CHERRY Review

“Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang untuk menjadi Spider-Man ternyata tidak cukup hanya dengan digigit laba-laba radioaktif saja, tetapi juga harus bermain dalam film yang ada perangnya nanti. No, of course I’m kidding. Tapi nyatanya, memang dari ketiga aktor yang memerankan Spider-Man semuanya kebagian jatah jadi tentara perang. Tobey Maguire dalam Brothers (2009), Andrew Garfield dalam Hacksaw Ridge (2016), dan kini Tom Holland dalam Cherry. Dan sepertinya Holland memang ingin mengekor kedua aktor pendahulunya yang telah berhasil menyabet nominasi penghargaan dalam perannya masing-masing. Kesempatan tersebut tentu saja masih terbuka. Film Cherry ini boleh jadi terangkat oleh penampilan akting Holland. Sementara itu pula, film ini sendiri sepertinya memang diset sebagai penantang buat Oscar oleh kedua pembuatnya. Anthony dan Joe Russo. Dua bersaudara yang menjadi semakin terkenal apalagi kalo bukan lewat proyek Avengers (Marvel-Disney) yang mereka tangani.
Setelah Avengers: Endgame (2019) yang disukai banyak penonton tapi hanya dilirik sedikit oleh Academy, Russo Brothers kini lewat Cherry ini berusaha membuktikan kemampuan membuat sesuatu yang bukan hanya berkebalikan total dengan laga superhero yang cheerful, meriah, dan gagah perkasa. Namun juga suatu tontonan yang khas, sehingga truly worthy untuk diganjar penghargaan. Makanya film Cherry yang durasinya dua-setengah-jam ini terasa ambisius dan pengen menonjol. Makanya juga, aku jadi merasa agak kasihan juga setelah menonton, karena pada akhirnya film Cherry ternyata tak terasa lebih baik daripada film-film ‘Oscar Bait’ kebanyakan.
Cherry ini berasa kayak gabungan antara Forrest Gump (1994) dengan Requiem for a Dream (2000). Ceritanya disampaikan lewat narasi voice-over si karakter utama, yang nanti dia akan ikut jadi tentara dan berperang, dan nantinya juga film ini akan membahas tentang kecanduan obat terlarang. Sehingga memang, tidak ada yang lugu dari karakter utama yang diperankan Tom Holland di film ini. Wait… What his name again?.. Aku gak yakin nama karakter ini pernah disebut di dalam film, tapi kalo menurut kredit sih, namanya ya judul film ini. Cherry. Si Cherry mendaftarkan diri sebagai tentara (dia memilih terjun ke unit medic) karena dia merasa gak tau harus ngapain lagi saat kekasihnya minta pisah. Tapi jarak ternyata gak mampu misahin dua orang yang cinta beneran (ingatlah ini, wahai pejuang LDR!). Cherry dan kekasihnya semakin dekat. Emily bahkan menunggu Cherry pulang dari medan perang. Namun setelah apa yang ia lalui dan lihat di medan perang, Cherry yang pulang kepada Emily bukan lagi Cherry yang dulu. Cherry yang trauma berjuang di kehidupan yang normal. Dia jadi kecanduan heroin. Jika kecanduan obat adalah perang, maka ini adalah perang yang lebih parah bagi Cherry. Karena kini ia membawa serta Emily ke dalam perang tersebut. Antara obat dan merampok demi uang untuk beli lebih banyak obat, kita akan melihat kedua karakter ini semakin larut ke dalam lingkaran setan.

Life is like a box of… heroin

 
Diadaptasi dari novel otobiografi karangan Nico Walker, film ini sebenarnya punya cerita yang menarik – karena kejadiannya memang beneran terjadi. Ini adalah tentang veteran perang yang jadi perampok bank. Ada berlapis bahasan tentang psikologi manusia yang bisa digali untuk dijadikan studi. Tapi ini juga adalah kisah yang gak banyak diketahui oleh orang. Penulis Nico Walker sendiri juga termasuk ‘baru’. Sehingga saat menonton film ini pun, sebagian besar penonton gak tahu ini ceritanya bakal tentang apa. Menceritakan kisah ini secara linier seperti kebanyakan biografi – mulai dari kecil hingga ke peristiwa penting yang jadi fokus utama – jelas akan membuat kita kesusahan untuk menempelkan diri kepada si karakter. Terutama jika si karakter itu sendiri memang tidak punya hal menarik selain peristiwa penting di jauhari. Maka dari itulah, film Cherry ini memilih untuk menggunakan struktur cerita yang bolak-balik. Dengan juga menggunakan narasi voice-over untuk menuntun, dan membuat kita langsung seolah dekat dengan karakternya. Cerita yang bolak-balik langsung menempatkan kita di puncak ketegangan pada awal durasi. Dengan begini, apa yang bakal jadi pertaruhan buat si karakter dapat terset dengan mantap. Kita jadi tahu ini cerita bakal ngarah ke mana. Sehingga paling tidak kita jadi peduli sama karakter itu. Lalu baru kemudian kita dituntun untuk melihat karakter pada masa-masa dia masih ‘innocent’; masa kuliah saat romansa berkembang. Film bahkan menggunakan pembagian chapter-chapter untuk membantu kita lebih lanjut memasuki babak-babak kehidupan karakter Cherry.
Usaha yang solid untuk membuat karakter utamanya bisa mendapat simpati. Permainan akting Tom Holland-lah yang akhirnya jadi penentu utama. Berkat aktingnya, Cherry jadi tampak hidup. Berkat ekspresi dan reaksinya, segala permasalahan Cherry tampak menggencet dan mudah untuk kita pedulikan. Development dan rangenya bisa kita rasakan dengan tegas di sana. Holland mulai dari memainkan Cherry si pemuda yang kasmaran, ke Cherry yang experiencing horor di peperangan, hingga ke Cherry yang junkie dan udah begitu broken down. Pada titik ini, Holland seperti sudah membuktikan bahwa dia memang aktor mumpuni yang cukup rounded. Menurutku, beruntung Tom Holland ini bule dan jadi aktor di Amerika – bukan di Indonesia. Karena kalo dia aktor di sini, pastilah tampangnya yang anak baek-baek itu akan mentok di peran cinta-cintaan remaja, seperti beberapa aktor remaja Indonesia yang kebagian peran itu-itu melulu. Holland menjawab tantangan pada naskah dengan actually mengangkat film ini. Dia dan Ciara Bravo (pemeran Emily) memberikan heart untuk kita pegang. Hanya mereka berdualah yang jadi penuntun kita, membuat kita ingat bahwa ada bahasan manusiawi yang dipunya oleh film ini.
Perang mengubah manusia.  Banyak pejuang yang gak siap dengan kehidupan setelah perang. Film ini memperlihatkan bahwa walaupun ada perayaan, tapi perang tidak berakhir bahagia. Ada gagasan soal nasib veteran perang di sini. Ada bahasan bagaimana perang berdampak buruk bagi mereka. Bukan hanya perihal jasa mereka gak dikenal atau gak dianggap oleh seluruh rakyat yang mereka bela, tapi juga ke hal yang lebih personal yakni mereka gak bisa keluar dari mimpi buruk, dari trauma. PTSD. Dan bagaimana itu senantiasa berpengaruh kepada orang terdekat.

Film memparalelkan dampak perang dengan kecanduan, sebagaimana candu ngobat itu jadi perang berikutnya yang harus dilalui oleh Cherry. Dan jika kecanduan itu adalah peperangan yang harus dimenangkan, maka sebenarnya addiction adalah perang yang tidak bisa kita menangkan. Dalam artian, candu gak bisa sembuh. Hanya ada tekad untuk tidak kembali kepada candu. Maka, satu-satunya cara untuk memenangkan perang ini adalah mengikuti kata filosofis Sun Tzu; yakni acknowledge dan bersiap.

 

Cherry juga jadi candu merampok bank

 
Sayangnya selain pilihan gaya bercerita bolak-balik, pilihan penceritaan lain yang dilakukan oleh Russo Bersaudara gak ada yang benar-benar beralasan dan masuk akal. Semuanya kayak dikakukan karena, ya karena mereka bisa aja. Kalo boleh dibilang, film ini sedikit terlampau banyak bergaya. Misalnya soal flare atau efek pada kamera. Ketika pertama kali ketemu Emily, treatment yang diberikan kepada kamera itu adalah semuanya bokeh. Semua orang di sekitar Cherry dan Emily dibuat blur. Seringkali adegan yang ada Emily – adegan yang menguar rasa cinta Cherry kepadanya – dibuat seperti berada di dunia artifisial atau surealis. Tadinya, karena keseluruhan film ini disampaikan dalam bentuk narasi voice-over, maka kupikir ‘okelah’; berarti yang kita lihat ini adalah memory Cherry. Masuk akal bila yang cakep-cakep diingat olehnya dengan cakep pula. Namun, tidak pernah lagi ada treatment visual seperti ini. Cherry terbagi atas banyak chapter yang masing-masingnya punya estetik tersendiri. Russo Brothers bermain entah itu di sinematografi, di komposisi shot, ataupun di aspect ratio. Hanya satu pada Emily tadi itulah yang estetiknya benar-benar tampak seperti kenangan. Selebihnya semuanya bland. Ketika keadaan perang yang mencekam, biasa aja. Ketika keadaan sakau dan chaos, tidak ada efek. Padahal semuanya itu masih dalam konteks kisah yang sedang diceritakan.
Pilihan-pilihan ‘stylish’ itupun makin ke akhir makin tampak lebih seperti dilakukan dengan random. Satu kali mereka ngasih lihat ke kita POV dari lubang pantat. Eh kok? Kan lucu. Beberapa kali juga film memberi kesempatan kepada Tom Holland untuk bernarasi pake gaya ‘breaking the fourth wall’, yang gak jelas kebutuhan dan timingnya. Sesukanya aja dimunculkan seperti itu. Selain itu juga mereka sok asik dengan penggunaan nama-nama. Nama bank misalnya. Alih-alih City Bank, film ini ngasih lihat ke kita kalo bank yang dirampok Cherry bernama Shitty Bank. Terus ada juga yang namanya Bank Fucks America. Nama dokter juga dimainin seperti begini, karena yang kita lihat bukan nama orang melainkan nama Dr. Whomever. Itu semua bikin kita gak lagi merasa cerita ini ‘nyata’. Bahkan jika memang konteksnya berupa kenangan. Kita bukannya merasakan kemarahan karakter sehingga nama-nama itu jadi ‘termodifikasi’ sesuai dengan ingatan dan perasaan Cherry terhadap bank dan dokter, melainkan kita malah jadi berpikir kisahnya ini kurang reliable. Bahwa ada kemungkinan itu semua hanya ada di kepala dia. This is a mind of a junkie, after all.
Bangunan cerita itu pelan-pelan jadi runtuh akibat kebanyakan gaya seperti demikian. Padahal film ini bergantung banget kepada kita percaya kepada karakter utamanya. Namun malah Narasi voice-over dia pun digarap naskah dengan semakin malas. Tidak lagi difungsikan untuk menceritakan yang tidak mampu tergambar,  tapi malah jadi eksposisi yang kayak shortcut aja. Ketika film gak mau repot nampilin perubahan satu karakter, maka film tinggal nyuruh Cherry untuk nyebut ‘karakter si anu kini bekerja sebagai apa’. Jadi semuanya untuk kemudahan plot aja. Chapter-chapter tadi pun jadi beneran berfungsi sebagai kotak-kotak episode, yang tidak dibarengi dengan progres alami, melainkan oleh narasi yang nyebutin sekarang waktunya apa. Gitu aja.
 
 
 
Kejadian yang dikandung cerita ini sebenarnya menarik. Apalagi ini berdasarkan kisah nyata. Tom Holland juga memainkan karakternya dengan sangat baik, memudahkan kita untuk bersimpati dan percaya kepadanya. Namun, everything falls short. Film ini mempunyai banyak kejadian dan aspek-aspek pada cerita, tapi pembuatnya melihat itu terutama sebagai lahan untuk bermain dengan gaya-gaya penceritaan. Dan malah fokus di sana. Inilah yang jadi kejatuhan baginya. Karena ternyata mereka juga punya candu; candu bikin sesuatu yang wow, alih-alih bercerita sesuai dengan konteksnya. Kisah karakter utama jadi tidak semeyakinkan yang seharusnya. Film ini punya hati, tidak membosankan, tapi saat selesai menontonnya kita tidak tahu lagi harus merasakan apa karena gaya berceritanya tidak in-line dengan jiwa ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHERRY.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Sejarah manusia penuh oleh peperangan. Apakah menurut kalian perang adalah salah satu candu bagi manusia? Kenapa kira-kira manusia selalu berperang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MAURITANIAN Review

“It’s been flipped: Now it’s guilty until proven innocent.”
 

 
 
Dua bulan setelah serangan teroris di World Trade Center, ada pesta di negara Mauritania. Jika kalian berpikir apakah pesta tersebut ada sangkut pautnya dengan tragedi yang bikin sengsara umat manusia di bulan September itu, maka kalian cocok jadi seorang polisi. Karena pesta tersebut memang lantas disatroni polisi. Pria bernama Mohamedou Ould Slahi dibawa pergi oleh polisi dari pesta keluarganya tersebut. Untuk beberapa waktu, kamera memperlihatkan bagaimana Slahi memandangi sosok ibunya yang semakin menjauh dan mengecil dari kaca spion mobil. Pemandangan emosional yang seolah mengisyaratkan pemuda ini bisa jadi tidak akan pernah melihat lagi perempuan yang telah melahirkannya itu.
Mohamedou Ould Slahi ditangkap oleh polisi bukan karena terbukti bersalah. Melainkan karena kena kecurigaan berlapis. Pertama dari namanya; yang mirip sama nama ‘langganan’ pelaku teroris. Kedua, dari jejak akademisnya. Ketiga, dari rekam jejak teleponnya; yang pernah terhubung dengan satelit seluler Osama bin Laden himself. Tiga hal tersebut cukup untuk membuat Slahi tertuduh sebagai Head Recruiter untuk peristiwa 9/11. Slahi dipenjarakan untuk waktu yang sangat lama. Sebagian besar dari empat-belas tahun di balik jeruji itu dia habiskan di penjara yang dikenal sadis, Guantanamo Bay. Selama itulah, Slahi berjuang. Menguatkan diri, menjaga kewarasan. Menjaga ke-innocent-annya. Membuktikan, bersama pengacara, bahwa dirinya tidak sesuai dengan yang dituduhkan. Mengajukan bahwa tidak ada alasan baginya untuk ditahan. Slahi menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku. Dan buku itulah yang kini kita tonton; buku itulah yang kini dijadikan film oleh sutradara Kevin MacDonald. Film drama yang luar biasa pedih dan bikin darah kita ikutan mendidih.

Masuk, dan lupakan Guantanamo Bay yang kau ketahui dari Harold dan Kumar

 
Sedihnya, kita memang sering mendengar kisah kayak gini di dunia nyata. Kisah polisi atau penegak hukum yang menangkap orang, menahan dan memenjarakan mereka meskipun belum jelas apakah mereka beneran bersalah. Meskipun memang gak ada dakwaan resmi. Orang-orang itu ditangkap karena fit ke dalam narasi, dan karena memang harus ada yang ditangkap. Polisi harus kelihatan kerja. Yang nambah sedihnya lagi adalah, sekalipun sudah terbukti tidak bersalah dan dilepaskan, mereka tidak pernah mendapat permintaan maaf dari polisi yang menangkap. ‘Bintang’ dokuseries Netflix Making a Murderer misalnya, Steven Avery pernah ditangkap dan dilepaskan kembali (setelah 18 tahun dipenjara), dan kini Avery dipenjarakan kembali (sejak 2007) untuk kasus lain yang sama shady-nya dengan kasus pertama yang ternyata ia tidak terbukti tidak bersalah tersebut. Kita juga udah nyaksiin betapa gak adilnya sistem peradilan itu untuk pihak-pihak yang ingin dijadikan – dan udah diset sebagai – tersangka lewat drama pengadilan-dari-kisah-nyata The Trial of the Chicago 7 (2020) yang baru-baru ini menang Naskah Terbaik di Golden Globes. Temanku sendiri pernah dituduh teroris; dia ditangkap oleh polisi di warnetnya di Medan, dan ditahan beberapa bulan di Bogor. Ketika akhirnya dilepaskan karena memang terbukti salah tangkap, temanku itu tidak mendapat sepatah pun kata maaf.

Secara teori, hukum memang idealnya adalah ‘tidak bersalah sampai terbukti bersalah’. Namun pada prakteknya, yang dilihat itu adalah jika kita tidak tak-bersalah, maka kita bersalah. Semuanya jadi selalu adalah soal membuktikan bahwa kita tidak bersalah. Tapi bagaimana bisa kita membuktikan seseorang tidak bersalah. Innocent adalah pembelaan yang terlemah. Maka, sekarang kejadiannya selalu terbalik. Semua orang dianggap bersalah dulu, dan untuk sebagian besar waktu mereka akan tetap seperti itu.

 
The Mauritanian ini adalah salah satu lagi contoh perjuangan seseorang membuktikan dirinya tak-bersalah. Satu lagi contoh tindak yang nyaris mustahil. Film ini hebat sekali dalam menampilkan kejadian. Tensi dan emosi itu dibangun. Kita bisa merasakan ketegangan terus meningkat seiring dengan berkembangnya rintangan yang ditemukan oleh pengacara Slahi, dan dari semakin berkecamuknya psikologis dan harapan si Slahi sendiri di dalam penjara. Perjuangan dalam cerita ini memang disampaikan lewat dua proses yang berjalan paralel. Tentang usaha dua orang pengacara yang nyari ‘celah’ dan bukti-bukti bahwa penahanan Slahi sama sekali tidak berdasar, dan tentu saja tentang Slahi sendiri yang harus mengalami segala tekanan sembari mempertahankan siapa dirinya.
Film memang tidak membuang waktu mengangkat pertanyaan apakah Slahi beneran bersalah atau tidak. Kita semua diasumsikan sudah mengetahui kisah Slahi yang memang sempat marak beberapa tahun silam. Jadi film ini fokus ke arah menggambarkan periode gelap yang harus dilalui Slahi di penjara, dan menilik soal kekejian di penjara Guantanamo Bay itu sendiri. Para ‘penegak hukum’ itu gak cukup dengan menahan mereka di sana, tapi juga menyiksa mereka. Memanipulasi. Melecehkan. Supaya pengakuan itu terpaksa akhirnya terucapkan, meskipun itu bukan kenyataan. Film ini efektif dalam menggambarkan itu semua. Di menjelang akhir film kita akan melihat sekuen penyiksaan yang digambarkan dengan cukup sureal. 
Untuk itulah, penampilan akting dari Tahar Rahim sebagai Mohamedou Slahi pantas sekali untuk kita apresiasi. Bahasa tubuhnya berkembang sesuai dengan yang keadaan yang ia rasakan. Bahasa tubuhnya menjadi salah satu penanda dalam penceritaan film yang dilakukan bolak-balik. Setelah opening dia ditangkap, kita bertemu lagi dengan karakter ini saat dia sudah dalam keadaan hampir hopeless. Rahim memainkan Slahi sebagai seorang yang udah cuek ketika dua pengacara datang kepadanya. Lalu film akan membawa kita balik ke masa dia baru ditangkap, kita merasakan perjuangan masih berkobar dalam diri Slahi. Dan seiring dengan penyiksaan yang ia alami, kita melihat perubahan yang bukan hanya saja pada fisik (badannya jadi membungkuk, wajahnya memar) tapi juga pada mental karakter ini. Dan ketika arc Slahi sudah hampir komplit, Rahim memainkan karakter ini dengan ketulusan yang menguar. Progres dan perjalanan emosi karakter ini dimainkan dengan kuat sekali.
Penanda satu lagi yang dilakukan oleh film dalam penceritaan bolak-baliknya muncul lewat arahan yang efektif pada aspek teknis seperti rasio, gerak kamera, dan editing. Misalnya ketika Slahi diinterogasi, ketika di-stressing, film akan menggunakan rasio 4:3 yang sempit supaya perasaan terkungkung dan tertekan semakin kuat tersampaikan. Ketika harus menampilkan kekerasan, kamera akan bergerak frantic, bersama editing, untuk menimbulkan kesan mengerikan yang terefleksi dari yang dirasakan (dan dimainkan dengan menakjubkan) oleh Slahi. Film ini tahu kapan harus memberikan jarak dan paham persisnya akan cara menangkap esensi yang ingin disampaikan oleh naskah.

Ndak bisa basa enggres!

 
Tapi untuk urusan menggali ke dalam, film ini kurang lihai. Atau mungkin tepatnya, film ini tidak benar-benar menaruh concern ke kedalaman. Karena memang tujuan utama film ini ya untuk menggambarkan tindak mengerikan yang disangsikan kepada orang tak bersalah itu sendiri. Jangan salah, film ini sebenarnya tetap berusaha untuk menyeimbangkan narasi. Karena di sini juga ada karakter dari pengacara pihak penuntut (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) yang perjuangannya menuntut keadilan juga diberikan konflik sendiri. Aku actually suka dengan konflik karakter ini. Karakter ini punya motivasi personal untuk menghukum Slahi. Dia adalah sahabat dari pilot pesawat yang dibajak teroris 9/11, jadi kalo ada orang yang ingin Slahi dihukum mati, maka karakter pengacara ini pasti adalah salah satu orang tersebut. Tapi dalam perjuangannya menyusun tuntutan, dia menyadari kejanggalan dalam tindakan aparat. Dia tahu ada penyimpangan hak dan kemanusiaan yang sedang terjadi. Jadi dendam pribadinya ia kesampingkan. This is really great drama, kita benar-benar melihat tindakannya, dan kuharap film ini melakukan yang seperti ini pada setiap karakternya.
Karena karakter-karakter lain tidak actually diperlihatkan seperti demikian. Bahkan tidak pula si Slahi itu sendiri. Dengan penceritaan bolak-balik, kita melihat karakter ini sebagai fragmen-fragmen. Dan kalo bukan akting Rahim yang keren dan detil, karakter ini gak akan mencuat dan niscaya akan tampak sebagai karakter untuk dikasihani aja. Banyak aspek perubahan pada karakter ini yang tidak diperlihatkan oleh film. Dia dimulai dengan bahasa Inggris terbatas, hingga menjadi benar-benar fasih; yang menyiratkan dia punya hubungan akrab dengan para penjaga. Film harusnya menyorot lebih dalam soal bagaimana dia berkehidupan sosial di dalam sana. Di kredit kita melihat Slahi yang asli bernyanyi, menari, dia seperti punya pandangan baru terhadap dunia, dan penyekapnya. Harusnya delevopment itulah yang juga dieksplorasi oleh film. Bagaimana orang yang sepertinya sudah tidak ada harapan, menjadi seperti terlahir kembali, tidak dengan dendam, melainkan dengan energi positif. The Mauritanian ini hanya menampilkan fragmen-fragmen dari itu semua. Yang beneran di-build up ya memang cuma kengerian dan siksaan di penjara.
Pembahasan yang paling cetek adalah pada kedua pengacara Slahi. Yang satu diperankan oleh Shailene Woodley, dan satunya lagi oleh Jodie Foster. Foster surely looks like a perfect cast for this role, tapi film gak berikan dia banyak tugas selain untuk pasang tampang serius yang sedih dan tertohok setiap membaca surat-surat pengakuan dari Slahi. Karakter yang ia perankan hampa. Dengan motivasi yang sekadar menegakkan kebenaran, karakternya yang sabar dan paling flawless di antara yang lain ini dapat dengan gampang jatuh ke dalam tudingan ‘white savior’. Karakter pengacara yang diperankan Woodley jauh lebih menarik. She wants to help, tapi dia mendapat kecaman dari keluarga dan kerabat karena telah memilih menolong tersangka teroris. Dia gak sanggup memikul beban tersebut, dan sempat hengkang. Jika saja bahasan moral dia dikecam itu benar-benar diperlihatkan kepada kita (bukan hanya dari omongan), dan jika dia comeback nanti benar-benar diberikan waktu dan bahasan tersendiri, maka tentu karakter ini akan lebih berbobot dan memperkaya film dengan lebih banyak emosi yang signifikan membuat keseluruhan cerita lebih beresonansi tentang kemanusiaan, alih-alih tentang ngerinya penegak hukum di Amrik.
 
 
 
I really felt something saat menyaksikan film ini. Sungguh emosional dan menggerakkan. Berhasil film ini menggambarkan peristiwa dan kejadian, bahkan emosi yang dirasakan karakternya dengan efektif. Film ini berpotensi menjadi lebih kompleks, tapi memilih fokus untuk menjadi gambaran saja. Dan itu adalah pilihan yang sah-sah saja, sebuah film tidak bersalah hanya karena memilih untuk tidak kompleks. Namun untuk menjadi yang ia pilih itu, film ini tidak berbuat banyak dalam mencegah karakternya tampak sebagai device semata. Beruntunglah film ini bisa punya aktor yang bersungguh-sungguh menghidupkan perannya, lebih daripada yang disiapkan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE MAURITANIAN.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Benarkah kita tidak bisa membuktikan ke-innocent-an? Bagaimana kalian membuktikan tidak-bersalah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FLORA & ULYSSES Review

“What doesn’t kill you makes you stronger”
 

 
Ada dua tipe anak kecil. Anak kecil yang pengen dirinya jadi superhero. Dan anak kecil yang pengen sobatan ama superhero. Flora dalam film Flora & Ulysses condong termasuk ke tipe yang kedua. Meskipun sebenarnya semakin hari Flora semakin tidak percaya pada superhero. Semakin tidak percaya ada pahlawan yang datang menolong keluarganya, membantu ayah dan ibunya yang semakin renggang. Di saat Flora sudah memantapkan diri sebagai seorang Cynic alias seorang sinis yang tidak percaya keajaiban, dia bertemu (atau lebih tepatnya menyelamatkan) seekor tupai yang tersedot ke dalam mesin vacuum cleaner. Dan oleh peristiwa tersebut, sang tupai yang ia beri nama Ulysses itu jadi memiliki kekuatan super!
Flora & Ulysses yang diadaptasi dari novel anak berjudul sama ini akan menempatkan kita pada petualangan superhero yang tidak biasa, yang dunianya dihidupi oleh humor-humor dan karakter lucu, yang seringkali menyentil dunia komik dan superhero itu sendiri.
Bagaimana enggak menyentil coba? Ini adalah film yang bicara tentang superhero tapi protagonisnya sendiri sudah mulai capek untuk percaya pada superhero. Meletakkan sudut pandang demikian ke dalam seorang anak kecil jelas jadi setting karakter yang menarik. Flora ini dibesarkan oleh dongeng-dongeng superhero, sebab ayahnya adalah komikus. Flora diperlihatkan masih acapkali ngobrol dengan para karakter komik bikinan sang ayah (mereka jadi seperti teman imajinasi Flora), tapi Flora aware mereka cuma imajinasi dan tahu persis mereka gak bisa membantunya. Jadi Flora memutuskan untuk bertindak sendiri. Dengan demikian, Flora ini jadi seperti sentilan bagi kita yang udah dewasa yang tidak actually ngelakuin apa-apa selain cuma berkhayal punya kekuatan super atau punya jalan keluar ajaib dari setiap permasalahan.

Superpowerku adalah kekuatan mutant, yakni mut-mutant dalam menjalani sesuatu

 
Kata “&” pada judul itu berhasil diseimbangkan. Walaupun di sini bukan dia yang punya kekuatan super, tapi film ini berhasil mengembangkan permasalahan Flora di balik petualangan superhero yang jadi lapisan terluar, lapisan yang membuat film ini seru sekaligus lucu. Film ini berhasil bikin Flora yang lebih memilih menjadi sidekick, tetap mencuat sebagai tokoh utama. Sementara itu, Ulysess si Tupai Super juga mendapat porsi yang cukup besar. Si Tupai ini dihidupkan dengan efek komputer. Desainnya tetap kayak tupai asli, tapi karena berupa CGI, karakter Ulysses ini jadi bisa melakukan banyak gerakan yang lucu-lucu. Mulai dari meniru pose superhero di komik Flora (suatu ketika dia meniru Spider-Man yang lagi gelantungan!) hingga melakukan aksi kecil-kecilan kayak ‘berantem’ dengan hiasan meja. Kita melihat Ulysses belajar dan mengembangkan kekuatannya. Kita melihat Ulysses mencoba membantu keluarga Flora lewat ketikan puisi (yes, salah satu superpower Ulysses adalah kekuatan mengetik kata). Kita melihat petualangan Ulysses berhadapan dengan musuh bebuyutan berupa si Penangkap Hewan (berseragam begitu, Danny “Abed” Pudi jadi mirip Matthew McConaughey hihihi). Film ini butuh CGI untuk menghidupkan Ulysses, tapi tidak pernah benar-benar bergantung kepada efek tersebut. Karena porsi pengembangan yang dibuat seimbang, dengan sudut pandang yang dijagai tetap pada Flora, maka film ini tidak pernah keluar dari jalur.
Penampilan Matilda Lawler sebagai Flora di sini super pas sekali. Keceriaan dan sarkasnya berhasil ia deliver dengan baik. Menjadi seorang Cynic bagi Flora berarti adalah melakukan banyak observasi. Menarik sekali melihat Flora yang excited banget untuk jadi sidekick dari Ulysses si Tupai Super. Flora ingin membantu Ulysses menemukan purposenya karena setiap superhero punya purpose. Anak ini bukannya gak percaya pada keajaiban, dia toh mau membantu dan percaya ada tupai yang jadi pahlawan super. Kurasa dari sinilah sebenarnya kepedulian kita terhadap Flora berasal, film memantik emosi yang subtil sekali di balik sikap ceria Flora yang membantu tupainya. Bahwa dia ini adalah anak yang sebenarnya sangat terpukul oleh keadaan keluarganya, oleh ayah ibunya yang berpisah.
Film ini memang tak lupa untuk berpijak pada permasalahan yang menapak ke tanah, yakni permasalahan dalam keluarga. Dalam hal ini, yang dibahas adalah keluarga yang berpisah. Ayah dan Ibu Flora juga mendapat porsi pembahasan dalam cerita. Ayah Flora, seorang komikus, dan ibu Flora seorang novelis romansa. Keadaan ekonomi membuat mereka bukan saja harus pisah-rumah, melainkan juga harus pisah dari passion masing-masing. Ayah Flora kini jadi karyawan toko, sementara ibunya masih pengen nulis tapi mandek – gak bisa lagi bikin sesuatu yang romantis.  Ini tentu saja permasalahan yang besar untuk setiap anak seusia Flora. But she didn’t beat herself up about it. Film pun tidak lantas jadi ajang mewek-mewekan. Flora begitu penuh imajinasi dan optimis dan – betapapun dia bilang enggak mau, dia tetap penuh oleh – harapan. Harapan inilah yang diam-diam jadi superpower Flora. Dia gak sadar bahwa dengan sikapnya, dia sudah jadi pahlawan bagi Ulysses, Ayah, Ibu, dan kehidupan di sekitar.
Tone ceria dan enerjik tetap dipertahankan oleh film ini. Jika tidak sedang menghangatkan kita oleh hubungan keluarga ataupun oleh petualangan seru, film ini akan bikin kita ngakak oleh selera humor yang juga super. Serius. Sarkasnya si Flora? Cek bikin ketawa. Dialog yang make fun of comic book and superhero? Cek bikin ngikik. Dan tak ketinggalan humor simpel yakni slapstick. Aku lebih banyak ketawa nonton film ini dibandingkan nonton Tom and Jerry (2021) kemaren. Flora & Ulysses adalah contoh yang benar untuk gabungan animasi dan live-action yang melibatkan hewan dan manusia. It uses characters very well, dan benar-benar mendesain komedi dari para karakter tersebut, pada apa yang mereka lakukan. Pada Flora & Ulysses ini, dunia itu benar terasa luas, akan selalu ada karakter yang memberikan kejutan yang lucu. Skit kucing galak yang nyakar dari balik semak aja sukses bikin aku guling-guling.
The friendly Neighborhood Cynic-Man

 
Meskipun demikian, tidak pernah terasa humornya receh. Film garapan Lena Khan ini tidak meledek siapapun – kecuali mungkin para man-child penggemar komik kelas berat itu tadi – dan itupun dilakukan dengan penuh respek. Ada satu elemen yang menurutku dilakukan dengan berani oleh film ini. Yakni karakter ally alias teman manusia Flora yang bernama William (sekali lagi Benjamin Evan Ainsworth dapat lawan main bernama Flora). William diceritakan buta sementara. Dan sikap karakter ini terhadap kebutaannya sering menjadi becandaan buat film ini. William mengatakan dia punya kemampuan echo-lokasi kayak kelelawar, atau dia sering nabrak dan jatuh tapi dia oke aja karena menganggap dirinya punya kemampuan menyerap tubrukan kecil. Sikapnya ini lucu, tapi tidak pernah tampak sebagai olok-olok buat penyandang kebutaan. Awkwardnya interaksi antara Flora dengan William dimainkan seperti gambaran ringan yang bisa dijadikan contoh untuk anak-anak yang punya pertemanan seperti mereka. Film menggebah mereka untuk bersikap biasa saja, tidak melecehkan, dan tidak pula mengasihani berlebihan.

Setiap superhero terlahir dari peristiwa yang membuat mereka hampir celaka. Mereka mendapat kekuatan dari sana. Ini bisa dibawa ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Masalah yang dihadapi, adalah tantangan, yang harusnya bikin kita lebih kuat dengan berani menghadapinya. Will buta, but dia hadapi apa yang di depannya dengan berani. Flora punya segudang masalah meluarga, tapi ia hadapi, mainly dengan berharap semua bisa lebih baik. 

 
Will boleh jadi enggak bikin kita jadi males nonton film ini karena digarap dengan banyak respek. Tapi ternyata ada satu lagi yang berpotensi bikin turn-off. Yakni referensi tak-ada-abisnya ke dunia komik. Film ini sendirinya sudah punya hati dan komedi yang work out perfectly, tapi film tidak bisa menahan diri untuk memasukkan banyak referensi ke komik beneran. Awalnya memang lucu, Flora dalam narasinya menyebut komik seperti Wolverine, terus ada referensi ke Spider-Man tadi, tapi lama-lama ya kayak mengganggu aja. Karena film kan punya komik di dunianya sendiri, komik buatan ayah Flora. Film ini enggak benar-benar butuh menyebut komik yang beneran ada. At this point, mereka melakukannya hanya karena bisa. Nah inilah yang bikin kita sinis, bahwa referensi itu cuma promosi produk Marvel aja. Disney owns them, dan yea, mereka bisa melempar referensi sebanyak yang mereka mau di sini – untuk promosi. Tentu tak mengapa, sebenarnya. Kalo dilakukan dengan elegan, memang mengasyikkan. Tapinya juga, kalo enggak ada adegan-adegan referensi itu pun, film ini masih akan bisa bekerja.
 
 
Selain soal itu, aku gak menemukan hal lain yang bisa jadi permasalahan untuk orang dalam menonton film ini. Petualangan dan komedinya silly enough untuk menjadi seru, tapi tidak melanggar batasan receh atau disrespectful. Film ini sesekali make fun of comic book trope, but that’s about it. Ceritanya ngajarin tentang piaraan dan tanggung jawab, tentang keluarga, tentang persahabatan, tentang berimajinasi, dan semua itu dilakukan dengan enggak pandering, enggak memanjakan anak-anak. Karena itulah film ini bisa dibilang the true superhero yang dibutuhkan oleh anak-anak di tengah keringnya film yang bisa benar-benar mereka idolakan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for FLORA & ULYSSES
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Enak banget jadi Flora punya ayah yang bikin komik. Dulu ayahku membatasi, bahkan bisa dibilang melarang, baca komik. Apakah kalian dulu tim komik atau tim novel? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TOM AND JERRY Review

“Fighting in and of itself is not a threat to the relationship.”
 

 
 
Dibuat pada tahun 1940an, Tom and Jerry adalah masa kecil bagi banyak sekali orang. Abang-kakak kita suka. Emak-bapak kita tahu. Heck, bahkan mungkin ada yang nenek atau kakeknya punya kenangan duduk manis di hari Minggu pagi nontonin kucing dan tikus itu kejar-kejaran. We all love Tom and Jerry. Dulu aku setiap kali pergi ngerental vcd film dan smekdon, kalo si rentalnya gak ada uang kembalian, aku selalu minta kembaliannya dijadiin kaset Tom & Jerry aja. Hahaha enggak ding, maksudnya Tom & Jerry selalu tak ketinggalan untuk ikut kusewa. Nonton kartun mereka itu rasanya gak pernah bosan. Slapstick dan tingkah polah Tom yang ngejar Jerry yang usil selalu sukses bikin ngakak, gak peduli udah ditonton seberapa kalipun. That’s how timeless they are.
Tapi generasi kekinian, bisa jadi gak kenal ama Tom dan Jerry. Dan memang untuk itulah film ini dibikin. Kisah kejar-kejaran mereka dihidupkan kembali melalui dunia campuran animasi kartun dengan lingkungan nyata. Namun sayangnya pembuat film ini malah seperti lupa tujuan tadi. Di tengah dunia berisi manusia dan hewan-hewan kartun tersebut, film ini tersesat. Film ini malah menghabiskan waktu lebih banyak tanpa membahas Tom dan Jerry itu sendiri.
Sutradara Tim Story dan penulis naskah Kevin Costello sebenarnya udah kayak memojokkan diri mereka sendiri in the moment mereka memutuskan untuk “yok bikin film Tom dan Jerry kekinian, yook”. Karena si Tom dan Jerry itu sendiri adalah karakter yang tidak bicara. Dengan begitu, cerita pun harus distretch out; Story dan Costello jadi menggunakan karakter manusia dan karakter kartun lain untuk role bicara. Secara garis besar, outline konsep film ini sebenarnya sudah cukup jelas. Karakter Tom dan Jerry akan menghidupkan suasana lewat kejar-kejaran dan humor-fisik, sedangkan cerita akan dikembangkan lewat karakter manusianya. Namun Story dan Castello tidak tampak confident dalam mengembangkan komedi ala Tom dan Jerry. Entah karena ragu Tom & Jerry bisa tertranslasikan dengan sukes buat selera modern atau karena mereka simply gak mengerti apa yang membuat Tom dan Jerry itu digemari. Pembuat film tidak melakukan hal baru terhadap kejar-kejaran kucing dan tikus ini. Mereka hanya mengulang sketsa di kartun, untuk nostalgia. Di sisi lain, karakter-karakter manusia yang dibuat jadi vital itu juga gagal dikembangkan. Tak lebih dari karakter tumpul dan membosankan.

Bayangkan kalo Tom dan Jerry kejar-kejarannya di Hotel Cecil

 
Dari sinopsis IMDB-nya, film ini sebenarnya difungsikan sebagai semacam origin; kisah gimana Tom dan Jerry bertemu, kisah gimana kejar-kejaran abadi mereka bermula. Namun dari menonton film ini, tidak tampak seperti itu. Tom dan Jerry seperti sudah musuhan sejak lama, dan film ini tuh terasa seperti hanya satu episode dari episode kejar-kejaran mereka. ‘Origin dari kejar-kejaran’ mereka itu juga gak spesial-spesial amat. Jerry melihat Tom ngamen di taman, dan Jerry mengganggu Tom karena Jerry butuh duit. Gitu doang. Di sini, Jerry itu homeless, dia mencari tempat tinggal dan sampailah dia ke Hotel Royal Gate yang mewah. Tom si kucing yang jadi pianoless berkat Jerry, dendam dan mengejar si tikus hingga ke Hotel Royal Gate. Sementara itu ada manusia bernama Kayla (film kedua Chloe Grace Moretz di tahun 2021. Also, film keduanya di tahun 2021 yang zonk!) yang lagi jobless, sehingga dia akhirnya ‘mendapat’ kerja di Hotel Royal Gate. Di Hotel itulah konflik dan chaos terjadi. Kayla ditugasi mengusir Jerry, Kayla minta bantuan Tom, dan mereka harus cepat dan discreet about the job karena beberapa hari lagi akan ada pesta nikahan bergengsi di hotel tersebut!
See, ceritanya saja sudah langsung bermasalah. Keberhasilan pesta nikah itulah yang jadi tujuan ‘petualangan’ Kayla, atau Tom, atau Jerry, atau whoever the protagonist is. Alih-alih membahas (atau menghibur) dengan aksi Tom ngejar Jerry sambil saling ‘menyakiti’ pake benda-benda berat — which is the true selling points of Tom and Jerry, film malah fokus ke… pernikahan. Kenapa kita harus peduli sama pernikahan tersebut saat filmnya sendiri gak pernah benar-benar mengaitkan kepentingan pernikahan tersebut dengan journey Kayla, Tom, ataupun Jerry. Kita disuruh peduli sama pasangan interracial yang hendak nikah itu. Kupikir tadinya mereka adalah selebriti beneran, kayak cameo gitu. Tapi ternyata tidak, mereka karakter cerita. Yang disebutkan punya banyak penggemar, dan pengen wedding yang mewah (pake gajah!), tapi mempelai wanitanya sebenarnya enggak setuju-setuju amat. Kita disuruh peduli karena di cerita itu mereka orang terkenal, dan kita selalu suka ngikutin drama orang terkenal walaupun rekaan kan?
Not!
Kita nonton ini karena ingin melihat Tom dan Jerry. Banyak-banyak! Kita mau lebih banyak adegan seperti saat Tom nyebrang kabel listrik, berusaha mencapai Jerry yang lagi ngadem di jendela hotel. Tapi di sini mereka udah kayak karakter sampingan. Udah kayak karakter comedic-relief di antara adegan-adegan drama manusia yang karakternya random.

I get it. Film mungkin memang sedang membandingkan relationship unik antara Tom dan Jerry dengan pernikahan. Tom dan Jerry sering kejar-kejaran dan berantem, tapi mereka toh langgeng. Kisah mereka tak lekang waktu. Ketika harus baikan, mereka bisa kok jadi sahabat yang tak-terpisahkan. Supaya hubungan asmara bisa langgeng seperti itu, kita bisa meniru mereka. ‘Perlu’ sesekali bertengkar. Karena sesungguhnya bukan ribut dan berantem itu yang bikin renggang.

 
Dunia yang dihuni manusia dan hewan-hewan kartun itu sebenarnya menarik. Harusnya film mengeksplorasi ini lebih jauh. Tapi cerita malah dikurung di hotel. Hotel yang punya aturan gak boleh ada binatang, tapi karakter ceritanya pada selow aja bawa hewan-hewan ke hotel. Jadi, larangan itu gak dijadikan sebagai eksplorasi atau bahkan sebagai konflik. Kayla di sini tu enggak diam-diam nyelundupin hewan, dia mau ngusir tikus. Jadi aturan tersebut, setting hotel tersebut gak punya pengaruh sama sekali kepada karakter Kayla, atau Tom, atau Jerry. Film ini tuh kayak “Hey, ini situasinya bisa menarik” /  “Nah, let’s make it simple and dumb”

Mari setiap beberapa menit sekali kita rangkum cerita lewat merpati yang ngerap!

 
Si Kayla itu karakternya aneh. Dia nipu untuk mendapatkan kerja di hotel. Tapi arc-nya gak pernah benar-benar terbentuk sebagai cerita seseorang yang harus berbuat demikian, kemudian menyesal, dan berusaha redeem herself. Cerita Kayla dibuat untuk asik-asikan doang, dan dia nyesal dan berubah itu sama sekali gak ada perjuangan naik turunnya. Datang gitu aja sesuai durasi. Dibilang baik, enggak juga. Dibilang jahat, ya gak segitunya. Dibilang lucu, dia garing. Dia cuma ada di sana, mengambil tempat sebagai pusat cerita. Dan kita gak peduli sama dia. Emangnya kenapa kalo dia gagal nangkap Jerry. Emangnya kenapa kalo dia sampai ketahuan nipu. Emangnya kenapa kalo Jerry sampai dius… lupakan, gak bakal ada yang bisa nangkap Jerry – that mouse is slick!. EMANGNYA KENAPA KITA HARUS PEDULI SAMA WEDDING DUA SELEB-PALSU?!!
Semua stake film ini lemah, dan salah satunya dikembangkan dengan gak niat. Kita hanya peduli pada kejadian kocak yang terjadi pada Tom dan Jerry. Kenapa begitu susah untuk film ini memberikan itu kepada kita. Aku mulai berpikir film ini gak paham yang namanya komedi. Begini, ada banyak pemain komedi dalam film ini. Ada Michael Pena yang jadi atasan Kayla. Ada Ken Jeong yang jadi kepala koki di hotel. Ada Patsy Ferran yang jadi bell-girl. Tapi film ini gak ngasih apa-apa untuk mereka semua. Tidak ada dialog-dialog lucu. Bahkan one-liner konyol pun tidak ada. Yang dianggap sebagai komedi oleh film ini tu adalah ketika seseorang bicara sendiri, atau melakukan hal awkward sendiri, terus dia jadi tengsin karena diliatin atau malah karena lawan bicaranya sudah pergi. Hanya itu. Talenta komedian cuma mereka suruh begitu.
 
 
Sebenarnya Tom dan Jerry udah punya film-panjang, keluar tahun 1992. Full-animation. Sehingga film tersebut seenggaknya masih menampung spirit utuh dari serial kartunnya. Nah, di film baru ini, Story dan Costello yang udah membawa Tom Jerry ke setting dan konsep visual baru, tak punya banyak pilihan selain menampilkan karakter Tom dan Jerry seoriginal mungkin. Mereka kembali pada karakter yang tidak bicara. Role bicara diberikan kepada karakter-karakter manusia, dan karakter kartun yang lain. Akibatnya Tom dan Jerry jadi bener-bener kehilangan suara. Story dan Costello kesusahan mengembangkan cerita dari komedi Tom dan Jerry yang biasa. Mereka membuat sesuatu yang lebih seperti sebuah drama karakter manusia. Tapi itupun tidak maksimal karena penulisan yang punya mindset bahwa film untuk anak-anak harus dibuat sesimpel mungkin. Karakter manusia hampa semua. Dan parahnya kita terjebak pada mereka. Tom dan Jerry-nya cuma sesekali menghiasi layar, and we know we want more of them! 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TOM AND JERRY
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian bagaimana pertengkaran bisa menjadi penting dalam suatu relationship?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

STAND BY ME DORAEMON 2 Review

“You need to be happy with yourself or you’ll never be able to be happy in a relationship”
 

 
 
Tentu saja Doraemon punya tempat spesial di dalam diriku. Aku tumbuh besar dengan mengkhayal punya alat-alat ajaib seperti yang ada di kartun Doraemon yang tak pernah ketinggalan ditonton. Aku beberapa kali nekat bolos ngaji supaya bisa nonton Doraemon. Aku – yang waktu itu masih berumur empat tahun – bahkan bersikeras memberi adikku nama Nobita, meskipun ternyata adikku itu adalah perempuan. Orangtuaku ngalah, tapi toh mereka berhasil membujukku mengganti huruf ‘b’ di Nobita menjadi huruf ‘v’. Alhasil kasian adikku, sampai sekarang dia selalu dituduh lahir di bulan November padahal lahirnya itu di bulan September.
Mengenai Nobita, memang, orangtuaku dulu selalu mewanti-wanti untuk tidak menjadi seperti Nobita. Jangan jadi anak cengeng kayak Nobita. Gak boleh niru Nobita yang penakut. Jangan kerjanya malas-malasan nanti jadi kayak Nobita. Rajin belajar, jangan sampai nilainya nol kayak Nobita. Ah, Nobita, Nobita… Kalo dipikir-pikir sekarang, Nobita boleh saja selalu dapat nilai merah dalam pelajaran sekolah. Tapi untuk pelajaran kehidupan, Nobita tak pelak adalah juara kelasnya. Dalam film Stand by Me 2 ini saja, petualangan Nobita menembus waktu akan banyak memberikan dirinya – dan kita semua – pelajaran berharga tentang menemukan rasa bahagia atas diri sendiri demi membahagiakan semua orang di sekitar kita.

Akhirnya menikah, tapi kok malah sedih?

 
 
Hari itu berawal cukup normal di rumah Nobita. Doraemon sedang maintenance alat-alat di kantongnya. Dan Nobita… well, dia barusan kena omel sama Ibu karena ketahuan menyimpan nilai nol. Nobita jadi kangen sama neneknya yang udah meninggal. Kata Nobita nenek adalah satu-satunya yang sayang sama dia. Lantas pergilah Nobita dan Doraemon ke jaman dirinya masih kecil naik mesin waktu. Untuk bertemu Nenek. Cerita keseharian seperti inilah yang bikin Doraemon itu gampang melekat untuk anak kecil. Kita melihat kehidupan Nobita itu ya gak jauh dari kehidupan kita. Tentunya waktu kecil kita pernah sekali dua kali ngayal kita adalah anak pungut saat dimarahi ayah-ibu. Ngayal kalo ada orang dewasa lain di luar sana, yang lebih baik dan rajin beliin mainan, yang bakal datang menjemput kita karena mereka adalah orangtua kita yang sebenarnya. Kita lebih senang sama nenek kakek karena mereka gak pernah marahin dan selalu manjain kita. Menonton cerita seperti ini sekarang, berhasil melempar aku ke nostalgia. Bukan hanya nostalgia kepada dunia Doraemon yang ajaib dan penuh oleh karakter-karakter yang terasa akrab, tapi sekaligus juga nostalgia kepada masa kecil diriku sendiri.
Film ini tahu persis siapa penonton mereka. Aku benar-benar merasa film ini dibuat untuk diriku. Setelah menyambut kita dengan manisnya nostalgia, sutradara Ryuichi Yagi yang kali ini team up sama Takashi Yamazaki, mulai menghidangkan daging sesungguhnya dalam cerita. Sekuel Stand by Me ini dihadirkan sama seperti film pertama yang keluar enam tahun yang lalu; permasalahan Nobita dan Doraemon di sini bukanlah perihal petualangan besar ke dunia luar seperti pada film panjang kartunnya. Melainkan permasalahan yang lebih dekat ke ‘rumah’. Yagi dan Yamazaki mengajak penonton Nobita dan Doraemon yang kini telah dewasa untuk mengarungi permasalahan yang juga sama dewasanya. Nenek Nobita ingin melihat pasangan cucu kesayangannya tersebut saat menikah. Permintaan yang gampang bagi Nobita, karena dia sudah tahu di masa depan bakal menikah dengan Shizuka, dan dia tinggal mempertontonkan pesta mereka kepada Nenek lewat Televisi Waktu. Namun ada sesuatu yang salah. Pesta itu gak mulai-mulai, karena Nobita di masa depan, Nobita Dewasa yang akan menikah itu, tidak kelihatan ada di mana-mana. Maka bergegaslah Nobita dan Doraemon ke masa depan, mencari Nobita Dewasa dan membetulkan banyak hal sebelum semuanya terlambat. Sebelum masa depan Nobita berubah menjadi tanpa Shizuka.
Tidak seperti film pertamanya yang tersusun dari beragam cerita dan episode dari komik/kartun, film animasi 3D kedua ini lebih fokus pada satu permasalahan. Walau memang banyak yang actually akan dikejar dan dikerjakan Nobita, tapi semuanya mengerucut ke satu permasalahan yang sama. Yakni kenapa Nobita di masa depan menghilang dan seperti jadi bimbang (got cold feet) beberapa jam sebelum menikah. Film kali ini actually membahas sangat personal seputar karakter Nobita itu sendiri. Narasinya disusun sedemikian rupa dalam membangun rasa insecure dan ketidakpuasan Nobita terhadap dirinya sendiri. Mulai dari bagaimana Nobita penasaran dirinya anak pungut atau enggak, hingga ke bagaimana Nobita enggak suka sama namanya, dan tentu saja ke bagaimana Nobita Dewasa merasa kasihan sama Shizuka yang mau menikah karena ingin melindungi dirinya. Semua eksplorasi soal itu diceritakan dengan cukup subtil sehingga terlihat di permukaan sebagai celotehan anak bandel yang konyol. Ini tentu saja karena film ini tidak melupakan para penonton cilik. Kelucuan tingkah serta keajaiban dunia dan karakter-karakternya tetap dijadikan pesona utama untuk dinikmati oleh anak kecil. Sementara di balik itu semua, para penonton dewasa (yang sudah setia bersama Nobita dan Doraemon sejak kecil) bisa merasakan sesuatu yang relate alias mewakili perjalanan hidup mereka. Di balik Nobita mencela dan mendebat pilihan Nobita Dewasa lewat percakapan yang sangat amusing, kita tahu bahwa itu adalah cara film menggambarkan kontemplasi karakter lewat kekhususan dan identitas Doraemon itu sendiri.

Di dalam diri kita akan selalu ada sosok anak kecil yang rapuh dan selalu ‘ingin dimanja’. Di dalam diri kita semua, akan selalu ada si Nobita. Itulah yang diajarkan oleh film ini lewat kisah Nobita yang kabur dari pernikahannya sendiri. Bukan karena dia tidak cinta lagi, tetapi justru karena dia cinta makanya dia kasihan kepada Shizuka yang mau padanya. Kini hanya dirinya sendiri yang bisa menyelamatkan dirinya. Masalahnya dia justru menganggap dirinya sendiri sebagai masalah. Padahal Nobita – dan Nobita dalam diri kita yang vulnerable – bukanlah sesuatu yang perlu dibenci atau dienyahkan. 

 
Setting Nobita menikah bukan hanya kuat di nostalgia, tapi juga membentuk panggung yang menarik, yang mampu memikul banyak bobot emosional untuk disampaikan kepada kita. Karena perihal Nobita menikah dengan Shizuka itu sudah sejak dari zaman kartun televisi, bahkan zaman komiknya, selalu jadi goal dramatis dari karakter Nobita ‘si anak lemah’ itu sendiri.

Rasanya pengen menyelimuti diri sendiri dengan Selimut Waktu

 
 
Semua itu dilakukan dalam balutan petualangan menembus waktu. Elemen time-travel ini memang selalu jadi bagian penting dalam semesta Doraemon. Dan dalam film ini pun, sebagaimana film-film kartunnya, elemen time-travel ini dilakukan dengan detil tanpa menjadi memberatkan. Cerita didesain betul supaya elemen time-travelnya benar-benar terikat dan tidak menimbulkan loop yang mengganggu. Sehingga meskipun film ini periodenya luas – menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa depan Nobita – tapi tetap terasa contained. Ceritanya tertutup dan gak meluas menjadi teori-teori yang gak perlu.
Akan tetapi, tentu saja elemen time travel yang bertemu dengan konsep alat-alat ajaib, akan beberapa kali membawa cerita sampai pada titik eksposisi. Akan ada beberapa adegan yang terdengar terlalu ‘telling’ dan membuat emosi film harus tertunda. Untuk sebuah cerita yang memfokuskan pada sisi emosional karakter, dan petualangan time travel, film ini memang at times sedikit terlalu mendikte. Ada beberapa dialog yang sepertinya bisa lebih manis dan berasa jika diperlihatkan lewat emosi atau ekspresi visual. Emosinya lebih banyak dituturkan. Mungkin ini ada kaitannya dengan budgetnya. Film ini walaupun terlihat sangat kawaii dan lembut, memainkan lingkungan tiga periode berbeda dengan detil dan distinctive, tapi dari segi karakter-karakter, mereka seperti terbatas.
 
 
Dengan lebih memfokuskan kepada karakter Nobita dibandingkan petualangan Doraemon dan kawan-kawan, film ini berhasil memberikan bobot kepada nostalgia dan haru-haruan yang mereka incar. Hubungan antara Nobita dengan karakter lain seperti Doraemon, Shizuka, Neneknya, Ayah-Ibunya, dan bahkan Giant dan Suneo berhasil dikembangkan dengan dewasa. Film ini menggunakan time-travel dengan ringkas sebagai elemen utama sehingga tidak memberatkan cerita. Malah film ini sebenarnya berhasil menjadi cukup simpel tapi sangat mengena bagi kita semua. Bahkan bagi penonton lepas yang somehow belum pernah nonton Doremon sebelumnya (jika ada)
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for STAND BY ME DORAEMON 2
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Saat masih kecil, alat doraemon apa yang kalian paling ingin punya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

MONSTER HUNTER Review

“I know what I’m capable of; I am a soldier now, a warrior. I am someone to fear, not hunt.”
 

 
 
Paul W. S. Anderson bersama istrinya, Milla Jovovich, kembali berkolaborasi dalam projek tontonan hiburan dengan apa yang sepertinya telah disepakati untuk menjadi misi mulia mereka; mencoba menghancurkan video game ke dalam film-film adaptasi. Dan setelah Resident Evil, target buruan mereka kali ini adalah seri Monster Hunter. Game yang cukup simpel, tapi menarik karena penuh imajinasi; player bermain sebagai pemburu monster-monster beraneka ukuran dan rupa. Film yang dihasilkan oleh Paul ini ternyata lebih simpel lagi.
Ceritanya tentang Kapten Artemis yang, bersama tim kecilnya, masuk ke dalam sebuah portal. Mereka tiba di dunia baru. Dunia yang sejauh mata memandang cuma hamparan pasir. Tapi meskipun putih, pasir itu enggak innocent. Karena pasir itu jadi habitat monster besar dan bertanduk, yang disebut Diablos. Kapten Artemis berusaha membawa mereka semua keluar dari tempat berbahaya itu hidup-hidup. Namun dunia baru ini ternyata monsternya bukan cuma satu. Satu-satunya peluang Artemis bisa bertahan hidup terletak pada pemuda misterius bersenjata panah dan pedang besar, yang dari kejauhan membantu mereka.
That’s it. That’s the story. Film ini gak punya ending. Enggak punya resolusi. Ceritanya dibiarkan berakhir di tengah-tengah pertempuran. Apalagi kalo bukan demi mengincar sekuel. Langkah yang sangat meragukan. Karena, bagaimana mungkin kita merasa ingin melihat kelanjutan film ini jika dalam melanjutkan menonton si satu film ini sampe durasi abis aja rasanya sungguh luar biasa berat?

Monster yang desainnya paling males adalah monster berupa gabungan dinosaurus dan naga

 
Selain melihat Milla Jovovich berduel melawan monster-monster raksasa – beberapa kali dia berlari menyerang mereka head on gitu aja – tidak ada lagi hal menghibur yang benar-benar bisa kita nikmati dalam film ini.
Kalo kalian mengira film yang diadaptasi dari game bertema dunia monster akan berisi petualangan menegangkan yang penuh imajinasi dan fantasi awesome, maka kalian benar. Film fantasi haruslah seperti begitu. Paul W.S. Anderson-lah yang salah ketika dia malah mengadaptasi game yang punya banyak penggemar itu ke dalam tontonan yang bukan saja terasa seperti perwujudan dari game itu sendiri, tetapi juga dibuat dengan cara yang menghalangi kita untuk bersenang-senang dengan aspek-aspek fantasinya. Alih-alih mengeksplorasi dunia, dia malah membuat kita sebagian besar durasi (tepatnya satu jam lebih) terjebak bersama karakter sentralnya di dalam dunia yang isinya pasir dan batu-batu doang. Lupakan world-building, dalam film ini yang kita tonton hanya Artemis yang keluar dari  ‘kandang’ monster satu, masuk ke ‘kandang’ monster berikutnya. Aksi demi aksi terus diporsir. Sehingga jadi bosan. Pegangan kita kepada karakter – yang jumlah death countnya rapidly naik kayak jumlah pasien positif Covid di negara kita – cuma dialog-dialog sok lucu dan sifat mereka yang sok keren.
T-t-ttunggu dulu, Mas My Dirt Sheet.. Lah kan katanya itu filmnya penuh oleh aksi demi aksi, tapi kok Mas juga bilang filmnya masih membosankan?
Begini, adik-adik. Itu jawabannya simpel aja. Yakni karena Anderson tidak tahu cara bercerita dengan benar lewat adegan-adegan aksi. Oke, mungkin dia tahu, hanya dia enggak peduli dengan cara yang benar. Anderson sudah kepalang nyaman di dunianya sendiri, di dunia yang ia pikir menghibur itu adalah dengan menyajikan aksi-aksi dengan begitu banyak cut-cut cepat, yang selalu berujung dengan momen sepersekian detik slow-motion, untuk kemudian disambung lagi dengan cut-cut cepat lainnya. Sepuluh menit nonton ini aja aku udah capek oleh adegan aksi yang tersusun oleh banyak sekali cut. Dan karena aksi-aksi yang disyut seperti demikian terus menerus dilakukan, maka capek itu berubah menjadi bosen dan tidak lagi peduli. Cut-cut cepat dalam adegan aksi itu justru membuat adegan susah untuk diikuti, sehingga aksi-aksi yang ditampilkan itu jadi gak ada efeknya buat kita. We don’t care because we can’t really see what happens.
Dalam film ini ada Tony Jaa, aktor laga tersohor yang tentu saja jago melakukan stunt-stunt keren. Di sini Jaa juga banyak beraksi, malah ada adegan fighting one-on-one dengan Jovovich. Tapi kasiannya, Anderson merasa stunt yang dilakukan Jaa sendiri itu masih kurang keren dan kurang menghibur bagi kita. Sehingga setiap kali Jaa beraksi, Anderson menggunakan cut-cut cepat tadi dengan niat untuk memperheboh aksi Jaa. Namun alhasil tentu saja hal tersebut malah bikin aksinya jadi enggak enak dilihat. Cut-cut cepat itu dilakukan oleh orang normal yang gak sok asik untuk menutupi, entah itu ketidakmampuan aktor, atau efek praktikal lainnya. Ketika mereka punya aktor yang mumpuni banget dalam berlaga, orang normal yang gak sok asik, enggak akan menggunakan teknik cut. Mereka mempercayakan kepada aktornya. Anderson ini memang lain dengan yang lain. Bukan hanya pada adegan-adegan aksi melawan monster ataupun pada aksi dikejar monster. Cut-cut cepat digunakan oleh Anderson dalam hampir semua pengadeganan, termasuk ketika karakter lagi ngobrol atau lagi berjalan dan menemukan sesuatu. Shot muka Artemis – cut – pindah ke muka si anu – cut – wide shot daerah – cut – shot muka orang yang lagi rolling eyes – cut – shot muka yang lagi bicara. Adegan senormal itu aja direkam dengan frantic banget. Sehingga udahlah karakternya tipis, apa yang mereka omongkan dan rasakan itu pun jadi enggak nyampe ke kita.
Film ini sesungguhnya mengandung bibit hubungan emosional yang bisa dikembangkan dan menjadi hati seluruh cerita. Yakni hubungan antara Artemis dengan karakter Hunter yang diperankan oleh Tony Jaa tadi. Karakter dari dua dunia ini bertemu, tadinya mereka tampak musuhan alias saling tidak percaya, tapi keadaan memaksa mereka untuk team up. Dan akhirnya menjadi teman. Mereka jadi saling belajar. Yang tak-biasa dari komunikasi mereka adalah keduanya tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Jadi mereka pake bahasa isyarat, trying to understand each other. Momen-momen mereka belajar mengenal satu sama lain, mestinya bisa emosional. Tapi penghalang untuk sampai ke sana itu banyak. Pertama, editing edan tadi. Kedua, dialog yang cringe. Anderson membuat kedua karakter ini bonding salah satunya adalah lewat makanan, tepatnya; coklat. But the way he does it adalah dengan membuat mereka antara seperti dalam iklan produk coklat, atau seperti sedang memparodiin adegan Si Ikan Gila Coklat dalam kartun SpongeBob.

Artemis belajar banyak hal dari Hunter yang berjuang seorang diri. Belajar ngalahin monster raksasa, belajar menggunakan senjata yang belatinya bisa mengeluarkan api, dan terutama adalah belajar menemukan kembali makna menjadi seorang pejuang. Makna menjadi seorang tentara. Bahwa seharusnya dialah yang berburu, bukan yang diburu.

 

“Coklaaaaaatttttt!!!”

 
Jika Kapten Artemis terlempar dari dunianya dan terjebak di dunia lain, maka Anderson sang sutradara sendiri sesungguhnya juga sedang menapaki dua dunia. Yakni dunia film dan dunia video game. Bedanya, Kapten Artemis belajar untuk bisa survive di dunia yang baru, dia melakukan penyesuaian, dan meningkatkan kemampuan diri. Ironis, Anderson tidak melakukan ini. Ketika dia menyadap dari dunia video game, dia mengambil elemen-elemen sekadar untuk para gamer mengenali materi asli ketika sudah menjadi film nanti. Kita melihat desain monster, dan desain senjata film ini yang serupa dengan yang ada di game. Namun, selebihnya Anderson gak melakukan penyesuaian apapun. Dia hanya bermain pada apa yang sudah ia nyaman aja. Cerita film ini tidak dia susun ke dalam formula atau struktur ‘dunia film’ yang sebenarnya. Makanya film Monster Hunter ini rasanya ganjil banget.
Tigaperempat bagian dihabiskan dengan gak jelas, film monoton dan gak ada world-building. Di babak ketigalah, baru eksplorasi itu mulai dilakukan. Kita melihat dunia yang lebih besar, dengan pengenalan lebih banyak karakter yang unik dan menarik. Stake yang meningkat. Dan kemudian film habis, diniatkan seperti sedang ‘bersambung’. Keseluruhan babak tiga film tadi itu terasa lebih pantas sebagai awal masuk babak kedua – atau setidaknya ada di midpoint. Supaya build up di sini bisa tuntas di babak ketiga nanti. Tapi dalam film ini strukturnya tidak seperti itu. Babak satunya terasa distretch – kita melihat adegan yang itu-itu melulu dan development relationship karakter yang cringe, dan ketika sudah masuk babak baru, film habis. Rasanya tu seperti babak ketiga film ini adanya nanti di sekuel. Ya, kurang lebih film ini bentukannya miriplah sama Benyamin Biang Kerok yang sukses jadi film paling mengecewakanku di tahun 2018 dulu.
 
 
Film-film adaptasi video game dapat reputasi buruk ya karena pembuat film yang salah nerjemahin dunia seperti Anderson di sini. Pembuat film yang udah salah, tapi asik sendiri di zona nyamannya, dan kayak gak mau berubah dan gak peduli ama kritikan. Padahal sedari Resident Evil, persoalan cut-cut cepat dan editing frantic sudah selalu jadi masalah langganan film-film karyanya. Di titik ini, setelah menonton film yang sama sekali tidak menghibur dan hanya bikin capek ini, aku cuma bisa berharap film-film adaptasi video game yang udah diset menyusul rilis di tahun ini dibuat oleh orang yang benar-benar punya cerita dan gaya dan kecintaan terhadap game dan film itu sendiri.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for MONSTER HUNTER
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian game-game modern – yang cutscene-nya bahkan bisa sangat sinematik – masih perlu untuk diadaptasi menjadi film?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ONE NIGHT IN MIAMI Review

“You can never have an impact on society if you have not changed yourself”
 

 
 
Satu malam yang disebut oleh judul film ini adalah malam tanggal 25 Februari 1964. Malam di Miami ketika Muhammad Ali menjadi juara dunia tinju untuk pertama kalinya. Sungguh malam yang bersejarah. Film ini lantas mengajak kita melangkah ke balik tirai peristiwa legendaris tersebut. Ke dalam relung-relung imaji alih-alih lembaran fakta-fakta solid. Penulisnya mengajukan skenario fiksi – skenario andai-andai – soal Muhammad Ali merayakan kemenangannya tersebut. Dalam skenario Kemp Powers ini (ia adaptasi dari naskah teater karyanya sendiri), Ali yang saat itu masih menggunakan nama Cassius Clay tidak menghabiskan malam besarnya dengan berpesta di tempat mewah. Melainkan duduk di dalam kamar hotel yang sederhana. Membicarakan soal perubahan besar yang perlu diambil untuk mengubah dunia 60an yang rasis itu menjadi lebih baik. Bersama tiga sahabatnya; Sam Cooke, Jim Brown, dan Malcolm.
Jika kalimat terakhir tersebut kurang berefek bagi kalian for some reasons – mungkin kalian masih terlalu muda untuk ngeh mereka-mereka tadi itu siapa, maka aku akan mengulanginya sekali lagi. Dengan lebih memperjelas tentunya. Cassius Clay alias Muhammad Ali adalah legenda tinju yang namanya bukan cuma gede di atas ring melainkan juga di layar televisi dan layar lebar. Jim Brown juga seorang atlet sukses, yang juga menjelma menjadi figur kenamaan di dunia olahraga futbol dan perfilman. Sam Cooke merupakan salah satu penyanyi terbesar di zaman itu. Dan ya, Malcolm adalah sosok luar biasa berpengaruh dalam gerakan Kulit Hitam, yang diabadikan oleh Spike Lee dalam film Malcolm X (1992). Empat karakter dalam film ini adalah empat tokoh yang larger than life. Prestasi dan gebrakan mereka punya catatan sejarah masing-masing. Pada zaman itu, mereka bukan semata punya penggemar atau pengikut. Melainkan itu membuktikan pengaruh mereka yang demikian besar. Mereka berjuang dengan cara, melalui keahlian, masing-masing untuk mengupayakan dunia yang lebih baik.
Skenario One Night in Miami mempertemukan keempat tokoh ini. Empat sahabat yang berkumpul dan berkelakar, hingga akhirnya mulai beradu argumen, dan saling mempengaruhi untuk kemajuan temannya. Dan sutradara Regina King memvisualkan segala kekompleksan dan emosi tersebut ke dalam tayangan yang mudah dicerna tanpa mengurangi bobot isu besar yang dieksplorasi. Isu yang masih relevan buat kita yang menontonnya di tahun 2021.

Influencer beneran adalah influencer yang ngumpul bukan untuk sekadar selfie dan party.

 
So yea, tantangan buat menghidupkan film ini enggak gampang. Apalagi buat sutradara debutan seperti Regina King. Bukan hanya King harus membuat adegan-adegan ngobrol tampil engaging, dia juga harus bisa memberi nyawa kepada setting dan terutama kepada empat tokoh legenda tersebut. Jangan sampai semuanya itu malah tampak sebagai parodi. Setelah menghabiskan nyaris dua jam durasi, kita akan bisa melihat bahwa pendekatan yang diambil oleh King berhasil dengan baik.
‘Antagonis’ di cerita ini sudah jelas, isu rasisme. Permasalahan kuat yang harus dihadapi oleh para karakter. Sehingga kini, break or make untuk film ini jelas tergantung dari cara King mempersembahkan karakter-karakter utamanya. King mengerti bahwa ia harus menguatkan emosi manusiawi supaya para tokoh itu beneran seperti karakter yang hidup. King juga paham konflik yang kompleks dari setiap mereka datang dari mana. Mereka adalah yang orang yang besar dari karir, tapi juga punya sesuatu yang ingin diperjuangkan atas kepentingan sosial bersama. Di menit-menit pertama, sebagai perkenalan, King menarik para karakter ke belakang. Kita diperlihatkan momen masing-masing mereka di luar sana, ketika karir maupun sosial mereka bertemu dengan berbagai bentuk ketimpangan warna kulit. Adegan pembuka paling menyentuh adalah bagian Jim Brown, yang berkunjung ke kediaman kerabat keluarga. Momen yang awalnya terasa hangat dan bersahabat itu seketika berubah menjadi dingin karena sang kerabat keluarga yang ramah itu ternyata tidak memperkenankannya masuk ke rumah atas alasan warna kulit.
Momen-momen awal yang seperti itu tadi sesungguhnya krusial. Karena film bisa-bisa bakal jadi seperti overdramatisasi saat memperlihatkan perlakuan timpang yang dialami oleh karakternya. King menghandle ini dengan membuat setiap karakter sedekat mungkin dengan tokoh aslinya. Referensinya tentu saja pada bacaan sejarah. Bagaimana tokoh itu bertindak. Apa hal yang ia suka. Film memasukkan banyak elemen asli ini untuk melandaskan rasa otentik tersebut. Seperti misalnya Cassius Clay yang punya pesona unik di atas ring. Sudah jadi rahasia umum kalo Muhammad Ali senang bertindak layaknya ‘heel’ di atas ring; suka belagu, beliau mencontoh gimmick gulat Gorgeous George yang ia anggap sangat menghibur bagi penonton. Film One Night in Miami bahkan memuat dialog soal kegemaran Clay nonton wrestling dan pengaruh Gorgeous George terhadap cara bertandingnya. Jadi film ini bukan hanya membayangkan diskusi dan dialog-dialog, tapi juga dibumbui oleh fakta-fakta dari para tokoh. Hasilnya dapat kita rasakan drama dalam film ini terasa hidup dan meyakinkan. Kita melihat mereka seperti Muhammad Ali beneran, Sam Cooke – Malcolm X – dan Jim Brown beneran. Bukan ‘beneran’ as in tampak seperti tokoh yang dimuliakan, melainkan benar-benar manusiawi oleh emosi, kebimbangan, passion, dan sering juga, amarah.
Menempatkan perdebatan mereka di dalam kamar merupakan tindak simbolik yang menunjukkan kepada kita bahwa keempat tokoh kulit hitam ini baru bisa bebas menjadi mereka, mengungkapkan isi kepala dan menumpahkan isi hati mereka, di tempat yang tertutup. Jauh dari mata-mata yang lain. Terpisah dari kehadiran kulit putih, kalo boleh dibilang. Kamera dengan luwes menangkap momen-momen. Yang juga menunjukkan arahan sutradara tidak demikian terbata ketika berpindah dari suasana di luar dengan saat di dalam. Permainan akting pun tak kalah luwesnya. Eli Goree berhasil mengenai sikap bahkan aksen dari Cassius Clay. Aldis Hodge bicara banyak lewat ekspresi Jim Brown yang memang lebih banyak diam, menimbang konflik dan pilihannya di dalam hati. Bagiku, adu-akting yang paling memorable adalah antara Leslie Odom Jr. dengan Kingsley Ben-Adir ketika Sam Cooke dan Malcolm terlibat debat. Adegan sungguh membuncah; baik emosi maupun pikiran. Jadi, Malcolm-lah yang membujuk mereka semua untuk berada di kamar itu. Malcolm ingin mereka untuk berbuat lebih banyak, untuk menggunakan influence mereka yang besar sebagai memvokalkan perjuangan kulit hitam. Nah, Malcolm dan Cooke debat seru saat Malcolm mempertanyakan musik Cooke – kenapa malah Bob Dylan yang kulit putih yang duluan menyuarakan kaum kulit hitam. Debat mereka ini sangat menarik bukan hanya dari akting, melainkan terutama dari argumen yang dilontarkan masing-masing. Nonton bagian ngobrol ini akan sama serunya dengan ngeliat adegan Cassius Clay tanding tinju di atas ring.
Satu lagi yang menarik dilakukan oleh film ini adalah soal agama. Poin vokal Malcolm di sini adalah mengajak ketiga sahabatnya masuk ‘Nation of Islam’. Kita lihat Cassius Clay belajar sholat. Kita melihat dia juga tampak bimbang; sekilas boleh jadi dia tampak bakal merindukan minum alkohol, tapi berkat penceritaan film ini kita tahu sebenarnya kebimbangan Clay bukan kepada agama dan aturannya itu tetapi lebih kepada motivasi sang sahabat. Dan secara garis besar, ini menunjukkan bagaimana film menangani elemen agama. Malcolm yang membujuk tidak pernah tampak seperti ngasih dakwah, melainkan lewat persuasi yang mengena langsung ke sisi manusiawi para sahabat.
Film ini bisa ngajarin kita cara yang baik menegor sahabat

 
 
Cassius, Cooke, Brown, dan Malcolm — mereka adalah aktivis, selain juga sebagai katakanlah selebriti. Beginilah influencer sejati. Film ini nunjukin masa saat influencer itu kerjaannya benar-benar berjuang mempengaruhi orang untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Bukan semata untuk dapat endorsement dan tinggi-tinggian follower. Dalam film ini kita akan melihat bagaimana Malcolm berusaha menyadarkan teman-temannya akan ‘power’ yang mereka miliki dengan punya banyak penggemar dan pengaruh sebesar itu. Menurutku, di samping soal isu rasisme yang memang sangat disayangkan masih diperjuangkan hingga sekarang, the biggest take away yang bisa kita peroleh dari film ini adalah soal menyadari impact yang bisa kita punya tersebut. Kita sekarang hidup di masa yang semua orang bisa jadi influencer yang punya pengikut berjuta-juta. Namun rasisme masih ada. Ketimpangan masih banyak. Either kita tidak menyadari impact yang bisa kita buat, atau we simply doing it wrong. Bujukan Malcolm kepada sahabat-sahabatnya di film ini bisa kita jadikan sebagai pembuka mata.

Film ini bicara tentang realizing impact yang bisa kita punya, dengan berani berubah demi itu. Dan sepertinya memang inilah yang susah. Nelson Mandela bilang kita tidak akan bisa berpengaruh besar terhadap sosial jika diri kita sendiri belum berani untuk berubah. Dan betapa benarnya itu semua, karena dalam film ini kita akan melihat perubahan pribadi itulah yang jadi penyelesaian cerita. Cassius yang akhirnya berani dan yakin masuk Islam – dia mengganti namanya. Cooke yang akhirnya berani membuat lagu-lagu yang berbobot. Bahkan perubahan ‘sekecil’ Jim Brown yang akhirnya berani berhenti sebagai atlet dan mengejar karir lain, pada akhirnya jadi titik balik signifikan dalam perjuangan masing-masing.

 
Harusnya, dengan pesan seperti ini, film berakhir dengan impact yang powerful. Tapi tidak terasa begitu. Jika kita bandingkan dengan Ma Rainey’s Black Bottom (2021); film yang juga diangkat dari teater play, film yang juga banyak ngobrol, film yang juga dari tokoh beneran, One Night in Miami ini terasa jinak. Imajinasinya bermain aman. Tidak ada aspek seperti ‘pintu yang tak bisa dibuka’ yang jadi gempuran dan klimaks buat konflik karakter dalam One Night in Miami. Seperti kurang nonjok. Film ini menutup diri dengan montase kejadian asli yang menimpa karakternya – terkait pilihan mereka. Tapi tidak terasa impactful karena malah hanya tampak seperti eksposisi – karena kita udah tahu mereka yang tokoh beneran ini bakal gimana. Kalo dilihat dari materi atau penulisan, film memang punya dialog-dialog yang menantang pikiran. Sehingga kurang nonjoknya ini sesungguhnya berasal dari masalah pacing. Building ke momen-momen-nya yang bisa diperbaiki lagi. Misalnya, momen Cassius menerima dan ikhlas mau ngumumin masuk Islam; dalam film ini terasa agak terlalu cepat – padahal tadinya mereka baru saja berargumen soal itu. Momen kayak gini yang mestinya bisa diperhatikan lagi build up dan temponya. Kreasi mengadaptasi juga bisa lebih ‘diberanikan’ lagi.
 
 
 
 
Membahas empat karakter sekaligus tampaknya memang sedikit terlalu banyak untuk proyek pertama penyutradaan. Tapi selain itu, film ini berhasil membangun sebuah skenario fiksi menjadi sesuatu yang kompleks dan tetap jujur dan menghargai sejarah di baliknya. Kekuatannya ada pada hubungan keempat tokoh, yang berhasil digambarkan sebagai sosok yang manusiawiFilm berhasil keluar dari jebakan parodi. Sehingga yang kita dapatkan adalah kisah persahabatan yang seperti real dan membuka banyak ruang untuk diperbincangkan. Bagi sutradaranya sendiri, film ini membuka ruang untuk banyak improvement untuk ke depannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ONE NIGHT IN MIAMI
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika boleh berandai, siapa empat orang tokoh atau aktivis atau influencer Indonesia yang akan kalian tempatkan di satu ruang untuk berdebat demi kemajuan Indonesia? Dan berdebat soal apa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ASIH 2 Review

 

“A real parent is someone who puts their kids above their own selfish wants and needs.”

Cerita Asih 2 menyorot keluarga pasangan dokter Sylvia dan suaminya yang pembuat komik/cerita bergambar. Sylvia yang kehilangan putri cilik mereka yang meninggal dunia empat tahun yang lalu, merasakan emotional attachment kepada seorang gadis kecil misterius yang jadi pasiennya di rumah sakit. Anak itu tertabrak mobil di tengah hutan. Tak ada keluarga yang menjemput. Tak ada siapapun yang tahu siapa orangtua ataupun dari mana asal si anak ini. Maka Sylvia pun membawanya pulang, mengadopsi anak itu. Memberinya nama Ana. Such a close call, sebab Ana ternyata adalah anak pasangan pada film Asih pertama (2018). Tujuh tahun ini, Ana hidup dibesarkan oleh hantu mirip kuntil-ana-k bernama Asih. Tindakan Sylvia mengambil Ana dari dekapan Asih, jelas tindakan yang mengundang malapetaka bagi dirinya dan keluarga.

Jadi, ini adalah konflik antara dua orang perempuan, dua orang ibu yang ingin melindungi anaknya. Sylvia yang bertanggungjawab menyembuhkan Ana, dan Asih yang actually benar-benar merawat Ana sedari bayi. Menariknya adalah bahwa tidak satupun dari mereka berdua yang ibu kandung dari Ana. Bahwa mereka berdua justru adalah ibu yang melihat Ana sebagai kesempatan kedua; kesempatan untuk menebus kesalahannya pada anak kandungnya. Bedanya cuma Sylvia manusia, dan Asih hantu. Tindakan Asih akan naturally lebih mengerikan daripada perbuatan Sylvia. Padahal inilah sebenarnya kontras yang menarik yang ada pada film. Seperti ada komentar mengenai makna sebenarnya dari menjadi orangtua bagi seseorang. Apa yang membuat kita pantas dipanggil ‘ibu’. Penggalian gagasan tersebut bisa membawa film ke level dramatis, ke cerita yang manusiawi sekaligus menginspirasi dan empowering – khususnya karena film ini tayang berdekatan dengan Hari Ibu.

Seorang Ibu tak pelak memang adalah orang yang telah melahirkan anak. Namun melahirkan, atau simply mengadopsi anak tidak serta merta membuat kita pantas disebut sebagai orangtua yang baik. Karena orangtua berarti adalah harus mampu mementingkan anak di atas kepentingan sendiri. Bukan saja harus mampu mengasuh dengan penuh kasih, tapi juga mampu bertindak yang terbaik bagi anak, walaupun itu berarti harus mengikhlaskan mereka.

Namun, sutradara Rizal Mantovani tidak melihat ceritanya seperti itu. Film tidak difokuskannya ke sana. Atau tepatnya, film diarahkannya berjalan lewat aspek yang paling konyol dan paling dangkal, untuk kemudian menjadikan bahasan soal ibu tadi hanya sebagai konklusi yang ditampilkan ujug-ujug di akhir.

Siapa sih yang gak mau jadi anak dokter?

Jika Christopher Landon punya konsep membangun narasi horor dari komedi jadul, maka para filmmaker horor di Indonesia gak mau kalah. Mereka bikin horor dari lagu anak-anak jaman dulu! Mulai dari lagu Boneka Abdi, hingga lagu sepolos ngajak orang naik Kereta Api pun sudah ada film horornya. Tren yang menarik, tapi kasihan juga sih anak-anak Indonesia. Lagu untuk mereka udah punah, udah gak ada yang bikin lagi, eh lagu jadulnya pun diubah jadi materi horor kacangan. Tapinya lagi, memang beberapa lagu anak itu serem kok. Contohnya ya Indung-Indung yang jadi (un)official soundtrack sekaligus plot device dalam Asih 2 ini.
Well, at least, seram buatku waktu kecil.

Waktu kecil, sekitaran umur 6-7 tahun, aku takut banget sama lagu ini. Kalian pasti tau dong lirik lagu Indung-Indung itu ada kelanjutannya (gak kayak karakter-karakter dalam film ini yang nyanyiinnya muter-muter di situ melulu). Soal perempuan bernama Siti Aisyah yang mandi di kali rambutnya basah. Nah, dulu waktu kecil kalo di rumah nenek, aku selalu ditidursiangkan ortu di kamar Om. Seluruh tembok kamar itu dicat oleh beliau sendiri, digambarin aneka rupa. Mulai dari tokoh kartun Donal Bebek hingga tokoh zodiak. Salah satu gambarnya itu berupa perempuan yang mengenakan handuk merah, dengan rambut yang seperti…basah!! Satu kali, pas lagi dininaboboin pake lagu Indung-Indung, mataku natap si gambar cewek itu. Dan aku mimpi buruk si cewek itu hidup, dia lah Siti Aisyah dalam lagu, dan rambutnya basah ternyata oleh darah sampe ke anduk!!! Sejak saat itu aku trauma sama lagu Indung-Indung.
Sehingga nonton Asih 2 di kala bioskop sepi masih pandemi benar-benar pengalaman menantang buatku. Aku bisa ngerasain keseraman masa kecil itu menguar setiap kali lagu tersebut muncul di film. Dan buatku yang punya kisah personal, hanya lagu itu sajalah yang jadi titik kedekatan dalam film ini. Selebihnya film ini sama sekali enggak menakutkan. Tokoh hantunya, si Asih; aku malah berempati dan kasihan padanya. Aku justru rooting for her. Itu karena memang Cerita Asih 2 punya potensi drama horor untuk digali. Film ini bisa jauh lebih bagus daripada sodara-sodaranya di Danur Universe JIKASAJA pembuatnya enggak obses ke lagu yang cuma serem untuk dipake nakutin anak kecil.

Alih-alih fokus kepada penggalian drama dan trauma orangtua yang bergulat dengan kematian anak mereka – lewat sudut pandang perempuan yang mengadopsi, film malah menitikberatkan kepada misteri asal muasal dan lirik lagu. Adegan seram di Asih 2 sebagian besar berupa seseorang mendengar lantunan lirih “Indung indung kepala lindung” dan kemudian mereka melihat sosok mengerikan somewhere di latar belakang.

Pernah gak ngalamin kejadian mendengar satu lagu, lalu kemudian lagu tersebut mendadak muncul di mana-mana; ke mana pergi, ada lagunya. Kurang lebih kayak gitulah film ini; mendadak semua tokoh dalam cerita nyanyiin dan ketemu sama lagu ini. Film kemudian lanjut mempersoalkan itu lagu apa. Ada misteri yang kuncinya ada pada lagu tersebut. Film mengerahkan semua kepada lagu ini. Bahkan bonding ibu dan anak dilakukan dengan memperlihatkan Sylvia belajar nyanyiin lagu tersebut karena lagu itu merupakan lagu favorit Ana. Yang paling konyol adalah adegan ‘fight’ Sylvia dengan Asih. Mereka rebutan Ana “Ini anakku!” pake tarik-tarikan, daaann mereka lantas ‘lomba nyanyi’. Gantian nyanyiin Indung Indung demi menarik perhatian dan kasih sayang Ana.
Kasihan sekali melihat Marsha Timothy dan Ario Bayu yang jadi pasangan suami istri di film ini. Mereka adalah aktor yang pernah mengantongi piala penghargaan. Aktor yang mumpuni, dengan range drama yang luas. Dan cerita film ini actually terbuka untuk ruang drama tersebut. Sebagai suami istri yang pengen punya anak lagi, move on dari trauma-lah yang harusnya digali dalam film ini. Bikin mereka benar-benar butuh Ana. Buat kita yakin mereka beneran peduli sama anak sebagai person, bukan sebagai penebus dosa. Hanya ada satu adegan yang mengarah ke pembahasan ini, padahal narasi harusnya dibangun di sekitar persoalan ini. Bukannya malah memfokuskan kepada ‘lagu seram’. Akibatnya drama dan karakter itu gak kena. Kita gak ngerasa apa-apa, kita gak ngerasain urgensi Sylvia harus dapatin Ana. Atau bahkan kita gak sedih ketika Ana hilang dari Sylvia. Karena film gagal melandaskan kepentingan Ana secara nyata dan emosional buat Sylvia dan suaminya. Kita gak melihat mereka ‘rugi’ apapun jika Asih mengambil Ana. Karena memang si Asih toh did a pretty great job gedein Ana. Anak itu sehat, dia celaka karena ditabrak mobil di hutan. Mobil. Di hutan. Come on! itu odd-nya kecil banget hahaha… Dan di luar kebiasannya saat makan yang aneh, anak itu toh gak tumbuh jadi psikopat. Dalam pandangan kita, film malah seperti memperlihatkan Sylvia-lah yang menculik Ana dari Asih.

“Lu ambil anak gue! Lu ambil lagu gue!!”

 

Shareefa Daanish sekali lagi hanya dipakai untuk jadi hantu yang teriak-teriak ngejumpscare orang. Padahal potensi drama dan permainan karakter bisa ia lakukan di sini. Too bad pembuat film cuek dengan ini. Justru Asih-lah di sini yang cocok sebagai protagonis. Dialah yang kehilangan sesuatu – meskipun awalnya juga curian. Dialah yang pada akhirnya berbesar hati. Yang menunjukkan bahwa Asih-lah yang mengalami perkembangan karakter – yang actually punya plot dalam cerita ini. Cerita bahkan menyimpan satu kejutan menarik lagi berupa kehadiran seseorang dari masa lalu Asih; orang yang mengenal Asih saat masih seorang manusia. Jika memang begitu, toh kerja film sangat buruk dalam memperlihatkan Asih sebagai tokoh utama. Karena porsi paling gede ya ada pada Sylvia dan keluarga. Sylvia, yang tak ngalamin perkembangan apa-apa. Yang gak ada stake. Yang bahkan tidak membuktikan kepada kita dia bisa jadi orangtua yang baik; karena yang film perlihatkan hanyalah dia yang selalu pulang malam hanya dekat dengan Ana saat mandi dan saat belajar lagu.

Dan si Ana itu sendiri… Memanglah, film horor Indonesia hanya melihat anak kecil sebagai objek. Setelah lagu mereka diambil jadi materi horor, tokoh yang mewakili mereka pun di sini hanya jadi objek rebutan. Ana dihidupkan sebagai trope ‘anak setan’, alias anak berkelakuan aneh yang suka ngobrol sama sesuatu yang tak terlihat. Film ini tak memberikan Ana kesempatan untuk bersuara, untuk punya pendapat dan pandangan sendiri. Literally, Ana ditulis sebagai karakter yang gak bisa bicara. For no reasons at all, kecuali ya dengan alasan untuk memudahkan penulis naskah bermalas-malasan. Ana yang tak bisa bicara berarti tidak perlu digali sudut pandang dan sisi dramatisnya. Ana hanya dijadikan jalan keluar ala deus ex machina saja. Di akhir tiba-tiba dia sadar dan ngasih pandangan ke ibunya. Karakter Ana yang dibikin seperti inilah yang menjadi penanda keras betapa film ini males dan memang menghindari penggalian karakter. Arahannya dibuat khusus untuk memfasilitasi jumpscare-jumpscarean saja. Menyia-nyiakan potensi karakter yang ada.




Kalo ada yang nanya film apa yang bisa narik penonton ke bioskop, dalam situasi pandemi kayak sekarang ini, maka aku percaya jawabannya adalah film horor. Dan film ini, aku juga sama yakinnya, mampu untuk melakukan hal tersebut. Karena memang didesain untuk memfasilitasi ‘hiburan’ netijen. Penuh jumpscare, ada yang kesurupan, dan flashback backstory. Peningkatannya sedikit di visual kemunculan penampakan, seru juga melihat hantu yang perlahan nampak dari transparan ke memadat. Dengan durasi yang lebih panjang tiga-puluh menit dari film pertamanya, kupikir film ini bakal lebih berisi. Cerita dan karakter penyusunnya akan benar-benar memiliki sesuatu. Tidak dangkal seperti film pertama. Tapi ternyata film ini tidak tertarik menggarap semua itu. Melainkan hanya berkutat pada menghantu-hantukan lagu. Sehingga akhirnya ya jadi sama saja dangkalnya. Such a waste potential.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH 2.




That’s all we have for now.
Apakah kalian juga punya pengalaman seram dengan lagu anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



REBECCA Review

“The shadow of someone’s greatness is not a good place to dwell.”
 

 
 
Sudah 2020 akhir, dan sampe sekarang aku masih belum benar-benar paham tujuan orang ngeremake atau ngereborn sesuatu, selain karena soal duit. Tapi tampaknya memang begitu; hanya untuk mendulang untung semata. Makanya yang dibuat ulang itu selalu merupakan hal-hal yang populer. Atas nama nostalgia. Sesuatu yang sudah bagus, perfectly fine, juga sering banget dibikin lagi versi barunya. Alasannya tentu saja untuk diremajakan, disesuaikan dengan keadaan modern, sebagai upaya pelestarian. Alasan tersebut sebenarnya masuk akal kalo memang dibarengi oleh usaha yang benar-benar kelihatan. Namun kebanyakan ya setengah-setengah. Memaksa narasi masuk ke dalam sebuah catatan zaman yang sebenarnya memang susah untuk diubah. Tengok aja adaptasi live-action Disney yang gagal dengan gemilang karena menjejalkan agenda-agenda sosial yang baru, tanpa diiringi dengan proses adaptasi yang lebih matang. Atau gimana horor seperti Pengabdi Setan atau Ratu Ilmu Hitam yang menanggalkan identitas lokal hanya untuk sebentuk gagasan progresif (ustad gak selamanya menang lawan hantu!) tanpa menawarkan solusi baru.
Jadi, yaa, aku heran aja sama remake; kenapa yang dibuat ulang itu bukan film atau cerita yang berpotensi tapi gagal untuk konek. Istilahnya, kenapa bukan film-film jelek yang diremake supaya bisa diubah menjadi lebih bagus. Lebih prestasi kan kalo gitu, like, ‘Gue dong bisa bikin film jelek jadi bagus!’ daripada malah dikenal membuat film yang gagal live up ke keberhasilan film versi jadul. Bukankah berkarya bisa lebih luwes jika tidak ada bayang-bayang gede yang memayungi. Perihal Rebecca versi Netflix ini juga; aku paham sutradara Ben Wheatley bilang karyanya ini merupakan adaptasi terbaru dari novel sumber ceritanya. Dan aku juga paham bahwa sudah ada banyak sebelum ini yang menjadikan cerita Rebecca sebagai inspirasi – sudah banyak ‘adaptasi’ bebas dari cerita ini. Namun tetep saja, film ini tidak bisa lepas – tidak bisa untuk tidak kita bandingkan – dengan bayang-bayang gede yang sudah diciptakan oleh Rebecca versi 1940an. Dan ini ironi. Sebab film yang terjebak di bawah bayang-bayang film sebelumnya ini jadi persis sama seperti ceritanya sendiri.
Rebecca adalah cerita tentang seorang wanita muda, yatim piatu, yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya. Tentu saja tadinya wanita ini tak pernah bermimpi bisa jadi nyonya di rumah besar itu. Pertemuan mereka kasual saja. Di Monte Carlo saat si wanita masih menjadi asisten pribadi seorang wanita terpandang. Dia bahkan belum tahu kalo Maxim de Winter yang lebih tua itu sebenarnya siapa. Barulah ketika bosnya mengajak ke New York, wanita ini resah. Dia tidak siap berpisah dengan Maxim yang sudah beberapa waktu ini terus bersamanya. Maxim juga begitu. Tak ingin berpisah, pria itu lantas langsung ngajak nikah! Si wanita diboyong ke rumahnya, Manor Manderley. Tapi kebahagian hidup baru si wanita ini bukan tanpa beban. Karena ternyata Maxim adalah duda. Dan hantu Rebecca, mantan istrinya, masih ada di rumah besar tersebut. Menghuni setiap sudut rumah. Hidup di dalam kenangan dan cerita para pelayan. Hidup, di dalam kepala wanita muda yang malang.

The Haunting of Manderley Manor

 
Jika Mrs. de Winter yang baru tersebut hidup dalam bayang-bayang Rebecca, maka film Rebecca versi Netflix ini dibayangi oleh Alfred Hitchcock; sebagai sutradara film versi jadul. Dan bayang-bayang itu tak pelak adalah bayang-bayang yang besar, lantaran Hitchcock merupakan master dari horor dan suspens. Dalam kemudinya, Rebecca mencuat sebagai roman dengan nuansa psikologikal misteri yang mencekam. Rebecca Hitchcock yang hitam putih hadir mempesona sekaligus daunting berkat teknik storytelling. Sedangkan Rebecca baru ini cantik karena lebih vibrant oleh warna dan terasa punya nada berbeda yang berakar dari karakterisasi yang memang ditulis sedikit berlainan dengan materi aslinya.
Hal tersebut actually adalah peningkatan yang berhasil dilakukan oleh film ini. Ketika di film yang lama, perspektif ceritanya seperti berpindah karena si wanita muda ini lebih pasif dan tidak memikul banyak aksi, maka Rebecca baru ini memposisikan Mrs. de Winter itu lebih kuat sebagai tokoh utama. Ini bagian dari agenda progresif yang disematkan kepada film ini. Bahwa zaman sekarang wanita haruslah kuat, capable dalam memutuskan dan beraksi sendiri. Wanita Muda memang jadi lebih menonjol, pada babak ketiga arcnya terasa lebih dramatis. Kita tak pernah lepas darinya. Tokoh ini lebih solid sebagai tokoh utama dibandingkan dirinya versi jaman dahulu. Tapi juga, perubahan karakter ini menjadi akar utama masalah yang hadir dalam keseluruhan tone dan presentasi film ini.
Lily James yang memerankannya cantik, no doubt. But Joan Fontaine, pemeran versi 1940, was just on another level. Kecantikan Wanita versi Joan bersumber dari betapa lugu, inosen, dan nervousnya dia. Kunci dari suksesnya suspens psikologis cerita ini adalah rasa percaya kita terhadap si Wanita Muda bahwa ia adalah seorang yang fragile. Secara emosional dan fisik dia merasa inferior dibandingkan banyak orang lain. Apalagi terhadap Rebecca yang eksistensinya masih terasa di Manderley. Itu inti ceritanya. Si Wanita merasa kecil, dia membandingkan dirinya sendiri dengan Rebecca – yang sosoknya ia bangun sendiri dari cerita-cerita para pelayan – dia menciptakan sosok yang ia merasa iri sendiri kepadanya. Lily James yang memerankan Wanita Muda dengan karakterisasi kekinian tidak pernah tampak serapuh ini. Tokohnya dituliskan tetep sebagai orang yang polos dan inosen, tapi juga lebih pede, lebih tangguh. Bahkan secara emosional tampak lebih dewasa, menyamai Maxim yang harusnya jauh lebih matang dan kokoh. Sehingga feel dan tensi psikologis yang menderanya tidak utuh tersampaikan kepada kita. Menjadikan keseluruhan film terasa lebih datar karena nada yang diniatkan untuk tidak dapat tercapai, karena terinterferensi oleh karakter yang dibuat kuat sekarang.

Terlalu keras berusaha menjadi seperti seseorang, berusaha untuk menggantikan mereka di mata orang lain, hanya akan membuat kita layaknya bayangan hampa dari sosok mereka. Wanita Muda itu harus belajar untuk tidak tenggelam ke dalam rasa iri ataupun rasa khawatirnya terhadap apakah Rebecca lebih cantik, lebih pintar, atau lebih penyayang ketimbang dirinya. Tidak seorangpun mesti membandingkan diri dengan orang lain seperti itu. Kita seharusnya menciptakan bayang-bayang kita sendiri.

 
Karakter yang kuat ini juga membuat para pendukung tidak lagi begitu mengintimidasi. Salah satu faktor penting yang membuat Wanita Muda begitu keras membully dirinya sendiri adalah karena ia percaya setiap pelayan – terutama Kepala Housekeeper – membenci dirinya yang berusaha menggantikan posisi Rebecca. Si Mrs. Danvers itu memang bertingkah paling dingin, tapi ketika dipadukan dengan Wanita Muda versi Lily James, dinamika menekan-dan-tertekan itu tidak terasa. Aku bukannya mau bilang Wanita Muda harusnya tetap dibuat lemah, ataupun karakter itu tidak boleh kuat. Melainkan, harusnya ada usaha lain dari sutradara untuk mengakomodir karakter yang secara natural telah dibuat kuat ini. Singkatnya, ini kembali kepada kemampuan sutradara. Hitchcock membangun suspens dengan gerakan/permainan kamera. Setiap interaksi tokoh utama dengan pelayan atau penghuni rumah selalu diakhiri dengan kesan Si Wanita merasa dirinya menjadi semakin kecil. Yang dicapai simply dengan menjauhkan kamera dari si Wanita, atau mendekatkan kamera ke lawan bicaranya. Rebecca yang baru tidak punya ‘permainan’ seperti demikian.

Penekanan di babak ketiga saat si Wanita kemungkinan harus membela seorang pembunuh juga tidak lagi terasa

 
 
Tidak ada close-ups cantik, saat kamera lingering wajah satu tokoh yang memikirkan gejolak yang melandanya. Rebecca yang baru berserah kepada permainan dan teknologi visual untuk meng-elaborate maksud. Namun tidak konstan berhasil menghasilkan kesan surreal atau disturbing. Film ini menggunakan adegan-adegan mimpi – berjalan di lorong sepi lalu ada sulur-sulur tanaman yang menarik diri ke lantai, sementara film yang lama cukup memperlihatkan tokoh yang tidur dalam keadaan gelisah. Bergerak-gerak resah di atas ranjang. Membuat imajinasi kita terbang mengenai mimpi semengerikan apa yang ia lihat, perasaan segundah apa yang menggerogoti pikirannya.
Yang paling membedakan buatku – yang paling menentukan keberhasilan film ini dalam menafsirkan cerita aslinya buatku – adalah poin soal tokoh Rebecca itu sendiri. Ini krusial karena berkaitan dengan tokoh utama, dan aku yakin merupakan konsep paling utama yang harus dibangun oleh siapapun, media apapun yang bakal menceritakan ulang. Sosok Rebecca. Sosok itu haruslah tidak pernah terlihat. Karena dialah yang dikontraskan dengan si Wanita Muda. Tokoh utama kita tidak pernah disebutkan namanya, but she’s there. Nama Rebecca terus bergaung meskipun dia sudah tidak ada di dunia. Dinamika kontras ini harus dijaga oleh si pencerita karena bagian dari keresahan si tokoh utama. Membuatnya merasa eksistensinya semakin kecil, kalah sama orang yang tinggal nama. Menghadirkan sosok Rebecca, meskipun hanya dari belakang dan di dalam kepala tokoh, membuyarkan bangunan kontras ini. Karena bagaimanapun juga bagi kita yang melihat, ya tokoh itu jadi ada. Dinamika itu tidak utuh lagi. Dan ini actually dilanggar oleh film Rebecca yang baru. Sehingga bagiku yang timbul kesan si pembuat belum mengerti benar, atau mungkin lupa, terhadap apa sih sebenarnya kekuatan dari cerita ini.
 
 
 
Bayang-bayang yang menaunginya sangatlah besar, film ini tidak bisa untuk tidak dibandingkan dengan pendahulunya. Ada banyak perbedaan antara kedua film tersebut, tapi yang paling terasa adalah perbedaan arahannya. Absennya suspens ala Hithcock. Bagaimana dengan penonton yang belum pernah menonton versi jadul? Tidak akan berpengaruh banyak. Karena meskipun kita bisa mengapresiasi alur yang lebih nutup, tokoh utama yang lebih kuat, romance yang lebih hangat, dan vibrant yang lebih berwarna, film ini hampa dari segi misteri. Dan mengingat misteri tersebut krusial untuk penyampaian emosinya, maka film ini pun tidak berhasil menghantarkan emosi yang kuat. Seperti menyaksikan misteri terungkap di depan mata kita, begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for REBECCA

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian terhadap karakter Rebecca di film ini – apakah dia seorang wanita yang kuat? Mengapa dia bisa begitu berpengaruh terhadap penghuni Manderley?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BOOKS OF BLOOD Review

“We wrote our names in blood”
 

 
 
Halloween tanpa antologi horor bagaikan sup tanpa garam, bola mata kodok, dan daging manusia hihihi.. Tiga cerita yang dapat kita baca dalam horor antologi Books of Blood; Tentang remaja perempuan dengan pendengaran super-sensitif yang kabur dari rumah – dikejar oleh perbuatannya di masa lalu, tentang seorang akademisi perempuan yang memperoleh kesuksesan finansial dan romansa setelah bertemu dengan cenayang yang menghubungkan dirinya dengan anaknya yang telah tiada, dan tentang dua orang kriminal yang memburu keberadaan buku paling mengerikan di dunia. Semuanya diikat oleh satu tema yang sama. Mengenai pilihan yang kita pilih seringkali bukanlah yang terbaik untuk kita, sehingga tanpa sadar kita sudah menulis cerita mengerikan. Sebuah horor dalam kehidupan sendiri.
Keberadaan Books of Blood ini sendiri menarik untuk beberapa alasan. Ia merupakan adaptasi dari seri buku horor karangan Clive Barker, salah seorang sosok yang bisa dibilang turut merevolusi genre horor. Di antara horornya yang berkesan adalah buatku – aku baru menontonnya saat halloween tahun lalu – adalah Hellraiser (1987); horor sadomasokis perihal ‘candu’ insan manusia. Film tersebut sangat mengena, menggunakan prostetik dan efek praktikal sehingga tampak ‘menjijikkan’. Kata sifat yang tepat sekali digunakan dalam perlambangan horor jika kita sedang membahas nafsu dan keinginan manusia. Untuk Books of Blood sendiri, sebenarnya materi aslinya berdasarkan pada enam volume buku. Aku belum membaca semua, tapi setidaknya aku sudah tahu apa yang bisa diharapkan. Cerita tentang manusia yang menemui horor saat berjuang mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan begitulah aku; aku melihat ada nama Britt Robertson main di film ini, maka aku bergegas menontonnya. Namun apa yang kusaksikan justru horor mengerikan yang sama sekali enggak ada hubungannya dengan cerita hantu yang seharusnya disajikan oleh film.

Ngeliat posternya, kirain film ini berjudul Face Book

 
When it comes to an anthology movies, maka cerita-ceritanya itu haruslah antara saling berkaitan penuh satu sama lain, atau berbeda-beda dengan satu detil kunci yang mengikat, entah itu seting tempat, tema, atau satu tokoh saja. Hanya supaya film itu tidak berubah menjadi gabungan film pendek saja. ‘Ikatan’nya ini gak harus dipaksakan. Melainkan mengalir. Para tokoh cerita tidak mesti harus bertemu pada satu titik di dalam cerita. Biarkan saja penonton yang menghubungkan cerita demi cerita. Books of Blood yang ditulis dan diarahkan oleh Brannon Braga justru tampak tidak sepenuhnya enjoy dalam bercerita. Film ini seperti terlampau bersusah payah untuk menghubungkan ketiga ceritanya. Braga seperti mengincar untuk membuat kita terkesima melihat gambaran-besar yang utuh setelah tiga kepingan cerita itu disatukan, sehingga ia lupa kepingan-kepingan kecil itu perlu untuk dikembangkan terlebih dahulu.

Kita menulis cerita kita dengan darah. Terdengar ekstrim, namun memang ada benarnya juga. Karena perjuangan hidup selalu tidak gampang. Akan ada yang dipertaruhkan. Akan ada kehilangan. Akan ada penyesalan. Maka dari itu sebabnya kita suka dengan cerita horor, karena nun jauh di dalam sana kita semua tahu bahwa cerita horor adalah cerita kita.

 
Kisah-kisah yang terangkum dalam film ini bukannya buruk. Walaupun dari tiga hanya satu yang benar-benar menyadur dari cerita Clive Barker, tetapi pada masing-masingnya masih dapat ditemui napas tema yang serupa dengan yang diusung oleh pengarang cerita. Horor yang kita temui tetap seputar manusia menempuh jalan mengerikan demi mencari apa yang mereka inginkan. Cerita yang paling Barker adalah cerita tentang wanita akademisi. Bagian cerita yang ini bertindak sebagai origin dari Buku Darah itu sendiri. Pada cerita ini pun elemen-elemen horor dewasa yang jadi ciri khas Barker (setidaknya dari yang kubandingkan dengan Hellraiser) masih tampak kuat. Relasi antarkarakter terbangun dengan paling lumayan. Wanita dan si cenayang yang ia pekerjakan jadi sentral, dan film mengeksplorasi hubungan mereka secukupnya. Yang sedikit mengecewakan dari cerita ini adalah visual hantu-hantunya. Books of Blood menggunakan efek komputer alih-alih praktikal, sehingga hantu-hantu di sini tampil kurang menakutkan. Ini disayangkan karena adegan puncak di cerita ini sebenarnya punya konteks yang sangat mengerikan. Kelahiran Buku Darah tersebut benar-benar akan jadi kejutan bagi yang belum familiar dengan cerita. Dan ini jadi salah satu kelebihan film; mereka berhasil membangun ekspektasi penonton terhadap ‘buku yang seperti apa’, untuk kemudian memberikan revealing yang bisa dibilang out-of-nowhere.
Cerita yang dijadikan tubuh utama oleh film ini, however, adalah cerita tentang tokohnya si Britt Robertson. Dan kubilang, ini boleh jadi keputusan yang tepat. Karena ceritanya yang paling down-to-earth, serta menarik sebab selain visual, cerita ini juga meletakkan horor pada suara. Jenna, nama tokohnya, paling gak tahan dengan suara orang ngunyah, maka kita pun turut diperdengarkan efek-efek suara mulai dari annoying hingga creepy. Di ceritalah aku mulai berpikir bahwa sebaiknya cerita-cerita dalam film ini dipisah aja. Bahwa mungkin mereka lebih baik jika berakhir sebagai film sendiri-sendiri. Cerita Jenna punya banyak hal menarik untuk dieksplorasi – horornya seperti hibrid antara ‘rumah hantu’ dan ‘psikopat gila’ dan ‘thriller psikologis yang hanya ada di kepala protagonis’ – tapi jadi tidak bisa berkembang optimal karena harus berbagi durasi, dan lore dunia, dengan dua cerita lain. Cerita Jenna adalah yang paling sedikit sangkut pautnya dengan Book of Blood, sehingga bikin kita heran, kenapa ada cerita ini di sini. Tidak bisakah pembuatnya memikirkan cerita relatable lain yang lebih dekat dengan Book of Blood itu sendiri. Karena penggaliannya gak bebas, akibatnya cerita ini jadi paling repetitif. Mendapat porsi paling besar namun penggalian horor yang itu-itu melulu. Kondisi Jenna tidak dimainkan banyak sebagai penggerak alur, mentok sebagai karakter trait saja. Hubungan antarkarakternya standar karena cerita bagian ini mementingkan twist. Setidaknya ada dua twist yang dihadirkan pada cerita ini. Tiga, jika dihitung dengan resolusi yang dipilih Jenna di akhir cerita.

Aku setuju suara makan yang ‘copak-copak’ adalah suara paling menjijikkan dunia-akhirat

 
Yang paling lemah adalah cerita tentang dua kriminal. Tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai untuk bisa dikatakan sebuah cerita dalam film. Horornya pun terbilang sangat sederhana. Karakter-karakternya tidak digali, tidak menarik, dan menempatkan posisi cerita ini sebagai pembuka dan sebagai penghantar ke big-reveal jelas mematikan momentum yang dimiliki oleh film. Karena kisahnya membosankan. Kita langsung turn off dan gak peduli lagi. I mean, siapa coba yang penarasan apakah para kriminal yang bunuhin orang itu akan berhasil mendapatkan Buku. Film yang menantang akan membahas sedalam-dalamnya tokoh, dengan misi membuat kita peduli. Tidak ada usaha semacam itu di sini. Padahal aspek yang mau digali itu ada, misalnya salah satu tokoh yang ternyata menghabiskan masa kecilnya tinggal di kota tempat Buku Darah itu ada. Namun kita meninggalkan mereka dan kembali ke ‘petualangan’ mereka gitu aja. Makanya momen ketika si kriminal itu ‘dihipnotis’ oleh hantu ibunya di gereja terasa hampa-hampa aja. Karena backstory yang harusnya membuat dia manusiawi itu hanya sebatas informasi. At that point yang kita lihat hanya seorang penjahat yang lagi diganggu hantu. Kita tidak merasakan apa-apa terhadap mereka.
 
 
 
 
Dan barely merasakan sesuatu terhadap film ini. Sebagai sebuah kisah horor, tiga ceritanya punya sesuatu yang mengerikan. Juga punya selipan gagasan yang seragam. Namun sebagai satu film utuh, film ini gagal bekerja dengan benar. Antologi yang baik semestinya membuat kita merasakan cerita demi cerita. Menghubungkan seting dan faktor luarnya hanya bonus, sebagai tanda konsep atau gimmick yang berhasil. Selebihnya, antologi adalah soal denyut cerita dan kesinambungan tema. Sedangkan pada film ini; ia malah terlihat seperti satu film utuh yang carut marut. Sebagai cerita sendiri-sendiri tidak berhasil karena bangunan yang enggak seimbang. Sebagai satu cerita utuh juga gak nyampe karena terlalu berpindah-pindah, tanpa ada denyut yang asik. Obat nonton ini buatku, ya, Britt Robertson-nya aja. Far better than the whole movie.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for BOOKS OF BLOOD.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bisakah kalian mengubah pengalaman hidup kalian menjadi sebuah cerita horor?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA