CARIFILMS, Website Database Film Terlengkap Berbahasa Indonesia

Ada satu website baru bernama Carifilms yang baru aja dibuat akhir tahun 2019 dan langsung dapat banyak perhatian! Kalau kamu belum pernah dengar soal website ini, lebih baik langsung cek! Website ini adalah website movie database terbesar dalam Bahasa Indonesia yang film dan serialnya di-update setiap hari.
Teman-temanku sering nih, pengen menonton film Indonesia. Bareng-bareng pergi ke bioskop, tapi lantas bingung. Ada beberapa film Indonesia yang ditayangkan, cuma filmnya gak terkenal. Jadi mereka nyoba buat googling tentang film itu (kalo baca reviewku takut kena spoiler katanya hihi), ya seengganya biar pada tau trailer, sinopsis, sama cast-nya. Eh tapi tetep aja susah dapet infonya. Jadinya menghabiskan hampir setengah jam buat nyari tau info tentang film-film itu dan diskusiin mau nonton yang mana. Akhirnya, pas udah nentuin mau nonton film yang mana, eh taunya udah telat dan akhirnya mesti nunggu sejam setengah lagi sampai jadwal berikutnya. Dan mau tau yang lebih parah? Setelah ditonton ternyata filmnya ga jelas dan ngebosenin! Aku sendiri juga ngalamin kalo lagi nulis review film Indonesia. Kadang nyari datanya susah sekali.
Sekarang hal-hal kaya begitu gak akan kejadian lagi, soalnya ada website Carifilms. Di sana udah ada info-info lengkap film-film yang tayang di bioskop Indonesia. Lengkap sama rating-nya sekalian. Jadi sebelum beli tiket di bioskop, bisa cek-cek dulu filmnya. Hanya dalam hitungan menit!

 
Tentu saja kamu bisa menyarankan buat ngecek film di IMDB, RottenTomatoes, atau website lainnya. Tapi tapi, website-website itu gak ada versi Bahasa Indonesianya. Masih ada lebih dari 100 juta orang Indonesia yang tidak berbahasa Inggris. Dan sekalipun kamu bisa Bahasa Inggris, aku yakin kalau lagi capek dan pengen nonton pasti enaknya baca-baca info pake Bahasa Indonesia aja kaan.
Terlebih lagi, website-website tersebut masih kurang memperhatikan film-film Indonesia atau Asia pada umumnya. Misalnya aja film “Dua Garis Biru”, ini adalah salah satu film Indo paling populer tahun 2019. Jutaan orang nonton film ini, ya setidaknya pasti pernah ngedenger soal film ini. Coba cek di IMDB, info dua aktor utamanya aja, Zara JKT48 sama Angga Yunanda ngga ada. Trailer filmnya juga ngga ada.

 
Salah satu misi dari Carifilms ini adalah agar orang lebih memperhatikan info film dan aktor-aktor lokal, biar gak kalah sama yang internasional. Kadang-kadang emang susah cari info aktor atau aktris lokal walau mereka sebenarnya cukup terkenal. Contohnya adalah Izzi Isman, dia merupakan salah satu aktris film “Modus Anomali” yang namanya sempat viral karena kedekatannya dengan member EXO. Bahkan nyari info tanggal lahirnya aja susah. Namun kami ngga nyerah gitu aja, beberapa waktu lalu Carifilms berhasil mewawancarai Izzi Isman dan kami bertanya banyak hal termasuk film rekomendasi dari dia. Hasil dari wawancara ini pun bisa kalian cek di bagian artikel.

 
Website Carifilms bisa juga dipakai buat share review dan diskusi tentang film bersama sesama penonton dan penggemar film lho. Di sana sudah terdaftar hampir 6000 film, serta serial tv, yang juga dilengkapi sama review dan rating. Selain itu, kalau kalian ada pertanyaan, bisa langsung tanya aja di film itu dan orang lain akan menjawab pertanyaan kalian!

 
 
So let’s check out Carifilms!
Carifilms website : https://carifilms.com
Twitter : @Carifilms
Facebook : Carifilms
Instagram : @carifilms
 

MY STUPID BOSS 2 Review

“The most truly generous persons are those who give silently without hope of praise or reward.”

 

 

Mendapati harga oleh-oleh di Vietnam cukup mahal, Pak Bossman dalam My Stupid Boss 2 mengajukan usulan menakjubkan supaya dia dan para karyawannya sebaiknya bertindak dan kelihatan seperti orang lokal. Maka duit kantor yang bahkan untuk makan saja diirit tersebut dikeluarkan untuk membeli pakaian yang melengkapkan ‘penyamaran’ mereka sebagai penduduk sana.

Setelah satu film, tetep saja kita – dan tentunya Diana ‘Kerani’ beserta rekan-rekan kantornya yang lain – masih belum bisa mengerti logika yang berjalan di dalam kepala si Bossman. Pria ini pelit banget kayak Paman Gober, tapi suka mamerin motor baru yang ia beli. Bossman menikmati menyuruh orang lain memperhatikan kehebatan dirinya, namun juga dengan lincah mengucapkan lebih dulu “gak ada duit” setiap kali ada orang yang datang kepadanya. Keunikan karakternya ini memang lantas menjadi lucu, dan dalam film kedua yang masih tetap digarap oleh Upi Avianto, Bossman kini mengambil alih pusat cerita. Karena kepelitan dan ke-gakmautahuan-nya sama mesin kantor yang pada rusak, sebagian karyawan angkat kaki dari pabrik furnitur miliknya. Alih-alih mendengarkan ‘nasihat’ Kerani untuk memperbaiki sikap – dengan kocaknya malah balik menuding semua gegara Kerani yang terlalu judes -, Bossman yang kebetulan diundang ke Vietnam memutuskan untuk mencari karyawan baru langsung ke pedalaman desa Vietnam. Supaya murah!

baru tau kan nama asli Bossman itu Hendrik Suryaman, dasar IQ tempe semua!

 

Mendebatkan kemampuan akting Reza Rahadian sepertinya bakal sama membuang-buang waktunya dengan menyuruh Bossman beliin mesin kayu yang baru. I mean, kita semua tahu Reza adalah salah satu aktor yang sudah teruji mainin karkater bermacam rupa. My Stupid Boss ini tak pelak hidup berkat penampilan aktingnya memainkan sosok bos yang kita semua pengen tendang bokongnya. Nyebelin, tapi juga kocak. Dalam film ini kita pun bakal tergelak melihat tingkah lakunya terhadap para karyawan. Terutama pada Kerani. Tokoh Kerani boleh saja sudah dikurangi, cewek ini nyaris tak membuat keputusan apa-apa – dia hanya bereaksi terhadap aksi yang digerakkan oleh Bossman. Tapi banter Bunga Citra Lestari dengan Reza secara konstan menjadi pemantik tawa. Pool jokes yang dimiliki oleh naskah juga tetap luwes lantaran film ini mengambil setting di negara tetangga. Kita masih akan melihat gimana benturan bahasa diracik dengan menyenangkan. Film benar-benar tahu apa yang kocak dari masing-masing negara yang menjadi latar tempat cerita. Kehadiran Morgan Oey menjadi warga Malaysia yang sekarang tinggal di Vietnam totally mencuri perhatian. Dia bahkan gak perlu rambut palsu dan sumpelan apapun untuk tampil meyakinkan sebagai penduduk lokal.

My Stupid Boss 2 memang mengekspansi dunia cerita ke Vietnam, dalam rangka mencari materi komedi in sense of writing, tetap sayangnya keseluruhan narasi film ini seperti jalan di tempat jika dibandingkan dengan film yang pertama. Dan biar aku ingatkan sedikit, film pertamanya itu pun sesungguhnya hadir nyaris tanpa plot. Reviewnya bisa kalian baca di sini. Masalah yang dihadirkan tetap sama; pandangan bagaimana orang seperti Bossman bisa hadir di dunia. Dan kita sudah tahu Bossman nyebelin tapi hatinya baik. Film kedua ini mungkin mendengar kritikan terhadap Bossman di film yang pertama; bahwa dia dibuat manusiawi dengan begitu mendadak, di babak akhir tiba-tiba saja dia diperlihatkan sisi baiknya, karena dalam film kedua ini sejak babak awal kita sudah diperlihatkan hal tersebut. Masalahnya adalah, tidak ada plot karakter dari Bossman. Tokoh ini dibuat dengan premis ‘nyebelin tapi baik’ tanpa ada penggalian atau development seperti tokoh-tokoh film seharusnya. Dari awal film sampai akhir dia sama aja. Kerani di film kedua ini juga sama jalan di tempatnya. Jika pada film pertama paling tidak dia belajar untuk mengenal siapa yang ia sebelin itu, maka di film kedua ini tidak ada lagi pembelajaran yang ia jalani. Tidak ada penyelesaian masalah yang konkrit pada film ini, sebab masalah yang hadir juga tidak benar-benar menambah kepada bobot penokohan. Dan hal tersebut dapat kita simpulkan terjadi lantaran memang film ini hanya berniat untuk lucu-lucuan semata. Gangster India dan Mafia Cina yang mengancam dan menawarkan secercah konflik dan stake, pada akhirnya juga ternyata hanya tuas komedi – klimaksnya mereka dance-off nari India versus koreo boyband. There’s no real story. Narasinya tidak punya struktur yang kuat.

Dalam ekonomi sekarang, mungkin maklum-maklum saja jika pelit ngeluarin duit. Asal jangan pelit hati. Bossman menjadi karakter yang menarik karena di balik kepelitan itu, dia sebenarnya peduli. Dia memang tidak menunjukkan. Tetapi dari sikap Kerani dan para karyawan yang dekat dengannya kita tahu bahwa hati Bossman sudah memberikan sesuatu kepada mereka semua.

 

Rasa-rasanya baru kali ini aku menonton sebuah cerita perjalanan yang tidak ada pencapaian apa-apa; yang tokohnya tidak mendapat pelajaran apa-apa baik secara inner maupun outer. Bossman tidak berhasil mendapat karyawan yang baru (meskipun kita bisa berpendapat dia tidak kehilangan orang yang benar-benar penting di sekililingnya). Bossman tidak pernah diperlihatkan terpengaruh sama karyawan yang benar-benar angkat kaki. Masalah dia sebagai ‘orang ketiga’ dalam rumahtangga Kerani hanya sebagai candaan. Pabrik mereka tak pernah diperlihatkan ada pembenahan dan dianggap penting banget oleh naskah selaih cuma soal lokasi dan situasi untuk komedi. Masalah keuangan yang menimpa selesai dengan mudah, adapun implikasi yang lebih serius malah digantung sebagai komedi.

kusangkakan lucu berpanjangan, rupanya meringis mengundang

 

Memang sih film ini kocak, namun saat berjalan empat-puluh menit aku tetap tidak menemukan plot, journey, apapun yang signifikan. Pembelaan yang ada ialah film ini diniatkan sebagai komedi, but I can’t really just take that. Sebab banyak film komedi yang mampu tampil berisi. Lagipula, di menit-menit awal film ini menyerempet banyak hal mulai dari Pemilu, kediktatoran, hak warga negara – tampak seperti memparalelkan keadaan di kantor pabrik mereka dengan keadaan negara. But it was a false sign. Film ini ternyata lebih seperti eksperimen PHnya untuk mencari (atau malah menerapkan untuk memfamiliarkan) formula Warkop yang baru. Semua yang kusebutkan pada review film pertama, masih bisa diaplikasikan untuk film ini. Begitulah ‘tidak ada perubahan’ yang terjadi pada My Stupid Boss 2.

 

 

 

Lucu dan memikat perhatian karena mengambil setting negara tetangga, dan memainkannya sehingga terasa ‘jauh tapi dekat’. Harta yang paling berharga yang dipunya oleh film ini adalah penampilan akting dan komedi-komedi yang datang dari parodi budaya-pop negara-negara Asia Tenggara. Sayangnya film ini very disposable. Karena tidak ada cinematic journey. Dan ini ironis karena dalam cerita, tokoh-tokoh film ini melakukan perjalanan ke negara lain. Jangankan dari awal hingga akhir, dibandingkan dari film pertamanya saja film ini tidak terasa begitu banyak perubahan. Kita bisa menonton film ini dan tertawa, merasa terhibur, dan ketika filmnya berakhir kita tidak merasakan sesuatu seperti yang biasanya terasa ketika menonton film.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for MY STUPID BOSS 2.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa menurutmu Kerani masih mau bekerja untuk Bossman? Pernahkan kalian punya pengalaman mendapat bos yang seperti Bossman? Seberapa kikirnya sih kamu secara emosional?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MERAH PUTIH MEMANGGIL Review

You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain”

 

 

Sesungguhnya mati sebagai pahlawan atau hidup cukup lama kemudian menjadi penjahat itu bukan pilihan. Karena kita enggak bisa memilih untuk menjadi pahlawan. Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan pengorbanan, keberanian. Enggak sekedar mejeng di uang kertas atau nampang jadi nama jalan. Kita enggak bisa mutusin untuk nolong orang lalu mati supaya bisa minta “ntar patung gue dilapis emas ya”. Meski ikhlas kerjaan mereka gak pernah enak, tentara-tentara dalam Merah Putih Memanggil jelas tidak akan ngarep sukur-sukur mereka gugur di medan perang. Mereka punya keluarga yang menanti di rumah. Bahkan pada detik-detik peluru menghujani tubuh mereka, mereka tidak tahu mereka adalah pahlawan.  Dan itulah poin gede kalimat yang diucapkan Batman di atas;

Kita belum menjadi sebenar-benarnya pahlawan selama kita masih menyadari kita memilih melakukan sesuatu yang heroik. Pahlawan adalah penghargaan terbesar yang bisa diberikan orang lain atas tindak pengorbanan dan kemanusiaan yang kita lakukan.

 

Sekelompok teroris menyandera tujuh orang penumpang kapal pesiar di dalam pulau persembunyian mereka. Which is just outside of Indonesia’s jurisdiction. Demi keselamatan warga negara yang merupakan salah satu dari sandera, angkatan militer Indonesia bermaksud melakukan penyusupan. Masuk ke pulau, keluar dengan membawa para sandera. Tentara gabungan Indonesia hanya diberikan waktu 48 jam untuk melaksanakan operasi Simpel. Namun  bukan tanpa bahaya. Dalam pulau yang tak ramah tersebut, segala rencana yang disusun bisa berantakan oleh pertanyaan moral. Ini berubah menjadi misi hidup atau mati yang mengerikan. Para tentara harus mengawal sandera-sandera ke titik penyelamatan, secepat dan seaman-amannya, menyusuri hutan yang dipenuhi oleh pasukan teroris. Mereka literally dikejar peluru, satu persatu gugur berjatuhan.

“sekarang kita istirahat, silahkan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kenalan dan pengembangan karakter”

 

Belum lama ini kita sudah menyaksikan gimana Christopher Nolan menembus batasan film perang lewat Dunkirk (2017), ada begitu banyak terobosan yang dibuatnya dari segi filmmaking, dan juga bercerita. Nolan dengan berani menaruh kita so in-the-moment of war, sehingga kita tidak perlu mengenal para tokoh untuk menjadi peduli. Makanya, begitu menonton Merah Putih Memanggil, ada perasaan sedikit aneh. It’s just like, we revert back to that time. Mungkin perbandingannya memang terlalu jauh, namun T.B. Silalahi tidak melakukan inovasi dalam cerita garapannya ini. Tidak ada pilihan-pilihan baru yang diambil. Trope-trope seperti prajurit yang ninggalin istrinya yang sedang hamil kembali kita temukan sebagai langkah mudah dalam usaha memancing sisi dramatis. Film ini diniatkan sebagai epos tentang KEPAHLAWANAN DAN KEPERKASAAN KEKUATAN MILITER INDONESIA, dan mereka melakukannya dengan triumphant, mengusahakan terbaik yang mereka bisa. Tetapi  sesungguhnya ada begitu banyak yang bisa dilakukan untuk mengimprove ataupun membuat film ini menjadi lebih menantang dan menyenangkan lagi untuk kita tonton.

Sinopsis resmi film ini mengatakan tujuh sandera adalah orang-orang dari kewarganegaraan yang berbeda. Sayang sekali, tidak banyak dari mereka yang diberikan kesempatan berbicara, apalagi diberikan perspektif yang dalem. Menurutku, film benar-benar melewatkan kesempatan besar di sini. I mean, warga negara A, B, C disandera bareng oleh warga negara D, disekap di pulau negara E, diselamatkan oleh negara C, mereka bisa menciptakan dialog dan konflik kemanusiaan skala global di sini. Tapi enggak, film hanya tertarik memperlihatkan sedikit backstory tokoh-tokoh yang nantinya dibuat tewas supaya kita bisa kasihan sama mereka. Perang menarik karena kita tidak semestinya melihat tragedi tersebut sebagai sesuatu yang hitam putih. And it looks like this film didn’t get that memo. Cerita tidak pernah mengeksplorasi sisi teroris, siapa mereka, kenapa Ariyo Wahab menculik orang-orang berkewarganeraan berbeda, kenapa dia bisa punya seragam dan pasukan sendiri. Apakah dia hidup terlalu lama sebagai tentara sehingga beneran berubah menjadi penjahat?

Di sisi lain, toh film ini juga punya sisi menarik yang muncul ke permukaan saat babak ketiga. Ada keretakan dalam barisan musuh sebab mereka enggak tahu berhadapan dengan siapa. Aku suka dengan plot poin ini, karena di awal film sudah menetapkan bahwa sebelum berangkat, tentara Indonesia menanggalkan semua identitas dan atribut negara. Mereka enggak ingin dikenali sebagai tentara Indonesia oleh musuh, mungkin dengan alasan politis. Ini menciptakan misteri di pihak musuh. Poin ini juga dimainkan dengan baik, di mana di akhir pertempuran, ada satu tentara yang memutuskan untuk mengikat perban berlumuran darah di kepala, memakainya sebagai bandana, dan tindak ini adalah berupa kebanggaannya bertempur atas nama Indonesia. Film mestinya banyak memasukkan hal-hal subtil seperti ini, karena ini feelnya dapet banget.

Plis jangan marahin Lexis, dia bukan tentara. Dia bukan superstar, kaya dan terkenal.

 

Babak satu adalah babak set up standar yang sangat terbebani oleh banyaknya eksposisi. Kita mendengar detil rencana mereka, kita mendengar informasi dengan istilah-istilah militer. Menurutku bagian inilah yang paling membosankan. Aku juga merasa ada tone yang kontras antara babak satu dengan babak tiga. Di tiga puluh menit awal, film seperti bermain aman. Adegan tembak-tembakannya bersih, tidak ada darah berlebihan, kamera juga sering ngecut dengan cepat – beralih dari adegan yang cukup menegangkan, seolah film ini ingin meminimalisir kekerasan supaya bisa dapet rating Remaja. Kupikir, ini adalah keputusan yang aneh. Sebab film perang akan susah sekali meyakinkan jika enggak berani mempertontonkan kekerasan. Dan sepertinya film ini pun setuju, sebab di babak tiga mereka seakan bilang “ah sebodo amat” dan kita dapat adegan orang menggigit putus jarinya sendiri. Bagian aksi pun seketika meningkat di babak ketiga. Quick-cut dan kamera yang goyang berkurang, kita lebih mudah grasp towards the scenes. Karena di bagian sebelumnya, editing bagian aksi tampak chaos sekali, kita enggak bisa tau pasti siapa nembak, siapa yang mati, mereka ada di mana, dan lain-lain.  Adegan penyusupan awal, saat tentara terjun payung masuk ke wilayah teroris, tidak terasa intensitasnya. Build upnya ada namun teroverlook oleh kasar dan abruptnya editing – penyatuan adegan.

Malahan, ada beberapa adegan yang jatohnya kocak dan mengundang tawa penonton. Tentara menembak sarang lebah terus pasukan teroris kabur disengat kayak adegan Tuyul dan Mbak Yul, sukses bikin empat pemuda berbadan kekar yang nonton di barisan di depanku ngakak. Para pasukan sempat-sempatnya ganti riasan kamuflase, mereka ngumpet di semak-semak, lucunya adalah hutan mereka enggak serimbun itu. Akting sedikit kaku dari tokoh tentara bisa dimaafkan sebab mungkin memang begitulah tentara di dunia nyata. Sesungguhnya set dan properti juga terlihat genuine, dan mungkin memang ‘sesederhana’ itu perjalanan misi tentara sesungguhnya. Namun, ketika kita mengolah film, kita harus bisa memancing excitement. Membangun hal menjadi menarik, membumbui dengan drama dan konflik yang meyakinkan. Film ini kurang banget dari sisi plot.

Aku bahkan lebih peduli kepada ular yang mereka makan, itu ular beneran? Apakah film ini ngepull Cannibal Holocaust (1980) dengan adegan makan binatang itu? Karakter-karakter Merah Putih Memanggil seharusnya bisa digali lagi. Atau kalo mau kayak Dunkirk, rekam adegan aksinya dengan meyakinkan dan perlihatkan sesuatu penceritaan yang baru. Dari sekian banyak sandera, hanya satu yang dikasih dialog. Dan itupun hanya sebatas nanyain orangtuanya.  Aku selalu high setiap kali teman-teman Gadis Sampul mendapat peran dalam film, apalagi film yang berani ngambil tema tak biasa seperti ini. Akan tetapi, Mentari De Marelle di sini tidak diberikan karakter yang berarti. Tokohnya di sini cuma cewek blasteran, and she did nothing selain nanya-nanya di mana orangtuanya. Teriak-teriak. Panik, Annoying. Tatapan Prisia Nasution (yang btw di sini tokohnya pendiem banget) ketika si Mentari lagi-lagi merengek bikin aku teriak “shoot her!”  

Jika pipis adalah hal yang dinotice oleh film, kenapa kita tidak pernah lagi melihat ada yang kebelet lagi di sepanjang film? Mungkin ditahan. Mungkin enggak kerasa. Ini mengindikasikan bahwa bahkan saat disandera, kita merasa lebih rileks ketimbang saat berlarian di medan perang. Kita masih bisa kepikiran kencing saat nyawa di bawah belas kasihan orang lain. Namun, ketika kebebasan yang dipertaruhkan, apalah faedahnya sedikit kenyamanan. It’s a long stretch, but I think inilah yang dilakukan oleh pahlawan. Mereka tidak lagi kepikiran apapun di luar tindakan yang mereka ambil atas dasar kemanusiaan. Oh man, aku gak percaya aku baru saja menarik garis antara pipis dan kepahlawanan.

 

 

 

Sebenarnya susah juga mengulas film ini, karena ia punya kepentingan, dan aku ngeri disalahartikan tidak menghargai jasa pahlawan. I mean, aku bahkan enggak tau apakah ini dari kisah nyata atau bukan; di kredit penutup mereka ngasih liat foto-foto jadul para tentara yang aku enggak yakin apa hubungannya dengan cerita. Aku terutama melihat ini dari sisi produk akhirnya sebagai sebuah film. Plotnya simpel. Yang tadinya dalam bahaya, jadi selamat. Yang tadinya tentara, jadi pahlawan. Ada nuansa genuine saat porsi aksi. Hanya saja mereka tidak menggarapnya sehingga menjadi cukup intens. Film ini terlalu standar untuk menjadi tontonan yang patut diperhitungkan dalam genre survival dan perang. Toh, film ini menyampaikan maksudnya; Jika film G30S PKI sukses berat memperlihatkan PKI sebagai antagonis, maka film ini tak pelak membuat kita lebih nyaman percaya kepada kekuatan militer Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MERAH PUTIH MEMANGGIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

SURAT KECIL UNTUK TUHAN Review

“I thought that you would be the hero come in save the day, but you’re the villain.”

 

 

Anak terlantar dipelihara oleh negara. Begitu kata buku UUD 1945 yang kuhapalin pas pelajaran PPKN. Surat Kecil untuk Tuhan menuliskan anak-anak jalanan sepeti Angel dan abangnya, Anton, dipelihara oleh Om Rudy. Sosok yang Angel sangka pahlawan, yang memberi mereka atap dan makanan. But he was unforgiven. Om Rudy bukanlah jawaban dari surat yang ditulis Angel untuk Tuhan. Oleh Om Rudy,, mereka disuruh mengamen di jalanan yang tak berbelas kasih. Dan dihukum keras jika uang setoran kurang. Bahkan saat Angel tertabrak mobil sehingga musti dilarikan ke rumah sakit, Om Rudy enggak mau repot-repot membayar biaya pengobatan. Mengakibatkan Angel harus terpisah dari abang yang berjanji untuk terus menjaga dirinya.

Sounds depressing enough? Atau malah terdengar familiar?

Clearly, film ini berhasil menerapkan pelajaran berharga soal bercerita dari salah satu nominasi Oscar, Lion (2017). Surat Kecil untuk Tuhan membagi porsi narasinya menjadi dua, ketika Angel kecil di jalanan dan paruh terakhirnya adalah tentang Angel yang sudah dewasa dan bekerja ngurusin kasus-kasus kekerasan terhadap anak, baik di rumah tangga maupun di luar sana di perempatan. Aku suka gimana film ini berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggunakan alur bolak-balik, meski memang ada sisipan adegan kenangan yang tidak mampu ia hindari. Ini adalah resiko yang mereka ambil, karena membuat film seolah baru dimulai di babak kedua; motivasi Angel baru jelas banget di poin ini.

Terkadang ketika berhenti di lampu merah, kita suka dilema sendiri. Melihat anak jalanan yang mestinya lagi kepergok nyontek dan disetrap di depan kelas itu, malah nyanyi-nyanyi dengan alat musik rombeng. Mau ngasih duit, ragu. Ntar duitnya pasti dipalak. Atogak dipakai buat yang enggak-enggak. Mau membantu kok pikir-pikir. Benarkah dengan tidak membantu, kita bisa membantu mereka. ‘Gimana dengan pihak yang ‘mempekerjakan’mereka, salahkah mereka membesarkan dan mendapat balas jasa?Manakah yang lebih ‘for the greater good?’

 

Film ini mampu memantik pertanyaan moral dengan eksplorasi perspektif anak jalanan yang terasa fresh. Apa yang dilakukan dengan baik oleh film ini adalah menanamkan bibit-bibit karakter semenjak paruh di mana mereka masih muda. Sehingga ketika kita melihat dan bertemu dengan mereka kembali setelah time jump, perkembangan karakter mereka – menjadi seperti apa mereka sekarang – terasa masuk akal. Kita akan melihat Angel dengan gigih berusaha mengungkap sindikat anak jalanan yang dipimpin oleh Om Rudy, kita mengerti darimana dorongan tersebut datang, apa yang membuat semua itu sangat personal dan begitu urgen dilakukan oleh Angel. Relationship antarkarakter juga terjalin dan tergambarkan dengan kuat. Semuanya diberikan pay-off yang ampuh menarik-narik heartstring kita. Karena film ini tahu persis dirinya adalah drama yang secara natural sangat emosional. Aku suka adegan ketika Angel Dewasa yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Om Rudy. They played it off so good. Mata BCL sukses banget mancarin rasa takut yang masih bersisa dari masalalu itu. She barely could say any words. Lukman Sardi sebagai Om Rudy juga terlihat takut di balik tokohnya yang tenangnya menguarkan aura menacing.

but to be honest, aku kaget ngeliat Dorman Borisman masih aktif main film, kirain udah vakum XD

 

 

Penampilan akting yang mengisi paruh kedua film mampu membuat kita melupakan rasa bosan, karena memang bagian ini lebih serius. Dan serius digabung dramatis biasanya adalah gabungan yang ampuh untuk bikin kita nyalain hape. Setelah gede actually adalah film di puncak paling menarik, sebagian besar lantaran film Indonesia memang kelihatannya masih kepayahan mencari aktor anak kecil yang mampu bermain dengan meyakinkan. Penampilan yang paling juara dalam film ini datang dari Joe Taslim yang memerankan pacar Angel yang berprofesi sebagi dokter jantung. Joe Taslim sangat kharismatik dan bersimpati di sini. Tokoh Martin pun mendapat backstory dan eksplorasi yang berbobot sehingga dia benar-benar punya purpose untuk ada di sana. Bukan hanya sebagai device, he actually adds much. In fact, malahan tokoh lead kitalah yang paling kurang konsisten di sini. Aku merasa aneh aja sama aksen Inggris dari Bunga Citra Lestari. Tokohnya gede di Australia, sudah cukup aneh dia enggak develop any accent. Ditambah pula at one time, dia menjawab telepon dengan ”who is it?” yang terdengar aneh alih-alih natural dan lebih cocok dengan kehidupan profesionalnya dengan jawaban “who is this?”

Tentu saja ada bagian ‘pertarungan’ di pengadilan. Film ini menghandlenya dengan memasukkan elemen di mana Angel harus mengumpulkan dan meyakinkan saksi-saksi yaitu orang-orang yang berasal dari masa lalu tragisnya. Sudut pandang dari saksi-saksi tersebut memberikan suntikan perspektif yang semakin menambah kadar dramatis. Yang mana, juga menimbulkan masalah kepada narasi sebab film ini mengarah kepada JALUR YANG HITAM-PUTIH. Yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar tertindas. Ruang thought-provoking semakin menyempit, kemakan oleh porsi dramatis yang terus dibesar-besarkan. Tadinya aku mengira film ini paling enggak jadi kayak versi dramatis dari anime The Boy and the Beast |(2015), taunya enggak. Malah dramatisnya lebih seperti Grave of the Fireflies (1988) digabung dengan Lion.

Kita tidak akan pernah kehilangan orang yang tulus menyayangi kita. Sebab, once there, mereka tidak akan pernah pergi dari sana.

 

Ini adalah film tentang pencarian kebenaran, namun TONE YANG DIOLAH DENGAN TERLALU OVER membuat film ini tidak bisa mencapai level Lion. Baik over di bagian editing tone visual, maupun pada tone cerita yang kerap amat sangat sappy, kalo gak mau dibilang cengeng. Dalam Lion, kita tidak melihat Saroo kecil ujan-ujanan. Dalam Surat Kecil untuk Tuhan, dalam 15 menit pertama, Angel dan Anton terus saja kehujanan, dengan lagu Ambilkan Bulan, Bu yang diaransemen ulang menjadi sangat sedih dimainkan nyaris non-stop. Film ini terus ngepush drama seputar tema kekerasan terhadap anaknya sampai-sampai aku tidak lagi mempertanyakan kenapa film ini tidak diberikan rating sensor yang lebih dewasa. Aku malah jadi keheranan kenapa film ini dijadikan tontonan lebaran keluarga in the first place.

Menjelang akhir akan ada pengungkapan yang disertai dengan adegan yang, sebenarnya, sangat kontroversial. As in, bisa bikin trauma anak kecil yang menontonnya. Walaupun enggak digambarkan eksplisit banget, namun tetep aja ekuivalen ama adegan kontroversial serial 13 Reasons Why (2017) yang tayang di Netflix. Because we talk about children here. Surat Kecil Untuk Tuhan menunjukkan anak kecil yang – sulit untuk tidak mengasumsikan dia – disuntik mati. Asumsi lain yang timbul dari sekuen itu adalah penonton disajikan adegan anak kecil yang dibedah hidup-hidup off-screen, dan di layar kita melihat reaksi orang dewasa yang muntah menyaksikan tindak kriminal tersebut. Aku langsung ngeliat ke arah keluarga beranak dua yang nonton di sebelahku; mamanya nutupin mata anak yang gede, sementara papanya menutup mulut sendiri sambil menggendong anak bungsu mereka dengan memposisikan si anak membelakangi layar.

endingnya meski ketebak, tapi tetep terasa ‘ajaib’’kayak episode Beyond Belief Fact or Fiction

 

Beberapa menit kemudian adegannya nampilin anak bawah umur merintih diperkosa. Dan kedua orangtua di sebelahku tadi saling berpandangan.

 

 

 

 

Punya emosi yang sangat kuat, film ini mengexamine moral kita terhadap anak jalanan lewat perspektif orang pertama yang benar-benar menawarkan sesuatu yang baru. Tema kekerasan anak bergulir kuat, da terus diamplify. Penampilan yang di bawah standar dengan cepat tergantikan oleh performa yang sangat meyakinkan yang menatap kita straight to our heart. Bisa saja menjadi thriller yang hebat, yang thought provoking, jika dirinya tidak memfokuskan diri membuat penonton banjir air mata sebagai tujuan utama. Film ini berani mengambil resiko dalam penulisan, namun not so much pada departemen arahan. Tonenya terlalu cengeng, enggak tegar seperti film Lion, film yang banyak dibanding-bandingkan terhadapnya. Karena tentu saja orang akan mudah sedih melihat anak-anak yang menangis di bawah hujan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SURAT KECIL UNTUK TUHAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ZIARAH Review

“In the end all you really have is memories.”

 

 

Mengunjungi makam kerabat, memanjatkan doa-doa, esensinya adalah supaya kita mengingat masa lalu dan masa depan. Pertemuan dan kematian. Kata kuncinya adalah mengingat, dan tema tersebut dieksplorasi oleh film Ziarah di mana ia akan mengajak kita untuk mengunjungi kembali kenangan dan duka yang tertimbun. Film ini adalah perjalanan mencari kebenaran lewat ingatan.

Bercerita tentang seorang nenek yang sudah berusia sembilan-puluh lima tahun yang mendadak pergi dari rumah. Mbah Sri ingin nyekar ke makam suaminya yang gugur saat Agresi Militer Belanda Kedua berpuluh-puluh tahun silam. Ke makam ‘beneran’, bukan ke makam tanpa nama yang sudah disiapkan oleh pemerintah untuk pahlawan-pahlawan tak dikenal. Jadi, dengan sekeranjang kembang di dalam tasnya, Mbah Sri berjalan naik turun perbukitan, melintas dari satu desa ke desa lain. Beliau mencari setiap jengkal tanah pekuburan yang dikunjungi. Bertanya kepada orang-orang yang mungkin saja tahu tentang peristiwa melingkupi tewasnya sang suami. Perjalanan yang Mbah Sri tempuh ternyata menguras mental dan emosi lebih banyak daripada nyapekin badan, saat misteri keberadaan sang suami perlahan terdispersi menjadi beberapa cahaya kebenaran. Dan kenangan dan kepercayaan yang selama ini ia pegang bisa jadi bukan kejadian yang sebenarnya.

ke kuburan bukan buat minta nomer, loh!

 

Sutradara asal Yogya, BW Putra Negara, mengerahkan semua arsenal yang dia kuasai untuk memaksimalkan penceritaan Ziarah. Menggunakan visual storytelling dan tutur dialog dengan sama efektifnya sehingga jika kita enggak benar-benar terpaku di menatap layar, kita akan ketinggalan potongan emosi. Dan jika kita enggak memperhatikan dialog (atau dalam kasus film ini yang SELURUH PERCAKAPANNYA BERBAHASA JAWA, enggak baca teksnya), kita akan tersesat dan bingung sendiri oleh cakap eksposisi, informasi, dan simbolisme yang datang silih berganti. Sutradara pun tidak pernah membuat film ini menjadi lebih mudah untuk kita. Dengan adegan-adegan yang dengan sengaja diberi pace yang lambat; shot panjang yang belum dicut-cut, film ini mengambil waktu supaya setiap adegan berlangsung dengan utuh. Kita ngeliat dua orang berdiskusi nyusun denah rumah di tanah, kita ngeliat Mbah Sri yang masukin kembang ke dalam tas, kita ngeliat di berjalan dari ujung jalan, camera lingers a little bit too long, musiknya merayap di belakang, semua ini menyiptakan sensasi uneasy yang luar biasa. Rasa nonton film ini hampir seperti rasa ketika kita ingin tahu sesuatu tapi di dalam hati kita sebenarnya takut akan kebenarannya. Setiap informasi yang diterima oleh Mbah Sri, membuat pencariannya semakin berkelok, dan to be honest, semakin mendekati akhir aku berharap Mbah Sri, dan aku sendiri, enggak pernah nemuin kebenaran yang dicari.

Kenangan kita adalah milik kita seutuhnya. Itu sejarah personal kita. Ya, mungkin sejarah itu blur, mungkin kita butuh kejelasan. Tapi jika itu berarti kenangan tersebut harus ditantang dengan kebenaran, apakah kita siap untuk menodai kenangan tersebut evenmore? Film ini bilang jangan mengorek luka lama. Sesuatu yang dikubur sebaiknya dikenang, jangan diusik lagi. Bagaimana jika kita salah? Sudikah kita melepaskan satu-satunya yang kita punya? Siapkah kita – seperti Mbah Sri – untuk pasrah?

 

Dan memang film ini cukup berani undur diri dengan terbuka bagi interpretasi penonton. Film menunjukkan kepada kita apa yang jadi jawaban atas pencarian Mbah Sri, ada sense of finality juga ketika film berakhir, namun maksud kejadian penghabisan – very well might be Mbah Sri’s last choice –diserahkan sepenuhnya kepada kita. The very last shot dimainkan dengan bagus dan merupakan kontras dari salah satu adegan yang muncul di menit-menit awal film.

Semua hal dalam film ini terasa otentik. Misteri seputar sosok suami Mbah Sri, Pawiro, mendapat pengungkapan yang menarik. Tidak ada pancingan emosi yang dibuat-buat kayak film drama pada umumnya. Karakter-karakter dibiarkan berjalan, dan kejadian demi kejadian kayak berlangsung gitu aja. Ada satu sekuen sih, di akhir-akhir babak kedua, ketika ada seseorang tampak punya agenda sendiri; awalnya kukira ini adalah di mana film ngambil keputusan yang salah dalam ngelanjutin ceritanya, you know, biasanya film-film kan gitu – they did everything right, namun di akhir ada nila yang merusak film sebelanga. Tapi enggak, elemen cerita itu teresolve dengan manis. Penampilan aktingnya film ini, entahlah, aku melihat orang-orang dalam film ini seperti menjadi diri sendiri. Seperti menonton dokumenter di mana warga asli ditanya-tanyain dan mereka bercerita apa adanya. Low budget dan PENGGARAPAN YANG SEDERHANA justru diubah jadi nilai lebih film ini karena semuanya terasa nyata. Mbah Ponco Sutiyem yang memerankan Mbah Sri berhasil menyampaikan emosi dengan fantastis walaupun sebenarnya peran ini sangat stricken dan beliau sendiri bukan aktor. Kita boleh aja enggak ngerti bahasanya, namun ekspresinya bercerita begitu banyak. Semua ini tentu saja berkat arahan dari sutradara benar-benar on-point.

Adegan di awal-awal ketika Mbah Sri ngobrol dengan cucunya di dapur really hits home buatku. Dari keseluruhan film yang tonenya mellow kadang ada lucu ironis, dan kadang ngeri, cuma di bagian inilah aku ngerasa sedikit ringan. Lantaran aku teringat kalo lagi di kampung, aku setiap subuh masuk dapur ngangetin diri di depan kompor, dan Mbah ku dateng ngajak ngobrol. Hanya saja aku yang ampe sekarang enggak bisa-bisa berbahasa Jawa, hanya manggut-manggut nyengir sok ngerti hhihi

“sudah bukan umur bercanda lagiii”

 

Dari segi skenario, Ziarah punya struktur cerita yang rada unconventional. Kita tidak langsung diberi petunjuk motivasi tokoh utama, kita malah ngeliat motivasi dari karakter lain. Di sinilah film sedikit goyah. It takes time to established the main character, dia sedikit terlalu berada sebagai latar saat permulaan. Di awal, film ini terasa kayak cerita seorang cucu yang ingin menikah, tetapi neneknya mendadak pergi entah ke mana dan si cucu harus pergi mencari. Tidak hingga midpoint barulah perspektif Mbah Sri menjadi benar-benar dominan, dan kita lantas belajar mengenai motivasinya. Kita tahu Mbah Sri ingin mencari makam suami, akan tetapi baru di paruh kedualah kita mengerti kenapa baru sekarang dia melakukan ziarah tersebut, apa yang membuatnya melakukan perjalanan panjang itu. Memang, terjadi kebingungan dalam memahami cerita jika kita enggak pasti siapa yang jadi tokoh utamanya. Kupikir, itulah sebabnya kenapa Ziarah tidak serta mudah dicerna; Ceritanya sederhana, hanya saja strukturnya membuat kita sedikit padet. Di paruh awal, perspektif kita kerap berganti ke cucu Mbah Sri yang sebenarnya punya lapisan sendiri yang integral sebagai simbol untuk tema dan bigger picture cerita.

Film ini membahas fondasi rumah, membahas diskon gede, membahas orang bunuh diri lantaran pasangannya ketahuan berselingkuh bertahun yang silam. Perbincangan yang terdengar random, namun sesungguhnya punya kait dengan cerita yang bertema ingatan dan masa lalu. Mereka adalah bagian dari proses berdamai. Jangan sampai kita membiarkan ingatan kita tentang seseorang atau sesuatu, terkontaminasi oleh suara-suara orang. Jika kita mengenang sesuatu, kenanglah sesuai dengan ingatan kita secara personal. If we believe something is sweet, then sweet it is. Apapun yang terjadi sesudahnya, tidak ada hubungannya dengan kenangan kita. Simpan, cherish kenangan tersebut, dan just move on with our life.

 

Sehabis nonton tadi, tidak ada satupun penonton di studio yang beranjak dari kursi. Mungkin masih ingin jawaban. Mungkin juga pada segan cabut duluan. Atau mungkin juga, semua orang itu masih pada terusik oleh apa yang bisa kita temukan jika kita mencari; Kebenaran.

 

 

 

Buat yang kerap meminta sesuatu yang berbeda dari film Indonesia; tontonlah film ini. Sekali-kali ziarahlah ke bioskop; untuk mengingat kenapa sih kita suka nonton film in the first place. Drama ini penceritaannya sangat unconventional yang benar-benar menyentuh kita soal berdamai dengan masa lalu, dengan kenangan tentang seseorang yang kita simpan erat-erat. Ini juga adalah tentang sejarah. Kita belajar sejarah bukan untuk mengorek luka masa lalu, melainkan supaya kita embrace, belajar darinya, dan hidup lebih baik setelahnya. Tapi film ini sedikit falter di struktur, ada tone yang kadang bentrok juga. Elemen mistis di tengah-tengah cerita, contohnya. Mengingat efektifnya bahasa visual, tutur, dan simbolisme yang dilakukan film ini, mungkin saja elemen mistis itu adalah simbol yang aku belum dapat koneksinya. Tapi memang, aspek ini mentok jika disandingkan dengan aspek genuine yang dibangun oleh film.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for ZIARAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

CRITICAL ELEVEN Review

“No parents should have to bury their child.”

 

 

Debbie Reynolds pernah bilang, “my greatest fear is to outlive my daughter.” Beliau tutup usia keesokan hari setelah putrinya, Carrie Fisher, meninggal dunia. Rest in peace buat kedua aktris legendaris tersebut, mereka sudah bersama lagi di alam sana. Toh, ketakutan terburuk sebagai orangtua sempat terealisasi, dan itu memang menyedihkan. Persoalan kehilangan anak karena kematian – entah itu penyakit, kecelakaan, atau dibunuh, atau tragedi lainnya — bagi orangtua penyelesaiannya tidak pernah segampang “tinggal bikin lagi”. Kematian seorang anak dapat mengarah kepada konsekuensi serius terhadap rumah tangga, yang tak jarang berujung kepada perceraian.

Film Critical Eleven mengangkat masalah tersebut sebagai salah satu dari permasalahan yang dihadapi oleh pasangan muda yang baru berumah tangga. Menjaga dan memenuhi kebutuhannya bahkan dari sebelum anak lahir ke dunia. Dan ketika semua yang telah dilakukan gagal, bagaimana mereka menyingkapinya, gimana keutuhan rumah tangga mereka, ini adalah perjuangan cinta yang sangat dewasa, dengan konflik emosional yang serius. Sebab, masalah yang dihadapi Ale dan Anya ini bisa saja terjadi kepada siapapun di luar sana.

Ketika seorang anak meninggal dunia, orangtua akan berasumsi bahwa itu adalah tanggungjawab mereka. Bahwa seharusnya mereka bisa mengusahakan sesuatu untuk mencegah hal tersebut dapat terjadi. Pada titik ini, orangtua bisa terjerumus ke dalam depresi yang dalam; mereka akan marah, menjauh, bahkan cenderung jadi saling menyalahkan. Kematian anak menimbulkan rasa ketidakmampuan dalam diri orangtua, karena mereka berpikir sebagi orangtua mereka mestinya bisa ‘memperbaiki’ semua hal dalam hidup anaknya. Dan ini membuat orangtua merasa tak berguna. Merasa bersalah.

 

 

Kita ngikutin kisah rumah tangga Anya dan Ale sedari mereka pertama jumpa di laut cinta, kau secantik mutiara…. eh jadi lagu Jinny oh Jinny, sori sorii. Anya (timing dan burst emotional Adinia Wirasti keren banget) yang udah nganggep bandara sebagai rumah keduanya malah nemuin ‘rumah tersayangnya’ saat dia dipinjemi saputangan oleh Ale, penumpang pesawat yang duduk di sebelahnya. Menggambarkan pertemuan mereka sebagai critival eleven dalam hidupnya, Anya jatuh cinta kepada Ale (range yang dimainkan oleh tokoh Reza Rahadian ini lebih lebar dari mulut menganga cewek yang nonton di sebelahku). Mereka menikah. Anya ikut Ale tinggal di New York, kehidupan cinta mereka bersemi sangat indah. Satu-satunya saat Anya kesepian adalah begitu Ale pergi kerja ke offshore rig. Being independent most of her life, Anya mendapat ‘tantangan’ ketika dia mulai mengandung anak yang sangat didamba oleh Ale. Cerita yang tadinya membuai penonton wanita dengan manisnya romansa, mulai ketemu kelokan ke arah yang lebih mengkhawatirkan as kedua pasangan ini punya pandangan dan prioritas yang slightly berbeda – dan tentu saja ego masing-masing got in the way. Dan Kematian turut campur tangan, ultimately, stake couldn’t get any higher.

kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya… Anda merana menatap pesan yang cuma dibaca

 

 

Film ini GORGEOUS. Penampilan aktingnya menawan. Reza dan Adinia punya pesona yang luar biasa tampil bersama. Penampilan visual film pun memukau. Entah itu ruang kantor ataupun pemandangan jalanan New York, semuanya terlihat cantik. Film ini memanfaatkan pemandangan tersebut sebagai perwakilan dari perasaan yang ingin disampaikan oleh cerita. Kita tidak melihat hujan di malam hari hingga mendekati akhir di mana hubungan kedua tokoh lagi genting-gentingnya. Ada dua shot yang aku suka banget, yakni adegan, yang demi enggak terlalu banyak beberin, let’s just say adegan Anya di kolam dan adegan Anya dan bayinya. Up until that point tho, semuanya terlihat menyenangkan. Walaupun jika kita tilik dari keintegralan dengan actual adegan yang sedang berlangsung, beberapa latar cantik itu tampak random. I mean, ini adalah fim yang berpusat pada hubungan dua tokoh, naturally ada banyak adegan percakapan. Entah itu tentang mereka saling mengutarakan keinginan, memilih nama bayi, atau sedang ada sedikit argumen. Kalo yang mereka pas ribut, sih kita pasti ‘melek’ ngikutin. Tapi untuk percakapan yang lumayan sepele – terlebih dialog-dialog dalam film ini kerap terdengar cheesy sekali – kita butuh untuk ‘terdistraksi’ oleh pemandangan kota just so kita tetap berada di sana.

Critical Eleven adalah istilah dalam dunia penerbangan; menit-menit krusial di mana biasanya kita dilarang mecolek-colek pilot dan copilot lantaran bisa mengganggu konstentrasi mereka demi take-off dan pendaratan yang aman. Tiga menit dan delapan menit itu sangat menentukan keselamatan seluruh penumpang. Dalam relationship, seperti yang dianalogikan literally oleh Anya, kita bisa melihat cinta itu datang di tiga menit pertama, namun proses ‘terbang’ dalam hubungan tidak selalu bisa ditentukan dari sana. Dibutuhkan delapan menit of understanding and everything, yang mana enggak benar-benar delapan menit. Dalam cinta, dalam rumah tangga, hanya ada proses dan setiap menitnya begitusama kritisnya.

 

 

Kalo dalam terbang istilahnya critical eleven, maka dalam film, angka penting adalah 10. Sepuluh menit pertama ketika kita menonton film adalah menit-menit paling krusial, dalam rentang waktu itu kita akan sudah bisa memutuskan film ini layak ditonton, kita suka atau enggak, bagus atau meh. Itulah makanya, dalam penulisan naskah, para scripwriter kudu bisa mejengin motivasi karakter, tone cerita, dan kait emosi di dalam sepuluh halaman pertama. Aku tidak melihat motivasi pada sepuluh menit pertama film ini. Atau paling enggak, tidak melihatnya pada tokoh utama kita. Aku sama sekali tidak dapat gambaran ini cerita tentang apa, apa konflik yang membayanginya. It’s about strangers who met in an airplane, and that’s it. Tidak menarik buatku, tidak menantang apa-apa. Tone dan gaya berceritanya pun tidak terasa spesial atau berbeda. Jadi aku menonton film ini kayak lagi nyebrangi jembatan yang enggak punya tali untuk pegangan di pinggirnya. Butuh waktu yang rasanya amat panjang untuk kita tahu konfliknya apa, film ini meminta belas kasihan kita untuk tetap duduk sampai saat konflik itu tiba tanpa memberikan apa-apa untuk kita pegang.

Dan aku benar-benar meraba soal memahami karakter film ini. I really just grasping at straw towards Anya, aku enggak merasa kenal dan mengerti sama tokoh ini sebanyak yang seharusnya, karena dia adalah tokoh utama. I get it dia biasa sendiri, apa yang rela ia lakukan, like, dia gak tahan ketika dia yang biasa sendiri kemudian mengattachkan diri kepada orang atau katakanlah rumah, dan lantas dia harus berpisah dari itu semua. Ini kayak ketika kita udah berlari kencang, terus berhenti, dan dipaksa untuk mulai berlari lagi. Melelahkan memang. Namun her concerns, alasan di balik pilihan-pilihan yang dibuat olehnya, gak benar-benar masuk akal buatku. Aku lebih ‘deket’ sama tokoh Ale, yang terasa lebih dominan dan lebih terang perihal mengatakan apa yang ia mau. Kita bisa memahami alasan Ale bersikap rather protective; dia punya begitu banyak cinta dan ingin membuktikan diri dia bisa menyayangi anak lebih baik daripada yang orangtuanya lakukan terhadap dirinya. Saking carenya, dia segan berhubungan ketika Anya tengah hamil. Kita juga ngerti konflik yang tercipta dari diri Ale, sebagaimana kerjaan mengharuskannya absen beberapa waktu dari keluarga tercinta.

Tau gak; Apa yang bego dan melompat-lompat, tapi bukan kodok?

 

Film ini bercerita dengan runut; mereka ketemu, mereka menikah, mereka menghadapi masalah yang timbul. Akan tetapi, prosesnya seringkali dilompat. Contohnya gini, setelah bertemu di pesawat, adegan selanjutnya adalah kita melihat mereka sudah akan menikah banget. My point is, kenapa dibikin runut (mengorbankan sepuluh menit pertama yang jadi datar) kalo prosesnya dilewat hanya buat supaya mereka punya bahan untuk flashback nantinya. Adat paling jelek film ini adalah dia lebih suka untuk BERCERITA LEWAT KATA-KATA, TANPA MEMPERLIHATKAN BUKTINYA KEPADA KITA. Ale bilang dia merasa orangtuanya enggak sayang kepada dirinya. Kita enggak lihat itu. Orangtua Ale malah terlihat perhatian. Ale bilang ke Anya saat mereka dalam perjalanan pindah ke New York, “ aku tahu pindah enggak gampang buat kamu”, but hey, mereka terbang gitu aja; kita enggak liat susahnya seperti gimana buat Anya, wong baru menit enambelasan mereka udah stay di New York. Ini jugalah yang menyebabkan karakter Anya di babak satu dan babak dua terasa berubah, dengan kita enggak yakin terhadap alasannya; semuanya hanya kita dengar lewat omongan, kita enggak melihat inner journeynya. Malahan kayaknya film ini mikir lebih keras demi timing buat nunjukin penempatan produk ketimbang memperlihatkan cerita. Akibatnya, ya filmnya berjalan dengan enggak meyakinkan.

Bagian terbaik film ini adalah paruh kedua, ketika konflik mulai tampak. Mesti begitu semuanya digampangkan. Resolusi yang dihadirkan juga standar trope drama banget. Pokoknya asal bisa bikin penonton cewek mewek aja deh! Kalian bisa bilang La La Land (2016) juga pake tropes ala ftv, tapi di sana karakternya membuat pilihan yang kuat. Karakter film Critical Eleven ini, bahkan ketika mereka pindah balik ke Indonesia, semuanya berlangsung gitu aja buat kemudahan mereka. Anya berargumen soal nanti di Indonesia dia bakal susah kembali nyari pekerjaan, tapi toh ketika udah di sana, semua jawaban teresolve otomatis. Seolah di dunia ini tidak ada yang berubah selain Anya yang kini hamil.

My biggest issue with this movie adalah kualitas penulisan dialognya. Aku enggak punya masalah soal campur aduk bahasa Inggris, karena cocok dengan lingkungan film ini. Lagipula secara psikologis, ada orang yang lebih mudah mengungkapkan perasaannya lewat bahasa asing, dan Anya tampak seperti orang yang masuk dalam kategori ini. Dan hey I’m doing it right now! aku juga menggunakan bahasa nyampur di review untuk alasan yang sama. Yang aku permasalahkan dari dialog film, selain terlalu banyak berkata-tanpa-nunjukin bukti ada hubungannya dengan film ini bertema sangat dewasa. Tokoh-tokohnya adalah orang pinter dan mature sekali. Dan actually ada adegan dewasa yang diincorporate nicely ke dalam narasi, ada kepentingannya di dalam cerita. But oh boy, kenapa ketika mereka ngobrol aku kayak lagi dengerin anak sekolah lagi pacaran? Cheesy abis. Beberapa ditulis straight forward. Enggak benar-benar banyak maksud yang terkandung di balik percakapan, dan ini membuat film semakin watered down buatku.

 

 

 

 

Film adaptasi novel yang mengangkat tema yang lebih dewasa mengenai cinta dan rumah tangga ini hidup oleh penampilan tokoh-tokohnya. Tahu persis bagaimana memancing emosi, terutama dengan memanfaatkan visual latar dan konstruksi shot yang matang. Tapi ceritanya butuh waktu lama untuk kick in, di mana untuk rentang yang panjang kita hanya meraba-raba apa yang terjadi sih sama karakternya. Fokus begitu lebih terhadap emosi, sehingga kita sering diombang-ambing tanpa pernah merasa benar-benar tertarik. Jika di paruh pertama kita menunggu, maka di paruh akhir kita berdoa agar cepat selesai. Ini adalah perjalanan terbang ke udara penuh cinta yang melelahkan, dengan tokoh yang enggak punya footing yang jelas. Kualitas dialognya juga lemah sekali; it’s either mengatakan sesuatu tanpa nunjukin, cheesy dan romantis yang over-the-top, atau just straightforward ke resolusi. Stake yang tinggi enggak diimbangin dengan resolusi yang meyakinkan. Jika genre dan cara bercerita begini adalah your cup of tea, you’re not gonne be bothered by some points yang aku utarakan. Namun buatku, film ini hanya biasa saja sejak sepuluh menit krusial yang pertama.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CRITICAL ELEVEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

MEMBABI-BUTA Review

“Curiosity killed the cat.”

 

 

You can tell dari posternya yang lumayan keren, film ini bakal berdarah-darah. Prisia Nasution kelihatan sangat mengancam mejeng bareng kapak gede dari abad pertengahan tersebut. Genre Thriller apalagi yang berturunan slasher akan selalu dapat sambutan yang hangat, akan sangat menarik untuk melihat apa yang bisa dilakukan oleh sutradara Joel Fadly dalam film debutannya ini sehubungan dengan efek-efek praktikal anggota tubuh yang tercincang-cincang. Kita bisa mengharapkan film ini bakal goes medieval on us.

Membabi-Buta adalah cerita tentang wanita bernama Mariatin yang baru saja mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Sundari dan Sulasmi, kakak-beradik yang masih memegang teguh budaya Jawa. Kedua wanita paruhbaya tersebut sayangnya bukan tipe nenek-nenek yang suka masakin kue. Mereka galak. Sulasmi suka ngebentak. Sundari dingin banget, meski dia masih nunjukin kepedulian sama anak kecil yang menggigil kedinginan. Namun kepada Mariatin, mereka berdua ini udah kayak ibu tiri. Mariatin diberikan peringatan dan aturan-aturan yang cukup aneh begitu dia masuk ke dalam rumah tersebut. Pintu dan jendela yang senantiasa tertutup rapat, kamar yang hanya bisa dimasuki dengan ijin terlebih dahulu, telepon yang tak boleh ia pakai, dan peraturan utama rumah tersebut adalah jangan banyak tanya. Untuk memperaneh suasana lagi, Mariatin kerap mendengar suara wanita di tengah malam; jeritan yang seolah sedang disiksa. Mariatin berusaha untuk enggak mikirin semua ini, dia tetap bekerja meski rasa ingin tahunya semakin gede. Garis batas bagi Mariatin adalah ketika putri kecilnya, Asti, makin hari makin menunjukkan gelagat aneh dan kemudian jatuh sakit. “Mungkin kebanyakan main”, kata Ndoro Sundari ketika ditanyai. Eventually, misteri yang terjadi di rumah tersebut terkuak dan Mariatin bertindak membabi buta demi keselamatan putrinya dan kita mendapatkan sebuah film slasher.

A very bad one.

Film ini MEMBOSANKAN. Oke, aku sendiri enggak percaya seumur-umur aku bakal ketemu slasher yang bikin mataku berair karena kebanyaka menguap. I mean, hakikatnya genre ini pastilah brutal dan menegangkan, dan jika kau berhasil membuat hal-hal brutal tersebut menjadi boring, maka kupikir, itu bisa menjadi prestasi tersendiri. Jadi, selamat deh buat film Membabi-Buta, you are breaking a new ground!

Hingga babak ketiga, film ini akan datar-datar aja. Tak sekalipun elemen lokasi tertutup dimanfaatkan dengan benar-benar maksimal. Kita hanya melihat Mariatin yang disuruh-suruh. Thriller haruslah punya set up, segala ketegangan mestinya dibendung dari awal untuk kemudian dilepaskan di akhir. Menciptakan sensasi seram tanpa membuat penonton merasa lega. Film ini tidak mampu menguarkan ketegangan. Untuk bikin takut, film ini hanya mengandalkan kepada trope-trope horor. Banyak adegan berupa; seseorang mengintip, lalu yang diintip menoleh mendadak, dan BLAAARR suara keras di layar saat yang ngintip tersentak kaget. Dan memang kelihatannya film ini berusaha terlalu keras untuk menjadi seram dan menegangkan. Sundari dan Sulasmi bersikap misterius dan kejam sepanjang waktu sampai ke titik aku bingung sendiri; ini film pembantu yang teraniaya atau film tentang majikanku misterius kayak hantu, sih? Di akhir-akhir, film bahkan mencoba memancing sisi dramatis, yang nyatanya juga berdampak datar karena enggak disetup dengan baik.

“Sifat sok-seram kamu yang berlebihan akan menyusahkan kamu sendiri!”

 
Tokoh utama kita sebenarnya punya karakter yang cukup ‘berdaging’. Mariatin dituliskan punya sifat ingin tahu yang besar, dia cenderung nekat. Sebagian besar bentakan majikannya datang dari Mariatin yang dinilai bersikap kurang sopan, main masuk kamar seenaknya. Ada satu adegan yang bikin aku ngakak, yaitu ketika mereka makan malam. Sundari dan Sulasmi mempersilakan Mar dan anaknya makan bareng di meja makan, tapi Mar pada awalnya menolak. Selain takut gasopan, aku mikirnya mungkin Mar sedikit jijik ngeliat mata cacat Sulasmi, atau mungkin dia masih kebayang kuku kaki Sulasmi yang panjang-panjang yang baru saja ia cuci (ewwww!), jadi dia enggan makan bareng mereka. Namun ternyata, setelah mereka makan, justru ternyata Sulasmi yang ilang selera demi mendengar Mar yang makannya ngecap alias ngunyah dengan mulut terbuka sehingga bunyi decapannya konser ke mana-mana ahahhaha. Mariatin ternyata makannya lahap loh, sebodo amat kalo tempat ama majikannya nyeremin gilak!

Hal menarik dalam film ini adalah gimana Sundari dan Sulasmi bersikap lebih ramah kepada Asti dibandingkan kepada Marianti.Yea, mungkin karena dia anak kecil dan dua saudari ini punya latar belakang sehingga numbuhin soft spot kepada anak kecil. Tapi kupikir ini juga ada kaitannya dengan Asti yang patuh dan Mar yang bertindak atas rasa ingin tahunya. Asti dianggap baik, tapi is it truly what makes a “good girl”? Apakah memang kemampuan untuk mengikuti perintah atau intruksi tolak ukur seseorang bisa dikatakan anak baik?

 

Masalahnya adalah, dengan sifat yang penuh ingin tahu sehingga bikin kesel majikannya itu, narasi tidak memberikan banyak ruang bertindak kepada Mariatin. She’s rarely making any choices. Dan di waktu-waktu langka tokoh yang mestinya relate buat kita ini memilih suatu keputusan, yang dia ambil adalah keputusan yang bego. Gini contohnya, Mariatin baru saja melihat sesuatu yang menyeramkan di bawah sana, ada cewek yang dirantai dan disiksa, in fact, dirinya sendiri practically baru saja lolos dari maut, dan bukannya langsung kabur bawa anaknya, dia malah naik ke atas minta tolong ke kamar salah satu majikan yang gak bisa dibilang ramah kepadanya. Konteks film ini adalah Mariatin menahan diri untuk kemudian, akibat tekanan yang terus menempa, dia akan membabi buta melepaskan semuanya. Tapi konteks ini tidak diisi dengan konten-konten yang meyakinkan. Alih-alih bermain di ranah pengembangan karakter Mariatin, film ini fokus ke mengorkestrain serem dan drama. Yang dibutuhkan film ini adalah layer untuk mmeperkuat perspektif tokohnya. Tapi film tidak pernah mempedulikan hal tersebut, film ingin terus menakuti-nakuti penonton. Makanya kita dapat adegan mimpi yang entah dari mana dan gak make sense dan gak klop dengan tema cerita, like, kenapa Mariatin ngalamin mimpi tersebut? Emangnya ada hantu yang minta tolong or something?

Ada banyak pertanyaan yang ditimbulkan oleh film ini lantaran memang plot-plot thread tersebut tidak dibungkus dengan baik. Atau malah lantaran kelupaan dibahas. Kita dianggap nerimo begitu saja ‘jawaban’ yang diberikan, tanpa cerita benar-benar menjelaskan kenapa dan bagaimananya. Aku gak mau ngespoiler terlalu banyak, tapi motivasi dua saudari ini rada gak jelas dan enggak benar-benar klop dengan jawaban sebab musabab yang diberikan.

nah ini, baru seram!

 

Bahkan adegan yang paling kita tunggu-tunggu, adegan ketika semuanya menjadi hantam-hantaman, tubuh terpotong-potong, enggak dihandle dengan cakap. Kamera seringkali ngecut di setiap momen-momen penting. Koreografi kelahinya juga terlihat gemulai, enggak intens. Mungkin karena keterbatasan fisik para pemain, tapi masa sih enggak pake pemeran pengganti? Inti problemnya memang di pengarahan. Penampilan akting di sini terletak di antara over-the-top dengan enggak meyakinkan. Bahkan Prisia Nasution yang biasanya bermain bagus, dalam film ini enggak convincing enough. Karakter Mariatin seharusnya babak belur secara fisik dan emosi, tapi sama sekali tidak tergambar ke layar. Tidak ada bobot emosi yang terdeliver kepada kita para penonton. Dan tokoh anak kecilnya, ya sesuai standar film Indonesia lah; anak-anak hanya sebagai device yang tokohnya enggak berjiwa, enggak berattitude. Film ini ditutup dengan ending yang sebenarnya bisa bekerja baik jika didevelop telaten sedari awal. Dari plot standpoint sendiri, memang endingnya harus begitu karena membuat tokohnya mengalami perubahan. Sayangnya, karena narasi yang amburadul dan tidak dieksplor dengan genuine, jadinya terasa maksa dan out-of-nowhere.

 

 

 
Bertemakan tentang tindakan nekat, tapi filmnya sendiri malah bermain aman. Tidak ada resiko kreatif yang diambil. Sebelum sampai di bagian slashernya, kita akan dininabobokkan oleh cerita yang tidak dimasak, satu-satunya yang bikin kita tetap terjaga adalah suara musik yang keras dan suara bentakan Sulasmi. Dan ketika sampai di bagian slasher di akhir pun, rasanya penantian tidak terbayar tuntas. Adegan-adegannya tidak maksimal, aku mengharapkan praktikal efek yang bener-bener seger dan unik. Namun sama seperti bagian lain film ini, bagian akhir juga tidak menampilkan sesuatu yang baru. Jadi jangan dulu bilang sebagai karakter studi atau apa, sebagai media hiburan semata saja, film ini gagal menjalankan tugasnya.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for MEMBABI-BUTA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

STIP & PENSIL Review

“It’s easy to look sharp when you haven’t done any work.”

 

 

Banyak yang menyerukan hapuskan kesenjangan, namun ketika si kaya melakukan hal yang baik, kita masih menudingnya sebagai pencitraan. Saat kita berbuat salah, kita masih suka membela diri atas nama kemiskinan, seolah dengan menjadi orang susah berarti kita lemah dan punya alasan untuk melakukan ‘pemerasan kecil-kecilan’ kayak yang dilakukan oleh ibu pemilik warung dalam film ini. Orang miskin tidak perlu hal lain karena masalah kita satu-satunya adalah uang. And in turn, ketika kita beneran punya duit rada lebihan dikit aja, kita suka melempar uang gitu aja kepada masalah. It seems like, kita sengaja membuat gap antara miskin dan kaya. Tanpa sadar kita sendiri yang menulis kesenjangan dengan memanfaatkan dinamika unik yang tercipta oleh uang.

Menyinggung masalah sosial paling asik memang lewat nada komedi. Stip & Pensil mengerti ini dan melakukan kerja yang sangat luar biasa dalam mempersembahkan dirinya sebagai parodi. Yea, this film WORKS BEST AS A PARODY. Celetukan lucu terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Tentang dinamika antara si kaya dan si miskin, as kita sebagai penonton ditempatkan di tengah-tengah kelas yang saling kontras ini. Gedung sekolah darurat dan kampung kumuh bisa bekerja sebagai simbol dunia pendidikan yang mulai kotor oleh kepentingan. Tawa yang dihasilkan film adalah tawa yang menyentil kita dengan akrabnya.

Pelaku dalam cerita ini adalah satu geng anak SMA yang dijauhin dan disirikin sama teman-teman yang lain lantaran mereka berasal dari keluarga yang tajir mampus. Toni (Ernest Prakasa nampak paling tua namun naskah mampu berkelit memberikan alasan) dan tiga sohibnya; Bubu yang cakep namun telmi (Tatjana Saphira memainkan perannya dengan gemesin), Saras yang manis namun hobi ngelempar kursi (dari empat, Indah Permatasari yang kualitas aktingnya paling menonjol), dan Aghi yang paling ‘waras’ namun gak banyak berbuat apa-apa (aku bahkan gak yakin tokohnya Ardit Erwandha ini punya karakter), mereka layaknya anak sekolahan mendapat tugas menulis essay sosial. Setelah bertemu dengan, atau lebih tepatnya dikibulin oleh, seorang anak jalanan, mereka kemudian memutuskan untuk mengambil topik pendidikan di daerah pinggiran, tampat anak-anak jalanan tadi tinggal. Pada awalnya, tentu saja remaja kaya ini menyangka semuanya bakal segampang ngibasin duit, tetapi cibiran, tuduhan, dan prasangka dari teman-teman sekelas membuat mereka nekat terjun langsung ke lapangan. Karena terus diprovokasi, Toni malah kepancing emosi buat bikin sekolah darurat di kampung kumuh tersebut! Jadilah mereka sepulang sekolah harus ngajar ke sekolah bikinan sendiri, mereka kudu nanganin warga kampung yang enggak peduli amat sama dunia pendidikan, bahkan mereka wajib membujuk anak-anak jalanan dengan duit sebelum anak-anak itu mau diajari membaca oleh mereka.

they are not strangers if they drove fancy cars.

 

Walaupun dirinya adalah suguhan komedi dengan tone yang ringan, bukan berarti film ini tidak mempunyai urgensi di dalam ceritanya. Stip & Pensil tidak kalah penting dibandingkan A Copy of My Mind (2016). Dialog-dialognya diolah dengan cerdas sehingga bisa memuat tema dan isu-isu yang relevan, dan menyampaikannya dengan lancar. Komedi film ini bahkan lebih efektif dibandingkan Buka’an 8 (2017) yang juga berusaha memuat banyak singgungan terhadap tema sosial. Dengan sukses menggambarkan karakter masyarakat masa kini yang suka berlindung dengan mental kelas bawah meski enggak malu-malu untuk menunjukkan arogansi kelas atas, tanpa terasa terlalu menggurui. Film akan memaparkan kita dengan kenyataan, yang dikemas dengan konyol, dan kita menerimanya sebagai fakta. Sebagai fenomena yang benar-benar terjadi di masyarakat.

Semua orang mau yang gampang. Buat apa kerja, mendingan langsung dikasih duit saja. Tapi di film ini kita melihat anak-anak jalanan yang tak mau belajar tersebut kerepotan mencari jalan saat dikejar petugas lantaran mereka enggak bisa membaca tulisan-tulisan ‘jalan ini ditutup’ di tembok. Di lain pihak, yang punya duit mikirnya, buat apa repot-repot, tinggal bayar semua beres. Antara kerja langsung dengan membayar, bedanya hanya dignity. Ibarat pensil; pensil yang paling panjang dan paling runcing adalah pensil yang tidak melakukan apa-apa. Inilah yang dirasakan Toni cs ketika mereka harus bersusah-susah menjaga dan mengaktifkan sekolah bikinan mereka.

 

 

Cerita seperti ini sebenarnya cukup tricky untuk digarap. Parodi dengan banyak isu, artinya mereka enggak bisa terpaku kepada satu karakter tertentu. Dan lagi, the closest thing we have to protagonists pada film ini adalah kelompok remaja kaya yang menyabotase pagelaran seni sekolah demi mendapat perhatian. It is hard enough buat kita menumbuhkan kepedulian kepada mereka. Apalagi ketika keempat anak SMA ini tidak diberikan penokohan yang benar-benar berarti. Pengembangannya tipis, mereka share the same trait dengan elemen komikal sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Motivasi mereka enggak sepenuhnya terasa jujur, karena pihak ‘antagonis’ film ini toh punya poin yang bagus about them, dan kita bisa melihat praduga mereka benar, so yea, yang berusaha aku bilang adalah kita akan masuk ke dalam narasi tanpa ada hook yang kuat. We just go in sebab segala adegan dan dialog ditangani dengan kocak dan nyata, sehingga kita ingin melihat lebih lanjut. At times, kita malah ingin melihat di luar karakter utama karena tokoh-tokoh penghuni kampung yang dibuat lebih berwarna. Dan film ini memberikan mereka kepada kita; menjelang akhir ada pergantian perspektif di mana kita melihat penghuni kampung bekerja sama menghadapi penggusuran, which is some nice sight to see, akan tetapi membuat kita bertanya; ke mana Toni dan kawan-kawan, kenapa di peristiwa penting begini mereka malah absen?

See? Masalah terbesar yang menahan Stip & Pensil bukan pada penulisan, not necessarily ada pada penokohan, melainkan terletak pada struktur cerita; pada bagaimana film ini menceritakan dirinya. Separuh bagian pertama penuh oleh adegan-adegan lucu yang seputar pendirian sekolah darurat dan tantangan kegiatan belajar mengajar di sana, tetapi ‘the real meat’ datang dengan rada telat. Maksudku, kita ingin melihat remaja-remaja SMA yang kaya tersebut bonding dengan bocah-bocah pengamen, kita ingin melihat gimana mereka work it out dengan neighborhood yang belum pernah mereka tapaki sebelumnya, kita ingin lihat gimana mereka actually mengajar di kelas, dan rasanya akan lama sekali sebelum kita mencapai bagian ini.

Dan begitu elemen tersebut sudah masuk — aku menyangka paruh akhir akan lebih menyenangkan lagi – film malah memberi kita penyelesaian yang terburu-buru. Semuanya terasa rushed dan dipermudah. Mereka mungkin seharusnya tidak membuat kita invest so much kepada Toni dan kawan-kawan, karena toh ada pergantian perspektif, dan Toni enggak benar-benar menyelesaikan apapun. Pun begitu, film malah menambah elemen baru, drama kok-elo-naksir-si-anu-sih-kan-gue-yang-suka itu misalnya, yang pada akhirnya juga diselesaikan dengan abrupt. Aku juga merasakan masalah ‘masuk terlalu lambat, diselesaikan dengan terlalu cepat’ yang sama juga menghantui A Copy of My Mind, namun paling enggak dalam film tersebut tidak ada penambahan elemen mendadak ataupun pergantian sudut pandang.

karena tidak ada persahabatan tanpa fists bump.

 

Setiap dialog mengandung lelucon yang berhasil diintegralkan dengan mulus. Tapi masih ada juga bagian yang serta merta ada buat kepentingan tawa semata. Sama seperti bagian drama cinta remaja yang kusebut di atas, yang eksistensinya cuma buat menarik perhatian penonton. Dan kadang-kadang, antara satu lelucon dengan lelucon lain, terasa enggak make sense – enggak klop logikanya. Misalnya adegan tenda; aku enggak ngerti kenapa mereka yang anak-anak orang kaya cuma bisa nyewa satu tenda, aku enggak ngerti kenapa mereka enggak tidur di dalam sekolah darurat saja alih-alih di pekarangan luarnya, dan aku enggak ngerti kenapa Saras jadi histeris heboh ngeliat tikus padahal bukankah di adegan pembuka kita melihatnya mengancam panitia di belakang panggung sekolah dengan literally mengayun-ayunkan tikus di depan wajahnya.

 

 

 

Komedi yang cerdas dan bekerja dengan highly effective menjadikan film ini tontonan yang tidak hanya menghibur, namun juga sarat isi. Bicara soal bullying, persahabatan, status sosial, prasangka, semua materi dipikirkan dan digodok bersama humor dengan sangat matang. Kuat di bagian ‘apa’, sayangnya film ini runtuh di ‘bagaimana’. Semestinya pensil itu digunakan untuk menulis ulang struktur sehingga bagian penyelesaiannya tidak terburu-buru dan tidak dipermudah. Sebagaimana setip itu mestinya digunakan untuk menghapus elemen-elemen yang dimasukkan just for the audience.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for STIP & PENSIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

KARTINI Review

“I know why the caged bird sings”

 

 

Bicara Kartini berarti kita bicara emansipasi. Perjuangan kesetaraan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk menentukan pilihan, untuk mendobrak sistem patriarkal yang mengakar, dan terutama untuk mengatakan “Memang kenapa bila aku perempuan?”. Aku pikir kita semua udah tahu bahwa tinggal waktu saja kisah kepahlawanan Kartini ini jatuh ke tangan sutradara Hanung Bramantyo. Hanung paling demen ngegarap cerita yang protagonisnya berontak melawan sistem, dia paling jago memercik drama (dan, kalo perlu, sedikit kontroversi) kemudian memperkuatnya lagi dengan elemen yang relevan. Kartini dan Feminisme sangat cocok sebagai lahan Hanung.

Namun kali ini, lebih daripada mengandalkan sensasi – akan gampang sekali mengingat ide soal kepahlawanan Ibu Kartini sudah sering mendapat kontroversi di jaman modern ini – Hanung mengarahkan film biopik ini ke jalan yang lebih EMOSIONAL DAN MANUSIAWI. Dalam Kartini kita akan melihat karakter-karakter menjadi fokus utama. Kita akan melihat hubungan Kartini dengan keluarga, bersama kakak-kakak cowoknya, dan bersama kedua adiknya; Roekmini dan Kardinah. Kita akan melihat gimana Kartini berteman dengan Belanda yang menyemangatinya untuk menulis. Gimana dia mengisi hari selama masa pingitan sebagai persiapan menjelang mengemban status Raden Ajeng. Dan, yang paling personal baginya, gimana Kartini menyingkapi soal poligami, in which dia adalah produk dari – serta akan kembali jadi pemain dalam tradisi jawa tersebut. Urgensi datang dari Kartini dan adik-adiknya yang mengembangkan kerajinan ukiran Jepara, membuka sekolah bagi anak-anak pribumi, sementara sebenarnya mereka sedang menunggu waktu satu persatu ‘dipetik’ untuk menjadi seorang istri.

Dian Sastro apa Dian Iaya nih?

 

Ketika melihat trailer film ini untuk pertama kalinya di bioskop, aku merasa tertarik. Kalimat yang diucapkan Kartini di akhir trailer tersebut, tentang kebebasan ibarat burung, membuatku kepikiran kenapa film ini enggak dikasih judul Trinil aja ya? Dan setelah menyaksikan filmnya secara utuh, I still think that way; judul Trinil akan memberikan kesan yang lebih impresif dan benar-benar klop dengan ceritanya. Dalam review Surat Cinta untuk Kartini (2016) aku nyebutin cerita Kartini yang dipanggil burung trinil oleh ayahnya dalam majalah Album Ganesha Bobo. Kartini adalah pribadi yang enerjik, periang, punya bakat membandel, dan dalam film ini, begitu melihat Kartini dan dua adiknya nangkring di atas tembok, aku langsung menggelinjang; That’s her, that’s Kartini si burung Trinil yang aku baca waktu kecil!

Betapa menyenangkannya demi mengetahui diri kita sudah membuat perubahan hari ini. Dan that feeling alone harusnya udah bisa membuat kita terbebas dari boundary apapun yang memasung kita. Kartini, menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas. Karena batas-batasan itu akan selalu ada, dan perjuangan sejatinya bukan untuk menghilangkan pembatas melainkan untuk membebaskan pikiran. Perjuangan Kartini adalah perjuangan gagasan, meskipun tubuhnya terkurung, gagasan positifnya akan terus terbang memberikan pengaruh positif kepada generasi demi generasi.

 

 

Kualitas produksi film ini top-notch sekali. Ini adalah film yang cantik. Gambarnya disyut dengan perhatian pada maksud dan detil. Set dan kostumnya sangat meyakinkan. Londo-londo itu terlihat classy sekaligus modern sebagai kontras dari pakaian bangsawan Jawa yang terlihat kaku dan mengurung. Kartini berada di tengah-tengah mereka. Kita memang enggak tahu seperti apa pembawaan Ibu Kartini aslinya, namun Dian Sastro udah pas meranin Kartini sebagai wanita yang berjiwa mandiri dan ‘pemberontak’. Tapi enggak exactly in a way kayak dia bilang “aku enggak butuh lelaki.” Ini adalah film yang membahas hubungan emosional yang terbangun. Motivasi Kartini adalah supaya dia, adik-adiknya, dan para wanita tidak perlu lagi capek berjalan-jongkok dan ‘latihan makan ati’ seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Supaya para wanita tidak hanya jadi pilihan melainkan bisa punya pilihan. Tembok pakem wanita-jaga-badan-dan-nunggu-kawin itu musti runtuh, begitu tekad Kartini. Semua itu tercermin dari gimana dia ‘menggembleng’ dua adiknya, yang oleh film ini diperlihatkan sebagai ‘murid pertama’ yang dimiliki oleh Kartini. Dian Sastro excels at playing this kind of role. Membuat kita ingin melihat lebih banyak tindak ‘pemberontakan’ Kartini. Kita akan melihat darimana asal tekad dan semangat Kartini, dan semua itu dimainkan dengan sangat heartwarming.

Hal berbeda yang dapat kita saksikan adalah Hanung memasukkan elemen imajinasi ke dalam cerita. It’s the power of books, people! Dengan membaca buku, kita bisa berkunjung ke mana saja kita mau. Adegan ketika pertama kali Kartini membaca buku adalah adegan yang sangat menyenangkan. Kita melihat dirinya melihat apa yang ia baca terwujud di depan mata. Sepanjang film, setiap kali Kartini membaca, entah itu buku ataupun surat balesan dari korespondensinya di Belanda, kita akan dikasih lihat visual Kartini sedang ngobrol dengan si penulis. It was shot very beautifully and actually menambah banyak hal buat pengembangan tokoh Kartini.

Tiga Gadsam foto buat cover lagi kaah? hhihi

 

Dengan jajaran pemain yang masing-masing saja kayaknya sudah pantes buat nulis buku sendiri tentang kepiawaian berakting, film ini enggak bisa untuk enggak menjadi meyakinkan. Lihat saja tatapan dingin Djenar Maesa Ayu, tapi masih terlihat bayangan mimpi yang kandas dari matanya. Pembawaan dan intonasi Deddy Sutomo yang terang-terang sedang conflicted antara acknowledging kemampuan putrinya dengan adat yang ia junjung. Aku bahkan ngakak ketika Kardinah bilang perasaannya enggak enak seolah ia tahu bakal dijodohin di akhir hari. Bahasa Jawa mereka sampaikan tanpa gagap. Kapasitas penampilan yang kelas atas membuat kadang beberapa musik dalam pengadeganan toh terasa sedikit eksesif. Maksudku, film ini sebenarnya bisa untuk enggak banyak-banyak masukin pancingan emosi karena setiap adegan, dari segi performances, sudah terdeliver dengan begitu compelling.

The bigger picture of this movie adalah gimana kehidupan Kartini bisa menginspirasi banyak orang, bukan hanya wanita. Namun, film ini masih kelihatan artificial ketika mengolah elemen-elemen dramatis. Kayak, film ini berusaha terlalu keras buat menghasilkan air mata dari penonton. Dibandingkan dengan porsi bagian cerita yang lebih ringan, menit-menit awal yang jadi set up terasa terlalu menghajar kita dengan emosi. Kita melihat Kartini kecil dalam momen yang menyedihkan, baik visual maupun tulisan mendikte kita untuk sedih. Kemudian narasi melompat dan kita dapat Kartini dewasa dengan segala attitude ingin-bebas. Ini masalah yang sama dengan pengarakteran Jyn Erso pada Rogue One (2016), di mana kita hanya melihat sad part of her childhood untuk kemudian kita melihatnya lagi setelah dewasa dengan kemampuan yang tinggi. Aku pikir akan lebih baik jika film ini mengajak kita untuk mengintip kehidupan sekolah Kartini kecil, you know, just to see seperti apa sih pintarnya Kartini itu hingga dikenal baik di kalangan meneer Belanda. Karena sepanjang film kita akan mendengar para tokoh ngereferensikan betapa pintarnya Kartini di sekolah.

Pun pada babak akhir kita akan merasa diseret oleh emosi. Tidak ada yang benar-benar menarik pada babak ketika sampailah giliran Kartini dilamar seorang Bupati. Kita semua – paling enggak kita-kita yang masih melek waktu pelajaran sejarah di sekolah – tahu tepatnya apa yang akan terjadi. Cara film ini bercerita mendadak kembali terlalu artifisial, sehingga adegan-adegan emosional itu rasanya kering. Pancingan-pancingan dilakukan, ada elemen sakit, ada tokoh yang jadi antagonis sekali, ada yang berubah baik hati, semuanya datang gitu aja, it did felt rushed. Banyak film yang enggak berhasil menjembatani dua tone narasi, dan film ini termasuk ke dalam kelompok film yang gagal tersebut. Alih-alih membahas dari perspektif yang lebih kompleks – dan film ini sebetulnya bisa melakukan itu – film ini lebih memilih untuk menyederhanakannya menjadi semacam pihak yang baik sama Kartini dan pihak yang jahat. Although, menarik gimana ‘yang jahat’ dalam film ini enggak necessarily adalah laki-laki.

 

 

 

Habis gelap terbitlah terang. Kemudian gelap lagi. Begitulah kira-kira garis besar menikmati film ini. Perbedaan antartone film ini sangat drastis, karenanya momen-momen dramatis yang kerap dihadirkan terasa artifisial. Set up film mestinya juga bisa diperkuat lagi karena gedenya toh apik tenan. Selain masalah tone dan hook yang dibuat terlalu pengen jadi dramatis, aku tidak melihat banyak masalah. Film ini  tahu ingin jadi apa, dan bekerja baik mewujudkan dirinya. Ia menyenangkan oleh interaksi antarkarakter. Potret penuh emosi dari kehidupan sosok pahlawan yang kita peringati setiap bulan April. Aku merasakan dorongan untuk keluar dari bioskop dengan berjalan jongkok just to pay my respect kepada pengorbanan perempuan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KARTINI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE GUYS Review

“Vulnerability is the only bridge to build connection.”

 

 

Tidak ada penulis yang mengeksplorasi laki-laki dan kejombloan lebih sering dari yang dilakukan oleh Raditya Dika. Sejak Kambing Jantan (2009), formula cerita comedian yang mengawali karir dari blog ini selalu adalah tentang cowok awkward yang desperately pengen punya pacar, dia mencoba banyak tips ajaib yang justru bekerja di luar harapan, dan sebagian besar memang berakhir tragis. Namun di situlah letak lucunya; bagi penonton muda pengalaman kocak yang diceritakan Raditya Dika sangat mudah buat direlasikan. Dia berani tampil unik, yakni TAMPIL VULNERABLE. Mengeluarkan sisi lemah untuk ditertawakan bersama-sama. Namun begitu, hal tersebut juga jadi alasan kenapa karya-karya Raditya Dika lebih mudah diterima oleh pembaca cewek. Sebab cowok enggak suka menunjukkan vulnerability atau ‘kelemahan’. Dan manusia secara umum; semakin dewasa orang-orang akan semakin lebih nyaman menyimpan sisi vulnerable mereka dalem-dalem. Makanya Pak Jeremy dalam film The Guys terlihat galak dan kontras sekali dengan tokoh yang Alfi yang diperankan oleh Raditya Dika. Di film ini, kita akan melihat dua generasi yang berbeda mengekspresikan kevulnerablean mereka dalam relationship. Dan ini adalah elemen yang paling menarik yang ditawarkan oleh The Guys.

Being vulnerable mengimplikasikan kita berani untuk menjadi diri sendiri. Dan meskipun adalah menakutkan untuk menunjukkan kelemahan, seperti Jeremy yang segera mengganti ikat pinggangnya yang seragam dengan Alif – yang menunjukkan dia mungkin se’lemah’ Alif, vulnerability adalah hal yang penting dalam menjalankan hubungan sosial, terlebih hubungan percintaan. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa menjalin hubungan kepercayaan di antara dua orang, tapi jika dan hanya jika, kedua belah pihak mau bersikap vulnerable bersama-sama.

 

Alfi pengen jadi orang yang sukses. Punya istri cantik dan pekerjaan yang ia senangi. Yang ia punya dari kerjaannya sebagai karyawan kantor marketing Pak Jeremy adalah tiga sohib sekontrakan dan status jomblo dua-tahun. Keinginan-keinginan Alif sudah akan terwujud sekaligus; dia berhasil deket sama temen kantornya yang bernama Almira, cewek cantik yang ternyata adalah anak dari bosnya, Pak Jeremy. Tapi kemudian kejadian menjadi membingungkan bagi Alif karena setelah keluarga mereka makan malam bersama, Pak Jeremy yang lama menduda malah jatuh cinta kepada ibunya yang juga sudah lama ditinggal oleh ayah. Aku jadi teringat cerita si Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang batal ngelamar lantaran hari itu bapaknya keburu bikin acara lamaran nikah buat dirinya sendiri. Elemen cerita ini menciptakan semacam sense kompetisi dan urgensi. Alif, tentu saja dia harus segera mengungkapkan cintanya (sukur-sukur diterima!) sebelum Almira malah berakhir menjadi sodara tirinya.

gimana awkwardnya coba kalo jadi kakak-adek beneran!

 

Konflik drama tersebut datang sebagai midpoint, menjadikan film ini seperti terbagi menjadi dua bagian. Paruh pertama kita melihat kehidupan sosial Alif. Dan dalam kasus film ini, sosial adalah berarti beredar mencari cewek. Kita menyaksikan cinta Alif yang kandas, melihat dia mendengar saran-saran dari teman-temannya, dan ketika dia kenalan dan pedekate kepada Almira. Bagian ini penuh oleh trope-trope komedi cinta untuk remaja, yang cenderung konyol. Separuh akhir lagi adalah giliran elemen-elemen dramatis untuk unjuk gigi. Kita sesekali diperlihatkan si Alif ini mikir apa aja kala dia sedang sendirian di kamar mantengin skema ‘Life Goal’ yang ia buat; soal relationshipnya dengan Almira, haruskah dia ngalah buat ibu dengan Pak Jeremy. Ada bicara soal menjadi bos bagi diri sendiri juga. Meski tone cerita tetap dijaga enggak jauh-jauh dari komedi konyol, bagian akhir film ini agak sedikit berat oleh pecahnya fokus cerita. Usaha film ini memancing sisi dramatis kerap terasa out of nowhere sebab mereka terlalu bermain ringan di babak set up.

Motivasi Alif tidak pernah tercermin dengan baik, dan terasa dijejelin begitu saja. Naskah yang baik seharusnya mampu menggali tiga sisi kehidupan tokoh; profesional, sosial, dan personal. Kita tidak pernah melihat karakter Alif dalam lingkup cahaya profesional. Maksudnya, ini adalah cerita dengan set kantoran, Alif digambarkan jenuh dengan kerjaan, tapi kita tidak pernah melihat kerjaan dia tuh ngapain aja. Ada adegan ketika tim mereka ketinggalan flashdisk buat presentasi, dan yang dilakukan Alif hanya berdiri di sana, enggak ngapa-ngapain. Harusnya bisa dibikin dia nekat presentasi impromptu walaupun toh tetep ketahuan dan gagal. Niat mulia yang keluar kuat dari Alif adalah dia pengen punya cewek, karena film ini sebagian besar akan mengekspos hal tersebut. Penyelesaian dari elemen kerja ini juga datang begitu saja, tanpa ada build up ataupun rintangan yang dihadapi. Dia cuma kayak “Oke gue selesai, gue sekarang berani ngambil langkah ini, gue bisa kok bikinnya” dan memang semuanya jadi serba gampang. Bahkan perjuangan cinta Alif juga dibahas dengan ‘cepat’ dan enggak benar-benar ada rintangan selain kekonyolan yang terus dipancing due to this film’s comedy nature.

Aku sempat bengong juga harus mulai mengulas film ini dari mana. Sebab semua elemen cerita serta elemen penggarapannya DIOLAH DENGAN SANGAT BASIC. Alasan Almira enggak ngasih tau siapa bapaknya kepada Alif sampai sebelum dinner adalah karena dia takut Alif nanti kaget; dari sana saja mestinya udah bisa ngasih gambaran tentang kualitas dialog dan penalaran tokoh pada film ini. Lima menit pertama film udah nyamain remaja dengan air conditioner yang belum diservis, not to mention kita juga sudah dapat dua lelucon kamar mandi dalam rentang waktu segitu. Dan hitungannya masih bakal terus meningkat lagi sampai akhir. Situasi, jokes, karakter, semuanya ditulis dengan standar. Film ini punya kecenderungan buat ngejelasin jokesnya lewat percakapan, yang sebetulnya enggak perlu, tapi mungkin karena filmnya sendiri sadar bahwa materi yang mereka punya enggak cukup kuat. Delivery dan pengintegralan lelucon-lelucon tersebut pun biasa sekali. Hanya ditargetkan buat memancing tawa dengan gampang. Materi komedinya kebanyakan diambil dari anekdot-anekdot yang sedang ngehits sekarang ini. Bagus sih, jadi kekinian, tapi bayangkan kalo film ini ditonton sepuluh tahun lagi. But hey, paling enggak di film ini ada orang yang ‘bola’nya sakit, itu pasti lucu sepanjang waktu kan?

Iya sih, kalo film ini dibuat atas dasar ngetawain diri sendiri, mestinya kita sadar dong seberapa gede kans film ini dibuat dengan mereka menghormati para penonton.

 

Sebagai tokoh utama, Alif sebagian besar waktu enggak ngapa-ngapain. Dia dapat info-info penting dari orang lain, dia nyaris enggak figure out anything. Raditya Dika hanya berdiri di sana pasang tampang komedi (alias ekspresi sangsi campur bloon). Ketiga sahabatnya enggak diberikan penokohan yang cukup. Hanya ada satu yang diperhatikan lebih, yaitu si Sukun dari Thailand yang jago bikin teh beraneka khasiat. Dia adalah sahabat Alfi yang vulnerable dan itu membuatnya mudah konek dengan penonton. Namun film ini masih terasa sengaja membuat tokoh ini sebagai karakter ‘bego’ sehingga dengan bisa digunakan dengan mudah untuk memantik sisi dramatis. Penampilan yang bisa dinikmati adalah dari Tarzan dan Widyawati, mereka terasa humane. Namun menjelang akhir, film berpindah ke aspek persahabatan yang enggak pernah sebelumnya diset dengan meyakinkan. There’s so much things going on. Jika film lebih fokus, mungkin jika mereka bener-bener mengeksplorasi dari aspek saingan yang konyol dengan Pak Jeremy sebagai ‘antagonis’, narasi akan lebih rewarding. Bagian akhir terasa sangat numplek, beberapa bagian narasi juga kelupaan untuk dibahas lagi. Almira enggak nongol lagi. Tokoh-tokoh cewek, selain ibu Alif, juga ditulis dengan basic. Almira is nothing but a love interest. Sejak Aach… Aku Jatuh Cinta (2016), Pevita nunjukin peningkatan dalam penyampaian dan intonasi, namun permainan ekspresinya masih lemah. Dan sebagai Almira, comedic delivery Pevita Pearce masih minim, dia masih sebland biasanya.

aku bisa relate sama perasaan diajak ketemuan ama Pevita

 

Elemen romansa seputar Alif enggak ditangani dengan cara yang dewasa. Para tokoh film ini kayak anak abg yang pake kemeja kantoran. Ada banyak film atau juga serial di mana tokoh-tokohnya udah gede namun masih kekanakan, tapi dalam film ini, they are just dumb. Aku pikir, ini enggak exactly masalah umur ataupun enggak cocok sama demografi pasar ceritanya, karena toh memang ada beberapa momen yang bisa kurelasikan. Tapi sebagian besar film memang terasa datar, emosinya artifisial, enggak ada nuansa fun – bahkan para pemain tidak tampak fun memainkan tokoh mereka, dan yang paling menarik adalah bagian ketika tokoh-tokoh yang lebih dewasa menunjukkan sisi vulnerable mereka. Everything about this film is so basic. Raditya Dika mungkin nyaman dengan itu, tapi film enggak bisa mengandalkan vulnerabilitas semata. Strukturnya harus diperhatikan. Penulisannya perlu dimatangkan. Sebagai penonton kita akan selalu punya banyak pilihan film lain yang lebih relatable dan lebih menantang.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE GUYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And they are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.