REBECCA Review

“The shadow of someone’s greatness is not a good place to dwell.”
 

 
 
Sudah 2020 akhir, dan sampe sekarang aku masih belum benar-benar paham tujuan orang ngeremake atau ngereborn sesuatu, selain karena soal duit. Tapi tampaknya memang begitu; hanya untuk mendulang untung semata. Makanya yang dibuat ulang itu selalu merupakan hal-hal yang populer. Atas nama nostalgia. Sesuatu yang sudah bagus, perfectly fine, juga sering banget dibikin lagi versi barunya. Alasannya tentu saja untuk diremajakan, disesuaikan dengan keadaan modern, sebagai upaya pelestarian. Alasan tersebut sebenarnya masuk akal kalo memang dibarengi oleh usaha yang benar-benar kelihatan. Namun kebanyakan ya setengah-setengah. Memaksa narasi masuk ke dalam sebuah catatan zaman yang sebenarnya memang susah untuk diubah. Tengok aja adaptasi live-action Disney yang gagal dengan gemilang karena menjejalkan agenda-agenda sosial yang baru, tanpa diiringi dengan proses adaptasi yang lebih matang. Atau gimana horor seperti Pengabdi Setan atau Ratu Ilmu Hitam yang menanggalkan identitas lokal hanya untuk sebentuk gagasan progresif (ustad gak selamanya menang lawan hantu!) tanpa menawarkan solusi baru.
Jadi, yaa, aku heran aja sama remake; kenapa yang dibuat ulang itu bukan film atau cerita yang berpotensi tapi gagal untuk konek. Istilahnya, kenapa bukan film-film jelek yang diremake supaya bisa diubah menjadi lebih bagus. Lebih prestasi kan kalo gitu, like, ‘Gue dong bisa bikin film jelek jadi bagus!’ daripada malah dikenal membuat film yang gagal live up ke keberhasilan film versi jadul. Bukankah berkarya bisa lebih luwes jika tidak ada bayang-bayang gede yang memayungi. Perihal Rebecca versi Netflix ini juga; aku paham sutradara Ben Wheatley bilang karyanya ini merupakan adaptasi terbaru dari novel sumber ceritanya. Dan aku juga paham bahwa sudah ada banyak sebelum ini yang menjadikan cerita Rebecca sebagai inspirasi – sudah banyak ‘adaptasi’ bebas dari cerita ini. Namun tetep saja, film ini tidak bisa lepas – tidak bisa untuk tidak kita bandingkan – dengan bayang-bayang gede yang sudah diciptakan oleh Rebecca versi 1940an. Dan ini ironi. Sebab film yang terjebak di bawah bayang-bayang film sebelumnya ini jadi persis sama seperti ceritanya sendiri.
Rebecca adalah cerita tentang seorang wanita muda, yatim piatu, yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya. Tentu saja tadinya wanita ini tak pernah bermimpi bisa jadi nyonya di rumah besar itu. Pertemuan mereka kasual saja. Di Monte Carlo saat si wanita masih menjadi asisten pribadi seorang wanita terpandang. Dia bahkan belum tahu kalo Maxim de Winter yang lebih tua itu sebenarnya siapa. Barulah ketika bosnya mengajak ke New York, wanita ini resah. Dia tidak siap berpisah dengan Maxim yang sudah beberapa waktu ini terus bersamanya. Maxim juga begitu. Tak ingin berpisah, pria itu lantas langsung ngajak nikah! Si wanita diboyong ke rumahnya, Manor Manderley. Tapi kebahagian hidup baru si wanita ini bukan tanpa beban. Karena ternyata Maxim adalah duda. Dan hantu Rebecca, mantan istrinya, masih ada di rumah besar tersebut. Menghuni setiap sudut rumah. Hidup di dalam kenangan dan cerita para pelayan. Hidup, di dalam kepala wanita muda yang malang.

The Haunting of Manderley Manor

 
Jika Mrs. de Winter yang baru tersebut hidup dalam bayang-bayang Rebecca, maka film Rebecca versi Netflix ini dibayangi oleh Alfred Hitchcock; sebagai sutradara film versi jadul. Dan bayang-bayang itu tak pelak adalah bayang-bayang yang besar, lantaran Hitchcock merupakan master dari horor dan suspens. Dalam kemudinya, Rebecca mencuat sebagai roman dengan nuansa psikologikal misteri yang mencekam. Rebecca Hitchcock yang hitam putih hadir mempesona sekaligus daunting berkat teknik storytelling. Sedangkan Rebecca baru ini cantik karena lebih vibrant oleh warna dan terasa punya nada berbeda yang berakar dari karakterisasi yang memang ditulis sedikit berlainan dengan materi aslinya.
Hal tersebut actually adalah peningkatan yang berhasil dilakukan oleh film ini. Ketika di film yang lama, perspektif ceritanya seperti berpindah karena si wanita muda ini lebih pasif dan tidak memikul banyak aksi, maka Rebecca baru ini memposisikan Mrs. de Winter itu lebih kuat sebagai tokoh utama. Ini bagian dari agenda progresif yang disematkan kepada film ini. Bahwa zaman sekarang wanita haruslah kuat, capable dalam memutuskan dan beraksi sendiri. Wanita Muda memang jadi lebih menonjol, pada babak ketiga arcnya terasa lebih dramatis. Kita tak pernah lepas darinya. Tokoh ini lebih solid sebagai tokoh utama dibandingkan dirinya versi jaman dahulu. Tapi juga, perubahan karakter ini menjadi akar utama masalah yang hadir dalam keseluruhan tone dan presentasi film ini.
Lily James yang memerankannya cantik, no doubt. But Joan Fontaine, pemeran versi 1940, was just on another level. Kecantikan Wanita versi Joan bersumber dari betapa lugu, inosen, dan nervousnya dia. Kunci dari suksesnya suspens psikologis cerita ini adalah rasa percaya kita terhadap si Wanita Muda bahwa ia adalah seorang yang fragile. Secara emosional dan fisik dia merasa inferior dibandingkan banyak orang lain. Apalagi terhadap Rebecca yang eksistensinya masih terasa di Manderley. Itu inti ceritanya. Si Wanita merasa kecil, dia membandingkan dirinya sendiri dengan Rebecca – yang sosoknya ia bangun sendiri dari cerita-cerita para pelayan – dia menciptakan sosok yang ia merasa iri sendiri kepadanya. Lily James yang memerankan Wanita Muda dengan karakterisasi kekinian tidak pernah tampak serapuh ini. Tokohnya dituliskan tetep sebagai orang yang polos dan inosen, tapi juga lebih pede, lebih tangguh. Bahkan secara emosional tampak lebih dewasa, menyamai Maxim yang harusnya jauh lebih matang dan kokoh. Sehingga feel dan tensi psikologis yang menderanya tidak utuh tersampaikan kepada kita. Menjadikan keseluruhan film terasa lebih datar karena nada yang diniatkan untuk tidak dapat tercapai, karena terinterferensi oleh karakter yang dibuat kuat sekarang.

Terlalu keras berusaha menjadi seperti seseorang, berusaha untuk menggantikan mereka di mata orang lain, hanya akan membuat kita layaknya bayangan hampa dari sosok mereka. Wanita Muda itu harus belajar untuk tidak tenggelam ke dalam rasa iri ataupun rasa khawatirnya terhadap apakah Rebecca lebih cantik, lebih pintar, atau lebih penyayang ketimbang dirinya. Tidak seorangpun mesti membandingkan diri dengan orang lain seperti itu. Kita seharusnya menciptakan bayang-bayang kita sendiri.

 
Karakter yang kuat ini juga membuat para pendukung tidak lagi begitu mengintimidasi. Salah satu faktor penting yang membuat Wanita Muda begitu keras membully dirinya sendiri adalah karena ia percaya setiap pelayan – terutama Kepala Housekeeper – membenci dirinya yang berusaha menggantikan posisi Rebecca. Si Mrs. Danvers itu memang bertingkah paling dingin, tapi ketika dipadukan dengan Wanita Muda versi Lily James, dinamika menekan-dan-tertekan itu tidak terasa. Aku bukannya mau bilang Wanita Muda harusnya tetap dibuat lemah, ataupun karakter itu tidak boleh kuat. Melainkan, harusnya ada usaha lain dari sutradara untuk mengakomodir karakter yang secara natural telah dibuat kuat ini. Singkatnya, ini kembali kepada kemampuan sutradara. Hitchcock membangun suspens dengan gerakan/permainan kamera. Setiap interaksi tokoh utama dengan pelayan atau penghuni rumah selalu diakhiri dengan kesan Si Wanita merasa dirinya menjadi semakin kecil. Yang dicapai simply dengan menjauhkan kamera dari si Wanita, atau mendekatkan kamera ke lawan bicaranya. Rebecca yang baru tidak punya ‘permainan’ seperti demikian.

Penekanan di babak ketiga saat si Wanita kemungkinan harus membela seorang pembunuh juga tidak lagi terasa

 
 
Tidak ada close-ups cantik, saat kamera lingering wajah satu tokoh yang memikirkan gejolak yang melandanya. Rebecca yang baru berserah kepada permainan dan teknologi visual untuk meng-elaborate maksud. Namun tidak konstan berhasil menghasilkan kesan surreal atau disturbing. Film ini menggunakan adegan-adegan mimpi – berjalan di lorong sepi lalu ada sulur-sulur tanaman yang menarik diri ke lantai, sementara film yang lama cukup memperlihatkan tokoh yang tidur dalam keadaan gelisah. Bergerak-gerak resah di atas ranjang. Membuat imajinasi kita terbang mengenai mimpi semengerikan apa yang ia lihat, perasaan segundah apa yang menggerogoti pikirannya.
Yang paling membedakan buatku – yang paling menentukan keberhasilan film ini dalam menafsirkan cerita aslinya buatku – adalah poin soal tokoh Rebecca itu sendiri. Ini krusial karena berkaitan dengan tokoh utama, dan aku yakin merupakan konsep paling utama yang harus dibangun oleh siapapun, media apapun yang bakal menceritakan ulang. Sosok Rebecca. Sosok itu haruslah tidak pernah terlihat. Karena dialah yang dikontraskan dengan si Wanita Muda. Tokoh utama kita tidak pernah disebutkan namanya, but she’s there. Nama Rebecca terus bergaung meskipun dia sudah tidak ada di dunia. Dinamika kontras ini harus dijaga oleh si pencerita karena bagian dari keresahan si tokoh utama. Membuatnya merasa eksistensinya semakin kecil, kalah sama orang yang tinggal nama. Menghadirkan sosok Rebecca, meskipun hanya dari belakang dan di dalam kepala tokoh, membuyarkan bangunan kontras ini. Karena bagaimanapun juga bagi kita yang melihat, ya tokoh itu jadi ada. Dinamika itu tidak utuh lagi. Dan ini actually dilanggar oleh film Rebecca yang baru. Sehingga bagiku yang timbul kesan si pembuat belum mengerti benar, atau mungkin lupa, terhadap apa sih sebenarnya kekuatan dari cerita ini.
 
 
 
Bayang-bayang yang menaunginya sangatlah besar, film ini tidak bisa untuk tidak dibandingkan dengan pendahulunya. Ada banyak perbedaan antara kedua film tersebut, tapi yang paling terasa adalah perbedaan arahannya. Absennya suspens ala Hithcock. Bagaimana dengan penonton yang belum pernah menonton versi jadul? Tidak akan berpengaruh banyak. Karena meskipun kita bisa mengapresiasi alur yang lebih nutup, tokoh utama yang lebih kuat, romance yang lebih hangat, dan vibrant yang lebih berwarna, film ini hampa dari segi misteri. Dan mengingat misteri tersebut krusial untuk penyampaian emosinya, maka film ini pun tidak berhasil menghantarkan emosi yang kuat. Seperti menyaksikan misteri terungkap di depan mata kita, begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for REBECCA

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian terhadap karakter Rebecca di film ini – apakah dia seorang wanita yang kuat? Mengapa dia bisa begitu berpengaruh terhadap penghuni Manderley?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Hell in a Cell 2020 Review


 
Sebagai atraksi setiap halloween, ppv Hell in a Cell selalu ‘dijual’ oleh WWE sebagai malam yang intens. Pertandingan-pertandingannya dipersiapkan untuk memiliki cerita yang benar-benar personal, sehingga ketika mereka ditempatkan di Hell in a Cell, pertandingan tadi jadi terasa berkali lipat lebih spesial. Tajuk yang diangkat sebagai tema besar Hell in a Cell tahun ini adalah ‘personal hell’.Tiga HIAC match yang dihadirkan mewakili seteru persahabatan, keluarga, dan kepercayaan. Tiga hal personal yang gampang untuk relate ke kita-kita yang bahkan bukan pegulat. Makanya ketiga pertandingan tersebut seketika menjadi menarik. Menjadikannya HIAC match hanya membuat mereka menjadi lebih seru lagi. Dengan berpijak dari situ, mestinya sudah hampir pasti yang disuguhkan oleh WWE ini adalah tayangan yang luar biasa.
Namun ternyata dari tiga HIAC, hanya ada satu yang benar-benar spesial. Ketiganya memang intens dan personal, tapi tidak terasa seluarbiasa itu. Tidak terasa seperti sebuah puncak, melainkan hanya seperti pengulangan. Dan memang begitulah adanya. Dua dari tiga match HIAC yang kita dapatkan di sini adalah pengulangan dari match di Clash of Champions 2020. WWE punya tugas untuk melanjutkan cerita tersebut, tapi tidak sepenuhnya berhasil melampaui keseruan yang sudah mereka hadirkan pada PPV sebelumnya itu.
Sebelum membahas yang kurang berhasil, kita akan ngomongin yang sukses dulu. Tiga kata. Bayley. Sasha. Banks. Satu-satunya yang failed dari pertemuan mereka ini (at last!) adalah failed-nya WWE dalam memposisikan pertandingan ini. Kejuaraan Wanita Smackdown ini seharusnya dijadikan partai terakhir. Dijadikan main event. Karena begitu seru, kreatif, dan sungguh cocok mengemban cerita dengan build up yang sudah demikian panjang. Ketertarikan kitapun tidak bisa lebih tinggi lagi. Kita masuk ke pertandingan ini mengetahui fakta bahwa Sasha Banks enggak pernah menang HIAC meskipun dia memegang rekor sebagai satu-satunya anggota Four Horsewomen yang paling banyak bertanding di HIAC – semuanya melawan sesama anggota Four Horsewomen! – dan juga fakta bahwa ketegangan antara Sasha dengan Bayley udah mencapai puncak ubun-ubun. Story mereka ditulis dengan sangat baik, setiap detil dijadikan hook. Rekor Bayley menjadi juara selama 380 hari dijadikan stake buat si juara bertahan yang jadi antagonis di cerita ini. Membuat posisi mereka jadi berimbang, keduanya punya stake, keduanya mungkin untuk menang. Membuat kita yang nonton geregetan.

Boss in a Cell!!

 
Menonton bentrokan Bayley dan Sasha Banks ini membuat ingatanku terpelanting ke belakang, ke saat menyaksikan dokumenter WWE Untold mereka yang membahas pertandingan Ironman legendaris mereka di NXT. Saat itu Sasha bilang, mereka gak bisa terlalu banyak latihan karena jika pegulat wanita ‘ketahuan’ melakukan banyak adegan diving berbahaya, maka senior dan para produser akan melarang dan menyuruh untuk mengurangi aksi mereka sedikit. Kenapa aku jadi terflashback ke sana? Well karena di HIAC kali ini aku melihat lutut Sasha Banks beterbangan ke sana kemari! Gerakan Meteora itu dijadikan Sasha sebagai signature dan di match ini kita melihat berbagai macam variasi. Dan semuanya tampak berbahaya. Yang paling mencengangkan adalah Meteora yang dilakukan oleh Sasha sambil berlari di atas meja (sebagai landasan/ramp) untuk kemudian meloncar dan menubruk Bayley ke kandang. Aku yakin sekali Sasha dan Bayley juga merahasiakan spot-spot mereka yang seperti ini, dan barulah mereka meledakkan semuanya ketika sudah live bertanding. Bayley dan Sasha di sini membuktikan kepada dunia gulat hiburan bahwa WWE – kendati strict dan paling main-aman – tetap mempunyai divisi gulat cewek terbaik.
Kecepatan tempo dan kreativitas dua pegulat cewek itu bahkan tidak mampu ditandingi oleh main event acara; Randy Orton dan Drew McIntyre. Keduanya justru stuck di tempo lambat dan alur tanding yang lebih metodikal. Dengan kata lain, partai Kejuaraan tertinggi di WWE Raw itu terasa membosankan ketimbang kejuaraan wanita barusan. Pada satu titik, terlihat seperti Orton dan McIntyre ingin melakukan sesuatu yang luar biasa. Mereka berdua memanjat kandang tinggi itu, dan melanjutkan berantem di atasnya. Namun selain shot epik dan pemandangan yang bikin penonton yang fobia ketinggian keringet dingin, tidak banyak yang kedua pegulat itu hasilkan di atas sana. Mereka hanya adu jotos sebentar, lalu kemudian turun lagi. Aksi menjadi lebih fisikal justru pada saat mereka sudah setengah turun. McIntryre pake gimmick darah di sini, ia muntah darah seolah ada internal bleeding setelah terbanting jatuh ke atas meja komentator dari dinding yang sedang mereka panjat. Sisanya, pertandingan tersebut terasa datar. Bahkan hasil akhir pertandingan ini tidak pernah benar-benar mengejutkan. But I guess kita semua udah mengharapkan pertandingan datar seperti itu ketika ada nama Orton tertera sebagai pesertanya. Dan bahkan sebenarnya match tersebut gak sedatar itu jikasaja mereka tidak harus punya Sasha dan Bayley sebagai patokan. However, di antara ketiga HIAC yang bisa dibilang paling mengecewakan buatku adalah Roman Reigns lawan Jey Uso, yang justru supposedly adalah yang paling unik karena merupakan HIAC pertama yang menggunakan stipulasi I Quit match.

Kurungan yang jadi personal hell itu bagi WWE sendiri sebenarnya adalah soal ke-strict-an mereka dalam mempersembahkan diri sebagai brand. WWE sebenarnya punya lebih dari satu kesempatan seperti HIAC ini untuk sesekali mengambil resiko dan menyimpang sedikit dari ‘rutinitas’ dan format presentasi aman yang mereka lakukan. Tapi tidak pernah hal tersebut dilakukan dengan maksimal. 

 
Hal terbaik dari Kejuaraan Universal itu adalah penerapan I Quit itu sendiri. Tidak lagi wasit nyodorin mic ke peserta yang tepar kayak jaman dulu. Melainkan langsung komunikasi verbal antara semua pihak yang terlibat. Dan berkat itu, Roman Reigns jadi kayak orang sakit jiwa, membuat karakternya menjadi semakin menarik. Nyuruh Jey untuk quit. Ngoceh-ngoceh sendiri soal dia kepala suku. Fresh melihat karakternya seperti ini. Sayangnya, pertandingan mereka ini secara naratif udah kayak pengulangan plek-plek dari pertandingan luar biasa mereka sebulan sebelumnya. Bahkan sekuen di endingnya mirip juga. Sehingga menontonnya jadi biasa aja, walaupun ada kandang neraka itu yang jadi playground mereka sekarang. Kemudian malah pertandingan ini jadi janggal karena hal-hal seperti melakukan gerakan submission yang mencekik lawan. Ini membuat si superstar yang melakukan jadi kelihatan blo’on karena inti I Quit ini kan supaya lawan menyerah dengan bilang “I quit”. Kalo lawan kecekek terus pass out, gimana mereka bilang kata tersebut? Matchnya gak bakal berakhir dong kalo lawannya pingsan. Dan lagi, si wasit juga gak kalah blo’onnya nanyain quit atau enggak setelah si superstar terlepas dari submission. Padahal kan logisnya orang bakal nyerah saat dia kecekek; setelah cekekan atau kuncian lepas, ya mereka gak ada urgensi lagi untuk bilang quit.
Selain proses match yang kurang logis, kejadian setelah ending pertandingan ini juga rada aneh. Development karakter dan cerita setelah ending itu adalah Jey menunjukkan kualitas sebagai orang yang care dengan saudara dan keluarganya. Ini penting karena masalah kedua superstar ini adalah membuktikan bahwa Roman Reigns cocok sebagai kepala suku keluarga gulat mereka. Nah di match ini diperlihatkan Jey cukup tangguh, dia bertahan gak mau menyerah – biarlah badannya sakit dihajar. Namun begitu saudara kembarnya yang disakiti, Jey langsung bilang I quit supaya Reigns menghentikan serangan. Jey berkorban dan memikirkan saudaranya. Tapi lantas, setelah match berakhir, Afa dan Sika muncul dan menyerahkan simbolik kepala suku kepada Roman Reigns, meskipun jelas si Reigns ini menunjukkan bahwa dia rela melakukan apa saja – termasuk menyakiti sepupu/keluarganya sendiri. Kita masih cuma bisa meraba kemana arahnya storyline mereka ini, tapi menurutku ini aneh keluarga besar Reigns justru mendukung dirinya jadi kepala suku. Aku gak tau. Apakah WWE menyelipkan kritikan soal pemerintah tirani – aku ragu writer mereka kepikiran sejauh itu.

Yang jelas bagi Reigns, dia gak akan membiarkan Jey quit seterhormat Khabib menyatakan dirinya quit.

 
 
The rest of the cards adalah match-match gak-spesial, yang mestinya bisa aja dilangsungkan di show mingguan. WWE pun tidak usaha banyak untuk membuat mereka spesial. Retribution dapat match hampa yang justru membuat mereka terlihat lebih lemah lagi karena anggotanya ditumbalkan begitu saja kepada Lashley. Jeff Hardy malah dibikin kayak gak peduli untuk memenangi pertandingan; karena situasinya dituliskan dia DQ gitu aja. Yang paling unfortunate buatku adalah Otis. WWE kayak kehilangan kepercayaan gitu aja ke superstar ini dengan mencabut Money in the Bank darinya. Padahal bukan salah Otisnya, kesempatan aja yang jarang diberikan kepadanya. Mestinya justru di sinilah kesempatan untuk Otis. WWE bisa membuat pertandingan ini sebagai push supaya Otis tampak kredibel dengan mengalahkan mantan juara WWE. Tapi enggak. WWE just give up on him. Menggantikan posisi MITB dengan Miz (alih-alih Morrison), and for some reason membuat Tucker jadi heel.
 
 
Hitam putih di sini bukanlah lagu Isyana, melainkan attire Sasha-Bayley dan Reigns-Jey. WWE membuat simbolik mereka sesederhana itu. Jahat hitam. Protagonis putih. Dan tampaknya memang keseluruhan acara ini enggak pernah berkembang jauh dari kesimpelan semacam itu. Simpel yang berarti kurang usaha. Kurang berani ambil resiko. Untuk acara dengan occasion seseram halloween, dengan gimmick sebrutal hell in a cell, acara ini justru terasa main aman dan datar-datar saja. The Palace of Wisdom menobatkan HIAC Sasha Banks mendobrak ‘kutukan’ melawan mantan sahabatnya, Bayley sebagai MATCH OF THE NIGHT 
 
 
 
 
Full Results:
1. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL I QUIT MATCH Roman Reigns bertahan sebagai juara dengan memaksa Jey Uso berkata “I quit”
2. SINGLE Elias menang DQ atas Jeff Hardy
3. MONEY IN THE BANK CONTRACT ON THE LINE The Miz merebut koper dari Otis
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Sasha Banks jadi juara baru ngalahin Bayley
5. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Bobby Lashley defending against Slapjack (yea aku tau namanya bego)
6. WWE CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Randy Orton mengalahkan juara bertahan Drew McIntyre 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM Review

“The truly intelligent person is one who can pretend to be a fool in front of a fool who pretends to be intelligent.”
 

 
 
Luar biasa memang usaha Sacha Baron Cohen dalam mengkritik negaranya!
Empat belas tahun lalu aktor ini nongol sebagai Borat, jurnalis fiktif dari Kazakhstan. Dia ke Amerika untuk studi budaya. Yang pada kenyataannya adalah Sacha sedang memperlihatkan betapa konyolnya ke’open-minded’an ketika diterapkan oleh orang-orang di sana. Sebagai pendatang dari negara yang jauh lebih inferior, Borat ditampilkannya jujur dan polos, namun juga begitu terbelakang. Borat bukan saja memperlihatkan bagaimana sebenarnya orang Amerika ketika dihadapkan kepada sesuatu yang berbeda dengan mereka,  tapi juga bagaimana mereka menyingkapi ‘budaya’ mereka sendiri jika budaya tersebut diterapkan dengan cara berbeda. Dua tahun lalu, Sacha mengambil gaya mockumentary yang lebih berani lagi pada serial Who is America. ‘Prank’ yang ia lakukan langsung menyasar ke orang-orang penting. Dia menyamar sebagai sesosok pro- (politik, kepemilikan senjata api, dll), berdialog dengan tokoh-tokoh politik, dan dengan kocak mengekspos kedogolan mereka. Dan sekarang, tepat di bawah hidung kita semua, Sacha Baron Cohen telah sekali lagi mengenakan ‘topeng’ Borat. Kembali ke U.S.and A. Meletakkan cermin itu ke tengah-tengah warga Amerika yang kini berada di bawah kepemimpinan Donald Trump. Gerakan feminis. Dan Covid-19.
Kalo kita mau ikutan berkaca di cermin yang sama, tentulah kita juga akan menemukan sindiran-sindiran yang dilontarkan oleh film ini ikut mengena ke negara kita. Represi, sexism, apapun dijadikan adu kubu politik, sudah jadi masalah sehari-hari. Di negara kita pun bukannya tidak ada gerakan protes ataupun kritik cerdas seperti yang dilakukan oleh Sacha Baron Cohen. Baru-baru ini, Najwa Shihab udah bikin kita berdecak kagum lewat aksinya mewawancarai kursi kosong sebagai ganti Pak Menteri Kesehatan yang menolak hadir saat diundang ngobrol. Kita butuh lebih banyak kritikan-kritikan cerdas seperti yang dilakukan oleh Najwa atau Borat ini. Kritikan yang sayangnya juga harus disematkan kata nekat setelah predikat cerdas tadi. Nekat karena memang ada ‘bahaya’ yang membayangi. Kita lantas mencemaskan Najwa kalo-kalo nanti ditelikung pemerintah. Borat sendiri harus mengenakan rompi antipeluru di balik kostum penyamarannya saat merekam film ini. Dan itu memperlihatkan betapa powerfulnya film yang ingin ia sampaikan ini.
 
 

Dengan berpura-pura bego duluan, Sacha mengekspos kebegoan yang lebih paripurna

 
 
Ada lebih banyak layer pada film Borat kedua ini jika dibandingkan dengan Borat yang pertama. Tajuk originalnya cukup panjang, berbunyi “Delivery of Prodigious Bribe to American Regime for Make Benefit Once Glorious Nation of Kazakhstan”. Dari judul tersebut kelihatan bahwa cerita ini punya target yang lebih spesifik dibandingkan film pendahulunya yang abstrak ke sosial Amerika. Kali ini yang diincar adalah ‘American Regime’. Film kali ini seperti memadukan gaya film pertama dengan serial Who is America. Borat dan, kali ini partner in crimenya adalah putrinya; Tutar, yang berusia 15 tahun, akan semacam menginterview beberapa tokoh (ranging from aktivis feminis, ke  pendukung Trump hingga ke major politican) dengan konteks narasi yang lebih ditonjolkan. Narasi yang berakar pada relasi ajaib antara Borat dengan Putrinya itu menjadikan film ini tontonan yang lebih berarah, dan suprisingly lebih emosional, karena jadi bermuatan drama.
Drama ayah-anak ini dijadikan oleh sutradara Jason Woliner sebagai pengikat sketsa-sketsa ‘prank’ di dunia nyata yang dilakukan oleh Borat dan Tutar dari waktu ke waktu. Beberapa hal yang dikritik (dan dibuktikan) oleh film Borat 2 ini antara lain adalah soal salah kaprahnya gerakan feminis, soal negara yang seperti melanggenggkan perdagangan perempuan, soal sikap negara terhadap perempuan itu sendiri – dan juga terhadap minoritas, soal sikap terhadap jurnalistik, dan tentu saja soal penanganan dan propaganda terhadap pandemi virus Corona. Drama ayah-anak yang jadi tulang punggung narasi akan memberikan setiap sketsa bermuatan kritik-kritikan tadi konteks yang mengikat yang menjadikannya punya bobot lebih sebagai tontonan. Meskipun memang drama ayah-anaknya itu sendiri konyol alias absurd. Resolusinya menghangatkan dan membawa banyak harapan untuk dunia yang lebih baik, tapi juga tidak sepenuhnya terasa baru. Borat ingin memberikan putrinya tersebut sebagai hadiah untuk Vice President. Ini adalah misi yang diberikan negara baginya, karena Kazakhstan ingin mengapresiasi Amerika yang sudah kembali menjadi negara kuat yang bisa dijadikan panutan. Journey putrinya Borat (dimainkan dengan berdedikasi dan luar biasa oleh Maria Bakalova) sangat dramatis meskipun di awal karakternya ditulis sangat komikal demi satire yang diincar oleh film.

Semua kekonyolan karakter pada film ini fits perfectly ke dalam konteks satir yang diincar. Penekanannya sekali lagi adalah pada cara bercerita sambil menyindir itu sendiri. Film Borat percaya untuk melakukannya dengan mengolok diri sendiri terlebih dahulu. Untuk mengekspos seseorang yang pura-pura pintar, kita harus berpura-pura bloon di hadapannya terlebih dahulu. Untuk membuat mereka merasa makin superior, dan ketika kepala itu sudah demikian gede, maka jatuhnya akan semakin keras.

 
Maka film melandaskan betapa terbelakangnya Borat dan Tutar dan negara Kazakhstan itu sendiri dibandingkan dengan Jerry, atau Jim, atau Karen; dengan Amerika yang superior. Jika kalian enggak suka dengan humor vulgar yang dilakukan tanpa ditahan-tahan dari karakterisasi Borat dan Tutar, maka kalian akan susah untuk menyukai film ini walaupun mungkin kalian sepaham dengan gagasannya. Karena kelucuan cerita film ini memang bertumpu pada pengkarakteran ‘polos tapi barbar’ tersebut. Film harus membuild up gap antara Borat dengan Amerika supaya komedinya dapat berjalan. Dan ketika sudah berjalan, memang film ini jadinya lucu sekali. Misalnya adegan ketika Borat membeli kandang untuk putrinya, si penjual bingung atas permintaan si pembeli tapi kelihatan dia berusaha untuk open minded dan gak ikut campur. Sementara itu si Borat terus memancing reaksi. Sampai di satu titik akhirnya Borat berkata soal bukankah normal membeli kandang untuk tempat tinggal anak perempuan karena presiden “McDonald Trump” toh mengandangi anak-anak Mexico. Ataupun ketika Tutar gak sengaja menelan hiasan bayi pada kue yang disuapi oleh Borat, lalu mereka pergi ke dokter untuk mengeluarkan bayi yang tertelan tersebut. Sampai di sini aku yakin kalian bisa membayangkan bagaimana kocaknya Borat dan Tutar memainkan keadaan yang mengetes keopen-mindedan dokter yang menangani mereka.

Borat 2 juga bercanda dengan twist yang mereveal penyebab sesungguhnya pandemi Corona

 
 
Kehadiran Tutar sebagai pemain kunci cerita bukan saja menghantarkan kritik terpenting yang disampaikan oleh film, melainkan juga berfungsi sebagai penanda eksplorasi lebih jauh yang dilakukan oleh film ini sehubungan dengan statusnya sebagai sekuel dari tontonan yang begitu berpengaruh terhadap rakyat Amerika itu sendiri. Mau tidak mau memang yang paling duluan kita ingat dari Borat adalah tingkah antiknya. Ucapan-ucapannya yang katro sekaligus porno. Sosok Borat udah jadi salah satu ikon pop-culture yang tidak mungkin tidak dikenali. Sekuel ini juga bermain-main dulu dengan hal tersebut. Ia menunjukkan kepada kita bahwa Borat udah jadi ‘selebriti’ di Amerika. Orang-orang di jalan pada berebut memanggilnya. Bahkan sudah dijual kostum untuk orang yang mau cosplay jadi Borat di malam halloween nanti. Hal ini hanya mendorong film Borat untuk merancang cerita yang lebih beda lagi, dan tokoh Tutar adalah jawabannya.
Resep keberhasilan sekuel Borat ini adalah tempat dan waktu. Tempat; Amerika sebagai negara yang supposedly berpikiran terbuka, memungkinkan cerita seperti Borat ini dilakukan. Membuat kelucuan yang datang dari kontrabalans antara aksi dan reaksi yang timbul dari mindset dan pola pandang yang mereka anut sendiri. Waktu; karena film ini begitu relevan. Ia mempermasalahkan hal-hal yang memang sedang kita hadapi sekarang. Menargetkan keadaan politik Amerika, dan tayang hanya sebulan sebelum election berikutnya di negara itu. Perihal covid, film juga berhasil memasukkannya ke dalam konteks cerita. However, jika kita melihatnya dari sudut lain, kita juga bisa bilang film ini berkat ke-happening-nya, bakal dengan cepat terasa out-of-date. Memang, hanya waktu yang akan menentukan. Namun kita bisa membayangkan bagaimana jika kita menonton film ini untuk pertama kali di tahun 2025, katakanlah saat pandemi sudah berakhir. Joke/pranknya mungkin tidak lagi semuanya mengena. Untuk perbandingan, film Borat yang pertama; meskipun tidak menonjol di tubuh narasi, ia diingat melalui prank2 sindiran Borat leading up ke dia nyulik Pamela Anderosn. Dan itu karena yang disindir Borat adalah kebudayaan Amerika di masa modern secara keseluruhan. Yang secara waktu, jangkauannya lebih luas. Kita masih mengingatnya. Aku pikir ketimeless-an tersebut lebih susah dicapai oleh film yang kedua ini. Also, film ini juga sedikit terlalu mengandalkan popularitas Borat itu sendiri, mengandalkan ke semua penonton sudah tahu siapa Borat itu sebelumnya.
 
 
 
Komedi satir dengan konsep yang menakjubkan. Luar biasa tajam, dan nekat. Film ini enggak ragu untuk ‘menipu’ narsumnya demi memberikan mereka pandangan yang lebih terbuka, penyadaran, dan merefleksikan kepada kita keadaan yang sebenarnya. Di balik itu semua, film ini masih mampu untuk menghadirkan drama ayah anak yang cukup dramatis dan mencuri emosi kita. Hanya komedinya yang mungkin gak untuk semua orang. Kasar, vulgar. Terutama untuk orang-orang yang kesindir langsung oleh gagasan film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian bisakah film seperti ini tercipta di Indonesia, mengingat iklim politik dan pola pikir orang indonesia itu sendiri? Apakah menurut kalian jurnalis seperti Najwa Shihab atau seniman seperti Sacha Borat Cohen ini melanggar etika ketika mengekspos ‘bintang tamunya’ sehingga jadi bahan olokan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

UNHINGED Review

“Just because you’re angry, doesn’t mean you have the right to be cruel.”
 

 
 
Hidup di kota itu keras, Bung! Tuntutan hidup kian tahun kian meningkat. Biaya hidup meroket. Saingan kerja semakin banyak. Orang-orang mulai mencari kerja sampingan. Waktu pun terasa terus menyempit. Begitu juga dengan kesabaran manusia penghuninya. Maka tak heran, orang-orang sekarang jadi gampang marah. Mudah tersinggung. Stress kerjaan dan tekanan hidup sehari-hari membuat orang jadi seperti bom berjalan. Semua orang merasa dirinya mengalami hari yang buruk. Sehingga begitu bersinggungan dengan masalah orang lain sedikit, langsung tersulut dan meledak. Jalanan jadi tempat bom-bom ini meledak. Kita mendengar (dan boleh jadi melihat langsung saking seringnya) orang-orang bertengkar di jalanan, karena hal sepele.
Unhinged karya sutradara Derrick Borte tidak menyelami hidup sumbu-pendek tersebut lebih jauh. Meskipun memperlihatkan latar belakang yang sekiranya bisa disimpulkan sebagai penyebab sosial yang semakin pemarah dalam bentuk kilasan berita-berita di media sebagai penghantar di awal cerita, film ini tidak benar-benar langsung membahas ke persoalan tersebut. Melainkan langsung menyodorkan contoh kasus yang menjadi suri teladan terhoror yang bisa kita dapatkan saat hidup dalam sosial yang penuh amarah seperti sekarang ini. Film ini menyugestikan mayat-mayat di berita kriminal yang kita dengar siang hari ini, boleh jadi merupakan buah dari sebuah persoalan yang semestinya bisa diselesaikan dengan seucap kata maaf.
Rachel, tokoh utama film ini, mengklakson seseorang di lampu merah. Sebuah mobil yang gak maju-maju padahal lampunya udah ijo. Rachel yang udah terjebak macet sebelum ini, yang telat bangun sehingga dipecat, yang berjuang menata hidupnya sendiri dan rumah tangga sebagai single mother, basically menghardik pengemudi mobil tersebut dengan klakson-klakson kasar. Rachel gak tahu kalo di dalam pick up gede itu adalah Russell Crowe, yang tokohnya adalah pria dengan segudang masalah hidup yang tak kalah bikin stress. Ah, kalo saja Rachel tahu subuh tadi si pria bertubuh tambun itu baru saja menghabisi nyawa keluarganya mantan istrinya – membakar rumah mereka sebagai exit dramatis, di tengah guyuran hujan sebagai pemanis –  pasti akan lebih sopan dan mau ketika dituntut untuk meminta maaf. Sayangnya, tidak. Dan sudah terlambat bagi Rachel untuk melontarkan maaf yang tulus itu saat Sang Pria memburu dirinya, mengincar keluarga dan anak Rachel yang sudah terlambat ke sekolah, membahayakan nyawa mereka semua, demi memberikan pelajaran seperti apa sih hari yang buruk itu sebenarnya.

Giliran dikasarin nangiiss!

 
Sebagian besar durasi film adalah kejar-kejaran mobil yang sangat intens dan seru di jalanan. Kata Unhinged yang menjadi judul film ini mengacu pada kata sifat yang bermakna perilaku manusia yang sudah kehilangan kendali atas moral, alias perilaku yang unnecessarily berbahaya yang timbul sebagai reaksi terhadap lingkungan sekitar. Dan unhinged tersebut bukan hanya menunjuk kepada tokoh si Russell Crowe. Hampir seluruh pengguna jalan dalam film ini, termasuk Rachel, bisa terjerumus ke dalam kategori unhinged. Film ini menciptakan dunia yang jalanannya benar-benar bikin stres serta penuh oleh perilaku berbahaya dari pengendara. Melihat kecelakaan-kecelakaan yang terjadi sebagai dampak dari kejar-kejaran Rachel dengan karakter si Crowe membuat kita miris duluan. Ada satu pengemudi yang nabrak, kita kasian, tapi sekaligus kita tahu bahwa si pengemudi itu ngendarain mobil sambil main hape atau ada juga yang sambil benerin make up.
Permainan dinamika moral seperti inilah yang membuat Unhinged asik untuk ditonton. Kita tahu Rachel adalah yang dikejar, tapi kita juga melihat bahwa dialah yang ‘nyari masalah’ duluan. Buatku malah si Rachel ini annoying banget. Membuatku teringat kepada emak-emak di jalanan yang suka ngotot duluan. Si Pria Gede pun tidak dilepas untuk menjadi monster psikopat begitu saja, sebab naskah malah membuat kita terlebih dahulu mengetahui si karakter ini punya hari yang lebih parah daripada Rachel. Tidak ada tindakan yang mutlak dapat kita benarkan ataupun kita persalahkan. Satu lagi treatment menarik yang diberikan kepada tokoh jahat di film ini adalah perihal bahwa dia sama sekali tidak takut polisi. Tidak takut ketangkep. Jika pada film-film lain tokoh jahat atau tokoh kriminal biasanya beraksi sembunyi-sembunyi alias takut ketahuan – kebanyakan yang diangkat adalah soal penjahat itu actually lebih takut daripada calon korbannya -, maka pada film ini kriminalnya justru membunuh di siang bolong. Di depan mata orang banyak. Dengan kasual dia bilang kepada Rachel “cari televisi, akan ada video apa yang kulakukan kalo kau tak percaya” yang menandakan bahwa dia fully aware sedang direkam dan diviralkan oleh smartphone-smartphone yang mengintip ketakutan. Dia tak peduli. Dia sudah nothing to lose, dan inilah yang membuat karakter tersebut menjadi terasa sangat berbahaya.

Tidak ada alasan apapun di dunia yang membuat kita jadi bisa berbuat kasar dan gak sopan terhadap orang lain. Kita bisa menyalahkan pemerintah atau bahkan hidup yang gak adil, namun itu bukan berarti kita wajar untuk lepas kendali. Melainkan kita harus ingat bahwa yang dibutuhkan oleh dunia yang semakin hari semakin keras ini justru adalah setitik kecil tindak kebaikan hati. Secercah kesopanan dan pengertian terhadap sesama. So sort your life out, don’t blame anyone, and just be nice!

 
Selain dinamika moral tadi selebihnya Unhinged berjalan lurus dan blak-blakan saja. Memenuhi statusnya sebagai thriller aksi dengan kecepatan tinggi. Film ini tidak lupa untuk memberikan momen kecil yang memperlihatkan si tokoh utama belajar dari kesalahan yang sudah mentrigger semua kerusuhan di cerita. Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Rachel sudah mengakui kesalahannya tanpa membuat kita jadi membenarkan perbuatan tak-bertanggung jawab yang juga ada di film ini. Keberhasilan tertinggi film ini memang pada relasi ancam mengancam antara Rachel dengan pengejarnya. Namun masalah kemudian hadir karena cerita ini butuh untuk memenuhi durasi, dan sebagaimana thriller umumnya, butuh banyak ‘korban’ dan elemen-elemen lain supaya tensi dan pertaruhan karakter terus meningkat. Saat berupaya mengisi hal-hal tersebutlah, Unhinged perlahan merosot dari cerita dan moral karakter yang compelling menjadi sesuatu yang terlalu sensasional sebagai gambaran kejadian nyata (film ini toh memang menilik kepada keadaan masyarakat kita yang semakin kasar dan pemarah)

Emak-emak bermotor lebih galak daripada polisi

 
 
Mulai dari pilihan blo’on yang dipilih karakter (supaya alur cerita tetap bisa jalan dan film gak tamat sebelum 90-menit), hingga ke karakter yang udah kayak superpower, ada begitu banyak hal yang tampak tak masuk di akal tercuatkan oleh cerita. Level kekerasan yang ditunjukkan juga tak konsisten. Misalnya, pukulan pria segede karakter si Crowe ini di satu titik langsung membuat pria dewasa tak berkutik, tapi di lain kesempatan seorang wanita bisa makan bogem tersebut berkali-kali tanpa banyak damage yang terlihat. ini diikuti oleh aksi film ini yang mengalami kemunduran saat berpindah dari aksi di jalanan ke aksi berantem manusia melawan manusia. Final konfrontasi pada babak ketiga film ini terlihat generik, seperti pada film-film thriller 90an. Lengkap dengan one-liner cheesy pamungkas yang ‘diludahkan’ oleh protagonis ke penjahat. Semakin merosot lagi karena kejadian-kejadian yang menghantar kita ke sana mulai bergantung pada banyak unsur kebetulan. Penjahat yang kebetulan berhenti di depan rumah tempat protagonisnya bersembunyi. Protagonis yang tau di mana persisnya dia harus menunggu si penjahat muncul. Film mulai tampak memaksakan kejadian. Polisi diminimalis, baik jumlah maupun perannya, supaya bisa dapat berjalan (dan supaya kita memaklumkan kenapa penjahat terang-terangan seperti itu butuh waktu lama banget untuk terlacak dan tertangkap). Dan satu-satunya pembelaan cerita untuk hal tersebut adalah mereka sudah mengimplikasian ‘kelangkaan’ polisi itu pada montase berita-berita di awal film.
 
 
 
Dunia memang sudah edan, dan film ini tidak membiarkan kita untuk meratapi keedanan tersebut. Melainkan menyuruh kita untuk melihat dengan melotot ngeri seberapa edannya dunia tersebut bisa terjadi. Di jalanan, orang-orang yang salah bisa lebih galak. Malah, kalo kau tidak galak, maka kaulah yang salah. Film ini jadi tontonan yang menghibur karena mengarah kepada dampak mengerikan dari perbuatan tersebut. Tapi kemudian poin dari film ini menjadi mengecil tatkala film seperti mulai memaksakan kejadian dengan pilihan-pilihan bego dari karakter dan beberapa peristiwa kebetulan. Ceritanya terlepas dari frame ‘problem-nyata’, dan dengan bobot yang sudah minim karena arahan tadi, film sekarang hanya punya ‘menghibur’ sebagai garis finish.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNHINGED.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Benarkah masyarakat sosial kita turut menjadi masyarakat yang pemarah yang tidak ramah? Kenapa menurutmu orang-orang suka berantem di jalanan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

NOCTURNE Review

“No one remembers who came in second.”
 

 
 
Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.
Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 
 
Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.
Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.
Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 
 
Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.
Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.
 
 
 
Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE TRIAL OF THE CHICAGO 7 Review

“If you remember what you fighting for you will never miss your target.”
 
 

 
 
Mungkin gak sih aksi demonstrasi berlangsung tanpa berakhir kerusuhan? Jawabannya tentu ‘bisa saja’, tapi ruang tanya itu masih terbuka ketika ada yang memperdebatkan lebih lanjut; apakah demo tanpa rusuh itu efektif. Argumentasi soal demonstrasi seperti demikian memang lagi sering terdengar, atau tepatnya, terbaca ketika kita berselancar di sosial media. Karena memang topiknya lagi hangat sekali. Di Amerika, di Thailand. Negara kita juga lagi kena musim demo, berkat disahkannya UU Cipta Kerja yang berbuntut banyak masalah. Mulai dari isinya, hingga ke kejadian seputar pengesahannya yang tergolong mendadak itu. Aksi penolakan terhadap UU tersebut bergelora di mana-mana. Buruh angkat suara, Akademisi menghimpun diri. Mahasiswa turun ke jalan. Anak STM ikut di belakang kakak-kakak mereka itu. Aksi mereka diharapkan berlangsung damai. Namun kemudian ada halte terbakar. Perlawanan lantas muncul di mana-mana. Polisi melawan pendemo. Mengejar hingga ke kampus-kampus. Menangkapi mahasiswa, sampai-sampai para pelajar yang terangkap terancam bakal susah dapat kerja. Ibarat kata, mereka tak bisa dapat surat kelakuan baik, karena sudah ikut merusuh dan merusak kota.
Begitulah ujung-ujungnya nasib pengunjuk rasa. Disebut sebagai provokator. Pengganggu kestabilan keamanan. Tahun 1968 tujuh pemuda ditangkap oleh kepolisian Chicago. Mereka diadili karena tertuduh sebagai provokator kerusuhan dalam aksi protes terhadap Perang Vietnam yang tadinya aman menjadi huru-hara. Membuat polisi harus bertindak keras. Banyak sekali korban terluka, baik dari pihak polisi maupun pendemo yang tergabung dari beberapa golongan. Sidang ketujuh pemuda (sebenarnya ada delapan, satu lagi yang berkulit hitam dapat tuduhan ekstrim membunuh polisi sehingga ia mendapat ‘perlakuan’ khusus) ini berlangsung alot. Berhari-hari. Karena para pemuda-pemuda itu justru curiga bahwa polisilah yang cari ribut duluan. Yang sengaja memancing kerusuhan terlebih dulu demi mengantagoniskan gerakan mereka. Kisah nyata konflik demonstrasi yang relevan bukan saja dengan keadaan Indonesia, melainkan dunia sekarang, inilah yang dimainkan ulang oleh Aaron Sorkin sutradara yang sudah aral melintang menangani drama debat di pengadilan berkat kepiawaiannya mengeset dan menulis dialog yang tajam-tajam. Selama kurang lebih dua jam, kita akan dibawa duduk menyaksikan trial demi trial yang penuh emosi. Film ini akan membuat kita geram. Kemudian tertegun. Dan memikirkan ulang aksi perjuangan yang mungkin sedang kita lakukan supaya perjuangan tersebut lebih tepat sasaran.

The whole world is watching — if you’re wearing mask or not, eh…

 
 
Actually, adegan persidangan di film ini adalah sidang terheboh yang pernah aku lihat di dalam film. Bahkan lebih bikin geram dibandingkan sidang yang pernah kutonton di televisi, dan aku udah liat sidang kopi sianida dan sidangnya Steven Avery. Debat sidang yang ada di film ini begitu sensasional. Tadinya saat menonton aku berpikir kejadian-kejadian seperti dua pemuda tertuduh suatu hari datang mengenakan jubah hitam panjang seperti milik hakim – sebagai bentuk sindiran mereka terhadap sikap sang hakim – adalah pandai-pandainya si pembuat film aja supaya cerita persidangan itu unik dan seru. Ternyata, setelah aku baca-baca beritanya seusai menonton, kejadian tersebut memang benar terjadi. Sidang Chicago 7 ini memang beneran penuh oleh kejadian-kejadian yang kalo dilihat sekarang pastilah memalukan bagi sistem peradilan Amerika. Hakim yang bias sedari awal – Yang Mulia itu tanpa diminta langsung buka suara klarifikasi bahwa meskipun bernama belakang sama tapi dia bukan sanak keluarga salah seorang terdakwa – yang mengikat dan menyumpal mulut terdakwa kulit hitam yang tak diijinkannya mencari pengacara pengganti, itu bukan karakter yang diciptakan untuk khusus untuk film ini. Melainkan karakter orang beneran yang ditunjuk sebagai kuasa tertinggi dalam sidang yang mestinya demokratis tersebut.
Sorkin mengambil esensi dan point-point yang membuat kejadian nyata itu diperbincangkan, untuk kemudian diperkuatnya lagi dengan pengadeganan dramatis buah visinya sendiri. Bagian-bagian sejarah itu disulamnya sempurna, menyatu dengan karakter-karakter dan elemen-elemen yang ia ciptakan untuk menjadikan cerita ini sebagai sebuah film. Ketika memperlihatkan adegan bentrokan polisi dengan pendemo, misalnya, Sorkin menyelinginya dengan cuplikan kejadian yang nyata dari rekaman berita. Meskipun potongan itu hitam-putih, tapi tidak pernah sekalipun kontras dengan pengadeganan yang berwarna. Ini menunjukkan betapa mulusnya dua klip video itu dirangkai. Bukan semata soal editingnya, melainkan juga keberhasilan dari penjagaan tone dan pacing cerita. Alur The Trial of the Chicago 7 bergerak dengan kecepatan penuh. Kilasan flashback dan selingan kejadian asli tidak pernah melambatkan ataupun membagi film ini seperti dua bagian. Karakter-karakter yang banyak itu bukan pula jadi halangan. Mereka semua mendapat porsi perspektif dan pembelajaran yang cukup untuk membuat kita benar-benar tertuju kepada masing-masing.
Walau karakter hakim luar biasa nyebelin (aslinya Hakim ini belakangan disebut ‘unqualified’ oleh Peradilan Amerika), tapi film tidak benar-benar total memihak. Film tidak menyuruh kita untuk percaya bahwa tujuh pemuda yang disidang itu enggak bersalah, apalagi menyuruh kita untuk membenci polisi dengan sepenuh hati karena mereka semua main kasar. Hakim yang bias dan rasis tidak lantas membuat pihak satunya otomotis benar dan tidak bersalah. Film tidak membiarkan kita tenggelam dalam konspirasi. Melainkan mencuatkan apa yang sebenarnya menjadi akar masalah di sini. Persidangan yang kian menjadi ajang tuduh-tuduhan itulah yang difokuskan di sini. Bukan hanya si Hakim saja, semua pihak diperlihatkan punya bias yang membuat mereka menjadikan sidang tersebut terlalu personal, sehingga tidak lagi melihat jernih. Seperti karakter yang diperankan Eddie Redmayne; orangnya pinter, respekful, dan yang paling bisa dijadikan teladan. Namun dia sendiri juga bias dalam memandang karakter si Sacha Borat Cohen, padahal jelas-jelas rekan seperjuangannya. Ketujuh pemuda memang dari golongan berbeda; ada geng mahasiswa, geng hippie, geng pramuka. Mereka bertujuan sama, tapi pandangan gak suka – gak percaya terhadap jalan atau cara kerja geng lain itu tetap ada. Bahkan lebih jauh film ini perlihatkan bahwa bias itu bisa datang dari penampilan luar. Satu-satunya yang bisa mempertahankan objektifitas dan gak ujug-ujug jadi bias itu adalah karakter pengacara penuntut yang diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt. Dia yang gak setuju demo rusuh seharusnya adalah ‘musuh’ bagi para pemuda, tapi kita bisa lihat dari sikapnya kadang justru dialah yang paling duluan gak setuju sama tindakan Hakim. Dia yang berusaha profesional dan memegang teguh respek dan paham tujuan itulah yang buatku jadi highlight di film ini.

Film ini menunjukkan bahwa betapa menjaga untuk gak menjadi bias itu adalah hal yang susah untuk dilakukan. Dalam perjuangan, seringkali kita menjadi terlalu personal. Seperti demo di Chicago itu; sidangnya malah seperti saling tuding siapa yang berbuat onar duluan. Padahal tujuan awal demonya adalah untuk memprotes pengiriman tentara ke Vietnam. Untuk menghentikan perang, bukan malah membuat ‘perang’ baru. Kita semua gampang meleset dari tujuan jika melupakan untuk apa, untuk siapa, kita berjuang pada mulanya. 

 

Hayoo siapa yang dalam menilai film aja, seringkali udah bias duluan sebelum nonton?

 
 
Yang ditawarkan film sebagai jawaban dari bagaimana supaya kita enggak jadi gampang bias, juga sungguh luar biasa dramatis. Adegan yang jadi ending film ini terasa sangat powerful. Adegannya kayak ketika Chris Jericho bacain daftar yang comically superpanjang berisi nama-nama submission yang mampu ia lakukan waktu di WCW dulu, hanya saja tidak seperti Jericho, adegan ini tidak di-boo. Malahan diiringi tepuk tangan yang bikin merinding. Ini merupakan desain dari sutradara, ia menerapkan bahasa film pada ending ini. Jika aslinya adegan tersebut justru berlangsung di awal-awal masa persidangan, Sorkin menaruhnya di akhir cerita sebagai bentuk pembelajaran dan penyadaran yang sudah dialami oleh para karakter. Pertanyaan yang harusnya mereka bahas bukanlah pihak mana duluan yang mancing ribut, pihak mana duluan yang kasar, dan kemudian menuding. Melainkan adalah pertanyaan untuk siapa unjuk rasa itu mereka lakukan. Untuk apa ide-ide tersebut mereka lontarkan. Momen penyadaran tersebut terangkum semua di dalam sekuen ending. Dengan sempurna menutup film dengan nada yang kuat, yang membuat kita berkontemplasi terhadap perjuangan yang sedang kita jalani sendiri.
Cerita yang hebat, dimainkan oleh assemble cast yang tak kalah hebatnya. Masalah yang muncul buat film ini cuma perspektif dan sudut pandang yang cepat sekali berpindah-pindah. Karena cerita ini gak punya tokoh utama. Kalopun ada, maka ia bukan satu orang. Melainkan satu grup. Satu pergerakan. Ini membuat film bekerja tidak seperti film-film biasa. Dan karena diangkat dari kejadian nyata, dibuat untuk menampilkan peristiwa yang sesuai fakta, film ini jadi sedikit terbatas. Dia tidak dalam kapasitas mengakhiri semua plot atau semua masalah yang dihadirkan. Terdakwa kedelapan dalam sidang tersebut, punya konflik yang tak kalah penting. Soal rasis dan prejudice yang lebih dalem. Namun karena peristiwa yang difilmkan oleh cerita tidak menyorot ke sana, maka permasalahan soal konflik itu juga tidak dibahas sampai habis. Hal tersebut jadi cacat sedikit buat film ini, karena normalnya setiap film harus menuntaskan setiap poin yang dimunculkan sepanjang cerita.
 
 
Maka itulah, aku berusaha untuk tidak terlalu bias karena aku suka sama cerita dan karakter-karakternya. Aku ingin melihat film ini secara objektif, ya sebagai film. Penilaiannya harus sama dengan saat menilai film-film lain. Sebagai cerita, definitely ini merupakan salah satu terpenting di tahun ini. Malah juga sebagai salah satu tontonan yang paling seru, padahal isinya kebanyakan ‘cuma’ orang-orang ngomong. But I never have a problem with chatty movies. Selama diceritakan dengan kuat dan terarah, ia akan asyik untuk dinikmati. Film ini akan enak untuk ditonton berulang kali, hanya untuk melihat kejadian demi kejadiannya. Kita akan lupa bahwa kameranya ternyata sangat pasif, berkat dialog dan adegan yang dinamis di ruang sidang tersebut. Sorkin berusaha optimal untuk membuat penggalan sejarah ini menjadi satu film yang layak, sembari tetap berpegang teguh pada visi kenapa ia membuatnya in the first place.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE TRIAL OF THE CHICAGO 7.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Jadi apakah kerusuhan itu terjadi karena pendemo lupa sama siapa yang sebenarnya sedang mereka perjuangkan? Bagaimana jika demo tetap rusuh kendati para pendemo masih fokus dan sadar pada siapa yang sedang mereka bela – mereka perlu sesuatu yang tegas supaya suaranya didengar – apakah kalian masih setuju dengan tindakan itu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE LIE Review

“Little secrets grow up to be big lies”
 

 
 
Pasangan suami istri yang sudah akan bercerai itu, mendadak jadi kelihatan rukun kembali. Mereka tampak kompak lagi, kasak kusuk bersama di rumah. Sayangnya, keakraban mereka tersebut bukan mutlak karena mereka kembali menemukan rasa cinta yang telah hilang. Melainkan karena Jay dan Rebecca sedang berusaha untuk melindungi perbuatan kriminal yang dilakukan oleh Kayla, putri semata wayang mereka. Kayla mendorong jatuh sahabatnya dari jembatan. Ke sungai deras yang super dingin di musim salju. Jay dan Rebecca dengan panik langsung berkomplot mengarang cerita supaya anak mereka terlepas dari tuduhan. Namun kebohongan mereka semakin membesar tatkala ayah sang korban ngotot untuk menanyai Kayla. Membuat Jay dan Rebecca menggunakan koneksi dan pengaruh mereka untuk balas menuduh yang tak bersalah, selagi putri mereka masih tampak ketakutan dan shock tak-berkesudahan.
Aku semacam berharap ada film kayak gini sejak nonton serial Defending Jacob (2020) beberapa bulan yang lalu. Serial itu juga tentang orangtua yang mati-matian membuktikan anak mereka bukanlah pelaku yang menyebabkan nyawa anak lain menghilang dari muka bumi. Nonton finale serial tersebut, aku kecewa. Karena jawaban apakah si anak bersalah atau tidak itu tidak dijawab melainkan dibiarkan ambigu. Sehingga semua pesan ceritanya gantung. Serial tersebut jadi tidak punya power dalam menjawab konflik pantaskah orangtua mencurigai anak sendiri ataupun etiskah orangtua melindungi anaknya mati-matian meski si anak beneran bersalah. Nonton serial tersebut jadi terasa kayak makan ciki; kosong. The Lie yang diadaptasi (alias diremake) oleh sutradara-sekaligus-penulis Veena Sud dari film Jerman berjudul Wir Monster hadir dengan lebih ‘tegas’. Sedari awal cerita sudah memastikan bahwa orangtua Kayla yakin anak mereka memang bersalah. Tokoh utama cerita ini adalah Jay, ayah yang begitu sayang kepada putrinya, sehingga mau menempuh banyak – bahkan menggadai moral dan etika, untuk melindungi sang putri karena dia percaya anaknya adalah seorang yang baik. Bagaimana pun jua, kejadian itu bukan murni kriminal. Melainkan sebuah ‘kecelakaan’. Begitu pikir Jay. Dan begitu juga pikirku; aku mengira cerita serupa Defending Jacob bisa lebih baik jika ceritanya tegas, dan aku mengira The Lie sangat berani mengangkat perspektif dilema orangtua yang melanggar etika demi anak mereka seperti ini. Turns out, The Lie ternyata berbunyi persis seperti judulnya tersebut.

Spoiler: drama-drama dan kejadian di film ini semuanya dibangun berdasarkan kebohongan!

 
Yang mereka punya di sini adalah karakter-karakter yang menantang moralitas. Tokoh utama kita ditempatkan pada skenario yang tak-pelak merupakan mimpi buruk dari orangtua manapun di dunia. Ketika buah hati kita tampak melakukan kesalahan, apakah kita akan membiarkannya terceblos ke penjara, ataukah kita masih mencari pembenaran. Mencari setitik kecil apapun itu yang membuat anak bisa terbebas. Seberapa jauh orangtua melangkah demi melindungi buah hati mereka. The Lie paham betapa dalemnya konflik grounded yang mereka punya. Makanya tokoh orangtua dalam film ini didesain sudah akan bercerai, dan salah satunya adalah orang yang dekat dengan hukum. Naskah ingin sesegera dan sekeras mungkin membenturkan keadaan dengan moral tokohnya. Dan ini membuat ide cerita The Lie menjadi menarik. Aku certainly lebih suka set up cerita film ini dibandingkan dengan set up dan penokohan cerita pada serial Defending Jacob. Namun ultimately, semua berserah kepada penceritaan.
The Lie tak mampu untuk membuat kita peduli pada konflik moral karakter-karakternya. Pertanyaan moral yang mendera pasangan dalam cerita ini gagal mencokolkan kukunya kepada kita. Pilihan dan aksi yang mereka lakukan tak membuat kita mendukung, atau setidaknya mencoba memahami keputusan mereka lebih jauh daripada sekadar ‘ya tentu saja orangtua akan mati-matian melindungi dan membela anak mereka’. Malahan, seiring berjalannya cerita, kita justru semakin geram dengan aksi Jay dan Rebecca. Mereka semakin terlihat jahat dan gak lagi mikirin aturan. Film gagal mendaratkan masalah yang seharusnya relatable bagi setiap orangtua tersebut. Film malah membuatnya sebagai sesuatu yang harus dijauhi.
Secara gagasan, alur cerita film ini didesain untuk memuat pergerakan yang memang menunjukkan suatu deteriorasi. Gimana pihak yang tadinya tak bersalah, jadi ikut terseret, kemudian berbalik menjadi pihak yang paling salah di antara semua. Kita diniatkan untuk ikut sedih, kemudian meratapi – menyesali pilihan yang dilakukan oleh Jay dan Rebecca. Namun film tidak berhasil menemukan cara yang tepat untuk menguarkan perubahan tersebut dengan emosional dan manusiawi. Kita seperti dipaksa untuk peduli lewat tone cerita yang terus memburu kesedihan dan tragedi. Cara film membangun kehidupan keluarga Jay yang ceria dan memperlihatkan seperti apa aslinya Kayla hanyalah dengan montase singkat video-video masa kecil saat mereka masih hidup bersama (menarik si Joey King pakek footage asli dia masih kecil untuk digunakan oleh film sebagai video Kayla). Sesingkat itu belum cukup untuk membuat kita nge-grasp tokoh-tokoh cerita karena sesegera cerita dimulai, film menunjukkan keluarga ini sudah dalam keadaan pisah. Salju dan udara dingin turut membangun efek gloomy yang berdampak kepada kesan hubungan mereka yang juga jadi terlihat dingin. Jadi ketika Kayla telah berada dalam masalah nantinya, film haruslah membangun dua hal sebagai pondasi untuk membuat kita peduli dan melihat tindakan mereka bukanlah ujug-ujug tindakan yang selfish; pertama relasi masing-masing terhadap Kayla, dan kedua perspektif masing-masing terhadap keluarga mereka itu sendiri. Film tidak membangun poin yang kedua. Cerita hanya mentok menggali di tempat yang itu-itu saja, sehingga yang mencuat justru kemerosotan para karakter saja.

Semuanya bermula dari kebohongan kecil. Suatu rahasia yang ditutupi karena kita seringkali menemukan kesulitan dalam berkomunikasi hati ke hati. Dalam film ini ditunjukkan rahasia kecil yang dibiarkan menggelinding itu lama-lama kelamaan menghimpun menjadi bola kebohongan yang besar, layaknya bola salju yang digelindingkan kian membesar. Satu kebohongan akan membuahkan kebohongan lain. Dan akan terus begitu lagi dan lagi. Before we know it, kita akan terjebak kebohongan kita sudah menjadi dosa yang tak mungkin bisa ditebus lagi tanpa air mata. 

 
Dosa terbesar yang dilakukan film ini adalah berbohong demi ceritanya, atas nama twist. Biasanya, aku enggan blak-blakan soal twist. Tapi untuk film ini aku tidak bisa untuk tidak membicarakan twistnya karena masalah yang paling besar memang justru terletak pada twist ini. Aku akan berusaha untuk tidak terlalu gamblang menyebutkan, so here it is:
Pengalamanku bermain video game ngajarin kalo jika sebuah cerita menyebutkan ada tokoh yang mati, tetapi kita tidak diperlihatkan mayatnya, maka niscaya tokoh tersebut sebenarnya masih hidup. Aturan ini pun berlaku pada film, coba saja kalian ingat-ingat film yang ada tokoh mati kayak gini. Biasanya sih cerita superhero atau fantasy gitu; sering deh pasti ada tokoh orangtua yang disebutkan mati ternyata masih hidup. Nah, menonton The Lie tentu saja pertanyaan yang terbersit duluan di benak kita adalah apakah sahabat Kayla itu beneran sudah mati. Film benar-benar komit untuk menunjukkan bahwa dia beneran mati. Kayla beneran salah. Karena itulah bangunan utama cerita; tentang orangtua Kayla yang milih jadi amoral demi lindungin anaknya yang bersalah. Kayla diperlihatkan stress dan sangat shock dikejar-kejar oleh ayah si sahabat. Bahkan, film memasukkan satu shot yang memperlihatkan mayat si sahabat, tergeletak di dataran salju pinggir sungai. Film mati-matian menipu kita semua dengan ini. Film yang tidak mampu bercerita subtil memperlihatkan kemungkinan sahabat itu belum mati, mutusin untuk menipu kita mentah-mentah dengan twist dan sengaja memasukkan shot tadi. Saat revealing, saat twistnya terjadi, aku sungguh merasa dibegoin.

Ngamuk kena twist

 
 
Dan yang paling begonya adalah; twist itu sebenarnya tidak perlu untuk terjadi. Cerita masih berfungsi seperti yang direncanakan jika tidak pake twist, jika film lurus aja membikin sahabat Kayla benar-benar mati. Twist tersebut hanya menambah drama yang tidak perlu, menipu kita dalam prosesnya, dan membuat kejadian-kejadian film sebelumnya banyak yang enggak make sense secara feeling yang dirasakan oleh seorang karakternya. Film ini jadi gak genuine, walaupun memang tidak pernah benar-benar terasa ‘nyata’ sedari awal. Aksi karakternya tidak kita pedulikan, karena lebih seperti mengada-ada demi efek dramatis. Dan setelah twist tadi, film jadi semakin terasa palsunya.
 
 
 
Jadi jika boleh disimpulkan, film ini sama sekali tidak tahu cara menceritakan gagasannya dengan benar dan menarik. Film ini malah berpikir ceritanya akan menarik jika ada twist yang mengecoh. Tensi dari konfliknya ada, berasa. Cuma setelah pengungkapan twist tadi, karakter-karakter semakin susah untuk kita pedulikan. Film ini enggak mampu memancing reaksi yang genuine, maka mereka mengandalkan twist, kecohan, dan dramatisasi. Selain pemerintah, film ini juga termasuk salah satu kebohongan terbesar yang ada pada tahun 2020.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE LIE.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya satu kebohongan yang sampe sekarang masih dipertahankan, dan dijadikan realita baru?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BOOKS OF BLOOD Review

“We wrote our names in blood”
 

 
 
Halloween tanpa antologi horor bagaikan sup tanpa garam, bola mata kodok, dan daging manusia hihihi.. Tiga cerita yang dapat kita baca dalam horor antologi Books of Blood; Tentang remaja perempuan dengan pendengaran super-sensitif yang kabur dari rumah – dikejar oleh perbuatannya di masa lalu, tentang seorang akademisi perempuan yang memperoleh kesuksesan finansial dan romansa setelah bertemu dengan cenayang yang menghubungkan dirinya dengan anaknya yang telah tiada, dan tentang dua orang kriminal yang memburu keberadaan buku paling mengerikan di dunia. Semuanya diikat oleh satu tema yang sama. Mengenai pilihan yang kita pilih seringkali bukanlah yang terbaik untuk kita, sehingga tanpa sadar kita sudah menulis cerita mengerikan. Sebuah horor dalam kehidupan sendiri.
Keberadaan Books of Blood ini sendiri menarik untuk beberapa alasan. Ia merupakan adaptasi dari seri buku horor karangan Clive Barker, salah seorang sosok yang bisa dibilang turut merevolusi genre horor. Di antara horornya yang berkesan adalah buatku – aku baru menontonnya saat halloween tahun lalu – adalah Hellraiser (1987); horor sadomasokis perihal ‘candu’ insan manusia. Film tersebut sangat mengena, menggunakan prostetik dan efek praktikal sehingga tampak ‘menjijikkan’. Kata sifat yang tepat sekali digunakan dalam perlambangan horor jika kita sedang membahas nafsu dan keinginan manusia. Untuk Books of Blood sendiri, sebenarnya materi aslinya berdasarkan pada enam volume buku. Aku belum membaca semua, tapi setidaknya aku sudah tahu apa yang bisa diharapkan. Cerita tentang manusia yang menemui horor saat berjuang mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan begitulah aku; aku melihat ada nama Britt Robertson main di film ini, maka aku bergegas menontonnya. Namun apa yang kusaksikan justru horor mengerikan yang sama sekali enggak ada hubungannya dengan cerita hantu yang seharusnya disajikan oleh film.

Ngeliat posternya, kirain film ini berjudul Face Book

 
When it comes to an anthology movies, maka cerita-ceritanya itu haruslah antara saling berkaitan penuh satu sama lain, atau berbeda-beda dengan satu detil kunci yang mengikat, entah itu seting tempat, tema, atau satu tokoh saja. Hanya supaya film itu tidak berubah menjadi gabungan film pendek saja. ‘Ikatan’nya ini gak harus dipaksakan. Melainkan mengalir. Para tokoh cerita tidak mesti harus bertemu pada satu titik di dalam cerita. Biarkan saja penonton yang menghubungkan cerita demi cerita. Books of Blood yang ditulis dan diarahkan oleh Brannon Braga justru tampak tidak sepenuhnya enjoy dalam bercerita. Film ini seperti terlampau bersusah payah untuk menghubungkan ketiga ceritanya. Braga seperti mengincar untuk membuat kita terkesima melihat gambaran-besar yang utuh setelah tiga kepingan cerita itu disatukan, sehingga ia lupa kepingan-kepingan kecil itu perlu untuk dikembangkan terlebih dahulu.

Kita menulis cerita kita dengan darah. Terdengar ekstrim, namun memang ada benarnya juga. Karena perjuangan hidup selalu tidak gampang. Akan ada yang dipertaruhkan. Akan ada kehilangan. Akan ada penyesalan. Maka dari itu sebabnya kita suka dengan cerita horor, karena nun jauh di dalam sana kita semua tahu bahwa cerita horor adalah cerita kita.

 
Kisah-kisah yang terangkum dalam film ini bukannya buruk. Walaupun dari tiga hanya satu yang benar-benar menyadur dari cerita Clive Barker, tetapi pada masing-masingnya masih dapat ditemui napas tema yang serupa dengan yang diusung oleh pengarang cerita. Horor yang kita temui tetap seputar manusia menempuh jalan mengerikan demi mencari apa yang mereka inginkan. Cerita yang paling Barker adalah cerita tentang wanita akademisi. Bagian cerita yang ini bertindak sebagai origin dari Buku Darah itu sendiri. Pada cerita ini pun elemen-elemen horor dewasa yang jadi ciri khas Barker (setidaknya dari yang kubandingkan dengan Hellraiser) masih tampak kuat. Relasi antarkarakter terbangun dengan paling lumayan. Wanita dan si cenayang yang ia pekerjakan jadi sentral, dan film mengeksplorasi hubungan mereka secukupnya. Yang sedikit mengecewakan dari cerita ini adalah visual hantu-hantunya. Books of Blood menggunakan efek komputer alih-alih praktikal, sehingga hantu-hantu di sini tampil kurang menakutkan. Ini disayangkan karena adegan puncak di cerita ini sebenarnya punya konteks yang sangat mengerikan. Kelahiran Buku Darah tersebut benar-benar akan jadi kejutan bagi yang belum familiar dengan cerita. Dan ini jadi salah satu kelebihan film; mereka berhasil membangun ekspektasi penonton terhadap ‘buku yang seperti apa’, untuk kemudian memberikan revealing yang bisa dibilang out-of-nowhere.
Cerita yang dijadikan tubuh utama oleh film ini, however, adalah cerita tentang tokohnya si Britt Robertson. Dan kubilang, ini boleh jadi keputusan yang tepat. Karena ceritanya yang paling down-to-earth, serta menarik sebab selain visual, cerita ini juga meletakkan horor pada suara. Jenna, nama tokohnya, paling gak tahan dengan suara orang ngunyah, maka kita pun turut diperdengarkan efek-efek suara mulai dari annoying hingga creepy. Di ceritalah aku mulai berpikir bahwa sebaiknya cerita-cerita dalam film ini dipisah aja. Bahwa mungkin mereka lebih baik jika berakhir sebagai film sendiri-sendiri. Cerita Jenna punya banyak hal menarik untuk dieksplorasi – horornya seperti hibrid antara ‘rumah hantu’ dan ‘psikopat gila’ dan ‘thriller psikologis yang hanya ada di kepala protagonis’ – tapi jadi tidak bisa berkembang optimal karena harus berbagi durasi, dan lore dunia, dengan dua cerita lain. Cerita Jenna adalah yang paling sedikit sangkut pautnya dengan Book of Blood, sehingga bikin kita heran, kenapa ada cerita ini di sini. Tidak bisakah pembuatnya memikirkan cerita relatable lain yang lebih dekat dengan Book of Blood itu sendiri. Karena penggaliannya gak bebas, akibatnya cerita ini jadi paling repetitif. Mendapat porsi paling besar namun penggalian horor yang itu-itu melulu. Kondisi Jenna tidak dimainkan banyak sebagai penggerak alur, mentok sebagai karakter trait saja. Hubungan antarkarakternya standar karena cerita bagian ini mementingkan twist. Setidaknya ada dua twist yang dihadirkan pada cerita ini. Tiga, jika dihitung dengan resolusi yang dipilih Jenna di akhir cerita.

Aku setuju suara makan yang ‘copak-copak’ adalah suara paling menjijikkan dunia-akhirat

 
Yang paling lemah adalah cerita tentang dua kriminal. Tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai untuk bisa dikatakan sebuah cerita dalam film. Horornya pun terbilang sangat sederhana. Karakter-karakternya tidak digali, tidak menarik, dan menempatkan posisi cerita ini sebagai pembuka dan sebagai penghantar ke big-reveal jelas mematikan momentum yang dimiliki oleh film. Karena kisahnya membosankan. Kita langsung turn off dan gak peduli lagi. I mean, siapa coba yang penarasan apakah para kriminal yang bunuhin orang itu akan berhasil mendapatkan Buku. Film yang menantang akan membahas sedalam-dalamnya tokoh, dengan misi membuat kita peduli. Tidak ada usaha semacam itu di sini. Padahal aspek yang mau digali itu ada, misalnya salah satu tokoh yang ternyata menghabiskan masa kecilnya tinggal di kota tempat Buku Darah itu ada. Namun kita meninggalkan mereka dan kembali ke ‘petualangan’ mereka gitu aja. Makanya momen ketika si kriminal itu ‘dihipnotis’ oleh hantu ibunya di gereja terasa hampa-hampa aja. Karena backstory yang harusnya membuat dia manusiawi itu hanya sebatas informasi. At that point yang kita lihat hanya seorang penjahat yang lagi diganggu hantu. Kita tidak merasakan apa-apa terhadap mereka.
 
 
 
 
Dan barely merasakan sesuatu terhadap film ini. Sebagai sebuah kisah horor, tiga ceritanya punya sesuatu yang mengerikan. Juga punya selipan gagasan yang seragam. Namun sebagai satu film utuh, film ini gagal bekerja dengan benar. Antologi yang baik semestinya membuat kita merasakan cerita demi cerita. Menghubungkan seting dan faktor luarnya hanya bonus, sebagai tanda konsep atau gimmick yang berhasil. Selebihnya, antologi adalah soal denyut cerita dan kesinambungan tema. Sedangkan pada film ini; ia malah terlihat seperti satu film utuh yang carut marut. Sebagai cerita sendiri-sendiri tidak berhasil karena bangunan yang enggak seimbang. Sebagai satu cerita utuh juga gak nyampe karena terlalu berpindah-pindah, tanpa ada denyut yang asik. Obat nonton ini buatku, ya, Britt Robertson-nya aja. Far better than the whole movie.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for BOOKS OF BLOOD.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bisakah kalian mengubah pengalaman hidup kalian menjadi sebuah cerita horor?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

12 HOUR SHIFT Review

“Doctors treat illnesses, nurses treat people”
 
 

 
 
Mendengar cerita dari teman-teman yang kuliah di Kedokteran, jaga malam di klinik atau rumah sakit seringkali menjadi pengalaman yang rusuh dan seru. Mulai dari cerita horornya sampai ke cerita kedatangan pasien yang gak abis-abis. Menonton horor komedi 12 Hour Shift seperti benar-benar menghidupi pengalaman tersebut. Cerita yang diset ‘Pada suatu malam di Rumah Sakit di Arkansas 90an’ penuh oleh kejadian-kejadian chaotic seputar aktivitas jaga. Yang oleh sutradara Bea Grant – langganan berperan di film horor membuat Grant jadi punya perspektif dan visi tersendiri untuk genre ini – diperkuat volume kerusuhannya. Karena di sini Grant benar-benar menjungkirbalikkan image rumah sakit dan perawat itu sendiri. Membenturkannya dengan realita kehidupan yang keras untuk seorang wanita yang mengais kehidupan dari lingkungan berlatar malam.
Tokoh utama cerita ini bukan perawat putih baik hati, cakep dengan senyum pepsoden. Mandy (perawakan dan permainan gestur Angela Bettis pas sekali menangkap kehidupan keras yang membesarkan tokohnya) tampak ‘dekil’ dan gak-lebih sehat daripada pasien-pasien yang harus ia jaga. Kita diperkenalkan kepadanya saat tokoh ini sedang merokok. Dan later, dia mencuri pil obat. Lantas menghancurkan dan menghirupnya. Malam itu, Mandy bekerja dobel shift. Jelas dia butuh duit. Dan bahkan dobel shift itu belum cukup baginya. Karena Mandy punya ‘kerjaan’ lain. Sebagai perawat, Mandy memang cukup telaten dan bertanggungjawab terhadap pasien-pasiennya. Namun dia juga gak segan-segan menuangkan pemutih pakaian ke minuman pasien yang penyakitnya sudah parah. Mandy mempertimbangkan ini baik-baik. Ia memilih pasien mana yang akan diambil organnya. Untuk ia jual. Kekacauan itu datang dari sini. Saat sepupu Mandy yang bertugas menjadi kurir – yang mengantarkan ginjal dari Mandy ke underground buyer – malah menghilangkan ginjal tersebut. Dengan ancaman ginjal miliknya sendiri yang bakal jadi pengganti, sepupu Mandy kini menyusup ke rumah sakit sebagai perawat. Mencari ginjal baru, walaupun ginjal itu masih di dalam tubuh pasien yang sehat. Dan Mandy-lah yang kalang kabut berusaha membereskan keadaan sebab semakin lama sepupu semakin menggila sehingga polisi dan mafia underground tersebut mulai langsung terlibat di rumah sakit!

Dan tiba-tiba, Mick Foley! *cue Mankind music*

 
 
Kerusuhan yang terjadi dari perburuan ginjal yang semakin lama semakin terang-terangan itu diceritakan dalam balutan komedi. Film ini akan membuat adegan suster palsu yang ngaku jadi temen gereja seorang pasien dementia sebelum akhirnya mencoba untuk membunuh si pasien sebagai sesuatu yang lucu. 12 Hour Shift bermain di ranah dark-comedy. Tokoh-tokoh protagonisnya melakukan hal-hal semengerikan kerjaan antagonis, jadi film ini juga adalah cerita anti-hero yang sangat twisted. Dugaanku, enggak semua orang dapat dengan mudah mengapresiasi komedi yang dilakukan oleh film ini.
Untuk memastikan penonton peduli sama karakter-karakter protagonis tersebut, film ini cukup bijak untuk tidak menyandarkan pundak seutuhnya kepada komedi. Memang, film ini hidup oleh karakter yang ‘rusuh’ dan berantakan. Nyawa film ini terletak pada kejadian demi kejadian yang terus naik tensinya seiring kegilaan karakter yang semakin nekat. Namun film ini juga tidak melupakan esensi di balik ceritanya.  Ini bukan film yang dibuat sekedar untuk seru-seruan, kejar-kejaran, dan bunuh-bunuhan. Ada sesuatu yang layak untuk diperbincangkan merayap dalam konteks ceritanya itu sendiri. Karena 12 Hour Shift sebenarnya bersuara tentang moralitas dan pekerjaan. Tokoh kita adalah suster atau perawat yang diperlihatkan cukup peduli terhadap pasien, tapi tidak tahu lebih baik dalam urusan ‘merawat’ dirinya sendiri. Sebagai perawat ia juga dihadapkan kepada kewajiban untuk mengobati pasien-pasien yang seperti dirinya pribadi; junkie yang gak peduli sama tubuh, dan di kesempatan lain Mandy juga terlihat seperti ‘membantu’ terminal patient dengan ‘mempercepat’ kematian mereka – entah itu mereka mau atau tida.
Tindakan Mandy di film ini membuat kita mempertanyakan seperti apa tepatnya peran seseorang terhadap kehidupan orang lain. Pantaskah kita membantu orang lain padahal diri kita justru memerlukan bantuan yang lebih urgen. Bagaimana dengan kehendak orang; etiskah tindakan Mandy yang menyelamatkan dirinya sendiri dengan ‘menyelamatkan’ pasien yang udah parah, meskipun si pasien sudah barang tentu keberatan kalo Mandy minta ijin dulu sebelum mengakhiri derita penyakitnya? Dan bagaimana ketika Mandy ingin mengambil ginjal itu dari seorang kriminal? Rekannya mengangkat bahu dan berkata “May be he deserves it”. Rumah sakit dalam 12 Hour Shift bisa jadi dirancang sebagai paralel dari dunia nyata. Tempat orang-orang berusaha membantu orang lain, tapi sistem mengharuskan membantu diri sendiri dahulu, sedangkan sistem itu sendiri tidak begitu jelas perihal moralitasnya. Ending film ini lantas menunjukkan shift panjang itu praktisnya sama saja tidak berakhir. Tidak putus. Hanya sejenak waktu untuk Mandy bernapas lega, sebelum shift berikutnya tiba. Karena begitulah tuntutan hidupnya. Uang yang ia cari tidak pernah cukup, masalah yang datang kepadanya tidak pernah beres selama ia terus bekerja seperti demikian, dan Mandy sadar itulah dunianya.

Perbedaan antara dokter dan suster/perawat sebenarnya jauh lebih esensial daripada sekadar jumlah gaji mereka. Dokter mengobati penyakit. Suster mengobati orang sakit. Pekerjaan Mandy adalah merawat orang-orang tersebut. Namun merawat yang seperti apa? Bahkan para mafia pun menggunakan istilah ‘taking care of someone’ sebagai kode untuk membunuh mereka. Yang dikerjakan Mandy dalam film ini merefleksikan pilihan moral yang mungkin juga dihadapi banyak dari kita. Dihadapi ketika kata ‘membantu’ saja tidak cukup, dan perlu untuk dipertimbangkan segala sebab akibat yang menyertainya.

 

Kalo milih suster ‘edan’, aku masih lebih prefer Ratched sih

 
 
Dari sinopsisnya, kalian mungkin sudah menebak masalah yang hadir pada penceritaan film ini. Mandy di rumah sakit membereskan masalah yang dibawa oleh sepupunya yang menghilangkan ginjal untuk dikirim ke kurir. Semua situasi itu dikenai kepada Mandy. Tokoh utama kita bukan pencetus langsung dari aksi dan masalah yang ada. Melainkan dia hanya jadi ‘pemberes’. Sepupunya lah yang menarik trigger majunya kejadian demi kejadian. Nyawa sepupunya yang pertama kali berada di dalam bahaya, yang dipertaruhkan. Mandy hanya bereaksi terhadap aksi yang digerakkan oleh sang sepupu. Ini berarti Mandy adalah tokoh utama yang pasif. Jadinya kita lebih seru menonton aksi sepupunya ketimbang Mandy. Karena film juga tidak membiarkan momen-momen dramatis seputar masalah moral dan pilihan Mandy muncul lama-lama di layar. Cerita tidak membawa kita menyelami masalah itu. Melainkan tetap berfokus kepada kejadian-kejadian rusuh yang digebah oleh aksi sepuou Mandy.
Interaksi yang melibatkan Mandy seharusnya dibuat lebih engaging lagi. Candaan mestinya bisa ditulis dengan lebih gamblang dan tidak bernuansa inside joke antara Mandy dengan karakter lain di rumah sakit. Terutama, tempatkan Mandy di posisi yang riskan dan cahaya yang lebih tegas lagi, seperti cerita menempatkan sepupunya. Kita tahu sepupu cewek ini edan, bego, dan nekad. Film menggambarkan Mandy dengan sedikit terlalu berhati-hati. Usaha film membuat tokoh ini relate ke penonton justru berbalik membuat posisi tokohnya semakin gak-tegas. Film tetap seperti ragu menunjukkan bahwa Mandy lebih dekat sebagai seorang anti-hero ketimbang everyday-hero itu sendiri
 
 
 
 
Menarik berkat kejadian-kejadian rusuh yang digambarkan semakin menggila. Film ini didesain untuk membuat kita tergelak melihat kekacauan satu malam akibat karakter-karakter bercela. Hakikatnya, ini adalah dark-comedy yang menarik untuk disimak, berkat suara yang digaungkan di balik ceritanya. Namun secara bangunan cerita, film ini butuh banyak perbaikan. Terutama dalam membentuk karakter utamanya yang masih tampil pasif dan dikenai oleh kejadian dari aksi karakter yang lain. Film ini butuh untuk lebih memperdalam eksplorasi tokoh utamanya sebagai penyeimbang dari kejadian sensasional yang tak-pelak menenggelamkan bukan hanya si tokoh utama melainkan gaung gagasan film ini sendiri.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 12 HOUR SHIFT.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pantaskah kita membantu diri sendiri dengan dalih membantu orang lain? Setujukah kalian dengan pernyataan kita butuh persetujuan orang untuk dibantu sebelum membantu mereka?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

VAMPIRES VS. THE BRONX Review

“Capital is dead labour, that, vampire-like, only lives by sucking living labour, and lives the more, the more labour it sucks”
 

 
 
Ketika Miguel bilang Murnau Properties mengunyah kota mereka, yang dimaksud Miguel adalah perusahaan konglomerat kulit-putih tersebut membeli bangunan-bangunan di kota Bronx – mengimingi pemilik bangunan dengan uang yang banyak supaya mau pindah. Bahkan toko favorit Miguel dijadikan sasaran dan terancam untuk berubah menjadi sesuatu yang asing; mungkin jadi kafe milennial atau semacamnya, yang orang-orang tidak mengerti yang bakal dijual itu apa. Miguel sendiri, saat mengatakan itu, belum sadar bahwa pernyataannya tadi juga bermakna literal. Karena perusahaan Murnau diam-diam – di malam hari!- memang beneran menguyah para pemilik bangunan yang mereka beli. Bisnis properti dan real estate Murnau cuma kedok. Murnau Properties nyatanya adalah perusahaan vampir pemangsa manusia yang bermaksud menjadikan kota Bronx sebagai sarang mereka yang baru!

Memang, sudah lama perilaku kapitalisme diibaratkan sebagai tindakan orang kaya menghisap darah rakyat jelata. Penggalan kalimat yang kujadikan penghantar ulasan ini kukutip dari tulisan Karl Marx perihal kapitalisme. Kita tidak perlu repot jauh-jauh membayangkan bagaimana perusahaan bisa menyedot habis pekerjanya. Karena keadaan di negara kita sekarang sudah mendekati, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja oleh pemerintah. Ini jadi salah satu contohnya karena menurut RUU tersebut para karyawan dan buruh tidak akan lagi mendapat upah minimal, tidak lagi diberi pesangon saat pensiun ataupun di-PHK, tidak dikasih cuti berbayar untuk pekerja yang hamil, dan kebijakan lain-lain lagi yang lebih menguntungkan pihak bisnismen.

 
Metafora klasik vampir-kapitalis inilah yang digunakan sutradara Osmany Rodriguez sebagai landasan untuk membangun cerita horor komedi. Rodriguez juga ingin menyentil permasalahan kekuasaan kapitalis, dan dia tahu cara nyentil yang terbaik adalah dengan komedi. Yang diangkatnya di sini adalah permasalahan perombakan sebuah daerah lokal menjadi kawasan real estate lewat taktik pengenyahan warga. Mereka dibeli propertinya, yang kemudian properti tersebut diubah menjadi tempat usaha, dan seringkali kita dapati bentuk miris dari kejadian tersebut yaitu si pemilik asli justru nanti akan jadi karyawan di tempat usaha kapitalis yang membeli propertinya. Oleh Rodriguez, pihak perusahaan tamak seperti itu digambarkan sebagai vampir beneran. Orang-orang yang mereka hisap dibuat menghilang begitu saja – walaupun mungkin lebih pas kalo diubah menjadi vampir juga, tapi dapat dimengerti mati menghasilkan misteri yang lebih urgen. Karena film juga ingin menekankan satu hal; bahwa tidak ada yang peduli sama mereka, karena Bronx juga adalah tempat yang nyaris demikian marjinal sehingga ada karakter yang lugas menyebutkan tidak ada yang akan peduli sama penduduk di sini. Rodriguez menambahkan lapisan untuk membuat permasalahan itu semakin kompleks lagi. Lapisan berupa ras. Penduduk Bronx adalah mayoritas kulit hitam, yang enggak jauh dari tempat tumbuhnya para ‘gangster’. Pihak pendatang – para vampir itu – adalah kulit putih. Dulunya bangsawan dengan gaya hidup yang tentu saja jauh berbeda dengan kehidupan ‘hood’ di Bronx. Jadi film ini juga bercerita tentang mempertahankan tradisi atau gaya hidup di suatu tempat.

Cerita yang cukup gendut untuk horor-ko…. Hmmm… gendut.. seperti nadi di lehermu…. WAAARRRGGH!! *terkam*

 
 
Membuat anak-anak sebagai tokoh cerita adalah langkah yang tepat. Miguel dan teman-temannya membuat film ini jadi punya vibe petualangan horor yang sama dengan cerita-cerita seperti Stranger Things ataupun It yang sudah terbukti ngehits. Nontonin mereka terasa seru dan mengasikkan. Miguel dan teman-temannya juga memberikan ruang bagi film untuk mengeksporasi gagasannya dengan lebih leluasa. Komentar-komentar tentang kapitalisme itu jadi tidak lagi seperti beban yang harus diucapkan ketika meluncur keluar lewat sudut pandang anak-anak yang hanya ingin menyelamatkan toko tempat mereka bisa bebas bermain game dan menonton horor-horor rated R. Film ini sepertinya paling dekat dengan Attack the Block (2011); sekelompok anak muda yang mempertahankan neighborhood mereka dari serangan alien. Kedua film ini sama-sama mencuatkan semangat persatuan mempertahankan daerah. Semangat yang mungkin saja memang paling kuat dirasakan oleh anak/remaja karena merekalah yang paling merasakan keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggal.
Vampires vs. The Bronx memang memusatkan persoalan tersebut sebagai plot utama. Hanya saja, film malah menempatkan itu kepada salah satu sahabat Miguel. Bukan kepada Miguelnya sendiri sebagai tokoh utama. Dan ini membuat Miguel kalah menarik. Miguel tidak mengalami banyak perkembangan sepanjang cerita. Stake yang ia rasakan juga kalah kuat dibandingkan tokoh lain, karena Miguel tidak berkenaan langsung dengan masalah properti itu sedari awal. Sebagai pelindung kota, dia juga tidak tampak punya kedekatan khusus karena kita diperkenalkan kepada Miguel saat dia semacam dibully oleh seisi kota; cewek-cewek menertawakannya, ibu memarahinya – di depan cewek-cewek, gangsta tak tertarik kepadanya. Justru yang paling punya ikatan dengan kota adalah si teman Miguel yang bernama Bobby. Dia punya plot yang personal; dia ingin bergabung dengan gangsta tapi berkonflik dengan masa lalu ayahnya yang kini diceritakan sudah tiada. Bobby jualah yang punya momen emosional terkait hal tersebut dengan familiar suruhan para Vampir. Secara karakter, Miguel kalah menarik dan kalah ‘penting’ dibandingkan Bobby. Miguel hanyalah karakter trope; anak kecil yang tidak dipercaya orang lain padahal apa yang ia katakan benar.
Miguel bersepeda keliling kota, bertemu dengan tetangga-tetangganya, memungkinkan kita untuk mendapat gambaran tentang kehidupan di Bronx. Kota itu sendiri memang penting untuk ditampilkan karena kita tidak bisa bicara tentang kapitalis yang mengubah satu kota jika tidak memperlihatkan seperti apa kota tersebut; seperti apa kekeluargaan dan kebiasaan di sana. Karena ini komedi, Rodriguez memberikan kita karakter-karakter yang kocak sebagai napas kota Bronx sebagai tokoh tersendiri. Mulai dari Pastor yang jengkel sama anak-anak nakal hingga ke abang-abang yang nongkrong di jalanan, semua tokoh pendukung di film ini diset untuk memancing komedi. They just do funny things, dan memang sebagian besar dari mereka tidak diberikan fungsi apa-apa lagi. Misalnya seperti tokoh anak cewek yang ngevlog; tadinya kupikir tokoh ini akan masuk ke geng Miguel dan ikut bertualang melawan Vampir. Tapi ternyata tidak, dia hanya dimunculkan saat-saat film butuh untuk nyerocosin beberapa eksposisi dan untuk nampilin informasi yang dibutuhkan oleh Miguel dalam mengungkap Vampir.
Ketika seluruh kota menerapkan mosi tidak percaya kepada dirimu

 
 
Mitologi Vampir itu sendiri digambarkan sangat lengkap. Dan dipikirkan matang-matang penempatannya. Aku suka karena beberapa hal terangkai dengan mulus. Kita mungkin sempat bertanya kenapa Vampir ingin menguasai real estate dan membeli semua bangunan di kota itu. Film ini punya jawaban yang simpel nan masuk akal untuk pertanyaan tersebut. Jawabannya karena menurut mitologi, Vampir gak bisa masuk ke suatu tempat tanpa diundang. Maka, supaya bisa memangsa sesuka hati, para Vampir itu tentu saja perlu untuk memiliki rumah dan toko-toko di situ – mereka gak perlu minta izin dulu untuk bisa masuk.
Aku mau melihat film ini melewati efek visualnya, karena meskipun memang terlihat ‘murah’ tapi masih konsisten dengan nada konyol yang ditampilkan film sebagai komedi. Nyawa film ini justru di pembangunan dunianya. Begitu film mengimplementasikan mitos-mitos kayak gini ke dalam gerak plot, di situlah ketika film ini hidup. Membuatnya cerdas. Namun sayangya, film ini katakanlah sebagai makhluk hidup yang bernapas; ia tidak benar-benar satu spesies yang unik. Vampires vs. The Bronx lebih seperti seorang Frankenstein. Makhluk yang tersusun atas bagian-bagian makhluk lain. Karena alih-alih membangun dari sesuatu yang benar-benar baru, film ini terlalu mengandalkan mitos dan hal-hal lumrah, dan juga referensi, yang kita ketahui tentang Vampir dari film-film lain. Menebak hal-hal yang kita kenali saat menyaksikan suatu film memang mampu menghasilkan kesenangan tersendiri. Nama Murnau yang mengacu pada sutradara Nosferatu; yang kalo aku gak salah adalah film pertama tentang vampir, teknik montase cepat-cepat yang mengingatkan kepada teknik khas sutradara Shaun of the Dead; yang arguably film mayat hidup terkocak dekade modern ini, dan bahkan nunjukin dengan terang-terangan perihal film Blade yang menginspirasi karakter anak di film ini (ras kulit hitam yang keren dalam memburu Vampir). Terasa sekali kekurangorisinilan yang membayangi film ini
 
 
 
Memang, minimnya penggalian dan elemen baru tersebut tidak bakal menyurutkan unsur fun dan keseruan kita dalam menonton film ini. Hanya saja, secara eksistensi, film ini sesungguhnya mampu menjadi sesuatu yang spesial. Pun hadir dengan level kerelevanan yang tinggi. Sayangnya, setelah menonton, ia cuma terasa sebagai ‘just another horror-comedy’. Terlalu banyak kesamaan dan pengingat kita terhadap film-film lain. Tokoh utamanya pun tidak begitu membantu karena juga kalah spesial dengan tokoh pendukungnya. Aku suka implementasi gagasan ke mitologi Vampir yang dilakukan oleh film ini. Harusnya film ini lebih berani lagi untuk keluar dari bayang-bayang genrenya. Supaya efek cerita dan keberadaan film ini jadi semakin terasa lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for VAMPIRES VS. THE BRONX

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan kapitalis sebagai setan penghisap darah? Bagaimana pendapat kalian tentang Omnibus Law yang baru disahkan tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA