ARINI Review

“… you fall in love with love itself because it touches places that nothing else has before.”

 

 

Bayangkan ada dua buah kereta api yang berjalan barengan dari stasiun. Mereka melaju dengan rel yang saling paralel, saling sejajar. Ketika yang satu berbelok, maka yang lain juga ikut berbelok. Kau adalah penumpang yang pernah naik di salah satunya, dan sekarang kau memilih naik kereta yang lainnya. Tentu saja, apa yang kau alami di kereta yang sekarang akan mengingatkanmu ketika pertama kali naik kereta yang lain. Begitulah penceritaan film Arini. Editingnya yang precise membuat kita berpindah-pindah di antara dua kereta, tanpa sekalipun kita terlepas ketinggalan emosi. Dua kereta itu bernama Kereta Masa Lalu dan Kereta Masa Kini. Dan kau yang duduk tadi, kau adalah Arini. Cewek tiga-puluh-delapan tahun yang tak bisa menghindari masa lalunya ketika ia duduk menumpang kereta api yang jaraknya beribu kilo dari kereta api yang telah menghantarkannya dalam sebuah perjalanan traumatis dalam hidup.

Cerita terus terbangun, apa yang ditemui Arini dalam keretanya yang sekarang, membuatnya teringat akan masa lalu, dan semua itu diceritakan dengan paralel. Ketika Arini diajak kenalan sama berondong, dia membawa kita melihat masa ketika ia dijodohin sama mantan suaminya. Ketika si Berondong Nekat ngajak Arini jalan, Arini mengenang saat-saat dia berbulan madu. Dan editing seperti ini membuat sebuah pengalaman menonton yang mengcengkeram erat Kita tahu ada yang gak beres dengan masa lalu Arini, kita penasaran ingin tahu kenapa Arini yang kini bersikap begitu jutek. Film berhasil membenturkan dua versi Arini lewat bahasa visual yang bahkan tidak perlu menjelaskan mana yang terjadi di waktu sekarang, mana yang kejadian di ingatan.  Dari rambut Arini saja, aku suka treatment khusus yang dilakukan oleh film ini. Rambut diikat, sebagai kontras dari rambut yang tergerai itu saja sudah menambah kedalaman lapisan buat tokoh Arini. Gimana dia yang dulu mau membantu mengangkat koper orang, sedangkan Arini yang sekarang diminta bantuan ngetuk kaca jendela saja ogah luar biasa.

film ini akan ngasih tahu sebab kenapa kita seharusnya tidak sekalipun mengaktifkan speaker saat menelfon.

 

Perspektif Arini adalah poin menarik yang jadi fokus pada film ini. Konteksnya adalah Arini enggak siap ditabrak oleh kereta cinta yang baru. Oleh cerita, Arini dipertemukan dengan Nick, mahasiswa berusia dua-puluh-tiga tahun yang seketika jatuh cinta dan terus menempel Arini. Gol utama cerita adalah menjawab pertanyaan akankah Arini dapat mengenali atau menerima cinta lagi setelah kejadian horrible yang ia lalui di masa lalu. Masalah Arini ini berakar kepada kepercayaan; orang yang ia kenal dibentrokkan dengan orang yang sama sekali asing baginya. Arini tidak tahu siapa Nick. Dia anak mana, hidupnya bagaimana, seujug-ujug mereka kenalan (itu juga Nicknya maksa), dan sejak saat itu Nick selalu hadir di kehidupan Arini – diminta atau tidak. Dan karena cerita ini mengambil sudut pandang Arini, kita juga hanya tahu apa yang Arini tahu – kita tidak diberikan back story siapa Nick. Keasingan tokoh Nick adalah elemen penting buat cerita. Menyebabkan film ini sedari menit awal sudah terjun mengambil resiko. Karena, ya, kekurangan cerita latar – terlebih untuk kisah romansa dua insan manusia – itu bukan resep membuat film yang bagus.

Cinta adalah belajar mengenal orang asing dengan lebih dalam. Semua orang adalah asing bagi kita, sampai kita membuka diri untuk mengenal mereka. Buat sebagian orang, hal tersebut bisa menjadi pengalaman yang menakutkan. Makanya hal itu juga berlaku sebaliknya. Orang yang kita cintai dapat dengan cepat kembali menjadi orang asing jika kita sudah terluka dan menutup diri kepadanya.

 

 

Tentu saja, Nick adalah tokoh yang sangat gampang untuk disukai. Dia ceria, jenaka, penuh semangat hidup. Muda pula. Terlebih jika tokoh utama yang kita punya adalah cewek dewasa yang cembetut melulu, dia begitu pesimis dia menyebut dirinya nenek-nenek. Bentrokan antara sifat dan karakter mereka pun tak pelak menghasilkan tukar-menukar kata yang menarik, yang manis. Tengok saja usaha Nick untuk membuat Arini tersenyum. Penonton cewek pasti meleleh ke lantai dibuatnya. Mungkin juga ada yang geregetan. ‘Dinding’ yang dibuat oleh Arini memang kerasa, beberapa bisa saja menafsirkan ini sebagai kekurangan chemistry antara Aura Kasih dengan Morgan Oey, tapi buatku ini adalah hasil dari permainan emosi yang genuine dari dua pemeran. Aura Kasih di sini bermain meyakinkan sebagai orang yang sangat tertekan, dia juga begitu tertutup, kelihatan jelas dia rapuh tapi berusaha untuk kuat. Bukan hanya itu, actually Aura Kasih dituntut untuk menampilkan emosi yang berentang jauh – Arini yang ia perankan udah kayak dua orang yang berbeda sifat, dan bukan hanya tepat di dua-dua tone emosinya, Kasih juga sukses ngedeliver di momen-momen transisi karakter Arini. Nick, sebaliknya, keseluruhan film ini bisa berganti menjadi menyeramkan jika tuas karakter Nick salah senggol sedikit aja. Dan untuk itu, aku kagum juga banyak yang mengoverlook Nick sebagai karakter yang creepy, aku pikir kharisma Morgan Oey cukup berpengaruh di sini.

Ketika Dilan tahu nomor telepon dan alamat rumah Milea, kita dengan enggak banyak pikir, bisa langsung mengasumsikan dia mungkin bertanya kepada teman-teman sekelas yang lain. Dalam film Arini, walaupun Nick sudah mengakui dan menjelaskan darimana dia tahu tempat tinggal Arini, meskipun kita sudah tahu kepentingan Nick dibuat sebagai orang yang begitu asing, tetap saja terasa ada sesuatu yang off. Maksudku, gimana bisa kita mempercayai Nick? Darimana kita tahu kalo kejadian di pembuka film – yang dia minta tolong Arini kabur dari kondektur kereta – bukan bagian dari modusnya untuk kenalan sama Arini? Gimana kalo ternyata dia udah nguntit dan ngincer Arini dari sebelum film dimulai, coba? Sinopsis resmi film ini menyebutkan Nick jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Arini, namun cerita actual film tidak membuatnya tampak demikian. Melihat Arini yang begitu dingin terhadapnya, dugaan bahwa jangan-jangan Nick jadi jatuh cinta karena penasaran terus dicuekin  itu masih sering bersarang di kepala kita. I think, backstory bisa saja sengaja enggak dibeberkan, akan tetapi alasan kenapa Nick ngebet sama Arini tetap harus dijelaskan. Makanya, adegan Arini menampar Nick itu harusnya masih bisa terasa lebih kuat lagi; kita mengerti Arini, tapi kita enggak ngerti Nick.

“stop being so mean to me, or I swear to God I’m gonna fall in love with you”

 

Film sepertinya memang tidak malu-malu menunjukkan bahwa mungkin saja mereka hanya tergerak oleh nafsu. Bahkan ada indikasi tokoh film ini enggak benar-benar belajar; eventually, aku akan bahas ini di bawah. Right now, aku mau menyinggung salah satu elemen yang hilang sehubungan dengan tokoh Nick. Yakni tidak adanya konsekuensi. Inilah yang menyebabkan film ini terasa ‘salah’. Ada banyak tindakan Nick yang termaafkan begitu saja, yang lagi-lagi merugikan buat Nick. Alih-alih tokoh pasangan, Nick seperti lebih kepada sebuah tokoh yang jadi alat semata bagi perkembangan Arini. Arini butuh Nick untuk belajar bagaimana kembali membuka hati dan membiarkan cinta masuk ke dalam hidupnya. Arini butuh Nick untuk berani mengonfrontasi masa lalu. Kita dapat melihat gimana Arini ada rasa sama Nick. Believe me, I know. Nick basically ngancem nunggu di depan pintu apartemen dan gak kena ganjaran apa-apa. Aku pernah nekat juga nungguin di pintu depan apartemen orang, dan belum genap dua jam aku udah dipanggilin satpam.

Maka dari itu, sejatinya Arini bukanlah film romansa, setidaknya bukan antara cowok dan cewek. Melainkan adalah tentang cinta antara seorang wanita dengan cinta itu sendiri

 

 

Nick sempet kesel Arini selalu mengungkit masalah jarak umur mereka. Umur mereka terpaut literally satu orang Dilan. Dan untuk urusan umur ini, aku setuju sama Nick. Kenapa sih film membuat mereka berbeda umur begitu jauh? Tidak seperti keasingan Nick yang kita paham signifikannya terhadap cerita, perbedaan umur Arini dan Nick tidak tampak menambah banyak bagi perkembangan karakter Arini. Pun tidak terasa paralel dengan elemen Arini yang takut untuk jatuh cinta kembali. Selain digunakan untuk lucu-lucuan ‘tante dengan keponakan’, hanya ada satu adegan yang mengangkat masalah ini ke permukaan, yaitu saat adegan makan malam dengan keluarga Nick. Actually aku berpikir cukup keras perihal umur ini, masa iya sih umur mereka dibuat jauh cuma supaya Arini ada alasan nolak Nick. Apa sih yang ingin dicapai cerita dengan membuat mereka berbeda usia dengan jauh, meski 23 dengan 38 itu juga enggak ekstrim-ekstrim amat. The best that I can come up with adalah mungkin film ingin menegaskan bahwa Arini kehilangan cinta dan dirinya saat ia kehilangan anaknya. Maka ia menemukan kembali apa yang hilang dari dirinya saat ada anak yang menemukannya…? Emm… yah anggap saja begitu dah.

 

 

 

Cerita berjalan mantap sesuai pada rel konteksnya. Ada eksposisi di akhir yang menerangkan jawaban-jawaban pada plot seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, toh film ini akan tetap terasa menyenangkan karena formula tokoh dan hubungan mereka yang benar-benar likeable. Tapinya lagi, at the end of the track, tokoh utama film ini tidak belajar dari masa lalu. Dia tetap jatuh ke orang yang tak ia kenal sama sekali sebelumnya, tanpa ada usaha untuk mengenal orang tersebut. Di masa lalu, ia menikah dengan orang yang dijodohkan oleh sahabatnya. Di masa kini, ia jatuh cinta dengan stranger di kereta, malahan ada satu adegan ia pengen mangkir dari pertemuan dengan keluarga pacarnya. Film ini menyatukan masa lalu dan masa kini dengan mulus, hanya saja tidak berhasil melakukan hal yang serupa terhadap dua gerbong aspek ceritanya. Karena memang tricky untuk disatukan; di satu sisi ada romansa, satunya lagi ada kepentingan untuk membuat pasangannya dibiarkan tak banyak dibahas. Aku jadi penasaran sama materi asli cerita ini (novel dan film jadulnya), jangan-jangan di cerita aslinya Nick dan beda umur itu memang cuma device saja namun film adaptasi ini memutuskan unuk menjadikannya sebagai vocal point.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ARINI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

WrestleMania 34 Review

 

Bagaimana cara kalian ngerayain suatu yang sudah selalu kalian peringati dengan sakral setiap tahun, katakanlah acara ultah atau anniversary pacaran? tentu saja dengan kejutan yang disiapkan matang-matang. Dari Asuka hingga ke Nicholas, Wrestlemania 34 nyatanya adalah sebuah acara yang twistnya begitu well timed sehingga kita sendiri aja enggan untuk mengakuinya. Because WWE; they got us. They got us good!!

Nyaris dari awal hingga akhir,  pertandingan-pertandingan di Wrestlemania ini akan membuat kita merasa seperti orang paling sok tahu di seluruh dunia; kita pikir kita tahu apa yang bakal terjadi, tapi enggak. Akan ada hal-hal yang di luar perkiraan. Dari sinilah datangnya kehebohan itu. Teriak-teriak di Warung Darurat yang didengar orang-orang yang berlalu lalang di jalan Teuku Umar itu adalah teriakan shock, jeritan surprise, dan tumpahan sumpah serapah liar.

Karena, memang, yang namanya kejutan toh enggak selamanya mesti selalu hal-hal yang menyenangkan.

 

Buktinya ya, main event acara ini. Roman Reigns sudah mulai di-push untuk menjadi superstar gede sejak beberapa tahun yang lalu. Initial moment buat Reigns hadir tiga tahun lalu di Wrestlemania 31, ketika dia dirampok dari kemenangan. Dan sekarang, Wrestlemania 34 adalah kali keempat Reigns berturut-turut menjadi main event Wrestlemania. Bukan hanya itu, malam gede di New Orleans ini juga menandakan journey Reigns sebagai hero utama sudah hendak melingkar sempurna; Reigns berhadapan kembali dengan lawan ‘bebuyutan’ yang sama dengan saat Wrestlemania 31, yakni Brock Lesnar. Bahkan situasi match mereka ini pun dibuat menyerupai main event tiga tahun lalu tersebut. Reigns berusaha redeem himself, dia terus saja kick out dari serangan apapun yang dilancarkan si juara bertahan Lesnar (empat F-5 itu benar-benar tampak overkill!) Sebagai pemanis, WWE melonggarkan peraturan mengenai darah; Lesnar dalam pertandingan ini sengaja dibuat memukul kepala Reigns hingga bocor. Visual yang intens. Semua penonton mengira inilah saatnya Reigns untuk comeback dengan gegap gempita, dan pada akhirnya bel berbunyi menandakan Reigns… kalah.

WWE benar-benar ngetroll semua orang. Karena enggak ada yang mengharapkan Lesnar untuk bertahan. Setelah semua build up untuk Reigns. Setelah semua berita yang mengabarkan Lesnar menandatangi kontrak baru dengan UFC. Khususnya ketika semua penonton sudah begitu lelah, dan gerah. Melihat Reigns gak mati-mati, membuat kita menginginkan Reigns segera menang, karena kita pikir dia sudah pasti menang. Tapi nyatanya, WWE memberikan apa yang sebenarnya kita minta; Reigns kalah. Dan kita membenci keputusan yang dibuat oleh WWE ini! Sebenarnya lebih ke gak puas sih, aku sudah siap lahir batin melihat Reigns keluar dengan sabuk di Raw setelah ini, karena aku ingin babak baru – no more Lesnar’s gradual title defenses, tidak ada lagi perburuan emas dari Reigns, tapi itu semua tidak kejadian.

sepertinya kita harus puasa pyro setahun lagi demi bayar kontrak Brock Lesnar

 

Pertandingan terhebat pada malam itu, secara tak terduga, datang dari partai yang melibatkan dua superstar yang sudah semi-pensiun, seorang non-pegulat, dan cewek yang baru akan memulai debutnya sebagai pegulat profesional. Pertandingan tag-team campuran ini bekerja dengan efektif, sebagian besar karena ditulis dengan lebiah baik dari beberapa pertandingan yang dijadwalkan. Premis cerita yang ingin disampaikan sederhana; Ronda Rousey ingin melawan Stephanie McMahon yang sudah merendahkannya, tapi Stephanie selalu berusaha menghindarinya. Keempat orang ini berhasil menceritakan poin tersebut dengan baik. Match ini punya banyak momen yang bikin menggelinjang.

Jika sedari build upnya kita percaya no chance in hell Rousey bakal kalah, maka menjelang pertengahan match, keyakinan tersebut menggoyah. Triple H masih luwes di ring, Kurt Angle yang meski umur dan cedera mulai kelihatan mencampuri kerja fisiknya, juga tetap meyakinkan. Stpehanie lah yang secara mengejutkan mampu mengemban tugas-tugas yang diberikan dengan cakap. Malahan, aku terperangah juga demi melihat Stephanie mampu memberikan sekaligus dikenai banyak gerakan sadis. Percobaan Ankle Lock yang dilakukan Angle ke Steph adalah momen langka yang mampu bikin penonton serak. Tentu saja bukan hanya mereka bertiga, Ronda Rousey sang bintang utama seteru ini tampil paling bersinar. Untuk debutnya, Rousey beneran tampak siap untuk menjalani hari sebagai superstar. While gerakan bantingannya masih sedikit kaku dan masih perlu banyak latihan lagi, kuncian dan persona in-ring Rousey menguar sangat kuat.

Ngeliat kembang api, ngeliat entrance-entrance spesial dari beberapa superstar, Wrestlemania 34 toh tidak gagal untuk menjadi istimewa. Acara ini punya semua yang diwajibkan untuk membentuk show mega spektakuler. Tapi dari semua superstar yang dapat entrance khusus, hanya Charlotte yang actually memenangkan pertandingan yang ia geluti. Ini adalah salah satu momen yang paling tak terduga. Surprise value nya tinggi banget, tidak ada yang menyangka streak kemenangan Asuka yang sudah dibangun sejak hari-harinya di NXT akan pupus di sini. Faktor kuat dari pertandingan ini bukan hanya pada hasil akhirnya saja. Charlotte dan Asuka benar-benar menyuguhkan pertarungan yang dahsyat. Counter after counter, kuncian demi kuncian, berhasil mereka eksekusi dengan sangat anggun. Charlotte juga meningkatkan permainan sellingnya. Buatku pribadi, aku sebenarnya kurang sreg sama kekalahan Asuka, sebab membuatnya kalah dari lawan yang ia pilih sendiri terbaca sebagai keputusan bego buatku, dan Asuka jelas-jelas bukan orang yang  bego. Menurutku seharusnya dia juga enggak seramah itu saat selebrasi kemenangan Charlotte, sebaliknya dia kudunya marah. Kita perlu melihat dua orang ini bertarung lebih sering, dalam balutan cerita yang lebih meyakinkan.

cute banget gak sih lihat Stephanie niruin entrance air mancurnya Triple H

 

Memang, Wrestlemania adalah tempat yang pantas untuk streak berakhir dan legenda bangkit. Yes, kita jadi juga melihat Undertaker di sini. Mereka memainkan storyline Cena menantang Undertaker dengan sangat baik. Aku ngakak ngeliat Cena beneran datang ke Wrestlemania sebagai fan yang duduk di barisan depan. Meski sebenarnya kalo mau lebih meyakinkan mereka bisa bikin Cena datang pake kaos Bullet Club. Peserta nobar malah bikin becandaan mereka enggak bisa ngelihat Cena di kursi penonton, mereka hanya melihat kursi kosong hhihi.. Kemunculan Elias bikin suasana makin gerrr, mereka ngebuild kedatangan Undertaker dengan banyak theatrical scene. Ultimately, pertandingan dimulai dan ini bisa kita bilang sebagai fans-service dari WWE kepada para fans yang sudah lama mengeluhkan Supercena. Cena berperan layaknya jobber di sini dan kalah dalam dua menitan. Aneh ngelihatnya, tapi tak pelak, memuaskan.

Akan tetapi, dari semua hal heboh yang terjadi di Wrestlemania, tidak ada yang lebih memorable dari durasi acaranya. Kami yang nonton bareng saja sudah kelelahan sehabis kemunculan Undertaker. Apalagi penonton yang langsung di stadion, mereka mantengin gulat – bahkan ada yang berdiri – selama tujuh jam; termasuk kick-off. Segala histeria itu menghabiskan energi. Bagus sebenarnya WWE membuat banyak partai sehingga hampir semua superstar bisa tampil di show tergede ini, tapi mereka harusnya memikirkan dampaknya juga. Wrestlemanis 34 terasa seperti dua bagian acara, di mana separuh bagian akhir sudah enggak sepecah setengah bagian awal. Matchnya AJ Styles lawan Shinsuke Nakamura yang paling dirugikan. Pertemuan dua superstar terbaik dunia ini jauh dari kata jelek, namun tetap terasa flat karena kita melihatnya di jam ke empat (enam, jika menonton kick off) Aftermath di mana Nakamura turn heel bikin kita bergairah sekejap, dan actually terasa lebih mantep daripadanya pertandingannya sendiri. Aku ga ngerti kenapa WWE tidak memainkan cerita ini di Smackdown dan membuat perseteruan mereka lebih legit daripada sekedar face melawan face kayak kasus Asuka dan Charlotte.

WWE berusaha menyiasati stamina penonton dengan susunan match; mereka nyisipin match-match berdurasi singkat sebagai jembatan cool-off di antara dua spektakel besar. Tapi reperkusinya dari terlalu banyak ini tentu saja adalah banyak juga yang enggak membekas dengan kuat. Kembalinya Daniel Bryan pake kolor dan bertanding di dalam ring, jelas akan jadi bayangan daripada kemenangan Seth Rollins menjadi juara Grand Slam. Kebrutalan Bludgeon Brothers akan ternegasi oleh kemenangan Strowman dan bocah sepuluh tahun yang dipilihnya dari barisan sebagai partner kejuaraan Tag Team – yang mana adalah momen paling konyol, namun bekerja efektif dalam perkembangan karakter monster komikal Strowman. Sedangkan kemenangan Mahal sudah pasti akan dilupakan, sama halnya dengan Nia Jax. Twisted Bliss Alexa boleh saja keren, namun Bliss lawan Nia seharusnya selesai dengan cepat, dalam sebuah squash yang kocak. Dan harusnya, Rusev yang ngepin Mahal. Tapi yaah, kejutan itu kan pada dasarnya melakukan hal yang berkebalikan dari keinginan orang.

 

 

 

 

Jadi, apakah ini adalah Wrestlemania yang jelek? Tentu saja enggak. Ini Wrestlemania, gitu loh. Akan susah sekali membenci Wrestlemania jika engkau adalah penggemar gulat. Terlebih dengan segala kejutan, dan swerve, dan kehebohan yang hanya bisa dilakukan oleh WWE. Semua pertandingan di sini punya build yang cukup signifikan. Dan soal bintang-bintang? Acara ini penuh oleh superstar yang namanya udah kesohor di belahan penjuru dunia. Tapi toh memang acara ini jatohnya jadi terlalu panjang. Nontonnya capek sendiri. Untuk setengah bagian akhir, penonton bertepuk tangan setiap match beres hanya untuk mensyukuri akhirnya pertandingan tersebut berakhir juga.
The Palace of Wisdom menobatkan Ronda Rousey dan Kurt Angle melawan Triple H dan Stephanie McMahon sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:
1. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Seth Rollins juara baru ngalahin The Miz dan Finn Balor
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte bertahan, matahin streak Asuka
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY Jinder Mahal ngerebut sabuk dari Randy Orton, Bobby Roode, dan Rusev
4. MIXED TAG TEAM Ronda Rousey dan Kurt Angle ngalahin Stephanie McMahon dan Triple H
5. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIOSNHIP TRIPLE THREAT The Bludgeon Brothers ngehajar New Day dan The Usos
6. SINGLE Undertaker ngesquash John Cena
7. TAG TEAM Shane McMahon dan Daniel Bryan bikin Kevin Owens dan Samy Zayn tap out
8. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Nia Jax menghentikan reign Alexa Bliss
9. WWE CHAMPIONSHIP AJ Styles bertahan dari Shinsuke Nakamura
10. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Braun Strowman dan bocah ngalahin Sheamus dan Cesaro
11. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar bikin babak belur Roman Reigns

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PARTIKELIR Review

“..to be independent when you haven’t got a thing… ”

 

 

Jika di bioskop luar sana trennya adalah komedian bikin film horor mainstream yang berisi, maka komedian di mari juga lagi demen-demennya ngegarap film, tapi ya enggak berani jauh-jauh dulu, mulailah dari apa yang kita bisa, dan aku juga actually gak masalah sama komedian seperti Raditya Dika, Ernest Prakasa, Soleh Solihun, dan sekarang menyusul Pandji Pragiwaksono bikin film komedi – itung-itung nambah keragaman sudut pandang film Indonesia juga, ya gak.

Dalam Partikelir, Pandji mengangkat genre yang jarang kita santap di meja makan perfilman tanah air. Komedi aksi berwarna buddy cop, dengan tokoh utama seorang yang terobsesi untuk menjadi detektif, meski dia enggak benar-benar punya pengalaman menangani dunia kriminal. Adri (ambisi Pandji tercermin jelas dari cerita dan tokoh ini) biasanya memang menangani kasus-kasus seputar perceraian, perselingkuhan, ya masalah sepele rumah tangga orang lah. Padahal Adri ini sudah siap lahir batin loh, menangani kasus yang beneran gede. Ketika Tiara (Aurelie Moeremans tidak diberikan banyak untuk unjuk kebolehan) datang memintanya menyelidiki misteri yang berhubungan dengan ayahnya, big break yang dinanti Adri pun akhirnya tiba. Kasus Tiara ternyata berkembang menjadi masalah yang serius, yang membawa Adri berundercover menyelidiki Lembaga Narkotika Nusantara. Meski memang sebenarnya Adri enggak bego-bego amat, namun tetap saja kasus itu terlalu gede untuk tangannya. Maka, Adri pun meminta bantuan dari teman partikelir seperjuangannya saat SMA dulu. Tapi enggak semudah itu, karena Jaka (tantangan akting terbesar ada di pundak Deva Mahenra) yang sekarang sudah berumahtangga, sudah menanggalkan mimpi-mimpi petualangan mereka, menggantinya dengan problematika kehidupan yang sungguh serius. Adri dan Jaka sudah begitu berbeda, Jaka bekerja di perusahaan pengacara, sedangkan  Adri nyebut diri Detektif Swasta aja dia ogah, musti partikelir – karena dia bukan milik siapa-siapa.

petualangan tercyduk dan mencyduk

 

Terutama sekali, film ini adalah cerita detektif. Akan ada banyak clue yang ditanam sedari bagian-bagian awal sehubungan dengan tokoh-tokohnya.Sesungguhnya ini adalah cara yang berani dalam membuild up tokoh.Film tidak memberikan informasi lebih selain apa yang kita lihat, yang mana adalah apa yang Adri lihat. Beberapa dari mereka tampak tidak penting, tampak seperti film lupa membahas, ataupun malah tidak membahas karakterisasi sama sekali. Untuk kemudian, film membeberkan detil-detil kecil yang dikembangkan menjadi depth pada penokohan. Dan, elemen dari tokoh-tokoh tersebut melingkar menutup cerita di akhir. Twist film ini bekerja dengan cukup baik, like, aku tidak mengira film bermain di ranah yang lebih dalam dari kelihatannya, but it eventually does.

Karena film menggunakan komedi sebagai red herring, sebagai pengalih perhatian. Dan komedi di sini banyak sekali, and it’s a dumb-type of comedy too. Jadi, bayangkan saja, kita duduk di sana nyengir-nyengir awkward ngelihat lelucon tentang pentil yang diulang-ulang. Maksudku, film ini benar-benar meminta kita untuk menahan diri enggak ngeloyor keluar bioskop. Ada begitu banyak lelucon yang gajelas poinnya ke mana, yang mencegah kita untuk peduli sama mereka, untuk peduli sama kasus yang ditangani berhasil atau enggak. Dalam film ini, Adri punya tampang yang enggak meyakinkan, dia bahkan diledek oleh satpam perihal penampilannya, namun toh dia bisa melakukan kerja-kerja penyelidikan, meski memang enggak segagah detektif beneran. Begitulah cerminan film ini; komedi konyol yang penuh lucu-lucuan aneh yang enggak semuanya bekerja baik, tapi dia masih mampu untuk punya hati – meskipun bagi film ini menampakkan hati itu adalah perjuangan yang amat sangat berat.

Kita enggak bisa menebak siapa yang memakai narkoba. Film memberikan asumsi pelawak dan entertainer adalah yang pertama bisa kita curigai, lantaran mereka adalah golongan yang paling sering stress. Dan itupun sebenarnya kembali menegaskan bahwa apa yang tertawa di luar bisa saja sebenarnya tertekan di dalam. Kita tidak akan pernah bisa menilai seseorang dengan fair hanya dari luarnya. Tapi kita bisa melihat pertanda yang timbul di permukaan, karena semua hal berkaitan dengan karakter seseorang, apa yang ia alami-yang ia rasakan, dan semua itu ada tandanya, jika kita benar-benar mau memperhatikan.

 

Film ini juga punya adat jelek untuk menjelaskan lelucon yang mereka sampaikan, yang mana adalah tanda-tanda kegagalan komedi. Sebab dalam dunia komedi salah satu peraturan teratasnya yaitu komedi yang baik adalah komedi yang tidak perlu untuk dijelaskan. It’s either that; komedi film ini memang sedikit kurang baik, atau karena mereka enggak percaya penonton dapat mengerti punchline ataupun inti lelucon yang mereka sampaikan. Yang mana mengantarkan kita kepada pertanda lain bahwa film ini menganggap dirinya terlalu pinter untuk penonton. Aku pikir alasannya lebih kepada yang nomer dua, sih. Karena memang film ini terasa kurang bersenang-senang. Mereka terlalu serius dalam bercanda. Nah lo, gimana coba

Adegan tebak-tebakannya terlihat aneh, gak kayak Goku pas lagi berusaha membuat King Kai tertawa dengan tebakan

 

Pada saat menggarap bagian aksilah, film ini jatuh dalam lembah ketakkompetenan. Kelihatan sekali film enggak tahu cara menangani adegan aksi;  bukan hanya pukul-pukulan, tapi juga tembak-tembakan. Aku bukan bicara tentang aksi yang benar-benar kayak The Raid dengan koreografi dan pergerakan kamera yang gimana, karena toh Partikelir adalah film komedi. Tapi ayo dong, The Nice Guys (2016) juga komedi aksi, dan mereka masih merasa perlu untuk menangani adegan aksi yang gak dimainkan demi komedi semata. Jurus andelan film dalam membuat adegan aksi yang lucu adalah menggunakan musik latar yang gak nyambung sama adegan. Lagi berantem, malah lagu cinta. Lagi kejar-kejaran, malah lagu ketahuan balik ama mantan. Kita mengerti kepentingannya adalah supaya lucu, tapi taktik ini tidak bekerja. Karena editingnya tidak mampu mengakomodasi kepentingan lucu ini dengan efektif. Film tidak melakukan apa-apa demi membentrokkan mereka. Malah terasa seperti kita nonton film sambil dengerin lagu, rasanya tidak paralel; enggak ngefek sama bikin lucu atau apa. Tapi aku akui, meletakkan salah satu adegan demikian di sepuluh menit pertama ternyata mampu melandaskan tone cerita keseluruhan dengan baik, karena membawa kita ke pemahaman elemen-elemen film ini ntar memang gak nyambung. Komedi dalam film ini hanya rangkaian adegan-adegan konyol untuk memancing kelucuan, yang dicampur aduk gitu aja, tanpa benar-benar ada ikatan emosi di baliknya.

Begitupun dengan penggunaan referensi film-film atau pop-culture lain. Cerita akan memention Lupus, The Raid, film Mau Jadi Apa?, Black Panther, dan beberapa referensi yang lain, yang hanya diniatkan supaya kita melek “wah itu!” dan get excited untuk sementara, tanpa benar-benar ada efek jangka panjang ataupun bobot emosi ataupun keparalelan dengan perjalanan dari tokohnya. Ini adalah cara gampangan untuk membuat seolah film membuat kita feel good. Tapi actually enggak ada apa-apa di baliknya.

Sebenarnya memang sandungan film ini berakar kepada penguasaan teknis. Partikelir sebagai sebuah media penceritaan terasa sangat basic, kalo gak mau dibilang kurang profesional. Penulisannya agak berbelit, tokoh utama kita kurang jelas mau dan butuhnya apa, dan tau-tau dia terlibat hubungan asmara. Film terasa berjuang untuk mendeliver cerita komedi, detektif, drama hubungan pertemanan, dengan mulus. Kualitas suara juga sedikit goyah. Ada adegan ketika Adri nguping dengan alat buatannya, kita hanya samar- samar mendengar apa yang sedang berusaha ia dengar, we barely even heard kata ‘rantau’, padahal semestinya apa yang dicuri dengar itu adalah informasi yang penting. Dan ini membuat kita seperti tidak dilibatkan dalam cerita; untuk sesaat, Adri mengetahui apa yang tidak kita tahu, yang berujung kepada kita susah peduli sama apa yang sedang berusaha ia selesaikan.

 

 

 

Susah untuk mengenali apa yang hendak dicapai oleh Pandji dalam filmnya ini. Apakah ia ingin menyinggung kasus narkoba, apakah ia ingin menggali drama persahabatan, aku bahkan enggak yakin film ini ingin bersenang-senang lewat komedi. Tidak ada dari semua itu yang terasa mendominasi. Film ini hanya terasa seperti berbagai elemen yang digabung dan disatukan buat lucu-lucuan. Kepedulian kita datang ketika film sudah memasuki babak akhir. Segar apa yang dibawa oleh film ini bagi genre perfilman Indonesia, hanya saja pencapaiannya begitu minimal sehingga untuk menjadi memorable saja susah.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for PARTIKELIR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

#TEMANTAPIMENIKAH Review

“Happiness is being married to your best friend.”

 

 

“Kalo lo sampe suka sama gue, gue musuhin lo seumur hidup.” Seketika ucapan Ayu tersebut menjadi stake buat Ditto dalam film #TemanTapiMenikah. Ditto sudah suka sama Ayu semenjak masih menontonnya di televisi, dan sekarang, setelah mereka bersahabat – Ditto beruntung banget bisa satu sekolah, satu meja ama Ayu – Ditto ingin keluar dari friendzone dan actually mengungkapkan perasaannya. Tapi tentu saja enggak segampang itu. He has to bide his time. Ditto bisa saja terus jadi sahabat Ayu, tapi membiarkan cinta tidak terucap jelas adalah jalan tercepat menuju hati yang berat. Akan tetapi, bagaimana jika Ditto menyatakan cinta, hubungan mereka malah jadi awkward? Bisa-bisa mereka jadi gak temenan lagi

Akan susah sekali untuk kita hanya bersahabat dengan orang yang kita cintai, karena hati pasti akan menuntut.Di lain pihak, tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia daripada menikahi sahabat terbaik yang sudah mengerti dan memahami kita sebagaimana kita mengerti mereka.

 

Film berdasarkan kejadian nyata ini tricky untuk dibuat karena kita sudah tahu endingnya bakal gimana. Ayudia Bing Slamet dan Ditto adalah figur yang sudah cukup dikenal, mereka berkecimpung di dunia pertelevisian, jadi sebagian besar penonton film ini pasti sudah tahu bahwa mereka menikah dan sudah punya anak. Bahkan buat yang belum pernah mendengar kedua nama itupun, judul film ini sudah memberikan informasi mengenai bagaimana akhir kisah mereka. Jadi, stake yang ada pun sebenarnya non-existent. Makanya, film ini menjadikan penampilan akting serta chemistry kedua tokoh sentralnya sebagai senjata untuk membuat kita betah duduk menonton.

it is not a spoiler, it is a result!

 

#TemanTapiMenikah paham untuk memainkan kekuatan dari para aktornya. Adipati Dolken selalu terbaik dalam meng-tackle peran yang less-serious. Dan Vanesha Prescilla enggak bisa nangis. Cerita memang sedikit menampilkan porsi yang emosional. Sebagian besar waktu kita akan melihat gimana Ditto dan Ayu mengarungi kehidupan remaja mereka yang tentu saja diwarnai dengan putus nyambung berpacaran. Not with each other. Dan build up menjelang kebersamaan inilah yang dimainkan alur cerita dengan baik. Ditto awalnya mencoba untuk menjadi pasif-agresif; Ayu pacaran sama kakak kelas, maka Ditto juga menjadikan playboy sebagai merek dagangnya di sekolah, untuk membuat Ayu cemburu. Semua yang dilakukan Ditto memang demi Ayu, dia nekuni alat musik perkusi, dia nabung buat beli mobil, sampai akhirnya dia juga jadi nongol di televisi, semua berlandaskan cintanya kepada Ayu. Tapi Ayu tidak pernah tahu. Dan mereka berdua ini deket banget, kesukaannya sama, gaya bercandanya sama, jahilnya sama. Inilah yang bikin kita geregetan sendiri melihat hubungan mereka. Mereka tampak seperti orang-orang yang kita kenal, yang kita tahu sebenarnya saling cinta tapi toh mereka enggak gerak-gerak.

Sementara lewat perannya sebagai Ditto Dolken membuktikan kenapa dia masih salah satu pilihan yang tepat jika menginginkan penampilan tokoh muda yang mengundang simpati, Vanesha juga menunjukkan masa depan yang cerah. Masih banyak yang bisa kita tunggu dari penampilan aktris muda ini, karena sejauh ini dia belum dapat peran yang benar-benar menantang range emosinya. Ayu luwes, cuek, dan punya karakter yang kuat, hanya saja tidak banyak berbeda dari remaja kebanyakan. Pekerjaannya sebagai aktor dan model juga tidak berbeda jauh dengan keseharian Vanesha; dia bermain lebih baik di film ini, tetapi tidak banyak tantangan pada perannya. Soal chemistry, Vanesha dan Dolken menguar percik-percikan yang meyakinkan. Untuk penggemar Gadis Sampul sepertiku, dalam film ini akan ada momen yang bikin menggelinjang karena di sini actually ada 2 alumnae Gadsam yang bermain. Aku gak yakin, tapi seingatku, terakhir kali aku melihat Diandra Agatha dan Vanesha Prescilla bersama adalah saat malam final angkatannya Vanesha, di mana Andra berseliweran di antara Vanesha dan teman-teman yang deg-degan sambil membawa mahkota Gadsam saat pengumuman pemenang.

Ketika banyak orang yang membandingkan film ini sama Dilan 1990 (2018) karena pemeran dan ph pembuatnya sama, aku malah teringat sama Star Wars: Episode II – Attack of the Clones (2002) saat menyaksikan Ditto dan Ayu. I mean, aku jadi kepikiran Anakin yang sebagai Jedi, dia gak boleh jatuh cinta. Akan tetapi, cerita malah membuat dia harus berada di samping Padme (yang kostumnya semakin akhir film semakin kebuka); Anakin harus menemani Padme ke tempat-tempat indah, sehingga perjalanan mereka basically adalah perjalanan paling romantis yang bisa dilalui oleh dua orang yang gak seharusnya jatuh cinta. Ditto dan Ayu juga begitu, stake yang ada pada film adalah mereka gak boleh jadian, akan tetapi mereka terus-terusan bersama. Cinta yang terlarang itu memang seru, seksi. Kalo #TemanTapiMenikah adalah film yang lebih serius dan punya lapisan yang lebih dalam, maka film mestinya juga akan membahas perihal cinta yang mereka rasakan. Bukan hanya sekadar turun-naik relationship dan gimana mereka bertindak seputar perasaan tersebut.

aku hampir nyanyi Cups di adegan opening

 

Reperkusinya tentu saja adalah seratus-an menit film ini jadi terasa sekali. Film bermain-main terlalu banyak menuju akhir walaupun mereka tahu kita sudah tahu apa yang bakal terjadi. Terutama pada babak ketiga, di mana Ditto dan Ayu pisah kota dan mereka punya pacar masing-masing. Aku mengerti ini adalah bagian yang lumayan penting bagi narasi. Ini adalah bagian ketika tokoh dilepaskan dari apa yang selama ini ia punya, untuk melihat apakah dia bisa hidup tanpanya, karena buat mengetes apakah kita pantas mendapat sesuatu, maka kita harus dilepaskan dulu darinya – to see apakah kita pantas mendapat apa yang kita inginkan. Ditto dan Ayu dipisahkan supaya mereka bisa melihat dan mengenali cinta. Cerita juga butuh untuk ngebuild up ‘hambatan’, menambah bobot drama, sehingga Ayu tidak langsung menerima Ditto. Tapi tetap saja bagian ini terasa unnecessarily long, karena kita sudah tahu apa ujungnya.

Jadi, menurutku film ini memang semestinya bisa bekerja lebih baik jika eventually menambah pembahasan. Menjadi sedikit lebih serius, meskipun itu merupakan tantangan bagi pemerannya. Selain Ayu, tentu saja Ditto juga harus belajar mengenali cinta. Di titik ini, sebaiknya film mengeksplorasi karakter Ditto lebih dalam seputar dia meragukan perasaannya terhadap Ayu. Menurutku akan menambah lapisan jika Ditto mengalami pergolakan apakah yang ia rasakan benar-benar cinta atau dia hanya cinta terhadap gagasan mereka sahabatan sehingga gak boleh pacaran.  Atau apakah ia hanya menganggumi Ayu karena Ayu artis televisi. Karena siapa sih yang gak punya crush sama  bintang film atau televisi. In that way, film masih menyisakan pertanyaan; sekalipun mereka bersama, apakah benar-benar cinta yang ada di antara mereka berdua. Tentu, semua itu pada akhirnya enggak jadi soal, karena Ditto dan Ayu telah berubah menjadi lebih baik berkat keinginan untuk bersama, namun sebagai sebuah tontonan menurutku semakin berdaging, akan lebih baik.

 

 

 

Meskipun tidak menyuguhkan permasalahan yang baru, ataupun ada permasalahan at all, film ini berhasil menjelma menjadi tontonan yang asik untuk dinikmati karena kedekatan cerita. Aku sendiri juga punya temen sekolah yang enggak disangka-sangka ternyata mereka berdua menikah., padahal satu geng main, dan gak keliatan punya niat pacaran. Tentu saja film ini didukung oleh permainan kamera dan akting dan penulisan yang enggak dibuat-buat. Menurutku menarik betapa televisi punya peran yang cukup besar dalam penyatuan dua insan tokoh cerita kita. Film ini memberikan harapan kepada setiap cinta yang tumbuh malu-malu di luar sana. Kalian yang menyintai sahabat sendiri, jangan khawatirkan pertemanan. Karena kita enggak berteman dengan cinta. Kita menikahinya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for #TEMANTAPIMENIKAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LOVE FOR SALE Review

“Everyone is in their own time zone.”

 

 

Ngeliat temen lulus kuliah duluan, kita mupeng. Ngeliat temen yang lulusnya belakangan dapet kerja lebih cepet, kadang kita suka minder, terus sirik. Ngeliat temen yang masih muda hidupnya udah mapan kemudian dia melayangkan undangan pernikahan, kita ngeri. Takut ditanya “kapan nyusul?” Takut disindir “Sendirian aje nih”. Kalo kalian sudah merasa merinding-merinding ngilu dengan membaca ilustrasi di atas, maka bayangkan gimana ‘serem’nya hidup buat Richard (Gading Marten memberikan penampilan akting yang sangat meyakinkan di antara perjalanan karirnya), pengusaha yang sudah menginjak 41 tahun namun masih bisa keliaran di rumah mengenakan pakaian dalam lantaran belum ada istri, apalagi anak, yang bakal bikin suasana awkward.

Tak heran, Richard galak banget sama pegawai-pegawai perusahaan percetakannya. Namun ketika udah ngumpul-ngumpul bareng temen-temen nobar sepakbola, giliran Richardlah yang di-bully. Semua orang meledek kejombloabadiannya. Sampe-sampe mereka bertaruh; di pesta pernikahan temen dua minggu lagi, Richard akan datang tanpa membawa pasangan. Tentu saja, apa yang bagi temen-temennya adalah taruhan duit; bagi Richard, adalah taruhan harga diri. Jadi dia mencoba segala cara, termasuk ikutan situs perjodohan online bernama Love Inc, di mana Richard bisa menyewa cewek untuk dibawa ke nikahan berpura-pura jadi pacarnya. Tetapi, oleh karena sedikit mixed up di ‘kontrak kerja’, Richard berakhir tinggal bersama dengan pacar sewaannya, Arini (si fearless Della Dartyan), sampai waktu yang diassign beres. Di saat benih-benih cinta genuine mulai tumbuh di dalam diri Richard, di saat itu pulalah kita semakin tersedot masuk dan peduli kepada Richard, film dengan perlahan membangun kita ke sebuah pertanyaan mengerikan “Saat jatuh tempo nanti, akankah Richard mampu untuk tidak hancur? Atau apakah ada kejutan untuknya?”

Orang-orang di sekitar kita ada yang tampak sudah jauh di depan, ada yang masih di belakang. Dan hal tersebut bukan masalah. Kita tidak harus meledek mereka. Pun kita tidak perlu untuk merasa minder karena ketinggalan. Karena setiap orang sesungguhnya bergerak pada zona waktu masing-masing. Seperti halnya Indonesia yang lebih dulu hingga lima-belas jam dari Amerika, tapi itu toh bukan berarti Amerika yang lambat dan terbelakang. Kita semua tepat waktu, manfaatkanlah sebaik mungkin. Hidup adalah soal bergerak dalam momen yang tepat.

 

Elemen cerita ‘pacar bo’ongan’ memang bukan hal baru dalam cerita film. Kita sudah cukup sering mendapat narasi seputar seseorang yang terlalu lama sendiri, kemudian memalsukan hubungan, dan terjerat menjadi benar-benar cinta. Love for Sale melakukan hal ini dengan sangat baik, karena kita benar-benar diperlihatkan betapa menyedihkan kehidupan Richard sebagai – ah, mengambil istilah yang dilontarkan oleh tetangganya – bujang lapuk. Film ini punya babak setup yang menarik, interaksi antara Richard dengan tokoh-tokoh lain tergambarkan dengan manusiawi. Komedi yang hadir darinya juga timbul tanpa cita rasa dibuat-buat. Apa yang kita lihat adalah truly kondisi yang satir mengenai seseorang yang ingin berada dalam relationship, namun secara mental ia tahu dirinya belum benar-benar siap, dan di sisi lain tuntutan sosial terus menggebahnya. Kita dapat dengan mudah ikut merasakan urgensi dari tekanan cerita.

Salah satu aspek yang aku suka dari karakter Richard adalah begitu banyak lapisan pada karakternya. Richard adalah salah satu tokoh utama dengan kedalaman paling jauh yang pernah kulihat  tahun ini. Lihat saja bagaimana ia melampiaskan semua ‘keluh kesahnya’ kepada waktu. Like, dia sungguh-sungguh menekankan betapa pentingnya bergerak tepat waktu – dalam beribadah, dalam bekerja. Kita melihat betapa strictnya Richard kepada anak buahnya yang dateng telat. Melanggar batas jam makan siang sedikit aja, siap-siap deh kena omelan. Actually, omelan sendiri juga jadi poin kuat tokoh ini, berkat comedic timing dan penyampaian Marten yang tepat luar biasa. Kedisiplinan ektranya terhadap waktu ini sebenarnya adalah cerminan dari keinginan tak sampainya untuk segera punya pendamping. Sebagaimana dinasihatkan oleh salah sahabatnya, bahwa jodoh juga kudu tepat waktu.

mau, gajinya dibayar telat?!

 

Masalah tempat turut dijadikan elemen yang menambah bobot buat karakter Richard. Dia diceritakan tidak pernah ke mana-mana. Jalan dari kantor ke Kemang aja dia nyasar. Dia mengeluhkan nobar di Jakarta Selatan yang ia anggap terlalu jauh jaraknya dengan rumah yang di Pusat. Richard membiarkan dirinya stuck di satu tempat saja. Dan ini dibuat paralel dengan kenapa ia sampai sekarang masih susah menjalin hubungan percintaan. Richard punya sesuatu di masa lalu, dan praktisnya dia belum move on dari sana.

Cinta itu urusan ruang dan waktu. Kita tidak bisa memaksakan kapan. Tak jarang, kita harus menempuh banyak sebelum mencapainya.

 

Ketika aku menyebut Love for Sale adalah film yang berani, aku tidak semata memaksudkan karena film ini berating dewasa dan akan ada adegan-adegan yang bikin risih  di dalam ceritanya. Love for Sale memiliki banyak persamaan dengan film Her (2013) buatan Spike Jonze. Strukturnya nyaris sama persis, kecuali tentu saja ini lebih seperti versi yang lebih grounded buat penonton Indonesia dan di bagian krusial yang dengan nekat diambil oleh sutradara Andy Bachtiar Jusuf. Ada banyak cara untuk membuat penyelesaian cerita ini, dan film memilih mengambil cara yang paling banyak memancing pertanyaan. Itulah yang namanya nyali. Film lain akan  memilih jalan yang paling terang sebagai babak akhir cerita, you know, Richard dan Arini kemungkinan besar akan dibuat berakhir hidup bersama entah itu Arini juga jadi beneran jatuh cinta atau Richard akan membebaskan Arini dari jerat ekonomi di mana mereka akan mengonfrontasi Love Inc. Tapi tidak demikian dengan Love for Sale. Ketika cerita membuat Arini tampak too good to be true untuk kemudian beneran ‘menipu’ Richard, film meniatkan agar Arini juga ‘menipu’ kita, para penonton. It was so believable Arini cinta, dia dibuat begitu loveable, hanya supaya kita juga merasa terenggut darinya.

Film ini menghasilkan sebuah hubungan percintaan yang digarap dengan sudut pandang yang matang. Everything is reasonable here. Bahkan adegan bersetubuh yang tergolong tabu dalam film ini memiliki kepentingan tersendiri. Sungguh pilihan yang bijak dari Andy Bachtiar untuk tidak mempersembahkan seks sebagai tujuan dari hubungan antara pria dengan wanita, yang mana bisa dibilang film ini masih menghormati budaya lokal. Tujuan Richard adalah memperistri Arini, dan ini membuktikan dia menghargai cinta di atas kepura-puraannya. Dan ultimately, Richard belajar bukan semata perasaan dicintai yang penting, yang ia cari – melainkan kemampuan untuk menyintai dengan tulus, dan ini dia buktikan kepada orang-orang di sekitarnya. Ending film ini sangat powerful, melihat Richard yang menyadari Arini adalah rebound yang ia butuhkan untuk menemukan kembali kemampuannya untuk move on dan mengenali cinta di manapun dia berada.

kata orang kalo cinta, lepaskan aja, cinta sejati selalu akan kembali menemukan jalan pulangnya

 

 

Di samping aku enggak begitu setuju dengan taktik film menggunakan layar media sosial sebagai pendukung penceritaan, sedikit kekurangan yang dipunya film ini adalah perihal Arini dan Love Inc yang dibuat terlalu misterius. Bukan di apa yang sebenarnya terjadi, karena adalah hal yang bagus untuk membiarkan penonton menebak dan menyimpulkan sendiri. Hanya saja menurutku, mestinya film menjelaskan atau membangun dunia Love Inc itu sendiri sebagai not necessarily bukan hal yang dijadikan pertanyaan. Simpelnya maksudku adalah kita berhak dikasih penjelasan apakah ada orang lain di dunia cerita tersebut yang memakai jasa Love Inc, karena kita lihat mereka mencetak dua ratus ribu eksemplar selebaran di percetakan milik Richard. Seharusnya kan paling enggak ada orang selain Richard yang juga menggunakan, yang jadi ‘korban’. Film ini kurang berhasil membangun seputar keberadaan program tersebut, dan ini membuatku bertanya-tanya, apa memang Richard ditargetkan sedari awal? Oleh siapa? Sebab rasanya long stretch sekali untuk mempercayai apa yang sudah dipersiapkan Arini buat dirinya.

 

 

 

Drama tentang kebutuhan manusia akan hubungan romansa yang diceritakan dengan berani. Bekerja efektif berkat arahan dan penampilan akting yang benar-benar hit home dari hampir semua tokoh. Film membuild ceritanya dengan perlahan, namun sangat seksama, sehingga membuat kita sulit terlepas dari apa yang sedang kita saksikan. Fresh bagi film Indonesia, namun tidak cukup unik. Tapi aku senang karena film ini adalah bagian dari langkah move on perfilman tanah air dari film-film mainstream , dengan benar-benar punya sesuatu untuk disampaikan. Langkah yang mungkin enggak cepat-cepat amat, kayak kura-kura si Richard, namun tak pelak sebuah langkah yang mantap.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for LOVE FOR SALE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Fastlane 2018 Review

 

Fastlane 2018 adalah show mandiri terakhir buat Smackdown, makanya, brand ini kudu gerak cepet untuk menunjukkan keunggulan dari brand merah yang semakin meriah. Karena, sejujurnya, tahun kemaren Smackdown mengalami keterpukuran yang luar biasa. Di luar divisi tag team yang begitu exciting, tidak banyak yang dihasilkan oleh Smackdown selain pertandingan-pertandingan yang berpotensi gede oleh kerja in-ring para superstar namun berakhir mengecewakan sebab booking yang gak jelas.

Masuk ke dalam partai-partai yang sudah dijadwalkan, Fastlane terasa seperti jalur lurus yang kita udah tahu ujungnya di mana. Perjalanan menempuhnya bisa dibilang lumayan mengasyikkan. Tapi hambatan-hambatan berupa keputusan dan arahan pertandingan yang bikin kita mempertanyaka kelogisan para penulis itu masih ada di kiri kanan. Inilah yang pada akhirnya membuat Fastlane 2018 sama seperti Fastlane sebelum-sebelumnya, sebuah pengisi kekosongan menjelang Wrestlemania. Yang membuat kita mengharapkan ada jalan pintas sehingga bisa langsung menuju Grandest Show of Them All.

 

Rusev Day sepertinya hari yang baik buat Shinsuke Nakamura. For some reasons, para penulis akhirnya berhenti memutuskan untuk mengarahkan penantang utama kejuaraan WWE di Wrestlemania ini sebagai petarung dengan tipe ‘bangkit-dari-kekalahan’.  Nakamura, sejak naik kelas ke main roster, sudah pernah berhadapan dengan superstar top macam Orton dan Cena, namun tidak pernah dia tampil sedahsyat pertarungannya dengan Sami Zayn di NXT. Dan itu dikarenakan karena tim penulis ingin membangun simpati kita terhadap Nakamura, jadi King of Strong Style ini hampir selalu diberikan alur “ngalah dulu lalu comeback dengan gede”. Dan cara seperti ini sudah terbukti enggak cocok dengan gaya bertarungnya. Saat melawan Rusev di Fastlane inilah, kita akhirnya kembali melihat yang terbaik dari Nakamura setelah begitu lama. Aku nyaris melompat-lompat sambil duduk (kayak kodok) demi melihat Nakamura dan Rusev begitu seimbang dalam menyerang, mereka saling berbalas counter. Rusev menyetop Kinshasa dengan tendangan super miliknya sendiri. Momen yang leading us ke Nakamura balas ngebalikin Accolade dengan Kinshasa keras ke belakang kepala. Jika saja kita enggak begitu pasti sama siapa yang menang, maka pastilah pertandingan ini akan lebih dramatis lagi.

On this Rusev Day, I see clearly everything has come to life~

 

 

Satu lagi yang delivered dalam acara ini adalah Ruby Riott. Dalam pertandingan kejuaraan pertamanya di Smackdown, Ruby melakukan hal-hal yang diperlukan dengan benar. Dia menjual peran dan ofensif Charlotter dengan meyakinkan, dia sendiri juga melakukan gerakan-gerakan serangan yang kompeten, dan sama sekali enggak ada ruginya juga Ruby Riott adalah penantang paling fresh dalam scenery Smackdown Women’s Championship terhitung sejak Alexa Bliss pindah ke Raw. Tapi kemudian booking aneh tersebut menemukan jalannya. It was great ngeliat psikologi dari Ruby ketika dia menyiksa Charlotte dengan submission di depan Becky Lynch dan Naomi yang datang membantu. Hanya saja, cuma itulah kepentingan para teman dari kedua kompetitor ini hadir. Build up yang sebenarnya enggak benar-benar diperlukan karena ujung-ujungnya mereka diusir kembali ke backstage. Kedatangan mereka membuat kita terlepas dari duel Charlotte dan Ruby yang meskipun basic, tetapi sangat tight. Match ini butuh bumbu lebih banyak, like, I don’t mind jika berakhir dengan banyak interferensi curang kayak.

Kadang sedikit chaos diperlukan. Tapi toh, harus tetap diperhatikan waktu penempatannya. Ketika kita punya dua kubu tag team yang sudah sepanjang tahun konsisten menyuguhkan laga luar biasa, ketika kita udah meluangkan waktu untuk bikin video yang promoin pertemuan teranyar dan paling bergengsi mereka – dengan stake tampil di Wrestlemania, sebagai juara, yang mana adalah mimpi basah setiap superstar – kita sebaiknya tidak menyelesaikan cerita pertandingan ini dengan kekacauan. The Usos dan New Day sepertinya memang sangat kreatif, mereka bisa menemukan hal baru dalam setiap pertemuan mereka.Setelah apa yang bisa kita sebut perang badar kedua tim ini di Oktober, sebenarnya agak anti klimaks mereka bertemu lagi dalam pertandingan normal tag, namun ternyata mereka menemukan cara untuk membuat kita tetap menggelinjang. Aku benar-benar girang melihat mereka memainkan angle curi-curian finisher pada match ini. Selalu adalah hal heboh jika seorang superstar menyerang lawan dengan menggunakan jurus andalan si lawan. Efektif sekali dalam berbagai lapisan! Aku sudah demikian on boardnya, match ini nyaris menjadi begitu hebat, sampai penulis dan tukang book match ini memberikan kita ‘kejutan’ berupa Bludgeon Brothers yang datang dan menghajar semua orang, resulting  into a no contest. Inilah yang tadi kusebut sebagai chaos yang miss-timing. Mereka sebenarnya bisa saja menunggu match superseru itu beres baru kemudian menyuruh Harper dan Rowan memporak porandakan semua; hasil yang diinginkan – build up ke Triple Threat, sepertinya – tetap akan bisa tercapai tanpa harus mengorbankan sebuah match yang build up dan hype nya udah gede.

“Sarah Logan dari belakang mirip Bray Wyatt”- komen of the night dari peserta nobar

 

Tapi memang, WWE selalu punya cara untuk bermain dengan ekspektasi kita. Aku sama sekali enggak mengharapkan bakal bisa enggak menguap saat nonton Orton melawan Roode. Kenyataannya, aku menyaksikan ini dengan cukup melotot. Julukan “out of nowhere” Orton tampaknya sudah melebar bukan hanya sebagai deskripsi dari jurut mautnya. Karena belakangan, Orton menumbuhkan kebiasaan menang di  momen-momen yang tak diharapkan. Jadi juara WWE di Wrestlemania kemaren contohnya, dan sekarang dia merebut sabuk United States dari Bobby Roode. Pertandingan mereka sendiri sebenarnya enggak payah, it was fairly a good match, namun seperti tersendat oleh kenyataan kedua superstar ini sama-sama face dan tidak terasa api urgensi itu dalam setiap serangan mereka. Menurutku, di lain kesempatan, dengan penokohan yang kuat, Orton dan Roode sanggup menghasilkan tontonan yang lebih seru. Pertandingan Triple Threat mereka (ditambah Jinder Mahal) cukup bikin penasaran – dengan alasan Roode segera turn heel – meski memang enggak semenarik Miz-Rollins-Balor di acara sebelah.

Bicara tentang role face atau heel, aku suka gimana penulis ngebook peran John Cena. Ya, selayang aku memang kesel ngeliat Cena yang nongol di mana-mana nimbrung di match orang, membuat peserta lain telrihat lemah seperti saat dia ngeAA empat superstar begitu bel main event berbunyi. Tapi melihat lagi match itu ke belakang, story yang berusaha mereka tampilkan adalah akankah keinginan semua orang akan terpenuhi, dengan AJ Styles maju ke Wrestlemania berhadapan dengan Nakamura. Walaupun dia masih face, di match ini John Cena adalah antagonis utama buat AJ Styles. Karena memang, dalam film pun, antagoni bukan selalu berarti tokoh yang jahat. Antagonis adalah orang yang menghalangi keinginan tokoh utama, dan di sini stake yang dipertaruhkan sebenarnya adalah apakah Cena bakal menghalangi Styles ketemu Nakamura. Pertandingan kejuaraan ini menjadi lebih penting karena hal-hal personal seperti begini. Bahkan Corbin dan Ziggler yang enggak really punya kepentingan, diberikan momen-momen tersendiri yang membuat mereka tampak pantas ikut bertanding. Kita juga melihat cerita lain yang involving Kevin Owens, Sami Zayn, dan Shane McMahon, yang menambah layer untuk build up Wrestlemania sekaligus menambah seru pertandingan ini. Kekurangannya cuma satu, yakni seharusnya mereka bisa membuat ‘alasan’ yang lebih meyakinkan atas kenapa Shane berada di sana. Karena, there’s no denying it, Shane duduk nonton di situ tampak konyol – dan semakin membuat karakternya gak jelas.

Sebagai sebuah acara pun, Fastlane tidak sepenuhnya terasa spesial. Mereka memutuskan untuk masukin promo Raw yang mengarah ke Wrestlemania, and it really takes us away from the recent moments. Kemunculan Asuka tentu saja banyak dibicarakan, kita akhirnya mendapat pertandingan cewek berprofil tinggi, namun tidak tanpa menuai pertanyaan, apakah selama ini Smackdown sudah demikian gagal membangun divisi wanitanya sehingga mereka tak bisa menemukan penantang yang Wrestlemani worthy untuk Charlotte? Dan ini membuat partai tag team cewek malam ini pun semakin kehilangan greget.. Oiya, satu lagi yang harus dihilangkan oleh WWE adalah keputusan untuk menggunakan video promo dengan tulisan gede berwarna-warni nutupin layar ala video youtuber! Serius deh, ini insulting seolah mereka menganggap penonton tidak bisa menangkap apa yang dikatakan oleh para superstar.

 

 

 

Sudah sejarahnya, Fastlane selalu adalah acara sampingan, bayangkan sebuah filler dalam serial anime – kita bisa skip menontonnya dan tidak ketinggalan apa-apa. Fastlane 2018, toh, tidak berhasil keluar, ataupun malah, tak tampak ingin keluar dari statusnya tersebut.
The Palace of Wisdom menobatkan SIX PACK CHALLENGE FOR WWE CHAMPIONSHIP sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

 

Full Result:
1. SINGLE MATCH Shinsuke Nakamura mengalahkan Rusev
2. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Randy Orton jadi juara baru ngalahin Bobby Roode
3. TAG TEAM MATCH Carmella dan Natalya ngalahin Becky Lynch dan Naomi
4. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos dan New Day babak belur dihajar The Bludgeon Brothers
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte retains atas Ruby Riott
6. WWE CHAMPIONSHIP SIX PACK CHALLENGE AJ Styles mengalahkan Dolph Ziggler, Baron Corbin, Sami Zayn, Kevin Owens, John Cena

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

PADDINGTON 2 Review

“Don’t judge a book by it’s cover”

 

 

Prasangka itu masih ada. Enggak peduli berapa sering kita berkata jangan menilai orang atau sesuatu dari penampilan, kita tetep masih melihat kesan pertama sebagai faktor yang paling menentukan. Dan darimana lagi kesan pertama itu datang kalo bukan dari tampang luarnya. Bahkan dalam menilai film pun kita begitu. Sadar atau tidak sadar, aku sering begitu. Kita suka keburu menyimpulkan film meski baru ngelihat poster atau trailernya selayang pandang doang. Ataupun dari genre. Padahal kan yang enggak kita suka belum tentu jelek, film mana bisa dinilai sebelum ditonton.

Paddington 2 ini contohnya. Film yang paling teroverlook di 2017 kemaren. Ketika tayang di bioskop, aku hanya meliriknya sekali. Aku bahkan belum nonton film pertamanya yang tayang tahun 2015 yang lalu. Karena, dari kelihatannya – beruang CGI yang hidup bareng manusia beneran, not exactly new thing juga di sinema – aku keburu menilai film ini seperti film-film keluarga kebanyakan. Film untuk anak-anak. Yang bisa disepelekan. Kemudian orang-orang mulai banyak membicarakan film ini, skor yang diberikan kepadanya oleh orang-orang yang actually menonton, tinggi sekali. Maka menyesallah diriku, dan sedikit malu, sebab begitu selesai menonton ini di komputer alih-alih layar besar yang majestic, memang film ini adalah salah satu yang terbaik. Aku enggak bercanda ataupun bias, Paddington 2 adalah film keluarga untuk anak-anak yang penuh pesona, yang sama sekali tidak meremehkan atau menganggap bodoh karakter maupun penontonnya.

Paddington, si beruang muda yang berasal dari hutan, kini tinggal bersama keluarga yang mengadopsinya. Hidup mereka harmonis sekali, tapi bukan tanpa cela. Anak cewek keluarga itu misalnya, karena putus ama cowoknya, dia menemukan ‘cinta’ ama bikin koran sekolah sendiri, yang anggotanya cewek semua. Adiknya yang baru gede punya ‘kelainan’ lain, yang tadinya hobi main kereta api, jadi malu mengakui hobinya demi pengcitraan cool di depan teman-teman sekolah. Sementara itu, si Ayah kena krisis pede, lantaran promosinya di kantor kesalip ama karyawan yang lebih muda.

Sepertinya kita tahu kenapa Sally Hawkins bisa kuat berenang bolak-balik London Perancis

 

Melalu mata Paddington, kita melihat tingkah anggota keluarga yang lain tersebut sebagai sesuatu yang ajaib. Basically, ini adalah cerita fish-out-of-water; karakter Paddington dibenturkan dengan environment yang sama sekali asing baginya. Hati dan sikap Paddingtonlah yang menyatukan, tidak sekalipun dia ngejudge apa yang ia lihat. Kepolosan Paddington membuatnya melihat yang terbaik dari semua orang. Dan itu semua berkat nasihat dari Aunt Lucy, sosok ibu bagi Paddington. Menjelang ulangtahun keseratus Aunt Lucy, Paddington ingin mengirimi beruang wanita tersebut sebuah kado berupa buku. Well, yea, jangan nilai buku dari sampulnya karena buku yang ditemukan Paddington di toko barang antik berisi pop-up tempat-tempat terkenal di kota London yang cantik banget. Buku ini bakal jadi kado yang sempurna untuk Aunt Lucy karena bibi Paddington itu dari dulu kepengen banget melihat London. Jadi, Paddington mulai mengusahakan membeli buku tersebut. Dia bekerja kecil-kecilan, menabung koin demi koin. Tapi sebelum duitnya terkumpul lengkap, buku tersebut dicuri oleh mantan aktor terkenal bernama Phoenix Buchanan, sehingga Paddington yang berusaha mendapatkan kembali buku berisi rahasia tersebut harus terjebak dalam situasi yang sulit.

Sebagaimana begitu banyak orang terpesona oleh Paddington, pada gilirannya banyak penonton – bahkan kritik – yang terpesona oleh film Paddington 2. Oleh karena si Paddington itu sendiri benar-benar punya hati yang besar, serta sudut pandang yang unik. Oh bukan, bukan, tidak seperti Fahri di Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), Paddington tidak punya uang banyak, ia tidak tampan orang tidak jatuh hati seketika kepadanya. Beruang ini bukan tokoh sempurna, in a way dia baik tetapi dia teramat berbeda dari yang lain dari cara ia memandang dunia. Sebagai satu-satunya beruang di tengah-tengah manusia, Paddington sering ‘salah’ dalam berkomunikasi. Dia tidak mengerti sinyal-sinyal percakapan. Dia mengalami kesusahan memahami apa yang orang sampaikan. Ditambah lagi, tidak jarang dia mengatakan sesuatu yang keluar sebagai perkataan yang gak bener. Baginya, melakukan hal-hal simpel, seperti bercakap-cakap, belumlah suatu konsep yang jelas batas-batasnya. Komedi film ini memang datang dari sini, kita melihat beberapa slapstick, namun lucu-lucuan tersebut tidak pernah datang dengan mengorbankan derajat Paddington. Film tidak mengarahkan adegannya sebagai bentuk hinaan kepada Paddington, film tidak meminta kita untuk melihat Paddington sebagai orang bego. Faktanya, para tokoh lain juga tidak pernah bereaksi seolah Paddington adalah makhluk dengan IQ paling jongkok di kota. Kita tidak melihat Paddington sebagai orang bodoh, kita justru bersimpati terhadap kepolosannya. Ketidakmengertiannya terhadap dunialah yang membuat tokoh ini sangat adorable.

Sebagai sebuah tontonan yang utamanya ditargetkan untuk anak-anak, tentu karakterisasi Paddington ini tersampaikan dengan sukses sebagai sebuah pesan yang sangat baik. Melihat Paddington, anak kecil akan merelate diri mereka sendiri yang juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana cara kerja dunia. Sering kita melihat anak kecil yang ditertawakan orang tua ataupun orang dewasa di sekitarnya karena si anak mengucapkan perkataan yang di luar levelnya. Anak kecil sering dengan naifnya mengatakan sesuatu yang mereka anggap serius, dan film ini mengencourage mereka untuk terus melakukannya – karena mengungkapkan opini, bertindak sesuai hati dan keinginan adalah hal yang penting. Seperti Paddington yang belajar – dengan sedikit keras – seperti apa dunia. Kejadian yang datang menimpa Paddington pada akhirnya bukan untuk menjatuhkan, melainkan mengajarkannya kepada banyak hal.

Jangan judge beruang dari uangnya

 

Sejujurnya, menonton film ini tidak lagi seperti menonton film anak-anak. Berkat humor dan penokohannya sangat beradab. Memang ada lebay-lebaynya sih, mengingat ini adalah dunia di mana beruang bisa berbahasa Inggris lebih lancar dari diriku, tapi tidak berada di tingkatan yang bikin kita nyengir. Semua tokohnya terasa respectable. Sally Hawkins dan aktor-aktor lain terasa tulus memainkan karakter masing-masing. Mereka turut menuangkan hati lewat penampilan yang enggak sekenanya. Terasa sekali ada usaha untuk menjadikan film ini sepenting dan serealistis mungkin.Bahkan tokoh antagonis utamanya yang diperankan dengan meyakinkan oleh Hugh Grant juga enggak sekadar jahat. Well, yea kita geram melihat tipu muslihatnya, tapi seenggaknya dia punya hal menarik untuk dilakukan. Buchanan ini semacam orang ‘gila’, dia masih menyimpan kostum-kostum perannya dulu di atap rumah, dan kita melihat dia sering ngobrol nyusun rencana jahat dengan mereka, yang mana pada dasarnya ia bicara sendiri. So in that way, Hugh Grant bermain menjadi banyak tokoh di sini, sebuah peran yang lain dari yang lain baginya.

Kalo mau bicara kekurangan, palingan yang sedikit membuatku kurang puas adalah bagaimana film berakhir dengan lumayan mendadak, bagi beberapa tokoh. Mungkin sedikit tambahan durasi diperlukan untuk mengayomi beberapa resolusi tokoh yang lain. Seperti anggota keluarga Brown, ataupun tokoh koki sangar yang interaksinya dengan Paddington di tengah film benar-benar menarik, mereka jadi bekerja sama dipersatukan oleh makanan haha.. Film memperlihatkan kepada kita orang ini akhirnya menjadi apa lewat foto-foto di kredit penutup, yang menurutku akan lebih nice kalo kita diceritakan resolusi yang sedikit lebih banyak dari orang-orang seperti tokoh koki ini.

 

 

 

Setelah menonton ini aku ngerasa sangat terhook sehingga bukan saja aku jadi kepengen nonton film pertamanya, sekaligus juga ngarep akan ada seri ketiganya – supaya aku bisa nonton ini di bioskop. Punya pesan luar biasa positif untuk anak-anak, yang disampaikan dengan menyenangkan lewat humor-humor yang beradab, sehingga orang dewasa pun akan mengapresiasinya. Film ini menceritakan pesannya dengan arahan yang menawan. Animasinya, terutama di sekuens ketika Paddington masuk ke dalam buku pop-up tampak sangat indah. Struktur shot dan pengadeganan yang kita lihat di sini adalah salah satu yang terbaik pada film keluarga. Sekuen aksinya pun tak kalah seru dan imajinatif. Kita tidak akan pernah menyangka betapa wonderfulnya film ini jika hanya melihat tampilan luarnya.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for PADDINGTON 2.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

TOMB RAIDER Review

“You need to be independent in order to survive in the world.”

 

 

Lara tidak seperti Croft yang lain. Dalam film ini, kalimat tersebut merujuk ke dalam konteks bahwa tokoh utama kita, Lara Croft, berbeda dari ayahnya; seorang bisnisman yang punya perusahaan besar.  Yang bagi Lara, ayahnya adalah sosok orang sibuk yang sering bepergian, sehingga meninggalkan Lara  seorang diri. Jadi, Lara enggak mau semua itu. Dia tidak tinggal di rumah yang besar. Dia bekerja sebagai kurir makanan bersepeda.

Kalimat ‘Lara tidak seperti Croft yang lain’ tersebut, however, juga bekerja di dalam konteks bahwasanya di dalam versi FILM REBOOT YANG DIADAPTASI DARI REBOOT VIDEO GAME ini, Lara Croft yang kita jumpai tidak sama dengan Lara Croft yang ikonik berbibir tebal seksi, berkepang panjang hingga ke pinggulnya yang sangat ramping, sementara dadanya, well yea, sudah jadi joke umum di kalangan gamer, Lara di PSX punya upper body yang begitu ‘menonjol’ sehingga grafik yang dahulu masih terbatas malah membuatnya tampak seperti segitiga alih-alih membundar.  Secara sederhana, kita bisa lihat masalahnya ketika para fans langsung membandingkan antara Angelina Jolie yang berperan di Lara Croft: Tomb Raider (2001) dengan aktris Alicia Vikander di film ini. Selain masalah fisik, Lara kali ini juga punya sepak terjang yang berbeda – perbedaaan gedenya adalah Lara tampak sangat vulnerable. Meski sisi adventurous, kecerdasan, ketertarikannya sama kode dan  tempat tersembunyi cewek ini udah kelihatan bahkan dari saat dirinya masih bocah, namun Lara Croft bukanlah jagoan. Setidaknya belum.

Dia pasti jago main Pandora Experience

 

Cerita petualangan aksi Tomb Raider ini memang bertindak sebagai origin karena pada intinya kita melihat siapa Lara Croft sebelum dia mulai menjelajahi makam dan kuil-kuil kuno penuh jebakan dan tak jarang kutukan mistis untuk mencari benda-benda peninggalan yang berkekuatan misterius. Lara Croft di film ini terlihat sangat vulnerable, dan Alicia Vikander benar-benar hebat memerankan setiap emosi yang harus dia jabanin. Aksennya juga pas, terdengar menguar ketegasan sekaligus sedikit rebellious. Film berhasil menyeimbangkan eksplorasi yang dilakukan oleh Lara, baik itu eksplorasi medan beneran maupun pencarian ke dalam dirinya, dengan aksi-aksi berlari, pengalaman  hidup-mati, yang mengdegup jantung. Sense of discovery yang disampaikan terasa lumayan kuat, karena terkadang kita diberikan kesempatan untuk memecahkan teka-teki bareng Lara. Misteri kebudayaan yang melapisi cerita film juga menarik. Kisah Legenda Himiko, yang supposedly adalah antagonis dalam film, dibuat sedikit berbeda dengan versi video game demi melandaskan keparalelan dengan salah satu layer perjalanan Lara Croft.

Saat film dimulai, kita sudah melihat Lara babak belur. Dia kalah saat latih tanding martial arts. Dia gagal dapet duit hadiah di permainan kejar-kejaran bersepeda. Ranselnya bahkan hampir dibawa kabur oleh berandalan. Lara memang sudah sedikit belajar tentang pentingnya mempertahankan diri – dia berusaha untuk hidup mandiri. Tapi cewek ini punya satu masalah yang membayangi setiap geraknya. Hati pada cerita ini adalah pada bagaimana Lara sangat menyintai sang ayah, sosok yang baginya sekaligus sebagai seorang ibu, walaupun ayahnya sering pergi-pergi dan Lara sendiri belum tahu apa yang ‘pekerjaan’ ayah yang sebenarnya. Aku suka gimana film membuat Lara tidak mau menandatangani surat wasiat dari si ayah, sebab kita tahu bahwa alasannya tidak semata karena Lara memilih hidup sederhana. Melainkan karena dengan menandatangani surat itu, Lara berarti sudah mengamini ayahnya yang hilang sudah meninggal.

Dalam penceritaan video game (yea, video game juga punya cerita layaknya tontonan sinematis) ada satu aturan baku standar yang udah jadi semacam pakem yang diikuti oleh banyak cerita, yakni: Jikalau tokoh utama punya sanak yang diceritakan sudah meninggal, tapi kita sebagai tokoh utama enggak pernah melihat mayatnya, maka sanak keluarga tersebut pastilah sebenarnya masih hidup. Dalam film juga sebenarnya elemen cerita begini sering dipakai, namun Tomb Raider menggunakan trope ini bukan tanpa sebab. Inilah yang menjadi motivasi perjalanan Lara – bagaimana apa yang ia inginkan akan berbuah menjadi hal yang tak ia inginkan. Lara butuh untuk melihat ayahnya masih hidup, untuk kemudian direnggut lagi darinya demi menyadari apa yang ia butuhkan; kemandirian sesungguhnya dari seorang penyintas sejati, her true self.

Kemampuan untuk mandiri tidak dimiliki oleh semua orang. Kadang tanpa disadari, kita bergantung terlalu banyak kepada orang lain, lebih dari yang kita perlukan. Di penghujung hari,  toh,  kita hanya akan punya diri sendiri. Kita perlu untuk mandiri demi bertahan hidup, dalam hal apapun. Adalah sangat penting untuk kita bisa mengambil keputusan, bisa mengambil tindakan, tanpa perlu selalu kompromi dengan orang lain. Betapa sangat berdayanya mengetahui bahwa kita mengendalikan hidup dan pilihan sendiri. Apalagi jika pilihannya adalah sepenting berkorban atau tidak.

 

Totally jalannya enggak lagi kebentur-bentur dinding kayak di game originalnya

 

Mengelak dari perangkap cerita origin yang biasanya menghabiskan satu film untuk mengubah karakter menjadi yang kita kenal, Tomb Raider hanya butuh satu jam kurang untuk kita dapat melihat glimpse dari Lara yang sebenarnya. Sangat empowering melihat Lara Croft yang tadinya seperti underdog, yang berani namun senantiasa ragu-ragu di dalam sehingga selalu gagal, menjadi semakin pede ketika dia mendaratkan kakinya di pulau tak berpenghuni itu. Alih-alih rubuh oleh bertubi-tubinya benturan fisik dan mental, Lara menjadi semakin kuat oleh setiap tantangan. Turning point bagi Lara adalah ketika dia harus mengalahkan – dia harus membunuh satu orang – yang mana adalah Lara’s first kill di seri ini, karena di titik itu dia mulai mengerti bahwa dia harus berjuang sekuat itu untuk bertahan hidup. Sendiri. Film menggarap adegan tersebut dengan lumayan menyentuh, mereka mengambil waktu untuk memperlihatkan ekspresi di wajah Lara, yang tentu saja dimainkan sangat meyakinkan oleh Vikander. It was a strong moment. Untuk kemudian diikuti dengan Lara bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya, yang membuat inner-nya semakin berkonflik lagi lantaran dia kembali punya keinginan untuk menjadi putri kecil. Film membuat keputusan bagus untuk menampakkan momen-momen karakter seperti begini, aliran pengembangannya – naik turun karakter – dijaga sehingga menarik. Di bagian pacing-lah film ini sedikit terlalu kedodoran.

Cerita berlalu dengan cepat, antara adegan aksi satu dengan adegan aksi berikutnya, film akan mengerem dengan development karakter dan beberapa dialog eksposisi. Secara kesuluruhan, akibat eskposisi yang melambatkan film nyaris seolah secara mendadak, dengan aksi seru yang direkam dengan kecepatan tinggi, menonton film ini rasanya kayak melihat video ornag berlari yang kadang dislow-motion. Ada aspek-aspek cerita tertentu yang membuat kita “hey, darimana datangnya?”. Beberapa adegan flashback juga turut membebani jalannya cerita dengan perlambatan yang tidak perlu. Kita tidak butuh begitu sering kembali ke masa lalu, yang kadang adegannya itu-itu melulu. Menurutku, yang dibutuhkan film ini untuk mengerem justru  adalah momen-momen survival seperti memperlihatkan Lara membunuh hewan untuk makan, seperti pada video game. Tapi film malah melewatkan itu.

Kematian adalah petualangan. Salah satu aspek seru dari video game yang juga disadur oleh film ini adalah momen-momen berbahaya yang siap menerjang Lara. Dalam video game, kita bisa sengaja game over hanya untuk melihat adegan kematian yang kadang over-the-top namun menyenangkan. Film ini juga sama seperti itu, banyak adegan aksi yang bisa dibilang lebay dan agak gak masuk akal; Lara yang lompatannya jauh sekali, Lara menarik pecahan yang menembus perutnya padahal kalo luka tembus sebaiknya jangan dicabut karena pendarahannya akan semakin parah, akan tetapi kita tetap enjoy menontonnya. Adegan-adegan tersebut juga dijaga sehingga tidak mengakibatkan film menjadi konyol, menjadi terlalu Hollywood, menjadi guilty pleasure seperti film Tomb Raider terdahulu. Ada satu sekuen seru banget yang dicomot dari video game, yang bakal bikin penggemar video gamenya girang, yang melibatkan Lara dengan bangkai pesawat, namun basically sekuen ini hanyalah versi lain dari adegan kaca belakang bus di Jurassic Park. So yea, aksi dalam film ini seru dan menyenangkan, hanya saja memang tampak generic, film tidak menampilkan sesuatu yang benar-benar baru.

 

 

 

Menonton ini seperti memainkan video game yang punya replay value yang tinggi. Kita sudah bermain berkali-kali, kita sudah hapal, namun kita tetap suka. Kita ingin mencari cara lain untuk menamatkannya – karena film ini mampu bekerja dengan efektif, baik sebagai eksplorasi karakter maupun sebagai pure action adventure. Bicara soal mandiri, filmnya sendiri juga cukup mandiri. Di balik usaha film untuk membangun landasan universe, untuk membuat kait ke film berikutnya, film bertindak bijak dengan memastikan kita mendapat cerita yang contained, dengan plot tokoh yang melingkar tertutup. Di samping beberapa aspek penceritaan yang mestinya bisa dibuat lebih tight lagi, flashback dan eksposisi mestinya dapat dikurangi, ini tetap adalah salah satu adaptasi video game terbaik. Karena semua orang dibuat peduli sama tokohnya, kita bisa merasakan tokoh tersebut, kita ingin dia berhasil, walaupun kita enggak pernah memainkan video gamenya sebelum ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TOMB RAIDER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE BREADWINNER Review

“Remember all you saw and tell it back in the stories when the day is almost done.”

 

 

Wanita enggak bisa hidup tanpa lelaki. Dalam beberapa konteks kajian, hal itu benar. Karena manusia diciptakan berpasangan-pasangan – gender yang satu akan membutuhkan gender yang lain untuk banyak aspek dasar. Namun, buat Pasukan Taliban di kota kecil bernama Kabul, tempat di mana Parvana tinggal, kata ‘enggak bisa’ dalam kalimat wanita enggak bisa hidup tanpa lelaki diartikan sebagai kebenaran yang absolut. Bahwa menurut peraturan mereka; wanita literally tidak bisa hidup, tidak boleh ngapa-ngapain, tanpa ada lelaki yang menjaganya. Wanita tidak boleh keluar rumah kalo tidak bareng suami, atau ayah, atau sodara. Para cewek dilarang belanja sendirian ke pasar. Kerjaan sesimpel menimba air di sumur umum bisa menjadi sangat ribet, dan berbahaya, jika dilakukan seorang wanita tanpa ditemani wali. Sekalipun ada, bukan berarti kaum hawa bisa bebas melakukan apa yang mereka mau di luar sana. Pertama, mereka harus menutup aurat sepenuhnya dengan burqa. Mereka juga tidak boleh menarik perhatian publik. Di awal film, kita melihat Parvana yang masih sebelas tahun meninggikan suaranya sedikit saat mengusir anjing dari barang dagangannya, dan itu menimbulkan masalah yang cukup untuk membuat ayah Parvan dijebloskan ke dalam penjara.

Di Afghanistan sana memang ada anak-anak seperti Parvana. Yang berasal dari keluarga yang ‘kekurangan’ pria. Dan lingkungan yang penuh opresi, membuat semuanya sulit untuk keluarga seperti ini hidup. Ibu dan Kakak perempuan Parvana tidak bisa keluar rumah tanpa digebuki, atau kalo nasib mereka lagi jelek, diperkosa. Adik cowok Parvana masih terlalu kecil. Jadi Parvana dan anak-anak cewek lain berubah menjadi Bacha Posh; cewek yang menyamar menjadi laki-laki. Parvana memotong pendek rambutnya, memakai pakaian bekas abang tertuanya yang… ah, Parvana tidak tahu di mana abangnya sekarang. Dengan nama samaran, Parvana dan teman sekelasnya dulu (sebelum akhirnya mereka diberhentikan dari sekolah lantaran Taliban melarang anak cewek untuk jadi pinter) berkeliling kota, mencari pekerjaan, belanja makanan dan kehidupan sehari-hari. Dan khusus Parvana, dia punya misi ekstra: mencari tahu nasib ayahnya di penjara. Tapi tentu saja, menjadi cowok enggak lantas membuka setiap kesempatan emas bagi Parvana. Kota Kabul yang darurat perang masih adalah tempat berbahaya dan sangat membatasi untuk anak-anak sepertinya. Lagipula, bukankah penyamaran tidak lain tidak bukan hanyalah sebuah kungkungan bagi diri sendiri yang sejati?

Jadi, di mana dong tempat bagi Parvana untuk merasakan kebebasan?

Di sana, di dalam kepala sendiri, jawabannya.

 

Kisah yang diadaptasi dari novel ini akan menjadi sangat depressing jika dimainkan secara langsung oleh aktor-aktor. Jelas sekali, animasi adalah medium yang paling tepat – bukan untuk memanismaniskan cerita, melainkan untuk menampung konteks dan pesan dan komentar sosial yang coba disuarakan.  Akan ada begitu banyak adegan yang meremas hati kita. The Breadwinner memang bukan secara tepat adalah animasi untuk anak-anak. Film ini lebih ditujukan untuk orang dewasa, yang niscaya akan terhenyak, dan pada gilirannya akan membimbing anak, adek, atau kerabat yang masih kecilnya yang sudah cukup paham untuk menonton film dengan tema yang begitu penting dan relevan dengan keadaan sekarang ini. Style animasi yang tampak simpel untuk setengah bagian cerita tidak sekalipun mengecilkan kekuatan rentetan adegan yang kita saksikan. Tengok saja gimana film ini mengontruksi dua kejadian dalam satu adegan tatkala seorang Taliban memukuli ibu Parvana dengan tongkat ayah sementara Parvana yang ada di sana sedang mengejar potongan foto sang ayah yang beterbangan. Adegan itu tampak mengalir indah, sekaligus menghantui rasa manusiawi kita. The Breadwinner tampil unggul dengan adegan-adegan yang dibangun seperti demikian.

Menjaga dan mengekang sungguh tidak banyak bedanya. Ketika agama Islam mengajarkan untuk menjaga wanita sebaik-baiknya, pasukan Taliban menggunakan kesempatan itu untuk mengekang masyarakat supaya mereka terus tunduk. Wanita dikekang, diatur-atur.  Sementara para lelaki, menjadi semakin vulnerable karenanya. Kalo perlu, mereka juga dikekang – dengan dipenjara.

Dari keadaan tersebut, tokoh utama kita belajar bahwa apapun yang dijaga dengan sebaik-baiknya akan menjadi tak ternilai harganya. Dan salah satu hal tersebut adalah harapan. Karena pada akhirnya, opresi dan kebebasan bukanlah soal siapa yang menjadi korban. Ini soal tanggungjawab. Kita sendiri yang bertanggungjawab terhadap harapan masing-masing. Dari sanalah kekuatan kita berasal. Jika kita tidak bersedia menjaganya, jangan kira orang lain akan sukarela melakukannya untuk kita.

 

Makanya, sekeji-kejinya tokoh Taliban dan sebagian besar pria dalam film ini, Parvana tidak serta merta digaris untuk mengalahkan mereka. Proses pembelajaran dan discovery yang dialami tokoh protagonis kita datang dari dalam dirinya sendiri. Karena menjadi anak cowok, yang ultimately adalah cara kisah ini menyimbolkan kesetaraan yang kini banyak dicari, bukanlah jawaban eksak masalah seperti punya Parvana. Ketika aku menonton film ini, aku memang sempat bingung terhadap perspektif dan motivasi si tokoh. Like, apakah dia pengen membebaskan ayahnya, atau dia ingin menafkahi keluarga. Film sepertinya tidak tegas mengarahkan cerita dalam memilih di antara spektrum ini. Namun, ternyata aku salah. Spektrumnya ada tiga, dan pada cabang inilah film menitikberatkan gravitasi fokusnya.; Apakah Parvana akan sanggup menyelesaikan dongeng yang ia kisahkan untuk adiknya?

Aku jadi ingat waktu kecil dulu setiap hari diceritain macem-macem dongeng sama kakek.

 

 

Kekuatan yang didapat dari bercerita adalah penemuan paling kuat yang berhasil dicapai oleh Parvana. Tokoh ini berkembang dari yang tadinya bosan dengan kisah-kisah yang selalu diceritakan oleh ayahnya, menjadi seorang yang menemukan kebebasan mutlak ketika dia bercerita. Ironically enough, justru pada elemen ini jualah, The Breadwinner menemukan titik lemah dalam penceritaannya. Kita akan senantiasa dibawa dari kejadian di kehidupan nyata Parvana ke dongeng yang ia ceritakan tentang seorang pemuda yang pergi ke sarang monster demi mencari bibit pangan yang dicuri dari desanya. Diceritakan dengan gaya animasi yang sedikit berbeda, dongeng ini actually mirip stop-motion dua dimensi, fungsi lain dari elemen ini adalah untuk menceritakan nasib sebenarnya abang Parvana. Thus, antara dongeng dengan kejadian yang dialami Parvana; kedua cerita tersebut seringkali tidak terasa paralel. Seperti kita sedang menonton tv dan bolak-balik di antara dua channel. Pun begitu, setelah midpoint menjelang ke babak akhir yang mengharukan, film ini menjadi sedikit repetitif, kita basically ngeliat Parvana bekerja di siang hari dan mendengarkan dongengnya saat sudah malam melulu. Tonenya menjadi sedikit terlalu kontras, sehingga flow dari cerita yang utama menjadi sedikit enggak mulus.

 

 

 

 

Situasi yang sulit akan menempa pribadi yang tangguh. Tak pelak, Parvana adalah salah satu tokoh utama film animasi paling kuat di tahun 2017 lalu. Kita sungguh dibuat peduli sama akankah dia berhasil bergulat dari situasi yang mengekang, sebagai seorang pendongeng maupun sebagai seorang anak yang ingin meringankan beban keluarganya. Visual dan desain musik yang penuh jiwa tentunya akan mampu menarik minat banyak penonton berpikiran dewasa untuk singgah menikmati dongeng yang penting ini. Aku pikir, animasi ini punya kans besar di Oscar 2018 mendatang. Dalam dunia yang akan terus mengekang, kita sendiri yang membuat kebebasan. Pesan semenarik ini hanya sedikit dibebani oleh penceritaan selang-seling yang terkadang tidak paralel dan terlalu sering.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE BREADWINNER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BENYAMIN BIANG KEROK Review

“Sometimes we need to step back”

 

 

Bersama-sama, sutradara Hanung Bramantyo dan aktor Reza Rahadian telah menghasilkan karya yang mengundang decak kagum banyak orang, seperti Rudy Habibie (2016), Kartini (2017), dan baru-baru ini tayang di festival adalah film The Gift yang aku belum dapet kesempatan untuk menonton. Dan kemudian, mereka menelurkan film seperti Benyamin Biang Kerok.

Aku enggak tahu apa memang banyak permintaan untuk menghidupkan kembali peran yang dibuat legendaris oleh legenda lawak Benyamin Sueb (bekennya disingkat Benyamin S doang). Apalagi ada orang yang menganggap Reza Rahadian bermain sebagai Benyamin adalah sebuah ide emas. Tentu saja, akan menarik melihat Johnny Deppnya Indonesia ini mencoba bermain di ranah yang baru. Film ini jelas memberinya tantangan dari poin terkecil Reza bukan orang betawi. Dari yang aku dengar juga, Reza katanya sangat kepengen bermain di film musikal – terlebih komedi musikal. Tetapi, Benyamin Biang Kerok ini mungkin bukan gimana tepatnya Reza membayangkan komedi berbumbu musikal yang bakal ia lakoni.

Kebiasaan ini memang belum bisa terjelaskan dengan baik, namun manusia suka untuk mengerem langkahnya. Terkadang kita merasa perlu untuk mengambil tempo. Seperti saat hendak melompat jauh, kita akan mengambil ancang-acang ke belakang beberapa langkah. Kita merasa aman, rileks, dengan sedikit memundurkan diri. Tapi seberapa jauh kita rela ataupun harus mundur? Film Benyamin Biang Kerok ini adalah langkah mundur yang dengan sukses diambil oleh Hanung dan Reza, terlebih jika mereka memang menginginkan sedikit change of pace dengan mengdowngrade diri mereka sedikit banyaknya.

 

Reza cukup berhasil membawakan kekhasan Benyamin, mulai dari suara tawa, mimik, hingga tantrumnya. Selain bakal diisi adegan musikal, aku enggak tahu harus mengharapkan seperti apa film ini sebelum menontonnya. Tadinya kupikir biografi Benyamin, ternyata bukan. Film ini lebih seperti reboot dari film jadul dengan tokoh bernama Pengki. Yang jelas, aku sama sekali tidak mengharapkan produk film yang se-terrible ini. Untuk sepenuhnya mengerti kenapa film ini ujung-ujungnya tidak bekerja dengan efektif, sebagaimana terhadap film-film pada umumnya, kita perlu melihat dan diyakinkan oleh sepuluh menit pertamanya.

Timingnya sih pas, film ini tayang deketan sama hari lahir Benyamin S

 

Sekuen pembuka film ini melibatkan Tora Sudiro yang sedang dalam misi undercover, menyusup ke dalam kasino dan ikut permainan Poker underground yang diselenggarakan oleh Komar (seru dan cukup meyakinkan juga aksi pelawak senior ini menjadi bos penjahat). Di dalam sana kita lihat berbagai teknologi canggih namun konyol seperti scanner wajah yang memperlihatkan status relationship orang. Si Komar, selain punya nama tokoh yang kreatif banget – Said Toni Rojim, juga punya robot cewek yang canggih dan creepy abis. Dibantu dua temennya; yang satu menyusup jadi orang dalam dan satunya lagi menjadi mata lewat kamera pengintai, Tora berusaha memenangkan uang sebanyak mungkin. Itulah tujuan mereka di sini. Namun kemudian polisi datang menggerebek, Tora kabur membawa apa yang bisa ia bawa, dan ternyata Tora adalah Benyamin alias Reza Rahadian alias Pengki yang sedang pake topeng! Kemudian Pengki dan teman-temannya kabur naik oplet mandra ke pasar, di mana mereka lantas nyanyi ondel-ondel bareng semua orang.

See? I was just ready to watch a completely absurd comedy. Sepuluh menit pertama film ini sebenarnya efektif sekali melandaskan betapa konyolnya film ini dibuat. Untuk adegan-adegan ke depan kita akan melihat orang diuppercut hingga menembus awan dan menabrak pesawat terbang. Kita akan kenalan sekilas sama cewek yang mengaum kayak harimau dan makanin orang. Kita akan bersisian sama tiruan Bane yang badannya berminyak. Sesungguhnya ini semua sah-sah saja, jika film memang ingin bersenang-senang dengan logika dan intelegensi, maka itu terserah mereka. Asalkan semuanya digarap dengan arahan yang pasti.

Akan tetapi, Benyamin Biang Kerok masih ingin tampil pintar. Masih berusaha tampil punya hati. Diberikannya Pengki persahabatan dengan dua temen dekatnya. Dituliskannya Pengki sebagai anak orang kaya dengan masalah keluarga – kedua orangtuanya sudah tidak bersama, Pengki tinggal dengan ibu yang menganggap anaknya adalah bocah tue yang paling males sedunia padahal di luar rumah Pengki adalah pemuda yang mengkhawatirkan hidup warga rusun pinggiran. Yang rela membahayakan nyawa demi uang mencegah rusun tersebut dari penggusuran. Pengki juga somehow adalah pelatih sepak bola untuk anak-anak di sana. Naskah juga memberikan Pengki kekasih, seorang artis cantik, yang ternyata adalah ‘calon istri’ dari Said si bandit yang pasukannya cewek semua. Di atas itu, film juga sempat-sempatnya melontarkan komentar yang relevan dengan situasi politik dan keadaan sosial dalam masyarakat Indonesia sekarang ini. Sayangnya, dengan tone yang begitu bercampur seperti ini – editing film pun kerap tampak sangat kasar antara adegan satu dengan adegan lain kelihatan banget beda take – sukar untuk kita menganggap serius pesan-pesan tersembunyi yang dibisikin oleh film.

Mencoba untuk memasukkan banyak elemen dari berbagai genre, film ini seperti campuran dari berbagai hal-hal konyol. Masing-masingnya lebih wacky dari sebelumnya. Sehingga tidak lagi menjadi lucu. Malahan, film ini cukup ‘menyakitkan’ untuk ditonton. Kayak melihat orang pintar yang berusaha terlalu keras untuk tampak bego supaya disukai dan membaur dengan sekelilingnya. They don’t feel comfortable at all. Menonton film ini seperti menonton seseorang yang sedang enggak mau menjadi dirinya sendiri.

 

Yang membuat semakin parah adalah relasi antara tokoh-tokohnya tidak pernah dibuat meyakinkan. Pengki dengan teman-teman partner in crimenya tidak dieksplorasi, bahkan mereka bertiga jarang berada dalam satu frame yang sama.  Ada satu adegan Ibu Pengki yang galak mengajaknya ikut melihat bagaimana carany berbisnis, tapi dilakukan dengan konyol, tanpa menambah banyak untuk cerita. Hubungan antara Pengki dengan demenannya pun tidak pernah tampak manis. Kecuali pada adegan-adegan musikal yang tampak berada di luar dinding cerita – yang mana membuat film ini sedikit membingungkan. Pengki dan Aida menjadi dekat dengan begitu cepat, sehingga kita tidak benar-benar peduli ketika Aida mulai dalam bahaya dalam cengkeraman Said. Stake dalam cerita serta merta tergampangkan. Pengki punya semua jawaban, entah itu dari uang ataupun dari alat-alat temuan temannya. Tak sekalipun kita merasakan ada yang benar-benar dalam bahaya – inilah tanda betapa elemen dalam film tidak tercampur dengan baik. Kita hanya dapet konyolnya saja, which is fine dalam komedi yang hanya menyasar komedi, tapi film ini menargetkan banyak hal pada narasinya.

unsur betawinya juga seperti ketinggalan entah di mana di tengah cerita

 

Buatku, the last straw adalah bagaimana cara film mengakhiri ceritanya. Hmm.. atau seharusnya aku menulis bagaimana cara film tidak mengakhiri ceritanya. It was very insulting memotong film di tengah-tengah sekuen seperti yang dilakukan oleh film ini.  Penonton berhak mendapat penutup. Kita sering mengejek film cinta-cintaan kayak ftv atau sinetron, padahal justru Benyamin Biang Kerok inilah yang sinetron layar lebar yang sebenarnya.  Mereka pretty much sama saja dengan menabuhkan tulisan ‘bersambung’ di layar dan tidak semestinya, tidak ada alasan, yang namanya film berakhir dengan demikian. Film seharusnya tertutup. Ada awal, tengah, akhir. Memotong akhir tanpa ada babak penyelesaian adalah tindakan yang lancang, bagaimana seorang bisa menyebut dirinya pembuat film jika ia tidak benar-benar membuat sesuai dengan kaidah film? Benyamin Biang Kerok hanyalah sebuah franchise ‘reborn’ berikutnya setelah Warkop DKI. Bahkan jika dibandingkan pun, Warkop DKI Reborn adalah film yang lebih baik karena mereka tidak pernah ingin menjadi lebih dari diri mereka yang sebenanrya; sebuah tontonan konyol. Seenggaknya Warkop DKI sedari awal sudah ‘mengakui’ film mereka berformat part 1 dan part 2. Dan mereka juga tidak memotong film di tengah-tengah aksi, mereka masih punya batasan penutup yang jelas di antara dua part. Wow , aku gak percaya tiba harinya aku membela film Warkop DKI Reborn, mungkin ini langkah mundur yang kuperlukan.

 

 

Kita memang kadang perlu mundur, tapi seberapa jauh. Satu pertanyaan lagi yang aku yakin menghinggapi benak kita saat menonton ini “Ini beneran film buatan Hanung, siapa biang kerok sebenarnya di sini?”. Bahkan menyebut ini sebagai film cari uang pun sesungguhnya tidak tepat. Karena ini actually bukanlah sebuah film. Ini adalah insult yang mengapitalisasi kenangan terhadap seorang seniman sebesar Benyamin Sueb.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for BENYAMIN BIANG KEROK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017