FREE FIRE Review

“Guns don’t kill people.”

 

 

Siapa bermain api akan terbakar. Siapa bermain senjata api – well yea, niscaya akan ada yang tertembak. Namun, tidak seperti api, besar kecil senjata api enggak bisa jadi ukuran kawan atau lawan. Karena yang berada di balik pelatuknyalah yang menentukan. Kita dapat menyaksiksan senjata dijadikan perlindungan dari balik insecurity manusia dalam banyak film. Atau malah di dunia nyata. Free Fire amunisinya ceritanya juga sama seperti demikian, hanya saja film ini memancing rasa tertarik kita dengan hadir sebagai KOMEDI AKSI. Dan untuk menaikkan stake, film ini mengambil gudang terbengkalai tertutup sebagai medan baku-tembaknya.

Gudang tersebut dijadikan tempat ketemuan kelompok arm dealer dengan kelompok calon pembeli. Bagian perkenalan transaksi ini berjalan dengan lancar. Ada perantara dan saksi yang mencairkan suasana. Actually, kita langsung bisa meraba tone film ini dari percakapan para tokoh di kedua kubu. Mereka semua tampil keren dan eksentrik dalam cara mereka masing-masing. Tapi tentu saja, seperti matahari pada hari yang berawan, tensi yang merayap di antara kedua kelompok ini enggak bisa disembunyikan lama-lama. Sedikit mixed-up dalam barang yang dijual mulai menggoyahkan rasa percaya yang sedari awal juga udah tipis banget. Kemudian masalah personal dua di antara mereka turut hadir di atas meja, dan meledaklah tensi tadi. Mendadak dua-belas angry men dan satu cewek ini saling tembak-tembakan, beberapa ingin uang untuk dirinya sendiri, beberapa hanya ingin keluar dari tempat tersebut hidup-hidup. Singkat kata, they are starting to kill each other.

inilah hasilnya jika orang-orang yang suka ngomong F-word, ngumpul, dan dikasih pistol

 

Ada banyak humor dan candaan. Porsinya, to be honest, agak di luar perkiraanku. Yea, tone memang ngasih isyarat ini bakal jadi film aksi yang punya segudang komedi, tapi aku gak menyangka ternyata memang elemen komedilah yang jadi sentralnya. Ekspektasiku adalah film ini mirip-mirip ama Reservoir Dogs (1992)nya Quentin Tarantino; tau dong pasti, film aksi yang juga mengunci tokoh-tokohnya dalam satu ruangan. Karena set upnya memang terasa seperti itu; drama serius dengan banyak jokes. Memang enggak sampe sekonyol film kartun, sih, nyaris kayak film komedi slapstick lah. Adegan tembak-tembaknya sangat ringan dengan banyak orang mengutuk sambil merayap diiringi desingan peluru “syuut, Kling! Desh! Bum!!”. KOMIKAL DAN OVER-THE-TOP. Film ini tampaknya mau menghadirkan apa yang terjadi jika sebuah film yang fun dan mendadak semuanya menjadi nyata. Narasinya diceritakan nyaris real-time dengan kita. Di satu pihak, film ini jadi enjoyable dan sangat menghibur. Di pihak lain, film ini kayak nembak serabutan membabi buta tanpa ada peluru yang benar-benar tepat sasaran. You know, persis kayak kemampuan membidik tokoh-tokohnya yang lebih parah daripada Stormtrooper.

Di atas kertas, film ini sebenarnya cuma sebatas konsep singkat yang dipanjang-panjangin jadi film panjang. Mengetahui hal ini, sutradara Ben Wheatley cukup pinter untuk menggaet aktor-aktor mumpuni yang mampu menghidupkan tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh naskah. Aku paling suka paruh pertama dari film, set up  karakternya dibuat menarik. Malahan, sebagian besar hal-hal yang kusuka dari film ini adalah berkat permainan dari para aktor yang benar-benar sukses memberikan warna kepada tokohnya. Dialog yang diberikan kepada mereka sebenarnya cheesy dan gak spesial-spesial amat. It’s not witty or deep. Enggak membuat kita ingin mengutipnya sebagai bahan postingan pathdaily atau apa. Adalah para cast sendiri yang mengerahkan talenta dan kemampuan mereka dengan begitu tepat, sehingga peran mereka yang menarik.

Sebagian besar tokoh enggak dikasih banyak ruang untuk pengembangan. Meski begitu, aku paling tertarik sama tokoh Chris. Cillian Murphy was really great memainkan tokoh ini, dia kelihatan punya hubungan spesial dengan Justine, dan the way Murphy played out relationship yang tumbuh antara Chris dengan tokoh-tokoh lain dalam waktu singkat itu, it’s just great and really compelling. Spotlight komedi paling-kocak jatuh ke tangan Sharlto Copley sebagai pemimpin nyentrik dan egosentris kelompok penjual senjata api. Kadang kita enggak gitu mengerti ocehan si Vernon, namun kocaknya sungguh-sungguh menambah banyak buat komedi. Aku juga suka tokoh Ord (Armie Hammer jenggotan di sini) yang tampak paling clear-headed di antara semua.

Ini adalah film kedua di tahun 2017 di mana aku merasakan kecewa teramat sangat kepada Brie Larson. She was once bermain di film yang kukasih nilai 9, tapi tahun ini tampaknya jadi tahun untuk bercermin dalam memilih peran bagi Larson. Dalam Kong: Skull Island (2017) tokoh yang ia perankan enggak ngapa-ngapain selain motret dan berlari. Dalam Free Fire ini, tokoh Justine enggak lebih dari anak bawang. Tokoh ini kayak berada di luar film, it feels like she was in different movie. Larson pun memainkannya dengan datar. Dia enggak masuk sama suasana ataupun cerita.

Bukan pistol yang membunuh orang. Orang insecure yangbertindak berlebihan yang memegang pistollah yang menghilangkan nyawa. Konflik dalam Free Fire bisa berakhir sesegera orang pertama rela meletakkan senjata, menyelesaikan deal ataupun perkara pribadinya, dan semua yang terlibat di sana bisa pulang dengan riang dan sehat walafiat.

 

All-stars castnya lah yang mengangkat film ini ke level menghibur. Tapi tokoh-tokoh mereka bukan remaja yang berparade keliling kota sambil petantang petenteng pistol kayak Ricky di lagu rock “18 and Life”, para tokoh film ini adalah orang dewasa yang mestinya kompeten dalam melakukan tugas mereka. Mereka ada dalam bisnis senjata api. Mengutuk dan menembak adalah rutinitas sehari-hari. But man, they are dumb. Ada satu tokoh yang diset sebagai tokoh lugu yang ngelakuin hal-hal bego, supaya lucu, hanya saja tokoh-tokoh lainnya juga tampil enggak lebih pintar dari orang itu. Motivasi kenapa mereka harus saling menembak ditulis dengan teramat lemah sehingga terasa film ini sendiri enggak tahu harus menggali apa lagi. Aku gak mau banyak beberin; intinya sih transaksi mereka batal karena ada dua orang yang punya masalah personal serius. Things escalate quickly because of this ‘fight’. Dan ini enggak realistis. Normalnya kan mereka bisa ngomongin atau ngelarin urusan sendiri secara terpisah dan gak benar-benar harus melibatkan the whole deal. Tapi dalam film ini, semuanya berujung menarik senjata masing-masing dan mulai menembak seolah enggak ada lagi yang peduli dengan apapun selain gak-terima gengnya ‘digituin’.

“Bang, bang! Shoot ‘em all, the party never ends~”

 

Film ini bukan jenis yang sekali kena tembak, langsung mati (emangnya video game Contra!). Kemampuan para tokoh dengan sengaja ditulis minimal, sehingga peluru mereka hanya menyerempet sasaran. Dan ada banyak komedi yang datang dari sana; salah tembak atau enggak sengaja nembak cewek, misalnya. Setelah midpoint, sebagian besar tokoh sudah jatuh ke lantai. Mereka kena tembak dan sekarang merangkak nyari perlindungan ataupun nyari senjata baru. That’s the kind of action yang kita dapat. Dan tentu saja, it does drag after awhile. Wheatley memilih untuk merekam aksi tembak-tembakan menggunakan gaya handheld sehingga beberapa adegan lumayan goyang. Membuat kita kerap bingung apa yang terjadi, siapa menembak siapa. Susah sekali untuk mengetahui pasti apa yang terjadi sebab ada banyak adegan yang melibatkan orang lari ke pojokan, menembak, ngumpet, dan peluru yang mantul kepentok sesuatu.

 

 

 

 

Fun action-film yang entertaining. Cukup asik dinikmati, kita bisa nyaksiin ini dan have a good time with it. Namun di laih pihak, keputusannya untuk tampil lebih fokus ke komedi alih-alih ke aksi terbukti dapat menajdi kerugian tersendiri. Dan porsi aksinya sendiri ngedrag dan ketika enggak, susah untuk kita ikuti. Kemampuan castnya yang berhasil membuat film ini menghibur, lebih dari kualitas penulisan film ini sendiri. Bukan exactly peluru kosong yang ditembakkan oleh film ini, hanya saja memang lebih banyak melesetnya dibanding kena.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for FREE FIRE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR’S REVENGE Review

“Accusations are useless.”

 

 

Apakah membuat franchise film berdasarkan sebuah wahana taman hiburan adalah langkah berani yang paling aneh ataukah cuma usaha nekat untung-untungan demi yang namanya duit? Well, jika sihir bisa dianggap sebagai sains yang belum kita mengerti, maka Pirates of the Caribbean bisa jadi adalah magic yang bikin sebagian kita garuk-garuk kepala. Film pertamanya sangat exciting. Setelah itu, semua judul dari franchise ini secara konstan kualitasnya terus menurun. They were bad movies. Di lain pihak, franchise ini toh laku keras, for it is action di tengah laut, yang memadukan bajak laut, kekonyolan, dan hal-hal fantastis.

Film kelima ini actually rilis dengan dua judul yang berbeda. Yang tayang di Amerika sono judulnya Dead Men Tell No Tales. Sedangkan di bioskop sini – aku tadi sempat kelimpungan takut salah nonton – dikasih judul Salazar’s Revenge. Aku gak tau alasan kenapa dirilis dengan judul berbeda seperti demikian; mungkin karena judul aslinya kepanjangan atau mungkin Dead Men dirasa terlalu seram. Hal kecil sih, walupun begitu, sebenarnya aku lebih suka sama judul versi Amerika. Salazar’s Revenge kedengarannya terlalu generik. Lagipula, kalimat “Dead Men Tell No Tales” beneran disebutin di dalam film, terincorporate really well ke dalam cerita, karena tokoh penjahat di film ini suka menenggelamkan kapal dan dia akan sengaja menyisakan satu korban masih hidup untuk menceritakan aksinya kepada orang lain di daratan, sebab ya, orang mati kan enggak akan bisa bercerita.

Orang mati juga gak bisa ke daratan, so yea…

 

Aku berharap film ini jadi film terakhir aja sebab, sukur, film ini LEBIH BAIK KETIMBANG FILM PIRATES SEBELUMNYA. Ceritanya considerably lebih menarik. Jack Sparrow terlibat dalam pencarian Trisula Poseidon yang bisa menghapus semua kutukan di lautan. Bajak laut mabok kita butuh benda ajaib tersebut lantaran dirinya sedang diburu oleh sepasukan hantu anti-bajak laut (lengkap dengan hantu hiu dan kapal hantu yang bisa berubah menjadi mulut yang menelan kapal di depannya) yang dendam kesumat kepadanya. Hantu Kapiten Salazar, at some point, bahkan bekerja sama dengan musuh lama, Kapten Barbossa yang kini jadi bajak laut paling sukses seantero Laut Karibia. However, bersama Kapten Jack, kali ini ada pelaut muda bernama Henry yang juga mencari kekuatan Trisula untuk ‘menyembuhkan’ ayahnya, dan sesosok gadis manis nan pinter yang jadi penunjuk jalan lantaran cuma dia satu-satunya yang bisa membaca peta.

Pintar di antara yang bego, maka kita akan dianggap aneh. Film ini membahas masalah posisi wanita yang di kala itu masih dianggap inferior; cewek cannot be smart unless they are witches. Ini bisa ditelusuri sebagai masalah prasangka. Zaman dulu, bidan-bidan wanita dianggap berbahaya sebab mereka ngurusin perkara hidup mati sebagaimana peran dokter-dokter pria. As gender dijadikan tolak ukur wewenang; orang-orang lebih mudah percaya kepada laki-laki yang tegas dibanding kepada wanita yang lemah lembut. This element is also played really well dengan karakter Jack Sparrow yang ditinggalkan oleh kru, you know, because he’s drunken and weird dan kerap bawa sial. Kontras dengan Salazar yang punya pengikut setia hidup-mati, atau malah dengan Barbossa. Padahal mereka sama kompetennya.

 

Tentu saja banyak kejar-kejaran, tembak-tembakan kapal, dan duel pedang yang terjadi. Ini adalah film yang terlihat sangat menarik. Penggunaan efeknya keren. Javier Bardem cool banget sebagai Salazar, aku suka penampakannya, aku suka gimana dia memainkan perannya. Hantu maniak ini adalah penjahat film favoritku sejauh pertengahan tahun ini. Film ini punya banyak stok candaan dan lelucon yang bagus. Juga berusaha untuk punya sisi emosional. Namun dengan tema besar mencari diri sendiri, film ini relatif berjalan lurus sebagai film petualangan yang melibatkan banyak pihak. Semua orang tersebut numplek di atas kapal yang sama, literally and figuratively. Dan kita bisa melihat masing-masing mereka punya alasan untuk berada di sana. Tokoh Henry yang diperankan oleh Brendon Thwaites ditulis punya kaitan sejarah dengan franchise ini, motivasi dirinya lah yang bikin narasi film ini berjalan. Ada percikan manis yang terjalin antara dirinya dengan tokoh Carina (Kaya Scodelario berhasil untuk tidak terjebak memainkan karakternya jadi semacam tokoh daur-ulang). Di duapuluh menit terakhir, barulah film benar-benar finally just pick up. I loved the ending. Dan meski efek di bagian ‘final race’ ini sedikit lebih rough-around-the-edges, aku suka, malahan bukan itu yang menggangguku.

What really bothers me about this film adalah walaupun tokoh-tokoh tersebut punya motif dan alasan untuk ikut bertualang, urgensinya tidak pernah benar-benar terasa. Stake, alias konsekuensi, yang dihadapi para tokoh enggak terang benar. Rintangannya pun sebenarnya cukup gampang untuk dihindari. Kita bisa merasakan ada sesuatu tujuan, ada sesuatu yang harus mereka selesaikan, tetapi rasanya tidak ada tuntutan untuk segera dibereskan. Para hantu hanya bisa ngejar di laut, Jack Sparrow enggak benar-benar dalam bahaya. Kalo Henry gagal menghapus kutukan ayahnya, hal buruk apa yang terjadi? Dia masih bisa hidup dan pacaran dan punya anak kok. Carina diberikan alasan untuk tidak bisa pulang, dia sekarang diburu mati-matian oleh negara lantaran disangka penyihir, namun masalah itupun beres seketika. Di film ini ada penyihir beneran, and that’s it, kita enggak melihatnya lagi di akhir.

Dan jokes tentang “Neng, pinter banget, kamu pasti penyihir. ENYAH KAU!” terus saja diulang-ulang sehingga jadi annoying. Awalnya sih lucu, tapi lama-lama jadi kentara banget. Masak setiap tokoh cowok guyonannnya begitu ke Carina.

Cara terbaik untuk menggambarkan film ini adalah membandingkannya dengan wahana di taman hiburan Disney. And it is precisely just like that; Seru yang melibatkan banyak hal dan membutuhkan biaya besar, tapi nyatanya adalah rangkaian adegan yang pointless.

 

Pada film pertama, karakter Jack Sparrow adalah tokoh yang sangat mengejutkan. Kita enggak tau apa yang ada dipikirannya, cara dia untuk membuat everything work out. Sparrow adalah peran yang berhasil dibangkitkan secara fenomenal oleh Johnny Depp. It is his signature role. Dia lucu, gampang banget disukai. Penampilannya liar dan really unhinged, bagusnya di awal-awal adalah keintensan karakter tersebut terkontrol dengan baik. Dalam film ini, Depp seperti diberikan kebebasan seratus persen, hanya saja jatohnya dia seperti memainkan karikatur dari karakternya yang dulu. Cuma sebatas lelucon setiap kali dia nampil dalam adegan, Sparrow tidak lagi punya real-character. Ini membuatku kecewa karena buat tokoh ini kita udah tau harus mengharapkan apa, namun tokohnya kehilangan sense of humanity seperti yang nampak pada film-film awal. Aku lebih tertarik ketika cerita membawa kita flashback ke Sparrow yang masih muda; karakternya terlihat lebih grounded di bagian itu.

Studio Disney lagi suka main FaceApp yaa hhihi

 

Meski ini adalah film dengan durasi paling pendek dalam franchise ini, dirinya tidak terasa bergerak secepat itu. Tetap aja filmnya kayak panjang banget. Sekuen-sekuen aksinya pada seru dan refreshing hanya saja mereka dimainkan lebih sebagai humor alih-alih untuk excitement. Pacing film kerap terasa ngedrag karena ada banyak adegan-adegan panjang yang kepentingannya gajelas. Kayak Sparrow ketemu pamannya di sel, atau malah adegan rampok bank itu. Sepertinya adegan-adegan tersebut memang dimasukkan cuma untuk bumbu humor semata. Tidak ada yang menarik dari arahannya. Film ini terasa kayak film-film action adventure yang biasa. Coba deh bandingin ama trilogy Pirates yang digarap oleh Gore Verbinski. Meski memang yang pertama doang yang bagus, namun Verbinski meletakkan ciri khasnya dalam film-film tersebut. Pirates seri kelima ini datar aja, enggak punya keunikan apapun.

 

 
Akan ada banyak hal yang bisa dinikmati jika kalian penggemar franchise ini. After all, kita udah ngeliat sekuelnya yang jauh lebih buruk. Film ini enggak jelek-jelek amat, meski juga enggak brilian dan unik. Efeknya keren, dan aksinya seru. There are some good jokes. Ceritanya juga sedikit lebih menarik. Penampilan Salazar is the one to watch for. Yang bikin kecewa adalah enggak banyak sense of urgency dari karakter-karakternya. Film ini live it up deh dengan wahananya, asik tapi rather pointless. Tapinya lagi, purposenya akan benar-benar terasa mantep jika film ini adalah film terakhir. It was better than the previous ones.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR’S REVENGE

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

ZIARAH Review

“In the end all you really have is memories.”

 

 

Mengunjungi makam kerabat, memanjatkan doa-doa, esensinya adalah supaya kita mengingat masa lalu dan masa depan. Pertemuan dan kematian. Kata kuncinya adalah mengingat, dan tema tersebut dieksplorasi oleh film Ziarah di mana ia akan mengajak kita untuk mengunjungi kembali kenangan dan duka yang tertimbun. Film ini adalah perjalanan mencari kebenaran lewat ingatan.

Bercerita tentang seorang nenek yang sudah berusia sembilan-puluh lima tahun yang mendadak pergi dari rumah. Mbah Sri ingin nyekar ke makam suaminya yang gugur saat Agresi Militer Belanda Kedua berpuluh-puluh tahun silam. Ke makam ‘beneran’, bukan ke makam tanpa nama yang sudah disiapkan oleh pemerintah untuk pahlawan-pahlawan tak dikenal. Jadi, dengan sekeranjang kembang di dalam tasnya, Mbah Sri berjalan naik turun perbukitan, melintas dari satu desa ke desa lain. Beliau mencari setiap jengkal tanah pekuburan yang dikunjungi. Bertanya kepada orang-orang yang mungkin saja tahu tentang peristiwa melingkupi tewasnya sang suami. Perjalanan yang Mbah Sri tempuh ternyata menguras mental dan emosi lebih banyak daripada nyapekin badan, saat misteri keberadaan sang suami perlahan terdispersi menjadi beberapa cahaya kebenaran. Dan kenangan dan kepercayaan yang selama ini ia pegang bisa jadi bukan kejadian yang sebenarnya.

ke kuburan bukan buat minta nomer, loh!

 

Sutradara asal Yogya, BW Putra Negara, mengerahkan semua arsenal yang dia kuasai untuk memaksimalkan penceritaan Ziarah. Menggunakan visual storytelling dan tutur dialog dengan sama efektifnya sehingga jika kita enggak benar-benar terpaku di menatap layar, kita akan ketinggalan potongan emosi. Dan jika kita enggak memperhatikan dialog (atau dalam kasus film ini yang SELURUH PERCAKAPANNYA BERBAHASA JAWA, enggak baca teksnya), kita akan tersesat dan bingung sendiri oleh cakap eksposisi, informasi, dan simbolisme yang datang silih berganti. Sutradara pun tidak pernah membuat film ini menjadi lebih mudah untuk kita. Dengan adegan-adegan yang dengan sengaja diberi pace yang lambat; shot panjang yang belum dicut-cut, film ini mengambil waktu supaya setiap adegan berlangsung dengan utuh. Kita ngeliat dua orang berdiskusi nyusun denah rumah di tanah, kita ngeliat Mbah Sri yang masukin kembang ke dalam tas, kita ngeliat di berjalan dari ujung jalan, camera lingers a little bit too long, musiknya merayap di belakang, semua ini menyiptakan sensasi uneasy yang luar biasa. Rasa nonton film ini hampir seperti rasa ketika kita ingin tahu sesuatu tapi di dalam hati kita sebenarnya takut akan kebenarannya. Setiap informasi yang diterima oleh Mbah Sri, membuat pencariannya semakin berkelok, dan to be honest, semakin mendekati akhir aku berharap Mbah Sri, dan aku sendiri, enggak pernah nemuin kebenaran yang dicari.

Kenangan kita adalah milik kita seutuhnya. Itu sejarah personal kita. Ya, mungkin sejarah itu blur, mungkin kita butuh kejelasan. Tapi jika itu berarti kenangan tersebut harus ditantang dengan kebenaran, apakah kita siap untuk menodai kenangan tersebut evenmore? Film ini bilang jangan mengorek luka lama. Sesuatu yang dikubur sebaiknya dikenang, jangan diusik lagi. Bagaimana jika kita salah? Sudikah kita melepaskan satu-satunya yang kita punya? Siapkah kita – seperti Mbah Sri – untuk pasrah?

 

Dan memang film ini cukup berani undur diri dengan terbuka bagi interpretasi penonton. Film menunjukkan kepada kita apa yang jadi jawaban atas pencarian Mbah Sri, ada sense of finality juga ketika film berakhir, namun maksud kejadian penghabisan – very well might be Mbah Sri’s last choice –diserahkan sepenuhnya kepada kita. The very last shot dimainkan dengan bagus dan merupakan kontras dari salah satu adegan yang muncul di menit-menit awal film.

Semua hal dalam film ini terasa otentik. Misteri seputar sosok suami Mbah Sri, Pawiro, mendapat pengungkapan yang menarik. Tidak ada pancingan emosi yang dibuat-buat kayak film drama pada umumnya. Karakter-karakter dibiarkan berjalan, dan kejadian demi kejadian kayak berlangsung gitu aja. Ada satu sekuen sih, di akhir-akhir babak kedua, ketika ada seseorang tampak punya agenda sendiri; awalnya kukira ini adalah di mana film ngambil keputusan yang salah dalam ngelanjutin ceritanya, you know, biasanya film-film kan gitu – they did everything right, namun di akhir ada nila yang merusak film sebelanga. Tapi enggak, elemen cerita itu teresolve dengan manis. Penampilan aktingnya film ini, entahlah, aku melihat orang-orang dalam film ini seperti menjadi diri sendiri. Seperti menonton dokumenter di mana warga asli ditanya-tanyain dan mereka bercerita apa adanya. Low budget dan PENGGARAPAN YANG SEDERHANA justru diubah jadi nilai lebih film ini karena semuanya terasa nyata. Mbah Ponco Sutiyem yang memerankan Mbah Sri berhasil menyampaikan emosi dengan fantastis walaupun sebenarnya peran ini sangat stricken dan beliau sendiri bukan aktor. Kita boleh aja enggak ngerti bahasanya, namun ekspresinya bercerita begitu banyak. Semua ini tentu saja berkat arahan dari sutradara benar-benar on-point.

Adegan di awal-awal ketika Mbah Sri ngobrol dengan cucunya di dapur really hits home buatku. Dari keseluruhan film yang tonenya mellow kadang ada lucu ironis, dan kadang ngeri, cuma di bagian inilah aku ngerasa sedikit ringan. Lantaran aku teringat kalo lagi di kampung, aku setiap subuh masuk dapur ngangetin diri di depan kompor, dan Mbah ku dateng ngajak ngobrol. Hanya saja aku yang ampe sekarang enggak bisa-bisa berbahasa Jawa, hanya manggut-manggut nyengir sok ngerti hhihi

“sudah bukan umur bercanda lagiii”

 

Dari segi skenario, Ziarah punya struktur cerita yang rada unconventional. Kita tidak langsung diberi petunjuk motivasi tokoh utama, kita malah ngeliat motivasi dari karakter lain. Di sinilah film sedikit goyah. It takes time to established the main character, dia sedikit terlalu berada sebagai latar saat permulaan. Di awal, film ini terasa kayak cerita seorang cucu yang ingin menikah, tetapi neneknya mendadak pergi entah ke mana dan si cucu harus pergi mencari. Tidak hingga midpoint barulah perspektif Mbah Sri menjadi benar-benar dominan, dan kita lantas belajar mengenai motivasinya. Kita tahu Mbah Sri ingin mencari makam suami, akan tetapi baru di paruh kedualah kita mengerti kenapa baru sekarang dia melakukan ziarah tersebut, apa yang membuatnya melakukan perjalanan panjang itu. Memang, terjadi kebingungan dalam memahami cerita jika kita enggak pasti siapa yang jadi tokoh utamanya. Kupikir, itulah sebabnya kenapa Ziarah tidak serta mudah dicerna; Ceritanya sederhana, hanya saja strukturnya membuat kita sedikit padet. Di paruh awal, perspektif kita kerap berganti ke cucu Mbah Sri yang sebenarnya punya lapisan sendiri yang integral sebagai simbol untuk tema dan bigger picture cerita.

Film ini membahas fondasi rumah, membahas diskon gede, membahas orang bunuh diri lantaran pasangannya ketahuan berselingkuh bertahun yang silam. Perbincangan yang terdengar random, namun sesungguhnya punya kait dengan cerita yang bertema ingatan dan masa lalu. Mereka adalah bagian dari proses berdamai. Jangan sampai kita membiarkan ingatan kita tentang seseorang atau sesuatu, terkontaminasi oleh suara-suara orang. Jika kita mengenang sesuatu, kenanglah sesuai dengan ingatan kita secara personal. If we believe something is sweet, then sweet it is. Apapun yang terjadi sesudahnya, tidak ada hubungannya dengan kenangan kita. Simpan, cherish kenangan tersebut, dan just move on with our life.

 

Sehabis nonton tadi, tidak ada satupun penonton di studio yang beranjak dari kursi. Mungkin masih ingin jawaban. Mungkin juga pada segan cabut duluan. Atau mungkin juga, semua orang itu masih pada terusik oleh apa yang bisa kita temukan jika kita mencari; Kebenaran.

 

 

 

Buat yang kerap meminta sesuatu yang berbeda dari film Indonesia; tontonlah film ini. Sekali-kali ziarahlah ke bioskop; untuk mengingat kenapa sih kita suka nonton film in the first place. Drama ini penceritaannya sangat unconventional yang benar-benar menyentuh kita soal berdamai dengan masa lalu, dengan kenangan tentang seseorang yang kita simpan erat-erat. Ini juga adalah tentang sejarah. Kita belajar sejarah bukan untuk mengorek luka masa lalu, melainkan supaya kita embrace, belajar darinya, dan hidup lebih baik setelahnya. Tapi film ini sedikit falter di struktur, ada tone yang kadang bentrok juga. Elemen mistis di tengah-tengah cerita, contohnya. Mengingat efektifnya bahasa visual, tutur, dan simbolisme yang dilakukan film ini, mungkin saja elemen mistis itu adalah simbol yang aku belum dapat koneksinya. Tapi memang, aspek ini mentok jika disandingkan dengan aspek genuine yang dibangun oleh film.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for ZIARAH.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

GIFTED Review

“Compassion isn’t about solutions.”

 

 

Berkah bisa berubah menjadi kutukan yang menggerogoti diri jika seseorang terlalu ‘tamak’ terhadapnya. Teknologi misalnya, dari yang tadinya memberikan banyak kemudahan, jika kita gunakan dengan tidak bertanggung jawab, justru mendatangkan mudarat; deteriority of humanity. Kecantikan juga gitu, orang yang terobses malah akan menjadi ‘mengurung’ diri sendiri dalam usaha menjaga kecantikan itu terus terjaga. Bukan berarti kita tidak boleh melestarikan berkah. Berkah dan kutukan, sejatinya adalah pilihan, seperti yang dengan fasih dibicarakan oleh film Gifted. Kita semestinya bisa dengan bijak melihat seorang yang punya bakat jauh di balik kelebihannya tersebut.

 

 

Frank dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ponakan kecilnya, Mary, berulah di sekolah. Di hari pertamanya, anak tujuh-tahun itu mengejutkan seisi kelas dan eventually Mary adalah anak jenius, apalagi soal matematika. Mary memang lebih suka sekolah privat ketimbang sekolah umum karena, tentu saja kurikulum standar belajar sekolah biasa terasa lamban oleh gadis cilik ini. Dan ketika ditanya tentang teman, “Aku tidak bisa berteman dengan idiot” keluh Mary. Makanya, ketika ditegur kepsek lantaran Mary literally matahin idung seorang bully di sekolah, Frank malah sedikit senang. Meski yang dilakukan Mary salah, Franks bangga anak asuhnya itu berani membela yang lemah. Frank ingin menumbuhkan rasa kasih sayang di dalam diri Mary. Dia menolak tawaran Kepsek yang ingin memindahsekolahkan Mary ke sekolah khusus anak berbakat, “I would rather you dumb her down, if that makes her a good person,” aku Frank.

Di situlah di mana tokoh Frank yang diperankan dengan luar biasa gentle oleh Chris Evans menjadi sangat menarik. Mary bukan anak kandungnya, Mary adalah anak dari kakaknya yang juga sangat berbakat dalam matematika (in fact, jago matem ini udah warisan turun temurun dalam keluarga mereka). Membesarkan Mary adalah salah satu dari permintaan terakhir kakak kepadanya, jadi dia berusaha untuk menghargai permintaan-permintaan tersebut sekaligus menyadari tanggung jawab membesarkan anak paling pintar di dunia ada pada pundaknya. Frank mencoba untuk melihat dari berbagai sudut, dia mempertimbangkan pendapat banyak orang – mulai dari guru Mary, ataupun dari tetangga mereka, bahkan dari ibunya sendiri. Konsern utama Frank tentu saja dia ingin agar si anak tetap tersenyum dan membuatkannya sarapan, memenuhi segala kebutuhan. Dia ingin yang terbaik, dan dia ditantang ketika ada pihak yang mempertanyakan “yang terbaik buat siapa?”

Octavia Spencer main di film tentang anak cewek yang jago matematika, di mana kita pernah lihat itu sebelumnya?

 

Gifted mengacung-ngacungkan pertanyaan di depan muka kita yang menatapnya dengan terpesona; bisakah seorang jenius mendapatkan hidup normal. Bisakah seorang gadis cilik yang enggak benar-benar ingin diperlakukan sebagai the next Albert Einstein memilih untuk pergi ke pantai, memelihara kucing, nonton UFC dengan pamannya, dan just bermain dengan teman-teman, you know, just being a little girl dan menikmati hidup.

Ini adalah film yang benar-benar tentang karakter. Tidak ada ledakan ataupun aksi di sini. And I really like that about this movie. Semua adegannya hanya ngobrol atau berjalan, namun film ini menanganinya dengan amat efektif. Setiap scene rasanya padet. Ambil contoh ketika kita melihat Frank dan Mary di pantai, kita cuma melihat siluet mereka yang dilatarbelakangi oleh matahari terbenam, tapi pergerakannya sangat playful. Mary literally manjatin Frank, sembari mereka bertukar dialog yang sungguh asik serta menantang untuk diikuti. Mereka bicara tentang Tuhan, tentang kepercayaan. TENTANG PILIHAN. Totally ngedefinisikan film itu sendiri. Gifted sebenarnya bukan film pertama yang membahas tentang masalah anak jenius, tapi yang membuat film ini berbeda terutama adalah penampilan dan perspektif ceritanya. Jika kebanyakan biasanya hanya memfokuskan kepada perang hak asuh, maka film ini lebih kepada menjawab pertanyaan anak jenius bisa kok mendapat kedua hal; being genius dan menjadi anak kecil pada saat bersamaan.

Jejeran castnya tergolong kecil, namun sukses berat bawain cerita sehingga terasa gede. Yang PALING MEMESONA JELAS ADALAH HUBUNGAN YANG TERBANGUN ANTARA FRANK DENGAN MARY. Relationship mereka terasa sangat otentik. Padahal kedua tokoh ini bukan exactly ayah dan anak. The way mereka mengerti satu sama lain, tukar menukar percakapan, bahkan saat mereka ‘berantem’, lovable banget. Kocak. Penuh hati. Nyata.

Dan pemeran Mary, Mckenna Grace, oh wow adek ini mencuri pertunjukan! She’s star in the making, liat aja!! Entah mau jadi anak jenius yang ngambek, yang tau dia spesial namun gak demen sama ide dan peraturan dari sang nenek yang juga jenius, ataupun jadi anak kecil yang ingin bermain-main, Mckenna selalu deliver dengan meyakinkan. Di adegan sedih, dia juga berhasil bikin aku ngerasa “aww kasiaaann”. Ketika kita melihat penampilan bagus dari aktor cilik, biasanya kita langsung ngecap image peran tersebut kepada mereka. Sesungguhnya hal demikian itu nyusahin buat si aktor sendiri, mereka bakal dapat job ngisi peran yang itu-itu melulu. Macaulay Culkin aja mati-matian nyari peran yang bukan ‘anak-kecil-nakal-yang-adorable’ selepas perannya di Home Alone (1990). You know, bahkan aktor kayak Dwi Sasono aja, kita masih ngakak ngeliat dia tampil serius di Kartini (2017) atau ketika dia jadi dokter di Critical Eleven (2017), image Mas Adi begitu kuat melekat – padahal dia bukan aktor anak-anak. Akan tetapi, sepertinya hal ini tidak akan jadi masalah buat Mckenna Grace. Penampilannya di film ini just sooo good dan punya rentang luas sehingga can really break the mold untuk dia melakukan peran yang berbeda di film-film berikutnya.

variabel yang gaada di film Indonesia: tokoh dan aktor cilik yang menarik

 

Setiap kali hendak menonton film drama kayak gini, aku selalu khawatir. Takut nanti ceritanya terlalu melodramatis. Takut filmnya terlalu cengeng. Marc Webb sepertinya diberkahi kemampuan untuk mengolah drama dengan just right, kecuali di beberapa bagian menjelang akhir. Kayak di 500 Days of Summer (2009), Marc Webb keliatan seperti berada di rumah dengan penceritaan dramatis. Dia tahu takarannya. Problem dalam film ini muncul, eh bukan muncul, ding. Film ini tahu arah ceritanya, this movie embraces it. Problem film ini adalah pilihannya untuk mengambil sudut pandang yang tidak di tengah. Film ini adalah jawaban, kita harus respek ama keputusan ini. Mungkin film inilah jawaban yang benar. Namun, ketika ada yang benar, maka pasti ada yang salah. Dan pihak yang ‘salah’ dalam cerita ini, terlihat seperti tokoh jahat, a villain. Menurutku ini hanyalah cara gampang menuliskan sebuah film drama. Ada tokoh yang terlalu tanpa-hati. Aspek ini membuat film jadi predictable, dan personally aku pikir tokoh kayak nenek si Mary gak mesti dibuat sebagai tokoh jahat.

Terkadang, jika kita punya kelebihan, kita suka tidak sadar ada satu variable yang kehidupan kita; kasih sayang.Dan compassion tidak sama dengan matematika; ini bukan soal solusi. Ia adalah soal memberikan cinta sebanyak yang kita punya.

 

Film ini juga jatuh ke dalam ketagori cerita yang melibatkan proses pengadilan, di mana ada adegan di depan hakim, urusan legalisasi hak asuh anak, dan sebagainya. Singkat kata, dalam film ini ada elemen yang bakal bikin kita bosan. Bagian yang kita ingin untuk cepat berlalu sehingga kita bisa melihat porsi Mary dengan Frank lebih banyak. Adegan courtroom dalam film ini muncul sewaktu-waktu untuk nonjolin pihak baik dan jahat, untuk membakar api konflik keluarga yang jadi tantangan bagi Frank. Again, menurutku ini adalah cara textbook yang paling gampang untuk melanjutkan cerita.

 

 

 

Di luar adegan-adegan peradilan, ini adalah cerita yang sangat asik untuk dinikmati dengan banyak penampilan akting yang fantastis. Perspektif tokoh utamanya sangat menarik. Hubungan antara Frank dengan Mary begitu real dan menyentuh. Dialog-dialognya kadang kocak, kadang benar-benar bikin hati kita ketarik-tarik. Kecuali di bagian akhir, film ini sukses menjadi enggak terlalu dramatis. I love this movie, kuharap banyak orang yang tertarik untuk menontonnya sebab kisah drama antara anak yang spesial dengan orang yang truly menyayanginya ini dapat benar-benar menginspirasi orang-orang. Entah itu mendorong untuk mengajarkan compassion dan cinta, atau membuat orang ingin bikin film, atau belajar matematika hhihi.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for GIFTED.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

CRITICAL ELEVEN Review

“No parents should have to bury their child.”

 

 

Debbie Reynolds pernah bilang, “my greatest fear is to outlive my daughter.” Beliau tutup usia keesokan hari setelah putrinya, Carrie Fisher, meninggal dunia. Rest in peace buat kedua aktris legendaris tersebut, mereka sudah bersama lagi di alam sana. Toh, ketakutan terburuk sebagai orangtua sempat terealisasi, dan itu memang menyedihkan. Persoalan kehilangan anak karena kematian – entah itu penyakit, kecelakaan, atau dibunuh, atau tragedi lainnya — bagi orangtua penyelesaiannya tidak pernah segampang “tinggal bikin lagi”. Kematian seorang anak dapat mengarah kepada konsekuensi serius terhadap rumah tangga, yang tak jarang berujung kepada perceraian.

Film Critical Eleven mengangkat masalah tersebut sebagai salah satu dari permasalahan yang dihadapi oleh pasangan muda yang baru berumah tangga. Menjaga dan memenuhi kebutuhannya bahkan dari sebelum anak lahir ke dunia. Dan ketika semua yang telah dilakukan gagal, bagaimana mereka menyingkapinya, gimana keutuhan rumah tangga mereka, ini adalah perjuangan cinta yang sangat dewasa, dengan konflik emosional yang serius. Sebab, masalah yang dihadapi Ale dan Anya ini bisa saja terjadi kepada siapapun di luar sana.

Ketika seorang anak meninggal dunia, orangtua akan berasumsi bahwa itu adalah tanggungjawab mereka. Bahwa seharusnya mereka bisa mengusahakan sesuatu untuk mencegah hal tersebut dapat terjadi. Pada titik ini, orangtua bisa terjerumus ke dalam depresi yang dalam; mereka akan marah, menjauh, bahkan cenderung jadi saling menyalahkan. Kematian anak menimbulkan rasa ketidakmampuan dalam diri orangtua, karena mereka berpikir sebagi orangtua mereka mestinya bisa ‘memperbaiki’ semua hal dalam hidup anaknya. Dan ini membuat orangtua merasa tak berguna. Merasa bersalah.

 

 

Kita ngikutin kisah rumah tangga Anya dan Ale sedari mereka pertama jumpa di laut cinta, kau secantik mutiara…. eh jadi lagu Jinny oh Jinny, sori sorii. Anya (timing dan burst emotional Adinia Wirasti keren banget) yang udah nganggep bandara sebagai rumah keduanya malah nemuin ‘rumah tersayangnya’ saat dia dipinjemi saputangan oleh Ale, penumpang pesawat yang duduk di sebelahnya. Menggambarkan pertemuan mereka sebagai critival eleven dalam hidupnya, Anya jatuh cinta kepada Ale (range yang dimainkan oleh tokoh Reza Rahadian ini lebih lebar dari mulut menganga cewek yang nonton di sebelahku). Mereka menikah. Anya ikut Ale tinggal di New York, kehidupan cinta mereka bersemi sangat indah. Satu-satunya saat Anya kesepian adalah begitu Ale pergi kerja ke offshore rig. Being independent most of her life, Anya mendapat ‘tantangan’ ketika dia mulai mengandung anak yang sangat didamba oleh Ale. Cerita yang tadinya membuai penonton wanita dengan manisnya romansa, mulai ketemu kelokan ke arah yang lebih mengkhawatirkan as kedua pasangan ini punya pandangan dan prioritas yang slightly berbeda – dan tentu saja ego masing-masing got in the way. Dan Kematian turut campur tangan, ultimately, stake couldn’t get any higher.

kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya… Anda merana menatap pesan yang cuma dibaca

 

 

Film ini GORGEOUS. Penampilan aktingnya menawan. Reza dan Adinia punya pesona yang luar biasa tampil bersama. Penampilan visual film pun memukau. Entah itu ruang kantor ataupun pemandangan jalanan New York, semuanya terlihat cantik. Film ini memanfaatkan pemandangan tersebut sebagai perwakilan dari perasaan yang ingin disampaikan oleh cerita. Kita tidak melihat hujan di malam hari hingga mendekati akhir di mana hubungan kedua tokoh lagi genting-gentingnya. Ada dua shot yang aku suka banget, yakni adegan, yang demi enggak terlalu banyak beberin, let’s just say adegan Anya di kolam dan adegan Anya dan bayinya. Up until that point tho, semuanya terlihat menyenangkan. Walaupun jika kita tilik dari keintegralan dengan actual adegan yang sedang berlangsung, beberapa latar cantik itu tampak random. I mean, ini adalah fim yang berpusat pada hubungan dua tokoh, naturally ada banyak adegan percakapan. Entah itu tentang mereka saling mengutarakan keinginan, memilih nama bayi, atau sedang ada sedikit argumen. Kalo yang mereka pas ribut, sih kita pasti ‘melek’ ngikutin. Tapi untuk percakapan yang lumayan sepele – terlebih dialog-dialog dalam film ini kerap terdengar cheesy sekali – kita butuh untuk ‘terdistraksi’ oleh pemandangan kota just so kita tetap berada di sana.

Critical Eleven adalah istilah dalam dunia penerbangan; menit-menit krusial di mana biasanya kita dilarang mecolek-colek pilot dan copilot lantaran bisa mengganggu konstentrasi mereka demi take-off dan pendaratan yang aman. Tiga menit dan delapan menit itu sangat menentukan keselamatan seluruh penumpang. Dalam relationship, seperti yang dianalogikan literally oleh Anya, kita bisa melihat cinta itu datang di tiga menit pertama, namun proses ‘terbang’ dalam hubungan tidak selalu bisa ditentukan dari sana. Dibutuhkan delapan menit of understanding and everything, yang mana enggak benar-benar delapan menit. Dalam cinta, dalam rumah tangga, hanya ada proses dan setiap menitnya begitusama kritisnya.

 

 

Kalo dalam terbang istilahnya critical eleven, maka dalam film, angka penting adalah 10. Sepuluh menit pertama ketika kita menonton film adalah menit-menit paling krusial, dalam rentang waktu itu kita akan sudah bisa memutuskan film ini layak ditonton, kita suka atau enggak, bagus atau meh. Itulah makanya, dalam penulisan naskah, para scripwriter kudu bisa mejengin motivasi karakter, tone cerita, dan kait emosi di dalam sepuluh halaman pertama. Aku tidak melihat motivasi pada sepuluh menit pertama film ini. Atau paling enggak, tidak melihatnya pada tokoh utama kita. Aku sama sekali tidak dapat gambaran ini cerita tentang apa, apa konflik yang membayanginya. It’s about strangers who met in an airplane, and that’s it. Tidak menarik buatku, tidak menantang apa-apa. Tone dan gaya berceritanya pun tidak terasa spesial atau berbeda. Jadi aku menonton film ini kayak lagi nyebrangi jembatan yang enggak punya tali untuk pegangan di pinggirnya. Butuh waktu yang rasanya amat panjang untuk kita tahu konfliknya apa, film ini meminta belas kasihan kita untuk tetap duduk sampai saat konflik itu tiba tanpa memberikan apa-apa untuk kita pegang.

Dan aku benar-benar meraba soal memahami karakter film ini. I really just grasping at straw towards Anya, aku enggak merasa kenal dan mengerti sama tokoh ini sebanyak yang seharusnya, karena dia adalah tokoh utama. I get it dia biasa sendiri, apa yang rela ia lakukan, like, dia gak tahan ketika dia yang biasa sendiri kemudian mengattachkan diri kepada orang atau katakanlah rumah, dan lantas dia harus berpisah dari itu semua. Ini kayak ketika kita udah berlari kencang, terus berhenti, dan dipaksa untuk mulai berlari lagi. Melelahkan memang. Namun her concerns, alasan di balik pilihan-pilihan yang dibuat olehnya, gak benar-benar masuk akal buatku. Aku lebih ‘deket’ sama tokoh Ale, yang terasa lebih dominan dan lebih terang perihal mengatakan apa yang ia mau. Kita bisa memahami alasan Ale bersikap rather protective; dia punya begitu banyak cinta dan ingin membuktikan diri dia bisa menyayangi anak lebih baik daripada yang orangtuanya lakukan terhadap dirinya. Saking carenya, dia segan berhubungan ketika Anya tengah hamil. Kita juga ngerti konflik yang tercipta dari diri Ale, sebagaimana kerjaan mengharuskannya absen beberapa waktu dari keluarga tercinta.

Tau gak; Apa yang bego dan melompat-lompat, tapi bukan kodok?

 

Film ini bercerita dengan runut; mereka ketemu, mereka menikah, mereka menghadapi masalah yang timbul. Akan tetapi, prosesnya seringkali dilompat. Contohnya gini, setelah bertemu di pesawat, adegan selanjutnya adalah kita melihat mereka sudah akan menikah banget. My point is, kenapa dibikin runut (mengorbankan sepuluh menit pertama yang jadi datar) kalo prosesnya dilewat hanya buat supaya mereka punya bahan untuk flashback nantinya. Adat paling jelek film ini adalah dia lebih suka untuk BERCERITA LEWAT KATA-KATA, TANPA MEMPERLIHATKAN BUKTINYA KEPADA KITA. Ale bilang dia merasa orangtuanya enggak sayang kepada dirinya. Kita enggak lihat itu. Orangtua Ale malah terlihat perhatian. Ale bilang ke Anya saat mereka dalam perjalanan pindah ke New York, “ aku tahu pindah enggak gampang buat kamu”, but hey, mereka terbang gitu aja; kita enggak liat susahnya seperti gimana buat Anya, wong baru menit enambelasan mereka udah stay di New York. Ini jugalah yang menyebabkan karakter Anya di babak satu dan babak dua terasa berubah, dengan kita enggak yakin terhadap alasannya; semuanya hanya kita dengar lewat omongan, kita enggak melihat inner journeynya. Malahan kayaknya film ini mikir lebih keras demi timing buat nunjukin penempatan produk ketimbang memperlihatkan cerita. Akibatnya, ya filmnya berjalan dengan enggak meyakinkan.

Bagian terbaik film ini adalah paruh kedua, ketika konflik mulai tampak. Mesti begitu semuanya digampangkan. Resolusi yang dihadirkan juga standar trope drama banget. Pokoknya asal bisa bikin penonton cewek mewek aja deh! Kalian bisa bilang La La Land (2016) juga pake tropes ala ftv, tapi di sana karakternya membuat pilihan yang kuat. Karakter film Critical Eleven ini, bahkan ketika mereka pindah balik ke Indonesia, semuanya berlangsung gitu aja buat kemudahan mereka. Anya berargumen soal nanti di Indonesia dia bakal susah kembali nyari pekerjaan, tapi toh ketika udah di sana, semua jawaban teresolve otomatis. Seolah di dunia ini tidak ada yang berubah selain Anya yang kini hamil.

My biggest issue with this movie adalah kualitas penulisan dialognya. Aku enggak punya masalah soal campur aduk bahasa Inggris, karena cocok dengan lingkungan film ini. Lagipula secara psikologis, ada orang yang lebih mudah mengungkapkan perasaannya lewat bahasa asing, dan Anya tampak seperti orang yang masuk dalam kategori ini. Dan hey I’m doing it right now! aku juga menggunakan bahasa nyampur di review untuk alasan yang sama. Yang aku permasalahkan dari dialog film, selain terlalu banyak berkata-tanpa-nunjukin bukti ada hubungannya dengan film ini bertema sangat dewasa. Tokoh-tokohnya adalah orang pinter dan mature sekali. Dan actually ada adegan dewasa yang diincorporate nicely ke dalam narasi, ada kepentingannya di dalam cerita. But oh boy, kenapa ketika mereka ngobrol aku kayak lagi dengerin anak sekolah lagi pacaran? Cheesy abis. Beberapa ditulis straight forward. Enggak benar-benar banyak maksud yang terkandung di balik percakapan, dan ini membuat film semakin watered down buatku.

 

 

 

 

Film adaptasi novel yang mengangkat tema yang lebih dewasa mengenai cinta dan rumah tangga ini hidup oleh penampilan tokoh-tokohnya. Tahu persis bagaimana memancing emosi, terutama dengan memanfaatkan visual latar dan konstruksi shot yang matang. Tapi ceritanya butuh waktu lama untuk kick in, di mana untuk rentang yang panjang kita hanya meraba-raba apa yang terjadi sih sama karakternya. Fokus begitu lebih terhadap emosi, sehingga kita sering diombang-ambing tanpa pernah merasa benar-benar tertarik. Jika di paruh pertama kita menunggu, maka di paruh akhir kita berdoa agar cepat selesai. Ini adalah perjalanan terbang ke udara penuh cinta yang melelahkan, dengan tokoh yang enggak punya footing yang jelas. Kualitas dialognya juga lemah sekali; it’s either mengatakan sesuatu tanpa nunjukin, cheesy dan romantis yang over-the-top, atau just straightforward ke resolusi. Stake yang tinggi enggak diimbangin dengan resolusi yang meyakinkan. Jika genre dan cara bercerita begini adalah your cup of tea, you’re not gonne be bothered by some points yang aku utarakan. Namun buatku, film ini hanya biasa saja sejak sepuluh menit krusial yang pertama.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CRITICAL ELEVEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

SATRIA HEROES: REVENGE OF DARKNESS Review

“If you hate a person, you hate something in him that is part of yourself.”

 

 

Sungguh patut disukuri akhirnya sinema Indonesia punya figur superhero modern sendiri, dalam film yang dibuat dengan kompeten, yang stylenya kayak produk Jepang, tepatnya Tokusatsu -,-

All sarcasms aside, Satria Heroes yang beranjak dari serial televisi ini adalah film action superhero yang cocok banget buat ditonton anak-anak. Ceritanya ringan, actionnya super seru, dengan efek-efek yang imajinatif. Sehabis nonton ini, aku merasa kembali menjadi anak kecil, kayak kembali ke jaman aku menonton Kamen Rider RX untuk pertama kalinya. It was an OVER-THE-TOP EXPERIENCE, TAPI SANGAT MENYENANGKAN. Film ini adalah apa yang kuharapkan saat hendak menonton Power Rangers (2017) beberapa bulan yang lalu. Sebuah cerita superhero yang tahu persis dirinya dibuat untuk siapa, yang enggak malu untuk tampil norak dan cheesy, dan yang just take explosions dan adegan pertarungan melawan monster yang menyenangkan alih-alih terlalu menegangkan.

Adegan tarung di pembukanya saja sudah menyuguhkan action laga yang lebih baik dibandingkan dengan film-film action standar Indonesia. Koreografinya intens dan direkam dengan baik oleh kamera. Setiap gerakan tokohnya keciri. Pose-pose keren yang khas kita temukan dalam serial-serial superhero bertopeng berhasil ditangkap oleh kerja kamera, ngeblen cukup mulus dengan efek dan menterengnya kostum. Film ini punya production design yang benar-benar terlihat profesional dalam bidangnya. Aku yang enggak ngikutin serialnya di televisi, tentu saja terbengong-bengong takjub melihat adegan pembuka film ini; takjub demi ngeliat adegan pertarungan yang terasa megah, kayak lagi nonton Tokusatsu, dan bengong karena aku gak tahu Satria Bima dan Satria satunya yang kayak harimau itu siapa. Apa mereka musuhan atau temenan. Kenapa mereka berantem di depan Gunung Fuji. Kenapa aku nekat nonton film yang jelas-jelas dibuat untuk nyenengin fans setia serialnya?

Tapi tentu saja, sebuah film tidak akan menjalankan tugasnya dengan baik jika punya pemikiran “ya kalo mau ngerti, tonton aja serial/film pertama/baca saja bukunya”. Film yang baik mesti bisa berdiri sendiri; dalam artian paling enggak dia punya cara untuk menjelaskan sehingga penonton dapat mengerti tubuh dasar karakter dan narasinya. Film Satria Heroes memilih untuk menggunakan adegan seorang tokoh bercerita kepada anak-anak sebagai sarana eksposisi. Dari adegan yang udah kayak rangkuman serialnya tersebut aku jadi tahu kalo dua orang yang bertarung di awal tadi sebenarnya adalah temen. Satria Garuda Bima-X, yang nama manusianya adalah Ray, telah melewatkan banyak pertempuran menumpas kejahatan bersama Satria Harimau Torga, yang nama manusianya Dimas. Ada satu Satria lagi; adik Ray yang kinda menghilang entah ke mana. Dan film ini melanjutkan kisah mereka di mana Ray sekarang berada di dunia parallel, sementara Dimas lagi kunjungan bisnis ke Jepang. Bahaya muncul dari musuh yang punya dua hal; dendam kesumat dan semacam device yang bisa menghipnotis orang. Jadi, musuh ini menggunakan berbagai cara untuk mengalahkan Bima dan Torga – sukursukur bisa sekali lempar batu, dua burung kena – dan ultimately, dia membangkitkan seorang musuh lama dengan kekuatan yang baru. Musuh yang lantas go overboard dengan memporakporandakan seluruh dunia.

“Tidak mungkin!” (mengangguk sambil mengepalkan tinju) / “Kamu tidak apa-apa?!” (mengangguk dengan khawatir) / “Ya, aku mengerti sekarang!” (mengangguk dengan mantep)

 

 

Semua aspek yang bisa kita apresiasi dari genre tokusatsu Jepang bisa juga kita temukan di sini. Akting dan gestur yang over-the-top, gimana cara mereka mengambil gambar, gimana cara mereka bercerita lewat adegan pertempuran – jurus-jurusnya, animasi ledakan dan sebagainya, bahkan dialog dan leluconnya menjadikan film ini kayak buatan Jepang dengan budget yang sedikit lebih kecil. Memang seperti yang ditunjukkan oleh film inilah formula tokusatsu, dan Satria Heroes menanganinya dengan fantastis. Aku enggak ngikutin tokusatsu, jadi mungkin aku yang kuno, tapi aku sangat menggelinjang melihat film ini memainkan adegan berubah dalam cara yang baru aku lihat. Biasanya kan, tinggal bilang berubah dan wujud protagonis kita langsung dibungkus armor. Di film ini, Ray berubah secara parsial. Dia masih bertarung sebagai manusia, dan Bletak! Dia meninju musuh – here comes tinjunya berubah. Dia nendang – serta merta kakinya menjadi mengenakan metal. It was new and so refreshing.

Film ini juga lumayan memperhatikan detil. Ketika berantem, detil-detil seperti gravitasi, logika fisika, dan semacamnya mendapat perhatian. Batu-batu properti yang berjatuhan memang terlihat seolah punya bobot saat mendarat, misalnya. Ketika Dimas ketemu klien di Jepang, kita diperkenalkan sama translator yang secara instan ngeterjemahin bahasa yang diucapkan. Dan film ini play that technology nicely dengan membuat suara translatornya terdengar datar, tanpa emosi, kayak suara google translate. Beberapa adegan terkait alat tersebut jadi lumayan lucu, dan bahkan juga escalate menjadi creepy.

 

Narasi dalam Satria Heroes dibagi menjadi tiga bagian gede. Film literally memisahkan bagian-bagian tersebut dengan judul tersendiri, dan sebagai transisi di antaranya kita akan diperlihatkan animasi buku/komik yang terbuka sendiri di somekind of old library (?). Dan buatku, film ini barulah benar-benar terasa sebagai sebuah film ketika kita sampai di narasi bagian kedua. Sampai ke titik ini, jalannya alur film memang rada aneh, kayak ikutan melompat-lompat seiring aksi, ada flashback, cut, trus present, trus cut lagi ada eksposisi, ke masa kini lagi, trus ke flashback lagi.. Kita malah enggak tahu apa motivasi yang melapisi tindakan tokoh utama. Karakter Ray seperti apa, tidak pernah diperlihatkan. Dia baik, itu aja. Dia enggak melakukan pilihan; hanya sekedar ada yang butuh pertolongan, dan yeah heroes gotta save people just in time. Narasi kedua yang dikasih judul ‘Arsya’ membawa kita ke titik nol. Tonenya sama sekali berbeda dengan bagian pertama. Kita ngeliat tokoh yang berbeda, dan cerita di sini actually lebih dramatis dan lebih grounded. Cerita asal muasal gitu deh, ketika antagonis menceritakan kisahnya sewaktu kecil, dan ini bikin kita paham dan terinvest secara emosional kepada tokoh ini, lebih daripada kepada tokoh utama.

Kalian mungkin membenci diri sendiri karena ngerasa enggak pinter, atau enggak cakep, atau enggak cukup spesial. Alasan Wira adalah karena kesalahan yang ia buat. Ini adalah konflik yang berlangsung internal. Dan ketika ia melihat para Satria, dirinya melihat bagian dari dirinya yang ia benci, dan tentu saja lebih mudah menyalahkan orang lain ketimbang menghunus telunjuk kepada diri sendiri. Manusia memang munafik seperti demikian, liat saja ibu yang memukul anaknya sebagai ganjaran buat anaknya yang berantem. Tapi semestinya sifat benci tersebut dapat diarahkan sebagai cara untuk memahami diri sendiri. Wira tidak mesti memburu para Satria, kekuatannya bisa datang dari self-improvement.

 

Ini menciptakan benturan tone yang serius. Dan lebih jauh lagi, membuat kita mempertanyakan ini film sebenarnya mau nyeritain tentang apa sih. It worked best as an origin story dari tokoh jahat. Kualitas penampilan akting pun jauh lebih baik di narasi kedua ini. Pemeran Wira, aktor cilik Faris Fadjar Munggaran, berhasil menyampaikan emosi genuine yang sangat dibutuhkan oleh film ini. I mean, setelah satu jam kita melihat orang dewasa bertingkah terlalu baik, enggak ada cela, bahkan cenderung polos sehingga terasa kayak anak kecil dalam tubuh anak gede; maka di cerita kedua ini kita akan melihat percikan api dari karakter Wira. Kita bisa merasakan amarahnya, kita mengerti dari mana itu berasal. Motivasi itu adanya malah di sini. Dan buat film anak-anak, kejadian di sini tergolong tragis. But then again, clashing tone – di awal sangat cheesy dan cenderung kocak – hanya membuat bagian ini lebih menjemukan daripada seharusnya. To make thing worst, entah kenapa di bagian drama ini film memutuskan untuk lebih banyak memakai efek komputer. Hujan dan percikan air saja mesti pake komputer loh, bayangkan! Keliatan banget pula. Episode yang mestinya paling manusiawi dari film ini malah jadi downgrade dengan adegan yang ditangani dengan artifisial seperti itu.

susah buatku mempertahankan wajah datar nonton narasi kedua

 

Tiga puluh menit terakhir bertindak efektif sebagai persembahan buat fans. Cerita mendadak jadi punya stake yang berskala sangat besar. Semua jagoan kita mengerahkan segenap kemampuan untuk mengalahkan penjahat utama. Aksinya keren. Namun teknik eye tracingnya terlihat sedikit off, kamera kerap menyorot terlalu dekat, tapi kita masih bisa mengikuti apa yang terjadi, meskipun memang membutuhkan sedikit usaha ekstra. Efek saat berantemnya cukup mulus, membanting efek kehancuran kota habis-habisan. Baru di menjelang akhirlah film memasukkan motivasi yang diniatkan supaya kita bisa mendukung para protagonis. Mungkin formula tokusatsu memang seperti ini, you know, pahlawan yang nyaris kalah kudu berkontemplasi dulu mengingat kenapa dia melakukan ini sejak awal, dan kemudian dia barulah dia berhasil membangkitkan kekuatan baru yang lebih kuat. Namun begitu, aku percaya film ini bisa menjadi lebih baik lagi jika urutan ceritanya dibenahi. Jika rentetan narasinya dirapikan, dibuat plot yang lebih jelas, sehingga karakter-karakternya lebih mudah untuk didukung.

 

 

 

Bukan mau bilang dirinya berusaha nyaingin Pulp Fiction (1994) dengan segmen ceritanya yang sengaja ditabur acak, tapi toh kelihatan film ini mencoba untuk bersenang-senang. Ia tahu persis mau jadi seperti apa. Universe-dalam filmnya terbangun dengan baik. Mencoba memadukan tarung Indonesia ke dalam dunia ala tokusatsu Jepang. Over-the-top tapi itu sudah diharapkan. Sukses menggapai nilai hiburan yang niscaya membuat setiap anak kecil yang menontonnya jejingkrakan senang. Desain produksi yang keren, koreografi aksi yang intens, efek yang mendukung porsi laga tapi tentunya bisa lebih baik lagi digunakan sebagai latar. Jangan melulu bergantung kepada CGI, tho. Dengan semua aspek cerita yang sudah terestablish semenjak serial tvnya, film ini toh kurang berhasil untuk berdiri sendiri. Narasi mestinya bisa disusun lebih rapi dan efektif lagi sehingga yang nonton akan enak ngikutin jalan cerita, karakter pun jadi dapat terfleshout dengan compelling. Petarungan terbesar yang dimiliki film ini bukan Satria lawan monster, melainkan justru pertarungan antar tone cerita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SATRIA HEROES: REVENGE OF DARKNESS

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

COLOSSAL Review

“A person who cannot give up anything, can change nothing.”

 

 

Cewek, kalo marah, bisa jadi menyeramkan kayak monster. Tapi masalahnya adalah, Gloria enggak ingat dia marah. Malah, Gloria enggak bisa ingat apa-apa dalam rentang waktu dia mabok. Penyakit kecanduan minum wanita muda ini memang sudah sampai taraf gawat, Gloria kesulitan menahan diri untuk enggak menenggak sebotol bir yang nganggur di depan matanya. Padahal hidupnya sudah nyaris berantakan lantaran kebiasaan jelek tersebut. Pacarnya udah nyerah bilang “I can’t deal with this anymore.” Maka Gloria pun kembali ke kota tempat ia dilahirkan. Ingin berbenah diri, niatnya. Di kota masa kecilnya itu dia ketemu teman lama, yang mengajak Gloria bekerja di bar miliknya untuk sementar. Namun ada waku-waktu ketika Gloria tidak ingat dia ngapain sepulang kerja. Dan kini Gloria mendapati dirinya sedang menonton berita ulangan liputan serangan monster raksasa yang memporakporandakan kota Seoul di Korea Selatan. Yang bikin Gloria heran, dan takut; dia melihat monster tersebut ngelakuin gestur gerakan yang sama dengan yang ia lakukan setiap kali dia bingung. Jadi, Gloria harus mencari tahu apa dia ada hubungannya dengan kemunculan sang monster. Apakah memang dia yang bertanggungjawab atas hilangnya ratusan nyawa korban injakan mau tersebut.

Jika biasanya film-film yang menampilkan monster raksasa penghancur kota adalah cerita tentang manusia melawan alam, di mana metaforanya berskala besar; dan monster-monster tersebut adalah cerminan dari kecemasan global, maka Colossal menghadirkan monster yang sama sekali berbeda. Kaiju gede di sini adalah manifestasi dari ketakutan satu orang; rasa insekur yang menjelma menjadi teramat besar sehingga mampu menghancurkan kehidupan di sekitar orang tersebut.

 

Pernah mandi ujan tapi airnya air sirop? Enggak pernah kan, sama, aku juga belum pernah. Tapi aku yakin rasa menyegarkannya pasti sama dengan perasaan refreshing yang kita alami ketika melihat elemen-elemen cerita film ini perlahan turun. Karena memang film ini benar-benar berbeda dan orisinil punya. I was genuinely surprised by this movie. Baru sekali ini loh ada yang ngebahas aspek monster raksasa dengan perspektif seperti yang dilakukan oleh garapan Nacho Vigalondo ini. Fantasi sci-fi yang actually sangat membumi alias personal. Monster Reptil yang muncul dan bikin panik seisi kota tersebut dijadikan sebagai lapisan terluar. Di balik elemen tersebut, sebenarnya ini adalah tentang struggle seorang wanita yang berusaha mengatasi ketergantungan terhadap alkohol; seorang wanita yang berusaha untuk menata kembali hidupnya yang porak poranda akibat ‘penyakit akut’nya itu.

Ketika kalian was-was ngeliat diri sendiri terlihat jelek pas nampil di tivi

 

Pusat semesta dari cerita ini adalah Gloria dan temen masa kecilnya, Oscar. Sebagian besar waktu akan kita habiskan nongkrong bareng mereka di bar. Kedua aktor yang memerankan mereka, untungnya, mampu mempersembahkan penampilan yang menarik sehingga elemen drama yang juga dipunya oleh film ini dapat bekerja dengan baik. We’ll get into the drama aspect later, but, Anne Hathaway is really good in this movie. Dia berikan nuansa yang berbeda dalam pengekspresian karakter Gloria. Ada banyak emosi subtle yang ia tambahkan, bukan hanya pada unsur komedi, melainkan juga ketika elemen drama datang mengambil alih. She’s damaged, pribadi yang sangat bercela, tapi kita masih merasakan simpati karena kita mengerti usaha yang dilakukan olehnya. Dan tampaknya sedikit sekali aktor yang mampu memainkan Oscar selicin yang dilakukan oleh Jason Sudeikis. Dia adalah teman sepermainan yang sudah lama enggak ketemu ama Gloria, jadi vibe alami yang dikeluarkan tokoh ini adalah sedikit-misterius. Like, gimana bisa setiap kali dia tersenyum, kita bisa menangkap makna-makna yang berbeda. Dinamika hubungan Gloria dan Oscar – dua orang ini mendadak bakal highly at odds with each other – tak pelak akan menjadi begitu penting sehingga mengambil alih fokus.

Dan di situlah ketika film mulai berjuang untuk mempertahankan atensi kita yang masih tertinggal di Korea sana.

Elemen monster dalam film ini luar biasa keren lantaran begitu berbeda. Siapa sih yang enggak demen ngeliat film yang genrenya udah punya pakem kayak film monster ini ternyata dikembangkan dengan arah dan actually punya twist yang belum pernah kita lihat sebelumnya? Kalo kalian tanya aku, aku suka sekali dengan arahan yang diambil film ini dalam ngebahas elemen tersebut. Unik. Khususnya di bagian ending, shot terakhirnya bahkan sangat apik. Namun, ketika film ini membahas elemen drama yang lebih standar, tidak lagi ia terasa sekuat saat membahas elemen fantasi. Sejujurnya, adalah langkah yang sangat berani film ini membenturkan dua tone yang berbeda. Fantasi dan drama. Komedi dan serius. Colossal tampak punya AMBISI YANG KOLOSAL demi ingin ngegabungin itu semua, gimana caranya agar cerita sesimpel cewek yang berusaha membenahi hidup dan come in terms dengan apa yang sudah ia lakukan di masa lalu, tapi dikonfrontasi oleh masa lalu itu sendiri, bisa menjadi cerita yang sangat penting dan memiliki skala gede.

Tapi benturan dua tone tersebut just don’t match up. Enggak exactly merusak kayak jika Godzilla ketemu King Kong, sih. It’s just transisi antara dua tone itu enggak sepenuhnya mulus; cerita film ini akan beralih dari yang sangat kocak dan ringan ke sangat serius dengan mendadak di mana korban-korban berjatuhan. Problem dunia yang sangat serius, tapi kemudian kita lihat monster itu menari, lalu ada ancaman banyak orang terinjak, dan kemudian blank, it’s just doesn’t match up very well.

just.. drink it in, maaaan!

 

‘MENDADAK’ adalah kata kunci yang dipakai film ini untuk menjembatani tone-tone tersebut. Karakter Oscar adalah contoh berikutnya dari clashed tone yang hasil dari perantaraan si ‘mendadak’ ini. Dalam satu adegan, Oscar terlihat sangat perhatian. Dia baik, dia mengerti, dia peduli sekali. Membuat kita ingin gabung juga ke bar miliknya setiap kali ada masalah. Di hari berikutnya, senyum orang ini seperti punya makna yang lain, dia tampak seperti pembunuh berantai psikopat yang menakutkan dan sangat berbahaya. Kita enggak bisa tahu apa persisnya yang dipikirkan oleh kepala orang ini. Perubahannya begitu tiba-tiba sehingga seolah aku cabut ke kamar kecil di tengah-tengah film. Tapi enggak. Aku enggak melewatkan adegan Oscar membuat pilihan yang mengubah segala hal tentang karakternya. Perubahan tokoh ini memang sangat drastis, dan film ini menjadikan ‘mendadak’nya itu sebagai hal atau simbolisme yang penting di dalam narasi. Did it work tho? Well, obviously, not so much.

Ada satu pasang tone lagi yang buatku terasa enggak klop; Anne Hathaway dengan orang mabok! Hihi, I mean, look at her. Hathaway cantik banget dengan rambut lebat bergelombang dan senyum tigajari, dia tetap cantik seperti itu bahkan ketika dia hangover berat. Susah untuk percaya bahwa Gloria adalah seorang pecandu alkohol. Gloria akan lupa daratan; ia gak ingat waktu, dia alpa dan kesulitan mengingat kejadian ataupun sekedar apa yang dia ucapkan tadi malam, tapi tetep aja cewek ini terlihat menakjubkan. Alih-alih terlihat sebagai pemabok yang kerap terjatuh di lubang yang sama, tokoh ini lebih terlihat kayak cewek kuliahan yang sengaja dijelek-jelekin untuk menghindari masalah hidup.

Monster itu, anehnya, juga adalah simbol dari keberdayaan sebagai seorang manusia. Sebagai monster, Gloria menghancurkan apa saja yang di depannya, tapi tidak sekalipun monster itu menengok ke bawah. Tapi itu sebelum dia menyadari bahwa kekuatan datang bukan dari keinginan besar untuk menghancurkan, melainkan dari keinginan kecil untuk melawan; melawan alkohol, melawan trauma masa lalu. Keinginan kecil untuk meninggalkan kebiasaan, meskipun jika hal tersebut adalah sebagian kecil dari dirinya.

 

 

 

Metafora campur-campur, penceritaan yang kerap bersilih fokus dari satu tone ke tone lain yang really clash out, semua itu pada akhirnya bisa termaafkan lantaran film ini benar-benar orisinil dan sangat berbeda. Elemen fantasi sci-finya sangat menyenangkan. Kocak dan dibarengi dengan drama serius. Ia dihidupkan oleh penampilan yang bagus, meskipun kadang sedikit tidak berimbang antara kebutuhan narasi dengan penyampaian. Tapinya lagi, aku sangat merekomendasikan, tonton film ini duluan jika kalian punya waktu luang, karena film ini juga ngajarin yang kecil-kecil bisa berdampak besar. Apresiasi kecil dari kita bisa membuat film kreatif ini jadi gede, dan siapa tahu, bakal bermunculan cerita-cerita orisinal lain yang berani dan ambisius seperti film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for COLOSSAL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2 Review

“Sometimes the family we make for ourselves is more important than the family we are given through blood.”

 

 

“Hey Marvel, mari kita bersenang-senang. Berikan kepadaku karakter-karakter bercela yang kalian punya, kuterbangkan mereka seantero jagat raya, kupasangkan walkman, kuputarkan hits dari tahun delapan puluhan, dan kubiarkan mereka menari sambil beraksi seasik-asiknya!” Begitu kiranya yang dicetuskan sutradara James Gunn ketika dia menangani film Guardians of the Galaxy (2014). Jadilah kita dapet superhero unik yang menggabungkan aksi amat seru, musik supernendang, dengan hubungan antarkarakter yang kocak abis. Dan di film yang kedua ini, right at the start, kita langsung diterjunkan ke dalam sekuen aksi yang cantik dan luar biasa, yang juga memberikan kita gambaran akan seperti apa tone film ini.

Kita bisa lihat lelucon dan gaya dari film yang pertama tetap dibawa ke film terbaru ini. Star-Lord, Rocket, Drax, Gamora, dan Baby Groot (gemessshh!!) sekarang sudah berteman makin erat. Kita turut ngerasa kian akrab sama mereka. Mengemban nama Penjaga Galaksi, kumpulan orang keren ini menerima pesenan ngelakukan tugas di ruang angkasa. As of right now, mereka sedang dalam misi mengalahkan sesosok monster besar. Dan alih-alih nyorot aksi pertempuran tersebut secara langsung, kita dikasih fokus ke kegiatan Baby Groot yang mencoba dengerin musik di antara desingan peluru cahaya dan tentakel si monster. Pertempuran seru berlangsung di latar, dan terkadang Gamora ataupun tokoh lain terlempar ke arah Groot, dan mereka nyempetin diri untuk menyapa. Lucu, manis, dan tetap menegangkan. Sebenarnya apa sih yang bisa kita pelajari dari adegan tersebut? Apa yang ingin dibicarakan oleh film ini?

Sekali lagi, kevulnerablean muncul ke permukaan. Para tokoh menurunkan sedikit ‘pertahanan’ mereka untuk berinteraksi dengan Groot, dan aka nada banyak momen lagi di sepanjang film saat seorang karakter menunjukkan kualitas terburuk mereka. Berbahaya, memang. Tapi not so much, jika kita menunjukkannya kepada keluarga. Film ini ingin memperlihatkan bahwa keluarga adalah tempat kita bisa mengeluarkan sisi terjelek sama amannya dengan kita mengeluarkan sisi terbaik. We can show both of sides of ourselves kepada keluarga karena keluarga akan memaafkan dan kita pun siap untuk memaafkan anggota yang lain. Bahwa cinta keluarga adalah tak-bersyarat.

 

Ada peraturan tak-tertulis yang dipatuhi oleh beberapa film dalam menggarap sekuel. Film kedua kebanyakan akan berpusat di masa lalu yang balik menghantui tokoh utama. Di balik semua lelucon, Guardians of the Galaxy Vol.2 adalah TENTANG KELUARGA. Star Lord akan dihadapkan kepada garis keluarganya. Dia akan bertemu dengan ayahnya yang sudah lama menghilang. Bersamanya, kita akan belajar tentang siapa sih ayah si Peter Quill, apa yang membuat orang ini menjadi begitu spesial dan berbeda. Bukan hanya Star Lord, film ini pun mengeksplorasi sisi keluarga dari tokoh-tokoh lain. Both heroes and some of the villain characters. Yang kemudian akan menghantarkan kita untuk belajar mengenai asal muasal mereka, membuat kita bersimpati atas trauma masa lalu yang menimpa, dan ultimately membuat setiap karakter dalam film ini memiliki bobot yang sangat kuat.

Mari berharap di misi selanjutnya Star Lord cs ketemu ama geng Cowboy Bebop

 

Ketika mendengar sebuah film akan dibuat sekuelnya, biasanya kita langsung mengharapkan yang tinggi-tinggi. Kita pengen film baru itu akan dua kali lebih seru, aksinya dua kali lipat lebih menegangkan, emosinya dua kali lipat bikin baper, dan hey, ledakan yang du…em, lima kali lebih banyak! The thing is; sekuel enggak selalu harus lebih besar. Karena yang lebih besar belum tentu lebih baik. Beberapa film hebat menggarap sekuel dengan jalur yang berbeda dari film originalnya. Ambil contoh franchise Alien (1979); film pertamanya lebih kepada thriller sci-fi yang sangat efektif. Ketika membuat sekuelnya, James Cameron enggak mau menapaki langkah yang persis sama dengan Ridley Scott, maka ia mengarahkan Aliens (1986) menjadi lebih ke elemen action. Dalam kasus Guardians Vol 2, jelas James Gunn paham akan hal ini. Dia bisa saja membuat film ini punya ground yang sama dengan yang pertama, dengan mengedepankan banyak aksi exciting dan tokoh-tokohnya berkelakar setiap saat. Tapi enggak. James Gunn membuat Volume 2 sebagai less of a bigger action film, dia membuatnya GEDE DI BAGIAN KARAKTERISASI.

Kekuatan dan daya tarik film ini tidak lagi ada pada sekuen aksi. Meskipun tentu saja film ini punya banget beberapa aksi yang bakal bikin kita bersorak. Apa yang dilalui oleh tokoh-tokoh dalam film ini akan membuat mereka sedikit kurang cool, dibandingkan pada film yang pertama, namun hal-hal yang mereka lalui akan menjelaskan banyak karakter yang mereka punya. Kenapa Rocket merasa perlu untuk mencuri, apa yang sebenarnya ia berusaha untuk buktikan, misalnya. Kita akan belajar lebih banyak tentang masing-masing tokoh, sehingga membuat mereka jadi punya bobot – jadi punya alasan untuk kita cheer dan punya alasan untuk berada di dalam cerita, lebih dari sekedar orang kocak, ataupun rakun imut yang sangat badass. James Gunn menekankan kepada detil traumatis masa lalu yang mereka hadapi yang membuat mereka pribadi yang kita kenal sekarang. Setiap tokoh terflesh out dengan sangat emosional. Terutama Nebula dan Yondu.

Dibesarkan oleh Thanos pasti bukanlah pengalaman masa kecil yang menyenangkan. Dalam film pertama kita belum benar-benar tahu alasannya kenapa. Kita belum mengerti apa yang membuat Nebula sangat jahat, tidak seperti kakaknya yang lebih bisa diajak kompromi. Dalam Volume 2 ini, kita akan mengetahui alasannya, dan ternyata alasan tersebut sangat heartbreaking dan luarbiasa tragis, khususnya untuk Nebula. Saat kit mikirin tentang masalalunya ini, kita jadi merasa terattach kepadanya. Penampilan Karen Gillan mungkin agak sedikit over, namun kita jadi melihat Nebula sebagai makhluk yang sangat manusiawi – walaupun dia bukan manusia. Michael Rooker sebagai Yondu juga sukses mencuri setiap adegan yang ia mainkan. Tokohnya di sini lebih baik dibanding film pertama, dan bahkan aku sudah suka sejak film originalnya itu. Senjatanya keren banget, kayak Shinso di anime Bleach. Dalam film kedua ini, berkat penulisan yang hebat, kita belajar banyak sehingga membuat kita sangat peduli padanya. Yondu punya penokohan yang paralel dengan Rocket, dan the later character benar-benar diuntungkan dari Groot yang sekarang menjadi bayi. While Groot bener-bener kayak bayi, dia tak pelak bikin kita bilang “aaaaaawwwhh” setiap kali muncul di layar, di sini dia kinda dumb. Jadi persahabatannya dengan Rocket enggak dieksplor banyak, instead kita dapat eksplorasi tokoh Rocket yang membuat dia juga terasa lebih manusiawi.

Semua aktor bermain dengan fantastis. Di antara para tokoh yang paling sedikit kebagian dieksplor adalah Drax. But oh boy, James Gunn menulis tokoh ini dengan meniatkannya menjadi tokoh humor. Drax adalah yang paling kocak dan Batista bener-bener deliver komedi dengan baik. Celetukan dan lelucon terbaik datang dari tokoh ini, dari cara pandangnya terhadap sesuatu yang amat sangat tak-biasa.

Aku ngakak berat di bagian Mary Poppins xD

 

Satu jam pertama film memang terasa riweuh. Ada banyak pergantian kejadian yang membuat emosi kita kayak diombang-ambing ombak, flownya sedikit kurang mulus. Aku pikir ini banyak sangkut pautnya dengan salah satu pihak antagonis; itu loh, orang-orang emas yang mengejar Guardians pake pesawat dengan teknologi kayak game arcade. Mereka muncul sewaktu-waktu dan memberikan tantangan kecil-kecilan untuk tokoh pahlawan kita. Buatku, Ratu Ayesha dan pengikutnya ini lumayan useless, kita enggak benar-benar butuh mereka. Tapi aku paham film butuh tipe penjahat ‘bego’ kayak gini sebagai distraction sebelum pertempuran yang sebenarnya dimulai.

Kadang kita bertengkar dengan mereka. Kadang kita saling enggak tahan kepada masing-masing, tapi pada akhirnya kita tetap berdiri bersama. Itulah keluarga. Tidak selalu harus ada hubungan darah. Keluarga adalah orang-orang yang saling berbagi dengan kita, yang kita saling menumbuhkan kekuatan, yang kita nyaman menjadi diri sendiri saat bersama mereka. Bahkan Dewa, menurut film ini, berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menanggulangi rasa kesepian – berusaha untuk konek dengan seseorang, mencari seseorang untuk berbagi.

 

Karena karakter-karakternya telah disetup dengan teramat baik, menjelang menit-menit akhir, film ini sukses membungkusku dengan emotional weight. Momen indah hadir susul menyusul. Tapi aku harus bilang, visual film juga memegang peranan penting. Sebab untuk beberapa bagian, film ini terdengar agak cerewet. Maksudku, momen-momen emosional itu, kita sudah benar-benar ngerasain apa yang diniatkan – emosinya sudah terdeliver. Hanya saja, momen tersebut kinda lecet karena dialog dari tokoh yang overstating apa yang kita rasakan. Mestinya enggak semuanya perlu diucapkan. Efek yang lebih kuat bisa dirasakan jika tidak dikatakan. Masalah yang mirip juga aku temukan pada tokoh Ego yang diperankan oleh Kurt Russel. Ayah Quill ini charming banget, sayang perannya kerap berkurang menjadi sebatas penyampai eksposisi. Karakter ini mestinya bisa ditulis lebih baik lagi.

 

 

 

 

Tidak lantas menjadi lebih bagus, lebih exciting, lebih gede dari film pertamanya, petualangan para superhero luar angkasa kali ini memang difokuskan kepada karakterisasi. Porsi aksi keren dengan visual stunningnya mesti ngalah buat pengembangan relationship antarkarakter; yang diolah dengan fantastis dan benar-benar efektif sehingga kita merasa lebih peduli kepada mereka. Setiap tokoh yang punya bobot lebih banyak. Dan ini membuat kita menantikan petualangan-petualangan mereka selanjutnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? I am Groot. Eh sori, maksudnya… We be the judge.

MEMBABI-BUTA Review

“Curiosity killed the cat.”

 

 

You can tell dari posternya yang lumayan keren, film ini bakal berdarah-darah. Prisia Nasution kelihatan sangat mengancam mejeng bareng kapak gede dari abad pertengahan tersebut. Genre Thriller apalagi yang berturunan slasher akan selalu dapat sambutan yang hangat, akan sangat menarik untuk melihat apa yang bisa dilakukan oleh sutradara Joel Fadly dalam film debutannya ini sehubungan dengan efek-efek praktikal anggota tubuh yang tercincang-cincang. Kita bisa mengharapkan film ini bakal goes medieval on us.

Membabi-Buta adalah cerita tentang wanita bernama Mariatin yang baru saja mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Sundari dan Sulasmi, kakak-beradik yang masih memegang teguh budaya Jawa. Kedua wanita paruhbaya tersebut sayangnya bukan tipe nenek-nenek yang suka masakin kue. Mereka galak. Sulasmi suka ngebentak. Sundari dingin banget, meski dia masih nunjukin kepedulian sama anak kecil yang menggigil kedinginan. Namun kepada Mariatin, mereka berdua ini udah kayak ibu tiri. Mariatin diberikan peringatan dan aturan-aturan yang cukup aneh begitu dia masuk ke dalam rumah tersebut. Pintu dan jendela yang senantiasa tertutup rapat, kamar yang hanya bisa dimasuki dengan ijin terlebih dahulu, telepon yang tak boleh ia pakai, dan peraturan utama rumah tersebut adalah jangan banyak tanya. Untuk memperaneh suasana lagi, Mariatin kerap mendengar suara wanita di tengah malam; jeritan yang seolah sedang disiksa. Mariatin berusaha untuk enggak mikirin semua ini, dia tetap bekerja meski rasa ingin tahunya semakin gede. Garis batas bagi Mariatin adalah ketika putri kecilnya, Asti, makin hari makin menunjukkan gelagat aneh dan kemudian jatuh sakit. “Mungkin kebanyakan main”, kata Ndoro Sundari ketika ditanyai. Eventually, misteri yang terjadi di rumah tersebut terkuak dan Mariatin bertindak membabi buta demi keselamatan putrinya dan kita mendapatkan sebuah film slasher.

A very bad one.

Film ini MEMBOSANKAN. Oke, aku sendiri enggak percaya seumur-umur aku bakal ketemu slasher yang bikin mataku berair karena kebanyaka menguap. I mean, hakikatnya genre ini pastilah brutal dan menegangkan, dan jika kau berhasil membuat hal-hal brutal tersebut menjadi boring, maka kupikir, itu bisa menjadi prestasi tersendiri. Jadi, selamat deh buat film Membabi-Buta, you are breaking a new ground!

Hingga babak ketiga, film ini akan datar-datar aja. Tak sekalipun elemen lokasi tertutup dimanfaatkan dengan benar-benar maksimal. Kita hanya melihat Mariatin yang disuruh-suruh. Thriller haruslah punya set up, segala ketegangan mestinya dibendung dari awal untuk kemudian dilepaskan di akhir. Menciptakan sensasi seram tanpa membuat penonton merasa lega. Film ini tidak mampu menguarkan ketegangan. Untuk bikin takut, film ini hanya mengandalkan kepada trope-trope horor. Banyak adegan berupa; seseorang mengintip, lalu yang diintip menoleh mendadak, dan BLAAARR suara keras di layar saat yang ngintip tersentak kaget. Dan memang kelihatannya film ini berusaha terlalu keras untuk menjadi seram dan menegangkan. Sundari dan Sulasmi bersikap misterius dan kejam sepanjang waktu sampai ke titik aku bingung sendiri; ini film pembantu yang teraniaya atau film tentang majikanku misterius kayak hantu, sih? Di akhir-akhir, film bahkan mencoba memancing sisi dramatis, yang nyatanya juga berdampak datar karena enggak disetup dengan baik.

“Sifat sok-seram kamu yang berlebihan akan menyusahkan kamu sendiri!”

 
Tokoh utama kita sebenarnya punya karakter yang cukup ‘berdaging’. Mariatin dituliskan punya sifat ingin tahu yang besar, dia cenderung nekat. Sebagian besar bentakan majikannya datang dari Mariatin yang dinilai bersikap kurang sopan, main masuk kamar seenaknya. Ada satu adegan yang bikin aku ngakak, yaitu ketika mereka makan malam. Sundari dan Sulasmi mempersilakan Mar dan anaknya makan bareng di meja makan, tapi Mar pada awalnya menolak. Selain takut gasopan, aku mikirnya mungkin Mar sedikit jijik ngeliat mata cacat Sulasmi, atau mungkin dia masih kebayang kuku kaki Sulasmi yang panjang-panjang yang baru saja ia cuci (ewwww!), jadi dia enggan makan bareng mereka. Namun ternyata, setelah mereka makan, justru ternyata Sulasmi yang ilang selera demi mendengar Mar yang makannya ngecap alias ngunyah dengan mulut terbuka sehingga bunyi decapannya konser ke mana-mana ahahhaha. Mariatin ternyata makannya lahap loh, sebodo amat kalo tempat ama majikannya nyeremin gilak!

Hal menarik dalam film ini adalah gimana Sundari dan Sulasmi bersikap lebih ramah kepada Asti dibandingkan kepada Marianti.Yea, mungkin karena dia anak kecil dan dua saudari ini punya latar belakang sehingga numbuhin soft spot kepada anak kecil. Tapi kupikir ini juga ada kaitannya dengan Asti yang patuh dan Mar yang bertindak atas rasa ingin tahunya. Asti dianggap baik, tapi is it truly what makes a “good girl”? Apakah memang kemampuan untuk mengikuti perintah atau intruksi tolak ukur seseorang bisa dikatakan anak baik?

 

Masalahnya adalah, dengan sifat yang penuh ingin tahu sehingga bikin kesel majikannya itu, narasi tidak memberikan banyak ruang bertindak kepada Mariatin. She’s rarely making any choices. Dan di waktu-waktu langka tokoh yang mestinya relate buat kita ini memilih suatu keputusan, yang dia ambil adalah keputusan yang bego. Gini contohnya, Mariatin baru saja melihat sesuatu yang menyeramkan di bawah sana, ada cewek yang dirantai dan disiksa, in fact, dirinya sendiri practically baru saja lolos dari maut, dan bukannya langsung kabur bawa anaknya, dia malah naik ke atas minta tolong ke kamar salah satu majikan yang gak bisa dibilang ramah kepadanya. Konteks film ini adalah Mariatin menahan diri untuk kemudian, akibat tekanan yang terus menempa, dia akan membabi buta melepaskan semuanya. Tapi konteks ini tidak diisi dengan konten-konten yang meyakinkan. Alih-alih bermain di ranah pengembangan karakter Mariatin, film ini fokus ke mengorkestrain serem dan drama. Yang dibutuhkan film ini adalah layer untuk mmeperkuat perspektif tokohnya. Tapi film tidak pernah mempedulikan hal tersebut, film ingin terus menakuti-nakuti penonton. Makanya kita dapat adegan mimpi yang entah dari mana dan gak make sense dan gak klop dengan tema cerita, like, kenapa Mariatin ngalamin mimpi tersebut? Emangnya ada hantu yang minta tolong or something?

Ada banyak pertanyaan yang ditimbulkan oleh film ini lantaran memang plot-plot thread tersebut tidak dibungkus dengan baik. Atau malah lantaran kelupaan dibahas. Kita dianggap nerimo begitu saja ‘jawaban’ yang diberikan, tanpa cerita benar-benar menjelaskan kenapa dan bagaimananya. Aku gak mau ngespoiler terlalu banyak, tapi motivasi dua saudari ini rada gak jelas dan enggak benar-benar klop dengan jawaban sebab musabab yang diberikan.

nah ini, baru seram!

 

Bahkan adegan yang paling kita tunggu-tunggu, adegan ketika semuanya menjadi hantam-hantaman, tubuh terpotong-potong, enggak dihandle dengan cakap. Kamera seringkali ngecut di setiap momen-momen penting. Koreografi kelahinya juga terlihat gemulai, enggak intens. Mungkin karena keterbatasan fisik para pemain, tapi masa sih enggak pake pemeran pengganti? Inti problemnya memang di pengarahan. Penampilan akting di sini terletak di antara over-the-top dengan enggak meyakinkan. Bahkan Prisia Nasution yang biasanya bermain bagus, dalam film ini enggak convincing enough. Karakter Mariatin seharusnya babak belur secara fisik dan emosi, tapi sama sekali tidak tergambar ke layar. Tidak ada bobot emosi yang terdeliver kepada kita para penonton. Dan tokoh anak kecilnya, ya sesuai standar film Indonesia lah; anak-anak hanya sebagai device yang tokohnya enggak berjiwa, enggak berattitude. Film ini ditutup dengan ending yang sebenarnya bisa bekerja baik jika didevelop telaten sedari awal. Dari plot standpoint sendiri, memang endingnya harus begitu karena membuat tokohnya mengalami perubahan. Sayangnya, karena narasi yang amburadul dan tidak dieksplor dengan genuine, jadinya terasa maksa dan out-of-nowhere.

 

 

 
Bertemakan tentang tindakan nekat, tapi filmnya sendiri malah bermain aman. Tidak ada resiko kreatif yang diambil. Sebelum sampai di bagian slashernya, kita akan dininabobokkan oleh cerita yang tidak dimasak, satu-satunya yang bikin kita tetap terjaga adalah suara musik yang keras dan suara bentakan Sulasmi. Dan ketika sampai di bagian slasher di akhir pun, rasanya penantian tidak terbayar tuntas. Adegan-adegannya tidak maksimal, aku mengharapkan praktikal efek yang bener-bener seger dan unik. Namun sama seperti bagian lain film ini, bagian akhir juga tidak menampilkan sesuatu yang baru. Jadi jangan dulu bilang sebagai karakter studi atau apa, sebagai media hiburan semata saja, film ini gagal menjalankan tugasnya.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for MEMBABI-BUTA.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

THE CIRCLE Review

“The price for safety is the loss of privacy.”

 

 

Teknologi berfungsi untuk mendekatkan yang jauh. Dan sebagai timbal baliknya, teknologi juga dapat menjauhkan yang dekat. Mae Holland merasakan langsung kebenaran pepatah masakini tersebut. Cewek muda yang diperankan oleh Emma Watson itu keterima kerja di sebuah perusahaan supergede yang bernama The Circle. Sebagai seorang cutomer service di company tak-ternama, Mae tentu saja girang ketika dia berhasil dapet posisi serupa di The Circle. Gini, bayangkan kantor Google, kemudian campurkan dengan social media, dan letakkan di lingkungan kerja yang sangat modern di mana semua ide akan dihormati dan pencetusnya akan dielukan seolah mereka adalah keturunan Albert Einstein. Begitulah lingkungan perusahaan The Circle; tempat yang sangat kekinian dan menyenangkan.

Dan semua pekerja di sana saling terhubung satu sama lain. Mae dan para karyawan yang dipanggil Circler digebah untuk selalu aktif di akun media sosial dan memberitahukan semua yang mereka lakukan ke semua pengguna. Dan eventually, Mae yang dengan cepat naik pangkat, setuju untuk menjadi seratus persen transparan. Dalam artian, dia secara sukarela memasang kamera canggih segede bola mata di badannya supaya orang-orang bisa ngikutin semua kegiatannya setiap detik dua-puluh-empat-jam sehari.

kecuali saat dia ke toilet, you pervert!

 

Elemen thriller coba dibangkitkan oleh film ketika Mae mulai bekerja di The Circle. Aku enggak mau repot-repot nonton trailer, jadi sebelumnya aku enggak tau ini film tentang apaan. Kesan yang datang saat melihat gestur dan aktivitas para eksekutif membuatku berpikir bahwa kantor Mae ini adalah semacam cult terselubung. Semua orang terlihat gembira ‘menjual’ kehidupan pribadi dan privasi mereka. Pemimpin dari organisasi ini; Eamonn Bailey, adalah pembicara yang begitu karismatis, membuat kita terbayang sosok Steve Jobs, hanya dengan sedikit nuansa jahat. Sepanjang film berlangsung kita akan melihat gimana mereka sama sekali tidak peduli dengan privasi, malahan mereka tampak ingin membuat ketiadaan privasi sebagai hal yang lumrah karena kita akan diperlihatkan sisi positif dari memasang kamera kecil di setiap sudut di berbagai tempat. Mae dapat banyak followers baru, posisinya kian naik, dan dia benar-benar suka dengan gagasan criminal bisa tertangkap hanya dalam beberapa menit saja. Tapi kita juga bisa melihat apa yang tidak terlihat oleh Mae, apa yang membuat keluarga dan sahabat Mae menolak online berlama-lama; semua ini mengarah kepada invasi privasi dan banyak lagi komplikasi hak-hak asasi.

Perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya, sampai-sampai film yang didaptasi dari novel terbitan 2013 ini terasa agak ketinggalan jaman. Kita sudah tahu dan aware akan apa yang ingin disampaikan oleh film. Kata-kata “teknologi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” sudah kita dengar sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi tetap saja, setiap hari perkembangan tersebut semakin gencar. Sekarang kita punya banyak aplikasi seperti Facebook Live, Insta-Story, atau malah Bigo live, yang pada beberapa kesempatan bikin kita geleng-geleng “wah, lagi liburan privasi juga liburan.”

Konsep sharing is caring adalah hal yang lumrah buat generasi milenial, namun sejatinya kita kudu berhenti sejenak dan berpikir; Apakah kita perlu ngeshare segalanya? Apakah semua pantas untuk dibagikan?

 

Ketakutan yang dirasakan oleh orang-orang sehubungan dengan teknologi digunakan oleh film sebagai pemancing drama. Ada ELEMEN SATIR yang lumayan kuat yang mampu mengundang sejumlah tawa. Ada elemen politik juga, di mana The Circle, demi hajat hidup orang banyak, ingin mengawasi kerja pemerintah secara langsung sehingga tidak ada penyelewengan. Namun, cara film ini mengeksplorasi elemen thriller dan dramanya sangat kacau sehingga ceritanya nyangkut di level aneh, alih-alih menarik, let alone thought-provoking. Susah aja bagi kita nerima kenyataan film bahwa ratusan orang – atau malah milyaran, seperti yang disebutkan film – mendukung ide soal kamera yang benar-benar meniadakan privasi. Iya, kita melihat beberapa komen yang enggak setuju, orang-orang terkasih dari Mae juga enggan untuk terlibat, namun film ini tidak pernah dengan mulus membahas konflik yang mestinya muncul dari potensi invasi privasi gede-gedean ini.

Instead, dari awal sampai akhir kita hanya mendapat satu insiden. Satu momen konflik. Sebagian besar film ini adalah tentang Mae ataupun pemimpin organisasi yang berbicara mempersembahkan ide mereka di depan karyawan dan eksekutif. Kita bisa melihat beberapa gagasan mereka ada yang benar, ada yang salah. Hanya saja tidak pernah berkembang menjadi konflik. Semuanya mengempis begitu saja; terlupakan, karena di adegan berikutnya semua tampak menjadi normal dan termaafkan. Di tengah-tengah film aku ngarep ada kejadian apa kek, paling enggak Mae sama sahabatnya berantem jambak-jambakan. Aku ingin lihat orang-orang itu mendapat pelajaran dan berubah. Tapi enggak ada kejadian apapun di film ini. Tidak ada resolusi yang menohok, tidak ada jawaban. Pada beberapa adegan terakhir, film mencoba untuk menjadi dramatis, hanya saja dengan absennya set up, satu konflik tersebut malah jadi abrupt dan tetep saja membuat film ini sebagai tontonan yang gampang untuk kita lupakan.

MINIMNYA KONFLIK tentu selaras dengan MINIMNYA KEPUTUSAN YANG DIBUAT OLEH KARAKTER. Inilah masalah terbesarku terhadap film The Circle. Tokoh utama kita, ‘pahlawan’ yang mestinya kita relasikan dengan diri sendiri, enggak banyak ngapa-ngapain. Mae ditulis dengan datar dan enggak menarik. Emma Watson adalah aktris yang cakap dan believable jika diberikan peran yang sesuai. Tetapi sebagai Mae, dia terdengar monoton, dengan banyak ekspresi bingung menatap layar. Interaksinya dengan karakter lain tidak lebih hanya sebagai sebagai device.

Film ini punya kebiasaan untuk memperkenalkan karakter tanpa memberinya plot ataupun hook buat kita pegang. Tom Hanks is barely in this film padahal perannya cukup penting; Bailey adalah yang terdekat yang kita punya dari seorang antagonis. Tapi meski demikian, bahkan karisma Tom Hanks enggak membantu banyak. John Boyega malah tampil lebih sedikit lagi, dengan peran yang selalu tenggelam ke background. Perannya di sini adalah sebagai Circler misterius yang mulai ‘curiga’ dan berontak terhadap organisasi. However, film menerjemahkan tokohnya ini hanya sebagai orang yang sesekali muncul untuk memperingatkan Mae. Tokoh favoritku di film ini justru adalah kedua orangtua Mae; Ayahnya (rest in peace Bill Paxton) yang mengidap MS dan Ibu yang setia mendampingi. Mereka berdua sangat penasaran sama kerjaan Mae, dan mereka adalah the voice of reason yang actually lebih mudah untuk kita dukung, dan punya relationship yang lebih menarik untuk diikuti.

ngestalk siapa lagi yaa kali ini?

 

Secara visual, ini adalah film yang mentereng. Namun secara teknis, film ini terasa kurang professional. Kita bisa melihat film ini dibuat dengan cakap, akan tetapi hasilnya secara keseluruhan tidak tampak seperti demikian. Yang paling kentara tentu saja adalah arahannya; sama sekali enggak spesial. Talenta para aktor disiasiakan, enggak satu pun dari mereka menyuguhkan penampilan yang memuaskan. Bahkan Tom Hanks terdengar lumayan monoton di sini. Aku baru saja pulang dari ngintip proses syuting film, maka mau tak mau aku memperhatikan gimana struktur pengambilan gambar; buat yang suka memperhatikan editing ataupun teknik ngesyut, maka pastilah bisa mengerti bahwa film ini menggunakan teknik yang enggak baik. Particularly, the way mereka menyambung adegan terasa kasar. Contohnya di adegan ketika Mae dan sahabatnya ngobrol di dalam bilik toilet terpisah. Film ini menggunakan sudut pengambilan standar untuk kedua tokoh, di mana Mae dan sahabatnya sama-sama diposisikan di tengah shot. Dan kemudian mereka ditampilkan bergantian, dengan sudut yang sama. Hasilnya cukup menggelikan, seolah Mae dan temannya itu muncul bergantian di bilik yang sama, padahal itu adalah bilik yang berbeda.

Mengetahui semua tidak pernah adalah hal yang baik. Karena itu berarti tidak ada ruang bagi kita untuk mempertanyakan sesuatu. Yang ultimately berarti tidak ada kesempatan untuk berkembang menjadi lebh baik lagi. Dan tentu saja mengetahui semua berarti tidak ada rahasia, sedangkan manusia perlu untuk menyimpan rahasia. Karena setiap kita sejatinya punya dua kehidupan, personal dan sosial. Dan di dunia di mana semuanya sudah overexposed,hal paling keren yang bisa kita lakukan adalah menjaga kemisteriusan diri.

 

 

 

Jika ini adalah cerita satir tentang society yang memutuskan untuk menjadi transparan sehingga tidak ada yang ditutupi, maka aku akan blak-blakan bilang ini adalah film yang membosankan. Penampilan datar dari barisan aktor yang sangat cakap. Arahan yang biasa aja dari sutradara yang mumpuni. Editing yang awful. Penulisan yang poor. Film ini is a complete mess, ia terlihat amatir padahal digarap oleh orang-orang yang bisa kita katakan sudah professional di bidangnya. Pesannya pun tidak seprovokatif yang diniatkan, lantaran we already know that.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE CIRCLE.

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.