Tahun lalu, aku nulis surat cinta untuk Alexa Bliss. Basically di Elimination Chamber 2017 itu aku lega Alexa ‘hanya’ bertanding melawan Naomi, dia tidak perlu masuk kerangkeng baja – struktur setan yang digadangkan sebagai salah satu pertandingan paling berbahaya dalam semesta WWE. Sekarang, aku tahu kemungkinan pihak WWE membaca review ala surat buatanku sama gedenya dengan Alexa Bliss beneran jajan eskrim di kafeku. Aku yakin kita semua tahu adalah hal semacam inilah yang dilakukan oleh WWE.
Mereka membengkokkan keinginan para fans. Mereka menjual kejutan. Mereka mengkapitalisasi konflik dan kontroversi. Mereka bekerja di atas ekspektasi kita semua, for better or worse.
Ditambah pula dengan agenda “for the first time ever” yang semaking gencar mereka lakukan. Dan eng ing eng, di tahun 2018 ini kita menjadi bagian dari sejarah saat WWE menyelenggarakan pertarungan Elimination Chamber khusus untuk peserta cewek!
Turns out, bukan saja pertandingan tersebut benar-benar membuatku gemetaran, namun juga membuatku ingin melompat-lompat saking serunya. Para cewek itu diarahkan untuk membawakan cerita yang solid, dan mereka ngedeliver tuntutan tersebut dengan sangat efektif. Dan Alexa Bliss? She slays! Serius, bukannya aku bias, tapi memang match ini intinya adalah membuat Alexa terlihat kuat dalam artian mampu memanfaatkan apapun untuk menggapai kemenangan. Bahkan sehabis match pun, Alexa menunjukkan gimana dia adalah salah satu performer terbaik yang dipunya oleh WWE dengan ‘pidato kemenangan’ yang sukses mengecoh semua penonton.
Tiga puluh menit durasi tanding benar-benar terbayar puas sebab subplot yang lain juga berkembang dengan baik. Environment yang kita masuki dalam pertandingan pembuka ini bukan saja kerangkeng kotak sadis itu, melainkan juga adalah aliansi yang terbentuk di dalam ruang lingkup peserta. Mandy Rose dan Sonya Deville boleh saja paling ‘hijau’ dalam urusan aksi, tetapi mereka punya ikatan pertemanan yang paling kuat dibandingkan yang lain. Sasha Banks dengan Bayley sudah ditanamkan bibit-bibit permusuhan, yang berujung pada Sasha menendang jatuh Bayley dari atas kandang seperti Scar mencampakkan Mufasa ke jurang. Sementara itu, kita tidak pernah tahu apakah Bliss ngajak Mickie James baikan adalah hal yang tulus sebab cerita mengharuskan Bliss untuk mengovercome the odds sendirian.
#GoddessAboveAll
Perlu diakui, Elimination Chamber jaman now itu memang sudah tak sama lagi dengan Elimination Chamber saat Shawn Michaels memenangkannya di Madison Square Garden. I mean, bentuk kandangnya saja sudah berbeda. Tentu saja kita semua merindukan warna merah mengkilat di jidat. Intensitas kekerasan seperti demikian tidak akan pernah lagi kita dapatkan. Sejak dari tahun lalu, kandang itu terihat jinak. Sekarang setiap dasar bajanya dialas matras yang lumayan tebel. Rantainya antara dibuat lebih kokoh untuk menyerap benturan atau dipasang terlalu kendur, aku kurang tahu juga, pointer untuk menilainya adalah waktu Roman Reigns menarik-nariknya yang kelihatan bergoyang cuma lengannya; jadi entah itu dia enggak menarik dengan kuat atau dia pura-pura narik doang untuk menjual kekokohan kandang. Chamber yang sekarang lebih tampak seperti taman bermain, dan WWE mengetahui persis hal ini, sehingga para superstar pun diarah untuk benar-benar bersikap demikian terhadap kandang. Tentu, ini membuka kesempatan buat mereka ngeutilize kandang dengan semakin kreatif sesuai dengan karakter tokoh masing-masing. Aku suka momen ketika Alexa kabur dengan memanjat kandang, ketika dia melakukan Twisted Bliss dari atas Kamar, ketika Elias mengunci diri, ketika Strowman melempar Reigns menembus kaca. Tapi sekali lagi, intensitas Chambernya sendiri tidak pernah terasa kuat. Mungkin ini masalah karena gimmick ppv, I mean, menurutku akan lebih kuat aja jika superstar beraksi terhadap stake dan environment karena mereka pikir mereka butuh dibandingkan dengan mereka bereaksi terhadap environment yang sudah disiapkan teruntuk mereka.
Salah satu cara untuk menangkal atau menutupi ke-predictable-an adalah dengan memainkan mereka dengan tepat dalam kotak, worked to their strengths. WWE sekali lagi membuktikan bahwa mereka mampu dan rela mewujudkan apa yang sudah ditebak oleh fans asalkan semua itu pada akhirnya bekerja sesuai dengan terms dan kekuatan yang mereka incar. Singkatnya, kita bisa dibilang WWE akan lebih memilih untuk membuat fans sakit hati daripada mereka terang-terangan tampak seperti menuruti apa yang fans mau.
Tidak seorang pun penonton yang berusia di atas 13 tahun meminta untuk melihat Roman Reigns bertemu lagi dengan Brock Lesnar di Wrestlemania. Tidak ketika masih ada Strowman. Tidak ketika suara Elias semakin lantang bernyanyi. On the other hand, semua orang tahu Roman Reigns punya kans menang Chamber paling gede. Dan WWE mewujudkan hal tersebut. Dengan bangga. Ya, ini bukanlah bookingan tercerdas yang dilakukan oleh para penulis. Keputusan yang lebih pinter jelas adalah membuat Strowman memecahkan rekor memenangi Chamber dengan mengeliminasi semua peserta lain sendiri atau dengan membuat Elias mengeliminasi John Cena . Elimination Chamber dengan tujuh orang peserta seharusnya adalah suatu partai yang buas. Dan looking this match back in a retrospect, WWE mengambil keputusan untuk bermain aman. Mereka ngepush apa yang perlu dipush. Miz, Rollins, Balor tidak terlihat seperti penggembira. Elias dan Cena punya interaksi yang mencukupi. Strowman kick out of everything. Semuanya bermain sesuai dengan kekuatan masing-masing dengan Roman Reigns yang tampak paling ‘vulnerable’ di sini.
Ada pengunjung kafeku yang teriak “Teuku Wisnu!!” sambil nunjuk Finn Balor
Sebagai partai yang paling predictable, Nia Jax dan Asuka juga terbukti jatoh menyenangkan. Walaupun sama sekali tidak pernah kita kepikiran “jangan-jangan Nia yang bakal menang”, aku berani bilang match mereka adalah salah satu yang punya kesan intens paling kuat sepanjang acara (Satunya lagi adalah ketika Sasha Banks ngelakuin Frog Splash yang benar-benar enggak safety – doi mendarat literally dengan dua sikunya doang, duh!) Ini adalah pertandingan yang showcasing kekuatan kedua superstar, baik dari segi aksi maupun dari segi karakter. Ringkas dan padat. Baik Nia maupun Asuka, keduanya membiarkan aksi mereka yang berbicara.
Karena diam itu memang emas. Segmen tandatangan kontrak Ronda Rousey yang melibatkan Triple H, Stephanie, dan Kurt Angle sukses jatoh awkward, sebagian besar karena Rousey seharusnya melawan skrip dengan tidak mengambil microfon dan berbicara. Baru beberapa patah kata saja sudah terlihat jelas – atau seharusnya aku bilang terdengar – bahwa Rousey grogi banget. Untuk ke depan, sepertinya Rousey butuh untuk diwakili oleh manager yang berbicara untuknya. Kalo kita mengingat promo post-match keren dari Alexa, segmen Rousey ngomong ini akan berkali lipat lebih parah hhihi. Begitu sudah masuk ke storyline, terima kasih buat Kurt Angle yang perannya di sini kayak Jimi Jangkrik bagi Pinokio Rousey, segmen seketika menjadi lebih baik. Triple H benar-benar ngesold bantingan judo dari Rousey. Stephanie juga efektif nunjukin karakter heelnya. Pada akhirnya kita menyukai segmen ini karena menghibur dan menyenangkan, linimasa WWE akan penuh oleh berita-berita tentang badassnya Rousey, walaupun menit-menit awalnya sangat menggelikan.
Sebagaimana mendung yang tak selamanya kelabu, senang-senang juga tidak selamanya menyenangkan. The worst part dari acara terletak pada match antara Bray Wyatt melawan Woken Matt Hardy. Diniatkan sebagai porsi hiburan, susah sekali bagi kita untuk menganggap serius konflik personal antara Wyat dengan Hardy lantaran gimmick mereka yang dibuat terlalu over-the-top. Malahan, saking have fun nya, para penonton di arena sampai lebih sibuk neriakin hal-hal asyik lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan pertandingan yang sedang berlangsung. Menurutku, mereka perlu meningkatkan elemen kengerian dari feud ini. Atau mungkin lebih baik mereka menyudahi storyline ini secara keseluruhan.
Pay-per-view khusus Raw sedari awal pemisahan brand memang tidak pernah betul-betul stand out sebagai sebuah show, meski mereka punya starpower yang lebih gede, dan terkadang punya cerita dan build up yang lebih solid. Elimination Chamber tidak terkecuali, selain pertandingan gimmicknya, acara ini terasa biasa saja. Namun begitu dua pertandingan kandangnya berhasil menyampaikan cerita dank e-predictable-an dengan cara yang sangat menghibur. Kalo ada satu kata yang positif untuk menilai acara ini, memang kata tersebut adalah ‘menyenangkan’. The Palace of Wisdom menobatkan ELIMINATION CHAMBER FOR WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP sebagai MATCH OF THE NIGHT.
Full Result: 1. WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Alexa Bliss nyaww sukses retain atas Sasha Banks, Bayley, Mickie James, Sonya Deville, dan Mandy Rose 2. WWE RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Bar Sheamus dan Cesaro bertahan dari Titus dan Apollo 3. SINGLE Nia Jax gagal nimbrung di kejuaraan di Wrestlemania karena kalah sama Asuka 4. SINGLE Woken Matt Hardy ngalahin Bray Wyatt 5. 7-MEN ELIMINATION CHAMBER Roman Reigns memenangkan hak menantang Brock Lesnar di Wrestlemania dengan mengalahkan Braun Strowman, Seth Rollins, Finn Balor, John Cena, Elias, dan The Miz
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“..the decision to be patient and willing to wait is an act of courage and perseverance.”
Cobaan paling berat di dunia itu salah satunya adalah menunggu. Beberapa orang menjadi tidak sabaran lantaran menunggu itu berarti kita menunda melakukan sesuatu, menahan diri dari mendapatkan sesuatu. Makanya, menunggu itu bisa kita jadikan sebagai kadar kedewasaan seseorang. Semakin dewasa orang, maka semakin sabarlah dia. Buktinya lihat aja pas bulan puasa, yang batal duluan biasanya pasti anak-anak kecil, yang sanggup menahan diri biasanya punya nalar dan mental yang matang. Namun meskipun begitu, enggak selamanya anak kecil kalah ‘sabar’ sama orang dewasa. Kadang ada juga orang dewasa yang bertingkah seperti anak kecil.
Menunggu itu adalah aksi yang paling membosankan, sebab menunggu adalah aksi yang tertunda. Maka dari itu, orang yang mengambil keputusan untuk menunggu adalah bukan saja orang yang amat tekun, namun juga salah satu orang yang paling berani di dunia.
Kayak si Tita. Di ulangtahun kedua tujuhnya, dia masih belum boleh megang hape sendiri, masih dilarang keluar malem sendirian oleh ibunya. Lantaran Tita ini masih kolokan, manja banget. Sebenarnya ini kayak kasus ayam atau telur sih, gak jelas juga apakah karena selalu diprotek berlebihan maka mental Tita masih kayak remaja bau kencur, atau apakah sudah dari sononya ia begitu sehingga perlu pengawasan ekstra. Yang jelas, di usia segitu Tita masih belum menikah. Dia masih betah LDRan sama Adit, cowoknya yang tinggal di Paris. Padahal menurut Tita, menikah bisa menjadi solusi dari semua masalah hidupnya – dia bisa bebas dari aturan ibu, dia bisa merdeka dari pertanyaan ‘kapan nikah?’ dari temen-temennya. Maka, Tita pun bersabar menunggu lamaran Adit. Di sinilah kedewasaan, bukan hanya Tita melainkan juga kedewasaan relationship mereka ditempa, karena Tita dan Adit yang sudah bersifat berlawanan dari film pertama, menjadi semakin sering bertengkar hingga ke titik Tita mulai kehilangan kepercayaan terhadap Adit.
Lama tinggal di Paris, tapi Adit masih canggung nyetir di kiri
Aku hampir yakin kalo aku masuk golongan minoritas di sini, karena aku sama sekali enggak tahu sama Eiffel, I’m in Love. Aku gak baca bukunya, aku gak nonton film pertamanya, aku sempet bingung karena yang aku pernah nonton cuma Lost in Love (2008) yang ternyata enggak dianggep sebagai universe franchise film ini. Jadi aku enggak tahu Eiffel, I’m in Love 2 ini mengincar apa. Film ini akan terpuruk sangat jika kita melihatnya sebagai drama romansa. Akan tetapi, BERTINDAK SEBAGAI KOMEDI ROMANTIS, film ini menunaikan tugasnya dengan efektif. Aku sendiri juga kaget, aku menikmati hubungan para tokoh film ini.
Bantering antara Tita dan Adit dijadikan senjata utama yang bakal bikin kita tertarik untuk menonton. Kedua tokoh sentral dibangun dengan formula komedi, di mana yang satu adalah total opposite dari yang lain. Dan mereka terflesh out dengan efektif. Ada begitu banyak momen-momen lucu yang hadir dari interaksi Tita dan Adit. Shandy Aulia dan Samuel Rizal sudah punya chemistry yang menawan dan mereka tampak begitu effortless menghidupkan tokoh-tokoh. Effortless dalam artian yang positif karena keduanya tampak berinteraksi dengan natural. Berantem mereka, delivery dialog ngotot-ngototannya, terasa pas dan sungguh-sungguh relatable. Film ini berangkat dari sudut pandang seorang wanita yang berada dalam situasi berpacaran terlalu lama, dengan potensi menikah yang tak kunjung cerah. Ditambah lagi dengan masalah-masalah yang tentunya hadir jika seseorang terlibat dalam hubungan asmara jarak jauh. Film memfokuskan kepada hal tersebut, berkelit dari kait-kait drama, dan mengeksplorasi ‘berantem itu kekanakan atau romantis’ menjadi sebuah cermin yang menyegarkan bagi penonton. Seperti pada adegan ketika Adit mengajak Tita pulang naik mobil, tapi Tita ‘sok’ ngambek, dia enggak mau naik. “Tinggal nih!?” ketus Adit. Yang dijawab tak kalah ketusnya “Tinggal aja!” oleh Tita. Adit pun pergi. Dan kita lihat Tita ngomel-ngomel manja “Adit jahat, ninggalin Tita sendiriiii”
Tapi memang, film ini punya set up tokoh yang aneh, and not necessarily in a good way. Tita yang udah nyaris berkepala tiga, namun seringkali bersikap lebih manja dari remaja tentu bisa jadi turn off buat banyak penonton. Aku sendiri tadinya juga udah pasang kuda-kuda, karena tokoh kayak gini biasanya bakal annoying banget. Awkward pasti demi ngelihat orang bertingkah di bawah umurnya. Motivasi Tita adalah dia ingin dilamar supaya bisa bebas, hanya itu. Film tidak berusaha menjadi lebih besar dari ini. Tidak berniat untuk menyampaikan cerita yang lebih dalem. Namun paling enggak, film ini konsisten dalam membangun penceritaan dengan perspektif tokoh utamanya. Paris adalah kota yang romantis, mungkin paradigm itu tergolong kuno di jaman now, namun dalam kacamata Tita, langit malam Paris, di atas sungai Seine, berhias gemerlap kembang api, tetaplah skenario percintaan yang paling maksimal. Film negbuild up momen-momen keinginan Tita terwujud dalam cara yang menarik karena nun jauh di dalam hati, kita pengen lihat benturan apa lagi yang dihasilkan dari perbedaan mindset antara Tita dan Adit.
Jika ini adalah film drama, maka tentu dalam perkembangannya kita akan melihat Tita akan belajar untuk melawan aturan ibunya, dia akan mencoba untuk menjadi mandiri. Dan nampaknya memang akan bisa menjadi produk cerita yang lebih baik dari ini. Tetapi dari penulisan plot yang mereka pilih, film ini punya vibe komedi yang gede, jadi alih-alih itu, Tita akan belajar untuk mulai meragukan Adit. Oleh naskah, Tita tetap menjalankan fungsinya sebagai tokoh utama, dia melakukan pilihan-pilihan. Hanya saja memang pilihan-pilihan tersebut tidak benar-benar berbobot. Untuk menemukan jawaban atas apa yang sebenarnya ia butuhkan, naskah memperlakukan Tita seperti ikan di luar air; Tita mencoba melakukannya dengan benar-benar gak tau apa yang terjadi di sekitar, sementara dirinya sendiri struggle untuk memegang teguh apa yang ia percaya. Pandangan anak manja dan romantisme tetap dipegang dengan konsisten, sementara pemahaman Tita menjadi ‘dewasa’ mengunderlying komedi dan berjalan seiring sebagai lapisan kedua cerita.
“Kalo tut, berarti gue kentut dong!”
Tapinya lagi, tentu saja film ini juga tidak luput dari kesalahan. Tetap banyak trope dan pilihan-pilihan gampang demi merebut hati target pasar. Yang ultimately menjadikan film ini enggak berhasil menjadi lebih baik dari yang semestinya bisa ia capai. Lagu soundtracknya yang kerap diulang membuatku terlepas dari emosi yang tak lagi terasa genuine. Banyak juga aspek cerita yang tak bangun-bangun, eh tuhkan jadi kebawa lagunya, maksudku banyak aspek cerita yang tak terbangun dengan baik. Hanya sekedar menjadi device saja. Seperti tokoh sahabat cowok Tita; Adam literally a tool dalam cerita. Maksudnya, dia hanya ada di sana untuk memudahkan jalan cerita maju, tanpa benar-benar punya kepentingan dari segi karakter dan bobot emosi cerita. Adam, dan juga tokoh-tokoh sampingan lain, tidak terflesh out dengan baik sebab film tidak peduli menceritakan mereka. Mereka hanya ada di sana saat cerita membutuhkan. Contohnya di awal-awal saat adegan drive-through McDonald. Adam tiba-tiba ada di sana, dengan pesenan yang sama dengan Tita, dan itu adalah salah satu adegan pengenalan tokoh paling males yang pernah dilakukan dalam film, bahkan dalam film cinta-cintaan Indonesia.
Alasan mereka sekeluarga pindah ke Paris juga tidak dimekarkan menjadi apa-apa. Keluarga Tita seharusnya membuka rumah makan, tapi kita hanya mendapat satu adegan mereka berbenah di rumah makan tersebut. Film melewatkan kesempatan mengeksplorasi banyak karakter dari sini, sehingga aku paham mengapa banyak orang yang mempertanyakan kenapa satu keluarga mesti pindah. Karena nyata-nyatanya kehadiran mereka juga tidak benar-benar berbuah dalam membangun cerita yang lebih baik. Ketika Tita dan Adit tampak begitu mengalir bersahut-sahutan, Tita dengan anggota keluarga yang lain, bahkan dengan Uni, tidak terasa sama naturalnya. Dialog-dialog tidak terasa mengalir dengan mulus, karena kita masih bertanya kenapa ada orangtua yang memperlakukan anaknya seperti anak kecil. Menurutku, cerita butuh memperlihatkan sudut pandang dari orangtua atau keluarga Tita sehingga masalah manja dan perlakukan sedikit mengekang itu bisa terbahas.
Udah ngarep, apalagi pake nunggu lama banget, tapi yang ditunggu enggak kejadian, memang sebuah hal yang berat. Untungnya, bagi para fans film yang pertama, film ini adalah sesuatu yang sudah ditunggu selama lima belas tahun, dan berbuah kejadian-kejadian yang menyenangkan untuk ditonton. Film menggali komedi dari bentrokan keinginan dua karakter sentral yang mengekspresikannya dengan cara yang kekanakan. Tapi dewasa itu adalah penantian. Film menyediakan cukup komedi sehingga menjadi menarik, namun dia tidak menyediakan gizi lebih banyak dari itu. The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for EIFFEL I’M IN LOVE 2
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“The most terrible poverty is loneliness and the feeling of being unloved.”
Siapa sih yang bakal melirik motel kecil di pinggiran kota dalam perjalanan liburan ke taman hiburan berkawasan elit di jantung kotanya? Enggak ada. Palingan cuma turis yang budgetnya lagi ngencengin ikat pinggang, atau malah turis yang salah alamat. Atau turis yang kebelet doang. Di tempat seperti itulah Moonee dan ibunya, Halley, tinggal. Bagi bocah enam tahun itu mungkin motel tiga lantai seperti Magic Castle memang terasa layaknya istana dunia fantasi sungguhan; sepanjang hari dia bermain bersama teman-temannya, riang, ceria, penuh curiosity. Bagi mata anak kecil, hal-hal biasa seperti berjalan ke gerai es krim ataupun main ke gedung terbengkalai, bisa menjelma menjadi sebuah petualangan luar biasa. Tapi bagi Halley, ibu muda yang bahkan masih sering bersikap sama kekanakannya, dinding ungu tempat pinggiran seperti Magic Castle adalah tempat berlindung. Dari apa? Dari kenyataan, setidaknya dari realita yang setiap akhir minggu mengetuk pintu kamar menagih uang sewa.
The Florida Project adalah jenis film yang selayang pandang tampak seolah tidak punya plot. Adegan-adegannya adalah keseharian Moonee dan Halley, bagaimana mereka menyintas hari yang panas dengan melakukan kegiatan biasa, seperti makan siang di kursi taman motel. Atau juga dengan tidak melakukan kegiatan biasa, seperti mereka tidak membayar makan siang tersebut sebab makanannya actually ‘diselundupkan’ keluar oleh teman yang bekerja di restoran. Pada dasarnya sih, kita akan mengikuti bocah bandel dan wanita yang lebih rajin merokok daripada nyari kerja ‘beneran’. Jadi, jita kalian gerah akan perangai orang-orang seperti mereka, atau bila tujuan kalian adalah tontonan yang lebih gede, mungkin kalian lebih suka untuk melewatkan film ini. Tapi aku menyarankan untuk mampir. Amat sangat, malah. Penampilan aktingnya aja dulu; Brooklyn Prince yang jadi Moonee dan Bria Vinaite sebagai Halley yang bertato dan berambut biru menyuguhkan permainan yang luar biasa real dalam debut mereka di sini. Mereka membuat kita lupa sedang menonton film!
tips parenting simple; tanyakan anak Anda “What do you do now!?”
Menangkap secercah kenyataan dan memaparkannya, seni bercerita seperti demikianlah yang terus diasah oleh sutradara Sean Baker. Di bawah penanganannya, The Florida Project mekar menjadi kisah sederhana namun unik tentang sebuah pandangan enerjik dalam hidup yang penuh oleh pilihan-pilihan yang salah. Ada dua tone kontras yang ia mainkan di sini, dan wisely enough film menyediakan jembatan buat kita sehingga film tetap berimbang. Menceritakan masalah keuangan, tidak melulu harus banjir air mata. Bicara mengenai anak-anak, tidak senantiasa mesti senang-senang tak berarti.
Moonee tidak dibuat sebagai tokoh yang terlalu komikal. Yea, dia ngomong jorok. Benar, dia polos banget dan taunya main doang. Tapi tokoh ini diberikan sense. Dia diberikan bobot yang menapakkannya ke tanah; dia cuma mau bersama ibunya, dia benar-benar look up to her mother. Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya. Di film ini, buah itu tidak bisa untuk jauh dari pohonnya. Dalam konteks they just have each other, kita pun tidak pernah benar-benar melihat kelakuan Halley diromantisasi. Kita paham dia rela melakukan apapun demi putrinya. Bola konflik inilah yang pelan-pelan menggulung turun, dan membesar tanpa kita sadari. Kedua orang ini tidak bisa hidup terus seperti itu. Kehidupan Halley yang semakin mepet ke garis kriminal tentu akan memanen dampaknya, segera. Film tidak memberitahu kita masalah-masalah tersebut, melainkan memperlihatkan langsung lewat kegiatan para tokoh. Siap-siap saja, ketika gilirannya tiba – ketika klimaks itu terjadi, film juga tidak akan membuatnya terlalu dramatis ataupun sentimental. Tetapi niscaya kita akan terenyuh, sebab apa yang sudah ditanamkan dari awal tanpa kita sadari akan kembali, membuat babak akhir film ini sangat impactful.
Miskin itu adalah kalo kita enggak punya tempat tinggal, enggak punya makanan, enggak punya pakaian bersih. Miskin itu berarti kita enggak bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun sesungguhnya, kita barulah menjadi benar-benar miskin jika sudah tidak ada lagi yang menginginkan kita, tidak ada lagi orang yang mengasihi dan menjaga kita.
Anak seperti Moonee butuh bimbingan positif, atau bahkan figur seorang ayah, dan di sinilah tokoh Bobby yang diperankan dengan sangat meyakinkan oleh William Dafoe menunjukkan fungsinya. Bagi penyewa kamar motel, Bobby adalah bapak kos yang serbabisa. Dia memperbaiki barang, dia mengusir penjaja makanan liar, dia menjaga keamanan, dia menegakkan peraturan, dia menertibkan para penghuni yang melanggar aturan. Dan tentu saja bagi Halley, yang lantas diikuti oleh Moonee, Bobby adalah figur berwenang yang menyenangkan untuk dilawan. Dinamika hubungan mereka menciptakan suatu konflik yang sangat heartwarming. Aku bahkan berani bilang tokoh Bobby adalah hati pada film ini. Di paruh awal, kita melihat Bobby mengusir seorang pria predator yang mengincar anak-anak penghuni motel, kemudian pada menjelang akhir cerita lihatlah betapa bimbang penuh emosinya wajah Bobby ketika dia tidak bisa apa-apa selain diam dan membiarkan seorang anak kecil diambil untuk diserahkan kepada orangtua asuh. Komponen karakter Bobby ini begitu penting karena itulah yang dijadikan poin vokal oleh film.
Bahwa terkadang, bukan pilihan kitalah yang salah, melainkan hanya hidup yang mengganti pertanyaannya menjadi terlalu susah. Akan tetapi, sebagaimana rumah terbakar yang jadi hiburan oleh orang-orang terpinggir, semestinya akan selalu ada hal baik yang datang darinya.
adegan niup kipas angin itu benar-benar nostalgic buat sariawan di bibirku
Aku sudah berkali-kali mampir nonton film ini. Aku sangat terpesona sama karakter dan penceritaannya. Memang, film ini susah untuk direview, terutama aku tidak merasa film ini urgen banget untuk segera diulas. Jadi, aku mengulur-ulur waktu. Aku nonton lagi, dan lagi. Kalo kalian kebetulan sering nongkrong di kafe eskrim Warung Darurat akhir tahun kemaren, mungkin kalian bosen disuguhi film ini hampir setiap hari. Aku ingin mencari kekurangannya, tapi selalu gagal karena film ini totally menghangatkan sekaligus benar-benar pengalaman menonton yang menyenangkan karena aspek real karakternya. Actually, aku banyak nerima permintaan untuk mengulas sehingga aku pikir aku tidak bisa menunda lebih lama lagi.
Oke, there is no overaching plots di sini, but still apa yang menunggu para tokoh di akhir cerita benar-benar adalah sesuatu yang menohok. Dan juga karena film ini tentang kehidupan sehari-hari, maka beberapa sekuen adegan akan terasa repetitif. Kalian tahu, kayak ketika Moonee kerap mandi sambil maen boneka dan radio menyala keras, like “Oke, kami mengerti apa yang ingin disampaikan” tapi film terus mengulang memperlihatkan kembali adegan yang sama. Aspek yang kayak gini ini bisa sedikit melepaskan kita dari cerita. Maksudku, buatku sendiri, aku jadi ada kesempatan berpikir, ‘mungkin kalo kita diperlihatkan sedikit backstory tokoh-tokohnya instead, durasi jadi lebih efektif terpakai’.
Di luar itu, aku enggak melihat ada masalah yang benar-benar mengganggu. Penampilan akting film ini sangat meyakinkan dan ekspresif. Ketika mendengar orang menyebut film ini adalah salah satu yang terbaik di tahun 2017, aku manggut-manggut menyetujui. Literally dan figuratively, film ini seperti versi yang lebih berwarna dari film Siti (Film Terbaik FFI 2015). Dia berkelit menghindar dari komikalisasi, menjauh dari romantisasi, serta tak pernah berniat untuk mendramatisir secara berlebihan. Tone yang dicapai sangat berimbang. Hanya butuh kepedulian, sebenarnya, untuk kita menonton film ini. The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for THE FLORIDA PROJECT
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Kita tahu hidup penuh dengan misteri ketika kita melihat Nicholas Saputra berubah menjadi burung. Well, yea aku pikir dunia tidak bisa lebih aneh lagi sampai aku melihat senyuman bibir atas Superman. Begitulah hidup, kadang kita enggak mengerti. Hampir sering semua berjalan begitu berlawanan dengan yang kita rencana kita. Dengan yang kita harapkan. Satu tahun lagi, yang tidak akan bisa kita ambil kembali, memang telah berlalu. Akan tetapi, for what it’s worth, kita telah mengisinya dengan sebaik yang kita bisa. Kata film The Shape of Water sih, kita mesti bisa ‘berganti wujud’ sesuai dengan wadah, kayak air. Kalo ditaro di gelas, bentuknya kayak gelas. Kalo ditaro di mangkuk, bentuknya setengah bundar. Asal mangkok dan gelasnya jangan ditarok di tiang listrik. Nanti ditabrak.
Kita kudu fleksibel. Kemampuan yang kita punya, anggaplah sebagai kepingan-kepingan puzzle yang bakal kita gunakan untuk mengisi gambar besar, yang mana adalah kehidupan. Tugas kitalah untuk memasangkan kepingan-kepingan itu, menyusunnya, menjadi bentuk yang kita butuhkan saat sekarang. Dan ketika hidup mengganti pertanyaannya, puzzle tersebut kita rombak dan susun lagi. Ketika tahun berganti, kita bersiap-siap berusaha kembali.”
“My Dirt Sheet pun kembali memberikan penghargaan buat yang udah ter-gerrr sepanjang tahun. I love doing this, dan semoga kamu-kamu gak bosan membaca artikel awards ngasal ini setiap tahun.”
“Maka, sambutlah Rick dan Morty dari serial animasi paling hits se2017, Rick and Morty, untuk membacakan beberapa kategori pertama! Plok..plok..plok…”
<Lingkaran hijau kayak gel terbentuk di panggung>
<Rick dan Morty melangkah keluar dari dalamnya>
Rick: Wubba lubba dub dub, everybody!! Morty: Aw geeez, Rick, aku gak tahu bakal serame ini. A-a-apa rambutku oke? Bajuku? Oh no, aku pakai celana kan ya? Rick: Shut up, Morty. Kau memper..(burp)…malukan, kau mempermalukan dirimu sendiri. Selamat malam, Semuanya. Aku merasa terhormat telah… sial, aku belum terlalu sober untuk melakukan ini (burp!) Anyway, inilah nominasi untuk
TRENDING OF THE YEAR 1. Despacito Morty: Aku tahu ini! Mereka memutarnya di mana-mana, di sekolah, di-di mall Rick: Well, aku gak punya waktu untuk dengerin musik, Morty. Aku bekerja keluar-masuk universe untuk kepentingan yang jauh lebih baik. Morty: A-a-a-ku cuma bilang, Rick Rick: Ya? Jika sekali saja aku mendengar ini diputar di rumah, Morty. Sekali saja… Morty: Geezz…. 2. Fidget Spinner Rick: Anak-anak pada main ini, tapi tahu gak, Morty, aku menciptakan yang seperti ini 10 tahun lalu (burp) dan yang kuciptakan itu bisa berputar sendiri Morty: Tapi, tapi poin mainan ini memang kita putar untuk melepaskan stress, Rick Rick: Orang dewasa punya pelepas stress yang lebih baik, ya kan, guys? Ahahahak 3. ‘Love’ Finger Sign Rick: Kau ngarep bisa foto bareng Jessica dengan berpose kayak gini kan, Morty Morty: Enggak sih, aku gak gitu ngikutin gaya Kore.. Rick: Lanjut nomor 4, 4. Marsha Bengek Rick: Kau tahu nasehat “kau bisa jadi apapun yang kau mau asalkan terus berusaha” kan, Morty? Well, I’ll shoot you dead dan menggantimu dengan Morty yang baru kalo kau mulai ngikutin bikin video kayak gini Morty: ….. Rick: Kau tahu aku masih punya voucher Morty gratis kan, (burp), just – just don’t give me the reason to use it. 5. Salt Bae Morty: Semua orang bisa terkenal dengan hal-hal kecil yang unik Rick: Enggak, kau harus punya skill. Yang mana kau enggak punya, Morty. Tapi jangan khawatir, kakek hebatmu ini akan membantumu 6. Trash Dove Rick: Awas Morty, itu monster ungu dari Planet Teror! Morty: Hahaha, bukan Rick. Ini makhluk annoying dari planet facebook 7. Weird Eyebrows Rick: Awas Morty, itu makhluk Planet Freakazoid!!! Morty: A-a-a-ku pikir bukan, Rick. Makhluk Freakazoid jauh lebih normal dari alis-alis ngetren ini
Rick: Cuma segini? Morty: Yea, Rick. Mereka membuat nominasinya cuma tujuh biar sesuai sama nomer acara ini. Rick: (burp) bulshit, Morty. Mereka melewatkan satu hal yang jadi hits seantero multiverse. Benda itu harusnya menang. Morty: Apa yang kau maksud, Rick? Rick: Szeuchan Sauce, Morty! Sekarang mari kita lihat siapa yang mengalahkan ketenaran saus lezat tersebut <membuka amplop> Rick-Morty: Dan pemenangnya adalah….
Rick: I just don’t get it with this world, Morty. I just can’t. Morty: Mari move on ke kategori berikutnya, Rick.
GAME OF THE YEAR
Morty: Video games are so cool! Rick: Semua keren buatmu, Morty! A..a..aku gak percaya kau masih (burp) menggelinjang aja lihat teknologi terbelakang setelah semua petualangan yang kita lalui, Morty. Morty: A-a-a-aku suka petualangan, Rick. Aku suka sensasi adrenalin dan kejutan-kejutan seru. Denganmu, petualangan kita nyata. Tapi aku tetap lebih suka main video game aja, Rick. Karena kau tahu, di video game, kalo-kalo aku mati, aku masih bisa hidup lagi. Aku mati tidak dalam kesakitan, Rick, itu yang penting. Rick: Kau benar-benar anak ayahmu, Morty 1. Cuphead Morty: Ini udah kayak gabungan Contra dengan kartun Disney klasik jaman Miki Mos but not really. Game ini so hard it’s fun, Rick. Rick: …Kau bicara seperti loading yang kepanjangan, Morty…. 2. Getting Over It with Bennett Foddy Rick: Kelihatannya aneh banget.. Morty: Kalo yang ini game susah yang bikin stress, Rick. Kau certainly gak bakal bisa namatin ini, karena kau orang yang pemarah dan gak sabaran Rick: Kau benar, Morty. Mendengarmu saja aku sudah gak (burp) sabaran 3. Resident Evil 7: Biohazard Rick: Pembuatnya kebanyakan nonton Texas Chainsaw Massacre nih Morty: Tapi ini game horror yang psikologis, serem, dan semua-semuanya terasa sangat real, Rick. A—aku, aku gak berani main ini, pakek Virtual Reality. Salah satu yang terbaik dari seri Residen Evil 4. Sonic Mania Morty: Classic is the best, Rick. Old school is cool!! Rick: Aku ingat ketika namatin game orisinalnya ketika berumur 5 tahun, Morty. Apa yang sudah kau lakukan di umur segitu? Apa yang sudah kau lakukan di umur sekarang? Morty: … 5. Super Mario Odyssey Morty: Favoritku satu lagiiii!!! Konsep baru Mario di konsol terbaru Nintendo melahirkan pengalaman gaming yang super seru Rick: Ah, si tukang ledeng yang suka makan jamur. Partially, I can relate to that. If you know what I mean.. wubba-lubba-dup-dup!!! 6. The Legend of Zelda: Breath of the Wild Rick: Biar kutebak: satu lagi klasik yang digarap dengan penuh kejutan dengan teknologi terbaru yang kalian kira paling canggih, kan Morty: Ini masterpiece, Rick. Masterpiece! 7. Undertale Rick: Setelah semua gambar keren itu, kita balik ke 8-bit?? Morty: Ini salah satu game dengan konsep paling unik, Rick. Punya replay value yang gede karena ada banyak skenario. Kita bisa milih antara membunuh monster atau memaafkan mereka, cinta damai, Rick. Rick: Bukankah membunuh monster satu-satunya alasan kita main video game?
Rick: Kau sadar aku bisa bikin video game yang lebih baik, dengan teknologi yang lebih canggih kan? Morty: Ya. Rick: (burp) Kau sadar, ada video game tentang kita yang enggak masuk nominasi ini kan? Morty: Ya. Tapi aku gak keberatan. Oh aku gak sabar lihat siapa pemenangnya…
Morty: You should try playing this one, Rick. Seriously. Dan mungkin, mungkin, kau akan melihat bahwa kekerasan bukan satu-satunya jal…
<Morty belum selesai ngomong, Rick sudah membuka portal dan menghilang ke dalamnya. Morty lantas menyusul, sambil pasang tampang nyengir-gaenak>
“Untuk mempersembahkan BEST MUSICAL PERFORMANCE, sambutlah…” Elias: Who wants to walk, with Elias!! Elias: ….. Elias: Mohon simpan tepuk tangan kalian, hingga aku selesai bernyanyi
<loud boos>
Aiden English: Hem hem… Tahu kah kamuuuu~ hari apa sekarang, Elias? Elias: Apapun itu, sekarang bukan Rusev Day! Aiden English: You know what? You’re right. Sekarang adalah hari di mana… Penampilan musik terbaik dianugerahi!!
<tepuk tangan penonton>
Elias: Lalu kenapa kita, dua penyanyi dan pegulat hebat, tidak termasuk di dalamnya? Aiden English: Karena oh karena, temanku, orang-orang di sini tidak bisa menghargai talenta!!
<Boo keras lagi>
Aiden English: Lihat saja nominasi-nominasi ini 1. Baby Driver “Was He Slow?”
Elias: elektronik dan mash-up itu sampah dibanding melodi dan riff gitarku Aiden English: exactly! 2. Barden Bellas “Toxic”
Elias: Bagaimana pendapatmu soal grup akapela ini, teman? Aiden English: Payah. Mereka kekurangan sesuatu yang penting; suara bass klasik seorang pria seperti Aiden English!! 3. Ibu “Kelam Malam”
Elias: Oke, yang tadi itu… serem, sumpah. Tapi bisa lebih baik kalo aku yang bawakan. Dan kugubah menjadi lagu country. 4. Kurt Angle “Sexy Kurt”
Aiden English: Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, lihatlah contoh penyanyi dan pegulat yang buruk! 5. Lego Batman “Who’s the (Bat)Man?”
http://www.youtube.com/watch?v=oz-UwNJ2gh0
Aiden English: hahahahahahahha…. Elias: <menyipitkan mata, memandang marah> Aiden English: …ahaha. Eh. Lucu sih, tapi bego. Sangat bego. Rap itu lagu kaum rendahan. 6. Lisa and Homer “Pokemon”
Aiden English: Kau tahu siapa yang bernyanyi lebih baik? Elias: Siapa? Aiden English: Jigglypuff 7. Phillip and Anne “Rewrite the Stars”
http://www.youtube.com/watch?v=90MG479FffU
Aiden: I wish ada Jigglypuff di sini. Elias: Karena suaranya lebih bagus? Aiden: Supaya aku bisa tertidur dan gak dengerin para nominasi ini!
Elias: Setuju. Wait till after you’ve heard pemenangnya.
<merobek amplop>
Elias: Sepertinya lagi musim duet.. Aiden English: Yaa… dan aku masih… well, umm, since Rusev gak bisa nyanyi… jadi.. bisa dibilang, aku masih solo Elias: Kamu mau….. walk with Elias? Aiden English: …. I do.
<tepuk tangan penonton ngecie-ciein, Elias dan English pergi sambil gandengan tangan>
“Membacakan nominasi UNYU OP THE YEAR, inilah…. Poppy!” “Yea, That Poppy!!!”
Poppy: <berdiri diam di podium> Poppy: …… Poppy: …… Poppy: Kecantikan. Poppy: Kecantikan bukanlah segalanya. Poppy: Namun segala hal di dunia adalah cantik. Poppy: Apa kalian cantik? Poppy: Apa ‘kecantikan’ itu artinya ‘terlalu cantik’? 1. Alessia Cara Poppy: Her voice is powerfully beautiful. 2. Alexa Bliss Poppy: Her in-ring persona is fiercely beautiful. 3. Anya Taylor-Joy Poppy: Her acting and her look are equally as unique and beautiful. 4. Elle Fanning Poppy: Her aura is innocently beautiful. 5. Katherine Langford Poppy: Her pain on the Thirteen Reasons Why was so breathtakingly beautiful. 6. Kristen Stewart Poppy: Her expression is hauntingly beautiful. 7. Lily James Poppy: her presence is magically beautiful.
Poppy: Semua cewek cantik dengan cara mereka sendiri Poppy: Tapi kecantikan tidak bisa diukur. Kecuali oleh waktu. Poppy: Kalian semua cantik. Seperti aku. Seperti lampu itu. Seperti amplop ini. Poppy: <melihat amplop pemenang, tanpa membukanya>
Poppy: Find your wild thing, the scar to your beautiful. Poppy: <tersenyum lamaaaaaaa sekali>
DUAR!!!!
<Kilat menyambar, dan turunlah Thor Odinson tepat di sebelah Poppy>
Thor: Hai, aku, ehm, Thor. Kau tahu, Dewa Petir yang perkasa. Aku diutus untuk menemanimu membacakan nominasi COUPLE OF THE YEAR. Bukannya aku berharap kita bisa jadi pasangan juga sih… what? Poppy: Hai, aku Poppy. Thor: Yea, aku sudah dengar. Kau, ehm, kau suka rambut baruku? Poppy: Rambut adalah mahkota yang merupakan perpanjangan dari kecantikan kita. Thor: ….. Kau bercanda? Kok ngomongnya aneh banget sih, dari realm mana dirimu? Apa kau Dewa atau semacamnya? Poppy: Aku dari youtube. Matamu indah, besar kali. Bolong pula. Thor: …..umm, ah yeah, I’m not sure this is working, mari baca saja nominasinya
1. Belle dan The Beast Thor: Dongeng dari Bumi yang indah, aku pernah dibacain ini sama J.. Jane Poppy: Berat nyebut nama mantan 2. Elise dan Amphibian Man Poppy: Indahnya cinta adalah, kita dan pasangan saling memenuhi satu sama lain sebagai makhluk hidup Thor: …aku masih gak mengerti maksudmu apa 3. Jeff dan Erin Baumann Poppy: Stronger Couple. Cinta itu menerima apa adanya. Thor: ….bahkan dengan sebelah mata dan rambut cepak? Poppy: Bahkan dengan sebelah mata dan rambut cepak. 4. John Cena dan Nikki Bella Thor: Nah, ini baru aku mengerti. Pasangan yang sangat kuat. Katanya mereka lamaran di tengah ring, manis sekali. Poppy: Semua hal yang manis adalah hal yang kuat. 5. Kumail dan Emily Thor: Umm…aku jadi penasaran orangtuamu siapa. Aku anak Odin. Poppy: Aku terlahir dengan cinta. Orangtuaku adalah cinta dan kasih. Thor: Oke. Kau aneh. 6. Lala dan Yudhis Thor: Bahkan buat pandanganku, dan aku dari dunia yang lain, hubungan Lala dan Yudhis ini benar-benar gak sehat. Poppy: …. Thor: Kamu gak mau mengomentariku dengan kalimat aneh lagi? 7. Raisa dan Hamish Thor: Aku dengar katanya pasangan ini udah matahin hati banyak penggemar Poppy: Hatinya patah seperti Palumu? Thor: …..
Poppy: Jangan sedih, Thor teman baruku, cinta harus diselebrasi Thor: Kamu benar. Dan pemenangnya adalah
Poppy: The shape of love is beautiful.
Thor: Oke, karena rekanku omongannya aneh tingkat dewa, kita langsung saja bacakan nominasi buat kategori selanjutnya,
THE MOST ANNOYING QUOTE Poppy: Hai, aku Poppy. Thor: Please… Poppy: Hi, I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Thor: ….. dan nominasinya ADALAAAAAHHHH
1. “Baby Shark doo doo doo, Baby Shark doo doo doo”- Baby Shark Song Poppy: HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY 2. “Cash me ousside how bow dah”- Cash Me Outside Girl Poppy: Hi I’m poppy. Hi I’M POPPY. HI I’m PoPPy. hi I’m poppy. 3. “Delete! Delete! Delete!”- Woken Matt Hardy Poppy: HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. 4. “Eta terangkanlah”- lirik lagu Poppy: Hi I’m. Poppy. Hi. I’m Poppy. Hi. I’m. Poppy. 5. “Kids jaman now”- various netizen Poppy: Hi saya Poppy. Hai I’m Poppy. Hi aku Poppy. Hai gue Poppy. Hai ogut Poppy. 6. “Nikahi aku, Fahri”- Keira Ayat-Ayat Cinta 2 Poppy: Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Thor: Bunuhi aku, Poppy 7. “Wubba lubba dub dub!”- Rick Poppy: Hi, I’m Poppy! Hi, I’m Poppy! Hi, I’m Poppy! Hi, I’m Poppy!!!!!
Thor: Woooaarghhhhh, cukup aku nyerah. Aku gak bisa lanjutin lagi bareng cewek ini Poppy: Hahahahahaha Poppy: Oh Brother, I got you so good. Poppy: Ini aku (menarik lepas sesuatu dari lehernya, ternyata wajah Poppy adalah topeng, dan di balik topeng itu ternyata Poppy adalah….) Thor: LOKI!!!! Loki: ahahahahaha kena, deh Thor: Grrrr, rasakan petirku! Loki: Eh tunggu-tunggu, ini pemenangnya belum diumumiinnnn Thor: Bodo, I’m so mad right now Loki: Oh oke pemirsa, pemenangnya adalah
DUAR!!
(Thor dan Loki menghilang setelah petir besar menyambar panggung)
“Untuk membacakan BEST CHILD CHARACTER, sambutlah bocah-bocah yang gak kalah ajaib ini; Annabelle, Chucky, dan Sabrina!” Annabelle: Ah, lihatlah ada begitu banyak jiwa yang bisa diajak main-main Sabrina: Seandainya kita masih anak-anak beneran yaa hiks Chucky: Eh tunggu, aku bukan anak-anak! Aku perampok yang masuk ke badan boneka. Aku ini jahat. Pembunuh. Orang dewas tulen! Annabelle: sudah-sudah, gak jadi soal toh. Kita cuma jiwa-jiwa sekarang. Chucky: tapi kita bisa bunuh yang baca kan, please Sabrina: nanti ya kak Chucky, kita baca nominasi dulu yaaa, ini tokoh anak-anak yang paling berkesan se2017 1. Auggie – Wonder Chucky: wow dia kayak model live-action dari badanku Annabelle: iya dia live, kamu mati Sabrina: hihihi 2. Baby Groot – Guardians of the Galaxy 2 Sabrina, Annabelle, Chucky: CUTE! 3. Ian – Pengabdi Setan Sabrina: dia salah satu dari kita, guys Chucky: oh yea, apa senjatanya? Upil? 4. Janice – Annabelle: Creation Sabrina: lihat, Bee, itu anak yang kamu rasuki Chucky: yea dan dia hantu yang lebih hebat daripada mu Annabelle: kamu nantang ya? 5. Laura – Logan Chucky: senjatanya kereeeenn, dia boleh jadi anak buahku Annabelle: pisaumu tampak seperti agar-agar dibandingkan kukunya hihihi 6. Mary Adler – Gifted Sabrina: anak idaman orang tua, nih Annabelle: baik, cantik, pinter, dan hidup gak kayak kita 7. Miguel – Coco Chucky: anak ini pergi ke dunia orang mati dan keluar hidup-hidup? Hantu Mexico payah semua!! Sabrina: dia penyanyi yang berbakat sih Annabelle: dia immortal!
Chucky: kita bunuh saja yuk yang menang, pialanya kita ambil Sabrina: setujuuu <ngeluarin gunting taman dan perkakas lain> Annabelle: oke, siap, inilah pemenangnyaa
Sabrina:…. Oh aku gak tega ih Annablle: Auggie udah kayak wakil dari kita, bahwa tidak ada yang cacat – semuanya ajaib Chucky: Well, yea, aku pun gak semangat membunuh anak yang terlalu baik Sabrina: jadi kita nyanyi Cita-Cita aja nih? Annabelle, Chucky: NOOOOO!!!!! <lari ngeloyor ke belakang panggung>
Kai: Kematian adalah hal yang menyedihkan. Untuk setiap jiwa yang gugur, ada paling tidak satu jiwa yang merasa kehilangan. Jupe, Oon Project Pop, Pak Bondan, Eko DJ, Nenek Laila Sari, Dusty Rhodes, Jimmy Snucka, Superman.. kerasanya udah devastating. Itu baru satu orang. Bagaimana dengan korban perang, dengan Bom Manchester di konser Ariana Grande, dengan pengeboman London Bridge, dengan penembakan di Las Vegas. Kematian untuk dikenang. MOMENT OF SILENCE yang kita lakukan perlu, namun jangan sampai kita lupa untuk hidup. Jangan sampai kita takut. Karena, hanya dengan takut, kita lemah. Mengheningkan Cipta, mulai!
“Ladies and Gentlemen, bintang dari American Horror Story: Cult, dialah: Kai Anderson”
Kai: Dunia sudah dikendalikan oleh ketakutan, bahkan sampai hantu pun takut keluar. Babadook malu karena diejek sebagai ikon LGBT. Kita harusnya bebas memakai apa yang kita mau. Tidak perlu takut dilecehkan. Kalian adalah diri kalian berpakaian. Lihat aku, rambut aku biru. Dan aku bersumpah dengan pinky promise aku tidak akan mengubah gayaku berpakaian. Betapa terhormatnya bagiku untuk membacakan FASHION OF THE YEAR, karena fashion itu sama seperti politik; Demokrasi, namun harus ada yang mengarahkan!
1. Gaun Cetar Mimi Peri 2. Kaos nWo Red Wolfpac Kendall Jenner 3. Kumis ala Poirot 4. Male Romper 5. Pennywise Costume 6. Sarung Tangan Alexa Bliss 7. Thrasher Clothes
Kai: Oke aku akan memburu yang tadi cekikikan melihat nominasinya. Kai: Pemenangnya adalah
Kai: Ah, sarung tangan ini pas banget ku pakai bersama topeng di serial ku. Kalian semua, hati-hati pulang ke rumah. Kejahatan lagi meningkat. Pastikan kalian aman terkunci di rumah masing-masing setelah jam sepuluh malam.
Kai: Kategori berikutnya, ah WONDER WOMAN OF THE YEAR, kalo kalian nonton serial American Horror Story tahun 2017, kalian pasti tahu aku kalah sama cewek. Feminisme sudah berada di titik terkuat sekarang. Mereka bukan lagi mau sejajar sama pria, mereka sudah sejajar. Tapi bisakah mereka mengambil alih? Well, tujuh nominasi ini adalah wanita-wanita kuat seperti musuhku. Dan kuakui, I fear them.
1. Billy Jean King Kai: Legenda tenis yang memperjuangkan petenis wanita dapat bayaran yang sama, dan actually mengalahkan petenis pria. 2. Diana Prince Kai: Award ini dijuduli pakai namanya. Pahlawan perang dulu, kini, dan nanti 3. Lorraine Broughton Kai: Ahli menyamar dan martial arts, kau enggak akan mau Atomic Blonde ini jadi lawanmu. 4. Marlina Kai: Berkuda membawa kepala orang yang mencoba memerkosanya. Aku suka cewek ini, dia membawa ketakutan! 5. Mbah Sri Kai: Kau tidak pernah terlalu tua untuk mengejar kebenaran 6. Mildred Kai: Beranilah mempertanyakan sistem. Gunakan media untuk menyibak kebenaran, paksa dengan kebencian, kalo perlu. 7. Mother Kai: Selalu memberi sampai tidak ada lagi yang bisa ia beri. Luar biasa.
Kai: Tujuh wanita yang menakjubkan, bukan. Dan pemenangnya adalah Kai: Aku bersyukur tidak perlu berhadapan dengan orang ini, atau bahkan dengan wanita manapun. I’ll go back to my hole now, dan akan kembali saat kalian tidak mengharapkannya. Selamat malam.
<Penonton pada ragu mau tepuk tangan atau enggak, hening awkward mengiringi kembalinya Kai ke belakang panggung>
“Pemirsa alias Pembaca, sambutlah satu kelompok anak-anak dari tahun 1980an yang akan membacakan nominasi kategori FEUD OF THE YEAR My Dir…. Eh, apaan tuh ribut-ribut?”
<beberapa sosok bersepeda tampak kebut-kebutan menuju panggung>
Genk It: Yes, kami duluan Genk Stranger Things: Heh, siapa sih kalian, yang dipanggil kan kami Genk It: Yeee, itu katanya anak-anak dari tahun 1980, ya kamilah tim anak-anak yang paling legendaris. Kalian cuma peniru Genk Stranger Things: Losers Club diem aja ya di sana, kami Winner Club Genk It: eeeee ngajak berantem, ayo Beverly, ketapel merekaaa Genk Stranger Things: El, toloooongggg!!
1. Billy Jean King vs. Bobby Riggs 2. Bumi Bulat vs. Bumi Datar 3. Dian Sastro vs. Tangan di Bahu 4. Pickle Rick vs. Jaguar 5. Setya Novanto vs. Tiang Listrik 6. Tere Liye vs. Foto Selfie 7. Thor vs. Hulk
<Eleven dan Beverly datang sambil makan wafel pake ketapel> Eleven: udah, udah, ngapain berantem sih? Beverly: tau nih, Pennywise ama Demogorgon aja pada akur kok Eleven: biarin nominasi ini aja yang berantem. Nih kita baca bareng-bareng yaa
<Mereka semua pun ambil ancang-ancang. Namun sebelum sempat bernyanyi, geng anak-anak kecil itu diusir keluar sama satpam>
“Untuk kategori BEGO OF THE YEAR dan BEST MOVIE/SERIAL SCENE, sambutlah superhero yang merupakan simbol dari harapan umat manusia di dunia, ehmm lebih tepatnya, sambutlah bagian dari superhero harapan manusia, dibangkitan oleh kecanggi han teknologi, inilah… Kumis Brewok Superman!”
Supermis: ehem, ehem… oke mungkin aku terlihat memalukan kayak plankton pakai wig, tapi sekarang aku sudah lebih terkenal dari Superman sendiri. Kalian boleh memanggilku Supermis. Super Kumis. Aku pernah dicall buat jadi ambassador Wak Doyok, tapi aku tolak. Baru ini loh kemunculan publik pertamaku, beruntunglah kalian. Supermis: oke ehem.. karena tampang Superman yang bego itulah aku kebagian baca nominasi BEGO OF THE YEAR, dan inilah mereka:
1. Fitsa Hats Supermis: Pintar-pintarlah dalam berbahasa, jangan taunya makan micin doang 2. Ikan (Tong)-kol Supermis: Oke aku berani bertaruh badanku ubanan semua; anak itu sengaja ahahha! 3. Kue khas kota ala selebriti Supermis: Inilah ketika batas antara tradisional dengan kekinian itu udah gak ada lagi hihi 4. Oscar salah ngomong Supermis: Ini juga kayaknya sengaja dah biar jadi bahan omongan xD 5. Patung Harimau Supermis: Ini kayaknya model patungnya si Tigger yang di Winnie the Pooh deh ahahaa 6. Peta Film Ular Tangga Supermis: Pantes aja nyasar, naik gunung kok petanya kayak peta kawinan 7. Skip Challenge Supermis: adek-adek, don’t try this at anywhere
Supermis: dan paling bego di antara semua adalaaaah Supermis: makanya kalo bikin film itu, lakukanlah riset yang bener. Jangan sampai hasilnya jadi malu-maluin. Eh tapi, mereka jadi menang award, berarti gak malu-maluin banget dong ya?
Supermis: Berikut ini nih contoh film-film yang digarap dengan serius, dengan niat. Jadinya mereka punya adegan-adegan yang dahsyat, meyakinkan, seru. Mari kita lihat siapa aja nominasi untuk BEST MOVIE/SERIAL SCENE 1. Baby Driver’s Opening Getaway
Supermis: Ini udah paling keren, kayak beneran bisa dilakukan di jalan raya. Ntar kucobain aahh 2. It’s Pennywise Introduction
Supermis: sampe banyak dijadiin meme nih adegan, serem ! 3. Justice League’s Superman Kicking Ass
Supermis: coba deh nonton ini sambil puasa, dijamin sukses menahan lapar 5. Star Wars: The Last Jedi’s Ren and Kylo Team Up
http://www.youtube.com/watch?v=tzQB8Qfq8Us
Supermis: salah satu battle terkeren di Star Wars nih, ngetease tag team banget 6. Thirteen Reasons Why’s Hannah Baker Suicide
http://www.youtube.com/watch?v=OxBnNOxOKPk
Supermis: adegan paling bikin lemes, gak ada lawan! 7. Wonder Woman’s Amazon Battle
http://www.youtube.com/watch?v=bIfPq3biW_o
Supermis: kamera dan aksinya sama-sama keren!!
Supermis: Gini-gini aku banyak nonton film loh. Paling benci film pembunuhan di kereta api karena ada kumis yang sok keren. Oke, pemenangnya adalah Supermis: beneran deh, tulangku menggigil nonton adegan ini, dan aku bahkan gak punya tulang!
“Hahaha, oke terima kasih buat Supermis dan para pembaca nominasi yang sudah sudi hadir di sini. 2017 kemaren memang keren, quirky but in an awesome way. Aku sendiri gak pernah nyangka aku akan membuka kafe eskrim. Sampai-sampai kadang kalo jalan pulang dari bioskop panas-panas, aku mikir “duh enak makan eskrim nih” dan ternyata baru aku sadar “Hei, I own one!” Hidup kadang impulsive seperti itu. Bukannya enggak ada masalah pas aku mau nyambut kontrak bangunannya dari temenku. Aku literally galau, berminggu-minggu duduk di atap sampai pagi.. Dan lima hari sebelum pindahan ke kafe aku ‘kabur’ ke Solo. Crashing lokasi syuting film mentorku, Mas Ichwan Persada. Untung di sana pada welcome, aku tinggal bareng ngikutin para kru. Aku dibolehin nanya-nanya pembuatan film kayak orang bego. Jadi, selain dapat tempat curhat soal pilihan hidup ekstrim menjadi buka eskrim, aku juga dapat kesempatan belajar, dan teman-teman baru dari kru dan pemain. Dan aku semakin gak nyangka, aku menutup tahun 2017 dengan ngobrol gugup di depan sejumlah insane perfilman tanah air. I guess that was MY MOMENT OF THE YEAR. Blog ini ternyata ada yang baca, dan dinilai worth untuk sebuah piala. Terima kasih, buat kalian yang udah suka mampir dan diskusi film di blog ini, semoga ke depannya bisa lebih baik lagii”
“Untuk penutupan, seperti biasa kita serahkan award final SHOCKER OF THE YEAR, hal-hal yang udah bikin kita surprise, dan sebelum melihat pemenangnya, inilah para runner-ups:” 1. Mickey Mouse Club Returns! 2. Serangan virus Ransomware Wannacry!! 3. Taylor Swift trying to be mean!? 4. Undertaker pensiun!!! 5. Yugioh ganti format!?! 6. Nama depan Schmidt terungkap! 7. Amerika menganggap Yerusalem sebagai ibukota Israel!!! 8. Sasha Banks dan Alexa Bliss mecahin rekor pertandingan gulat wanita pertama di Arab!! 9. Kasus pelecehan di Hollywood terungkap! 10. Chester Linkin Park bunuh diri!!
“Daaaan the most shocking thing adalaaaahh” “Selama ini kupikir cewek loh, well yea, sepertinya memang kita jangan jump into conclusion gitu aja mengenai banyak hal. Pastikan dulu. Cari tahu sendiri.”
“Semoga tahun 2018 menjadi tahun di mana Bumi menjadi tempat hidup yang lebih baik. Atau kalo enggak, semoga mungkin kita sudah bisa pindah ke Mars.”
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are…
Don’t be a Loser
We are the winner of Piala Maya Best Movie Critic of 2017 Be Jealous.
“The real meaning of greedy is taking more than you give.”
Ketika para ilmuwan dalam drama komedi satir Downsizing berpikir mereka sudah mengatasi masalah lingkungan dan populasi di seluruh dunia dengan menyusutkan umat manusia, mereka tetap tidak bisa mengerdilkan pertanyaan besar yang digantungkan Tuhan di atas kita semua; kapan kiamat itu akan tiba. Dan dapatkah kita lari darinya.
Downsizing memulai ceritanya dengan sangat luas. Film ini menawarkan premis yang menarik saat kita melihat orang-orang berjas putih itu berhasil menemukan cara untuk memperkecil ukuran tubuh manusia. Sungguh sebuah prospek hidup yang sangat cerah. Karena dengan menjadi kecil, orang-orang akan butuh lebih sedikit makanan, minuman, dan bahkan perhiasan. Space tempat tinggal pun tentunya dapat ‘dihemat’. Lingkungan dapat lebih mudah dilestarikan. Paul Safranek melihatnya dari sisi ekonomi; dengan mengecil dia dan istrinya dapat tinggal di rumah mewah yang secara normal tidak bisa mereka beli. Cerita Downsizing pun menyusut saat kita mengikuti Paul yang akhirnya memutuskan untuk ikutan program LeisureLand; bersama sang istri dia akan pindah ke dunia Kecil. Dari masalah environment menjadi pandangan personal mengenai apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sebagai makhluk yang berkomunitas, Downsizing mencoba untuk menantang pikiran dan imajinasi kita semua, hanya untuk mengerdilkan sendiri ceritanya.
apapun yang besar tentunya akan semakin besar kalo kita mengecil, apalagi masalah
Aku bisa terus menggunakan istilah mengecil, mengerucut, dan semacamnya untuk mendeskripsikan bagaimana perasaanku ketika menonton film ini. Maksudku, aku benar-benar kecewa lantaran film ini sebenarnya punya begitu banyak potensi. This movie could be much BIGGER than this. Babak pertama film sungguh menggugah minat dan imajinasi. Film bahkan dengan seksama menuntut kita melihat proses penyusutan manusia itu berlangsung. Begitu detilnya sehingga semua langkah sci-fi itu terlihat realistis, even plausible buat penonton yang kurang suka ngayal. Menurutku, film bisa aja dimulai dengan adegan di rumah sakit itu, kita melihat orang-orang dicukur, gigi mereka diperiksa, kemudian dibius sebelum dimasukkan ke dalam kamar khusus, semuanya teratur dan sangat metodikal. Dengan begini fokus kita akan langsung ke tokoh Paul, di mana kita melihatnya tersadar dan mendapati menunggu kedatangan istrinya.
Seperti film-film sci fi yang bagus, Downsizing awalnya membahas banyak untuk kita pikirkan mengenai sistem dunia yang sudah diubah oleh narasinya. Kita mengerti bahwa ‘orang-orang kecil’ itu enggak bisa berfungsi tanpa orang-orang normal, thus membagi dua kelompok orang ini pun tentunya punya pertimbangan sendiri. Film membuat proses downsizing tersebut punya ‘kekurangan’; beresiko kematian, punya syarat khusus, serta digambarkan ada golongan yang enggak setuju sama penciptaan teknologi ini. Kita lihat ada seorang pria di bar yang mengonfrontasi Paul dan istrinya soal keputusan pindah hidup sebagai manusia kecil. Paul sendiri bahkan mengalami suatu hal sehubungan dengan pandangan mengenai downsizing, aku gak akan bocorin kejadian lengkapnya, yang jelas adegan tersebut memisahkan Paul dengan istrinya selamanya, karena menurutku adegan yang jadi plot poin pertama tersebut benar-benar kejutan yang menambah banyak bobot drama.
Paul menyangka dengan menjadi kecil, dia bisa hidup senang, sekaligus menjadi pahlawan. Begitu jugalah film ini berpikir. Dengan menjadikan tokoh utamanya kecil, film menyangka mereka punya alasan untuk melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sempat mereka bahas di babak awal. Nyatanya, kita tidak pernah menoleh ke sana lagi lantaran cerita sudah berubah mengenai kehidupan Paul di kehidupan barunya. Jika bukan karena prop dan desain produksi yang unik, seperti mahkota bunga ukuran asli yang jadi hiasan jambangan ataupun duit dolar ukuran normal yang dipajang di dinding sebagai hiasan, kita bisa saja sekalian melupakan Paul sudah menjadi makhluk liliput yang enggak imut. Di sinilah Downsizing menyeberang menjadi film sci-fi yang enggak bagus; kita kembali ke masalah basic dengan melupakan perubahan gede yang dilakukan oleh universe ceritanya.
from hero to zero cm
Film terlihat bersusah payah mengakomodasi cerita dan pesan sosial yang berusaha ia sampaikan. Kalolah boleh menunjuk, sekiranya kelemahan itu ada pada tokoh utamanya. Aku belum pernah melihat Matt Damon sedatar dan seboring ini dalam film komedi. Dia benar-benar menghidupkan tokohnya – dia melakukan apa yang disuruh oleh narasi. Dia mematuhi saja, sama seperti yang dilakukan oleh Paul. Tokoh Paul memang diniatkan terdiskonek dari kehidupan sekitarnya, karena dia begitu terpukul secara mental, namun cerita menuliskan seolah pilihan orang ini adalah siapa yang paling baik untuk dia ikuti.
Tokoh-tokoh di sekitar Paul tak pelak punya karakter yang lebih menarik. Tetangga Paul, seorang yang kebanyakan berpesta tapi bukan orang yang brengsek, misalnya. Dia mengajak Paul menikmati hidup, dialah yang pertama kali diikuti oleh Paul. Kemudian ada wanita dari Vietnam yang beberapa tahun lalu ngetop karena kabur dari penjara dengan bersembunyi dalam kotak TV. Paul bertemu dengan tokoh yang instantly mencuri perhatian ini, dan kita lihat gimana ‘kelemahan’ Paul – dia kinda stuck dengan si wanita. Kemudian Paul diberikan pilihan untuk mengikuti penemu teknologi mengecil itu sendiri ke dunia utopia. Mau tahu bagaimana cerita membuat Paul memutuskan pilihan final ini? Dengan seolah Paul malas berjalan kaki sebelas jam ke Utopia. Jadi, dia balik dan membuat keputusan yang benar. Film ini mengontraskan Paul yang ingin hidup nyaman dengan orang-orang yang actually berjuang untuk hidup, akan tetapi ada begitu banyak hal menarik lain sehingga membuat kita enggak pernah benar-benar peduli sama Paul. Bahkan aku lebih peduli sama istrinya; aku berharap bakal melihat Kristen Wiig lagi, tapi tokoh ini dimunculin lagi hingga akhir hayat film.
Metafora lingkungan pada film ini menyampaikan dengan subtil satu pandangan yang teruji; bahwa manusia adalah makhluk yang boros dan rakus. Ketika sumber daya menipis, solusi yang tampak lebih menarik buat kita adalah dengan menjadi mengecil yang berarti kebutuhan kita ikut mengerucut sehingga kita bisa menikmati sumber daya lebih lama. Ini bukanlah soal penghematan, melainkan hanya sebuah langkah untuk terus memperpanjang kesempatan. Rakus sebenarnya rakus adalah ketika kita mengambil lebih banyak dari yang kita beri.
Ada banyak alasan untuk menyukai film ini. Actually aku berusaha banget untuk suka. Dialog yang diucapkan tokohnya penuh oleh kesadaran. Humornya cerdas, satirnya bikin kita miris. Dunia film ini dibangun dengan kreatif, sense bertualang ke tempat yang baru juga turut hadir. Namun film ini menjauhi apa yang membuatnya begitu unik dan cerdas. Dari apa yang tadinya adalah mengubah dunia, berubah menjadi transformasi hidup seorang manusia yang tidak benar-benar menarik. Ini seperti kita melihat pusaran yang dinamik, kemudian dipaksa untuk melihat sesuatu yang berdiri diam di antara dinamika tersebut. Film ini salah memilih fokus. Dari sekian banyak hal menarik di sana, dunia yang penuh dengan tokoh-tokoh yang intriguing – dengan penampilan singkat dari banyak aktor pendukung yang juga lebih menarik – film ini malah menjadi cerita tentang reaksi manusia mencari apa yang terpenting dalam hidupnya yang hampa. The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for DOWNSIZING.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Dengan wajah berlumuran tanah Afghanistan yang hitam, Chris Hemsworth berlindung di balik puing-puing. Dia baru saja terjatuh dari kuda tunggangannya, yang sekarang pergi entah ke mana. Hemsworth tidak bisa mencemaskan itu sekarang, karena kesebelas pasukannya – kesebelas teman dekatnya – juga tidak ia tahu keadaan mereka bagaimana. Para Taliban yang selamat dari jatuhan bom dari pesawat, sedang melakukan serangan balasan secara tiba-tiba. Pasukan Amerika boleh saja menguasai udara, namun perang dimenangkan di darat. Dengan tank Taliban menyerbu balik. Pasukan sekutu kocar-kacir. Hemsworth menembaki pasukan musuh dengan marah. “Nah, kau punya Mata Pembunuh sekarang,” pemimpin pasukan Afghanistan yang jadi sekutu memujinya.
Ada banyak momen intens seperti demikian pada 12 Strong. Film perang garapan sutradara baru Nicolai Fuglsig ini paham betul cara menggambarkan tokoh protagonisnya sebagai pahlawan aksi. Adegan-adegan kuat yang merefleksikan perjuangan, yang membuktikan kehebatan juang dari pasukan pertama Amerika setelah peristiwa 9/11 itu akan membuat kita ikut merasa berdebar. Chris Hemsworth di sini memainkan tokoh yang beneran ada, dan dia sudah siap untuk semua aksi heroik tersebut. Dia adalah Nelson, seorang kapten yang belum pernah turun ke medan pertempuran. Namun kini, dia mengajukan diri untuk memimpin sebelas pasukannya ke tanah konflik di Afghanistan demi mengacaukan rencana teroris; menghambat pergerakan pasukan teror yang berencana menjadikan negara tersebut training ground sebagai semacam Hogswart buat teroris, kali’ . Dua belas orang ini adalah simbol perlawanan dan harapan kemanusiaan. Mereka, hanya berkuda saja, berjuang melawan tank baja. How cool is that? Dan ini nyata!
Kuda lawan tank, eng-ing-engg!
Secara mengejutkan, meski memang fokus film ada pada ledakan dan aksi yang terlalu artificial, filmnya punya pengarakteran yang dangkal dan kebanyakan berangkat dari trope-trope usang film perang, sesungguhnya cerita punya daging yang membuat film ini lumayan menarik. Bagian terkuat cerita bukanlah pada saat tank-tank itu meledak, melainkan pada saat cerita membahas kemanusiaan dari perang. Di Afghanistan, pasukan Kapten Nelson dibantu oleh sepasukan pejuang lokal yang membenci Taliban, sekaligus juga gak menganggap Amerika benar-benar sebagai teman. Jadi, Nelson harus berusaha menjalin komunikasi dengan mereka. Kalian tahu, mencoba mencari tahu apakah pasukan ini pantas dipercaya, mempelajari motif mereka, berusaha menyatukan dua kepentingan yang berbeda. “Hari ini kita teman. Besok bisa saja jadi musuh.” Begitulah persisnya situasi yang mereka hadapi. Jelas, ada perbedaan kebudayaan di antara kedua kubu yang bersekutu tersebut. Film menunjukkan ini lewat dialog antara Nelson dengan pemimpin pasukan sekutu, Abdul Rashid Dostum. Kita bisa lihat kedua orang ini belajar banyak dari masing-masing soal kepemimpinan. Soal motivasi perjuangan yang mereka lakukan. Soal perang.
Kata siapa mereka melakukannya karena berani mati? Nelson dan teman-teman, mereka ketakutan setengah mati. Mereka ingin pulang dengan selamat ke keluarga yang dicinta. Makanya mereka jadi berani. itulah yang membuat mereka menjadi begitu hebat. Reward mereka adalah kemenangan. Berbeda dengan pasukan Taliban yang tidak punya stake, karena bagi mereka reward mereka ada di saat setelah kematian. Kita justru akan membuat yang terbaik jika kita punya sesuatu yang ingin dipertahankan, jika ada suatu kehilangan yang kita takutkan.
Aku bisa memahami kesulitan yang diambil oleh film ini dalam menggambarkan bahaya. Maksudku, ini diangkat dari kisah nyata dan kita tahu apa yang terjadi, jadi ya akan sedikit ‘kebegoan’ yang kita rasakan ketika tembakan para Taliban itu enggak ada yang kena. Mereka dibikin udah kayak Stormtrooper demi kebenaran cerita. Tetapi pada akhir film, kita toh masih bisa menghargai perjuangan para tokoh. Kita masih melihat mereka sebagai pahlawan. Ada juga beberapa adegan yang bikin kita ngeri akan keselamatan mereka. Dan kebanyakan hal tersebut datang dari pengorbanan para tokoh yang lain. Pemimpin pasukan Taliban dalam film ini, bandit gedenya, diperlihatkan sebagai benar-benar jahat. Pakaiannya aja udah hitam dari ujung kaki sampai ke turban. In fact, pertama kali kita melihatnya, orang ini sedang mengeksekusi mati seorang wanita di depan anak-anaknya. Apa dosa si wanita? Dia ngaajarin anak-anak ceweknya itu ilmu pengetahuan. Jadi, tidak banyak dilema moral yang dihadirkan. Tipikal pahlawan lawan penjahat. Orang yang sedikit ‘baper’ akan melihat film ini sebagai kehebatan Amerika melawan negara asing terbelakang. Orang yang kebanyakan main video game seperti aku akan menikmatinya sama seperti menikmati permainan video game yang seru dengan setiap adegan aksi sebagai stage yang harus dikalahkan oleh jagoan kita.
Pertanyaan moral tidak ditinggalkan sepenuhnya, meskipun juga tidak pernah benar-benar diangkat ke permukaan. Pasukan yang membantu Nelson itu, misalnya. Mereka membantu dengan agenda pribadi, kita diberikan pengetahuan tentang ada dua pasukan sekutu lain di Afghanistan, tapi mereka ini saling benci juga satu sama lain. Aspek ini hanya dijadikan latar saja lantaran kita tidak pernah tahu pasti apa yang sedang terjadi di negara tersebut. Kita tidak dibawa melihat ke dalam lingkup politiknya. Karena film ingin tampil ringan, maka ia mengenyampingkan elemen-elemen lebih gelap yang terkandung di dalam ceritanya. Seperti aspek ‘Mata Pembunuh’ yang kusebut di awal ulasan tadi. Kita tidak pernah benar-benar merasakan beban itu bergulat di dalam diri Nelson. Film perang yang baik akan menjadikan dilema moral tokoh utamanya sebagai fokus. Ambil contoh Full Metal Jacket (1987), tokoh utama film itu tadinya enggak mau membunuh anak-anak dan wanita. Di akhir film, justru dialah yang harus menarik pelatuk ke sniper remaja cewek Vietnam yang udah membunuhi teman-temannya. Konflik yang selaras sama perjalanannya memahami kematian merupakan salah satu jalan untuk mendapat kedamaian. Sebaliknya pada 12 Strong ini, perubahan yang Nelson alami; dari tentara menjadi pejuang, dari matanya gak memancarkan aura pembunuh menjadi punya tatapan nanar dengan keinginan untuk menghilangkan nyawa musuh, kita tidak betul-betul merasakan inner struggle dari ‘transformasi’ atau pembelajaran ini.
Dari yang ga pernah perang tau-tau jadi yang paling paham
Elemen yang menjadi pembeda cerita ini dengan cerita perang lain adalah gimana mereka berdua belas begitu ditekankan berperang dengan menunggang kuda. Tapi bahkan ‘gimmick’ ini pun tidak mendapat pengembangan yang berarti. Film gagal menggali stake atau bahaya dari aspek berkuda ini, padahal sudah ada build up kesebelas rekan tim Nelson tidak ada yang pernah berkuda sebelumnya. Hanya ada satu kali kesusahan naik kuda ini diperlihatkan sekilas, dan cuma satu orang yang eventually pinggangnya sakit kebanyakan menunggang kuda. Pada saat perang berlangsung, mereka udah kelihatan kayak joki paling profesional semua. Malah mungkin lebih jago mengingat terrain pegunungan berbatu dan ledakan bom di mana-mana. Dan tentu saja penggunaan kuda buat berperang itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menambah kedalaman cerita dengan menantang moral – yang mana sesuai konteks dengan Nelson yang gak mau ada pertumpahan darah – namun film sama sekali tidak menggubris soal ini.
Film perang, dulu, digunakan untuk ‘menyindir’ perang itu sendiri. Dibuat sebagai sentimen dari pesan-pesan antiperang dengan mempersembahkan dilema moral yang dialami para tokohnya. Sekarang, film perang kebanyakan dimanfaatkan selayaknya media iklan untuk mempropagandakan kehebatan militer tentara tertentu. Film garapan Fuglsig ini mencoba untuk menjadi film perang berjiwa old, yang sayangnya malah ditangani dengan nyaris tidak berjiwa. Film ini mestinya bisa menjadi lebih baik lagi, mungkin, apabila pembuatnya mau terjun riset ngobrol ama veteran-veteran perang ketimbang mencatat aksi-aksi seru pada film-film perang yang pernah dibuat sebelumnya. The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for 12 STRONG.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Januari adalah bulan yang panjang, cuacanya bikin hidung meler. Bulan di mana kita dalam keadaan tercabik antara galau resolusi tahun lama yang gak kesampaian dengan semangat resolusi tahun baru yang daftarnya semakin panjang. Kalo kalian penggemar film, Januari adalah bulan antara nungguin film kelas Oscar di bioskop sembari mantengin film-film kelas B yang actually ditayangin bioskop atau nungguin subtitle film kelas Oscar di donlotan, dengan gambar yang bikin mata cenat-cenut. It’s not really fun, bulan Januari. Tapi tiga dari sepuluh orang di antara kita, adalah penggemar pro-wrestling, dan buat mereka Januari adalah bulan yang penuh kejutan. Memang, pesta terbesar WWE jatoh di bulan April, namun malam paling fun dan paling unpredictable itu datangnya di Januari.
Dan pada Januari 2018, WWE ‘remember the Rumble.’
Royal Rumble adalah soal angka, dan stats yang kutulis di atas adalah karangan belaka
Aku meminjam kalimat slogan Royal Rumble tahun lalu bukan tanpa sebab. Selama bertahun-tahun belakangan ini, tampaknya melupakan kodrat acara yang selalu ditunggu-tunggu oleh fans. Kita dapat Royal Rumble yang hasilnya sudah kita prediksi dalam ketakutan. Kita gak mau itu terjadi hanya karena kita tahu itu akan terjadi, dan apa yang terjadi? Tentu saja adalah kemenangan yang dinantikan oleh tidak satupun orang kecuali si empunya acara. Boleh dikatakan, semenjak 2010, tidak ada pertandingan Royal Rumble yang benar-benar memberi kesan yang menyenangkan. Aku enggak bilang selama itu WWE sudah salah menangkap sinyal dari penonton. Aku hanya bilang, di Januari 2018 ini, WWE akhirnya melakukan sesuatu yang benar.
WWE mengingat fondasi kreativitas yang menjadikan Royal Rumble sebuah konsep yang luar biasa pada awaln diciptakan. WWE mengingat Royal Rumble berfungsi sebagai pentas untuk mengenalkan bintang masa depan sekaligus panggung untuk memperkenalkan kembali legenda-legenda yang sudah pernah menghibur penonton semua. WWE akhirnya mengingat semua daya tarik yang dimiliki oleh Royal Rumble. Yang terpenting adalah, WWE akhirnya mengingat kembali bahwa Royal Rumble adalah pencetak bintang masa depan, bukan sekadar ‘plot device’ dalam sebuah skenario tertutup yang sebagian besar orang menebaknya sebagai wanti-wanti hal yang tidak diinginkan.
Pada Januari 2018, WWE memberikan kepada kita dua pertandingan Royal Rumble. Yang khusus untuk para superstar cowok seperti biasa. Dan yang spesial karetnya dua, Royal Rumble untuk superstar wanita dan pemenangnya eventually bisa memilih untuk melawan Juara Wanita brand yang ia inginkan. Kedua pertandingan tersebut berhasil terdeliver dengan luar biasa menyenangkan. Ada sedikit kesamaan formula, kedua pemenang dari masing-masing match itupun sebenarnya sudah bisa ditebak ataupun sudah banyak yang ngarepin.
Tapi WWE memainkan skenarionya dengan sangat berani, penonton benar-benar dua kali ditaro di situasi antara yang kita inginkan melawan yang kita tahu diinginkan oleh WWE. Sesungguhnya adalah sebuah teknik manipulasi prasangka, taktik pengecohan yang luar biasa, dan hal tersebut membangkitkan tensi dan ngebuild momen antisipasi yangbetul-betul kuat. Sehingga penyelesaian masing-masingnya terasa sangat memuaskan
Pertandingan Royal Rumble cowok adalah contoh hebat dari sebuah konten yang beragam, yang punya psikologi yang efektif, yang meriah oleh emosi. Bookingan para peserta dilakukan dengan cermat. Sebagian besar superstar (kecuali hanya satu dua orang) terasa benar-benar penting dan beralasan untuk ada di sana. Surprise entrant-nya enggak banyak-banyak amat, namun semuanya terasa sangat berkesan lantaran timing dan penggunaan yang sangat pas. Di antara yang sukses bikin aku terkejut adalah Rey Mysterio dan juara NXT Andrade ‘Cien’ Almas. Rey tampak sangat gemilang sampai-sampai dalam hati aku memohon kalo ini bukan penampilan one-night-only, aku pengen dia dikontrak lagi. Dan Almas, dang aku mungkin salah satu dari sedikit fans yang suka ngeliat dia menyabet juara – dan untuk melihat dia muncul setelah menonton pertandingan kejuaraannya melawan Johnny Gargano di NXT yang super duper bikin gak mau duduk saking excitingnya – adalah sebuah momen mark out sejadi-jadinya buatku.
Juga ada banyak humor yang diselipin. Aksi komedi dari The Hurricane bikin kita tertawa sampai menitikkan air mata nostalgia. Waktu dan tempat diberikan buat Elias dan nyanyiannya (peserta yang lain conveniently pada tepar). Kofi Kingston dapat kesempatan lagi untuk mengeksplorasi keahlian bermain ‘lantai adalah lava’ yang membuatnya peserta langganan Royal Rumble. Dan running-jokes yang melibatkan Heath Slater dengan beberapa peserta sangat kocak dan tidak terasa buang-buang nomer peserta, seperti Royal Rumble yang sudah-sudah. Banyak elemen di match ini yang actually berbuntut kepada sesuatu. Well, kecuali buat Baron Corbin yang entah kenapa penampilannya semakin dipersingkat. Unfortunately indeed.
Tapi mungkin yang paling awesome dari pertandingan ini adalah pemandangan antargenerasi yang disuguhkan oleh penulis. Menjelang akhir kita akan melihat superstar tiga generasi –Golden, Ruthless Aggression, dan Jaman Now – bertarung di atas ring. Final Fournya Roman Reigns, John Cena, Finn Balor, dan Shinsuke Nakamura turut dilakukan dengan baik. Interaksi keempat orang ini bikin para fans menggelinjang begitu menyadari ini adalah New Japan melawan WWE. Ini adalah Cena melawan tiga calon penggantinya. Scene tersebut worked in so many level.
salah satu kontes Final Two terbaik yang pernah ada
Menyadari Royal Rumble cewek punya ‘deck kartu’ yang lebih sedikit, WWE bermain-main dengan penempatan superstar lebih cermat, dan yang kita dapatkan adalah variasi ‘legend’ dengan superstar recent yang sangat menarik. Langkah mengambil fokus kepada peserta- peserta kejutan ini terbukti berhasil sebab beberapa dari superstar masa lalu itu tampak gak benar-benar ‘still got it’ (komentar monoton dan sepenggal-penggal dari Stephanie McMahon di meja announcer tak banyak membantu) dan kita masih memaklumi dan hanya peduli sama siapa yang muncul berikutnya. Not to say aksinya kurang banyak, paruh akhir match ini juga tak kalah seru dengan aksi-aksi twist dan turn, tapi di bagian tengah memang match ini tampak sedikit lowong. Tapi siapa yang peduli, kita toh masih sangat menikmati setiap detik pada layar. Michelle McCool, Vickie Guerrero, interaksi antara Trish dengan Mickie James, dan Torrie Wilson yang kelihatan beda (lebih cantik dari yang kuingat) adalah beberapa yang bikin aku bersorak pada pertandingan ini.
Baik Nakamura maupun Asuka benar-benar pantas untuk menang. Fans sudah lama memohon untuk AJ Styles melawan Nakamura, dan tampaknya kita akan mendapat ini. Asuka, kendati demikian, masih tampak abu-abu mengenai siapa yang akan dia hadapi. Ngebooking seseorang yang tidak pernah kalah memang tricky, sebab kita juga tidak ingin membuat lawan-lawan Asuka terlihat lemah. Menurutku, pengungkapan siapa yang dia pilih sebenarnya adalah hal yang cukup pantas untuk jadi alasan kenapa match ini diset sebagai main event, tapi ternyata WWE melakukan sesuatu yang menarik lain di sini. Ronda Rousey. Finally, cewek petarung UFC ini menjawab rumor dengan muncul – lengkap pakai jaket Roddy Piper, meyandang namanya (Rowdy Ronda Rousey!), dan diiringi musik Bad Reputation yang cocok banget sama personanya – naik ke atas ring, menunjuk tulisan Wrestlemania di atas arena. Obviously, kemunculan Rousey akan membuat WWE meledak di media mainstream; ini adalah efek yang diinginkan WWE. Tapi kupikir, segmen ini sedikit mengecilkan bukan hanya kemenangan Asuka, melainkan juga Royal Rumble cewek sendiri yang sedari awal adalah tentang superstar cewek yang pernah berjuang di WWE. Fokus itu terganti begitu saja dengan kemunculan Rousey. Aku hanya berharap WWE punya rencana jangka panjang, and I really mean that, terhadap Rousey. Menjadikannya superstar tetap alih-alih datang-pergi, misalnya.
Berbeda dengan departemen kamera yang malam itu tampak agak off; mereka sering melewatkan aksi, merekam ekspresi pemain sedetik lebih lama, juga sering berpindah angle dengan frantic, Departemen cerita tampak meningkatkan kualitas mereka. Bukti terkuatnya dapat kita lihat di pertandingan NXT Takeover belakangan ini. On the main roster show, however, cerita-cerita tersebut kadang malah jatoh gak make sense ataupun enggak mendapat respon yang diinginkan sebab ada faktor jangka waktu yang turut andil. Kevin Owens dengan AJ Styles, misalnya. Handicap match yang juga melibatkan Sami Zayn sebenarnya punya psikologi dan cerita yang kuat dan necessary, tetapi program mereka sudah berjalan begitu lama sehingga match ini tampak sebagai filler untuk mengulur-ngulur saja. Storyline yang melatarbelakangi Seth Rollins dengan Jason Jordan sebagai juara tag team Raw juga dianggap meh padahal sesungguhnya sangat penting untuk ngebuild up karakter Jordan. Match tag team mereka dicuri apinya karena penempatan yang benar-benar merugikan. Raw Tag Team Championship dijadwalkan setelah Royal Rumble cowok yang begitu pecah sehingga penonton, kalo boleh dibilang, ‘masih lemes’ dan akhirnnya mendapat reaksi yang sunyi senyap. Bahkan kejuaraan Universal yang digadangkan sebagai pertemuan antara Beast, Machine, dan Monster juga terdengar ‘krik-krik’. Penonton sudah begitu terpesona oleh Royal Rumble, sehingga mereka tak peduli apapun selain segera melihat Royal Rumble yang kedua.
Jalan ke Wrestlemania itu sudah diaspal, dan dibutuhkan enam puluh superstars dari generasi yang berbeda, dua match Royal Rumble yang super menyenangkan, dan satu cewek paling badass di dunia. Kalo kalian mau ‘meracuni’ teman dengan WWE, tontonkan PPV ini kepada mereka! The Palace of Wisdom memilih 30-Man Royal Rumble sebagai MATCH OF THE NIGHT
Full Results: 1. WWE CHAMPIONSHIP HANDICAP AJ Styles retain setelah Kevin Owens dan Sami Zayn bermasalah ama wasit goblog. 2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP 2-OUT OF -3 FALLS The Usos menang 2-0 dari Chad Gable dan Shelton Benjamin. 3. 30-MAN ROYAL RUMBLE Shinsuke Nakamura menang mengeliminasi Roman Reigns. 4. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Bar jadi juara baru ngalahin Seth Rollins dan Jason Jordan. 5. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Brock Lesnar ngalahin Kane dan Braun Strowman. 6. 30-WOMAN ROYAL RUMBLE Asuka menang mengeliminasi Nikki Bella
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Running away from the problem only increases the distance from the solution.”
Cinta itu pelik. Pernikahan bukanlah hal yang sepele. Maksudku, kita mungkin bakal menyangka bagian tersulitnya adalah di acara pesta pernikahan – you know, jaman kekinian wedding kudu mewah dan segala macam repot yang lain – tapi sebenarnya itu cuma fase pemanasan dari ‘kerja keras’ berikutnya. Cinta enggak mesti berujung bahagia selamanya, apalagi kalo enggak diperjuangkan. Complicated banget. Pertama-tama, kita kudu mengejar restu orangtua dulu. Bahkan ketika sudah dapat restu pun, tak semua cinta yang mampu bertahan. Jadi, mungkin kalian sempat kepikiran; kawin lari aja. Gak perlu pesta gede-gedean, gak perlu ngap-ngap emosian minta restu ke mama, papa, mertua. Silariang, kata orang Makassar. Ada alasannya kenapa Makassar punya istilah sendiri buat kawin-lari. Di sana masih ada tradisi adat yang mengikat; bahwasanya keturunan bangsawan enggak boleh nikah sama keturunan jelata. Jadi, mau nikah bagi orang Makassar sedikit lebih eksra tingkat kesulitannya.
Lari mungkin memang jalan termudah untuk memenangkan cinta. Tapi apa yang sebagian besar orang gagal untuk mengerti adalah Cinta terhadap seseorang, perasaan tulus tersebut tidak pernah salah. Jadi kenapa si innocent itu harus disandingkan dengan kata lari. It’s not that lari itu berkonotasi negative (walau sebagian besar waktu memang demikian), hanya saja – yang perlu ditegaskan adalah – lari bukan satu-satunya jalan keluar.
Silariang: Cinta yang (tak) Direstui mengajak kita menyelami dan mempertanyakan cinta lewat kisah Yusuf dan Zulaikha. Yang satu anak pengusaha, satunya lagi putri berdarah bangsawan. Pernyataan cinta mereka tidak bisa direstui sebab mereka tidak satu strata. Terlahir ke dalam budaya Makassar, kebersamaan mereka justru menjadi aib bagi keluarga masing-masing. Yusuf bermaksud melawan, maka ia mengajak Zulaikha nikah di tempat yang jauuuuh dari rumah. Terdengar sangat romantis, bukan? Pangeran yang membawa Putri naik kuda. Tapi Yusuf bukan pangeran. Mereka lari naik angkot, kemudian sampan. Dan apa yang menyongsong mereka di tempat yang baru jelas bukan serta merta keindahan.
Rammang Rammang kayak tempat Piccolo melatih Gohan
Inilah yang dilakukan dengan baik oleh Silariang. Naskahnya cukup bijak untuk mengeksplorasi permasalahan yang membuat para tokoh memang bertingkah sesuai dengan umur mereka. Permasalahan yang mereka hadapi sesungguhnya begitu serius dan dewasa. Bukan sekadar Yusuf dan Laikha kabur atas tekanan orangtua sehingga kita mendukung mereka, sepasang protagonis yang minta dikasihani karena selalu melewati rintangan cinta. Film ini bukan tentang itu. Bagaimana tindak Silariang itu mempengaruhi pelaku dan orang-orang di sekitar mereka, yang mereka tinggal lari, turut menjadi fokus dalam cerita. Setiap dari mereka diberikan konflik personal. Tak pernah film ini berpaling dari kenyataan-kenyataan seperti hubungan rumah tangga yang diaku sudah dipupuk cinta bertahun-tahun dapat dengan mudah pecah hanya dalam satu hari. Begitu banyak dan dalamnya perspektif yang dibahas, sehingga membuat kita melihat para tokoh enggak lagi dalam cahaya protagonis ataupun antagonis. Semua orang punya pandangan di dalam kepala sebagaimana setiap orang punya cinta di dalam hati mereka. Menonton mereka bergulat dengan hal tersebut – bagaimana mereka memposisikan diri di antara cinta dan adat – adalah kualitas terkuat yang dimiliki oleh film ini. Mereka diberikan kesempatan untuk menggapai momen dramatis tersendiri sebagai penutup dari saga masing-masing.
Sudah begitu lama penonton memohon film Indonesia tampil dengan corak latar budaya yang kuat, dan Silariang hadir sebagai penjawab harapan tersebut. Kita enggak hanya melihat Makassar di sini. Kita ikut hidup di dalamnya. Budaya itu kuat mengakar dalam setiap lapisan adegan, tanpa diiringi dengan kepentingan untuk menjelaskan sehingga membuat film ini juga bekerja dengan amat baik sebagai sebuah penceritaan visual. Seperti adegan ketika Paman dan Bibi Yusuf datang ke rumah Zulaikha. Mereka ditanyai maksud kedatangan, dan begitu baru sepatah menjawab, mereka malah ditawari minum teh oleh Paman Zulaikha. Dan setelah diminum tehnya tawar. Selayang pandang, adegan ini tampak agak menggelikan – orang mau jawab kok malah disuruh minum – namun sebenarnya adegan ini dengan subtil membentuk poin ke budaya Makassar; tamu yang disuguhi minuman tawar basically disuruh ‘pulang aja lo’. Ada begitu banyak adegan-adegan emosional yang dipasangi atribut budaya yang membuat masing-masing momennya menguar dan sangat vokal. Kita gak bakal gampang lupa adegan cuci kaki ataupun ketika melihat badik itu berpindah tangan seliweran di depan mata.
Kamera meromantisasi nyaris setiap adegan. Kadang terasa agak over, tapi sebagian besar bekerja efektif sebagai pendukung penceritaan. It’s a clear work of both editing and directing. Dua tokoh lead dimainkan oleh aktor yang sama sekali enggak ada darah Makassar, but yet, mereka tampak seperti pribumi sejati. Mereka meyakinkan banget sebagai anak muda yang saling jatuh cinta, namun enggak yakin apakah yang mereka tapaki adalah langkah yang benar. Aku mungkin salah, tapi sepertinya ini adalah kali pertama buat Bisma Karisma dan Andania Suri memainkan karakter yang dewasa. Bisma was so good sebagai Yusuf, permainan aktingnya tampak meningkat, tapi setiap kali mereka bersama – terlebih di bagian-bagian emosional – Andania Suri just plainly membanting akting Bisma. Ketika mata dan ekspresi Bisma kadang tampak keluar dari karakter, enggak sinkron dengan pemain yang lain (adegan mereka di rumah sakit bisa jadi contoh), Suri tampak secara konstan brilian. Adegan nangis selalu adalah senjata pamungkas jebolan Gadis Sampul ini. Ada lapisan dalam emosinya, seperti ketika adegan mereka naik sampan, di tengah-tengah pemandangan asik itu Zulaikha malah tampak takut sebagai cerminan dari dia takut mengarungi kehidupan berdua. Dan kupikir adegan ketika Zulaikha sembunyi di bawah tangga rumah, dan peristiwa yang mengikutinya, adalah adegan emosional yang menjadi favorit banyak orang.
tak u-uk, Cu’
Saat menonton, aku pikir kita perlu melihat backstory hubungan Yusuf dengan Zulaikha sebab kita sama sekali enggak tahu darimana hubungan cinta yang kuat itu bermula. Film enggak memberikan ini, kita dilempar ke tengah polemik restu keluarga mereka. Kita hanya tahu mereka ini saling cinta mereka rela meninggalkan keluarga. Ketika aku memikirkan tentang hal ini lagi setelah selesai menonton, aku jadi melihat kemungkinan dari alasan kenapa film enggak menunjukkan hal tersebut. I think film ingin memperlihatkan bahwa kedua tokoh ini, mereka belum sepenuhnya mengerti atau yakin cinta itu ada. Bahwa yang mereka cintai adalah kemungkinan mereka hidup berdua, diakui sebagai pasangan. Buatku, ini juga sesuai dengan konteks guncangan kecil saat mereka menjalin rumah tangga di bagian akhir cerita. Maka aku menggolongkan kurangnya backstory cerita sebagai keputusan beresiko yang diambil oleh film. Lagipula, film sudah semacam menebus aspek ini dengan memperlihatkan rentetan adegan manis nan menyenangkan tentang gimana Yusuf dan Zulaikha membersihkan rumah, ataupun saat mereka diperlihatkan berusaha ngurus bebek dan menghela sapi.
Berdasarkan reaksi penonton saat pemutarannya, film ini secara gak sengaja menjadi kocak. Namun ini sesungguhny adalah hal yang bagus karena kekocakan tersebut berasal dari situasi ataupun interaksi yang tampak begitu real alih-alih komikal. Masalah yang mereka hadapi adalah masalah yang logis dihadapi oleh pasangan yang melakukan kawin lari. Dan masalah tersebut memang tampak menggelikan oleh sebab betapa nyatanya ia. Penyelesaian konfliknya lah yang buatku tampak berlebihan. Film sudah membangun dengan begitu baik sehingga aku sedikit kecewa ketika film resort ke trope-trope drama untuk menyelesaikan konflik ceritanya. Also, mereka membuat semua hal menjadi convenient. Padahal aku ingin melihat mereka berjuang lebih keras dalam menyatukan pendapat seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh film The Big Sick (2017), komedi romantis yang juga bicara tentang hubungan cinta yang enggak disetujui. Kedua film ini juga sama-sama memakai penyakit sebagai plot device, tapi tidak seperti Silariang, rumah sakit dalam The Big Sick enggak lantas mencuat menjadi penyelesaian. Aku ingin menghindari spoiler berlebihan, jadi aku cuma akan bilang alih-alih aspek ‘golongan darah yang langka’, aku pikir cinta mereka akan lebih teruji jika ‘pemersatu’ mereka itu dibuat meninggal saja.
Tidak ada tempat yang cukup jauh dari masalah yang kita hindari. After all those times, Yusuf masih terombang-ambing antara Cinta itu masalah uang atau masalah harga diri.
Sebelum menyaksikan ini di bioskop, aku sudah pernah menyaksikan film ini saat Ichwan Persada, sang produser – mentorku, mengadakan pemutaran khusus saat acara Halal Bi Halal My Dirt Sheet di kafe eskrimku di Bandung. Saat itu, filmnya masih belum dipoles, masih menggunakan musik template. Dan untuk beberapa adegan, aku lebih suka versi mentah itu ketimbang versi yang aku tonton di bioskop. Musiknya bagus dan mendukung penceritaan, namun ketika sudah masuk lagu soundtrack, beberapa adegan terasa dijejalin ke kita. Pada adegan pembuka, misalnya, aku gak mengerti kenapa lagu yang dipake begitu gempita mempromosikan Makassar. Aku merasa lagu tersebut enggak bekerja baik dengan tone keseluruhan film, it interferes dengan mood yang ingin disampaikan, dan aku pikir push terhadap Makassar dan budayanya sendiri sudah amat sangat tercermin dalam bahasa dan elemen-elemen penceritaan yang lain.
Jika kalian pernah mengharapkan film Indonesia dengan konten lokal yang kuat, drama Indonesia yang digarap dewasa, maka aku akan heran sekali kalo kalian malah melewatkan film ini. Kaya oleh perspektif tokoh yang berdimensi luas. Penceritaan didukung oeh visual cantik dan penampilan akting yang sangat meyakinkan. Untuk sebagian waktu, konflik yang dihadirkan terasa sangat manusiawi. Akan tetapi resolusi film datang dari aspek yang begitu convenient, sehingga terasa film mengambil cara yang aman untuk mengakhiri ceritanya. Film juga meninggalkan soal tradisi yang masih menjadi pemisah antara cinta dalam nada yang enggak tertutup. Bukan ambigu, melainkan mereka seperti sengaja enggak menyebutnya. Lari enggak akan menyelesaikan masalah, namun kupikir bigger picture yang mestinya ‘dijawab’ oleh film ini adalah soal strata yang membuat Yusuf dan Zulaikha enggak bisa bersatu in the first place. The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SILARIANG: CINTA YANG (TAK) DIRESTUI.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“You aren’t wealthy until you have something money can’t buy.”
Tidak ada yang menyangka, remaja cowok yang kurus itu, yang rambutnya pirang panjang dan berpakaian aneh itu, yang berkeliaran di pinggir jalan malam hari itu, adalah cucu seorang milyuner ternama di dunia. Tidak ada yang tahu, kecuali penculik yang lantas menyiduknya begitu saja ke dalam mobil van. Permintaan tebusan pun dilayangkan. Tujuh-belas juta dolar para penculik meminta uang kepada ibu si cowok. Tapi ibu yang malang itu enggak punya duit. Mantan mertuanya, kakek si remajalah, yang punya. Dan si ibu tahu lebih banyak soal minta duit kepada si kakek daripada para perampok. Bukan hanya susah, melainkan hampir tidak mungkin! All the Money in the World benar-benar mengejutkanku oleh kepintaran penulisan ceritanya sebagai sebuah thriller. Serius, sampe-sampe aku pikir aku harus meralat jawabanku mengenai film terhebat dari Ridley Scott tahun 2017. Bukan lagiAlien: Covenant (2017) yang bercokol di pikiran.
Lewat film ini, aku jadi tahu kalo orang seperti Gober Bebek beneran pernah ada hidup bernapas di muka bumi. Orang yang punya duit begitu banyak sehingga dia tidak pernah punya keinginan atau malah kesanggupan untuk menghitungnya. Orang yang punya sisi komikal – meskipun dark comic – kalo udah menyangkut uangnya.
dan salah satunya adalah, orang ini lagu tema hidupnya bukan “harta yang paling berharga adalah keluarga.”
Paul Getty ingin membangun dinasti. Dia sudah merupakan salah stau orang terkaya dalam sejarah dunia. Koleksi barang seninya udah semuseum lebih. Sebenarnya bapak tua ini enggak pelit-pelit amat. Ketika putranya yang sudah berkeluarga datang meminta pekerjaan, boom! si anak dijadikan wakil kepala perusahaan minyak gede di Arab. Kepada cucu yang tampak paling ia senangi, Getty berkata “Kita ini spesial. Seorang Getty enggak punya teman.” Jadi, ketika anaknya bercerai, Getty harus merelakan hak asuh sang cucu jatuh ke sang ibu, Getty merasa sudah bukan keluarga. Therefore, mereka bisa jadi adalah musuh. Makanya lagi, begitu si Ibu menelfon menjelaskan situasi penculikan, Getty enggak langsung percaya. All Money in the World dapat saja berakhir dalam sepuluh menit jika Getty bukanlah bisnisman yang punya prinsip. Apa susahnya bagi sang milyuner untuk merogoh kocek dan membayar tebusan, semuanya akan berakhir menyenangkan dengan sekejap. Tapi stake dalam film ini bukan soal enggak ada uang. Melainkan soal insekuriti yang jauh lebih personal.
Dalam film ini, uang sama sekali bukan semata soal uang. Uang merepresentasikan hal yang berbeda-beda bagi setiap orang. I mean, cara kita memandang harga suatu barang bergantung kepada prioritas kita terhadap kebutuhan tersebut. Kepentingan terhadap hal tersebut, terhadap kebutuhan kita tersebutlah yang actually menjadi harga, yang menentukan mutu sesuatu bagi kita secara personal. Makanya kita tidak akan pernah puas, kita tidak akan merasa kaya sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Sesuatu yang acapkali adalah hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Dialog-dialog yang luar biasa cerdas, kuat, akan membuat kita bertahan di ujung tempat duduk masing-masing. Di sana sini akan ada adegan intens, malah ada satu momen yang kejam banget di tengah-tengah. Ngeliatnya bikin aku meringis ngeri. Akan tetapi, sesungguhnya ini bukanlah thriller yang mengedepankan aksi. Ini bukan kayak Kidnap (2017) di mana Hale Berry kebut-kebutan nyelametin anaknya yang disandera. Ini juga bukan bag-big-bug dahsyat ala Liam Neeson di franchise Taken. Film ini berat oleh percakapan yang ditulis dengan teramat baik. Jadi, ya, memang beberapa penonton yang mengharapkan semarak aksi, mungkin bisa dibuat bête saat menontonnya. Tapi sebaiknya memang kurangnya aksi ini jangan kita jadikan perkara, sebab All the Money in the World begitu pintar membangun ketegangan ceritanya. Naskahnya bakal memberikan tantangan buat moral kita, membuat kita bimbang apakah melempar uang kepada sesuatu benar-benar jawaban atas semua. Sebaliknya, apakah orang kaya sudah jadi demikian pelitnya jika menyangkut soal harta. Bagian ini sendiri sudah cukup untuk membuatku tertarik, dan film menawarkan lebih banyak untuk bisa kita nikmati.
Menumpukan cerita pada keunggulan dialog dan penulisan tokoh, film ini memang bergantung kepada kepiawaian permainan peran para aktor yang sebagai penghidup sosok-sosok sejarah itu. Michelle Williams bermain sebagai Gail Harris, ibu dari remaja yang diculik, and it was a very real world-class act. Tak banyak aktris hebat seperti Williams yang bisa demikian brilian, sepanjang cerita secara konstan dia berada dalam keadaan penuh stress. Dia berusaha keras meyakinkan pria tua mertuanya supaya berkenan membayarkan tebusan, sebab keselamatan anaknya dipertaruhkan. Dengan kematian anak di dalam benaknya, tokoh yang diperankan Williams mengalami banyak naik dan turun emosi, dan aktris ini memainkannya dengan sangat meyakinkan. Eventually dia harus berhubungan dengan Chase, pria mantan agen rahasia yang dipekerjakan oleh Getty untuk memastikan deal yang enggak membuat Getty rugi. Karakter si Chase ini semacam dealmaker yang memberesin banyak masalah pelik, dia membantu orang-orang mendapatkan kebutuhan mereka, kadang dia menjual atau memberi dari orang-orang tertentu yang ia kenal. Basically, Chase adalah orang yang kita tuju jika kita hendak melakukan sesuatu tanpa melibatkan pihak yang berwenang secara legal. Mark Wahlberg diserahkan tugas yang enggak sepele dalam membuat tokoh ini menuai simpati, karena in a way tokoh ini bisa kita sebut semacam tokoh penengah. Dia juga mendapat resiko yang enggak sepele, tak jarang dia harus menyampaikan informasi yang gak enak kepada tokoh Michelle Williams. Luar biasa exciting setiap kali menyaksikan interaksi dua tokoh tersebut.
udah semacam berusaha nenangin singa kebakaran jenggot
Aku enggak tahu apakah kalian memperhatikannya juga atau tidak, tapi aku melihat badan Mark Wahlberg dalam film ini agak-agak labil. Maksudku, di beberapa adegan badannya kelihatan agak kecil dibanding beberapa adegan yang lain. Seringkali ketika di adegan bersama Getty, Chase tampak kayak pria biasa, sedangkan ketika berbagi layar dengan tokoh Michelle Williams, Wahlberg kelihatan lebih tegap. Aku gak yakin apakah ini ada maksud simbolisnya, like, Chase tampak lebih dominan saat dirinya bersama siapa, atau cuma efek kamera. Atau mungkin juga, memang film mengalami banyak pengulangan syuting.
Tak bisa dipungkiri, nama All the Money in the World sendiri terangkat lebih deras ke publik lantaran mengalami pergantian tokoh. Aku gak bakal bahas detail soal itu di sini sebab aku gak mau apa yang semestinya murni ulasan film berubah menjadi kolom gosip. Aku hanya mau nyebutin bahwa Christopher Plummer tadinya bukanlah pilihan pertama untuk memainkan J. Paul Getty. Aktor gaek ini dipilih menggantikan Kevin Spacey di menit-menit akhir proses syuting berlangsung. Kita gak bisa bilang Plummer bermain lebih baik atau apa, yang jelas, keputusan memilih Plummer sebagai pengganti adalah sebuah langkah yang benar-benar membuahkan hasil yang manis. His take on Getty’s attitude, personality, and mannerism membuat tokoh ini sangat menarik untuk dianalisa. Membuat kita ingin tahu apa yang ada di balik pikirannya, apa yang melatar belakangi ‘kekikiran’nya. Film pun cukup bijak untuk memberikan kesempatan kita melihat lebih banyak soal karakter ini as dia diberikan cukup banyak screentime.
Yang mana membawaku ke satu-satunya ‘masalah’ yang kurasakan ketika menonton film ini. Dua jam lebih film ini kadang-kadang terasa berat juga lantaran ada poin-poin di mana aku mempertanyakan ke diri sendiri ‘kenapa sih aku ingin anak itu selamat?’ Film ini enggak sebego itu bikin tokoh-tokoh yang satu dimensi, termasuk tokoh penculik diberikan layer yang memperdalam karakternya, hanya saja aku merasa film kurang mengeksplorasi tokoh Paul Getty III, si remaja yang diculik. Mestinya bisa diberikan emosi yang lebih banyak lagi. Film enggak benar-benar memberikan kita alasan konkrit untuk peduli di luar kisah penculikan ini adalah kisah nyata dan anak itu benar-benar diculik jadi kita harus berempati dan berdoa supaya enggak ada kejadian serupa yang terjadi.
Sesuai dengan yang disebutkan oleh teks di penghujung film, ada banyak dramatisasi yang diambil sebagai langkah untuk membuat kisah nyata riveting menjadi narasi yang menarik Ada alasannya kenapa Ridley Scott adalah legenda dalam bidangnya, begitupun dengan Christopher Plummer. Selain beberapa yang kelihatan di mata – kadang kelihatan jelas tokoh sedang beradu akting dengan ‘stuntman’ – sesungguhnya tone dan editing film tampak berjalan dengan mulus. Ada beberapa reshoot yang dilakukan dan film tetap terasa klop mengarungi naskahnya. Produk akhirnya tetap tampak seperti cerita yang berkelas, sebuah thriller cerdas yang penuh dengan penampilan akting yang fantastis. Jelas, ini adalah salah satu karya terbaik Ridley Scott dalam beberapa tahun terakhir. The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for ALL THE MONEY IN THE WORLD.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Fake is, like, the worst wordyou could possibly use to describe anything..”
Orang bego enggak bisa masuk ke seni pertunjukan. Di lain pihak, kita bisa menjadi orang terjenius di dunia dan tidak mengerti apa maksudnya untuk mempunyai presence di atas panggung. Menjelma menjadi karakter, mengeksekusi pertunjukan secara langsung. Melakukan koneksi dengan penonton. Yang dilakukan oleh mereka sesungguhnya teramatlah kompleks, dan seringkali mereka kurang mendapat apresiasi.
Phineas Taylor Barnum paham bagaimana pentingnya untuk menampilkan sebuah show yang bisa menyentuh para penonton. Dia tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dia ‘jual’, dan cara mengemasnya. Film The Greatest Showman adaah film musikal yang mendendangkan tentang perjalanan P.T. Barnum dari anak kecil pengutil roti di pasar sampai menjadi sebagai seorang ringmaster yang pertunjukan sirkusnya selalu dijubeli oleh banyak orang. Untuk memancing ikan paus, kita tidak bisa menggunakan umpan yang biasa. Harus yang spesial. Barnum, seorang suami yang tidak ingin mengecewakan pengorbanan istrinya yang anak orang borju namun memilih hidup susah bareng-bareng. Seorang ayah yang ingin menorehkan senyum di wajah kedua putrinya, jangan sampai mereka dipandang sebelah mata seperti orang-orang biasa memandang dirinya. Dia punya visi. Dia memancing orang-orang dengan keajaiban. Modal usaha Barnum adalah rasa penasaran dan dia membuat hal tersebut menjadi nyata.
Toh, Barnum yang sangat driven pernah tersesat dalam motivasinya. Ketenaran itu sempat membuatnya silau. Narasi banyak meninggalkan aspek-aspek terendah dalam hidup Barnum, apa yang kita dapat di sini adalah konflik yang terselesaikan dengan convenient, sebab film memang diniatkan untuk tampil semenyenangkan mungkin. Seolah sebuah pertunjukan mimpi yang begitu spektakuler.
menarilah sampai keringat merembes ke lantai!
Di balik cerita dan lagu-lagu yang menghentak, film ini menyematkan pesan hendaklah agar kita selalu ingat apa yang membuat kita pengen terkenal, alih-alih soal menjadi terkenal itu sendiri. Dan sekuen-sekuen nyanyian di sini tak pelak akan lama membekas karena semuanya dicraft baik sehingga begitu catchy. Melihat penampilan Hugh Jackman sebagai Barnum di sini akan membuat kita merelakan dia melepas kuku adamantium untuk bernyanyi saja terus hingga bahagia selamanya. Susah untuk memilih penampilan musikal mana yang paling keren – “This is Me” digadang sudah kekunci bakal menangin Oscar – tapi buatku, Zac Efron dengan Zendaya saling mengikrar cinta bersenandung magis sembari berayun di tali adalah adegan musik yang benar-benar menyentuh. Chemistry mereka kuat sekali. Ini juga adalah salah satu adegan yang diolah dengan menggunakan efek komputer paling sedikit, dan kupikir itulah sebabnya kenapa terasa begitu real.
Actually, mengenai pemilihan lagu-lagu original yang disajikan; dapat menjadi turn off buat sebagian penonton. I mean, dengan setting jadul tahun 80an secara alamiah kita akan mengharapkan lagu-lagu klasik, akan lebih cocok dengan genre tersebut, namun demikian lagu-lagu yang kita dengar dalam film ini adalah lagu pop. Ada yang kedengarannya pake auto-tune juga malah. Ditambah lagi sebagian besar adegan-adegan nyanyinya dimainkan dengan banyak bergantung kepada CGI. Kita lihat hewan-hewan sirkus beraksi bohongan. Barnum suatu ketika naik gajah menjemput istrinya, yang mana menggelikan jika kita bayangkan gimana reaksi seluruh penduduk serta jerih payah Barnum mengendalikan hewan tersebut. Dan aku curiga tinggi manusia kerdil di grup sirkus Barnum juga sedikit dikurangi dengan efek komputer. Semua ini adalah resiko kreatif yang diambil oleh film. Oke, melatih singa melompati lingkaran api di sekeliling Hugh Jackman jelas beresiko, namun kenapa sutradara Michael Gracey memilih cara yang begini enggak klop dengan keseluruhan film patut kita pertanyakan.
Sesungguhnya semua itu ada alasannya.
Aku pikir film ingin menunjukkan bahwa Barnum begitu berbeda. Dia adalah orang yang lebih maju dari zamannya. Di saat masyarakat masih berprasangka terhadap kulit gelap, mengasingkan mereka, Barnum malah merangkul. Di saat masyrakat masih menganggap orang yang punya kelainan fisik sebagai makhluk yang berbahaya, dan mungkin menular, Barnum menjadikan mereka pertunjukan utama. Seleb yang untuk melihatnya, masyarakat yang biasanya memandang jijik, harus membayar uang. Ide Barnum membangun museum yang berisi hal-hal ganjil, mengumpulkan orang-orang freak untuk beratraksi, dianggap gila oleh masyarakat saat itu. Di mata mereka Barnum juga sama freaknya. Gagasan bahwa orang-orang hebat memang tampak gila bagi kenormalan memang belum terpikirkan oleh mereka, namun Barnum sudah bisa melihat ini. Dia adalah orang yang berani bermimpi. Efek-efek yang kita lihat saat adegan nyanyi mungkin hanyalah bagaimana adegan tersebut di mata, di kepala Barnum. Bagaimana hal itu adalah mimpi yang jadi nyata juga baginya. Ini adalah cerita hidup orang nyata yang disuarakan dalam nada fantasi, dan film tampaknya berniat untuk tampil seajaib mungkin.
American Success Story: Freak Show
Beberapa tokoh menampilkan adegan nyanyi dengan lip-sync, dan honestly aku gak yakin kenapa ini terjadi. Masa iya sih film demikian malasnya mengasting aktor dengan suara beneran bagus. Sekali lagi, saat memikirkan ini aku menemukan bahwa mungkin film memang sengaja. Mereka ingin membuat poin soal bahwa sekalipun tampak palsu, artifisial, sesungguhnya tidak ada yang ‘palsu’ dalam pertunjukan. Kita melihat Barnum juga adalah orang yang rela melakukan apa saja untuk menjual shownya. Dia memasukkan bantal ke dalam “Manusia Paling Berat” dan menaikkan beratnya dari 500 ke 750 pounds. Dia menjuduli orang tinggi yang dia rekrut sebagai Raksasa Irlandia, meski orang tersebut aslinya berasal dari Rusia. Barnum terang-terangan mengakui dia menjual hal bohongan, sesekali dia ingin mempersembahkan yang nyata ketika dia kepincut sama talenta penyanyi opera dari Eropa.
Apa itu palsu? Palsu adalah ungkapan terburuk yang bisa kita sematkan kepada dunia pertunjukan. Sirkus, sandiwara, gulat profesional, bahkan film. Semua hal tersebut adalah sama. Ya, mereka punya skrip, mereka dikoreografi, ada trik, namun itu semua bagian dari usaha yang nyata. Senyum kita yang terhanyut menyaksikan pertunjukan mereka adalah senyata yang nyata bisa. As real as kelinci yang ditarik oleh pesulap dari topinya.
Setelah semua ‘kehebatan’ Barnum itu pun, The Greatest Showman bukanlah benar-benar pertunjukan paling hebat. Antara lagu ke lagu, narasinya bergerak begitu cepat sehingga kita belum sempat berpegangan kepada karakternya. Seluruh ‘kegampangan’ pada setiap solusi mematikan stake sehingga bikin ceritanya berlalu dengan dangkal. Kita hanya pengen cepat-cepat kembali ke adegan nyanyi. Dan bahkan liriknya yang enak itu tidak tampak ditulis dengan begitu dalem. Banyak yang semestinya digali tapi film menelantarkannya. Hampir seperti film tidak ingin ada yang stress dalam ceritanya. Aku sendiri pengen melihat lebih banyak antara Barnum dengan anggota-anggota sirkus, tapi mereka malah lama terpisahkan lantaran film pengen membangun konflik romansa yang ujungnya juga terasa selesai dengan buru-buru. Sambil lalu, film actually membahas banyak sehingga saat menontonnya aku teringat banyak cerita lain seperti American Horror Story, film Sing (2016), juga sedikit elemen The Shape of Water (2017)
Dengan pertunjukan musik selikeable ini, akan susah untuk kita melihat dengan enggak bias. Selagi aku berusaha mencatat poin-poin kelebihan dan kekurangan sangat menonton ini, aku melihat ada aku di layar. Haha yea film ini juga membahas hubungan Barnum dengan seorang kritikus. Yang mana menjadikanku bertekad untuk enggak mau menjadi ‘kritik palsu’ yang ngaku suka nonton tapi selalu menggerutui tontonannya. Aku mestinya jujur terhadap apa yang aku suka; setiap yang aku suka enggak mesti selalu hal yang bagus. Aku bisa, boleh, saja suka sama sesuatu yang biasa aja. Ataupun sama yang jelek. And so do all of you. The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for THE GREATEST SHOWMAN.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017