UNPREGNANT Review

“If you want something done, ask a woman”
 

 
 
Dua remaja putri melakukan perjalanan lintas negara-bagian. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Karena salah satu mereka memilih untuk melakukan aborsi. Dalam perjalanan yang mereka tempuh, keduanya mendapat cukup banyak rintangan, yang menyimbolkan betapa sukarnya bagi seorang wanita untuk mendapatkan kembali otonomi dirinya sen… Tunggu. Kenapa rasanya deja vu. Perasaan belum lama ini kita udah pernah deh nyaksiin cerita seperti ini..
Itu karena Unpregnant hasil adaptasi sutradara Rachel Lee Goldenberg dari novel ini memang punya premis yang persis ama film Never Rarely Sometime Always (2020) karya Eliza Hittman. Beda kedua film ini terletak pada arahan dan tone cerita secara keseluruhan. Jika Never Rarely Sometime Always diarahkan untuk bicara lantang dalam kesunyian karakternya mengarungi keadaan yang lebih realistis, maka Unpregnant ini lebih dekat ke kalimat ‘karena because selalu always’, alias bernada komedi. Karakter-karakter dalam Unpregnant ‘membicarakan’ masalah mereka dengan suara keras; film ini diarahkan seperti road trip movie pada umumnya.
Yang diketahui hamil pada cerita ini adalah Veronica. Siswi SMU yang bukan cuma pintar, tapi juga termasuk geng populer di sekolah. Setelah hasil test packnya menunjukkan dua garis biru, Veronica mulai panik. Karena gendong bayi sudah barang tentu bakal mengandaskan kesempatannya untuk kuliah di universitas favorit. Jadi kedua orangtuanya yang penganut taat agama itu tentu tidak boleh sampai tahu. Weekend ini, Veronica nyusun rencana untuk road trip ke kota terdekat yang memperbolehkan aborsi tanpa persetujuan orangtua. Veronica lantas minta dianter sama mantan-sahabat baiknya, Bailey. Keduanya bakal menempuh perjalanan penuh debat konyol dan mereka bertemu dengan banyak orang-orang dengan pandangan yang berwarna-warni, menjadikan weekend itu sebuah petualangan komikal sebelum pagi aborsi.

Cerita aborsi kini lebih ceria dengan lagu Since You Been Gone!

 
Hati dari cerita ini jelas adalah hubungan persahabatan antara Veronica dan Bailey. Bayangkan dinamik antara dua tokoh sentral film Booksmart (2019), Veronica dan Bailey persis seperti demikian, dengan tambahan bumbu mereka berdua kini sudah tak sedekat dulu lagi. Chemistry Haley Lu dan Barbie Ferreira klop banget ngidupin kedua tokoh ini. Veronica-nya Haley digambarkan kontras dengan Bailey-nya Ferreira. Veronica ini kayak tipikal remaja yang sedikit memaksa diri jadi yang terbaik; dia mulai memilih pergaulan seperti dia memilih sekolahnya ke depan, dia clearly careful dan memikirkan masa depan. Sementara Ferreira lebih nyantai dan blak-blakan apa adanya, dia yang gamer itu juga tergolong cupu atau ‘freak’ di mata teman-teman Veronica yang populer. Persahabatan keduanya bakal gampang untuk relate dengan penonton, karena sebagian besar dari kita pasti pernah punya sahabat akrab yang kini hubungan kita dengannya sudah jauh karena perbedaan pandang itu mulai terasa memberikan jarak. Makanya, persoalan Veronica dan Bailey yang kemudian menjadi perlahan akrab kembali – dalam nostalgia masa kecil di perjalanan, mereka seakan sama-sama mengakui saling rindu satu sama lain – akan terasa menyentuh.
Film juga melandaskan bahwa kedua karakter ini punya kesamaan. Jika Veronica punya orangtua konservatif dan merahasiakan ke-geek-an (dan tentu saja kehamilannya), maka Bailey yang dibesarkan oleh single mother juga memendam ‘kejutan’ bahwa dia suka ama cewek. Kedua karakter ini adalah sama-sama wanita muda yang berjuang dalam lingkungan yang masih mengeja mereka harus bertingkah dan bertindak seperti apa. Perjalanan yang mereka lakukan bukan hanya penting karena mendekatkan mereka berdua karena benar-benar memposisikan mereka sehingga kesamaan keduanya mencuat, dan mereka harus worked through that. Menunjukkan support kepada masing-masing, despite their differences.

Itulah yang mendasari gagasan atau tema yang diusung. Bahwa perempuan itu ya sudah seharusnya saling support. Karena merekalah yang biasanya paling gercep merasakan simpati – dan juga karena permasalahan mereka selalu kurang lebih sama. Bailey adalah orang yang paling tepat untuk diminta bantuan oleh Veronica. Bukan semata karena mereka dulunya sobatan. Melainkan lebih karena dua-duanya ternyata berada dalam posisi yang sama. And they surely will get the job done.

 
 
Misadventure mereka menghasilkan banyak cerita yang membuat film ini asik untuk diikuti. Mereka akan bertemu, ditolong, dan disusahkan oleh berbagai karakter dan mereka belajar banyak dari pengalaman tersebut. Terlalu banyak cerita seperti begini kadang membuat kita lupa sesaat bahwa ini adalah perjalanan seorang perempuan muda yang ingin menggugurkan kandungannya. Unpregnant bukan mau menyepelekan soal aborsi. Paling tidak, film ini masih menampilkan prosedur dan syarat-syarat yang beneran berlaku di dunia nyata. Bahwa praktik tersebut memang tidak digampangkan untuk remaja sekolahan seperti Veronica. Cuma memang, sama seperti Never Rarely Sometime Always, Unpregnant pun tidak menjadikan aborsi itu sebagai sebuah keputusan besar yang harus diputuskan oleh Veronica. Dalam film ini, bagi Veronica, jauhnya jarak tempuh dan susahnya untuk ke klinik yang memperbolehkan itu  sudah seperti hukuman. Dan aborsi itu sendiri akan menjadi reward bagi dirinya yang telah belajar banyak dari rintangan alias hukuman-hukuman yang ia tempuh tersebut.

Entah bagaimana ceritanya jadi seolah hamil dan punya anak itu jadi penghalang seorang wanita untuk maju, sehingga setiap wanita berhak untuk aborsi

 
 
Unpregnant menampilan rintangan atau hukuman tersebut dalam wujud yang lucu, yang komikal. Yang unrealistis – kalo boleh dibilang. Misalnya, di satu kota, Veronica dan Bailey menumpang mobil milik pasangan suami istri, yang ternyata mereka adalah golongan pro-life, alias golongan yang tidak setuju dengan praktik aborsi. Oleh film, kejadian dengan pasangan ini dibuat over-the-top. Dibikin seolah mereka adalah pasangan fanatik atau semacam cult freak. Humor yang ditampilkan memang tidak pernah terlalu receh apa gimana, melainkan masih berakar pada emotional feeling yang dirasakan oleh para tokoh. Namun tetap saja, melihatnya sebagai gambar besar, Unpregnant ini tampak seperti petualangan sepihak yang tidak menggali dua sudut pandang terhadap aborsi, melainkan berat ke satu paham dan menjadikan sudut pandang lain sebagai bukan hanya antagonis melainkan juga lucu-lucuan.
Toh ada satu hal menarik yang diangkat oleh Unpregnant, yang menurutku berakhir menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Soal laki-laki yang bertanggungjawab atas kehamilan Veronica. Dalam Never Really Sometime Always, tokoh utamanya diberikan backstory kehamilan yang membuat si tokoh ini mau gak mau harus menggugurkan janin. Karena benar-benar sebagai sesuatu yang tidak diinginkan – ada sedikit hint bahwa janin itu adalah buah dari sebuah paksaan dan relationship yang buruk alias toxic. Dalam Unpregnant ini, cerita kehamilannya tidak seperti itu. Veronica, meskipun gak berganti-ganti pasangan, tapi hubungan yang ia lakukan semuanya atas dasar suka sama suka. Namun dia hamil karena kondomnya bocor, cowoknya tahu dan sengaja gak ngasih tahu karena si cowok bersedia bertanggungjawab. Dengan kata lain, kehadiran si bayi tidak akan menjadi masalah, tetapi Veronica tetap ingin menggugurkan karena pertama; punya anak akan berpengaruh kepada statusnya sebagai pelajar top. Kedua; dia gak berencana untuk hidup mengasuh bayi bersama si cowok – film lantas bertindak semakin jauh dengan membuat si cowok ini rada bloon dan jadi bahan candaan.
Ini membuat tokoh utama kita jadi tampak egois, dan agak munafik. Karena plot utama si Bailey adalah soal dia mengunjungi ayahnya, tapi si ayah mengacuhkan dan gak nganggep. Dan Veronica membela Bailey dan langsung memberi pelajaran pada si ayah. Veronica gak sadar, bahwa dengan menggugurkan dia sebenarnya jadi sama dengan ayah Bailey; hanya mementingkan diri sendiri dan cuek sama nyawa yang harusnya jadi tanggungjawabnya. Mestinya cerita film ini lebih berfokus kepada mencari jalan tengah dari semua persoalan aborsi dan bayi itu.
 
 
 
Sajian yang lebih asik untuk ditonton ternyata tidak lantas menaikkan kualitasnya sebagai sebuah film. Jika aku menyebut Never Rarely Sometime Always mirip iklan layanan masyarakat yang serius untuk mendukung aborsi, maka cerita Veronica ini tuh kusebut udah kayak iklan tentang aborsi, yang lucu. Benar-benar tidak ada argumen, selain menunjukkan yang kontra itu sebagai sebuah candaan. Film ini justru bekerja terbaik saat menampilkan dua orang perempuan yang belajar untuk saling support.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNPREGNANT.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Masih adilkah sesuatu kita sebut sebagai otonomi tubuh atau mengambil keputusan atas tubuh sendiri jika itu ternyata berkaitan dengan hidup orang lain?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CUTIES Review

“Just let the kids be kids”
 

 
Seruan untuk meng-cancel Netflix September ini santer terdengar sebagai reaksi dari perilisan film Perancis yang berjudul asli Mignonnes ini. Tahun 2020, tahun yang sendirinya sudah ‘bermasalah’ bagi perfilman – karena pandemi yang memaksa semua film cari alternatif bioskop – nyatanya justru penuh oleh film-film kontroversial. Kita punya The Hunt yang dipermasalahkan karena menyinggung golongan politik di negaranya, ada Red Shoes and the Seven Dwarfs yang disuruh turun karena isu body shaming yang diangkatnya, Jojo Rabbit yang menuai protes berkat penggambaran sosok Hitler serta becandaan seputar Nazi dan Yahudi, dan baru-baru ini giliran Mulan versi live-action dari Disney mendapat teguran keras dari berbagai arah; dicecar sebagai munafik yang gagal merepresentasi Cina dan malah mendukung pemerintah yang ‘salah’. Namun dari semua itu, Mignonnes yang diberi judul Cuties oleh Netflix really takes the cake sebagai film paling kontroversial tahun ini. Film tersebut dikutuk oleh banyak orang; Cuties disebut mengkritik dengan malah turut menjadi sesuatu yang ia kritik tersebut. Cuties yang ingin menyentil tentang dunia modern yang cenderung mengobjektifikasi dan mengseksualisasi anak-anak, justru menampilkan seksualisasi anak-anak tersebut!
Cuties adalah cerita tentang Amy, anak cewek sebelas tahun, dari keluarga muslim Senegal yang pindah tinggal di sebuah apartemen di Prancis. Identitas tersebut penting dan dihadirkan bukan hanya sebagai latar, tapi juga berperan dalam karakterisasi Amy. Hidup di lingkungan yang kuat aturan agama dan tradisi membuat Amy merasa janggal ketika ia berada di luar. Teman-temannya di sekolah tidak ada yang pake kerudung, atau bahkan hoodie yang menutup semua kulit di tubuhnya. Amy pengen sekali berteman dengan satu geng cewek yang jago nari. Mengintip mereka dari jauh dijadikan pelarian oleh Amy; pelarian dari tugas mempersiapkan pesta pernikahan ayahnya dengan istri kedua di rumah. Amy mulai meniru geng cewek tersebut, mengenakan baju-baju minim (Amy actually ‘meminjam’ baju adik cowoknya) dan diam-diam berlatih nari. Dari tontonan musik di internet, Amy belajar tarian ‘dewasa’, dan iniah yang membuka jalannya untuk dapat bergabung dengan geng tersebut.

Kalo di-Indonesia-in, judul film ini simply jadi ‘Cabe’.

 
Melihat dari segi ceritanya aja, aku harus bilang, Cuties ini adalah film yang bagus. Journey Amy yang ingin fit in dan tidak dianggap bocah – dia juga bisa dianggap sedikit memberontak –  diceritakan logis dengan sangat kuat. Ini adalah cerita pendewasaan yang sangat relate buat penonton, karena kita tentu antara pernah mengalami ingin dianggap dewasa atau sedang mengalaminya sekarang. Kritikku buat cerita ini hanya soal penggambaran Islam yang masih sebatas gambaran kontras dalam hidup Amy. Untuk membuat karakter Amy yang ingin bebas, cerita butuh untuk menempatkan Amy di antara dua hal; lingkungan yang bebas dan lingkungan yang mengekang. Identitas keluarga Islam yang dimiliki Amy, oleh film ini hanya difungsikan sebagai wujud dari ‘lingkungan yang mengekang’ itu. Tidak dieksplorasi dimensinya lebih jauh. Begitupun juga dengan keluarganya. Amy dibuat cenderung untuk mengantagoniskan keluarga. But maybe, that is the part of the problem. Bahwa anak sulit untuk membuka diri kepada keluarga, dan lebih suka menjauh, sehingga mereka rentan untuk terjerumus, apalagi karena mereka masih polos belum sepenuhnya bisa menimbang mana yang baik dan yang tidak.
Jika benar demikian, maka film ini menggambarkan dengan tepat sebab-dan-akibat masalah yang menimpa anak-anak, khususnya anak perempuan, di dunia modern. Amy dan geng Cuties, dan banyak anak perempuan, di luar sana yang tumbuh terlalu cepat. Figur orangtua bagi mereka diambil alih oleh media, karena di sanalah mereka bisa bebas mengekspresikan diri. Sosial mengkondisikan anak-anak ini harus mengejar tren, supaya tidak kolot seperti orangtua di rumah. Masalahnya adalah, sosial dan media yang jadi pengasuh mereka itu punya penyakit akut yakni gatal untuk mengobjektifikasi wanita. Amy dan anak-anak perempuan ini jadi kebawa-bawa. Melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang dewasa – sesuatu yang bahkan sebenarnya orang dewasa sendiri tidak pantas melakukan itu di ruang publik – tanpa benar-benar ada pemahaman kecuali ya karena mereka ingin dianggap serius dan bukan bocah aja. Tidak ada yang melindungi anak-anak ini. Dunia justru mengeksploitasi. Orangtua tidak tahu karena hubungan mereka renggang. Yang terjadi pada film ini berdering benar ke kehidupan nyata kita. Anak-anak menirukan tarian K-Pop, bermain TikTok dengan joged orang dewasa, tontonan di televisi yang pilihannya cuma cinta-cintaan atau bully-bullyan.
Film Cuties menyugestikan suatu solusi yang menurutku cukup mengerikan, yakni harus si anak itu sendirilah yang sadar dan mengeluarkan dirinya sendiri dari sana dan kembali kepada keluarga. And it is such an impossible task. Amy adalah karakter kuat yang pantasnya dijadikan teladan, tetapi dia ‘hanyalah’ karakter dalam film yang sudah diberikan situasi dan kondisi yang memungkinkannya untuk berubah. Sepertinya inilah kenapa sutradara Maimouna Doucoure memilih untuk menghadirkan film ini dengan begitu kontroversial. Karena ia menyasar kepada para orangtua dan orang dewasa. Seperti dia mau bilang “Begini loh kondisi anak-anak pre-teen kita, mereka dituntut untuk cepat dewasa, lihat tontonan mereka, lihat apa yang mereka tiru. Di mana kita?” Ibarat jika ada bunga yang salah mekar, maka yang harus dibenahi adalah lingkungan tempatnya tumbuh, bukan si bunga itu sendiri.

Ending film ini mengatakan biarkanlah anak-anak menjadi anak-anak. Kitalah yang membuat mereka tumbuh lebih cepat. Padahal biarkanlah mereka tumbuh sebagaimana mestinya. Pake baju biasa daripada dipaksa mengenakan tradisi dan adat. Bermain lompat tali alih-alih menari ala girlband atau artis hiphop di televisi. 

 
Pada beberapa momen, Doucoure memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya ia mampu menggarap adegan dengan nada surealis. Ketika adegan ending yang seolah Amy terbang, atau adegan ketika Amy menatap gaun pesta yang harus ia kenakan tergantung di lemari, lalu sesuatu terjadi pada gaun tersebut; paralel dengan yang terjadi pada Amy. Dengan melihat itu, adegan-adegan pada film ini yang menyulut kontroversi – seperti tarian erotis anak-anak dengan ngezoom ke bagian-bagian aurat – tentu saja kita anggap Doucoure mampu untuk menampilkannya secara surealis juga. Bahkan besar kemungkinan tarian yang dibuat lebih surealis akan membuat film jadi lebih elegan. Namun Doucoure tetap menampilkannya dengan banal (kalo gak mau dibilang binal), karena ia ingin menekankan kepada perasaan gak nyaman kita dalam menontonnya. Dia ingin membuat kita merasa ingin menghentikan tayangan, karena gagasannya adalah memang supaya kita-kita ya harus menyetop itu semua di dunia nyata juga. Aku bisa melihat bahwa bagi Doucoure menampilkan lebih less daripada yang ia tampilkan di film ini akan mengurangi intensitas dari poin yang ingin ia sampaikan.

Di usia 11 aku masih nonton film kartun anak-anak, sementara Amy and the genk udah bahas bikin anak

 
 
Tapi juga tentu saja kita semua bisa mengerti kenapa bisa ada yang menyebut film ini ‘tontonan gratis bagi pedophilia’. Ada beberapa adegan yang menurutku juga sebenarnya tidak perlu ada dan bisa dibuang atau setidaknya ditampilkan dengan lebih tersirat atau elegan dengan tanpa mengurangi poin utama yang ingin disampaikan. Adegan seperti tokoh anak cewek yang meniup kondom bekas dan kemudian mereka ramai-ramai menggosok lidah si tokoh supaya bersih misalnya, hanya dimainkan sebagai komedi dan tidak benar-benar berkepentingan karena untuk memperlihatkan geng Cuties itu ‘belajar otodidak’ hal dewasa pun sudah ada adegan yang mewakilkannya. Jadi adegan ini sebenarnya tidak perlu lagi. Adegan mereka menari di tangga juga gak perlu untuk direkam seclose up dan selama itu, karena toh kepentingan adegan tersebut sebenarnya untuk memperlihatkan Amy sudah populer sejak dia bertingkah dewasa bersama geng Cuties. Film bisa saja menyampaikan poin ini hanya dengan menampilkan adegan buka sosmed dan melihat akunnya banyak menuai komen atau likes.
So yea, buatku film ini pantas mendapatkan kontroversi seheboh yang ia terima sekarang ini. Karena dengan beberapa adegan yang ditampilkan dengan arahan untuk berjalan di batasan antara kontroversi dan tidak itu, film ini memang jatohnya ada di ranah film-film disturbing. Melihat anak-anak itu menari, disyut dengan treatment sedemikian rupa menonjolkan seksualitas, sama berat dan mengganggu dan gak nyamannya dengan saat melihat adegan motong kura-kura sungai hidup-hidup dalam film Cannibal Holocaust (1980) Dan bagaimana dengan aktor-aktor cilik itu sendiri, aku gak bisa ngebayangin gimana ngedirect mereka untuk beradegan seperti itu.
 
 
 
Ada berbagai cara untuk menyampaikan komentar atau kritik. Yang paling ampuh biasanya adalah dengan komedi. Kita sudah pernah melihat pesan yang mirip disampaikan dengan aman oleh Bad Grandpa (2013) dan Little Miss Sunshine (2006) ketika menyinggung soal beauty pageant untuk bocah-bocah. Atau, kita juga bisa menyampaikan kritik dengan cara yang lebih elegen, dengan tidak terlalu literal. Film debut sutradara Doucoure yang ia sebut berdasarkan pengalaman dan pengakuan asli banyak anak-anak ini memilih untuk bersuara dengan kontroversi. Efeknya boleh jadi langsung terasa dan tepat sasaran. Like, banyak yang protes berarti misi filmnya tercapai (sebaliknya, jika ada yang merasa biasa aja maka itu berarti si penonton ini antara tidak peka atau tidak mengerti cara nonton yang benar), tapi tentu buatku itu semua kembali ke film itu sendiri. Ada banyak perbaikan yang mestinya bisa dilakukan oleh film dalam menampilkan gagasannya. Mempercayakan kepada kontroversi alih-alih kesadaran penonton yang menjadi terbuka saat menonton film yang benar-benar hormat kepada subjeknya, bagiku ya terlalu sensasional dan bukan about si film itu sendiri. Menunjukkan pembuatnya belum sepenuhnya matang dan belum mengeksplorasi dengan maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CUTIES.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini? Apakah menurut kalian tayangan seperti music video atau sinetron atau film yang trendi di masa sekarang aman untuk konsumsi anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE BABYSITTER: KILLER QUEEN Review

“You will never get over with a crush until you find a new one.”
 

 
 
Ngelupain ‘crush’ atau ‘orang-yang-kita-idolain-ampe-naksir-berat’ itu dapat menjadi hal yang susah untuk dilakukan. Terutama jika ‘pujaan’ kita itu benar-benar dalam kondisi gak mungkin untuk kita dapatkan. Semakin mustahil justru semakin susah. Karena kita penasaran dan tidak mendapat closure terhadap perasaan naksir yang simply tak tersampaikan tersebut.
Tengok saja si Cole. Udah dua tahun. Udah dua film. Tapi dia masih belum bisa melupakan babysitter lamanya yang kece dan keren; Bee. Hubungan yang menarik antara Cole dan Bee memang menjadi salah satu aspek yang bikin kita begitu kepincut sama horor-komedi The Babysitter (2017). Karena bukan hanya sebagai cem ceman, Bee ini udah kayak kakak sekaligus sahabat terbaik bagi Cole. Dan juga, seorang musuh. The Babysitter berubah menjadi horor slasher over-the-top ketika mengungkap bahwa Bee ternyata adalah pemimpin dari klub pemuja setan. Kelompok Bee mengincar darah Cole, si anak polos. Jadi, di samping masih terbayang-bayang sosok Bee, Cole yang sekarang udah SMA juga masih teringat-ingat akan peristiwa mengerikan tersebut. Dia jadi awkard sendiri di sekolah. Orangtua Cole sudah akan mengirimnya ke Psychiatric Academy, jika Cole hari itu tidak kabur ke pantai bersama teman masa kecilnya, Melanie. Namun toh Cole memang tidak gila. Di alam bebas itu, Cole bertemu kembali dengan hantu-hantu dari masa lalunya. Mereka kini bekerja sama dengan geng baru pemuja setan. Dan mereka semua juga belum melupakan soal Cole dan darah innocent Cole yang begitu berharga untuk ritual mereka!

Dan kejar-kejaran konyol itupun dimulai~

 
Aku suka film film pertama; Samara Weaving-nya keren, ceritanya unik, sadisnya fun. Sebagai sebuah sekuel, The Babysitter: Killer Queen ini mempertahankan banyak hal dari film pertamanya. Penonton yang suka dengan gaya gore dan humor lebaynya, sudah pasti akan menggelinjang karena film kali ini menghadirkan lebih banyak ‘tubuh’ yang bakal digunakan untuk eksplorasi kreasi adegan mati yang kocak-kocak. Penonton yang suka dengan gimmick komedi tulisan dan visual akan bernostalgia berat karena film kedua ini menggunakan gimmick yang persis sama. Mulai dari menampilkan judul di opening hingga ke kemunculan momen ‘WTF’ yang dibikin sebagai throwback buat film pertama. Di sekuen finalnya juga; jika film pertama menggunakan lagu We are the Champions, maka di film kedua ini lagu Queen yang dipasang adalah – you guessed it – Kille Queen. So yea, buat penonton yang suka ama sensasi mengenali hal-hal familiar, film ini punya kelebihan pada aspek tersebut. Pemain-pemain yang lama juga semuanya masih lengkap, memainkan karakter mereka terdahulu. Bahkan adegan mati mereka di film ini digambarkan punya kemiripan dengan adegan mati mereka di film sebelumnya. Misalnya, tokoh si Bella Thorne kembali kena tembak di dada dan akhirnya mati dengan kepala yang misah dari badan. Walaupun film terlihat kesusahan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Samara Weaving (karena karakternya mendapat pengurangan durasi yang cukup besar dibanding pada film pertama), elemen horor yang konyol masih dihadirkan dengan level maksimal untuk menyenangkan kita yang semakin hari semakin bosan dan butuh tontonan yang membuat kita sekejap kabur dari realita.
Sayangnya, hal vital satu lagi – selain Samara Weaving – gagal dihadirkan kembali oleh film. Penulis skenario yang menggarap The Babysitter pertama, Brian Duffield, yang notabene bertanggung jawab atas hadirnya penggalian cerita antara Cole dan Bee, yang membuat horor ala home-invasion menjadi menegangkan plus seru dengan ide-ide segar, tidak lagi ambil bagian nulis pada sekuel ini. Duffield hanya terkredit sebagai pencipta karakter. Sebagai gantinya, naskah digarap rombongan oleh sutradara McG bersama tiga kepala lain. Dan hasilnya langsung kelihatan di layar yang kita tonton. Absen sudah narasi yang terstruktur kuat dengan karakter-karakter yang menarik karena bersenang-senang dengan trope karakter dalam genre horor. Kejadian dalam The Babysitter: Killer Queen ini terasa semakin serabutan karena tuntunan dunia atau panggung cerita yang semakin luas, sementara para penulis naskah tidak mampu mengimbangi perluasan tersebut.
Kejar-kejaran itu jadi terasa random. Literally menampilkan tokoh random. Bicara soal gak bisa move on, empat orang di balik naskah ini sepertinya benar-benar memuja para tokoh lama dan gak peduli ama tokoh baru sehingga justru para tokoh lama yang mendapat backstory lebih lengkap. Itupun penceritaannya dilakukan dengan ala kadar dan kayak tempelan. Tokoh-tokoh baru tak sekonyol tokoh lama. Di sini dimunculkan tokoh pendukung mayor baru; seorang cewek pindahan yang punya masa lalu dengan Bee, hanya saja pengkarakteran tokoh ini begitu tipis. Dia baru benar-benar diungkap di akhir, dan sepanjang durasi sebelumnya si cewek ini tak lebih dari device cerita saja.
Hal yang menarik dari tokoh itu adalah, melaluinya dirinya film tampak ingin meng-subvert atau menggulingkan salah satu trope horor klasik. Atau sederhananya, ingin mengubah solusi-klasik dari film horor. Menjadikan solusi itu menjadi lebih cocok dengan keadaan masa-sekarang. Bahasan di paragraf ini bakal jadi spoiler ringan, aku mau ngingetin sedikit sebelum lanjut. Jadi, horor-horor klasik dibuat berdasarkan formula kebaikan menang mengalahkan kejahatan, yang digambarkan seringkali dengan simbol kemurnian lawan sesuatu yang korup. Putih-hitam. Kemurnian di situ berarti keperawanan. Kita acap melihat dalam slasher klasik tokoh yang mati duluan itu ya remaja-remaja binal. Yang dibunuh saat lagi ena-ena. Protagonisnya adalah cewek baik-baik. Kemurniannya bakal mengalahkan corrupt-nya setan. Trope ini pernah ‘ditumbangkan’ oleh Scream (1996) dengan menjadikan Sidney final girl meski gak lagi ‘murni’. The Babysitter: Killer Queen ini seperti menggulingkan apa yang sudah pernah ditumbangkan itu sekali lagi. Di sini setannya mengejar sesuatu yang polos alias murni, dan solusi yang dihadirkan adalah dengan tidak menjadi murni. Justru ketidakmurnian itu yang langsung dijadikan senjata untuk mengalahkan setan. Implikasinya bisa tergantung bacaan masing-masing penonton, dan film tidak ngejudge apapun. Dan kupikir elemen ini tentunya adalah kekuatan dari film ini, jika saja si film ini sendiri tidak terlalu khusyuk menguatkan kekonyolan-kekonyolan dan ceritanya dibuat jauh lebih rapi lagi.
Mungkin The Babysitter dibuat dengan deal ama setan, dan sekuel ini dijadikan tumbal

 
 

Salah satu cara ampuh untuk melupakan ‘crush’ adalah dengan menemukan pujaan yang baru. Cole menemukan ini dan akhirnya mendapat closure. Sayangnya si film sendiri belum, sehingga dirinya jadi terlalu berkubang di film terdahulu dan malah jadi seperti parodi dari film tersebut.

 
Jangankan untuk menyamai film pertamanya, untuk menjadi sebuah tontonan yang menghibur saja film ini tidak lagi mampu. Kekonyolan yang dihadirkan tidak lagi bikin kita senang karena terlalu over. Untuk awal-awal masih bisa ditolerir, namun kemudian semakin menjadi-jadi. Menyeruak ke mana-mana. Lelucon film ini bersandar pada referensi pop culture, dengan rentang yang sungguh luas. Dari polisi yang nyanyi “Ice, ice, baby” hingga ke Joe Exotic dan celetukan soal horor post-Jordan Peele. Untuk komedi dan aksi slashernya, film ini udah menyerempet level ‘edan’, dan edan yang bukan dalam artian positif. Edan, dalam artian kejadiannya terjadi tanpa ada bobot karena begitu random. Semuanya terasa overkill. Dan yang membuatnya semakin parah adalah, kejadian-kejadian tersebut akan jarang sekali terasa fresh. Ada satu sekuen-adegan yang buatku sangat garing. Yakni ketika ada dua tokoh yang berantem; film membuat berantem mereka itu dengan konsep seperti video game. Ada suara “Fight!” dari narator, di sudut atas layar kita kemudian tampil life-bar seperti pada game fighting, dan kedua tokoh tadi berantem pake jurus-jurus. Itu semua terjadi out-of-nowhere. Tampak seperti ingin niru Scott Pilgrim vs. The World, hanya saja dilakukan dengan lebih poor, dan randomnya tidak termaafkan karena tak sesuai degan dunia cerita yang dibangun. Like, kenapa di dunia yang ada cult dan setan, malah nonjolin konsep video game.
 
 
 
Masing-masing penulis tampaknya punya ide dan referensi. Tapi alih-alih berembuk dan menyatukannya menjadi satu konsep yang solid, semua ide dan referensi itu ditampilkan serabutan. Dicampurkan ke dunia dan tokoh-tokoh yang sudah kita kenal. Dan hasilnya ya memang sebuah kekonyolan yang menyerempet ke segala arah. Film ini tidak mampu menulis cerita dan karakter baru yang menyamai, setidaknya, bobot pada film pertama. Film ini tidak mampu menciptakan konsep baru. Film hanya tahu membuat semuanya jadi berskala lebih besar. Sayangnya, itu termasuk kebegoan. Malahan kebegoan itulah yang justru diprioritaskan untuk membesar.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE BABYSITTER: KILLER QUEEN

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Who’s your biggest crush ever? Dan bagaimana cara kalian move on darinya, jika bisa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SPREE Review

“Life is not a popularity contest”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang cetek sekarang. Dunia yang mementingkan angka engagement, jumlah follower, jumlah penonton. Dunia di mana ‘harga’ seseorang bergantung pada seberapa banyak orang yang meng-Like status atau menonton unggahan story-live-nya. Ya, selamat datang di Dunia Influencer. Tempat semua orang berlomba membuat konten, tempat persaingan bebas karena gak butuh keahlian khusus, kepintaran, atau ilmu yang memadai. Kita cuma harus punya ‘personalitas’.
Kedangkalan jagat perkontenan ini dipotret dengan tepat oleh sutradara Eugene Kotlyarenko dalam komedi thriller terbarunya ini. Spree hadir dengan demikian simpel. Berkonsep ‘sajian dari layar hape’ – yang kita lihat di sini adalah gambar-gambar dari kamera hape saat tokohnya melakukan livestream ke internet, film ini bercerita tentang seorang anak muda bernama Kurt yang ingin jadi terkenal di sosial media. Tetapi dunia perkontenan yang sederhana itu ternyata cukup keras. Channel Kurt tak kunjung dapat view. Mencapai dua digit aja dia susah. Maka ia merekam segala aktivitasnya, sebagai pengemudi layanan taksi online Spree. Masalahnya adalah ‘aktivitas’ Kurt itu sendiri. Desperate menaikkan jumlah view, Kurt melanggar aturan internet (“Harusnya semua ini settingan!”). Dia gentayangan melakukan tindak kriminal beneran terhadap penumpang-penumpang taksi onlinenya!

Bukan masalah apa yang kita lakukan, melainkan pada ‘siapa kita’

 
 
Film ini tak lantas memperlihatkan Kurt dengan gampang mendapat jumlah view dan follower. Membunuh satu, dua orang, tidak seketika membuatnya viral. Dan ini boleh jadi adalah hal yang paling mengerikan yang diperlihatkan oleh Spree kepada kita. Batasan sebuah konten itu semakin hari kian mengabur. Orang-orang yang menonton akun Kurt, menyangka pembunuhan itu adalah bohongan. Udah banyak konten yang seperti itu, komen seorang selegram yang dimintai pendapat oleh Kurt. Ini seharusnya adalah komentar untuk keadaan di dunia nyata. Kita toh sering ‘menangkap basah’ konten-konten orang berantem yang ternyata adalah settingan dari kedua belah pihak. Sama seperti ketika Kurt menyerang sesama influencer dengan pisau, pemirsanya bersorak karena mereka pikir ini adalah settingan kolab. Jikapun ada yang marah, ya itu karena mereka gaksuka Kurt yang nobody tiba-tiba muncul di streamer favorit, pake di-share segala.
Seremnya adalah, tidak semua pembuat konten mendapat ‘memo’ yang sama. Kita juga acap menemukan berita tentang orang-orang seperti Kurt; yang melakukan viral-stunt tapi beneran merugikan orang lain. Kasus seperti remaja yang ngeprank banci dengan bantuan makanan yang ternyata sampah itu misalnya. Orang-orang sudah tak peduli moral dan etika. Mereka bahkan tidak mau memikirkan ulang apa yang mereka lihat. Mereka menonton sesuatu keributan yang viral, dan lantas meniru karena kepepet ingin viral juga. Tak mau tahu kalo yang mereka tiru aslinya adalah bohongan. Atau mungkin memang sengaja, karena memang semakin tampak otentik, akan semakin menariklah konten yang dibuat. Film Spree tak lain dan tak bukan berfungsi sebagai broadcast perilaku-perilaku buruk yang bisa kita lakukan di internet, demi mencari konten. Maka kita bisa menganggap film ini sebagai satire yang memperingatkan. Bahwa mau itu real ataupun settingan, konten yang meaningless seperti prank atau unboxing ataupun publicity-stunt lain ya memang unfaedah.
Spree harusnya berkapasitas untuk memeriksa kenapa seseorang bisa memutuskan untuk membuat konten unfaedah. Tokoh Kurt yang membuat akun @KurtsWorld86 (tadinya kupikir dia parodiin Wayne’s World) digambarkan sebagai sosok yang punya kompas moral tersendiri. Kita melihat dia peduli pada estetika gambar. Dia punya perhatian pada konsistensi dalam merekam video. Ada satu momen ketika Kurt kesel ngeliat selegram terkenal yang videonya ia sebut bikin sakit leher. Elemen sikap Kurt ini boleh jadi relatable buat banyak orang. Karena kadang aku pun kesel (alias sedikit jealous) dengan konten yang lebih populer padahal secara value atau pembuatan, konten tersebut banyak kelemahan. Kurt adalah orang yang berusaha sebaik mungkin, ia bikin video dengan ‘ikut aturan’ – dalam artian gak ngasal. Dia cuma terlalu awkward di kamera. Permainan akting Joe Keery cukup kuat di sini. Kita tahu di serial Stranger Things Keery memerankan salah satu fans favorite, dan di Spree ini ia meninggalkan semua kharismanya di rumah. Gugupnya ngomong live di kamera tampak natural, dan ketika sudah waktunya mengaktifkan mode psiko, Keery langsung tancap gas. Aktingnya jadi tampak sangat natural. Balik lagi ke tokohnya, si Kurt, Aku pikir banyak dari kita yang berusaha untuk bikin konten jadi populer, tapi mengalami masalah yang sama dengan Kurt.

Sometimes we tried too hard, dan lupa bahwa pada akhirnya internet tetep adalah kontes popularitas. Namun, hidup ini tidak. Kehidupan nyata bukanlah perlombaan siapa yang viral. Tentu, masing-masing kita berhak memilih untuk hidup di mana. Hanya saja, satu yang perlu diingat; konsekuensi dunia nyata cepat atau lambat akan menemukan kita di manapun berada.

 
Bahkan korban-korban Kurt pun ditampilkan oleh film sebagai pribadi yang bermasalah, mulai dari seorang rasis hingga ke seorang yang ‘berpenyakit’ toxic masculinity. Semua itu tampak seperti cara film untuk memperlihatkan bahwa di dalam sana, Kurt adalah orang baik. Mungkin jika ceritanya memang dibentuk seperti Joker (2019), alias jika Kurt sedari awal diperlihatkan sebagai ‘orang baik’ yang tersakiti kemudian akhirnya meledak, Spree bisa punya lapisan dan kedalaman sehingga menontonnya akan membuat kita berpikir ulang terhadap kehidupan internet sekali lagi. Namun sayangnya, film ini memutuskan untuk menjadi dangkal. Spree memastikan sedari awal, Kurt adalah seorang yang berniat jahat. Sifat-sifatnya yang relatable dan yang menunjukkan dia sepertinya orang baik hanyalah sebuah kecohan. Karena film tidak membuat kita mengikuti Kurt sepanjang waktu. Ada beberapa momen yang disembunyikan, untuk kemudian diungkap sebagai kejutan.

Being popular on sosmed is like sitting at the cool table in the cafetaria at a mental hospital.

 
 
Itulah sebabnya kenapa Kurt dan film Spree ini sendiri terasa tak banyak punya daging di balik thriller hiburan dan gimmick bercerita lewat layar sosial-medianya. Sedari awal film ini disusun untuk kejutan – bahwa ternyata Kurt jahat – alih-alih langsung menunjukkan bahwa ini bukan cerita pahlawan dan menjadikannya studi karakter. Film mengincar kita untuk mendukung Kurt terlebih dahulu, untuk kemudian perlahan menyadari bahwa karakter ini salah dan tak patut untuk dielukan. Ini adalah bagian dari gagasan film. Masalahnya adalah motivasi pengen banyak view dan follower itu, kita bisa lihat sedari awal, bukanlah motivasi kuat yang bisa mengundang simpati. Film benar-benar bergantung kepada kita untuk bersikap se-shallow netijen dan Kurt di dunia Spree, supaya cerita bisa berjalan maksimal.
Di antara film-film berkonsep tutur menggunakan layar komputer/handphone, Spree juga gak particularly strong. Malahan boleh jadi merupakan yang paling chaos di antara semuanya. Hal ini disebabkan karena pada Spree ada begitu banyak kamera. Begitu sering berpindah-pindah layar dan angle. Di mobil Kurt saja ada lebih dari empat sudut pandang kamera yang senantiasa berpindah. Banyak-kamera ini tentu diniatkan supaya cerita bisa lebih fleksibel, gak terpaku pada satu pemandangan desktop. Hanya saja temponya dibuat terlalu cepat. Spree juga sering menampilkan layar hape, bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus yang dikolase ke layar. Mereka ingin menunjukkan komentar-komentar para netijen yang nonton story para tokoh film, tapi bagi kita sungguh sukar mengikuti komen-komen itu kesemuanya. Jadi bikin bingung juga, di antara komen-komen itu ada yang penting atau enggak. Kalo enggak ada yang penting, ya kenapa ditampilkan. Aku sampai harus ngepause untuk bisa baca satu persatu.
Fun fact: ada komen dari Indonesia hihihi
 
 
 
Sesungguhnya ini adalah satire dengan humor dark tentang perilaku manusia di era konten seperti sekarang. Film ini mempertahankan kesimpelan era tersebut. Tidak banyak kekompleksan yang dibahas, karena film ini mengutamakan pada kejadian pembunuhan yang ditarik dari pertanyaan sejauh apa seorang manusia bertindak untuk membuat konten demi sebuah pengakuan. This movie is strictly about the act. Sementara karakternya dikembangkan dengan arahan sebagai sebuah kejutan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for SPREE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Influencer sekarang ada dalam setiap apapun yang butuh promosi. Bahkan pemerintah menyisihkan anggaran yang tidak sedikit untuk jasa influencer. Menurut kalian bakal seperti apa sosial media dalam, katakanlah, sepuluh tahun ke depan? Apakah influencer akan jadi kerjaan nomor satu? Masihkah lomba konten ini berlanjut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GURU-GURU GOKIL Review

“Experience is the best teacher, and the worst experiences teach the best lessons.”
 
 

 
 
Sosok seorang guru adalah sosok yang menginspirasi. Yang menjadi suri teladan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Beruntung, Guru-Guru Gokil karya Sammaria Simanjuntak yang tayang eksklusif di Netflix bukan guru. Sebab sebagai sebuah cerita tentang guru-guru, film ini nyaris tidak punya ‘muatan lokal’ yang menarik, dan tidak ada yang bisa menggugah inspirasi sama sekali. Kecuali buat orang yang mimpi jadi pahlawan di siang bolong.
Sama seperti orang-orang normal di seluruh dunia, Taat Pribadi suka ama yang namanya duit. Jadi dia pergi merantau ke kota, nyobain pekerjaan apapun demi mencari uang. Jauh dari kampungnya, jauh dari bapaknya yang guru. Jauh dari kerjaan guru itu sendiri; kerjaan yang ia sinisin karena hubungannya dengan sang bapak. Namun ketika semua usaha gagal, Taat terpaksa pulang dan mengambil kerja sampingan sementara sebagai… seorang guru! Hihihi seharusnya memang ada yang menarik dan lucu di sini, karena Taat bekerja di sekolah tempat ayahnya mengajar. Ada hati juga. Situasinya sudah klop untuk jadi sebuah komedi yang hangat tentang bapak dan anak. Hanya saja, kemudian pada naskah dimunculkan sebuah perampokan uang gaji para guru. Taat kemudian menginvestigasi, karena tentu saja awalnya dia ingin duitnya. Tapi kemudian ada guru yang ia suka. Kemudian ada penjahat yang sadis. Kemudian ada Dian Sastro yang jadi guru pinter tapi ‘oon – dan dia lagi hamil. Bisa aku meledak sekarang?

Mungkin gokil di sini maksudnya beneran ‘pergi membunuh’

 
Sementara para pemain memang tampak nyata sangat menikmati permainan peran mereka masing-masing; Gading Marten is on his zone, dua alumni Gadis Sampul Faradina Mufti dan Dian Sastro (the later is also the producer) bersenang-senang dengan karakter yang berbeda dari tipikal peran drama yang biasa mereka mainkan, dan bahkan Asri Welas diberikan sesuatu yang baru ketika memainkan tokoh Kepala Sekolah. Their joy membuat film ini ceria meskipun film bersikukuh menggunakan warna ekspresionis oren alih-alih cerah dan light-hearted. Dan memang kesenangan mereka itu tidak pernah terdeliver kepada kita. Cerita film ini sebagian besar akan berfokus kepada pemecahan kasus pencurian. Memperkenalkan needlessly sadistic villain nun jauh di pertengahan cerita. Ketika kita sadar cerita crime pun sebenarnya masih bisa lucu dengan bumbu-bumbu komedi, film Guru-Guru Gokil ini masih bingung. Berada di tengah, di antara semuanya. Lucu enggak, tegang kurang, drama gak nyampe. Kita dibuatnya terlalu bosan oleh arahan yang mengawang untuk bisa ikut excited, untuk ikut tertawa, dan untuk hanyut terenyuh.
Penulisannya sebenarnya enggak buruk. Taat Pribadi jelas bukan tokoh yang membosankan. Karakternya punya cela dan ‘flawed-character’ inilah adalah cara yang tepat untuk membuat cerita menjadi menarik. Marlin adalah ayah yang overprotektif, Woody adalah mainan lama yang iri sama mainan baru, Ariel adalah anak duyung yang melawan pada aturan bapaknya. Kita menganggap tokoh-tokoh bercela seperti demikian itu menarik karena cerita adalah soal pertumbuhan mereka menjadi lebih baik. Itulah yang disebut dengan journey mereka. Taat pada Guru-Guru Gokil cinta mati ama duit, serta dia gak suka sama bapaknya yang ia anggap lebih baik dan mendengarkan orang lain daripada dirinya. Taat tidak serius menjadi guru pengganti, dia hanya mau duitnya. Nantinya, Taat harus memilih antara duit atau menyelamatkan sekolah. Pertumbuhan di sinilah adalah Taat berkembang menjadi beneran peduli pada orang-orang di sekolah. Poin awal dan akhir film ini sebenarnya tepat. Jika ini mesin, maka roda-roda giginya berada pada posisi yang benar. Hanya saja, proses dari awal ke akhir, dari poin a ke poin b itulah yang menjadi masalah. Film ini menggunakan banyak roda gigi yang gak seimbang sehingga perjalanan cerita film ini enggak asik untuk diikuti.
Karakter yang tadinya bercela itu dikembangkan jadi ahli-semua. Taat menjadi membosankan saat ia mampu memecahkan apapun. Masalah yang seharusnya jadi ‘alat’ untuk karakternya berkembang dan belajar, malah either beres dengan bantuan atau ia kerjakan sendiri dengan gampang. Bukan saja Taat mampu jadi guru pengganti yang baik, yang konek dengan semua murid di kelas tanpa kita lihat prosesnya seperti apa, pria ini juga mampu menemukan pelaku kejahatan hanya dengan modal tato. Ia juga bisa sulap, mencairkan hati seorang guru galak. Dia bisa mengetahui hal di kampung itu yang tak semestinya dia yang-baru-datang-dari-kota tidak ketahui. Film punya cara gampang; begitu ada sesuatu yang perlu dijelaskan, mereka cukup membuatnya sebagai adegan flashback atau montase dengan narasi voice-over dari Taat.

Mungkin ini adalah cara film untuk menyuarakan gagasan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Taat bisa itu semua karena dia memang sudah mencoba banyak hal. Taat membuat jadi guru tampak sedemikian mudah. Cuma butuh pengalaman buruk untuk bertobat, dan wanita cantik untuk dicie-ciein.

 
Paling enak kita membandingkan Taat dengan Dewey Finn, tokoh yang diperankan Jack Black di School of Rock (2003). Filmnya sama-sama komedi di sekolah. Kedua tokoh sama-sama ‘flawed character’ guru pengganti yang peduli sama duit bayarannya aja. Kedua sama-sama gak tahu menahu apapun soal pelajaran sekolah ataupun cara mengajar anak-anak. Namun pada School of Rock, Dewey tidak pernah bicara tentang hal yang tidak ia tahu. Dan film tersebut benar-benar nunjukin. Dewey hanya tahu soal musik rock, dan itulah yang ia ajarkan kepada murid-murid. Dewey memanfaatkan para murid untuk ikut serta dalam lomba ngeband, membohongi mereka dengan mengatakan bahwa itu adalah proyek sekolah yang akan dinilai dan menentukan masa depan. Kita melihat prosesnya, Dewey jadi dekat bukan hanya dengan murid tapi juga dengan sesama guru; dia menggunakan skill ngeles dan ‘pengetahuan’ musiknya di ruang guru, di kantin. Kita juga diperlihatkan konsekuensi ketika kunjungan orangtua Dewey sama sekali tergagap karena gak bisa ngajar. Tidak ada proses itu pada Taat di Guru-Guru Gokil. Tidak ada kantin, tidak ada ruang guru. Melainkan hanya poin-poin seperti tau-tau murid-muridnya diskusi dan menggambar tato bareng. Hampir seperti film ini nyontek plot School of Rock untuk bagian di kelas. Tau-tau ada orangtua yang minta kunjungan belajar dan di situpun Taat diselamatkan oleh murid. Hanya ada satu murid yang benar-benar berkoneksi dengan Taat, dan itu karena bagian dari elemen romansa yang dimiliki oleh cerita. Dalam School of Rock, kesimpulannya jelas. Bagaimanapun juga Dewey tidak layak menjadi guru sekolah, tapi dia menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah harus berimbang, antara seni dan teori. Dewey akhirnya jadi guru les musik bagi murid-murid di sekolah itu. Sebaliknya pada Guru-Guru Gokil, tidak jelas apa yang mau dikatakan oleh film ini kepada dunia guru dan pendidikan itu sendiri.

Sebaiknya semua orang hanya mengucapkan apa yang mereka tahu

 
 
Ada seuprit komentar/kritik di sana sini soal gaji guru yang kecil, tapi mereka mau jualan untuk nambah-nambah pun gak boleh karena kurang etis pada tempatnya. Ataupun soal guru yang diprank atau malah dibully oleh murid. Seperti yang memang cukup marak belakangan ini, banyak guru yang ngalah dan berada di posisi sulit antara anak yang terlalu bandel dan dimanja oleh orangtuanya. Film ini seperti ingin menggagas supaya kita lebih meninggikan derajat guru. Namun tentu saja pesan itu jadi susah untuk mengalir ketika film sekaligus memperlihatkan orang seperti Taat saja ujung-ujungnya bisa jadi guru di sekolah. Dia tak kalah pintar dan cerdiknya dengan guru beneran. Dia cuma butuh ijazah untuk formalitas. Kita tidak pernah benar-benar merasakan darimana kecintaannya mengajar timbul karena film lebih meluangkan waktu untuk mengembangkan elemen romansanya kepada seorang guru, ketimbang mengembangkan proses dengan murid-murid. Karakter bercela ini jadi ter-redeem hanya karena ada tokoh penjahat, tokoh guru yang lebih jahat – yang lebih suka uang daripada dirinya. Pemecahan kasusnya tak menarik karena seperti generik film-film komedi yang penjahatnya digambarkan over-sadis tapi bego – kayak di film untuk anak balita. Konflik Taat dengan sang bapak beres dengan gampang, hanya butuh ‘membuka komunikasi’.
Dan seperti yang diperlihatkan oleh adegan endingnya yang teramat cheesy – ya bahkan lebih cheesy dari adegan ‘hujan uang’ yang mestinya bisa lebih berbobot itu – pada film ini, syarat jadi guru yang baik itu cuma satu: harus tetep gokil!
Oke aku meledak sekarang. DUAR!!
 
 
 
 
 
Kalo mau nonton cerita tentang korupsi/kriminal di balik dinding sekolah karena guru yang gajinya kecil juga pantas untuk nuntut ‘tanda jasa’, ada Bad Education (2020), yang berasal dari kisah nyata. Kalo mau ringan dan lucu tentang orang yang tadinya tidak peduli sama pendidikan dan maunya cuma duit menemukan cintanya sebagai pengajar, ada School of Rock. Poinku adalah, masih ada pilihan tontonan lain yang jauh lebih baik, lebih seru, lebih lucu dengan caranya masing-masing, dibandingkan dengan film ini yang berusaha untuk menjadi semuanya sekaligus. The comedy is fine, enggak terlampau receh, penampilan aktingnya juga oke. Mestinya film ini berfokus kepada anak dan bapak itu saja, enggak usah terlalu banyak pada kasus perampokan. Hasilnya malah film ini jadi salah satu film komedi crime termembosankan dan cerita tentang guru yang paling tak-inspiratif yang bisa kita saksikan. Oh iya, film ini juga mencoba jadi film lebaran dengan setting bulan puasa yang eksistensinya benar-benar tak lebih dari sebuah sepuhan. Such a shame karena ini adalah film-baru Indonesia pertama yang tayang semenjak pandemi, dan bisa tayang di Netflix seluruh dunia, hanya untuk jadi tontonan setengah-setengah dengan muatan lokal yang demikian lemah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GURU-GURU GOKIL.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Tipe guru seperti apa yang kalian suka dan tak suka? Hal terbandel apa yang pernah kalian lakukan kepada guru? Melihatnya kembali sekarang, spakah kalian menyesal melakukannya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

AN AMERICAN PICKLE Review

“It isn’t really about becoming rich or famous; It is about things much simpler and more fundamental than that.”
 

 
 
‘American Dream’ bagi orang Amerika bukan sekadar angan-angan di siang bolong. Melainkan adalah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Mimpi tersebut telah terwariskan dari generasi ke generasi. Para orangtua membanting tulang membuka peluang bagi anak-anaknya, dan anak-anak yang sukses tidak akan melupakan darimana mereka berasal. Semua itu dijamin oleh tanah Amerika yang menjanjikan kesempatan tak-terbatas yang sama untuk semua orang, tidak peduli siapapun mereka. Kesempatan yang tidak terbatas pada mencari kekayaan saja, tapi juga kebutuhan sosial seperti demokrasi dan kebebasan bersuara.
Gagasan atau konsep American Dream itu lantas dibawa oleh sutradara Brandon Trost (yang mengadaptasi cerita pendek bertajuk Sell Out) ke ranah komedi sebagai satir dirinya terhadap bagaimana American Dream kini di tengah-tengah bangkitnya budaya baru di negara tanah airnya.
Premis umum dari film ini adalah soal tua melawan muda. Aliran kuno melawan mentalitas kekinian yang katanya serba open-minded. Bahan utama komedinya adalah seorang buyut yang pekerja keras, giat untuk mengubah nasib dari penggali parit, pindah ke Amerika mencari sesuap nasi dan secuil kesempatan baru (dan seteguk air karbonasi) supaya anak cucunya bisa punya tanah sendiri dan jadi orang terpandang. Pretty much semua ayah (atau malah orangtua) berkeinginan seperti Herschel Greenbaum tersebut. Namun tidak semua ayah bisa seberuntung Herschel. Eh, beruntung atau sialkah namanya jika kau tak sengaja tercebur di gentong produksi acar/asinan dan ikut terawetkan bareng mentimun-mentimun? Yang jelas, itulah yang persisnya terjadi pada Herschel. Dia terbangun seratus tahun kemudian, dan bertemu dengan cicit entah lapis keberapanya, Ben Greenbaum. Herschel lantas menemukan bahwa di dunia yang sudah maju, American Dream-nya ternyata belum benar-benar terwujud. Malahan bisa saja gatot karena Ben sepertinya sudah jauh melenceng dari tradisi keluarga, hingga ke titik Herschel harus bersaing bisnis dengan keluarga satu-satunya tersebut.

“I’m Pickle Rick!!”

 
Memainkan lebih dari satu tokoh dalam sebuah film bisa jatoh antara dua hal; sulit karena membutuhkan jangkauan rentang akting yang luas, atau jadi penampilan yang konyol karena tidak jarang dua tokoh atau peran tersebut diniatkan sebagai komedi. Target An American Pickle boleh jadi pada film lucu-lucuan, akan tetapi penampilan akting Seth Rogen yang didaulat memainkan Herschel si immigran Yahudi sekaligus Ben, keturunan milenialnya, cukup kuat sehingga mampu membuat kita menoleh dua kali dan tidak meng-overlook-nya completely. Memang sih, oleh Rogen, Herschel dan Ben pembedanya paling utama adalah di janggut dan aksen. Kita tidak akan melihat Herschel sebagai tokoh yang berbeda dari kebanyakan peran Rogen sebelum ini, I mean, Rogen enggak menyelam sempurna menjadi tokoh baru. Kita masih melihat Herschel sebagai Seth Rogen berjanggut. Dan Ben sebagai Seth Rogen versi nerd – yang lebih ‘jinak’ alias less-high dan less-vulgar. Tapi, justru memang itulah poin dari cerita ini.
Herschel dan Ben deep inside adalah pribadi yang sama. Buah tak jauh jatuh dari pohonnya, kata pepatah. Bukan saja mereka sama-sama tergila sama air seltzer. Mereka mirip dalam banyak hal. Mulai dari busuk hatinya, hingga ke hal-hal baik, terutama soal cinta ama keluarga. An American Pickle berpondasi pada interaksi dua karakter ini. Dan dengan konflik yang bersumber dari dua orang yang belum saling mengenal tersebut, film ini sebenarnya adalah tipe film yang ‘ceritanya bakal cepat beres jika tokoh-tokoh yang berkonflik bener-bener ngobrol sedari awal’. Untungnya, film ini tidak pernah terasa annoying, ataupun membuat kita pengen ceritanya udahan aja hanya karena kita tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena film menggali seteru kedua tokohnya lewat rangkaian kejadian atau ‘kontes’ yang menarik. Yang berdasarkan kepada perbedaan dua generasi memandang dunia. Bagaimana cara tradisional berusaha mencari sukses di lapangan modern, dan sebaliknya, film juga menunjukkan bagaimana pandangan kekinian bisa sangat menjatuhkan cara pandang yang konvensional.
Kita akan melihat Herschel menjual acar timun yang lantas jadi viral karena generasi sekarang demen sama yang vintage. Film mengomentari soal tren masa kini, di mana seseorang bisa dengan gampang melejit setelah mendapat pengakuan dari sosial yang menyebar lewat sosial media. Bagaimana seseorang dapat menjadi sensasi atas hal biasa. ‘Mudah’nya menjadi terkenal dan kaya diperlihatkan sekonyol itu. Lalu sebaliknya, juga diperlihatkan semuanya gampang sirna karena dunia sekarang menuntut political correctness, yang bisa dieksploitasi dan punya ekstrimitas yang sama konyolnya. Sebut pendapat yang di mata publik bertentangan, komen sesuatu yang menyinggung, niscaya kau viral juga tapi habislah sudah. Yang sebenarnya dilakukan oleh film ini adalah mengomentari perihal kedudukan American Dream di tengah Amerika modern yang mulai giat oleh aksi-aksi Cancel Culture. An American Pickle, lewat Herschel yang tradisional – yang kalo ngomong kadang masih kuat rasis dan homophobic dan merendahkan wanita –  membuka ruang kontemplasi kepada penonton bagaimana kita menginginkan kebebasan untuk memenuhi diri, tapi di saat yang bersamaan kita juga dengan gampang menutup dan ‘mematikan’ orang lain.

Semua itu sepertinya karena American Dream itu sudah seperti acar/asinan. Mengendap terlalu lama di larutan, sehingga berubah rasanya. Alias, istilah tersebut sudah salah kaprah. Sebenarnya bukan soal menjadi kaya atau terkenal, melainkan soal sesuatu yang lebih sederhana. Soal keluarga sejahtera. Soal bermasyarakat yang maju bersama.

 
 
Bagi Rogen, kedua perannya ini praktisnya adalah persoalan dirinya menggali personanya lewat dua kacamata yang berbeda. Rogen harus meletakkan mindsetnya dalam tubuh dan kelakukan dan aksi generasi kuno seperti Herschel, dan di lain kesempatan memindahkan mindset tersebut ke kelakukan milenial. Walau dalam film kita sering melihat Herschel face-to-face dengan Ben, dan kamera berpindah seolah Rogen harus berakting secepat memindahkan sakelar on/off – dalam hal ini Herschel/Ben, kita tahu besar kemungkinan proses syutingnya tidak demikian, namun itu tidak mengecilkan tantangan peran yang dilakukan oleh Seth Rogen. He still needs to reach deep onto his characters, dan berhasil menempuh rentang tersebut dengan baik. Dari penampilannya sebagai Herschel dan Ben itulah candaan dihadiahkan kepada kita. Lewat dialog, maupun lewat tindakan ‘fish-out-of-water’ Herschel dan reaksi Ben terhadapnya. Film ini cukup bijak untuk tidak membuat komedi lebay dari beda zaman yang dirasakan oleh Herschel. Melainkan berfokus pada usaha Herschel mengejar ketertinggalan dan beradaptasi dengan zamannya.

Ol’ boomer versus millennial

 
 
Tapi terkadang kita perlu untuk diingatkan kembali pada premis komedi ini. Ekstrim itu kadang menghilang dari narasi, membuat pada beberapa bagian film terasa seperti takut untuk menjadi dirinya yang paling maksimal. Dengan hanya sedikit memperlihatkan keterkejutan Herschel pada teknologi-teknologi baru yang ia lihat dan harus gunakan, misalnya, membuat kita lupa dia berasal dari satu abad yang lalu. Interaksinya dengan Ben jadi tidak banyak bedanya dengan interaksi ayah dan anak yang biasa. Padahal mereka lebih dari itu.
Pada bagian resolusi cerita seperti mengarah kepada kepercayaan, alias agama, karena Dream dan film ini juga adalah tentang menjaga tradisi dan tidak melupakan akar keluarga. Namun film sepertinya ragu untuk menyentuh itu. Memperlihatkan tapi kemudian mengembalikan cerita ke ranah penyelesaian sesimpel ‘keluarga adalah sama’. Di pertengahan juga misalnya, ketika kita berpikir cerita akan bisa meledak dengan penggalian yang cukup kontroversial – politisi yang ngomong kasar – tapi ujungnya malah langsung diberangus. Sudut pandang Ben juga tidak pernah benar-benar diperkuat dari dua sisi, kita kebanyakan hanya memandang dia sebagai ‘antagonis’, lalu kemudian jadi baik, yang seharusnya film ini berada dalam kapasitas membuat Ben juga sama-sama mengundang simpati. Akan ada aksi Ben yang hanya terlihat culas, dan ini bertentangan dengan gagasan film. Kita harusnya diperlihatkan alasan Ben sedari awal, untuk memunculkan dramatic tensi setiap kali mereka bersaing. Karena kita paham cerita ini bukan tentang siapa yang menang di antara mereka, jadi usaha film memfokuskan kita ke sana seharusnya bisa diperkecil dan fokus memperbesar perbedaan-perbedaan yang seolah semakin menjauhkan mereka. Barulah nanti pembelajaran tokohnya bahwa mereka sama itu terasa maksimal emosional.
 
 
 
 
Bayangkan ketemu keturunanmu dan melihat dunia sudah berkembang, tapi kau merasa keluargamu berjalan di tempat. Terbaik film ini datang dari benturan dua karakter beda generasi, yang mencoba untuk memasukkan pemahamannya, dan dua karakter itu dimainkan oleh satu orang. Drama dan komedi dari elemen tersebut mampu membuat film ini jadi menyenangkan untuk disimak. Kemudian film ini memindahkan fokus pada kejadian demi kejadian, tapi tidak pernah dibuat maksimal. Film ini ingin memperlihatkan tantangan mewujudkan American Dream di dunia dengan cancel culture, sayangnya film tidak berani untuk tampil total dalam membahas ini. Sehingga satirnya kurang terasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AN AMERICAN PICKLE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang ‘Cancel Culture’? Apakah itu melanggar kebebasan orang dan merusak demokrasi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

YES, GOD, YES Review

“You must never feel badly about making mistake, as long as you take the trouble to learn from them”
 
 

 
 
Coba ingat apa hal yang paling kita takutkan pada saat masih sebagai makhluk yang polos. Takut bikin marah orangtua. Takut kena marah guru. Takut bikin salah. Takut dosa. Apalagi kalo kita besar di lingkungan yang aturan agamanya kuat, kayak Alice di film Yes, God, Yes. Cewek ini adalah tipikal remaja rohis banget. Tumbuh dengan pengawasan pendidikan dan moral Katolik yang ketat. Yang kaku dan konvensional. Lingkungan Alice menjadi semakin ‘jaman jahiliyah’ lagi sebab film ini bertempat di awal 2000an, jadi sebagai pelengkap penduduk cerita yang masih belum terbuka, kita lihat Alice juga hidup di era informasi yang terbatas. Internet belum seperti sekarang. Komputernya masih membuka gambar dengan bertahap. Dan ruang chatnya? Well, di ruang chat itulah Alice menemukan sumber masalahnya. Dia belajar hal yang sebenarnya tak boleh ia lakukan karena dilarang agama. Tapi Alice penasaran. Dan semakin ia penasaran, ia semakin lakukan, dan ia semakin merasa berdosa. Alice lantas ikut club agama untuk menemukan ketenangan. Hanya saja yang ia tahan justru tambah menjadi-jadi. Membuat dia dikucilkan teman bahkan guru, dan membuat dirinya bertanya-tanya sendiri apakah dia bakal jadi penghuni neraka.
Enak gak sih baca paragraf di atas? Kebayang gak si Alice sebenarnya ngapain dari sana? Aku sengaja untuk tidak terang-terangan untuk membuktikan satu poin. Bahwa menutup-nutupi itu memang sejatinya tidak memuaskan. Tidak membantu untuk orang melihat apalagi memahami persoalan yang sebenarnya. Sekolah Katolik tempat Alice menimba ilmu penuh oleh orang-orang yang menutup-nutupi perbuatan mereka, dengan segala petuah dan tindak-tindak suci. Membuat Alice jadi tidak bisa sepenuhnya mengerti ‘baik-dan-salah’, dia malah nyangkanya semua orang dewasa yang taat beragama adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa. Untung bagi kita, film Yes, God, Yes ini sendiri sangat blak-blakan dalam bercerita. Sutradara Karen Maine jujur ketika menyebut seksualitas. Tidak seperti yang kulakukan di paragraf atas. Maine benar-benar gamblang memperlihatkan gerak-gerik penasaran remaja wanita polos dalam diri Alice yang baru saja terbangun gairah kedewasaan. Maine menyorot kepolosan Alice dalam cahaya komedi, bukan untuk kita menertawakannya. Melainkan supaya kita lebih relate, karena ada masa kita seperti Alice. Dan sekarang kita mengerti bahwa yang dibutuhkan oleh Alice dan remaja-remaja itu bukanlah ceramah bahwa masturbasi atau pacaran itu masuk neraka, melainkan bagaimana melakukannya dengan ‘bertanggung jawab’

Si Alice mungkin mikirnya nyari tahu lewat google dosanya lebih besar

 
The best thing yang dilakukan oleh film ini adalah penggambarannya yang sangat akurat terhadap innocent dan rasa takut seorang remaja yang masih polos, terhadap not exactly pada aturan agama yang ia yakini melainkan lebih kepada aturan dan judgement orang-orang penganut agama tersebut. Yes, God, Yes ini menjawab pertanyaan dan keraguan banyak remaja-remaja seperti Alice seputar urge yang pastilah mereka rasakan. Untuk kemudian film ini akan memberikan jaminan kepada remaja-remaja tersebut, bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa yang mereka rasakan adalah normal. Dan ultimately bahwa semua orang punya rahasia, semua orang punya dosa, bahkan orang dewasa – guru ataupun orangtua – sekalipun.

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Semua orang melakukan kesalahan, bukan saja itu hal yang normal, malah iklan ada yang nyebut ‘berani kotor itu baik’. Saat salah kita jangan jadi hipokrit, dan jadi sok suci demi menutupi kesalahan itu. Own up to it. Karena pada saat salah itulah kita belajar. Kita mengubah diri menjadi lebih baik, kita jadi tahu mana yang benar. Hidup bukan untuk tidak berbuat dosa, melainkan memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Kita menebus dosa di dunia salah satunya adalah dengan belajar dari kesalahan. 

 
Arahan Maine juga sukses membuat Natalia Dyer luar biasa tampil meyakinkan. Natalya bukan favoritku di serial Stranger Things karena tokoh dan permainannya di situ sangat generik. Sedangkan di Yes, God, Yes ini, Natalya tampil dengan jauh lebih mantap. Dia terasa otentik memainkan tokoh yang so lost dalam rasa penasarannya. Yes, God, Yes sudah seperti versi yang lebih ringan dan polos dari film Lady Bird (2017) dan Alice sendiri tampak seperti figur Christine yang jauh lebih polos – Natalya berpotongan mirip Saoirse Ronan, hanya lebih ‘rapuh’. Kedua tokoh dalam film masing-masing mengalami masalah yang serupa, they are both in their sexual awakening, mereka sama-sama bertempat di lingkungan Katolik, sehingga gampang bagi kita untuk menarik garis perbandingan. Pertanyaan terbesar yang datang dari itu adalah, setelah Lady Bird yang begitu otentik dan natural di segala bidang, masih perlukah kita menonton Yes, God, Yes?
Tentu, Yes, God, Yes ini banyak dikasih nilai bagus oleh para kritikus. It’s only natural berkat ceritanya yang masuk dan benar-benar fit in ke dalam narasi kontemporer (baca: agenda jaman now) Terlebih para SJW dalam kalangan kritikus selalu suka dengan cerita-cerita yang menyudutkan aturan tradisional; tersebutlah agama di dalamnya. Pemahaman narasi film ini adalah pada penekanan bahwa semua manusia itu berdosa. And sure it’s true. Kita gak boleh merasa superior daripada orang lain hanya karena kita lebih taat dan rajin beribadah daripada mereka. Hanya saja, cara film ini menyampaikan pesannya itu justru seolah Alice menjadi berani dan merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri begitu ia tahu orang lain juga melakukan kesalahan; begitu ia melihat orang-orang yang seharusnya lebih ‘alim’ daripadanya ternyata melakukan perbuatan dosa yang lebih parah daripada dirinya. Membuat cerita film seperti begini, untuk menampung gagasan yang true tadi, menjadikan film tidak ‘menantang’ baik bagi Alice maupun bagi kita. Melainkan hanya jatuh ke contoh-contoh banal, like, ‘pfft tentu saja si pastor itu otaknya ngeres, atau tentu saja kakak pembina murah senyum itu aslinya maniak seks.’ Tentu, kasus-kasus seperti demikian memang ada dan terjadi di dunia nyata – misalnya baru-baru ini terkuak soal kekerasan seksual di balik tembok Gereja seperti yang dilansir Tirto – tapi pada film ini, elemen itu dimasukkan tanpa disertai narasi atau bahasan yang memadai. Mereka hanya dimunculkan begitu saja, tak ubahnya sebagai ‘jawaban mudah’ terhadap kebimbangan tokohnya; sesuatu yang gampang untuk membuat tokoh utama merasa lebih baik.
Pesan yang lebih kuat adalah membahas bagaimana mengakui salah dengan benar-benar menyadari kesalahan itu sendiri. Bagaimana supaya Alice tidak merasa rendah karena perbuatan wajar yang ia lakukan. Dalam film ini Alice merasa lega setelah diberi penguatan oleh seseorang ‘masak cuma nonton Titanic masuk neraka’, dan dengan dia memergoki orang-orang suci di sekitarnya melakukan dosa yang lebih besar daripada ngerewind adegan mobil Titanic atau chat nanyain arti dari slang ‘toss salad’. Film yang lebih baik tidak akan membuatnya memergoki, melainkan membangun relasi yang padat dan emosional antara Alice dengan orang-orang Gereja yang membuatnya merasa terttekan itu. Drama mereka akan digali, mungkin dengan pastor yang menceritakan pengalamannya dulu suka nonton bokep, atau apapun yang membuat cerita berkembang dari Alice yang awalnya mengantagoniskan mereka. Namun Yes, God, Yes malah memilih untuk meng-conjure adegan alice ketemu ‘manusia bercela’ dan memperlihatkan dia lebih gampang membuka diri di depan orang-orang yang gak judgmental. Di sinilah letak masalah penyampaian agenda film ini. Yes, God, Yes begitu set out untuk mengkotakkan mana golongan yang judgmental dan fake, dan mana yang tidak, sementara kita tidak benar-benar melihat bangunan kokoh atas aspek itu, melainkan juga cuma berdasarkan judgment kita sendiri.

Lebih gampang mengakui kita salah jika orang lain juga bersalah, ketimbang jika orang lain benar

 
 
Untuk tidak ikutan bias seperti mereka-mereka yang ngasih nilai tinggi buat film ini hanya karena seusai dengan narasi dan agenda mereka, aku juga gak mau ngasih film ini nilai rendah hanya karena gak sesuai dengan pesan yang menurutku lebih kuat. Maka mari melihat film ini secara objektif penceritaan saja. Dan kupikir, setelah kita menonton Lady Bird yang memperlihatkan Katolik itu tidak mesti sebagai sangkar antagonis yang memenjarakan karakternya, kita gak perlu lagi menonton film komedi banal seperti Yes, God, Yes ini. Alice adalah karakter yang ditulis dengan lemah. Film tidak memberikannya waktu untuk karakternya terset-up dengan baik. Alih-alih memperlihatkan, film memilih untuk menjadikan backstory Alice sebagai misteri yang jadi hook cerita – tentang apakah Alice benar-benar melakukan hal yang digosipin seluruh sekolah pada saat pesta. Ini membuat jarak antara kita dengan Alice. Hobi Alice juga gak berpengaruh langsung terhadap cerita. Dia dibuat hobi main game ular di Nokia, and that’s it. Seperti dimasukin buat denyutan nostalgia saja.
Pun, hubungannya dengan keluarga, hubungannya dengan sahabat, hubungannya dengan guru dan pastor, tidak ada yang sempat diceritakan dengan matang. Semuanya datang-pergi dengan cepat. Film ini mencukupkan dirinya di 78 menit, bukan karena penulis gak mampu untuk bikin lebih panjang. Tapi karena jika dipanjangin lagi, jika drama dan relasi-relasi tersebut digali lebih dalam, ceritanya jadi gak cocok lagi dengan agenda judgmental yang diusung oleh film. Jadi film ini memilih untuk tetap pendek. Dan memang jadi kayak film pendek yang dipanjang-panjangin, ditarik begitu aja sehingga jadi tipis.
 
 
 
Bayangkan karet balon yang ditarik sehingga jadi nyaris transparan. Sepeti itulah film ini. Mereka harusnya nambah lapisan drama, untuk membuat film jadi lebih berbobot, penting, tanpa mengurangi keinosenan yang jadi ujung tombak. Lagipula, menambah durasi tentu saja bukan perbuatan dosa. Meski memang banyak momen relateable yang membawa kita ke jaman waktu masih polos, tapi momen cringe juga tak kalah banyaknya sampai kita pengen bilang ‘oh, God, no’
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for YES, GOD, YES.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Kapan pertama kali kalian nonton bokep? Apakah kalian masih ingat reaksi pertama kalian saat menontonnya? Apakah kalian masih merasa bersalah atau canggung jika saat ini nonton dan ketahuan oleh orangtua?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PALM SPRINGS Review

“Sometimes people come into your life for a moment, a day, or a lifetime”
 

 
 
Terjebak di lingkaran-waktu-yang-terus-berulang (infinite time loop), mengulangi hari yang sama – kejadian yang sama terus-menerus, maka seseorang itu harusnya introspeksi diri, kan? Harusnya menggunakan kesempatan kedua (atau kesekian kalinya) itu untuk memperbaiki setiap kesalahan yang sudah dilakukan supaya hidupnya bisa kembali lurus dan bermakna, kan?? Salah! Well, setidaknya enggak mesti begitu. Karena time-loop tersebut justru bisa saja digunakan untuk mengisi hari sesuka hati karena hidup ini toh semeaningless itu.
Begitulah cara Nyles (Andy Samberg mendapat kesempatan menggali sisi cuek dari persona komedi ‘main-main’nya) memaknai peristiwa terjebak di time-loop yang terjadi kepadanya. Entah sejak beberapa lama. Kini hidup Nyles cuma sebatas satu hari, di hotel tempat sahabat pacarnya menggelar pesta pernikahan. Setiap kali tertidur, Nyles akan terbangun di ranjang hotel pada hari yang sama. Setiap kali dia celaka, zaaappp! dia terbangun tanpa luka di ranjang tersebut. Kita bertemu dengan Nyles saat dia sudah enggak peduli lagi untuk mencari jalan keluar. Dia menikmati hidupnya yang tanpa komitmen dan nyaris tanpa konsekuensi, kecuali saat Roy (J.K. Simmons selalu jadi surprise yang bisa diandalkan) datang, memburunya untuk balas dendam. ‘Hidup nyaman’ Nyles tersebut mulai keganggu saat dalam salah satu skenario main-mainnya, Sarah (Cristin Milioti kocak sekali sebagai cewek sarkas yang penuh dark jokes) tertarik kepada Nyles dan mengikuti cowok itu masuk ke gua yang mereset waktu time-loop.

Kenapa ngikooottt??!!

 
Menit-menit awal film ini memang bisa bikin bingung, juga bakal banyak eksposisi sehingga sedikit boring. Namun begitu aturan-dunia cerita sudah terestablish – dan film keep it simpel – Palm Springs menjelma menjadi perjalanan yang menarik. Arahan Max Barbakow mengeksplorasi aspek-aspek segar dari trope ‘time-loop’ yang sudah banyak kita dapatkan pada film seperti ini sejak Groundhog Day (1993). Jiwa dan hati cerita ini terletak pada hubungan antara Nyles dengan Sarah, yang tentu saja jadi deket dan beneran akrab karena mereka terperangkap bersama. Film mengembangkan komedi dari kontras antara Nyles dan Sarah yang sangat berbeda dalam memandang banyak hal. Mulai dari Sarah yang meminta tanggungjawab udah keseret masuk, walaupun Nyles balik nuding ‘salah sendiri siapa suruh ikut, kan udah dilarang’. Hingga – setelah fase denial terlewati – ke perbedaan keduanya mengisi hari. Nyles dan Sarah akan berpetualang berdua, tapi mereka punya ide yang berlainan. Inilah yang membuat film ini menarik.
Dari hubungan keduanya kita mendapat banyak sekali adegan fun. Samberg dan Milioti seperti dilepas untuk berliar-liar ria. Diikat hanya oleh chemistry yang semakin menguat tatkala film rehat dari adegan-adegan kocak dan beralih ke perbincangan mendalam soal keberadaan manusia di dunia. Mereka debat, tapi gak sekadar teriak-teriak. Selalu ada yang baru dari pengadeganan dan perbicaraan mereka, sehingga asik sekali untuk disimak. Konflik Nyles dalam cerita ini sebenarnya adalah tentang ketakutan berkomitmen. Terjebak di time-loop disandingkan dengan terjebak melalui hari-hari yang sama saat kita sudah mengikrarkan komitmen. Maka Nyles lebih memilih untuk terjebak di time-loop karena di situ Nyles bisa bebas tanpa konsekuensi. Hari ini dia bisa salah kepada orang, besoknya orang tersebut sudah lupa dengan semua salah itu. Sementara bagi Sarah, mengetahui bahwa kita salah dan orang-orang gak tau itu semua, itulah kesalahan yang sebenarnya. Sarah butuh hidupnya menjadi benar, dia tidak mau lari dari komitmen.

Menjadi dewasa berarti harus siap menjalani hari-hari yang sama. Dengan tanggung jawab dan konsekuensi. Film ini mengajarkan kita untuk melihat hal-hal kecil untuk disyukuri karena hidup adalah bukan soal seberapa lama waktu yang kita habiskan dengan seseorang, atau dengan pekerjaan, atau dengan keadaan. Melainkan adalah soal apa yang kita lakukan terhadap waktu itu sendiri.

 
Salah satu perdebatan mereka yang menarik adalah soal menerima orang apa adanya. Nyles mengumpamakannya dengan memakan biskuit berlapis coklat. Hanya merasakan apa yang digigit, enggak usah memusingkan hal-hal selainnya. Sementara Sarah mengatakan kita perlu memikirkan coklatnya coklat apa, biskuitnya terbuat dari apa. Karena masalalu penting dalam pembentukan seseorang, karena rekam jejak eksistensi manusia adalah mereka melalui perubahan. Ironisnya, Nyles juga tidak kita ketahui asal-usulnya. Dan ini membuat kita susah untuk benar-benar peduli sama Nyles, padahal dia bertindak sebagai tokoh utama cerita.

Kejebak dalam loop itu enak, apa-apa tinggal lup!

 
 
Saat Nyles dan Sarah saling curhat tentang masa lalu, Sarah merahasiakan beberapa kejadian di dalam hidupnya, tapi paling tidak kita jadi lebih mengenal dirinya. Sedangkan Nyles, karena sudah lama sekali hidup di dalam loop, dia jadi lupa akan masa lalunya sendiri. Kita bahkan tidak pernah tahu kenapa Nyles bisa terjebak pada awalnya, apa karena dia nyasar ke gua? Film ini tidak peduli untuk membahas itu. Backstory Nyles yang disesumbarkan hanyalah ‘sejarah’ siapa aja yang pernah ia ‘pacarin’ selama terjebak, ranging from bartender ke ayah Sarah, tentu saja penekanan adegan ini adalah untuk menambah bumbu humor. Kita tidak pernah mengetahui dunia Nyles sebelum loop selain dia adalah cowok yang bosan dalam relationshipnya dengan pacar yang jauh lebih muda. Sehingga kita jadi susah peduli sama Nyles. Kita perlu tahu sepeerti apa kehidupannya dulu supaya tokohnya jadi punya bobot, supaya kita bisa peduli seperti yang kita lakukan terhadap Sarah. Seiring cerita berjalan, kehidupan personal Sarah sebelum masuk ke dalam loop diungkap, dan kita pun jadi semakin peduli. Konflik personal Sarah, beban karakternya jadi terasa nyata. Heck, bahkan si Roy yang memburu Nyles karena dendam saja berkesempatan untuk mendapat simpati kita, karena dia diberikan momen yang membuka backstory hidupnya. Nyles perlu digali lagi supaya kita melihat dia lebih dari sekadar nihilis yang kerjaannya main-main (baca: immature). Atau kalo enggak, mestinya sekalian bikin Sarah saja sebagai tokoh utama. Soalnya lagi, memang si Sarah ini yang banyak bikin keputusan; entah itu untuk mengisi hari, ataupun untuk keluar dari loop, arc Sarah clearly lebih emosional daripada arc Nyles.

Kita tidak bisa menyalahkan orang yang ikut masuk ke dalam hidup kita. Karena kita tidak bisa mengatur ataupun memilih siapa yang benar-benar peduli terhadap kita. Sebaliknya, justru jadi tugas kita untuk tidak bersikap egois dan balik-peduli kepada orang-orang yang sudah memilih untuk masuk ke dalam hidup kita.

 
 
Kita tidak benar-benar gereget dan mendukung Nyles untuk bisa kembali ke waktu normal, setidaknya tidak sebanyak gereget kita terhadap keberhasilan Sarah. Film mestinya bisa lebih menyeimbangkan tone, karena jika sudah menyangkut Nyles, cerita memang seperti bimbang untuk jadi lebih sedikit serius. Di sekitar Nyles film ini tampil dengan surealis yang konyol (dengan dinosaurus di latar belakang!), humor yang receh, dan kekerasan yang komikal. Dan bicara soal ‘kekerasan yang komikal’, aku masih belum bisa sepenuhnya akur sama jalan keluar yang diberikan oleh film kepada Nyles dan Sarah. Apakah film memang mengincar sesuatu yang dark dan gak pasti? Kedua tokoh ini praktisnya sama saja dengan bunuh diri untuk mengakhiri; either mengakhiri hidup atau mengakhiri loop. It’s one thing kalo sudah dilandaskan sedari awal sebagai komedi – seperti pada montase Sarah mencoba-coba kekuatan loop, tapi rasanya berbeda aja kalo tokohnya melakukan itu dengan konteks ‘langkah terakhir’ yang gak pasti.
 
 
Dengan cerdas menceritakan ulang trope time-loop, komedi romantis ini membuktikan kreativitas itu memang masih mungkin untuk terus digali. Menonton film ini rasanya mirip kayak nonton episode-episode Twilight Zone, yang karakternya selalu dihadapkan pada keadaan yang menantang pikiran-pikiran filosofis. Bedanya, film ini gak horor. Melainkan sangat kocak. Selain masalah kurang tergalinya tokoh utama, dan dia kalah emosional dengan tokoh pendukung, aku pikir film ini tetap termasuk dalam kategori tontonan yang enak untuk ditonton lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Oh tidak, kita kena loop?
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PALM SPRINGS.

 

 

 

That’s all we have for now.
Nyles menyalahkan karena tidak mengerti kenapa Sarah mau-maunya mengikuti dia masuk ke dalam gua. Menurut kalian, kenapa kadang kita bersikap seperti Nyles – yang takut ketika ada orang yang memilih masuk ke hidup kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA Review

“It does not do to dwell on dreams and forget to live”
 

 
 
Adalah prestasi yang luar biasa sebenarnya untuk dapat menjadi seperti Lars dalam film Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga. Enggak gampang untuk bisa teguh mengejar passion masa kecil. Untuk terus mendedikasikan diri mengusahakan mimpi, meskipun diremehkan – bahkan diledek – oleh semua orang. Termasuk orangtuamu sendiri. Karena realita tak akan menghantam kita pelan-pelan. Di bawah tekanan kenyataan, enggak semua orang mampu mempertahankan siapa dirinya, seperti Lars. Namun tentu saja, untuk memegang erat passion seperti demikian, kita juga enggak boleh seperti Lars. Yang lupa memperhatikan sekitar karena mimpinya yang terlalu jauh itu.
Sedari kecil, sejak ditertawakan oleh kerabat dan tetangga pada malam pemakaman ibunya, Lars bertekad untuk memenangi kontes nyanyi se-benua Eropa yang tersohor itu. Dia ingin membuat bangga ayahnya yang pelaut. Sekarang usia Lars (Will Ferrell udah sah jadi rajanya underdog-absurd komedi) sudah kepala tiga, dan tetap saja hanya Sigrit (Regina George.. eh, Rachel McAdams jadi ‘wanita desa’ yang lugu dan bersuara indah) seorang yang percaya dan mendukung dirinya. Bersama mereka membentuk band duo Fire Saga, yang nyanyi di kafe dan pesta-pesta di kota – walaupun warga selalu meminta mereka memainkan satu lagu rakyat dan menolak mendengar lagu ciptaan Lars yang lain. Dalam sebuah rentetan kejadian yang kocak – agak sadis, tapi tak pelak konyol – Fire Saga akhirnya kepilih untuk pergi mewakili Islandia ke final Eurovision tahun ini. Berdua saja di ranah showbiz yang glamor dan sarat kepentingan terselubung, Lars yang tak-mampu melihat apapun di luar potensi kemenangan dirinya, dan Sigrit yang akhirnya merasakan perhatian meskipun datang bukan dari partner masa kecilnya, mulai merenggang. Dan setelah satu lagi kecerobohan penampilan musik yang failed dan nyaris berujung petaka, Fire Saga seperti sudah digariskan untuk bubar – membuat malu negara, dan tentu saja ayah Lars di rumah.

Dan percaya atau tidak, film ini juga melibatkan bangsa peri

 
 
Kita yang tinggal di Indonesia mungkin belum banyak yang pernah mendengar – apalagi yang gak ngikutin musik kayak aku – Eurovision yang merupakan kontes musik yang beneran ada di Eropa sana. Acara ini ternyata udah diberlangsungkan semenjak pertengahan 1950, dan sudah menelurkan tren-tren musik mulai dari ABBA hingga ke Celine Dion. Film garapan David Dobkin ini pun tadinya diniatkan rilis bersamaan dengan pagelaran Eurovision tahun 2020, tapi urung karena pandemi korona. Kenapa komedi musik ini menjadi seperti begitu urgen? Kenapa tokoh fiksi harus diciptakan ke dalam show nyata yang sudah jadi tradisi? Itu karena film Eurovision ini difungsikan bukan hanya sebagai tribute, melainkan sekaligus sebagai parodi untuk mengingatkan acara itu sendiri yang semakin modern malah semakin konyol. Eurovision adalah kontes musik yang kini bukan semata adu-kemerduan suara, namun lebih sebagai adu-aksi panggung. Kembang api, efek video, kostum-kostum ‘unik’. Acara itu udah jadi selebrasi unjuk-gigi negara-negara terlibat. Di belakang panggung, ada strategi dan permainan politik bahkan sedari pengiriman delegasinya. Semua itu ditampilkan dalam nada ringan oleh film Eurovision Fire Saga ini. Kita mendengar komentar soal kostum, dan aksi panggung, yang diwakilkan oleh tingkah polah Lars yang jadi laughing stock seluruh kota. Kejadian seputar Lars dan Sigrit kepilih oleh produser dibuat sebagai kebetulan yang sebenarnya direncanakan oleh pihak-pihak tertentu.
Formulanya, ini merupakan cerita underdog. Lars dan Sigrit diremehkan. Namun bukan karena kemampuan nyanyi mereka yang buruk. Tonton sendiri dan biarkan mereka membuatmu terpana oleh ballad-ballad pop yang nendang abis. Penyebab mereka tidak-ada yang menjagokan adalah karena mereka selalu melakukan aksi-aksi panggung yang norak dan berlebihan. Penampilan musik mereka gagal selalu karena hal tersebut. Ini lantas dikaitkan oleh film dengan heart-of-the-story, yakni hubungan antara Lars dengan Sigrit. Yang satu punya mimpi besar, yang satu punya talenta tak-terukur. Ada cinta di antara mereka. Dan hanya ada sepihak saja yang melihat ini. Cerita dan karakter mereka dibangun supaya kita menginginkan mereka berhasil. Dengan stake bubaran yang memang berhasil membuat kita peduli. Walaupun formula film ini standar sekali – it fits to both our usual underdog and childhood lover story – film ini masih berhasil untuk tampil segar berkat karakter. Dan visual Islandia dan panggung Eurovision yang gemerlap. Dan tentu saja lagu-lagunya.
Aku menikmati penampilan di film ini. Ferrell dan McAdams jadi center-piece yang sempurna untuk cerita, meski kadang terlihat aneh juga mereka sebaya tapi Lars kadang seperti terlalu tua (apalagi film kerap mengingatkan kita dengan running joke ‘mungkin-bukan-kakak-adik’ itu). Aku terutama suka sekali sama penampilan McAdams di sini, karakternya hampir seperti magical. Apalagi pas nyanyi. Wuih! Lagu ‘Double Trouble’ yang mereka bawakan dengan naas itu sudah hampir bisa kupastikan bakal masuk jadi nominee buat kategori Best Musical Perfomance di My Dirt Sheet Awards tahun depan. In fact, dalam film ini akan ada banyak penampilan musikal yang memukau. Lagu finale-nya bakal bikin merinding. Dibawakan dengan lip sync oleh McAdams tidak lantas membuat penampilan terasa ‘plastik’. They played it off so good, dan salut juga buat Ferrell yang beneran menyanyikan semua lagu bagiannya.
Dengan sifatnya yang jengkelin, kadang Lars terlihat seperti Matt Riddle versi tua

 
 
Cerita underdog dalam sebuah kompetisi bisa kita maklumi taat kepada formula yang sama. Seperti setiap cerita tinju ‘blueprint’ bakal selalu formula cerita-cerita Rocky. Eurovision Fire Saga ini pun sebenarnya buatku tak masalah diceritakan dengan formulaic. It has a clear-cut plot. Tahun kemaren kita dapat Fighting with My Family (2019) yang berceritanya standar tapi tetap enak dan segar untuk diikuti karena punya cerita yang padet tersusun rapat di samping punya karakter yang unik sekaligus manusiawi. Eurovision Fire Saga ini, however, tidak terasa serapi itu. Untuk mengisi formula tersebut, cerita ini punya banyak jejelan yang sebagian terasa tidak perlu. Dua-jam-lebih film ini memang bikin geram. Bukan karena kepanjangan, melainkan lebih karena kita bisa melihat mana bagian yang mestinya bisa dipotong, atau dihilangkan, atau diganti, untuk membuat penceritaan jadi lebih efisien.
Misalnya, soal perjalanan Lars. Kita paham yang dia butuhkan adalah mendapat ‘anggukan’ dari ayahnya. Sehingga dia butuh untuk ketemu lagi dengan sang ayah, untuk mengonfrontasikan segala uneg-uneg. Pelajaran yang ia harus sadari datangnya dari sini. Hanya saja usaha film terasa sangat minimal dalam menceritakan ini karena film – yang sudah merasa dengan memasang Will Ferrell sebagai bintang utama maka mereka sudah otomatis melandaskan film ini sebagai komedi absurd – tidak merancang konfrontasi itu dengan benar-benar ‘masuk akal’. Film melakukannya dengan membuat Lars menempuh perjalanan bolak-balik naik pesawat, mereka memasukkan skit komedi dengan turis Amerika, yang sesungguhnya hanya memperpanjang waktu. Bukan cuma sekali itu film ini terasa ngedrag. Eurovision punya agenda untuk menampilkan kameo-kameo mulai dari artis hingga pemenang kontes Eurovision beneran (which make them ‘artis’ juga kalo dipikir-pikir), yang penempatannya memang kurang begitu menambah bobot cerita. Sekuen ‘song-along’; various tokoh saling nyambungin nyanyian tidak ditempatkan dengan mulus sehingga tampak seperti adegan selipan yang setengah hati niru-niruin Riff-off nya Pitch Perfect.

Lars sesungguhnya relatable untuk banyak orang, terutama sepertinya generasi milenial. Generasi pengejar mimpi. Kegagalan Lars bagi mereka bisa dijadikan sebagai cautionary tale. Mengejar passion bukan serta merta jadi alasan untuk bersikap egois. Tetaplah perhatikan orang-orang di sekelilingmu. After all, sedikit banyaknya pasti ada mereka pada mimpi yang coba kita wujudkan itu.

 
Bahan-bahan untuk meracik tayangan komedi yang lucu dan kuat dari segi drama sebenarnya sudah ada di atas meja. Produser yang gak mau Islandia menang karena ekonomi yang gak siap – atau mungkin dia gak mau berbagi. Dua sahabat yang terancam berpisah. Bentrokan ide kreatif. Konflik perasaan. Satu tambah satu itu bisa dijadikan dua dengan dengan gampang. Namun film ini merasa content dengan aspek-aspek seperti hantu ataupun invisible elves sebagai bagian utama dari plot. Sekalipun film ini diniatkan sebagai parodi, tetap saja hal tersebut menjadi overkill. Karena toh cerita enggak perlu untuk menjadi sesuatu yang katakanlah ‘impossible silly’. Malah, mestinya film ini bisa jadi lebih magical. Kayak elemen mitos Speorg Note yang dipunya oleh film – not yang hanya bisa dicapai oleh peri – ini aku suka; melihat tokoh percaya pada hal ini untuk membuatnya bernyanyi lebih baik, ini adalah keajaiban yang menambah untuk cerita. Tapi hantu yang terlambat memperingatkan, dan peri yang low-key melakukan kriminal, not so much. Cuma candaan receh – tidak esensial – yang dipaksa masuk supaya cerita bisa stay di jalur formula yang sudah ditetapkan.
 
 
 
Mungkin memang seperti inilah kontes Eurovision jika wujudnya adalah sebuah film. Tayangan menghibur, dengan formula yang terbukti-bisa-berhasil dan jejeran penampil yang meyakinkan. Hanya saja semua itu diisi penuh dengan penampilan-penampilan yang konyol. Kita tahu ini gak bagus tapi kita menikmati tayangannya. Kita gak perlu elves, hantu, antagonis – or seemingly so – yang gak jelas motivasinya apa, ataupun deretan kameo yang menambah-nambah durasi. Namun kita tetap peduli sama Fire Saga. Dan lagu mereka dengan tepat menyimpulkan film ini. “How come something so wrong feels so right?”
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA.

 

 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian mendengar tentang kontes Eurovision sebelumnya? Siapa kontestan favorit kalian di sana?

Dan bagaimana pendapat kalian tentang kontes menyanyi yang berkonsep pencarian bakat seperti ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE KING OF STATEN ISLAND Review

“It’s never too late to be who you might have been”
 

 
 
Ada stereotipe yang erat melekat kepada penduduk Staten Island, kota kecil di pulau selatan bagian dari New York, yang sebagian besar memang membuat mereka dapat citra yang kurang membanggakan. Akibat gambaran serial tivi seperti Jersey Shore, remaja-remaja di Staten Island kini dikenal sebagai makhluk yang ignorant, sukanya party, ‘makek’, keras kepala, dan cewek-ceweknya hobi banget tanning ampe kulit jadi berwarna orange. Gaya bicara hingga kosa kata khas mereka pun sering diperolok. Dan walaupun stereotipe itu cuma karakterisasi dan gak semuanya benar, tidak semua remaja di sana beneran seperti demikian, Scott Carlin, menghidupi ‘traits’ tersebut hampir seratus persen, yang lantas membuatnya pantas untuk menyandang gelar Raja di Staten Island.
Cobalah berdialog sama Scott. Maka dipastikan dia akan ngelindur, hampir seperti bercanda tapi dia serius. Ajak dia ngobrol soal kehidupan; dia akan nyerocosin pandangan kekanakannya yang menyebalkan. Ajak dia berbincang soal pekerjaan, well, semoga beruntung menjawab jawaban yang positif darinya. Scott ingin jadi tattoo artist, tapi gambar karyanya hanya sedikit lebih baik dari corat-coret anak SD. Scott punya angan untuk membuka restoran tato, orang datang untuk makan sekaligus ngantri ditato. Mimpinya itu benar-benar merangkum kepribadian Scott. Dia punya passion, tapi terlalu nyeleneh. Dia mau berusaha, tapi terlalu lambat. “I am still figuring things out”, katanya, membuat sebal ibu serta adik perempuannya yang baru saja masuk kuliah. Bahkan pacarnya sendiri, cewek Staten Island tulen yang mau membuat ‘Staten Island great again!’, muak dengan Scott yang seperti mengulur-ulur hubungan mereka.
Sebagian besar film The King of Staten Island ini akan terasa seperti sajian slice of life. Tontonan kehidupan yang seperti tanpa tujuan, melainkan hanya memperlihatkan keseharian Scott, young-adult pengangguran umur 24 tahun yang masih tinggal serumah dengan ibunya yang sudah belasan tahun menjanda. Ketika sang ibu mulai berhubungan ke arah yang serius dengan seorang pria pemadam kebakaran, barulah film ini kelihatan tujuannya sebagai drama. Karena Scott gak suka pria tersebut. Untuk alasan yang personal. Dia membenci pemadam kebakaran karena pekerjaan itulah yang merenggut ayah kandung dari dirinya. Ayah yang meninggalkannya dengan segudang prestasi dan pencapaian dan kisah-kisah kepahlawanan yang eventually menjadi beban bagi kehidupan Scott sebagai orang dewasa.

Kalo King ini ketemu Princess of Staten Island, it would be F-A-B-U-L-O-U-S-S

 
Melihat Scott melewati hari demi hari dengan practically gak melakukan apa-apa yang penting, secara mengejutkan sangat menyenangkan. Bahkan debat kusirnya dengan teman segeng, dengan pacar, dengan adik, begitu amusing. Kita bisa menangkap secercah poin ‘kebenaran’, atau mengerti alasan Scott, dan kita dapat melihat tokoh ini bukanlah seorang bad-boy. Suatu waktu dia menolak ikut gengnya merampok toko obat, menunjukkan Scott tahu mana baik mana yang buruk. Namun dia seringkali jadi kayak asshole dan bikin sekelilingnya kesel karena gak kunjung berubah. Itu semua hanya karena dia punya self esteem yang kelewat rendah. Dan inilah sebenarnya purpose dari cerita. Mengawal Scott mengenali masalah dalam dirinya, mencari penyebab kenapa standarnya begitu di bawah, dan dia seperti nyari alesan untuk menjadi lebih baik, dan berkonfrontasi dengan itu.
Semua itu karena Scott dibesarkan dengan cerita kepahlawanan sang ayah. Pemberani, baik hati, bertanggung jawab, selfless. Legenda di komunitas pemadam kebakaran. Ibunya menceritakan kehebatan ayah kepada Scott, malah membuatnya merasa itu adalah garis yang terlalu tinggi untuk dilewati. Apapun yang terjadi ia tidak akan bisa menjadi sehebat ayahnya. Sehingga selain menjadi gak suka ama kerjaan pemadam kebakaran, Scott juga jadi males berusaha tinggi-tinggi. Daging cerita ini terletak pada momen ketika Scott mulai – walaupun terpaksa – masuk ke dunia pekerjaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Melihat seperti apa hidup sebagai pemadam kebakaran, mengetahui resiko-resikonya, dan ultimately mendengar langsung seperti apa sebenarnya sang ayah di luar kerjaan dan prestasi-prestasi tersebut. Scott enggak sadar inilah yang ia butuhkan. Untuk mengenal ayahnya, sebenar-benar kenal. Luar-dalam. Baik-buruk. Film lain akan memperlihatkan tokoh seperti Scott ini akhirnya menjadi pemadam kebakaran handal juga sebagai bentuk transformasi dan penyadaran diri. Namun The King of Staten Island tahu persisnya penyadaran itu seperti apa dan sekaligus mengerti bahwa perubahan itu butuh proses. Film bercerita dengan sangat bijak, dan bekerja segrounded-grounded-nya sehingga kita terus merasakan sesuatu yang real hingga ceritanya usai.

Tidak ada kata terlambat dalam menyadari siapa dirimu sebenarnya. Scott; dia bukan sebatas stereotipe remaja di suatu kota, dia bukan seniman tato yang gagal, atau bahkan – dia bukan anak pahlawan. Melainkan, yang harus disadari olehnya sendiri bahwa, dia adalah anak ayahnya. Just that. Sehingga dia bisa mengerti bahwa hidupnya adalah sepenuhnya keputusan sendiri, tidak berdasar atas standar yang ditetapkan oleh orang lain.

 
Yang membuat film ini unik adalah bahwa sebenarnya cerita ini bertindak sebagai semi-autobiografi. Sutradara Jude Apatow menulis naskah film ini bersama pemeran Scott, komedian Pete Davidson, yang di real life adalah anak seorang pemadam kebakaran yang juga jadi pahlawan dalam bertugas. Tepatnya, Ayah Pete gugur saat menyelamatkan orang-orang pada tragedi 9/11. Momen pada ending film ini dijadikan tribute untuk kejadian tersebut. Aku gak bakal bilang konteks atau kejadian tepatnya ending film ini seperti apa. But momen terakhir film ini adalah Scott sedang di Manhattan dan dia melihat ke arah Menara Kembar seharusnya berada. Yeah, saat mengetahui informasi ini semuanya juga jadi klik buatku. Aku sampai “wow, makanya” berkali-kali.
Wow, makanya Scott di film ini begitu natural. Davidson memainkan tokohnya dengan sangat personal. Memerankan karakter yang mirip dengan diri sendiri jelas bukan perkara gampang. Apalagi dengan tone komedi di balik drama yang harus dikenai. Salah-salah karakter tersebut hanya akan jadi seperti parodi yang sama sekali enggak manusiawi. Davidson berhasil keluar dari jebakan karikatur tersebut. Dia mengeksplorasi grief terhadap kematian ayahnya, perjuangan dalam hidup menjadi dewasa, relasi dengan keluarga; dia menarik semua itu dari dalam hatinya dengan tidak pernah berlebih. Just enough untuk membuat tokohnya menjadi sedemikian nyata. Film ini punya pesona sehingga kita tetap peduli pada Scott. Meskipun bagi tokoh lain, dia menyebalkan. Komedi yang hadir dari dialog dan interaksi tokoh ini tidak sekalipun terasa dipaksakan. Para tokoh pendukung, dan juga remaja-remaja Staten Island yang lain tidak serta merta annoying karena kita dapat melihat menembus stereotipe yang udah terbentuk.

Mungkin kalo kita minta ditato dengan gambar wajahnya, Scott baru sudi berusaha lebih keras.

 
 
Normalnya, film kayak gini akan langsung mulai dari titik terendah tokoh, lalu babak satu berakhir dengan dia keluar dari zona itu, yang berarti Scott mulai tercemplung ke dunia ayahnya. Cerita biasanya akan berakhir dengan Scott menjadi semacam pahlawan. Tapi arahan Apatow sama sekali berbeda. Dia menarik jauh ke belakang. Kita baru melihat Scott berada di pemadam kebakaran setelah midpoint. Dan film seperti berakhir prematur, sebelum Scott benar-benar punya pencapaian. Ini, dan fakta bahwa durasi cerita mencapai dua jam lebih, sekiranya berpotensi membuat penonton gak-sabar dan menyerah pada kejengkelan. It really takes a while untuk film ini berjalan sesuai tujuannya. Paruh pertama – yang bagian ‘slice of life – berjalan seperti ngalor ngidul. Banyak juga tokoh yang ilang-timbul begitu saja, persis kayak di real life; orang-orang akan keluar masuk hidupmu tapi kita juga move on dan terus berjalan. Hanya saja memang dapat dimengerti kalo mungkin ada sebagian dari kita yang geram ingin meringkas ceritanya menjadi bagian-bagian penting saja yang ditampilkan.
Aku pun sempat berpikir demikian. Namun jika memang cerita ini dipersingkat, enggak perlu se-elaborate itu melihat kegiatan Scott dan kawan-kawan, menurutku film akan kehilangan pesonanya. Aku meragukan hasilnya akan menjadi lebih menarik, atau bahkan lebih baik. Karena tujuan film membuat paruh awal yang berkepanjangan dan ke mana-mana itu adalah untuk menghidupkan Staten Island itu sendiri sebagai sebuah karakter. Dari bagaimana penduduknya, seperti apa rupanya, semua dijadikan sebagai penciri karakter. Jadi selain untuk meng-emphasize persoalan ‘figuring things out’ supaya kita makin relate, di separuh awal film juga ingin membangun tempat itu bersama dengan tokoh utamanya. Sehingga Staten Island juga mendapat lapisan di balik stereotipe yang menimpanya.
 
 
 
Sajian komedi yang penuh pesona. Baik itu dari karakter maupun dari kota yang menjadi tempat para karakter itu hidup. Kuat oleh sense of realism karena berhasil mengakomodasikan statusnya sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi. Tentu saja semua ini tercapai berkat arahan dan permainan akting yang luar biasa. Ceritanya memang tergolong panjang dan seperti terbagi menjadi dua bagian. Namun kita tidak akan bosan ataupun merasa jengkel kepada tokohnya. Melainkan akan merasa hangat oleh momen-momen ajaib-tapi-genuine di dalamnya. Dan Scott dalam film ini bisa jadi inspirasi bagi orang-orang yang juga lagi terlunta-lunta dalam hidup, membantu kita untuk “trying to figure this shit out”.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KING OF STATEN ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana dengan daerah/kota kelahiranmu? Apakah kalian punya koneksi dengannya? Sebesar apa peran kota terhadap pendewasaanmu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA