I’M THINKING OF ENDING THINGS Review

“Living in regret will become your biggest regret.”
 

 
Jika kalian berpikir untuk mengakhiri nonton film ini sekarang – yang berarti mungkin kalian bosan mendengarkan percakapan tak-berkesudahan atau bingung menyelami bacaan puisi; JANGAN! Karena walau karya terbaru Charlie Kaufman ini memanglah sangat kompleks, tetapi ini merupakan tontonan yang berakar kepada emosi yang paling manusiawi dari setiap diri kita. Sehingga film ini bisa jadi teman curhat kita yang paling akrab untuk ngobrolin hal yang paling kita takuti; Eksistensi, cinta, dan waktu.
Awalnya film ini seperti sebuah cerita tentang cewek yang ingin mengakhiri relationship-nya yang buruk. Kita mendengar suara hatinya menarasikan betapa dia dan pacarnya, Jake, udah gak semenarik dulu. Dan bahwa ‘dulu’ di sini aja dia udah lupa pastinya kapan. Si cewek merasa hubungan mereka masih lama padahal masih relatif baru; sebegitu jenuhnya dia dengan hubungannya. Dia bermaksud ingin mengakhiri itu semua, setelah perjalanan terakhir (dan pertama) mereka ini. Jake mengajaknya untuk bertemu dengan kedua orangtua Jake. Kita menonton perjalanan mereka, berkendara dengan mobil sementara salju mulai turun di luar. Kita mendengar bincang-bincang mereka – tentang eksistensi, tentang karya-karya klasik, tentang apapun. Ketika sampai di rumah orangtua Jake, keanehan pada kejadian di film ini sudah tidak bisa kita dianapungkiri lagi. Film semakin bernuansa sureal tatkala ibu dan bapak Jake tampil kadang tua, kadang muda, kadang tua lagi. Dan untuk menambah kerutan di jidat kita, film juga semakin sering meng-cutback ke seorang janitor tua yang sedang sendirian di gedung sekolah. Apa hubungannya si Janitor Tua dengan si tokoh cewek dan Jake?

Strangely, film ini membuatku baper

 
 
Di dunia cerita yang seperti mimpi dengan banyak hal yang berubah-ubah dan tak-pasti, justru si Janitor yang muncul sporadik di duapertiga durasilah yang merupakan paling konstan. Ketika Jake kelihatan seperti memiliki sikap yang berganti-ganti, ketika kedua orangtuanya dapat dengan jelas kita lihat berubah seperti meloncati periode waktu setiap mereka muncul, dan bahkan ketika tokoh utama kita dipanggil dengan nama yang berbeda-beda, si Janitor tetap berada di sekolah. Sendirian. Menonton film atau mengamati siswa-siswi. Pada satu momen, kita melihat si Janitor selesai menonton romance-fiksi karya Robert Zemeckis (Kaufman masukin nama Zemeckis di film ini udah kayak kalo Garin bikin film dan di film itu tokohnya nonton film rekaan yang disutradarai Hanung) tentang seorang waitress dan kemudian pada adegan makan malam di rumah keluarga Jake sesudahnya, si tokoh cewek disebutkan bekerja sebagai waitress. Di momen lain kita melihat percakapan yang didengar si Janitor, di-recite oleh dua tokoh lain pada adegan berikutnya. Hal yang dilihat dan didengar oleh si Janitor somehow memiliki efek terhadap kejadian yang dialami oleh tokoh utama dan Jake. Menonton film ini dengan menyadari hal tersebut, akan membuka pemahaman baru pada kita karena bahwa ini film ternyata tidak untuk dilihat luarnya saja.
Penampilan tokoh-tokohnya bisa dibilang horor, karena begitu unsettling dan random dan sureal. Salut sama permainan akting para aktor, mulai dari Jessie Buckley, Jesse Plemons, Toni Collette, dan ‘Remus Lupin’ David Thewlis. Dari segi fungsinya, I’m Thinking of Ending Things dikatakan sebagai film thriller, tepatnya psikologikal thriller karena benar-benar menghantui kejiwaan kita dengan komentar-komentar soal penyesalan dan kesepian. Film ini persis seperti gambaran yang disebutkan oleh si tokoh cewek ketika mendeskripsikan lukisan pemandangan yang ia buat. Meskipun kita tidak melihat dengan langsung ada orang yang sedih atau orang yang menyesal, tapi gambar yang disajikan menghantarkan semua rasa tersebut. Kita disuruh untuk menyelam langsung ke dalam gambar-gambar untuk merasakannya. Salju yang kemudian membadai di malam hari yang gelap dan jalanan-jalanan yang nyaris kosong adalah penanda oleh film bahwa yang kita saksikan ini adalah lukisan yang menyuarakan perasaan kelam, dingin, dan sebuah kesedihan. Dan meskipun  kita boleh saja baper oleh si cewek dan Jake (personally I miss having deep conversations about movies, existence, human, and space with ‘that someone’), tapi sebenarnya si Janitor Tua-lah yang didesain untuk dekat dan mewakili kita.
Si Janitor Tua ini adalah seorang ultimate observer. Selain nonton film, sudah begitu banyak orang yang ia perhatikan. Murid-murid yang tumbuh silih berganti di sekolah itu; dia mendengar banyak, melihat banyak, namun tidak ada yang memperhatikannya. Ketika cerita mengambil panggung di rumah Jake, kita dibawa bertandang ke kamar Jake sewaktu kecil dan kita melihat banyak koleksi film dan buku. Dan bukan hanya itu, di basement ‘terlarang’ rumah itu – di dalam mesin cucinya, kita melihat pakaian dengan logo yang sama persis dengan logo pada seragam si Janitor. Inilah benang merah tak-terbantahkan dari apa yang sepertinya merupakan dua narasi terpisah. Bahwa Jake, orang yang kepalanya penuh oleh pengetahuan tentang karya film dan sastra klasik, dan Janitor Tua, orang yang bertahun-tahun berada di tengah pusaran beragam siswa beserta pengalaman dan cerita mereka, adalah orang yang sama.
Tentu, kita dapat membayangkan seperti apa psyche orang seperti Jake. Kita sendiri juga banyak menonton film dan membaca dan kemungkinan besar sering memperhatikan perilaku orang lain di internet atau secara langsung. Semua yang kita baca/amati dapat dengan mudah menjadi bagian dari imajinasi atau cerita yang kita susun sendiri. Dan itulah yang sebenarnya terjadi pada film ini. Semuanya adalah figmen dari imajinasi karangan Jake si Janitor Tua. Dia sudah melihat terlalu banyak sehingga dirinya bisa menciptakan/mengarang cerita tentang kehidupannya sesuai dengan yang ia mau. Makanya adegan dengan orangtuanya memperlihatkan sosok yang berubah-ubah usia, karena karena Jake membayangkan mereka (atau kejadian tersebut) dalam timeline yang berbeda-beda. Mengapa seseorang mengarang ulang cerita hidupnya di dalam kepala? certainly kita pasti juga pernah merasa menyesal melakukan langkah salah dalam hidup dan berandai ‘bagaimana jika saat itu aku begini’. Dalam kasus si Jake ini, kita harus mempertanyakan bagaimana bisa orang yang berwawasan luas seperti Jake bisa berakhir jadi tukang sapu aula? Nah, di sinilah letak penyesalan tersebut.
Penyesalan dapat menghantui hidup kita dalam berbagai rupa. Kita bisa menyesali perbuatan yang telah dilakukan atau menyesali keputusan yang dibuat. Rasa sesal itu juga bisa datang dari sesuatu yang urung kita lakukan, dari kesempatan yang tidak kita ambil. Kita juga menyesal akan sesuatu bagian dalam hidup kita yang sudah usai. Dan terakhir sesal itu datang dengan sangat pahit saat kita rasa dunia ternyata tak seindah yang kita bayangkan. Mengemban keempat jenis penyesalan ini akan membuat hidup sengsara, seperti yang dialami oleh Jake. Dari kejadian di film ini – kejadian karangan Jake tentang sebagaimana mestinya hidupnya – kita bisa menyimpulkan Jake menyesal tidak pernah berani untuk punya pacar, menyesal belum bisa membahagiakan orangtua, menyesal gagal secara karir, dan dia jadi bitter terhadap dunia yang mengacuhkannya.

Jake tidak menyadari ada sesal kelima; yakni hidup bergelimang penyesalan tersebut. Alih-alih memperbaiki hidup, dia malah mengarang cerita dalam kepalanya. Cerita yang sama seperti jalanan bersalju itu. Sempit, dan tak membawa hidupnya ke mana-mana. 

 

Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna

 
Dengan keunikan bahwa ternyata tokoh utama kita adalah bagian dari imajinasi alias seseorang yang tidak nyata, maka dapat dimaklumi jika ada dari kita yang merasa terkecoh oleh film ini. Kirain film tentang bad relationship ternyata film tentang cowok yang gak bisa move on dan kesepian seumur hidup. Things yang ingin diakhiri itu ternyata bukan hubungan pacaran, melainkan sesuatu yang lebih kelam lagi, tergantung dari interpretasi kita. Kaufman sepertinya memang ingin mendobrak struktur tradisional film, tapi tetap saja sineas sekaliber dirinya (mungkin secara tidak sadar) tidak tega merusak kaidah film. Tokoh si cewek diberikannya keinginan dan kendali atas diri. Tokoh ini seperti konsep yang lebih kuat daripada karakter di The Lego Movie (2014) – film itu sangat menarik membuat tokoh utama yang beraksi dan punya free will padahal ternyata mereka tetap saja dimainkan oleh orang lain. Bedanya adalah si cewek ini didesain Kaufman bergerak dengan kemauan sendiri yang merupakan refleksi dari sisi lain Jake. Konsep ini menguatkan konteks dengan sangat hebat. Karena sekarang yang kita lihat sebenarnya itu adalah Jake mengobrol sendiri di dalam kepalanya. Tempat yang seharusnya dia jadi bintang utama – kita melihat dia sampai membayangkan dirinya mendapat award di akhir cerita – tetapi dia tetap ‘dikalahkan’ oleh si cewek; yang notabene adalah tokoh imajinasinya.
Ini mungkin adalah gambaran konflik personal terhebat yang pernah kita lihat di dalam medium film. Kontemplasi karakter benar-benar dimekarkan menjadi fantasi sureal yang tak menye tapi begitu kuat menghantarkan kita ke dalam dinginnya perasaan sedih. Karakter yang ‘kalah’ dengan kepalanya sendiri, menandakan akhirnya dia menemukan kedamaian dan melepaskan sesalnya (walaupun sesaat). Kalo disangka terlalu rumit membayangkan si cewek dan Jake sebenarnya adalah Jake yang berdebat dirinya sendiri yang melihat dari sisi lain, bayangkan saja adegan ketika cewek dan Jake membahas film, namun si cewek bahasannya lebih ‘benar’ ketimbang Jake. Ini kayak kita mau nulis tapi ternyata hasil di dalam kepala jauh lebih bagus ketimbang hasil beneran haha..
 
 
 
So yea, aku gak akan bahas film ini poin demi poin, maksud per maksud, simbol ke simbol. Sebagian karena sutradaranya udah keburu buka kartu. Namun sebagian besar karena menurutku film ini adalah bincang-bincang yang perlu untuk ditonton langsung oleh kalian. Karena film ini sebenarnya bukan soal apa yang sebenarnya terjadi, melainkan perasaan apa yang dihantarkan olehnya. Dan Kaufman, di balik sureal dan teka-teki dan puisi dan reference ke berbagai film, berhasil. Di menit tokohnya mulai ngobrol dengan pikirannya saja, aku sudah tertarik, dan lantas baper saat tokohnya ngobrol berdua. Jadi aku penasaran, rasa apa yang mungkin muncul dari penonton-penonton lain. Struktur naskah bisa jadi memang diabaikan oleh pembuat yang lebih tertarik pada konstruksi visual film adaptasi ini (ratio 4:3 digunakan supaya perhatian kita lebih terfokus), tapi masih bisa ‘worked’ karena sangat efektif dan konsisten dengan konteks gagasan yang ingin disampaikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for I’M THINKING OF ENDING THINGS.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Salah satu dialog dalam film menyebut bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar dirinya akan mati, sehingga manusia menciptakan harapan. Tapi dengan berharap, kita jadi bisa kecewa. Dan kemudian memilih untuk mengakhir semuanya sekarang. Bagaimana pendapat kalian tentang harapan dan penyesalan itu sendiri? Bagaimana kalian cope up dengan perasaan menyesal? Bisakah kita hidup tanpa ada rasa menyesal?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MULAN Review

“You’re created not to conform”
 

 
 
Mulan adalah seorang anak yang gesit. Berani. Dia jago bela diri. Kekuatan chi-nya tergolong kuat, selevel dengan kekuatan seorang warrior. Namun Mulan tidak membuat orangtuanya bangga. Karena ada satu masalah. Mulan ini ‘cah wedok!
Anak cewek gak pantes lari-larian ngejar ayam di atas genteng. Kata ibunya, anak cewek ngasih kehormatan bagi keluarganya ya dengan bersikap lemah lembut, anggun, elegan, kalem, sopan, dan patuh, supaya kalo udah gede bisa langsung dijodohin. Bukan dengan berperang mengangkat senjata. Seperti yang persis dilakukan oleh Mulan begitu titah dari kaisar datang mengharuskan setiap keluarga ‘menyumbang’  satu pria untuk jadi pejuang memberantas pasukan pemberontak di garis depan peperangan. Menggantikan ayahnya yang sudah terlalu tua dan pincang untuk berperang, Mulan pergi diam-diam di tengah malam. Mengambil pedang, baju zirah, dan kuda sang ayah. Melanggar tiga kode kehormatan seorang pejuang. Setia, Berani, dan Jujur.
Aku masih terlalu kecil untuk dapat menyadari pentingnya cerita Mulan sewaktu menonton versi animasinya dulu. For me it was; cewek yang nyamar jadi cowok dan ada naga lucu, I’m sold! Jadi menonton Mulan versi live-action ini kurang lebih seperti benar-benar pengalaman baru bagiku, karena sekarang aku melihatnya dengan pemahaman dan konteks yang lebih mendalam daripada nonton animasinya dulu. Disney patut diapresiasi karena melakukan tindakan yang berani. Mereka tidak mengambil adegan per adegan dengan sama persis ama versi animasi. Mulan kali ini diarahkan untuk jadi lebih serius. Tidak ada lagi naga yang bisa bicara di sini, bahkan adegan musikal juga gak ada. Sayangnya, tidak semua pilihan yang diambil oleh Disney di film ini membuahkan hasil yang manis.

Yang lucunya, kesan pertamaku saat menonton ini adalah betapa Mulan ini seperti cerita Kartini, jika Kartini bisa kung-fu.

 
 
Film Mulan kali ini beneran terasa seperti film-film kung-fu. Sutradara Niki Caro tampak mengincar ke gaya yang lebih realis, walau dengan masih menggunakan elemen-elemen fantasi sebagai device dalam cerita. Absennya naga diisi oleh penyihir dengan segala kekuatannya mulai dari menjelma jadi makhluk lain hingga jurus-jurus berantem yang penuh muslihat. Padahal tokoh penyihir ini menarik, dia punya kesamaan dengan Mulan. Dan tentunya hubungan di antara keduanya jadi elemen fresh yang dipunya oleh cerita. Namun ternyata tokoh atau karakter ini memang hanya device saja. Tak banyak berbeda dengan beberapa penampakan burung phoenix sebagai simbol dari kekuatan Mulan. Jadi aku tidak yakin gaya realis itu benar-benar tercapai. Film ini juga malah menggunakan efek-efek cahaya yang membuat film semakin lebih ‘bo’ongan’ lagi. Misalnya, lensa blur/flare yang digunakan saat menyorot Mulan pada salah satu momen di pertarungan terakhir. Efek di momen itu berfungsi untuk membuat Mulan tergambar menjadi sosok yang bahkan lebih spesial lagi. Namun sesungguhnya dijadikan ‘spesial’ itu justru hal terakhir yang dibutuhkan oleh Mulan.
Gagasan cerita ini boleh saja berakar dari pandangan bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki. Dalam pengembangannya, Mulan jadi mengusung banyak pesan moral yang sangat relatable buat semua penonton, tak terbatas pada penonton perempuan saja. Adegan ketika Mulan bangkit, dia membuka semua penyamaran; menggerai rambut dan kini hanya bertempur dengan robe merah tanpa armor apapun bisa kita terjemahkan sebagai pesan untuk menjadi diri. Untuk tidak lagi meredam diri, tidak mengikuti tuntunan sosial yang mengeja kita harus seperti apa, dan jadi siapa diri kita.

Kita tidak diciptakan untuk mengikuti aturan ‘cewek harus begini, cowok bagiannya itu’. Tentu, ada batasan alami yang tidak bisa dilanggar oleh keduanya. Namun batasan tersebut tidak pernah berarti kita harus mengecilkan diri jika kita bisa melakukan sesuatu melebihi dari harapan atau kebiasaan sosial. Kita bisa jadi apapun yang kita ‘mampu’. Masalahnya justru pada seberapa ‘mau’ kita?

 
Maka menjadikan atau menampilkan Mulan sebagai makhluk spesial, justru menjauhkannya dari kita. Sebab pesannya jadi seolah Mulan bisa setara seperti itu ya karena dia bukan manusia sembarangan. Padahal gak semua orang kayak Mulan; gak semua orang dianugerahi chi yang luar biasa dan disuruh meredam kekuatannya sedari kecil. Inilah pilihan paling aneh yang dibuat oleh sutradara Niki Caro yang jadi sumber masalah pada film ini: Membuat Mulan spesial alih-alih manusia biasa seperti pada animasinya dulu. Mulan kuat sedari awal. Momen-momen latihan perang tempat dia nyamar jadi cowok itu tidak lagi dalem dan emosional karena dari sudut pandangnya, cerita kali ini simply adalah soal dia bohong saja. Tidak seperti pada versi animasi. Di sana Mulannya adalah soal orang normal yang bekerja keras biar dapat diterima, biar dia membuktikan dirinya mampu mendobrak dinding yang menolak mengakui ekualitas itu. Mulan terasa seperti kita semua yang berjuang keras untuk bisa berhasil. Sedangkan pada Mulan yang baru, ini adalah soal orang yang gak boleh maju karena gender-nya tidak mengharapkan dia untuk begitu, jadi dia ngerepres siapa dirinya. Perkembangan tokoh di sini adalah tentang Mulan yang belajar untuk berani mengakui siapa dirinya di hadapan semua orang, melawan semua pandangan sosial yang mungkin mengekangnya. Perbedaan besar antara Mulan versi animasi dan versi live-action ini adalah soal normal dan spesial tersebut. Pada Mulan yang sekarang ini pesannya jadi terlemahkan oleh agenda ‘spesial’ itu. Bagaimana dengan ‘kerja keras’ itu sendiri?

Kamulah makhluk Tuhan yang paling sakti

 
Semua aspek dalam film ini terasa tidak natural. Tadi aku sempat nyebut mirip Kartini, dan memang Mulan (si Yifei Liu yang meraninnya aja kadang-kadang sekilas mirip Dian Sastro hihi) mengalami ‘kekangan’ yang sama – bahkan ia juga disuruh kawin. Namun tentu saja wanita yang tidak boleh mengecam pendidikan tinggi terasa lebih alami ketimbang wanita tidak boleh berjuang dengan kung-fu jurus tenaga dalam. Dampaknya cerita Mulan jadi tidak dramatis. Stakenya enggak kuat karena kita tahu Mulan tidak dalam bahaya, toh dia sedari kecil sudah jauh lebih hebat daripada siapapun di layar. Film juga dengan lincahnya melompati adegan-adegan yang mestinya bisa membantu Mulan untuk lebih beresonansi ke kita. Dalam film ini tidak lagi kita mendapati adegan sedramatis Mulan mengambil pedang diam-diam, memotong rambutnya, bimbang sebelum memutuskan pilihan paling penting sehubungan dengan kehormatan keluarga. Adegan Mulan memilih untuk menggantikan ayahnya dalam film ini terasa sangat datar, dengan pengadeganan sesederhana Mulan menunjuk kamera dengan pedang itu lalu kemudian fade out bentar dan voila dia sudah siap berangkat dengan baju zirah terpasang.
Karena ini basically udah jadi film kung-fu, maka mau tak mau kita harus membandingkan aspek action-nya dengan film kung-fu hebat semacam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), which triumphantly kick Mulan action’s in the ass. Ada beberapa momen keren, tapi adegan-adegan berantem di film Mulan ini dilakukan dengan terlalu cepat dan terlalu banyak editing. Sehingga kesannya hingar-bingar. Di sini juga film menunjukkan kekurangtajaman matanya terhadap penggalian kesan dramatis. Mulan berpindah tempat gitu aja, tidak benar-benar diperlihatkan perjuangan dan pemikirannya soal strategi seperti ketika dia begitu saja (dan begitu mudahnya) dapat taktik melongsorkan gunung es. Yang sekali lagi juga menunjukkan membuat Mulan seorang yang berkekuatan spesial hanya membuahkan kegampangan pada cerita. Film semakin tak alami, apalagi dengan beberapa batasan produksi yang harus dipatuhi oleh film. Seperti soal violence, atau darah: agak aneh menyaksikan film yang basically tentang perang, dengan banyak adegan aksi berantem pake jurus-jurus kung-fu fantastis, tetapi terasa jinak karena didesain untuk tampil ‘aman untuk tontonan keluarga’. Ataupun batasan seperti bahasa. Dengan cast nyaris semuanya Asia (ada Jet Li!), dan bersetting di Asia, terdengarnya aneh saja film memilih menggunakan dialog bahasa Inggris. Normalnya, bahasa enggak pernah jadi masalah buatku, hanya saja di momen menangnya Parasite – film berbahasa asing – di Best Picture Oscar kupikir film-film akan lebih terbuka atau setidaknya lebih berani dalam menggunakan bahasa.
 
 
 
Pilihan yang diambil oleh Disney untuk membuat film ini jadi sedikit berbeda dari versi animasinya pada akhirnya menyebabkan film ini terasa tidak alami. Tokoh utamanya yang sedari awal kuat dan spesial menjadikan development flawed-nya – dan gagasan cerita – kurang ngena, kalo gak mau dibilang tereduksi dan gak fit lagi. Hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain sesama prajurit juga dikurangi sehingga semakin menjauhkan si tokoh dengan ‘kenormalan’ yang beresonansi dengan kita. Versi animasinya masih jauh lebih superior, bercerita dengan lebih baik, dan terasa lebih natural. Disney seperti mengulangi kesalahan yang sama pada sebagian besar live-action-nya yang gagal: membuat sebuah fantasi menjadi realis.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MULAN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian adakah batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika kita membicarakan perihal sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PENINSULA Review

“A moment of hesitation may cause you a lifetime of regrets.”
 
 

 
 
Cukup satu saja – cukup ada satu orang yang terinfeksi di antara puluhan bahkan ratusan yang sehat – untuk menjangkiti satu kereta, atau satu kapal, atau satu bioskop (bukan mau nakutin loh yaa), bahkan membuat satu negara menjadi republik perserikatan zombie. Memang sebegitu mengerikannyalah kondisi ketika kita memerangi sesuatu yang menular. Dalam dunia Train to Busan (2016), sesuatu itu adalah virus zombie. Menyebar hingga ke film Peninsula ini; yang meskipun bukan sekuel-langsung, tapi merupakan cerita yang bertempat di semesta yang sama. Dalam kurun empat tahun, Korea Selatan sudah completely abandoned, dikarantina oleh dunia, karena gak ada yang mau repot-repot berurusan dengan zombie. Tertular di film ini ya berarti ikutan berubah menjadi zombie. Nasib yang semua orang setujui sebagai lebih buruk dari mati.
Konteks dari film garapan Sang-ho Yeon ini sungguhlah relevan dengan keadaan kita yang sedang mengurung diri sebab wabah Covid-19. Selama enam bulan terakhir kita sudah sukses dibuat was-was. Ada yang bersin di tempat umum, pasti langsung disambut pandangan mendelik. Menjaga jarak sudah jadi keharusan. Jangankan orang lain, idung sendiri tersumbat sedikit aja sudah cukup untuk membuat kita pengen membelah diri, supaya bisa jauh-jauh dari diri sendiri. Apakah ketakutan seperti demikian itu wajar atau hanya karena pengaruh oleh media yang membesar-besarkan; itu lain soal. Yang jelas saking takutnya tertular corona, pemberitaan soal warga yang menolak jenazah pasien dimakamkan di daerahnya marak kita dengar. Bukan hanya pasien, keluarga pasien, bahkan mantan-pasien yang udah mati, dijauhi. Dokter-dokter dan keluarga mereka juga. Jika tidak sedang mengenakan masker atau sekalian pakaian kesehatan resmi, sebagian orang masih memilih untuk menghindari kontak dengan orang lain, meskipun orang lain tersebut membutuhkan pertolongan.
Peninsula agaknya memotret itu ketika memperlihatkan tokoh utama cerita, Kapten Jung Seok, menolak memberhentikan mobil untuk seorang wanita yang meminta tolong. Di awal cerita Peninsula, Jung Seok sedang membawa keluarga adiknya ke kapal yang akan berangkat ke Hong Kong. Meninggalkan negara mereka yang chaos oleh zombie outbreak. Sang wanita ingin Jung Seok membawa serta anak perempuan yang sedang ia gendong. Permohonan wanita tersebut tidak dikabulkan oleh Jung Seok yang ragu untuk menolong. Ragu apakah itu adalah yang benar. Ragu apakah si wanita dan anaknya tidak tertular zombie. Momen awal ini akan menjadi signifikan nantinya di pertengahan film. Keraguan Jung Seok untuk menolong karena khawatir akan keselamatan diri/golongannya sendiri dijadikan cerita sebagai flawed dari karakter, sekaligus jadi tema atau gagasan cerita. Karena bukan sekali ini Jung Seok ragu. Ketika nanti kapal mereka jadi seperti ekivalen kereta pada film pertama, Jung Seok bahkan gagal menyelamatkan adiknya sendiri, karena ia ragu.

Disuruh mengambil pilihan untuk survive dengan cepat seperti pilihan Jung Seok di Peninsula, tak pelak akan membuat kita peningpala.

 
 
‘Flaw’ Jung Seok berubah menjadi ‘wound’ seiring dengan berkembangnya kejadian -dan oh boy, betapa Peninsula dengan cepat menjadi jauh lebih besar dan luas daripada Train to Busan. Arc Jung Seok menarik dan menyentuh hati. Akhir kejadian di kapal – difungsikan tak ubahnya bagai prolog – nyatanya memang sarat akan momen emosional yang berakar dari kemanusiaan. Di situ kita melihat seorang ibu yang rela menemani anaknya yang sedang kesakitan mengalami transformasi menjadi zombie. Jung Seok gagal menyelamatkan nyawa. Hubungannya dengan ipar lantas rusak di sini. Peristiwa ini mengubah Jung Seok. Kali berikutnya kita melihat si kapten, dia menjadi tak lebih dari pria jalanan. Film meloncati periode empat tahun, dan mempersembahkan lingkungan dan tantangan baru buat Jung Seok dan iparnya dan dua lagi penyintas dari Korea. Mereka dibayar untuk kembali ke kota utara Peninsula untuk mencari truk bermuatan uang. I got excited at this point. Kupikir film ini akan jadi mirip dengan salah satu favoritku tahun ini – film Da 5 Bloods yang juga bercerita kurang lebih tentang veteran trauma yang harus kembali ke daerah konflik untuk mencari harta. Hanya saja di Peninsula ini ceritanya berbonus zombie.

Lebih baik menyesal melakukan daripada tidak-melakukan. Karena sedetik saja momen keraguan yang lantas membawa kita ke perasaan bersalah, maka perasaan bersalah itu akan kita rasakan seumur hidup. Film Peninsula bisa kita jadikan pengingat untuk mengenyahkan keraguan yang mungkin hadir saat kita ingin menolong orang. 

 
Aku gak tau apa pembuat film ini ragu seperti Jung Seok atau mereka hanya salah kaprah soal mengekspansi film melebihi film-pertamanya, yang jelas ternyata kemudian cerita berubah kembali dari potensi petualangan survival di ranah yang dikuasai zombie menjadi… drum roll.. kehidupan geng penyintas di dunia post-apocalypse ala Mad Max!
Eits, para penggemar Mad Max jangan senang dulu. Meskipun memang ada sensasi menggelinjang yang terasa di pertengahan film saat kita menyadari kemiripan yang boleh jadi adalah terinspirasi dari Mad Max – khususnya The Road Warrior (1981) dan Beyond Thunderdome (1985)I mean, zombies certainly great addition to the Mad Max story, tapi ketika film ini mencoba untuk meniru aksi kejar-kejaran di jalanan dengan mobil-mobil kustom itu, Peninsula ini tak lebih gede dari satu sekrup di mobil Furiosa di Fury Road (2015). Karena Peninsula begitu bergantung kepada CGI. Aksinya gak pernah terasa menegangkan karena semua hal di sana – apalagi zombie-zombienya – selalu mengingatkan kita bahwa yang kita lihat adalah efek yang tak meyakinkan. Peduli apa kita sama zombie-zombie itu, gimana bisa takut, jika film memposisikan mereka sebagai bagian dari latar belakang yang dari wujudnya saja sudah tidak mencengkeram, karena keliatan banget palsu. Namun begitu, mengatakan film ini memang memusatkan kepada tokoh manusia – dengan kilahan ingin menunjukkan bahwa manusia lebih seram daripada zombie – juga tidak bisa mengangkat film ini. Karena selain tokoh utama, tokoh manusia di film ini juga pengkarakterannya sensasional sekali. Tidak ada kedalaman yang menarik pada tokoh-tokoh pendukung. Babak dua film ini praktisnya habis oleh eksposisi (bagian Jung Seok ketemu keluarga survivor) yang diselingi oleh bagian Thunderdome zombie (sesuatu yang sudah pernah kita lihat, dan dilakukan dengan tak lebih baik daripada itu).

Mungkin sekuel berikutnya bisa bahas romansa zombie berjudul Train to Bucin

 
 
Sutradara Sang-ho Yeon sepertinya salah menafsirkan atau katakanlah, tidak memahami, apa yang membuat Train to Busan begitu populer. It was the depth of that various characters; mulai dari si bapak yang istrinya hamil hingga ke antagonisnya yang ngeselin itu. Dalam Train to Busan semua kematian itu terasa memiliki arti, setiap pengorbanan punya ‘cerita’ dan benar-benar terasa. Belum lagi hubungan ayah dan anak yang menjadi duo protagonis utama. Peninsula punya karakter-karakter yang kita bisa melihat terjalin oleh garis hubungan yang menarik, tapi film lebih fokus kepada aksi dan para zombie. Kita gak mau lebih banyak zombie jika keberadaan mereka tidak benar-benar membawa arti kepada perjuangan tokoh manusia. Kelemahan Train to Busan yang aku lihat adalah bagian aksinya yang sedikit terlalu sering meminta kita untuk nge-suspend our disbelief. Sayangnya, pada film kedua yang berskala lebih gede dan lebih jor-joran aksi, kelemahan tersebut ikut tercuatkan. Kematian dan pengorbanan pada film ini tak berarti apa-apa karena karakternya tak pernah ‘menggigit’ kita dengan dalam.
Pembuatnya seperti menyangka karakter anak-lah yang membuat Train to Busan populer. Sehingga yang kita dapatkan di sini adalah bukan satu, melainkan dua tokoh anak. Yang dua-duanya keren. Jagoan kebut-kebutan mobil. Dan yang satunya lagi jago main mobil remote, dia mendistraksi rombongan zombie yang buta itu dengan mainan remote control berlampu. It would be real cool kalo memang kedua anak itu diposisikan sebagai tokoh utama cerita – mungkin for some reason franchise Busan ini diarahkan ke anak-anak dan zombie – hanya saja di dunia cerita ini kedua anak itu ujung-ujungnya menjadi ‘damsel in distress’. Ini masih dunia dewasa, dan mereka hanyalah device ‘sesuatu-yang-harus-diselamatkan’ oleh tokoh utama. Paling tidak seharusnya interaksi atau hubungan antara Jung Seok dengan anak-anak ini dibuat lebih banyak, akan tetapi dengan pesan atau gagasan yang diniatkan oleh film ini, memang tidak ada tempat untuk elemen tersebut benar-benar berkembang. Cerita pun jadi berkurang keseruannya karena gak bisa mengambil resiko. Sebab film butuh untuk memperlihatkan Jung Seok kini tidak ragu lagi untuk menyelamatkan seseorang yang berada dalam kondisi nyaris-mustahil untuk diselamatkan.
 
 
 
 
It’s now more action than horror, masalah klasik saat sebuah film ingin menjadi lebih besar, lebih luas, dan lebih seru dari film pertamanya, dapat kita lihat dalam film ini. Being bigger enggak lantas membuatnya menjadi better. Menjadi berbeda dan menaikkan ‘taruhan’ di sekuel adalah tantangan yang harus dijawab, namun melakukannya tidak lantas membuat film jadi bagus.  Meskipun masih punya konflik karakter dan masalah kemanusiaan yang emosional, kesalahan terbesar film ini terletak dalam hal menangkap apa yang membuat film pertamanya konek dan diterima oleh banyak penonton. Film ini justru memperbanyak aksi-aksi gak masuk akal, yang dieksekusi lewat efek-efek yang keliatan bo’ongnya pula! Dia tak bisa tampil seunik pendahulunya, karena banyak meniru aspek dari film-film lain. Kalo pengen lanjut sebagai franchise, maka film ini harus bisa segera kembali ke relnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for PENINSULA.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Dalam kurun empat tahun saja, Korea Selatan di film ini berubah menjadi seperti dunia post-apocalyptic yang dikendalikan oleh geng jahat. Setelah enam bulan hidup new-normal bersama Corona dan menyaksikan seliweran berita dan keributan sehubungan dengannya, mungkinkah dalam empat tahun kita berubah seperti dunia Peninsula? Menurut kalian seberapa lama waktu yang diperlukan untuk sebuah lingkungan sosial berubah menjadi seperti lingkungan geng seperti Peninsula ataupun Mad Max?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

SPREE Review

“Life is not a popularity contest”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang cetek sekarang. Dunia yang mementingkan angka engagement, jumlah follower, jumlah penonton. Dunia di mana ‘harga’ seseorang bergantung pada seberapa banyak orang yang meng-Like status atau menonton unggahan story-live-nya. Ya, selamat datang di Dunia Influencer. Tempat semua orang berlomba membuat konten, tempat persaingan bebas karena gak butuh keahlian khusus, kepintaran, atau ilmu yang memadai. Kita cuma harus punya ‘personalitas’.
Kedangkalan jagat perkontenan ini dipotret dengan tepat oleh sutradara Eugene Kotlyarenko dalam komedi thriller terbarunya ini. Spree hadir dengan demikian simpel. Berkonsep ‘sajian dari layar hape’ – yang kita lihat di sini adalah gambar-gambar dari kamera hape saat tokohnya melakukan livestream ke internet, film ini bercerita tentang seorang anak muda bernama Kurt yang ingin jadi terkenal di sosial media. Tetapi dunia perkontenan yang sederhana itu ternyata cukup keras. Channel Kurt tak kunjung dapat view. Mencapai dua digit aja dia susah. Maka ia merekam segala aktivitasnya, sebagai pengemudi layanan taksi online Spree. Masalahnya adalah ‘aktivitas’ Kurt itu sendiri. Desperate menaikkan jumlah view, Kurt melanggar aturan internet (“Harusnya semua ini settingan!”). Dia gentayangan melakukan tindak kriminal beneran terhadap penumpang-penumpang taksi onlinenya!

Bukan masalah apa yang kita lakukan, melainkan pada ‘siapa kita’

 
 
Film ini tak lantas memperlihatkan Kurt dengan gampang mendapat jumlah view dan follower. Membunuh satu, dua orang, tidak seketika membuatnya viral. Dan ini boleh jadi adalah hal yang paling mengerikan yang diperlihatkan oleh Spree kepada kita. Batasan sebuah konten itu semakin hari kian mengabur. Orang-orang yang menonton akun Kurt, menyangka pembunuhan itu adalah bohongan. Udah banyak konten yang seperti itu, komen seorang selegram yang dimintai pendapat oleh Kurt. Ini seharusnya adalah komentar untuk keadaan di dunia nyata. Kita toh sering ‘menangkap basah’ konten-konten orang berantem yang ternyata adalah settingan dari kedua belah pihak. Sama seperti ketika Kurt menyerang sesama influencer dengan pisau, pemirsanya bersorak karena mereka pikir ini adalah settingan kolab. Jikapun ada yang marah, ya itu karena mereka gaksuka Kurt yang nobody tiba-tiba muncul di streamer favorit, pake di-share segala.
Seremnya adalah, tidak semua pembuat konten mendapat ‘memo’ yang sama. Kita juga acap menemukan berita tentang orang-orang seperti Kurt; yang melakukan viral-stunt tapi beneran merugikan orang lain. Kasus seperti remaja yang ngeprank banci dengan bantuan makanan yang ternyata sampah itu misalnya. Orang-orang sudah tak peduli moral dan etika. Mereka bahkan tidak mau memikirkan ulang apa yang mereka lihat. Mereka menonton sesuatu keributan yang viral, dan lantas meniru karena kepepet ingin viral juga. Tak mau tahu kalo yang mereka tiru aslinya adalah bohongan. Atau mungkin memang sengaja, karena memang semakin tampak otentik, akan semakin menariklah konten yang dibuat. Film Spree tak lain dan tak bukan berfungsi sebagai broadcast perilaku-perilaku buruk yang bisa kita lakukan di internet, demi mencari konten. Maka kita bisa menganggap film ini sebagai satire yang memperingatkan. Bahwa mau itu real ataupun settingan, konten yang meaningless seperti prank atau unboxing ataupun publicity-stunt lain ya memang unfaedah.
Spree harusnya berkapasitas untuk memeriksa kenapa seseorang bisa memutuskan untuk membuat konten unfaedah. Tokoh Kurt yang membuat akun @KurtsWorld86 (tadinya kupikir dia parodiin Wayne’s World) digambarkan sebagai sosok yang punya kompas moral tersendiri. Kita melihat dia peduli pada estetika gambar. Dia punya perhatian pada konsistensi dalam merekam video. Ada satu momen ketika Kurt kesel ngeliat selegram terkenal yang videonya ia sebut bikin sakit leher. Elemen sikap Kurt ini boleh jadi relatable buat banyak orang. Karena kadang aku pun kesel (alias sedikit jealous) dengan konten yang lebih populer padahal secara value atau pembuatan, konten tersebut banyak kelemahan. Kurt adalah orang yang berusaha sebaik mungkin, ia bikin video dengan ‘ikut aturan’ – dalam artian gak ngasal. Dia cuma terlalu awkward di kamera. Permainan akting Joe Keery cukup kuat di sini. Kita tahu di serial Stranger Things Keery memerankan salah satu fans favorite, dan di Spree ini ia meninggalkan semua kharismanya di rumah. Gugupnya ngomong live di kamera tampak natural, dan ketika sudah waktunya mengaktifkan mode psiko, Keery langsung tancap gas. Aktingnya jadi tampak sangat natural. Balik lagi ke tokohnya, si Kurt, Aku pikir banyak dari kita yang berusaha untuk bikin konten jadi populer, tapi mengalami masalah yang sama dengan Kurt.

Sometimes we tried too hard, dan lupa bahwa pada akhirnya internet tetep adalah kontes popularitas. Namun, hidup ini tidak. Kehidupan nyata bukanlah perlombaan siapa yang viral. Tentu, masing-masing kita berhak memilih untuk hidup di mana. Hanya saja, satu yang perlu diingat; konsekuensi dunia nyata cepat atau lambat akan menemukan kita di manapun berada.

 
Bahkan korban-korban Kurt pun ditampilkan oleh film sebagai pribadi yang bermasalah, mulai dari seorang rasis hingga ke seorang yang ‘berpenyakit’ toxic masculinity. Semua itu tampak seperti cara film untuk memperlihatkan bahwa di dalam sana, Kurt adalah orang baik. Mungkin jika ceritanya memang dibentuk seperti Joker (2019), alias jika Kurt sedari awal diperlihatkan sebagai ‘orang baik’ yang tersakiti kemudian akhirnya meledak, Spree bisa punya lapisan dan kedalaman sehingga menontonnya akan membuat kita berpikir ulang terhadap kehidupan internet sekali lagi. Namun sayangnya, film ini memutuskan untuk menjadi dangkal. Spree memastikan sedari awal, Kurt adalah seorang yang berniat jahat. Sifat-sifatnya yang relatable dan yang menunjukkan dia sepertinya orang baik hanyalah sebuah kecohan. Karena film tidak membuat kita mengikuti Kurt sepanjang waktu. Ada beberapa momen yang disembunyikan, untuk kemudian diungkap sebagai kejutan.

Being popular on sosmed is like sitting at the cool table in the cafetaria at a mental hospital.

 
 
Itulah sebabnya kenapa Kurt dan film Spree ini sendiri terasa tak banyak punya daging di balik thriller hiburan dan gimmick bercerita lewat layar sosial-medianya. Sedari awal film ini disusun untuk kejutan – bahwa ternyata Kurt jahat – alih-alih langsung menunjukkan bahwa ini bukan cerita pahlawan dan menjadikannya studi karakter. Film mengincar kita untuk mendukung Kurt terlebih dahulu, untuk kemudian perlahan menyadari bahwa karakter ini salah dan tak patut untuk dielukan. Ini adalah bagian dari gagasan film. Masalahnya adalah motivasi pengen banyak view dan follower itu, kita bisa lihat sedari awal, bukanlah motivasi kuat yang bisa mengundang simpati. Film benar-benar bergantung kepada kita untuk bersikap se-shallow netijen dan Kurt di dunia Spree, supaya cerita bisa berjalan maksimal.
Di antara film-film berkonsep tutur menggunakan layar komputer/handphone, Spree juga gak particularly strong. Malahan boleh jadi merupakan yang paling chaos di antara semuanya. Hal ini disebabkan karena pada Spree ada begitu banyak kamera. Begitu sering berpindah-pindah layar dan angle. Di mobil Kurt saja ada lebih dari empat sudut pandang kamera yang senantiasa berpindah. Banyak-kamera ini tentu diniatkan supaya cerita bisa lebih fleksibel, gak terpaku pada satu pemandangan desktop. Hanya saja temponya dibuat terlalu cepat. Spree juga sering menampilkan layar hape, bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus yang dikolase ke layar. Mereka ingin menunjukkan komentar-komentar para netijen yang nonton story para tokoh film, tapi bagi kita sungguh sukar mengikuti komen-komen itu kesemuanya. Jadi bikin bingung juga, di antara komen-komen itu ada yang penting atau enggak. Kalo enggak ada yang penting, ya kenapa ditampilkan. Aku sampai harus ngepause untuk bisa baca satu persatu.
Fun fact: ada komen dari Indonesia hihihi
 
 
 
Sesungguhnya ini adalah satire dengan humor dark tentang perilaku manusia di era konten seperti sekarang. Film ini mempertahankan kesimpelan era tersebut. Tidak banyak kekompleksan yang dibahas, karena film ini mengutamakan pada kejadian pembunuhan yang ditarik dari pertanyaan sejauh apa seorang manusia bertindak untuk membuat konten demi sebuah pengakuan. This movie is strictly about the act. Sementara karakternya dikembangkan dengan arahan sebagai sebuah kejutan.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for SPREE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Influencer sekarang ada dalam setiap apapun yang butuh promosi. Bahkan pemerintah menyisihkan anggaran yang tidak sedikit untuk jasa influencer. Menurut kalian bakal seperti apa sosial media dalam, katakanlah, sepuluh tahun ke depan? Apakah influencer akan jadi kerjaan nomor satu? Masihkah lomba konten ini berlanjut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GURU-GURU GOKIL Review

“Experience is the best teacher, and the worst experiences teach the best lessons.”
 
 

 
 
Sosok seorang guru adalah sosok yang menginspirasi. Yang menjadi suri teladan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Beruntung, Guru-Guru Gokil karya Sammaria Simanjuntak yang tayang eksklusif di Netflix bukan guru. Sebab sebagai sebuah cerita tentang guru-guru, film ini nyaris tidak punya ‘muatan lokal’ yang menarik, dan tidak ada yang bisa menggugah inspirasi sama sekali. Kecuali buat orang yang mimpi jadi pahlawan di siang bolong.
Sama seperti orang-orang normal di seluruh dunia, Taat Pribadi suka ama yang namanya duit. Jadi dia pergi merantau ke kota, nyobain pekerjaan apapun demi mencari uang. Jauh dari kampungnya, jauh dari bapaknya yang guru. Jauh dari kerjaan guru itu sendiri; kerjaan yang ia sinisin karena hubungannya dengan sang bapak. Namun ketika semua usaha gagal, Taat terpaksa pulang dan mengambil kerja sampingan sementara sebagai… seorang guru! Hihihi seharusnya memang ada yang menarik dan lucu di sini, karena Taat bekerja di sekolah tempat ayahnya mengajar. Ada hati juga. Situasinya sudah klop untuk jadi sebuah komedi yang hangat tentang bapak dan anak. Hanya saja, kemudian pada naskah dimunculkan sebuah perampokan uang gaji para guru. Taat kemudian menginvestigasi, karena tentu saja awalnya dia ingin duitnya. Tapi kemudian ada guru yang ia suka. Kemudian ada penjahat yang sadis. Kemudian ada Dian Sastro yang jadi guru pinter tapi ‘oon – dan dia lagi hamil. Bisa aku meledak sekarang?

Mungkin gokil di sini maksudnya beneran ‘pergi membunuh’

 
Sementara para pemain memang tampak nyata sangat menikmati permainan peran mereka masing-masing; Gading Marten is on his zone, dua alumni Gadis Sampul Faradina Mufti dan Dian Sastro (the later is also the producer) bersenang-senang dengan karakter yang berbeda dari tipikal peran drama yang biasa mereka mainkan, dan bahkan Asri Welas diberikan sesuatu yang baru ketika memainkan tokoh Kepala Sekolah. Their joy membuat film ini ceria meskipun film bersikukuh menggunakan warna ekspresionis oren alih-alih cerah dan light-hearted. Dan memang kesenangan mereka itu tidak pernah terdeliver kepada kita. Cerita film ini sebagian besar akan berfokus kepada pemecahan kasus pencurian. Memperkenalkan needlessly sadistic villain nun jauh di pertengahan cerita. Ketika kita sadar cerita crime pun sebenarnya masih bisa lucu dengan bumbu-bumbu komedi, film Guru-Guru Gokil ini masih bingung. Berada di tengah, di antara semuanya. Lucu enggak, tegang kurang, drama gak nyampe. Kita dibuatnya terlalu bosan oleh arahan yang mengawang untuk bisa ikut excited, untuk ikut tertawa, dan untuk hanyut terenyuh.
Penulisannya sebenarnya enggak buruk. Taat Pribadi jelas bukan tokoh yang membosankan. Karakternya punya cela dan ‘flawed-character’ inilah adalah cara yang tepat untuk membuat cerita menjadi menarik. Marlin adalah ayah yang overprotektif, Woody adalah mainan lama yang iri sama mainan baru, Ariel adalah anak duyung yang melawan pada aturan bapaknya. Kita menganggap tokoh-tokoh bercela seperti demikian itu menarik karena cerita adalah soal pertumbuhan mereka menjadi lebih baik. Itulah yang disebut dengan journey mereka. Taat pada Guru-Guru Gokil cinta mati ama duit, serta dia gak suka sama bapaknya yang ia anggap lebih baik dan mendengarkan orang lain daripada dirinya. Taat tidak serius menjadi guru pengganti, dia hanya mau duitnya. Nantinya, Taat harus memilih antara duit atau menyelamatkan sekolah. Pertumbuhan di sinilah adalah Taat berkembang menjadi beneran peduli pada orang-orang di sekolah. Poin awal dan akhir film ini sebenarnya tepat. Jika ini mesin, maka roda-roda giginya berada pada posisi yang benar. Hanya saja, proses dari awal ke akhir, dari poin a ke poin b itulah yang menjadi masalah. Film ini menggunakan banyak roda gigi yang gak seimbang sehingga perjalanan cerita film ini enggak asik untuk diikuti.
Karakter yang tadinya bercela itu dikembangkan jadi ahli-semua. Taat menjadi membosankan saat ia mampu memecahkan apapun. Masalah yang seharusnya jadi ‘alat’ untuk karakternya berkembang dan belajar, malah either beres dengan bantuan atau ia kerjakan sendiri dengan gampang. Bukan saja Taat mampu jadi guru pengganti yang baik, yang konek dengan semua murid di kelas tanpa kita lihat prosesnya seperti apa, pria ini juga mampu menemukan pelaku kejahatan hanya dengan modal tato. Ia juga bisa sulap, mencairkan hati seorang guru galak. Dia bisa mengetahui hal di kampung itu yang tak semestinya dia yang-baru-datang-dari-kota tidak ketahui. Film punya cara gampang; begitu ada sesuatu yang perlu dijelaskan, mereka cukup membuatnya sebagai adegan flashback atau montase dengan narasi voice-over dari Taat.

Mungkin ini adalah cara film untuk menyuarakan gagasan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Taat bisa itu semua karena dia memang sudah mencoba banyak hal. Taat membuat jadi guru tampak sedemikian mudah. Cuma butuh pengalaman buruk untuk bertobat, dan wanita cantik untuk dicie-ciein.

 
Paling enak kita membandingkan Taat dengan Dewey Finn, tokoh yang diperankan Jack Black di School of Rock (2003). Filmnya sama-sama komedi di sekolah. Kedua tokoh sama-sama ‘flawed character’ guru pengganti yang peduli sama duit bayarannya aja. Kedua sama-sama gak tahu menahu apapun soal pelajaran sekolah ataupun cara mengajar anak-anak. Namun pada School of Rock, Dewey tidak pernah bicara tentang hal yang tidak ia tahu. Dan film tersebut benar-benar nunjukin. Dewey hanya tahu soal musik rock, dan itulah yang ia ajarkan kepada murid-murid. Dewey memanfaatkan para murid untuk ikut serta dalam lomba ngeband, membohongi mereka dengan mengatakan bahwa itu adalah proyek sekolah yang akan dinilai dan menentukan masa depan. Kita melihat prosesnya, Dewey jadi dekat bukan hanya dengan murid tapi juga dengan sesama guru; dia menggunakan skill ngeles dan ‘pengetahuan’ musiknya di ruang guru, di kantin. Kita juga diperlihatkan konsekuensi ketika kunjungan orangtua Dewey sama sekali tergagap karena gak bisa ngajar. Tidak ada proses itu pada Taat di Guru-Guru Gokil. Tidak ada kantin, tidak ada ruang guru. Melainkan hanya poin-poin seperti tau-tau murid-muridnya diskusi dan menggambar tato bareng. Hampir seperti film ini nyontek plot School of Rock untuk bagian di kelas. Tau-tau ada orangtua yang minta kunjungan belajar dan di situpun Taat diselamatkan oleh murid. Hanya ada satu murid yang benar-benar berkoneksi dengan Taat, dan itu karena bagian dari elemen romansa yang dimiliki oleh cerita. Dalam School of Rock, kesimpulannya jelas. Bagaimanapun juga Dewey tidak layak menjadi guru sekolah, tapi dia menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah harus berimbang, antara seni dan teori. Dewey akhirnya jadi guru les musik bagi murid-murid di sekolah itu. Sebaliknya pada Guru-Guru Gokil, tidak jelas apa yang mau dikatakan oleh film ini kepada dunia guru dan pendidikan itu sendiri.

Sebaiknya semua orang hanya mengucapkan apa yang mereka tahu

 
 
Ada seuprit komentar/kritik di sana sini soal gaji guru yang kecil, tapi mereka mau jualan untuk nambah-nambah pun gak boleh karena kurang etis pada tempatnya. Ataupun soal guru yang diprank atau malah dibully oleh murid. Seperti yang memang cukup marak belakangan ini, banyak guru yang ngalah dan berada di posisi sulit antara anak yang terlalu bandel dan dimanja oleh orangtuanya. Film ini seperti ingin menggagas supaya kita lebih meninggikan derajat guru. Namun tentu saja pesan itu jadi susah untuk mengalir ketika film sekaligus memperlihatkan orang seperti Taat saja ujung-ujungnya bisa jadi guru di sekolah. Dia tak kalah pintar dan cerdiknya dengan guru beneran. Dia cuma butuh ijazah untuk formalitas. Kita tidak pernah benar-benar merasakan darimana kecintaannya mengajar timbul karena film lebih meluangkan waktu untuk mengembangkan elemen romansanya kepada seorang guru, ketimbang mengembangkan proses dengan murid-murid. Karakter bercela ini jadi ter-redeem hanya karena ada tokoh penjahat, tokoh guru yang lebih jahat – yang lebih suka uang daripada dirinya. Pemecahan kasusnya tak menarik karena seperti generik film-film komedi yang penjahatnya digambarkan over-sadis tapi bego – kayak di film untuk anak balita. Konflik Taat dengan sang bapak beres dengan gampang, hanya butuh ‘membuka komunikasi’.
Dan seperti yang diperlihatkan oleh adegan endingnya yang teramat cheesy – ya bahkan lebih cheesy dari adegan ‘hujan uang’ yang mestinya bisa lebih berbobot itu – pada film ini, syarat jadi guru yang baik itu cuma satu: harus tetep gokil!
Oke aku meledak sekarang. DUAR!!
 
 
 
 
 
Kalo mau nonton cerita tentang korupsi/kriminal di balik dinding sekolah karena guru yang gajinya kecil juga pantas untuk nuntut ‘tanda jasa’, ada Bad Education (2020), yang berasal dari kisah nyata. Kalo mau ringan dan lucu tentang orang yang tadinya tidak peduli sama pendidikan dan maunya cuma duit menemukan cintanya sebagai pengajar, ada School of Rock. Poinku adalah, masih ada pilihan tontonan lain yang jauh lebih baik, lebih seru, lebih lucu dengan caranya masing-masing, dibandingkan dengan film ini yang berusaha untuk menjadi semuanya sekaligus. The comedy is fine, enggak terlampau receh, penampilan aktingnya juga oke. Mestinya film ini berfokus kepada anak dan bapak itu saja, enggak usah terlalu banyak pada kasus perampokan. Hasilnya malah film ini jadi salah satu film komedi crime termembosankan dan cerita tentang guru yang paling tak-inspiratif yang bisa kita saksikan. Oh iya, film ini juga mencoba jadi film lebaran dengan setting bulan puasa yang eksistensinya benar-benar tak lebih dari sebuah sepuhan. Such a shame karena ini adalah film-baru Indonesia pertama yang tayang semenjak pandemi, dan bisa tayang di Netflix seluruh dunia, hanya untuk jadi tontonan setengah-setengah dengan muatan lokal yang demikian lemah.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for GURU-GURU GOKIL.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Tipe guru seperti apa yang kalian suka dan tak suka? Hal terbandel apa yang pernah kalian lakukan kepada guru? Melihatnya kembali sekarang, spakah kalian menyesal melakukannya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE SECRET GARDEN Review

“The grass is greener where you water it.”
 

 
Bagi yang belum pernah menonton versi jadulnya (1993), seperti aku, menemukan kebun rahasia untuk pertama kalinya dalam adaptasi terbaru dari cerita klasik karangan Frances Hodgson Burnett serta merta akan menjadi perjalanan magis yang terasa sangat ‘menyembuhkan’. Terlebih karena film ini hadir di waktu yang tepat. The Secret Garden selalu adalah cerita yang sangat menghargai imajinasi, dan sutradara Marc Munden paham akan hal tersebut. Cerita yang digarapnya kali ini tetap mempertahankan pesona aslinya, tapi dikaitkan sedemikian rupa sehingga beresonansi dengan keadaan kita sekarang. Oleh Munden, cerita ini diracik sehingga punya kemampuan untuk mengobati perasaan kesepian dan terisolasi yang dirasakan oleh banyak penonton sekarang ini melalui kekuatan imajinasi yang dimiliki oleh anak-anak.
Setia dengan materi aslinya, film ini mengisahkan seorang anak perempuan Inggris bernama Mary, yang jadi yatim piatu ketika kedua orangtuanya meninggal karena kolera. Dari kediamannya di India, Mary dibawa ‘mudik’ untuk tinggal di rumah besar bersama pamannya. Rumah yang seperti istana itu tidak ada bedanya dengan penjara bagi Mary yang aslinya adalah anak gedongan dan yah, sedikit manja. Sisa-sisa perang dan kemuraman menjalar pada dinding-dindingnya. Mengurung Mary dengan segudang peraturan, yang tak pernah alpa diingatkan secara ketus oleh ibu pengurus rumah. Mary tidak diperkenankan jalan-jalan sembarangan. Namun tentu saja hal tersebut bukan masalah bagi Mary. Sesi eksplorasinya setiap hari membuat Mary bertemu dengan sepupunya yang gak boleh keluar kamar karena sakit. Membawa Mary kepada pengetahuan baru tentang keluarganya. Dan membuatnya menemukan sebuah taman ajaib, yang tentu saja merupakan obat dari penyakit yang diderita bukan saja oleh sepupunya itu, melainkan juga seluruh penghuni rumah termasuk Mary sendiri. Asalkan mereka memanfaatkannya dengan tepat.

Anu.. ini aku gak nyasar ke film Tall Grass atau ke labirin Alice kan?

 
Kedengarannya memang depressing. Film ini punya dunia cerita yang cukup dewasa (kalo gak mau dibilang dark) untuk anak-anak. Mary bukanlah tipe princess yang patuh dan polos. Dia nyebelin, ngebos, gak mau dilarang, dan saking manjanya dia minta dipakaikan baju kepada pengurus rumah, “Kukira kalian akan melayaniku” tudingnya kepada pengurus yang datang mengantarkan sarapan. Dan btw, Mary gak suka sarapan bubur! Tapi karakternya ini ditulis demikian bukan tanpa sebab. Karakter Mary berkaitan erat dengan hubungannya dengan ibu yang telah tiada. Yang terjadi di situlah yang cukup gelap untuk konsumsi anak-anak. Mary adalah seorang anak yang tumbuh dengan percaya bahwa ibu tidak suka dengannya, dan bahkan bahwa dirinyalah penyebab ibunya meninggal. Mary is one scarred-character yang kini tak punya siapa-siapa sehingga dia harus membenahi dirinya sendirian. Dan dari keadaan itulah muncul kekuatan tokoh ini, yang me-redeem tokohnya menjadi panutan bukan hanya anak-anak melainkan juga orang dewasa.
Mary yang menemukan Kebun Rahasia adalah simbol dari penyembuhan diri sendiri. Dia melambangkan perjuangan untuk mengubah diri dan tidak menanggalkan harapan. Gadis cilik ini – dimainkan dengan teramat tangkas oleh Dixie Egerickx – hanya punya satu defense-mechanism, yakni imajinasinya. Melalui tokoh ini, film meminta kita untuk turut seperti Mary. Untuk kreatif dan menjadikan imajinasi bukan hanya sebagai eskapis, melainkan juga sebagai sumber kekuatan. Naskah juga tidak menahan apapun, Mary yang punya ketertarikan dengan buku dan cerita itu ditempatkan dalam keadaan yang begitu suram; di rumah besar pamannya mimpi-mimpi Mary selalu terganggu, dan yang ceria itu enggak pernah sampai happy ending. Inilah yang mendorong Mary untuk melangkah keluar. Melawan ketakutannya akan tempat yang luas, sesosok anjing misterius, dan akhirnya menemukan Kebun Rahasia. Yang merupakan reward dari tindakannya yang tidak menyerah dan terus berusaha mencari ‘kesembuhan’ yakni penghiburan diri dari kesepian.
Paruh pertama yang punya tone seperti kakak-beradik dengan Pan’s Labyrinth (2006)-nya Guillermo del Toro seketika berubah menjadi menakjubkan dan literally cerah begitu Mary menemukan Kebun Rahasia. Tone cerita juga bergeser, kini menjadi penuh harapan sesuai dengan tokohnya yang optimis bahwa Kebun ajaib itu bisa membantu mereka. Dalam film ini sensasi eksplorasi lewat mata anak kecil terasa menyelimuti hingga nyaris keseluruhan narasi. Antara lorong-lorong gelap mencari keberadaan suara, hingga menemukan ruang rahasia, ke menyusur warna-warni hutan dan bertualang mencicipi kemagisan yang ditawarkan – mau tak mau kita turut merasakan petualangan dan keajaiban tersebut. Dan aku suka cara film ini memvisualkan keajaiban Kebun itu. Kita akan melihat daun-daun pepohonannya yang berubah warna sesuai tiupan angin. Tanaman yang membentuk formasi indah. Bukan hewan-hewan yang datang bermain bersama Mary, pada satu adegan diperlihatkan pohon menjulurkan ranting-rantingnya untuk membantu Mary yang sedang memanjat. Di atas kertas, Kebun tersebut punya khasiat menyembuhkan. Pada layar, di samping memperlihatkan penyakit yang sembuh setelah berkunjung ke sana, secara feeling kita merasakan ‘kesembuhan’ yang sama, dengan perubahan tone dan visual yang disajikan. Perlakuan terhadap Kebun itu rupanya adalah hal berbeda yang ditambahkan oleh sutradara. Kebun itu juga berhubungan dengan ibu Mary dan ibu sang sepupu, dan film ini punya cara tersendiri untuk menjalin di antara keempat elemen tersebut, yang menambah depth misteri dan backstory.
Bukit berbungaa, lukisan nirwanaa

 
Belakangan, ketika pertanyaan pada naskah berkembang dari Mary yang sudah menemukan kesembuhan menjadi bagaimana Mary bisa membawa penyembuhan kepada orang lain, sepupu Mary turut menjadi perlambangan dari kesembuhan diri. Lewat tokoh anak cowok yang nelangsa karena merasa dirinya sakit dan gak bisa berjalan itu film membawa pesan bahwa kesembuhan kita tidak bergantung kepada orang lain. Kitalah yang menjadi penentu, dan akhirnya mengundang keajaiban kepada diri sendiri.
Menonton film ini di kala pandemi, however, kita sebaiknya menjaga untuk tidak tersesat dalam sulur-sulur hiburan. Meskipun dalam film ini yang diperlihatkan adalah bagaimana tokoh yang terkurung akan merasa dirinya tak-bisa-sembuh, dan yang ia butuhkan adalah berani keluar dan menemukan Kebun Rahasia yang terletak di luar, kita tidak bisa langsung menafsirkannya sebagai lockdown di rumah gak sehat dan justru harus keluar beraktivitas seperti biasa. Karena sebenarnya ini bukan persoalan tempat, melainkan soal kebun itu sendiri. Kebun itu adalah tempat Mary dan sepupunya merasa paling dekat dengan ibu masing-masing; kebun itu adalah perwujudan dari apa yang mereka rasakan, bisa dibilang sebagai jiwa mereka. Tempat itu bisa saja adalah kamar berisi barang-barang peninggalan yang Mary temukan, jika Mary dan sepupunya juga memupuk harapan di sana. They simply just choose outside. Ke tempat yang lebih bersejarah bagi ibu mereka. Magic literally ada di sana, tapi tidak berarti Mary dan sepupunya tidak bisa memperoleh kesembuhan di tempat lain, malah tetap saja magic kebun itu butuh ‘persetujuan’ dari mereka seperti yang kita lihat pada sepupu Mary, who just don’t believe and don’t want it in the first place.

Antara berkubang di kesuraman sendiri atau ‘mengeluarkan diri’ dan mencari kesembuhan; sesungguhnya adalah keputusan kita. Yang ditumbuhkan di sini adalah harapan, yang disiram di sini adalah semangat untuk hidup. Bukan tindakan untuk keluar secara harafiah, melainkan keluar dari tidak melakukan apa-apa. Kita cuma perlu untuk tetap menyiram dan menumbuhkan.

 
 
Buatku, film ini tidak segelap Pan’s Labyrinth yang hingga hari ini masih tetap satu-satunya film yang berhasil membuatku menitikkan air mata. Film ini memang berawal dengan suram dan depressing, tapi ceritanya akan menjadi terasa melegakan dan menyembuhkan kita secara emosional. Film ini berakhir dengan membuat semangat dan harapan kita membumbung tinggi. But also, dari perspektif penulisan naskah, film ini kayak sedikit membimbing kita ke arah yang salah, membuat kita menunggu sesuatu yang tidak pernah datang karena ceritanya sama sekali enggak segelap itu. Sepuluh menit pertama yang menyedihkan itu membuat kita sedikit mengharapkan sesuatu yang lebih kelam bakal terjadi. Mood-nya sudah diset ke arah yang kelam, tapi ternyata film ini berakhir ceria. Bukan kesalahan pada ceritanya, hanya saja menurutku seharusnya penyesuaian bisa dilakukan dengan lebih baik lagi, sehingga materi ini bisa lebih fit ke dalam bentuk penulisan film. With that being said, I still think film ini adalah sajian positif yang menyejukkan. Karena di hari-hari ini kita butuh sebanyak-banyaknya keajaiban yang bisa kita dapatkan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SECRET GARDEN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika kita bisa punya Kebun Rahasia masing-masing, seperti apa kebun imajinasi kalian? Kekuatan apa yang dimiliki oleh kebun tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHE DIES TOMORROW Review

“Live each day like it’s your last, ’cause one day you gonna be right”
 

 
 
Kematian adalah sesuatu yang pasti, sekaligus merupakan sebuah misteri. Karena tidak ada satupun manusia yang tahu pasti kapan dirinya akan mati. Semua itu didesain untuk membentuk manusia itu sendiri. Orang yang pintar nan bijaksana akan berpikir bahwa setiap saat dirinya bisa mati, maka mereka mengisi waktu hidupnya dengan amal-amal dan kegiatan yang berguna. Memastikan tidak ada waktu mereka yang sia-sia. Namun tentu saja, sama hipotetikalnya untuk menjadi manusia sesempurna itu. Bagi kebanyakan orang, menghadapi kematian akan terasa sama seperti yang dirasakan oleh Amy dan tokoh-tokoh di film She Dies Tomorrow. Menakutkan dan penuh kecemasan.
Malam itu Amy (Kate Lyn Sheil mengalunkan emosi  tanpa banyak berkata-kata) tersentak dengan keyakinan absolut bahwa esok dirinya akan meninggal. Pada poin awal cerita, kita belum tahu darimana pengetahuan atau keyakinan wanita itu berasal, tetapi kita toh melihat hal-hal ganjil yang ia lihat. Yang ia rasakan. Amy melihat cahaya merah-biru-hijau berpendar di rumahnya. Dia merasakan depresi begitu kuat sehingga ia lebih memilih untuk baring di lantai. Sembari mencakar ubinnya. Amy berjalan linglung kayak orang mabok. Dan akhirnya dia menelpon sahabatnya, yang malam itu datang dan mendengar curhat soal besok Amy tidak lagi ada di dunia. Sang sahabat tentu saja menyanggah, dan menenangkan Amy, lalu pergi pulang. Namun di ruang kerjanya sendiri malam itu, sahabat Amy kepikiran soal kematian, dan akhirnya dia sendiri jadi percaya dirinya juga akan mati esok hari. Diapun mencari pertolongan ke kerabat. Hanya untuk membuat lebih banyak lagi orang-orang yang depresi dan bertingkah aneh seperti Amy. Semua orang kini percaya besok mereka mati!

Ada yang menyebar, tapi bukan virus

 
Sutradara Amy Seimetz dengan tepat menangkap ketakutan dan kecemasan manusia saat akhir hidup tiba, dan menerjemahkan dua perasaan tersebut ke dalam visual semi-surealis yang membuat bulu kuduk meremang. Jika kita menyebut She Dies Tomorrow ini film horor, maka ia adalah horor yang kuat visual dan perasaan. Tentu, tokoh-tokoh film ini melakukan beragam hal yang aneh dan menyerempet disturbing – ada tokoh yang ‘membunuh’ anggota keluarganya dan meyakininya sebagai tindakan belas kasih terakhir sebelum dirinya sendiri expired – tapi tindakan-tindakan seperti demikian tidak menjadi sumber dari ketegangan yang kita rasakan saat menonton. Tindakan itu adalah produk; reaksi dari aksi penyadaran. Penyadaran inilah horor yang sebenarnya. Bagaimana perubahan sikap mereka yang tadinya mengolok tokoh yang bilang besok ia pergi; mereka lantas menjadi sama ‘kosong’ dan hopeless dalam sekejap setelah mereka mengucapkan “bagaimana kalo besok kita beneran mati?”
The sudden silence, close up wajah-wajah yang mengucurkan air mata, gambar seseorang menangis tanpa suara, nyatanya akan balik menghantui kita tatkala pertanyaan terbesar dan terus berulang film itu kita tanyakan balik kepada diri kita. Elemen psikologikal thriller dari film ini bekerja dengan kuat berkat permainan akting yang seragam meyakinkan. Ini adalah bukti dari arahan film sangat fokus dan punya visi. Bukan tidak mungkin pula film ini sangat personal bagi sutradara. Nama tokoh yang dibuat serupa dengan nama dirinya mungkin untuk menunjukkan sang sutradara punya pengalaman langsung dengan dua perasaan utama yang jadi kunci pada film ini.

Mengetahui kapan pastinya kita pergi, enggak benar-benar membuat hidup kita lebih baik, bahagia, dan terhindar dari rasa penyesalan serta kecemasan. Karena sebenarnya mengetahui kita pasti akan pergi saja sudah cukup. Kita mestinya senantiasa ingat bahwa setiap hari bisa saja menjadi hari terakhir, maka isilah waktu supaya nanti tidak ada penyesalan. Usahakanlah supaya tidak ada penyesalan.

 
Sementara visual dan penceritaan boleh jadi senjata utama film, sebenarnya bagian paling penting yang secara subtil dipantik oleh film ini adalah pertanyaan ‘mengapa’. As in, mengapa ‘penyakit yakin besok mati’ itu bisa demikian menular. Lagi film ini membawa kita berkontemplasi. Tokoh-tokoh yang tertular itu, adalah orang-orang yang punya penyesalan, yang punya sesuatu yang belum mereka lakukan dalam hidup – entah itu belum sempat atau belum mampu. Orang-orang yang hidupnya perlu banyak pembenahan. Dalam sebuah film yang fokus pada narasi yang kuat, cerita seperti ini akan menampilkan tokoh pendukung yang sama sekali tidak terpengaruh atau tidak tertular oleh anxiety kematian seperti yang dialami Amy. Tokoh yang berfungsi sebagai pembanding. Namun She Dies Tomorrow tidak tertarik akan hal tersebut, demi sebuah keabsahan. Karena menampilkan tokoh yang tak tersentuh tentu akan mengurangi kekuatan ‘kematian’ itu sendiri. Film ini ingin realistis dalam hal tidak ada manusia-sempurna. Tidak ada manusia yang tidak terganggu oleh kepastian dirinya besok tiba-tiba meninggal. Mulai dari dokter hingga ke tukang sewa atraksi mobil semuanya punya unfinished business yang ingin diselesaikan perlahan. Kita semua punya masalah yang kita takuti, mengetahui hari ini adalah kesempatan terakhir untuk bisa menyelesaikannya terang saja bakal menimbulkan reaksi seperti yang ditampilkan oleh film ini.

Makanya Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi

 
 
Meskipun kematian tersebut pasti, dan para tokoh yakin malam itu adalah malam terakhir, namun film mengontraskan itu semua dengan membuat segala aspek tidak-pasti. Yang dibangun oleh film ini adalah sensasi ketakutan atas sesuatu yang samar-samar. Inilah hal yang paling dekat dengan yang disebut ‘plot’ oleh film ini. She Dies Tomorrow tidak punya narasi. Sudut pandangnya berpindah-pindah antara satu tokoh ke yang lain. Belum lagi lompatan-lompatan flashback. Semua tokoh di sini sama lemahnya, tokoh utama cerita boleh saja kita tukar-tukar sendiri dan enggak akan ngaruh ke seluruh cerita. Karena film ini sebenarnya adalah soal suasana. Dan ini membuat film jadi punya jarak dengan penonton. Terkadang dia seperti menggiring ke sesuatu, tapi ternyata tidak. Penonton yang ingin melihat sebuah resolusi, akan kecewa karena tidak ada semua itu di sini. Konsekuensi atas tindakan masing-masing tokoh pada malam itu juga dilewatkan dan dibiarkan mengambang.
Menonton awal-awal film ini, akan gampang bagi penonton kebanyakan untuk menyangka ceritanya adalah tentang sesuatu ‘makhluk’ yang menyebabkan penularan-kematian tersebut. Karena memang film di awal membuat seolah ada sesuatu. Kamera akan mengambil sudut-sudut dari balik pintu, atau dari belakang, seolah ada yang mengincar tokoh. Dan ini kinda mengarahkan penonton ke tempat yang salah. Mengecoh penonton. Karena kemudian kamera yang demikian tidak terjadi lagi. Dengan begitu saja film membuka kenyataan, yang mereka lakukan di sini adalah seperti menuntun anak ke suatu tempat kemudian melepaskan pegangan tangannya begitu saja. Cerita film ini sepertinya bisa saja jadi lebih menarik dengan memberinya bangunan narasi yang normal, yang tanpa flashback, yang runut dan benar-benar menceritakan si Amy itu sendiri. Namun itu tidak akan mengenai target sutradara yang menginginkan horor atau thriller yang lebih menekankan kepada perasaan atau mood. Jadi ini adalah resiko kreatif, yang harus kita apresiasi dan hormati.
 
 
 
Visually intriguing, atmosfernya mellow dan unsettling, dan semua kerasa mencekam dari dalam. Membuat kita ikutan resah dan memikirkan kematian. Ini bukan horor/thriller biasa yang mengandalkan ada sosok yang melambangkan ketakutan, yang ada demon yang harus dikalahkan. Dalam film ini hantunya adalah anxiety, yang berasal dari tokoh masing-masing yang gagal mengisi hidup mereka sehingga banyak penyesalan dan urusan yang mendadak harus diselesaikan. Sebuah entry yang menarik dan menambah rentang film mencekam. Gak semua orang akan nyaman nonton ini, ataupun senang dengannya. Jika besok aku mati, aku gak rela film ini jadi horor terakhir yang aku tonton, karena aku ingin melihat perjalanan yang lebih menakutkan dengan narasi yang lebih terstruktur dan memuaskan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SHE DIES TOMORROW.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Siapkah kalian jika besok waktu kalian sudah habis? Apakah menurut kalian mengetahui kapan pastinya kita mati akan membuat kita lebih baik? Atau lebih baik untuk tidak tahu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

AN AMERICAN PICKLE Review

“It isn’t really about becoming rich or famous; It is about things much simpler and more fundamental than that.”
 

 
 
‘American Dream’ bagi orang Amerika bukan sekadar angan-angan di siang bolong. Melainkan adalah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Mimpi tersebut telah terwariskan dari generasi ke generasi. Para orangtua membanting tulang membuka peluang bagi anak-anaknya, dan anak-anak yang sukses tidak akan melupakan darimana mereka berasal. Semua itu dijamin oleh tanah Amerika yang menjanjikan kesempatan tak-terbatas yang sama untuk semua orang, tidak peduli siapapun mereka. Kesempatan yang tidak terbatas pada mencari kekayaan saja, tapi juga kebutuhan sosial seperti demokrasi dan kebebasan bersuara.
Gagasan atau konsep American Dream itu lantas dibawa oleh sutradara Brandon Trost (yang mengadaptasi cerita pendek bertajuk Sell Out) ke ranah komedi sebagai satir dirinya terhadap bagaimana American Dream kini di tengah-tengah bangkitnya budaya baru di negara tanah airnya.
Premis umum dari film ini adalah soal tua melawan muda. Aliran kuno melawan mentalitas kekinian yang katanya serba open-minded. Bahan utama komedinya adalah seorang buyut yang pekerja keras, giat untuk mengubah nasib dari penggali parit, pindah ke Amerika mencari sesuap nasi dan secuil kesempatan baru (dan seteguk air karbonasi) supaya anak cucunya bisa punya tanah sendiri dan jadi orang terpandang. Pretty much semua ayah (atau malah orangtua) berkeinginan seperti Herschel Greenbaum tersebut. Namun tidak semua ayah bisa seberuntung Herschel. Eh, beruntung atau sialkah namanya jika kau tak sengaja tercebur di gentong produksi acar/asinan dan ikut terawetkan bareng mentimun-mentimun? Yang jelas, itulah yang persisnya terjadi pada Herschel. Dia terbangun seratus tahun kemudian, dan bertemu dengan cicit entah lapis keberapanya, Ben Greenbaum. Herschel lantas menemukan bahwa di dunia yang sudah maju, American Dream-nya ternyata belum benar-benar terwujud. Malahan bisa saja gatot karena Ben sepertinya sudah jauh melenceng dari tradisi keluarga, hingga ke titik Herschel harus bersaing bisnis dengan keluarga satu-satunya tersebut.

“I’m Pickle Rick!!”

 
Memainkan lebih dari satu tokoh dalam sebuah film bisa jatoh antara dua hal; sulit karena membutuhkan jangkauan rentang akting yang luas, atau jadi penampilan yang konyol karena tidak jarang dua tokoh atau peran tersebut diniatkan sebagai komedi. Target An American Pickle boleh jadi pada film lucu-lucuan, akan tetapi penampilan akting Seth Rogen yang didaulat memainkan Herschel si immigran Yahudi sekaligus Ben, keturunan milenialnya, cukup kuat sehingga mampu membuat kita menoleh dua kali dan tidak meng-overlook-nya completely. Memang sih, oleh Rogen, Herschel dan Ben pembedanya paling utama adalah di janggut dan aksen. Kita tidak akan melihat Herschel sebagai tokoh yang berbeda dari kebanyakan peran Rogen sebelum ini, I mean, Rogen enggak menyelam sempurna menjadi tokoh baru. Kita masih melihat Herschel sebagai Seth Rogen berjanggut. Dan Ben sebagai Seth Rogen versi nerd – yang lebih ‘jinak’ alias less-high dan less-vulgar. Tapi, justru memang itulah poin dari cerita ini.
Herschel dan Ben deep inside adalah pribadi yang sama. Buah tak jauh jatuh dari pohonnya, kata pepatah. Bukan saja mereka sama-sama tergila sama air seltzer. Mereka mirip dalam banyak hal. Mulai dari busuk hatinya, hingga ke hal-hal baik, terutama soal cinta ama keluarga. An American Pickle berpondasi pada interaksi dua karakter ini. Dan dengan konflik yang bersumber dari dua orang yang belum saling mengenal tersebut, film ini sebenarnya adalah tipe film yang ‘ceritanya bakal cepat beres jika tokoh-tokoh yang berkonflik bener-bener ngobrol sedari awal’. Untungnya, film ini tidak pernah terasa annoying, ataupun membuat kita pengen ceritanya udahan aja hanya karena kita tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena film menggali seteru kedua tokohnya lewat rangkaian kejadian atau ‘kontes’ yang menarik. Yang berdasarkan kepada perbedaan dua generasi memandang dunia. Bagaimana cara tradisional berusaha mencari sukses di lapangan modern, dan sebaliknya, film juga menunjukkan bagaimana pandangan kekinian bisa sangat menjatuhkan cara pandang yang konvensional.
Kita akan melihat Herschel menjual acar timun yang lantas jadi viral karena generasi sekarang demen sama yang vintage. Film mengomentari soal tren masa kini, di mana seseorang bisa dengan gampang melejit setelah mendapat pengakuan dari sosial yang menyebar lewat sosial media. Bagaimana seseorang dapat menjadi sensasi atas hal biasa. ‘Mudah’nya menjadi terkenal dan kaya diperlihatkan sekonyol itu. Lalu sebaliknya, juga diperlihatkan semuanya gampang sirna karena dunia sekarang menuntut political correctness, yang bisa dieksploitasi dan punya ekstrimitas yang sama konyolnya. Sebut pendapat yang di mata publik bertentangan, komen sesuatu yang menyinggung, niscaya kau viral juga tapi habislah sudah. Yang sebenarnya dilakukan oleh film ini adalah mengomentari perihal kedudukan American Dream di tengah Amerika modern yang mulai giat oleh aksi-aksi Cancel Culture. An American Pickle, lewat Herschel yang tradisional – yang kalo ngomong kadang masih kuat rasis dan homophobic dan merendahkan wanita –  membuka ruang kontemplasi kepada penonton bagaimana kita menginginkan kebebasan untuk memenuhi diri, tapi di saat yang bersamaan kita juga dengan gampang menutup dan ‘mematikan’ orang lain.

Semua itu sepertinya karena American Dream itu sudah seperti acar/asinan. Mengendap terlalu lama di larutan, sehingga berubah rasanya. Alias, istilah tersebut sudah salah kaprah. Sebenarnya bukan soal menjadi kaya atau terkenal, melainkan soal sesuatu yang lebih sederhana. Soal keluarga sejahtera. Soal bermasyarakat yang maju bersama.

 
 
Bagi Rogen, kedua perannya ini praktisnya adalah persoalan dirinya menggali personanya lewat dua kacamata yang berbeda. Rogen harus meletakkan mindsetnya dalam tubuh dan kelakukan dan aksi generasi kuno seperti Herschel, dan di lain kesempatan memindahkan mindset tersebut ke kelakukan milenial. Walau dalam film kita sering melihat Herschel face-to-face dengan Ben, dan kamera berpindah seolah Rogen harus berakting secepat memindahkan sakelar on/off – dalam hal ini Herschel/Ben, kita tahu besar kemungkinan proses syutingnya tidak demikian, namun itu tidak mengecilkan tantangan peran yang dilakukan oleh Seth Rogen. He still needs to reach deep onto his characters, dan berhasil menempuh rentang tersebut dengan baik. Dari penampilannya sebagai Herschel dan Ben itulah candaan dihadiahkan kepada kita. Lewat dialog, maupun lewat tindakan ‘fish-out-of-water’ Herschel dan reaksi Ben terhadapnya. Film ini cukup bijak untuk tidak membuat komedi lebay dari beda zaman yang dirasakan oleh Herschel. Melainkan berfokus pada usaha Herschel mengejar ketertinggalan dan beradaptasi dengan zamannya.

Ol’ boomer versus millennial

 
 
Tapi terkadang kita perlu untuk diingatkan kembali pada premis komedi ini. Ekstrim itu kadang menghilang dari narasi, membuat pada beberapa bagian film terasa seperti takut untuk menjadi dirinya yang paling maksimal. Dengan hanya sedikit memperlihatkan keterkejutan Herschel pada teknologi-teknologi baru yang ia lihat dan harus gunakan, misalnya, membuat kita lupa dia berasal dari satu abad yang lalu. Interaksinya dengan Ben jadi tidak banyak bedanya dengan interaksi ayah dan anak yang biasa. Padahal mereka lebih dari itu.
Pada bagian resolusi cerita seperti mengarah kepada kepercayaan, alias agama, karena Dream dan film ini juga adalah tentang menjaga tradisi dan tidak melupakan akar keluarga. Namun film sepertinya ragu untuk menyentuh itu. Memperlihatkan tapi kemudian mengembalikan cerita ke ranah penyelesaian sesimpel ‘keluarga adalah sama’. Di pertengahan juga misalnya, ketika kita berpikir cerita akan bisa meledak dengan penggalian yang cukup kontroversial – politisi yang ngomong kasar – tapi ujungnya malah langsung diberangus. Sudut pandang Ben juga tidak pernah benar-benar diperkuat dari dua sisi, kita kebanyakan hanya memandang dia sebagai ‘antagonis’, lalu kemudian jadi baik, yang seharusnya film ini berada dalam kapasitas membuat Ben juga sama-sama mengundang simpati. Akan ada aksi Ben yang hanya terlihat culas, dan ini bertentangan dengan gagasan film. Kita harusnya diperlihatkan alasan Ben sedari awal, untuk memunculkan dramatic tensi setiap kali mereka bersaing. Karena kita paham cerita ini bukan tentang siapa yang menang di antara mereka, jadi usaha film memfokuskan kita ke sana seharusnya bisa diperkecil dan fokus memperbesar perbedaan-perbedaan yang seolah semakin menjauhkan mereka. Barulah nanti pembelajaran tokohnya bahwa mereka sama itu terasa maksimal emosional.
 
 
 
 
Bayangkan ketemu keturunanmu dan melihat dunia sudah berkembang, tapi kau merasa keluargamu berjalan di tempat. Terbaik film ini datang dari benturan dua karakter beda generasi, yang mencoba untuk memasukkan pemahamannya, dan dua karakter itu dimainkan oleh satu orang. Drama dan komedi dari elemen tersebut mampu membuat film ini jadi menyenangkan untuk disimak. Kemudian film ini memindahkan fokus pada kejadian demi kejadian, tapi tidak pernah dibuat maksimal. Film ini ingin memperlihatkan tantangan mewujudkan American Dream di dunia dengan cancel culture, sayangnya film tidak berani untuk tampil total dalam membahas ini. Sehingga satirnya kurang terasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AN AMERICAN PICKLE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang ‘Cancel Culture’? Apakah itu melanggar kebebasan orang dan merusak demokrasi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

#ALIVE Review

“I’m definitely the lazy one in the family”
 
 

 
 
Kita semua menduga video game membantu kita mempersiapkan diri menghadapi zombie apocalypse. Karena video game secara efektif mengajarkan kita cara survive, berpikir cepat dan tangkas dalam melawan musuh. Well, Oh Joon-woo kini tahu bahwa dugaan tersebut tidak terbukti benar. Seumur-umur yang diketahui Joon-woo adalah bermain video game. Kamarnya disulap jadi studio game online tempat dia ngestream petualangannya menembaki musuh-musuh virtual. Tapi ketika hari itu memaksanya untuk menggunakan skill-skill survive yang ia kira sudah ia kuasai, Joon-woo hanya bisa terdiam. Di luar apartemennya, di dunia nyata, virus zombie melanda kota. Mengubah penduduk menjadi mayat hidup kanibal yang ganas. Joon-woo menyaksikan semua, helpless. Mendadak dia sangat rindu dengan orangtua dan saudara-saudaranya, yang tentu saja sudah pergi ke aktivitas masing-masing pada saat dia masih melanjutkan ngorok. Dan ketika persediaan makanan menipis, air mati, hingga satu-dua kali ada zombie namu ke rumahnya, Joon-woo semakin hopeless.
Harus berdiam, mengisolasi diri, di rumah. Enggak boleh keluar rumah, harus jaga jarak – enggak boleh ketemu sama orang karena virus zombienya menular dengan cepat melalui kontak – meaning: you will get eaten alive and turn into ones. Menonton film ini, well, mungkin kita memang harus menyamakan Covid-19 dengan zombie apocalypse. Karena lihat betapa efektifnya peraturan-peraturan yang ia dengar dari televisi tersebut membuat Joon-woo patuh dan takut kemana-mana. Orang-orang jadi beneran bisa memahami sakitnya keadaan dan rela menempuh hidup yang sulit supaya penyebaran virus tidak menjadi bertambah parah. Konflik menarik yang diperlihatkan oleh film #Alive ini justru datang bukan dari zombie-zombie ganas itu. Melainkan ketika tokoh-tokoh manusianya merenung sendiri di dalam isolasi mereka. Ketika para tokoh mulai menyesali hal-hal yang tidak lagi dapat mereka lakukan setelah outbreak. Sutradara Il Cho seperti ingin memberitahu kepada kita, yang menonton film ini sambil ‘terkurung’ di rumah masing-masing, bahwa kita tidak sendirian. Lewat kisah Joon-woo, ia mengajak kita untuk terus berjuang dan tidak berhenti berharap.

Mungkin kita rindu kepada keluarga di luar sana. Atau bahkan mungkin kita sudah benar-benar dipisahkan dari mereka. Namun yang paling penting adalah kita jangan kehilangan kemanusiaan; karena itulah pembeda antara virus zombie dengan virus yang kita hadapi. Zombie lebih mengerikan karena mengubah manusia menjadi monster yang taunya cuma makan, tak peduli lagi pada orang lain atau apapun. Kita harus memastikan kepada diri sendiri, bahwa Covid-19 tidak mengubah kita menjadi ‘monster’ seperti demikian.

 
Buatku, 35-30 menit pertama film ini bukan hanya menarik, tapi juga benar-benar mengena. Kita bisa merasakan kecamuk personal Joon-woo yang kini harus tinggal sendirian. Mengurusi keperluannya sendiri – sesuatu yang tak pernah ia lakukan karena selama ini ia bersandar cuek kepada keluarganya. Joon-woo dulunya adalah ‘zombie di rumahnya sendiri’. Ketika yang lainnya bekerja, dia taunya cuma tidur, makan, main game. Meskipun tokohnya memang jadi sedikit annoying, tapi tak bisa dipungkiri Joon-woo ada sedikit-banyak kemiripan dengan kita waktu masih muda. Yang membuat dia relatable untuk banyak penonton. Bagaimana kita tidak benar-benar appreciate family dan segala kenyamanan di rumah, dan baru kangen ketika sudah jauh dari mereka. Momen-momen ketika Joon-woo merindukan semua itu, easily adalah momen paling emosional yang dipunya oleh film ini. Khususnya, aku suka dengan adegan saat dia minum ampe mabuk – karena gak ada air, dia terpaksa minum alkohol koleksi bokapnya – dan berhalusinasi yang menggedor pintu adalah keluarganya yang pulang dengan selamat, dan ibu yang memeluknya. Momen itu cukup kuat, dan seharusnya bisa lebih kuat lagi jika film ini benar-benar mengset up hubungan Joon-woo dengan orangtuanya di awal film. Jika kita diperlihatkan bagaimana interaksi rumah tangga mereka. Namun #Alive memilih untuk memulai dari Joon-woo sudah sendirian, sehingga efek kesendirian Joon-woo tidak maksimal terasa.

“Good Bye Papa please pray for me, I was the zombie of the family”

 
 
Padahal film ini lumayan bijak dalam memainkan tempo. Bagian-bagian yang lebih lambat – saat kita closely melihat keadaan mental Joon-woo yang semakin nelangsa – selalu diselingi dengan aksi-aksi pengejaran zombie yang hadir dari kejadian-kejadian yang disaksikan Joon-woo dari balkon rumah susunnya. Zombie di film ini mampu berlari, jadi setiap kejar-kejar tersebut dijamin seru dan menghibur. Tone cerita juga gak pernah terlampau sedih atau depresi. Tingkah dan kesembronoan Joon-woo terkadang mampu memancing kikikan geli penonton. Dari perspektif penulisan, memang cerita seperti #Alive ini agak-agak tricky. Sebab kita harus menaikkan tantangan bagi tokoh – yang bagi Joon-woo itu berarti men-stripnya dari fasilitas dan kemudahan, tapi pada saat bersamaan kita harus menemukan cara untuk terus memberinya sesuatu untuk dilakukan, untuk diperjuangkan. After a while, ‘bermain’ dengan drone akan menjadi membosankan, sehingga film ini butuh untuk memasukkan faktor yang baru dalam cerita.
Maka dihadirkanlah tokoh tetangga di apartemen seberang. Cewek yang sama-sama terjebak di rumah. Yang udah menolong Joon-woo dengan menghentikannya melakukan sesuatu yang bodoh. Kehadiran tokoh Kim Yu-bin membuat kejadian menjadi lebih berkembang; membuat film punya sesuatu yang baru untuk dimainkan. Mulai dari cara Joon-woo dan Yu-bin berkomunikasi, hingga ke cara mereka saling mengirimkan makanan – yang kemudian jadi sarana untuk memunculkan zombie sebagai threat dengan approach yang berbeda dari sebelumnya. Hanya saja, bagian masuknya Yon-bin dalam cerita ini seperti throw-away saja, tidak benar-benar berhubungan langsung dengan Joon-woo dan keluarga. Melainkan ya cuma seperti film ingin ngasih ‘stage’ baru untuk Joon-woo, supaya penonton enggak bosan dengan masalah/konflik personalnya. Dan yang membuatnya terasa semakin gak penting adalah penokohan Yu-bin yang seadanya. Dia cuma cewek yang lebih mandiri dan tangguh daripada Joon-woo, yang sama-sama terjebak, dan somewhat jadi love interest. She’s kinda a manic pixie trope, karena dia tidak diberikan backstory apa-apa. And she was kinda dumb, meskipun film ingin ‘menjual’ tokoh ini sebagai karakter yang keren.
Setelah menyelamatkan Joon-woo dan ngatain dia bego (bantering yang digolongkan ‘cute’ dalam standar romansa remaja Asia), kita akan melongok ke dalam rumah Yu-bin untuk melihat cara dia survive, yang supposedly beda 180 derajat dengan Joon-woo. Cewek ini lebih siaga, dengan persediaan makanan ataupun barang yang lebih lengkap. Jadi malam hari, cewek ini haus dan dia mau minum tapi airnya tinggal sedikit, dia keingetan tanamannya di pot. Dan dia malah menyiram tanaman itu saja, enggak jadi minum. Yang membuat cara survive dia ini ‘pintar’ adalah karena tanaman yang ia siram itu bukan tanaman hias kayak mawar atau apalah yang butuh air. Melainkan tanaman Lidah Mertua! Kalian tahu, tanaman hijau yang panjang dan keras itu, kayak pedang-pedangan. Tanaman yang bisa menyimpan air sama seperti kaktus, yang enggak masalah hidup di lingkungan lembap atau malah di lingkungan yang kering. In short; tanaman yang gak urgen untuk disiram! Apa dia bermaksud menabung air di tumbuhan tersebut, supaya nanti kalo air habis, dia tinggal minum dari daun tanaman itu? Cara yang praktis dan aneh kalo begitu. Sehingga aku penasaran, jangan-jangan tanaman ini bakal punya peran dalam plot nanti. Beberapa menit google search kemudian, aku jadi tahu tanaman yang bernama latin Sansevieria trifasciata ini berkhasiat menangkal polutan, paling cocok ditempatkan di ruangan yang ‘tidak sehat’, makanya sering dipasang orang di kamar mandi, atau di ruang tunggu publik biar udaran tetap segar. So yea, mungkin di film ini tanaman tersebut bakal jadi kunci. Nyatanya? Nihil. Tanaman tersebut tidak pernah punya peran apa-apa. Yang membuat tindakan nahan haus Yu-bin bukan cuma tindakan bego untuk survive, sekaligus juga membuat gak believable lagi tokoh itu adalah tokoh keren yang mampu bertahan hidup sejauh ini.
Kenapa pula aku ngomongin tanaman di film zombie, emangnya ini Plant vs. Zombie?!

 
 
Alih-alih munculin tokoh baru di tengah, harusnya film ini banyakin saja adegan Joon-woo berusaha survive sendiri. Banyakin dia masuk ke rumah orang-orang demi mencari makanan, dan bikin dia menemukan berbagai hal (alias pelajaran) di setiap ruangan yang ia masuki. He could learn so much about other families, yang menjadi masukan untuk inner journey-nya terhadap hubungan dengan keluarga. Narasi film akan lebih berbobot dan intact dengan begitu. Aku lebih memilih cerita yang repetitif ketimbang cerita yang detour dari topiknya hanya supaya tetap menarik atensi penonton. Keberadaan elemen Yu-bin membuat penonton teralihkan dari ‘keluarga’. Membuat seolah konfrontasi Joon-woo dengan seorang manusia penghuni apartemen lain di babak tiga itu yang kayak tempelan. Padahal konfrontasi final itu circled back dengan kejadian yang dilihat Joon-woo di awal-awal zombie outbreak; yaitu saat dia melihat anak sekolah memeluk ibunya di tengah kekacauan, sebelum akhirnya berubah menjadi zombie. Anak – orangtua – zombie; inilah tiga kata kunci, film harusnya bermain memutari ini saja, enggak perlu ada elemen lain yang ditonjolkan dan merebut perhatian dari sana.
 
 
 
Enggak ada yang spesial, tapi paling tidak film ini baik-baik saja di empat-puluh menitan yang pertama. Menggambarkan perasaan kecilnya terisolasi, terpisah dari keluarga sementara kita berada dalam keadaan yang membutuhkan kita untuk punya support. Namun kemudian film seperti kehabisan bahan, maka ia menambahkan elemen untuk membuat film nge-spark lagi, dan ultimately menjadi ‘meledak’. Sure, aksinya seru, kita masih bisa menikmati meski gak nampak benar-benar plausible. Tapi semua di paruh akhir itu jadi terasa seperti momen throw-away saja; momen tambahan yang enggak mengena. Yang paling lucu adalah; film ini membuat survive berhadapan langsung dengan zombie tampak lebih mudah dan asik daripada berusaha survive dengan berdiam diri di rumah. Uh-oh, semoga bukan sikap ini yang lantas jadi panutan penonton di era pandemi.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for #ALIVE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa kiatmu survive hari demi hari kala pandemi? Menurut kalian apa yang paling berat dari keadaan pandemi virus seperti sekarang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

YES, GOD, YES Review

“You must never feel badly about making mistake, as long as you take the trouble to learn from them”
 
 

 
 
Coba ingat apa hal yang paling kita takutkan pada saat masih sebagai makhluk yang polos. Takut bikin marah orangtua. Takut kena marah guru. Takut bikin salah. Takut dosa. Apalagi kalo kita besar di lingkungan yang aturan agamanya kuat, kayak Alice di film Yes, God, Yes. Cewek ini adalah tipikal remaja rohis banget. Tumbuh dengan pengawasan pendidikan dan moral Katolik yang ketat. Yang kaku dan konvensional. Lingkungan Alice menjadi semakin ‘jaman jahiliyah’ lagi sebab film ini bertempat di awal 2000an, jadi sebagai pelengkap penduduk cerita yang masih belum terbuka, kita lihat Alice juga hidup di era informasi yang terbatas. Internet belum seperti sekarang. Komputernya masih membuka gambar dengan bertahap. Dan ruang chatnya? Well, di ruang chat itulah Alice menemukan sumber masalahnya. Dia belajar hal yang sebenarnya tak boleh ia lakukan karena dilarang agama. Tapi Alice penasaran. Dan semakin ia penasaran, ia semakin lakukan, dan ia semakin merasa berdosa. Alice lantas ikut club agama untuk menemukan ketenangan. Hanya saja yang ia tahan justru tambah menjadi-jadi. Membuat dia dikucilkan teman bahkan guru, dan membuat dirinya bertanya-tanya sendiri apakah dia bakal jadi penghuni neraka.
Enak gak sih baca paragraf di atas? Kebayang gak si Alice sebenarnya ngapain dari sana? Aku sengaja untuk tidak terang-terangan untuk membuktikan satu poin. Bahwa menutup-nutupi itu memang sejatinya tidak memuaskan. Tidak membantu untuk orang melihat apalagi memahami persoalan yang sebenarnya. Sekolah Katolik tempat Alice menimba ilmu penuh oleh orang-orang yang menutup-nutupi perbuatan mereka, dengan segala petuah dan tindak-tindak suci. Membuat Alice jadi tidak bisa sepenuhnya mengerti ‘baik-dan-salah’, dia malah nyangkanya semua orang dewasa yang taat beragama adalah orang-orang yang tak pernah berbuat dosa. Untung bagi kita, film Yes, God, Yes ini sendiri sangat blak-blakan dalam bercerita. Sutradara Karen Maine jujur ketika menyebut seksualitas. Tidak seperti yang kulakukan di paragraf atas. Maine benar-benar gamblang memperlihatkan gerak-gerik penasaran remaja wanita polos dalam diri Alice yang baru saja terbangun gairah kedewasaan. Maine menyorot kepolosan Alice dalam cahaya komedi, bukan untuk kita menertawakannya. Melainkan supaya kita lebih relate, karena ada masa kita seperti Alice. Dan sekarang kita mengerti bahwa yang dibutuhkan oleh Alice dan remaja-remaja itu bukanlah ceramah bahwa masturbasi atau pacaran itu masuk neraka, melainkan bagaimana melakukannya dengan ‘bertanggung jawab’

Si Alice mungkin mikirnya nyari tahu lewat google dosanya lebih besar

 
The best thing yang dilakukan oleh film ini adalah penggambarannya yang sangat akurat terhadap innocent dan rasa takut seorang remaja yang masih polos, terhadap not exactly pada aturan agama yang ia yakini melainkan lebih kepada aturan dan judgement orang-orang penganut agama tersebut. Yes, God, Yes ini menjawab pertanyaan dan keraguan banyak remaja-remaja seperti Alice seputar urge yang pastilah mereka rasakan. Untuk kemudian film ini akan memberikan jaminan kepada remaja-remaja tersebut, bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa yang mereka rasakan adalah normal. Dan ultimately bahwa semua orang punya rahasia, semua orang punya dosa, bahkan orang dewasa – guru ataupun orangtua – sekalipun.

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Semua orang melakukan kesalahan, bukan saja itu hal yang normal, malah iklan ada yang nyebut ‘berani kotor itu baik’. Saat salah kita jangan jadi hipokrit, dan jadi sok suci demi menutupi kesalahan itu. Own up to it. Karena pada saat salah itulah kita belajar. Kita mengubah diri menjadi lebih baik, kita jadi tahu mana yang benar. Hidup bukan untuk tidak berbuat dosa, melainkan memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Kita menebus dosa di dunia salah satunya adalah dengan belajar dari kesalahan. 

 
Arahan Maine juga sukses membuat Natalia Dyer luar biasa tampil meyakinkan. Natalya bukan favoritku di serial Stranger Things karena tokoh dan permainannya di situ sangat generik. Sedangkan di Yes, God, Yes ini, Natalya tampil dengan jauh lebih mantap. Dia terasa otentik memainkan tokoh yang so lost dalam rasa penasarannya. Yes, God, Yes sudah seperti versi yang lebih ringan dan polos dari film Lady Bird (2017) dan Alice sendiri tampak seperti figur Christine yang jauh lebih polos – Natalya berpotongan mirip Saoirse Ronan, hanya lebih ‘rapuh’. Kedua tokoh dalam film masing-masing mengalami masalah yang serupa, they are both in their sexual awakening, mereka sama-sama bertempat di lingkungan Katolik, sehingga gampang bagi kita untuk menarik garis perbandingan. Pertanyaan terbesar yang datang dari itu adalah, setelah Lady Bird yang begitu otentik dan natural di segala bidang, masih perlukah kita menonton Yes, God, Yes?
Tentu, Yes, God, Yes ini banyak dikasih nilai bagus oleh para kritikus. It’s only natural berkat ceritanya yang masuk dan benar-benar fit in ke dalam narasi kontemporer (baca: agenda jaman now) Terlebih para SJW dalam kalangan kritikus selalu suka dengan cerita-cerita yang menyudutkan aturan tradisional; tersebutlah agama di dalamnya. Pemahaman narasi film ini adalah pada penekanan bahwa semua manusia itu berdosa. And sure it’s true. Kita gak boleh merasa superior daripada orang lain hanya karena kita lebih taat dan rajin beribadah daripada mereka. Hanya saja, cara film ini menyampaikan pesannya itu justru seolah Alice menjadi berani dan merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri begitu ia tahu orang lain juga melakukan kesalahan; begitu ia melihat orang-orang yang seharusnya lebih ‘alim’ daripadanya ternyata melakukan perbuatan dosa yang lebih parah daripada dirinya. Membuat cerita film seperti begini, untuk menampung gagasan yang true tadi, menjadikan film tidak ‘menantang’ baik bagi Alice maupun bagi kita. Melainkan hanya jatuh ke contoh-contoh banal, like, ‘pfft tentu saja si pastor itu otaknya ngeres, atau tentu saja kakak pembina murah senyum itu aslinya maniak seks.’ Tentu, kasus-kasus seperti demikian memang ada dan terjadi di dunia nyata – misalnya baru-baru ini terkuak soal kekerasan seksual di balik tembok Gereja seperti yang dilansir Tirto – tapi pada film ini, elemen itu dimasukkan tanpa disertai narasi atau bahasan yang memadai. Mereka hanya dimunculkan begitu saja, tak ubahnya sebagai ‘jawaban mudah’ terhadap kebimbangan tokohnya; sesuatu yang gampang untuk membuat tokoh utama merasa lebih baik.
Pesan yang lebih kuat adalah membahas bagaimana mengakui salah dengan benar-benar menyadari kesalahan itu sendiri. Bagaimana supaya Alice tidak merasa rendah karena perbuatan wajar yang ia lakukan. Dalam film ini Alice merasa lega setelah diberi penguatan oleh seseorang ‘masak cuma nonton Titanic masuk neraka’, dan dengan dia memergoki orang-orang suci di sekitarnya melakukan dosa yang lebih besar daripada ngerewind adegan mobil Titanic atau chat nanyain arti dari slang ‘toss salad’. Film yang lebih baik tidak akan membuatnya memergoki, melainkan membangun relasi yang padat dan emosional antara Alice dengan orang-orang Gereja yang membuatnya merasa terttekan itu. Drama mereka akan digali, mungkin dengan pastor yang menceritakan pengalamannya dulu suka nonton bokep, atau apapun yang membuat cerita berkembang dari Alice yang awalnya mengantagoniskan mereka. Namun Yes, God, Yes malah memilih untuk meng-conjure adegan alice ketemu ‘manusia bercela’ dan memperlihatkan dia lebih gampang membuka diri di depan orang-orang yang gak judgmental. Di sinilah letak masalah penyampaian agenda film ini. Yes, God, Yes begitu set out untuk mengkotakkan mana golongan yang judgmental dan fake, dan mana yang tidak, sementara kita tidak benar-benar melihat bangunan kokoh atas aspek itu, melainkan juga cuma berdasarkan judgment kita sendiri.

Lebih gampang mengakui kita salah jika orang lain juga bersalah, ketimbang jika orang lain benar

 
 
Untuk tidak ikutan bias seperti mereka-mereka yang ngasih nilai tinggi buat film ini hanya karena seusai dengan narasi dan agenda mereka, aku juga gak mau ngasih film ini nilai rendah hanya karena gak sesuai dengan pesan yang menurutku lebih kuat. Maka mari melihat film ini secara objektif penceritaan saja. Dan kupikir, setelah kita menonton Lady Bird yang memperlihatkan Katolik itu tidak mesti sebagai sangkar antagonis yang memenjarakan karakternya, kita gak perlu lagi menonton film komedi banal seperti Yes, God, Yes ini. Alice adalah karakter yang ditulis dengan lemah. Film tidak memberikannya waktu untuk karakternya terset-up dengan baik. Alih-alih memperlihatkan, film memilih untuk menjadikan backstory Alice sebagai misteri yang jadi hook cerita – tentang apakah Alice benar-benar melakukan hal yang digosipin seluruh sekolah pada saat pesta. Ini membuat jarak antara kita dengan Alice. Hobi Alice juga gak berpengaruh langsung terhadap cerita. Dia dibuat hobi main game ular di Nokia, and that’s it. Seperti dimasukin buat denyutan nostalgia saja.
Pun, hubungannya dengan keluarga, hubungannya dengan sahabat, hubungannya dengan guru dan pastor, tidak ada yang sempat diceritakan dengan matang. Semuanya datang-pergi dengan cepat. Film ini mencukupkan dirinya di 78 menit, bukan karena penulis gak mampu untuk bikin lebih panjang. Tapi karena jika dipanjangin lagi, jika drama dan relasi-relasi tersebut digali lebih dalam, ceritanya jadi gak cocok lagi dengan agenda judgmental yang diusung oleh film. Jadi film ini memilih untuk tetap pendek. Dan memang jadi kayak film pendek yang dipanjang-panjangin, ditarik begitu aja sehingga jadi tipis.
 
 
 
Bayangkan karet balon yang ditarik sehingga jadi nyaris transparan. Sepeti itulah film ini. Mereka harusnya nambah lapisan drama, untuk membuat film jadi lebih berbobot, penting, tanpa mengurangi keinosenan yang jadi ujung tombak. Lagipula, menambah durasi tentu saja bukan perbuatan dosa. Meski memang banyak momen relateable yang membawa kita ke jaman waktu masih polos, tapi momen cringe juga tak kalah banyaknya sampai kita pengen bilang ‘oh, God, no’
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for YES, GOD, YES.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Kapan pertama kali kalian nonton bokep? Apakah kalian masih ingat reaksi pertama kalian saat menontonnya? Apakah kalian masih merasa bersalah atau canggung jika saat ini nonton dan ketahuan oleh orangtua?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA