DARAH DAGING Review

“Blood’s not thicker than money”
 

 
Seorang wanita menatap lekat-lekat pria berseragam orange yang didudukkan petugas di hadapannya. Tangan pria itu diborgol pada besi meja di antara mereka. Wanita ini menuntut informasi langsung atas kejadian perampokan lebih dari empat-belas tahun silam kepada sang pria. Apa yang sebenarnya terjadi pada kasus tersebut? Mengapa si pria melakukan apa yang ia lakukan – apa tepatnya yang ia lakukan? Siapa wanita yang mengaku jurnalis itu? Kenapa kamera begitu bergoyang-goyang padahal kedua tokoh sedang duduk tenang – satunya malah terborgol?
Cerita Darah Daging lantas tumpah meruah. It was so all over the place. Laga perampokan bank yang diselangi oleh flashback pengenalan tokohnya. Namun  tidak satupun pertanyaan urgen yang muncul seketika di benak kita saat melihat adegan pembuka itu yang langsung ditampilkan sebagai tubuh cerita. Film bermaksud mengajak kita berpikir – which is good – tapi kita tak diberikan pegangan dan sudah mati rasa duluan. Pembangunan dunianya terasa hampa dan gak bekerja di dalam logika. Tokoh-tokohnya hanya bidak pada naskah – at best, mereka adalah trope cerita crime ala orang-susah-yang-terpaksa-merampok. Sulit bagi kita untuk meraba poin utama sebab Donny Alamsyah si narapidana yang diwawancarai Estelle Linden di adegan pembuka tadi bahkan bukan pusat dari cerita. Kita akan berpikir dia tokoh penting atau apa, tapi tokoh Donny yang bernama Salim hanyalah satu dari lima pria berhelm hitam seragam yang merampok bank di siang buta. Membagi jatah senapan laras panjang di trotoar terbuka. Tindak perampokan yang berlangsung di depan mata kita tampak sama amatirnya dengan cara film merekam dan menyuguhkan adegan perampokan tersebut. Karena kita sama sekali tidak tahu harus merasakan apa – ketegangan tidak pernah mengalir karena untuk percaya mereka tidak segera dilaporkan ke yang berwajib aja rasanya susah. Film segera sadar kita butuh untuk kenal dengan kelima tokoh, maka selagi perampokan berjalan kita dibawa menembus helm masing-masing perampok; flashback lagi melihat alasan mereka mau ikut merampok bank secara bergantian.

ingat kami mainnya: masuk, goyang, langsung cabut!

 
Salim bukan pemimpin kelompok. Pemimpinnya adalah Arya yang diperankan oleh Ario Bayu, yang dengan tegas mengatakan tidak boleh ada korban. Dua anggota lainnya adalah saudara seibu angkat Arya, Rahmat dan Fikri. Nama terakhir adalah orang termuda dan yang paling nervous karena bank yang mereka kerjai adalah bank tempatnya bekerja. Sebagai badboy di dalam grup adalah tokohnya Tanta Ginting yang menyuplai senjata. Di titik ini kita semakin bingung kenapa Salim seperti tidak ada hubungan dengan semuanya. Satu-satu yang menjadi ciri karakternya adalah dalam beraksi pun – ketika tentu saja aksi mereka jadi kacau, jatuh korban, helm mereka lepas, polisi memburu – Salim hanya merangkak ketakutan. Dia tidak membantu Arya dan saudaranya berusaha membawa Fikri ke rumah sakit. Dia tidak membantu Bornenya Tanta Ginting retaliate dengan menembaki polisi dan memburu Arya yang lari ke jalanan. Salim hanya diam di sana, mengikuti ke mana naskah menyuruh tokoh-tokoh yang lebih menarik pergi, dan baru bergerak ketika tiba giliran naskah menyuruhnya. Dia cuma pelaku yang masih hidup, dan film tak membuatnya masih hidup dalam cara yang tak mempermalukan dirinya.
Things would make sense if it was a story about guy who feel guilty and kupikir memang begitu. ‘Daging’ cerita Darah Daging sebenarnya adalah soal kekeluargaan yang kuat mampu tercipta pada orang-orang yang bukan sedarah. Nasib dan sama-sama hidup susah dirangkul oleh kebaikan, menghasilkan hubungan yang bahkan lebih kuat dari keluarga betulan. Salim mencoba menjadi bagian dari keluarga tersebut, tetapi saat itu dia gagal memahami makna ikatan kekeluargaan Arya dan saudara-saudaranya. Percakapan dengan Hanna si tokoh Estelle Linden membantu Salim memahami semua itu. Inilah sesungguhnya inti dari film ini. Wawancara personal yang intens antara Salim dengan Hanna di penjara. Harus jelas alasan dan motivasi Salim mau melakukan wawancara, menceritakan kembali kesalahan besar yang ia, dan Arya, lakukan. Sehingga kepentingan dan urgensi tokoh ini terasa. Nun jauh di lubuk hati ia berusaha membenarkan apa yang ia lakukan dulu. Dan Hanna adalah faktor penentu yang sebenarnya juga tidak perlu disembunyikan dan dijadikan twist.

Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi yang pasti uang memungkinkan kita untuk memilih jalan sengsara sendiri. Jika keluarga beneran aja bisa berantem dan sengsara karena duit, apalagi keluarga seperti ‘keluarga’ Arya pada Darah Daging. Mereka seharusnya ingat kebersamaan mereka justru pada saat tidak ada uang di antara mereka. Mereka harusnya sadar mereka tak butuh uang untuk menjadi keluarga, untuk merasakan kasih sayang seorang ibu sedari awal.

 
Namun film malah ngambil waktu terlalu lama dan membuat fokus di adegan rampok. Dia dijadikan genre aksi. Lewat rangkaian flashback bergantian yang diselipkan tadilah, Sarjono Sutrisno yang menyutradarai film-panjang untuk pertama kali, bermaksud memancing sisi dramatis. Di balik kejahatan yang para tokoh lakukan, ada tujuan yang mengharukan; bahwa mereka sebenarnya terpaksa tapi harus melakukannya. Namun berpindah-pindah sesering yang dilakukan film ini membuat kita terlepas dari cerita. Intensitas dari sekuen perampokan itu jadi sirna. Kita pun tidak seketika kenal mereka dengan baik, karena tidak ada yang ter-establish oleh banyak cut ke masa lalu. Film jadi melelahkan, membutuhkan waktu terlalu lama untuk sampai ke gagasan utama. Juga semakin susah untuk dinikmati, karena pada bagian aksi kamera bergoyang jauh lebih hiperaktif lagi.
Jika pada paruh awal kita diminta untuk merasakan ketegangan laga, maka pada paruh akhir film menyuruh kita untuk menyaksikan flashback yang semakin lama semakin keterlaluan – lantaran kali ini juga dibarengi dengan slow-motion yang menyiksa. Film harusnya berjalan runut. Cara cerita ini berjalan dengan rentetan flashback pengungkap di belakang, malah seolah film meminta kita untuk meratapi orang asing yang sudah meninggal. “Oooh mereka merampok buat balas jasa pada ibu… ooh mereka mati karena merampok bawa-bawa yang bukan keluarga huhuuu sediihh” Konyol!

Fikri is just so damn annoying ya, why won’t die already

 
Padahal ini seharusnya adalah ‘selebrasi’ dari perasaan bersalah Salim. Bagian paling mengena kepada penonton justru saat wawancara Salim dengan Hanna. Saat Salim menyadari betapa devastating pilihan yang mereka lakukan. Maka dari itu harusnya film berfokus pada wawancara Salim tersebut. Film tidak perlu memakan lebih dari satu jam memperlihatkan aksi tembak dan kejar-kejaran yang konyol (ada satu adegan yang menampilkan tokoh yang diuber oleh polisi dan orang yang mau menembak dirinya kabur ke sekolah dasar, karena siapa peduli sama logika), yang bahkan tidak berpusat pada tokoh utama. Tapi tentu saja, memfilmkan dua orang berdialog supaya menjadi intens dan menarik itu susah – butuh penulisan yang cerdas pula. Aktor-aktornya juga harus mumpuni. Memainkannya sebagai laga adalah langkah yang lebih mudah. Untuk pembuat film dengan jam terbang lebih banyak dan lebih kompeten, tentu bercerita lewat dialog sehingga menghasilkan thriller yang intens adalah tantangan. Coba lihat film klasik 12 Angry Men (1957) yang isinya orang berdebat dari awal sampai akhir namun tetap menarik ditonton hingga sekarang. Atau film bisa ‘menyontek’ struktur satu-satunya horor yang menang Best Picture Oscar; The Silence of the Lambs (1991), basic-nya sudah serupa hanya saja berani (dan mampu) menonjolkan dialog dengan narapidana sebagai hidangan utama dan elemen horor membayangi.
 
 
Laga butuh source yang lebih besar, dan skill penggarapan yang lebih mumpuni daripada sekadar menggoyang-goyangkan kamera. Sekurang memuaskannya cara bercerita Darah Daging yang menonjolkan aksi yang perampokannya bahkan kalah seru dibandingkan perampokan di babak akhir Pertaruhan (2017) dan kemudian diisi flashback, dan semakin banyak lagi flashback menjelang akhir – menimbun inti cerita semakin jauh jatuh ke dalam lubang ketidakkompetenan; toh sepertinya ini adalah pilihan yang benar. Sebab jika menggarap dengan fokus adegan laga saja filmnya tetap terasa lebih panjang daripada durasi sebenarnya, bayangkan seperti apa hasilnya jika pembuat film ini nekat memfokuskan dan bergantung pada dialog wawancara.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DARAH DAGING

JUMANJI: THE NEXT LEVEL Review

“Life was meant for big adventures and good friends”
 

 
Saat sekuel dari video game yang kita suka rilis, kita excited mengharapkannya punya konsep yang familiar, punya karakter yang sudah kita kenal, namun dengan level-level yang lebih luas dan lebih menantang. Jumanji: The Next Level persis seperti demikian. Film ini hadir dengan konsep dan rule yang kurang lebih sama dengan film sebelumnya, Jumanji: Welcome to the Jungle (2017). Karakter-karakter yang sudah sukses menghibur kita, baik karakter ‘asli’ maupun karakter avatar (in-game) mereka, semua hadir kembali. Dengan petualangan, cerita, dan bahkan pemeranan yang dinaikkan levelnya. It is more… wild!
Geng Spencer kini hidup di kota yang berbeda-beda. Persahabatan mereka mungkin masih seerat dahulu – bersama-sama menempuh petualangan hidup-mati dalam dunia video game akan cenderung membuatmu akrab dengan temanmu – namun selayaknya anak remaja, LDR mau tidak mau membuat Spencer insecure. Ia canggung bertemu dengan Martha. Jadi ketika liburan natal ini geng mereka sepakat pulkam dan temu-kangen di kafe bekas kepunyaan kakek Spencer, pemuda ini semakin galau. Dia merasa perlu untuk mengumpulkan kepercayaan diri dengan… menjadi Dr. Bravestone lagi. Spencer nekat masuk ke dalam video game Jumanji yang sudah rusak itu seorang diri. Martha, Bethany, dan Fridge yang mencemaskan Spencer mencoba menyusul. Membantu Spencer menyelesaikan game berbahaya yang sudah pernah mereka tuntaskan. Namun kerusakan Jumanji membawa kekacauan. Mereka masuk ke dunia Jumanji secara random; as in Kakek Spencer yang grumpy, Eddie, dan mantan sahabatnya yang ngeselin, Milo, terseret ikut bermain alih-alih Bethany yang tertinggal di rumah. Dan dunia game di dalam Jumanji yang harus mereka ‘kalahkan’ kali ini; totally dunia yang berbeda. Dunia yang jauh lebih luas dan lebih berbahaya ketimbang sekadar hutan belantara.

“At least, that time I was still black” Jangan ngeluh dong, kamu Jack BLACK sekarang

 
Yang paling lucu dan menarik dari konsep Jumanji modern adalah pemeranannya. Di dalam dunia game, mereka punya tubuh yang berbeda, tapi sangat sesuai dan dengan tepat mencerminkan keunggulan dan kelemahan pribadi masing-masing. Para aktor yang memerankan tubuh dalam-game tokoh film ini – disebut avatar – mendapat tantangan untuk bermain di luar kebiasaan, misalnya Jack Black yang memerankan seorang gadis stereotype dumb-blonde yang terjebak dalam tubuh pria urakan tambun yang jago baca peta. Komedi sebagian besar memang datang dari sini. Dan pada Jumanji: The Next Level soal avatar ini semakin kocak lagi, karena sangat random. The Rock Dwayne Johnson kocak parah ketika dia harus memerankan kakek-kakek sakit pinggang yang mendadak punya tubuh begitu kuat dan segar bugar. Dia memainkan Danny DeVito yang jadi kakek cranky yang terjebak di tubuh pria berotot. Sejak hari-hari emasnya di ring gulat, sisi komedi terbaik The Rock selalu adalah bermimik pongah, dengan permainan suara saat talk-trash ke orang-orang. Dalam Jumanji baru ini, Rock kembali dapat kesempatan untuk menggali sisi komedinya tersebut. Jack Black kebagian peran yang annoying, tapi penguasaan komedinya membuat segala keluh kesah yang ia lontarkan jadi pancingan dan punchline yang kuat. Karen Gillan tidak banyak mendapat perubahan – remaja yang masuk ke tokoh avatarnya masih tetap remaja yang sama dengan film pertama. Namun bukan berarti itu karena Gillan tidak punya range akting sebaik lawan mainnya. Gillan diberi satu adegan menjadi ‘tokoh lain’, dan dia memerankan peran komedi itu dengan flawless.
Aku masih ingat menuliskan “Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart.”  pada ulasan film pertama, sebab memang yang paling boring adalah Kevin Hart karena dia practically memainkan dirinya sendiri, leluconnya selalu sama di mana pun ia berada; selalu mengejek fisik dirinya sendiri. This is not the case pada film kedua. Hart menjadi Danny Glover, dia seperti memparodikan gaya bicara tokoh Glover yang begitu lamban. Ini fresh untuk ukuran komedi Hart. Tek-tokan dia dengan The Rock jadi pemancing gelak utama. Tokoh Milo yang bersemayam di avatar Hart punya hubungan persahabatan yang menarik dengan Eddie yang di dalam Bravestone The Rock. Mereka dulu partner dan sekarang Eddie bahkan tidak sudi ngobrol dengan Milo. Bukan hanya komedi, drama berhati pun hadir dari interaksi mereka. Surprise performance buatku datang dari Awkwafina. Aku bahkan gak tahu sebelumnya bahwa dia bermain di film ini – aku gak lihat trailer dan materi promosi. Bikin terenyuh di The Farewell (2019), Awkwafina kembali menunjukkan taring di zona nyamannya, yakni komedi. Dia juga dapat dua lapis akting, dan perannya yang paling kocak adalah ketika avatarnya dimasuki oleh… ah, kupikir ini bakal jadi spoiler jadi baiknya kalimat itu tidak kulanjutkan. Nick Jonas juga kembali kebagian peran, and he’s the weakest link, yang paling bosenin di antara semua kerusuhan positif tadi.

Petualangan dalam dunia Jumanji mengajarkan pada tokoh-tokoh untuk melihat kelemahan dan kekuatan rekan tim mereka. Jika kita punya masalah dengan sahabat, habiskanlah waktu lebih banyak bersama mereka. Utarakan maksud, utarakan arah. Cari tahu kembali apa yang membuat kita saling dekat pada awalnya. 

 
Sebenarnya bukan cuma Kevin Hart, ada beberapa perbaikan lain yang dilakukan oleh film ini. Aku kutip lagi kekurangan film pertama terkait perspekif ‘cutscene video game’ yang kutulis di review: “Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya.” Dalam film kedua, tidak ada lagi cutscene seperti begitu. Perspektif dibuat setia, dari tokoh-tokoh yang sedang menghidupi video game, kita tidak lagi melihat adegan yang tidak dilihat oleh para tokohnya. Kemudian berkaitan dengan avatar dan pesan film; aku di review film pertama menuliskan: “Maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.” Di film kedua ini, mereka semua pakai nama asli tokohnya. Tokoh yang diperankan The Rock hanya beberapa kali di-refer sebagai Bravestone, dan nama avatar Awkwafina disebutkan sebagai device komedi. Jadi, film kedua ini benar-benar berusaha untuk menjadi lebih baik daripada film pertama. Setidaknya kekurangan pada film pertama yang aku tulis tidak lagi ditemukan pada sekuel ini.

Hayo kalian baca reviewku ya?

 
Untuk urusan visual, film ini tampak lebih mahal. Duit keuntungan box office mereka yang luar biasa tahun lalu menunjukkan efeknya di departemen ini. CGI dan efek komputernya terlihat lebih luwes dan meyakinkan. Adegan-adegan aksi juga lebih menegangkan. Tokoh-tokoh kita banyak dikejar-kejar, dengan ‘panggung’ yang bervariasi. Mulai dari gurun pasir hingga serangkaian jembatan gantung. Konsep nyawa video game – mereka masing-masing punya tiga nyawa yang berarti cuma punya tiga kali kesempatan untuk ‘mengacau’ – dibuat lebih berbobot daripada sekadar stake yang menambah ketegangan cerita. Ada kalimat yang aku suka sekali di film ini yakni nasehat kakek kepada Spencer “Don’t lose everything when you fail. You still got a life.” Benar-benar merefleksikan keadaan mereka, mengingatkan untuk tidak down ketika gagal karena kesempatan masih ada. Apalagi jika masih muda.

Actually, bukan masalah masih muda atau sudah tua. Kakek Spencer, Eddie, pada awalnya begitu cranky karena dia merasa tua, waktunya sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk berubah. But there’s still a life. Menjadi tua berarti masih ada waktu. Untuk bertualang. Untuk stage yang berikutnya. Dia masih punya kesempatan memperbaiki hidup yang sama besar dengan kesempatan cucunya.

 
 
Segala excitement film ini terasa mengempis pada babak terakhir, saat film memutuskan untuk mengembalikan mereka ke kondisi semula – ke kondisi film pertama. Ini adalah keputusan terburuk yang diambil oleh sutradara Jake Kasdan sepanjang durasi film. Kita melihat begitu banyak hal segar, dan kemudian dia seolah membuat kita menonton kembali film pertama. Karen Gillan kembali menari sambil berkelahi. The Rock kembali memerankan tokoh laga serba bisa yang baik hati alias boring. Also, pertarungan bossnya benar-benar lemah. Film mengembalikan mereka seperti pada film pertama seolah film tidak mampu mencari jalan keluar yang baru. Para tokoh seharusnya belajar meng-embrace avatar mereka, seperti yang sudah berhasil mereka lakukan pada film sebelumnya. I mean, kalo kita main video game, kita toh harus mampu mengendalikan banyak tokoh – enggak hanya melulu memainkan satu tokoh yang sama.
Empat avatar ini sejatinya masih sama, yang berbeda hanya ‘jiwa’ yang menghidupi mereka. Aksi dan tantangan sebelum babak terakhir menarik karena kita melihat pendekatan berbeda yang diambil oleh ‘jiwa’ yang memasuki avatar tersebut. Lebih menarik melihat ini, bahkan ketimbang melihat trait baru yang ditambahkan oleh film yang malah membuat tokoh-tokoh dan rintangan seperti terprogram. Malahan ada satu yang gak benar-benar ter-establish, yakni kemampuan berbicara dengan hewan. Yang sepertinya hanya bekerja pada hewan tertentu karena mereka tetap saja dikejar-kejar oleh burung unta, kera mandril, dan kuda nil. Kenapa tidak bernegoisasi saja dengan hewan-hewan buas tersebut.
Selain arc tokoh Danny DeVito, arc tokoh-tokoh yang lain terasa sama saja dengan arc mereka pada film pertama. Namun ada satu tokoh yang arc-nya benar-benar mencengangkan, dan film mengabaikan begitu saja konsekuensi dunia nyata dari pilihan yang diambil oleh tokoh tersebut.
 
 
 
Sebagai sekuel, film ini sukses terasa lebih besar dan lebih heboh daripada film pertamanya. Dan memang beginilah seharusnya sebuah level adventure yang baru. Tokoh-tokoh yang familiar, tapi dengan rintangan yang baru, dan penambahan yang memang berarti. Film pun berusaha menjadi lebih baik, dia memperbaiki kesalahan terdahulu. Memperkuat keunggulan dan keunikan yang sudah dimantapkan. Namun pilihan di akhir film benar-benar fatal. Para tokoh dan arc mereka terasa sama lagi dengan film yang lalu. Sehingga babak akhir jadi jatuh membosankan. Keasikan nonton ini bakal tergantung masing-masing; jika kalian lebih suka film yang babak akhirnya strong, film akan sedikit mengecewakan namun bakal segera terpulihkan karena di akhir banget ada teaser yang menggugah nostalgia. Jika kalian enggak begitu mempermasalahkan, film ini akan jadi hiburan dari awal sampai selesai.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JUMANJI: THE NEXT LEVEL.

FORD V FERRARI Review

“I’d rather have an enemy I can respect than a friend I can’t trust.”
 

 
Meskipun judulnya mengusung persaingan antara dua perusahaan mobil balap, Ford v Ferrari garapan James Mangold sebenarnya bercerita tentang dua orang yang tadinya sering beradu argumen menjadi sahabat karena sama-sama cinta mobil dan balapan, berjuang melawan politik citra perusahaan – dan masalah pribadi masing-masing – dalam usaha mereka menciptakan keajaiban yakni mobil balap tercepat dan tertangguh.
Walaupun kurang tertarik sama mobil, sama balapan, aku bahkan enggak hapal nama-nama mobil biasa – apalagi mobil balap. Tapi aku tahu bahwa balap mobil seperti Formula 1 bukan semata soal ‘privilege‘ punya mobil canggih atau teknologi yang mahal. Bukan pula sekadar kehebatan orang di balik kemudinya. Melainkan sebuah strategi. Yang melibatkan kerja sama tim yang melibatkan banyak orang. Memenangkan sebuah balapan berarti kalkulasi taktis kapan harus ngegas, kapan harus masuk pit stop untuk pengisian bahan bakar atau perbaikan teknis, sampai ke kapan harus ‘menunggu’ rekan satu tim yang juga jadi lawan karena dalam balapan biasanya satu perusahaan mobil memasang dua pembalap. ‘Lingkungan’ inilah yang dibahas dalam Ford v Ferrari. Ceritanya menekankan kepada pentingnya tokoh-tokoh untuk bekerja dalam tim, dan bagaimana dalam sebuah persaingan bukan musuh atau rival dari luar saja yang perlu diperhatikan – melainkan juga lawan dari dalam. And as far as the racing goes, film ini membelalakkan mataku lantaran balapan yang mereka ikuti lebih besar daripada balap-balap yang aku tahu pake hitungan lap sebagai finish. Le Mans yang jadi panggung kompetisi cerita ini adalah balapan selama dua-puluh-empat jam nonstop!

bapak gak kebelet? / gak udah keluar kok

 
Keajaiban yang terkandung dalam Ford v Ferrari tercatat dalam sejarah, karena cerita film ini memang diangkat dari peristiwa dan orang-orang nyata. Pertengahan 1960an bukan periode gemilang untuk perusahaan mobil Amerika, Ford. Penjualan turun karena generasi muda pengen produk yang lebih menantang. Jadi mereka punya ide untuk berpartner dengan mobil balap terkemuka dari Itali, Ferrari. Penawaran kerjasama mereka dianggap merendahkan oleh Ferrari, sehingga mereka ditolak mentah-mentah. Demi harga diri, Ford mengerahkan kepercayaan kepada produk asli Amerika untuk mengalahkan Ferrari dalam permainan mereka sendiri; balapan. Enter Carroll Shelby, mantap pembalap yang actually pernah mengalahkan Ferrari di Le Mans beberapa tahun sebelumnya, kini bekerja sebagai manufacturer mobil balap lokal. Shelby yang ditugaskan membuat Ford menang atas Ferrari, memilih untuk mempercayakan kemudi kepada Ken Miles, veteran Perang Dunia 2 yang merupakan seorang jenius mobil dan mesin yang eksentrik. Shelby rela mengesampingkan perbedaannya dengan Miles karena dia tahu Miles adalah orang yang tepat. Jadi mereka berdua mulai mengerjakan proyek ini dengan segenap hati. Namun bagi Ford, ini bukan sebatas siapa yang tercepat. Melainkan tetap soal citra perusahaan. Ford bukan hanya ingin menang. Mereka menginginkan menang dengan kondisi-kondisi tertentu; kondisi yang enggak exactly segaris lurus dengan kepentingan dan kepercayaan Shelby dan Miles.
Shelby dan Miles adalah pahlawan bagi dunia otomotif. Dan setelah menyimak cerita film ini kita akan paham mengapa. Sangat mudah merelasikan diri kepada kedua tokoh ini, walaupun kita gak ngerti apa-apa tentang mobil ataupun balapan. Passion mereka terhadap dua hal tersebutlah yang begitu mengena. Ketika kita cinta mengerjakan satu hal, we’re doing good at it, tapi kita merasa terhalang untuk melakukan yang kita cintai dengan cara kita sendiri. Shelby dan, terutama Miles, mereka sungguh-sungguh berskill dewa, tapi mereka tetap kesusahan mendapat sponsor – berjuang mencari uang. Miles bahkan bersusah payah untuk menjadi pengemudi mobil balap yang ia bantu rancang untuk Ford, hanya karena menurut Ford dia bukan sosok ideal bagi ‘poster’ produk mereka. Bayangkan itu, mobil dan balapan adalah satu-satunya yang mereka enjoy kerjakan, namun mereka harus dapat ‘izin’ dulu untuk berbuat.
Ini bakal terasa dekat, karena hampir setiap bidang – setiap industri – punya ‘batasan’ seperti demikian. Misalnya, filmmaker yang merasa paling bahagia sedunia akhirat saat menggarap film, akan tetapi dia tidak bisa membuat film yang benar-benar sesuai dengan keinginan karena campur tangan studio atau ph yang menginginkan film tersebut laku, atau menang festival, atau ‘ramah’ buat banyak lingkupan penonton. Dan tidak bisa benar-benar melawan karena semua ini adalah teamwork, dan aksi yang diambil akan selalu terefleksi pada rekam jejak di industri itu sendiri. Ini menjadi pertarungan antara – bukan lagi antara kau dengan saingan dari ph sebelah – melainkan antara egomu dengan passionmu dengan tuntutan ‘bos’. Aku geram sendiri, setengah mati, melihat perlakuan eksekutif Ford kepada Miles, he deserved much more than what he actually got, dan satu-satunya alasan kenapa dia masih mau di sana karena dia begitu cinta sama mobil dan apa yang ia lakukan. Dan satu-satunya yang menahanku dari tidak manjat kursi dan menghujani wajah si Beebe di layar dengan permen karet adalah momen kecil yang terjadi di antara Miles dengan bos Ferrari.

Penghormatan dari musuh ketika kita kalah lebih berharga ketimbang jabat tangan dari teman ketika kita menang. Karena ketika orang yang secara terbuka ‘melawan’mu memberikan hormat, kita tahu itu tulus dan kita telah put up the good fight – sekalipun kalah, kita akan merasa menang. Namun ketulusan yang sama tidak bisa langsung terasa ketika mendapat selamat dari seorang teman. Karena dalam sebuah kompetisi, persaingan seringkali berasal dari dalam – the real struggle adalah mengendalikan ego dan kepentingan masing-masing untuk kemajuan bersama.

 
Mesin yang membuat film ini bekerja sesungguhnya adalah hubungan antara Shelby dan Miles. Mereka pada awalnya gak bener-bener temenan, lebih ke musuhan malah. Namun mereka berkembang menjadi lebih dari sekadar rekan kerja karena punya mutual respek. Mereka saling menghormati kemampuan masing-masing. Salah satu adegan paling menyenangkan untuk disaksikan dalam film ini adalah ketika Shelby dan Miles berantem di halaman seberang rumah Miles. Tentu saja penampilan akting menambah banyak bobot dalam menghidupkan dua karakter ini. Matt Damon benar-benar hebat memerankan Shelby sebagai protagonis yang bijaksana – tokohnya ini seperti tempat pengaduan yang menenangkan jika kita punya masalah – meskipun dia sendiri berjuang dengan keputusan yang ia ambil sebagai kerjaannya yang sekarang. Christian Bale? maaan, orang ini bunglon atau apa sih.. apa badannya terbuat dari karet sebenarnya..? Baru tahun lalu dia gendut di Vice (2018) dan sekarang dia hampir tak dapat dikenali – badannya jauh lebih kecil – sebagai Ken Miles yang beraksen Inggris. Bale sungguh menyelam ke dalam perannya. Total melebur ke dalam karakternya. Bale di sini memainkan tokoh yang meledak-ledak, tapi mau mengalah demi keluarga, apapun supaya dapat nafkah. Melihat dia harus menelan kebanggaan dan idealisme yang dulu (bahkan masih berusaha) ia pertahankan, sebenarnya cukup nyelekit. Kita peduli pada tokoh ini. Relasi Miles dengan putranya juga cukup digali untuk menambah lapisan pada karakter dan bobo emosi pada cerita. Miles adalah hero yang kita semua ingin dia mendapat keberhasilan.
Ketika kita sudah dapat protagonis dan hero yang memuaskan, film ini terasa kurang nendang jika kita merujuk pada Dramatica Theory; main character film ini mendua dan gak begitu masalah lagi di akhir. Ford, sesuai judul, adalah topik utama, cerita bergerak dalam frame kebijakan-kebijakan Ford. Di awal, perusahaan ini seperti underdog – dibandingkan dengan Ferrari. Sepertinya mustahil Ford yang biasa membuat mobil ‘rumahan’ mengalahkan Ferrari dalam balapan. Miles sempat berkelakar butuh dua ratus tahun untuk mencapai hal tersebut. Kemudian, film membuka, dan kita melihat Ford sebagai si jahat dan Miles sebagai underdog yang harus berjuang melawan korporat seraksasa Ford. Dan terus komit pada Ford sebagai evil korporat yang tak peduli pada kru, pembalap, dan pekerjanya. Cerita memang tetap bekerja sesuai konteks, tapi juga menurutku Ford di film ini jadi sedikit cartoonish.

Lagi balapan, dan bosnya pergi makan naik helikopter

 
Begitulah salah satu cara sutradara Mangold membuat cerita tetap intens. Dia mengarahkan biografi ini hampir seperti pure crowd-pleaser. Dan ini bentrokan yang seru; jarang-jarang ada kisah nyata yang berjalan seperti direka untuk kesenangan penonton. Mangold banyak menggunakan wide shot untuk memastikan kita bisa mengikuti semua yang terjadi di layar. Bahkan saat adegan balapan, dengan seringnya cut ke wajah Bale yang udah mengemudi kayak pembalap kesetanan beneran, kita masih mudah mengerti mobil mana di posisi berapa, dan tingkungan mana yang membawa ancaman bahaya. In fact, begitu mobil dan pembuatannya, hingga nanti adegan balapan, film ini melaju dengan ngebut sehingga durasinya yang dua setengah jam tidak terasa. Hanya di awal-awal saja, sepertiga film; ketika cerita masih dibebani oleh set up seputar perusahaan, film terasa lambat.
 
 
 
Kalo film ini mobil, maka akselerasinya sedikit lambat, kurang sempurna. Namun begitu film sudah mencapai titik steady, cerita persahabatan dua orang yang berjuang di dalam perusahaan yang sedang berkompetisi ini menjadi mengalir dengan lancar. Gak ada berhenti masuk pit stop. Pengemudi-pengemudi cerita, alias para pemainnya, berakting dengan luar biasa. Adegan balapannya seru dan terasa sangat berbobot lantaran drama dan karakter tergarap dengan maksimal. Salah satu biografi olahraga terbaik tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for FORD V FERRARI.

THE IRISHMAN Review

“When you get to political machines that can control a state, then you’re really into organized crime – almost.”
 

 
Untuk mendukung pernyataan bahwa film semestinya adalah sebuah cerita yang ‘intim’ alih-alih heboh dengan franchise, Martin Scorsese mempersembahkan The Irishman; film yang mengintimidasi sejagad (sinematik) raya dengan durasinya yang tiga-jam-setengah dan diisi oleh karakter-karakter yang lebih banyak berdialog ketimbang meledakkan benda.
The Irishman boleh jadi merekonstruksi mitos sejarah seperti yang dilakukan oleh Quentin Tarantino dalam Once Upon A Time in Hollywood (2019) belum lama ini. Atau mungkin saja tidak, dan dia bicara fakta. Karena yang diangkat oleh Scorsese dalam film ini adalah kejadian dalam lembar sejarah politik garismiring crime Amerika yang masih simpang siur kebenarannya. Tentang menghilangnya Jimmy Hoffa, salah satu sosok pemimpin bisnis dalam percaturan politik Amerika, yang kemudian dilaporkan dibunuh. Dalam The Irishman, peristiwa tersebut diceritakan dari sudut pandang Frank Sheeran, pensiunan perang pengantar daging steak yang berkat keahliannya dipekerjakan sebagai tukang cat rumah. Hanya saja dia tidak menggunakan cat aaupun kuas. Pengecat rumah hanyalah bahasa kode untuk pembunuh bayaran geng mafia. Sheeran dengan cepat mendapat kepercayaan, dia berteman dengan orang-orang penting di dunia mafia. Termasuk dengan Hoffa. Dan ada kemungkinan dialah yang menghabisi Hoffa yang sudah kayak kakak penjaganya dalam sebuah tugas.

darah lebih pekat daripada cat

 
Narasi berlangsung dalam periode 60 tahun, atau mungkin lebih. Kisah mengalir dari masa kini membuka ke masa lalu, sesuai penuturan Frank Sheeran. Dari Sheeran yang tua renta ke Sheeran muda – sekilas juga diperlihatkan saat dia masih di medan perang – hingga ke versi dia yang lebih dewasa. Kita akan menyaksikan berbagai versi Robert De Niro, dari yang dimudakan pakai efek komputer sampai aktor senior ini — aku tidak tahu lagi mana penampilan wujud asli si aktor mana yang efek saking mulusnya visual film ini. Dalam rentang waktu yang begitu panjang tersebut, kita diperlihatkan keparalelan antara dunia politik dengan dunia gangster alias mafia. Apakah semua ini hanya rekayasa alias cuma terjadi di dunia film atau memang begitulah nyatanya di dunia nyata Amerika, atau mungkin malah seluruh dunia – termasuk Indonesia, membuat film semakin menarik untuk disimak. Terutama oleh penyuka konspirasi. Dalam film ini, kita melihat misi Sheeran bukan sekadar melenyapkan ‘rekan’ yang mengacau maupun yang sudah tak berguna. Melainkan juga menyelundupkan senjata api yang ternyata adalah untuk memadamkan Revolusi Cuba. Pembunuhan JFK turut diperlihatkan sebagai campur-tangan dari geng mafia. Hal yang paling bikin seru lagi adalah, periode panjang narasi ini mengimplikasikan peran mafia dalam politik ini masih berlangsung hingga sekarang.

Istilah mafia merujuk kepada kelompok teroganisir yang berketerkaitan dengan pihak berwenang, dengan aktivitas apapun – termasuk yang melawan hukum – demi kepentingan pribadi dan golongan. Benar-benar mirip dengan cara kerja dunia politik, bahkan pelakunya sama-sama berjas dan berdasi. Politik dan mafia bagaikan berasal dari satu geng yang sama. Geng kejahatan berencana.

 
Dunia sindikat penuh orang ditembak di tempat, oleh film ini tidak pernah diglamorisasi. Meskipun memang cara kerja mereka didramatisasi. Karena film ingin mempersembahkan kejahatan mafia itu dalam cahaya bisnis – yang berkaitan dengan mempertegas ‘kebutuhan’ para tokoh. Mereka-mereka yang bekerja dalam dunia tersebut bergerak demi kepentingan golongan yang menjadi penguasa. Konflik datang dari tokoh-tokoh yang punya kepentingan pribadi. Sheeran, dalam hal ini, punya keluarga. Secara spesifik, hubungan Sheeran dengan putrinya ditonjolkan. Film memilih untuk lebih fokus menggali perenungan karakter ketimbang aksi. Kita memang masih akan melihat beberapa adegan aksi dan kejahatan, tapi sebagian besar waktu didedikasikan oleh film untuk karakter duduk diam di antara dialog. Mereka diberikan ruang untuk berpikir, mempertimbangkan matang-matang opsi sebelum memilih tindakan. Sehingga meskipun tempo cerita memang lambat, kita akan menemukan banyak sekali momen-momen intens. Yang datang enggak muluk-muluk, sesimpel dari diamnya mereka menemukan cara mengungguli lawan bicara. Sampai ke kita emosinya bisa berlipat ganda karena kita akan otomatis mengantisipasi pergumulan senjata.
Mengenai hal tersebut, tak bisa dipungkiri juga durasi panjang film ini benar-benar terasa panjang. Karena terkadang diisi dengan kurang maksimal. Sheeran dengan putrinya seharusnya mendapat penggalian lebih dalam dan dampak relasi mereka kepada cerita sebaiknya dibuat lebih gede lagi. Arc putri Sheeran dibuat lebih jelas dan berarti lagi. Sejujurnya, asalkan dimanfaatkan maksimal, sebenarnya durasi panjang bukan masalah. Apalagi melihat orang-orang yang bekerja di depan maupun belakang layar film ini – menghabiskan waktu seharian pun aku yakin kita semua rela. Scorsese memastikan adegan-adegan kekerasan yang ia munculkan terasa elegan, dan tidak menjatuhkan keseluruhan film menjadi crime receh yang menjual darah ataupun ledakan semata. Tidak ada koreografi kamera yang ‘istimewa’, tidak ada penggunaan cut yang berlebihan. Semuanya terasa sangat tenang, dan diarahkan dengan efisien dan tepat-guna. Dengan kata lain, kekerasan tipikal dunia mafia tidak ia jadikan jualan utama.
Final battle atau konfrontasi besar versi film ini bukanlah aksi tembak-tembakan. Bukan pula satu dialog panjang nan dramatis seputar pengakuan atau apa. Klimaks The Irishman adalah berupa sekuen pembunuhan Hoffa sepanjang nyaris setengah jam. Tidak banyak sutradara yang mampu menggabungkan banyak adegan – banyak cut – ke dalam satu sekuen panjang dengan menjaga ritme serta build-up suspens sehingga punchline atau akhir sekuen tersebut terasa sangat nendang. Perhatikan Scorsese bahkan tidak menggunakan musik latar sepanjang sekuen tersebut; membuat ketegangan semakin memuncak. Ending film ini merupakan salah satu ending terbaik tahun ini, menurutku, sebab memunculkan banyak pertanyaan dan memantik diskusi mengenai makna dan keputusan tokoh mengambil tindakan yang serupa dengan yang ia lihat di bagian pertengahan film.

bayangkan jadi putri Frank Sheeran dan harus menceritakan pekerjaan ayahnya di depan kelas saat Show & Tell.

 
Seperti ilmu padi; semakin tua semakin jadi. Scorsese menunjukkan kematangan luar biasa lewat penggarapannya. Film-film Scorsese selalu berenergi. Namun tak seperti Goodfellas (1990) – sama-sama biografi tokoh dunia mafia – yang menggebu, The Irishman tersaji lebih subtil. Film barunya ini lebih tertarik untuk membedah karakter-karakter. Scorsese seolah ingin membaca pikiran dari setiap tokoh yang diambil dari orang-orang nyata tersebut. Melihat sang sutradara bekerja sama dengan tiga aktor legenda dalam mencapai tujuan itu sungguh kesempatan yang berharga.
Mari mulai dengan Al Pacino. Ini adalah kali pertama Scorsese kerja bareng dirinya. Dan maaan, Scorsese memberikan Al Pacino peran yang sempurna sebagai Jimmy Hoffa yang meledak-ledak. Jadi keseruan tersendiri melihat Al Pacino teriak nunjuk-nunjuk muka orang. Berkebalikan dengan Joe Pesci yang juga klop banget memerankan Russel Bufalino. Pesci yang literally ditarik Scorsese dari bangku pensiun memainkan ekspresi yang begitu dingin dari seorang petinggi mafia yang terhormat, bersahabat, tapi sekaligus penuh taktik dan pertimbangan. Menatap tokoh ini aku sampai gak berani berkedip karena aku jadi begitu concern dengan pertimbangannya. Last but not least, De Niro yang penuh pengendalian diri memerankan Frank Sheeran yang beraksi dinamis. Setiap kali dia muncul di layar, duduk semeja dengan para mafia, perhatian kita akan otomatis mengarah padanya, karena suksesnya film menulis karakter ini sehingga kita pengen tahu bagaimana keadaan atau dialog itu mempengaruhinya. Kalimat-kalimat yang ia ucapkan terdengar bukan hanya seperti improvisasi aktor, melainkan juga seperti improvisasi si Sheeran itu sendiri karena banyak yang ia pertaruhkan setiap kali bersama teman-temannya yang mafia. Personally, adegan Sheeran makan roti bareng Russel di akhir, yang circled back ke mereka semeja makan pertama kali, cukup mengharukan buatku.
 
 
 
Menyaksikan film yang berusaha membuat kita terinvest kepada karakter-karakternya terasa sangat menyegarkan, dan sungguh berharga. Karena begitu banyak film yang menuntut kita memperhatikan easter eggs, koneksi kepada film terdahulu, menahan diri untuk bertanya karena penjelasan akan hadir di film berikutnya. Yang dihadirkan oleh Martin Scorsese ini akan mengingatkan kepada kita seperti apa sih sinema itu sebenarnya. Film ini diarahkan dan diedit dengan luar biasa cakap, dimainkan dengan masterfully meyakinkan, sehingga durasi yang panjangnya bisa dipakai untuk melancong dari Bandung ke Jakarta naik kereta tidak terasa membosankan. Seperti tokoh-tokohnya, drama crime ini terasa matang dan dewasa.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE IRISHMAN.

NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL Review

“… don’t have to be scared of being different.”
 

 
Setiap sekolah punya cerita hantu masing-masing. Sekolah barunya Naya punya satu hantu berambut panjang yang bukan saja menakuti murid-murid termasuk geng pembully, bahkan satpam sekolahan sekalipun. Naya tahu karena dia indigo. Dan Naya juga tahu ada seorang lagi siswi indigo di sekolah barunya tersebut. Naya pernah beberapa kali bertemu dengannya. Serunya buat Naya; mading di sekolah tersebut juga kerap dihiasi oleh cerita misteri, persis dengan cerita yang suka ia dengar di radio Ardan. Penulis cerita di mading itu berinisial L.S. Siapa gerangan? Apakah L.S ada hubungannya dengan hantu sekolah? Akankah Shelly – siswi indigo satu lagi – mau berteman dan membantu dirinya?
Nightmare Side berawal dari program siaran Radio Ardan setiap malam jumat. Khusus cerita-cerita horor yang bertempat di Bandung dan sekitarnya. Acara ini sangat populer. Aku dan temen-temen dulu suka nyimak kalo lagi iseng jalan-jalan keliling Bandung. Cerita-cerita pendeknya itu memang serem-serem sih, meski aku dan temen-temen malah sering jadi salah fokus ngebecandain naratornya yang terkadang jadi sok serem, dan over-the-top. Gaya bercerita radio ini dipasang film sebagai pembuka, kita akan melihat visualisasi dari cerita horor Ardan yang sedang didengarkan oleh seorang tokoh film. Kinda cool sih, kayak episode serial short-horror anime Yami Shibai. Tadinya kupikir film akan bergulir seperti antologi atau kumpulan dari cerita-cerita pendek, karena tentu saja gaya narasi ala radio ini tidak akan tertranslasi bagus ke dalam bahasa sinema. Untung saja sutradara first-timer Joel Fadly cukup bijak untuk hanya menjadikan ini sebagai semacam fans-service. Dan cerita utuh yang sebenarnya ada setelah segmen pembuka ini.
Sesuai dengan judulnya, ehm.. lebih tepatnya sih; Hampir sesuai dengan judulnya, film ini memang bercerita dengan menggunakan ilusi. Meskipun tidak pernah jelas tokoh mana yang delusional dalam cerita ini. Namun yang jelas, film berani menempuh resiko dengan menggunakan gaya khusus dalam bertutur. Film menampilkan dua narasi yang seolah paralel. Kita melihat dari sudut pandang Gege Elisa sebagai Shelly yang dibully karena penyendiri. Berselingan dengan sudut pandang dari Fay Nabila Rizka sebagai Naya yang anak baru. Film ingin menanamkan hook kapan kedua tokoh ini akan bertemu dan bekerja sama kepada kita, dengan pertanyaan lebih menitikberatkan kepada ‘siapa Shelly’ meskipun kita bahkan juga tidak mengenal siapa Naya – film enggak begitu peduli untuk memberikan backstory kepada setiap karakter. Dan itu semua dimaksudkan sebagai misteri aau ilusi pada naskah.

Mungkin dia melihat penampakan sebagian-sebagian karena matanya yang sebelah selalu ketutupan rambut

 
Dua timeline berbeda sebenarnya sedang bekerja ketika kita berpindah-pindah dari Shelly yang dibully ke Naya yang mencari Shelly dan pengarang cerita misteri berinisial L.S. Trik bertutur seperti ini mampu membuat cerita menjadi menarik jika ilusi bahwa dua sudut pandang tokoh tadi seolah berada di kurun waktu yang sama benar-benar dibangun dengan baik. Cerita semacam ini butuh menghamparkan penunjuk time-image sebagai petunjuk buat kita mengikuti alur. Time image itu maksudnya benda-benda yang dijadikan penanda jaman – yang menjadi penanda satu adegan pada lokasi yang sama sesungguhnya berada di waktu yang berbeda. Banyak yang bisa digunakan untuk fungsi ini, misalnya rambut – di waku yang dulu pendek, kini panjang. Ilusi pada Nightmare Side sayangnya tidak banyak memperhatikan pembangunan dalam aspek time-image. Mereka lebih berfokus kepada penempatan dan timing kemunculan hantu dan relik-relik yang menjadi penanda hantu.
Sehingga film terasa terlalu mendorong penonton untuk berpikir, dan lupa menghantarkan rasa. Jangan salah. Aku suka film-film tang mengajak penonton untuk berpikir, mengajak figure out yang sebenarnya terjadi tanpa banyak ba-bi-bu eksposisi. Pada Nightmare Side: Delusional, rasa penasaran untuk menguak kejadian dan misteri itu ada, tetapi tidak pernah dibarengi dengan kepedulian terhadap para tokoh. Karena mereka semua tokoh template, dengan minim sekali backstory. Tidak ada development buat tokoh-tokoh yang penting. Setelah dua sudut pandang bertemu, setelah kita mengerti posisi Naya dan Shelly, seketika itu juga film menjadi datar. Tidak ada lagi hal menarik untuk diikuti.
Teror hantunya tidak lagi berarti untuk diikuti, malahan membingungkan kita secara emosi. Karena paruh kedua cerita berisikan si hantu mengejar geng pembully. Asumsinya adalah dia menuntut balas, namun tidak seperti pada Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) kita ragu untuk mengecheer si hantu. Dan termyata di akhir juga diungkap bahwa hantu itu bukanlah sosok yang kita kira. Jadi menonton film ini kita akan bingung mana yang protagonis, mana yang hero, mana yang tokoh utama. Sebagian besar film aku menyangka sudah berhasil memilahnya. Shelly adalah tokoh utama karena cerita berpusat tentang dirinya. Naya protagonis sekaligus hero yang kita dukung keberhasilannya. Namun di akhir ternyata Naya justru tidak banyak melakukan apa-apa. Film mendadak memasukkan ustadz-numpang-lewat untuk menyelesaikan masalah. Dan satu-satunya tokoh yang berubah justru si geng pembully.

Kita semua dilahirkan dengan kemampuan berbeda dan kita tidak bisa menolak itu. Sementara itu, kita juga harus menerima bahwa kita makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan banyak orang. Lingkungan sosial menciptakan ilusi kita harus serupa dengan kebanyakan orang. Makanya ekstra susah buat remaja untuk percaya diri, mengakui dirinya unik, saat lingkungan sekitarnya adalah lingkungan berseragam. 

 
Padahal film ini bicara tentang masalah klasik anak remaja – ketakutan sebagai orang yang berbeda. Permasalahan bullying ditekankan di sini. Perbedaan diibaratkan sebagai badut, dan satu yang berbeda dari tiga akan dikucilkan. Ditertawakan. Film bermaksud menjadi cautionary tale kepada orang yang suka mengolok perbedaan, sekaligus kepada orang yang merasa malu akan perbedaan atau keunikan dirinya. Namun pesan ini tidak tersampaikan dengan baik lantaran film terjebak pada kebutuhannya sendiri untuk tampil seram. Untuk menakut-nakuti penonton, film rela ‘melacurkan’ hantunya; tampil setiap beberapa menit sekali. Tentu saja didandani dengan musik keras jumpscare. Dalam sepuluh menit pertama saja, ada lebih dari tiga kali kemunculan hantu. Sebaliknya dalam menampilkan emosi, film pelit sekali. Hanya mengandalkan flashback adegan-adegan yang sudah kita lihat di bagian awal saja, film nekat menyebut usahanya itu sebagai pengaduk emosi.

Kalo di map gak ada jalan lurus, sedangkan di depan matamu jalanannya persimpangan; itu artinya kalian salah nentuin posisi di map, Dek

 
Dukungan aspek-aspek teknis juga tidak benar-benar kuat. Penampilan akting dari jejeran pemain mudanya barely menyentuh garis standar. Film horor tidak akan bekerja sempurna jika hanya mengandalkan ekspresi ketakutan dari pemain-pemain. Melainkan haruslah menyertakan golakan emosi yang kompleks – sesuatu yang tidak mumpuni dicapai oleh film ini. Penulisannya juga menimbulkan banyak hal-hal dengan logika yang lucu. Selain ustadz yang sempat kusebut tadi, ada juga sekuen yang entah-alasan-apa menampilkan horor komedi dari satpam sekolah. Di sekuen tersebut ada adegan seorang satpam mergokin maling, malingnya kabur masuk ke ruang kelas, dan ketika dikejar ke dalem – ruangannya kosong selain hantu yang melotot dan mengejar si satpam. Waktu berharga beberapa menit itu seharusnya digunakan untuk menulis set up tokoh seperti Naya atau Shelly dengan lebih detil lagi.
Dan kentara sekali, Radio Ardan sebagai induk dari Nightmare Side harus diikutsertakan. Film cukup memutar otak merangkai anak-anak sekolah itu ada hubungannya dengan Radio. Buatku ini adalah effort ekstra yang lebih cocok dikerjakan oleh pembuat film yang lebih kompeten. Penyakit menular horor Indonesia sekarang adalah kecenderungan untuk memilih yang paling ribet, padahal ada yang lebih simpel. Kenapa tidak membuat cerita di lingkungan radio saja – jika ingin menampilkan rekaman program Nightmare Side; kenapa tidak bikin horor yang berpusat di penggarapan acara itu saja. Toh tema bullying bisa dimasukkan ke lingkungan sosial apa saja, tidak mesti di sekolah.
 
 
Dengan penceritaan bergaya ilusi di awal, film ini seharusnya mencuat menjadi unik. Namun dia sendiri seperti tidak berani untuk menjadi berbeda. Permasalahan bullying dan horor menjadi pribadi berbeda pada remaja menjadi datar tak berasa karena film tak mampu menyajikan emosi dengan benar. Karena seperti Shelly, film terlalu obses sama hantu-hantu dan misteri. Sehingga akhirnya, malah jadi seragam dengan horor-horor yang hadir mingguan di bioskop yang dengan mudah terlupakan keberadaannya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for NIGHTMARE SIDE: DELUSIONAL

BIKE BOYZ Review

“Never underrate a street boy”
 

 
“Sama teman aja wajib tolong menolong. Apalagi sama saudara, iya gak?” Ditatapnya satu persatu wajah teman gengnya dan lanjut berkata “Kita kan semua bersaudara” Cuplikan dialog film Bike Boyz tersebut mengajak kita untuk melihat solidaritas yg begiti kuat di antara anak-anak geng Vespa. Sikap yang patut dicontoh. Bukan karena mental geng-gengannya, melainkan kesetiakawanan untuk saling membantu.
Starvision mengendarai kepopuleran Preman Pensiun (2019) yang, berkat solidaritas penggemar serial televisinya, sukses memperoleh satu juta lebih penonton. Menggaet sutradara yang sama – Aris Nugraha – dengan teknik editing yang sama, dengan tema yang sama, bahkan dengan tempat yang masih sama yakni di Bandung. Namun Starvision dengan Bike Boyz tidak lantas meniru. Banyak dari penonton yang mungkin bakal menganggap dua film ini sama saja, tapi sesungguhnya ada upgrade yang dilakukan oleh Starvision. Bike Boyz digarap dengan perhatian lebih kepada naskah. Plot cerita kali ini lebih berstruktur. Menjadikan ceritanya berdiri sendiri dan lebih asik untuk diikuti.
Bike Boyz mejeng sebagai komedi yang tak muluk-muluk. Ceritanya sederhana. Dekat dengan kehidupan di pinggir jalan. Terutama dengan pinggir jalan kota Bandung yang terkenal dengan geng motornya. Bandung dalam film ini digambarkan cukup gangster. Selain geng motor, juga ada kelompok perampok sepeda, bahkan komplotan teroris. Saking banyaknya kasus di jalanan, polisi jadi suka lupa membereskan. Belum selesai satu, sudah ada bentrokan lain. Oleh film, awalnya ini dijadikan celetukan buat kinerja polisi di dunia nyata, untuk kemudian sentilan itu membelok kepada kita. Bahwa tidak harus menunggu polisi; kita bisa membantu polisi. Paling tidak dengan saling menjaga dan menolong di lingkaran pertemanan. ‘Pembela kebenaran’ dalam cerita ini adalah geng vespa bernama Bike Boyz. Dengan vespa berwarna-warni bak seragam Power Rangers, anggota Bike Boyz adalah anak baik-baik yang di sela-sela kerjaan nongkrong dan kenalan sama cewek, mereka melakukan sesuatu yang nyata ketika ada ‘gangguan’ yang mengancam anggota komunitas mereka.

baek baek dek ama bike boy

 
Tokoh utama dalam Bike Boyz benar-benar melakukan tindakan, Agus dituntut untuk beraksi sepanjang waktu. Dia bermasalah dengan pencuri sepeda. Dia berusaha membantu teman ceweknya yang datang ke Bandung guna mencari suami yang sudah lama tak pulang. Sembari berusaha mencari orang yang membawa lari vespanya. Agus menyetir cerita sehingga banyaknya kejadian dalam dunia yang kita lihat itu bermuara kepada dirinya, serta geng Bike Boys. Kita dibuat tertarik untuk mengetahui bagaimana semua kejadian sampai kepada Agus.

Dalam realitas urban kontemporer, budaya-jalanan cenderung dipandang negatif. Mental geng-gengan yang seringkali berbau anarkis, budaya-jalanan bahkan punya aturan sendiri. Pengadilan jalanan inilah yang kemudian diangkat ke dalam cahaya yang lebih positif (dalam nada yang jauh lebih ringan) oleh Bike Boyz, tanpa mengubah banyak esensinya. Film menunjukkan bahwa terkadang tindak anak-anak geng diperlukan, dan mereka tidak selamanya selalu negatif. Tindakan mereka yang tampak di luar kendali sebenarnya merupakan tuntutan penyesuaian yang terus menerus terhadap keadaan ekonomi, pekerjaan, hukum, dan sebagainya. 

 
Pesona penceritaan film ini terletak kepada gaya khas Aris Nugraha. Ada dua ‘jurus pamungkas’ Nugraha untuk memancing tawa. Pertama lewat dialog komedi repetisi yang tepat guna dan tidak digunakan berlebihan. Dan jika pengulangan “Dedi di Cimindi, Heru di Cibiru” belum cukup untuk membuatmu tertawa, Aris punya cara kedua, yang tak pelak jurunya yang paling spesial. Yakni penggunaan smash cut visual yang dibarengi dengan match cut dialog-dialog. Maksudnya adalah film pada dasarnya memperlihatkan dua atau tiga adegan, misalnya percakapan, sekaligus dalam satu waktu yang sama. Kita mengikuti tiga percakapan tersebut bergantian secara kontinu. Dari percakapan Agus dengan Lilis, ke percakapan dua teman Agus di kafe, ke percakapan dua orang pencuri sepeda. Penyatuan itu tentu saja kadang tidak nyambung – yang bertanya siapa, yang menjawab malah percakapan orang yang lain – tapi justru di situlah ketepatan komedi film.
Namun karena sebenarnya yang ditampilkan itu seringkali banyak narasi sekaligus, durasi film yang hanya 95 menit terasa jauh lebih panjang. Menontonnya kita akan merasa lelah menjelang akhir. Terlebih karena sekuen romance yang masuk cukup terlambat. Film memang terasa seperti ngeloyor ke tempat yang bukan fokusnya ketika membahas masalah cinta terpendam. Candaannya masih tetap lucu, kejadian masih tetap menarik, hanya menyaksikannya yang terasa capek. Beberapa pencarian yang berulang, adegan-adegan aksi yang panjang, seharusnya bisa dipangkas sedikit supaya cerita bisa hadir lebih padat lagi.
Dengan segala kemiripannya dengan Preman Pensiun, bukan berarti tidak ada resiko yang diambil oleh Starvision. Bike Boyz menggunakan pemain-pemain yang semuanya tergolong aktor yang baru pertama kali main film. Pentolan Preman Pensiun, Epy Kusnandar, didaulat sebagai pelatih akting mereka. Dan memang hasilnya tidak mengecewakan. Aep Bancet yang menjadi Agus, kadang perawakannya membuat dia tampak seperti Epy, bermain cukup meyakinkan. Para pemain baru ini – dibantu dengan ketepatan editing – mampu menyesuaikan ritme dan timing komedi sehingga adegan-adegan yang diniatkan untuk lucu memang tampak lucu. Dan ketika tiba giliran untuk adegan-adegan yang lebih bersifat drama, tidak ada yang tertawa. Pemilihan pemain pada film ini bahkan lebih risky daripada pada Preman Pensiun yang setidaknya wajah pemain-pemainnya sudah dikenal lewat serial televisi. Jejeran pemain Bike Boyz tidak punya headstart seperti Preman Pensiun. Bahkan tidak juga ada cameo. Langka ada film yang berani melakukan casting seperti ini.

heh jangan belagu, motor lu lebih murah daripada sepeda!

 
Berusaha keep up dengan waktu, dan dunia pergaulan anak muda – dunia yang dijadikan target pasarnya, Bike Boyz hadir kekinian. Bahkan mungkin sedikit terlalu kekinian untuk kebaikannya sendiri. Istilah-istilah seperti share loc, grup WA, video live terkadang terasa sengaja disebutkan alih-alih tampil natural. Dan pada akhirnya turut menyesakkn narasi yang memang basically tumpang tindih. Film seharusnya mengapproach ini dengan lebih natural lagi. Menginkorporasikan elemen-elemen penunjuk waktu dengan lebih mulus masuk ke dalam cerita – atau membuatnya mempunyai pengaruh langsung terhadap cerita. Bike Boyz bisa menjadi lebih berbobot jika mereka membahas motivasi menjadi geng vespa atau semacamnya – lebih menyorot kehidupan pribadi tokoh.
 
Menyenangkan menonton film yang tampil tanpa pretensius dan yang bukan terlalu ambisius seperti Bike Boyz ini. Ia hanya menangkap satu fenomena, pada satu panggung lokal, dan bersenang-senang dengannya. Bike Boyz memang bukan film yang sempurna. Namun ia adalah sajian ringan tak-berbahaya yang bisa dipilih untuk menghabiskan waktu bersama teman satu gengmu tercinta.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIKE BOYZ

RATU ILMU HITAM Review

“False accusations always lead to broken relationships and lost faith in humanity”
 

 

Ratu Ilmu Hitam seperti menyambung tema horor kontemporer yang diangkat Joko Anwar, yakni horor rakyat tertindas. Horor politik. Yakni seputar cerita yang selalu tentang sekelompok orang yang salah bergerak karena ‘tertipu’ oleh pihak yang dianggap pemimpin mereka. Kita melihat elemen ini pada Perempuan Tanah Jahanam (2019). Dan bahkan pada Gundala (2019). Persoalan ini bisa menjadi pembahasan yang menarik, apakah ini adalah kritikan keras Joko Anwar terhadap negara, atau bagaimana. Yang jelas, horor atau thriller dari Joko Anwar masih tetap layak dinanti. Walaupun kualitas penulisannya masih perlu banyak perbaikan. 

 
Ario Bayu dan Hannah Al-Rashid mengajak tiga anak mereka – Zara JKT48, Ari Irham, dan Muzakki Ramdhan, berkunjung ke panti asuhan tempat Ario Bayu dulu dibesarkan. Dalam rangka membesuk kepala panti yang sakit; bapak yang sudah menjadi figur ayah yang berjasa membesarkan Ario Bayu sehingga ‘hidup’ seperti sekarang ini. Di sana mereka akan bertemu dengan beberapa orang. Di antaranya Tanta Ginting dan Miller Khan (dengan pasangan mereka masing-masing, Imelda Therinne dan Salvita Decorte, respectively) yang dulu sama-sama dibesarkan di panti, juga Ade Firman Hakim dan Sheila Dara Aisha serta sepasang anak panti yang gak ikutan pergi berdarmawisata bersama anak-anak yang lain. Dalam perjalanan ke sana, mobil Ario Bayu menabrak sesuatu, dan karenanya pria ini pergi kembali ke lokasi saat malam tiba untuk memeriksa lebih lanjut apa yang tadi ia tabrak. Saat itulah dia menemukan sesuatu di balik ilalang yang menjadi awal bagi teror semalam suntuk yang bakal mereka rasakan di panti. Yang berkaitan dengan peristiwa bunuh diri dan kemungkinan pembunuhan pada masa lalu panti tersebut.

plat mobilnya BLS yang mungkin singkatan dari ‘Bullshit’

 
Dengan jejeran pemain yang bukan main-main, film ini bisa saja mengambil keuntungan dari mereka dengan menjadi cerita whodunit. Tapi ternyata, film memanfaatkan mereka lebih seperti tokoh-tokoh pada It. Masing-masing mereka akan merasai siksaan yang bersumber dari rasa takut mereka terhadap beragam hal khusus. Bahkan menjelang akhir kita akan menjumpai mereka berada di balik pintu di dalam ruang neraka-pribadi masing-masing. Pada level horornya inilah Ratu Ilmu Hitam bekerja dengan maksimal. Baik pada elemen hantu, maupun pada elemen body-horror, kengerian dalam film ini didesain dengan seksama dan tidak menyia-nyiakan antisipasi yang telah kita bangun lewat penggunaan elemen kaget-kagetan.
Tak akan kita jumpai jumpscare pada film ini. Ya, memang sering juga kamera menampilkan pemandangan mengerikan lumayan mendadak, tetapi tidak pernah diikuti dengan suara menggelegar pencabut jantung. Film dengan berani menampilkan kengerian begitu saja, memberi kita waktu untuk memandang lekat-lekat dan kemudian bergidik sendiri tanpa dikomandoi oleh musik. Aku senang dua-puluh menit masuk ke cerita, tapi belum menemukan adegan ngagetin. Adegan nonton video yang ternyata adalah siaran live juga berhasil lolos dari jebakan jumpscare, benar-benar bernyali pembuat film ini. Untuk elemen body-horror, Ratu Ilmu Hitam memanfaatkan efek praktikal yang digabung dengan efek komputer untuk menghasilkan adegan-adegan yang terlihat brutal dan mengerikan. Favoritku adalah bola mata yang meloncat keluar dari soketnya karena terdesak oleh sejumlah lipan; jijik, geli, NGERI! Resiko kreatif keren yang dilakukan oleh film ini adalah menampilkan imaji-imaji yang berpotensi mentrigger fobia sebagai ujung tombak horornya. Shot-shot seperti punggung seorang tokoh yang mendadak bolong-bolong kayak bika ambon membuat adegan horor di film ini menjadi lebih relatable karena berhubungan langsung dengan ketakutan-pribadi penonton. Namun sekaligus juga bisa menjadi turn-off karena too much buat pengidap fobia.
Sutradara Kimo Stamboel paham mengeksplorasi ‘keindahan’ body-horror. Bayangkan ketika kalian merasa ada sesuatu yang salah, tapi bukan di luar melainkan di dalam diri kalian sendiri. Sesuatu yang seharusnya tidak ada di dalam sana. Kalian ingin mengeluarkannya, tapi tidak bisa. Kalian ingin memperbaikinya, tapi tidak sanggup karena menyakitkan rasanya. Ketika tubuh kalian berbuat sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Kemudian mengubahmu menjadi sesuatu yang tidak lagi kalian kenal. Ratu Ilmu Hitam boleh jadi bersumber dari hal supernatural, tapi kengerian yang ditampilkan adalah kengerian semacam demikian. Ketakutan ketika tubuh kita bukan lagi siapa diri kita. Ada dua karakter dalam film ini yang merefleksikan body-horor, yakni tokoh yang gak mau gendut sehingga ogah makan, bahkan buah sekalipun, dan tokoh yang datang dengan masker dan sarung tangan karena dia enggak tahan kotor. Stamboel yang biasa bergulat di ranah gore dan violence mengerti bahwa gampang membuat penonton merasa jijik atau terdisturb. Tantangannya justru adalah membuat kekerasan dan adegan grotesque tersebut bermakna.

Implikasi menyeramkan dari cerita film ini adalah seseorang rela berubah menjadi hal yang selama ini dituduhkan kepadanya, demi mendapatkan keadilan. Tuduhan, baik secara langsung maupun tidak, memiliki dampak mengerikan karena yang dikobarkan adalah semangat kebencian

 
Sayangnya, naskah berada satu langkah di belakang pemahaman ini. Bercontoh pada skrip The Fly (1986) sebagai salah satu body-horror terbaik, cerita genre ini mestinya berfokus kepada membumikan karakter, kemudian merajut hubungan yang berkaitan dengan efek body-horor itu kepada karakter, dan baru terakhir menghilangkan kemanusiaan sepenuhnya. Ratu Ilmu Hitam tidak punya tokoh yang dibangun kuat sehingga bisa kita pedulikan. Karakterisasi dalam film ini hanya sebatas Zara sebagai remaja yang flirtatious, adeknya anak yang banyak nanya, ada si Tato berbadan gede yang ternyata penakut, dan Ari Irham bahkan gak ngapa-ngapain. Hannah yang kemudian mendadak tampil seolah tokoh utama saja (naskah film ini tak punya pendirian tokoh utamanya Ario Bayu atau Hannah) tidak punya karakter yang berarti, hanya ibu yang simpatik. Tokoh-tokoh pendukung, seperti tokohnya Sheila Dara dan dua yang sudah dicontohkan di atas, jauh lebih menarik karena masalah mereka cukup bisa kita relasikan kepada diri kita di dunia nyata. Bahkan si ratu ilmu hitam itu sebaiknya ditonjolkan sedari awal karena dialah yang punya motivasi dan perjalanan yang menarik.
Seharusnya film jor-joran ‘menyiksa’ pemain dengan menggunakan hewan asli untuk beberapa adegan, tapi ketidakkonsistenan efek masih bisa dimaafkan mengingat konteks cerita mereka berasal dari ilmu sihir. Dengan efek yang mengagumkan (kecuali efek api), sebenarnya horor dan elemen dramatis film terletak pada interaksi karakter, terutama ketika ada tokoh yang pasangannya ‘berubah bentuk’. Makanya momen ketika Miller Khan berteriak bingung atau ketika Hannah berteriak-teriak menyaksikan apa yang terjadi kepada anaknya di menjelang akhir terasa sangat mengerikan. Kesubtilan dari horor ingin menolong tapi tidak berdaya. Seharusnya film mengeksplorasi ini lebih banyak. Namun naskah sepertinya lebih tertarik untuk membahas horor dari luar.

di film ini kita akan melihat reaksi berlebihan seorang cowok terhadap tikus

 
Jika tidak sedang sibuk menjelaskan, dan mengobrol ringan, dialog film ini akan serta merta berkomentar soal apa saja yang bahkan tidak ditanamkan benar-benar untuk mendukung konteks cerita. Seperti persoalan kaya-miskin yang muncul dituduhkan begitu saja. Salah satu yang konsisten tampil dalam cerita adalah persoalan meninggalkan satu pihak, atau menjadi pihak yang ditinggalkan. Ada pembahasan yang cukup emosional datang dari tokoh Ario Bayu dan teman-teman yang mendapat orangtua adopsi yang dibandingkan dengan tokoh lain yang terus berada di panti karena dia tidak bisa pergi. Tapi kemudian di sini jualah logika naskah yang terlalu sibuk memikirkan kejadian heboh menunjukkan kekonyolan. Like, kenapa Ario Bayu berat untuk meninggalkan yang sekelompok anak yang sudah mati di jalan, tapi enggak mikir dua kali ketika meninggalkan tiga anaknya sendirian di dalam rumah tempat kuburan ratu ilmu hitam. Kelompok mereka juga tidak diberikan alasan yang kuat untuk enggak bisa meninggalkan rumah tersebut bareng-bareng, atau tetap bareng-bareng for that matter. Berpencar dan terpisah para tokoh mereka tak pernah tampak natural, melainkan hanya device dalam naskah, sebagai tanda belum ditulis maksimal.
 
 
Film yang menyadap brand salah satu horor cult klasik tanah air ini, sama seperti cerita-cerita horor mainstream Joko Anwar yang biasa; a no-plot with bunch of flashbacks and full of false explanations, tied in with sporadic smart sounded small-talks. Beneran deh, perubahan karakter di sini tidak terasa didapatkan, melainkan hanya karena mereka tahu suatu kenyataan. Tidak ada pembelajaran dan pengembangan. Tokoh jahat yang punya rencana needlessly ribet, cerita tampak terlalu berusaha tampil pintar. Tapi dengan arahan Kimo Stamboel, cerita ini toh sukses juga terwujud menjadi body-horror modern yang cukup seru untuk diikuti. Seperti ilmu dan hitam, kombinasi Anwar dan Stamboel menghasilkan sesuatu yang mengerikan, dan memang itu bukan selalu hal yang bagus.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for RATU ILMU HITAM

ZOMBIELAND: DOUBLE TAP Review

“Never get too attached”
 

 
Sepuluh tahun sejak Zombieland pertama. Dan di waktu antara film pertama dan kedua tersebut keempat bintang utama horor komedi ini bergantian mendapat nominasi Oscar; satu actually mendapat Oscar. Jesse Eisenberg, Woody Harrelson, Emma Stone, dan Abigail Breslin berkembang begitu hebat sampai-sampai serial TV Zombieland baru episode Pilotnya aja sudah dicerca orang lantaran tidak menampilkan mereka berempat sebagai tokoh utama. Untungnya Zombieland kedua ini menghadirkan mereka kembali. Namun tentu saja dalam sekuel seperti ini, bukan hanya para pemain saja yang berevolusi.
Para zombie yang hidup di semesta Zombieland, seperti yang dinarasikan oleh Colombus, telah berevolusi menjadi berbagai jenis. Ada yang bego (maka dinamakan Homer, karena “D’oh!”), ada yang pinter, ada yang cepat, dan ada yang menjadi begitu kuat sehingga susah dimusnahkan. Bahkan ditembak dua kali seperti kata peraturan Colombus – yang jadi judul film ini – saja tidak bisa. Itulah ancaman yang dihadapi para tokoh; yang sebaliknya, dua di antara mereka malah semakin terbiasa untuk hidup di rumah (Karena ini juga adalah komedi, maka mereka tinggal tinggal di Gedung Putih). Colombus pengen beneran berumah tangga dengan Wichita, sementara Tallahassee ngerasa dirinya ayah bagi Little Rock. In a funny callback to the first movie, dua kakak beradik cewek itu kabur ninggalin mereka. Dan tak butuh waktu lama bagi Wichita untuk kena batunya. Little Rock kabur dengan seorang pria hippie taik-bersenjata (hanya bergitar). Geng Zombieland kudu segera bersatu dan hits the road again, guna mencari Little Rock yang tak pelak berada di dalam bahaya berada di luar sana tanpa perlindungan.

zombienya berevolusi jadi pintar karena sering makan otak kali ya

 
Zombieland kedua ini memfokuskan kepada dunia zombienya, skala ceritanya semakin besar dan semakin luas walaupun masih tampak serupa dengan film pertama. Perbedaan yang langsung terasa adalah kita akan melihat banyak tokoh baru. Kita melihat cara setiap tokoh baru ini menghadapi zombie, cara mereka beradaptasi hidup selama itu di dunia yang penuh predator. Dengan ini otomatis Zombieland punya lahan komedi yang lebih besar. Tokohnya Zoey Deutch, misalnya. Cewek pirang yang nyaris annoying ini disebutkan tinggal di dalam ruang pendingin di dalam mall, walaupun kemudian secara berseloroh film menyebut dia bisa bertahan hidup lantaran enggak punya organ yang menjadi makanan zombie. Lelucon ini mengenai banyak aspek sekaligus. Salah satu yang menonjol dari Zombieland memang adalah penulisan komedinya. Prestasi tersebut dipertahankan dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam film kedua ini.
Ini adalah film zombie yang punya awareness terhadap film zombie itu sendiri. Kurang lebih sama seperti Scream pada genre horor slasher. Candaan dan humornya sangat meta; ngebecandain trope-trope zombie yang biasa kita lihat dalam genre ini. Sutradara Ruben Fleischer sudah banyak berlatih menggunakan candaan seperti demikian, ia juga dibantu oleh penulis Rhett Reese yang menggarap komedi fourth-wall di dua film Deadpool. Hasilnya bisa kita dengar sendiri saat cekikikan demi cekikikan bermunculan di sekitar kita saat menonton ini. Memang tidak serentak sampai terbahak, karena film ini akan lebih lucu jika kita banyak menonton film zombie atau setidaknya mengetahui referensi yang film ini pakai terkait genre zombie. Yang bisa dicontohkan tanpa spoiler berat (karena sudah ada di trailer) adalah bagian ketika Colombus dan Tallahasse bertemu dengan ‘kembaran’ mereka. Adegan ini merujuk pada adegan komedi zombie Inggris Shaun of the Dead (2004); pada film tersebut para tokoh berpapasan dengan orang-orang yang mirip sekali dengan mereka. Pada Zombieland 2 ini, adegan tersebut dimainkan dengan lebih konyol karena berbuntut pada salah satu adegan berantem paling seru sepanjang durasi.
Pembuat film merancang film ini bergerak di zona waktu yang sama dengan zona waktu kita. Jadi para tokoh hidup sepuluh tahun sejak film pertama, dengan tidak ada kemajuan di dunia mereka. Presiden mereka masih Obama, mereka tidak tahu hal-hal yang lumrah bagi kita. Aspek ini, oleh para pembuat film, dijadikan humor yang sangat segar. Misalnya inside jokes antara Wesley Snipes dengan Woody Harrelson. Ataupun – ini yang bikin aku paling ngakak – ketika ada satu tokoh yang ngepitch ide soal Uber atau katakanlah ojek online, yang diketawain bareng-bareng oleh tokoh lain. Para pembuat dan pemain tampak sangat bersenang-senang. Interaksi dan chemistry di antara mereka semakin kuat. Satu lagi yang sayang untuk dilewatkan adalah reaksi hilarious Harrelson sebagai bapak overprotektif nan overmaskulin saat diceritakan Little Rock pergi sama cowok pasifis.
Dari sikap para tokoh, ada benang merah soal cinta dan attachment yang bisa kita tarik sebagai gagasan film. Semua tokoh yang memakai nama mereka, alih-alih nama samaran berupa nama kota Amerika, bakal mati. Alasan tokoh tidak memakai nama asli diperlihatkan secara tersirat dari sikap Wichita dan Little Rock adalah karena akan susah dan berat dan sakit di hati nanti jika ada salah satu dari mereka yang digigit zombie. Nama samaran adalah bentuk dari menghindari terlalu dekat secara emosional kepada seseorang. Film ini menyugestikan kepada kita bahwa perasaan terlalu dekat kepada orang akan berujung bahaya. Lebih lanjut dibahas, bukan saja kepada orang. Tapi juga kepada apapun, terlebih di dunia materialistis seperti sekarang ini. Pada tempat (disimbolkan oleh film lewat Gedung Putih dan beberapa tempat singgah lain), para barang; Seperti mobil (salah satu running joke pada film ini adalah Tallahassee yang harus naik mobil keren tapi selalu berujung pada naik ‘mobil mamak-mamak’), senjata (para tokoh bergulat dengan aturan maskas hippie yang mengharuskan menyerahkan pistol mereka), dan bahkan tas (salah satu peraturan Colombus adalah untuk bepergian dengan sesedikit mungkin barang bawaan).

Attachment harap dibedakan dengan cinta. Karena attachment lebih berarti ketergantungan. Dan ketergantungan kita kepada orang akan membuat orang itu ketakutan. Attachment malah lebih mengerikan daripada zombie. Cinta adalah saling memberi; kebahagiaan dan terutama kebebasan. Bukan meminta dan mengukung.

 
Dunia Zombieland 2 ini begitu overwhelming sehingga gagasan tersebut kadang hanya tampak sekenanya. Juga tidak membantu ketika film mulai tampak rancu dalam menyampaikannya. Ini adalah film di mana membunuh zombie dijadikan sebagai eskapis. Membunuh zombie dengan cara apapun. Malahan, sering kita ditarik keluar dari narasi untuk melihat sketsa ‘Zombie Kill of the Week’ yang jadi gimmick alias seru-seruan khas film ini. Siapa yang bisa membunuh zombie paling keren? Aku bukannya mau membela zombie. Tetapi pada cerita yang menunjukkan membunuh zombie adalah keharusan dan hal normal, tidak-membawa senjata atau pistol menjadi hal yang ditertawakan. Pacar Little Rock yang pasifis dipandang lemah dan diledek, dan sebaliknya kekerasan ekstrim dan pistol jadi solusi cerita. Tokoh ini pada akhirnya bergantung kepada senjata api. Walaupun konteks narasinya adalah ‘jangan takut untuk meminta tolong’ (dan memangnya mau pakai apa lagi melawan zombie?), tetapi film tetap mengkonter sendiri gagasannya tentang attachment kepada barang ketika ia menunjukkan kehadiran pistol sebagai penyelamat. Dan mengingat soal kepemilikan pistol sendiri sudah jadi permasalahan di Amerika sana. Sepertinya film punya suara personal mengenai hal tersebut.

Jadi dunia adalah rumah atau dunia adalah wc?

 
Secara journey, sebenarnya tidak banyak perbedaan antara film ini dengan film pertama. Malah lumayan terasa muter-muter, karena persoalan ‘don’t get too attached’ ini sudah menghantam Colombus sejak pertama kali dia bertemu Tallahassee sepuluh tahun yang lalu. Seperti yang kutulis di awal, film ini hanya mengganti fokus tidak lagi terlalu lama kepada karakter, melainkan kepada tempat yang mengharuskan mereka memilih cara beradaptasi; bergantung pada sekitar atau cara yang lain. Naskahnya memang tidak sekuat yang pertama. Tokoh utamanya diselamatkan oleh orang lain, dalam dua kali kesempatan yang berbeda. Sendirinya terlalu bergantung kepada film sebelumnya yang tayang sepuluh tahun lalu. Sekali lagi film menunjukkan keawareness-an perihal dirinya sudah menjadi hits modern, sehingga ia tampak mengasumsikan semua calon penonton sudah menonton film pertamanya. Narasi voice-over Colombus kadang terlalu menginfokan apa yang sudah ada di layar; apa yang sudah bisa kita simpulkan sendiri. Pun aturan-aturan yang ia sebutkan terlalu sering sehingga dengan cepat menjadi membosankan.
 
 
 
Jika kalian menonton film yang pertama, film ini akan terasa cukup mixed lantaran candaannya akan lebih gampang masuk kepada kita (ketimbang buat penonton baru yang sama sekali awam dengan konsep penceritaan Zombieland) sehingga menontonnya lebih fun, tetapi sekaligus cukup membosankan karena tidak banyak perbedaan di dalam plot karakternya. Sebaliknya, penonton baru mungkin tidak akan tertawa terlalu sering, tapi lebih menikmati cerita dan petualangan dan tokoh-tokohnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ZOMBIELAND: DOUBLE TAP.

 
 

SIN Review

“Never play with the feelings of others”
 

 
Perasaan tidak bisa dipaksakan. Tapi bisa dipermainkan. That’s why it is so dangerous. Metta belajar secara langsung untuk tidak lagi memainkan perasaan teman-teman dan orang di sekitarnya ketika hidup mengambil giliran untuk gantian bercanda dengan perasaannya. —-Wow, kalimat barusan terdengar kayak narasi pembuka episode serial Twilight Zone ya. Kesannya serius, seram, unworldly. Adegan pembuka film Sin toh memang tampak bertempat di dunia yang lain. Kita melihat seorang cewek bergaun merah melayang di dalam air. Sayangnya, sisa film setelah bagian ini terasa lebih dekat ke sinetron atau ftv karena pendekatan simpel-namun-bejibun-twist yang dipakai.
Sin yang diadaptasi dari novel yang diangkat dari cerita platform Wattpad punya cerita luar yang cukup kontroversial. Baca saja tagline yang mejeng pada posternya. Tapi kontroversi mendatangkan rating, so yea.. Cerita film ini adalah tentang Metta, siswi SMA yang cantik – and she knows it. Metta (Mawar Eva de Jongh dalam peran utama yang mengharuskan dirinya menyimpan kesan ‘cewek baik-baik’ di dalam lemari) ini tinggal sebatang kara di apartemen mewah. Ibunya sudah meninggal dan dia tak pernah tahu siapa ayahnya. Metta hingga sekarang bahkan tidak pernah bertemu dengan orangtua asuh yang membiayai hidupnya. Punya harta, rupa, tapi belum mengenal cinta sejati, Metta menjadikan mainin cowok sebagai hobi. Kerjaannya dugem dan matahin hati anak-anak di sekolah. Bahkan teman satu geng pun agak risih dengan sikapnya. Metta kena batunya ketika dia beneran jatuh cinta kepada Raga yang pernah menyelamatkan Metta dari cowok yang tak terima dicampakkan olehnya. Untuk mendekati Raga yang petinju itu saja, Metta masih belum seutuhnya jadi gadis baek-baek, she practically blackmailed him to get a date. Namun toh mereka berdua sepertinya memang ditakdirkan untuk bersama. Kemudian sesuatu yang ‘tragis’ terjadi; Ketika lagi sayang-sayangnya, Raga (Bryan Domani lebih meyakinkan tampil sebagai kakak yang perhatian ketimbang sebagai petinju jalanan) menghindar dari hidup Metta. Menghilang. Metta belum tahu aja. Bahwa Raga sudah menemukan siapa ayah Metta — yang ternyata adalah ayah kandung dirinya sendiri.

bayangkan jika Darth Vader duduk ngomongin asal usulnya baek-baek ama Princess Leia

 
Lapisan luar cerita film ini memang sangat ftv; cewek usil ketemu cowok keren, kemudian saling jatuh cinta dan berubah menjadi lebih baik, hanya untuk twist demi twist menyerbu sehingga penonton semakin geregetan. I wish sutradara Herwin Novianto mengambil pendekatan yang lebih dewasa. Karena tema cerita ini memang cukup matang dan lebih cocok untuk dieksplorasi dengan lebih grounded. Babak set up Sin sangat bosenin. Film memfokuskan kepada pertemuan Metta dan Raga dan mereka saling jatuh cinta. Build up ini diperlukan untuk nanti; dua orang yang saling cinta ternyata adalah kakak-adik adalah tujuan dari cerita ini. Namun film melakukan set up dengan sangat sederhana. Coba tebak mereka ketemunya gimana? tabrakan saat lagi jalan di lorong sekolah! Siapa mereka tak benar-benar dibahas siapa diri karena backstory masing-masing tokoh itu disiapkan untuk babak akhir, untuk twist nanti. Dan ini membawa kita jauh dari semua yang bisa dipegang untuk peduli sama tokoh-tokoh tadi. Well, they all have pretty faces, jadi kupikir film menyangka itu saja sudah cukup untuk membuat kita peduli kepada mereka.
Film ini memang punya tampilan yang sangat cantik. Penggunaan lampu-lampu, cahaya yang terpantul pada objek-objek gelap – karena beberapa adegan terjadi di tempat-tempat shady tatkala Metta ikut Raga ke arena tinju underground. Sekalipun bosan, kita tidak akan pernah tertidur lantaran visual yang memancing seperti begini. Film mengontraskan kecantikan dengan kekerasan. Sin could get really ‘ugly’ ketika menghadirkan elemen-elemen violence, entah itu adegan bertinju atau, Metta sendiri menghajar cowok yang mengejarnya ataupun kehidupan jetset yang dihadirkan lewat tokoh-tokoh yang masih remaja berpesta dan mabuk-mabukan.  Tapi narasi film baru terasa bekerja ketika sudah lewat bagian tengah. Ketika kita mengerti siapa itu siapa. Dan persoalan mereka bertemu, menjalin kasih, yang dilakukan dengan standar cinta remaja – bahkan karakter cewek galak tapi manja dipasangkan bersama cowok pendiam tapi penuh kasih sayang itu bukanlah barang baru – tak pernah hadir benar-benar menarik. ‘Daging’ cerita sebenarnya adalah melihat apa yang mereka lakukan ketika bersama sebagai kakak adik, dengan saling memendam rasa. Yang membuat kita bergairah justru persoalan Metta dengan salah satu sahabatnya. In fact, sahabat Metta ini adalah satu-satunya kejutan yang aku suka, karena benar-benar tak disangka dan film membangun arc tokoh ini dengan baik.
Kembali ke adegan pembuka Metta yang menyelam; kita pun sebenarnya perlu untuk menyelami cerita Sin lebih dalam daripada sekadar apa yang terlihat di luar. Cinta kakak-adik itu hanya ‘jualan’ untuk menarik perhatian penonton, bahkan film ini sendiri tak begitu peduli sama elemen kakak-adik itu; terbukti dari twist puncak yang disuguhkan – we’ll talk about that later in the end portion of this review. Untuk sekarang, aku ingin membahas apa yang menurutku merupakan gagasan utama yang ingin disuarakan oleh film ini.
Simbol pertama yang hadir di depan mata kita adalah gaun merah yang dikenakan oleh Metta. Aku pinjam kata-kata Taylor Swift untuk menjelaskan ini; Warna merah adalah warna yang menarik untuk dikorelasikan dengan emosi atau perasaan. Karena warna ini punya dua spektrum. Pertama adalah cinta, gairah, kebahagiaan. Sementara spektrum satunya lagi adalah kemarahan, frustasi, dan obsesi.  Metta benar adalah tokoh yang berada di dua spektrum ini sekaligus. Dia yang hidup sendiri ingin merasakan cinta, tapi dia tidak bisa mendapatkannya, sehingga dia menjadi terobsesi. Juga ada neon pink yang menjadi warna utama film, yang bisa berarti cinta, sesuatu yang didambakan Metta. Dia melampiaskan hal tersebut kepada cowok-cowok di sekolah dengan menjadi playgirl. Membuat mereka menjadi terobsesi kepadanya. Makanya interaksi murid-murid di sekolah (diwakili oleh Metta, beberapa cowok, dan sahabat cewek Metta yang akan spoiler berat jika kusebutkan yang mana) tampak begitu ‘berbahaya’. Karena obsesi memang berbahaya. Dan menurutku memang soal obsesi dan bahayanya memainkan perasaan orang itulah yang menjadi bahasan utama film Sin.

Jangan bermain-main dengan perasaan orang lain. Karena dari perasaan yang dipermainkan itulah timbul obsesi. Kita terobsesi pada hal yang tidak bisa kita dapatkan.

 
Inilah yang menjadi trigger sahabat cewek Metta. Inilah yang menyebabkan Raga yang tadinya tidak tertarik kepada Metta menjadi semakin jatuh cinta; terjadi saat dia mengetahui Metta adalah adiknya. Cerita film ini bertindak sebagai hukuman buat Metta karena selama ini selalu nge-flirt tapi cuma buat nyampahin orang. Tapinya lagi, Metta sendiri adalah produk dari perasaan yang dimainkan. Dia diberikan secercah cinta tanpa benar-benar merasakan cinta – dia tidak pernah bertemu orangtua asuhnya. Film ini menggambarkan hukuman secara mental dan fisik. Makanya Raga yang suka bertinju menjadi pelengkap sempurna untuk Metta, karena tinju adalah total opposite dari bermain perasaan yang dilakukan oleh Metta.

siap-siap ditonjok oleh surprise status kalian

 
Makanya ending film ini terasa sangat tak bernyali. Gutless. So many twists and turns yang pada akhirnya menegasi gagasan dan elemen kakak-adik itu sendiri. Satu hal yang tampak menjadi jualan utama, yang menjadi point vocal cerita, ternyata dibuang oleh si film sendiri. Mungkin film ini menyasar ingin menjadi seperti ala M. Night Shyamalan; film buatannya selalu berujung ternyata bukan seperti film yang kira pada awalnya. It could’ve worked tho. Film ini bisa menjadi seperti demikian jika tidak dilakukan demi membuat senang penonton dengan merendahkan cerita dan penonton itu sendiri. Menonton Sin kita akan merasa dikhianati. Merasa sia-sia sudah tertarik untuk mengikuti kisah cinta kakak-adik mereka. Sekaligus juga merasa konyol dengan beberapa pengadeganan. Di babak akhir, adegan-adegan khas ftv itu muncul kembali. Berantem slow motion di tengah derasnya hujan. Dan hujan itu hanya berlangsung di tempat mereka berantem. Laughable. Dan pada adegan terakhir, film akan membuat kita mengerang.
 
 
 
Kalolah ini ftv, maka ini akan menjadi ftv yang hebat. Penampilan para pemainnya not half-bad. Aktor-aktor muda menunjukkan range emosi yang lumayan meyakinkan. Sinematografinya cantik sehingga kesannya mahal dan kinclong. Semua orang suka barang yang kinclong. Tapi ini adalah film bioskop. Yang seharusnya sinematik. Yang seharusnya tak ada adegan-adegan tabrakan, ketemu di supermarket, dikuntit, kenalan, jadian, oh my god poin-poin plot film ini sungguh sesederhana itu. Padahal gagasannya cukup dewasa, bahasannya cukup bermakna. Film ini akan jauh lebih baik jika dilakukan dengan pendekatan yang benar-benar seperti sinema – bukan seperti wahana roller coaster dengan banyak belokan twist; mengombang-ambingkan penonton dengan ‘ternyata’ alih-alih rasa. Harusnya Metta yang membuat film ini, she surely knows how to play with our feelings.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SIN.

 
 

BEBAS Review

“A dream you dream together is reality”
 

 
Bebas, garapan Riri Riza, merupakan versi Indonesia dari drama komedi persahabatan asal Korea; Sunny (2011). Jika ingin tahu seperti apa Bebas dibandingkan dengan Sunny, maka kalian tinggal membayangkan film-film live-action remake animasi buatan Disney. Narasi dan urutan cerita bahkan dialog-dialognya sama persis, dengan beberapa perubahan atau penambahan elemen bertindak sebagai hiasan karena perubahan atau penambahan tersebut tidak benar-benar berani dikembangkan.
Hits berat pada zamannya, actually jadi film terlaris kedua di Korea Selatan di tahun 2011, Sunny menuai banyak pujian dari penonton dan kritikus. Bebas pun langsung dapat dengan mudah disukai. Walau raihan penontonnya kurang mencengangkan, tapi di sana sini aku mendengar banyak pujian dialamatkan kepada film Bebas. Menyenangkan, nostalgic! Aku menonton Bebas sama seperti ketika aku menonton Cinta itu Buta (2019) yang juga adaptasi plek-plekan dari film luar; Aku nonton dua film ini tanpa pernah menonton film aslinya. Namun kesan menontonnya berbeda. Pada Bebas, aku merasa hampa. Aku enggak merasa benar-benar konek dengan cerita yang berselingan masa kini dengan masa lalu, dengan karakter yang belasan jumlahnya. Maka aku kemudian menonton film aslinya. Dan menemukan perbedaan mendasar yang menjawab kenapa Bebas yang dirancang sedemikian sama, tidak berhasil menguarkan rasa yang serupa dengan Sunny.
Yang dipakai pada naskah Bebas – yang mengikuti naskah Sunny – bukanlah struktur tiga babak seperti film kebanyakan. Diceritakan seorang ibu rumah tangga bernama Vina Panduwinata dengan kehidupan biasa-biasa saja bertemu kembali dengan salah satu sahabatnya di masa SMA. Sang sahabat itu dulunya adalah ketua geng mereka di sekolah. Dan merupakan permintaan terakhirnya sebelum tutup usia karena kanker kepada Vina untuk mencari dan mengumpulkan seluruh anggota geng mereka. That’s basically the whole set up of this movie. ‘Sisa’ durasi kita akan melihat Vina berusaha untuk menghubungi mereka yang ia tak tahu ada di mana, sementara Vina juga berjuang untuk lebih berperan dan akrab dalam hidup putri remajanya. Kita akan dibawa bolak-balik ke masa lalu Vina dan Geng Bebas masih remaja, sehingga sedikit demi sedikit ‘sejarah; mereka kita ketahui. Drama datang dari kita mengenali impian masa muda mereka dan melihat menjadi seperti apa masing-masing dari mereka sekarang. Sejauh mana pertemanan masa lalu akan berpengaruh kepada diri kita saat sudah dewasa terpapar oleh kenyataan hidup.

kemudian teman hanya sebatas ngucapin selamat ultah

 
Gagal jadi seniman, Vina merasa datar tapi kemudian perjalanan memori dan ‘reuni’ membuatnya sadar hidupnya lebih baik daripada teman-temannya. Vina selalu memandang pengen sejak kecil; pengen secantik Suci, pengen sekaya Gina, pengen sekeren Kris, pengen seluwes Jojo. Di saat dewasa she realizes dia yang paling ‘beruntung’ di anatara teman-temannya. Hidupnya yang paling ‘bener’. Vina tidak perlu dikasih rumah, dicariin kerja, ataupun dipinjamin uang. Dia punya keluarga sendiri, dan dia sadar dia harus mengendalikan hidup sebagai miliknya sendiri. Aku mengerti semua itu dari menonton Sunny, setelah menonton Bebas. Dan itu bukan karena nonton untuk kedua kali baru bisa mengerti, melainkan karena memang Bebas tidak berhasil menonjolkan apa yang sebenarnya ingin ia ceritakan. Pada Bebas, gagasan dan cerita utamanya kalah menonjol oleh deretan cameo pemain, isu-isu sampingan yang hanya jadi latar, dan musik-musik dan hura-hura.
Isi bisa disamakan, tapi penyampaiannya tidak akan segampang itu untuk diduplikasi. Di sinilah Bebas tertinggal dari Sunny. Cerita dengan dua versi tokoh (masa remaja dan masa dewasa) yang silih berganti membentuk narasi utuh sangat bergantung kepada flashback. Tentu saja teknik editing sangat krusial di situ. Sunny sangat seamless menjalin dua periode di dalam cerita. Film itu menggunakan pergerakan kamera yang tak pernah sekadar mengikuti pemain untuk dijadikan transisi yang antara masa lalu dengan masa kini. Time images yang ditangkap oleh kamera, diteruskan dengan menyenangkan ke dalam pikiran kita. Sedangkan pada Bebas, masalah editing-lah yang langsung menyeruak mengganggu. Kita hampir bisa melihat garis-garis pembatas pada setiap perpindahan periode dalam Bebas. Dari satu adegan ke adegan lain terasa abrupt. Banyak sekali cut-cut yang membuat kita semakin terlepas. Pergerakan kamera pun terasa standar. Coba deh bandingkan adegan berantem di antara tawuran dalam film Sunny dan Bebas. Banyak adegan dalam Bebas yang terasa putus emosinya. Kesan paralel antara flashback dengan kejadian yang mengikutinya menjadi hilang. Kita tidak merasa masuk dan keluar dengan benar dari flashback.
Flashback seharusnya dijadikan alat untuk mendukung dan memajukan kejadian di masa kini. Kita melihat dua Vina; Vina remaja yang anak polos pindahan dari kampung berubah menjadi ‘gaul’ bersama teman gengnya, dan Vina dewasa yang hidupnya tampak biasa saja berubah menjadi lebih menarik sejak dia bertemu kembali dengan teman-teman gengnya. Sebagai karakter, ada dua Vina bergerak dalam dua arc yang sama. Teknik penceritaan flashback dilakukan harusnya membuat dua Vina dan dua arc ini menyatu sehingga tampak sebagai satu Vina dalam satu perjalanan. Bebas berusaha mengemulate kerja Sunyi menampilkan ini. Bukan perkara yang mudah, terlebih karena cerita ini juga memuat banyak narasi sampingan seperti persoalan Vina dengan putrinya, Vina dengan kakak cowoknya, dengan masing-masing anggota geng, dengan suaminya, dengan cowok yang pernah ia taksir. Bebas seperti kesusahan menangkap esensi sehingga semua narasi itu disajikan begitu saja, dengan potongan-potongan abrupt. Kita akan bingung harus berpegangan pada yang mana. Semua hal di sekitar Vina tampak lebih dominan daripada dirinya.
Vina ditampilkan sebagai karakter yang sangat datar, terutama di awal-awal saat dia masih anak baru. Ketika adegan di dalam kelas, Vina remaja langsung kalah pamor – film lebih menyorot temannya yang obses sama bulu mata, sama temannya yang ketua geng, sama gurunya yang hamil. Perhatikan betapa besar porsi mereka dibanding Vina. Memang, adegan tersebut memposisikan Vina sebagai observer, ia melihat banyak hal baru yang belum pernah ia jumpai di tempat asalnya. Tapi Bebas memperlakukan Vina seperti tokoh utama pasif game RPG yang dialognya hanya berupa option yang kita pilih. Dalam Sunny, adegan di dalam kelas di awal itu tidak sampai membuat si tokoh utama tenggelam. Personalitynya tetap ditonjolkan. Saat dewasa pun Marsha Timothy mengambil pendekatan yang terlalu muram untuk karakter ini. Sehingga Vina akan jarang sekali tampak sebagai tokoh utama yang menarik. Resolusi film yang terlalu ideal malah membuat Vina tak melakukan banyak pada penyelesaian cerita, padahal di cerita aslinya kita bisa melihat perannya dengan jelas.

Waktu muda kita belum punya hidup, kita hanya punya impian. Sedangkan saat dewasa, kenyataan sudah sepenuhnya milik kita. Kenyataan yang membuat kita terpaksa melupakan mimpi. Salah satu adegan paling emosional dalam Bebas adalah ketika Vina remaja dan geng Bebas membuat video untuk mereka di masa depan; video yang menyerukan impian dan cita-cita masing-masing. Video itu ditonton sambil menangis oleh Vina di masa kini, karena ia sadar impian mereka tak ada yang tercapai karena mereka terpisah. Padahal impian bisa jadi kenyataan dengan diwujudkan bersama-sama.

 
Bahkan lagu soundtrack pun terdengar lebih dominan ketimbang Vina dan ceritanya. Film Bebas semakin terasa sok-asik karena lebih memilih untuk mengandalkan lagu ketimbang penceritaan. Hampir setiap adegan ada lagunya, supaya penonton terbawa asik. Ada satu sekuen geng Bebas menari sambil nyanyi lip-sync muterin musik hampir satu lagu Cukup Siti Nurbaya penuh. I mean, I love 90’s songs as much as you do, tapi dalam film aku lebih suka mendengar lagu yang actually menambah bobot kepada narasi. Lagu yang enggak random muncul hanya karena lagunya enak dan menghentak dan bikin kita teringat masa lalu.

musik 90an memang terbaik!

 
Toh Riri Riza tak tahan juga untuk membiarkan cerita sama persis tanpa perubahan. Seiring dengan pemilihan lagu, latar waktu juga ditarik menjadi di sekitar paruh akhir 90an. Memasuki era reformasi. Tapi di elemen ini pun Bebas hanya sekadar mencari paralel dari keadaan 80an Korea saja, tanpa benar-benar menyelami situasi dan keadaan sosial. Tawuran pelajar dengan polisi, demo pemerintahan, kekerasan pada lingkungan anak-anak sekolah, termasuk sistem pendidikan yang keras, dijadikan oleh Sunny sebagai panggung, untuk kemudian didekati dengan nada komedi. Bebas cuma sebatas mengikuti. Kerusuhan demo, geng pelajar, situasi Indonesia dimirip-miripkan. Para tokohnya terasa tak terlalu tersentuh oleh hal tersebut. Makanya ketika geng Bebas dibubarkan karena sebuah tragedi, kejadian itu terasa seperti sebuah perlakuan tidak adil. Kok malah mereka yang dihukum? Karena hanya mengambil konsep geng di Korea. Dalam Bebas, geng Vina tak lebih jauh dari sekadar kelompok bermain antarsahabat. Padahal secara konteks yang ia sadur, geng itu adalah sebuah clique, sebuah hirarki – terlebih mereka tercipta di lingkungan sekolah yang seluruh muridnya adalah perempuan.
Salah satu perubahan terbesar yang dilakukan oleh Bebas adalah mengubah ensemble menjadi hanya enam orang, dengan satu cowok. Mereka bersekolah di sekolah umum, bukan sekolah khusus wanita seperti pada Sunny. ‘Musuh’ Vina di sekolah juga diubah menjadi cowok berandal. Perubahan ini seharusnya diikuti oleh perubahan konteks cerita, sebab elemennya sudah jauh berganti. Ada narasi baru yang ditambah. Tapi film masih memperlakukannya serupa dengan Sunny. Cowok dalam geng Bebas dibuat kecewekan, sifatnya sama persis dengen cewek ringan-mulut versi Sunny. Sempat diangkat soal sifat si cowok di mata orangtuanya, tapi hanya sebatas dialog dan tak pernah lagi dieksplorasi kemudian. Membuat perubahan itu jadi sia-sia belaka. Niat Bebas mungkin untuk memperlihatkan persahabatan cowok dan cewek. ‘Musuh’ yang mereka hadapi mengaku ia pengen masuk ke geng mereka – ada hint film ingin menyentuh toxic masculinity, tapi sekali lagi tetap terasa half-assed karena si cowok dibuat sedang mabuk saat mengatakan itu sehingga semua yang ia lakukan tak-bisa dipercaya. In the end, Bebas malah tampak seperti berlaku tak adil kepada tokoh-tokoh pria dalam film ini.
 
 
Sunny versi Indonesia ini punya ensemble cast yang menarik, juga disertai banyak penampilan-penampilan ekstra yang menjadi kejutan menyenangkan, musiknya membawa kita bernostalgia. Tapi jika musiknya dilucuti, maka film ini akan terasa hampa karena penceritaan yang gagal untuk meniru yang berhasil dilakukan oleh Sunny. Editing membuat cerita terbata, film somehow luput menampilkan hal-hal detil untuk memaklumkan kenapa kejadian dalam film itu bisa terjadi sedemikian, membuat para tokoh jadi tidak maksimal chemistrynya. Latar film ini juga tidak berhasil dibuat hidup. Emosi yang kita rasakan hanyalah emosi yang timbul dari lagu-lagunya. Tetap masih bisa asik untuk ditonton. Tapi jika dibandingkan – and it’s hard not to compare these movies – film ini hanyalah versi jinak dan clueless dari film Sunny.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEBAS.