My Dirt Sheet Top-Eight ‘KEKECEWAAN BIOSKOP’ OF 2019


 
 
Akhir tahun adalah waktu yang biasanya kita gunakan untuk meratapi resolusi-resolusi yang tak jadi tercapai (lagi!), keinginan-keinginan yang kandas tak terwujud, dan harapan-harapan yang berbuah kekecewaan. List ini adalah salah satu perwujudan dari harapan-harapan itu.
Ketika film disebut mengecewakan, bukan lantas seketika berarti film itu jelek, pembuatnya bego gak ngerti bikin film. Film yang bagus juga bisa saja tetap membuat kita merasa kecewa. It’s just mewujudkan sebuah film berarti membuat pilihan. Mau ngambil resiko atau tidak. Mau jadi nyenengin hati fans, atau hati semua orang, atau hanya hati produsernya. dan pilihan yang diambil film kadang enggak sejalan – enggak sefrekuensi, kalo kata Ainun – dengan harapan dan ekspektasi kita. Yang menurut kita penting, belum tentu begitu bagi pembuatnya.
Jadi, ya, daftar ini akan sangat subjektif. Kalian boleh jadi tidak menemukan film yang kalian benci. Sebaliknya, kalian bisa saja menemukan film yang kalian suka atau mungkin malah film yang menurut kalian bagus nampang di sini. Dan aku yakin memang ada. Tahun ini actually lebih banyak film yang populer, yang bisa dibilang bagus – at least yang kukasih skor lumayan tinggi – yang menurutku mengecewakan. Karena ekspektasi dan pilihan tadi. Also, daftar ini hanya akan mengcover film-film yang kutonton di bioskop, sebab dikecewakan oleh film yang kita harus berangkat dari rumah, meluangkan waktu untuk menempuh perjalanan, mengeluarkan uang, terasa lebih nyesek. Apalagi kalo ternyata yang ditonton di layar gede itu tak lebih dari glorified-ftv.
Setiap tahun aku beresolusi bisa menonton film-film di bioskop tanpa harus meratapi duit yang sudah keluar dan bertanya keras-keras ke tembok ala Adam Driver di Marriage Story “why did they do that?”, tapi nyatanya aku masih mendapati delapan film ini:
 
 
 

8. AVENGERS: ENDGAME


Director: Anthony Russo, Joe Russo
Stars: Robert Downey Jr, Chris Evans, Chris Hemsworth, Mark Ruffalo
Duration: 3 hour 1 min
Ya, ini bakal kontroversial, aku bahkan bisa mendengar mouse kalian bergerak cepat mau menutup halaman ini haha.. Jika kalian ngarahin mousenya ke judul setiap nomor, instead, maka kalian akan diarahin ke halaman ulasan, dan bisa dilihat di sana aku ngasih film ini skor 7 dari 10 bintang emas. Avengers: Endgame dibuat dengan sangat kompeten. Final fight yang kita tunggu-tunggu digarap dengan seru, menghibur sekaligus berhasil memenuhi tujuan ‘politik’ era SJW sekarang ini.
Posisinya ada di atas menunjukkan bahwa film ini tergolong bagus. Kekecewaanku timbul dari mereka memperkenalkan time-travel dan actually membuat babak kedua membahas mengenai aturan time-heist. Mereka menyusunnya dengan klop. Hanya saja, aku tidak mengharapkan itu. Infinity War berakhir dengan kemenangan Thanos, film membangun ekspektasi kita terhadap cara apa yang bakal dilakukan Avengers untuk well, to avenge their loss. Dan time-heist ini adalah cara yang paling standar untuk membahas soal serangan balasan tersebut. Film seperti punya agenda ingin membuat kita bernostalgia, maka ceritanya pun tidak move on. Malahan membawa kita ke semacam highlight.
Dan ini bukan cara yang paling aman pula. Avengers: Endgame meninggalkan kita dengan banyak plothole. Mungkin kalian adalah salah satu yang ikut membahas soal plothole dan implikasi kocak dari time-travel beda timeline di kolom komen review. It’s hilarious. Pembelaan pembuat film ini terhadap kekonyolan itu  adalah – seperti yang bisa kita tebak – penjelasannya bakal ada di film phase berikut. Ini membuat Avengers: Endgame less of a film dan lebih seperti produk. Aku setuju sama kata Martin Scorsese.
My Breaking Point:
Fans berkampanye betapa Tony Stark pantas untuk dapat Oscar. Ugh…. Bercanda haha.
Breaking point-ku yang benar adalah saat menyadari para Avengers sebenarnya berkelahi dengan orang yang berbeda. Thanos yang mereka lawan bukanlah Thanos yang mengalahkan mereka di Infinity War. Dan ini membuat pertarungan terakhir itu jadi hampa bagiku. Aku mau melihat mereka mengalahkan orang yang sudah bikin mereka kalah; Thanos dengan kekuatan Infinity Stone penuh. Bukan Thanos yang gak tahu apa-apa, yang cukup dikalahkan oleh Scarlet Witch seorang.
 
 
 
 
 

7. HABIBIE & AINUN 3


Director: Hanung Bramantyo
Stars: Reza Rahadian, Maudy Ayunda, Jefri Nichol, Diandra Agatha
Duration: 2 hour 1 min
Untuk merangkumnya, ini adalah cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang.
Film ini kayak pengen menceritakan tentang Ibu Ainun, tapi sendirinya tidak percaya bahwa cerita Ibu Ainun semasa muda tidak akan menjual. Maka mereka membuatnya sebagai sekuel Habibie & Ainun dan fokus tetap pada Habibie. Ditambah Bapak Habibie berpulang (salah satu momen menyedihkan bagi Indonesia tahun ini) dan film bergerak lebih cepat daripada lariku saat ditagih hutang untuk menguangkan kematian tersebut.
Cerita Ainun yang tentang wanita enggak kalah dari pria – manusia bukan soal gender lucunya malah seperti nomor dua, meskipun penulis tampak bersusah payah membuatnya Ainun seperti dokter wanita pertama dengan segala kesulitannya di dunia yang masih memandang wanita nantinya bakal balik ke dapur. Bagaimana film akhirnya menjual cerita ini? Dengan elemen romansa tak-sampai dan tokoh antagonis dibuat satu-dimensi demi Ainun kelihatan menarik.
My Breaking Point:
Ketika si senior antagonis masih diperlihatkan menyiapkan pidato perpisahan, dia dibuat gak logis banget masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Ainun gak terlihat pintar dan selfless hanya dengan menampilkan tokoh senior ini sebagai ‘lawannya’.
 
 
 
 
 

6. FROZEN II


Director: Chris Buck, Jennifer Lee
Stars: Idina Menzel, Kristen Bell, Josh Gad, Jonathan Groff
Duration: 1 hour 43 min
Ini adalah contoh sekuel yang buru-buru diadakan karena film pertamanya laku. Ia dibuat sebagai brand ketimbang dibuat karena mereka punya cerita segar untuk dibagikan. Karena Frozen II hadir dengan cerita yang mirip Avatar Legend of Aang, penuh eksposisi dan throwback, yang ironisnya mereka tetap berhasil melepehkan perjalanan Elsa di film pertama.
Elsa yang sudah belajar untuk berani menjadi diri sendiri di tengah keramaian dalam film ini diharuskan belajar untuk menemukan dirinya sendiri dan di akhir memilih untuk sendirian karena dia begitu berbeda dengan orang-orang. Pesan seperti apa ini? Kita pengen karakter cewek yang mandiri tapi gak gini juga caranya.
Petualangan film ini tidak terasa seru, karena diberatkan oleh narasi eksposisi. Drama antar-saudari tidak lagi simpel dan mengena, melainkan terasa begitu jauh oleh cerita perang-fantasi yang ribet. Fantasinya pun terasa usang meski memang visualnya teramat indah.
My Breaking Point:
Olaf. Serius deh, Olaf sangat menjengkelkan. Dan film terus ngepush manusia salju sampai-sampai kita melihat adegan Olaf menceritakan – eng, MENGADEGANKAN ULANG! kejadian di Frozen pertama. What. An. Annoying. Waste. Of. Time.
 
 
 
 

5. X-MEN: DARK PHOENIX


Director: Simon Kinberg
Stars: Sophie Turner, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Duration: 1 hour 53 min
X-Men seharusnya bisa dijadikan contoh gimana hancurnya cerita superhero jika bermain-main dengan time-travel. Namun tetap saja elemen itu bakal dipilih karena dengan begitu universe lebih mudah untuk diekspansi. Masalah logika nomor dua.
Dark Phoenix bukan saja berurusan dengan masalah kontinuitas – banyak aspek yang enggak masuk dengan dunia dalam franchise X-Men sebelumnya. Ia juga harus berurusan dengan pengaruh SJW – sekali lagi ini adalah cerita wanita yang berusaha menjadi dirinya sendiri -, dinyinyirin mirip dengan Captain Marvel yang sudah lebih dulu tayang dengan jarak yang tak begitu jauh, dan beban sebagai penutup X-Men. Well, setidaknya sebelum dibeli oleh studio dagang yang lebih gede.
Hasilnya sungguh berantakan. Dark Phoenix terlihat jelas mengalami banyak shoot ulang. Ada yang bagus, seperti final battle di kereta api. Namun secara keseluruhan, setiap babak film ini terasa kayak film yang berbeda. Mereka enggak menyatu dengan kohesif, tone ceritanya beda, motivasinya beda. Film juga pengen nampil sangat serius sehingga enggak ada lagi kesenangan menontonnya.
My Breaking Point:
Ketika mereka memperkenalkan alien sebagai musuh utama. Alien yang sangat miskin eksplorasi. Bangsa alien tersebut bahkan gak sempat disebutkan namanya. Aku hanya menyebutnya…; Peran-yang-disesali-oleh-Jessica Chastain.
 
 
 
 
 

4. AVE MARYAM


Director: Robby Ertanto
Stars: Maudy Kusnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Joko Anwar
Duration: 1 hour 25 min
Oh betapa ekspektasiku tinggi sekali mendengar pujian-pujian bagi film ini dari penayangannya di berbagai festival. Temanya pun berani, kisah cinta seorang biarawati. Tapi begitu ditonton di bioskop… maan, kenapa rasanya ada yang bolong.
Selain sinematografi yang keren, art yang memanjakan mata, dan adegan manis berdialog di kafe, tidak ada yang bisa dinikmati dari Ave Maryam. Perjalanan tokoh utamanya terasa abrupt. Konfliknya yang berani itu gak terasa. Film ini seperti kisah cinta biasa. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Aku seperti menonton film yang berbeda dengan orang-orang di festival. I mean, filmnya benar-benar kosong, kita hanya baru akan mengerti konflik dan backstory dan segala macemnya setelah membaca sinopsis. Sungguh sebuah karya menyedihkan jika harus mengandalkan sinopsis sebagai komplementer – sebagai sarana untuk menampilkan yang tidak bisa ditampilkan.
Kemungkinan terbesar adalah akibat penyensoran. Dan jika benar, maka sangat disayangkan sekali perfilman kita masih belum berani menghidangkan cerita yang bertaji.
My Breaking Point:
Maryam memandangi Romo Yosef bermain musik, kamera fokus kepada si Yosef seolah dia konduktor terkeren di dunia, padahal tidak ada sama sekali rasa di adegannya.
 
 
 
 

3. BEBAS


Director: Riri Riza
Stars: Maizura, Marsha Timothy, Sheryl Sheinafia, Baskara Mahendra
Duration: 1 hour 59 min
Bebas diadaptasi dari film Korea yang berjudul Sunny. Sunny sendiri merupakan cerita persahabatan cewek remaja Korea yang kental sendiri dengan lokalitas orang sana, film itu menggambarkan sistem pendidikan yang keras dan hubungan sosial remaja yang membentuk geng sekolah.
Kupikir akan menarik, bagaimana Riza akan membawa cerita ini ke dalam lokal Indonesia. Tokoh yang tadinya cewek semua, diganti dua menjadi cowok. Setting waktu yang diambil adalah 90 akhir, saat Indonesia lagi krisis-krisisnya. Ternyata, tidak ada hal lokal yang signifikan yang dijadikan daging oleh film saduran ini. Film berpuas diri dengan lagu-lagu 90an dan gak melakukan banyak terhadap cerita. Semua kejadian dalam film ini sama persis dengan yang di film asli. Hingga ke dialog-dialognya. Latar hanya sekadar tempelan. Soal cowok main dalam geng cewek pun tak dijadikan fokus utama. Seharusnya yang diganti jadi cowok, tokoh utamanya aja sekalian.
Salah satu produk film paling malas tahun ini, minim visi original, dan hanya mengandalkan nostalgia musik, jejeran cast, dan cerita dari material aslinya.
My Breaking Point:
Sesama-samanya dengan Sunny, tapi film berhasil untuk membuatku kecewa karena entah mengapa mereka mengurangi porsi Suci (Su-ji pada Sunny) dan tidak ada adegan Suci menyelamatkan Vina
 
 
 
 
 
 
 

2. RATU ILMU HITAM


Director: Kimo Stamboel
Stars: Ario Bayu, Hannah Al Rashid, Putri Ayudya, Adhisty Zara
Duration: 1 hour 39 min
Film ini juga punya jejeran cast yang yahud, tapi bahkan mereka lebih enggak banyak berguna lagi ketimbang cast Bebas. Ratu Ilmu Hitam harusnya jadi film favoritku tahun ini – horor, ada efek praktikal body horor, sadis, digarap oleh kombo maut pada genre ini (film ini ditulis dan dipromosikan secara keras oleh Joko Anwar). Aku memang menyukainya. Hanya saja, ini jauuuuuh banget untuk jadi film yang memuaskan.
Mainly karena penulisannya yang sangat mengecewakan. Cast yang berjubel itu tidak mampu diberikan penulisan yang berbobot, let alone berimbang. Si Ari ‘Wage bacanya Weij’ Irham malah hanya dikasih satu adegan penting. Bayangkan. Hampir seperti film ini enggak peduli soal mengarahkan akting. Mereka hanya fokus membangun keseraman dan twist bergagasan moral berbau politis. Buktinya lagi, film gak mau repot-repot ‘maksa’ pemainnya mainin adegan dengan kelabang asli. Hewan-hewan kecil itu masih pakai efek komputer dan terlihat gak meyakinkan. Dan menjadi menggelikan ketika di kredit penutup kita melihat still foto adegan-adegan seram – menggunakan kelabang asli – dari Ratu Ilmu Hitam original.
Yang kuharap adalah horor sadis sederhana, memanfaatkan banyaknya cast mumpuni. Namun yang didapat adalah kejadian ribet dengan sok berada di batasan moral abu-abu, yang tidak didukung oleh penulisan dan struktur cerita yang bener. Tokoh utamanya aja gak jelas siapa. Kenapa gak sekalian aja judulnya Ratu Kulit Hitam kalo memang mau dapat pujian filmnya punya isu, siapa tau bisa menang Oscar.
My Breaking Point:
Dialog-dialog film ini yang sibuk menjelaskan, ngobrol ringan, dan berusaha mengomentari banyak hal, benar-benar menjengkelkan buatku. Gak cantik penulisannya. Puncaknya adalah ketika tokoh yang diperankan Zara dan tokoh anak panti yang tadinya akur, tau-tau berantem adu mulut lantaran si cowok mau nembak tikus di dalam rumah. WTF.
 
 
 
 
 
Sebelum masuk ke posisi pertama, simak dulu Dishonorable Mentions yakni film-film bioskop 2019 yang dapat skor 1. Ironisnya, mereka memenuhi ekspektasiku; Jelek, dan ternyata beneran jelek!

Dishonorable Mentions:

11:11 Apa yang Kau Lihat,

Roy Kiyoshi the Untold Story,

47 Meters Down: Uncaged,

Pariban: Idola dari Tanah Jawa

Sekte,

Kelam

 
 
 
Dan juara paling mengecewakan tahun ini jatuh kepadaaa

1. STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER


Director: J.J. Abrams
Stars: Daisy Ridley, Adam Driver, John Boyega, Oscar Isaac
Duration: 2 hour 22 min
Ketika Force Awakens munculin tokoh yang practically ‘mary sue’ aku masih bisa memaafkan; at least, sudut pandang baru dan revealingnya bakal keren. Ketika Last Jedi membuang semua teori fans ke laut dan nge-swerve kita setiap kali kesempatan, aku juga masih oke – malah excited mau dibawa ke mana sebenarnya trilogi ini, apa jawaban besar yang menanti di Episode 9. Lalu, akhirnya tibalah Rise of the Skywalker. Dan jelas sudah mereka tidak punya rencana apa-apa untuk trilogi ini selain untuk menjual mainan saat natal dan tahun baru.
My Breaking Point sudah mulai mendidih di menit-menit pertama mereka munculin kembali Palpatine. Menghapus semua kejayaan prophecy Anakin yang menjadi motor di Star Wars terdahulu. Dan sepanjang durasi, aku merasa terus menggelegak karena film ini tidak melanjutkan, melainkan merevisi sesuka hati. Tidak lagi peduli pada apa yang sudah dibangun – baik atau buruk – dan just go with apapun yang sekiranya bisa bikin fans bersorak “hey itu dari episode ke anu!”
Out of nowhere mereka membuat Poe sebagai kurir scroundel galaksi – seperti Han Solo – padahal di episode sebelumnya dia anak pilot biasa, dan sudah ikut berperang sejak muda. Mereka begitu saja membuat Finn punya ‘feeling’ dan ada banyak Stormtrooper seperti dirinya, meskipun di episode sebelumnya arc Finn adalah satu-satunya mantan militer yang berusaha rise up dari komanda-komandannya dahulu. Kisah cinta Finn pun seperti tak-eksis di sini. Dan kalo aku punya popcorn, maka semua popcornnya pasti sudah kulempar-lempar ke layar ketika hantu-force Luke mengangkat pesawat yang mestinya sudah rusak dan gak bisa dipakai. Kerusakan pesawat X-Wing ini penting, karena itulah yang menyebabkan Luke mengerahkan tenaganya sendiri hingga mati untuk muncul dalam bentuk energi menolong Resistance di Episode VIII
Nonton ini aku antara nyengir seru nonton aksinya dan nyengir blo’on melihat elemen-elemen yang gak kohesif.
Aku mengerang keras di bioskop pada momen ketika Rey menyebut dirinya Rey Skywalker di akhir. AARRGGHH!
 
 
 
 
That’s all we have for now.
Bisa dilihat sebagian film di daftar ini adalah box office, dan ini merupakan pertanda tak menyenangkan industri film semakin mengarah ke produk dan wahana. Sekalinya ada film yang berbeda, film tersebut ditakutkan akan begitu kontroversial sehingga dijinakkan. Tiga dari empat film impor di sini adalah buatan Disney, dan ini aku gak menyebut film-film live-action mereka yang semuanya sudah diantisipasi bakal jelek. Kalolah yang aku bikin adalah list film terburuk, film-film Disney tahun ini akan berkumpul di sana. Magic mereka hanya visual sekarang, dan aku benar-benar takut tren ini terus berlanjut.
Untuk Indonesia, tren yang mulai muncul adalah ‘film’ yang bersambung. Dan ini sedapat mungkin kubasmi dengan tidak menyebutnya sama sekali meskipun kesalnya luar biasa dapat yang jenis ini di bioskop.
Juga noticed dong kalo kebanyakan film di list ini bertokoh utama perempuan, yang ditulis dengan kurang baik. Ini actually satu lagi tren yang menakutkan; tokoh-tokoh perempuan sekarang diharapkan kuat, mandiri, berdaya, gak butuh cowok, dan ini salah kaprah menjadikan tokoh itu sebagai poster girl SJW dan feminism, padahal mereka seharusnya jadi tokoh yang relatable dan belajar untuk menjadi kuat.
Semoga daftar ini bisa dijadikan cermin untuk perbaikan. Jangan lewatkan Top-Eight Movies of 2019 yang akan ditulis nanti setelah pengumuman nominasi Oscar, juga awards tahunan My Dirt Sheet Awards CLOUD9 di 2020.
Terima kasih sudah membaca. Apa kalian punya daftar film-film yang mengecewakan juga? Share dong di sinii~~
 
 
 
 
Because in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SI MANIS JEMBATAN ANCOL Review

Objectification is above all exteriorization the alienation of spirit from itself”
 

 
Si Manis adalah sebutan untuk penunggu jembatan Ancol yang dipercaya masyarakat sebagai hantu dari wanita muda yang meninggal secara tragis – diperkosa oleh beberapa pria. Nama asli wanita itu simpang siur, sebagian menuliskan Maryam, Mariam, beberapa sumber mengatakan nama aslinya Siti Ariah. Yang pasti adalah kecantikan hantu ini begitu populer sehingga berbagai kisah penampakan beredar seolah orang-orang pada berlomba menceritakan kisah perjumpaan dengannya. Dan satu yang bisa kita simpulkan dari legenda Betawi tersebut adalah sungguh menyedihkan nasib Maryam, atau Ariah; sudah jadi hantupun dia masih tetap jadi korban objektifikasi seksual orang-orang.

Objektifikasi adalah peristiwa mengerikan ketika seseorang bukan lagi dilihat sebagai manusia, melainkan sebagai barang. Bahkan menurut filsuf Nikolai Berdyaev, bukan hanya memanggil orang seperti catcalling saja, melainkan memanggil orang atau kumpulan orang-orang dengan sebutan yang mungkin memang mengacu kepada mereka seperti Min, Mimin, Anak Twitter, Anak Instagram – atau Netizen, Negara +62, Gen Z, Milenial – mengecilkan sebuah kemanusiaan menjadi objek yang bisa dikelompokkan, digunakan, dimanfaatkan, dan dibuang.

 
Bukan sekali ini saja cerita hantu ini diangkat ke televisi maupun layar lebar. Penuturannya sebagian besar sama. Si Manis membalaskan dendam kepada pria-pria yang sudah mengakhiri hidupnya. Sebuah kisah balas dendam dari wanita yang hanya dipandang sebagai objek oleh pria. Sutradara Anggy Umbara dan co-sutradara Bounty Umbara juga memasukkan narasi objektifikasi perempuan dalam remake legenda ini. Namun mereka menyuntikkan satu elemen mengejutkan yang membuat film ini menjadi pengalaman berbeda dari satu kisah lama
Versi baru dari Si Manis Jembatan Ancol garapan Umbara Bersaudara ini bercerita tentang suami istri Maryam dan Roy yang kehidupan pernikahannya tidak bahagia. Satu adegan Maryam dibentak hanya karena berusaha menyelamatkan pergelangan tangan kemeja sang suami dari kuah sop dengan sukses menyampaikan kepada kita bahwa hanya Maryam seorang diri yang berusaha mempertahankan cinta di dalam rumah tangga mereka. Bagi Roy, Maryam tak lebih dari kerikil, yang ada atau tidak tak-ada bedanya. Roy hanya menganggap Maryam sebagai aset, barang kepunyaaan. Roy tidak perlu banyak pertimbangan untuk menjadikan Maryam sebagai jaminan hutang kepada rentenir preman yang menjadi sumber malapetaka nantinya. Film ini actually meletakkan Roy sebagai salah satu perspektif utama. Ya, kita akan melihat Maryam yang tak-bahagia bertemu pelukis muda bernama Yudha yang baru pindah ke lingkungan tempat tinggal mereka, kita melihat ada koneksi antara Maryam dan Yudha. Namun cerita bergerak sebagian besar dari perspektif dan akibat dari pilihan yang dibuat oleh Roy.

Kecemburuan Roy terhadap Yudha tak lebih dari karena dia menganggap Maryam adalah kepunyaannya

 
Tiga tokoh sentral film ini menempati posisi yang cocok didasarkan pada teori dalam buku Dramatica: Theory of Story. Maryam yang diperankan oleh Indah Permatasari (pada reinkarnasi cerita sebelum ini, Si Manis diperankan oleh Diah Permatasari) sebagai main character alias tokoh utama karena film ini adalah tentang dirinya. Yudha si pelukis muda yang diperankan Randy Pangalila (dalam balutan wig yang membuat rambutnya tampak tebal dengan abnormal) adalah hero atau pahlawan, yang langsung mewakili penonton – yang kita inginkan berhasil dan membawa kebaikan pada kemenangan. Posisi terakhir dalam Dramatica adalah protagonis; tokoh yang menggerakkan plot – dan posisi tersebut ditempati oleh Roy yang diperankan dengan satu dimensi oleh Arifin Putra.
Dalam genre aksi Balas-dendam tradisional (istilah tepatnya untuk film jenis ini adalah Rape and Revenge films) seperti The Last House of on the Left (1972), I Spit on Your Grave (1978), atau baru-baru ini Revenge (2017), formula yang digunakan adalah tokoh perempuan merupakan gabungan dari tokoh utama, protagonis, dan hero. Dengan struktur cerita berupa pada babak pertama sang tokoh dieksploitasi sebagai objek sebelum akhirnya diperkosa dan ditinggalkan begitu saja, pada babak kedua si tokoh bangkit, berjuang bertahan, yang kemudian akan mengubah dirinya secara total. Saat poin-pertengahan, tokoh-tokoh film tersebut berbalik menjadi subjek yang akan membawa kita ke babak penghabisan saat dia benar-benar menghabisi para pelaku yang sudah memperkosa dirinya. Si Manis Jembatan Ancol justru tidak pernah meletakkan Maryam sebagai subjek. Cerita Si Manis Jembatan Ancol terstruktur berdasarkan sudut Roy. Midpoint cerita adalah ketika Roy tak bisa mundur lagi dari perjanjiannya dengan Bang Ozi (Ozy Syahputra dengan gemilang memainkan peran di luar cap-dagang tokoh legendarisnya di sinetron Si Manis Jembatan Ancol tahun 90-an).
Menghadirkan protagonis berupa antagonis sebenarnya langkah yang cukup menarik. Hanya saja film tidak benar-benar menuliskan arc atau plot untuk tokoh Roy. Pada beberapa poin, dia diperlihatkan tampak menyesal, tapi semua perasaan tersebut cuma angin lalu, karena Roy tidak berubah secara karakter hingga cerita berakhir. Film melewatkan kesempatan berharga mengeksplorasi persoalan objektifikasi wanita melalui sudut pandang pria yang melakukannya. Film cuma sebatas memperlihatkan bentuk ‘hukuman’ bagi pria-pria yang mengobjektifikasi wanita tanpa memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Si hero Yudha bahkan tetap dihukum meskipun dia berusaha memperlakukan Maryam lebih daripada sekadar objek lukisan.

Si Manis dalam film ini adalah sebutan yang juga merujuk kepada identifikasi seksual Maryam. Yang menunjukkan cara warga memandang menghargai dan memperlakukan dirinya, Maryam cuma si wajah manis, dan ketika dia mati identifikasi inilah yang nyantol -yang disebut karena warga takut menyebut nama aslinya. Di dunia nyata, objektifikasi semacam ini akan membuat wanita mengobjektifikasi dirinya sendiri dan melukai dirinya secara emosional. Di film ini hasilnya lebih horor lagi; Maryam  menjadi sebuah presence, desas-desus.

 
Jika film bermaksud memperlihatkan kekuatan perempuan, maka ia melakukannya dengan cara yang aneh. Ketika Maryam sudah menjadi hantu, film tidak memberikan tokoh ini treatment seperti Suzzanna yang ‘belajar’ menjadi hantu dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018). Kita tidak melihat dia lagi kecuali ketika dia muncul dan membunuhi satu persatu anak buah Bang Ozi. Membunuh itu ia lakukan dengan sangat ragawi – para preman itu dicakar, ditusuk, dipenggal. Horor film ini menguar dari lingkungan tempat tinggal tokoh yang mulai ramai oleh desas desus kemunculan hantu. Maryam ketika jadi hantu tetap sebagai objek, keberadaannya adalah rumor di kalangan warga, ia sekarang dikenal sebagai Si Manis karena warga terlalu takut menyebut namanya. Dan elemen horor ini seringkali hadir lebih seperti komedi; kita akan seringkali tertawa melihat reaksi, warga maupun preman, yang ketakutan melihat hantu Maryam. Horor yang benar-benar mengerikan tersaji sebagai lapisan psikologis – kita akan melihat banyak shot-shot keren seperti Maryam melayang di atas jembatan dengan kain-kain merah terbentang ke sana kemari – namun posisinya sungguh rendah karena hanya dipakai sebagai adegan mimpi. Dan bahkan dalam memperlihatkan adegan mimpi pun, film masih ‘bercanda’ sehingga justru membuat adegan mimpi tersebut jadi menjengkelkan. Ada dua tokoh yang punya adegan ditakut-takuti lewat mimpi yang berlapis-lapis. Kaget, terbangun, kaget, terbangun rupanya masih mimpi, kaget lagi!, masih mimpi lagi. Lame.
Ada satu-dua yang cukup menakutkan. Film ini tergolong sadis buat pecinta kucing. Namun sebagian besar horor film ini bentrok dengan tone komedi. Film seperti gak pede dengan horornya karena setiap kali adegan mengerikan selalu disertai guyonan. Beberapa yang tidak, memang terasa sekali horornya hambar. Seperti desas desus tentang rumah yang ditempati Yudha adalah rumah angker – jendela nutup sendiri – tapi tidak pernah subplot ini berujung pada apa-apa. Hanya obrolan warung. Padahal film udah ngebuild up memfokuskan kamera pada nomor rumah 9 yang terbalik sendiri jadi 6, seolah itu adalah hal paling mengerikan di seluruh Jakarta 1970an.

menurutku mereka melewatkan kesempatan membuat kucing kepala buntung sebagai sidekick Maryam yang baru, sebagai ganti Ozy yang jadi preman

 
Maryam di sini tampak seperti objek untuk sebuah twist yang disiapkan tanpa benar-benar memperhatikan detil logika. Perbuatan yang dilakukan Maryam sebagai simbol perlawanan atau kekuatan wanita butuh pemakluman yang cukup besar dari kita karena yang ia lakukan tampak mustahil dan ajaib untuk bisa berhasil dikerjakan – karena ada begitu banyak hal yang bisa salah yang bisa membuat kedok Maryam ketahuan. Aku sebenarnya enggak mau meng-spoiler banyak-banyak, tapi film ini seperti sok keren dengan twist itu – like, mereka bertaruh banyak di sini seolah dengan penjelasan pada twist film menjadi lebih baik. It’s actually not. Karena banyak hal gak masuk akal seperti dari mana Maryam bisa bergerak – misalnya masuk ke rumah preman – tanpa terlihat malah sempat-sempatnya masang jebakan ala Home Alone. Bagaimana dia bisa menghilang pas nampakin diri di depan warga. Dari mana dia dapat baju untuk kostum jadi hantu. Dari mana dia bisa tahu wajah preman padahal mereka pakai topeng semua – Yudha saksi hidup aja mandeg bikin laporan ke polisi karena dia gak tahu wajah para pelaku. Dan – ini nih yang bikin aku ngakak – sehebatnya ilmu survival dan militer, gimana bisa dia ngelempar ranting yang tembus menusuk badan orang. Usaha yang dilakukan film ini supaya twistnya itu bisa masuk akal terjadi adalah dengan memastikan warga kampung Roy bego semua. Selain Roy, Maryam, Yudha, Bang Ozi, tokoh-tokoh film horor tentang objektifikasi wanita ini semuanya kayak tokoh dalam komedi receh.
So yea, setelah twist itu jadi kelihatan jelas bahwa cara bertutur film ini bukan karena mereka ingin melakukan sesuatu terobosan terhadap genre ataupun gagasan, melainkan karena pembuat film ini sendiri gak tau cara menampilkan cara atau kejadian yang masuk akal dari seorang yang membunuh dengan pura-pura menjadi hantu. Maka sudut pandang Maryam mereka sembunyikan. Mereka jadikan twist. Meskipun cerita ini lebih cocok jika tidak dipersembahkan sebagai twist dan cerita dilangsungkan dalam formula Rape and Revenge tradisional saja.
 
 
Revenge story dari perspektif pelaku ini tidak dibarengi dengan penulisan yang matang. Tidak ada end game dari gagasan pembuat, sebab protagonis dan hero prianya – pihak yang melakukan objektifikasi pada perempuan – tidak ditulis mengalami perubahan. Mereka tidak punya plot. Dan sungguh susah mendukung Yudha karena dia diperkenalkan sebagai creep di awal dan bucin di akhir. Satu-satunya yang berubah adalah Maryam, itu pun dia tidak diperlihatkan sebagai subjek hingga menit-menit terakhir – ia dirahasiakan karena film butuh dia untuk jadi objek ketakutan warga dulu, objek twist, dan objek humor. Pada akhirnya memang objektifikasi perempuan yang diangkat oleh film ini sebagai tema/gagasan utama hanya dijadikan bahan becandaan semata.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for SI MANIS JEMBATAN ANCOL.

STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF SKYWALKER Review

“For the discovery of self we have to overcome the fear of self”
 

 
The Force Awakens (2015) berakhir dengan Rey melembar lightsaber ke Luke. The Last Jedi (2017) dimulai dengan Luke menangkap lightsaber tersebut, dan membuangnya begitu saja! Rangkaian adegan itu kini kita paham adalah simbol dari ‘passing the torch‘. Tapi tampaknya simbolik tersebut lebih dari sekadar antara dari Skywalker ke apprentice – ke Jedi generasi baru. Melainkan bisa juga jadi simbol penyerahan tongkat estafet antara satu sutradara ke sutradara berikut yang melanjutkan ceritanya. However, dalam Star Wars: Episode IX – Rise of the Skywalker yang kembali disutradarai oleh J.J. Abrams, kita melihat lightsaber tersebut ditangkap Luke dan mereka melakukan adegan yang seperti prosesi ulang yang berbeda dari simbolik passing the torch tadi. Seolah film juga ingin mengembalikan cerita ke jalur Abrams. Hal yang dapat kita simpulkan dari estafet semacam ini adalah di antara dua: pembuatnya sudah merencanakan atau pembuatnya memang tidak membuat rencana atau peta atau endgame yang mutlak tatkala mereka membuat franchise trilogi ini. Dan melihat dari perjalanan pada Episode IX ini, jawabannya besar kemungkinan adalah kemungkinan yang kedua.
Film yang jadi konklusi akhir dari trilogi Star Wars era kekinian ini memusatkan perhatian kita kepada siapa Rey sebenarnya. Selang dua tahun, Rey sekarang digembleng oleh Leia. Kekuatan Jedi dan penguasaan Force-nya sudah demikian mantap, tapi belum maksimal karena Rey takut oleh satu kekuatan lain di dalam dirinya. Sementara itu, Kylo Ren mengabdi pada Sith Lord yang baru, dan ia kerap menghubungi Rey – lewat hubungan ini Force mereka berdua; mengajak Rey bergabung, meninggalkan Leia, menumbangkan si Lord dan bersama-sama menjadi Emperor galaksi. Rey ogah. Terlebih ketika pasukan Resistance mengetahui bahwa si Sith Lord yang baru itu actually adalah musuh lama. Rey, bersama Finn, Poe, C-3PO, Chewbacca, dan BB-8 bertualang dalam Millennium Falcon menjelajah galaksi, bertemu dengan orang-orang baru, sembari mencari petunjuk keberadaan si Sith Lord dan menyusun serangan sebelum pihak Dark Side melancarkan ribuan armadanya yang masing-masingnya sanggup menghancurkan planet.
Dalam lingkup sebagai satu cerita utuh sendiri, film ini bergerak dalam satu gagasan yang ditampilkan sebagai tema besar. Yakni tentang mengatasi ketakutan terhadap diri sendiri. Hampir semua aspek karakter bergerak di dalam gagasan ini. Kylo Ren yang takut mengakui siapa dia di balik ‘topeng gelapnya’, sehingga dia terus mengenakan topeng tempur dan kerap melakukan kejahatan demi kejahatan. Rey yang takut mengetahui siapa dirinya sebenarnya, dia gak siap untuk membuka kenyataan tentang dirinya. Bahkan perjuangan Resistance mandeg gara-gara mereka takut pada kenyataan jumlah pasukan yang sedikit sehingga mengira tidak ada lagi yang mau bergabung dengan perjuangan mereka.

Takut pada diri sendiri membuat kita menciptakan sosok ideal yang bakal bertentangan dengan diri – seperti Kylo Ren, dan membuat kita tidak terbuka, tidak bebas, tidak bisa memberi dan menerima secara penuh – seperti Rey. Dengan kata lain, menghambat kemajuan. Kita tak kan bisa kabur dari perbuatan masa lalu, latar belakang, maka daripada meninggalkan diri sendiri, ambillah resiko seperti Poe. Karena jika dirimu disukai maka itu adalah karena itu memang dirimu sendiri, dan jika dirimu gagal maka kamu akan tahu persis titik mana dari dirimu yang harus diperbaiki.

 
Sayangnya tema tersebut tidak konsisten. Sehingga judul Rise of the Skywalker pun seperti reaching yang cukup jauh. Skywalker memang adalah keluarga yang jadi sorotan utama dalam dongeng Star Wars original, tapi pada film ini para Skywalker sejatinya adalah tokoh pendukung bagi tokoh utama yang non-Skywalker dalam perjalanannya menjadi ‘seorang’ Skywalker. Rey direveal memang bukan Skywalker dan di akhir dia mengadopsi nama Skywalker sebagai penghormatan buat Skywalker yang telah mengajarinya banyak hal tentang Force dan menjadi diri sendiri. Namun cara film menutup arc ini di ending malah tampak seperti menunjukkan Luke dan Leia adalah pasangan dan Rey adalah anak mereka – you know, like, selama ini yang dispekulasi oleh fans. Padahal ada cara lain yang lebih cocok dengan tema, dengan tokoh yang lebih cocok menyandang judul Rise of the Skywalker. Yakni Kylo Ren, alias Ben Solo yang berdarah Skywalker dari ibunya. Keseluruhan arc Kylo Ren di film ini adalah dia kembali kepada dirinya yang asli – yang Ben. Ada momen dramatis Kylo dengan Han Solo yang berlangsung dalam kepalanya, mereka ngobrol dengan dialog yang sama saat Kylo Ren membunuh ayahnya itu di Episode VII tapi dengan nada yang berbeda; adegan yang sangat pintar. Juga ada sedikit momen penyadaran yang melibatkan Kylo dengan ibunya. Film bisa saja menyatukan Ben dengan Rey, membuat nama Skywalker lebih natural berpindah. Hanya saja film lebih memilih untuk Rey mengenyahkan siapa dirinya setelah dia berani memikul siapa dirinya itu terlebih dahulu.

mungkin mereka sendiri bingung antara Skywalker dengan Jedi.

 
Melihat elemen cerita ini sebagai bigger picture – sebagai penutup dari trilogi – film ini sayang sekali terasa sangat random, semua yang terjadi di film ini tidak kohesif dengan yang sudah dibangun, bukan saja dari dua episode trilogi ini sebelumnya, bahkan juga dengan dua trilogi sebelum ini, alias enam episode Star Wars terdahulu. Rey diungkap sebagai seorang Palpatine, Emperor jahat yang jadi dalang di Star Wars terdahulu. Hal ini memang menarik, terlebih hardcore fans mungkin sudah ada yang bisa melihat kesamaan gaya bertarung Rey dengan Palpatine (sama-sama menggenggam lightsaber dengan kedua tangan dan mengayunkannya bersama berat seluruh tubuh). And it’s cool, menarik Rey ternyata adalah keturunan makhluk paling jahat di galaksi. Masalahnya adalah si Palpatine itu, yang sudah dibunuh oleh Darth Vader alias Anakin Skywalker, yang membuktikan kebenaran ramalan “seorang Skywalker akan mengembalikan keseimbangan Force”, dikembalikan oleh film ini. Dari sepuluh menit pertama kita diberitahu Palpatine masih hidup dan dia juga adalah (masih) dalang dari kejadian-kejadian di dua episode sebelumnya. Dan ini bego karena menegasi ramalan dan arc Skywalker dahulu, serta terlihat sebagai penulisan final yang begitu pemalas dan gak kreatif dan kayak sinetron.
Bahkan Dragon Ball Z aja ngerti gimana cara kerja dunia, jika satu tirani sudah kalah dan dunia memasuki masa damai, maka kedamaian tersebut cepat lambat bakal berakhir karena kemunculan tirani baru. Pada Episode VII sepertinya Star Wars sudah mulai memasuki tahap baru. Yah meskipun tokoh-tokoh dan kejadiannya kayak counterpart dari Episode original, tapi paling tidak kita melihat nama-nama baru. Kita diperkenalkan kepada Snoke, Supreme Leader baru. Episode VIII meginjak pedal gas perubahan itu lebih dalam lagi, semua yang kita duga dibuang, Snoke bahkan dihilangkan untuk kebangkitan musuh baru. Namun Episode IX memunculkan kembali Palpatine, ini adalah tirani yang sama dengan bertahun-tahun lalu, cara paling mudah dalam menyusun cerita ke ranah nostalgia, tidak perlu repot-repot mengikat cerita yang sudah diperluas (atau mungkin diperumit) oleh episode sebelumnya. J.J. Abrams seperti membuat sekuel buat episode VII, dengan memunculkan kembali elemen-elemen tidak ditonjolkan oleh Rian Johnson di episode VIII, dan gantian membuang yang udah dibuild up oleh Johnson.
Finn suddenly has ‘feelings’, Rey suddenly bisa heal dengan Force, dan Kylo Ren suddenly bisa perbaiki helm dengan teknik kintsugi

 
 
Ini kayak ketika aku dan teman-teman tim Lupus Reborn Jogja berniat bikin novel yang dikerjakan secara estafet per bab, kami hanya merumuskan tokoh tanpa ada garis besar perjalanan. Hasilnya setiap bab rasanya gak padu, ketika menulis aku susah payah menyambung ide dari bab sebelum aku dan ketika dilanjutkan, hasilnya enggak sesuai dan gak nyambung lagi. Atau kayak serial yang setiap episodenya disutradarai oleh orang yang berbeda-beda. Contoh paling epik adalah American Horor Story 1984 tahun ini; sedari beberapa episode terakhir mereka seolah ngebangun ke konser musik yang bakal berdarah-darah, tapi ternyata di episode finale, konser itu enggak ada – malah lompat ke masa depan, dengan banyak eksposisi tentang konser tersebut. Episode IX ini jatoh mengecewakan seperti itu, dia tidak terasa benar-benar menyambung Episode VIII, melainkan seperti membenarkan yang salah. Membenarkan dengan acuan kesenangan fans.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh Martin Scorsese sebagai film yang hanya serupa wahana taman hiburan. Rise of the Skywalker disibukkan oleh keinginannya memenuhi keinginan dan hiburan fans. Film ini hanya spectacle besar – it’s being real good at it. Banyak adegan yang benar-benar wah kayak duel Rey dengan Kylo di atas bangkai spaceship dengan latar laut berombak, itu keren gila. Tapi dari segi cerita, film ini banyak lemahnya dan sangat terasa maksain. Atau mungkin, sebagai pembelaan, film ini diubah karena wafatnya Carrie Fisher yang berperan sebagai Leia; salah satu dari tiga trio original. Episode VII adalah tentang Han Solo. Episode VIII adalah tentang Luke. Dan IX ini seharusnya tentang Leia. Kenyataannya, Carrie meninggal. Film ini menggunakan stok adegan-adegan Carrie Fisher sebagai Leia yang enggak dipake dari dua episode terdahulu, dan mereka merancang adegan dari sana. Beberapa mulus, namun sebagian besar adegan Leia tampak aneh. Makanya di film ini peran Leia penting tapi screentimenya sedikit. Penyesuaian yang mereka lakukan, supaya aman, ya naturally akan didasarkan kepada kesenangan fans.
 
 
Oh please, jangan khawatir sama beberapa spoiler di sini. Filmnya sendiri juga enggak peduli sama cerita dan kesinambungan. Mereka hanya ingin kita menonton ini dan terhibur oleh petualangan dan aksi di tempat-tempat paling seru di galaksi. Fans will love this because of it. Film juga menyisipkan banyak reference dan easter egg dari episode-episode terdahulu sehingga nontonnya memang terasa seru. Namun untuk sebuah cerita yang mengangkat soal tidak takut kepada diri sendiri, film ini tidak punya nyali mengetahui ke arah mana dia akan menjadi. Sehingga mereka membelokkan dan mengabaikan dirinya sendiri di masa lampau.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: EPISODE IX – THE RISE OF THE SKYWALKER

HABIBIE & AINUN 3 Review

“The female is, as it were, a mutilated male, and the catamenia are semen, only not pure”
 

 
Serasa jadi cucu B.J. Habibie kita semua dibuat oleh Habibie & Ainun 3. Duduk manis di kursi masing-masing mendengarkan Eyang mengisahkan kepada seluruh keluarga kenangannya tentang seorang wanita hebat yang menjadi cinta abadi beliau; Ibu Ainun. Tentang pertemuan dan perpisahan-sementara mereka berdua demi cita-cita. Tentang masa kecil Ainun. Tentang perjuangan pendidikan Ainun. Tentang perjalanan cinta Ainun (di layar, sebelum cerita berlanjut cucu-cucu yang kecil dikirim keluar ruangan oleh Eyang karena sepertinya imaji Jefri Nichol bertelanjang dada dapat menjadi terlalu berlebihan buat mental mereka). Dan klimaksnya adalah tentang pilihan besar yang dibuat oleh Ainun atas nama kemajuan Indonesia.
Film ini worth untuk ditonton sedari penampilan pemainnya. Berkat keajaiban prostetik, Reza Rahadian disulap seperti sosok Habibie tua, untuk kemudian kemagisan aktingnya melanjutkan tugas sehingga aktor ini benar-benar tampak bergerak, bicara, bernyawa seperti Pak Habibie tulen. Melihat penampilan mengagumkan Reza di sini, kita akan paham kenapa film ngotot mempertahankan untuk tetap memakai Reza untuk Habibie muda; di mata mereka menggunakan efek de-aging CGI beresiko jauh lebih kecil dibandingkan mencari pemain yang belum tentu bisa memainkan sebaik yang dilakukan oleh Reza. Sedangkan Maudy Ayunda; meskipun fisiknya tidak banyak diubah, tetapi Maudy seperti menghidupi karakter Ainun luar-dalam. Ainun adalah pribadi yang pintar, ringan tangan dalam menolong orang, punya hati yang lembut di balik tekad yang kuat. Itu semua tampak effortless dibawakan oleh Maudy, seolah ia tercipta untuk peran ini. Di film ini Ainun akan menjalin hubungan dekat dengan dua pria, dan Maudy berhasil mengenai setiap emosi yang dibutuhkan sehingga kita mengerti perbedaan intensitas cinta yang mesti ia tampilkan.
Tambahkan kepekaan sutradara yang luar biasa terhadap memancing reaksi emosional dari penonton, baik melalui timing masuknya musik dan lagu ataupun melalui timing kamera; Film ini hadir sebaik yang bisa diusahakan oleh Hanung Bramantyo. Ini adalah yang terbaik yang bisa ia hasilkan darimateri sekuel yang ia tangani. Dan di sinilah masalahnya; materi kali ini tidak berhasil dipertahankan sebagai hal yang menarik. Malah terasa ada dua sudut pandang, dan dua kepentingan yang tak bisa bercampur padu.

Aku pribadi senang karena bukan hanya dua, melainkan ada empat alumni Gadis Sampul muncul di film ini

 
 
Proyek Habibie & Ainun 3 pertama kali disiarkan ke publik pada bulan April 2019 lalu, sebagai sekuel dari Habibie & Ainun (2012) dan Rudy Habibie (2016). Naturally tentu saja banyak peristiwa yang terjadi antara April hingga Desember 2019 saat perilisan filmnya. Di antaranya adalah wafatnya bapak yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia ini. Meninggalnya B.J. Habibie selain membuat satu negara berduka, juga mengubah course film. Dari yang tadinya film diniatkan sebagai murni kenangan beliau untuk ibu Ainun – Pak Habibie bertindak sebagai semacam supervisor yang memastikan tidak banyak fakta yang menyimpang muncul pada film, berubah menjadi untuk didedikasikan kepada beliau. Seperti yang tercantum pada poster film ini “Dedicated to the Memory of B.J. Habibie”. Ini akhirnya menjadi ‘konflik’ yang tercermin benar pada hasil film.
Dari judulnya memang kita seharusnya sudah mengerti tokoh Habibie yang ikonik dimainkan oleh Reza Rahadian akan mempunyai peran lebih besar daripada sekadar cameo. Namun perubahan keadaan di dunia nyata, memberikan efek peran Habibie dalam film ini menjadi lebih banyak dan lebih memusatkan cerita kepadanya. Misal pada babak pertama, kita kembali mendapat sudut pandang Habibie muda yang menceritakan kepada Ainun mimpi dan cita-citanya membuat pesawat. Menunda sudut pandang tokoh wanita utama, yakni Ainun, yang seharusnya ini adalah gilirannya untuk dijadikan fokus. Setelah tiga-puluh menit barulah kita mendapat sudut pandang Ainun, mengetahui keinginannya, dan apa yang menjadi hambatan baginya. Film seperti jadi tidak percaya penonton tertarik untuk mendengar cerita Ainun. And I think it is ridiculous. Maksudku, gimana penonton mau percaya pada cerita yang mereka bawa tatkala filmnya sendiri udah duluan nunjukin ketidakpercayaan terhadap cerita tersebut dengan tetap menjadikan Habibie – yang sudah punya dua film tersendiri – sebagai ‘jualan’ utama. Close up tetap pada wajah Reza tidak peduli saat versi muda wajahnya kadang tampak mengerikan oleh efek komputer. Namun, melihat ke belakang setelah film usai, hal ini sepertinya juga dikarenakan hanya ada sedikit porsi yang benar-benar menarik yang bisa diangkat dari cerita Ainun. Dan itu pun tampak sama tak-meyakinkannya dengan efek wajah muda Habibie Reza.
Narasi soal Ainun melingkupi dia menolak hanya menjadi bidan. Ainun ingin menjadi dokter. Ainun kuliah kedokteran di Universitas Indonesia pada tahun 1955.  Terlebih cerita ini adalah pada masa baru terbebas dari penjajahan, dan mayoritas Indonesia masih punya pandangan cukup terbelakang. Wanita masih belum diharapkan sekolah tinggi, apalagi menjadi dokter. Ainun ‘dijual’ oleh cerita sebagai minoritas di kampus. Namun dia cukup populer sampai-sampai mahasiswa dari fakultas lain membentuk fans club dirinya. Ainun populer karena tindakannya yang berani mengalah untuk lebih dari sekadar menang, karena ketenangan, dan karena kecantikannya. Cerita bersinar tatkala membahas Ainun dalam level yang lebih personal seperti ketika ia yang berusaha membuktikan stigma wanita tidak bisa menjadi dokter sehebat pria kemudian mencicipi kegagalan untuk pertama kali. Ketika mencoba menyisipkan soal kebangsaan pada susahnya menjadi wanita yang ingin menjadi dokter, cerita menjadi tak meyakinkan.

Jadi dokter itu susah, terutama buat wanita. Stigma ini udah melekat hari-hari awal perkembangan dunia pengobatan, bahkan filsuf Yunani Aristoteles mengkarakterisasikan wanita sebagai “jantan yang termutilasi”. Kepercayaan ini terus menurun di dalam kultur kedokteran. Bahkan diduga sebagai akar dari pandangan ilmiah yang menyokong wanita dari tulang rusuk, sehingga merupakan minor/inferior daripada pria.

 
Terutama karena film mati-matian membuat keadaan Ainun seperti Marie Thomas, dokter wanita pertama dari Indonesia. Seolah Ainun adalah mahasiswi kedokteran pertama yang visioner, akan tetapi hal tersebut malah dibahas dengan elemen-elemen pendukung yang enggak maksimal. Antagonis Ainun hanyalah satu orang senior cowok, yang oleh naskah ditulis punya ego comically tinggi dia masih menyangka dirinya lulusan terbaik padahal menyadari udah ketinggalan satu tahun dan kalah dalam lomba atas nama kampus. Perjuangan Ainun akhirnya mengalah masuk ke dalam balutan drama romansa. Kisah cinta Ainun dan Ahmad pada masa perkuliahan yang berusaha keras dibuat manis, tidak pernah terasa semanis yang diinginkan karena kita sudah tahu pada siapa Ainun akhirnya bersama. Kita sudah mengantisipasi perpisahan mereka. Beruntung naskah menyiapkan dialog-dialog quotable nan sensasional untuk scene putus. Sebagian besar penonton yang sudah disasar akan menikmati sekali adegan break up ini, karena memang dibuat dengan jor-joran. Terlebih karena film dibuat dengan teknologi dolby atmos.

Ainun kasidahan “Ahmad ya Habibie, Ahmad ya Habibie”

 
Tema perjuangan wanita di dunia laki-laki tidak terasa benar seperti narasi perjuangan perempuan. Melainkan lebih seperti narasi penghormatan seorang pria kepada wanita. Tentu saja ini adalah pesan yang bagus, hanya saja film masih terasa seperti dunia pria. Karena yang diperlihatkan oleh film adalah Ainun masih butuh untuk diselamatkan oleh pria. Ainun masih sebuah ‘piala’ yang dimenangkan dalam suatu kompetisi maskulin. Perjuangan Ainun meraih gelar dokter, perjalanan cintanya yang mengambil porsi besar dari bentuk perjuangan itu, menjadi sia-sia karena pada akhir film kita tidak melihat Ainun sebagai sosok tersendiri. Pidato valedictorian Ainun yang powerful sebagai puncak arcnya dengan cepat tergantikan oleh kebutuhan film memperlihatkan footage asli dari pemakaman Pak Habibie. Bahkan kisah cinta Ainun saja dibayangi oleh sudut pandang Habibie yang ditanyai oleh cucu-cucunya “Apa Eyang tidak masalah?” Semua daging cerita ada di Ainun, tetapi dari cara disampaikannya film lebih bertindak sebagai pengingat kepada kita bahwa dia Ainun ‘hanya’ istri Habibie.

Satu lagi ungkapan yang sudah ketinggalan zaman yang dipakai dalam konteks bertutur film ini adalah “Di belakang setiap pria yang hebat ada wanita hebat”. Ungkapan tersebut setidaknya sudah dipergunakan sejak pertengahan 1940an. Ungkapan ini perlu diubah karena seperti menyugestikan posisi wanita berada di belakang pria. Padahal semestinya pria dan wanita sejajar. Wanita hebat ada di sebelah pria yang hebat. Wanita hebat ada bersama pria yang hebat.

 
 
 
Cerita film ini mengalir dengan lancar, bahkan dengan gaya narasi yang seperti flashback. Desain produksi dan penampilan pemain mayoritas jempolan. Beginilah cara terbaik untuk menyajikan cerita yang harus memuat kenangan satu tokoh akan tokoh lain, sekaligus mengenang tokoh yang mengenang tadi, dan juga membangun cerita kehidupan tokoh yang dikenang oleh tokoh yang juga sedang dikenang. Agak tumpang tindih memang – ini mungkin adalah contoh film yang dipengaruhi oleh kejadian dunia nyata, dan sebenarnya tidak mengapa jika banting stir digunakan untuk mengenang B.J. Habibie sebagai tambahan dari mengenang Ainun lewat Habibie. Tapi ini juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengenang seorang wanita hebat, tanpa menyertakan pria hebat yang didampingi olehnya. Meskipun mengusung gagasan pria dan wanita punya kesempatan yang sama dalam hal apapun, dan dari judulnya film ini memang tentang mereka berdua, akan tetapi cara film memposisikan penceritaan, menempatkan dan memperlakukan narasi tentang Ainun, tak pelak membuat kita bertanya; Apakah wanita masih minoritas di dalam dunia pria?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HABIBIE & AINUN 3

 

THE LIGHTHOUSE Review

“For a man who loves power, competition from the gods is annoying”
 

 
Enggak ada hal baik yang bisa terjadi ketika dua pria terjebak bersama di suatu tempat yang mengharuskan mereka berbagi peranan. I mean, bayangkan tumpah meruahnya testosteron di tempat itu. Sejak dari zaman purba, pria memang paling hobi bersaing. Namun Darwin sekalipun bakal bingung jika ia melihat evolusi kompetisi di dunia yang semakin kompleks. Pria bukan lagi bersaing demi hidup di esok hari, pria kini bahkan tidak puas hanya sekadar menang. Sekarang semua adalah soal menguasai seni kemenangan. Ada ego yang dipertaruhkan. Ketika menang dan harga-diri sudah dijadikan tujuan, seorang pria tidak bisa untuk tidak menang gemilang. Dan supaya menang gemilang, maka semua harus dipertaruhkan. Dan semua harus dipertaruhkan itu berarti kau mengerahkan apapun, kau kehilangan perspektif – kehilangan akal sehat.
Setidaknya mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh Roberts Eggers dakam horor terbarunya setelah The Witch (2016) yang fenomenal dan sangat aku suka itu. Bukan cuma aku, aku yakin, setelah The Witch banyak penggemar horor yang menantikan karya original berikutnya dari sutradara ini. The Lighthouse hadir dengan menjawab ekspektasi semua orang. Jika pada The Witch Eggers diam-diam membahas soal wanita dan feminism empowerment di balik horornya, maka kali ini dia membawakan horor ke dalam dunia maskulin pria.
The Lighthouse bercerita tentang dua orang pria yang bekerja mengurus mercusuar di tahun 1890. Jadi belum ada internet untuk mengusir sepi. Televisi pertama bahkan baru akan ditemukan empat-puluh tahun kemudian. Kedua orang ini benar-benar sendirian di pulau kecil terasing tersebut. Mereka hanya punya masing-masing untuk teman ngobrol. Masalahnya adalah, Ephraim Winslow tidak percaya sama seniornya yang lebih lama bekerja di mercusuar tersebut. Sikap Thomas Wake yang udah kayak kapten kapal bajak laut memang lumayan aneh kepada Winslow. Pembagian tugas diberikannya dengan sedikit timpang; Winslow mengurus kerjaan kasar di siang hari – mancing ikan untuk makan, ngangkut bahan bakar untuk listrik dan pemanas rumah, plus disuruh-suruh bersihin rumah. Sementara Wake sendiri bertugas mencatat laporan rahasia dan begadang di malam hari menjaga lampu suar di menara. Satu-satunya tempat yang tidak boleh didekati oleh Winslow. Pikiran negatif terhadap Wake mulai merasuki pikiran Winslow. Alkohol dan keadaan hidup yang sulit memang membuat mereka menjadi teman. Namun kondisi semakin intens ketika mereka terjebak di sana begitu badai menerjang. Winslow tak tahu lagi harus percaya kepada siapa; kepada Wake yang penuh omong kosong, tahayul, dan peraturan gak-adilnya – ataukah kepada pikirannya sendiri yang perlahan semakin menggila.

mercusuar bentuknya udah kayak penis, cocok sebagai panggung horor dua pria ini.

 
Bukan tipikal horor yang menakutkan, jika kalian mengharapkan ada penampakan yang mengagetkan, atau ritual perjanjian dengan iblis, maka film ini niscaya akan bikin kalian kecewa. Horor yang disuguhkan oleh The Lighthouse adalah tipikal horor yang mengganggu. Di dalamnya ada elemen thriller, ada elemen fantasi. Yang paling kuat terasa adalah elemen psikologis. Gambar-gambar mengerikan dalam terms film ini adalah gambar-gambar surealis serupa yang biasa ditemukan dalam karya David Lynch, you know, hal-hal ganjil yang awang-awang antara kenyataan atau hanya figmen alias imajinasi dari si tokoh. Mungkin kalian pernah mendengar anekdot ‘saat terperangkap di pulau bersama seseorang, hal apa yang akan engkau bawa’. Nah, film ini seperti mengingatkan kepada kita bahwa permasalahan yang sebenarnya adalah bukan pada apa yang dibawa, melainkan sama siapanya. Horor yang ditunjukkan oleh The Lighthouse berupa kengerian terjebak, hidup bersama, seseorang yang tidak kita tahan. Entah itu karena menjengkelkan, karena benci, karena enggak sejalan pikiran, atau karena enggak bisa dipercaya.
Dan oh boy, betapa kedua tokoh kita ini tidak bisa dipercaya. Sudut pandang mereka dengan sengaja dikaburkan oleh film. Padahal kita seharusnya memegang paling tidak salah satu dari mereka. Paranoia itu memang bukan saja disarangkan kepada para tokoh, kita yang nonton juga benar-benar diajak untuk merasakan hal yang sama.
Mari kita lihat dinamika kedua tokoh ini, mulai dari si Winslow sebagai tokoh utama. Robert Pattinson memberikan penampilan terbaik sepanjang kariernya sebagai Winslow. Range tokoh yang ia perankan ini luas sekali. Tokoh ini tadinya pendiam, dia seperti gak suka ngomong, dan later kita bakal mengerti kenapa dia lebih suka untuk menyimpan kata-kata untuk dirinya sendiri. Dia punya teori-teori sinting tentang tempatnya bekerja, tentang rekannya. Dia punya masa lalu yang masih diperdebatkan kebenarannya – namanya bahkan sebenarnya bisa jadi bukan Winslow dan ada kemungkinan si Winslow yang asli menghilang karena perbuatannya. Bibit konflik Winslow dengan Wake bermula dari Wake yang enggak pernah diam. Entah itu meneriakkan perintah kepada Winslow, ataupun ngobrol apa saja saat makan malam. Willem Dafoe dengan aksen raunchy memang tidak tampak sebagai orang jujur seratus persen. Dia malah seperti menyetir Winslow – yang hanya ingin bekerja dengan benar – melakukan hal-hal yang ia inginkan, kadang dengan alasan yang gak jelas. Teman bicara yang seperti menyimpan sesuatu, kerjaan yang sepertinya lebih berat dari seharusnya, tempat yang semakin mengisolasi, belum lagi dorongan alami sebagai seorang pria, kita akan menyaksikan langsung Winslow menjadi kehilangan kewarasan. Dan mungkin bukan dia saja yang sudah edan. Ada adegan Wake mengejar Winslow dengan kapak, dan beberapa menit kemudian dua tokoh ini berusaha berdamai, dan Wake malah menyebut dirinya takut karena baru saja dikejar oleh Winslow pake kapak. Juga ada obrolan ketika Winslow yakin mereka ketiduran karena mabok satu hari, sedangkan Wake berkata mereka sudah ketiduran berhari-hari. Bener-bener sulit mengetahui siapa yang bohong, seolah dua orang ini juga berlomba siapa yang paling jago mengelabui.
Bukan lagi dua orang ini saja yang di ambang kegilaan karena saling gak tahan dan karena keadaan terjebak. Film juga mendorong kita untuk merasa sinting bersama mereka. Lihat saja aspek teknis film. Editing yang bikin kita bingung mana yang nyata, mana yang rekayasa. Belum lagi bentrokan desain suara, satu detik kita mendengar deburan ombak yang menenangkan, detik berikutnya raungan mesin memekakkan telinga kita. Warna hitam putih dan ratio kamera yang membuat layar sekubus kecil bukan hanya digunakan supaya period piece film semakin kuat terasa. Melainkan juga untuk memberi kesan terbatas, sempit. Minim warna membuat kita tak yakin apa yang sedang kita lihat, dan layar yang persegi menghantarkan perasaan terjebak yang dialami para tokohnya.
Disclaimer: Tidak ada camar yang dilukai, dan tidak ada mermaid yang ternodai dalam pembuatan film ini

 
Keambiguan adalah menu spesial film ini. Tidak ada jawaban yang pasti. Jika kalian mengajak pacar buat nonton, niscaya di akhir film kalian bakal mendapat dua interpretasi berbeda tentangnya. Ending film yang bikin garuk-garuk telinga sambil mangap itu bisa dijadikan kunci untuk memulai sebuah interpretasi. Yang kita lihat adalah pemandangan yang cukup familiar; sebuah scene ikonik dari mitologi Yunani yakni Prometheus yang isi perutnya dimakan oleh burung-burung. Dosa Prometheus dalam mitologi adalah dia berusaha mencuri api dari Dewa. Ini exactly yang kita lihat dalam film. Winslow berusaha mengambil alih lampu menara suar, lampu yang dilarang baginya oleh Wake. Banyak petunjuk, baik lewat dialog maupun adegan fantasi, yang menunjukkan perbandingan langsung antara tokoh film dengan tokoh dalam mitologi Prometheus. Cerita Prometheus sendiri bermakna tentang persepsi kekuasaan (power) – Prometheus merasa dirinya pantas menjadi dewa bagi manusia sehingga ia mengambil tindakan yang ia lakukan – yang cocok disandingkan dengan cerita Winslow dan Wake.

Penting bagi pria untuk berada di posisi yang mencerminkan kuasa yang ia miliki. Winslow adalah pekerja keras, ia merasa kerjaannya lebih berat, jadi mengapa ia tidak bisa berada di atas suar. Bagaimana kita merasa harus diperlakukan sesuai power yang kita miliki adalah gagasan cerita yang terpikir olehku. Kadang ego pria seperti Winslow, juga Wake, begitu besar sehingga pria either mengambil jalan pintas untuk mengambil posisi yang ia merasa pantas, atau menjadi gila kekuasan karena menanggap hanya dirinya yang pantas.

 
So yea, film tidak peduli sama sekali bahwa dia tidak mengangkat cerita yang trendi, isu yang hangat, film ini tidak berusaha menjadi mainstream. Dia juga tidak merasa sok jago dan nge-art banget sehingga jadi pretentious. Film ini actually punya selera humor yang kocak terhadap hal tersebut. Sebab sepertinya sengaja menuliskan tokohnya sebagai tukang kentut. Seolah meledek kita yang sok bangga nonton film ‘berat’. Kentut di sini juga bekerja dalam konteks cerita. Semua orang punya batas kesabaran. Dan garis ambang toleransi Winslow kepada Wake terletak pada kentut tersebut.
 
 
 
Bukan horor konvensional, melainkan horor yang begitu intens mengenai pergolakan power antara dua pria. Meskipun kebanyakan isinya ngobrol dan ngajak kita berpikir (bahasa yang digunakan tokoh berdialog juga enggak langsung mudah dicerna), tapi cerita tak pernah membosankan. Keambiguan dan cara ngecraft cerita sehingga kita seakan turut menjadi gilalah yang menjadikan film ini spesial. Film adalah soal pengalaman menonton. Pengalaman horor yang ditawarkan oleh film ini adalah salah satu pengalaman terbaik yang bisa kita rasakan sepanjang tahun.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LIGHTHOUSE

IMPERFECT: KARIER, CINTA & TIMBANGAN Review

“We are our own worst critic”
 

 
Adalah kecenderungan alami bagi kita untuk berusaha menjadi lebih baik, terlebih dalam urusan penampilan. Karena memang bagaimana kita terlihat oleh muka umum sangat berpengaruh pada setiap aspek dalam hidup. Orang pendek, misalnya, gak bakal langsung keterima jadi tim inti basket di kelurahan. Orang gendut, seperti Rara dalam drama komedi terbaru dari Ernest Prakasa ini, memiliki kesempatan yang lebih kecil – dan lebih susah untuk sukses – dalam dunia pekerjaan ketimbang orang yang lebih singset. Jadi bukan ‘mendadak’ setiap orang begitu insecure terhadap dirinya masing-masing. Kecemasan tubuh kurang langsing, kurang berisi, kurang putih, kurang tinggi, kurang seksi terjadi bukan sebatas pada wanita, bahkan juga pada pria. Media mengeset standar kecantikan dan kita suka pada apa yang mereka jual. Society mengamini standar tersebut. Dan kita menjadi begitu keras kepada diri sendiri supaya terhindar dari body-shaming, supaya sempurna menjadi sesuai standar penampilan yang menjadi ilusi dari ‘lebih baik’.
Secara konstan Rara (Jessica Mila actually put on a little more weight for her role here) hidup di bawah tekanan dan body-shaming dari sekitarnya. Terlahir mirip almarhum ayah (ungkapan halus untuk berkulit hitam) dan suka makan banyak – dengan batang coklat sebagai pelengkap 4 sehat 5 sempurnanya – Rara bahkan dapat tekanan di lingkungan rumah. Ibu Rara yang mantan model kerap menegur Rara untuk mengurangi porsi makan, memperhatikan berat badan, dan membanding-bandingkannya dengan sang adik yang punya potongan kayak gadis sampul majalah. Rara tadinya cuek, toh dia punya Dika, pacarnya yang menyintai Rara – yang melihat cahaya di dalam diri Rara. Tapi kemudian, tekanan pekerjaan mendera. Untuk bisa naik pangkat menjadi manager di perusahaan make-up, Rara enggak bisa hanya mengandalkan kepintaran. Sebab image dan penampilan adalah hal yang utama – you can’t be important if you’re not pretty enough. Rara bertekad mengubah penampilan, dia mendorong dirinya sampai-sampai Dika dan orang-orang terdekat tidak mengenali lagi siapa dirinya. Dan itu bukan hal yang bagus, sebab dia mungkin saja sudah kehilangan kecantikan dirinya yang sebenarnya.

brand-brand kecantikan nyuruh kita untuk menjadi diri sendiri sembari menawarkan produk untuk mengubah penampilan.

 
Aku sendiri bukan orang yang paling secure sedunia untuk urusan penampilan. Sejak kecil aku berurusan dengan ledekan fisik (diledekin karena pendek, dibecandain karena cadel) dan meski aku sudah ‘menaklukkan’ itu, kini muncul lagi hal yang bikin insecure. Rambutku yang sekarang hanyalah bayangan dari kemegahannya dahulu yang sukses bikin jealous cewek-cewek di kampus. Kupluk adalah relic ke-insecure-anku perihal rambut yang kupakai ke mana-mana. Aku juga pernah gendut dan mengurangi makan (nyaris) secara gila-gilaan, persis Rara. No shit. Makanya aku suka sama cerita kayak gini. Makanya aku kepikiran untuk bikin film pendek Gelap Jelita, yang terinspirasi dari lagu Scars to Your Beautiful dari Alessia Cara. Aku tau first hand bahwa insecure fisik adalah masalah yang serius bagi setiap individu. Aku pengen pesan menguatkan untuk melawan ke-insecure-an bisa terus berlanjut. Dan Imperfect yang diadaptasi oleh Ernest dari cerita buku karangan sang istri, Meira Anastasia, buatku menyempurnakan hidangan bergizi soal melawan ke-insecure-an.
Digarap oleh seorang komika/komedian, film ini punya dosis sehat guyonan yang bukan merecehkan malahan memberikan nada yang unik dalam menggambarkan permasalahan insecure fisik tersebut. Sepanjang durasi kita akan bertemu dengan banyak tokoh-tokoh yang merasa minder dengan ketidaksempurnaan dirinya, mereka diledek karenanya, dan mereka bukan hanya berani nge-call out yang ngata-ngatain, melainkan juga berani secara kasual membicarakan ketidaksempurnaan tersebut sebagai becandaan dengan teman. Just like ketika Ernest menertawakan kesipitannya pada film debut yang meloncatkan karirnya sebagai sutradara dan penulis – Ngenest (2015). Tokoh-tokoh Imperfect lowkey empowering. Kita melihat mereka dalam berbagai wujud ketidaksempurnaan seperti gendut, item, tonggos, tompelan. Dan kita seperti diajak untuk menertawakan para pelaku body shaming sebagai garda pertama pertahanan diri dari menghilangkan keinsecurean tersebut. In this way, film menjadi sangat relatable, karena dengan beragamnya ‘contoh kasus’ maka kita akan menemukan satu yang bisa dikaitkan dengan diri. Film menggebah kita untuk menatap kekurangan diri sendiri, dan menjadi bangga terhadapnya alih-alih memaksa diri untuk berubah. 
Dan Rara adalah sosok yang sempurna untuk dijadikan pusat dari ketidaksempurnaan itu semua. Naskah benar-benar menghormati tokoh ini. Rara bukan hanya pintar dan real good at her job di perusahaan make-up. Hal pertama yang kita pahami dari Rara adalah dia suka makan dan dia oke dengan itu. Ketika stake cerita naik, dan dia harus menurunkan berat badan, Rara tidak serta merta dibuat menyiksa dirinya dengan mengurangi makan. Rara selalu mencoba untuk menghormati dirinya sendiri terlebih dahulu dibanding apapun. Makanya, Rara kemudian menjadi ‘lawan’ dari Marsha (Clara Bernadeth memainkan Regina George versi kantoran). Lewat dinamika antara Rara dan Marsha film menjelaskan kenapa cewek cantik populer selalu memandang cewek yang tidak menonjol dan hanya punya satu sahabat yang sama dipandang ‘aneh’ sebagai ancaman. Semua kembali kepada insecure tadi. Cewek-cewek cantik ala trope ‘mean girl’ berjalan pada sistem yang dibentuk oleh media dan society. Sementara cewek seperti Rara – dan protagonis film-film yang ada trope ‘mean girl’nya, mereka ini kayak wild card, mereka punya kemampuan untuk berada di luar sistem dan conformity dalam society, mereka tidak mesti berada di dalam sana. Oleh karena itu dalam setiap cerita mean girl; Regina, Heather, dan sekarang Marsha, selalu membuat protagonis menjadi bagian dari geng mereka – memasukkan protagonis kembali ke sistem.
Imperfect, however, mengolah elemen ini dengan lebih dewasa sebab Rara bukan lagi di lingkungan sekolah seperti cerita trope mean girl pada umumnya. Masalah Rara bukan lagi sesepele pengen punya pacar atau jadi populer. Rara ingin naik jabatan, dia sendiri yang memilih untuk jadi kurus dan mendapat respek dari Marsha. Seperti Marsha. Karena hanya dengan menjadi Marsha-lah tujuannya bisa tercapai. Perubahan Rara terasa lebih powerful karena kita dapat merasakan bingung dan perjuangan Rara untuk bertahan menjadi diri sendiri sekaligus juga mengubah diri secara fisik. Akhirannya memang masih tertebak oleh kita. Aku bisa melihat film ini akan dikritik oleh banyak orang sebagai stereotip banal lebih baik gendut daripada modis. Apalagi karena pemeran Rara bukan orang gendut beneran dan tetap tergolong atraktif untuk standar masyarakat. Pada satu titik menjelang akhir, Rara dijadikan contoh untuk produk make-up terbaru di kantornya; dia yang pintar dan berusaha keras memperbaiki penampilan, ter-reduce menjadi stereotip. Cliche as it is, tapi sesungguhnya inilah cara film untuk menegaskan kepada kita bahwa hal itulah yang terjadi kepada siapapun yang lebih mementingkan penampilan luar; kita hanya akan menjadi sebuah stereotip.

Seribu pujian tetep gak akan berefek segede satu kritikan. Karena kita gak bakal tahu pasti seberapa tulus pujian tersebut dan seberapa objektifnya komentar ngritik tersebut. Sehingga kita ditinggal untuk bertanya kepada diri sendiri. Inilah mekanisme dasar mengimprove diri. Yang seringkali kita bersikap keras kepada diri sendiri sehingga kita berubah menjadi orang yang bukan siapa kita. Dan semua itu bermula dari satu komentar orang soal penampilan fisik kita.

 
Ernest Prakasa membangun satu dunia yang dengan tepat mencerminkan keseluruhan insecurity dan body-shaming bekerja di dunia nyata. Hubungan antara Rara dengan Dika, pacarnya yang fotografer berfungsi lebih dari sekadar menjalankan tugasnya sebagai bagian drama romance dari drama komedi romantis ini. Arc Dika (diperankan dengan hangat dan sangat simpatik oleh Reza Rahadian) mengajarkan kepada society, dan kita, cara memperlakukan orang dengan benar; yakni dengan tidak meletakkan pressure kepada mereka – untuk respek terhadap pilihan orang karena sebagian besar waktu mereka berusaha untuk menjadi diri sendiri, tapi dunianya punya tuntunan, dan kita sebaiknya tidak menambah mumet dan biarkan mereka membuat pilihan, dan respek kepada apapun pilihan mereka. Tidak perlu kita terlalu banyak mengatur, atau malah jadi menyalahkan dirinya – seperti mama Rara kepada Rara. Film ini juga menggambarkan soal victim-blaming yang bisa saja terjadi secara kasual, tanpa kita sadari, yang sebenarnya justru menambah pressure kepada orang.
Satu lagi tokoh yang berperan besar bagi perkembangan karakter Rara, tentu saja adalah adiknya; Lulu (dimainkan dengan manis oleh Yasmin Napper yang juga manis). Si anak ’emas’ sang mama. Rara dan Lulu akrab, tapi diam-diam ke-perfect-an Lulu juga menjadi sumber ke-insecure-an bagi Rara. Ada satu adegan emosional yang melibatkan kakak beradik ini, dan juga mama mereka, yang dihandle dengan begitu grounded dan menghangatkan oleh film. Rara begitu ‘jealous’ sama Lulu sehingga dia tidak melihat bahwa adiknya ini punya ke-insecure-an sendiri. Film menjadikan Lulu sebagai wakil untuk mengatakan orang-orang yang terlihat sempurna juga punya masalah insecure. Kita juga diperlihatkan bahwa di masa kini orang bisa jatoh bahkan lebih artifisial daripada stereotipe jika terlalu mengagungkan penampilan lewat tokoh pacarnya Lulu yang hanya peduli pada bagaimana dia terlihat oleh followernya di sosial media.
Semua tokoh dalam film ini diberikan peran dan kepentingan, bahkan tokoh-tokoh yang terlihat konyol. Ini adalah pencapaian yang paling pantas kita selebrasi pada Imperfect. Ernest berusaha menyempurnakan gaya komedinya; tokoh-tokoh minor yang biasanya cuma jadi guyonan sketsa yang ditempatkan hanya sebagai selingan atau transisi di antara adegan-adegan penting, kali ini mereka (sejawat komika Ernest dan obrol-candaan mereka) dibuat paralel dengan permasalahan tokoh utama. Tidak lagi adegan-adegan mereka bisa dibuang begitu saja, karena di film ini mereka menambah bobot bagi narasi. Konklusi film ini akan terasa sangat nendang oleh emosi, berkat cara film mengikat masalah-masalah insecure yang melanda para tokoh. It is really empowering, and beautiful. Kalo dipaksa nitpick, aku cuma mau bilang sedikit kekurangan film ini adalah masih ada beberapa tokoh yang tampak tak tersentuh oleh insecure padahal mestinya di akhir itu mereka merayakan ketidaksempurnaan bersama-sama.

mereka basically bikin video musik Scars to Your Beautiful

 
 
 
Padet, lucu, bikin jatuh cinta, tapi bukan Jessica Mila – apakah itu? Film ini jawabannya. Komedinya yang bikin terpingkal itu tidak pernah terasa sia-sia, malahan menambah banyak bobot untuk cerita. Hubungan keluarganya bikin hangat, begitu juga romansa – kita melihat dua orang yang berusaha saling menghargai no matter what, mereka berusaha melihat masing-masing di luar penampilan fisik. Dan yang paling penting film ini mengajak kita untuk lebih mencintai dan menghormati diri sendiri. Tidak serta merta menyalahkan dunia yang sudah mengeset standar kecantikan. Film ini juga berani untuk menjadi stereotipe alias klise demi menyampaikan gagasannya. Cerita ini penting untuk disaksikan bukan hanya wanita, tapi juga pria. Karena insecure bisa melanda semua orang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for IMPERFECT: KARIER, CINTA & TIMBANGAN.

TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review


 
Akhir tahun selalu adalah waktu yang tepat untuk kita berkontemplasi, merefleksikan diri, merenungkan apa saja yang sudah dikerjakan dalam kurun tiga-ratusan hari. Apa kita sudah mengubah hidup menjadi lebih baik atau malah sebaliknya. WWE punya versi tersendiri untuk merayakan masa-masa tutup tahun; dengan tiga benda sakral. Meja. Tangga. Kursi. Tahun ini acara TLC dibuka dengan sambutan dari Bray Wyatt yang tersenyum kepada kita sembari menghias tangga dengan dekorasi seolah itu adalah pohon natal. Bray Wyatt, satu dari sedikit sekali superstar WWE yang beneran mengalami perubahan menarik bukan hanya tahun ini melainkan juga dalam sepuluh tahun terakhir. I mean, look at this

the winner of 10 Years Challenge, everybody!

 
Bray Wyatt merepresentasikan constant change positif yang harusnya dilakukan oleh WWE. Dalam narasinya pada pembuka TLC ini, Wyatt bukan saja bicara tentang kontemplasi (siapa yang udah berbuat nakal dan yang berbuat baik tahun ini), dia juga menegaskan tentang siklus hurt dan heal yang menjadi vokal utama dari karakternya. Duality yang berpusat pada perubahan.  Salah satu hal unik dari karakter Bray Wyatt yang dibuat seperti punya dua kepribadian ini adalah setiap superstar yang berhadapan dengannya mengalami perubahan drastis karena intensnya Wyatt mempengaruhi mereka. Seth Rollins, misalnya, dari yang tadinya pahlawan bagi menonton, go on a downward spiral secara emosi dan berubah menjadi dirinya yang licik jahat seperti dirinya saat mengkhianati The Shield beberapa tahun yang lalu. WWE menggunakan ‘kekuatan spesial’ Wyatt ini sebagai device menghighlight perjalanan superstar-superstar yang menjadi penanda perubahan jaman pada WWE.

Seperti kehidupan kita, ada naik turun. Seperti bisnis WWE, ada kesuksesan, ada kemunculan pesaing baru, ada inovasi, ada juga kemunduran. Dengan menonton TLC 2019, kita bisa menjudge benarkah ada perubahan yang sudah dilakukan WWE yang menunjukkan perkembangan positif dalam skena dunia gulat-hiburan.

 
Malam TLC ini, kita menyaksikan Daniel Bryan kembali menjadi sosok yang kita kenal pada tahun 2010. Tidak ada jenggot berantakan. Tidak ada rambut dan look yang terkesan liar. Tidak ada kapten planet yang sok suci ala SJW. Bryan muncul di akhir pertandingan antara Wyatt melawan Miz, berusaha menuntaskan masalahnya dengan Wyatt yang tampak begitu fenomenal. Ini adalah pertama kalinya Wyatt muncul bertanding dengan persona host acara anak-anak ala Barney atau Kak Seto. Dan his deal kali ini adalah mencoba mengubah The Miz, memancing demon di dalam diri bapak dua anak tersebut. WWE benar-benar melakukan kerja yang sangat baik dalam mengeksplorasi storyline ini. Practically ini adalah horor keluarga – genre yang paling banyak digemari dan melahirkan banyak cerita hebat pada perfilman. Makanya, pertandingan mereka ini terasa kurang-gulat dan lebih kepada drama horor. Aksi dan alur pertandingannya bukan apa-apa dibandingkan dengan kejadian-kejadian yang terungkap. Wyatt yang seperti enggan bertarung, namun kadang ‘setan’nya muncul dan dia menyerang dengan sinis – bahkan tertawa-tawa ketika sedang dihajar. Miz yang emosi, fokus kepada offense karena baginya ini adalah taruhan keselamatan keluarga. Dan kemudian yang kusebut tadi, kemunculan Daniel Bryan versi 2010. Sebenarnya ada satu kejutan lagi, yang ngepush kedalaman karakter Wyatt lebih jauh, tapi menurutku akan mengurangi keseruan jika disebut di sini.
The lack of good wrestling pada Wyatt lawan Miz, ‘disembuhkan’ oleh pertarungan sengit dan sangat fisikal antara Aleister Black melawan Buddy Murphy. Drama di balik seteru mereka tidak begitu ‘wah’ tapi kedua pegulat muda ini berhasil menyuguhkan bukan sekadar aksi yang bikin menggertakkan gigi, melainkan juga psikologi in-ring yang meyakinkan. Mereka saling berusaha mengungguli – komentator bilang mereka berdua sama-sama belum pernah kalah di Raw. Their fight is literally like a fight. Serangan-serangan stiff (serangan yang terlihat ‘kasar’ alias kayak tendangan pukulan beneran dilancarkan silih berganti, terlebih setelah hidung Black patah. Dan itu baru lima menitan into the match, bayangkan serunya pertandingan mereka yang nyaris lima-belas menit ini. Black dan Murphy seolah tidak peduli partai mereka sebenarnya cuma partai untuk kepentingan promosi game kartu WWE (SuperCard) untuk hape.
Sayangnya, hanya dua partai di atas saja yang pantas untuk kita saksikan dalam TLC. Malahan, aku heran pada keputusan WWE menutup tahun 2019 mereka yang penuh dengan breakthrough (a lot of “for the first time-ever!”) dengan acara yang seperti diisi ala kadarnya. Tidak ada championship gede yang dipertaruhkan. Stipulasi yang dipake tampak seperti ngasal dan ketuker-tuker. Dan ada dua partai yang sebenarnya cuma iklan produk. Black-Murphy turned out to be a blast. Namun Kejuaraan Tag Team Raw yang basically adalah promosi KFC berjalan dengan ‘meh’. Agak kurang ajar sebenarnya mereka membuat The Viking Raiders juara tag team yang sangar, yang memulai debut di NXT dengan strong, yang dinaikkelaskan ke main show sebagai bagian yang kita asumsikan sebagai rencana meng-edgy-kan kembali WWE, harus menutup tahun dengan pertandingan tanpa build up yang berlangsung tak ada spesial-spesialnya.

Apa yang lebih parah dari match boring? Match boring yang dikomentari oleh Michael Cole

 
Ladder match antara The Revival melawan New Day untuk kejuaraan Tag Team Smackdown sebenarnya cukup seru. Tapi aku merasa stipulasinya ini salah tempat. Gagasannya adalah soal Revival yang bergaya old school harus berkreasi dalam lingkungan tangga, mereka yang tembak-langsung mungkin kudu beratraksi untuk bisa menang – mereka ditantang untuk melakukan gaya tarung yang mereka benci. Nyatanya, Revival tetap tidak melakukan apa-apa yang baru yang di luar kebiasaan mereka. Pertandingan Tangga tersebut standar-standar aja, gagasan mereka harus ngeflip itu tak tergunakan dengan baik. Big E malah kelihatan canggung dan menghabiskan waktu terlalu lama untuk menyusun tangga. Gaya keras partai ini sepertinya bisa ditunjang lebih baik dalam Chairs Match biasa. Match lain juga kayak gak cocok seperti begini. Roman Reigns melawan Baron Corbin enggak punya urgensi untuk menjadi sebuah TLC match. Dua tahun lalu ketika aku bilang pengen lihat Corbin dan Reigns berantem, yang kubayangkan adalah tarung brutal ala Bloody Roar – Lone Wolf vs. Big Dog. tapi kenyataannya yang kudapat di sini adalah, jangankan tangga, kursi dan meja aja jarang disentuh oleh mereka berdua. What’s the point of having a TLC match then? Jika memang mau ngepush Corbin yang dibantu separuh isi locker room, harusnya bikin apa kek, table match aja. Bikin jadi round-table sekalian, biar kesan kerajaannya makin kuat dan Corbin punya pengawal-pengawal.
WWE punya Marriage Story versi sendiri. Dan seharusnya ini yang ditandingkan sebagai TLC Match. Gantung surat cerai atau surat harta gono gini atau apalah sebagai yang diperebutkan oleh Rusev dan Lashley-Lana. Kedua superstar ini bermain keras, namun dalam lingkungan meja yang peraturannya sekali patah langsung beres, gelut mereka yang personal (betapapun receh drama dan aktingnya) tidak terakomodasi dengan memuaskan. Meskipun aku memang ragu bakal ada yang merasa puas dengan storyline ini.
Jadi, yeah, TLC kali ini punya jadwal pertandingan yang paling tidak menarik sepanjang tahun. Dari segi cerita, humor, aksi, WWE terasa jalan di tempat jika dibandingkan dengan WWE sembilan tahun yang lalu. Malah terasa mundur jika pembandingnya adalah tiga ppv sebelum ini, yang lumayan menunjukkan progres. Wacana terbaik yang dimiliki WWE pun – soal woman revolution – tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan walaupun acara ini ditutup oleh inovasi kewanitaan teranyar dari WWE – first ever women’s tag team TLC. Mainly karena akhir match ini lenyap dinegasi begitu saja oleh brawl dari superstar-superstar cowok. Now, let’s talk about that match. Charlotte, Becky Lynch, Asuka, Kairi Sane – semuanya jor-joran berusaha keras menghasilkan main event yang heboh. Sedikit terlalu keras, malah. Sebagian besar match dihabiskan oleh mereka bergulat dengan memikirkan spot dahsyat, sehingga tak terasa lagi keinginan untuk mengambil belt yang tergantung di atas. Minim sekali aksi mereka rebutan naik tangga. Bicara soal aksi, kita bisa melihat jelas Sane mengalami masalah. Dari yang tadinya fun, superstar asal Jepang ini terlihat melambat – seperti kesulitan berdiri. Later, aku baru tau dari berita bahwa dia memang mengalami concussion di tengah pertandingan. Sesuatu kejadian yang tergolong normal dalam WWE. Yang tidak normalnya adalah seperti ada miskomunikasi antara pelaku-pelaku dan wasit yang bertugas menjaga pertandingan terkait safety superstar. Semuanya seperti terlambat sadar bahwa Sane got hurt. Asuka dan Becky berusaha melindungi Sane begitu masing-masung sadar ada yang salah. Tapi Charlotte, maaan, entah karena ego atau apa, dia tetap menyerang Sane habis-habisan, malah ia tampak marah kepada Sane yang enggak ‘menjual’ Spear dengan benar. Charlotte lanjut memPowerbomb Sane ke meja, meski Sane terang-terangan menolak dan berusaha memberi tanda. Aku berharap Sane tidak mengalami masalah serius, dan Charlotte mau mengakui dan lebih berhati-hati di lain kesempatan.
 
 
 
Perubahan memang gak bisa dalam satu malam. WWE punya satu tahun ke depan untuk memfullcirclekan perkembangan satu dekade mereka. Karena yang kita lihat dalam TLC yang menjadi penutup tahun ini adalah sebuah kemunduran. Dengan adanya pesaing dari AEW, WWE bisa dalam masalah besar jika tidak berkembang dari acara kurang menghibur seperti sekarang ini. The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada tarung seru antara Aleister Black melawan Buddy Murphy sebagai bibit unggul yang punya potensi yang harus segera dimaksimalkan oleh WWE
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP LADDER New Day bertahan dari The Revival
2. SINGLE Aleister Black mengalahkan Buddy Murphy
3. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP double countout antara Viking Raiders dan penantang kejutan The O.C.
4. TLC King Baron Corbin mengeroyok Roman Reigns
5. SINGLE Universal Champion Bray Wyatt menang atas The Miz 
6. TABLES Bobby Lashley dibantu Lana ngalahin Rusev 
7. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP TLC Kabuki Warriors dengan susah payah mempertahankan sabuk dari Charlotte Flair dan Raw Women’s Champion Becky Lynch 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

JERITAN MALAM Review

“Words have no power to impress the mind without the exquisite horror of their reality”

Diadaptasi dari thread karangan user meta.morfosis di Kaskus, cerita Jeritan Malam yang digarap oleh Rocky Soraya dapat terasa ‘berlebihan’ dan tidak masuk akal karena berurusan dengan usaha membuat kita percaya bahwa dunia gaib itu ada. Namun begitu, melihat tokohnya yang keras kepala ditarik – bahkan dijebak – ke dunia tersebut cukup untuk membuat horor ini terasa menyenangkan dan jadi ‘sesajen’ menghibur yang menyebabkan kita betah menyaksikannya.
Herjunot Ali dalam cerita ini adalah Reza. Sarjana S1 yang percaya sama ilmu pengetahuan dan logika. Segala tahayul, jimat-jimat, kekuatan gaib, perdukunan adalah omong kosong baginya. Reza bahkan enggan mempelajari budaya klenik yang ditawarkan oleh ayahnya. Setengah hati Reza mengiyakan tatkala disuruh membawa pusaka kecil dari sang ayah sebagai perlindungan di tempatnya bekerja. Reza dikirim ke daerah Jawa Timur, kantor menyediakan mess sebagai tempat tinggal Reza di sana. Ketidakpercayaan Reza terhadap supranatural tertantang di tempat tersebut. Mess/rumah yang ia tinggali bersama dua karyawan lain ternyata juga dihuni oleh makhluk halus yang suka menampakkan diri dengan menyamar menjadi penghuni rumah. Malam di sana semakin mengerikan oleh jeritan wanita yang seringkali terdengar. Gangguan di sana memang semakin meningkat intensitasnya semenjak Reza datang. Rekan-rekannya percaya pusaka yang dibawa Reza adalah penyebabnya. Namun Reza tetap bergeming, ia mengacuhkan semua. Reza bersikeras menyangkal dan masih berusaha merasionalisasi keadaan. Demi bertahan pada pekerjaannya sebab ia butuh untuk mengumpulkan biaya pernikahan.

“suara burung”? Am I a joke to you!

Film bercerita dengan narasi voice-over dari Reza. Sehingga kita bisa mengetahui langsung apa yang dipikirkan oleh tokoh utama ini. Yang seperti menceritakan kepada kita kisah masa lalu yang begitu ia sesali – hampir seperti suara renungan yang kemudian menjadi peringatan kepada kita. Ada nuansa misteri yang berusaha dibangkitkan. Ada hook yang berusaha dibangun dari narasi Reza – tokoh ini kerap menyuruh kita untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dengannya. Namun apa tepatnya kesalahan itu – apakah karena dia tidak percaya, apakah karena dia membawa pusaka, apakah karena dia terlalu sompral, atau apakah karena dia membawa kekasihnya jajan bakso ceker – inilah misteri yang perlahan-lahan dibuka oleh cerita.
Bahasa Indonesia baku yang dibawakan oleh Herjunot dengan nada puitis (mengingatkan kita kembali pada perannya sebagai Zainuddin di Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck) terasa sebagai perubahan yang cukup signifikan dari bahasa Kaskus (yang menggunakan slang ane-agan) yang dipakai pada cerita aslinya. Pada beberapa kesempatan, memang terdengar awkward, seperti cerita terasa lebih tua daripada periode waktu kejadian yang sebenarnya. Juga ada dialog dengan tokoh Wulan, kekasihnya yang diperankan Cinta Laura, yang tampak lumayan kaku oleh bahasa. Namun untuk sebagian besar porsi, penggunaan bahasa ini memenuhi suatu fungsi. Penggunaan bahasa puitis memperkuat tone misteri sekaligus tone psikologis dari tokoh Reza. Ia bukan sekadar menceritakan pengalaman mengerikan untuk menakuti kita. Menyaksikan cerita dengan narasi spesifik dari Reza lebih kepada seperti mendengarkan seseorang yang penuh penyesalan, tetapi tidak berkubang di dalam penyesalan tersebut. Penggunaan narasi ini memperkuat keseluruhan arc Reza.
Satu yang paling aku suka dari Jeritan Malam ini adalah masih dibukanya pintu ambiguitas lewat penggunaan narasi. Reza menyerahkan sepenuhnya kepada kita untuk mempercayai atau tidak. Melihat ke belakang kepada konteks dan gagasan cerita, pernyataan Reza tersebut bukan lagi sebatas tentang hantu yang ia alami, melainkan juga tentang ceritanya itu sendiri. Keseluruhan kejadian kita saksikan lewat sudut pandang Reza; kita mendengarkan yang ia kisahkan, kita melihat apa yang ia tuturkan. Namun di akhir kita mengerti bahwa Reza adalah orang yang mendapat banyak, sekaligus kehilangan banyak. Cerita yang kita saksikan bisa jadi adalah proses rasionalisasi – proses yang selalu ia lakukan sepanjang kisah setiap kali dia bertemu dengan hal yang tak ia mengerti – terhadap kehilangan yang ia rasakan.

Bukan hanya hantu wanita itu yang menjerit penuh rasa takut, sedih, putus asa. Jeritan Malam actually adalah jeritan hati seorang Reza. Jeritan yang kita semua teriakkan ketika menerima sesuatu sebagai kenyataan. Meneriakkan suatu hal secara langsung tidak berarti membuat hal tersebut menjadi benar, tapi meneriakkan di dalam hati dapat membawa ketentraman. Seperti afirmasi atau menguatkan diri. Perhatikan tidak ada lagi dialog langsung Reza di akhir; film hanya menggunakan narasi. Reza bukan hanya bercerita kepada kita, ia bisa jadi juga bercerita kepada dirinya sendiri. Yang membuat dia bisa meneruskan hidup dengan jawaban atas kehilangan yang ia terima sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan. Tapi seperti kata Edgar Allan Poe; Reza harus percaya dulu bahwa dunia adalah tempat yang mengerikan – penuh setan di mana-mana 

Meskipun punya kedalaman dalam elemen narasinya, lapisan terluar juga sama pentingnya, karena hal itulah yang pertama kali kita lihat dan rasakan. Paruh pertama film mungkin bisa jatoh menjengkelkan. Terutama karena durasi film yang nyaris mencapai dua jam. Lantaran Reza begitu bebal sehingga beberapa peristiwa menjadi repetitif. Reza melihat hantu atau hal mustahil, dan reaksinya selalu sama; Ketakutan dan kemudian tidak percaya. Ini sebenarnya adalah poin penting pada arc Reza, yang menunjukkan karakternya di awal-awal. Reza merupakan seorang skeptis yang defense-mechanism dirinya saat melihat hal-hal aneh adalah mencari jawaban logis – dan jika tidak bisa, maka ia akan mengecilkan peristiwa tersebut; menganggapnya tidak penting. Ini adalah reaksi normal seseorang yang mengenyam pendidikan dan tinggal di kota besar. Kebanyakan orang akan merasa takut pada hal yang tak mampu ia mengerti, dan pada saat ketakutan orang akan kehilangan kendali. Untuk mengembalikan perasaan memegang kendali inilah, orang-orang punya tindakan yang berbeda. Bagi Reza, tindakan itu adalah merendahkan yang tidak ia mengerti. Ia menganggap ‘orang pinter’ yang dipanggil mengusir hantu ke rumah sebagai tukang tipu yang mencoba menipu mereka dengan ilmu hipnotis. Ia mencela teman-temannya yang pecaya kepada si ‘orang pinter’.
Penonton seolah didorong supaya lebih condong ke arah teman-teman Reza, seolah merekalah voice of reasons – merekalah yang benar. Inilah poin ganjil yang digali oleh film. Cerita benar-benar menganggap hal supranatural itu adalah hal serius. Malah hampir seperti peringatan kepada kita semua bahwa hantu itu ada, setan-setan akan terus mengelabuimu. Film seperti berusaha keras untuk membuat kita juga melihat dunia gaib sebagai kebenaran. Ini gak exactly kayak cerita Mary Poppins, atau cerita Harry Potter, atau cerita fantasi yang menyuruh tokohnya – dan penonton – untuk belajar percaya pada keajaiban. Lebih mudah bagi Doctor Strange untuk percaya ilmu kedokterannya tidak mampu berbuat banyak mengobati dunia superhero. Ada ‘kekonyolan’ tersendiri yang membedakan percaya sama hantu dengan percaya sama ada Narnia di dalam lemarimu. Makanya, film Jeritan Malam ini terasa tidak begitu merangkul dengan logika bagi sebagian orang, terutama yang memang skeptis juga seperti Reza. Karena kita semacam menunggu ada penjelasan lain, tapi tidak ada.

film yang diadaptasi dari cerita populer bakal laku – siapa yang percaya sama tahayul ini?

Petualangan Reza mencari kebenaran yang bisa diterima akal sehatnya membawa cerita ke paruh kedua, yang terasa lebih menyenangkan. Reza terjerat dalam semacam perjanjian tanpa ia sadari. Yang menyebabkan dia dapat melihat semua yang tadinya ia ragukan dan ia hina. Konsekuensi yang timbul dari perubahan Reza ini punya nada subtil yang mengerikan. Dia hidup dengan menyadari semua berkah yang ia rasakan sebenarnya adalah kutukan; ada harga tinggi yang mau-tak-mau harus ia bayar. Bayangkan kamu hidup bahagia tapi mengetahui ada orang yang menderita demi kebahagiaan kamu. Akhir yang mengerikan, karena di titik itu kita juga sudah bisa melihat bahwa sekonyol-konyolnya tahayul dan hantu, toh memang ada harga yang harus dibayar dalam setiap pencapaian – dan kadang harga itu begitu besar sehingga seolah kau bersalaman dengan setan.
Untuk sampai ke sana, film benar-benar bersuka ria dalam menampilkan horornya. Jika sebelumnya film ini mengandalkan permainan suara; musik yang menghilang dari adegan saat melihat keluar jendela ke pepohonan, dan kemudian cukup menggelegar mengungkap apa yang berada di balik pohon-pohon itu, maka di paruh kedua film bermain-main dengan kemunculan dan wujud hantunya. Film ini menggunakan kombinasi efek make up dan efek komputer. Untuk soal efek, film ini masih baru setengah maksimal; beberapa penampakan terlihat jelas ‘palsunya’, penggunaan darah yang mestinya bisa menggunakan darah asli, namun ada juga beberapa yang terlihat keren seperti hantu muncul dari sumur dan hantu boneka pajangan Jawa. Tidak ada hantu ‘boss’ yang jadi musuh utama yang harus dikalahkan, tapi setiap hantu yang muncul punya cerita khusus tersendiri. Interaksi Reza dengan para hantu – sebagian besar dari mereka ia kenal – jadinya menarik dan cukup memancing emosi.




Dengan set klaustofobik yang bervariasi – mulai dari rumah hingga hutan menyesatkan – film ini punya bangunan misteri yang kuat. Sedikit romansa juga ditambahkan sebagai pemerkuat taruhan bagi Reza. Walaupun ceritanya agak aneh karena berusaha membuat kita percaya sama dunia gaib, horor yang disajikan berhasil tampil menghibur. Ada kejutan yang cukup emosional di akhir. Punya nada seram di balik gagasannya. Tak ketinggalan, komedi yang dicampur secukupnya. Persis seperti judulnya, penceritaan film ini benar-benar mencapai rentang tone yang luas. Kita mungkin akan mengerang ketika terus disodori hal-hal tak-masuk akal sebagai kebenaran – film seharusnya bisa dipangkas saat certain point sudah ter-establish sehingga tak terasa terlalu repetitif, tetapi sesungguhnya ini adalah cerita yang sangat personal. Keseluruhan film adalah kata-kata dari seorang yang perlahan mengalami perubahan cara memandang dunia karena ia telah melakukan sesuatu yang tak bisa ia pahami apakah merupakan sebuah kesalahan atau memang harga yang harus dibayar untuk sebuah kesuksesan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JERITAN MALAM.



KNIVES OUT Review

Immigration strikes at the very heart of a central metathesiophobia, or fear of change
 
 

 
Kejeniusan Knives Out bukan semata pada kepiawaian membangun misteri siapa pelaku sebenarnya (biasa disebut sebagai thriller whodunit), melainkan juga pada ketajaman penulis naskah merangkap sutradara Rian Johnson mengomentari soal fobia imigran yang ia jadikan bahan utama dalam menu misteri pembunuhan yang disajikan dengan karakter beraneka rupa.
Pengarang novel misteri terkenal, Harlan Thrombey, ditemukan bersimbah darah di kamar kerjanya, sehari setelah pesta ulangtahunnya yang ke delapan-puluh-lima. Karena menyayat urat leher cukup aneh untuk dianggap sebagai pilihan tindak bunuh diri, maka detektif Benoit Blanc (aksen Daniel Craig komikal, namun surprisingly worked) melakukan investigasi. Daftar tersangkanya adalah anggota keluarga Thrombey yang diam-diam menanti warisan dari kepala keluarga Thrombey yang eksentrik. Ada Linda dan suaminya yang berharap dikasih rumah. Ada Ransom, putra Linda, ‘kambing hitam keluarga’ yang pengen diwarisi semua sehingga dia tak perlu bekerja. Ada Joni, menantu Harlan yang janda yang bergantung pada uang Harlan untuk biaya pendidikan anaknya. Ada Walt, putra bungsu Harlan, yang ingin diberikan kuasa penuh atas bisnis percetakan bapaknya. Detektif Blanc dengan senang hati mempercayakan bantuan kepada perawat pribadi Harlan, Marta (Ana de Armas memainkan seorang minor yang punya peran sangat mayor), yang begitu baik hati sehingga dianggap keluarga oleh Harlan. Tapi Knives Out punya banyak kejutan dalam ceritanya. Marta yang muntah setiap kali berbohong – cara kocak film menanamkan cewek ini adalah pribadi yang jujur dan bisa dipercaya, enggak seperti tokoh yang lain – tadinya adalah satu-satunya orang yang tidak mendapat untung dari kematian Harlan. Seiring berjalannya cerita, seiring misteri perlahan membuka, keadaan berubah dan justru Marta yang menang paling banyak dari pembunuhan ini. Bukan Blanc seorang yang berpikir keras, kita penonton juga akan semakin tersedot ke dalam misteri pembunuhan keluarga kaya raya nan nyentrik ini.

bayangkan harus nahan muntah setiap kali menyapa keluarga bos yang pura-pura liberal

 
Dari sudut pandang Marta, misteri pembunuhan ini adalah ketakutannya sebagai orang yang bukan asli Amerika. Marta merupakan orang-dalam yang sesungguhnya adalah orang-luar. Dia mengenal semua anggota keluarga Thrombey, mereka semua ramah kepadanya. Tapi dia adalah orang asing. Jangankan darah, Marta bukan dari tanah yang sama. Film menjadikan asal usul negara Marta sebagai running-joke berupa anggota keluarga Thrombey menyebutnya dari negara yang berbeda-beda. Satu tokoh menyebutnya dari Uruguay. Tokoh yang lain menyebut Marta dari Brazil. Mereka enggak benar-benar peduli, deep inside bagi mereka Marta bukan bagian dari mereka. Inilah yang lantas dijadikan konflik, tensi dramatis buat kita ketika ditempatkan dalam sudut pandang Marta.
Ada adegan ketika anggota keluarga Thrombey duduk mengobrol, dan perbincangan mereka dengan cepat berubah menjadi pandangan politik soal imigran. Anak-anak Harlan bicara dengan cueknya padahal ada Marta di sana. Kita bisa meliha Marta tidak nyaman, karena pembicaraan mereka yang liberal dan tidak-menyalahkan imigran terdengar tidak tulus. Setelah pembunuhan terjadi, dan situasi berubah, kita melihat Marta mau-tidak-mau harus bergerak karena pemahamannya mengenai situasi. Dia jadi seperti banyak diuntungkan, dan tentu saja orang-orang akan ‘menyerang’ dia karena mereka percaya Marta enggak pantas. Marta bukan keluarga, maka dia mencuri dari mereka. Marta bergerak dengan pemahaman ini di dalam kepalanya. Kita juga menyaksikan kejadian dengan pemahaman tersebut, hanya saja dengan ruang lingkup yang lebih luas karena nafas film ini adalah cerita whodunit sehingga film tidak menutup kemungkinan bahwa mungkin Marta memang ‘bersalah’.

Film memotret bagaimana ketakutan terhadap imigran itu bisa timbul. Keluarga yang merasa dirampok oleh orang luar yang lebih baik dan bekerja keras ketimbang mereka, adalah cara film menyampaikan teguran bahwa sebenarnya kesuksesan itu bukan soal darimana kau berasal. Melainkan dari seberapa banyak kita berusaha dengan baik. Kita hanya menuai apa yang kita usahakan. Lagipula, dalam tanah kesempatan; semua orang adalah pendatang.

 
Tidak setiap hari kita mendapat misteri pembunuhan yang original seperti film ini. Biasanya cerita-cerita detektif seperti ini merupakan adaptasi dari novel atau materi lain. Aku sempat kecele karena mengira Ratu Ilmu Hitam (2019) yang tayang bulan lalu, yang menampilan ensemble cast menarik, bakal hadir sebagai horor misteri whodunit. Karena memang kangen juga terhadap cerita kasus pembunuhan seperti ini. Ada keseruan tersendiri dalam ikut menebak-nebak dan melihat jawaban yang sebenarnya terkuak. Knives Out melakukan lebih dari sekadar pemuas dahaga akan misteri whodunit. Karena ia juga hadir dengan gagasan yang terselip matang di antara bangunan misterinya. Penampilan dari jejeran castnya jangan ditanya – semua bermain fun tapi tidak pernah receh ataupun lebay. Para tokoh di film ini semuanya nyentrik. Dari Daniel Craig ke Jamie Lee Curtis memainkan peran yang over-the-top. Lihat saja reaksi tokoh Chris Evans saat bertemu dengan anjing. Namun mereka semua bekerja bukan main dalam tingkatan yang menghibur. Yang sesuai dengan konsep genre mereka di mana semua orang adalah tersangka.
Sebagai whodunit, film ini bahkan punya keunikan tersendiri. Biasanya kita akan dituntun untuk mempelajari motif masing-masing tersangka. Selain itu, kita akan diperlihatkan mereka punya kesempatan, lalu ada tokoh yang dijadikan red-herring alias dibangun sebagai tersangka utama dan cerita akan terbangun ke false resolusi bahwa bukan dia pelakunya. Dengan kata lain, film biasanya menunjukkan tokoh-tokoh yang punya kesempatan tapi mereka tampak tak bersalah sampai ada bukti-bukti semakin banyak terungkap. Knives Out berjalan semacam kebalikan dari hal tersebut. Sedari awal kasus, kita sudah ditetapkan semua orang punya motif, dan itu diperlihatkan dari kebohongan para tersangka. Jadi sejak awal kita tahu mereka semua adalah pembohong, narasi atau sudut pandang mereka tidak bisa dipercaya, dan – sebagai ‘pemanis’ – mereka juga memandang rendah pendatang. Film seperti merekonstruksi genre whodunit, membuat kita memproses ulang pemikiran saat menonton whodunit.

bagaimana memilah yang paling jahat di antara yang jahat, jangan-jangan malah yang baik yang jahat

 
Dialog-dialog cerdas dan lucu menyertai set rumah yang banyak ruang rahasia. Menantang kita untuk terus menyimak. Berpikir tanpa harus menjadi ikutan stres. Saat memecahkan kasus, film meminta kita untuk condong kepada Blanc yang juga sama nyentriknya. Tokoh ini kadang tampak ada di sana sebagai penyambung mulut kita menyampaikan kesimpulan, tapi ada kalanya dia selangkah di depan. Sebagai karakter detektif sendiri, Blanc memang kalah berisi dibandingkan Sherlock Holmes atau Poirot atau malah Detektif Conan, karena bukan dia tokoh dan sudut pandang utama. Namun tokoh ini berhasil dijauhkan dari menjadi parodi tokoh-tokoh detektif terkenal tersebut. He’s there but not exactly above or outside of everyone. Blanc punya motivasi sendiri, dan ini membuat dia juga misterius. Rian Johnson benar-benar memutar balik otak untuk menciptakan situasi yang terus menekan dan membawa warna asli tokohnya keluar. Dia melakukannya dengan menyeimbangkan komedi dan suspens – bukan perkara gampang. Kita tahu Johnson berhasil dalam pekerjaannya ketika kita masih tertawa ketika ada remark yang lucu dari tokoh dan tetap tertarik dan geregetan melihat ke arah mana situasi membawa Marta.
Johnson memilih struktur yang membutuhkan banyak eksposisi dalam menceritakan kasusnya. Kita masuk saat kasus terjadi, tanpa mengenal dahulu siapa tokoh-tokohnya. Sejalannya cerita, barulah kita dibawa bolak-balik sesuai perspektif tokoh yang diinterogasi. Ekposisi ini dihandle dengan menarik berkat tokoh-tokoh yang unik dan menarik. Bolak-balik waktunya juga dilakukan efektif untuk alasan yang sama. Tidak ada bentrokan tone pada film ini. Jika kita perhatikan, karakter-karakter film ini sepertinya disesuaikan dengan stereotipe kekinian. Ada influencer sosmed, ada SJW, ada orang dewasa yang ‘kuno’. Tapi ada satu karakter yang tidak mereka kembangkan dengan sepintar dan semenarik yang lain. Yakni anak remaja yang selalu bermain hape. Dia tidak banyak berperan selain jadi bahan tertawaan. Dia juga tidak punya sudut pandang atau motivasi sendiri.
 
 
Film genre semakin menunjukkan taringnya. Tahun ini kita dapat Us dan Parasite yang membahas persoalan sosial dalam balutan thriller atau horor. Di akhir tahun ini, Rian Johnson melengkapi koleksi kita. Yang ia hadirkan adalah murder mystery yang bukan hanya fun dan unik – seperti tokoh-tokohnya, melainkan juga berbobot. Membahas soal imigran yang menjadi momok, terutama oleh warga Amerika. Di era Donald Trump.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KNIVES OUT

MARRIAGE STORY Review

“Once you love something, you can never stop loving it.”
 

 
Ada dua keunikan yang dikawinkan Noah Baumbach dalam karya terbarunya sebagai penulis naskah dan sutradara yang membahas tentang perceraian. Pertama, dia menunjukkan perceraian bukan selalu (dan semata) soal ribut beradu pendapat. Dan kedua, perceraian tersebut dia gunakan sebagai lensa untuk meneropong sebuah kisah romansa.
Dalam Marriage Story, Adam Driver dan Scarlett Johansson adalah pasangan yang sedang dalam proses berpisah. Kita tidak segera menangkap kesan tersebut karena menit-menit pembuka film justru memperlihatkan sudut pandang mereka masing-masing dalam ‘mendeskripsikan’ pasangan secara bergantian. Atau bahkan ketika cerita berjalan menit demi menit. Driver dan Johansson – dalam film ini sebagai Charlie dan Nicole – justru terlihat semakin memahami satu sama lain, mereka paham kebersamaan mereka tidak akan berjalan dengan baik, dan mereka mau yang terbaik untuk putra mereka yang masih kecil. Jadi mereka berusaha untuk sedapat mungkin bergerak sebagai keluarga dalam mengarungi proses perceraian. Walaupun mereka tidak sependapat dengan prosesnya. Dan bahwa proses perceraian yang sah itu sendiri, yang ‘dipersenjatai’ pengacara-pengacara yang hanya menganggap perceraian sebagai bisnis, membawa yang terburuk dari orang-orang yang terlibat – terutama ketika tidak bisa segampang itu membagi adil soal asuh anak jika dua orangtuanya berencana tinggal di kota yang terpaut jarak dan lingkungan yang cukup jauh.

jelas tidak dengan cara menggunting sang anak menjadi dua

 
Dua sudut pandang dihadirkan dengan porsi yang seimbang. Film tidak memihak kepada siapa-siapa. Secara adil, kita akan diberikan kesempatan untuk mengikuti masa-masa sendiri Nicole dan bergantian ke waktu-waktu pribadi Charlie. Sehingga kita lantas mengerti perspektif mereka. Kita memahami bahwa ada cinta sejati di antara mereka. Adegan pembuka involving mereka menulis surat berisi sifat (positif dan negatif) pasangan yang tadi sudah kusebut benar-benar melandaskan seberapa ‘kenal’ Charlie kepada Nicole, dan sebaliknya, and it’s sweet betapa mereka berdua begitu mirip. Sekaligus kita juga seketika tahu ada yang tidak cocok di tengah-tengah mereka. Dan kadang, ketidakcocokan tidak bisa dipaksa untuk menjadi klop. Jika kebanyakan film memusatkan penggalian pada ketidakcocokan – membesarkannya hingga memuat banyak adegan berantem atau ngobrol debat dengan nada tinggi, atau tokoh yang nangis frustasi, mabok, atau semacamnya, maka Marriage Story mengambil perhatian kepada hal-hal yang lebih ‘tenang’. Dan kita semua tahu, air yang tenang justru lebih menghanyutkan.
Sebagai perbandingan, kita ambil saja Twivortiare (2019), film adaptasi novel Ika Natassa – dibintangi Reza Rahadian dan Raihaanun – yang juga bicara soal pasangan yang pengen cerai. Film tersebut menyenangkan oleh dialog-dialog ribut kedua tokohnya yang berusaha mengatasi ketidakcocokan mereka. Highlightnya definitely pada pertengkaran. Pada Marriage Story hanya ada satu adegan Charlie dan Nicole berdialog penuh emosi. Ketika kita mengantisipasi ada banyak adegan ‘berantem’ pada film perceraian dan film hanya memberikan satu sebagai klimaks, kita lantas konek dan ikut merasa sakit dan pahit dan getirnya dengan lebih kuat karena semua adegan, semua perspektif, terbangun seksama ke arah sana. Sebagian besar waktu, menjelang adegan heartbreaking ini, film memilih lebih sunyi. Memberikan kesan false security kepada kita. Karena begitu pengacara terlibat, Charlie dan Nicole yang tadinya seperti damai – mereka saat berdua kelihatan seperti teman baik yang saling respek, bahkan tidak ada kebencian dari keluarga Nicole kepada Charlie – menjadi seolah berniat buruk kepada masing-masing. Ada satu lagi adegan dialog emosional yakni adegan di persidangan di antara dua pengacara, yang terasa luar biasa bikin geram.
Yang diperlihatkan oleh Marriage Story adalah sebuah observasi bagaimana proses perceraian yang sebenar-benarnya. Bukan hanya proses hukumnya bekerja – peran pengacara – melainkan juga bagaimana proses hukum tersebut kadang tidak bekerja sebagaimana yang diinginkan oleh klien yang sedang bercerai. Kita melihat dalam film ini pengacara yang bicara mengatasnamakan satu tokoh, tetapi ekspresi si tokoh yang ia wakilkan tampak sama kagetnya dengan tokoh pasangannya yang sedang ‘diserang’. Salah satu kesubtilan film yang menohok memang adalah ketika satu karakter tampak tenang, akan tetapi kita mengerti di dalam hatinya ia sangat terluka – entah itu karena menyangka pasangannya melakukan suatu hal ataupun karena merasa tuntutan yang ia sarangkan tidak sesuai dengan yang ia maksudkan. Ini mungkin dijadikan sebagai pengingat kepada para penonton bahwa meskipun dalam meja persidangan kamu dan pasangan adalah ‘lawan’, dia bisa saja terlihat jahat, tapi cinta itu sebenarnya masih ada di sana, yang tampak jahat tadi boleh jadi tidak pernah ia maksudkan sendiri sepenuh hati.

Kesalahan-kesalahan kecil yang diungkap di sidang perceraian, yang tak-disadari melainkan oleh pasangan, adalah bentuk dari betapa banyaknya hal-hal atau momen yang tidak kita sadari dirasakan oleh pasangan. Sayang memang situasinya, namun tak bisa disangkal, tidak ada momen yang berubah atau terlupakan meski situasinya berganti. Bahkan setelah pisah, film ini menunjukkan, hati tetap tak bisa berhenti untuk mencintai apa yang sudah ia cintai sedari awal.

 
Seiring berjalannya durasi kita bisa merasakan tensi di antara Charlie dan Nicole semakin menegang, tapi every now and then momen-momen kecil terjadi di mana cinta menunjukkan wujudnya. Alasan cerita cinta dalam konflik perceraian ini bekerja dengan sangat efektif dan meyakinkan adalah apalagi kalo bukan permainan aktingnya. Driver dan Johansson sama-sama begitu komit, tema cerita ini tampak sangat personal bagi mereka. Baumbach benar-benar membuka ruang bagi para tokoh untuk menjelma seutuhnya ke dalam peran. Misalnya, Johansson diberikan beberapa menit untuk berakting monolog tanpa-dicut, mengeksplorasi perasaannya sebagai istri yang merasa terlalu dikontrol oleh suami sehingga pendapat dan eksistensi emosi serta intelektualnya sendiri seperti nyaris tidak dapat ia kenali. Sementara Driver disuruh bergulat dengan realita, dan juga prasangka tokohnya ketika ada sejumlah hal yang tau-tau bekerja di luar kendalinya – seperti kemauan sang anak yang mendadak menjadi berlawanan dengan yang ia kira. Bahkan pemain pendukung seperti Laura Dern yang jadi pengacara juga diberikan ‘jatah tampil’ sepersonal mungkin. Baumbach memilih menggunakan banyak shot close up wajah untuk memastikan emosi-emosi subtil tokoh tertangkap semua oleh kita yang menyaksikan.
Selain kuat oleh perspektif, naskah Marriage Story juga masih menyisakan tempat untuk komedi. Beberapa reaksi tokoh membuat kita tertawa. Film tidak hanya berkubang pada adegan emosional dan intrik pengacara. Hubungan-hubungan antartokoh dibuat segenuine mungkin, banyak interaksi yang hadir ringan dan film tetap berhasil menjauh dari predikat people-pleaser. Untuk menambah lapisan pada konflik, selain pekerjaan (Charlie sutradara sehingga dia control-freak, dan Nicole seorang akris sehingga dia biasa ‘akting’), film ini turut menghidupkan tempat yang menjadi panggung cerita. Berulang kali ditekankan perihal kota tempat Charlie bekerja dan kota Los Angeles sebagai kelahiran dan tempat ‘berlindung’ bagi Nicole. LA melambangkan tempat yang lebih ‘bebas’ sedangkan New York lebih mengikat dengan peraturan. Tempat ini juga dijadikan rintangan buat Charlie terkait case yang dibangun oleh pengacara Nicole di sidang perceraian.

kalo lokasinya di Bandung, mereka udah disuruh nanem 100 pohon oleh Gubernur

 
Aku tahu meskipun aku menegaskan film ini membuat dua tokohnya berimbang, enggak berniat membuat kita melihat yang satu jahat ketimbang yang lain, tapi kurasa it’s only natural kita tetap memihak salah satunya. Jadi, yang kalian baca pada paragraf ini pure personal taste, alias pandangan subjektif aku saja. Scar-Jo is a wonderful actress but I never like her, dan karakternya – Si Nicole – sungguh-sungguh annoying buatku. Film memang sudah menetapkan kedua tokoh ini sama-sama kompetitif alias bisa menjadi sangat egois kalo mereka mau, tapi aku kesel karena melihat kalo bukan karena Nicole gak mau baca yang ia tulis mengenai Charlie, maka film ini tidak akan berjalan. Tidak akan ada film ini jika Nicole enggak sok bener dan sok ‘rebel’. Buatku keduanya sama-sama ada salah, namun Nicole yang mencuat sebagai paling keras kepala. Maksudku, sekontrol freaknya Charlie, tapi sebagaimana yang ia sebut – kita melihat memang Charlie hanya membuat peraturan dengan kesepakatan bersama. Meski dia memang agak ‘memaksakan’, tapi toh Nicole sudah setuju. Dan jika sudah setuju, maka seharusnya wanita ini komit. Tidak berkata ya, lalu bertindak melanggar ‘ya’ tersebut belakangan. Inilah kenapa aku kesel banget sama Nicole.
 
 
Selain ‘kekurangan’ yang sangat subjektif itu, film ini gak punya celah untuk kesalahan. Ceritanya hadir dengan dua perspektif kuat yang berimbang porsinya. Dialog-dialog yang mengena dan lucu nampang silih berganti. Penampilan akting yang sangat meyakinkan, terekam dengan kamera yang juga menguarkan visi yang solid. Film juga berani mengambil resiko, salah satunya dengan ujug-ujug menampilkan adegan bernyanyi. Untungnya timing dan tonenya tetap terjaga. Great drama all around. Menikah atau belum menikah, film ini tetap bakal terasa dekat..
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for MARRIAGE STORY