SOUL Review

“Life starts now.”
.

 
 
Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.
EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.
Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.
Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 
 
Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.
Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.
Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.
Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 
 
Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.
Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 
Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.
Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.
 
 
 
Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MANK Review

“Your job is to tell your story”
 

 
 
Diberikan kendali penuh atas semua keputusan kreatif cerita dalam sebuah pembuatan film sudah barang tentu merupakan mimpi basah setiap penulis naskah. Herman Mankiewicz, penulis naskah veteran di Hollywood tahun 40-an, kecipratan hak istimewa itu saat ditunjuk untuk berkolaborasi oleh produser muda Orson Welles. Di tengah-tengah Studio yang lagi struggling, Welles diberikan otonomi khusus untuk membuat film, dan Mank – panggilan Mankiewicz – yang terkenal karena talentanya, oleh Welles, diperbolehkan menulis apapun. Cerita apapun yang menarik. Dalam batasan waktu dua bulan. Asalkan, Mank setuju namanya tidak dicantumkan pada kredit. Sebagai seorang yang vokal terhadap kritik sosial, Mank setuju karena dia punya banyak observasi terhadap keadaan khususnya Hollywood saat itu. Namun keadaan memperlihatkan cerita yang sedang ditulis ternyata personal bagi Mank. Terlalu personal malah. Dan kejadian hasilnya, adalah sejarah dalam dunia perfilman.
Bagi penonton yang baru melek ke dunia, skenario cerita yang dimaksud oleh film ini adalah skenario Citizen Kane (1941). Film yang dipertimbangkan banyak kritikus dan penikmat sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat. Yang pernah ditulis. Film yang benar menggambarkan resesi setelah Great Depression yang melanda seantero Amerika. Mankiewicz dan Welles diganjar Oscar untuk film ini. Makanya film Mank yang dibuat oleh David Fincher ini enggak bisa lebih menarik lagi. Setidaknya sangat menarik bagi para penggemar dan pemerhati sinema. Karena Fincher menawarkan kita tempat duduk paling depan pada rangkaian peristiwa yang mendasari bagaimana film Citizen Kane itu bisa tercipta. Kita akan melihat insipirasi penciptaannya, langsung dari sudut pandang Herman Mankiewicz sendiri. Langsung, dari sosok yang terkenal bukan hanya lewat talenta tapi dari pemikiran dan aksinya yang kontroversial, bahkan untuk standar Hollywood itu sendiri.

Also it’s all very weird to me, karena selama ini ‘Meng’ buatku konotasinya adalah ‘pegulat dengan reputasi paling ditakuti bahkan oleh sejawatnya’

 
 
Tadinya kupikir, cerita film ini akan menarik karena berhubungan dengan batasan waktu. Dua bulan yang diberikan untuk Mankiewicz menulis, ditambah dengan kondisinya yang udah tua tapi tetep ngebut minum – dan rintangan tambahan berupa kaki Mankiewicz yang digips karena kecelakaan mobil, effectively membuat dia ‘terikat’ di tempat tidur, kukira akan dijadikan sebagai rintangan utama dalam proses kreatif menulisnya. Aku salah telah meragukan kehebatan sosok legenda Hollywood tersebut. Bagi Mankiewicz dalam film ini, itu semua bukan halangan untuk menulis. Namun lantas jika begitu, di mana letak konflik film Mank ini? Mankiewicz itu sendirilah yang membuat film ini jadi punya konflik yang menarik.
Mank juga bukan cerita tentang kejatuhan seorang penulis. Sedari awal film ini dimulai, kita sudah melihat karakter ini yang ‘bermasalah’. Toh dia sendiri sadar masa jayanya sudah hampir lewat. Kita bisa melihat meskipun orang-orang film di sekitar Mankiewicz menghormati dia karena ilmu dan kepandaiannya menulis, tapi orang-orang itu juga melihat Mankiewicz sebagai semacam bom waktu yang tau-tau bisa meledak. Dan tak ada yang sudi meledak bersamanya. ‘Penyakit’ candu alkohol dan lidah tajam Mankiewicz-lah yang jadi konflik dan hambatan dalam cerita ini. Citizen Kane yang ia bikin nantinya juga bukan tanpa kontroversi, sebab tokoh-tokoh di dalam film tersebut seperti tampak ditulis berdasarkan pada komentar atau pandangan Mankiewicz terhadap karakter-karakter yang berhubungan dengannya. Yang tidak semua dari mereka suka untuk terseret dalam pandangan Mankiewicz yang berani menyulut kontroversi.
Lewat naskah yang ditulis oleh mendiang ayahnya, David Fincher dengan berani memuat itu semua. Jika film-film biopik biasanya akan bersikeras untuk memperlihatkan sisi terbaik dari tokoh nyata yang sedang dibicarakan tersebut, maka Mank justru dengan bangga memperlihakan semua hal, termasuk saat-saat dia yang paling bobrok. Dalam film ini kita justru diminta untuk memahami seorang penulis tua yang seharian di tempat tidur, diam-diam minum alkohol, di lain waktu dia flirting dengan perempuan walaupun dia sudah menikah. Dia bahkan enggak sedewa itu dalam urusan perfilman; aku ngakak ketika dia menyumpahi The Wizard of Oz. And oh btw, dia menyebut istrinya dengan panggilan ‘Poor Sara’ haha bayangin. Fincher sepertinya ingin menubrukkan itu dengan latar Hollywood yang sebenarnya jadi komentar khusus. Bukan untuk memilih ‘the lesser devil’, melainkan karena justru si Mankiewicz yang dipandang sinis karena komentar dan tabiatnya itulah yang berani mengkritisi dan vokal terhadap arahan dunia kerjanya saat itu.
Film ini bertutur secara bolak-balik. Antara Mankiewicz di tempat tidur, yang dikejar deadline naskah, dengan Mankiewicz muda yang mengarungi studio-studio hitam putih Hollywood – berinteraksi dengan rekan kerja dan orang-orang film sekalian. Gips di kakinya itu yang bisa dijadikan pegangan jika kalian menemukan kesulitan untuk memahami mana Mankiewicz yang mana. Karena transisi yang dilakukan film ke dua periode tersebut sangat mulus. Konteks sebenarnya jelas. Mank bakal terflashback setiap kali akan menulis, karena dari pengalamannya itulah dia menarik cerita. Dan kita pun gak perlu menonton Citizen Kane terlebih dahulu sebelum bisa mengerti apa yang ia tulis. Sebab film benar-benar memanfaatkan sekuen-sekuen flashback itu untuk menghidupkan gambaran, memusatkan perhatian kita pada apa yang diperhatikan oleh Mankewicz. Sejarah dunia sinema terpapar gamblang di sini. Fincher bicara banyak soal politik di balik tembok-tembok studio. Bagaimana film dijadikan agenda kampanye. Dijadikan propaganda. Bagaimana studio-studio gede seperti MGM terpengaruh keuangannya oleh Great Depression. Ultimately, bagaimana itu semua membentuk iklim perfilman saat itu.

Mankiewicz punya concern terhadap itu semua. Seperti juga halnya dengan Fincher yang tampak punya peduli terhadap perfilman saat ini. Kini otonomi, atau kendali-kreatif itu sudah jadi bahkan lebih langka lagi bagi para pembuatnya. Karena studio atau PH sudah benar-benar ingin mengatur ‘produk’ yang mereka jual. Film sekarang dijaga ketat agendanya, tampilannya, bahkan jadwal penayangannya. Mank sendiri ‘terpaksa’ harus tayang di Netflix setelah cukup lama luntang-lantung mencari tempat yang mau menayangkan. Padahal setiap film mestinya adalah kisah personal. Dan pekerjaan film mestinya menceritakan kisah-kisah tersebut.

 
Menonton film ini mengingatkanku kepada dua film yang kutonton baru-baru ini; Black Bear (2020) karena sama-sama memperlihatkan proses kreatif menulis, dan Tenet (2020) karena kedua film ini sama-sama menakjubkan secara teknis. Hanya saja, sayangnya, Mank lebih mirip Tenet dalam pencapaian keseluruhan.

Magic film-film zaman sekarang adalah waktu beli tiket kayaknya penuh, tapi pas di dalam studio ternyata sepi

 
 
Penonton yang benar-benar awam, I mean, orang yang jarang banget nonton film – yang gak tau – apalagi yang gak apal aktor-aktor, niscaya akan percaya film ini adalah film jadul beneran. David Fincher paling berhasil di aspek ini. Tampilan Mank didesain selayaknya film 30an. Hitam-putih, tapi bukan hitam-putih tegas melainkan dengan kualitas yang jernih sehingga adegan-adegan flashback terkesan kayak dreamy, atau benar-benar dari ingatan. Visual hitam-putih itu dihadirkan lengkap dengan efek seperti retakan sekilas pada frame, dan ‘cigarette burns’ yang memang hanya ada pada film-film jadoel yang masih menggunakan film reel.
Pengadeganan pun dibuat sama persis dengan film-film 30an seperti misalnya komposisi; background film dibuat kontras dengan foreground (terlihat saat adegan naik mobil), atau juga shot-shot yang mengontraskan cahaya kepada karakter, sehingga menimbulkan garis siluet. Film modern yang warnanya udah full hd mana ada lagi yang menggunakan teknik itu. Fincher juga kerap membiarkan sebuah adegan terdiam dahulu untuk beberapa detik, memberi waktu kepada kita untuk mencerna dialog-dialog panjang yang mengisi adegan, untuk kemudian ngezoom ke karakter dan perlahan fade out. ‘Ilusi’ ke era jadul itupun turut diperkuat dengan artistik yang meyakinkan. Yang bahkan semakin diperkuat lagi dengan permainan peran dari para aktor seperti Gary Oldman (menyaru sempurna banget ke dalam sosok Mank), Lily Collins dan Amanda Seyfried (suka lihat tampang klasik merekaaa), Tom Burke dan Charles Dance dan masih banyak lagi yang interaksinya dan mannerismnya meyakinkan.
Semua aspek teknis film ini, seperti Tenet, sungguh mencengangkan. Gak heran nanti kalo ada unsur-unsur film Mank yang nyangkut di Oscar. Namun seperti masalah yang ada pada Tenet, film ini pun tetap saja terasa hampa. Padahal penokohannya ditulis dengan lebih baik. Aku juga bisa mengerti konteks ceritanya. Situasi dan settingnya adalah informasi yang menarik mengenai sejarah dalam dunia perfilman. Dan itulah masalahnya. Film ini terasa lebih kayak rangkaian informasi-informasi ketimbang sebuah perjalanan karakter. Dialog-dialognya memang menarik tapi kita tidak terasa tersedot masuk. Kita hanya menyaksikan saja. Kita tidak terinvest kepada karakter, karena stake waktu tadi basically dibilang enggak susah bagi karakternya, dan hanya itulah yang dipunya cerita ini untuk membuat kita terikat secara emosional kepada karakternya. Di sepertigaan akhir, ada usaha dari film menampilkan adegan yang bertujuan untuk membuat kita merasa semakin simpati – inilah bagian paling rendah dalam karir dan kehidupan profesional Mankiewicz – hanya saja dengan absennya sesuatu yang nyata yang bisa terenggut darinya, kita gak bisa bertambah simpati. Malah yang ada, adegan tersebut tampak cringe.
Simpelnya, film tidak membangun pertaruhan bagi Mankieweiz. Kalo dia gagal, dia tidak kehilangan apapun. Stake harga diri juga tidak terbangun. Karir Mank tidak pernah diperlihatkan terancam, karena sedari awal tokohnya sendiri sudah menepis dengan percaya masa emasnya sudah lewat. Jadi ini adalah karakter yang nothing to lose. Susah untuk terinvest ke karakter seperti ini. Bahkan saat debatnya minta masukin nama di kredit Citizen Kane pun kita tidak pernah benar-benar merasa mendukung tuntutannya tersebut. Adegan yang berfungsi selayaknya ‘final fight’ itupun tak jadi begitu dramatis.
 
 
 
Alih-alih surat cinta kepada perfilman jadul, film ini lebih mirip seperti cermin yang diberikan sutradara karena cinta dan pedulinya terhadap perfilman modern. Karena dari film ini kita bisa belajar banyak. Entah itu peristiwa dan situasi perfilman era 30-40an. Ataupun juga belajar dari gambaran proses produksi film pada era tersebut. Penonton yang cinta dan ingin belajar lebih banyak tentang perfilman, perlu untuk menonton film ini. Toh memang tidak digarap main-main. Aspek teknis dan unsur-unsurnya juara. Masalahnya cuma, film ini meskipun karakternya menarik dan kadang cukup lucu, tidak benar-benar terasa seperti perjalanan karakter. Film ini lebih seperti buku pelajaran, yang gak gampang untuk dibaca berulang-ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANK.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setelah menonton Mank, apa perbedaan dan persamaan antara perfilman sekarang dengan perfilman tahun 1930 menurut kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HAPPIEST SEASON Review

“When you wait for the right time, you’ll never know when it’s already too late”
 

 
 
Natal, bagi yang merayakannya, adalah waktu yang membawa kebahagiaan. Bukan semata karena natal punya suasana yang meriah dengan segala hiasan rumah, lengkap oleh hadiah-hadiah. Melainkan lebih karena natal adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul bareng keluarga besar tercinta. Merayakan sesuatu yang diyakini bersama, sehingga perbedaan-perbedaan kecil di antara anggota bisa dilupakan setidaknya untuk beberapa hari.
Abby juga merencanakan natal untuk dijadikan sebagai momen yang istimewa. Dia ingin melamar perempuan bernama Harper yang sejak lama menjadi kekasihnya di hari natal. Karena natal tahun ini, Abby diundang untuk merayakannya bersama keluarga Harper. Namun apa yang bagi Abby tampak seperti waktu yang tepat, ternyata tidak demikian bagi Harper. Yang sama sekali belum buka suara apa-apa terhadap hubungan mereka berdua kepada keluarganya yang lagi sibuk dalam masa-masa kampanye politik. Sehingga Abby malah harus merayakan natal dengan berpura-pura sebagai sahabat Harper. Awalnya memang lucu melihat ayah dan ibu Harper memperlakukan Abby sebagai anak yatim-piatu yang malang, juga melihat Harper dengan saudari-saudarinya semacam saling berkompetisi untuk jadi ‘anak teladan’. Namun kelamaan Abby merasa semakin terkecilkan. Asmara masa lalu Harper pun mencuat ke permukaan, membuat Abby mulai meyakini bahwa ini mungkin adalah saat yang tepat baginya untuk meninggalkan Harper.

Abby harus masuk ke closet sekali lagi

 
Happiest Season boleh jadi tercetak dalam formula rom-com yang udah biasa. Kita dapat dengan jelas arah plotpoin-plotpoinnya. Bukan berarti suatu film yang ngikut formula itu jelek. Karena ini seringkali adalah masalah bagaimana sutradara meniupkan ruh ke dalam formula-formula cerita tersebut. Dan Happiest Season menjadi lebih spesial. Film ini berbeda, bukan hanya karena ini adalah rom-com tentang pasangan lesbian. Melainkan karena film ini adalah kisah cinta pasangan lesbian, sekaligus film natal; dua hal yang membuat eksistensi film ini berjarak buat aku dan sebagian besar penonton, namun tak sekalipun jarak tersebut terasa menjauhkan kita terhadap ceritanya. Jika natal adalah suatu occasion yang mengundang semua orang merasakan keceriaan dan kebahagiaannya, maka sutradara Clea DuVall telah membuat Happiest Season serupa dengan spirit natal tersebut. Karena film ini adalah kisah LGBT yang mengundang semua orang untuk masuk, merasakan kehangatan dan hati yang tersimpan di balik lucu-lucuan.
Cerita tentang karakter LGBT memang selalu didesain untuk memberikan dorongan untuk sebuah equality. Empowering penonton yang relate untuk menjadi berani membuka diri, sementara pihak sekitar untuk menerima mereka tanpa membedakan. Namun seringnya film-film itu jadi malah tampil terlalu depressing. Penggambarannya dibuat terlalu berat, hanya supaya kita bisa lebih respek terhadap perjuangan yang karakternya lalui – untuk diakui, untuk tidak dikerdilkan. Dari yang sudah-sudah, kebanyakan film tentang hal ini memang jadi tampak terlalu sibuk dengan mengibarkan panji-panji agenda mereka, sehingga meskipun kita dapat mengerti bahwa perasaan dan perjuangan mereka itu beneran nyata, karakter-karakternya malah jadi tampak agak minta dikasihani. Bahwa yang mayoritas-lah yang harus mengerti dan ‘baik’ kepada mereka. Untuk come-out, misalnya, biasanya cerita akan menitikberatkan kepada lingkungan-sosial; bahwa yang sering ditilik adalah si protagonis susah untuk come-out karena lingkungan yang tidak mendukung.
Alih-alih memperkuat suasana yang mengukung dan menyibukkan diri membuat hal yang dilalui karakter LGBT sebagai suatu hal depressing yang spesial, DuVall membuat Happiest Season sebagai rom-com normal. Ceritanya ringan seperti sinetron, banyak kejadian lucu ala sinetron. DuVall membuat kisah LGBT ini menyenangkan. Elemen depressing, emosi yang manusiawi, dan pergulatan-diri yang real bukannya tidak hadir di dalam film ini. Mereka ada, sebagai identitas latar dan konflik karakter yang kuat menguar. Hanya saja, penceritaan film tidak menampilkan elemen-elemen itu sebagai ‘agenda’. Dan ini sesungguhnya tidaklah mudah; membuat film yang bermuatan sesuatu yang real dan sangat emosional menjadi tidak berat, malah cenderung menyenangkan, jelas bukanlah suatu desain yang mampu diciptakan oleh semua orang. Di sinilah letak keberhasilan DuVall dalam Happiest Season. Membuat film ini fun, layaknya nonton sinetron, tapi tidak sedikitpun kepentingannya terkurangi. Semua orang, literally semua orang, bisa terangkul menonton film ini dan gak akan merasa sedih saat berakhir, sembari tetap mengantongi pesan yang digaungkan oleh cerita.
Karakter-karakter film ini terasa benar sebagai subjek, tanpa ada perasaan mereka seperti minta dikasihani. Mereka tidak terasa seperti menuding ke luar. Memang, pihak keluarga di film jadi alasan untuk Harper gak berani mengakui dirinya pacaran sama Abby, dan gak tertarik sama cowok mantan pacarnya di SMA. Keluarga Harper ingin membangun citra yang baik, tidak mau menarik perhatian publik ke berbagai hal, mereka ingin terlihat perfect sebagai keluarga. Latar keluarga inilah yang membentuk Harper, dan dua saudarinya. Bagi Abby, however, ini tetap adalah persoalan perlakuan Harper terhadapnya. Konflik emosional itu tetap berpijak pada dua karakter yang saling cinta, tetapi ada satu yang jadi tidak berani menunjukkan hal tersebut. Pelajaran atau gagasan penting cerita tetap dipanggul oleh dua karakter ini; Abby dan Harper. Pelajaran berupa untuk tidak terlalu lama menunggu sementara juga untuk tidak terlalu memaksakan, yang terangkum lewat monolog yang empowering dari tokoh sahabat Abby.

Memaksakan sesuatu bisa bikin runyam, tapi sebaliknya tidak akan ada yang tahu kapan eksaknya ‘waktu yang tepat’. Kita hanya bisa menyadari kita tidak bisa terlalu lama untuk menunggu sesuatu karena di saat bersamaan orang lain juga tidak akan mampu berlama-lama menunggu kita. Inilah yang membuat pilihan itu menjadi susah, dan tindakan kita menjadi begitu berarti. Film Happiest Season memperlihatkan dorongan itu sebenarnya berasal dari dalam. Karena ketakutan kita terhadap sesuatu di luar seharusnya lebih kecil daripada cinta kepada orang-orang yang ada di dalam.

 
Cerita film ini memang tidak akan bekerja tanpa chemistry di antara para karakter. Terutama Abby dan Harper. Kristen Stewart dan Mackenzie Davis punya sekarung pesona dan chemistry sehingga kita sudah dibuat peduli terhadap kebersamaan mereka semenjak keduanya manjat atap rumah orang di awal film. Sehingga ketika mereka harus ‘pisah ranjang’ saat berpura-pura cuma teman, kita bisa merasakan itu sebagai halangan yang berat. Setidaknya bagi Abby. Karena kemudian, Harper yang diperankan Davis akan mulai menapaki karakter yang mendua – kadang dia akan terlihat nyebelin, dan kadang kita berusaha memakluminya. Di sinilah tantangan peran yang harus dilewati – dan terbukti sukses – oleh Davis, dan juga Stewart. Naskah, sayangnya, jadi sedikit goyah saat dinamika itu mulai melaju. Abby yang semakin terlihat unstable karena semakin kesepian – berkat adegan-adegan konyol yang ikut memojokkan dan memperlebar jaraknya dengan Harper, sementara Harper yang semakin sering juga terlihat apatis meskipun kita mengerti konflik dirinya juga emosional; naskah mulai tampak berpindah-pindah sudut pandang. Sehingga seperti ingin mengubah Harper sebagai tokoh utama di pertengahan akhir cerita.

Aku jadi pengen lihat Kristen Stewart dan Aubrey Plaza jadi lead di action-comedy

 
 
Semua permainan peran di sini tampak natural, meskipun karakter-karakternya agak over-the-top. Tokoh sahabat si Abby tadi misalnya, dia cukup bijak, tapi sebagian besar screen timenya digunakan untuk memperlihatkan dia comically gak bisa ngurusin ikan. Ataupun soal dia punya pelacak yang bisa membuatnya tahu seseorang ada di mana – ini jadi device naskah untuk memungkinkan para karakter bisa saling ketemu tanpa memperpanjang waktu. Tadi aku sempat menyinggung film ini mirip sinetron. Dan hal tersebut boleh jadi sekaligus juga sebagai pembawa kejatuhan nilai film ini buat kita. Karena elemen-elemen sinetron dalam narasi memang kerap seperti membuat keseluruhan naskah kayak ada rongga-rongga yang memperlemah fondasinya. Akan ada banyak klise kayak karakter kebetulan bertemu di jalan atau di kafe, ada hal-hal komikal seperti ribut di depan umum. Yang semua itu sebagian besar tampak seperti untuk memudahkan cerita. Hal-hal begini mestinya bisa dikurangi, karena fun dan menghibur itu sudah tercapai lewat karakter-karakter yang menambah banyak kepada warna-warni cerita.
 
 
 
 
 
Meskipun mengangkat topik yang cukup berat dan highly relevan dengan kehidupan sosial sekarang, film ini berani tampil apa adanya. Dia mengutamakan untuk tampil ceria sehingga bisa merangkul banyak orang. Sehingga jadi unik, dalam dua sudut pandang; film LGBT yang fun dan gak depressing, atau film rom-com yang penuh hati dan punya isi yang berbeda. Sehingga kita bisa bersenang-senang menonton sembari bisa tetap aware sama permasalahan yang ada. Dihidupi oleh karakter-karakter menghibur, yang dimainkan oleh jajaran cast yang sangat fleksibel antara mainin komedi dengan drama. Beberapa adegan terlampau receh, dan mestinya bisa lebih baik lagi dituliskan. Menyatukan depressing dengan fun, memang tidak gampang, tapi pencapaian film ini sudah lebih dari lumayan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAPPIEST SEASON.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang keluarga yang menanamkan semangat kompetitif pada anak-anaknya, seperti keluarga Harper? Seperti apa kiranya ‘keluarga yang perfect’ dalam pandangan kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

FREAKY Review

“It’s what’s inside that counts”
 

 
 
Ada trademark baru yang sepertinya sedang dibangun oleh sutradara Christopher Landon. Yakni membangun narasi horor dari konsep unik pada film-film komedi tahun 80-90an. Landon sudah melakukannya – dengan cukup sukses pula! – pada franchise Happy Death Day yang muncul pertama tahun 2017; di mana ia merombak konsep time-loop pada Groundhog Day (1993) dan menjadikannya slasher komedi whodunit ala Scream. Dan di tahun yang aneh dan mengerikan ini, Landon mencoba kembali menyampaikan perpanjangan surat cintanya terhadap komedi dan horor, dengan membuat Freaky. Film yang ceritanya udah kayak gabungan dari elemen film Friday the 13th dan Freaky Friday (1976). Landon dalam film terbarunya ini membuat cerita bertukar-tubuh yang kocak dengan bumbu slasher. Menghasilkan sebuah tayangan menghibur dan lumayan aktraktif.
Yang bertukar-tubuh dalam cerita ini bukan ibu dan anak. Melainkan seorang cewek remaja bernama Millie (Kathryn Newton mengambil pilihan yang tepat, dengan enggak jadi menolak tawaran main di sini) dengan seorang serial killer yang udah jadi urban legend di kota; The Butcher (sekali ayun, Vince Vaughn dengan sukses menebas peran komedi dan peran brutal). Enggak dijelasin kenapa si Bucther sengaja memilih Millie untuk bertukar tubuh atau semua itu hanya ketidaksengajaan. Namun yang jelas Millie hanya punya waktu dua-puluh-empat jam untuk melacak Butcher yang bergerilya membunuh murid-murid di sekolah, mencuri pisau ajaib yang disita polisi, dan bertukar tubuh kembali sebelum pertukaran mereka menjadi “permanente”

Mungkin karena monster pembunuh setinggi 7 kaki sudah ketinggalan zaman?

 
 
Walaupun basically ini adalah cerita Millie, yang gak populer di sekolah dan dealing with keluarga yang jadi ‘saling pendiem’ sejak kepergian ayah, tapi adalah Vince Vaughn yang menggendong film mencapai tingkat kelucuan yang diharapkan. Aktor berbadan gede ini jadi highlight film ini berkat penampilan dual-aktingnya. Terutama di bagian saat dia harus berperan menjadi Millie yang terperangkap di tubuh lelaki dewasa. Vaughn dalam peran monster pembunuh memang tergolong sudah cukup biasa kita lihat. Di benakku masih membekas jelas akting ganasnya di film bag-big-dhuagg Brawl in the Cell Block 99 (2017). Tapi sebagai gadis remaja, he clearly is on another layer. Vaughn actually memang lebih banyak menghabiskan durasi dengan bermain sebagai Millie di tubuh pembunuh ketimbang sebagai monster pembunuh. Komedi datang dari dia harus memainkan karakter yang berorientasi terhadap tubuh barunya (bayangkan gimana gelinya cewek ketika dia sadar kini harus kencing berdiri) ataupun dari dia bertingkah lembut, tingkah yang nyata kontras sekali dengan tubuhnya. Film ini bijak untuk gak membuat Millie dalam tubuh Butcher otomatis gemulai – menjadikan tokoh ini kayak layaknya ‘banci’. Karena bagaimana pun juga karakter itu memang berbadan dan bertenaga kuat. Ada adegan ketika Millie dalam tubuh gede itu merasa bersalah karena menyakiti teman-temannya dengan tak sengaja. Vaughn-lah pilot dari semua akting tersebut, dan dia nailed it dengan meyakinkan.
Sebaliknya, Kathryn Newton enggak banyak kebagian porsi untuk bermain-main dengan perannya. Bagi Kat, aktingnya sebagai Millie beneran dan sebagai pembunuh berdarah dingin dalam tubuh anak cewek, simpelnya hanya kayak berpindah dari peran yang talkatif ke peran lebih banyak diam sembari nunjukin tampang sinis. Enggak banyak layer di karakter perannya setelah kedua tokoh bertukar tubuh. Porsi aksi dan bunuh-bunuhan memang lebih banyak dilakukan oleh Kat, tapi tentu saja ada banyak ‘bantuan’ teknik kamera dan editing dan stunt. Supaya gak salah paham, aku bukannya memandang gampang peran begini, karena sebenarnya bisa sangat menarik. Seperti karakter detektif Rosa Diaz dalam serial komedi Brooklyn Nine Nine, orangnya garang tapi bisa flip switch jadi cewek manis dalam penyamaran. Kuncinya adalah karakterisasi. Dalam Freaky, Kathryn Newton enggak banyak kebagian ‘main’ terutama karena naskah gak bisa terlalu banyak memberikan karakter untuk Butcher. Dia harus tetap satu-dimensi; jahat, karena cerita akan gagal kalo kita bersimpati kepada tokoh pembunuh. Bisa saja jadi menarik kalo film meneruskan elemen Butcher kini menemukan kesulitan membunuh orang karena kini tubuhnya lemah dan lebih kecil. But that element is quickly forgotten untuk alasan yang sama yakni jangan sampai kita bersimpati kepada tokoh pembunuh tadi.
Reaksi sekitar mereka terhadap pertukaran tubuh ini turut mengundang tawa dan memantik kejadian-kejadian menarik. Namun hal yang paling ‘freaky’ dari pertukaran ini adalah kenapa serial killer punya sense of fashion yang lebih tajam daripada cewek remaja hahaha… Millie tadinya diledekin teman-temannya karena pilihan pakaian yang ia kenakan. Ketika si Butcher yang di dalam tubuhnya, Millie tampil ke sekolah dengan jaket kulit dan rambut diikat ekor-kuda. Dia jadi badass. Yang tadinya ngeledek, kini terkesima. Si Pembunuh itu ternyata lebih jago mengarungi kehidupan remaja daripada si remaja itu sendiri. Sesuai dengan konteks dan gagasan film, itu karena Millie yang sekarang oozing with confidence. Seekor singa tentu tak akan mendengar celetukan para domba. Begitu juga dengan serial killer – seumur-umur pastilah dia tak pernah peduli sama opini orang-orang yang di benaknya mereka semua adalah calon korbannya. Masalah confidence seperti itulah yang jadi topik utama cerita film ini.

Film ingin nunjukin bukan masalah kau kecil atau tinggi-besar, cakep atau mengerikan, pada akhirnya yang tetap beresonansi dengan orang-orang itu adalah sesuatu yang ada di dalam jiwa kita. Semangat kita. Bagaimana karakter kita di dalam. Kita berani sebenarnya bukanlah karena berbadan besar. Atau kita lemah bukan karena badan kita ceking. It was more than that. Dan kepercayaan diri terhadap itulah yang harus dipupuk. 

 
Konteks gagasan tersebut jadi ada alasan buat film ini ngecast cewek secakep Kat sebagai gadis tak-populer. Ini sebenarnya kan trope Hollywood sejak 90an. Karakter yang dibully pasti dibintangi oleh bintang film yang memang udah cakep, lalu filmnya tinggal nge’makeover’ si tokoh. Pasang lipstik, pake baju modis, buka kacamata, ganti model rambut, dan voila! barulah orang-orang lihat dia sebagai cakep. Tadinya Kathryn Newton di sini, ya gitu juga. Aku gak bisa percaya dia diledek jelek dan gak ada yang suka, gak populer di sekolah. Tapi saat menghubungkan itu dengan gagasan film ini, it all adds up membangun sebuah konteks. Ketidakpercayaan diri Millie itulah yang membuat dia tampak lemah dan enak untuk ditindas. Dia hanya punya dua teman; keduanya dari stereotype minor; gay dan berkulit hitam, sehingga asumsinya adalah mereka bertiga adalah bahan bullyan anak-anak di sekolah – makanya mereka jadi bersahabat. Nantinya pengalaman Millie memiliki badan gede saat bertukar tubuh, menjadi dorongan semangat yang ia butuhkan supaya dia bisa belajar jadi lebih konfiden. Kita juga melihat tidak susah-susah amat bagi Millie untuk membuat teman-temannya percaya bahwa dirinya ada dalam tubuh si pembunuh, karena sahabatnya dapat melihat dan mengenali Millie yang sesungguhnya dari dalam. Ini message yang kuat untuk anak-anak seusia tokoh mereka. Dan yang aku senang adalah film enggak lupa untuk mengikat message ini. Millie diberikan kesempatan untuk unjuk mengembangkan diri, dia diberikan waktu untuk membuktikan dia bisa pede dan jadi berani saat dia sudah di tubuhnya sendiri, tanpa bantuan tubuh gede. Ini adalah cara film ngasih tahu bahwa si tokoh sudah belajar, arcnya telah komplit.

Seru ya kalo ada crossover: Freaky Death Day!!

 
 
Selain oleh karakter, film ini meriah oleh tropes dan reference dan parodi. Salah satu adegan pembunuhan yang jadi pembuka mirip banget ama adegan di Scream. Dengan itu saja film ini memang sudah menghibur. Akan lebih baik kalo dibarengi dengan penulisan yang lebih menambah ke dalam cerita. Dalam Freaky kita akan nemuin banyak elemen dan treatment yang ditarok hanya untuk seru-seruan dan gak banyak pemikiran di dalammnya. Kayak tulisan hari dan tanggal yang sempat muncul tiga kali di awal-awal. Dipakai hanya untuk referensi ke Jason, dengan font dan kata-kata yang dibuat serupa ama serial Friday the 13th. Padahal informasi hari Jumat tanggal 13 itu gak ada hubungannya langsung ama cerita. Belati ajaiblah yang bikin Millie dan Butcher bertukar tubuh, bukan hari jumat tanggal 13. Dan bahkan belati itu tidak diungkap jelas cara kerja dan segala macamnya, melainkan hanya difungsikan sebagai pembawa stake waktu dan sebagai latar bahwa ini adalah peristiwa supernatural.
Konflik keluarga Millie juga gak begitu sejalan dengan gagasan utama. Ibunya yang down sejak kematian ayah, Millie juga down, hanya kakaknya yang polisi-lah yang tegar; relasi ini enggak banyak bermain ke dalam cerita selain Millie dan ibunya jadi renggang karena sama-sama gak mau nunjukin perasaan dan duka masing-masing. Drama itu jadinya malah kayak sebuah alasan aja supaya si ibunya bisa make-sense untuk gak ada di waktu-waktu penting, sehingga story tokoh remaja ngejar pembunuh ini bisa berlangsung.
Ada satu lagi aspek yang buatku mengganjal dan menjadi kejatuhan utama nilai film ini. Adegan-adegan pembunuhan didesain gruesomely fun – menguatkan aura tongue and cheek film ini. Tapi aneh aja rasanya pembunuhan-pembunuhan sadis itu terasa berlalu gitu aja. Karena yang dibunuhi itu adalah orang-orang yang jahat ke Millie. Jadi kita gak tahu harus merasa gimana. Bersorak demi Millie, tapi yang beraksi bukan beneran Millie – hanya tubuhnya saja yang Millie. Kita mau kasihan sama korban juga gakbisa, karena mereka tadinya jahat ama Millie. Jadi gimana dong? Enggak banyak emosi di balik cerita saat memperlihatkan ‘Millie’ yang jahat. Cerita baru menarik saat cerita fokus di Millie yang berada dalam tubuh Butcher. Sederhananya; elemen bunuh-bunuhan dalam komedi slasher ini jadi kalah menarik ketimbang konflik – dan bahkan komedi fisik – yang datang dari raksasa yang berjiwa cewek remaja.
 
