosial gak berbuah apa-apa di cerita yang padahal punya ruang untuk membahas itu semua.

Menulis itu susah. Kita harus menyelam ke kepala karakter yang kita bikin. Nyiptain karakter jahat, unhinged, sinting gak bisa dengan modal nonton dan niruin karakter Joker doang. Ketika karakter kita gak dikasih groundwork dan segala macemnya, jadilah hanya kayak sok asik gajelas doang. Karakter dalam Para Betina Pengikut Iblis semuanya gini. Kecuali mungkin si Sumi pas di awal-awal. Ada sedikit build up dia tertarik sama darah, atau sama tindak pemotongan kambing. Mawar, being a good actor she is, di awal itu masih mampu menerjemahkan yang dirasakan karakternya lewat permainan ekspresi. Selebihnya, yang lain gak diselami karakternya. Mereka cuma disuruh berakting over-the-top, senyum-senyum dan melotot gila ke kamera.  Yang tadinya didesain seolah karakter baik, ternyata aslinya jahat, pas keungkap langsung pembawaan karakternya dibanting 180 derajat jadi banyak bicara dan sok asik. Beneran ngakak sendiri aku nontonin mereka. Yang paling parah ya karakter si Iblis. Pake jubah, badan putih, mata merah – udah kayak Palpatin versi cosplay perempatan alun-alun, joget-joget slow di pinggir danau, ketawa nyaring kayak campuran Joker Jared Leto dan nenek sihir, puncaknya dia teriak pake dua-suara ngucapin words cepet-cepet sampai gak kedengeran ngomong apa. Kalo di Indonesia ada Razzie Awards, Adipati Dolken sebagai Iblis kudu banget masuk nominasi di kategori pemeranan! Karakter ini gak punya apa-apa. Seram enggak, menarik enggak. Kita gak tahu motivasinya apa, ujung plannya juga gak jelas. Alih-alih sebagai karakter, Iblis di sini lebih tepat kayak sosok perpanjangan dari yang tertulis di naskah. Kejadian-kejadian gak nalar yang ada di naskah itu jadi bisa terjadi karena tinggal dianggap sebagai permainan dari si Iblis.

Setan dan iblis adalah musuh manusia yang nyata. Gak ada keraguan soal itu, mereka ada buat jerumuskan manusia. Jadi bayangkan ketika kata-kata iblis jadi satu-satunya yang bisa dipegang. Ketika tawaran iblis jadi satu-satunya jalan keluar. Para karakter perempuan di cerita ini berada di dunia yang seperti itu, betapa naasnya!

 

Jadi pada dasarnya, kita harus tahu apa yang kita tulis. Atau paling enggak, kita harus mau tahu pada apa yang bakal kita tulis. Film ini, enggak tahu dan gak mau tahu apa yang mereka hadirkan. Dikiranya kita semua bego, kali. Dikiranya, kita semua anak kecil yang gak bakal ngikik ketika lihat di rumah tradisional yang penerangannya aja masih pake lampu minyak itu, ada freezer daging! Oke, mungkin masih bisa dimaklumi film ini gak paham nulisin psikologi atau pemikiran karakter seperti Sumi, Iblis, dan lainnya. Karena memang itu sesungguhnya butuh studi yang gak sebentar. Minimal ‘riset’. Tapi lah masak iya, film ini gak paham juga saat nulisin perkara di lingkungan hidup karakter itu gak ada listrik sehingga mustahil bisa ada freezer gede! Like, come-on yang nulis lagi ngelindur apa begimane!?? Freezer terkutuk itu muncul sedari awal loh, dan berperan gede di sepanjang cerita, karena Sumi nyimpan bahan baku gule nya (alias mayat-mayat!) di dalam situ. Jadi sedari awal, bangunan cerita film ini sudah runtuh. Gak ada logika-cerita yang bisa kita pegang. Make-up, akting, dan efek-efek buruk itu semakin gak jadi soal karena film ini sudah ambruk bahkan sebelum fully berdiri.

Ayahnya Sumi bukannya takut ngeliat freezer, tapi heran ‘lu dapet listrik dari mana, Nduk?’

 

If anything, film ini sebenarnya telah mengeset tone konyol saat lihatin freezer di sepuluh menit pertama itu. Harusnya film embrace saja kekonyolan dan jadi horor-komedi receh. Mungkin bisa dibikin bahwa freezer itu ‘hadiah’ dari si Iblis, mungkin dia merayu Sumi dengan teknologi, kekayaan, atau semacamnya. Aku akan lebih senang hati nonton horor yang memang diniatkan sebagai seni absurd ketimbang film yang pengen serius tapi gak nyampe. Dan memang seperti itulah Para Betina Pengikut Iblis ini. Benar-benar take himself very seriously. Benar-benar menganggap dirinya si paling seram dan si paling sadis. Padahal konyol. Adegan potong-potong berdarahnya memang bisa bikin berjengit, tapi dengan konteks yang udah ngaco seperti tadi,  ya film ini gak menghasilkan kesan horor apa-apa. Setiap si Iblis berdialog, kita tertawa lihat betapa konyolnya Adipati di balik jubah dan riasan itu. Ngeliat si Sari main dukun dan detektifan, kita meringis-ringis berkat betapa cringe-nya semua terasa. Ngeliat Sumi? Ya jadinya sedih aja; Mawar berusaha sekuat tenaga, namun bahkan penampilan aktingnya gak bisa tampak konsisten karena film ini gak punya arahan dan penulisan yang mumpuni.

 




Yang paling lucu adalah, film dengan pedenya mejeng tulisan ‘to be continued’ di title card akhir. Yang berarti film ini dengan bangganya ngasih tahu bahwa ‘keajaiban sinematik’ (ajaib, as in kok bisa yang kayak gini lulus jadi film?) yang baru kita survived ini adalah origin dari petualangan-petualangan berikutnya! Wow, hahaha, udah ditonton sampe abis aja mestinya bersyukur banget. Namun itulah kebanyakan film jaman sekarang, Cuma produk. Mereka gak jor-joran bercerita  karena semuanya harus ada sekuel. Semuanya harus jadi IP. Film pertama ini jelek, mereka tinggal bilang kelanjutannya nanti lebih bagus. Kita dan para pemainnya jadi kayak beneran udah kontrak dengan iblis, no way to get out, karena makin banyak film yang ‘kelakuannya’ kayak gini. Film ini hanya film kedua (pertamanya remake Bayi Ajaib yang belum kutonton) dari proyek Falcon Black, whatever that is, dan ini bukan permulaan yang bagus. Kalo dipertahankan, masa depan horor bakal suram. Horor bukan sekadar soal sadis-sadisan, serem-sereman, cerita tetap yang nomor satu. Kita harus tegas bilang film yang logikanya asal-asalan kayak gini harusnya jangan lagi dikasih tempat. jangan kasih mereka power, seperti Sumi membiarkan hidupnya disetir Iblis. Film ini, seram enggak, menghibur pun kagak. Cuma ya dibawa ketawa aja biar gak kerasa amat ruginya. Kasiaaan deh, kita!
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for PARA BETINA PENGIKUT IBLIS

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang sistem klasifikasi umur yang malah kayak dijadikan bahan promosi/jualan oleh film?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA Review

 

“It’s a small world after all”

 

 

Phase kelima dari Marvel Cinematic Universe dibuka oleh petualangan Ant-Man yang feels a lot like a Sunday-morning cartoon adventure episode. Petualangan keluarga di dunia yang… sedikit lebih grounded ketimbang multiverse, tapi toh tetap fantastis juga. Dunia yang diperkenalkan sutradara Peyton Reed di sini adalah dunia kuantum, dunia-kecil di dalam semesta. Yang konsepnya memang enggak asing dalam cerita kartun. Like, di kartun Rick & Morty kita ngelihat Rick dengan sengaja menciptakan civilization di dalam baterai mobilnya (supaya dapat energi gratis). Atau lebih mundur lagi, kita telah melihat gimana dalam salah satu episode The Simpsons, Lisa gak sengaja membuat gigi dalam larutan soda untuk science project sekolah jadi punya kehidupan manusia-mini dengan peradaban lebih maju di dalamnya. So yea, Quantumania punya resep untuk jadi wacky dan fun. Tapi tentu saja, being a Marvel movie, film ini punya keperluan untuk ngeset something yang bahkan lebih besar. Memperkenalkan Kang the Conqueror, orang yang menaklukkan begitu banyak universe, sebagai main villain Avengers nantinya. Sehingga film ini jadi starter yang cukup solid buat ke depan, namun bukan jadi cerita keluarga yang benar-benar mulus untuk dinikmati.

Padahal at heart, Quantumania bercerita tentang Scott Lang yang berusaha kembali ‘normal’ sebagai seorang ayah. Setelah semua aksi dan pertempurannya bareng Avengers, Scott Lang siap to put those all in the past, cukup dengan mencatat semua petualangannya di dalam sebuah buku. Kayak kita yang baru beres ‘survive’ dari era pandemi, Scott juga pengennya percaya semua sudah sudah kembali ke kehidupan normal. Dia lupa bahwa waktu terus berjalan. Putrinya kini sudah beranjak dewasa. Cassie (direcast jadi Kathryn Newton) tanpa sepengetahuan Scott jadi semacam aktivis, melakukan kegiatan ‘kepahlawanan’ behind his back. Bahkan momen pertama kita bertemu the-new Cassie, adalah ketika Scott disuruh menjemputnya di penjara. Di mata Scott, Cassie masih anak kecil – his little peanut – tapi toh aslinya Cassie dengan bantuan Hank berhasil membangun peternakan semut-pintar, dan mengirim sinyal ke dunia kuantum. Cassie juga bakal melakukan aksi yang gak diduga Scott, saat nanti mereka semua ‘terdampar’ di dunia kuantum dan berurusan dengan Kang. Memang, relasi antara Scott dan Cassie diikat pada konflik utama dengan Kang, oleh tema ‘jangan remehkan orang kecil’.  Karena di dunia kecil itu, Kang yang membangun dinasty, mendapat perlawanan dari rakyat yang ia taklukkan.

Oh wow, sekarang aku bisa officially bilang “twitku pernah direply ama superhero Marvel”

 

It’s a small wold, after all. Tapi bukan in sense of, dunia sempit jadi sering ketemu. Dunia kecil pada film ini merujuk pada dunia sesungguhnya penuh dengan rakyat-rakyat kecil, hal-hal kecil, yang seringkali dioverlook. Disepelekan. Kayak semut-semut, aja. Di film ini semut-semut itu memang diberikan teknologi super, tapi kita juga sering lupa bahwa semua di dunia nyata memang membangun dunia mereka sendiri dengan sistem koloni dan sebagainya. Di semesta yang tiada batas ini, kita sebenarnya juga sama kayak semut-semut itu. 

Kalo diliat-liat, Quantumania ini mirip-mirip ama Black Panther: Wakanda Forever (2022). Protagonis protege, dunia baru yang khusus (yang bukan multiverse), contained story/episode, dan tokoh jahat yang punya bala tentara. Tapi penulisan Quantumania terasa lebih koheren dibanding Wakanda Forever yang berpindah terlalu banyak dari Shuri (dan seperti kesulitan sendiri ngepush karakter ini sebagai protagonis utama) Quantumania juga punya banyak karakter, tapi perspektifnya terjaga. Narasi voice-over yang melingkar di awal dan akhir juga sukses ngasih kesan ceritanya yang menutup pada Scott Lang. Sekilas karakter ini jadi agak kurang lucu, tapi aku melihat bahwa itu karena di cerita ini karakter yang diperankan Paul Rudd ini sudah setingkat lebih dewasa. Aku juga suka gimana film ini tidak buru-buru menjadikan Cassie sebagai superhero. Dia gak langsung jago walaupun punya kostum Ant-Man. Kita melihat proses dia belajar menjadi superhero, kita melihat hal yang belum cakap ia lakukan, dan hal yang jadi strenght dirinya – yang in turn, tidak dimiliki oleh Scott. Cara film ini ngebuild up Kang sebagai calon penjahat utama Avengers ke depan juga sesistematis itu. Memperkenalkan dia awalnya sebagai pria yang tampak butuh bantuan, dan direveal sebagai siapa dia sebenarnya. Kita melihat itu bukan saja dari cerita Janet tapi juga dari gimana masyarakat di dunia kuantum berdesas-desus terhadap namanya. Kita melihat pengaruh kekuasannya dari gimana kehidupan orang kecil di dunia kuantum.

Sebagai karakter, Kang benar-benar menacing. Jonathan Majors berhasil deliver aura dan kharisma yang bikin kita percaya karakternya ini memang sepowerful dan semengerikan itu, di balik kesan awal yang tampak kayak orang baik. Dengerin aja ceramahnya soal waktu, ketika sedang mengintimidasi Scott. Relasi hero dan villain antara Scott dan Kang memang tak se’naik turun’ relasi antara Shuri dan Namor, tapi simplicity itu akhirnya work out lebih nicely. Apalagi bagi Scott di sini stake-nya adalah keselamatan putrinya, ancaman di balik negosiasi mereka jadi kontan terasa nyata. Satu lagi karakter yang mencuri perhatian di sini adalah M.O.D.O.K. Yang actually merupakan seseorang dari masa lalu Scott dan Cassie (alias dari film Ant-Man pertama) Sehingga dia dengan wujud uniknya sekarang ini bakal punya banyak interaksi menarik dengan karakter-karakter protagonis.

Ya, sebenarnya karakter-karakter superhero dan villain yang muncul di film ini menarik. Begitu juga dengan karakter di dunia kuantum dan dunia kuantum itu sendiri. Vibenya Star Wars banget. Mereka kayak alien-alien dengan desain yang unik dan konyol, dan kita menyaksikan mereka terlibat perang galaksi dengan emperor penguasa. Tapi tone alias nada film ini tidak pernah terasa benar-benar tepat dalam memuat mereka. Semuanya terasa terlalu dull, bland, terlalu beban, dan serius amat. Penonton yang ngarepin quirky khas yang biasa nongol di film Ant-Man sebelumnya akan merasa kehilangan. Dan kehilangan tersebut bakal terasa jadi missed opportunity ketika kita bisa melihat potensi fun yang semestinya dipunya oleh cerita. Dunia kuantum yang unik itu tidak tampak mengundang untuk dijelajahi. Tidak ada sense of wonder melihatnya. Dunia itu cuma… tempat. Semua ‘mekanik’ cerita di dalamnya juga tidak dibangun dengan terperinci. Singkatnya, alih-alih membuat dunia unik yang imersif, film ini kayak gak mau luangin waktu dan hanya bikin dunia itu ya, unik yang random aja.

Aku masih gak ngerti gimana minuman goo penerjemah itu bisa bekerja dua arah; membuat Scott dkk juga bisa dimengerti oleh orang kuantum.

 

Penggemar Hope (dan otomatis Evangeline Lilly) bakal dapat kecewa ekstra, karena gak begitu banyak yang dilakukan oleh The Wasp di sini. Basically dia cuma ada di sana sebagai anak Janet. Ibunya, lebih banyak dapat sorotan karena Janet, as we know it, pernah tinggal di dunia kuantum dan dia statusnya semacam figur terkenal di dunia itu. Karakter yang diperanin Michelle Pfeiffer itu memegang kunci soal siapa sebenarnya sosok Conqueror yang ditakuti para ‘kuantumers’ sehingga di sini Janet dapat porsi lebih besar. Namun sayangnya hanya sebagai ‘juru bicara’. Ya, film ini terbebani sekali oleh penjelasan-penjelasan. Memang penjelasan soal Kang jadi build up yang membuat karakter tersebut jadi semakin mencekam, hanya saja film ini tidak cuma memuat tentang Kang. Melainkan juga banyak penjelasan lain. Tentang teori dunia kuantum. Tentang senjata yang digunakan Kang. Tentang apa yang dilakukan Janet dulu saat di sana. Tentang pengaruh kejadian di sini dengan multiverse ke depan. Banyak sekali, dan film enggak bisa menemukan cara penyampaian yang enak. Karakter-karakter yang menarik itu hanya lebih banyak diam mendengarkan penjelasan, basically kayak kita yang cuma bisa manggut-manggut karena paruh awal itu beneran bergerak dari eksposisi ke pengungkapan ke eksposisi lagi. Interaksi antarkarakter itu jarang. Makanya M.O.D.O.K. bisa mencuri perhatian. Banyakan celetukan dia kok ketimbang Hope bahas masalah mereka secara personal dengan ibunya. Paruh pertama itu boring, paling sesekali kita ‘melek’ karena ada cameo ataupun sejumput aksi-aksi.

Bicara soal aksi, film ini punya sekuen final battle yang cukup epic – serangan berontak kuantumers jelata kepada pasukan Kang, also Scott jadi kayak Titan menjebol tembok pertahanan Kang – tapi karena warna yang bland (film ini bisa dibilang full CGI sehingga mereka gak mau main banyak di visual demi cost) aksi itu juga jadi gak maksimal serunya. Tidak terasa imersif. Arahan actionnya juga jadi kayak terbatas. Bakal ada adegan saat tiga superhero kita dibantu oleh bala bantuan buzze–eh salah, bala bantuan semut, dan itu adegannya ‘lurus’ aja. Mereka cuma berdiri di tengah jalur semut dan everything’s just sort of happen. Editing saat berantem juga aneh. Choppy. Kayak kalo di bioskop kita nonton film yang ada sensornya. Karakter yang abis dilempar, di frame berikut sudah ngumpul bareng karakter lain. Hal ini tentu saja mengganggu keseruan aksi, yang jelas-jelas bagian penting dari sebuah film superhero.

 

 




Buat yang nonton sekadar ingin tahu apa yang terjadi di phase kelima, siapa Kang yang bakal jadi musuh-akhir Avengers nanti, film ketiga dari Ant-Man ini kayaknya gak bakalan bermasalah. Karena kayaknya memang untuk itulah film ini dibuat. Cerita keluarga Scott Lang, petualangan mereka di dunia kuantum yang ternyata seluas itu, hanya jadi bumbu pemanis. Supaya info tadi itu ada karakternya haha.. Mungkin itu cara paling negatif untuk menggambarkan film ini. Petualangan keluarga yang terbebani oleh ambisi membangun bigger story untuk film-film berikutnya. Padahal materi cerita kali ini ya cocoknya dijadikan over-the-top kayak kartun. Dengan dunia dan karakter sewacky itu. Tapi karena justru digarap dengan banyak eksposisilah nonton film ini jadi tidak pernah total menyenangkan. Dan menurutku ini mengecewakan karena film ini sesungguhnya punya penulisan dan karakter yang koheren. Tapi ya jadi terkerdilkan oleh ‘machination storytelling’ tersebut, 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian film ini jadi pembuka phase lima yang kuat? Apa yang paling ingin kalian lihat di phase lima ke depannya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



My Dirt Sheet Awards 11: MIRROR

 

 

The Dirtys are back!!

Sejujurnya, aku gak nyangka sampai sekarang blog ini masih ada. Karena, tahun 2021 lalu, aku sudah benar-benar siap untuk pindah total ke YouTube. Bukan karena capek nulis, tapi karena males ngurusin wordpress yang semakin ribet. Itulah sebab utama kenapa tahun kemaren itu My Dirt Sheet Awards ditiadakan. Tapi untungnya, 2022 adalah tahun penyembuhan bagi banyak orang. Termasuk bagi blog ini. Aku nemuin hostingan baru, yang less-ribet, walau punya kekurangan lain. Tapi who cares? Mari rayakan kesempatan untuk bisa bikin award-awardan lagi!!

Gak bikin award setahun membuatku jadi punya banyak waktu untuk refleksi. Dari situlah tema kali ini, Mirror, berasal. Afterall, award-awardan ini memang dibuat sebagai highlight dari kejadian setahun penuh. Kaledoiskop ala My Dirt Sheet. Dan bagi yang jeli, kalian akan bisa melihat juara tahun-yang-hilang itu terpantul dalam video nominasi masing-masing kategori.

Kita sudah membuang waktu satu tahun, mari langsung saja awards ini kita mulai – ada 14 kategori, dengan nominasi yang sudah dipatok jadi delapan supaya seruuu!!

 

 

TRENDING OF THE YEAR

2022 bakal dikenang sebagai tahun dunia kembali pulih. Tahun dunia mulai kembali normal seperti sedia kala. Tapi di samping itu, tahun 2022 juga bakal diingat orang sebagai tahun ngetrennya nominasi-nominasi berikut:
1. Citayam Fashion Week
Gak mau kalah ama Paris Fashion Week, anak-anak SCBD turun ke jalan,dengan street clothes mereka dan sukses viral jadi berita di mana-mana
2. Gambar NFT
NFT adalah karya dalam bentuk aset digital. Ketika orang tahu NFT bisa menghasilkan cuan, langsung deh dirubung dan banyak yang coba bikin. Meski ga benar-benar paham sistem dan segala macamnya
3. Hacker Bjorka
Hacker Bjorka muncul sebagai salah satu reaksi dari kebijakan internet pemerintah, dan orang misterius ini langsung viral. Jelas saja, dia mengklaim punya bocoran dokumen rahasia negara dan data-data pribadi bernilai tinggi lainnya!
4. Lato-Lato
Tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek-tek… you know what, baru kepikiran harusnya aku ngasih mainan ini nominasi di Most Annoying Quote…
5. Mixue
Saking menjamurnya, gerai es krim ini sampai jadi meme di mana ada bangunan – atau bahkan ruang kosong – di situ bakal jadi tempat Mixue jualan.
6. Pesulap Merah
Viral sesuai membongkar dapur perdukunan, pesulap ini makin dikenal berkat penampilannya yang melawan pakem magician harus serba-hitam!
7. Spirit Doll
Orang Indonesia memang paling lemah sama yang namanya horor-hororan. Tren dari Thailand ini pun lantas jadi ramai karena selebriti-selebriti tanah air mulai ikut-ikutan ngasuh boneka seolah benda itu ada jiwa manusia
8. World Cup Qatar
Piala Dunia cuma empat tahun sekali. Makanya setiap perhelatannya selalu heboh. Apalagi yang sekarang ini result pertandingannya benar-benar kejutan. Terutama buat tim dari Asia

Daan, yang menurutku pantes untuk dapat The Dirty dari antara mereka semua adalaahhKapan lagi coba anak muda Indonesia punya aksi semacam ini? Aksi mereka ini ditiru, dibicarakan, bahkan mau ‘dibeli’ oleh publik figur. Tapi yang terpenting adalah mereka have fun dalam berekspresi. Sebagai generasi yang udah mulai diitung tua huhu, aku salut.

 

 

 

Berhubung tadi sudah kesebut, langsung aja kita lanjut dengan

MOST ANNOYING QUOTE

Nominasinya adalah:
1. “Ashiaaappppp!”
2. “Begitu sulit lupakan Rehan”
3. “It’s morbin time!”
4. “It’s my dream, mas!”
5. “Kamu nanyeeaaa”
6. “Kepak sayap kebhinnekaan”
7. “Saatnya menggatot”
8. “She’s/he’s a 10, but…”

Tenang, ku gak akan muterin suara mereka. Cukup tahun 2022 aja kuping berdarah mendengarnya.  Dan yang dapat The Dirty adalaaahhSudah-sudah, jangan ditanyeaaa

 

 

 

 

To keep things hyped, selanjutnya aku bakal mempersembahkan dua kategori spesial untuk awards kali ini. Dua kategori dari dunia horor. Yang sebenarnya juga adalah tribute buat bebuyutan legendaris Laurie Strode dan Michael Myers, yang di tahun 2022 telah mencapai akhir dari ketubiran mereka.

FINAL GIRL OF THE YEAR / LAURIE STRODE AWARD

Somehow film horor modern belakangan ini sering lupa pada apa yang membuat final girl layak untuk, ya survive. Jadi yang berhasil ngalahin kejahatan. Ketika kebanyakan film horor berusaha sok woke dengan salah kaprah bikin heroine-nya segala benar dan terlalu kuat, para nominasi ini merupakan final girl tradisional dengan sudut pandang modern, yang benar-benar berjuang babak belur demi mengalahkan demon atau lawan mereka
1. Emerald, dalam film Nope
Relasinya dengan sang abang jadi hati pada cerita. Dan lagi, siapa yang gak bersorak saat Emerald pasang aksi sepeda motor ala Akira?
2. Maxine, dalam film X
Gak setiap hari kita dapat film yang protagonisnya adalah bintang film dewasa. But this girl has dream, dan gunain mimpi itu sebagai semangat untuk survive dari kegilaan di rumah peternakan
3. Naru, dalam film Prey
Selalu diremehkan oleh teman-teman cowok sesuku, Naru – yang bisa jadi adalah pemimpin wanita pertama dalam dunia horor – buktiin bahwa ini lemah-kuat bukan soal gender. Si Predator aja kaget ngeliat aksinya!
4. Noa, dalam film Fresh
If anything, Noa ngasih liat kalo cewek bisa membuat mereka masuk ke dalam masalah, maka mereka sendiri juga bisa mengeluarkan diri dari masalah.
5. Odessa, dalam film Hellraiser
Bukan cuma ngelawan makhluk-makhluk dari ‘neraka’, Odessa adalah sosok yang berjuang melawan dan berhasil berdamai dengan kecanduannya
6. Sienna, dalam film Terrifier 2
Bagi Sienna, ini juga adalah perjuangan melawan demon dalam dirinya sendiri. Perjuangan untuk menjadi berani dan menjadi pelindung keluarga
7. Tara dan Sam, dalam film Scream 
Kakak beradik yang harus dealing with the facts bahwa ayah mereka (ayah kandung Sam, dan ayah tiri Tara) adalah pembunuh original yang meneror kota.
8. Tess, dalam film Barbarian
Cuma Tess yang ngerti bahwa horor yang menimpa mereka sekalian di rumah airbnb itu sebenarnya adalah tragedi dari betapa berbedanya perempuan dan laki-laki memandang dan meng-experience dunia

Dan, yang paling komplit untuk melanjutkan legacy final girl dari Laurie Strode, adalaahh Perjuangan Sienna mengalahkan Art the Clown begitu epik. The icing on the cake tentu saja adalah kostum armor dan sayap dan pedang panjangnya. Sienna udah kayak valkyrie modern!!

 

 

SERIAL KILLER OF THE YEAR / MICHAEL MYERS AWARD

Horor modern juga kurang berhasil nyiptain karakter jahat yang ikonik. Karena kebanyakan sekarang main surprise dan jumpscare saja. Kurang banyak galian ke karakter jahat itu sendiri. Kurang bereksperimen, dan kurang gila. Sepeninggal Michael Myers, berikut adalah nominasi pengganti kekosongan dirinya:
1. Amber, dalam film Scream 
Maan, I really love gilanya Amber, dan merasa sayang dia gak bakal muncul lagi di film berikutnya. But at least, dia benar-benar mencuri perhatian dan did a thing yang tidak bisa dilakukan Ghostface lain; membunuh Dewey! 
2. Art the Clown, dalam film Terrifier 2
Dibandingkan dengan Art yang gila, creepy, brutal, and nyaris always did a job done, Pennywise jadi kayak anak pramuka
3. Chucky, dalam serial Chucky season 2
Apa yang lebih ngeri dari Chucky? Berpuluh-puluh Chucky – dan semuanya sama gilanya gak pandang bulu bunuhin orang, tua atau muda!
4. Corey, dalam film Halloween Ends
Pewaris Michael Myers dalam canon cerita. Corey adalah good-guy yang berubah jadi psikopat ketika seluruh kota tidak melupakan kesalahan dirinya
5. Esther, dalam film Orphan: First Kill
Sedikit masa lalu dari pembunuh yang suka nyamar jadi anak-anak ini terkuak, dan orang-orang langsung ngeri mau kasian atau tidak
6. Jeffrey Dahmer, dalam film serial Dahmer-Monster: The Jeffrey Dahmer Story
Yang ini cukup kontroversial, karena karakternya diangkat dari pembunuh nyata. Tapi Dahmer yang diperankan Evan Peters memang mengguncang banyak kepala yang menyaksikannya
7. Pearl, dalam film Pearl
Pearl adalah Maxine dalam timeline berbeda, dan jika Maxine menyeberang ke dark side
8. Pinhead, dalam film Hellraiser
Pinhead versi modern benar-benar terlihat keren tapi sekaligus juga sangat creepy

Piala The Dirty berdarah ini jatuh kepadaaa Michael Myers beneran bisa rest in peace, dengan Art melanjutkan teror di sinema horor. Badut supernatural dengan aksi brutal dan misteri benar-benar menarik hati. Props juga buat David Howard Thornton yang sukses menghidupkan karakter ini dengan pantomim yang bikin merinding. Ciri khas Art yang paling sakit: ketawa puas tanpa suara!

 

 

 

Terrifier 2 actually jadi film 2022 terbaikku (kalian bisa lihat daftar Top-8 Movies 2022 selengkapnya di sini) Jadi sementara kita ngomongin itu, ada tiga kategori lagi yang nominasinya berhasil diraih oleh film tersebut. Hmm, bakal menang juga gak yaaaa?

BEST CHILD CHARACTER

Kategori khusus yang bertahan jadi kategori tetap, karena ya, penting bagi kita untuk melihat bagaimana karakter anak-anak ditulis. Bahwa karakter anak bukan cuma korban yang harus diselamatkan, bukan cuma versi mini dari karakter dewasa yang gak punya purpose atau bahkan dialog.
1. Anya Forger, dalam anime Spy X Family
Kayaknya Anya yang paling populer di antara nominasi ini. Karakternya benar-benar polos kayak anak kecil, sementara juga grounded dan aware sama situasi
2. Ara, dalam film Keluarga Cemara 2
Janji begitu bermakna bagi anak-anak, dan mereka akan terus nagih. Ara bener-bener ngingetinku sama masa kecil karena juga sering dijanjiin sesuatu tapi gak dikasih hahaha
3. Buddy, dalam film Belfast
Kreatif, respectful, suka film, suka bermain, Buddy kayak teman kita dulu, tapi teman kita yang satu ini juga musti memahami kenapa kampung halamannya jadi seperti itu
4. Gabi Braun, dalam anime Attack on Titan Season 4 Part 2
Awalnya aku benci ama Gabi. Tapi melihat apa yang harus dia pahami dan mencoba mengerti posisinya, Gabi jadi begitu memantik simpati
5. Gwen Shaw, dalam film The Black Phone
Gwen adalah adek yang gak kita punya. Selain itu di balik kepeduliannya sama keluarga, Gwen juga ‘dibebani’ oleh penglihatan yang jadi momok tersendiri baginya
6. Meilin, dalam film Turning Red
Kepanikan dan ketidaktahuan Meilin tentang bertumbuh, membuat dirinya berubah menjadi panda merah! 
7. Pinocchio, dalam film Guillermo del Toro’s Pinocchio
Guillermo mengubah karakter tradisional Pinokio menjadi anak yang kini masih bandel dan penuh rasa ingin tahu, tapi juga cerdas dan berani untuk mengubah bandelnya itu menjadi bentuk cinta kepada ayahnya
8. The Little Pale Girl, dalam film Terrifier 2
Karakternya masih berbalut kabut misteri yang pekat, tapi anak ini niscaya adalah salah satu karakter anak terseram yang pernah aku lihat

Piala The Dirty jatuh kepadaaa Anak yang terdoktrin hate, melihat sendiri – bahkan melakukan sendiri – sesuatu yang diajari kepadanya untuk ia percaya, lalu mengalami pembelajaran bahwa hal tidak sesimpel yang diajarkan kepadanya. Gabi has the best writing – the best character development seantero Attack on Titan.

 

 

 

BEST SCENE

Berikut adalah nominasi buat adegan-adegan dari film, ataupun serial, yang either masih terngiang-ngiang serunya ataupun begitu populer sehingga jadi tren di sepanjang 2022
1. Clown Cafe – film Terrifier 2
Sekuen mimpi terpanjang dan tersadis!!
2. Hangman Rescue – film Top Gun: Maverick
Ini adegan yang bikin aku nyesel gak nonton di bioskop
3. Jadi Batu – film Everything Everywhere All at Once
Di tengah hiruk pikuk multiverse, muncul adegan ini, dan langsung jleb!
4. Monolog & Credit – film Pearl
Pearl benar-benar Pearl show. Mau monolog, maupun ekspresi, semuanya ngena banget!
5. Nembak – film The Banshees of Inisherin
Satu lagi adegan jleb, kikuknya Barry Keoghan spike this scene further
6. Payakan’ Revenge – film Avatar: The Way of Water
Aku bersorak banget waktu ‘ikan paus’ ini balasin dendam ke manusia yang menghinanya
7. The Experience – film Nope
Bicara tentang ‘binatang’ yang balas dendam ama manusia, Nope nawarin ‘pengalaman’ luar biasa di adegan ini
8. Weird Dancing – serial Wednesday
Kabarnya Jena Ortega sendiri yang nyiptain koreografi viral ini – itulah kerennya kalo aktor benar-benar paham sama karakter yang dimainkan

And the Osca–eh salah, The Dirty goes to

So simple, tapi begitu filosofis

 

 

 

FEUD OF THE YEAR

Gak ada capeknya kita berkelahi. Padahal baru beres berantem ama pandemi, baru bangkit dari covid, eh sudah ada lagi yang diributkan. Inilah nominasi perseteruan ter—angot!
1. Amanda vs. Arawinda
Atau sebut saja Misteri Tanktop Ungu
2. Art vs. Sienna
Ikon slasher/gore modern yang baru saja memulai seteru panjang dan personal mereka!
3. Colonel vs. Jake
Dendam kesumat turun ke clone si Colonel, jadi konflik utama film Avatar kedua
4. Depp vs. Amber
Real courtroom drama yang ditonton semua orang di timeline tengah tahun lalu
5. Eleven vs. Vecna
Di season terbaru Stranger Things, Eleven ketemu orang yang bahkan lebih kuat darinya
6. Laurie vs. Michael
Legendary feud mereka mencapai babak akhir. Dua orang ini literally inspired dua kategori khusus kali ini!
7. Polisi vs. Polisi
Kasus real juga, yang sampai sekarang kayaknya masih diusut – udah kayak sinetron
8. Ukraina vs, Rusia
Awal tahun 2022 lalu, nyaris terjadi Perang Dunia Ketiga karena masalah antarnegara ini

Semoga piala The Dirty ini bisa jadi juru damai kepadaa Konflik mereka muncul pas banget saat pelakor lagi tren-trennya. Dan benar-benar membagi netijen. Sampai-sampai netijen pendukung masing-masing ikutan berantem!

 

 

 

 

Kadang heran juga, kenapa kita asik berantem. Kayak dunia kekurangan hal untuk ditangisi saja. Perang, gempa, tragedi di Kanjuruhan, di Itaewon, banyak yang berpulang di antaranya ada Mak Nyak, Ratu Inggris, Remy Silado, Richard Oh, enggak tau deh berapa jiwa yang berpulang di tahun 2022. Untuk itu marilah kita heningkan waktu sejenak untuk mendoakan mereka.

MOMENT OF SILENCE

Mengheningkan Cipta
….
….
Mulai!
….
….
….
….
….
….
….
….
Selesai!

 

 

 

 

Harapan kita semua tentu saja semoga ada lebih banyak cinta di dunia. Untuk itulah kategori berikut dipersembahkan. Saatnya kita merayakan cinta dengan

COUPLE OF THE YEAR

Nominasinya adalah:
1. Alexa Bliss & Ryan Cabrera
Buatku ini agak nyelekit sih, aku ditikung. But hey, kalo Alexa happy, aku juga happyyyy
2. Alithea & Djinn
Hubungan unik antara manusia dan jin
3. Batman & Catwoman
Dua superhero ini manis banget di film Batman yang baru itu
4. Dom & Rhea Ripley
Pasangan jahat tapi kocak yang ngingetin kita sama Eddie Guerrero dan Chyna
5. Evelyn & Waymond
Kayak versi live-action dari Beth dan Jerry di kartun Rick & Morty hihihi
6. Hae-Jun & Seo-Rae
Lupakan vampir jatuh cinta sama mangsanya, pasangan kali ini lebih ‘ngeri’; Detektif jatuh cinta sama tersangka!
7. Sammy & Tay Melo
Pasangan nyebelin yang jengkelin banyak fans di AEW. Buy hey, they make a great team together
8. Tom Holland & Zendaya
Everyone’s darlings, ikon remaja masa kini, psstt denger-denger mereka udah tunangan loohh.. ada yang patah hati??

Okeh, dengan senang hati The Dirty kategori ini diberikan kepadaaa

Waymond kepada Evelyn benar-benar cinta sejati. Dengar aja nih yang dia bilang “So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.” Meleleh semua universe!!

 

 

 

As for me, berikut kategori yang aku cinta banget!!

UNYU OP THE YEAR

Gimana gak cinta, kategori ini tempatnya cewek-cewek cakep nan berbakat yang menghiasi 2022, dan I hope sepanjang masa. Kayak yang sudah-sudah, kategori ini yang beda jumlah nominasinya karena aku simply can-not-choose! xD
1. Alyvia Alynd Lind
Namanya lucu, ya, pake diulang-ulang. Kalo mau lihat aktingnya, bisa cek serial Chucky. Di season 2 Alyvia mulai perdalam rangenya
2. Daisy Edgar-Jones
Selain jadi Noa di Fresh, dia juga main jadi gadis rawa di Where the Crawdad Sings. Keduanya bukan film yang bagus banget, but Daisy bisa belajar banyak dari sana
3. Jenna Ortega
Cukup banyak seliweran di 2022. Jenna ada di Scream, di X, dan tentu saja di serial yang jadi populer karena cara dia menghidupkan karakternya, Wednesday
4. Joey King
She’s come along way, dari jadi Ramona Quimby dulu hingga sekarang jadi anak yakuza di Bullet Train
5. Lee Eun-Saem
Aktingnya sebagai Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead benar-benar bikin jatuh hati, padahal karakternya galak!
6. Mia Goth
Belum apa-apa Mia udah mecahin rekor di sini. Nyabet nominasi Final Girl dan Serial Killer sekaligus. Bukti dari jagonya dia dual akting!
7. Mikey Madison
Sekilas milip Raline Shah gak sih? Mikey jadi Amber di Scream benar-benar definisi dari crazy chick yang keren abissss
8. Sadie Sink
Max!! Sejak Stranger Things kayaknya dia terus mempertajam akting ya, soalnya semua penampilannya nyuri perhatian.
8. Zoey Deutch
Di Not Okay, Zoey kocak dan cakep banget. Baru kali itu aku kasian ama karakter yang basically annoying haha 

Sumpah ini aku milih pemenangnya susah sekali. Satu hari aku fix milih Mikey. Eh, hari besoknya berubah ke Sadie. Besoknya berubah lagi. 2022 memang jadi tahun yang manis berkat mereka-mereka ini. Tapi, karena tetap harus milih pemenang, maka aku akan milih satu yang lebih unik dari yang lain. Daaan, The Dirty dibawa pulang oleeehhh

For the first time ever, artis Korea yang menaangg, cihuiii.. Mi-Jin alias Ms.Shibal yang jutek bener-bener bikin jatuh cinta karena she’s so real dan somehow lucu. Habis nonton serialnya, aku memang langsung nontonin interview Eun-Saem, and she seems like totally asik-person. Cerdas pula soal akting dan film.

Dan ini sebenarnya rahasia karena memalukan, aku sempat nekat nge-DM Eun-Saem, ngasih lihat sketch Mi-Jin yang kubuat, tapi gak dibales hihihi

 

 

 

Anyway, kata orang love is a game. Dan inilah kategori buat

GAME OF THE YEAR

Aku juga excited sama kategori ini, karena tahun 2022 itu aku beneran bisa mulai fokus main game-game masa kini. Channel YouTube My Dirt Sheet mulai bisa ngehandle konten game, setelah rencana pindah total ke review format video tampaknya mulai bisa dicancel. Sehingga nominasi kali ini, komposisinya lebih banyak yang sudah aku mainin daripada yang masuk karena hype/popularitas tanpa dimainkan. So yea, inilah nominasinya:
1. Chained Echoes
Aku terutama suka sama game pixel arts, dan Chained Echoes benar-benar RPG pixel arts paket kumplit!
2. Eiyuden Chronicles: Rising
Ini adalah game pemanasan sebelum RPG utamanya rilis di tahun 2023. Dan game ini actually ‘kelanjutan’ dari dunia Suikoden!
3. Elden Ring
Game ini populer banget, bahkan jika kalian bukan gamer, besar kemungkinan kalian pernah mendengar judul ini disebut
4. God of War: Ragnarok
Kelanjutan dari God of War ini memang jadi salah satu game yang paling diantisipasi fans di tahun 2022
5. Infernax
Game metroidvania sadis ini suprisingly menantang dan punya replay value yang tinggi karena punya begitu banyak cabang pilihan aksi yang bisa kita ambil sepanjang petualangan
6. River City Girls 2
Jangan anggap remeh karena kayak game ‘wibu’. River City Girls 2 actually beat them up yang sangat fun, kita akan sibuk menghajar orang dan nyelesaiin misi.
7. TMNT: Shredder’s Revenge
Nostalgia? Cowabunga!!!
8. Wordle
Tebak kata yang sempat heboh banget di Twitter!

Baiklah tanpa banyak loading-loadingan, inilah pemenangnyaaa

Ketika aku bilang paket komplit, well bayangkan sistem rekruitment dan castle di Suikoden, robot-robot raksasa kayak di Wild Arms, cerita dengan waktu berbeda kayak Chrono Trigger, misi-misi tersembunyi, Chained Echoes punya semua itu. Plus battle system unik yang belum pernah ada sebelumnya, sistem level up yang juga beda banget, dan banyak playable karakter yang kocak. I have a really great time mainin game ini.

Promosi sedikit boleh dong ya, actually di channel YouTube My Dirt Sheet, aku dan teman-teman sekarang lagi mainin River City Girls 2 dan TMNT: Shredder’s Revenge. Jadi yang pengen ikut seru-seruan, bisa lihat-lihat ke sanaaaa

 

 

And you know what, itulah

MY MOMENT OF THE YEAR

Dengan dua platform, aku bisa lebih banyak ngasilin konten yang fresh, Blog My Dirt Sheet dengan hostingan baru sekarang jadi punya tampilan baru yang lebih enak untuk pengalaman membaca ulasan. Sementara channel YouTube, lebih rame lagi dengan konten seperti talkshow yang menghadirkan undangan-undangan seru, atau juga seperti yang dibilang tadi, konten main game yang seru-seru

Semoga gak pada bosen ya sama My Dirt Sheet

 

 

Agak aneh sih rasanya ngiklanin konten di sela-sela awards, tapi aku harus belajar cuek karena kategori spesial berikut ini isinya khusus untuk orang-orang yang putus urat malunya demi ya majuin konten atau promosiin karya mereka.

 

SHAMELESS PROMOTION OF THE YEAR

Tadinya kategori ini memang Bego of the Year. Tapi setelah dipikir-pikir, mereka pada pinter dong bisa kepikiran cara promosi yang nekad seperti ini. Justru yang bego kita karena kemakan strategi mereka. Jadi, yah, tahun ini Bego of the Year diganti dulu sama Shameless Promotion, dan inilah nominasinya
1. Deddy Corbuzier – dilantik jadi Letkol Tituler
C’mon kalo kalian gak bisa lihat promosi silang di balik ini, mata kalian perlu digedein sedagunya Deddy
2. Disney – Pinokio dan film anak-anak sok ‘woke’
Trik andalan Disney belakangan ini adalah ambil agenda ‘woke’ dan masukin ke versi baru dari film-film mereka. Disney gak lagi punya cerita. Mereka cuma mau jual produk yang sama kepada penonton yang pengen dibilang modern
3. Geprek Bensu – ngaku di Paris Fashion Week
Di saat anak-anak muda lokal bikin fashion week sendiri, ada beberapa orang yang malah ngaku-ngaku nampil di Paris Fashion Week, padahal cuma bikin acara sendiri di negara orang
4. Joko Anwar – thread clue film
Film itu ibarat sulap. Tapi toh mana ada tukang sulap yang promoin pertunjukan mereka dengan ngasih kisi-kisi rahasia triknya apaan
5. KKN di Desa Penari – tayang berbagai versi
Bukan cuma versi extended, film ini juga pake strategi rilis dua versi rating umur dan tayang berbarengan
6. KKN (lagi!) dan film-film lain – promo beli 1 dapat gratis 1
Actually Joko Anwar yang pertama kali ngritik kalo strategi promo buy 1 get 1 melulu tidak akan ngasilin hal yang baik kepada perfilman, kecuali jumlah penonton
7. Pawang Hujan Rara – remote AC
Maaan, itu aksi dan foto paling cringe seantero 2022.
8. Will Smith di Oscar – tampar dahulu menang kemudian
Aksi tamparannya mungkin memang asli, tapi sebagai yang nonton WWE, ada yang di-staged pasti di sana. Soalnya urutan kejadiannya seems too perfect buat ngebuild up speech kemenangan Will Smith

Pemenangnya adalaaahhh

Taktik tayang bareng dua versi umur beneran ‘curang’, bikin miris karena sistem klasifikasi umur lembaga sensor ternyata cuma dijadikan bahan jualan. Di Luar gak ada tuh yang begitu. Harus nunggu beberapa bulan dulu baru bisa tayang versi lain dari satu film yang sama. KKN ini saking ngebetnya tembus 10 juta, bisa ditebak, juga rilis versi lain beberapa bulan setelahnya. Magically mereka bisa dapat spot tayang yang strategis.

 

 

 

Sampailah kita di penghujung ‘acara’. Sebelum masuk ke kategori puncak, kita penyegaran dulu dengan satu kategori lagi, kita akan melihat para nominasi Best Musical Performance. Semoga semuanya ada linknya di YouTube hihihi

BEST MUSICAL PERFORMANCE

 

1. Alpha “Duyung Senja”

 

2. Bheem & Ram “Naatu Naatu”

 

3. Farel Prayoga “Ojo Dibandingke”

 

4. Hector & Lyle “Take a Look at Us Now”

 

5. Lydia Tar “Apartment for Sale”

 

6. Porsha “Could Have Been Me”

 

7. Rooster “Great Balls of Fire”

 

8. Skullflower “Machinery of Torment”

 

The Dirty goes tooo Cover rock british yang jadi ngepop!

 

 




Seru juga ya menapak tilas apa-apa yang terjadi di tahun 2022 lewat format award. Memang yang sekarang jadi agak panjangan, karena siapa suruh bikin delapan nominisi per kategori hihihi.. Tapi gak papa, paling enggak jadinya semakin banyak yang bisa dimuat.  Untuk kategori puncak

SHOCKER OF THE YEAR

mari kita simak runner-ups terlebih dahulu:
1. Tim Asia melaju di Piala Dunia!
2. Cody Rhodes balik ke WWE, di WrestleMania!!
3. Twitter dibeli Elon Musk!?
4. Twitter mau ditutup?!
5. Karen Dinner buka di Indonesia!
6. Anak presiden bisa pesan cetak uang sendiri!!!
7. Kominfo blokir situs-situs!?!
8. Di rumah Bupati Langkat ada kerangkeng manusia!!
9. Menantu ama mertua??!!
10. WWE tayang di Disney+Hotstar!!!
11. Jefri Nichol nantangin tinju!!

 

Sudah shock belum? Kalo belum, siap-siap nih.
Yang lebih mengejutkan dari itu semuanya adalaaahhh

Ku tak pernah menyangka bakal melihat Vince McMahon turun dari kursi kreatif, dan digantikan oleh Triple H.

 

 

 




That’s all we have for now.
Semoga tahun 2023 lebih menyenangkan dan lebih seru.
Jaga kesehatan, dan selamat Tahun Baru!!!

Remember in life, there are winners.
And there are losers

 

 

 

 

 

We still the longest reigning BLOG KRITIK TERPILIH PIALA MAYA.


GITA CINTA DARI SMA Review

 

“True love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.”

 

 

Waktu telah membuktikan kisah cinta Galih dan Ratna, pasangan dalam cerita karangan bapak Eddy D. Iskandar tahun 70an,  benar-benar adalah sebuah kisah cinta yang legendaris di Indonesia. Kisah mereka menginspirasi begitu banyak cerita cinta remaja yang muncul sesudahnya. Jika kita nemuin cerita yang cowoknya pendiam, atau puitis, atau kisah cinta yang terhalang status sosial, besar kemungkinan jika ditelusuri, cerita tersebut dapat pengaruh dari kisah Galih dan Ratna. Bahkan Ada Apa dengan Cinta? katanya juga terinspirasi – film itu berakhir dengan perpisahan di bandara, seperti Galih dan Ratna yang berpisah di kereta api. Sendirinya, Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA telah difilmkan dalam dua periode waktu berbeda. Film originalnya tahun 79, juga lantas sukses mengorbitkan Rano Karno dan Yessy Gusman. Sementara adaptasi versi modernnya di tahun 2017, gak kalah berhasil bikin musik jadi trend romantis pada generasi muda. Kali ini, Gita Cinta dari SMA kembali diadaptasi, dihadirkan oleh Monty Tiwa dengan emphasis ke tahun 80an. Mengembalikan Galih dan Ratna ke dunia mereka yang colorful, penuh musik, dan puitis, dan membawa serta para penonton untuk nostalgia ke jaman SMA. Ah ya, cinta dan nostalgia memang pasangan serasi. Seperti Galih dan Ratna!

Cowok yang bersepeda ke sekolah dari rumahnya di pasar buku bekas. Cewek yang ke sekolah diantar ayahnya pake mobil sedan. Dari situlah kisah kali ini dimulai.  Cewek itu, Ratna, anak baru.  Tapi begitu dia sampai di sekolah, digodain sama cowok-cowok yang gak bisa lihat ‘barang’ baru – bening, pula!Ratna malah notice cowok bersepeda tadi. Cowok yang tampak cuek tapi dikagumi orang. Galih.  Ya, seketika Ratna jadi suka sama Galih, dan cewek itu gak begitu malu-malu untuk menunjukkan ketertarikannya. Tinggal Galih yang sok play it cool sendiri. Interaksi ‘iya-enggak’ mereka di awal-awal itu sudah barang tentu bakal bikin penonton sekalian jerit-jerit gemas di tempat duduk masing-masing. Dan setelah puas ‘mainin’ perasaan kita seperti demikian, film memang lantas membuat Galih dan Ratna jadian. Tapi semua kemanisan romansa itu ternyata tidak seabadi janjinya. Karena di antara Galih dan Ratna berdiri Ayah Ratna. Sosok pemberang yang seratus persen menolak hubungan mereka. Sosok, yang terus mengingatkan Galih akan jurang status sosial yang memisahkan dirinya dengan Ratna.

Gak heran banyak penonton yang nantangin Dwi Sasono berantem begitu keluar dari bioskop hihihi

 

Walau endingnya nyelekit, tapi Gita Cinta dari SMA secara overall terasa punya after-taste yang menyenangkan. Sepertinya karena dunianya. Bahasa bakunya. Musiknya. Warnanya. Nuansa 80an memang punya peran besar bagi kita untuk dapat lebih menikmati cerita ini. Bahkan ketika kita bukan yang pernah ngerasain hidup di masa itu. Kayak aku. Nuansa artifisial yang dikeluarkan dengan kuat oleh film ini menjadi semacam lullaby, nina-bobo, bagiku. Dengan gampang membujukku untuk mematikan alarm ‘wah, ini mah standar teen love story antara dua karakter cakep tanpa alasan lebih jauh kenapa mereka harus jadi pasangan’ dan just nikmatin simpelnya dunia like it used to be.  Kupikir, itulah pesona terkuat yang dimiliki oleh Gita Cinta dari SMA.  Dunia yang sederhana nan puitis sebagai panggung dari permasalahan cinta anak muda yang tentu saja masih relevan hingga sekarang. Sehingga keluarnya jadi menyenangkan. Momen-momen kecil seperti ge-er karena dapat puisi berjudul sama dengan inisial nama, dilarang pacaran atau main ke luar rumah oleh ortu, rekam kaset untuk dikasih ke gebetan jadi terangkat lebih manis karena sekarang ada layer nostalgia di baliknya.

Ketika pesona dunia dan karakternya telah terestablish, film lantas mulai memperkuat konflik. Kalo ada satu kata untuk menggambarkan apa yang mencuat dari Gita Cinta dari SMA versi Monty Tiwa, maka itu adalah dramatis. For better and worse, karena memang dramatis di sini ada yang membuat film ini jadi bagusan, dan tak sedikit juga yang membuatnya terasa… over-the-top. Dan seperti guru di sekolah dulu biasanya suka memuji dahulu sebelum menasehati (“cerita karangan kamu sudah bagus, tapi alangkah baiknya kalo tulisannya jangan kayak cakar ayam!”), baiknya kita ngomongin dramatis yang bagus-bagus dulu dari film ini. Dari penulisan cerita, film ini banyak ngasih hal baru yang berujung pada dramatisasi yang diperlukan supaya film lebih menggigit. Pertama adalah pemisah antara Galih dan Ratna. Dibandingkan dengan film jadulnya, film ini lebih tegas dan keras nyebut bahwa ini adalah soal Galih yang anak jelata gak bakal pernah good enough bagi ayah Ratna yang orang kaya dan ningrat Yogyakarta, Klasik si kaya dan si miskin. Konflik ini membuka ruang bagi film untuk semakin melibatkan keluarga dari dua karakter sentral. Sementara juga tentu saja membuild up karakter Galih, yang harusnya karismatik tapi semakin terasa minderan sepanjang durasi berjalan. Karena halangan tersebut really gets to him, melukainya, sebagai seorang manusia laki-laki. Untuk menyeimbangkan perspektif, film mengembangkan konflik ini kepada Ratna sebagai persoalan tentang perempuan dan kebebasan untuk memilih. Ratna menyamakan posisinya dengan Roro Mendut, dari novel yang ia baca. Perempuan yang tidak bisa bersama lelaki yang ia pilih. Dan dari perspektif itu muncul hal terbaik kedua yang dipunya oleh film. Mbak Ayu yang diperankan oleh Putri Ayudya.

Mengutip obrolan dengan Putri Ayudya saat interview “Setiap keluarga pasti punya satu orang, tante atau om, yang mendukung kita” Memang begitulah Mbak Ayu. Dia mendukung Ratna untuk pacaran sama Galih. Dia bahkan membantu Ratna ngeles dari ayah dengan ide-ide seru. Actually peran Mbak Ayu di versi ini memang dibuat lebih besar, apalagi sekarang kita diperlihatkan lebih dalam backstory dari karakter ini. Bagaimana dia juga ngalamin ‘nasib’ serupa Ratna.  She goes way back dengan ayah Ratna yang merupakan saudaranya, Permasalahan perempuan mandiri atas pilihannya jadi semakin kuat, dan relationship Ratna dan Mbak Ayu jadi salah satu hati pada film ini. Mbak Ayu actually membuat film ini berisi. Jika tidak ada dia, film ini bakal kosong. Ya, karena somehow, film tidak lagi full di kehidupan sekolah Galih Ratna (meski teman-teman mereka kayak Erlin, Anton, Mimi tetap ada), sehingga di sini Galih dan Ratna not really do anything selain bereaksi saat hubungan mereka dilarang. Mereka – khususnya Ratna – bahkan tidak diperlihatkan banyak mengalami pembelajaran. Dan masalah tersebut menurutku berakar pada directing yang kurang kuat. Directing yang hanya mengincar dramatisasi.

Oh, Galih. Oh, Arla… eh salah. Oh, Ratna, cintamu abadiiiii~

 

Aku notice directingnya agak kurang total itu dari nuansa yang terasa lebih seperti artifisial ketimbang genuine. Walau memang, perasaan menyenangkannya nyampe karena nostalgia dan karakter. Elemen-elemennya buatku, yang terasa setengah-setengah. Kayak, musical numbers. Film ini banyak menggunakan lagu, bukan hanya sebagai latar tapi juga penggerak cerita. Bahkan juga ada tarian. Tapi ya, pengadeganannya terasa… gitu aja. Hanya pasang kamera, drone, nari-nari di jalan. Dengan musik dan lagu sebanyak itu, aku heran kenapa tidak sekalian aja dibikin musikal. Kenyataannya film ini sama kayak film jadul, tapi dengan adegan nyanyi yang teatrikal, tapi gak jor-joran. Terus soal Yesaya Abraham sebagai Galih. Aku paham bahwa aktor gak harus bisa nyanyi beneran untuk mainin karakter yang bernyanyi. Tapi kupikir keputusan film ini  tidak membentuk dulu paling enggak Yesaya beneran genjreng-genjreng dikit dengan gitar, adalah keputusan yang bisa jadi momok buat mereka ke depan. Karena gimana pun juga kedengarannya aneh saat semua adegan nyanyi di film ini terdengar seperti olahan studio. Bahkan adegan Galih latihan dengan gitar sendirian. Film harusnya lebih memperlihatkan perbedaan antara adegan nyanyi di panggung, adegan nyanyi sendirian, dan adegan nyanyi dalam bayangan Ratna – salah satunya dari suara nyanyian itu sendiri.

Beberapa adegan diarahkan supaya amat dramatis, sometimes it works, sometimes feels over. Yang berhasil itu kayak adegan lempar batu di danau, yang bahkan lebih emosional daripada film jadulnya. Ada satu adegan dramatis yang baru, yang emosinya juga dapet banget berkat penampilan akting para pemain. Prilly Latuconsina yang jago ngasih emosi di kalimat-kalimat panjang, Unique Priscilla dengan permainan emosi tertahan, Putri Ayudya dan Dwi Sasono yang luar biasa penekanan dan ekspresinya; mereka membuat adegan tersebut berhasil, meskipun cara ngesyutnya sangat datar, pengadeganannya hanya kayak mereka lagi baris-berbaris. Nunggu giliran buat ngomong. Aku menyebutnya sebagai drama smackdown; karena begitulah drama backstage di acara smekdon direkam. Superstar/talentnya baris berjajar di depan kamera, lalu marah-marah bergantian. Bicara soal posisi pemain, aku juga ngerasa ada sedikit aneh dari gimana mereka menempatkan Yesaya dan Prilly dalam satu adegan. Ratna dan Galih sejajar tu cuma saat mereka duduk di batang pohon, membahas surat putus dan masa depan mereka. Perbedaan tinggi badan keduanya, kupikir digunakan film untuk mempertegas perbedaan sosial yang jadi tema cerita. Tapi aku gak yakin. Karena lucunya, saat adegan Ratna mengusap pipi Galih pakai saputangan, dua-duanya berdiri, dan magically keduanya kayak sama tinggi! Nah ini contoh momen dramatis yang agak over, menurutku. Selain itu ada juga Ratna pake acara pingsan. Ataupun treatment Ratna bawain minyak angin dari pov Galih yang abis kena mental demi ngeliat Ratna dibonceng orang.

Tapi gak ada yang lebih over-the-top dibandingkan endingnya. Pilihan film ini dengan menaikkan kembali konflik di momen akhir (Ayah Ratna kembali muncul bahkan sampai main fisik segala) terasa aneh sekali. Tidak seperti pada film jadul yang memberikan Galih dan Ratna momen personal, menerima kenyataan mereka harus berpisah, dan saling menguatkan diri (di film itu mereka ngobrol sampai subuh!), yang berarti mereka berdua mengalami pembelajaran dan tuntas (meski ‘kalah’), film versi baru ini tidak punya momen-momen itu. Karakter Galih dan Ratna di film kali ini belum terasa tuntas. Mereka masih kayak di akhir babak pertama, yang mendapat tantangan dari ayah yang melarang, sementara pembelajarannya nanti ada di film kedua. Film ini atas keinginannya untuk jadi superdramatis, luput untuk melihat bahwa yang diperlukan bukan adegan ayah ngamuk sekali lagi, melainkan Galih dan Ratna yang harus belajar menerima bahwa mereka tidak bisa bersama. Setidaknya, untuk sekarang. Mungkin, untuk sekarang.

Cinta sejati adalah cinta yang abadi. Kita biarkan orang yang kita cintai pergi, karena hati kita tahu cinta kita kepadanya tak akan berubah. Cinta sejati tidak peduli memiliki atau tidak. Makanya, keadaan Galih dan Ratna ini tepat sekali dengan gambaran cinta sejati pada kutipan terkenal. Bahwa cinta sejati tidak punya happy ending, karena cinta sejati abadi tidak pernah berakhir.

 




Beruntung yang jadi tulang punggung film adalah skenario. Bukan arahan. Karena film ini punya materi dan penambahan konflik atau karakter yang baru, yang efektif dan emosional, tapi tidak dibarengi dengan bentuk yang benar-benar saklek dan terarah. Terutama bergantung kepada nostalgia dan dramatisasi, yang artifisial. Penampilan akting dari para pemain pun jadi sesuatu yang disyukuri di sini, karena mereka membuat semuanya work out nicely. Film ini secara objektif masih belum sempurna, filmnya masih terasa minimal dan agak kosong – melainkan hanya berisi momen dramatis, tapi toh berhasil menyentuh saraf-saraf emosi. I can’t help but jadi peduli sama Galih, Ratna, Mbak Ayu, dan karakter-karakter lainnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GITA CINTA DARI SMA

 




That’s all we have for now.

Jadi menurut kalian kenapa Galih dan Ratna bisa menjadi pasangan yang begitu fenomenal?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



BABYLON Review

 

“The cinema has no boundary; it is a ribbon of dream.”

 

 

Tempat paling ajaib di dunia, kata Damien Chazelle dalam karya terbarunya ini, adalah set alias tempat orang syuting film. Karena film memanglah seperti sebuah keajaiban – sihir!- yang ditangkap pada layar. Kita tahu satu adegan film saja, adalah kerja sama begitu banyak orang, begitu banyak keahlian, begitu banyak ‘trik’ untuk membuatnya entah itu beneran seperti sedang terbang atau sesimpel berjalan di hutan. Aku beruntung pernah diijinkan untuk tiga malam hang out di set film, melihat-lihat cara orang bikin dan merekam adegan, ngobrol ama kru-kru dan nanya-nanya ama pemain. Ya, suasana dan segala yang ada di situ memang terasa out-of-the-world. Saat itu aku menyaksikan gimana tembok bata dari rumah terbengkalai mereka sulap jadi gedung gereja, gimana papan kayu jadi sumur di tengah hutan. Yang kurasakan itu ‘baru’ dalam skala film lokal. Sedangkan yang diangkat oleh Damien Chazelle dalam film grande tiga jam lebih ini adalah studio film terbesar di jagat kita, Hollywood. Babylon merupakan kisah fiksi namun dengan latar yang tepat sesuai sejarah Hollywood, mengambil fokus kepada masa transisi dari era film bisu ke film bersuara. Dan di sini, Damien seolah benar-benar mengajak kita ke belakang tirai ajaib itu. Melihat kontras di balik film yang tampak romantis, elegan, penuh passion dan mimpi: Drugs, kehedonan, serta desperation dari karir-karir yang naik untuk kemudian lantas tergantikan.

Kata yang tepat untuk film ini mungkin, ya, surat cinta. Tapi Babylon bukan tipe surat cinta yang sama dengan yang dikirim Damien lewat La La Land (2017). Kali ini, Damien Chazelle merayakan kecintaannya kepada sinema, sekaligus menyentil industri Hollywood itu sendiri. Itulah kenapa film ini meledak-ledak, vulgar, dan over-the-top. Semuanya terasa chaotic, apalagi film ini punya banyak sekali karakter supaya kita benar-benar bisa melihat bagaimana industri film yang terus berkembang berdampak kepada manusia-manusia yang strive untuk mewujudkan mimpi dan passion mereka. Kita melihat gimana film-bersuara, menjadi peluang karir bagi seorang pemusik jazz kulit hitam. Sementara juga membuat penulis title/dialog film bisu kehilangan posisi. Dari semua karakter, tiga yang jadi fokus utama adalah Nellie LaRoy (Margot Robbie), Jack Conrad (Brad Pitt), Manny Torres (Diego Calva). Nellie seorang figuran muda, yang percaya dirinya adalah bintang.  Kesempatan untuknya menunjukkan sinar datang ketika dia dipilih buat meranin seorang pelayan bar, and she nails it. Tapi kemudian tantangan baru muncul ketika studio mulai pindah ke film bersuara. Also, gaya hidupnya yang kelewat glamor mulai berdampak buruk. Sebaliknya, Jack adalah aktor senior di MGM. Aktor dengan bayaran tertinggi. Konflik dirinya muncul tatkala semua film terbarunya flop di box office. Dia maunya percaya itu semua karena era baru film, tapi dia akhirnya harus nerima kenyataan yang lebih pahit lagi. Dan dari sudut lain ada Manny. Yang berangkat dari pelayan, ke tukang cari properti, ke asisten, hingga jadi studio executive. Ketika sudah di atas, Manny mulai merasakan efek dari sisi gelap industri, ketika dia mulai harus membuat keputusan-keputusan yang dia tahu enggak bener demi kemauan studio.

Menariknya lagi, karakter-karakter ini konon ditulis dengan referensi tokoh real di Hollywood

 

Melalui ketiga karakter tersebut  evolusi industri di Hollywood mulai dari tahun 1926 hingga ke 1930an dihamparkan. Kita akan melihat bagaimana mereka ‘bereaksi’ dan memilih aksi mengikuti perkembangan teknologi perfilman. Ketiga karakter ini pun bertransformasi sejalan dengan dunia mereka. Jadi bisa dibilang menonton Babylon ini seperti menonton karikatur sejarah Hollywood. Apalagi Babylon memang menggambarkan periode-periode itu dengan blak-blakan. Misalnya, ‘ajaib’ yang dimaksudkan saat berkata ‘set film adalah tempat paling ajaib di dunia’ tadi itu adalahbetapa rusuhnya sebenarnya proses syuting, tapi tetap berhasil tertangkap menjadi adegan dan film yang bagus. Saat nonton mereka syuting film perang kolosal bisu itu, aku beneran nyangka filmnya bakalan kacau. Gimana tidak coba; karena saat itu masih bisu, yang artinya studio hanya merekam gambar, di satu lokasi (padang gersang luas) ada banyak film/adegan yang disyut dalam waktu bersamaan. Dalam tone kocak, Babylon membuat syuting yang melibatkan banyak pemain ekstra tersebut dengan begitu rusuh. Skripnya ‘diperbaiki’ on the go, oleh Jack, sambil menenggak alkohol. Ekstra-ekstranya  ada yang terluka beneran (bahkan tewas hihihi). Kamera mereka rusak sehingga Manny harus ke kota minjem yang baru secepat mungkin, sebab sutradara mengejar waktu sunset. Dan ketika sudah mau mulai take adegan, si Jack udah terlalu mabok bahkan untuk berjalan. Semua itu kayak udah mau gagal. Tapi AJAIBNYA saat kamera roll, Jack mampu berakting ekspresi yang sempurna. Cahaya yang diincar dapet. Properti ledakan sukses. Semua kerusuhan dan kekacauan dan cek cok dilupakan. Semua bersorak mereka telah berhasil merekam adegan yang dahsyat. Babylon, dengan caranya tersendiri, berhasil membuat kita percaya para karakter – yang mewakili aktor-aktor dan pekerja film sekalian – adalah profesional yang benar-benar punya passion.

Sehingga industri Hollywood yang terus berkembang seiring teknologi dijadikan oleh film ini selain sebagai panggung, juga sebagai tantangan. Hollywood jadi karakter antagonis tersembunyi. Ketika teknologi untuk membuat film-bersuara ditemukan, kita diperlihatkan proses syuting yang kontras sekali dengan adegan syuting yang pertama tadi. Kali ini syuting dilakukan di dalam warehouse studio, tertutup, panas (karena kalo pakai AC nanti suaranya ikut kerekam). Bagi Nellie dan sutradara dan para kru, proses syuting film bersuara pertama mereka ini penuh tantangan, dan film sekali lagi menggambarkan frustasinya mereka dengan kocak. Enggak hanya harus menghapal naskah, Nellie disusahkan aktingnya oleh gerak yang kini terbatasi oleh posisi mic, misalnya. Tidak ada yang boleh bersuara. Kita bisa melihat take demi take untuk satu adegan yang terus aja ada salah teknis tu, membuat semua orang yang terlibat menjadi semakin senewen. Tapi karena passion itu tadi, they pulled through. Adegan sukses terekam (finally) dan semua bersorak. Melihat mereka berhasil rasanya ekivalen dengan kita menonton superhero berhasil mengalahkan musuhnya. Kekocakan dan kerusuhan bikin film tersebut lantas membawa kita kepada drama yang lebih personal tatkala tantangan itu semakin jauh dari zona nyaman para karakter. Ketika Hollywood terus melaju, menuntut mereka untuk memilih pada satu pilihan terakhir, stay atau pergi.

Sinema bagai mimpi yang tak terbatas. Itulah yang membuat Hollywood menjadi seperti kota Babylonia. Kota yang terus membangun menara setinggi langit, untuk mengejar posisi para dewa. Mengejar keabadian. Para ‘warga’ Hollywood juga mengejar hal yang sama. Dan dalam perjalanannya, tersilaukan oleh hal yang sama dengan yang membuat Babylonia ditertawai oleh para dewa. Ultimately, mereka harus sadar dari pesta pora. Bahwa – pepatah kita bilang manusia mati meninggalkan nama, no – manusia hanya bisa meninggalkan nama. Sementara film dan seni akan terus berkembang, manusia akan tergantikan. Beberapa tidak akan sampai ke puncak.

 

Ajaib tapi kasihan

 

Aku bahkan gak yakin di ending yang Manny nangis nonton Singin’ in the Rain itu harus merasakan apa. Merasa terkecoh, sih yang jelas. Karena seperti Tar (2022), ending Babylon juga sempat membuatku berpikir jangan-jangan film ini dari kisah nyata hahaa.. Tapi ini tentu saja terkecoh yang bagus, like, “that’s so good, you got me!” Pada momen itu memang Babylon mencuat jadi bagus, karena berhasil mengevoke dilema perasaan yang nyata. Apakah Manny nangis haru karena kisah mereka menginspirasi orang lain untuk film baru? Atau merasa kecewa karena bukan dia yang melihat itu sebagai karya? Babylon membuat kita mengalami chaosnya menjadi ‘penduduk’ dari sesuatu yang dengan cepat berubah, membuat kita melihat sesuatu yang grounded dari mereka semua.

Walaupun memang, dari presentasinya sendiri, Babylon ini merupakan film yang cukup susah untuk diikuti karena terlalu blak-blakan dan over-the-top. Film enggak takut untuk menjadi vulgar dan jorok, dan bahkan berdarah, karena di lain sisi, memang begitulah yang paling tepat untuk menggambarkan cara orang ‘survive’ di kota penggapai dewa tersebut. Selain tone dan gaya bercerita, banyaknya karakter juga bakal membuat penonton susah untuk attach. Pertama karena tidak semua dari mereka ditulis berimbang. Dan kedua, karena konsepnya adalah memperlihatkan bagaimana mereka bereaksi terhadap perkembangan jaman, maka film tidak benar-benar menyelam ke dalam journey mereka. Kita hanya melihat para karakter sebagai poin-poin. Mana motivasi, mana konflik, mana resolusi. Kita tidak pernah benar-benar utuh bersama dengan mereka. Akibatnya lagi, relationship yang terjalin antarkarakter jadi tidak mencapai efek maksimal. Salah satu hati dari cerita ini adalah hubungan yang terjalin antara Nellie dengan Manny. Aku suka dialog pas mereka pertama kali berjumpa. Mereka ngobrolin soal passion yang sama. Bahwa mereka akan sukses bareng di dunia perfilman. Itu salah satu momen genuine yang dipunya oleh film. Tapi pengembangan ini kemudian tidak terasa mengalir, karena ya kita hanya dibuat melihat mereka dari poin-poin itu tadi. Hubungan profesional dan hubungan mereka secara personal tidak pernah jadi diarahkan dengan jelas. Sehingga ketika di akhir mereka sepakat untuk hidup bareng, momennya kurang nendang. Aku gak tau apakah ini mungkin, tapi rasanya film ini perlu ngurangin sedikit energy chaoticnya supaya para karakter bisa lebih hidup lagi.

 




Film dalam film; film yang pakai adegan yang memperlihatkan backstage pembuatan atau bisnis film, selalu jadi soft-spot buatku. Makanya nonton film ini aku puas. Makin lama adegan-adegan mereka syuting, aku lebih senang. Dan di sini banyak banget adegan bikin-filmnya. Aku selalu kagum sama aktor yang berakting sedang akting, dan di sini mulai dari Margot Robbie hingga ke Brad Pitt nunjukkin penampilan akting yang demikian dengan sangat juara. Energi overall film yang chaotic dan over-the-top tidak menyentuh penampilan akting mereka yang total. Kecuali mungkin pas Nellie ceritanya mau melawan ular, itu konyol banget sumpah. Kayak kartun. Tapi sepertinya memang itulah konsep film ini. Kartun, parodi, dari bagaimana industri Hollywood berpengaruh kepada para pengejar mimpi seperti Nellie, Manny, Jack, dan banyak karakter lain. Cara lain untuk memandang film ini, adalah bahwa ia merupakan surat cinta tak-biasa, karena surat ini bukan hanya ungkapan perasaan yang merayakan cinta kepada sinema, tapi juga sentilan terhadap arahan industrinya. Perubahan itu bagus, dan bakal terus terjadi. Film sekarang bukan hanya bersuara, tapi berkembang lebih edan lagi dengan teknik digital, yang tentu saja ngasih challenge dan tuntutan baru. Semoga kecepatan itu tidak menjadi momok dan membuat kita lupa berpegang pada mimpi pada awalnya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BABYLON

 




That’s all we have for now.

Jangankan Hollywood, di kita aja perputaran industri sudah cukup cepat. Salah satunya keciri dari cepatnya pergantian aktor-aktor muda. Bermunculan sutradara-sutradara baru dengan gampangnya. Apakah menurut kalian ini hal yang bagus atau gimana, mengingat state perfilman kita sekarang?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA