BABYLON Review

 

“The cinema has no boundary; it is a ribbon of dream.”

 

 

Tempat paling ajaib di dunia, kata Damien Chazelle dalam karya terbarunya ini, adalah set alias tempat orang syuting film. Karena film memanglah seperti sebuah keajaiban – sihir!- yang ditangkap pada layar. Kita tahu satu adegan film saja, adalah kerja sama begitu banyak orang, begitu banyak keahlian, begitu banyak ‘trik’ untuk membuatnya entah itu beneran seperti sedang terbang atau sesimpel berjalan di hutan. Aku beruntung pernah diijinkan untuk tiga malam hang out di set film, melihat-lihat cara orang bikin dan merekam adegan, ngobrol ama kru-kru dan nanya-nanya ama pemain. Ya, suasana dan segala yang ada di situ memang terasa out-of-the-world. Saat itu aku menyaksikan gimana tembok bata dari rumah terbengkalai mereka sulap jadi gedung gereja, gimana papan kayu jadi sumur di tengah hutan. Yang kurasakan itu ‘baru’ dalam skala film lokal. Sedangkan yang diangkat oleh Damien Chazelle dalam film grande tiga jam lebih ini adalah studio film terbesar di jagat kita, Hollywood. Babylon merupakan kisah fiksi namun dengan latar yang tepat sesuai sejarah Hollywood, mengambil fokus kepada masa transisi dari era film bisu ke film bersuara. Dan di sini, Damien seolah benar-benar mengajak kita ke belakang tirai ajaib itu. Melihat kontras di balik film yang tampak romantis, elegan, penuh passion dan mimpi: Drugs, kehedonan, serta desperation dari karir-karir yang naik untuk kemudian lantas tergantikan.

Kata yang tepat untuk film ini mungkin, ya, surat cinta. Tapi Babylon bukan tipe surat cinta yang sama dengan yang dikirim Damien lewat La La Land (2017). Kali ini, Damien Chazelle merayakan kecintaannya kepada sinema, sekaligus menyentil industri Hollywood itu sendiri. Itulah kenapa film ini meledak-ledak, vulgar, dan over-the-top. Semuanya terasa chaotic, apalagi film ini punya banyak sekali karakter supaya kita benar-benar bisa melihat bagaimana industri film yang terus berkembang berdampak kepada manusia-manusia yang strive untuk mewujudkan mimpi dan passion mereka. Kita melihat gimana film-bersuara, menjadi peluang karir bagi seorang pemusik jazz kulit hitam. Sementara juga membuat penulis title/dialog film bisu kehilangan posisi. Dari semua karakter, tiga yang jadi fokus utama adalah Nellie LaRoy (Margot Robbie), Jack Conrad (Brad Pitt), Manny Torres (Diego Calva). Nellie seorang figuran muda, yang percaya dirinya adalah bintang.  Kesempatan untuknya menunjukkan sinar datang ketika dia dipilih buat meranin seorang pelayan bar, and she nails it. Tapi kemudian tantangan baru muncul ketika studio mulai pindah ke film bersuara. Also, gaya hidupnya yang kelewat glamor mulai berdampak buruk. Sebaliknya, Jack adalah aktor senior di MGM. Aktor dengan bayaran tertinggi. Konflik dirinya muncul tatkala semua film terbarunya flop di box office. Dia maunya percaya itu semua karena era baru film, tapi dia akhirnya harus nerima kenyataan yang lebih pahit lagi. Dan dari sudut lain ada Manny. Yang berangkat dari pelayan, ke tukang cari properti, ke asisten, hingga jadi studio executive. Ketika sudah di atas, Manny mulai merasakan efek dari sisi gelap industri, ketika dia mulai harus membuat keputusan-keputusan yang dia tahu enggak bener demi kemauan studio.

Menariknya lagi, karakter-karakter ini konon ditulis dengan referensi tokoh real di Hollywood

 

Melalui ketiga karakter tersebut  evolusi industri di Hollywood mulai dari tahun 1926 hingga ke 1930an dihamparkan. Kita akan melihat bagaimana mereka ‘bereaksi’ dan memilih aksi mengikuti perkembangan teknologi perfilman. Ketiga karakter ini pun bertransformasi sejalan dengan dunia mereka. Jadi bisa dibilang menonton Babylon ini seperti menonton karikatur sejarah Hollywood. Apalagi Babylon memang menggambarkan periode-periode itu dengan blak-blakan. Misalnya, ‘ajaib’ yang dimaksudkan saat berkata ‘set film adalah tempat paling ajaib di dunia’ tadi itu adalahbetapa rusuhnya sebenarnya proses syuting, tapi tetap berhasil tertangkap menjadi adegan dan film yang bagus. Saat nonton mereka syuting film perang kolosal bisu itu, aku beneran nyangka filmnya bakalan kacau. Gimana tidak coba; karena saat itu masih bisu, yang artinya studio hanya merekam gambar, di satu lokasi (padang gersang luas) ada banyak film/adegan yang disyut dalam waktu bersamaan. Dalam tone kocak, Babylon membuat syuting yang melibatkan banyak pemain ekstra tersebut dengan begitu rusuh. Skripnya ‘diperbaiki’ on the go, oleh Jack, sambil menenggak alkohol. Ekstra-ekstranya  ada yang terluka beneran (bahkan tewas hihihi). Kamera mereka rusak sehingga Manny harus ke kota minjem yang baru secepat mungkin, sebab sutradara mengejar waktu sunset. Dan ketika sudah mau mulai take adegan, si Jack udah terlalu mabok bahkan untuk berjalan. Semua itu kayak udah mau gagal. Tapi AJAIBNYA saat kamera roll, Jack mampu berakting ekspresi yang sempurna. Cahaya yang diincar dapet. Properti ledakan sukses. Semua kerusuhan dan kekacauan dan cek cok dilupakan. Semua bersorak mereka telah berhasil merekam adegan yang dahsyat. Babylon, dengan caranya tersendiri, berhasil membuat kita percaya para karakter – yang mewakili aktor-aktor dan pekerja film sekalian – adalah profesional yang benar-benar punya passion.

Sehingga industri Hollywood yang terus berkembang seiring teknologi dijadikan oleh film ini selain sebagai panggung, juga sebagai tantangan. Hollywood jadi karakter antagonis tersembunyi. Ketika teknologi untuk membuat film-bersuara ditemukan, kita diperlihatkan proses syuting yang kontras sekali dengan adegan syuting yang pertama tadi. Kali ini syuting dilakukan di dalam warehouse studio, tertutup, panas (karena kalo pakai AC nanti suaranya ikut kerekam). Bagi Nellie dan sutradara dan para kru, proses syuting film bersuara pertama mereka ini penuh tantangan, dan film sekali lagi menggambarkan frustasinya mereka dengan kocak. Enggak hanya harus menghapal naskah, Nellie disusahkan aktingnya oleh gerak yang kini terbatasi oleh posisi mic, misalnya. Tidak ada yang boleh bersuara. Kita bisa melihat take demi take untuk satu adegan yang terus aja ada salah teknis tu, membuat semua orang yang terlibat menjadi semakin senewen. Tapi karena passion itu tadi, they pulled through. Adegan sukses terekam (finally) dan semua bersorak. Melihat mereka berhasil rasanya ekivalen dengan kita menonton superhero berhasil mengalahkan musuhnya. Kekocakan dan kerusuhan bikin film tersebut lantas membawa kita kepada drama yang lebih personal tatkala tantangan itu semakin jauh dari zona nyaman para karakter. Ketika Hollywood terus melaju, menuntut mereka untuk memilih pada satu pilihan terakhir, stay atau pergi.

Sinema bagai mimpi yang tak terbatas. Itulah yang membuat Hollywood menjadi seperti kota Babylonia. Kota yang terus membangun menara setinggi langit, untuk mengejar posisi para dewa. Mengejar keabadian. Para ‘warga’ Hollywood juga mengejar hal yang sama. Dan dalam perjalanannya, tersilaukan oleh hal yang sama dengan yang membuat Babylonia ditertawai oleh para dewa. Ultimately, mereka harus sadar dari pesta pora. Bahwa – pepatah kita bilang manusia mati meninggalkan nama, no – manusia hanya bisa meninggalkan nama. Sementara film dan seni akan terus berkembang, manusia akan tergantikan. Beberapa tidak akan sampai ke puncak.

 

Ajaib tapi kasihan

 

Aku bahkan gak yakin di ending yang Manny nangis nonton Singin’ in the Rain itu harus merasakan apa. Merasa terkecoh, sih yang jelas. Karena seperti Tar (2022), ending Babylon juga sempat membuatku berpikir jangan-jangan film ini dari kisah nyata hahaa.. Tapi ini tentu saja terkecoh yang bagus, like, “that’s so good, you got me!” Pada momen itu memang Babylon mencuat jadi bagus, karena berhasil mengevoke dilema perasaan yang nyata. Apakah Manny nangis haru karena kisah mereka menginspirasi orang lain untuk film baru? Atau merasa kecewa karena bukan dia yang melihat itu sebagai karya? Babylon membuat kita mengalami chaosnya menjadi ‘penduduk’ dari sesuatu yang dengan cepat berubah, membuat kita melihat sesuatu yang grounded dari mereka semua.

Walaupun memang, dari presentasinya sendiri, Babylon ini merupakan film yang cukup susah untuk diikuti karena terlalu blak-blakan dan over-the-top. Film enggak takut untuk menjadi vulgar dan jorok, dan bahkan berdarah, karena di lain sisi, memang begitulah yang paling tepat untuk menggambarkan cara orang ‘survive’ di kota penggapai dewa tersebut. Selain tone dan gaya bercerita, banyaknya karakter juga bakal membuat penonton susah untuk attach. Pertama karena tidak semua dari mereka ditulis berimbang. Dan kedua, karena konsepnya adalah memperlihatkan bagaimana mereka bereaksi terhadap perkembangan jaman, maka film tidak benar-benar menyelam ke dalam journey mereka. Kita hanya melihat para karakter sebagai poin-poin. Mana motivasi, mana konflik, mana resolusi. Kita tidak pernah benar-benar utuh bersama dengan mereka. Akibatnya lagi, relationship yang terjalin antarkarakter jadi tidak mencapai efek maksimal. Salah satu hati dari cerita ini adalah hubungan yang terjalin antara Nellie dengan Manny. Aku suka dialog pas mereka pertama kali berjumpa. Mereka ngobrolin soal passion yang sama. Bahwa mereka akan sukses bareng di dunia perfilman. Itu salah satu momen genuine yang dipunya oleh film. Tapi pengembangan ini kemudian tidak terasa mengalir, karena ya kita hanya dibuat melihat mereka dari poin-poin itu tadi. Hubungan profesional dan hubungan mereka secara personal tidak pernah jadi diarahkan dengan jelas. Sehingga ketika di akhir mereka sepakat untuk hidup bareng, momennya kurang nendang. Aku gak tau apakah ini mungkin, tapi rasanya film ini perlu ngurangin sedikit energy chaoticnya supaya para karakter bisa lebih hidup lagi.

 




Film dalam film; film yang pakai adegan yang memperlihatkan backstage pembuatan atau bisnis film, selalu jadi soft-spot buatku. Makanya nonton film ini aku puas. Makin lama adegan-adegan mereka syuting, aku lebih senang. Dan di sini banyak banget adegan bikin-filmnya. Aku selalu kagum sama aktor yang berakting sedang akting, dan di sini mulai dari Margot Robbie hingga ke Brad Pitt nunjukkin penampilan akting yang demikian dengan sangat juara. Energi overall film yang chaotic dan over-the-top tidak menyentuh penampilan akting mereka yang total. Kecuali mungkin pas Nellie ceritanya mau melawan ular, itu konyol banget sumpah. Kayak kartun. Tapi sepertinya memang itulah konsep film ini. Kartun, parodi, dari bagaimana industri Hollywood berpengaruh kepada para pengejar mimpi seperti Nellie, Manny, Jack, dan banyak karakter lain. Cara lain untuk memandang film ini, adalah bahwa ia merupakan surat cinta tak-biasa, karena surat ini bukan hanya ungkapan perasaan yang merayakan cinta kepada sinema, tapi juga sentilan terhadap arahan industrinya. Perubahan itu bagus, dan bakal terus terjadi. Film sekarang bukan hanya bersuara, tapi berkembang lebih edan lagi dengan teknik digital, yang tentu saja ngasih challenge dan tuntutan baru. Semoga kecepatan itu tidak menjadi momok dan membuat kita lupa berpegang pada mimpi pada awalnya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BABYLON

 




That’s all we have for now.

Jangankan Hollywood, di kita aja perputaran industri sudah cukup cepat. Salah satunya keciri dari cepatnya pergantian aktor-aktor muda. Bermunculan sutradara-sutradara baru dengan gampangnya. Apakah menurut kalian ini hal yang bagus atau gimana, mengingat state perfilman kita sekarang?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



GIFTED Review

“Compassion isn’t about solutions.”

 

 

Berkah bisa berubah menjadi kutukan yang menggerogoti diri jika seseorang terlalu ‘tamak’ terhadapnya. Teknologi misalnya, dari yang tadinya memberikan banyak kemudahan, jika kita gunakan dengan tidak bertanggung jawab, justru mendatangkan mudarat; deteriority of humanity. Kecantikan juga gitu, orang yang terobses malah akan menjadi ‘mengurung’ diri sendiri dalam usaha menjaga kecantikan itu terus terjaga. Bukan berarti kita tidak boleh melestarikan berkah. Berkah dan kutukan, sejatinya adalah pilihan, seperti yang dengan fasih dibicarakan oleh film Gifted. Kita semestinya bisa dengan bijak melihat seorang yang punya bakat jauh di balik kelebihannya tersebut.

 

 

Frank dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ponakan kecilnya, Mary, berulah di sekolah. Di hari pertamanya, anak tujuh-tahun itu mengejutkan seisi kelas dan eventually Mary adalah anak jenius, apalagi soal matematika. Mary memang lebih suka sekolah privat ketimbang sekolah umum karena, tentu saja kurikulum standar belajar sekolah biasa terasa lamban oleh gadis cilik ini. Dan ketika ditanya tentang teman, “Aku tidak bisa berteman dengan idiot” keluh Mary. Makanya, ketika ditegur kepsek lantaran Mary literally matahin idung seorang bully di sekolah, Frank malah sedikit senang. Meski yang dilakukan Mary salah, Franks bangga anak asuhnya itu berani membela yang lemah. Frank ingin menumbuhkan rasa kasih sayang di dalam diri Mary. Dia menolak tawaran Kepsek yang ingin memindahsekolahkan Mary ke sekolah khusus anak berbakat, “I would rather you dumb her down, if that makes her a good person,” aku Frank.

Di situlah di mana tokoh Frank yang diperankan dengan luar biasa gentle oleh Chris Evans menjadi sangat menarik. Mary bukan anak kandungnya, Mary adalah anak dari kakaknya yang juga sangat berbakat dalam matematika (in fact, jago matem ini udah warisan turun temurun dalam keluarga mereka). Membesarkan Mary adalah salah satu dari permintaan terakhir kakak kepadanya, jadi dia berusaha untuk menghargai permintaan-permintaan tersebut sekaligus menyadari tanggung jawab membesarkan anak paling pintar di dunia ada pada pundaknya. Frank mencoba untuk melihat dari berbagai sudut, dia mempertimbangkan pendapat banyak orang – mulai dari guru Mary, ataupun dari tetangga mereka, bahkan dari ibunya sendiri. Konsern utama Frank tentu saja dia ingin agar si anak tetap tersenyum dan membuatkannya sarapan, memenuhi segala kebutuhan. Dia ingin yang terbaik, dan dia ditantang ketika ada pihak yang mempertanyakan “yang terbaik buat siapa?”

Octavia Spencer main di film tentang anak cewek yang jago matematika, di mana kita pernah lihat itu sebelumnya?

 

Gifted mengacung-ngacungkan pertanyaan di depan muka kita yang menatapnya dengan terpesona; bisakah seorang jenius mendapatkan hidup normal. Bisakah seorang gadis cilik yang enggak benar-benar ingin diperlakukan sebagai the next Albert Einstein memilih untuk pergi ke pantai, memelihara kucing, nonton UFC dengan pamannya, dan just bermain dengan teman-teman, you know, just being a little girl dan menikmati hidup.

Ini adalah film yang benar-benar tentang karakter. Tidak ada ledakan ataupun aksi di sini. And I really like that about this movie. Semua adegannya hanya ngobrol atau berjalan, namun film ini menanganinya dengan amat efektif. Setiap scene rasanya padet. Ambil contoh ketika kita melihat Frank dan Mary di pantai, kita cuma melihat siluet mereka yang dilatarbelakangi oleh matahari terbenam, tapi pergerakannya sangat playful. Mary literally manjatin Frank, sembari mereka bertukar dialog yang sungguh asik serta menantang untuk diikuti. Mereka bicara tentang Tuhan, tentang kepercayaan. TENTANG PILIHAN. Totally ngedefinisikan film itu sendiri. Gifted sebenarnya bukan film pertama yang membahas tentang masalah anak jenius, tapi yang membuat film ini berbeda terutama adalah penampilan dan perspektif ceritanya. Jika kebanyakan biasanya hanya memfokuskan kepada perang hak asuh, maka film ini lebih kepada menjawab pertanyaan anak jenius bisa kok mendapat kedua hal; being genius dan menjadi anak kecil pada saat bersamaan.

Jejeran castnya tergolong kecil, namun sukses berat bawain cerita sehingga terasa gede. Yang PALING MEMESONA JELAS ADALAH HUBUNGAN YANG TERBANGUN ANTARA FRANK DENGAN MARY. Relationship mereka terasa sangat otentik. Padahal kedua tokoh ini bukan exactly ayah dan anak. The way mereka mengerti satu sama lain, tukar menukar percakapan, bahkan saat mereka ‘berantem’, lovable banget. Kocak. Penuh hati. Nyata.

Dan pemeran Mary, Mckenna Grace, oh wow adek ini mencuri pertunjukan! She’s star in the making, liat aja!! Entah mau jadi anak jenius yang ngambek, yang tau dia spesial namun gak demen sama ide dan peraturan dari sang nenek yang juga jenius, ataupun jadi anak kecil yang ingin bermain-main, Mckenna selalu deliver dengan meyakinkan. Di adegan sedih, dia juga berhasil bikin aku ngerasa “aww kasiaaann”. Ketika kita melihat penampilan bagus dari aktor cilik, biasanya kita langsung ngecap image peran tersebut kepada mereka. Sesungguhnya hal demikian itu nyusahin buat si aktor sendiri, mereka bakal dapat job ngisi peran yang itu-itu melulu. Macaulay Culkin aja mati-matian nyari peran yang bukan ‘anak-kecil-nakal-yang-adorable’ selepas perannya di Home Alone (1990). You know, bahkan aktor kayak Dwi Sasono aja, kita masih ngakak ngeliat dia tampil serius di Kartini (2017) atau ketika dia jadi dokter di Critical Eleven (2017), image Mas Adi begitu kuat melekat – padahal dia bukan aktor anak-anak. Akan tetapi, sepertinya hal ini tidak akan jadi masalah buat Mckenna Grace. Penampilannya di film ini just sooo good dan punya rentang luas sehingga can really break the mold untuk dia melakukan peran yang berbeda di film-film berikutnya.

variabel yang gaada di film Indonesia: tokoh dan aktor cilik yang menarik

 

Setiap kali hendak menonton film drama kayak gini, aku selalu khawatir. Takut nanti ceritanya terlalu melodramatis. Takut filmnya terlalu cengeng. Marc Webb sepertinya diberkahi kemampuan untuk mengolah drama dengan just right, kecuali di beberapa bagian menjelang akhir. Kayak di 500 Days of Summer (2009), Marc Webb keliatan seperti berada di rumah dengan penceritaan dramatis. Dia tahu takarannya. Problem dalam film ini muncul, eh bukan muncul, ding. Film ini tahu arah ceritanya, this movie embraces it. Problem film ini adalah pilihannya untuk mengambil sudut pandang yang tidak di tengah. Film ini adalah jawaban, kita harus respek ama keputusan ini. Mungkin film inilah jawaban yang benar. Namun, ketika ada yang benar, maka pasti ada yang salah. Dan pihak yang ‘salah’ dalam cerita ini, terlihat seperti tokoh jahat, a villain. Menurutku ini hanyalah cara gampang menuliskan sebuah film drama. Ada tokoh yang terlalu tanpa-hati. Aspek ini membuat film jadi predictable, dan personally aku pikir tokoh kayak nenek si Mary gak mesti dibuat sebagai tokoh jahat.

Terkadang, jika kita punya kelebihan, kita suka tidak sadar ada satu variable yang kehidupan kita; kasih sayang.Dan compassion tidak sama dengan matematika; ini bukan soal solusi. Ia adalah soal memberikan cinta sebanyak yang kita punya.

 

Film ini juga jatuh ke dalam ketagori cerita yang melibatkan proses pengadilan, di mana ada adegan di depan hakim, urusan legalisasi hak asuh anak, dan sebagainya. Singkat kata, dalam film ini ada elemen yang bakal bikin kita bosan. Bagian yang kita ingin untuk cepat berlalu sehingga kita bisa melihat porsi Mary dengan Frank lebih banyak. Adegan courtroom dalam film ini muncul sewaktu-waktu untuk nonjolin pihak baik dan jahat, untuk membakar api konflik keluarga yang jadi tantangan bagi Frank. Again, menurutku ini adalah cara textbook yang paling gampang untuk melanjutkan cerita.

 

 

 

Di luar adegan-adegan peradilan, ini adalah cerita yang sangat asik untuk dinikmati dengan banyak penampilan akting yang fantastis. Perspektif tokoh utamanya sangat menarik. Hubungan antara Frank dengan Mary begitu real dan menyentuh. Dialog-dialognya kadang kocak, kadang benar-benar bikin hati kita ketarik-tarik. Kecuali di bagian akhir, film ini sukses menjadi enggak terlalu dramatis. I love this movie, kuharap banyak orang yang tertarik untuk menontonnya sebab kisah drama antara anak yang spesial dengan orang yang truly menyayanginya ini dapat benar-benar menginspirasi orang-orang. Entah itu mendorong untuk mengajarkan compassion dan cinta, atau membuat orang ingin bikin film, atau belajar matematika hhihi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for GIFTED.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE CIRCLE Review

“The price for safety is the loss of privacy.”

 

 

Teknologi berfungsi untuk mendekatkan yang jauh. Dan sebagai timbal baliknya, teknologi juga dapat menjauhkan yang dekat. Mae Holland merasakan langsung kebenaran pepatah masakini tersebut. Cewek muda yang diperankan oleh Emma Watson itu keterima kerja di sebuah perusahaan supergede yang bernama The Circle. Sebagai seorang cutomer service di company tak-ternama, Mae tentu saja girang ketika dia berhasil dapet posisi serupa di The Circle. Gini, bayangkan kantor Google, kemudian campurkan dengan social media, dan letakkan di lingkungan kerja yang sangat modern di mana semua ide akan dihormati dan pencetusnya akan dielukan seolah mereka adalah keturunan Albert Einstein. Begitulah lingkungan perusahaan The Circle; tempat yang sangat kekinian dan menyenangkan.

Dan semua pekerja di sana saling terhubung satu sama lain. Mae dan para karyawan yang dipanggil Circler digebah untuk selalu aktif di akun media sosial dan memberitahukan semua yang mereka lakukan ke semua pengguna. Dan eventually, Mae yang dengan cepat naik pangkat, setuju untuk menjadi seratus persen transparan. Dalam artian, dia secara sukarela memasang kamera canggih segede bola mata di badannya supaya orang-orang bisa ngikutin semua kegiatannya setiap detik dua-puluh-empat-jam sehari.

kecuali saat dia ke toilet, you pervert!

 

Elemen thriller coba dibangkitkan oleh film ketika Mae mulai bekerja di The Circle. Aku enggak mau repot-repot nonton trailer, jadi sebelumnya aku enggak tau ini film tentang apaan. Kesan yang datang saat melihat gestur dan aktivitas para eksekutif membuatku berpikir bahwa kantor Mae ini adalah semacam cult terselubung. Semua orang terlihat gembira ‘menjual’ kehidupan pribadi dan privasi mereka. Pemimpin dari organisasi ini; Eamonn Bailey, adalah pembicara yang begitu karismatis, membuat kita terbayang sosok Steve Jobs, hanya dengan sedikit nuansa jahat. Sepanjang film berlangsung kita akan melihat gimana mereka sama sekali tidak peduli dengan privasi, malahan mereka tampak ingin membuat ketiadaan privasi sebagai hal yang lumrah karena kita akan diperlihatkan sisi positif dari memasang kamera kecil di setiap sudut di berbagai tempat. Mae dapat banyak followers baru, posisinya kian naik, dan dia benar-benar suka dengan gagasan criminal bisa tertangkap hanya dalam beberapa menit saja. Tapi kita juga bisa melihat apa yang tidak terlihat oleh Mae, apa yang membuat keluarga dan sahabat Mae menolak online berlama-lama; semua ini mengarah kepada invasi privasi dan banyak lagi komplikasi hak-hak asasi.

Perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya, sampai-sampai film yang didaptasi dari novel terbitan 2013 ini terasa agak ketinggalan jaman. Kita sudah tahu dan aware akan apa yang ingin disampaikan oleh film. Kata-kata “teknologi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” sudah kita dengar sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi tetap saja, setiap hari perkembangan tersebut semakin gencar. Sekarang kita punya banyak aplikasi seperti Facebook Live, Insta-Story, atau malah Bigo live, yang pada beberapa kesempatan bikin kita geleng-geleng “wah, lagi liburan privasi juga liburan.”

Konsep sharing is caring adalah hal yang lumrah buat generasi milenial, namun sejatinya kita kudu berhenti sejenak dan berpikir; Apakah kita perlu ngeshare segalanya? Apakah semua pantas untuk dibagikan?

 

Ketakutan yang dirasakan oleh orang-orang sehubungan dengan teknologi digunakan oleh film sebagai pemancing drama. Ada ELEMEN SATIR yang lumayan kuat yang mampu mengundang sejumlah tawa. Ada elemen politik juga, di mana The Circle, demi hajat hidup orang banyak, ingin mengawasi kerja pemerintah secara langsung sehingga tidak ada penyelewengan. Namun, cara film ini mengeksplorasi elemen thriller dan dramanya sangat kacau sehingga ceritanya nyangkut di level aneh, alih-alih menarik, let alone thought-provoking. Susah aja bagi kita nerima kenyataan film bahwa ratusan orang – atau malah milyaran, seperti yang disebutkan film – mendukung ide soal kamera yang benar-benar meniadakan privasi. Iya, kita melihat beberapa komen yang enggak setuju, orang-orang terkasih dari Mae juga enggan untuk terlibat, namun film ini tidak pernah dengan mulus membahas konflik yang mestinya muncul dari potensi invasi privasi gede-gedean ini.

Instead, dari awal sampai akhir kita hanya mendapat satu insiden. Satu momen konflik. Sebagian besar film ini adalah tentang Mae ataupun pemimpin organisasi yang berbicara mempersembahkan ide mereka di depan karyawan dan eksekutif. Kita bisa melihat beberapa gagasan mereka ada yang benar, ada yang salah. Hanya saja tidak pernah berkembang menjadi konflik. Semuanya mengempis begitu saja; terlupakan, karena di adegan berikutnya semua tampak menjadi normal dan termaafkan. Di tengah-tengah film aku ngarep ada kejadian apa kek, paling enggak Mae sama sahabatnya berantem jambak-jambakan. Aku ingin lihat orang-orang itu mendapat pelajaran dan berubah. Tapi enggak ada kejadian apapun di film ini. Tidak ada resolusi yang menohok, tidak ada jawaban. Pada beberapa adegan terakhir, film mencoba untuk menjadi dramatis, hanya saja dengan absennya set up, satu konflik tersebut malah jadi abrupt dan tetep saja membuat film ini sebagai tontonan yang gampang untuk kita lupakan.

MINIMNYA KONFLIK tentu selaras dengan MINIMNYA KEPUTUSAN YANG DIBUAT OLEH KARAKTER. Inilah masalah terbesarku terhadap film The Circle. Tokoh utama kita, ‘pahlawan’ yang mestinya kita relasikan dengan diri sendiri, enggak banyak ngapa-ngapain. Mae ditulis dengan datar dan enggak menarik. Emma Watson adalah aktris yang cakap dan believable jika diberikan peran yang sesuai. Tetapi sebagai Mae, dia terdengar monoton, dengan banyak ekspresi bingung menatap layar. Interaksinya dengan karakter lain tidak lebih hanya sebagai sebagai device.

Film ini punya kebiasaan untuk memperkenalkan karakter tanpa memberinya plot ataupun hook buat kita pegang. Tom Hanks is barely in this film padahal perannya cukup penting; Bailey adalah yang terdekat yang kita punya dari seorang antagonis. Tapi meski demikian, bahkan karisma Tom Hanks enggak membantu banyak. John Boyega malah tampil lebih sedikit lagi, dengan peran yang selalu tenggelam ke background. Perannya di sini adalah sebagai Circler misterius yang mulai ‘curiga’ dan berontak terhadap organisasi. However, film menerjemahkan tokohnya ini hanya sebagai orang yang sesekali muncul untuk memperingatkan Mae. Tokoh favoritku di film ini justru adalah kedua orangtua Mae; Ayahnya (rest in peace Bill Paxton) yang mengidap MS dan Ibu yang setia mendampingi. Mereka berdua sangat penasaran sama kerjaan Mae, dan mereka adalah the voice of reason yang actually lebih mudah untuk kita dukung, dan punya relationship yang lebih menarik untuk diikuti.

ngestalk siapa lagi yaa kali ini?

 

Secara visual, ini adalah film yang mentereng. Namun secara teknis, film ini terasa kurang professional. Kita bisa melihat film ini dibuat dengan cakap, akan tetapi hasilnya secara keseluruhan tidak tampak seperti demikian. Yang paling kentara tentu saja adalah arahannya; sama sekali enggak spesial. Talenta para aktor disiasiakan, enggak satu pun dari mereka menyuguhkan penampilan yang memuaskan. Bahkan Tom Hanks terdengar lumayan monoton di sini. Aku baru saja pulang dari ngintip proses syuting film, maka mau tak mau aku memperhatikan gimana struktur pengambilan gambar; buat yang suka memperhatikan editing ataupun teknik ngesyut, maka pastilah bisa mengerti bahwa film ini menggunakan teknik yang enggak baik. Particularly, the way mereka menyambung adegan terasa kasar. Contohnya di adegan ketika Mae dan sahabatnya ngobrol di dalam bilik toilet terpisah. Film ini menggunakan sudut pengambilan standar untuk kedua tokoh, di mana Mae dan sahabatnya sama-sama diposisikan di tengah shot. Dan kemudian mereka ditampilkan bergantian, dengan sudut yang sama. Hasilnya cukup menggelikan, seolah Mae dan temannya itu muncul bergantian di bilik yang sama, padahal itu adalah bilik yang berbeda.

Mengetahui semua tidak pernah adalah hal yang baik. Karena itu berarti tidak ada ruang bagi kita untuk mempertanyakan sesuatu. Yang ultimately berarti tidak ada kesempatan untuk berkembang menjadi lebh baik lagi. Dan tentu saja mengetahui semua berarti tidak ada rahasia, sedangkan manusia perlu untuk menyimpan rahasia. Karena setiap kita sejatinya punya dua kehidupan, personal dan sosial. Dan di dunia di mana semuanya sudah overexposed,hal paling keren yang bisa kita lakukan adalah menjaga kemisteriusan diri.

 

 

 

Jika ini adalah cerita satir tentang society yang memutuskan untuk menjadi transparan sehingga tidak ada yang ditutupi, maka aku akan blak-blakan bilang ini adalah film yang membosankan. Penampilan datar dari barisan aktor yang sangat cakap. Arahan yang biasa aja dari sutradara yang mumpuni. Editing yang awful. Penulisan yang poor. Film ini is a complete mess, ia terlihat amatir padahal digarap oleh orang-orang yang bisa kita katakan sudah professional di bidangnya. Pesannya pun tidak seprovokatif yang diniatkan, lantaran we already know that.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE CIRCLE.

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

20TH CENTURY WOMEN Review

“Be the role model you needed when you were younger”

 

 

Sebenarnya bukan gagasan tok yang membuat suatu cerita, suatu film, terasa spesial. Jika kita menilai film berdasarkan konsep abstrak yang jadi idenya saja, maka film kayak Resident Evil: The Final Chapter (2017) bisa jadi film yang bagus – lewat Alice film ini bicara tentang manusia harus come in terms soal kenapa dirinya diciptakan – Tetapi kan enggak, nyatanya Resident Evil adalah salah satu film terburuk 2017 sejauh ini. Tentu saja, kita butuh perspektif yang kuat dalam bercerita. Dan film adalah salah satu bentuk penceritaan. Mengutip kata-kata Roger Ebert, yang terpenting dalam bagi sebuah film adalah bukan tentang apa, melainkan bagaimana film tersebut menceritakan hal yang dijadikan gagasan. Bagaimana konteks yang membangun film tersebut tersusun. Dan 20th Century Women adalah FILM YANG BEGITU KAYA OLEH PERSPEKTIF.

Bayangkan sebuah segitiga spektrum seperti yang sering kita lihat di buku IPA yang membahas pembiasan optik; gagasan dan sudut pandang sutradara Mike Mills, tentang pengalaman ibunya yang membesarkan anak seorang diri adalah cahaya putih yang dimasukkan ke dalam film – yang bertindak sebagai segitiga – dan sebagai outputnya, satu ‘cahaya’ tersebut terpendar ke dalam perspektif-perspektif unik (but real) para tokoh film, dan cahaya-cahaya sudut pandang itulah yang membuat 20th Century Women sangat mencolok dan kaya.

 

Dorothea sudah kepala empat ketika melahirkan putra tunggalnya, Jamie. Suaminya telah tiada, Dorothea membesarkan Jamie seorang diri di bawah naungan atap rumah yang beberapa kamarnya beliau sewakan. Hidup mereka ramah, hangat, akrab. Namun 1979 datang, ini adalah kala di mana terjadi perubahan besar di Santa Barbara. Reagan ancang-ancang memulai rezim menggantikan Carter. Remaja mulai kenal rokok dan musik Punk. Jamie sudah 15 tahun sementara Dorothea pun tidak bisa untuk bertambah lebih muda. Serta merta lingkungan mulai memberikan pengaruh kepada ibu dan anak tersebut. Khawatir tidak bisa ‘menyentuh’ seluruh sisi kehidupan Jamie, Dorothie lantas meminta tolong kepada kedua penghuni kosnya; mahasiswi lulusan kesenian Abbie dan hippie tukang furnitur William, juga kepada cewek sahabat Jamie dari kecil, Julie, untuk membantunya dalam ‘membesarkan’ Jamie, membantu remaja ini melewati fase hidup yang complicated.

Anak-anak, jangan main Pass Out Challenge di rumah. Dan di sekolah. Dan di mana saja.

 

 

Dialog, dialog, dan dialog. Ada sih, intermezo kayak mobil terbakar, orang pukul-pukulan, mobil ngebut, tapi highlight film ini adalah saat para tokoh berbincang-bincang. Jamie ngobrol sama Julie. Abbie curhat ke Dorothea. Jamie berantem sama Dorothea. Ini adalah jenis film yang akan membuat kita ingin menekan tombol pause setiap beberapa menit sekali, dan nyatetin setiap percakapan yang muncul di antara mereka. Beberapa terdengar witty, seperti kalimat yang diucapkan Dorothea, yang kurang lebih kalo kita mencet tombol subtitle akan menjadi; “Mempertanyakan apakah kita bahagia sesungguhnya adalah jalan pintas yang bagus menuju depresi”. Tak jarang memang seluruh percakapan mereka terasa lucu. Ketika Jamie menjawab pertanyaan ibunya mengenai sebab dia berkelahi di taman, misalnya. The whole situation was just awkward. Film ini benar-benar menangkap kontrasnya dua generasi, dua sudut pandang. Film akan mendudukkan dua hal berbeda tersebut, dan mereka akan ngobrol tentangnya, saling mengeluarkan pendapat, sementara kita akan turut berada di sana; tidak pernah sebagai hakim, hanya sebagai saksi yang melihat struggle manusia untuk bisa saling mengerti dan mengisi, usaha untuk mengekspresikan diri, saling menjaga, meski terkadang memang cinta itu menimbulkan luka.

Komunikasi di antara para tokoh penuh oleh sudut pandang, unik, dan menginspirasi. Terutama adalah mereka tetap terasa nyata. Mengangkat begitu banyak perspektif lewat dialog sama gampangnya dengan balapan sama mobil dengan naik skateboard. Karakter-karakter dengan pandangan ‘beda’ tersebut bisa dengan mudah jatoh ke dalam kategori annoying dan sok-ngerasa-paling-bener. Tapi di sini enggak. Jamie, Dorothea, Julie, Abbie, William, semuanya kerasa real dan akrab. Aneh, iya, tapi kita ingin mengerti mereka. Cara film memperkenalkan mereka lewat voice-over narration dan tulisan di layar yang mencakup bahkan tahun lahir mereka, sangat membantu sehingga kita bisa melihat ‘darimana mereka berasal’. Membantu kita memahami konsep dan konteks para tokoh, gagasan dan perspektif mereka. Aku jadi pengen masuk ke layar dan menarik kursi, duduk ngobrol di meja makan bareng mereka. Aku ingin ikut si Julie manjat masuk ke dalam kamar Jamie, dan berbaring di sana, ngomongin soal kehidupan sambil menengadah menatap langit-langit yang berlumut. Aku ingin ikutan nari bareng Abbie kemudian membantu dia menjepret barangnya sehari-hari, all of that while we’re talking heart-to-heart.

Itu semua berkat penampilan akting yang begitu luar biasa. Mike Mills dan tim penulisnya membangun pondasi penokohan yang excellent, dan para aktor memanfaatkan dengan fantastis ruang yang diberikan buat menghidupkan peran-peran yang dewasa lagi berbeda tersebut. Lucas Jade Zumaan berada di tengah-tengah lingkungan yang confusing; sebagai Jamie dia berusaha ngertiin ibunya yang ngerasa diri sudah terlalu jauh ‘di depan’ she can’t go back entirely, dia berusaha memahami sobatnya, also a possible love interest, yang hanya mau mereka sebagai teman, dia berusaha ada di sana buat Abbie (Greta Gerwig is really great membuat kita pengen punya ‘big sis’ kayak dia) yang didaulat enggak bisa punya anak karena rahimnya ‘enggak kompeten’. Dan Lucas pulls it all off; ketika dia berkata dia ingin menjadi pria baik kita tahu bahwa dia bersungguh-sungguh mengatakannya.

Setelah penampilan fenomenalnya mencuri perhatian di Live by Night (2017), Elle Fanning kembali tampil mempesona sebagai cewek remaja yang enggak-bahagia yang menyebut dirinya sebagai ‘self-destruct’. Perannya adalah yang paling kompleks. Melihatnya ‘diusir’ enggak boleh lagi ke kamar Jamie jika hanya mau numpang tidur adalah salah satu momen yang bikin kita meringis karena ada begitu banyak emosi bentrok di sana dari kedua belah pihak. Tahun ini bisa jadi adalah tahun emas buat Elle, karena betapa piawai pendekatannya memainkan sosok yang berbeda; kita udah melihat dia di dua film, and yet we also don’t see her in those two.

elu friendzonin anak gue yeee

 

Pun begitu, ujung tombak film ini adalah Annete Bening yang glorious sekali memainkan Dorothea. Apa yang karakternya alami, integral banget dengan isi pidato presiden James Carter; Crisis of Confidence. Ibu ini mencemaskan seiring waktu dia bakal kehilangan purpose sebagai ibu Jamie. Hidupnya pun akan menjadi meaningless. Dorothea tumbuh saat perang dunia berlangsung, dia belajar militer, dan by the time dia selesai perang juga sudah usai. Menyenangkan, dan terkadang heartwrenching, melihat Dorothea berusaha tampil sebagai ibu yang asik, you know, ada adegan dia dipanggil ke sekolah Jamie lantaran kasus pemalsuan tanda tangan, dan dia malah memuji keterampilan anaknya alih-alih memarahi. Atau ketika dia enggak ngerti musik punk bagusnya di mana, dan kemudian dia diam-diam mencoba menari ngikutin irama ketika anaknya enggak ada di rumah. Ini adalah karakter bebas yang punya aturan sendiri; Dorothea ngerokok dengan alasan pada jamannya rokok adalah mode dan itu bukan berarti dia setuju ngeliat cewek remaja kayak Julie ngerokok. Bening’s portrayal terhadap tokoh ini membuat kita menyadari rumitnya peran seorang ibu.

Ada sense of kehilangan dalam film ini. I mean, ada rasa di mana ada sesuatu yang sudah terlewat dan enggak bisa kembali lagi. Ini adalah cerita tentang menyongsong waktu; Jamie yang sudah akan dewasa. Dorothea yang sudah semakin menua. Pergantian jaman. Seperti yang digambarkan oleh film ini melalui adegan mobil dengan efek visual cahaya yang berpendar warna-warni; Hidup bergerak dengan cepat. Kadang yang kita punya hanya kenangan, dan kita harus memegangnya erat-erat. Karena suatu hari kita akan jadi role model, dan yang kita perlukan untuk itu adalah menjadi sosok yang kita butuhkan saat kita masih muda. Sebagaimana Jamie, dan to an extent, Mike Mills sendiri, memeluk kenangannya dan membagi cerita dengan kita.

 

 

20th Century Women adalah KENANGAN Jamie. Dan ini dipertegas oleh treatmen kamera dan narasi yang menggunakan teknik voice-over yang sebagian besar disuarakan oleh Jamie, di mana ia terdengar seperti mengenang semuanya. Kita melihat semua kejadian masalalu dari perspektif masakini Jamie. Kita juga dikasih tahu gimana nasib para tokoh di akhir cerita, yang mana menandakan film ini sebenarnya masih punya plot. Pun masih ada struktur narrative yang dipatuhi. Namun memang film ini tampil seperti terbagi menjadi beberapa sketsa kejadian. Kita enggak tahu persis apa yang bakal terjadi, semua kelihatan seolah terjadi random, just like real life. Just like a real memory. Kejadian-kejadiannya lebih seperti dibangun berdasarkan anekdot-anekdot lepas soal hubungan antara cewek dengan cowok, soal anak dan ibu, feminism dan maskulin, dan semacamnya, alih-alih terbuild-up menjadi sesuatu adegan gede. Tapinya lagi, hal tersebut enggak serta merta menjadi cela buat film ini. Ceritanya yang episodic menegaskan kepentingan bahwa hidup tidak terencana. Dan semuanya itu terintegral manis dengan, katakanlah ‘gimmick’, bahwa film ini adalah cerita tentang Jamie yang mengenang semua kejadian.

 

 

 

Ditulis dengan matang, film ini akan ngingetin kita betapa singkatnya waktu yang kita punya di dunia. Lebih kepada soal memilih suri teladan dalam hidup, film ini menegur kita untuk menghabiskan hidup dengan orang-orang yang kita cintai dan peduli kepada kita saja. Karena kalo ada yang tetep di dunia, maka itu adalah cinta. Penampilan akting pada film ini semuanya hebat, menghasilkan sebuah sajian penuh kata-kata yang tidak akan terasa sumpek oleh ceramah. Menonton film ini kita seakan dipelototi oleh beragam sudut pandang yang sangat menarik, eksentrik kalo boleh dibilang. Akan ada banyak quotes tentang pilihan hidup buat kita kutip, due to being philosophical, atau karena kocak. Hidup itu aneh. Kadang kita mengurus, dan tak tahu kapan ketika giliran kita yang diurus. Orang-orangnya ribet. Kita tidak akan tahu apa yang bakal terjadi. Film cantik ini memotret kenyataan tersebut lewat kehidupan sekelompok orang yang tinggal bersama, mesti bertengkar namun begitu eratnya sehingga menjadi kenangan yang indah.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for 20TH CENTURY WOMEN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

GOLD Review

“A dream that is not chased is a fantasy.”

 

 

Ada garis batas yang membedakan antara mimpi dengan khayalan. Garis itulah yang kita kenal sebagai usaha. Dan faktor yang membuat perbedaan tersebut tentu saja adalah kita, entitas yang berangan-angan. Khayalan adalah keinginan yang enggak disertai dengan usaha, dan hanya bisa disebut mimpi apabila kita berjuang untuk mewujudkannya.

 

Kenny Wells di ambang kebangkrutan. Ia mendapat bunga tidur tentang menemukan tambang emas terbesar. Jadi segalanya pun dipertaruhkan. Jual jam tangan emas istrinya, Wells terbang ke Indonesia. Mencari seorang ahli geologi ‘legendaris’ yang terakhir kali terdengar sedang berada di sana. Bersama-sama, mereka menembus belantara Kalimantan demi mencari emas yang mereka yakini ada di sana. Akan tetapi, segala jerih payah yang dilakukan Kenny belum cukup untuk membuat impiannya menjadi nyata. In fact, film Gold sepertinya tidak punya jawaban pasti antara khayalan dan mimpi bagi Kenny Wells.

Gold adalah film yang dibuat loosely berdasarkan skandal pertambangan beneran yang pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun 90an itu, perusahaan tambang Bre-X Minerals dari Kanada ngeklaim mereka menemukan tambang emas gede di hutan Busang, Kalimantan Timur. Langsung deh stock meroket, Amerika heboh. Namun selidik punya si sidik, eh salah! selidik punya selidik, semua ‘tambang emas terbesar’ itu adalah pemalsuan. Dan blow up setelah penemuan kebenaran ini malah jauh lebih gede lagi. Pihak yang bertanggung jawab kabur, pemerintah Indonesia (kala itu di bawah pimpinan Presiden Suharto) terlibat dalam penutupan ijin tambang dan segala macem, sementara pemilik perusahaannya sendiri mengaku ia tidak tahu menahu, bahwa ia juga telah ditipu oleh rekannya. Film Gold sendiri hanya mengambil latar peristiwa dan mengaburkan tokoh-tokoh asli dengan menggunakan nama-nama plesetan. Kayak David Walsh yang namanya jadi tokoh Kenny Wells, ataupun si geologis Michael de Guzman yang dalam Gold menjadi Michael Acosta. FILM INI LAYAKNYA PARODI yang membuat kita mengangkat sebelah alis mata menanyakan; apakah buaian deretan angka segitu menghanyutkannya sehingga orang-orang bisa ngeoverlook kenyataan bahwa tidak ada emas di sana?

semua orang tersilaukan oleh pantulan cahaya jidat Wells

 

Jika sebelumnya dalam animasi Sing (2016) Matthew McConaughey berjuang mencari uang dan mati-matian melanjutkan usaha gedung teater warisan ayahnya, kali ini dalam Gold, dia kembali melakukan hal yang sama hanya saja sebagai anak pemilik perusahaan tambang. Apa yang dibawa oleh McConaughey dalam penampilannya, however, adalah hal yang pantas untuk diapresiasi. Dia actually nambah berat badan demi menjelma menjadi sosok fiktif Kenny Wells yang berperut buncit. Dan rambutnya; daaanggg, menyedihkan untuk dilihat dan menyeramkan untuk dialami hhihi. Namun karakternya, tho, Kenny Wells tidak pernah terlihat berupaya menyembunyikan garis rambutnya yang menipis. Ataupun dia tidak kelihatan benar-benar melakukan upaya apapun pada pekerjaannya. Aku enggak yakin apakah ini disengaja oleh pembuat film; Kenny is supposed to come off sebagai orang yang enggak tahu apa yang ia lakukan. Tetapi ada beberapa kali ketika menonton ini aku merasa tokoh yang jadi perspektif utama cerita tidaklah semenarik apa yang diniatkan oleh filmmaker.

Jerih payah di lapangan tidak pernah benar-benar diperlihatkan dialami oleh Kenny. Hanya satu adegan memperlihatkan dia kecapean, megap-megap jalan nembus hutan. On the site, perannya sangat terbatas, ditambah sebagian besar waktu dia terbaring tak berdaya kena malaria. Penting bagi sebuah film untuk mempertontonkan tokoh utama sebagai seorang yang cakap, or at least mengerti akan pekerjaannya, but yang Kenny Wells lakukan dalam membuat mimpinya jadi nyata hanyalah duduk-duduk, pasang tampang cemas nunggu laporan dari lab ataupun dari berita keuangan dan bicara meledak-ledak lewat telefon. Perjalanannya serasa dipersingkat, dipermudah. Secara struktur, Gold sendiri terasa kayak roller coaster yang naik turunnya berjarak deket banget sehingga by the time babak kesatu berakhir saja kita sudah kelelahan ngeliat Wells jatoh dan naik segitu seringnya. Nyaris tidak ada surprise emosi yang kita rasakan, kita bisa melihat semuanya datang.

Mungkin karena aku seharusnya bekerja di sekitar dunia pertambangan, aku dulu kuliah di teknik geologi, jadi naturally aku merasa relatable. Juga ada sedikit rindu ngeliat apa yang mereka lakukan dengan sampel core dan kegiatan-kegiatan geologi lainnya. Meski begitu I can’t exactly put myself into the characters. Aku kepikiran Mike Acosta, geologis lapangan yang diperankan oleh Edgar Ramirez, lah yang sekiranya bisa jadi tokoh utama yang lebih menarik. Sebagian besar aksi ada di tangannya. Jika dibandingkan dengan Wells yang sering keliatan clueless, Acosta seemingly is a perfect hero figure. Ditambah dengan twist yang disiapkan oleh film, well it’s not exactly a twist since we’ve already now the outcome of the actual event, karakter Acosta menyimpan layer yang lebih banyak. Filmnya sendiri melakukan kerja yang bagus ngebangun tokoh Acosta untuk kemudian disembunyikan ke background cerita. Kita difokuskan kepada drama hidup Wells. Sekitar midpoint, film benar-benar didedikasikan supaya kita bisa merasakan kasian kepada Wells. Porsi romansa dengan Kay yang diperankan oleh heartwarming oleh Bryce Dallas Howard dimaksudkan supaya kita bisa melihat stake yang dihadapi Wells dengan alasan yang sangat manusiawi; Kay bertindak sebagai nurani film, yang tentu saja – by the law of script writingat some point ditelantarkan oleh tokoh utama.

Susah untuk merasakan peduli kepada karakter yang niat mulianya adalah ngumpulin duit sebanyak-banyaknya bahkan jika tokoh tersebut digambarkan mendapatkan banyak tekanan dari pemangsa-pemangsa lain di dunianya. There’s a scene di mana Kenny beneran berhadapan dengan harimau, yang dengan sukses ia’ jinakkan’. Kenny Wells pada akhirnya tetap terlihat sebagai pemangsa kecil di dalam dunia korup yang penuh muslihat.

abis dibelai Kenny Wells nih jangan-jangan

 

“You sell your dream”, Wells berkata lirih soal pihak ketiga yang memintanya menjual tambang di Kalimantan, “What do you have left?” Di sinilah di mana film ini bicara personal kepadaku. Karena, ironisnya, kalimat pertanyaan serupa juga terlintas di pikiranku ketika memutuskan untuk berhenti sebagai geologis dan fokus ke passionku untuk menulis. Oke curhat, tapi poinku adalah film ini BERUSAHA NGEJUAL TOKOH – DAN CERITANYA – SEBAGAI SEBUAH AMBIGU di mana mimpi dan kenyataan, moral dan bisnis, apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang ingin dan rela kita lakukan, adalah hal yang harus dijawab secara pribadi. Namun penceritaannya malah membuat film terasa sebagai sebuah presentasi yang enggak yakin dia berdiri di ground yang mana. Ambiguitasnya tidak terasa menginspirasi. Kita diminta untuk ‘mendukung’ Wells, namun bahkan McConaughey terlihat unsure saat mengekspresikan karakternya. Ada adegan ketika Wells dan istrinya practically drooling over daratan hijau luas yang ingin mereka bangun rumah, dan I just can’t get behind that. I mean, aku gak bisa bayangin ada penonton yang tersentuh syahdu bilang “awww romantisnya mereka mau gundulin padang rumput indah buat dijadiin rumah megah”

kita bikin sumur di ladang biar banyak yang numpang mandi, horeee!!!

 

Sorotan kepada Indonesia banyak kita temukan dalam film ini. Penggunaan bahasa, tentara, sekilas tentang Dayak, pemerintah. Di sini juga ada aktor yang jadi anak Suharto, tapi namanya jadi Danny hahaha. Tapi sekali lagi perasaan gak yakin itu muncul; kelihatannya mereka enggak benar-benar syuting di pedalaman Kalimantan. Lokasinya terlihat agak off, iya sih di hutan itu ada vegetasi lokal kayak pohon pisang dan sebagainya, tapi rasanya enggak kayak di Indonesia.

 

Ini adalah film dengan banyak istilah-istilah, yang dijelaskan cukup menarik. Matthew McConaughey adalah salah satu dari tak-banyak aktor yang mampu nanganin adegan expository sehingga seolah kita mendengarkan dia langsung mata-ke-mata di mana kita enggak berani nguap di depan mukanya. Penampilan para aktor all around dapet dua jempol. Di babak awal kita akan dibawa masuk ke dalam hutan yang terasa basah, berlumpur, dan mengurung, sayangnya film sering ngeshift tone dengan naik-turun pada narasi. Film begitu concern untuk tampil engaging sehingga malah mencuat uninspiring. Dari segi penceritaan, film ini memang terasa agak berhemat dengan menggunakan style yang mirip-mirip The Wolf of Wall Street (2013). Yang tidak terperhitungkan oleh film ini adalah, jika Martin Scorcese saja tidak bisa benar-benar sukses bikin cerita dan tokoh bisnisman semacam ini menjadi compelling, kesempatan apa yang dipunya film ini dengan menitikberatkan bercerita lewat dialog alih-alih lewat visual?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GOLD.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KONG: SKULL ISLAND Review

“You have enemies? Good. That means you’ve stood for something, sometime in your life.”

 

 

Bertamu ke rumah orang, kita mestinya sopan. Kita enggak gedor pintu depan rumahnya. Kita enggak nyelonong boy masuk tanpa permisi, apalagi kalo belum kenal. Kita enggak lupa nyiram kamar mandi sekiranya kita numpang ‘ngebom’. Heck, kita should never ngebom beneran rumah orang yang kita datengin. Tapi tim ekspedisi dalam film Kong: Skull Island terbang masuk ke pulau misterius yang baru saja ditemukan lewat citra satelit sembari memborbardir daratan. Tim yang terdiri dari beberapa ilmuwan dan sekelompok tentara itu dikirim dalam  sebuah misi pemetaan. Tentu saja, misi tersebut punya tujuan lain dan dengan segera investigasi mereka berubah menjadi acara penyelamatan diri lantaran pulau tersebut ternyata dihuni oleh monster-monster superbesar. Dan yang paling gede di antara mereka, Kong si primata raksasa, enggak demen daerahnya kemasukan tamu asing yang kasar. Berisik pula!

Beberapa sekuens aksi dan kejar-kejaran yang dihadirkan oleh film ini sangat impresif. Dan menyenangkan juga, bikin kita geregetan sendiri. Selalu menarik melihat makhluk-makhluk gede saling berantem. Actually, reboot film King Kong klasik (1933) ini adalah bagian kedua dari, atau katakanlah, ‘sekuel terpisah’ dari seri monster yang dimulai oleh Godzilla (2014). Sepertinya memang mereka berniat buat bikin cinematic universe ala-ala yang dilakukan oleh Marvel. Film ini bahkan PUNYA ADEGAN EKSTRA SEHABIS KREDIT loh. Dan kalo nantinya dunia cerita ini (mereka menyebutnya MonsterVerse) berujung dengan Kong bertemu Godzilla, well kupikir kita sudah tahu siapa yang akan menang. Kita, para penonton!

Monkey see Marvel, Monkey do Marvel

 

Ngeliat Kong menumbuk monster-monster lain adalah hiburan mutlak. It looks very cool. It’s a gigantic monster versus gigantic monster. Kalo itu enggak menghibur maka aku enggak tahu lagi apa kriteria untuk bisa masuk kotak berjudul menghibur. Adegan PERTARUNGAN TERAKHIR SI KONG ADALAH YANG TERBAIK. Sekuensnya selalu disyut dalam wide shot yang panjang dan benar-benar kerasa epik. Jordan Vogt-Roberts, sutradara film indie keren; The Kings of Summer (2013), kepilih untuk ngegawangi film ini. Kayaknya sekarang memang sudah jadi kebiasaan Hollywood buat ngegaet sutradara muda yang udah sukses nelurin karya independen. Godzilla sebelum ini, disutradari oleh Gareth Edwards yang ngeroket dengan film indienya; Monsters (2010). Film Jurassic World (2015) jugak ditangani oleh sutradara indie. It’s nice Hollywood ngasih kesempatan. Namun berkaca dari hasil akhir proyek-proyek blockbuster yang mereka tangani, aku jadi suudzon kepikiran; jangan-jangan Hollywood iri dan sengaja ngasih skrip seadanya buat sutradara-sutradara ini kerjakan.

Mas Hollywood: “Selamat yaah buat 500 Days of Summers”
Mark Webb: “Makasih, Mas. Ajak-ajak dong kalo ada proyek hehehe”
Mas Hollywood: “Oh boleh. Nih!”
(Ngasih naskah The Amazing Spiderman)
Mas Hollywood: “Coba kita lihat bisa enggak kamu bikin jadi lebih bagus”
Mark Webb: (ragu-ragu abis baca skrip sekilas) “Anu..dicoba ya, Mas…”
Mas Hollywood: “Sanggup ya sanggup, enggak ya enggak. Kamu mau gak?!”
Mark Webb: “….Oke deh…”

 

Aku enggak tahu apakah kejadiannya beneran seperti itu, namun setelah selesai menyaksikan Kong: Skull Island, pikiran negatif memang tak terbendung lagi. I kinda feel bad buat sutradara film ini. You know, seolah sutradara-sutradara indie adalah tamu di scene Hollywood, dan penghuni-penghuninya enggak suka kemudian lantas mengospek dengan memberikan materi yang banyak kurangnya.

Ketika di atas tadi aku nulis soal final battle Kong adalah yang terbaik, sebenarnya yang aku maksudkan adalah literally seperti demikian.  Adegan berantem Kong, terutama yang di akhir itu, bener-bener adalah kerja terbaik yang diberikan oleh film ini dari awal sampai akhir. Arahan film ini nyatanya lumayan jelek. Ketika kamera ngeliatin Kong, ya semuanya keren dan seru dan fun. Tetapi ketika kita nunduk ngeliat para tokoh manusia, maka kita akan ngeliat tubuh-tubuh yang siap jadi karung tinju Kong beserta penghuni pulau lainnya. Tidak ada karakter sama sekali. Film ini sempat nyinggung soal hollow earth, well yea, padahal dirinya sendiri sangat kopong dalam pengkarakteran. Editing filmnya juga terlihat kasar, dengan perpindahan yang agresif secara visual. Sebenarnya aku sedih juga ngerasa annoyed sama cara film ini disambung.

Pada bagian action, film ini banyak makek gaya slow-motion yang membuat kita jadi teringat sama film-film action Michael Bay. Sekuen berantem di bar di babak awal diedit dengan begitu parah sehingga kayak film kelas amatir. Mendengar dari musik pada banyak adegan, film ini pengen mengeluarkan suasana layaknya film perang, hanya saja terdengar enggak klop sama ‘dunia’ yang berusaha dibangun oleh ceritanya. Apocalypse Now dengan Moby Dick enggak bisa nyatu sempurna hanya karena kita muterin lagu CCR sebagai latar. And don’t make me start on the humor. Lelucon-lelucon yang terujar di sepanjang film, nyaris semuanya enggak lucu, garing. Film ini berusaha keras buat jadi lucu, but it just doesn’t work. Karena kita enggak dibuat peduli sama tokoh-tokohnya. Karena film ini tidak berhasil menghasilkan tone yang selaras.

 

Hanya dua karakter yang bisa dibilang menarik di dalam film ini. Tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson dan John C. Reilly. Cuma mereka juga yang berhasil bikin kita terkekeh ketawa. Tapi itu pun bukan karena penulisan yang oke, melainkan karena dua aktor ini actually sudah sangat kompeten dan lucu. Kharisma merekalah yang membuat dialog yang mereka ucapkan jadi ngena dan berbobot.

Hank Marlow yang diperankan John C. Reilly punya backstory cukup kompleks sebagai pejuang Perang Dunia Kedua yang terdampar di pulau ini bersama seorang tentara Jepang. Musuh menjadi teman ketika orang ngadepin masalah yang sama. Sejarah tokohnya ini sebenarnya bisa jadi landasan yang compelling sebagai pemantik emosi, namun film memutuskan bahwa Marlow paling suitable jadi karakter eksposisi semata. Marlow yang udah tinggal di pulau sejak Perang tersebut, hanya ditujukan sebagai pemberi info. Dia jadi bintang cuma di adegan eksposisi gede saat dirinya ngajak para tokoh lain ke sebuah ruangan yang banyak gambar-gambar di dinding batu, di sana dia nyeritain sejarah pulau dan peran Kong di pulau tersebut.
Tokoh Samuel L. Jackson, Jenderal Packard, ditulis punya semacam hubungan spesial dengan perang. Dia terlihat bergairah ketika mendapat panggilan tugas ke Pulau, padahal tadinya dia lesu sebab kloternya akan dipulangkan dari medan pertempuran. Penokohannya menarik, ada sesuatu di dalam dirinya, kita bisa rasakan kenapa dia butuh banget berperang. Dia menanamkan rasa dendam hanya supaya dia bisa terus punya misi. Dia ngerasa enggak hidup jika enggak mengangkat senjata, ataupun jika enggak ada perintah.

Apa yang membuat sesuatu kita anggap musuh. “Musuh itu tidak ada, sampai kita mencarinya”, film ini menggelitik kita dengan kalimat tersebut. Pertanyaan yang penting adalah kenapa kita merasa perlu mencari musuh. Dalam film ini, kita melihat Jenderal Packard terus mencari ‘musuh’ karena dia ingin menunjukkan bahwa dia punya prinsip di dalam hidup. Dia punya sesuatu yang ia lindungi, begitu juga dengan Kong. Tapi yang harus disadari adalah kita juga perlu membuka diri karena tidak semua intervensi adalah serangan; bahwa kita bisa unite dalam menghadapi sesuatu yang lebih besar lagi.”

 

Selebihnya, populasi film ini adalah tokoh-tokoh manusia yang kosong. Mereka membosankan. Ada sih yang dibikin punya anak yang menunggu di rumah, tapi kita enggak peduli. Mereka ini adalah tokoh yang diciptakan supaya Kong dan monster-monster lain punya kerjaan. Karakter yang diperankan oleh Tom Hiddleston adalah veteran keren yang jago ngetrack orang dan piawai berantem pake tongkat biliar. That’s it. Dia diajak ke Pulau karena kemampuannya ngelacak. Cuma ada satu adegan di mana dia ngobrol hati-ke-hati mengenai apa yang terjadi di masa lalunya. Tokohnya Brie Larson lebih parah lagi, cewek ini adalah fotografer. Titik, itu karakternya; liat tulang gede, dijepret. Liat suku asli, dijepret. Liat Kong berantem, dijepret. Dia enggak benar-benar ngelakuin apapun, she’s so bland.

syarat casting film ini: cakep, bisa lempar granat, dan bisa lari slow motion.

 

Visualnya juga enggak bagus-bagus amat. Beberapa momen malah terlihat palsu, kelihatan kayak tidak benar-benar ada di sana. Aku mengucek mata ketika melihat satu adegan di babak tiga, di mana Conrad dan Mason berada di antara Kong dengan Packard, karena adegan tersebut kelihatan kayak the worst green screen, kayak yang pernah kita tengok di prekuel Star Wars. Juga ketika Mason mencoba menyentuh Kong, seharusnya adegan ini sangat emosional, tapi jangankan kita, tokoh Masonnya sendiri kelihatan tidak konek dengan adegan tersebut. Jika The Jungle Book (2016) yang disyut di green room dan kelihatan kayak di hutan beneren, maka Kong: Skull Island ini kebalikannya; sebagian besar berlokasi di lapangan betulan, namun malah seluruhnya kayak ditake di dalam studio. Padahal mestinya mereka bisa bermain banyak dengan environment Skull Island yang misterius dan keren.

 

 

 

Usaha yang dilakukan oleh film ini buat nutupin kehampaan karakternya adalah dengan mendedikasikan babak ketiga sepenuhnya sebagai babak aksi dahsyat. Persis kayak yang dilakukan oleh Rogue One (2016). Mereka mengisi film dengan hal-hal yang ngereferensiin sesuatu yang sudah kita kenal sehingga kita excited, dan membawa sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang enggak mateng digarap ke sekuens impresif di babak akhir supaya kita ngerasa “wuihhh!” dan berpikir bahwa ini adalah film yang bagus. Tapi enggak. Ini cuma usaha lain dalam mengulang dan meniru dunia sinematik Marvel demi mendulang uang. Buat yang suka ngeliat Kong berantem lawan monster doang, film ini akan menghibur berat. Namun jika suka liat monster kelahi dan actually peduli sama karakterisasi dan hal lain semacamnya, kalian enggak rugi kok kalo enggak nyempatkan waktu singgah ke hollow world film ini.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for KONG: SKULL ISLAND.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

LIVE BY NIGHT Review

“Night allows the stars to shine”

 

livebynight-poster

 

Selain seorang Batman, kita juga mengenal Ben Affleck sebagai seorang produser, sutradara, writer, dan aktor. Live by Night adalah karya teranyar Tuan Affleck. Cerita film yang ia bintangi ini adalah tentang kehidupan gangster di era prohibition, you know, kala di mana perjudian dilarang, minuman keras dijual underground, dan jalanan dipenuhi oleh tikus-tikus semacam mafia, geng jalanan, dan polisi korup. Tokoh yang Affleck mainkan, si Joe Coughlin, tadinya dia enggak mau ikutan masuk geng manapun. Oke baiknya kita mundur sedikit lagi – tadinya Joe adalah tentara, namun dia melihat begitu banyak yang terburuk dari manusia sehingga dia jadi memilih untuk tidak lagi tunduk pada peraturan, so dia menjadi perampok bank. Dia tidur dengan pacar bos gangster. Dia ngelakuin hal yang tidak seharusnya ia lakukan, deh pokoknya. Siapa yang menanam benih, maka dia sendiri juga yang bakal menuai. Eventually, Joe – dengan peraturan buatannya tersendiri – bergabung dengan salah satu kelompok, dan he’s actually mendapat posisi di mana segala keputusan kerjaan dan penyelesaian masalah geng mereka berada di tangannya. Sepanjang film kita akan ngeliat gimana Joe keluar-masuk urusan dunia hitam pada jaman tersebut, while also mencoba sebisa mungkin menjalani kehidupan normal yang baik bersama wanita yang dia cintai.

Pernahkah kalian melanggar peraturan? Seberapa sering kalian malah jadi pengen dan tertantang untuk nyobain saat dilarang untuk ngelakuin suatu hal? Kata orang sih, peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Kita enggak mau diatur karena kita ingin bebas.Tapi, berontak itu adalah kerjaannya orang bawah. The real outlaw adalah penguasa-penguasa di atas sana, karena mereka akan doing everything to make sure peraturan yang ada tidak kena kepada dirinya dan pihak-pihak yang menguntungkan bagi mereka. Think about that. Joe Coughlin did think about it, makanya dia sekarang hidup dengan menulis aturannya sendiri.

 

By far, HAL TERBAIK DARI FILM INI ADALAH KUALITAS TEKNIKAL yang dimilikinya. Gimana Affleck, dalam kapasitasnya sebagai seorang sutradara, menangani adegan-adegan dalam film. Set Tampa dan kota-kota di sekitar pada tahun 1920an terfilmkan dengan brilian. Terkhusus bagus adalah gimana sekuen-sekuen action digelar oleh film. Ada tembak-tembakan seru. Ada adegan kejar-kejaran mobil yang luar biasa awesome di babak pertama, ketika Joe ngerampok bank. Stuntwork dan arahannya bekerja dengan sama-sama great. Juga ada sejumlah teknik CG yang digabungkan mulus dengan efek praktikal.

Technical qualities sejak 2007’s Gone Baby Gone sudah menjadi kekuatan terbesar yang dimiliki oleh Affleck dalam kiprahnya di dunia penyutradaraan. Kita bisa lihat bukti kalimatku tersebut dalam film Live by Night ini, because ini adalah sebuah film yang sangat tampan, very good looking, dengan bumbu drama yang diracik pas dan tentu saja memberikan kita the rush of terrific actions. Penampilan dalam film ini semuanya excellent. Para pemain mengerahkan segenap kemampuan mereka memberikan emosi dan kehidupan kepada tokoh-tokoh yang ditulis oleh Affleck. Ada backstory yang hebat antara tokoh ayah dan putrinya, diperankan respectively oleh Chris Cooper dan Elle Fanning. Elemen cerita mereka actually sangat kuat, dan bakal menarik kita ke sebuah momen yang intens. Elle Fanning is real good on that particular scene. Ada dua drama cinta yang mekar pada film ini; yang satu adalah relationship yang sangat interesting antara Joe dengan Emma yang diperankan oleh Sienna Miller. Relationship yang satu lagi ditulis dengan niatan sebagai device agar dramanya lebih nohok lagi, yaitu Joe dengan tokohnya Zoe Saldana, Graciela. Dan jangan lupakan hubungan antara Joe dengan para bos mobster di sana.

na-na-na-na-na-na bad maaannn!
na-na-na-na-na-na Bad maaannn!

I say, tiga-puluh-menit pertama film ini sukses menyeretku masuk ke dalam cerita. Aku ingin tahu ke mana Joe bertumbuh setelah ia dipenjara, setelah ia kehilangan the first love of his life. Sayang beribu sayang, setelah masuk babak kedua sampai nyaris seluruh babak ketiga, film ini kehilangan sense bagaimana menceritakan kisahnya. Tidak ada kejadian yang benar-benar menarik yang bisa kta simak hingga adegan tembak-tembakan final datang membangunkan kita dari betapa bosannya film ini.

Dengan kualitas teknis yang mumpuni, tentu saja salahnya bukan pada musik atau kostum ataupun penampilan para pemain. Yea meski pada beberapa adegan aku notice ada frames yang nyambungnya agak off, misalnya pada adegan di stasiun saat turun dari kereta. Itu masih minor sih. Masalah yang sebenarnya itu terletak pada karakter-karakter dalam cerita. Mereka tidak semenarik yang ingin film ini capai. Dalam film Argo (2012), kita melihat arahan Affleck sangat luar biasa dalam menyusun potongan-potongan cerita. However, dalam Live by Night, potongan-potongan cerita tersebut terlihat jelas letaknya mau kemana, dan film ini benar-benar enggak tahu cara yang menarik buat nampilin gimana potongan-potongan tersebut menyatu. Akibatnya, kita merasakan cerita menjadi tidak fokus. It cannot really find it’s footing. Untuk sebagian besar waktu, terasa sekali oleh kita perjuangan film ini membuat elemen-elemen ceritanya menjadi compelling, and it’s not make a very interesting watching experience.

Malam membuat bintang-bintang bersinar. Aku suka mengaitkan kalimat tersebut dengan apa yang terjadi kepada tokoh-tokoh film ini. Particularly, Joe dan Loretta. Mereka berdua sama-sama anak polisi, yang satu jadi tentara – satunya lagi pergi Hollywood menjadi aktris. Dan sekembalinya dari ‘medan’ masing-masing, mereka sudah menjadi orang yang berbeda. Like, jika bintang adalah mereka dan malam adalah dunia kelam yang mereka jalani, so yea mereka mulai menunjukkan sinarnya. Joe took pride pada pandangannya bahwa melanggar hukum bukan berarti kriminal. Loretta menjadi religious dan berdakwah melawan alkohol dan judi dan dosa-dosa yang ia lihat. Mereka memilih malam karena pada waktu itu mereka bisa truly ‘bersinar’. Ada TEMA YANG MENYANGKUT MORAL DAN KEMUNAFIKAN yang berusaha untuk diangkat. Namun somehow, durasi 120 menitan tampak belum cukup untuk film ini as the story malah jadi numpuk gak jelas. Pada akhirnya, karakter- karakter film ini jatohnya hambar. Sisi menarik mereka either got lost atau berakhir abrupt sebagai device cerita.

Kerja di malam hari, tidur di siang hari. Kurasa berat, kurasa berat, beban hidupkuu

 

Secara teknis, ini bukan film yang jelek. Production value film ini top-notch banget. Directorial effort dari Affleck sekali lagi menunjukkan kebolehannya. Sekuens aksinya bikin greget, scoring yang really great. Semua pemain memberikan penampilan yang jempolan. Hanya saja, cerita yang ia sajikan sungguh terasa kempis tho. It looks tight namun hampa begitu dialami. Dull. Dua bagian terpenting cerita film ini, it’s just not that intriguing. Struggle banget untuk menyuguhkan cerita yang compelling. Sayang sekali, film ini definitely adalah karya terburuk dari Ben Affleck sebagai seorang sutradara.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for LIVE BY NIGHT

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

 

LA LA LAND Review

“To (pursue) dream is to accept that you’re going to sacrifice more than you could have ever imagined.”

 

lalaland-poster

 

La La Land merupakan film yang paling berjaya di Penghargaan Golden Globe 2017 kemaren. Nyabet tujuh piala, loh! Dalam drama musikal modern ini, Ryan Gosling jadi Sebastian, seorang pemain piano yang punya passion begitu tinggi terhadap aliran musik jazz. Sementara itu, Emma Stone memainkan Mia yang bercita-cita menjadi seorang aktris. Mereka berdua bertemu dan mulai saling tertarik. Dan mereka kemudian menyanyi dan menari, menceritakan kisah perjalanan menggapai mimpi dengan begitu menawan.

Genre musikal bukanlah genre film yang paling aku sukai, in fact aku malah gak begitu larut dengerin musik secara umum. Namun hal ini bukannya jadi penghalang bagiku untuk menyukai La La Land. Because this is a well-made film. Aku sangat senang menonton film ini. Pertama, aku selalu cinta sama adegan-adegan audisi film dalam film, aku suka film yang menyorot backstage dunia sinema. Kedua, adalah dilihat dari kodratnya sebagai film musikal. The way film ini ngehandle adegan-adegan nyanyi. Begitu ada satu karakter yang mulai bernyanyi lantas menari, film ini membuatnya tampak sebagai progres alami. Kalian tahu, adegan tersebut tidak terasa dibuat-buat, kita instantly konek bahwa mereka bernyanyi dari hati, both literal dan metaphorically. MUSICAL NUMBERS DALAM FILM INI TIDAK PERNAH TERASA ANNOYING. Tidak pernah terasa pisah dari storytelling, tidak terasa seperti “yak, waktunya nyanyiii, semoga suka yaa”. Adegan openingnya saja – para pengguna jalan nyanyi bareng di jalanan yang macet – better dan lebih menyenangkan daripada opening Ini Kisah Tiga Dara (2016).

teletabis, teletabiiiiss!!
teletabis, teletabiiiiss!!

 

Dan oh, betapa cantiknya. Los Angeles, kota para bintang, sangat rupawan tergambar oleh film ini. It looks INCREDIBLE THE WAY IT IS SHOT. Arahan sutradara Damien Chazelle yang hingar bingar namun tetap membuat kita khusyuk menyaksikan adegan-adegan yang mengalun merdu. Editing yang cepat, take-take panjang yang indah, dan sekuens tarian yang elok, semuanya membuka lembar demi lembar cerita dengan mulus sekali. Film ini precise sekali, aku menjadi beneran sedih ketika tulisan ‘Fall’ (re: musim gugur) nongol tepat setelah Sebastian main di grup band electronic-garis-miring-modern Jazz.. Anyway, kalo kalian nanya adegan nyanyi favoritku, maka tentu tentu saja jawabannya adalah ketika Sebastian dan Mia menyanyi dan menari di bukit dengan latar senja LA yang jelita.

Dari scene ke scene, La La Land tampak amat sangat entertaining. Bahkan proses membuatnya pun seperti sungguh menyenangkan. How they played it. I mean, performances dalam film ini sungguh gemilang. Enggak salah kalo film ini diganjar, bukan hanya Best Director, namun juga Best dari penampilan kedua leadnya. Ryan Gosling is always so awesome, ditambah oleh sangat mesmerizing gimana dia memainkan piano itu. Dan Emma Stone memberikan performance terbaik dalam karirnya, sejauh ini. Menakjubkan pencapaian kedua aktor ini. Mereka membuktikan bagus di komedi, bagus di drama, dan bahkan bagus juga di musikal. Masih ingat adegan kocak Stone di Easy A (2010) ini?


When you look at that, kemudian nonton Emma Stone di film La La Land ini, you couldn’t help not to say: “Incredible.”

 

Namun demikian, apa yang paling aku suka, melebihi kualitas teknikal dan penampilannya yang luar biasa, adalah film ini mendorong penontonnya untuk mencapai impian mereka masing-masing; La La Land terasa sangat genuine dalam menyampaikan pesan tersebut, as if film ini dibuat oleh seseorang yang betul-betul paham dan mengerti gimana rasanya bertahan menggapai mimpi.

La La Land adalah surat cinta kepada orang-orang yang penuh passion.

 

Sebastian sangat passionate sebagai pemain piano jazz, akan tetapi dia tidak bisa memainkan apa yang ia suka. Kerjaannya malah mainin Jingle Bells di restoran mewah. Mia tunggang langgang bolak balik ikutan audisi, tapi tidak satu agensi pun yang nunjukin respek; audisinya terpotong singkat, tidak ada orang yang sungguh-sungguh memperhatikan usahanya. La La Land nunjukin gimana pretentious dan absurdnya dunia, khususnya dunia hiburan di LA. Namun apa yang sesungguhnya dilakukan film ini adalah mengguncang keras orang-orang yang punya passion di luar sana. Orang-orang yang punya mimpi. Orang-orang yang ingin sukses melakukan apa yang mereka cintai. Film ini menyuruh mereka untuk ambil tindakan dan lanjutkan kejar mimpimu, tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang lain.

There is this one incredible scene. Sebastian dan Mia duduk dengerin band mainin Jazz di sebuah klub. Sebastian ingin Mia untuk mengerti keindahan musik ini. Dia ‘memaksa’ Mia untuk mendengarkan Jazz sebagaimana dirinya sendiri mendengarnya. Sebab Mia bilang baginya Jazz adalah sebatas musik yang menenangkan, musik lembut yang biasa ngiringin dia naik-turun di dalam elevator. Sebastian got so passionate about it, bisa dibilang kinda marah. Sebastian jengkel kenapa tidak ada yang mengapresiasi musik ini apa adanya – sebuah seni. I love how passionatenya Sebastian tergambar dalam adegan ini. As for the relationship, Sebastian dan Mia ini manis banget the way mereka saling support, masing-masing menggapai apa yang mereka cinta because they fall for each other.

jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga
jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga

 

Personally, aku merasa sangat related kepada both Sebastian dan Mia. Sebastian ingin mainin Jazz, punya klub sendiri, karena dia ingin ‘menyelamatkan’ that dying music genre. Mia ingin punya teater sendiri karena dia cinta bercerita. So they keep digging and digging. Terus menemukan dan mengejar mimpi. Namun kenyataan selalu berhasil menyusul ekspektasi. Mesti ada pengorbanan yang dilakukan. Ketika kita punya begitu banyak dan tidak bisa membuatnya seimbang, akan selalu ada pain yang involved.

Nyanyian Mia menjelang akhir, lagu yang magical banget itu, “Here’s to the one who dream, foolish as they may seem..” buatku terasa seolah dia bersenandung langsung di telingaku. Mendorong untuk terus. Because apa yang mereka lakukan, aku juga melakukannya. That’s what I’m doing here. Aku menulis review ini meskipun aku tahu tidak akan ada yang baca. Aku tetap saja nulis karena aku peduli sama film. Aku mau film terus menjadi bagus. Aku mau bisa bikin film yang bagus. No one would hire me to write so I’m trying to build my own platformthis blog. Kayak Mia yang gagal audisi lagi-dan-lagi, jadi dia menulis ceritanya sendiri. Aku ikutan Nulis Bareng Lupus karena ingin ‘nyelamatkan’ Lupus dari peremajaan-yang-berlebihan, I’ve told this ke mas Hilman Hariwijaya himself, tapi mereka mau beregenerasi dan move on, so I took the risk. And I failed. Tidak berarti berhenti mengejarnya. Yea, film ini punya banyak emotional note buatku, terutama di pertengahan hingga ke akhir.

Semua orang berjuang menggapai mimpi. Banyak yang saling bentur, passion dengan kerjaan. Idealisme dengan realita. Eventually, everything wil be. Kita bisa kapan saja berhenti ngelakuin hal yang tidak kita suka, namun tidak semua orang akan melihat appeal dari apa yang kita inginkan. Lalu bagaimana kita hidup? Dengan menjadi diri sendiri. Tokoh-tokoh film ini don’t shy away dari konsekuensi pilihan yang mereka jalani.

Cari makan, ya cari makan. Ngejar mimpi, ya ngejar mimpi. Sah-sah saja. Hanya saja, jangan bilang pengen ideal, tapi cari makan. Jangan bilang ingin cari makan, kemudian sok berdilema mau-tap- enggak-bisa menjaga kualitas karenanya. Selalu ada pengorbanan. Lakukanlah apa yang dicinta. Lakukan apa yang mesti kau lakukan demi yang dicinta.

 

 

 

Grand Piano (2013), Whiplash (2014), dan sekarang film ini; jelas sekali Damien Chazelle terinspirasi oleh musik. Dan sebagai filmmaker yang masih terhitung muda, tampak benar dia mengerti gimana rasanya menginginkan mimpi, passion, terwujud. Dia mengerti godaan, struggle, dan ultimately pengorbanan yang harus dilakukan agar mimpi tersebut menjadi nyata. Dan film ini sukses berat menceritakan semua tersebut dengan balutan musikal yang hebat. Adegannya mengalun seamlessly. Semulus para pemain menghidupkan perannya. This is one of the best directed movies tahun 2016. This is one of the best musical movies of all time.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for LA LA LAND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

Nocturnal Animals Review

“Revenge is a dish best served cold.”

 

nocturnna_final_onesheet

 

Sejak Enemy (2013), aku sudah ngambil keputusan bakal nonton setiap film yang dibintangi oleh Jake Gyllenhaal, because they tend to be super good dan menantang. Nocturnal Animals untungnya, belum berhasil membuktikan keputusanku salah karena film ini sungguh adalah tontonan yang unik, dengan gaya bercerita yang sangat unconventional. Director Tom Ford juga gak salah saat dia ngambil keputusan untuk stray sebentar dari kerjaannya sebagai fashion designer, karena Nocturnal Animals adalah (baru) karya keduanya dan merupakan film yang benar-benar bakal ngokohin namanya as he outdoes himself dalam film ini.

Jika kalian adalah tipe penonton yang suka ngerenungin film, hingga lama setelah ketika kalian menontonnya, bahkan sampai ingin menonton lagi just because kalian ingin melihatnya dari sudut pandang lain, maka kalian akan sangat mengapresiasi Nocturnal Animals. Film ini punya TIGA NARASI yang saling paralel. Begitu kita menyadari gimana tiga storyline tersebut berhubungan, kita akan mengerti bahwa ultimately mereka bakal membentuk suatu bigger picture dengan makna yang jauh lebih dalam dari kelihatannya. Aku actually sampe ngebawa tidur mikirin film ini, jadi kayak binatang malem beneran haha.

salah satu misteri yang belum terungkap adalah kenapa Jake Gyllenhaal belum dinobatkan sebagai greatest actor of this present time hingga saat ini.
Salah satu misteri yang belum terungkap adalah kenapa Jake Gyllenhaal belum dinobatkan sebagai greatest actor of this generation hingga saat ini.

 

Sebagai tubuh cerita, kita ngikutin Susan Morrow (Amy Adams is very good in here), seorang seniman dengan dandanan yang senantiasa cantik, tetapi not doing so great in her life right now. Susan kemudian mendapat kiriman naskah novel dari mantan suami, Edward (masih perlu aku bilang lagi kalo Jake Gyllenhaal mainnya luar biasa?). Sudah 19 tahun Susan tidak mendengar kabar tentang Edward. Susan mulai membaca dan terenyuh oleh kisah bestseller tersebut. Kita mendapat visualisasi dari yang ia baca – sebagai layer cerita kedua – kita get to see gimana cerita thriller tentang keluarga Tony Hastings yang mendapat masalah dengan sekelompok preman di jalanan ladang di Texas. Kita juga bakal dibawa mengarungi masa lalu saat Susan dan Edward pertama kali bertemu melalui flashback yang menyertai kegundahan Susan membaca cerita.

Kecantikan visual dan pesona para pemain membuatku kagum sama film ini. Dimainkan dengan extremely well. Michael Shannon yang jadi polisi, berlakon amat menakjubkan. Aaron Taylor-Johnson is flat out nyeremin sebagai salah satu preman dalam naskah cerita karangan Edward, dia beneran membuatku takut dan jijik. Dan itu pujian loh! Aaron supposedly memainkan seorang yang creep us so much, dorongan membenci karakternya sangat gede, dan Aaron sukses berat memportray karakter tersebut. Diarahkan dengan sangat baik, tone filmnya sangat intense. Film sesungguhnya adalah pengalaman subjektif, dan aku terkadang merasa film ini susah untuk ditonton. Nocturnal Animals patut dipuji untuk keberaniannya untuk menjadi aneh dan berbeda, I mean, adegan pembukanya saja sudah lebih dari cukup untuk mengeset tone betapa uniknya film ini.

Namun kedalaman filosofisnya lah yang membuatku tetap betah mengikuti cerita. You know, tidak susah untuk menganggap ini adalah cerita tentang balas dendam. Film ini penuh oleh petunjuk-petunjuk visual – jaga matamu untuk tetap terbuka! – dan terkadang mereka terpajang jelas seperti lukisan tulisan Revenge yang dipandangi oleh Susan.

I’d like to think this film is more than that.
Terlalu kekanakan kalo ending film ini adalah tentang Edward balas dendam dengan gak dateng ke janji makan malam dengan Susan, thok!

Penting bagi kita untuk mengingat bahwa kita memandang film ini dari perspektif Susan. Bayangkan saja jika kalian tiba-tiba mendapat kabar kesuksesan langsung dari mantan yang dulu kita putusin lantaran kita pikir dia was not that good. We would think that is an ultimate “suck it!” phrase dari si mantan, bahwa mungkin ada maksud mengejek atau apa darinya. Susan langsung menghubungkan apa yang ditulis Edward dalam cerita yang intens oleh kebencian dan kemarahan dan kekerasan itu dengan apa yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Ada begitu banyak simbolisme dan metafora yang, kadang terlalu jelas, membuat Susan dan kita mengaitkannya dengan masalalu mereka. Reaksi pertama Susan adalah menghubungi putrinya karena tokoh putri keluarga di dalam cerita Edward mengalami nasib naas. Semakin terlarut membaca, Susan menginterpretasikan bahwa yang dialami tokoh Tony adalah refleksi terjujur dari apa yang selama ini Edward rasakan akibat dari akhir hubungan mereka. Hal ini membuat Susan jatuh cinta lagi kepada Edward, karena as the film shows us, Susan senantiasa terpikat oleh inner strength yang ia akui tidak dia miliki. Kita juga belajar soal relationship Susan dengan pasangannya-sekarang, she’s unhappy. Kata ‘balas dendam’ tetap terpatri di dalam diri Susan. She is a woman of action. Dan ini membuatnya failed melihat apa sebenarnya tujuan Edward mengirimkan naskah yang diberi judul sama dengan her old nickname.

Nocturnal Animals adalah binatang yang beraktivitas di malam hari. Tulisan Edward mempengaruhi Susan so much, dia tidak lagi bisa tidur tenang. Oleh kegelisahan. Oleh rasa bersalah. Film Nocturnal Animals diperuntukkan kepada orang-orang yang begitu larut dalam kegalauan, sehingga sedih dan sesal terpancar dari matanya, seperti yang diungkapkan oleh Edward. Sengaja atau tidak, Edward sudah mengirimkan novel yang membuktikan kesalahan Susan. Yang dikirim Edward pada dasarnya adalah ‘balas dendam’ yang actually beribu kali lebih sakit daripada tindak yang dilakukan Susan, for naskah ceritanya sudah memberikan sesuatu yang ditafsirkan Susan sebagai harapan, yang dibiarkan menggantung sampai menjadi dingin.

 

 

Aku sangat menikmati film ini walau ada beberapa momen yang terasa sedikit terlalu pretentious dan orchestrated. Saat kita mulai menyambungkan petunjuk-petunjuk visual yang menghubungkan kejadian di masa lampau dengan apa yang terjadi di masa kini, ataupun dalam cerita novel, kerja Tom Ford dalam menyampaikan tema terdalemnya kadang terasa sedikit sloppy. Seperti lukisan tulisan Revenge tadi, sometimes things terlalu literal dan enggak begitu kohesif. Ada beberapa pertanyaan yang tak-terjawab, namun sebenarnya masih bisa dimaafkan mengingat ini adalah jenis film yang memiliki kadar metafora yang tinggi.

Cerita Tony adalah pesan yang nunjukin Edward-yang-lama sudah mati; bahwa kini Edward sudah menjadi better person. Keindahan cerita ini sebenarnya terletak di motivasi Edward yang dibiarkan tetap terbuka bagi interpretasi masing-masing penonton. Mengundang kita untuk berpikir. Mengundang berbagai teori bermunculan soal alasan ketidakmunculan Edward di ending. Apakah dia memang sengaja? Apakah Edward masih takut terluka jika kembali bertemu Susan? Atau apakah Edward meninggal – entah bunuh diri atau punya terminal illness seperti tokoh polisi dalam ceritanya? Aku pribadi lebih suka menganggap Edward simply sudah bisa move on, bahwa mengirimkan novel tersebut adalah tindaknya mengakhiri 19 tahun episode buruk dalam hidupnya, dan Susan is too late menyadari hal tersebut.

Keadaan terpuruk mendorong kita untuk menjadi semakin kreatif. Seperti kebanyakan lagu hebat tercipta dari pengarang yang patah hati. Edward mungkin tidak akan pernah bisa menulis novel sehebat Nocturnal Animals jika ia tidak mengalami semua yang telah dilakukan Susan kepadanya. Film ini pada dasarnya bicara tentang kekuatan mengekspresikan hati lewat seni. Melalui tulisan, Edward overcome kelemahannya. Dan Susan adalah kebalikan total dari Edward; Susan terlalu sibuk sama impresi. She puts on art shows, she puts on make up. Susan tidak menyipta, ia tidak menyinta, ia tidak mampu untuk mengeskpresikan dirinya. Itulah sebabnya kenapa Susan tidak bahagia.

To express, not to impress.
To express, not to impress.

 

 

 

 

 

Film yang berani tampil beda ini punya arahan yang hebat. Didukung penampilan dahsyat. Tiga storylinenya ditutrkan dengan sungguh intens. Bertebar banyak simbolisasi dan metafora, film ini berpuisi lewat visual. Ada lebih dari sekadar soal balas dendam yang ingin disampaikan. Ini adalah apa yang terjadi jika kita membiarkan cinta pergi dari hidup.
Let me know apa interpretasi kalian terhadap akhir cerita Nocturnal Animals, I’d like to read and discuss about it, sampe enggak tidur – kalo perlu.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for NOCTURNAL ANIMALS

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 

 

 
We? We be the judge.