ALADDIN Review

“Freeing yourself by freeing others.”

 

 

 

Meminta sejuta permintaan lagi ketika diberikan jatah tiga permintaan, sekilas memang terdengar seperti ide yang cemerlang. Karena dengan begitu kita bisa punya permintaan tak-terbatas, kita bisa meminta apa saja yang kita kehendaki. Duit, ketenaran, kekuasaan, pendamping yang cakep; Dengan segala permintaan tersebut, kita dapat hidup sebebas-bebasnya! Tapi jika dipikirkan dengan akal yang sehat, toh tidak bakal ada yang namanya kekuatan atau kebebasan tak-terbatas. Walaupun kita punya permintaan sebanyak bintang di langit. Hal itu karena kebebasan kita eventually akan bertubrukan dengan orang lain. Hak asasi yang kita junjung pada akhirnya akan dibatasi oleh hak asasi orang lain. Dan semestinya tidak ada kekuatan yang lebih besar yang bisa kita minta untuk menghapus hak asasi dan kebebasan orang tersebut.

Aladdin, sama seperti versi animasi originalnya tahun 1992, berkata bahwa setiap orang punya hak untuk mendapat kebebasan. Setiap masalah yang timbul dalam film ini, selalu berasal dari satu kebebasan tokoh yang dilanggar. Film ini menunjukkan masyarakat yang ideal harusnya adalah masyarakat yang mencapai suatu keadaan di mana kehendak dan kebebasan penduduknya berada dalam posisi yang seimbang dengan kesempatan, juga kekuatan dari penguasa.

 

Secara cerita, Aladdin garapan Guy Ritchie memang sama persis dengan film originalnya. Konfliknya juga kurang lebih sama. Aladdin si pengutil jalanan jatuh cinta kepada Jasmine yang seorang putri sultan. Namun harapan belum sirna bagi Al, lantaran dia menemukan lampu ajaib berisi jin superlebay kocak yang bisa mengabulkan tiga permintaan. Aladdin meminta untuk menjadi pangeran supaya bisa berkelit dari hukum dan pandangan sosial berupa Putri mesti menikahi keluarga kerajaan.Namun di luar niat awalnya, permintaan Aladdin kemudian menjadi semakin egois, dan keadaan menjadi tidak bisa lebih berbahaya lagi saat lampu jin ajaib tersebut jatuh ke tangan penasehat kerajaan yang jahatnya luar biasa.

kata Aladdin jangan mau diperalattin

 

Tak pelak, sebagian besar dari kita mungkin sudah sangat akrab dengan jalan cerita Aladdin. Bahkan film live-actionnya ini sendiri tahu persis akan hal tersebut. Makanya kita melihat mereka memulai cerita dengan cepat; Literally lewat montase yang diiringi oleh lagu “Malam di Araaaaaab, seperti siangnyaaa”. Film mengasumsi semua penonton mereka hapal tokoh-tokoh cerita di luar kepala. Kita tidak diberitahu lagi kenapa Jasmine menyamar masuk ke pasar. It could be a right thing, karena Aladdin sendiri juga saat itu belum tahu siapa Jasmine, dan cerita bertahan di sudut pandang Aladdin. Tapi ini sedari 1992 adalah cerita yang kompleks soal kebebasan individu yang bisa saling berkontradiksi. Cerita Aladdin butuh untuk memperlihatkan banyak sudut pandang, karena setiap tokoh di dalamnya – yang berasal dari kelas sosial yang berbeda – berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.

Aladdin si tikus jalanan yang untuk makan saja harus mencuri punya kebebasan semu dalam hidupnya; hanya karena tidak ada yang peduli kepadanya. Masyarakat memandang rendah dirinya. Aladdin boleh saja punya waktu yang luang, bisa semau-gue seenaknya, tapi dia tidak punya privilege. Tidak ada kesempatan untuknya menjadi lebih dari yang ia punya sekarang. Jika dia punya mimpi, dia tidak ada daya dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Keadaan Aladdin ini bertimbal balik sama keadaan Jasmine. Putri yang punya semua materi tetapi amat sangat terbatas dalam gerakan. Pasangan hidupnya saja ditentukan oleh hukum istana. Jadi, kaya raya juga tidak menjamin kebebasan. Sebab tanpa kebebasan untuk bergerak, segala privilege itu pada akhirnya menjadi sia-sia. Bukan hanya tokoh manusia, Genie si Jin justru yang paling terkekang daripada semua. Genie bisa apa pun, mulai dari mengubah monyet menjadi gajah hingga membuat Aladdin bisa menari. Genie adalah tokoh terkuat, sihirnya tiada banding, tapi dia adalah pelayan. Tidak bisa bergerak sebelum diperintah. Dia bahkan tidak bisa membebaskan dirinya sendiri dari dalam lampu. Gelang yang ia kenakan bagi kita adalah perhiasan, namun baginya adalah belenggu. Dari Jasmine dan Genie kita tahu, kekayaan dan kekuatan bukan lantas ekual kebebasan

Selama dua jam lebih delapan menit durasi film ini, para karakter belajar mengenai apa sebenarnya makna kebebasan. Bagaimana cara mereka bisa bebas. Film animasi yang original hanya berdurasi sekitar sembilan-puluh menit. Plot-per-plot film tersebut berjalan dengan sangat ketat. Kita dapat mengerti keparalelan perjalanan para tokoh tersebut. Kita mengerti dosa terbesar Aladdin ialah percaya bahwa dengan menjadi kaya – berpura-pura menjadi Pangeran merupakan jawaban masalahnya. Aladdin tidak mengerti Jasmine jatuh cinta bukan karena statusnya, Aladdin gagal melihat Jasmine tidak mau dibeli dengan patung unta emas dan selai, melainkan Jasmine tertarik oleh kebebasan mengendarai permadani terbang. Maka Aladdin yang tak pernah punya apa-apa, menjadi sayang untuk meninggalkan apa yang sudah ia dapatkan dari lampu. Aladdin menganggap teman-temannya, Genie sebagai barang kepunyaan. Tahu gak apa yang terjadi pada barang-barang kepunyaan kita? Barang bisa hilang, bisa dicuri. Aladdin nyatanya hanya selangkah lagi menjadi seperti Jafar yang tidak menghormati kebebasan orang – dia pakai ilmu hipnotis untuk memuluskan rencananya! Bagi Jafar; kekuasaan adalah yang terpenting, dia tidak mengerti bahwa tanpa kebebasan maka kekuasaan tiada artinya.

Ketika kita menggunakan kebebasan orang untuk kepentingan diri sendiri, menganggap kita memiliki mereka, maka semua hal tersebut akan menjadi bumerang bagi diri kita. Jafar, contohnya. Aladdin juga hampir, jika ia tidak segera belajar untuk peduli sama Genie. Makanya, ‘membebaskan’ orang sejatinya adalah tiket menuju kebebasan diri kita sendiri. Tidak akan ada yang bisa benar-benar hidup bebas tanpa terganggu sampai semua hak dan kepentingan setiap orang diperhatikan.

 

Semua poin tersebut ada pada Aladdin versi live-action ini. Hanya saja dengan begitu lowongnya durasi, film memasukkan elemen-elemen baru. Salah satu yang paling menonjol adalah karakter si Jasmine. Wanita mandiri ini diberikan motivasi yang lebih kuat, yang lebih relevan. Dalam film ini, Jasmine juga punya keparalelan dengan tokoh Jafar. Jasmine dan Jafar essentially menginginkan hal yang sama. Dan memang sih, membuat film ini punya sesuatu yang fresh. You know, karena jaman sekarang film harus nunjukin karakter wanita yang kuat. Tapi, elemen ini gak begitu klop banget sama tema ‘membebaskan orang’ yang jadi nyawa utama film. Karena Jasmine ingin membuat things better untuk dirinya dengan usahanya sendiri. Di duapertiga film ada adegan Jasmine dengan Jafar yang membuatku speechless (yes, pun is very-well intended!) Terasa seperti dijejelin banget supaya ceritanya bisa diperpanjang. Naomi Scott bukannya jelek meranin Jasmine. In fact, aku bakal dirajam kalo bilang Scott jelek, di mana pun. Scott terlihat berusaha maksimal menghidupkan Jasmine versi baru ini. Hanya saja, penambahannya kayak setengah niat. Mestinya jika memang punya gagasan baru yang hendak diceritakan, ya bangun saja cerita baru berdasarkan gagasan tersebut. Jadikan Jasmine dan motivasinya sebagai sudut pandang utama. Jangan kayak ditambahin sekenanya seperti kayak ngisi lubang kosong.

Nostalgia bukan berarti kita punya free-pass buat tereak ikutan nyanyi di bioskop “Sambiiiiitt, Pangeran Ali!”

 

Sekiranya hal tersebut bersumber pada masalah pelik ketika kita menggarap remake dari sesuatu yang sangat sukses; Kita ingin membuatnya menjadi sesuatu yang baru sekaligus masih tetap stay true sama original. Paradoks. Dan sebagus-bagusnya kita mengrecreate, tetap saja yang bagus tadi itu sebenarnya hanya ‘nyontek yang dibolehin’. Serupa pula terasa pada adegan-adegan nyanyi pada film ini. Lagu A Whole New World, lagu Prince Ali; karena berusaha untuk enggak tampak dan terdengar sama-sama bgt ama versi aslinya, film mengubah susunan adegannya, sehingga pace lagunya jadi terdengar aneh. Lagu-lagu itu terasa singkat, sudah beres sebelum sempat membekas. Dan arahan adegan musikalnya sendiri pun lumayan aneh. Alih-alih banyak bermain dengan kamera, film malah bermain dengan kecepatan frame. Ada beberapa lagu dengan tari-tarian yang gerakannya seperti dipercepat. Sungguh aneh mengapa sutradara melakukan hal tersebut, masa iya sih karena waktu?

Tadi aku sempat bilang dosa terbesar Aladdin adalah percaya ia harus terus berbohong sebagai pangeran yang kaya. Aku mau ralat. Dosa terbesar Aladdin adalah membiarkan Mena Massoud dicast menjadi dirinya. Mentang-mentang Aladdin dalam film ini sama persis dengan versi animasi, Massoud jadi berdedikasi sekali menirukan gestur-gestur Aladdin animasi untuk menghidupkan Aladdin ‘beneran’. Yang mana menjadikan Aladdin terlihat bego, canggung, dan kaku. Yang jadi Jafar juga sama parahnya, malah lebih. Marwan Kenzari dengan tongkat hipnotisnya sama sekali tidak tampak meyakinkan sebagai manusia yang licik dan berbahaya. Jafar juga bego sekali dalam mengaplikasikan ilmu mindahin orang yang ia punya. Ironisnya, orang yang bertubi-tubi dicemo’oh saat trailer film ini rilis, justru menjadi penyelamat film ini. Jika gak ada Will Smith, niscaya film ini akan garing sekali. Dan aku bukan penggemar Will Smith. He’s not a better Genie than Robin Williams. Smith cringey ketika menjadi jin biru, tapi mendingan dan benar-benar mewarnai film ketika dia sudah masuk ke wujud manusia alis mode: om jin.

 

 

 

 

Film ini berjuang terlalu keras untuk menghidupkan animasi ke dunia nyata. Between CGI, adegan nyanyi yang dipercepat framenya, kamera yang sebagian besar hanya ngintilin jalan, dan permainan akting yang kaku; dunia film ini tidak pernah mencuat seperti dunia beneran. Yang mana berarti maksud mereka bikin live-action kurang kesampaian. Agrabah dan masyarakatnya hanya terasa seperti latar – lapangan untuk berparkour ria. Semuanya terasa kurang hidup. Bahkan Arab-nya sendiri agak-agak keindian yang membuktikan keignoran Hollywood – I mean, bahkan di WWE pun superstar Arab dan India biasanya dikasih moveset yang sama (Camel Clutch) seolah mereka gak tahu bedanya apa. Film terasa kesulitan bergerak antara harus sesuai dengan versi asli dengan harus tampak baru. Maka mereka fokus memoles alih-alih membangun. Semua yang bagus dalam film ini sudah pernah kita lihat sebelumnya. Dan mereka lebih seperti pertunjukan yang melakukan reka ulang alih-alih menghidupkan. Still, alot of people will enjoy it. Tapi nyatanya, setelah semua perayaan dan kembangapi di ending itu, ternyata ada satu yang belum punya kebebasan untuk menjadi dirinya sendir; ya film ini sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for ALADDIN. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian kebebasan orang lain itu penting? Apakah kamu pernah merasakan kebebasan kamu dibatasi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

POKEMON DETECTIVE PIKACHU Review

“The absent are never without fault, nor the present without excuse.”

 

 

 

Setiap anak pengen punya Pokemon. Kecuali Tim Goodman. Selidiki punya selidik, sifat keterkurangtertarikannya itu ternyata berkat ayahnya yang seorang detektif. Tim tumbuh menjadi pemuda yang antipati terhadap monster-monster lucu tersebut lantaran sang ayah lebih memilih menghabiskan banyak waktu memecahkan kasus-kasus bersama pokemon di kota ketimbang bareng dirinya. Keabsenan berubah menjadi misteri yang memanggil Tim untuk datang ke kota Ryme tempat ayahnya bekerja. Setelah sebuah kecelakaan besar, ayah Tim beneran menghilang. Jasadnya tidak pernah diketemukan. Satu-satunya harapan yang mengisyaratkan beliau mungkin masih hidup adalah pokemon partnernya, Pikachu, selamat dari kecelakaan tersebut. Pikachu yang memakai topi ala Sherlock Holmes itu bergerak lincah, sehat, berbicara lancar, mengajak Tim untuk bekerja sama memecahkan misteri. Tunggu. Berbicara?

Pikachu yang satu ini, bukan cuma listriknya loh yang menyengat

 

 

Pokemon Detective Pikachu secara teknis adalah adaptasi dari video game Pokemon berjudul Great Detective Pikachu yang rilis di Jepang tahun 2016 buat konsol handheld Nintendo 3DS. Jika boleh kutambahkan, film ini mengadaptasi game pokemon yang paling boring di antara game-game pokemon lain. Pokemon menjadi fenomena pop-culture yang dahsyat, ia punya serial anime yang sampai sekarang masih berlanjut, ia punya game kartu, Nintendo sendiri punya countless game pokemon RPG yang semuanya tentang anak yang keliling dunia menangkap pokemon, melatihnya untuk ditandingkan dengan pokemon peliharaan tokoh-tokoh lain. Kita bisa bilang pokemon ini adalah sabung ayam versi lebih cute dan lebih keren. Tak perlu lulus sekolah detektif untuk kita bisa melihat kesuksesan game mobile Pokemon Go-lah yang membuat film live-action ini menjadi kenyataan. Studi film tahu bahwa pokemon ini ada pasar yang menguntungkan. Kecanduan dari menangkap berbagai macam pokemon, kemudian melatih mereka untuk menjadi lebih kuat, berevolusi menjadi  even better, kemudian ngeclaim bragging right mengalahkan trainer yang lain, itulah inti yang menyebabkan pokemon menjadi begitu hits. Jadi, keputusan mereka malah mengangkat film dari game yang tanpa aksi, hanya berkeliling mencari petunjuk, memang cukup aneh buatku.

Berlawanan dengan pertanyaan yang diusung oleh film mengenai kenapa Tim bisa mengerti perkataan Pikachu, melihat film ini pertanyaan yang muncul di benakku malahan adalah apakah pembuatnya mengerti perkataan/permintaan para penggemar?

 

Tapi hey, paling enggak film ini mengerti cara memvisualkan para pokemon tersebut dengan benar, baik itu sesuai dengan bentuk maupun kemampuan yang sama persis dengan versi game dan animenya.

Sutradara Rob Letterman yang sebelumnya berhasil menghidupkan monster-monster mengerikan dalam Goosebumps (2015) memang mengerti untuk tidak mengkhianati penggemar secara visual. Pokemon benar-benar tampak hidup, seperti layaknya binatang di dunia nyata. Kita seolah bisa merasakan halusnya bulu Pikachu, keras dan bersisiknya badan Charizard, hanya dengan melihat mereka. That’s how good the visual in this movie. Di samping alasan nostalgia, kupikir kenapa pokemon-pokemon dalam film ini lebih didominasi oleh generasi pertama (yang muncul di kartun dulu) padahal secara timeline, film ini mengacknowledge generasi pertama itu sebagai masa lalu adalah karena desain pokemon-pokemon jadul lebih kelihatan cocok dengan dunia nyata ketimbang pokemon generasi baru yang kelihatan lebih seperti mainan ketimbang makhluk beneran. Untuk beberapa menit awal, kita akan dimanjakan oleh imajinasi hidup bersama pokemon, melihat pokemon di alam liar.

Tapi kemudian film seperti menyempitkan dunianya. Kita diajak masuk ke dalam kota Ryme – kota megapolitan yang visualnya juga luar biasa grande – di mana pokemon-pokemon itu dipasangkan dengan manusia. Literally, satu manusia masing-masing punya partner satu pokemon. Kayak konsep digimon. Meskipun toh seru juga melihat kerjasama manusia dan pokemon, seperti pemadam kebaran dengan barisan Squirtle, tapi keajaiban yang kita lihat di luar kota seperti menguncup. Ryme seperti tiruan yang aneh dari kota Zootopia. Dunia di dalam kota ini juga tidak pernah benar-benar dijelaskan cara kerjanya seperti apa. Apakah partner pokemon diassign sesuai pekerjaan, atau boleh bebas memilih, misalnya. Keseruan menangkap pokemon liar digantikan oleh melihat pokemon berjalan bersisian dengan manusia. Ketika film membawa kita mengikuti Tim dan Pikachu ke arena pertarungan underground, ataupun ketika ada sekuen aksi yang berhubungan dengan kekuatan pokemon, itulah saat sebenar-benarnya hiburan terasa. Aku berharap adegan seperti demikian jauh lebih banyak porsinya. Tapi di lain pihak, aku toh tidak bisa memberikan nilai 3 buat film ini hanya karena aku tidak mendapat pokemon yang aku inginkan. Kita tidak bisa ‘mengajarkan’ kepada film mana cerita pokemon yang benar, pembuat film sah-sah saja jika ingin mengangkat cerita pokemon dari gagasan dan versi pilihan mereka.

That being said, mari kita lihat bagaimana film ini memperlakukan ceritanya.

Jargonnya bukan “Gotta catch ’em all” lagi karena poligami itu enggak baik

 

Cerita film ini tepatnya adalah cerita buddy-cop dengan Pikachu dan Tim sebagai pusatnya. Bagian terbaik film ini jelas adalah suara Ryan Reynolds dalam tubuh mungil berwarna kuning berekor zig-zag. Meskipun kadang-kadang suara dan tubuh itu mentok banget, namun Pikachu yang dibawakan Reynolds akan jarang sekali membuat kita krik..krikk.. oleh komedinya. Aku terbahak keras ketika Reynolds menyanyikan lagu tema serial kartun Pokemon. Misteri yang Pikachu dan Tim hadapi sih sebenarnya enggak begitu membuat penasaran, tapi kita mendapat banyak momen humor jenaka darinya. Misalnya ketika Pikachu dan Tim menginterogasi Mr. Mime. Elemen investigasi film ini memang tidak digambarkan serius-serius amat, malahan cenderung ‘mudah’. Tidak ada teka-teki cerdas yang harus mereka pecahkan. Tidak ada petunjuk-petunjuk tersembunyi yang harus mereka temukan. Pikachu juga tidak pernah benar-benar menemukan kesulitan dari amnesia yang ia derita akibat kecelakaan. Mereka tidak benar-benar memecahkan misteri, sebab film mengandalkan hologram canggih sebagai device eksposisi yang secara praktis menihilkan tantangan kedua tokoh.

Fokus diniatkan kepada tokoh manusia. Film membuat Tim sebagai tokoh yang bisa kita sebut sebagai anti- dari tokoh-tokoh utama Pokemon sebelum ini. Dia enggak mau punya partner pokemon. Kebohongan personal/Lie yang ia percaya adalah dia tidak butuh pokemon, yang berakar dari Luka masalalu/Wound ditinggal oleh ayahnya. Perjalanan inner Tim adalah soal dia yang ‘terpaksa’ mandiri harus menyadari bahwa dia sebenarnya butuh banget sosok yang mensupport dirinya. Ini berkebalikan dengan tokoh-tokoh di serial dan movie anime yang seringkali harus belajar untuk percaya kepada kemampuan diri sendiri, bahwa mereka bukanlah bukan siapa-siapa tanpa pokemon, bahwa kehadiran partner pokemon adalah bukti kekuatan mereka sendiri. Dengan kata lain, film ini sebenarnya menarik karena punya tokoh yang melawan pakem semesta pokemon itu sendiri. Pokemon Detective Pikachu ingin menonjolkan drama antarmanusia dengan pokemon sebagai asesorisnya. Masalahnya adalah; tokoh-tokoh manusianya ini tidak pernah dibuat lebih menarik daripada para pokemon.

Tim merupakan tokoh yang sangat menjemukan, sekaligus ngeselin. Dan itu bukan semata karena permainan akting bland Justice Smith yang semakin kebanting dipasangkan dengan Reynolds, melainkan juga karena tuntutan naskah. Ini tentang Tim mencari ayahnya, arc tokoh Tim ini secara garis besar bergerak dari dia yang tadinya tidak peduli sama sang ayah berubah menjadi peduli. Untuk menggambarkan hal tersebut, kita dapat tokoh yang sebagian besar waktu tidak benar-benar termotivasi. Pada menjelang pertengahan, bukan saja Tim tidak tahu di mana ayahnya yang mungkin saja telah mati, dia juga tidak peduli. Ini membuat kita juga susah peduli sama tokoh ini. Dalam cerita pokemon, film malah memberikan kita tokoh utama yang gak suka pokemon, yang enggak peduli dia punya partner atau tidak – sesungguhnya itu adalah problem yang nyata buat cerita. Kita tidak benar-benar bersama si tokoh utama, karena aku yakin semua yang nonton film ini suka ama pokemon, atau paling tidak menonton karena pengen melihat pokemon. Tim, dia sebodo amat ama pokemon. Tokoh ini tidak memandang pokemon dengan ketertarikan. Satu tokoh manusia yang lumayan menarik buatku adalah Lucy, jurnalis magang yang pengen menguak misteri hilangnya ayah Tim demi karirnya sendiri. Tapi itupun menarik sepertinya karena aku agak bias lantaran si Kathryn Newton ini orangnya manis banget.

Dan cerita tentang anak dan ayah ini pun pada akhirnya lebih menimbulkan kecanggungan ketimbang menawarkan kedalaman. Tidak banyak yang bisa kita gali. Tim, meskipun pandangannya terhadap ayah sudah berubah, namun kita tetap tak bersimpati karena di akhir cerita dia masih bukan seperti kita-kita. Tim tetap tidak punya partner pokemon, dan dia masih tidak peduli sama hal tersebut. Hubungannya dengan Pikachu akan menjadi sangat awkward, karena sebagaimana yang diperlihatkan oleh film ini, semua perjalanan itu sebenarnya adalah tentang Tim dengan ayahnya. Menurutku akan jadi sentuhan yang bagus jika film ini mempasangkan Tim dengan Cubone yang berusaha ia tangkap di awal cerita.

 

 

 

 

 

Dibuat untuk mewujudkan imajinasi penggemar Pokemon tentang dunia di mana manusia dan pocket monster hidup berdampingan. Visualisasi mosnter-monsternya keren. Pikachu-nya lucu, meski mungkin lucunya berbeda dengan yang dibayangkan. Sekuen aksinya seru, dan literally kita pengen nambah (karena porsinya minim). Para penggemar pokemon akan menikmati film ini, asalkan bisa berpikiran terbuka terhadap pilihan yang dilakukan oleh film. Pokemon-pokemon yang dipimpin oleh Pikachu itu tetap menjadi bagian terbaik film, hanya saja cerita berpusat kepada tokoh manusia – terutama ayah dan anak – yang tidak pernah ditampilkan lebih atau malah semenarik tokoh pokemonnya. Enggak akan gampang untuk kita mengatakan “I choose you!” kepada film ini karena ia menghadirkan tokoh utama yang membosankan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POKEMON DETECTIVE PIKACHU.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa makna ketidakhadiran seorang ayah dalam sebagian besar hidup anaknya? Apakah film ini menawarkan solusi soal keabsenan seorang ayah yang menjadi tema/inti utama cerita? Apakah menurut kalian Tim akan bertemu dengan ayahnya jika kecelakaan di awal cerita tidak terjadi? Apakah kalian punya solusi sendiri mendekatkan anak dengan ayahnya?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

DUMBO Review

“Put your heart, mind, and soul into even your smallest acts”

 

 

 

Dumbo, gajah kecil yang punya sepasang telinga begitu lebar sehingga bisa dikepakkan seperti sayap, sejak tahun 1941 (animasi originalnya) sudah membawa serta perasaan penonton untuk terbang bersamanya. Film animasi tersebut begitu uplifting. Itu adalah masa-masa di mana Disney masih berupa studio yang purely menggarap ‘sihir; dalam setiap gambarnya. Dipenuhi oleh tokoh-tokoh hewan yang bisa bicara, Dumbo tatkala itu adalah perlambangan seorang manusia cacat – terlahir berbeda dari golongannya –  yang dikucilkan, kemudian dipisah dari ibunya; dari satu-satunya orang yang lahiriah menerimanya. Tim Burton, dalam versi live-action animasi klasik Disney ini, membuat cerita Dumbo lebih literal. Dihadirkan tokoh-tokoh manusia yang punya keparalelan dengan apa yang dialami oleh Dumbo (dan ya, dibacanya ‘dambo’ bukan kayak lele, you dum-dum!)

Tokoh utama dalam film ini adalah Colin Farrell yang berperan sebagai Holt Farrier, seorang pria yang baru pulang dari medan perang. Tanpa sebelah lengannya. Holt disambut oleh kedua anaknya (dua-duanya dimainkan dengan joyless banget, sepertinya lantaran dua aktor cilik ini terlalu dipusingkan sama aksen amerika mereka), dan kemudian mereka pulang ke rombongan sirkus. Ke kehidupan lama Holt. Tapi kemudian dia menyadari lengan bukanlah satu-satunya yang pergi darinya. Istri Holt sudah tiada. Kuda partner sirkusnya sudah dijual. Dan bahkan sirkus mereka sudah tidak serame biasanya. Merasa malu dan juga kehilangan atraksi, Holt ikhlas ditempatkan sebagai pengurus gajah. Dan saat itulah Dumbo lahir. Dua makhluk tak-sempurna ini bertemu, dan kita bisa menebak Holt bakal belajar satu-dua hal dari gajah kecil yang ia jaga tersebut.

dan kita juga akan melihat Batman dan Penguin reunian

 

Menghidupkan cerita klasik ini ke dalam napas yang modern sudah barang tentu akan menjadi suatu pertanyaan. Dalam kasus Dumbo, pertanyaan tersebut sekiranya bukan ‘kenapa’, melainkan ‘bagaimana’; Bagaimana caranya gajah lucu tersebut dijadikan live-action – bagaimana caranya cerita hewan-hewan yang menyimbolkan manusia tersebut bisa dimanusiakan lebih lanjut. Bagaimana Tim Burton bisa membawa hati cerita ke dalam visual yang sudah jadi cap dagangnya; gaya aneh nan kelam. Turns out, si gajah Dumbo tetaplah Dumbo yang kita kenal. CGI berhasil membuat gajah ini menjadi satu-satunya yang bernapaskan simpati, lihat saja ketika dia dirias seperti badut – ekspresinya tergambar kuat banget di situ. Dumbo, walaupun harus membagi spotlight dengan tokoh manusia, tetap adalah hati dari cerita, literally. I mean, di samping Dumbo, aku tidak lagi merasakan emosi pada tokoh-tokoh yang lain. Dan ini sebenarnya cukup aneh, lantaran film ini mengedepankan tokoh manusia tapi malah kita gak merasakan apa-apa buat mereka. Tapi setiap kali Dumbo muncul di layar, entah itu ketika dia ketakutan disuruh lompat, atau ketika dia mengunjungi ibunya yang dikurung karena dituduh gila, atau ketika dia terbang, kita yang menonton akan seketika terisi oleh joy, perasaan lega, haru, sedih.

Meskipun tokoh-tokoh hewannya tergantikan oleh tokoh manusia (Timothy si tikus cuma jadi cameo, will probably piss a lot of people off), tapi tetep masih terasa respek yang kuat terhadap film aslinya. Burton menebarkan reference dan dialog-dialog yang bakal membawa kita bernostalgia. Aku sendiri, aku enggak sabar pengen melihat gimana sutradara ini menghidupkan adegan ‘Pink Elephants’ yang serem itu. Adegan ini ikonik banget; Dumbo gak sengaja minum alkohol sampai mabok dan di depan matanya bermunculan gajah berwarna pink, beraneka rupa, berparade sambil bernyanyi. Dan aku suka dengan cara Burton memasukkan Pink Elephants ini ke dalam film yang baru. Alih-alih mabok – jaman sekarang mah orang bakal langsung ketrigger kalo ada adegan anak kecil mabok, I mean membuat ceritanya tetap bersetting di sirkus hewan aja kayaknya udah melanggar moral banget buat standar modern kita – Dumbo melihat Pink Elephant dalam bentuk gelembung-gelembung sabun sebagai bagian dari pertunjukan yang ia lakoni. Visual sekuen adegan tersebut memang keren banget, creepy-fantasy masih kerasa, dan itu salah satu yang kusuka dari film Dumbo ini.

Dalam film aslinya, Dumbo barulah terbang di sepuluh menit terakhir. Dengan kata lain, terbang itu adalah bagian dari resolusi akhir cerita tokohnya. Bagaimana Dumbo menemukan sisi positif dari keadaannya, dan dia tidak perlu lagi bergantung kepada pemikiran orang – dia bisa terbang tanpa bantuan bulu. Dalam film baru ini, Dumbo sudah dilatih terbang di babak pertama. Arc Dumbo sebenarnya kurang lebih sama, kali ini yang ditekankan adalah ketergantungan Dumbo terhadap bulu yang ia pikir ajaib tersebut. Tapi sebenarnya ini riskan; saat pertama kali mengetahui dirinya mampu terbang, Tim Burton berhasil mencapai ketinggian emosi yang sama dengan saat kita melihat Dumbo terbang di menjelang akhir film animasi jadulnya. Build upnya dilakukan dengan benar, ada stake Dumbo bisa celaka jika gagal, dan melihatnya terbang di atas penonton sirkus – menyemprotkan air ke wajah anak-anak yang tadi menertawakan dirinya adalah perasaan yang menggelora. Namun semakin ke belakang, efek melihat Dumbo terbang akan semakin berkurang. Burton sadar akan hal ini, maka dia berusaha memvariasikan tantangan dari adegan pertunjukan terbang yang berulang, tapi memang tidak pernah efeknya sekuat adegan yang pertama. Dan masalah utamanya menurutku terletak pada posisi Dumbo di cerita

I snorted then I fly

 

Dumbo harus beratraksi terbang bersama Eva Green yang menungganginya. That’s pretty much what happened as a film; tokoh-tokoh manusia di filmnya menunggangi Dumbo. Gajah lucu itu, ceritanya yang mestinya polos, terbebani oleh kepentingan cerita tokoh-tokoh manusia yang begitu random. Tokoh Eva Green adalah salah satu yang paling random; pertama kali dimunculkan dia kayak jahat, tapi lantas baik kepada anak-anak Holt, kepada Dumbo, tidak ada transisi dari tokoh ini jahat ke semakin baik. She’s just change. Yang paling aneh buatku adalah dia udah baik tapi masih tetep nendang Dumbo. Film Dumbo yang dulu hanya satu jam lebih empat menit, dan di film ini keseluruhan durasi tersebut seperti dipadatkan di paruh pertama, sehingga paruh kedua film bisa diisi oleh cerita baru yang melenceng jauh dari poin cerita Dumbo itu sendiri. Eva Green yang jadi Colette adalah salah satu performer dari sirkus korporat yang membeli sirkus tempat Holt bekerja; bayangkan Disney yang membeli studio lain, merangkulnya dalam satu payung – dan bayangkan taman hiburan, hanya saja bernuansa seram dengan salah satu wahana berisi hewan yang didandani seperti monster. Sirkus korporat yang dipimpin oleh Michael Keaton hanya mau mengeksploitasi Dumbo saja, karena beberapa hari setelah akuisisi, troupe sirkus Holt dipecat. Dan cerita pun berubah menjadi misi penyelamatan Dumbo dan ibunya oleh rombongan sirkus yang berontak karena diberhentikan secara sepihak.

Setidaknya ada tiga logika film yang enggak masuk buatku. Pertama adalah soal putri Holt yang menolak untuk tampil di sirkus, dia pengen jadi ilmuwan, dia ingin beraksi dengan otaknya. Tetapi justru dialah yang punya ide untuk membuat Dumbo menjadi bintang sirkus supaya mereka punya uang untuk membeli kembali ibu Dumbo yang dijual kepada sirkus korporat, dia yang melatih dan melakukan berbagai percobaan kepada Dumbo supaya si gajah bisa terbang. Kupikir-pikir, gadis cilik ini pastilah jadi evil-scientist ntar gedenya, meskipun tujuannya baik tapi tetep aja dia mengeksploitasi kan.

Kedua adalah sirkus kecil Medici Brothers tempat Holt berada itu sendiri. Dalam film aslinya, Dumbo dikucilkan oleh sesama gajah. Di film ini si Medici yang diperankan oleh Danny DeVito-lah yang pada awalnya gak mau menerima Dumbo. Menjelang akhir tokoh Medici ini actually yang paling menarik, tapi di awal-awal ini aku gak mengerti mengapa pemimpin sirkus enggak seneng sama sesuatu yang freak? Bukan hanya Dumbo, si Holt yang buntung juga tidak disambut antusias – bukankah sirkus mestinya seneng punya freakshow? Begini aku memandang elemen mereka; Sirkus Medici yang menampilkan pertunjukan ‘palsu’ sedang sulit keuangan, sehingga pemimpinnya pengen menyuguhkan sesuatu yang asli. Namun bayi gajah mereka terlahir ‘cacat’ sehingga ia takut dituduh menjual gajah palsu oleh publik. Lengan buntung Holt pun disamarkan dengan lengan palsu ketika muncul di arena. Pengucilan yang diterima Holt dan Dumbo seperti maksa dan enggak cocok sama poin pengucilan pada Dumbo original.

Tentu saja ini membawa kita ke logika cerita ketiga yang tidak aku mengerti. Apa sih arc Holt dan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan oleh film ini. Plot tokoh Holt seperti ngambang begitu saja, di pertengahan dia seperti malu dikenali sebagai kapten yang lolos dengan lengan buntung alih-alih gugur di medan perang. Tapi di akhir film kita melihat dia tampil, dengan lengan robot. Aku benar-benar gak bisa ngikat poin A ke B. Apa yang ia pelajari? Dan putrinya tadi; di akhir film anak cewek ini melakukan pertunjukan gambar bergerak seperti bioskop. Bagaimana ini lebih baik daripada melakukan pertunjukan yang asli? Di akhir cerita memang seperti berkata bahwa semua orang menjadi lebih baik ketika mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kemampuan mereka yang sebenarnya, tapi menunjukkan hal tersebut dengan cara yang aneh. Aku sampe sekarang masih gak abis pikir gimana caranya Dumbo dan ibunya naik kapal sampai ke hutan.

Mungkin film ini ingin menunjukkan bahwa ada hal yang tidak mungkin di dunia, dan hanya bisa dimungkinkan dengan ilmu pengetahuan. Biarkan otak kita yang beraksi sehingga kita bisa mencapai lebih jauh, bisa terbang lebih tinggi.

 

 

Film ini benar-benar membuatku merasa rendah hati. Mendaratkanku ke tanah. Aku tidak menyangka setelah sekian lama membuat review, aku menemukan film anak-anak yang aku tidak mengerti logikanya. Aku actually memikirkan film ini selama tiga hari, aku pengen nonton lagi karena aku pikir ‘masa sih film ini begini?’ Tidak ada yang salah dengan si gajah Dumbo. Adorable, penuh emosi, dan membuat kita peduli. Hanya saja, tempat dunia di mana dia dijadikan tunggangan inilah yang begitu rush out, yang begitu acakadut. Dan cerita membuat tokoh-tokoh manusia merebut spotlight dari Dumbo. Secara gaya aku lumayan suka, it’s really dark seperti yang bisa kita harapkan dari Tim Burton. Alih-alih ngejual ibu Dumbo untuk profit, pihak sirkus korporat lebih memilih untuk membunuh dan menjadikannya sebagai bahan sepatu. Anak kecil bisa-bisa trauma begitu mereka menyadari dialog subtil yang dimiliki oleh film ini. Aneh ketika sebuah fabel – cerita hewan – diparalelkan secara literal dengan kehadiran tokoh manusia. Maksudku, itu seharusnya membuat fabel tersebut jadi lebih sederhana kan? Tapi ternyata cerita film ini malah lebih terbebani.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DUMBO.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian ada alegori tersembunyi dalam film ini? Mengapa menurut kalian memakai hewan untuk sirkus dianggap tidak manusiawi? Apakah ada bedanya dengan memakai hewan sebagai objek riset dan kelinci percobaan untuk penelitian?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

PENGUIN HIGHWAY Review

“It is not the answer that enlightens, but the question.”

 

 

 

Beberapa ekor pinguin muncul begitu saja di taman, di kota yang bukan saja panas, tapi juga bahkan jauuuh dari aroma laut. Fenomena yang aneh tersebut jelas saja mengundang banyak reaksi. Orang dewasa akan garuk-garuk kepala, mereka berusaha memindahkan pinguin-pinguin tersebut ke tempat yang lebih layak. Bagaimana dengan anak-anak kecil seusia Aoyama? Wuih suasana ruang kelas empat tersebut riuh oleh semangat anak-anak yang bertanya-tanya ada apa gerangan. Seru sekali mereka membincangkan makhluk-makhluk lucu tersebut. Sebagai seorang anak sepuluh-tahun, yang dibilang dewasa juga belum, tapi punya kecerdasan yang jauuuuuuhhh di atas teman sebayanya, Aoyama mencatat detil-detil tentang pinguin yang bisa ia temukan di buku. Dia membandingkannya dengan yang ia lihat sendiri. Aoyama membuat teori-teori. Saking sibuknya, Aoyama mungkin tak sadar bahwa ia juga sama anehnya dengan para pinguin itu di mata teman-temannya.

Penguin Highway nyata-nyatanya adalah salah satu film teraneh yang bisa dibuat orang untuk anak-anak. Film menggali rasa penasaran yang didera oleh anak kecil dengan enggak malu-malu. Karena bagi mereka hampir semua hal di dunia adalah misteri. Pinguin itu justru bukan ‘masalah’nya sebenarnya bagi Aoyama. Karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Aoyama berkembang menuju remaja, dewasa. Aku punya adek berusia sepuluh-tahun dan memang dia ‘pervert’ seperti tokoh film ini. Aoyama having a first crush kepada Kakak cantik asisten dokter gigi, wanita yang jauh lebih dewasa daripada dirinya. Dia sudah menetapkan akan menolak cewek-cewek yang ‘menembak’nya karena pilihan sudah ia tetapkan. Aoyama yang cerdas bahkan rela jarang gosok gigi biar bisa ke dentist terus; bertemu dengan Kakak yang juga jadi guru main caturnya. Salah satu observasi ilmiah yang diamati Aoyama terhadap Kakak adalah bagaimana cewek itu punya payudara yang berbeda dibanding punya ibunya. Dan karena film ini mengambil sudut pandang Aoyama, maka bukan saja kita mendapat sejumlah close-up shot dada Kakak, namun juga semua hal tampak seperti payudara. Aoyama memilih kue yang bulet, memandangi gunung-gunung yang bulet, mangkok yang… you guessed it, bulet! Hal menjadi semakin menarik tatkala Aoyama menemukan hubungan antara si Kakak dengan kemunculan para pinguin dan juga gelembung air besar yang Aoyama dan teman-temannya temukan di padang rumput di dalam hutan.

di umur sekecil itu Aoyama sudah bisa menyimpulkan memandangi boobs, berpikir tentangnya, akan membawa ketentraman hati.

 

Secara teknis, film ini tergolong cerita fiksi ilmiah, karena Aoyama dan teman-temannya memandang pinguin dan semua peristiwa yang mengikutinya dari sudut keilmuan. Aoyama senang bereksperimen, dia membuat gadget dari mainan, dia menyimpulkan teori-teori berdasarkan data dan keilmuan yang ia riset. Aoyama membuat catatan yang membandingkan  waktu metamorfosis kupu-kupu dengan hitungan hari menjelang dia tumbuh dewasa. Didukung oleh ayahnya yang kerap menyemangati dengan coklat tatkala Aoyama berhasil membuat kesimpulan terhadap suatu peristiwa, Aoyama percaya dia akan meraih hal-hal yang hebat untuk dunia. Tapi actually, elemen fiksi ilmiah ini cuma latar karena sesungguhnya ini adalah cerita tentang coming-of-age. Filosofi hubungan antara Aoyama dengan si Kakak lah yang menjadi penggerak utama cerita. ‘Kamera’ akan menangkap perjalanan inner karakter, disuguhkan lewat animasi yang kawaii dan mempesona. Sementara kita hanya sekelebat melihat catatan teori yang dibangun oleh Aoyama – antara itu atau lewat dialog cepat yang ia sebutkan. Ceria penuh warna seperti mata anak-anak memandang dunia. Ketika dunia mereka menjadi aneh atau sedikit menyeramkan, warna-warna tersebut tidak absen, tidak lantas membuat film menjadi suram. Melainkan animasinya dibuat mengundang rasa penasaran kita, mewakili perasaan Aoyama yang selalu ingin tahu.

Saat menonton ini, memang pada awalnya aku menganggap cerita film ini lumayan mengganggu buatku. Setelah ekspektasi kita dibangun terhadap ilmu pengetahuan di sepuluh menit pertama, kita secara alami akan menganggap film akan memberi kita jawaban yang logis terhadap semua fenomena yang terjadi. Tapi bukan saja ternyata elemen sci-finya terkesampingkan, penjelasan masuk-akal terhadap semua itu bahkan tidak ada! Alih-alih melihat jawaban, aku malah melihat orang melempar kaleng kola dan kaleng tersebut berubah menjadi pinguin di udara. Aku pun merasa dicuekin karena Aoyama dan teman-temannya tidak pernah mengajakku berteori bersama, heck, bahkan main caturpun aku tidak dilibatkan. Namun kemudian aku sadar, aku masih melihat film ini dalam posisi sebagai orang dewasa. Belum kembali menjadi anak-anak seperti yang film ini niatkan. Ini sama sekali bukan masalah apa jawaban yang benar, tidak pernah seperti demikian bagi anak-anak. Ini adalah soal mencari jawaban. Tidak perlu ada stake, tidak perlu dikejar waktu karena anak-anak punya semua waktu yang mereka butuhkan untuk eksplorasi. Film meminta kita untuk mengistirahatkan pikiran dewasa dan biarkan naluri kanak-kanak kita memegang kendali, supaya kita bisa melihat lebih banyak. Bahkan si Kakak dalam cerita, dia belajar banyak dan merasa kembali muda dengan berada di sekitar Aoyama dan teman-teman yang sedang melakukan eksperimen.

Kebebasan untuk tidak terlalu memusingkan hal-hal yang terjadi, merupakan anugerah yang dimiliki oleh anak kecil. Orang dewasa akan terdistraksi kepada hasil sehingga fokusnya teralihkan dari hal-hal yang membuat kita tertarik, dan yang menginspirasi pada awalnya. Bukan soal benar atau salah, mustahil atau logis, ini adalah soal mencari, memuaskan sendiri rasa penasaran kita dengan terus mengasah kreativitas dan segala kemungkinan. Karena kritis itu bukan semata bertanya dan berharap mendapat penjelasan yang memuaskan. Kritis adalah memuaskan diri dengan mencari jawaban atas tanya-tanya yang terus kita ajukan sebab dunia begitu membuat penasaran. 

 

Aoyama boleh saja gagal menemukan jawaban yang logis, sebab semua perjalanan yang ia lalui itu telah membuat dirinya humble. Menjadikannya manusia yang lebih baik pada akhir cerita. Penguin Highway adalah salah satu contoh cerita ‘kemenangan dalam kegagalan’ yang baik. Perubahan karakter Aoyama di awal dengan di akhir cerita dapat kita rasakan dengan kuat mengalir. Sutradara Hiroyashu Ishida melakuan kerja yang sangat baik mengarahkan cerita yang kompleks dan aneh dalam film panjang pertamanya ini. Film ini terasa lucu dan menghibur, tetap teramat dekat meskipun menangani masalah yang di luar logika. Aoyama tidak tampak seperti Conan, yang kita tahu dia adalah orang dewasa dalam tubuh anak kecil. Aoyama memang terhadirkan sebagai seorang bocah yang pintar dan penuh keingintahuan, dia memandang semua fenomena sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik lagi.

Sesungguhnya orang yang pintar tahu banyak hal yang tak ia tahu.

 

 

But I do thing film ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi. Terutama pada karakter Kakak Cantik. Tokoh ini sengaja dibuat misterius, karena dia adalah salah satu ‘misteri’ bagi Aoyama secara fisik. Tapi film turut membuat eksistensi si Kakak sebagai tanda tanya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ini membuat tokoh Kakak jatuh ke dalam trope “Manic Pixie Dream Girl” – tokoh cewek yang di mata protagonis cowoknya begitu sempurna dan hanya berfungsi sebagai dorongan ataupun pembelajaran si protagonis untuk menjadi tokoh yang lebih baik. Trope ini menandakan naskah tidak berhasil menggali karakter pendukung, dan memang kelihatan jelas film ini hanya berpusat pada Aoyama. Naskah membiarkan Aoyama jadi tokoh utama meskipun ada tokoh lain yang lebih punya stake untuk mencari jawaban. It’s okay jika film memutuskan seperti demikian dan konsisten terhadapnya, tapi aku berpikir film tidak mesti membuat Kakak sebagai Manic Pixie Dream Girl yang mengurangi penilaian – bisa diberi bobot lebih banyak, atau melakukan hal simpel seperti yang dilakukan Love for Sale (2018) kepada tokoh Arini; Love for Sale membuat Arini ‘termaafkan’ karena dia tidak seujug-ujug ada di sana sebagai pembelajaran untuk Richard, dia ada sebagai bentuk pilihan dari Richard. Kakak di Penguin Highway, menurutku seharusnya bisa dibuat seperti demikian alih-alih ada dan kemudian tidak ada.

 

 

Diadaptasi dari novel karangan Tomihiko Morimi, si pengarang ini sering disebut sebagai Virgin Writer karena kekhususannya memasukkan hal-hal lugu yang bisa dianggap ‘pervert’ oleh sebagian orang. Dan memang, film ini jelas adalah salah satu teraneh yang bisa ditonton oleh anak-anak. Mengusung cerita coming-of-age dengan bungkus sci-fi. Benar-benar menaruh penonton dalam bingkai pandang tokoh utamanya yang masih kelas empat. Film ini melempar semua logika dan meminta kita untuk mengikuti perjalanannya dengan santai, karena dirinya adalah potret yang mengingatkan kembali bagaimana rasanya kembali menjadi anak kecil yang penuh rasa ingin tahu. Unik dan menyegarkan, seperti pinguin.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for PENGUIN HIGHWAY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kapan terakhir kali kalian membaca untuk menambah ilmu, alih-alih biar dapat nilai bagus? Kapan terakhir kali kalian bertanya untuk membuka wawasan, bukannya bertanya untuk nyinyir atau malah nyindir orang lain?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

 

[Readers’ NeatPick] – THE GREEN MILE (1999) Review

“Frank Darabont berhasil membius pikiran saya hingga masuk ke dalam setiap karakter-karakter yang disajikan. Hingga akhirnya Darabont dengan cerdas menciptakan kekuatan dari setiap karakter….”Mochamad Ridwan Alamsyah, pemilik akun instagram @m.ridwanalamsyah

 


Sutradara: Frank Darabont
Penulis Naskah: Frank Darabont, Stephen King (penulis novel aslinya)
Durasi: 3 jam 9 menit

 

 

The Green Mile, satu lagi cerita berlatar penjara adaptasi novel Stephen King yang disutradarai oleh Frank Darabont. Tapi tidak seperti The Shawshank Redemption (1994), Green Mile punya elemen supernatural dalam ceritanya. Ini adalah cerita tentang Paul Edgecomb, seorang sipir penjara di blok khusus terpidana mati, yang menyaksikan dan mengalami sendiri, literally, keajaiban di dalam sel yang ia jaga. Keajaiban berupa sesosok raksasa kulit hitam tinggi besar – yang pandangan mencela akan cepat memandangnya sebagai seorang dengan cacat mental – yang ditahan di sana karena tuduhan sudah membunuh dua gadis cilik. Dalam hari-hari menjelang eksekusi matinya, John Coffey ternyata tidak seseram pandangan mata. Bagi Paul tentu saja jadi beban apakah Coffey benar-benar membunuh atau bukan, sementara dalam hati dia sudah yakin jawabnya. Bagaimana mungkin orang yang mengorbankan diri demi menghidupkan kembali tikus yang sudah mati, yang menyembuhkan penyakit kelamin Paul – dan keharmonisan keluarganya – adalah seorang pembunuh. Bagi Paul, seperti yang selalu ia lakukan terhadap tahanan di sana, adalah bagaimana memperlakukan mereka tetap sebagai manusia yang punya martabat, dan konflik yang ia rasakan setiap kali dirinya menggiring mereka melewati lantai hijau – mil terakhir di hidup para terpidana, menuju kursi listrik yang mengakhiri nyawa mereka.

“Film ini menyuguhkan drama yang rapi. Dialog-dialog yang berwarna. Kadang serius dan penuh isi, kadang satir dan lucu.”

“Durasinya termasuk panjang banget, udah jarang kita temuin film Hollywood dengan durasi melewati tiga-jam. Kalo film ini dibuat di masa-masa sekarang, aku gak yakin mereka bakal berani membuatnya sepanjang ini. Remake It (2017) saja kan, adaptasi Stephen King juga, difilmkan jadi dua film. Studio gak ada yang berani lagi bikin film sepanjang ini. Dan hebatnya, tiga jam film ini buatku terasa sekejap.”

“180 menit yang saya habiskan di depan layar tidak sekalipun membuat saya ingin beranjak meninggalkan film ini. Saya sangat menyukai sekali film yang mempunyai cerita yang menarik, fresh, berbobot, dan mempunyai gaya tersendiri dalam menyampaikan cerita tersebut kepada penonton tidak peduli film itu panjang atau pendek. Bagiku film ini mempunyai plot yang sangat baik sekali dan ceritanya juga tidak klise, dari awal film sampai akhir kita akan menemukan beberapa plot twist yang cukup mengejutkan.” 

“Efektif sekali memang film mengisi durasinya. Kita merasakan waktu berjalan di balik sel-sel penjara tersebut dengan kuat. Perubahan karakternya, baik dari para penjaga maupun para tahanan. Dan Coffey sebagai pusat perubahan itu memang terasa hidup sekali”

“John Coffey juga Paul Edgecomb adalah tokoh yang berkesan buat saya. Peran mereka berdua di film ini paling dominan tetapi peran pendamping lainnya juga tidak kalah penting. Banyak adegan-adegan memorable, salah satu adegan yang paling emosional tentu saja ada pada bagian menjelang akhir cerita dari film ini di mana John Coffey akan dieksekusi mati”

“Ya benar, ada banyak sekuens adegan yang benar-benar powerful. Menurutku ini satu lagi pembeda waktu buat film ini; sekali lagi, kalo The Green Mile dibuat di tahun 2019 aku gak yakin mereka benar-benar akan memperlihatkan eksekusi di kursi listrik, ataupun adegan Mr. Jingles yang diinjak, dengan benar-benar gamblang seperti yang ditampilkan oleh film ini. The Green Mile sangat intense, suspensnya begitu menguar dan terbuild up dengan rapi karena film memanfaatkan waktu untuk kita mengenal setiap karakternya. Si Coffey ini memang dibangun untuk pancingan emosional kita, dan di akhir itu .. maaan… aku nonton ini pertama kali sekitaran 2014 yang lalu, disaranin ama seorang teman, katanya “this will broke your heart”, dan setelah nonton itu aku… aku masih memunguti pecahan hatiku saat temanku nongol dan bilang “I told you so, Kak””

“The Green Mile bukanlah film drama tragis yang bisa dengan mudah membuat saya mengeluarkan air mata di setiap adegannya. Sedangkan air mata dan kesedihan yang ada justru berada hampir di penghujung film, saat semua kisah sudah terangkum dan kita mengerti dan mengetahui banyaknya hal hal yang sudah dibangun oleh Darabont untuk membangun emosi tersebut di setiap menit dan menitnya. Menurut saya sangatlah tidak adil bila John Coffey harus dieksekusi mati atas perbuatannya karena ia tidak bersalah atas segala tuduhan pembunuhan terhadap dirinya dia hanya ‘A right man in the wrong place and situation’. Namun, ada satu pertanyaan dasar yang tidak saya dapatkan disini. Yaitu tentang asal kekuatan magis yang dimiliki Coffey. Melalui dialog, film ini hanya mampu menjelaskan jika kekuatan magis yang dimiliki Coffey semata-mata mukjizat dari Tuhan. Saya berasumsi jika hal ini sengaja dilakukan oleh penulis supaya penonton dapat memutuskan secara bebas menggunakan imajinasi mereka.” 

“Mungkin memang bukan tanpa alasan kenapa tokoh yang dimainkan penuh penghayatan oleh si Michael Clark Duncan itu diberi nama John Coffey. Yang jelas bukan karena mirip ama kopi, seperti yang disebut oleh si tokoh sendiri haha.. Banyak teori yang menyandingkan inisial Coffey; J.C. dengan Jesus Christ. Apa yang dilakukan Coffey dengan mukjizat-mukjizat itu juga sama. Dia menyembuhkan orang lain dengan menelan ‘penyakit’ itu, membuat dirinya sendiri sakit. Dan dia melakukannya dengan tulus.”

“Mungkin karena unsur supranaturalnya yang spiritual seperti demikian itu film berlatar penjara ini bisa disebut sebagai film religi, ya”

“Mungkin juga. Tapi toh ada juga kan adegan di mana Coffey ‘menghukum’ tokohnya si Sam Rockwell – dan film ini membiarkan kita memutuskan apakah yang dilakukan Coffey kepadanya itu sebuah tindak ‘main hakim’ sendiri atau memang sebuah ‘balasan dari Tuhan’. Tapi mungkin memang di situlah letak kekuatan film ini. Dia menggambarkan perjuangan yang besar antara melakukan perbuatan baik dengan melakukan perbuatan yang  buruk. Serta ganjaran yang kita terima terhadap perbuatan kita kadang tidak seadil yang kita harapkan. Film ini juga bicara tentang prasangka, makanya secara fisik Coffey digambarkan ‘kontroversial’ menurut standar tokoh-tokoh yang lain.”

“Dengan prasangka tersebut, bisa jadi film ini cukup kontroversi bila dibuat tahun 2019, tetapi mengingat banyaknya film yang mengangkat tema isu rasisme terhadap orang kulit hitam seperti BlackKklansman (2018) mungkin kontroversi tersebut tidak akan terlalu diperbincangkan.”

“Tokoh Coffey ini sebenarnya masuk ke dalam trope ‘Magical Negro’; sebutan yang dicetuskan oleh Spike Lee untuk tokoh-tokoh kulit hitam dalam film yang tidak diberikan bangunan cerita yang kuat, selain mereka punya kekuatan khusus dan berfungsi untuk membantu tokoh utama kulit-putih menjadi pribadi yang lebih baik. I do think tokoh Coffey ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi, mungkin kita bisa dikasih tahu siapa dirinya sebelum semua itu terjadi, apa yang dia inginkan dalam hidup, mungkin dia dibuat sedikit mengadakan perlawanan terhadap hukum mati yang ia terima. But then again, jika memang tokoh ini diniatkan sebagai simbol yang mewakili Yesus, masuk akal juga kenapa kita tidak diberikan lebih banyak soal backstory dirinya. Dia di sana untuk membuat Paul dan semua tokoh lain melihat dan berprasangka lebih baik lagi. Mungkin hukuman mati justru adalah jalan pembebasan yang selama ini ia cari.”

“Hukuman mati, dalam dunia nyata, memang sangat diperlukan tetapi saya juga terkadang tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati karena saya ingin mereka memetik pelajaran juga mengambil hikmah serta menyadari atas apa yang mereka perbuat agar mereka dapat menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Di sisi lain kita juga harus mendukung adanya pemberlakuan hukuman mati di dunia ini agar orang-orang yang melakukan tindak kejahatan seperti menghilangkan nyawa orang lain harus dibayar sesuai dengan mereka perbuat atau istilah lainnya yaitu ‘nyawa dibayar nyawa’, tapi tentu saja harus dilakukan dalam cara yang manusiawi yaitu dengan cara hukuman suntik mati atau Lethal Injection, dilakukan melalui tiga tahapan. Tahap pertama adalah memberikan suntikan untuk anasthesi (pembiusan). Tahap kedua adalah memberikan suntikan untuk melumpuhkan tubuh dan menghentikan pernafasan. Tahap ketiga atau terakhir adalah memberikan suntikan untuk menghentikan detak jantung. Tanpa Anastesi, terhukum akan mengalami asphisiasi, sensasi terbakar pada seluruh tubuh, nyeri pada seluruh otot, dan akhirnya berhentinya detak jantung. Oleh karena itu, anastesi yang memadai diperlukan untuk meminimalisir penderitaan dari terhukum dan untuk memperkuat opini publik bahwa hukuman suntik mati itu relatif bebas rasa sakit.”

“Dalam film ini juga benar-benar ditunjukkan prosedur hukuman mati dengan kursi listrik yang dilakukan dengan memastikan si terpidana bisa langsung isdet tanpa berlama-lama menanggung sakit. Tapi di film ini mereka membuat hukuman mati sebagai tontonan. Buatku hal tersebut kurang manusiawi. Juga, menurutku, sebaiknya terpidana mati langsung dieksekusi saja, jangan lagi menunggu hari-hari mereka dipanggil. The Green Mile menekankan cerita pada soal ‘hari-hari menunggu’ ini. Istilahnya sendiri kan merujuk pada jarak. Buatku gak adil aja seseorang yang sudah berbuat salah dan dijatuhi hukuman, diberikan ruang untuk introspeksi – antara hari-hari itu mereka bisa saja insaf dan berperilaku laksana malaikat – hanya untuk dimatikan tanpa bisa mengurangi hukuman. Bukankah mengetahui batas akhir umur kita itu sesungguhnya adalah suatu keuntungan?”

“Mengetahui batas akhir dari umur kita menurut saya memang bisa jadi menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi kita karena hal tersebut membuat kita menjadi orang yang lebih baik lagi dari hari ke hari dan dapat membuat kita meningkatkan keimanan kita kepada tuhan kita sebelum kematian itu tiba saatnya, jadi kita senantiasa mempersiapkan diri untuk berbuat kebaikan. Tapi itu juga tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi tentang kematian itu sendiri. “

“It was unfortunate apa yang terjadi pada Coffey, tapi di sisi lain mungkin dia bebas dan justru Paul-lah yang menderita setelah mendapat anugerah dari dirinya. Aku bayangin konflik banget buat Paul ketika dia tidak bisa mendapatkan apa yang diperoleh oleh kriminal-kriminal yang ia eksekusi, dan mungkin Coffey bukanlah yang terakhir yang duduk di kursi listrik itu dalam keadaan tidak bersalah. Umur panjang memang sering dikaitkan sebagai musibah dalam film-film, tak terkecuali di sini”

“Bagi saya itu adalah sebuah anugerah yang tuhan berikan melalui perantara si John Coffey kepada Paul agar ia dapat menikmati hidupnya dengan penuh harapan, cinta, dan kedamaian seperti Coffey yang selalu membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Mungkin Coffey memberikan umur panjang kepada Paul agar paul dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.”

“Coffey tentu tidak meniatkannya sebagai kutukan. Paul adalah penjaga paling baik dan hormat kepada para tahanan. Tentu, tokoh yang diperankan Tom Hanks ini awalnya tidak percaya keajaiban, tapi dia tahu hidup sangat berharga. Coffey yang respek sama tokoh ini hanya ingin memberikan waktu yang panjang kepada Paul supaya Paul bisa memanfaatkan umur-umur orang yang dieksekusi sebagai penebusan. Tapi bagi Paul jelas ini jadi beban. Karena dengan umur panjang, tidak seperti para tahanan yang harus meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi, justru Paul harus ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi. Justru ia yang merasakan Green Mile yang paling panjang. Mungkin dia baru bisa menemukan kedamaian entah berapa tahun lagi haha. Ada loh fans yang niat menghitung berapa tahun lagi Paul bakal meninggal..”

“Haha kira-kira 125 tahun lagi kali yah”

“Mungkin malah jutaan, mengingat banyaknya yang sudah ia eksekusi. Ngomong-ngomong soal eksekusi, it’s scoring time! The Green Mile adalah salah satu film favoritku sepanjang masa, ini adalah film yang mungkin tak-akan berani dibuat lagi, begitu intensnya mengobrak-abrik perasaan, aktingnya flawless, tapi memang pengkarakteran seharusnya bisa lebih dikembangkan lagi. Aku putuskan untuk memberinya 7.5 bintang emas dari 10.”

“I give this movie 8.5/10 stars. Film paling emosional yang pernah saya saksikan.” 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Mochamad Ridwan Alamsyah udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, sudah lama aku ingin membahas film-film kayak The Green Mile.

Apakah menurut kalian ini adalah film religi? Apakah umur panjang adalah suatu anugerah? Atau apakah lebih mending kita tahu batas umur kita, walaupun pendek?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART Review

“When did my life stop being fun?”

 

 

 

Adek itu niruin kamu. Kalimat tersebut sering banget aku dengar, saat masih kecil, ketika aku berantem sama adek cewekku yang meminta mainan apapun yang aku pegang. Tapi aku kesal, maka aku berantakin boneka-bonekanya. Eh, adek yang jaraknya denganku empat-tahun itu malah kesenangan, dikiranya itu bagian dari permainan; dia lempar-lempar juga robot-robotku yang bisa berubah bentuk. Dari yang tadinya dari robot bisa berubah menjadi mobil, sekarang robot tersebut berubah menjadi tidak bisa berubah sama sekali. Semakin dia gede, adekku semakin semangat ngikutin apa-apa yang aku mainin. Dia ngotot ikut main power rangers-power rangersan, padahal kami sudah ada enam orang; Dia maksa jadi ranger oren. Ngarang banget! Main video game pun dia ngikut, padahal mainnya tuh gim fighting atau gim balap CTR. Kalo kalah dia maksa tukeran stik. Masih kalah juga? dia nyiptain peraturan sendiri; dia gak boleh ditembak, dia gak boleh diserang kalo lagi ngisi tenaga (ini pas main dragon ball), dan gak boleh ditangkis kalo lagi membanting. Dan aku gak boleh pakai satu ‘karakter’ jika menurutnya ‘karakter’ yang aku pilih itu adalah pasangan dari ‘karakter’ yang ia pakai. Kalo lagi main petualangan antariksa (kami jadikan tempat tidur sebagai pesawat dan ngayalin ruangan rumah jadi planet asing yang penuh bahaya), dia ngotot untuk kebal dari serangan monster.

The Lego Movie 2 benar-benar membawaku, dan abang-abang yang punya adek, kembali ke masa-masa kecil. Ke waktu-waktu ketika kita rebutan mainan. Ketika kita adu teriak ngedebatin aturan main gak make sense yang kita ciptain sendiri. Mengingatnya sekarang, ya lucu juga. Soalnya apa yang salah sama semua itu. Kenapa kita gak mau ngalah sama anak kecil. Film ini mengatakan tidak ada cara yang salah dalam berimajinasi, dan dalam kapasitasnya sebagai alat untuk sekalian ngejual brand mainan balok, semua lapisan umur boleh untuk bersenang-senang; Tidak ada cara yang salah dalam bermain Lego.

kecuali kalo kita memakan bloknya. atau menginjaknya. ITU. SAKIT. BANGET.

 

 

Film pertama Lego yang tayang 2014 sukses memukau kita semua berkat kejutan yang disiapkan di penghujung cerita; bahwa semua yang dilalui Emmet, segala petualangan di dunia animasi seperti stop-motion (namun bukan) yang semuanya terbangun dari blok-blok Lego itu, ternyata oh ternyata merupakan ‘versi hidup’ dari sandiwara permainan Lego oleh anak kecil, Finn. Tahu dong gimana kita ngayal cerita saat main perang-perangan dengan robot, nah kejadian di film pertama itu adalah ‘khayalan’ si Finn saat dia nyusun Lego dengan ayahnya. Tapi pengungkapan ini bukan sekedar ‘sok-keren’ yang membuat cerita jadi sia-sia, melainkan diparalelkan dengan cerita utama. Bagaimana Finn membuat ayahnya melihat main Lego jadi awesome lagi, karena ayahnya begitu terpaku sama petunjuk. Lego mestinya disusun dengan kreativitas dan imajinasi sendiri, dalam film pertama ini Emmet adalah Finn yang super kreatif.

Cerita tersebut lantas dilanjutkan dalam film kedua – yang berjarak lima tahun dari akhir film pertama; adik cewek Finn diajak ikutan bermain, yang berujung porak porandanya dunia Lego karena si adik mencampur adukkan Lego dengan Duplo (permainan susun-balok yang serupa-tapi-tak-sama). Dalam dunia imajinasi yang kita kenal sebagai dunia tempat tinggal Emmet dan teman-teman makhluk Lego, kita langsung diperlihatkan dampak kedatangan balok-balok Duplo yang dimainkan oleh adeknya (mereka digambarkan sebagai alien); kota Lego berubah menjadi kota mati, wasteland. Dystopia seperti dunia Mad Max. ‘Twist’ dalam film kedua ini dihadirkan langsung di awal; bukan lagi Emmet yang paralel dengan Finn – si empunya dunia, si Tuhan bagi semesta Lego. Melainkan Lucy, tokoh pendukung di film pertama, cewek yang beraksi lebih banyak meski yang dianggap pahlawan adalah Emmet. Berperan juga untuk menaikkan nilai femininitas (rendahnya nilai tersebut jadi kritikan utama untuk film Lego pertama yang mendulang sukses secara finansial), Lucy alias Wyldstyle dijadikan tokoh utama.

Lucy ingin Emmet yang selalu ceria (“Hufflepuff banget!”) beradaptasi dengan kekerasan dunia mereka yang kini tak lagi ‘awesome’. Hidup di sana, haruslah tangguh. Mandiri. Benturan pertama terhadap keinginannya tersebut datang dari Emmet yang diam-diam membangun rumah ceria untuk mereka, bangunan warna-warni yang tentu saja menarik kembali para alien Duplo ke dunia mereka. Kali ini bukan saja merusak, tapi sekalian menculik para-para jagoan di dunia Lego, untuk dibawa ke dunia mereka di Systar System (permainan kaca yang kocak, karena ‘systar’ adalah plesetan dari ‘sister’). Lucy, Batman, Unikitty, termasuk salah satu yang kena angkut untuk menghadap Ratu Watevra Wa’Nabi yang bermaksud untuk menikahi jagoan terkuat. Lucy paralel dengan Finn yang beranjak dewasa, di mana ia mulai merasa hal-hal imut dan ceria itu norak dan memalukan, sehingga dia berusaha untuk meninggalkannya. Di lain pihak, Systar System adalah adek Finn yang membawa mainan Lego ke kamarnya, sebagai upayanya untuk bermain bersama. Dan Emmet? Tinggallah Emmet yang bertekad menyelamatkan teman-temannya, dan untuk itu ia harus berusaha mengubah dirinya menjadi pria yang kuat dan tangguh.

Apa yang harus kita lakukan ketika dunia kita tak lagi keren? Ketika masalah mulai banyak merundung. Menjadi tangguh dan enggak manja bukan berarti musti berhenti untuk bersenang-senang. Seperti pertengkaran dua kakak beradik; seharusnya ada ranah kompromi, di mana kita bisa menjadi dewasa tanpa perlu melupakan siapa diri kita; apa yang membuat kita pernah bahagia.

 

VFF – Vest Friend Forever!!

 

 

Begitu masuk ke babak kedualah, cerita terasa aneh. Tidak banyak yang dilakukan Lucy selain melihat hal-hal baru yang tadinya ia tinggalkan, hal-hal yang menurutnya harus Emmet tinggalkan juga, dan mendengar hal-hal eksposisi dan lagu-lagu. Aksi beralih ke Emmet yang bepergian sendiri ke ‘luar angkasa’ dengan rumah pesawat ciptaannya di mana dia akan bertemu dengan tokoh yang bakal mengajarkan dirinya bagaimana menjadi maskulin, tangguh, dan jantan. Emmet terasa seperti serpihan kecil diri si Finn yang masih tersisa, dan ini membuat bingung karena Finn masih memainkan dirinya sebagai Emmet, namun tokoh utama cerita ini sekaligus adalah Lucy. Sudut pandang naskah kusut di sini. Furthermore, kita akan mendapat cerita berunsur time-travel yang sebenarnya enggak benar-benar diperlukan; dan film hanya sanggup meletakkan satu pembelaan terhadap elemen ini – mereka menyebutnya secara subtil di awal-awal sehingga tidak muncul begitu saja – ini cerita dari kepala Finn, anak kecil, jadi wajar imajinasinya ke mana-mana.

Tapi tetap saja, sebagai cerita film, Lego 2 berjalan dengan tidak selancar yang semestinya mereka bisa jika sudut pandang itu tetap ada pada Lucy. Pacing cerita pun bisa menjadi lebih seimbang karena tak lagi harus berpindah antardua tokoh yang seperti berebut spotlight emosional. Aku mengerti kepentingan untuk membagi Finn menjadi dua tokoh, namun dua tokoh ini tidak dibuat benar-benar berkonfrontasi secara langsung. Bikin saja langsung Emmet yang jadi antagonis; yang harus dikembalikan menjadi ceria oleh Lucy karena kata-kata Lucy di awallah yang membuat Emmet jadi begitu. Dengan begini, time-travel yang terasa dicekokin ke dalam cerita tanpa ada pembelaan untuk menyokongnya bisa ditiadakan.

 

 

 

 

 

Dialognya antara kocak dengan konyol. Lagu-lagunya antara kocak dengan ngeselin, tapi ngeselinnya karena disengaja. Referensi budaya pop yang berlimpah, selalu adalah anugerah dan penikmat rasa. Buatku, menarik sekali menonton film ini jika diserangkaikan dengan nonton Mirai (2018) sebelumnya, karena sama-sama membahas tentang bagaimana seorang anak kecil berinteraksi dan menyingkapi adiknya; sesuatu yang kita semua pernah alami. Ada banyak momen manis dan emosional, meski memang kita harus menggalinya dalam-dalam di balik humor yang tampak lebih tinggi prioritasnya di sini. Namun naskah film ini membuat semua jadi terlalu ribet bagi filmnya sendiri. Ada pendekatan yang lebih terarah dari ini yang bisa kita pikirkan. Film sempat bicara tentang menghancurkan supaya bisa membangun yang lebih baik, well, kupikir elemen time-travel itu mestinya bisa dihancurkan dan cerita dibangun ulang untuk menjadi lebih baik.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE LEGO MOVIE 2: THE SECOND PART.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah punya adik berarti hidup kita berhenti menyenangkan? Bagaimana pendapat kalian tentang hubungan kakak-adik, kenapa sering bertengkar?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ALITA: BATTLE ANGEL Review

“The body knows things the mind will not admit.”

 

 

Di saat buku komik mungkin masih dilecehkan di negara kita, kesuksesan cerita superhero –  fakta bahwa cerita kebaikan melawan kejahatan biasanya hadir bersama layer tentang isu-isu sosial yang lebih dalem dalam cerita fantasi seperti ini -membuat para pembuat film mulai melirik komik dari negara luar. Penggemar anime atau manga (alias ‘kartun Jepang’) seluruh dunia pastilah sekarang-sekarang ini sudah merasa hidup di utopia masa depan. Bukan saja karena materi-materi sarat makna nan keren dan selama ini sebenarnya sudah dijadikan inspirasi oleh film-film Hollywood tersebut sudah semakin mudah diakses. Ide adaptasi menjadi film yang bener-bener dibuat dengan ‘mirip’, dengan serius, dengan teknologi yang memungkinkan; nyata-nyata sudah bukan mimpi lagi.

Makanya, jangan malu kalo mulut kita ternganga semakin lebar seiring cerita Alita: Battle Angel ini berjalan. Penonton-penonton di sekitar kita juga sama, kok. James Cameron sudah lama mengumumkan dia tertarik mengangkat Alita yang berasal dari manga buatan Yukito Kishiro tahun 1990 ke layar lebar. Dan melalui film ini kita dapat melihat, Cameron benar-benar peduli dan passionate sekali terhadap dunia yang sedang berusaha ia berikan nyawa. Film ini sendiri adalah mesin, dengan Cameron dan sutradara Robert Rodriguez sebagai gepeto cyberpunk-nya. Pengaruh dari gaya manga berusaha mereka pertahankan, sembari melandaskan gaya dan cara bercerita yang dapat diterima oleh pasar mainstream. Bukan tugas yang mudah memang, tapi nyatanya; Alita yang meskipun bukan kreasi sempurna ini tetap dapat menghibur dan menonjok kita dengan keasyikan dan keseruan.

Rongsokan kepala cyborg ditemukan oleh Christoph Waltz saat ia yang berperan sebagai Dr. Ido berjalan di junkyard Kota Besi. Terkenal sebagai tukang reparasi barang-barang cyborg, sang dokter mengkonstruksi ulang tubuh untuk tempat kepala yang ternyata masih ‘hidup’ tersebut. Si cyborg cewek kini Rosa Salazar yang oleh efek dibuat bermata gede kayak tokoh komik seutuhnya, diberi nama Alita. Dan walaupun ia tidak bisa mengingat siapa dirinya di kehidupan yang lama, untungnya muscle memory si Alita masih bekerja; dia bisa melakukan berbagai macam hal menakjubkan – bahkan untuk ukuran dunia di mana penduduknya sebagian besar sudah menjadi separuh cyborg – terutama dalam hal berantem. Malahan setiap kali berantem, Alita mendapati ada kenangannya yang sedikit terbuka. Maka Alita mendaftar menjadi Hunter-Warrior untuk nge-jog ingatannya, sehingga kita bisa melihatnya melakukan aksi-aksi keren dalam petualangan mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

“Alita de Ángel, sonrisa de cristal~~”

 

 

 

Apa yang terjadi kepada Alita sebenarnya enggak jauh-jauh dari yang otak kita lakukan setiap kali kita mempelajari suatu kepandaian. Istilahnya muscle memory, yang meskipun disebut muscle, namun tetap tersimpan di otak – bukan di otot. Inilah mengakibatkan kita gak bakal pernah lupa lagi gimana caranya naik sepeda begitu kita sudah bisa saat umur lima-tahun, meskipun kita sudah bertahun-tahun setelah itu kita enggak nyentuh lagi yang namanya sepeda. Bekerja seperti insting, tubuh akan membantu mengingat apa yang dilupakan oleh pikiran. Karena itulah, seperti Alita, kita tidak akan mudah melupakan apa yang sudah kita pelajari.

 

Seperti yang sudah ia perlihatkan sebelumnya di Avatar (2009), Cameron adalah orang yang rela jor-joran demi mencapai hasil yang maksimal. Untungnya dia tidak lupa akan kepandaiannya yang satu itu. Dunia Alita terbangun menawan dengan efek-efek yang luar biasa spektakuler. Wujud tokoh-tokohnya yang setengah robot sungguh memanjakan imajinasi, dan semuanya kelihatan asli. Kita gak menyipit aneh melihat perwujudan Alita yang tampak seperti langsung dicomot dari halaman komik. Efeknya menyatu begitu mulus sehingga tampak serapi topeng yang dikenakan Luna Maya ketika berperan menjadi Suzzanna. Dari segi penampilan saja sepertinya film ini sudah memuaskan banyak penggemar manga yang menyempatkan waktu untuk ke bioskop menyaksikan favorit mereka.

Alita memang dibuat lebih menonjolkan visual. Karena tak seperti Ghost in a Shell (2017) yang dibuat dengan banyak bincang filosofi pada tubuh luarnya, Alita berada di jalur yang lebih ‘sebuah hiburan’. Film ini mengandalkan banyak adegan aksi yang memang dibuat sangat memukau. Entah itu adegan berantemnya yang super asik sekaligus penuh violence yang berstyle tinggi (banyak darah dan banyak oli yang tertumpah!), maupun sekuen olahraga ekstrim Motorball yang udah kayak balapan robot, semuanya di-craft sebagai bangunan-bangunan untuk pusat hiburan para penonton. Jika Harry Potter punya Quidditch dan Hunger Games punya ehm… Hunger Games, film ini punya Motorball; olahraga khusus di dunia ceritanya yang udah jadi semacam ‘maskot’. Dalam Motorball para pemain akan berkejar-kejaran memperebutkan bola metal yang bakal digunakan untuk mencetak angka, dan dari rebutan bola inilah kekerasan dan kesakitan para pemainnya dapat dengan mudah tercipta. Film dengan baik membangun minat kita dan Alita – kita melihat Alita latihan, diajarin main, dan kalah, baru kemudian jadi ‘atlet’ beneran  – terhadap permainan ini yang tak sekedar ditempel ke dalam cerita.

serius deh, aku kepengan lihat menagan siapa Alita melawan No. 18. In 3-D!

 

Di balik keseruan itu, film ini menyelipkan komentar tentang bagaimana perilaku masyarakat dalam sebuah lingkungan kumuh di mana tujuan hidup penduduk kota tempat Alita tinggal adalah supaya bisa punya uang cukup untuk ditransfer ke Zalem, kota ‘surga’ yang tertambat melayang di atas kota mereka. Ini adalah masyarakat yang literally hidup di bawah bayang-bayang. Mereka mengusahakan segala cara, kita bisa bilang ini adalah cerminan kehidupan kriminal yang sebenarnya hanya mendambakan kehidupan yang lebih baik. Dalam usahanya membangun franchise, menghantarkan kita ke sekuel, film dengan bijaksana membuat kota Zalem di atas itu sebagai misteri. Kita tidak pernah diperlihatkan seperti apa di sana. Kita juga hanya mendengar rumor tentang enaknya tinggal di sana.

‘Musuh besar’ yang harus dihadapi Alita bersumber seseorang yang disebut Nova. Ia tinggal di Zalem dan kita hanya sesekali diperlihatkan wujudnya. Kita diharapkan bersabar untuk melihat konfrontasi beneran antara Alita dengan Nova – film menyimpannya untuk sekuel. Di film ini, Nova berinteraksi dengan Alita lewat kaki-tangannya yang berkuasa di Kota Besi. Edward Norton malah tidak muncul di kredit IMDB film ini. Oleh karena itulah, Nova tampak sangat satu-dimensi; dia ‘sebatas’ evil presence yang bikin kekacauan di antara rakyat jelata; seorang kaya yang berusaha mengatur dunia dengan duitnya. Dan bahkan kita tidak benar-benar melihat aksinya. Treatment begini juga berdampak kepada tokoh yang mestinya jadi musuh yang harus dikalahkan di film ini. Diperankan dengan canggung oleh Mahershala Ali, Vector tidak pernah tampak benar-benar penting. Kita diperlihatkan dia memang punya agenda jahat sendiri – dia lebih ingin jadi Hades ketimbang jadi pelayan Zeus – tetapi dengan seringnya dia dirasuki oleh Nova, tokoh ini tak membekas. Aku bahkan gak yakin entah harus membenci atau mengasihani dirinya. Begitu pula halnya dengan tokoh Chiren (Cungkar hihihi); Jennifer Connelly dapat porsi yang paling kurang di sini. Tokohnya diniatkan menambah sesuatu pada cerita, hanya saja malah jadi terlihat membingungkan karena begitu minimnya pengaruh dan porsi karakternya.

Yang mungkin paling mengganggu buat para penonton (buatku sih iyes) adalah elemen romance yang jatohnya malah jadi terlalu melodramatis. Elemen penting ini memang ada di sumber aslinya, kita pun bisa memahami ada kepentingan untuk membuat Alita jatuh cinta kepada seorang manusia, tapi bagaimana film menggambarkan hal tersebut – tanpa komedi-berarti yang menjadi katalis antara violence, action, dan dramatisasi ini – membuat kita berharap elemen ini lebih baik ditiadakan saja. Atau, masa sih mereka gak bisa mikirin cara yang lebih baik dari ini. Pace cerita menjadi tidak seimbang oleh karena elemen romantis yang melempar kita semua dari jalur yang kita sudah mengencangkan sabung pengaman. Film ini hampir menyentuh level ke-cheesy-an dialog pasir antara Anakin dengan Padme lewat dialog Alita yang literally menyerahkan hatinya.

 

 

 

 

 

Menyenangkan sekali manga dan anime terus dibuat menjadi film yang penuh perhatian terhadap sumber aslinya. Melegakan bahwa industri akhirnya menyadari potensi pasar dari sumber-sumber tersebut. Film ini, diniatkan sebagai pilar pondasi dari segi hiburan, terasa begitu mainstream dengan segala aksi dan kebrutalan yang seru, yang tergambarkan lewat visual dan produksi yang enggak main-main. Tapi mengingat ini dari manga, akan ada beberapa hal yang terasa aneh. Bagian cinta-cintaan itu, misalnya. Aku paham menyuruh orang membaca dulu materi asli sebelum menonton film adaptasi adalah tindakan yang sama adilnya dengan menyuruh orang harus tahu bikin film dulu sebelum mengomentari sebuah film. Karena film adalah media yang berbeda. Penonton pun bebas ingin menilainya secara ‘close reading’ ataupun secara kontekstual. Untuk kasus film ini, however, aku pikir penggemar manganya atau paling tidak orang yang mengerti bagaimana pakem manga/anime akan lebih bisa menikmati gaya berceritanya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ALITA: BATTLE ANGEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkan kalian mengalami suatu kejadian ketika tubuh terasa bergerak duluan sebelum sempat berpikir? Enggak termasuk waktu lagi mencret loh ya hhihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

MIRAI Review

“A sibling represents a person’s past, present, and future.”

 

 

Setiap anak pertama kepengen punya adik. Berdasarkan pengalaman aja sih, walaupun kejadiannya di usia empat-tahun, aku masih ingat jelas berlarian bolak-balik dari pintu depan ke pintu samping, nungguin orangtua pulang dari rumahsakit. Membawa adik bayi. Dan si adik harus cewek! Supaya gak ngambil mainan robot-robotanku, anak cewek mainannya boneka; sudah aku siapkan juga beberapa yang kayak boneka susan.

See, beberapa menit masuk ke film Mirai aku merasa relate banget ama si Kun, yang juga berumur empat dan menunggu kedatangan adik barunya dengan tidak sabar. Tapi tidak seperti diriku, Kun belum siap. Hati-hati terhadap permintaanmu, terutama jika kau tak mengerti apa yang kau minta. Anak seusia Kun belum memahami konsep keluarga. Pikirnya ‘adik’ mungkin sekedar teman yang mampir, atau mungkin mainan baru. Kun tidak mengerti dirinya sekarang menjadi abang. Bahwa adik adalah bagian dari keluarga, posisinya lebih dari anjing peliharaan mereka. Maka Kun pun mengalami apa yang disebut orang dewasa sebagai krisis status diri. Dia menjadi sangat iri ketika semua perhatian ibu dan ayahnya diambil oleh si adik, yang diberi nama Mirai. Dalam ngambek dan rengekannya setiap kali dimarahin ibu karena sudah membuat Mirai menangis, Kun pergi ke taman rumahnya di mana dia bertemu dengan anggota keluarganya yang datang kadang dari masa depan, kadang dari masa lalu. Lewat mereka-mereka ini, terutama Mirai versi remaja, Kun mengarungi zona waktu dan berjuang – dalam kapasitas anak seusianya – belajar memahami apa sebenarnya arti sebuah keluarga.

“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu”

 

Mamoru Hosoda sudah enggak diragukan lagi punya otak yang brilian sebagai sutradara film animasi. Karya-karyanya – The Boy and the Beast (2015), Wolf Children (2012), Summer Wars (2009) – bukan saja indah untuk dilihat, melainkan juga punya visi yang begitu kuat yang terasa begitu ingin ia komunikasikan kepada para penonton.. bahkan Digimon garapannya saja terasa lebih sedikit berisi. Mirai bukan termasuk pengecualian. Tertampil dalam kemulusan dan keelokan visual yang sudah kita harapkan, film ini berwarna oleh karakter-karakter yang begitu nyatanya sehingga kita jadi lupa mereka cuma tokoh animasi. Kun, ayahnya, ibunya, seperti orang yang benar-benar ada di dunia nyata. Tema fantasi yang dipunya oleh cerita tidak menjadikan film ini jauh, malahan membuatnya semakin grounded sebab fantasi yang kita lihat tersebut dengan kuat dan efektif melambangkan apa yang dilalui oleh karakternya, yang juga pernah dialami oleh kita.

Bagi anak kecil, secara keseluruhan film ini akan terasa sedikit berat. Fantasi yang ada tidak selamanya membawa mereka ke ranah keajaiban seperti pada cerita Alice ataupun Mary Poppins, sebagian besar yang kita saksikan adalah Kun dibawa ke masa ibunya masih seusia dirinya, atau lebih jauh lagi ke zaman kakek buyutnya masih segar bugar. Penonton cilik akan butuh bimbingan untuk mengikuti cerita, untuk memahami apa yang sedang dialami oleh Kun. Karena dalam petualangan Kun inilah letak pembelajarannya. Seperti misalnya petualangan Kun dengan kakek buyutnya sebenarnya adalah pelajaran mengatasi rasa takut yang dialami oleh Kun dalam belajar menaiki sepeda roda dua. Ataupun ketika Kun ngambek sama keluarganya, kita langsung dibawa ke dunia di mana Kun tersesat di stasiun kereta api, dia mengalami kejadian yang buat orang dewasa relatif kocak, namun akan sangat menakutkan buat anak kecil; ini jadi pembelajaran Kun harus mengakui gimana satu anggota keluarga punya keterikatan dengan yang lain, meskipun sering marah-marahan.

Anak kecil bisa meledak oleh begitu banyak emosi yang ia rasakan sekaligus. Karena mereka belum belajar mengontrolnya. Anak kecil seperti Kun yang gembira punya adik baru, tetapi pada saat bersamaan ia cemburu lantaran sang adik mencuri perhatian ayah ibu, mengambil kasih sayang mereka darinya. Juga ada beban yang ia rasakan ketika ayah ibu mengharapkan tanggung jawab dan kelakukan yang lebih baik darinya, yang serta merta akan menjadi penolakan jika anak sulung seperti Kun tidak diberikan pengarahan ataupun bimbingan.

 

 

Sementara perspektif cerita dibuat begitu konstan dan benar dari sudut pandang anak empat tahun (yang memang digambarkan sedikit lebih ‘dewasa’ dan pintar dibanding balita yang pernah kutahu) dalam melihat masalah keluarga dan eksistensi dirinya, di sisi sudut imajinasi, bangunannya sedikit enggak kokoh. Akan jauh lebih menantang jika film ini membuat elemen fantasi yang dialami Kun sebagai ambigu; kita tidak dibuat tahu pasti apa itu semua hanya imajinasi ataukah sebuah kejadian yang benar-benar terjadi. Film punya ‘modal’ untuk membuatnya demikian. Di awal-awal, Kun sudah dibangun sebagai anak yang punya imajinasi kreatif, menjelang akhir aku malah masih percaya bahwa semua kejadian ‘time-travel’ itu hanya imajinasi Kun – dia berinteraksi dengan kepalanya sendiri. Namun kemudian film melakukan adegan-adegan di mana akan menjadi mustahil Kun mengetahui sesuatu tanpa beneran ada orang yang memberitahu. Seperti si kakek buyut tadi. Saat mereka bertualang, Kun menganggap pemuda pincang yang ia temui itu adalah ayahnya. Namun setelah sekuen tersebut, kita menyaksikan Kun surprise melihat foto si pemuda ada di album keluarga, dan ibunya menyebut itu adalah kakek-buyutnya. Tidak mungkin Kun bisa membayangkan wajah orang yang belum pernah ia lihat, membayangkan apa pekerjaannya. Juga ada adegan ketika Kun menaruh surat maaf di dalam sepatu ibunya, meniru apa yang ibunya semasa kecil lakukan kepada nenek. Tidak mungkin Kun membayangkan sendiri detil ini – jadi pastilah dia benar-benar mengarungi waktu dan bertemu dengan ibunya waktu kecil.

tut..tut…tutt.. siapa hendak takut

 

Dan hal tersebut, buatku, mengecilkan perjalanan yang dilakukan oleh Kun. Setiap ada masalah, dia dengan convenient-nya dibawa oleh kekuatan pohon di taman untuk belajar dari anggota keluarga dari masa yang lain. Membuat kekuatan ‘time-travel’ itu benar-benar ada juga mengurangi nuansa fantasi yang diusung oleh cerita. Tidak lagi terasa sureal. Akan lebih memberikan impresi jika film tidak memberikan kepastian soal pertemuan Kun dengan orang-orang tersebut. Apalagi tokoh anjing peliharaannya juga dimunculkan sebagai karakter yang menyerupai manusia – yang sama sekali berada di luar konteks perjalanan menembus waktu. Jikapun memilih untuk tidak ambigu, film seharusnya mengambil rute yang sama sekali absurd, fantasinya betul-betul yang gak-masuk-akal seperti anjing yang menjadi manusia tersebut, sehingga lebih cocok dengan fantasi anak kecil seperti Kun.

Film ini membahas tentang ‘derita’ seorang anak pertama, yang sesungguhnya bukan berarti meniadakan cinta yang dirasa. Ada banyak ‘keuntungan’ yang diperlihatkan oleh film ini secara tersembunyi. Dalam kapasitasnya, film justru menyadarkan kita bahwa jadi anak pertama itu adalah anugerah dan keasyikan tersendiri yang tersembunyi di balik kecemburuan kekanakan.

 

 

 

Kemunculan sekuen time-travel yang seperti episode-episode ini juga membuat pace cerita sedikit gak imbang dan lumayan repetitif. Masalah – masuk sekuen – selesai dengan layar hitam. Penceritaan seharusnya bisa dibuat dengan lebih baik lagi. Memang agak mengecewakan jika kita mengingat ini adalah buatan dari sutradara sekreatif Mamoru Hosoda. Tapi bukan berarti film ini enggak bagus. Masih banyak kesenangan yang bisa kita dapatkan saat menonton. Penampilan voice akting yang meyakinkan – aku baca di IMDB versi amerika disuarakan di antaranya oleh Rebecca Hall dan John Cho yang membuat aku penasaran karena yang aku tonton ini adalah versi sub inggris yang berbahasa Jepang. Karakter-karakter yang ditulis seperti orang beneran sehingga relatable. Film ini menyentuh ranah yang tidak berani disentuh oleh animasi anak-anak kebanyakan, di mana tokohnya yang begitu muda dieksplorasi dengan sangat mendalam dan terasa begitu personal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for MIRAI.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Anak urutan keberapakah kalian? Pernahkah kalian pengen punya adik, atau pengen punya kakak? Dan sebaliknya, pernahkah kalian merasa menyesal udah minta adik, atau kalian harap kalian gak punya abang atau kakak?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

THE KID WHO WOULD BE KING Review

“United we stand”

 

 

Membela teman yang di-bully dan pada gilirannya tidak mengadukan apa-apa – kepada ibunya, kepada guru, kepada orang dewasa – tentang hal tersebut lantaran ia enggak mau perpecahan semakin besar karena mengungkit masalah; mungkin itu sebabnya Alex (Louis Ashobourne Serkis, temuan baru sang sutradara) mampu mencabut pedang Excalibur dari batu. Alex, seorang anak dua-belas tahun di era modern Britania Raya, telah menunjukkan sikap dan semangat yang tak-pelak dihargai oleh seorang kesatria seperti Raja Arthur dalam legenda. Kesetiaan, keberanian, pendirian untuk menegakkan persatuan sebagai prioritas utama. Kalian tahulah; sikap-sikap kepahlawanan.

Pedang Excalibur yang ia dapatkan mengingatkan Alex pada buku cerita yang seingatnya dulu diberikan oleh Ayah kepadanya. Tapi tidak sebatas rasa rindu yang diberikan oleh pedang tersebut. Masalah juga. Alex diserang oleh makhluk seperti zombie kesatria yang datang menyala bara api dari dalam tanah. Berkat informasi dan gemblengan dari seorang penyihir yang mengambil wujud anak muda berbodi kutilang (paling tidak sampai dia bersin, yang mengubah wujudnya menjadi seekor burung hantu), Alex mengerti bahwa dirinya terpilih sebagai Arthur masa modern. Tugas yang harus ia lakukan adalah mengalahkan Morgana, penyihir jahat berwujud monster yang ingin merebut Excalibur dan memecah belah dunia saat gerhana bulan empat malam lagi tiba. Untuk itu, Alex musti mengumpulkan Ksatria Meja Bundar versi dirinya sendiri, dari teman maupun lawan, dan berkelana bersama mencari sosok Ayah yang diyakini Alex adalah Raja Arthur yang sebenarnya.

Alex dan keadaan sosial tempatnya tinggal dijadikan perbandingan menarik terhadap kode-kode kekesatriaan tradisional oleh film ini. Sebagai cara mereka mempertanyakan ke mana perginya nilai-nilai luhur tersebut. Namun misi utama film ini sebenarnya adalah memperlihatkan dongeng kesatria kepada anak-anak seusia Alex yang mungkin sudah terlalu disibukkan (kalo tidak mau disebut dimanjakan) dengan kemudahan dan kenyamanan. Dalam film ini kita akan melihat Alex dan teman-temannya bertualang, dan bukan monster-monster perut bumi itu yang mengancam keutuhan mereka – melainkan kenyataan bahwa begitu gampangnya kelompok mereka terpisah; begitu banyaknya hal-hal yang membuat mereka terpecah.

Anak-anak jaman sekarang disebut lemah dan manja bukan exactly karena fisik dan tenaganya. Bukan karena mereka gendut kebanyakan duduk main gadget. Melainkan karena keogahan mereka untuk bersusah payah main keluar, mencari teman beneran, dan bersama-sama melakukan sesuatu yang mereka percaya. Anak-anak sekarang hanya kurang bersemangat menunjukkan sikap-sikap kesatria yang mungkin tak mereka sadar mereka miliki.

chivalry is not dead, Superman is

 

Film ini dibuka dengan sekuen animasi yang menawan yang memaparkan kisah Raja Arthur yang melandasi petualangan Alex. Babak penutup film ini pun tak kalah menariknya; ketika Alex dan teman-teman menjadikan sekolah sebagai benteng pertahanan – mereka mengenakan baju zirah, dengan pedang-pedang, menyulap papan gym menjadi kuda-kuda gauntlet, dan memasang jebakan untuk pasukan monster yang datang menyerbu. Pertempuran dalam film ini selalu berat oleh CGI tapi cukup memuaskan untuk dilihat, terlebih pertempuran terakhir yang melibatkan anak-anak berterbangan ke sana kemari berusaha mendaratkan monster terbang yang mengerikan. Pembuka dan penutup; itulah momen-momen terbaik yang bisa diusahakan oleh film ini. Sementara bagian di antaranya; bagian yang punya porsi paling lama – mengingat film ini berdurasi dua-jam, begitu datar sehingga hampir membosankan jika kita tidak dibawa keliling dataran Inggris yang punya pemandangan menawan.

Bukan sebab karena penulisannya – The Kid Who Would Be King ditulis dengan struktur yang bener. Kita dengan jelas dapat melihat motivasi Alex, kita melihat tantangan yang harus ia hadapi, kita melihat dia menyimpulkan apa yang harus ia lakukan, kita melihat dia belajar tentang apa yang harus ia lakukan, kita juga menyaksikan bagaimana dia mengambil jalannya sendiri. Hanya saja, Alex tidak pernah tampil benar-benar menarik. Untuk mencolok saja, dia butuh jaket merah sementara teman-teman di sekitarnya memakai jaket berwarna gelap. Selain bergantung kepada buku cerita yang berfungsi sebagai petunjuk baginya – yang merupakan aspek yang dibutuhkan dalam formula cerita semacam ini, Alex tidak punya kebiasaan yang membuat dirinya menarik. Kita tidak tahu hobinya apa. Aku akui, Alex ini adalah tipe anak baek-baek yang aku biasanya ledekin di sekolah, bukannya aku termasuk tukang bully, tapi sama-sama tahulah, akan ada satu anak pendiem di setiap sekolah yang jadi bahan candaan anak-anak lainnya. Anak itu adalah si Alex, dan Bedders – sohib Alex. Tidak ada yang unik dari kedua anak ini. Saat ‘berantem’ dengan para ksatrianya, Alex akan membuat kita menguap dengan kata-kata ‘sok baik’nya yang membuat kita memohon mereka langsung saja jotos-jotosan.

Bicara soal dialog, film ini membuat adegan animasi keren di pembuka itu menjadi tidak berguna, karena apa-apa yang sudah dijelaskan dengan visual menarik tetap saja diulang kembali saat para tokoh mengucapkan dialog-dialog eksposisi. Film seharusnya memfokuskan dialog untuk pengembangan karakter saja, tidak perlu lagi menjabarkan tentang dunia Arthur. Atau malah, animasi pembuka itu enggak usah ada aja sekalian. Memilih, hanya itu yang harus dilakukan, enggak susah kok.

Sekali-kali Patrick Stewart akan muncul untuk membuat kita berpikir film ini penting

 

Adegan yang lebih banyak gerakan – seperti mereka latihan berantem melawan pohon, melatih anak-anak untuk menjadi prajurit, kejar-kejaran dengan monster – masih mampu untuk menghibur kita. Aku jadi menunggu-nunggu gerakan tangan annoying yang dilakukan oleh Merlin yang flamboyan sebab aku tahu bakal ada sihir dan keasikan menonton akan sedikit terangkat oleh keajaiban. Beberapa lelucon juga sanggup menghadirkan cekikikan di sana-sini. Aku suka sindiran yang film ini lakukan terhadap ayam goreng fast-food, paling enggak sampai film ini memutuskan untuk menjelaskan sindiran tersebut lewat omongan. Yang mana semakin menunjukkan sutradara Joe Cornish tidak sepede sebelumnya saat dia menggarap Attack the Block (2011) thriller alien yang begitu segar dengan arahan yang berhasil membuat perjuangan anak-anak remaja yang tak berkekuatan khusus – sama seperti The Kid Who Would Be King ini – sangat mencengkeram sehingga termasuk ke dalam Top-8 film favoritku tahun itu.

Ketimpangan antara penulisan struktur naskah dengan pengarahan ini semakin terlihat ketika pada setelah sekuens false-resolution, film menjadi seperti berakhir dan kembali dimulai. Seperti ada sekat yang memisahkan, yang membuat petualangan yang sebelumnya tidak lagi berarti meskipun sebenarnya kita paham ada pembelajaran yang dikenai kepada tokoh utama, ada kepentingan dalam perjalanan sia-sia yang mereka semua lakukan. Namun seperti yang aku tulis di atas, babak terakhir yang menarik ketimbang pertengahan yang bahkan ternyata mereka hanya mengejar hal yang basically tak ada – ada pembangunan yang runtuh seketika sehubungan dengan siapa ayah Alex – membuat kita berpikir seharusnya film ini fokus saja di sekolah. Jika ada yang menjanjikan petualangan aksi medieval dengan anak sekolah sebagai tokohnya, maka tentu hal unik yang kita pikirkan adalah membawa aksi tersebut ke lingkungan mereka, atau mungkin membawa mereka ke zaman yang bersangkutan. Benar-benar membentrokkan mereka. Bukannya malah membawa mereka jalan-jalan sebagian besar waktu.

 

 

 

 

Terasa lebih bermain aman ketimbang sebelumnya, Cornish membuat film fantasi anak-anak ini kurang menantang. Ia seperti tidak begitu mengimbangi bangunan naskah yang ditulis dengan baik. Film ini kurang exciting. Meski ia berhasil menjalankan fungsinya sebagai dongeng kekinian yang membandingkan moderen dengan tradisional dalam rangka menjunjung tinggi nilai persatuan. This is an okay film. Aman dan berbobot ditonton bersama keluarga. Hanya dengan sedikit terlalu banyak aspek-aspek yang datar, seperti hubungan Alex dengan ibunya, dengan teman-temannya yang lain, and heck, Alex barely has anything to do with Morgana, yang mestinya bisa dieksplorasi dengan lebih emosional lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for THE KID WHO WOULD BE KING.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Coba tanyakan kepada diri sendiri, apakah kalian mampu mencabut Excalibur dari batu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.