 
 
Untungnya nuansa thriller bisa tetap berkobar berkat kejar-kejaran antara kedua karakter yang saling bertukar tubuh. Gencetan dari waktu juga turut nambah lapisan ketegangan, menciptakan batas ‘game over’ pada narasi. Cerita yang dimiliki sebenarnya menarik, dan mengandung banyak muatan, sehingga punya potensi jadi thriller komedi yang benar-benar bulk up. Tapi, gencetan yang sebenarnya datang dari status karakternya. Satu karakter humanis, dan satunya lagi karakter ‘monster’ yang bisa dibilang kartunis. Film tidak bisa mengembang menjadi lebih berisi lagi karena dengan karakter begitu, outcome cerita tidak bisa berbalik dashyat. Hanya bisa ada satu perhentian untuk cerita dengan karakter begini. Karena jika dipaksa mau jadi lebih dramatis atau apa, maka pesan dan gagasan akan terkhianati. Maka film ini cukupkan diri hanya sebagai penghibur. Dan capaiannya sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for FREAKY.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian nasib atau kehidupan kalian akan berbeda, jika kalian punya penampilan fisik yang berbeda dari diri kalian yang sekarang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review

“The secret formula will always be love”
 
 

 
 
Sekitar pertengahan-akhir durasi, film ini menampilkan sekuen adegan yang layaknya seperti courtroom drama. Dalam adegan-adegan tersebut kita melihat Patrick, Sandy, Squidward, dan teman-teman SpongeBob yang lain bergantian memberikan kesaksian kepada Poseidon untuk membela SpongeBob yang jadi tersangka. Mereka menceritakan kisah pengalaman mereka bisa mengenal si Sponge Kuning itu waktu masih kecil. Kita pun dibawa flashback menyaksikan langsung pertemuan-pertemuan itu. Dan itulah satu-satunya bagian menarik yang ada dalam film ketiga SpongeBob, Sponge on the Run ini.
Flashback masa kecil itulah satu-satunya hal original, hal yang fresh, hal yang ingin kita tonton ketika begitu mengetahui bahwa semesta SpongeBob ini bakal dieksplorasi kembali. Kita tentu penasaran dan ingin melihat bagaimana SpongeBob dan Patrick bisa jadi sahabat seperti sekarang ini. Kita tentu ingin melihat cerita SpongeBob bertemu Squidward. Kita ingin tahu bagaimana SpongeBob dan teman-temannya menjadi berteman pada mulanya. Poin dari sekuen adegan tersebut adalah untuk menyimak seperti apa sih para sahabat memaknai si SpongeBob itu sendiri. Untuk menunjukkan arti persahabatan SpongeBob kepada mereka. Tak pelak, memang inilah yang menarik untuk dijadikan cerita film. Seharusnya sutradara Tim Hill mengerahkan semua komandonya untuk menyusun cerita semacam prequel tersebut dengan sebenar-benarnya, jika ia memang mau menghormati legacy kartun anak-anak (dengan selipan humor dewasa) yang fenomenal ini. Alih-alih, kisah-kisah itu hanya diperlihatkan singkat dan seperti dirangkum begitu saja dengan menempatkannya pada bingkai kesaksian pada courtroom drama. Tidak melalui narasi yang benar-benar kohesif.
Sponge on the Run mengikuti rutinitas cerita SpongeBob yang biasa. Menyapa Gary – kucin–eh, siput peliharaannya, pergi kerja ke Krusty Krab, masak Krabby Patty, bikin kesel Squidward, bikin seneng Mr. Krabs, pulang, dan … menemukan Gary kesayangannya hilang! Gary diculik oleh Poseidon sehingga SpongeBob dan Patrick memutuskan untuk hit the road menyelamatkan Gary. Selagi dua sahabat ini terlibat perjalanan absurd, Plankton menyatroni Krusty Krab, bermaksud mencuri resep rahasia. Namun sepeninggal SpongeBob, burger joint itu sepi. Mr. Krabs sedih karena tanpa SpongeBob usahanya gak bisa jalan. Karena sikap dan persahabatan SpongeBob bisa jadi adalah rahasia dalam resep rahasia itu sendiri.

Ohya, ada juga penampakan Keanu Reeves sebagai tumbleweed yang bijaksana

 
 
Memang bukan film SpongeBob namanya jika tidak absurd dan nyeleneh. Kita sudah menyaksikan gimana randomnya karakter-karakter dan kejadian dalam dua film layar lebar SpongeBob sebelumnya. Film ketiganya ini, berusaha mempertahankan cap dagang tersebut. Kita akan melihat begitu lebar range keabsurdan yang muncul, mulai dari robot hingga kemunculan zombie-zombie yang bisa menari. Namun semua itu tidak berarti apa-apa. Tidak pula menambah banyak ke dalam narasi; ke dalam journey yang dilalui oleh tokoh utama kita. Melainkan hanya seperti random things yang dikumpulkan begitu saja. Berharap supaya jadi lucu dengan mindset semakin random, maka semakin luculah ia. It doesn’t work.
Sekiranya memang ada perbedaan tegas antara random yang lucu dengan random yang cuma males. Petualangan absurd SpongeBob tentulah masih akan menjadi perjalanan yang menarik untuk disimak, dengan syarat hal-hal yang ia temui dalam perjalanan tersebut bakal jadi bangunan untuk sesuatu, entah itu pembelajaran atau hanya sekadar big punchline – jika film diarahkan sepenuhnya untuk komedi receh. Seperti ‘aturan dasar’ film roadtrip-lah. Dalam Sponge on the Run ini, kerandoman itu benar-benar jalan masing-masing. Seperti tidak ada benang merah, seperti film ini hanya ingin mencari alasan untuk memanjangkan durasi. Bagiku, film ini tampak seperti mereka memang ingin menceritakan tentang masa kecil SpongeBob dan awal persahabatan para karakter, tapi sekaligus juga mereka tidak ingin menceritakannya begitu saja. Jadi alih-alih memikirkan cara untuk membangun, katakanlah cerita prekuel itu, film malah memikirkan bagaimana mereka bisa menyelipkan prekuel tersebut tanpa benar-benar menceritakannya. Kedengarannya memang tak masuk akal. Namun persis seperti itulah film ini terasa. Mereka memasukkan banyak hal random sebagai pengantar untuk hal penting yang tak ingin mereka ekspos banyak-banyak. Suudzon mode on: film ini desperate mau jual apapun tentang SpongeBob tapi either pengen instant alias gak mau repot atau mau sok-sok memposisikan film sebagai test-the-water alias ‘nanti kita cerita tentang masa kecil SpongeBob’
However, jika mau berbaik sangka; film ini bisa jadi pengen mengajak kita untuk menghargai keberadaan SpongeBob itu sendiri. Karakter yang rela menempuh perjalanan jauh (dan supposedly sedikit berbahaya) demi hewan peliharaannya, aku akan bohong kalo bilang aku enggak relate dengan itu. I mean, kucingku gak pulang makan siang aja aku langsung nyariin keluar berkeliling kompleks, kok. Meskipun dia aneh dan ngasal dan seringkali bego, tapi SpongeBob dalam cerita ini merupakan sosok yang digambarkan sebagai teladan. Kualitas terbaik dalam diri SpongeBob adalah dia tidak pernah egois. Dia juga sangat menghargai persahabatan. Dia menyayangi peliharaannya sama besar dengan dia menyayangi teman, rekan kerja, bos, hingga saingan. Film ingin menonjolkan hal tersebut. Teman-temannya itulah yang pada cerita ini dibuat untuk menyadari peran kehadiran SpongeBob itu di dalam hidup mereka.

Cinta dan persahabatan SpongeBob terhadap teman-temannya merupakan resep rahasia yang membuat hidup mereka semua menjadi ceria. Bahkan Squidward yang penggerutu pun menyadari hal tersebut. Lebih jauh lagi, karakter SpongeBob yang demikian itulah yang jadi formula kesuksesan cerita kehidupan Bikini Bottom ini setelah sekian lama.

 

Setelah gede, kita semua jadi semakin relate kepada Squidward

 
 
Kerandoman yang disetel hingga maksimal itu bisa jadi dilakukan demi attention-span anak-anak yang konon semakin singkat. Maksudnya, dilakukan biar anak kecil yang nonton enggak cepet bosan. Drawbacknya tentu saja adalah si anak-anak tadi bisa jadi malah bingung dengan ceritanya. Aku sendiri, seumur-umur, belum pernah nemuin cerita SpongeBob yang setak-penting dan sekacau ini. Aku suka dua filmnya yang dulu; yang benar terasa petualangannya. Yang berusaha memasukkan hal segar yang tak bisa mereka lakukan di televisi. Nonton film ketiga ini, aku cuma bengong. Hal baru yang film ini buat cuma visualnya. Berbeda dengan SpongeBob klasik, film ini full animasi 3D. Ada juga beberapa adegan tertentu yang menyatukan dengan pemandangan live-action alias asli. Untuk sekadar menambah visual jadi lebih cantik, film ini berhasil. Namun 3D itu juga tidak menambah banyak untuk cerita. Tidak akan ada bedanya jika film ini tetap menggunakan gaya animasi dua dimensi seperti pada kartun televisinya. Sekali lagi, ini merupakan minimalisasi kreativitas dari pembuat. Karena pada film SpongeBob yang kedua kita sudah melihat visual 3D itu mampu mereka mainkan dengan efektik ke dalam cerita – enggak semata untuk mempercantik. But then again, sepertinya aspek visual ini diniatkan hanya untuk appeal ke anak-anak aja; karena sekarang animasi tiga dimensi memang lebih dinikmati. Sukur-sukur ada orang dewasa yang ‘nyasar’ – menyangka karena gambarnya kayak Pixar, maka kualitas cerita pun sama kayak Pixar.
 
 
 
 
 
Random dan absurd adalah yang membuat SpongeBob, SpongeBob. Namun cerita yang koheren adalah yang membuat film, film bagus. Enggak cukup hanya dengan menjadi SpongeBob saja. Film ini harusnya berbuat lebih banyak terhadap penggarapan ceritanya. Petualangan SpongeBob mencari Gary seharusnya bisa dibuat lebih berarti dan menarik lagi. Jikapun bukan tentang itu, film ini padahal punya hal menarik untuk diangkat yakni masa kecil SpongeBob dan teman-teman. Cerita awal mula mereka bisa bersama-sama hingga dewasa. Anehnya, film seperti belum mau membahas total soal ini. Mereka hanya menampilkannya dengan singkat.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN

 

 
 

 

That’s all we have for now.
SpongeBob sudah ada sejak begitu lama. Humornya selalu segar dan terkenal dengan ciri khas penus selipan jokes dewasa, tapi tetap mampu tampil inosen untuk hiburan anak-anak. Apakah kalian masih suka nonton SpongeBob saat sudah gede? Episode SpongeBob mana yang paling berkesan buat kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM Review

“The truly intelligent person is one who can pretend to be a fool in front of a fool who pretends to be intelligent.”
 

 
 
Luar biasa memang usaha Sacha Baron Cohen dalam mengkritik negaranya!
Empat belas tahun lalu aktor ini nongol sebagai Borat, jurnalis fiktif dari Kazakhstan. Dia ke Amerika untuk studi budaya. Yang pada kenyataannya adalah Sacha sedang memperlihatkan betapa konyolnya ke’open-minded’an ketika diterapkan oleh orang-orang di sana. Sebagai pendatang dari negara yang jauh lebih inferior, Borat ditampilkannya jujur dan polos, namun juga begitu terbelakang. Borat bukan saja memperlihatkan bagaimana sebenarnya orang Amerika ketika dihadapkan kepada sesuatu yang berbeda dengan mereka,  tapi juga bagaimana mereka menyingkapi ‘budaya’ mereka sendiri jika budaya tersebut diterapkan dengan cara berbeda. Dua tahun lalu, Sacha mengambil gaya mockumentary yang lebih berani lagi pada serial Who is America. ‘Prank’ yang ia lakukan langsung menyasar ke orang-orang penting. Dia menyamar sebagai sesosok pro- (politik, kepemilikan senjata api, dll), berdialog dengan tokoh-tokoh politik, dan dengan kocak mengekspos kedogolan mereka. Dan sekarang, tepat di bawah hidung kita semua, Sacha Baron Cohen telah sekali lagi mengenakan ‘topeng’ Borat. Kembali ke U.S.and A. Meletakkan cermin itu ke tengah-tengah warga Amerika yang kini berada di bawah kepemimpinan Donald Trump. Gerakan feminis. Dan Covid-19.
Kalo kita mau ikutan berkaca di cermin yang sama, tentulah kita juga akan menemukan sindiran-sindiran yang dilontarkan oleh film ini ikut mengena ke negara kita. Represi, sexism, apapun dijadikan adu kubu politik, sudah jadi masalah sehari-hari. Di negara kita pun bukannya tidak ada gerakan protes ataupun kritik cerdas seperti yang dilakukan oleh Sacha Baron Cohen. Baru-baru ini, Najwa Shihab udah bikin kita berdecak kagum lewat aksinya mewawancarai kursi kosong sebagai ganti Pak Menteri Kesehatan yang menolak hadir saat diundang ngobrol. Kita butuh lebih banyak kritikan-kritikan cerdas seperti yang dilakukan oleh Najwa atau Borat ini. Kritikan yang sayangnya juga harus disematkan kata nekat setelah predikat cerdas tadi. Nekat karena memang ada ‘bahaya’ yang membayangi. Kita lantas mencemaskan Najwa kalo-kalo nanti ditelikung pemerintah. Borat sendiri harus mengenakan rompi antipeluru di balik kostum penyamarannya saat merekam film ini. Dan itu memperlihatkan betapa powerfulnya film yang ingin ia sampaikan ini.
 
 

Dengan berpura-pura bego duluan, Sacha mengekspos kebegoan yang lebih paripurna

 
 
Ada lebih banyak layer pada film Borat kedua ini jika dibandingkan dengan Borat yang pertama. Tajuk originalnya cukup panjang, berbunyi “Delivery of Prodigious Bribe to American Regime for Make Benefit Once Glorious Nation of Kazakhstan”. Dari judul tersebut kelihatan bahwa cerita ini punya target yang lebih spesifik dibandingkan film pendahulunya yang abstrak ke sosial Amerika. Kali ini yang diincar adalah ‘American Regime’. Film kali ini seperti memadukan gaya film pertama dengan serial Who is America. Borat dan, kali ini partner in crimenya adalah putrinya; Tutar, yang berusia 15 tahun, akan semacam menginterview beberapa tokoh (ranging from aktivis feminis, ke  pendukung Trump hingga ke major politican) dengan konteks narasi yang lebih ditonjolkan. Narasi yang berakar pada relasi ajaib antara Borat dengan Putrinya itu menjadikan film ini tontonan yang lebih berarah, dan suprisingly lebih emosional, karena jadi bermuatan drama.
Drama ayah-anak ini dijadikan oleh sutradara Jason Woliner sebagai pengikat sketsa-sketsa ‘prank’ di dunia nyata yang dilakukan oleh Borat dan Tutar dari waktu ke waktu. Beberapa hal yang dikritik (dan dibuktikan) oleh film Borat 2 ini antara lain adalah soal salah kaprahnya gerakan feminis, soal negara yang seperti melanggenggkan perdagangan perempuan, soal sikap negara terhadap perempuan itu sendiri – dan juga terhadap minoritas, soal sikap terhadap jurnalistik, dan tentu saja soal penanganan dan propaganda terhadap pandemi virus Corona. Drama ayah-anak yang jadi tulang punggung narasi akan memberikan setiap sketsa bermuatan kritik-kritikan tadi konteks yang mengikat yang menjadikannya punya bobot lebih sebagai tontonan. Meskipun memang drama ayah-anaknya itu sendiri konyol alias absurd. Resolusinya menghangatkan dan membawa banyak harapan untuk dunia yang lebih baik, tapi juga tidak sepenuhnya terasa baru. Borat ingin memberikan putrinya tersebut sebagai hadiah untuk Vice President. Ini adalah misi yang diberikan negara baginya, karena Kazakhstan ingin mengapresiasi Amerika yang sudah kembali menjadi negara kuat yang bisa dijadikan panutan. Journey putrinya Borat (dimainkan dengan berdedikasi dan luar biasa oleh Maria Bakalova) sangat dramatis meskipun di awal karakternya ditulis sangat komikal demi satire yang diincar oleh film.

Semua kekonyolan karakter pada film ini fits perfectly ke dalam konteks satir yang diincar. Penekanannya sekali lagi adalah pada cara bercerita sambil menyindir itu sendiri. Film Borat percaya untuk melakukannya dengan mengolok diri sendiri terlebih dahulu. Untuk mengekspos seseorang yang pura-pura pintar, kita harus berpura-pura bloon di hadapannya terlebih dahulu. Untuk membuat mereka merasa makin superior, dan ketika kepala itu sudah demikian gede, maka jatuhnya akan semakin keras.

 
Maka film melandaskan betapa terbelakangnya Borat dan Tutar dan negara Kazakhstan itu sendiri dibandingkan dengan Jerry, atau Jim, atau Karen; dengan Amerika yang superior. Jika kalian enggak suka dengan humor vulgar yang dilakukan tanpa ditahan-tahan dari karakterisasi Borat dan Tutar, maka kalian akan susah untuk menyukai film ini walaupun mungkin kalian sepaham dengan gagasannya. Karena kelucuan cerita film ini memang bertumpu pada pengkarakteran ‘polos tapi barbar’ tersebut. Film harus membuild up gap antara Borat dengan Amerika supaya komedinya dapat berjalan. Dan ketika sudah berjalan, memang film ini jadinya lucu sekali. Misalnya adegan ketika Borat membeli kandang untuk putrinya, si penjual bingung atas permintaan si pembeli tapi kelihatan dia berusaha untuk open minded dan gak ikut campur. Sementara itu si Borat terus memancing reaksi. Sampai di satu titik akhirnya Borat berkata soal bukankah normal membeli kandang untuk tempat tinggal anak perempuan karena presiden “McDonald Trump” toh mengandangi anak-anak Mexico. Ataupun ketika Tutar gak sengaja menelan hiasan bayi pada kue yang disuapi oleh Borat, lalu mereka pergi ke dokter untuk mengeluarkan bayi yang tertelan tersebut. Sampai di sini aku yakin kalian bisa membayangkan bagaimana kocaknya Borat dan Tutar memainkan keadaan yang mengetes keopen-mindedan dokter yang menangani mereka.

Borat 2 juga bercanda dengan twist yang mereveal penyebab sesungguhnya pandemi Corona

 
 
Kehadiran Tutar sebagai pemain kunci cerita bukan saja menghantarkan kritik terpenting yang disampaikan oleh film, melainkan juga berfungsi sebagai penanda eksplorasi lebih jauh yang dilakukan oleh film ini sehubungan dengan statusnya sebagai sekuel dari tontonan yang begitu berpengaruh terhadap rakyat Amerika itu sendiri. Mau tidak mau memang yang paling duluan kita ingat dari Borat adalah tingkah antiknya. Ucapan-ucapannya yang katro sekaligus porno. Sosok Borat udah jadi salah satu ikon pop-culture yang tidak mungkin tidak dikenali. Sekuel ini juga bermain-main dulu dengan hal tersebut. Ia menunjukkan kepada kita bahwa Borat udah jadi ‘selebriti’ di Amerika. Orang-orang di jalan pada berebut memanggilnya. Bahkan sudah dijual kostum untuk orang yang mau cosplay jadi Borat di malam halloween nanti. Hal ini hanya mendorong film Borat untuk merancang cerita yang lebih beda lagi, dan tokoh Tutar adalah jawabannya.
Resep keberhasilan sekuel Borat ini adalah tempat dan waktu. Tempat; Amerika sebagai negara yang supposedly berpikiran terbuka, memungkinkan cerita seperti Borat ini dilakukan. Membuat kelucuan yang datang dari kontrabalans antara aksi dan reaksi yang timbul dari mindset dan pola pandang yang mereka anut sendiri. Waktu; karena film ini begitu relevan. Ia mempermasalahkan hal-hal yang memang sedang kita hadapi sekarang. Menargetkan keadaan politik Amerika, dan tayang hanya sebulan sebelum election berikutnya di negara itu. Perihal covid, film juga berhasil memasukkannya ke dalam konteks cerita. However, jika kita melihatnya dari sudut lain, kita juga bisa bilang film ini berkat ke-happening-nya, bakal dengan cepat terasa out-of-date. Memang, hanya waktu yang akan menentukan. Namun kita bisa membayangkan bagaimana jika kita menonton film ini untuk pertama kali di tahun 2025, katakanlah saat pandemi sudah berakhir. Joke/pranknya mungkin tidak lagi semuanya mengena. Untuk perbandingan, film Borat yang pertama; meskipun tidak menonjol di tubuh narasi, ia diingat melalui prank2 sindiran Borat leading up ke dia nyulik Pamela Anderosn. Dan itu karena yang disindir Borat adalah kebudayaan Amerika di masa modern secara keseluruhan. Yang secara waktu, jangkauannya lebih luas. Kita masih mengingatnya. Aku pikir ketimeless-an tersebut lebih susah dicapai oleh film yang kedua ini. Also, film ini juga sedikit terlalu mengandalkan popularitas Borat itu sendiri, mengandalkan ke semua penonton sudah tahu siapa Borat itu sebelumnya.
 
 
 
Komedi satir dengan konsep yang menakjubkan. Luar biasa tajam, dan nekat. Film ini enggak ragu untuk ‘menipu’ narsumnya demi memberikan mereka pandangan yang lebih terbuka, penyadaran, dan merefleksikan kepada kita keadaan yang sebenarnya. Di balik itu semua, film ini masih mampu untuk menghadirkan drama ayah anak yang cukup dramatis dan mencuri emosi kita. Hanya komedinya yang mungkin gak untuk semua orang. Kasar, vulgar. Terutama untuk orang-orang yang kesindir langsung oleh gagasan film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian bisakah film seperti ini tercipta di Indonesia, mengingat iklim politik dan pola pikir orang indonesia itu sendiri? Apakah menurut kalian jurnalis seperti Najwa Shihab atau seniman seperti Sacha Borat Cohen ini melanggar etika ketika mengekspos ‘bintang tamunya’ sehingga jadi bahan olokan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

12 HOUR SHIFT Review

“Doctors treat illnesses, nurses treat people”
 
 

 
 
Mendengar cerita dari teman-teman yang kuliah di Kedokteran, jaga malam di klinik atau rumah sakit seringkali menjadi pengalaman yang rusuh dan seru. Mulai dari cerita horornya sampai ke cerita kedatangan pasien yang gak abis-abis. Menonton horor komedi 12 Hour Shift seperti benar-benar menghidupi pengalaman tersebut. Cerita yang diset ‘Pada suatu malam di Rumah Sakit di Arkansas 90an’ penuh oleh kejadian-kejadian chaotic seputar aktivitas jaga. Yang oleh sutradara Bea Grant – langganan berperan di film horor membuat Grant jadi punya perspektif dan visi tersendiri untuk genre ini – diperkuat volume kerusuhannya. Karena di sini Grant benar-benar menjungkirbalikkan image rumah sakit dan perawat itu sendiri. Membenturkannya dengan realita kehidupan yang keras untuk seorang wanita yang mengais kehidupan dari lingkungan berlatar malam.
Tokoh utama cerita ini bukan perawat putih baik hati, cakep dengan senyum pepsoden. Mandy (perawakan dan permainan gestur Angela Bettis pas sekali menangkap kehidupan keras yang membesarkan tokohnya) tampak ‘dekil’ dan gak-lebih sehat daripada pasien-pasien yang harus ia jaga. Kita diperkenalkan kepadanya saat tokoh ini sedang merokok. Dan later, dia mencuri pil obat. Lantas menghancurkan dan menghirupnya. Malam itu, Mandy bekerja dobel shift. Jelas dia butuh duit. Dan bahkan dobel shift itu belum cukup baginya. Karena Mandy punya ‘kerjaan’ lain. Sebagai perawat, Mandy memang cukup telaten dan bertanggungjawab terhadap pasien-pasiennya. Namun dia juga gak segan-segan menuangkan pemutih pakaian ke minuman pasien yang penyakitnya sudah parah. Mandy mempertimbangkan ini baik-baik. Ia memilih pasien mana yang akan diambil organnya. Untuk ia jual. Kekacauan itu datang dari sini. Saat sepupu Mandy yang bertugas menjadi kurir – yang mengantarkan ginjal dari Mandy ke underground buyer – malah menghilangkan ginjal tersebut. Dengan ancaman ginjal miliknya sendiri yang bakal jadi pengganti, sepupu Mandy kini menyusup ke rumah sakit sebagai perawat. Mencari ginjal baru, walaupun ginjal itu masih di dalam tubuh pasien yang sehat. Dan Mandy-lah yang kalang kabut berusaha membereskan keadaan sebab semakin lama sepupu semakin menggila sehingga polisi dan mafia underground tersebut mulai langsung terlibat di rumah sakit!

Dan tiba-tiba, Mick Foley! *cue Mankind music*

 
 
Kerusuhan yang terjadi dari perburuan ginjal yang semakin lama semakin terang-terangan itu diceritakan dalam balutan komedi. Film ini akan membuat adegan suster palsu yang ngaku jadi temen gereja seorang pasien dementia sebelum akhirnya mencoba untuk membunuh si pasien sebagai sesuatu yang lucu. 12 Hour Shift bermain di ranah dark-comedy. Tokoh-tokoh protagonisnya melakukan hal-hal semengerikan kerjaan antagonis, jadi film ini juga adalah cerita anti-hero yang sangat twisted. Dugaanku, enggak semua orang dapat dengan mudah mengapresiasi komedi yang dilakukan oleh film ini.
Untuk memastikan penonton peduli sama karakter-karakter protagonis tersebut, film ini cukup bijak untuk tidak menyandarkan pundak seutuhnya kepada komedi. Memang, film ini hidup oleh karakter yang ‘rusuh’ dan berantakan. Nyawa film ini terletak pada kejadian demi kejadian yang terus naik tensinya seiring kegilaan karakter yang semakin nekat. Namun film ini juga tidak melupakan esensi di balik ceritanya.  Ini bukan film yang dibuat sekedar untuk seru-seruan, kejar-kejaran, dan bunuh-bunuhan. Ada sesuatu yang layak untuk diperbincangkan merayap dalam konteks ceritanya itu sendiri. Karena 12 Hour Shift sebenarnya bersuara tentang moralitas dan pekerjaan. Tokoh kita adalah suster atau perawat yang diperlihatkan cukup peduli terhadap pasien, tapi tidak tahu lebih baik dalam urusan ‘merawat’ dirinya sendiri. Sebagai perawat ia juga dihadapkan kepada kewajiban untuk mengobati pasien-pasien yang seperti dirinya pribadi; junkie yang gak peduli sama tubuh, dan di kesempatan lain Mandy juga terlihat seperti ‘membantu’ terminal patient dengan ‘mempercepat’ kematian mereka – entah itu mereka mau atau tida.
Tindakan Mandy di film ini membuat kita mempertanyakan seperti apa tepatnya peran seseorang terhadap kehidupan orang lain. Pantaskah kita membantu orang lain padahal diri kita justru memerlukan bantuan yang lebih urgen. Bagaimana dengan kehendak orang; etiskah tindakan Mandy yang menyelamatkan dirinya sendiri dengan ‘menyelamatkan’ pasien yang udah parah, meskipun si pasien sudah barang tentu keberatan kalo Mandy minta ijin dulu sebelum mengakhiri derita penyakitnya? Dan bagaimana ketika Mandy ingin mengambil ginjal itu dari seorang kriminal? Rekannya mengangkat bahu dan berkata “May be he deserves it”. Rumah sakit dalam 12 Hour Shift bisa jadi dirancang sebagai paralel dari dunia nyata. Tempat orang-orang berusaha membantu orang lain, tapi sistem mengharuskan membantu diri sendiri dahulu, sedangkan sistem itu sendiri tidak begitu jelas perihal moralitasnya. Ending film ini lantas menunjukkan shift panjang itu praktisnya sama saja tidak berakhir. Tidak putus. Hanya sejenak waktu untuk Mandy bernapas lega, sebelum shift berikutnya tiba. Karena begitulah tuntutan hidupnya. Uang yang ia cari tidak pernah cukup, masalah yang datang kepadanya tidak pernah beres selama ia terus bekerja seperti demikian, dan Mandy sadar itulah dunianya.

Perbedaan antara dokter dan suster/perawat sebenarnya jauh lebih esensial daripada sekadar jumlah gaji mereka. Dokter mengobati penyakit. Suster mengobati orang sakit. Pekerjaan Mandy adalah merawat orang-orang tersebut. Namun merawat yang seperti apa? Bahkan para mafia pun menggunakan istilah ‘taking care of someone’ sebagai kode untuk membunuh mereka. Yang dikerjakan Mandy dalam film ini merefleksikan pilihan moral yang mungkin juga dihadapi banyak dari kita. Dihadapi ketika kata ‘membantu’ saja tidak cukup, dan perlu untuk dipertimbangkan segala sebab akibat yang menyertainya.

 

Kalo milih suster ‘edan’, aku masih lebih prefer Ratched sih

 
 
Dari sinopsisnya, kalian mungkin sudah menebak masalah yang hadir pada penceritaan film ini. Mandy di rumah sakit membereskan masalah yang dibawa oleh sepupunya yang menghilangkan ginjal untuk dikirim ke kurir. Semua situasi itu dikenai kepada Mandy. Tokoh utama kita bukan pencetus langsung dari aksi dan masalah yang ada. Melainkan dia hanya jadi ‘pemberes’. Sepupunya lah yang menarik trigger majunya kejadian demi kejadian. Nyawa sepupunya yang pertama kali berada di dalam bahaya, yang dipertaruhkan. Mandy hanya bereaksi terhadap aksi yang digerakkan oleh sang sepupu. Ini berarti Mandy adalah tokoh utama yang pasif. Jadinya kita lebih seru menonton aksi sepupunya ketimbang Mandy. Karena film juga tidak membiarkan momen-momen dramatis seputar masalah moral dan pilihan Mandy muncul lama-lama di layar. Cerita tidak membawa kita menyelami masalah itu. Melainkan tetap berfokus kepada kejadian-kejadian rusuh yang digebah oleh aksi sepuou Mandy.
Interaksi yang melibatkan Mandy seharusnya dibuat lebih engaging lagi. Candaan mestinya bisa ditulis dengan lebih gamblang dan tidak bernuansa inside joke antara Mandy dengan karakter lain di rumah sakit. Terutama, tempatkan Mandy di posisi yang riskan dan cahaya yang lebih tegas lagi, seperti cerita menempatkan sepupunya. Kita tahu sepupu cewek ini edan, bego, dan nekad. Film menggambarkan Mandy dengan sedikit terlalu berhati-hati. Usaha film membuat tokoh ini relate ke penonton justru berbalik membuat posisi tokohnya semakin gak-tegas. Film tetap seperti ragu menunjukkan bahwa Mandy lebih dekat sebagai seorang anti-hero ketimbang everyday-hero itu sendiri
 
 
 
 
Menarik berkat kejadian-kejadian rusuh yang digambarkan semakin menggila. Film ini didesain untuk membuat kita tergelak melihat kekacauan satu malam akibat karakter-karakter bercela. Hakikatnya, ini adalah dark-comedy yang menarik untuk disimak, berkat suara yang digaungkan di balik ceritanya. Namun secara bangunan cerita, film ini butuh banyak perbaikan. Terutama dalam membentuk karakter utamanya yang masih tampil pasif dan dikenai oleh kejadian dari aksi karakter yang lain. Film ini butuh untuk lebih memperdalam eksplorasi tokoh utamanya sebagai penyeimbang dari kejadian sensasional yang tak-pelak menenggelamkan bukan hanya si tokoh utama melainkan gaung gagasan film ini sendiri.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 12 HOUR SHIFT.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pantaskah kita membantu diri sendiri dengan dalih membantu orang lain? Setujukah kalian dengan pernyataan kita butuh persetujuan orang untuk dibantu sebelum membantu mereka?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HUBIE HALLOWEEN Review

“Putting people down does not make you a powerful and strong person”
 

 
 
Gaung Uncut Gems (2020) yang menghadirkan penampilan paling manusiawi dari Adam Sandler belum lagi hilang – well, setidaknya di blog ini, karena masih masuk pada Rapor Film Cawu I – tapi aktor komedi itu tampaknya sudah rindu konyol-konyolan yang sudah menjadi cap dagangnya di dunia perfilman. Either that, atau Sandler sedang mewujudkan ikrarnya. Ingat saat Sandler berkelakar jika perannya di Uncut Gems gak dapet Oscar maka dia berjanji akan menyiksa kita semua dengan membuat ‘komedi terburuk yang pernah diciptakan Netflix’? Nah mari kita cari tahu apakah Hubie Halloween ini benar merupakan balas dendam yang Sandler janjikan tersebut.
Di sini Sandler mengajak rekan-rekannya yang biasa untuk membuat horor komedi bertema Halloween. Dia mendaulat dirinya sendiri sebagai Hubie, seorang pria yang bermental kalah jauh dari lama dirinya hidup di muka bumi. Tepatnya di kota Salem, kota yang terkenal dengan urban legend penyihir dan mistis. Tinggal bersama ibunya, Hubie sebenarnya punya misi yang mulia. Setiap tahun dia mendedikasikan diri untuk menjadi penjaga-halloween. Menegakkan ketertiban dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada malam halloween ke kepolisian setempat. Masalahnya adalah, nyaris seluruh warga kota itu menyepelekan Hubie. Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk menakut-nakuti Hubie. Melempari Hubie dengan beragam benda, mulai dari tisu toilet hingga kapak! ketika pria malang itu lewat dengan sepeda dan termos multifungsinya. Hubie adalah laughing stock, outcast, bahan bully penduduk kota. Padahal malam halloween kali ini jadi malam penting bagi Hubie. Karena bukan saja dia disuruh ibunya untuk mulai belajar berani membela diri (Hubie juga mencerna ini sebagai nasihat untuk berani bilang suka sama wanita yang sudah ia taksir sejak SD), tapi juga karena Salem beneran dalam bahaya. Jika film ini adalah game Among Us, maka Salem malam ini kedatangan setidaknya tiga impostor; seorang napi asylum yang kabur, seora–ehm seekor manusia serigala yang lepas, dan satu penculik bertopeng misterius yang berkeliaran menangkapi warga satu demi satu.

Tapi jika Hubie main Among Us, niscaya dia yang jadi crewmate sendirian dan dibully oleh banyak impostor lol

 
 
Sekali lihat saja kita sudah tahu bahwa ini bakal jadi cerita klasik ala komedi Adam Sandler. Cerita tentang seorang ‘idiot’ yang pada akhirnya akan jadi pahlawan, dielu-elukan semua orang, dan tentu saja mendapatkan cewek. Formula cerita seperti demikian sebenarnya tidak pernah sebuah masalah yang besar. Maksudnya; sah dan boleh-boleh saja. Apalagi cerita underdog seperti demikian memang lebih mudah untuk dinikmati, dan bahkan direlasikan. Masalah justru terletak pada bagaimana menceritakan formula tersebut. Kita perlu plot, karakter, dan juga candaan yang diceritakan dengan fresh. Hubie Halloween berdurasi sembilan-puluh menit. Dan bukan saja berceritanya penuh dengan trope-trope ‘sinematik Sandler’, candaan dan punchline yang menyertai pun seringkali berulang-ulang.
Film ini kalo jujur maka judulnya menjadi berbunyi ‘Seribu Ekspresi Ketakutan Adam Sandler sebagai Pria Kekanakan’. Karena memang itulah senjata komedi yang jadi ujung tombak film ini. Hubie dikagetin oleh topeng domba di etalase tokonya. Hubie terkejut oleh mobil yang disetir seseorang tanpa kepala. Hubie menjerit melihat dekorasi halloween yang ia sangka hantu beneran. Satu-satunya build up yang dipunya oleh film ini – dalam lingkup komedi – adalah build up untuk merekam ekspresi kaget Adam Sandler di depan kamera. Selebihnya, komedi dalam film ini dihadirkan lewat kekonyolan kejadian yang terlahir dari karakter-karakter yang ditulis secara absurd pula. Kekonyolan tersebut terjadi begitu saja. Tidak ada ritme, set up, atau sekadar sedikit lebih banyak thought di balik setiap punchlinenya. Soal delivery, semua pemain sebagian besar adalah aktor komedian yang sudah sering kerja bareng. Sehingga mereka benar-benar tampak fun dan mampu memancing gelak tawa hanya dengan ‘menjadi mereka seperti biasa’. Seberhasil-berhasilnya komedi Hubie Halloween adalah karena pengetahuan atau kefamiliaran kita kepada skit-skit dan gaya para pemeran, bukan karena penulisan komedi. Ketika kita melihat Steve Buscemi menjadi possible-werewolf, kita tertarik karena ini seperti perannya di animasi komedi mereka. Komedi dalam film ini mengandalkan ‘outside knowledge’ seperti demikian.
Ini disayangkan karena cerita Hubie ini punya potensi. Untuk beberapa menit pertama aku punya ketertarikan besar untuk mengikuti cerita meski sudah banyak lelucon lebay yang dihadirkan. Satu yang buatku genuine lucu dan dialognya bener ada set up komedi adalah percakapan antara Hubie dengan ibu soal ayah. Namun kemudian seiring bergulirnya cerita, tokoh-tokoh pendukung yang diperankan oleh pemeran yang udah gak asing hadir di film Adam Sandler bermunculan satu per satu tanpa kematangan penulisan karakternya, semakin jelas bahwa film tidak mau repot menulis untuk komedinya. Setting cerita juga sebenarnya sudah bagus. Merekam kejadian horor dalam rentang waktu tertentu – seluruh kejadian film ini berlangsung satu hari, dan dengan fokus di malam halloween – membuat cerita nyaris otomatis terkesan urgen. Ide ceritanya yang membaurkan tiga ‘impostor’ juga menarik. Karena memberikan misteri beneran untuk dipecahkan oleh Hubie. Si tokoh utama ini pun ditulis punya obstacle yang bisa kita pedulikan. Berkaitan dengan pesan bullying yang dilantunkan oleh cerita.

Setiap orang punya kelemahan, punya kecemasan, punya sesuatu yang ditakuti. Dan terkadang ada beberapa orang yang merasa bahwa kelemahan tersebut membuat mereka jadi punya kebutuhan untuk membully orang lain yang lebih lemah. Supaya mereka bisa merasa lebih baik terhadap diri mereka sendiri.

 
Di-bully seumur hidupnya, tidak menjadikan Hubie tumbuh menjadi pria pendendam. Dan ini disalahartikan orang; mereka menganggap Hubie penakut. Well, Hubie yang kagetan mungkin memang penakut sama setan, tapi dia tidak pernah penakut seperti yang disangka oleh penduduk kota. Hubie tidak melawan atau membalas perlakuan bukan karena dia takut. Melainkan karena dialah the better man di kota itu. Dia selalu mementingkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Hubie punya banyak kelemahan, tapi dia tidak sekalipun berniat untuk menutupi kelemahannya dengan menimpakan kepada orang lain – dengan membuat orang tampak lebih lemah daripada dirinya. Sikap inilah yang membedakan Hubie dengan warga lain. Film ini mengenakan pesan tersebut seperti Hubie mengenakan selempang halloween-protectornya;  mencolok dan too-obvious. Tidak disematkan dengan subtil. Pesan-pesan itu dicuapkan langsung lewat dialog. Diejakan seolah kita enggak kalah terbelakangnya dengan anak-anak kecil yang membully Hubie.

Ada yang jual gak sih termos kayak punya Hubie?

 
 
Penanganannya terhadap gagasan baik tersebut membuat film jadi tampak semakin malas dan tampil secukupnya aja. Untuk memenuhi keinginan bermain-main saja. Secara plot dan perkembangan karakter, gagasan yang dihadirkan gitu aja itu membuat Hubie menjadi tokoh utama yang gak punya perkembangan. Pembelajaran yang ia lakukan hanya memberanikan diri untuk ngobrol hati ke hati kepada cengcemannya. Instead, justru tokoh pendukunglah yang dibebankan untuk berubah. Penduduk Salem lah yang harus belajar untuk menerima dan menjadikan Hubie sebagai teladan. Tokoh utama kita imperfect, tapi dia tidak salah di sini.  Hal ini berpengaruh kepada penulisan aneh yang dilakukan oleh film. Tokoh-tokoh pendukung yang banyak itu diberikan penulisan seadanya karena mereka bakal mengungkap ‘siapa’ mereka di akhir. Jadi dengan kontruksi bercerita seperti begini; membuat tokoh utamanya tidak dikenai perkembangan, melainkan tokoh-tokoh pendukungnya yang mendapat pembelajaran, kita harus ‘menderita’ menikmati komedi konyol yang datang tanpa pace dan ritme dan set up. Semua tokoh yang belajar itu difungsikan sebagai pion saja. Bahkan tokoh love interest Hubie pun tak banyak mendapat karakterisasi karena film juga meniatkan dia sebagai salah satu tersangka utama.
 
 
 
 
Untuk menjawab pertanyaan di atas soal apakah film ini adalah balas dendam yang dijanjikan Adam Sandler; tidak. Film ini masih punya nilai dan gagasan dan tidak terlihat seperti karya dari seseorang yang berniat menghasilkan sesuatu yang terburuk untuk ditonton banyak orang. Film ini menurutku lebih seperti proyek cominghome kecil-kecilan aja. Seperti Sandler ingin berkata walaupun dia sukses menjajal drama serius, hati dan passionnya masih pada komedi konyol seperti ini. Dan dia memperlihatkan bahwa dia tidak akan dibully karenanya. Pada akhirnya film ini tetaplah bisa dijadikan hiburan pengisi halloween, horor menyenangkan yang membuat kita lupa sama horor di luar jendela masing-masing selama sembilan-puluh menit.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HUBIE HALLOWEEN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian membully seseorang dan kini menyesalinya? Jika bisa mundur ke belakang, apa yang ingin kalian katakan kepada orang yang kalian bully?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

VAMPIRES VS. THE BRONX Review

“Capital is dead labour, that, vampire-like, only lives by sucking living labour, and lives the more, the more labour it sucks”
 

 
 
Ketika Miguel bilang Murnau Properties mengunyah kota mereka, yang dimaksud Miguel adalah perusahaan konglomerat kulit-putih tersebut membeli bangunan-bangunan di kota Bronx – mengimingi pemilik bangunan dengan uang yang banyak supaya mau pindah. Bahkan toko favorit Miguel dijadikan sasaran dan terancam untuk berubah menjadi sesuatu yang asing; mungkin jadi kafe milennial atau semacamnya, yang orang-orang tidak mengerti yang bakal dijual itu apa. Miguel sendiri, saat mengatakan itu, belum sadar bahwa pernyataannya tadi juga bermakna literal. Karena perusahaan Murnau diam-diam – di malam hari!- memang beneran menguyah para pemilik bangunan yang mereka beli. Bisnis properti dan real estate Murnau cuma kedok. Murnau Properties nyatanya adalah perusahaan vampir pemangsa manusia yang bermaksud menjadikan kota Bronx sebagai sarang mereka yang baru!

Memang, sudah lama perilaku kapitalisme diibaratkan sebagai tindakan orang kaya menghisap darah rakyat jelata. Penggalan kalimat yang kujadikan penghantar ulasan ini kukutip dari tulisan Karl Marx perihal kapitalisme. Kita tidak perlu repot jauh-jauh membayangkan bagaimana perusahaan bisa menyedot habis pekerjanya. Karena keadaan di negara kita sekarang sudah mendekati, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja oleh pemerintah. Ini jadi salah satu contohnya karena menurut RUU tersebut para karyawan dan buruh tidak akan lagi mendapat upah minimal, tidak lagi diberi pesangon saat pensiun ataupun di-PHK, tidak dikasih cuti berbayar untuk pekerja yang hamil, dan kebijakan lain-lain lagi yang lebih menguntungkan pihak bisnismen.

 
Metafora klasik vampir-kapitalis inilah yang digunakan sutradara Osmany Rodriguez sebagai landasan untuk membangun cerita horor komedi. Rodriguez juga ingin menyentil permasalahan kekuasaan kapitalis, dan dia tahu cara nyentil yang terbaik adalah dengan komedi. Yang diangkatnya di sini adalah permasalahan perombakan sebuah daerah lokal menjadi kawasan real estate lewat taktik pengenyahan warga. Mereka dibeli propertinya, yang kemudian properti tersebut diubah menjadi tempat usaha, dan seringkali kita dapati bentuk miris dari kejadian tersebut yaitu si pemilik asli justru nanti akan jadi karyawan di tempat usaha kapitalis yang membeli propertinya. Oleh Rodriguez, pihak perusahaan tamak seperti itu digambarkan sebagai vampir beneran. Orang-orang yang mereka hisap dibuat menghilang begitu saja – walaupun mungkin lebih pas kalo diubah menjadi vampir juga, tapi dapat dimengerti mati menghasilkan misteri yang lebih urgen. Karena film juga ingin menekankan satu hal; bahwa tidak ada yang peduli sama mereka, karena Bronx juga adalah tempat yang nyaris demikian marjinal sehingga ada karakter yang lugas menyebutkan tidak ada yang akan peduli sama penduduk di sini. Rodriguez menambahkan lapisan untuk membuat permasalahan itu semakin kompleks lagi. Lapisan berupa ras. Penduduk Bronx adalah mayoritas kulit hitam, yang enggak jauh dari tempat tumbuhnya para ‘gangster’. Pihak pendatang – para vampir itu – adalah kulit putih. Dulunya bangsawan dengan gaya hidup yang tentu saja jauh berbeda dengan kehidupan ‘hood’ di Bronx. Jadi film ini juga bercerita tentang mempertahankan tradisi atau gaya hidup di suatu tempat.

Cerita yang cukup gendut untuk horor-ko…. Hmmm… gendut.. seperti nadi di lehermu…. WAAARRRGGH!! *terkam*

 
 
Membuat anak-anak sebagai tokoh cerita adalah langkah yang tepat. Miguel dan teman-temannya membuat film ini jadi punya vibe petualangan horor yang sama dengan cerita-cerita seperti Stranger Things ataupun It yang sudah terbukti ngehits. Nontonin mereka terasa seru dan mengasikkan. Miguel dan teman-temannya juga memberikan ruang bagi film untuk mengeksporasi gagasannya dengan lebih leluasa. Komentar-komentar tentang kapitalisme itu jadi tidak lagi seperti beban yang harus diucapkan ketika meluncur keluar lewat sudut pandang anak-anak yang hanya ingin menyelamatkan toko tempat mereka bisa bebas bermain game dan menonton horor-horor rated R. Film ini sepertinya paling dekat dengan Attack the Block (2011); sekelompok anak muda yang mempertahankan neighborhood mereka dari serangan alien. Kedua film ini sama-sama mencuatkan semangat persatuan mempertahankan daerah. Semangat yang mungkin saja memang paling kuat dirasakan oleh anak/remaja karena merekalah yang paling merasakan keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggal.
Vampires vs. The Bronx memang memusatkan persoalan tersebut sebagai plot utama. Hanya saja, film malah menempatkan itu kepada salah satu sahabat Miguel. Bukan kepada Miguelnya sendiri sebagai tokoh utama. Dan ini membuat Miguel kalah menarik. Miguel tidak mengalami banyak perkembangan sepanjang cerita. Stake yang ia rasakan juga kalah kuat dibandingkan tokoh lain, karena Miguel tidak berkenaan langsung dengan masalah properti itu sedari awal. Sebagai pelindung kota, dia juga tidak tampak punya kedekatan khusus karena kita diperkenalkan kepada Miguel saat dia semacam dibully oleh seisi kota; cewek-cewek menertawakannya, ibu memarahinya – di depan cewek-cewek, gangsta tak tertarik kepadanya. Justru yang paling punya ikatan dengan kota adalah si teman Miguel yang bernama Bobby. Dia punya plot yang personal; dia ingin bergabung dengan gangsta tapi berkonflik dengan masa lalu ayahnya yang kini diceritakan sudah tiada. Bobby jualah yang punya momen emosional terkait hal tersebut dengan familiar suruhan para Vampir. Secara karakter, Miguel kalah menarik dan kalah ‘penting’ dibandingkan Bobby. Miguel hanyalah karakter trope; anak kecil yang tidak dipercaya orang lain padahal apa yang ia katakan benar.
Miguel bersepeda keliling kota, bertemu dengan tetangga-tetangganya, memungkinkan kita untuk mendapat gambaran tentang kehidupan di Bronx. Kota itu sendiri memang penting untuk ditampilkan karena kita tidak bisa bicara tentang kapitalis yang mengubah satu kota jika tidak memperlihatkan seperti apa kota tersebut; seperti apa kekeluargaan dan kebiasaan di sana. Karena ini komedi, Rodriguez memberikan kita karakter-karakter yang kocak sebagai napas kota Bronx sebagai tokoh tersendiri. Mulai dari Pastor yang jengkel sama anak-anak nakal hingga ke abang-abang yang nongkrong di jalanan, semua tokoh pendukung di film ini diset untuk memancing komedi. They just do funny things, dan memang sebagian besar dari mereka tidak diberikan fungsi apa-apa lagi. Misalnya seperti tokoh anak cewek yang ngevlog; tadinya kupikir tokoh ini akan masuk ke geng Miguel dan ikut bertualang melawan Vampir. Tapi ternyata tidak, dia hanya dimunculkan saat-saat film butuh untuk nyerocosin beberapa eksposisi dan untuk nampilin informasi yang dibutuhkan oleh Miguel dalam mengungkap Vampir.
Ketika seluruh kota menerapkan mosi tidak percaya kepada dirimu

 
 
Mitologi Vampir itu sendiri digambarkan sangat lengkap. Dan dipikirkan matang-matang penempatannya. Aku suka karena beberapa hal terangkai dengan mulus. Kita mungkin sempat bertanya kenapa Vampir ingin menguasai real estate dan membeli semua bangunan di kota itu. Film ini punya jawaban yang simpel nan masuk akal untuk pertanyaan tersebut. Jawabannya karena menurut mitologi, Vampir gak bisa masuk ke suatu tempat tanpa diundang. Maka, supaya bisa memangsa sesuka hati, para Vampir itu tentu saja perlu untuk memiliki rumah dan toko-toko di situ – mereka gak perlu minta izin dulu untuk bisa masuk.
Aku mau melihat film ini melewati efek visualnya, karena meskipun memang terlihat ‘murah’ tapi masih konsisten dengan nada konyol yang ditampilkan film sebagai komedi. Nyawa film ini justru di pembangunan dunianya. Begitu film mengimplementasikan mitos-mitos kayak gini ke dalam gerak plot, di situlah ketika film ini hidup. Membuatnya cerdas. Namun sayangya, film ini katakanlah sebagai makhluk hidup yang bernapas; ia tidak benar-benar satu spesies yang unik. Vampires vs. The Bronx lebih seperti seorang Frankenstein. Makhluk yang tersusun atas bagian-bagian makhluk lain. Karena alih-alih membangun dari sesuatu yang benar-benar baru, film ini terlalu mengandalkan mitos dan hal-hal lumrah, dan juga referensi, yang kita ketahui tentang Vampir dari film-film lain. Menebak hal-hal yang kita kenali saat menyaksikan suatu film memang mampu menghasilkan kesenangan tersendiri. Nama Murnau yang mengacu pada sutradara Nosferatu; yang kalo aku gak salah adalah film pertama tentang vampir, teknik montase cepat-cepat yang mengingatkan kepada teknik khas sutradara Shaun of the Dead; yang arguably film mayat hidup terkocak dekade modern ini, dan bahkan nunjukin dengan terang-terangan perihal film Blade yang menginspirasi karakter anak di film ini (ras kulit hitam yang keren dalam memburu Vampir). Terasa sekali kekurangorisinilan yang membayangi film ini
 
 
 
Memang, minimnya penggalian dan elemen baru tersebut tidak bakal menyurutkan unsur fun dan keseruan kita dalam menonton film ini. Hanya saja, secara eksistensi, film ini sesungguhnya mampu menjadi sesuatu yang spesial. Pun hadir dengan level kerelevanan yang tinggi. Sayangnya, setelah menonton, ia cuma terasa sebagai ‘just another horror-comedy’. Terlalu banyak kesamaan dan pengingat kita terhadap film-film lain. Tokoh utamanya pun tidak begitu membantu karena juga kalah spesial dengan tokoh pendukungnya. Aku suka implementasi gagasan ke mitologi Vampir yang dilakukan oleh film ini. Harusnya film ini lebih berani lagi untuk keluar dari bayang-bayang genrenya. Supaya efek cerita dan keberadaan film ini jadi semakin terasa lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for VAMPIRES VS. THE BRONX

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan kapitalis sebagai setan penghisap darah? Bagaimana pendapat kalian tentang Omnibus Law yang baru disahkan tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EXTRA ORDINARY Review

“A life spent making mistakes is not only more honorable, but more useful than a life spent doing nothing.”
 

 
 
Extra Ordinary sungguhlah berada di luar kebiasaan horor-horor komedi yang lumrah kita temukan. Karena dunia cerita yang absurd itu alih-alih dibalut oleh kekonyolan lebay dari karakter-karakter yang berurusan dengan setan, malah dibalut oleh hati yang cukup hangat sehingga menonton ini bukan saja kita lepas tertawa. Melainkan juga kita seperti telah melepaskan beban yang menggelayut, yang membuat selama ini kita belum menjalani hidup yang sebenar-benar hidup.
Tokoh utama film ini aja sudah begitu unik. Cewek jomblo. Seorang instruktur latihan nyetir mobil. Rose namanya (Maeve Higgins memerankan sekaligus turut ambil bagian dalam menulis skenario). Dia berusaha keras membuat hidupnya tampak biasa-biasa saja. Lambaian ranting pohon dan anggukan steker toaster di pinggir jalan itu, dia cuekin. Hantu-hantu di jalanan itu, dia pura-pura tak lihat. Pesan-pesan yang masuk di hp-nya, yang pada minta tolong diusirin hantu itu, dia tak gubris. Jika setiap orang dilahirkan punya bakat, maka bakat (bukan terpendam, melainkan dipendam) Rose adalah bisa bicara dengan hantu. Bakat yang tak pelak menurun dari sang ayah; paranormal lokal yang videonya menyambut kita di adegan pembuka. Ayahnya itulah yang menjadi penyebab kenapa Rose kini tidak mau lagi menggunakan bakatnya untuk membantu orang. Sampai wanita ini bertemu dengan Martin (Barry Ward bakal nunjukin kefleksibelan aktingnya di sini), duda yang masih hidup bersama hantu istrinya. Rose tak punya jalan lain, selain bekerja sama dengan Martin berkeliling kota mengumpulkan ectoplasma hantu. Untuk menyelamatkan gadis remaja Martin yang dikutuk menjadi tumbal ritual setan oleh seorang rocker yang ingin kembali terkenal. Di balik absurdnya petualangan mereka, resiko besar membayangi Rose. Salah-salah, dia bisa kembali kehilangan orang terkasih karena bakatnya sendiri.

Beginilah cara menggarap horor komedi eksorsis dengan tokoh utama cewek!

 
 
Horor komedi memanglah genre yang gampang-gampang susah untuk digarap. Pesona dari genre ini tentulah berasal dari sesuatu yang menakutkan dipandang sebagai hal yang mengundang tawa. Dilihat dari situ, fungsi genre ini jadi seperti untuk menenangkan ketakutan kita itu sendiri. Dengan menertawakannya. Prinsipnya tak jauh dari komedi secara umum, yakni adalah jika kita sudah legowo untuk menganggap lucu sebuah kejadian atau tragedi atau diri kita sendiri, berarti kita sudah siap untuk menghadapi kejadian itu. Dalam ranah horor komedi, tentu saja ‘kejadian’ itu adalah sesuatu yang kita takuti. Dan sutradara Mike Ahern dan Enda Loughman paham; yang kita takuti itu enggak mesti hantu ataupun setan. Film ini berani untuk menarik lebih ke belakang lagi, ke sumber ketakutan di balik hantu dan setan tersebut.
Komedi yang dicuatkan di film ini bukan datang dari reaksi orang-orang yang ketakutan. Tidak akan kita jumpai adegan jumpscare konyol di sini. Tidak ada adegan orang kaget terus latah dan bilang “Wah elo ngagetin aja!”, “Kok elo? Gue nih yang kaget!!” ataupun adegan seperti karakter sompral padahal di belakangnya ada setan, dan lantas si karakter berbalik dan kaget sekonyol-konyolnya ngeliat ada setan di sana. Justru sebaliknya. Extra Ordinary ngebanyol dengan reaksi karakter-karakter seperti Rose dan Martin yang menganggap hantu itu biasa-biasa saja. Para hantu yang malah digambarkan konyol, namun tidak pernah terkesan lebay berkat timing komedi dari penulisan, arahan, dan editing film. Interaksi Martin dengan hantu istrinya merupakan salah satu yang paling sering bikin aku ngakak. Dalam salah satu adegan terlucu lain diperlihatkan saking biasanya ngeliat makhluk gaib, Rose jadi salah mengira nenek-nenek sebagai hantu, dan minta maaf kepada si nenek. Extra Ordinary juga tak berpaling dari humor-humor vulgar ataupun humor ‘sadis’. Ketika tiba giliran memperlihatkan kelakuan antagonis, lelucon film bisa berubah menjadi dark comedy. Dengan percikan darah. Film punya cara tersendiri dalam menampilkan kejahatan manusia. Diperlihatkan kepada kita range kejahatan itu, mulai dari pelet dan jampi-jampi ala voodoo, hingga ke tindakan sesederhana memanipulasi food online supaya dapat makanan gratis. Masing-masing ‘trik dan komedi’ film ini berhasil untuk membuat kita tersenyum geli.
Tidak ada yang hantu di kota ini… kan?

 
 
Dramatic premise cerita film ini sebenarnya enggak unik-unik amat. Kita sudah cukup sering menemukan cerita tentang seorang berbakat atau punya kekuatan yang enggan menggunakan bakat atau kekuatannya tersebut. Yang solusinya tentu saja si tokoh harus belajar berdamai dengan penyebab keengganan tersebut alias berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Dunia horor yang lantas jadi humor, serta pendekatan romance yang tak-biasanya lah yang membuat film ini luar biasa. Adegan-adegan pengusiran setan selalu dilakukan dengan berlapis gagasan mengenai cinta dan berdamai ama masa lalu sebagai bentuk melawan ‘demon’ diri sendiri. Konflik personal Rose dibeberkan lewat alur bolak-balik dengan dibingkai ke dalam video lama acara milik sang ayah sehingga eksposisi atau bahkan malah ejaan gagasan yang dilakukan oleh film tidak kentara. Kita tidak merasa diceramahi ketika membaca ‘Apakah Hantu Punya Perasaan?” yang terpampang di layar. Tapi kita bisa menangkap kepentingan dari judul video tersebut, dan hubungannya dengan perkembangan karakter Rose itu sendiri. Dan pada akhirnya Rose harus menerima ke-extraordinary-annya. Bukan hanya soal Talent, melainkan juga soal cara dia menjalani hidupnya.

Entah sudah berapa kali mungkin kita mendengar bahwa hidup normal itu membosankan. Anjuran untuk mengisi hidup yang biasa-biasa saja dengan hal-hal yang luar biasa. Yang penuh petualangan. Yang, kalo perlu, melanggar batas. Film ini pun berkata demikian. Malah lebih lanjut, film ini memberi sugesti kepada kita untuk tidak perlu takut kehilangan atau bikin kesalahan. Karena darisanalah kita belajar. Hidup demikian lebih baik ketimbang hidup tanpa melakukan atau mencoba apa-apa.

 
Penyelesaian film ini juga meng-subvert pakem genre horror, mirip seperti yang dilakukan oleh The Babysitter: Killer Queen (2020). Hebatnya, Extra Ordinary jadi lebih beralasan untuk membuat solusi yang seperti itu karena sesuai dengan gagasan yang diusungnya, yakni perihal menjalani hidup dengan lebih ‘luarbiasa’. Gagasannya adalah Rose selama ini hidup biasa-biasa aja dan katakanlah, membosankan. Rose benar-benar menjauhi semua yang luar biasa. Film menyimbolkan hal tersebut dengan keperawanan. Menarik bagaimana horor modern tidak lagi memandang keperawanan sebagai suatu kemurnian yang harus dijaga. Yang kini ditampilkan adalah keperawanan itu justru jadi inceran setan, dan orang-orang yang masih murni seperti Rose dianggap menjalani hidup yang membosankan.
 
 
Penggemar British-Komedi niscaya tidak akan melewatkan film ini. Kekuatan utamanya terletak pada cara bercerita dan dalam mengolah hal-hal lumrah menjadi sesuatu yang entah itu menantang atau membuat kita tergelak lalu memikirkan candaan tersebut. Dunianya sendiri terbangun dengan begitu kuat, dengan karakter-karakter yang menarik. Menampilkan tokoh antagonis kadang terasa seperti pilihan yang dilakukan hanya untuk membuat film ini lebih konyol lagi, sesuai dengan genrenya. Sebab film ini sudah luar biasa menarik hanya dengan menampilkan drama romance unik antara Rose dengan Martin yang masih belum bisa move on dari mendiang istrinya. Film memilih untuk menampilkan banyak, dan tetap tidak terbata dalam merangkum semuanya. Ia menunjukkan bahwa sajian receh pun masih bisa jadi enak untuk diikuti dengan tetap hormat pada penulisan dan karakter.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EXTRA ORDINARY

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju bahwa hidup harus dijalani dengan ‘luar biasa’?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA