STIP & PENSIL Review

“It’s easy to look sharp when you haven’t done any work.”

 

 

Banyak yang menyerukan hapuskan kesenjangan, namun ketika si kaya melakukan hal yang baik, kita masih menudingnya sebagai pencitraan. Saat kita berbuat salah, kita masih suka membela diri atas nama kemiskinan, seolah dengan menjadi orang susah berarti kita lemah dan punya alasan untuk melakukan ‘pemerasan kecil-kecilan’ kayak yang dilakukan oleh ibu pemilik warung dalam film ini. Orang miskin tidak perlu hal lain karena masalah kita satu-satunya adalah uang. And in turn, ketika kita beneran punya duit rada lebihan dikit aja, kita suka melempar uang gitu aja kepada masalah. It seems like, kita sengaja membuat gap antara miskin dan kaya. Tanpa sadar kita sendiri yang menulis kesenjangan dengan memanfaatkan dinamika unik yang tercipta oleh uang.

Menyinggung masalah sosial paling asik memang lewat nada komedi. Stip & Pensil mengerti ini dan melakukan kerja yang sangat luar biasa dalam mempersembahkan dirinya sebagai parodi. Yea, this film WORKS BEST AS A PARODY. Celetukan lucu terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Tentang dinamika antara si kaya dan si miskin, as kita sebagai penonton ditempatkan di tengah-tengah kelas yang saling kontras ini. Gedung sekolah darurat dan kampung kumuh bisa bekerja sebagai simbol dunia pendidikan yang mulai kotor oleh kepentingan. Tawa yang dihasilkan film adalah tawa yang menyentil kita dengan akrabnya.

Pelaku dalam cerita ini adalah satu geng anak SMA yang dijauhin dan disirikin sama teman-teman yang lain lantaran mereka berasal dari keluarga yang tajir mampus. Toni (Ernest Prakasa nampak paling tua namun naskah mampu berkelit memberikan alasan) dan tiga sohibnya; Bubu yang cakep namun telmi (Tatjana Saphira memainkan perannya dengan gemesin), Saras yang manis namun hobi ngelempar kursi (dari empat, Indah Permatasari yang kualitas aktingnya paling menonjol), dan Aghi yang paling ‘waras’ namun gak banyak berbuat apa-apa (aku bahkan gak yakin tokohnya Ardit Erwandha ini punya karakter), mereka layaknya anak sekolahan mendapat tugas menulis essay sosial. Setelah bertemu dengan, atau lebih tepatnya dikibulin oleh, seorang anak jalanan, mereka kemudian memutuskan untuk mengambil topik pendidikan di daerah pinggiran, tampat anak-anak jalanan tadi tinggal. Pada awalnya, tentu saja remaja kaya ini menyangka semuanya bakal segampang ngibasin duit, tetapi cibiran, tuduhan, dan prasangka dari teman-teman sekelas membuat mereka nekat terjun langsung ke lapangan. Karena terus diprovokasi, Toni malah kepancing emosi buat bikin sekolah darurat di kampung kumuh tersebut! Jadilah mereka sepulang sekolah harus ngajar ke sekolah bikinan sendiri, mereka kudu nanganin warga kampung yang enggak peduli amat sama dunia pendidikan, bahkan mereka wajib membujuk anak-anak jalanan dengan duit sebelum anak-anak itu mau diajari membaca oleh mereka.

they are not strangers if they drove fancy cars.

 

Walaupun dirinya adalah suguhan komedi dengan tone yang ringan, bukan berarti film ini tidak mempunyai urgensi di dalam ceritanya. Stip & Pensil tidak kalah penting dibandingkan A Copy of My Mind (2016). Dialog-dialognya diolah dengan cerdas sehingga bisa memuat tema dan isu-isu yang relevan, dan menyampaikannya dengan lancar. Komedi film ini bahkan lebih efektif dibandingkan Buka’an 8 (2017) yang juga berusaha memuat banyak singgungan terhadap tema sosial. Dengan sukses menggambarkan karakter masyarakat masa kini yang suka berlindung dengan mental kelas bawah meski enggak malu-malu untuk menunjukkan arogansi kelas atas, tanpa terasa terlalu menggurui. Film akan memaparkan kita dengan kenyataan, yang dikemas dengan konyol, dan kita menerimanya sebagai fakta. Sebagai fenomena yang benar-benar terjadi di masyarakat.

Semua orang mau yang gampang. Buat apa kerja, mendingan langsung dikasih duit saja. Tapi di film ini kita melihat anak-anak jalanan yang tak mau belajar tersebut kerepotan mencari jalan saat dikejar petugas lantaran mereka enggak bisa membaca tulisan-tulisan ‘jalan ini ditutup’ di tembok. Di lain pihak, yang punya duit mikirnya, buat apa repot-repot, tinggal bayar semua beres. Antara kerja langsung dengan membayar, bedanya hanya dignity. Ibarat pensil; pensil yang paling panjang dan paling runcing adalah pensil yang tidak melakukan apa-apa. Inilah yang dirasakan Toni cs ketika mereka harus bersusah-susah menjaga dan mengaktifkan sekolah bikinan mereka.

 

 

Cerita seperti ini sebenarnya cukup tricky untuk digarap. Parodi dengan banyak isu, artinya mereka enggak bisa terpaku kepada satu karakter tertentu. Dan lagi, the closest thing we have to protagonists pada film ini adalah kelompok remaja kaya yang menyabotase pagelaran seni sekolah demi mendapat perhatian. It is hard enough buat kita menumbuhkan kepedulian kepada mereka. Apalagi ketika keempat anak SMA ini tidak diberikan penokohan yang benar-benar berarti. Pengembangannya tipis, mereka share the same trait dengan elemen komikal sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Motivasi mereka enggak sepenuhnya terasa jujur, karena pihak ‘antagonis’ film ini toh punya poin yang bagus about them, dan kita bisa melihat praduga mereka benar, so yea, yang berusaha aku bilang adalah kita akan masuk ke dalam narasi tanpa ada hook yang kuat. We just go in sebab segala adegan dan dialog ditangani dengan kocak dan nyata, sehingga kita ingin melihat lebih lanjut. At times, kita malah ingin melihat di luar karakter utama karena tokoh-tokoh penghuni kampung yang dibuat lebih berwarna. Dan film ini memberikan mereka kepada kita; menjelang akhir ada pergantian perspektif di mana kita melihat penghuni kampung bekerja sama menghadapi penggusuran, which is some nice sight to see, akan tetapi membuat kita bertanya; ke mana Toni dan kawan-kawan, kenapa di peristiwa penting begini mereka malah absen?

See? Masalah terbesar yang menahan Stip & Pensil bukan pada penulisan, not necessarily ada pada penokohan, melainkan terletak pada struktur cerita; pada bagaimana film ini menceritakan dirinya. Separuh bagian pertama penuh oleh adegan-adegan lucu yang seputar pendirian sekolah darurat dan tantangan kegiatan belajar mengajar di sana, tetapi ‘the real meat’ datang dengan rada telat. Maksudku, kita ingin melihat remaja-remaja SMA yang kaya tersebut bonding dengan bocah-bocah pengamen, kita ingin melihat gimana mereka work it out dengan neighborhood yang belum pernah mereka tapaki sebelumnya, kita ingin lihat gimana mereka actually mengajar di kelas, dan rasanya akan lama sekali sebelum kita mencapai bagian ini.

Dan begitu elemen tersebut sudah masuk — aku menyangka paruh akhir akan lebih menyenangkan lagi – film malah memberi kita penyelesaian yang terburu-buru. Semuanya terasa rushed dan dipermudah. Mereka mungkin seharusnya tidak membuat kita invest so much kepada Toni dan kawan-kawan, karena toh ada pergantian perspektif, dan Toni enggak benar-benar menyelesaikan apapun. Pun begitu, film malah menambah elemen baru, drama kok-elo-naksir-si-anu-sih-kan-gue-yang-suka itu misalnya, yang pada akhirnya juga diselesaikan dengan abrupt. Aku juga merasakan masalah ‘masuk terlalu lambat, diselesaikan dengan terlalu cepat’ yang sama juga menghantui A Copy of My Mind, namun paling enggak dalam film tersebut tidak ada penambahan elemen mendadak ataupun pergantian sudut pandang.

karena tidak ada persahabatan tanpa fists bump.

 

Setiap dialog mengandung lelucon yang berhasil diintegralkan dengan mulus. Tapi masih ada juga bagian yang serta merta ada buat kepentingan tawa semata. Sama seperti bagian drama cinta remaja yang kusebut di atas, yang eksistensinya cuma buat menarik perhatian penonton. Dan kadang-kadang, antara satu lelucon dengan lelucon lain, terasa enggak make sense – enggak klop logikanya. Misalnya adegan tenda; aku enggak ngerti kenapa mereka yang anak-anak orang kaya cuma bisa nyewa satu tenda, aku enggak ngerti kenapa mereka enggak tidur di dalam sekolah darurat saja alih-alih di pekarangan luarnya, dan aku enggak ngerti kenapa Saras jadi histeris heboh ngeliat tikus padahal bukankah di adegan pembuka kita melihatnya mengancam panitia di belakang panggung sekolah dengan literally mengayun-ayunkan tikus di depan wajahnya.

 

 

 

Komedi yang cerdas dan bekerja dengan highly effective menjadikan film ini tontonan yang tidak hanya menghibur, namun juga sarat isi. Bicara soal bullying, persahabatan, status sosial, prasangka, semua materi dipikirkan dan digodok bersama humor dengan sangat matang. Kuat di bagian ‘apa’, sayangnya film ini runtuh di ‘bagaimana’. Semestinya pensil itu digunakan untuk menulis ulang struktur sehingga bagian penyelesaiannya tidak terburu-buru dan tidak dipermudah. Sebagaimana setip itu mestinya digunakan untuk menghapus elemen-elemen yang dimasukkan just for the audience.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for STIP & PENSIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

PERSONAL SHOPPER Review

“The medium is the message.”

 

 

Fotografi abstrak pertama di dunia adalah jepretan dari seorang spiritualis. Begitu juga dengan lukisan abstrak; Hilma af Klint, pelukis Swedia yang mempercayai keberadaan dunia lain di luar dunia fana kita, menyelesaikan lukisan pertamanya (barisan bangun ruang yang terlihat tak beraturan) bertahun-tahun sebelum konsep seni abstrak dikenal oleh publik. Keabstrakan dipercaya berasal dari kesadaran yang lebih tinggi, yang dipengaruhi oleh spiritualisme dan theosofi. Bentuk-bentuk sembarang tersebut, actually adalah semacam bentuk dari komunikasi. Ada tatanan dalam keserampangan. Sebelum dahi kalian mulai mengernyit dan berkata cempreng ala ala Chris Tucker dalam Rush Hour, “This is bullshit!”, aku mau menekankan bahwa film Personal Shopper berlandaskan kepada pemikiran atau KONTEKS KEABSTRAKAN DENGAN KONTEN SPIRITUALIS. Menonton film ini akan sama seperti melototin lukisan abstrak; gak jelas. Ini adalah film arthouse yang teramat aneh, jadi kubilang, tontonlah segera film ini begitu nemu!

Narasinya sangat enggak-biasa. Sejujurnya, meski sudah banyak menonton film misteri dan horor, aku belum pernah melihat film yang seperti ini. Jika kalian mengharapkan film setan-setan dengan jumpscares ataupun tontonan horor thriller semacam American Horror Story dengan Americannya diganti dengan French, maka kalian akan kecewa. Saking misterinya, malah kita akan kesulitan untuk meletakkan ada di genre mana film ini. Hororkah, thriller, atau malah drama? Jawabannya; Semuanya. Keanehan film ini merupakan akibat dari BANYAKNYA PERGANTIAN TONE yang bakal kita temukan sepanjang durasi. Film ini ngepingpong kita dari satu tone ke tone lain dengan cara yang sangat sangat haunting. Mainnya cantik, memang, namun bakal bikin sangat enggak-enak. Merinding.

Film ini adalah gabungan dari banyak elemen cerita yang bedanya lumayan jauh juga satu sama lain. Ini adalah cerita hantu. Serta adalah sebuah potret duka. Sekaligus tentang seseorang yang frustasi terhadap pekerjaannya. Juga merupakan kisah misteri tentang penguntit yang ngintilin lewat teknologi. Di pusat semesta itu semua, ada Kristen Stewart sebagai seorang cewek bernama Maureen. Dia bekerja sebagai asisten belanja buat model terkenal. Maureen akan pulang-pergi Paris dan London mengambil pesanan baju untuk kemudian diserahkan kepada sang model. Di tengah-tengah kesibukannya itu, Maureen yang baru saja ditinggal mati oleh saudara cowok kembarnya berusaha menggunakan bakat ‘bisa-ngeliat’ yang ia miliki untuk mencari dan reach out kepada saudaranya tersebut. Maureen berusaha membuat koneksi antara dunia sini dengan dunia sana.

kita akan jantungan mendengar bebunyian di rumah setelah melihat ending film ini

 

Maureen adalah PENAMPILAN TERBAIK DARI KRISTEN STEWART sepanjang karirnya sejauh ini. Sudah lewat masa-masa ketika dia nampilin muka datar. Sebelum ini, aku pernah melihat Stewart turut bermain jadi asisten pribadi pada Cloud of Sils Maria (2014) yang juga digarap oleh Olivier Assayas, dan aktris ini bermain bagus banget di sana. Aku sudah ngereview film tersebut di Path beberapa waktu yang lalu, namun belum sempet menyadurnya jadi tulisan full ke blog. Highly recommended deh pokoknya, terutama buat yang suka soal idealisme melawan komersialisme.

Balik lagi ke Kristen Stewart dalam Personal Shopper; penampilan aktingnya meningkat. Di film ini dia bermain dengan fenomenal. Tokohnya sangat real, totalitas banget. At one point in the movie, Maureen yang ia perankan akan ngerasa malu kepada dirinya sendiri karena dia sangat ingin mencoba pakaian-pakaian pesenan klien yang tidak mampu ia beli. Di poin lain, Maureen nerima pesan Line yang sangat creepy dari seseorang misterius yang menurutnya mungkin saja itu adalah pesan dari abangnya yang sudah mati. Reaksi-reaksi emosi dari Maureen terlihat sangat nyata. Kita bisa merasakan dia terdetach dari dunia profesinya, dia terbebani oleh masalah-masalah yang she’s trying to deal with. Maureen akan berhubungan dengan banyak orang, dengan desainer, dengan manajer, dengan mantan abangnya, dengan calon pembeli rumah abangnya, dengan model kliennya, tapi kita tetap melihat dia sebagai dirinya sendiri. Pegangan kepada tokoh ini begitu kuat.

Ketika berduka mendalam, ketika proses berduka itu menghantui setiap langkah, kita tidak lagi mengerti apa itu hidup. Kita akan melakukan hal di luar nalar. Kita akan mengambil keputusan-keputusan yang tidak dipikirkan dengan matang. Kita tidak memikirkan apapun kecuali yang ganjil-ganjil. Gimana cara kerja otak saat berduka nestapa, semua tersebut ditangkap dengan sempurna lewat campur aduk dan abstraknya tone film ini.

 

Elemen-elemen dan tone campur aduk ini tidak pernah membuat film keluar dari jalur harmonis. Mereka menyatu membentuk satu tema spesifik, yakni bicara TENTANG APA YANG KITA ALAMI KETIKA KITA SEDANG BERDUKA. Menurutku gagasan itulah yang ingin dibicarakan oleh sutradara Olivier Assayas, dan dia benar-benar berhasil mengeksplorasi itu semua dengan sangat baik. Sukses berat membuatku kepikiran sama film ini, hingga lama setelah ceritanya berakhir. Bagian paling menawannya adalah kita tidak bisa memperkirakan cerita. Kita tidak tahu ke mana arah cerita ini, kita tidak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya, dan film ini dengan segenap hati mematahkan semua prediksi dan ekspektasi penonton yang berusaha menebak misterinya. Biasanya, film misteri akan memberikan kita kepingan puzzle, kalian tahu, kita akan diperlihatkan adegan yang berisi petunjuk yang bakal membuat kita menjentikkan jari bilang “Aha, aku ngerti sekarang! Begitu rupanyaaa!!” Tapi Assayas enggak memberikan kita momen buat kegirangan kayak itu. Nyaris setiap ada kesempatan, dia lebih memilih untuk menyembunyikan kepingan puzzle tersebut. Dia melemparkan kepada kita sebuah sekuen sambil bilang “tuh, cari tahu sendiri deh pake otak!” dan kita memang harus melakukannya supaya mengerti dan konek dengan para karakter.

Personal Shopper tidak menyia-nyiakan satu adegan pun. Tiada satu aspek yang tidak punya maksud dan arti. Aku literally bengong dua jam mikirin apa makna dari gaun berkilau yang diam-diam dikenakan oleh Maureen. Tone cerita memang diniatkan untuk berbeda, keabstrakan adalah nuansa yang berusaha dibangun, saking samarnya bahkan kita enggak pernah betul-betul tahu Maureen bekerja untuk seorang model atau siapa. Film tidak pernah menyebutkan terang-terangan. Akan tetapi, setiap layer cerita pada akhirnya tetap koheren satu sama lain.

Pekerjaannya sebagai asisten belanja pribadi dan keistimewaan Maureen dapat melakukan kontak dengan makhluk astral, dua hal ini menunjukkan kehidupan profesional dan personal Maureen sebenarnya berjalan beriring; Maureen adalah seorang medium, dia adalah perantara. Dan ini bentrok sekali dengan kehidupan sosialnya. Orang-orang yang ditemui Maureen, yang melakukan interaksi sosial dengannya, tidak berurusan langsung dengannya. Kepada pemilik butik atau desainer, dia bicara karena urusan kerja. Kepada teman-teman saudara kembarnya, well technically mereka bukan temannya secara langsung. Maureen tidak punya kehidupan sosial sendiri, dan saat itulah dia menyadari bahwa dia hanyalah ‘hantu’ dari eksistensi saudara kembarnya, dia adalah ‘bayangan’ dari kliennya. Adegan ketika Maureen mencoba semua pakaian yang ia beli untuk kliennya adalah cerminan dari dia ingin menjadi orang lain, dia ingin dirinya menyeruak menjadi ‘ada’. Percakapan lewat pesan teks juga bekerja baik menunjukkan gimana anonimnya internet membuat kita tak ubahnya seperti berkomunikasi dengan hantu.

Sebagai perantara maka sekaligus kita menjadi pesan. Dalam konteks komunikasi, konsekuensi sosial dari segala bentuk media yang kita gunakan, sejatinya adalah konsekuensi pribadi sebab media adalah perpanjangan atau perluasan dari diri kita sendiri.

 

 

Nasib film ini sebelas dua belas ama Swiss Army Man (2016), Personal Shopper mendapat sambutan “booo!” yang dingin dari kritik dan penonton di Festival Film Cannes. Aku kadang heran juga dibuat oleh para kritik yang selalu bilang bosen dan ingin sesuatu yang baru, namun begitu ada film yang benar-benar orisinil seperti ini mereka malah ngebantai filmnya. Pada awalnya memang film ini akan terasa rada bego. Pada bagian panjang soal Maureen yang ‘diteror’ pesan misterius, cewek ini mau-mau aja ngikutin apa yang dimau oleh lawan chattingnya. Maureen melakukan apa yang ia suruh, dan tak jarang Maureen mengetikkan jawaban dengan sedikit nada antusias. Aku sempat geram, paling enggak harusnya dia ngediemin, atau malah langsung lapor polisi. Tetapi aku sadar kita harus melihat kepada konteks gedenya; bahwa Maureen adalah orang yang sedang dealing sama proses berkabung yang begitu intens, juga ada satu hal lagi yang membebani pikirannya yang masih terkait dengan kematian saudara kembarnya. Jadi perspektif kita harus disejajarkan sehingga kita bisa mengerti dengan kondisi serapuh diri Maureen sekarang, tokoh ini tidak akan membuat keputusan yang tokcer dan cemerlang.

We don’t respond to anonymous texts at the Palace of Wisdom.

 

 

Dari adegan pertama sampai detik terakhir tidak ada momen yang sudah pernah kita lihat sebelumnya, membuktikan bahwa film ini bener-bener orisinil. Ia tidak ubahnya seperti lukisan abstrak yang penuh dengan bentuk-bentuk cerita yang dicampur aduk. Tapi ada keharmonisan narasi di balik keenggak jelasannya. Semua elemen cerita mengarah kepada satu tema spesifik, semua lapisan konten actually koheren satu sama lain, membuat satu bigger picture cerita tentang orang yang berjuang keras menangani proses berduka dan identitas dirinya sendiri. Sangat refreshing menonton film yang menangani misterinya dengan cara yang tidak biasa, yang membuat para penontonnya bekerja keras mengungkap apa di balik gambar demi gambar yang disusun seolah secara ngawur. Unsettling and haunting, kita tidak akan mendapat horor soal penampakan hantu yang sepele seperti Danur (2017) pada film ini. Keliatan dari judulnya, this is one very unconventional movie, dan kita semua harus menyaksikannya hanya untuk alasan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for PERSONAL SHOPPER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

KARTINI Review

“I know why the caged bird sings”

 

 

Bicara Kartini berarti kita bicara emansipasi. Perjuangan kesetaraan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk menentukan pilihan, untuk mendobrak sistem patriarkal yang mengakar, dan terutama untuk mengatakan “Memang kenapa bila aku perempuan?”. Aku pikir kita semua udah tahu bahwa tinggal waktu saja kisah kepahlawanan Kartini ini jatuh ke tangan sutradara Hanung Bramantyo. Hanung paling demen ngegarap cerita yang protagonisnya berontak melawan sistem, dia paling jago memercik drama (dan, kalo perlu, sedikit kontroversi) kemudian memperkuatnya lagi dengan elemen yang relevan. Kartini dan Feminisme sangat cocok sebagai lahan Hanung.

Namun kali ini, lebih daripada mengandalkan sensasi – akan gampang sekali mengingat ide soal kepahlawanan Ibu Kartini sudah sering mendapat kontroversi di jaman modern ini – Hanung mengarahkan film biopik ini ke jalan yang lebih EMOSIONAL DAN MANUSIAWI. Dalam Kartini kita akan melihat karakter-karakter menjadi fokus utama. Kita akan melihat hubungan Kartini dengan keluarga, bersama kakak-kakak cowoknya, dan bersama kedua adiknya; Roekmini dan Kardinah. Kita akan melihat gimana Kartini berteman dengan Belanda yang menyemangatinya untuk menulis. Gimana dia mengisi hari selama masa pingitan sebagai persiapan menjelang mengemban status Raden Ajeng. Dan, yang paling personal baginya, gimana Kartini menyingkapi soal poligami, in which dia adalah produk dari – serta akan kembali jadi pemain dalam tradisi jawa tersebut. Urgensi datang dari Kartini dan adik-adiknya yang mengembangkan kerajinan ukiran Jepara, membuka sekolah bagi anak-anak pribumi, sementara sebenarnya mereka sedang menunggu waktu satu persatu ‘dipetik’ untuk menjadi seorang istri.

Dian Sastro apa Dian Iaya nih?

 

Ketika melihat trailer film ini untuk pertama kalinya di bioskop, aku merasa tertarik. Kalimat yang diucapkan Kartini di akhir trailer tersebut, tentang kebebasan ibarat burung, membuatku kepikiran kenapa film ini enggak dikasih judul Trinil aja ya? Dan setelah menyaksikan filmnya secara utuh, I still think that way; judul Trinil akan memberikan kesan yang lebih impresif dan benar-benar klop dengan ceritanya. Dalam review Surat Cinta untuk Kartini (2016) aku nyebutin cerita Kartini yang dipanggil burung trinil oleh ayahnya dalam majalah Album Ganesha Bobo. Kartini adalah pribadi yang enerjik, periang, punya bakat membandel, dan dalam film ini, begitu melihat Kartini dan dua adiknya nangkring di atas tembok, aku langsung menggelinjang; That’s her, that’s Kartini si burung Trinil yang aku baca waktu kecil!

Betapa menyenangkannya demi mengetahui diri kita sudah membuat perubahan hari ini. Dan that feeling alone harusnya udah bisa membuat kita terbebas dari boundary apapun yang memasung kita. Kartini, menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas. Karena batas-batasan itu akan selalu ada, dan perjuangan sejatinya bukan untuk menghilangkan pembatas melainkan untuk membebaskan pikiran. Perjuangan Kartini adalah perjuangan gagasan, meskipun tubuhnya terkurung, gagasan positifnya akan terus terbang memberikan pengaruh positif kepada generasi demi generasi.

 

 

Kualitas produksi film ini top-notch sekali. Ini adalah film yang cantik. Gambarnya disyut dengan perhatian pada maksud dan detil. Set dan kostumnya sangat meyakinkan. Londo-londo itu terlihat classy sekaligus modern sebagai kontras dari pakaian bangsawan Jawa yang terlihat kaku dan mengurung. Kartini berada di tengah-tengah mereka. Kita memang enggak tahu seperti apa pembawaan Ibu Kartini aslinya, namun Dian Sastro udah pas meranin Kartini sebagai wanita yang berjiwa mandiri dan ‘pemberontak’. Tapi enggak exactly in a way kayak dia bilang “aku enggak butuh lelaki.” Ini adalah film yang membahas hubungan emosional yang terbangun. Motivasi Kartini adalah supaya dia, adik-adiknya, dan para wanita tidak perlu lagi capek berjalan-jongkok dan ‘latihan makan ati’ seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Supaya para wanita tidak hanya jadi pilihan melainkan bisa punya pilihan. Tembok pakem wanita-jaga-badan-dan-nunggu-kawin itu musti runtuh, begitu tekad Kartini. Semua itu tercermin dari gimana dia ‘menggembleng’ dua adiknya, yang oleh film ini diperlihatkan sebagai ‘murid pertama’ yang dimiliki oleh Kartini. Dian Sastro excels at playing this kind of role. Membuat kita ingin melihat lebih banyak tindak ‘pemberontakan’ Kartini. Kita akan melihat darimana asal tekad dan semangat Kartini, dan semua itu dimainkan dengan sangat heartwarming.

Hal berbeda yang dapat kita saksikan adalah Hanung memasukkan elemen imajinasi ke dalam cerita. It’s the power of books, people! Dengan membaca buku, kita bisa berkunjung ke mana saja kita mau. Adegan ketika pertama kali Kartini membaca buku adalah adegan yang sangat menyenangkan. Kita melihat dirinya melihat apa yang ia baca terwujud di depan mata. Sepanjang film, setiap kali Kartini membaca, entah itu buku ataupun surat balesan dari korespondensinya di Belanda, kita akan dikasih lihat visual Kartini sedang ngobrol dengan si penulis. It was shot very beautifully and actually menambah banyak hal buat pengembangan tokoh Kartini.

Tiga Gadsam foto buat cover lagi kaah? hhihi

 

Dengan jajaran pemain yang masing-masing saja kayaknya sudah pantes buat nulis buku sendiri tentang kepiawaian berakting, film ini enggak bisa untuk enggak menjadi meyakinkan. Lihat saja tatapan dingin Djenar Maesa Ayu, tapi masih terlihat bayangan mimpi yang kandas dari matanya. Pembawaan dan intonasi Deddy Sutomo yang terang-terang sedang conflicted antara acknowledging kemampuan putrinya dengan adat yang ia junjung. Aku bahkan ngakak ketika Kardinah bilang perasaannya enggak enak seolah ia tahu bakal dijodohin di akhir hari. Bahasa Jawa mereka sampaikan tanpa gagap. Kapasitas penampilan yang kelas atas membuat kadang beberapa musik dalam pengadeganan toh terasa sedikit eksesif. Maksudku, film ini sebenarnya bisa untuk enggak banyak-banyak masukin pancingan emosi karena setiap adegan, dari segi performances, sudah terdeliver dengan begitu compelling.

The bigger picture of this movie adalah gimana kehidupan Kartini bisa menginspirasi banyak orang, bukan hanya wanita. Namun, film ini masih kelihatan artificial ketika mengolah elemen-elemen dramatis. Kayak, film ini berusaha terlalu keras buat menghasilkan air mata dari penonton. Dibandingkan dengan porsi bagian cerita yang lebih ringan, menit-menit awal yang jadi set up terasa terlalu menghajar kita dengan emosi. Kita melihat Kartini kecil dalam momen yang menyedihkan, baik visual maupun tulisan mendikte kita untuk sedih. Kemudian narasi melompat dan kita dapat Kartini dewasa dengan segala attitude ingin-bebas. Ini masalah yang sama dengan pengarakteran Jyn Erso pada Rogue One (2016), di mana kita hanya melihat sad part of her childhood untuk kemudian kita melihatnya lagi setelah dewasa dengan kemampuan yang tinggi. Aku pikir akan lebih baik jika film ini mengajak kita untuk mengintip kehidupan sekolah Kartini kecil, you know, just to see seperti apa sih pintarnya Kartini itu hingga dikenal baik di kalangan meneer Belanda. Karena sepanjang film kita akan mendengar para tokoh ngereferensikan betapa pintarnya Kartini di sekolah.

Pun pada babak akhir kita akan merasa diseret oleh emosi. Tidak ada yang benar-benar menarik pada babak ketika sampailah giliran Kartini dilamar seorang Bupati. Kita semua – paling enggak kita-kita yang masih melek waktu pelajaran sejarah di sekolah – tahu tepatnya apa yang akan terjadi. Cara film ini bercerita mendadak kembali terlalu artifisial, sehingga adegan-adegan emosional itu rasanya kering. Pancingan-pancingan dilakukan, ada elemen sakit, ada tokoh yang jadi antagonis sekali, ada yang berubah baik hati, semuanya datang gitu aja, it did felt rushed. Banyak film yang enggak berhasil menjembatani dua tone narasi, dan film ini termasuk ke dalam kelompok film yang gagal tersebut. Alih-alih membahas dari perspektif yang lebih kompleks – dan film ini sebetulnya bisa melakukan itu – film ini lebih memilih untuk menyederhanakannya menjadi semacam pihak yang baik sama Kartini dan pihak yang jahat. Although, menarik gimana ‘yang jahat’ dalam film ini enggak necessarily adalah laki-laki.

 

 

 

Habis gelap terbitlah terang. Kemudian gelap lagi. Begitulah kira-kira garis besar menikmati film ini. Perbedaan antartone film ini sangat drastis, karenanya momen-momen dramatis yang kerap dihadirkan terasa artifisial. Set up film mestinya juga bisa diperkuat lagi karena gedenya toh apik tenan. Selain masalah tone dan hook yang dibuat terlalu pengen jadi dramatis, aku tidak melihat banyak masalah. Film ini  tahu ingin jadi apa, dan bekerja baik mewujudkan dirinya. Ia menyenangkan oleh interaksi antarkarakter. Potret penuh emosi dari kehidupan sosok pahlawan yang kita peringati setiap bulan April. Aku merasakan dorongan untuk keluar dari bioskop dengan berjalan jongkok just to pay my respect kepada pengorbanan perempuan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KARTINI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE EYES OF MY MOTHER Review

“Being alone with your feeling is the worst because you have nowhere to run.”

 

 

Tumbuh di lingkungan peternakan sepertinya menyenangkan. Dekat dengan alam. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Hamparan hijau seluas mata memandang. Kesannya segar sekali gitu ya. Namun bagi anak-anak, kondisi melegakan tersebut bisa sekaligus jadi kurungan buat mereka. Dengan rumah tetangga paling dekat bermil jauhnya, Francisca bermain boneka sendirian. Aktivitas setiap harinya diselingi dengan melihat Ibu bekerja, memberi makan sapi-sapi, merawat, dan memotongnya sebagai makan malam.

Yup, ibu Francisca enggak segan-segan membawa pulang kepala sapi dan membedah matanya di depan mata Franny yang lugu, yang memegang teguh setiap cerita yang keluar dari mulut ibunya. Dia belajar apa yang diakukan oleh ibunya, dan untuk anak seusianya melakukan hal seperti demikian, jelas bukanlah pengalaman yang bikin sehat jiwa. Lingkungan tidak membaik bagi Franny karena kedatangan seorang asing ke rumah mereka, membuat Franny menyaksikan lebih banyak trauma. Film ini adalah tentang Franny yang perlahan ‘menggila’ sekaligus berusaha keras mempertahankan interaksi sosial. Dia mengurus jasad ayahnya, dia memberi makan orang yang ia sekap di gudang, The Eyes of My Mother akan membawa kita mengintip sedikit ke dalam kehidupan seorang yang berubah drastis dari korban menjadi seorang pembunuh.

meja makan keluarga ini isinya mata sapi beneran, bukan yang telur.

 

Kamera yang statis ngerekam adegan-adegan long take, komposisi warna hitam-putih, desain suara dan scoring yang mengendap dengan eerie abis, drama horor ini diarahkan dengan gaya yang sangat nyeni. Perspektif tokoh utama tidak kita alami langsung, melainkan kita amati dari jauh. Kita enggak diajak masuk ke dalam kepala Francisca yang trauma secara emosi, kita cuma melihatnya berinteraksi seperti Francisca melihat apa yang dilakukan oleh ibunya. Dan di sinilah ketika film menjadi sangat disturbing. Kita tidak pernah melihat Franny kecil bertanya kenapa. Moral tidak pernah jadi permasalahan bagi cerita. Ini murni selayang pandang (sukur Alhamdulillah horor ini hanya satu jam lebih sedikit, siapa tahan ngerasa unsettling lama-lama) kehidupan ‘normal’ yang abnormal, sehingga pertanyaan ‘kenapa’ itu justru datang bertubi-tubi kepada kita. Kenapa kita mesti ngeliat ini semua? Kenapa film ini dibikin, apa sih maksud sutradara Nicolas Pesce memperlihatkan ini semua? Kenapa membunuh itu mendatangkan perasaan menakjubkan? Kenapa oh kenapa?

Karena, baik sebagai pembunuh ataupun sebagai korban, mereka sama-sama adalah manusia.

 

Film ini membagi narasinya ke dalam tiga chapter, masing-masing berjudul Mother, Father, dan Family. Ketiganya dapat kita translasikan sebagai trait ataupun personality yang membentuk pribadi Francisca. Insting merawat yang ia dapat dari ibunya, insting kerahasiaan dan bertindak yang ia peroleh dari ayahnya, dan keduanya terhimpun menjadi jawaban atas masalah Francisca; dia butuh keluarga.

Di balik segala ke-uneasy-an, segala perasaan mengganggu, sesungguhnya ini adalah cerita psikologikal yang sangat humanis. Bukan tidak mungkin orang-orang biasa seperti kita mengalami hal yang sama. Sebab, ketakutkan hakiki dari cerita ini BERINTI KEPADA RASA KESEPIAN. Layaknya film-film horor modern yang keren, film ini pun mengerti bahwa rasa takut itu datangnya dari dalam jiwa manusia. Untuk kemudian diperkuat dengan monster, hantu, ataupun hal-hal gaib yang tak berwujud. Dalam film ini, rasa takut akan kesepian tersebut diamplify menjadi berkali-kali lebih kuat dan disturbing dengan membenturkannya dengan elemen psikopat. Francisca merasa menakjubkan saat membunuh orang, sementara tidak ada yang lebih dia inginkan daripada punya company, punya teman. Konflik inilah yang jadi emotional core dan pusat cerita. Motivasi Fransiska yang terpecah antara pembunuhan dengan merawat, sampai kepada titik Francisca terlihat menyalurkan insting keibuan, itulah yang membuat kita susah untung berpaling dari film ini, meskipun penceritaannya sangat bikin kita enggak-nyaman.

Kesepian juga adalah penyakit mental manusia sebagai makhluk sosial. Banyak orang merasa sepi padahal sedang berada di tengah-tengah kerumunan pesta. Bahkan faktanya, lebih dari 60% pasangan yang sudah menikah masih merasakan kesepian. Rasa sendiri dan sepi itu bergantung kepada kualitas hubungan yang kita jalin. Namun kesepian tidak pernah digolongkan sebagai abnormal. Campurkan ia dengan kejadian traumatis? Nah, barulah kita bicara dengan Francisca!

 

 

Dalam kasus ini, Francisca mendapat personality dari apa yang ia lihat pada ibunya. Her deepest desire adalah merawat, singkatnya bisa dibilang ia ingin menjadi seorang ibu. Sepanjang film kita akan melihat dia berusaha keras untuk melakukan hubungan sosial dengan orang-orang. Ada adegan ketika ia ingin memberi makan sapi, namun sapinya malah mundur menjauh. Dan kemudian kita melihat usahanya menjalin relationship gagal karena pasangannya menjauh, takut. For her psychopathic behavior. Jadi dia menemukan cara termudah dengan menyekap mereka. Dia tidak butuh teman yang balas bicara, dia cuma butuh tubuh untuk dia kasih makan, dia rawat sebaik yang ia yakini.

Gaya macabre film ini, toh, bukan lantas berlebihan. Kita tidak melihat kekerasan yang benar-benar gamblang. Enggak ada yang bikin kita memejamkan mata, dari segi kesadisan adegan. Warna monokrom juga berperan dalam menyamarkan imaji-imaji berlumuran darah. Dalam kata lain, dari segi gore, film ini enggak benar-benar bikin mual. Adegan-adegan sadis itu justru terjadi di luar kamera. Atau sangat jaaaauuuh dari kamera. Kita tidak betul-betul melihat apa yang dilakukan oleh Fransiska kepada cewek yang dia ajak pulang ke rumah. As far as blood splatters, kita hanya melihat darah ketika cairan itu sedang dibersihkan. Tapi tutur film ini begitu efektifnya, sampai-sampai kita merasa seolah tahu apa yang terjadi di antara potongan adegan. Hampir seperti adegan kekerasan tersebut terjadi di depan mata kita walaupun kita tidak pernah melihatnya. Dan jika apa yang tidak dinampakkan oleh film ini bisa dengan jelas kita bayangkan, maka gambar-gambar yang secara eksplisit ditampakkan – bak mandi dengan air seputih susu tempat Francisca berendam dengan mayat ayahnya, misalnya – akan terus terpatri dalam pandangan kita, bahkan jauh setelah kita menyaksikannya.

“look in my eyes, what do you see?”

 

Penampilan para pemain dieksekusi dengan hati-hati. Francisca diniatkan untuk terasa jauh sehingga saat rasa simpati timbul kepada tokoh ini, kita akan merasa semakin tidak nyaman. Kika Magalhaes memerankan Francisca dewasa dengan keanggunan dan level kemisteriusan yang membuatku membandingkannya dengan aktor lokal Shareefa Daanish yang juga kerap bermain di ranah horor. Di bawah pendekatannya, tokoh ini mampu menumbuhkan rasa simpati meskipun tak jarang aksi yang ia lakukan tak dapat kita pahami. Ada perasaan sedih yang merasuk kala kita melihat dia berusaha untuk berfungsi secara sosial in her own screwed up way.

 

 

Di babak awal, pace terasa agak sedikit diburu-buruin, namun secara keseluruhan, film ini digarap dengan kalkulasi yang sangat spesifik. Trauma dan Kesepian seolah dijahit dengan precise ke dalam narasi, menghasilkan sebuah cerita yang sangat mengganggu. Clearly, apa yang diceritakan oleh film ini bukan untuk semua orang. Film ini enggak butuh jumpscare ataupun trik-trik pembunuhan besar untuk bikin kita ngeri. Secara artistik, ini adalah arthouse horror yang amat ambisius. Untuk sebuah karya pertama, pencapaian Nicolas Pesce tergolong luar biasa. Kita bisa melihat visinya. Meskipun mungkin tidak selalu jelas kenapa. Perspektifnya yang enggak necessarily subjektif, membuatnya sedikit artifisial.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE EYES FOR MY MOTHER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE GUYS Review

“Vulnerability is the only bridge to build connection.”

 

 

Tidak ada penulis yang mengeksplorasi laki-laki dan kejombloan lebih sering dari yang dilakukan oleh Raditya Dika. Sejak Kambing Jantan (2009), formula cerita comedian yang mengawali karir dari blog ini selalu adalah tentang cowok awkward yang desperately pengen punya pacar, dia mencoba banyak tips ajaib yang justru bekerja di luar harapan, dan sebagian besar memang berakhir tragis. Namun di situlah letak lucunya; bagi penonton muda pengalaman kocak yang diceritakan Raditya Dika sangat mudah buat direlasikan. Dia berani tampil unik, yakni TAMPIL VULNERABLE. Mengeluarkan sisi lemah untuk ditertawakan bersama-sama. Namun begitu, hal tersebut juga jadi alasan kenapa karya-karya Raditya Dika lebih mudah diterima oleh pembaca cewek. Sebab cowok enggak suka menunjukkan vulnerability atau ‘kelemahan’. Dan manusia secara umum; semakin dewasa orang-orang akan semakin lebih nyaman menyimpan sisi vulnerable mereka dalem-dalem. Makanya Pak Jeremy dalam film The Guys terlihat galak dan kontras sekali dengan tokoh yang Alfi yang diperankan oleh Raditya Dika. Di film ini, kita akan melihat dua generasi yang berbeda mengekspresikan kevulnerablean mereka dalam relationship. Dan ini adalah elemen yang paling menarik yang ditawarkan oleh The Guys.

Being vulnerable mengimplikasikan kita berani untuk menjadi diri sendiri. Dan meskipun adalah menakutkan untuk menunjukkan kelemahan, seperti Jeremy yang segera mengganti ikat pinggangnya yang seragam dengan Alif – yang menunjukkan dia mungkin se’lemah’ Alif, vulnerability adalah hal yang penting dalam menjalankan hubungan sosial, terlebih hubungan percintaan. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa menjalin hubungan kepercayaan di antara dua orang, tapi jika dan hanya jika, kedua belah pihak mau bersikap vulnerable bersama-sama.

 

Alfi pengen jadi orang yang sukses. Punya istri cantik dan pekerjaan yang ia senangi. Yang ia punya dari kerjaannya sebagai karyawan kantor marketing Pak Jeremy adalah tiga sohib sekontrakan dan status jomblo dua-tahun. Keinginan-keinginan Alif sudah akan terwujud sekaligus; dia berhasil deket sama temen kantornya yang bernama Almira, cewek cantik yang ternyata adalah anak dari bosnya, Pak Jeremy. Tapi kemudian kejadian menjadi membingungkan bagi Alif karena setelah keluarga mereka makan malam bersama, Pak Jeremy yang lama menduda malah jatuh cinta kepada ibunya yang juga sudah lama ditinggal oleh ayah. Aku jadi teringat cerita si Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang batal ngelamar lantaran hari itu bapaknya keburu bikin acara lamaran nikah buat dirinya sendiri. Elemen cerita ini menciptakan semacam sense kompetisi dan urgensi. Alif, tentu saja dia harus segera mengungkapkan cintanya (sukur-sukur diterima!) sebelum Almira malah berakhir menjadi sodara tirinya.

gimana awkwardnya coba kalo jadi kakak-adek beneran!

 

Konflik drama tersebut datang sebagai midpoint, menjadikan film ini seperti terbagi menjadi dua bagian. Paruh pertama kita melihat kehidupan sosial Alif. Dan dalam kasus film ini, sosial adalah berarti beredar mencari cewek. Kita menyaksikan cinta Alif yang kandas, melihat dia mendengar saran-saran dari teman-temannya, dan ketika dia kenalan dan pedekate kepada Almira. Bagian ini penuh oleh trope-trope komedi cinta untuk remaja, yang cenderung konyol. Separuh akhir lagi adalah giliran elemen-elemen dramatis untuk unjuk gigi. Kita sesekali diperlihatkan si Alif ini mikir apa aja kala dia sedang sendirian di kamar mantengin skema ‘Life Goal’ yang ia buat; soal relationshipnya dengan Almira, haruskah dia ngalah buat ibu dengan Pak Jeremy. Ada bicara soal menjadi bos bagi diri sendiri juga. Meski tone cerita tetap dijaga enggak jauh-jauh dari komedi konyol, bagian akhir film ini agak sedikit berat oleh pecahnya fokus cerita. Usaha film ini memancing sisi dramatis kerap terasa out of nowhere sebab mereka terlalu bermain ringan di babak set up.

Motivasi Alif tidak pernah tercermin dengan baik, dan terasa dijejelin begitu saja. Naskah yang baik seharusnya mampu menggali tiga sisi kehidupan tokoh; profesional, sosial, dan personal. Kita tidak pernah melihat karakter Alif dalam lingkup cahaya profesional. Maksudnya, ini adalah cerita dengan set kantoran, Alif digambarkan jenuh dengan kerjaan, tapi kita tidak pernah melihat kerjaan dia tuh ngapain aja. Ada adegan ketika tim mereka ketinggalan flashdisk buat presentasi, dan yang dilakukan Alif hanya berdiri di sana, enggak ngapa-ngapain. Harusnya bisa dibikin dia nekat presentasi impromptu walaupun toh tetep ketahuan dan gagal. Niat mulia yang keluar kuat dari Alif adalah dia pengen punya cewek, karena film ini sebagian besar akan mengekspos hal tersebut. Penyelesaian dari elemen kerja ini juga datang begitu saja, tanpa ada build up ataupun rintangan yang dihadapi. Dia cuma kayak “Oke gue selesai, gue sekarang berani ngambil langkah ini, gue bisa kok bikinnya” dan memang semuanya jadi serba gampang. Bahkan perjuangan cinta Alif juga dibahas dengan ‘cepat’ dan enggak benar-benar ada rintangan selain kekonyolan yang terus dipancing due to this film’s comedy nature.

Aku sempat bengong juga harus mulai mengulas film ini dari mana. Sebab semua elemen cerita serta elemen penggarapannya DIOLAH DENGAN SANGAT BASIC. Alasan Almira enggak ngasih tau siapa bapaknya kepada Alif sampai sebelum dinner adalah karena dia takut Alif nanti kaget; dari sana saja mestinya udah bisa ngasih gambaran tentang kualitas dialog dan penalaran tokoh pada film ini. Lima menit pertama film udah nyamain remaja dengan air conditioner yang belum diservis, not to mention kita juga sudah dapat dua lelucon kamar mandi dalam rentang waktu segitu. Dan hitungannya masih bakal terus meningkat lagi sampai akhir. Situasi, jokes, karakter, semuanya ditulis dengan standar. Film ini punya kecenderungan buat ngejelasin jokesnya lewat percakapan, yang sebetulnya enggak perlu, tapi mungkin karena filmnya sendiri sadar bahwa materi yang mereka punya enggak cukup kuat. Delivery dan pengintegralan lelucon-lelucon tersebut pun biasa sekali. Hanya ditargetkan buat memancing tawa dengan gampang. Materi komedinya kebanyakan diambil dari anekdot-anekdot yang sedang ngehits sekarang ini. Bagus sih, jadi kekinian, tapi bayangkan kalo film ini ditonton sepuluh tahun lagi. But hey, paling enggak di film ini ada orang yang ‘bola’nya sakit, itu pasti lucu sepanjang waktu kan?

Iya sih, kalo film ini dibuat atas dasar ngetawain diri sendiri, mestinya kita sadar dong seberapa gede kans film ini dibuat dengan mereka menghormati para penonton.

 

Sebagai tokoh utama, Alif sebagian besar waktu enggak ngapa-ngapain. Dia dapat info-info penting dari orang lain, dia nyaris enggak figure out anything. Raditya Dika hanya berdiri di sana pasang tampang komedi (alias ekspresi sangsi campur bloon). Ketiga sahabatnya enggak diberikan penokohan yang cukup. Hanya ada satu yang diperhatikan lebih, yaitu si Sukun dari Thailand yang jago bikin teh beraneka khasiat. Dia adalah sahabat Alfi yang vulnerable dan itu membuatnya mudah konek dengan penonton. Namun film ini masih terasa sengaja membuat tokoh ini sebagai karakter ‘bego’ sehingga dengan bisa digunakan dengan mudah untuk memantik sisi dramatis. Penampilan yang bisa dinikmati adalah dari Tarzan dan Widyawati, mereka terasa humane. Namun menjelang akhir, film berpindah ke aspek persahabatan yang enggak pernah sebelumnya diset dengan meyakinkan. There’s so much things going on. Jika film lebih fokus, mungkin jika mereka bener-bener mengeksplorasi dari aspek saingan yang konyol dengan Pak Jeremy sebagai ‘antagonis’, narasi akan lebih rewarding. Bagian akhir terasa sangat numplek, beberapa bagian narasi juga kelupaan untuk dibahas lagi. Almira enggak nongol lagi. Tokoh-tokoh cewek, selain ibu Alif, juga ditulis dengan basic. Almira is nothing but a love interest. Sejak Aach… Aku Jatuh Cinta (2016), Pevita nunjukin peningkatan dalam penyampaian dan intonasi, namun permainan ekspresinya masih lemah. Dan sebagai Almira, comedic delivery Pevita Pearce masih minim, dia masih sebland biasanya.

aku bisa relate sama perasaan diajak ketemuan ama Pevita

 

Elemen romansa seputar Alif enggak ditangani dengan cara yang dewasa. Para tokoh film ini kayak anak abg yang pake kemeja kantoran. Ada banyak film atau juga serial di mana tokoh-tokohnya udah gede namun masih kekanakan, tapi dalam film ini, they are just dumb. Aku pikir, ini enggak exactly masalah umur ataupun enggak cocok sama demografi pasar ceritanya, karena toh memang ada beberapa momen yang bisa kurelasikan. Tapi sebagian besar film memang terasa datar, emosinya artifisial, enggak ada nuansa fun – bahkan para pemain tidak tampak fun memainkan tokoh mereka, dan yang paling menarik adalah bagian ketika tokoh-tokoh yang lebih dewasa menunjukkan sisi vulnerable mereka. Everything about this film is so basic. Raditya Dika mungkin nyaman dengan itu, tapi film enggak bisa mengandalkan vulnerabilitas semata. Strukturnya harus diperhatikan. Penulisannya perlu dimatangkan. Sebagai penonton kita akan selalu punya banyak pilihan film lain yang lebih relatable dan lebih menantang.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE GUYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And they are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE VOID Review

“Keeping your shape hidden with your triangle intact.”

 

 

Reaksi terwajar ketika melihat ada pemuda merangkak-rangkak hingga tersungkur di pinggir jalan pada malam yang sepi tentu saja adalah “meh, mabok noh orang!” Pikir dahulu sebelum bertindak suka kita panjang-panjangin menjadi pikir negatif dulu – maklumi – baru kemudian ambil tindakan seperlunya. Meski kalo aku sendiri yang nemuin orang berdarah-darah di jalanan gelap, maka kemungkinan besar aku akan langsung ngabur balik arah tanpa mikir dua kali. Tapi Daniel Carter adalah seorang polisi. Tugasnya melindungi. Jadi, dia mendekat ke si pemuda misterius, dan dengan segera dia menyadari orang ini butuh pertolongan serius. Opsir junior Daniel membawanya ke rumah sakit kecil di pinggir kota. Dan di sanalah kejadian mulai menjadi teramat aneh. Pelataran rumah sakit yang nyaris kosong tersebut mendadak ramai oleh sosok-sosok berjubah putih yang menggenggam pisau. Misteri film ini enggak sebatas pada ancaman anggota cult di luar saja. Listrik di dalam pun lantas ikutan berulah. Dan ada makhluk mengerikan bertumbuh dari mata seorang suster!! Kejadian di film betul-betul menjadi kacau dan di luar akal sehat, tapi ini adalah jenis kekacauan yang amat sangat bisa kita nikmati!

Beberapa tahun ini, banyak kita dapatkan horor-horor independen seperti It Follows (2015) ataupun The Babadook (2014) yang dibuat dengan arahan yang keren. Horor tapi nyeni, aku menyebutnya. Tentu saja ini adalah perkembangan yang sangat menyegarkan lantaran generasi sebelum ini punya arahan yang, ah katakanlah, lebih fisikal. Horor klasik generasi tahun 80an biasa disebut sebagai generasinya BODY HORROR. Karena memang dalam film tersebut banyak kita jumpai potongan-potongan tubuh yang bikin mual, monster-monster aneh yang bikin jijik, pesta pora gore, deh, pokoknya! Banyak orang yang memandang 80an sebagai periode puncak dari genre horor, filmmaker udah gak pakai mikir dan langsung ambil tindakan nekat. Dengan berani mengambil kesempatan sekaligus ngambil resiko, kala itu trennya adalah semua saling berlomba bikin horor yang paling aneh, dan filmmaker itu, mereka tidak pedulikan apapun. Semuanya mengambil creative risk. Bahkan Indonesia juga terjangkit fenomena yang sama, di sini kita punya Bayi Ajaib, Malam Satu Suro, Pengabdi Setan, dan banyak lagi yang nampilin horor dengan praktikal efek yang sangat graphic. Aku salah satu dari sekian banyak fans horor 80an, yeah, bukankah aku sudah pernah bilang aku berangkat dari genre horor?

Makanya The Void ini adalah sesajen yang sangat delightful bagiku. Film ini, jelas sekali, adalah throwback buat horor era 80an. Di sini kita akan ngeliat monster dengan sulur-sulur mengerikan ‘memakan’ manusia, kita akan liat kulit wajah yang mengelupas, perut yang menggelegak sebelum pecah mengeluarkan makhluk aneh yang lain. Makhluk-makhluk yang nampil dalam film ini begitu luar biasa. Walaupun ada sedikit efek komputer, menjelang akhir malah para tokoh kita akan masuk ke dunia green screen. Namun sejatinya MAKE UP DAN EFEK PROSTETIK ADALAH BINTANG dalam The Void, yang tentu saja dibuat dengan budget rendah. Kalian tahu, sebagian besar adegan menakutkan film ini adalah mimpi indah buat penggemar horor klasik.

Kehamilan selalu merupakan fenomena horor bagi cowok

 

As much as bikin kita nostalgia ke jamannya John Carpenter, The Void juga mengEKSPLORASI KETAKUTAN DARI HAL-HAL FILOSOFIS DAN KOSMIK YANG TIDAK KITA KETAHUI, yang dipengaruhi oleh gaya penceritaan H.P.Lovecraft. Rumah sakit jadi lokasi tertutup yang menjebak tokoh-tokoh film. Mereka ketakutan setengah mati, tidak tahu harus percaya kepada apa. Mereka diberi persenjataan yang sama lengkapnya dengan informasi tentang apa yang terjadi, dan itu sangatlah sedikit sekali. They are really just grasping at straws. Mereka enggak tahu di kota kecil mereka ada kelompok cult. Mereka enggak paham sama pandangan ajaran ‘sesat’ ataupun filosofi ngawur soal menentang Tuhan dengan menihilkan kematian lewat mutasi atau semacamnya, yang jadi motivasi utama pihak antagonis cerita. Dan kita, sebagai penonton, melewati pengalaman menakutkan itu bersama para tokoh. Sebab kita dan mereka, kita semua sama-sama enggak tahu apa-apa. Makanya ketika tokoh-tokoh ini belajar sesuatu hal, they discover things, atau bahkan ketika mereka cuma berdiri diam ketakutan hendak dimamam monster, kita juga merasakan hal yang sama. Kita ikut takut, bingung. Perasaan yang kita alami sangat in-sync dengan mereka. Dan setelah semua efek-efek menakjubkan itu, semua elemen cerita akan terkonek dengan cara yang juga sangat aneh.

Segitiga menjadi objek sakral yang terus kita jumpai sepanjang durasi. Geometri ini melambangkan dua lapisan tema cerita. Umumnya, segituga adalah simbol dari keharmonisan. Film ini juga membahas segitiga sebagai ‘formasi’ keluarga bahagia, sama seperti yang sekilas disebutkan oleh film animasi The Boss Baby (2017); sistem dua-orang yang distabilkan oleh orang ketiga, dalam hal ini adalah anak. Dalam The Void, ada implikasi tokoh-tokoh yang ngalamin penampakan ‘dunia lain’ adalah tokoh yang pernah ngalamin kehilangan anak. Tokoh yang segitiganya pernah rusak. Ini adalah tentang orang yang ingin membentuk kembali segitiga tersebut, but unfortunately segitiga juga berarti sebuah doorway, dan mereka menginterpretasikannya sebagai jalan masuk ke dunia horor.

 

Meskipun memang tokoh dinomorduakan, di mana segala kreatifitas dan kerja keras sepertinya memang didedikasikan untuk recreating segitiga keharmonisan horor klasik, The Void enggak sepenuhnya nyerah menjadi kosong. Sutradara merangkap penulis Jeremy Gillespie dan Steven Kostanski terlihat ingin memanfaatkan elemen filosofis untuk menutupi kekurangan di narasi dengan menjadi ambigu. Kayak, “Hey let’s just make this ambiguous so we can have fun with prosthetic and make up stuff!”. Dan kerjaan mereka tersebut memang sukses berat. Ini adalah salah satu film horor dengan efek praktikal paling gile di era 2000an. Ada beberapa jawaban yang diberikan secukupnya sehingga kita bisa menghimpun pemahaman sendiri soal apa yang sebenarnya mereka bicarakan di sini. Tapi tetep saja, keambiguitas itu menjadi salah satu kelemahan sebab hasil akhir produknya memang lebih terasa sebagai proyek have-fun bernostalgia semata.

Get ready for Chau Down!!! Eh, salah film…

 

Enggak semua film kudu menjadi studi karakter dengan tokoh-tokoh dan screenplay yang amazing dan semuanya harus sempurna. Film boleh saja bermain-main dengan teknik pembuatan model ataupun efek dan make up sadis. Asalkan jangan setengah-setengah. Film harusnya dibuat dengan komitmen ke satu arahan. Untuk The Void ini, aku ngerasa sayang aja mereka enggak menulis karakternya dengan lebih well-rounded lagi karena film ini toh memang meminta kita untuk peduli sama tokoh-tokoh. Penampilan aktingnya memang enggak dalem, namun dari babak pertama mereka sudah diset up dengan baik sehingga kita beneran peduli sama mereka menjelang akhir. Aku genuinely ngarep biar tokoh yang enggak bisa bicara itu selamat sampe ending. Tapi terutama kepada Polisi Daniel Carter dan istrinyalah kita banyak menyilangkan jari. Ada banyak momen ketika film ini kita masuk ke dalam hubungan mereka, namun pengeksplorasiannya terlalu tipis. Kita bahkan enggak jelas apakah mereka ini udah cerai atau lagi pisah doang.

Ketika sebuah film punya set up yang menarik udah menghamparkan banyak kepingan puzzle yang kalo disusun sungguh-sungguh bakalan jadi satu gambar yang keren, harusnya film tersebut ngedeliver penghabisan dengan gede. You know, throw a big punch as a finisher. Namun alih-alih begitu, The Void memilih untuk berakhir dengan menggantung kita. Membuat kita bertanya-tanya dan ingin lebih banyak. Saat di babak akhir, film ini agak menyebar begitu saja, enggak difokuskan ke satu penyelesaian. Film kehilangan semangatnya di akhir dan buatku ini mengecewakan. Padahal mereka mulai dengan so promising.

Harmoni kehidupan mungkin dilambangkan oleh bentuk segitiga, akan tetapi sejatinya kita tidak terbentuk dari kejadian yang menimpa hidup. Kepercayaan kita akan arti dari kejadian itulah yang membantuk kita.

 

 

 

Pengalaman misterius yang terasa genuine, horor ini akan membawa kita ke dalam realm of unknown. Penggemar horor seperti aku akan mendapati film ini sangat mengasyikkan. Efek praktikal dan make upnya sangat menakjubkan. Set rumah sakit dijadikan ruang tertutup yang menyeramkan. Menghadirkan cerita yang ambigu, akan tetapi menilik dari sebagian besar waktu, itu hanyalah cara dari film ini untuk menyamarkan alasan sebenarnya ia dibuat; hanya untuk bermain-main dengan efek dan nostalgia kepada horor klasik. Penyelesaiannya harusnya bisa lebih dipikirkan lagi. Karakternya harusnya bisa ditulis lebih well-rounded lagi. Mungkin memang harus beginilah akhirnya jika kita memulai sesuatu dengan bertindak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE VOID.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

GET OUT Review

“We are afraid of sharing power. That’s what it (racism) is all about.”

 

 

Aku enggak tahu tepatnya gimana perasaan menjadi satu-satunya orang berkulit hitam di tengah-tengah pesta. Namun Jordan Peele tahu persis rasa canggung dan sedikit paranoidnya berada di dalam kondisi seperti demikian. Jadi, komedian yang mengawali suksesnya dari serial sketsa komedi di Youtube (Key and Peele, coba deh tonton sekali-kali, kocak!) tersebut mengangkat sudut pandang seorang yang dealing with that situation. Dan oh boy, film Get Out ini berhasil menjadi debut penyutradaraan yang menjamin setiap penonton untuk menanti-nanti karya selanjutnya dari Jordan Peele. I know I did.

Pusat dari cerita Get Out adalah seorang fotografer kulit hitam bernama Chris (mainnya brilian banget, aksen Inggris Daniel Kaluuya bener-bener enggak kedengaran di sini) yang lagi mesra-mesranya pacaran. Hubungan mereka baru jalan empat bulan dan pacarnya, Rose (penampilan Allison Williams juga fantastis, dia memenangkan hati kita dari adegan pertama), meminta Chris untuk datang menemui kedua orangtuanya di kediaman private mereka. Oke, kita harus nekankan ke hubungan yang baru empat bulan, karena memang segitu singkatnya lah hingga Rose belum sempat ngasih tau ke mama papa kalo mereka ngejalanin hubungan antarras. Meskipun Rose bilang hal tersebut bukan masalah karena keluarga mereka bukan rasis, tetapi hal beda kulit ini lumayan alarming buat Chris. Ketika dia sampai ke rumah keluarga Rose, dia disambut hangat. Semua orang di sana perhatian kepadanya, mama Rose yang psikiater bahkan nawarin jasa hipnotis buat nyembuhin kecanduan rokok Chris. Semua kelihatan baik-baik saja sampai Chris menyadari ada sesuatu hal yang ganjil terjadi di belakang layar keluarga ini.

“Bye, Georgina!”

 

Aku cinta horor. Aku berangkat sebagai penonton film ya dari genre ini. Namun aku sadar, bahwa film horor yang bagus itu sangat jarang. Obviously jaman sekarang kita bakal lebih mudah nemuin orang yang masih memandang status dari warna kulit ketimbang nemuin film horor yang benar-benar bisa membuat kita bergidik oleh rasa merinding. Horor yang bagus datang dari psikologi manusia, karena takut itu bukan fakta, melainkan perasaan. Ketika kita nonton horor yang begini, kita akan merasa unsettling sekaligus jadi terinspirasi karena layaknya film-film genre lain yang bagus; horor semestinya juga mampu memberikan kita suatu topik kemanusiaan untuk jadi bahan diskusi. Dan aku harus bilang, Get Out adalah film yang punya SUDUT PANDANG YANG SANGAT BERANI. Sebelum ini, Peele nulis dan main bareng sobatnya Key (look for him jadi cameo sekilas di film Get Out) di komedi aksi berjudul Keanu (2016) tentang kucing; kocak namun bukan film yang hebat, tapi punya perspektif yang unik. Makanya aku jadi penasaran karena di Get Out kali ini yang dibuatnya adalah horor, dan yes, film ini definitely diceritakan dari perspektif yang tidak pernah kita lihat sebelumnya pada genre ini. Dan setelah menonton, aku sangat terkesan, I love this film.

Peele nunjukin bahwa dia paham gimana mengarahkan film horor, dia mengerti cara membuat setiap adegan menakutkan menjadi menarik. Bahkan menyenangkan. Ini adalah pandangan PSIKOLOGIS SEKALIGUS SANGAT SATIRICAL terhadap pandangan sosial soal masalah racial. Sepanjang film akan banyak momen-momen yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal namun serius (eh kebayang enggak tertawa serius itu gimana? Ketawa yang kalo disenggol ngebacok! Hahaha), karena penulisan film ini mengerti bagaimana menempatkan elemen horor yang seram dan over-the-top sebagai lapisan luar buat elemen grounded yang lebih menakutkan. Film ini punya sesuatu yang ingin ia katakan perihal kecanggungan yang dirasakan seseorang ketika dia berada di tengah-tengah tempat yang tidak biasa baginya. Dalam The Visit (2015), M. Night Shyamalan juga melakukan hal yang serupa, dia mengambil hal sesederhana interaksi canggung antara anak kecil dengan orang lanjut usia dan mengubahnya menjadi pengalaman menakutkan. Cerita Get Out, however, lebih urgen sebab ia mengangkat tema yang berada di zona sensitif buat beberapa orang. Terlebih buat audiens Amerika yang memang menganggap serius masalah kulit hitam dan kulit putih.

Kita semua adalah manusia. Like, it doesn’t matter warna kulitnya apa. Film ini juga menegaskan bahwa masalah rasis sebenarnya adalah masalah psikologis. Kaitannya dengan penyakit mental. Dengan cara berpikir. Jika kita merasa punya kelebihan dibanding yang lain, jika kita merasa berbeda dari orang, maka itu udah termasuk rasis. Pengotak-kotakan itu bukan dari biologis, melainkan datang dari konstruksi sosial. Kita yang menganut bhinneka tunggal ika juga bisa tergolong rasis jika kita mengelaskan orang dari kelakukan golongannya.

 

 

Di balik subjek dan gagasan yang serius, Peele bisa menemukan celah untuk mengintegralkan humor yang sangat menyegarkan. Meskipun film ini penuh oleh stereotipe trope-trope horor, jumpscare tidak bisa dihindari, kita dikagetkan oleh musik keras yang mengiringi bayangan orang yang berjalan di background, kita histeris saat sesuatu muncul dengan mendadak disertai suara lantang, suara dan visi si sutradara tetap bisa dipertahankan. Keoriginalitasnya tetap enggak tercoreng berkat cerita utamanya. Dari adegan pembukanya saja, udah terasa gimana fantastis dan menyenangkannya film ini. Sepenglihatakanku, sekuen ‘pencidukan oleh mobil misterius’ di jalan perumahan itu dilakukan dengan one-take, yang merupakan teknik pengambilan gambar yang aku suka, dan that whole scenes amat creepy sekaligus juga kocak karena humor datang dari tubuh yang diseret bergerak seirama dengan musik. Menuju ke babak tiga akan ada nuansa horor yang sangat intens yang dibangun dengan sangat baik, it builds up into some really satisfying moments yang bikin penonton sestudio ngecheer.

Penulisan film memang dipikirkan dengan teramat baik. Semua simbolisme dan metafora pada akhirnya akan terbayar tuntas.Adegan menabrak rusa actually punya peran yang penting dalam pertumbuhan karakter Chris, dan dengan efektif diintegralkan dalam adegan final. Segala detil diperhatikan dan benar-benar digunakan untuk membangun lapisan cerita. Sebagai protagonis, Chris digambarkan dengan kompleks. At one time, kita mencurigai jangan-jangan dia yang pikirannya ngerasis. Chris sendiri adalah orang yang suka berprasangka, kita bisa melihat dia cemburuan dan kurang senang ngeliat pacarnya bercanda dengan sahabatnya di telepon. Really, penampilan akting dalam film ini diarahkan dengan kompeten sehingga menjadi poin kuat film. Comic relief disandarkan kepada pundak LilRel Howery yang berperan sebagai polisi bandara sahabat Chris, dan aktor ini mencuri setiap adegan yang ia mainkan. He’s so hilarious. Perannya pun ditulis lebih gede dari sekedar teman tukang ngocol.

Kita tidak terlahir rasis, kita terajar untuk jadi rasis. Terkadang kita malah enggak sadar kita punya bias ke arah rasis. Kita ngedevelop tendensi rasis berdasarkan sosialisasi dan lingkungan.Prasangka muncul dari hubungan kita dengan orang, seperti Chris yang mulai ragu dan takut ketika berada di tengah keluarga Rose yang ia noticed berbeda dari dirinya. Namun seperti apapun yang bisa kita pelajari, kita juga bisa unlearn it.Denganberbagi dengan orang lain. Tapinya lagi, sebagian besar oranglebih takut untuk berbagi, untuk jadi sama dengan orang lain.

 

kita bisa memotong tensi adegan dengan pisau dapur rumah Rose.

 

Masalah yang bisa kita temukan dari pengalaman menonton film ini adalah soal pacing dan keseimbangan tonenya. Pacingnya sedikit tidak konsisten. Terkadang kita akan dibawa melompat antara tone serius dengan tone kocak dengan agak terlalu cepat.  Banyak sekuens yang terlihat aneh dengan horor ataupun humor yang terasa dilampirkan begitu saja, tanpa ada kepentingan yang lebih dalem buat cerita. Tapi tentu saja, ini adalah jenis film yang akan lebih mudah kita apresiasi jika kita udah nonton untuk kedua kalinya, atau jika kita udah mengerti konteks dan paham apa yang sebenarnya terjadi di balik lapisan terluarnya. Seperti misalnya adegan di malam hari ketika ada tokoh yang berlari cepat menuju Chris seakan ingin menabrak atau menyerangnya. Di detik-detik mau nubruk, si pelari mendadak berbelok arah begitu saja. Ketika melihatnya pertama kali, aku merasa adegan ini purely buat serem-sereman atau malah lucu-lucuan belaka, kayak adegan horor gajelas. Tapi kemudian in retrospect, begitu aku sudah mengerti ‘misteri’nya, aku bisa melihat ada dua skenario yang dapet membuat adegan tersebut menjadi beralasan.

 

 

Horor yang dengan tepat menggambarkan keadaan canggung yang penuh oleh komentar-komentar dan sindiran sosial. Aku terutama sangat terkesan dengan kemampuan Jordan Peele menggarap horor sebagai humor satir yang dekat, dan dia juga membuktikan bahwa filmmaker masih bisa untuk punya suara sekaligus memuaskan tuntutan untuk memasukkan stereotipe dan trope yan sudah umum dari genre ini. Meskipun tone filmnya belumlah sempurna, namun ini adalah sajian bagus yang langka. Perspektifnya berani dan sangat unik dapat membuat kita jadi ‘rasis’ kepada film-film horor lain; just because we noticed betapa berbeda dan superiornya film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for GET OUT.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

NIGHT BUS Review

“An eye for an eye only ends up making the whole world blind.”

 

 

Paman Gober si bebek paling tajir di dunia hobi naik bus karena katanya angkutan umum jauh-dekat ongkosnya sama. Sama-sama murah, maksudnya hihi. Paman Gober enggak tau aja kalo dengan naik bis, kita bakal kaya; oleh pengalaman. Karena di dalam bis yang melaju tersebut kita pasti akan berjejelan dengan penumpang lain. Ada emak-emak rempong, preman-preman bau rokok, bapak-bapak kantoran, dan kalo beruntung kita sesekali bisa ketemu ama makhluk manis dalam bis. Segala macem latar belakang. Rupa-rupa deh warnanya.

Kayak bus Babad yang siap berangkat sehari-semalam ke kota Sampar dalam film Night Bus. Aku sendiri suka naik kendaraan umum lantaran aku memang demen memperhatikan orang-orang. Makanya aku kecewa setelah nonton The Girl on the Train (2016), film tersebut gagal ngedeliver premis tokoh yang suka memperhatikan orang sehingga dia merasa perlu untuk campur tangan terhadap masalah orang yang ia perhatikan di transportasi umum. Film itu malah berkembang menjadi drama dari perspektif satu orang. Night Bus, however, adalah film yang berjubel oleh karakter.

Menonton film ini KITA SEAKAN IKUT MENJADI PENUMPANG BUS BABAD, observing satu persatu orang-orang asing tersebut. Tidak ada tokoh utama di sini, kita tidak tahu motivasi sebagian besar dari mereka apa. Kita cuma tau ada si supir hanya ingin sampai menghantarkan penumpang yang jadi tanggung jawabnya dengan selamat. Ada stokar yang rada tengil namun cukup baik hati membiarkan anak kecil tanpa-tiket duduk di kursi sendiri tanpa perlu dipangku. Ada orang buta yang selalu positif, ada orang kaya, ada pasangan cewek dengan cowoknya yang penakut, ada wartawan, ada cewek manis yang pendiem, sepuluh menit pertama dalam film ini menghantarkan tugas sebagai perkenalan singkat sekaligus mengeset mood. Bahwa instantly kita akan ngerasa khawatir sama mereka semua, karena Sampar tujuan mereka adalah daerah konflik. Dan di menit-menit awal, film did a good job dengan tersirat ngejual daerah tersebut sebagai zona yang berbahaya.

bukannya bau balsem, bus malam yang satu ini akan anyir oleh bau darah

 

 

Perjalanan tragis mereka ditranslasikan kepada kita sebagai dua jam PERJALANAN PENUH CEKAM DAN EMOSI. Tadinya aku kira ini bakal jadi semacam confined-space whodunit thriller, tapi ternyata tebakanku took a wrong turn as film ini menyentuh lebih jauh sisi traumatis manusia. Ini kayak thriller bergaya roadtrip, yang tentu saja ada elemen ruang tertutupnya. Kita akan belajar lebih banyak tentang siapa-siapa saja penumpang bus. Apa kaitan dan pandangan mereka terhadap konflik atau perang antargolongan. Bus Babad membawa orang-orang tak bersalah, mereka bagai pelanduk yang permisi numpang lewat di antara gajah-gajah yang lagi berantem, dan film ini benar-benar menggali gimana dampak pertikaian terhadap orang-orang seperti penumpang bus tersebut.

Serangan ditimpal dengan serangan. Kau garuk punggungku, aku akan gantian menggaruk punggungmu. Jika setiap mata dibalas dengan mata, maka dunia akan buta. Konflik dan pertikaian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Apinya akan merembet membakar semua yang berada di tengah-tengahnya. Menarik gimana film ini menawarkan solusi dengan kiasan ‘kenapa mesti mandi kalo nanti kotor lagi?’ Dampak perang tidak akan hilang. Ada tokoh ibu penjaga warung yang enggak mau berbicara dengan orang karena nanti toh perang akan memakan semuanya. Mungkin saja, apa yang harus kita lakukan adalah dengan tidak memulai gesekan sama sekali.

 

Ada sedikit eksposisi setiap kali cerita butuh untuk menerangkan konflik pertikaian. It could have been handled dalam cara yang lebih compelling. But for the most part, film ini bercerita dengan subtle. Kita belajar karakternya dengan perlahan, kita harus menyimak semua. Kadang petunjuk tentang backstory mereka ada di percakapan yang terjadi menjelang pertangahan. Kita harus memilah semua informasi yang seliweran di antara pemandangan visual kondisi di dalam bus yang terlihat sangat contained ini. Visualnya agak sedikit goyah ketika beberapa green screen dan efek berusaha diintegralkan ke dalam efek-efek praktikal. Kadang film ini terlalu gelap, dan tak-jarang kamera terlalu banyak bergoyang sehingga sekuens aksi menegangkan yang terjadi di layar menjadi sulit untuk kita tangkap. Tingkat violence film ini lumayan tinggi, udah kayak nyaingin film PKI dengan segala dialog “jenderal, jenderal!” dan adegan penyiksaan. Aspek yang paling aku suka dari film ini adalah gimana dirinya hadir dengan sangat grounded. Penampilan akting di sini semuanya meyakinkan. Dialek dan intonasi bahasa melayu deli dan langkat terdengar dengan pas dan enggak dibuat-buat. Aku ngerasa seperti udah mudik mendengar dialog-dialog film ini, karena di kampung halamanku memang pake bahasa longor-longor seperti tokoh-tokohnya.

Di antara semua penampilan yang seragam bagus, Teuku Rifnu Wikana mencuri show dengan tokoh yang paling vokal. Kita melihatnya berusaha menjalin hubungan dengan penumpang lain, dan actually relationshipnya dengan supir adalah salah satu emotional core cerita. Para penumpang diberikan moral dan cela sehingga mereka menjadi menarik, kita peduli terhadap kondisi mereka. Kita penasaran pengen tau siapa mereka. Terutama kita terasa terinvolve ke dalam panik dan guncangan yang menimpa mereka semua. Meskipun ada juga sih yang terasa annoying. Kayak si wartawan, dari pertama udah kelihatan he’s a sneaky guy, dan sikap-sikap kebajikan yang kadang ia tampakkan enggak pernah terasa tulus. Hubungan antara kedua anak muda yang ingin ke Sampar cari kerja juga enggak terlalu menarik karena eksekusinya datar gitu aja. Arc favoritku adalah yang dipunya oleh karakternya Hana Prinantina; dia dokter koas – cewek ini bisa menolong korban, dan ultimately skrip memberinya bentrokan saat dia memilih untuk menolong serdadu atau enggak karena suatu peristiwa di masalalunya. It was so heartwrenching, mestinya tokoh ini diberikan lebih banyak pengembangan alih-alih sengaja disimpan, you know, tokohnya Hana enggak banyak diberikan dialog lantaran film ini ingin ‘merahasiakan’ dirinya sebagai emotional twist.

“Eh longor, udah nonton kau ada satu pilem baru judulnya ‘Naik Bus’?”

 

Bagian paling menarik memang adalah ketika momen-momen seperti tokoh Alex Abbad menunjukkan simpati kepada Nenek dan Laila, atau ketika penghujung balas dendam tokoh Hana, atau juga ketika salah satu pasukan separatis meminta untuk ditembak. Momen ketika pelaku perang kejatuhan beban moral, ketika ada dilema yang membayangi mereka. Formula cerita perang yang bagus selalu seperti ini. Menyentuh zona abu-abu kemanusiaan. Akan tetapi, setelah kejadian di babak ketiga, arah jalan film ini sepertinya hanya ke poin dramatis semata. Kelompok pemberontak yang muncul di babak ini benar-benar murni jahat. Dan dilema moral yang semestinya jadi soal, hanya diberikan kepada penumpang bus yang notabene korban perang. Supaya kita kasian sama mereka, supaya kita merasa mereka itu kita, jika kita ada di tengah-tengah medan pertempuran. Seharusnya film ini juga menggali dari sisi Kolonel Sahul, tapi enggak, karena sekali lagi mereka ngerasa perlu untuk masukin elemen twist.

Dalam sense fokus ke elemen menyayat hati ini, Night Bus terasa kayak salah satu animasi klasik dari Studio Ghibli, Grave of the Fireflies (1988). Film anti-perang yang sama-sama dibuat dengan bagus, tapi kepentingannya buat sedih-sedih semata. Semua cerita dibuild buat bikin kita merasa sedih, semuanya ditargetkan kepada kematian orang-orang tak berdosa. Tentu saja, kayak Grave of the Fireflies, tokoh gadis cilik di film Night Bus juga sudah dipatri untuk mati. Adalah hal yang bagus film ini mencoba melakukan sesuatu yang jarang dengan enggak netapin tokoh utama, kita dibuat enggak tahu siapa yang bakal selamat, namun pada akhirnya ini lebih seperti usaha untuk memancing dramatis semaksimal mungkin. Hanya sedikit dari emosi tokoh-tokoh film ini yang terasa otentik. Kematian memang menyedihkan, namun film ini tidak punya hal lebih jauh yang dibicarakan selain jadi korban sia-sia itu adalah sangat heartbreaking. Aku enggak bilang film enggak boleh pengen jadi sedih doang, tapi itu adalah jalan yang mudah, dan I’d like to see movie yang lebih challenging dan film ini sebenarnya bisa menjadi lebih menantang pikiran.

 

 

 

Sangat unik, kehadiran film ini sangat diperlukan mengingat scene perfilman tanah air yang kurang variasi. Punya original look, punya cerita yang grounded dengan tokoh-tokoh yang menarik dan manusiawi. Diperankan dengan sangat meyakinkan. Ini adalah salah satu dari film yang punya nilai lokal yang kuat. Menyentuh lewat ceritanya yang mencekam, hambatan di jalan buat film ini adalah arahannya yang menyasar kepada sisi dramatis yang begitu diextent sehingga terasa manipulatif. Bahkan musiknya kerap terdengar terlalu ‘lantang’. Tidak bicara lebih dari gimana perang tidak punya manfaat melainkan hanya menyebabkan orang-orang sipil menjadi korban. Dengan sengaja memilih penceritaan dari perspektif penumpang bus, moral dan segala kemanusiaan diberikan kepada tokoh-tokoh ‘korban’ just so kepergian mereka terasa menyedihkan. Enggak salah, hanya saja ini adalah cara yang paling gampang, dan cara inilah yang dipilih oleh film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NIGHT BUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We? We be the judge.

THE SPACE BETWEEN US Review

“The greatest gift you can give to someone is the space to be his or herself”

 

 

Jarak di Antara Kita…….

….Ha! Judulnya aja udah mengisyaratkan ini bakal jadi sesuatu yang cheesy banget, well ya meski sekaligus juga memang permainan kata yang menarik. Mengartikan ungkapan “Boys are from Mars” secara harafiah, The Space Between Us bercerita tentang seorang cowok yang gede di planet asal Marvin musuh Bugs Bunny, dan cowok ini diam-diam menjalin pertemanan spesial dengan cewek di Bumi. Kalian pikir LDR itu sulit, coba bandingkan dengan Gardner dan Tulsa dalam film ini. Mereka chatting antarplanet, mereka belum pernah ketemu satu sama lain; karena lahir di Mars, keadaan tubuh Gardner actually disangsikan berfungsi dengan baik di planet kita. Namun tentu saja biar dramatis, maka kita akan ngeliat Gardner, against all odd, berusaha menapak jalan pulang ke Bumi – demi menemui Tulsa serta mencari ayahnya yang enggak ada seorang pun yang tahu siapa.

Selalu menyenangkan melihat karakter mengalami sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Perasaan joy kita bakal keangkat tinggi menyaksikan Gardner ngerasain mandi hujan untuk pertama kali. Momen-momen dia berjalan sendirian, dengan sedikit canggung karena berat oleh gravitasi bumi, momen dia bertanya “apa yang paling kalian sukai tentang Bumi?” kepada setiap orang yang dia jumpai adalah momen yang genuinely menyenangkan.

Asa Butterfiled bisa dengan memesona memainkan karakter yang polos enggak-banyak pengalaman, namun tidak mesti innocent. Tokohnya pintar, dia actually ngelakuin banyak pilihan yang risky – enggak membosankan kayak waktu jadi lead di Miss Peregrine’s Home for Peculiar Childern (2016). Memasangkannya dengan Britt Robertson yang di real life tujuh tahun lebih tua membuat kesan ‘jauh’ kedua insan ini terasa natural. Britt di sini sebagai cewek yang street-smart. Clash antara dua karakter ini cukup menarik, I do like karakter Tulsa, masuk akal gimana dia yang dibesarkan dari orangtua asuh satu ke yang lain merasa urgen buat mempertemukan Gardner dengan sang ayah. But to be honest, ketika Britt dan Asa menyentuh ranah romansa, aku enggak bisa ngerasain spark di antara mereka. Sekali lagi, mereka terlihat ‘jauh’. Ada yang gak klop dari koneksi mereka sebagai pasangan, especially the way Tulsa manggil Gardner dengan “Bub”. Britt Robertson adalah salah satu aktor yang fleksibel dalam soal usia, maksudku, dia kerap memerankan tokoh yang rentang usianya sangat variatif. Tahun 2016 kemaren, dia jadi mama muda, dia hamil dalam setiap film yang ia bintangi. Dan sekarang dia kembali jadi gadis remaja. Kupikir masalahnya bukan pada akting atau di dianya sendiri sih, melainkan lebih kepada kita sudah punya ekspektasi Britt bakal move on memainkan tokoh yang lebih dewasa. Dengan cerita yang lebih matang pula tentunya.

sayang sekali mereka lupa menjemput Matt Damon di atas sana

 

Para aktor dalam film ini kelihatan sangat berusaha. Gary Oldman turut bermain, bersama Carla Gugino dan Janet Montgomery. While Janet sebagai ibu Gardner enggak banyak mendapat screen time, Gary dan Carla mencoba melakukan yang terbaik menghidupkan karakter yang hanya berlarian dan menghabiskan waktu dalam komunikasi yang enggak efektif. Ketiga orang ini berperan sebagai pihak NASA yang bertanggungjawab pada proyek pemukiman di Mars.

See, sebelum kita masuk ke kisah cinta Gardner dan Tulsa, film ini akan menggugah moral kita terlebih dahulu dengan sesuatu yang sebenarnya adalah elemen cerita yang sangat segar. Saking freshnya, elemen ini bisa dijadikan satu film sendiri, yang bahkan punya potensi lebih menarik ketimbang apa yang kita dapatkan dari menonton The Space Between Us. I was actually feeling really intrigued by the first 15-minutes. Aku sudah siap untuk ngeliat romansa cheesy, but hey, malah disuguhin sama permasalahan manusiawi. Tokoh Gary Oldman mengirim enam astronot sebagai manusia pertama yang akan tinggal di Mars, namun setengah jalan ke sana, janin mengisi rahim si kapten astronot. Tentu anugrah tak-terduga ini mengacaukan protokol, apalagi setelah melahirkan di Mars, sang kapten meninggal. Kejadian ini ditutupi lantaran ekspedisi gede itu bakal ter-reflect bad ke publik. Yang tentu saja memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib sang anak? Dibesarkan di atas sana, jauh dari peradaban manusia normal? Atau dibawa pulang dengan resiko membunuhnya?

Mau di planet manapun, keadaannya selalu sama. Anak-anak bakal mengantagoniskan orangtua, terutama jika figur orangtua tersebut mengekang mereka. Dalam kasus Gardner yang kabur dari NASA, yang juga integral dengan arc si Tulsa, ini adalah metafora dari seorang anak yang lari demi mencari tahu siapa dirinya, untuk mencari jati diri. Mencari tempat yang familiar dengan diri. Dan orangtua yang keep their children in the dark, they should have know better Bahwa terkadang, jarak perlu untuk diberikan kepada orang yang kita cinta.

 

Untuk sebuah film yang membicarakan tentang kehidupan di tempat tanpa gravitasi, The Space Between Us sendirinya sudah seperti CERITA YANG MELAYANG BEGITU SAJA. Dia tidak bisa menemukan pijakan. Apa yang ingin penonton lihat adalah bagaimana mereka memainkan gimmick cinta beda-planet, akan tetapi film ini mengeset elemen cerita dengan tone yang serius dan thoughtful di awal, hanya untuk meninggalkan elemen tersebut begitu saja; menimpanya dengan pancingan-pancingan dramatis yang standar. Film ini kelihatan seperti ingin menjadi banyak sekaligus. Hasilnya adalah perjalanan yang membosankan, tidak ada elemennya yang bekerja dengan baik, satu-satunya yang bikin kita melek adalah adegan-adegan yang menjadi unintentionally hilarious sebagai akibat dari numpleknya penulisan skenario film ini.

Ada bagian soal anak yang bosen dikurung, yang resolve menjadi perjalanan ngeliat balon-balon dan ketemu Indian hippie. Ada bagian temenan sama robot, you know, ala-ala pesan moral Artificial Intelligent; Gardner dan robot pengasuhnya kayak “Aku sedih loh, bukannya kita teman?”/”Kamu kan robot, mana punya perasaan”. Ada juga bagian yang mengingatkan kita sama Wall-E; sebelum berangkat ke Bumi ketemuan ama Tulsa, Gardner yang begitu ingin ngerasain hubungan manusia menonton film cinta jadul dan dia berlatih adegannya. Tentu saja, juga ada bagian roadtrip romantic saat Gardner dan Tulsa kabur mencari alamat ayah sambil diuber-uber oleh NASA. Yang dengan cepat menjadi konyol, kayak, Tulsa yang tiba-tiba nyanyi pake gaun di swayalan. Siapa sih yang lagi di perjalanan jauh malah milih pakai gaun?? Ada juga satu adegan di kafe di mana tiba-tiba ada cowok sok akrab yang nimbrung dalam obrolan mereka, who the hell is that guy anyway?!  Dan bagaimana dengan remaja yang bisa ngendarain pesawat, normal toh

Bagi film remaja, sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer buat mengantagoniskan orang dewasa. Film ini mencoba untuk membuat Gary Oldman and-the-gank kelihatan jahat di mata Gardner dan Tulsa, but of course kita tahu lebih baik – kita tidak pernah melihat mereka sebagai badguy yang mau mencelakakan, dan itulah sebabnya kenapa elemen ini tidak bekerja.

but hey, kita dapat adegan ledakan. It’s a good thing, right?

 

Dari gimana hidup di Mars, cerita dibawa kembali ke Bumi, dan sesungguhnya sangat susah buat menarik kembali perhatian kita. I mean, seexciting apa sih kejadian di Bumi dibandingkan dengan di Mars? Film ini sepertinya aware dengan hal tersebut, jadi mereka memasukkan apapun biar bagian di Bumi menjadi menarik. Akan tetapi akibatnya ada BANYAK KEENGGAKKONSISTENSIAN, sampai-sampai kita bingung sendiri ini film niat apa enggak sih. Seting waktu ‘masakini’ film ini adalah di masa depan, enam belas tahun dari 2018, tahun kematian ibu Gardner. Bumi dan Mars bisa ditempuh dengan hanya tujuh bulan perjalanan. Gawai terlihat mentereng, desain laptop sudah demikian majunya. Tapi pakaian, mobil, pesawat, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan masa kini kita semua. Penulisan Gardner juga linglung, dia malah cenderung kayak orang gua ketimbang orang dari Mars yang sudah maju. Masuk akal jika dia euphoria pacaran ataupun mandi hujan, karena itu adalah hal baru yang sekali itu pernah ia rasakan. Tapi heran dan ketakutan ngeliat kuda? C’mon masa iya dia belum pernah liat hewan di internet? Terkecuali di act ketiga, kita bisa melupakan sama sekali bahwa Gardner adalah orang Mars, karena dia bertindak kayak orang ‘sakit’ instead.

 

 

 

Lucu betapa penuhnya film ini namun enggak benar-benar ada bobot yang terasa. Film ini harusnya mendengar sendiri pesanya; berikan ‘jarak’ supaya elemen cerita bisa berkembang. Akan bisa lebih baik jika film ini memfokuskan kepada Gardner sebagai lead tunggal, film bisa dimulai dengan kehidupannya di Mars terus dia menemukan video keberangkatan ibunya, sehingga kita enggak perlu ngeliat prolog sebagai sepuluh-menit-pertama yang enggak benar-benar memberi bayangan tentang pusat cerita. Malahan apabila film ini just stick menjadi full cheesy, mungkin tetep akan lebih baik. At least, it would be enjoyable dalam level ‘so bad it’s good’. Nyatanya, kisah anak dari planet ketutup oleh banyak hal, termasuk oleh drama cinta yang enggak klik. Dan keinginan buat ngasih twist yang sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Apakah film ini berupa action, komedi, romance, sci-fi, adventure, not even pembuatnya tahu pasti. Drama ini persis seperti pemandangan set Mars yang ia tampilkan; kering meranggas.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPACE BETWEEN US.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

DANUR: I CAN SEE GHOSTS Review

“A friend in need is a friend indeed”

 

 

Siapa sih yang enggak pengen punya sobat hantu yang baik hati. Gagasan memiliki seorang yang deket dengan kita, yang selalu ada, terlebih jika ia punya kemampuan ajaib kayak Om Jin sehingga bisa membantu dalam masalah penting maupun enggak penting, selalu sukses menjadi bahan lamunan yang menarik. Apalagi buat anak kecil kesepian seperti Risa. Ditinggal ayah dan ibu bekerja seharian membuat Risa begitu mendambakan kehadiran teman bermain. Maka, di malam ulangtahun kedelapan yang ia rayakan sendirian di rumahnya yang gede, Risa meniupkan permintaan polos dan lugu, “Aku ingin punya teman”

Memanfaatkan cerita yang berasal dari kisah nyata, like, there’s actually a person in Bandung named Risa Saraswati yang berteman beneran dengan hantu-hantu anak kecil; dia membukukan pengalamannya yang kemudian diadaptasi ke layar lebar, film ini membuat banyak materi menarik untuk promosi. Film ini dikabarkan ditulis ulang, posternya pun diganti, sesuai dengan permintaan hantu yang difilmkan. Well, sepertinya setelah ada film horor yang diproduseri oleh anak kecil, sekarang kita juga punya horor yang diproduseri oleh hantu anak kecil..
Prilly Latuconsina yang memerankan Risa Remaja, menurut laporan film ini, meminta dibukakan mata batinnya supaya ia bisa lebih mendalami karakter yang dia perankan. Dan saat premier film, lima kursi kosong beralas kain putih disediakan di sebelah Prilly, menandakan ada lima ‘undangan spesial’ hadir menyaksikan filmnya. It’s actually menarik melihat UPAYA YANG BEGITU BESAR DALAM MEMPROMOSIKAN FILM HOROR INI. Ah, seandainya ide kreatif yang berlebih tersebut diarahkan untuk membuat film yang lebih berbobot dan lebih enak untuk ditonton.

Sekalian aja kasih promo “reviewer yang ngasi nilai jelek bakal disatroni Peter dan teman-teman”

 

Risa bermain piano sambil menangis sebagai pembuka film adalah adegan yang beneran unsettling. It’s a great scene yang ditangani dengan kompeten, kita ngerasain takut dan bingung, Prilly ngesold tokohnya dengan sangat baik. Actually, walaupun enggak banyak yang bisa dilakukan terhadap karakter Risa dan lain-lain, karena memang ditulis seadanya – polos tanpa penokohan yang berarti, Prilly most of the time berhasil menyampaikan perasaan yang dialami oleh Risa kepada kita. Dia adalah salah satu dari dua bagian terbaik di film ini, namun perlu diingat that’s not really a great achievement buat film ini. Bagian terbaik lainnya adalah penampilan dari Shareefa Daanish yang sekali lagi bermain sebagai tokoh yang amat sangat bikin merinding. Enggak perlu banyak-banyak dipoles, kalo aku dipelototin Shareefa dengan cara yang sama dengan cara Asih memandangi Risa, maka niscaya aku bakal lari pontang-panting. Dia bisa jadi Ratu Horor modern sinema tanah air, namun aku jadi kasian juga kalo-kao Shareefa Daanish enggak bisa move on dari peran peran creepy seperti ini, she’s actually a decent actress.

Slightly good performances enggak lantas membuat film jadi ikut slightly good. Begitupun penampakan hantu yang menggebu enggak seketika bikin film horor menjadi bagus. Genre horor Indonesia mestinya segera melek dan menyadari bahwa horor yang benar-benar nyeremin itu datangnya dari psikologis manusia, bukan semata dari wujud hantu yang berdarah-darah. Horor terbaik selalu adalah cerita yang menggali trauma psikologi, seperti The Shining (1980), The Babadook (2014), atau The Devil’s Candy yang tayang baru-baru ini (2017). Pada Danur, mereka semestinya bisa mengeksplorasi cerita tentang keadaan mental anak yang setiap hari sendirian di rumah. Bisa ditambahkan layer tentang eksistensi Peter dan teman-temannya yang dapat dikaji sebagai fragmen dari imajinasi Risa yang terlalu nyata. Cerita film ini bisa banget berkembang ke arah psikologikal. Akan tetapi, film lebih ngikut ke saran Pak Ujang “Lebih baik langsung panggil dukun saja”, karena sepertinya mereka takut film ini nanti akan jadi lebih berisi.

Babak pertama sepenuhnya didedikasikan buat Risa kecil berkenalan dengan Peter dan dua hantu cilik lain. Diceritakan dengan cerewet lewat narasi voice-over ketimbang mengefektifkan visual storytelling. Penanganan terhadap detil sutradara Awi Suryadi enggak dimanfaatkan maksimal di sini. Padahal adegan bayangan hantu yang beberapa kali ditampilkan cukup serem. Aku juga suka ketika Peter menyebut Jepang dengan Nippon, seperti yang dilakukan orang Belanda beneran pada masa penjajahan.

Tetapi film menemukan zona nyamannya pada orang yang berteriak-teriak memanggil nama keluarganya yang hilang, serta pada jumpscares dengan volume musik yang maksimal. Tidak banyak yang dilakukan oleh Risa ataupun tokoh lain selain kaget, mencari-cari, dan diculik. Risa kecil bakalan mengetahui siapa teman-teman barunya, dan dia akan kaget bersamaan dengan kita belajar apa arti kata ‘Danur’. Dan babak kedua berlanjut dengan Risa yang sudah remaja balik ke rumah itu lagi, kali ini dia ngerawat neneknya yang sakit barengan Riri adiknya. Kemudian Riri juga ngalamin kejadian yang sama dengan Risa sewaktu kecil, Riri berteman dengan makhlus halus lain, hanya saja temannya ini jahat. Riri diculik dan Risa harus mencari adeknya. Sesuatu yang tidak-bisa ia lakukan tanpa bantuan teman-teman lamanya, of course.

hantu-hantu yang lucuu, ke mana engkau terbang?

 

Kita memang enggak bisa ngeliat Peter beneran, tapi kita tentunya bisa dong ngeliat betapa kacaunya skenario film ini. Para tokoh tidak punya motivasi. Tidak ada actual plot. Jikapun ada, seperti Risa, hanya ditulis setipis uban nenek; seharusnya ini adalah tentang anak yang ingin punya teman, tapi yang ia dapat adalah teman hantu. Kita akan melihat arc Risa resolves menjadi dia mensyukuri apa yang ia punya, namun perjalanannya tidak pernah terasa meyakinkan. Ataupun menyeramkan. Film ini lebih ke ngebuild up keberadaan jahat penghuni pohon angker alih-alih pertemanan tulus nan indah yang terjalin antara makhluk beda dunia.

Seberapa jauh kita mengenal teman-teman kita? Bagaimana jika kita tahu rahasia terdalam dan tergelap mereka, apakah kita masih mau berteman dengan mereka? Film Danur bisa kita lihat sebagai kisah seorang anak yang menemukan arti persahabatan. Bahwa teman bukan hanya company untuk bermain dan bersuka ria. Teman yang sebenarnya adalah teman yang ada di sana kala kita membutuhkan mereka.

 

 

Tampak AWI SURYADI SUDAH MENEMUKAN FORMULA HORORNYA. Jika kita tilik, Danur punya ‘tubuh bercerita’ yang sama persis dengan Badoet (2015). It’s about anak-anak yang tertarik sama makhluk astral, kemudian anak tersebut dikendalikan – atau diculik, terus ada flashback tragis si hantu jahat semasa hidup yang dikecam oleh masyarakat, dan kemudian protagonis akan menemukan cara simpel untuk mengalahkannya, yang bakal berhubungan dengan tempat dan benda tertentu. Kita bisa ngeoverlook ini pada Badoet, yah termaafkan sehingga bisa masuk level ‘bisa-lebih-baik-lagi alias 6 dari 10 bintang’ karena film itu actually memanfaatkan set apartemen dan gimmick badut dengan efektif. Yang dilakukan Awi pada Danur, however, cuma hal-hal generik yang sudah lumrah kita temukan di film horor. Pada Badoet, final ‘big-confrontation’nya berlangsung dengan bahaya pada tokoh hanya berupa tangan yang lecet kena sekop. Pada Danur, finalnya terasa sangat gampang dengan tersandung dan pergelangan kaki tegores sebagai rintangan utama.

Tidak ada hal menarik original yang kita temukan di Danur. Film ini penuh oleh tropes dan elemen-elemen dari film horor lain. Badoet juga niruin film lain sih, but this time I won’t fall for that again. Asih di Danur tampak seperti Sadako, apa yang ia lakukan dalam menakuti kayak yang dilakukan Sadako di Ring (juga kayak Samara di sekuel Ring versi Amerika, sampe ke bak mandinya), even mulut nganga Asih ekspresinya mirip ama tampang korban Sadako. Bel di tangan nenek yang sakit is very well be elemen yang dicomot dari The Uninvited (2009). Seriously, kepentingan tokoh nenek ini apaan sih? Dia sakit apa juga gak disingggung, yang kita tahu hanyalah si nenek gak bisa bicara karena dia takut make upnya yang kayak kulit Groot jadi rusak. Bagian permohonan Risa kecil yang terwujud ngingetin kita sama Krampus (2015) atau Home Alone (1990). Dan perjalanan Risa ke dunia lain di babak ketiga udah kayak pengadeganan parody dari franchise Insidious.

On a lighter note, aku ada sedikit saran buat kalian:

kalo-kalo ada yang punya kemampuan ‘melihat’ seperti Risa, maka janganlah sekali-kali menjawab pertanyaan wawancara kerja dengan begini:
Interviewer: “Apa kelebihan Anda?”
Kamu: ( berbisik dramatis) “I see things that nobody else sees…”
I did try it once, you know, buat cairin suasana, and the interview didn’t go well hhihi

 

 

Kalian tahu kalian sudah bikin kerja yang buruk jika film horor yang kalian buat malah bikin penonton di studio ketawa ngakak. Syut Asih yang berdiri diam di mana-mana tidak bisa terus-terusan seram. Adegan horor haruslah ada build up, enggak bisa melulu dikasih klimaks penampakan jeng-jeng!

Film ini berusaha terlihat berkonten lokal dengan lagu tradisional Boneka Abdi, namun bahkan lagu tersebut overused; di lima-belas menit pertama saja kita sudah mendengar lagu ini lebih dari tiga kali. Aura mistis dan nuansa misterinya jadi hilang. Awi Suryadi juga ingin menggunakan formula yang sama dengan Badoet yang moderately sukses, but formula tersebut sejatinya enggak bagus-bagus amat sedari awal, dan di film ini terbukti gagal. Ada menaruh perhatian pada detil, sayangnya malah mengisi dengan tropes dan jumpscares dan elemen film lain tanpa ada penggalian yang baru, membuat film ini jadi enggak berbobot. Tidak ada layer, karakter serta plot yang tipis, perspektif Risa disia-siakan. Jika kalian mengharapkan horor yang membahas pertemanan dua alam yang benar-benar menyentuh dan grounded, kalian tidak akan mendapatkannya di sini. Dan sehubungan dalam semangat Hari Film Nasional, sepertinya sudah tiba waktu bagi film Indonesia, dalam kasus ini film horor, untuk menganggap kritikus dan reviewer sama seperti Peter; sebagai teman yang sekalipun menyeramkan, namun sejatinya hanya ingin membantu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DANUR: I CAN SEE GHOSTS

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.