THE SUICIDE SQUAD Review

“Everyone in life has a purpose”

 

The Suicide Squad dibuka dengan sebuah swerve. Dan kemudian untuk menit-menit seterusnya, hingga durasi kelar, sutradara dan penulis naskah James Gunn benar-benar mendedikasikan seluruh urat bersenang-senang dan denyut kreatif yang ada dalam hati dan kepalanya untuk menjadikan film serupa wujud dari karakter-karakter di dalam ceritanya, yang bukan orang baik-baik. Karakter-karakter yang beberapa di antaranya bahkan gak cukup baik sebagai kriminal super. Tapi justru itulah poinnya. Film ini, juga bukan film baik-baik. Namun dengan mengembrace sisi ‘bad’ tersebut, Gunn berhasil mengerahkan ‘pasukannya’ ini untuk menyelesaikan misi yakni menghibur kita, para penontonnya, dengan aksi dan komedi yang benar-benar super.

Not-so-direct-sequel ini adalah kelanjutan cerita dari proyek kelompok rahasia ‘korbanin napi untuk membereskan kerjaan kotormu’ yang digagas oleh officer Amanda Waller (Mata bulat penuh rahasia Viola Davis kembali menghidupkan karakter ini). Kali ini dia punya tugas baru untuk para napi-super di dalam tahanan. Menghentikan Proyek Starfish yang misterius di Pulau Corto Maltese yang penuh oleh tentara musuh. Bloodsport (Idris Elba menggantikan Will Smith’s Deadshot) ditunjuk sebagai pemimpin – dari kelompok penjahatsuper yang aneh-aneh. Demi sang anak, Bloodsport yang mematikan dan cukup handal – dia dipenjarakan karena menembak Superman dengan peluru kryptonite – harus rela digabungin ama hewan yang ia benci, yakni tikus. Sebab tikus-tikus itu adalah ‘senjata andalan’ rekan setimnya, Ratcatcher 2 (karakter Daniela Melchior ini bersalah atas mencuri hati kita!) Supervillain lain yang dipaksakan kepada Bloodsport untuk rekan tim adalah Peacemaker (John Cena bilang karakternya adalah Captain America versi douchebag), seorang pria bersenjata polka dot (jangan ngetawain Polka-Dot Man yang dimainkan David Dasmaltchian dengan aneh-tapi-charming kayak Neil di serial komedi Inggris The Inbetweeners), dan seoran-ehm, seekor makhluk setengah hiu yang kekuatannya berupa nafsu untuk memangsa manusia (disuarakan oleh Sylvester Stallone). Oh ya, Harley Quinn yang udah semakin luwes oleh Margot Robbie juga akan bergabung bersama mereka di tengah misi, membawa lebih banyak chaos dan warna-warni.

Tim orang-orang gak beres tersebut harus patuh sama perintah Waller yang bisa meledakkan kepala mereka kapan saja dari jauh. Tapi kemudian pemahaman mereka ditantang oleh kenyataan yang mereka temukan tentang Proyek Starfish yang super fishy. Bloodsport dan rekan-rekan harus memilih apakah mereka memang orang jahat tak-berguna atau mereka bisa jadi pahlawan.

suicidemaxresdefault
Aku akan bilang kepada anak-anakku kelak, bahwa ini adalah geng Jackass

 

Tapi bukan tim Bloodsport-lah yang kita lihat pertama kali. Inilah swerve yang aku maksud di pembuka tadi. Demi pembuka yang gak boring kayak Suicide Squad tahun 2016, Gunn siap untuk melanggar banyak aturan. Gunn totally memperlihatkan kita karakter lain, membentuknya seolah itulah karakter utama, membuat dia tergabung ke dalam tim penjahat super yang kocak dan absurd, dan lantas meledakkan mereka semua begitu saja. Darah mereka dipakai untuk membentuk ejaan judul. Aku tahu, sebenarnya normal sebuah film punya sekuen prolog seperti demikian. Seperti Scream yang memperlihatkan aktor muda yang lagi naik daun kayak Drew Barrymore di awal, yang kemudian ternyata hanya untuk membunuhnya sebagai pengantar. Di The Suicide Squad ini, Gunn berniat untuk menyambut kita dengan gemilang. Langsung ke pusat chaos, absurd, dan stake bahwa karakter-karakternya di sini bukanlah tipikal protagonis film superhero yang biasa – mereka semua either adalah orang jago tapi jahat, atau orang jahat tapi bego, dan mereka semua bisa mati tanpa terkecuali. Gunn tahu sebenarnya dia cukup dengan memperlihatkan kegagalan tim pertama, tapi Gunn tidak gentar untuk melangkah lebih jauh. Insting kreatifnya membuat dia mengambil keputusan untuk menjadikan film ini juga ‘jahat’ – gak peduli sama aturan. Jadi Gunn lanjut dengan menanamkan kecohan ‘karakter utamanya ternyata bukan dia’ tersebut. Kecohan yang efektif dan menghibur, walaupun memang jika dipandang lewat lensa penulisan itu bukanlah hal yang benar.

Dan setelah pembuka itu, instantly aku tahu sedang berurusan dengan apa. Sebuah film aksi komedi yang bakalan ‘susah’ untuk dinilai. Di opening tersebut Gunn telah sukses memberi isyarat dan melandaskan kehebohan seperti apa yang ia incar. Film ini akan gagal jika Gunn tidak berhasil mengfollow up opening tersebut dengan semakin banyak dan semakin gila lagi aksi dan semua-semuanya. Yang juga berarti bahwa keberhasilan film ini ditentukan dengan seberapa banyak lagi Gunn berani untuk melakukan hal-hal yang ‘gak bener’ dalam bangunan filmnya. Jadi, dengan memahami itu semua, aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku akan menilai film ini hanya dengan sebagai hiburan, atau menilainya dari seberapa banyak kesalahan yang sengaja diambil. Kreativitas yang ditonjolkan oleh Gunn, alih-alih usaha untuk menjaga film tetap stay di jalur kebenaran, memberiku pilihan ketiga. Menilai film ini dari kreasi yang dilakukan Gunn dalam mengolah hal-hal ‘gak bener’ yang harus ia lakukan dalam bangunan filmnya.

Cerita dengan karakter sebanyak ini cenderung untuk memerangkap sutradara ke dalam momen-momen pengembangan karakter yang gak imbang, ataupun dilakukan dengan tampak terpaksa; menyelipkan adegan-adegan ngobrol di antara aksi-aksi. Yang kaitannya dengan eksposisi. Film itu akan tampak terbagi oleh aksi dan penjelasan yang boring. Gunn melempar begitu saja karakter-karakternya kepada kita. Mengutamakan untuk memperlihatkan langsung apa yang karakter-karakter itu lakukan daripada lebih banyak menjelaskan origin. Dialog-dialog set up film ini cepat, sambar menyambar. Visualnya dibikin unik, mencolok dan berwarna bukan hanya untuk pamer, melainkan sebagai penguat karakter itu sendiri. Ketika momen-momen lambat itu betul-betul diperlukan, Gunn juga gak sekadar memberitahu kita, atau juga tidak sekadar flashback. Dia melakukannya lewat visual unik juga. Dia menggunakan jendela bus sebagai ‘jendela’ untuk melihat ke masa lalu karakter yang sedang diceritakan. Dia bahkan memindahkan sudut pandang, membuat kita masuk ke pandangan certain character supaya kita bisa langsung merasakan keanehan dirinya yang kocak (I love the ‘mom jokes’ di film ini!). Dengan membiarkan kita melihat sekaligus mendengar tentang mereka; mengexperience mereka, maka karakter-karakter dalam film ini bisa dengan mudah terkenang. Akan susah bagi kita untuk memilih siapa favorit, karena masing-masing mereka ternyata sudah kita pedulikan. Mereka bukan hanya komentar-komentar lucu, bukan hanya aksi-aksi keren. Mereka gabungan keduanya.

Adegan-adegan aksinya tentu saja sangat kreatif juga. Gunn tidak perlu khawatir menampilkan aksi yang impossible ataupun aksi yang klise kayak gedung runtuh, karena dia sudah berhasil melandaskan karakter dan dunia tersebut. Semua karakter berhasil dicuatkan pesonanya, dan itulah yang digunakan untuk memperkuat adegan-adegan berantem mereka. Salah satu hal keren yang dilakukan oleh film adalah memperlihatkan adegan berantem lewat pantulan helm. Aku sudah pernah melihat yang seperti ini di opening game Resident Evil 3 di PS satu; saat zombie bikin kacau kota diperlihatkan lewat pantulan di kaca helm polisi. Tapi aku belum pernah lihat adegan berantem yang bekerja efektif dari pantulan semacam itu di film sebelumnya. Satu lagi hal penting yang dimengerti oleh film ini adalah timing. Baik itu timing delivery dialog komedi maupun timing visual komedinya. Walaupun fast-paced dan kadang ceritanya balik bentar ke beberapa menit sebelumnya, karena banyak sekali karakter dan kejadian, film ini selalu tahu kapan harus ‘mengerem’. Kita tidak pernah dibiarkan bingung mengikuti ceritanya. Tulisan-tulisan konyol (dan keren) sebagai penanda bab/misi akan sering kita jumpai menuntun kita. Ini juga menghadirkan feels kayak sedang baca komik. Saat ceritanya balik sebentar pun akhirnya tidak terasa sebagai jeda atau sesuatu yang redundant, melainkan kita malah senang karena terasa seperti waktu tambahan untuk menyimak aksi karakter.

suicidesmaxresdefault
John Cena kabarnya di peran ini menggantikan Dave Bautista; rivalnya dalam storyline gulat

 

 

Ngomong-ngomong soal dunia gulat, aku selalu kepikiran Marvel dan DC ini kayak WWE dan AEW. Yang satu produk yang lebih ke hiburan keluarga, sementara satunya lebih mengincar ke penonton yang remaja/dewasa. Perbandingan itu semakin kentara melihat kerja Gunn di film ini. Gunn tadinya menyutradarai film Marvel, lalu dipecat, dan pindah bikin DC. Dan dia membuat film yang jauh lebih edgy di DC. Ini kan sama banget kayak superstar ex WWE yang dipecat, kemudian masuk ke AEW, dan merasa bebas, secara kreatif, untuk bermain dalam match yang lebih ‘brutal’. Gunn membuat The Suicide Squad penuh oleh aksi-aksi yang fun, as in penuh darah dan potongan tubuh yang melayang ke sana ke mari. King Shark makan orang aja ditampilin gak malu-malu. Afterall, karakter-karakter itu toh memang orang jahat. Kalo Suicide Squad pertama hanya mengingatkan kita lewat dialog yang setiap beberapa menit sekali menyebut “we are bad guy”, maka film kedua ini just having fun dengan karakter-karakter tersebut. Malah ada adegan tim Bloodsport membunuhi orang-orang tak bersalah, dan later mereka cuma salting dan bercanda gak mau mengakui perbuatannya. Dan maaan, sebagai penonton gulat yang sudah lama meminta John Cena untuk kembali jadi karakter jahat; film ini somehow terasa refreshing. Cena hillarious jadi karakter yang menjunjung perdamaian, tapi gak peduli siapa korban yang harus ia akibatkan demi perdamaian itu tercapai. Mungkin inilah yang terdekat yang bisa kita dapat kalo Cena masuk ke AEW?

Sepertinya karena itulah film ini jadi ngena. Karakter-karakternya terasa dalem. Ratcatcher 2 definitely favorit dan jadi hati di film ini. Pilihan yang para karakter buat setelah mengetahui kenyataan sebenarnya jadi terasa lebih bermuatan. Dan sebagai bigger picture, film ini memberikan kita sesuatu untuk dipikirkan. Cerita-cerita superhero DC dibuat dark dan gritty, kita butuh untuk melihat pahlawan dalam keadaan terbawah mereka, untuk menunjukkan perjuangan dan pengorbanan yang mereka lakukan. Sebaliknya, cerita penjahat seperti The Suicide Squad ini justru paling tepat ternyata dibuat konyol dan menghibur, meskipun tujuan arcnya juga sama; untuk melihat apa yang mereka perjuangkan. Jadi kenapa formulanya seperti itu? Apakah itu merefleksikan kalo baik itu boring, dan jahat lebih fun? Apakah membuatnya lebih ringan membuat kita jadi lebih mudah untuk mendekatkan diri melihat kenapa seseorang menjadi jahat?

Share pendapat kalian di komen yaa

 

Yang dilakukan film ini tidak lain hanya memperlihatkan bahwa orang-orang rendahan seperti para kriminal tersebut – yang bahkan beberapa gak kuat-kuat amat – sebenarnya juga punya kegunaan. Seperti juga ‘kesalahan-kesalahan’ yang ada pada film sebenarnya punya purpose.

 

 

 

 

Embracing bad side tidak hanya dilakukan oleh karakter-karakternya, tapi juga dilakukan untuk membentuk film ini. Namun film ini bukanlah proyek bunuh diri. Film ini melakukan hal yang gak benar, dan kemudian berkreasi dari hal tersebut. Dan dia menjadi sajian yang menghibur dan seru dan sangat asik karenanya. Kita dapat action, blood, lovable karakter, dan begitu banyak momen-momen memorable. Aturan dibuat untuk dilanggar. James Gunn melakukannya dengan passionate, mengerahkan kreasi terbaik yang ia mampu dari sana. Ia mencapai yang terbaik, meskipun naskah yang all-over-the-place, karakter yang gak dalem-dalem amat, dan struktur yang bolak-balik. Aku gak akan bandingin ini lebih lanjut sama film yang pertama, karena perbedaannya cukup jauh. Gak perlu tanya malaikat untuk tau siapa juaranya. Ini actually feels like a movie. Pembuatnya peduli sama cerita. Peduli sama karakter. Dan peduli sama kreasi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SUICIDE SQUAD.

 

 

 

That’s all we have for now

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

JUNGLE CRUISE Review

“It is health that is real wealth and not pieces of gold and silver”

 

Stanley Kubrik bukan hanya dikenal sebagai sutradara kontroversial, beliau juga merupakan salah seorang yang paling berpengaruh dalam dunia sinema. Kenapa aku malah bicarain Stanley Kubrick di sini? Karena ada satu perkataannya yang aku yakin telah menginspirasi para tukang cerita di seluruh dunia untuk membuat film. Kubrick bilang apapun yang bisa ditulis, apapun yang bisa dipikirkan, bisa difilmkan. Apapun bisa dijadikan ide untuk cerita film. Bahkan cerita yang udah jadi cerita. Kita mengenalnya sebagai adaptasi; film yang berdasarkan materi atau bentuk karya lain. Tapi tentu saja ada juga film-film dari sumber yang bukan puisi, novel, teater. Film-film yang ceritanya terilhami dari hal sesimpel khayalan masa kecil, berita di koran, peristiwa di buku sejarah. Atau malah dari wahana mainan di taman hiburan. Untuk yang satu ini, memang sepertinya Disney adalah pelopornya.

Punya sejumlah taman hiburan dengan berbagai atraksi dan wahana, Disney gak cukup hanya dengan membuat wahana berdasarkan film-film andalan mereka. Disney juga merancang wahana-wahana original yang kemudian hari bakal disulap menjadi cerita seru di layar lebar. Mereka telah melakukannya sejak 1997. Dimulai dari Tower of Terror yang jadi film untuk televisi hingga ke raksasa box office yang beranak pinak menjadi franchise film tersendiri, Pirates of Caribbean. Kali ini giliran ‘Jungle (River) Cruise’. Petualangan perahu di Sungai Amazon itu kini bisa kita nikmati keseruannya di layar lebar (atau layar laptop, mengingat bioskop kita masih tutup). Aku belum pernah ke Disneyland, aku gak tau wahana ini lebih seru dari Rumah Boneka atau enggak, but none of those matter, karena sutradara Jaume Collet-Sera berhasil menghadirkan film ini layaknya wahana superseru sendiri. Meskipun setelah berakhir, aku tahu bahwa film ini adalah wahana yang hanya mau aku naiki satu kali.

jungle2df7b88a-c3d5-4eac-a4be-a01ac9dd43a1_169
Akankah The Rock akhirnya jadi batu beneran di sini?

 

Aku menikmati satu-jam pertama dari film ini. Set upnya dilakukan dengan baik, tidak berat eksposisi. Cerita di paruh pertama dari dua jam ini berjalan simpel. It was 1916, dunia yang masih percaya pada legenda dan kutukan. Salah satu legenda yang tersohor adalah bahwa ada pohon yang daun-daunnya berkhasiat menyembuhkan penyakit apapun di Brazil. Pohon yang tak seorang pun tahu keberadaannya, kecuali perkiraan kasar berada di antara sungai-sungai Amazon. Berbekal peta dan batu misterius berbentuk kepala anakpanah yang ia curi, Lily, scientist feminis yang udah kayak Indiana Jones versi cewek bertekad menyusuri legenda tersebut dan membawa pulang daun-daun ajaib itu demi kemajuan ilmu kesehatan. Lily bersama adik cowoknya yang rempong menyewa kapal dan jasa pemandu turis handal bernama The Rock, eh salah.. bernama Frank. Bersama-sama mereka bertualang mengarungi sungai yang penuh bahaya dan keajaiban, dengan kapal selam Jerman Pangeran Joachim yang licik mengekor di belakang. Berusaha merebut legenda itu dengan cara apapun.

See, simple. Dari set upnya gak susah untuk kita membayangkan ini adalah cerita petualangan, cerita rebut-rebutan harta karun yang bakal seru. Di sungai pedalaman Amazon yang penuh piranha dan kekuatan supernatural pula! Kesimpelan tersebut diimbangi oleh karakter-karakter yang colorful. I’d expected them to be paper-thin. Dan memang, beberapa karakterisasi enggak lebih tebal daripada kertas, namun kenapa pula itu tidak berarti fun? Film ini tahu mereka punya tiket untuk membawa kita bersenang-senang. Tiket berupa aktor-aktor yang paham bahwa sudah tugas merekalah untuk membuat peran apapun yang diberikan kepada mereka menjadi emas.

Harta karun yang diperebutkan dengan gigih dan mati-matian di sini bukan emas. Melainkan daun penyembuh. Dari ini, film seperti mengatakan kepada kita bahwa perjuangan mencapai pengetahuan dan kesehatan itu ya memang harus segigih ini. Karena itulah hal yang lebih penting daripada sekadar kekayaan.

 

Emily Blunt memerankan Lily yang berkemauan keras, capable, berani, cerdas, dan sangat resourceful untuk mendapatkan apa yang ia mau. Kualitas karakternya ini tidak lama-lama disimpan oleh film. Pada adegan awal saat dia mencuri batu anakpanah, kita sudah diperlihatkan betapa seru dan resourcefulnya karakter ini. Sampai-sampai dia menggunakan berbagai macam trik dari film-film lain seperti Indiana Jones (dejavu gak sih ngeliat adegan Lily dengan cermat menyamarkan suara berisik aksi membobolnya dengan suara pekerja museum lagi memalu). Film juga gak membuang waktu untuk mencuatkan protagonis ceweknya ini sebagai makhluk progresif dibandingkan dunia sekitarnya. Sementara juga menggali komedi dari kontrasnya Lily dengan karakter adiknya, MacGregor yang diperankan dengan konyol namun simpatik oleh Jack Whitehall.

Heart of the film dibebankan kepada Lily dan Frank, si pemandu. Blunt dan Dwayne Johnson diberikan ruang oleh naskah untuk mengembangkan sisi komedi (again, dari kontrasnya mereka) dan juga sisi manis-as-in-a-couple di balik petualangan kocak mereka. Chemistry mereka mungkin memang gak kena banget, tapi Blunt dan Johnson benar-benar hebat dalam menghidupkan suasana. Johnson actually dapat tantangan dengan range yang lebih luas. Kita gak hanya melihatnya sebagai seorang jagoan; penakluk macan tutul, penjinak sungai, penendang bokong, yang sayang ama perahu. Tapi juga seorang pemandu, yang ngescam turis dengan bahaya-bahaya palsu, sambil menghibur mereka dengan lelucon bapak-bapak (yang dimainkannya tetap penuh kharisma seperti yang hanya bisa dilakukan oleh The Rock) Semua aktor di sini tampak bersenang-senang, tapi sepertinya yang paling bergembira di sini adalah Jesse Plemons. Yang kebagian meranin parodi yang sangat komikal dari tokoh-beneran seorang Jenderal Jerman. Plemons bermain dengan aksen, gestur, dan dialog-dialog yang ia mainkan dengan begitu over-the-top. And he made it work. Karakternya bikin gentar tapi juga lucu. Tiga elemen utama yang superseru ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membuat Jungle Cruise jadi ride, both sebagai wahana maupun perjalanan yang menghibur.

Malangnya, film ini – seperti juga film-film hiburan belakangan ini – merasa itu semua belum cukup. Merasa mereka perlu untuk membuat cerita yang rumit, yang penuh kelokan kayak sungai-sungai deras Amazon tersebut. Setelah pertengahan, Jungle Cruise tau-tau bermanuver dengan banyak sekali plot-plot kejutan yang bukan saja enggak perlu, tapi juga malah membuat ceritanya jadi bego. 

jungle-cruise-trailer-2
Bayangkan ada makhluk undead tapi perempuan-pakai-celana tetap jadi hal yang paling aneh dan mengejutkan bagimu

 

Mari kuberitahu sedikit tentang twist dan reveal. Semua twist adalah reveal, sementara tidak semua reveal adalah twist. Sebagai contohnya, kita bisa langsung lihat dari film ini. Ketika film mengungkap bahwa prajurit masa lampau dalam legenda itu ternyata masih ‘hidup’ dan mengejar Lily dkk, itu adalah plot reveal. Karena fungsi informasinya itu adalah sebagai penambah tantangan. Sebagai rintangan yang harus dikalahkan. Step yang mengangkat suspens, dari yang tadinya hanya bermusuh satu pihak, menjadi dua, sehingga cerita jadi semakin seru. Secara teori begitu, meskipun pada eksekusinya enggak begitu mulus. Karena permainan efek CGI yang gak konsisten dilakukan oleh film ini. Sedangkan twist, itu adalah ketika film mengungkap siapa sebenarnya si Frank. Karena informasi ini mengubah haluan film, membuat kita memandang kembali ke belakang – melihatnya dengan cara baru sesuai dengan yang diungkap oleh film. Dan twistnya ini bukanlah twist yang baik/bagus.

Karena identitas asli si Frank ini mengubah begitu banyak, dan perubahan itu gak ke arah yang positif. Pertama, karakter Frank itu sendiri jadi gak make sense, jika kita melihat kembali motivasinya di awal cerita. Kedua, mematikan stake. Percuma kalo film ini punya rintangan dan bahaya yang banyak, tapi salah satu karakternya diungkap sebagai sesuatu yang sama dengan salah satu rintangan tersebut. Frank ternyata bukan sekadar cowok jagoan. Dia punya ‘kekuatan ajaib’ sendiri. Ketiga, ini membuat hubungan Frank dan Lily jadi awkward. I mean, kalian kira gap Zara dengan Okin itu jauh? Well, tunggu sampai kalian lihat twist di Jungle Cruise.

Dan ultimately, pengungkapan ini membuat karakter Lily jadi berubah juga. Lily malah jadi flat-out bucin. Karakter Lily memang oke dibuat sebagai feminis yang lebih real (gak selalu-benar kayak protagonis cewek Disney yang seringkali salah kaprah dan agenda-ish), dia juga ‘butuh’ cowok dan segala macam. Hanya saja di akhir film, Lily membuat keputusan yang benar-benar menghancurkan karakter progresifnya. Aku berharap gak terlalu spoiler, aku akan berusaha untuk vague, tapi kalopun jadi spoiler, sorry. Jadi, di akhir film ini, Lily menggunakan benda yang tinggal satu-satunya, benda yang sudah susah payah didapatkan, untuk hal yang bukan niat perjalanannya sedari awal. Lily seperti menukar misi mulia untuk kesejahteraan orang-banyak itu dengan kesempatan untuk bersatu lagi dengan orang yang ia kasihi. Aku gak tahu lagi ‘pesan’ apa yang ingin disampaikan film ini kepada anak-anak perempuan yang menonton lewat adegan itu. Film lantas berusaha untuk mengurangi ‘damage’ adegan ini dengan membuat benda itu ternyata ada lagi – bukan satu-satunya. Tapi tetap saja, secara karakterisasi, pilihan tersebut sangat mengkhianati. Dan bukankah bisa saja dibuat Lily merelakan, dan kemudian ternyata benda itu ada lagi, dan dia ambil untuk kekasihnya. Menurutku itu bakal lebih dramatis, karena mengubah benda tadi itu menjadi sebagai reward untuk perjuangan dan pengorbanan Lily, alih-alih sebagai cara film ngurangi damage aja.

 

 

 

Jadi, by the time the credits roll, aku merasa film ini sebagai kekecewaan. Paruh pertamanya, fun, menghibur, simpel. Film ini bisa jadi gabungan film-film pertualangan yang punya jiwa dan karakter sendiri, berkat penampilan akting dan gaya berceritanya. Namun pada paruh berikutnya, mesin itu menyala. Mesin produk. Film ini jadi tampil sok heboh ribet dengan begitu banyak reveal. Dan akhirnya beneran karam oleh twist yang gak perlu. Melainkan hanya membuat semuanya menjadi bego
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for JUNGLE CRUISE

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian mana yang paling berharga: Harta, Kesehatan, atau Pengetahuan?

Sudahkah kalian menonton semua film Disney yang based on wahana hiburan, mana favorit kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

SPACE JAM: A NEW LEGACY Review

“Let others be themselves”

 

Sekuel cenderung untuk menjadi lebih besar. Karena, tahulah, saat kita membuat sesuatu yang udah ada originalnya, kita akan otomatis dipush untuk menghasilkan sesuatu yang melebihi si origin tersebut. Jadi, sutradara Malcolm D. Lee berpikir;

Apa yang lebih besar daripada outer space – semesta luar angkasa? Cyber-space – semesta siber internet!

Apa yang lebih besar daripada NBA dan kartun Looney Tunes? NBA dan seluruh IP Studio Warner Bros!!

Dan apa yang lebih besar daripada Michael “Air” Jordan?? Well, itu pertanyaan untuk diskusi basket yang lebih mendalam. Aku jelas bukan ahlinya. Tapi untuk sekarang, cukuplah kalo mengenal Lebron James sebagai atlet basket tergede di era kekinian.

Memiliki ketiga faktor di atas, Space Jam: A New Legacy jelaslah lebih besar daripada pendahulunya, Space Jam, yang hadir dua-puluh-lima tahun yang lalu. Namun seiring kita ngobrolin soal film ini nanti, Space Jam kedua ini akan membuktikan bahwa menjadi lebih besar itu tidak serta berarti lebih baik. 

space-jam-new-legacy-trailer-tgj
Kalo soal akting sih, memang Michael B Jordan lebih besar

 

Yang jelas-jelas dilakukan dengan lebih baik oleh film kedua-yang-gak-really-bersambungan-dengan-film-pertama ini adalah konflik yang lebih berbobot secara emosional. Ada cerita hangat mengenai ayah dengan putranya sebagai inti cerita. Ayah dalam film ini adalah seorang atlet basket tersohor, yang mencapai posisi nomor satu sekarang tersebut dengan bekerja keras, tekun berlatih, dan membuang Game Boy (dengan game Bugs Bunny) kesukaannya ke tempat sampah. Sedangkan anak dalam film ini adalah seorang young man yang berjuang mengutarakan kepada ayahnya tersebut bahwa dia sebenarnya lebih tertarik kepada merancang video game – particularly game basket – ketimbang ke kamp basket; ketimbang bermain basket beneran. Nah langsung kebayang dong, dinamika ayah-anak yang jadi konflik dalam cerita ini. Si ayah ingin anaknya sesukses dirinya, tetapi dia terlalu memprojeksikan dirinya kepada si anak. Tidak pernah sekalipun dia bertanya si anak sebenarnya pengen apa.

Lebron James yang memainkan versi fiksi dari dirinya sendiri diberikan ‘lapangan bermain’ yang lebih emosional  ketimbang Michael Jordan di Space Jam yang karakternya unwillingly keseret ke dalam masalah tokoh-tokoh kartun yang harus tanding basket. Dalam film kedua ini, sikap James kepada Dom, anaknya, dan to some extend kepada hal lain selain basket-lah, yang memantik konflik lain. Yang membuat cerita bergulir maju. Sikap James eventually membuat sebuah program kecerdasan-buatan tersinggung. Sehingga A.I. tersebut – bernama Al G. Rhythm (dimainkan dengan fenomenal menghibur oleh Don Cheadle) – menculik James dan Dom ke dunia siber. Memisahkan ayah-anak tersebut. Dan menghost pertandingan basket di antara keduanya, dengan stake yang gak main-main. Kalo James kalah, semua manusia yang dia jebak untuk nonton pertandingan, akan terperangkap di dunia siber yang boring tanpa-Looney Tunes.

Percaya atau tidak, pada galian ini cerita Space Jam 2 sebenarnya masih ‘masuk akal’. Meskipun dimanipulasi sehingga gak tau yang sebenarnya, tapi Dom kentara lebih merasa enjoy bersama Al G. karena di situ dia bisa menjadi dirinya sendiri. Sementara, James, yang terdampar di dunia Looney Tunes dan bersama Bugs Bunny harus mengumpulkan tim Tunes Squad untuk melawan tim penuh kreasi bentukan Dom dan Al G., actually harus bisa menjadi seperti Al G. Tema mempercayai kemampuan dan pilihan orang lain bergulir terus, bahkan ketika pertandingan basket ‘curang’ mereka dimulai. Semuanya diberikan penambat berupa tema tersebut sehingga adegan-adegan dalam film ini tidak hanya menghibur semata, melainkan juga bukan tidak mungkin menghasilkan air mata. Film membuat kekonyolan kartun ala Looney Tunes (and you know betapa konyolnya Looney Tunes) menjadi seimbang dengan konflik yang grounded seperti ini. Anak-anak dan para orangtua yang menonton bisa menangkap pesan-pesan parenting dan bersosial yang dioper oleh film. 

Kita bisa saja meminta orang untuk menjadi sesuatu yang kita mau, atau untuk melakukan sesuatu sesuai dengan cara kita. Dan mereka mungkin akan melakukannya, entah itu karena hormat, atau segan, atau ngerasa gak enak. Or worse, karena takut. Semua itu enggak akan berujung baik kepada mereka sendiri. Bila mereka adalah anak, maka perkembangan si anak ini akan terhambat. Seperti Dom, yang ‘terpaksa’ memprioritaskan his dad’s things ketimbang hobinya. Seperti tim Looney Tunes yang babak belur karena menahan diri, mengikuti basket seperti yang James tahu. Kita seharusnya membiarkan yang lain menjadi siapa, apa yang mereka mau. Lihat apa yang terjadi ketika James akhirnya membiarkan Looney Tunes melakukan apa yang Looney Tunes biasa lakukan.

 

Untuk beberapa part pun, film menerapkan tema tersebut. Mereka membiarkan Lebron James menjadi Lebron James. “Gue bukan aktor, gue pemain basket!” seru karakter James dalam salah satu humor self-aware film ini. Ada usaha untuk meminimalisir screentime James berakting, karena ya walaupun dia punya karisma di dalam lapangan, tapi akting tetap tidak semudah itu. Film menggunakan cara yakni membuat James menjadi tokoh animasi 2D saat berada di dunia Looney Tunes. Kupikir ini bisa berhasil karena memang permainan ekspresi James sebelas duabelas ama Michael Jordan. Tapi ternyata, jadi tokoh kartun bukan jawaban tepat. Karena kini James harus menajamkan voice acting, yang ternyata malah lebih parah daripada akting live-actionnya hahaha.. Deliverynya sangat kikuk, apalagi harus bersanding dengan voice-actor profesional.

Maka film pun ‘mengembalikannya’ menjadi manusia saat bertanding di dunia game bikinan Dom dan Al G. Sebagai bonus untuk kita, saat bertanding, film membuat para kartun Looney Tunes menjadi animasi 3D tanpa meninggalkan kekonyolan khas mereka nanti. Untuk aku yang waktu kecil melihat Bugs Bunny, Daffy Duck, Tweety dan teman-teman, ini jelas adalah upgrade yang menyenangkan. Senang saja melihat tokoh-tokoh kartun yang jadi teman bermain dahulu diremajakan tanpa mengurangi ruh mereka. Aksi-aksi ‘basket’ ini pun pada dasarnya lebih seru daripada film pertama. Film menggunakan lebih banyak arsenal kartun dan nostalgia kita terhadapnya. Tepuk tanganku justru paling kenceng saat adegan Porky Pig ngerap. It was stupid, but hey, ini Looney Tunes!!

Space-space-jam-a-new-legacy-clip-features-porky-pig-rapping
Nominee Best Musical Performance untuk next My Dirt Sheet Awards!

 

Jika saja film ini stick to what they are. Jika saja film ini tetap bermain-main di nostalgia Looney Tunes saja, di humor-humor self-reference Lebron James saja, di cerita grounded ayah-anak sebagai fokus. Jika saja film enggak concern ke sekuel harus bigger…

Kritikus luar menganggap film ini adalah sebuah proyek iklan raksasa dari studi raksasa. Dan ternyata itu memang tidak melebih-lebihkan. Karena persis seperti itulah film ini terasa. Yang kusebutkan di paragraf-paragraf atas itu actually adalah hasil pemilahan yang sangat alot karena sebenarnya banyak sekali referensi-referensi melebar dan irelevan dengan cerita yang dimasukkan oleh film ini hampir dalam setiap kesempatan. Aku gak ngerti kenapa film ini enggak berpuas diri dengan referensi kartun Looney Tunes dan beberapa Warner Bros lain seperti Tiny Toon, Animaniacs, Flinstones, atau Scooby Doo saja. Lebih masuk akal, apalagi kalo memang mengincar pasar anak-anak. Akan ada bagian ketika Bugs Bunny dan Lebron James berkeliling universe, untuk mengumpulkan anggota Looney Tunes yang mencar-mencar. Mereka masuk ke kartun DC, okelah masih bisa dimaklumi. At least, masih kartun.  Untuk anak-anak. Walaupun alasan mencar itu sendiri tidak kuat. Inilah yang jadi masalah. Cerita ini menangani ‘crossover’ tersebut seakan memang cuma ditujukan untuk promosi silang saja. Tidak diberikan muatan cerita atau alasan yang berintegrasi dengan tema ataupun konteks. 

Tapi tidak cukup di situ. Film ini memasukkan semua merek produk-produk Warner Bros. Dari yang di luar kartun kayak Harry Potter, Kong, hingga ke yang gak ramah anak pun nongol, kayak Rick and Morty, dan karakter di A Clockwork Orange. Untuk alasan hura-hura yang gak jelas, film ini membuat pertandingan basket James dan Dom ditonton oleh semua produk Warner Bros. Ini jadi distraksi dan annoying karena seperti film malah ngajak penonton untuk nunjuk-nunjuk “ih ada si anu, si itu” ketimbang beneran fokus kepada cerita yang mereka miliki. Ini kembali kepada fundamental kenapa dibuat seperti itu dan apakah memang harus dibuat seperti itu. Dari jawaban atas itulah, film ini runtuh. Karena mereka melakukan dan invest banyak untuk hal-hal yang sebenarnya gak relevan. Dan gak perlu. Ketika membuat film, konsern sepenuhnya ya haruslah pada film itu sendiri. Tidak kemana-mana mengiklankan semua produk selagi bisa.

 

 

 

Hiburan di sini adalah melihat karakter Looney Tunes kembali melakukan hal yang membuat mereka, mereka. Melihat Lebron James melakukan yang ia bisa – main basket – dengan karakter-karakter kartun. Dalam lingkup cerita yang bisa relate dan punya pesan yang bagus. Hiburan di sini bukan melihat seliweran film-film lain – mengatakan mereka menghibur sama dengan mengatakan nonton iklan adalah hiburan bagi kita. Film ini, meskipun punya cerita yang lebih kuat dan emosional, terhimpun dari banyak sekali komponen untuk ngiklan. Film ini jadi besar karena memasukkan banyak iklan. Jadilah dia enggak cukup bagus sebagai sebuah film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SPACE JAM: A NEW LEGACY

 

 

 

Th.. th… tha… that’s all, folks!

Karakter ikonik Looney Tunes Pepe le Pew (sigung yang bucin banget sama kucing bernama Penelope) dicut dari film ini karena dianggap sebagai salah satu produk rape culture, sehingga tidak baik bagi tontonan anak-anak. Bagaimana pendapat kalian tentang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Money in the Bank 2021 Review

 

Sebagai manusia kita ngertilah soal keselamatan dan resiko. Sedapat mungkin, kita biasanya nyari yang resikonya paling kecil, like, kalo lagi nyebrang kita akan cenderung untuk milih nunggu ampe benar-benar kosong sebelum menyeberang daripada harus berjalan cepat-cepat di antara seliweran kendaraan dengan resiko tertabrak. Makanya, gak banyak dari kita yang bisa ikut main-main saham. Dalam investasi keuangan, ada yang namanya risk dan reward, dengan prinsip semakin tinggi resiko, maka rewardnya pun akan semakin gede pula. Kenapa kita ngomongin ini di artikel gulat? Karena WWE punya pertandingan yang juga berhubungan dengan ‘money’ dan prinsip risk-reward tersebut.

Pada Money in the Bank – sebagaimana yang diberitahukan dengan epik oleh video pembuka acara ini – resiko itulah yang menjadi reward. Ketika kalian harus bersaing dengan tujuh superstar lain, berebut naik tangga untuk meraih koper berisi kontrak kejuaraan, mau tak mau kalian harus mengambil semua resiko. Cedera, luka, patah tulang, semua itu akan menjadi reward, bersama dengan kesempatan emas. 

 

Inilah kenapa Money in the Bank selalu jadi jaminan seru (kecuali mungkin MITB tahun lalu yang lebih mendekati ke arah lucu). Hampir dipastikan, kita bakal mendapat aksi-aksi seru karena para superstar akan ngegas melakukan apa saja dengan tangga-tangga tersebut untuk memastikan lawan-lawannya tetep bobok cantik di lantai. Faktor lain yang bikin seru adalah bahwa biasanya pemenang pertandingan ini tidak terduga. Bahkan jika bisa diduga pun, pemenang MITB biasanya selalu adalah superstar fresh alias wajah baru dalam title pictures. Karena memang konsep MITB difungsikan sebagai ‘tangga’ untuk menaikkan talent papan tengah menjadi superstar papan atas. Main Eventer. Dan dua faktor seru itulah yang persisnya kita dapatkan dalam dua pertandingan MITB pada acara Money in the Bank kali ini. 

Nikki A.S.H (Almost Super Hero) memenangi partai MITB cewek dalam sirkumtansi yang bener-bener cocok dideskripsikan sebagai ‘tak-terduga’. Bukan saja karena gimmicknya yang sekarang ternyata lebih dianggap serius ketimbang gimmick ‘cewek edan’ dia yang dulu, tapi juga karena kemenangan Nikki – cara match ini berakhir – terasa sangat berbeda sekali. People surely will be divided by this. Kalian bakal either suka, atau enggak. Kemenangan Nikki terasa kayak playful take dari skenario yang mungkin pernah kita ucapkan saat nonton drama MITB. You know, sekali dua kali mungkin kalian pernah ‘capek’ juga ngeliat superstar ngambil koper kelamaan dan sibuk ganti-gantian manjat, sehingga kalian bilang “Langsung ambil aja kek”. Kemenangan Nikki terasa kayak seperti itu. Hebatnya, in the end, momen itu tetep terasa spesial. Karena keseluruhan match-nya sendiri memang enggak keren-keren amat. In fact, partai MITB cewek ini tampak lebih soft. Impact dari aksi-aksinya banyak yang ditolong oleh cut camera. Ironisnya, WWE mungkin gak mau ngambil resiko lebih banyak terhadap superstar cewek dalam waktu Bayley cedera cukup lama ini. Tapi dalam cahaya yang lebih positif, aku percaya dalam partai pembuka show ini – yang juga berarti partai pembuka dari acara yang akhirnya bisa ditonton langsung oleh fans ini – WWE pengen ngepush karakter ketimbang aksi. Makanya kita lihat Liv Morgan dan Alexa Bliss, yang sama-sama fans favorite, diberikan kesempatan bersinar dengan character-work mereka. Begitu juga dengan Tamina dan Natalya yang perlu untuk membangun kharisma sebagai juara tag-team.

mitbd3cb7ed531b58f17-600x338
WWE mengganti penyebutan Nikki menjadi Nikki A.S.H karena Nikki Ash kedengarannya kayak Nikki pan(sensor)

 

Sebaliknya pada partai MITB cowok yang muncul belakangan, barulah fans mendapat apa yang sudah lama diinginkan. Single push untuk Big E! Fans sudah lama menunggu gebrakan besar seperti ini sejak Big E dipisah dari tim New Day. Tapi dari yang terlihat di acara ini, aku punya dugaan kalo chapter Big E dengan rekan-rekan New Day bakal punya lanjutan sedikit. Aku akan ngomongin nanti, sebentar lagi, saat bahas match Kofi Kingston dengan Bobby Lashley.  For now, match MITB partai cowok ini sendiri juga sangat seru. Penuh oleh sekuen di mana kedelapan superstar akan berusaha naik tangga bergantian, menyerang dengan moves gede bergantian, dan setiap sekuen tersebut selalu diakhir dengan ‘punchline’ yang benar-benar keras. Salut buat Kevin Owens yang paling banyak kebagian jadi receiving end ‘punchline-puncline’ tersebut. Pertandingan ini juga dipakai untuk meneruskan storyline antara Drew Mcintyre dengan Jinder Mahal (yang bukan peserta match) sehingga jadi punya layer dan kedalaman. Pertandingan ini bahkan terasa extend ke luar sebab WWE menggunakan sket komedi sebelum pertandingan ini dimulai. Sket yang berfungsi untuk memperkuat karakterisasi beberapa superstar yang akan berlaga, yang nantinya menambah konteks adegan saat mereka beneran berantem di ring. Sket komedi itu berupa Riddle dan Shinsuke Nakamura, bersama Rick Boogs, ngerock bareng nyanyiin lagu tema Randy Orton, dengan Kevin Owens ‘terpana’ – ngeliatin sambil kayak, “Ini lawan gue nanti? ckckck” – di belakang mereka. I genuinely laughed at that scene.

Demi menyambut fans kembali ke arena, WWE tampak lebih bermurah hati. Mereka sudah mempersiapkan fans untuk pulang dengan excited dan bergembira. Karena tiga match terakhir acara ini berlangsung dengan sangat menghibur. MITB cowok yang penuh aksi-aksi tadi, lalu match Rhea dan Charlotte yang kuat banget di storytelling (ugh yea, aku gak nyangka aku harus bilang suka sama match yang ada Charlotte-nya) dan main event antara Reigns lawan Edge yang penuh drama. Plus WWE punya kejutan di akhir match tersebut.

Ada begitu banyak development dari awal hingga ke akhir pertandingan Rhea Ripley melawan Charlotte. Konteks seteru mereka dilandaskan dengan gemilang oleh video package, dan kemudian pertandingannya sendiri sudah seperti film! Alur match mereka udah kayak ada babak-babak tersendiri. Dari Rhea yang confident, ke Charlotte yang lebih ‘senior’ mulai menghormatinya, ke keduanya sama-sama desperate, dan berakhir pada low point pada kedua karakter, dengan karakter yang lebih licik berhasil memenangkan pertandingan. Aku gak suka sama Charlotte – is not even gak suka karena heelnya dia bagus – Aku juga berpikir Charlotte gak perlu nambah angka kejuaraan. Tapi both Charlotte dan Rhea bercerita dengan baik di sini. Mereka melakukannya dengan excellent sembari beraksi dengan sangat-sangat kuat. Aku selalu suka dengan pertandingan yang bercerita dengan baik, seperti ini. Dan kedua superstar berhasil. Pertandingan mereka benar-benar terlihat seperti kejuaraan tingkat elit. Not even chant “We want Becky” dari penonton membuat mereka slow the match down.

Main event, however, akan membuat kita bernostalgia sama pertandingan di era Attitude dan Ruthless Agression. Karena punchlinenya adalah drama seperti yang biasa kita lihat pada WWE jaman 2000an. Interferensi curang, wasit yang gak sengaja terjatuh, berantem brutal hingga ke pinggiran ring, susul menyusul finisher. Paruh akhir Edge melawan Roman Reigns superseru! Perfect match untuk partai terakhir, kejuaraan pula. Tapi match ini punya dua masalah. Pertama, paruh awalnya lambat banget. Dengan cerita mereka yang sudah memanas, seharusnya pertandingan dimulai dengan langsung ngegas aja. Kedua adalah durasi yang kepanjangan. Pertandingan Edge, sejak dia kembali berlaga di atas ring, selalu punya masalah ini. Edge no doubt punya passion tak tertandingi terhadap gulat. Kita tahu dia cinta sama bisnis ini, dan dia rela ngambil resiko supaya bisa terus melakukan apa yang ia cintai ini. Sehingga, menurutku, Edge sebenarnya tidak perlu lagi untuk membuktikan semua itu. Dia enggak perlu untuk melakukan match yang ekstra panjang. Kita semua respek Edge, dan percaya dia lebih dari sekadar “pemain lama yang balik nongol sesekali”. But I do think there’s an ‘ego’ here. Sama kayak nulis, yang kadang-kadang sebenarnya kepanjangan dan kita perlu untuk mengedit diri sendiri. Aku pikir, Edge juga perlu untuk ‘mengedit’ pertandingan yang hendak ia lakukan seperti demikian.

mitblashmitb-1000x600
New Day perlu bikin game sendiri sebagaimana Bobby Lashley perlu untuk nge-squash Kofi Kingston di sini

 

Dua pertandingan lagi yang belum kusebut sebenarnya enggak jelek, cuma memang adalah low-point dari acara ini. Kejuaraan Tag Team antara A.J. Styles dan Omos melawan Viking Raiders seharusnya bisa jadi kontes yang brutal, tapi yang kita lihat hanyalah match yang kikuk.  Secara formula, tag team ini solid. Tapi karena sebagian besar Omos-lah yang ada di driver seat, maka kekikukan itu kentara. Omos benar-benar mengintimidasi saat dia diam, dan saat dia dalam mode menyerang. Namun begitu dia harus ngesell gerakan lawan, Omos ini hampir sama ‘anggun’nya dengan Great Khali. Dia mestinya bisa mengimprove ini dengan diberikan kesempatan untuk mengeksplor sisi vulnerable karakternya. Jangan melulu diberikan tugas untuk ngesquash.

Berbeda dengan Lashley lawan Kofi Kingston, yang memang harus dibuat sebagai squash. Kofi harus dihajar habis-habisan di sini, karena ini adalah cerita Lashley tentang dia yang membuktikan dirinya tidak berubah menjadi soft. Ini adalah push bagi Lashley, untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Goldberg, seperti yang sudah diberitakan. Membuat Lashley sedikit kepayahan melawan Kofi aja bakal membuat kredibilitas partai gede itu turun. Lashley butuh untuk benar-benar tampak kuat. Kita toh berharap Lashley yang bakal menang atas Goldberg, kan? Dibantainya Kofi juga membuka peluang untuk satu lagi storyline, yakni Big E. Seperti yang sudah kusinggung dikit di atas. Saat kemenangan MITB Big E, komentator sempat menekankan bahwa Big E bisa menantang juara brand yang ia pilih. Mengingat Reigns bakal sibuk dengan John Cena yang made a very surprising and welcome return, Big E bisa saja mampir ke Raw untuk ‘menyelamatkan’ teman-temannya. Benturan physical antara Lashley dan Big E certainly akan membantu kedua-duanya untuk menjadi karakter yang lebih kuat.

mitbe8a705f436ba6b7a-1200x675
ICONIC!!

 

 

2021 benar-benar tahun yang aneh. Aku gak nyangka bakal senang lihat John Cena balik, bakal gak marah lihat Charlotte menang sabuk lagi, dan aku gak nyangka bakal bilang match yang involving A.J. Styles adalah match yang paling lemah dalam satu acara WWE. But hey, mungkin ini justru menunjukkan betapa standar Money in the Bank 2021 memang tinggi! Storyline demi storyline fresh terset up dengan baik untuk membuat kita excited menunggu SummerSlam, ada Seth Rollins-Edge, Roman Reigns-John Cena, Alexa Bliss-Nikki, possible Big E-Lashley, dan bahkan Jinder Mahal-Drew McIntyre. Untuk penilaian, well, meskipun Charlotte dan Rhea certainly lebih kuat, tapi karena aku gak suka Charlotte dan ini seharusnya subjektif, maka aku menobatkan Money in the Bank cowok sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Results:

1. WOMEN’S MONEY IN THE BANK LADDER MATCH Nikki A.S.H mengungguli Alexa Bliss, Liv Morgan, Asuka, Zelina Vega, Tamina, Natalya, Naomi
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Juara bertahan A.J. Styles dan Omos mengalahkan Viking Raiders
3. WWE CHAMPIONSHIP Almighty Bobby Lashley menghajar Kofi Kingston 
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte merebut sabuk dari Rhea Ripley
5. MEN’S MONEY IN THE BANK LADDER MATCH Big E dapat koper ngalahin Riddle, Ricochet, Seth Rollins, Kevin Owens, Shinsuke Nakamura, John Morrison, Drew McIntyre
6. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Roman Reigns retain atas Edge

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY Review

“Beautiful trees still rise from ugly seeds”

 

Peter Rabbit is a bad seed. Di antara kelinci-kelinci peliharaan Bea, Peter yang paling bandel. Dalam film pertamanya saja (rilis tahun 2018) Peter ngebully Thomas McGregor, manusia yang jadi musuh bebuyutannya, yang punya alergi buah blackberry dengan melempar blackberry tersebut hingga tepat masuk ke mulut. Prank yang begitu kelewatan, sampai-sampai Sony Pictures harus meminta maaf kepada publik perihal adegan tersebut. 

Agaknya, insiden itulah yang jadi inspirasi bagi sutradara dan penulis naskah Will Gluck untuk cerita sekuel dari karakter kelinci yang awal fenomenanya berasal dari buku kanak-kanak di Inggris ini. Gluck mengedepankan tema Peter sekarang aware bahwa dia dicap bandel oleh orang lain. Gluck ingin membuat pesan yang menyuarakan tentang mengenali self-worth, kepada penonton. Karena bandel tentu saja tidak berarti jahat. Like, bandel pada kendaraan justru berarti hal yang bagus. Sehingga untuk benar-benar menghidupi tema tersebut, Gluck pun mengonsep film kedua ini sebagai film yang bandel. Enggak cukup hanya dengan menjadi meta, Peter Rabbit 2 kini melompat melewati batas aturan dunianya sendiri.

PETER-RABBIT-2-TRAILER-e1619535931978-1280x720
Kenapa ya kelinci sering digambarkan sebagai karakter bandel dalam fabel-fabel?

 

Semenjak gencatan senjata, yakni peristiwa sakral Bea menikah dengan Thomas, kelinci berjaket biru tokoh utama kita ini memang berusaha bersikap manis. Tidak lagi dia mengganggu kebun sayur milik Thomas. Peter bahkan menjaga kebun tersebut dari hewan-hewan lain. Sayangnya, belum semua orang dapat melihat perubahan sikap Peter. Image nakal dan bandel tetap melekat kepadanya. Buktinya, saat Bea dan Thomas bertemu dengan produser yang tertarik untuk membesarkan buku karangan Bea tentang Peter dan kawan-kawan menjadi sebuah franchise raksasa, Peter mendapati karakternya di dalam cerita itu akan tetap dibuat sebagai karakter yang bandel. Peter lantas jadi pundung dengan semua orang. Peter minggat, dan di jalanan kota London itulah Peter bertemu dengan seorang kelinci tua. Kelinci yang percaya kepadanya. Kelinci yang bertindak selayaknya ayah baginya. Kelinci, yang mengajaknya untuk bergabung ke dalam misi mulia merampok makanan di Farmer’s Market.

So yea, ada lebih banyak yang terjadi pada film kedua ini. Peter Rabbit 2: The Runaway memang mengadopsi istilah sequel is bigger. Yang kita ikuti bukan saja petualangan Peter menjalankan misi, tapi juga persiapan seperti pada film heist beneran. Mengumpulkan teman-teman, bikin rencana, dan lain sebagainya. Sesekali kita juga akan dibawa berpindah mengikuti Bea yang harus mengarang buku cerita sesuai dengan pesanan. Paralel di sini adalah Peter dengan Bea. Keduanya sama-sama bertemu dengan orang yang mereka kira nurturing, peduli, dan mengembangkan diri mereka yang sebenarnya. Padahal sebenarnya Bea dan Peter sedang dimanfaatkan. Film sudah menyiapkan banyak sekali lelucon slaptick – bahkan lebih banyak daripada film pertama – supaya tone cerita tidak menjadi terlalu sentimentil. Seperti misalnya ketika Peter yang berjalan sendirian bersedih hati, film menggunakan banyak treatment komedi seperti Peter terjatuh ke semen basah dan sebagainya. Komedinya naik bertahap menjadi lebih kreatif saat menggunakan musik latar sebagai candaan. Aku ngakak di adegan tupai nyanyiin lagu Green Day, dan bagaimana si tupai penyanyi itu jadi running joke yang muncul bikin Peter heran setiap kali dia menggalau. “Kok elu bisa tahu isi hati gue?” kurang lebih begitu pertanyaan si Peter kepada Tupai hahaha

Sebagai cerita yang memang berasal dari materi untuk anak-anak, film ini perlu untuk menjadi total menghibur. Ini lompatan nekat pertama yang dilakukan oleh film. Peter Rabbit dan teman-teman yang di buku aslinya adalah dongeng sederhana untuk dibacakan sebagai cerita pengantar tidur, kini dibuat total konyol, enggak banyak beda ama film kartun ala Looney Tunes. Dan supaya stay true dengan tema aware kepada true self, film memperlakukan komedi tersebut dengan cara meta. Yang artinya, para karakter dalam film ini dibuat mengenali perbuatan mereka yang disejajarkan dengan mengenali hal di dunia nyata kita, para penonton mereka. Semacam breaking the fourth wall cara-halus. Peter di film ini menyebut tindakan mereka sudah semakin mirip adegan kartun, misalnya. Atau ketika ada karakter yang menyebut betapa menjengkelkannya suara Peter terdengar. This rings so true karena suara James Corden yang mengisinya memang benar-benar annoying. Film membuat karakternya sendiri mengacknowledge ini dengan beberapa kali mempraktekkan dan mempertanyakan suaranya.

Kemetaan tersebut tidak hanya dilakukan sebagai selingan komedi. Namun juga actually dijadikan bagian dari plot. Ini kita lihat pada porsi Bea. Dia disuruh menulis cerita yang lebih fantastis. Kelinci-kelinci pada ceritanya disuruh supaya enggak hanya berkutat di perkebunan di rumah saja. Melainkan harus bertualang di kota, di pantai, bahkan kalo perlu hingga ke angkasa. Kelinci-kelinci tersebut disuruh melakukan berbagai aksi, seperti kebut-kebutan ataupun berkeliling dunia menyelamatkan teman-teman mereka. Film sudah menyiapkan punchline untuk plot poin tersebut dengan membuat ‘Peter dan kawan-kawan yang sebenarnya’ benar-benar melakukan hal yang jadi materi untuk buku karangan Bea. Peter akan benar-benar ngebut-ngebutan untuk menyelamatkan teman-temannya yang tersebar ke berbagai penjuru

peter00278774
Untung aja gak beneran sampai ke angkasa raya

 

Untuk mendaratkan cerita (dan semuanya) supaya enggak benar-benar sampai ke luar angkasa, film mengikat permasalahan Peter berakar pada masalah keluarga. Dalam hal ini, permasalahan seputar relationship seorang anak kepada ayah. Dan juga sebaliknya; permasalahan bagaimana menjadi ayah kepada seseorang yang dianggap sebagai anak. Peter yang tampak bandel bagi Thomas, dan masalah Peter yang langsung marah dikatain bandel despite usahanya untuk jadi lebih baik — ini adalah masalah ayah dan anak, written all over it! Mereka berdua hanya harus menyadari itu, sehingga Peter sebenarnya tidak perlu lagi mencari father figure ke tempat lain. Dan inilah sebabnya kenapa karakter Thomas McGregor – yang di film pertama merupakan semacam antagonis utama – kali ini lebih mencuri perhatian ketimbang Bea, atau Peter sekalipun.  Thomas memang masih kebagian porsi konyol juga (dia lari ngejar mobil itu ‘kartun’ banget dan favoritku adalah pas adegan menangisi rusa – comedic timing Domhnall Gleeson dapet banget!) tapi fungsi karakternya kali ini terutama adalah sebagai sarana penyadaran untuk Bea dan Peter. Dia menunjukkan cinta yang kuat. Meskipun masih sering bertengkar dengan Peter, tapi semua itu ada alasannya. Adegan Thomas ngobrol dengan Peter di menjelang babak tiga akan jadi hati untuk film ini.

Masalah Peter memang berakar dari absennya seorang ayah di dalam hidup. Peter jadi percaya dirinya berbeda, seorang ‘bad seed’. Tapi meskipun memang benar, Peter bandel, dan ayahnya seorang pencuri seperti yang diceritakan si Kelinci Tua, tidak berarti Peter harus tumbuh menjadi bener-bener bad. Karena kualitas seseorang tidak ditentukan dari bibitnya.

 

Wait, Thomas ngobrol dengan Peter??

Ya, sayangnya ini adalah hal yang aku merasa perlu untuk disebutkan sebagai spoiler, karena ini adalah satu lagi lompatan maut yang dilakukan oleh film. Untuk menjadi sebandel Peter, film merasa perlu untuk melanggar aturan buku Peter Rabbit, yakni hewan-hewan lucu itu tidak bicara kepada manusia. Film pertama menghandle aturan ini dengan lebih baik, mereka mencari celah supaya komunikasi bisa tetap terjadi. Namun, film kedua ini, mereka langsung saja seperti sebuah cara gampang untuk mengomunikasikan feeling antara Peter dan Thomas. Ya, secara konsep memang masuk, tapi tidak berarti tampak bagus dari kacamata penulisan skenario. Atau bahkan dari kacamata para fans hardcore, yang bisa aku bayangkan pada surprised. Karena kekhasan Peter Rabbit sendiri jadi ilang. Yang jelas, dari penulisan, aku memang berharap momen ‘wejangan’ seperti ini tidak digampangkan atau tidak dibikin ada begitu saja. There should be more clever and sweet ways untuk membuat hewan dan manusia membicarakan perasaan mereka dan memecahkan masalah bersama.

Film memang lantas jadi full over-the-top. Benar-benar melanggar bukunya, dengan adegan yang dipersembahkan sebagai meta itu tadi. Dengan pesan yang gak jelas lagi apa sasarannya. Peter Rabbit memang menjadi franchise sukses di dunia nyata, sementara di film ini kita melihat karakter Bea (yang merupakan nama asli penulis Peter Rabbit) enggak suka Peter Rabbit menyimpang dan jadi semata produk jualan. Tapi film di akhir memperlihatkan Peter Rabbit dan Bea benar-benar bertualang, melakukan hal menyimpang yang ia tolak sebagai buku berikutnya. Sehingga becandaan metanya ini jadi kabur, apa tujuannya. Kenapa film malah melakukan hal yang semestinya adalah ‘salah’ menurut kompas ceritanya. Dan ini membuat film jadi pretentious.

 

 

 

Orang Jawa bilang lihatlah sesuatu dari bibit, bobot, dan bebetnya. Well, untuk bobot, film ini punya muatan yang berharga sebagai tontonan keluarga. Yang membuatnya bisa konek dengan anak-anak, maupun orang tua. Untuk kriteria bebet, film ini punya konsep yang lebih unik dibandingkan film pertamanya. Tampil lebih berani, melompati banyak resiko untuk menjadi berbeda; menjadi lebih besar daripada bibitnya. Hal ini dapat jadi hal yang positif, jika menjadi berbeda dan lebih besar itu mengarah kepada kepastian menjadi better. Sayangnya film ini malah terlihat seperti menertawai bibitnya sendiri. Mencoba jadi beda tapi tidak berhasil memperjelas poin utama dari konsep yang mereka lakukan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PETER RABBIT 2: THE RUNAWAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal bibit-bobot-bebet, apakah menurut kalian menilai seseorang dari tiga kriteria tersebut masih relevan di masa sekarang ini?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

LUCA Review

“You will be free the moment you stop worrying about what other people think of you”

 

Ah, libur memang menyenangkan. Meskipun di Indonesia gak ada yang namanya liburan musim panas, tapi toh anak-anak sekolah di sini juga merasakan libur panjang di pertengahan tahun sebagai jeda tahun ajaran. Anak-anak punya waktu seharian penuh selama berminggu-minggu yang cerah untuk bermain-main. Bertualang. Mengeksplorasi imajinasi mereka. Mencoba hal-hal baru. Bagi sebagian besar dari kita, kenangan ceria berkegiatan saat libur sekolah mungkin sudah jadi ingatan yang samar. Namun justru untuk itulah film terbaru Pixar, Luca, hadir kepada kita. Untuk mengingatkan bagaimana rasanya mengarungi dunia yang punya banyak kesempatan bagi anak-anak yang berani mencarinya.

Bagaimana dengan anak-anak yang enggak berani?

Luca yang merupakan debut penyutradaraan animasi-panjang dari Enrico Casarosa akan certainly berefek lebih kuat. Karena cerita film ini memang sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak yang belum berani, yang masih pemalu, yang merasa hidupnya harus terus dikawal ketat oleh orangtua. 

See, Luca yang jadi tokoh utama dalam film ini adalah seorang anak monster-laut. Dia hidup di bawah air di sebuah kepulauan Italia bersama kedua orangtua yang terus mengingatkannya akan bahaya di permukaan sana. “Hati-hati sama perahu monster-darat, mereka memburu kita” Begitulah kurang lebih peringatan yang diberikan ibu kepada Luca saat menggembala ikan-ikan di laut. Tetapi Luca justru tertarik sama benda-benda manusia yang jatuh ke laut. Luca ingin ke atas sana, tapi dia takut. Alberto-lah yang membuat Luca jadi cukup berani untuk diam-diam naik ke daratan. Alberto-lah yang membuat Luca surprise, karena ternyata monster-laut seperti mereka bisa berubah menjadi manusia ketika berada di darat. Dan sekarang, a whole new world opens bagi Luca yang penasaran tapi pemalu itu. Dunia dengan ikan-ikan terang di angkasa pada malam hari. Dunia dengan mesin bernama Vespa yang bisa membawa ke mana saja mereka mau. Dunia dengan teman-teman baru. Ya, berhati-hati supaya tidak kena air yang dapat membocorkan wujud asli mereka, Luca dan Alberto pergi ke kota manusia. Bersama dengan seorang anak manusia, mereka ikutan lomba supaya bisa dapat duit membeli vespa untuk menjelajahi dunia. 

lucaluca-trailer-e1619617686812-kr47fr
Literally, monster-fish out of water story

 

Right off the bat, film udah ngajarin anak-anak untuk tidak takut. Satu-satunya penghalang Luca main ke atas permukaan air, ya cuma wanti-wanti ibunya yang terlalu cemas. Tidak ada tembok tinggi, tidak ada pintu terkunci, tidak ada pagar berduri. Tidak ada tabir apa-apa yang menghalangi Luca untuk ke mana-mana. Ariel si Little Mermaid aja harus menjual suaranya kepada Ursula supaya bisa punya kaki dan mengejar cintanya ke daratan. Luca hanya perlu memberanikan diri. Dan ini hanyalah satu dari sekian banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh penonton cilik yang menyaksikan film ini.

Luca yang menyembunyikan wujud asli pada akhirnya akan memberi pelajaran kepada anak-anak untuk berani dan bangga jadi diri sendiri, tidak peduli pada kata orang lain karena begitulah hidup; Akan ada orang yang menyukai dan menerima kita, tapi juga akan selalu ada orang yang tidak menyukai kita, dan tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap itu selain menjadi yang terbaik bagi diri kita sendiri. In turn, ini tentu saja juga mengajarkan untuk menerima perbedaan orang lain. Sementara orang dewasa juga bisa mengutip pelajaran soal memberikan kebebasan untuk berkembang bagi sesuatu yang kita cintai.

 

Tadinya memang kupikir film ini tuh seperti kartun klasik Disney tersebut, hanya saja dengan cerita yang lebih ringan, nyaris tak ada stake; Lebih anak-anaklah dengan wondrous adventure yang seperti tak bertujuan. Then it strikes me. Dengan segala kemagisan visual dan kesederhanaan ceritanya, Luca ini lebih mirip kayak Ponyo, animasi fantasi dari Studio Ghibli yang juga tentang makhluk air yang bisa menjadi manusia dan penasaran sama kehidupan di darat. Kemudian seiring durasi berjalan, lebih banyak lagi referensi atau kemiripan elemen-elemen Luca dengan film-film buatan Studio Ghibli. Kota yang mereka datangi, Portorosso, hanya beda satu huruf (dan satu spasi) dengan film Porco Rosso, pakaian baju belang merah-putih dan celana panjang biru yang dikenakan teman manusia Luca (si Giulia) mirip sama pakaian teman Kiki di Kiki’s Delivery Service. Bahkan flow cerita film Luca ini mirip dengan cerita anak-anak khas Jepang pada beberapa film Ghibli. Pixar kan biasanya cenderung untuk membangun dunia dan konsep-konsep world-building. Tapi kali ini lebih sederhana. Alih-alih membuat kita menyelam ke dalam dunia monster laut, monster-monster laut itulah yang tercengang-cengang belajar kehidupan manusia. Selain aturan gak boleh basah, dan keinginan punya vespa yang muncul di menjelang pertengahan, film Luca ini berjalan tanpa ada misi ataupun rule yang membentuk cerita. Karakter-karakter kita hanya mengisi hari. Membangun vespa dari perkakas bekas. Mencoba berbagai aktivitas yang tidak bisa dilakukan di air. Kita ‘cuma’ melihat persahabatan mereka tumbuh sepanjang musim panas itu.

Cerita antara dua anak laki-laki (younger and older boy) yang menjadi semakin erat, bersama-sama di sepanjang hari itu memang membuat Luca juga jadi punya vibe yang sama dengan film Call Me by Your Name (2017). Malah sudah ada tuh di Internet yang mlesetin film ini sebagai ‘Calamary by Your Name’. Persahabatan Luca dan Alberto memang terjalin begitu erat, ada cinta yang kuat di sana, tapi aku pikir ini tidak serta merta mengarah ke hubungan romansa. Bahkan Luca dengan Giulia yang bikin Alberto kayak jealous juga enggak benar-benar strike me as a romantic relationship. ‘Cemburunya’ Alberto lebih seperti manifestasi dari abandonment issue yang diidapnya. Alberto ini sebatang kara, tapi tidak pernah ditetapkan dengan gamblang apakah dia ditinggalkan ayahnya dengan sengaja atau gimana. Tapi yang jelas, Alberto sebenarnya memang selalu menunggu ayahnya kembali. Luca -satu-satunya sahabatnya – pergi belajar dengan Giulia jelas adalah trigger bagi Alberto. Itulah sebabnya kenapa adegan di pantai yang melibatkan mereka bertiga terasa sangat sedih dan menohok buatnya karena itu kejadian ditinggalin yang sangat traumatis bagi Alberto. Tapi tentu saja, selain itu, pesan film ini untuk tidak takut ataupun tidak malu menunjukkan diri sendiri, jelas juga adalah pesan yang sangat menguatkan untuk penonton LGBT.

Bagi Luca sendiri pun, both Alberto dan Giulia adalah sahabat yang penting. Mantra “Silenzio, Bruno” yang diajarkan Alberto terbukti jadi sokongan yang kuat untuk mengenyahkan kekhawatiran dan kecemasan Luca. Dan pengetahuan yang diajarkan Giulia membuat Luca sadar terhadap apa yang sebenarnya ia cari ketika pengen Vespa untuk menjelajah dunia. Jadi sekarang tinggal Luca yang harus belajar jadi confident – menjadi diri sendiri – berdamai dengan larangan orangtuanya untuk mengejar hal tersebut.

luca-trailer-1
Call Me by Your Ghibli Name

 

Cerita dan motivasi Luca memang menjadi semakin terarah nanti saat Giulia bergabung ke cerita. Mereka akan latihan bersama. Menghadapi pembully bersama. Kita akan jadi bisa lebih peduli sama Luca dan Alberto. Tapinya juga, memang, bagian-bagian awal film ini terasa kurang ngena. Penonton yang pengen berpegang pada motivasi akan susah mencari pegangan pada karakter Luca. Mungkin keinginan Luca untuk ke permukaan bisa lebih dicuatkan lagi dengan memperlihatkan kenapa sih Luca gak betah di dalam air. You know, Ariel aja punya satu lagu yang memperlihatkan kehidupan di bawah laut yang ingin ia tinggalkan — But then again, itu karena Kerajaan Ariel bukan tempat yang buruk. Jadi adegan itu akan membuat kontras yang menarik kenapa orang mau meninggalkan tempat/statusnya yang sudah tinggi. Dengan begitu, pada Luca yang monster-laut biasa ini, harusnya keadaan di bawah laut itu lebih suram sehingga dia jadi pengen ke atas. Tapi tentu saja itu bakal ngerusak tone cerita, sehingga film ini mencukupkan dengan menghadirkan karakter paman Luca (ikan Borat!) yang aneh dan mau membawanya ke laut terdalam yang kosong. Jadi, masalah dunia Luca yang kurang dikembangkan masih bisa aku maklumi tidak dilakukan film dengan lebih kontras lagi.

Meskipun begitu, aku punya dua hal lagi untuk direwelin perihal film ini. Pertama, antagonis cerita. Si pembully yang jago naik vespa, juara bertahan dalam lomba. Karakter ini terlalu dangkal. Dia sekadar jahat, gak pakek tapi. Padahal mestinya ada depth yang bisa digali dari karakter yang umurnya jauh lebih tua daripada Luca dan anak-anak lain yang jadi lawannya dalam lomba. Film sebenarnya bisa saja mengaitkan identitasnya tersebut dengan bagaimana Luca dan Alberto menyembunyikan wujud monster mereka. Kedua, adalah soal salah satu running-joke dalam cerita. Ayah dan Ibu Luca actually ikut ke kota, dan demi mencari Luca mereka menyiram atau menjatuhkan semua anak yang mereka lihat ke air. Ini lucu, no doubt. Aku ngakak selalu. Tapi kalo dipikir-pikir aneh juga, tidakkah itu akan membahayakan? I mean, di titik itu perspektif ayah dan ibu Luca adalah bahwa penduduk kota masih beringas memburu monster laut. Kalolah salah satu anak yang kesiram itu beneran Luca, anak itu akan terekspos di tengah kota, bukankah itu – dari perspektif mereka – akan membahayakan anak mereka sendiri? Jadi ada yang gak klop dari penulisan komedi itu menurutku.

 

 

Jadi, bagaimana kesimpulanku  mengenai film ini secara keseluruhan? Visual yang cantik, suara yang luar biasa, budget dan star power yang dimiliki Pixar digabung dengan kesederhanaan cerita ala Ghibli — Aku akan nonton kapanpun di mana pun. I hope dua studio animasi ini beneran kolab di kemudian hari. Tapi sekarang, kita punya film ini, dan menurutku ini lebih dari sekadar ‘teaser’. Aku suka. Ini tipe film yang bakal langsung kurekomendasikan ke adik-adikku di rumah. Film ini baik sekali untuk ditonton anak-anak. Punya pesan yang kuat, dan gampang dicerna. Walaupun memang penulisannya bermain di tempat yang sedikit terlalu dangkal. Ada beberapa hal yang mestinya bisa lebih diperdalam, tanpa memberatkan tone secara drastis. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for LUCA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Berturut-turut kita nonton film dengan karakter yang ditinggal oleh orangtua. Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021) dan Alberto di film ini. Juga di film ini, kita melihat Luca meninggalkan keluarga dan sahabat yang ia sayangi. Alberto sempat khawatir akan ditinggalkan Luca, tapi di akhir dia menerima. Menurut kalian, apa ada perbedaan antara tindakan Luca dengan abandonment yang dirasakan Alberto terhadap ayahnya?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Hell in a Cell 2021 Review

 

Terhitung hingga ulasan ini beres ditulis, ada empat puluh delapan pertandingan Hell in a Cell yang telah diselenggarakan oleh WWE sejak pertama kali diciptakan 24 tahun yang lalu. Dari otak Jim Cornette-lah pertandingan kandang neraka ini berasal. Cornette melakukan ‘lempar batu sekali, dua burung kena’ saat menciptakan itu.

Konsep Hell in a Cell ini originally bukan sebagai gimmick pertandingan semata, melainkan juga untuk memperkenalkan karakter baru. Idenya adalah mereka ingin munculin karakter baru yang seram dan kuat di luar batas wajar manusia sebagai counterfeit dari karakter Undertaker. Musuh-abadi dari pegulat dengan kekuatan supernatural tersebut. Jadi membangun situasi untuk mendukung ‘ilusi’ karakter baru tersebut, supaya penonton dalam sekali lihat bisa langsung percaya bahwa monster ini adalah ancaman yang legit untuk Undertaker. Jadi, mereka membuat kandang, menempatkan Undertaker dengan Shawn Michaels (juara saat itu yang suka bermain curang dengan dibantu oleh rekan-rekannya) untuk bertanding di dalam, dan ngebuild up kandang tersebut sebagai struktur kuat yang akan menjamin tidak akan ada yang bisa mengganggu dua superstar yang bertanding di dalamnya. Dan datanglah Kane. Monster dengan topeng, dengan lampu merah redup dan ilustrasi api seolah dari neraka. Mencabik pintu kandang dengan gampangnya. The rest are history. Cornette sukses berat membentuk Kane, dan Hell in a Cell itu sendiri sebagai yang akan diingat oleh penonton selamanya.

Kenapa aku malah membahas kejadian berpuluh tahun lalu alih-alih langsung ngereview pay-per-view yang baru saja kita saksikan? Well, tentu saja untuk membandingkan. Yang tentu saja berkaitan erat dengan menilik keadaan produk WWE sekarang ini. Hell in a Cell jadi studi kasus yang menarik, karena jelas sekali dari sejarahnya tersebut, pertandingan ini benar-benar dibangun dengan konsep yang baik. Pertandingan WWE di tahun segitu benar-benar terkonsep dengan baik. Di era modern ini, sebaliknya, Hell in a Cell hanya terasa sebagai environment. Gimmick tanpa ada bobotnya. Malah, Hell in a Cell berubah menjadi pay-per-view yang selalu ada setiap tahun; tidak lagi dilangsungkan karena kebutuhan skenario. Kayaknya langka sekali sekarang ada match Hell in a Cell yang benar-benar memanfaatkan struktur kandang itu sendiri, entah itu untuk storyline seperti yang dilakukan Jim Cornette pada awalnya, atau sekadar untuk hardcore-hardcorean seperti yang dilakukan oleh Undertaker dan Mick Foley.

Beruntungnya kita, dalam acara yang disebut sebagai pay-per-view terakhir yang berada dalam kandang Thunderdome ini (bulan depan WWE akan kembali tampil di depan penonton di dalam arena), dua match Hell in a Cell yang diberlangsungkan sangat mewakili HIAC di era kekinian dan di era lampau!

 

Pertama adalah main eventnya; Drew McIntyre lawan Almighty Bobby Lashley. Pertandingan Hell in a Cell mereka sangat terkonsep. Udah kayak match di jaman dulu itu. Di sini, kandang itu benar-benar kembali difungsikan sebagai ‘penangkal gangguan’. Dibuild-upnya adalah supaya Lashley tidak bisa dibantu oleh MVP, manajernya. Karena stake McIntyre juga dibuat gede; ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menantang kejuaraan. Jika dia kalah, maka dia tidak bisa lagi menantanng kejuaraan ini selama masih dipegang oleh Lashley. See, ada desain di baliknya, ada stake dalam cerita. Inilah sebabnya kenapa partai ini berhasil membuat aku tertarik untuk nonton lagi. Not gonna lie, belakangan ini memang minatku untuk ngikutin Raw dan Smackdown berkurang jauh. Aku bahkan gak bergairah untuk mengulas WrestleMania Backlash bulan lalu – karena aku benar-benar benci sama namanya hahaha… Cerita Lashley dan McIntyre – walaupun pertandingan mereka kerap diulang-ulang – tak pelak membuat aku penasaran juga sama eksekusi konsepnya.

hiac20210620_HIAC_Bliss-c1b03933a430ade45d9cf464e2be6a43
Di samping itu, aku juga tertarik sama Bayley-Bianca, Alexa Bliss, dan Roman-Mysterio (yang sayangnya dicancel dari acara)

 

For the most part, the match was really great. Cerita dan konsep itu dengan cepat dipick up oleh kedua superstar yang memainkan ‘tarian’ dengan tempo cepat. Dan, katakanlah, brutal. Karena memang banyak menggunakan senjata-senjata, seperti kursi, kendo stick, meja, steel step, dan lain-lain. Mereka juga mainnya keras banget, jadi semakin terasa urgennya pertandingan ini. Terutama bagi McIntyre yang berhasil bikin dia kelihatan perlu banget untuk menang. Konsep Hell in a Cell itu dimainkan dengan baik saat ternyata justru McIntyre-lah yang membuat kandang itu bisa ‘dijebol’ oleh MVP. Sayangnya, cerita yang dimainkan di sini mulai terasa payah saat masuk ke pilihan ending. Dan inilah salah satu penyakit dari penulisan WWE jaman sekarang ini.

Mereka tau mereka punya talent-talent yang luar biasa. Mereka terbukti bisa memanfaatkan talent tersebut untuk match yang seru. Namun seringkali match akan berakhir kentang karena WWE gak punya visi storyline yang jelas. Mereka hanya mengulang formula yang sama. Sehingga banyak match WWE jadi terkesan jelek, berkat ending yang tidak memuaskan. McIntyre dan Lashley udahan lewat pin yang simpel. Begitu juga dengan Cesaro dan Seth Rollins yang matchnya kita saksikan cukup seru. The right person is winning, hanya saja cara kalahnya selalu entah itu terasa tidak konklusif, atau tidak membantu apa-apa terhadap superstar yang kalah.   

Contoh terparah dari kasus ini dapat kita lihat pada pertandingan antara Rhea Ripley melawan Charlotte. Man. Aku gak ngerti kenapa WWE terus saja memprotek Charlotte padahalnya harusnya mereka ngepush Rhea, si juara, yang actually disukai oleh penonton. Dalam match ini keliatan banget, Charlotte dibikin kuat sementara Rhea tampak seperti orang yang seperti berusaha keras untuk membuktikan diri berada di level Charlotte. Storyline kayak gini oke saat Rhea baru debut tahun lalu. Tidak sekarang. Match mereka berakhir awkward oleh DQ yang seolah Rhea terdesak banget. Partai mereka ini harusnya jadi final buat feud mereka, dengan dilangsungkan di Hell in a Cell. Tapi kita semua tahu, alasan match ini tidak di dalam kandang dengan aturan no-dq itu adalah karena WWE enggan membuat Charlotte kalah bersih.

hiacbobby-lashley-drew-mcintyre-hell-in-a-cell
Paduka Anak Emas sendiri sering membuktikan bahwa dirinya tak lebih pantas untuk dipush dibandingkan orang lain.

 

Partai Hell in a Cell kedua (meskipun lebih tepatnya pertama, karena jadi partai pembuka) tidak punya konsep. Persis kayak HIAC modern kebanyakan. Hanya pertandingan dengan senjata, di dalam kandang. Kandangnya tidak digunakan maksimal, paling cuma untuk benturin-benturin musuh dan dipanjat-panjat dikit. Namun toh, pertandingan ini tetap asik untuk diikuti karena Bayley (I called her ‘Lady Loki of WWE’) dan Bianca Belair benar-benar sudah matang dalam permainan karakter masing-masing. Terutama Bayley, karakternya sudah fleksibel banget. Sehingga, kalah pun gak bakal melukai karakternya. They know this dan benar-benar bermain sesuai keunggulan masing-masing. Kita melihat penggunaan rambut Belair dalam cara yang lumayan kreatif. Begitu juga dengan taktik heel Bayley yang gak kalah kreatifnya. Jika ini bukan Hell in a Cell, aku akan berikan nilai tinggi untuk match ini. Really. Satu-satunya hal bego di sini cuma Michael Cole yang sekali lagi membuktikan dia ngomentari match itu sambil baca skrip doang. Bayley belum ngambil double kendo stick aja, si Cole udah bilang duluan hahaha…

 

 

WWE memang masih jadi tempat tujuan jika kita mencari hiburan gulat yang gak sekadar aksi, tapi juga kuat di karakter. Cuma memang, nonton WWE ini kudu siap sebel aja. Karena bookingannya yang seringkali menurunkan nilai match-match yang tadinya sudah bagus. WWE bagus dalam gimmick match, tapi mereka terlalu cuek dan gampang banget mengorbankan konsep dan gulat itu sendiri. Match Alexa Bliss dan Shayna Baszler misalnya, it’s nothing melainkan cuma untuk nunjukin Alexa kini punya ilmu hipnotis/merasuki orang. Dua HIACnya ada yang kuat di konsep, tapi eksekusi malesin, dan ada juga yang menghibur tapi gak ada konsep. Pada akhirnya memang, gulat standar (tapi dimainkan dengan penuh passion dan chemistry) seperti yang disuguhkan – berkali-kali kepada kita – oleh Sami Zayn dan Kevin Owens lah yang menjadi MATCH OF THE NIGHT

 

 

Full Results:

1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Bianca Belair bertahan sebagai juara atas Bayley
2. SINGLE Seth Rollins mengalahkan Cesaro
3. SINGLE Alexa Bliss ngalahin Shayna Baszler
4. SINGLE Sami Zayna beat Kevin Owens
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte menang DQ dari juara bertahan Rhea Ripley
6. WWE CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL Almighty Bobby Lashley tetap juara mengalahkan Drew McIntyre 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ALI & RATU RATU QUEENS Review

“Our life is a one-way journey”

 

Enggak setiap hari kita diajak jalan-jalan ke kota New York oleh film Indonesia. Tujuan destinasi film kita biasanya memang lokasi-lokasi dengan pemandangan eksotis. Bukannya New York tak indah, hanya saja untuk sebagian besar kota tersebut kurang lebih sama dengan kota-kota besar padat yang sibuk dan megah oleh gedung-gedung menjulang. Pemandangan unik yang dilihat Ali dalam film original Netflix Ali & Ratu Ratu Queens ‘cuma’ jalan-jalan satu arah yang ada hampir di setiap persimpangan distrik Queens. Namun bagi Ali, maupun bagi film ini sendiri, pemandangan bukan menjadi persoalan. Karena cerita ini adalah tentang perasaan. Ali bakal menyadari sesuatu tentang kehidupan dari jalan-satu arah yang ia lihat. Ali bakal belajar tentang hubungan keluarga yang sebenarnya. Ali & Ratu Ratu Queens berhasil menguarkan kehangatan pada kota yang bahkan di film-film dan serial televisi luar kerap digambarkan sebagai kota keras yang tidak ramah.

aliCSMh3V7vG
Oase di hutan gedung

 

Cerita film ini seperti sebuah unofficial sekuel dari Dua Garis Biru (2019), yang juga ditulis oleh Gina S. Noer. Enggak exactly berhubungan, tapi tak-urung terasa seperti kelanjutan. Dalam akhir Dua Garis Biru, si ibu-remaja memutuskan untuk terbang ke Korea mengejar mimpi dan menyambung pendidikannya, meninggalkan putranya untuk sementara bersama ayah-remaja di Indonesia. Ali & Ratu Ratu Queens, ceritanya dimulai dengan permasalahan yang mirip. Bedanya, pasangannya bukan remaja, perginya bukan ke Korea. Ali sudah berumur lima-tahun ketika ibunya pamit sebentar ke Amerika. Apa yang tadinya mestinya hanya enam bulan, berlanjut hingga bertahun-tahun. Ali hilang kontak dengan sang ibu. Sepeninggal ayah, Ali yang kini telah lulus sekolah menemukan bukti bahwa Ibu ternyata bukanlah seperti yang dikatakan oleh Om, Tante, dan saudara-saudaranya di Indonesia. Percaya setulus hati bahwa Ibu masih cinta dan menunggunya, Ali memutuskan untuk berangkat ke Amerika. Menjemput ibunya.

When entering this movie, I was thinking about a completely different movie. Materi-materi promosi yang kulihat berseliweran di sosmed/Internet telah sukses menggiringku ke arah yang salah perkara ‘mencari ibu’ yang dilakukan oleh Ali. Tadinya kupikir ini adalah tentang anak yang melakukan road trip ke Amerika, menemukan ibu yang tidak ia tahu pasti keberadaan, atau malah mungkin ‘siapa’ ibunya tersebut. Ternyata Ali & Ratu Ratu Queens enggak really about mencari. Ali dalam cerita ini tahu dan ingat siapa perempuan yang dia sebut ibu, Ali tahu tempat di mana dia harus mencari; dia punya alamat lama dan everything. Perjalanan Ali di sini bakal tampak sebagai sebuah kemudahan, apalagi Ali kemudian ditampung tinggal bersama geng ibu-ibu imigran dari Indonesia yang lagi nyari duit untuk buka bisnis kuliner di sana. Tapi sekali lagi, film ini bukan soal ‘mencari keberadaan’, melainkan soal memaknai keberadaan itu sendiri. Setelah plot poin di akhir babak pertama yang mengejutkan, fokus yang kemudian mengisi cerita adalah mengenai hubungan Ali dengan para ibu-ibu yang menyebut diri mereka Queens-nya kota Queens yang perlahan ikut tumbuh seiring dengan usaha Ali merajut kembali hubungan yang terputus dengan ibunya.

Jika ada yang Ali cari, maka itu adalah mencari makna keluarga. Dan life, in general. Karena film ini lewat perjalanan Ali juga punya muatan soal dalam hidup manusia punya tujuan, yang jalan menempuh tujuan tersebut bakal penuh pengorbanan, dan betapa berat perjuangannya untuk tidak stray away dari jalan tersebut. Jalan-satu-arah di kota Queens tersebut benar-benar tepat melambangkan jalan hidup yang kita lalui. Satu arah. Tidak ada kata mundur kembali dalam perjalanan mengejar mimpi.

 

Dalam prosesnya menceritakan jalan satu-arah, film ini mendobrak pandangan di sana-sini. Pertama, pandangan tradisional orang-kita yang berakar pada agama dan (sedikit terlalu banyak) patriarki terhadap gaya hidup Amerika dan kebebasan perempuan mengejar karir menentukan sendiri hidupnya. Ini dicerminkan oleh film lewat sikap menentang yang ditunjukkan oleh keluarga besar Ali di Indonesia. Mia, ibunda Ali yang sudah lama mia (alias ‘missing in action’ dalam urusan ibu rumahtangga) mereka anggap berdosa besar, dan itulah sebabnya Ali berusaha mereka jauhkan darinya. Karakter Ali di sini berfungsi sebagai perwakilan kita untuk mau/open melihat lebih dekat sebelum ngejudge. Ali langsung terjun ke Amerika. Merasakan sendiri perbedaan yang dianggap negatif ternyata reasonable secara manusiawi. Dan meskipun hal menjadi berat dan pedih bagi dirinya, Ali jadi mengerti kenapa ibunya melakukan yang ia lakukan tersebut. In turn, Ali paham dia juga harus menapaki jalannya sendiri karena dia adalah anak muda yang haruslah siap menghadapi dunia.

Kedua, pandangan stereotipe kota New York pada film dan serial televisi. Yang sering dieksplor dari Kota New York dalam media adalah kekerasannya. Dari The Simpsons hingga New Girl hingga ke film-film kriminal, New York lebih sering diperlihatkan sebagai daerah berbahaya, dengan penduduk yang cuek. Brookyn, Bronx, Staten Island; kota-kota “ghetto” aja yang terus dibahas. Film Ali & Ratu Ratu Queens ini tentunya asing bagi penonton Netflix di luar sana. Dan bagi orang Amerika, film ini bisa jadi pembuka mata. Karena bagi para pendatang atau imigran asing tersebut, Queens – kota di New York yang mereka bentuk sendiri sebagai tempat-keras – justru jadi tempat berlindung yang ramah. Ali dan para ibu-ibu tidak pernah diperlihatkan mendapat ancaman atau diskriminasi. Bahkan ada adegan ketika Ali mendapat simpati dan bantuan dari penduduk lokal. Bagi Ali, mungkin ibunya jauh lebih ‘kejam’ dibandingkan Queens. Bagi Ali dan ibunya dan ibu-ibu Queens, kota itu dengan jalan satu-arahnya adalah peluang untuk mewujudkan mimpi dan passion.

aliAli-Ratu-Ratu-Queens-4-750x422
Sepertinya benar juga kalo judul film ini adalah wordplay Alien the Queens. Imigran di Queens.

 

Jadi, natural (dan perlu banget) bagi film ini untuk menguatkan interaksi dan hubungan antara Ali, baik dengan ibu kandungnya, maupun dengan ibu-ibu yang nama gengnya disandingkan dengan namanya sendiri sebagai judul film. Marissa Anita sebagai ibu Ali mencuat di sini berkat tuntutan akting yang mengharuskannya bergulat dengan emosi. Baginya ini adalah menjadi ibu yang bertanggungjawab kepada keluarga sekaligus menjadi seorang perempuan yang bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai manusia. Marissa nails this, khususnya pada dialog supermenyentuh ketika dia harus benar-benar ‘mengakui kesalahannya’ kepada Ali di menjelang akhir film. Suara tercekat yang emosional terdengar sangat genuine, seperti ia benar-benar terluka dan menyesal saat mengucapkannya. Momen-momen heartfelt memang datang dari interaksi Mia dan Ali, berkat how good dan pahamnya Marissa terhadap psikologis perannya.

Ali, on the other hand, tampak agak on dan off. Kita mengerti arc Ali, we’ve come to understand apa yang harus dimengerti oleh Ali. Namun Iqbaal Ramadhan tidak terasa begitu konsisten dalam menyampaikan apa yang seharusnya dirasakan oleh karakternya. Karakter Ali punya tuntutan range yang lumayan, kadang dia berupa seperti anak kecil yang belum mengerti dan masih harus banyak dididik oleh ibu-ibunya. Kadang dia harus bermain-main dengan mereka. Kadang dia harus confront emosi terdalamnya. Iqbaal tampak perlu full-guidance to get through all of this, one by one. Sayangnya, skrip film ini bukanlah skrip yang benar-benar seimbang. Babak pertama dan pada sebagian besar babak keduanya, difungsikan untuk membangun hubungan antara Ali dengan para ratu. Namun tidak banyak yang diberikan kepada Ali di sini. Dia tidak selalu ada di driver-seat. Keputusan-keputusan besar diserahkan kepada para ratu. Malah, Ali tinggal bareng mereka saja, bukan Ali yang memutuskan. Instead, Ali dapat bagian untuk memutuskan hal-hal seperti melarang para ratu pergi melabrak ibunya. Film ini seperti memberikan tone yang membingungkan bagi Iqbaal to play with. Karena para ratu itu – walaupun ingin dibagi adil porsinya dengan Ali – tapi tetap sebagian besar difungsikan sebagai penghibur suasana.

Para ratu tidak banyak diberikan ruang untuk pengembangan karakter. Mereka, katakanlah, sudah tercetak langsung jadi. Tika Panggabean sebagai ibu galak dengan anak gadis yang cantik, Happy Salma sebagai oddball, Nirina Zubir sebagai penengah, dan Asri Welas sebagai peran dirinya yang biasa. Sedikit kekhasan masing-masing tidak pernah benar-benar dijadikan sebagai sesuatu bahasan yang relevan untuk cerita. Hubungan Ali dengan mereka pun sebagian besar dilakukan lewat montase. Aku tidak merasa ada persahabatan yang benar-benar tumbuh di luar hubungan seperti antara anak muda dengan guardiannya. Sehingga pula, interaksi dengan mereka di dua babak awal malah jadi tampak sebagai distraksi buat permainan emosi yang harus dilakukan Iqbaal.

Sutradara Lucky Kuswandi pun sepertinya memang lebih lihai dalam adegan relationship yang lebih ‘intim’ antara dua karakter ketimbang antara banyak-karakter. Pada bagian akhir ketika cerita memfokuskan kepada hubungan Ali dengan karakter yang diperankan Aurora Ribero, film terasa lebih stabil. Ini juga adalah waktu ketika Ali yang berusaha memperbaiki banyak hal mulai berada dalam full-komando. Akting Iqbaal pun jadi lebih konsisten di sini. Aku sih pengennya film bisa sekonsisten ini dari awal hingga akhir. Tapi kalo memang filmnya sudah merasa cukup dengan memuaskan penonton lewat bagian akhir saja, well, this is just one-way to do it.

 

 

True, film ini adalah salah satu ‘good movie’ yang berhasil diproduksi oleh perfilman tanah air di tahun-tahun yang mencekik ini. Feel good dan sangat menghangatkan. Membawa kita jalan-jalan dan membawa oleh-oleh yang berbobot untuk dibawa pulang ke hati masing-masing. Film ini juga punya suara dan berani untuk mengoarkannya. Tapi, aku pikir ini bisa mencapai lebih banyak lagi. Karakter utamanya, Ali, bisa lebih diperkuat lagi. Para Queen-nya bisa lebih didalemi lagi. Tone quirky dengan dramatisnya bisa dibuat lebih ngeblend lagi. Jika itu semua tercapai, aku yakin film ini gak butuh untuk bersandar pada lagu-lagu populer. Really, bahkan di film ini yang sekarang pun, lagu-lagu tersebut terasa over. At this point, mereka itu ada terasa seperti film ini lagi flexing budget yang dipunya aja kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALI & RATU RATU QUEENS.

 

 

That’s all we have for now.

Karakter Ratu mana yang jadi favorit kalian? Kenapa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

INFINITE Review

“Life is about reinventing yourself”

 

Apakah ada hal di dunia ini yang bisa kalian kerjakan, tanpa kalian yakin kenapa kalian bisa melakukannya? Misalnya seperti kalian ternyata bisa mencetak gol walaupun selama ini kalian belum pernah memegang bola. Atau kalian bisa langsung jago ngendarai sepeda walaupun baru satu kali latihan. Well, film Infinite buatan Antoine Fuqua bilang itu bukan karena bakat. Melainkan karena itu adalah keahlian yang kita bawa dari kehidupan sebelumnya. Infinite memang bicara tentang reinkarnasi. Konsep dasar yang jadi tulang punggung ceritanya adalah bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang terus-menerus lahir-kembali ke dunia, dan mereka membawa bukan hanya kemampuan yang telah dipelajar di sepanjang garis kehidupan mereka, melainkan juga beban atas hidup yang basically tak-terputus.

Konsep yang sebenarnya menarik banget untuk dijadikan cerita action sci-fi yang manusiawi. Namun sayangnya, film ini sendiri ternyata tak lebih dari sekadar reinkarnasi puluhan film-film action sci-fi; tanpa punya kemampuan spesialnya tersendiri.

Aku gak tahu apakah novel source-materi film ini memang bahasannya simpel, tapi yang jelas – yang kita lihat di film ini – memang Fuqua sepertinya lebih tertarik mendesain action pieces ketimbang berkutat dengan persoalan reinkarnasi dan permasalahan manusiawi yang dibawa olehnya. Ketika kita bertemu dengan Mark Wahlberg yang jadi Evan si tokoh utama, film seperti telah mencukupkan dirinya dengan narasi voice-over berisi eksposisi (bahwa di dunia cerita ini ada dua golongan orang yang bereinkarnasi; golongan jahat yang mencoba mengakhiri dunia supaya reinkarnasi juga berakhir, dan golongan baik yang mencoba menyetop golongan jahat) Yang dijanjikan film ini kepada kita lewat adegan pembukanya adalah aksi-aksi laga yang mustahil tapi fun. 

infiniteTrailer-infinite-2
Kapan lagi ngeliat Marky Mark nusuk pesawat pake pedang, kan?

 

 

Sisi baiknya memang adalah bahwa film ini enggak inkar janji. Penonton yang suka dengan sekuen-sekuen aksi heboh – yang nyerempet garis antara impossible dan dumb – bakal terhibur habis-habisan dengan yang ditawarkan Fuqua pada film ini. Evan ternyata adalah reinkarnasi dari seorang jagoan yang punya kepandaian cukup banyak, salah satunya adalah keahlian membuat pedang. Malahan di kehidupan terakhir sebelum Evan, si jagoan sedang dalam tahap mengembangkan kekuatan super ala superhero. Jadi, film ini punya begitu banyak taman bermain, mulai dari kejar-kejaran mobil, tembak-tembakan, bertempur pake pedang – either di atas jembatan atau di dalam pesawat yang berputar-putar, and I haven’t reach the punchline yet; melawan musuh berpistol ajaib! Aku langsung teringat sama adegan Cloud berantem lawan tiga clone Sephiroth di Final Fantasy VII Advent Children. Karena memang aksi di Infinite ini seru seperti itu.

Tapi begitu mengingat cerita yang dikesampingkan oleh sekuen-sekuen aksi tersebut, ya rasanya nonton film ini jadi kecewa juga. Evan selama ini tumbuh dewasa dengan mengira dirinya schizophrenia. Dia melihat mimpi-mimpi dan halusinasi tentang kejadian dan orang-orang yang tak ia kenal. Dia discover dirinya bisa melakukan hal-hal yang tak pernah ia pelajari. Film ini menyederhanakan konflik pelik itu dengan jawaban bahwa semua itu adalah memori dari kehidupan terdahulunya. Sehingga Evan yang sekarang ini hanyalah empty shell tempat si karakter jagoan bersemayam. Kepribadian atau karakter yang ia punya sebelum dia sadar dirinya adalah Treadway si jagoan, seperti menyatu begitu saja dengan kepribadian Treadway yang kita lihat di beberapa flashback; kalo gak mau dibilang kepribadian Evan itu menghilang. Film tidak menyelami persoalan kepribadian dan reinkarnasi lebih lanjut. 

Walaupun mengambil referensi kepada ajaran agama, tapi konsep reinkarnasi yang ada di sini dibikin simpel-simpel aja. Evan, maupun rekan-rekannya yang berjiwa imortal, tak pernah terlahir kembali sebagai tubuh yang bukan mereka. I mean, Treadway tidak pernah terlahir jadi cewek, atau temen cewek Treadway tidak pernah terlahir sebagai cowok sehingga dia dan pasangannya selalu jadi couple hetero. Melihatnya dari sini saja sudah cukup kelihatan betapa boringnya cerita film ini. Penggaliannya yang mentok variasi itu pun sebenarnya masih bisa jadi cerita menarik kalo karakter-karakter itu benar-benar digali. Tapi ternyata juga tidak. Film menghabiskan waktunya dalam menyadarkan ingatan Treadway yang bersemayam sebagai Evan alih-alih menjalin hubungan antara karakter-karakter yang terus berjuang bersama tersebut.

Melihat karakter yang berusaha menyadari apa yang bisa jago dia lakukan (not really berusaha malah, melainkan lewat alat canggih) tentu saja terasa hampa dibandingkan jika melihat karakter yang berjuang memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Dan memang begitulah semestinya makna dari reinkarnasi. Hidup berkali-kali, berarti mati berkali-kali. Berarti karakter kita sudah melakukan banyak kesalahan berkali-kali. Mengalami kehidupan seperti itu harusnya jadi pembelajaran. Namun tidak ada hal tersebut kita lihat terjadi pada karakter-karakter film ini, yang terus saja dibuat mengalami nasib yang itu-itu melulu

 

Antagonis di cerita ini, misalnya, adalah mantan teman seperjuangan Treadway. Pandangannya terhadap kehidupan terus-menerus mereka menjadi berbeda karena somehow si antagonis tidak pernah mengalami fase ‘lupa’ saat dia terlahir. Dia langsung ingat akan semua masalah. Dan ini membuatnya sama manusia, dan sama kehidupan. Jika film ini menggali dan membawa kita menyelam bersama karakter ini – melihat bagaimana dia dan Treadway dan rekan-rekan lain feel tentang reinkarnasi untuk pertama kali, maka hubungan mereka akan lebih genuine. Tapi film malah tetap sibuk berkutat pada hal-hal gak make sense, supaya ceritanya tetap simpel. Alih-alih membahas kenapa si antagonis kemampuan reinkarnasinya berbeda, film malah memperlihatkan hal lain yang malah membuatnya jadi penjahat komikal. Kaya, punya banyak pasukan, dan segala macam. Motivasinya yang mestinya mendalam, dalam film ini malah terlihat seperti sesepele mencari ‘telur penghancur’.

infinitemark-wahlberg-infinite-01-700x400-1
He owns an awesome soul capturing weapon tho

 

Tentu saja aku bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus atau apa. Menilai film tentu saja tetap melihat dari jadi apa film tersebut pada akhirnya. Dan itulah yang sedang berusaha aku sampaikan. Bahwa dengan menjadikan film ini simpel, dengan tidak mengacknowledge – apalagi membahas – hal-hal rumit dan menarik yang sebenarnya ada menempel pada cerita, maka film ini pada akhirnya hanya menjadi laga sci-fi generik yang gak ada bedanya dengan film-film sejenis. Identitas film ini adalah soal reinkarnasi, tetapi dari yang kita tonton sepanjang seratus menit durasi, film ini terasa sama aja dengan cerita orang yang hidup lama tapi lupa sama kekuatannya. Yang udah lumrah banget. The Old Guard-nya Charlize Theron yang tayang belum lama ini juga mirip-mirip kayak ini; sekelompok orang yang hidup ratusan tahun berjuang di dunia modern. Evan dan kawan-kawan basically immortal seperti karakter Theron di film tersebut. Dan persis di ‘basically‘ itulah film Infinite ini menempatkan dirinya.

Jadi, flaw film ini terutama adalah pada kegagalan menguarkan identitasnya. Cerita Evan ini bahkan mirip ama cerita Cole di Mortal Kombat kemaren. Evan bisa dengan gampang ‘diganti’ sebagai keturunan dari si pembuat pedang di Jepang, atau si Treadway, dan dia harus berlatih menemukan panggilan originnya, melawan kenalan di masa lalu yang terus abadi memburunya. Infinite perlu banget untuk memperkuat soal reinkarnasi yang dia punya. Karena tanpa itu, filmnya jadi gak spesial.

Aksi-aksi sensasional hanyalah bumbu yang juga dipunya oleh film-film sejenis, yang malah memang fokus ke arah sana. I mean, kenapa kita mau nonton kejar-kejaran mobil di sini jika di bioskop sedang tayang film franchise yang namanya udah segede gaban, kan. Gak ada lagi excitement kita saat mengikuti Infinite ini. Apa lagi yang dipunya film ini? Nama-nama gede? Well, bahkan Mark Wahlberg aja di sini tidak tampak antusias. Dialog karakternya datar dan minim excitement. Evan baru saja mengalami halusinasi paling menyirap darah seumur hidupnya, tapi reaksinya cuma, “Wow, that felt real”

Aku bilang, “Wow, this feels like a waste of time!”

 

 

 

Maaan, Juni ini kita dapat film jelek melulu. Film ini terlalu generik bahkan jika tujuannya memang hanya untuk menghibur. Kesempatan menang film ini hanya ada pada sekuen-sekuen aksi, itupun juga lombanya adalah heboh-hebohan aksi. Di baliknya benar-benar tidak ada apa-apa. Karena film telah memilih untuk mengesampingkan identitas, demi membuat dirinya tampil simpel. Tampil tidak berat. Kemungkinan pembahasan film ini sebenarnya bisa cukup dalam, dan katakanlah – endless. Tapi ironisnya, justru film ini membatasi dirinya sendiri. Dan sebagai salt to our wound, bagian akhir film akan memperlihatkan sebuah representasi yang ngasal dan apa adanya hahaha..
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for INFINITE.

 

 

That’s all we have for now.

Jika bisa memilih, kalian pengen bereinkarnasi menjadi apa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PERSEPSI Review

“Change the way you look at things”

 

Di usiamu yang sekarang, mungkin kalian pernah sesekali ngerenungin soal hal sia-sia yang pernah kalian lakukan sepanjang hidup. Let’s do a quick recap about that! Mungkin… kalian ngerasa sia-sia udah milih jurusan A tapi lantas kerja di bidang B? Atau kalian udah begadang ngerjain tugas dan kemudian lupa ngesave? Nyuci mobil lalu saat berangkat hujan turun? Udah deketin bokap-nyokapnya, tapi sebulan kemudian putus? Well, semua hal tersebut sebenarnya gak sia-sia banget. Semua itu hanyalah persepsi kita. Jika kita melihatnya sebagai hal negatif, yang kita rasakan akan negatif pula. Padahal tentu saja ada hikmahnya kalolah kita memaknai peristiwa dalam hidup lewat sorotan cahaya yang positif. Tapinya lagi, ternyata dalam hidup ini memang ada hal yang totally sia-sia. Yang mau jungkir balik pun persepsi kita, hal tersebut tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang worthy of something. Apakah hal tersebut?

Nonton film Persepsi karya Renaldo Samsara.

Penggemar Arifin Putra siap-siap kecewa karena nongolnya sedikit dan itupun sebagian besar di belakang kamera

 

Cerita Persepsi ini adalah tentang seorang ilusionis bintang televisi terkenal bernama Rufus Black  – yang clearly film favoritnya adalah The Lion King karena catchphrasenya dicomot dari Mufasa’s “Semua yang disentuh cahaya adalah…” – yang menantang empat orang untuk tinggal selama lima hari di rumah mewahnya. Lingga, Michael, Risma, dan Laila (diperankan oleh Irwansyah dan kawan-kawan selebnya) tentu saja mau karena siapa yang sanggup bertahan hingga akhir akan memenangkan rumah tersebut beserta uang satu juta dolar. The catch is, rumah tersebut ternyata bekas TKP pembunuhan sadis yang melibatkan satu keluarga. Belum satu hari, dan kita melihat keempat peserta tersebut mulai diganggu oleh hal-hal ganjil dan kejadian-kejadian flashback berbahasa inggris.

Jadi ini ceritanya semacam acara Penghuni Terakhir, dengan horor ‘beneran’. Dan untuk membuatnya unik, Persepsi ini dijual sebagai horor-thriller pertama di Indonesia yang bercerita pake first-person point-of-view. Untuk sebuah horor-thriller, tentu saja ini adalah konsep yang cocok. Kita dibuat melihat dan merasakan pengalaman seram secara langsung, seolah kita sendirilah yang berada di sana. Makanya kan banyak video game horor yang pake konsep first-person. Nonton film ini memang jadi kayak main Resident Evil Village yang terbaru itu. Tentunya konsep pov ini jadi tambang emas buat jumpscare. Dan tampaknya memang pada konsep beginilah jumpscare paling bisa dimaklumi untuk dilakukan. Tahun 2015 lalu, ada film action-gory berjudul Hardcore Henry yang menggunakan pov orang-pertama seperti ini. Dan film itu pol-polan ngegas bermain di konsep sadis-sadisan tersebut sehingga kita benar-benar seperti sedang bertarung berdarah-darah. Persepsi, sebaliknya, adalah film yang lebih tenang. Tidak banyak aksi, melainkan lebih ke melalui cerita dan gerakan sehari-hari, yang dimainkannya untuk mencapai jumpscare maksimal.

I’m not gonna lie, there are some effective scares here. Karena tidak banyak ruang untuk build up, maka adegan-adegan seram di film ini bisa caught you off guard. Persepsi bermain dengan persepsi karakter untuk menghasilkan kejutan horor, mereka melihat hal yang mungkin tidak benar-benar terjadi, tapi bahaya yang menanti mereka tetap asli. Seperti adegan yang melibatkan makanan di dalam oven; film cukup mulus membuat ‘sulap’ kerja-kamera dan edit pada adegan-adegan yang dihasilkan dari persepsi tersebut.  

Konsep first-person ini memang juga diselaraskan dengan tajuk film, yakni tentang persepsi. Tentang bagaimana seorang individu memaknai yang ia pandang. Tapi, film ini push that even further, dengan tidak menempatkan kita pada satu karakter saja. Gak ada karakter utama yang bisa kita dukung pada cerita ini. Film akan sibuk berpindah-pindah dari satu karakter ke karakter lain. Dan ini membingungkan, karena tidak ada ritme atau pola yang jelas dalam berpindahan. Dalam satu hari pada cerita aja, kadang kita berpindah antara dua karakter. Perbedaan persepsi mereka juga gak jelas. Kita tidak pernah bisa langsung tahu melalui siapa kita melihat kejadian sekarang. Butuh untuk melihat siapa yang ada di sekitarnya dulu sebelum bisa ngeh “oh ini dari sudut si anu.” Dan ini ditambah pula dengan keseringan film membawa kita ber-flashback, yang juga first-person, dengan tidak banyak perbedaan treatment visual dengan keadaan di masa kini; Persepsi menjadi cerita yang malesin banget untuk diikuti.

Padahal dialog film ini not that bad. Setidaknya, tidak melulu pada teriak-teriak nyari orang ilang, teriak-teriak ketakutan, atau komedi garing. Dialognya masih berusaha untuk menguarkan drama. Seperti ada cerita yang diparalelkan antara kejadian masa lalu dan masa kini di rumah itu. Karakternya diberikan masalah yang mirip, mereka seorang ayah. They have to think things through about problems in their family. Yang permasalahannya mengarah ke mengubah persepsi memandang supaya tidak jadi negatif. Supaya tidak stress dan berubah menjadi ayah seperti pada The Shining.

Positif dan negatif, semuanya tergantung dari bagaimana kita memaknainya. Dan kita harus bertindak. Karena meski kadang terlihat seperti ilusi, persepsi adalah hal nyata yang kita ‘pilih’ untuk percaya.

 

But wait, konsep first-person langsung dari mata karakter (bukan found-footage atau kamera) yang dipakai ini tak pelak terasa janggal. Karena cerita mereka ini semestinya adalah acara untuk televisi; programnya si Rufus Black. Tapi kenapa tidak ada kamera di rumah itu. Tidakkah Rufus Black merekam semua itu untuk keperluan acaranya? Siapa pula yang sebenarnya melihat flashback-flashback itu? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin terlintas dalam benak kalian saat menonton, dan ini harusnya bisa jadi red flag. 

Durasi film ini aja sebenarnya udah red flag abis. Lima-puluh-dua menit. Bahkan lebih pendek daripada Host yang tayang tahun lalu. Kenapa red flag? Karena film-panjang itu biasanya dibangun dalam struktur tiga-babak, yang setiap babaknya adalah ruang untuk mengembangkan journey dari karakter. Banyak film melakukan itu dengan pembagian sekitar 30 menit untuk babak Satu dan Tiga, kemudian 60 menit babak Dua. Nah bayangkan cerita yang hanya punya 50 menit – yang kurang dari babak Dua cerita film-panjang pada umumnya. Bagaimana mereka memuat set up, pengembangan, dan konflik ke dalam ruang yang sesempit itu. Tapi aku ngasih film ini kesempatan. Irwansyah yang jadi produser juga kabarnya sangat memperjuangkan cerita ini untuk difilmkan. Budget film ini juga tampak gak banyak-banyak amat terlihat dari desain produksinya, tapi mereka tampak mencoba untuk memaksimalkan itu dengan konsep bercerita dan segala macam. There are efforts. Jadi kupikir, mereka memang punya sesuatu untuk diceritakan. Tapi ternyata tidak. This movie is all about gimmick. Film tidak ingin bercerita kepada kita, melainkan mereka ingin bilang “Kena, deh!” ke ujung hidung kita semua. Twist. Revealing tak-terduga. Dan inilah satu dari dua persepsi yang harus diubah oleh artis atau siapapun yang ingin membuat film

Habis nonton ini otak kita jadi setengah kosong, bukan setengah penuh

 

Film itu adalah journey. Kejadian-kejadian yang mengisi durasinya, dialog-dialog yang diucapkan oleh karakternya; semuanya penting dan berfungsi untuk menunjukkan jalannya journey tersebut. Everything should matters. Twist dalam cerita merupakan kelokan, yang membuat kita memikirkan ulang apa yang terjadi pada karakter dan journey mereka. Katakanlah, mengubah persepsi kita. Tapi bagi film ini, twist-nya itu adalah kecohan. Semua kejadian sebelum twist tersebut ternyata, storywise, tidak benar-benar terjadi. Melainkan hanya karangan tidak penting, dilakukan hanya untuk ngeswerve penonton. Sehingga, semua pujianku soal dialog yang cukup berbobot, jumpscare yang cukup efektif, juga jadi ternegasi. Karena basically tidak ada cerita. Ayah yang khawatir anaknya sakit tadi? Peristiwa oven maut tadi? Persepsi harusnya bukan ilusi. Tapi nyatanya tidak terjadi apa-apa dalam film ini, selain yang kita lihat di menit-menit terakhir. Film bukan soal seberapa hebat twistnya mengecoh penonton; malah bukan twits namanya kalo malah menihilkan semua kejadian sebelumnya. Malahan, film bukan soal twist, period. Film yang bagus bukanlah film yang ada twistnya. Just tell your story. Berikan penonton journey-karakter yang menarik untuk diikuti.

Kedua, ada sangkut paut dengan durasi tadi. Belum lama ini, Tarian Lengger Maut (2021) juga ternyata sengaja dipotong dari 90 menitan ke 70 menit. Aku gak tahu kenapa jadi seperti tren. Semoga saja bukan karena pengen supaya bisa rilis Director’s Cut di kemudian hari. Karena yang begitu itu jelas adalah persepsi yang salah. Sengaja memotong supaya bisa rilis ulang versi fullnya untuk genjot duit lagi, tidak lebih seperti scam. Director’s Cut atau versi extended atau apalah seharusnya dilakukan karena tidak puas dengan hasil yang pertama, seperti pada kasus Zack Snyder dan Justice League. Bukan untuk dijadikan sebagai siasat jualan yang sudah direncanakan. Lagian siapa yang tertarik minta nambah kalo filmnya jelek. Ada yang sengaja mempersingkat film dan menjadikannya jelek supaya orang makin penasaran, jelas aneh.

 

 

 

Dengan durasinya yang cuma lima puluhan menit, film ini barely sebuah film-panjang. Dengan naskah yang ternyata gak mentingin apa-apa selain cara mengakhiri film dengan wow, film ini barely bisa disebut sebagai sebuah film. Twistnya membuat keseluruhan film jadi pointless. Enggak ada pointnya kita ngikutin kejadian karakter, kalo ternyata karakter itu gak pernah ada sama sekali. Seperti memang, persepsi orang bikin karya film harus diubah. Film itu bukan gaya-gayaan, bukan seru-seruan aja. Kalo memang mau reuni sama teman-teman lama, mending bikin video Youtube aja. Viewernya bisa banyak. Kenapa mesti menodai perfilman Indonesia yang sedang tertatih-tatih berusaha bangkit?
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for PERSEPSI.

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa sih yang mempengaruhi persepsi kita terhadap suatu hal?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA