SEHIDUP SEMATI Review

 

“Not even death can do us apart”

 

 

Kesakralan pernikahan  dibuktikan dengan ikrar untuk menjadi pasangan yang sehidup semati. Janji untuk senasib sepenanggungan. Susah senang selalu bersama-sama, hingga maut memisahkan. Janji suci dua insan Katolik tersebut dapat berubah menjadi beban toxic mengerikan, seperti yang terjadi dalam psychological thriller terbaru dari Upi ini, Ketika rumah tangga jadi tak lagi harmonis, pernikahan hanya jadi neraka personal bagi istri yang tidak diperkenankan melawan, melainkan bertambah fungsi jadi punching bag emosi dan frustasi suami. Afterall, istri harus senantiasa tunduk dan patuh terhadap suami. Perceraian merupakan aib keluarga, dan adalah tugas istri untuk menjaga martabat suami dan keluarganya. Dengan muatannya ini, Sehidup Semati dengan cepat menjadi sebuah gambaran naas yang bakal berkembang menjadi jauh lebih menyeramkan lagi. Karena Upi membenturkan penafsiran ekstrim dari dogma atau ajaran agama itu dengan pandangan yang sepertinya solutif, hanya datang dari tempat yang tidak benar-benar bisa dipercaya. Penceritaan film ini pun akhirnya baur, antara benar psychological atau sebuah supernatural.

Pasangan tak-bahagia dalam film ini adalah Renata dan Edwin. Laura Basuki jadi Renata yang tersiksa mental dan fisik. Bukti visual memperlihatkan perempuan berambut seleher itu jadi korban KDRT. Ario Bayu jadi Edwin, pria yang keras, dingin, distant, dan tersenyum hanya kepada layar hapenya. Karena cerita ini dari sudut pandang Renata, kita tidak benar-benar diperlihatkan sisi Edwin, kenapa dia bisa berubah begitu violent kepada perempuan yang tadinya ia cintai. Alasan ‘kecewa’nya sih kita diberitahu. Mereka pengen punya anak tapi Renata physically tidak bisa. Jadi, Renata harus mengalami ‘siksaan’ janji sucinya itu sendirian. Luka dan sakitnya ia pendam sendirian. Toh, agama dan keluarga besar mengajarkan sudah kodrat istri untuk patuh. Sampai, dia mendengar ada suara lenguhan perempuan dari ruang kerja Edwin. Ruang kerja yang sama sekali tidak boleh ia buka/datangi. Renata mulai curiga suaminya literally punya simpanan perempuan lain. Beruntung, Renata yang biasanya sehari-sehari cuma ‘berteman’ dengan televisi, kini punya tempat mengadu. Tetangga barunya, Asmara, perempuan yang completely bertolak belakang dengannya. Asmara liar dan berani, dia malah meledek Renata yang patuh sebagai ‘perempuan bego’. Meski begitu, Asmara tetap masih menyisakan aura misterius (Hmm, siapa lagi yang paling cocok meranin karakter ini kalo bukan Asmara Abigail) Dari perempuan yang sepertinya segala merah itulah, Renata belajar untuk menjadi sedikit lebih berani untuk stand up for herself. Tapi masalahnya, bayangan perempuan simpanan Edwin semakin kerap menghantui. Suara-suara dan kejadian aneh kian santer di sekitar Renata.

Di film ini ikrar suci dibalik menjadi ‘sampai maut menyatukan kita’

 

Sebagai thriller psikologis film ini memang benar menyejajarkan kita dengan psikis Renata. Kita merasakan sama kecil dan terisolasinya dengan Renata yang dititah suami untuk tetap tinggal di rumah. Kita dibuat ikut merasakan derita fisik dan mentalnya. Film ini mampu mencapai itu berkat penampilan akting getir serta treatment yang diberikan kepada karakter ini. Renata seperti titik kecil pucat yang dikontraskan pada setting latar yang pekat. Ya, putihnya Renata lebih terasa seperti pucat, ketimbang suci. Seantero apartemen yang dia huni pun dijelmakan menjadi tempat yang (nyaris) kosong. Hanya Asmara dan seorang ibu tua (dan satpam Muklis!) yang tampaknya kenal dan berinteraksi dengan Renata. Ketika Renata berjalan di lorong-lorong menuju unitnya, dia seperti berjalan di labirin yang persis suasana hatinya. Dingin dan banyak sudut gelap. Ketika kita masuk ke dalam unitnya, keadaan tidak menjadi lebih nyaman, karena bahkan ruang pribadi perempuan itu pun tampak muram dan terasa restricted baginya. Kamar yang tak boleh dibuka. Benda-benda yang either bertukar tempat ataupun bukan miliknya. Zona nyaman Renata hanya di depan televisi. Dan aku suka gimana film membuat Renata seperti sangat susceptible terhadap apa yang ia tonton dan dengar di televisi. Siaran ceramah yang bagi kita terdengar esktrim, seperti larangan tegas bagi Renata. Waktu Renata mulai curiga ada perempuan di rumahnya, siaran yang ditontonnya adalah sinetron tentang pelakor. Dan masuk babak akhir, sebelum ketegangan dan kecurigaan kepada suami memuncak, Renata kita dapati tengah menonton berita kriminal seputar ditemukan mayat istri korban kekerasan suami.

Seolah teror psikologis belum cukup seram dan ‘membingungkan’, film juga menyiapkan teror lain, Teror dari supernatural. Sosok perempuan yang kerap sekelebat hadir di ekor mata Renata ditreat oleh film lebih seperti penampakan arwah penasaran. Ditambah pula si ibu tua diperlihatkan pernah melakukan semacam ritual dengan dukun di unitnya sendiri. Unsur supernatural yang dibaurkan dengan psikologis tadi memang menambah layer kepada misteri. Aku sendiri memang sangat menikmati menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang ‘dihadapi’ oleh Renata. Tapi pace film ternyata jadi agak goyah ketika sudah waktunya mereveal dan menyelesaikan cerita. Like, film ini jadi terasa terlalu lama bermain-main di misteri penampakan perempuan sehingga paruh akhirnya jadi kayak lebih buru-buru, padahal konfliknya lebih banyak di paruh akhir. Kecamuk psikologis juga lebih dahsyat di bagian paruh akhir, dengan segala ketakutan baru Renata soal orang-orang lain di sekitarnya selain suaminya.

Akibatnya, penjelasan yang diungkap film akan terasa ‘short’. Meskipun sebenarnya cukup gede, dan tragis, tapi penonton sebagian besar akan masih terlalu sibuk dengan berusaha mencerna kepingan puzzle tragedi yang telat dibagikan tersebut. Film ini akan dengan cepat menjadi supermembingungkan begitu baru di pertengahan kita dikasih penyadaran bahwa Renata, satu-satunya perspektif yang bisa kita pegang justru ternyata ‘agen’ dari kerancuan. Bahwa dia adalah perspektif yang unreliable. Kita sangka kita akan mengungkap misteri bersamanya, tapi ternyata dialah misterinya. Hal yang tidak real ternyata justru hal-hal yang berinteraksi dengannya. Dan ‘tidak real’ di film ini bukan saja hanya perihal suatu kejadian tidak benar-benar terjadi, melainkan juga kejadian yang beneran terjadi tapi bukan pada waktu yang seperti kita lihat di film. Alias, soal urutan juga teracak. Jadi berikut kotak spoiler soal bagaimana menurutku urutan kejadian kisah tragis Renata sebenarnya terjadi (serta siapa sebenarnya karakter-karakter seperti Asmara dan Ana). Kalian bisa skip kotak di bawah ini jika tidak ingin kena spoiler

Spoiler Urutan Kejadian:

Renata kecil liat Ayah pukulin Ibu – Renata kecil liat ayah muntah darah dan lumpuh – Keluarga mereka tetap utuh Ibu tetap merawat Ayah yang kini gak bisa ngapa-ngapain Ibu – Renata gede nikah sama Edwin – Renata gak bisa hamil – Edwin dicurigai selingkuh sama perempuan lain – Renata mulai kesepian, temannya cuma televisi – Renata ngadu ke keluarga tapi malah disalahin – Edwin mau minta cerai – Renata kalut, stress, terilham rumah tangga Ibu dan Ayahnya, membunuh Edwin – Ana nelfon dan Renata jadi terkonfirm siapa selingkuhan edwin – Renata bunuh Ana – Cerita film dimulai – Di dalam halu kepalanya, Renata nganggap Edwin masih hidup – Tapi hantu Ana mulai menghantui, tetap sebagai pelakor – Renata menciptakan teman/pelarian/alter ego dari karakter sinetron yang ia tonton, yaitu Asmara – Gangguan Ana semakin intens – Asmara ‘membunuh’ hantu Ana – Ibu Ana mulai mencari anaknya yang tidak pulang dan mencurigai Renata berkat petunjuk dukun – Renata membunuh Ibu Ana via Asmara – ‘Asmara’ yang ia ciptakan semakin kuat, sehingga Renata jadi berkonfrontasi dengan realita – Revealing kejadian sebenarnya – Renata membunuh ‘Asmara’ yang ia takutkan jadi pelakor berikutnya – Renata mereset halunya, hidup berdua dengan Edwin  masih sayang padanya – Cerita film selesai

 

Bukan sama-sama hidup/mati, melainkan satu hidup, yang satu mati

 

So yea, film ini pretty ribet. Karakter yang kita kira nyata, sebenarnya tidak ada di sana. Kejadian yang kita sangka baru, sebenarnya terjadi bahkan sebelum frame film ini dimulai. Masa lalu bercampur dengan present chaos Renata. There is a lot to unpack, baik bagi kita, maupun bagi filmnya sendiri. Aku melihat film ini sendirinya keteteran. Sehingga bahkan untuk membangun simbol aja tidak sempat. Seperti ruang kerja Edwin, film udah hampir habis ruangan tersebut tidak kita dan Renata ‘lihat’ sebagai apa sebenarnya.  Padahal ruangan tersebut adalah simbol dari ‘truth’. Selain mengintip dan melihat suaminya selingkuh dengan Ana, perempuan yang ada di poster orang hilang di sekitar apartemen, harusnya ada adegan yang memperlihatkan Renata konfrontasi dengan ‘truth’ yang sebenarnya di sana, entah itu mayat atau sesuatu yang membuat Renata kembali menapak ke realita.

Selain misterinya yang jadi bloated, pesan film ini juga tampak agak terlalu melebar. Meskipun memang sutradara sekuat tenaga berusaha mengembalikan ke ‘jalan yang benar’. Awalnya film ini tampak seperti kisah peringatan atau malah sindiran untuk tidak terlalu ekstrim dalam menerapkan ajaran agama. Tapi ternyata bukan ajaran agama saja yang berbahaya jika kita gak rasional dalam ‘mengonsumsinya’ Karena kita lihat Renata justru sebenarnya terpengaruh oleh apapun yang ia dengar di televisi. Pembahasan soal perempuan saling support juga berkembang jadi aneh, lantaran turns out cerita ini berakhir dengan pembunuhan antarkarakter perempuan. Bahasannya utama seperti malah jadi soal pelakor. Seolah ini jadi thriller atau horor pelakor, ‘genre’ yang memang sempat surprisingly laku di skena horor lokal tahun lalu.

 

Motivasi  Renata sebenarnya cukup clear. Dia pengen menuhin janji suci. Dia rela bertahan walau suaminya kasar. Tapi sang suami langsung mau pisah begitu dia gak bisa punya anak. Jadi Renata pengen take control back. Persoalan pelakor malah menginterfere. Karena ini harusnya adalah soal dia dengan suaminya. Apalagi film membuat seperti sebuah momen kemenangan ketika Renata membunuh Ana. Melebihi momen saat Renata akhirnya ‘berkonfrontasi’ dengan Edwin. Penonton di studioku pada bersorak. Padahal seharusnya ini adalah thriller psikologis seorang perempuan yang jadi ‘rusak’ mentalnya karena situasi yang menekan. Peristiwa pembunuhan itu harusnya dilihat sebagai proses downward spiral yang tragis, journeynya seharusnya yang ditekankan. Bukan ke soal ‘ternyata istrinya yang membunuh!’

 




Aku senang mulai banyak yang bikin, namun begitulah sayangnya, aku melihat tren genre psychological thriller di film kita. Seperti miss bahwa harusnya ya tentang psikis seseorang yang mengelam, bukan tentang orang psycho (alias ‘gila’)  Bukan soal kejutan di akhir bahwa karakter utamanya ternyata ‘gila’, melainkan lebih ke menggambarkan proses yang membuat si karakter terjun ke dalam kegilaan. Apakah dia memilih, atau didorong tanpa punya pilihan. Filmnya harusnya bukan cuma tentang ‘lihat dia jadi gila karena keadaan atau sistem masyarakat’ dan lalu ditutup dengan kegilaan yang dibaurkan dengan momen seolah kemenangan, seolah ‘rasain tuh sistem!’ Harusnya tidak ada kemenangan. Sehidup Semati mirip sama Sleep Call (2023). Pemeran utamanya sama, karakternya mirip. Direveal punya kondisi yang mirip. Sleep Call sebenarnya melakukan soal journeynya dengan lebih baik, tapi film itu messed it up dengan reveal bahwa karakternya sudah berbakat gila sedari awal. Masih tetap seputar revealing mengejutkan. Sehidup Semati memainkan atmosfer thriller dan misteri dengan lebih baik, karakter-karakternya lebih menantang, tapi seperti puas di revealing dan dengan awal journey yang tidak ditegaskan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEHIDUP SEMATI

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian di manakah batas seorang perempuan yang setia dan taat bisa disebut bego seperti kata Asmara? Pantaskah mereka kita sebut bego?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MONSTER Review

 

“You can call me a monster. That’s fine. It honestly doesn’t bother me. Because you see, that’s what society does, they put labels on things they don’t understand.”

 

 

Monster besutan Kore-eda Hirokazu seperti mengajak kita bermain-main dengan prasangka. Vibe yang dibuat misterius lewat konsep melihat kejadian dari berbagai sudut seolah menuntun kita kepada pertanyaan “siapa sebenarnya yang monster di sini?” Aku sendiri teringat sama kalimat promo dari salah satu superstar WWE jagoanku, Bray Wyatt (rest in peace). Kalimat yang aku kutip sebagai penggalan pengantar ulasan ini. Basically karakter/gimmick Bray Wyatt saat mengucapkan itu adalah seorang yang merasa dirinya berbeda, dan orang-orang yang tidak mengerti dirinya, takut kepadanya. Mencampakkan dirinya. Namun upon arriving to the squared-circle, Bray telah mengembrace perbedaan dirinya, dan menjadikan itu sebagai kekuatan. He now takes back control from them. Dia tidak lagi peduli sama yang orang-orang katakan terhadapnya. Kalimat itu mengantarkanku kepada pemahaman bahwa film Monster pada intinya adalah sebuah journey menuju self honesty seperti yang telah diembrace oleh Bray Wyatt (walau karakter film ini tidak mesti berakhir jadi sekelam Bray Wyatt). Dan dalam journey nya tersebut, setidaknya ada  empat jenis ‘monster’ yang dibicarakan oleh karya Kore-eda ini.

Jika kita sama judgmental-nya dengan society yang suka dengan cepat melabeli orang yang ‘berbeda’ sebagai monster, atau alien, atau whatever, maka kita juga akan cepat melepehkan film ini without giving it much thought. Naskahnya, dari luar, tampak berpindah ke mana-mana tanpa karakter utama yang jelas.  Konsep kembali kepada kejadian A tapi dari perspektif yang berbeda, bisa sekilas tampak seperti usaha manipulatif arahan yang menyandarkan diri kepada kejutan-kejutan dari pengungkapan kejadian. Monster dibuka dari seorang single mother yang merasa kelakukan anaknya yang baru kelas 5 SD jadi berubah, dan dia mencurigai itu semua karena ulah wali kelas anaknya di sekolah. Sehingga si ibu mulai mencecar sekolah yang juga tampak menutup-nutupi kejadian. Kemudian cerita memindahkan kita ke belakang si wali kelas, guru cowok yang ternyata tidak sejahat ataupun seaneh kelihatannya. Dan finally di pertengahan akhir, film akhirnya settled di bahasan dari perspektif Minato, si anak kelas 5, yang sikap dan tingkah lakunya bikin cemas ibunya tadi. Bukan hanya tiga perspektif, film ini actually juga bisa dibilang berpindah genre tiga kali. Di awal seperti thriller, lalu jadi studi karakter yang ironis, dan berakhir sebagai drama anak-anak. Perpindahan tersebut tidak dilakukan dengan se’sopan’ cara film menceritakan/mengeksplorasi tiap sudut pandang karakter (lewat sinematografi dan musik yang brilian), melainkan dengan deliberately rough. Kembali ke kejadian sebelumnya dengan memusingkan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang membuat kita urung menjudge terlalu cepat. Desain yang diniatkan seperti begini, justru semakin menarikku masuk dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa Kore-eda melakukannya seperti ini?”

Kenapa, jika cuma ingin memperlihatkan prasangka yang ternyata membuat semua orang adalah ‘monster’ bagi orang lain, film berkutat lama di perspektif Minota dan ‘teman rahasianya’ Yori Hoshikawa?

Kenapa pula, jika inti yang ingin diceritakan itu adalah drama anak yang merasakan sesuatu yang tak-biasa di dalam dirinya, film ini harus melewati perspektif karakter yang lain terlebih dahulu? 

Clearly, film ingin penonton merasakan. Bukan hanya merasakan dramatic irony, ataupun kejutan-kejutan ‘oh ternyata dia begini, dia tidak jahat, dan sebagainya’. Melainkan film ingin penonton merasakan atau mengalami sendiri keadaan yang menciptakan berbagai bentuk monster. Dan ultimately film ingin penonton merasakan journey yang dialami oleh seseorang ketika dia mulai merasa benar dirinya adalah monster.

Kalo ini film indonesia, pig-brain kayaknya bakal ditranslate jadi ‘otak-kebo’

 

Kita diperlihatkan gimana monster di film ini terbentuk lewat bagian awal yang membahas perspektif ibu Minato. Gimana bola liar desas desus membuat dia jadi mengantagoniskan pak guru. Lalu membesar mencurigai pihak sekolah, mencurigai kepsek. Bahkan si ibu jadi melihat Minato, anaknya sendiri sebagai ‘monster’. Bentuk monster pertama yang diperlihatkan oleh film adalah monster prasangka. Pak Guru yang malang; hanya karena pembawaan dan gesturnya, apapun yang ia lakukan (meskipun niatnya baik) mudah disalahartikan oleh orang lain sebagai tindakan yang creepy. The worst part about monster tipe ini adalah, dirinya sendiri tidak mengerti atau tidak bisa melihat kenapa orang lain bisa melihatnya dalam ‘cahaya’ yang menakutkan seperti itu. Ini mengakibatkan pembelaan yang dia lakukan akan semakin memperparah keadaan. Monster kedua juga datang dari orang luar, tapi dari pelabelan. Di film ini contohnya adalah sahabat Minato, si Yori Hoshikawa, yang dilabeli monster oleh ayahnya sendiri karena Yori ini anak cowok yang ‘kemayu’. Walau Yori tampak oke-oke saja dikatain monster dan dijauhi teman, the heartbreaking part darinya adalah anak sekecil dia bahkan belum paham yang ia rasakan itu enggak exactly hal yang salah, tapi dia hanya bisa nurut saja ketika dipahamkan oleh orang lain bahwa dia adalah kesalahan yang harus diperbaiki. Monster ketiga adalah kebalikan dari semuanya. Datang dari dalam diri sendiri, dan full aware yang ia lakukan pantas untuk membuat dirinya disebut monster, meski dia tahu dia tidak punya pilihan. Monster tipe berahasia ini adalah kepala sekolah Minota. Ibu guru yang melakukan hal buruk secara tak sengaja di masa lalu, tapi mau tak mau dia harus menutupi kejadian tersebut. Karena dia punya tanggungan dan hal lain yang dipertaruhkan. Nyesek, ketika kita lihat misalnya pada adegan niup terompet itu, bahwa dia aslinya adalah pribadi yang sangat lembut dan baik lagi bijaksana. Namun selain tiga tipe monster itu, yang paling malang sekaligus berbahaya adalah tipe monster yang hampir saja ‘jadi jelmaan’ oleh Minato, yang actually adalah gabungan terburuk dari yang dirasakan/dialami oleh Pak Guru, Yori, dan Bu Kepsek.

Yang paling berbahaya itu adalah monster yang disebut dengan self-loathing. Orang yang memonsterkan dirinya sendiri, dan berkubang dalam perasaan buruk dan prasangkanya sendiri. Orang yang self-loathing akan menghindar dari minta tolong, dan bahkan bisa sampai menyakiti diri sendiri.

 

Itulah kenapa cerita ini sebenarnya merupakan cerita Minato. Anak yang tahu persis dirinya ‘berbeda’ dari anak cowok lain, dia knows better about himself ketimbang Yori terhadap dirinya sendiri, tapi juga tidak seberani Yori. Sehingga Minato memendam semuanya di dalam diri. Minato punya rahasia seperti Bu Kepsek tapi tidak punya positif force behind it, selain takut malu dan tidak diterima oleh teman-temannya. Dia takut ketahuan kalo dia suka ama cowok. Minato bahkan tidak mau nunjukin dia bersahabat akrab dengan Yori di depan teman-teman sekelas yang lain. Kediam-diamannya ini membuat dia tampak aneh di mata ibunya. Yang gak beres pada Minato jadi terlihat lebih besar oleh sang ibu. Tindakan Minato seperti potong rambut diri sendiri bisa demikian red flag bagi ibu (padahal alasannya either karena sesimpel keinosenan anak kecil yang mau ngilangin ‘noda’ bekas disentuh oleh teman yang dianggap ‘berpenyakit’, atau hanya karena tidak mau rambut panjangnya dianggap kecewek-cewekan). Bayangkan gimana reaksi ibu begitu mendengar Minato bilang soal terlahir kembali saat ngobrolin ayah yang sudah meninggal. Kalo sudah menumpuk begitu, biasanya orang seperti Minato akan menarik diri dari lingkungan sosial. Dan itulah yang persisnya Minato lakukan di pertengahan akhir cerita.

Jadi film ini adalah journey Minato menemukan kedamaian atas dirinya yang sebenarnya. Stake cerita ini adalah salah pilih sedikit, Minato akan benar-benar jadi monster self loathing yang berbahaya terutama bagi dirinya sendiri. Beruntung dirinya punya sahabat dan tempat pelarian, yaitu Yori. Di pertengahan akhir itulah, film menjadi tontonan yang dramatis lagi beautiful dalam memperlihatkan struggle Minato – yang masih seorang anak kelas lima SD! Pencarian jati diri, menghadapi resiko bullying, ‘berguyon’ dengan ide telahir kembali, dilakukan oleh film dengan penuh respek terhadap perspektif, dengan desain detil, menutup kepada sebuah kejujuran dan penerimaan diri yang dengan metaforanya sendiri memperlihatkan ‘lesson learned, tapi hidup hanya akan lebih menantang dari sini’.

Yes, we are little dirty monsters from the forest. So what?

 

Konsep/struktur tiga perspektif, dan cerita yang seperti berevolusi antara tiga ‘genre’ berbeda, secara psikologis membawa kita ke dalam journey yang dialami karakter dan lingkungan mereka. Kita jadi melihat monster-monster itu bisa bertumbuh dari karakter yang begitu compelling dan terasa dekat karena mereka hidup dalam environment yang sederhana. Film ini tidak lagi terasa seperti kecohan dari kenyataan yang sengaja disembunyikan belaka. Everything we see is not what it seems, terutama jika kita terbuka melihat dari sudut pandang lain. Dan ini diwujudkan oleh film ke dalam visual-visual yang punya tone misterius yang kuat sehingga minat penonton juga semakin membendung menyaksikannya. Satu lagi adegan yang artinya bisa mendua, yang aku suka di film ini adalah adegan penghapus jatuh. Ibu Minato hendak pergi beli semangka, dan saat dia lewat Minato sedang menyondongkan badan ke bawah hendak mengambil penghapusnya yang jatuh ke lantai. Adegan itu langsung dicut memperlihatkan Ibu kembali dari belanja, dan saat masuk dia melihat Minato masih dalam posisi nyondongin badan ke bawah yang sama dengan saat dia pergi. Seolah Minato gerakannya berhenti saat dia pergi, dan baru bergerak lagi saat dia pulang. Ini kan misterius sekali. Kalo baru nonton otomatis kita akan menyangka hal yang serupa dengan Ibu “Ni anak kesurupan apa gimana sih!?”  Tapi tentu saja adegan tersebut bisa jadi hanya kebetulan penghapusnya jatuh lagi, dan kengerian itu hanya berasal dari prasangka ibu terhadap Minato berkelakuan aneh yang sudah terbangun sebelum kejadian tersebut terjadi.

 

 




Tahun 2024 kayaknya bakal jadi roller coaster yang hebat, sebab kemaren film pertama yang aku review ‘meh’ banget, dan film kedua di ulasan tahun ini. WOW. At first, aku memang honestly cukup judgmental terhadap penceritaannya yang seperti mengarah ke ‘ternyata begini, ternyata begitu’ doang. Tapi ternyata, aku menyadari film ini punya desain khusus dalam menyampaikan journey karakternya. Journey yang hanya bisa maksimal jika kita ikut secara menyeluruh merasakan gimana ‘monster’ itu bisa terbentuk. Yang lantas ditutup dengan pilihan karakter untuk mengembrace monster versi dirinya sendiri. Awalnya bermain dengan prasangka, tapi film justru menjadi begitu powerful dengan berkembang membuat kita berefleksi, berkontemplasi, bukan tidak mungkin di antara kita jadi ada yang menunjuk hidungnya sendiri demi mendapat jawaban masing-masing dari menonton film ini. Film Jepang ini ticked the box untuk ‘syarat’ skor tertinggiku. Cerita yang berevolusi, dengan konsep yang kuat dan karakter dan dunia yang luar biasa compelling.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for MONSTER

 




 

That’s all we have for now.

Tanyakan kepada diri sendiri, monster seperti apakah aku?

Dan jika tidak keberatan, silakan share di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 13 (13 BOM DI JAKARTA, SALTBURN, MAY DECEMBER, PRISCILLA, THE FAMILY PLAN, DREAM SCENARIO, THANKSGIVING, THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES)

 

 

Batch terakhir sebelum ngisi rapor buat nyusun daftar Top-8 Movies of 2023, who’s excited? Dengan Volume ini, pr-ku rampung, dan semoga bisa liburan dengan tenang. Karena film-film di Volume ini bener-bener aku kejar tayang nonton! (eh, apa ‘kejar nonton’ aja kali istilahnya, ya?) Tapi sebagai penutup tahun, film-film ini ngasih experience yang ‘wah’ juga. So sebelum liburan dimulai, mari kita langsung saja ‘hajar’ dengan ulasan!!

 

 

13 BOM DI JAKARTA Review

Wow Volume 13, pembukanya film 13 Bom haha.. Anyway, tahun lalu sukses dengan action heist, Angga Dwimas Sasongko kini kembali dengan tawarkan action yang lebih gede. ‘Film action Indonesia terbesar tahun ini” begitu bunyi tagline di posternya. Kurang gede apa coba. Pasalnya, tahun lalu itu ‘kebetulan’ saja film Mencuri Raden Saleh disukai karena ngasih genre yang tergolong baru di film kita. Filmnya sendiri, seperti yang kuulas di sini, sebenarnya overrated lantaran naskahnya lemah. Pada 13 Bom di Jakarta terulang lagi kelemahan yang sama (kalo gak mau dibilang lebih parah). Actionnya sangat gede dan elaborate, tapi tanpa atau dengan sedikit sekali hal yang make sense soal kenapa action itu bisa sampai terjadi atau dipilih oleh karakter ceritanya.

Menarik sebenarnya, persoalan yang diangkat film ini. Soal terorisme, yang enggak terjebak di dalam lingkaran agama. Melainkan lebih ke celetukan sosial tentang gambaran keadaan ekonomi masyarakat. Jadi ceritanya sekelompok teroris tak dikenal mengancam Jakarta dengan 13 bom yang akan diledakkan satu per satu jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Para teroris gak mau duit tunai, mereka meminta duit digital. Krypto. Bitcoin. Sehingga dua pemuda pemilik start-up bitcoin yang dipakai oleh teroris jadi terseret ke dalam kasus. Dicurigai, nyaris jadi korban. Kesalahan pertama naskah film ini adalah tidak dengan clear menunjuk siapa karakter utama. Apakah pemuda start-up. Apakah pimpinan teroris. Apakah agen perempuan di Badan Anti-Teroris yang somehow selalu ‘dilawan’ oleh partner cowoknya. Atau apakah pemimpin dari pasukan antiteroris itu sendiri. It would be much better jika film sedari awal mengarahkan ini sebagai cerita dari banyak perspektif.

Actionnya sendiri enggak jelek, tapi arahannya agak-agak cheesy. Film ini, aku bilang, kayak kalo Michael Bay trying to make film Nolan. Like, Bay mau bikin action explosive tapi dengan ‘kecerdasan’ ala Nolan. Hasilnya, film ini jadi snob yang berusaha kelihatan jago, berusaha terdengar pinter. Dengan ‘twist’ standar soal ada karakter yang sebenarnya jahat, dan scheme teroris yang sekilas tampak massive. Tapi kok ya dipikir-pikir sangat unnecessary. Like, kenapa musti 13 bom kalo ternyata si teroris sudah menyusupkan orang yang bisa dengan gampang langsung melancarkan ‘bom pamungkas’.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 13 BOM DI JAKARTA

 

 

DREAM SCENARIO Review

Karya Kristoffer Borgli ini bikin aku ngakak begitu menyadari bahwa komedi horor ini sebenarnya kayak dream counterpart dari yang dibahas oleh Budi Pekerti (2023). Film ini bahkan ada menggunakan istilah ‘pendagogy’ as opposed to Budi Pekerti yang judul internasionalnya adalah ‘andragogy’

Kenapa kusebut dream counterpart? Karena unlike di Budi Pekerti yang karakter gurunya jadi dimusuhin satu kota gara-gara videonya viral di sosial media, Dream Scenario bercerita tentang dosen yang diantagoniskan semua orang karena si dosen (yang diperankan dengan brilian oleh Nicholas Cage, yang tau betul timing dan pembawaan antara akting ‘nyata’ dengan ‘sureal’) for some reason, muncul dalam mimpi orang-orang. Jadi dosen ini dijauhi karena hal yang bahkan tidak ia lakukan hahaha… Dia yang tadinya menikmati perhatian semua orang karena dia jadi terkenal muncul di mimpi orang-orang sebagai bystander yang doing nothing, jadi stress saat mimpi orang-orang itu semakin aneh. Di mimpi mereka, si dosen jadi pembunuh!

Sebenarnya ini gambaran perilaku manusia yang jenius sekali sedang dilakukan oleh naskah. Tentang gimana kita, manusia pelaku media sekarang, suka kemakan khayalan sendiri. Kita mengelukan berlebihan orang yang tidak benar-benar kita kenal – karena tren tertentu, misalnya – dan lantas kita terganggu sendiri saat ‘image-image’ tentang orang tersebut, yang kita ciptakan sendiri secara kolektif, menjadi semakin liar. Kita menciptakan ‘dream scenario’ sendiri, dan menelannya bulat-bulat sebagai fakta. Kita kegocek ‘fakta impian’ kita sendiri. Buatku film ini berhasil menceritakan itu lewat kehidupan karakter yang bukan hanya terseret, tapi juga tetap ada pembelajaran dalam dirinya. Lapisan di balik karakterisasi dan situasi yang ia alami – aku gak bilang sampai demikian kompleks – tapi berhasil tersusun menjadi sebuah hiburan surealis. Bakal langka banget film kayak gini.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DREAM SCENARIO

 

 

 

MAY DECEMBER Review

Dari komedi berlapis satu ke komedi berlapis yang lain. May December karya Todd Haynes ranahnya bukan sureal, tapi lebih ke drama psikologis dengan undertone yang sebenarnya dark. Sekilas, kayak kisah inosen seorang aktris yang ingin mendalami peran. Peran yang sedang dirisetnya itulah letak darknya. Dia memerankan seorang perempuan yang menikah dengan ‘daun muda’, yang jauh banget rentang usianya. Mereka menikah karena melakukan hal yang basically, itungannya udah tindak kriminal. Tante-tante kepada seorang anak SMP. Jadi, si aktris ini, Elizabeth, selama beberapa waktu hidup di keseharian keluarga ‘bermasalah’ tersebut, Gracie dan suaminya yang kini sudah dewasa, dan mereka punya tiga anak yang sudah masuk usia kuliah. Demi method acting, si Elizabeth ingin mengenal kehidupan Gracie, supaya dia bisa memerankannya nanti dengan lebih baik, lebih mengerti tentang apa yang dilalui Gracie. Karena, katanya, dia ingin bikin film yang tidak menjudge kehidupan Gracie dan keluarga.

Nonton ini bikin kita sadar bahwa there’s no way kita bisa mengerti kehidupan orang. Urusan orang, seharusnya jadi urusan mereka sendiri. Walaupun memang di film ini kita melihat Elizabeth jadi katalis bagi orang-orang di sekitar Gracie – terutama suaminya – untuk bisa melihat apa yang sudah ia lewatkan di dalam hidup. Mungkin inilah yang paling keren dilakukan oleh film. Membuka luka, memaksa karakter melihat luka, tapi bukan untuk disalah-salahin. Film ini menceritakan imbang, semuanya dikembalikan kepada karakter masing-masing. Bagi yang kelewat batas, mereka akan jadi seperti Gracie dan Elizabeth.  Dua orang yang bukan cuma ‘dimiripin’ secara fisik, tapi sebenarnya punya ‘masalah’ yang sama. Sama-sama terlalu naif, dan menggunakan kenaifan itu sebagai defense. Film berakhir ketika masing-masing mereka dihadapkan kepada akibat dari kenaifan tersebut.

Natalie Portman dan Julianne Moore. Man. Di sini akting mereka beneran ada berlapis-lapis. Susah kita menunjuk garis mana ketika Natalie jadi Elizabeth sebagai Elizabeth, mana ketika jadi Elizabeth try to be Gracie. Mana batas aktingnya. Mana batas Gracie bohong dan mana yang dia beneran sudah nerimo.  Aku selalu punya soft spot buat film yang nunjukin adegan-adegan belakang layar bikin film, dan ending film ini buatku adalah one of the best yang nunjukin gimana seorang aktris berusaha berakting karena sudah merasa sudah ngerti karakternya, tapi kemudian dia ragu sendiri.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MAY DECEMBER

 

 

 

PRISCILLA Review

Kadang aku takjub sendiri ama yang namanya kebetulan. Like, kompilasi ini kan urutannya berdasarkan abjad, tapi ternyata bisa nyambung. Tadi dari komedi berlapis, kini nyambung dari cerita relationship dengan minor satu ke yang lain. Film tentang Priscilla yang waktu masih sekolah, kebetulan, bertemu dengan orang yang kenal dengan Elvis Presley, dan mengajaknya ketemu Elvis. Sehingga Elvis jadi jatuh cinta kepada Priscilla. Sofia Coppola membuat ini sebagai biografi yang benar-benar menelisik romansa kompleks yang dirasakan seorang Priscilla ketika berhubungan dengan salah satu manusia paling tersohor di jagat dunia hiburan.

The respect is there. Kepada kedua sosok. Tapi yang paling bersinar tentu saja adalah karakter Priscilla. Yang benar-benar diselami. Ini particularly menarik, karena di awal tahun ini kita sudah melihat mereka dari sudut pandang cowok di biografi Elvis. Menarik kedua buatku adalah karena yang jadi Cilla adalah Cailee Spaeny, yang awal muncul di film yang lebih mainstream kayak Pacific Rim atau Bad Times at the El Royale. Di sini dia main bagus bangeett. Bukan mau bilang pasangan Elvis-Cilla bukan ‘mainstream’, loh. Cumak memang filmnya ini diarahkan bukan sebagai tontonan sensasional, melainkan lebih ke sebuah selaman terhadap tokoh figur itu sebagai sebuah karakter cerita. Film enggak main gampang, menuding Elvis sebagai predator atau manipulatif, misalnya. At least, di film ini dia diperlihatkan menegaskan Cilla untuk melanjutkan sekolah dulu. Perasaan Cilla sebagai seorang gadis biasa yang punya pacar superstar, yang berkecamuk oleh gairah, oleh insecurity. itu yang difokuskan oleh film.

Tapi juga sebagaimana film-film dari tokoh nyata, dari kehidupan mereka. ada aspek-aspek cerita yang enggak benar-benar klop untuk dimasukkan ke alur film. Ada beberapa hal yang mestinya bisa dibikin lebih dramatis atau gimana, tapi enggak bisa karena ‘bukan begitu kejadian aslinya’. Film ini buatku sering terkendala di hal-hal seperti begitu. Naik turun alurnya enggak bisa benar-benar diatur ke flow atau struktur film. Kadang konfliknya muncul, ilang lama, lalu muncul lagi. Gitu-gitu.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PRISCILLA

 




SALTBURN Review

Ingat tadi aku ngomongin soal kebetulan di urutan kompilasi ini? Well, yah, yang jadi Elvis di Priscilla adalah Jacob Elordi. Tahun ini dia main di tiga film lagi selain itu. Tebak satu judul film lainnya. Yup. Saltburn karya Emerald Fennell ini. But while Jacob Elordi di sini masih punya vibe superstar kayak Elvis, toh bintang sebenarnya di Saltburn adalah Barry Keoghan. Aktor satu ini, gila, dia tuh udah kayak spesialis karakter awkward gak ketebak tapi sekaligus juga tampak berbahaya. He was born for this role, for this story.

Saltburn juga actually sebuah dark comedy, yang benar-benar menekankan kepada kelamnya itu sendiri. Keoghan di sini jadi Olliver, maba (mahasiswa baru) yang cupu. Awalnya film ini tampak seperti kisah Olliver yang berusaha memberanikan diri untuk masuk ke circle karakternya si Elordi. Kita melihat cowok jangkung itu melalui gaze-nya Olliver, kita pikir ada cinta ‘terlarang’ di sana. Tapi perlahan gaze dan sikap Ollie tersebut menjadi semakin intens. Dari gairah menjadi semacam ingin memiliki. Ingin menguasai. Transformasi film lewat karakter utamanya itulah yang jadi kehebatan, sekaligus juga kelemahan pada film ini.

Secara penampilan akting, seperti yang disebut tadi, Keoghan terutama sangat fenomenal. Dia total banget. Adegan-adegan creepy dia hantam tanpa canggung. Film ini punya banyak ‘WTF’ momen. Nekat banget mereka bikin adegan kayak gitu. Kelemahan yang hadir dari cara bercerita ini adalah karakter si Ollie itu sendiri tidak punya growth. Dia tipe karakter ‘ternyata’. Kita tidak menyelam kepada siapa sebenarnya dirinya. Dia tidak punya development, melainkan sebuah revealing yang membuat kita melihat dia ternyata bukan seperti di awal. Perubahan dia bukan karena terdevelop tapi karena aslinya dia disimpan untuk ‘kejutan’ cerita. Jadi secara teknis, sebagai film, Saltburn is not really good, tapi sebagai tontonan, dia menghibur dan nawarin suatu kegelapan dengan perspektif tak biasa.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for SALTBURN

 

 

 

THANKSGIVING Review

Origin film ini begitu menarik. Thanksgiving tadinya cuma fake trailer, segmen pendek dalam film horor Grindhouse tahun 2007. Cuma parodi dari skena horor gore yang dibuat oleh Eli Roth. Tapi fans tertarik melihat konsep pembunuh yang kayak jadi saingan Halloween tersebut. Permintaan fans akhirnya terkabul, Eli Roth benar-benar membuat film Thanksgiving. Dan aku agak kecewa sama hasilnya.

Mungkin karena bias dari pengaruh originalnya yang vibe-nya beneran low budget dan rough dan konyol tapi seru. Film actualnya ini terasa tidak memenuhi harapan. Sure, momen-momen yang ada di fake trailer, kayak pembantaian saat pawai, dimunculkan. Satir soal perilaku konsumtif orang Amerika terkait ‘tradisi’ Black Friday yang mengalahkan esensi sebenarnya dari Thanksgiving, juga ada. Gore-nya yang over the top dengan kematian-kematian sadis yang unik, juga berhasil menghiasi film menjadi nilai jual. Tapi overall, film ini terasa kosong. Karakter-karakternya cuma ada di sana untuk berusaha survive, menduga-duga siapa pelaku. Sementara naskahnya juga ke sana kemari ngasih red herring supaya pelakunya gak ketebak. Akhirnya film ini pun terasa jadi either terlalu Scream, terlalu I What You Did Last Summer. Terlalu gak really spesial karena toh sudah banyak thriller whodunit yang menjual hal serupa

Kalo dibilang membosankan sih, enggak. Cuma ya, biasa aja. Mendingan nonton Saltburn tadi sekalian. Kejutan dan momen WTF nya lebih membekas.

The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THANKSGIVING

 

 

 

THE FAMILY PLAN Review

My ultimate guily pleasure of the year hahaha… Komedi keluarga karya Simon Cellan Jones ini enggak bagus-bagus amat, tapi aku terhibur menontonnya. Enggak ngerasa bosan meskipun formulaic, dan bahkan konsepnya yang gabungin liburan keluarga dengan aksi assassin enggak dikembangkan dengan maksimal. Aku terhibur karena lucu aja melihat Mark Wahlberg jadi ayah yang sekilas kayak suami rumahan banget ternyata punya masa lalu tak terduga. Dia mantan assassin yang punya banyak musuh. Dia berhenti dari kerjaannya, dan sekian tahun ‘menyamar’ jadi pria biasa-biasa saja, sampe kemudian identitasnya kelacak dan dia terpaksa kabur. Membawa keluarganya yang tak tahu apa-apa, dengan dalih mau ngajak roadtrip.

Menurutku film ini mungkin bisa lebih mudah diterima penonton kalo dibikin sebagai animasi, kayak Boss Baby. Karena memang film ini seperti berjalan di garis antara gak make sense dengan cerita yang grounded tentang hubungan keluarga. Para karakter sentral, Mark dan keluarganya bermain di porsi yang pas, tapi harus diakui melihat mereka sebagai manusia ‘beneran’ membuat penonton bisa kesulitan memaklumkan banyak hal. Misalnya, bayi yang tahu rahasia ayahnya. Film tidak bisa maksimal melandaskan konsep yang diniatkan. Ketika bagian action, tidak bisa terlalu ‘gila’. Ketika bagian yang grounded, terasa gak klop. Jadinya film ini terasa setengah-setengah. Makanya, mungkin kalo dibikin sebagai animasi, mereka bisa meningkatkan aksi mustahil dan hati grounded yang dimiliki oleh naskahnya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 gold star out of 10 for THE FAMILY PLAN

 

 

 

THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES Review

Hunger Games sering dibandingkan dengan Harry Potter, dan kupikir, film prekuelnya ini sukses bikin malu franchise Harry Potter yang film prekuelnya begitu maksa sehingga tidak terasa ditulis dengan proper. The Ballad of Songbirds & Snakes actually memang diangkat dari novel prekuel (bukan buku spin-off non-cerita yang dikembangkan serabutan) dan penulisannya kelihatan memiliki bobot. Karena di adaptasi karya Francis Lawrence ini kita benar-benar dikasih lihat development dari seorang Coriolanus Snow sebelum ia menjadi presiden yang ruthless.

Sering heran kok di luar sana banyak contoh mahasiswa aktivis ketika jadi ‘orang gede’ ternyata korup juga? Nah, journey Snow di film ini basically seperti itu. Kita melihat Snow dari yang awalnya dia mahasiswa pintar, yang actually peduli sama tribute dalam permainan Hunger Games. Kita melihat background dia dari keluarga macam apa. Apa yang dia inginkan. Dan bagaimana pada akhirnya dia memutuskan pilihan, bagaimana dia menjadi sampai seperti yang kita kenal di cerita Hunger Games original.  Inner journeynya tersebut yang membuat film ini layak ditonton. Hubungannya dengan Lucy Gray jadi heart of the story. Tak lupa film juga menyiapkan referensi ke Hunger Games-nya Katniss di sana-sini, supaya penonton merasakan gejolak nostalgia dari something yang familiar. Dan memang film ini berhasil menghadirkan vibe yang selaras dengan film-film Hunger Games sebelumnya. Desain produksinya total menghadirkan dunia itu kembali. Prekuel ini memang terasa seperti fondasi dari kejadian di film yang sudah kita kenal.

Tapi dari novel juga membawa sedikit sandungan bagi film ini. Durasi yang amat panjang, karena film terasa seperti pengen sama dengan novel, at least secara urutan. Dan ini membuat dirinya sebagai film, terasa agak aneh. Karena film ini kayak dua film yang disatukan. Bagian hunger gamesnya, dan bagian aftermath dari hunger games tersebut. Bagian yang satu terasa lebih menarik dibanding bagian lainnya. Menurutku harusnya cerita bisa lebih digodok lagi, bangunan ceritanya bisa lebih dimainkan lagi, supaya kesan terbagi dua ini bisa lebih mengabur. Supaya film bisa berjalan lebih mulus, dan penonton tidak diberikan momen untuk terlepas dari cerita yang disajikan.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES

 




 

 

That’s all we have for now

Dengan ini, resmilah, review tahun 2023 sudah tutup buku. Film-film 2023 yang tayang setelah post ini terbit akan kuanggap sebagai film tahun 2024 (jika direview), dan itu at least ada dua film yang kayaknya memang gak tayang di kita jadi terpaksa nunggu digitalnya tahun depan. Akhir tahun nantikan rapor film 2023 di twitterku @aryaapepe dan menyusul beberapa hari setelahnya, tentu saja, daftar Top Movies 2023 di blog ini. Sampai ketemu tahun depan!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



KILLERS OF THE FLOWER MOON Review

 

“Coyote is always out there waiting… and coyote is always hungry”

 

 

Alih-alih bikin whodunit, Martin Scorsese bilang bahwa ia mengadaptasi buku nonfiksi tentang rangkaian pembunuhan warga Indian di Osage County 1920an menjadi film ‘who-didn’t-do-it’. Apa maksudnya? Well, thriller detektif memecahkan kasus boleh saja lebih ‘menjual’ tapi tidak akan mencapai power yang diniatkan Scorsese. Dengan konteks sejarah bangsanya, film ini disajikannya untuk menyuguhkan perasaan getir karena yah in a way, they all did it; dengan tidak pernah benar-benar serius mengusut sebab terlalu banyak yang terlibat. Dan para korban survive bukan karena bantuan mereka-mereka kulit putih. Afterall, sutradara legend ini demennya bikin cerita dengan karakter based on real people yang melakukan hal-hal tak terpuji. Killers of the Flower Moon dibuatnya sebagai drama romansa dari sudut pandang pelaku kejahatan yang berpikir dia beneran menyintai perempuan indian yang ia nikahi sebagai istrinya, tapi juga dia menyintai uang dengan sama besarnya. Jika tidak lebih.

Namun jangan bayangkan Leonardo DiCaprio di sini karakternya cool, glamor, dan penuh karisma seperti protagonis-protagonis bobrok dalam film Scorsese yang sudah-sudah. Ernest Burkhart dalam cerita ini bukan wolf. Dia, sesuai dengan yang disimbolkan oleh istrinya bahkan dalam pertempuan pertama mereka, adalah coyote. Anjing hutan liar yang selalu kelaparan. Menyedihkan, tapi tidak untuk dipercaya.

 

Ernest tadinya ikut dikirim ke medan perang, sebagai juru masak. Tapi karena kondisinya, pemuda ini tidak bisa membantu banyak. Pulanglah dia ke naungan pamannya. Seorang juragan ternak di Osage, tanah Indian yang makmur oleh emas hitam. Saking makmurnya, orang-orang kulit putih seperti Ernest berdatangan ke sana, mencari peruntungan mengadu nasib ke sana. ‘Peruntungan’ di sini tidak dalam makna yang baek-baek. Sekilas memang mereka tampak jadi pekerja bagi orang-orang Indian. Dua golongan ini pun tampak saling membaur. Asimilasi budaya dan pengetahuan. Tapi di baliknya, ada maksud terselubung untuk menguasai uang minyak. Warga Indian dibunuhi dengan segala macam tipu daya. Ernest yang jatuh cinta kepada Mollie, bukannya membela, ataupun setidaknya bersimpati. Ernest ikut ke mana power bertiup. Ke pamannya yang bisa mendapatkannya uang dan posisi. Sehingga dia tidak menolak ketika pamannya memanfaatkan perasaan antara dirinya dengan Mollie. Ernest bahkan ikut berkomplot membunuh satu persatu keluarga Mollie, setelah mereka menikah.

Dengan cocote, Ernest adalah coyote berbulu domba

 

Kenapa sih para ‘pendatang’ itu kelakuannya suka seperti ini? Film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung, sehingga impact film ini mestinya bisa berkali lipat menyentuh kemanusiaan. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. Ernest dan pendatang kulit putih udah dikasih hati, tapi malah minta jantung. Aku pikir inilah yang ingin ditunjukkan oleh Scorsese ketika memilih untuk menjadikan cerita ini dari sudut pandang Ernest, yang sebagai protagonis sangat unlikeable, meskipun dia percaya punya rasa cinta kepada Mollie. Film ingin memperlihatkan ‘hati yang sudah dikasih’ tersebut. Ingin mendaratkan kita dengan perasaan genuine, tanpa mencederai perasaan pihak yang mestinya adalah victim. Pihak yang lebih berhak menceritakan peristiwa ini. Mollie dan orang-orangnya.

Karena Mollie dan orang-orang Indian itu meski lebih pasif posisinya di dalam cerita, tapi mereka tidak pernah digambarkan ignorant alias polos. Mereka bukannya bengong dan tidak tahu apa-apa ketika ada sodara mereka yang ditemukan mati secara misterius seolah kecelakaan (dan mengenaskan). Film tidak sampai hati mengatakan mereka juga terlena total oleh harta dan kata-kata pemuda seperti Ernest yang menikah ke dalam keluarga Indian, ataupun orang berpengaruh seperti William Hale, paman Ernest, yang telah lama membantu dan ikut membangun fasilitas-fasilitas di kota mereka. Bagi para warga Indian, film memperlihatkan, persahabatan dan keterbukaan mereka adalah hal yang tulus, yang dimanfaatkan oleh para coyote licik. Mollie, sedari awal flirt-flirtan sama Ernest sudah melihat bahwa pria itu orang yang pengen duitnya, makanya dia menjuluki Ernest dengan sebutan coyote dalam bahasa Indian. Tapi ya itu tadi, cinta itu tumbuh genuine. Mollie merasakannya pure, sementara Ernest merasakannya juga tapi tertutup oleh ‘rasa lapar binatangnya’. Film ingin kita merasakan dramatic irony dari melihat cinta dan kepercayaan Mollie tumbuh, dikontraskan dengan bagaimana Ernest sebagai karakter utama dalam setiap kesempatan yang selalu diberikan naskah kepadanya, memilih untuk menomorsatukan uang dan pamannya ketimbang Mollie dan keluarga. Adegan di bagian akhir yang Ernest ditanya oleh Mollie soal insulin yang selama ini disuntikkan, maan, really broke us down bersama Mollie. Film memberikan kesempatan kepada karakternya untuk develop oleh pembelajaran, they did it for a while, lalu jatuh kembali ke lubang yang sama. Ini jadi kayak jawaban film kenapa masalah tahun 1920 itu masih relevan juga dengan keadaan sekarang.

Ketinggian dramatis seperti itu tidak akan tercapai jika film ini mentok sebagai pengungkapan kasus whodunit siapa yang membunuhi saudara-saudara Mollie dan para Indian. Film ini tahu yang penting untuk diceritakan, bahwa siapa yang bunuh tidak perlu lagi dipertanyakan. Film justru ingin menelisik moral dan perasaan karakter-karakter yang terlibat. Ernest bergulat antara cintanya kepada Mollie dan kepada uang, Mollie bergulat prasangkanya dan ruang untuk cinta.  Banyak lagi momen dalam film 3 jam setengah ini yang bikin terenyuh. Mollie ngasih bantal kepada sodara Ernest yang pulang kemaleman, not knowing bahwa orang itu baru saja melakukan permintaan Ernest (atas gagasan paman) membunuh kakak Mollie. I was like, wow gimana bisa Ernest tidur nyenyak berselimut kekejian seperti itu. Lily Gladstone meranin Mollie udah pas banget, kita ikut merasakan kewaspadaan serta juga kevulnerableannya sebagai perempuan hadir di balik tuturnya yang singkat tapi padat. Jadi hati di balik penampilan repulsif dan manipulatif dari karakter pria kulit putih. Leonardo dan Robert De Niro memberikan penampilan tidak kurang dari standar tinggi yang selalu mereka suguhkan, tapi di musim award ini, Lily Gladstone mestinya bisa jadi ujung tombak film ini untuk meraih penghargaan. Durasi sepanjang itu gak bakal terasa karena cerita yang mengalun, karakter yang ironis, dan pace terjaga. The only reason aku gak nonton ini bioskop (dan aku sangat menyayangkan itu karena pastilah film ini makin epik di studio) adalah karena secara fisik, aku yang sedari kecil punya penyakit beser udah gak kuat duduk selama itu tanpa harus bolak-balik ke toilet (which will ruin the experience for me)

Ini film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya

 

Lihat cara film menampilkan momen-momen keseharian rakyat di Osage. Lewat tampilan hitam putih seolah foto/film jadul yang sebenarnya. Pilihan yang bukan sekadar untuk estetik, melainkan juga perfectly membingkai karakter yang ingin diceritakan. Bahwa kebersamaan si kulit merah dan si kulit putih di layar itu ya sebenarnya ada yang ‘mengatur’ di belakang. Ada mastermind yang merencanakan hal buruk demi duit. Jadi ya, Scorsese di film ini bukan hanya menceritakan peristiwa kelam masa lalu, melainkan dia juga punya desain sendiri. Yang mengangkat film ini lebih dramatis lagi. Film ini dibuka dan ditutup olehnya dengan somekind of upacara Indian. Yang satu tentang kekhawatiran mereka akan ‘way of life’ yang berpotensi tercemar setelah masuk masa makmur mereka, sementara satunya tampak seperti perayaan kebersamaan yang saling menguatkan. Secara hakikat, ini adalah materi yang pelik untuk diceritakan oleh Scorsese yang sadar dia sendiri bukan Indian. Dan dia berhasil menemukan desain yang tepat. Membuat cerita dari sudut pandang pelaku, memberikan journey kepada pihak pelaku yang mewakili kenyataan bahwa sampai sekarang belum berubah betul (meski mengaku sudah sadar), tanpa melupakan perspektif korban. Tanpa mengasihani, ataupun merendahkan penghormatan terhadap korban.

 




Film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Bagian sidang penangkapan dan pengakuan Ernest memang ada, FBI yang mengusutnya memang ada (Jesse Plemons, always kita sambut hangat) tapi film memilih cara menutup yang paling aneh. Tiba-tiba adegan berubah menjadi semacam adegan teater, dengan Scorsese sendiri jadi salah satu pembaca yang membacakan nasib para karakter setelah sidang dan segala macam. Pilihan aneh yang dilakukan sebagai bentuk respect karena sadar bukan tempatnya untuk mengakhiri cerita ini. Dia mengembalikan cerita kepada pihak yang memang memiliki cerita. Dan aku terduduk di tempat, memikirkan tidak ada perlakuan lain yang bisa dilakukan film untuk bisa lebih sopan dari ini. Untuk bisa lebih ‘tepat’ daripada ini, karena secara teknis pun, dengan desain seperti ini, film masih tetap ‘benar’ secara naskah dan sebagainya. Film ini tidak perlu mengubah struktur dengan konsep berlebihan, namun tetap beautiful dan menantang. Old-school storytelling at its finest!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for KILLERS OF THE FLOWER MOON




That’s all we have for now.

Kenapa sih pendatang kelakuannya suka gak tau terima kasih dan suka menjajah?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM Review

 

“Words and ideas can change the world”

 

 

Siapa sih yang gak mau kisah percintaannya seperti di film-film? Ketemuannya cute, jadiannya sweet, berjalan dengan naik turun penuh passion hingga happily ever after. Jika berakhir tragis pun, kisah cinta di film akan tetap romantis. Bahkan nerd seperti aku bakal get the girl! Padahal kehidupan nyata bukannya tidak romantis, loh. Kita semua mendambakan skenario jatuh cinta ala sinema karena film memang sekuat itu. Sebagai medium bercerita, film punya daya untuk mempengaruhi orang, punya kemampuan untuk memantik percikan perubahan pada seseorang dalam memandang hidup. Yandy Laurens jelas percaya ini.  Percaya kalo kehidupan nyata tidak kalah romantis, melainkan cuma butuh dorongan kecil dari sebuah film yang dirasakan lewat karakter-karakternya. Percaya bahwa efek film bisa sedahsyat itu, asalkan si film itu diberikan kesempatan untuk tetap personal dan menjadi dirinya sendiri. Jika pasangan dalam film biasanya mengatakan cinta lewat bunga, maka karakter yang diciptakan Yandy dalam drama komedi romantis dengan struktur ajaib ini bilang, say it with a movie,

Semua film, at one point, pasti personal bagi pembuatnya. Aku mengetahui ini waktu dulu masih sering ikut kelas penulisan skenario serabutan di mana-mana. Every aspiring screenwriters ingin memfilmkan secuil kisah hidup atau pengalaman mereka. Ingin mengatakan sesuatu di balik cerita yang mereka tulis. Ini bagus, hal-hal personal ini yang mestinya dipertahankan supaya film bisa relate dan genuine, sehingga bisa konek kepada penonton. Problem with personal stories adalah, kita pikir cerita kita itu bagus. Pengalaman atau kisah hidup atau pandangan kita itu layak untuk difilmkan karena orang-orang butuh cerita kita, karena cerita kita sedemikian penting sehingga bisa mengubah dunia ini.  Bagus, karakter utama, dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film juga punya ‘idealisme’ seperti begitu. Bagus yang seorang screenwriter, ingin membuat film romantis berdasarkan perasaannya terhadap Hana, teman semasa SMA dulu. Dia menulis film dari kisah pertemuannya dengan Hana yang masih berkabung atas kematian suami empat bulan yang lalu. Lewat naskah film yang ia tulis, Bagus ingin mengutarakan cinta sekaligus mencoba untuk membuka pintu hati Hana yang kini masih tertutup rapat untuk cinta yang baru. Jadi Bagus berjuang, pitching ceritanya di depan produser. Supaya beneran difilmkan dan Hana nonton. Naskah yang ia perjuangkan itu ultimately jadi membuka mata Bagus terhadap apa yang sebenarnya lebih perlu untuk ia lakukan.

The power of filmmaking; bukan cuma penontonnya, tapi juga bisa mengubah pembuatnya jadi pribadi yang lebih baik

 

Seperti yang sudah dikesankan oleh judulnya, film ini memang dibangun dengan struktur yang sangat meta. Film tentang karakter yang menulis cerita film, yang actually berdasarkan kisah hidupnya. Ada banyak layer; cerita di dalam cerita di dalam cerita. Konklusinya nunjukin meski dunia nyata si karakter mungkin gak seromantis di dalam cerita yang karakter bikin – karena di dalam cerita film, semuanya harus dilebih-lebihkan biar dramatis, toh dunia nyata dia itu film juga bagi kita. So mindblowing, makanya film ini ngasih pengalaman unik banget saat ditonton. Apalagi saat direview.

Serius deh. Ini actually salah satu film yang fun banget, bikin aku ber-“loh-loh” ria saat berusaha menelisik di balik layer-layernya satu persatu. Ada beberapa kali di babak awal aku ngerasa film ini jelek. Pretentious dengan gimmick hitam putih. Juga dengan penulisan yang sok asik dengan istilah-istilah film menurut ‘netijen’. Like, adegan yang nyebut penulis subtitle bahasa indonesia di film bajakan; adegan itu kayak maksain banget karena masa’ nonton film adaptasi dari sinetron Indonesia bisa pake ada subtitle segala. Ataupun masih terlalu ‘telling’ dengan dialog Hana bilang dirinya seolah ikut dikubur bersama suami, padahal cukup ditunjukin visual surealis Hana ikut berbaring di dalam peti mati yang memang ada later in the story. Di situlah aku nyadar. Bahwa yang jelek di depan itu, bukan film ini. Tapi film/naskah buatan si Bagus. Bahwa itu semua adalah bagian dari karakterisasi si Bagus sebagai tokoh utama. Gimana dia malah memposisikan karakter Hana sebagai yang harus punya development di dalam ceritanya, nunjukin bahwa Bagus belum melihat ‘false-believe’nya sendiri. Belum melihat bahwa dia itu egois, merasa benar, dan even gak sejago itu dalam nulis naskah film. Di babak selanjutnya, film akan mengacknowledge kekurangan-kekurangan Bagus, dan itu bakal dijadikan poin untuk pembelajaran bagi karakternya. Yang bikin makin seru, nanti juga ada adegan-adegan saat Bagus dipertanyakan oleh aktor dan kru yang terlibat di dalam pembuatan film dari ceritanya. Dan Bagus seringkali gak bisa jawab, karena dia realized they are right, Hana was right, and he is wrong.

Dan yang dibuat oleh Bagus itu belum lagi sebuah film. Melainkan ‘baru’ sebuah naskah. Tapi powernya sudah ada. Film hanya satu dari sekian banyak medium. Gagasan dan kata-katalah yang sebenarnya mengubah dunia. Kata-kata Hana yang ia jadikan dialog di naskah, membuka mata Bagus.  And in turn, gagasan Bagus dalam bentuk naskah, berhasil menyentuh Hana. Membantunya ‘terlahir kembali’ dari duka nestapa.

 

Makin ke belakang, bakal banyak momen-momen film ‘menjawab’ kejanggalan yang kita rasakan pada cerita buatan Bagus. Momen-momen itu juga bakal ngingetin kita kalo semua yang kita tonton adalah visualisasi dari naskah buatan Bagus. But it’s not that easy. Karena film ini juga punya selera humor. Selain mengiyakan pertanyaan kita, selain membimbing penonton melewati istilah-istilah penulisan skenario (hey free writing lessons!!) dan sedikit seluk beluk tentang gimana sebuah film bisa akhirnya dapat lampu hijau untuk produksi, serta proses syutingnya itu sendiri, konsep atau struktur meta film juga dibangun dengan meng-subvert ekspektasi kita sebagai penonton. Mana yang beneran terjadi di kehidupan Bagus dan Hana, mana yang cuma karangan Bagus. Garis itu jadi begitu abu-abu – hitam putih seperti yang ditampilkan film ini – sehingga nontonnya jadi seru, lucu, serta juga hangat oleh dinamika Bagus dan Hana, entah itu di mana Bagus dan Hana yang asli ‘dimulai’.

Sementara kita sort ulang mana yang actually dilakukan oleh film, dan mana yang dilakukan oleh film buatan si Bagus sebagai karakter yang harus punya perkembangan, yang tidak bisa kita deny kehebatannya adalah akting. Monolog Hana yang meledak di depan Bagus saat perempuan itu akhirnya tahu cerita apa yang sebenarnya ditulis oleh sahabat sekolahnya itu (selama ini Hana diberitahu Bagus menulis cerita tentang florist, padahal bukan) dan akhirnya tahu intensi Bagus di balik naskah itu, boleh jadi hanya ada di naskah karangan Bagus – bahwa itu kejadian yang tidak pernah terjadi di kehidupan nyata Bagus – tapi Nirina Zubir tetap nyata-nyata went out and totally slayed her lines like that. Itu adegan jadi momen bravo banget di bioskop. Penonton di studio ku pada diem takjub semua, setelah sebelumnya memang banyak yang terkikik-kikik oleh candaan terhadap perfilman yang tersebar di dialog-dialog film. Ringgo Agus Rahman juga tepat terus memposisikan dirinya yang memainkan berbagai ‘versi’ Bagus. Benang merah yang jadi inner journey karakternya tetap bisa dia pertahankan.

It’s meta funny film ini take jabs at bikin remake dari sinetron, while sutradara dan dua aktor sentralnya actually terlibat di film Keluarga Cemara

 

Jadi tampilan hitam putih yang sebagian besar mengisi film ini bukan sekadar gimmick, bukan cuma kode estetik Bagus yang pengen memahami duka Hana, dan mestinya bukan semata batas kejadian di naskah Bagus dengan kejadian di hidup asli Bagus. Melainkan didesain oleh film ini sebagai device untuk menampilkan journey karakter Bagus. Tampilan hitam putih jadi cara film untuk menyarukan kejadian nyata yang dialami Bagus, yang digodoknya dengan kejadian reka yang berarti gimana sudut pandang dan sikap Bagus memandang kejadian nyata yang dia alami. Dengan kata lain, mestinya bagian hitam putih di dalam film ini adalah visualisasi nurani Bagus dalam menilik gimana dia harus approach Hana dan duka perempuan tersebut. Mungkin aku salah, tapi I think konsep film ini kurang lebih diniatkan begitu.

Yang membuatku jadi menghubungkan film ini dengan Asteroid City (2023) buatan Wes Anderson. Sama-sama tentang dealing with grief, sama-sama lewat konsep hitam putih, Asteroid City di teater play, sedangkan film ini di penulisan/pembuatan film. Ketika Asteroid City gak takut untuk ‘membuka’ mana yang play mana yang dunia reka, dengan eventually membenturkan hitam-putih dan dunia warna demi memastikan karakter utama kita benar-benar terlihat mengalami development dan berbuat ‘kesalahan’, film tersebut berakhir dengan lebih tight, somehow lebih ‘misterius’, dan less gimmicky.  Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, however, rasanya tuh berpikir, masih takut untuk ketebak. Hitam putih dan warna, pada akhirnya jadi batas nyata dan reka. Karena begitu kita sampai ke momen warna/nyata, development yang kita lihat hanya pada Hana yang nyata. Penonton diniatkan untuk menyetujui bahwa development Bagus yang nyata telah terjadi di bagian hitam putih, tapi at the same time, film menegaskan batas nyata dan reka tadi. Kita gak melihat Bagus nyata struggle dengan pembelajaran, proses pemikiran dan penyadaran Bagus yang sebenarnya. Menurutku momen bentrokan dunia hitam putih dan warna seperti yang dilakukan Asteroid City bisa membantu film ini mencapai hal yang sama untuk karakter Bagus.

But still, struktur meta dan penulisan rom-com ini brilian. Eksistensi film ini, brilian. Like, kita bisa lihat sendiri di cerita ini betapa susahnya Bagus ‘menjual’ naskahnya ke produser. That’s really mirror real life. Itu nyaris seperti parodi dari gimana produser di industri film kita sekarang. Adegan-adegan Bagus dengan produser, poke fun begitu banyak fenomena industri kayak takut barengan tayang ama Marvel, ubah cerita jadi ada horornya, angker sama tampilan hitam putih karena jadi kayak film nyeni yang berat, udah kayak sketch Pitch Meeting di YouTubenya Screen Rant tapi lebih grounded dan relate karena keadaan yang disinggung sangat dekat. Kocaknya pun jadi lebih berasa. Aku ketawa like a sinefil snob di studio hahaha.. Makanya keberadaan cerita kayak gini, bisa-bisanya nangkring di bioskop, dengan jumlah penonton yang gak sedikit, jadi sebuah kebrilianan yang patut kita rayakan. Dan lestarikan.




Cerita yang personal akan selalu dapat tempat di hati penonton. Film ini punya itu, mengerti kekuatan itu dan gagah berani mengambil banyak risks. Film mengambil cara bercerita yang paling meta. Pembuatnya tentu saja sangat personal dengan urusan perjuangan gimana cerita asli bisa sampai mendapat lampu hijau untuk produksi.  Tapi dia tahu punya senjata kuat, yaitu bahasan topik cinta dan grief yang benar-benar mampu menggebah perasaan manusiawi. Sedikit extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

 

 




That’s all we have for now.

Hana sempat bilang bahwa romance hanya milik anak muda. Bagaimana pendapat kalian tentang itu?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 12 (PAST LIVES, THE CREATOR, THE ROYAL HOTEL, WHEN EVIL LURKS, A HAUNTING IN VENICE, HELL HOUSE LLC ORIGINS THE CARMICHAEL MANOR, FIVE NIGHTS AT FREDDY’S, SISTER DEATH)

 

 

Bagian kedua dari kompilasi yang harusnya jadi edisi halloween. I gotta say, halloween tahun ini memang banyak film horor yang menyenangkan, bahkan yang bukan horor ternyata bisa ngasih goosebumps yang sedap. Highlight untuk Volume 12 ini; mereka semua – kecuali satu – really surprised me. Film-film ini punya sesuatu yang bikin aku “hey, ini gak biasanya ada di tipe film seperti ini!”. Meskipun gak semuanya aku suka, tapi masing-masing ngasih sesuatu yang di luar ekspektasi. Cuma satu film yang ‘di luar ekspektasi’nya berada dalam kotak ‘mengecewakan’. Film yang manakah itu? Yuk langsung cari tahu di mini review di bawah iniii!!

 

 

A HAUNTING IN VENICE Review

Misteri detektif digabung dengan misteri supernatural. Sesuka-sukanya aku sama penggabungan itu ketika terjadi pada beberapa kasus di komik Detektif Conan, tapi untuk urusan di film Hollywood mainstream, aku toh merasa skeptis juga. Takut jadi ngandelin fake jumpscare doang. Takut gaya dan charm Hercule Poirot di film ketiga ini ‘kalah’ oleh adegan-adegan horor yang dimasukkan dengan paksa. Sayang banget kalo sampe begitu, karena satu hal yang bikin film-film Poirot ini delightful, ya, kekhasan Poirot yang dibawakan penuh kharisma oleh Kenneth Branagh

Sir Branagh yang juga duduk di kursi sutradara, untungnya tahu untuk tidak ‘menjual jiwa filmnya kepada setan industri’. Well, at least, gaya film ini tidak berubah sama sekali. Elemen supernatural dimainkan dengan bijaksana, cukup untuk memberikan pojn tambahan dan ngasih variasi kepada kasus. Film ini tetap menitikberatkan kepada misteri kasus, dan karakter-karakter yang terlibat (yang tentu juga membuat film ini jadi showcase akting spektakuler) – terutama lanjutan dari journey karakter Poirot. Pembahasannya sebenarnya gak baru, tapi seru aja melihat Poirot harus struggle dengan logika dan kepercayaannya terhadap supernatural. Keraguan Poirot juga lantas terdeliver kepada kita dari arahan yang sukses membuat rumah besar tempat lokasi pembunuhan tertutup itu sekaligus jadi rumah hantu, seperti di film-film horor.

Not bad sebagai pembuka Volume ini. Tapi juga enggak spesial-spesial amat sehingga aku gak nyesal nontonnya nunggu di platform aja

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A HAUNTING IN VENICE

 

 

FIVE NIGHTS AT FREDDY’S Review

Dari dulu aku gak ngerti di mana letak seramnya seri game Five Nights at Freddy’s. Konsep game jumpscarenya sih aku paham, cuma, karakter-karakter animatronicnya. Aku gagal paham seramnya di mana. ,Makanya aku heran kok anak-anak pada suka. Tapi kalo soal filmnya, aku bisa maklum kenapa garapan Emma Tammy ini laku. Simpel. Mereka benar-benar bikin Freddy dan kawan-kawan hidup. Bukan sebagai CGI tapi beneran sebagai robot ‘pembunuh’.

Yang bikin aku takjub adalah ceritanya. It’s so easy membuat film ini sebagai cerita tentang penjaga yang harus melewatkan malam-malam sepi di ‘rumah’ Freddy, dan dia akan diganggu. Film ini ternyata gak mau segampang itu. Mereka menyiapkan cerita personal tentang abang yang terus-terusan dirundung rasa bersalah atas adiknya yang hilang saat mereka masih kecil. Film ini mencoba memperdalam mitologi-dunia dengan konsep mimpi untuk mencari jawaban atas masa lalu. Coba ngasih stake dengan urusan hak asuh adik. Coba mengrounded-kan lagi dengan bahasan tentang orang tua. It is kinda ambitious, untuk ukuran film adaptasi game horor untuk anak-anak.

Namun meski usaha elevasinya harus kita apresiasi, toh film ini akhirnya terpuruk karena tone yang sangat tak berimbang. Enggak simpel, tapi juga jadi agak ribet buat penonton anak. Level kekerasan yang juga tinggi, meski dibuat tanpa darah berlebih. Elemen hantu yang gak pernah terasa seram, karena clash out dengan misteri grounded. Tapinya lagi yah, bahkan Matthew Lillard enggak bisa menyelamatkanku dari kebosanan menonton ini

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FIVE NIGHTS AT FREDDY’S

 

 

 

HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR Review

Atau bisa juga judulnya jadi Hell House: Five Nights at Carmichael’s haha.. Nah, film inilah perwujudan ‘konsep gampang’ dari yang kubilang di review Freddy tadi. Bikin karakter bermalam di tempat berhantu. Mereka ngerekam kegiatan, jumpscare-jumpscare, and call it a day. Tapi yah, at least Stephen Cognetti sudah tahu persis apa yang mau ia buat. Dia menyempurnakan yang ia tahu, dan film ini overall jadi lebih menghibur.

Hell House LLC adalah seri horor mokumenter found footage, aslinya merupakan sebuah trilogi seputar bangunan bekas hotel, yang jadi tempat cult yang pengen buka gerbang neraka. Film pertamanya asli seru dan aku suka banget. Tentang sekelompok orang yang bikin wahana rumah hantu di bangunan tersebut. Film keempat ini hadir dengan maksud memperdalam mitologi cult di tempat berhantu lain. Secara presentasi, film ini ingin kembali ke vibe film pertama, yakni dengan footage-footage yang lebih ‘genuine’ dan drama karakter di balik misteri horornya.

Dan memang, penceritaan film ini berhasil tampil lebih baik daripada film kedua dan ketiga, dan mendekati film pertama. Hanya saja untuk urusan kengerian dan atmosfer, gagal mengimbangi keberhasilan film pertama. Manekuin-manekuin badut yang jadi ikon franchise ini tetap seram, tapi penampakan dan hantu-hantunya tampil sangat blak-blakan. Membuat atmosfer dan detil-detil horor yang terekam kamera, yang jadi senjata utama franchise ini jadi kehilangan ketajaman. Ceritanya pun drag dengan annoying, karena film kesusahan mencari alasan logis untuk karakter-karakter ini mau bertahan selama empat malam di rumah itu. Rintangan yang membuat mereka harus tinggal juga tidak kuat. Jatohnya, karakter utama di film ini jadi sangat annoying dengan alasan-alasannya untuk tidak angkat kaki dari situ.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for HELL HOUSE LLC ORIGINS: THE CARMICHAEL MANOR

 

 

 

PAST LIVES Review

Dua sahabat masa kecil yang saling suka tapi harus berpisah negara, lalu saat dewasa mereka bertemu kembali, harusnya berakhir jadian karena sudah takdir, kan? Kan? KAN??

Past Lives debut sutradara Celine Song bicara dengan sangat anggun dan dewasa soal takdir antara hubungan dua anak manusia, yang saking anggunnya hati kita yang nonton akan menghangat betapapun naas akhir ceritanya. Past Lives is not like any other ‘CLBK’ stories. Karena ini bukanlah semata cerita tentang dua orang yang bertemu kembali berusaha dealing dengan closure atas perasaan mereka, film ini membahas dengan kompleks tanpa meninggalkan faktor-faktor lain. Tempat. Waktu. Dan another person. Faktor-faktor yang berperan sangat besar dalam ‘perubahan’ seseorang. Yang mestinya memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Film ini bicara tentang kehidupan; yang ditinggalkan, yang datang, yang bertahan, yang telah lewat, dan banyak lagi begitu kompleksnya. Hasilnya, Past Lives jadi dialog-dialog dan keputusan karakter yang bakal bikin kita ikut berkontemplasi.

Film ini sendiri kayak punya awareness terhadap jebakan-jebakan cerita serupa. Maka film mendesain karakternya sedemikian rupa, sehingga bisa agak meta. Karakternya dibikin sebagai penulis, dan ada dari yang mereka aware kalo kisah mereka ada di dalam cerita, maka dia akan berada di posisi orang yang menghalangi cinta masa kecil pasangannya. Cara film menggeliat keluar dari jebakan, membuatnya masuk ke dalam bahasan cerita, dan actually semakin memperdalam para karakter sebagai manusia, menurutku ini merupakan penulisan yang sangat cemerlang. Sedikit ‘koreksi’ dariku cuma maybe sebagai film, cerita ini bisa lebih dramatis lagi jika diambil dari sudut pandang karakter yang lebih ‘aktif’ – dalam artian yang lebih banyak mengalami pembelajaran.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PAST LIVES

 




SISTER DEATH Review

Semoga kalian belum jengah sama cerita suster hantu, karena suster horor karya Paco Plaza ini actually lumayan worth to watch,

Dengan backdrop setelah perang sipil di Spanyol tahun 40an, film ini actually memberikan banyak waktu untuk ceritanya berkembang. Suster Narcissa tadinya ke biara yang sekarang jadi sekolah khusus anak perempuan untuk mengajar, tapi tempat itu sebenarnya membutuhkan kekuatan Narcissa sebagai ‘Holy Girl’. Karena di situ sedang dihantui oleh spirit, yang punya kisah tragis. Yang agak mengganggu buatku adalah adegan horor berupa mimpi, yang cukup kebanyakan. Padahal sebenarnya adegan-adegan horor yang ditampilkan film ini seram semua. Karena ceritanya slow, build up horornya jadi enak. Menjadikan horor itu cuma mimpi, membuatku terlepas dari kengerian dan dunia film.

Padahal cerita dan misteri yang dimiliki film sangat compelling. Aku bahkan gak nyadar kalo ini adalah sebuah prequel dari film horor tahun 2017. Judulnya Veronica. Aku bahkan belum pernah nonton film itu. Tapi saking tightnya bangunan cerita, film Sister Death ini jadi kokoh berdiri sendiri. Sekuen finalnya juga cukup keren, para karakter dibikin seolah berada di masa kini dan masa lalu sekaligus, menghasilkan trik horor yang unik. Dan si Suster Narcissa itu sendiri, man di akhir itu dia dibikin ‘menderita’ fisik dan mental. Sosok protagonis dengan mata mengalir darah jelas akan terpatri jadi salah satu bahan mimpi buruk kita di kemudian hari.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SISTER DEATH

 

 

 

THE CREATOR Review

Epik sci-fi war dari Gareth Edwards ini udah kayak Star Wars versi lebih grounded. Gimana enggak, ceritanya ngambil setting masa depan saat manusia klaim perang terhadap hal yang mereka ciptakan untuk kemudahan hidup, robot dan A.I. Untuk menambah kompleks, ini bukan sekadar manusia vs. robot, melainkan ada sisi abu-abunya. Ada pihak manusia yang memihak A.I. – yang menganggap robot-robot itu punya perasaan dan layak hidup. Ada pihak manusia yang menganggap mereka teknologi berbahaya yang harus dimusnahkan, dan manusia yang membantu robot mereka anggap tak ubahnya teroris. Kebayanglah, manusia dari bangsa mana yang dengan entengnya bilang yang tak sependapat mereka sebagai teroris. Film ini memang sedekat itu.

Visual film ini oke punya. Dunianya terbangun dengan detil, New Asia dengan padi-padi dan berbagai bahasa yang akurat. Robot-robotnya seamless hadir di tengah-tengah manusia. Karakter-karakternya juga ‘hidup’ dengan masalah personal merayap di balik konflik global cerita. Protagonis cerita, Joshua, adalah tentara yang masuk ke wilayah musuh dan harus meng-escort seorang anak robot ke tempat sosok dengan alias Nirmata yang diduga mengembangkan senjata rahasia. Like I said, epik sci-fi war ini harusnya memang sangat epik dengan cerita dan skala (dan durasi!) sebesar itu.

Nyatanya, film ini membosankan dan uninspiring. Karena penulisan yang teramat lemah dan praktisnya tidak ada hal baru. Cerita film ini terasa seperti recycle dan gabungan dari beberapa cerita perang dan sci-fi yang pernah ada.  Sehingga cerita film ini tidak pernah terkesan spesial. Hampir seperti pihak-pihak di balik film ini takut ngasih sesuatu yang benar-benar original, sehingga mereka memaksa film ini harus punya banyak elemen-elemen yang sudah pernah ada di cerita lain.

The Palace of Wisdom gives 6  gold stars out of 10 for THE CREATOR

 

 

 

THE ROYAL HOTEL Review

Sutradara Kitty Green kembali bersama aktris Julia Garner menghadirkan thriller dan horor ‘nyata’; teror yang dialami perempuan di tempat kerja. Sama seperti The Assistant (2020), skor audiens The Royal Hotel di Rotten Tomatoes jeblok. Karena memang horor/thriller yang ‘dijanjikan’ berbeda dengan yang penonton harapkan. Ketika penonton film mengharap kejadian sadis berdarah, tragedi dramatis yang physically mengguncang protagonis, monster-monster, hantu, ataupun psikopat sakit jiwa, filmmaker Australia yang di film ini juga pulang ke negara asalnya ini malah menghadirkan ketakutan yang tak bisa terlihat langsung. Yang tidak langsung terbuktikan oleh action. Tapi ketakutan itu ada, dirasakan benar oleh protagonisnya.

Sudut pandangnya memang dari cewek, tapi sebagai cowok pun, aku nonton ini masih merasakan horor tersebut nyata. Karakter sentral di cerita ini adalah dua perempuan muda, turis, yang harus membayar masa hukuman dengan jadi pelayan bar di kota tambang kecil di pelosok Negara Kanguru. Mendengar di mana mereka ditempatkan saja sudah otomatis bikin merinding. Dua perempuan itu akan berada di tengah kelompok laki-laki yang butuh ‘hiburan’. Things won’t go well. Karena jujur saja, aku tahu gimana cowok kalo udah bergerombol seperti itu, karena bahkan aku pernah guilty catcalling dan godain cewek saat sedang ngumpul sama teman-teman di kampus dulu. Hal yang dianggap cowok “ah, cuma dibecandain doang” itulah yang digambarkan jadi siksaan psikologis bagi karakter Julia Garner. Perasaan terancam berada di tengah sana saat gak ada satupun cowok yang tampak baik-baik saja. Mau itu si mulut besar, si ngeres, ataupun si pendiam yang tampak respek, garis batas itu bisa tau-tau roboh

Dua karakter perempuan ngasih cara pandang yang berbeda, antara ‘mereka kurang ajar sama kita’ dan ‘it’s okay, we’re just having fun’, digunakan film untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi, pandangan tersebut bisa bikin narasi berimbang, yang lantas jadi bikin suasana semakin ngeri lagi. Ultimately, film take a strong stand, meskipun memang konfrontasi penyadaran antara kedua karakter ini harusnya bisa lebih kompleks lagi

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for THE ROYAL HOTEL

 

 

 

WHEN EVIL LURKS Review

Bukan ‘where’, tapi ‘when’ yang dijadikan poin utama oleh horor orang kesurupan dari Argentina ini. Sutradara Demian Rugna dengan tegas ingin menilik apa reaksi manusia jika daerah mereka membusuk oleh pengaruh setan. Apa aksi yang diambil oleh manusia yang katanya punya society yang terbangun oleh aturan dan keimanan. Jawabannya, menurut yang tergambar oleh film ini; aturan dan keimanan/kepercayaan itu runtuh nyaris seketika.

Ya karenanya When Evil Lurks jadi sebuah horor mencekam yang benar-benar banal. Iblis dari roh penasaran berjalan di muka bumi sambil ngemil otak manusia. Orang kesurupannya bukan semata anak kecil menyumpah serapah, melainkan literally sebuah abomination, gumpalan nanah dan kotoran yang sekarat. Busuk, berdarah-darah. Siap untuk melahirkan setan berikutnya. Hewan-hewan peliharaan jadi beringas, tidak lagi mengenal tuannya, yang by the way juga telah siap melempar keluar semua kemanusiaan demi menyelamatkan diri dan keluarga. Ini adalah horor yang brutal. Sadis, jijik, najis, ngumpul jadi satu penceritaan bikin miris. Film ini bukan saja bukan untuk yang gak kuat iman, tapi juga bukan sajian untuk yang gak kuat perut. Ada satu adegan di film ini yang benar-benar bikin terpekik kaget, karena rasa-rasanya belum ada yang nekat bikin adegan kayak gitu bahkan di film horor sadis sekalipun.

In other words, harusnya ini adalah horor yang sangat menghibur. Tapi aku gak bisa menyukainya. Lantaran satu hal. Protagonis yang annoying. Aku mengerti penulisannya didesain seperti itu untuk memperlihatkan dia pendosa, bahwa dia sama dengan kita yang just try to save keluarga sementara gak benar-benar tahu harus berbuat apa. Hanya saja sayangnya dia tertranslasikan ke layar sebagai karakter yang ribut teriak-teriak dan memilih keputusan-keputusan bego yang aku yakin kita gak akan memilih pilihannya. Like, ada satu adegan dia nyaris putus asa kesusahan menjebol panggung. Lalu anak kesurupan iblis bilang ada kapak di ruangan sebelah. Tanpa pikir panjang, tanpa mendengarkan larangan paranormal yang tahu banyak dan telah sukses menunjukkan jalan kepadanya, dia ngikut saja perkataan si anak iblis. Resulting kerugian nyawa yang sangat besar di pihak manusia. Maan, I just can’t follow character like that. Aku berharap film ini punya karakter yang lebih menarik dan simpatik.

The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for WHEN EVIL LURKS

 




 

 

That’s all we have for now

In case belum jelas mana satu film yang mengecewakan itu adalah The Creator. Aku kecewa banget. Bahkan Five Nights at Freddy’s aja ngambil resiko lebih banyak ketimbang film tersebut. Yang bikin tambah kesel, dan khawatir, adalah bahwa dia film original. Ngeri aja kalo film original epik kayak gitu kurang diminati. Bioskop dan studio hanya akan melihatnya sebagai kegagalan materi, sehingga yang original bakal makin dipandang tidak menguntungkan. Padahal pengembangannya saja yang sangat main aman. Film harusnya lebih berani, apalagi kalo sudah punya materi yang unik. And by the way, sudah hampir penghujung tahun dan aku belum dapat film yang skornya 8.5. Alamak!!

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



THE KILLER Review

 

“It’s what you do that defines you”

 

 

Walaupun seringnya kita ngeluh ‘bosan’ dengan rutinitas, that every each one of us hate our jobs, tapi nyatanya kita akan tetap berusaha ngasih yang terbaik pada apa yang kita lakukan. Kita akan mencoba melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Karena siapa kita itu tercermin dari apa yang kita lakukan. Seorang dokter mengobati. Seorang koki memasak, Seorang penulis menulis. Seorang pembunuh, membunuh. Dalam The Killer, David Fincher benar-benar menunjukkan kepada kita bagaimana sebagai seorang filmmaker, dia berani membuat film yang dengan sengaja mengambil banyak resiko. The Killer diceritakan dengan kontradiksi sebagai fondasi. Karakternya ironically tidak sehebat ‘omongannya’ dalam kerjaannya. Aku malah melihat film ini hampir seperti parodi dari genre revenge dan film pembunuh bayaran yang biasanya selalu tergambarkan cool dan disenangi penonton. Film ini karakternya cool tapi in sense yang tidak memancing simpati, membuat keputusan aneh. Gaya dan penceritaan masterclass Fincher-lah yang turn things around dan membuat film ini worked out sebagai hiburan sekaligus telisik karakter yang berbobot.

Aku memang gak tau graphic novel materi aslinya, tapi aku pikir studio mungkin pengen bikin action assassin saingan John Wick. Hanya saja David Fincher simply pengen sesuatu yang berbeda. Maka kita dapatlah karakter pembunuh yang lain dari yang lain. Karakter yang diperankan Michael Fassbender ini – sama seperti karakter lain di dalam cerita – tidak punya nama. Mereka ‘dikenal’ berdasarkan dari apa yang mereka lakukan. The Killer. The Brute. The Client. The Lawyer. The Expert. Penamaan tersebut sesuai dengan tema ‘what we do is what we are’, sekaligus juga klop ke dalam mindframe si karakter utama. Yakni untuk tidak terattach dengan orang lain. Supaya tidak timbul empati. Karena, menurut si Killer, empati itu adalah kelemahan. ‘Mantra’ itu terus berulang-ulang dia ucapkan, di dalam hati. Kita akan banyak mendengar obrolannya dengan diri sendiri, yang dijadikan voice over oleh film, sebagai main dialogue dari si protagonis. Kita pertama kali berkenalan dengan dia lewat voice over ini.

Dari gedung kosong dia menunggu dan mengintai targetnya. Orang penting di Perancis. Selagi menunggu kita melihat kebiasaannya yang precise, kita mendengar kata hatinya soal kerjaannya. He seems begitu fokus dan paham betul seluk beluk kerjaan pembunuh bayaran ini. Dia punya metode tersendiri. Di awal itu seperti sudah dibangun betapa jagonya dia. Tapi lantas dia gagal. Tembakannya meleset. The Killer kabur ke negara tempatnya bersembunyi. Tapi kerja untuk ‘dunia hitam’ ada konsekuensinya. Orang tersayangnya harus membayar kesalahannya. Di titik ini aku merasa film jadi kayak cerita revenge biasa. Killer berniat balas menghabisi pembunuh bayaran dan bosnya. Aku honestly mengira cerita bakal jadi boring, karena sudah banyak sekali cerita balas dendam seperti demikian. Tapi kemudian kegagalan-kegagalan Killer terus terjadi. Gimana ternyata aksinya enggak sekeren narasi voice overnya. Dia salah menghitung waktu kematian setelah jantung ditembus paku, misalnya. Atau gimana dia selalu pakai identitas palsu, tapi nama-nama yang dia pakai adalah nama yang dia ambil dari karakter film – which is bukan penyamaran yang sempurna karena orang bisa langsung tahu itu nama palsu. Ketertarikanku naik kembali begitu menyadari pria ini bukan John Wick, dia lebih mirip seperti kita yang struggling untuk menuntaskan kerjaan dengan semampunya.

Dari jam di tangannya kita tahu kalo dia orangnya juga agak panikan

 

Arahan jagoan dari David Fincher sangat mendukung untuk terbangunnya ‘ilusi’ kekerenan protagonis tersebut. Shot-shotnya bonafid semua. Kita dibuat ikut mengintip lewat lensa sniper. Kita ikut dibuat melihat dengan dingin lewat warna-warna ‘elegan’ yang juga seolah mencerminkan keunikan sudut pandang si Killer terhadap dunia. Perspektif itu dengan mulus dimainkan oleh film, terkadang kita dibuat melihat si Killer dari luar, dan terkadang kita melihat sejalan dengan perspektifnya. Hint untuk perspektif tersebut diberikan oleh film lewat musik. Bukan sekadar buat gaya-gayaan soundtrack, musik itu dimainkan oleh film kadang seperti kita mencuri dengar musik dari earphone orang, kadang musik itu full yang berarti kita mendengarnya bareng dengan perspektif Killer. Selain dengan perspektif dan musik seolah ini film action yang pop, film ini juga benar-benar mengbuild up adegan-adegan aksi kriminal just like adegan film action yang stylish. Membendung antisipasi kita, kemudian banting stir dan memperlihatkan kesalahan ‘kecil’ yang dibuat oleh si Killer sehingga rencananya meskipun tidak sepenuhnya berhasil, tapi kita tidak langsung menganggap dia inkompeten. Killer tetap akan menyelesaikan ‘misinya’ tapi dengan tidak ‘sekeren’ karakter-karakter action. Mana ada jagoan yang kabur ngap-ngapan dikejar anjing.

Gak banyak filmmaker yang berani ambil resiko, tapi di film ini David Fincher dengan cueknya mengambil resiko. Dia malah menjadikan resiko itu sebagai fondasi film. Killer yang terus mengingatkan dirinya; seorang pembunuh bayaran maka dia tidak boleh merasa empati, tidak boleh merasa kasihan sama orang. Kawan maupun lawan. Karena dia juga berprinsip bahwa tidak ada orang yang bisa dipercaya. Tapi aksi balas dendam yang nekat ia lakukan, tentu saja terjadi karena dia sangat sayang dan peduli banget sama pacarnya. Yang berarti hatinya tidak sedingin itu. Yang berarti dia mungkin bukan pembunuh yang handal karena melanggar ‘kode etik’ pembunuh itu sendiri. Yang lantas membuatnya sebagai orang yang tak sesuai hati dengan aksi. Dan ini bukan trait yang ingin kita lihat ada pada karakter utama, karena dia jadi karakter yang unreliable. Film juga dengan sengaja tidak menampakkan dulu seperti apa hubungan dia dengan korban yang bikin dia pengen balas dendam, sebagai penonton kita gak dikasih gambaran sepenting apa orang ini di hidup Killer. Kita hanya berpatokan kepada reaksi dan aksi yang dipilih oleh si Killer. Ditambah pula ternyata aksinya yang gak sejago kesannya tadi. It is hard enough bersimpati kepada tokoh anti-hero – kita memang bisa menganggap si Killer sebagai antihero karena saat membunuh dia memang sangat dingin dan gak ragu untuk membunuh targetnya gitu aja – apalagi jika dia ini gak bisa dipegang dan suka membuat keputusan yang aneh.

Pembunuh bayaran ternyata sama ama emak-emak; kalo gak ada kerjaan, bawaannya risau dan capek

 

Pilihannya di babak akhir adalah yang paling aneh. Yang aku rasa mungkin jadi turn off alias paling membagongkan bagi sebagian besar penonton. Kenapa yang di akhir ini malah gak dibunuh. Kenapa si Killer tidak menuntaskan pekerjaannya.  Di sinilah film meletakkan perkembangan atau development si Killer sebagai seorang karakter utama. Kunci untuk kita bisa memahami journey karakternya itu adalah dialog soal pemburu dan beruang yang dilontarkan oleh karakter Tilda Swinton (yang kata salah satu karakter mirip korek kuping hihihi) Dialog itu perlahan menyadarkan dirinya. Konfrontasinya dengan ‘bos’ di akhir, seal the deal. Killer menyadari ‘kerjaannya’ adalah ya kerjaan. Dia tidak lagi menganggap dirinya spesial, ” a few” dia menyebut dirinya di awal. Di akhir, dia mengganti sebutannya dengan “the many” Bahwa ada orang lain yang juga bekerja seperti ini, dan mereka juga menerapkan ‘mantra’ yang sama. Karena sama seperti dirinya, orang lain juga berusaha sebaik mungkin dalam kerjaan mereka.

Si Pemburu dan Beruang adalah anekdot tentang gimana manusia menikmati pekerjaan mereka. Berburu-lah yang dinikmati oleh pemburu, bukan saat membunuh buruan. Sehingga betapapun lemah, atau malah kejam dan kurang ajarnya beruang, jika itu adalah beruang terakhir, maka pemburu akan enggan membunuhnya. Karena jobnya akan berakhir. Keadaan ekstrim yang dipancing oleh dialog Tilda tersebut adalah bukan saja soal si Killer enggak akan membunuh bos yang terakhir karena dia butuh ‘kerjaan’. Melainkan juga si Killer boleh jadi secara naluri sengaja meleset dan gagal supaya dia bisa membunuh lebih banyak.

 




Inilah juga yang menyebabkan aku sadar as much as I like film ini kalo dia jadi kisah yang menyelami dalam-dalam psikologis pembunuh kayak The House That Jack Built (2018), ataupun Henry: Portrait of a Serial Killer (1986), aku salah menempatkan ekspektasi. Karena nanti bakal sama boringnya dengan kalo si Killernya dibuat sejago John Wick. The Killer memang membahas psikologi karakter, tapi bukan sebagai pembunuh, melainkan sebagai manusia biasa yang punya kerjaan. Kebetulan kerjaannya menghilangkan nyawa manusia. Film ini justru mengambil approach karakter yang ‘manusia sehari-hari’ tapi pengen sebaik mungkin dalam kerjaannya. Sehingga dia yang tertutup kerap menunjukkan sikap disiplin dan mengulang ‘mantra’ yang merupakan bentuk dari gimana pembunuh bayaran yang sukses. Masalahnya, kegagalan bakal eksis apapun kerjaan kita. Pada intinya, film tentang pembunuh bayaran yang membalas dendam ini ternyata adalah cerita tentang orang yang berusaha sukses dalam karirnya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE KILLER

 




That’s all we have for now.

Jadi, sebesar apakah cinta kalian terhadap kerjaan? Apakah kerjaan kalian memang mendefinisikan siapa sebenarnya diri kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru bisa coba serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MINI REVIEW VOLUME 11 (V/H/S/85, NO HARD FEELINGS, STRAYS, TOTALLY KILLER, BLUE BEETLE, PET SEMATARY BLOODLINES, THEATER CAMP, CONCRETE UTOPIA)

 

 

Harusnya sih ini edisi halloween. Tapi ternyata yang belum kutonton dan kuulas ada berbagai genre!! Jadilah aku kumpulin aja semua seperti biasa, dan ya, inilah edisi kesebelas. Dan mungkin kita akan segera bertemu di edisi berikutnyaaa

 

 

BLUE BEETLE Review

It has its charms. I mean, pusat di balik cerita superhero robot kumbang ini adalah keluarga latin, yang struggle dengan keadaan ekonomi. Dan karena berasal dari keluarga latin, kejadian seputar protagonisnya menjadi superhero pun jadi punya ‘warna’ yang berbeda. Jika biasanya superhero merahasiakan yang terjadi kepadanya dari keluarga, maka Blue Beetle berubah persis di depan ayah, ibu, adik, paman, dan neneknya sekaligus. Masalah Blue Beetle juga adalah masalah keluarganya. Bahkan ada sekuen saat justru si superhero yang kekuatannya bisa menciptakan senjata apapun yang ia bayangkan (dia pakai Buster Sword kayak Cloud di FF VII!!) yang harus diselamatkan oleh keluarganya.

Ada momen-momen lucu dari sini. Dan tentunya juga momen seru. Jika sutradara Angel Manuel Soto diberikan kreasi penuh, aku yakin film ini harusnya bisa lebih kuat lagi pada identitas dan perspektif keluarga tersebut. Sayangnya film Blue Beetle bermain aman. Tidak mau mengambil terlalu banyak resiko dengan menjadikan ini film superhero mexico. Film ini bangunan superheronya amat sangat template. Korporat jahat, pasukan militer super, villain yang kekuatannya sama dengan si superhero – only bigger dan badder. Ujung-ujungnya, nonton ini aku tetap merasa bosan. Durasi dua jam lebih itu kerasa banget karena meskipun identitasnya unik tapi yang mereka lalui, plot ceritanya, kejadiannya, terasa seperti yang udah sering kita tonton.

Jika semua studio film superhero modern main aman seperti begini, maka gak heran penonton terkena ‘superhero fatigue’

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BLUE BEETLE

.

 

 

CONCRETE UTOPIA Review

Bencana yang dipotret sutradara Tae-hwa Eom dalam Concrete Utopia bukan exactly runtuhnya tanah karena gempa. Melainkan soal runtuhnya kemanusiaan. Potret yang sangat powerful, dan bikin merinding. Digambarkan manusia bisa seketika turn on each other, saling serang gak peduli sama yang lemah, kalo urusannya udah tentang tempat tinggal. Demi menduduki suatu tempat. Lihatlah ke luar jendela, dan kita akan lihat bentuk konkrit dari yang disimbolkan oleh film ini.

Di cerita ini penduduk satu-satunya apartemen yang masih berdiri berusaha survive, bertahan di apartemen, membentuk komunitas dan aturan-aturan sendiri. Sumber makanan, obat-obatan, dan air yang sedikit membuat mereka tega mengusir pendatang yang ingin mencari perlindungan. Padahal di masa sulit seharusnya manusia bekerja sama. Gak peduli dari mana dia berasal. Film ini nunjukin dengan ironis bahwa pemimpin mereka apartemen sebenarnya juga seorang pendatang. Orang luar yang membunuh seorang penghuni apartemen sebelum bencana datang.

Eksekusi ceritanya luar biasa. Kita dibuat terus menyimak gimana komunitas ini bekerja, dengan ironi tadi membayangi di baliknya.  Akan ada banyak sekali adegan-adegan yang menghasilkan perasaan yang kontras. Terkadang memang terasa over, tapi semuanya masih bekerja dalam satu kesatuan bangunan-dunia yang senada. Dan kupikir, cara film ini mengakhiri ceritanya pun terasa puitik. Benih-benih harapan itu mereka tebar, sehingga api harapan itu masih terasa hangat.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CONCRETE UTOPIA

 

 

 

NO HARD FEELINGS Review

Ternyata Jennifer Lawrence bisa juga jadi Girl on Fire di film komedi! No Hard Feelings terasa bergelora dan penuh energi chaotic berkat penampilan komedik Jen-Law. Dia gak ragu untuk tampil total!!

Karakter yang dia mainkan, Maddie, memang bukan tipe yang mudah untuk kita kasihani. Orangnya keras kepala, cuek, dan bukan exactly tipe kakak cewek yang anggun. Sikapnya itu kemudian dibenturkan saat Maddie kepepet duit. Maddie menerima lowker dari pasangan kaya yang lagi mencari ‘pacar bayaran’ untuk anak cowok mereka yang udah mau kuliah tapi sampai sekarang belum punya pacar karena ansos dan introvert banget.

Dari sinilah komedi romantis karya Gene Stupnitsky ini jadi laen. Rootnya dari awkwardness yang timbul dari seorang tante-tante mencoba mendekati daun muda. Beberapa adegan awal cenderung hard to watch, dalam artian ngenes, tapi di situlah poin dagang film ini. Relationship dua karakter sentral berkembang, bukan lagi dari perasaan romantis yang dibuat-buat, tapi jadi genuine hubungan yang saling mendewasakan. Rasanya sudah jarang kita dapat suguhan ringan, tapi juga nekad serta nyeleneh.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO HARD FEELINGS

 

 

 

PET SEMATARY: BLOODLINES Review

Kok ya aku jadi agak kasian sama Stephen King. Tahun ini dua ceritanya dikembangkan menjadi film yang benar-benar sebuah adaptasi lepas. Dan kedua film itu tidak benar-benar bagus. Pertama, The Boogeyman, yang malah melanjutkan cerita asli King dengan karakter-karakter baru. Dan sekarang, Pet Sematary: Bloodlines, yang mengambil posisi sebagai prekuel dari cerita asli; thus film ini mengarang bebas dari karakter-karakter yang sudah ada. Sedikit banyak mengubah mereka. Sesuatu yang sama sekali tidak perlu.

Sebenarnya sutradara Lindsey Anderson Beer masih respek. Dia berusaha mengarahkan dan menuliskan cerita ini semirip mungkin dengan vibe cerita-cerita King. Kota kecil dengan penghuni yang turun temurun menempatinya dijadikan pusat cerita. Karakter-karakter penghuninya – Judd muda dijadikan protagonis cerita – berusaha dikembangkan. Premis tanah yang semua makhluk yang dikuburkan di dalamnya bakal balik jadi makhluk jahat, coba diperdalam. Dipersonalkan. Film ini nyaris setengah berhasil melakukan itu semua.

The best thing yang bisa kubilang untuk film ini adalah dia seperti fan-fic yang bland. Sampai ke aspek horornya pun nanggung. But it’s okay. Masih bisa jadi tontonan pengisi waktu-lah, sebenarnya. Namun semua itu diperparah oleh hal-hal yang diretcon. Hal-hal yang beda ama materi aslinya. Jadinya film ini konyol aja, jadi kayak ngada-ngada.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY: BLOODLINES

 




STRAYS Review

Ngomong-ngomong soal pets, nah ini baru film tentang hewan peliharaan yang benar-benar serasa seperti sebuah perjalanan liar!

Paling tepat ya menyebut komedi garapan Josh Greenbaum ini sebagai film anjing. Karakternya 95% live-action anjing, dan tingkah mereka pun benar-benar anjing. Sepertinya memang film ini terutama memparodikan film-film tentang anjing peliharan yang kebanyakan bicara tentang persahabatan anjing dengan manusia. Di film ini, yang ditekankan adalah persahabatan antara sesama anjing, dan mereka mau balas dendam sama owner yang sudah menelantarkan si karakter utama. Dan para anjing dan komedi di sini vulgar dan raunchy abis. Ini bukan tipe film yang diputar untuk ditonton bareng keluarga.

Tapi bukan berarti film ini enggak punya hati. Yang dialami Reggie sebagai anjing peliharaan, sebenarnya menyedihkan. Pemiliknya sebenarnya gak suka sama dia. Tapi Reggie terjebak dalam somekind of toxic relationship yang membuat dia merasa pemiliknya akan sayang, kalo dia nurut. Udah dibuang pun, dia ngerasa pemiliknya lagi ngajak main. Reggie dealing with perasaan ini yang jadi bobot dramatis film. Karena bahkan kita manusia bisa terjebak toxic relationship. Tonenya boleh aja agak random, tapi film ini lebih dari sekadar komedi jorok – yang sebenarnya juga berusaha dijustify oleh film dengan menjadikan dirinya sebagai parodi film anjing. Bahwa anjing itu ya, anjing. Dan manusia bisa lebih anjing lagi,

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for STRAYS

 

 

 

THEATER CAMP Review

Agak susah mutusin film ini satir tentang komunitas camp teater, atau surat cinta terhadap mereka. Tapi boleh jadi, inilah bentuk tertinggi dari sebuah passion dan kecintaan; mampu menertawakan sekaligus menceritakannya dengan penuh hangat. Theater Camp karya Molly Gordon dan Nick Lieberman akan ikut membuat kita jatuh cinta, meskipun kita bukan teater geek seperti mereka.

Karena pada hatinya, film tentang influencer yang terpaksa menjalankan summer camp teater milik ibunya ini bicara tentang hal yang relate. Yakni tentang tempat bagi anak-anak – bagi orang-orang yang not really fit in di kehidupan sosial yang ‘normal’. Tentang orang-orang yang menemukan rumah dan keluarga, dan mereka harus menyelamatkan rumah mereka bersama-sama. Duh, lagu ‘Camp isn’t Home’ yang jadi adegan musikal pamungkas film ini sukses bikin emosiku jumpalitan.

Banyak karakter di cerita ini. Permasalahan mereka punya benang merah yaitu dilema antara stay di sana atau tidak. Antara bertahan di passion dan mengejar mimpi, atau ‘menyerah’ kepada realita. Film mengambil posisi yang sangat berimbang, tidak menghukum, mengolok pilihan manapun. Semuanya diserahkan kepada penonton, untuk ikut memilih. Komedi film ini juga dituliskan dengan mumpuni. But I do think, film ini bisa menjangkau lebih banyak penonton lagi jika eiher durasinya dipanjangin supaya penonton in general bisa  mengenal masing-masing mereka lebih lama, atau fokusnya agak dirapatkan ke satu karakter secara khusus.

The Palace of Wisdom gives 7.5  gold stars out of 10 for THEATER CAMP

 

 

 

TOTALLY KILLER Review

Premis film ini ngingetin aku sama filmnya si Taissa Farmiga, The Final Girls (2015) – duh, jaman2 masih ngereview di Path haha. Kalo di film tersebut protagonis ceweknya tersedot ke film slasher tahun 80an yang dibintangi ibunya dan berusaha mencegah karakter ibunya mati, sedangkan di karya Nahnatchka Khan ini, ceritanya tentang protagonis cewek remaja yang kembali ke masa lalu untuk menggagalkan rencana seorang pembunuh berantai yang membunuhi ibu dan teman-teman ibunya di SMA. Kedua film tersebut sama-sama mengandalkan referensi film 80an sebagai bumbu di balik bunuh-bunuhan. Tapi di Totally Killer, referensi yang digunakan gak sebatas pada film horor.

Dari Back to the Future ke Halloween ke film-film remajanya John Hughes, Totally Killer bakal totally bikin kita tetep have fun bernostalgia sambil jejeritan, dan ikut menebak-nebak pembunuh seperti saat nonton Scream. Toh naskah film ini gak cuma berisi referensi sana-sini. Kecerdasan penulisan ditunjukkan dari konsep time travel dan gimana mereka menggunakan kesempatan itu untuk membandingkan dengan kocak antara remaja jaman dulu dengan remaja jaman sekarang.

Gimana Jamie heran di 80an orang-orang pada selow ngata-ngatain orang, sekolah yang pengamanannya nyante. Apa-apa gak ribet kayak di 2023. Tapi sekaligus juga memperlihatkan ke kita gimana selownya orang jaman dulu sama ternyata bisa berdampak pada anak jaman sekarang. Film ini did a great job ngangkat diskursus soal kebiasaan sosial pada dua era berbeda – meskipun ini sebenarnya horor komedi yang dibuat sebagai tontonan ringan. Ini lantas  terefleksi juga kepada film. Film jaman sekarang, seperti film ini sendiri, cenderung harus jadi ribet dibandingkan horor jaman dulu yang cukup bunuh-bunuhan saja. Pertanyaannya dioper ke kita nih sekarang, jaman mana yang lebih baik?

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for TOTALLY KILLER

 

 

 

V/H/S/85 Review

Franchise V/H/S/ tampaknya sudah resmi jadi staple penggemar horor setiap halloween. Tahun ini mereka ngeluarin lagi, dan tema besar kali ini adalah video-video horor, snuff film, dan rekaman ganjil dari tahun 1985.

Sebagai antologi cerita, at least V/H/S/ semakin kreatif dalam menampilkan atau menempatkan lima horor pendek. Kali ini film ini bermain-main dengan urutan. Ada cerita yang displice jadi dua bagian supaya kita makin penasaran. Dan karena cerita-cerita ini random, nonton film ini ada sensasi masuk ke something unknown yang menambah minat kita ngikutin sampai habis.

Lima horor pendek dalam film ini sendiri, menurutku tidak terlalu seram. Sebagian besar gak benar-benar ngasih sesuatu yang baru juga, meskipun memang mereka berusaha menghadirkan kesan cerita itu memang direkam tahun 85. Kayak cerita tentang virtual reality, yang dihadirkan dengan gaya monolog seseorang lagi perform di teater. Komedi atau satir cerita tersebut works karena dibuat (dan ditonton) oleh yang tau sekarang teknologi ada di mana, dan gimana masyarakat menggunakannya. Pada akhirnya segmen cerita ini adalah showcase horor gore yang memang jadi ciri khas horor 80an.

Ada juga segmen yang bermain-main dengan premis Pet Sematary – yang di tahun 85 itungannya masih novel horor yang baru booming. Sekelompok pemuda pemudi main di danau, lalu mereka ditembaki seseorang misterius, dan yang mati di danau bisa hidup kembali, kayak di cerita Pet Sematary. Segmen ini sebenarnya sangat fun, tapi sayangnya terlalu singkat. Apalagi bagian keduanya, yang melibatkan satu keluarga dengan perayaan sinting. Terlalu singkat, membuat kita pengen lebih. Segmen Rory yang dijadikan pembungkus semua cerita, juga terlalu singkat padahal kisah creature-nya sudah bikin penasaran.

Segmen favoritku adalah Dreamkill, yang melibatkan seorang detektif yang berusaha memecahkan kasus aneh. Serangkaian kasus pembunuhan yang serupa dengan video-video rekaman yang ia tonton seminggu sebelumnya. Kayaknya jarang segmen di V/H/S/ yang ngasih horor surealis kayak gini. Sedangkan segmen yang paling tak kusuka adalah God of Death, terinspirasi dari gempa Mexico di tahun 85. Buatku segmen ini kepanjangan dan annoying kameranya bikin pusing.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/85

 




That’s all we have for now

Empat film horor dari list ini menurutku sangat cocok untuk dijadikan maraton horor tahun ini.  Bahkan Concrete Utopia bisa ditambahkan, mengingat basically itu adalah horor kemanusiaan yang relevan dengan keadaan sekarang. Bagaimana dengan kalian, apa list tontonan halloweenmu tahun ini? Share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



PETUALANGAN SHERINA 2 Review

 

“Play by the rules, but be ferocious”

 

 

Petualangan Sherina (2000) arguably adalah salah satu film anak terbaik Indonesia. Bahkan di kota asalku yang gak ada bioskop, gaung film itu terdengar keras.  Di sekolahku dulu anak-anak pada nari “Matahariiiii bersinar terang” sama geng masing-masing. Semua pada bawa bekel tupperware isi keping coklat warna-warni. Pose Sherina dan Sadam bertolak punggung, ditiru jadi pose andalan saat berfoto.  Tahun segitu memang film lagi ‘sepi’, Petualangan Sherina hadir bukan cuma jadi hiburan satu-satunya. tapi juga dengan cerita yang ringan nan asik, lagu-lagu yang catchy, dan karakter yang memorable. Sekarang, 23 tahun setelahnya, Riri Riza kembali menghadirkan Petualangan Sherina, di saat yang menurutku juga masih mirip dengan keadaan kemunculan film pertama. Yakni saat kita para penonton bioskop merasa ‘sepi’ dan perlu dihibur oleh karakter yang kita kenal dan lagu-lagu yang catchy. Petualangan Sherina 2 memang dihadirkan untuk memuaskan dahaga nostalgia serta menjawab rasa kangen terhadap para karakter. Bagaimana kelanjutan kehidupan mereka. Jadi apa Sherina dan Sadam – ‘teman-teman kecil’kita dulu itu sekarang.

Sherina M. Darmawan kini jadi reporter stasiun televisi. Cocok sih, mengingat karakternya di film pertama dulu sebagai anak yang cerdas, mandiri, kritis dan tak ragu untuk mendebat sesuatu yang menurut dia mengganjal. Salah satu quote-nya yang paling kuingat dulu adalah ketika bertanya apakah kenakalan itu juga keturunan, karena kalo ada anak yang baik, biasanya orangtua bakal dengan bangga bilang turunan ibu/ayahnya. Sherina thought kenakalan mungkin juga ‘bekerja’ seperti demikian. Dengan kualitas dan sikap seperti itu, Sherina memang pantas jadi jurnalis handal, aku sempat kepikiran karakter Gale Weathers di franchise Scream. Sherina di sekuel ini memang nyaris se-ferocious perempuan itu. Kita melihat dia kesal enggak jadi dikirim meliput ke Swiss. Alih-alih ke sana, Sherina malah ditugasi ke hutan Kalimantan. Meliput penangkaran orangutan. Di hutan itulah nanti Sherina reunian dengan Sadam. Karena sikap pantang melihat hal gak bener Sherina-lah, mereka terlibat petualangan baru; melacak anak orangutan yang dicuri untuk dijual kepada sosialita pengoleksi hewan eksotis. Bergerak sendiri karena menurut Sherina, ngatur strategi itu kelamaan.

Sherina, M-nya apa?

 

Dua-puluh-tiga tahun tentu saja bukan rentang yang sebentar. Film ini tahu persis siapa market mereka. Penonton yang juga ikut bertumbuh; yang dulu menonton Petualangan Sherina saat masih kecil, dan kini bakal kembali ke bioskop menyaksikan kelanjutan cerita. Dan kembalinya mungkin bukan sendiri, melainkan bersama ‘jagoan’ kecil mereka. Jadilah film ini diarahkan untuk jadi tontonan keluarga, tapi dengan cerita yang sedikit lebih dewasa. Film ini paham bahwa kita yang nonton bakal penasaran sama Sherina dan Sadam kini seperti apa. Dalam 23 tahun itu apa yang terjadi pada hubungan mereka. Jadi film ini ‘menggoda’ kita. Sherina dan Sadam dibuat sudah lama berpisah. Bibit-bibit hubungan romantis mereka disebar, karena mereka masing-masing belum berkeluarga. Sherina Munaf dan Derby Romero tampak mudah saja menyambung chemistry karakter mereka.  Kisah yang terjadi kepada mereka setelah kejadian film pertama, hingga mereka SMP dan SMA dan kuliah, turut disebar menghiasi petualangan mereka di hutan. Akan ada momen-momen mereka berdialog yang akrab maupun yang bikin kita penasaran. Bikin kita gemes. Bahkan mungkin sukses membuat penonton terkenang kepada sahabat yang sudah lama tidak bersua.

Ini tentu saja berkaitan dengan development karakter. Urusan naskah. Sebenarnya film ini jauh lebih ‘ambisius’ dibandingkan film pertamanya dulu itu. Ambisius dalam artian ada lebih banyak hal yang dibahas di sini. Naskah-lah yang bertindak sebagai tulang punggung, menjaga agar cerita tetap berjalan sesuai dengan perkembangan karakter.  Perkembangan karakter Sherina yang sedari kecil sudah senang debat dan kritis tadi, kini dikembangkan menjadi ‘flaw’ bagi karakternya. Setiap protagonis utama harus punya flaw/cela karena dari situlah nanti dia bakal mendapat pembelajaran yang membentuk journey karakter yang melingkar sebagai akhir cerita. Flaw Sherina inilah yang menarik, Film tidak terjebak untuk menghadirkan protagonis perempuan yang serba-perfect. Flaw membuat karakter Sherina manusiawi, semanusiawi ketika dulu saat masih kecil karakternya diperlihatkan punya hobi ‘pura-pura’ jadi jagoan. Waktu masih kecil, sikap kritis membuat Sherina tampak lucu. Kini, sikapnya itu malah membuat orang di sekitarnya kurang nyaman. Sherina jadi sedikit bossy. Gak mau diatur, dan maunya hanya melakukan pemikiran sendiri. Sikap itu jualah yang jadi akar rengganggnya hubungan Sherina dengan Sadam. Proses Sherina dealing with her flaw inilah yang tercermin pada aksi-aksi mereka nanti saat berusaha menyelamatkan anak orangutan yang diculik. Memberikan bobot di balik sajian luar cerita.

Jika waktu kecil Sherina belajar untuk melihat hal lebih dekat, kini dia perlu belajar membuka diri untuk melihat dari sudut pandang lain. ‘Mendengar’ orang lain. Gak bisa hanya dengan terus nurutin apa yang menurut dia langkah yang tepat.  Memang, terkadang kita perlu untuk bermain sesuai aturan. Play by the rules, dan mainkanlah dengan lebih baik dari orang lain.

 

Selain soal itu, film juga tampak ‘serius’ bicara soal pelestarian alam, khususnya satwa. Dua karakter antagonis – pasangan yang mengoleksi hewan eksotis – boleh saja dibuat komikal. Ratih yang diperankan Isyana Sarasvati udah kayak Scarlet J.,,eh, udah kayak Cruella De Vil di 101 Dalmatians, hanya lebih konyol. Dia juga dikasih ‘villain song’ yang buatku justru paling memorable di antara lagu-lagu lain di film ini. Tapi kalo diliat-liat karakter jahat komikal tersebut seperti menyentil keadaan yang kita jumpai di kehidupan nyata. Maraknya tren memelihara hewan liar, seperti bayi monyet, bayi macan, dan lain sebagainya di kalangan figur publik. Memelihara tapi bukan untuk melestarikan melainkan hanya untuk dijadikan konten. Menaikkan status sosial. Film ini ngasih pesan dan informasi kepada penonton bahwa hal tersebut adalah sama saja dengan tindak kejahatan. Ini pesan yang penting banget untuk dilihat terutama oleh penonton cilik, karena memberikan edukasi pelestarian satwa dan lingkungan kepada mereka. Salah satu lagu di film ini bahkan menyuarakan soal orangutan dan hutan kalimantan.

Hatiku sedih, hatiku gundah, kok malah jadi berpisah

 

Film ini tahu untuk play within its strength. Dan strength film ini tak lain tak bukan adalah nostalgia. Honestly, aku gak expect film ini bahkan dimulai dengan mengembalikan status-quo kepada formula film pertama. Sherina dari kota, dikirim ke daerah, bertemu Sadam di sana. Banyak sekali adegan-adegan yang bakal ngingetin kita pada momen-momen di film pertama. Nostalgia yang paling kerasa itu terutama pada adegan musikalnya. Seperti film pertama, sekuel ini juga diarahkan sebagai sajian musikal. Sherina dan Sadam akan menyanyikan kejadian dan perasaan yang mereka lalui. Dan kebanyakan lagu-lagu di film ini mereferensikan lagu-lagu pada film pertama. Di satu sisi hal ini memang sweet banget. Mendengar kembali lagu-lagu yang mungkin udah kita nyanyikan berulang kali sedari kecil tentu saja ngasih sensasi menyenangkan tersendiri, walaupun liriknya sedikit diubah mengikuti keadaan cerita yang sekarang. Di sisi lain, terasa jadi agak maksain juga. I’d prefer mereka menyanyikan anthem dari lagu-lagu baru ketimbang cuma mengubah lirik.  Musical number di film ini terasa kurang banyak range-nya dibandingkan dengan lagu-lagu di film pertama. Dulu itu Sherina sedih aja ada lagunya. Di film kali ini kayaknya relatif saat perasaan lagi ‘up’ saja yang dinyanyikan. Dulu, ada battle nyanyi segala. Antara Sherina dan Sadam, ledek-ledekan sambil bernyanyi di halaman sekolah. Di film sekarang, meski Sherina bertemu dengan Ratih, film gak ngasih battle nyanyi lagi kepada kita.

Karena di film ini sekarang ‘battle’ jadi beneran berantem. Sherina dan Sadam jadi literally jagoan, karena bisa berantem ngalahin komplotan penculik dan bodyguard pribadi Ratih dan suami. Memang make sense, sih, kalo setelah kejadian film pertama, Sherina dan Sadam belajar membela diri sehingga kini mereka bisa beraksi. Film juga tak lupa ngebuild soal adegan aksi berantem ini pada sepuluh menit awal dengan memperlihatkan Sherina mukulin samsak dan foto dia ikutan karate. Tapi ya rasanya aneh dan too much aja. Kayak pas Sherina dan Sadam berhadapan dengan cewek bodyguard Ratih, vibenya masih terasa gak klop dengan ‘Petualangan Sherina’ yang kita tahu. Hampir kayak di Pitch Perfect 3 tau-tau Amy bisa berantem, padahal di dua film sebelumnya vibe film itu ya tentang lomba acapella saja. Vibe berantem ini juga bikin komplotan penjahat harus jadi ‘serius’, sehingga presence aktor-aktor dengan akting mumpuni jadi penjahat konyol diganti oleh yang fokus ke bisa action saja. Dan ‘lubang’ di departemen akting ini kerasa banget.

Alih-alih melebarkan sayap ke departemen aksi, menurutku film baiknya melebarkan sayap ke pengembangan karakter lain, Toh cerita kali ini sebenarnya melibatkan banyak karakter baru. Selain karakter antagonis tadi,  ada si kameraman partnernya Sherina, yang kayaknya ada rasa sama Sherina. Ada anak kecil yang ikut membantu menyelamatkan orangutan. Gak semuanya mendapatkan porsi yang cukup. Padahal kalo digali, kayaknya bisa menambah kedalaman cerita. Yang paling kerasa kurang itu adalah si anak kecil. Si Sindai ini kayak udah didesain sebagai cerminan Sherina waktu kecil, tapi enggak banyak adegan yang menampilkan Sherina berinteraksi dengan Sindai. Relasi di antara mereka tidak pernah benar-benar di-build up. Padahal akan keren sekali kalo berdua ini lebih banyak beraksi dan bareng-bareng. I just don’t know kenapa film gak simply membuat Sherina, Sadam, dan Sindai bertualang bersama. Kenapa mereka harus terpisah jadi dua ‘regu’ dan not really berinteraksi dan menjalin hubungan. Padahal Sindai kan posisinya representatif bagi penonton cilik yang diajak ngikut kakak-kakak atau orangtua mereka yang telah ikut tumbuh bersama Sherina dan Sadam. Jadi tidak ada salahnya kalo peran dan karakter Sindai juga ikut lebih banyak tergali.

 




Betapa bahagianya. Kita akan certainly have a great fun time jika datang ke film ini mengharapkan nostalgia ketemu karakter-karakter yang udah kayak teman lama. Arahan film ini tahu apa-apa saja yang harus dideliver, dan melakukan itu dengan sangat efektif. Kisah petualangan baru Sherina diwarnai oleh pesona-pesona yang ada di film pertama. Tontonan keluarga ini meriah oleh lagu-lagu dan cerita yang seru. Bermain-main dengan rasa penasaran kita terhadap lanjutan hubungan karakternya. Dan sebagaimana ihwalnya sebuah sekuel, film ini pun aim for jadi bigger. Punya pesan menjaga alam. Bahkan punya vibe action segala. Naskah menjaga semua itu tersusun rapi, tapi tetap saja buatku film ini beberapa kali terasa too much, sekaligus too little dalam ngehandle hal-hal esensial untuk bangunan cerita. Misalnya karakter-karakter baru yang kurang tergali. Membandingkannya dengan film pertama yang juga punya naskah bener dan terarah, film itu terasa lebih tight karena lebih simpel. Menurutku film kali ini, considering lebih banyak hal yang ditawarkan, terasa agak kewalahan juga. Namun paling enggak, mereka deliver their strength nicely.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PETUALANGAN SHERINA 2

 




That’s all we have for now.

Awalnya sih aku kurang relate sama Sherina yang kerja kantoran, happy pula. Menurutku Sherina lebih cocok sebagai jurnalis yang happynya saat turun ke lapangan. Sadam juga sebenarnya buatku agak ‘jauh’ juga dari yang kecilnya suka bintang, jadi fokus ke penangkaran orangutan. Gimana menurut kalian, apakah kalian punya versi fan-fic Sherina dan Sadam tuh cocoknya gedenya jadi apa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE NUN II Review

 

“Seeing a miracle will inspire you, but knowing you are a miracle will change you”

 

 

Adalah fenomena ajaib, saat sebuah sekuel tampil lebih baik dari film pertamanya. Ajaib dalam artian, agak jarang terjadi. Lantaran sekuel biasanya dibikin karena studio berusaha mengulangi kesuksesan sebuah film, maka kualitas sudah bukan perkara utama lagi. Dari sudut pembuat, pembuatan sebuah sekuel itu stake-nya lebih kecil, less riskier, ketimbang cerita baru. Usaha mereka bisa diperkecil saat ada jaminan penonton bakal datang menonton lanjutan dari sesuatu yang sudah terbukti sukses sebelumnya. Kejadian langka sekuel lebih bagus dari pendahulunya maka wajib kita rayakan, karena itu berarti film tersebut bukan semata pengen memerah kesuksesan, tapi juga melakukan perbaikan-perbaikan. The Nun II, kukatakan saja, tampil lebih baik dari film pertamanya yang sangat uninspiring dan tak memorable. Namun karena The Nun pertama separah itu pulalah, maka kiprah sekuel horor karya Michael Chaves ini tak menjadi seajaib itu. The bar was just too low. Dan The Nun II berhasil tampil lebih baik meskipun usaha perbaikannya sendiri sebenarnya amat sangat minim.

Mengambil latar waktu beberapa tahun setelah battle antara Suster Irene dengan Valak, The Nun II dibuka oleh kematian mengenaskan seorang pastor. Tubuhnya terangkat ke udara, lalu terbakar seketika. Kematian misterius pemuka gereja tersebut ternyata hanyalah satu dari banyak lagi kasus lainnya di berbagai belahan dunia. Sebagai penyintas, Suster Irene yang melanjutkan hidup sebagai suster normal di biara normal, ditugasi kembali oleh Gereja untuk mengusut kasus ini. Karena there’s no doubt, si suster iblis Valak, berada di balik semuanya. Bersama kolega baru, Suster Irene harus melacak relikui kuno. Serta mencari keberadaan si Valak, yang kini bersemayam di sebuah boarding school untuk anak-anak perempuan.

The Nun II yang dinanti-nanti oleh… NO ONE

 

Cerita kali ini memang punya bobot emosi. Karena si Valak actually bersemayam masih di dalam tubuh Frenchie alias Maurice, seperti yang kita lihat di akhir film pertama. Sehingga koneksi personal antara Irene dengan Maurice akan jadi hook dramatis saat kekuatan baik dan jahat itu akhirnya nanti bertempur sekali lagi. Selain itu, pemuda baik hati yang kerja jadi tukang kebun tersebut juga diperlihatkan punya hubungan yang dekat dengan salah satu guru di boarding school (disebutnya Ibu oleh anak-anak murid) dan dengan salah satu anak murid yang bernama Sophie. Malahan, ini juga lantas jadi kekurangan film The Nun II buatku. Bobot emosi cerita ini lebih banyak dan lebih mudah tersampaikan ketika dipantik dari karakter lain, bukan dari karakter utama. Film ini kena ‘penyakit’ karakter utamanya kalah menarik dengan karakter lain. I would prefer cerita fokus di Sophie saja. Fokus di kehidupan di boarding school saja. Simpati kita sebenarnya memang lebih banyak tercurah kepada si kecil Sophie. Yang dibully oleh teman sekelas, dikatain pacaran sama om-om (alias Maurice). Setting asrama katolik tempat mereka bersekolah juga lebih banyak menawarkan elemen-elemen horor. Misalnya ketika teman-teman Sophie mengajaknya ke chapel terbengkalai untuk main challenge yang berbau mistis.

Sedangkan Suster Irene, maan, aku suka Taissa Farmiga di serial American Horror Story, tapi di sini karakter dia boring. Bosenin bukan karena dia gak lakuin apa-apa, loh. Suster Irene ini ‘kerjaan’nya banyak banget; traveling, investigasi, dan nanti harus ‘duel’ lagi dengan Valak. Cuma ya, terlalu banyak sehingga momen-momen untuk development karakternya jadi minim. Ada sedikit soal dia teringat akan mendiang ibunya, tapi itu pun tidak berbuah sesuatu yang membuat kita melihat dia sebagai karakter yang genuine. Setidaknya tidak seperti kita melihat Sophie, atau malah kolega barunya, si Suster Debra (diperankan oleh Storm Reid) Karakter Suster Irene punya sedikit sekali inner journey atau pembelajaran diri yang dramatis. Karakternya cuma belajar tentang identitas dirinya ternyata keturunan siapa. Dramatisnya Irene cuma datang dari ‘ternyata’. Sementara Sophie, kita melihat dia dari seorang korban bully menjadi gadis cilik yang berani. Lalu Suster Debra, punya arc dari seseorang yang ragu akan ‘kerjaan’ mereka – katakanlah dia suster yang imannya kurang – menjadi percaya akan mukjizat. Kepercayaan yang kuat sehingga mendorong Suster Irene untuk semakin ‘pede’ ngalahin Valak.

Sebagai horor gotik yang kental dengan nuansa religi, The Nun II memang banyak bicara soal mukjizat dan kepercayaan. Pembahasan soal anggur adalah darah Yesus adalah pembicaraan soal menumbuhkan iman. Bahwa dengan iman yang kuat maka kebenaran akan terwujud. Bahwa akan selalu ada mukjizat di sekeliling, bagi orang-orang yang percaya. Dan seperti yang dialami Suster Irene, terkadang mukjizat itu ada pada diri kita sendiri.

 

Alih-alih mengembangkan Irene sebagai karakter, film ini tampak lebih tertarik menggarap Irene sebagai karakter dengan casting meta. Film lebih tertarik membangun benang merah antara Irene yang diperankan oleh Taissa Farmiga, dengan Lorraine Warren di timeline The Conjuring yang diperankan oleh kakak Taissa, Vera Farmiga. Dalam salah satu sekuen ‘penglihatan’ Irene terhadap masa lalunya, sekilas ada Lorraine, sehingga mengindikasikan dua karakter ini mungkin memang berada dalam satu garis keturunan yang sama. Lore cerita seperti ini memang menarik, tapi menurutku hal-hal trivia seperti begini masih bisa dilakukan sambil tetap membangun personality karakter secara khusus dengan lebih genuine. Jadi film ini sebenarnya lebih tepat jika difungsikan sebagai horor tertutup di setingan sekolah asrama, dengan karakter-karakter yang hidup di sana sebagai perspektifnya. Tapi karena perspektif utamanya Irene, maka cerita akan sering berpindah-pindah ke bagian ‘investigasi’ yang menurutku membuat kita seringkali lepas dari denyut cerita yang bikin film ini hidup.

Ciee Valak masuk halaman Mode hahaha

 

Sepulang nonton, aku ngecek trivia IMDB film ini, dan di sana disebutkan total screen time Valak si suster iblis cuma dua menit lima-tujuh detik. The Nun II sesungguhnya merupakan film yang benar mengandalkan atmosfer horor ketimbang menjadikan sosok demonnya banci kamera. Oh, jumpscare tetap ada. Banyak. Sebagian besar ngeselin, terutama yang muncul di awal-awal. Tapi secara garis besar, film ini mengerti membangun momen-momen seram tersebut. Valak sebenarnya sering muncul, lore nya juga mengalami pengembangan, tapi dia ditampilkan dari balik bayang-bayang. Tidak pernah lebih lama dari seharusnya, sampai-sampai membuat kita bosan melihatnya. Atau malah film bermain-main dengan imaji-imaji yang menyerupai Valak. Momen paling kreatif film ini adalah saat memunculkan ‘Valak’ lewat halaman-halaman majalah di sebuah stand atau kios. Halaman yang berisi gambar-gambar itu membentuk kolase yang serupa dengan penampakan Valak. Dan ini cara film menampilkannya benar-benar intens, like antisipasi kita terhadap kemunculan real Valak tetap dijaga tinggi. Film ini ngerti the art of bikin penonton menahan napas dalam ketakutan. Setiap entrance Valak, entah itu beneran dia atau bukan, benar-benar terasa fresh dan jadi momen horor yang jempolan. Dan bukan hanya Valak, melainkan ada satu makhluk horor lagi yang ditampilkan dalam film ini. Makhluk yang menurutku bisa saja mereka bikinkan film tersendiri, saking efektifnya cara film memperkenalkan.

Karena itu jugalah aku jadi merasa kesal dengan editing film ini. Sebenarnya aku gak yakin juga apakah hal itu memang dari sononya karena ngincar rating umur tertentu atau ‘ulah’ sensor kita, tapi yang jelas treatment cut-cut film ini dalam menampilkan adegan-adegan horor terasa agak off. Ketika kamera sudah menangkap misteriusnya dengan ciamik, tensi sudah terbangun, exit adegan atau punchline horornya seringkali terasa terlalu cepat. Sehingga momen-momen seram tersebut jadi terasa kurang nendang. Flow horor film pun jadi terasa enggak benar-benar sempurna. Nonton film ini tu jadi kayak kerasa ‘kentang’ gitu loh. Udah capek-capek membuild suspens, tapi puncak pelampiasannya gak ada memuaskan semua. Kayak Valak lagi membunuh salah satu korban misalnya, momen dia ‘nakut-nakutin’nya udah dapat, tapi saat dia went for the kill, tiba-tiba berlangsungnya cepat.

 




Sense horor film ini sebenarnya ada pada tempat yang tepat. Gambar-gambar dan build upnya keren semua untuk standar skena horor. Kalo ternyata bukan salah ‘sensor’, film ini adalah horor dengan timing paling gak-precise yang aku tonton beberapa tahun belakangan. Gak puas aja nontonnya. Ceritanya pun begitu. Padahal dibandingkan film pertamanya, film kali ini punya bobot dramatis. Punya karakter yang cerita mereka mampu membuat kita peduli. Punya development juga. Sayangnya semua itu ada pada karakter yang gak tepat. Dalam artian, bukan pada karakter utama. Heroine utama film ini toh memang tetap dibuat cukup badass dan segala macem, tapi dia ini cuma punya ‘kejadian’. Irene ini bentukan karakternya tu kayak tipikal hero dalam film action. Development dia nyaris tidak ada, melainkan cuma ‘ternyata’. Dan karena cerita harus ngikut perspektif si karakter utama, maka cerita yang mestinya kuat di kejadian sekolah asrama, jadi sering berpindah. So yea, film ini adalah peningkatan dari film pertama, tapi itupun lebih karena film pertama yang memang set standar terlalu ke bawah.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE NUN II

 




That’s all we have for now.

Dunia cerita Conjuring dan The Nun sepertinya sudah diset untuk segera bertemu kembali. Apa hubungan Lorraine dengan Irene menurut kalian?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL