• Home
  • About
  • Movies
    • AFFLICTION Review
    • PIECES OF A WOMAN Review
    • ONE NIGHT IN MIAMI Review
    • NOMADLAND Review
    • MINARI Review
    • PROMISING YOUNG WOMAN Review
    • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
    • TARUNG SARUNG Review
    • SHADOW IN THE CLOUD Review
    • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020
    • ANOTHER ROUND Review
    • SOUL Review
    • ASIH 2 Review
    • WONDER WOMAN 1984 Review
    • SOUND OF METAL Review
    • MANK Review
    • HAPPIEST SEASON Review
    • THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review
    • BLACK BEAR Review
    • FREAKY Review
    • TENET Review
    • THE CALL Review
    • HILLBILLY ELEGY Review
    • THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review
    • RUN Review
    • DREAMLAND Review
  • Wrestling
    • TLC: Tables, Ladders, and Chairs 2020 Review
    • Survivor Series 2020 Review
    • Hell in a Cell 2020 Review
    • Gold Rush: Clash of Champions 2020 Review
    • SummerSlam 2020 Review
    • The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review
    • Backlash 2020 Review
    • Money in the Bank 2020 Review
    • WrestleMania 36 Review
    • Elimination Chamber 2020 Review
    • Royal Rumble 2020 Review
    • TLC: Tables, Ladders & Chairs 2019 Review
    • Survivor Series 2019 Review
    • Hell in a Cell 2019 Review
    • Clash of Champions 2019 Review
  • Books
    • My Dirt Sheet Top-Eight Original Goosebumps Books
    • Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku
    • Dhanurveda – Preview Buku
    • My Dirt Sheet Top 8 Animorphs Books
  • Uncategorized
    • My Dirt Sheet Awards CLOUD9
    • My Dirt Sheet Awards 8MILE
    • My Dirt Sheet Awards 7ANGRAM
    • My Dirt Sheet Awards HEXA-SIX
    • My Dirt Sheet Awards KELIMA
    • Find Your Own Voice
    • My Dirt Sheet Awards FOUR
    • The 3rd Annual of My Dirt Sheet Awards
    • The 2nd Annual of My Dirt Sheet Awards
  • Merchandise
    • Kaos buat Reviewer dan Anak Nonton banget!!
    • Kaos Sketsa Wajah #WYOF Wear Your Own Face
    • Kaos Halloween Specials
    • Kevin Owens Champion of the Universe Shirt
    • Mean Girls Customized Shirt
  • Toys & Hobbies
    • Tamiya: Everyone Needs Their Hobby
  • Poems
    • Pikiran Keluyuran
    • Jakarta, Jumat Senja, Hujan, dan Kamu
    • r(u)mah
    • Konstelasi Rindu
    • Jumat Pagi yang Basah
    • Pesan Untuk Hati yang sedang Patah
    • Aku Suka…..
  • Music
    • Growing Pains by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Wild Things by Alessia Cara – [Lyric Breakdown]
    • Pesona Musik Iceland (Islandia)
    • Row Row Row Your Boat -[Lyric Breakdown]

MY DIRT SHEET

~ enter Palace of Wisdom, if you are invited

MY DIRT SHEET

Tag Archives: life

SOUL Review

27 Sunday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 16 Comments

Tags

2020, adventure, animation, comedy, disney, drama, family, life, mature, pixar, review, spoiler, thought

“Life starts now.”

.

 

 

Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.

EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.

Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.

Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 

 

Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.

Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.

Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.

Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 

 

Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.

Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 

Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.

Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.

 

 

 

Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

WONDER WOMAN 1984 Review

22 Tuesday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 15 Comments

Tags

2020, action, adventure, dc comic, drama, fantasy, funny, life, love, period piece, review, spoiler, superhero, thought

“Wishes are free, but you have to pay for everything else.”

 

 

 

Harga dan impian punya kesamaan. Semua orang punya. Setiap orang pasti memiliki keinginan, dan setiap orang tentulah rela untuk membayar sejumlah ‘harga’ demi keinginan dan impian mereka bisa terpenuhi. Sekuel Wonder Woman yang kembali digarap dengan sangat cakep oleh Patty Jenkins akan ngasih tau kita sedikit banyak tentang ‘keinginan’ dan ‘harga’ tersebut. Bahwa seringkali harga yang kita bayar terlalu tinggi, padahal sesungguhnya yang kita miliki dalam hidup sudah cukup.

Film ini dibuka dengan adegan di Pulau Amazon, saat Diana kecil ikut kompetisi obstacle-course ala Benteng Takeshi  Ninja Warrior. Opening ini penting untuk dua hal; menyambut kita dengan aksi menghibur yang seru, serta melandaskan karakter Diana yang naif. Membuild up konflik personal yang nantinya memegang peranan penting dalam keseluruhan arc Wonder Woman dalam film ini. Karena reaksi Diana Kecil terhadap kegagalan dan kekalahannya di kompetisi ini akan terefleksi dan jadi ‘sin’ utama karakternya.

Seringkali kita mengarang kebohongan, karena kita tidak menerima kenyataan. Kita ingin lebih dan merasa tidak cukup dengan yang kita dapatkan sekarang. Kita mengambil jalan pintas, demi memenuhi keinginan untuk mendapatkan yang lebih baik. Keinginan yang tak akan pernah terpuaskan. Satu jalan pintas akan berkembang menjadi lebih banyak jalan pintas. Sampai akhirnya kita tersesat di sana. Melupakan siapa sebenarnya diri kita. Dan itulah harga tertinggi yang akan kita bayar.

 

Wonder Woman 1984 memang lebih banyak bermuatan drama ketimbang aksi. Namun film ini tidak gagal dalam menampilkan babak kehidupan Diana Prince sebagai superhero. Ceritanya justru semakin menarik karena berani memperlihatkan seorang pahlawan super yang vulnerable. Yang gak semena-mena kuat. Sosok Wonder Woman di sini terasa semakin manusiawi, karena kita dibimbing untuk mengenali karakternya, memahami keinginannya, dan melihat kelemahan. Bagaimana pun juga cerita superhero tetep saja adalah cerita tentang seorang person. Penggalian person inilah yang berhasil dilakukan maksimal oleh Jenkins. Jadi film ini enggak sekadar bak-bik-buk menghajar musuh, melainkan juga bahkan tokoh musuhnya diberikan kesempatan untuk tampil relatable dan manusiawi.

Tentara Arab kalah karena mereka be like ‘Astaghfirullah haram-haram’ sambil tutup mata

 

 

Fokus cerita adalah di tahun 80an saat fanny pack masih jadi hot fashion item. Diana Prince hidup di tengah-tengah khalayak Washington D.C. Di sela-sela kesibukannya bekerja sebagai peneliti benda-benda bersejarah dan menjadi pahlawan pembasmi keributan di kota, Diana diperlihatkan sebagai seorang yang kemana-mana sendirian. Diana kurang membuka diri, karena ternyata dia masih belum bisa move on dari Steve yang gugur di film pertama. Saat Dreamstone – kristal pengabul permintaan yang jadi sumber masalah film ini – ditemukan, Diana tak pelak langsung secretly make-a-wish Steve hidup kembali. Permintaan Diana ini terkabul, tapi dengan ‘bayaran’ kekuatan supernya perlahan memudar.

Sementara itu, ada dua karakter lagi yang meminta kepada Dreamstone. Dua karakter yang bakal jadi musuh utama Wonder Woman di sini. Pertama adalah rekan kerja Diana, perempuan kikuk dan cupu bernama Barbara Minerva (Kristen Wiig charming dalam peran-peran kayak gini). Minerva meminta untuk menjadi keren seperti Diana. Permintaan yang terdengar inosen, sayangnya Minerva gak tau kalo Diana itu pahlawan superpower. With great power, comes great responsibilities. Minerva mana siap. Minerva jadi orang yang angkuh dengan kekuatan barunya, dia tidak lagi ceria dan bersahabat. Penjahat kedua adalah seorang bintang televisi sekaligus pengusaha minyak, Max Lord (Pedro Pascal memainkan seorang con-man yang licin). Diremehkan seumur hidup, membuat pria ini pengen jadi yang terbaik; bagi dirinya dan bagi putranya. Jadi dia mengubah dirinya menjadi Dreamstone. Membuatnya bisa mengabulkan permintaan semua orang, sekaligus menagih bayaran apapun yang ia mau untuk memuaskan keinginannya atas kuasa. Di bawah kekuatan Max Lord, dunia kacau terancam WW84 (World War 84! hihi), sedangkan Diana terus melemah karena gak rela kehilangan sang pacar untuk kedua kalinya.

Aku bisa melihat SJW-SJW di seluruh dunia bakal sinis sama film ini. Kayaknya Wonder Woman 1984 ini bakal bernasib sama dengan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018), dalam hal filmnya bagus tapi gak banyak yang berani terang-terangan memuji. You know, karena gak sejalan dengan agenda feminis kekinian. Suzzanna Luna Maya adalah drama horor yang manusiawi tapi gak banyak yang bicarain karena protagonisnya adalah seorang wanita perempuan yang rela hidup sebagai hantu untuk bisa terus bersama suami. Sedangkan Wonder Woman 1984 ini, Diana Prince-nya dibuat sebagai seorang perempuan yang gak bisa move on dari cowok; perempuan adidaya yang sempat rela menukar kekuatannya demi cinta. People will certainly quick to criticize that. Padahal mestinya dipahami dulu konteks journey Diana pada film ini. Sikapnya itu sebenarnya justru adalah ‘dosa’nya. Sesuatu yang harus Diana perbaiki sebagai bagian dari resolusi cerita mengenai kebenaran yang harus dihadapi.

Jalan keluar segala kekacauan dalam cerita ini adalah dengan membatalkan permintaan. Terdengar memang simpel dan gampang. But is it tho? Apakah segampang itu bagi Diana untuk membatalkan permintaannya; membuat Steve pergi lagi dari dirinya? Apakah semudah itu bagi Minerva untuk berhenti kuat dan keren sebagai Cheetah dan kembali menjadi dirinya yang cupu? Apakah seenteng itu bagi Max Lord membatalkan semua yang ia dapat, setelah semua kekuasaan itu? Cerita film ini adalah soal menghadapi kebenaran. Untuk mengenali bahwa bukan hanya kita yang menderita. Semua orang punya derita dan kesusahan masing-masing. Jadi cukuplah minta lebih banyak daripada orang lain. Menyadari itu sungguh bukanlah hal yang mudah bagi siapapun. Inilah tantangan bagi film ini. Harus membuat bagaimana membatalkan permintaan itu jadi sesuatu yang benar-benar tampak sulit dan berat bagi karakter. Makanya film ini butuh dua jam lebih. Ketiga karakter sentral yang sebenarnya sama-sama gak mau menatap kebenaran dibahas pelan-pelan, diberikan ruang untuk kita mengerti mereka. Dan pada beberapa memang efektif. Kita dapat merasakan emosi pada Wonder Woman dengan pengadeganan dia lari lalu terbang (adegan Wonder Woman belajar terbang sendiri on-the-moment itu beautiful sekali), kita juga dapat gejolak emosi ekstra ketika film membahas backstory Max Lord. Kita merasakan beratnya kembali itu bagi para penjahat yang selama ini sudah menderita.

Cerita begini menuntut range yang luas dari para pemerannya. Bagi Gal Gadot, memang ini kesempatan emas yang tak ia lewatkan. Wonder Woman udah kayak mendarah daging baginya. Gadot exceptionally excellent pada akting yang menuntut permainan fisik; dia udah buktiin ini di film pertama, dan menunjukkannya sekali lagi pada sekuel ini. Tantangan baru di sini baginya adalah menampilkan Wonder Woman yang menangis, yang merasa kalah. Dan akting emosional itu pun berhasil dimanuveri olehnya. Saat bercanda pun, karakternya come off sebagai natural, timingnya kayak mengalir aja. On top of that, karakter Gadot ini menguar kharisma. Detil-detil kecil bagaimana dia membawa diri, bagaimana orang-orang memperhatikannya, turut membangun karakternya. Like, beginilah seharusnya seorang tokoh superhero, gitu.

Lassonya bukan hanya untuk kebenaran, tapi juga untuk eksposisi

 

 

Sedari film pertama memang Jenkins mengarahkan ini dengan perhatian khusus terhadap detil-detil kecil.  Momen-momen kecil itulah yang justru membuat film ini terasa hidup. Seperti misalnya menggunakan pakaian sebagai hook untuk elemen drama. Lihat secara subtil film letakkin cheetah pattern di mana-mana, diam-diam membangun sosok si Cheetah. Ataupun misalnya pengadeganan seperti Diana dan Steve yang berjalan-jalan di kota, dengan kondisi ‘terbalik’ dari film yang pertama, karena sekarang Steve yang seperti fish-out-of-water; terkaget-kaget melihat seni, lifestyle, dan teknologi tahun 1984. Lalu sepertiga akhir, adegan ini circle-back lagi, kali ini mereka jalan dengan kota yang chaos. Jadi, Jenkins mengembangkan bukan hanya karakter tapi setting dalam detil-detil kecil tersebut. Adegan aksi atau berantemnya pun terasa berbeda satu sama lain, berkat detil-detil. Adegan berantem pertama di Gedung Putih, akan berbeda banget dengan adegan berantem kedua beberapa menit berikutnya, karena detil dan cerita karakter yang membedakan.

Ngomong-ngomong soal berantem, meskipun aku kurang puas karena terlalu singkat, tapi aku suka adegan big fight antara Wonder Woman dengan Cheetah. Environmentnya memang gelap untuk nyamarin CGI, tapi juga dimanfaatkan oleh film untuk menciptakan detil visual yang tampak wah. Aku suka lasso dan kabel listrik yang dikontraskan. Jubah emas Wonder Woman keren, kita melihat pov shot saat berantem dengan kostum ini, but mainly kostum ini dimanfaatkan untuk ‘teaser’ aja, karena there’s no way fungsi kostumnya gak diperlihatkan semua.

Approach Jenkins buat film ini kayaknya memang supaya tampak seperti cerita film kartun. Resolusi yang simpel, begitu pula awal masalahnya. ‘Cuma’ kristal ajaib entah darimana. Memang konyol, tapinya lagi, memang begitulah cerita superhero di kartun-kartun. Selalu ada ‘benda asing’ atau hal kecil lain yang jadi pemicu kehancuran dunia. Tapinya lagi, di film kedua ini, approach yang dipake itu sering juga menimbulkan adegan-adegan yang kontras dengan ‘manusiawi’ yang diincar oleh film. Alias ada beberapa adegan yang tampak dipaksakan masuk, karena cheesy ataupun karena hanya disinggung sekali itu saja. Misalnya seperti adegan di pesawat tak-kelihatan. Ya, ini disamain dengan komik karena aslinya Wonder Woman memang punya invisible jet sebagai kendaraan. Namun cara film ini memperkenalkan kendaraan itu kurang memuaskan. Tiba-tiba saja Diana punya kemampuan menghilangkan itu, dan tidak pernah dipakai lagi dalam adegan-adegan lain.

 

 

 

 

Kalo mau dibandingin, film ini memang tidak sesolid Wonder Woman yang pertama (2017) Ada beberapa bagian yang terasa dihadirkan gitu aja, yang kesimpelannya membuat film terasa lebih ringan dan kecil dari yang diharapkan. Jenkins masih mempertahankan keunggulan penceritaannya seperti memanfaatkan detil-detil kecil untuk karakter, adegan aksi yang fun dan memikat, serta tentu saja penampilan Gal Gadot yang kali ini dituntut untuk semakin ‘lincah’. Satu lagi yang menurutku nilai plusnya adalah, Jenkins sedari film awal tidak pernah terjebak untuk menjadikan superhero cewek ini sebagai agen feminis yang lebay. Tidak terasa film yang agenda-ish atau film dengan kepentingan tertentu. Melainkan fokus ke cerita yang memanusiakan tokoh-tokohnya. Cerita ini malah jadi relatable karena tentang cinta dan menerima kehilangan, yang tak pelak relevan untuk ditonton di tahun 2020 yang penuh musibah ini. Bisa membantu kita untuk tetap kuat, mau itu cewek ataupun cowok.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for WONDER WOMAN 1984.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Dreamstone mengabulkan permintaan, tapi dengan biaya berupa mengambil hal terpenting pada hidup kita. Jika kalian menggunakan Dreamstone, apakah kalian bisa menerka kira-kira apakah yang diambilnya dari hidup kalian? Kenapa?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

SOUND OF METAL Review

18 Friday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, drama, festival, health, life, love, mature, Music, review, spoiler, thought

“Hearing loss is less about hearing and more about understanding”

 

 

 

 

Bayangkan kalian mendedikasikan diri untuk menggeluti satu bidang, dan kemudian berhasil di sana, lalu tiba-tiba semua itu direnggut dari kalian. Tentunya sangat devastating. Tapi ternyata ada yang lebih mengenaskan daripada itu. Bayangkan, hal yang kalian geluti tadi itu, adalah satu-satunya hal yang bisa kalian jadikan pelarian. Bayangkan jika hal tersebut actually adalah sesuatu yang kalian butuhkan dalam perjuangan personal untuk menjadi lebih baik. Dan lalu kalian dirampas dari ‘pegangan’ tersebut.

Kehilangan seperti demikianlah yang persisnya menimpa Ruben dalam film Sound of Metal. Ruben yang seorang drummer band rock menemukan zona nyamannya di atas panggung. Ketika dia nampil bersama pacarnya, Lou. Mereka tinggal dalam minibus, sembari tur keliling kota. Heavy metal dan drum itu bagi Ruben bukan sekadar hobi. Melainkan caranya berjuang melawan kecanduan obat-obatan. Musik keras dan hingar bingar kehidupan di jalan adalah kehidupan baru Ruben sebagai seorang yang clean. Namun ‘pajak’ yang harus ia tanggung dari kehidupan semacam itu, dari eksposur terhadap suara-suara lantang setiap hari, sungguhlah berharga tinggi bagi Ruben. Pendengarannya, berangsur-angsur hilang. Memutuskan Ruben dari kehidupan lebih baik yang sedang coba ia bangun. Di dunia tanpa-suaranya kini, Ruben bagaikan anak kecil yang telanjang di tengah rimba. Helpless. Defenseless. Obat-obatan dapat dengan gampang menculiknya kembali.

Sound of Metal, meskipun bicara tentang tokoh yang kehilangan pendengaran, bijak sekali untuk tahu bahwa cerita seperti ini bukan semata soal bagaimana menyembuhkan pendengaran itu sendiri. Melainkan adalah soal membuka telinga untuk sebuah pemahaman yang lebih besar. Pemahaman untuk menerima sebuah kehilangan. Dan nyatanya, itulah yang membuat drama garapan Darius Marder ini begitu manusiawi.

‘New normal’ bagi Ruben

 

Film yang menyoal seseorang yang hidupnya dipaksa untuk berubah, seseorang yang harus kehilangan semua yang ia butuhkan dalam waktu singkat, akan gampang sekali untuk jadi sangat overdramatis. I mean, cerita begini tuh udah kayak taman-bermainnya drama tragis. Yang diset untuk membuat penonton lomba mewek dan mendorong lajunya penjualan sekotak tisu di pasaran. Di sinetron aja udah sering kan, cerita yang tokohnya tiba-tiba buta, atau tiba-tiba bisu. Ruben bisa saja jadi ‘sinetron’ dengan tokoh yang tiba-tiba tuli. Serius, sepanjang nonton ini aku udah bersiap-sipa nyumpahin kalo-kalo film belok ke arah ‘sinetron’. Kalo-kalo ada satu saja elemen cringe atau lebay. Tapi ternyata tidak ada. Dari awal hingga akhir tak ada. Dan aku senang sekali. Karena; amit-amit. Serius. Amit-amit kalo sampai begitu. Karena cerita dengan arahan seperti begitu tidak akan bisa menggapai dan berlaku hormat kepada karakternya. ‘Misi’ film seperti begini harusnya bukan untuk mempermainkan emosi penonton, melainkan justru memperlihatkan gambaran emosi yang manusiawi terkait persoalan yang terjadi kepada karakter. Gol minimum yang harus dicapai film ini, paling enggak, adalah untuk membuat kita bisa merasakan langsung seperti apa rasanya kehilangan pendengaran.

Marder achieves lebih banyak melampaui gol minimum tersebut. Sound of Metal di tangannya menjelma menjadi cerita yang benar-benar respek dan memanusiakan Ruben. Gak menye-menye maupun overdramatis. Marder telah membuat ini sebagai sebuah perjalanan karakter; sudut pandang yang menarik kita masuk. Membawa kita untuk berempati terhadap karakternya. Ya, lewat permainan sound design, kita jadi tahu langsung apa yang dirasakan oleh Ruben. Ketika Ruben kesulitan untuk mendengar, maka kita pun akan dibuat mendengar kehampaan yang sama. Dan ini bukan hanya soal suara berdering atau hanya ngemute menjadikan adegannya tanpa-suara. Marder enggak memanipulasi emosi lewat absennya suara. Melainkan bercerita dengan absen suara. Ada ritme. Marder membangun kontras sedari awal. Musik rock yang memenuhi setiap adegan, belakangan akan tergantikan oleh dialog-dialog yang teredam. Menimbulkan sensasi ‘kita ingin dengar lebih banyak, tapi tak bisa’. Persis inilah yang dirasakan oleh Ruben. Ketika intensitas naik bagi Ruben, film akan mulai menarik semua suara. Ketika Ruben seperti mulai menyerah, atau saat ia akan mengambil keputusan penting, film akan menampilkan kembali suara-suara percakapan. Membuat Ruben dapat mendengar lewat alat atau membuat lawan bicara Ruben bisa bicara dengan alat. Alias, sebenarnya saat itu Ruben ‘dipertemukan’ kembali dengan cara untuk mengembalikan pendengarannya. This fuels Ruben. Ini menguatkan konflik yang ada pada pertengahan cerita. Konflik saat Ruben masih memandang tuli itu sebagai sesuatu yang harus disembuhkan.

Actually, ini jadi salah satu poin penting yang dibicarakan oleh film. Babak kedua diisi oleh cerita Ruben yang tinggal di sebuah komunitas tuna-rungu. Bagi Ruben, ini adalah tempat untuk menyembuhkan dirinya. Padahal justru merupakan tempat untuk membiasakan dirinya dengan kehidupan tanpa-suara. Kita akan melihat adegan-adegan Ruben diajarin ini itu. Menjalin relasi dengan para anggota; ada yang seperti Ruben kehilangan kemampuan mendengar secara tiba-tiba, ada yang sedari lahir. Kita melihat Ruben melihat anak-anak tuna rungu belajar berkomunikasi, lalu lantas dia sendiri juga belajar bahasa-isyarat. Tempat rehab ini terlihat ramah dan menenangkan, tapi kita bisa melihat Ruben justru tidak melihatnya seperti itu. Di titik ini, Ruben masih belum berdamai dengan keadaannya. Dia percaya bisa sembuh dari yang ia anggap penyakit, sebagaimana dia bisa sembuh dari candunya. Menarik cara film mengomunikasikan argumen bahwa sebenarnya tuli itu sendiri tidak pernah dianggap sebagai penyakit yang harus disembuhkan bagi para pengidapnya. Melainkan tak lebih sebagai ‘cara lain dalam menempuh hidup’. Inilah yang ultimately harus dipelajari oleh Ruben.

Bahwa dengan kehilangan pendengaran, tidak berarti seseorang kehilangan hidup. Melainkan hanya hidup di dunia dan gaya yang baru. Kepositifan orang-orang di komunitas itulah yang dijadikan poin vokal oleh film ini. Gak semua masalah selesai dengan uang, karena dua hal. Uang tidak menjamin, ataupun memang tidak ada masalah. ‘Hanyalah’ soal pemahaman dan penerimaan kita terhadap kondisi.

 

Saat belajar skenario, biasanya kita dikasih tahu untuk merancang kehidupan tokoh utama. Mulai dari ia kecil, hingga ke momen yang akan jadi periode cerita pada film. Rancangan atau karangan kehidupan karakter inilah yang jadi backstory, yang semakin memperkuat karakterisasi tokoh utama yang kita tulis. Backstory tersebut tidak mesti terpampang pada film, tapi harus tersampaikan garis besarnya, supaya penonton bisa mengenali karakter dan bersimpati kepadanya. Backstory Ruben dalam cerita Sound of Metal berperan besar terhadap konflik yang harus ia lalui. Penceritaan yang dilakukan oleh Marder sungguh berhasil menuturkan backstory itu semua tanpa membuat film menjadi bertempo lambat ataupun membuat ceritanya jadi melanglang buana. Marder dengan efektif membuat kita mengerti. Semua hal yang perlu kita ketahui sebagai elemen emosional bagi Ruben dengan sukses tersampaikan. Misalnya, film masih ingat (dan sempat) untuk membahas kenapa pekerjaan sebagai drummer rock itu penting bagi Ruben. Begitupun soal makna dari hubungannya dengan Lou; apa peran Lou sang kekasih itu di hidup Ruben. Semua itu terbahas, menyatu dalam plot-plot poin cerita sehingga keseluruhan narasi film ini terasa sangat padat. Dan somewhat feels real.

“Plok! Plok! Plok!” adalah bunyi metal yang baru

 

Porsi terakhir dari ulasan ini khusus kudedikasikan untuk penampilan akting Riz Ahmed, yang luar biasa emosional – tanpa perlu berteriak-teriak – sebagai Ruben. Supaya cerita yang memfokuskan kepada personal dan kepribadian Ruben ini bisa berhasil, tentu beban itu tersandarkan kepada pemerannya. Tantangan bagi Ahmed di sini adalah menemukan titik-seimbang untuk penonton dapat merasakan emosi karakternya. Titik-seimbang di antara drama soal kehilangan pendengaran yang gak semua orang bisa langsung terkonek, dengan drama tentang manusia yang berusaha menerima kenyataan. Ahmed berhasil, buktinya kita mengerti dan berempati pada setiap keputusan yang diambil oleh Ruben, entah itu soal dia bersikukuh mencari uang untuk operasi, atau ketika dia memilih keluar dari komunitas dan kembali kepada Lou.

Ahmed mengerti bahwa yang diincar sutradara adalah untuk tidak membuat tokohnya ini tampil seperti minta dikasihani, atau mengasihani diri sendiri. Dan sebaliknya, juga tidak ingin tampak seperti sosok yang sempurna bagi kita. Jadi apa yang dilakukan Ahmed untuk mewujudkan semua itu? Permainan emosi. Ahmed membawa kita menyelami reaksi Ruben saat berjuang menerima kenyataan pendengarannya tak akan pernah kembali. Karakter ini tidak dimainkannya sebagai tokoh yang bersikap kasar, ataupun suka berteriak, tapi kita masih tetap merasakan gejolak emosi dan marah dan gak-terima itu di balik dirinya. Ia menggunakan bahasa tubuh dan gerakan mata, terutama saat adegan-adegan dia mengobservasi lingkungan komunitas, sehingga arc Ruben dapat tersampaikan dengan utuh. This is one top level performance. Yang aku dengan sangat senang hati melihatnya mendapat ganjaran piala. Lihat saja adegan fenomenal di ending. Kalo itu tidak memberikan dorongan semangat dan menginspirasi kita untuk berdamai dengan kenyataan, untuk mensyukuri yang terjadi sebagai lanjutan kehidupan; maka aku gak tau lagi yang menginspirasi itu seperti apa.

 

 

 

Dengan penggunaan sound-design, penampilan akting, dan arahan yang benar-benar respek menempatkan karakter sebagai identitas dan subjek – bukannya objek penderita – film ini berhasil menjadikan ini lebih dari cerita tentang orang yang kehilangan indera pendengar. Malahan membawa kita lebih dalam ke persoalan yang lebih relatable dan manusiawi. Menggambarkan dengan penuh hormat bagaimana susah dan perlunya sebuah acceptance terhadap situasi. Beberapa penonton mungkin akan menganggap film ini berat – inner journey Ruben memang demikian kompleks – tapi film ini gak akan bikin bingung. At the end of the movie, kita gak akan dibuat bertanya balik “apa itu tadi?” Percayalah, saat menonton film ini, berat itu ada tapi berat karena konflik karakter, tidak menghambat sama sekali bagi pengalaman menonton. Dan di akhir itu, oh percayalah, kita semua akan merasakan beban itu terangkat sudah dengan perasaan yang sangat melapangkan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for SOUND OF METAL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Aku pernah membaca bahwa ternyata penyandang disabilitas pendengaran malah lebih suka disebut tuli ketimbang dengan sebutan tuna rungu. Menurut kalian, kenapa?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

MANK Review

14 Monday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, biopic, comedy, drama, filmmaking, funny, life, love, netflix, real-person, review, spoiler, thought

“Your job is to tell your story”

 

 

 

Diberikan kendali penuh atas semua keputusan kreatif cerita dalam sebuah pembuatan film sudah barang tentu merupakan mimpi basah setiap penulis naskah. Herman Mankiewicz, penulis naskah veteran di Hollywood tahun 40-an, kecipratan hak istimewa itu saat ditunjuk untuk berkolaborasi oleh produser muda Orson Welles. Di tengah-tengah Studio yang lagi struggling, Welles diberikan otonomi khusus untuk membuat film, dan Mank – panggilan Mankiewicz – yang terkenal karena talentanya, oleh Welles, diperbolehkan menulis apapun. Cerita apapun yang menarik. Dalam batasan waktu dua bulan. Asalkan, Mank setuju namanya tidak dicantumkan pada kredit. Sebagai seorang yang vokal terhadap kritik sosial, Mank setuju karena dia punya banyak observasi terhadap keadaan khususnya Hollywood saat itu. Namun keadaan memperlihatkan cerita yang sedang ditulis ternyata personal bagi Mank. Terlalu personal malah. Dan kejadian hasilnya, adalah sejarah dalam dunia perfilman.

Bagi penonton yang baru melek ke dunia, skenario cerita yang dimaksud oleh film ini adalah skenario Citizen Kane (1941). Film yang dipertimbangkan banyak kritikus dan penikmat sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat. Yang pernah ditulis. Film yang benar menggambarkan resesi setelah Great Depression yang melanda seantero Amerika. Mankiewicz dan Welles diganjar Oscar untuk film ini. Makanya film Mank yang dibuat oleh David Fincher ini enggak bisa lebih menarik lagi. Setidaknya sangat menarik bagi para penggemar dan pemerhati sinema. Karena Fincher menawarkan kita tempat duduk paling depan pada rangkaian peristiwa yang mendasari bagaimana film Citizen Kane itu bisa tercipta. Kita akan melihat insipirasi penciptaannya, langsung dari sudut pandang Herman Mankiewicz sendiri. Langsung, dari sosok yang terkenal bukan hanya lewat talenta tapi dari pemikiran dan aksinya yang kontroversial, bahkan untuk standar Hollywood itu sendiri.

Also it’s all very weird to me, karena selama ini ‘Meng’ buatku konotasinya adalah ‘pegulat dengan reputasi paling ditakuti bahkan oleh sejawatnya’

 

 

Tadinya kupikir, cerita film ini akan menarik karena berhubungan dengan batasan waktu. Dua bulan yang diberikan untuk Mankiewicz menulis, ditambah dengan kondisinya yang udah tua tapi tetep ngebut minum – dan rintangan tambahan berupa kaki Mankiewicz yang digips karena kecelakaan mobil, effectively membuat dia ‘terikat’ di tempat tidur, kukira akan dijadikan sebagai rintangan utama dalam proses kreatif menulisnya. Aku salah telah meragukan kehebatan sosok legenda Hollywood tersebut. Bagi Mankiewicz dalam film ini, itu semua bukan halangan untuk menulis. Namun lantas jika begitu, di mana letak konflik film Mank ini? Mankiewicz itu sendirilah yang membuat film ini jadi punya konflik yang menarik.

Mank juga bukan cerita tentang kejatuhan seorang penulis. Sedari awal film ini dimulai, kita sudah melihat karakter ini yang ‘bermasalah’. Toh dia sendiri sadar masa jayanya sudah hampir lewat. Kita bisa melihat meskipun orang-orang film di sekitar Mankiewicz menghormati dia karena ilmu dan kepandaiannya menulis, tapi orang-orang itu juga melihat Mankiewicz sebagai semacam bom waktu yang tau-tau bisa meledak. Dan tak ada yang sudi meledak bersamanya. ‘Penyakit’ candu alkohol dan lidah tajam Mankiewicz-lah yang jadi konflik dan hambatan dalam cerita ini. Citizen Kane yang ia bikin nantinya juga bukan tanpa kontroversi, sebab tokoh-tokoh di dalam film tersebut seperti tampak ditulis berdasarkan pada komentar atau pandangan Mankiewicz terhadap karakter-karakter yang berhubungan dengannya. Yang tidak semua dari mereka suka untuk terseret dalam pandangan Mankiewicz yang berani menyulut kontroversi.

Lewat naskah yang ditulis oleh mendiang ayahnya, David Fincher dengan berani memuat itu semua. Jika film-film biopik biasanya akan bersikeras untuk memperlihatkan sisi terbaik dari tokoh nyata yang sedang dibicarakan tersebut, maka Mank justru dengan bangga memperlihakan semua hal, termasuk saat-saat dia yang paling bobrok. Dalam film ini kita justru diminta untuk memahami seorang penulis tua yang seharian di tempat tidur, diam-diam minum alkohol, di lain waktu dia flirting dengan perempuan walaupun dia sudah menikah. Dia bahkan enggak sedewa itu dalam urusan perfilman; aku ngakak ketika dia menyumpahi The Wizard of Oz. And oh btw, dia menyebut istrinya dengan panggilan ‘Poor Sara’ haha bayangin. Fincher sepertinya ingin menubrukkan itu dengan latar Hollywood yang sebenarnya jadi komentar khusus. Bukan untuk memilih ‘the lesser devil’, melainkan karena justru si Mankiewicz yang dipandang sinis karena komentar dan tabiatnya itulah yang berani mengkritisi dan vokal terhadap arahan dunia kerjanya saat itu.

Film ini bertutur secara bolak-balik. Antara Mankiewicz di tempat tidur, yang dikejar deadline naskah, dengan Mankiewicz muda yang mengarungi studio-studio hitam putih Hollywood – berinteraksi dengan rekan kerja dan orang-orang film sekalian. Gips di kakinya itu yang bisa dijadikan pegangan jika kalian menemukan kesulitan untuk memahami mana Mankiewicz yang mana. Karena transisi yang dilakukan film ke dua periode tersebut sangat mulus. Konteks sebenarnya jelas. Mank bakal terflashback setiap kali akan menulis, karena dari pengalamannya itulah dia menarik cerita. Dan kita pun gak perlu menonton Citizen Kane terlebih dahulu sebelum bisa mengerti apa yang ia tulis. Sebab film benar-benar memanfaatkan sekuen-sekuen flashback itu untuk menghidupkan gambaran, memusatkan perhatian kita pada apa yang diperhatikan oleh Mankewicz. Sejarah dunia sinema terpapar gamblang di sini. Fincher bicara banyak soal politik di balik tembok-tembok studio. Bagaimana film dijadikan agenda kampanye. Dijadikan propaganda. Bagaimana studio-studio gede seperti MGM terpengaruh keuangannya oleh Great Depression. Ultimately, bagaimana itu semua membentuk iklim perfilman saat itu.

Mankiewicz punya concern terhadap itu semua. Seperti juga halnya dengan Fincher yang tampak punya peduli terhadap perfilman saat ini. Kini otonomi, atau kendali-kreatif itu sudah jadi bahkan lebih langka lagi bagi para pembuatnya. Karena studio atau PH sudah benar-benar ingin mengatur ‘produk’ yang mereka jual. Film sekarang dijaga ketat agendanya, tampilannya, bahkan jadwal penayangannya. Mank sendiri ‘terpaksa’ harus tayang di Netflix setelah cukup lama luntang-lantung mencari tempat yang mau menayangkan. Padahal setiap film mestinya adalah kisah personal. Dan pekerjaan film mestinya menceritakan kisah-kisah tersebut.

 

Menonton film ini mengingatkanku kepada dua film yang kutonton baru-baru ini; Black Bear (2020) karena sama-sama memperlihatkan proses kreatif menulis, dan Tenet (2020) karena kedua film ini sama-sama menakjubkan secara teknis. Hanya saja, sayangnya, Mank lebih mirip Tenet dalam pencapaian keseluruhan.

Magic film-film zaman sekarang adalah waktu beli tiket kayaknya penuh, tapi pas di dalam studio ternyata sepi

 

 

Penonton yang benar-benar awam, I mean, orang yang jarang banget nonton film – yang gak tau – apalagi yang gak apal aktor-aktor, niscaya akan percaya film ini adalah film jadul beneran. David Fincher paling berhasil di aspek ini. Tampilan Mank didesain selayaknya film 30an. Hitam-putih, tapi bukan hitam-putih tegas melainkan dengan kualitas yang jernih sehingga adegan-adegan flashback terkesan kayak dreamy, atau benar-benar dari ingatan. Visual hitam-putih itu dihadirkan lengkap dengan efek seperti retakan sekilas pada frame, dan ‘cigarette burns’ yang memang hanya ada pada film-film jadoel yang masih menggunakan film reel.

Pengadeganan pun dibuat sama persis dengan film-film 30an seperti misalnya komposisi; background film dibuat kontras dengan foreground (terlihat saat adegan naik mobil), atau juga shot-shot yang mengontraskan cahaya kepada karakter, sehingga menimbulkan garis siluet. Film modern yang warnanya udah full hd mana ada lagi yang menggunakan teknik itu. Fincher juga kerap membiarkan sebuah adegan terdiam dahulu untuk beberapa detik, memberi waktu kepada kita untuk mencerna dialog-dialog panjang yang mengisi adegan, untuk kemudian ngezoom ke karakter dan perlahan fade out. ‘Ilusi’ ke era jadul itupun turut diperkuat dengan artistik yang meyakinkan. Yang bahkan semakin diperkuat lagi dengan permainan peran dari para aktor seperti Gary Oldman (menyaru sempurna banget ke dalam sosok Mank), Lily Collins dan Amanda Seyfried (suka lihat tampang klasik merekaaa), Tom Burke dan Charles Dance dan masih banyak lagi yang interaksinya dan mannerismnya meyakinkan.

Semua aspek teknis film ini, seperti Tenet, sungguh mencengangkan. Gak heran nanti kalo ada unsur-unsur film Mank yang nyangkut di Oscar. Namun seperti masalah yang ada pada Tenet, film ini pun tetap saja terasa hampa. Padahal penokohannya ditulis dengan lebih baik. Aku juga bisa mengerti konteks ceritanya. Situasi dan settingnya adalah informasi yang menarik mengenai sejarah dalam dunia perfilman. Dan itulah masalahnya. Film ini terasa lebih kayak rangkaian informasi-informasi ketimbang sebuah perjalanan karakter. Dialog-dialognya memang menarik tapi kita tidak terasa tersedot masuk. Kita hanya menyaksikan saja. Kita tidak terinvest kepada karakter, karena stake waktu tadi basically dibilang enggak susah bagi karakternya, dan hanya itulah yang dipunya cerita ini untuk membuat kita terikat secara emosional kepada karakternya. Di sepertigaan akhir, ada usaha dari film menampilkan adegan yang bertujuan untuk membuat kita merasa semakin simpati – inilah bagian paling rendah dalam karir dan kehidupan profesional Mankiewicz – hanya saja dengan absennya sesuatu yang nyata yang bisa terenggut darinya, kita gak bisa bertambah simpati. Malah yang ada, adegan tersebut tampak cringe.

Simpelnya, film tidak membangun pertaruhan bagi Mankieweiz. Kalo dia gagal, dia tidak kehilangan apapun. Stake harga diri juga tidak terbangun. Karir Mank tidak pernah diperlihatkan terancam, karena sedari awal tokohnya sendiri sudah menepis dengan percaya masa emasnya sudah lewat. Jadi ini adalah karakter yang nothing to lose. Susah untuk terinvest ke karakter seperti ini. Bahkan saat debatnya minta masukin nama di kredit Citizen Kane pun kita tidak pernah benar-benar merasa mendukung tuntutannya tersebut. Adegan yang berfungsi selayaknya ‘final fight’ itupun tak jadi begitu dramatis.

 

 

 

Alih-alih surat cinta kepada perfilman jadul, film ini lebih mirip seperti cermin yang diberikan sutradara karena cinta dan pedulinya terhadap perfilman modern. Karena dari film ini kita bisa belajar banyak. Entah itu peristiwa dan situasi perfilman era 30-40an. Ataupun juga belajar dari gambaran proses produksi film pada era tersebut. Penonton yang cinta dan ingin belajar lebih banyak tentang perfilman, perlu untuk menonton film ini. Toh memang tidak digarap main-main. Aspek teknis dan unsur-unsurnya juara. Masalahnya cuma, film ini meskipun karakternya menarik dan kadang cukup lucu, tidak benar-benar terasa seperti perjalanan karakter. Film ini lebih seperti buku pelajaran, yang gak gampang untuk dibaca berulang-ulang.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANK.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Setelah menonton Mank, apa perbedaan dan persamaan antara perfilman sekarang dengan perfilman tahun 1930 menurut kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HAPPIEST SEASON Review

12 Saturday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2020, christmas, comedy, drama, family, funny, LGBT, life, love, review, romance, spoiler, thought

“When you wait for the right time, you’ll never know when it’s already too late”

 

 

 

Natal, bagi yang merayakannya, adalah waktu yang membawa kebahagiaan. Bukan semata karena natal punya suasana yang meriah dengan segala hiasan rumah, lengkap oleh hadiah-hadiah. Melainkan lebih karena natal adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul bareng keluarga besar tercinta. Merayakan sesuatu yang diyakini bersama, sehingga perbedaan-perbedaan kecil di antara anggota bisa dilupakan setidaknya untuk beberapa hari.

Abby juga merencanakan natal untuk dijadikan sebagai momen yang istimewa. Dia ingin melamar perempuan bernama Harper yang sejak lama menjadi kekasihnya di hari natal. Karena natal tahun ini, Abby diundang untuk merayakannya bersama keluarga Harper. Namun apa yang bagi Abby tampak seperti waktu yang tepat, ternyata tidak demikian bagi Harper. Yang sama sekali belum buka suara apa-apa terhadap hubungan mereka berdua kepada keluarganya yang lagi sibuk dalam masa-masa kampanye politik. Sehingga Abby malah harus merayakan natal dengan berpura-pura sebagai sahabat Harper. Awalnya memang lucu melihat ayah dan ibu Harper memperlakukan Abby sebagai anak yatim-piatu yang malang, juga melihat Harper dengan saudari-saudarinya semacam saling berkompetisi untuk jadi ‘anak teladan’. Namun kelamaan Abby merasa semakin terkecilkan. Asmara masa lalu Harper pun mencuat ke permukaan, membuat Abby mulai meyakini bahwa ini mungkin adalah saat yang tepat baginya untuk meninggalkan Harper.

Abby harus masuk ke closet sekali lagi

 

Happiest Season boleh jadi tercetak dalam formula rom-com yang udah biasa. Kita dapat dengan jelas arah plotpoin-plotpoinnya. Bukan berarti suatu film yang ngikut formula itu jelek. Karena ini seringkali adalah masalah bagaimana sutradara meniupkan ruh ke dalam formula-formula cerita tersebut. Dan Happiest Season menjadi lebih spesial. Film ini berbeda, bukan hanya karena ini adalah rom-com tentang pasangan lesbian. Melainkan karena film ini adalah kisah cinta pasangan lesbian, sekaligus film natal; dua hal yang membuat eksistensi film ini berjarak buat aku dan sebagian besar penonton, namun tak sekalipun jarak tersebut terasa menjauhkan kita terhadap ceritanya. Jika natal adalah suatu occasion yang mengundang semua orang merasakan keceriaan dan kebahagiaannya, maka sutradara Clea DuVall telah membuat Happiest Season serupa dengan spirit natal tersebut. Karena film ini adalah kisah LGBT yang mengundang semua orang untuk masuk, merasakan kehangatan dan hati yang tersimpan di balik lucu-lucuan.

Cerita tentang karakter LGBT memang selalu didesain untuk memberikan dorongan untuk sebuah equality. Empowering penonton yang relate untuk menjadi berani membuka diri, sementara pihak sekitar untuk menerima mereka tanpa membedakan. Namun seringnya film-film itu jadi malah tampil terlalu depressing. Penggambarannya dibuat terlalu berat, hanya supaya kita bisa lebih respek terhadap perjuangan yang karakternya lalui – untuk diakui, untuk tidak dikerdilkan. Dari yang sudah-sudah, kebanyakan film tentang hal ini memang jadi tampak terlalu sibuk dengan mengibarkan panji-panji agenda mereka, sehingga meskipun kita dapat mengerti bahwa perasaan dan perjuangan mereka itu beneran nyata, karakter-karakternya malah jadi tampak agak minta dikasihani. Bahwa yang mayoritas-lah yang harus mengerti dan ‘baik’ kepada mereka. Untuk come-out, misalnya, biasanya cerita akan menitikberatkan kepada lingkungan-sosial; bahwa yang sering ditilik adalah si protagonis susah untuk come-out karena lingkungan yang tidak mendukung.

Alih-alih memperkuat suasana yang mengukung dan menyibukkan diri membuat hal yang dilalui karakter LGBT sebagai suatu hal depressing yang spesial, DuVall membuat Happiest Season sebagai rom-com normal. Ceritanya ringan seperti sinetron, banyak kejadian lucu ala sinetron. DuVall membuat kisah LGBT ini menyenangkan. Elemen depressing, emosi yang manusiawi, dan pergulatan-diri yang real bukannya tidak hadir di dalam film ini. Mereka ada, sebagai identitas latar dan konflik karakter yang kuat menguar. Hanya saja, penceritaan film tidak menampilkan elemen-elemen itu sebagai ‘agenda’. Dan ini sesungguhnya tidaklah mudah; membuat film yang bermuatan sesuatu yang real dan sangat emosional menjadi tidak berat, malah cenderung menyenangkan, jelas bukanlah suatu desain yang mampu diciptakan oleh semua orang. Di sinilah letak keberhasilan DuVall dalam Happiest Season. Membuat film ini fun, layaknya nonton sinetron, tapi tidak sedikitpun kepentingannya terkurangi. Semua orang, literally semua orang, bisa terangkul menonton film ini dan gak akan merasa sedih saat berakhir, sembari tetap mengantongi pesan yang digaungkan oleh cerita.

Karakter-karakter film ini terasa benar sebagai subjek, tanpa ada perasaan mereka seperti minta dikasihani. Mereka tidak terasa seperti menuding ke luar. Memang, pihak keluarga di film jadi alasan untuk Harper gak berani mengakui dirinya pacaran sama Abby, dan gak tertarik sama cowok mantan pacarnya di SMA. Keluarga Harper ingin membangun citra yang baik, tidak mau menarik perhatian publik ke berbagai hal, mereka ingin terlihat perfect sebagai keluarga. Latar keluarga inilah yang membentuk Harper, dan dua saudarinya. Bagi Abby, however, ini tetap adalah persoalan perlakuan Harper terhadapnya. Konflik emosional itu tetap berpijak pada dua karakter yang saling cinta, tetapi ada satu yang jadi tidak berani menunjukkan hal tersebut. Pelajaran atau gagasan penting cerita tetap dipanggul oleh dua karakter ini; Abby dan Harper. Pelajaran berupa untuk tidak terlalu lama menunggu sementara juga untuk tidak terlalu memaksakan, yang terangkum lewat monolog yang empowering dari tokoh sahabat Abby.

Memaksakan sesuatu bisa bikin runyam, tapi sebaliknya tidak akan ada yang tahu kapan eksaknya ‘waktu yang tepat’. Kita hanya bisa menyadari kita tidak bisa terlalu lama untuk menunggu sesuatu karena di saat bersamaan orang lain juga tidak akan mampu berlama-lama menunggu kita. Inilah yang membuat pilihan itu menjadi susah, dan tindakan kita menjadi begitu berarti. Film Happiest Season memperlihatkan dorongan itu sebenarnya berasal dari dalam. Karena ketakutan kita terhadap sesuatu di luar seharusnya lebih kecil daripada cinta kepada orang-orang yang ada di dalam.

 

Cerita film ini memang tidak akan bekerja tanpa chemistry di antara para karakter. Terutama Abby dan Harper. Kristen Stewart dan Mackenzie Davis punya sekarung pesona dan chemistry sehingga kita sudah dibuat peduli terhadap kebersamaan mereka semenjak keduanya manjat atap rumah orang di awal film. Sehingga ketika mereka harus ‘pisah ranjang’ saat berpura-pura cuma teman, kita bisa merasakan itu sebagai halangan yang berat. Setidaknya bagi Abby. Karena kemudian, Harper yang diperankan Davis akan mulai menapaki karakter yang mendua – kadang dia akan terlihat nyebelin, dan kadang kita berusaha memakluminya. Di sinilah tantangan peran yang harus dilewati – dan terbukti sukses – oleh Davis, dan juga Stewart. Naskah, sayangnya, jadi sedikit goyah saat dinamika itu mulai melaju. Abby yang semakin terlihat unstable karena semakin kesepian – berkat adegan-adegan konyol yang ikut memojokkan dan memperlebar jaraknya dengan Harper, sementara Harper yang semakin sering juga terlihat apatis meskipun kita mengerti konflik dirinya juga emosional; naskah mulai tampak berpindah-pindah sudut pandang. Sehingga seperti ingin mengubah Harper sebagai tokoh utama di pertengahan akhir cerita.

Aku jadi pengen lihat Kristen Stewart dan Aubrey Plaza jadi lead di action-comedy

 

 

Semua permainan peran di sini tampak natural, meskipun karakter-karakternya agak over-the-top. Tokoh sahabat si Abby tadi misalnya, dia cukup bijak, tapi sebagian besar screen timenya digunakan untuk memperlihatkan dia comically gak bisa ngurusin ikan. Ataupun soal dia punya pelacak yang bisa membuatnya tahu seseorang ada di mana – ini jadi device naskah untuk memungkinkan para karakter bisa saling ketemu tanpa memperpanjang waktu. Tadi aku sempat menyinggung film ini mirip sinetron. Dan hal tersebut boleh jadi sekaligus juga sebagai pembawa kejatuhan nilai film ini buat kita. Karena elemen-elemen sinetron dalam narasi memang kerap seperti membuat keseluruhan naskah kayak ada rongga-rongga yang memperlemah fondasinya. Akan ada banyak klise kayak karakter kebetulan bertemu di jalan atau di kafe, ada hal-hal komikal seperti ribut di depan umum. Yang semua itu sebagian besar tampak seperti untuk memudahkan cerita. Hal-hal begini mestinya bisa dikurangi, karena fun dan menghibur itu sudah tercapai lewat karakter-karakter yang menambah banyak kepada warna-warni cerita.

 

 

 

 

 

Meskipun mengangkat topik yang cukup berat dan highly relevan dengan kehidupan sosial sekarang, film ini berani tampil apa adanya. Dia mengutamakan untuk tampil ceria sehingga bisa merangkul banyak orang. Sehingga jadi unik, dalam dua sudut pandang; film LGBT yang fun dan gak depressing, atau film rom-com yang penuh hati dan punya isi yang berbeda. Sehingga kita bisa bersenang-senang menonton sembari bisa tetap aware sama permasalahan yang ada. Dihidupi oleh karakter-karakter menghibur, yang dimainkan oleh jajaran cast yang sangat fleksibel antara mainin komedi dengan drama. Beberapa adegan terlampau receh, dan mestinya bisa lebih baik lagi dituliskan. Menyatukan depressing dengan fun, memang tidak gampang, tapi pencapaian film ini sudah lebih dari lumayan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAPPIEST SEASON.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang keluarga yang menanamkan semangat kompetitif pada anak-anaknya, seperti keluarga Harper? Seperti apa kiranya ‘keluarga yang perfect’ dalam pandangan kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review

10 Thursday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 2 Comments

Tags

2020, dark, drama, festival, friendship, funny, life, love, mature, real event, review, satire, spoiler, thought

“The historical truth is composed of dead silence”

 

 

 

Diam terkadang bukan pertanda kuat, atau tegar. Melainkan, diam sederhananya bisa jadi adalah saat kita sedang ditekan. Dibungkam. Pemuda desa bernama Siman (Gunawan Maryanto totally deserved this year’s Citra) terpaksa harus mengistirahatkan kata-kata untuk selamanya ketika lidahnya dipotong. Siman yang penari itu telah melihat sesuatu yang tak mestinya ia ketahui. Ia menyaksikan kebohongan paling mutakhir dalam sejarah umat manusia. Yang Siman tak-sengaja lihat saat itu adalah syuting pendaratan ke bulan yang dilakukan oleh kru Amerika, di tanah Bantul Yogyakarta. Peristiwa itu mengubah hidup Siman selamanya. Lebih dari trauma, Siman justru tampak seperti bersikeras untuk tetap mengomunikasikan apa yang ia lihat. Sampai bertahun-tahun setelahnya, Siman bergerak lambat seperti astronot berjalan di luar angkasa. Ia juga membangun rumah dan kostum astronot, untuk ditunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya. Yang sayangnya, malah membuat Siman dicap sebagai ‘orang gila’.

Luar biasa memang imajinasi – dan celetukan kreatif – sutradara Yosep Anggi Noen ini. Dia membawa teori konspirasi yang paling santer hiruk-pikuknya di dunia itu ke Indonesia. Tentu saja karena Yosep Anggi Noen sendiri punya sesuatu yang ingin dia bicarakan terkait Indonesia. Tebak apa yang terjadi di negara kita sekitaran tahun pendaratan manusia di bulan? Ya, peristiwa pemberontakan PKI. Yang berekor pembantaian di tahun 1966. Di tahun itulah Siman dalam cerita ini hidup. Dua ‘fictions’ itulah yang diparalelkan oleh Anggi Noen dalam film panjang ketiganya ini. Dua peristiwa sejarah yang masih terus diperbedatkan benar-atau-tidak, nyata-atau-rekayasa. Selain menyaksikan hoax pendaratan bulan, Siman juga berada di tengah-tengah peristiwa penculikan dan pembantaian kerabatnya yang dicurigai simpatisan PKI. Siman dalam kejadian yang merenggut lidahnya itu adalah saksi, juga sekalian sebagai korban. Nah, sekarang coba, siapa pihak yang jadi saksi – sekaligus korban – dalam peristiwa pembantaian tahun 1966 itu?

Kalo Siman bisa ngomong (oh yeah) Sayang mereka tak bisa ngomong

 

 

Begitulah kira-kira Yosep Anggi Noen memposisikan cerita ini. Memahami posisi tersebut penting bagi kita. Supaya kita dapat, setidaknya, mengenali konteks atau gambar besar film. Karena, olala, The Science of Fictions (judul bahasa ibunya adalah Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah) adalah tontonan yang dapat membuat kita bingung, dan susah untuk dicerna. Film-film seperti ini sebenarnya jangan keburu dianggap ‘angker’. Karena seringkali daripada tidak, film-film ini kuat di gagasan. Mereka boleh saja terdengar sunyi dan tak banyak aksi atau kejadian yang ditampilkan. Tapi bukan berarti tak banyak yang sedang berusaha untuk disampaikan. Persis seperti si Siman itu sendiri. Meski tak bersuara, karakter ini sesungguhnya bicara banyak soal gagasan yang dilontarkan oleh pembuatnya kepada kita.

The Science of Fictions sendiri hadir seperti dalam dua bagian. Bagian pertama sekitar tiga puluh menitan cerita, dibingkai dalam rasio sempit dan visual hitam putih. Memperlihatkan sekuen adegan di tahun 1966. Bukan hanya untuk memberikan kesan ‘ini cerita periode lampau’, tapi juga untuk memberikan kesan opresi dan tekanan yang menguar kuat sekali dalam setiap shot. Bagian kedua mengambil waktu di masa sekarang. Siman hidup di dunia yang berwarna, yang memberikannya kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak di luar alih-alih ngumpet stres di dalam kamar. Siman juga banyak berinteraksi dengan orang-orang baru, yang not exactly baru karena sebagian besar mereka diperankan oleh aktor-aktor yang sama dengan pemeran tokoh-tokoh yang ada pada cerita bagian pertama. Apakah mereka sebenarnya adalah karakter di cerita pertama yang ternyata masih hidup setelah diculik? Ini menarik karena mereka mainin karakter yang berbeda, Siman tidak mengenali mereka. Penculikan dan pembantaian itu – as far as this movie views – benar terjadi. Alasan menggunakan pemeran yang sama untuk beberapa karakter sepertinya adalah untuk menunjukkan kesalingberhubungan.

Siman yang lidahnya dipotong karena peristiwa pendaratan bulan diparalelkan dengan keturunan atau keluarga terduga-PKI, karena berada di posisi yang sama. Sebagai saksi sekaligus sebagai korban. Sebagai pihak yang gak bisa membicarakan masalah yang mereka lihat atau alami. Pihak-pihak yang terbungkam. Film sepertinya ingin menyimbolkan para keturunan ini lewat karakter-karakter di masa kini yang diperankan dengan oleh aktor yang sudah memerankan karakter lain di masa lalu. Film juga menggunakan lalat untuk memperkuat ini. Menjelang akhir film kita melihat beberapa tokoh di-close up, dengan lalat di sekitar mereka. Termasuk juga Siman yang duduk dengan beberapa lalat berputar-putar di atas kepalanya. Lalat itu sepertinya adalah koneksi di antara mereka. Sebuah kesamaan. Yang menegaskan keparalelan yang ditarik oleh film tadi. Lalat itu juga berfungsi sebagai penanda sesuatu yang sudah lama tersimpan, sehingga busuk dan berbau. Dan kita tahu Siman sudah selama itu menyimpan kebenaran, hanya karena dia sudah dalam keadaan gak bisa untuk membeberkannya.

Membuat kita melihat dari sudut pandang Siman, menjadikan ini lebih emosional. Lebih dramatis, karena peristiwa yang menimpa Siman dapat kita tahu dengan pasti kebenarannya. Sehingga ketika kita melihat Siman yang bergerak pelan, mau itu sambil mengangkut barang atau berjalan mengantar map surat, diolok-olok oleh orang-orang di sekitarnya, kita menangkap itu sebagai sebuah komedi yang pahit. Kita bisa merasakan determinasinya. Untuk itu, aku semakin salut dengan Gunawan Maryanto yang memerankan, karena Siman ini sesungguhnya punya tuntutan fisik yang luar biasa. Dia melakukan semua hal; dia akan mengangkat asesoris besi, ataupun memanjat bak mobil, dengan superpelan. Ini nyatanya berat sekali untuk dilakukan. Tapi akting Gunawan tetap konsisten. Sesekali, pada beberapa adegan, kita mungkin akan terkikik juga melihat Siman, tapi tak sekalipun kita terlepas dari karakternya. Kita dengan efektif dibuat sudah terlanjur peduli dengan karakter ini. Ketika dia minum dengan gerakan superlambat saja, kita akan menatapnya. Menunggunya. Karena kita ingin menyelami apa yang ia rasakan.

Sutradara seperti ingin mengajak orang-orang untuk seperti Siman. Untuk bersikap: jika tahu pasti akan suatu kebenaran, you might as well say it. Ya, memang tidak mudah, apalagi jika kita adalah orang kecil. Akan selalu ada pembungkaman. Akan selalu ada fabrikasi cerita oleh orang yang lebih berkuasa. Siman, tanpa lidah, punya cara sendiri untuk bicara. Kita seharusnya juga bisa; lebih baik daripada Siman.

 

 

Tindakan Siman membangun rumah seperti roket dari perkakas mikrowave dan rangka mesin cuci, aksi Siman memesan baju astronot ala kadar, adalah penguat terhadap komunikasi yang berusaha ia lakukan. Aksi-aksi tersebut boleh jadi adalah teriakannya untuk menyadarkan orang-orang bahwa orang semiskin atau ‘sesederhana’ dirinya saja bisa kok untuk bikin sesuatu yang mirip roket. Siman sesekali nunjukin dia sebenarnya bisa bergerak normal, terutama dalam keadaan emosi yang sedang tinggi, entah itu saat marah atau lagi birahi. Yang lebih lanjut menyampaikan kepada kita bahwa sesungguhnya meskipun mulut dibungkam, sebenarnya kita masih bisa bertindak. Masalahnya adalah bagaimana orang-orang akan menangkapnya. Value Siman di mata orang-orang tetaplah hanya sebagai badut penghibur, and it his worst dia adalah seorang maniak. Lewat ini film dengan tepat menggambarkan kondisi bahwa memang tidak semudah itu untuk berkata.

It’s his/their words againts, who?

 

 

Tidak selamanya film ini sepi dialog. Karakter-karakter sekitar Siman akan sering bicara, kadang untuk penyambung lidah sang protagonis, namun sering juga sebagai eksposisi. Untungnya, kata-kata di film ini sama engaging-nya dengan visual yang ditampilkan. Film ini menyusun pengadeganan dengan banyak lapisan kedalaman gambar dalam setiap shot. Bayang-bayang digunakan untuk menciptakan lebih banyak lagi depth pada layar. Sehingga masing-masing frame film ini seperti sebuah jendela yang membingkai begitu dalam. Bahkan ketika film sudah ‘berwarna’ bayang-bayang terus difungsikan untuk menghasilkan depth yang membuat gambar-gambar menjadi semakin hidup, terus aktif. Sementara di background, telingaku yang biasanya gak merhatikan musik, tercuri juga perhatiannya. Oleh penggunaan musik yang kayak campuran musik film-film luar angkasa dengan musik film PKI. Turut membangun nuansa eerie yang spesifik sebagai identitas film yang bermain di realita dan fantasi seperti ini.

Dengan visi yang kuat, film ini sendirinya jadi berada dalam posisi yang cukup lucu. Cerita film ini bekerja dengan landasan berani mengungkap kebenaran, tapi memparalelkan suatu fiksi yang bisa dipastikan sendiri kebenarannya dengan fakta yang masih kabur terlihat agak seperti memaksakan argumen. Alur film ini butuh untuk kita percaya akan kebenaran atas palsunya pendaratan di bulan (ini fakta yang direka oleh cerita). Di lain pihak, untuk topik yang paralel dengan cerita itu, jadinya seperti memaksa untuk setiap penonton percaya pada kebenaran sesuai gagasannya. Film harusnya bisa membuka lebih banyak ruang untuk ini. Bagian tengah menjelang akhir yang agak nge-drag – karena kita mulai kehilangan arah mau dibawa ke mana cerita – mestinya bisa difungsikan untuk sebagai ruang-ruang tersebut. Menjadikan film jadi bahan obrolan yang lebih padet.

Seorang wanita dalam film ini menuduh Siman berpura-pura bisu karena Siman mampu mendengar. Sementara kita tahu Siman memang tidak bisa bicara karena lidahnya dipotong. Tapi bagaimana dengan kita? Kita toh bisa bicara. Kita juga tidak tuli. Kita mendengar hiruk pikuk kisah-kisah itu. Teknologi komunikasi pun sudah semakin maju. Apakah kita akan tetap bungkam terhadapnya?

 

 

 

Hiruk pikuk kebohongan yang tersaji dalam film ini bakal membuat kita berefleksi juga dengan keadaan sekarang. ‘Skenario’ di mana-mana. Lewat visual tight dan pengadeganan yang aneh, film menawarkan gagasan dengan cara yang menarik. Obrolan yang boleh jadi bakal berat, jadi seperti sedikit ringan – tanpa mengurangi intensitasnya – oleh film ini. Jika film Pemberontakan G30S/PKI dulu dikecam sebagai propaganda kebencian/pengantagonisan, maka film ini difungsikan sebagai propaganda untuk mengambil langkah yang heroik, sekuat tenaga, demi kebenaran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH)

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian punya interpretasi berbeda terhadap film ini?

Sebagai kontras dari karakter Siman, film ini menyiapkan karakter yang sungguh sureal. Yang seperti berjalan dalam dimensinya sendiri. Karakter seorang jenderal, atau seorang pemimpin, yang sudah ada (dan terus nongol sesekali) sejak syuting pendaratan bulan di awal. Memegang kamera. Seolah seorang sutradara yang menciptakan suatu kenyataan. Ada konflik pada karakter ini, ketika dia menyebut lantang untuk tidak mau berpartisipasi dalam kebohogan besar. Namun setelah-setelahnya, kita kerap melihat dia dengan kamera. Merekam dirinya mengendarai mobil. Merekam dirinya merokok. Tapi tidak ada kamera di mana-mana saat dia menyimpan reel video hasil syuting pendaratan bulan. Tindakan merekam diri itu juga sepertinya dikontraskan lebih lanjut dengan kehadiran karakternya Lukman Sardi (eks-TKI di Jepang) yang ‘kedapatan’ sering merekam sesuatu lewat kamera hapenya. Sampai titik ulasan ini ditulis, aku belum yakin tokoh jenderal/pemimpin besar ini merepresentasikan apa, apakah komentar sutradara terhadap presiden saat itukah?

Apakah menurut kalian film ini lebih pantas untuk menjadi wakil Indonesia ke Oscar tahun depan?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

TENET Review

03 Thursday Dec 2020

Posted by arya in Movies

≈ 37 Comments

Tags

2020, action, adventure, crime, drama, friendship, life, love, review, sci-fi, spoiler, thought, timetravel

“The conundrum of free will and destiny has always kept me dangling”

 

 

 

Bayangkan jika Seo-yeon dalam thriller The Call (2020) dapetin cara untuk pergi ke masa lalu, dan berangkat ke sana untuk berantem dengan Young-sook yang udah bikin kacau hidupnya di masa kini. Bayangkan, jika masa depan punya kemampuan untuk menjangkau masa lalu. Karena seperti begitulah konflik dalam action terbaru dari Christopher Nolan ini. Dalam Tenet, pihak dari masa depan berhasil menemukan teknologi inversi waktu sehingga mereka bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Untuk nge-wipe out humanity yang udah bikin masa depan porak poranda. Let that sink in for a lil bit – supaya kita bisa berefleksi. Bakal jadi segitu parahnya kah masa depan karena ulah kita, sampai-sampai mereka dari masa depan segitu marahnya sehingga tak pedulikan resiko paradoks; hancurnya masa lalu berarti masa depan tak pernah ada?

Karena begitu kompleksnya, berusaha merangkum alur cerita dalam film ini akan berarti sama dengan berusaha menulis sebuah cerita pendek. Alur Tenet ini ribet banget, dan tidak bisa disederhanakan dengan rumus ‘karakter + yang ingin sesuatu + tetapi’ karena tokoh utamanya sendiri enggak benar-benar punya keinginan, at least hingga sekitar pertengahan cerita (maafkan kalo di ulasan ini sense timing/waktuku agak ngaco karena efek habis nonton film yang membenturkan timeline ini masih terasa hihihi). Garis besar yang perlu diketahui sebagai bangunan cerita film ini adalah bahwa protagonis kita, John David Washington – kita panggil pake nama aktornya aja karena tokoh ini gak diberikan nama – adalah seorang agent/mata-mata yang handal. Karena aksi dan sikapnya yang selfless, dia terpilih untuk program Tenet. Misi utamanya adalah menghentikan pihak yang disebut akan memulai Perang Dunia Ketiga. Betapa terkejutnya John saat kemudian mengetahui ‘Perang Dunia Ketiga’ itu ternyata berhubungan dengan perang lintas-waktu yang melibatkan peluru-peluru dan mobil yang berjalan terbalik. John melewati misi demi misi, yang membawanya ke sosok yang bakal jadi pemicu kiamatnya dunia.

And while at it, tentu saja seorang tokoh laga juga harus menyelamatkan seorang wanita cantik.

 

Narasi Tenet membenturkan antara kalimat “What’s happened, happened” dengan konsep ‘free will’ yang dimiliki oleh kita, manusia. Namun hanya karena apa yang telah terjadi, terjadi; bukan berarti kita tidak bisa berharap atau mengusahakan menjadi lebih baik. Karena dari masa lalu lah kita belajar. Nolan menantang kita dengan pertanyaan apakah free will itu eksis di dunia yang basically adalah aksi dan reaksi, atau bahkan sesuatu yang sudah didesain alias ditakdirkan. Masa lalu akan selalu jadi pembentuk seperti apa ke depannya. Dan kita harus melakukan sesuatu tersebut sekarang, di masa kita sendiri.

 

Konsep yang filosofis demikian menggugah pikiran, kemudian dibalut oleh aksi laga dengan suntikan elemen yang sudah menjadi ciri khas Nolan; elemen time-bending. Resultnya adalah sebuah spectacle yang seru, lagi membingungkan. Memandangnya seperti itu, maka Tenet memang tampak seperti mahakarya yang menakjubkan. Aspek teknik – didukung budget yang hanya bisa dipercayakan kepada Nolan – film ini luar biasa terdesain dan terencanakan dengan baik mengantarkan kepada capaian luar biasa yang berhasil diraih film ini. Film Tenet, seperti kata ‘Tenet’ itu sendiri benar-benar dirancang sebagai palindrom. Kejadian-kejadian yang dilalui oleh John akan circle-back to him di akhir. Menunjukkan kehidupannya berjalan ‘mundur’ seperti petualangannya, dia gak bisa lepas dari rentetan palindrom tersebut – film dimulai dari misi di Gedung Opera di mana ia diselamatkan oleh seseorang misterius, lalu ke misi di bandara, lalu di jalanan dan kembali lagi begitu dengan urutan yang terbalik – walaupun dia sebenarnya bisa memilih untuk keluar dari sana. Dalam pembalikan waktu yang sepertinya menetapkan jalan kita, ultimately tetap pilihan kitalah yang jadi penentu utama. But again, pilihan kita bukanlah pasti tidak bergantung dari result yang sudah dideterminasikan.

Sama seperti pada sinopsis di atas tadi; tidak ada cara dalam semesta-waktu kita yang bisa menyederhanakan aksi-aksi dan teori inverted time yang menjejali dua-jam lebih durasi film ini. Saking kompleksnya. Yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk mengerti yang kita lihat adalah dengan memahami dulu prinsip dasar konsep time-travel dalam film ini. Konsep yang dipakai sungguh berbeda dengan cara kerja perjalanan waktu yang biasa kita lihat dalam cerita-cerita time-travel. Dalam Tenet ini, seseorang yang mundur ke masa lalu tidak muncul secara instant begitu saja ke waktu yang ia tuju. Melainkan harus benar-benar ‘berjalan’ ke waktu tersebut. Jika John ingin kembali ke hari kemaren, ia harus mundur dulu dari titik-waktu ia sekarang ke titik waktu hari kemaren yang ia tuju. Proses ‘mundur’ itu diwujudkan secara visual, menjadi adegan-adegan unik. Nolan membangun aksi-aksi gede dari adegan-adegan unik alias terbalik tersebut. Dia punya tempo dan irama sendiri dalam memperlihatkannya. Dimulai dari adegan ‘ringan’ berupa peluru yang terbang masuk ke dalam pistol alih-alih terbang termuntahkan oleh pistol, ke adegan John yang bergerak normal berantem dengan seseorang yang bergerak mundur, hingga epik action scene seperti car chase dan perang militer yang melibatkan banyak pihak yang maju dan pihak yang mundur secara bersamaan. Sekilas memang tampak rada goofy juga, tapi adegan-adegan tersebut dilakukan tanpa CGI, murni koreografi dan praktikal efek, sehingga sungguh layak untuk diapresiasi.

Tenet bikin tenot tenot, kemudian teeeeeeetttt :flatline:

 

Sebaliknya, jika kita memandangnya sebagai perjalanan karakter, maka karya Nolan yang satu ini jelas akan bikin kita frustasi. Karena sama sekali tidak ada pengkarakteran yang bisa kita pegang secara emosional di sini. Paling tidak, untuk waktu yang lama. Seiring berjalannya cerita, kita akan menumbuhkan sedikit simpati kepada tokoh Kat (istri dari Sator, si penjahat utama, yang mempertaruhkan keberadaannya buat sang anak) dan tokoh Neil (partner John yang misterius tapi kharismatik, dia seperti tahu lebih banyak dari yang diperlihatkannya). Namun tidak ada emotional attachment yang bisa kita rasakan terhadap tokoh John, Sang Protagonis, itu sendiri. Motivasi karakternya ngawang-ngawang, karakterisasinya pun generik sekali, meskipun Nolan disebut sudah meng-cast tokoh ini dengan mengsubvert standar karakter utama mata-mata yang biasa. Padahal karakter inilah yang kita tonton; aku ngasih The Call tinggi karena fokus ke pengembangan karakter dan tidak beribet-ribet ria dalam aturan-dunianya.

Teorinya adalah Tenet berjalan dengan pace-nya sendiri. Bergerak maju tanpa basa-basi, memperlihatkan karakter si protagonis lewat aksi dan pilihannya ketimbang lewat dialog ataupun adegan yang langsung menyuapi backstory ataupun karakterisasi tokoh ini. Hal ini bisa saja benar, karena memang backstory tidak harus ada ditampilkan – bisa secara subtil – dan film pun tidak mesti bolak-balik ngerem demi menghantarkan dialog ‘basa-basi’ untuk development karakter. Semuanya memang bisa dikerahkan lewat aksi-aksi yang terpapar lewat visual. Akan tetapi, kedekatan emosional itu harus ada, supaya kita bisa lebih peduli secara personal kepada karakter. Sehingga apapun yang ia lalui dapat kita empatikan – kita benar-benar ingin dia sukses. Tak sekalipun aku merasa berada di belakang John dalam Tenet, ingin melihat dia berhasil ataupun merasa ikut ‘sakit’ ketika dia gagal atau salah perhitungan. Dan itu karena film memang sama sekali nihil dalam soal mengembangkan tokoh ini. Dialog-dialog yang ia tampilkan akan sebagian besar berupa eksposisi. John, posisinya sama dengan kita, bingung atas apa yang terjadi – apa yang harus ia lakukan. Maka sebagian besar percakapan akan berisi informasi-informasi mengenai Tenet, Temporal Pincer Movement, Algorithm, dan segala macam istilah sains-film ini. Yang hanya terdengar seperti omongkosong buat kita karena kita tidak diberikan kesempatan untuk melihat apa artinya itu semua bagi pribadi si John. Heck, tokoh ini bahkan tidak punya nama. Dia hanya disebut Protagonist, as to remind us bahwa segala kejadian ada sangkut pautnya dan berada di bawah aksi dan pilihan si tokoh. Persahabatannya dengan Neil juga tidak benar-benar menyentuh – walau sudah diperkuat dengan musik-musik volume maksimal – karena kita melihatnya dari sudut pandang si Protagonis yang datar.

Sekali lagi, Nolan menitikberatkan kepada pengalaman-menonton yang kita rasakan. Epic action scenes! Kita bandingkan saja dengan Dunkirk (2017) , dalam film itu Nolan juga melakukan hal yang sama. Meletakkan kita begitu saja mengikuti karakter yang tidak punya motivasi personal selain mereka gak gugur dalam perang. Dalam Dunkirk, konteks ini berjalan dengan efektif. Karena kita sudah paham bahwa ini cerita di medan perang. Kita tidak perlu tahu siapa musuhnya, siapa patriot-patriot itu, kita bisa bersimpati karena mereka sedang berperang. Mempertaruhkan nyawa. Belum lagi, secara konstan mereka dibom, diberondong peluru. Kita otomatis akan mendukung protagonisnya. Konteks yang serupa diterapkan kembali di Tenet, dan jelas tidak bisa efektif karena film ini punya kebutuhan untuk menjelaskan aturan-dunia. Aturan yang sangat ribet, sehingga kita tersedot ke sana. Saat menonton kita hanya ingin mengerti, tapi Nolan seperti bicara sendiri di sini – sibuk menjelaskan. Kita bosan dan berpaling ke karakter, dan guess what, karakternya tidak terbentuk. We don’t know him. Dan jadilah kita tidak punya pegangan apa-apa saat menonton film ini. Sekalipun kita bertahan, maka itu either karena kita fansnya Nolan, atau memang terpesona sama gimmick time inverted action-nya saja.

 

 

Orang-orang mengamini Nolan sebagai pembuat film bermutu yang setiap filmnya akan membuat kita merasa pintar, karena selalu sukses mengajak kita berpikir. Tapi kali ini, yang terasa adalah kita berusaha keras berpikir di depan seseorang yang begitu ambisius. Ini seperti mendengar racauan teori seseorang yang ingin nunjukin dia pintar, tapi lupa untuk memberikan alasan yang bisa bikin kita peduli sama teorinya. Jika kalian suka lihat spectacle unik, film ini jelas akan wah, pencapaian teknisnya toh tidak bisa dipandang sebelah mata (meski aksi dan ngomong terbalik buatku sudah tidak lagi seunik sewaktu aku melihat adegan Twin Peaksnya David Lynch). Jika kalian lebih menghargai film dari karakter, maka kalian akan menemukan film ini sebagai karya Nolan yang paling hampa. Bingung dan seru, tapi hambar. Tentu, film ini akan jadi lebih mudah dimengerti dan diikuti setelah menonton ulang. Lagi dan lagi. Namun toh, semua film memang begitu. Dalam second viewing, pasti akan ada hal yang lebih kita pahami. Gak harus sengaja beribet-ribet buat ditonton ulang. 12 Angry Men yang isinya orang debat aja ditonton lagi dan lagi akan tetap memberikan pengalaman serupa kita nonton film baru. So yea, buatku film ini tidak sespesial itu. Karakternya generik laga. Hanya gimmicknya saja yang lumayan unik dan ambisius.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TENET.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bahas teori dan kejadian sebenarnya niscaya akan panjang, gak cukup seribuan kata. Jadi, lebih baik kita diskusi di komen saja. Bagaimana menurut kalian, apakah kalian punya teori sendiri tentang Tenet? Apa pendapat kalian tentang teori yang menyatakan Neil secretly adalah anak Kat versi sudah dewasa dan inverted back thru time?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

HILLBILLY ELEGY Review

29 Sunday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 8 Comments

Tags

2020, drama, family, funny, life, netflix, real story, review, siblings, spoiler, thought

“My family is my strength and my weakness”

 

 

 

Psst.. pada tau istilah ‘Oscar-bait’ gak? Menjelang akhir tahun kayak sekarang ini tuh, biasanya film-film Oscar bait mulai bermunculan. Sebab Oscar alias Academy Awards, Penghargaan Tertinggi Hollywood, kan biasanya mulai di awal tahun, jadi slot penayangan menjelang akhir musim itu dianggap paling menguntungkan karena filmnya bakal masih ‘segar’ dalam pandangan juri. Maka mulai tuh muncul, film-film sejenis drama, atau biografi, atau sejarah, atau apapunlah kisah dari kisah nyata, yang biasanya juga memuat penokohan yang melibatkan para aktor dari langganan nominasi; dengan peran tipe-tipe karakter disabilitas, atau karakter stereotipe dengan aksen dan bahkan make up yang benar-benar ‘asing’. Film-film Oscar-bait begitu fokus untuk masuk ke Oscar, menguatkan trope-trope tersebut seolah memang cuma itulah yang dicari Oscar. Sehingga tak sedikit dari film-film itu yang ternyata bercerita dengan kurang memuaskan. Parahnya bagi mereka, para kritikus jadi memaki lebih keras daripada seharusnya, karena eksistensi film-film itu so obvious. Dan Hillbilly Elegy garapan sutradara Ron Howard, yang diperankan oleh aktor-aktor langganan nominasi Oscar, adalah contoh yang menarik dari fenomena Oscar-bait ini.

Cerita film ini diangkat dari kisah hidup J.D. Vance dari buku memoir tulisannya. Dan memang ceritanya sebenarnya sangat menginspirasi. Vance adalah seorang penulis dan pengusaha kapitalis sukses yang berangkat dari dinasti keluarga yang termasuk dalam golongan ‘terbelakang’ oleh standar sosial Amerika. Golongan Hillbilly. Kalo di kita mungkin ekivalennya adalah golongan penduduk yang berpandangan sempit, yang hidup beranak pinak di suatu daerah pinggiran (atau pegunungan). Hillbilly juga terkenal galak. Atau bisa dibilang bar-bar, dibandingkan dengan ‘orang kota’.

Film ini menceritakan Vance saat berada dalam posisi paling penting dalam karirnya. Dia yang saat itu masih muda, mahasiswa Yale yang cemerlang, akhirnya dipanggil interview oleh salah satu firma Hukum terkemuka. Namun sehari menjelang interview penting tersebut, teleponnya berdering. Kakaknya mengabari bahwa ibu mereka masuk rumah sakit. Overdosis. Lagi. Vance – dipanggil J.D. di film – mau tak mau harus menempuh sepuluh jam perjalanan, kembali ke kota masa kecilnya, untuk melihat keadaan sang Ibu. Ia sangat sayang kepada ibunya, kepada keluarganya, tapi khususnya si ibu itu bukanlah orang teramah di dunia. Dalam perjalanannya itu, J.D. dari waktu ke waktu flashback ke masa kecil. Ke masa dia hidup bersama ibunya. Masa-masa bertengkar, penuh kekerasan rumah tangga, obat-obatan, dan didikan keras dari nenek (dipanggilnya Mamaw). J.D. sadar, sejauh apapun dia lari, dia tidak bisa lepas dari keluarganya tersebut. Tapi kali ini, hal tersebut bisa jadi bukanlah hal yang buruk seperti yang selama ini dia yakini.

Aduh sialan, si J.D. anak Hillbilly asli!

 

 

Film ini ingin memfokuskan kita kepada lingkungan – keluarga dan sosial – tempat J.D. bertumbuh. Desain dari bangunan ceritanya adalah membuat kita memahami dulu kenapa J.D. ‘kabur’ dari bayang-bayang keluarga, supaya kita bisa melihat pencapaian J.D. dibandingkan keluarganya – bahwa dia bisa jadi orang yang lebih baik – namun di saat yang bersamaan, keluarga tersebut tidak bisa lepas darinya. Ketika film menampilkan lingkungan J.D. yang sekarang – saat ia dewasa, film ingin supaya kita turut merasakan bahwa lingkungan sosial terpelajar yang punya banyak garpu itu sejatinya tidak lantas lebih baik dari lingkungan yang ditinggalkan oleh J.D. Pertanyaan yang ingin digebah oleh film ke dalam benak kita, selama kita mengikuti J.D., adalah bukan semata mentok di apakah J.D. bisa lepas dari keluarga, melainkan juga apakah benar-benar butuh baginya untuk lepas dari keluarga. Ya, keluarganya memang amburadul. Ibunya case on point. Menuruti panggilan menjaga ibu niscaya akan menghambat karirnya, tapi bukankah ia mengejar karir demi mengubah pandangan orang terhadap latar belakangnya. Ikatan keluarga itu digambarkan benar-benar mengikat J.D. Menjadi konflik dalam dirinya. Film ini seharusnya bisa menarik begitu banyak gagasan manusiawi yang dramatis dari penggalian karakter-karakter bermasalah yang saling berketerikatan ini. Namun justru pada bagian penggaliannya itulah film ini malah minim. Sehingga dicecar kanan-kiri oleh kritikus sebagai gambaran yang hanya berupa karikatur. Masih enjoy untuk ditonton, tapi tidak lagi terasa nyata – meskipun memang yang dihadapi oleh J.D. tak pelak adalah kisah yang beneran terjadi pada orang yang benar-benar ada di hidupnya.

Kesuksesan kita akan menjadi bagian dari kesuksesan keluarga. Begitu pun kegagalan. Karena keluarga, bagaimanapun juga adalah kelemahan sekaligus kekuatan yang kita miliki. Keluarga adalah landasan, dan bukan tidak mungkin, alasan utama kita untuk berjuang. Makanya, J.D. tidak bisa lepas dari keluarga. Dia tidak perlu melepaskan diri dari dinasti yang turut membentuk sekaligus yang sedang berusaha untuk ia bentuk ulang.

 

Dalam lapisan yang lebih dalam, film ini tidak berhasil membahas keluarga J.D. yang dibingkai sebagai ‘sumber drama’ bagi si tokoh utama dalam cahaya yang manusiawi. Kita tidak diperlihatkan bagaimana struggle sebenarnya dari sang ibu. Bagaimana Mamaw berjuang dan apa yang melandasinya. Baik Amy Adams (sebagai ibu) dan Glenn Close (sebagai Mamaw — yang pada kredit penutup diperlihatkan ternyata wujudnya jadi mirip banget dengan Mamaw yang asli) menyuguhkan penampilan maksimal mereka. Sayangnya, karakter mereka bergerak di ruang yang sempit. Seluruh komunitas Hillbilly sepertinya dilambangkan oleh mereka berdua, namun kedua karakter tersebut hanya tampil terbatas sebagai flashback dari sudut pandang J.D. Mamaw dan si Ibu hanyalah eksis sebagaimana J.D. mengingat mereka. Dan dalam film ini, J.D. hanya mengingat mereka dalam waktu-waktu yang tergolong sengsara dan nyusahin bagi dirinya. Sehingga gambaran tersebut jatuhnya jadi super-stereotipe dan cenderung mencuat gak-respect terhadap jati diri karakter yang mereka mainkan.

Kita tidak akan pernah mendukung si ibu karena dalam setiap kesempatan tokohnya dihadirkan selalu sebagai si pembuat keputusan yang salah. Dia yang suster malah main sepatu roda di lorong rumah sakit (emangnya Olga Sepatu Roda!). Dia ujug-ujug mukulin anaknya. Bertengkar dengan Mamaw. Ganti-ganti pasangan. Semua tindakannya itu, karena dari sudut pandang J.D., jadi tak terjelaskan. Film seolah menjadikan tokoh ini sebagai poster-girl untuk sikap-sikap buruk manusia – dan karena latar karakternya sebagai hillbilly, film seperti ingin membuat kita merasa bersyukur bahwa kita bukan hillbilly seperti dirinya. Sementara, si Mamaw digambarkan terlalu standar; nenek galak yang sebenarnya baik. Namun bahkan gambaran tersebut tidak benar-benar mewakili karena, sekali lagi, semuanya hanya sudut pandang dari J.D. If anything, karakter yang dituliskan dengan baik justru adalah kakak si J.D. (diperankan oleh Haley Bennett). Karakter Lindsay ini tampil lebih subtil, dia menangani ‘drama’ keluarga dengan caranya sendiri, dalam lingkup kehidupannya sendiri. Basically, tokoh ini sudah jauh lebih dulu menyadari pembelajaran yang dialami J.D. di akhir cerita nanti.

Menyusahkan dan gak mau dibilangin? yup.. that’s our family

 

Memang, struktur bercerita flashback bolak-balik inilah yang menjadi sumber masalah utama bagi Hillbilly Elegy. Aku gak ngerti kenapa bercerita begini udah kayak jadi tren belakangan ini, padahal belum satu pun aku nemu cerita dengan banyak flashback yang berhasil mencuat menjadi benar-benar bagus. Dalam Hillbilly Elegy, flashback-flashback itu tidak diolah dengan maksimal, karena antara kilasan satu dengan yang lain sebenarnya seringkali memiliki muatan emosi dan kejadian yang sama. J.D. konflik dengan ibunya yang mendadak teriak-teriak. Sehingga sebagian besar durasi film terisi dengan repetitif. Film ini padahal punya dua cerita; J.D. dewasa dan J.D. kecil, tapi dengan menyatukan keduanya lewat sulaman flashback setiap kali ada konflik, cerita film ini justru jadi gak maju-maju. Tidak pula menambah apa-apa terhadap pandangan kita terhadap karakternya. Jadi begitu banyak waktu yang terbuang oleh penceritaannya. Waktu yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan karakter dengan natural, menggali setiap konflik personal mereka – lebih jauh dari pencapain J.D. – jika film tidak sibuk bolak-balik dan memilih berjalan dengan linear.

 

 

 

 

Tiga belas nominasi Oscar di antara Amy Adams dan Glenn Close tidak jadi jaminan film yang dibintangi mereka lantas jadi bagus. Walau penampilan akting mereka memang tidak mengecewakan, tapi karakter yang mereka perankan tidak mendapatkan pengembangan. Cerita film ini dibiarkan sempit, terbatas oleh struktur pengisahan bolak-balik, yang menjadikan film ini bermuatan emosi yang bukan hanya repetitif melainkan juga tidak lagi terasa natural. Film ini boleh jadi tetap dapat menghibur karena dimeriahkan oleh konflik demi konflik – kita semua suka melihat keributan, kan – hanya saja semestinya cerita menginspirasi seperti ini haruslah mencapai level yang lebih dalam. Dengan karakter-karakter yang mencuat di atas stereotipe dan karikatur dari manusia-manusia yang mereka lambangkan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HILLBILLY ELEGY.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian merasa malu terhadap keluarga sendiri, atau menganggap keluarga besar terkadang norak dan malu-maluin? Pernahkah kalian berada dalam kondisi sosial di mana kalian memilih berbohong mengenai keluarga sendiri?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review

26 Thursday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 7 Comments

Tags

2020, animation, comedy, drama, friendship, funny, kids, life, love, netflix, review, roadtrip, spoiler, thought

“The secret formula will always be love”

 

 

 

 

Sekitar pertengahan-akhir durasi, film ini menampilkan sekuen adegan yang layaknya seperti courtroom drama. Dalam adegan-adegan tersebut kita melihat Patrick, Sandy, Squidward, dan teman-teman SpongeBob yang lain bergantian memberikan kesaksian kepada Poseidon untuk membela SpongeBob yang jadi tersangka. Mereka menceritakan kisah pengalaman mereka bisa mengenal si Sponge Kuning itu waktu masih kecil. Kita pun dibawa flashback menyaksikan langsung pertemuan-pertemuan itu. Dan itulah satu-satunya bagian menarik yang ada dalam film ketiga SpongeBob, Sponge on the Run ini.

Flashback masa kecil itulah satu-satunya hal original, hal yang fresh, hal yang ingin kita tonton ketika begitu mengetahui bahwa semesta SpongeBob ini bakal dieksplorasi kembali. Kita tentu penasaran dan ingin melihat bagaimana SpongeBob dan Patrick bisa jadi sahabat seperti sekarang ini. Kita tentu ingin melihat cerita SpongeBob bertemu Squidward. Kita ingin tahu bagaimana SpongeBob dan teman-temannya menjadi berteman pada mulanya. Poin dari sekuen adegan tersebut adalah untuk menyimak seperti apa sih para sahabat memaknai si SpongeBob itu sendiri. Untuk menunjukkan arti persahabatan SpongeBob kepada mereka. Tak pelak, memang inilah yang menarik untuk dijadikan cerita film. Seharusnya sutradara Tim Hill mengerahkan semua komandonya untuk menyusun cerita semacam prequel tersebut dengan sebenar-benarnya, jika ia memang mau menghormati legacy kartun anak-anak (dengan selipan humor dewasa) yang fenomenal ini. Alih-alih, kisah-kisah itu hanya diperlihatkan singkat dan seperti dirangkum begitu saja dengan menempatkannya pada bingkai kesaksian pada courtroom drama. Tidak melalui narasi yang benar-benar kohesif.

Sponge on the Run mengikuti rutinitas cerita SpongeBob yang biasa. Menyapa Gary – kucin–eh, siput peliharaannya, pergi kerja ke Krusty Krab, masak Krabby Patty, bikin kesel Squidward, bikin seneng Mr. Krabs, pulang, dan … menemukan Gary kesayangannya hilang! Gary diculik oleh Poseidon sehingga SpongeBob dan Patrick memutuskan untuk hit the road menyelamatkan Gary. Selagi dua sahabat ini terlibat perjalanan absurd, Plankton menyatroni Krusty Krab, bermaksud mencuri resep rahasia. Namun sepeninggal SpongeBob, burger joint itu sepi. Mr. Krabs sedih karena tanpa SpongeBob usahanya gak bisa jalan. Karena sikap dan persahabatan SpongeBob bisa jadi adalah rahasia dalam resep rahasia itu sendiri.

Ohya, ada juga penampakan Keanu Reeves sebagai tumbleweed yang bijaksana

 

 

Memang bukan film SpongeBob namanya jika tidak absurd dan nyeleneh. Kita sudah menyaksikan gimana randomnya karakter-karakter dan kejadian dalam dua film layar lebar SpongeBob sebelumnya. Film ketiganya ini, berusaha mempertahankan cap dagang tersebut. Kita akan melihat begitu lebar range keabsurdan yang muncul, mulai dari robot hingga kemunculan zombie-zombie yang bisa menari. Namun semua itu tidak berarti apa-apa. Tidak pula menambah banyak ke dalam narasi; ke dalam journey yang dilalui oleh tokoh utama kita. Melainkan hanya seperti random things yang dikumpulkan begitu saja. Berharap supaya jadi lucu dengan mindset semakin random, maka semakin luculah ia. It doesn’t work.

Sekiranya memang ada perbedaan tegas antara random yang lucu dengan random yang cuma males. Petualangan absurd SpongeBob tentulah masih akan menjadi perjalanan yang menarik untuk disimak, dengan syarat hal-hal yang ia temui dalam perjalanan tersebut bakal jadi bangunan untuk sesuatu, entah itu pembelajaran atau hanya sekadar big punchline – jika film diarahkan sepenuhnya untuk komedi receh. Seperti ‘aturan dasar’ film roadtrip-lah. Dalam Sponge on the Run ini, kerandoman itu benar-benar jalan masing-masing. Seperti tidak ada benang merah, seperti film ini hanya ingin mencari alasan untuk memanjangkan durasi. Bagiku, film ini tampak seperti mereka memang ingin menceritakan tentang masa kecil SpongeBob dan awal persahabatan para karakter, tapi sekaligus juga mereka tidak ingin menceritakannya begitu saja. Jadi alih-alih memikirkan cara untuk membangun, katakanlah cerita prekuel itu, film malah memikirkan bagaimana mereka bisa menyelipkan prekuel tersebut tanpa benar-benar menceritakannya. Kedengarannya memang tak masuk akal. Namun persis seperti itulah film ini terasa. Mereka memasukkan banyak hal random sebagai pengantar untuk hal penting yang tak ingin mereka ekspos banyak-banyak. Suudzon mode on: film ini desperate mau jual apapun tentang SpongeBob tapi either pengen instant alias gak mau repot atau mau sok-sok memposisikan film sebagai test-the-water alias ‘nanti kita cerita tentang masa kecil SpongeBob’

However, jika mau berbaik sangka; film ini bisa jadi pengen mengajak kita untuk menghargai keberadaan SpongeBob itu sendiri. Karakter yang rela menempuh perjalanan jauh (dan supposedly sedikit berbahaya) demi hewan peliharaannya, aku akan bohong kalo bilang aku enggak relate dengan itu. I mean, kucingku gak pulang makan siang aja aku langsung nyariin keluar berkeliling kompleks, kok. Meskipun dia aneh dan ngasal dan seringkali bego, tapi SpongeBob dalam cerita ini merupakan sosok yang digambarkan sebagai teladan. Kualitas terbaik dalam diri SpongeBob adalah dia tidak pernah egois. Dia juga sangat menghargai persahabatan. Dia menyayangi peliharaannya sama besar dengan dia menyayangi teman, rekan kerja, bos, hingga saingan. Film ingin menonjolkan hal tersebut. Teman-temannya itulah yang pada cerita ini dibuat untuk menyadari peran kehadiran SpongeBob itu di dalam hidup mereka.

Cinta dan persahabatan SpongeBob terhadap teman-temannya merupakan resep rahasia yang membuat hidup mereka semua menjadi ceria. Bahkan Squidward yang penggerutu pun menyadari hal tersebut. Lebih jauh lagi, karakter SpongeBob yang demikian itulah yang jadi formula kesuksesan cerita kehidupan Bikini Bottom ini setelah sekian lama.

 

Setelah gede, kita semua jadi semakin relate kepada Squidward

 

 

Kerandoman yang disetel hingga maksimal itu bisa jadi dilakukan demi attention-span anak-anak yang konon semakin singkat. Maksudnya, dilakukan biar anak kecil yang nonton enggak cepet bosan. Drawbacknya tentu saja adalah si anak-anak tadi bisa jadi malah bingung dengan ceritanya. Aku sendiri, seumur-umur, belum pernah nemuin cerita SpongeBob yang setak-penting dan sekacau ini. Aku suka dua filmnya yang dulu; yang benar terasa petualangannya. Yang berusaha memasukkan hal segar yang tak bisa mereka lakukan di televisi. Nonton film ketiga ini, aku cuma bengong. Hal baru yang film ini buat cuma visualnya. Berbeda dengan SpongeBob klasik, film ini full animasi 3D. Ada juga beberapa adegan tertentu yang menyatukan dengan pemandangan live-action alias asli. Untuk sekadar menambah visual jadi lebih cantik, film ini berhasil. Namun 3D itu juga tidak menambah banyak untuk cerita. Tidak akan ada bedanya jika film ini tetap menggunakan gaya animasi dua dimensi seperti pada kartun televisinya. Sekali lagi, ini merupakan minimalisasi kreativitas dari pembuat. Karena pada film SpongeBob yang kedua kita sudah melihat visual 3D itu mampu mereka mainkan dengan efektik ke dalam cerita – enggak semata untuk mempercantik. But then again, sepertinya aspek visual ini diniatkan hanya untuk appeal ke anak-anak aja; karena sekarang animasi tiga dimensi memang lebih dinikmati. Sukur-sukur ada orang dewasa yang ‘nyasar’ – menyangka karena gambarnya kayak Pixar, maka kualitas cerita pun sama kayak Pixar.

 

 

 

 

 

Random dan absurd adalah yang membuat SpongeBob, SpongeBob. Namun cerita yang koheren adalah yang membuat film, film bagus. Enggak cukup hanya dengan menjadi SpongeBob saja. Film ini harusnya berbuat lebih banyak terhadap penggarapan ceritanya. Petualangan SpongeBob mencari Gary seharusnya bisa dibuat lebih berarti dan menarik lagi. Jikapun bukan tentang itu, film ini padahal punya hal menarik untuk diangkat yakni masa kecil SpongeBob dan teman-teman. Cerita awal mula mereka bisa bersama-sama hingga dewasa. Anehnya, film seperti belum mau membahas total soal ini. Mereka hanya menampilkannya dengan singkat.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN

 

 

 

 

That’s all we have for now.

SpongeBob sudah ada sejak begitu lama. Humornya selalu segar dan terkenal dengan ciri khas penus selipan jokes dewasa, tapi tetap mampu tampil inosen untuk hiburan anak-anak. Apakah kalian masih suka nonton SpongeBob saat sudah gede? Episode SpongeBob mana yang paling berkesan buat kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...

RUN Review

21 Saturday Nov 2020

Posted by arya in Movies

≈ 10 Comments

Tags

2020, action, disability, drama, family, horror, life, mother, review, spoiler, thought, thriller, violence

“The rescuer needs the victim as much as the victim needs the rescuer.”

 

 

 

 

Seumur hidupnya, gadis muda bernama Chloe itu duduk di atas kursi roda. Dunianya adalah rumahnya. Dengan Diane, sang ibu, sebagai pusat tata suryanya. Kata ibu Chloe harus sering minum obat yang banyak di lemari. Karena jantung Chloe lemah. Dia mengidap Arrythmia — sekaligus Hemochromatosis (kelainan zat besi di dalam darah sehingga membuat tubuh gampang lemas), Diabetes (Chloe gak boleh banyak-banyak makan coklat), Asma (Chloe gak boleh jauh dari inhaler), dan Paralisis yang membuatnya benar-benar bergantung pada kursi roda. Chloe tidak bisa berjalan, apalagi berlari. Yang berarti Chloe tidak bisa ke mana-mana. Bahkan tidak bisa kabur ketika di usianya yang menginjak tujuh-belas ini, Chloe mulai bisa melihat ada yang tidak beres dengan ibu yang selalu bilang senantiasa melindungi dan tak akan membiarkannya terluka tersebut.

Run menjadi bukti bahwa sutradara dan penulis Aneesh Chaganty memang piawai menyajikan thriller yang bikin kita geregetan sendiri di tempat duduk. Kiprahnya di film Searching (2018) bukan one-hit semata. Dalam Run kali ini, Chaganty juga menonjolkan hubungan antara anak dengan orangtua, bedanya dikemas dalam dunia yang lebih ‘sempit’ dan memfokuskan kepada hubungan ibu dengan anak perempuan. Dinamika hubungan yang saling berkegantungan antara ibu dengan anak perempuan ditampilkan dalam sebuah gambaran yang menyesakkan. Run adalah horor tentang kodependensi yang tak-sehat, yang oleh Chaganty dibikin lebih menegangkan lagi. Seperti yang ia lakukan pada Searching, Chaganty juga ke dalam cerita ini memasukkan lapisan misteri yang berkutat kita pecahkan. Setiap menit ceritanya didesain untuk membuat kita mempertanyakan siapa sebenarnya siapa. Obat-obatan itu sebenarnya untuk siapa?

Apa mungkin itu obatnya si Beth Harmon yang nyasar?

 

Menyandarkan cerita ini kepada dua tokoh sentral, Chaganty hit the jackpot dengan mempercayakan kedua tokoh itu kepada Sarah Paulson dan Kiera Allen. Jika biasanya film cenderung untuk memilih aktor normal untuk memerankan tokoh penyandang disabilitas, Run berani memasang Kiera Allen – yang menggunakan kursi roda dalam keseharian – dan menaruhnya sebagai lead untuk sebuah thriller yang benar-benar menuntut fisik. Hasilnya toh memang lebih dari sekadar gimmick, melainkan film ini berhasil memberikan respek dan memperlihatkan representasi terbaik seorang karakter disabilitas di dalam dunia yang mengerikan. Karena perjuangan mereka tidak bisa dianggap remeh, dan dalam film ini terasa demikian otentik walaupun arahan yang diincar lebih condong ke arah genre, atau thriller hiburan.

Kita menonton film karena ingin menyimak perjuangan karakter yang tak-sempurna, berkembang menjadi lebih kuat sebagai seorang pribadi. Dalam diri Chloe semua itu terwakili. Sebab Chloe ditulis sebagai tokoh utama yang kuat,pintar, dan mandiri – jauh dari ekspektasi dan keinginan ibunya. Kita melihat Chloe mampu menciptakan gadget-gadget sederhana seperti capitan yang memungkinkan dirinya mengambil benda yang ada di rak lemari paling atas. Kita melihat Chloe tidak mengeluh menjalani keseharian di rumah, di atas kursi roda, karena dia sangat resourceful. Namun juga kita bisa merasakan semangat optimisnya untuk keterima di universitas dan meninggalkan rumah. Inilah yang jadi konflik cerita, karena keinginan Chloe ternyata bentrok dengan keinginan ibunya. Aku menyebutnya ‘ternyata’ karena film tidak benar-benar memperlihatkan konflik tersebut secara langsung, melainkan bagian dari elemen misteri yang harus kita ungkap. Ketegangan cerita naik seiring kita menemukan berbagai keganjilan, bersamaan dengan Chloe menyadari keganjilan tersebut. Intensitas aksi yang diberikan kepada tokoh ini pun semakin meningkat. Skala aksi yang harus ia lakukan semakin membesar. Mulai dari menyelinap diam-diam ke apotek untuk nanyain soal obat pada awal babak dua, hingga ke menjatuhkan diri dari kursi roda dan merayap keluar lewat jendela tingkat dua saat dikurung di kamar di penghujung babak. Constant peril dan intensitas yang gak pernah kendor ini sukses membuat kita peduli kepada Chloe.

Dalam menciptakan ‘rintangan’, film ini cukup kreatif. Arahan thriller hiburan yang dipilih, membuat cerita bisa bebas menghadirkan kondisi. Namun tetap terkontrol untuk kejadian-kejadian tidak menjadi terlalu over-the-top. Yang buatku menarik adalah cara film meniadakan kemudahan dunia modern seperti telepon atau internet bagi masalah tokoh utamanya. Komunikasi canggih tidak lantas dijadikan jawaban pada film ini – tidak ada adegan karakter menemukan jawaban yang mudah dari internet – melainkan tetap harus melewati perjuangan terlebih dahulu. Inilah yang membuat kita semakin terpatri menonton filmnya; si tokoh utama benar-benar tidak dikasih kendor. Untuk kebutuhan itu pulalah, maka penyempurna dinamika protagonis kita ini – alias antagonisnya – digambarkan penuh muslihat. Sarah Paulson, sekali lagi, adalah pilihan yang tepat untuk tokoh ibu Chloe. Sekali lihat, dia mungkin tampak seperti ibu-ibu pada umumnya, tapi karakter ini punya sisi gelap. Punya kegilaan mental tersendiri. Dan Paulson yang banyak makan garam meranin karakter-karakter sinting dan kelam (pentolan American Horror Story dan baru-baru ini seliweran sebagai Suster Ratched) tahu kadar yang pas untuk menampilkan apa yang diniatkan oleh sutradara.

At heart, Run menampilkan sebuah dinamika kodependensi yang secara mengejutkan relatable pada banyak keluarga. Ibu yang ngegaslight putrinya, dengan fatwa mutlak “Ibu tau yang terbaik” cukup sering kasusnya kita jumpai. Film ini menghighlight penyebab dari semua itu bisa jadi karena kedua pihak sama-sama terluka.  Ibu dan anak saling membutuhkan, itu normal, namun menjadi berbahaya – jadi kodependensi yang toxic jika sudah kelewat batas. Film ini hadir memperlihatkan salah satu bentuk batas itu.

 

Ketika ‘kasih ibu sepanjang masa’ berubah menjadi kalimat horor

 

 

Jika film konsisten menyorot dua karakter sentral ini dalam cahaya yang sudah diniatkan, maka film ini niscaya menjadi thriller popcorn yang lain daripada yang lain. Sayangnya, permulaan film ini tidak demikian. Chaganty seperti masih belum yakin dengan arahannya di awal, baru mantap ketika di pertengahan. Aku bilang begitu karena di awal, cerita seperti disajikan dalam dua perspektif. Pembukaan film menyorot Diane, seolah ingin memberikan bobot dan porsi kemanusiaan yang seimbang, atau sama besar, dengan Chloe yang baru mencuat jadi protagonis setelah ‘prolog’. Kita seolah diniatkan untuk merasakan simpati kepada Diane karena dia adalah ibu yang harus seorang diri membesarkan anak yang terlahir cacat. Diane juga diperlihatkan bertekad berjuang hidup normal bersama anaknya. Menurutku, jika film konsisten di arah ini; dalam artian perspektif Diane dipertahankan, maka film bisa jadi lebih powerful daripada kondisinya sekarang ataupun daripada jika ia konsisten sebagai thriller popcorn. Namun ternyata sudut pandang Diane di awal itu hanya ‘kedok’, build up buat twist yang disiapkan di akhir, dan ini membuat film sedikit tidak konsisten dengan sudut pandang dan arahan di awal-awal cerita tersebut.

 

 

 

 

Jadi, film ini punya dua pilihan posisi yang kuat – either menjadikan Diane antagonis sedari awal, atau membuat sudut pandang manusiawi Diane seimbang dengan Chloe – tapi film memilih untuk menjadi di antara kedua posisi tersebut. Masalah film ini hanya memang di permulaannya saja. Dan ini cukup ‘minor’ sehingga tidak benar-benar mengganggu thrill ataupun ketegangan seru kita dalam menontonnya. Karena film ini menggali dari tempat yang dekat. Penampilan aktingnya juga nomer wahid. Dan penulisan karakternya benar-benar paham bagaimana untuk membuat karakternya kuat dan bisa kita pedulikan dalam bahaya yang konstan mengancam. Elemen misterinya juga berhasil menahan kita tetap menyaksikan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RUN.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Menjadi seorang ibu itu sepertinya susah ya. Diane bisa saja tetap menjadi ibu yang baik walau dia mencuri anak. Tapi ini adalah soal dia sebenarnya melindungi luka emosional dirinya sendiri. Menurut kalian, bagaimana sih gambaran ibu dan anak yang diperlihatkan oleh Chloe dan Diane? Bagaimana pendapat kalian soal ending ‘dark’ yang diperlihatkan film ini – apakah Chloe membalas air susu dengan air tuba, atau apakah dia hanya membalas mata dengan mata?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

Share this:

  • Tweet
  • Email
  • Share on Tumblr
  • Pocket

Like this:

Like Loading...
← Older posts
Newer posts →

Recent Posts

  • AFFLICTION Review
  • PIECES OF A WOMAN Review
  • ONE NIGHT IN MIAMI Review
  • NOMADLAND Review
  • MINARI Review
  • PROMISING YOUNG WOMAN Review
  • MA RAINEY’S BLACK BOTTOM Review
  • TARUNG SARUNG Review
  • SHADOW IN THE CLOUD Review
  • My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020

Archives

Follow MY DIRT SHEET on WordPress.com

Tags

2017 2018 2019 action adaptation comedy drama family fantasy friendship funny horror life love mature relationship review spoiler thought thriller

Categories

  • Books
  • Merchandise
  • Movies
  • Music
  • Poems
  • Toys & Hobbies
  • Uncategorized
  • Wrestling

In the world of winners and losers, we have risen above to bring you: the Dirt Sheet!

We are here to enlighten your fandom with updated news and reviews of movies, books, wrestling, technologies. Yeah, you're welcome.

Explore, and feel the power of wisdom!

Twitter updates

  • Merasa bersalah atas kepergian ibunya, Nina bertekad mengurus ibu mertua pengidap Alzheimer yg tinggal sendirian di… twitter.com/i/web/status/1… 2 hours ago
  • Jadi setelah melihat foto suaminya, istri ini jadi tim blue melakukan inversi waktu. Setelah menusuk suaminya sesaa… twitter.com/i/web/status/1… 3 hours ago
  • And as its counterparts, inilaaah... Nominasi kategori -Feud of the Year- pada #MyDirtSheetAwardsPERFECT10 Siapa… twitter.com/i/web/status/1… 9 hours ago
Follow @aryaapepe

Meta

  • Register
  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.com

Blog at WordPress.com.

Cancel
loading Cancel
Post was not sent - check your email addresses!
Email check failed, please try again
Sorry, your blog cannot share posts by email.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
%d bloggers like this: