GODZILLA MINUS ONE Review

 

“He who fights and runs away may live to fight another day.”

 

 

Dunia memang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, manusia harus belajar untuk hidup harmoni bersama makhluk lain. Begitulah pretty much konsep dari film-film creature atau monster. Godzilla pun lahir dengan latar belakang yang serupa. Dinosaurus-like, monster raksasa, dianggap sebagai setengah-dewa penghancur setengah-dewa pelindung Bumi dari monster/kaiju lain. Manusia dalam cerita monster seperti Godzilla harus co-exist dengan makhluk yang terganggu oleh polusi atau teknologi tak-bertanggungjawab yang kita ciptakan. Lucunya,  dunia perfilman juga ternyata terlalu besar untuk ditinggali oleh satu jenis film Godzilla. Kita harus belajar untuk hidup harmoni dengan tipe-tipe film tersebut. Ada film Godzilla yang cheesy, yang isinya monster raksasa saling bertarung, dengan karakter manusia sok asik for the sake of ‘entertainment’ (misalnya Godzilla X Kong baru-baru ini), dan ada juga film Godzilla yang lebih ‘serius’. Karya Takashi Yamazaki ini masuk ke dalam tipe kedua. Godzilla Minus One tidak semata bersandar pada aksi monster yang ridiculously gede, melainkan berfokus kepada kisah kemanusiaan yang hidup menyertainya. Minus One pada judulnya merujuk kepada keadaan manusia Jepang yang luluhlantak oleh perang, dan mereka masih harus berhadapan dengan kemunculan Godzilla yang set them more far back, karena monster ini justru muncul saat manusia-manusia itu berusaha membangun hidup dari nol.

Untuk meng-emphasize poin keadaan hidup di bawah garis nol tersebut lebih jauh, Godzilla Minus One memanggil protagonis kepada Shikishima, seorang pilot tempur pesawat bunuh diri, yang mangkir dari misinya di akhir Perang Dunia II. Shikishima berdalih ada yang rusak di pesawatnya sehingga dia mendarat di pulau untuk reparasi oleh teknisi militer di sana. Di pulau itulah, malamnya, Shikishima pertama kali bertatap muka dengan Godzilla. Monster itu menyerang pulau, dan sekali lagi Shikishima mempertontonkan kepengecutannya dengan tidak sanggup menembak Godzilla dengan senjata di pesawat. Sejak itu, Shikishima hidup dengan rasa bersalah menggerogoti hati. Cerita Godzilla Minus One berpusat pada Shikishima yang tinggal di puing bekas rumah orangtuanya, bersama seorang perempuan asing dan anak kecil yang butuh pertolongan. Shikishima menampung mereka, mereka hidup bersama, tapi Shikishima tidak mau menganggap ataupun menjadikan mereka sebagai keluarga. Karena Shikishima belum selesai dengan ‘perang personalnya’. Godzilla di cerita Shikishima bertindak sebagai perwujudan yang harus dikalahkan oleh Shikishima dalam journey personalnya. Shikishima bekerja jadi penyapu ranjau di laut, dan di sanalah kesempatannya bertemu sekali lagi dengan Godzilla. Bertekad untuk tidak lagi kabur, Shikishima sekarang berniat untuk benar-benar mengorbankan dirinya, demi masa depan tanpa Godzilla.

reviewGodzillaMinusOne
Sudah perang, diserbu Godzilla pula

 

Biasanya nonton film monster kayak Godzilla ini kita suka kesel kalo Godzilla-nya hanya muncul sebentar. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi masalah pada film ini. Godzilla-nya memang hanya muncul sebentar saja (paling cuma belasan persen dari total durasi dua jam), dan sebagian besar cerita membahas tentang kehidupan manusia, tapi film tidak pernah terasa membosankan karena bahasan manusanya benar-benar berbobot. Manusia di film ini tidak seperti pada Godzilla X Kong: The New Empire, misalnya, yang cuma sok eksentrik dan dialog-dialog one-liner yang sok asik. Manusia di film ini adalah hati, bahasannya grounded, real, dan kita akan benar-benar peduli dengan mereka. Dialog film ini tidak berisi mumbo-jumbo teknologi yang harus dicari oleh tim manusia untuk mengalahkan Godzilla atau monster lainnya. Tidak ada tempo supercepat ala Hollywood yang terkesan kayak memburu-burukan cerita yang hampa supaya cepat sampai ke bagian monster raksasa. Godzilla Minus One adalah bahasan karakter yang meluangkan waktu untuk membawa kita menyelami karakternya. Kita dibuat peduli sama Shikishima yang bercela. Kita dibuat ingin dia hidup berkeluarga melupakan rasa bersalahnya, tapi sekaligus kita juga pengen dia berhasil mengalahkan rasa bersalah itu tanpa mempertaruhkan keluarganya.

Memang, tidak semua orang menganggap kabur dari battle adalah perbuatan membanggakan. Apalagi orang yang dibesarkan dengan prinsip harga diri dan pride tinggi seperti Shikishima, sang prajurit Jepang. Negara di mana bunuh diri demi perjuangan dipandang sebagai hal terhormat.  Sepertinya inilah salah satu gagasan yang diusung film terhadap budaya negaranya tersebut. Bahwa bunuh diri, kendati terhormat, bukan lantas jadi satu-satunya bentuk mulia perjuangan.  Bahwa ada satu aspek lain yang tak kalah pentingnya, yaitu survive supaya bisa terus melanjutkan perjuangan. Journey Shikishima dan karakter lain di film ini merupakan penyadaran terhadap hal tersebut, bahwa nyawa berharga bukan untuk dikorbankan, melainkan untuk diperjuangkan.

 

Sehingga sebenarnya yang jadi antagonis di dalam cerita ini bukanlah semata Godzilla. Melainkan prinsip mengorbankan diri yang telah jadi tradisi di negara itu sendiri. Para manusia harus ‘mengalahkan’ prinsip tersebut sebelum bisa mengalahkan Godzilla. Makanya film ini terasa lebih membesar lagi. Perjuangan manusia-manusia Jepang dalam menghalau Godzilla, digambarkan sebagai perjuangan kolektif masyarakat. Situasi negara setelah Perang Dunia II dijadikan panggung yang mempush warga untuk segera melakukan tindakan sendiri, karena negara tidak bisa langsung turun tangan. Kita lihat veteran perang seperti Shikishima berembuk untuk menyusun siasat mengalahkan Godzilla, kita lihat ada percikan drama sehubungan dengan pilihan mereka untuk kembali mempertaruhkan nyawa, mempertanyakan apakah kali ini untuk negara atau bukan. Bagi mereka ini sudah bukan lagi soal patriotisme, melainkan hal yang lebih personal. Film bahkan menyebut betapa ‘cerahnya’ wajah para pejuang ketika mereka bekerja di kapalPerundingan siasat ini nyatanya lebih menarik dan lebih kita mengerti ketimbang misalnya obrolan tetek bengek sci fi yang biasa kita temui pada Godzilla versi Hollywood. Film Jepang ini paham untuk membuatnya tetap pada gagasan dan tema, sehingga bahkan ketika tersempil paparan untuk majunya plot pun, film ini tidak terasa terbebani.

Notice gak gimana Godzilla menggigit, tapi sama sekali tidak pernah memakan manusia?

 

Dan ketika beneran sudah memperlihatkan aksi-aksi manusia berusaha survive dari monster raksasa, film ini pun tetap bertaring.  Efek visual nya memang tidak mentereng, spektakelnya memang tidak bombastis, tapi bukan berarti yang disajikan film ini hiburan B-Class. Justru, demi menyeimbangkan dengan cerita yang grounded, visual film ini dibuat dengan sense realisme yang tinggi. Lihat saja adegan ketika kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya. Terakhir kali ngerasain kayak gitu di film creature, ya pas film Jaws yang hiunya irit, tapi dread dan impact keberadaannya menguar dari karakter manusia. Build up Minus One inipun gak ada minus-minusnya, mereka membangun kemampuan Godzilla lalu kemudian ngasih punchline sedemikian rupa. Ketika Godzilla hendak menembakkan nuklirnya, misalnya, kita diperlihatkan gimana tubuhnya ‘ngecharge’ dan kemudian ketika dia menembak, efeknya begitu dahsyat. Sehingga ketika next sequence kita melihat Godzilla ‘ngecharge’ lagi, kita ikut khawatir akan dampak yang bisa ditimbulkan. Sound dan musiknya juga bekerja dengan sangat efektif membangun suasana. Baik itu di malam hari, di laut, ataupun di kota, film ini berani dan selalu punya cara unik dalam menampilkan Godzilla. Beberapa adegan mungkin ada yang tampak terlalu ‘anime’, tapi itu hanya karena perbedaan gaya atau pendekatan khas Jepang dengan film Godzilla versi Hollywood yang biasa kita saksikan.

 

 




Clearly, Godzilla yang satu ini dikepalai oleh orang-orang yang paham betul bagaimana membuat fantasi kaiju raksasa bisa co-exist dengan cerita dengan penokohan dan bahasan yang berbobot. Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, sementara juga mengambil resiko dengan tidak benar-benar bersandar kepada spektakle monster dalam menyuguhkan kisahnya. Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. For di antara mereka masih ada yang belum tuntas dengan ‘perangnya pribadi’. Ketika menyuguhkan Godzillanya, film ini juga tidak main-main. Craft mereka menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for GODZILLA MINUS ONE.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah makna Godzilla sebagai simbol bagi lingkungan ataupun kepercayaan masyarakat?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DUA HATI BIRU Review

 

“It’s not about being better than anyone else; it’s about being better than you used to be”

 

 

Dua Garis Biru (2019) berhasil menorehkan impact. Bahasan pernikahan dini yang diangkatnya, mencuat berkat perspektif dan gagasan modern yang kuat. Solusi win-win yang diberikan Gina S. Noer kepada karakter-karakternya di film tersebut, bukan tanpa ‘kontroversi’. Menikah karena hamil di usia begitu muda (like, di usia sekolah!) bukan berarti hidup Bima dan – terutama – Dara berakhir. Bahwa perempuan seperti Dara masih bisa kok meneruskan dan mengejar karirnya. Bahwa bukan hanya  selalu perempuan yang harus menanggung beban punya-anak. Hidup baru mereka justru baru saja dimulai. Syd Field bilang, sebuah film yang bagus ketika film itu tamat, ceritanya tidak ikut berakhir. Melainkan dunia karakternya masih berlanjut, mereka seolah masih terus hidup di dalam kepala kita. Well, sekarang kita bisa berhenti membayangkan gimana kelanjutan Bima mengasuh anak sepeninggal Dara yang lanjut kuliah ke Korea. Karena Gina S. Noer, kali ini bersama Dinna Jasanti telah membuat kisah officialnya. Dua Hati Biru adalah lanjutan yang membahas struggle personal baik itu Bima maupun Dara yang menjadi orangtua muda, lengkap dengan beban, root keluarga, dan masing-masing ego mereka.

Setelah empat tahun, Dara kembali ke tengah-tengah Bima, Adam, dan keluarga besar mereka. Selama ini Bima mengasuh Adam sendirian, dengan bantuan ayah dan ibunya. Angga Yunanda basically meranin cowok yang jadi single dad selama empat tahun. Sebagai lulusan SMA, Bima bekerja sebagai penjaga kolam bola di mall, sehingga dia bisa curi-curi kesempatan untuk membawa dan bermain dengan Adam sambil gawe. Sehingga Adam pun otomatis lebih dekat dengan Bima, ketimbang dengan Dara yang hanya berkomunikasi lewat video call. Kehadiran kembali Dara yang kini lebih dewasa (kali ini diperankan oleh Aisha Nurra Datau), dengan benak penuh mindset baru termasuk juga dalam hal parenting,  tentu saja mengubah semua dinamika tersebut. Tidak segampang itu bagi Dara yang ingin Bima dan dirinya mandiri, lepas dari tangan keluarga besar yang merasa lebih tahu cara merawat anak. Tidak segampang itu bagi Dara untuk bonding dengan Adam yang menolak kehadirannya. Sebaliknya, sama tidak gampangnya bagi Bima untuk ‘evolve’ seperti Dara; tidak segampang itu bagi Bima untuk menerima nafkah dari istrinya. Ah, menjadi orangtua ternyata memang banyak ‘tidak segampang itu’-nya. Let alone menjadi orangtua muda.

review dua hati biru
Adam was right soal mamanya beda

 

Serta merta, anaklah yang jadi stake rumah tangga Bima dan Dara. Terjadi apa-apa sama Adam, berarti kegagalan mereka sebagai orangtua. Sepertinya ini jugalah (selain judul) kenapa film memutuskan untuk tidak memilih di antara dua sebagai satu perspektif utama. Film tidak memulai cerita dengan memperlihatkan kenapa Dara memutuskan untuk pulang, dan sebaliknya film tidak  dimulai dengan detil kehidupan sehari-hari Bima mengasuh Adam, melainkan hanya lewat montase singkat. Dua Hati Biru ingin membahas kedua sudut pandangBima dan Dara secara menyeluruh supaya konflik rumah tangga pasangan muda ini terbahas semua. Karena keduanya memang masih harus banyak belajar bagaimana cara menjadi orangtua yang baik, bukan yang sempurna. Film menampilkan banyak masalah sehari-hari parenting mereka lewat kejadian-kejadian yang relate banget. Permasalahan yang memang bisa kita jumpai pada rumah tangga orang beneran. Anak yang menangis karena mainan kesayangannya ‘hilang’, suami yang kedapatan kebanyakan main hape/game, ibu mertua yang gak taat sama jam tidur anak. Kedekatan kejadian atau masalah-masalah mereka membuat film ini menyenangkan untuk ditonton, sebab sedikit banyak kita pasti akan membawa kisah ini kepada pengalaman, sehingga tanpa sadar kita ikut melibatkan dalam usaha penanganan masalah yang mereka lakukan. Film berhasil menghindar dari menggurui.

Value-value yang disajikan perihal hidup berumah tangga toh memang berharga sekali. Salah satu yang disorot adalah tentang komunikasi. Di masyarakat sepertinya lumrah, yang namanya keluarga mau itu kelas menengah ataupun atas, biasanya komunikasi ya itu pakek emosi. Pakek nyolot. Aku tergelak melihat adegan meja makan Dara-Bima-Adam bersama keluarga Bima. Masing-masing ngobrol, dengan suara keras. Tergelak karena teringat keluargaku begitu juga, kalo udah ngobrol semua berebut ngomong. Semua berebut nyumbang pendapat untuk satu masalah sepele. Semua ngotot ingin ‘ngatur’. Dua Hati Biru meluangkan waktu untuk menguliti cara komunikasi begini. Film dengan perspektif menyeluruhnya memperlihatkan kenapa para karakter jadi begitu. Karena mereka sama-sama peduli sama keluarga. Mereka sama-sama capek kerja, mikirin yang terbaik buat si kecil. Apa yang disebut ego itu sebenarnya cuma rasa khawatir dan peduli yang sama besarnya, sehingga masing-masing merasa knows better. Padahal enggak. Komunikasi ‘berantem’ begitu justru membuat perasaan semakin sulit tersampaikan dengan benar.

Perbedaan Dara dan Bima bukan sebatas soal beda kelas sosial atau beda level pendidikan. Tapi juga soal mindset. Yang satu belum bisa berubah sementara satunya sudah mengerti pentingnya untuk evolve. Hanya saja, keduanya sama-sama failed to realize berubah itu bukan berarti menjadi lebih baik dari orang lain. Film menyebut anak-anak belajar dari orangtua mereka. Dara dan Bima kendati sudah jadi orangtua, mereka juga berangkat dari anak yang melihat kepada orangtua mereka. Dan mereka merasa harus berubah menjadi lebih baik daripada orangtua mereka. Yang mereka perlukan sebenarnya menyadari tidak ada orangtua yang sempurna. Mereka cuma perlu menjadi lebih baik dari diri mereka sendiri sebelumnya.

 

Bahasan perspektif yang menyeluruh ini tentu saja memerlukan penampilan akting yang maksimal. Inilah yang juga jadi salah satu kekuatan film ini. Akting yang terutama terasa natural.  Pemeran pendukung membuat dunia lebih hidup karena mereka semua tampak luwes. Pemeran anak Farrel Rafisqy akan mencuri perhatian kita karena – satu kata – gemas. Mbak Gina ternyata jago juga mendirect aktor cilik; bukan hanya penulisan dialognya tidak tampak dipaksa, aktingnya juga. Aisha Nurra Datau juga ‘temuan’ yang sangat jeli; presence maupun permainan aktingnya sebagai Dara versi sudah evolve jadi dewasa sungguhlah patut kita apresiasi. Dia melanjutkan karakter ini tanpa canggung. Namun di luar itu, aku penasaran juga gimana kalo Dara tetap diperankan oleh Adhisty Zara; karakternya yang sudah dewasa ini tentu secara meta harusnya bisa jadi pembuktian Zara memerankan karakter yang sedikit lebih dewasa dari biasanya. Sementara, Angga Yunanda tampak semakin terasah. Membandingkan dengan penampilannya di Dua Garis Biru, aku merasa Angga yang sekarang ready for more emotional ataupun adegan yang lebih demanding lainnya. Sehingga aku sempat menyayangkan juga film ini tidak seperti film pertama yang fokus pada satu perspektif, yaitu Dara. Aku menyangka bakal gantian di film keduanya ini, giliran Bima yang jadi fokus

Nontonin Adam hilang, aku malah lihat Max ama Ucil di layar

 

Itulah, sebenarnya perspektif dan bahasan yang banyak ini merupakan sandungan yang biasa kita rasakan pada film-film Gina S. Noer belakangan ini. Dua Hati Biru, sama seperti Like & Share dan Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga sebelumnya, melimpah ruah oleh bahasan. Akibat yang pertama ternotice adalah ada beberapa yang seperti tidak membangun kepada apa-apa. Misalnya, soal giliran Dara yang kerja, tapi rintangannya adalah dia harus melepas cincinnya; pura-pura masih single. Kirain ada konsekuensi atau akibat lanjutan dari dia melepas cincin, tapi ternyata tidak ada bahasan susulan. Kemudian, flow ceritanya pun lebih seperti buku ketimbang sekuence film dengan tiga babak. Alih-alih masalah puncak yang terbuild up dari masalah-masalah lain yang timbul sepanjang proses pembelajaran karakter, alur dalam film ini terasa seperti episode; masalah satu datang setelah masalah yang sebelumnya reda, terus begitu sampai struktur naskah seperti tidak muat membendung. Jadilah sering muncul kesan “oh udah mau beres, eh ternyata belum” saat menonton film ini.  Susah untuk pinpoint di mana cerita akan mendarat, karena penggalian masalah/bahasan terus dilakukan  sampai bener-bener waktu mau habis, saking banyaknya bahasan. Dan ketika nanti cerita bener-bener tamat, efeknya jadi kurang berasa. Permasalahan yang dialami karakter jadi seperti rutinitas saja. Apalagi konteks masalahnya adalah rumah tangga, yang kita semua tahu bakal terus ada masalah, sehingga dengan memusatkan pada masalah silih berganti, ending dengan penyelesaian masalah terakhir itupun jadi kurang kuat. Hidup mereka yang lanjut saat film berakhir pun jadi kehilangan bobot menarik karena kita sepanjang film juga mengikuti siklus yang sama. Tidak seperti pada film Dua Garis Biru yang penyelesaiannya benar-benar terasa seperti gagasan unik milik film itu sendiri, Dua Hati Biru endingnya terasa seperti just another peace moment. Solusi dari karakter terasa bisa sampai lebih cepat jika film lebih fokus pada perspektif ketimbang masalah.

Rutinitas pasangan muda dengan segudang masalah menanti mungkin lebih cocok jika diarahkan kepada semacam slice of life. Mungkin, bahasan yang banyak seperti ini bisa lebih terakomodir jika film berani memainkan bentuk atau arahan keluar dari zona yang biasa. Aku pikir di kursi sutradara film panjang keempatnya ini, Mbak Gina mestilah sudah lebih dari sekadar capable untuk mencoba bereksperimen dengan gaya storytellingnya. Afterall, adegan long take di UKS pada Dua Garis Biru jadi bukti bahwa pengarahannya cukup peka dan berani. Pada Dua Hati Biru pun kamera berhasil ngasih kesan dinamis yang benar-benar menempatkan kita di tengah-tengah karakter, seperti yang bisa kita rasakan saat Bima dan Dara beserta keluarga masuk ke rumah kontrakan baru. Aku menunggu permainan long take berikutnya, dan ngerasa kayak missed opportunity ketika adegan mereka semua menelusuri gang demi mencari Adam yang hilang tidak dilakukan dengan treatment spesial. Pada penulisan, Mbak Gina terus memperdalam eksplorasi bahasan dan tema, dan itu bagus karena film-filmnya jadi punya kedalaman materi. Sudah saatnya storytelling/directingnya juga ikut dikembangkan untuk mengimbangi bahasannya.

 

 




Cocok loh sebenarnya film ini buat tayang di libur lebaran. Bukan semata karena kreditnya dihiasi sketsa ala lagi lebaran. Ceritanya; yang seputar keluarga hadir dengan vibe dan value berharga yang positif lagi menghangatkan. Permasalahan yang serius seperti parenting dan komunikasi di-tacklenya tidak dengan menggurui, melainkan seperti mengajak duduk membahasnya bersama. Berhasil mengambil jalan tengah dari bentrokan antara permasalahan ‘temurun’ dengan mindset yang lebih modern. Karakter-karakternya pun lovable (terutama Adam yang pasti mencuri perhatian semua penonton). Cuma memang dibandingkan dengan film pertamanya, film kali ini terasa sedikit lebih generic (kehilangan bobot unik karena pasangan muda basically masalahnya sama aja dengan pasangan umumnya), perspektifnya pun lebih bloated, dan tidak diimbangi oleh storytelling yang harusnya bisa dicari bentuk yang lebih cocok untuk menampung semuanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUA HATI BIRU.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya tips parenting atau komunikasi dengan pasangan tersendiri?

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SIKSA KUBUR Review

 

“There is no truth, only who you choose to believe”

 

 

Horor-horor modern Joko Anwar, kuamati, cenderung tersiksa oleh narrative yang melemah. Karakter dengan development mengambang, bahasan atau gagasan yang mengawang, dan lantas mengirim kita pulang dengan ‘easter eggs’ instead. Aku sampe pernah membuat thread di Twitter soal protagonis di film-filmnya tersebut basically gak ngapa-ngapain, kurang ‘dihajar’, karena narrative yang tidak mencapai banyak selain keseruan wahana horor. My honest opinion; Joko Anwar desperately need to step up his writing. Sukur Alhamdulillah, usaha untuk peningkatan penulisan tersebut bisa kita rasakan pada horor terbarunya yang diset sebagai tontonan lebaran tahun ini. Siksa Kubur yang tadinya kupercaya sebagai pengembangan dari film-pendek yang dibuat Jokan tahun 2012 (dulu hits banget di Kaskus) ternyata berusaha menyajikan lebih. Bahasan mencoba lebih terarah kepada tema yang lebih jelas, yakni soal kepercayaan. Arahan yang pede menggiring bahasan agama tersebut sehingga tidak terkesan seperti horor-horor lain yang belakangan banyak beredar yang menjual ‘gimmick agama’ semata. Dan terutama sudut pandang protagonis utama yang kali ini benar-benar ditempa.

Kayaknya kita semua pernah, deh, punya hal yang kita percaya saat masih kecil, namun saat dewasa kita sadar yang kita percaya itu ternyata bohongan. (Like, aku dulu nyangka Kane dan Undertaker itu beneran kakak-adik, sampe bela-belain mendebat dan berantem ama teman). Nah, Siksa Kubur seperti berangkat dari soal kepercayaan tersebut, tapi tentunya dengan bahasan yang lebih serius, dan puteran yang lebih mencengangkan. Karena yang dipercaya Sita sedari kecil sejak dua orangtuanya jadi korban bom bunuh diri adalah bahwa agama justru membuat orang menjadi jahat. Bahwa agama cuma ‘alat’ atau alasan orang. Sepeninggal kedua orangtua, Sita dan abangnya, Adil, dibesarkan oleh pesantren. Di lingkungan religius itu pun, kepercayaan Sita bahwa agama cuma kedok menjadi semakin kuat. Sita tidak lagi percaya ajaran agama. Dia tidak mau, sebab pemimpin yang jadi donatur pesantrennya justru juga seorang pendosa yang melukai anak-anak, termasuk abangnya. Sita tumbuh besar dengan tekad untuk membuktikan kepercayaannya. Hal nyata yang bisa ia lakukan adalah dengan ikut masuk ke dalam kuburan, Sita ingin merekam bukti bahwa siksa kubur itu tidak ada. Jadi, di panti jompo itulah Sita dewasa menunggu. Menunggu pak tua yang menurutnya paling keji sedunia untuk mati supaya dia bisa segera melaksanakan pembuktiannya.

review siksa kubur
Siksa kubur Pak Wahyu? I was there.

 

Sita might be the most interesting Joko Anwar’s character so far. She’s so conflicted. She doesn’t even belief what she believed. Like, kita percaya pada agama, kita beriman, tanpa merasa perlu untuk bisa melihat wujud tuhan ataupun mukjizat religius yang lain. Kita seperti yang juga berulang kali disebut dalam dialog film ini; percaya berarti meyakini – tidak perlu melihat dengan mata, melainkan ‘melihat’ dengan hati. Dengan ini, berarti beriman adalah percaya tanpa perlu menuntut pembuktian kalo kita yang percaya itu adalah benar. Kita beriman kepadaNya justru karena kita percaya Dia-lah kebenaran in the first place. Sedangkan Sita, tragedi yang menimpanya membuat perempuan itu tidak percaya akan agama. Keluarganya justru terbunuh, menderita, oleh orang-orang yang percaya pada agama. Orang yang teriming-iming imbalan dari agama, orang yang takut terhadap ancaman/peringatan pada agama. Orang jadi leluasa jahat karena berlindung di balik agama; itu yang Sita percaya. Menurut Sita, moral justru terpisah dari agama. Bahwa dia, dan harusnya juga manusia lain, bisa berbuat baik sekalipun tanpa imbalan atau petunjuk agama. Namun iman Sita terhadap kepercayaannya ini masih lemah, karena berbeda dengan orang beragama yang tidak perlu membuktikan apa-apa terhadap kebenaran yang dianut. Sita justru ngotot untuk membuktikan kepercayaannya tersebut benar. Dia ingin masuk ke kubur, ingin menangkap bukti – yang juga sama conflictednya. Karena pertama, Sita ingin membuktikan siksa kubur – dan agama – itu tidak ada (sehingga perbuatan teroris bom bunuh diri yang menewaskan orang tuanya itu benar adalah kriminal bodoh yang tertipu suara rekaman siksa kubur palsu), tapi sebaliknya terlihat juga secercah harapan Sita untuk adanya siksa kubur karena ada dialog dia seperti frustasi menyebut jangan sampai orang sejahat Pak Wahyu saja terbukti tidak disiksa di dalam sana,

What if everything you believed turned out to be false? what if agama yang kita percaya cuma dongeng belaka? Gimana pula jika kita telah mati-matian percaya agama itu dongeng, tapi ternyata kepercayaan itu-lah yang salah? Enggak akan ada habisnya keraguan, dan di situlah masalah Sita. Dia gagal menyadari bahwa sebuah kepercayaan tidak membutuhkan pembuktian kebenaran. Yang harus dipelajari Sita dalam cerita ini adalah bagaimana membuat dirinya percaya pada apa yang ia pilih untuk percaya. 

 

Basically, yang dieksplorasi sebagai horor dalam film ini adalah state of mind dari Sita. Cara film melakukan itu pun sangat menarik. Sita seperti tegas tidak percaya pada hal gaib, baik itu tuhan maupun setan, tapi kemudian film mengontraskan itu dengan memperlihatkan bahwa pikiran Sita merupakan relung-relung kenangan dan harapan yang menyeleweng dari fakta. Kenangannya terhadap momen terakhir bersama orangtuanya, misalnya, kita saksikan sendiri kenangan Sita itu slightly berbeda dengan peristiwa ‘asli’ kejadiannya. Ketidakstabilan state Sita yang membuatnya menjadi unreliable sekaligus vulnerable, menambah banyak pada elemen horor psikologis film ini. Untuk memperkuat kesan surealis (film membidik ke vibe yang terasa calm, kalo gak dibilang slow, sebagai kontras dari kecamuk kepercayaan yang dirasakan Sita), film menerjunkan kita ke dalam cerita lewat kamera yang bergerak di tengah-tengah dunia. Teknik yang menghasilkan kesan immersive sekali, juga tentunya ampuh saat sekali-kali film berniat mengagetkan kita lewat jumpscare. Struktur cerita pun didesain demikian horor. Meskipun jika kita menghitung durasi, naskah film ini clocked out right on time – point of no return-nya tepat di tengah durasi saat Sita masuk kubur, misalnya – tapi alur yang dibuat linear itu sengaja dipatah-patah oleh, misalnya, skip waktu antara Sita kecil ke Sita dewasa, atau antara mana yang realita dan mana yang surealis (yang sampai review-telat ini ditulis pun batas realita film ini masih seru, santer diperdebatkan di linimasa).

Kesan immersive dalam dunia surealis tersebut salah satunya terjaga lewat penampilan akting yang benar-benar terasa berkesinambungan. Lihat saja bagaimana Reza Rahadian sebagai Adil dewasa ‘meneruskan’ nada maupun gestur weak dan awkward dari Muzakki Ramdhan (weak awkward yang diniatkan karena karakter Adil yang abang dari Sita ini punya wound personal sendiri). Karakter-karakter orang tua di panti jompo, ataupun guru-guru di pesantren, semuanya aktornya paham untuk menampilkan kesan ganjil tersendiri.  Salah satu kritikanku buat horor modern Joko Anwar adalah protagonisnya kurang ‘disiksa’; di film ini, aku tidak lagi jadi kaset rusak karena Sita benar-benar dipush out of her limit. Baik itu Widuri Puteri maupun Faradina Mufti, dapat ‘jatah’ masing-masing untuk mengeksplorasi ketakutan psikis yang didera Sita dalam tahap usia masing-masing.  Mana film tepat banget mengclose up  Sita saat teriak-teriak tobat. Sita terutama akan terasa perkembangannya saat di pertengahan awal dia seperti lancar memegang kendali, tapi di pertengahan akhir semuanya tampak menganeh dan spin out of her control.

Konsep neraka-personal film ini versi lebih calm dari episode terjebak di lubang ketakutan di ‘Fear No Mort’ Rick and Morty

 

Untuk menjelaskan kelogisan dari hal-hal aneh dan di luar kendali Sita setelah dia mencoba masuk ke liang lahat dan merekam jenazah Pak Wahyu, film tampak menggunakan konsep yang serupa dengan yang ada pada film Jacob’s Ladder (1990) atau Stay (2005)-nya Ryan Gosling. Bahwa semua itu terjadi di dalam kepala karakter yang sedang sakaratul maut. Jadi Sita debat dengan Adil, Sita melihat salah satu kematian orang tua di panti, kasus selingkuh di panti yang berujung pembunuhan, semuanya hanya terjadi di dalam kepala Sita yang sedang dikubur hidup-hidup bernapas bermodalkan pipa. Bukinya beberapa dialog film ini menyebut soal kekurangan oksigen dapat mengakibatkan halusinasi. Dan inilah yang membedakan penerapan konsepnya dengan Jacob’s Ladder ataupun Stay. Karena di dua film tersebut jelas kapan momen kritis dan nasib sang protagonis. Sedangkan film Siksa Kubur yang mengelak dari potensi dikecam me-reka sesuatu yang tidak seharusnya dibayangkan oleh manusia beragama, membuat sampai akhir semuanya tetap ambigu. Kendati Sita ‘dilock’ mati oleh naskah pun, film tetap mengaburkan kapan exactly matinya Sita. Adegan siksa kubur yang ujug-ujug over the top itu (mendadak jadi lebih seperti vibe chaos Evil Dead ketimbang tone atmosferic dan slow yang di awal konsisten dibangun film – sampe jadi kayak video karaoke lagu reliji segala!) bisa ‘berlindungi di balik alasan toh gambaran itu masih ambigu nyata atau tidaknya, benar atau salahnya, karena perspektif realita Sita yang dikaburkan.

Dari perbedaan keadaan untuk menerapkan konsep dan perspektif yang harus dikaburkan itulah muncul sedikit masalah pada arahan/penceritaan film ini. Karena di dalam ‘vision-kubur’ Sita (kita sebut saja begitu) juga terdapat perspektif Adil. Jadi semuanya nyampur dan film seperti kehilangan pegangan sehingga bergerak keluar dari perspektif dan jadi lebih seperti untuk bermain dengan penonton directly saja. Film seperti memuat development Adil ke dalam perspektif Sita, meskipun mustahil bagi Sita mengetahui apa yang terjadi kepada abangnya. Kayak soal ular yang mendekati Adil di atas makam aja, film went off memperlihatkan ular tersebut merayap melewati Adil (untuk petunjuk bagi penonton) dan kemudian Adil muncul dengan mata bengkak. There’s no way Sita tahu di atas sana Adil sedang didekati ular, sehingga mustahil juga untuk dia bisa menghalusinasikan Adil menyelamatkannya dengan kondisi seperti habis diserang ular. Jikapun adegan tersebut ternyata nyata, maka itu berlawanan dengan ‘rule film’ soal Man Rabbuka yang didengar Sita setelah escape tersebut (bahwa adegan escape tersebut supposedly terjadi saat Sita meninggal). Sebenarnya yang rugi di sini adalah Adil, karena film udah extra menginclude dirinya, tapi kemudian jadi kabur begitu saja karena film harus stay pada ambigunya perspektif Sita. Yang turut terasa extra sebenarnya banyak, seperti Ismail, seteru kecil Sita dengan keluarga Pak Wahyu, hingga panti jompo itu sendiri. Kepentingannya sebenarnya bisa kita pahami, mereka jadi elemen dalam development Sita (menunjukkan Sita soal tadinya dia pegang kendali, menunjukkan apa yang harus dia pelajari/lakukan, dsb), tapi yang mengganjal adalah kenapa film tidak tetap di pesantren. Semua aspek extra tersebut tampak masih bisa dilakukan, goal film terhadap development karakternya masih bisa tercapai, tanpa Sita (dan Adil) melompat sejauh itu.

 

 




Mungkin film tidak mau terpaku pada konteks satu agama tertentu? Mungkin juga, karena salah satu yang menarik dari film ini adalah memang identitas karakternya adalah Islam tapi dialog-dialog bahasan soal kepercayaan yang relate dan tidak mengunci pada satu ajaran saja. Mungkin seperti Sita, film ini ingin ‘menjauh’ dari agama. Namun pilihan film tersebut tidak serta merta bisa kita judge sebagai hal yang salah. Karena pilihan tersebut dijustifikasi oleh bahasan psikologis yang cukup eksplorasi. Dialog yang baik adalah dialog yang seperti pembicaranya terlibat pertikaian serang dan defense, dan di film ini Sita terus didera perdebatan soal kepercayaannya. Ini membuat kita juga ikut masuk dan peduli. Untuk setelahnya arahan horor yang sedari tadi merayap, mengambil alih dan menghantarkan kita sampai ke finale yang ambigu. Bentukan dan karakter yang hebat untuk sebuah horor psikologis yang surealis. Usaha yang patut diapresiasi, karena kali ini film Joko Anwar tidak semata nyerocos soal easter eggs dan reference, tapi benar-benar ada usaha untuk ngasih something deeper untuk dibicarakan. Aku terutama tertarik dengan karakter utamanya, si Sita yang menyita perhatian.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SIKSA KUBUR.

 




That’s all we have for now.

Apa kalian punya hal yang dulu kalian percaya tapi sekarang terbukti bahwa hal itu palsu?

Silakan share cerita dan pendapat di komen yaa

Yang pengen punya kaos Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



24 JAM BERSAMA GASPAR Review

 

“Hope is a desperate feeling in a desperate situation”

 

 

Apa coba persamaan detektif di film-film? Ya, kasus misteri yang mereka tangani dengan susah payah itu ternyata paralel dengan masalah personal mereka. Tapi detektif Gaspar memanglah beda (jantungnya aja di kanan!)  Kasus baginya sedari dulu cuma satu; mencari teman masa kecil yang hilang di dunia yang semakin canggih tapi moral semakin bobrok itu, Sutradara Yosep Anggi Noen mengadaptasi cerita Gaspar dari novel, ke dalam genre yang baru baginya. Jika dua film Yosep sebelumnya kita ibaratkan kayak orang introvert; irit berkata-kata, penuh visual storytelling yang mengajak berkontemplasi, maka film Gaspar ini kayak ekstrovert. Berisik, menggebu-gebu, ambisius, penuh aksi. Satu buku dipadatkannya ke dalam 90an menit, sumpek berisi urusan tentang dunia masa depan, tentang situasi sosial politik yang kok kayaknya gak jauh-jauh amat dengan keadaan kita sekarang, lagu non-diegetic yang kayak mengejakan perasaan karakter, dan pencarian desperate dari seseorang yang memegang teguh cinta dan harapan. So yea, ini adalah film detektif yang begitu berbeda sehingga menantang bukan cuma buat kita, tapi juga bagi pembuatnya. Jantungnya aja ada di kanan!!

Gaspar yang jantungnya ada di kanan itu (yang udah nonton film ini ampe abis pasti bisa tahan pengulangan ini hahaha) mendapat petunjuk tentang keberadaan atau nasib teman masa kecilnya, Kirana, yang hilang sejak lama. Selama ini Gaspar menekuni pekerjaan detektif, memang untuk mencari Kirana, dan along with that job, Gaspar juga melihat kebobrokan dunia tempatnya tinggal. Saat menangani satu kasus, Gaspar dihajar ampe babak belur. Dan dokter di underground fight club milik Agnes, memvonis alat di jantungnya yang ada di kanan udah game over sehingga Gaspar cuma punya 24 jam untuk hidup, 24 jam untuk mencari kebenaran soal Kirana. Gaspar harus segera menyimpulkan dan menyerang targetnya. Supaya bisa mendapat pembalasan dan closure sebelum dia mati.

review 24 jam bersama gaspar
Gaspar, jantung kamu di mana?  *insert meme Bart Simpson* Di kanan… Yeaayy!!!

 

Gak banyak film Indonesia yang membahas tentang detektif, dan lebih sedikit lagi film kita yang mengangkat setting distopia negara kita. Makanya menit-menit awal film ini begitu menarik. Kamera 24 Jam Bersama Gaspar memotret fantasi itu dengan kontras antara kecanggihan dan kebobrokan yang kentara. Suasana daerah slum-nya udah kayak dalam game-game seperti Final Fantasy VII. Orang berantem di mana-mana, sementara aktivitas komunal tampak patuh dengan aturan seperti penggunaan gawai yang seperti merecord semua. Feelnya strange, kayak jauh tapi juga terasa dekat secara bersamaan. Tapi maksud dari pembangunan dunia distopia seperti itu tidak pernah benar-benar kita tahu, karena seiring durasi berjalan, film seperti melupakan settingnya. 24 Jam Bersama Gaspar actually akan berubah menjadi aksi heist-gone-wrong, dan lingkungan yang kita lihat jadi kayak daerah jelata, ‘sudut kota Jakarta itu keras, Bung’ seperti yang biasa-biasa saja. Film tidak lanjut menggali bangunan dunia reka uniknya itu, misalnya rule apa yang berkembang di masyarakat di jaman itu, apa yang beda dari jaman cerita itu, ataupun kenapa di masa depan yang keras itu orang-orangnya pada kembali memakai bahasa baku.

Sebenarnya soal bahasa baku ini buatku tidak masalah. Toh baik itu Reza Rahadian, Laura Basuki, ataupun Shenina Cinamon terdengar tidak demikian canggung dalam membawakannya. Bahasa baku ini juga jadi kontras yang menarik di dunia mereka yang penuh kriminal dan hitam. Like, hidup susah seperti itu, terus digencet ekonomi sampai pada bunuh diri dan ada yang jual anak, tapi bahasa mereka masih terjaga. Baku. Terdengar di telinga kita yang sehariannya pakai bahasa nyampur aduk dan ngasal, jadinya kayak ‘sopan’. At least, mereka kayak masih menjaga emosi. Kesan yang timbul dari kontras bahasa dan situasi itu jadi seperti mereka ini orang-orang yang dingin sekali. Mungkin mereka dingin karena sudah biasa hidup makan hati tergencet situasi seperti itu. Bahasa ini bisa jadi much deeper ketimbang persoalan pilihan biar beda, tapi ya itu tadi, kita hanya bisa menduga karena film seperti tidak peduli-peduli amat sama bangunan dunia distopianya tersebut. They just did it in the first minutes, dan kemudian ya jadi malah membahas persoalan simbolik lain, yaitu kotak hitam penuh misteri yang dimiliki ‘tersangka utama’.

Alih-alih melanjutkan world building sebagai panggung tempat karakternya harus beraksi, mengungkap pencarian seumur hidupnya, film ini lebih tertarik mengobrolkan backstory. Lewat flashback-flashback masa kecil. Intensinya sebenarnya cukup jelas. Film pun menggunakan flashback itu untuk mengontraskan antara Gaspar yang masih kecil dulu, lebih riang karena punya Kirana, dengan Gaspar yang sekarang – bayangkan Harrison Ford di Blade Runner, atau Ryan Gosling di Blade Runner 2049, tapi lebih volatile dan desperate. Suasana visualnya pun jadi pembanding yang diniatkan untuk menguatkan perkembangan karakter dan dunia. Hanya saja film melakukan bolak-balik ini dengan sangat sering, padahal poin dan tujuannya sudah terlandaskan. Basically paruh pertama film akan sering banget berpindah-pindah ini, dan ini memperparah tempo film yang sedari awal memang sudah mentok banget antara arahan slow burn yang biasa Yosep lakukan dengan konsep mendesak dari waktu 24 jam tadi.

Biasanya waktu yang mendesak itu membuat stake cerita semakin dramatis. Misalnya, karakter yang cuma punya 3 jam untuk mengejar pacar yang mau pindah ke luar negeri, atau karakter harus keluar dari dunia gaib sebelum portal menutup di pagi hari. Himpitan waktu memacu karakter untuk segera beraksi, mengambil resiko, membuat pilihan. Ketegangan datang dari melihat mereka berjuang hingga detik terakhir tapi seolah mereka bakal gagal. Pada Gaspar, kejaran waktu yang ditekankan oleh film bahkan hingga lewat visual angka pengingat seolah detik bom waktu, tidak terasa seperti dibarengi oleh urgensi, karena cerita seringnya bolak-balik menelisik Gaspar berkontemplasi dengan kehilangannya akan Kirana (yang sebenarnya ini juga jadi cara film melontar eksposisi) Dan juga stake kurang terasa karena Gaspar sebenarnya sudah siap untuk mati. Jantung di kanan ternyata cuma alasan mudah membuat Gaspar harus mati, karena gak banyak dan mendesak efek rintangannya pada saat adegan aksi. Pria ini sudah demikian bijak, dia sudah punya semua jawaban, dia hapal betul gimana dunianya bekerja, dia telah memahami persoalan rakyat kecil seperti mereka – orang baik yang terpaksa berbuat nekat demi mewujudkan harapan mereka akan hidup lebih baik. Journey Gaspar terasa tidak memerlukan gencetan. Karena inti dari inner journey-nya itu adalah dia butuh untuk percaya jawaban yang ia cari ada di dalam kotak, meskipun sebenarnya kotak itu bisa jadi bahkan bukan sesuatu yang spesial. Karena harapan terhadap ada kotak itulah yang mendorongnya untuk terus. Dan karena film membuat Gaspar telah berdamai dengan pemahamannya tersebut, dan sudah berdamai dengan kematian yang pasti akan datang, maka perkara dia berhasil atau tidak, secepat apa dia menemukan kotak itu,  tidak terasa benar-benar jadi soal.

Jantung hatinya-lah yang dia gak tahu ada di mana

 

Dulu ada lagu Zamrud yang liriknya mlesetin makna pepatah berakit ke hulu berenang ke tepian itu menjadi  “Bersakit dahulu, senang pun tak datang, malah mati kemudian” Ini actually selaras dengan gimana film ini memandang nasib rakyat kecil seperti Gaspar dan teman-teman seperjuangannya di dunia distopia mereka. Mereka cuma bisa terus berakit dan berenang, karena yang mereka punya cuma harapan akan ada senang kemudian. Ketika harapan mereka itu menjadi semakin desperate, maka mereka akan berakit dan berenang dengan menghalalkan segala cara asal nanti bisa sampai ke tepian, entah di mana letaknya. Di sinilah ketika moral itu menjadi abu-abu. Orang baik akan melakukan hal jahat, ketika mereka jadi begitu desperate berharap ada imbalan yang pantas mereka dapatkan setelah perjuangan selama ini.

 

Supaya gak terlalu berat dan serius, film ini pun melunakkan tensi. Kayak dari karakternya Dewi Irawan yang memang sepertinya diniatkan sebagai comedic relief dengan tone yang tetap sesuai ama vibe film. Atau juga saat heist kecil-kecilan mereka ke toko emas. Ya, Gaspar tidak berjuang sendirian, Film memasuki bagian aksi sebagai babak final. Yang dijamin bisa bikin penonton yang mungkin tadi cukup lelah menjadi melek. Walau mereka terkadang dipotret dalam shot yang menarik, sebenarnya geng Gaspar ini pun kurang maksimal dikembangkan. Kita paham mereka direkrut atau bergabung karena ‘musuh’ yang sama, cause yang sama, tapi hubungannya dengan Gaspar terasa kosong. Like, kalo di game RPG kita paham karakter-karakter yang bergabung jadi party kita itu selain punya masalah personal dengan musuh, mereka juga terdevelop menjadi punya ikatan personal dengan karakter utama, sehingga masalah personal yang masing-masing tadi jadi masalah bersama. Gaspar di film ini terasa berjarak dengan mereka. Yang beneran punya kepedulian terhadap journey Gaspar cuma Kik, yang diperankan Laura Basuki. Tapi itupun kehadiran karakternya aneh, like, kita awalnya udah percaya Gaspar adalah anak kecil kesepian, punya teman Kirana sehingga tidak sendiri lagi, lalu Kirana hilang dan ini jadi motivasi dia sampai gede. Tapi ternyata diungkap Gaspar teman masa kecilnya bukan cuma Kirana. Ada Kik. Aku gak tau kenapa film kayak sengaja gak langsung menyebut ada Kik di awal. Meski memang masih sesuai tema – bahwa mereka ikut Gaspar cukup karena harapan bisa katakanlah dapat balas dendam dan duit – tapi ini membuat kita susah peduli sama mereka. Mereka juga jadi berjarak dengan kita.

 




Film detektif yang pada akhirnya tidak terasa seperti menonton cerita detektif. Film distopia yang pada akhirnya tidak terasa seperti sebuah bangunan dunia reka yang utuh. Kalo bobroknya sih, dapet banget. Maka menonton film ini terasa seperti melihat puing-puing reruntuhan masyarakat sosial, yang mungkin tidak lama lagi bakal kejadian. Ketika orang-orang tidak punya motivasi selain berpegang pada harapan – yang bisa saja kosong – namun tetap secara desperate mereka percaya. Also, puing-puing karena film ini terasa seperti pecahan konsep-konsep yang tidak berjalan saling menyokong. Cerita butuh untuk karakternya ‘melambat’ tapi jebakan waktu membuat seolah ini adalah aksi yang harus terus bergulir. Beberapa orang mungkin menemukan keindahan pada puing-puing, tapi bagi beberapanya lagi, puing-puing bisa tampak tak lebih berharga dari onggokan batu di pinggir jalan. Semua itu mungkin tergantung dari jantung kalian ada di mana.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 24 JAM BERSAMA GASPAR.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, di manakah jantung Gaspar?

Silakan share… ahaha bercanda ding.. Menurut kalian apakah menurut film ini berarti tidak ada baik dan jahat, melainkan hanya siapa yang duluan merasa desperate saja? Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TIGER STRIPES Review

 

“Tigers don’t change their stripes”

 

 

“Aku jugak mau rotiii!” sekali waktu kecil dulu itu aku nimbrung dengan antusias pas mendengar dua tanteku bisik-bisik bilang nitip mau beli roti. Tapi jawaban mereka aneh. Mereka cuma berpandangan, lalu bilang itu roti untuk orang dewasa. Baru bertahun-tahun kemudianlah aku ngerti roti apa yang sebenarnya dimaksud. Pernah juga waktu SMP, ada teman sekelasku yang perempuan menangis lalu berlari pulang karena diledekin anak-anak yang lain, “Bendera jepang, bendera jepang!” Begitulah entah kenapa di lingkungan kita perihal menstruasi perempuan dianggap sebagai hal yang entah itu seperti Voldemort – tidak boleh disebutkan – atau juga hal yang seperti memalukan. Aku juga tidak banyak bertanya, karena ya itu tadi, urusan orang dewasa dan bukan urusanku yang laki-laki. Ternyata di negeri tetangga juga sama. Mungkin karena lingkungan kita juga masih serupa. Film Tiger Stripes karya Amanda Nell Eu menggali bahwa ketabuan soal hal sepenting itu, ternyata justru berdampak enggak sehat bagi anak perempuan. Karena jangankan anak laki-laki, anak perempuan juga gak tau apa yang terjadi pada diri mereka, dan mereka hanya tahu itu kotor. Tambahkan pula kisah tentang jati diri ke dalamnya, jadilah kisah anak usia 11 tahun ini jadi seperti Turning Red (2022) versi horor!

Di sekolah anak perempuan itu, Zaffan memang cukup dikenal sebagai anak yang badung. Mengunci toilet supaya enggak ada masuk sehingga dia bersama dua temannya bisa puas berseloroh merekam video joget-joget, ataupun bikin corat coret doodle seronok di buku tulisnya, adalah keseharian yang kita lihat Zaffan lakukan. Jilbab seragamnya tidak mampu membuat Zaffan stop mengekspresikan diri, dan seringkali Zaffan kena hukuman karenanya. Baik itu di sekolah maupun di rumah. Dalam level sepermainannya pun, gak sedikit teman Zaffan yang tidak menyukai sikap Zaffan yang ‘liar’. Terlebih ketika anak itu (sepertinya) jadi yang pertama kedatangan bulan di antara mereka. Dengan teman-teman yang menjauhi, dengan lingkungan yang tidak pernah membahas itu melainkan hanya menyebut larangan-larangan yang harus ia patuhi, Zaffan jadi tidak tahu harus mengadu ke mana. Dan mulailah horor itu. Zaffan melihat ada orang di atas pohon. Zaffan merasa tubuhnya berubah. Keluarga dan orang sekitarnya menyaksikan sendiri gimana anak itu berubah menjadi siluman harimau.

review tiger stripes
Aing maung!!!

 

Alih-alih panda merah yang cute, Zaffan berubah menjadi manusia setengah harimau dengan mata menyala ungu, dan dia gak segan untuk menyantap hewan-hewan kecil. Proses transformasinya juga gak ada komikalnya sama sekali. Zaffan mendapati tubuhnya memar-memar, rambutnya rontok, kukunya copot-copot. Ada bulu kasar yang tumbuh, dia cabut, aduh sakit sekali! Transformasi itu digambarkan oleh film lewat image-image dan tone ala body horor. Like, bener-bener disturbing. Cara film ini memvisualkan itu enggak kayak ketika horor anak-anak seperti Goosebumps yang jatohnya lebih ke over the top dan cheesy. Kengerian Zaffan akan tubuhnya itu terasa kuat, dan ini tuh sebenarnya adalah pilihan film, buat menekankan gagasannya. Apa itu gagasannya? Well, transformasi Zaffan ini dipicu oleh satu hal.  Malam itu Zaffan terbangun dan mendapati kasurnya ada noda darah. Kita tidak melihat dia yang bingung dan takut itu dikasih penjelasan apapun. Ibunya yang datang menolong hanya bilang “Kau kotor sekarang.” Jadi kebayang dong seperti apa yang Zaffan rasakan. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya, yang ia dengar tentang itu cuma rumor mengerikan, dan betapa itu adalah penanda bahwa dia jorok – anak perempuan gak boleh ibadah selama dapet – membuat dia percaya bahwa dirinya, tubuhnya, berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.

Perlakuan mentabukan menstruasi, seolah hal itu lebih kotor daripada seharusnya dijadikan pemantik horor di film ini. Menstruasi adalah fase natural yang dialami perempuan. Memang, pengetahuan dari ajaran agama menerangkan soal orang yang dapet itu berarti dalam keadaan tidak suci. Tapi somehow pada masyarakat, ‘tidak suci’ itu berkembang menjadi selayaknya hal yang benar-benar menjijikkan. Kita mendengar teman dekat Zaffan – yang memang sedari awal punya bibit-bibit jealousy kepadanya – openly mengungkapkan rasa disgust dekat-dekat sama Zaffan yang lagi dapet. Bau-lah. Jijik-lah. Sikap teman-teman sepantarannya itu menunjukkan bahwa bukan hanya Zaffan, melainkan tidak satupun dari anak perempuan di sana yang benar-benar mengerti fase yang bakal mereka lewati. Padahal mereka ini tumbuh dan dididik di lingkungan agamis, dan strive untuk pendidikan yang maju. Jadi film sebenarnya sedang menggugat lingkungan tempat Zaffan tinggal. Lingkungan, yang malangnya, relate dengan lingkungan kita. Dan kemudian memang pada lingkungannya itulah Tiger Stripes memusatkan penggalian.

Suasana kampung melayu dihidupkan, dan dijadikan kontras dengan pribadi Zaffan. Inilah mengapa tadi diset bahwa Zaffan tampak lebih badung dibandingkan teman-temannya. Perspektif Zaffan, teman-teman Zaffan, guru dan orang tua, dan tak ketinggalan relasi kuasa umur dan gender mulai dicuatkan oleh film. Sehingga terjadi juga pergeseran tone dan elemen horornya. Seiring Zaffan semakin dijauhi, seiring dia mulai menerima dan mengembrace yang terjadi kepadanya (ada sedikit juga mengingatkan kepada protagonis di The Animal Kingdom yang perlahan menjadi serigala) tentu dia jadi tidak takut lagi kepada dirinya. Yang semakin takut justru adalah orang-orang di sekitarnya. Horor Tiger Stripes memudar menjadi penyadaran gelap dan dramatis buat kita, saat kita menyaksikan Zaffan menjadi ‘monster’ di mata lingkungannya. Mata-mata itu memandangnya takut, sementara kita dibuat melihat siapa sebenarnya Zaffan, si ranking tiga dan kadet terbaik di sekolah. Tapi bagi orang kampungnya, Zaffan adalah siluman harimau liar, berbahaya dan penuh dosa, anak perempuan berikutnya yang bakal hilang dari desa mereka. Adegan paling heartbreaking film ini adalah ketika Zaffan dirukiyah – disaksikan satu desa – oleh Ustadz yang memperlakukan exorcism ini sebagai entertainment show yang dia siarkan live lewat hape. Semacam perbandingan paralel ngerecord joget-joget; hobi Zaffan. Film juga menurutku bijak sekali membiarkan si Ustadz itu ambigu, apakah dia beneran bisa ngusir atau cuma ‘tukang-obat’, kita dibuat tak pernah persis tahu.

Sama seperti kiasan ‘keliatan belangnya’. Konotasi tersebut memang terasa negatif, karena bermakna seseorang terbongkar kelakuan aslinya. Tapinya lagi, emangnya kenapa dengan kelakuan aslinya tersebut. Memangnya kenapa jika seseorang akhirnya berani jujur dan memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Kan tidak mesti semua belang itu pasti buruk dan merugikan orang lain. Yang kita lihat pada Zaffan juga demikian, kita mungkin setuju tidak semua perbuatannya pantas, tapi anak sekecil – apalagi sepotensial itu; dalam urusan otak dan kreasi – harusnya dibimbing. Tapi bahkan soal alamiah dan paling personal dari dirinya sebagai perempuan pun, tidak bisa sepenuhnya dia dapatkan.

“Ooooh crazy, but it feels so right”

 

Berbeda dengan Turning Red yang langsung melandaskan dunianya fantasi, bahwa perubahan Meilin menjadi panda merah itu bukan fenomena ganjil melainkan kekuatan turun temurun yang dirahasiakan darinya; bahwa berubah menjadi panda merah masuk ke dalam kotak ‘possible’ di dalam dunia cerita, Tiger Stripes membiarkan dunianya terbangun surealis. Dibilang normal, jelas enggak. Dibilang beneran gaib, ya kok sepertinya kejadiannya kayak berbeda dan sering tiba-tiba Zaffan dan semuanya seperti normal lagi. Arahan membawa ke ranah surealis, karena dengan begitu, perspektif yang banyak tadi mungkin untuk dilakukan. Supaya shift dari body horor yang lekat pada persoalan Zaffan memandang dirinya ke drama makhluk siluman yang mengenaskan ketika film lebih banyak menampilkan bagaimana Zaffan terlihat oleh mata penduduk, bisa terbungkus tanpa benar-benar mengubah perspektif karakter utama.  Sehingga pengalaman nonton film ini bagi kita terasa seperti sebuah mimpi yang begitu liar. Enggak semua orang bakal suka, tho. Elemen horor film ini berpotensi dianggap ngawang-ngawang, kejadiannya bisa tampak seperti tak konsisten dan gak jelas; film ini sendirinya bisa jadi kayak ‘belang-belang’, dan mudah bagi penonton untuk kehilangan poin. Membuat mereka mengharapkan penjelasan yang tentu saja tak akan pernah ada. Karena yang diincar film adalah mempertanyakan, menggugat, keadaan.

Tapi tentu saja itu merupakan resiko-kreatif yang diambil oleh film. Buatku, itu membuat film ini terasa lumayan fresh. Seperti ngasih variasi ke dalam bentuk-bentuk cerita coming of age horor atau fantasi yang sudah ada sebelumnya. Perspektif dan lingkungannya juga membuat film ini unik. Meskipun film ini seperti punya lebih banyak, tapi yang disuguhkan baru beberapa. Kayak sekolahnya Zaffan. Dari dialog-dialog dan keadaan, film ini seperti menyentil soal sosial unik negara mereka berkaitan dengan stereotipe kelas penduduk/etnis, tapi kita tidak benar-benar melihatnya. Zaffan disebut ranking tiga, dengan juara satu dan duanya kita dengar dari nama-namanya adalah murid dari etnis Cina dan etnis India (yang membuat Zaffan practically etnis Melayu terpintar di sekolah), namun di lingkungan sekolah itu seperti ekslusif menampilkan etnis Zaffan. Mungkin ada konteks sosial lain bahwa mereka tidak benar-benar satu pergaulan, tapi menurutku since film ingin menggugat lingkungan sosial yang lebih tertutup, akan bisa jadi warna atau sudut pandang tambahan gimana teman sekolah Zaffan yang lain memandang dirinya setelah jadi siluman. At least, narasi kurasa  tidak akan dirugikan oleh pembanding tambahan.

 




Kalo Farah iri sama Zaffan, aku iri sama Malaysia karena berani membuat film ini. Karena ini tuh bener tipe film yang ingin kita perlihatkan kepada orang luar. Kita ingin lihatkan gimana di daerah kita punya perspektif dan lingkungan tersendiri sehingga cerita coming-of-age yang formatnya familiar pun bisa jadi unik. Untuk kasus film ini jadi literal misteri dan horor mengerikan. Dengan strong narrative dan arahan yang bertaring, film ini menerobos belukar conventional, dia ingin menggugat lingkungan tempatnya tumbuh. Lingkungan yang bikin ‘susah’ bagi anak perempuan untuk tumbuh menjadi diri sendiri, karena soal ‘dapet’ aja mereka tahunya cuma itu kotor. Dan bicara soal karakter anaknya, film ini punya penampilan akting yang bukan sekadar template akting kesurupan, mereka terasa natural seperti anak-anak umumnya tapi karena tuntutan arahan untuk menghasilkan kesan surealis, playfulness dan keingintahuan mereka yang raw, dapat dengan cepat mereka kondisikan sebagai something yang jadi lebih dark dan dramatis. Bayangkan cerita dengan karakter anak-anak, tapi vibenya udah surealis dan sedisturbing body horror. In other words, selain arahan yang bertaring, film ini juga punya akting yang mengaum.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TIGER STRIPES.

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa haid itu berkembang menjadi seolah perkara yang tabu di masyarakat kita dan, apparently juga di Malaysia?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



EXHUMA Review

 

“..digging up the past has two sides: The pro is that you remember things you had forgotten about. Unfortunately, the con is the exact same thing. “

 

 

Perdukunan memang bukan cuma milik Indonesia. Tiap-tiap daerah punya kepercayaan yang beragam sehingga upacara dan praktik ritual spiritualnya pun berbeda-beda. Doa atau mantranya berbeda, ada yang pakai tari-tarian, ada yang pakai acara kesurupan. Selalu menarik membandingkan – melihat perbedaan dan mungkin ada sedikit kesamaan – antara ritual kepercayaan di tempat lain dengan di tempat kita. Apalagi Exhuma karya Jae-hyun Jang dari Korea Selatan ini tidak hanya bicara tentang klenik pengusiran setan. Melainkan, menjadikan elemen supernatural itu sebagai titik awal penggalian historis kebangsaan mereka. Jadi bukan hanya soal ritual perdukunan yang bisa kita dibandingkan di film horor ini. Setiap daerah, setiap bangsa, punya luka – punya koreng yang jika bisa jangan sampai tergaruk kembali – yang berbeda-beda.

Pasangan dukun pengusir hantu harus bekerja sama dengan seorang pengurus jenazah dan ahli geomancer (dari film ini aku baru tahu kalo geomancer itu artinya ahli feng-shui) saat mereka menerima kerjaan dari keluarga ‘old money’ KorSel yang tinggal di Amerika. Kerjaan bukan sembarang kerjaan. Sumber masalah keluarga yang dihantui itu bisa jadi adalah si kakek buyut yang dulu dimakamkan di sebuah bukit. Jadi, empat karakter sentral kita bermaksud melakukan penyucian dengan menggali makam tersebut, dan memindahkan jenazah. Namun upacara mereka yang awalnya tampak sukses itu membawa mereka kepada masalah yang bahkan lebih misterius dan lebih membahayakan daripada sekadar arwah penasaran.

review exhuma
Kalo film punya elemen, maka elemen film ini adalah ‘tanah’

 

Mengambil latar dunia modern, Exhuma memang tampak mengincar penekanan kepada perspektif masa sekarang diajak untuk looking back, atau katakanlah, menggali masa lalu. Film ini paham gimana fascinating-nya bagi kita untuk melihat lebih dekat tradisi ritual-ritual. Benturan dari keduanya itu digambarkan pula lewat desain karakter. Dukun yang tidak digambarkan kuno, melainkan sebagai anak muda yang modis. Lihat saja Hwarim dan Bong-Gil, mereka bisa digolongkan ke dalam anak muda keren, Mereka dibikin punya style khas tersendiri, semua adegan ritual yang mereka lakukan are always delight to see. Tertampil intense dan misterius, tapi juga tetap terasa anggun. Majestic. Begitulah mereka terpotret alih-alih tergambar sebagai dukun tradisional yang dituakan. Jikapun ada karakter tua, seperti Kim Sang Deok, si bapak ahli feng-shui, yang memang jadi karakter yang paling banyak tahu dan pemahaman terhadap apa yang sedang mereka tangani dan yang harus mereka lakukan, film memastikan karakter ini tetap unik dan tidak pernah menjadi hanya sekadar eksposisi.  Sudut pandang dan prinsipnya terus digali. Dia diberikan kebiasaan yang membuatnya mencuat dan memorable. Film berhasil membuat empat karakter sentral tidak stereotipikal ataupun tidak terlalu archetype. Karena bahkan anggota mereka yang fungsinya untuk peringan suasana pun, diberikan aspek menarik – bahkan ada adegan yang bermain-main dengan ekspektasi kita terhadap karakternya.

Permulaan yang sudah demikian baik, kita disuguhi arahan dan penulisan yang benar-benar tahu apa yang mau diutarakan, yang benar-benar punya ‘something’. Lalu datanglah resiko yang mereka putuskan untuk ambil. Exhuma, dengan cerita orang pinter yang mengusir setan; memecahkan misteri supernatural, melawan setan, dan saves the day, basically bisa dibilang masuk ke dalam format cerita kemenangan pahlawan-lah. Hollywood biasanya cerita-cerita kayak gini cetakan strukturnya adalah bagian mid-point adalah bagian ‘pertempuran pertama’; pada saat ini biasanya akan ada semacam kekalahan atau ketidakmampuan yang disadari oleh protagonis, sehingga nanti begitu masuk ke sekuen berikutnya – yang esensinya adalah sekuen downtime untuk regroup – mereka akan bersiap untuk masuk ke bagian ‘taktik kedua’. Exhuma tidak berjalan dengan format tersebut. Sendirinya membagi cerita ke dalam chapter-chapter, namun secara keseluruhan struktur kita dapat melihat mid-point di film ini adalah keberhasilan, dan sekuen regroup di sini adalah momen karakter merayakan kemenangan. ‘Taktik kedua’ atau ‘cara baru’ di film ini literally ada kasus lanjutan saat empat protagonis harus menyelesaikan masalah dengan setan yang sebenarnya. Saat mereka menyadari ada peti mati lain di dalam makam yang sudah digali tadi. Peti besar berbalut logam duri, yang dikubur vertikal. Hampir seperti, kalo di struktur Hollywood, ini adalah bagian false resolution di menjelang tamat. But it’s actually bahasan utuh. Kalo di game, katakanlah, Exhuma terasa seperti jadi dua bagian. Separuh awal seperti misi dalam mode easy, dan separuh terakhir seperti misi mode hard.

Shiftnya itu kerasa sekali. Karena pada dua bagian itu, film membahas ‘setan masa lalu’ juga dengan treatment yang berbeda. Di separuh awal kasus, mereka berhadapan dengan ruh kakek buyut keluarga klien yang terbebas ketika peti matinya yang hendak dipindahkan dibuka oleh orang yang tak bertanggungjawab. Ruh jahat atau hantu si kakek itu digambarkan oleh film tidak exactly secara fisik. Melainkan dia muncul sebagai sosok out-of-focus, terlihat selalu secara tidak langsung – paling sering lewat pantulan dari jendela atau semacamnya. Paling fisik dari hantu ini ya ketika dia masuk ke tubuh orang, membuat mereka melakukan hal-hal yang gak bisa dilakukan oleh manusia normal. Untuk masuk ke ruangan saja, hantu itu perlu untuk membujuk manusia untuk membukakan jendela. Sementara di separuh akhir, sosok setan yang harus dikalahkan literally muncul kayak creature atau monster (film ini menyebutnya siluman). Sosok prajurit zirah Jepang yang tinggi besar, yang bisa berubah menjadi bola api besar. Ada juga creature kecil berupa ular siluman, badannya ular, kepalanya amit-amit.

Abis nonton ini aku jadi mengkhayalkan death match antara Hakushi WWE lawan Bankai-nya Captain Komamura

 

Exhuma kaya oleh konteks dan subteks. Perbedaan treatment horor, ‘misi’ karakter, hingga tone keseluruhan pada dua bagian tersebut sejatinya merupakan perlambangan. Tindakan menggali kubur untuk proses penyucian itu sendiri pemaknaannya adalah menggali masa lalu, menggali sejarah di tanah mereka, yang berkaitan dengan proses healing. Ini juga terestablish dari dialog-dialog soal plotting tanah yang terus direcycle. Ketika para karakter menggali lebih lanjut, itu adalah perlambangan film juga menggali ke akar persoalan. Tentang masyarakat sosial modern mereka mengingat kembali trauma historis. Bagi kita yang bukan orang Korea atau juga mungkin tidak banyak tahu soal negara itu, jelas film ini bisa jadi pelajaran ekstra. Bahwa Korea Selatan dulu terlibat seteru dengan Jepang. Persoalan dua negara ini pun sudah sedari awal dilandaskan oleh film ketika Hwarim disangka orang Jepang oleh pramugari. Adegan yang ngeset Hwarim bisa berbahasa Jepang itu sekaligus juga menanamkan bahwa tentang dua negara inilah sebenarnya bahasan akan mengarah.

Masa lalu itu keras kepala. Kita kubur pun, masa lalu akan tetap berada di dalam sana. Menunggu orang yang tepat datang menggalinya. Dan thing about menggali masa lalu adalah, punya sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya kita bisa mengingat kembali sejarah. Sisi buruknya, well,  kita jadi teringat kembali sejarah. Yang pasti ada alasannya untuk ingin dilupakan in the first place. Film ini menunjukkan, dalam balutan wacana tanah yang makin sekarang semakin dijual-jual begitu saja kepada orang kaya (sultan brengsek), bahwa kini adalah urgen untuk mengingat kembali luka itu demi persatuan mereka.

 

Melihat lewat lensa desainnya tersebut, kita jadi bisa sedikit meraba apa yang sebenarnya diincar dari film membuat plot seperti terbagi dua (dalam konteks tanah, aku jadi membayangkan sesar normal saat memikirkan alur film ini) Pertama, film ingin audiens negaranya untuk bercermin. Hantu kakek yang seringkali berupa pantulan/cerminan seperti perlambangan bahwa hantu masa lalu itu adalah masing-masing mereka secara kolektif. Like, film ingin bilang bahwa yang terkubur di tanah itu adalah milik mereka bersama, baik maupun buruknya. Their land of South Korea. Dan tanah tersebut sekarang dihantui, seperti dulu pernah ‘dihantui’ oleh momok bernama Jepang. Perayaan individu di mid point film tadi adalah pengingat mereka harus menggali lebih dalam, karena momok itu bisa saja kembali. Jadi ancaman yang nyata. Seperti siluman prajurit Jepang kembali menapak di hutan mereka. Perjuangan fisik empat karakter sentral di akhir, mencari pasak, ngasih sesajen ikan, pake kerja sama dengan ilmu dukun segala cabang, demi mengalahkan si siluman adalah hal yang harus mereka lakukan untuk menjaga tanah atau negara mereka. Bahwa mereka harus bekerja sama dan menjadi layaknya keluarga, seperti gimana empat karakter sentral ended up di akhir cerita.

Walau bergerak dengan mantap terukur di dalam desain dan konteksnya, resiko tetaplah sebuah resiko. Pembagian dua bentuk horor tersebut toh terasa sangat drastis, dan pergeseran tone tersebut dapat terasa mengganggu bagi penonton. Setidaknya, membuat penonton jadi membandingkan. Bagian mana yang lebih asik, atau bagian mana yang lebih ‘bosan.’ Film sebenarnya melakukan pengembangan dengan sangat baik. Well-designed. Kita melihat karakter sentral mencapai puncak vulnerabilitas masing-masing saat melawan si siluman di paruh akhir, dramanya enakan di paruh akhir, hanya saja paruh ini akan kalah seram ketika penonton membandingkannya dengan paruh awal. Saat film mengerahkan craftnya maksimal untuk membangun adegan-adegan horor. Adegan-adegan yang lebih mudah dicerna dan dirasakan kengeriannya oleh sebagian besar penonton. Sementara bagian melawan siluman terasa lebih bombastis, dan meskipun memang film lebih cenderung bersandar kepada efek praktikal yang juga well-done, dua hal yang sebenarnya tetap saling menyambung akan terasa seperti dua hal yang kontras berbeda oleh penonton.

 

 




Horor jadi terasa so much more ketika ketakutan kita terhadap hantu atau setan dijelmakan dari momok lain yang lebih ‘real’. Film ini mengambil apa yang mungkin sedang dirisaukan oleh si pembuat pada negaranya, hal urgen yang menurut dia penting untuk dibicarakan, dan mengolah itu ke dalam bangunan horor paranormal. Hasilnya lebih kaya. Tujuan untuk menampilkan hiburan dari horor-horor pengusiran setan, tercapai. Bentuk-bentuk lokal dari budayanya tersiar. Sementara gagasannya tadi tertanam kuat membayangi di balik narasi. Arahan dan penulisan film ini kuat, banyak adegan memorable yang hadir di sini, also film ini bergerak dalam desain yang berani mengambil resiko. Ceritanya yang tersusun dari beberapa chapter terasa seperti patah menjadi dua bagian – meskipun sebenarnya dua bagian ini kontinu membentuk gambaran besar yang menunjukkan sebuah development penyadaran.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for EXHUMA.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian topik sosial-politik apa di Indonesia yang belum ada yang garap padahal cocok banget dijadikan cerita horor?

Silakan share di komen yaa

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PASAR SETAN Review

 

“Do what you must, and pay the price if you’re wrong”

 

 

Harus mencari penampakan beneran, demi menyelamatkan channel vlog. Yup, that’s where we at now in terms of premise cerita sebuah horor hiburan. Namun bahkan goal yang konyol dan stake yang sama sekali tidak bikin kita peduli itu pun tidak benar-benar dijambangin oleh karya debut layar lebar Wisnu Surya Pratama ini, karena ada cerita lain yang membungkusnya. Yakni tentang kepala polisi yang menyelidiki kasus kematian para vlogger tersebut di dalam hutan kaki Gunung Salak. So yea, Pasar Setan actually punya elemen yang membuatnya semacam True Detective: Setan Country. Dan ‘setan’nya as in, “Setan, film apaan nih!?”

Cerita sekelompok vlogger yang nekat mencari Pasar Setan, mitos gaib yang sudah merakyat dishoe-horn ke dalam cerita investigasi polisi yang gak punya bahasan inner juga sebenarnya selain mendebat soal realistis vs. percaya tahayul, dan gak ngapa-ngapain selain nontonin rekaman para vlogger yang ditemukan. Jadi itu jugalah yang kita tonton. Kepala Polisi bernama Rani jengkel karena kasus sekelompok anak muda yang tewas di hutan itu malah ditangani secara gak masuk akal oleh bawahannya. Seorang gadis satu-satunya yang selamat dari kejadian misterius tersebut, si Tamara, malah ditangkap oleh warga lokal. Jadi Rani membawa Tamara ke kantor, merawat sekaligus menginterogasinya. Karena bukti-bukti digital yang ia tonton belum cukup jelas menjawab kenapa teman-teman Tamara yang lain tewas. Tapi kesaksian Tamara – dia adalah host di acara misteri yang di ambang kena cancel lantaran ketahuan bikin konten palsu, dan itulah yang menyebabkan Tamara and the genk nekat mencari Pasar Setan dan beneran ‘diserang’ hantu-hantu yang dipimpin oleh Nyi Salimah – ternyata berbeda dengan video yang dia amati. Rani harus mengambil keputusan terkait Tamara, karena warga yang percaya gaib mulai mendatangi kantor dan meminta masalah Tamara untuk diselesaikan oleh ‘hukum’ mereka.

Ternyata ada karakter kepala polisi yang lebih annoying dan less-charismatic daripada karakter Jodie Foster di True Detective

 

Kita akan berpindah-pindah dari kejadian yang dialami menurut sudut pandang Tamara, ke ‘aksi’ marah-marah si Rani, lalu ke beberapa video yang ditonton Rani. Dan selain lensa grainy yang lebih natural dan rasio vertikal – yang aku gak tahu apakah itu YouTube short/Instastory/TikTok karena ku memang kurang familiar sama format itu – film tidak pernah benar-benar memberikan treatment yang berbeda terhadap perpindahan tersebut. Kita gak yakin, mana yang beneran terjadi, mana yang cuma cerita Tamara, mana yang ditonton oleh Rani. Mungkin ini taktik sutradara untuk melingkupi ceritanya dengan aura misteri, supaya kita juga terlibat dalam investigasi si Rani. Tapi jika dilihat dari gimana bentukan cerita, clearly yang diincar naskah adalah dramatic irony dari kita tahu Rani ngotot mengusahakan hal yang normally benar, tapi untuk kasus Tamara ini, dia salah. Sehingga arahan film ini terasa missing the point.

Sepanjang menonton, ada sense bahwa film ini sebenarnya mengincar gimmick found footage, ataupun penceritaan dengan pov kamera kayak Keramat. Ada beberapa dialog yang membuild up soal kamera yang dipegang karakter harus tetap merekam semua kejadian, bahkan di kantor pun ada seorang polisi yang diperintah oleh Rani untuk terus standby merekam proses investigasi. Namun bahkan gimmick pov ini juga gak pernah benar-benar dimekarkan. Karena sebagian besar film masih berlangsung seperti biasa aja. Dengan sudut pandang seperti film-film normal. At this point, aku lantas ngerasa sutradara just didn’t care. Dia kayak setengah-setengah dalam mewujudkan visinya. Arahan yang paling serius dilakukan cuma untuk jumpscare. Di aspek ini film cukup lumayan. Ngebuild up adegan penampakan dengan suasana gelap-terang. Dengan suara-suara hutan, ataupun suara-suara hantu, suasana horor di pasar mistis itu kerasa. Lalu ketika Nyi Salimah muncul – serta hantu-hantu lain dengan desain cukup unik dan beragam – kita bakal langsung melek oleh kaget-kagetan. Yang bikin aku takjub cuma satu, tau-tau di pasar tradisional gaib itu ada pisau guillotine hahaha

Biasanya memang trik jumpscare ini bare minimum-lah buat horor lokal. Biasanya masih bisa berhasil bikin penonton puas dan melupakan naskah yang dangkal. Masalahnya, Pasar Setan narasinya juga kacau. Urutan kejadian yang tampil di film ini enggak selurus, enggak sesatu perspektif Rani seperti yang tadi kutulis di sinopsis. Film ini actually dibuka dari sudut pandang Tamara dan grupnya yang sedang berembuk mau bikin konten apalagi setelah mereka dihujat karena ketahuan pake hantu palsu. Seolah ini adalah perjalanan Tamara untuk redeem herself, seolah ini perjuangan grup itu untuk menjadi mungkin semakin akrab, menyelesaikan masalah internal. Ternyata kan tidak. Grup ini bukan karakter, mereka cuma bagian dari misteri yang harus dipecahkan oleh Rani yang sebenarnya lebih fit sebagai journey karakter utama. Hanya saja Rani ini one-dimensional bukan main. Dia gak punya background seperti halnya karakter utama. Yang punya, ya si Tamara. Tapinya lagi, naskah tidak bercerita sebagai kisah perjuangan dia. See, kacau kan narasinya. Ini kayak dua cerita, lalu digabungkan dengan cara kedua ceritanya dipecah-pecah untuk menghasilkan even more surprises, dan melupakan ground work yang mestinya dikembangkan.

review pasar setan
Kalo memang pengen twist, sekalian aja judulnya Pasar Kaget

 

Jika pengennya jadi cerita Tamara, maka harusnya goal dan stake mereka itu diperdalam lagi. Misalnya, kayak di film Agak Laen (2024), grup karakternya pengen rumah hantu mereka sukses, dan film itu membuild up alasan kenapa rumah hantu itu penting bagi mereka. Personal mereka digali, bahwa mereka adalah orang kecil yang cumak bisa kerja di profesi yang laen seperti itu. Opsi mereka sudah diset up terbatas. Rumah hantu itu jadi satu-satunya taruhan mereka. Begitupun misalnya dengan horor found footage Hell House LLC (2015), yang juga tentang sekelompok anak muda yang ingin rumah hantu mereka sukses. Bahwa kerjaan mereka sebagai kru rumah hantu itu sudah dibangun sebagai hal yang personal dan mereka memang harus stay dan gak boleh gagal di kerjaan itu. Sedangkan di Pasar Setan ini, kerjaan Tamara dan kawan-kawan sebagai konten kreator atau vlogger channel horor itu tidak dilandaskan urgensi dan kepentingan personalnya. Kenapa mereka yang masing-masing masih muda, atraktif, dan sehat itu harus bergantung kepada nama baik channel. Kenapa mereka gak pivot ke konten lain aja. Kenapa solusi yang terpikir oleh mereka adalah nyari ‘hantu beneran’ – ini kan sangat tidak masuk akal, seolah yang dibangun adalah dunia cerita yang hantu itu nyata – kenapa gak dari dulu mereka pake hantu beneran. Di tengah film sebenarnya ada momen ketika masing-masing teman Tamara curhat soal motivasi dan goal mereka, hanya saja di titik itu – oleh karena bangunan cerita yang pindah-pindah aneh tanpa ritme jelas – mereka cuma ngeluh dan berantem gak jelas, sehingga kita pun udah gak lagi bisa mendorong diri untuk peduli kepada mereka. Ataupun merasa bisa mempercayai kata-kata mereka.

Karakter-karakter dalam film ini punya kepercayaan masing-masing yang dengan teguh mereka pegang. Rani yang percaya pada hal logis ingin mengungkap kasus di gunung itu sebagai pembunuhan. Warga desa percaya itu adalah peristiwa gaib. Kameraman Tamara cuma tahu ini adalah soal kerjaan dan dia berusaha nyelesaikan kerjaan.  Bagi Kevin yang penting adalah cuan. Jadi, mereka bertindak mengikuti kepercayaan itu. Dan mereka  bakal membayar jika nanti yang mereka percaya adalah hal yang salah. Dan kadang, juga saat mereka benar. Semua ada price-nya. Kepercayaan itulah ternyata hal yang diperjual-belikan dalam Pasar Setan.

 

Tanpa adanya kedalaman, dan galian yang harus mengalah bangunan cerita dan pada usaha supaya ada twist, maka ketika naskah mencoba untuk mendevelop karakter menjadi tidak satu-dimensi pun, jadinya malah kayak sebuah inkonsistensi pada karakter. Misalnya ketika menjelang akhir, Kevin jadi peduli sama Tamara “Kalo lu ke sana sendirian, lu cari mati namanya”, padahal sebelumnya dia pernah menyuruh Tamara pergi sendirian ke lokasi Pasar, malam-malam, buat ngerekam konten mencari kameraman yang hilang. Perubahan Kevin yang tadinya culas itu tidak terlihat seperti development melainkan lebih kayak naskah tidak konsisten. Karena memang jarang juga ada waktu untuk mereka terdevelop, karena momen kita pindah ke melihat mereka itu oleh bangunan film selalu adalah momen-momen cerita harus ‘naik’ alias momen horor seru. Momen cerita ‘turun’ ditugaskan kepada bagian cerita Rani di kantor polisi.

 




Kayaknya, sejauh ini, dari film-film IDN yang pernah aku tonton dan review, film ini yang paling ‘jauh’. Semua aspeknya terasa, bukan mendua, lebih tepatnya setengah-setengah. Arahannya seperti setengah hati mau jadi film dengan gimmick pov shot, atau kayak found footage. Naskahnya terasa immature, ceritanya setengah hati mau bahas tentang investigasi polisi skeptis, atau mau tentang perjalanan anak muda ke hutan di kaki gunung. Yang by the way, gak pernah terasa perjuangannya karena mereka naik mobil, jalan kaki ke sana sebentar (dengan karakter ngeluhnya minta ampun), dan ketika sampai pun nemuin pasar yang mestinya mitos itu gampang. Dan pasarnya, selain karena suara-suara seram itu, tidak terasa benar identitasnya. Kayak tempat seram aja. Sebagai anak geologi yang dulunya cukup akrab dengan bahasan naik gunung, film ini buatku tidak terasa membuatku jadi bernostalgia ke pengalaman ataupun cerita-cerita tentang pasar itu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PASAR SETAN.

 

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian punya pengalaman seram saat naik gunung?

Silakan share ceritanya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



POOR THINGS Review

 

““God’ is whatever is the next obvious step towards wholeness in yourself and your life; ‘Ego’ is whatever within you stops you taking it.””

 

 

Bikin film adalah urusan menciptakan dunia. Ketika bikin karakter amnesia dirasa terlalu kacangan sementara bikin karakter alien sepertinya terlalu pasaran, maka sutradara Yorgos Lanthimos sekalian saja membuat dunia reka yang totally menantang akal sehat, supaya karakternya yang gak punya ingatan dan perjalanan yang ditempuhnya menuju aktualisasi-diri itu dapat terlaksana dengan spesial. Tapi meskipun dunia ceritanya kali ini aneh, dunia tersebut toh masih ada sama-samanya ama dunia kita. Karena di situ juga banyak makhluk-makhluk malang yang hidup di dalamnya. Dan sebagai drama komedi, yang paling lucu dari film ini adalah,  bahwa persepsi kita tentang siapa yang ‘makhluk malang’ – The Poor Things itu – akan berubah. Akan berbeda di akhir cerita.

Pernah dengar paradoks Kapal Theseus? Misalkan Kapal A, satu persatu secara bertahap bagiannya diganti dengan bagian yang baru, apakah kapal tersebut ketika semua bagiannya sudah baru, masih bisa disebut sebagai Kapal A? Lalu lantas jika bagian-bagian lamanya tadi dikumpulkan, dan dibangun kembali menjadi kapal dengan bentuk yang persis sama seperti sebelumnya, apakah hasil kapalnya itu bisa disebut kapal A? Mana yang kapal A sebenarnya di antara dua kapal ini? Paradoks tersebut mengulik soal makna identitas, dan mirip seperti itu jugalah cerita film Poor Things. Protagonis utamanya, yang diperankan dengan lugas dan berani oleh Emma Stone, adalah seorang perempuan yang  fisiknya dikenali oleh beberapa konglomerat sebagai Victoria, tapi dia sendiri tahunya dia bernama Bella Baxter. Gadis yang dibesarkan oleh seorang ilmuwan bernama Godwin, yang ia panggil dengan simply “God”. Dan memang persis seperti God – Tuhan-lah sosok Godwin bagi kehidupan Bella. Karena perempuan berambut hitam panjang itu actually diciptakan Dr. Godwin dari mayat Victoria yang otaknya diganti sama otak bayi dari dalam kandungan Victoria sendiri. Jadi Bella, tanpa maksud merendahkan, adalah freak of nature. Awalnya dia polos kayak anak-anak baru belajar bicara, Godwin-lah yang mengajari dia banyak pengetahuan. Tapi kelamaan, Bella mulai berani memilih jalan hidupnya sendiri. Selama ini gak boleh keluar rumah, dan dijodohkan sama asisten Godwin, Bella minta ijin untuk pergi bertualang melihat dunia luar. Walaupun orang-orang yang dia temui mencoba untuk – in some ways bisa disebut mengekang – Bella percaya dirinya adalah identitas utuh yang baru, yang punya pilihan dan keinginannya sendiri.

review poor things
Mereka yang aneh ini, anehnya, menurutku terasa seperti Kurotsuchi Mayuri dan Nemu versi yang lebih manusiawi

 

Bella hidup di London, dari kostumnya seperti di era Victorian, tapi teknologinya dunia Bella seperti bahkan lebih ‘canggih’ dari dunia kita. Canggih dalam artian absurd haha.. Like, jangan bayangkan ilmuwan Dr. Godwin seperti ilmuwan steril dan terpelajar. Godwin more like a mad scientist. Di rumahnya berkeliaran hewan-hewan ajaib seperti ayam berkepala babi, ataupun angsa berkaki empat. Kalo Godwin bersendawa, yang keluar bukan angin. Tapi gelembung kayak gelembung sabun. Dunia ini tentu saja difungsikan sebagai konteks yang memungkinkan cerita perempuan hasil transplant otak ini dapat bekerja, tanpa kita harus merisaukan perkara etika ataupun kelogisannya. Karena film selalu nomor satu adalah soal konteks. Terms seperti ‘retarded’ yang boleh saja secara moral kita terkesan degrading, akan terasa jadi ‘tak mengapa’ ketika kita sudah dilandaskan betul karakter yang menyebut term tersebut. Perspektif dan karakterisasi film ini mengalir kuat dari gimana tegas dan tanpa sungkannya ‘suara’ para karakter divokalkan. Ilmuwan yang dari luar tampak kurang etis, tapi ternyata punya sisi parenting yang humanis – eventho sisi itu ditempa dari kelamnya perbuatan yang ia terima di masa kecil. Dan Bella, dia dibuat seperti orang yang melihat dunia sebagai orang dewasa tapi dengan pandangan ‘polos’ anak kecil yang melihat dan ngalamin semua hal sebagai untuk pertama kali. Karakter Bella jadi ruang bagi film untuk menelisik sistem sosial yang cenderung patriarki, sehingga film bisa membenturkan banyak nilai feminis yang diharapkan membawa perbaikan dengan sistem yang mengukung. Lihat saja ketika film membuat solusi keuangan Bella di Paris adalah dengan bekerja di rumah bordil.

Dengan melandaskan dunia yang absurd, dan mindset ‘ilmuwan’ sebagai basic dari karakternya, film meminta kita untuk meninggalkan kacamata etika dan purely menyelam ke dalam pikiran Bella yang delevoping concern sesuai dengan yang ia lihat dari sekitar. Untuk experience tersebut, film gak segan mengganti lensa tanpa tedeng aling-aling sepanjang cerita. Kadang gambar yang kita lihat seperti melingkar, hampir kayak fish-eye. Kadang pemandangannya begitu wide. Kadang kita notice kamera ngezoom membuat sekeliling blur. Ini sebenarnya menyesuaikan dengan sense penasaran dan eksplorasi yang sedang dialami oleh Bella ketika dia melihat dunia. Pun, film menggunakan kode warna yang selaras dengan pandangan Bella. Di babak awal film, ketika Bella paling terasa kayak anak polos, yang gak boleh keluar rumah, yang cuma bisa tantrum ketika dilarang, layar film tergambar hitam putih. Tanpa warna. Namun begitu Bella mulai kenal sensasi kewanitaan, begitu dia keluar rumah menemukan segala sesuatu yang baru, begitu dia ngerasain yang namanya ‘furious jumping’, layar yang kita lihat meledak oleh warna. Teknik kamera dan coloring yang digunakan ini selain memvisualkan development karakter Bella, tentu juga bekerja sama efektifnya memperkuat kesan dunia absurd dan komedi pada cerita. Dengan setting dunia yang boleh saja terasa amat aneh, tapi Poor Things could not be any clearer dalam menyampaikan tema soal identitas dan self-actualization dari sudut pandang perempuan.

Menjadi diri sendiri di tengah dunia yang terus-terusan meminta kita untuk menjadi sesuatu yang lain, yang terus-terusan mendorong kita untuk mengikut keseragaman, yang terus-terusan mengingatkan kita untuk tahu diri – tidak melupakan dari mana kita berasal – jelas adalah suatu perjuangan yang berat. Bella Baxter memperlihatkan ini kepada kita. Dirinya  disuruh untuk realistis. Untuk berhenti berharap. Puncaknya, Bella disekap, akal dan nafsunya akan dirampas darinya. But they didn’t stop her.

 

Development Bella kerasa banget. Cara film bercerita pun dibuat ngikut dengan perkembangan itu. Ketika nalar Bella masih ‘bayi’, film ngambil resiko dengan seolah cerita ini dari sudut pandang Max, mahasiswa yang dimintai tolong jadi asisten di rumah mereka oleh Dr. Godwin. Cerita seolah dimiliki oleh Max dan Dr. Godwin, dua orang yang meneliti perilaku Bella. Perlahan, status mereka tersebut tergantikan. Dengan subtil – namun tegas – Bella mulai mengambil alih komando cerita. Dia mulai berani menyuarakan keinginan. Dia mulai berani mengambil aksi. Hingga di akhir babak satu, Bella membuat keputusan otonom. Ikut Mark Ruffalo ke luar negeri. Dari segi akting pun development Bella menguar, tadinya Bella dimainkan oleh Emma benar-benar limited. Ya dari kosa katanya, maupun dari geraknya. Tapi seiring identitasnya bertumbuh, raganya pun terisi dengan semakin matang. Bella using big words, sering mengutip bahasa-bahasa buku yang ia baca, gesturenya semakin percaya diri. Dominasi lelaki di sekitarnya pun, kita rasakan semakin mengendor. Dari sinilah film sebenarnya perlahan ngasih development sarkas yang ultimate. Bahwa yang dimaksud oleh judul sebagai Poor Things ternyata bukan Bella. Ternyata bukan perempuan yang hidupnya ditekan, diatur, diejakan oleh standar yang terbentuk dari kuasa laki-laki. Melainkan, ya, laki-laki itulah the real poor things.

Madame ngajarin Bella nasihat yang maknanya literally ‘Berani kotor itu baik’

 

Setiap manusia memang fight their own battle, dengan kondisi yang memaksa dan menantang mereka. Film dibuka dengan Emma Stone terjun dari jembatan, membuat kita membatin “kasihan sekali dia”. Kemudian adegan berikutnya kita melihat dia seperti orang yang cacat mental. Tapi di akhir cerita, Bella yang telah menyadari kekuatan dan tujuan dari eksistensinya menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki seperti Duncan yang cengeng, Harry yang gak berani berharap, God yang bahkan gak bisa mengelak dari kematian dan lebih butuh dirinya ketimbang dia butuh Godwin, dan Alfie yang literally ditulis oleh naskah sebagai manifestasi traits terburuk dari lelaki; mereka-lah yang lebih malang. Bukan perempuan yang beraksi demi kebebasan menjadi dirinya sendiri itu yang kasihan. Adegan di akhir, ketika Bella ngajak Max nikah. Bukan hanya pembalikan dari momen di awal, tapi dari adegan tersebut terasa sekali ada shift. Max is the good one, ‘dosanya’ cuma dia tak pernah berani ‘nembak’ langsung. Kini justru Bella yang bukan saja sudah jadi ekual, tapi juga memegang kendali.

Di tangan naskah yang kurang cermat, karakter seperti Bella ini bisa terkesan sebagai terlalu ideal. Membuat cerita jadi pretentious, atau malah terlalu dibuat-buat. Terlalu muluk. Hal itu tidak pernah terasa ada pada Poor Things. Karena nyalinya tadi untuk menggali Bella sebagai orang dewasa yang melihat dunia dengan pemikiran seperti anak kecil. Semua dicoba. Pengen tahu apapun hal yang baru. Kemauannya harus dituruti. Ini oleh naskah dijadikan cela yang menambah layer karakternya itu sendiri. Yang akhirnya membentuk desain film seperti apa. Film jadi vulgar, lancang, bikin kita gak nyaman, sometimes degrading. Tapi lewat semua itulah pembelajaran Bella berlangsung. Enggak ada dunia yang sempurna. Bahkan dunia seabsurd ini pun tidak bisa sempurna. Bella tahu itu, dia akhirnya tahu salah dan benar, tapi juga dia tahu apa yang lebih penting dari itu. Yaitu untuk menjadi diri sendiri, dan terus berharap dan berusaha dirinya bisa mengubah dunia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada yang sempurna, tapi semua orang mestinya berjuang untuk menjadi lebih baik. Ah, ini pandangan ilmuwan sejati. Godwin pasti bangga pada Bella!

 

 




Akhirnya, semua film nominasi Best Picture Oscar 2024 sudah rampung semua direview di blog ini. Dan kurasa somehow tepat film ini jadi film penutup karena in some ways, film ini seperti gabungan dari film-film tersebut. Weird, hitam-putih, karakter yang dealing with siapa dirinya – apa yang ia kerjakan, sound desain dan dunia yang ajaib, dinamika relationship yang berpusat pada relasi kuasa perempuan dan laki-laki. Mungkinkah film ini yang bakal menang? Itu terserah Academy sepenuhnya.  Tapi yang jelas, drama komedi romance ini merupakan sebuah perjalanan dari karakter dengan sudut pandang dan suara yang kuat. Penulisannya pada development karakter juga kuat sekali. Film ini boleh saja aneh, tapi pesannya akan sangat tegas dan bisa kita cerna dengan relatif mudah. Dan film ini tak pernah jadi pretentious dalam melakukan hal tersebut. Also, film ini punya banyak penampilan akting yang menarik. Unik. Yang bikin kita gak nyangka aktornya berani melakukan itu. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for POOR THINGS.

 




 

 

That’s all we have for now.

Apa menurut kalian tindakan Bella nge-transplant otak kambing ke mantan suaminya hanyalah sebuah balas dendam, atau sebuah statement? Statement apa kira-kira? 

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MADAME WEB Review

 

“Life did not begin when you are born…”

 

 

Apa yang akan kau lakukan jika punya kekuatan bisa melihat alur kejadian di masa depan? Well, ya mungkin kau akan menggunakan kekuatan itu untuk menyelamatkan orang-orang yang penting bagimu, kau mungkin ingin mencegah hal buruk terjadi kepada orang-orang yang tak bersalah, atau kau mungkin gak mau ikut campur dan cuma ngasih komenan atau celetukan tersirat mengenai nasib mereka. Nah, sekarang apa yang kau lakukan jika kau seorang pembuat film dan lagi bikin cerita tentang superhero yang bisa melihat masa depan, dalam jagat universe yang masa depan karakter-karakter lainnya sudah kau ketahui? Kau mau bikin cerita superheronya menggunakan kekuatan menyelamatkan orang doang? Yang bener aja, rugi doongg. Lihat nih gimana S.J. Clarkson dalam debut penyutradaraan film-panjangnya. Dia meletakkan begitu banyak reference dan jokes perihal hidup superhero lain untuk disebutkan oleh karakter utamanya, yang tidak disisakan banyak selain sikap sarkas (tapi datar) dan petualangan yang nyaris tanpa intensitas.

Cerita tentang Cassandra Webb, gadis paramedik yang saat nyaris mati dalam bertugas, terbangkitkan kekuatan cenayangnya, ini harusnya memang sebuah cerita origin dari setidaknya empat superhero perempuan. Karena kejadian tadi, Cassie sekarang jadi bisa melihat kejadian di masa depan, khususnya kematian, beberapa saat sebelum kematian tersebut terjadi. Dalam salah satu penglihatannya, Cassie melihat tiga gadis remaja di kereta yang sedang ia tumpangi bakal dibunuh oleh pria misterius dengan kekuatan seperti laba-laba. Cassie menyelamatkan tiga remaja tersebut, dan mereka berempat lantas jadi buronan si pria laba-laba, all the while Cassie mikirin cara menggunakan kekuatannya untuk melawan. Tapi ini ternyata tipe cerita origin superhero yang take too long untuk membuat karakternya superhero (tiga gadis remaja tadi bahkan sama sekali belum jadi superhero hingga kredit bergulir). Ceritanya sangat aneh, tidak memuaskan baik itu ekspektasi penonton terhadap kisah superhero, maupun lingkaran journey karakter utamanya sendiri. Like, power Cassie yang sering bikin cerita atrek either ngasih keseruan atau kecohan, kayak berbanding terbalik dengan kebutuhannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dia justru jadi better person dengan melihat masa lalu.

Cassie merasa dia gak punya waktu untuk mikirin masa depan, karena dia gak pernah mengerti masa lalunya. Dia hanya punya catatan/jurnal ibunya yang meninggal saat melahirkan dirinya, di pedalaman hutan Peru. Dia selalu menganggap pilihan ibunya sebagai tindakan negatif. Cassie berpikir hidupnya gak jelas karena sedari lahir memang udah gajelas. Tapi hidup ternyata tidak dimulai dari saat kita lahir. Karena hidup kita ternyata saling berhubungan dengan hidup orang lain. 

 

review madame web
Harusnya tayangnya pas April Mop ga sih, bukan pas Valentine

 

Mengambil pembelajaran dari tema ceritanya, mari kita melihat ke belakang. Ke film-film superhero 90an hingga awal 2000an. Kenapa ke masa itu? Karena persis seperti itulah vibe film ini, yang memang sesuai juga dengan timeline cerita yakni tahun 2003. Madame Web did a great job dalam mengemulasi estetik film superhero di era tersebut. Shot-shotnya, gerak kameranya, referensi pop kultur, hingga ehm.. spesial efeknya. Adegan suku manusia laba-laba di pembuka itu bahkan lebih mirip ke aksi-aksi dalam serial minggu pagi Power Rangers. Cheesy. Reaksi dan gerak-gerik karakter-karakternya pun juga punya nuansa ‘canggung’ yang sama dengan penampilan akting film-film jagoan 90an. Dialog dan ceritanya juga sama-sama over the top. Film ini terasa seperti film superhero keluaran awal 2000an, sebelum standar film superhero comic book dinaikkan oleh Marvel. Mungkin ini bisa disebut keberhasilan Madam Web, kalo kita bisa menjawab kenapanya. Kenapa film ini justru mau mengemulate era terburuk dari genre superhero? Soalnya biasanya kan, orang bikin reference nyamain ke satu jaman karena entah itu untuk tribute, karena jamannya punya banyak pengikut cult, atau mereka ingin mengambil yang terbaik dari era itu. Tapi film ini justru kayak menjadi secheesy itulah tujuan utamanya.

Di titik ini kita udah tahu Sony pengen bikin universe Spider-Man versi sendiri, but they can’t just do that karena ada MCU. Dan so far, Sony cuma bisa bikin film dari karakter-karakter di ‘sekitar’ Spider-Man, tanpa actually bisa memperlihatkan sang superhero laba-laba. Jadi mungkin Madame Web yang bisa lihat masa depan inilah kesempatan terdekat mereka untuk membuat reference, to take a shot, bercanda-canda dengan Spider-Man. Makanya film ini jadi banyak banget nyentil-nyentil Spider-Man. Bukan hanya ada Ben Parker, tapi beneran ada Peter Parker! Tapi masih bayi haha… inilah yang lantas kebablasan dilakukan oleh Sony.  Film menjual Spider-Man dan lore nya lebih banyak ketimbang Madam Web jtu sendiri. Dan ini bukan sekadar karena penjahatnya seorang Spider-Person. Film beneran bersandar pada pengetahuan kita akan Spider-Man, naskah dan dialog ditulis around that. Ngebecandain Ben soal ditembak. Mancing-mancing soal nama bayi Peter. Film Madame Web ujug-ujug jadi persis kayak teman di circle kita yang ngerasa dirinya lucu dan edgy, yang dalam tiap kesempatan ngasih sneaky remarks about something dan bener-bener get in front of our faces bilang “Hahaha, get it? Get it? Ngerti doongg.. lucu kan yaa!!” padahal lucu kagak, yang ada malah annoying. Sebab penggarapan cerita utamanya malah ke mana-mana. Film ini justru kayak lebih concern sama ngait-ngaitin ke Spider-Man. Dakota Johnson jadi semakin cringe karena dialog-dialog dia sebagian besar bukan penggalian drama karakternya, melainkan celetukan dan tanggapan ke karakter lain yang sebenarnya adalah suara studio dalam menyampaikan reference Spider-Man. Deadpan-nya bukan lagi dry humor, tapi dead karena pemainnya kikuk menyampaikan dialog.

Stake cerita bahkan lebih terasa ketika kita meletakkan kepedulian kepada baby spidey haha.. My biggest care adalah Emma Roberts jadi mamak Spider-Man, dan ketika dia ikut terlibat dalam kejar-kejaran dengan si Spider-Person jahat, aku baru ngerasa peduli. Jangan sampai baby spidey batal lahir karena si jahat. Ini lucu karena momen itu cuma satu sekuen. Villain cerita ini khusus mengejar tiga gadis remaja yang ia takutkan bakal jadi superhero yang membunuhnya  di masa depan (si Villain dapat penglihatan lewat mimpi soal kematian dirinya), tapi aku tidak pernah merasa peduli sama ketiga gadis tersebut. Kenapa, karena kita tidak tahu mereka sebelumnya. Dan film pun tidak actually memperlihatkan mereka berjuang dan balik melawan dan berakhir jadi superhero beneran. Beda rasanya ketika melihat mereka yang nobody dan gak dibuild up menjadi sesuatu yang pentingnya segimana (karena bahkan mimpi si jahat tidak pernah ditekankan sebagai reality betulan) dengan ketika kita melihat baby Peter dalam bahaya – karena selama ini kita sudah kenal betul sosok Spider-Man. Jadi anehnya film ini adalah pengetahuan kita akan hal yang di luar ceritanya justru memancing hal yang lebih dramatis ketimbang karakter dan cerita aktual mereka.

Dengan banyaknya referensi 2000an, aneh aja Cassie gak jelasin kekuatannya sebagai Final Destination yang era segitu amat populer kepada tiga remaja

 

Di sinilah terbukti film ini gak tau apa yang mau diincar. Bahwa film ini cuma ide-ide liar studio doang.  Karena keluarga Parker pun lalu dikesampingkan gitu aja oleh film yang telat menyadari karakter sentral utama mereka cuma sekumpulan cewek-cewek atraktif dengan personality sekuat karakter sinetron. Heck, mungkin better kalo motivasi si penjahat supaya Peter Parker gak lahir, dan Madame Web dan tiga dara laba-laba jadi superhero yang berusaha menggagalkannya. Si Villain yang fokusnya cuma ngejar tiga gadis itu, akhirnya tampak seperti penjahat yang paling setengah hati jahatnya dan paling lemah. Dia ditabrak mobil dua kali oleh Cassie yang belum punya kekuatan berantem beneran. Aksinya tidak punya intensitas, dia malah lebih garang saat masih belum punya kekuatan ketimbang saat dia sudah jadi manusia laba-laba. Also, aktingnya juga bahkan lebih aneh lagi. Banyak adegan dia ngobrol yang kayak didubbing karena mulutnya gak gerak, tapi suaranya keluar. Aku gak tau mungkin mic mereka mati saat syuting apa gimana haha..

Yang jelas peran si penjahat ini ujung-ujungnya sama dengan cara film memanfaatkan kekuatan melihat masa depan. Cuma untuk mempermudah majunya cerita. Cassie sama sekali gak tau kenapa si Villain ingin membunuh tiga dara, dia gak tahu mereka bakal jadi superhero, tapi dia tetap menjaga mereka. Harusnya yang ditekankan di sini adalah drama yang terjalin antara mereka. Dia yang melihat mereka sama seperti dirinya, stray yang dibuang keluarga. Perjuangan mereka untuk survive harusnya bisa menyentuh hati, tapi oleh film semua itu didangkalkan. Cassie bisa berkomunikasi dengan si penjahat lewat mimpi, dan si penjahat membeberkan semua. Ini penulisan yang malas banget. Bandingkan usaha naskah ini nyisipin sneak remarks dalam tiap dialog dengan usaha naskah menggali konflik dramatis. Kelihatan kan, film ini sebenarnya bukan berniat mau ngasih cerita. Kekuatan Cassie kalo dipikir-pikir mirip dengan kekuatan Yhwach, boss di saga terakhir Bleach. Sama-sama menggunakan kemampuan melihat beberapa detik kejadian di masa depan untuk mengambil langkah dalam combat. Tapi si Cassie battlenya gak pernah keliatan seru. Melainkan konyol. Yhwach punya Ichigo yang mati-matian berusaha mengalahkannya. Cassie cuma punya penjahat yang setengah hati mengejarnya, gak pernah tampak benar-benar bahaya, dan film udah liatin goal battle mereka yang berhubungan dengan logo Pepsi Cola. Film ini lebih concern ke tamatnya harus kena logo itu!

 




Kesuksesan satu-satunya film ini adalah bikin tontonan dengan vibe film superhero era 2000an. Tapi buat apa? Itu adalah era yang orang senang sudah berpindah darinya, era yang gak dirindukan siapapun, dan it’s not like film ingin ngasih perbaikan dan nunjukin yang terbaik dari era tersebut. Film ini flat out mengemulasi yang terburuk dari situ. Karakter-karakter cringe dengan dialog dangkal – yang lebih diperparah lagi dengan kemauan film untuk constantly ngasih reference yang sok-sok mau bikin penasaran itu ada Spider-Man atau enggak. Aksi dan kejadian yang over the top. Konsep melihat masa depan  kayak versi lite dari Final Destination, dan film never actually capitalized on that concept dengan aplikasi yang unik. Padahal kalo mau digarap bener-bener, mestinya bisa, karakternya sebenarnya punya journey. Tapi film ini mentang-mentang udah melihat ‘masa depan’ dari jagat cerita keseluruhan, jadi menaruh hati dan niatnya di tempat yang lain.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for MADAME WEB.

 

 




That’s all we have for now.

Jika hidup tidak dimulai dari saat kita lahir, apakah itu berarti hidup kita juga tidak berakhir saat kita mati? 

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



AMERICAN FICTION Review

 

“We live in a fantasy world.. the great task in life is to find reality”

 

 

Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Memperdagangkan trauma dan kesedihan. Itulah realita yang digambarkan dalam American Fiction, debut penyutradaraan Cord Jefferson. Film adaptasi novel ini di tangannya menjadi komedi satir yang aku pikir bakal bikin gerah beberapa orang, seperti penulis buku/pembuat karya yang memang jadi subjek di dalamnya. Dan walaupun di judulnya ada kata Amerika, satir di film ini gak akan luput mengenai kita di Indonesia. Karena ironisnya, cerita di film ini relate juga dengan kondisi di ‘rumah’. I mean, lihatlah pekarangan sosmedmu. Berapa banyak yang bikin konten yang menuai cuan dari cerita-cerita sedih, cerita orang-orang berantem, atau bahkan cerita kebegoan. Konten yang menjual kalangan minor, ataupun yang sengaja menyasar kepada stereotipe-stereotipe lainnya. Kita sekarang hidup di dunia fiksi. Dunia di mana, sesuai dengan salah satu dialog film ini yang bikin aku ngakak; “The dumber I behave, the richer I get” Film ini begitu lucu karena yang diceritakan benar adanya!

Ya, jaman sekarang idealisme dianggap tidak bisa menghasilkan apa-apa selain stress dan kelaparan. Di cerita film ini, seorang dosen, punya pendidikan dokter, dan penulis novel, Thelonious Ellison yang akrab dipanggil Monk, hidupnya juga mulai menghimpit tatkala novel-novel yang ia tulis dengan serius dan sepenuh hati, katakanlah, tidak laku. Satir film ini langsung ngegas saat publishernya yang kulit putih itu meminta Monk untuk menulis cerita yang lebih ‘black’. Bayangkan disuruh untuk menjadi lebih lokal oleh orang yang sama sekali tidak punya kaitan apa-apa sama kelokalanmu. Lagipula, lanjut sang publisher, pasar cuma butuh dahaga mereka akan konfirmasi bahwa mereka adalah orang yang peduli sama isu terpuaskan. Maka Monk kepikiran menulis novel satir yang isinya penuh oleh stereotipe yang dikenal publik pada ras kulit hitam. Dia menulis buku itu sebagai olokan. Tapi justru buku itu laku keras di pasaran. Kritik dan penikmat kasual – yang hampir semuanya kulit putih – menyukai novel yang sengaja dibikin sebagai pembuktian sampah oleh Monk. Novel, yang ia kasih gimmick ditulis bukan oleh dirinya, melainkan oleh seorang tokoh rekaan. Seorang napi yang kabur dari penjara. Makin meledaklah penjualan novel tersebut saat ‘identitas’ penulis itu diungkap. Sampai-sampai ada produser yang ingin memfilmkan novelnya. Monk, demi keuangan keluarganya, lantas harus memilih; antara tetap menjadi dirinya yang tak bisa menjual apa-apa, atau terpaksa menjadi penulis dan kisah-nyata bohongan yang ia ciptakan sendiri.

reviewamericanfiction
Abis nonton ini, ngereview pun lantas jadi was-was, takut kemakan jebakan pembuat yang seperti Monk

 

American Fiction tayang di bioskop Amerika bulan Desember tahun lalu, hampir bertepatan dengan waktu Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memeriahkan bioskop tanah air. Menarik, karena dua film ini basically menggunakan konsep meta yang serupa. Pun sama-sama punya komentar soal industri film/karya tulis negara masing-masing (sama-sama parodiin produser/publisher hahaha). Jatuh Cinta Seperti di Film-Film yang tentang seorang penulis skenario berusaha menulis dan memfilmkan kisah romans dari kehidupan cintanya, currently bertengger di posisi ke delapan dalam daftar Top-8 2023 Movies-ku, dan alasan film itu berada di posisi tersebut adalah karena ada yang mengganjal dari struktur meta yang digunakan terhadap journey karakter utamanya. Film American Fiction ini lantas memberikan kepada kita contoh cara yang benar dalam menghandle konsep tersebut, sehingga journey Monk sebagai karakter utama terasa tetap ‘real’.  Karena American Fiction tidak lantas give in kepada gimmick cerita metanya. Alih-alih menggunakan hitam putih sebagai pembeda, film menggunakan layer akting yang beneran dikaitkan kepada narasi. Monk pria terpelajar kelihatan dari gaya dan cara bicara dia, tapi kita benar-benar ditekankan kepada Monk harus mengubah cara dia bicara, gaya dia menulis, menjadi sesuatu yang stereotipe dan menurutnya degrading ketika dia menulis novel sesuai tuntutan publisher. Akting Jeffrey Wright main betul, dan memang pantas diganjar nominasi. Cara film ini dalam menampilkan sebuah adegan yang ternyata hanya karangan Monk dilakukan dengan sureal namun tetap terang sehingga apa yang sebenarnya terjadi kepadanya tidak pernah tersamarkan sebagai kejadian yang tidak pernah beneran terjadi. Dalam artian, journey yang dilalui Monk tetap jelas, growth yang ia alami tetap kita lihat terjadi kepadanya.

Adegan Monk menulis novel full of stereotypes itu dilakukan dengan menarik oleh film. Monk udah kayak sutradara yang mengawasi dua karakternya berdialog, lalu karakter-karakter tersebut akan balik bertanya “Gue ngomong apalagi nih bos?” atau malah mengkritiknya “Gue ngomongnya gak kayak gitu!” Menyangkut ke perihal satirnya, adegan tersebut dirancang dengan precise sehingga untuk kita – yang merupakan salah satu sasaran sindiran – adegan tersebut akan menghasilkan sedikit perasaan mendua. Adegan dialog itu supposedly nunjukin parody yang jelek, atau beneran bagus. Ketika kita merasakan itulah, pembuktian satir film bekerja dengan benar. Lewat adegan menulis cerita penuh stereotype dan menjual ‘ras’ padahal sebenarnya shallow itulah film membuktikan benar bahwasanya kita sebagai konsumer kadang dengan begonya kemakan konten orang. Kita melihat ‘oh film dari ras minoritas pastilah real, emosinya raw, dan mengusung bahasan sosial yang penting’ padahal itu bisa jadi cuma gimmick. Bisa jadi penulis ceritanya seperti Monk, just making stuff up, memasukkan sebanyak mungkin stereotype karena memang itulah yang lebih gampang laku. Bahwa sekarang kita tidak melihat berdasarkan isi yang sebenarnya, melainkan hanya ikut-ikut tren agenda.

Sebagai seorang terpelajar, Monk tentu saja melawan industri seperti ini.  Ketika ada pengarang kulit hitam lainnya, menulis novel setipe (alias sama-sama jualan stereotipe ras mereka semata), ditambah dari sudut pandang perempuan pula, Monk melihat novel tersebut sebagai gimmick semata. Tentu saja orang akan suka, toh itu cerita hidup perempuan dari ras minoritas. Malah bukan ‘akan suka’ lagi, melainkan ‘harus suka’. Karena kalo ada orang yang tidak suka cerita itu, apalagi si orang yang tidak suka ini adalah kulit putih, maka dia akan beramai-ramai dicap sebagai seorang rasis yang gak peka. Kalo dia pria, maka niscaya dia akan dicap anti feminis. Sebagai pengulas film, aku bisa mengerti yang dirasakan Monk, karena seringkali aku juga merasa ada film yang kayak cuma ngejual stereotype, atau cuma ngejual agenda, tapi dalam menyampaikannya aku agak susah karena takut diserang balik sebagai gak dukung perempuan atau tone deaf terhadap sosial.  Dan permasalahan ini dijadikan film sebagai inner journey dari Monk. Dia yang awalnya berusaha idealis dan blak-blakan menolak, dihadapkan kepada situasi yang membuat dia melihat kenapa ‘industrinya’ jadi begini, dan ultimately dia harus memilih. Pilihannya nantilah yang jadi puncak satir film ini. Ending yang bakal ninggalin kita topik untuk dipikirkan. Karena film yang dibuat sebagai gambaran ini, tidak menawarkan solusi. Melainkan tetap berpegang kepada pencerminan dunia nyata.

Kisah-nyata seperti di fiksi-fiksi

 

Sebenarnya persoalan ini sudah pernah disentuh oleh Jordan Peele dalam filmnya yang berjudul Nope (2022). Secara umum film yang bentukannya horor-creature sci fi itu membicarakan gimana manusia suka mengekspoitasi hal yang berbeda sebagai spektakel. Atau tontonan hiburan. Dan hal yang berbeda itu bisa meliputi ke ras mereka yang dalam cerita film seringkali hanya digunakan sebagai role-role stereotipe dan cukup hanya di role tersebut. Film American Fiction ini tidak lain dan tidak bukan membahas persoalan tersebut lebih dalam dan lebih personal lagi. Stakenya dibuat lebih grounded, supaya filmnya sendiri tidak menjadi hal yang ia kritik. Inilah yang membuat film ini meskipun tidak ada solusi, tapi tetap terasa powerful sebagai gambaran. Karena semuanya dikembalikan kepada karakter yang terpaksa harus memilih. Karena keadaan. Therefore, kepada kitalah sebenarnya cerita ini meminta penyadaran.

Karena pasar gimanapun juga terbentuk oleh permintaan konsumen. Dunia kita sekarang adalah dunia fiksi yang jualan yang laku bukan jualan yang berbobot, melainkan jualan ringan dan not necessarily harus asli, asalkan jualan tersebut bisa membuat orang konsumernya merasa lebih mulia. Sehingga muncullah penjual-penjual yang memperdagangkan kepalsuan. Stereotype, cerita sedih, kebegoan. Semuanya semu, yang dijual maupun yang dirasakan oleh yang beli.

 

 

 

Jadi gimana cara film ini mempertahankan ke-real-an journey karakter? Dengan actually memparalelkan soal kerjaan Monk nulis buku, dengan konflik di dalam keluarganya, yang semuanya dokter. Monk punya adik dua orang (yang satunya mungkin jadi penyebab kenapa film ini gak tayang di bioskop Indonesia), punya asisten rumah tangga yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, punya Ibu yang mulai digerogoti Azheimer. Dan ayah mereka telah lama jadi urban legend di kota kelahiran, lantaran dulu bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri (film pun sempat-sempatnya menebar dark jokes seputar peristiwa ini dari karakter yang innocently lupa Monk punya riwayat tragedi tersebut). Yang terjadi kepada ayah, kepada ibu, kepada keluarganya keseluruhan digunakan oleh film sebagai stake dan pendorong bagi Monk untuk menentukan keputusan. Serta jadi tempat hati cerita ini berada. Benar-benar terasa seperti kisah karakter yang berjuang. Monk bisa saja menulis tentang keluarganya sendiri, tapi itu tetap belum cukup. Karena seperti ironi yang acapkali dicuatkan oleh film, itu tidak akan terasa real enough bagi pembaca. Satir pamungkas dilakukan oleh film ketika memperlihatkan adegan diskusi Monk dan sejawat sesama juri award literatur, pendapat otentik Monk sama sekali tidak didengarkan oleh juri yang lain, dengan alasan ‘black voices has to be heard’.

 

 




Semakin jauh Monk menulis dari kenyataan, semakin liar dia menggunakan stereotype dan identitas, semakin shallow bahasa yang ia gunakan, semakin nyeleneh judul novel yang ia ajukan, bukunya justru semakin laku. Aku rasa ini adalah salah satu film in recent years yang paling jago dalam menggunakan sindiran ke dalam penceritaan. Kena dan telak semua! Mungkin judulnya aja yang kurang tepat. Dan itupun karena kisah di film ini tidak hanya sedang terjadi di Amerika. Sindiran film akan mengena bahkan kepada kita. I honestly think, kayaknya ini adalah masalah global dunia yang tersentuh sosial media. Bahwa orang-orang peduli sama isu, bukan karena mereka benar-benar peduli sama isunya, melainkan karena dengan merasa peduli mereka merasa jadi pribadi yang lebih baik. Jadilah isu tersebut soal unjuk agenda kosong semata. Makanya film ini terasa urgent. Di luar itu, melihatnya sebagai drama keluarga pun film ini terasa sama kuatnya. Menunjukkan film ini juga punya hati, selain punya otak dan nyali. 
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for AMERICAN FICTION.

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah ada alasain lain kenapa sekarang kita seperti mudah kemakan sama konten-konten yang menjual gimmick ketimbang bobot?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review Petualangan Anak Penangkap Hantu kemaren, bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL