WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2 Review

“So much of our future lies in preserving our past”

 

 

Kalian masokis kalo kalian pergi nonton ini dengan tahu persis seperti apa komedi Warkop, seperti apa komedi garapan Anggy Umbara, sambil masih nekat ngarepin film berisi nan bergizi  layaknya film-film arthouse.

Maksudku, ini adalah bagian kedua dari cerita tentang tiga polisi (alias Chip) yang harus membayar ganti rugi akibat ulah mereka sendiri, yang sebagian besar leluconnya adalah hasil daur ulang dari film-film versi jadul mereka, sementara sebagian lagi datang dari the real Indro Warkop yang muncul pake kostum-kostum konyol. Lalu kalian berniat untuk duduk di bioskop, nyatetin setiap kebegoan yang muncul di layar – enggak sabar ingin mencemooh semua keabsurdan itu dalam blog yang hanya diupdate kalo lagi kepengen, maka ya, itu sama aja dengan nyiksa diri. Karena kalian akan menemukan banyak, sebab film ini memang diniatkan untuk penuh oleh kebodoran. Malahan aku juga heran, kenapa orang-orang masih memerlukan review untuk film-film komedi konyol seperti ini. Jadi aku akan menyimpulkan dengan sederhana terlebih dahulu. Jika kalian mau cari jawaban apakah Warkop Reborn Part 2 ini adalah film yang bagus, maka jawabannya adalah enggak. Tapi jika kalian mampir ke sini demi mengetahui apakah film ini pantas untuk ditonton, maka kubilang; berhenti membaca, pergilah sana ke bioskop, dan selamat tertawa sebelum tertawa itu dilarang.

Dibandingkan dengan Part 1 (2016), Part 2 sedikit lebih berdaging sebab kali ini kita langsung tahu apa motivasi Dono, Kasino, Indro. Mereka tidak sekedar berkeliling melakukan hal-hal mindless. Membuka film dengan kayak serial tv, literally dengan tulisan “episode sebelumnya” disertai cuplikan film sebelumnya not necessarily menafikan keseluruhan Part 1, melainkan menegaskan bahwa Warkop DKI Reborn: Jangkring Boss memang memperlakukan Part 1 sebagai babak perkenalan. Tidak bisakah mereka mengemasnya menjadi satu film aja? Bukankah narasi jadi bisa lebih efektif? Tentu saja bisa, untuk kedua pertanyaan tadi. Namun kupikir kita sudah sama-sama tau alasan di balik mereka malah memutuskan untuk membuatnya menjadi dua. Jadi, Dono, Kasino, Indro, dan rekan cewek mereka Sophie terlantar di Malaysia; tas berisi harta karun yang mereka bawa ketuker sama tas seorang cewek berbaju merah. Sebelum mereka bisa mencari harta karun, mereka harus menemukan cewek baju merah tersebut. Dari mencari cewek di pantai (tentu saja tak ada Warkop tanpa pantai!), pencarian mereka berlanjut ke belantara pulau paling barat Malaysia yang penuh oleh misteri dan twist (tentu saja tak ada Anggy Umbara tanpa twist heboh!)

jadi kupikir sekarang kita tahu alasan kenapa hanya Indro seorang yang mengalami halusinasi, huh?

 

Tidak banyak peningkatan dari segi penampilan. Vino G. Bastian, Abimana Aryasatya, dan Tora Sudiro masih berusaha untuk tampil semirip mungkin dengan persona orisinal yang mereka perankan. Namun begitu, kali ini trio Warkop modern diberikan lebih banyak momen untuk bersenang-senang dengan karakter mereka. Paruh pertama film memancing kekonyolan dari Warkop yang bereaksi terhadap lingkungan sekitar yang asing – mereka anak Jakarta yang plesir ke Malaysia – serta sangat komikal. Pada bagian ini, jokenya enggak tanggung-tanggung, Umbara terus mendorong batas sekonyol-konyolnya. Kita melihat Kasino tumbuh payudara, manusia yang berubah menjadi dispenser, dan banyak lagi hal-hal gila semacam itu. Aku suka joke wajah di pintu, karena film mengambil waktu untuk membuild up towards that joke. Enggak sekedar nunjukin betapa kocaknya orang kejedot pintu sampai-sampai wajahnya tercetak. Efek komputer yang dipake masih terlihat kasar, apalagi yang bagian di pantai, dan kita harap maklum lantaran Dono bilang budget mereka lagi mepet.

Mempertahankan bagian terbaik dari Part 1; tokoh yang kerap breaking the fourth wall – ngomong ke kamera dan ngeMASH UP ULANG ELEMEN-ELEMEN DARI FILM WARKOP JADUL. Kasino bahkan benar-benar ngomong ke kita bahwa punchline yang dia pake “nyolong dari film dulu”.  Kali ini mereka mengambil banyak bagian dari film Warkop favoritku; Setan Kredit. Separoh bagian akhir adalah tentang Warkop keliaran di hutan, nyasar di pulau penuh hantu, mereka ngerehash adegan Indro berantem dengan pocong. Kita juga dapat bagian kocak antara Dono dengan Kuntilanak yang tergantung. Bagian Kasino ribut ama pohon, dia pakek jurus-jurus sableng, ini bisa kita jadikan pemanasan menjelang film silat Vino G. Bastian yang baru akan keluar tahun depan hihihi.. Anyway, film ini pun ada unsur horornya. Akan tetapi, tone cerita enggak pernah bentrok banget. Cerita selalu diarahkan untuk menjadi mahakonyol. Ketika kita noton film ini, concern bukan lagi pada seberapa bagus, melainkan seberapa ‘ajaib’ mereka mengolah materi.

Dono jadi Abimana. Abimana jadi Dono. Eh, mana sih yang benar?

 

Pada satu poin, Indro mengajak Kasino dan Dono berdoa apa yang baru saja mereka lakukan walaupun kalah seram, tetapi semoga masih lebih lucu dibandingkan Setan Kredit original. Sesungguhnya di balik mash up dan recycle, ada misi pelestarian. Banyak masa depan yang bergantung dari seberapa berhasil kita melestarikan masa lalu. Dan ya, tentu, mereka sah saja melakukan itu sembari mengumpulkan uang. They could come off as a villain, sure, seperti motivasi penjahat konyol dalam film ini. Tetapi, ketika pelaku sebenarnya sendiri yang langsung turun tangan, jika dia meminta untuk dilestarikan, penghormatan yang bisa kita berikan tentu saja adalah dengan mengapresiasinya.

 

Aku suka pada apa yang mereka lakukan terhadap kata “Jangrik, Boss!”. Twist di akhir cerita merupakan permainan kata yang menarik, dan actually memberikan arti yang lebih terhadap judulnya. One could argue bahwa separuh terakhir film lebih seru dan kocak dibandingkan bagian awal. Aku gak akan bilangnya tepatnya seperti apa, tapi setelah twist, peran Indro Warkop yang asli menjadi lebih menonjol, dan kita akan mengerti peraturan semacam apa yang berlaku dalam dunia film ini. Jika kalian pernah nonton serial Rick and Morty, maka kalian akan setuju aku bilang universe film ini bertindak kayak universe serial kartun itu. Cuma bedanya alih-alih planet, di Warkop Reborn ini kita akan melihat Indro dunia nyata dan Indro dunia film. Dan di bagian inilah menurutku yang sangat mendefinisikan film, disinilah keputusan finalku dalam menilai film ini membulat:

Part 2 memang lebih seru, namun tidak benar-benar lebih bagus dari Part 1. Pada Part 1 kita melihat film memperkenalkan trio Warkop yang baru. Walaupun karakternya enggak ada motivasi, kita bisa melihat film berusaha menghimpun narasi dari campuran film-film Warkop yang jadul. Ketika ada yang lucu, maka hal tersebut datang dari tokoh Warkop itu, di mana mereka berusaha untuk memperkenalkan – ralat, mengestablish – bahwa tokoh versi yang modern ini enggak kalah lucu. Sedangkan pada Part 2, dunia merekalah yang lucu. I mean, tokoh-tokoh mereka ditempatkan di dunia, di situasi yang tidak mereka tahu; di Malaysia, di hutan, di sarang bandit yang prajuritnya cewek semua, di dunia film. Dan ini seperti mereka tidak pernah lebih lucu dibanding dunia-dunia tersebut. Mereka bereaksi terhadap environment alih-alih beraksi. Merasa gak cukup dengan mengandalkan film Warkop jadul, Part 2 juga resort ke film-film jadul Indonesia yang lain; hanya supaya semakin lucu. Trio Warkop baru ini malah jadi kayak afterthought karenanya. Kita butuh untuk melihat lebih banyak adegan seperti nyanyi Andeca Andeci di mana para tokoh just having fun and being themselves. Mengandalkan interaksi mereka. Tapi ketika berharap pun mestinya aku harus hati-hati, karena tak lama setelah itu, kita dapat adegan Kasino bermimpi mereka bertiga lagi chicken dance. Bagian tersebut sangat entah-dari-mana, gak perlu, dan enggak benar-benar lucu.

 

 

 

So good at being bad, sampai membuat kita tertawa sepanjang durasi. Dengan banyak referensi, film ini bukan hanya sebatas melestarikan legenda Warkop, film-film klasik Indonesia pun turut serta diperkenalkan kembali lewat nada komedi. Yea ada ambisi dan kita bisa sedikit menyipitkan mata di sini, but when you’re having fun, you’re having fun!
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 stars for WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE HITMAN’S BODYGUARD Review

“Blaming others is nothing more than excusing yourself.”

 

 

Samuel L. Jackson adalah pembunuh bayaran ternama yang kemampuan dan kelihaiannya membunuh orang-orang dunia hitam tidak perlu diragukan lagi. Ryan Reynolds adalah bodyguard kelas kakap (Level Top-A, seperti yang biasa ia ingatkan kepada dirinya sendiri) yang selalu sukses mengawal bos-bos berkantong tebel. Dan The Hitman’s Bodyguard adalah komedi aksi dengan gimmick klasik yang berhasil dieksekusi dengan baik; Alih-alih diadu, Jackson’s Kincaid malah dipasangkan dengan Reynolds’ Bryce dalam sebuah misi escort di mana si bodyguard harus mengawal si hitman – sepanjang jalan mereka diberondong peluru – memastikan Kincaid sampe dengan selamat di pengadilan sehingga dia bisa memberikan kesaksian untuk memenjarakan seorang diktator kejam yang dimainkan oleh Gary Oldman.

Mana pekerjaan yang lebih mulia; membunuhi orang-orang jahat atau malah melindungi mereka. In a way, konsep film ini mirip dengan Death Note (2017). Apakah kita punya kuasa untuk menegakkan hukum sendiri, atau memang lebih baik membiarkan hukum dan segala prosedurnya mendirikan kebenaran.

 

Practically, The Hitman’s Bodyguard adalah REYNOLDS DAN JACKSON SHOW. Chemistry komedi kedua aktor kawakan ini luar biasa natural. Menghibur sekali melihat Bryce dan Kincaid saling ‘menghina’. Ryan Reynolds tampil prima, perannya di sini lebih sebagai reactor dari tek-tok komedi mereka. Samuel L. Jackson, however, seperti all-around player dan jika Goku di Dragon Ball punya wujud Super Saiya, maka Jackson dalam film sudah total dalam wujud ‘motherf*cker’ yang benar-benar entertaining dan tak-terkalahkan. Aku paling ngakak di adegan Kincaid bernyanyi di dalam mobil, and it’s pissing Bryce off, sehingga Bryce juga tau-tau nyanyiin lagu I Saw the Signnya Ace of Base. Momen yang sangat kocak. Tipisnya penokohan masing-masing terbukti bukan alasan buat mereka untuk gak tampil maksimal. Terutama bagi Ryan Reynolds, yang tampaknya either masih belum cukup dengan Deadpool atau gak mau kalah sama Ryan satu lagi yang sukses dengan komedi aksi The Nice Guys (2016), dan ingin ngepush komedik deliverynya lebih jauh lagi. Jackson dan Reynolds terlihat seperti memainkan diri mereka sendiri dalam tone yang komikal, dan inilah yang membuat cerita lawan-jadi-teman mereka begitu menarik perhatian.

you give motherf*cker a bad name

 

 

Akan ada banyak adegan kejar-kejaran. Kincaid dan Bryce entah berapa kali diudak-udak sambil terus ditembaki. Banyak dari adegan tersebut akan membuat kita melupakan sejenak bahwa ini adalah cerita yang nyaris dua jam. Dan sebagian besar sebabnya adalah arahan yang diberikan oleh Patrick Hughes. Dibandingkan dengan saat menangani aksi dalam The Expendables 3 (2014), sekuens aksi Hughes mengalami banyak peningkatan. Ketergantungan terhadap CGI ia kurangi sedikit, sehingga membuat kejadian-kejadian dalam film ini lebih mudah dipercaya. Walau tetap saja fairly ridiculous dengan jumlah ledakan. Tapi paling enggak, kali ini setiap bagian aksi diedit dengan leboh baik. Menjelang babak ketiga, ada sekuen aksi yang hebat ketika Bryce harus berhadapan satu lawan satu dengan salah satu orang suruhan Gary Oldman. Bryce harus menggunakan berbagai macam benda yang bisa ia temukan dalam toko peralatan bangunan tersebut, seperti aksi-aksi pada film Jacky Chan. It was a lot of fun, sama seperti kata yang kita gunakan untuk menggambarkan film ini secara keseluruhan.

Ketika kita berpikir kita sudah mengusahakan sebaik mungkin apa yang bisa kita upayakan, kita sudah memperhitungkan segala kemungkinan gagal dan sebagainya, kita sudah mempersiapk diri. Kita kira kita sudah memikirkan semua, dan sesuatu yang kita usahakan tersebut turns out gagal karena ada satu hal di luar perkiraan, maka kita akan kecewa bukan kepalang. Ngamuk, bahkan lebih parah, kita bisa depresi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang insecure, jadi kita ingin meyakinkan diri bahwa kita sudah memegang kendali. Makanya, sesuatu kegagalan yang di luar perkiraan, akan membuat kita ingin ada yang dipersalahkan. Tapi kita tidak akan menyalahkan diri sendiri, kita terlalu bangga atas diri. Kita berbalik menyalahkan orang lain.

 

Nyaris di setiap kesempatan, film ini akan berbelok ke arah kekonyolan. Hal terbaik yang datang dari sana adalah Salma Hayek yang berperan singkat sebagai istri Kincaid. Tokoh ini dipenjara terpisah, dan ia jadi motivasi dari tindakan ‘baik’ yang dilakukan oleh Kincaid. Sendirinya, tokoh Salma Hayek ini bersikeras enggak bersalah, namun jika kita lihat sikapnya yang ngebos, terlebih di adegan flashback ketika Kincaid bercerita tentang bagaimana dia pertama kali bertemu dengan sang Istri, kita tahu lebih baik bahwa mestinya cewek ini memang dipenjara. Naskah selalu menemukan cara untuk ngebanyol dengan apa yang dilakukan oeh tokoh ini. I mean, the stuff they do with her character, maannn.. sehingga meskipun screentimenya memang gak banyak, Salma Hayek sukses berat mencuri perhatian. Dan menurutku, adalah keputusan yang baik untuk enggak sering-sering amat resorting ke tokoh ini, lantaran she’s actually sangat kocak tapi bakal jadi annoying jika kebanyakan.

relationship Kincaid dan istrinya membuktikan bahwa benar, love hurts. Menyakiti orang lain, tepatnya

 

Terutama jika kita melihat gambar besar keseluruhan cerita. The Hitman’s Bodyguard pada lapisan terluarnya bicara tentang kasus otoritas penguasa, di mana tokoh yang diperankan oleh Gary Oldman didakwa sudah membunuh warga negaranya sendiri. Seharusnya ini adalah tema yang sangat kelam. Namun narasinya berkembang dalam arahan yang hilarious. Ini membuat film terasa enggak imbang. Kit akan terombang ambing antara komedi absurd ke action yang enggak kalah absurdnya, terus ke elemen yang lebih kelam ketika film membahas topik penjahat utama. Rasanya enggak klop aja. Kasus yang mereka tangani itu terlihat berada di ranah yang berbeda dengan aspek-aspek film yang lain. Gary Oldman memainkan penjahat klasik yang kayak ditarik dari film action yang lain. Beneran deh, lima-belas menit terakhir film, yang bagian courtroom itu, lebih terasa kayak extended ending dibandingkan konklusi beneran. Seolah ada dua penyelesaian; aksi dan komedi yang ringan dan plot tragis soal racial dan politik. Dan penulisan antara kedua aspek itu enggak pernah benar-benar seimbang.

 

 

 

Perfectly enjoyable action comedy. Kali ini kerja sutradara bagus banget mengarahkan bagian aksi sehingga kita enjoy menonton ini. Komedinya yang konyol namun kocak juga bekerja dengan baik, para aktor ngedeliver line dan timing mereka tanpa cela. Fokusnya ada di hubungan yang terjalin antara dua karakter yamg berlawanan dan aksi kejar-kejar yang dibikin sebelievable mungkin. Penulisan ceritanyalah yang sedikit tidak berimbang. Tapi sepertinya, hal tersebut tidak akan menjadi masalah buat sebagian besar penonton.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE HITMAN’S BODYGUARD.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

TO THE BONE Review

“She has dreams to be an envy, so she’s starving”

 

 

 

You know, “Covergirls eat nothing.”
She says, “Beauty is pain and there’s beauty in everything.”
“What’s a little bit of hunger?”
“I can go a little while longer,” she fades away

 

I gotta to be honest, pertama kali dengar lirik lagu Alessia Cara tersebut, aku merasa seperti sedang mengiris bawang merah yang banyak banget. Aku sungguh berharap enggak ada teman-temanku yang pernah pingsan karena sengaja gak makan. I can’t imagine being girls di jaman sekarang, I mean, dengan segala tuntutan sosial itu; harus putih, harus langsing. Anorexia sendirinya adalah problem yang serius. Dan setelah nonton film To the Bone yang MEMBAHAS ANOREXIA SECARA MENDALAM DAN SANGAT JUJUR, aku jadi semakin ngeri. Karena Anorexia enggak selamanya hanya karena si cewek pengen terlihat cantik. Seperti Ellen, ketika dia dikomentari ibu tirinya yang khawatir “Cantik enggak dirimu menurut kamu?” Ellen memandang foto diri yang tinggal kulit membalut tulang, dan menjawab “Enggak”. Anorexia berkaitan dengan masalah psikologis yang bisa berasal dari apa saja. Ellen yang dealing with severe anorexia terutama harus menyadari dan mengaccept dulu trauma yang membuat dia menjadi begitu anti sama makanan.

Film ini enggak menahan diri soal urusan penceritaan, semuanya digambar blak-blakan oleh narasi. Bukan hanya membahas apa dampak eating disorder terhadap si penderita, baik secara fisik dan psikologis. Film juga mengeksplorasi akibatnya terhadap keluarga dan orang-orang yang benar-benar peduli terhadap si penderita. Ellen dibujuk untuk mengikuti pengobatan khusus di mana cewek berdarah seni tinggi ini harus tinggal bersama beberapa orang yang juga mengidap berbagai kelainan enggak-mau makan. Ada cewek yang diam-diam ngumpulin muntahnya di bawah ranjang, ada cewek yang begitu parah sehingga harus dikasih asupan lewat tube, ada juga wanita yang tengah mengandung bayi tapi masih ogah makan sehingga membahayakan nyawa si janin. To the Bone bukanlah film light-hearted di mana semua penghuni rumah inap dokter yang metodenya sangat radikal itu pada akhirnya akan menjadi sahabat dan semuanya berakhir happy ending.

kalo bisa milih, gak ada lagi orang di dunia ini yang kita percaya untuk nasihatin kita, to make us feel better, selain Keanu Reeves

 

Sekilas, memang sepertinya plot yang dihadirkan agak dilebih-lebihkan, seakan memancing yang susah-susah dari keadaan mental yang menyedihkan dari seseorang yang insecure atas dirinya. Film ini akan terasa too much dan terlalu jauh, namun sebenarnya ini adalah cerita yang SANGAT AKURAT DALAM PORTRAYALNYA mengenai penderita Anorexia. Ellen bahkan enggak mau menggigit makanan, let alone menelannya. Dia menolak ide mencerna apapun yang mengandung banyak kalori. Ellen udah kayak kamus gizi berjalan, dia hapal kandungan kalori dalam setiap makanan, just so dia bisa menghindarinya. Dia mengukur lingkar lengannya, dan bila ia rasa jadi sesenti lebih gede, Ellen akan membakar kalori – seberapa pun yang tersisa di tubuhnya – dengan berlari naik turun tangga. Dan sit up sampai punggungnya lecet. Konyol? Maybe, namun enggak ada yang corny soal anorexia. Karena ini adalah penyakit nyata, ada orang-orang di luar sana, cewek dan cowok, yang mengalaminya. Aku memang enggak kenal orang anorexia, tapi setelah menonton ini aku ngeri juga bahwa aku bisa saja termasuk di antara mereka.

Aku enggak pernah insecure soal penampilan. Namun dulu berat badanku mencapai 72 kilogram, dan itu membuatku kesulitan bergerak. Apa-apa capek, apa-apa keringetan. Mandi aja aku keringetan ngangkat gayung. Jadi aku mulai menurunkan berat sehingga sampe sekarang sukses bertahan di angka 50. Tapi kebiasaanku makan sejak misi ‘diet’ itu nyaris sama seperti yang dialami oleh Ellen, meski enggak seekstrim itu. Aku completely discarded sarapan off of my daily menu. Aku sebisa mungkin ngehindari daging dan gula. Apalagi gorengan. Dan kalo kepepet memakan salah satu dari hal tersebut, aku akan bingung sendiri mikirin gimana bakar kalorinya. Biasanya setiap pagi aku akan lari di tempat sambil nonton WWE. Yang dilanjut dengan push-up, squat jump, dan sit up. Alih-alih lingkar lengan seperti Ellen, aku mengukur lingkar pinggang – tidak boleh lebih dari 3.5 jengkal!! Aku bahkan mencibir ide bahwa manusia harus banget makan tiga-dua kali sehari; bayangkan berapa banyak hal produktif yang bisa dilakukan saat kita nyempetin duduk di meja kantin selama 30 menit.  Aku pun masih ingat reaksi keluarga dan teman-teman ketika aku muncul di hadapan mereka dengan ‘wujud baru’, persis seperti reaksi keluarga dan teman-teman Ellen. “Kurusan banget, ih”, “Mirip tengkorak”, ibuku nodongin makan setiap limabelas menit sekali, sampai my dad jadi punya topik baru dalam ceramah rutinnya. Jadi aku tahu betapa akuratnya film To the Bone ini, dan buat aku yang bukan penderita aja, film ini udah disturbing secara personal.

Setelahnya, aku jadi pengen makan banyaaaaakk sekalliiiiii

 

Sutradara Marti Noxon pun tampaknya paham soal ini. Dia tahu langkah dan keadaannya, dia tahu perlu sekali mengarahkan film ini untuk enggak menjadi politically correct, walaupun cerita yang digarapnya melintasi subyek yang enggak mudah untuk dibahas. Kudu hati-hati, dan Noxon mutusin untuk tidak menyembunyikan apapun. Tidak ada gunanya membahas tema ini dengan bersopan-sopan. Tokoh-tokoh dalam film ini mengatakan ataupun melakukan hal-hal yang tergolong perbuatan tak-senonoh, mereka bicara kasar, dan tak sekalipun film ini berusaha mengoreksi mereka. They just do it, dan kita mengerti. Bahwa mereka-mereka ini sedang dalam titik terendah hidup mereka, di mana mereka bahkan enggak bisa mastiin mereka masih hidup minggu depan atau enggak. Cara yang dilakukan film ini sukses menempatkan kita sebagai penonton di mana kita bisa merasakan penderitaan mereka, that they no longer care about things.

Dan untuk menyembuhkan mereka, lebih tepatnya membantu mereka menemukan keinginan untuk sembuh, film ini tidak mendatangkan dokter yang sekedar menanyakan kabar dan bermanis-manis ria menaikkan mood pasien, ngasih obat, lalu pulang. Dokter Beckham yang diperankan oleh Keanu Reeves ditulis dengan amat baik, karakternya sangat entertaining, dan Keanu Reeves really nailed this character. Dia akan menatap pasiennya lekat-lekat di mata, dia enggak akan peduli dengan perasaan, dia cuma mau mereka melihat ke dalam diri, dan literally akan bilang persetan dengan pikiran kalian sendiri yang membuat kalian enggak mau makan.

Tadinya aku sempet kepikiran kalo Emma Roberts bisa jadi pilihan yang bagus buat meranin tokoh Ellen. Tapi toh lama kelamaan as I watch this through, kerja Lily Collins benar-benar membuatku terkesan. Penampilannya di sini stand out banget. Dia rela jadi kurus buat peran ini, tapi bukan berat badannya aja yang bikin ia tampak mencuat, dia hidup sekali di dalam karakternya. Collins membawakan tokoh ini dengan sangat tertutup dan was-was, yang mana merupakan perilaku yang tepat buat orang yang benar-benar mengalami kondisi mental seperti tokoh ini. Like, Ellen enggak mau disentuh oleh orang, dia ingin dibiarkan sendiri. Aspek karakter inilah yang diportray oleh Collins dengan meyakinkan, membuatnya sangat bersinar. Ada adegan antara Ellen dengan ibu kandungnya (Lili Taylor fantastis dan kupikir dia adalah aktris yang sangat underrated sekarang ini) yang sangat merenyuhkan hati menjelang akhir. Ini adalah jenis adegan yang beresiko tinggi, terlihat bagus di naskah namun eksekusinya bisa jadi sangat komikal dan merusak semuanya. Untungnya, akting dan delivery kedua pemain yang terlibat berhasil mengangkat adegan tersebut, menghasilkan momen yang indah dan magis. Dan membuat arc keduanya comes full circle.

Saat muda adalah waktu yang paling susah untuk kehilangan sosok ibu. Ellen berpisah dengan ibu kandungnya, yang ternyata adalah seorang lesbian. Dan ini dijalankan selaras oleh narasi dengan keengganan Ellen untuk makan. Deep inside, dia enggak mau ‘makan’ yang lain. Karena sebenarnya Ellen’s craving for mother figure. Ellen ingin jadi sesuatu yang membuat orang-orang ingin mengasuhnya. To be an envy for her mother. The real one.

 

Ada satu lagi tokoh yang menarik, yaitu Luke; pasien cowok satu-satunya di rumah inap tempat Ellen berobat. Alex Sharp memainkan tokoh ini dengan sangat charming. Karakternya adalah penari dari London yang patah kaki, yang membuat karirnya kandas, sehingga dia menyiksa diri dengan enggak makan. Akan butuh waktu sebelum kita bisa meapresiasi karakternya secara maksimal, karena memang di awal-awal dia sedikit lebay. Dia memaksa Ellen makan coklat, dan sebagainya. Oleh karena kita terinvest begitu banyak kepada Ellen, maka reaksi kita kepada Luke pun akan sama dengan reaksi Ellen kepadanya. Tetapi niscaya, karakter ini akan grew on us, arcnya pun juga sangat tertulis rapi. Luke kadang menyapa Ellen sebagai peri kecil, dan dari situ ada adegan di akhir yang terasa agak terlalu orchestrated. Teatrikal banget. Terasa enggak sesuai dengan keseluruhan film, seperti menyelipkan sesuatu yang terlalu rumit di antara padanan yang kelam. Dan bagian akhir itulah satu aspek dalam film ini yang enggak sreg buatku.

 

 

 

 

Bikin kita terpesona sejak adegan pertamanya, ini adalah film yang tertulis dengan amat baik, mengeksplorasi psikologis orang-orang yang punya pandangan menarik tentang kebutuhan makan. Dan dihidupkan oleh permainan akting yang luar biasa. Topiknya yang suram dan disturbing dan acapkali inappropriate dibahas dengan hati-hati namun tidak pernah menyembunyikan apapun. Keblakblakan film ini akan menyelematkan semua orang yang sempat kepikiran untuk mengambil keputusan serupa yang menghancurkan diri sendiri. Tak pelak, film ini akan membekas lama. Sampai ke tulang belulang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TO THE BONE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY Review

“Actions are the seed of fate deeds grow into destiny.”

 

 

Adalah prestasi yang membanggakan jika sebuah film dinanti-nanti sekuelnya lantaran para penonton sangat jatuh hati kepada karakter yang ditampilkan.  Penonton ingin melihat lebih banyak dari karakter-karakter tersebut. Seperti yang terjadi pada Filosofi Kopi (2015), perjalanan persahabatan Ben dan Jody begitu hangat dan kental sehingga dibikinlah cangkir kedua, eh maksudnya film kedua ini. And keep in mind, bahwa tadinya Filosofi Kopi berangkat dari cerita pendek. Sekarang, berkembang menjadi kedai kopi beneran, brand bisnis beneran, tak pelak – ini sudah menginspirasi banyak orang, khususnya anak-anak muda, bahwa berbisnis itu keren. Bahkan aku juga sekarang udah membuka kafe eskrim di Bandung, di mana aku nyiapin dan served people myself. Meski memang backstory buka usahaku lebih mirip seperti Max Black’s ketimbang Ben dan Jody yang kekinian.

Bisnis ada seninya. It’s not just about math ataupun sekedar statistik keuntungan-kerugian. Bisnis juga adalah soal cinta. Kita bisa belajar begitu banyak, sehingga pengembangan bisnis sejatinya adalah pengembangan diri sendiri.

 

 

Dalam sekuel inipun diceritakan kesuksesan Filosofi Kopi milik Ben dan Jody membuat menjamurnya anak muda yang bikin kedai kopi serupa. Filosofi Kopi sudah menjadi semacam legenda, “Mitos,” kata Luna Maya. Jadi bahan obrolan di antara barista-barista yang terinspirasi, kopinya jadi tolak ukur standar tinggi. The Legend now wants to return home. Bisnis roadtrip mereka enggak jalan ke mana-mana, meski memang mereka udah keliling Indonesia memasyarakatkan kopi selama dua tahun belakangan. Jadi, Ben dan Jody kembali ke kedai di Melawai. Mereka harus kembali struggle nyari investor sebab beli properti enggak murah. Dan oleh karena ini adalah film sekuel, maka harus ada ide baru dan stake harus dipergede. Sehingga Filosofi Kopi, ultimately, mengekspansi gerai kedai mereka ke kota Jogja, mereka harus ngehire orang-orang baru, dan persahabatan Ben dan Jody teraduk-aduk karenanya.

dan Luna Maya datengnya telat melulu

 

Ada dua tokoh baru yang menambah cita rasa cerita Filosofi Kopi 2. To be honest tho, aku enggak begitu mengerti dinamika cinta segi kotak di antara Ben-Tarra-Jody-Brie-Ben sebab meski memang keempat ini punya karakter, relationship mereka tidak benar-benar terflesh out dengan baik. Ben dan Jody, they are funny, kita percaya persahabatan udah mengakar kuat pada mereka. Namun saat-saat mereka berantem, mereka berpisah, mereka reunite, terasa lebih seperti tuntunan sekuens naskah ketimbang terdevelop secara natural, you know, terbentuk dari interaksi actual dan genuine di antara mereka. Padahal elemen inilah yang penting lantaran film kali ini is LESS ABOUT RUNNING A PLACE AND MORE OF A STORY ABOUT CHARACTERS.

Karakter Tarra yang diperankan oleh Luna Maya adalah investor yang aim big but really strict untuk urusan bisnis, dia gakenal orangtua dan teman kalo udah nyangkut bisnis, keopimisannya membuat Tarra cukup menarik. Tarra merupakan padanan yang pas buat Paman Gober, alias Jody. Karakter tokoh pendiem-nan-calming milik Rio Dewanto ini lebih mudah kita relasikan, as opposed to Ben. Dalam film ini tergambar jelas bahwa jika Ben adalah sosok yang kita inginkan untuk menjadi, maka Jody adalah sosok yang mewakili realita; dia adalah siapa kita turn out to be. Dan aku senang di film ini Jody dapat jatah unjuk kebolehan ‘ngegombal’ di depan cewek dalam sebuah adegan simbolik yang dihandle dengan baik.

Brie si barista baru, however, kita baru mengerti dia siapa di paruh akhir. Karakternya menarik; she was a fan, tapi dia ngabisin sebagian besar shift kerjanya dibentak-bentak oleh Ben. Namun dia punya cara tersendiri yang ia yakini dalam bikin kopi. Aku sendiri enggak pernah ngefan sama teknik cerita yang sengaja nyimpen satu karakter untuk ‘revealing’ tanpa pernah ngebuild revealing tersebut. So yea, personally, aku pikir Brie bisa menjadi sudut pandang yang (lebih) menarik sebagai tokoh utama cerita, Nadine Alexandra pun pastinya capable diberikan role ini, jika kita lihat gimana usahanya menghidupkan Brie.

Now let’s talk about Ben. Chicco Jerikho breaths in this character, udah senyawa bangetlah pokoknya. Ben adalah orang yang sangat ahli, sekaligus amat menyintai apa yang ia kerjakan. Kita sering mendapati Ben mengelus-elus alat pembuat kopi, dia memegang biji kopi dengan penuh hormat, dia memperlakukan kedai dan segala atributnya seperti anak menghartakarunkan mainan kesayangan. Maka kita paham darimana ‘trust issues’nya datang, Ben enggak segampang Jody dalam mempekerjakan barista-barista baru. Ia enggak sembarangan menerima orang. Namun kadang, sifat Ben membuat kita enggak mengerti apa motivasi dirinya, like, filosofi-filosofi yang ia berikan kepada cewek-cewek yang beli – apakah murni dari hati ataukah semacam gombalan itelijen? Di sinilah letak menariknya karakter Ben; kita enggak pasti sehingga kita selalu ingin tahu dia lebih dalam. When he’s being a jerk, kita kesel beneran. Dan ketika ia jatoh, kita bersimpati.

 

Anak kecil, katanya, tidak berdosa as dosa-dosa mereka ditanggung oleh orangtua. Ajaran agama bilang begitu. Tapi di sini, di dunia fana penuh judgment, yang terjadi adalah kebalikannya. Dosa orangtua biasanya diterus-terusin ke anaknya. Bapaknya maling, anaknya yang menanggung malu. Bapaknya jahat, anaknya yang bertanggungjawab. Dan berapa banyak dari kita yang nyalahin orangtua yang menuntut banyak, atas ketidakberanian kita mengejar mimpi sendiri? Padahal kita  bakal tumbuh menjadi apa ditentukan oleh aksi kita sendiri. Benihnya mungkin ditanam dalam pengaruh orangtua, namun tindakan kita yang menentukan bakal tumbuh menjadi apa.

 

 

Sebagai sebuah film, Filosofi Kopi 2 mampu untuk berdiri sendiri.  Semua elemen ceritanya terconclude dengan baik. Kamera sukses berat jalan-jalan menghasilkan gambar-gambar yang terlihat festive sekaligus elegan. Aku notice musiknya, padahal biasanya musik adalah aspek yang paling sering kulewatin – ketika Ben nerima telepon di sekitar tengah cerita, musik kerennya ngingetinku sama musik di A Clockwork Orange nya Stanley Kubrick. Konten budaya turut diracik larut ke dalam penceritaan. Dibandingkan film yang pertama, wilayah cerita kali ini terasa lebih luas. Bukan saja karena mereka memang ceritanya lagi ekspansi, namun juga terasa lebih gede dari segi karakter. Akan tetapi, sebagai sekuel, as in kita melihat kedua film ini dalam gambar yang lebih gede yang bersambung, pertumbuhan atau perkembangan karakternya terasa muter di situ-situ aja. Apa yang dialami oleh Ben dan Jody di film yang kedua ini, pernah mereka alami sebelumnya. Ben dan Jody berantem lagi. Ben dan orangtuanya lagi. They just reharsh the plot. Mereka bahkan memasukkan penggalan film pertama saat adegan di kebun kopi, karena film ini benar-benar mengeksplor kembali hal yang sama. They might as well masukin flashback Ben kecil dari film pertama karena dapat membuat cerita film ini bekerja lebih baik.

Tidak ada sense of discovery, Ben dan Jody tidak terasa belajar hal yang baru di sini. Tidak ada momen seperti mereka terperangah nemuin resep kopi yang enak dari seseorang yang enggak mereka expect sebelumnya kayak di film pertama. Well, di film ini ada momen ketika Ben akhirnya ngakuin kopi buatan Brie enak, hanya saja enggak cukup believable karena di poin itu cerita ngebuild up Ben yang kehilangan Jody yang udah bareng Tarra, jadi segala Ben’s accepting towards Brie itu malah jadi kayak supaya Ben punya ‘cewek’. Menjadikan film ini semacam menegasi yang pertama, iya sih di sini mereka menyebut-nyebut aspek (dan tokoh) dari film pertama, namun Filosofi Kopi 2 –menilik dari plotnya- bisa saja bekerja sebagai origin atau malah remake dari yang pertama.

Plotnya enggak efektif. Mereka sudah sangat menarik berubah menjadi kedai kombi yang jualan berkeliling Indonesia, untuk kemudian malah kembali ke Jakarta. Setelah di sana pun terusan ceritanya adalah mereka kembali ‘jalan-jalan’ ke Jogja hingga ke Toraja. Kenapa gak sekalian cerita roadtrip aja? Motivasi yang membuat Ben dan Jody pengen balik ke Jakarta juga enggak kuat, datangnya dari anak buah yang mengundurkan diri. And speaking about that, ketika mereka balik buka filkop di Jakarta, anak buah yang tadinya berhenti malah kerja lagi bareng mereka, tanpa banyak pendekatan ataupun reasoning yang berbobot emosi – I mean, what about your dreams, Aldi? (or Didi? Amdi? Sorry didn’t really catch the name).

Pace film juga sedikit bermasalah, filmnya terasa panjang. Ada banyak adegan yang melambatkan film, dan seolah-olah rela dimasukin demi kepentingan iklan produk saja. Adegan kayak Jody masukin sabun cuci muka ke dalam tas sebelum nyusul ke Jogja sebenarnya enggak berarti apa-apa. And while we at it, kakaknya Jody juga enggak ada ngaruhnya selain mercikin sedikit komedi yang nyaris cultural. Iklan orang alias cameo juga ada, dan digunakan sebagai device yang memudahkan karakter. Kayaknya setiap persahabatan bisa langsung baikan deh kalo yang nasihatinnya adalah Joko Anwar.

Here’s for the next pitch: Filosofi Kopi v.s. Starbucks !!

 

Sempat ada sayembara menulis sekuel Filosofi Kopi, dan dua cerita pemenang kompetisi itulah yang dijadikan ide buat difilmkan. Nyatanya, Filosofi Kopi 2 terlihat seperti those good ideas, the whole of them, digabungin bersama. Emosinya gak benar-benar tersampaikan lantaran film melanglang membahas banyak. Aku bukannya mau nuduh ideku ada di sana, ataupun ideku lebih bagus, karena it was absolutey ridiculus. Ceritaku involving Ben pergi ke kontes barista sedunia jadi mereka butuh nyari barista baru, hanya saja Ben enggak sembarangan nerima orang, dia gak percaya ama kopi orang, dan cerita akhirnya resolve dengan Filosofi Kopi baik-baik saja tanpa dirinya – Jody akhirnya bisa bikin kopi juga. Resolusi cerita dalam film ini, aku gak mau spoiler banyak, mirip-mirip seperti itu, hanya saja ketika Jody melakukan sesuatu, dampaknya tidak begitu wah. Dari sisi Ben, arc nya tertahan untuk bergulir lantaran Ben dan Jody not really together di akhir cerita. It does giving something new buat karakter Ben. Film akan menjadi lebih menarik jika bagian ini datang lebih cepat, dibuild up dengan lebih matang, alih-alih menghabiskan paruh awal dengan mondar-mandir berusaha mengestablish set up yang sebenarnya toh sudah ada sejak film pertama.

 

 

 

Jika dulu masalahnya ada di rasa – penggarapan cerita Filosofi Kopi pertama enggak terasa begitu berbeda di luar tema dan premisnya, maka kali ini masalah terletak pada bahan kopi. Tapi jangan salahkan film originalnya jika sekuel enggak bisa untuk tampil lebih baik. Still, ‘kopi’ ini kemasannya mewah. Trendi. Membuatnya gampang untuk disukai. Dan orang-orang akan banyak suka ama film ini, terutama karena karakter-karakternya yang asik banget dijadiin role model. Regarding film ini, aku punya filosofi sendiri. Filosofi Piring Kopi; Dulu waktu kecil, aku selalu disaranin minum kopi di piring datar kecil yang jadi tatakan karena aku selalu membakar lidahku sendiri minum kopi yang panas. Film ini adalah piring itu, kopi atau cerita yang dituang di atasnya dengan cepat menjadi dingin, dan berkuranglah kenikmatannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 for FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GOING IN STYLE Review

“The most dangerous creation of any society is the man who has nothing to lose.”

 

 

Sebagai manusia, kita ingin hidup tenang. Terutama di masa tua. Tidak ingin dicurangi. Kita ingin mendapatkan hak sebesar kewajiban yang kita tunaikan. Enggak kurang, sukur-sukur lebih. Dan sama pentingnya dengan itu, sebagai manusia kita mau didengar, dikenang, kita ingin melakukan sesuatu yang di luar batas. Kita mau gaya. Kita mau going out with a bang.

 

Rumah Kakek Joe sebulan lagi disita, dana pensiunnya dibekukan, saat beliau mau protes ke bank, eh banknya malah dirampok. Joe dibuat terkesima dengan aksi tiga perampok muda yang sangat professional dan terkoodinir. Terutama, mereka sopan kepada penduduk senior, enggak seperti bank yang tega bikin susah hidup Joe. Enggak setetes pun darah mengucur dari peristiwa itu. “Mereka seperti menari” ia menceritakan pengalaman tersebut kepada dua sahabatnya; Kakek Willie dan Kakek Al, entah untuk keberapa kali. Kagum dapat membuat orang menjadi meniru, dan itulah tepatnya yang dilakukan oleh Joe. Merasa enggak mau kalah, dia nekat ngajakin dua sobat-nyaris-seumur idupnya untuk merampok bank yang udah screw over their life. Komedi lantas datang begitu ketiga remaja senja usia ini belajar merampok. Sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan di masa muda, bagaimana bisa mereka melakukannya sekarang ketika untuk berlari saja mereka nyaris mematahkan pinggang sendiri?

oh encok ku!!!

 

Mengambil tema yang mirip ama Hell or High Water (2016) namun mengemasnya dalam sajian komedi, film ini tampil sangat ringan. Kesubtilan hampir tidak ada dalam narasi. Aku enggak tahu apa-apa soal film ini sebelum menontonnya, kecuali bahwa Going in Style garapan Zach Braff adalah remake dari film yang premier di tahun 1979. Jadi aku siap untuk mengutuk film ini habis-habis for dia punya semua formula film-film yang hanya dibuat demi uang semata. Tapi tahukah kalian betapa susahnya ngelook down upon something kalo sesuatu tersebut sukses membuat kita tersenyum-senyum simpul diselingi ngakak dari menit-menit awal hingga penghabisan? Well, kalo enggak tahu susahnya seperti gimana, coba deh nonton film ini.

Alasan aku nonton film ini tentu saja sama dengan alasan kalian semua, karena dibintangi oleh Michael Caine, Alan Arkin, dan Morgan Freeman. Tiga gaek ini adalah LEGENDA HIDUP! Mereka sudah berakting sejak lama, they are in their 80s, dan mereka bertigalah bagian terbaik dari film ini. Melihat mereka berinteraksi seperti melihat kesempatan langka yang begitu amazing. Mereka bahkan lebih baik dari trio emas Niniek L. Karim – Widyawati – Slamet Raharjo di Sweet 20 (2017), kalo kalian masih merindukan akting bagus nan meyakinkan dari mereka, maka saat menonton Going in Style, kalian akan sangat terpuaskan. Caine, Freeman, dan Arkin terlihat beneran seperti temen lama yang tak terpisahkan, tokoh-tokoh mereka saling bergaul dengan menyakinkan. Each of them deliver komedi dan drama sama baiknya, mereka menaikkan derajat film ini.

Film tahu apa yang ia punya; tiga aktor kawakan, dan naskah benar-benar memberi kesempatan buat mereka untuk mengembangkan sisi komedi. Bagian paling kocak jelas adalah bagian ketika tiga kakek-kakek itu mutusin mereka kudu latihan jalan sebelum berlari. Yang berarti; sebelum mulai mencuri besar-besaran, mereka harus memulai dengan yang kecil-kecil dahulu; sebelum bank, mereka mutusin buat menjajal supermarket. Joe, Willie, dan Al (yang ikut karena “gak ada lo gak rame”) mencuri beberapa bahan makanan untuk makan malam mereka. There’s something very entertaining about that. Kalian tahu, adegan ini lebih kocak dari sekedar ‘kasus bad granpa’ yang biasa. Aku ngakak berat di adegan Joe dan Willie berbisik-bisik ngobrol through barisan makanan kaleng. Awalnya mereka hanya saling menatap, gak tau mesti ngapain.

Man with nothing to lose lebih berbahaya daripada man with everything to lose sebab ketika kau tidak punya apa-apa, kau tidak takut akan apapun. Joe dan teman-teman, motivasi mereka personal dan di usia yang tinggal menghitung hari, it’s practically worse scenario both ways buat mereka jika mereka tidak mengambil tindakan. Apa yang tidak mereka sadari adalah mereka juga punya segalanya; mereka punya keluarga yang tentunya akan kehilangan. Inilah yang menjadi landasan konflik drama dalam Going in Style

 

Oleh karena kalo ketangkep polisi, Joe dan kawan-kawan masih lebih beruntung ketimbang jadi gelandangan, it is still a fairly good scenario for them – bukan berarti tidak ada yang bisa bikin kita ngeroot buat keberhasilan heist gede mereka. Film enggak kehilangan akal untuk memberikan stake, memberikan beban dramatis kepada tokoh-tokohnya. Caine juga tampil meyakinkan ketika dia kudu ngetackle bagian emosional antara Joe dengan cucunya yang diperankan oleh Joey King.  Tokoh Willie diberikan motivasi berupa keinginannya untuk bertemu dengan sang cucu, namun dihambat oleh enggak punya duit buat ngobatin ginjalnya yang udah parah. Dan Al ditambat ke tanah oleh romansa. Yea, kita sudah liat tropes semacam ini sebelumnya, Going in Style enggak benar-benar memberikan gaya baru dalam usahanya untuk memaksimalkan eksplorasi drama pada narasi. Hanya saja, semua itu ditangani dengan penuh hormat dan sangat menyenangkan untuk diikuti. Kakek-kakek dalam film ini bukan sekedar grumpy dan benci ama generasi sekarang, paling enggak mereka mengerti cara menggunakan skype dan teknologi kekinian.

premis film ini bisa menjadi lelucon bar gaya baru, “tiga orang kakek masuk ke bank….”

 

Untuk sebuah film heist, Going in Style justru terasa lemah saat mereka mulai menangani bagian perampokannya. Sedikit mengganggu entertainment ringan dan menyentuh yang sudah dikembangkan.  Aku gak mau spoiler terlalu jelas, namun, Joe dan kawan-kawan enggak benar-benar ‘go’. Dan ‘style’ mereka pun terlalu gampang untuk dilaksanakan. Film ini melewatkan kesempatan untuk menjadi komentar sosial dan soal ekonomi, padahal naskah sempat menyingung beberapa.

 

 

Pada akhirnya, film ini adalah jendela kesempatan bagi aktor-aktor veteran untuk melakukan suatu yang gila. Khususnya Morgan Freeman, kita udah ngeliat dia ala-ala Hangover di Las Vegas sebelum ini, dan sekarang dia merampok bank. This is a light-hearted movie, amat menghibur, kocak level tinggi. Wajib ditonton demi ngeliat tiga legenda performing amazingly compelling acting. Chemistry di antara mereka luar biasa. Memang tidak terlalu banyak yang bisa kita ambil dari film ini, terlalu ringan dan terlalu ‘mari lakukan perampokan bank yang gila’. It could aim for more.  Tapi yah, ini adalah film tentang orang tua, untuk orang tua, dan dengan gembira stay at being that way.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for GOING IN STYLE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.

And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

FREE FIRE Review

“Guns don’t kill people.”

 

 

Siapa bermain api akan terbakar. Siapa bermain senjata api – well yea, niscaya akan ada yang tertembak. Namun, tidak seperti api, besar kecil senjata api enggak bisa jadi ukuran kawan atau lawan. Karena yang berada di balik pelatuknyalah yang menentukan. Kita dapat menyaksiksan senjata dijadikan perlindungan dari balik insecurity manusia dalam banyak film. Atau malah di dunia nyata. Free Fire amunisinya ceritanya juga sama seperti demikian, hanya saja film ini memancing rasa tertarik kita dengan hadir sebagai KOMEDI AKSI. Dan untuk menaikkan stake, film ini mengambil gudang terbengkalai tertutup sebagai medan baku-tembaknya.

Gudang tersebut dijadikan tempat ketemuan kelompok arm dealer dengan kelompok calon pembeli. Bagian perkenalan transaksi ini berjalan dengan lancar. Ada perantara dan saksi yang mencairkan suasana. Actually, kita langsung bisa meraba tone film ini dari percakapan para tokoh di kedua kubu. Mereka semua tampil keren dan eksentrik dalam cara mereka masing-masing. Tapi tentu saja, seperti matahari pada hari yang berawan, tensi yang merayap di antara kedua kelompok ini enggak bisa disembunyikan lama-lama. Sedikit mixed-up dalam barang yang dijual mulai menggoyahkan rasa percaya yang sedari awal juga udah tipis banget. Kemudian masalah personal dua di antara mereka turut hadir di atas meja, dan meledaklah tensi tadi. Mendadak dua-belas angry men dan satu cewek ini saling tembak-tembakan, beberapa ingin uang untuk dirinya sendiri, beberapa hanya ingin keluar dari tempat tersebut hidup-hidup. Singkat kata, they are starting to kill each other.

inilah hasilnya jika orang-orang yang suka ngomong F-word, ngumpul, dan dikasih pistol

 

Ada banyak humor dan candaan. Porsinya, to be honest, agak di luar perkiraanku. Yea, tone memang ngasih isyarat ini bakal jadi film aksi yang punya segudang komedi, tapi aku gak menyangka ternyata memang elemen komedilah yang jadi sentralnya. Ekspektasiku adalah film ini mirip-mirip ama Reservoir Dogs (1992)nya Quentin Tarantino; tau dong pasti, film aksi yang juga mengunci tokoh-tokohnya dalam satu ruangan. Karena set upnya memang terasa seperti itu; drama serius dengan banyak jokes. Memang enggak sampe sekonyol film kartun, sih, nyaris kayak film komedi slapstick lah. Adegan tembak-tembaknya sangat ringan dengan banyak orang mengutuk sambil merayap diiringi desingan peluru “syuut, Kling! Desh! Bum!!”. KOMIKAL DAN OVER-THE-TOP. Film ini tampaknya mau menghadirkan apa yang terjadi jika sebuah film yang fun dan mendadak semuanya menjadi nyata. Narasinya diceritakan nyaris real-time dengan kita. Di satu pihak, film ini jadi enjoyable dan sangat menghibur. Di pihak lain, film ini kayak nembak serabutan membabi buta tanpa ada peluru yang benar-benar tepat sasaran. You know, persis kayak kemampuan membidik tokoh-tokohnya yang lebih parah daripada Stormtrooper.

Di atas kertas, film ini sebenarnya cuma sebatas konsep singkat yang dipanjang-panjangin jadi film panjang. Mengetahui hal ini, sutradara Ben Wheatley cukup pinter untuk menggaet aktor-aktor mumpuni yang mampu menghidupkan tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh naskah. Aku paling suka paruh pertama dari film, set up  karakternya dibuat menarik. Malahan, sebagian besar hal-hal yang kusuka dari film ini adalah berkat permainan dari para aktor yang benar-benar sukses memberikan warna kepada tokohnya. Dialog yang diberikan kepada mereka sebenarnya cheesy dan gak spesial-spesial amat. It’s not witty or deep. Enggak membuat kita ingin mengutipnya sebagai bahan postingan pathdaily atau apa. Adalah para cast sendiri yang mengerahkan talenta dan kemampuan mereka dengan begitu tepat, sehingga peran mereka yang menarik.

Sebagian besar tokoh enggak dikasih banyak ruang untuk pengembangan. Meski begitu, aku paling tertarik sama tokoh Chris. Cillian Murphy was really great memainkan tokoh ini, dia kelihatan punya hubungan spesial dengan Justine, dan the way Murphy played out relationship yang tumbuh antara Chris dengan tokoh-tokoh lain dalam waktu singkat itu, it’s just great and really compelling. Spotlight komedi paling-kocak jatuh ke tangan Sharlto Copley sebagai pemimpin nyentrik dan egosentris kelompok penjual senjata api. Kadang kita enggak gitu mengerti ocehan si Vernon, namun kocaknya sungguh-sungguh menambah banyak buat komedi. Aku juga suka tokoh Ord (Armie Hammer jenggotan di sini) yang tampak paling clear-headed di antara semua.

Ini adalah film kedua di tahun 2017 di mana aku merasakan kecewa teramat sangat kepada Brie Larson. She was once bermain di film yang kukasih nilai 9, tapi tahun ini tampaknya jadi tahun untuk bercermin dalam memilih peran bagi Larson. Dalam Kong: Skull Island (2017) tokoh yang ia perankan enggak ngapa-ngapain selain motret dan berlari. Dalam Free Fire ini, tokoh Justine enggak lebih dari anak bawang. Tokoh ini kayak berada di luar film, it feels like she was in different movie. Larson pun memainkannya dengan datar. Dia enggak masuk sama suasana ataupun cerita.

Bukan pistol yang membunuh orang. Orang insecure yangbertindak berlebihan yang memegang pistollah yang menghilangkan nyawa. Konflik dalam Free Fire bisa berakhir sesegera orang pertama rela meletakkan senjata, menyelesaikan deal ataupun perkara pribadinya, dan semua yang terlibat di sana bisa pulang dengan riang dan sehat walafiat.

 

All-stars castnya lah yang mengangkat film ini ke level menghibur. Tapi tokoh-tokoh mereka bukan remaja yang berparade keliling kota sambil petantang petenteng pistol kayak Ricky di lagu rock “18 and Life”, para tokoh film ini adalah orang dewasa yang mestinya kompeten dalam melakukan tugas mereka. Mereka ada dalam bisnis senjata api. Mengutuk dan menembak adalah rutinitas sehari-hari. But man, they are dumb. Ada satu tokoh yang diset sebagai tokoh lugu yang ngelakuin hal-hal bego, supaya lucu, hanya saja tokoh-tokoh lainnya juga tampil enggak lebih pintar dari orang itu. Motivasi kenapa mereka harus saling menembak ditulis dengan teramat lemah sehingga terasa film ini sendiri enggak tahu harus menggali apa lagi. Aku gak mau banyak beberin; intinya sih transaksi mereka batal karena ada dua orang yang punya masalah personal serius. Things escalate quickly because of this ‘fight’. Dan ini enggak realistis. Normalnya kan mereka bisa ngomongin atau ngelarin urusan sendiri secara terpisah dan gak benar-benar harus melibatkan the whole deal. Tapi dalam film ini, semuanya berujung menarik senjata masing-masing dan mulai menembak seolah enggak ada lagi yang peduli dengan apapun selain gak-terima gengnya ‘digituin’.

“Bang, bang! Shoot ‘em all, the party never ends~”

 

Film ini bukan jenis yang sekali kena tembak, langsung mati (emangnya video game Contra!). Kemampuan para tokoh dengan sengaja ditulis minimal, sehingga peluru mereka hanya menyerempet sasaran. Dan ada banyak komedi yang datang dari sana; salah tembak atau enggak sengaja nembak cewek, misalnya. Setelah midpoint, sebagian besar tokoh sudah jatuh ke lantai. Mereka kena tembak dan sekarang merangkak nyari perlindungan ataupun nyari senjata baru. That’s the kind of action yang kita dapat. Dan tentu saja, it does drag after awhile. Wheatley memilih untuk merekam aksi tembak-tembakan menggunakan gaya handheld sehingga beberapa adegan lumayan goyang. Membuat kita kerap bingung apa yang terjadi, siapa menembak siapa. Susah sekali untuk mengetahui pasti apa yang terjadi sebab ada banyak adegan yang melibatkan orang lari ke pojokan, menembak, ngumpet, dan peluru yang mantul kepentok sesuatu.

 

 

 

 

Fun action-film yang entertaining. Cukup asik dinikmati, kita bisa nyaksiin ini dan have a good time with it. Namun di laih pihak, keputusannya untuk tampil lebih fokus ke komedi alih-alih ke aksi terbukti dapat menajdi kerugian tersendiri. Dan porsi aksinya sendiri ngedrag dan ketika enggak, susah untuk kita ikuti. Kemampuan castnya yang berhasil membuat film ini menghibur, lebih dari kualitas penulisan film ini sendiri. Bukan exactly peluru kosong yang ditembakkan oleh film ini, hanya saja memang lebih banyak melesetnya dibanding kena.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for FREE FIRE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

COLOSSAL Review

“A person who cannot give up anything, can change nothing.”

 

 

Cewek, kalo marah, bisa jadi menyeramkan kayak monster. Tapi masalahnya adalah, Gloria enggak ingat dia marah. Malah, Gloria enggak bisa ingat apa-apa dalam rentang waktu dia mabok. Penyakit kecanduan minum wanita muda ini memang sudah sampai taraf gawat, Gloria kesulitan menahan diri untuk enggak menenggak sebotol bir yang nganggur di depan matanya. Padahal hidupnya sudah nyaris berantakan lantaran kebiasaan jelek tersebut. Pacarnya udah nyerah bilang “I can’t deal with this anymore.” Maka Gloria pun kembali ke kota tempat ia dilahirkan. Ingin berbenah diri, niatnya. Di kota masa kecilnya itu dia ketemu teman lama, yang mengajak Gloria bekerja di bar miliknya untuk sementar. Namun ada waku-waktu ketika Gloria tidak ingat dia ngapain sepulang kerja. Dan kini Gloria mendapati dirinya sedang menonton berita ulangan liputan serangan monster raksasa yang memporakporandakan kota Seoul di Korea Selatan. Yang bikin Gloria heran, dan takut; dia melihat monster tersebut ngelakuin gestur gerakan yang sama dengan yang ia lakukan setiap kali dia bingung. Jadi, Gloria harus mencari tahu apa dia ada hubungannya dengan kemunculan sang monster. Apakah memang dia yang bertanggungjawab atas hilangnya ratusan nyawa korban injakan mau tersebut.

Jika biasanya film-film yang menampilkan monster raksasa penghancur kota adalah cerita tentang manusia melawan alam, di mana metaforanya berskala besar; dan monster-monster tersebut adalah cerminan dari kecemasan global, maka Colossal menghadirkan monster yang sama sekali berbeda. Kaiju gede di sini adalah manifestasi dari ketakutan satu orang; rasa insekur yang menjelma menjadi teramat besar sehingga mampu menghancurkan kehidupan di sekitar orang tersebut.

 

Pernah mandi ujan tapi airnya air sirop? Enggak pernah kan, sama, aku juga belum pernah. Tapi aku yakin rasa menyegarkannya pasti sama dengan perasaan refreshing yang kita alami ketika melihat elemen-elemen cerita film ini perlahan turun. Karena memang film ini benar-benar berbeda dan orisinil punya. I was genuinely surprised by this movie. Baru sekali ini loh ada yang ngebahas aspek monster raksasa dengan perspektif seperti yang dilakukan oleh garapan Nacho Vigalondo ini. Fantasi sci-fi yang actually sangat membumi alias personal. Monster Reptil yang muncul dan bikin panik seisi kota tersebut dijadikan sebagai lapisan terluar. Di balik elemen tersebut, sebenarnya ini adalah tentang struggle seorang wanita yang berusaha mengatasi ketergantungan terhadap alkohol; seorang wanita yang berusaha untuk menata kembali hidupnya yang porak poranda akibat ‘penyakit akut’nya itu.

Ketika kalian was-was ngeliat diri sendiri terlihat jelek pas nampil di tivi

 

Pusat semesta dari cerita ini adalah Gloria dan temen masa kecilnya, Oscar. Sebagian besar waktu akan kita habiskan nongkrong bareng mereka di bar. Kedua aktor yang memerankan mereka, untungnya, mampu mempersembahkan penampilan yang menarik sehingga elemen drama yang juga dipunya oleh film ini dapat bekerja dengan baik. We’ll get into the drama aspect later, but, Anne Hathaway is really good in this movie. Dia berikan nuansa yang berbeda dalam pengekspresian karakter Gloria. Ada banyak emosi subtle yang ia tambahkan, bukan hanya pada unsur komedi, melainkan juga ketika elemen drama datang mengambil alih. She’s damaged, pribadi yang sangat bercela, tapi kita masih merasakan simpati karena kita mengerti usaha yang dilakukan olehnya. Dan tampaknya sedikit sekali aktor yang mampu memainkan Oscar selicin yang dilakukan oleh Jason Sudeikis. Dia adalah teman sepermainan yang sudah lama enggak ketemu ama Gloria, jadi vibe alami yang dikeluarkan tokoh ini adalah sedikit-misterius. Like, gimana bisa setiap kali dia tersenyum, kita bisa menangkap makna-makna yang berbeda. Dinamika hubungan Gloria dan Oscar – dua orang ini mendadak bakal highly at odds with each other – tak pelak akan menjadi begitu penting sehingga mengambil alih fokus.

Dan di situlah ketika film mulai berjuang untuk mempertahankan atensi kita yang masih tertinggal di Korea sana.

Elemen monster dalam film ini luar biasa keren lantaran begitu berbeda. Siapa sih yang enggak demen ngeliat film yang genrenya udah punya pakem kayak film monster ini ternyata dikembangkan dengan arah dan actually punya twist yang belum pernah kita lihat sebelumnya? Kalo kalian tanya aku, aku suka sekali dengan arahan yang diambil film ini dalam ngebahas elemen tersebut. Unik. Khususnya di bagian ending, shot terakhirnya bahkan sangat apik. Namun, ketika film ini membahas elemen drama yang lebih standar, tidak lagi ia terasa sekuat saat membahas elemen fantasi. Sejujurnya, adalah langkah yang sangat berani film ini membenturkan dua tone yang berbeda. Fantasi dan drama. Komedi dan serius. Colossal tampak punya AMBISI YANG KOLOSAL demi ingin ngegabungin itu semua, gimana caranya agar cerita sesimpel cewek yang berusaha membenahi hidup dan come in terms dengan apa yang sudah ia lakukan di masa lalu, tapi dikonfrontasi oleh masa lalu itu sendiri, bisa menjadi cerita yang sangat penting dan memiliki skala gede.

Tapi benturan dua tone tersebut just don’t match up. Enggak exactly merusak kayak jika Godzilla ketemu King Kong, sih. It’s just transisi antara dua tone itu enggak sepenuhnya mulus; cerita film ini akan beralih dari yang sangat kocak dan ringan ke sangat serius dengan mendadak di mana korban-korban berjatuhan. Problem dunia yang sangat serius, tapi kemudian kita lihat monster itu menari, lalu ada ancaman banyak orang terinjak, dan kemudian blank, it’s just doesn’t match up very well.

just.. drink it in, maaaan!

 

‘MENDADAK’ adalah kata kunci yang dipakai film ini untuk menjembatani tone-tone tersebut. Karakter Oscar adalah contoh berikutnya dari clashed tone yang hasil dari perantaraan si ‘mendadak’ ini. Dalam satu adegan, Oscar terlihat sangat perhatian. Dia baik, dia mengerti, dia peduli sekali. Membuat kita ingin gabung juga ke bar miliknya setiap kali ada masalah. Di hari berikutnya, senyum orang ini seperti punya makna yang lain, dia tampak seperti pembunuh berantai psikopat yang menakutkan dan sangat berbahaya. Kita enggak bisa tahu apa persisnya yang dipikirkan oleh kepala orang ini. Perubahannya begitu tiba-tiba sehingga seolah aku cabut ke kamar kecil di tengah-tengah film. Tapi enggak. Aku enggak melewatkan adegan Oscar membuat pilihan yang mengubah segala hal tentang karakternya. Perubahan tokoh ini memang sangat drastis, dan film ini menjadikan ‘mendadak’nya itu sebagai hal atau simbolisme yang penting di dalam narasi. Did it work tho? Well, obviously, not so much.

Ada satu pasang tone lagi yang buatku terasa enggak klop; Anne Hathaway dengan orang mabok! Hihi, I mean, look at her. Hathaway cantik banget dengan rambut lebat bergelombang dan senyum tigajari, dia tetap cantik seperti itu bahkan ketika dia hangover berat. Susah untuk percaya bahwa Gloria adalah seorang pecandu alkohol. Gloria akan lupa daratan; ia gak ingat waktu, dia alpa dan kesulitan mengingat kejadian ataupun sekedar apa yang dia ucapkan tadi malam, tapi tetep aja cewek ini terlihat menakjubkan. Alih-alih terlihat sebagai pemabok yang kerap terjatuh di lubang yang sama, tokoh ini lebih terlihat kayak cewek kuliahan yang sengaja dijelek-jelekin untuk menghindari masalah hidup.

Monster itu, anehnya, juga adalah simbol dari keberdayaan sebagai seorang manusia. Sebagai monster, Gloria menghancurkan apa saja yang di depannya, tapi tidak sekalipun monster itu menengok ke bawah. Tapi itu sebelum dia menyadari bahwa kekuatan datang bukan dari keinginan besar untuk menghancurkan, melainkan dari keinginan kecil untuk melawan; melawan alkohol, melawan trauma masa lalu. Keinginan kecil untuk meninggalkan kebiasaan, meskipun jika hal tersebut adalah sebagian kecil dari dirinya.

 

 

 

Metafora campur-campur, penceritaan yang kerap bersilih fokus dari satu tone ke tone lain yang really clash out, semua itu pada akhirnya bisa termaafkan lantaran film ini benar-benar orisinil dan sangat berbeda. Elemen fantasi sci-finya sangat menyenangkan. Kocak dan dibarengi dengan drama serius. Ia dihidupkan oleh penampilan yang bagus, meskipun kadang sedikit tidak berimbang antara kebutuhan narasi dengan penyampaian. Tapinya lagi, aku sangat merekomendasikan, tonton film ini duluan jika kalian punya waktu luang, karena film ini juga ngajarin yang kecil-kecil bisa berdampak besar. Apresiasi kecil dari kita bisa membuat film kreatif ini jadi gede, dan siapa tahu, bakal bermunculan cerita-cerita orisinal lain yang berani dan ambisius seperti film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for COLOSSAL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

STIP & PENSIL Review

“It’s easy to look sharp when you haven’t done any work.”

 

 

Banyak yang menyerukan hapuskan kesenjangan, namun ketika si kaya melakukan hal yang baik, kita masih menudingnya sebagai pencitraan. Saat kita berbuat salah, kita masih suka membela diri atas nama kemiskinan, seolah dengan menjadi orang susah berarti kita lemah dan punya alasan untuk melakukan ‘pemerasan kecil-kecilan’ kayak yang dilakukan oleh ibu pemilik warung dalam film ini. Orang miskin tidak perlu hal lain karena masalah kita satu-satunya adalah uang. And in turn, ketika kita beneran punya duit rada lebihan dikit aja, kita suka melempar uang gitu aja kepada masalah. It seems like, kita sengaja membuat gap antara miskin dan kaya. Tanpa sadar kita sendiri yang menulis kesenjangan dengan memanfaatkan dinamika unik yang tercipta oleh uang.

Menyinggung masalah sosial paling asik memang lewat nada komedi. Stip & Pensil mengerti ini dan melakukan kerja yang sangat luar biasa dalam mempersembahkan dirinya sebagai parodi. Yea, this film WORKS BEST AS A PARODY. Celetukan lucu terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Tentang dinamika antara si kaya dan si miskin, as kita sebagai penonton ditempatkan di tengah-tengah kelas yang saling kontras ini. Gedung sekolah darurat dan kampung kumuh bisa bekerja sebagai simbol dunia pendidikan yang mulai kotor oleh kepentingan. Tawa yang dihasilkan film adalah tawa yang menyentil kita dengan akrabnya.

Pelaku dalam cerita ini adalah satu geng anak SMA yang dijauhin dan disirikin sama teman-teman yang lain lantaran mereka berasal dari keluarga yang tajir mampus. Toni (Ernest Prakasa nampak paling tua namun naskah mampu berkelit memberikan alasan) dan tiga sohibnya; Bubu yang cakep namun telmi (Tatjana Saphira memainkan perannya dengan gemesin), Saras yang manis namun hobi ngelempar kursi (dari empat, Indah Permatasari yang kualitas aktingnya paling menonjol), dan Aghi yang paling ‘waras’ namun gak banyak berbuat apa-apa (aku bahkan gak yakin tokohnya Ardit Erwandha ini punya karakter), mereka layaknya anak sekolahan mendapat tugas menulis essay sosial. Setelah bertemu dengan, atau lebih tepatnya dikibulin oleh, seorang anak jalanan, mereka kemudian memutuskan untuk mengambil topik pendidikan di daerah pinggiran, tampat anak-anak jalanan tadi tinggal. Pada awalnya, tentu saja remaja kaya ini menyangka semuanya bakal segampang ngibasin duit, tetapi cibiran, tuduhan, dan prasangka dari teman-teman sekelas membuat mereka nekat terjun langsung ke lapangan. Karena terus diprovokasi, Toni malah kepancing emosi buat bikin sekolah darurat di kampung kumuh tersebut! Jadilah mereka sepulang sekolah harus ngajar ke sekolah bikinan sendiri, mereka kudu nanganin warga kampung yang enggak peduli amat sama dunia pendidikan, bahkan mereka wajib membujuk anak-anak jalanan dengan duit sebelum anak-anak itu mau diajari membaca oleh mereka.

they are not strangers if they drove fancy cars.

 

Walaupun dirinya adalah suguhan komedi dengan tone yang ringan, bukan berarti film ini tidak mempunyai urgensi di dalam ceritanya. Stip & Pensil tidak kalah penting dibandingkan A Copy of My Mind (2016). Dialog-dialognya diolah dengan cerdas sehingga bisa memuat tema dan isu-isu yang relevan, dan menyampaikannya dengan lancar. Komedi film ini bahkan lebih efektif dibandingkan Buka’an 8 (2017) yang juga berusaha memuat banyak singgungan terhadap tema sosial. Dengan sukses menggambarkan karakter masyarakat masa kini yang suka berlindung dengan mental kelas bawah meski enggak malu-malu untuk menunjukkan arogansi kelas atas, tanpa terasa terlalu menggurui. Film akan memaparkan kita dengan kenyataan, yang dikemas dengan konyol, dan kita menerimanya sebagai fakta. Sebagai fenomena yang benar-benar terjadi di masyarakat.

Semua orang mau yang gampang. Buat apa kerja, mendingan langsung dikasih duit saja. Tapi di film ini kita melihat anak-anak jalanan yang tak mau belajar tersebut kerepotan mencari jalan saat dikejar petugas lantaran mereka enggak bisa membaca tulisan-tulisan ‘jalan ini ditutup’ di tembok. Di lain pihak, yang punya duit mikirnya, buat apa repot-repot, tinggal bayar semua beres. Antara kerja langsung dengan membayar, bedanya hanya dignity. Ibarat pensil; pensil yang paling panjang dan paling runcing adalah pensil yang tidak melakukan apa-apa. Inilah yang dirasakan Toni cs ketika mereka harus bersusah-susah menjaga dan mengaktifkan sekolah bikinan mereka.

 

 

Cerita seperti ini sebenarnya cukup tricky untuk digarap. Parodi dengan banyak isu, artinya mereka enggak bisa terpaku kepada satu karakter tertentu. Dan lagi, the closest thing we have to protagonists pada film ini adalah kelompok remaja kaya yang menyabotase pagelaran seni sekolah demi mendapat perhatian. It is hard enough buat kita menumbuhkan kepedulian kepada mereka. Apalagi ketika keempat anak SMA ini tidak diberikan penokohan yang benar-benar berarti. Pengembangannya tipis, mereka share the same trait dengan elemen komikal sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Motivasi mereka enggak sepenuhnya terasa jujur, karena pihak ‘antagonis’ film ini toh punya poin yang bagus about them, dan kita bisa melihat praduga mereka benar, so yea, yang berusaha aku bilang adalah kita akan masuk ke dalam narasi tanpa ada hook yang kuat. We just go in sebab segala adegan dan dialog ditangani dengan kocak dan nyata, sehingga kita ingin melihat lebih lanjut. At times, kita malah ingin melihat di luar karakter utama karena tokoh-tokoh penghuni kampung yang dibuat lebih berwarna. Dan film ini memberikan mereka kepada kita; menjelang akhir ada pergantian perspektif di mana kita melihat penghuni kampung bekerja sama menghadapi penggusuran, which is some nice sight to see, akan tetapi membuat kita bertanya; ke mana Toni dan kawan-kawan, kenapa di peristiwa penting begini mereka malah absen?

See? Masalah terbesar yang menahan Stip & Pensil bukan pada penulisan, not necessarily ada pada penokohan, melainkan terletak pada struktur cerita; pada bagaimana film ini menceritakan dirinya. Separuh bagian pertama penuh oleh adegan-adegan lucu yang seputar pendirian sekolah darurat dan tantangan kegiatan belajar mengajar di sana, tetapi ‘the real meat’ datang dengan rada telat. Maksudku, kita ingin melihat remaja-remaja SMA yang kaya tersebut bonding dengan bocah-bocah pengamen, kita ingin melihat gimana mereka work it out dengan neighborhood yang belum pernah mereka tapaki sebelumnya, kita ingin lihat gimana mereka actually mengajar di kelas, dan rasanya akan lama sekali sebelum kita mencapai bagian ini.

Dan begitu elemen tersebut sudah masuk — aku menyangka paruh akhir akan lebih menyenangkan lagi – film malah memberi kita penyelesaian yang terburu-buru. Semuanya terasa rushed dan dipermudah. Mereka mungkin seharusnya tidak membuat kita invest so much kepada Toni dan kawan-kawan, karena toh ada pergantian perspektif, dan Toni enggak benar-benar menyelesaikan apapun. Pun begitu, film malah menambah elemen baru, drama kok-elo-naksir-si-anu-sih-kan-gue-yang-suka itu misalnya, yang pada akhirnya juga diselesaikan dengan abrupt. Aku juga merasakan masalah ‘masuk terlalu lambat, diselesaikan dengan terlalu cepat’ yang sama juga menghantui A Copy of My Mind, namun paling enggak dalam film tersebut tidak ada penambahan elemen mendadak ataupun pergantian sudut pandang.

karena tidak ada persahabatan tanpa fists bump.

 

Setiap dialog mengandung lelucon yang berhasil diintegralkan dengan mulus. Tapi masih ada juga bagian yang serta merta ada buat kepentingan tawa semata. Sama seperti bagian drama cinta remaja yang kusebut di atas, yang eksistensinya cuma buat menarik perhatian penonton. Dan kadang-kadang, antara satu lelucon dengan lelucon lain, terasa enggak make sense – enggak klop logikanya. Misalnya adegan tenda; aku enggak ngerti kenapa mereka yang anak-anak orang kaya cuma bisa nyewa satu tenda, aku enggak ngerti kenapa mereka enggak tidur di dalam sekolah darurat saja alih-alih di pekarangan luarnya, dan aku enggak ngerti kenapa Saras jadi histeris heboh ngeliat tikus padahal bukankah di adegan pembuka kita melihatnya mengancam panitia di belakang panggung sekolah dengan literally mengayun-ayunkan tikus di depan wajahnya.

 

 

 

Komedi yang cerdas dan bekerja dengan highly effective menjadikan film ini tontonan yang tidak hanya menghibur, namun juga sarat isi. Bicara soal bullying, persahabatan, status sosial, prasangka, semua materi dipikirkan dan digodok bersama humor dengan sangat matang. Kuat di bagian ‘apa’, sayangnya film ini runtuh di ‘bagaimana’. Semestinya pensil itu digunakan untuk menulis ulang struktur sehingga bagian penyelesaiannya tidak terburu-buru dan tidak dipermudah. Sebagaimana setip itu mestinya digunakan untuk menghapus elemen-elemen yang dimasukkan just for the audience.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for STIP & PENSIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

DANUR: I CAN SEE GHOSTS Review

“A friend in need is a friend indeed”

 

 

Siapa sih yang enggak pengen punya sobat hantu yang baik hati. Gagasan memiliki seorang yang deket dengan kita, yang selalu ada, terlebih jika ia punya kemampuan ajaib kayak Om Jin sehingga bisa membantu dalam masalah penting maupun enggak penting, selalu sukses menjadi bahan lamunan yang menarik. Apalagi buat anak kecil kesepian seperti Risa. Ditinggal ayah dan ibu bekerja seharian membuat Risa begitu mendambakan kehadiran teman bermain. Maka, di malam ulangtahun kedelapan yang ia rayakan sendirian di rumahnya yang gede, Risa meniupkan permintaan polos dan lugu, “Aku ingin punya teman”

Memanfaatkan cerita yang berasal dari kisah nyata, like, there’s actually a person in Bandung named Risa Saraswati yang berteman beneran dengan hantu-hantu anak kecil; dia membukukan pengalamannya yang kemudian diadaptasi ke layar lebar, film ini membuat banyak materi menarik untuk promosi. Film ini dikabarkan ditulis ulang, posternya pun diganti, sesuai dengan permintaan hantu yang difilmkan. Well, sepertinya setelah ada film horor yang diproduseri oleh anak kecil, sekarang kita juga punya horor yang diproduseri oleh hantu anak kecil..
Prilly Latuconsina yang memerankan Risa Remaja, menurut laporan film ini, meminta dibukakan mata batinnya supaya ia bisa lebih mendalami karakter yang dia perankan. Dan saat premier film, lima kursi kosong beralas kain putih disediakan di sebelah Prilly, menandakan ada lima ‘undangan spesial’ hadir menyaksikan filmnya. It’s actually menarik melihat UPAYA YANG BEGITU BESAR DALAM MEMPROMOSIKAN FILM HOROR INI. Ah, seandainya ide kreatif yang berlebih tersebut diarahkan untuk membuat film yang lebih berbobot dan lebih enak untuk ditonton.

Sekalian aja kasih promo “reviewer yang ngasi nilai jelek bakal disatroni Peter dan teman-teman”

 

Risa bermain piano sambil menangis sebagai pembuka film adalah adegan yang beneran unsettling. It’s a great scene yang ditangani dengan kompeten, kita ngerasain takut dan bingung, Prilly ngesold tokohnya dengan sangat baik. Actually, walaupun enggak banyak yang bisa dilakukan terhadap karakter Risa dan lain-lain, karena memang ditulis seadanya – polos tanpa penokohan yang berarti, Prilly most of the time berhasil menyampaikan perasaan yang dialami oleh Risa kepada kita. Dia adalah salah satu dari dua bagian terbaik di film ini, namun perlu diingat that’s not really a great achievement buat film ini. Bagian terbaik lainnya adalah penampilan dari Shareefa Daanish yang sekali lagi bermain sebagai tokoh yang amat sangat bikin merinding. Enggak perlu banyak-banyak dipoles, kalo aku dipelototin Shareefa dengan cara yang sama dengan cara Asih memandangi Risa, maka niscaya aku bakal lari pontang-panting. Dia bisa jadi Ratu Horor modern sinema tanah air, namun aku jadi kasian juga kalo-kao Shareefa Daanish enggak bisa move on dari peran peran creepy seperti ini, she’s actually a decent actress.

Slightly good performances enggak lantas membuat film jadi ikut slightly good. Begitupun penampakan hantu yang menggebu enggak seketika bikin film horor menjadi bagus. Genre horor Indonesia mestinya segera melek dan menyadari bahwa horor yang benar-benar nyeremin itu datangnya dari psikologis manusia, bukan semata dari wujud hantu yang berdarah-darah. Horor terbaik selalu adalah cerita yang menggali trauma psikologi, seperti The Shining (1980), The Babadook (2014), atau The Devil’s Candy yang tayang baru-baru ini (2017). Pada Danur, mereka semestinya bisa mengeksplorasi cerita tentang keadaan mental anak yang setiap hari sendirian di rumah. Bisa ditambahkan layer tentang eksistensi Peter dan teman-temannya yang dapat dikaji sebagai fragmen dari imajinasi Risa yang terlalu nyata. Cerita film ini bisa banget berkembang ke arah psikologikal. Akan tetapi, film lebih ngikut ke saran Pak Ujang “Lebih baik langsung panggil dukun saja”, karena sepertinya mereka takut film ini nanti akan jadi lebih berisi.

Babak pertama sepenuhnya didedikasikan buat Risa kecil berkenalan dengan Peter dan dua hantu cilik lain. Diceritakan dengan cerewet lewat narasi voice-over ketimbang mengefektifkan visual storytelling. Penanganan terhadap detil sutradara Awi Suryadi enggak dimanfaatkan maksimal di sini. Padahal adegan bayangan hantu yang beberapa kali ditampilkan cukup serem. Aku juga suka ketika Peter menyebut Jepang dengan Nippon, seperti yang dilakukan orang Belanda beneran pada masa penjajahan.

Tetapi film menemukan zona nyamannya pada orang yang berteriak-teriak memanggil nama keluarganya yang hilang, serta pada jumpscares dengan volume musik yang maksimal. Tidak banyak yang dilakukan oleh Risa ataupun tokoh lain selain kaget, mencari-cari, dan diculik. Risa kecil bakalan mengetahui siapa teman-teman barunya, dan dia akan kaget bersamaan dengan kita belajar apa arti kata ‘Danur’. Dan babak kedua berlanjut dengan Risa yang sudah remaja balik ke rumah itu lagi, kali ini dia ngerawat neneknya yang sakit barengan Riri adiknya. Kemudian Riri juga ngalamin kejadian yang sama dengan Risa sewaktu kecil, Riri berteman dengan makhlus halus lain, hanya saja temannya ini jahat. Riri diculik dan Risa harus mencari adeknya. Sesuatu yang tidak-bisa ia lakukan tanpa bantuan teman-teman lamanya, of course.

hantu-hantu yang lucuu, ke mana engkau terbang?

 

Kita memang enggak bisa ngeliat Peter beneran, tapi kita tentunya bisa dong ngeliat betapa kacaunya skenario film ini. Para tokoh tidak punya motivasi. Tidak ada actual plot. Jikapun ada, seperti Risa, hanya ditulis setipis uban nenek; seharusnya ini adalah tentang anak yang ingin punya teman, tapi yang ia dapat adalah teman hantu. Kita akan melihat arc Risa resolves menjadi dia mensyukuri apa yang ia punya, namun perjalanannya tidak pernah terasa meyakinkan. Ataupun menyeramkan. Film ini lebih ke ngebuild up keberadaan jahat penghuni pohon angker alih-alih pertemanan tulus nan indah yang terjalin antara makhluk beda dunia.

Seberapa jauh kita mengenal teman-teman kita? Bagaimana jika kita tahu rahasia terdalam dan tergelap mereka, apakah kita masih mau berteman dengan mereka? Film Danur bisa kita lihat sebagai kisah seorang anak yang menemukan arti persahabatan. Bahwa teman bukan hanya company untuk bermain dan bersuka ria. Teman yang sebenarnya adalah teman yang ada di sana kala kita membutuhkan mereka.

 

 

Tampak AWI SURYADI SUDAH MENEMUKAN FORMULA HORORNYA. Jika kita tilik, Danur punya ‘tubuh bercerita’ yang sama persis dengan Badoet (2015). It’s about anak-anak yang tertarik sama makhluk astral, kemudian anak tersebut dikendalikan – atau diculik, terus ada flashback tragis si hantu jahat semasa hidup yang dikecam oleh masyarakat, dan kemudian protagonis akan menemukan cara simpel untuk mengalahkannya, yang bakal berhubungan dengan tempat dan benda tertentu. Kita bisa ngeoverlook ini pada Badoet, yah termaafkan sehingga bisa masuk level ‘bisa-lebih-baik-lagi alias 6 dari 10 bintang’ karena film itu actually memanfaatkan set apartemen dan gimmick badut dengan efektif. Yang dilakukan Awi pada Danur, however, cuma hal-hal generik yang sudah lumrah kita temukan di film horor. Pada Badoet, final ‘big-confrontation’nya berlangsung dengan bahaya pada tokoh hanya berupa tangan yang lecet kena sekop. Pada Danur, finalnya terasa sangat gampang dengan tersandung dan pergelangan kaki tegores sebagai rintangan utama.

Tidak ada hal menarik original yang kita temukan di Danur. Film ini penuh oleh tropes dan elemen-elemen dari film horor lain. Badoet juga niruin film lain sih, but this time I won’t fall for that again. Asih di Danur tampak seperti Sadako, apa yang ia lakukan dalam menakuti kayak yang dilakukan Sadako di Ring (juga kayak Samara di sekuel Ring versi Amerika, sampe ke bak mandinya), even mulut nganga Asih ekspresinya mirip ama tampang korban Sadako. Bel di tangan nenek yang sakit is very well be elemen yang dicomot dari The Uninvited (2009). Seriously, kepentingan tokoh nenek ini apaan sih? Dia sakit apa juga gak disingggung, yang kita tahu hanyalah si nenek gak bisa bicara karena dia takut make upnya yang kayak kulit Groot jadi rusak. Bagian permohonan Risa kecil yang terwujud ngingetin kita sama Krampus (2015) atau Home Alone (1990). Dan perjalanan Risa ke dunia lain di babak ketiga udah kayak pengadeganan parody dari franchise Insidious.

On a lighter note, aku ada sedikit saran buat kalian:

kalo-kalo ada yang punya kemampuan ‘melihat’ seperti Risa, maka janganlah sekali-kali menjawab pertanyaan wawancara kerja dengan begini:
Interviewer: “Apa kelebihan Anda?”
Kamu: ( berbisik dramatis) “I see things that nobody else sees…”
I did try it once, you know, buat cairin suasana, and the interview didn’t go well hhihi

 

 

Kalian tahu kalian sudah bikin kerja yang buruk jika film horor yang kalian buat malah bikin penonton di studio ketawa ngakak. Syut Asih yang berdiri diam di mana-mana tidak bisa terus-terusan seram. Adegan horor haruslah ada build up, enggak bisa melulu dikasih klimaks penampakan jeng-jeng!

Film ini berusaha terlihat berkonten lokal dengan lagu tradisional Boneka Abdi, namun bahkan lagu tersebut overused; di lima-belas menit pertama saja kita sudah mendengar lagu ini lebih dari tiga kali. Aura mistis dan nuansa misterinya jadi hilang. Awi Suryadi juga ingin menggunakan formula yang sama dengan Badoet yang moderately sukses, but formula tersebut sejatinya enggak bagus-bagus amat sedari awal, dan di film ini terbukti gagal. Ada menaruh perhatian pada detil, sayangnya malah mengisi dengan tropes dan jumpscares dan elemen film lain tanpa ada penggalian yang baru, membuat film ini jadi enggak berbobot. Tidak ada layer, karakter serta plot yang tipis, perspektif Risa disia-siakan. Jika kalian mengharapkan horor yang membahas pertemanan dua alam yang benar-benar menyentuh dan grounded, kalian tidak akan mendapatkannya di sini. Dan sehubungan dalam semangat Hari Film Nasional, sepertinya sudah tiba waktu bagi film Indonesia, dalam kasus ini film horor, untuk menganggap kritikus dan reviewer sama seperti Peter; sebagai teman yang sekalipun menyeramkan, namun sejatinya hanya ingin membantu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DANUR: I CAN SEE GHOSTS

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

POWER RANGERS Review

“Don’t expect to see a change if you don’t make one.”

 

 

Ayayayay, Zordon! Mereka sekali lagi membuat reboot dari acara tv anak-anak jadul dengan nuansa yang cukup kelam dan karena mereka ingin membangun franchise yang baru jadi kita harus duduk dulu mantengin cerita asal muasal sebelum kita dapat bagian aksi penuh nostalgia yang notabene hanya porsi itulah yang mendorong kita buat datang ke bioskop. Jadi, gimana nih Zordon? Kita pasti nonton dong ya?! Yayayaya!!

Buat anak-anak yang gede di tahun 90an, Power Rangers bisa jadi adalah bagian yang tak-terpisahkan dari kenangan masa kecil. I mean, setiap anak cowok pasti pengen jadi kayak Tommy si Ranger Hijau. And their first crush pastilah Kimberly. I know I did haha.. Dulu aku dan temen-temenku setiap sore keluar pake kaos warna-warni dan kami main Power Rangers, berantem-berantem di rumput. Ada juga yang kebagian jadi monster. Ceritanya kami karang bareng, bahkan karena yang main terlalu banyak, kami sampai nyiptain Ranger sendiri, kayak Ranger Orange atau Ungu. Yang cewek-cewek pun akhirnya ikutan main, dan karena kehabisan warna, kami bikin cerita tentang Power Rangers yang ketemu sama geng Sailor Moon.

It was so fun back then, jungkir-jungkir balik, mengangguk-angguk, meng’wush-wush’ setiap pukulan karena memang begitulah film Power Rangers. Over-the-top, seratuspersen hiburan, dan filmnya sendiri benar-benar nikmatin memposisikan diri sebagai personifikasi dua kata tersebut: Fun dan Lebay. Film pertamanya yang keluar tahun 1993 was so bad it’s good. Jadi aku masuk ke bioskop nonton versi reboot ini dengan girang, expecting hal cheesy yang sama, dan turns out aku mendapat lebih. Dan sayangnya aku enggak bisa bener-bener bersuara bulat bilang aku suka sama film ini.

Sincerely yours, The Power Rangers Club

 

Adegan pembuka film ini terlihat menjanjikan. Tim Power Rangers yang dipimpin oleh Ranger Merah Zordon kalah telak. Salah satu teman mereka, Ranger Hijau Rita Repulsa, turn on against them dan pada detik-detik krusial, meteor menghantam medan pertempuran – memisahkan Zordon dan Rita, dan kita dibawa ke masa kini. Mengetahui Rita akan bangkit dan kembali menghancurkan dunia dengan kekuatan emasnya, Zordon berusaha mencari pasukan Power Rangers yang baru. Unfortunately for Zordon, lima orang yang berhasil menemukan koin morphingnya, lima manusia yang pantas menyandang kekuatan sebagai Rangers, ternyata adalah remaja. Masih anak kemaren sore yang labil, dengan segala masalah dunia darah muda mereka. Jadi mereka perlu digembleng terlebih dahulu. Kita akan melihat kelima tokoh kita berusaha untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa persahabatan. Karena bukan saja mereka tidak mengenal satu sama lain, masing-masing mereka actually adalah anak-anak bermasalah dengan mental either pemberontak ataupun terlalu indiviualistis.

Ini seperti film The Breakfast Club (1985) mendapat kekuataan berubah wujud dan menjadi Chronicles (2012), dan kemudian bertarung dengan robot-robot seperti di Pacific Rim (2013).

 

Power Rangers garapan Dean Israelite bukan hanya berjuang pada konsistensi naskah, namun juga kesulitan buat nentuin pijakan ke mana film ini akan dijual. Babak pertama dan kedua Power Rangers terasa LEBIH COCOK BUAT DITONTON OLEH REMAJA yang udah lumayan dewasa, karena there’s no way anak kecil bisa betah dicekokin cerita pengembangan karakter dengan pacing seperti ini. Sedangkan babak terakhir adalah big-action total yang enggak peduli lagi sama kedaleman tokoh dan lain-lain. But actually, dua babak pertama itulah yang jadi bagian favoritku. Iya, film ini niru The Breakfast Club dengan tokoh-tokoh kita kena detensi segala macem, namun selama itu jadi alasan supaya para tokoh ini jadi punya karakter dan backstory, aku toh seneng-seneng aja. Paling enggak, filmnya sendiri jadi jauh lebih berbobot ketimbang Kong Skull Island (2017). Kalo ada orangtua yang ngajak anak-anak kecil nonton film ini, maka mereka pastilah canggung ketika film ngebahas siapa para tokoh. Mereka bukan the perfect hero, mereka remaja bermasalah, like in, masalah yang lebih dewasa. And in the end, orangtua dan anak kecil pada sepakat mereka ingin film ini cepet-cepet beralih ke adegan robot berantem melawan monster.

Jason adalah atlet sekolah yang udah ngecewain ayahnya lantaran ketangkep tangan dalam sebuah tindak prank, dan sekarang kelangsungan prestasinya dipertaruhkan. Kimberly dijauhin oleh temen-temen setelah insiden penyebaran foto tak-senonoh. Zack adalah penyendiri yang salah-dimengerti oleh orang lain, dia actually taking care ibunya yang sedang sakit. Triny adalah anak baru yang rebelling against semua stereotipe, dan film ini berani banget mengangkat Triny sebagai pahlawan anak-anak yang openly admit that she’s gay. Dan sebagai heart of the group, ada Billy; autis, korban bully, kena detensi lantaran kotak makan siangnya meledak. Film benar-benar menyempatkan waktu supaya karakter kelima anak ini terbangun dengan baik, sehingga pada akhirnya kita memang menjadi peduli kepada mereka. Menjadi Ranger enggak sekonyong-konyong bisa berubah dan bertarung, kita akan melihat mereka kesusahan untuk berubah. Mereka gagal bekerja sebagai sebuah tim, di sinilah letak hook cerita; tentang gimana remaja ini berusaha saling mengenal satu sama lain, despite of their angst and their problems. Kita terinvest kepada mereka, momen saat mereka beneran bisa berubah (and that’s not until 90 minute into this movie) terasa sangat menghentak.

Adegan api unggun semestinya adalah salah satu adegan terpenting di film ini, namun sayangnya adegan tersebut tidak terasa lebih dari sekedar tiruan The Breakfast Club. Alasan kenapa dalam Power Rangers development karakter seperti begini tidak maksimal adalah karena ada perbedaan kebutuhan tokoh dari kedua film ini. Pada The Breakfast Club, remaja-remaja tersebut kudu bisa melihat bahwa di balik label mereka adalah pribadi yang sama, so in the end they wear the labels proudly together karena mereka tahu label-label tersebut tidak berarti apa-apa. Pada Power Rangers, label ini coba diaddress but it doesn’t do anything karena pada akhirnya para tokoh menggunakan topeng untuk menutupinya. Mereka berubah, literally, mereka mencari sisi baik dari sifat mereka. Mereka enggak bisa berubah, sebelum mengubah ‘diri’ mereka masing-masing. They hide their labels instead.

 

Sebagaimana terdapat shot-shot yang diambil dengan keren – aku suka kerja kamera yang acapkali bikin kita ngerasa so-in-the-moment – penampilan akting para pemain yang kece pun cukup mumpuni. Enggak ada yang keliatan kayak akting level FTV. Mereka semua capable menyampaikan emosi meskipun memang penulisan ceritanya tidak pernah berhasil menjadi sesuatu yang punya dampak yang kuat. Ada begitu BANYAK PERGANTIAN TONE yang membuat cerita ini menjadi labil; ini mau serius apa gimana sih? Kayak di pembuka tadi, image api ledakan meteor terdissolve menjadi lambang tim sekolah dan menit berikutnya kita dapet adegan konyol soal Jason yang ‘memerah’ sapi jantan. Duh! Atau ketika setelah magnificent momen kita ngeliat Zord dan para Ranger bersiap, kita lantas disuguhi adegan Zack yang diem-diem nyobain zordnya, menghancurkan pegunungan for no reason. Di satu saat kita coba dibuat terenyuh oleh pengakuan dan rasa bersalah Kimberly, dan di saat lainnya kita diliatin Rita Repulsa sedang mengunyah donat. Film ini berpindah dari serius ke sepele tanpa tedeng aling-aling, dan itu bukanlah gimana film yang bagus dibuat.

Bicara soal Rita Repulsa, Elizabeth Banks bermain cukup total sebagai penjahat utama. Penampakannya nyeremin. Tapi ada yang kurang pada tokohnya ini. Dengan pahlawan kita yang enggak lurus-lurus amat, Rita juga enggak terasa terlalu jahat. Motifnya standar, dia enggak benar-benar ngelakuin hal yang membuatnya menjadi sosok penjahat yang berbeda. Sukur waktu Rita kalah dan ditampar ke luar angkasa, film ini enggak ngebikinnya kayak adegan kekalahan Team Rocket di kartun Pokemon hhihi

Goldar “Crush” is about to visit the Suplex City

 

Action yang kita tunggu-tunggu dateng barengan sama perasaan nostalgia. Ada sensasi di hati begitu lagu tema Power Rangers terdengar. Aku ngikik ngeliat mereka berantem sambil nyeletuk-nyeletuk lucu. Aku terlonjak ngeliat ‘the real’ Tommy dan Kimberly muncul sebagai cameo di menjelang akhir. Koreografi berantemnya terlihat menyenangkan dan power ranger banget. Aku pada akhirnya bisa memaklumi perihal penampakan kostum baru mereka yang tampak terlalu ngerobot, karena ternyata film berhasil ngejual aspek kostum ini sebagai sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh Rangers. Efeknya juga keren. Terlihat berat beneran. Saat mereka lari dari markas ke mulut goa, aku kepikiran kayaknya berat banget memakai kostum tersebut.

Dan memang hanya nostalgialah yang jadi andelan babak ketiga. Segala build up tuntas remeh begitu saja. Adegannya memang seru namun tidak ada apa-apa lagi di sana. Standar huge-explosive-big-fight-scene. Penampakan Zordnya aneh, aku heran kenapa zord Ranger Hitam bukan Mastodon kayak di original. Megazordnya terlihat rapuh dan enggak gagah. Begitu juga dengan Goldar. Karakter-karakternya juga mundur jadi cheesy. Bagian inilah yang paling mudah dinikmati oleh anak kecil, karena yang kayak beginilah the real Power Rangers. But at this point, kita sudah nunggu terlalu lama, capek oleh pergantian warna cerita, sehingga kita enggak bisa lebih peduli.

 

 
Ini adalah action superhero movie yang cukup seru. Berusaha menjadi dewasa, meski tidak menyumbangkan hal yang baru dalam elemen berceritanya. Dari semua remaja berattitude tersebut, Ranger favoritku adalah Triny, si basketcase of the group. CGI bekerja lumayan baik, tampilan Zordon, Alpha, dan kostum Rangernya keren dan terlihat kekinian. Zord, robot, dan monster, sebaliknya, terlihat parah dan generic. Jika saja film ini ‘tahu diri’, jika saja film ini tidak terlalu banyak berganti-ganti tone, jika saja film ini enggak labil dan masukin banyak elemen film lain yang lebih sukses, kita akan bisa lebih mengapresiasinya. But no, jurus Megazord melawan Goldar adalah German Suplex, kayak di film Dangal (2016), aku enggak ngerti kenapa jurusnya mesti itu; tokohnya enggak ada yang pegulat padahal. Film ini kesulitan bahkan untuk mastiin buat siapa dirinya dibuat. Mestinya Jason dan teman-teman belajar berubah dari film ini, karena ada begitu banyak perubahan tone di sepanjang narasi. Alih-alih menjadi fun dan cheesy seperti biasa, film ini berubah menjadi dua hal lagi; aneh dan sedikit tidak-nyaman untuk ditonton.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for POWER RANGERS.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.