THE GIFT Review

“If you can’t find light in the darkness, be the light in the darkness.”

 

 

Sisi terang dari kegelapan ialah dia membuat, ah tidak, memaksa kita untuk merasakan dengan lebih kuat. Kalian tentu sadar kita sering termerem-merem sendiri ketika mengingat kenangan yang indah, menghayati lagu yang klop buat mewakili jatuh cinta, atau bahkan saat sedang mencicipi makanan yang begitu lezat. Ada kenyamanan yang bisa ditemukan seseorang di dalam kegelapan. Apalagi buat seseorang seperti Tiana, cewek di awal tiga-puluhan yang masih sering terkenang trauma keluarga pada masa kecilnya. Tiana menjadikan kegelapan sebagai tempat pelarian. Bukan karena dengan kegelapan dia tidak bisa melihat kenyataan, melainkan karena kegelapan menghantarkannya kepada cahaya impian. Dan secercah cahaya itulah yang dia jadikan tujuan; sesuatu yang Tiana usahakan untuk terwujud.

Dewasanya, Tiana tumbuh menjadi seorang penulis novel. Mentok nyari ide ngerangkumin cerita novel terbaru, dia melangkahkan kaki ke Yogyakarta. Tiana ingin tinggal lagi di sana, karena di kota itulah kehidupannya dengan segala kenangan berawal. Jadi, malam pertama Tiana ngontrak, dia begitu terganggu sama suara musik rock yang diputar kenceng-kenceng. Ketika mencari sumbe suara untuk melayangkan protes itulah, pertama kalinya Tiana melihat sosok Harun – putra dari pemilik kontrakan.  Harun yang kehilangan penglihatan karena kecelakan menarik-narik tali penasaran di dalam diri Tiana. One thing leads to another, Harun merasakan affection yang mendalam dari Tiana. Perasaan mereka berdua bisa saja saling beresonansi, tapi hidup selalu menawarkan sesuatu tak peduli kita butuh atau tidak. Seorang teman masa kecil, datang menawarkan cahaya baru bagi hidup Tiana. Memaksa wanita ini untuk sekali lagi masuk ke dalam lemari, mencari titik terang masalah dari dalam kegelapan yang begitu hangat baginya.

di sela semua itu, sempat-sempatnya Hanung nyeletuk soal gak musti melulu idealis dalam bikin cerita. Sliiiccckkk!

 

The Gift mungkin akan membuat kita bertanya-tanya, hadiah atau berkah apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh film ini. Tentu, mata adalah salah satu anugerah terindah. Akan tetapi, perasaan dan emosi yang ditangkap oleh hati kita dapat dengan gampang mengalahkan lima panca indera sekaligus. Sering sekali kita melihat Tiana memejamkan matanya, entah itu ketika dia bersiap dihantam gelombang flashback ataupun ketika dia berusaha menajamkan perasaannya. Pada adegan awal saja, kita menyaksikan Tiana naik becak melewati jalanan kota Yogyakarta, mendeskripksikan betapa ia merindukan tempat tersebut, menyebut suasana dan lingkungannya yang indah, tetapi dengan masih mengenakan kacamata hitam. To be honest, sekuen pembuka ini terasa pretentious buatku; aku merasa susah untuk ikut ketarik masuk ke dalam yang Tiana rasakan karena yang aku lihat di depan mataku adalah seorang cewek yang menulis hal-hal bagus tentang kota yang ia datangi, tanpa benar-benar melihat objek yang ia tulis. Tapi film ini toh berhasil membuatku terus memikirkan ceritanya hingga tiba giliran aku yang menyusuri kota dalam perjalanan pulang dari bioskop. Aku terlambat melihat konteksnya, dan begitu menyadarinya, aku bisa melihat film ini dari cahaya yang lebih terang.

Ada alasannya kenapa Tiana menggambarkan kehangatan Jogja dengan perumpaman tangan wanita tua yang keriput. Karena itulah yang ia rasakan, dengan menutup matalah ia melihat. Tiana adalah tokoh yang berpikir dia bisa melihat lebih baik, perceiving apapun objek dan masalah dengan lebih baik, dengan tidak literal melihatnya dengan mata. Sebagai wanita yang mandiri, setiap kali membuat suatu keputusan, Tiana akan menutup matanya, membayangkan apa yang bisa ia pikirkan untuk mengatasi masalahnya. Bahkan, Tiana lebih suka curhat dengan sahabatnya lewat telefon. Sementara aku suka gimana sutradara berhasil mengarahkan dua versi Tiana (kecil dan dewasa) sehingga tampak meyakinkan sebagai satu orang yang sama – tepuk tangan juga buat kedua pemainnya, Ayushita Nugraha dan Romaria Simbolon berhasil mendeliver emosi terutama di momen-momen ketika seolah yang mereka lihat adalah sesuatu yang begitu berat mereka ingin mundur ke dalam bayang-bayang. Actually, saking meyakinkannya pertumbuhan karakter Tiana, aku geram juga film tidak benar-benar membahas apa eksaknya yang dilalui Tiana. Kita memang akan dibawa menggali lebih dalam masa lalu Tiana, tapi terlalu menyebar, dan film menyinggung beberapa yang justru malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan penasaran. Relationshipnya dengan ibu panti yang diperankan oleh Christine Hakim, misalnya, sepertinya heartfelt sekali – aku pengen tahu gimana tepatnya mereka berpisah, gimana Tiana keluar dari panti. Aku pengen melihat lebih banyak bagaimana dia bisa berubah dari ‘anak lemari’ menjadi seorang cewek yang enggak totally politically correct.

Sebagai tokoh utama, karakter Tiana ini memang rada tricky untuk dikembangkan. Tiana diplot sebagai sebagai cewek yang egois di awal cerita, dan berakhir dengan melakukan pengorbanan gede yang menunjukkan betapa banyak karakter ini belajar dalam jangka waktu dua jam kurang. Tapi kita supposed untuk peduli terhadap karakternya, supaya ketika dia berubah, emosi yang dipancarkan itu sampe dengan sukses. Membuat kita juga turut menyayangkan apa yang ia lakukan. Di sinilah letak ‘susahnya’, kita harus diyakinkan untuk peduli di saat dia mendekati Harun, hanya karena Tiana penasaran kepada cowok itu. Itulah alasan kenapa Tiana mendekati Harun; dia yang selama ini menemukan kenyamanan dalam memejamkan mata, bertemu dengan seorang pria yang benar-benar tidak bisa melihat. Tiana sempat mempertanyakan dirinya sendiri, apakah dia berdosa? Namun selain itu, film juga tampak kesulitan untuk terus memperlihatkan kondisi tokoh utama yang begini. Makanya, romansa di film ini terasa loncat-loncat. Tiana dan Harun hampir seperti mendadak jadi saling cinta, kemudian mendadak pula mereka bertengkar. Bahkan kepergian Tiana dari Harun juga terasa abrupt. Susah mematri lampu simpati itu ke Tiana jika hubungannya yang berdasar penasaran doang itu harus lemat-lemat diperlihatkan

Mau mata normal, mata minus, tunanetra, ataupun malah buta warna, kita tidak akan pernah benar-benar melihat suatu hal dengan jelas, jika kita tidak menyertainya dengan berusaha untuk merasakan, peduli sama apa yang kita lihat. Dan jika kita terus saja tidak dapat menemukan cahaya untuk ‘melihat’, jadilah cahaya itu sendiri.

 

 

Pun begitu, momen-momen indah kebersamaan mereka tetap bisa terbangun. Adegan meraba wajah yang dibuat begitu dekat sehingga kita nyaris bisa mendengar degup jantung mereka. Pembangunan adegan ini tampak dipikirkan dengan seksama, permulaan Tiana yang sengaja mengalah adu suit memberikan bobot yang lebih gede. Momen tersebut membantu melandaskan suatu hal yang penting terhadap mereka berdua; bahwa mereka sebenarnya berbeda. Harun  adalah orang yang selalu bisa melihat kenyataan, bahkan sebelum matanya buta. Inilah cikal bakal konflik dari hubungan mereka; Tiana ingin nyaman-nyaman berdua dalam kegelapan, so to speak, dia senang membiarkan Harun dalam ‘gelap’ atas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Harun selalu bisa melihat. Nyaris dialah cahaya itu sendiri.  Seperti yang actually disebut dalam salah satu ribut-ribut mereka, ini bukan semata soal control, ini adalah soal gimana Harun membuyarkan kegelapan yang ingin dipertahankan oleh Tiana. Dan Tiana tidak suka ini, seperti halnya dia juga menganggap Arie, sahabat kecil yang cinta mati ama dia, terlalu menyilaukan buatnya.

Karena itulah saat menonton ini aku tidak bisa melihat kenapa mereka harus jadian, aku tidak merasa perlu untuk melihat mereka berakhir bersama. Aku juga tidak dapat merasakan konfrontasi mereka. Well, terasa keras sih, sebab setiap konfrontasi disuarakan dengan begitu lantang, teriak-teriak penuh emosi. Feelingnya yang gak dapet. Tapi kita gak bisa percaya Tiana setelah ia baru saja terang-terangan berbohong. Bukan cinta sebenarnya dirasakan oleh Tiana kepada Harun. Bukan pula rasa bersalah. Alasan kenapa dia menjadi begitu ingin termasuk ke dalam hidup Harun adalah dia ingin menunjukkan cahaya kepada Harun, dia ingin berguna, namun sikap Harun selalu dapat melihat terus saja menantang keinginan Tiana.

Tutup mata kiri, ada dua jari. Tutup mata kanan, loh susternya kok ilang whoaaaaa??!!!

 

Soal penampilan sih, Reza Rahadian juara banget meranin Harun. Malahan saking meyakinkannya sebagai seorang tunanetra, kamera tidak berani menangkap wajahnya dari depan pada adegan pertama kali Tiana face-to-face dengan Harun saat diundang sarapan bareng. Kamera ngesyut dari belakang, ataupun hanya sebatas dagu, meskipun sudut pandang film ini adalah Tiana, dan cewek itu sudah melihat wajah Harun di depannya. I guess, kalo disyut dari depan juga (sesuai pandangan Tiana), konteks yang diniatkan – Tiana enggak ngeh Harun buta – bisa buyar lantaran Reza sangat total bermain sebagai orang buta. Yang tidak aku mengerti dari Harun adalah bagaimana dia bisa menulis dengan huruf yang perfectly centered; pas di tengah-tengah kertas. Mungkin sih, dia dibantu si Mbok atau asisten rumah yang lain, tapi tokoh ini terlihat bukan tipe orang yang mau minta bantuan kalo sudah menyangkut urusan pribadi. Dan jika kita masih bicara soal cinta, Harun indeed jadi beneran genuinely sama Tiana. Yang mana membuat adegan-adegan ia nangis di akhir itu terasa nyesek. Masalah ada apa di Kaliurang juga masih berakhir dengan tanda tanya.

 

 

Untuk sebuah kisah hubungan antara insan-insan manusia yang tragis, yang mengambil batasan pandangan sebagai tema, film ini tampak sungguh luwes dalam penggarapannya. Setiap adegan diambil dengan sudut-sudut yang dengan subtil mendukung cerita, seperti adegan konfrontasi lewat pantulan cermin-cermin itu. Ada juga kamera goyang-goyang yang aku gak mengerti kepentingannya apa. Film ini penuh berisi penampilan akting yang luar biasa meyakinkan. Yang mendorong cerita yang sebenarnya tidak begitu make sense dan lumayan mengandalkan factor kebetulan ini dapat terus mencengkeram untuk diikuti. Lebih dari kisah percintaan, film ini bekerja terbaik sebagai tontonan perilaku manusia dalam mengatasi trauma masa lalu yang kemudian membentuk pribadi dan keputusan mereka. Karena, afterall, kita ingin bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE GIFT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SOLO: A STAR WARS STORY Review

“Trust is a two way street”

 

 

Terserah kita, sebagai penonton yang terhanyut oleh petualangan luar angkasa ketika menonton Star Wars original, mau milih pengen kuat kayak Luke Skywalker atau mau sekeren Han Solo. Buatku, jawabannya selalu adalah Han Solo. Dia lucu, jago nembak dan nerbangin pesawat, dan dia sombong akan hal tersebut. Sesuatu yang hebat pada tokoh ini adalah gimana dalam skenario cerita fantasi yang larger-than-life itu dia terasa seperti orang biasa yang lagi nongkrong di planet nun jauh di sana. Han bukan pejuang Jedi, dia hanya seorang penyelundup barang. Tapi melihat dari teman gaulnya yang monster berbulu, kita tahu Han Solo sudah melewati banyak petualangan seru; yang membuat tokoh berandal ini lebih menarik ini.

Jadi, tentu saja natural bagi studio yang punya hak nyeritain kisahnya pengen menggali lebih banyak soal petualangan solo dari seorang Han Solo. Dan setelah melalui banyak kemelut produksi, bolak-balik diarahkan banyak orang sebelum akhirnya Ron Howard mendapat kredit final sebagai sutradara, film yang memperlihatkan kepada kita seperti apa Han Solo sewaktu masih muda akhirnya mendarat juga. Sebagai sebuah aksi petualangan, film ini sangat exciting. Akan ada banyak adegan kejar-kejaran dengan kendaraan yang hanya bisa kita bayangkan, entah itu ketika Han melarikan diri atau mau menyelamatkan sesuatu, dengan keseruan yang terbangkit oleh menit-menit terakhir skill kenekatan Han Solo yang beruntung itu menunjukkan tajinya. Adegan di kereta api dan adegan kabur dari monster dengan Millennium Falcon itu sungguh luar biasa menyenangkan. Ya, dengan serunya film ini akan memberikan jawaban seputar kehidupan awal dari Han sebelum adegan pertama di Star Wars episode IV (1977), tentang bagaimana dia bisa berteman dengan Chewbacca, asal usul dirinya bisa berada di balik kursi pilot pesawat angkasa paling ngehits di dunia – Millennium Falcon – yang tentu saja kita juga akan melihat interaksi Han dengan Lando Calrissian. Kita akhirnya akan melihat langsung peristiwa menarik gimana tepatnya Han memenangkan Millennium Falcon dari taruhan dengan Lando. Pretty much apa yang kita suka dari karakter Han Solo, kesombongannya, skillnya, keberuntungannya, akan diangkat dalam film ini.

dan ada droid yang mendambakan kesetaraan hak antara mesin dengan manusia hihihi

 

 

Yang sering luput dari pembicaraan rangorang ketika ngegosipin Han Solo adalah mengenai sikapnya yang suka jengkel dengan ketidakkompetenan makhluk di sekitarnya. Selain kocak, jago, tengil, dan segala macam sikapnya yang charming tersebut, Han Solo cukup ‘galak’ ketika ada orang yang tidak melakukan sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Ada banyak kejadian yang menunjukkan trait karakternya ini dalam film-film Star Wars terdahulu, seperti misalnya ketika Han bete ngejelasin cara kerja Force kepada Rey dan Finn di Star Wars The Force Awakens, “That’s not how the Force works!”. Han Solo punya sedikit superiority complex, namun dia susah mengekspresikannya oleh sebab deep inside, dia adalah orang yang lebih memilih untuk rileks dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dalam Solo: A Star Wars Story inipun aspek karakter itu nyaris lupa diangkat. Film actually mengerti, mereka mengolah cerita dengan tema kepercayaan terhadap orang lain, yang berusaha mereka sangkutkan dengan sikap grumpy Han terhadap orang sekitar, like, lewat film ini kita akan mengerti kenapa Han Solo lebih suka bertindak sendiri – atau paling enggak kenapa dia hanya percaya berat kepada Chewie.  Hanya saja, aspek ini dimainkan oleh film dengan datar, lebih kepada sebagai komedi dan tidak benar-benar membuat aspek ini sebagai kedalaman yang berarti bagi si tokoh sendiri.

Dibesarkan di bawah naungan geng bandit di pipa-pipa bawah tanah menjadikan Han Solo punya insting untuk selalu bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, apa yang ia lakukan lebih sering mengharuskannya untuk mempercayai diri sendiri, berimprovisasi tidak menurut sama perintah. Konflik inilah yang membebani Han Solo pada hari-hari awal petualangannya. Kepercayaan adalah jalan dua-arah. Simpelnya, jika kita tidak percaya kepada orang lain, maka pada gilirannya, mereka pun akan mengalami kesusahan untuk mempercayai kita. Han Solo pada akhirnya membuat perhitungan ini menjadi lebih sederhana lagi; dia memasukkan keberuntungan dalam ekuasi yang harus ia percaya.

 

 

Sebenarnya Solo ini dapat menjadi cerita yang menarik, dengan pertimbangan bahwasanya ia adalah cerita yang tidak benar-benar harus terkait langsung dengan trilogi original. Akan tetapi, jika kita menggarap sebuah prekuel dari cerita yang sudah dikenal luas, maka akan selalu ada tuntutan – akan selalu ada beban, lantaran cerita yang sedang kita bikin sudah tertambat oleh cerita yang lain. Mau tak mau kita harus mengembangkan cerita baru ini ke arah yang orang sudah tahu, dan jika ada beda dikit aja, kesinambungan cerita gedenya akan terganggu. Dan kalo sudah begitu, siap-siap menghadapi celotehan protes terutama dari para fans. Yang mau aku bilang adalah, butuh nyali untuk menggarap prekuel. Yang sayangnya, nyali ini tidak aku temukan dalam film Solo.

Jarang sekali film ini membahas dalem tentang Han Solo itu sendiri, meskipun kalo mikir logika ini adalah cerita tentang dirinya. Kita hanya melihat petualangan demi petualangan, tanpa ada bobot karakter di dalamnya. Film ini secara berhati-hati membuat kejadian, sehingga jika kita nonton film ini kemudian dilanjutkan dengan film Star Wars yang pertama, tidak ada cerita ataupun interaksi tokoh yang terasa janggal. Tidak ada kontinuitas yang dicoreng. But at the same time, apa yang film ini accomplished regarding tokoh Han Solo itu sendiri; nol besar. Han Solo tidak diberikan aspek yang baru kita lihat, dengan lain kata; tidak ada development. Mereka hanya mengeksplorasi hal-hal yang ingin kita minta, yang mana membuat film ini terasa seperti fans service semata, tanpa menempuh resiko apa-apa. Seolah mereka sebenarnya tidak punya sesuatu yang ingin diceritakan lagi dari Han Solo sebagai seorang karakter, selain petualangan-petualangan itu.

Salah satu alasan Harrison Ford menginginkan Han Solo meninggal di Return of the Jedi adalah karena dia merasa karakter ini enggak punya banyak kedalaman sehingga dengan membuatnya melakukan pengorbanan, Han Solo bisa mendapat peningkatan karakter. Dan kita melihat keinginan Ford ini dikabulkan pada The Force Awakens, dan kita bisa rasakan sendiri gimana kematian itu menambah banyak bagi Han sebagai seorang karakter. Dia jadi punya sesuatu yang lebih dalam untuk kita rasa. Dalam Solo kali ini, sayangnya, tokoh Han Solo tidak berusaha untuk digali lagi. Plot tokohnya tipis. Tidak banyak ruang gerak yang diberikan kepada Alden Ehrenreich untuk menerbangkan karakter ini. Dia hanya senyum smug, ngedipin sebelah mata, nunjuk-nunjuk, seperti yang dilakukan oleh Han Solo yang kita kenal. Sepatu yang ditinggalkan oleh Harrison Ford buat tokoh ini adalah sepatu yang besar, dan arahan cerita yang tidak berani mendorong batasan ini membuat Han si Alden tampak tak lebih dari seperti parodi dari Han Solo yang asli. Interaksi Han Solo dengan tokoh-tokoh yang lain pun terasa terbatas. Dia punya hubungan romansa dengan cewek dari masa kecilnya yang turns out menjadi salah satu elemen gede dalam cerita (yang tampaknya berlanjut ke sekuel). Han diberikan tokoh mentor yang ngajarinnya soal dunia selundup-selundupan, tapi sama sekali tidak tampak seperti demikian, mereka malah tampak seperti teman satu tim. Dengan Lando dan Chewie-lah, film menemukan titik terang. Donald Glover sebagai Lando adalah pilihan yang tepat, dia tidak tampak bermain menjadi seperti aktor  lain yang memainkan tokoh Lando, dia memberikan sentuhan lain buat karakter yang kita kenal ini.

“This is Sabbac, don’t catch you slippin’ now”

 

 

 

Bukan berarti ini adalah film yang jelek. Aku sendiri enggak akan ragu untuk nonton ini dua kali. Adegan-adegan aksi petualangannya seru, film ini tahu cara ngebuild stake sehingga membuat para tokoh utama kelihatan menghadapi sesuatu yang actually bisa gagal. Hanya saja film ini mengecewakan karena tidak berani mengembangkan sesuatu yang baru. Alih-alih punya cerita Han Solo yang ingin digali, membuatnya semaki dalem sebagai sebuah karakter, film lebih memilih untuk sekedar memperlihatkan asal muasal adegan-adegan yang kita tahu. Tanpa menempuh resiko. One way or the other, apa yang mereka lakukan di sini membuat aku percaya kepentingan eksistensi film ini tak lebih dari sekadar karena uang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SOLO: A STAR WARS STORY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

DEADPOOL 2 Review

“Family is where the heart is”

 

 

Sekurang-kurang ajarnya Deadpool, Wade Wilson di balik topeng merah hitam itu masih punya hati. Hal ini sudah ditetapkan oleh film pertamanya yang sukses berat, breaking the ground dengan gaya liarnya sembari tetap ngegrounded kita kepada jalan cerita lewat penulisan tokoh yang pinter. Pertanyaan yang sekarang diajukan oleh sekuelnya ini adalah; Apakah hati sang anti-hero ini sudah pada tempatnya yang benar?

Di sela aktivitas sehari-harinya memisahkan anggota tubuh para penjahat di seluruh dunia dari badan mereka, Wade Wilson (serius deh, Ryan Reynolds  sudah begitu mendarah daging dengan perannya ini) sempat ngerem sebentar, melepas topengnya, demi merayakan hari jadian dengan Vanessa. Mereka sudah bulat tekad untuk membangun keluarga. Deadpool bahkan sudah punya nama untuk calon anak. Naas, darah daging Deadpool tak pernah sempat dibuat. ‘Pabrik’nya ketembak. Mengirim Deadpool ke jurang nestapa; ia ingin menyusul Vanessa ke alam baka tapi tak bisa. Tau sendiri kan, kekuatan super tokoh kita ini adalah ia enggak bisa mati. Bahkan setelah melakukan aksi bom bunuh diri (bukan di gereja loh, di apartemennya sendiri biar gak melukai orang tak berdosa; Deadpool masih punya hati, ingat?) dan badannya bercerai berai, Deadpool masih sehat wal afiat. Di pengalaman mati-not-really tersebutlah, Wade dinasehati Vanessa untuk meletakkan hati pada tempatnya, menyuruh Wade untuk melakukan hal yang benar. Jadi, Deadpool bergabung dengan X-Men. Sebagai anggota percobaan tentunya, mengingat sifatnya yang ogah ikut aturan.

Deadpool is the SHIT (Super Hero In Training)

 

Dalam salah satu misi bersama Colossus dan Negasonic – and her girlfriend – lah, Deadpool bertemu dengan mutant remaja superemosian yang lagi mengamuk ingin menghancurkan panti asuhan dan membunuh kepala sekolah yang selama ini sudah melakukan berbagai percobaan menyakitkan kepadanya. Deadpool quickly merelasikan anak tersebut dengan permintaan Vanessa, Deadpool ingin menjaga si Russel ini layaknya anak kandung sendiri. Persoalan menjadi rumit tatkala Cable (Josh Brolin sempet dipanggil Thanos oleh Deadpool hhihi), seorang mutant bersenjata lengkap datang dari masa depan dengan tujuan membunuh Russel, demi mencegah anak itu untuk tumbuh dewasa menjadi supervillain yang sudah membunuh keluarganya.

Cerita Deadpool 2 memang sedikit terlalu all-over-the-place, enggak seperti film pertama yang lebih fokus. Ada bagian Deadpool berusaha menyatu dengan cara-main X-Men, ada bagian Deadpool berusaha berkoneksi dengan Russel, juga ada kala ketika Deadpool balik bekerja sama dengan Cable. Pada satu titik cerita, kita lihat Deadpool mengadakan audisi untuk merekrut pasukan superhero dalam misi menyelamatkan Russel dari penjara, dan kocaknya dia menerima semua yang melamar – bahkan yang enggak bena-benar punya kekuatan super juga lolos audisi. Dari luar, ini adalah bagian ketika film seperti memarodikan film-film assemble superhero kayak Avengers, dan memang elemen cerita ini digarap dengan kocak – lagi brutal hihi.. Namun dari lapisan yang lebih dalam, elemen cerita ini sebenarnya ditujukan untuk memperlihatkan Deadpool belum mengerti apa yang ia cari. Setiap yang dijumpai oleh Deadpool sesungguhnya paralel dengan pembelajaran yang harus ia lewati. Seperti Cable misalnya, tokoh ini belakangan akan kita sadari ternyata punya persamaan mendasar dengan Deadpool.

Deadpool tampak ngeloyor keluar dari karakternya. Karena konteks cerita kali ini memang adalah tentang bagaimana Deadpool mengenali apa arti dari keluarga, karena di situlah letak hati kita semestinya. Hati kita berada bersama orang-orang yang beresonansi dengan kita. Film mengeksplorasi hal ini dengan sudut pandang khas Deadpool, dalam gaya bercerita yang hanya Deadpool yang bisa, dan inilah yang membuatnya super menyenangkan.

 

Bahkan sinopsis dua paragraf yang kutulis belum mampu untuk benar-benar mencerminkan betapa ramenya Deadpool 2. Masih ada banyak kejutan dan hiburan yang datang dari cameo-cameo yang bakal membuat bukan saja penggemar buku komik Marvel, melainkan juga penggemar film superhero secara umum. Banyak referensi berseliweran. Sedikit terlalu banyak sih. Deadpool 2 masih tajam dalam nyeletuk soal dunia film superhero, ketika dia membuat jokes yang berdiri sendiri penonton masih dibuat terbahak-bahak, namun untuk alasan tertentu, film ini lebih favor ke mengandalkan referensi fiilm lain ke dalam guyonan mereka. Masih kocak, tapi ketawa yang beda aja gitu. Referensi itu pun semakin liar. Sekarang Deadpool sudah berani nyentil superhero dari brand sebelah.  Menyebut istilah dari film-film yang lain. Salah satu celetukan original film ini yang paling menarik adalah gimana mereka menekankan bahwa ini adalah film keluarga, satir yang dialamatkan tentu saja kepada para orangtua clueless yang membawa anak mereka menyaksikan film penuh kekerasan dan sexual innuendo ini.

Sementara film dengan protagonist kurang ajar sampe sampe dijuluki Merc with a Mouth semakin lantang bersuara, porsi aksinya tampak agak terlalu biasa saja. Maksudku, Deadpool (2016) terutama bersenang-senang dengan kamera dan slow motion dan timing aksi berantem. Pada puncaknya, seolah film tersebut ikutan meledek pembuatan film aksi. Pada film kali ini, Deadpool masih menendang pantat, menumpahkan darah, dengan asyik dan suka ria, tapi tidak banyak kreasi yang ditawarkan. Sutradara David Leitch sebenarnya enggak kalah pengalaman dalam ngegarap film aksi, kita udah nikmatin Atomic Blonde (2017). Namanya juga literally nampang di kredit pembuka film ini sebagai “Salah satu orang yang membunuh anjing di John Wick”. Tapi apa yang ia lakukan di sini, meskipun sekuen aksinya digarap penuh skill dan gak bikin pusing yang nonton, pretty much lurus-lurus aja. Tidak ada yang salah, hanya saja aku mengharapkan aksi yang lebih imajinatif dan gak masuk akal kalo perlu – mengingat tone cerita film ini.

jadi penasaran, segila apa ya jadinya kalo Taika Waititi dikasih jatah ngegarap film Deadpool hhaha

 

Dari segi cerita sendiri, aku gak pernah total sreg sama elemen perjalanan waktu. Time travel atau pengulangan waktu bisa menyenangkan jika diolah dengan unik, atau menjadi stake dalam cerita. Tapi ketika dijadikan penyelesaian, aspek ini malah terasa seperti alat untuk memudahkan cerita. Sebenarnya aku bingung juga apa yang mau dikatakan lagi soal kritik lantaran komentar-komentar breaking the 4th wall dari Deadpool udah kayak sekalian ngereview filmnya sendiri. Aspek-aspek seperti time travel, juga ada superhero yang kekuatannya adalah keberuntungan, secara gamblang sudah disebutkan oleh kelakar Deadpool sebagai bentuk dari penulisan yang malas. Dan hal tersebut benar adanya; keberuntungan lebih sering dijadikan device untuk memfasilitasi kejadian A bisa sampai menjadi kejadian B. Sedankan time travelnya sendiri, aku nunggu-nunggu Deadpool ngeledek aspek ini, tapi dia tidak melakukannya. Satu hal yang luar biasa kocak terjadi karena aspek time travel di film ini sih, kusarankan kalian bertahan nonton sampai akhir kredit penutup untuk melihat adegan lucu tersebut.

 

 

Jokes, referensi, darah, potongan kepala, musik jadul, kumis, bahkan muntahan asam, digodok kemudian dilemparkan ke dinding dan menempel membentuk kata “F-U-N”. Begitulah gambaran yang tepat untuk film ini. Kita akan bersenang-senang menontonnya, tak peduli berantakan yang sudah ia ciptakan. Kalo mau dibandingkan, film ini sebenarnya tidak semengguncang film pertamanya ketika muncul di bioskop tahun 2016 lalu. Lebih liar, memang. Lebih brutal. Hanya saja, terlalu bersenang-senang dengan trope ini membuatnya tampak menjadi sedikit kurang kreatif dalam membangun cerita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 for DEADPOOL 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

React to WIRO SABLENG Teaser Trailer

Tim Production Design lagi jelasin makna di balik desain Kapak Maut Naga Geni 212 yang baru

 

Excited 1: Wiro Sableng adalah bagian dari rangkaian kartun (padahal bukan kartun!) yang tak-boleh dilewatkan buatku saat masih kecil dulu

Excited 2: Fakta bahwa film reboot-an dari serial TV ini bekerja sama dan actually dapat funding dari 20th Century Fox

Excited 3: Si Sableng itu nongol di video promotional Deadpool 2!

 

Ya, aku yang biasanya gak tertarik ngikutin trailer film – apalagi teaser – (prinsipku; kalo mau nonton ya nonton aja) toh menggelinjang juga dibuat oleh gempuran combo excitement yang disarangkan oleh Lifelike Pictures demi mempromosikan proyek gede mereka, Wiro Sableng. Jurus yang ampuh sekali, aku ngaku. Membuat kita semua penasaran seperti apa kiranya film ini nanti. Mereka mengawali godaan itu dengan ngeluarin teaser-teaser kecil (pelit, memang) yang nunjukin siapa sih Wiro Sableng bagi yang belum kenal. Dan akhirnya, kemaren sore tanggal 11 Mei 2018, official teasernya beneran dikeluarin! Gak tanggung-tanggung. Demi menangkis pertanyaan orang-orang yang makin penasaran, saat acara release teaser tersebut mbak produser Sheila Timothy langsung ngasih kabar gembira ke kita semua: Tanggal tayang film ini dimajuin jadi Agustus 2018!!

 

Buat yang belum sempet ke LINE Today, ini nih official teasernya:

 

http://www.youtube.com/watch?v=4UQUbZFgpRs

 

Gimana aku dan undangan lain di konferensi pers kemaren gak pengen nambah, coba?

 

Teaser yang juga bakal ditayangin di pembuka screening Deadpool 2 di depan audiens Singapura entar, memang tampil begitu wah. Stunning sekali. Reaksi pertamaku literally begitu, “film ini bakal cakep banget.” Kelihatan  banget deh, waktu berbulan penggarapan itu ngefeknya ke mana. Lewat teaser kali ini, misi utama yang ingin dikenalin adalah kebolehan ‘aksi’ para filmmaker dan insan-insan yang terlibat di dalam pembuatan film tersebut. Satu menit lebih dikit itu dengan menakjubkan mengakomodasi semua.

Departemen art sih yang paling kelihatan kuat. Aku suka gimana kostum-kostum yang tampak di trailer benar-benar terlihat epik, khas dunia persilatan tanah air. Kostum si Anggini yang diperankan Sherina Munaf misalnya, sekilas mirip ulos, tapi ternyata dia bisa mengeluarkan jurus selendang yang panjang membentang. Begitu juga dengan kapak si Wiro yang ada elemen unsur alam ala-ala di batik. Dari teasernya tampak seperti Wiro Sableng, sebagai sebuah film, tidak melupakan budaya. Ia membuat budaya tampak keren dan gak kuno. Kalian ingat di serial dulu, setiap kali berantem, pukulan dan tendangan para tokoh ada asapnya? Waktu kecil kalo main Wiro-Wiroan, aku ampe ngabisin tepung di dapur buat niruin adegan tersebut. Namun sepertinya saat nonton film ini nanti aku udah gak bisa niruin pakai tepung lagi, sebab di teaser ini kita bisa lihat sama-sama efek asap di tangan Wiro udah canggih punya. Asap ajiannya pake muter-muter segala, ajib!!

Para pemeran tampak menawan dalam balutan kostum karakternya. Mereka semua disulap sehingga jadi pas banget ama karakter masing-masing. Aku nonton teaser ini sambil nunjuk-nunjuk layar. Wah itu Yayan Ruhiyan tampilannya sadis banget! Yang paling gorgeous di teaser itu jelas Marsha Timothy yang mejeng sebagai Bidadari Angin Timur. Sinto Gendeng bikin pangling, efek prostetiknya meyakinkan sekali. Sherina galak sih ya jadi Anggini, pasti kocak ntar interaksinya ama Wiro. Muka jahil Vino G. Bastian juga pas banget ama karakter sablengnya Wiro. Buat Vino, Wiro Sableng ini sudah personal sekali karena ini adalah tokoh yang diciptakan dari garis pena ayahnya, Bastian Tito. “Ayah pasti bangga melihat kerja keras kami semua”, ujar Vino yang menganggap perannya di sini bukan sekedar warisan yang ia dapatkan, melainkan lebih kepada tanggung jawab dan baktinya kepada sang Ayah.

“Kok pertanyaan ke saya susah-susah sih?” Sableng, Wiro. 2018.

 

Disokong Fox, Wiro Sableng tampil enggak tanggung-tanggung. Olahan teaser ini aja rasanya udah Hollywood banget. Pake sound “Duummmmm” kayak bass Michael Bay segala. Bagian akhir trailernya tuh, yang aku suka. Lirik “Wiro, Wiro Sableng!” yang digubah dari lagu lamanya kedengaran menggebu-gebu banget. Pergerakan kamera jangan ditanya. Syut demi syut outdoor itu tampak demikian fantastis, mengalir dengan mulus. Pacenya cepet khas film aksi, tapi enggak pernah membingungkan. Adegan Wiro nangkis meja pake ceker ayam itu udah kayak penggambaran adegan dalam buku komik banget, yang mana semakin keren karena mengisyaratkan film ini paham bahwa salah satu yang paling fun dalam menonton Wiro Sableng dulu adalah bagaimana Wiro menggunakan environment sekitar.

Wideshotnya tampak fantastik. Orang-orang melayang dengan sling enggak kelihatan konyol dan over-the-top. On the other hand, CGInya memang masih terlihat sedikit kasar. Adegan Wiro di pinggir tebing, adegan Wiro berantem di puncak pohon, lingkungannya terasa unworldly. Kayak bukan pada tempat yang sama dengan hutan-hutan, pondokan, bahkan dengan set indoor seperti singgasana kerajaan.  Namun sekali lagi, yang kita lihat sekarang ini baru teasernya. Susah sekali tentunya menangkap konteks momen cerita dari video pendek nan cepet ini, jadi kita gak bisa buru-buru ngejudge. Bisa saja memang saat itu Wiro sedang menapaki alam dunia lain. Atau mereka sedang bertarung di realm yang berbeda, mengingat di adegan itu Wiro tampak berhadapan dengan  Bujang Gila.

 

Selain rasa penarasan, tentunya juga ada rasa bangga terkait kerjasama Wiro Sableng dengan 20th Century Fox. Karena meskipun cerita fantasi, Wiro Sableng masih mengakar kepada budaya. Sedikit banyaknya, kebudayaan kita dilirik juga sama orang luar, and it could be such an eye opener. Menurutku sendiri sesungguhnya ada banyak sekali cerita-cerita asli Indonesia, bahkan cerita kepahlawanan masa penjajahan, yang bisa dieksplorasi – yang ceritanya enggak kalah seru dengan cerita-cerita superhero. Wiro Sableng bisa jadi jalan pembuka, kapak yang menebas jalan lapang bagi cerita-cerita dan budaya tersebut untuk dilihat oleh dunia luar. Bukan tugas yang ringan, memang, tapi kan yang namanya jagoan, harus rela berkorban. Eh salah, itu lirik lagu film si Sherina waktu masih kecil. Maksudku, tapi kan yang namanya film sudah semestinya bergerak maju ke arah yang lebih baik. Dan aku suka ke arah mana film Wiro Sableng ini melangkah.

Karena jika muridnya sableng, gurunya gendeng. Maka, apa yang dahulu sableng, yang sekarang mestinya jreng jreng!

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

dan inilah namaku di universe Wiro Sableng

SAJEN Review

“Suicide is a permanent solution to a temporary problem.”

 

 

Sekalinya nekad nitip absen satu mata kuliah, pasti deh, yang dibolosin itu ngadain kuis mendadak. Atau enggak, kuliahnya mendadak asik kata teman-teman yang masuk. Dan besoknya, dibelain-belain masuk, mata kuliah tersebut kembali sukses bikin kita ketiduran di tempat duduk. Film horor Indonesia keadaannya persis begini. Begitu aku sengaja ngelewatin satu film, santer terdengar bahwa ternyata film itu bagus, menarik, dan sebagainya lah yang bikin aku nyesel gak nonton. Kemudian aku coba nonton horor Indonesia berikutnya; kembali aku mengutuk-ngutuk setengah mati.  Nonton film horor Indonesia di bioskop belakangan ini pretty much seperti kita penasaran takut ketinggalan sesuatu yang penting, sedangkan di saat bersamaan kita males menontonnya karena kita sudah tahu harus mengharapkan apa.

Singkatnya, kita butuh ‘sesajen’ supaya kita sudi untuk nonton film horor Indonesia.

 

Sejujurnya, satu-satunya alasan aku nonton ini adalah karena diajak oleh Forum Film Bandung. I have no interests whatsoever, aku gak tahu pemain-pemainnya yang berfollower banyak, buatku Sajen adalah ‘kelas’ yang dengan senang hati aku bolosin. Tapi ternyata, film ini memang beda. Film ini unik banget…….buat penonton yang belum pernah menyaksikan film Thailand Bad Genius (2017), yang belum pernah dengar serial di Netflix 13 Reasons Why (2017), yang gak tau siapa Sadako, yang belum pernah baca dan nonton Carrie nya Stephen King. Dengan kata lain, penonton yang selama ini tinggal di dalam goa – come on, semua itu adalah pop-culture populer! Kalolah ini kelas, aku bilang, aku gak akan tertidur, aku malah sangat terhibur karena yang aku saksikan di depan kelas itu adalah badut dengan lelucon plesetan yang amat teramat sangat konyol.

Sajen punya lingkungan cerita yang menarik. Sebuah sekolah menengah atas swasta yang mentereng, muridnya kece-kece, tajir pula, seisi sekolahan ini mengkilap, ruang komputernya lengkap, ada perpustakaan, wc nya kayak wc di bioskop, bangku siswanya kursi empuk di kantoran – bisa muter, menyediakan sudut pandang 360 derajat yang sempurna untuk nyontek. Namun di tengah-tengah itu semua, ditemukan sesajen-sesajen tradisional di beberapa tempat. Tidak ada yang boleh bertanya tentang sesajen tersebut, apalagi memindahkan. Karena ternyata sekolah ini punya rahasia. Banyak murid yang meninggal bunuh diri sehingga arwah mereka tidak tenang.  Demi menjaga nama baik sekolah, pihak guru dan authorities sekolah enggan menyelidiki bunuh diri tersebut. Sampai akhirnya ada satu siswi bernama Alanda yang merekam apa yang dilihatnya di sekolah, video yang berisi aktivitas murid-murid di sekolah ini yang sudah lama membuatnya geram. Jadi, beda dong, Alanda Baker menggunakan rekaman video, sementara Hannah Manopo pake kaset tape. Perundungan merajalela. Anak-anak populer ngegencet anak-anak lain. Bahkan Alanda sendiri menjadi korban. Dia dikasari, dia dicekoki minuman keras, direkam saat mabok dan videonya disebarin. Alanda juga diperkosa. Namun setelah semua tragedi itu, malah ia yang dipersalahkan. Alanda dituduh mencemarkan nama baik sekolah. Karena tidak tahan menghadapi semua rundungan tersebut, Alanda bunuh diri. Kemudian barulah dia kembali sebagai hantu, ia membully balik orang-orang tersebut, dan mencoba membuat sekolah mereka tempat yang lebih baik dari alam sana. And I’m not even kidding.

Aku gak tahu gimana kalian bisa membaca sinopsis tersebut tanpa tertawa, karena aku sendiri saat mengetiknya sempat berhenti tiga kali lantaran jari-jariku terlalu gak stabil saat aku mulai ngakak berat mengenang apa yang baru saja aku tonton.

satu hal yang bisa kusukuri dari film ini adalah Grace Salsabila yang mirip banget ama Britt Robertson

 

Film ini parah, tapi bukan berarti aku tak terhibur – kita bisa sangat terhibur dengan menonton ini. Dan lagi film ini parah bukan karena aku sedari awal sudah tak tertarik nonton, ataupun bukan karena aku kebanyakan referensi. I mean, jikapun kalian belum pernah nonton Thirteen Reasons Why dan segala yang kutulis di atas, film ini tetap gagal karena penggodokan elemen-elemen cerita yang begitu ngasal dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah penceritaan film yang baik dan benar. Oleh karena film ini begitu nafsu untuk ngikutin materi-materi lain; serius deh, film ini akan bekerja baik jika kita melihatnya sebagai parodi konyol dari film yang lebih sukses, maka aku pun akan nulis ulasannya dengan plesetan. Jadi, inilah, TIGA-BELAS ALASAN KENAPA SAJEN MEMBUNUH DIRINYA SENDIRI SEBAGAI SEBUAH FILM:

  1. Babak pengenalan yang tidak jelas. Karena niruin banyak, film ini punya banyak perspektif untuk digali. Namun malah bingung sendiri mengambil fokus yang mana. Maksudku, jika ternyata sebagian besar cerita nantinya akan mengisahkan dampak bunuh diri cewek yang dirundung terhadap orang-orang sekitarnya, maka kenapa cerita malah memulai dengan memperlihatkan si tukang bully yang bahkan gak sempat punya arc di penghujung hidupnya.

 

  1. Film ini memasukkan elemen persaingan dua murid paling pinter di angkatan seperti film Bad Genius, hanya saja Sajen gak punya follow up yang menarik yang datang dari persaingan ini, selain menambah deretan orang yang menyakiti hati Alanda. Juga, Sajen gak bisa punya fenomena paling menarik yang diangkat Bad Genius; bahwa orang pintar itu yang ngebully. Sedangkan Sajen terasa sangat tradisional dengan anak pintar dirundung oleh anak yang populer

 

  1. Elemen 13 Reasons Why nya juga begitu, film ini melewatkan bagian terpenting kenapa serial tersebut begitu menyentuh. Basically, Sajen merangkum tiga belas episode menjadi empat-puluh-lima menit kurang, sehingga tokoh-tokoh di sini tidak berhasil hadir dalam lapisan, mereka semuanya masih satu-dimensi. Ada twist di akhir yang totally membelokkan satu tokoh, tapi itupun build upnya nyaris gak ada dan hanya bertumpu pada elemen kejutan. Sajen juga berani menampilkan adegan bunuh diri dengan gamblang di layar, masalahnya adalah justru adegan bunuh dirilah yang membuat 13 Reasons Why kontroversial. Maka bayangkan, jika serial yang sudah mengupas begitu seksama soal kejiwaan dan sisi emosi aktual dari sisi pelaku rundung, orangtua korban, dan si korban itu sendiri masih dinilai terlalu mengglorify bunuh diri dan mengajak remaja target penontonnya ke tindakan yang salah; gimana jadinya cerita tiruan yang merupakan rangkuman dari cerita kompleks tadi dalam menampilkan adegan bunuh diri – tak lain tak bukan hanya untuk sedih-sedihan dengan makna sesungguhnya sama sekali tak tercapai. Berubah menjadi hal yang menggelikan, malah

 

  1. Serius deh, cita rasa lokal yang ditambahkan membuat semuanya menjadi dangkal. Elemen hantu selain bikin cerita jadi konyol, juga bikin penyelesaian jadi ngambang. It really takes us away dari problematika yang sebenarnya. Pelaku perundungan jadi gak belajar banyak, fokusnya menjadi mereka takut sama hantu alih-alih menyesali dan reflecting ke diri sendiri, menyadari apa yang mereka perbuat itu salah. Mereka tidak peduli sama Alanda ataupun mikirin supaya jangan terjadi korban lain, mereka hanya khawatir soal hantu. Di satu poin, ada tokoh yang mengusulkan jalan keluar dengan membangun musholla di sekolah, tapi itu bukan demi kebaikan para murid – biar mereka sadar dan sering ibadah – melainkan lebih ke biar para hantu takut untuk datang mengganggu

 

  1. Hantu yang tampil di sini pun sama sekali tidak seram. Film tidak mampu mengarahkan ke sebenarnya horor karena terlalu sibuk nyontek film lain. Akibatnya untuk nampilin horor, mereka pakai banyak sekali jumpscare, baik yang palsu (tepukan orang dari belakang punggung) hingga ke kemunculan hantu yang entah kenapa di sini hantunya seperti harimau ataupun T-Rex yang selalu mengaum sebelum beraksi

 

  1. Sepertinya fokus ngeriset nontonin film lain, Sajen lupa melakukan riset bahwa bully sudah ada padanan kata dalam bahasa Indonesia.

 

Kita tidak bisa dan tidak seharusnya membuat bunuh diri sebagai tindakan mencegah perundungan. Seharusnya yang diajarin adalah bagaimana supaya membuat orang-orang menjadi less-violent terhadap sesama. Dengan teman sekolah, kita dirundung. Sekolah juga kerap ngebully kita dengan tuntunan nilai. Dunia kerja juga ntar begitu. Malah ada juga orangtua yang merundung anaknya dengan segala kewajiban membuat mereka bahagia. Film ini juga menggambarkan hantu aja kena dibully sama bacaan doa. Seluruh dunia adalah tukang bully. Kita ini bagai pendulum yang berayun dari posisi pelaku ke korban dengan begitu gampang. Mestinya menyingkapi inilah yang dijadikan fokus. Adalah perbuatan yang salah melakukan perundungan dalam bentuk apapun. Namun juga bukanlah hal yang benar untuk bunuh diri dengan harapan orang-orang akan menyesal atas perbuatan mereka ke kita. Apalagi kalo niat bunuh dirinya biar bisa jadi hantu dan balas dendam. Yang perlu diingat adalah; berkebalikan dengan yang ditunjukan oleh film Sajen, bunuh diri bukanlah bentuk pengorbanan, bunuh diri bukanlah tindakan noble ataupun kesatria. Jangan gebah orang untuk melakukan hal itu. Encourage people to speak up.

dan film ini pun membully penontonnya dengan jumpscare-jumpscare bego.

 

  1. Tokoh Rachel Amanda yang mestinya bisa berperan banyak, bahkan bisa dijadiin tokoh utama, malah dibuat tidak melakukan apa-apa. Perannya adalah librarian yang diam-diam bikin artikel tentang perundungan yang terjadi di sekolah. Tapi actually waktu tampilnya sangat sedikit, artikelnya enggak berujung ke mana-mana. Dan satu-satunya hal yang ia lakukan malah bagi-bagi tisu ke tokoh yang nangis. Bahkan filmnya sendiri beneran menyebutkan hal ini, seolah mereka sadar mereka sudah membuat tokoh ini tampak begitu gak ada gunanya.

 

  1. Tokoh ibu si Alanda yang setengah gila juga dibuat bego banget. Dia memegang bukti kuat perihal perundungan dan kejadian yang menimpa putrinya. Tapi gak dikasih-kasih ke yang berwajib. Padahal enggak ada yang menghalangi dia untuk menggunakan bukti tersebut. Plus dari segi wajah dia lebih cocok sebagai ibu si cewek tukang bully. Plus keluarga si cewek tukang bully tidak pernah dibahas karena siapa yang peduli soal karakter antagonis, kan, film horor Indonesia?

 

  1. Lagu tradisional Sunda “Cing Ciripit” yang diputer berkali-kali, padahal selain adegan pertama kemunculannya, momen lagu ini tidak pernah terasa emosional

 

  1. Satu lagi karakter yang enggak jelas, dan sok dibikin misterius, adalah si janitor yang dandanannya lebih mirip dukun. Aku ngerti dia di sana dipekerjakan karena sepertinya cuma dia yang tahu cara bikin sesajen. Namun, alasan dirinya di menjelang akhir membuang sajen-sajen itu pada malam prom sungguh tidak terpikir buatku

 

  1. Adegan prom itu salah satu yang bikin aku ngakak sejadi-jadinya. Hantu Alanda mengurungkan niatnya memporakporandakan seisi aula lantaran dia melihat video kejadian sebenarnya yang diputar impromptu oleh seorang pelaku rundungnya yang mendadak bulat tekat untuk insaf, dan Alanda jadinya hanya mengejar satu orang. Dan yang lain hanya nonton manis ngelihat Alanda nyekek tuh pelaku utama

 

  1. Alanda tampak seperti anak baik dengan tujuan yang lurus. Dia ingin menyetop perundungan yang terjadi di sekolahnya, dengan merekam tindakan itu sebagai bukti. Untuk apa? untuk disebarkan? Tapi tidakkah itu membuatnya jadi bully juga? Ini sama heroiknya dengan kejadian orang-orang yang memvideokan penyimpangan padahal mereka ada di sana dan bisa menghentikan secara langsung. Namun, generasi sekarang lebih suka mempostingnya dan menghujat perbuatan itu ramai-ramai di social media. Alanda juga berkata kita harus bisa memanfaatkan kesempatan, yea, dia membuktikan kata-katanya dengan lebih memilih bunuh diri supaya bisa dapat kesempatan jadi hantu.

 

  1. Karena ini cerita hantu, jadi tidak ada konsekuensi nyata yang tersampaikan kepada kita buat pelaku perundungan itu sendiri. Dalam film ini mereka antara mati dibunuh hantu, ataupun menjadi gila. Bagaimana film ini bisa menyampaikan pesan biar orang berhenti ngebully di dunia nyata? Toh tidak ada hantu di dunia nyata yang bisa menghukum? …eh, atau ada?? Jengjeng!!

 

 

 

 

Film ini adalah film yang berani……mengadopsi serial dan film populer secara tak resmi dan menyesuaikannya dengan keadaan yang relevan dengan cita rasa lokal namun totally missing the point dari pesan yang mau disampaikan. Membahas perundungan, pencitraan, mental ngejudge, serta popularitas dan kompetisi, yang merupakan perjuangan yang harus dihadapi oleh remaja-remaja SMA di dunia di mana hantu bisa menegakkan kebenaran.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for SAJEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

TRUTH OR DARE Review

“When you help other people, you also help yourself.”

 

 

Jawab jujur, ada gak sih yang tahu pasti alasan kita takut sama hantu? Seperti, jika aku nantangin kalian keluar tengah malem dan berjalan di tempat sepi, kemudian kalian ngelihat satu sosok yang membelakangi kalian, kapan dan apa tepatnya yang membuat kalian lari terbirit-birit? Sebagian besar pasti terjadi saat  kalian mendekati si sosok, kemudian dia berbalik, menampakkan wajahnya yang berdarah-darah. Namun wajah seram enggak selalu menjadi patokan. Orang yang super pemberani dan mikir reasoning dan kelogisan (alias gak mikir macem-macem!), masih akan kepikiran bahwa yang dilihatnya di tepi jalan barusan adalah orang yang sedang membutuhkan pertolongan medis. Atau, bagaimana jika yang kalian lihat di tepi jalan itu sosok yang berjalan tanpa kepala – kalian otomatis tunggang langgang, enggak peduli tampangnya gimana, kan. Poinku adalah, kita takut kepada hantu, karena kita melihat mereka sebagai sesuatu yang enggak semestinya berada di sana – karena sebenarnya kita semua sudah ada ground realita, yang kita butuhkan adalah sedikit kondisi yang meruntuhkan realita tersebut – dan jadilah kita takut. Dalam film, ‘kondisi’ itu yang disebut dengan background story. Hantu-hantu tersebut juga mesti punya alesan keberadaan yang membuat kita bisa merasa takut kepada mereka. Jadi, bukan hanya sekedar wajah atau penampakan yang seram.

Apalagi kalo kita mengeksplorasi horor dari hal yang abstrak, seperti permainan ‘Truth or Dare’. Buat yang belum familiar, ‘Truth of Dare’ adalah permainan anak-anak remaja di Amerika sana kalo mereka lagi ngumpul-ngumpul bareng teman satu geng. Permainan yang simpel, karena peraturannya adalah setiap yang ikut akan mendapat giliran untuk ditantang harus memilih antara melakukan suatu hal atau mengungkapkan satu rahasia kepada teman-temannya. Nah, horor terbaru produksi Blumhouse mengadaptasi permainan tersebut, akan tetapi mereka sepertinya kesulitan (itu juga kalo gak mau dibilang enggak punya ide matang) mengeksplorasi hal apa yang sekiranya bisa membuat permainan tersebut menjadi seram. Tidak seperti Ouija atau Jelangkung – permainan anak-anak juga – yang memang berhubungan dengan dunia orang mati, ‘Truth or Dare’ hanya berdasarkan seru-seruan belaka. Jadi, film ini berusaha memasukkan satu entitas misterius yang mengutuk permainan tersebut; mengubahnya basically menjadi permainan Hidup atau Mati. Hanya saja film ini missing the point dari apa yang bikin hantu menyeramkan. Cerita yang mereka bangun seputar elemen horornya sangat gak make sense. Jika Final Destination punya kecelakaan-kecelakaan yang freaky, Saw punya trik dan alat pembunuhan yang pinter, Truth or Dare mengandalkan kepada hantu yang membuat tokoh-tokoh di film itu menyeringai aneh, sehingga membuat wajah mereka seperti yang dideskripsikan lewat dialog; “a messed up snapchat filter”.

Atau supaya gampang kebayang, tokoh-tokoh film ini seakan berlomba menirukan senyuman Willem Dafoe

 

Aku gak yakin  mereka sengaja membuat film ini menjadi lucu, karena hampir sepanjang film pundakku terguncang-guncang demi menahan ketawa. Rusukku sampe sakit karenanya. Actually, kalo film ini dibuat dengan arahan sengaja menjadi konyol, aku yakin hasilnya akan lebih baik dari apa yang kita saksikan di bioskop saat ini. Wajah seram itu benar-benar gak seram; menggelikan. Film juga berusaha menggali drama, membuat motivasi tokoh utama dan relasinya dengan tokoh lain cukup ribet dalam usahanya memancing simpati, tapi gagal, lantaran semuanya terasa konyol. For instance, yang kita lihat di sini adalah anak-anak kuliah yang main truth or dare – dan bahkan para aktornya enggak benar-benar tampak seperti anak kuliahan, mereka tampak terlalu tua, sepertinya mereka pada lulus terlambat. Dan cerita di babak awal membuat kita susah untuk peduli sama mereka.

Olivia (Lucy Hale enggak tampak berbeda dari sosok  pembohong kecil nan cantiknya yang biasa kita lihat ketika dia bermain sebagai Aria) diajakin ikut liburan ke Meksiko karena ini adalah spring break terakhir mereka sebagai mahasiswa. Setelah melihat montase hura-hura Olivia dan teman-temannya, ada salah satu tokoh pake topeng Rey Mysterio, kemudian mendengarkan dubstep dogol sembari melihat mereka have fun di bar, kita dibawa ngikut mereka pergi ke sebuah gereja tua terpencil. Kemudian pria asing yang mengajak mereka ke sana, mengajak mereka main truth or dare, dan sekali lagi mereka mau-mau aja. Jika saja mereka mau berpikir, maka mereka enggak bakal terjebak ke dalam lingkaran kematian di mana mereka harus bermain truth or dare maut di mana peraturan tersebut dibayar dengan nyawa. Pilih ‘Truth’ tapi enggak ngomong jujur, mereka mati. Pilih ‘Dare’ tapi kemudian ciut nyali ngelakuin tantangan, mereka mati. Si hantu senyum herp derp enggak menyisakan jalan keluar buat Olivia karena truth or dare mereka terkutuk mereka punya peraturan tersendiri; Olivia dan teman-teman tidak bisa terus-terusan memilih ‘Truth’; setiap dua kali consecutive ‘Truth’, pemain  berikutnya harus memilih ‘Dare’

Peraturan karangan ini digunakan untuk memfasilitasi perkembangan karakter Olivia. Film ini pengen bicara soal manusia dan pilihannya lewat sudut pandang Olivia. Ini satu-satunya aspek yang aku suka dari film ini. Mereka berani mengembangkan tokoh utama ke arah yang tak biasa. Meskipun memang motivasi Olivia ini enggak logis, tapi dia punya pijakan moral yang jelas. Olivia adalah cewek yang melindungi perasaan orang lain ketimbang perasaanya sendiri. Dia selalu mikirin “ntar kalo gue gitu, yang lain gimana”. Olivia suka sama pacar bestfriend-nya, tapi dia menelan perasaan tersebut dan memastikan mereka berdua tetap jadian. Olivia tidak mau memilih ‘truth’ lantaran dia khawatir, teman yang mendapat giliran sesudahnya tidak bisa menghindar dari ’dare’ yang berbahaya. Bahkan, di adegan-adegan awal ketika mereka bermain di gereja tua, Olivia menerangkan jikalau ada alien yang menyerang Meksiko, dia tidak ragu untuk mengorbankan dirinya beserta teman-teman di sana, demi menyelamatkan seluruh populasi negara tersebut. Makanya, perubahan karakter Olivia di akhir cerita terasa menarik. Pada dasarnya, Olivia mengorbankan seluruh penduduk Bumi, melibatkan semua orang ke dalam permainan terkutuk tersebut, lewat video Youtube. Serius, mereka bisa membuat film berdasarkan ‘pembunuhan massal’ ini aja, sepertinya bakal lebih menarik dari Truth or Dare. Olivia udah kayak Thanos dan Infinity War; merasa diri pahlawan, namun pada akhirnya memberikan jumlah banyak untuk menjadi korban si Hantu Senyum CGI

Tak selamanya kita harus mengalah demi orang lain. Terkadang kita perlu memprioritaskan apa yang kita inginkan. Kita selalu punya pilihan, sebagai cara untuk melakukan apa yang harus kita lakukan. Apa yang terjadi pada Olivia seperti di grup whatsapp aja – ketika ada yang menikah atau keluarganya meninggal, misalnya, bagaimana cara kita mengucapkan adalah pilihan yang kita ambil. Tulus mengucapkan demi kebahagiaan atau bersimpati terhadap orang, kita akan mengetikkan sendiri kalimat-kalimatnya. Sebaliknya, jika hanya mengopy paste ucapan orang, sebenarnya itu kita hanya mengucapkan demi membuat diri kita merasa baik. Bukankah, jika kita membantu orang lain hanya supaya kita bisa merasa lebih baik terhadap diri kita sendiri, itu namanya enggak benar-benar noble, kan?

‘dare’ paling susah; nonton ini sekali lagi tapi enggak boleh bereaksi.

 

Film ini sebenarnya punya materi, sayangnya penulisan dan penggarapannya seperti dikerjakan ngasal oleh anak remaja yang baru satu kali membuat film. Jumpscarenya selalu adegan dikagetin oleh orang dari belakang, ayo dong, ini enggak pernah menjadi hal yang menakutkan. Malahan, Wes Craven udah ngeledek teknik jumpscare begini sedari Scream di 1996 – filmmaker belajar enggak sih dari sini? Pengadeganan juga begitu basic. Ada satu tokoh yang setiap kali marah, selalu dibuat berjalan ke luar ruangan. Tiga kali adegan loh yang kayak gini, bayangkan. Ada banyak sekuen yang tidak berujung apa-apa. Justru, ada banyak yang mestinya bisa dihilangkan karena enggak benar-benar perlu selain membuatku merasa seperti alay yang ribut terkikik ngangguin penonton lain di bioskop. Para karakter ditulis begitu hampa emosi. Pacar teman mereka baru saja mati, dan beberapa menit kemudian mereka seolah melupakannya. Ada satu kematian teman mereka yang disebar videonya, mereka menonton video ini, kemudian bereaksi kaget dan takut dan ada juga yang menyangkal, dan enam detik kemudian  video tersebut ditonton kembali oleh si tokoh. Wow.

Skill yang ditunjukkan dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam film ini adalah keahlian menggunakan google search. Beneran, tonton deh. Olivia berantem ama temannya dengan saling tunjuk kebolehan mencari orang dan informasi lewat google. Film ini begitu kekinian. Adegan awalnya aja udah tokoh yang lagi live video curhat ke follower. Masalah dari film yang sangat ngepush social media, facebook, snapchat, instagram, kayak gini adalah elemen-elemen tersebut akan dengan cepat kemakan jaman. Kenyataannya adalah segala referensi itu malah membuat ceritanya susah untuk menjadi timeless.

 

 

 

Tidak ada substance, tidak ada style. Film ini tampak seperti banyak ide yang digodok, namun pembuatnya tidak mampu mengeksekusi. Semuanya enggak logis; motivasi tokoh utama, cerita latar hantunya, cara ngalahin hantunya. Supaya bagus, mestinya mereka menjadikan ini film yang konyol dan komikal, karena rute beneran film yang menegangkan jeas-jelas tidak bekerja untuk horor yang diangkat dari permainan anak-anak yang enggak serem. Ngomong soal anak-anak, toh film ini memenuhi tujuannya sebagai produk peraup duit yang ditujukan buat anak-anak muda yang bisa tetap merasa relate karena penggunaan social media dan referensi pop-culture kekinian dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 1.5 out of 10 gold stars for TRUTH OR DARE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

AVENGERS: INFINITY WAR Review

“A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself.”

 

 

Aku gak akan bohong, aku super excited nungguin film ini keluar. I mean, siapa yang enggak?!! Begitu banyak jagoan buku komik bermash-up seru, team up, lengkap dengan potensi aksi-aksi kekuatan super yang begitu beragam, jelas sisi nerdy kita semua akan menjerit kegirangan. Sekaligus juga, sebagai penonton film, aku mengelinjang demi penasaran gimana mereka menghandle sekian banyak tokoh superhero, gimana cara mereka membagi porsinya, cerita macam apa yang bakal mereka sajikan, siapa yang jadi tokoh utama?

Well, yea, Marvel Studio sendiri dalam rangkaian promo mereka menyebut, dalam film ini akan ada enam-puluh-empat tokoh utama. Yang mana adalah angka yang sangat luar biasa, yang bagi yang ngerti penulisan skenario pastilah lebih mencengangkan lagi karena bagaimana bisa memfokuskan pada segitu banyak sudut pandang, akankah dua setengah jam will do justice kepada semua tokoh. Akan selalu ada satu perspektif yang berdiri lebih tinggi daripada yang lain. Ketika trailer pertama film ini dirilis, para fans dan penggemar film ramai berspekulasi. Kafe eskrimku pun pernah seketika jadi ruang debat seru, para pengunjung terlibat percakapan berlarut mengenai spekulasi mereka tentang apa yang bakal terjadi di film ini. Aku sempat berkelakar bahwa Thanos yang menjadi tokoh utama alih-alih Ironman atau Captain America. Dan setelah menonton ini (setelah semua asap ledakan kefanboyan itu menipis dan sirna), kelakarku berubah menjadi pendapat utuh. Aku pikir Thanos lah – si raksasa ungu yang menghancurkan planet-planet itu – yang menjadi tokoh utama sebenarnya bagian satu dari film final Avengers ini. Dan sekalipun mungkin aku salah, melihat film dari titik pandang Thanos tetap adalah cara paling menarik bagi kita menikmati cerita Infinity War. Thanos punya motivasi, dan film ini adalah tentang para superhero berusaha mencegah motivasi tersebut menjadi kenyataan, dan pertanyaan besar yang menggantung adalah apakah Thanos berhasil meraih apa yang ia inginkan.

enggak, aku enggak akan bikin candaan mainstream seputar Thanos dan batu akik

 

Thanos sedang dalam pergerakan mengumpulkan enam Batu Keabadian dari seluruh penjuru galaksi. Dia sudah berhasil mendapatkan Power Stone. Adegan pembuka film memperlihatkan detik-detik dia mengambil Space Stone alias Tesseract dari tangan Loki dalam sekuens menyayat hati. Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita akan kehilangan dua tokoh yang masuk kategori ‘favorit’ di kalangan fans, yang tentu saja melandaskan mood sekaligus peringatan; film ini tidak ragu-ragu untuk mencabut entah berapa nyawa favorit lain hingga penghujung ceritanya. Sementara Thanos bisa saja sudah mengetahui kemana harus mencari Soul Stone dan Reality Stone, kita tahu pasti dua Batu terakhir ada di Bumi. Doctor Strange literally memakai Time Stone sebagai kalung demi menjaganya. Dan Mind Stone adalah sumber nyawa dari Vision. Cepat atau lambat Thanos akan berurusan dengan Avengers. Serta dengan Guardians of the Galaxy, mengingat Gamora punya urusan personal sebagai putri angkat Thanos. Para superhero tersebut harus berjuang sekuat tenaga, sebab jika Thanos berhasil mendapat kekuatan maha dahsyat dari mengumpulkan batu-batu tersebut, Thanos akan mampu menghapus setengah eksistensi di alam semesta hanya dengan satu jentikan jari saja.

Sejak nongol di trailer, Thanos langsung hits. Banyak yang berkomentar soal penampilan karakter CGI ini yang dinilai terlalu manusiawi. Aku banyak melihat meme yang menyebut Thanos seperti Stone Cold Steve Austin, Goldberg, atau banyak lagi superstar WWE lain. Well, turns out ternyata Thanos lebih mirip Alexa Bliss ahahaha, penggemar wrestling pasti paham lelucon ini, I mean, lihat aja gerakan Thanos ketika menggunakan kekuatan gauntlet Infinity saktinya; persis kayak gaya Alexa dengan sarung tangannya hihihi… Anyway, perihal wujud Thanos dirancang enggak begitu intimidating jika kita bisa overlook badan raksasanya; itu karena ternyata Thanos memang punya sedikit hati. Kita diniatkan untuk merasakan sedikit simpati kepadanya. Thanos percaya apa yang ia lakukan adalah hal yang benar; bahwa dia juga melakukan tindak yang heroik. Keseimbangan dunia adalah apa yang ingin diwujudkan oleh Thanos. Dia punya moral kompas sendiri. Sering adegan akan membawa kita berkunjung melihat Thanos, mengenali Thanos dalam lapisan yang lebih dalam. Adegan-adegannya dengan Gamora menjadi inti cerita yang mengungkap siapa Thanos. Sirkumtansi memang lebih sedikit terlalu popcorn, terlalu membuatnya seperti penjahat buku komik, tapi Thanos tetap adalah karakter yang menarik dengan moral kompasnya sendiri. Enggak gampang memainkan karakter yang sepenuhnya CGI, namun Josh Brolin berhasil menghidupkan Thanos, memanusiawikannya.

Ini mungkin aku yang kebanyakan nonton My Hero Academia, tapi aku pikir film ini punya ‘suara’ yang sama dengan anime tentang sekolah superhero tersebut. Jika ada yang bisa kita petik dari Thanos di film ini, maka itu adalah Thanos mengajarkan kepada kita perbedaan antara hero dengan villain; pahlawan dengan penjahat. Thanos boleh saja merasa pahlawan di sini, karena ini adalah ceritanya. Namun sejatinya, pahlawan enggak akan pernah mengorbankan sebahagian yang lain. Pahlawan akan mengorbankan dirinya sendiri.

 

Selain beberapa menit terakhir yang terasa begitu dingin, suram, sekaligus mengundang penasaran (saking penasarannya aku jadi nungguin post-credit, padahal sejak Ironman 1 aku gak pernah peduli sama post-credit scenes), sebagian besar film ini terasa menegangkan dengan sangat menyenangkan. Memuaskan melihat tokoh-tokoh superhero itu bertemu untuk pertama kali. Akan ada banyak interaksi yang kocak, yang datang dari para tokoh yang sengaja dikontraskan. Thor dengan Star-Lord misalnya, film menggali komedi dari Star-Lord yang merasa minder karena kalah macho, jadi dia berusaha untuk tampil ‘sangar’. Infinity War menjadi menarik dan benar-benar kocak ketika komedi-komedi yang dihadirkan diangkat dari sifat dan watak karakter. Dari betapa berbedanya mereka satu sama lain, dan gimana mereka diharuskan untuk bekerja sama. Kita akan melihat grup superhero terbagi menjadi beberapa grup, Thor dengan Rocket dan Groot Remaja (yang begitu angsty kerjaan main mobile legends melulu hihi) berusaha mencari pembuat senjata, Tony Stark dengan Dr. Strange dan Spider-man (how awesome is that!), berusaha menyetop Thanos di kandangnya sendiri, ada juga Scarlet Witch dan Vision yang berusaha mencari jalan keluar menghancurkan Mind Stone tanpa membahayakan nyawa Vision sambil diburu oleh anak buah Thanos. Dan bicara tentang itu, aku suka gimana pasukan alien tersebut justru berhasil dipukul mundur oleh divisi pasukan asli Bumi – Captain America, Black Widow, Falcon. Satu lagi yang menurutku keren adalah Thor lawan Thanos yang menguar referensi mitologi – Thor yang padanan Zeus pada budaya celtic berhadapan dengan Thanos yang namanya dimodifikasi dari Chronos, titan yang dikalahkan Zeus.

adegan endingnya bikin aku pengen ngacungin ibu jari sambil nyeletuk “RCTI okeeee!!”

 

Sebaliknya, komedi khas Marvel tersebut menjadi cheesy dan membawa kita keluar dari cerita ketika mereka menyisipkan celetukan-celetukan yang enggak ada hubungannya dengan karakter, misalnya ketika Dr. Strange nimpalin “Thanos siapa?” di adegan yang seharusnya enggak perlu diliteralkan seperti demikian, yang enggak ada kepentingan selain mencairkan suasana. Atau ketika Tony Stark membuat some remark musuhnya mirip Squidward di tengah pertempuran. Film ini bicara tentang keseimbangan, tetapi keseimbangan adalah tugas yang susah jika kita punya begitu banyak tokoh untuk ditampilkan. Akibatnya, banyak yang enggak dapat peran yang signifikan. Black Panther aja perannya di sini cuma sebagai komando perang yang bertempat di Wakanda. Hulk, yah, kita cuma melihat monster hijau ini di sekuen pembuka karena Banner diberikan arc apa yang ia lakukan jika Hulk menolak muncul di saat yang dibutuhkan. Bahkan beberapa tokoh harus diwrite off gitu aja.

Infinity War adalah culmination dari banyak penokohan, semua tone karakter yang ditulis dan divisikan oleh beberapa penulis dan sutradara berbeda digodok menjadi satu, sehingga tentu saja akan ada beberapa tokoh yang tampak bertindak di luar karakter mereka. Ini kayak waktu aku ikutan estafet nulis novel; aku harus melanjutkan apa yang ditulis orang lain, tetap berusaha ngikutin karakterisasi yang udah ditetapkan sambil menegmbangkan sesuai visi sendiri, dan setelah itu akan ada penulis lain yang  melanjutkan menulis karakter yang aku buat. Jelas akan ada sedikit ketidakkontinuan, dan di film ini kita menjumpai hal tersebut misalnya pada karakter Thor, dia sudah berevolusi di film terakhirnya, untuk kemudian di film ini dia kembali revert back seperti dirinya yang dulu; matanya yang hilang ada lagi, palunya yang hancur dibuat lagi.

 

Sementara semua jajaran pemain kelas atas itu bersenang-senang dengan karakter mereka seolah film ini adalah sebuah pesta pora di mana undangannya enggak sabar untuk menunjukkan kelebihan masing-masing, sutradara Anthony dan Joe Russo tidak berhasil mencetak sesuatu yang distinctive pada arahan mereka. Setelah Thor: Ragnarok (2017) dan Black Panther (2018), Infinity War tampak seperti kembali ke dasar di mana yang penting adalah superhero dan villain yang berantem dengan dahsyat dan seru.

 

 

 

Enggak gampang menampilkan begitu banyak dalam ruang yang lumayan sempit. Penceritaan film ini pada dasarnya memberikan ruang gerak yang sangat terbatas bagi pengembangan dan kualitas cerita semacamnya, makanya kita dapat begitu banyak adegan ngobrol, entah itu di dalam ruangan, bahkan adegan aksinya pun dilakukan sambil ngobrol. Tapi film berhasil melakukannya, katakanlah dengan subtil – enggak begitu terasa. Ada eksposisi, namun tidak begitu memberatkan. Karena kita sudah excited duluan. Film berhasil bermain-main dengan karakter sebanyak itu, menjelang penghabisan, film berubah menjadi sesuatu yang depressing. Namun tetap berhasil menutup cerita. Jika ada satu kata yang menggambarkan Thanos dan para superhero, maka itu adalah ‘sersan’; serius tapi santai. Eh, tapi itu tiga kata, ding!
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for AVENGERS: INFINITY WAR.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

TERBANG: MENEMBUS LANGIT Review

“Imagine all the people sharing all the world”

 

 

Sebelum John Lennon membayangkan gimana indahnya dunia tanpa possessions, ayah dari Onggy Hianata sudah menjalani hidup tanpa ada batasan di Tarakan; Beliau adalah keturunan Tionghoa yang begitu peduli kepada tanah tempat ia berpijak, Indonesia. Dia bahkan mengerti bahasa-bahasa daerah lebih daripada penghuni lokal sendiri. Bayangkan seorang Cina yang rela menutup toko demi mendamaikan pertikaian dua orang pribumi. Bukannya mau stereotipe, namun itu big deal banget loh. Betapa menunjukkan prioritas seseorang sebagai warga negara.  Karena begitulah ayah Onggy melihat dunia. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sementara di sekitarnya berita pembatasan hak warga asing, khususnya Cina, terdengar semakin marak. Ayah Onggy terbang bebas tanpa batasan negara

Selain hidup tanpa ada yang punya, ayah Onggy basically gak punya apa-apa dalam hidup. Keluarga Onggy miskin. Keluarga besar mereka, they only have each other. Mereka tinggal di negara yang bukan negara keturunan mereka. Mereka bahkan orang Cina yang enggak punya toko sendiri. Dan ini adalah bentuk kebebasan yang berbeda yang ingin dicari oleh Onggy sendiri. Sepeninggal ayahnya, Onggy yang waktu mau masuk SD aja susah kehalang biaya, memutuskan untuk pergi merantau. Terbang ke Surabaya demi hidup yang lebih baik. Untuknya, dan untuk seluruh anggota keluarga. Tapi sekali lagi, di atas usaha yang benar-benar ia mulai dari nol, sangkar yang mengungkung Onggy bukanlah sangkar yang kecil. Masa Orde Baru yang menjadi panggung perjalanan kehidupannya menawarkan banyak halangan buat warga keturunan seperti Onggy dan saudara-saudaranya.

Saat itu, Onggy memang masih satu orang pemimpi. Namun, film menunjukkan masih banyak bantuan yang datang kepada Onggy dari orang-orang tak terduga. Karena sesungguhnya bukan dia seorang diri saja yang menginginkan hidup yang damai, yang tidak melihat pada batas-batasan sesepele asal muasal, darah, golongan. Kita berada di bawah langit yang sama, dan atas sanalah yang seharusnya kita lihat. Seperti Onggy. Dan kini, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang berhasil mewujudkan mimpinya.

 

penceritaannya mengingatkanku pada film-film Studio Ghibli; berhasil mencampur rasa

 

 

Penceritaan film ini membagi drama kehidupan Onggy ke dalam tiga episode. Saat dia masih remaja di Tarakan, saat dia mulai berusaha membangun usaha dan hidup mandiri di Surabaya, dan ketika dia mengarungi kehidupan rumah tangga beserta sang istri di Jakarta. Setiap babak tersebut adalah perjuangan, kita akan lihat hidup enggak gampang bagi Onggy. Kakaknya sendiri malah terang-terangan bilang “kamu gak capek gagal terus?”. Tapi ini bukan cerita motivasi jika enggak menampilkan karakter yang jatuh berulang kali, dan setiap jatuh tersebut dia bangkit terus menerus. Arahan dari Fajar Nugros membuat setiap kegagalan menguar oleh, bukan semata drama yang bikin kita kasihan terhadap tokohnya, melainkan juga oleh api semangat yang terus berkobar. Melihat adegan-adegan sedih di film ini literally seperti melihat api yang semakin mengecil dan kita berdoa di dalam hati supaya apinya kembali menyala. Kita tidak ingin menangis karena air mata akan membuat api tersebut padam.

Lihat saja, degan ketika Onggy rugi besar setelah jualan kerupuknya, yang ia modali dengan seluruh tabungannya, kandas karena toko yang menjual kerupuk itu bangkrut dan membawa pergi jatah keringat Onggy. Tentu, kita melihat Onggy nangis sambil makanin kerupuk-kerupuk yang tersisa, tapi ada perasaan lain yang aku rasakan ketika melihat adegan ini, yang lebih powerful dari sekedar tangisan drama. It was a realization bahwa perjuangan tidak akan berakhir dengan segampang yang kita mau. Kerugian hanyalah tahapan yang harus dilalui sebelum kita mengenal bahagianya keberhasilan. Nugros berhasil menangkap ini, membawa kita naik turun dalam perjalanan karir bisnis Onggy.

enggak kurang nasionalis kan ya, aku mengerti bahasa daerah di film ini hanya karena ada subtitle bahasa inggrisnya?

 

 

Tapi film Terbang bukan lantas adalah sebuah film yang berat. Selain pelajaran ber-Bhinneka Tunggal Ika yang bisa kita petik, film juga bermuatan komedi. Film ini punya banyak karakter pendukung yang menarik. Dayu Wijanto yang mendapat peran sebagai ibu kost saat Onggy muda merantau ke Surabaya menyebutkan hampir semua adegan lucu film ini tidak tercantum di dalam naskah, alias improvisasi dari Sutradara. “Adegan favorit saya adalah adegan ‘pintu’”, kenang Bu Dayu yang penampilan kecilnya di film-film selalu memberikan kesan yang besar. Warna cerita yang hangat dan menyerempet lucu ini datang lewat interaksi Onggy dengan tokoh-tokoh yang lain. Penampilan akting mereka pun seragam bagusnya sehingga setiap dari mereka meninggalkan impresi yang berarti. Yang membuat kita sadar akan ketidakmunculan mereka. Dion Wiyoko menunjukkan dia mampu memainkan tokoh dengan rentang emosi yang jauh lewat peran Onggy. Menurut Dion sendiri, kerja yang ia lakukan haruslah maksimal, karena di film ini dia berperan menjadi banyak – jadi anak, jadi anak kost, jadi suami, jadi pria “chemistry-nya harus klik”, pungkasnya.

Namun terkadang, perkembangan tokoh Onggy memang terasa sedikit mengawang. Misalnya ketika ‘pemulihan’ Onggy dari usaha kerupuk yang bangkrut ke bekerja di perusahaan yang tidak diperlihatkan. Sehingga kita merasa tertinggal, ada bagian dari karakter Onggy yang kita lompati. Dan kemudian dia menikah, hubungan asmara yang ditampilkan singkat itu sukurnya masih mampu terasa manis dan kocak. Wiyoko dan Laura Basuki punya chemistry yang meyakinkan. Laura menyampaikan setiap dialognya dengan emosi yang pas, tidak berlebihan, tapi sangat mengena. Namun sekali lagi, lompat-lompat adegan membuat aliran cerita terputus-putus. Istri Onggy bisa tampak tiba-tiba marah, dan di adegan berikutnya mereka tampak biasa saja, seolah masalah yang dibahas tadi sudah dipecahkan dan kita tidak tahu bagaimana mereka memecahkannya.

Menyapa Bandung di acara Car Free Day, Minggu pagi 22 April, tampak Sutradara Fajar Nugros bersama Dion Wiyoko dan Dayu Wijanto tak kalah semangat juang.

 

Fajar Nugros menyebutkan salah satu kesulitan dalam menggarap period piece seperti film ini adalah mencari lokasi dan bangunan-bangunan bersejarah yang masih ‘asli’. Karena kebanyakan tempat-tempat semacam itu kini sudah ‘beralih fungsi’. Jadi mereka kebanyakan mesti membuat set sendiri, mereka-reka suasana tahun yang diinginkan, dan memastikan semua objek berada pada ‘waktu’ mereka seharusnya berada. On screen, Terbang layak mendapat panggilan film yang berani karena walaupun film ini membentang dari periode tahun, juga tempat, yang berbeda, kita tidak akan melihat tulisan yang menunjukkan tahun ataupun lokasi. Film mempercayai pemahaman penonton, lantaran mereka tahu persis mereka sudah menyiptakan ‘panggung’ yang benar.

Sutradara, para pemeran, dan cerita-cerita seru mereka

 

 

Dari sekian banyak jatuh bangun yang dialami Onggy yang diceritakan dengan lengkap, film malah meninggalkan bagian terpenting yang terjadi di dalam hidup Onggy. Ketika dia kepikiran untuk jadi distributor apel buat bayar uang kos dan biaya kuliah, kita diperlihatkan dari mana ide tersebut  berasal. Pun ketika dia mencoba jualan jagung bakar, kita melihat awal dan akhir dari usahanya tersebut. Kita juga akan sering dibawa mundur ke ingatan Onggy terhadap ayahnya, karena dari ‘kesalahan’ dan nasihat Beliaulah terutama Onggy melandaskan perjuangan hidupnya. Kita paham tantangan dan apa yang ia pelajari dari sana. Namun, ketika membahas bagaimana Onggy bisa menjadi motivator, well, film tidak benar-benar membahas bagian ini. Aneh memang, terutama jika ada yang orang tahu dari Onggy Hianata, maka itu adalah bahwa dia adalah seorang motivator sukses kelas internasional.

Jika ada film yang menjadikan Onggy Hianata sebagai tokoh utama, maka kita akan berpikir film tersebut pastilah membahas kenapa dia bisa menjadi motivator yang begitu sukses. Tapi film ini melewatkan bagian itu. Kita tidak pernah melihat Onggy sebagai seorang yang ‘pintar bicara’ sedari kecil. Tidak ada build up ke bagian ini. Satu-satunya pengalaman Onggy mengenai bicara di depan orang banyak adalah ketika dia melihat orang gila yang suka pidato di sekitar kampusnya. Mestinya cerita bisa dikaitkan dari sini, tapi enggak, dan tahu-tahu Onggy sudah bekerja sebagai motivator setelah mencoba MLM. Memang, kita diperlihatkan pada mulanya tidak banyak yang datang ke kelas Onggy, dan secara perlahan jumlah pesertanya meningkat dari setiap kelas ke kelas lain untuk memperlihatkan Onggy benar-benar jago di bidang kerjaannya ini. Tetapi kita hanya tahu sedikit sekali dari kerjaannya yang membuatnya ternama tersebut. Kita bahkan tidak tahu siapa yang mengontraknya, siapa yang memberinya gaji, atau malah berapa gajinya.

Sepertinya memang hal tersebut adalah efek samping yang timbul jika kita menghadirkan kisah dengan rentang waktu yang sangat panjang. Cerita Terbang: Menembus Langit melayang saja dari titik satu ke titik lain. Tokoh utamanya bertemu banyak orang, untuk kemudian ditinggalkan, dan move on ke episode perjuangan berikutnya. Tapi, begitulah hidup, bukan. Kita kenalan sama orang, beberapa dari mereka tinggal, beberapa lagi mungkin tidak kita dengar kabarnya lagi.

 

 

Film ini diniatkan sebagai kisah perjuangan dan kerja keras hidup yang bisa menginspirasi banyak orang, bahwa kegagalan dan rintangan itu bukan untuk menahan kita tetap di bawah, melainkan sebagai pegas yang kita gunakan untuk terbang. Makanya, film menekankan kepada begitu banyak kegagalan dan kebangkitan kembali tokohnya. Melalui penulisan dialog dan tokoh-tokoh yang mudah direlasikan dan akrab, film juga ingin memasukkan elemen persatuan dalam keseragaman, sayangnya tidak begitu berhasil tersampaikan dengan mulus sehingga kadang pesan-pesan Bhinneka Tunggal Ika tersebut terasa dijejelin ke tenggorokan kita. Blatant and very obvious. Desain produksinya meyakinkan banget sih, salah satu period piece yang well-realized. Film ini semestinya berupa kisah sehari-hari Onggy dalam mengarungi hidup sebagai minoritas saat Orde Baru, kita seharusnya terhanyut begitu saja di dalam cerita, tapi cukup sering rasa episodik itu hadir, dan membuat kita terloncat-loncat dalam mengikuti perjalanannya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for TERBANG: MENEMBUS BATAS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE PERFECT HUSBAND Review

“If you judge people, you have no time to love them.”

 

 

 

Tidak ada yang lebih nge-ftv daripada menggunakan adegan tabrakan untuk memperkenalkan dua tokoh dalam romansa remaja, yang tentu saja kemudian akhirannya bisa kita tebak. Dua tokoh tersebut akan berakhir menjadi pasangan. The Perfect Husband adalah contoh sempurna dari formula kisah cinta dalam film televisi, ia tidak membuang waktu memperlihatkan gimana Ayla, gadis cantik anak kelas 3 SMA, yang mobilnya bersenggolan dengan mobil seorang mas-mas berseragam pilot, yang ternyata adalah pria yang telah dipatri oleh ayah Ayla untuk menjadi calon suami Ayla.

Mendengar informasi sepihak tentang masa depan hidupnya, terang saja Ayla bereaksi heboh. Dia tidak berlama-lama di fase penyangkalan. Malahan dia bisa dibilang nyaris langsung marah, dan Ayla tetap bertahan di tahap tersebut. Ayla mengambil sikap protes kepada ayahnya. Dia menolah Arsen, si pilot, mentah-mentah. Di balik usianya, Ayla memang tampak seperti wanita muda dengan pola pikir yang cukup kritis, namun film tidak berada di jalur yang demikian. The Perfect Husband mengambil tone yang sangat ringan untuk menceritakan konflik seputar perjodohan, yang mengakar kepada keinginan anak versus kebahagiaan orangtua, dengan tidak malu-malu menyebut komedi kepada tingkah laku para tokoh. Nyaris keseluruhan film adalah debat Ayla terhadap keputusan ayahnya, tetapi tidak benar-benar dalem. Alasan Ayla enggak mau dijodohin adalah karena Arsen yang hanya muda jika dibandingkan dengan si ayah, dan Ayla sudah punya pacar anak band.

kita bicara tentang band yang lagunya….. ngerock!

 

Alih-alih  membuat diri dan pacarnya tampil lebih baik sehingga dapat dipercaya di mata ayah, Ayla malah sengaja tampil urakan dan kurang ajar. Sampe-sampe teman satu geng Ayla sendiri malah jadi kasihan kepada Arsen yang selalu ‘dikasarin’ sama Ayla. Actually, perspektif ini yang membuat film menjadi menarik. Ayla melakukan segala cara minus, mulai dari bersikap dingin, terang-terangan miih Ando, nyuekin, sampai berbohong, dalam upayanya mengeluarkan diri dari perjodohan. Ayla ingin menggunakan penilaian ayahnya terhadap Ando sebagai senjata utamanya kala keluarga Arsen datang berkunjung. Tapi tentu saja, hal tersebut semakin membuktikan ketidaksukaan ayahnya kepada pilihan Ayla yang begundal. Dinamika ayah-anak ini menjadi bumbu cerita. Arsen kerap meminta panduan dari calon mertuanya demi meluluhkan hati Ayla. Kita akan mendengar banyak bentrokan seputar tua melawan muda, mapan melawan kegakjelasan, yang kita inginkan melawan apa yang sebenarnya kita butuhkan.

Semua orang di dalam film ini saling bersikap judgmental terhadap satu sama lain. Ayah menjodohkan Ayla karena ia tidak percaya pergaulan  dan pilihan Ayla. Begitupun Ayla punya curiga kepada Arsen kenapa mau-mau aja dijodohkan. Masih ada ibu Arsen yang punya prasangka dan penilaian sendiri terhadap Ayla. Begitu jualah kita dalam kehidupan, kita banyak berprasangka. Kita enggak mau dijudge, sehingga kita menyimpan rahasia, dan pada gilirannya kita jadi menganggap orang lain juga menyimpan sesuatu. Jadinya saling tuduh-tuduhan.

 

Berlawanan dengan ceritanya yang mengusung dukungan terhadap prasangka, film ini sendiri lumayan bisa kita nikmati dengan memendam dulu pikiran judgmental bahwa film ini tak lebih dari ftv di layar lebar. Karena memang tidak benar sepenuhnya demikian. Ceritanya sendiri tidak completely sepele, masih ada yang bisa kita bawa pulang seputar kebahagiaan dan bagaimana kita memandang orang lain. Secara teknis pun, film  ini enggak basic-basic amat – tidak ada yang wah, it is just competent enough. Ada satu adegan yang kusuka, buatku itu adalah adegan terbaik yang dipunya oleh film ini, yakni ketika Arsen dan ayah ibunya lagi mengobrol memutuskan untuk meneruskan usaha mendekati Ayla atau enggak, ibu Arsen akan bolak-balik keluar ruangan, ngobrol sambil lepas dandanan, untuk menggambarkan urgensi dari judgment dirinya terhadap keputusan anaknya, dan adegan ini ditutup dengan punchline komedi yang tepat. Karakter-karakter ditulis sesuai konteks, mereka mendapat pengembangan, mereka berubah – karena pengungkapan dan/atau pembelajaran – meskipun memang film meminta mereka untuk enggak terlalu cepat ngejudge mereka.

Across the board,  penampilan para pemain juga sama kompetennya. Slamet Rahardjo berhasil memainkan ayah yang menuntut, yang diantagoniskan oleh tokoh utama, tanpa membuat tokohnya tampak tidak-menyenangkan. Ayah adalah tipe karakter yang berkembang dan memajukan cerita dengan pengungkapan karakter yang ia simpan sepanjang film, dan Slamet Rahardjo mampu membawakan tokoh ini dalam jalur yang make sense. Meskipun, memang, jika ia jujur dan gak berahasia sedari awal, film bisa selesai dengan lebih cepat, namun tokohnya tidak terasa annoying. Arsen yang diperankan oleh Dimas Anggara juga tidak berupa tokoh device belaka. Dia punya motivasi sendiri, jadi karakternya enggak entirely jatoh creepy. But still, orang dewasa ngendong paksa anak SMA bukanlah hal yang lumrah untuk didiemkan dan dianggap so sweet.

Dari semuanya, menurutku aman untuk kita bilang Amanda Rawleslah yang membopong film ini lewat permainan range akting yang variatif.  The problem is, karakter Ayla enggak dibahas berlapis sesuai layer yang semestinya ia punya. Ayla adalah cewek groupie rock band, yang sesungguhnya tidak suka ama genre musik tersebut, dia hanya suka sama Ando yang vokalis, cerita tidak pernah membahas ini lebih dalam, maka ketika Ayahnya menyinggung soal Ando dan musiknya, efek terhadap Ayla tidak bisa menjadi lebih dalam. Aku setuju sama ground pemikiran yang dipijak oleh Ayla, hanya saja Ayla tidak menunjukkan dia tahu yang terbaik untuk dirinya. Kebanyakan, dia mengambil keputusan karena ‘cinta buta’ terhadap Ando, film tidak clear melandaskan apakah Ayla memilih Ando sebagai bentuk perlawanan kepada ayahnya, karakter ini semacam terombang ambing antara clueless atau benar-benar tahu apa yang ia mau.

dengan kata lain, beneran kayak anak SMA

 

Dalam usahanya yang cukup berhasil membuat kita tetap duduk di tempat,  tetap saja banyak elemen dalam film ini yang bikin kita cengo’ sambil mengutuk ‘betapa begonya’. Aku enggak paham kenapa mereka enggak nunggu Ayla selesai kuliah dulu baru menikah. Ending film ini adalah salah satu yang paling cheesy dan benar-benar meruntuhkan tone dramatis yang sudah dibangun. Aku tidak tahu kenapa film memilih untuk menggunakan adegan tersebut, selain untuk menunjukin Arsen beneran bisa nerbangin pesawat. Di adegan flashback menjelang akhir, kita dengan jelas mendengar ayahnya menyebut Alya alih-alih Ayla, aku enggak tahu kenapa film membiarkan kebocoran ini, mereka bisa dengan gampang mendubbing atau mereshot adegan.

Film punya jawaban dan sudut pandang sendiri terhadap pemecahan masalah perjodohan yang ia angkat. Film membuat penonton bersimpati kepada Arsen ketika Ayla membentaknya di depan teman-teman sekolah lantaran main gendong sekenanya. Ayla yang kemudian minta maaf adalah salah satu dari beberapa adegan yang menunjukkan film berdiri di ranah cewek bertanggungjawab mengemban pilihan orangtuanya. Aku tidak begitu setuju dengan gimana film ini memandang sikap anak terhadap perjodohan oleh orangtuanya, tapi aku harus ngasih respek karena film ini berani mengutarakan suaranya sendiri. Dan paling tidak, aku masih bisa setuju soal pesannya yang mengatakan bahwasanya berbohong tidak akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan siapapun. Umur ayah menjadi semakin singkat karena mendengar kebohongan Ayla, film tidak sepenuhnya menekankan ke aspek ini, tapi nyatanya adegan tersebut kuat untuk menjadi titik balik penyadaran Ayla.

Bicara tentang Arsen, alasan kenapa dia mau dijodohkan yang diungkap menjelang akhir babak tiga adalah hal terbullshit yang kudengar sepanjang hari ini. Karena sesungguhnya kebahagiaan manusia adalah tanggungjawabnya sendiri. Bukan tugas orang lain untuk membuat kita bahagia. Membalas kebaikan orangtua tidak harus dengan sampai mengorbankan kebahagiaan kita sendiri agar mereka bahagia. Tentu, kita mungkin saja menemukan kebahagiaan yang lain saat berusaha membuat orangtua bahagia, tapi itu bukan berarti membuktikan mereka benar, atau mereka yang salah. Bahagia itu datang sebagai misi diri sendiri, dan untuk mendapatkannya tidak bisa dengan berbohong.

 

 

 

 

Ini adalah kisah cinta remaja yang twisted, yang menggambarkan bagaimana tepatnya dalam kehidupan sosial, setiap orang bersikap judgmental terhadap orang lain. Dan film ini membuat lebih sering daripada tidak, prasangka tersebut benar adanya. Seperti ketika film lewat tokoh ayah Ayla ngejudge rocker tanpa memberi kesempatan pihak itu membela diri. Perjodohan dan konflik keinginan anak dengan keinginan orangtua dijadikan panggung untuk mengeksplorasi masalah tersebut, yang actually disampaikan dengan ringan. Menjadikan pesan dan feeling film ini tidak untuk semua orang. Ironisnya, jika kalian menahan perasaan judgmental terhadap film ini dan mau tetap duduk di sana, film ini sebenarnya adalah sebuah tontonan yang watchable dengan penampilan akting yang menarik.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE PERFECT HUSBAND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

RAMPAGE Review

“Human beings are the only species capable of deceiving themselves and other people.”

 

 

Bagaimana cara membuat kota porakporanda dan manusia dicabik-cabik hewan-hewan raksasa menjadi sebuah tontonan yang fun dan enggak bikin trauma? Itulah tantangan yang dihadapi Brad Peyton ketika dia menyutradai film yang diadaptasi dari video game klasik yang pertama kali muncul di mesin arcade yang masih pakai koin. Rampage di PS, dulu jadi salah satu kaset favoritku untuk menghabiskan waktu pas puasa. Bermain Rampage, gamer akan bersenang-senang sebagai manusia yang berubah menjadi monster karena eksperimen, dengan misi utama mengamuk menghancurkan gedung-gedung, menepuk helikopter tentara layaknya lalat, sambil sesekali menyantap manusia untuk menambah nyawa. Dan hal itu jualah yang pastinya dicari oleh gamer dan orang-orang yang pergi membeli tiket film Rampage; demi ngelihat aksi seru para monster.

Tapi tentunya bikin film panjang yang isinya melulu monster hancurin gedung dapat dengan cepat menjadi monoton. Kita bakal bosan juga. Brad Peyton paham film yang baik harus punya hati, harus lekat ke penonton. Jadi dia nge-grounded film dengan cerita berbasis persahabatan manusia dengan binatang. Dwayne Johnson berperan sebagai Davis Okoye, ahli primata di sebuah penangkaran. Dia jadi begitu akrab dengan gorilla albino yang dulu ia selamatkan dari kawanan pemburu liar. ‘Begitu akrab’ sepertinya memang agak mengecilkan, karena Okoye dan George si gorilla ini benar-benar punya hubungan yang unik. Mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat, mereka saling ngeledek sebagai cara menunjukkan rasa peduli. Okoye dan George udah kayak abang adek deh. Eventually, George terkena dampak dari kapsul eksperimen yang jatuh dari satelit. Bersama seekor serigala dan buaya, George membesar, menjadi beringas, termutasi, dan oleh akibat ulah pimpinan eksperimen yang ingin mengambil sampe mereka buat diduitin, tiga monster ini terpanggil pergi ke Chicago. Menghancurkan apapun dalam perjalanan. Membuat bule-bule di sana teriak stress. Satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan kota adalah Okoye, karena dia mengenal George, dan tentu saja dia berharap dia masih bisa menyadarkan sobat berbulunya itu menjadi seperti sedia kala.

Okoye lebih suka bergaul dengan binatang dibandingkan dengan manusia. Sedari babak awal kita diperlihatkan gimana Okoye biasa-biasa aja ketika cewek yang ia bimbing menunjukkan ketertarikan. Ketika ditanya “Lo aneh banget sih?” Okoye menjawab enteng bahwa binatang lebih mudah dipercaya. Dan itu benar adanya. Walau memang ada juga binatang yang mengenal konsep bohong, namun mereka melakukannya demi survival. Tidak seperti manusia yang demen berbohong untuk memanipulasi, untuk mencari keuntungan semata. Kita bahkan menipu diri sendiri bila perlu. Binatang harus belajar dulu baru bisa bohong. Sebaliknya, manusia; yang musti kita pelajari justru adalah bagaimana cara untuk jujur.

The Rock di sini bukan People’s Champion, melainkan Animal’s Champion

 

Bobot cerita begitu sepertinya dinilai terlalu besar dan memberatkan apa yang mestinya menyenangkan. Jadi, Peyton sekali lagi memutar otak; maka akhirnya ia menjadikan Rampage sekaligus sebagai dumb action movie. Adegan pengenalan tokoh yang cool tadi, di mana The Rock ngobrol ama gorilla, seketika menjadi receh berkat gestur jari kurang ajar yang dilayangkan oleh George. Dan kita tertawa. Untuk kemudian lebih banyak lagi makian dan sumpah serapah yang menyusul; film ini dikasih PG-13 bukan hanya karena ada potongan tubuh. Dan kita tertawa. Merasa belum cukup, film membuat kematian orang-orang karena dampak dari serangan monster-monster tersebut sebagai bahan becandaan, kematian massal bukanlah hal serius dalam film ini. Dan kita juga tertawa.

Inilah masalah kenapa film adaptasi video game itu seringkali berkualitas di bawah garis ‘lumayan’. Karena pembuat filmnya enggak mengerti apa yang membuat video game yang mereka adaptasi begitu digandrungi. Point dari gamenya biasanya jadi hilang, atau dipindahkan. Mereka menambahkan hal-hal yang bahkan tidak diminta oleh penggemar video gamenya. Tomb Raider (2018) adalah pengecualian, film itu benar-benar terasa seperti video gamenya, baik dari aksi maupun cerita.

 

Tidak ada yang mengharapkan cerita dalem sekelas Oscar dengan karakterisasi berlapis-lapis ketika menonton Rampage. Tapi, toh, ceritanya berusaha menggali lebih, setelah mengganti elemen aslinya. Kemudian mereka menambahkan elemen konyol supaya terlihat menyenangkan. Kenapa mesti mengganti sedari awal coba? Seperti  yang kita tahu, dalam video game, monster-monster itu adalah manusia yang berubah karena eksperimen yang gagal. Di film ini, mereka menggantinya menjadi binatang liar, kecuali George. Bukankah versi yang manusia mestinya sudah punya kedalaman cerita jika difilmkan; akan ada dilema moral yang menarik ketika kita ingin membunuh monster yang membuat kerusakan ketika kita tahu tadinya dia adalah manusia yang jadi korban eksperimen? Gak perlu repot-repot mengganti lalu menambah ini itu, kan. Atau kalolah tantangan yang pembuat film ini cari, kenapa mereka gak sekalian aja membuat George menjadi tokoh utama – dia kan dibuat punya perspektif sebagai gorila yang dibesarkan dan ngebond sama makhluk yang satu spesies dengan yang membunuh ibunya, dan kemudian dia dapat kekuatan yang basically membuat kelangsungan spesies itu ada di tangannya yang jadi segede mobil. Tapi enggak. Film lebih memilih untuk menjadi generik, dengan memancing unsur fun di tempat yang gak bener.

Dialog film ini parah banget. Lelucon yang dilontarkan jatuh di antara klasifikasi ‘garing’ dengan ‘miris’. “Dijadiin asbak seseorang” adalah kalimat favoritku. Tokoh-tokoh manusia film ini lebih terasa seperti tokoh video game ketimbang para monsternya. Sejak dari zaman dia bergulat pake kolor di atas ring, The Rock sudah punya kharisma luar biasa, tapi penulisan film ini membuatnya dia jauh dari sekadar kharisma. Okoye ini manusia fantastis yang selamat dari apapun.  Jatuh dari helikopter, terjun bebas dari gedung yang runtuh, ditembak di perut, dia dihajar bertubi-tubi, dan dia ngesold nothing. Makanya kita juga enggak ngerasakan apa-apa. Dia selamat tanpa cedera berarti padahal dia melakukan hal-hal yang mestinya hanya bisa masuk akal di dunia video game. Tidak ada sense realism di sini, dan sementara itu kita diharapkan peduli sama drama yang berusaha cerita angkat. Masalah terbesar film ini memang terletak di penulisan. Enggak bisa setengah-setengah, jadinya bakal keteteran, Tokoh yang diperankan Naomi Harris misalnya, tidak banyak yang ia lakukan selain berlarian dengan tampang bingung sambil bertanya apa yang harus dilakukan selanjutnya kepada Okoye. Si Okoye ini memang bisa apa saja. Rencana yang ia bikin di menit-menit terakhir selalu berhasil. Hampir seluruh bagian aksi film dilakukan dengan formula demikian.

Tiga dari empat tokoh ini tidak pernah disebut dan kelihatan lagi setelah babak pertama berakhir

 

Rampage memutuskan untuk bermain-main dengan tokoh manusia. Mereka dibuat gede hingga gak make sense. Padahal aku suka loh sama desain monsternya. Serigala yang punya selaput sayap, gorila putih, yang paling keren adalah monster buayanya. Bagian terbaik dari film ini mungkin adalah Jeffrey Dean Morgan sebagai agen FBI yang aktingnya maksimal, meski sebenarnya tokoh yang ia perankan hanya device untuk memfasilitasi tokoh utama. Bagian terburuknya? Aku bilang, duo penjahatnya. Mereka dibuat begitu culas, dan mereka komikal banget – sampe ke penampilannya. Yang cewek akan mengenakan gaun merah di akhir cerita, hanya supaya kita bisa bernostalgia dengan video gamenya; actually di game akan ada cewek bergaun merah yang bisa kita makan sebagai bonus optional. Film butuh alasan yang menjadi sumber dari eksperimen ilmiah yang jadi sumber kekacauan, jadi kita dapat dua orang yang mengepalai proyek tersebut. Dua orang ini enggak peduli sama apapun, motivasi mereka totally uang, dan kita sering banget dicutback melihat mereka menyusun rencana jahat, yang sebenarnya konyol.

Dalam usaha terakhir mengaitkan film dengan video game, kita dicekoki sebuah easter egg, dengan harapan kita girang saat melihatnya. Di kantor si duo penjahat, kamera akan memperlihatkan adegan dengan mesin arcade Rampage di latar belakang. Selalu senang rasanya melihat referensi, namun alangkah baiknya kalo referensi tersebut punya hubungan atau digunakan secara paralel dengan cerita. Sebab apa yang dilakukan film ini hanya sebatas meletakkannya di sana. Kenapa ada mesin game di kantor itu? Apa mereka menciptakan eksperimen karena terinspirasi game? Kalo gitu, wah hebatnya kebetulan yang terjadi, nama-nama monster di game dan di dunia mereka sama! Wow magic….

 

 

 

Film ini adalah definisi dari ‘film popcorn’. Seru, tapi enggak benar-benar meninggalkan bekas. Enak untuk ditonton, namun kita akan dengan cepat melupakannya, begitu film serupa datang. Dalam kasus film ini, ceritanya punya unsur drama yang emosinal hanya saja diceritakan dengan sangat cheesy. Tokoh-tokohnya membuat keputusan di menit terakhir yang dengan sukses menyelamatkan mereka. Padahal yang ingin kita lihat adalah monster menghancurkan kota. Memang, kita mendapatkan itu di babak terakhir. Akan tetapi, untuk sampai ke sana, kita harus melewati cerita generik yang membuat kita terombang ambing antara drama dengan lelucon maksa, yang bahkan tidak benar-benar membuat kita teringat akan karakter video gamenya. Adaptasi video game itu susah, dan ini salah satu contoh gagalnya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for RAMPAGE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017