POKEMON DETECTIVE PIKACHU Review

“The absent are never without fault, nor the present without excuse.”

 

 

 

Setiap anak pengen punya Pokemon. Kecuali Tim Goodman. Selidiki punya selidik, sifat keterkurangtertarikannya itu ternyata berkat ayahnya yang seorang detektif. Tim tumbuh menjadi pemuda yang antipati terhadap monster-monster lucu tersebut lantaran sang ayah lebih memilih menghabiskan banyak waktu memecahkan kasus-kasus bersama pokemon di kota ketimbang bareng dirinya. Keabsenan berubah menjadi misteri yang memanggil Tim untuk datang ke kota Ryme tempat ayahnya bekerja. Setelah sebuah kecelakaan besar, ayah Tim beneran menghilang. Jasadnya tidak pernah diketemukan. Satu-satunya harapan yang mengisyaratkan beliau mungkin masih hidup adalah pokemon partnernya, Pikachu, selamat dari kecelakaan tersebut. Pikachu yang memakai topi ala Sherlock Holmes itu bergerak lincah, sehat, berbicara lancar, mengajak Tim untuk bekerja sama memecahkan misteri. Tunggu. Berbicara?

Pikachu yang satu ini, bukan cuma listriknya loh yang menyengat

 

 

Pokemon Detective Pikachu secara teknis adalah adaptasi dari video game Pokemon berjudul Great Detective Pikachu yang rilis di Jepang tahun 2016 buat konsol handheld Nintendo 3DS. Jika boleh kutambahkan, film ini mengadaptasi game pokemon yang paling boring di antara game-game pokemon lain. Pokemon menjadi fenomena pop-culture yang dahsyat, ia punya serial anime yang sampai sekarang masih berlanjut, ia punya game kartu, Nintendo sendiri punya countless game pokemon RPG yang semuanya tentang anak yang keliling dunia menangkap pokemon, melatihnya untuk ditandingkan dengan pokemon peliharaan tokoh-tokoh lain. Kita bisa bilang pokemon ini adalah sabung ayam versi lebih cute dan lebih keren. Tak perlu lulus sekolah detektif untuk kita bisa melihat kesuksesan game mobile Pokemon Go-lah yang membuat film live-action ini menjadi kenyataan. Studi film tahu bahwa pokemon ini ada pasar yang menguntungkan. Kecanduan dari menangkap berbagai macam pokemon, kemudian melatih mereka untuk menjadi lebih kuat, berevolusi menjadi  even better, kemudian ngeclaim bragging right mengalahkan trainer yang lain, itulah inti yang menyebabkan pokemon menjadi begitu hits. Jadi, keputusan mereka malah mengangkat film dari game yang tanpa aksi, hanya berkeliling mencari petunjuk, memang cukup aneh buatku.

Berlawanan dengan pertanyaan yang diusung oleh film mengenai kenapa Tim bisa mengerti perkataan Pikachu, melihat film ini pertanyaan yang muncul di benakku malahan adalah apakah pembuatnya mengerti perkataan/permintaan para penggemar?

 

Tapi hey, paling enggak film ini mengerti cara memvisualkan para pokemon tersebut dengan benar, baik itu sesuai dengan bentuk maupun kemampuan yang sama persis dengan versi game dan animenya.

Sutradara Rob Letterman yang sebelumnya berhasil menghidupkan monster-monster mengerikan dalam Goosebumps (2015) memang mengerti untuk tidak mengkhianati penggemar secara visual. Pokemon benar-benar tampak hidup, seperti layaknya binatang di dunia nyata. Kita seolah bisa merasakan halusnya bulu Pikachu, keras dan bersisiknya badan Charizard, hanya dengan melihat mereka. That’s how good the visual in this movie. Di samping alasan nostalgia, kupikir kenapa pokemon-pokemon dalam film ini lebih didominasi oleh generasi pertama (yang muncul di kartun dulu) padahal secara timeline, film ini mengacknowledge generasi pertama itu sebagai masa lalu adalah karena desain pokemon-pokemon jadul lebih kelihatan cocok dengan dunia nyata ketimbang pokemon generasi baru yang kelihatan lebih seperti mainan ketimbang makhluk beneran. Untuk beberapa menit awal, kita akan dimanjakan oleh imajinasi hidup bersama pokemon, melihat pokemon di alam liar.

Tapi kemudian film seperti menyempitkan dunianya. Kita diajak masuk ke dalam kota Ryme – kota megapolitan yang visualnya juga luar biasa grande – di mana pokemon-pokemon itu dipasangkan dengan manusia. Literally, satu manusia masing-masing punya partner satu pokemon. Kayak konsep digimon. Meskipun toh seru juga melihat kerjasama manusia dan pokemon, seperti pemadam kebaran dengan barisan Squirtle, tapi keajaiban yang kita lihat di luar kota seperti menguncup. Ryme seperti tiruan yang aneh dari kota Zootopia. Dunia di dalam kota ini juga tidak pernah benar-benar dijelaskan cara kerjanya seperti apa. Apakah partner pokemon diassign sesuai pekerjaan, atau boleh bebas memilih, misalnya. Keseruan menangkap pokemon liar digantikan oleh melihat pokemon berjalan bersisian dengan manusia. Ketika film membawa kita mengikuti Tim dan Pikachu ke arena pertarungan underground, ataupun ketika ada sekuen aksi yang berhubungan dengan kekuatan pokemon, itulah saat sebenar-benarnya hiburan terasa. Aku berharap adegan seperti demikian jauh lebih banyak porsinya. Tapi di lain pihak, aku toh tidak bisa memberikan nilai 3 buat film ini hanya karena aku tidak mendapat pokemon yang aku inginkan. Kita tidak bisa ‘mengajarkan’ kepada film mana cerita pokemon yang benar, pembuat film sah-sah saja jika ingin mengangkat cerita pokemon dari gagasan dan versi pilihan mereka.

That being said, mari kita lihat bagaimana film ini memperlakukan ceritanya.

Jargonnya bukan “Gotta catch ’em all” lagi karena poligami itu enggak baik

 

Cerita film ini tepatnya adalah cerita buddy-cop dengan Pikachu dan Tim sebagai pusatnya. Bagian terbaik film ini jelas adalah suara Ryan Reynolds dalam tubuh mungil berwarna kuning berekor zig-zag. Meskipun kadang-kadang suara dan tubuh itu mentok banget, namun Pikachu yang dibawakan Reynolds akan jarang sekali membuat kita krik..krikk.. oleh komedinya. Aku terbahak keras ketika Reynolds menyanyikan lagu tema serial kartun Pokemon. Misteri yang Pikachu dan Tim hadapi sih sebenarnya enggak begitu membuat penasaran, tapi kita mendapat banyak momen humor jenaka darinya. Misalnya ketika Pikachu dan Tim menginterogasi Mr. Mime. Elemen investigasi film ini memang tidak digambarkan serius-serius amat, malahan cenderung ‘mudah’. Tidak ada teka-teki cerdas yang harus mereka pecahkan. Tidak ada petunjuk-petunjuk tersembunyi yang harus mereka temukan. Pikachu juga tidak pernah benar-benar menemukan kesulitan dari amnesia yang ia derita akibat kecelakaan. Mereka tidak benar-benar memecahkan misteri, sebab film mengandalkan hologram canggih sebagai device eksposisi yang secara praktis menihilkan tantangan kedua tokoh.

Fokus diniatkan kepada tokoh manusia. Film membuat Tim sebagai tokoh yang bisa kita sebut sebagai anti- dari tokoh-tokoh utama Pokemon sebelum ini. Dia enggak mau punya partner pokemon. Kebohongan personal/Lie yang ia percaya adalah dia tidak butuh pokemon, yang berakar dari Luka masalalu/Wound ditinggal oleh ayahnya. Perjalanan inner Tim adalah soal dia yang ‘terpaksa’ mandiri harus menyadari bahwa dia sebenarnya butuh banget sosok yang mensupport dirinya. Ini berkebalikan dengan tokoh-tokoh di serial dan movie anime yang seringkali harus belajar untuk percaya kepada kemampuan diri sendiri, bahwa mereka bukanlah bukan siapa-siapa tanpa pokemon, bahwa kehadiran partner pokemon adalah bukti kekuatan mereka sendiri. Dengan kata lain, film ini sebenarnya menarik karena punya tokoh yang melawan pakem semesta pokemon itu sendiri. Pokemon Detective Pikachu ingin menonjolkan drama antarmanusia dengan pokemon sebagai asesorisnya. Masalahnya adalah; tokoh-tokoh manusianya ini tidak pernah dibuat lebih menarik daripada para pokemon.

Tim merupakan tokoh yang sangat menjemukan, sekaligus ngeselin. Dan itu bukan semata karena permainan akting bland Justice Smith yang semakin kebanting dipasangkan dengan Reynolds, melainkan juga karena tuntutan naskah. Ini tentang Tim mencari ayahnya, arc tokoh Tim ini secara garis besar bergerak dari dia yang tadinya tidak peduli sama sang ayah berubah menjadi peduli. Untuk menggambarkan hal tersebut, kita dapat tokoh yang sebagian besar waktu tidak benar-benar termotivasi. Pada menjelang pertengahan, bukan saja Tim tidak tahu di mana ayahnya yang mungkin saja telah mati, dia juga tidak peduli. Ini membuat kita juga susah peduli sama tokoh ini. Dalam cerita pokemon, film malah memberikan kita tokoh utama yang gak suka pokemon, yang enggak peduli dia punya partner atau tidak – sesungguhnya itu adalah problem yang nyata buat cerita. Kita tidak benar-benar bersama si tokoh utama, karena aku yakin semua yang nonton film ini suka ama pokemon, atau paling tidak menonton karena pengen melihat pokemon. Tim, dia sebodo amat ama pokemon. Tokoh ini tidak memandang pokemon dengan ketertarikan. Satu tokoh manusia yang lumayan menarik buatku adalah Lucy, jurnalis magang yang pengen menguak misteri hilangnya ayah Tim demi karirnya sendiri. Tapi itupun menarik sepertinya karena aku agak bias lantaran si Kathryn Newton ini orangnya manis banget.

Dan cerita tentang anak dan ayah ini pun pada akhirnya lebih menimbulkan kecanggungan ketimbang menawarkan kedalaman. Tidak banyak yang bisa kita gali. Tim, meskipun pandangannya terhadap ayah sudah berubah, namun kita tetap tak bersimpati karena di akhir cerita dia masih bukan seperti kita-kita. Tim tetap tidak punya partner pokemon, dan dia masih tidak peduli sama hal tersebut. Hubungannya dengan Pikachu akan menjadi sangat awkward, karena sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, semua perjalanan itu sebenarnya adalah tentang Tim dengan ayahnya. Menurutku akan jadi sentuhan yang bagus jika film ini mempasangkan Tim dengan Cubone yang berusaha ia tangkap di awal cerita.

 

 

 

 

 

Dibuat untuk mewujudkan imajinasi penggemar Pokemon tentang dunia di mana manusia dan pocket monster hidup berdampingan. Visualisasi mosnter-monsternya keren. Pikachu-nya lucu, meski mungkin lucunya berbeda dengan yang dibayangkan. Sekuen aksinya seru, dan literally kita pengen nambah (karena porsinya minim). Para penggemar pokemon akan menikmati film ini, asalkan bisa berpikiran terbuka terhadap pilihan yang dilakukan oleh film. Pokemon-pokemon yang dipimpin oleh Pikachu itu tetap menjadi bagian terbaik film, hanya saja cerita berpusat kepada tokoh manusia – terutama ayah dan anak – yang tidak pernah ditampilkan lebih atau malah semenarik tokoh pokemonnya. Enggak akan gampang untuk kita mengatakan “I choose you!” kepada film ini karena ia menghadirkan tokoh utama yang membosankan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POKEMON DETECTIVE PIKACHU.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa makna ketidakhadiran seorang ayah dalam sebagian besar hidup anaknya? Apakah film ini menawarkan solusi soal keabsenan seorang ayah yang menjadi tema/inti utama cerita? Apakah menurut kalian Tim akan bertemu dengan ayahnya jika kecelakaan di awal cerita tidak terjadi? Apakah kalian punya solusi sendiri mendekatkan anak dengan ayahnya?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

AVENGERS: ENDGAME Review

“Failure is only the opportunity to begin again.”

 

 

Separuh makhluk hidup di alam semesta, tanpa pandang-bulu, dijentik lenyap menjadi debu. Oleh monster raksasa berwarna ungu. Ya, setahun sudah kita berkabung kehilangan Spider-Man, Black Panther, Doctor Strange, Star-Lord, dan banyak lagi pahlawan super dalam kejadian itu. Namun bagi rekan-rekan superhero yang ditinggalkan, as the opening of this final Avengers movie goes, tragedi tersebut masih tiga-minggu yang lalu. Duka masih membakar hati. Kalah itu masih membekas merah di tubuh mereka. Aduh, kasihan sekali. Rasa-rasanya belum pernah kita melihat superhero seperti Captain America, dewa petir seperti Thor, manusia-manusia kuat seperti Black Widow, Hulk, Hawkeye, menjadi kehilangan harapan seperti demikian. Tony Stark adalah yang paling parah didera ‘luka-luka’. Dia merasa gagal lebih dari siapapun yang di sana. Bukan sekadar perasaan bersalah seorang yang selamat, yang Iron-Man rasakan, melainkan gabungan dari rasa gagal, ketidakberdayaan, dan keputusasan.

Avengers: Endgame dibuka dengan sangat berbeda dari film-film superhero yang biasa. Satu elemen yang absen di bagian pembukanya – yang sepertinya juga ikut lenyap dijentik oleh Thanos – adalah elemen action. Alih-alih, babak pertama film ini berjalan dengan lambat karena pembuatnya ingin kita ikut merasakan keputusasan, kefrustasian yang melanda para tokoh yang tersisa. Resiko yang luar biasa besar menempatkan penonton di posisi seperti begini, karena lumrahnya saat membeli tiket untuk film superhero, kita akan mengharapkan sesuatu yang menghibur. Jadi film ini berani memulai dengan suram. Film meluangkan waktunya supaya kita bisa melihat dan bersimpati kepada para manusia, meskipun mereka sebenarnya adalah manusia superpower. Film ingin menekankan hal tersebut. Bahwa Captain America, Thor, Iron-Man adalah manusia yang bisa mati, yang bisa kehilangan harapan di depan kematian. Babak awal film ini hampir terasa seperti film drama normal, yang justru membuat film superhero buku-komik ini menjadi menyegarkan. Urgensi dari tokoh-tokoh ini begitu terasa. Sangat exciting melihat mereka mengusahakan apapun hanya untuk terus meyakinkan diri bahwa harapan itu masih ada.

Tidak ada satu kekuatan superpun yang bisa mempermudah kita dalam berhadapan dengan kematian dan kehilangan. Kita tidak bisa terbang darinya, kita tidak bisa sembuh-cepat darinya. Tentunya kita tidak bisa meledakkannya begitu saja. Kita tidak bisa mencegahnya. Titik. Kesempatan kedua yang – bukan didapatkan, melainkan diusahakan oleh para Iron-Man dan teman-teman, sesungguhnya merupakan simbol bahwa kegagalan tersebut hanya bisa terbalaskan dengan diterima untuk kemudian diisi dengan pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

 

“He was turned to steel, in the great magnetic field. Where he traveled time, for the future of mankind.”

 

Tentunya kita sudah menanti-nanti film penutup ini dengan banyak antisipasi, dan juga ekspektasi. Setelah Infinity War (2018) yang sangat depressing; mungkin itulah film superhero pertama yang membuat tokoh penjahat sebagai pemenang – dan basically tokoh utama, kita sudah hampir yakin film terakhir ini akan membendung ke arah kemenangan yang gemilang buat para superhero. Tapi tetap saja, ‘kemenangan yang gemilang’ itupun bisa berarti banyak, dapat diterjemahkan ke dalam spektrum arahan yang berbeda. Sutradara Russo Bersaudara paham betul untuk menyeimbangkan antara fans-service, lelucon-lelucon khas Marvel, penampakan seseorang yang bisa jadi dimaksudkan sebagai Stan Lee muda, dan resiko-kreatif yang pada akhirnya mengisi durasi panjang film ini. Masih ada banyak hal yang luput dari ekspektasi kita. Walaupun kalian mungkin adalah tipe penonton yang ngikutin dengan ngotot semua materi promosi mereka, atau mungkin juga seorang hardcore comic book fans, sensasi “wow they did that…!” masih akan bisa kalian rasakan. Dan buatku, hal tersebutlah yang membuatku enjoy menonton Endgame. Cara film ini memperlihatkan perubahan karakter, membuat mereka ‘berbeda’ dari yang selama ini mereka kenal, buatku adalah resiko yang terbayar dengan memuaskan. Tony Stark memang jadi arc utama, tapi film juga mengikat perjalanan semua karakter yang pernah nongol di film-film MCU, terutama yang namanya jadi judul film. Aku paling suka yang dilakukan film ini kepada Thor. Karena di Infinity War, journey Thor yang justru buatku paling mengecewakan – film tersebut lebih terasa seperti mereset alih-laih melanjutkan yang terjadi kepada Thor di Ragnarok. Di Endgame, journey Thor terasa langsung melengkapi perkembangan tokoh ini dari film Thor: Ragnarok (2017), karena punya gagasan yang senada; memanusiawikan dewa.

Pertarungan terakhir benar-benar sebuah ajang sulap CGI dan koreografi yang spektakuler. Kita akan dibuat melek di babak ketiga oleh rentetan pertarungan yang punya purpose untuk memperlihatkan apa yang ingin kita lihat. Mau lihat para superhero bangkit? Kita akan dapat kemunculan yang sangat dramatis hingga bikin merinding. Mau lihat dobel tim atau serangan combo baru dari pasangan superhero? Kita akan dapatkan Captain America melempar bukan hanya perisainya melainkan juga palu Mjolnir Thor! Masih belum puas dan pengen melihat Captain Marvel blow a spaceship? Wait for it… and you got it big time! Aku selalu berpikir bahwa Scarlet Witch underrated banget dan film ini seperti mengonfirmasi bahwa tokoh ini sebenarnya punya kekuatan yang lebih dari yang kita kira. Dan ngomong-ngomong soal superhero cewek, akan ada bagian ketika film ini menunjukkan tokoh-tokoh superhero cewek bekerja sama menunjukkan kekuatan mereka, bahwa mereka gak kalah sama cowok, superhero maupun penjahat. Menonton menit-menit terakhir film ini akan membuat kita tersenyum puas sambil berlinang air mata karena semuanya terasa begitu membuncah. Storyline, arc karakter, film ini meminta kita untuk mengingat kembali (atau gampangnya menonton ulang semua film lama) supaya kita bisa mengerti gimana cerita para tokoh melingker sempurna.

Thor di film ini kayak nyindir Aquaman banget, apalagi kata-kata si Thor pas di akhir kepada Valkyrie

 

Jadi pembagian cerita film ini cukup sederhana. Pengenalan yang really somber, bagian pertarungan gede di akhir, dan di tengah-tengah… well, pilihan babak kedua film inilah yang menjadi sedikit masalah buatku. Hype Endgame sejatinya juga udah sukses membuat penonton mencetuskan banyak teori soal langkah counter dari pihak superhero. Apa yang bakal mereka lakukan untuk mengalahkan Thanos. Bisakah yang menjadi debu tadi muncul kembali ke dunia. Apakah mereka mati. Ataukah terjebak di dunia lain. Teori-teori tersebut banyak beredar. Time-travel adalah salah satunya. And really it’s not a long reach jika melihat rekam jejak Russo Brothers dan Avengers sendiri yang gemar memasukkan elemen-elemen dari serial ngehits buatan Russo Brothers, Community (2009-2015). Di Endgame ini saja kita bisa menemukan dua tokoh (atau paling enggak dua aktor yang meranin tokoh) Community sebagai in-jokes; Ken Jeong yang jadi satpam dan Shirley yang jadi petugas saat Stark dan Rogers di dalam lift. Time-travel dan teori multiverse adalah salah satu episode unggulan dalam serial tersebut, jadi gak heran kalo akhirnya Russo Brothers juga menerapkan elemen serupa ke dalam Endgame.

Masalah yang kumaksud bukan exactly ke elemen time-travel itu sendiri, atau istilah official film ini adalah ‘time-heist’. Time-travel membuat narasi jadi needlesly membingungkan, ya. Tapi juga, time-travel membuka banyak kesempatan untuk mengkorporasikan banyak hal, termasuk memungkinkan encounter antartokoh yang sebelumnya tampak mustahil, serta nostalgia yang dimainkan berupa sudut pandang lain dari adegan yang sudah kita lihat. It’s fun. Tapi tidak benar-benar membuat cerita film ini jadi ada naik-turunnya. Malah tampak seperti memudahkan. Hanya terasa seperti alat untuk meletakkan momen demi momen unik. Jika kita tarik ulang dari babak pertama, yang inciting incidentnya datang dari Batu-Batu sudah dihancurkan, kemudian cerita maju ke lima tahun kemudian di mana satu tokoh muncul dengan gagasan soal time-travel, lalu Avengers berusaha dikumpulkan kembali sambil melakukan eksperimen time-travel, maka set-up film ini terasa ada dua kali. Sebelum dan sesudah inciting incident. Sebagian karakter sudah menemukan zona nyaman kedua mereka – sudah ada yang punya keluarga, maka tentu saja akan ada konflik ketika disuruh untuk mengulang kembali hidup mereka. Untuk film dengan durasi tiga-jam, bercerita dengan struktur seperti demikian tentu dapat ‘melukai’ pacing secara keseluruhan. I mean, meskipun gak kerasa panjang karena kita semua sudah demikian terinvestnya sama kisah mereka yang sudah dibuild up selama sebelas tahun, tapi tetap saja terasa eksesif jika dari tiga-jam itu dua pertiganya berjalan dengan slow; dengan banyak penjelasan, dan minim aksi. Ada beberapa bagian yang mestinya bisa ditrim sedikit. Mungkin bukan durasinya, tetapi lebih ke pemanfaatannya. Antara pengenalan, time-travel, dan pertarungan final – practically babak satu, dua, dan tiga – masih terasa terlalu banyak momen-momen yang gak kohesif.

 

 

 

Untuk sebuah finale, film ini secara cerita terasa kurang kohesif tapi berhasil tampil memuaskan secara emosional. Dia sanggup mengikat begitu banyak arc tokoh, mengambil resiko-kreatif dalam melakukannya. Dia dimulai dengan arahan yang sangat berbeda dari superhero kebanyakan. Masalah yang timbul dari pilihan ini adalah pace cerita yang dapat menjadi lamban, dan film menempuhnya secara head-on. Memilih satu yang paling obvious dari banyak kemungkinan, dan tetap saja hasilnya bikin fans dan penonton kasual sama-sama seneng. Porsi aksinya mungkin tidak banyak-banyak amat, malah mungkin lebih terasa seperti sekelebat penggalan momen-momen, ketimbang sekuen gede yang bercerita runut lewat aksi, tapi tetaplah sebuah sajian untuk mata. Kemenangan terbesar film ini, singkatnya adalah, berhasil untuk membuat sesuatu yang sudah ‘inevitable‘ menjadi tetap terasa baru dan penuh kejutan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for AVENGERS: ENDGAME.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian rela meninggalkan apa yang sudah didapat hari ini demi memperbaiki kesalahan di hari kemaren?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

WrestleMania 35 Review

 

 

 

Sebuah malam yang penuh perubahan di Metlife Stadium, New York. Bukan semata mecahin rekor penonton terbanyak (itu mah udah biasa!), melainkan juga rekor-rekor yang beneran luar biasa kayak pertandingan cewek pertama yang menutup WrestleMania, ataupun melahirkan juara WWE asal Afrika pertama – dan lebih spesifik lagi; juara dari Ghana pertama. WrestleMania 35 berhasil menorehkan pengaruh secara global. Ia menjadi acara penting, menandakan pergerakan zaman, menyuarakan perjuangan ekualitas dalam gagasan di balik aksi-aksi spektakuler. To look further beyond that, dalam skala yang lebih kecil, WrestleMania 35 pun adalah sebuah kesuksesan sebagai acara hiburan-langsung yang berdurasi hampir delapan-jam (termasuk kick-off show).

It’s not an easy feat to pull off. Beberapa tahun belakangan ini, WrestleMania – bahkan payperview gede WWE lainnya – berjuang keras untuk memaksimalkan durasi panjang yang mereka punya. Sekilas memang tampak sederhana; bukankah dengan waktu yang lebih panjang, acara bisa dikemas lebih leluasa sehingga menjadi semakin menarik? Well, masalah untuk acara live seperti WWE lebih kompleks daripada itu. Ada pertimbangan ‘daya-tahan’ penonton. Span-atensi yang semakin berkurang justru membuat semakin panjang durasi, resiko membosankan menjadi semakin gede. Kita tidak bisa meletakkan match-match seru begitu saja susul-menyusul. Penonton akan cepat lelah, dan akan menjadi terlalu capek untuk bersemangat di acara puncak. WWE berusaha memainkan pacing; memasukkan adegan-adegan backstage konyol, atau memasukkan match-match filler, supaya penonton bisa ‘beristirahat’ dari satu partai penting ke partai penting lain. Hanya saja, match dan segmen-segmen tersebut biasanya jadi kayak kata pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. People just want more dan mereka kesel dijejelin entertainment yang gak-jelas.

NXT Takeover – payperview dari brand NXT – adalah antitesis dari acara induk WWE. Digelar hanya sepanjang tiga jam. Diisi tak lebih dari lima-enam pertandingan, dengan paling banyak sekitar lima-belas superstar yang tampil. Tapi shownya selalu terasa padat, dan memuaskan. Setiap pertandingannya punya arahan cerita yang jelas, psikologi yang bener, sementara tetap menghibur dengan aksi-aksi yang tak ditahan-tahan. NXT Takeover seperti tak pernah dipusingkan oleh kebutuhan untuk menampilkan superstar sebanyak mungkin. Filosofinya adalah less is more. Ini gak bisa diterapkan di show utama WWE yang punya daftar superstar lebih besar. Thus, kepentingan untuk menshowcase keseluruhan mereka pun sama besarnya. Di antara mengakomodasi banyak sekaligus, membangun cerita, dan menyuguhkan aksi menghibur, acara WWE pada dasarnya bekerja secara long-term. Yang tampak sebagai keputusan match yang bego, ternyata hanya episode satu dari cerita perjuangan yang panjang. Maka kadang satu-dua payperview perlu untuk jadi ‘jelek’ dulu sebelum mendapat yang benar-benar make sense dan menghibur. Tapi tentu saja itu tidak bisa dijadikan alasan. WWE perlu untuk mencari formula supaya setiap acara mereka bisa sama menyenangkan untuk ditonton.

WrestleMania 35 mungkin memang hadir di waktu dan tempat yang tepat. Tapi sesungguhnya dalam acara ini WWE berhasil menemukan formula rahasia yang menjadikannya tontonan yang mengasyikkan dan tidak terasa membosankan walau panjang. Formula rahasia tersebut adalah; giving in to what people wants.

 

begitulah tampangku menonton acara ini dari awal hingga akhir

 

 

Mulai dari memenangkan Seth Rollins. Mematahkan losing-streak hometown superstar (di kick-off show). Menjuarakan Kofi Kingston. Menyerahkan dua sabuk kepada Becky Lynch – with absolutely no more bullshit. Hingga ke mengembalikan Dr. Thuganomics. Bahkan smallest act seperti menjadikan Alexa Bliss sebagai host dan Elias sebagai ‘penampilan musikal’ adalah tindakan nyata WWE sedang memanjakan fans. Memberikan apa yang penonton mau.

Aku gak akan ngomong terlalu panjang setelah teriak-teriak panjang yang kita lalui menyaksikan acara ini. WWE menekankan kembali fokus mereka kepada kita lewat video pembuka acara, merangkum kalimat dari Shakespeare yang practically bilang dunia ini adalah panggung sandiwara. “We are storytellers” kata para superstar WWE dalam video tersebut. Dan di sini, WWE melakukannya tanpa basa-basi. Setahun perjalanan cerita comes to an end, dan WWE melakukannya full untuk memenuhi keinginan penonton. Keputusan membuat pertarungan Lesnar singkat dan, surprise-surprise, menjadi pembuka adalah keputusan yang benar-benar tepat. Karena itulah yang penonton mau. Langsung to the point ke aksi seru.

Contoh paling seru dari gimana WWE mendengarkan para fans tentu saja adalah kasus Kofi Kingston dan Daniel Bryan. Kita harus mengakui perjalanan Wrestlemania Kofi berawal dari saat ia menggantikan Mustafa Ali yang cidera. Fans mengelu-elukan dirinya – due to the fact Kofi sudah berjuang sebelas tahun untuk stay relevant di papan tengah – dan alih-alih memaksakan cerita kembali ke alur rancangan mereka, WWE mendengarkan. Aku sendiri tadinya skeptis – gak mau bersorak terlalu cepat untuk Kofi. Karena biasanya WWE akan dengan angkuhnya nyuekin fans. Vince sendiri kan yang pernah bilang kalo fans itu sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri mau. Tapi kemudian, to my surprise, WWE mendevelopnya sehingga bukan saja ini adalah cerita yang kita usahakan bersama, tetapi juga merupakan sebuah storyline yang benar-benar menarik dan empowering. Kofi dan Bryan ini udah kayak cerita film Us (2019) buatan Jordan Peele. Bagi Bryan, Kofi adalah dirinya yang dulu; an under-privilege underdog. Bryan sebenarnya takut sama Kofi karena dia tahu persis kekuatan yang timbul dari perjuangan pembuktian diri menggapai kesempatan. Bagi Bryan, melawan Kofi sama seperti melawan dirinya di tahun 2014 yang lalu – dirinya yang udah menaklukan authority dan WrestleMania. Cerita yang sangat kuat, yang tentu saja tidak membawa kerugian di dalam ring. Actually, Kofi melawan Bryan adalah pertandingan terbaik di WrestleMania. Kita semua terinvest ke dalam ceritanya sehingga perhatian kita tak sedetikpun teralihkan. Setiap pinfall, setiap jurus gede, membuat kita merinding oleh intensnya emosi.

Semua cerita dalam pertandingan-pertandingan acara ini didesain untuk menjawab keinginan para fans. Tapi bukan berarti tak ada kejutan. Pada partai main event yang bersejarah itu, misalnya, WWE mewujudkan harapan fans untuk melihat The Man berjaya. Match tiga cewek perkasa ini begitu brutal dan stiff, sangat layak untuk jadi main-event, dan meskipun akhirannya agak antiklimaks tapi gak satupun dari kita menyangka Rousey-lah yang actually di-pin alias dikalahkan. Dan twistnya adalah, cerita ini tidak berakhir seperti yang diucapkan Rousey di video pembuka; ini tidak seperti ending.

Pada dasarnya, sebagian besar pertandingan di acara ini seperti epitome dari chant “You suck!” yang kita layangkan kepada Kurt Angle. Kita terhibur saat menyebutnya ‘payah’. Tidak ada yang pengen melihat Corbin jadi lawan terakhir Angle, apalagi Corbin yang menang, tapi kita tahu cerita musti berakhir begitu, dan apa yang kita inginkan sebenarnya adalah Kurt Angle mendapat satu I lagi dari moto 3 I yang dia punya. Intensity, Integrity, Intelligence. Dan kini, Immortal. Match tag team cewek suck abis tapi kita senang karena duo favorit kita yang menang. Kita ogah melihat Shane lagi-lagi menang, namun kita bersorak-sorai melihat Shane dan Miz main hardcore gila-gilaan. Kita sebenarnya bosen melihat Lashley lawan Balor melulu, tapi kita excited demi melihat demon beraksi. Dan kejuaraan Tag Team Smackdown, kupikir kita semua gak akan masalahin siapa yang menang, karena yang paling penting adalah keempat tim yang terlibat telah menyuguhkan atraksi tarung yang dahsyat. Bahkan Batista melawan Triple H yang begitu obvious pemenangnya (berkat stipulasi yang gak perlu) saja masih menghibur kita lantaran kita mendapatkan apa yang kita harapkan dari dua superstar masa lalu ini.

Is this a game over? Is this an end game?

 

Memang sih, terlalu banyak fan-favorit yang menang tak ayal akan membuat kesal juga bagi beberapa orang yang pengen hasil yang lebih menantang. Seperti Roman Reigns melawan Drew McIntyre yang sebenarnya bisa dibuat jadi lebih kelam. Atau juga Orton lawan Styles yang bisa dibuat lebih gede karena pertandingan mereka sama sekali tidak terasa seperti partai sebergengsi partai WrestleMania. Tapi toh kedua partai tersebut berhasil juga bercerita dengan sangat fokus. Tentang Styles yang melihat RKO, dan tentang simbolisasi Reigns mengalahkan leukemia by himself. So they both served a storyline purpose dalam batasan waktu yang diberikan. Walaupun memang tidak sebesar yang seharusnya bisa dilakukan. Dan to be fair, match Mysterio lawan Samoa Joe berlangsung singkat sepertinya karena Rey masih belum sembuh benar dari cidera angkle-nya.

 

 

 

WrestleMania 35 adalah salah satu delapan-jam paling asyik yang pernah aku habiskan sambil makan kacang. Dua belas match dalam lima setengah jam. Tidak semelelahkan seperti yang sudah kuantisipasi, ternyata. Ada banyak feel-good moment, yang tidak merusak kesinambungan ataupun kelogisan cerita. WWE benar-benar berhasil menyenangkan hati para penggemarnya. Totally sebuah cara yang benar dalam merayakan perubahan. The Palace of Wisdom menobatkan WWE Championship antara Kofi Kingston melawan Daniel Bryan sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins merebut gelar dari Brock Lesnar
2. SINGLE AJ Styles mengalahkan Randy Orton.
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY The Uso bertahan dari The Bar, Rusev dan Shinsuke Nakamura, serta Ricochet dan Aleister Black.
4. FALLS COUNT ANYWHERE Shane McMahon menang dari The Miz karena suatu “keajaiban WrestleMania”.
5. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY The Iiconics jadi juara baru ngalahin Sasha Banks dan Bayley, Tamina dan Nia Jax, serta Natalya dan Beth Phoenix.
6. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston memulai hari baru sebagai juara setelah ngalahin The New Daniel Bryan.
7. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Samoa Joe retained by quickly defeating Rey Mysterio.
8. SINGLE Roman Reigns menang dari Drew McIntyre.
9. NO HOLDS BARRED Triple H gak jadi harus pensiun karena berhasil mengalahkan Batista.
10. ANGLE’S FAREWELL Baron Corbin ngalahin Kurt Angle.
11. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Finn Balor mengeluarkan Demon jadi juara baru ngalahin Bobby Lashley.
12. RAW AND SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT WINNER TAKE ALL Becky Lynch jadi dobel champion ngalahin Ronda Rousey dan Charlotte Flair.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SHAZAM! Review

“If we do not have one thing, we surely have some other”

 

 

Dengan menyerukan kata “Shazam!”, Billy Batson – Asher Angel memerankan anak muda empat belas tahun dengan hidup yang cukup ‘keras’ besar dari rumah asuh ke rumah asuh lain – berubah menjadi Zachary Levi yang berotot, berkostum ketat merah, dengan sayap putih sebagai jubahnya. Dan simbol kilat menyala oren terang di dadanya. Apa yang lantas dilakukan Billy dengan kekuatan sihir menembakkan kilat dari jarinya? Apa yang diperbuat Billy dengan kemampuan berlari super cepat, tahan peluru, dan bertenaga seperti Superman? Tentu saja bersenang-senang! Dengan wujud barunya, Billy membeli bir. Membalas perbuatan bully di sekolah. Lalu kemudian bolos sekolah. Masuk ke kelab. Begitulah kehidupan orang besar di mata anak-anak; kesempatan bermain yang lebih panjang. Tapi tentu saja, menjadi dewasa bukanlah sekadar mengucapkan mantra untuk berubah.

Shazam! sebelum sebuah film superhero, adalah sebuah film keluarga. Dan sebelumnya lagi, film ini merupakan sebuah gambaran tentang dewasa yang sebenarnya. Menggunakan sudut pandang anak kecil. Salah satu dari kalimat yang pertama kita dengar di film ini, kurang lebih, adalah “this kid will never be a man”, yang seketika mengeset konteks bahwa menjadi dewasa sekiranya dapat menjadi beban bagi anak kecil; sesuatu yang ditakuti, lantaran mereka belum punya pengetahuan ataupun kesiapan. Tapi ini bukan jenis cerita yang membandingkan kesempatan anak kecil dengan orang dewasa. Ini lebih kepada membandingkan dua contoh kasus; dua anak kecil yang sama-sama tidak punya satu elemen penting dalam masa perkembangan mereka sehingga rasa takut tersebut berubah menjadi rasa iri. Dan kedua anak ini memilih cara yang berbeda untuk mengekspresikan rasa iri mereka.

Fokus film ini adalah supaya kita melihat dan meng-embrace hal yang tidak kita punya. Bukan untuk menumbuhkan inferior, bukan untuk menciptakan rasa iri. Melainkan supaya kita dapat membuka diri menerima hal baru yang akan mengisi kekurangan sehingga kita menjadi semakin dewasa terhadap keadaan kita.

 

film ini udah kayak versi superhero dari Big (1988) dan iklan ojek-online episode korban tsunami 

 

Ketika membaca tiga paragraf di atas, mungkin yang belum nonton bakal menganggap film ini sebagai tontonan yang serius. Percayalah, di tengah gempuran dunia sinematik superhero yang ceritanya lagi kelam dan sangat serius, Shazam! actually adalah jenis film superhero yang bisa kita nikmati sambil nyender santai ngunyah popcorn di kursi. Penceritaannya mengambil pendekatan seperti komedi anak muda di tahun 80an. Akan ada banyak adegan yang sengaja dijatohin cheesy. Tone cerita memang kadang jadi gak bercampur dengan baik. Sepuluh menit pembuka yang lumayan dark, dan menyedihkan, dan kemudian ternyata bagian tengahnya itu luar biasa ringan. Yang dialami oleh Billy saat masih kecil itu bukan materi yang bikin kita ngakak. Dia terpisah dari ibunya di karnaval, dan sejak hari itu terus mencari-cari keberadaan sang ibu. Hidup Billy jadi enggak mudah. Tetapi alih-alih melanjutkan cerita lewat drama, film membawa kita ke pendekatan yang lebih fresh. Kita diberitahu Billy terus-terusan kabur dari rumah asuhnya. Kita diperlihatkan Billy ngeprank polisi demi mendapatkan alamat. Dan ini sebenarnya sangat kompleks; film enggak ingin membuat cerita yang seperti biasa namun juga tak mau Billy tampak seperti remaja urakan yang melakukan keputusan bego dengan sekadar mencari masalah dengan orang dewasa. Billy ini menolak untuk settle dengan rumah asuh karena dia menolak mengakui dia udah gak punya keluarga.

And here comes the heart of the movie; Billy ditempatkan di rumah asuh bersama lima anak yatim lainnya. Elemen keluarga asuh ini menjadi aspek terbaik yang dimiliki oleh film ini. Orangtua asuh Billy kali ini adalah pasangan yang dulunya juga gede di sistem foster, jadi mereka mengerti bagaimana menjadi keluarga. Baru-baru ini aku nonton MatiAnak (2019) yang juga memperlihatkan kehidupan foster family yang menyenangkan, dan Shazam! ini juga sama upliftingnya. Anak-anak yang bakal menjadi saudara Billy lebih beragam. Cewek yang paling kecil, misalnya, sangat senang punya kakak cowok baru dan tidak bisa berhenti bicara. Ada juga anak yang hobi main game. Ada yang pendiam tapi gak menutup dirinya. Ada kakak cewek yang galau keterima kuliah, tetapi dia merasa berat harus pindah dari keluarga tersebut. Percakapan Billy yang tatkala itu sudah menjadi Shazam dengan si kakak ini menunjukkan nun jauh di lubuk hati sebenarnya Billy merasa iri dengan anak-anak yang bisa menerima kekurangan mereka, tapi ia tutupi dengan merasa ia sudah bisa menjaga diri – ia merasa itulah makna dewasa, sehingga ia tidak perlu lagi iri.

Teman sekamar Billy, si Freddy (Jack Dylan Grazer jadi salah satu sumber komedi paling efektif dalam cerita), eventually menjadi sidekick yang ngajarin Billy cara menjadi superhero yang ‘baik dan benar’. Tokoh ini menurutku adalah perwujudan dari tone cerita yang kadang gak nyampur dengan baik tadi. Di awal pertemuan mereka, Freddy bercanda mengenai kondisi dirinya yang berjalan dengan bantuan tongkat. Dan kita gak yakin harus tertawa atau enggak, kinda seperti lelucon ‘papa belum mati’ Lukman Sardi di film Orang Kaya Baru (2019). Tapi sutradara David F. Sandberg lumayan berhasil mengalihkan tokoh ini dari menjadi annoying, hubungan antara Freddy dengan Shazam-lah yang membuat bagian tengah film ini menyenangkan untuk disimak. Dan tentu saja, Zachary Levi sangat kocak sebagai Billy Super. Dengan sukses dia menghidupkan seperti apa sih anak kecil yang seumur hidupnya belum pernah mengalami kejadian menyenangkan tiba-tiba mendapat kekuatan, menjadi orang besar, dan bisa melakukan banyak hal yang sebelumnya mungkin malah tak pernah ia bayangkan. Makanya Billy kecil justru terlihat dewasa, sedangkan Billy gede lebih fun – seperti ada dua Billy. Karena dalam wujud Shazam, Billy merasa lebih luwes dalam mengekspresikan diri.

Ketika kita diliputi rasa iri, kita akan lebih berfokus pada apa yang tidak kita miliki. Padahal semestinya kita tidak melupakan apa yang kita miliki, apa yang seharusnya kita nikmati.

 

Film tidak benar-benar menjelaskan kenapa Billy terpilih sebagai pewaris kekuatan sihir Shazam, selain karena dia punya hati yang murni. Monster yang harus dikalahkan olehnya adalah perwujudan dari Seven Deadly Sins. Billy bisa jadi dikatakan murni karena dia tidak tertarik untuk membesarkan Dosa yang dia punya, he did try to repressed his envy. Tapi cara film ini membuat urutan kejadiannya, malah jadi terasa seperti Billy adalah pilihan random, dan alasan kenapa dia enggak tergoda jadinya seperti karena Monster Tujuh Dosa itu sudah pergi dan tidak ada di Gua saat Billy dipanggil ke sana. Billy seperti tidak mendapat ‘godaan’ sebesar antagonis utama film ini, ‘anak kecil’ satunya lagi yang jadi sorotan cerita; Mark Strong yang dengan bad-ass memerankan Dr. Thaddeus Sivana.

Nangkep anak-anak aja kok mesti ngeluarin lima monster segala sih, dasar Sivana na na na~

 

Kondisi yang membuat iri tumbuh dengan tiga kondisi sebagai syarat. Pertama ada orang atau sesuatu yang lebih baik, kedua kita merasa ingin seperti demikian, dan ketiga ada derita yang kita rasakan sehubungan dengan hal tersebut. Backstory Dr. Sivana ini dijelaskan dengan cukup detail. Dia mengalami tiga hal tersebut. Kita melihat dirinya semasa kecil, dan seperti apa jadinya dia saat dewasa. Cerita ingin menunjukkan kontras antara Billy dengan Sivana; anak kecil yang berusaha dewasa dengan keadaan dirinya dan orang dewasa yang tetap seperti anak kecil lantaran menahan grudge yang dipelihara oleh rasa irinya. Merupakan perbandingan yang menarik, tapi juga membuat tokoh ini jadi satu-dimensi. Dan kita diminta untuk percaya dari sekian jauh waktu antara dia kecil hingga dewasa, dia hanya punya satu di pikirannya. Dia tidak berubah sama sekali. Untuk memaklumkan kita, film berusaha menunjukkan ‘kegilaan’ Sivana dewasa dengan meng-reintroduce tokoh ini dalam lingkungan penelitian, di mana kita melihat dia menonton video orang-orang yang mengalami kejadian yang sama dengan dirinya untuk berusaha mengerti dan pada akhirnya bisa mengeksploitasi sumber dari fenomena tersebut. Hanya saja, sekuen tersebut malah menambah ke bentroknya tone cerita, aku gak tau harus merasakan apa melihatnya setelah pembuka yang lumayan sedih, untuk kemudian setelah ini disambung sama adegan jenaka yang begitu self-aware.

Shazam! memasukkan banyak referensi superhero dari DC Comic. Batman dan Superman malahan berperan lumayan ‘besar’ sehingga kadang rasanya kepentingannya sedikit terlalu besar untuk mengingatkan kita bahwa ini adalah superhero DC. Selain itu, juga ada referensi dari video game dan pop-culture lain. Terang-terangan film memasukkan adegan yang merujuk pada film Big nya Tom Hanks. Which is fun. Hanya saja, sekali lagi, terasa terlalu intrusif sehingga mengganggu tone adegan yang saat itu lagi kejar-kejaran antara Shazam dengan Sivana. Kadang film bisa mendadak jadi extremely comical seperti demikian. Salah satu contoh lagi adalah adegan ketika mereka berdua lagi ‘berdiri’ dengan jarak yang lumayan jauh. Ini sebenarnya kocak banget, karena film seperti meledek adegan-adegan yang biasa kita lihat dalam stand-off tokoh superhero dengan penjahat. Tapi sekaligus juga mengurangi keseimbangan tone, I mean, jika ingin kocak seperti demikian mestinya mereka konsisten komedi dulu dari awal seperti yang dilakukan Thor: Ragnarok (2017) yang dengan bebas mengeksplorasi kekonyolan tanpa merusak tone cerita secara keseluruhan.

 

 

 

Sedikit lebih komikal dari yang diisyaratkan oleh adegan pembukanya. Film ini bakal jadi hiburan yang ringan, di mana menyebutnya ‘superhero yang tidak serius’ tidak akan menjadi jegalan buatnya. Melainkan pujian. Bagian terbaiknya adalah elemen keluarga-angkat yang menyumbangkan hati buat cerita. Sementara sekuen-sekuen kocak Billy yang belajar menggunakan kekuatan barunyalah yang sepertinya bakal diingat terus oleh penonton. Selain itu, pembangunan drama personal – terutama tokoh jahat – mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SHAZAM!.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Melihat dari akhir filmnya, apakah menurut kalian Mary akan memilih untuk melanjutkan ke kuliah yang jauh dari rumah?

Kita semua tentu pernah merasa iri hati, pernahkah kalian membandingkan rasa iri yang kalian rasakan itu lebih sering muncul dalam kondisi yang bagaimana? Mana sih yang lebih rentan iri; anak kecil atau orang dewasa, atau malah sama aja?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

[Readers’ NeatPick] – MEMORIES OF MURDER (2003) Review

“Tidak hanya membahas tentang kasus pembunuhan saja, melainkan menyindir – dengan komedi – cara kerja polisi-polisi Korea waktu itu dan juga menggambarkan dengan jelas betapa primitifnya pikiran orang-orang Korea waktu itu, bahkan sekelas polisi sekalipun” Andy Kurniawan, karyawan dengan akun instagram @andykur21

 

 

 


Sutradara: Joon-ho Bong
Penulis Naskah: Joon-ho Bong, Kwang-rim Kim, Sung-bo Shim
Durasi: 2jam 12 menit

 

Sepanjang September 1986 hingga April 1991, sepuluh orang wanita di Hwaseong, Korea Selatan ditemukan meninggal dalam keadaan terikat oleh pakaian mereka sendiri. Dengan rentang usia yang begitu random, tidak banyak kesamaan yang bisa ditarik di antara mereka selain dugaan mereka ‘dikerjai’ oleh satu orang yang sama. Seorang pembunuh psikopat berdarah dingin. Dengan hanya sedikit sekali bukti dan petunjuk, polisi seperti mencari satu jarum di antara, literally, 21.280 orang yang dicurigai menjadi tersangka. Kasus ini sampai sekarang belum terpecahkan. Film Memories of Murder terinspirasi dari kasus serial-killer pertama dalam sejarah Korea Selatan tersebut. Kita akan ngikutin Park Doo-man, detektif ‘ngasal’ yang berusaha menangkap si pembunuh dengan segala sense of justice yang dia punya. Dan ini bukan sekadar soal misteri ‘whodunit’, karena seperti halnya kasus di dunia nyata yang sampe sekarang belum terjawab, film ini menggunakan itu sebagai alat untuk menceritakan lapisan yang lebih manusiawi soal Park Doo-man – dan juga detektif dan polisi lainnya – menyadari bahwa petanyaan sebenarnya bukan ‘siapa’, melainkan ‘bagaimana’.

“Suka banget film ini. Ngeselin, tentu Detektif Park. Banyak banget hal penting yang kelewat begitu saja karena kebegoannya.”

“Hahaha iya sih di awal-awal memang pengen nonjok dia banget. Super gak-kompeten. Masa investigasi tersangka modal tatapan mata doang. Paling ngakak pas dia mukulin detektif yang baru dateng dari Seoul cuma karena menurutnya gerak-gerik si detektif mencurigakan. Tendangan terbaaanggg~~ XD”

“Yang paling cool memang si Detektif Seo Tae-yoon. Dia melakukan kerja yang lebih baik”

“Sentral cerita film ini terletak pada dua tokoh detektif yang amat bertolak-belakang tersebut. Satunya makan mulu, bergerak berdasarkan prasangka, maksain bukti malah dia gak ragu untuk ciptain bukti sendiri supaya teorinya benar dan kasus cepat selesai. Kocaknya lagi, si Park ini justru ngerasa dirinya detektif yang baik. Perhatiin enggak, metode interogasi Park ama temennya di kepolisian? Di situ Park berperan sebagai ‘good cop’, sedangkan temannya jadi ‘bad cop’ yang kerjaannya mukulin tersangka. Padahal Park dan temennya itu sama-sama bego. Satunya lagi ada detektif yang lebih metodikal, gak males mikir, rasional, bergerak berdasarkan bukti dan dokumentasi. Park dan Seo malah terlihat saling benci kan, Park pastilah menganggap kedatangan Seo yang beneran cakap dan baik itu sebagai ancaman buat posisinya sebagai ‘good cop’ di kantor mereka.

“Soal polisi atau aparat yang mengandalkan kekerasan terhadap tersangka atau pelaku kriminal ini sebenarnya agak dilema buat gue. Kadang memang ada beberapa orang yang harus dikerasi dulu baru dia ngaku. Boleh-boleh aja sih kalau memang perlu, asal jangan sampai keterlaluan dan jangan sampai orang yang diinterogasi ini dipaksa untuk jadi pelakunya”

Kerennya film ini, ntar semakin ke akhir kedua detektif ini mendapat ‘goncangan’ – masing-masing mereka dibuat jadi meragukan kepercayaan mereka sendiri oleh kasus pembunuhan berantai itu. Aku suka banget gimana menjelang akhir mereka jadi kayak bertukar posisi, si Park yang belajar mengakui kinerjanya buruk terlihat jadi seperti beneran ‘good cop’ ketimbang Seo yang semakin ‘kasar’ kelakuannya lantaran frustasi bukti-bukti yang ia dapatkan selalu terbukti patah. Pada akhirnya kita justru melihat perbedaan sikap dua orang ini saat mereka dihadapkan pada kesalahan dan kegagalan. Park, meskipun masih mengandalkan “tatapan gue bisa melihat kebohongan orang” -walaupun masih belum tahu siapa pelakunya setelah sekian lama, tapi di akhir cerita dia menjadi pria yang lebih baik dari semua tokoh di film ini.”

“Hahaha iya makanya gue memilih film ini untuk dibahas. Karena menurut gue film ini salah satu masterpiece perfilman Korea dan banyak orang yang gak tau tentang film ini. Tapi selain Park dan Seo, menurut gue karakter lain biasa aja sih”

“Padahal karakternya banyak ya. Polisi, tersangka, saksi, para ekstra. Saking banyaknya, sering banget film ini masukin semuanya sekaligus ke dalam satu shot”

“Tapi fokus gue gak pernah teralihkan sama penggunaan kamera yang menangkap banyak orang dan aksi sekaligus yang dilakukan oleh film ini.”

“Kita masih tetap mengerti ceritanya kan ya. Inilah kehebatan sang sutradara Joon-ho Bong, bukan hanya bloking posisi tokoh, dia juga mainin fokus kamera. Bukan cuma para tokoh yang ia arahkan, melainkan juga fokus kita para penonton. Tokoh-tokoh yang belum penting dia tarok di sudut di luar fokus, dan setiap ada pergantian fokus atau dia ingin memindahkan perhatian kita ke tokoh lain maka Joon-ho akan membuat entah itu tokohnya yang bergerak atau kameranya yang berayun. Treatment kamera dan konteks cerita klop banget, ini soal tatapan mata.”

“Gue paling ingat dan paling sedih itu adegan waktu detektif Park melihat ke arah penonton, mencari pelakunya di antara kita. Goosebump banget. Kendati gue sebel banget sama detektif Park, gue tetep bisa melihat bahwa dia sendiri sangat bedeterminasi tinggi buat nangkep pelakunya. Gue paham betul amarah dan keputus asaanya saat melihat ke arah kamera, lebih tepatnya ke arah pelaku pembunuhan yang menonton film ini”

“Aku bisa bilang shot terakhir itu merupakan salah satu momen terkuat yang pernah aku saksikan dalam sejarah hidupku menonton film. Adegan tersebut diniatkan untuk terbuka-bagi-interpretasi, meaning beda orang akan beda cara melihatnya. Namun aku yakin kita semua bisa kompak dalam merasakan itu momen yang sangat mengena. Entah itu apakah ada penonton yang mengira Park memandang tajam ke arah dirinya langsung, atau melihatnya sebagai Park mengenang kasus tersebut dalam penekanan bahwa dia memandang salah dirinya sendiri karena tak melihat kemungkinan yang disebutkan si anak kecil sedari awal – bahwa Park mengaplikasikan ‘mata kebenarannya’ kepada dirinya sendiri. Karena ada satu pesan yang jelas; bahwa pelakunya adalah orang yang seperti orang kebanyakan. Pembunuh tidak dicirikan sebagai orang yang terbelakang mental, yang aneh, yang berbeda dari kebanyakan. Ingat gak ketika Park sempat mencurigai pelakunya adalah biksu hanya karena polisi tidak pernah menemukan jejak rambut di korban sehingga ia menyimpulkan pembunuhnya orang botak? Mata adalah jendela jiwa, namun selama ini Park menyadari dia mengamati hal yang salah.”

“Kalau menurut gue psikopat kadang gak kelihatan. Mereka pinter akting, persis seperti anak kecil di film ini yang ngomong kalau muka pelakunya itu biasa aja, kayak orang normal.”

“Exactly. Maka menurutku jawabannya yang paling penting harus dicari oleh polisi dan kita, manusia penonton filmnya, adalah kenapa kita gagal menangkap pelaku. Film ini memperlihatkan bahwa salah satu rintangan para detektif itu mengungkap kasus adalah kurang memadainya teknologi. Untuk tes DNA saja mereka harus membawa dulu sampel ke Amerika. Teknologi mungkin memang berperan, tapi tetap kunci utamanya adalah pada manusia. Kengasalan para polisi adalah faktor yang sama berperannya. Aku geram sebenarnya melihat mereka menjadikan timing pemutaran satu lagu di radio sebagai petunjuk. Memang teori mereka menarik, dan kebetulan cocok, tapi logikanya maksa banget; gimana si pelaku bisa beneran nemu cewek yang lagi jalan sendirian hujan-hujan malam-malam saat lagu radio itu diputar? kan ‘petunjuk’ yang begitu itu terlalu kondisional. Kadang kita keburu excited melihat hal-hal yang tampak ‘wah'”

“Kita dikenalkan dengan detektif Seo yang sifat dan kepandaiannya kebalikan dari detektif Park, tapi toh dia juga tidak mampu mengungkap pelakunya karena teknologi yang terbatas waktu itu. Di satu sisi menurut gue juga percuma kalau teknologi canggih tapi manusianya yang gak bisa menggunakan, tetep aja gak ketangkep pelakunya. Karena manusia tanpa teknologi juga gak bisa maju, sebaliknya teknologi sendiri tidak serta merta membuat manusia cerdas. Buktinya di masa sekarang banyak orang-orang beli hape canggih tapi tidak bisa memanfaatkannya dengan betul.”

“Pada sebagian besar waktu kita akan tertawa melihat para tokoh film ini, tapi yang kita tertawakan itu adalah hal kelam yang sampe sekarang juga masih terjadi sadar atau enggak. Gimana kita prasangka duluan sama orang lain, gimana kita bertindak asal jadi, asal benci. Malah mungkin semakin menjadi-jadi. I mean, mungkin itu sebabnya kenapa sekarang kita jarang mendengar ada pembunuh berantai. Serial-killer dan misteri pembunuhan tak terpecahkan itu hanya ‘rame’ di jaman dahulu. Bukan semata karena teknologi sekarang udah maju sehingga mereka bisa lebih cepat ditangkep, tapi mungkin juga karena saking tingginya level kebobrokan sehingga orang merasa gak perlu sembunyi-sembunyi lagi, justru bangga sebagai psikopat. Sekarang lebih ‘ngetren’ teroris kan. yang di Selandia Baru itu, penembakan terang-terangan pake di-livestream segala. Seharusnya dengan teknologi maju, pembunuhan bisa cepat diungkap, namun karena manusia malah semakin bobrok, kejahatan pun ikutan berevolusi, malah jadi skala besar dengan lebih cepat.”

“Banyak faktor soal jaman dulu banyak pembunuh psikopat sedangkan sekarang enggak; seperti teknologi, kemampuan polisinya yang belum mumpuni, konspirasi dengan petinggi negara dan sebagainya. Terus mengenai teroris, gue rasa karena aksi mereka lebih terbuka, lebih brutal dan sori to say, melibatkan suatu agama tertentu. Sedangkan serial killer lebih membutuhkan banyak waktu, korban dan misteri agar terkenal.”

“Komentar sosial yang mengena banget ke seluruh dunia. Pembunuh berantai itu bisa siapa saja. Teroris itu bisa siapa saja. Tidak terkait golongan, ras, atau apapun. Tapi film yang bernada komedi ini toh tetap mengajak kita untuk ‘bermain-main’, mengajak kita untuk ikutan menebak-nebak siapa pelaku. Di satu poin dalam cerita, kita malah diperlihatkan wajah blur pelaku. Jadi, mungkin sebenarnya film ini punya pelaku versi cerita mereka sendiri. Kalo mau main detektif-detektifan, aku sih paling curiga sama tukang reparasi yang keluar-masuk ruang interogasi kepolisian itu. Kamera gak pernah lihatin wajahnya, tapi yaah mengingat semua yang terekam oleh film ini punya kepentingan berkat arahan dan staging yang detail seperti yang kita bahas di atas, menurutku rasanya aneh aja ada tokoh tukang reparasi yang hanya ada di sana tanpa dimaksudkan sebagai apa-apa.”

“Kalau menurut gue pasti salah satu penduduk daerah situ. Petunjuknya adalah karena dia kelihatannya gak sembarangan pilih korban dan juga tahu betul lokasi yang ideal untuk melakukan aksinya. Cuma warga desa situ yang menurut gue bisa melakukannya.”

“Dipikir-pikir lagi, dari gimana hebatnya film membangun dunia ceritanya – semua di desa itu terlihat seperti beneran sesuatu yang bisa kita temukan di desa nyata…”

“Kesan tempatnya mirip kampung-kampung di Indonesia wkwkwk. Justru itu gue juga heran kenapa pembunuhnya malah gak ketangkep-tangkep, padahal orang-orang di kampung situ harusnya akrab-akrab”

“Nah itu, kampung mereka tampak tertutup dan gak akrab, meski penghuninya akrab-akrab kayak anak sekolahan, atau juga kondisi di warung. Secara kontekstual, film ini berlangsung di jaman kericuhan Korea Selatan dan Utara, kan. Kita melihat beberapa kali desa itu kena jam malam, dan ada simulasi-simulasi keamanan yang sedang berlangsung sebagai latar cerita. Dan menurutku, film ini juga ingin mengkritik itu. Bahwa itu semua mungkin bisa dijadikan petunjuk bahwa menurut film ini pelaku sebenarnya – ‘pelaku’ yang menyebabkan di zaman dulu Korea Selatan bisa kebablasan ada serial-killer yang bukan hanya gak tertangkap basah, melainkan juga seperti mengejek polisi dengan aksi-aksinya – adalah sistem negara itu sendiri. Jika mereka tidak dalam darurat perang, jika tidak ada simulasi-simulasi itu, pintu dan jendela rumah-rumah mungkin tidak akan tertutup oleh ketakutan sehingga tidak ada kesempatan untuk si pembunuh melancarkan aksinya.”

“Masterpiece! Dari skala 1-10, gue  ngasih 9 deh, minusnya film ini cuma kemampuan mata Park kurang dijelasin dan timeline korban-korban pembunuhan juga kurang dijelasin lagi. Tapi karena Bang Arya cerewet pasti film ini dikasih skor mentok di tujuh setengah wkwkwkwk”

“Wahahahaha film ini dalem banget. Misterinya engaging. Tokoh-tokohnya menarik. Teknisnya juga luar biasa. Untuk film ini, aku tak menemukan cela yang merusak. Semuanya bekerja efektif mengisi konteks. Soal ‘mata kebenaran’ Park itu buatku juga jenius banget. Kali ini aku pikir aku setuju, aku juga ngasih 9 dari 10 buat Memories of Murder. Jarang-jarang ya!”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Andy Kurniawan udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, ke mana aja aku baru tau ada film keren ini ya haha.

Apakah kalian punya teori sendiri siapa pembunuh dalam film ini? Apa yang kalian rasakan saat ditatap oleh Park di momen final film ini?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Fastlane 2019 Review

 

Sungguh akan membosankan jika jalan yang ditempuh lurus-lurus saja, maka Fastlane 2019 memastikan setiap protagonis dalam masing-masing storyline mereka berjalan di jalur yang penuh tikungan tajam, sehingga perjalanan mereka menuju Wrestlemania terasa sangat dramatis.

 

Para favorit penonton, seperti Kofi Kingston dan Becky Lynch, tidak diberikan jalan keluar yang pasti. WWE benar-benar cakap dalam menggali drama, sehingga sekalipun Fastlane 2019 masih terkesan sebagai acara filler – seperti bagaimana Captain Marvel (2019) juga ‘hanyalah’ singgahan sebelum suguhan utama yakni Avengers: Endgame – namun kali ini WWE berhasil memadatkannya. Fastlane 2019 dijadikan ajang showcase buat aksi-aksi akrobat yang selama ini agak sedikit dikesampingkan oleh cerita utama dan juga jadi cara WWE untuk mengikat berbagai lose-end entah itu dalam cerita, maupun yang timbul dari keadaan darurat seperti injury tak-terduga dari superstar-superstar yang mereka miliki.

Hometown-boy The Miz menemukan jalannya berliku tatkala secara mengejutkan Shane McMahon, pasangan tag teamnya, frustasi dan menyerang dirinya dari belakang setelah pertandingan mereka yang dijadikan pembuka acara. ‘Mengejutkan’ lantaran banyak yang mengira WWE tidak berani mengambil resiko dengan memposisikan Miz sebagai tokoh face yang sengsara seperti demikian. Penonton di arena Quicken Loans begitu terinvest ke dalam partai kejuaraan tag team tersebut, semuanya mengelu-elukan The Miz yang berasal dari daerah mereka, Cleveland-Ohio, bahkan ayah Miz kembali hadir dan menonton di barisan depan. Miz dan Shane jelas sekali adalah tokoh utama dalam cerita mereka, Shane actually juga dapat huge-pop setelah spot keren dan penuh presisi yang ia lakukan – Shane menyetop serangan Uso di udara! – semua bangunan cerita itu seolah Miz yang akan balik menyerang Shane. Jadi menurutku akan menarik bagaimana WWE akan menangani karakter yang bisa dibilang ‘baru’ buat The Miz yang nyaris sepanjang karirnya jadi tokoh jahat yang songong tapi pengecut.

Tokoh-tokoh heel dibuat mendominasi dalam acara ini. Tim Sasha Banks dan Bayley, meskipun menang, namun mereka pada akhirnya dihajar oleh Tamina dan Nia Jax. Dan bahkan setelahnya, kita melihat tim Samoan Slaughterhouse tersebut menghajar Beth Phoenix, yang datang sebagai komentator tamu, perfectly ngeset up pertemuan di Wrestlemania bagi yang peduli pada Nia Jax. Karena kalo mau benar-benar jujur, hal paling jahat yang bisa kita dapatkan dari title defense pertama kejuaran tag team cewek tersebut adalah banyaknya botch yang kedua belah pihak lakukan. Sasha bermain se-sloppy yang biasa ia lakukan, dan aku gak ngerti gimana Nia bisa kehilangan keseimbangan menangkap Sasha yang memiliki postur kurang dari setengah badannya. Melihat Nia dan Tamina membuatku teringat pada Rikishi dan Haku yang sempat mendominasi di era 2000an, hanya saja dari segi skill dua cewek ini masih jauh di bawah konterpart cowok tersebut. Satu lagi kejuaraan yang melibatkan superstar cewek – Asuka defending against Mandy Rose – seharusnya adalah kesempatan emas buat keduanya mempertontonkan apa yang mereka punya. Sayangnya, match mereka dikasih drama yang sebenarnya gak perlu, pun dieksekusi dengan awkward, sehingga enggak ada sama sekali kesan yang dihasilkan

fans malah lebih prihatin sama handphone milik Beth Phoenix

 

Cukup disayangkan sebenarnya match-match single dalam acara ini kebanting oleh partai ramean, karena buatku partai satu-lawan-satu selalu punya urgensi yang lebih tinggi – psikologinya lebih aman terkena bias-bias aksi. Belakangan ini WWE membuktikan mereka mampu membuat partai ramean yang enggak sekadar ‘aksi tabrakan’. Namun di Fastlane 2019 ini, partai rameannya gak benar-benar berisi karena diutilisikan sebagai ajang showcase, dan oh boy, aksi-aksi yang disuguhkan di acara ini beneran cepet dan bertenaga. Aku bisa pastikan kita semua sangat enjoy menyaksikan kejuaraan tag team Raw yang melibatkan tiga tim; juara bertahan The Revival melawan Bobby Roode-Chad Gable melawan Aleister Black-Ricochet. Tiga tim yang semua pesertanya berangkat dari NXT ini benar-benar sudah jaminan seru. Mereka semua sukses terlihat kuat oleh match ini, membuat kita merindukan pertemuan mereka di kemudian hari. Begitu pula dengan kejuaran United States yang diperebutkan oleh empat orang; Samoa Joe, Andrade, Mysterio, dan R-Truth. Meskipun kepentingan partai ini mungkin lumayan rendah, sebab kita sudah melihat pertandingan ini beberapa hari sebelumnya. Namun berkat itu pulalah, chemistry di antara keempat superstar jadi terlatih dan mereka berhasil menyuguhkan kontes yang fast-paced penuh oleh gerakan-gerakan menarik. Kedua match tersebut, minim kepentingan cerita, dan hanya berfungsi untuk memberi ruang kepada banyak superstar untuk dikenal lebih jauh; catatan pentingnya adalah fungsi tersebut berhasil tercapai.

Dan sepertinya memang aksi berbicara lebih lantang ketimbang kata-kata. I mean, jika kalian ingin tahu seberapa hebatnya Mustafa Ali, tonton saja partai kejuaraan WWE antara Ali melawan Kevin Owens melawan Daniel Bryan. Di awal-awal pertandingan tersebut, penonton menggerutu karena mereka pengen Kofi Kingston yang berada di sana. Untungnya bukan tanpa alasan ketiga superstar itu disebut sebagai profesional. Owens tampil berapi-api, Bryan memainkan karakter heelnya dengan baik, dan Ali; Ali was over the place. Seiring berjalannya pertandingan, gerutuan dan teriak-teriakan “We want Kofi!” penonton berubah menjadi decak kagum demi melihat apa yang dilakukan oleh Ali. See, menurutku penonton memang agak cinta-buta dalam kasus Kofi Kingston ini. Tentu, Kofi pantas mendapatkan posisi yang lebih baik, dia berhak untuk dikenal lebih dari dirinya yang sekarang, namun banyak penonton yang mengabaikan fakta bahwa Kofi di Elimination Chamber bulan lalu hanyalah pengganti Ali yang cedera. Kofi terpilih karena dia lincah, seperti Ali, jadi alur match Chamber itu gak perlu banyak dirombak. Kini setelah Ali sembuh, tentu saja WWE ingin mengarahkan kembali ceritanya ke jalan yang benar. Dan sebagai perusahan bisnis yang udah survive lebih dari 30 tahun, WWE tentu paham untuk memanfaatkan reaksi penonton terhadap Kofi sebagai peluang untuk menggali cerita baru seputar dirinya. Maka kita mendapat ‘episode 1’ cerita Kofi tentang bagaimana dia di-screw oleh Vince McMahon pada Fastlane ini.

masih gak yakin di lagu entrancenya Mandy Rose menyebut namanya atau menyuruh aku…. mandi~

 

Aku selalu menonton dan menilai acara WWE layaknya menonton dan menilai film, tapi sesungguhnya ada satu perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Jika dalam menilai film, kita harusnya hanya bicara tentang filmnya. Kita tidak mempedulikan seberapa jor-joran promo jualan yang dilakukan. Kita tidak menyangkut-pautkan hal-hal pribadi ataupun kontroversi yang dilakukan oleh pemain ataupun pembuat filmnya. Dulu Depe dan almarhum Jupe sempat rela berantem hingga masuk penjara demi menjual film horor yang mereka bintangi, namun kualitas promo tentu saja tidak berhubungan langsung dengan kualitas filmnya. Nah ini berbeda dengan WWE. Dalam WWE, promosi adalah bagian dari storyline, termasuk ke dalam unsur storytelling. Malah jaman dulu, para superstar dituntut untuk tetap in-karakter meski berada di luar arena, karena yang namanya backstage itu ya di manapun kecuali di dalam stage alias ring. Di era digital, WWE mengambil langkah yang lebih jauh dalam mempromosikan ceritanya. Mereka menggunakan sosial media untuk menambah bumbu-bumbu seteru, menyuruh superstar untuk memposting cerita bersama hal-hal personal demi mengaburkan garis batas cerita dengan kenyataan. I mean, lihat gimana ayah kandung Miz dimasukkan ke dalam cerita Miz dan Shane di awal. Seperti twitwar yang viral antara Becky Lynch dengan Ronda Rousey. Nice work yang mereka lakukan untuk membuat perseteruan mereka semakin panas sehingga ketika pada saatnya keduanya bertanding di Wrestlemania, segala bangunan emosi itu meledak dan kita yang terinvest kebawa emosional olehnya. Masalahnya adalah, kedua superstar yang adu twit bawa-bawa keluarga itu ternyata tidak berdua.

Dalam Fastlane kita melihat episode berikutnya dari perjalanan Becky Lynch, dan di mana ketika seharusnya mereka merapikan cerita ini, WWE malah membuatnya semakin rumit dan gak make-sense. Mari kita rekap sebentar; Lynch kalah melawan Asuka di Royal Rumble, jadi nasibnya di Wrestlemania belum jelas. Jadi Lynch mengambil spot Royal Rumble Lana yang kebetulan cedera, dan Lynch sukses memenangkan Royal Rumble. Menjadikannya berhak menantang juara cewek yang ia pilih. Lynch memilih Rousey. Tapi kemudian, Lynch juga cedera dan dia menolak ke dokter. Setelah dipaksa, Lynch akhirnya ke dokter dan dititah clear untuk bertanding, meski sekarang dia pake crutch untuk berjalan. Hanya saja Vince gak suka sama sikapnya, sehingga Lynch disuspend selama 60 hari dan digantikan posisinya oleh Charlotte. Menanggapi ini, Rousey ngamuk dan meninggalkan sabuk juaranya. Stephanie kemudian mencabut suspensi Lynch, dan Rousey tiba-tiba jadi heel saat Lynch diharuskan bertanding melawan Charlotte untuk posisi yang secara sudah ia menangkan di Royal Rumble. Ribet banget! Banyak kelokan cerita yang gak perlu dan gak masuk akal. Match Lynch melawan Charlotte di Fastlane ini berakhir prematur setelah Rousey datang, memukul Lynch, dan memastikan dirinya melawan dua orang alih-alih satu di Wrestlemania. Logika yang aneh, karena Charlotte sama sekali tak-penting di sana, terlebih mengingat promo dan ‘perang’ yang dilakukan berdua oleh Lynch dan Rousey di twitter.

Kalo aku yang nulis cerita, aku akan bikin Lynch menang di Fastlane dengan susah payah – kakinya masih cedera. Dan di Raw menjelang Wrestlemania, Rousey menghajar Charlotte sampe babak belur – dengan gampang karena dia nyerang dari belakang – sehingga Charlotte tak clear untuk bertanding. Ini akan membawa kita kepada Lynch melawan Rousey, satu-lawan-satu, dengan rintangan yang sungguh besar bagi Lynch – mengeset dirinya sebagai ultimate babyface, dengan Rousey sebagai penjahat utama, dan Charlotte sebagai katalis yang berperan penting untuk pembangunan dua karakter sekaligus.

 

But still, betapapun gak make sensenya arahan cerita yang diambil oleh WWE terhadap Lynch, Charlotte, dan Rousey, match mereka di Fastlane ini masih punya purpose. Masih masuk ke dalam gambaran-besar jalan berliku yang harus dilalui oleh protagonis cerita. Fastlane dan build-upnya penuh oleh superstar yang tiba-tiba ‘muncul’ atau diganti sebagai bentuk usaha WWE merapikan storyline. Salah satu kemunculan kembali itu adalah Roman Reigns yang beberapa bulan setelah Wrestlemania tahun lalu mengundurkan diri karena penyakit leukimia yang ia derita. Sebagai comeback yang pantas dirayakan, yang timingnya juga pas sekali dengan rumor bahwa Dean Ambrose akan hengkang dari WWE begitu kontraknya habis tak berapa lama lagi, maka WWE impromptu membuat match yang digadang sebagai pertandingan terakhir The Shield. Seth Rollins yang bersiap untuk tanding melawan Lesnar di Wrestlemania ditarik ke match ini, Ambrose yang berpaling dari Shield begitu Reigns mengundurkan diri ditarik kembali bergabung, dan ya kita melihat partai utama Fastlane berupa match Shield melawan tim Baron Corbin, Drew McIntyre, Bobby Lashley – yang lumayan seru, yang emosional karena ini supposedly adalah perayaan memenangkan penyakit mematikan, tapi tidak benar-benar terasa fit ke dalam apapun. Match ini adalah epitome dari yang namanya sebuah filler; tidak mempropel storyline yang sedang berlangsung. Enggak benar-benar punya purpose, selain mengantarkan penonton pulang dengan hati yang puas.

 

 

Setelah semua ini, kupikir kita semua lumayan bergairah demi menunggu Wrestlemania. WWE sendiri cukup berhasil menyuguhkan tiga pay-per-view yang bagus secara berurutan di tahun 2019 ini. Fastlane 2019, masih sebuah filler, tapi punya kualitas di atas rata-rata. The Palace of Wisdom menobatkan Triple Threat Kejuaraan WWE sebagai Match of the Night; salah satu triple threat terseru yang pernah aku tonton.

 

 

Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Uso mempertahankan gelar mereka atas Miz dan Shane McMahon.
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka bertahan dari Mandy Rose.
3. HANDICAP ONE-ON-TWO The Bar mengeroyok Kofi Kingston.
4. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT The Revival kembali juara mengungguli Aleister Black-Ricochet dan Bobby Roode-Chad Gable.
5. UNITED STATES CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY Samoa Joe tetap juara mengalahkan Rey Mysterio, Andrade, dan R-Truth.
6. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP juara bertahan Bayley dan Sasha Banks defeating Nia Jax dan Tamina
7. WWE CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Daniel Bryan kembali bawa pulang sabuk setelah ngalahin Mustafa Ali dan Kevin Owens
8. SIX-MEN TAG TEAM The Shield menghancurkan Baron Corbin, Drew McIntyre, dan Bobby Lashley

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FOXTROT SIX Review

“Why don’t presidents fight the war?”

 

 

 

Lirik lagu band System of a Down tersebut mungkin bakal terngiang-ngiang di kepala kita saat menyaksikan film laga distopia Indonesia garapan Randy Korompis. Foxtrot Six pada performa terbaiknya memuat komentar politik tentang bagaimana dalam setiap kekacauan, selalu rakyat jelata yang menjadi korban. Film ini bicara tentang kelaparan dalam rentang mulai dari lapar makanan beneran hingga lapar kekuasaan di mana pemimpin terus saja menyuapi rakyat dengan kebohongan alih-alih makanan. Ada satu adegan menjelang akhir yang membuatku tertawa sinis ketika setelah bak-bik-buk dan gencatan senjata di ruang presiden, salah satu pintu ruangan tersebut terbuka dan masuklah sang pemimpin negara dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik sebelumnya. Tak-terluka. Tak-bernoda. Tak tesentuh oleh semua padahal rakyat menderita atas namanya.

Kenapa bukan presiden yang ikut berperang? Bukankah pada cerita-cerita jaman dahulu para raja langsung turun dengan kudanya ke medan tempur? Karena bukan begitu cara kerja dunia sekarang. Presiden tidak ikut berperang karena bukan tugasnya, presiden harusnya adalah orang yang mencegah terjadinya perang sedari awal. Dia yang memastikan keamanan rakyat, kestabilan nasional bisa tercapai melalui perjuangannya di balik meja.

 

Presiden Indonesia tahun 2031 dalam Foxtrot Six toh memang berusaha untuk menstabilkan keadaan. Namun demi keuntungan dirinya sendiri. Dia ingin terlihat sebagai pahlawan sejati di mata rakyat. Aku mengira film akan mengembangkan motivasi tokoh ini lebih lanjut, kupikir tujuan besar si presiden adalah ingin menguasai dunia, sebab di sepuluh-menit awal kita diperlihatkan serangkaian klip-klip yang berfungsi sebagai eksposisi yang menjelaskan keadaan Indonesia saat itu di mata seluruh dunia. Gimana Indonesia jadi pusat pangan, tetapi rakyatnya menderita kelaparan sehingga tindakan kepala negara tak pelak akan jadi sorotan. Tapi ternyata cerita menguncup tatkala kita mulai memasuki wilayah tokoh protagonis; Angga, anggota Dewan yang seorang mantan tentara. Angga tadinya punya rencana untuk ‘menyelamatkan’ dunia. Kemudian rencananya tersebut disabotase, diambil alih. Dan malah Angga yang dituduhkan sebagai teroris, rencana yang ia bikin malah berbalik menyerang dirinya.

sekarang coba pikir cerita manga apa yang seperti itu, aku hitung sampai enam ya.. satu…dua…

 

Aku benar-benar langsung kepikiran manga 20th Century Boys buatan Naoki Urasawa saat menonton film ini. Kejadiannya memang gak mirip seratus persen, tapi bentukan konflik Angga dengan Presiden sangat mirip apa yang terjadi pada Kenji dan sosok pemimpin yang ia ‘lawan’; Sahabat. Rencana kanak-kanak Kenji juga dicuri oleh Sahabat, yang balik menggunakannya untuk menimpakan kesalahan pada Kenji dan kelompok. Mereka dituduh teroris dan Sahabat akan dielu-elukan rakyat dengan membasmi teroris yang ia sebut Faksi Kenji. Persis seperti apa yang terjadi pada Angga. Angga dan teman-teman mantan tentaranya diburu oleh pasukan Presiden, lantaran mereka dituduhkan sebagai teroris yang udah membuat kekacauan nasional. Hanya saja film ini bekerja dalam skala yang lebih simpel. Padahal seperti yang kubilang tadi, cukup aneh presiden hanya ingin berkuasa di negara yang kacau – maksudku, kalo memang udah mirip ya miripin aja semua sekalian. Angga pun, sebagai tokoh utama, mendapat pengembangan yang nanggung. Kita diperlihatkan bagaimana cerita menjadi personal buatnya karena ini menyangkut keluarga dan teman-temannya – seperti Kenji, hanya saja film melewatkan banyak hal penting.

Bibit drama yang mestinya berkembang dari persahabatan Angga dan rekan-rekan seketika menjadi tumpul lantaran pilihan aneh yang dilakukan oleh cerita; menge-skip bagian di mana mereka menjadi sahabat, malah langsung membawa kita ke sekuen Angga berusaha mengajak kembali satu-persatu dari mereka untuk bergabung menumpas rencana jahat negara. Tak pernah kita lihat mereka di momen-momen akrab sehingga apa yang terjadi pada masing-masing mereka sepanjang cerita akan susah untuk kita pedulikan. kasihan sih ada melihat seorang vlogger yang berusaha berbuat benar musti mati ketusuk – selalu sedih melihat orang mati – tapi sedih itu tidak sama dengan kita peduli sama karakternya. Keenam pasukan protagonis ini terlihat canggung, dan itu bukan semata karena pemerannya. Aktor-aktor kayak Oka Antara, Rio Dewanto, Verdi Solaiman, Chicco Jericho, Mike Lewis, Arifin Putra – mereka bukan aktor yang buruk, kita sudah pernah melihat mereka bermain menakjubkan di film-film sebelum ini. Hanya saja kedangkalan tokoh di Foxtrot Six membuat bahkan sekelas mereka saja tampak bingung dan enggak nyaman dalam berakting. Meskipun diberikan sifat yang berbeda, semua tokoh film ini terdengar sama. Sama-sama sarkas. Suka ngomong keras-keras. Suka tampak sok-jago. Sama-sama stoic, lifeless.

Hubungan Angga dengan anaknya – ya seperti Kenji yang punya Kanna untuk dijaga – juga tak pernah berbuah manis dan menghangatkan hati. Film sempat mengambil waktu untuk menghadirkan momen khusus untuk kedua tokoh ini, hanya saja follow-upnya tidak terasa sama sekali. Ada adegan di mana Angga harus memilih menyelamatkan anak atau Julie Estelle yang mestinya bisa banget dibuat hangat dan mengharukan sebagai kerjasama keluarga yang sudah lama terpisah. Tapi film tidak menggali adegan ini; dipersembahkan dengan datar. Angga bahkan tidak berinteraksi dengan anak tersebut sampai ke adegan konyol di dalam elevator.

Telunjuk kita mungkin akan dengan cepat menuding kepada bahasa saat kita membicarakan tentang betapa kikuknya film ini terdengar. Aku sebenarnya tak pernah melarang keputusan-kreatif menyangkut penggunaan bahasa – kalian tahu sendiri bahasa blog ini seperti apa. Yang aku pertanyakan adalah keuntungan apa yang ingin dicari dalam membebankan para aktor untuk berakting seluruhnya dalam bahasa inggris? Pikirkan seperti begini, Crazy Rich Asians (2018) sedapat mungkin menyisipkan kata bahasa Melayu dalam dialognya supaya daya tariknya tersebut langsung menonjol dan dapat dikenali oleh orang luar. Bahkan Buffalo Boys (2018) dengan sengaja menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dialog yang tadinya ditulis dengan mindset orang luar. Menggunakan bahasa inggris seluruhnya pada cerita yang bertempat di Indonesia, dengan semua aktor adalah orang Indonesia, pada film yang ditayangkan di Indonesia – apa yang mau mereka ‘jual’ dari hal tersebut? Menurutku pilihan ini tidak akan membantu banyak film ini dikenali di luar negeri. Karena tidak lagi dirinya tampak dan terdengar unik. Kalolah memang supaya terdengar akrab buat penonton luar, jangan paksakan kepada para aktor. Maksudku, anime saja dibuat dahulu versi bahasa aslinya. Kemudian saat dijual di negeri barat, dibuat dubbing resmi oleh pengisi suara yang bahasa ibunya adalah bahasa inggris. Kenapa Foxtrot Six tidak dibuat seperti demikian – kenapa tidak dibuat bener-bener supaya orang luar tertarik membuat versi dub oleh sebab melihat nuansa Indonesia yang ditampilkan. Kenapa bergerak mendahului mimpi, belum ada yang minta bahasa inggris tapi sudah dibuat untuk orang luar duluan.

mari kita berkontemplasi sambil bertelanjang dada ngeliatin papan iklan sponsor

 

Tren sinema Indonesia kepada dunia luar memang sepertinya tersemat kepada genre horor dan laga. Namun begitu, bahkan laga di film ini pun tidak memiliki jurus yang ampuh sehingga terlihat spesial. Generik banget koreografi maupun kerja kameranya. Menjadi penuh kekerasan dengan darah dan tulang belulang yang patah belum cukup untuk menyebut film ini sebuah laga yang bagus. Karena dengan duit dan CGI yang memadai, semua itu bisa tercapai. Yang terpenting tetap adalah bagaimana dunia dan ceritanya terbangun. Foxtrot Six punya teknologi yang cukup untuk menghadirkan jubah tembus-pandang ala thermoptic suit dalam Ghost in the Shell (2017) tapi tetap saja mereka ‘berhasi’ bikin adegan berlogika konyol yang bikin guling-guling sehubungan dengan jubah tersebut. Ada adegan ketika si tak-kelihatan berhadapan dengan sejumlah orang bersenjata api, dan yang ia lakukan malah ‘mengumumkan’ di mana posisi dirinya dengan mengambil tubuh satu orang dan menggerakkannya seperti perisai untuk melindungi diri dari peluru. Kenapa? Tidakkah lebih gampang kalo dia tetap tak kelihatan dan mengendap membunuh ala ninja? Lagian, kenapa orang-orang itu begitu begonya non-stop menembak padahal yang kelihatan adalah teman mereka sendiri?

 

 

 

“Quick. Simple. Graphic.” Benar-benar cocok mendeskripsikan dirinya. Dan tampaknya kitalah orang miskin yang disebut oleh film ini, yang mengira kita akan mudah terpuaskan oleh tiga hal tersebut, oleh dirinya. Kalo aku sih lapar terhadap film yang lebih berdaging. Dengan semua dialog dibawakan dalam bahasa asing dan adegan yang penuh CGI, akan jarang sekali kita menemukan hal yang tampak asli dalam film ini. Ambisi untuk menjadi spesial tersebut tak berbuah karena pada akhirnya film ini tampak seperti laga kelas-B Hollywood dengan aktor-aktor dari Indonesia. Dunia distopianya tampak seperti dunia The Purge, ceritanya kayak versi ringkasan simpel dari 20th Century Boys, dengan ending pengen dramatis seperti Glass (2019), tidak ada lagi yang spesial dipunya oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold star for FOXTROT SIX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah salah jika presiden lebih memilih untuk berbohong demi menenangkan suasana di mata rakyat? Apakah pemimpin negara seharusnya langsung turun tangan memimpin perang alih-alih berdiplomasi untuk menghentikan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Elimination Chamber 2019 Review

 

Kesempatan biasanya digambarkan terletak di luar sangkar. Simbolisasinya adalah dengan bebas dari sangkar, kita bisa terbang mengejar berbagai kemungkinan; kesempatan tak-terhingga akan terbuka bagi kita, akan dapat kita cari, jika kita sudah terbebas dari kurungan. Elimination Chamber 2019 adalah anti- dari hal tersebut. Kerangkengnya boleh jadi didesain untuk menciptakan rasa sakit tatkala tubuh terhempas ke dinding rantai atau kaca tebalnya. Namun acara ini sejatinya didesain untuk menunjukkan kepada kita perjuangan orang-orang mencari kesempatan, menggenggam dan memanfaatkannya, selagi mereka masih terkurung di dalam kerangkeng penyiksa tersebut. Orang-orang yang melawan siksa dan derita mereka demi kesempatan hidup yang lebih baik.

Kebebasan itu tidak ditunggu. Kesempatan itu tidak datang sendiri. Kitalah yang harusnya terus berjuang membuka pintu kesempatan dalam ruang kungkungan personal kita masing-masing sebelum akhirnya mendobrak gerbang pembatas menyongsong kesuksesan.

 

Dulu sekali pernah ada kejuaraan tag team untuk pegulat wanita, tercatat ada setidaknya delapan superstar yang pernah menyandangnya, tetapi kejuaraan ini lantas ditinggalkan begitu saja oleh WWF. Karena situasi dan arahan produknya. Februari tanggal empat-belas tahun 1989 kejuaraan tersebut dinonaktifkan. Tiga puluh tahun kemudian, dengan semangat dan gerakan revolusi di dunia yang baru ini, WWE menciptakan kembali kesempatan untuk superstar-superstar cewek berkompetisi dalam semangat tim. Dan kita mendapatkan salah satu partai elimination chamber terbaik yang pernah ada.

Kita bisa melihat kedelapan superstar cewek yang beruntung untuk terpilih terlibat dalam pertandingan bersejarah tersebut merasa begitu terhormat sehingga mereka bermain dengan penuh respek, spot-spot yang sloppy suprisingly sangat minimal dalam partai pembuka ini. Semua yang terlibat berada dalam kondisi prima; ya superstarnya, penulisan atau bookingnya, ya arahan aksinya. Masing-masing tim dapat kesempatan bersinar. Ada sekuen keren di mana mereka bergantian menyerang dengan jurus pamungkas, yang dimainkan dengan begitu baik. Sekuen kayak gini sebenarnya cukup sering dipake dalam match ramean, tapi biasanya banyak botch tapi tidak untuk kali ini.  Sekuen semacam ini susah untuk dieksekusi karena harus memperhitungkan timing, kurang lebih ekivalen sama long take (shot yang gak di-cut) dalam film.

Aku nonton WWE kayak aku nonton film. Aku akan memperhatikan penulisan cerita, simbolisasi, keparalelan gerakan dengan emosi dan psikologi yang berusaha diceritakan. Satu hal menarik yang terperhatikan olehku adalah enam tim dalam pertandingan ini seperti melambangkan genre; komposisi match tag team cewek tersebut adalah tiga tim aksi, satu tim horor, serta 1 tim drama. Dan kayak di Oscar, genre drama selalu jadi peringkat pertama. Ngelihat tim Nia dan Tamina (usulan nama: Tim Tamia hihihi) dikeroyok ngingetin aku ke film horor Hereditary (2018) yang dibantai oleh awards musim ini. Tapi di sini, aku enjoy melihatnya. Ada spot bikin takjub Nia Jax lari gitu aja menerobos kaca chamber, wuihh!

Billie Kay dan Peyton Royce kayak kakak senior cewek pas ospek: Cakep. Berisik. Galak. Pedes.

 

Film yang baik selalu adalah film yang punya pertumbuhan karakter, kejadian yang ia alami selalu ‘balik’ mengingatkan dia – dan juga kita – akan masa lalu yang menjadi titik balik konfliknya. Elimination chamber cewek ini punya semua itu. Pertandingan dimulai dan diakhiri oleh empat superstar yang tahun lalu juga ‘bermain’ dalam environment kandang ini. It all comes back to us soal gimana ini adalah tentang Sasha Banks dan Bayley yang tahun lalu berantem sedangkan sekarang mereka satu tim. Cerita membangun pentingnya kerja sama tim; kita diperlihatkan tim Iconic sukses mengeliminasi tim Fabulous Glow dengan ngepin berdua – menunjukkan chemistry yang dibangun sejak lama lebih kuat dari hubungan yang baru dimulai. Kemudian cerita berlanjut dengan menunjukkan betapa bahayanya jika satu tim terpisah lewat Tamina yang perkasa harus kalah ketika Nia Jax tak sadarkan diri. Semua kejadian ini secara tak-sadar nempel di kita. Jadi ketika kemudian kita melihat Sasha yang berusaha menolong Bayley manjat chamber (throwback dari kejadian tahun lalu di mana dia ngeScarMufasain Bayley di atas kandang) – Sasha yang mulai mengerti pentingnya tim, dia memberikan kesempatan untuk Bayley menjadi timnya – harus bertempur sendirian ketika Bayley terluka, kita bisa merasakan intensitas yang besar, dan ketika Sasha berhasil menang rasanya high banget meskipun kita mungkin udah jenuh sama tim Sasha dan Bayley. Pertandingan ini menawarkan drama roller-coaster yang merayap diam-diam lewat setiap adegan/spot yang dieksekui dengan amat baik. Drama persahabatan yang dibangun dalam jangka satu tahun. Aku suka ketika WWE memperhatikan pertumbuhan karakter seperti begini, yang sebaliknya juga menurutku sering luput oleh kita semua.

Susunan partai pun biasanya dibuat oleh WWE mengikuti alur naik-turun dalam penulisan struktur film. Fase ‘kekalahan’ ditampilkan mereka lewat cerita Miz. Kita melihat Miz gagal mengkapitalisasi kesempatan di depan mata istri dan rekannya. Kemudian keseruan kita dibawa naik kembali oleh match Finn Balor. Cerita Balor adalah soal gimana dia disebut tidak bisa memanfaatkan kesempatan – dia pernah terpaksa menggugurkan kejuaraan yang ia dapatkan susah payah karena cedera, dia kalah dengan sukses setelah dikasih kesempatan merebut kembali kejuaraannya. Tantangan yang harus ia jawab sekarang adalah bisakah Balor memanfaatkan kesempatan menjadi juara Intercontinental yang sudah dibuat untuk menguntungkan dirinya. Match ini jika disamakan dengan film berfungsi sebagai penghantar kita ke sekuens ‘romantis’. Karena setelah ini, kita akan melihat kemunculan Becky Lynch, tokoh utama dari cerita utama WWE dalam musim Wrestlemania kali ini.

Aku suka-suka aja dengan cerita Becky, tapi arahannya memang agak aneh. WWE membuat dua superstar Smackdown mengejar sabuk Raw. Dengan efektif sekali membuat juara cewek Smackdown seperti tidak berharga. Dalam acara ini, ternyata bukan cuma Asuka yang direndahkan, melainkan juga Ruby Riott. Dan tak pelak mungkin saja keseluruhan superstar cewek di RAW selain yang memegang sabuk. Arahan cerita dipilih oleh WWE ini terbukti merugikan banyak aspek. Bahkan Ronda Rousey si juara yang diperebutkan pun malah jadi kayak berdiri aja di sana – tegak manis dengan kostum Sonya Blade game Mortal Kombat – alih-alih ‘ribut’ dengan Lynch.  Satu-satunya aku bisa setuju dengan angle Vince memasukkan Charlotte ke dalam feud Lynch-Rousey adalah jika nanti pada akhirnya kita akan mendapati Lynch sebagai Stone Cold Steve Austin versi cewek.

Sekuens ‘Taktik Baru’ datang lewat pertandingan Braun Strowman. Di partai ini WWE berusaha mengambil sudut baru dari feud Strowman dengan Corbin yang hampir selalu berakhir dengan cara yang sama. Di sini kita melihat sesuatu yang lumayan baru terjadi kepada Strowman. Dan ini membuat ketertarikan kita tetap relatif di atas. Sejauh ini, memang belum lagi ada partai yang bercerita dan beraksi sekuat dan seseimbang selain partai pembuka yakni Elimination chamber tagteam cewek tadi. Akan tetapi semua partai tersebut dibuat ada ‘mainan’nya. Gak ada yang terasa ‘normal’. Berkat bookingan, acara ini jadi punya pace yang lebih baik dari kebanyakan acara WWE yang biasa kita saksikan. Kemunculan aneh dari Lacey Evans pun tak berarti banyak untuk menjatohkan suasana, dan ini dapat kita artikan sebagai sekuens ‘Resolusi Palsu’ lantaran Evans datang seolah dia bakal bertarung.

Terakhir kali WWE Championship diberikan kehormatan untuk menutup acara adalah sebelas bulan yang lalu, tepatnya pada acara Fastlane 2018. Ini, dan fakta bahwa kejuaraan cewek Smackdown gak kebagian nampil, menunjukkan bahwa meskipun masing-masing brand punya sabuk tertinggi tetep saja kasta Raw lebih ditinggikan. Padahal kita tahu Smackdown selalu punya superstar yang lebih jago dalam urusan aksi di dalam ring, hanya saja WWE seringkali bingung mau ngapain terhadap mereka. Elimination Chamber untuk kejuaraan WWE yang dibuat ramah-lingkungan oleh juara The New Daniel Bryan ini seperti tersusun atas tiga action, satu horor, satu twist (RKO outtanowhere!!)

dan satu kartun anak-anak 80an

 

Alur pertandingannya sendiri gak begitu membekas kayak chop Samoa Joe yang meninggalkan jejak merah di dada Bryan. Terlihat seperti random saja berjalan hingga menjelang akhir saat Kofi Kingston mulai mendapat sorotan. It’s nice to see Kingston finally got a big push. Sebelas tahun loh dia di WWE, dan untuk match ini ‘sejarah’ Kingston benar-benar dipake untuk membangun karakternya. WWE ingin mengubahnya dia menjadi ‘drama’. Secara teori, bekerja dengan amat baik. Hanya saja, I never buy it. Karena aku tahu Kingston ada di sana untuk menggantikan Mustafa Ali yang cedera hanya beberapa hari sebelum acara ini berlangsung. Drama Kingston yang berusaha menggapai kesempatan yang akhirnya datang lagi ini sebenarnya adalah drama untuk Ali seorang underdog yang berusaha memanfaatkan kesempatan untuk menembuskan diri ke puncak. Tentu, Kingston pantas sekali mendapatkan semua itu, namun tak sekalipun aku bisa percaya Kingston bakal menang – despite the last minutes yang dramatis tersebut. Yang menakjubkan sebenarnya di sini adalah kemampuan WWE untuk menggiring opini dan reaksi kita. Mereka ingin kita percaya ini sudah waktunya bagi Kingston, dan mereka konsisten membangun ini, sehingga banyak dari kita termakan pancingannya. Sehingga konten yang kita saksikan di akhir itu tetap tampak keren dan terasa menggugah meskipun kita sudah punya pemahaman terhadap konteks yang dibuat oleh WWE.

 

 

 

Bakal lain ceritanya kalo Ali yang mati-matian berjuang di sana. Bahkan lain ceritanya kalo Kingston sudah terpilih untuk ikut sedari awal. Tapi tetap saja, menakjubkan gimana WWE mengubah ‘perubahan di detik terakhir’ menjadi drama yang mencapai ketinggian sepert yang kita saksikan. Berhasil membuat penonton menitikkann air mata meskipun dalam hati kita tahu Kingston gak bakal menang. Dari segi pertandingan yang bakal paling diingat, The Palace of Wisdom turut menobatkan Elimination Chamber for WWE Championship sebagai Match of the Night, meskipun real craft pada malam itu, Pertandingan Terbaik Malam Itu yang sebenarnya adalah Elimination Chamber for Women’s Tag Team Championship. Salah satu kandidat acara terbaik WWE karena practically kita dapet dua MATCH OF THE NIGHT.

 

 

 

 

Full Results:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Sasha Banks dan Bayley menang setelah mengeliminasi Sonya DeVille dan Mandy Rose di final-two.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos merebut sabuk dari The Miz dan Shane McMahon.
3. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP HANDICAP ONE-ON-TWO Finn Balor jadi juara baru ngalahin Lio Rush dan Bobby Lashley.
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey cepet banget ngalahin Ruby Riott.
5. NO-DQ Baron Corbin dan teman-teman mengeroyok Braun Strowman.
6. WWE CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER juara bertahan The New Daniel Bryan tetep juara setelah ngeleminasi Kofi Kingston di final-two.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART Review

“When did my life stop being fun?”

 

 

 

Adek itu niruin kamu. Kalimat tersebut sering banget aku dengar, saat masih kecil, ketika aku berantem sama adek cewekku yang meminta mainan apapun yang aku pegang. Tapi aku kesal, maka aku berantakin boneka-bonekanya. Eh, adek yang jaraknya denganku empat-tahun itu malah kesenangan, dikiranya itu bagian dari permainan; dia lempar-lempar juga robot-robotku yang bisa berubah bentuk. Dari yang tadinya dari robot bisa berubah menjadi mobil, sekarang robot tersebut berubah menjadi tidak bisa berubah sama sekali. Semakin dia gede, adekku semakin semangat ngikutin apa-apa yang aku mainin. Dia ngotot ikut main power rangers-power rangersan, padahal kami sudah ada enam orang; Dia maksa jadi ranger oren. Ngarang banget! Main video game pun dia ngikut, padahal mainnya tuh gim fighting atau gim balap CTR. Kalo kalah dia maksa tukeran stik. Masih kalah juga? dia nyiptain peraturan sendiri; dia gak boleh ditembak, dia gak boleh diserang kalo lagi ngisi tenaga (ini pas main dragon ball), dan gak boleh ditangkis kalo lagi membanting. Dan aku gak boleh pakai satu ‘karakter’ jika menurutnya ‘karakter’ yang aku pilih itu adalah pasangan dari ‘karakter’ yang ia pakai. Kalo lagi main petualangan antariksa (kami jadikan tempat tidur sebagai pesawat dan ngayalin ruangan rumah jadi planet asing yang penuh bahaya), dia ngotot untuk kebal dari serangan monster.

The Lego Movie 2 benar-benar membawaku, dan abang-abang yang punya adek, kembali ke masa-masa kecil. Ke waktu-waktu ketika kita rebutan mainan. Ketika kita adu teriak ngedebatin aturan main gak make sense yang kita ciptain sendiri. Mengingatnya sekarang, ya lucu juga. Soalnya apa yang salah sama semua itu. Kenapa kita gak mau ngalah sama anak kecil. Film ini mengatakan tidak ada cara yang salah dalam berimajinasi, dan dalam kapasitasnya sebagai alat untuk sekalian ngejual brand mainan balok, semua lapisan umur boleh untuk bersenang-senang; Tidak ada cara yang salah dalam bermain Lego.

kecuali kalo kita memakan bloknya. atau menginjaknya. ITU. SAKIT. BANGET.

 

 

Film pertama Lego yang tayang 2014 sukses memukau kita semua berkat kejutan yang disiapkan di penghujung cerita; bahwa semua yang dilalui Emmet, segala petualangan di dunia animasi seperti stop-motion (namun bukan) yang semuanya terbangun dari blok-blok Lego itu, ternyata oh ternyata merupakan ‘versi hidup’ dari sandiwara permainan Lego oleh anak kecil, Finn. Tahu dong gimana kita ngayal cerita saat main perang-perangan dengan robot, nah kejadian di film pertama itu adalah ‘khayalan’ si Finn saat dia nyusun Lego dengan ayahnya. Tapi pengungkapan ini bukan sekedar ‘sok-keren’ yang membuat cerita jadi sia-sia, melainkan diparalelkan dengan cerita utama. Bagaimana Finn membuat ayahnya melihat main Lego jadi awesome lagi, karena ayahnya begitu terpaku sama petunjuk. Lego mestinya disusun dengan kreativitas dan imajinasi sendiri, dalam film pertama ini Emmet adalah Finn yang super kreatif.

Cerita tersebut lantas dilanjutkan dalam film kedua – yang berjarak lima tahun dari akhir film pertama; adik cewek Finn diajak ikutan bermain, yang berujung porak porandanya dunia Lego karena si adik mencampur adukkan Lego dengan Duplo (permainan susun-balok yang serupa-tapi-tak-sama). Dalam dunia imajinasi yang kita kenal sebagai dunia tempat tinggal Emmet dan teman-teman makhluk Lego, kita langsung diperlihatkan dampak kedatangan balok-balok Duplo yang dimainkan oleh adeknya (mereka digambarkan sebagai alien); kota Lego berubah menjadi kota mati, wasteland. Dystopia seperti dunia Mad Max. ‘Twist’ dalam film kedua ini dihadirkan langsung di awal; bukan lagi Emmet yang paralel dengan Finn – si empunya dunia, si Tuhan bagi semesta Lego. Melainkan Lucy, tokoh pendukung di film pertama, cewek yang beraksi lebih banyak meski yang dianggap pahlawan adalah Emmet. Berperan juga untuk menaikkan nilai femininitas (rendahnya nilai tersebut jadi kritikan utama untuk film Lego pertama yang mendulang sukses secara finansial), Lucy alias Wyldstyle dijadikan tokoh utama.

Lucy ingin Emmet yang selalu ceria (“Hufflepuff banget!”) beradaptasi dengan kekerasan dunia mereka yang kini tak lagi ‘awesome’. Hidup di sana, haruslah tangguh. Mandiri. Benturan pertama terhadap keinginannya tersebut datang dari Emmet yang diam-diam membangun rumah ceria untuk mereka, bangunan warna-warni yang tentu saja menarik kembali para alien Duplo ke dunia mereka. Kali ini bukan saja merusak, tapi sekalian menculik para-para jagoan di dunia Lego, untuk dibawa ke dunia mereka di Systar System (permainan kaca yang kocak, karena ‘systar’ adalah plesetan dari ‘sister’). Lucy, Batman, Unikitty, termasuk salah satu yang kena angkut untuk menghadap Ratu Watevra Wa’Nabi yang bermaksud untuk menikahi jagoan terkuat. Lucy paralel dengan Finn yang beranjak dewasa, di mana ia mulai merasa hal-hal imut dan ceria itu norak dan memalukan, sehingga dia berusaha untuk meninggalkannya. Di lain pihak, Systar System adalah adek Finn yang membawa mainan Lego ke kamarnya, sebagai upayanya untuk bermain bersama. Dan Emmet? Tinggallah Emmet yang bertekad menyelamatkan teman-temannya, dan untuk itu ia harus berusaha mengubah dirinya menjadi pria yang kuat dan tangguh.

Apa yang harus kita lakukan ketika dunia kita tak lagi keren? Ketika masalah mulai banyak merundung. Menjadi tangguh dan enggak manja bukan berarti musti berhenti untuk bersenang-senang. Seperti pertengkaran dua kakak beradik; seharusnya ada ranah kompromi, di mana kita bisa menjadi dewasa tanpa perlu melupakan siapa diri kita; apa yang membuat kita pernah bahagia.

 

VFF – Vest Friend Forever!!

 

 

Begitu masuk ke babak kedualah, cerita terasa aneh. Tidak banyak yang dilakukan Lucy selain melihat hal-hal baru yang tadinya ia tinggalkan, hal-hal yang menurutnya harus Emmet tinggalkan juga, dan mendengar hal-hal eksposisi dan lagu-lagu. Aksi beralih ke Emmet yang bepergian sendiri ke ‘luar angkasa’ dengan rumah pesawat ciptaannya di mana dia akan bertemu dengan tokoh yang bakal mengajarkan dirinya bagaimana menjadi maskulin, tangguh, dan jantan. Emmet terasa seperti serpihan kecil diri si Finn yang masih tersisa, dan ini membuat bingung karena Finn masih memainkan dirinya sebagai Emmet, namun tokoh utama cerita ini sekaligus adalah Lucy. Sudut pandang naskah kusut di sini. Furthermore, kita akan mendapat cerita berunsur time-travel yang sebenarnya enggak benar-benar diperlukan; dan film hanya sanggup meletakkan satu pembelaan terhadap elemen ini – mereka menyebutnya secara subtil di awal-awal sehingga tidak muncul begitu saja – ini cerita dari kepala Finn, anak kecil, jadi wajar imajinasinya ke mana-mana.

Tapi tetap saja, sebagai cerita film, Lego 2 berjalan dengan tidak selancar yang semestinya mereka bisa jika sudut pandang itu tetap ada pada Lucy. Pacing cerita pun bisa menjadi lebih seimbang karena tak lagi harus berpindah antardua tokoh yang seperti berebut spotlight emosional. Aku mengerti kepentingan untuk membagi Finn menjadi dua tokoh, namun dua tokoh ini tidak dibuat benar-benar berkonfrontasi secara langsung. Bikin saja langsung Emmet yang jadi antagonis; yang harus dikembalikan menjadi ceria oleh Lucy karena kata-kata Lucy di awallah yang membuat Emmet jadi begitu. Dengan begini, time-travel yang terasa dicekokin ke dalam cerita tanpa ada pembelaan untuk menyokongnya bisa ditiadakan.

 

 

 

 

 

Dialognya antara kocak dengan konyol. Lagu-lagunya antara kocak dengan ngeselin, tapi ngeselinnya karena disengaja. Referensi budaya pop yang berlimpah, selalu adalah anugerah dan penikmat rasa. Buatku, menarik sekali menonton film ini jika diserangkaikan dengan nonton Mirai (2018) sebelumnya, karena sama-sama membahas tentang bagaimana seorang anak kecil berinteraksi dan menyingkapi adiknya; sesuatu yang kita semua pernah alami. Ada banyak momen manis dan emosional, meski memang kita harus menggalinya dalam-dalam di balik humor yang tampak lebih tinggi prioritasnya di sini. Namun naskah film ini membuat semua jadi terlalu ribet bagi filmnya sendiri. Ada pendekatan yang lebih terarah dari ini yang bisa kita pikirkan. Film sempat bicara tentang menghancurkan supaya bisa membangun yang lebih baik, well, kupikir elemen time-travel itu mestinya bisa dihancurkan dan cerita dibangun ulang untuk menjadi lebih baik.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah punya adik berarti hidup kita berhenti menyenangkan? Bagaimana pendapat kalian tentang hubungan kakak-adik, kenapa sering bertengkar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.