GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN Review

Write as well as you can and finish what you start.

 

 

 

Kalo ada film yang bisa kumaafkan memakai fake jumpscare, maka film itu haruslah memiliki kata Goosebumps pada judulnya. Sebab dari buku-bukunya, Goosebumps memang banyak memakai adegan serem yang berkonsep ‘ternyata cuma salah lihat atau dikagetin sama teman’. Bahkan tak jarang kita akan menemukan satu buku Goosebumps yang aktual monsternya hanya muncul di bagian akhir, sedangkan sebagian besar isinya berisi sang tokoh ‘salah sangka’ melihat monster. Mungkin saja aku terdengar sedikit bias terhadap judul ini. Tapi sebagai pembelaan, susah untuk tidak memandang tinggi guru yang udah ngajarin kita banyak hal.

Dan buatku, Goosebumps tak ubahnya buku pelajaran, dan R.L. Stine adalah gurunya.

 

Menginspirasiku untuk menggunakan imajinasi dan menuliskannya di kertas kala aku masih SD (baca juga Delapan Buku Goosebumps Paling Serem Favoritku), aku senang melihat gimana Goosebumps menjelma menjadi sebuah film yang mengumpulkan semua makhluk seram itu dan actually menceritakan mereka punya beef ama R.L. Stine. Film Goosebumps (2015) sangat menyenangkan, dan suprisingly gak jelek. Aku suka gimana film membangun ceritanya berputar kepada R.L. Stine dan kaitannya dengan pekerjaannya sebagai penulis cerita horor anak-anak. Sekuelnya ini, meski aku sedikit kecewa karena tokoh sang pengarang – R.L. Stine hanya muncul di menjelang akhir (dan mau-tak-mau kita harus mengakui peran Jack Black cukup besar menghidupkan tokoh ini), masih ada sangkut pautnya dengan kegiatan menulis. Dalam kapasitas horor fantasi yang fun, ceritanya seperti berusaha meraih anak-anak untuk mengeluarkan imajinasi mereka – baik itu melalui tulisan, ataupun projek karya ilmiah di kelas – tanpa harus takut gagal. Yang terutama menarik bagiku adalah film ini bermain dengan ide ‘gimana jika penulis seikonik R.L. Stine mengalami writer’s block‘ yang ultimately film ini berusaha memberi jawaban terhadap pertanyaan ‘apa yang harus kita lakukan kalo kita gak tahu harus menulis apa?’

Sarah (Tokoh Madison Iseman ini memang terlalu ‘tua’ untuk ukuran protagonis cerita Goosebumps) bingung musti nulis apa untuk esai pendaftaran universitas. Topik mengenai rasa takut harus ia jabarkan, namun otaknya nge-blank. Halaman Word nya komputernya tetap kosong. Ide memang kadang datang dari sumber yang tak terduga. Sonny (Jeremy Ray Taylor mirip Jack Black cilik), adik Sarah, yang membuka usaha bersih-bersih sampah menemukan ‘harta karun’ saat dia dan temannya menerima job untuk membersihkan sebuah rumah tua. Yang ternyata adalah bekas rumah R.L. Stine. Mereka menemukan buku yang terkunci dan boneka ventriloquist yang mendadak muncul saat buku tersebut dibuka – kita semua tahu siapa boneka itu! Slappy yang mereka bawa pulang, dengan segera menimbulkan kekacauan di kota. Slappy menghidupkan seluruh kostum monster dan dekorasi halloween demi membangun keluarganya sendiri. Keluarga yang tak pernah ia dapatkan lantaran R.L. Stine, sama seperti Sarah, tidak mampu menyelesaikan cerita yang ia tulis. Sekarang Sarah dan Slappy mesti berlomba ‘menuliskan’ ending dari buku horor R.L. Stine yang terlupakan tersebut.

“buku kok dikunci?” hah, anak sekarang belum pernah megang diari sih ya

 

Resep cerita yang bagus adalah terdapat keparalelan antara motivasi para tokohnya, protagonis dan antagonis menginginkan hal yang sama namun mereka punya pandangan dan cara yang berbeda dalam mencapainya. Goosebumps 2: Haunted Halloween, nun jauh di dalam sana, punya aspek tersebut. Sarah seorang creative writer muda yang ingin bisa menyelesaikan tulisan tentang apa yang ia takuti. Sonny yang ingin bisa menyelesaikan proyek kelasnya. Dibentrokkan dengan Slappy, tokoh cerita khayalan, yang ingin cerita dirinya tidak menggantung. Aspek menarik dalam narasi film ini sayangnya tertutup oleh elemen monster-monster, yang enggak konyol sih, hanya saja terlihat remeh karena tidak terasa digarap dengan serius. Seperti tidak ada passion dalam arahannya. Mereka hanya tampak ingin menyelesaikan proyek sekuel ini dan tidak benar-benar memperhatikan – atau mungkin juga enggak sreg – dengan material ceritanya. You know, karena menyelesaikan sesuatu yang sudah dimulai itu adalah hal yang penting. Film ini seperti terjebak dalam konundrum yang ia ciptakan sendiri, sehingga berujung kepada hasil akhir yang membuat kita berpikir “kenapa jadinya malah begini?”

Ingat ketika masih kecil selalu dibilangin “makan harus dihabisin, kalo enggak nanti nasinya nangis?” Well, kalo cerita horor enggak diselesaikan, maka Slappy akan sedih dan bikin sendiri cerita versi dirinya. Dan – mengutip buku – Slappy will fight dirty. Jangan takut untuk menuntaskan apa yang sudah kita mulai.  Tanggung jawab bukanlah rintangan, bukanlah momok. Kita tidak disebut gagal karena salah. Kita gagal karena tidak menyelesaikan.

 

Efek CGI pada film ini terlihat seperti penurunan dari efek pada film yang pertama. Dan bahkan pada film pertama efeknya tidak benar-benar luar biasa. Ada rasa terburu-buru jika kita melihat gimana film kali ini bergulir. Banyak adegan yang kurang rapi, efek yang belum clear benar. Budget sepertinya memang menunjukkan ‘suara’nya di sini. Pada adegan-adegan seperti Slappy di kaca mobil, Gummy Bear yang menyerang manusia, efeknya terasa seperti film televisi. Dan itu bisa jadi adalah pujian terhebat yang bisa kita kasih buat film ini; film televisi untuk keluarga yang begitu menyenangkan. Perfectly fine to watch, tidak menurunkan IQ kita sekeluarga. Nostalgia penggemar bukunya juga tidak akan tercoreng. Tapi mainly, itu karena film ini tidak melakukan banyak hal sebanyak yang mestinya ia lakukan.

Selalu seru melihat monster berkeliaran sekeliling kota. Akan tetapi, selain sebagai upaya untuk memperlihatkan kembali monster-monster klasik Goosebumps, menyatukannya dengan tradisi halloween, kita tidak melihat banyak alasan lain monster-monster tersebut ada di sana. Keberadaan mereka tidak terasa spesial, lantaran mereka enggak benar-benar ngapa-ngapain dengan tokoh utama kita. Kita bisa menonton ini dengan membuang bagian tengahnya – ngeskip ke ‘markas’ Slappy dan tetap mengerti isi cerita. Yang dilakukan Slappy cukup mengerikan, terutama buat anak kecil; sebenci apapun kita menyangka terhadap keluarga, kita tidak mau kejadian buruk menimpa keluarga. Kedatangan R.L. Stine sendiripun sebenarnya tidak terlalu penting, tapi menurutku karena film ‘salah menempatkan’ posisi tokoh ini. Dia bisa saja masuk lebih awal, dan memberikan lebih banyak peran dan makna daripada sekedar paparan jawaban. Tapi kupikir, sekali lagi ini masalah budget, jadi film tidak bisa mendapatkan Jack Black untuk waktu yang lebih lama.

siapa yang menelepon Sonny nyuruh bersihin rumah Stine tak pernah disinggung lagi hingga akhir

 

 

Ken Jeong turut bermain di film ini. Dan perannya juga tidak banyak berperan dan menambah bobot dalam cerita. Dia bermain sama persis dengan peran-perannya di film lain. Sebagai tetangga Sarah dan Sonny yang terobsesi banget dengan ngedekor rumah untuk acara halloween – laba-laba raksasa buatannya jadi monster paling keren yang dihidupin Slappy – aku mengira dia bakal punya peran yang lebih besar. Tapi sama seperti pada Crazy Rich Asians (2018)Ken Jeong ada untuk sesekali menyiramkan lelucon.

 

 

 

Hampir setiap kesempatan, film mengambil keputusan yang seperti tidak berfaedah apa-apa. Malah ada satu subplot tokohnya yang lebih cocok sebagai cerita seri buku karangan R.L. Stine yang lain, Fear Street (versi remaja dari Goosebumps). Romansa remaja pada dasarnya tak punya tempat dalam halaman Goosebumps. Film ini sesungguhnya bisa melakukan lebih banyak, hanya saja arahannya seperti tidak punya passion dan sekedar ingin menyelesaikan cerita. Pun begitu, ini bukan film yang jelek dan ngasal total. Aku suka aspek tentang menulis yang dikandungnya. Elemen monsternya pun cukup seru dan bisa merangkul semua anggota keluarga yang menontonnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa yang biasanya kalian lakukan ketika mengalami Writer’s Block? Pernahkan kalian merasa pengen menyerah dalam melakukan sesuatu? Apa yang kalian lakukan saat itu, did you actually finish what you’ve done, atau meninggalkannya? 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books

Twist ending dan fake jumpscares, dua faktor utama yang terus dieksplorasi dalam banyak film horor masa kini, dapat kita telusuri jejaknya hingga ke seri buku horor anak-anak karya R.L. Stine; Goosebumps. Mungkin terbacanya sedikit aneh, bagaimana mungkin sebuah buku bisa berisi jumpscare, apalagi jadi  pengalaman seru dan menegangkan untuk dibaca? Di situlah ‘hebatnya’ penulisan cerita-cerita Goosebumps. Aku actually sudah membicarakan soal itu di review film Goosebumps (2016).

 

Bicara tentang bukunya, jika dibaca ketika kita udah gede, memang ceritanya yang tentang monster dan makhluk aneh bakal terdengar konyol. Tapi Goosebumps – yang ternyata pertama kali terbit tahun 1992, meski masuk ke Indonesia apalagi kampungku lumayan telat – dengan tepat menangkap hal-hal sederhana yang tampak horor di mata anak-anak. Permasalahan sehari-hari tentang ketakutan anak kecil sama guru, sama tetangga baru, sama tetangga yang halaman rumahnya diberantakin sama anjing peliharan miliknya, sama tukang bully, sama idola yang ternyata tidak sebaik yang diduga, dan terutama sama orangtua yang gak percayaan sama omongan kita.

Goosebumps adalah salah satu dari tiga seri buku (dua lainnya adalah Animorphs dan Lupus) yang berperan penting dalam tumbuhnya minatku terhadap menulis dan bercerita. Aku masih ingat gimana dulu waktu masih kelas enam SD, aku dan temenku setiap minggu ke taman bacaan. Kami menyewa masing-masing tiga buku Goosebumps, dan dalam waktu seminggu kami lalap enam buku tersebut. Enam-puluh-dua judul buku seri original Goosebumps itu aku baca di mana saja, meski sembunyi-sembunyi karena my dad said he will kill me jika dia melihatku baca buku yang bukan terbitan Tiga Serangkai (alias buku sekolahan). Dan sejujurnya, aku merasa ayahku tidak bercanda saat beliau mengatakan hal tersebut. Jadi, horor bagi anak-anak seusiaku saat itu adalah hal yang begitu dekat dan menarik – as in, apa aja bisa jadi horor buat kita saat masih kecil. Aku bawa buku Goosebumps ke sekolah, membacanya saat jam istirahat. Ke tempat ngaji, membacanya di bawah meja sebelum tiba giliranku membaca Al-Quran. Ke atas pohon cherry, di mana aku bisa bersembunyi dari tugas rumahan. Dan setelah baca semuanya, aku dan temenku itu, kami mengarang sendiri cerita komedi detektif berdasarkan judul-judul buku Goosebumps tersebut.

Beruntungnya, di era internet sekarang, kita bisa dengan lebih mudah dapatin bacaan klasik ini. Aku pun sekarang membacanya enggak mesti backstreet lagi. Upon re-reading, aku menemukan dan mengerti banyak hal soal kenapa buku-buku ini, cerita-cerita seramnya, bisa begitu melekat di hati anak-anak. Segala trope-trope horor, fantasi, monster-monster yang bisa kita temui di film-film, dapat kita dapatkan juga di sini. Imajinasi R.L. Stine luar biasa liar, sehingga seolah cerita-cerita karangannya – gimana dia menceritakan mereka – terasa seperti lebih maju pada jamannya. You know, dari gimana R.L. Stine terus memerah trope usang, menjadikannya cerita-cerita baru pun sepertinya banyak memberikan insipirasi. Buku-buku Goosebumps masih terus dibuat, malah banyak seri terbarunya yang belum pernah kubaca.

Demi menyambut rilisnya film Goosebumps yang kedua, menurutku tepat waktunya untuk membuat daftar delapan-besar buku Goosebumps original favoritku. Mereka terpilih berdasarkan seberapa besar ceritanya memberikan pengaruh, bukan hanya kepadaku. Dari seberapa banyak dia bisa relate kepada pembaca anak-anak. Dan tentu saja dari seberapa suksesnya membuat kita seru-seruan ber-goosebumps-ria!

 

 

HONORABLE MENTIONS

  • #10 Tetangga Hantu (arguably buku yang paling populer, dengan twist ala M Night Shyamalan untuk menutup cerita dengan hangat)
  • #08 Gadis Pencinta Monster (actually buku Goosebumps pertama dengan twist ending)
  • #11 Topeng Hantu (cerita bertema halloween tentang anak yang dikendalikan oleh topengnya, terdengar seperti Venom, bukan?)
  • #54 Kamar Hantu (ala Home Alone, tentang anak yang menginginkan keluarganya tidak ada)
  • #20 Teror Orang-Orangan Sawah (ketakutan anak kecil terhadap kakek dan neneknya, dan orang-orangan sawah)
  • #16 Suatu Hari di HorrorLand (gimana kalo taman rekreasi malah mencoba untuk membunuhmu, alih-alih hanya morotin duitmu)
  • #04 Bergaya Sebelum Mati (kamera yang bisa memotret kejadian buruk yang bakal menimpa objek yang dijepret, ini semacam cerita melawan takdir kayak Final Destination)
  • #61 Teror di Ruang Bawah Tanah (deskripsi paling disturbing jadi sajian buku ini)
  • #32 Boneka Hidup Beraksi II (kemunculan Slappy si Boneka Ventriloquist, antagonis paling populer seantero semesta Goosebumps)

 

 

 

8. MISTERI HANTU TANPA KEPALA (#37)

Ini adalah buku Goosebumps pertama yang aku baca. Dan efeknya masih terasa sampe sekarang. Cerita ini punya semua yang bisa anak kecil minta dari kisah horor. Rumah angker, eksplorasi, dan tentu saja; hantu.

Tentang Duane dan Stephanie ikutan tur rumah hantu. Aku sendiripun selalu tertarik ama wahana rumah hantu, tapi sayangnya di Indonesia aku belum nemu rumah hantu yang sistemnya kayak tur masuk museum seperti pada cerita ini. Kedua tokoh kita luar biasa tertarik mendengar kisah seram tentang rumah tersebut yang ternyata dihuni oleh hantu anak tanpa kepala. Saking tertariknya, mereka berdua memisahkan diri dari rombongan tur dan mengeksplorasi rumah tersebut sendirian. Umm, berdua. You get the point. Tentu saja , mereka menemukan hantu tersebut. Dan setelah minor twist, Duane dan Stephanie kudu berkeliling mencarikan kepala hantu yang hilang untuk bisa keluar dari sana.

Covernya aja udah bikin aku sulit memejamkan mata. Ditatap dingin begitu oleh kepala hantu berambut belah tengah. Actually, pertama kali tahu ada buku hantu namanya Goosebumps, memang aku milih-milih dari covernya mana yang kelihatan paling seram. Dan aku milih buku ini.

 

 

 

 

7. KENAPA AKU TAKUT LEBAH (#17)

Covernya lumayan disturbing. Aku selalu ngeri sendiri melihat makhluk-makhluk yang kepalanya besar, tidak proporsional dengan tubuhnya. Aku bahkan takut lihat figure bobble head, serius.

Tapi sejujurnya, sewaktu kecil, ini adalah salah satu buku yang kuskip dan baca belakangan, karena gak bener-bener ada hantunya. Dan dulu aku pikir cerita kayak gitu enggak seram. Sinopsis di bagian belakang bukunya juga ‘apa banget’. Gary Lutz yang takut lebah, dia sering dibully karenanya. Lelah dengan semua itu, Gary ikutan program bertukar tubuh di kotanya. Alih-alih menjadi anak lain, Gary malah masuk ke tubuh lebah. Fiksi ilmiah yang sangat aneh, kedengarannya ya.

Membaca cerita ini saat dewasa, aku bisa melihat apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh R.L. Stine di buku ini. Adalah tentang mengatasi ketakutan dengan mencoba memahami ketakutan itu sendiri. Dengan menjadi hal yang kita takutkan. Cerita yang actually berlapis, tapi tetep konyol sih, lantaran konsep yang gak masuk akal dan lapisan terluar cerita ini beneran pelajaran tentang lebah. Anak-anak ya ogah disuruh belajar hihi.

 

 

 

 

 

6. TOPENG HANTU II (#36)

Meskipun waktu kecil dulu selalu mupeng lantaran enggak ada tradisi Halloween di lingkungan rumah, aku tahu betapa pentingnya mengenakan topeng paling seram yang bisa kita dapatkan. Apalagi buat anak seperti Steve. Yang keren dari cerita buku ini adalah, ceritanya terasa luas, kontinu, dan sangat fresh dengan role reversal. Steve sebenarnya adalah salah satu anak yang ngebully tokoh utama di Topeng Hantu pertama. Karena kejadian di buku pertama, kini mereka temenan. Tapi sebenarnya karena Steve pengen tampak paling keren dengan topeng ‘seotentik’ milik Carly Beth.

Di luar lapisan cerita tentang kehidupan sosial anak SD tersebut, buku ini menyimpan horor yang cukup dalem (untuk ukuran cerita buat anak kecil). Yaitu mengenai kengerian anak kecil menjadi orang tua. Topeng Steve membuatnya menjadi monster tua, dan cerita benar-benar mendeskripsikan ngerinya pengalaman Steve harus bertindak seperti yang diinginkan oleh topengnya

 

 

 

 

5. JAM ANTIK PEMBAWA BENCANA (#28)

Bukan tentang burung setan yang tinggal di dalam jam kukuk, sebenarnya ini adalah cerita tentang perjalanan waktu. Bayangkan episode Twilight Zone, hanya saja berbentuk buku.

Aku menemukan dua horor dalam cerita ini. Pertama tentang betapa ngerinya punya adek cewek yang begitu nyebelin, dia mengacau semua hal, dan malah kita yang dipersalahkan. Dan harus membereskan semuanya. Michael ‘dendam’ ama adeknya. Jadi, ketika mereka membeli sebuah jam kukuk antik, Michael berencana untuk merusakkan jam tersebut supaya dia bisa memfitnah sang adek. Tapi ada sesuatu yang ganjil ketika Michael mundurin jarum jam; dirinya juga ikut mundur ke masa lalu! Yang membawaku ke horor yang kedua; Betapa membetulkan kesalahan di masa lalu itu sungguh sulit untuk dilakukan, bahkan jika kau punya kemampuan untuk balik ke masa lalu. Konsekuensi akan selalu ada, dan buku ini benar-benar bikin kita ngeri bahwa seringnya hal-hal tertentu tidak bisa diubah.

 

 

 

 

 

4. HOROR DI CAMP JELLYJAM (#33)

Buku dengan ending paling “What the…!?” seantero seri original. Goosebumps memang terkenal dengan caranya mengakhiri cerita; antara ngegantung atau dengan twist super aneh. Dan buku ini, seberapapun sintingnya kau menerka, tetep akan meraih gelar juara ending paling aneh sedunia akhirat.

Di luar endingnya, sebenarnya buku ini punya gagasan cerita yang menarik. Kalian tahu gimana bagi anak kecil setiap aspek hidup bisa jadi lomba? Kita dulu girang bisa makan paling cepat. Bisa naik sepeda satu tangan. Ambisi kekanakan untuk terus menang itulah yang digali dalam cerita ini.

Camp Jellyjam adalah perkemahan musim panas bertema olahraga. Tiada hari tanpa kompetisi buat para peserta, karena setiap malam para pemenang kompetisi akan dikasih penghormatan dan hadiah. Anehnya, para pemenang tidak pernah kelihatan lagi esok hari. Jelas sekali ada misteri di balik semua ini, seperti surga yang ternyata adalah mulut manusia bagi tokoh-tokoh dalam animasi sarkas Sausage Party. Cerita buku ini punya selera humor, dan tetap berhasil menguarkan teror kengerian karena kita akan merasakan was-was itu sedari beberapa halaman pertama.

 

 

 

 

3. ARWAH PENASARAN (#56)

Cerita Goosebumps akan banyak yang mengambil setting di perkemahan karena memang ‘budaya’ orang sana untuk mengirim anak ke luar dari rumah, untuk beraktivitas di perkemahan sepanjang liburan musim panas. Dan dikirim oleh orangtua ke pondok banyak nyamuk, banyak binatang liar, bergaul dengan orang asing, tak pelak merupakan pengalaman yang mengerikan buat banyak anak-anak. Salah satunya Sarah dalam cerita ini. Dia membenci semua kegiatan di alam bebas, dia susah bergaul, dan orangtuanya malah tega mengirimnya ke perkemahan olahraga air.

Tak seperti Camp Jellyjam, cerita buku ini lebih girly dalam sense Regina George di film Mean Girls sekiranya pernah membaca buku ini waktu masih kecil. Ceritanya memang seputar mean girls yang harus dihadapi Sarah. Keputusan Sarah mengenai cara menghadapi mereka yang bikin buku ini terasa begitu gelap.

Sarah pura-pura mati dengan tenggelam di danau.

Bayangkan ini gimana kalo ditiru sama anak cewek yang baca? Tapi buku ini hadir di masa yang tidak terlalu sensitif, sehingga narasinya yang menyerempet ambang antara nelangsa dengan bego itu dijadikan aspek horor yang benar-benar mengerikan. Sarah yang pura-pura tenggelam mendapat teman, yang sudah mati beneran!

 

 

 

 

 

 

2. MESIN TIK HANTU (#55)

Saat masih kecil, ini adalah buku yang actually menggebahku untuk menulis cerita horor. Saat udah gede, aku semakin respek sama buku ini, karena sekarang aku bisa merasa semakin relate dengan tokohnya. Buatku, ini adalah cerita paling cool dalam di antara Goosebumps yang pernah aku baca.

Tokoh dalam cerita ini, Zackie, suka mengarang cerita seram. Bagai orang mengantuk disodorkan bantal, Zackie dikasih mesin tik dari seorang penjual barang antik yang tokonya kesambar petir. Tunggu. Anak-anak jaman sekarang pada tahu mesin tik ga nih? Itu loh, yang selalu dibawa-bawa pacarnya Starla. Anyway, kejadian menjadi menarik (horor tapi menarik) ketika semua cerita seram yang diketik Zackie pada mesin tik tersebut, menjadi kenyataan!

Menurutku, apa yang ingin disampaikan oleh R.L. Stine di sini adalah gimana tanggungjawab kita atas sesuatu masalah yang kita ciptakan sendiri. Ini adalah pesan yang penting bagi anak kecil, karena ya kita ngaku-ngaku aja, saat kecil kita cenderung egois – maunya benar melulu. Dari segi penulisan, kita juga bisa melihat Stine benar-benar enjoy menulis ini, dia tidak memberikan solusi mudah bagi tokohnya. Hampir terasa personal bagi dirinya, karena ini adalah penulisan tentang penulisan.

Dan ya, bagi yang penasaran; Mesin tik ini actually jadi senjata utama untuk mengalahkan para monster di film Goosebumps

 

 

 

 

 

Setiap buku Goosebumps memberikan pengalaman horor yang berbeda-beda. Kita tidak perlu baca semuanya, karena terkadang karakternya lumayan repetitif. Tapi meski begitu, kualitas cerita setiap buku sangat konstan. Bahkan buku yang berupa ‘sekuel’ pun bisa berdiri sendiri. Tapi kita akan merasa pengen untuk membaca semuanya. Karena kita penasaran ide apa lagi yang akan diangkat. R.L. Stine begitu berhasil membuat kita kepancing dan betah, sejak dari buku pertamanya.

Dan ya, inilah buku Goosebumps peringkat pertama kami:

1. SELAMAT DATANG DI RUMAH MATI (#01)

Diawali dengan sangat klasik; keluarga Benson sampai di kota baru mereka. Mereka mengalami kejadian ganjil, tentu saja di rumah baru mereka. Apakah rumah mereka berhantu? Well, hantunya boleh jadi adalah produk dari imajinasi keluarga Benson. Tapi nyatanya memang ada sesuatu yang jahat, di kota tersebut.

Apa yang tadinya kita kira adalah cerita rumah hantu, dengan perlahan tabir itu dibuka lapisan demi lapisan. Progres narasi buku ini terasa sangat natural. Kita akan belajar bersama tokoh cerita, menyusun kesimpulan gimana seluruh kota sudah mati, dan para penghuni yang tak lagi hidup itu menyiapkan perangkap bagi keluarga Benson; Mereka adalah korban berikutnya yang akan dihisap darahnya dan dijadikan zombie.

Jauh sebelum The Walking Dead, Goosebumps sudah bereksperimen dengan zombie-zombie dan buku ini sukses berat menghadirkan kengerian. Bahkan imaji-imaji mengerikan. Ada satu adegan di buku yang menceritakan para tokoh melelehkan wajah para zombie, atau hantu, atau apapun lah mereka. Buku ini sangat detil mendeskripsikan horornya. Jumpscarenya akan membuat kita turut melonjak, hanya dengan membayangkan saja.

Akan susah untuk enggak jatuh cinta dengan Goosebumps setelah kalian membaca buku ini.

 

 

 

 

 

Goosebumps penuh dengan monster, twist, dan cerita aneh. Itulah yang menyebabkannya begitu menyenangkan untuk dibaca. Seram, tapi semuanya dicraft dengan begitu baik sesuai dengan gaya yang menurut sang penulis dapat diterima oleh pembaca sasaran. Menurutku, setiap anak kecil perlu membaca, paling tidak, satu cerita seram semasa kanak-kanak mereka. Karena seperti kata R.L. Stine, monster atau hantu itu diciptakan supaya kita bisa siap menghadapi dunia nyata, letak horor sesungguhnya. Bukan hanya itu, R.L. Stine juga sudah berhasil membuat satu anak kecil jadi tertarik untuk menulis, untuk bercerita, menumbuhkan ketertarikan dengan monster-monster. Anak kecil itu, ya aku.

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa buku Goosebumps favorit kalian? Kenapa ya, kira-kira, Goosebumps yang dicetak ulang baru-baru ini kurang mendapat sambutan dari anak-anak? Apakah masa  buku dan media cetak memang sudah lewat? Apakah kenyataan tersebut tidak menyeramkan buat kalian? 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

Review buku ini terpilih untuk dimasukkan dalam kampanye “Blog Review Buku Terbaik,” dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.

VENOM Review

“Love is a positive, symbiotic, reciprocal flow between two or more entities.”

 

 

Eddie Brock menjadi jurnalis investigasi terkenal tidak dengan berobjektif-ria melaporkan fakta yang bisa dibaca orang di tempat lain. Dia mengungkap sesuatu yang (mungkin) disembunyikan, membangun pendapat dan penilaian pribadinya, melakukan riset terhadap suatu cerita, kemudian mempersembahkannya sebagai berita. Brock ‘memeras’ urusan orang demi keuntungannya, begitulah cara dia menegakkan kebenaran. Jurnalis kayak Brock ini pasti punya banyak musuh, bahkan orang terdekat pun bisa terluka olehnya. “You’re pathologically self absorbed!” pungkas pacarnya ketika Brock membawa dirinya ikutan dipecat lantaran Brock melanggar batas dalam suatu sesi wawancara dengan ilmuwan ternama. Ternyata, pathologically self absorbed tersebut sungguh foreshadowing apa yang bakal terjadi kepada Brock. Sebuah (atau seekor?) parasit luar angkasa terserap masuk ke dalam dirinya, mengubah Brock menjadi monster mengerikan; sesuatu yang selama ini hanya dikatakan orang mengenai dirinya.

Dunia lebih butuh jurnalis-jurnalis monster seperti Eddie Brock, yang menghadirkan berita yang menggigit disertai dengan investigasi rumit sehingga data-datanya kumplit, as opposed to berita yang hanya nyari sensasi – untuk kemudian diketahui ternyata hoax

 

Kita suka Venom lantaran tokoh ini brutal, ya selera humornya yang terkadang aneh, ya aksi berantemnya sangar. Jadi keputusan membuat film ini dengan rating PG-13 cukup membuatku menjulurkan lidah. Tapi, ya, bisalah kita pahami karena boleh jadi mereka ingin mengolaborasikan Venom dengan Spider-Man dan superhero Marvel yang lain di kemudian hari. Jadi, tone-nya harus diseragamin ringan. Dan demi memikirkan kemungkinan ini, kedua mataku terbelalak lebar. Mungkinkah mereka bisa bersatu – Venom actually adalah yang pertama dari Marvel Universe garapan Sony, sedangkan Spidey sudah bersarang di Marvel Cinematic Universe milik Disney? Venom dan Spider-Man tidak bisa untuk tidak tampil bersama, but how they could pull it off – apakah bakal ada dua Spider-Man?? Skenario terburuk adalah franchise Spidey versi Andrew Garfield yang failed dihidupkan kembali oleh Sony karena film Venom ini atmosfernya deket banget dengan film Amazing Spider-Man tersebut.

kurang lebih begini juga tampangku memikirkannya

 

 

Kekhawatiranku itu harus ditunda dulu karena film ini sudah dimulai. Tapi enggak lama sih, karena dari adegan pembukanya saja kita langsung bisa menerka betapa plotnya bakal se-basic yang bisa kita dapatkan dari cerita superhero – meskipun Venom sebenarnya tidak benar-benar pahlawan, dia lebih dekat sebagai antihero. Perusahaan jahat membawa organisme alien ke Bumi untuk suatu rencana pemusnahan umat manusia, yang tentu saja menjadi senjata makan tuan lantaran organisme itu gagal untuk mereka kendalikan. Eddie Brock berusaha mengungkap tindak yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Yang membawanya langsung kepada salah satu organisme yang disebut Symbiote. Brock dan si Symbiote yang menjadikannya inang belajar untuk bersatu. Atas nama para pecundang alam semesta, mereka berusaha mengalahkan rencana jahat dan menyelamatkan dunia.

Ada banyak bualan dan berbagai bentuk pseudo-science yang tidak pernah tampak menarik barang satu kali pun. Kita tidak perlu berlama-lama dibuai oleh cerita origin. Mereka punya kesempatan untuk mengarang cerita origin baru yang menarik, yang berbeda dari komik, tapi yang berhasil mereka rangkai merupakan cerita yang begitu usang yang bahkan anak kecil yang sudah nonton superhero dua tahun terakhir bisa mengarang cerita lebih bagus dari ini. Karena yang kita ingin lihat sebenarnya adalah bagaimana Eddie Brock belajar untuk kompakan dengan Venom di dalam tubuhnya. Dan bahkan aspek tersebut pun terasa cukup biasa, lantaran baru-baru ini kita sudah disuguhkan pengalaman serupa tentang bagaimana manusia berkompromi dengan chip komputer yang mengendalikan tubuhnya dalam film Upgrade (2018)

pada akhirnya aku hanya ingin melihat apakah Brock jadi memberi makan si kucing atau tidak

 

Elemen Brock melihat dengan ngeri saat Venom mengambil alih tubuhnya, menyerang dan bahkan menyelematkan dirinya dengan sulur-sulur berotot, that’s one fun element yang sayangnya tidak mendapat perhatian lebih dari pembuat film. Tidak benar-benar menggali sesuatu yang baru, terlebih karena kita baru saja menonton Upgrade. Film Venom hanya mengandalkan CGI untuk menghasilkan efek pertempuran yang fantastis. Sementara pada Upgrade kita melihat permainan kamera, yang disertai dengan koreografi yang benar-benar diperhatikan; film ini biayanya gak gede. Lucunya, membandingkan dua film tersebut, kita justru melihat Venom yang seperti murahan – semuanya tampak gampangan pada Venom karena simply mereka punya budget yang gede. Tidak ada usaha untuk menampilkan pengalaman yang melampaui batas. Dan ya, Venom itu hitam, menampilkan aksinya dalam langit malam bukanlah usaha yang menarik. Taruh dia sebagian besar berantem di siang hari, kontraskan wujudnya dengan sekitar, nah itu baru menarik.

Tom Hardy adalah aktor yang hebat, gak ada yang bakal mendebat kalo kita bilang begini. Hanya saja sebagai baik sebagai Eddie Brock ataupun Venom sekalipun, tidak banyak hal spesial yang ia lakukan. Hardy membawakan dengan meyakinkan transformasi Brock dari sebelum kenalan ama Venom ampe dia bergabung dengan parasit itu. Kita bisa melihat pengaruh Venom mengonsumsi tubuhnya. Kita juga mendengar mereka menjalin hubungan ‘kerja sama’ antara sesama pecundang. Tapi elemen cerita ini hanya berlaku satu arah. I mean, susah untuk melihat monster sekeren itu sebagai pecundang di planetnya tanpa membayangkan betapa kocaknya pem-bully-an yang mungkin terjadi di planet asal mereka. Yang bisa bikin kita percaya adalah betapa ‘jinak’nya Venom di film ini terasa. Salah satu adegan paling manis film ini datang dari Venom mengingatkan Brock untuk minta maaf kepada pacarnya. Namun terkadang, Venom yang jinak ini seperti penantian yang tak memuaskan. Baru pada mid-point kita melihat Brock embracing hidupnya sebagai inang Venom. Alih-alih melihat yang ganas-ganas dari struggle Brock berkompromi dengan Venom – belajar mengenainya, mereka bisa saja membuat Venom menyantap apapun, apa aja dehyang membuat Brock dan kita semua trauma, namun yang kita dapatkan adalah adegan Brock dan Venom, dengan cara yang konyol, menakut-nakuti tetangga yang main musik dengan keras karena dia membuat Venom lemah.

Cinta mestinya adalah hubungan simbiosis yang positif. Kita tidak harus merasa tak lengkap, kehilangan identitas, atau bahkan menyalahkan pasangan karena setelah bersama kita merasa bukan diri kita yang sebenarnya. Memang, kadang kita perlu untuk mengattach diri kepada tumpuan hati, so to speak. Yang harus diingat adalah ketika kita merasa ada kebutuhan emosional yang tak terpenuhi, tetaplah dependen terhadap diri sendiri, toh it’s not like your other half suck the life out of you.

 

Sudah lama kita enggak melihat keseluruhan wajah Tom Hardy dalam film, you know, biasanya dia akting kelihatan mata doang. Mungkin ini cuma aku, tapi di film ini aku melihat Hardy kalo ngomong dan membangun ekspresi mirip-mirip Reza Rahadian haha. Bicara soal kemiripan dengan Reza, aku pikir meskipun ini gak separah Reza dan Benyamin Biang Kerok (2018), tapi apa yang terjadi sama Tom Hardy di Venom ini adalah taraf yang cukup rendah baginya; Diambil menjadi bagian dari universe yang mengincar nama dan tidak benar-benar memanfaatkan potensinya, ini bukan simbiosis yang menguntungkan bagi Hardy.

 

 

 

 

Eddie Brock dan symbiote Venom akhirnya memang bisa bersatu, manusia ini bisa berkompromi dengan monster pelahap kepala manusia. Tapi bukan mereka saja yang harus diseimbangkan. Tone kekerasan dan komedi brutal dari fitrah karakter Venom, dimaksudkan untuk merasuk mulus dalam tubuh yang PG-13.  Hubungan emosional dan koneksi efek visual juga mestinya disejajarkan. Namun, untuk dua pasangan tersebut, film gagal meraih titik seimbang. Film ini mestinya ambigu untuk menjadi menarik, karena itulah yang membuat tokoh Venom sendiri begitu digemari sebagai antihero dari Spider-Man. Hanya saja, selain interaksi yang menyenangkan, kita akan lebih banyak melihat ketidakjelasan dalam bentuk adegan berantem.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for VENOM.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa dirugikan dalam suatu hubungan; baik pacaran ataupun pertemanan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SOMETHING IN BETWEEN Review

“I’m searching for you, though I’ve met you not.”

 

 

 

Keenam kalinya bermain dalam film yang sama – lebih dari tiga film sebagai pasangan, chemistry Jefri Nichol dan Amanda Rawles tidak bisa lebih manis daripada ini. Seperti tidak ada apa-apa lagi di antara mereka; sebagai kekasih, akting mereka tampak sangat natural. Di Something in Between, mereka actually diberikan sesuatu yang serupa tapi tak sama untuk dimainkan. Sebab film ini bakal tak seperti kelihatannya. Jika Aruna & Lidahnya (2018) diam-diam memasukkan satu adegan spiritual (-ngeh gak yang manaa?), maka roman remaja garapan Asep Kudinar ini punya cerita yang totally dibangun dari konsep spiritual.

Dan yang ingin kusampaikan ini sebenarnya bukan spoiler. Meski memang film bakal ngereveal penjelasan mengenai apa yang terjadi di akhir, namun sedari menit-menit awal kita bisa menggunakan logika merangkai sendiri kesimpulan yang pun sebenarnya enggak benar-benar ditutupi tentang bagaimana dunia dalam cerita ini bekerja. Cerita bermula dari seorang cowok bernama Abi yang begitu terganggu dengan mimpi-mimpinya. Dia membuat sketsa tentang kejadian, tempat, dan orang-orang yang ia lihat di mimpinya. Tapi ada seorang gadis yang tidak bisa ia gambar wajahnya. Untuk mendapatkan closure mengenai mimpi anehnya tersebut, dia minta ijin meninggalkan rumah dan keluarganya di London. Dia pergi ke Jakarta, mencari tepatnya sekolah yang ia lihat dan gambarkan. Tentu saja dengan harapan, dia bisa bertemu dengan orang-orang yang ia lihat di mimpinya, terutama si cewek misterius, sehingga hidupnya bisa tenang.  Ketika dia menginjakkan kaki di lokasi yang benar, dari reaksi orang-orang di sekolah yang melihat dirinya – bahwasanya dulu ada murid di sana yang sangat mirip dengan Abi – jelas bahwa Abi sedang mengalami kenangan orang lain di dalam kepalanya. Ini bukan kasus seorang yang hilang ingatan, karena keluarga Abi juga tidak mengenali gambar-gambar yang ia buat. Dan semua kejadian tersebut sudah terjadi menjelang dua-puluh menit awal.

ah gue pikir gue jago gambar

 

 

Something in Between, to my surprise, lebih seperti versi yang lebih sederhana dari anime Your Name yang fenomenal di tahun 2016 lalu (top film 2016 versi My Dirt Sheet!) ketimbang cinta-cintaan anak sekolah yang bisa. Walaupun memang film ini menyerah kepada keinginannya untuk menjadi seperti Dilan 1990 (2018) yang sukses mengeset tren supaya tokoh cowok kudu bad boy baik hati yang suka ngegombal dengan tingkah yang dinilai aneh, tetapi Something in Between punya sesuatu yang lebih untuk ditawarkan. Film ini mencoba bicara tentang tema-tema spiritual seperti reinkarnasi, eksistensi, pencarian, di balik lapisan asmaranya. Bahkan ada bagian mengenai simbolisasi tangga yang dibicarakan dalam level kecil-kecilan, as opposed to Your Name yang adegan endingnya dibesarkan dengan simbol tangga. Untuk alasan tersebut, Something in Between sudah menjelma sebagai salah satu tontonan remaja paling dalem, dalam soal lapisan ceritanya, yang bisa kita dapatkan dari film Indonesia kekinian. Napas film ini adalah napas segar, pembuatnya juga cukup cerdas. Film ini bisa saja mengapitalisasi kefavoritan penonton akan cerita remaja dan hal-hal spiritual, in a good way.

Fakta bahwa banyak aktor senior di antaranya seperti Slamet Raharjo, Djenar Maesa Ayu, Yayu Unru,  mau ikutan bermain mungkin dapat kita artikan sebagai bentuk persetujuan mereka kepada Nichol dan Rawles; bahwa dua bintang remaja ini sudah bermain di level akting yang ‘matang’. Film bertumpu kepada hubungan antara tokoh Nichol dan Rawles. Nilai plusnya adalah mereka bermain dengan sangat meyakinkan. Unyunya mereka pacaran jadi daya pikat utama. Gimana tokoh Nichol mengejar hati tokoh Rawles. Film membuat tantangan yang dekat sama lingkungan anak sekolah; di mana seorang anak dari kelas biasa pengen masuk kelas unggul demi bareng gebetannya, semua drama sekolah yang bisa dipancing dari aspek ini membuat cerita punya suara tersendiri. Huruf gede tapinya adalah, film jadi terlalu fokus kepada porsi cerita ini. Mengapa pula hal tersebut menjadi masalah, tanyamu? Karena film enggak seharusnya tentang mereka berdua. Atau tepatnya; enggak seharusnya tentang tokoh mereka berdua pada saat itu.

Jadi begini, setelah sampai di sekolah yang ia gambar, Abi mendengar cerita tentang cowok yang mirip dengan dirinya – Gema. Adegan Abi menyusuri tempat-tempat yang penting pada hidup Gema di-intersplice dengan adegan kehidupan Gema di sekolah. Dan bagian cerita Gema ini, dia bertemu Maya – cewek tanpa wajah dalam gambar Abi, dia berusaha jadi pacarnya, mengalami berbagai tantangan (yang semuanya selesai dengan gampang), mengambil sebagian besar waktu cerita. Seolah ini film tentang Gema, bukan lagi tentang Abi yang mencari tahu siapa Gema. Yang kita ikuti adalah motivasi Gema, bukan Abi. Padahal Abi lah tokoh utama cerita. Tetapi tokoh ini jadi seperti tidak punya kehidupan sendiri sebagai Abi. Kita tidak pernah diperlihatkan siapa teman-teman Abi, bagaimana reaksi keluarganya begitu fakta tentang Abi dan Gema terungkap. Dia benar-benar sudah meninggalkan kehidupannya di London sana.

Abi hanyalah kotak kosong yang menggemakan karakter Gema.

 

 

Film seharusnya bercerita lebih banyak tentang gimana Abi dealing with the facts bahwa dirinya adalah reinkarnasi Gema. Bagian ini memang dibahas sedikit di akhir dan tak pelak lebih menarik. Kita akan melihat gimana dia harus mencari Maya di masa sekarang. Gimana dia berinteraksi dengan teman-teman Gema. Abi semacam muncul gitu aja di kota Gema, dan gimana reaksi sekitar cukup tergambarkan, meski porsinya mengalah banyak. Konflik yang dialami oleh ‘Maya’ yang baru jauh lebih menarik dibanding Abi. Suara tentang masalah eksistensi itu, like, siapa diri kita jika kita ternyata hanyalah sambungan dari keberadaan orang lain tentu lebih menantang daripada melihat apakah dua remaja ini pada akhirnya akan bersama. Maka dari itu juga, pointless membuat cerita jadi seolah menitikberatkan kepada apa yang sebenarnya terjadi. Adegan di rumah sakit di mana semua pemain ‘kebetulan’ ada di sana, sungguh overkill; tidak perlu. Kita tidak perlu untuk dipastikan bagaimana cara kerja arwah mereka terbang dan masuk ke bayi. Kita bisa menyimpulkan itu sendiri, bahkan tidak jadi soal mengenai jarak mereka, fokus dan apa mestinya digali adalah apa yang terjadi ketika kita mengetahui bahwa kita ditakdirkan bersama – namun bersama yang bukan sebagai pilihan kita sendiri.

Kita sungguh akan mengejar apa yang penting bagi kita. Jika itu cinta, kita tidak ingin dipisahkan darinya, kita ingin selamanya bersama. Akan tetapi, bagaimana jika yang kita kejar tersebut, yang ingin kita pertahankan itu, bukan benar-benar keinginan milik kita? Menakjubkan sejauh apa kita bertindak demi sesuatu yang kadang tidak kita ketahui ‘wujud’ aslinya.

 

Yang membuat film ini stuck di antara dua posisi adalah kecenderungannya untuk memfasilitasi kemalasanberpikir penonton. Walaupun cerita kita untuk remaja, bukan berarti harus bercerita dengan terlalu menuntun. Emangnya remaja pada bego semua apa. Dialog pada film ini banyak yang menjelaskan hal-hal yang sebenarnya tak pelru lagi dijelasin. Seperti pada adegan ketika Abi dan sepupunya menunggu chat dari seseorang. Kita sudah tahu pertanyaan mereka tidak dibalas, cerita juga sudah membangun ‘bunyi notifikasi’ pada adegan ini, tetapi naskah masih merasa perlu untuk menambahkan dialog “dia tidak menjawab pertanyaan kita”. Film ini sering bercerita dengan eksesif seperti demikian. Padahal semua yang dilakukan para tokoh, every little things comes full circle.

Aku bahkan sudah berniat ingin menjegal film ini dari aspek waktu cerita, you know, aku merasa bisa saja enggak mungkin si tokoh adalah reinkarnasi, jadi aku benar-benar memperhatikan petunjuk waktu yang disebar oleh film. Dan tahu apa, film ini dengan teliti dan tidak terburu-buru dalam menyebarkan informasi waktu; tanggal pada nisan, petunjuk umur tokoh cewek, perkiraan usia anak sahabat Gema, dan semua itu cocok dihubungkan – timelinenya bener. Jadi ya sungguh disayangkan aja sih, karena film sebenarnya cukup detil dalam membangun elemen cerita, tapi masih terlalu menuntun dan nyuapin dalam bercerita. Juga masih banyak trope-trope cerita remaja yang dimasukkan demi narasinya maju dengan gampang, seperti saingan cinta yang jahat begitu saja. Kadang pilihan yang dilakukan tokoh, terlihat aneh dan tanpa alasan, kecuali supaya cerita berlanjut ke poin plot berikutnya.

 

 

 

Mengejutkan akhirnya ada cerita remaja yang mengangkat hal berbeda sehubungan dengan romansanya sendiri. Film ini ditutup dengan nada yang sama dengan film Your Name. Yang membuat kecewa adalah ternyata film tak sepenuhnya berani untuk ‘move on’ dari berbagai trope dan kemudahan dalam bercerita. Film ini masih menganggap penontonnya yang kebanyakan remaja tak mampu berpikir dan menyimpulkan sendiri. Hal ini membuat dirinya tersangkut di antara bagus yang biasa aja dengan bagus yang luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SOMETHING IN BETWEEN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengejar sesuatu demi orang lain?

Bagaimana menurut kalian tentang tren remaja gombal di perfilman masa-masa ini? Apakah sebaiknya film remaja tetap dibiarkan ringan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS Review

“It’s not what you say, it’s what people hear.”

 

 

Anggota keluarga, entah kenapa, suka bikin kita malu di depan umum. Hampir seperti misi mereka untuk berlomba-lomba melakukan hal di tempat yang banyak orang, yang pada akhirnya membuat kita pengen hilang ditelan bumi. Paman si Lewis menjemputnya, masuk ke dalam bis, dengan mengenakan kimono. Di lain kesempatan, Lewis dijemput oleh Paman ke sekolah dengan mobil butut. Merasa belum cukup mempermalukan Lewis di depan teman baru yang susah payah diperolehnya, Paman kemudian menawarkan diri untuk tancap gas – hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi kepada mobil tersebut jika distarter keras-keras.

Sesungguhnya, Paman Jonathan ingin memperlihatkan kepada Lewis bahwa menjadi aneh itu adalah sesuatu yang hebat. We have to embrace our quirkiness. Tapi Lewis adalah anak cowok yang sedang dalam masa perkembangan yang sulit. Orangtuanya baru saja meninggal. Membuat Lewis harus pindah ke kota lain untuk tinggal bersama pamannya. Dalam sebuah rumah dengan banyak jam, beraneka jenis, nemplok di setiap jengkal dindingnya. Lewis sendiri sebenarnya sudah cukup aneh, dia mengenakan kacamata pilot ke mana-mana. Buku favoritnya saja kamus tebel. Tapi bagi Lewis, Paman dan Wanita berbaju ungu sahabat pamannya tersebut luar biasa aneh. Tidak ada peraturan di bawah atap rumah mereka. Lewis boleh makan cookies kapan aja. Kenapa enggak jadiin cookies sebagai menu makan malam, ujar pamannya sambil tersenyum. Dan kenapa pula tidak boleh ada kacang di dalam cookies?

Itu semua belum apa-apa dibandingkan dengan keanehan yang terjadi di rumah tersebut pada malam hari. Lewis sempat takut, karena bukan hanya suara jam di dinding, melainkan rumah dan seisinya itu sepertinya punya nyawa sendiri. Salah satu tema cerita penting yang bisa kita lihat dari film ini datang dari gimana Lewis berusaha menyeimbangkan hidupnya. Dia pengen terlihat normal biar bisa punya temen di sekolah, dan ketika pulang ke rumah bersama Pamannya, dia harus berurusan dengan segala keanehan yang ada karena ternyata Pamannya adalah seorang Warlock. Tentu saja, Lewis pengen belajar semua ilmu sihir yang bisa ia dapatkan dari sang Paman. Apalagi karena dia ingin membantu Pamannya memecahkan misteri mencari alat pengembali waktu yang tersimpan di suatu tempat di dalam rumah tersebut.

Lewis yang perbendaharaan katanya begitu kompleks lantaran suka ‘makan’ kamus, tetap mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu sihir. Sihir bukan sekedar merapal kata-kata aneh. Ini bukan masalah seberapa fancy kata yang kita gunakan. Adalah cara menggunakannya yang menjadi poin penentu. Semua yang kita lakukan, cara tersendiri yang kita lakukan saat menanganinya lah yang menjadi hal terpenting. Karena itulah yang didengar oleh orang lain, yang membuat kita berbeda dan ternotice oleh mereka. Yang membuat kita unik, dari situlah datangnya kekuatan kepercayaan diri.

 

Aspek paling menarik yang dipunya oleh film ini adalah fakta bahwa dirinya dibuat oleh sutradara yang punya rekam jejak menangani film-film horor ngegore dan gak nyaman untuk dilihat semacam Hostel (2005) dan Grindhouse (2007). Kita akan benar-benar melihat ‘sihir’ gaya khas Eli Roth diimplementasikan ke dalam cerita fantasi adaptasi novel yang ditujukan untuk konsumsi anak kecil. Dan Roth berhasil. The House with a Clock in Its Walls menjelma menjadi film anak-anak yang dengan berani mendorong batas kekanakan itu sendiri. Imaji-imaji creepy masih dapat kita saksikan di sini. Salah satu yang membekas bahkan oleh kepala dewasaku adalah pemandangan bayi dengan wajah Jack Black. Boneka-boneka automaton yang mendadak hidup itu juga sukses bikin anak kecil di sebelahku menutup matanya dengan dus popcorn. Langka, di jaman sekarang, fantasi anak-anak dibuat dengan gaya seram sebagai poin vokal. Bahkan Goosebumps (2015) saja enggak berani untuk tampil seram, ia lebih menekankan sisi petualangan fantasinya, padahal kita tahu source film tersebut adalah buku horor untuk anak-anak. House with a Clock, enggak punya masalah dalam memperlihatkan gambar-gambar bernuansa seram. Menonton film fantasi ini mengingatkanku kepada serial horor Are You Afraid of the Dark? yang dulu sering kurental VCD-nya.

CLB – Crybaby Little Bastard

 

Set film luar biasa imajinatif. Rumah itu penuh tempat-tempat rahasia, dengan benda-benda sihir yang memanjakan khayalan kita. Semua elemen artistik digunakan efektif untuk menguatkan karakter para tokoh cerita, memberikan mereka bukan hanya misteri melainkan juga sedikit tambahan kedalaman. Untuk menyeimbangkan visualisasi yang menghoror buat fantasi anak kecil, Eli Roth menebar lelucon di sana sini. Lewat practical jokes, memang agak kelewat kekanakan. Kita melihat poop joke diulang-ulang. Tapi kita bisa paham kepentingannya adalah untuk membuat film tetap ringan bagi penonton cilik.

Lewat dialog, lelucon film dipercayakan kepada Paman Jonathan yang begitu eksentrik. Jack Black adalah pilihan yang tepat, malahan bisa dibilang sedikit di atas kualifikasi untuk perannya tersebut. I mean, aku suka komedi Jack Black. Tik-tok dialognya dengan Cate Blanchett – yang mana juga sangat hebat, dengan range emosi yang lebih luas – selalu sukses jadi sumber tawa buat film ini. Jika ada aktor yang harus kupercaya mainin tokoh yang begitu unik dan tidak peduli apa kata orang tentang dirinya, aku juga akan memilih Jack Black. Di film ini, entah karena begitu nyaman dengan perannya, ataupun karena diberikan arahan yang membebaskan, Black seringkali tampak terlalu dominan. Dia di atas tokoh yang lain. Pada adegan bersama dengan tokoh utama, kita bisa melihat jelas kejomplangan permainan aktingnya. Lewis yang diperankan Owen Vaccaro tidak pernah berhasil menjadi menarik setiap ada Paman satu adegan dengannya. In fact, Lewis malah tampak seperti bocah cengeng yang menangis begitu saja karena tiba-tiba ia teringat almarhum ibunya. Sedih memang ketika kita kehilangan orangtua, tetapi transisi tone cerita enggak mulus karena Jack Black mengeset rentang yang terlampau tinggi. Jarak antara fantasi dengan momen realita itu kemudian terasa terskip begitu saja karena pemain muda kita tidak mampu mengimbangi.

Untuk sebagian waktu, aku memang menikmati kejutan-kejutan kecil yang dipunya oleh film ini. Aku sama sekali enggak tahu Kyle MacLachlan turut ambil peran, dan ya seperti di terakhir kali aku melihat penampilannya di Twin Peaks season 3 (2017), aktor senior ini totally mantep mainin tokoh yang creepy, dia begitu ‘di luar dunia ini’. Toh ada beberapa kesempatan yang, buatku, film ini terlalu berusaha membuat kejutan alih-alih bercerita dengan asik. Seperti pada separuh bagian awal, ada tokoh-tokoh yang diset sebagai red herring; kita gak yakin mereka jahat atau beneran baik, yang keputusan untuk membuat mereka demikian terasa enggak konsisten dan membingungkan. Ada elemen reverse psychology yang dijadikan device, seperti sebuah hal yang penting. Misalnya ketika Paman mengajarkan ilmu sihir kepada Lewis dengan mengatakan bahwa anak itu gak mungkin bisa karena sihir begitu rumit untuk dipelajari, yang kita tangkap konteksnya adalah dia percaya Lewis mampu dan sengaja bilang begitu supaya Lewis semakin tertantang dan bersemangat. Namun di lain kesempatan, Paman menyuruh Lewis untuk tidak membuka kabinet yang terkunci. Yang membuat kita kebingungan, apakah konteks yang sama masih berlaku, atau itu benar-benar larangan. Apalagi kemudian kita melihat ada tokoh lain yang menyuruh Lewis untuk membuka kabinet. Sehingga penuturan cerita menjadi sedikit kusut, enggak benar-benar jelas apa yang harusnya kita rasakan bersama si Lewis.

mungkin kita bisa tanya kepada Magic 8-Ball kenapa film ini seperti versi kurang asik dari serial Gravity Falls

 

 

Banyak penyihir yang lebih dewasa dan lebih bijak dari Lewis sudah terbuai oleh kekuatan ressurection, film juga tidak berhasil dengan baik menyampaikan sisi menyentuh dari seorang anak yang ingin melihat orangtuanya satu kali lagi. Struktur, poin ke poin cerita, mestinya bisa dirapikan sedikit lagi dengan lebih memfokuskan kepada perkembangan emosi tokoh utama alih-alih rangkaian kejadian fantastis. Sekuen regroup film ini tidak bekerja sama sekali buatku. Mereka kehilangan rumah tidak kelihatan seperti mereka akhirnya belajar sesuatu, malah lebih terasa sebagai sebuah detour yang melepaskanku dari pegangan cerita. Konflik dari tokoh antagonis juga tidak benar-benar memposisikan Lewis, dan tentu saja kita, ke dalam sebuah dilema. Yang mana adalah kekuatan sebenarnya dari cerita. Alih-alih merasa, kita hanya mendapatkan penjelasan dari tokoh jahat, mengenai bagaimana kondisi mengerikan tersebut semestinya menjadi menarik buat Lewis.

 

 

 

Aku suka gimana film ini berani menggandeng tangan anak-anak untuk melewati dunia fantasi yang bukan sekedar seru melainkan juga mengerikan. Bahkan lebih creepy dari The Nun (2018), misterinya juga asikan ini. Beberapa adegannya memenuhi fungsi untuk memberikan mimpi buruk buat anak kecil. It also has a nice lesson too, mengenai gimana membawa diri dalam pergaulan – bahwa penting untuk menjadi diri sendiri, seberapapun anehnya. Mestinya Goosebumps dibuat dengan nuansa begini. Tontonan sempurna buat anak kecil yang ingin mempelajari gimana caranya untuk berani. Petualangannya juga asik untuk diikuti. Bagi orang dewasa, film ini bisa menjadi sedikit over; leluconnya, tokoh utama yang cengeng dan annoying, ceritanya juga bakal bikin kita pengen bergerak buat merapikannya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa keluarga kalian punya kebiasaan aneh yang kalian gak mau teman-teman pada tahu tentangnya? Kenapa, menurut kalian, kita merasa malu kalo ketahuan oleh orang lain?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

GILA LU NDRO! Review

“The absurd is the essential concept and the first truth.”

 

 

 

 

Seorang alien bernama Alien datang jauh-jauh dari planetnya yang berbulu ke Jakarta demi mencari sumber damai. Sudah pada lihat belum, lucunya premis ini di mana?

Ke Jakarta.

Mencari damai.

Lelucon yang lucu!!

 

 

Konsep dari sebuah komedi yang hebat selalu berupa penabrakkan hal-hal yang berlawanan.  Gila Lo Ndro! punya akar komedi yang kuat, yang berfungsi dua arah; sebagai sentilan, maupun sebagai gambaran. Seperti Aamir Khan yang berkeliling mencari Tuhan pada PK (2014), Alien di Gila Lo Ndro! sesungguhnya membawa kita berkeliling Jakarta untuk melihat fenomena-fenomena absurd. Seorang makhluk planet berwarna orange dengan kepala kayak ditempelin helm (aku gak pernah nyangka Indro Warkop bisa tampil lebih aneh lagi) bukan lagi hal yang paling langka. Kedamaianlah yang lebih langka di sana, di dunia kita yang sebenarnya.

Film ini sebenarnya punya tujuan yang mulia. Lebih mulia daripada batu mulia yang dijual Pak Slamet. Kebiasaan-kebiasaan orang jaman sekarang yang diperlihatkan oleh film benar-benar relevan. Gimana orang sukarela tersulut dan gemar ribut. Gimana media sosial adalah jalan pintas untuk menjadi terkenal buat orang-orang yang satu-satunya bakat yang mereka punya adalah mencari masalah dan kontroversi. Dan pada sisi lain uang logam tersebut terdapat khalayak masa kini begitu gampang disetir oleh hoax. Dalam sebuah sekuen yang kocak kita akan melihat gimana berita tentang marmut berwarna pelangi berubah menjadi marmut yang bisa menembak. Aku pikir film ini menjadi gede, sejujurnya aku berharap demikian.

Wagelasih lo Ndro!

 

 

Baru-baru ini Sacha Baron Cohen (alias si Borat) ngeluarin serial TV bergaya dokumenter yang sangat berani. Dalam serial bertajuk Who is America? tersebut Sacha menyamar menjadi beberapa orang – mulai dari aktivis, pasukan anti teroris, hingga vlogger mainan, dan dia mengadakan sesi interview dengan politisi, seniman, artis, serta orang-orang ‘biasa’ di Amerika. Sacha mengekspos pola pikir dan sudut pandang orang-orang Amerika tersebut. Lewat komedi satir yang bahkan lawan bicaranya enggak sadar sedang diolok-olok, Sacha memperlihatkan kepada kita kondisi sebenarnya di sana.

Gila Lo Ndro? punya potensi untuk menjadi kritik sekuat serial tersebut, karena tentu saja negara kita tak luput dari masalah – kita punya masalah politis dan kemanusiaan sendiri di sini. Jakarta bisa dibilang kota terpanas di Indonesia sekarang ini, ketika kita mendengar tentang Jakarta biasanya berupa tentang keributan, ketidak adilan, moralitas yang semakin bobrok pada setiap lapisan masyarakatnya. Apalagi menjelang masa pemilihan presiden, semua saling menjatuhkan. Keadaan planet asal Alien dalam film ini sebenarnya adalah cerminan langsung dari keadaan Jakarta, dan mungkin seluruh Indonesia. Tapi ada sesuatu dari Gila Lu Ndro? yang seperti terasa hilang, yang membuatnya malah menjadi seperti upaya tak-sampai. Film ini lebih terasa pretentious ketimbang punya suara yang valid. Komedinya bagus, tapi tidak pernah terasa otentik. Sepertinya bisa lebih kuat jika yang mereka perlihatkan pada film ini adalah kejadian asli (ayolah, hare gene tidak susah mencari orang ribut karena hal sepele di Jakarta atau bahkan di mana saja), membuatnya seperti Sacha yang berinteraksi dengan orang-orang asli yang tak tahu mereka sedang bermain film. Dan menyerahkan komedi itu sepenuhnya kepada dua pemain utama. Si Alien dan Indro.

Cara bercerita film inilah yang terasa sangat lemah. Actually ada satu lapisan lagi pada narasi. dari nama pemainnya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya ini adalah kisah antara Indro Warkop dengan Nita, istrinya. Indro yang dimainkan Tora Sudiro pada cerita ini adalah beneran Indro Warkop yang punya teman nongkrong bernama Dono dan Kasino (as in our very own legendary comedic trio). Situasinya adalah Indro yang pulang telat, diinterogasi oleh istrinya. Kenapa, darimana, abis ngapain. You know, tipe pertanyaan yang diajuin oleh cewek seolah berharap menangkap bahas cowok mereka berbuat salah. Karena, seperti yang dengan gamblang diperlihatkan oleh film ini lewat tulisan di cangkir; cewek selalu benar. Jadi, Indro lantas bercerita tentang pertemuannya dengan makhluk planet asing dan gimana mereka berdua bertualang keliling kota mencari sumber damai. Dari konteksnya, ada aspek kejujuran yang ingin ditonjolkan. Ada hook ‘apakah sebenarnya Indro bohong atau tidak’ yang digunakan untuk menarik penonton. Seperti pada Big Fish (2003) ataupun pada Life of Pi (2012). Tapi storytelling film ini tidak membuat pertanyaan tersebut menjadi penting. Film seperti sengaja untuk menghilangkan hooknya sebab dari adegan awal kita sudah dibuat yakin bahwa si Alien memang ada. Yang sebenarnya tidak masalah jika selanjutnya diolah dengan bener. Sayangnya, narasi yang berupa lapisan Indro dengan istrinya, lapisan Indro dengan Alien dan orang-orang yang mereka temui, tidak pernah terceritakan dengan kohesif.

 

Memang kadang tampak aneh. Mungkin malah ganjil. Sukar dipercaya. Namun bisa saja hal yang tampak asik untuk kita tertawakan itu justru adalah kebenaran yang sesungguhnya. Tidak ada cara untuk kita mengetahui hal tersebut. Yang kita bisa adalah untuk tetap membuka pikiran. Untuk tetap menjaga kepala tidak panas. Karena, meskipun kita masih ragu, paling tidak kita bisa untuk tetap saling damai.

 

Penyuntingan adegan ketika cerita berpindah dari petualangan Indro ke cerita di rumah lumayan kreatif, mulus pula. Tapi keseringan. Jadinya sedikit menyebalkan, lantaran kita yang sedang melihat kejadian yang lucu, ataupun ironis, seringkali seperti ditarik begitu saja ke dalam percakapan yang gak maju-maju antara Indro dengan istrinya. Ah kamu bohong. Beneran. Terus lanjutannya gimana. Repetitif dan memperlambat cerita, membuat kita terlepas dari ceritanya. Juga seolah menciptakan dinding pemisah antara satu kejadian dengan kejadian lain, sehingga film terasa seperti potongan episode atau sketsa. Indro dan Alien tidak kelihatan karakternya. Kita sepanjang film melihat mereka berdua, tapi mereka jarang melakukan hal yang menarik. Mereka hanya ada di sana untuk menjelaskan konteks adegan yang sedang berlangsung. Atau dalam kalimat lain; mereka di sana untuk memaparkan pesan-masyarakat tentang kedamaian, dengan sedikit sekali usaha untuk membuatnya subtil.

kedamaian hakiki hanya milik orang yang sudah meninggal, sepakat?

 

 

Seharusnya film bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Hubungan antara Indro dengan Alien semestinya bisa digali lebih, terutama dengan  menajamkan karakter mereka. Lucu sekali bahwa Alien yang datang ke Bumi lantaran ingin belajar damai malah jadi seperti juru damai bagi penghuni lokal. Kalo dia memang bisa, kenapa masih pergi mencari? Mereka bisa saja membuat Alien itu orang yang suka kekerasan, untuk menunjukkan dia benar-benar tidak tahu mengenai konsep damai, tapi film memilih penulisan yang lebih datar. Indro bahkan tampak seperti kumpulan dari pesan-pesan mengenai perdamaian daripada seorang karakter. Kata-kata yang terucap dari mulut berkumisnya kadang jadi terasa dipaksakan, dan enggak nyambung, dan eventually jadi tidak lucu. Seperti ketika anaknya bertanya kenapa Alien naik bemo, Indro menjawab dengan “Karena semua sama di mata hukum.” Di mana nyambungnya? Dua tokoh tersebut membuat aspek filosofis yang dipunya oleh cerita menjadi tumpul sebab mereka sendiri tidak punya kedalaman.

 

 

 

Kita tidak bisa tahu pasti mana yang paling benar, kita hanya bisa percaya. Dan open-minded terhadap sudut pandang orang lain. Begitu pun dengan film; sebuah cerita bukan masalah apakah idenya seusai dengan pikiran/moral kita atau tidak, karena siapa tahu justru keyakinan kita yang salah. Pada sebuah film yang terpenting adalah bagaimana cara mereka menyampaikan ide mereka. Menakjubkan gimana mereka kepikiran cerita begini sarat hanya dari jargon sepele, sayangnya film garapan sutradara Herwin Novianto ini seringkali gagap dalam bercerita. Pesan-pesannya begitu in-the-face, tokohnya tidak punya inner journey. Seharusnya cerita bernapas satir seperti ini diceritakan se-real mungkin, dengan tetap difasilitasi oleh konsep dan humornya. Tapi film ini jatohnya terlihat dibuat-buat. Humornya bahkan tidak tersampaikan menjadi lucu – penonton di studio aku nonton tadi tak ada yang tertawa karena semuanya tampak pretentious.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for GILA LU NDRO!

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah hobi kita menawar di pasar atau kaki lima tapi tidak di kafe atau mall ada hubungannya dengan kita suka memandang orang lebih rendah supaya kita terus terlihat tinggi dan benar? Kenapa kita mencela ide orang lain yang tidak kita setujui? Bagaimana sikap kalian jika kebenaran yang kalian selama ini percayai ternyata terbukti salah?

Apakah kalian percaya ada alien? Dalam film ini, Alien punya bahasa sendiri, kita akan melihat dia dan istrinya berbincang di akhir; jika Ka-ga-lo-go yang mereka ucapin itu artinya ‘kalo’, kira-kira arti gagay yang selalu diucapkan si Alien ini apa ya?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WIRO SABLENG 212 Review

“Do not seek revenge and call it justice”

 

 

 

Alasan kenapa Wiro dilatih silat dengan jurus-jurus yang konyol dan menyenangkan sama dengan kenapa pemuda ini diberikan baju berwarna putih; supaya Wiro senantiasa jauh-jauh dari aliran kegelapan. Namun, tak sama dengan baju putih yang gampang kotor, Wiro membuktikan hatinya tidak gampang untuk ternoda. Gemblengan Sinto Gendeng yang meski asik tapi luar biasa keras sudah menempa Wiro menjadi pendekar sakti baik budi. Kekurangannya, ya cuma satu – SABLENG!

Bagi pembaca novelnya, ataupun bagi pemirsa yang (beruntung) pernah menyaksikan serial televisi Wiro Sableng di tahun 90an, tentunya tidak akan asing dengan gimana sih Wiro Sableng itu.  Buat yang sama sekali awam, ada baiknya menyimak penggalan lirik lagu serial tersebut “sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar – dia slenge’an tapi cinta damai” sungguh tepat menyimpulkan seperti apa Wiro Sableng. Film kerjasama Lifelike Pictures dengan 20th Century Fox ini dengan sangat tepat menghadirkan kembali style dan ruh dari serial lama itu. Film ini exactly terasa seperti menonton serialnya, dengan kualitas visual dan set produksi yang jauh lebih mahal.  Ajiannya sekarang bukan efek tepung, tapi efek komputer. Kostumnya tradisional dan sederhana tapi tak tampak kuno sebab diasimilasikan dengan gaya moderen.

Satu orang yang paling bangga sedunia oleh film ini tentu saja adalah Vino G. Bastian. Jikalau dia sempat merasa beban mengangkat semesta karangan ayahnya ini, maka aku bisa pastikan dengan tayangnya filmnya ini Vino merasa sangat bangga. Dia menangkap passion dan gaya dan esensi Wiro Sableng itu sendiri. Si Bocah Kunyuk kembali hidup di tangannya! Bayangkan Deadpool tapi minus crudeness, bayangkan Sun Go Kong si Kera Sakti namun sedikit dijinakkan. Itulah Wiro Sableng.

Sekuen di kedai itu contohnya; classic Wiro Sableng banget. Gimana aksinya, gimana cara dia ‘menghukum’ penjahat. Wiro selalu seperti orang blo’on yang tampak enggak tahu dengan apa yang ia sendiri lakukan. Ketika orang memandangnya sebelah mata, menghinanya, saat itulah Wiro menyerang, and he was so good at it. Tau-tau musuhnya sudah terkapar kena kacang dari jurus Kunyuk Melempar Buah. Nuts! Film ini kocak dan menyenangkan, persis kayak tokoh Wiro Sableng itu sendiri. Adu mulut Wiro dengan eyang gurunya udah kayak percakapan orang beneran yang lagi tertawa-tawa bercanda, mereka hampir seperti keluar dari karakter, that’s how fun it is. Pose jurus silat – dan nama jurus-jurusnya – yang over-the-top, orang pake jurus terbang dengan gerakan yang kaku, orang ditendang ngerubuhin tembok, dialog yang mungkin akan terdengar cringey, leluconnya mungkin ada yang vulgar, penjahatnya memang bisa tampak sangat bego dan lemah (wong Wironya kuat gitu). Namun memang begitulah fitrah film ini, over-the-top – lebay adalah nadi dari cerita dunia persilatan ini. Wiro Sableng 212 butuh untuk menjadi over-the-top. Jika kita punya cerita di mana tokohnya dijuluki sebagai Dia yang Menertawakan Dunia, film kita tidak boleh berpaling dari semua itu. Jangan sampai menjadi terlalu serius. Karena justru dari sinilah datangnya pesan yang kuat dan rasa terhibur saat menonton.

menggelinjang melihat Vino dan cameo Kenken melakukan pose 212

 

 

Alur ceritanya pun sesederhana dunia persilatan; ada kekuatan baik, dan ada kekuatan yang jahat. Seorang penjahat memimpin gerombolan bandit untuk merusak desa dan Voldemort-in orangtua Wiro yang masih tak lebih dari seorang bocah. Sinto Gendeng muncul dan menyelematkan Wiro kecil dari dekapan penjahat. Wiro dididik untuk mewarisi Kapak Maut Naga Geni 212, sehingga dia bisa mengemban tugas mencari mantan murid Sinto Gendeng yang kini sudah menjadi penjahat kelas kakap – bos dari gerakan “Ganti Raja” di kerajaan sekitar tempat Wiro Sableng. Turung gunung, Wiro harus segera menangkap si Mahesa Birawa ini, yang actually juga adalah orang yang sama dengan yang membunuh ayah dan ibunya tujuh belas tahun yang lalu.

Ilmu Putih atau Ilmu Hitam sebenarnya adalah ilmu yang sama. Bayangkan setiap kepandaian yang kita miliki sebagai jurus silat kita. Adalah terserah kepada kita untuk memilih menggunakan ilmu tersebut untuk apa. Tapi menurutku film sebenarnya berpesan lebih dalam dari ini. Masukkan Mahesa Birawa yang diperankan oleh Yayan Ruhian dengan amat garang dan keji. Sosok ini adalah antagonis yang perfecto buat karakter Wiro Sableng. Mahesa percaya setiap orang berhak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Jika mereka punya ilmu, maka mereka berhak untuk mengejar harta, nama, ataupun kuasa. Setiap orang mengambil jalan hidupnya masing-masing. Begitulah yang ditapaki oleh Mahesa. Dia merasa pantas, dia ingin punya Kapak Maut, he went for it. Dia ingin mengubah tatanan dunia, dia ingin menjadi raja, dan dia berusaha untuk mengambil apa yang menurutnya sudah jadi haknya. Ini berkebalikan dengan yang Wiro pelajari. Ia bergerak atas dasar tugas. Kewajiban Wiro adalah untuk menegakkan kebenaran, menumbangkan kejahatan. Seperti juga Kapak Maut yang hanya berhak digunakannya setelah ia diakui dan hanya bisa menariknya dalam kondisi hidup atau mati. Moral Wiro lantas bentrok ketika dia mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh Sinto Gendeng; bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya.

Pertanyaan yang mesti dijawab oleh Wiro adalah apakah balas dendam itu merupakan hak? Sesuatu yang menjadi miliknya. Apakah seseorang berhak untuk melakukan pembalasan setimpal. Jawaban film ini jelas; Wiro tak dapat lagi memanggil kapak yang tadinya bisa ia main-mainkan seolah senjata itu pesawat mainan.

 

 

Sayangnya, dibandingkan dengan Mahesa Birawa yang motivasinya mengancam dengan kuat, Wiro Sableng sendiri selalu dilemparkan ke dalam situasi. Dia disetir oleh Sinto Gendeng yang sengaja menyimpan informasi penting tentang Birawa. Wiro hanya tahu informasi dari orang-orang yang ia temui. Tidak sekalipun Wiro tampak bergerak dengan motivasinya sendiri. Dia bahkan tak terasa beneran peduli sama lingkungan sekitarnya yang bukan cewek dan bukan bernama Mahesa Birawa. Dia datang, bertemu orang-orang – yang juga mendadak jadi ikut petualangannya, mereka terlibat pertempuran bareng. Wiro beneran seperti seorang kelana; dia hanya ada di sana. Dia tak tahu banyak, kita bahkan lebih tahu daripada dia. Kita tahu lebih dahulu bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya, kita expect dia akan mendendam, ini sungguh cara yang aneh dalam menuturkan cerita. Akan menjadi lebih menarik jika Wiro belajar sendiri bahwa Birawa adalah orang yang membuatnya tak punya ayah dan ibu, dia kemudian bergerak dengan amarah dan dendam untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kalah, dan cerita berlanjut sebagaimana yang diperlihatkan oleh film – supaya dia tidak melulu disuapin, agar dia menciptakan kondisi – menyetir cerita alih-alih terbawa arus naskah.

Ada banyak yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih jauh perihal karakterisasi. Karena bukan hanya Wiro, semua tokoh di sini tampak datang dan pergi. Nice to see Sherina Munaf terjun kembali ke dunia akting, namun motivasi karakter Anggini yang ia perankan terasa mentah begitu saja. Yang paling parah adalah Bujang Gila Tapak Sakti yang seperti siluman Patkai (aku gak menyangka suara Fariz Alfarazi melengking seperti itu). Sama sekali tidak ada alasan kenapa tokoh ini ada di sana. Bantering dia dengan Wiro memang salah satu yang jadi pemantik tawa, namun karakternya seperti pemanjangan dari karakter lucu Wiro belaka. Hampir seperti tokoh ini ada di sana untuk menjamin Wiro enggak garing. Seperti ketika mereka menyusup dengan menyamar menjadi rombongan penari wanita; kenapa yang menyamar musti Wiro dan Bujang, sedangkan Anggini yang cewek beneran malah masuk lewat jalan lain – kenapa bukan Wiro dan Anggini? Mereka akan menghadapi penjahat yang buaanyak banget, yang udah terkenal di Wiro Sableng Universe. Dan sama seperti mereka, para penjahat juga ada di sana buat berantem doang. Backstory mereka tipis sekali,  keteteran. Mereka hanya jahat. Bahkan enggak semua penonton langsung tahu jahatnya mereka itu sebenarnya gimana. Sebagian mereka hanya tampak jahat by association buat sebagian besar penonton. Padahal mestinya bisa digali lebih, sebab kita tahu mereka berkoalisi untuk meruntuhkan pemerintahan raja saat itu

paling enggak akhirnya kita dapat Pendekar Pemetik Bunga yang kemayunya ke arah cool ketimbang kumisan dan total pervert

 

Sebagai film laga, elemen fantasi benar-benar digunakan untuk mempertajam elemen hiburan di sini. Hal tersebut memastikan koreografinya menarik untuk disimak. Karena setiap orang punya jurus berbeda. Mereka berkelahi di environment yang berbeda-beda. Kamera juga cukup bijak untuk enggak kebanyakan goyang, dan paham apa yang harus diperlihatkan, mana yang enggak. Teknik editingnya pas berantemnya bisa jadi sedikit mengganggu karena sering cut yang berpindah-pindah, yang tadinya kupikir untuk mengakomodasikan keperluan stuntman dengan pemeran asli, seperti Wiro yang harus selalu bertingkah konyol di sela-sela berkelahi.

 

 

 

Jurus-jurus yang dipunya membuat film ini menghibur – dia tidak ingin menjadi lebih dari serialnya dulu, kecuali semuanya sekarang tampak lebih mentereng. Bahkan cerita film ini ditutup dengan para jagoan kita berpisah gitu aja, kayak akhir episode di tv. Ceritanya sepertinya dibuat sama dengan yang di buku, mereka enggak mengubah banyak. Actually film ini adalah bagian pertama dari entah berapa sekuel yang mereka rencanakan. Dan tentu saja ini jadi sumber masalah, sebab film ini pun jadi punya mindset ‘kalo ada yang kurang, nanti dijelasin kok sama sekuelnya’ ataupun ‘di buku dijelasin kok’ Padahal kan mestinya film bisa berdiri sendir, walaupun dia adaptasi atau bagian dari trilogy atau semacamnya. Film ini mestinya bisa diceritakan dengan lebih baik lagi. Enggak seriusnya lumayan bablas, karena kita udah melihat contoh full-bercanda namun bukan berarti tidak serius pada Thor: Ragnarok (2017), film ini mestinya juga bisa mencapai prestasi yang sama.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WIRO SABLENG 212

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Tapi aku sebenarnya punya satu teori, atau bisa disebut prediksi, karena aku gak yakin film ini berani mengambil langkah yang beda dengan buku. Akan menarik sekali sih kalo berani.
Aku merasa masih ada sesuatu rahasia perihal Mahesa Birawa. There’s more of him dari seorang murid durhaka dan pembunuh. Mahesa tidak bertindak secara acak. Dia kelihatan kenal sama ayah dan ibu Wiro. Motivasinya selalu dia ingin mengambil apa yang menjadi haknya. Di hari naas itu, kita tahu Mahesa ada di sana untuk mengambil sesuatu yang ia percaya adalah miliknya, tapi apa? Dia seperti tak berniat membunuh Suci, sampai dia tertusuk. Begitu pun terhadap Wiro. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Wiro, awalnya dia menyuruh Kalingundil untuk membawa bocah tersebut; tidak membunuhnya. Kemudian saat Wiro gede, dia memanggil Wiro dengan sebutan ‘anak haram’.

Could it be, ayah dan ibu Wiro bukan pasangan suami istri?

Mungkinkah, Mahesa Birawa akan diungkap sebagai ayah tiri Wiro?
To be honest, saat menonton aku sudah siap untuk momen seperti ‘Luke, I am your father.’

Bagaimana menurut kalian soal teori ini?

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA Review

“Everyone is more interested in being a hero than in being right.”

 

 

 

Menyerang secara frontal markas VOC di Sunda Kelapa, Sultan Agung ingin menanamkan pesan membekas ke para penjajah; bahwa rakyat Jawa adalah pemberani yang tidak akan pernah menjadi bawahan mereka. “Menang atau Mati!” raungan perangnya bergema di dalam sukma para pasukan. Tentu, ‘strategi tembak langsung’ yang dikerahkan Sultan Agung ini bisa diperdebatkan keefektifannya. Apakah perang tersebut bisa mereka menangkan? Apakah dengan mengorbankan rakyat itu yang namanya menunjukkan keberanian? Keraguan terbersit di hati panglima dan pasukan Sultan Agung. Barisan Kerajaan Mataram yang semenjak sebelum diperintah Sultan Agung enggak pernah benar-benar difavoritin rakyat, retak dari dalam. Ada yang meninggalkan medan perang, ada yang malah berkhianat – membelot kepada Belanda. Tapi Sultan Agung tetap bergeming. “Menang atau Mati!” Keraguan yang sama lantas tersampaikan kepada kita. Apa memang iya yang mereka lakukan itu satu-satunya jalan?

Sepertinya, jawaban atas pertanyaan itulah yang menyebabkan sutradara Hanung Bramantyo membawa kita mundur begitu jauh, ke masa tiga setengah abad sebelum Indonesia lahir. Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta bertindak sebagai cermin (yang sangat mewah, mengingat kualitas set dan produksi film ini) di mana saat kita memandang apa yang direfleksikannya, kita bisa ngaca ke masa lalu. Dikemas dalam bentuk fantasi-sejarah, kejadian-kejadian dalam film ini sebenarnya lebih dekat dari yang kita bayangkan. Kerajaan Mataram yang struggle di tengah-tengah politik perdagangan dan adu domba bangsa asing Penduduk yang terombang-ambing dan mudah terpecah belah oleh keraguan dan ketakutan. Pemimpin yang musti bertanggung jawab beresin urusan yang masih tersisa dari kepemimpinan sebelumnya. They all are really close to home. Kita mengobservasi apa yang terjadi di film ini, dan eventually kita akan tersadar seperti Sultan Agung yang akhirnya menyadari kesalahan dan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Rasakan saja sendiri merindingnya ketika Sultan Agung menyuruh pasukan pulang dan berpesan “ajarkan keluargamu untuk mencintai negeri ini”, sebab kalimat tersebut terasa dibisikkan langsung ke hati kita yang mungkin sudah jenuh sama kebencian dan prasangka dan ketakutan.

Tanah, Perpecahan, Kita

 

Dengan ceritanya yang ternyata begitu relevan, sayang aja sih, enggak banyak penonton yang memilih untuk menyaksikan film ini. Meski aku gak heran. Durasi yang nyaingin film India memang tergolong angker bagi kebanyakan penonton. Siapa yang mau nonton film sejarah yang berat dengan durasi sepanjang itu, melek ampe habis aja rasanya udah prestasi banget. Tapinya, film Sultan Agung ini toh tidak semembosankan itu.  Malahan, aku sendiri juga kaget  sudah dua jam ternyata, sebelum memang pada babak ketiga film ini mulai terasa melambat. Sebagian besar waktu film ini akan terus meng-engage penonton. Kita akan tetap dibuat tertarik dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Sultan Agung atas nama keberanian. Kita paham kondisi yang menyelimutinya. Dia sendiri diminta tidak ikut berperang, karena meninggalkan tahta berarti memberikan kesempatan pemberontak untuk mengambil alih.

Kita akan melihat tokoh-tokoh lain terpengaruh hidupnya oleh sabda sang Raja. Film ini punya banyak tokoh, kita melihat pandangan mereka terdevelop, gimana dampak perang tersebut kepada mereka. Film ini melakukan kerja yang baik membuat para tokoh itu tampil hidup, walaupun beberapa orang sukar untuk diingat namanya; siapa yang mana. Penampilan mereka secara seragam sangat meyakinkan. Sultan Agung jadi tampak sedikit nyeremin di tangan Ario Bayu, yang kontras sekali dengan ketika dia masih dipanggil Mas Rangsang saat masih muda – dan by the way, salut buat departemen casting dalam nyonyokin Sultan muda dengan Sultan dewasa. Ada satu karakter wanita, sahabat dan person of interest Mas Rangsang, yang ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat, mandiri, motivasinya ikut perang adalah mencari abangnya di Batavia. Aku suka tokoh ini. Dia semacam voice of reasons yang menjaga si Sultan Agung tetap menapak karena pendapat cewek ini sangat berarti bagi Sultan Agung. Dan dia sendiri, sebagai pejuang wanita satu-satunya di sana, enggak lantas digambarkan sebagai ‘pendobrak’ karena dia masih menaruh hormat sama peraturan.

Tidak ada seorang pun yang masih waras yang lebih memilih perang. Namun terkadang, kita harus berperang – bukan untuk menang, melainkan untuk mencapai kedamaian. Pertanyaannya adalah; perang yang bagaimana? Di jaman sekarang, semakin banyak orang yang lebih tertarik untuk terlihat sebagai pahlawan, yang mengobarkan api peperangan yang tidak perlu. Padahal semestinya kita, sebagaimana Sultan Agung, mencari dan mengambil langkah yang benar

 

 

Jikalau memang ada emosi yang gagal untuk disampaikan, maka itu lebih kepada masalah urutan penceritaan ketimbang ceritanya sendiri. Karena kita bisa lihat ini adalah cerita yang sangat berani; ia memposisikan seorang pahlawan besar, seorang pemimpin, ke dalam sorot cahaya yang enggak exactly mengundang simpati. Sultan Agung tidak pernah ikutan berperang, dia hanya meneriakkan perintah – dan terkadang ancaman buat pasukannya yang pengen mundur, tapi justru pada karakternya begitulah letak pembelajarannya. Cerita actually akan memisah masa muda sebelum dia diangkat dengan saat dia sudah menjabat sebagai Sultan. Dan pemisahan inilah yang membuat semuanya terasa terputus. Mas Rangsang di babak pertama adalah pribadi yang sama sekali berbeda dengan Sultan Agung, tapi bukan tanpa-alasan. Tadinya dia adalah pemuda berkasta Ksatria yang ingin menjadi Brahmana, ia tinggal dan belajar di padepokan, jauh dari lingkungan keraton. Kita lihat dia latihan silat – di mana dia sudah ditunjukkan sebagai orang enggak seneng kalo tidak terlihat tangguh dan berani. Dia belajar ilmu-ilmu tertulis. Aku suka gimana film menunjukkan dia yang masih muda akan sering sekali mengintip ataupun mencuri dengar sebuah peristiwa, dan setelah gede, giliran harus dia yang berada di sana – di tengah, mengambil keputusan, dan beresiko dimata-matai.

Terputusnya cerita datang dari Sultan Agung yang dibuat melupakan siapa dirinya yang dulu. Akan ada banyak flashback sebagai bagian dari proses penyadaran diri, di mana ia kembali teringat ajaran-ajaran gurunya. Dan ini seperti membuat babak awalnya itu sia-sia. Aku biasanya paling menentang penggunaan flashback berlebih, tapi menurutku film ini adalah film yang mestinya bisa mengambil keuntungan dengan tidak menceritakan filmnya secara linear – dari muda ke dewasa. Sepertinya akan lebih baik jika film dimulai langsung dari Sultan Agung yang memerintah dengan reckless karena gak mau terlihat lemah di mata Belanda. Kemudian perlahan kita dibawa ke masa lalu, bersama dengan dirinya yang kembali mengingat, untuk mengenal kembali Mas Rangsang – Sifat dan keputusan Sultan dan Mas dikontraskan lewat alur yang bolak-balik; Dengan cara begitu, semestinya tidak ada emosi yang terlewat – akan lebih terasa beban yang ditanggung olehnya alih-alih dia terasa simpatik di awal dan tiba-tiba menjadi galak dan frustatingly susah diajak kompromi di babak berikutnya.

“senjata api itu tidak akan kalian butuhkan lagi.., aku pinjam ya untuk film yang nunggang kerbau”

 

Separuh babak kedua actually adalah adegan perang, kita akan melihat penyerbuan, orang-orang berantem, tembak-tembakan, darah dan sebagainya, yang digarap dengan tidak membingungkan. Film tahu kapan harus menutupi koreografi, dia tahu bagian mana yang terlihat lebih lemah dari yang lain, dan kamera dan editing terlihat dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Namun, ada satu elemen yang mengganggu buatku; jurus atau ilmu yang lebih terlihat sebagai bagian dari dunia Wiro Sableng ketimbang dunia di buku sejarah.

Sebagai sejarah fantasi, film ini kita akan melihat jurus orang bergerak secepat kilat, jurus totokan yang bikin lawan gak bisa bergerak (Petrificus Totalus!), yang sebenarnya adalah sebagai device supaya adegan penting Sultan bertemu dengan pemimpin VOC bisa masuk ke dalam logika cerita. Dalam cerita, sukmo Sultan Agung literally bertandang ke kamar tidur si Meneer. Namun dalam tingkatan yang lebih dalam, ini sebenarnya cara pinter film untuk mempertemukan kedua bos tersebut; scene ini juga bekerja sebagai masing-masing tokoh bicara ke dalam hati sendiri, mereka akhirnya mengenali siapa lawan dan diri mereka sendiri. Adegan yang ciamik, yang sebenarnya tidak membutuhkan elemen fantasi. Bisa saja dibuat surealis seperti adegan Kartini membaca buku atau surat di film Kartini (2017)Film ini sebenarnya tidak butuh ngebuild up penggunaan jurus untuk memasukakalkan adegan tersebut.   Malah membuat seluruh film terasa aneh, karena kalo memang jurus-jurus tenaga dalam atau semacam itu exist di dunia mereka, kenapa enggak dipakai dalam melawan Belanda? Kenapa gak semua santri padepokan aja yang menggunakan jurus pukulan bayangan kayak si guru? Film sedikit tidak konsisten di elemen fantasi ini.

 

 

 

 

Walaupun bukan yang terbaik, tapi yang jelas film ini adalah salah satu tontonan TERPENTING yang pernah singgah di layar bioskop. Bicara mengenai hal yang relevan, punya pandangan mengenainya, dan benar-benar digarap dengan effort yang maksimal. Penampilan, set, kamera, semua teknisnya practically top-notch. Adegan perangnya cukup asik untuk diikuti. Aku gak tau seberapa gede budgetnya, tapi kita bisa lihat duit-duit itu digunakan dengan efektif. Film ini tahu diri dan dia menganggap kita semua pun sudah paham bahwasanya film sejarah dapat bekerja dalam logikanya sendiri – because it is a movie. Hanya saja ada elemen fantasi yang digunakan tidak benar-benar konsisten ataupun betul-betul diperlukan. Ceritanya sendiri seharusnya bisa diatur lebih baik lagi. Film ini punya nyali, mengingat ini karyanya Hanung, aku percaya film ini semestinya bisa dipush menembus batas convenient yang lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ANT-MAN AND THE WASP Review

“Stepping out of your comfort zone is the best way to grow.”

 

 

Dunia superhero Marvel menjadi kecil dalam film Ant-man and The Wasp, tentu saja ‘kecil’ di sini bukan dalam artian kerdil karena minim aksi dan kurang kepentingan. Karena film ini meriah dan benar-benar sebuah ledakan menyenangkan. Kocak dengan gaya humor yang dapat kita bedakan di antara yang lain, much like sekuen aksinya yang merupakan gimmick khas yang selalu dinanti. Ceritanya lah yang mengambil ruang lingkup yang lebih kecil. Tidak ada ancaman kehancuran global, tidak ada malapetaka dahsyat  dari luar angkasa. Scott Lang adalah contoh langka seorang pahlawan super yang benar-benar mengalami konsekuensi dunia nyata,  dia gak punya duit banyak untuk membuat hidupnya lebih mudah, dia tidak benar-benar punya kekuatan super – kostum Ant-Man harus  ia kenakan dengan prasyarat.

Dan dalam film ini, Scott Lang terpenjara di rumahnya sendiri.

 

Hidup Scott Lang sebagai manusia biasa saja sudah cukup susye, apalagi ketika dia harus mengemban tugas sebagai superhero. Nafsunya untuk menjadi pahlawan yang bener, sebagai lawan dari kehidupan kriminalnya – membuat Lang  harus berada dalam posisi tahanan rumah selama dua tahun. Cerita film ini dimulai  ketika Lang sudah dalam hari-hari terakhir masa tahanannya. Dia sudah enggak sabar menunggu alarm di pergelangan kakinya dilepas sehingga dia bisa pergi keluar rumah dan menjadi ayah yang ia inginkan bagi putri semata wayangnya. In a comical fashion, kita melihat bagaimana hari-hari dihabiskan olehnya; dia membuat lorong sarang semut dari kardus untuk main misi mencuri-mencurian sama anaknya, dia ngerock pake drum set mainan untuk anak kecil, dia dengan khusyuk membaca novel young-adult, dia latihan sulap lewat youtube. Zona nyaman pahlawan super kita diusik oleh Hope dan Hank Pym, mentor yang bikinin kostum superhero buat Lang. Keluarga ini bermaksud mencari ibu mereka yang hilang di dunia kuantum berpuluh tahun yang lalu – sebagai resiko jika mengecilkan tubuh melewati batas. Dan mereka pikir, Scott yang pernah keluar hidup-hidup dari dunia kuantum tersebut dapat membantu mereka.

Avengers: “Scott Lang, main yuuuukk, ada Thanos niiih” / Cassie: “Papa gak boleh keluaarr”

 

Setelah narasi pembuka yang entah bagaimana mengingatkanku sama porsi awal game God of War, film ini memang tidak pernah berhenti menyuguhkan sesuatu yang membuat kita terhibur.  Kita seperti terus diping-pong antara karakter segar, dialog lucu, dan aksi berantem yang koreografinya supercepet dan bermain dengan tokoh-tokoh yang mengecil dan membesar sekejap mata. Film ini juga banyak bersenang-senang dengan adegan yang mengambil komedi pada persepsi kita terhadap ukuran.  Adegan akan dimulai dengan tokoh-tokoh lagi ngobrol di mobil, kamera dibuat nyaris close up, untuk kemudian suatu yang enggak semestinya sebesar itu muncul dari belakang, shot di zoom out, dan kita sadar apa yang sebenarnya terjadi regarding dimensi ukuran tokoh-tokoh pada adegan tersebut.

Kita memang sudah semestinya harus bisa melihat gambaran besar dari suatu masalah, supaya kita bisa mengerti dalam mengambil langkah apa yang harus dilakukan. Tapi terkadang, gambaran besar yang harus dapat kita lihat itu, nyatanya, adalah penyederhanaan dari situasi yang menurut kita pelik.

 

 

Dibintangi oleh begitu banyak talenta, Ant-Man and the Wasp bergantung kepada keahlian sutradara dalam mengembangkan tokoh-tokoh yang ada. Peyton Reed tampaknya sudah nyaman dengan dunia superhero yang ia tangani sejak ‘episode’ pertamanya. Dia paham betul bahwa Ant-Man akan banyak bicara tentang fiksi ilmiah, jadi ia memainkan itu semua ke dalam komedi. Celetukan Lang bakal membuat kita terbahak mengenai kata ‘kuantum’ di depan setiap; that’s how ribet aspek keilmuan yang dipunya oleh film ini sebenarnya. Komedi tentu saja dilakukan supaya penonton enggak bingung diterpa eksposisi tentang bagaimana peraturan ilmu-ilmu yang dibahas pada cerita. Salah satu contohnya adalah bagaimana, seperti yang juga kita lihat pada film pertama, Michael Pena dengan terrific menceritakan kejadian saat diinterogasi oleh salah satu tokoh penjahat. Dia nyerocos cepat dan layar akan nunjukin gambaran yang sedang ia omongin, di mana para aktor akan ngelyp-sinc setiap dialog yang ia ucapkan. Film ini berhasil membuat eksposisi menjadi hal yang lucu. There’s also adegan ‘serum kejujuran’ yang sukses membuatku ngakak. Hank Pym yang diperankan oleh Michael Douglas juga salah satu favoritku di film ini, karakternya sort of pemarah dan suka ngedumel, tapi itu sebenarnya di dalam hati, dia sosok yang peduli. Pasif-agresif tokoh ini mirip sama tokoh Sam di serial GLOW, sutradara acara gulat khusus cewek yang punya gerutu tersendiri dalam nunjukin kepeduliannya terhadap pemain yang ia tangani, actually aku sedang ngikutin season 2nya – aku rekomendasikan serial ini buat kalian yang tertarik sama struggle pembuat acara tv yang kurang popular, dan drama komedi  secara umum.

Balik ke Ant-Man and The Wasp, tho, Scott Lang sendiri enggak berada di kursi kemudi, kalian tahu, karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Hope alias The Wasp. Menurutku, film ini punya masalah yang sama dengan Kulari ke Pantai (2018) di mana sebenarnya tokoh utama cerita film ini adalah tokoh lain, tetapi pada Ant-Man ini aku bisa melihat kenapa mereka gak bisa gitu aja mengganti tokoh utamanya menjadi The Wasp. Karena ini adalah universe Ant-Man, Ant-Manlah yang ada berperan di Avengers. Jadi, dia harus tetap menjadi tokoh utama, meskipun dia sebenarnya enggak begitu paralel dengan apa yang ingin dikatakan oleh film, dengan apa yang ingin dicapai oleh tokoh penjahat dan The Wasp. Jika di film pertama, Lang ditunjukkan sebagai mantan kriminal yang pinter, dia bisa bikin alat untuk masuk ke rumah orang, dia jago parkour, dia dengan cepat menguasai aplikasi kostum pengubah ukuran yang dipinjamkan kepadanya. maka di film ini dia hanya ngomentarin hal-hal dengan lucu. Kalo bukan karena pesona Paul Rudd yang bikin tokoh ini jadi begitu likeable, akan susah untuk peduli padanya sebagai tokoh utama. Dia bahkan gak benar-benar niat untuk sneak out dari rumah yang menahannya. Dia pernah mengalahkan Falcon, salah satu Avengers, dan di film ini dia diselamatkan dari tenggelam oleh The Wasp. Dan randomly dia tidak bisa menguasai kostumnya. Kita tidak ngecheer Ant-Man lebih besar dari kita menginginkan The Wasp berhasil reuni dengan ibunya, atau bahkan itupun kita tidak benar-benar mencemaskan keselamatan Pym yang masuk ke dunia kuantum. Film memang seperti kurang greget, tapi tidak bisa dipungkiri cerita dibangun dengan The Wasp sebagai highlightnya.

Jika The Wasp tidak segera meminta bantuan kepada Ant-Man, dia akan kehilangan ibunya. Jika Ghost – tokoh antagonis di sini – tidak mencuri lab dan teknologi dari ayah Wasp, dia akan mati. Dua tokoh ini harus segera keluar dan mengusik zona nyaman yang membawa malapetaka bagi mereka.  Ant-Man adalah kontras dari ini, dia tidak perlu melakukan semua itu. Dia bisa duduk baik di rumah dna dia akan menjadi ayah yang baik. Dia diseret ke dalam situasi di mana dia tak punya jalan lain selain mesti berhasil, demi kembali ke zona nyamannya.

 

Tayang setelah Avengers: Infinity War (2018) yang begitu depressing, film ini mendapat keuntungan hadir sebagai film yang didesain untuk menjadi tontonan yang menyenangkan. Hampir tidak ada unsur suram pada film ini. Sangat ringan dan luar biasa menyenangkan. Makanya, aku pikir kita akan gampang bias dalam menyingkapi film ini. Kita menganggapnya segar, karena kita baru saja dibuat ‘dendam’ sama Thanos. Namun, bayangkan jika kita menonton ini lagi, jauh nanti setelah Infinity War, atau bayangkan ada orang yang belum nonton Infinity War dan dia hendak marathon Ant-Man dan Ant-Man 2.. Tidak ada yang begitu berbeda pada dua film Ant-Man. Sekuelnya ini tidak benar-benar sesuatu yang fresh dibandingkan dengan film pertamanya. Malahan, tokoh utamanya jadi kurang kuat, meskipun keseluruhan film tetap adalah tontonan yang ekstra menyenangkan. I guess film ini benar-benar dipush untuk menjadi menyenangkan, karena ada rencana di dalam dunia sinematik ini. Tapi kita harus melihat film sebagai sesuatu yang berdiri sendiri; film ini mampu, tapi banyak elemen yang sebenarnya tampil lebih lemah. Satu tokoh jahatnya, si Burch, kehadiran tokoh ini memang mengundang tawa di ujung, tapi in a long run karakternya enggak benar-benar penting. Sekiranya dihilangkan, beberapa hal pada film ditulis ulang, cerita mungkin bisa menjadi lebih baik.

berkat film ini kita tahu for a fact bahwa suara semut bukan “oee..oee” seperti yang disebut pada lagu anak-anak

 

 

Alih-alih dunia, film ini bicara mengenai menyelamatkan keluarga; yang mana adalah semesta personal bagi setiap individu. Menghibur kita dengan ritme yang cepat, aksi-aksi dnegan efek komputer yang memukau, tokoh-tokoh yang kocak, akan susah sekali untuk terkulai tertidur ketika menonton ini. Bisa dibilang, film ini mengorbankan cerita yang lebih kuat, karakter yang lebih baik, demi tampil lebih ringan bahkan dari film pertamanya. Dia akan menjelaskan hal-hal dengan cara yang lucu, jika tidak bisa, maka film akan meninggalkannya tanpa penjelasan. Film mengharapkan kita, terutama pada babak ketiganya, untuk menerima saja, atau paling enggak sudah membaca komiknya. Big Hero 6 (2014) akan menghasilkan impresi yang lebih membekas untuk tantangan dan tema yang nyaris serupa. Setelah Infinity Wars, gampang untuk dengan cepat bilang film ini fresh, tapi jika dibandingkan dengan film pertamanya, film ini lebih kompleks. Namun kekompleksannya tidak dimainkan dengan benar-benar membuatnya unggul dan berbeda. But hey, it’s a small world, afterall.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

ISLE OF DOGS Review

“Be mindful of what you throw away…”

 

 

 

Dendam kesumat sejak sebelum Jaman Kepatuhan itu masih membara. Walikota korup kota Megasaki, Jepang, Mr. Kobayashi yang antipati sama anjing, memprogandakan untuk membuang seluruh anggota spesies tersebut ke luar pulau. Mengasingkan mereka bersama sampah-sampah yang tak diinginkan. Anjing-anjing itu kudisan, kotor, membawa penyakit menular yang bisa membahayakan manusia.  Begitu katanya, menggunakan ketakutan untuk mengendalikan paham penduduk. Kampanyenya sukses, sekarang Megasaki bersih dari anjing, baik anjing terawat dipelihara maupun yang kutuan. Mereka semua numplek tinggal di pulau terasing, mengais sisa-sisa untuk makanan. Tidak ada majikan yang menjemput atau sekedar mencari mereka. Kecuali satu anak bernama Atari yang nekat ngemudiin pesawat demi mencari anjing penjaganya tersayang, Spots. Pesawatnya jatuh. Atari mendarat darurat, in sense sukur dia masih hidup, di tengah-tengah pulau, di mana lima ekor anjing berembuk untuk setuju menemani Atari mencari Spots yang sudah lama tak terlihat lagi di pulau tersebut.

Jika kita punya cinta, dan membuat suatu karya dengan benar-benar menyalurkan rasa cinta tersebut ke dalamnya, maka kita akan mendapati hasil yang kurang lebih sama dengan Isle of Dogs. Lewat animasi stop-motion ini terasa sekali desah nafas kecintaan sutradara Wes Anderson terhadap Jepang dengan segala kebudayaannya. Dan tentu saja terhadap anjing.

“Isle of Dogs” kalo diucapkan cepet-cepet maka akan terdengar seperti “I love dogs”

 

Wes Anderson membangun dunia Jepang masa depan dari apa yang ia tahu dan membuatnya anjing menjadi pusat dari semesta. Kalo boleh dibilang aku lebih ke cat-person ketimbang penyinta anjing, like aku barely bisa menahan kakiku untuk tidak mengambil langkah seribu setiap kali denger gonggongan.  tapi film ini tidak membuatku merasa harus ikut mengambil pihak – aku tidak merasa harus setuju sama rencana klan Kobayashi yang ingin membuat Jepang sebagai surga kucing alih-alih anjing. Karena pada anjinglah film ini meletakkan hatinya.

Binatang peliharaan bukan sekadar barang atau mainan yang bisa kita buang sekena hati, mereka tak kurang sebagai bagian dari keluarga

 

Film membuat keputusan aneh berupa hanya tokoh-tokoh anjinglah yang selalu berbahasa inggris, dengan tujuan supaya kita mengerti sudut pandang mereka. Animasi hewan-hewan ini pun tampak ter-render dengan sangat menakjubkan. Bulu-bulu kusut itu, para anjing memang tampak kotor, tapi kita tidak terhalangi untuk menyelami mereka dengan lebih jauh.  Animasi 3D computer memang semakin pesat lewat teknologi-teknologi yang hanya bisa kita bayangkan, tapi gambar-gambar tangan dan animasi stop-motion akan selalu dapat tempat di hati kita semua. Melihat film ini tak urung membuat kita meresapi dan mengapresiasi betapa kerasnya kerja yang dilakukan oleh pembuat film untuk membuat semua tampak hidup. Salah satu ciri khas Anderson adalah bagaimana dia mengomposisikan gambar-gambar indahnya dengan begitu simeris. Shot-shot dalam film ini tampak seimbang, salah satu yang paling bikin aku melotot adalah adegan ketika salah satu anjing melihat bayangan anjing tak dikenal, yang tak bisa ia cium baunya, dari kejauhan. Pada stop-motion khususnya, ada keindahan yang mencuat di balik adegan-adegan gerak yang kasar. Seperti anjing-anjing itu sendiri, tampak galak, tapi mereka makhluk yang tak kalah gentlenya di dalam.

Penokohannya dibuat dengan sangat menarik. Lima anjing yang menemani Atari bertindak sebagai guide yang akan menghantarkan kita kepada urat-urat drama dan komedi  dan bahkan paparan mengenai bagaimana aturan pulau sampah itu bekerja. Talenta seperti Edward Norton, Bill Murray, Jeff Goldblum, tentu saja hanya akan membantu kita dapat dengan segera terattach sama hewan-hewan tersebut. Adalah keajaiban dari animasi film ini membuat setiap tokoh hewan tampak seperti punya kemiripan dengan aktor yang menyuarakan. Ada keakraban yang kita rasakan ketika kalimat ‘gonggongan’ masing-masing anjing  seperti benar-benar dituliskan khusus sesuai dengan kharisma dan cara bicara aktornya. Anderson nyaris seperti menyerahkan persona publik dari para aktor untuk merasuk ke dalam dialog, membuatnya terasa seperti otentik. It’s like we’re watching the fantasy version of the actor; enggak mungkin kita salah menebak yang nyuarain Nutmeg adalah Scarlett Johansson.

jadi, pertanyaan ‘who let the dogs out?’ sudah terjawab kan ya? Iya kan!?

 

Dari kelima anjing yang masing-masing mempunyai nama sinonim dari pemimpin, ada satu yang paling berbeda dari yang lain. Ia tidak dibesarkan dalam pemeliharaan manusia. Ia sedari awal memang ‘hanya’ anjing jalanan. Tapi si Chief ini, punya latar belakang paling menarik sehubungan sikapnya yang menolak untuk jadi peliharaan. Chief actually adalah tokoh yang paling mendekati tokoh utama pada film ini. Performa Bryan Cranston benar-benar highlight, membuat kita bersimpati kepada Chief meskipun tokoh ini yang paling angkuh. Dia lebih memilih makan sampah ketimbang biskuit anjing, bayangkan coba. “I bite” ancamnya kepada manusia yang ingin membelainya. Tentu saja, dalam sebuah naskah yang digarap seksama, arc akan dibuat melingkar seperti anjing yang mengejar sendiri ekornya. Chief lah yang actually menjadi anjing yang paling dekar dengan Atari. Perkembangan tokoh Chief ini akan sangat memuaskan.

Lebih  mudah bagi kita untuk membuang jauh-jauh, sama sekali tidak mau berurusan dengan, sesuatu yang kita pikir kita tidak suka. Memang, itu adalah pilihan kita. Yang perlu diingat adalah since it was an option, kita tidak bisa memaksakan kepada orang lain untuk memilih keputusan yang sama. Hidup adalah berdampingan, ada yang kita suka – ada yang tidak kita suka. Jika kita cukup kuat untuk melakukan sesuatu di luar pilihan itu; daripada menghabiskan tenaga mengenyahkan, menggebah orang untuk turut membenci, bukankah alangkah baiknya untuk kita mencoba melihatnya dari sudut yang lain.

 

 

Keputusan aneh yang membuat kita begitu dekat dengan tokoh-tokoh berkaki empat, however, terasa ganjil begitu kita mencoba untuk menyelami tokoh manusianya. Atari, Kobayashi, Yoko dan si ilmuwan pecinta anjing, mereka sayangnya tampak satu-dimensi karena kita yang tidak bisa berbahasa Jepang, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ada batasan emosi yang bisa dideliver hanya dengan animasi. Dalam gaya penceritaan film ini, terkadang dialog manusia mendapat translasi lewat terjemahan berita atau diucapkan oleh seorang tokoh pelajar yang berasal dari luar negeri. Tapinya lagi, sebagian besar dari dialog yang bisa kita mengerti itu berupa eksposisi. Tokoh pelajar asing tadi, arcnya bahkan tampak tak begitu berguna, dia berusaha menyadarkan orang-orang Jepang bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia – ia adalah perwujudan perjuangan dari pihak manusia, hanya saja tidak begitu berdampak pada progresi cerita. Malahan, tokoh yang disuarakan oleh Greta Gerwig ini banyak diprotes oleh kritikus lantaran dianggap sebagai projeksi dari white-washing; bahwa setelah semua yang terjadi, orang kulit putihlah yang menjadi penyelamat.

Sejumlah bobot suspens mengisi durasi cerita yang berjalan dengan pace yang nyaris stabil. Musik dan visual bekerja bahu membahu, membangun adegan-adegan yang riveting. Hanya saja kebutuhan untuk tampil penuh style, sekali lagi gaya bercerita yang dilakukan oleh film, membuat cerita ini semakin timpang lagi. Ada banyak flashback yang dipakai, untuk mengakomodasi backstory beberapa karakter, yang melukai pacing – membuat cerita berjalan semakin lambat. Maju ceritanya jadi semacam terhambat karena kita harus melihat flashback dulu, kilasan balik yang kadang juga tak menyampaikan sesuatu yang paralel dengan cerita. Kalo bukan karena musik dan animasinya yang menarik minat, mungkin aku sudah tertidur begitu mencapai babak kedua.

 

 

 

 

Animasi yang menawan, pencapaian film ini regarding visual benar-benar luar biasa. Kerja keras itu terbayarkan dalam setiap frame. Para aktor membuat dongeng ini hidup, karakter-karakter anjingnya mencuat kuat. Mengangkat tema yang dewasa seputar apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap hal yang tidak kita cinta. Aku selalu senang menonton animasi yang tidak kelewat bego dan actually punya sesuatu di baliknya. Sayangnya, cerita film ini tampil sedikit timpang. Tokoh manusianya tidak terflesh out sebaik tokoh hewan. Pacingnya sedikit goyah oleh penggunaan flashback, tapi kupikir lagi, bisa saja ini masalah minor yang bisa kita overlook saat menonton film ini untuk kedua kalinya. Karena yang dibangun oleh Wes Anderson di sini adalah dunia fantasi yang bergerak dalam konsep dan konteksnya tersendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ISLE OF DOGS.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017